identifikasi hazard dan penilaian risiko kesehatan …
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI HAZARD DAN PENILAIAN RISIKO
KESEHATAN KERJA PADA PEKERJA TENUN
IKAT DI KELURAHAN TUAN KENTANG
KOTA PALEMBANG TAHUN 2019
Oleh
UMAR HABIBI
15.13201.10.33
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
2019
IDENTIFIKASI HAZARD DAN PENILAIAN RISIKO
KESEHATAN KERJA PADA PEKERJA TENUN
IKAT DI KELURAHAN TUAN KENTANG
KOTA PALEMBANG TAHUN 2019
Skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
Oleh
UMAR HABIBI
15.13201.10.33
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
2019
iii
ABSTRAK SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIK)
BINA HUSADA PALEMBANG
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, 18 Mei 2019
UMAR HABIBI
Identifikasi Hazard dan Penilaian Risiko Kesehatan Kerja Pada Pekerja Tenun
Ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang Tahun 2019
(xvi, 109 halaman, 10 bagan, 7 tabel, 24 gambar, 3 lampiran)
Identifikasi bahaya merupakan proses pengenalan adanya suatau bahaya dan
penilaian risiko untuk mengevaluasi besarnya risiko dengan menentukan tingkat
risiko yang ditinjau dari kemungkinan kejadian (Probability) dan keparahan yang
dapat ditimbulkan (severity). Apabila hazard tidak dikendalikan dengan tepat akan
dapat menyebabkan kelelahan, sakit, cedera dan bahkan kecelakaan yang serius. Di
Provinsi Sumatera Selatan jumlah kecelakaan kerja yang terjadi dalam 15 Wilayah
Kabupaten pada tahun 2013 sebanyak 182 kasus, dan tahun 2014 terjadi 11
kecelakaan kerja dan 2 oarang meninggal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran potensi bahaya dan
tingkat risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang.
Instrumen yang digunakan adalah REBA dan HIRARC (Hazard Identification Risk
Assessment And Risk Control) yang terbagi dalam 3 tahap, yaitu identifikasi bahaya,
penilaian risiko dan pengendalian risiko. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24-
29 April 2019 di industri tenun ikat Kelurahan Tuan Kentang Palembang. Data di
dapatkan dengan melakukan pengamatan dan pencatatan serta pendokumentasian.
Hasil Penelitian menunjukan hazard fisik berupa suhu ruangan kerja
berdasarkan penilian risiko memiliki potensi bahaya risiko sedang, sebanyak 1 jenis
bahaya dengan nilai persentasi 10%. Hazard egonomi pada proses penenunan
memiliki potensi bahaya risiko sedang, sebanyak 7 jenis bahaya dengan nilai
persentasi 70%.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa berdasarkan pengukuran suhu di 7
station yaitu melebihi nilai ambang batas sehingga hasil penilaian risiko yaitu risiko
sedang, dan penilaian risiko pada tahap proses penenunan juga memiliki potensi
bahaya sedang. Disarankan untuk diadakannya pengendalian berupa penyediaan alat
pendingin ruangan, air minum, penambahan ventilasi ruangan kerja, dan modifikasi
alat kerja yang ergonomi guna menciptakan kondisi kerja yang aman dan nyaman.
Kata Kunci : Identifikasi Hazard Dan Penilaian Risiko
Daftar Pustaka : 36 (2004-2019).
iv
ABSTRACT BINA HUSADA COLLEGE OF HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
Student Thesis, 18 May 2019
UMAR HABIBI
Hazard Identification and Occupational Health Risk Assessment For Ikkat
Weavers (Traditional Hand-woven Fabric) in Administrative Village of Tuan
Kentang Palembang in 2019
(xvi + 109 pages + 10 charts + 7 tables + 3 attachments)
Hazard Identification is the process of defining the existence of a hazard and
Risk Assessment to evaluate the amount of risk by determining the level of risk in
terms of the probability of occurrence (Probability) and severity. If the hazard is not
properly controlled, it can cause fatigue, illnes, injury and even serious accidents. In
South Sumatra Province the number of work accidents occurring in 15 regency areas
in 2013 was 182 cases and in 2014 there were 11 work accidents and 2 people died.
This research aimed to determine the hazard and the level on ikat weaver at
Tuan Kentang sub-districk. This research observation research through cross
sectional design, the instrument that was used were REBA and HIRARC (Hazard
Identification Risk Assessment and Risk Control). That was devided into three stages
mainly : hazard identification, risk assessment and risk control. This research was
conducted on 24-29 April 2019 in Ikat weaver industry of Tuan Kentang sub-districk,
Palembang. The data were collected by using observation, record and documentation.
This research result showed as many as 1 hazard physical hazard of work
station temperature which was based on risk assessment had a moderate risk potential
with the value of 10%. The overall ergonomic hazard for the weaving stage had a
moderate risk potential of 7 types of hazards with a percentage value of 70%.
In conclusion based on the temperature measurement from seven work
stations, it was found that the value exceeded the thereshold value so the results of the
risk assessment was moderate and the weaving stage also had moderate potential
hazards. It is recommended that employer provide air conditioner, drinking water,
additional room ventilation and ergonomic working equipment to create safe and
comfortable conditions for ikkat weavers.
Keywords : Hazard Identification, Risk Assessment
Bibliography : 36 (2004-2019).
vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Umar Habibi
Tempat/Tanggal Lahir : Batumarta, 05 September 1994
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Batumarta XI Blok Ij Kec. Sinar Peninjauan Kab.Oku
Kode Pos : 32159
Orang Tua
- Ayah : Sadali
- Ibu : Mutiah (Almh)
Handphone : 085366558034
Emai : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD Negri 164 Ogan Komering Ulu Tahun 2001 – 2007
2. MTS Babbussalam Batumarta XI Tahun 2007 – 2010
3. SMAN 08 OKU 2010 – 2013
4. STIK Bina Husada Palembang Tahun 2015 – 2019
viii
PERSEMBAHAN DAN MOTTO
Kupersembahan Kepada :
Allah SWT. yang telah memberikan nikmat-Nya serta mempermudahkan
langkah saya untuk menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.
Kepada kedua orang tuaku tercinta, Bapak Sadali dan Ibu Mutiah (Almh),
yang selalu meberikan doa, cinta dan kasih sayang yang tiada henti.
Kakakku Jariyah yang telah membantu penulis baik dukungan moril maupun
materi selama kuliah hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Kalianlah
motivasi terbesar untuk keberhasilanku.
Motto :
“Bertaqwalah kepada Allah, maka Dia akan membimbingmu.
Sesungguhnya Allah Mengetahui segala sesuatu” (Qs. Al-Baqarah: 282).
“Barang siapa yang bersungguh – sungguh, sesungguhnya kesungguhan
tersebut untuk kebaikan diri sendiri” (Qs. Al-Ankabut:6 ).
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs. Asy Syarh ayat 5 – 6 ).
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Kesehatan Masyarakat
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Bina Husada.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr Maksuk SKM, M.Kes, sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. dr. Chairil Zaman,
M.Sc selaku Ketua STIK Bina Husada, Ibu Dian Eka Anggreny, SKM, M.Kes selaku
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kemudahan
dalam pengurusan administrasi penulisan skripsi ini. Selain itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dian Eka Anggreny, SKM, M.Kes dan Bapak
Welly Suwandi SKM, M.Kes, selaku penguji dalam penyusunan skripsi ini dan Ibu
Atma Deviliawati SKM, M.Kes selaku pembimbing akademik selama mengikuti
pendidikan di Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bina Husada.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan
dan kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan
bagi siapa saja yang membacanya.
Palembang, 18 Mei 2019
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT .......................................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... v
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ................................................................ vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... vii
PERSEMBAHAN DAN MOTO ....................................................................... viii
UCAPAN TERIMAKASIH................................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3. Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 5
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
1.4.1 Tujuan umum ..................................................................................... 6
1.4.2 Tujuan khusus .................................................................................... 6
1.5. ManfaatPenelitian ....................................................................................... 6
1.5.1 Bagi Penelitian ................................................................................... 6
1.5.2 Bagi STIK Bina Husada..................................................................... 6
1.5.3 Bagi Pekerja Tenun Ikat..................................................................... 7
1.6. Ruang Lingkup Penelitian........................................................................... 7
1.6.1 Lingkup Lokasi Penelitian ................................................................. 7
1.6.2 Lingkup Waktu Penelitian ....................................................................... 7
1.6.3 Lingkup Materi Penelitian .......................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Keselamatan dan Kesehatan Kerja .............................................................. 8
2.1.1 Definisi ................................................................................................ 8
2.1.1.1 Keselamatan Kerja .................................................................. 8
xi
2.1.1.2 Kesehatan Kerja ...................................................................... 9
2.1.1.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja ......................................... 9
2.1.2 Fungsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ............................... 11
2.1.3 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja ........................................ 12
2.2. Hazard ...................................................................................................... 13
2.2.1 Definisi Hazard ................................................................................. 13
2.2.2 Jenis Potensi Bahaya (Hazard)..........................................................14
2.3 Manajemen Risiko. ................................................................................... 26
2.3.1 Definisi Manajemen Risiko ............................................................... 26
2.3.2 Tujuan Manajemen Risiko ................................................................ 29
2.3.3 Proses Manajemen Risiko ................................................................. 30
2.3.4 Identifikasi Bahaya ............................................................................ 34
2.3.4.1 Identifikasi Sumber Bahaya .................................................. 35
2.3.4.2 Metode Identifikasi Bahaya .................................................. 36
2.3.4.3 Pemilihan Teknik Identifikasi Bahaya .................................. 37
2.3.5 Penilaian Risiko ................................................................................. 37
2.3.5.1 Definisi Penilaian Risiko ...................................................... 38
2.3.5.2 Menentukan Peluang ............................................................. 38
2.3.5.3 Menentukan Konsekuensi ..................................................... 39
2.3.6 Pengendalian Risiko .......................................................................... 41
2.4 Metode HIRARC ...................................................................................... 43
2.4.1 Definisi HIRARC .............................................................................. 43
2.4.2 Identifikasi Bahaya ............................................................................ 44
2.4.3 Penilaian Risiko ................................................................................. 46
2.4.4 Pengendalian Risiko .......................................................................... 49
2.5 Tenun Ikat ................................................................................................. 49
2.5.1 Definisi Tenun Ikat ............................................................................ 49
2.5.2 Jenis Tenun Ikat ................................................................................ 50
2.5.3 Proses Pembuatan Tenun Ikat ........................................................... 50
2.6 Penelitian Terkait ...................................................................................... 54
2.7 Kerangka Teori ......................................................................................... 56
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitia ............................................................................................ 57
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 57
3.2.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 57
3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................................... 57
3.4 Kerangka Konsep ...................................................................................... 58
3.5 Defenisi Operasional ................................................................................. 59
xii
3.6 Metode, Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data ............................... 62
3.6.1 Metode Pengumpulan Informasi ....................................................... 62
3.6.2 Alat Pengumpulan Data .................................................................... 62
3.6.3 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................. 62
3.6.3.1 Tahap Persiapan .................................................................... 63
3.6.3.2 Proses Pengumpulan Data .................................................... 63
3.7 Prosedur Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 64
3.7.1 Prosedur Pengolahan Data ................................................................ 64
3.7.2 Prosedur Analisis Dta ........................................................................ 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Tenun Ikat ................................................................... 65
4.1.1 Sejarah Tenun Ikat............................................................................. 65
4.1.2 Gambaran Umum Penenunan ............................................................ 66
4.1.3 Gambaran Peralatan Kerja................................................................. 67
4.2 Proses Pembuatan Tenun Ikat .................................................................. 68
4.2.1 Benang Lusi ....................................................................................... 69
4.2.2 Benang Pakan .................................................................................... 71
4.2.4 Penenunan ......................................................................................... 74
4.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 75
4.4 Identifikasi Hazard .................................................................................... 76
4.4.1 Hazard Fisik ...................................................................................... 76
4.4.2 Hazard Ergonomi .............................................................................. 78
4.5 Penilaian Risiko ........................................................................................ 94
4.6 Pengendalian Risiko ................................................................................ 102
4.7 Rekomendasi Alat Kerja ......................................................................... 105
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ................................................................................................. 108
5.2 Saran ....................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan Halaman
2.1 Hubungan Bahaya dan Risiko .......................................................................... 28
2.2 Proses Sistem Manajemen K3 .......................................................................... 29
2.3 Proses Manajemen Risiko ................................................................................ 31
2.4 Tingkat Risiko .................................................................................................. 33
2.5 Menentukan Peluang ........................................................................................ 39
2.6 Panduan Daftar Konsekuensi ........................................................................... 40
2.7 Hirarki Pengendalian Bahaya ........................................................................... 41
2.8 Kerangka Teori................................................................................................. 56
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................. 58
4.1 Alur Proses Pembuatan Tenun Ikat .................................................................. 68
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1 Nilai Ambang Batas Iklim Lingkungan Kerja ................................................. 15
2.2 Nilai Ambang Batas Pencahayaan Dalam Gedung .......................................... 16
2.3 Skala Probability .............................................................................................. 47
2.4 Skala Severity ................................................................................................... 47
2.5 Matriks Tingkat Risiko .................................................................................... 48
2.6 Penelitian Terkait ............................................................................................. 54
3.1 Definisi Operasional......................................................................................... 59
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
4.1 Kain Blongket Tenun Ikat ................................................................................ 66
4.2 Alat Tenun Bunkan Mesin ............................................................................... 67
4.3 Kursi Kerja ....................................................................................................... 68
4.4 Proses Pewarnaan ............................................................................................. 69
4.5 Proses Pengelosan ............................................................................................ 70
4.6 Proses Penghanian ............................................................................................ 71
4.7 Proses Pemidangan........................................................................................... 72
4.8 Proses Pelimaran .............................................................................................. 72
4.9 Proses Penginciran ........................................................................................... 73
4.10 Proses Pemaletan ............................................................................................ 74
4.11 Proses Penenunan ........................................................................................... 75
4.12 Pengukuran Suhu Ruangan ............................................................................ 77
4.13 Pengukuran Pencahayaan ............................................................................... 78
4.14 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Pencelupan ................................................ 80
4.15 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Pengelosan ................................................. 82
4.16 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Penghanian ................................................ 84
4.17 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Pemidangan ............................................... 86
4.18 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Pelimaran ................................................... 88
4.19 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Penginciran ................................................ 90
4.20 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Pemaletan .................................................. 92
4.21 Tingkat Risiko Ergonomi Tahap Penenunan ................................................. 94
4.22 Diagram Pie Hasil Penilaian Risiko ............................................................. 101
4.23 Alat Tenun Manual (penambahan alat bantu) .............................................. 105
4.24 Kursi Kerja (modifikasi) .............................................................................. 106
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
1. Lembar Penilaian Reba
2. Dokumentasi
3. Surat Selesai Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi bahaya (hazard) terdapat hampir disetiap tempat dimana
dilakukan suatu aktivitas, baik di rumah, di jalan, maupun di tempat kerja. Apabila
hazard tersebut tidak dikendalikan dengan tepat akan dapat menyebabkan kelelahan,
sakit, cedera, dan bahkan kecelakaan yang serius. Oleh karena itu, harus dilakukan
pengendalian bahaya dengan menemukan sumber-sumber bahaya di tempat kerja,
kemudian diadakan identifikasi bahaya. Bahaya yang telah teridentifikasi perlu
dievaluasi tingkat risikonya terhadap tenaga kerja. Dari kegiatan tersebut dapat
diupayakan suatu usaha pengendalian sampai pada tingkat yang aman bagi tenaga
kerja, aset perusahaan dan lingkungan (Prasetyo, 2018).
Berbagai sumber bahaya di tempat kerja baik faktor fisik, kimia, biologi,
fisiologi, psikososial, peralatan kerja dan ergonomi merupakan faktor risiko yang
tidak bisa diabaikan begitu saja (Ramli, 2013). Berdasarkan data International Labour
Organization (ILO) tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena
kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya
(2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun. (Depkes, 2014).
2
Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahunnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan mencatat adanya kenaikan angka kecelakaan kerja yang cukup
mengkhawatirkan. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa
tahun 2017 angka kecelakaan kerja yang dilaporkan mencapai 123.041 kasus,
sementara sepanjang 2018 mencapai 173.105 kasus. Setiap tahunnya rata-rata BPJS
Ketenagakerjaan melayani 130 ribu kasus kecelakaan kerja, dari kasus-kasus ringan
sampai dengan kasus-kasus yang berdampak fatal (BPJS Ketenagakerjaan, 2018).
Setiap pekerjaan selalu mengandung potensi rIsiko bahaya dalam bentuk
kecelakaan kerja. Besarnya potensi kecelakaan dan penyakit kerja tersebut tergantung
dari jenis produksi, teknologi yang dipakai, bahan yang digunakan, tata ruang dan
lingkungan bangunan serta kualitas manajemen dan tenaga pelaksana. Jumlah kasus
kecelakaan akibat kerja tahun 2011-2014 yang paling tinggi pada 2013 yaitu 35.917
kasus kecelakaan kerja tahun 2011 = 9.891 tahun 2012 21.735 tahun 2014 = 24.910
(Badan Pusat Statistik, 2014). Jumlah kecelakaan kerja yang terjadi dalam 15
Wilayah Kabupaten Kota Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2013 sebanyak 182
kasus, dan tahun 2014 terjadi 11 kecelakaan kerja dan 2 oarang meninggal
(Dinakertrans; Ria, 2015).
Bahaya menyebabkan kecelakaan yang memberikan dampak negatif
terhadap manusia, peralatan, material dan lingkungan. Risiko adalah gambaran
mengenai adanya potensi bahaya keberadaan bahaya dan risiko harus segera
ditangani dan dikendalikan dengan manajemen K3 yang baik dan benar. Manajemen
K3 berkaitan erat dengan manajemen risiko. Berdasarkan OHSAS 18001, organisasi
3
wajib menetapkan prosedur mengenai identifikasi bahaya (hazard identification),
penilaian risiko (risk assessment) dan menentukan pengendalian (risk control).
Bahaya adalah segala aspek yang terdiri atas kondisi dan aktivitas yang bersifat
memicu kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri.
Oleh karenanya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja perlu dilakukan
pemetaan risiko dan bahaya serta pengendaliannya (Prasetyo, 2018).
Identifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko (IBPR) salah satu
komponen penting dalam sistem manajemen keselamatan dan keselamatan kerja
karena berhubungan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya,
IBPR dilakukan di setiap aktivitas lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya
dengan menggunakan metode Hazard Identification Risk Assessment and Risk
Control (HIRARC). Metode HIRARC bertujuan untuk menentukan tingkat risiko dan
pengendalian sesuai risiko, serta menurunkan tingkat risiko dan upaya untuk
menurunkan tingkat potensi bahaya yang akan terjadi (Prasetyo, 2018).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmadina (2016) yang dilakukan
di Pt. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta tahun 2016 dengan menggunakan
metode Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA). Bahwa dari hasil
identifikasi menunjukkan terdapat 44 sumber potensi bahaya, 8 sumber bahaya
kategori tingkat bahaya serius (18,2%), 19 sumber bahaya kategori tingkat bahaya
sedang (43,2%), dan 17 sumber bahaya tingkat bahaya rendah (38,6%). Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab sumber potensi bahaya antara
lain: lingkungan kerja yang tidak aman, peralatan atau mesin yang tidak aman, dan
sikap kerja yang tidak aman (Rahmadina, 2016).
4
Penelitian terkait mengenai identifikasi bahaya dan penilaian risiko pada
pekerja tenun ikat dengan menggunakan metode Hazard Identification Risk
Assessment And Risk Control (HIRARC), belum banyak dilakukan oleh karena itu
penting dilakukan identifikasi hazard dan penilaian risiko menggunakan metode
Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) guna mengetahui
tingkat risiko bahayanya dan bagaimana tindakan pengendalian yang dilakukan di
Industri tenun ikat Kota Palembang.
Industri tenun ikat berdiri pada tahun 1970 an yang berlokasi di
Kelurahan Tuan Kentang Kec. Seberang Ulu I Palembang. Industri tenun ikat
merupakan indutsri perumahan yang bergerak di bidang kain tenun ikat Palembang,
usaha ini dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kelurahan Tuan Kentang sebagai
bentuk mata pencaharian dengan melestarikan kain tenun ikat Palembang. Di
kelurahan ini memiliki 7 Industri rumahan, keseluruhan industri ini dimanajemeni
oleh Griya Kain Tuan Kentang yang diketuai oleh Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Griya Kain Tuan Kentang. Adapun proses pembuatan kain tenun ikat Palembang ini
melalui 3 tahap. Tahap pertama proses benang lusi diantaranya: pengelosan
(memintal), pencelupan warna, penghanian. Tahap kedua proses benang pakan
diantaranya: pemidangan, pelimaran, penginciran, pemaletan. Tahap ketiga yaitu
penenunan. pekerjaan ini dilakukan setiap hari kerja mulai pukul 07.00 – 18.00 Wib,
dimana semua ini dilakukan dengan proses manual yang dikerjakan oleh pekerja
tenun ikat, dalam proses ini pekerja harus berhadapan langsung dengan alat-alat tenun
yang digunakan secara manual dan berisiko terhadap kondisi kesehatan pekerja.
Berdasarkan observasi di lapangan maka dalam hal ini peneliti ingin mengidentifikasi
5
bahaya dan penilaian risiko kesehatan kerja guna diketahuinya tingkat risiki dan
upaya dalam pengendaliannya agar tercipta kondisi kerja yang aman. Dengan judul
penelitian identifikasi bahaya dan penilaian risiko kesehatan kerja pada pekerja tenun
ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang tahun 2019.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah belum diketahuinya gambaran mengenai potensi bahaya dan
tingkat risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang
Tahun 2019.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Apa saja potensi bahaya yang ada pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan
Kentang Kota Palembang Tahun 2019?
2. Bagaimana penilaian risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang
Kota Palembang Tahun 2019?
3. Bagimana pengendalian risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang
Kota Palembang Tahun 2019?
6
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran potensi bahaya dan tingkat risiko pada
pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang Tahun 2019.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya potensi bahaya yang ada pada pekerja tenun ikat di Kelurahan
Tuan Kentang Kota Palembang Tahun 2019.
2. Diketahuinya penilaian risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan
Kentang Kota Palembang Tahun 2019.
3. Diketahuinya pengendalian risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan
Kentang Kota Palembang Tahun 2019.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Sebagai sarana belajar untuk melakukan penelitian yang memanfaatkan
pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan serta sebagai penilaian terhadap
tingkat pengetahuan mahasiswa selama mendapatkan perkuliahan. Serta menambah
wawasan mahasiswa mengenai K3 pada umumnya dan identifikasi bahaya dan
penilaian risiko pada khusunya.
1.5.2 Bagi STIK Bina Husada
Sebagai bahan pertimbangan terhadap apa yang telah didapat mahasiswa
selama mendapatkan pendidikan dan di dalam teori praktek lapangan, serta
7
menambah pengetahuan mahasiswa tentang identifikasi bahaya dan penilaian risiko
keselamatan dan kesehatan kerja.
1.5.3 Bagi Pekerja Tenun Ikat
Bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam rangka
peningkatan K3 dan penerapan SMK3 dalam upaya meminimalkan kecelakaan kerja
yang terjadi pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Lingkup Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan tuan kentang kota palembang 2019.
1.6.2 Lingkup Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 24 – 29 April 2019.
1.6.3 Lingkup Materi Penelitian
Ruang lingkup materi dalam penelitian ini yaitu Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Penelitian ini akan dilaksankan pada tanggal 24 – 29 April 2019.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran potensi bahaya dan tingkat
risiko pada pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2.1.1 Definisi
2.1.1.1 Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja,
bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja di lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan (Suwardi dan Daryanto, 2018).
Keselamatan Kerja adalah suatu keadaan yang aman dan selamat dari
penderitaan dan kerusakan serta kerugian di tempat kerja, baik pada saat memakai
alat, bahan, mesin-mesin dalam proses pengolahan, teknik pengepakan, penyimpanan,
maupun menjaga dan mengamankan tempat serta lingkungan kerja (Kusawana,
2017).
Keselamatan kerja adalah suatu keadaan terhindar dari bahaya selama
melakukan pekerjaan. Pengertian keselamatan kerja merupakan keselamatan yang
berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya,
landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Keselamatan kerja mencakup pencegahan kecelakaan kerja dan perlindungan
terhadap tenaga kerja dari kemungkinan terjadinya kecelakaan sebagai akibat dari
kondisi kerja yang tidak aman dan atau tidak sehat (Buntarto, 2015).
9
2.1.1.2 Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban
kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya (Suwardi dan
Daryanto, 2018).
Kesehatan kerja adalah suatu keadaan seorang pekerja yang terbebas dari
gangguan fisik dan mental sebagai akibat pengaruh interaksi pekerjaan dan
lingkungannya (Kuswana, 2017)
Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani,
rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit
atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja
maupun penyakit umum (Buntarto, 2015).
2.1.1.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu upaya untuk
menekan atau mengurangi resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara keselamatan dan kesehatan (Suwardi dan
Daryanto, 2018).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya
untuk menuju masyarakat adil dan makmur (Sucipto, 2014).
10
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan upaya atau pemikiran serta
penerapannya yang ditujukan untuk menjamin keutuhan dan kesempuranaan baik
jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya,
hasil karya dan budaya, untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja (Kuswana,
2017).
Keselamatan dan kesehatan kerja secara filosofi didefinisikan sebagai
upaya dan pemikiran untuk menjamin kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmani
maupun rohani diri manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya beserta
hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera
(Tarwaka, 2014).
Secara keilmuan keselamatan dan kesehatan kerja didefinisikan sebagai
ilmu dan penerapan secara teknis dan teknologis untuk melakukan pencegahan
terhadap munculnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dari setiap pekerjaan
yang dilakukan (Tarwaka, 2014).
Menurut Buntarto (2015) keselamatan dan kesehatan kerja adalah upaya
perlindungan bagi tenaga kerja agar selalu dalam keadaan sehat dan selamat selama
bekerja di tempat kerja. Tempat kerja adalah ruang tertutup atau terbuka, bergerak
atau tetap, atau sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan usaha dan tempat
terdapatnya sumber-sumber bahaya.
Menurut International Labour Organization (ILO) (1998) Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu promosi, perlindungan dan peningkatan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mencakup aspek fisik, mental dan sosial
untuk kesejahteraan seluruh pekerja di semua tempat kerja.
11
Menurut Ramli (2013), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah proses
untuk meningkatkan Sistem Manajemen K3, untuk memperoleh peningkatan
keseluruhan dari pekerja K3, searah dengan kebijakan K3 perusahaan.
2.1.2 Fungsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut Sucipto (2014) fungsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja ialah :
a. Fungsi dari kesehatan kerja
1) Identifikasi dan melakukan penilaian terhadap risiko dari bahaya kesehatan di
tempat kerja.
2) Memberikan saran terhadap perencanaan dan pengorganisasian dan praktek
kerja termasuk desain tempat kerja.
3) Memberikan saran, informasi, pelatihan dan edukasi tentang kesehatan kerja
dan APD.
4) Melaksanakan surveilan terhadap kesehatan kerja.
5) Terlibat dalam proses rehabilitasi.
6) Mengelola P3K dan tindakan darurat.
b. Fungsi dari keselamatan kerja
1) Antisipasi, identifikasi dan evaluasi kondisi dan praktek berbahaya.
2) Buat desain pengendalian bahaya, metode, prosedur dan program.
3) Terapkan, dokumentasikan dan informasikan dalam hal pengendalian bahaya
dan program pengendalian bahaya.
4) Ukur, periksa kembali keefektifitasan pengendalian bahaya dan program
pengendalian bahaya.
12
2.1.3 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menurut Buntarto (2015) keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan
untuk menjamin ksempurnaan atau kesehatan jasmani dan rohani tenaga kerja serta
hasil karya dan budayanya. Ruang lingkup keselamatan dan kesehatan kerja adalah
sebagai berikut :
a. Memelihara lingkungan kerja yang sehat.
b. Mencegah, mengobati kecelakaan yang disebabkan akibat pekerjaan sewaktu
bekerja.
c. Mencegah dan mengobati keracunan yang ditimbulkan dari kerja.
d. Memelihara moral, mencegah dan mengobati keracunan yang timbul dari kerja.
e. Menyesuaikan kemampuan dengan pekerjaan dan
f. Merehabilitasi pekerja yang cedera atau sakit akibat pekerjaan.
Menurut Kuswana (2017) tujuan utama Keselamatan dan Kesehatan
Kerja yaitu :
1. Mengamankan suatu sistem kegiatan/pekerjaan mulai dari input, proses sampai
dengan output.
2. Penerapan program keselamatan kerja juga diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan (well-being).
13
Menurut ILO (1998) tujuan K3 adalah bentuk upaya untuk menciptakan
tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat
mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Suardi (2015), penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan
Manajemen K3 bertujuan :
1. Menyatakan komitmen
2. Menetapkan cara penerapan
3. Membentuk kelompok kerja
4. Menetapkan sumber daya yang diperlukan
5. Kegiatan penyuluhan Pengembangan Sistem Manajemen K3
2.2 Hazard
2.2.1 Definisi Hazard
Standar Australia (2000) mendefinisikan hazard sebagai sebuah sumber
potensi bahaya atau situasi dengan potensi untuk menimbulkan kerugian. Setiap
sumber atau situasi dengan potensi bahaya dalam hal cedera/penyakit, kerusakan
terhadap properti/pabrik/peralatan atau kerusakan lingkungan.
Hazard adalah suatu objek di mana terdapat energi, zat atau kondisi kerja
yang potensial dapat mengancam keselamatan. Hazard dapat berupa; bahan-bahan,
bagian-bagian mesin, bentuk energi, metode kerja atau situasi kerja (Kuswana, 2017).
14
Menurut OHSAS 18001 (2007), Hazard adalah sumber, situasi atau
tindakan yang berpotensi menciderai manusia atau kondisi kelainan fisik/mental yang
teridentifikasi berasal dari atau bertambah buruk karena kegiatan kerja atau
kombinasi dari semuanya.
Menurut Permenkes No 48 Tahun 2016, Hazard adalah sifat-sifat intrinsik
dari suatu zat atau proses yang berpotensi dapat menyebabkan kerusakan atau
membahayakan. Bahaya dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis yaitu; bahaya
fisik (Physical hazards), bahaya kimia (Chemical hazards), bahaya biologi
(Biological hazards), bahaya ergonomi (Biomechanical hazards), bahaya psikososial
(Psychological hazards).
2.2.2 Jenis Potensi Bahaya (Hazard)
a. Bahaya Fisik
Bahaya fisik adalah yang paling umum dan akan hadir di sebagian besar
tempat kerja pada satu waktu tertentu. Hal itu, termasuk kondisi tidak aman yang
dapat menyebabkan cedera, penyakit dan kematian (Kuswana, 2017).
Kondisi fisik lingkungan tempat kerja dimana para pekerja beraktifitas
sehari-hari mengandung banyak bahaya, langsung maupun tidak langsung bagi
keselamatan dan kesehatan pekerja. Bahaya-bahaya tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai bahaya getaran, kimia, radiasi, thermal, pencahayaan dan kebisingan
(Sucipto, 2014).
Menurut Permenakertrans No 13 tahun 2011 Nilai Ambang Batas adalah
standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai intensitas rata-rata tertimbang waktu
yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
15
kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau
40 jam seminggu. NAB faktor fisika meliputi iklim kerja, kebisingan, getaran,
gelombang mikro, sinar ultra ungu, dan medan magnet.
1) Nlai Ambang Batas (NAB) Iklim/Suhu Lingkungan Kerja
Menurut Permenkes No 70 Tahun 2016, Nilai Ambang Batas (NAB)
iklim/suhu lingkungan kerja merupakan batas pajanan iklim lingkungan kerja
atau pajanan panas (Heat Stress) yang tidak boleh dilampaui selama 8 jam kerja
per hari.
Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Iklim Lingkungan Kerja
Alokasi Waktu
Kerja dan Istirahat
NAB (°C ISBB)
Ringan Sedang Berat Sangat Berat
75 – 100% 31,0 28,0 * *
50 – 75% 31,0 29,0 27,5 *
25 – 50% 32,0 30,0 29,0 28,0
0 – 25% 32,5 31,5 30,0 30,0
Sumber : Permenkes No 70 Tahun 2016
NAB iklim lingkungan kerja ditentukan berdasarkan alokasi waktu
kerja dan istirahat dalam satu siklus kerja (8 jam per hari) serta rata-rata laju
metabolik pekerja. Kategori laju metabolik, yang dihitung berdasarkan rata-rata
laju metabolik pekerja.
16
2) Nilai Ambang Batas (NAB) Pencahayaan Dalam Gedung Industri
Persyaratan pencahayaan dalam gedung lingkungan kerja industri
dikelompokkan menjadi area umum dalam gedung industri dan berdasarkan jenis
area, pekerjaan atau aktivitas pada masing-masing jenis industri.
Persyaratan tingkat pencahayaan pada zona lalu lintas dan area umum
dalam gedung industri dapat digunakan pada semua jenis industri yang memiliki
area kerja dan atau aktivitas.
Tabel 2.2
Nilai Ambang Batas Pencahayaan Dalam Gedung Industri
Jenis Area, Pekerjaan/Aktivitas Lux
a. Rak Penyimpanan
b. Ruang Tunggu
c. Ruang Kerja Umum
d. Ruang switch gear
e. Kantin
f. Pantry
200
Sumber : Permenkes No 70 Tahun 2016
Persyaratan tingkat pencahayaan di lingkungan kerja industri
mencakup pencahayaan di dalam ruangan dan di luar ruangan. Nilai persyaratan
tingkat pencahayaan di lingkungan kerja industri merupakan nilai yang dapat
17
mungkin dipenuhi oleh industri sesuai dengan jenis area dan pekerjaan yang
dilakukan. Suatu lingkungan kerja atau aktivitas kerja dikatakan memenuhi
persyaratan tingkat pencahayaan apabila mempunyai perbedaan maksimal 10%
dari nilai tingkat pencahayaan yang dipersyaratakan.
b. Bahaya Kimia
Bahaya kimia adalah zat yang memiliki karakteristik dan efek, dapat
membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia. Bahaya kimia dapat dipecah
untuk memasukan paparan, uap, gas, kabut, debu, dan asap. Bahaya kimia mencakup
paparan diantaranya; zat karsinogenik, zat mutagenik, zat teratogenik, zat oksidasi,
zat korosif, dll (Kuswana, 2017).
Menurul ILO (2013), bahaya faktor kimia risiko kesehatan timbul dari
pajanan berbagai bahan kimia. Bahan kima yang memiliki sifat beracun dapat
memasuki aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan organ
lainnya. Bahan kimia berbahaya dapat berbentuk padat, cairan, uap, gas, debu, asap
atau kabut.
Menurut Permenakertrans No 13 tahun 2011 Nilai Ambang Batas adalah
standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai intensitas rata-rata tertimbang waktu
yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan
kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau
40 jam seminggu. NAB faktor kimia meliputi bentuk padatan, cair, gas, kabut,
aerosol dan uap yang berasal dari bahan-bahan kimia.
18
c. Bahaya Biologis
Bahaya biologis adalah organisme atau zat yang dihasilkan oleh
organisme yang mungkin menimbulkan ancaman bagi kesehatan dan keselamatan
manusia. Bahaya biologis mencakup paparan; darah, kotoran manusia, jamur, bakteri,
virus, tanaman beracun, kotoran binatang, ancaman serangga atau gigitan hewan
(Kuswana, 2017).
d. Bahaya Ergonomi
Bahaya ergonomi terjadi ketika jenis pekerjaan, posisi tubuh, dan kondisi
kerja meletakkan beban pada tubuh. Paparan jangka pendek dapat menyebabkan
“nyeri otot” hari berikutnya atau pada hari-hari setelah terekspos, tetapi paparan
jangka panjang dapat mengakibatkan cedera jangka panjang yang serius. Bahaya
ergonomi meliputi; postur tubuh yang kurang memadai, mengulangi gerakan yang
sama berulang-ulang, tempat kerja tidak tepat dan tidak disesuaikan dengan tubuh
pekerja, sering mengangkat (Kuswana, 2017).
Kontrol ergonomi dapat membantu pekerja pada suatu tempat kerja,
melalui pemahaman masalah ergonomi, sangat penting bagi para pekerja untuk
mengurangi faktor risiko akibat kerja. Menurut Adapted from OCAW local 1-5’s
Ergonomics Awareness Workbook “Job Design with the Worker in Mind”, kontrol
ergonomi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, hal ini untuk mengidentifikasi
pencegahan dan pengendalian faktor risiko ergonomi. Ketiga pendekatan tersebut
yaitu; Engineering Control, Administrative Control, Personal Protective Equipment
(PPE) (Alat Pelindung Diri/APD). (Kuswana 2014, dalam Khaidir 2017)
19
Menurut Higgnet and McAtamney (dalam Nurliah 2012) Rapaid Entire
Body Assessment (REBA) dikembangkan untuk menilai jenis podtur kerja yang tidak
bisa diprediksi dalam bidang perawatan kesehatan dan industri jasa. Data yang dinilai
berupa postur tubuh, beban, jenis gerakan, pengulangan dan coupling. Peralatan yang
digunakan dalam pengukuran REBA hanya lembar kerja dan pena. Alat pendukung
lainnya dapat digunakan video perekam atau kamera.
Rapid entire Body Assesment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang
ergonomic yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung, lengan
pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja (Firdaus, 2011 : Nurrahman 2016).
REBA dibuat untuk penggunaan yang sangat sederhana. Alat yang
digunakan dalam pengukuran ini adalah form REBA dan sebuah pulpen. Evaluator
akan menilai dari tiap bagian tubuh yang dinilai berdasarkan form REBA yakni
pergelangan tangan, lengan bawah, lengan atas, bahu, leher, badan, punggung, paha
dan lutut REBA melakukan assessment pergerakan repetitif dan gerakan yang paling
sering dilakukan dari kepala smapai kaki. REBA digunakan untk menghitung tingkat
risiko yang dapat terjadi berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian
tubuh dan melihat beban atau tenaga aktivitasnya (Highnett and McAtamney, 2000 ;
dalam Tambun 2012).
20
1. Prosedur Penilaian Metode REBA
a) Observasi pekerjaan
Mengobservasi pekerjaan untuk mendapatkan formula yang tepat dalam
pengkajian faktor ergonomi di tempat kerja, termasuk dampak dari desain
tempat kerja dan lingkungan kerja, penggunaan peralatan, dan perilaku
pekerja yang mengabaikan risiko. Data disimpan dalam bentuk foto atau
video.
b) Memilih postur yang akan dikaji
Memutuskan postur yang mana untuk dianalisis dapat dengan
menggunakan kriteria di bawah ini :
Postur yang sering dilakukan
Postur dimana pekerja lama pada posisi tersebut
Postur yang membutuhkan banyak aktivitas otot atau yang banyak
menggunakan tenaga
Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan
Postur tidak stabil atau postur janggal, khususnya postur yang
menggunakan kekuatan.
c) Langkah-langkah penilaian
Dalam menggunakan REBA terdapat 13 langkah-langkah penilaian sebagai
berikut (berdasarkan form REBA Practical Ergonomics, 2004; dalam
Tambun 2012).
21
STEP 1
Amati posisi leher. Kemudian berikan skor sesuai dengan kriteria Neck
Position
Beri nilai +1 jika posisi leher menunduk dengan sudut 0 s/d 20°
Beri nilai +2 jika posisi leher menunduk dengan sudut lebih atau dari
20° berada pada posisi extensi
Tambahkan nilai +1 jika leher pada posisi berputar
Tambahkan nilai +1 jika leher pada posisi bengkok
Masukkan skor pada kotak Neck Score
STEP 2
Amati posisi tulang belakang. Kemudian berikan skor sesuai dengan
kriteria Truck Position
Beri nilai +1 jika posisi tulang belakang berada pada sudut 0°
Beri nilai +2 jika posisi tulang belakang berada pada posisi extensi atau
menunduk dengan sudut 0 s/d 20°
Beri nilai +3 jika posisi tulang belakang menunduk dengan sudut 20 s/d
60°
Beri nilai +4 jika posisi tulang belakang menunduk dengan sudut lebih
dari 60°
Tambahkan nilai +1 jika tulang belakang pada posisi berputar
Tambahkan nilai +1 jika tulang belakang pada posisi bengkok
Masukkan skor pada kotak Trunk Score
22
STEP 3
Amati posisi kaki. Kemudian berikan skor sesuai dengan kriteria legs
Beri nilai +1 jika posisi kaki lurus
Beri nilai +2 jika posisi salah satu kaki menekuk
Tambah nilai +1 jika kaki menekuk dengan sudut 30 s/d 60°
Tambah nilai +2 jika kaki menekuk dengan sudut lebih dari 60°
Masukan skor pada kotak Legs Score.
STEP 4
Lihat skor postur pada Tabel A. Gunakan nilai pada step 1 s/d 3 untuk
menemukan hasil pada Tabel A.
STEP 5
Amati beban kerja. Kemudian beri skor sesuai dengan kriteria
force/load
Beri nilai +0 jika beban kurang dari 5kg
Beri nilai +1 jika beban 5 s/d 10 kg
Beri nilai +2 jika beban lebih dari 10kg
Tambahkan nilai +1 jika terjadi shock atau pengulangan
Masukan skor pada kotak Force/Load Score
STEP 6
Tambahkan nilai pada step 4 dan 5 untuk mendapatkan skor A (Posture
Score A + Force/Load Score).
23
STEP 7
Amati posisi lengan atas. Kemudian berikan skor sesuai dengan kriteria
Upper Arm Position
Beri nilai +1 jika posisi lengan atas berada antara 20° mengayun ke
depan sampai 20° mengayun ke as mengayun ke depan dengan sudut 45
s/d 90°
Beri nilai +4 jika posisi lengan atas mengayun ke depan dengan sudut
lebih dari 90°
Tambahkan nilai +1 jika bahu terangkat
Tambahkan +1 jika lengan atas berada pada posisi abduksi
Tambahkan nilai -1 jika tangan disangga atau orang kurus
Masukkan skor pada kotak Upper Arm Score
STEP 8
belakang
Beri nilai +2 jika lengan atas berada pada posisi extensi lebih dari 20°
atau mengayun ke depan dengan sudut 20 s/d 45°
Beri nilai +3 jika posisi lengan at
Amati posisi lengan bawah. Kemudian beri skor sesuai dengan kriteria
Lower Arm Position
Beri nilai +1 jika posisi lengan bawah berada pada sudut +60 s/d 100°
Beri nilai +2 jika posisi lengan bawah berada pada sudut 0 s/d 60° atau
pada sudut lebih dari 100°
24
Masukkan skor pada kotak Lower Arm Score
STEP 9
Amati posisi pergelangan tangan. Kemudian beri skor sesuai dengan
kriteria Wrist Position
Beri nilai +1 jika pergelangan tangan berada pada posisi menekuk
dengan sudut antara 15° ke atas sampai 15° ke bawah
Beri nilai +2 jika posisi pergelangan tangan menekuk dengan sudut
lebih dari 15° ke atas atau 15° ke bawah
Beri nilai +1 jika posisi tangan bengkok melebihi garis tengah atau
berputar
Masukkan skor pada kotak Wrist Score
STEP 10
Gunakan nilai pada step 7-9 diatas pada Tabel B untuk menemukan
Posture Score B
STEP 11
Amati posisi Coupling. Kemudian beri skor sesuai dengan kriteria
Coupling
Beri nilai +0 (good) jika pegangan baik
Beri nilai +1 (Fair) jika pegangan tangan atau Coupling tidak ideal
namun masih dapat diterima, dapat diterima dengan bagian tubuh lain
Beri nilai +2 (Fair) jika pegangan tangan tidak dapat diterima namun
masih mungkin
25
Beri nilai +3 (Unacceptable) jika tidak ada pegangan, posisi janggal,
tidak aman untuk bagian tubuh lain
Masukkan skor pada kotak Coupling Score
STEP 12
Tambahkan nilai pada step 10 dan 11 untuk mendapatkan Score B
(Posture Score B + Coupling Score)
Setelah mendapatkan Score B lihat kolom pada Table C dan cocokan
dengan Score A pada baris (dari step 6) untuk menemukan Table C
Score
STEP 13
Amati aktivitas bekerja. Kemudian beri skor sesuai dengan kriteria
Activity Score
Tambahkan nilai +1 jika posisi 1 atau lebih dari bagian tubuh lebih lama
dari 1 menit (statis)
Tambahkan nilai +1 jika terjadi pengulangan (lebih dari 4 kali per
menit)
Tambahkan nilai +1 jika terjadi aksi cepat dan menyebabkan perubahan
besar dalam berbagai postur atau dasar yang tidak stabil
Tambahkan Table C Score dengan Activity Score untuk mendapatkan
Final REBA Score
Jika sudah mendapatkan Final Score, berikut ini interpretasi untuk skor
yang didapatkan :
26
1 : Risiko dapat diterima
2 atau 3 : Risiko rendah, perubahan mungkin dibutuhkan
4 sampai 7 : Risiko menengah, investigasi lebih lanjt, perubahan segera
8 sampai 10 : Risiko tinggi, investigasi dan lakukan perubahan
11+ : Risiko sangat tinggi, lakukan perubahan
e. Bahaya Psikologis
Bahaya psikologis menyebabkan pekerja mengalami tekanan mental aau
gangguan. Meskipun termasuk klasifikasi bahaya yang agak baru, sangat penting
bahwa bahaya psikologis secara menyeluruh diidentifikasi dan dikendalikan. Bahaya
psikologis meliputi; kekerasan di tempat kerja, kecepatan kerja, kelebihan beban
kerja, fobia pekerja, kurangnya motivasi, shif kerja, kelelahan (Kusawana, 2017).
2.3 Manajemen Risiko
2.3.1 Definisi Manajemen Risiko
Meurut OHSAS 18001 Manajemen risiko merupakan elemen sentral dari
manajemen K3 yang diibaratkan sebagai mata uang dengan dua sisi. Manajemen
risiko memberikan warna dan arah terhadap penerapan dan pengembangan sistem
manajemen K3. Jika tidak ada bahaya dan tidak ada risiko, maka upaya K3 tentu
tidak diperlukan dan sebaliknya manajemen K3 diperlukan sebagai antisipasi
terhadap adanya bahaya dan risiko.
27
Manajemen Risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko untuk
mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,
terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Sehingga
memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasil dengan cara mengidentifikasi
dan menganalisis risiko yang ada.
Dalam program pengendalian risiko yang tepat melalui pendekatan
sebagai berikut :
Manusia (human approach).
Teknis (engineering) seperti sarana, mesin peralatan atau material dan lingkungan
kerja.
Sistem dan prosedur, yang berkaitan dengan pengoperasian, cara kerja aman atau
sistem manajmen K3.
Proses, misalnya proses secara kimia atau fisik.
Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau
insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material dan
lingkungan. Risiko menggambarkan besarnya potensi bahaya tersebut untuk dapat
menimbulkan insiden atau cedera pada manusia yang ditentukan oleh kemungkinan
dan keparahan yang diakibatkannya. Adanya bahaya dan risiko tersebut harus
dikelola dan dihindarkan melalui manajemen K3 yang baik. Karena itu, manajemen
K3 memiliki kaitan yang sangat erat dengan manajemen risiko.
28
Bagan 2.1
Hubungan Bahaya dan Risiko
Kerugian/Loss
PME
(People enuironment materials equipment)
Sumber: OHSAS 18001
Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur
mengenai Identifikasi Bahaya (Hazards Identification), Penilaian Risiko (Risk
Assessment) dan menentukan pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat
HIRARC. Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen risiko (Risk management).
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan
dan pengendalian bahaya. Disamping itu, HIRARC juga merupakan bagian dari
sistem manajemen risiko (Risk Management). Menurut OHSAS 18001, HIRARC
harus dilakukan di seluruh aktivitas organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi
yang mengandung potensi bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja. HIRARC merupakan titik pangkal dari pengelolaan
Sumber bahaya mengandung risiko yang dapat menimbulkan insiden
terhadap manusia, lingkungan, atau properti
29
K3. Jika HIRARC tidak dilakukan dengan baik maka penerapan K3 akan salah arah
(misguided), acak atau virtual karena tidak mampu menangani isu pokok yang ada
dalam organisasi.
Bagan 2.2
Proses Sistem Manajemen K3
Sumber: OHSAS 18001
2.3.2 Tujuan Manajemen Risiko
Tujuan manajemen risiko adalah meminimalkan kerugian akibat
kecelakaan dan sakit, meningkatkan kesempatan/peluang untuk meningkatkan
produksi melalui suasana kerja yang aman, sehat dan nyaman, memotong mata rantai
kejadian kerugian akibat kegagalan produksi yang disebabkan kecelakaan dan sakit,
serta pencegahan kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Buntarto,
2015).
30
2.3.3 Proses Manajemen Risiko
Mengelola risiko harus dilakukan secara komprehensif melalui
pendekatan manajemen risiko sebagaimana terlihat dalam Risk Management
Standardr AS/NZS 4360, yang meliputi :
1. Identifikasi risiko
2. Analisis risiko
3. Evaluasi risiko
4. Penegendalian risiko
Langkah awal mengembangkan manajemen risiko adalah menentukan
konteks yang diperlukan karena manajemen risiko sangat luas dan bermacam
aplikasinya salah satu diantaranya adalah manajemen risiko K3. Untuk manajemen
risiko K3 sendiri, juga diperlukan penentuan konteks yang akan dikembangkan
misalnya menyangkut risiko kesehatan kerja, kebakaran, higiene, industri, dan
lainnya. Dari konteks tersebut masih dapat dikembangkan lebih lanjut misalnya
manajemen risiko untuk aktivitas rumah sakit, industri kimia, kilang minyak,
konstruksi, dan bidang lainnya. Penentuan konteks ini diselaraskan dengan visi dan
misi organisasi serta sasaran yang ingin dicapai. Lebih lanjut ditetapkan pula kriteria
risiko yang sesuai bagi organisasi. Setelah menetapkan konteks manajemen risiko,
langkah berikutnya adalah melakukan identifikasi bahaya, analisis dan evaluasi risiko
serta menentukan langkah atau starategi pengendaliannya
31
Bagan 2.3
Proses Manajemen Risiko
Sumber : Australia/ New Zealand Standard AS/NZS 4360:2004
Proses yang dilalui dalam manajemen risiko adalah:
1. Perencanaan Manajemen Risiko, perencanaan meliputi langkah memutuskan
bagaimana mendekati dan merencanakan aktivitas manajemen risiko untuk
proyek.
2. Identifikasi Risiko, tahapan selanjutnya dari proses identifikasi risiko adalah
mengenali jenis-jenis risiko yang mungkin (dan umumnya) dihadapi oleh setiap
pelaku bisnis.
32
3. Analisis Risiko Kualitatif, analisis kualitatif dalam manajemen risiko adalah
proses menilai (assessment) impak dan kemungkinan dari risiko yang sudah
diidentifikasi. Proses ini dilakukan dengan menyusun risiko berdasarkan efeknya
terhadap tujuan proyek. Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa kualitatif
adalah Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS)
4360:2004. Skala pengukurannya sebagai berikut:
A : Hampir pasti terjadi dan akan terjadi di semua situasi (almost certain)
B : Kemungkinan akan terjadi di semua situasi (likely)
C : Moderat, seharusnya terjadi di suatu waktu (moderate)
D : Cenderung dapat terjadi di suatu waktu (unlikely)
E : Jarang terjadi (rare)
Skala pengukuran analisa konsekuensi menurut NA/NZS 4360:2004
Tidak Signifikan : tanpa kecelakaan manusia dan kerugian materi.
Minor : bantuan kecelakaan awal, kerugian materi yang medium.
Moderat : diharuskan penanganan secara medis, kerugian materi yang cukup
tinggi.
Major : kecelakaan yang berat, kehilangan kemampuan operasi/ produksi,
kerugian materi yang tinggi.
Bencana kematian : bahaya radiasi dengan efek penyebaran yang luas, kerugian
yang sangat besar.
33
Bagan 2.4
Tingkatan Risiko
Sumber : Australia/ New Zealand Standard AS/NZS 4360:2004
Keterangan:
Very High Risk : Risiko sangat tinggi
High Risk : Risiko tinggi
Medium Risk : Risiko sedang
Low Risk : Risiko rendah
4. Analisis Risiko Kuantitatif adalah proses identifikasi secara numeric probabilitas
dari setiap risiko dan konsekuensinya terhadap tujuan proyek.
5. Perencanaan Respon Risiko, Risk response planning adalah proses yang
dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai batas yang
dapat diterima.
34
6. Pengendalian dan Monitoring Risiko, langkah ini adalah proses mengawasi risiko
yang sudah diidentifikasi, memonitor risiko yang tersisa, dan
mengidentifikasikan risiko baru, memastikan pelaksanaan risk management plan
dan mengevaluasi keefektifannya dalam mengurangi risiko.
2.3.4 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya merupakan proses pengenalan adanya suatu bahaya
dan menentukan karakteristiknya (Ramli, 2013).
Menurut OHSAS 18001, 2007 identifikasi bahaya adalah proses untuk
mengetahui adanya suatu bahaya yang berpotensi menciderai manusia dan
menentukan karakteristiknya.
Langkah pertama dalam proses manajemen risiko adalah melakukan
identifikasi bahaya tempat kerja atau tempat yang berpeluang mengalami kerusakan.
Cara sederhana untuk memulai menentukan bahaya dapat dilakukan dengan membagi
area kerja berdasarkan kelompok ( Suardi, 2015), seperti:
1. Kegiatan-kegiatan (seperti pekerjaan pengelasan, pengolahan data)
2. Lokasi (kantor, gudang, lapangan)
3. Aturan-aturan (pekerja kantor, atau bagian elektrik)
4. Fungsi atau proses produksi (administrasi, pembakaran, pembersihan, penerimaan,
finishing).
35
2.3.4.1 Identifikasi sumber bahaya
Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:
1. Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya
2. Jenis kecelakaan dan penyakit akibt kerja yang mungkin dapat terjadi.
Sejalan dengan proses manajemen risiko, OHSAS 18001 mensyaratkan
prosedur identifikasi bahaya dan penilaian risiko sebagai berikut.
Mencakup seluruh kegiatan organisasi baik kegiatan rutin maupun non rutin.
Mencakup seluruh aktivitas individu yang memiliki akses ke tempat kerja.
Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainya.
Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang dapat
menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamtan manusia yang berada di
tempat kerja.
Bahaya yang timbul disekitar tempat kerja dari aktivitas yang berkaitan
dengan pekerjaan yang berda dibawah kendali organisasi mencakup seluruh
infrastuktur, peralatan dan material di tempat kerja, baik yang disediakan
organisasi atau pihak lain.
Perubahan dalam organisasi, kegiatan atau material.
Setiap persyaratan legal yang berlaku berkaitan dengan pengendalian risiko
dan implementasi pengendalian yang diperlukan.
Rancangan lingkungan kerja, proses, instalasi, mesin, peralatan, prosedur
operasi dan organisasi kerja
Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi bahaya
36
dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang bahaya dapat
dididentifikasi.
2.3.4.2 Metode Identifikasi bahaya
Menurut OHSAS 18001 teknik identifikasi bahaya ada berbagai macam
yang dapat diklasifikasikan:
a. Metode pasif
Motede pasif adalah teknik dalam mengetahui sumber bahaya setelah kecelakaan
terjadi. Metode ini sangat rawan, karena tidak semua bahaya dapat menunjukkan
eksistensinya sehingga dapat terlihat dengan mudah.
b. Metode semi proaktif
Teknik ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain karena kita tidak perlu
mengalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik karena tidak perlu mengalami sendiri
setelah itu baru mengetahui adanya bahaya. Kekurangan dari teknik ini adalah:
1) Tidak semua bahaya telah diketahui atau pernah menimbulkan dampak
kejadian kecelakaan atau cidera.
2) Tidak semua kejadian dilaporkan atau diinformasikan kepada pihak lain untuk
diambil sebagi pelajaran.
3) Kecelakaan telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian, walaupun
menimpa pihak lain.
37
c. Metode proaktif
Metode proaktif adalah cara proaktif, atau mencari bahaya sebelum bahaya
tersebut menimbulkan akibat atau dampak yang merugikan.
Kelebihan dari metode ini adalah:
1) Bersifat preventif karena bahaya dikendalikan sebelum menimbulkan
kecelakaan atau cidera.
2) Bersifat peningkatan berkeleanjutan
3) Meningkatkan awareness
4) Mencegah pemborosan yang tidak diinginkan.
2.3.4.3 Pemilihan teknik identifikasi bahaya
Pemilihan teknik yang sesuai bagi perusahaan sangat menentukan
efektifitas identifikasi bahaya yang dilakukan. Ada beberapa pertimbangan dalam
menentukan teknik identifikasi bahaya antara lain :
1) Sistematis dan terstruktur,
2) Mendorong pemikiran kreatif tentang kemungkinan bahaya yang belum
pernah dikenal sebelumnya.
3) Harus sesuai dengan sifat dan skala kegiatan perusahaan.
4) Mempertimbangkan ketersediaan informasi yang diperlukan.
2.3.5 Penilaian Risiko
Setelah melakukan identifikasi bahaya dilanjutkan dengan penilaian risiko
yang bertujuan untuk mengevaluasi besarnya risiko serta skenario dampak yang akan
di timbulkannya. Penilaian risiko digunakan sebagai langkah saringan untuk
menentukan tingkat risiko ditinjau dari kemungkinan kejadian (likelihood) dan
38
keparahan yang dapat ditimbulkan (severity).
2.3.5.1 Definisi Penilaian Risiko
Risiko adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya kejadian berbahaya
atau paparan dengan keparahan dari cedera atau gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh kejadian atau paparan tersebut (OHSAS18001, 2007).
Penilaian risiko adalah proses mengukur besaran risiko secara
menyeluruh dan memutuskan apakah risiko dapat diterima atau tidak (Ramli, 2013).
Menurut OHSAS 18001 Penilaian risiko merupakan proses mengevaluasi
risiko yang timbul dari suatu bahaya, dengan memperhitungkan kecukupan
pengendalian yang ada, dan menetapkan apakah risiko dapat diterima atau tidak.
Penilaian risiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian
terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja (Suardi, 2015). Metode
Penilaian risiko antara lain:
2.3.5.2 Menentukan Peluang
Menentukan peluang insiden yang terjadi di tempat kerja, kita dapat
menggunakan skala berdasarkan tingkat potensinya. Berikut ini adalah beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi peluang terjadinya sebuah insiden:
1. Berapa kali situasi terjadinya
2. Berapa orang yang terpapar
3. Keterampilan dan pengalaman orang yang terluka
4. Berbagai karakteristik khusus personel yang terlibat
5. Durasi paparan
6. Pengaruh posisi seseorang terhadap bahaya
39
7. Distraksi, tekanan waktu atau kondisi tempat kerja
8. Jumlah material atau tingkat paparan
9. Kondisi lingkungan
10. Kondisi peralatan
11. Efektivitas pengendalian yang ada.
Bagan 2.5
Menentukan peluang
Peluang
Sering
Sangat Sering
Sedang
Jarang
Sangat Jarang
Dapat terjadi kapan saja
Dapat terjadi secara berkala
Dapat terjadi pada kondisi tertentu
Dapat terjadi, tapi jarang
Memungkinkan tidak pernah terjadi
Sumber: Suardi, 2013
2.3.5.3 Menentukan konsekuensi
Untuk menentukan konsekuensi, kita harus membuat ketetapan pada
severity yang berpotensi terjadi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
konsekuensi yang harus dipertimbangkan:
1. Potensi pada reaksi berantai, dimana sebuah bahaya jika tidak dihilangkan, akan
mengakibatkan kondisi yang lebih berat.
2. Konsentrasi Substansi
3. Volume Material
4. Kecepatan proyektil dan pergerakan bagiannya
40
5. Ketinggian, akibat yang dihasilkan dari benda yang jatuh ditentukan dari benda
itu semula, begitu pula orang yang jatuh dari ketinggian.
6. Jarak pekerja dari bahaya potensial
7. Berat, untuk kejadian tertimpa benda sangat dipengaruhi berat benda tersebut.
8. Tingkat gaya dan energi. Misalnya semakin tinggi volume listrik semakin tinggi
akibat yang dihasilkan jika tersetrum.
Bagan 2.6
Panduan daftar konsekuensi/severity yang terjadi
Tidak
Signifikan
(TS)
Minor (M)
Sedang (S)
Besar (B)
Bencana
Besar (BB)
Iritasi mata
Ketidak-
nyamanan
Pegal-pegal
Lelah
Luka pada
permukaan tubuh
Tergores
Terpotong/ tersayat
kecil Bising
Sakit kepala/
pusing
Memar
Luka terkoyak
Patah tulang
Ringan
Sakit/ radang
kulit
Asma
Cacat minor
permanen
Terbakar
Gegar otak
Terkilir
serius
Keracunan
Patah tulang
Berat Amputasi
Luka fatal Luka
kompleks
Kanker Penyakit
mematikan
Penyakit fatal
Akut
Kematian Tuli
Sumber: Suardi, 2013
41
2.3.6 Pengendalian Risiko
Menurut OHSAS 18001 Pengendalian risiko merupakan langkah
menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. Pengendalian risiko dilakukan
terhadap seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan
mempertimbangkan peringkat risiko untuk menetukan prioritas dan cara
pengendaliannya.
Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus mempertimbangkan
hirarki pengendalian mulai dari eliminasi. Subsitusi, pengendalian teknis,
administratif dan penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi
organisasi, ketersediaan biaya operasional, faktor manusia dan lingkungan.
Pengendalian risiko dilakukan dengan mengurangi kemungkinan atau keparan dengan
mengikuti hirarki sebagai berikut.
Bagan 2.7
Hirarki pengendalian bahaya
Sumber: Ramli, 2013
42
1. Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya,
misalnya lobang di jalan dititup, ceceran minyak di lantai dibersihkan, mesin yang
bising dimatikan.
2. Subsitusi
Subsitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat, bahan, sistem
atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau lebih rendah
bahayanya.
3. Pengendalian teknis
Pengendalian bahaya dapat dilakukan dengan melalui perbaikan pada desain,
penambahan peralatan dan pemasangan peralatan pengaman.
4. Pengendalian administratif
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja
atau prosedur kerja yang lebih aman, rotasi atau pemeriksaan kesehatan.
5. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai alat
pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, masker, pelindung kaki
dll.
43
2.4 Metode HIRARC (Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control)
2.4.1 Definisi HIRARC
Menurut Ramadhan (2017), Hazard Identification Risk Assessment and
Risk Control (HIRARC) merupakan rangkaian proses identifikasi bahaya dalam
aktivitas rutin dan non rutin. HIRARC adalah usaha pencegahan dan pengurangan
potensi terjadinya kecelakaan kerja, menghindari, dan meminimalkan risiko yang
terjadi secara tepat dengan cara menghindari dan meminimalkan risiko terjadinya
kecelakaan kerja serta pengendaliannya dalam rangka melakukan proses kegiatan
sehingga prosesnya menjadi aman. Identifikasi bahaya, penilaian risiko dan
pengendaliannya merupakan bagaian dari sistem manajmen risiko yang merupakan
dasar dari Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), yang
terdiri dari identifikasi bahaya (hazard identification), penilaian risiko (risk
assessment), dan penegendalian risiko (risk control).
Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control (HIRARC)
merupakan sebuah metode dalam mencegah atau meminimalisir kecelakaan kerja.
HIRARC merupakan metode yang dimulai dari menentukan jenis kegiatan kerja yang
kemudian diidentifikasi sumber bahayanya sehingga didapatkan risikonya. Kemudian
akan dilakukan penilaian risiko dan pengendalian risiko untuk mengurangi paparan
bahaya yang terdapat pada setiap jenis pekerjaan (Purnama, 2015).
HIRARC merupakan salah satu persyaratan yang harus ada dalam
menerapkan SMK3 bardasarkan OHSAS 18001:2007, pada OHSAS 18001:2007
mengharuskan organisasi/perusahaan yang akan menerapkan SMK3 berdasarkan
OHSAS 18001:2007 melakukan penyusunan HIRARC pada perusahaannya.
44
HIRARC dibagi menjadi 3 tahap yaitu identifikasi bahaya (Hazard identification),
penilaian risiko (risk assessment), dan pengendalian risiko (risk control) (OHSAS
18001, 2007).
2.4.2 Identifikasi Bahaya (Hazard identification)
Menurut Buntarto (2015), pada tahap identifikasi bahaya dilakukan
identifikasi faktor risiko kesehatan yang dapat tergolong fisik, kimia, biologi,
ergonomik, dan psikologi yang ada pada pekerja. Untuk dapat menemukan faktor
risiko ini diperlukan pengamatan terhadap proses dan simpul kegiatan produksi,
bahan baku yang digunakan, bahan atau barang yang dihasilkan termasuk hasil
samping proses produksi, serta limbah yang terbentuk proses produksi.
a. Bahaya Fisik
Menurut Sucioto (2014) kondisi fisik lingkungan tempat kerja dimana
para pekerja beraktifitas sehari-hari mengandung banyak bahaya, langsung maupun
tidak langsung bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Bahaya-bahaya tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai bahaya getaran, kimia, radiasi, suhu/thermal,
pencahayaan, dan kebisingan.
b. Bahaya Kimia
Menurut Sucipto (2014) bahaya kimia adalah bahaya yang berasal dari
bahan yang dihasilkan selama produksi. Bahan ini terhambur ke lingkungan
dikarenakan cara kerja yang salah, kerusakan atau kebocoran dari peralatan atau
instalasi yang digunakan dalam proses kerja. Bahaya kimia yang terhambur ke
lingkungan kerja dapat baik itu lokal maupun sistemik.
45
Gangguan lokal adalah kelaianan yang ditimbulkan di tempat bahan kimia
yang kontak dengan tubuh, yaitu kulit dan selaput lendir yang menimbulkan gejala
iritasi mulkus dan kadang-kadang kanker. Apabila ia terserap dan masuk peredaran
darah akan timbul gejala sistemik. Jalan masuk bahan kimia kedalam tubuh adalah;
melalui pernafasan dan melalui pencernaan.
c. Bahaya biologi
Menurut Sucipto (2014) faktor biologi tempat kerja adalah faktor yang
dapat mempengaruhi aktivitas manusia. Faktor biologi yang ada dilingkungan kerja
infeksi akut dan kronis, parasit, jamur, dan bakteri.
d. Bahaya Ergonomik
Ergonomi (human factors) adalah disiplin ilmu yang bersangkutan
dengan pemahaman interaksi antara manusia dan elemen lain dari sistem dan profesi
dengan mempertimbangkan teori, prinsip data dan metode untuk merancang dengan
tujuan mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan sistem kerja secara keseluruhan
(IEA, 2014).
Menurut Kuswana (2017) risiko ergonomi merupakan suatu risiko yang
menyebabkan cedera akibat kerja, hal ini disebabkan oleh:
1) Penggunaan tenaga/kekuatan (mengangkat, mendorong, menarik, dll.)
2) Pengulangan, melakukan jenis kegiatan yang sama dari suatu pekerjaan dengan
menggunakan otot atau anggota tubuh berulang kali.
3) Kelenturan tubuh
4) Pekerjaan statis, diam di dalam satu posisi pada suatu periode waktu tertentu.
46
5) Getaran mesin-mesin.
2.4.3 Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Meurut AS/NZS 4360:2004, Risiko (risk) adalah peluang terjadinya
sesuatu yang akan mempunyai dampak terhadap sasaran, diukur dengan hukum sebab
akibat. Risiko diukur berdasarkan nilai probability dan severity. Penilaian risiko
adalah metode untuk mengetahui tingkat risiko suatu kegiatan. Parameter yang
digunakan untuk melakukan penilaian risiko adalah likelihood dan severity (Wibowo,
2016).
Menurut Wijaya dkk (dalam Ramadhan, 2017) Penilaian risiko adalah
proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang dapat
terjadi. Tujuan dari risk assessment adalah memastikan kontrol risiko dari proses,
operasi atau aktifitas yang dilakukan berada pada tingkat yang dapat diterima.
Potensi bahaya yang ditemukan pada tahap identifikasi bahaya akan
dilakukan penilaian risiko guna menentukan tingkat risiko (risk rating) dari bahaya
tersebut. Penilaian risiko dilakukan dengan berpedoman pada skala Australian
Standar/New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS 4360, 2004). Ada 2
parameter yang digunakan dalam penilaian risiko, yaitu probability dan severity.
Skala penilaian risiko dan keterangannya yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.1.
47
Tabel 2.3
Skala Probability
Tingkat Deskripsi Keterangan
5 Almost Certain Dapat terjadi setiap saat
4 Likely Sering terjadi
3 Posibble Dapat terjadi sekali-kali
2 Unlikely Jarang terjadi
1 Rare Hampir tidak pernah, sangat jarang terjadi
Sumber : Australian Standar/New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS
4360, 2004)
Tabel 2.4
Skala Severity
Tingkat Deskripsi Keterangan
1 Insignificant Tidak terjadi cedera, kerugian finansial sedikit
2 Minor Cedera ringan, kerugian finansial sedikit
3 Moderate Cedera sedang, perlu penanganan medis
4 Major Cedera berat > 1orang, kerugian besar
5 Catastrophic Fatal > 1orang, kerugian sangat besar dan
dampak sangat luas
Sumber : Australian Standar/New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS
4360, 2004)
48
Tabel 2.5
Matriks tingkat risiko
Sumber : Australian Standar/New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS
4360, 2004)
Keterangan :
E : Ekstrim/Sigifikan
H : Risiko tinggi
M : Risiko sedang
L : Risiko rendah
Ketentuan tindak lanjut
a. Risiko Rendah : Pemantauan diperlukan untuk memastikan bahwa pengendalian
dipelihara dan diterapkan dengan baik dan benar.
b. Risiko Sedang : Perlu tindakan untuk mengurangi risiko tetapi biaya pencegahan
yang diperlukan perlu diperhitungkan dengan teliti dan dibatasi, pengukuran
pengurangan risiko perlu diterapkan dengan baik dan benar.
49
c. Risiko Tinggi : Pekerjaan tidak dilaksanakan sampai risiko telah direduksi. Bila
risiko ada dalam pelaksanaan pekerjaan, maka tindakan segera dilakukan.
d. Ekstrim : Pekerjaan tidak dilaksankan sampai risiko telah direduksi. Jika
tidak memungkinkan untuk mereduksi risiko dengan sumber daya yang terbatas,
maka pekerjaan tidak dapat dilaksankan.
2.4.4 Pengendalian Risiko (Risk Control)
Menurut Wijaya dkk (dalam Ramadhan, 2017) pengendalian risiko
adalah cara untuk mengatasi potensi bahaya yang terdapat dalam lingkungan kerja.
Potensi bahaya tersebut dapat dikendalikan dengan menentukan suatu skala prioritas
terlebih dahulu yang kemudian dapat membantu dalam pemilihan pengendalian
resiko yang disebut hirarki pengendalian resiko.
Hasil dari risk assessment akan dijadikan dasar untuk melakukan risk
control. Risk control bertujuan untuk meminimalkan tingkat risiko dari suatu potensi
bahaya yang ada. Bahaya yang masuk dalam kategori Moderate risk, High risk dan
Extreme risk akan ditindaklanjuti dengan risk control. Pengendalian risiko dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan risiko (OHSAS 18001, 2007).
2.5 Tenun Ikat
2.5.1 Definisi Tenun Ikat
Tenun ikat merupakan suatu teknik pembuatan tenun dengan mengikat
bagian-bagian benang agar tidak terkena warna celupan, sedangkan bagian yang tidak
diikat akan berubah warna sesuai dengan warna pencelup (Meita, 2014 : Nabiilah
2018). Tenun ikat adalah jenis tenun yang memiliki motif tenunnya dibuat dengan
50
cara pengikatan pada benang pakan, lungsi, atau keduanya setelah motif digambar
dan sebelum benang tersebut dipasang pada alat tenun.
Bahan yang digunakan sebagai pengikat benang bermotif harus berasal
dari bahan yang kuat dan tidak menyerap air sehingga motif yang akan dibuat tertutup
dari zat warna. Pada saat ini pengikatan motif kain tenun memanfaatkan tali rafia
yang dijual di pasaran, dengan cara dipotong-potong lalu diikatkan pada tiap motif
yang sudah dibentuk pola.
2.5.2 Jenis Tenun Ikat
a. Tenun Ikat Lungsi
Merupakan bentuk ragam hias ikat pada kain tenun yang ikatanya
terdapat pada bagian lungsi.
b. Tenun Ikat Pakan
Merupakan bentuk ragam hias ikat pada kain tenun yang ikatannya
terdapat pada bagian benang pakan.
2.5.3 Proses Pembuatan Tenun Ikat
Pada prinsipnya kain tenun terjadi karena adanya persilangan antara dua
benang yang terjalin saling tegak lurus satu sama lain. Proses persiapan tenunan yang
dilakukan antara lain :
1) Proses yang dilakukan pada benang lusi.
a. Proses Pengelosan Kelos (memintal) gunanya untuk memudahkan dalam
menata benang. Pada proses ini benang dipintal menjadi gulungan-gulungan
kecil. Dari satu pak benang dengan berat lima kilogram, akan menjadi 30 buah
kon benang yang sudah tergulung.
51
b. Proses pencelupan warna Proses pewarnaan adalah proses pemberian warna secara
merata pada bahan tekstil dengan cara dicelup.
c. Proses Penghanian (proses merapatkan benang) adalah mengatur dan menggulung
benang lusi pada boom (merupakan alat untuk menggulung benang lusi pada alat
tenun) lusi atau boom tenun dengan sistem penggulungan sejajar. Tujuan proses
penghanian adalah agar proses selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Oleh
karena itu seluruh benang yang digulung harus sama panjang dan lebarnya (pada
umumnya adalah 3600 helai benang).
d. Proses Pencucukan adalah proses pemasukan benang lusi yang dilakukan secara
dua tahap, yaitu proses pencucukan pada mata gun (kawat yang mempunyai lubang
di tengahnya pada alat tenun) dan proses pencucukan pada sisir tenun.
2) Proses yang dilakuan pada benang pakan.
a. Pengkelosan
Penggulungan benang ke dalam kon.
b. Pemidangan Benang yang sudah dikelos dimasukan ke dalam rak benang,
kemudian ditata ke dalam penamplik untuk menghitung jumlah putaran atau
tumpukkan dengan tujuan untuk menentukan besar kecilnya motif yang kita
inginkan
c. Proses pengikatan menggunakan tali rafia sesuai dengan motif yang telah
ditentukan atau menyesuaikan dengan pesanan, Kain tenun ikat dihasilkan,
karena adanya proses ikat dan pemberian motif pada benang pakan. Teknik ikat
berarti mengikat bagian-bagian benang dengan tujuan agar ketika dicelup tidak
terkena warna celupan sementara bagian lain dibiarkan agar terwarnai saat
52
dicelupkan. Hasil yang diperoleh adanya perbedaaan warna yang membentuk motif
kain tenun tersebut.
d. Pewarnaan dasar (Pencelupan) Proses pencelupan untuk warna dasar atau
disesuaikan dengan persyaratan pelanggan. Benang yang akan dicelup direbus
terlebih dahulu selama 30 menit agar penyerapan warna merata lalu jemur
hingga kering.
e. Penginciran
Benang yang sudah kering tadi ditata dengan cara menggulung ke dalam alat
penginciran, tujuannya untuk mempermudah dalam tahap pemaletan.
f. Pemaletan
Proses pemaletan adalah menggulung benang pakan yang sudah selesai digincir
ke dalam palet agar memudahkan memasukkan benang ke dalam sekoci. Proses
penginciran dan pemaletan dapat dilakukan pada alat yang sama, yang
membedakan hanya pada tempat benangnya.
53
3) Proses yang dilakuan saat penenunan
Kain tenun disusun dari benang lusi dan benang pakan yang membuat
silangan-silangan tertentu yang membentuk sudut 900 satu sama lainnya. Agar proses
penenunan dapat dilaksanakan dengan baik, perlu diketahui gerakan-gerakan pokok
yang terjadi pada proses tersebut. Sesuai dengan urutan kerjanya, maka gerakan-
gerakan tersebut antara lain.
a. Pembukaan mulut lusi yaitu membuka benang-benang lusi sehingga
membentuk celah yang disebut mulut lusi.
b. Peluncuran pakan yaitu pemasukan atau peluncuran benang pakan menembus
mulut lusi sehingga benang lusi dengan pakan saling menyilang membentuk
anyaman.
c. Pengetekan yaitu merapatkan benang pakan yang baru diluncurkan kepada
benang sebelumnya yang telah menganyam dengan benang lusi.
d. Penggulungan kain yaitu menggulung kain sedikit demi sedikit sesuai dengan
anyaman yang telah terjadi.
e. Penguluran lusi yaitu mengulur benang lusi dari gulungannya sedikit demi
sedikit sesuai dengan kebutuhan proses pembentukan mulut lusi dan
penyilangan benang berikutnya.
54
2.6 Penelitian Terkait
Tabel 2.6
Penelitian Terkait
No Nama Judul Penelitian Hasil
1 Supriyadi dan
Ramdan
Identifikasi Bahaya Dan
Penilaian Risiko Pada
Divisi Boiler Mengguna
kan Metode Hazard Iden
tification Risk Assessment
And Risk Control
(HIRARC) Tahun 2017
diketahui nilai risiko dan persen
tase risiko dari seluruh potensi ba
haya yaitu, risiko ringan (low
risk) sebanyak 21 jenis bahaya (4
2.8%), risiko sedang (moderate
risk) sebanyak 17 jenis bahaya
(34.7%), risiko tinggi (high risk)
sebanyak 7 jenis bahaya (14.3%)
dan risiko ekstrim (extrim risk)
sebanyak 4 jenis bahaya (8.2%).
Dan berdasarkan jenis bahayanya
yaitu, bahaya mekanis sebanyak
12 jenis bahaya (24.5%), bahaya
listrik sebanyak 5 jenis bahaya
(10.2%), bahaya kimia sebanyak
3 jenis bahaya (6.1%) dan bahaya
fisik sebanyak 29 jenis bahaya
(59.2%). Pengendalian Hindari
risiko dengan mengambil keputu
san untuk menghentikan kegiatan
atau penggunaan proses, bahan,
alat yang berbahaya, Mengurangi
kemungkinan terjadi (Re duce
Likehood), Mengurangi konsek
uensi kejadian (Risk Transfer)
55
No Nama Judul Penelitian Hasil
2 Rahmadina Hazard Identification And
Risk Assessment (HIRA)
Sebagai Upaya Mengura
ngi Risiko Kecelakaan
Kerja Dan Risiko Penyakit
Akibat Kerja Di Bagian
Produksi PT. Iskandar
Indah Printing Textile
Surakarta Tahun 2016
hasil identifikasi menunjukkan
terdapat 44 sumber potensi
bahaya, 8 sumber bahaya kategori
tingkat bahaya serius (18,2%), 19
sumber bahaya kategori tingkat
bahaya sedang (43,2%), dan 17
sumber bahaya tingkat bahaya
rendah (38,6%). Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab sumber
potensi bahaya antara lain:
lingkungan kerja yang tidak
aman, peralatan atau mesin yang
tidak aman, dan sikap kerja yang
tidak aman (Rahmadina, 2016).
3 Darmawan,
dkk
Identifikasi Risiko Kecela
kaan Kerja Dengan Metode
Hazard Identification and
Risk Assessment (HIRA)
Di Area Batching Plant
PT XYZ Tahun 2017
Hasil identifikasi menunjukan
bahwa nilai risiko potensi bahaya
kerja yang paling tinggi di PT
XYZ, potensi bahaya dengan
kategori extreme terdapat pada 4
tempat kerja yaitu tempat ruang
operator, dengan nilai risiko 5D
dengan kategori Risisko E.
Tempat mixer truck, dengan nilai
risiko 5D dengen kategori risiko
E tempat Remix Truck Undeg
round, dengan nilai risiko 5D den
gan kategori risiko E
56
2.7 Kerangka Teori
Berdasarkan dalam landasan teori diatas, maka disusun kerangka teori
mengenai keselamatan kerja sebagai berikut:
Sumber bahaya potensial yang disertai adanya risiko yang menyertai
bahaya tersebut akan menyebabkan kecelakaan kerja.
Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko perlu
dilakukan dalam upaya pencegahan ataupun pengurangan kejadian kecelakaan kerja
dimana pada tahap akhirnya akan dilakukan pemantauan dan pengkajian.
Bagan 2.8
Kerangka teori
Sumber: OHSAS 18001 dan Australia/ New Zealand Standard AS/NZS 4360:2004
Incident
Risk Analisis Risiko
Pengendalian
Risiko
Identifikasi Bahaya
1. Fisik
2. Ergonomi
Hazard
57
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Observasional dengan desain potong lintang, pendekatan yang digunakan adalah
HIRARC (Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control). Penyusunan
HIRARC terbagi dalam 3 tahap, yaitu identifikasi bahaya (hazard identification),
penilaian risiko (risk assessment), dan pengendalian risiko (risk control). Penelitian
dilengkapi dengan menyajikan dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mendukung
atau melengkapi dalam mendeskripsikan identifikasi bahaya dan penilaian risiko
(AS/NZS 4360, 2004).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakasanakan pada Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan
Kentang Kota Palembang.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 24 – 29 April 2019.
58
3.3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan adalah modifikasi yang bersumber dari
Manajmen risiko OHSAS 18001, 2007 dan Australian Standar/New Zealand
Standard for Risk Management (AS/NZS 4360, 2004). Dengan langkah awal
menentukan sumber-sumber bahaya kemudian dilakukan identifikasi bahaya,
penilaian ririko, dan pengendalian risiko.
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Sumber : Modifikasi dari OHSAS 18001, 2007 dan Australian Standar AS/NZS 4360,
2004
Sumber Hazard
(Aktivitas tenun ikat)
Identifikasi Bahaya
- Fisik
- Ergonomi
Penilaian Risiko
Pengendalian Risiko/
Risk Control
59
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
dan cara ukur Hasil ukur
Skala
ukur
1 Hazard Fisik
1. Suhu
Suhu ruangan yang diukur
pada saat penelitian.
Termometer
Ruangan
1. Suhu normal ruangan
kerja apabila NAB
suhu yaitu 18 – 29 °C
2. Suhu tidak normal
ruangan kerja apabila
NAB suhu yaitu >
29°C
(Permenkes No 70
Tahun 2016)
Ordinal
2. Pencahayaan
Jumlah cahaya yang
diterima di area titik
dilakukannya penelitian,
satuannya dinyatakan
dalam LUX.
Lux Meter
1. Pencahayaan
memenuhi standar
apabila NAB
penerangan yaitu ≥
200 Lux,
2. Pencahayaan tidak
memenuhi standar
apabila penerangan <
200 Lux.
(Permenkes No 70
Tahun 2016
Ordinal
60
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
dan cara ukur Hasil ukur
Skala
ukur
Hazard
Ergonomi
Potensi bahaya Ergonomi
yang menimbulkan risiko,
terjadi karena tidak
efisiennya hubungan alat
kerja dengan manusiannya.
REBA
1. Risiko sangat rendah,
apabila Skor 1
2. Risiko rendah, apabila
skor 2 atau 3
3. Risiko menengah,
apabila skor 4 sampai
7
4. Risiko tinggi, apabila
skor 8 sampai 10
5. Risiko sangat tinggi,
apabila skor 11+
(form REBA Practical
Ergonomics, 2004 :
Tambun 2012)
Ordinal
2 Penialaian
risiko
Menentukan tingkat risiko Skala Probability
Skala Probability :
1. Hampir tidak pernah
terjadi, apabila
tingkat penilaian 1
(rare)
2. Jarang terjadi, apabila
tingkat penilaian 2
(Unlikely) 3. Dapat terjadi sekali-
sekali, apabila tingkat
penilaian 3 (Posibble)
4. Sering terjadi, apabila
tingkat penilaian 4
(Likely)
5. Dapat terjadi setiap
saat, apabila tingkat
penilaian 5 (Almost
Certain)
(AS/NZS 4360, 2004)
Ordinal
61
No Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur
dan cara
ukur
Hasil ukur Skala
ukur
Penilaian risiko Menentukan tingkat risiko Skala Severity Skala Severity :
1. Tidak terjadi cedera,
apabila tingkat
penilaian
(insignificant)
2. Cedera ringan,
apabila tingkat
penilaian 2 (Minor)
3. Cedera sedang,
apabila tingkat
penilaian 3
(Moderate)
4. Cedera berat >
1orang, kerugian
besar apabila tingkat
penilaian 4 (Major)
5. Fatal > 1orang,
kerugian sangatn
besar dan dampak
sangat luas apabila
tingkat penilaian 5
(Catastropic)
Ordinal
3 Penegendalian
risiko
Meminimalkan tingkat
risiko dari potensi bahaya
Hazard
Identification and
Risk Assessment
(HIRA)
1. Bahaya rendah (Low
Risk)
2. Bahaya sedang
(Moderate Risk)
3. Bahaya tinggi (High
Risk)
4. Bahaya sangat tinggi
(Extreme Risk)
(AS/NZS 4360, 2004)
Ordinal
62
3.5 Metode, Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data
3.5.1 Metode Pengumpulan Data
a. Metode Observasi
Dalam penelitian ini metode observasi yang dilakukan adalah pengamatan
dan pencatatan terhadap sumber-sumber bahaya yang ada pada pekerjaan tenun ikat
di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang, dengan menentukan jenis sumber
bahaya berdasarkan faktor risiko kesehatan diantaranya fisik, biologi dan ergonomik.
b. Dokumentasi
Pendokumentasian dalam penelitian ini berupa foto pada tindakan kerja
karyawan tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang.
3.5.2 Instrumen Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian diantaranya :
a. Termometer untuk pengukuran suhu pada lingkungan kerja
b. Lux Meter untuk pengukuran pencahayaan ruangan kerja
c. Lembar penilaian REBA
d. Kamera digital untuk pengambilan gambar poster kerja/posisi kerja
3.5.3 Prosedur Pengumpulan Data
Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin
secara tertulis dari lokasi tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang.
63
3.5.3.1 Tahap Persiapan
Peneliti mengunjungi lokasi tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota
Palembang dengan menemui Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Griya Kain
Tuan Kentang lalu peneliti menjelaskan maksud kunjungan dan tujuan penelitian,
setelah mendepatkan persetujuan dari Ketua KUB Griya Kain Tuan Kentang, peneliti
membuat kontrak waktu dan tempat untuk melakukan pengamatan dan observasi
serta pendokumentasian di lokasi tenun ikat. Peneliti menyiapkan alat bantu
pengumpulan data kemudian memulai melakukan pengamatan dan observasi serta
pendokumentasian.
3.5.3.2 Proses Pengumpulan Data
Pada proses pengumpulan data peneliti memberi tahu terlebih dahulu
kepada para pekerja yang sedang melakukan aktivitasnya dengan tujuan meminta izin
langsung kepada para pekerja dan memberi tahu bahwa sedang dilakukannya
penelitian oleh Mahasiswa dengan melakukan pengamatan dan pencatatan serta
pendokumentasian di lokasi tenun ikat Kota Palembang. Kegiatan pengamatan dan
pendokumentasian ini di akhiri pada saat informasi yang dibutuhkan telah diperoleh
oleh peneliti.
64
3.6 Prosedur Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Prosedur Pengolahan Data
Informasi yang telah didapat segera di proses, peneliti mengelompokan
sumber-sumber bahaya yang telah diperoleh dengan melakukan pengamatan
langsung. Kemudian dibuat matriks sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
3.6.2 Prosedur Analisis Data
Informasi yang diperoleh dengan cara identifikasi bahaya kemudian
dilakukan Penilaian Risiko menggunakan Hazard Identification and Risk Assessment
(HIRA) untuk menentukan besarnya tingkat bahaya kemudian menentukan
pengendalian risiko.
65
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Tenun Ikat
4.1.1 Sejarah Tenun Ikat
Tenun Ikat merupakan kerajinan kain tenun tradisional yang memiliki
motif tenunnya dibuat dengan cara pengikatan pada benang pakan, lungsi, atau
keduanya. Tenun ikat berkembang di Palembang pada tahun 1970an yang berada di
Kelurahan Tuan Kentang Kec, seberang Ulu 1 Kota Palembang. Kain Tenun ikat
memiliki motif yang mengandung unsur budaya melayu, Cina, dan Arab. Selain itu
masyarakat sekitar juga sering menyebutnya sebagai Tenun Tajung dengan istilah
Tata Ujung, disebut tata ujung karena dalam prosesnya menyisahkan bagian ujung
kain ketika melakukan penenunan.
Pekerjaan Tenun Ikat menjadi salah satu penopang kehidupan secara
finansial bagi masyarakat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang, selain dapat
melestarikan kain tenun sendiri, pasalnya dengan dijadikannya Kelurahan Tuan
Kentang sebagai kelurahan pengerajin tenun maka perputaran perekonomian menjadi
lebih baik bagi masyarakat sekitar.
66
Gambar 4.1
Kain Blongket Tenun Ikat
Sumber : Griya Kain Tuan Kentang
4.1.2 Gambaran Umum Penenunan
Tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang adalah pekerjaan
yang bergerak di sektor informal yang dimiliki sendiri oleh masyarakat setempat
ataupun yang bekerja bagi orang lain. Alat yang digunakan adalah alat tradisional
atau ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dimana penggunaanya masih secara manual.
Produk akhir yang dihasilkan adalah kain blongket.
Pekerja tenun ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang memiliki
jam kerja mulai Pukul 08.00 s/d 17.00 WIB. Untuk waktu istirahat, rata-rata pekerja
tenun ikat beristirahat selama 1 jam. Selama jam istirahat biasanya dipergunakan
untuk makan siang dan sholat, di luar jam kerja, pekerja tenun ikat tetap melakukan
aktivitas rumah tangga seperti memasak dan mencuci bagi perempuan.
67
Pekerja tenun ikat mendapat upah sesuai dengan banyaknya kain yang
dapat diselesiakan oleh pekerja, umumnya mendapat upah dalam waktu 1 minggu
sekali, untuk pengitungannya dalam 1 Meter kain diberi upah Rp. 80.000,-. Sehingga
rata-rata pekerja dalam 1 minggu dapat menyelesaikan 10 meret kain tenun ikat dan
mendapatkan upah sebesar Rp. 800.000,-.
4.1.3 Gambaran Peralatan Kerja
- Alat Tenun Bukan Mesin
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) adalah alat tenun ikat yang digunakan
oleh pekerja yang terbuat dari kayu. Bahan kayu yang digunakan adalah
kayu jati sehingga bisa bertahan hingga puluhan tahun.
Gambar 4.2
Alat Tenun Bukan Mesin
68
- Kursi
Kursi yang digunakan dalam proses kerja adalah kursi yang terbuat dari
kayu yag dilapisi kain bekas sebagai bantalan yang diikat dengan tali rafia
atau jarit. Kursi berbentuk kotak dengan ketinggian tidak dapat diatur dan
tidak menggunakan sandaran punggung.
Gambar 4.3
Kursi Kerja
4.2 Proses Pembuatan Tenun Ikat
Adapun proses pembuatan kain tenun ikat palembang ini melalui 3 tahap.
Tahap pertama proses benang lusi diantaranya: pencelupan warna bahan, pengelosan
(memintal) dan penghanian. Tahap kedua proses benang pakan diantaranya:
pemidangan, pelimaran, penginciran dan pemaletan. Dan pada tahap terakhir ialah
proses penenunan. Kegiatan ini dilakukan menggunakan alat yang berbeda untuk
setiap tahapnya.
69
Bagan 4.1
Alur Proses Pembuatan Tenun Ikat
4.2.1 Tahap Benang Lusi
Dalam proses benang lusi terdapat beberapa proses yang dilakukan
diantaranya :
a. Pencelupan warna / proses pewarnaan, pada tahap ini bahan direndam pada air
yang sudah dicampur pewarna alami maupun berbahan kimia, air yang
digunakan yaitu air panas yang telah direbus agar meresap kepada
benang/bahan, tahap ini merupakan sebagai pewarna dasar.
Gambar 4.4
Proses Pewarnaan
Tahap Benang Lusi
1. Pencelupan Warna
2. Pengelosan
3. Penghanian
Tahap Benang Pakan
1. Pemidangan
2. Pelimaran
3. Penginciran
4. Pemaletan
Penenunan
70
b. Pengelosan Kelos (memintal), proses ini bertujuan untuk memudahkan dalam
menata benang. Dimana benang dipintal menjadi gulungan-gulungan kecil,
dengan menggunakan alat kelos yang terbuat dari kayu yang ditambahkan
roda sebagai alat pemutar dalam proses pengelosan.
Gambar 4.5
Proses Pengelosan
c. Penghanian, pada tahap ini merupakan proses merapatkan benang dengan
mengatur dan menggulung benang lusi pada boom (merupakan alat untuk
menggulung benang lusi pada alat tenun). Alat yang digunakan terbuat
dari kayu, proses ini bertujuan untuk memudahkan proses selanjutnya agar
dapat berjalan lancar dengan melakukan penggulungan sejajar seluruh
benang yang digulung harus sama panjang dan lebarnya (pada umumnya
3600 helai benang).
71
Gambar 4.6
Proses Penghanian
4.2.2 Tahap Benang Pakan
Proses benang pakan merupakan tahap akhir sebelum melakukan
penenunan dimana dalam proses ini terdapat beberapa proses yang dilakukan
diantaranya :
a. Pemidangan adalah proses pemasukan benang ke dalam rak benang,
dengan menata kedalam penamplik untuk menghitung jumlah putaran atau
tumpukkan dengan tujuan untuk menentukan besar kecilnya motif yang
diinginkan, alat yang digunakan berbahan kayu.
72
Gamabar 4.7
Proses Pemidangan
b. Pelimaran, pelimaran merupakan proses pewarnaan yang dilakukan secara
manual menggunakan alat berupa potongan bambu/kayu yang dibuat
bergerigi pada bagian tengah bertujuan untuk mengapit di bagian sisi atas
dan bawah dengan cara menekan atau menggesekan kedua sisi tersebut,
pada proses ini merupakan pewarnaan motif dengan beragam warna,
sebelum dilakukan tahap selanjutnya.
Gambar 4.8
Prose Pelimaran
73
c. Penginciran, tahap selanjutnya adalah penginciran dimana dalam tahap ini
bahan yang sudah dilimar pada proses sebelumnya dilakukan penataan
dengan cara menggulung ke dalam alat pengincir, tujuannya untuk
mempermudah dalam tahap pemaletan. Alat yang digunakan juga terbuat
dari kayu yang di desain membentuk baling lingkaran.
Gambar 4.9
Proses Penginciran
d. Pemaletan, tahap akhir sebelum penenunan ialah proses pemaletan dimana
pada proses ini menggulung benang pakan yang sudah selesai digincir ke
dalam palet agar memudahkan memasukkan benang kedalam sekoci. Alat
yang digunkan terbuat dari kayu alat ini sama dengan alat pengelosan
hanya saja yang membedakan pada tempat benangnya.
74
Gambar 4.10
Proses Pemaletan
4.2.3 Tahap Penenunan
Pada proses penenunan kain tenun disusun dari benang lusi dan benang
pakan yang membuat silangan-silangan tertentu yang membentuk sudut satu sama
lain. Adapun gerakan yang dilakukan pada saat penenunan ialah pembukaan mulut
lusi yaitu dengan membuka benang-benang lusi sehingga membentuk celah yang
disebut mulut lusi, peluncuran pakan dengan memasukkan benang pakan menembus
mulut lusi, pengetekan yaitu merapatkan benang pakan, penggulungan kain yang
dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan anyaman, kemudian penguluran benang
lusi dari gulungannya yang dilakukan sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan
dalam proses penyilangan.
75
Gambar 4.11
Proses Penenunan
4.3 Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat keterbatasan-keterbatasan
yang terjadi sehingga tidak dapat dihindari walaupun telah diupayakan untuk
mengatasinya. Peneliti menyadari kurangnya pengetahuan dalam melakukan
penelitian tentu hasilnya kurang sempurna dan banyak kekurangan.
Penelitian ini hanya di fokuskan pada dua hazard yaitu fisik dan
ergonomi, keterbatasan penelitian ini yaitu tidak melakukan identifikasi dari semua
hazard, hal ini disebabkan adanya keterbatasan waktu, tenaga, materi dalam menilai
risiko kesehatan. Selain itu pengukuran debu di lingkungan kerja belum dapat
dilaksanakan karena keterbatasan waktu dan materi. Dalam penelitian ini lebih di
titikberatkan mengenai pendeskripsian dengan teknik pengumpulan data melalui
observasi dan pendokumentasian, pendekatan yang digunakan adalah HIRARC
76
(Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui sumber bahaya dan penilaian risiko pada pekerja tenun ikat di
Kelurahan Tuan Kentang Kota Palembang tahun 2019.
4.4 Identifikasi Bahaya (Hazard Identification)
4.4.1 Hazard Fisik
Dalam melukukan identifikasi bahaya faktor fisik, peneliti dalam hal ini
melakukan observasi terhadap 2 sumber bahaya yaitu Suhu dan Pencahayaan ruangan
kerja tenun ikat,
a. Suhu Ruangan Kerja
Berdasarkan hasil observasi menggunakan alat pengukur suhu ruangan berupa
termometer di 7 station pekerjaan tenun ikat, untuk station pertama yaitu 32°,
kedua 30°, ketiga 30°, keempat 31°, kelima 30°, keenam 30°, dan ke tujuh 29°,
artinya dari ke 7 station tersebut dapat di ketahui rata-rata suhu ruangan kerja
melebihi suhu normal dimana untuk suhu normal ruangan kerja seharusnya
tidak lebih dari 29°. Maka dengan diketahuinya suhu ruangan kerja tersebut
dapat disimpulkan bahwa suhu ruangan kerja kurang baik untuk pekerja tenun
ikat, karena suhu melebihi batas normal sehingga ini mempengaruhi kondisi
kesehatan pekerja tenun ikat.
77
Gambar 4.12
Pengukuran Suhu Ruangan
b. Pencahayaan Ruangan Kerja
Berdasarkan hasil observasi dengan melakukan pengukuran cahaya ruangan
menggunakan Lux Mater di 7 station pekerjaan tenun ikat, diketahui station
pertama yaitu 163 Lux, kedua 96 Lux, ketiga 195 Lux, keempat 144 Lux,
kelima 205 Lux, keenam 182 Lux, ke tujuh 162 Lux, artinya dari ke 7 station
tersebut dapat diketahui rata-rata pencahayaan ruangan kerja tidak memenuhi
standar karena seharusnya pencahayaan ruangan kerja yang memenuhi standar
yaitu 200 Lux. Maka dengan diketahuinya pencahayaan ruangan kerja tersebut
dapat disimpulkan bahwa pencahayaan ruangan kerja kurang baik bagi pekerja.
Karena dengan penerangan yang kurang jika pekerjaan ini dilakukan terlalu
lama dan terus menerus maka dapat menyebabkan kelelahan pada mata
sehingga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pekerja.
78
Gambar 4.13
Pengukuran Pencahayaan
4.4.2 Hazard Ergonomi
Dalam melakukan identifikasi bahaya faktor ergonomi, peneliti
melakukan observasi pada tahapan proses pekerjaan, dimana dalam hal ini dibagi ke
dalam 3 tahap utama dalam melakukan pekerjaan tenun ikat.
a. Proses Benang Lusi
Pada proses benang lusi terbagi ke dalam beberapa tahapan pekerjaan
diantaranya :
1) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Pencelupan warna
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses
pencelupan warna menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk
dengan sudut 20° sehingga jika dilihat pada lembar kerja REBA diberi skor
2. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi dengan sudut 90°
sehingga diberi skor 4. Untuk postur kaki, kedua kaki pekerja menekuk
79
dengan posisi 63° sehingga diberi skor 2. Kemudian, seluruh skor tersebut
dimasukkan ke dalam Tabel A dan didapat skor sebesar 6. Setelah itu
ditambahkan dengan skor beban dimana beban yang ditangani si pekerja
pada proses ini kurang dari 5 kg sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah
dengan skor dari Tabel A, akan diperoleh 6 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 75° sehingga
diberi skor 3. Pada tahap ini pada saat memegang kain posisi bahu terangkat
sehingga diberi skor 1 sehingga skor akhir adalah 4. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 20° sehingga diberi skor 2. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 40° sehingga
diberi skor 2. Skor dari group ini dilihat pada Tabel B dan didapatkan skor 6.
Skor ini ditambahkan dengan skor untuk kondisi pegangan. Terdapat
pegangan pada objek baik sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah skor dari
Tabel B dengan skor pegangan maka diperoleh skor 6.
Dalam proses pencelupan warna terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4
kali dalam 1 menit, sehingga keseluruhan skor aktifitas dalam proses ini
yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 9. Dan apabila kita interpretasi, skor 9
tersebut merupakan risiko tinggi.
80
Gambar 4.14
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Pencelupan
2) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Pengelosan
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses
pengelosan menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan sudut
30° sehingga jika dilihat pada lembar kerja REBA diberi skor 2. Posisi
tulang belakang berada pada posisi ekstensi dengan sudut 42° sehingga
diberi skor 3. Untuk postur kaki, salah satu kaki menekuk sehingga skor 2
dan ditambah skor 2 karena kaki menekuk dengan ekstensi sudut 68°
sehingga skor akhir 4. Kemudian, seluruh skor tersebut dimasukkan ke
dalam Tabel A dan didapat skor sebesar 7. Setelah itu ditambahkan dengan
skor beban dimana beban yang ditangani si pekerja pada proses ini kurang
81
dari 5 kg sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah dengan skor dari Tabel A,
akan diperoleh 7 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 29° sehingga
diberi skor 2. Pada tahap ini lengan atas pada posisi abduksi sehingga
penambahan skor 1, maka skor akhir adalah 3. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 93° sehingga diberi skor 1. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 15° sehingga
diberi skor 1, pada tahap ini terjadi gerakan tangan berputar sehingga di
tambah dengan skor 1 maka skor akhir adalah 2. Skor dari group ini dilihat
pada Tabel B dan didapatkan skor 4. Skor ini ditambahkan dengan skor
untuk kondisi pegangan. Terdapat pegangan pada objek baik sehingga diberi
skor 0. Setelah dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka
diperoleh skor 4.
Dalam proses pengelosan terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1, maka keseluruhan skor aktifitas
dalam proses ini yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 9. Dan apabila kita interpretasi, skor 9
tersebut merupakan risiko tinggi.
82
Gambar 4.15
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Pengelosan
3) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Penghanian
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses
penghanian menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan sudut
20° maka skor 2 dan mengalami perputaran dengan penambahan skor 1
shingga skor akhir 3. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi
dengan sudut 39° sehingga skor 3 dan mengalami posisi tulang belakan
berputar sehingga penambahan skor 1 maka skor akhir 4. Untuk postur kaki,
salah satu kaki menekuk sehingga skor 2 dan ditambah skor 2 karena kaki
menekuk dengan ekstensi sudut 120° sehingga skor akhir 4. Kemudian,
seluruh skor tersebut dimasukkan ke dalam Tabel A dan didapat skor sebesar
9. Setelah itu ditambahkan dengan skor beban dimana beban yang ditangani
83
si pekerja pada proses ini kurang dari 5 kg sehingga diberi skor 0. Setelah
dijumlah dengan skor dari Tabel A, akan diperoleh 9 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 40° sehingga
diberi skor 2. Pada tahap ini lengan atas pada posisi abduksi sehingga
penambahan skor 1, maka skor akhir adalah 3. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 69° sehingga diberi skor 1. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 40° sehingga
diberi skor 2, pada tahap ini terjadi gerakan tangan berputar sehingga di
tambah dengan skor 1 maka skor akhir adalah 3. Skor dari group ini dilihat
pada Tabel B dan didapatkan skor 5. Skor ini ditambahkan dengan skor
untuk kondisi pegangan. Terdapat pegangan tidak ideal sehingga diberi skor
1. Setelah dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka diperoleh
skor 6.
Dalam proses penghanian terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1, maka keseluruhan skor aktifitas
dalam proses ini yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 11 Dan apabila kita interpretasi, skor 11
tersebut merupakan risiko sangat tinggi.
84
Gambar 4.16
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Penghanian
b. Proses Benang Pakan
1) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Pemidangan
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses
pemidangan menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan
sudut 22° maka skor 2. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi
dengan sudut 25° sehingga skor 3 dan posisi tulang belakang bengkok
sehingga penambahan skor 1 maka skor akhir 4. Untuk postur kaki, kedua
kaki menekuk dengan ekstensi sudut 110° sehingga skor 2. Kemudian,
seluruh skor tersebut dimasukkan ke dalam Tabel A dan didapat skor sebesar
6. Setelah itu ditambahkan dengan skor beban dimana beban yang ditangani
85
si pekerja pada proses ini mencapai 5 kg sehingga diberi skor 1. Setelah
dijumlah dengan skor dari Tabel A, akan diperoleh 7 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 72° sehingga
diberi skor 3. Pada tahap ini lengan atas pada posisi abduksi sehingga
penambahan skor 1, maka skor akhir adalah 4. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 56° sehingga diberi skor 2. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 32° sehingga
diberi skor 2, pada tahap ini terjadi gerakan tangan berputar sehingga di
tambah dengan skor 1 maka skor akhir adalah 3. Skor dari group ini dilihat
pada Tabel B dan didapatkan skor 7. Skor ini ditambahkan dengan skor
untuk kondisi pegangan. Terdapat pegangan baik sehingga diberi skor 0.
Setelah dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka diperoleh
skor 7.
Dalam proses pemidangan terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1 dan penambahan skor 1 karen A
terjadi aksi cepat yang menyebabkan perubahan merubah. maka keseluruhan
skor aktifitas dalam proses ini yaitu 2.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 11. Dan apabila kita interpretasi, skor 11
tersebut merupakan risiko sangat tinggi.
86
Gambar 4.17
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Pemidangan
2) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Pelimaran
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses pelimaran
menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan sudut 30° maka
skor 2. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi dengan sudut 36°
sehingga skor 3. Untuk postur kaki, kedua kaki menekuk dengan ekstensi
sudut 130° sehingga skor 2. Kemudian, seluruh skor tersebut dimasukkan ke
dalam Tabel A dan didapat skor sebesar 5. Setelah itu ditambahkan dengan
skor beban dimana beban yang ditangani si pekerja kurang dari 5 kg
sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah dengan skor dari Tabel A, akan
diperoleh 5 untuk skor A.
87
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 70° sehingga
diberi skor 3. Pada tahap ini lengan atas pada posisi abduksi sehingga
penambahan skor 1 maka skor akhir adalah 4. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 58° sehingga diberi skor 2. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 25° sehingga
diberi skor 2. Skor dari group ini dilihat pada Tabel B dan didapatkan skor 6.
Skor ini ditambahkan dengan skor untuk kondisi pegangan. Terdapat
pegangan tdk ideal sehingga diberi skor 1. Setelah dijumlah skor dari Tabel
B dengan skor pegangan maka diperoleh skor 7.
Dalam proses pelimaran terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1, maka keseluruhan skor aktifitas
dalam proses ini yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 9. Dan apabila kita interpretasi, skor 9
tersebut merupakan risiko tinggi.
88
Gambar 4.18
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Pelimaran
3) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Penginciran
Observasi yang dilakukan dengan penilaian REBA pada proses
penginciran menunjukan bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan sudut
40° maka skor 2. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi dengan
sudut 45° sehingga skor 3. Untuk postur kaki, kedua kaki menekuk dengan
ekstensi 133° maka skor 2. Kemudian, seluruh skor tersebut dimasukkan ke
dalam Tabel A dan didapat skor sebesar 5. Setelah itu ditambahkan dengan
skor beban dimana beban yang ditangani si pekerja kurang dari 5 kg
sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah dengan skor dari Tabel A, akan
diperoleh 5 untuk skor A.
89
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 75° sehingga
diberi skor 3 dan terjadi gerakan abduksi maka di tambah skor 1 sehingga
jumlah skor 4. Lengan bawah pekerja membentuk sudut sebesar 72°
sehingga diberi skor 1. Untuk posisi pergelangan tangan mengalami fleksi
dengan sudut sebesar 15° sehingga diberi skor 1. Skor dari group ini dilihat
pada Tabel B dan didapatkan skor 3. Skor ini ditambahkan dengan skor
untuk kondisi pegangan. Terdapat pegangan tidak ideal sehingga diberi skor
1. Setelah dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka diperoleh
skor 5.
Dalam proses penginciran terjadi pengulangan lebih dari 4 kali per menit
sehingga aktifitas skor 1, maka keseluruhan skor aktifitas dalam proses ini
yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 7. Dan apabila kita interpretasi, skor 7
tersebut merupakan risiko menengah.
90
Gambar 4.19
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Penginciran
4) Tingkat Risiko Ergonomi Pada Proses Pemaletan
Pada tahap ini proses yang dilakukan sama seperti proses pengelosan alat
yang digunakan juga sama hanya yang membedakan wadah/tempat
benangnya saja maka dari hasil Observasi yang dilakukan dengan penilaian
REBA pada proses pemaletan menunjukan bahwa posisi leher pekerja
menunduk dengan sudut 30° sehingga jika dilihat pada lembar kerja REBA
diberi skor 2. Posisi tulang belakang berada pada posisi ekstensi dengan
sudut 42° sehingga diberi skor 3. Untuk postur kaki, salah satu kaki
menekuk sehingga skor 2 dan ditambah skor 2 karena kaki menekuk dengan
ekstensi sudut 68° sehingga skor akhir 4. Kemudian, seluruh skor tersebut
dimasukkan ke dalam Tabel A dan didapat skor sebesar 7. Setelah itu
91
ditambahkan dengan skor beban dimana beban yang ditangani si pekerja
pada proses ini kurang dari 5 kg sehingga diberi skor 0. Setelah dijumlah
dengan skor dari Tabel A, akan diperoleh 7 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 29° sehingga
diberi skor 2. Pada tahap ini lengan atas pada posisi abduksi sehingga
penambahan skor 1, maka skor akhir adalah 3. Lengan bawah pekerja
membentuk sudut sebesar 93° sehingga diberi skor 1. Untuk posisi
pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut sebesar 15° sehingga
diberi skor 1, pada tahap ini terjadi gerakan tangan berputar sehingga di
tambah dengan skor 1 maka skor akhir adalah 2. Skor dari group ini dilihat
pada Tabel B dan didapatkan skor 4. Skor ini ditambahkan dengan skor
untuk kondisi pegangan. Terdapat pegangan pada objek baik sehingga diberi
skor 0. Setelah dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka
diperoleh skor 4.
Dalam proses pemaletan terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1, maka keseluruhan skor aktifitas
dalam proses ini yaitu 1.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 9. Dan apabila kita interpretasi, skor 9
tersebut merupakan risiko tinggi.
92
Gambar 4.20
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Pemaletan
c. Proses Penenunan
Proses ini merupakan tahap akhir dalam proses tenun ikat, berdasarkan
hasil Observasi yang dilakukan menggunakan perhitungan REBA menunjukan
bahwa posisi leher pekerja menunduk dengan sudut 34° sehingga jika dilihat
pada lembar kerja REBA diberi skor 2. Posisi tulang belakang berada pada
posisi ekstensi dengan sudut 39° sehingga diberi skor 3. Untuk postur kaki,
kedua kaki pekerja secara bergantian dengan posisi naik turun mengikuti irama
hentakan kayu sehingga menekuk dengan posisi 88° sehingga diberi skor 2.
Kemudian, seluruh skor tersebut dimasukkan ke dalam Tabel A dan didapat
skor sebesar 5. Setelah itu ditambahkan dengan skor beban dimana beban yang
93
ditangani si pekerja pada proses ini kurang dari 5 kg sehingga diberi skor 0.
Setelah dijumlah dengan skor dari Tabel A, akan diperoleh 5 untuk skor A.
Posisi lengan atas pekerja mengalami fleksi dengan sudut 90° sehingga
diberi skor 3. Lengan bawah pekerja membentuk sudut sebesar 31° sehingga
diberi skor 2. Untuk posisi pergelangan tangan mengalami fleksi dengan sudut
sebesar 35° sehingga diberi skor 2. Skor dari group ini dilihat pada Tabel B dan
didapatkan skor 5 Skor ini ditambahkan dengan skor untuk kondisi pegangan.
Terdapat pegangan pada objek tidak ideal sehingga diberi skor 1. Setelah
dijumlah skor dari Tabel B dengan skor pegangan maka diperoleh skr 6.
Dalam proses penenunan terjadi pengulangan gerakan lebih dari 4 kali
dalam 1 menit sehingga penambahan skor 1. Selain itu terdapat penambahan
skor aktivitas karena tahap menarik kayu ini dilakukan dengan aksi yang cepat
sehingga menyebabkan perubahan besar dalam berbagi skor yang didapat
adalah 1, maka keseluruhan skor aktifitas dalam proses ini yaitu 2.
Skor A dan skor B kemudian dilihat pada tabel C sehingga akan didapat
Skor akhir REBA yakni sebesar 9. Dan apabila kita interpretasi, skor 9 tersebut
merupakan risiko tinggi.
94
Gambar 4.21
Tingkat Risiko Ergonomi Pada Tahap Penenunan
4.5 Penilian Risiko (Risk Assessment)
Penilian Risiko digunakan untuk mengetahui tingkatan bahaya yang telah
diidentifikasi, maka berdasarkan hasil identifikasi bahaya terdapat 10 hazard yang
terbagi kedalam 2 kelompok besar jenis hazard yaitu hazard fisik dan ergonomi.
Untuk hazard fisik sendiri terbagi menjadi 2 yaitu pencahayaan dan suhu ruangan
kerja, sedangkan untuk hazard ergonomi terbagi ke dalam 8 tahapan proses
penenunan yang diantaranya yaitu; tahap pencelupan warna, pengelosan, penghanian,
pemidangan, pelimaran, penginciran, pemaletan, dan penenunan.
Semua jenis hazard yang telah teridentifikasi selanjutnya akan dilakukan
penilaian risiko, dimana penilian risiko ini bertujuan untuk mengetahui tingkatan
bahayanya. Proses ini dilakukan menggunakan Tabel Risk Matrix dengan Risk
Assessment sebagai berikut :
95
1. Faktor Fisik
No Sumber
Hazard Identifikasi Bahaya Risiko
P
(Probability)
S
(Severity)
S
(Sum)
Risk
Level
1 Suhu ruangan
Kerja
Suhu ruangan kerja
32°C, menunjukan
bahwa suhu ruangan
kerja melebihi suhu
normal, artinya suhu
ruangan kerja panas.
Konsentrasi berkurang,
suhu tubuh mengalami
peningkatan,
produktivitas
berkurang, dapat
memicu timbulnya heat
stress dan gangguan
kesehatan.
2 3 6 Sedang
2 Pencahayaan
Ruangan
Kerja
Pencahayaan
ruangan kerja 163
Lux, menunjukan
bahwa pencahayaan
di bawah standar,
artinya pencahayaan
kurang
Kelelahan mata, dapat
menimbulkan masalah
pada punggung akibat
memfokuskan
penglihatan,
memperlambat
pekerjaan.
1 3 3 Renda
h
2. Faktor Ergonomi
No Sumber
Hazard Identifikasi Bahaya Risiko
P
(Probability)
S
(Severity)
S
(Sum)
Risk
Level
1 Kegiatan
Pencelupan
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pencelupan
memiliki risiko
tinggi, artinya
kondisi kerja berada
pada kondisi yang
tidak ergonomi,
membungkuk, uap
panas zat pewarna
kimia.
Kelelahan otot
berakibat pada nyeri
otot dan tendon, algias
(penyakit karena postur
tubuh membungkuk),
sakit pada kaki,
gangguan saluran
pernafasan akibat
terhirup usp panas zat
pewarna kimia.
3 4 12 Tinggi
96
No Sumber
Hazard Identifikasi Bahaya Risiko
P
(Probability)
S
(Severity)
S
(Sum)
Risk
Level
2 Kegiatan
Pengelosan
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pengelosan
memiliki risiko
tinggi, artinya posisi
kerja berada pada
kondisi yang tidak
ergonomi, kursi yang
terlalu pendek dan
tidak memiliki
senderan, coupling
tidak ideal.
Nyeri otot dan tendon,
Rotator Cuff Tendinitis
(RCT bahu mengalami
radang), sakit yang
terjadi pada punggung,
leher dan tangan.
3 3 9 Sedang
3 Kegiatan
Penghanian
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan penghanian
memiliki risiko
sangat tinggi, artinya
posisi kerja berada
pada kondisi yang
tidak ergonomi,
kursi yang terlalu
pendek dan tidak
memiliki senderan,
coupling tidak ideal,
gerakan badan yang
memutar,
Kelelahan otot
berakibat pada nyeri
otot dan tendon,
gangguan saraf tepi,
sakit yang terjadi pada
punggung, leher dan
tangan.
3
3
9 sedang
4 Kegiatan
Pemidangan
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pemidangan
memiliki risiko
sangat tinggi, artinya
posisi kerja berada
pada kondisi yang
tidak ergonomi,
kursi yang tidak
memiliki senderan,
gerakan memutar,
Kelelahan otot
berakibat pada nyeri
otot dan tendon,
gangguan saraf tepi,
sakit yang terjadi padi
punggung, leher dan
tangan.
4 4 16 Ekstrim
97
No Sumber
Hazard Identifikasi Bahaya Risiko
P
(Probability)
S
(Severity)
S
(Sum)
Risk
Level
5 Kegiatan
Pelimaran
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pelimaran
memiliki risiko
tinggi, artinya posisi
kerja berada pada
kondisi yang tidak
ergonomi, kursi yang
terlalu pendek, tidak
memiliki senderan,
gerakan cepat,
Kelelahan otot
berakibat pada nyeri
otot dan tendon, sakit
yang terjadi pada
punggung, leher.
3 2 6 Sedang
6 Kegiatan
Penginciran
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan penginciran
memiliki risiko
menengah, artinya
posisi kerja berada
pada kondisi yang
tidak ergonomi,
kursi yang terlalu
pendek, tidak
memiliki senderan,
coupling tidak ideal,
Kelelahan otot
berakibat pada nyeri
otot dan tendon, sakit
yang terjadi padi
punggung, leher,
pergelangan tangan.
2
3
6 sedang
7 Kegiatan
Pemaletan
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pengelosan
memiliki risiko
tinggi, artinya posisi
kerja berada pada
kondisi yang tidak
ergonomi, kursi yang
terlalu pendek dan
tidak memiliki
senderan, coupling
tidak ideal.
Nyeri otot dan tendon,
Rotator Cuff Tendinitis
(RCT bahu mengalami
radang), sakit yang
terjadi pada punggung,
leher dan tangan.
3 3 9 Sedang
98
No Sumber
Hazard Identifikasi Bahaya Risiko
P
(Probability)
S
(Severity)
S
(Sum)
Risk
Level
8 Kegiatan
Penenunan
Berdasarkan
perhitungan REBA
kegiatan pelimaran
memiliki risiko
tinggi, artinya posisi
kerja berada pada
kondisi yang tidak
ergonomi, kursi yang
tidak memiliki
senderan, gerakan
cepat, coupling tidak
ideal
Nyeri otot dan tendon,
Rotator Cuff Tendinitis
(RCT bahu mengalami
radang), sakit yang
terjadi pada punggung,
leher, tangan dan kaki.
3 3 9 Sedang
Dengan hasil penilaian risiko tersebut maka dapat diketahui :
1. Faktor Fisik
a. Suhu ruangan kerja memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi dengan melakukan kontrol teknik berupa penyediaan alat
pendingin ruangan dan tingkat keparahanya termasuk dapat menimbulkan
cedera sedang. sedangkan untuk Probability diberi nilai 2 karena kondisi ini
tidak begitu berpotensi terhadap terjadinya kecelakaan kerja.
b. Pencahayaan ruangan kerja memiliki potensi bahaya dengan risiko rendah,
dimana dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan
ini masih dapat diatasi dengan melakukan kontrol teknik berupa penyediaan
99
lampu untuk menambah penerangan. sedangkan untuk Probability di beri nilai
1 karena kondisi ini sangat jarang terjadi menimbulkan kecelakaan kerja.
2. Faktor Ergonomi
a. Kegiatan pencelupan memiliki potensi bahaya dengan risiko tinggi, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 4 karena untuk keadaan ini
sangat mempengaruhi terjadinya kondisi kelelahan dan penyakit akibat kerja
dengan tingkat keparahanya termasuk cedera berat. Sedangkan untuk
Probability diberi nilai 3 karena dalam kegiatan ini dinilai sesekali dapat
berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
c. Kegiatan pengelosan memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendiri dan tingkat keparahanya termasuk
cedera sedang. Sedangkan untuk Probability diberi nilai 3 karena dalam
kegiatan ini dinilai sesekali dapat berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
d. Kegiatan penghanian memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk kedaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendriri dan tingkat keparahanya termasuk
cedera sedang. Sedangkan untuk Probability di beri nilai 3 karena dalam
kegiatan ini dinilai hanya sesekali berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
e. Kegiatan pemidangan memiliki potensi bahaya dengan risiko ekstrim, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 4 karena untuk kedaan ini
sangat mempengaruhi terjadinya kondisi kelelahan dan penyakit akibat kerja
100
dengan tingkat keparahanya termasuk cedera berat. sedangkan untuk
Probability di beri nilai 4 karena dalam kegiatan ini dinilai dapat
menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja.
f. Kegiatan pelimaran memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 2 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendriri dan tingkat keparahanya termasuk
cedera ringan. Sedangkan untuk Probability di beri nilai 3 karena dalam
kegiatan ini dinilai hanya sesekali berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
g. Kegiatan penginciran memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendiri dan tingkat keparahanya termasuk
cedera sedang. sedangkan untuk Probability diberi nilai 2 karena dalam
kegiatan ini dinilai tidak begitu berpotensi terhadap terjadinya kecelakaan
kerja dan jarang terjadi.
h. Kegiatan pemaletan memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendiri dan tingkat keparahanya termasuk
cedera sedang. Sedangkan untuk Probability di beri nilai 3 karena dalam
kegiatan ini dinilai hanya sesekali berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
i. Kegiatan pemaletan memiliki potensi bahaya dengan risiko sedang, dimana
dalam penilaiannya untuk severity diberi nilai 3 karena untuk keadaan ini
masih dapat diatasi oleh pekerja itu sendiri dan tingkat keparahanya termasuk
101
cedera sedang. Sedangkan untuk Probability diberi nilai 3 karena dalam
kegiatan ini dinilai hanya sesekali berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.
Adapun hasil penilaian risiko ini dipersentasikan menggunakan diagram pie
sebagai berikut :
Gambar 4.22
Diagram Pie Hasil Penilaian Risiko
Dari hasil Penilaian berdasarkan Risk Assessment diketahui nilai risiko
dan persentase risiko dari seluruh potensi bahaya menggunakan diagram pie yaitu,
risiko ringan (low risk) sebanyak 1 jenis bahaya maka niai persentasi 10%, risiko
sedang sebanyak (moderate risk) 7 jenis bahaya maka nilai persentasi 70%, risiko
tinggi (high risk) sebanyak 1 jenis bahaya maka nilai persentasi 10%, dan risiko
sangat tinggi (ekstrim risk) sebanyak 1 jenis bahaya maka nilai persentasi 10%. Maka
dari hasil persentasi menunjukan bahwa secara keseluruhan tingkat bahaya yang ada
102
pada pekerjaan tenun ikat ialah tingkat bahaya sedang dengan jumlah persentasi
mencapai 70%, yang mana jika potensi bahaya sedang ini diabaikan begitu saja tanpa
adanya pengendalian dan tindakan maka bukan tidak mungkin dapat menimbulkan
berbagai ancaman khususnya terhadap kondisi kesehatan pekerja tenun ikat.
4.6 Pengendalian Risiko (Risk Control)
Pengendalian risiko (risk control) dilakukan terhadap tiga jenis risiko
yang dikategorikan sebagai risiko sedang (moderate risk), risiko tinggi (high risk) dan
risiko ekstrim (extreme risk). Adapun yang akan dilakukan proses pengendalian risiko
yang sudah melalui penilaian risiko sebelumnya yaitu pada suhu ruangan, kegiatan
pencelupan, pengelosan, penghanian, pemidangan, pelimaran, penginciran, pemaletan
dan kegiatan penenunan, pengendaliaan ini bertujuan untuk meminimalkan tingkat
risiko dari suatu potensi bahaya yang ditemukan. Pengendalian ini akan dilakukan
melalui Risk Matrix pada Risk Control sebagai berikut :
103
1. Faktor Fisik
No Sumber Hazard RISK CONTROL
1 Suhu ruangan
Kerja
Penyediaan alat pendingin ruangan kerja
berupa kipas angin, penyediaan air minum di
ruangan kerja, dan menambahkan ventilasi
ruangan kerja yang cukup.
2. Faktor Ergonomi
No Sumber Hazard RISK CONTROL
1 Kegiatan Pencelupan
Menyediakan alat kerja berupa meja, kursi,
untuk di pergunakan dalam kegiatan
pencelupan serta penyediaan dan penggunaan
APD berupa sarung tangan karet dan masker.
2 Kegiatan Pengelosan
Modifikasi alat kerja pengelosan, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur.
3 Kegiatan Penghanian
Modifikasi alat kerja penghanian, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur.
4 Pemidangan
Modifikasi alat kerja pemidangan, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur,
coupling alat pemutar untuk di sesuakan
ketinggiannya dan memebentuk pegangan
yang nyaman.
104
No Sumber Hazard RISK CONTROL
5 Kegiatan Pelimaran
Modifikasi alat kerja pelimaran, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur,
meninggikan wadah kain proses pelimaran
yang disesuaikan dengan desain kursi,
penggunaan alat pelindung diri berupa sarung
tangan karet.
6 Kegiatan Penginciran
Modifikasi alat kerja penginciran, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur,
coupling alat pemutar untuk di sesuakan
ketinggiannya dan membentuk pegangan
yang nyaman.
7 Kegiatan Pemaletan
Modifikasi alat kerja pemaletan, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur.
8 Kegiatan Penenunan
Modifikasi alat kerja penenunan, membuat
kursi dengan desain tambahan berupa
senderan, dan ketinggian yang dapat diatur,
coupling alat penjungkit untuk di bentuk
pegangan yang nyaman, penambahan
bantalan pada bagian depan sebagai bantalan
siku.
Dari hasil pengendalian risiko dikatahui untuk rauangan kerja perlu
adanya penyediaan alat pendingin ruangan berupa kipas angin, penyediaan air minum
dan penambahan ventilasi ruangan kerja agar dapat mengurangi suhu udara yang
105
melebihi NiAB dan mencegah pekerja mengalami dehidrasi saat bekerja karena suhu
yang terlalu panas.
Pada pekerjaan tenun ikat, bahwa perlu dilakukannya modifikasi alat-alat
kerja, yang dimana diketahui untuk saat ini desain yang digunakan sangat berisiko
terhadap kondisi kesehatan pekerja dikarenakan alat kerja tersebut tidak ergonomi,
maka perlu adanya modifikasi alat kerja tersebut guna menciptakan keadaan yang
aman dan nyaman bagi pekerja.
4.7 Rekomendasi Alat Kerja
Untuk mengurangi tingkat risiko ergonomi pada pekerja tenun ikat, perlu
dilakukan upaya perbaikan dengan memodofikasi alat kerja antara lain :
1. Alat Tenun Bukan Mesin
Gambar 4.23
Alat Tenun Manual (penambahan alat bantu)
106
Desain modifikasi alat tenun manual sangat dibutuhkan terutama untuk
memberi kenyamananan pada pekerja, seperti penambahan bantalan siku, kursi yang
dapat diataur ketinggiannya, dan meja tempat menaruh barang-barang terutama
benang dan air minum untuk mempermudah pekerja dalam melakukan pekerjaannya.
2. Kursi kerja
Gambar 4.24
Kursi Kerja (modifikasi)
Pergantian kursi kerja sangat di perlukan, karena dalam hal ini pekerja
tenun ikat bekerja dengan posisi duduk dalam waktu yang lama, dengan kondisi kursi
yang ada saat ini sangat tidak ergonomi bagi pekerja karena kursi yang tidak memiliki
sandaran, tidak dapat diatur ketinggiannya dan bantalan tempat duduk yang
menggunakan kain seadanya. Maka perlu untuk dilakukan pergantian kursi kerja.
107
Keterangan : Tinggi sandaran punggung = 52 cm
Tinggi kaki kursi = 49 cm
Panjang lebar tempat duduk = 45 cm
108
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian berdasarkan Identfikasi Hazard dan Penilian Risiko
dalam melakukan observasi berupa Identifikasi Hazard dan Penilian Risiko
Kesehatan Kerja Pada Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota
Palembang Tahun 2019. Adapun kesimpulan sebagai berikut :
1. Potensi bahaya yang ada yaitu hazard fisik dan hazard ergonomi. Untuk hazard
fisik berupa suhu ruangan kerja yang melebihi nilai ambang batas dan hazard
ergonomi dari aktifitas yang dilakukan dengan alat kerja pada proses penenunan.
2. Berdasarkan hasil pengukuran suhu ruangan di temukan rata-rata di 7 station
yaitu melebihi nilai ambang batas. Dengan hasil penilaian risiko berupa risiko
sedang.
3. Berdasarkan hasil penilaian risiko ditemukan pada tahap proses penenuan rata-
rata memiliki potensi bahaya sedang. Dimana hal ini berdasarkan penilaian
REBA menunjukan bahwa posisi kerja berada pada kondisi yang tidak ergonomi.
4. Pengendalian risiko, untuk suhu ruangan kerja perlu disediakannya alat
pendingin ruangan, air minum dan penambahan ventilasi ruangan kerja yang
cukup. Untuk tahap tenun secara keseluruhan membutuhkan perubahan
109
modifikasi alat kerja yang ergonomi guna menciptakan kondisi yang aman dan
nyaman untuk pekerja tenun ikat.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, tentang Identifikasi Hazard dan Penilaian
Risiko Kesehatan Kerja Pada Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan Kentang maka
peneliti memberikan saran :
1. Memodifikasi alat kerja secara ergonomi agar pekerja tidak mudah lelah saat
melakukan aktifitas pekerjaan.
2. Perlu diadaknnya penyediaan alat pendingin ruangan dan air minum di
ruangan kerja.
3. Menyediakan alat pelindung diri (APD) berupa masker, sarung tangan karet
untuk pekerja yang melakukan proses pencelupan.
4. Pengendalian administratif :
Menganjurkan kepada pekerja tenun ikat untk melakukan peregangan otot
ditempat kerja setiap 2 jam, yang dilakukan sebelum istirahat siang dan 2
jam sesudah istirahat.
Menganjurkan kepada pemilik tenun ikat, untuk mengganti alat- alat kerja
yang mengalami kerusakan atau tidak layak lagi untuk digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
AS/NZS 4360, 2004.
Astralian Standar/New Zealand Standard For Risk Management (Online)
(http://www.epsonet.eu/mediapool/72/723588/data/2017/AS_NZS_43601999
Risk_management. di akses 20 Maret 2019).
BPJS Ketenagakerjaan, 2016 (Online)
(https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/5769/Jumlah-kecelakaan-kerja-
di-Indonesi amasih-tinggi, diakses 13 Maret 2019).
Buntarto, 2015.
Panduan Praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja Untuk Industri. Pustaka
Baru Press : Yogyakarta
Cecep Dani Sucipto, 2014.
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Pustaka Baru : Yogyakarta.
Darmawan dkk, 2017.
Identifikasi Risiko Kecelakaan Kerja Dengan Metode Hazard Identification
and Risk Assessment (HIRA) Di Area Batching Plant PT XYZ Tahun 2017
(Online) (http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jti/article/download/3270/2466,
di akses tanggal 22 Maret 2019).
Depkes RI, 2014 (Online)
(http://www.depkes.go.id/article/view/201411030005/1-orang-pekerja-di-
dunia mening gal setiap-15-detik-karena-kecelakaan-kerja.html, diakses 20
Februari 2019).
Fermana dan Nasri, 2014.
Penilaian Risiko Ergonomi Dan Keluhan Muskuloskletal Disorders (MSDs)
Pada Pekerja Finishing Di Proyek Bogor Valey Residence & Hotel PT XYZ
Tahun 2014 (Online). (http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S55753-
Futry20Dwi20Ferman , diakses 11 April 2019).
IEA. 2019.
Definition and Domains Of Ergonomic (Online). (http://www.iea.cc/
whats/index.html. diakses 11 April 2019)
International Labour Organization, Jakarta. 2013.
(Online) (http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/asia/ro-bangkok/lojakarta
/docum ents/publication/wcms_237650, diakses 31 Janua).
ISO, center. Indonesia. 2016.
ILO-OSH 2001, Occupational Safetyand Health Management Systems
(Online). (https://isoindonesiacenter.com/ilo-osh-2001-standar-k3-dari-pbb/,
diakses 5 Maret 2019).
Khaidir Ali Serunting, 2017.
Analisis Risiko Ergonomi Pada Karyawan Bengkel Utama Dengan Keluhan
Musculoskeletal Disorders Di PT. Bukit Asam Tanjung Enim Tahun 2017.
Jurnal Kesehatan Bina Husada.
Kuswana, 2017.
Ergonomi dan K3 Keselamatan Kesehatan Kerja . PT Remaja Rosdakarya :
Bandung.
OHSAS 18001, 2007.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja-Persyaratan (Online)
(http://mhconsulting-indonesia.com/file-download/Klausul-OHSAS-18001, di
akses 3 Februari 2019).
Mustika dan Sutajaya, 2016.
Ergonomi Dalam Pembelajaran Menunjang Profesionalisme Guru Di Era
Global, Jurnal Pendidikan Indonesia, 5 (1).
Nabiilah, 2018
Hubungan Posisi Kerja Dan Masa Kerja Terhadap Kejadian Low Back Pain
Pada Pekerja Tenun Ikat Di Desa Parengan Lamongan. Skripsi. Malang :
Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi S1 Fisioterapi Universitas
Muhammadiyah Malang 2018. (Http://Eprints.Umm.Ac.Id/41324/1/Pen
dahuluan.Pdf diakses tanggal 01 Mei 2019).
Nurliah, 2012
Analisis Risiko Muskuloskeletal Disorders (MSDs) Pada Operator Forklif Di
PT. LLI Tahun 2012. Tesis. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Program
Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Indonesia 2012.
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20307476-T31178-Analisis%20resiko.pdf
diakses tanggal 20 April 2019).
Nurrahman, 2016
Hubungan Masa Kerja Dan Sikap Kerja Terhadap Kejadian Low Back Pain
Pada Penenun Di Kampoeng Bni Kab.Wajo. Skripsi. Makasar : Fakultas
Kedokteran Program Studi Fisoterapi Universitas Hassanudin 2016.
(http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/18848/Skripsi%20
Hubungan%20Masa%20Kerja%20dan%20Sikap%20Kerja%20Terhadap%20
Kejadian%20Low daiakses tanggal 01 Mei 2019).
Peraturan Mentri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No 13 Tahun 2011
Tentang Nilai Ambang Btas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.
Permenkes No 48 Tahun 2016.
Tentang Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Perkantoran.
Permenkes No 70 Tahun 2016.
Tentang Standar Dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri.
Pikiran Rakyat, 2018 (Online)
(https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2019/01/15/kecelakaan-kerja-2018-
mencapai-173105-kasus. diakses 3 April 2019).
Prasetyo dkk, 2018.
Analisis HIRA (Hazard Identification And Risk Assessment) Pada Instansi X
di Semarang, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6 (1).
Purnama, 2015.
Analisis Penerapan Metode Hirarc (Hazard Identification Risk Assessment
And Risk Control) Dan Hazops (Hazard And Operability Study) Dalam
Kegiatan Identifikasi Potensi Bahaya Dan Resiko Pada Proses Unloading Unit
Di Pt. Toyota Astra Motor, (Online). (http://digilib.mercubuana.ac.i d /
mannager/file_ abstrak/Isi_Artikel_63743313 166.pdf, di akses tanggal 6
April 2019)
Rahmadina, 2016.
Hazard Identification And Risk Assessment (HIRA) Sebagai Upaya
Mengurangi Risiko Kecelakaan Kerja dan Risiko Penykait Akibat Kerja di
Bagian Produksi PT Iskandar Indah Printing Textile Surakarta (Online)
(Http://Eprints.Ums.Ac.Id/46958/19/Naskah Publikasi, di akses tanggal 26
Maret 2019).
Ramadhan, Fazri 2017.
Analisis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Menggunakan Metode
Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) , (Online)
(http://e-jurnal.lppmunsera.org/index.php/senasset/article/download/443/493,
di akses tanggal 24 Maret 2019.
Rezeki, Sri 2015
Sanitasi, hygiene, dan Kesehatan & Keselamatn Kerja (K3) : Rekayasa Sains,
Bandung.
Rudy Darmawan dkk, 2017.
Identifikasi Risiko Kecelakaan Kerja Dengan Metode Hazard Identification
And Risk Assessment ( HIRA ) Di Area Batching Plant PT Xyz, Jurnal Teknik
Industri, 5 (3).
Shandy Irwan dkk, 2015.
Penyusunan Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control
(HIRARC) Di PT. X, Jurnal Titra, 3 (1).
Soehatman, Ramli 2013.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. Dian
Rakyat : Jakarta.
Standar Nasional Indonesia, 2005.
Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Kerja (Online),
(http://web.ipb.ac.id/~tml_atsp/test/SNI/2019-0232-2005, diakses 2 April
2019).
Suardi, Rudi 2007
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Panduan Penerapan
Berdasarkan OHSAS 18002 & Permenaker 05/1996, PPM : Jakarta.
Supriyadi dan Ramdan, 2017.
Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko Pada Devisi Boiler Menggunakan
Metode Hazard Identification Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) ,
(Online) (https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/JIHOH/article/dow nl
oad/892/702, di akses tanggal 27 Maret 2019).
Suwardi dan Daryanto, 2018.
Pedoman Praktis Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup.
Gava Media : Yogyakarta.
Tambun, 2012
Analisis Risiko Ergonomi Dan Keluhan Musculoskeletal Disorder (MSDs)
Pada Pekerja Tenun Ulos Di Kelurahan Martimbang Dan Kelurahan Kebun
Sayur Kota Pematang Siantar Tahun 2012. Tesis. Depok : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas
Indonesia 2012. (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20314672-T31762-Ana
lisis%20risiko.pdf daikses Tanggal 23 April 2019).
Tarwaka, 2014.
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja. Harapan Press : Surakarta.
Wibowo, 2016.
Manajemen Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja dengan Metode Hazard
identification Risk Assessment And Risk control (Hirarc) Dalam Upaya
Mencapai zero Accident (Online). (http:// eprints. ums. ac.id/46071 /20/
NASKAH 20 PUBLIKASI .pdf, diakses 7 Maret 2019)
TENUN IKAT KELURAHAN TUAN KENTANG KOTA PALEMBANG
Palembang, 29 April 2019
Kepada Yth,
Ketua Prodi Kesehatan Mayarakat
STIK BINA HUSADA
Di-
Palembang
Berhubungan dengan adanya kegiatan tugas penelitian / Skripsi
Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bina Husada Strata-1 (Sarjana), bagi Mahasiswa berikut :
Nama : Umar Habibi
NPM : 15.13201.10.33
Jenis Kelamin : Laki-laki
Peminatan : Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Topik Penelitian : Identifikasi Hazard dan Penilaian Risiko Kesehatan Pada
Pekerja Tenun Ikat di Kelurahan Tuan Kentang Kota
Palembang Tahunn 2019
Lama Penelitian : Dari 24 April s/d 29 April 2019
Telah melakukan dan menyelesaikan penelitian dengan baik. Demikianlah
surat ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan
terimakasih.
Ketua Kelompok Usaha Bersama
Tenun Ikat Kota Palembang
Ahmad Habibi
DOKUMENTASI PENELITIAN