ibn arabi d al jilli
DESCRIPTION
Hakikat Nur MuhammadTRANSCRIPT
KONSEP WAHDATUL WUJŪD MENURUT IBN ‘ARÂBÎ
Ajaran sentral Ibn Arâbî adalah tentang wahdatul al-wujûd yang istilahnya bukan berasal
dari Ibn Arâbî sendiri melainkan berasal da‘i Ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa dalam
mempopulerkan wahdatul al-wujûd ke dalam masyarakat Islam meskipun tujuannya negatif.
Kaum atheis dan golongan madzhab wahdatul wujûd mengemukakan fana wujud selain
Allah dalam kitab “Fushûshul hikâm” dan orang-orang yang sepadan dengannya mengatakan
bahwa wujud khalik adalah wujud makhluk. Dipahami dari ucapan mereka itu bahwa mereka
tidak mengakui adanya wujud selain Allah. Ucapan ini hanya lahir dari mulut orang kafir seperti
yahudi, nasarani, dan penyembah berhala, orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan
dan hamba tidak ada perbedaan antara keduanya, ucapan ini sebenarnya menunjukan kekafiran
yang nyata terutama apabila yang dimaksudkan seluruh makhluk meskipun yang dimaksud
adalah para wali Allah yang beriman dan bertaqwa, kita tidak bisa langsung memfonis Ibn Arâbî
dan orang-orang sehaluannya adalah kafir, namun bukan berarti kita harus menerima mentah-
mentah hasil ijtihad mereka dibidangnya masing-masing khusunya tasawuf ini, karena kita yakin
bahwa mereka umumnya adalah terdiri dari mutjahid islam di bidangnya. Dari hasil pengkajian
ijtihad dan maka ajaran tasawuf seperti ittihad, hûlûl, waḫdtul wujûd dan sejenisnya perlu di kaji
ulang.
Menurut Ibnu taimiyah wahdatul wujûd adalah penyamaan Tuhan dengan alam, dia
menilai bahwa ajaran Ibn Arâbî adalah dari aspek tasybihnya (penyerupaan) khalik dengan
makhluknya.[1] Ia belum menilai dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Menuru Ibn Arâbî
wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud
khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari segi hakikatnya, dan kalaupun di lihat dari
sudut pandang panca indra. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qodim dengan yang baru atau dengan kata
l;ain tidak ada perbedaan antara ‗abîd (menyembah) dan ma‟bûd (yang di sembah)
Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa telihat dua?
Menurut Ibn Arâbî tidak memandangnya dari sisi satu, tetapi memandang keduanya bahwa
khalik dari sisi satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang lain
mereka pasti mengetahui hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak terbilang dan terpisah.
Wujud Tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah
barat disebut panteisme, yang di definisikan oleh Henry C.Theissen. panteisme adalah teori yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu
wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.
Ibn Arâbî menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud Tuhan,
satu-satunya wujud menurut Ibn Arâbî adalah wujud tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya.
Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain tuhan. Dalam bentuk lain dapat
dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh tuhan dan wujudnya bergantung pada wujud tuhan.
Dengan demikian, Ibn Arâbî menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qodim dan merupakan sumber
emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada dari pada
nabi adam sampai nabi Muhammad dan dari nabi Muhammad pada diri pengikutnya yaitu para
wali.
Dari konsep-konsep wahdat al-wujûd Ibn Arâbî ini muncul dua konsep yang sekaligus
merupakan lanjutan atau cabang dari konsep dari wahdatul al-wujud itu, yaitu konsep al-hakikat
al-muhammadiyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujûd Ibn Arâbî mengungkapkan bahwa wujud ini
satu, namun dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang
dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut dengan barzah atau menghimpun dan
memisahkan antara batin dan lahir itulah yang di sebut dengan insan kâmil.[2]
Ia juga menjelaskan bahwa tuhan segala tuhan adalah Allah SWT. Sebagai nama yang
teragung dan sebagai ta‟ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama dan
tujuan akhir dari segala tujuan dan arah dari segala keinginan serta mencakup segala tuntutan,
kepada-Nyalah isyarat yang difirmankan Allah kepada rasulnya, bahwa kepada Tuhan-Mu lah
tujuan akhir karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan yang pertama, dan tuhan yang
khusus baginya adalah ketuhanan yang agung ini. Ketahuilah bahwa segala nama-nama Allah
merupakan gambaran dalam ilmu Allah. Sedangkan hakikat muhammadiyah merupakan
gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul
limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai tuhannya. Perlu diketahui bahwa yang
dimaksud dengan hakikat muhammadiyah disini bukanlah nabi Muhammad sebagai manusianya,
namun hakikat muhammadiyah adalah asma dan sifat Allah serta akhlaknya. Nabi Muhammad
disebut dengan Muhammad karena beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak ketuhanan
tersebut.
Dalam Filsafat Hikmah Mulla Shadra juga mengemuka konsep wahdatul wujud. Sesuai
dengan penjelasan para pemerhati Filsafat Hikmah, Mulla Shadra dalam menjelaskan konsep
wahdatul wujud banyak terpengaruh oleh pandangan Ibn Arâbî.
Perbedaan asasi antara Ibn Arâbî dan Mulla Shadra terletak pada penekanan Ibn Arâbî
atas "thuri warai thur aql" konsep wahdatul wujud. Mulla Shadra meyakini bahwa konsep
wahdatul wujud dapat dijelaskan secara filosofis. Atas dasar ini, sistem filsafat Mulla Shadra
berdasarkan dan berpijak pada masalah kehakikian wujud (ashalatul wujud) dan wahdatul
wujud.
Disebutkan bahwa masalah wahdatul wujud bagi urafa sekali-kali tidak dikemukakan
sebagai satu konsep murni filosofis dan terpisah dari realitas kehidupan. Masalah wahdatul
wujud merupakan pengungkap tertinggi derajat kemurnian dan ketulusannya dalam bertauhid
kepada Allah Swt. Kehidupan yang sarat dengan cinta dan harapan urafa Ilahi sejatinya
merupakan jelmaan kehidupan yang berdasarkan wahdatul wujud.
TASAWUF FALSAFI IBN ’ARABI DAN
AL JILLI
Dipublikasi pada 24 Desember 2011 oleh bangkaganteng
PENDAHULUAN
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat
yang telah mempengaruhi para tokohnya. Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan
jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal
seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini hidup dan berkembang, terutama di kalangan
para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf
dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur
dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tetap tidak hilang.
Meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka
ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap
berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan
kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita
bahwa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang
berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-
terminologi filsafat, tetapi tetap menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka
anut. Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan filsafat Yunani serta
berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo-Platonisme
dengan filsafatnya tentang emanasi. [1]
Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab‘in dan Ibn Masarrah.
Tetapi penulis hanya membahas tentang tasawuf falsafi Ibn Arabi dan Al-Jilli.
1. A. IBN ARABI
1. 1. Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha‘I Al-
Haitami dan ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad dan Abu Abdullah
namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi muhyiddin dan al-Hatami. Ia lahir di Murcia,
Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
Dan wafat pada 638 H di Damaskus, makamnya terletak di bawah gunung Qayisun di Syiria.
Namanya biasa disebut tanpa ―Al‖ untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-Arabi, seorang
qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur‘an,
hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Al-
Zhahiri. [2]
Setelah Ibnu Arabi melewati hidupnya di Murcia, ia bersama orang tuanya pindah ke Sevilla di
mana di kota ini ia tumbuh dan berkembang dengan memasuki alam pendidikan sebagaimana
lazimnya. Setelah dirasakan cukup menuntut ilmu di kota ini, ia pindah ke Cordova melanjutkan
pelajaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Ia mempelajari Ilmu Fiqh, Tafsir, Hadits dan lain-lain
dengan lancar dan berhasil karena kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya serta dukungan
dari orang tuanya yang dapat diandalkan. Guru-gurunya cukup banyak, di antaranya Syekh Abu
Madian. Pada usia yang relatif muda, ia bertemu dengan dua wanita sufi terkemuka yaitu Yasmin
Mursyaiyah dan Fatimah Qurthubiyah. Pertemuannya dengan kedua sufi wanita itu amat
berpengaruh dalam dirinya dan secara tidak langsung memberi arah kepada perjalanan hidupnya.
Khususnya dengan Fatimah dari Cordova itu, seorang tua dengan Ilmu yang luas dalam
kerohanian, telah mengajar dan membimbing kerohanian Ibnu Arabi selama tidak kurang dari
dua tahun. Ibnu Arabi yang masih muda telah memperoleh Ilmu dan berkecenderungan ke arah
kerohanian.
Atas dorongan ayahnya, ia bertemu dengan filosof Islam yang besar Ibnu Rusydi. Setelah ia
berkali-kali bertemu dengan Ibnu Rusydi dan setiap kali pertemuan itu menunjukkan perhatian
dan keakraban yang luar biasa dari masing-masing dan selalu terjadi tukar pendapat. Masa
berikutnya, Ibnu Arabi melanglang ke berbagai negeri Islam di Andalusia dan Afrika Utara,
untuk bertemu dengan para sufi dan filosof, belajar dan membutiri hikmah-hikmah mereka. Di
Tunisia ia bertemu dengan kitab Ibnu Qasyim yang berjudul Khal‟un Na‟laini (kata-kata dalam
ayat 12 surat Thaaha) dan berkesempatan mempelajari dan mensyarahkannya. Ia juga
berkesempatan mengunjungi perguruan al-Mariyah di bawah pimpinan Ibnu Masarrah dan
kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Arief. Dalam perenungan-perenungan di madrasah ini ia
memastikan untuk memasuki alam tasawuf.
Sejak itu perkembangan tasawuf dalam diri Ibnu Arabi berkembang pesat dan makrifah kesufian
bertambah luas. Konon, pada masa ini ia bermimpi melihat arasy berdiri menjulang di atas
cahaya-cahaya yang di atasnya terbang seekor burung yang menyeru Ibnu Arabi agar
meninggalkan tanah kelahirannya melanglang lagi menuju ke negeri-negeri Timur. Menuruti
ilham itu ia memulai mengunjungi negeri-negeri Timur dengan melaksanakan ibadah haji
terlebih dahulu. Kemudian ia berangkat ke Mesir, Anatholia, Irak dan kemudian ke Syria.
Dalam pengembaraan itu, ketika ia berada di Mekkah, turun ilham kepadanya untuk menulis
berbagai pengalaman sufi yang dialaminya dalam kitab basarnya Futuhat al-Makkiyah. Konon,
setelah itu ia bertemu dengan seorang wanita cantik yang juga seorang sufi dari keluarga sufi
Isfahan yang banyak member ilham kepada Ibnu Arabi. Dan dari wanita cantik inilah
menimbulkan ilhamnya dalam kecintaan yang amat sangat kepada Tuhan Yang Maha Indah dan
dari cinta kepada Tuhan itu lahirlah tulisannya Tarjuman al-Asywaq.[3]
1. 2. Karya-karyanya
Meskipun ia selalu hidup dalam pengembaraan, berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri
lainnya, namun tulisan-tulisannya tetap meluncur hingga sampai akhir hayatnya ia menulis lebih
dari 200 buah kitab. Di antara kitab-kitabnya yang besar dan terkenal adalah:
1. Futuhat al-makkiyah
2. Tarjuman al-Asywaq
3. Fushushul Hikam.
Menurut Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah adalah dikte dari Allah, sedangkan Fushush al-Hikam
adalah pemberian dari Rasulullah. Kalau kita kaji lebih jauh dalam Fushush al-Hikam, maka
tampak bahwa teori tasawuf Ibnu Arabi bermula dari Allah dan kemudian dihubungkan dengan
wujud alam semesta. [4]
[[[
[
1. 3. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang Wahdat Al-Wujud (kesatuan wujud). Meskipun
demikian, istilah wahdat Al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah
berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Setidak-tidaknya, Ibnu Taimiyahlah yang telah berjasa
dalam mempopulerkan Wahdat Al-wujud ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya
negatif. Meskipun semua orang sepakat menggunakaan istilah Wahdat Al-wujud untuk
menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan
pengertian Wahdat Al-Wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya,
orang-orang yang mempunyai paham Wahdat Al-wujud mengatakan wujud itu sesungguhnya
hanya satu dan Wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga Mukmin Al-wujud yang
dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham Wahdat Al-Wujud itu
juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada
perbedaan.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah menilai bahwa ajaran sentral Ibnu Arabi itu adalah dari
aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja. Ia belum menilainya dari aspek
tanzih-nya (penyucian khaliq). Padahal kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibnu Arabi. Akan
tetapi, perlu disadari bahwa kata-kata Ibnu Arabi sendiri banyak yang memiliki pengertian
seperti yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah meskipun ada pula kata-kata Ibnu Arabi yang
membedakan antara Khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu pada hakikatnya wujud makhluk
adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan makhluk) dari segi
hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khaliq dan makhluk, hal itu
dilihat dari sudut pandang pancaindera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam
menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah, yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya.
Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakikat
alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang
baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‗abid (menyembah) dengan ma‘bud
(yang disembah). Antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya
pada bentuk dan ragam dari hakikat yang satu. Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam
wujudnya, mengapa terlihat dua? Menurut Ibnu Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi
yang satu, tetapi memandang keduanya bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan
makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau
keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti mengetahui hakikat keduanya,
yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubung dengan ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam sya‘irnya sebagai berikut :
―pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka renungkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakana, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab „ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar”
Dari keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan
bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme atau yang didefinisikan
Henry C. Theissen seperti berikut ini :
―Panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau begian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang
Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan.
Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula unsur-unsur
atestik, politeistik, dan teistik”[5]
Ringkasnya dalam tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi
semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang
yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengan
faham Wahdat Al-Wujud. [6]
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam serta antara
wujud Tuhan bersatu dan wujud alam, pemahaman Ibnu Taimiyah tentang wahdat Al-wujud ada
benarnya. Meskipun demikian, perlu pula diingat bahwa apabila Ibnu Arabi menyebut wujud,
maksudnya adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud, menurut Ibnu
Arabi adlah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain Tuhan,
baik berupa alam maupun yang ada di dalam alam, tidaklah memiliki wujud. Kesimpilannya,
kata ‗wujud‘ tidak diberikan kepada selain Tuhan. Pada kenyataannya, Ibnu Arabi juga
menggunakan kata ‗wujud‘ untuk sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa wujud
sedangkan wujud yang ada pada alam adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk
memperjelaskan perkataannya itu, Ibnu Arabi memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik
matahari, namun cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. [7]
Wujud semesta ini bagi Ibnu Arabi adalah satu jua, dan apabila kita melihat dengan bermacam-
macam dalam jumlah yang tidak terhitung, maka hal itu adalah karena kita menggunakan acuan-
acuan indera dan akal semata-mata. Akal dan indera menangkap kesemestaan itu dalam bentuk
bermacam-macam dan car aini digunakan oleh kalangan intelektual dan filosof. Sedangkan bagi
kalangan sufi yang menangkap segala wujud dengan zauq sufi akan memandang kesemestaan ini
sebagai keberadaan tunggal, al-Haq dan al-Khalq adalah satu belaka.
Apabila ahli kalam menyebut al-jauhar dan al-‗aradh, maka Ibnu Arabi menyebutnya dengan al-
Haq dan al-Khalq. Dalam rangka inilah ia menulis, ―Maha Suci Tuhan yang Dia menjadikan
segala sesuatu dan Dia-lah ain segala sesuatu itu‖.[8]
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Khalik (Tuhan) dan
wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Oleh
karena itu, Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan
hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu wujud Tuhan. Jadi,
makhluk atau alam yang diciptakan tidak mempunyai wujud karena yang mempunyai wujud
(yaitu wujud mutlak) hanyalah Tuhan. Dengan demikian, wujud itu hanya satu, yakni wujud
Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat
ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan juga seperti badan yang
tidak bernyawa. Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain,
alam mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus.
Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang
tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya ala mini tidak dapat dipisahkan dari ajaran
Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses
penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada
apapun.
2. Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud dengan proses tahapan-tatahapannya.
Dengan demikan, Ibnu Arabi menolak ajaran yang menyatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber
emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para
nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para
pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil.[9]
1. B. AL-JILLI
1. 1. Riwayat Hidup
Nama lengkap tokoh ini ialah ‗Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‗Abd al-Karim ibn Khalifah ibn
Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan ―Syeikh‖ yang biasa dipakai di
awal namanya. Selain itu juga ia mendapat gelar ―Quth al-Din‖ (poros agama), suatu gelar
tertinggi dalam hirarki sufi. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad,
dengan alasan bahwa menurut pengakuannya sendiri ia adalah keturunan Syeikh ‗Abd al-Qadir
al-Jilani (470-561 H), yakni turunan dari cucu perempuan Syeikh tersebut. Sedangkan ‗Abd al-
Qadir al-Jilani berdomisili di Bagdad sejak tahun 478 H sampai akhir hayatnya, tahun 561 H.
Dan diduga keturunannya juga berdomisili di Bagdad, termasuk kedua orangtua al-Jilli. Namun
setelah ada penyerbuan militerstik bangsa Mongol ke Bagdad yang dipimpin Timur Lenk,
keluarga al-Jilli berimigran ke kota Yaman (kota Zabid). Di kota inilah al-Jilli mendapatkan
pendidikan yang memadai sejak dini. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa pada tahun 779
H ia pernah mengikuti pelajaran dari Syeikh Syaraf al-Din Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806
H), dan salah satu teman seangkatan adalah Syihab al-Din Ahmad al-Rabbad (w.821).
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Karena kesetabilan
kota India pada saat itu memungkinkan tasawuf-falsafi dan tariqah-tariqah di India berkembang
dengan pesat. Namun sebelum perjalanannya ke India ia berhenti di Persia dan belajar bahasa
Persia, sehingga ia pun dapat menyelesaikan satu buah buku dengan judul, Jannat-u al-Ma‘arif
wa Ghayat-u Murid wa al-Ma‘arif di kota ini (Persia). Empat tahun kemudian (803 H) ia pun
berkunjung ke kota Kairo dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu
banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang
berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama‘ wa Kasyf al-Qina‘ an Wujud al-Istima. Dan dalam tahun
yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan
judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah dua tahun kemudian, kurang lebih, ia kembali lagi
ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti), di kota Zabid lah ia
menghabiskan hidupnya sampai akhir hayat.[10]
[
1. 2. Karya-karyanya
Karya-karya al-Jilli sebagaimana riwayat hidupnya tidak banyak diketahui secara pasti, namun
terdapat tiga tokoh pemikir yang melakukan penelitian mengenai karya-karya al-Jilli dan
ternyata hasil dari ketiga peneliti itu membuktikan bahwa masing-masing mereka saling
melengkapi. Penelitian pertama dilakukan oleh Haji Khalifah, ia mencatat bahwa al-Jilli telah
menulis 6 (enam) judul karya tulis. Sedangkan peneliti kedua adalah Ismail Pasya al-Bagdadi, ia
menambahkan 5 (lima) karya al-Jilli dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Dan yang
lebih banyak penemuan diantara dua peneliti sebelumnya mengenai karya-karya al-Jilli adalah
Carl Brockelmann, ia mencatat sebanyak 29 (dua puluh sembilan) judul karya al-Jilli. Namun,
karya-karya yang ingin dikemukakan disini hanya berasal dari penelitian pertama yang dilakukan
oleh Haji Khalifah, yang menurut kami masih mendekati originalitasnya, diantara enam karya al-
Jilli adalah:
1. a. Al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifat-i al-Awakhir wa al-Awail
Buku ini adalah bukunya yang paling poluler, dan buku ini mengupas dengan mendalam konsep
insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis
1. b. Al-Durrah al-„Ayiniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah
Buku ini merupakan antologi puisi yang mengandung 534 bait syair karya al-Jilli
1. c. Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh bi Ism-i Allah al-Rahman al-Rahim
Buku ini merupakan kajian mendalam mengenai kalimat Basmalah secara panjang lebar menurut
tafsir sufi. Berbeda dengan kitab-kitab tafsir di luar tafsir sufi—yang berupaya menjelaskan kata
demi kata dan kalimat demi kalimat dari ayat-ayat al-Qur‘an—al-Jilli, di dalam karya ini
menjelaskan ayat pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan
lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
d. Lawami‟ al-Barq
e . Maratib al-Wujud
Buku ini menjelaskan tentang tingkatan wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba‘in
Maratib.
f. Al-Namus al-Aqdam
Buku ini terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari juz lainnya dan
mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak
ditemukan lagi.
1. 3. Ajaran Tasawuf Al-Jilli
Ajaran tasawuf Al-Jilli yang terpenting adalah paham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut
Al-Jilli, Insan Kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits :
Artinya: ―Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman.‖
Hadits lain berbunyi :
Artinya : ―Allah menciptakan Adam, dalam bentuk diri-Nya.‖[11]
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‗Arabi
adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan
secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‗Insan Kamil‘ berasal
dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang
berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang
memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara
historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat
bahwa itu berasal dari ‗ain san, yang artinya ‗seperti mata‘. Namun dalam artian umum biasanya
berarti manusia.
Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‗sempurna‘, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini
sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya
tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap). Kekuatan kata kamil (sempurna),
menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin
saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat,
dan itu lah yang disebut kamil (sempurna).
Akar Konsep Insan Kamil al-Jilli
Konsep Insan Kamil dengan sangat jelas merupakan perpanjangan dari konstruksi pemikiran dari
sebuah penghayatan, yang dikemukakan oleh para sufi cerdas. Hal ini bisa dilihat secara historis
dalam literatur pemikiran Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, dengan munculnya karya
agung Ibn ‗Arabi (w. 638 H/1240 M) al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam.
Walaupun orang pertama yang membuka jalan bagi munculnya konsepsi manusia seutuhnya
adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj seorang tokoh sufi Bagdad (244-309 H/858-922 M), dengan
mengemukakan konsepsi nur Muhammad dan al-hulul, yaitu konsep yang mengatakan bahwa
Tuhan telah memilih tubuh-tubuh orang tertentu untuk tempatnya setelah sifat-sifat kemanusiaan
orang itu dihilangkan. Dengan ajaran hulul itu al-Hallaj mengatakan bahwa di dalam diri Tuhan
terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang dinamakan nasut, dan dalam manusia terdapat sifat
ketuhanan yang dinamakan lasut. Ajaran hulul ini mendapat bentuk yang lebih sempurna setelah
datang seorang sufi yang bernama Ibn ‗Arabi, merekonstruksi dan mengembangkan ajaran hulul
al-Hallaj menjadi wahdatul al-wujud. Contoh kecil dari perubahan itu adalah perubahan istilah
lahut al-Hallaj dia tukar dengan sitilah al-haq dan nasut dia tukar dengan al-khalq.
Dan keduanya ini mempunyai hakikat yang satu, dimana yang dzahirnya adalah al-khalaq
(makhluk), dan yang bathinnya adalah al-haq (Tuhan). Al-haq ini akan ber-tajjali pada al-khalq
yang paling tinggi citra wujudnya, dan kesempurnaan tajjali ini akan terwujud pada manusia
yang paling sempurna citra wujudnya. Selanjutnya istilah insan kamil ini digunakan oleh seorang
sufi besar dengan nama Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jilli (767-826 H/1365-1422), untuk
mengidentifikasi konsepsinya mengenai manusia sempurna.
Dan sebetulnya konsepsi al-Jilli, mengenai Insan Kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus
konsep Ibn ‗Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensistematisasi
konsep insan kamil Ibn ‗Arabi yang telah ada dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai
konsep insan kamil Ibn ‗Arabi.
Selain paham di atas, ada lagi yang berpendapat bahwa konsep manusia sempurna ini berasal
dari paham Neo-Platonisme, hal ini diperjelas oleh Rasyidi sebagai berikut:
―Hakekat Muhammad atau Nur Muhammad adalah suatu hasil dari meresapnya Neo-Platonisme.
Menurut paham Neo-Platonisme ada tiga hal: pertama, The One atau The God atau The First
Principle; kedua, The Devine Mind atau nous; dan yang ketiga, adalah soul. Dari yang pertama
memancarlah yang kedua, yang merupakan the world of form (alam misal), dan dari alam misal
memancarlah alam materi ini. Hubungan antara alam materi dan the devine mind dinamakan
soul. Pancaran dari Tuhan tanpa ada kehendak dari Tuhan, dan hal ini terjadi secara otomatis‖.
Menurut konsepsi Nur Muhammad ini Tuhan menciptakan Nur Muhammad, baru setelah itu
segala yang diciptakan memancar dari yang Esa. Jika dibandingkan dengan teori Neo-Platonisme
Tuhan menancar yang disebut logos. Logos dengan kekuatannya memancar roh yang merupakan
kesatuan roh-roh. Sejalan logos dalam Neo-Platonisme dan Nur Muhammad sama berfungsinya
sebagai perantara dalam penciptaan.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama dan sifat Ilahiah pada dasarnya merupakan milik insan kamil
sebagai suatu kemestian yang inheren dan esensinya. Hal itu karena sifat dan nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, melainkan pada insane kamil. Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan
bahwa pwrumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak
dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin itu. Demikian pula halnya dengan insane
kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan sebaimana Tuhan tidak
dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat :
Artinya:
―sesugguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.‖
(Q.S. Al-Ahzab: 72)
TASAWUF FALSAFI Filed under: Analisis Pemikiran — 3 Komentar
29 November 2010
1. Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam
sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian.
Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran
tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf
dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan
lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta
berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan
filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali
disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti
yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte
Ismailiyah aliran Syi‘ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof adalah
1. latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dhauq
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
1. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi dan Karyanya
Nama lengkap Ibn ‗Arabi adalah Muhamad bin ‗Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha‘I Al-
Haitimi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.[1] Ia tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun
638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia mempelajari Al-Qur‘an, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid
seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke
berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat dan berguru kepada Abu Madyan,
Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan perempuan).
Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari
Alomond, di Kordova[2]. ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi falsafi yang
cukup berpengaruh pada zaman itu.
Di antara karyanya adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang
menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk
mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang
sufi dari Persia.[3] Karya lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya As-
Sa‘adat,Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu‘ Ar-Rasa‘il, Al-Ilahiyyah, Mawaqi‘ An-
Nujum, Al-Jam‘ wa At-Tafsishil fi Haqa‘iq At-Tanzil, Al-Ma‘rifah dan Al-Isra‘ila Maqam Al-
Atsana.[4]
c. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn Arabi
Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn
Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral
tersebut.
Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita
perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-
wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang
mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya
satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh
makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud
tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud
mahluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi
hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal
itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam
menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn
Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum menilai
dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Terkait dengan ajaran Ibn Arabi mengenai wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi syair dan
pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan dengan wahdat al-wujud
diantaranya; ―Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah
hakikat segala sesuatu itu‖.[5] Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud
Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim
(Khaliq) dengan wujud yang baru (makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari
hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya sebagai
berikut;
‖Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu‟ur (perasan)ku, siapakah yang
mukallaf? Jika engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau
katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?‖[6]
Dari syair tersebut timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam
wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak
memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya
adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang
keduanya dari sisi yang satu atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti
akan dapat mengetahui hakikah keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun menyatakan dalam sya‘irnya sebagai berikut;
―Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk,
maka renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya tidak akan
perna kabur. Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab „ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu
adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.‖
Dari keterangan di atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang
dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry C.Theissen seperti berikut:
―Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural (alam). Tuhan
adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di
antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politestik, dan teistik.‖[7]
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud
Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas,
perlu diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud
Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat
disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud
terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang
dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik
matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang
sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan.
ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu.
Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu,
Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini
merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam,
sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal
dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya‘irnya:
―wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak.‖[8]
Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: ―Aku pada
mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka mengenal Aku.‖ Penjelasan konsep tanzih dan
tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai berikut; ―Jika engkau berkata tanzih, engkau
mengikatNya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasiNya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan
tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang
berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu, berhati-hati
terhadap tasybih jika engkau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika
engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‗ain segala
sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.
Berkaitan dengan tanzih dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin
mengandung pengertian, ―Tanzihkan-lah Dia‖, sedangkan firmannya, wahua samii‟ul bashiir,
mengandung pengertian, ―Tasybihkan-lah Dia‖. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi
syaiin wahua samii‟ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah
dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis‖.[9]
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan
alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan
menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Di
samping itu, jika kita merujuk pada definisi penteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L.
Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn
Arabi tidak dapat dikatakan sama dengan panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini
diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya,
mazhar asma dan sifat-sifatnya.
Ajaran kedua dari Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al-wujud Ibn
Arabi, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep tersebut,
yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama).
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta adapun proses penciptaannya adalah
sebagai bertikut:
1. Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah. 2. Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad. 3. Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir. 4. Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal. 5. Alam materi, yaitu alam indrawi.[10]
Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan
hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai
wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud
Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari
sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam
semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur
Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan
ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad dan
terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan person-
person insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat
Muhammadiyyah tersebut dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[11]
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya,
semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif
adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat
dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang bahwa ibadah yang
benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup
realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn Arabi Mengemukakan dalam sya‘irnya,
―Kini kalbuku bisa menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja
berhala atau Ka‘bah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta
kemana pun kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan imanku.[12]
Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang
kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini
menyimpang dari Islam.
2. Al-Jili (1365-1417)[13]
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan
(Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili
diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber
mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma‘il bin
Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[14]
a. Ajaran Tasawuf Al-Jili
- Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut
Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits;
―Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.‖ Hadits lainnya; ―Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.‖
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang
terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan
dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam
berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[15] Melaui konsep ini, kita memahami
bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala
kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat
bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai
suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil
adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali
melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat
melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat
diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: ―Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.‖ (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili
berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang
saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‗aradhi,
termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin
dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-
fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang
berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW
sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad
bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang
utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui
proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun
dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep
ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari
Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad,
ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad
SAW.
- Maqamat (al-Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang
sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu
adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak
hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan
melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama mengungkap tabir alam gaib,
dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-
menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja‘. Tujuan ibadah maqam ini adalah
mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan
memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai
tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa
seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah
sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan;
mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan
hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu
mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan
menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‗ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat
yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-
Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib,
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat
menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan.
Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, ―Mengetahui dzat yang
Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul
dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah
mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.[17] Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa
sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai
sifat dan nama-nama-Nya.
3. Ibn Sab’in
a. Biografi Singkat Ibn Sab’in dan Karyanya
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan juga filosaof
dari Andalusi. Ia di panggil Ibn Sab‘in dan digelari Quthbuddin. Dan dikenal pula dengan Abu
Muhamad dan mempunyai asal-usul Arab, dan dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di
kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari
madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-
gurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mir‘ah. [18] Ibn Sab‘in tumbuh
dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan
tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup
sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sab‘in meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis.
Sebagian karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di sunting Abdurrahman badawi
dengan judul Rasa‘il Ibn Sab‘in (1965 M.) dan karya yang lainnya; Jawab Shahih Shiqilliyah,
telah disunting oleh Syarifuddin Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari karyanya beliau tampak
berpengetahuan yang sangatlah luas dan beraneka. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani
dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan India, selain itu dia juga banyak menelaah karya-
karya filosof-filosof Islam dari dunia Islam bagian Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan
filosof bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dan dia menguasai kandungan
risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui aliran Teologi, khususnya aliran
sy‘ariyah.
Ibn Sab‘in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sab‘iniyyah. Para
pengikutnya memakai pakaian khusus yang dikecam para fuqaha, dan tarekat ini mempunyai
sanad yang aneh. Asy-Susytari mengemukakan bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain
Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi
serta Ibn Sab‘in sendiri. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut
bercorak sinkretis dan mengompromikan berbagai aliran, yang diantaranya bercorak Islam,
Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini bertahan sampai masa Ibn Taimiyyah
(meninggal pada tahun 728H).[20] Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa Ibn sab‘in sangat
berkiblab pada filusuf barat.
c. Ajaran Tasawuf Ibn SAb’in
1. kesatuan Mutlak
Ibn Sab‘in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham
kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah
semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau
kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab‘in pun, hampir tidak mungkin
mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab‘in menempatkan ketuhanan
pada tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa
lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan
pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan
wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab‘in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara
filosofis ataupun khusus. Misalnya firman Allah ‖Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang
dzahir dan yang Batin.‖(Q.S.Al-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali
Allah.‖ (Q.S Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di
antarnya dengan hadis Qudsi, ―Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka
firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…‖. Namun Ibn Taimiyah menolah
menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab‘in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa
interpretasi Ibn Sab‘in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits
qudsi yang digunakan adalah hadis maudu‘.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab‘in ini mirip dengan paham ―hakikat Muhamad‖ ataupun ―Qutb‖
dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham
―manusia Sempurna‖ dari Abdul karim Al-jalili. Menurut Ibn Sab‘in pencapaian kesatuan mutlak
adalah individu yang paling sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof,
maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus,
yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi
hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu
pun didasarkan padanya.
b. Penolakan terhadap Logoka Aristotelian
Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian. Terbukti dalam
karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatf, sebagai
pengganti logika yang berdaasarkan pada konsefsi jamak, Ibn Sab‘in menamakan logika barunya
itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai
dengan penalaran, tetapi termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang
belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian
logika tersebut bercorak intuitif. Kesimpulan penting dari logika Ibn Sab‘in tersebut adalah
realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus,
species, difference, proper, accident, person) yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar
ilusi belaka, begitu juga dengan kesepuluh kategori, sekalipun berbeda dan beraneka, tetap
merujuk pada wujud tunggal yang mutlak.
Studi Kritis Paham Tasawuf Falsafi
1. Aspek Sumber Ajaran
Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh filsafat Plato dan
Plotinus, seperti wujud, alam semesta atau makrifat.[21] Begitupun Ibn Masarrah (tokoh
pertamaa tsawuf falsafi) telah menganut paham emanasi yang serupa dengan Plotinus.[22]
Senada dengan pendapat tersebut, analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya
―Kenalilah dirimu dengan dirimu‖, kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi)
menjadi ungkapan, ―siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya‖,[23] hal ini
bisa jadi mengarah pada munculnya teori hulul, wahdah asy-syuhud dan wahdah al-wujud.[24]
Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika Rasulullah saw.
memarahi Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa sobekan taurat, waktu itu beliau
saw. bersabda:
ما هذا ألم آت بها بيضاء نقية؟ لى أدركني أخي مىسى حيا ما وسعه إال اتباعي
―Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa (al-Qur‟an) yang jelas dan jernih?
Kalau seandainya saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susah-susah
lagi, kecuali mengikutiku.‖ (HR. Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)[25]
Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti tuntunan Rasulullah
saw. dan al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti Rasulullah saw. apalagi umatnya.
Sedangkan celaan yang dialamatkan kepada Umar ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti
(haram). Artinya umat Islam haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain jika
perkara tersebut sudah terdapat dalam sumber hukum Islam, hal ini di isyaratkan dengan
ungkapan ―bukankah aku telah membawa al-Qur‟an―. Karena itu, dari aspek sumber pemikiran,
tasawuf falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil sumber teori tasawuf dari filsafat
yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik, karena mengambil teori
tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun as-Sunnah, sedangkan tasawuf falsafi
–walaupun terkesan orisinal dengan istilah-istilah sufi– telah mengambil sumber yang bukan
berasal dari Islam, meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori
falsafinya dengan dalil atau hadits.
2. Aspek Pemikiran
Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam ungkapan-ungkapan ganjil
dan aneh (syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa
gelisah sehingga mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi
falsafi.[26] Islam adalah agama yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu,
ajarannya universal bagi seluruh manusia, karena itu Rasul saw. bersabda:
إن دين هللا في يسر ثالثا يقىلها
Sesungguhnya Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali.
(HR. Ahmad)[27]
روا وال تنفروا روا وبش روا وال تعس يس
Mudahkanlah oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah
kabar gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)[28]
Disini terlihat bahwa, ungkapan dan isyarat yang digunakan para sufi falsafi bertentangan
dengan ke-universalan Islam itu sendiri, shalih likulli zaman wal makan, yang pada gilirannya
akan menimbulkan fitnah ditengah umat Islam.[1] Begitupun dengan maqamat (al-martabah),
yang mesti dilalui oleh para sufi,[2] semua martabah hanya bersifat individualistis, bisa jadi akan
menyebabkan Agama Islam menjadi jumud dan tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup yang
kian hari kian kompleks. Bahkan sebagian sufi falsafi selalu meremehkan para fuqaha dengan
keilmuannya, para sufi falsafi menyebut para fuqaha dengan sebutan ahli ilmu kertas (tekstualis),
sedang mereka memuji-muji ilmu laduni. Padahal ejekan para sufi falsafi tersebut bertentangan
dengan hadits Rasul saw.: “Ikatlah ilmu dengan tulisan―.[3]