i gusti agung ayu ratna medikawati

107
TESIS KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA PENDERITA KELOID I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: ngongoc

Post on 31-Dec-2016

272 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: i gusti agung ayu ratna medikawati

TESIS

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT

KEPARAHAN PADA PENDERITA KELOID

I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 2: i gusti agung ayu ratna medikawati

TESIS

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA

PENDERITA KELOID

I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI NIM 1014088103

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 3: i gusti agung ayu ratna medikawati

TESIS

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA

PENDERITA KELOID

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada program magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI AGUNG AYU RATNA MEDIKAWATI NIM 1014088103

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 4: i gusti agung ayu ratna medikawati

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 10 FEBRUARI 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINDSDV Dr. dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK NIP. 19530811 198102 1 001 NIP. 19630821 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pasca Sarjana

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19461213 197 1 001 NIP. 19590215 198510 2 001

Page 5: i gusti agung ayu ratna medikawati

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal 10 Februari 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, No: 315/UN14.4/HK/2015 , Tanggal 29 Januari 2015

Ketua : Dr.dr. Made wardhana, SpKK (K), FINSDV

Sekretaris : Dr.dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK

Anggota :

1. Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV

2. Dr.dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV

3. Dr.dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK

Page 6: i gusti agung ayu ratna medikawati
Page 7: i gusti agung ayu ratna medikawati

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang

Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Dr.dr. Made Wardhana,SpKK(K),FINSDV sebagai pembimbing I

yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran

dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan

kepada Dr. dr. I Gusti Ayu Agung Praharsini, SpKK sebagai pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, semangat, dorongan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. I

Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.

Dr.dr. Putu Astawa,SpOT(K),M.Kes, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk

mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan

Dokter Spesialis I di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)

dan Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof.Dr.dr. Wimpie I

Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk menjadi

mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur RSUP

Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.dr. Made Swastika

Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter

Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Dr.dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang

Page 8: i gusti agung ayu ratna medikawati

diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada penguji karya akhir

ini, yaitu Prof.dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV; Dr.dr. A.A.G.P.

Wiraguna,SpKK(K), FINSDV, FAADV; Dr.dr.L.M. Mas Rusyati, SpKK(K) yang telah

memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga karya akhir ini dapat terwujud.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Unit Pelayanan Teknik Laboratorium

analitik Universitas Udayana Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

dalam menggunakan prasarana dan sarana laboratorium untuk kelancaran penelitian ini.

Tidak lupa pula penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya untuk pembimbing akademis penulis, dr. I.G.A.A. Dwi Karmila,SpKK dan semua

kepala divisi dan staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin fakultas kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala bimbingan dan dorongan yang

diberikan selama penulis menempuh pendidikan, juga untuk semua dosen Pascasarjana

Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree, atas ilmu yang telah diberikan kepada

penulis sehingga membantu menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan

kepada dr.I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid.atas bimbingannya berkaitan dengan

analisis statistika dalam penelitian ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat PPDS I Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin atas pengertian, bantuan dan kerjasama yang baik selama masa

pendidikan ini.Begitu pula untuk seluruh tenaga paramedis dan non medis poliklinik Kulit

dan Kelamin RSUP sanglah yang telah membantu dan memberikan dukungan berupa suasana

kerja yang baik sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua

dr. I Gusti Ngurah Alit,SpOG dan I Gusti Agung Ayu Wismantari yang telah membesarkan,

Page 9: i gusti agung ayu ratna medikawati

memberikan kasih sayang yang tulus dan selalu memberi semangat kepada penulis hingga

pendidikan ini dapat diselesaikan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada suami

tercinta dr. I Made Artana serta ananda tercinta Putu Kiara Naraya swari dan Made daswa

Litwi Radearta atas segala pengertian, kesabaran dan pengorbanannya selama ini serta

semangat yang tiada hentinya selama penulis menjalani program pendidikan ini. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga, sahabat serta semua pihak yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dan memberikan dorongan

semangat kepada penulis sampai tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Semoga karya akhir ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan segala kritik

serta saran diharapkan untuk perbaikannya.Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan

Yang maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu

pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.

Denpasar, Januari 2015

Penulis

Page 10: i gusti agung ayu ratna medikawati

ABSTRAK

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA PENDERITA KELOID

Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada bekas luka patologis dan melampaui batas luka. Penelitian terbaru juga menunjukkan peran vitamin D dalam memperlambat berkembangnya fibrosis jaringan, namun pengaruhnya terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum diketahui dengan pasti. Derajat keparahan keloid diukur dengan Vancouver Scar Scale (VSS).Pada beberapa penelitian diduga bahwa vitamin D dapat memiliki pengaruh pada sintesis kolagen selama pembentukan keloid dan tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloid oleh vitamin D mungkin merupakan salah satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Jumlah subyek keloid yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 47 orang sedangkan jumlah subyek non-keloid adalah 10 orang. Pada subyek keloid dan non-keloid dilakukan pengambilan darah vena sebagai bahan pemeriksaan kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan teknik ELISA dan pada subyek keloid dilakukan pemeriksaan derajat keparahan keloid. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar 25-hydroxyvitamin D plasma antara subyek keloid yaitu 20,89 ± 2,34 ng/mL dan median (IQR) 20,63 (2,36) ng/mL dengan subyek non-keloid yaitu 32,60 ± 1,26 ng/mL dan median (IQR) 33,09 (1,52) ng/mL dengan nilai p < 0,001.Pada penelitian ini juga didapatkan adanya korelasi negatif antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid ( r = -0,584 ; p< 0,001). Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu 25-hydroxyvitamin D berkorelasi terhadap keloid. Semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid menjadi semakin berat. Kata kunci : kadar 25-hydroxyvitamin D plasma, Keloid, VSS

Page 11: i gusti agung ayu ratna medikawati

ABSTRACT

NEGATIVE CORRELATION BETWEEN PLASMA 25-HYDROXYVITAMIN D LEVELS WITH SEVERITY IN KELOID PATIENT

Keloid are defined as dermal fibroproliferative tumors, benign, which grows on pathologic scars and beyond the original injury. Recent studies also suggest a role of vitamin D in slowing the progression of tissue fibrosis. However, their effect on dermal fibrosis and keloids are unknown. Keloid severity is measured by Vancouver Scar Scale (VSS). In some study suggested that vitamin D may influence collagen formation during keloid pathogenesis, and that unregulated collagen expression in keloid fibroblast by vitamin D might be one of the mechanisms by which this occurs. This study was observational analytic cross-sectional study. The number of keloid subject that quality inclusion and exclusion criteria were 47 patients, while non-keloid subjects were 10 people. Blood sample taken from the keloid and non-keloid subject to know plasma 25-hydroxyvitamin D levels using ELISA technique, while examination of severity was done on keloid subject only. This study shows that there were significant different between plasma 25-hydroxyvitamin D levels average which was 20,89± 2,34 ng/mL and median (IQR) 20,63 (2,36) ng/mL of keloid subject and 32,60 ± 1,26 ng/mL and median (IQR) 33,09 (1,52) ng/mL of non-psoriasis subject with p < 0,001.This study suggest that there was a negative correlation between plasma 25-hydroxyvitamin D levels with severity in keloid patient (( r = -0,584 ; p< 0,001). It is concluded that 25-hydroxyvitamin D have correlation with keloid. Lower levels of plasma 25-hydroxyvitamin D, the severity of keloid became an increasingly heavy. Keywords : Plasma 25-hydroxyvitamin D, keloid, VSS

Page 12: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ....................................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………………….iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………………..v

UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………………...vi

ABSTRAK……………………………………………………………………………ix

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………....xi

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xviii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 4

1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................................... 4

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 4

1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 5

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................................ 5

1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan ................................................... 5

1.3.2 Manfaat bagi Pelayanan ................................................................ 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................... 6

2.1 Keloid ...................................................................................................................................... 6

2.1.1 Definisi .......................................................................................... 6

2.1.2 Epidemiologi ................................................................................. 7

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis ............................................................... 7

2.1.4 Manifestasi Klinis ....................................................................... 15

2.1.5 Histopatologi ............................................................................... 19

2.1.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 19

Page 13: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.2 Vitamin D ............................................................................................................................ 20

2.2.1 Sejarah Sistem Endokrin Vitamin D ........................................... 21

2.2.2 Metabolisme Vitamin D .............................................................. 22

2.2.3 Transport Vitamin D ................................................................... 27

2.2.4 Fungsi Vitamin D ........................................................................ 28

2.2.5 Vitamin D Receptor, Sistim Endokrin Vitamin D dan Kulit…..30

2.2.6 Hubungan Antara 25-Hydroxyvitamin D dengan Keloid………31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 37

3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................................... 37

3.2 Konsep.................................................................................................................................. 38

3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................................................ 39

BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................... 40

4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................................... 40

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 40

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................................ 41

4.3.1 Populasi Target ........................................................................... 41

4.3.2 Populasi Terjangkau.................................................................... 41

4.3.3Sampel Penelitian......................................................................... 41

4.3.3.1 Kriteria Inklusi……………………………………….41

4.3.3.1 Kriteria Eksklusi……………………………………...41

4.3.4 Besar Sampel .............................................................................. 42

4.4 Variabel Penelitian .......................................................................................................... 43

4.4.1 Klasifikasi Variabel…………………………………………….43

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ..................................................... 43

4.5 Izin / Persetujuan Subyek Penelitian ...................................................................... 45

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian............................................................................... 45

4.6.1 Bahan Sampel ............................................................................. 45

4.6.2 Reagen......................................................................................... 46

4.6.3 Instrumen Penelitian……………………………………………46

4.7 Prosedur Penelitian ........................................................................................................ 47

Page 14: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.8 Alur Penelitian .................................................................................................................. 48

4.9 Analisis Data…………………………………………………………51

BAB V HASIL PENELITIAN ................................................................................. 52

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................................................ 52

5.2 Uji Normalitas Data ........................................................................................................ 54

5.3 Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek keloid dan Non-

keloid……………………………………………………………….. 55

5.4 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan

Keloid ..................................................................................................................................... 56

BAB VI PEMBAHASAN......................................................................................... 59

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................................................ 59

6.2 Kadar25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek Keloid dan Non-

keloid……………………………………………………………….............................................62 6.3 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan

Keloid ..................................................................................................................................... 64

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 68

7.1 Simpulan …………………………………………………………….68

7.2 Saran………………………………………………………………….68

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 69

LAMPIRAN ................................................................................................................. 76

Page 15: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Perbedaan Skar Hipertrofik dan Keloid …………………………………….. 16

2.2 Vancouver Scar Scale………………………………………………………. 18

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian…………………………………………….. 53

5.2 Hasil Uji Normalitas Data…………………………………………………… 55

5.3 Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dengan

Non-keloid…………………………………………………………………. 56

5.4 Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan

Keloid ……………………………………………………………………… 58

Page 16: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Skema Faktor yang Berpengaruh pada Fibrosis Kulit………………………….. . 8

2.2 Perjalanan Waktu Fase Penyembuhan Luka........................................................ 11

2.3 Struktur Vitamin D2 (ergocalciferol) dan Struktur Vitamin D3

(cholecalciferol)………………………………………………………………... ........ 25

2.4 Sintesis, Aktivasi dan Katabolisme Vitamin D ………………………………... 26

2.5 Biosintesis Prokolagen dan Penyusunan Molekul-molekul Kolagen………….. 32

2.6 Produksi Vitamin D3 Aktif ……………………………………………………. 35

2.7 Sintesis dan Degradasi Kolagen………………………………………………...35

2.8 Ilustrasi Mekanisme Efek Antiinflamasi Vitamin D3…………….. ................... 36

3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian …………………………………………. ..38

4.1 RancanganPenelitian Cross-Sectional ………………………………………….40

4.2Hubungan Antar Variabel ......................................................................................43

4.3 Skema Alur Penelitian……………………………………………………………50

5.1 Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dan

Non-keloid……………………………………………………………………….57

5.2 Grafik Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat

Keparahan Keloid..………………………………………………………………59

Page 17: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN

ASI : Air Susu Ibu

CLIA : Chemiluminescent Immunoassay

DBP : Vitamin D Binding Protein

ECM : Extracellular Matrix

EGF : Epidermal Growth Factor

FGF : Fibroblast Growth Factor

GF : Growth Factors

HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir

ICAM : Intercellular Adhesion Molecules

IFN γ : Interferon γ

IGF : Insulin-like Growth Factor

IL : Interleukin

IQR : Interquartile Range

K-S : Kolmogorov-Smirnov

MMP : Matrix Metalloproteinase

NF-kB : Nuclear Transcription Factor-kB

PAF : Platelet Activating Factor

PDGF : Platelet-Derived Growth Factor

PMN : Polymorphonuclear Neutrophils

RAP : Receptor Associated Protein

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : Standart Deviation

TGF : Transforming Growth Factor

TNF-α : Tumor Necrosis Factor-Alpha

UV : Ultraviolet

VDREs : Vitamin D Respon Elements

Page 18: i gusti agung ayu ratna medikawati

VDR : Vitamin D Receptor

VEGF :Vascular Endothelial Growth Factor

VSS : Vancouver Scar Scale

7-DHC : 7-Dehydrocholesterol

25-OHD : 25-Hydroxyvitamin D

[1,25-(OH)2D] : 1,25-Dihydroxyvitamin D

[(1,25(OH)2D3]: 1,25-Dihydroxyvitamin D3

Page 19: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Ethical Clearance………………………………………………….. 77

Lampiran 2 Surat Izin……………………………………………………………78

Lampiran 3 Penjelasan Penelitian .......................................................................... 79

Lampiran 4 Formulir Persetujuan Tertulis ............................................................. 81

Lampiran 5 Kuesioner Penelitian .......................................................................... 82

Lampiran 6 Vancouver Scar Scale………………………………………………. 86

Lampiran 7 Data Sampel Penelitian…………………………………………….. 87

Lampiran 8 Analisis Hasil Penelitian…..……………………………………….. 89

Lampiran 9 Foto Penelitian …………………………………………………….. 96

Page 20: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Setiap orang dapat mengalami luka sepanjang hidupnya. Penyembuhan luka merupakan

proses yang terjadi secara fisiologis untuk mengembalikan kondisi kulit menjadi normal,

namun dalam perjalanannya penyembuhan luka ini sering tidak sempurna. Salah satu yang

dapat terjadi pada penyembuhan luka yang tidak sempurna adalah terjadinya keloid.

Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada

bekas luka dan melampaui batas luka. Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari

komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-

faktor pertumbuhan (Seo et al.,2013).

Keloid memiliki distribusi pada kedua jenis kelamin dan insiden tertinggi pada

dekade kedua dan ketiga.Keloid terjadi sekitar 4,5%-16% pada populasi umum.Keloid

cenderung terjadi pada individu berkulit gelap, bersifat autosomal dominan dan autosomal

resesif sehingga menunjukkan dipengaruhi genetik (Kakar et al.,2006; Gauglitz et al.,2011;

Christineet al.,2012).Insiden keloid ditemukan tinggi pada etnis berkulit gelap seperti Afrika-

Amerika, Asia-Amerika, Latin-Amerika dan etnis berpigmen gelap lainnya. Pada populasi

Afrika didapatkan kejadian dari 6%-16%(Seo et al.,2013; Gauglitz et al.,2011).Keloid

menyebabkan masalah kosmetik meskipun biasanya tanpa gejala, namun beberapa dapat

nyeri, gatal, tumbuh besar dan menyebabkan keterbatasan fungsional, terutama bila terletak

di sepanjang sendi (Seo et al.,2013; Choi et al.,2013).

Patogenesis keloid belum sepenuhnya dimengerti. Proses terjadinya keloid diketahui

disebabkan oleh trauma kulit pada individu yang rentan secara genetik. Trauma sekunder

pada kulit seperti akne, folikulitis, body piercing, luka bakar, laserasi dan luka bekas operasi

Page 21: i gusti agung ayu ratna medikawati

juga dapat menyebabkan terjadinya keloid. Sebagian besar keloid berkembang dalam waktu 3

bulan setelah cedera, beberapa mungkin terjadi sampai dengan 1 tahun setelah trauma pada

kulit.Terdapat beberapa teori mengenai etiologi keloid, yang sebagian besar berhubungan

dengan disfungsi fibroblast.Fibroblast pada keloid, ketika dibandingkan dengan fibroblast

pada kulit normal, terjadi over produksi prokolagen tipe 1 dan peningkatan ekspresi growth

factor(GF) tertentu termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming

growth factor(TGF) b1 dan b2 dan platelet derived growth factor(PDGF).Beberapa etiologi

lain yang dapat menyebabkan keloid yaitu predisposisi genetik, hormonal, benda asing pada

luka, infeksi dan ketegangan kulit (Chike-obi et al.,2009; Shih et al.,2010).

Secara klinis keloid tampak berupa plak atau nodul berwarna merah muda sampai

keunguan atau hiperpigmentasidan berbatas tegas.Permukaan keloid biasanya halus.Area

predileksi biasanya pada lokasi dengan ketegangan tinggi seperti bahu, sternum, mandibula

dan lengan.Secara histopatologis, keloid terdiri dari serat-serat kolagen yang tebal dan

eosinofilik (Chistine et al.,2012). Beberapa tahun terakhir telah terlihat peningkatan

pemahaman dalam mekanisme biologi molekuler terbentuknya keloid sehingga

memungkinkan untuk pengembangan pilihan terapi yang lebih spesifik.(Anchlia et al.,2009;

Viera et al.,2012).

Vitamin D dan metabolitnya berperan penting pada hemostasis kalsium, remodeling

tulang, sekresi hormon, proliferasi dan diferensiasi sel. Penelitian terbaru juga menunjukkan

peran vitamin D dalam memperlambat berkembangnya fibrosis jaringan, namun pengaruhnya

terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum diketahui dengan pasti(Zhang et al.,2011).

Halder et al. tahun 2013melaporkan bahwa1,25-dihydroxyvitamin D3 merupakan agen

antifibrotik yang dapat menekan matriks ekstraseluler yang berhubungan dengan ekspresi

protein pada sel fibroid uterus (Halder et al.,2013).

Page 22: i gusti agung ayu ratna medikawati

Pada keloid terjadi akumulasi kolagen yang berlebihan pada dermis.Vitamin D telah

terbukti menghambat sintesis kolagen dalam fibrosis interstitial dan pada tikus dengan

glomerulonefritis dan fibrosis hati, dengan menghambat produksi dan akumulasi matriks

interstitial atau menekan ekspresi gen TGF-β1. Selain itu, telah ditemukan bahwa dalam sel

fibroblast paru, ekspresi fungsional VDR(vitamin D receptor) dan vitamin D menghambat

efek TGF-β1, yang merupakan faktor fibrosis pada sel. Selain itu, beberapa studi telah

menunjukkan efektivitas 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitriol), bentuk aktif vitamin D

sebagai pengobatan untuk skleroderma. Namun, masih relatif sedikit yang diketahui tentang

peran potensial vitamin D dalam pembentukan fibrosis dermal. Berdasarkan studi tersebut,

kami menduga bahwa vitamin D dapat berpengaruh pada sintesis kolagen selama

pembentukan keloid dan tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloidoleh vitamin D

mungkin merupakan salah satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid (Zhang

et al.,2011; Larriba et al.,2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dibuat rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada penderita keloid lebih rendah

dibandingkan dengan non-keloid?

2. Apakah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma berkorelasi negatif dengan derajat

keparahan keloid?

Page 23: i gusti agung ayu ratna medikawati

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasmadengan derajat

keparahan keloid.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui adanya penurunan kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada

penderita keloid dibandingkan dengan non-keloid.

2. Untuk mengetahui korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan

derajat keparahan keloid.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

1 Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang kadar25-hydroxyvitamin

Dsebagai salah satu faktor yang berperan pada patogenesis keloid.

2 Menambah wawasan keilmuan dan pemahaman tentang hubungan antara kadar25-

hydroxyvitamin D dengan derajat keparahan keloid.

1.4.2 Manfaat bagi Pelayanan

Sebagai dasar pertimbangan terapi dengan derivat vitamin D pada penanganan keloid.

Page 24: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Keloid

2.1.1 Definisi

Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada bekas luka

dan melampaui batas luka. Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari komponen

matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-faktor

pertumbuhan (Seo et al.,2013). Keloid terjadi akibat penyembuhan luka abnormal pada

individu yang rentan secara genetik.Keloid terjadi pada lokasi yang mengalami cedera pada

kulit dan tumbuh terus menerus melampaui batas asli dari skar.Keloid menyebabkan defek

kosmetik, dapat menyebabkan deformitas dan mungkin membatasi gerak sendi(Seifert dan

Mrowietz,2009; Halimet al.,2012).

Skar hipertrofi merupakan tipe skar yang sering pula dijumpai selain keloid.Keloid

dapat dibedakan dengan skar hipertrofi dari perluasan skar yang melewati batas luka awal,

sedangkan skar hipertrofi terbatas pada defek awal dan cenderung menghilang seiring waktu

(Burrows dan Lovell, 2004; Edriss, 2005).Konsep ini menyatakan pula bahwa suatu skar

dapat berawal sebagai skar hipertrofi, kemudian menjadi keloid bila melewati batas luka

(Edriss, 2005).

Page 25: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.1.2 Epidemiologi

Keloid dapat terjadi pada semua usia, paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga

(Kakar et al.,2006;Clark et al.,2009), diduga karena individu yang berumur lebih muda lebih

sering mengalami trauma dan kulit yang lebih muda memiliki tegangan yang lebih besar.

Kecepatan sintesis kolagen juga lebih cepat pada umur lebih muda ( Wolfram et

al.,2009).Kedua jenis kelamin mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita keloid

dan penyakit ini lebih sering terjadi pada individu kulit hitam dibandingkan kulit putih,

biasanya sering pada populasi Asia dan Afrika (Kakar et al.,2006).Bissek et al. tahun 2012

melaporkan prevalence keloid di Sub-Saharan Afrika yaitu sebesar 9,7% (Bissek et

al.,2012).

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Keloid dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti gangguan pada GF, turn over kolagen,

tegangan luka serta pengaruh genetik dan imunologi. Trauma, reaksi terhadap benda asing,

infeksi, dan disfungsi endokrin diketahui pula sebagai faktor risiko terbentuknya keloid

(Halimet al.,2012; McCarty et al.,2010).

Gambar 2.1 Skema Faktor yang Berpengaruh pada Fibrosis Kulit (McCarty et al.,2010)

Page 26: i gusti agung ayu ratna medikawati

Respon fisiologis pada luka adalah proses penyembuhan luka (Gauglitz et al.,2011).

Pemahaman terhadap proses penyembuhan luka secara normal merupakan hal penting dalam

pemahaman patofisiologi keloid. Penyembuhan luka merupakan proses sangat kompleks.

Penyembuhan luka normal terjadi melalui tiga fase yaitu 1) fase inflamasi; 2) fase proliferasi;

dan 3) faseremodeling (Seifert,2008; Gauglitz et al.,2011; Lee et al.,2012).

Fase inflamasi penyembuhan luka didahului oleh hemostasis. Luka pada kulit yang

mengganggu jaringan dan pembuluh darah memicu paparan langsung matriks ekstraseluler ke

trombosit. Hal ini diikuti oleh agregasi platelet, degranulasi, dan aktivasi kaskade koagulasi.

Trombosit melepaskan sejumlah zat aktif seperti platelet-derived growth factor (PDGF),

TGF-β, platelet activating factor (PAF), fibronektin dan serotonin yang memicu timbulnya

bekuan fibrin dan akhirnya terjadi migrasi sel inflamasi ke dalam luka seperti

polymorphonuclear neutrophils (PMN) dan monosit. Peran PMN adalah untuk fagositosis

bakteri dan sisa-sisa jaringan. PMN juga merupakan sumber utama sitokin, terutama tumor

necrosis factor-alpha (TNF-α) dan melepaskan protease seperti kolagenase yang

berpartisipasi dalam degradasi matriks. Populasi kedua sel-sel inflamasi yang menyerang

luka terdiri dari makrofag. Makrofag berpartisipasi dalam debridement luka melalui

fagositosis dan berkontribusi pada stasis mikroba. Fungsi yang paling penting dari makrofag

adalah aktivasi dan pengambilan sel-sel lain melalui sitokin, GF,melalui interaksi sel-sel dan

intercellular adhesion molecules (ICAM). Makrofag meregulasi sintesis matriks, proliferasi

sel dan angiogenesis dengan melepaskan mediator seperti TGF-β, VEGF, insulin-like growth

factor (IGF) dan epidermal growth factor(EGF). Populasi ketiga yang menuju luka yaitu

limfosit T yang mewakili transisi dari inflamasi ke fase proliferasi. Peran limfosit dalam

penyembuhan luka tidak sepenuhnya dipahami. Limfosit menyebabkan downregulating pada

sintesis kolagen fibroblast dengan memproduksi IFN-γ, TNF-α dan interleukin-1 (IL-1)

(Miller dan Nanchalal,2005; Seifert, 2008).

Page 27: i gusti agung ayu ratna medikawati

Tahap kedua penyembuhan luka adalah fase proliferasi yang terjadi antara 4 sampai

12 hari setelah cedera. Selama ini kontinuitas jaringan dibangun kembali (Seifert, 2008 ;

Czubryt,2012). Pada fase ini terjadi sintesis matriks ekstraselular yang baru, bertindak

sebagai jaringan sementara yang terdiri dari fibrin dan fibronektin (Velnar et al.,2009).

Populasi sel terakhir infiltrasi luka adalah fibroblas dan sel endotel. Platelet-derived growth

factormerupakan faktor kemotaktis terkuat untuk fibroblast. Fungsi utama fibroblast yaitu

sintesis matriks dan remodeling. Sebagai bagian dari angiogenesis sel endotel berkembang

secara ekstensif selama fase proliferasi penyembuhan luka dan bermigrasi ke dalam luka dari

venula yang berdekatan distimulasi oleh sitokin dan GF (TNF-α, TGF-β dan VEGF).

Jaringan granulasi awal berkembang pada fase proliferasi penyembuhan luka dan ditandai

oleh adanya myofibroblast yang mengandung tingkat yang lebih tinggi dari aktin otot polos α

dan secara morfologis dan fungsional intermediate antara fibroblast dan sel-sel otot polos.

Myofibroblast dikaitkan dengan pengetatan luka dan persistensi yang menyebabkan kontraksi

skar abnormal (Miller dan Nanchahal,2005; Broughton et al.,2006; Seifert, 2008).

Fase maturasi dan remodeling skar ditandai dengan reorganisasi kolagen yang

disintesis sebelumnya. Kandungan kolagen luka merupakan hasil dari keseimbangan sintesis

kolagen dan kolagenolisis. Kualitas dan kuantitas kolagen yang baru diproduksi menentukan

kekuatan luka dan integritas mekanik. Fibronektin dan kolagen tipe III merupakan matriks

awal, diikuti oleh glikosaminoglikan, proteoglikan dan kolagen tipe I yang menyusun matriks

akhir. Jumlah kolagen tertinggi di luka tercapai beberapa minggu setelah cedera dan kekuatan

bekas luka terus meningkat selama beberapa bulan. Remodeling skar terjadi dalam 6-12

bulan dalam keadaan matur, avaskular dan skar normal aselular. Selama homeostasis jaringan

normal serta dalam penyembuhan luka terdapat turnover tetap kolagen pada matriks

ekstraselular akibat aktivitas kolagenase. Sintesis dan lisis kolagen juga dikendalikan oleh

sitokin dan GF. Transforming growth factor-β meningkatkan transkripsi kolagen baru dan

Page 28: i gusti agung ayu ratna medikawati

juga mengurangi kerusakan kolagen dengan merangsang inhibitor metalloproteinase.

Keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi merupakan faktor penentu penting pada

kekuatan dan integritas luka (Miller dan Nanchahal,2005; Seifert, 2008).

Gambar 2.2. Perjalanan Waktu Fase Penyembuhan Luka ( Czubryt,2012)

Penyebab terjadinya keloid masih belum terlalu dipahami. Pada keloid terdapat

akumulasi matriks ekstraselular yang terjadi melalui beberapa proses yaitu:

- Persistensi bekuan fibrin : peningkatan kadar inhibitor plasminogen dan penurunan

kadar aktivator plasminogen dapat ditemukan pada fibroblast keloid. Hal ini mungkin

diregulasi oleh hipoksia. Secara keseluruhan terjadi penurunan vaskularisasi pada

keloid dan beberapa pembuluh darah memiliki lumina tertutup.

- Perubahan sitokin yang mendorong akumulasi matriks ekstraselular : peningkatan

ekspresi TGF β-1 dan 2 fibroblast, seperti juga ekspresinya pada reseptornya.

- Perubahan tanggapan pada fibroblast keloid : respon fibroblast keloid terhadap

stimulasi profibrotik seperti TGF-β dan PDGF menjadi berlebihan, produksi TGF-β

tidak diregulasi oleh interferon, peningkatan proliferasi, mungkin merupakan

pengganggu keseimbangan sehingga terjadi fibrosis (Miller dan Nanchahal,2005;

Dong et al.,2013).

Langkah pertama pada proses perluasan skar keloid pada area kulit normal yaitu

melalui degradasi matriks ekstraseluler pada sekitar kulit skar keloid. Fibril kolagen tipe I dan

III merupakan komponen kunci matriks ekstraselular pada kulit dan didegradasi oleh matrix

Page 29: i gusti agung ayu ratna medikawati

metalloproteinase-1 (MMP-1) MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14. Ekspresi sejumlah

kolagenase pada keloid juga ditemukan abnormal, dengan peningkatan kadar MMP-13 pada

tepi jaringan keloid. Hal ini mungkin berkontribusi pada degradasi matriks ekstraseluler dan

perluasan keloid pada kulit normal. Penurunan ekspresi MMP-1 dan 8 juga ditemukan dan

hal ini berkontribusi terhadap akumulasi kolagen tipe I dan III pada keloid. IGF-1 dan

reseptornya juga merupakan faktor penting pada invasi fibroblast keloid menuju kulit

sekitarnya. Reseptor IGF-1 telah ditemukan menjadi over ekspresi pada fibroblast keloid,

namun tidak pada fibroblast normal (Miller dan Nanchahal,2005).

Penyelidikan sebelumnya dan saat ini pada patogenesis keloid terutama difokuskan

pada proses dermis dan sedikit yang diketahui tentang keterlibatan epidermis. Selama

penyembuhan luka, sel-sel epidermis seperti sel langerhans dan keratinosit berinteraksi dan

mendasari dermis untuk mengatur produksi matriks dermis.Sinyal dari epidermis ke dermis

menginduksi granulasi jaringan dan pembentukan jaringan parut dalam remodeling

extracellular matrix (ECM).Sel mast, sel langerhans dan limfosit T dikaitkan dengan fibrosis

jaringan dan makrofag dikenal sebagai stimulator poten pada produksi kolagen dan fibroblast.

Sel-sel ini, baik sendiri atau bersama-sama dapat bertanggung jawab pada stimulasi fibroblast

yang berlebihan oleh GF (Kose dan Waseem,2008; Gauglitz et al.,2011).

Sel langerhans dan keratinosit berinteraksi erat dengan dermis yang mendasari dan

secara aktif terlibat dalam regulasi ECM. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa proses

imunologi penting dalam skar. Sel langerhans juga menarik limfosit T dan dapat

mempengaruhi metabolisme kolagen.Proses imunologi ini tidak hanya mempengaruhi fungsi

fibroblast tetapi juga penting dalam fungsi epidermis dan dapat menyebabkan terbentuknya

jaringan parut yang berlebihan(Kose dan Nanchahal,2008).

Ekspresi interleukin-1α yang diproduksi oleh sel langerhans berkurang secara

signifikan pada epidermis keloid dan berkontribusi untuk mengurangi degradasi kolagen pada

Page 30: i gusti agung ayu ratna medikawati

dermis. Interleukin-1α juga mampu menginduksi diferensiasi sel langerhans dan migrasi ke

dermis.Fibroblast mengekspresikan reseptor IL-4 yang dapat dirangsang untuk memproduksi

kolagen proteoglikan yang berlebihan setelah stimulasi oleh IL-4.Interferon γ (IFN γ)

biasanya dapat mengimbangi efek ini dengan menghambat sintesis kolagen dan

proteoglikan.Diantara berbagai GF yang terkait skar, TGF-β merupakan salah satu yang

paling penting dan dikenal sebagai stimulator kolagen. Ketidakseimbangan kadar IL-4 dan

IFN γ dapat menyebabkan akumulasi kolagen dan berkembang menjadi keloid. Regulasi

epidermis yang menyimpang pada remodeling dermis memiliki peran penting pada keloid.

Peningkatan jumlah sel langerhans, penurunan IL-1α dan peningkatan IL-4 mungkin

berkontribusi terhadap induksi skar (Kose dan Waseem,2008; Gauglitz et al.,2011).

Keratinosit berperan penting pada penyembuhan luka.Respon utama jaringan menuju

epidermis yang mengalami cedera melibatkan dua jenis limfosit yaitu Th1 dan Th2, yang

menghasilkan sejumlah sitokin untuk mendukung reaksi imun.Th2 dapat menginduksi

produksi kolagen oleh fibroblast, sedangkan pelepasan IFN-γ oleh sel Th1 dapat

menghambatnya.Respon ini menginduksi aktivasi keratinosit yang menyebabkan migrasi,

menghasilkan respon GF dan sitokin, dan mengeluarkan komponen membran basal.Setelah

trauma, keratinosit melindungi jaringan dasar terhadap organisme patogen dengan migrasi,

proliferasi, dan diferensiasi yang dikontrol oleh beberapa GF pada area luka.Keratinocyte-

derived growth factors seperti IL-1α, IL-1β dan TGF β1 berkontribusi terhadap pembentukan

jaringan granulasi.Pengeluaran IL-1 dari keratinosit pada lokasi trauma menginduksi reaksi

inflamasi.Ini berfungsi sebagai sinyal autokrin ke sel lain seperti fibroblast, sel endotel dan

limfosit yang menghasilkan efek pleiotrofik. Keratinosit mengatur aktivitas fibroblast dermis

dengan menurunkan produksi kolagen dan meningkatkan laju proliferasi sel(Kose dan

Waseem,2008).

Page 31: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.1.4 Manifestasi Klinis

Keloid biasanya padat, tanpa gejala namun bisa juga terdapat nyeri tekan ringan atau

pruritus.Tumor berbatas tegas dan sering terjadi pada bahu, dada, leher, lengan atas dan

telinga.Ukuran keloid bervariasi mulai papul 2-3 mm sampai tumor yang besar.Bentuk dan

warna bervariasi, lebih eritematosa pada lesi yang baru atau lebih pucat pada lesi yang lebih

lama.Keloid berkembang dengan cepat selama beberapa minggu atau bulan setelah

trauma.Lesi dapat tumbuh terus atau tetap stabil selama jangka waktu yang lama.

Pertumbuhan keloid dapat dirangsang oleh kehamilan (Kakar et al.,2006).

Skar hipertrofik biasanya terjadi dalam waktu 4 sampai 8 minggu setelah luka infeksi,

penutupan luka dengan ketegangan yang tinggi atau trauma kulit lainnya.Skar hipertrofik

memiliki fase pertumbuhan yang cepat hingga 6 bulan, kemudian secara bertahap regresi

dalam beberapa tahun dan akhirnya menimbulkan bekas luka datar tanpa gejala

lainnya.Keloid sebaliknya, dapat berkembang sampai beberapa tahun setelah trauma kulit

ringan dan bahkan mungkin terbentuk secara spontan pada dada bagian tengah tanpa disadari

adanya trauma.Keloid juga tetap, biasanya dalam jangka waktu lama dan tidak regresi

spontan.Skar hipertrofik sering terjadi pada lokasi dengan tegangan tinggi seperti bahu, leher,

presternum, lutut, dan pergelangan kaki (Gauglitz et al.,2011; Ogawa,2011).

Page 32: i gusti agung ayu ratna medikawati

Tabel 2.1

Perbedaan Skar Hipertrofik dan Keloid

Skar hipertrofik Keloid

Insiden 40%-80% setelah

pembedahan, lebih dari 91%

setelah luka bakar

6%-16% pada populasi Afrika

Lokasi predileksi Bahu, leher,presternum, lutut

dan pergelangan kaki

Dada, bahu, telinga, lengan

atas

Waktu • Dalam 4-8 minggu

setelah luka,

tumbuh cepat dalam

waktu 6 bulan dan

regresi setelahnya

dalam beberapa

tahun

• Rekurensi rendah

setelah eksisi

• Beberapa tahun

setelah trauma

minor atau spontan

pada dada tengah

tanpa ada trauma

yang diketahui.

Tetap ada dalam

jangka waktu lama.

Tidak regresi

spontan

• Rekurensi tinggi

setelah eksisi

Gambaran klinis Tidak melewati batas luka Melewati batas luka

Beberapa modalitas telah dirancang untuk mengukur bekas luka dengan tujuan

menentukan respon terhadap pengobatan dan untuk mengevaluasi hasil.Penilaian skar bisa

secara obyektif atau subyektif.Penilaian obyektif memberikan pengukuran kuantitas skar,

sedangkan penilaian subyektif tergantung pengamat.Penilaian kuantitatif skar membutuhkan

Page 33: i gusti agung ayu ratna medikawati

perangkat untuk mengukur fisik sedangkan metode subyektif dilakukan secara kualitatif oleh

pasien atau dokter.Metode semikuantitatif untuk menilai skar telah dikembangkan dengan

menggunakan skala untuk membuat metode subyektif menjadi lebih obyektif (Fearmonti et

al.,2010).

Vancouver scar scale (VSS) pertama kali dijabarkan oleh Sulivan pada tahun 1990

dan dimodifikasi oleh Baryza pada tahun 1995. Skala ini menilai 4 variabel yaitu

vaskularisasi, ketinggian/ketebalan, konsistensi dan pigmentasi (Bayat et al.,2003; Fearmonti

et al.,2010; Brusselaers et al.,2010).

Page 34: i gusti agung ayu ratna medikawati

Tabel 2.2

Vancouver Scar Scale

Karakteristik skar skor

vaskularisasi Normal

Merah muda

Merah

ungu

0

1

2

3

Pigmentasi Normal

Hipopigmentasi

Campuran

Hiperpigmentasi

0

1

2

3

Konsistensi Normal

Lentur

Lunak

Keras

Padat

Kontraktur

0

1

2

3

4

5

Ketinggian / ketebalan Datar

< 2 mm

2-5 mm

>5 mm

Total skor

0

1

2

3

14

Page 35: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.1.5 Histopatologi

Secara histopatologi baik skar hipertrofik maupun keloid mengandung kolagen dermis yang

berlebihan.Skar hipertrofik terutama mengandung kolagen tipe III yang sejajar dengan

permukaan epidermis dengan nodul yang mengandung miofibroblast yang berlebihan,

filamen kolagen ekstraselular yang besar dan asam mukopolisakarida yang

berlimpah.Jaringan keloid sebaliknya, sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I dan III yang

mengandung serabut kolagen hiposelular berwarna pucat tanpa nodul dan miofibroblast yang

berlebihan. Kedua jenis skar menunjukkan produksi berlebihan protein fibroblast multipel

seperti fibronektin sehingga mencerminkan signal penyembuhan luka patologis yang

persisten atau kegagalan downregulasi sel penyembuhan luka (Chike-Obi et al.,2009;

Gauglitz et al.,2011).

2.1.6 Penatalaksanaan

Terapi keloid sampai sekarang masih merupakan suatu tantangan dan kontroversial.Terdapat

banyaknya pilihan pengobatan mencerminkan belum didapatkan hasil yang memuaskan pada

berbagai studi yang dilakukan. Tidak ada terapi tunggal atau kombinasi yang terbaik

dibandingkan terapi lainnya.Kegagalan mencapai hasil terapi yang baik dalam pengobatan

keloid karena mekanisme dan patogenesis yang menyebabkan terjadinya keloid tetap tidak

jelas Keseluruhan terapi dapat dilakukan baik pada keloid maupun skar hipertrofik namun

skar hipertrofik umumnya lebih gampang diobati. Terpenting pada pengelolaan bekas luka

adalah pencegahan terjadinya keloid (Juckett dan Adams,2009;Ceovic et al.,2010;

Gauglitz,2013).

Skar yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula (Edriss dan

Mestak,2010).Pada pasien dengan riwayat terjadinya keloid, semua tindakan operasi yang

tidak penting harus dihindari, terutama pada lokasi predileksi terjadi keloid. Pada situasi

operasi harus dilakukan dan tidak dapat dihindari, maka semua upaya harus dilakukan untuk

Page 36: i gusti agung ayu ratna medikawati

meminimalkan ketegangan kulit dan infeksi sekunder (Liu et al.,2011). Beberapa pilihan

terapi konvensional pada keloid yaitu injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, radiasi,

cryosurgery, laser, occlusive dressing, terapi kompresi dan interferon ( Hochmanet al.,2008;

Williams et al.,2011; Gauglitz,2013). Cryotherapy dapat berguna, namun hanya untuk lesi

yang kecil, seperti yang dihasilkan dari jerawat.Cryotherapy dapat menyebabkan

hipopigmentasi pada pasien dengan kulit gelap. Operasi pengangkatan keloid meskipun

sementara memuaskan, hampir selalu diikuti (50%-100%) pertumbuhan kembali bekas luka

dengan lebih agresif (Juckett et al.,2009;Ceovic et al.,2010).Pasien harus diberikan informasi

secara rinci tentang penyakit, pilihan pengobatan yang tersedia, efektifitas, efek samping dan

biaya pengobatan.Pasien juga harus diberikan informasi tentang kemungkinan kambuh

setelah pengobatan.Informed consent harus dilakukan pada semua kasus yang akan dilakukan

tindakan medis dan dianjurkan pula untuk melakukan dokumentasi fotografi sebelum dan

sesudah terapi (Gupta dan Sharma,2010).

2.2 Vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang dapat bertindak sebagai

hormon.Vitamin D diproduksi secara endogen dalam kulit dari paparan sinar matahari atau

diperoleh dari makanan yang secara alami mengandung vitamin D (misalnya minyak ikan

cod, salmon, mackerel, dan tuna), makanan yang diperkaya vitamin D dan suplemen yang

mengandung vitamin D (Ontario,2010 ;Nezhad dan Holick,2013).

Selama paparan sinar matahari dengan spektrum aktif 290-315 nm atau ultraviolet

(UV)-B, 7-dehydrocholesterol (7-DHC) di kulit diubah menjadi previtamin D3.7-

dehydrocholesterol terdapat pada semua lapisan kulit manusia.Sekitar 65% dari 7-DHC

ditemukan pada epidermis, dan lebih dari 95% previtamin D3 dihasilkan di

epidermis.Produksi previtamin D3 di kulit dilakukan secara regular.Hasil produksi sinar

Page 37: i gusti agung ayu ratna medikawati

matahari diubah menjadi inaktif (tachysterol dan lumisterol) pada saat kontak yang terlalu

lama terhadap radiasi UVB, sehingga dapat mencegah intoksikasi vitamin D yang diinduksi

oleh sinar matahari.Produksi vitamin D3 kulit dipengaruhi oleh pigmentasi kulit, penggunaan

tabir surya, waktu dalam hari, musim, lintang, ketinggian dan polusi udara (Nezhad dan

Holick,2013; Bikle,2012).

2.2.1. Sejarah Sistem Endokrin Vitamin D

Deskripsi pertama gambaran klinis ricketsia dipaparkan di Universitas Lug-dunum

Batavorum (Leiden, The Low Countries) pada tahun 1645 oleh Daniel Whistler dan

selanjutnya oleh Francis Glisson pada tahun 1650 di London. Asal-usul penyakit ini sebagian

besar tidak diketahui hingga ditemukannya vitamin D pada awal abad ke-20 sebagai senyawa

gizi oleh Mellanby di Amerika Serikat (penemuan diet vitamin D), sedangkan Huldshinsky et

al. menemukan efek kuratif dari sinar ultraviolet (Bouillon et al,2008; Wacker dan

Holick,2013).

Ricketsia merupakan penyakit pada anak-anak baik pada keluarga kaya (sengaja

menghindari paparan sinar matahari di negara-negara seperti Inggris dan India) atau keluarga

sangat miskin yang tinggal di daerah kumuh pada kota-kota industri di Eropa, yang secara

bertahap menghilang setelah paparan sinar matahari atau penggunaan oral minyak hati ikan

yang kaya vitamin D. Ricketsia terjadi karena defek mineralisasi pada matriks

tulang.Kalsium dan fosfat dibutuhkan untuk mineralisasi tulang dan vitamin D sangat penting

untuk hemostasis kalsium (Bouillon et al.,2008; Atapattu,2013 ).

Langkah-langkah bersejarah utama lainnya dalam sejarah vitamin D dimulai dengan

ditemukannya metabolisme kompleks vitamin D sebanyak lebih dari 41 metabolit, terutama

25-hydroxyvitamin D(25-OHD) dan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25-(OH)2D], dan regulasi

kompleks produksi ginjal dari produk aktif akhir 1,25-(OH)2D sebagai hormon steroid.

Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel (oleh lipoprotein, albumin dan

Page 38: i gusti agung ayu ratna medikawati

vitamin D binding protein (DBP), intra sel oleh VDR, dan akhirnya identifikasi VDR

sebagai faktor transkripsi nukleus yang mengatur sejumlah gen, menegaskan bahwa 1,25

(OH)2D sebagai hormon kalsiotropik klasik. Vitamin DReceptorterdapat diberbagai

tempat.Vitamin D Receptorekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi

multipel gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (Bouillon et al.,2008).

2.2.2. Metabolisme Vitamin D

Vitamin D berasal dari nutrisi alami atau disintesis di kulit dibawah pengaruh sinar UV-B

yang merupakan reaksi fotokimia murni dan tidak ada enzim yang terlibat (Bouillon et

al.,2008; Romagnoli et al.,2013). Reaksi ini memerlukan konsentrasi yang cukup besar

7DHC dan UV-B 290-315 nm. 7-dehydrocholesterolmerupakan hasil akhir sintesis de novo

kolesterol normal dan biasanya ada dalam konsentrasi rendah,meskipun aktivitas 7DHC

reduktase tinggi (Bouillon et al.,2008).

Sistem endokrin vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan

metabolisme tulang, namun penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan

beragam fungsi biologis vitamin D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat

pertumbuhan sel, modulasi imun dan kontrol sistem hormonal lainnya. Vitamin D merupakan

prohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit aktif 1,25 dihydroxyvitamin D

[(1,25(OH)2D]. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR dan mengubah

tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon biologis(Dusso et

al.,2005).

Vitamin D ditemukan sebagai nutrisi penting untuk mencegah ricketsia dan

diperlukan untuk penyerapan optimal kalsium dan fosfat.Penelitian selanjutnya menemukan

bahwa ricketsia juga bisa dicegah dengan penyinaran sinar UV, yang merangsang

pembentukan vitamin D3 oleh kulit.Kemampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup

vitamin D3 dengan paparan cahaya matahari yang cukup menunjukkan bahwa vitamin D

Page 39: i gusti agung ayu ratna medikawati

sebenarnya tidak vitamin. Sekarang diketahui bahwa vitamin D dimetabolisme menjadi

hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D3 [(1,25(OH)2D3] atau calcitriol. Sebelumnya telah

dilakukan pengamatan bahwa metabolit vitamin D berinteraksi dengan protein dalam ekstrak

intestinal yang menyebabkan identifikasi dari VDR.Vitamin D receptor mengaktivasi faktor

transkripsi yang berinteraksi dengan coregulators dan kompleks preinisiasi transkripsional

untuk mengubah tingkat target transkripsi gen. Kehadiran VDR pada jaringan yang tidak

berpartisipasi pada hemostasis ion mineral menyebabkan penemuan dari sejumlah fungsi lain

pada hormon vitamin D. Kemampuan 1,25(OH)2 D3 untuk menghambat pertumbuhan dan

merangsang diferensiasi berbagai jenis sel menunjukkan fungsi beragam vitamin D untuk

mencegah kanker, modulasi sistem imun dan mengendalikan berbagai sistem endokrin

(Dusso et al.,2005).

Vitamin D diklasifikasikan sebagai vitamin pada awal abad ke-20 dan pada

pertengahan abad ke-20 sebagai prohormon. Terdapat dua bentuk vitamin D yaitu vitamin D3

(cholecalciferol) dan vitamin D2 (ergocalciferol).Vitamin D3 merupakan hasil konversi 7-

dehydrocholesterol pada epidermis dan dermis manusia dan vitamin D2 merupakan vitamin

yang diproduksi pada jamur dan ragi.Perbedaan kimia antara vitamin D2 dan D3 adalah pada

rantai samping.Berbeda dengan vitamin D3, vitamin D2 memiliki ikatan ganda antara karbon

22 dan 23 dan gugus metal pada karbon 24.Vitamin D dapat diperoleh dari makanan dan aksi

sinar matahari pada kulit.Paparan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi photolitik 7-

dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 diikuti isomerisasi termal menjadi vitamin D3

(Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).

Page 40: i gusti agung ayu ratna medikawati

Gambar 2.3.Struktur Vitamin D2 (ergocalciferol) dan Struktur Vitamin D3 (cholecalciferol)

(Kauffman,2009) Sumber utama vitamin D bagi manusia adalah paparan sinar matahari. Efisiensi

konversi 7-dehydrocholesterol menjadi vitamin D3 tergantung pada waktu dalam hari,

musim, lokasi, warna kulit dan usia. Terdapat sedikit vitamin D yang secara alami ada pada

makanan.Sumber makanan alami yaitu lemak ikan, hati sapi dan kuning telur, namun banyak

makanan yang kini telah difortifikasi dengan vitamin D(Dusso et al.,2005; Chung et

al.,2009).

Setelah terbentuk,vitamin D3 dikeluarkan dari membran plasma keratinosit dan

ditarik ke dalam kapiler dermis oleh DBP. Vitamin D kemudian dilepaskan ke sistim limfatik

dan memasuki darah vena, yang diikat oleh DBP dan lipoprotein kemudian diangkut menuju

hepar (Nezhadet al.,2013). Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan

metabolit lainnya) adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa

sitokrom p-450 hepar telah menunjukkan mengandung25-hydroxylasevitamin D. Kadar

25(OH)D meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini

kadar plasma 25(OH)D biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso et

al.,2005).

Langkah kedua adalah bioaktivasi vitamin D. Terjadi pembentukan 1,25-

dihydroxyvitamin D [1,25-(OH)2D] dari 25-hydroxyvitamin D, terjadi dalam kondisi

fisiologis, terutama pada ginjal, namun beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar dalam

sirkulasi seperti kehamilan, gagal ginjal kronis, sarkoidosis, tuberkulosis, granulomatus dan

Page 41: i gusti agung ayu ratna medikawati

rheumatoid arthritis. Produksi 1,25 (OH)2D ekstrarenal terutama berfungsi sebagai faktor

autokrin atau parakrin dengan fungsi sel spesifik. Regulasi 1α-hydroxylase ekstrarenal sangat

berbeda dari enzim ginjal, sesuai dengan fungsi autokrin atau parakrin yang secara lokal

memproduksi 1,25(OH)2D3. Sampai saat ini, 1α-hydroxylasediketahui terdapat pada

beberapa sel dan jaringan yaitu prostat, panyudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan

sel paratiroid.Rata-rata 1,25(OH)2D3 mengalami sintesis dan degadrasi dibawah kontrol

faktor lokal seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang mengoptimalkan kadar

1,25(OH)2D3 untuk fungsi sel spesifik ini melalui mekanisme yang masih belum sepenuhnya

dipahami (Dusso et al.,2005).

Gambar 2.4 Sintesis, Aktivasi dan Katabolisme Vitamin D3 (Dusso et al.,2005)

2.2.3 Transport Vitamin D

Metabolit vitamin D adalah molekul lipofilik dengan kelarutan air rendah yang harus

ditransportasikan dalam sirkulasi dan terikat dengan protein plasma.Terpenting dari protein

pembawa ini adalah DBP, yang mengikat metabolit dengan afinitas tinggi. Kadar plasma

DBP dua puluh kali lebih tinggi dari jumlah total metabolit vitamin D, dan 99% dari senyawa

vitamin D yang beredar adalah protein terikat, sebagian besar ke DBP, meskipun albumin dan

lipoprotein berkontribusi dengan jumlah yang lebih sedikit. Hal ini berdampak besar pada

Page 42: i gusti agung ayu ratna medikawati

farmakokinetiknya.Vitamin D binding protein yang mengikat metabolit vitamin D memiliki

akses terbatas pada target sel dan oleh karena itu kurang rentan terhadap metabolisme hati

dan ekskresi bilier selanjutnya sehingga memiliki waktu paruh yang panjang.Bukti awal

menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari metabolit yang tidak terikat secara pasif

memasuki sel target untuk metabolisme selanjutnya atau melakukan aktivitas biologis. Untuk

senyawa vitamin D aktif [yaitu, 1,25 (OH)2D3 dan analognya], aktivitas biologis berkorelasi

dengan konsentrasi free hormone. Jadi DBP merupakan penyeimbang kadar senyawa vitamin

D aktif, menjaga terhadap intoksikasi vitamin D. Tingkat DBP tidak diatur oleh vitamin D,

namun berkurang pada penyakit liver, sindrom nefrotik, dan malnutrisi. Tingkat DBP

meningkat selama kondisi kehamilan dan terapi estrogen. Konsentrasi 1,25 (OH)2D3 bebas

tetap konstan ketika kadar DBP berubah, yang merupakan contoh dari tight self-regulation

metabolisme vitamin D (Dusso et al.,2005; Kochupillai,2008).

Saat ini diketahui bahwa 25(OH)D tidak berdifusi ke dalam sel tubulus proksimal

yang mengandung 1α hidroxylase. Pada percobaan dengan tikus yang tidak memiliki reseptor

megalin endositik yang tiba-tiba ditemukan, terjadi kekurangan vitamin D dan ricketsia

karena hilangnya DBP dan metabolit vitamin D yang terikat dalam urin. Dengan demikian,

masuknya 25(OH)D ke dalam sel tubulus proksimal tidak dengan cara difusi di permukaan

basolateral tetapi dengan penyerapan reseptor yang dimediasi oleh DBP. Megalin merupakan

bagian dari kompleks protein yang menfasilitasi endositosis.Receptor associated protein

(RAP) juga penting pada ekskresi DBP, seperti halnyacubilin, sebuah protein yang

diperlukan untuk menghilangkan DBP pada permukaan sel sebelum internalisasi oleh

megalin.Setelah masuk sel, DBP terdegradasi oleh legumain, kemudian melepaskan

25(OH)D untuk dimetabolisme oleh 1α hidroxylase atau 24 hidroxylase (Dusso et al.,2005).

Page 43: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.2.4 Fungsi Vitamin D

Vitamin D memiliki kedua fungsi genomik dan nongenomik. Untuk fungsi genomik

1,25(OH)2D berinteraksi dengan VDR nuklear dan mempengaruhi transkripsi gen. Reseptor

nuklear 1,25 (OH)2D telah diidentifikasi pada lebih dari 30 sel termasuk tulang, intestinal,

ginjal, paru-paru, otot dan kulit. Untuk fungsi nongenomik 1,25 (OH)2D bertindak seperti

hormon steroid, bekerja melalui aktivasi jalur transduksi sinyal terkait dengan VDR pada

membran sel.Lokasi utama aksi ini yaitu intestinal, tulang, paratiroid, hati dan sel beta

pankreas. Fungsi biologis meliputi peningkatan penyerapan kalsium intestinal, transcellular

calcium flux dan membuka calcium channel sehingga memungkinkan serapan kalsium ke

dalam sel seperti osteoblast dan otot skeletal (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).

Salah satu fungsi biologis utama vitamin D adalah untuk mempertahankan

homeostasis kalsium yang berdampak pada proses metabolisme selular dan fungsi

neuromuskular. Vitamin D mempengaruhi penyerapan kalsium intestinal dengan

meningkatkan ekspresi epitel protein calcium channel yang pada gilirannya meningkatkan

pengangkutan kalsium melalui sitosol dan melintasi membran basolateral enterocyte. Vitamin

D juga memfasilitasi penyerapan fosfat intestinal. 1,25(OH)2D secara tidak langsung

mempengaruhi mineralisasi tulang dengan mempertahankan kalsium plasma dan konsentrasi

fosfor, kalsium dan fosfor ekstraseluler pada kisaran supersaturasi yang diperlukan untuk

mineralisasi. 1,25(OH)2D pada hormon paratiroid juga menyebabkan demineralisasi tulang

ketika konsentrasi kalsium turun untuk menjaga agar konsentrasi plasma tidak meningkat.

Selain mempengaruhi intestinal dan tulang, vitamin D juga mempengaruhi berbagai sel dan

jaringan lainnya. Selain itu 1,25(OH)2D juga memiliki efek biologis yang beragam seperti

menghambat sekresi hormon paratiroid dan merangsang sekresi insulin, menghambat

imunitas adaptif dan merangsang imunitas alamiah, menghambat proliferasi dan merangsang

diferensiasi sel (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).

Page 44: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.2.5 Vitamin D receptor, Sistem Endokrin Vitamin D dan Kulit

Kulit memiliki kapasitas untuk menghasilkan beberapa hormon dan zat dengan aktivitas

seperti hormon.Zat-zat ini bekerja melalui mekanisme parakrin, autokrin, dan intrakrin untuk

memenuhi efek pleiotropiknya.Kulit dapat memetabolisme hormon dan menghasilkan

turunan dengan aktivitas sistemik.Vitamin D merupakan salah satu hormon yang terdapat

pada kulit (Zouboulis, 2009).Kulit adalah organ yang unik dalam sintesis vitamin D karena

dapat mensintesis vitamin D setelah radiasi UV dan mampu mengaktivasi metabolisme

vitamin D menjadi 25-OHD dan 1,25 (OH)2D. Metabolisme ini dapat mengekspresikan VDR

dan merespon aktivasi VDR untuk induksi atau regresi multipel gen. Vitamin D

receptormerupakan anggota superfamili nuklear.Pada mamalia VDR terdapat pada jaringan

metabolik seperti usus, ginjal, kulit dan kelenjar tiroid.Vitamin D receptor aktif mengikat

vitamin D respon elements (VDREs) yang terletak di daerah promoter gen target, sehingga

mengendalikan transkripsi gen. Kulit merupakan satu-satunya jaringan yang mampu

mensintesis dan mengaktivasi vitamin D serta aktivasi autokrin atau parakrin oleh hormon

vitamin D. Seperti kalsium, 1,25-(OH)2D merangsang diferensiasi keratinosit epidermis.

Analisis in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa dua jalur ini bertindak secara sinergis. Studi

pada kultur keratinosit menunjukkan bahwa peningkatan kalsium dan terapi dengan 1,25-

(OH)2D menurunkan proliferasi keratinosit dan merangsang diferensiasi keratinosit. Analisis

in vivo pada tikus tanpa VDR signifikan menunjukkan kelainan pada diferensiasi keratinosit

epidermis setelah 2 minggu kehidupan.Namun pencegahan hipokalsemia pada tikus tanpa

VDR mencegah fenotip ini, menunjukkan bahwa normalisasi kalsium dapat mengkompensasi

adanya VDR. Selain pada keratinosit epidermis, VDR juga terdapat pada outer root sheath,

folikel rambut, serta kelenjar sebaceous(Bouillon et al,2008; Wu dan Sun,2011).

Page 45: i gusti agung ayu ratna medikawati

2.2.6. Hubungan Antara 25-Hydroxyvitamin D dengan Keloid

Fungsi utama fibroblast yaitu sintesis matriks dan remodeling. Pada kulit manusia, serat

kolagen membentuk bagian terbesar dari matriks ekstraseluler dan terdiri dari kira-kira 80

persen berat kering dermis. Pada kondisi fisiologis, molekul kolagen secara langsung

berperan sebagai serat yang tidak larut.Penemuan ini menimbulkan suatu masalah oleh

karena sulit untuk membayangkan bagaimana suatu molekul kolagen dapat disintesis di

dalam sel dan kemudian disekresikan ke dalam ruang ekstraseluler tanpa merubah molekul-

molekul menjadi serat-serat yang larut. Masalah ini terpecahkan dengan diketahuinya bahwa

kolagen awalnya disintesis sebagai molekul prekursor yang lebih besar, yaitu prokolagen,

yang bersifat larut pada kondisi fisiologis ( Krieget al.,2012).

Polipeptida-polipeptida prekursor dari prokolagen, yang juga disebut rantai pre-proα,

disintesis pada ribosom dari retikulum endoplasma kasar dalam fibroblas dan sel-sel lain

yang berkaitan.Setelah penyusunan asam amino terjadi, rantai pre-proα pada ribosom

polipeptida mengalami beberapa modifikasi sebelum molekul kolagen yang komplit disimpan

dalam ekstraseluler.Kebanyakan dari reaksi-reaksi modifikasi ini dikatalisis oleh enzim

spesifik. Reaksi modifikasi posttranslasional dari kolagen termasuk diantaranya (1) sintesis

hidroksiprolin dengan hidroksilasi dari residu prolyl tertentu; (2) sistesis dari hidroksilisin

dengan hidroksilasi dari residu lisyl tertentu; (3) perlekatan dari karbohidrat, galaktosa atau

glukosilgalaktosa, di atas residu hydroxylysyl khusus; (4) pengaturan rantai, pengikatan

disulfide dan pembentukan tripel helix; (5) konversi proteolitik dari prokolagen menjadi

kolagen; dan (6) pembentukan serat dan cross-link. Bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa

reaksi modifikasi (1) sampai (4) terjadi intraseluler, sedangkan konversi proteolitik,

pembentukan serat, dan cross-link kemungkinan terjadi ekstraseluler (Kjaer,2004; Krieg et

al.,2012).

Page 46: i gusti agung ayu ratna medikawati

Gambar 2.5Biosintesis Prokolagen dan Penyusunan Molekul-molekul Kolagen

(Krieg et al.,2012)

Akumulasi kolagen pada jaringan dapat dikontrol pada beberapa level yang berbeda

dari proses biosintesis dan degradasi. Sintesis dan lisis kolagen juga dikendalikan oleh sitokin

dan GF (TGF-β, IGF, IL, FGF, prostaglandin, VEGF). Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa mekanisme kontrol penting pada saat pembentukan mRNA selama proses regulasi

aktivitas transkripsi dari ekspersi gen. Salah satu dari modulator terkuat dari ekspresi gen

jaringan ikat yaitu TGF-β, salah satu jenis golongan growth faktor yang meningkatkan

regulasi ekspresi dari beberapa gen protein matriks ekstraseluler, termasuk gen-gen yang

mengkode kolagen tipe I, III, IV, V, VI, dan VII (Kjaer,2004; Krieg et al.,2012).

Proliferasi fibroblast keloid lebih cepat dibandingkan fibroblast kulit normal, dengan

peningkatan sekresi kolagen tipe 1 dan peningkatan ekspresi VEGF, PDGF dan TGF-β.Selain

Page 47: i gusti agung ayu ratna medikawati

itu, pada fibroblast keloid terdapat perbedaan dalam sintesis serat kolagen dan hambatan

MMP dibandingkan dengan fibroblast kulit normal. Pada fibroblast keloid terjadi

peningkatan regulasi gen, diantaranya yang paling penting adalah faktor proinflamasi seperti

IL-1α, IL-1β, IL-6, dan TNF-α sehingga menunjukkan bahwa fibroblast keloid berperan

penting pada terjadinya inflamasi kronis. Selama proses patologis penyembuhan luka atau

remodeling, fibroblast merupakan target dan sel efektor utama.

Penting untuk dipahami bahwa regenerasi dan pembentukan skar mungkin terkait

dengan produksi vitamin D3.Vitamin D secara endogen diproduksi di kulit.Pada kulit vitamin

D mengalami hidroksilasi dan isomerisasi sebelum dirubah menjadi bentuk aktif. Vitamin D

telah diketahui berperan pada hemostasis dan kontrol kalsium, namun vitamin D3 juga

menunjukkan efek anti inflamasi pada beberapa penyakit, sehingga regulasi pembentukan

jaringan parut mungkin juga dapat dilakukan oleh vitamin ini (Cooke et al.,2005; Yu et

al.,2013).

Vitamin D mengalami hidroksilasi karbon25 di liver dan diubah menjadi 25

hidroxyvitamin D, selanjutnya melalui hidroksilasi 1α pada ginjal akan menghasilkan 1,25-

dihydroxyvitamin D, vitamin D dikonversi menjadi hormon aktif dan berperan sebagai

mediator anti inflamasi ( Cooke et al.,2005; Shuler et al.,2012). Kontrol inflamasi oleh

vitamin D diregulasi melalui ekspresi sitokin melalui VDR, yang mungkin terlibat secara

langsung maupun tidak langsung.Teori saat ini mengungkapkan bahwa hubungan regulasi

inflamasi melalui pencegahan terhadap nuclear transcription factor-kB ( NF-kB). Vitamin D

menghambat efek NF-kB dengan menurunkan ikatannya pada interleukin-6 (IL-6) dan IL-

8gen promoter di MRC-5 fibroblast manusia, sehingga menghambat transkripsi gen IL-6 dan

IL-8 (Harant et al.,1998; Cooke et al.,2005;).

Nuclear transcription factor-kB penting pada proses transkripsi berbagai gen

proinflamasi. Setelah aktivasi, NF-kB dapat mengekspresikan dan melepas berbagai mediator

Page 48: i gusti agung ayu ratna medikawati

inflamasi.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jalur sinyal NF-kB diaktifkan pada

fibroblast keloid sehingga memberikan kontribusi bagi inflamasi kronis.Dukungan tambahan

pada peran vitamin D untuk mencegah inflamasi oleh regulasi sitokin telah dijelaskan pada

berbagai studi. Efek antiinflamasi sitokin melalui downregulatory inflamasi oleh IL-1, IL-6

dan IL-8 pada keratinosit distimulasi oleh TNF-α dan IFN-γ (Cooke et al.,2005; Dong et

al.,2013).

Gambar 2.5Produksi Vitamin D3 Aktif (Shuler et al.,2005)

Page 49: i gusti agung ayu ratna medikawati

Gambar 2.6 Sintesis dan Degradasi Kolagen ( Kjaer,2004)

Gambar 2.7 Ilustrasi Mekanisme Efek Antiinflamasi Vitamin D3 (Cooke et al.,2005)

Page 50: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme tulang, namun

penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan beragam fungsi biologis vitamin

D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat pertumbuhan sel, modulasi sistem imun dan

kontrol sistem hormonal lainnya. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular (VDR)

dan mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon

biologis.Vitamin D diduga dapat memiliki pengaruh pada sintesis kolagen selama proliferasi

fibroblast dan tidak terekspresinya kolagen pada fibroblast keloid oleh vitamin D mungkin

merupakan salah satu mekanisme yang dapat menghambat terjadinya keloid. Vitamin D (D3,

D2 dan metabolitnya) dikonversi menjadi 25-hydroxyvitamin D pada liver. Pengukuran 25-

hydroxyvitamin D pada serum atau plasma merupakan indikator status vitamin D.

Keloid merupakan tumor fibroproliferasi dermal, bersifat jinak, yang tumbuh pada

bekas lukadan melampaui batas luka.Keloid ditandai dengan akumulasi yang berlebihan dari

komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-

faktor pertumbuhan.Keloid terjadi akibat penyembuhan luka abnormal pada individu yang

rentan secara genetik.Keloid menyebabkan defek kosmetik, dapat menyebabkan deformitas

dan mungkin membatasi gerak sendi.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya keloid dan kadar 25-

hydroxyvitamin D yaitu ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor ovarium, kehamilan,

menyusui dan menstruasi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi antara kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid.

Page 51: i gusti agung ayu ratna medikawati

3.2 Konsep

Konsep penelitian untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-hydroxyvitamin D

plasma dengan derajat keparahan keloid yang ditunjukkan pada gambar 3.1.

Keterangan:

Diteliti dan dianalisis

Tidak diteliti

Gambar 3.1

Bagan Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

1. Rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada penderita keloid lebih rendah

dibandingkan dengan non-keloid.

2. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma berkorelasi negatif dengan derajat keparahan

keloid.

Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

Keloid

- Ras - Penyakit tiroid - Penyakit

paratiroid - Tumor

ovarium - Kehamilan - Menyusui - Menstruasi

Proliferasi fibroblast

Page 52: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah cross-sectional analitik untuk mengetahui korelasi

kadar25-hydroxyvitamin D plasma terhadap derajat keparahan keloid. Rancangan penelitian

ini dapat dibuat dalam bentuk skema yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini:

Gambar 4.1Rancangan penelitian cross-sectional

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasarselama 3

bulan, mulai bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Pemeriksaan kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma dilakukan di Unit Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik

Universitas Udayana Denpasar.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Target

Seluruh pasien keloid.

POPULASI

Sampel

Keloid---------------- Non Keloid

• Kadar 25-hydroxyitamin D plasma • Keloid

Page 53: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.3.2 Populasi Terjangkau

Seluruh pasien keloidyang berkunjung ke RSUP Sanglah Denpasar dalam periode

bulan Oktober 2014 sampai bulan Desember 2014.

4.3.3 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dari populasi terjangkau secara consecutive sampling, yaitu

semua penderita yang didiagnosis sebagai keloid dan memenuhi kriteria penerimaan sampel

penelitian sampai memenuhi jumlah yang diperlukan.

4.3.3.1 Kriteria Inklusi

a. Semua pasien keloid yang berkunjung ke RSUP Sanglah Denpasar.

b. Bangsa Indonesia.

c. Keadaan umum baik.

d. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani lembar informed consent.

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi

a. Terdapat penyakit atau kondisi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal seperti

penyakit tiroid, paratiroid, kehamilan, menyusui, menstruasi dan tumor ovarium.

b. Terdapat penyakit infeksi akut atau kronis seperti infeksi saluran nafas atas dan infeksi

tuberkulosis atau menderita penyakit sistemik seperti diabetes melitus dan kardiovaskuler.

c. Subyek telah mendapat pengobatan konvensional keloid seperti triamcinolone acetonide

injeksi, kortikosteroid topikal, cryosurgery, bedah eksisi, radiasi,laser, occlusive dressing,

terapi kompresi dan interferon dalam dua bulan terakhir.

d. Terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan anti kejang dan antibiotik seperti

phenobarbital, phenitoin, carbamazepine dan rifampisin dalam jangka waktu panjang.

e. Subyek mengkonsumsi suplemen vitamin D dalam 1 bulan terakhir.

Page 54: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.3.4 Besar Sampel

Pada penelitian analitik korelatif, penentuan besar sampel penelitian menggunakan

rumus Ronal Fisher’s classic z transformation sebagai berikut (Dahlan,2013;Madiyono, et

al.,2010)

Penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval kepercayaan yang

dikehendaki sebesar 95% (α=0,05; Zα = 1,96), dan power penelitian sebesar 80% ( β = 0,20;

Zβ = 0,842). Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n)

yang diperlukan untuk rancangan ini adalah 47 orang.

n = Zα + Zβ 2 + 3

0,5 ln[ (1+r)/(1-r)]

Page 55: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

- Variabel bebas : Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

- Variabel tergantung : Derajat keparahan keloid

- Variabel perancu : Ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor ovarium,

kehamilan, menyusui, menstruasi

Keterangan :

* Variabel perancu dikendalikan dengan restriksi

Gambar 4.2Hubungan Antar Variabel

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Keloid adalah tumor fibroproliferasi dermal yang bersifat jinak, berwarna sesuai

warna kulit, hipopigmentasi, hiperpigmentasi atau eritematosa, berbatas tegas

dengan konsistensi lunak sampai padat.

2. Derajat keparahan keloid adalah tingkat keparahan keloid secara klinis

berdasarkan Vancouver Scar Scale.

Variabel bebas

Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

Variabel tergantung

Derajat keparahan keloid

Variabel perancu*

Ras, penyakit tiroid, penyakit paratiroid, tumor ovarium, kehamilan, menyusui, menstruasi

Page 56: i gusti agung ayu ratna medikawati

3. Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma adalah kadar 25-hydroxyvitamin Ddengan

satuan ng/mL dalam plasma pasien keloid dari darah vena di fossa kubiti dengan

nilai defisiensi < 10 ng/mL; insufisiensi 10-30 ng/mL; suffisiensi 30-100 ng/mL

dan toksisitas >100 ng/mL, yang diperiksa dengan teknik the enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA).

4. Non keloid adalah individu yang tidak memiliki klinis keloid.

5. Ras adalah kategori individu yang secara turun temurun memiliki ciri-ciri fisik

dan biologis tertentu.

6. Penyakit tiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar tiroid

sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa kelebihan

hormon tiroid (hipertiroid) dan kekurangan hormon tiroid (hipotiroid) yang

diketahui melalui teknik wawancara.

7. Penyakit paratiroid merupakan penyakit akibat adanya gangguan pada kelenjar

paratiroid sehingga mengakibatkan produksi hormon yang tidak seimbang berupa

kelebihan hormon paratiroid (hiperparatiroid) dan kekurangan hormon paratiroid

(hipoparatiroid) yang diketahui melalui teknik wawancara.

8. Tumor ovarium adalah neoplasma yang berasal dari jaringan ovarium.

9. Kehamilan adalah keadaan terkandungnya janin dalam tubuh seorang wanita yang

ditandai dengan terhentinya menstruasi selama 6 minggu berturut-turut dihitung

berdasarkan hari pertama haid terakhir (HPHT).

10. Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air

susu ibu (ASI) dari payudara ibu yang diperoleh melalui tekhnik wawancara.

11. Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari

setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus yang

diperoleh melalui teknik wawancara.

Page 57: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.5 Izin/Persetujuan Subyek Penelitian

Semua subyek dalam penelitian ini diberikan penjelasan selengkapnya tentang

penelitian ini kemudian diminta persetujuannya untuk ikut dalam penelitian ini dan

menandatangani surat persetujuan.

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian

4.6.1 Bahan sampel

Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena dari subyek

penelitian.

4.6.2 Reagen

1. Micro ELISA plate

2. Standart referensi

3. Standart referensi & pencair sampel

4. Concentrated biotinylated detection Ab

5. Biotinylated detection Ab diluents

6. Concentrated HRP Conjugate

7. Concentrated wash buffer (25x)

8. Substrate reagent

9. Stop solution

4.6.3 Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pengambilan

sampel darah.Untuk menegakkan diagnosis keloid, digunakan lembaran pemeriksaan status

dermatologis, seperti tampak pada lampiran. Derajat keparahan keloid dinilai secara klinis

menggunakan vancouver scar scale. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar25-

hydroxyvitamin D plasma adalah sarung tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi

Page 58: i gusti agung ayu ratna medikawati

koagulan, HVD3 (25-hydroxy vitamin D3) ELISA Kit Merk Elabscience, kupet, pipet,

kacamata pelindung, jas laboratorium.

4.7 Prosedur Penelitian

1. Pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis klinis serta derajat keparahan keloid

berdasarkan Vancouver Scar Scale dengan menilai:

a. Konsistensi (0=Normal; 1= lentur; 2=lunak; 3=keras; 4=padat; 5=kontraktur),

dengan menggunakan alat pembanding berupa bola karet dengan konsistensi

yang berbeda.

b. Ketinggian (0=Normal; 1= <2 mm; 2=2-5 mm; 3= >5 mm), diukur dengan alat

mikrometer.

c. Vaskularisasi (0=Normal; 1=merah muda; 2=merah; 3=ungu), dilihat dengan

dermoskopi.

d. Pigmentasi keloid (0=Normal; 1=hipopigmentasi; 2=campuran;

3=hiperpigmentasi).

Derajat keparahan keloid ringan adalah tingkat keparahan keloid secara klinis

berdasarkan vancouver scar scale dengan skor 0-4. Derajat keparahan keloid sedang

adalah tingkat keparahan keloid secara klinis berdasarkan vancouver scar scale

dengan skor 5-9. Derajat keparahan keloid berat adalah tingkat keparahan keloid

secara klinis berdasarkan vancouver scar scale dengan skor 10-14.

2. Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh petugas laboratorium pada darah vena

di fossa kubiti sebanyak 3 cc dan ditampung dalam tabung dengan koagulan.

3. Pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin D dilakukan dari sampel darah vena di Unit

Pelayanan Teknik Laboratorium Analitik Universitas Udayana Denpasar.

4. Prosedur analisis 25-hydroxyvitamin D

Page 59: i gusti agung ayu ratna medikawati

- Tambahkan 100µL standart atau sampel dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu

370 C lalu tambahkan 100µL biotinylated detection Ab dan diinkubasi selama 1 jam

pada suhu 370 C lalu aspirasi dan wash tiga kali. Tambahkan 100µL HRP conjugate,

inkubasi 30 menit pada suhu 370C lalu aspirasi dan washlima kali. Tambahkan 90µL

substrate reagent dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 370C lalu tambahkan

stop solution. Baca pada 450nm secepatnya lalu kalkulasi hasil.

4.8 Alur Penelitian

Alur penelitian dimulai dengan pemilihan pasien keloid berdasarkan kriteria inklusi dan

eksklusi serta dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent. Pada pasien dilakukan

wawancara untuk melengkapi kuisioner seperti terlampir di bagian lampiran.Berikutnya

dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis klinis serta derajat keparahan

keloid berdasarkan Vancouver Scar Scale.Pemeriksaan fisik yang dilakukan dicatat dalam

kertas kerja peneliti yang merupakan bagian dari lembaran kuisioner.Wawancara dan

pemeriksaan fisik dilakukan oleh peneliti di RSUP Sanglah Denpasar. Pengambilan dan

pemeriksaan sampel darah untuk pemeriksaan kadar25-hydroxyvitamin D plasma dilakukan

oleh petugas laboratorium. Selain 47 orang pasien, pemeriksaan kadar 25-hydroxyvitamin

Dplasma juga dilakukan pada 10 orang non-keloid untuk mengetahui secara lebih pasti

adanya perbedaan rerata kadar25 hydroxyvitamin D plasma antara pasien keloid dan non-

keloid. Data dan hasil dicatat dalam lembar pengumpul data, selanjutnya dilakukan analisis

data.

Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur penelitian

yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3

Page 60: i gusti agung ayu ratna medikawati

Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian

Populasi Target Seluruh pasien keloid

Populasi Terjangkau Pasien keloid,RSUP Sanglah, Oktober-Desember 2014

Inklusi - Laki, perempuan, klinis keloid - Bersedia ikut serta

Sampling

Informed consent

Eligible Subject

Pemeriksaan

Eksklusi - Penyakit/kondisi

yang berkaitan dengan hormonal

- Telah mendapat pengobatan keloid yang konvensional

- Penyakit sistemik dan infeksi sistemik akut atau kronis

- Riwayat mengkonsumsi obat-obatan anti kejang dan antibiotik dalam jangka waktu

j

Wawancara

25-hydroxyvitamin D plasma

Derajat Keparahan Keloid

(sistem skoring)

Analisis Data

Page 61: i gusti agung ayu ratna medikawati

4.9 Analisis Data

Data yang dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah tersusun, diolah dan dianalisis

secara deskriptif menggunakan perangkat lunak komputer maupun secara manual, kemudian

dianalisis dengan uji statistik yang sesuai.

1. Analisis statistik deskriptif

Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel yang meliputi

distribusi umur, jenis kelamin, penyebab keloid, lokasi, riwayat keluarga, derajat

keparahan keloid, kadar 25-hydroxyvitamin Dplasma pada pasien keloid dan non-

keloid.

2. Uji normalitas data

Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas Kolmogorov-

Smirnov (K-S) karena sampel lebih dari 30. Data berdistribusi normal bila nilai p>

0,05 pada uji normalitas.

3. Analisis komparasi

- Penurunan kadar25-hydroxyvitamin D pada pasien keloid dibandingkan dengan non

keloid menggunakan ujiMann Whitney test.

4. Analisis korelasi dan regresi linier

Untuk mencari koefisien korelasi antara kadar 25 hydroxyvitamin D plasma dengan

derajat keparahan keloid digunakan uji korelasi Spearman’s rho.

Page 62: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Tabel 5.1

Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik Keloid = 47

n (%) Non-keloid = 10 n (%)

Umur (tahun) < 21 21-40 >40 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Penyebab Luka non-operasi Luka operasi Gigitan serangga Vaksin / Imunisasi Infeksi (contoh : cacar) Jerawat Tidak tahu Lokasi Ekstremitas superior Ekstremitas inferior Dada Perut Punggung Telinga Riwayat keluarga Ada Tidak ada Derajat keparahan keloid Ringan Sedang Berat Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma Median (IQR) Rerata ±SD

7 (14,9) 34 (72,3) 6 (12,8) 20 (42,6) 27 (57,4) 21 (44,7) 14 (29,8) 1 (2,1) 1 (2,1) 4 (8,5) 3 (6,4) 3 (6,4) 13 (27,2) 12 (25,5) 10 (21,3) 7 (14,9) 3 (6,4) 2 (4,3) 21 (44,7) 26 (55,3) 7 (14,9) 34 (72,3) 6 (12,8) 20,63 (2,36) ng/mL 20,89 ± 2,34 ng/mL

0 (0,0) 9 (90,0) 1 ( 10,0) 5 (50) 5 (50) - - - - - - - - - - - - - 2 (20) 8 (80) - - - 33,09 (1,52) ng/mL 32,60 ± 1,26 ng/mL

IQR = Interquartile Range SD = Standart Deviation

Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik subyek penelitian yang meliputi umur (tahun),

jenis kelamin, penyebab, lokasi, riwayat keluarga, derajat keparahan keloid, dan kadar25-

hydroxyvitamin D plasma. Pada penelitian ini digunakan 47 subyek keloid dan 10 subyek

non-keloid. Berdasarkan data tersebut, persentase terbanyak berdasarkan kelompok umur

pada subyek keloid yaitu kelompok umur 21-40 tahun sebanyak 34 orang (72,3%), diikuti

Page 63: i gusti agung ayu ratna medikawati

oleh kelompok umur < 21 tahun sebanyak 7 orang (14,9%) dan kelompok umur > 40 tahun

sebanyak 6 orang (12,8%) dengan umur termuda adalah 8 tahun dan umur tertua adalah 56

tahun. Subyek keloid laki-laki sebanyak 20 orang (42,6%) dan perempuan sebanyak 27 orang

(57,4%).

Berdasarkan lokasi terjadinya keloid, lokasi terbanyak adalah di ekstremitas superior

sebanyak 13 orang (27,2%), diikuti di ekstremitas inferior sebanyak 12 orang (25,5%), di

dada sebanyak 10 orang (21 ,3%), di perut sebanyak 7 orang (14,9%), di punggung sebanyak

3 orang (6,4%), dan di telinga sebanyak 2 orang (4,3%). Berdasarkan penyebab terjadinya

keloid, penyebab terbanyak adalah luka non operasi sebanyak 21 orang (44,7%), diikuti luka

operasi sebanyak 14 orang (29,8%), infeksi seperti cacar sebanyak 4 orang (8,5%), jerawat

sebanyak 3 orang (6,4%), tidak tahu sebanyak 3 orang (6,4%), dan paling sedikit gigitan

serangga dan vaksin masing-masing 1 orang (2,1%). Berdasarkan adanya riwayat keluarga,

tidak ada riwayat keluarga sebanyak 26 orang (55,3%) dan ada sebanyak 21 orang (44,7%).

Derajat keparahan keloid dibedakan menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Jumlah

terbanyak yaitu pasien dengan derajat keparahan sedang sebanyak 34 orang (72,3%), derajat

ringan sebanyak 7 orang (7%) dan derajat berat sebanyak 6 orang (12,8%). Rerata kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid adalah 20,89 ± 2,34 ng/mL dengan median

(IQR) 20,63 (2,36) ng/mL lebih rendah dibandingkan dengan rerata kadar 25-hydroxyvitamin

D plasma pada subyek non-keloid 32,60 ± 1,26 ng/mL dengan median (IQR) 33,09 (1,52)

ng/mL.

5.2 Uji Normalitas Data

Data penelitian kadar25-hydroxyvitamin D plasma dan nilai VSS pada subyek keloid

dilakukan uji normalitas seperti disajikan pada tabel 5.2.

Page 64: i gusti agung ayu ratna medikawati

Tabel 5.2

Hasil Uji Normalitas Data

No. Variabel Nilai p 1. 2.

Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma VSS

0,017

0,008

Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada pasien keloid tidak berdistribusi normal karena

nilai p = 0,017 (p < 0,05) dan nilai VSS juga tidak berdistribusi normal karena nilai p = 0,008

(p < 0,05).

5.3 Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek keloid dan Non-keloid

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5.3 didapatkan bahwa median (IQR)

kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid 20,63 (2,36) ng/mL ditemukan lebih

rendah dibandingkan dengan subyek non-keloid 33,09 (1,52) ng/mL. Setelah dilakukan uji

Mann-Whitney test didapatkan bahwa kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid

berbeda secara bermakna pada subyek non-keloid dengan nilai p < 0,001.

Tabel 5.3

Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma antara Subyek Keloid dengan Non-

keloid

Variabel Keloid (n=47) Non-keloid (n=10) Nilai p Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma Median (IQR)

20,63(2,36)ng/mL 33,59(1,52)ng/mL <0,001a

a = Hasil uji Mann-Whitney test

Gambaran box plot menunjukkan nilai kadar 25-hydroxyvitamin D plasma

berdasarkan kelompok keloid dan non-keloid. Median kadar25-hydroxyvitamin D plasma

pada kelompok keloid lebih rendah dibandingkan kelompok non-keloid dan didapatkan

perbedaan yang bermakna karena batas atas kelompok keloid tidak berhimpitan dengan batas

atas kelompok non-keloid, seperti terlihat pada Gambar 5.1.

Page 65: i gusti agung ayu ratna medikawati

Kadar 25-hydroxyvitamin D (ng/mL)

Kelompok

Gambar 5.1Perbandingan Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Satuan ng/mL antara

Subyek Keloid dan Non-keloid.

5.4 Korelasi Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat keparahan Keloid

Untuk mengetahui korelasi antara kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat

keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS pada penelitian ini dilakukan uji korelasi

Spearman’s rho karena data tidak berdistribusi normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid

yang dinilai berdasarkan VSS (r = -0,584; p <0,001), artinya semakin rendah kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS

menjadi semakin berat. Pada uji regresi linier ditentukan koefisien determinasi untuk

mengetahui sejauh mana kadar 25-hydroxyvitamin D plasma mempengaruhi derajat

Page 66: i gusti agung ayu ratna medikawati

keparahan keloid (R2 = 60,4%), artinya 60,4 % derajat keparahan keloid dipengaruhi oleh

kadar 25-hydroxyvitamin D plasma, seperti disajikan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4

Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan Keloid yang

Dinilai Berdasarkan VSS

Korelasi r Nilai p R2 Nilai p Kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan nilai VSS

-0,584 <0,001a 60,4% <0,001b

r = koefisien korelasi a = Hasil uji korelasi Spearman’s rho R2 = Koefisien determinasi b = Hasil uji regresi linier Gambaran scatter plot hasil korelasi antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan

derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS disajikan pada Gambar 5.2. Pada

grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma maka

derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS menjadi semakin berat.

Page 67: i gusti agung ayu ratna medikawati

Kadar 25-hydroxyvitamin D (ng/mL)

Gambar 5.2Grafik Korelasi Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan

Keloid yang dinilai berdasarkan VSS. Semakin rendah kadar25-hydroxyvitamin D plasma

maka derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS menjadi semakin berat.

Page 68: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian ini menggunakan 47 orang pasien keloid sebagai subyek penelitian yang

masuk dalam kriteria inklusi dan 10 subyek non-keloid, tidak ada subyek yang hilang dalam

penelitian. Distribusi umur terbanyak dalam penelitian ini adalah kelompok umur 21-40

tahun sebanyak 34 orang, diikuti kelompok umur < 21 tahun sebanyak 7 orang dan kelompok

umur > 40 tahun sebanyak 6 orang. Ditinjau dari segi umur, keloid dapat terjadi pada semua

usia, namun paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga. Diduga karena individu yang

berumur lebih muda lebih sering mengalami trauma dan kulit yang lebih muda memiliki

tegangan yang lebih besar. Kecepatan sintesis kolagen juga lebih cepat pada umur lebih muda

(Kakar et al.,2006; Clark et al.,2009; Wolfram et al.,2009). Pada penelitian ini pasien

termuda berumur 8 tahun dan tertua 56 tahun, waktu antara trauma sampai terjadinya keloid

yaitu dalam waktu 3 bulan sampai 1 tahun. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan

bahwa sebagian keloid berkembang dalam waktu 3 bulan setelah cedera, beberapa mungkin

terjadi sampai dengan 1 tahun setelah trauma di kulit. Proses penyembuhan luka merupakan

respon fisiologis pada luka. Fase inflamasi penyembuhan luka didahului oleh

hemostasis.Selama fase proliferasi kontinuitas jaringan dibangun kembali.Fase maturasi dan

remodeling skar terjadi dalam waktu 6-12 bulan, ditandai dengan reorganisasi kolagen yang

disintesis sebelumnya. Kandungan kolagen luka merupakan hasil dari keseimbangan sintesis

kolagen dan kolagenolisis (Seifert,2008: Miller dan Nanchalal,2005).

Kedua jenis kelamin mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita keloid.

Distribusi jenis kelamin pada penelitian terdiri dari laki-laki sebanyak 20 orang (42,6%) dan

perempuan sebanyak 27 orang (57,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-

Page 69: i gusti agung ayu ratna medikawati

penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa walaupun tidak terdapat perbedaan gender

dalam insiden keloid, namun keloid lebih sering ditemukan pada perempuan karena seringnya

keloid pada lobulus telinga setelah tindik yang umumnya dilakukan oleh perempuan

menyebabkan seolah-olah perempuan lebih banyak menderita keloid. Perempuan juga

mengalami perubahan hormonal saat kehamilan, menyusui dan menstruasi. Selain itu,

perempuan lebih memperhatikan permasalahan kosmetik yang sering ditimbulkan oleh keloid

sehingga cenderung untuk mendapatkan pengobatan (Chike-obi et al.,2009).

Berdasarkan penyebab terjadinya keloid, penyebab terbanyak adalah luka non operasi

sebanyak 21 orang (44,7%), diikuti luka operasi sebanyak 14 orang (29,8%), infeksi seperti

cacar sebanyak 4 orang (8,5%), jerawat sebanyak 3 orang (6,4%), tidak tahu sebanyak 3

orang (6,4%), dan paling sedikit gigitan serangga dan vaksin masing-masing 1 orang (2,1%).

Proses terjadinya keloid diketahui disebabkan oleh trauma kulit pada individu yang rentan

secara genetik. Selain itu, trauma sekunder pada kulit seperti jerawat, infeksi, luka bakar,

laserasi, dan luka bekas operasi juga dapat menyebabkan terjadinya keloid.Pada beberapa

kasus juga dilaporkan bahwa keloid dapat terjadi pada pasien tanpa ada riwayat trauma

sebelumnya, namun trauma yang kecil seperti gigitan serangga atau akne mungkin terjadi

tanpa diketahui sebelumnya.Terdapat berbagai faktor risiko terjadinya keloid seperti

predisposisi genetik, hormonal, infeksi, ketegangan kulit disekitar luka dan kedalaman luka.

(Chike-obi et al.,2009; Shih et al.,2010;Kose dan Waseem,2008). Kelly tahun 2009

melaporkan, infeksi bakteri dan virus dapat memicu terjadinya keloid, terutama pada lesi

anak-anak Afrika-Amerika.Inflamasi pada kulit seperti varisela, vaksin Bacile Calmette-

Guerin, folikulitis dan akne juga dapat memicu terjadinya keloid. Luka superfisial dapat

memicu terjadinya keloid karena adanya kerentanan genetik dan infeksi sekunder pada luka

(Kelly,2009).

Page 70: i gusti agung ayu ratna medikawati

Berdasarkan lokasi terjadinya keloid, lokasi terbanyak adalah di ekstremitas superior

sebanyak 13 orang (27,2%), diikuti di ekstremitas inferior sebanyak 12 orang (25,5%), di

dada sebanyak 10 orang (21 ,3%), di perut sebanyak 7 orang (14,9%), di punggung sebanyak

3 orang (6,4%), dan di telinga sebanyak 2 orang (4,3%). Beberapa lokasi pada tubuh

memiliki kerentanan untuk terjadi keloid karena memiliki ketegangan kulit yang tinggi.

Lokasi yang memiliki potensi tinggi untuk terjadinya keloid yaitu dada, bahu, lengan atas dan

telinga (Shejbal et al.,2004; Gauglitz et al.,2011).

Berdasarkan terdapatnya riwayat keloid pada keluarga didapatkan pada subyek

dengan keloid ada riwayat keluarga sebanyak 21 orang (44,7%) dan tidak ada riwayat

keluarga sebanyak 26 orang (55,3%). Pada subyek non-keloid didapatkan ada riwayat

keluarga menderita keloid sebanyak 2 orang (20%) dan tidak ada keluarga yang menderita

keloid sebanyak 8 orang (80%).Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya keloid

dipengaruhi oleh genetik. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terjadinya keloid

dipengaruhi oleh genetik, baik secara autosomal dominan naupun autosomal resesif (Cooke et

al.,2005; Ceovic et al.,2010). Beberapa studi menyebutkan bahwa pola pewarisan autosomal

dominan pada keloid berhubungan dengan kromosom 2q23 (keluarga keturunan Jepang) dan

kromosom 7p11 (keluarga keturunan Afrika-Amerika) , selain itu ditemukan pula keterkaitan

dengan HLA-DR5 dan HLA-DQw3 (Seifert,2008; Clark et al.,2009).

Berdasarkan derajat keparahan keloid yang dibedakan menjadi derajat ringan, sedang

dan berat, distribusi terbanyak adalah pasien dengan derajat keparahan sedang sebanyak 34

orang (72,3%), derajat ringan sebanyak 7 orang (7%) dan derajat berat sebanyak 6 orang

(12,8%). Sutrini tahun 2010 melaporkan pada 40 pasien keloid selama periode Juli sampai

September 2010 di subbagian Bedah Kulit Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah

Denpasar terdapat 31 pasien (77,5) dengan derajat keparahan berat, 8 pasien (20%) derajat

Page 71: i gusti agung ayu ratna medikawati

sedang dan 1 pasien (2,5%) derajat ringan. (Sutrini,2010). Penelitian mengenai hubungan

derajat keparahan keloid dengan vitamin D sampai saat ini masih belum ditemukan.

6.2 Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma pada Subyek Keloid dan Non-keloid

Pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar 25-

hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid yaitu 20,89 ± 2,34 ng/mL dan median (IQR)

20,63 (2,36) ng/mL dengan subyek non-keloid yaitu 32,60 ± 1,26 ng/mL dan median (IQR)

33,09 (1,52) ng/mL dengan nilai p < 0,001. Hasil perbandingan pada kedua kelompok

tersebut berbeda dan bermakna, menjelaskan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, yaitu

terdapat perbedaan rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma antara subyek keloid dengan

subyek non-keloid sehingga dapat disimpulkan bahwa 25-hydroxyvitamin D mempunyai

peranan pada keloid.

Terbentuknya keloid telah dikaitkan dengan vitamin D. Pada penelitian Cooke et al.

tahun 2005 menyatakan bahwa kadar vitamin D yang rendah pada kulit merupakan

predisposisi terjadinya skar (Cooke et al.,2005). Yu et al. tahun 2013 di China melaporkan

penderita keloid signifikan memiliki kadar sirkulasi 1,25(OH)2D serum lebih rendah

dibandingkan tanpa keloid. Vitamin D melalui jalur VDR memiliki peran penting pada

perkembangan keloid (Yu et al.,2013).

Vitamin D selain berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme mineral

tulang, kini diakui bahwa terdapat berbagai fungsi biologis fundamental dalam diferensiasi

sel dan inhibisi pertumbuhan sel. Vitamin D bekerja pada reseptor gen target dalam beberapa

sistem organ untuk mengontrol proliferasi dan diferensiasi sel (Kochupillai,2008). Kadar 25-

hydroxyvitamin D dalam darah merupakan metode terbaik untuk menentukan status vitamin

D karena gampang diperiksa dan memiliki waktu paruh yang panjang pada sirkulasi (kira-

kira 2 atau 3 minggu). Meskipun 1,25(OH)2D adalah bentuk biologis aktif vitamin D, namun

Page 72: i gusti agung ayu ratna medikawati

pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang status vitamin D karena memiliki waktu

paruh yang singkat (15 jam) dan sering normal atau bahkan meningkat pada kondisi

defisiensi vitamin D (Zhang dan Naughton,2010; Nezhad dan Holick,2013).

Zhang et al. tahun 2011 menyatakan bahwa vitamin D dapat menghambat terjadinya

fibrosis kulit. Peningkatan kadar vitamin D plasma dapat menghambat terjadinya fibrosis

jaringan sehingga dapat menjadi dasar pemikiran untuk menguji suplementasi vitamin D

sebagai pencegahan atau strategi pengobatan dini untuk keloid dan penyakit yang terkait

fibrosis (Zhang et al.,2011).

6.3 Korelasi Kadar 25-hydroxyvitamin D Plasma dengan Derajat Keparahan Keloid

Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif antara kadar25-hydroxyvitamin D

plasma dengat derajat keparahan keloid yang dinilai berdasarkan VSS seperti disajikan pada

tabel 5.4 dengan hasil r = -0,584 dan nilai p < 0,001. Hal ini berarti terdapat hubungan

bermakna antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid yang

dinilai berdasarkan VSS, yaitu semakin rendah kadar 25-hydroxyvitamin D plasma maka

derajat keparahan keloid menjadi semakin berat. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini

lebih kuat (r = -0,584) dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).

Hasil penelitian mengenai korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasma pada keloid

belum ditemukan, namun Yu et al. tahun 2013 melaporkan bahwa vitamin D melalui jalur

VDR berperan penting pada terjadinya keloid. Gen polymorphism Tag1dari VDR dan kadar

1,25-dyhydroxyvitamin D pada sirkulasi dapat digunakan sebagai marker dugaan terjadinya

keloid. Vitamin D memiliki efek anti fibroproliferatif pada berbagai kondisi patologik seperti

kanker dan penyakit fibroproliferatif. Efek anti kanker dari vitamin D dimediasi terutama

oleh metabolit aktifnya yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D (calcitriol), melalui signal VDR

vitamin D juga berperan pada sintesis dan degradasi kolagen. Pada glomerulonefritis tikus

Page 73: i gusti agung ayu ratna medikawati

dan fibrosis hepar, vitamin D dapat menghambat sintesis kolagen pada fibrosis interstitial dan

akumulasi komponen matriks interstitial dengan menghambat ekspresi gen TGF-β1.Beberapa

studi klinis juga menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D dan metabolit aktifnya terkait

dengan penyakit fibroproliferatif dan pengobatan dengan vitamin D merupakan terapi yang

efektif untuk penyakit fibrosis kulit seperti skleroderma. Keseimbangan antara sintesis dan

degradasi kolagen berperan penting pada proses terjadinya keloid, menunjukkan pengaruh

vitamin D pada terjadinya keloid ( Yuet al.,2013).

Beberapa penelitian klinis telah menunjukkan bahwa vitamin D dapat menghambat

pembentukan fibrosis kulit, misalnya pada sklerosis sistemik, namun peran nyata vitamin D

pada kulit masih belum diketahui dengan pasti. Secara khusus masih belum jelas apakah sel-

sel pada kulit mengenali vitamin D dan apakah kadar vitamin D dapat mempengaruhi

fungsinya. Zhang et al. tahun 2011 melaporkan terdapat ekspresi VDR pada kulit normal dan

fibroblast keloid.Selain itu, mereka juga menemukan bahwa VDR terdapat pada nukleus,

konsisten dengan perannya pada reseptor nuklear. Peningkatan sekresi TGF-β1 pada matriks

protein kolagen 1 signifikan dihambat oleh 1,25-dyhydroxyvitamin D di dalam fibroblast

keloid. Hal ini menunjukkan bahwa fibroblast keloid mampu mengenali 1,25-

dyhydroxyvitamin D melalui VDR fungsional (Zhang et al.,2011).

Vitamin D merupakan prohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit

aktif 1,25 dihydroxyvitamin D [(1,25(OH)2D]. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor

selular VDR, yang mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas

respon biologis (Dusso et al.,2005).

Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan metabolit lainnya)

adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa sitokrom p-450

hepar telah menunjukkan mengandung 25-hydroxylasevitamin D. Kadar 25(OH)D meningkat

secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini kadar plasma 25(OH)D

Page 74: i gusti agung ayu ratna medikawati

biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso et al.,2005). Vitamin D

mengalami hidroksilasi karbon 25 di liver dan diubah menjadi 25 hidroxyvitamin D,

selanjutnya melalui hidroksilasi 1α pada ginjal yang akan menghasilkan 1,25-

dihydroxyvitamin D, vitamin D dikonversi menjadi hormon aktif dan berperan sebagai

mediator anti inflamasi ( Cooke et al.,2005; Shuler et al.,2012).

Nuclear factor-kB merupakan famili faktor transkripsi yang terbentuk oleh 5 protein

yaitu NF-kB1, NF-kB2, Rel A, Rel B dan c-Rel. Dimers NF-kB yang berbeda mengikat

sequence DNA spesifik pada promoter gen untuk meregulasi transkripsi berbagai gen,

termasuk berpengaruh pada respon imun dan inflamasi (Szeto et al.,2007). Teori saat ini

mengungkapkan bahwa hubungan regulasi inflamasi melalui pencegahan terhadap faktor

transkripsi NF-kB. Harant et al. menunjukkan bahwa Vitamin D menghambat efek NF-kB

dengan menurunkan ikatannya pada interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 gen promoter di MRC-5

fibroblast manusia, sehingga menghambat transkripsi gen IL-6 dan IL-8 (Harant et al.,1998;

Cooke et al.,2005).Hubungan antara inflamasi dan tingkat jaringan parut telah lama diketahui

pada berbagai kelainan dermatologi. Misalnya, psoriasis yang merupakan proses inflamasi

kronis yang memicu epidermal hiperplasia berikutnya. Data menunjukkan peningkatan kadar

IL-6, IL-8 dan IFN-gamma serta monosit, limfosit dan neutrofil pada lapisan dermis dan

subkorneal pasien psoriasis. Selain itu, pada penyakit skleroderma, akumulasi kolagen dan

fibrosis kulit selanjutnya didahului oleh infiltrasi mediator inflamasi seperti limfosit Th.

Patogenesis serupa terjadi pada keloid yang mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar

TGF-β, interferon-β, TNF-α dan IL-6 (Cooke et al.,2005; Dong et al.,2013).

Berdasarkan hal-hal yang didapatkan dari penelitian ini, maka penelitian ini dapat

dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui keefektifan pemberian derivat

vitamin D pada pasien keloid.Penelitian ini dirancang menggunakan metode cross

sectionalyang memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan sebab akibat antara

Page 75: i gusti agung ayu ratna medikawati

penurunan kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat keparahan keloid. Oleh karena

itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rancangan kohort untuk mengetahui hubungan

tersebut.

Page 76: i gusti agung ayu ratna medikawati

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut maka didapat simpulan sebagai

berikut :

1. Rerata kadar25-hydroxyvitamin D plasma pada subyek keloid lebih rendah

dibandingkan dengan subyek non-keloid.

2. Terdapat korelasi negatif antara kadar25-hydroxyvitamin D plasma dengan derajat

keparahan pada subyek keloid (r = -0,584; p < 0,001), artinya semakin rendah kadar

25-hydroxyvitamin D plasma maka derajat keparahan keloid menjadi semakin berat.

7.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan tersebut maka dapat disarankan hal-hal sebagai

berikut:

1. Penelitian lanjutan dengan rancangan kohort retrospektif dan prospektif untuk

mengetahui kadar 25-hydroxyvitamin D plasma yang rendah sebagai faktor risiko

terjadinya keloid.

2. Penelitian lanjutan dengan rancangan randomized controlled trial untuk mengetahui

keefektifan vitamin D pada lesi keloid, sebagai bahan pertimbangan pemberian

derivat vitamin D untuk mencegah terjadinya lesi keloid dan mencegah lesi keloid

bertambah parah.

Page 77: i gusti agung ayu ratna medikawati

DAFTAR PUSTAKA

Anchlia, S., Shama, K.R., Bonanthaya, K., Vohra, D. 2009.Keloidoscope : In Search for the

Ideal Treatment of Keloids. J Maxillofac Oral Surg; 8(4): 366-370 Atapattu, N. 2013. Approach to a Child Presenting with Rickets. Sri Langka Journal of Child

Health; 42(1): 40-44 Bayat, A., McGrouther, D.A., Ferguson, M.W. 2003.Skin Scarring.BMJ; 326: 88-92 Bikle, D.D. 2012. Vitamin D and the Skin: Physiology and Pathophysiology. Rev Endocr

Metab Disord; 13(1): 3-19 Bissek, A.Z., Tabah, E.N., Kouotou, E., Sini, V., Yepnjio, F.N., Nditanchou, R., Nchufor,

R.N., Defo, D., Dema, F., Fonsah, J.Y., Njamnshi, A.K., Muna, W.F.T. 2012. The Spectrum of Skin Diseases in a Rural Setting in Cameroon (Sub-Saharan Africa).BMC Dermatology; 1-9

Bouillon, R., Carmeliet, G., Verlinden, L., Etten, E.V., Verstuyf, A., Luderer, H.F., Lieben,

L., Mathieu, C., Demay, M. 2008. Vitamin D and Human Health: Lesson from Vitamin D Receptor Null Mice. Endocrine Reviews; 29(6): 726-776

Broughton, G., Janis, J.E., Attinger, C.E. 2006. Wound Healing: An Overview. Plast

Reconstr Surg; 117: 1e-S-32e-S Brusselaers, N., Pirayesh, A., Hoeksema, H., Verbelen, J., Blot, S., Monstrey, S. 2010. Burn

Scar Assessment: A Systematic Review of Different Scar Scales. Journal of Surgical Research; 164: e115-e123

Burrows, N.P., Lovell, C.R. 2004. Keloid and Hypertrophic scars. In: Burns T, Breathach S,

Cox n, Griffiths C., editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7thEd. USA: Blackwell Publishing. p.54-56

Ceovic, R., Lipozencic, J., Mokos, Z.B., Buzina, D.S., Kostovic, K. 2010. Why don’t We

Have More Effective Treatment for Keloids?.Acta Dermatovenerol Croat; 18(3): 195-200

Chike-obi, C.J., Cole, P.D., Brissett, A. E. 2009. Keloids: Pathogenesis, Clinical Features,

and Management. Semin Plast Surg: 23: 178-184 Choi, Y.H., Kim, K.M., Kim, H.O., Jang, Y.C., Kwak, I.S. 2013.Clinical and Histological

Correlation in Post-Burn Hypertrophic Scar for Pain and Itching Sensation. Ann Dermatol; 25(4): 428-433

Christine, J.Ko. 2012. Dermal Hypertrophies and Benign Fibroblastic/ Myofibroblastic

Tumors, In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, eight edition. New York: McGraw Hill; p.707-718

Page 78: i gusti agung ayu ratna medikawati

Chung, M., Balk, E.M., Brendel, M., Ip,S., Lau, J., Lee, J., Lichtenstein, A., Patel, K., Raman, G., Tatsioni, A., Terasawa, T., Trikalinos, T.A. 2009. Vitamin D and Calcium: A Systematic Review of Health Outcomes. AHRQ; 17-22

Clark, J.A., Turner, M.L., Howard, L., Stanescu, H., Kleta, R., Kopp, J.B. 2009. Description

of Familial Keloids in Five Pedigrees: Evidence for Autosomal Dominant Inheritance and Phenotypic Heterogeneity. BMC dermatology; 1-9

Cooke, G.L., Chien, A., Brodsky, A., Lee, R.C. 2005. Incidence of Hypertrophic Scars

Among African Americans Linked to Vitamin D-3 Metabolism?.Journal of the national medical association; 97(7): 1004-1009

Czubryt, M.P. 2012. Common Threads in Cardiac Fibrosis, Infarct Scar Formation, and

Wound Healing. Fibrogenesis & Tissue Repair; 5(19): 1-11 Dahlan, M.S. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian

Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta : Salemba Medika. p.35-80 Dong, X., Mao, S., Wen, H. 2013. Upregulation of Proinflammatory Genes in Skin Lesions

May be the Cause of Keloid Formation (Review). Biomedical Report; 1: 833-836 Dusso, A.S., Brown, A.J., Slatopolsky, E. 2005. Vitamin D. Am J Physiol Renal Physiol; 289:

8-28 Edriss, A.S., Mestak, J. 2010. Abnormal Scars,Management Options. Prague Medical

Report; 111(2): 106-110 Edriss, A.S. 2005.Management of Keloid and Hypertrophic Scars.Annals of Burns and Fire

Disasters. 18(4): 1-14 Fearmonti, R., Bond, J., Erdmann, D., Levinson, H. A. 2010. Review of Scar Scales and Scar

Measuring Devices.Eplasty; 10: 354-363 Gauglitz, G.G., Korting, H.C., Pavicic, T., Ruzicka, T., Jeschke, M.G. 2011. Hypertrophic

Scarring and Keloids: Pathomechanisms and Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med; 17(1-2): 113-125

Gauglitz, G.G. 2013. Management of Keloid and Hypertrophic Scars: Current and Emerging

Options. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology; 6: 103-114 Gupta, S., Sharma, V.K. 2010. Standard Guidelines of Care : Keloid and Hypertrophic Scars.

IJDVL ; 77(1): 94-100 Halder, S.K., Osteen, K.G., Hendy, A.A. 2013. 1,25-dihydroxyvitamin D3 Reduces

Extracellular Matrix-Associated Protein Expression in Human Uterine Fibroid Cell. The Society for the Study of reproduction; 1-16

Halim, A.S., Emami, A., Salahshourifar, I., Kannan, T.P. 2012. Keloid Scarring:

Understanding the Genetic Basis, Advances and Prospects. Arch Plast Surg; 39: 184-189

Page 79: i gusti agung ayu ratna medikawati

Harant, H., Wolff, B., Lindley, I.J.D. 1998.1-alpha, 25-dihydroxyvitamin D-3 Decreases

DNA Binding of Nuclear Factor-kB in Human Fibroblast.FEBS Lett; 436: 329-334 Hochman, B., Locali, R.F., Matsuoka, P.K. 2008. Intralesional Triamcinolone Acetonide for

Keloid Treatment: A Systematic Review. Aesth Plast Surg; 32: 705-709 Juckett, G., Adams, H.H. 2009. Management of Keloids and Hypertrophic Scars.AAFP;

80(3): 253-60 Kakar, A.K., Shahzad, M., Haroon, T.S. 2006. Keloids: Clinical Features and Management.

Part I. Journal of Pakistan Association of Dermatologist; 16: 97-103 Kauffman, J.M. 2009.Benefits of Vitamin D Supplementation.JPandS; 14(2): 38-45 Kelly, P. 2009. Update on the Management of Keloid. Semin Cutan Med Surg; 28: 71-76 Kjaer, M. 2004. Role of Extracellular Matrix in Adaptation of Tendon and Skeletal Muscle to

Mechanical Loading.Physiol Rev; 84: 649-698 Kochupillai, N. 2008. The Physiology of Vitamin D : Current Concepts. Indian J Med Res;

127: 256-262 Kose, O., Waseem, A. 2008. Keloids and Hypertrophic Scars: Are They Two Different Sides

of the Same Coin?.Dermatol Surg; 34: 336-346 Krieg, T., Aumailley, M., Koch, M., Chu, M.L., Uitto, J. 2012. Collagen, Elastic Fibers, and

Other Extracellular Matrix Proteins of the Dermis, In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, eight edition. New York: McGraw Hill; p.666-691

Larriba, M.J., Sancho, J.M.G., Bonilla, F., Munoz, A. 2014.Interaction of Vitamin D with

Membrane-Based Signaling Pathways.Frontiers in Physiology; 5: 1-22 Lee, Y.S., Wysocki, A., Warburton, D., Tuan, T.L. 2012. Wound Healing in Development.

Birth Defects Res C Embryo Today; 96(3): 213-222 Liu, A., Moy, R.L., Ozog, D.M. 2011. Current Methods Employed in the Prevention and

Minimization of Surgical Scars. Dermatol Surg: 37: 1740-1746 Madiyono, B., Moeslichan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H. 2010.

Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sudigdo, S., Sofyan, I., penyunting. Dasar-Dasar Metologi Penelitian Klinis.Edisi ke-3, cetakan kedua. Jakarta: Sagung Seto. p.301-330

Mccarty, S.M., Syed, F., Bayat, A. 2010. Influence of the Human Leukocyte Antigen

Complex on the Development of Cutaneous Fibrosis : An Immunogenetic Perspective. Acta Derm Venereol; 90: 563-574

Miller, M.C., Nanchahal, J. 2005. Advances in the Modulation of Cutaneous Wound Healing

and Scarring. Biodrug; 19(6): 363-381

Page 80: i gusti agung ayu ratna medikawati

Nezhad, A.H., Holick, M. 2013. Vitamin D for Health : A Global Perspective. Mayo Clin Proc; 88(7): 720-755

Ogawa, R. 2011. Mechanobiology of Scarring.Wound Rep Reg; 19: S2-S9 Ontario, 2010.Clinical Utility of Vitamin D testing.OHTAS; 10(2): 9-34 Romagnoli, E., Pepe, J., Piemonte, S., Cipriani, C., Minisola, S. 2013. Value and Limitations

of Assessing Vitamin D Nutritional Status and Advised Levels of Vitamin D Supplementation. EJE; 169: R59-R69

Roques, C. 2008.The Use of Corticosteroids to Treat Keloids.A Review.Int J Low Extrem

Wounds. 7(3): 137-145 Seifert, O. 2008. ”Keloid-Afibroproliferative Disease” (dissertation). Division of

Dermatology Department of Clinical and Experimental Medicine Faculty of Health Sciences: Lincoping University SE-58185 Linkoping Sweden; 13-17

Seifert, O., Mrowietz, U. 2009. Keloid Scarring : Bench and Bedside. Arch Dermatol Res;

301: 259-272 Seo, B.F., Lee, J.Y., and Jung, S.N. 2013. Models of Abnormal Scarring.BioMed Research

International; Article ID 423147: 1-8 Shejbal, D., Bedekovic, V., Ivkic, M., Kolagjera, L., Aleric, Z., Drvis, P. 2004. Strategies in

the Treatment of Keloid and Hypertrophic Scars.Acta Clin Croat; 43: 417-422 Shih, B., Garside, E., McGrouther, D.A., Bayat, A. 2010. Molecular Dissection of Abnormal

Wound Healing Processes Resulting in Keloid Disease.Wound Rep Reg; 18: 139-153 Shuler, F.D., Wingate, M.K., Moore, G.H., Giangarra, C. 2012. Sports Health Benefits of

Vitamin D. Sports Health: 496-501 Sutrini, N.N.A. 2010.“Korelasi Kadar Dehydroepiandrosterone dan Transforming Growth

Factor – β1 Serum dengan Derajat Keparahan Keloid pada Pasien di RSUP Sanglah Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana

Szeto, F.L., Sun, J., Kong, J., Duan, Y., Liao, A., Madara, J.L., Li, Y.C. 2007.Involvement of

the Vitamin D Receptor in the Regulation of NF-kB Activity in Fibroblast. J Steroid Biochem Mol Biol; 103(3-5): 563-566

Velnar, T., Bailey, T., Smrkolj. 2009. The Wound Healing Process : An Overview of the

Cellular and Molecular Mechanisms. The Journal of International Medical Research; 37: 1528-1542

Viera, M.H., Vivas, A.C., Berman, B. 2012. Update on Keloid Management: Clinical and

Basic Science Advances. Department of Dermatology and Cutaneous Surgery; 1(5): 200-206

Page 81: i gusti agung ayu ratna medikawati

Wacker, M., Holick, M.F. 2013.Sunlight and Vitamin D.A Global Perspective for Health.Dermato-Endocrinology; 5(1): 51-108

Williams, C.C., Groote, S.D., Guthmann, R. 2011. What Treatment is Best for Hypertrophic

Scars and Keloids?.The Journal of Family Practice; 60(12): 757-758 Wolfram, D., Tzankov, A., Pulzl, P., Piza-Katzer, H. 2009.Hypertrophic Scars and Keloids—

A Review of Their Pathophysiology, Risk Factors and Therapeutic Management.Dermatol Surg; 35: 171-181

Wu, S., Sun, J. 2011. Vitamin D, Vitamin D Receptor, and Macroautophagy in Inflammation

and Infection.Discov Med; 11(59): 325-335 Yu, D., Shang, Y., Luo, S., Hao, L. 2013. The TaqI Gene Polymorphisms of VDR and the

Circulating 1,25-Dihydroxyvitamin D Levels Confer the Risk for the Keloid Scarring in Chinese Cohort. Cell Physiol Biochem; 32: 39-45

Zhang, G.Y., Cheng, T., Luan, Q., Liao, T., Nie, C.L., Zheng, X., Xie, X.G., Gao, W.Y.

2011. Vitamin D: A Novel Therapeutic Approach for Keloid, an in Vitro Analysis. BJD; 164: 729-737

Zhang, R., Naughton, D.P. 2010. Vitamin D in Health and Disease : Current Perspectives.

Nutrition Journal; 9(65): 1-13 Zouboulis, C.C. 2009.The Skin as an Endocrine organ.Dermato-Endocrinology; 1-5: 250-252

Page 82: i gusti agung ayu ratna medikawati
Page 83: i gusti agung ayu ratna medikawati
Page 84: i gusti agung ayu ratna medikawati
Page 85: i gusti agung ayu ratna medikawati

LAMPIRAN 3

PENJELASAN PENELITIAN

Judul : Korelasi kadar 25-hydroxyvitamin D plasma dengan keloid

Peneliti Utama : dr.I Gusti Agung Ayu Ratna Medikawati

Bapak / Ibu / Saudara / Saudari yang terhormat,

Keloid merupakan bekas luka patologis yang tumbuh melampaui batas luka, bersifat

jinak, merupakan tumor fibroproliferatif dermal tanpa potensi keganasan. Keloid ditandai

dengan deposisi yang berlebihan dari komponen matriks ekstraseluler seperti kolagen,

fibronektin, elastin, proteoglikan dan faktor-faktor pertumbuhan. Keloid menyebabkan

masalah kosmetik meskipun biasanya tanpa gejala, namun beberapa dapat nyeri, gatal,

tumbuh besar dan menyebabkan keterbatasan fungsional, terutama bila terletak di sepanjang

sendi.

Vitamin D dan metabolitnya memainkan peran yang penting pada hemostasis kalsium,

remodeling tulang, sekresi hormon, proliferasi dan diferensiasi sel. Penelitian terbaru juga

menunjukkan peran menguntungkan dari vitamin D dalam memperlambat berkembangnya

fibrosis jaringan, namun pengaruhnya terhadap fibrosis dermis dan keloid masih belum

diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan tentang hubungan antara

vitamin D dengan derajat keparahan keloid terkait dengan penanganan penyakit tersebut.

Penelitian ini akan melibatkan 47 orang secara sukarela. Pengumpulan data dilakukan

satu kali dengan wawancara menggunakan kuesioner diikuti dengan pemeriksaan klinis untuk

menilai derajat keparahan keloid. Bahan pemeriksaan berupa darah vena diambil dari lipat

lengan, akan dilakukan di laboratorium rujukan oleh dokter/tenaga medis yang terlatih. Untuk

Page 86: i gusti agung ayu ratna medikawati

pemeriksaan ini kami tidak akan menambah beban biaya pemeriksaan. Tidak terdapat risiko

berbahaya saat proses pengambilan bahan pemeriksaan. Kemungkinan risiko ringan yang

terjadi berupa nyeri yang bersifat subyektif pada pasien yang apabila menimbulkan syok

neurogenik sudah disiapkan tenaga medis, alat dan obat untuk penanganannya sesuai dengan

prosedur penanganan syok

Kami akan sangat menghargai apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini. Tidak terdapat pemaksaan dalam penelitian ini.

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat mengundurkan diri atau membatalkan ikut dalam penelitian

ini kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan tersebut tidak

digunakan untuk kepentingan lain dan data-data akan dijaga kerahasiaanya. Data ini mungkin

akan dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas data.

Demikian penjelasan yang kami sampaikan, atas kesediaan ikut serta dalam penelitian

ini kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Bila masih ada pertanyaan terkait

dengan penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat menghubungi : dr. I Gusti

Agung Ayu Ratna Medikawati, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah

Denpasar, telepon 081353412126.

Hormat kami,

dr.I Gusti Agung Ayu Ratna Medikawati

Peneliti

Page 87: i gusti agung ayu ratna medikawati

LAMPIRAN 4

FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

No telepon :

Setelah mendapatkan penjelasan lengkap dan mengerti tentang penelitian KORELASI

KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DENGAN KELOID menyatakan bersedia

ikut serta dalam penelitian ini sebagai peserta yang akan diteliti dan mengikuti prosedur

seperti yang telah disampaikan.

Denpasar, .................... 20...

Peserta penelitian, Saksi, Peneliti,

(.................................) (.................................) (dr. I G.A.A.Ratna Medikawati)

Page 88: i gusti agung ayu ratna medikawati

LAMPIRAN 5

KUESIONER PENELITIAN

Nomor sampel :

Nomor rekam medis :

Tanggal pemeriksaan :

IDENTITAS

1. Nama :

2. Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan

3. Tanggal lahir :

4. Alamat :

5. No telepon :

6. Pekerjaan :

o Pelajar / mahasiswa

o Wiraswasta, sebutkan ..............................

o Swasta, sebutkan ..............................

o Profesional, sebutkan ..............................

o Lain-lain, sebutkan ..............................

7. Pendidikan : Tidak sekolah / SD / SMP / SMA / Sarjana

8. Status perkawinan :

o Belum menikah

o Menikah

Page 89: i gusti agung ayu ratna medikawati

Jika perempuan :

a. Status kehamilan saat ini? Ya / Tidak

Jika ragu : HPHT tanggal ..............................

b. Kontrasepsi hormonal? Ya / Tidak

o Duda / janda

ANAMNESIS

1. Kapan pertama kali muncul benjolan di kulit ? ___________

(hari/bulan/tahun)

2. Dimana benjolan tersebut muncul? Dada ____/ Punggung ____/ Lobus telinga

____/ Lainnya _____

3. Apakah terdapat keluhan pada benjolan tersebut? Ya___(sebutkan………..)/

Tidak___

4. Apakah benjolan tersebut membesar? Ya___/Tidak___

5. Berapa lama benjolan mencapai ukuran sekarang? ____/____ (bulan/tahun)

6. Apakah ada luka yang mengawalinya? Ya___/Tidak___

7. Luka apa yang mengawalinya? Luka operasi____/ Luka non operasi____

8. Bila tidak ada luka, apakah ada penyebab lain?

Operasi___/Infeksi___/Gigitanserangga___/Vaksinasi___/Lainnya___

9. Apakah setiap luka yang dialami, meninggalkan sisa benjolan?

Ya___/Tidak___

10. Apakah sudah pernah diobati? Ya___ (sebutkan………….)/Tidak___

11. Kalau Ya, berapa lama pengobatan yang dijalani?______ (bulan/tahun)

Bagaimana hasil pengobatan? Memuaskan___/ Tidakmemuaskan___

12. Apakah sekarang sedang menyusui? Ya___/ Tidak___

Page 90: i gusti agung ayu ratna medikawati

13. Apakah sekarang sedang menstruasi? Ya___ / Tidak___

14. Apakah sekarang sedang sakit? Ya____ (demam/____ batuk-pilek/____

lainnya ___ / Tidak ___

15. Apakah memiliki penyakit berat lainnya seperti kencing manis, jantung,

tekanan darah tinggi, tiroid, paratiroid, tumor ovarium?Ya ____

(sebutkan…………….) /Tidak____

16. Apakah ada keluarga yang menderita keluhan yang sama? Ya___/ Tidak___

17. Lama paparan sinar matahari dalam 1 hari? ____ Jam

18. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari?

- Ikan laut? Ya___(sebutkan……………) / Tidak___

- Kuning telur? Ya___/Tidak___

- Susu? Ya___/Tidak___

- Hati sapi? Ya___/ Tidak___

19. Apakah mengkonsumsi suplemen vitamin D? Ya ___ / Tidak ___

20. Kalau Ya, berapa lama mengkonsumsi suplemen vitamin D ?

____(hari/bulan/tahun)

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik___ Sedang___ Lemah___ Buruk___

Gizi : Baik___ Sedang___ Buruk ___

Berat badan : ___ (Kg)

Temperatur aksila : ___ 0C

Status Dermatologi :

Lokasi :

Effloresensi :

Page 91: i gusti agung ayu ratna medikawati

GAMBAR :

DIAGNOSIS :

FOTO :

Page 92: i gusti agung ayu ratna medikawati

LAMPIRAN 6

VANCOUVER SCAR SCALE

I. Konsistensi

0 = Normal

1 = Lentur : fleksibel dengan sedikit tahanan

2 = Lunak : ikut dengan penekanan

3 = Keras : tidak lentur/tidak fleksibel, tidak dapat digerakkan, tahan terhadap

tekanan manual

4 = Padat : menimbulkan alur kepucatan yang meregang tetapi tidak

mengganggu pergerakan

5 = Kontraktur : pemendekan bekas luka yang permanen sehingga menimbulkan

deformitas atau distorsi

II. Ketinggian / ketebalan

0 = Datar

1 = < 2 mm

2 = 2-5 mm

3 = > 5 mm

III. Vaskularisasi

0 = Normal

1 = Merah muda : peningkatan sedikit suplai darah lokal

2 = Merah : peningkatan signifikan suplai pembuluh darah lokal

3 = Ungu : suplai pembuluh darah lokal berlebihan

IV. Pigmentasi

0 = Normal (sesuai dengan warna kulit)

1 = Hipopigmentasi (warna kulit lebih pucat dari normal)

2 = Campuran ( terdapat warna lebih pucat dan warna lebih gelap dari normal)

3 = Hiperpigmentasi (warna kulit lebih gelap dari normal)

Total Score :

Ringan = 0-4

Sedang = 5-9

Berat = 10-14

Page 93: i gusti agung ayu ratna medikawati

Lampiran 7

Data Sampel Penelitian

Nama

Umur

Jenis kelamin

Lokasi Penyebab Riwayat keluarga

Kadar 25(OH)D

VSS

L/P

Luka non operasi

Luka operasi

Gigitan serangga

Vaksin

Infeksi

Jerawat

Tidak tahu

Ringan

Sedang

Berat

An 30 P Perut √ + 20,28 √ Ln 39 P Punggung √ - 20,43 √ Yh 50 P Dada √ - 20,82 √ Aw 30 L Dada √ - 22,20 √ Bm 36 L Dada √ + 22,74 √ Ws 46 P Antebrachi

i D √ - 21,22 √

Wp 23 P Kruris D √ + 22,79 √ Ks 51 P Genu D √ - 22,45 √ Nr 39 L Perut √ - 21,86 √ Rm 33 P Perut √ + 19,35 √ Ad 28 P Kaki √ - 22,59 √ Dw 22 L Dada √ - 22,74 √ Pp 24 L Punggung √ + 20,13 √ Wr 29 L Dada √ + 19,15 √ Nr 29 L Antebrachi

i D √ - 24,17 √

Na 31 L Brachii S √ - 20,38 √ Ps 20 P Genu D √ - 20,77 √ Nu 33 P Genu D √ - 21,02 √ Aa 28 L Aurikula S √ + 20,92 √ My 32 P Antebrachi

i D √ + 21,26 √

Di 21 P Pedis D √ - 16,78 √ Psd 39 P Manus D √ - 20,82 √ Ma 33 L Perut √ + 24,66 √ Fa 24 L Brachii S √ + 20,63 √ Pa 20 P Retrouarik

ular D √ - 25,01 √

Md 36 L Antebrachii S

√ - 20,48 √

Wd 34 P Brachii D √ + 20,38 √ Vg 28 P Perut √ + 20,09 √ Bh 21 L Dada √ + 19,64 √ Pc 19 L Dada √ + 21,12 √ Ngi 28 L Antebrachi

i S √ + 16,64 √

Ga 56 P Kruris D √ - 20,82 √ Ka 8 P Brachii S √ + 20,53 √ Oa 29 P Femur S √ - 19,99 √ Mi 28 P Antebrachi

i D √ - 16,89 √

Page 94: i gusti agung ayu ratna medikawati

Gai 20 P Antebrachii D

√ - 19,89 √

Ta 28 P Perut √ - 20,28 √ Ib 18 L Punggung √ + 24,37 √ Ia 50 P Dada √ + 20,38 √ Dy 27 P Perut √ + 24,91 √ Ibk 36 L Dada √ √ + 16,69 √ Rs 31 L Genu S √ - 16,10 √ Sh 14 L Genu S √ + 20,63 √ Ii 42 L Dada √ - 16,05 √ Ai 30 P Brachii S √ - 24,56 √ Fi 25 P Pedis S √ - 25,65 √ Ro 38 P Pedis S √ - 20,63 √ Ka 30 L - 31,80 Kb 30 P - 32,09 Kc 35 P - 32,53 Kd 52 L + 33,03 Ke 24 P + 33,57 Kf 39 L - 33,52 Kg 23 L - 33,14 Kh 29 P - 29,48 Ki 36 P - 33,27 Kj 29 L - 33,57

Page 95: i gusti agung ayu ratna medikawati

Lampiran 8

Analisis Hasil Penelitian

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kat_umur * klp 57 100.0% 0 .0% 57 100.0%

kat_umur * klp Crosstabulation

klp

Keloid Kontrol Total

kat_umur <21th Count 7 0 7

% within klp 14.9% .0% 12.3%

21-40th Count 34 9 43

% within klp 72.3% 90.0% 75.4%

>40th Count 6 1 7

% within klp 12.8% 10.0% 12.3%

Total Count 47 10 57

% within klp 100.0% 100.0% 100.0%

Page 96: i gusti agung ayu ratna medikawati

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jk * klp 57 100.0% 0 .0% 57 100.0%

riwayat_kel * klp 57 100.0% 0 .0% 57 100.0%

jk * klp Crosstabulation

klp

Keloid Kontrol Total

jk Laki-laki Count 20 5 25

% within klp 42.6% 50.0% 43.9%

Perempuan Count 27 5 32

% within klp 57.4% 50.0% 56.1%

Total Count 47 10 57

% within klp 100.0% 100.0% 100.0%

Page 97: i gusti agung ayu ratna medikawati

Lokasi * klp Crosstabulation

klp

Keloid Total

Lokasi Ekstremitas sup Count 13 13

% within klp 27.7% 27.7%

Ekstremintas inf Count 12 12

% within klp 25.5% 25.5%

Dada Count 10 10

% within klp 21.3% 21.3%

Peraut Count 7 7

% within klp 14.9% 14.9%

Punggung Count 3 3

% within klp 6.4% 6.4%

Telinga Count 2 2

% within klp 4.3% 4.3%

Total Count 47 47

% within klp 100.0% 100.0%

Page 98: i gusti agung ayu ratna medikawati

riwayat_kel * klp Crosstabulation

klp

Keloid Kontrol Total

riwayat_kel Ada Count 21 2 23

% within klp 44.7% 20.0% 40.4%

Tidak ada Count 26 8 34

% within klp 55.3% 80.0% 59.6%

Total Count 47 10 57

% within klp 100.0% 100.0% 100.0%

Page 99: i gusti agung ayu ratna medikawati

penyebab * klp Crosstabulation

klp

Keloid Total

penyebab Luka Non Operasi Count 21 21

% within klp 44.7% 44.7%

Luka Operasi Count 14 14

% within klp 29.8% 29.8%

Gigitan Serangga Count 1 1

% within klp 2.1% 2.1%

Vaksi/Imunisasi Count 1 1

% within klp 2.1% 2.1%

Infeksi (Contoh: cacar) Count 4 4

% within klp 8.5% 8.5%

Jerawat Count 3 3

% within klp 6.4% 6.4%

Tidak Tahu Count 3 3

% within klp 6.4% 6.4%

Total Count 47 47

% within klp 100.0% 100.0%

Page 100: i gusti agung ayu ratna medikawati

Derajat Keparahan Keloid * klp Crosstabulation

klp

Keloid Total

Derajat Keparahan Keloid Ringan Count 7 7

% within klp 14.9% 14.9%

Sedang Count 34 34

% within klp 72.3% 72.3%

Berat Count 6 6

% within klp 12.8% 12.8%

Total Count 47 47

% within klp 100.0% 100.0%

Case Processing Summary

klp

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kadar_25H_VitD Keloid 47 100.0% 0 .0% 47 100.0%

Kontrol 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%

Page 101: i gusti agung ayu ratna medikawati

Descriptives

klp Statistic Std. Error

kadar_25H_VitD Keloid Mean 20.8913 .34162

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 20.2036

Upper Bound 21.5789

5% Trimmed Mean 20.9111

Median 20.6300

Variance 5.485

Std. Deviation 2.34203

Minimum 16.05

Maximum 25.65

Range 9.60

Interquartile Range 2.36

Skewness -.121 .347

Kurtosis .118 .681

Kontrol Mean 32.6000 .39851

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound 31.6985

Upper Bound 33.5015

5% Trimmed Mean 32.7194

Median 33.0850

Variance 1.588

Std. Deviation 1.26020

Minimum 29.48

Maximum 33.57

Page 102: i gusti agung ayu ratna medikawati

Range 4.09

Interquartile Range 1.52

Skewness -1.934 .687

Kurtosis 4.145 1.334

Page 103: i gusti agung ayu ratna medikawati

Uji Normalitas

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kadar_25H_VitD 47 82.5% 10 17.5% 57 100.0%

vss 47 82.5% 10 17.5% 57 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

kadar_25H_VitD .143 47 .017 .934 47 .011

vss .153 47 .008 .952 47 .052

a. Lilliefors Significance Correction

Page 104: i gusti agung ayu ratna medikawati

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

klp N Mean Rank Sum of Ranks

kadar_25H_VitD Keloid 47 24.00 1128.00

Kontrol 10 52.50 525.00

Total 57

Test Statisticsa

kadar_25H_VitD

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 1128.000

Z -4.932

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: klp

Page 105: i gusti agung ayu ratna medikawati

Uji Korelasi

Correlations

kadar_25H_VitD vss

Spearman's rho kadar_25H_VitD Correlation Coefficient 1.000 -.584**

Sig. (2-tailed) . .000

N 57 47

vss Correlation Coefficient -.584** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 47 47

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Model Summary and Parameter Estimates

Dependent Variable:vss

Equation

Model Summary Parameter Estimates

R Square F df1 df2 Sig. Constant b1

Linear .604 68.605 1 45 .000 21.817 -.702

The independent variable is kadar_25H_VitD.

Page 106: i gusti agung ayu ratna medikawati

LAMPIRAN 9

FOTO DERAJAT KEPARAHAN KELOID BERDASARKAN VSS PADA SUBYEK

PENELITIAN

Ringan

(VSS 0-4) Sedang

(VSS 5-9) Berat

(VSS 10-14) FOTO ALAT UKUR VSS

1. Konsistensi Alat pembanding konsistensi bola karet dengan konsistensi yang berbeda

Page 107: i gusti agung ayu ratna medikawati

2. Ketinggian / ketebalan Alat ukur : Mikrometer

3. Vaskularisasi Alat : Dermoskopi

Vaskularisasi (+) Vaskularisasi (-)