hukum perlindungan konsumen

Upload: gusti-syarif-auliah-tirtayasa

Post on 05-Jul-2015

261 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS HUKUM KOMERSIAL PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh : Alfian Adiwantomo 105020100111082

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS JURUSAN ILMU EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, seperti juga yang dialami konsumen di negara negara berkambang lainnya, tidak hanya pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, serta harga yang sesuai.

Latar belakang perlindungan konsumenHak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, keberadaan UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Definisi Perlindungan KonsumenBerdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka 1 disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan menentukan diantara keduanya. atas Kepastian barang hukum itu jasa meliputi segala upaya serta berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau pilihannya dan/atau kebutuhannya mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Sejarah Perlindungan KonsumenMasalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayaingi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitui bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminarseminar, penyusunan naskag penelitian, pengkajian dan naskah akademik RUU (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara historis, beberapa diantara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desember 1975) b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun 1979-1980). c. Yayasan Lembaga Konsummen Indonesia, perlindungan kosumen indonesia suatu sunbangan pemikiran tentang rancangan Undang- undang Perlindungan konsumen (1981). d. Departemen perdagangan RI bekerjasama dengan fakultas hukum UI, RUU tentnang perlindungan konsumen (1997) e. DPR RI, usul inisiatif DPR tentang UU perlindungan KonsumenDesember 1998.

Selain pembahasan-pembahasan diatas masih banyak lagi lokakarya-lokakarya, seminar-seminar, berkenaan dengan perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen, dari berbagai aspeknya. Untuk hadirnya suatu UU tentang perlindungan konsumen yang terdiri dari 15 bab dan 65 pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang UU ini dikumandangkan (19752000), meskipun masih ada kekurangan disana sini (selanjutnya menjadi tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional-BPKN). Sekalipun demikian ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat indonesia yang kesemuanay adalah konsumen pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan atau jasa konsumen. Beberapa tahun belakangan ini, ada banyak masalah pelanggaran hak-hak konsumen yang justru makin bertambah. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut menimbulkan keresahan yang sangat akut bagi kehidupan masyarakat. Masyarakat sepertinya dihantui ketakutan yang sangat mengerikan karena makanan atau yang dikonsumsinya setiap hari mengandung berbagai bentuk zat atau bahan yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa mereka. Makanan atau minuman yang menggunakan bahan pengawet untuk mayat (formalin), bahan pewarna pakaian, bahan pengawet yang tidak memenuhi ketentuan yang sehat, boraks dan sebagainya, seakan menjadi momok yang menakutkan karena sangat membahayakan bagi jiwa mereka di kemudian hari. Kasus-kasus tersebut tidak hanya sekali atau dua kali terjadi. Boleh dibilang, hampir setiap tahun selalu menjadi pemberitaan hangat di berbagai media massa Nasional. Hanya, memang kadang-kadang pemberitaan tersebut silih berganti muncul dan tenggelam, menjadi isu yang seakan tak pernah tuntas untuk diselesaikan. Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam kasus-kasus perlindungan konsumen : 1. Perbuatan pelaku usaha, baik disengaja maupun karena kelalaian, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya, kerugian yang diderita konsumen dapat bersifat massal (massive effect). 2. Dampak yang ditimbulkannya juga bersifat seketika (rapidly effect). Sebagai contoh, konsumen yang dirugikan (karena mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit, atau bahkan meninggal dunia. Ada juga beberapa efek yang ditimbulkannya baru terasa beberapa hari kemudian (hidden effect). Contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlah produk yang bisa mengakibatkan sakit kanker pada kemudian hari. 3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak ada pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya kapan saja.

Kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk. Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang kurang hati-hati dalam melakukan pengawasan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen. 2. Adanya kebijaksanaan resmi pemerintah tentang pemakaian barang berbahaya atau adanya barang yang mempunyai cacat, yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang menyangkut dengan keamanan dan keselamatan masyarakat. Misalnya dipakainya DOT untuk pemberantasan malaria melalui Depkes RI. 3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 4. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.

Asas dan Tujuan Perlindungan KonsumenUpaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. 1. Asas perlindungan konsumen Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen. a. Asas manfaat Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelau usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c. Asas keseimbangan Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. 2. Tujuan perlindungan konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut. 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Dasar Hukum Perlindungan KonsumenHukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan Rakyat (DPR) yang telah diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat (RUU) dengan tentang pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan menyepakati Rancangan Undang-Undang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.

Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar. 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

Hak dan Kewajiban KonsumenSebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.

2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi persaingan curang. Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).

Aspek Hukum Perlindungan KonsumenHukum perlindungan konsumen adalah hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen terhadap barang kenutuhan yang dibutuhkan sehari-hari baik itu barang dan/atau jasa. Hampir semua aspek kehidupan bersentuhan dengan konsumen. Karena itulah hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Sebelum lahirnya UU Perlindungan Konsumen banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur didalamnya tentang konsumen, misal kesehatan, keselamatan, dsb.

Terlepas dari Undang-undang yang mengatur tentang konsumen tersebut, pengaturan tentang perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yaitu : 1. Aspek hukum publik 2. Aspek hukum privat/perdata 1. Aspek Hukum Publik Cabang-cabang hukum publik yang berkaitan dan berpengaruh atas hukum konsumen umumnya adalah hukum administrasi, hukum pidana dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan praktek bisnis, maupun Resolusi PBB tentang perlindungan konsumen sepanjang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu anggota. Diantara cabang hukum ini, tampaknya yang paling berpengaruh pada hubungan dan masalah yang termasuk hukum konsumen atau perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi negara sebagaimana diketahui bahwa hukum publik pada pokoknya mengatur hubungan hukum antara instansi-instansi pemerintah dengan masyarakat, selagi instansi tersebut bertindak selaku penguasa. Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah yang diberikan Berbagai wewenang instansi untuk itu, sangat perlu bagi perlindungan konsumen. berdasarkan peraturan perundang-

undangan tertentu diberikan kewenangan untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili setiap perbuatan pidana yang memenuhi unsur-unsur dari norma-norma hukum yang berkaitan. Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHPidana atau diluar KUHPidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. KUHP No. 8 Tahun 1981 (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan. Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana.

Beberapa perbuatan tertentu dan dinyatakan sebagai tindak pidana yang sangat berkaitan dengan kepentingan konsumen termuat dalam KUHPidana maupun yang terdapat diluar KUHPidana adalah : 1. Termuat dalam KUHPidana adalah : a. Pasal 204 dan 205 KUHPidana. b. Pasal 382 bis dan 383, 386, 387, 390 KUHPidana. 2. Termuat di luar KUHPidana antara lain : a. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang lingkungan hidup pada Pasal 82 ayat (3) menyatakan tindakan-tindakan tertentu tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. b. Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang perindustrian diatur pada Pasal 28 dari undang-undang ini. c. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan diatur pada Pasal 80 dan Pasal 86 undang-undang ini. d. Undang-undang No. 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas jalan dan angkutan jalan. 2. Aspek Hukum Privat/Perdata Dalam hukum perdata yang lebih banyak digunakan atau berkaitan dengan azasazas hukum mengenai hubungan/masalah konsumen adalah buku ketiga tentang perikatan dan buku keempat mengenai pembuktian dan daluarsa. Buku ketiga memuat berbagai hubungan hukum konsumen. Seperti perikatan, baik yang terjadi berdasarkan perjanjian saja maupun yang lahir berdasarkan Undang-undang. Hubungan hukum konsumen adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Hubungan konsumen ini juga dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1313 sampai Pasal 1351 KUHPerdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara sukarela diantara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak (ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata). Selanjutnya diantara perikatan yang lahir karena Undang-undang yang terpenting adalah ikatan yang terjadi karena akibat sesuatu perbuatan yang disebut juga dengan perbuatan melawan hukum (ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata). Sedangkan pertanggung jawaban perbuatan itu tidak saja merupakan perbuatan sendiri tetapi juga dari orang yang termasuk tanggung jawabnya seperti yang diatur pada Pasal 1367-1369 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum (on rechtmatigedaad) diatur dalam buku ketiga titel 3 Pasal 1365 sampai 1380 KUHPerdata, dan merupakan perikatan yang timbul dari Undang-undang. Perikatan dimaksud dalam hal ini adalah terjadi hubungan hukum

antara konsumen dan produsen dalam bentuk jual beli yang melahirkan hak dan tanggung jawab bagi masing-masing pihak dan apabila salah satu pihak tidak memenuhi hukumnya kewajibannya akan menimbulkan permasalahan dalam hubungan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hakhak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. 1. Penyelesaian Peadilan Umum Pasal 45 (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa ini merupakan pilihan dari para pihak apakah diselesaikan melalui peradilan umum ataukah diluar peradilan atau damai. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK Kemudian pasal 45 ayat (3) UUPK, menyebutkan penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggunng jawab pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut pasal 46 UU Perlindungan Konsumen adalah : a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen. d. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. 2. Penyelesaian di Luar Pengadilan Undang-undang Perlindungan Konsumen disamping mengatur penyelesaian sengketa di peradilan umum juga mengatur penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan diluar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan: jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat

ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini diatur dalam pasal 47 UUPK. Lalu pertanyaannya adalah apakah penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini apakah termasuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Daftar pustaka Google BW Book Catatan Kuliah

Rangkuman

Pasal l Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan hadan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. 7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia. 9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonPemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 10.Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkaan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen11.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 12.Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 13.Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sik.ap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 4 Hak konsumen adalah : 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5 Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungankonsumen secara patut.

Pasal 6 Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Rangkuman (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 3. Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang selanjutnya disebut BPKN adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

4. Lembaga

Perlindungan

Konsumen

Swadaya

Masyarakat

adalah

lembaga

non

Pemerintah yang terdaftar dandiakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. Pasal 2 1. BPKN berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2. Apabila diperlukan BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota Daerah Propinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Pasal 3 1. BPKN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. 2. Untuk menjalankan saran fungsi dan sebagaimana rekomendasi dimaksud kepada dalam ayat (1), BPKN rangka mempunyai tugas : a. memberikan pemerintah dalam penyusunan kebijaksanaan dibidang perlindungan konsumen; b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut swadaya keselamatan konsumen; d. mendorong masyarakat; e. menyebarkan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; dan g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. 3. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), BPKN dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional. Pasal 4 1. BPKN terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur. 2. Anggota BPKN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari unsur-unsur : berkembangnya lembaga perlindungan konsumen

a. Pemerintah; b. Pelaku usaha; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; d. Akademisi; dan e. Tenaga ahli. 3. Jumlah wakil setiap unsur yang menjadi anggota BPKN tidak harus sama namum keseimbangan jumlah wakil setiap unsur harus diperhatikan. Pasal 5 1. Anggota BPKN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2. 3. Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota BPKN selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua BPKN dipilih oleh anggota. Pasal 6 Pengangkatan anggota BPKN melalui tahapan sebagai berikut : a. Menteri mengajukan usul calon anggota BPKN yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada Presiden; b. c. dan d. Presiden mengangkat anggota BPKN dari calon anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 7 Pemberhentian anggota BPKN melalui tahapan sebagai berikut : a. Menteri mengajukan usul pemberhentian anggota BPKN yang tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan BPKN kepada Presiden; b. Usul pemberhentian anggota BPKN tersebut dikonsultasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. c. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap usul pemberhentian anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden; dan d. Presiden memberhentikan anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 8 Calon anggota BPKN dikonsultasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan pertimbangan dan Rakyat Republik Indonesia; penilaian terhadap calon anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden;

1. Anggota BPKN yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir digantikan oleh anggota pengganti antar waktu. 2. Pengangkatan anggota pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 3. Pemberhentian anggota pengganti antar waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, 4. baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. 5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 6. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya disebut BPSK, adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 7. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya disebut LPKSM adalah lembaga non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.

8. Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang selanjutnya disebut BPKN adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 9. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. Pasal 2 Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pasal 3 1. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk : a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 2. Menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Pasal 4 Dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen; b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga; d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing; e. peningkatan keterampilan; f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen; pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan,

g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan; i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar Pasal 5 Dalam upaya untuk mengembangkan LPKSM, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; b. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan. Pasal 6 Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal : a. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen; b. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa; c. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan d. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. Pasal 7 Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pasal 8 1. Pengawas oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang dan/atau jasa. Pasal 9 mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.

1. Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei. 3. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. 4. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. Pasal 10 1. Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 2. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei. 3. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. 4. Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen. 5. Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. Pasal 11 Pengujian terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 12 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundangundangan yang berkaitandengan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 13

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersediadalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 4. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 5. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. Pasal 2 1. Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat sebagai berikut : a. terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan b. bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. 2. LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia. 3. Tata cara pendaftaran LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri.

Pasal 3 Tugas LPKSM meliputi kegiatan : a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan;

c. melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Pasal 4 Penyebaran informasi yang dilakukan oleh LPKSM, meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. Pasal 5 Pemberian nasihat kepada konsumen yang memerlukan dilaksanakan oleh LPKSM secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Pasal 6 Pelaksanaan kerja sama LPKSM dengan instansi terkait meliputi pertukaran informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen. Pasal 7 Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok. Pasal 8 Pengawasan perlindungan konsumen oleh LPKSM bersama Pemerintah dan masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Pasal 9 1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, LPKSM dapat bekerja sama dengan organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun internasional. 2. LPKSM melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota setiap tahun. Pasal 10 1. Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM, apabila LPKSM tersebut : a. tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau

b. terbukti melakukan kegiatan pelanggaran ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya. 2. Ketentuan mengenai tata cara pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam keputusan Menteri. Pasal 11 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(7)Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar Pasal 1 Membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut BPSK, pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar. Pasal 2 Setiap konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat menggugat pelaku usaha melalui BPSK di tempat domisili konsumen atau pada BPSK yang terdekat. Pasal 3 Biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Pasal 4 Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (8) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 2. Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut TDLPK adalah Tanda Daftar yang diberikan oleh Pemerintah kepada LPKSM yang memenuhi persyaratan untuk bergerak di bidang penyelenggaraan perlindungan konsumen. 3. Cabang LPKSM adalah LPKSM yang merupakan unit atau bagian dari LPKSM induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari induknya. 4. Perwakilan LPKSM adalah LPKSM yang bertindak mewakili Kantor Pusat LPKSM untuk melakukan suatu kegiatan dan atau pengurusannya ditentukan sesuai wewenang yang diberikan. 5. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan; 6. Kepala Dinas adalah Kepala unit kerja yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan pada daerah Kabupaten atau daerah Kota. Pasal 2 1. Pemerintah mengakui setiap LPKSM yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya. 2. Pengakuan LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan TDLPK. Pasal 3 1. Kewenangan penerbitan TDLPK berada pada Menteri. 2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati atau Walikota. 3. Bupati atau Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas. Pasal 4 1. TDLPK diterbitkan berdasarkan tempat kedudukan atau domisili LPKSM. 2. TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal 5

Kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM dalam menjalankan kegiatan penyelenggaraan perlindungan konsumen dapat mempergunakan TDLPK Kantor Pusat dan dibebaskan dari pendaftaran untuk memperoleh TDLPK.

Pasal 6 1. Permohonan untuk memperoleh TDLPK diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat kepada Bupati atau Walikota melalui Kepala Dinas setempat, dengan mengisi Formulir Surat Permohonan (SP-TDLPK) Model A sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini. 2. Apabila kewenangan pemberian TDLPK dilimpahkan kepada Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka permohonan diajukan langsung kepada Kepala Dinas setempat dengan mengisi Formulir Surat Permohonan (SPTDLPK) Model A, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini. 3. Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditanda tangani oleh pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat atau penanggung jawab atau kuasanya. Pasal 7 1. Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilampiri dokumendokumen sebagai berikut : a. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan : 1. Copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang; 2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab Lembaga Swadaya Masyarakat yang masih berlaku; dan 3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili Lembaga Swadaya Masyarakat dari Lurah/Kepala Desa setempat. b. Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan : 1. Copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang; 2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab Lembaga Swadaya Masyarakat yang masih berlaku; dan 3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili Lembaga Swadaya Masyarakat dari Lurah/Kepala Desa setempat. 2. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan daftar lengkap susunan anggota, pengurus dan susunan organisasi. 3. Apabila pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum diperoleh, maka pemohon TDLPK cukup melampirkan copy akta pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat dan copy surat permohonan pengesahan atau bukti setor Biaya Administrasi Pembayaran proses pengesahan sebagai kelengkapan persyaratan.

4. Apabila pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah diterbitkan, maka pemohon TDLPK wajib menyampaikan copy Surat Keputusan pengesahan kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterbitkannya pengesahan. 5. Apabila permohonan pengesahan Badan Hukum atau Yayasan atau yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditolak maka penerbitan TDLPK ditunda sampai adanya pengesahan. 6. `Copy Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu ditunjukkan aslinya guna keabsahan dokumen yang bersangkutan. Pasal 8 1. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya SP-TDLPK Model A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 secara lengkap dan benar, Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan wajib menerbitkan TDLPK dengan menggunakan Formulir TDLPK Model B sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini. 2. Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) TDLPK tidak/belum diterbitkan maka LPKSM yang bersangkutan dianggap telah terdftar. 3. Apabila pengisian TDLPK dan kelengkapannya belum lengkap dan benar maka Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya SP-TDLPK Model A, wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemohon yang bersangkutan disertai alasan-alasannya. 4. Pemohon wajib melakukan perbaikan dan atau melengkapi persyaratan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). 5. Apabila setelah jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) pemohon yang bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan secara lengkap dan benar, maka Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas menolak Permohonan TDLPK. 6. Pemohon yang ditolak Permohonan TDLPKnya dapat mengajukan kembali permohonannya dengan memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Keputusan ini. Pasal 9 1. LPKSM yang membuka kantor cabang atau kantor perwakilan, wajib melapor secara tertulis kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas di tempat kedudukan kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM tanpa wajib mengisi formulir Surat Permohonan (SP-TDLPK) Model A.

2. Laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dokumen sebagai berikut : a. copy TDLPK Kantor Pusat yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang menerbitkan TDLPK; b. copy KTP penanggung jawab kantor cabang atau kantor perwakilan LPKSM di tempat; c. struktur organisasi, susunan pengurus dan anggota kantor cabang atau kantor perwakilan. d. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas di tempat kedudukan kantor cabang atau kantor perwakilan mencatat pembukaan kantor cabang atau kantor perwakilan dengan membubuhkan tanda tangan, cap stempel pada copy TDLPK Pusat sebagai bukti bahwa TDLPK berlaku bagi kantor cabang atau kantor perwakilan. Pasal 10 1. Setiap perubahan data TDLPK yang menyangkut nama, alamat dan status hukum LPKSM wajib dilaporkan kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang berwenang menerbitkan TDLPK untuk mengganti TDLPK dengan mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Keputusan ini. 2. Perubahan data TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan TDLPK baru dan TDLPK lama dinyatakan tidak berlaku lagi. 3. Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengeluarkan TDLPK dengan menggunakan Formulir TDLPK Model B. 4. Perubahan pengurus, struktur organisasi, kegiatan dan perubahan lainnya cukup dilaporkan secara tertulis tanpa harus mengubah atau mengganti TDLPK. Pasal 11 1. Apabila TDLPK yang telah diperoleh LPKSM hilang atau rusak tidak terbaca, LPKSM yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan penggantian TDLPK secara tertulis kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang berwenang mengeluarkan TDLPK untuk memperoleh penggantian TDLPK baru. 2. Permohonan penggantian TDLPK yang hilang atau rusak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan mengisi Formulir Surat Permohonan (SP-TDLPK) Model A sebagaimana tercantum dalam lampiran I Keputusan ini dengan : a. melampirkan Surat Keterangan Hilang dari Kepolisian setempat bagi TDLPK yang hilang; atau b. melampirkan TDLPK asli yang rusak atau tidak terbaca.

3. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung

sejak diterimanya Surat

Permohonan penggantian TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang bersangkutan wajib mengeluarkan TDLPK Pengganti dengan menggunakan Formulir TDLPK Model B dengan dibubuhi kata Duplikat atau Pengganti. 4. Dengan diterbitkan TDLPK pengganti/duplikat, maka TDLPK lama yang hilang atau rusak dinyatakan tidak berlaku lagi. 5. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) TDLPK tidak atau belum diterbitkan, maka LPKSM yang bersangkutan dianggap telah memiliki TDLPK pengganti/duplikat. Pasal 12 1. LPKSM yang telah memperoleh TDLPK wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang berwenang menerbitkan TDLPK setiap sekali setahun terhitung mulai tanggal penerbitan TDLPK dengan menggunakan Formulir Laporan (LP-TDLPK) Model C sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini, dengan tembusan kepada Gubernur cq. Kepala Dinas propinsi yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang perdagangan. 2. Apabila diperlukan Menteri sewaktu-waktu dapat meminta laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas atau langsung kepada LPKSM yang bersangkutan. Pasal 13 Bupati kepada atau Walikota Jenderal atau Kepala Dinas menyampaikan Negeri cq. laporan tentang rekapitulasi kegiatan LPKSM di wilayah kerjanya kepada Gubernur dengan tembusan Direktur Perdagangan Dalam Direktur Perlindungan Konsumen. Pasal 14 1. LPKSM diberi peringatan tertulis apabila : a. tidak memberikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1) atau Pasal 12 ayat (1) selama 2 (dua) tahun berturut-turut; b. melakukan kegiatan pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif oleh ketentuan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen. 2. Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan LPKSM diberi peringatan tertulis apabila : a. tidak memberikan laporan tertulis sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1); ketentuan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen. 3. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diberikan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan untuk setiap peringatan oleh Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang b. melakukan kegiatan pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif oleh

menerbitkan TDLPK dengan menggunakan Formulir Peringatan (P- TDLPK) Model D sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini. Pasal 15 1. TDLPK dibekukan apabila LPKSM yang bersangkutan : a. tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) Keputusan ini; atau b. sedang terlibat pemeriksaan perkara pelanggaran terhadap ketentuan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam proses pengadilan. 2. Selama TDLPK dibekukan, keikutsertaan LPKSM dalam keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ataupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibekukan. 3. Pembekuan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak dikeluarkan penetapan pembekuan, sedangkan pembekuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berlaku sejak proses perkara dimulai sampai dengan adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 4. Pembekuan TDLPK dilakukan oleh Bupati atau Walikota atau Kepala Dinas yang berwenang menerbitkan TDLPK dengan menggunakan Formulir Pembekuan (PBTDLPK) Model E sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Keputusan ini. 5. TDLPK yang telah dibekukan dapat diberlakukan kembali dengan surat pencabutan pembekuan, apabila LPKSM yang bersangkutan telah mengindahkan peringatan dengan melakukan perbaikan atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam keputusan ini atau dinyatakan tidak bersalah atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berdasarkankeputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 16 1. TDLPK dibatalkan apabila LPKSM yang bersangkutan : a. tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen; atau b. tidak melakukan perbaikan setelah melampaui batas waktu pembekuan, dan telah ada Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Keputusan ini; c. TDLPK diperoleh berdasarkan keterangan atau data yang tidak benar atau palsu. 2. Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan tanpa melalui proses peringatan maupun pembekuan.

3. Kewenangan pembatalan TDLPK dilakukan oleh pejabat yang menerbitkan TDLPK dengan menggunakan Formulir Pembatalan (PBT-TDLPK) Model F sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Keputusan ini. Pasal 17 1. Terhadap pembatalan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), kecuali disebabkan oleh alasan adanya keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, LPKSM dapat mengajukan permohonan keberatan pada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak dikeluarkan pembatalan TDLPK. 2. Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menerima atau menolakpermohonan keberatan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan keberatan. Pasal 18 1. Apabila permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) diterima, Direktur Jenderal Perdagangan yang Dalam Negeri mengeluarkan TDLPK surat bahwa pemberitahuan kepada pejabat berwenang menerbitkan

keberatan LPKSM yang bersangkutan dapat diterima disertai dengan alasan-alasan. 2. Apabila permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Keputusan ini ditolak, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri mengeluarkan surat pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan TDLPK bahwa keberatan LPKSM tidak dapat diterima dan pembatalan berlaku definitif. Pasal 19 Apabila pejabat yang berwenang menerbitkan TDLPK berhalangan selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut atau lebih, pejabat yang bersangkutan wajib menunjuk seorang pejabat setingkat lebih rendah yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang Perlindungan Konsumen, yang bertindak untuk dan atas nama pejabat yang berwenang menerbitkan TDLPK. Pasal 20 Hal-hal teknis yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Pasal 21 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

(9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan PERTAMA : Mengangkat Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Kota

masing-masing Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, I, II, III,IV, V, VI dan VII Keputusan ini.

Bandung, Kota Semarang, dan kota Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam Lampiran

KEDUA : Masa kerja anggota sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA berlaku selama 5 (lima) Tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. KETIGA : Kepada anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA diberikan Honorarium setiap bulan terhitung sejak tanggal pelantikan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pembayaran Desember Perlindungan Honorarium terhitung sejak pelantikan sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2002 dibebankan kepada DIP Proyek Pemberdayaan Konsumen Tahun Anggaran 2002 (Mata Anggaran 01.5203.B.5960)

pada Direktorat Perlindungan Konsumen Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan; b. Pembayaran Honorarium Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhitung mulai 1 Januari 2003 dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada masing-masing Pemerintah Kota sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA.