hukum pemerintahan belanda

Upload: almirafirdaus

Post on 15-Jul-2015

1.116 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN PENGANTAR Sistem pemerintahan colonialKolonialisme yang pernah dilaksanakan di Indonesia memang banyak mewariskan pola dan struktur minimalnya dalam pengertian politik yaitu terbentuknya pemerintahan colonial yang didalamnya termasuk system birokrasi. Dalam konteks hari ini kita akan mendapati bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan. Hal ini sesungguhnya bisa kita lihat dalam perjalanan sejarah bangsa ini ada, dan peranan birokrasi yang begitu dominan. Sejarah perkembangan birokrasi diberbagai negara didunia menunjukkan bahwa ia diciptakan lebih untuk menghadapi kebutuhan akan pengendalian. Ia diciptakan bukan semata-mata muncul sebagai akibat dari kompleksitas fungsional masyarakat modern. Fenomena ini tampak lebih nyata di negara-negara dunia ketiga.1 Dalam konteks Indonesia perjalanan dan perkembangan birokrasi mempunyai akar historis yang panjang, jauh sebelum bangsa Belanda datang ke Nusantara sudah terdapat negara-negara kerajaan dengan aparat pemerintahannya untuk melangsungkan jalannya sebuah tatanan bermasyarakat, pada masa tersebut di nusantara eksis berbagai negara kerajaan yang sinkretik, yang menurut Max Weber disebut negara patrimonial: masyarakat tersusun atas kelas yang berkuasa (raja, Santana atau bangsawan dan mentri atau pejabat) dan kelas yang dikuasai 9kawula atau wong cilik) dimana kelas ekonomi kelas yang pertama adalah sector foya-foya yang memegang wewenang penggunaan dan pembayaran upeti.2 Sampai dengan masuknya Belanda dan membentuk negara Hindia Belanda tahun 1807 sebaga negara colonial, konsep pemerintahan modern pertamakali diperkenalkan oleh gubernur jendral Herman Wilem Daendels yang melihat kegagalan dari VOC untuk mendatangkan surplus yang besar bagi negri Belanda dan yang terjadi adalah korupsi yang melanda tubuh VOC yang sampai pada akhirnya mengalami kebangkrutan.

Kedatangan Belanda ke Indonesia yang pada awalnya hanya mencari rempah-rempah ternyata berubah menjadi menyusun kekuatan untuk mendirikan1

Mohtar Masoed, Politik Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar Yogyakarta, tahun 2003 hal 71-72. 2 Kuntowijoyo. Agama negara dan Formasi Sosial dalam prisma no.8 tahun 1984.

kekuasaan di Indonesia. Melalui lembaga dagang VOC, terbentuklah cita-cita mencari kekayaan di Indonesia, serta memengaruhi berbagai hal di Indonesia, antara lain, lembaga dagang VOC memiliki pengurus terdiri dari tujuh belas orang yang disebut De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) yang berpusat di negeri Belanda. Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat gubernur jenderal yang didampingi Dewan Hindia. Dewan Hindia (Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat gubernur di daerah seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama Dewan Hindia mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak terbatas. Selain gubernur jenderal, diangkat pula seorang direktur jenderal yang bertugas mengurusi perniagaan serta mengurus perkapalan. Setelah VOC runtuh, Indonesia diperintah oleh Daendels. Gubernur Jenderal Daendels, memerintah pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Dia menjual tanah-tanah disekitar Jakarta dan Krawang kepada orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, yang juga diberi hak untuk menuntut pekerjaan rodi dari penduduk yang bermukim diatas tanah itu. Inilah asal mula adanya tanah-tanah partikelir di Pulau Jawa3. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karesidenan yang dikepalai oleh seorang perfect. Ia juga mendirikan Pengawas Keuangan (Algemene Rekenkamer). Sikap otoriter Daendels menyebabkan banyak peperangan dengan raja-raja daerah serta keburukan pemerintahannya sehingga ia ditarik kembali pulang ke negeri Belanda. Tujuan dikirimnya Gubernur Jenderal Daendels ke Jawa adalah untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Dalam rangka mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendles membuat beberapa kebijakan, di antaranya : (a) Membuat Grote Postweg (Jalan Raya Pos) dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur); jalan ini didirikan agar di setiap kota/kabupaten yang dilaluinya terdapat kantor-kantor pos; dengan adanya pos-pos ini maka penyampaian berita akan lebih cepat sehingga berita apa pun akan lebih cepat diterima.3

Andel, J.Ph : Sejarah Ekonomi, Jakarta, 1959.

(b) Mendirikan benteng-benteng pertahanan sebagai antisipasi terhadap serangan dari tentara Inggris yang juga ingin menguasai Jawa. (c) Membangun pangkalan angkatan laut di Merak dan Ujung Kulon. (d) Menambah jumlah pasukan dari 4.000 orang menjadi 18000 orang, yang sebagian besar orang-orang Indonesia (dari Maluku, Jawa). (e) Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya. Selain itu, Daendels juga mengubah sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan Eropa. Pulau Jawa di bagi menjadi sembilan prefektur (keresidenan), yang dikepalai oleh seorang residen yang membawahkan beberapa bupati (kabupaten). Para bupati ini diberi gaji tetap dan tidak diperkenanan meminta upeti kepada rakyat. Dampaknya kewibawaan para bupati dihadapan rakyatnya menjadi merosot, karena bupati adalah pegawai pemerintah yang harus tunduk kepada keinginan pemerintah. Rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang sangat hebat. Selain dituntut untuk membayar pajak-pajak pemerintah, mereka juga diharuskan terlibat dalam kerja paksa (rodi) pelaksanaan pembangunan Jalan Raya Pos. Untuk menutupi biaya pembangunan, tanah-tanah rakyat dijual kepada orang-orang partikelir Belanda dan Tionghoa. Penjualan tanah juga termasuk penduduk yang mendiami wilayah tersebut, sehingga penderitaan rakyat kecil semakin bertambah akibat dari tindakan

sewenangwenang para pemilik tanah. Ribuan rakyat Indonesia meninggal dalam pembuatan Jalan Raya Pos dikarenakan kerja yang sangat berat sedangkan mereka tidak dibayar dan diberi makan dengan layak. Daendels membagi wilayah pemerintahanya dalam perfectur yang bisa di samakan dengan gewes dan dikepalai oleh seorang perfect. Istilah perfect adalah suatu istilah prancis nama itu dipakai, karena Deandels terkenal sebagai seorang pengagum perancis. Jalan pemerintah pada masa itu sangat sentralistis, ialah dari gubernur jendral kepada perfect, perfect kepada bupati, dan bupati kepada pegawai bawahannya.Setelah bangsa Belanda mendirikan pemerintahan Hindia belanda dan diikuti dengan membenahi system pemerintahan dengan membenahi system pemerintahan dengan menggunakan prinsip-prinsip modern, kemudian dia yang lantas mereformasi system administrasi Belanda: membagi daerah-daerah administras menjadi kerasidenan-

kerasidenan, menyamakan gelar jabatan, member pejabat tugas pemerintahan, bukan hanya mengurus mengurus perdagangan dan produksi melainkan peradilan dan keamanan. 4 Dia juga merencanakan membirokratiskan para bupati dan pejabat di jawa, ringkasnya dia mempersiapkan Nusantara sebagai jajahan Belanda.5

BAB II PEMBAHASAN Pemerintah kerajaan Belanda setelah menerima kembali wilayah jajahannya dari Ingris segera membentuk pemerintahan baru di Indonesia. Pemerintahan baru tersebut dikenal sebagai pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan baru di Indonesia dalam mengelola wilayahnya mengambil kebijakan sebagai berikut. a. Sistem Birokrasi Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan. Sistem birokrasi tradisional, struktur hierarki terdiri dari kelas penguasa pada tingkat atas yaitu raja beserta keluarganya dan para birokrat, sampai pada tingkat daerah. Puncak hierarki ditempati oleh raja yang memiliki otoritas tradisional yang telah diterimanya sebagai hak turun-temurun. Pihak penguasa4

Samudra Wibawa, Negara-negara di Nusantara dari negara kota hingga negara bangsa, dari modernisasi hingga reformasi administrasi, Gajah Mada Universitas Press hal 30 5 Samudra Wibawa, Negara-negara di Nusantara dari negara kota hingga negara bangsa, dari modernisasi hingga reformasi administrasi, Gajah Mada Universitas Press, 21 hal 21-22.

memberi perlindungan dan pengayomaaan, sedangkan rakyat memberikan pelayanan, penghormatan, dan kesetiaan. Pribadi raja adalah sebagai pemilik kekuasaan di seluruh kerajaan, tercermin dalam struktur administrasi sesuai dengan sisitem politik patrimonial6. Pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem indirect rule dengan tujuan memanfaatkan struktur yang seefektif mungkin untuk mempertahankan kedudukan hegemoninya. Dengan demikian Belanda memberikan kesempatan bagi penguasa lokal untuk mempertahankan kedudukan otoritas tradisionalnya. Sistem pemerintahan seperti ini melahirkan dua bentuk pemerintahan yaitu pemerintahan pribumi di bawah seorang raja, dan yang kedua adalah pemerintahan sipil Belanda. Sebagai contoh di Bali, puncak pimpinan dipegang oleh seorang residen yang kekuasaanya meliputi Bali dan Lombok, berkedudukan di Singaraja. Di bawah residen adalah asisten-residen berkedudukan di Denpasar dan di Mataram Lombok, dan di masing-masing kerajaan ditempatkan kontrolir. Kedudukan kontrolir sebagai pegawai sipil Belanda adalah sebagai penasihat raja dalam melaksanakan pembangunan di daerah dan sebagai perantara raja dengan asisten residen dan residen. Secara hirarki, kedudukan raja ada di bawah asisten residen dan residen sehingga apabila seorang residen atau asisten residen mengadakan kunjungan ke daerah, raja menerimanya di puri dengan upacara kebesaran dan jamuan pesta Perombakan struktur birokrasi di Indonesia dimulai setelah pemerintahan Kerajaan Belanda memberlakukan konstitusi baru pada tahun 1848. Berdasarkan konstitusi tersebut wilayah hindia Belanda (Indonesia) perlu juga untuk menyusun Undang-Undang pemerintahan, sistem keuangan, dan sistem audit yang disetujui Majelis Perwakilan. Pada tahun 1854 berhasil disusun undang-undang pemerintahan Hindia Belanda. Parlemen Belanda baru mulai melakukan pengawasan terhadap Hindia Belanda pada tahun 1868. Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur jenderal. Pemegang kekuasaan tertinggi di wilayah Hindia Belanda adalah seorang gubernur jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur6

Patrimonial adalah pemerintah pusat merupakan suatu perluasan rumah-tangga pribadi dari staf penguasa.

jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Di dalam menjalankan pemerintahan, Gubernur Jenderal dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Residen bertindak sebagai administrative merangkap fungsi legislative, yudikatif, dan fiscal. Residen bertugas sebagai pelaksana administrasi pusat. Sedangkan asisten residen mengepalai bagian dari keresidenan yang sejajar dengan kabupaten. Asisten residen menjalankan tugas-tugas residen, kecuali kekuasaan peradilan (yudikatif). Di bawah asisten residen dikenal adanya kontrolir. Tugas kontrolir adalah mengumpulkan berbagai keterangan dan melaksanakan perintah dari atas. Di Jawa dikenal adanya kabupaten yang dipimpin oleh bupati yang dibantu oleh patih. Wilayah kabupaten dibagi atas wilayah kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana. Wilayah kawedanan dibagi atas wilayah kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat atau asisten wedana. Susunan birokrasi tersebut dapat terwujud setelah Van de Putte melakukan reorganisasi pada tahun 1874. Berdasarkan reorganisasi tersebut, para pegawai pamong praja yang bertugas tidak lagi berdasarkan ikatan daerah dan hak waris. Pemerintah colonial Hindia Belanda mulai menerapkan system kepegawaian di dalam menunjuk seseorang menjadi pegawai pamong praja. Jabatan bupati yang pada masa van de Bosch merupakan hak turun-temurun, sekarang mulai dipandang sebagai pegawai pemerintah colonial Hndia Belanda. Berdasarkan surat edaran tahun 1867 telah dirumuskan tugas dan kewajiban para pamong praja. Seorang residen mempunyai tugas dan kewajiban, antara lain: menjalankan tugas melalui bupati mengawasi dan meringankan pekerjaan wajib memperhatikan penanaman tanaman bahan pangan, mendorong pendirian sekolah pribumi. Sedangkan seorang bupati mempunyai tugas dan kewajiban, antara lain: mengawasi penanaman wajib, meneliti perjanjian antara

penanaman dan pengusaha Eropa, mencegah semua pembatasan otonom desa, dan mengawasi sekolah pribumi, membuat daftar guru-guru agama. Kedudukan bupati pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda makin merosot. Hal itu tidak lain akibat proses maju ke arah pemerintahan langsung dengan memperhatikan dualisme didalamnya. Menghapuskan ini berarti: 1. Menghilangkan diskriminasi pada system birokrasi 2. Demokrasi yang berarti menghilangkan kedua golongan itu untuk memberikan tempat pada pemimpin yang wajar. Ini semua berarti menghilangkan kolonialisme itu sendiri.

STRUKTUR PEMERINTAHAN Pada masa kolonialisme terutama fase pendudukan Belanda dan Jepang, pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi yang sentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan kolonial. Penjajah Belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk pada Gubernur Jenderal. Pemerintah kolonial Belanda menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewest (saat ini provinsi), regentschap (saat ini kabupaten) dan staatgemeente (saat ini kotamadya). Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan pola pemerintahan dengan mengganti Bahasa Belanda menjadi Bahasa Jepang (Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002). Pada masa pemerintahan kolonial terdapat dua administrasi pemerintahan yang ada di masyarakat yaitu administrasi pemerintahan kolonial yang dipimpinan seorang Gubernur Jenderal yang merupakan wakil pemerintah Belanda dan administrasi pemerintahan setempat yang berada di bawah pemerintah kerajaan (Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002). Warisan pemerintahan kolonial yang kemudian dipraktekkan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia adalah

sentralisasi kekuasaan pada pusat pemerintah, dan pola penyelenggaraan pemerintah daerah bertingkat.

Hirarki Administrasi di Masa Kolonial

Sumber: Syaukani et. al., 2002 dikutip dalam Kuncoro, 2004.

Pemerintah Hindia Belanda menjelang meletusnya Peran Dunia II, pernah mengembangkan ide sistem administrasi yang desentralistis atas dasar federasi. Ide desentralisasi dan federasi ingin dihidupkan kembali setelah perang usai untuk melegitimasi pemerintahannya di Indonesia dan menghancurkan kekuatankekuatan pendukung Republik. Dapat dipahami mengapa konsep desentralisasi dan federasi menjadi tidak populer. Citra federasi dan desentralisasi tidak dapat

dilepaskan dari politik de vide et impera dan kekuatan-kekuatan pro-NICA dan anti revolusi kemerdekaan (Kuncoro, 2004).

Berikut dibawah ini adlah struktur birokrasi dari tingkatan yang paling atas sampai tingkatan yang paling bawah beserta jabatannya:

Jadi dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Pejabat pemerintahan tertinggi dipegang oleh seorang gubernur jendral. 2. Gewest atau Residentie yang dijabat oleh seorang Rasiden. 3. Afdeeling dijabat oleh seorang asisten rasiden. 4. Onder Afdeeling serta Gegenshap dijabat oleh seorang controller dan bupati. 5. Districk dijabat oleh serang wedono (demang, punggawa). 6. Onderdisrick dijabat oleh seorang asisten wedono (asisten demang, camat, manca). 7. Desa dijabat oleh seorang lurah.

Proses rekruitmen pada masa colonial ini sangat ditentukan oleh penguasa colonial. Yang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintahan colonial dalam melangsungkan kekuasaan atas wilayah jajahan dari struktur birokrasi colonial kita bisa melihat tiga posisi pertama itulah yang merupakan birokrasi atau administrasi colonial dan tentu saja karena itu dijabat oleh orang-orang Belanda atau peranakan Belanda sementara dari tingkatan bupati sampai kepada lurah merupakan organisasi administasi asli yang merupakan warisan dari birokrasi kerajaan.

0000

Sumber: Rohdewohld, 1995 Penggunaan istilah atau sebutan Pangreh Praja bagi birokrasi pada masa pemerintahan colonial seenarnya memberikan makna pada kedudukan birokrasi yang hanya berperan sebagai alat pemerintah colonial. Pengertian pangreh praja (Bestuur), dalam pemerintahan colonial memberikan batasan terhadap peran dan fungsi lembaga birokrasi. Birokrasi lebih dominan ditempatkan hanya sebagai pemberi perintah kepada rakyat (fungsi regulasi dan control), ketimbang sebagai lembaga yang memiliki fungsi pelayanan public. Tugas utama birokrasi pemerintah pusat, terutama dalam tugas-tugas yang erat kaitannya dengan pemungutan pajak kepada rakyat. Volksraad (1918-1942) Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad.

Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.7 Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin,

menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen. Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.

1.

Pengisian Jabatan dan Komposisi Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan

pembentukan berbagai Dewan Kabupaten dan Haminte Kota, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih Wali Pemilih (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai Dewan Provinsi, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal. Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:

7

http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpr

a.

Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui Wali Pemilih dari Dewan Provinsi berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh Wali Pemilih dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)

b.

Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).

c.

Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.

Tahun 1927: Ketua Anggota : 1 orang (diangkat oleh Raja) : 55 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)

Tahun 1930: Ketua Anggota : 1 orang (diangkat oleh Raja) : 60 orang

(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)

Muncul

beberapa

usul

anggota

untuk

mengubah

susunan

dan

pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah Petisi Sutardjo pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.

2.

Tugas Volksraad

Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada menyuarakan kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, parlemen gadungan ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya. Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad. Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli. Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi: 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond) 5 orang mewakili P.P.B.B. 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond) 4 orang V.C. (Vederlandisch Club) 3 orang mewakili Parindra 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj) 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina) 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj) 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1

(Persatuan

Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)

(Perhimpunan

Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.

b. SISTEM PEMERINTAHAN Salah satu peletak dasar pemerintahan modern di Indonesia adalah Gubernur Jenderal Daendels. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, Daendels membagi wilayah tersebut menadi Sembilan perfectuure. Daendels juga menjadikan para bupati sebagai pegawai sipil di bawah perintah perfect. Para bupati memperolah penghasilan dari tanah dan tenaga dari penduduk yang berada di dalam wilayah kekuasaannya. Para bupati juga mendapat pangkat tertentu dalam hirarki umum kepegawaian Belanda. Dalam menegakkan keadilan, Daendels membentuk pengadilan keliling dan pengadilan pribumi (landdarecht) di setiap perfectuure. Ketua pengadilan keliling dijabat para perfect dan para bupati sebagai anggota. Usaha untuk memperbaiki pemerintahan masa Daendels terhenti setelah Inggris menguasai Indonesia. Meskipun akhirnya wilayah Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda, upaya memperbaiki system pemerintahan membutuhkan waktu lama. Kewajiban mengatur pemerintahan di Indonesia dimulai kembali setelah pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1930. Perubahan dan perbaikan pemerintahan di Indonesia mulai berjalan setelah muncul peraturan pembebasan dari perwalian (antvooqding) pada tahun 1922 dan keluarnya system pemerintahan baru (bestuurshervorming).

Berdasarkan undang-Undang Desentralisasi, wilayah Indonesia dibagi menjadi beberapa daerah yang disebut gouvernementen. Daerah tersebut dipimpin oleh seorang gubernur. Pembentukan daerah gouvernement dimulai dari Jawa yang diawali dari daerah Jawa Barat (1926), Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah (1930). Pembenahan system pemerintahan pun terus dilanjutkan dengan menghapus Dewan Karesidenan. Untuk mengatasi berbagai macam persoalan dan memudahkan segala urusan, pemerintahan colonial Belanda, misalnya

Departemen Pertanian (1904), Departemen Industri dan Perdagangan (1911) yang sebelumnya tahun 1907 bernama Departemen Perusahaan-Perusahaan Negara. Adapun beberapa dinas yang pernah dibentuk pemerintahan colonial Belanda, antara lain Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan dan Dinas Peternakan. Desentralisasi Teritorial Pada Masa Pemerintahan Belanda Pada tahun 1905 dalam pemerintahan di Indonesia dipakai sistem pemerintahan yang dipusatkan/disentralisasi, Namun pada masa ini disentralisasi sudah terlaksana tidak lebih dari satu sarana untuk mencapai penyelenggaraan kepentingan-kepentingan setempat. Sistem ini memberikan penilaian yang lebih tepat pada sifat yang berbeda-beda dari wilayah dan penduduknya, pemerintahan Belanda pada masa itu sifatnya pada sentralistis yang kuat dengan

meminimalisirkan desentralisasi.

PEMERINTAHAN DI DAERAH Indonesia dibagi oleh belanda secara : a. Wilayah yang diperintah langsung oleh belanda b. Diperkenankan untuk terus melakukan hak memerintah sendiri c. Pemerintahan untuk pamong praja Belanda d. Pemerintahan untuk pamong praja Indonesia e. Provinsi-provinsi lainya f. Persekutuan-persekutuan yang tegak sendiri g. Desa Cara disentralisasi yang lain diselenggarakan berdasarkan sistem anggaran regional. Menurut stelsel ini, dalam hubungan anggaran Negara, pendapatan-

pendapatan regional tertentu disediakan untuk membiayai belanja-belanja regional. Dalam wilayah-wilayah yang sudah patut utnuk diterapkan stelsel itu, pada waktu itu diperkirakan 25 regionen, dengan demikian diusahakan ke arah suatu pengurusan keuangan regional dengan syarat, bahwa ada keseimbangan antara belanja regional dan pendapatan regional, namun berhubung dengan keadaan yang dapat sangat berbeda di masing-masing wilayah. Dengan menggunakan pendapatan regional tidak boleh disamaratakan, melainkan harus benar-benar dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda itu.

Sistem Hukum Ketika Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak perubahan di bidang hukum. Namun ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda, banyak peraturan perundangan yang diberlakukan di Hindia Belanda baik itu dikodifikasi (seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti RV, HIR). Namun ternyata Belanda masih membiarkan berlakunya hukum adat dan hukum lain bagi orang asing di Indonesia. Seiring berubahnya sistem birokrasi dan pemerintahan, system hokum yang berlaku di Indonesia pun mengalami perubahan. Gubernur Jenderal Daendels adalah peletak dasar berubahnya system hokum di Indonesia. Apabila sebelumnya di Indonesia berlaku system hokum tradisional, maka ketika Daendels berkuasa system hukumnya digantikan dengan system hokum modern model Barat. Daendels selain system memperkenalkan pengadilan system dan hokum modern juga

memperkenalkan

keliling

pengadilan

pribumi

(landgerecht) di setiap wilayah (perfecturre). Pemerintah colonial Belanda pada tahun 1819 mendirikan Hoog Gerechtschof (Mahkamah Agung), Mahkamah Agung menjadi lembaga yudikatif

tertinggi di Indonesia. Mulai tahun 1848, Mahkamah Agung memperoleh kewenangan mengawasi seluruh pengadilan di pulau Jawa. Pada tahun 1838, di negeri Belanda telah diundangkan hukum dagang dan hukum perdata. Hal ini terdorong oleh adanya kegiatan perdagangan hasil bumi orang-orang Belanda dengan perantara pedagang Cina. Politik hukum

pemerintahan kolonial Belanda dapat diperlihatkan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yang menyangkut hukum orang-orang Indonesia. Dalam pasal tersebut diatur bahwa hukum perdata dan dagang serta hukum acara perdata dan pidana harus dimasukkan dalam kitab undang-undang. Golongan bangsa Eropa harus menganut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan golongan bangsa Indonesia dan timur asing dapat dikenakan ketentuan hukum orang Eropa apabila dikehendaki. Pada tahun 1854, semua peraturan pemerintah yang berawal dari raja, putra mahkota, dan gubernur jenderal berlaku sebagai undang-undang yang wajib dipatuhi semua warga Belanda dan penduduk tanah jajahan. Pada tahun 1855 sebagian dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memuat hukum kekayaan, begitu juga hukum dagang bagi orang-orang Cina. Adapun dalam membentuk kitab undang-undang bagi orang Indonesia, pemerintah kolonial Belanda selalu menggunakan hukum adat sebagai bahan pertimbangan hukum. Pada tahun 1864 ditetapkan Comptabilities Wet. Undang-undang ini mengatur penetapan anggaran belanja Indonesia. Pada tahun 1869 berdasarkan keputusan raja, para pegawai pamong praja dibebaskan dari pengadilan pribumi. Pada tahun 1870 ditetapkan Agrarische Wet. Undang-undang ini mengatur system sewa tanah dan penjaminan kepemilikan tanah di Indonesia Kemudian pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda memberi kemungkinan bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum Dagang golongan Eropa melalui apa yang dinamakan "penundukan diri". Dengan demikian terdapat pluralisme hukum atau tidak ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana yaitu pada tahun 1918 dengan memberlakukan

WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan. Pada tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda yang didasarkan pada kitab undang-undang untuk pengadilan bagi orang Eropa dan pribumi tidak ada perbedaan hukum.

Pada masa Penjajahan Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiaptiap golongan penduduk. Adapun mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Selain itu badan peradilan dibentuk tidak untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan mempunyai badan peradilan sendiri

Keadaan indonesia pada masa kolonial belanda1. Pengaruh kolonial dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang: a. Politik Sebelum tahun 1900, tepatnya sebelum politik etis, sistem pemerintahan Belanda masih bersifat sentralisasi, yaitu sistem pemerintahan yang memusat. Semua kendali berada di tangan Belanda. Sistem ini adalah sistem yang paling menguntungkan Belanda dan membuat Belanda tidak kehilangan tanah jajahannya. Pada tahun 1903, sentralisasi pada bidang keuangan terjadi, kemuduan pada tahun 1922, baru ada pemerintahan daerah baru. Berdasarkan undangundang perubahan 1922 ini, Hindia Belanda terbagi menjadi Province : memilik otonomi dan dikepalai oleh gubernur: Jawa Barat (1926),Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah(1930); dan Gewest: tidak memiliki otonomi, pada tahun 1938,

Hindia Belanda memiliki 8 Gewest yang terbagi menjadi 3 Provinsi dan 5 Gewesten: 3 Provinsi : Jawa Barat,Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat. Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen. Setelah tahun 1900, sistem pemerintahan Belanda berubah menjadi desentralisasi, yaitu sistem yang melakukan pembagian wewenang dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, karena Belanda membutuhkan ahli-ahli dan tenaga pribumi terlatih untuk pembangunan pada masa itu. Sehingga munculah lembaga-lembaga pendidikan seperti Sekolah Rakyat (SR). Keinginan desentralisasi ini menyebabkan adanya desentralisasi antara kubu Negara induk (Belanda) dengan Hindia-Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah, dan antara Belanda dengan penduduk pribumi. Keinginan desantralisasi ini juga mengakibatkan: 1. Wilayah Indonesia membutuhkan daerah otonom 2. Kebasan dari pihak koloni semakin besar 3. Munculnya sistem kepengurusan yang Indonesiani (sistem kepengurusan Indonesia, sejauh mungkin dilakusanakan oleh orang Indonesia) yang kemudian melahirkan Volksraad (Dewan Rakyat) b. Ekonomi 1. Komersialisme dan Industrialisasi. Komersialisme yang terjadi di Indonesia awalnya disebabkan karena Kemerosotan VOC, kekosongan kas negara Belanda serta hutang yang sangat besar dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta Gulden. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diberlakukanlah tanam paksa dibawah pimpinan Van den Bosh pada 1830-1870. Ketika tanam paksa berlangsung, pribumi seperti tidak memiliki tanah pribadi, karena 4/5 bagian tanahnya dikuasai oleh Belanda. Hampir seluruh waktu yang pribumi miliki digunakan untuk menanam kopi, gula, teh, dan tembakau

yang memang laris dijual di Eropa. Pemerintah Belanda membeli hasil kebun tersebut dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di pasar Eropa denga harga yang jauh mahal, dan keuntungan penjualan tersebut dimiliki oleh Belanda seutuhnya. Tanam paksa mengakibatkan eksploitasi tanah bagi pribumi, selain itu kerja rodi membuat rakyat miskin; bodoh; dan daya tahan tubuh yang lemah, sehingga pada saat bencana kelaparan terjadi, banyak pribumi yang mati.

2. Masa Liberalisme (1870-1900) Penghapusan tanam paksa membuat sistem perekonomian menjadi liberal. Banyak modal diberikan untuk pembangunan di Indonesia. Pada masa itu, komersialisme di Indonesia tampak dengan: 1. Indonesia menjadi tempat mencari barang mentah 2. Indonesia menjadi tempat menanam modal bagi pengusaha swasta asing. 3. Indonesia menjadi tempat pemasaran barang-barang Industri Eropa.

Pada masa inilah kemudian Indonesia mengenal Industrialisasi yang ditandai dengan: 1. Dikeluarkannya undang-undang agrarian (1870) tentang dibolehkannya pemberian modal asing untuk Indonesia. 2. Landrent. 25 tahun untuk tanah pertanian, 75 tahun untuk ladang. 3. Tanah yang disewa dijadikan kebun yang memiliki pabrik pengolahnya sendiri. 4. Perkembangan industri perkebunan disusul oleh industri-industri lain seperti mesin, tambang, dll

c.

Pendidikan Pengaruh dalam bidang pendidikan ini berkaitan erat dengan mobilitas

social yang terjadi di masyarakat. Penduduk yang awalnya berprofesi sebagai petani beralih profesi menjadi buruh. Mereka meninggalkan desanya menuju kotakota industri. Munculnya kota-kota baru mendukung munculnya aktivitasaktivitas baru pula, sehingga dibutuhkannya sarana dan prasarana baru, tak luput

pula sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini yang membuat rakyat Indonesia berkeinginan untuk bekerja dan mengenyam bangku pendidikan di kota. Banyaknya orang-orang yang mengenyam pendidikan, membuat munculnya kaum-kaum cendekiawan yang bekerja pada kantor-kantor milik pemerintah yang berada di kota. Kemudian orang-orang desa meninggalkan rumahnya dan berpindah ke kota untuk menjadi pejabat kota. Berkembangnya pendidikan di Indonesia menyebabkan keadaan kaum perempuan juga berubah. Masuknya budaya barat dengan kemodernisasiannya mampu membukakan pikiran bagi kaum wanita Indonesia yang dipelopori oleh R.A Kartini (21 April 1879-13 September 1904). Ia sadar bahwa perempuan pribumi terlalu terikat dengan tradisi dan adat istiadat. Perempuan selalu terbelakang dan terlalu berpandangan sempit. Kartini ingin menampilkan sebuah perubahan bagi kaum perempuan Indonesia. Karena pergaulannya ketika sekolah di E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar dan ilmu yang dia peroleh selama sekolah maka Kartini berkeinginan untuk mengangkat kedudukan kaumnya. Ia mulai mendirikan sekolah khusus perempuan di kota Jepara dan di Rembang (tempat tinggal suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat). Kartini sendiri yang menjadi guru disekolah tersebut. Apa yang dilakukan Kartini tersebut akhirnya diikuti oleh teman-temannya yang mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Perkembangan pendidikan untuk kaum wanita semakin berkembang dengan diberlakukannya Politik Etis oleh pemerintah Belanda (1900-1922).

d.

Sosial Pada masa colonial penggolongan masyarakat didasarkan pada perbedaan

ras: 1. Golongan Eropa Terdiri dari orang Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Swiss, dan Perancis. Golongan Eropa merupakan golongan pendatang yang sangat minoritas. Mereka memiliki kekuasaan yang besar di Indonesia. Status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan golongan-golongan lain yang ada. Mereka adalah para

pemilik modal yang menanamkan modalnya di perusahaan perkebunan Indonesia. Perkawinan antara orang Eropa orang Indonesia disebut golongan Indo-Eropa. 2. Golongan Asia dan Timar Asing Terdiri dari bangsa Cina, India, dan Arab. Mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dan istimewa daripada kaum pribumi. Status ekonomi merekapun tinggi sehingga membuat pemerintah Belanda memberikan banyak kemudahan bagi golongan tersebut dalam sektor perdagangan. Sebagai pedagang, mereka menguasai perdagangan eceran, tekstil, dan mesin elektronik. Perkawinan antara kaum Timur Asing dengan orang Indonesia disebut golongan Indo Timur Asing/ Peranakan. 1. Golongan Pibumi Golongan Pribumi merupakan kelompok mayoritas dan merupakan pemilik negeri ini. Mereka merupakan penduduk asli Indonesia. Tetapi merupakan orang yang tertindas dan terjajah. Kedudukannya adalah yang paling rendah (lapisan terbawah) dan dibebankan banyak kewajiban tetapi hanya kurang diperhatikan.

2.

Faktor yang mendorong pergerakan wanita

Sebelum tahun 1900, banyak pergerakan wanita berdiri dengan tujuan meningkatkan keterampilan kaum wanita. Perkumpulan-perkumpulan kaum ibu didirikan untuk memajukan kecakapan kaum wanita yang bersifat khusus seperti memasak, menjahit, mengasuh anak, merenda, dan lain sebagainya. Persamaan derajat antara pria dengan wanita, sehingga wanita tidak lagi diperlakukan seperti pekerja, selain itu untuk penghapusan poligami. Keutamaan Istri Minangkabau dan Kerajinan Amal Setia berusaha memajukan sekolah bagi anak-anak perempuan. Pada tahun 1920 mulai muncul pergerakan wanita yang bersifat kegiatan social dan kmasyarakatan yang lbih luas dari sebelumnya. Pada 1920, corak kebangsaan sudah mulai masuk dan besar pengaruhnya dalam pergerakan wanita.

Kongres Perempuan 1 diadakan untuk mempersatuka cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan atau perikatan dii antara perkumpulan wanita.

3.

Gerakan keagamaan pada masa colonial 1. Sarekat Islam Didirikan di Solo, 1911, dipimpin H. Samanhudi. Awalnya bernama

Sarekat Dagang Islam (1909) oleh RM. Tirtoadisuryo dan beranggotakan pedagang-pedagang Islam. HOS Cokroaminoto mengubah SDI menjadi SI, sehingga anggotanya tidak hanya pedagang islam namun juga seluruh umat Islam. Tujuan SI adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan jiwa dagang. 2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. 3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat. 4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam. 5. Hidup menurut perintah agama

Pada 1914, H. J. F. M. Sneevliet mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging), yang kemudian berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda dengan menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai Blok di dalam. SI berpengaruh di masyarakat dan pemerintah (Belanda), sehingga pihak Belanda sangat memperhatikan gerak-gerik SI. 1917, SI mulai mengambil sikap antipemerintah. Pemberontakan di Toli-toli (Sulawesi Selatan), pemberontakan ini dihubungkan dengan kedatangan Abdul Muis ke Sulawesi Selatan, yang kebetulan ada keperluan dengan partainya, sehingga ia dituduh terlibat dalam

pemberontakan itu. Pemberontakan di Cimareme (Jawa Barat), pemberontakan ini

terjadi karena adanya protes kaum petani yang menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.

2. Muhammadiyah Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga

Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Namun pada umumnya, organisasi ini bergerak di bidang social dan pendidikan. Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Pada 1917, kegiatan Muhammadiyah masih terbatas di sekitar kampung Kauman. Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia. Pada 1920-1925 Muhammadiyah giat mendirikan sekolah-sekolah, karena pendidikan dan pengajaran mendapatkan tempat yang istimewa di

Muhammadiyah. Pada tahun 1970, komite-komite pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kesejahteraan berpindah ke kantor di ibukota Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, Mudrajad. 2004.Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta: Erlangga Soejito, Irawan. 1976. Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Jakarta : pradnya paramita. Kencana, Inu. 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara __________ . 1997. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta : Rineka Cipta

http://gurumuda.com/.../perkembangan-pemerintahan-indonesia-pada-masapemerintahan-kolonial-hindia-belandahttp://aizawaangela020791.blogspot.com/2011/04/sistem-administrasi-negara-padamasa.html

Abdul Hakim G. Nusantara. (1988), Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia C.S. T. Kansil (1984), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Hartono Hadisoeprapto (1999), Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty. Kusumadi Pudjosewojo. (1984), Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Aksara Baru. Moh. Mahfud, MD.( 1999), Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media. R. Abdoel Djamali (2005), Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. Satjipto Rahardjo (2000), Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. Sarjita (2004), Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi dan Komisi Konstitusi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan sisitem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

________ dkk, Puputan Badung 20 September 1906: Perjuangan Raja dan Rakyat Badung Melawan Kolonialisme Belanda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,1999. Ide Anak Agung Gde Agung, Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978. Sartono Kartodirdjo (et.al), Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1987. Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Kolonila Hindia-Belanda Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940). Malang:Bayumedia, 2005.