hukum dan politik agraria kolonial

13
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL A. Hukum Agraria Kolonial Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, di samping peraturan-peraturan dari dan berdasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme itu meliputi bidang,yaitu 1 : 1. Hukum Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria yaitu Hukum Agraria Barat, Hukum Agraria adat, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria adminitratif, Hukum Agraria Antar Golongan. 2. Hak Atas Tanah Pada saat yang sama berlaku bermacam-macam hak atas tanah yang berbeda hukumnya, yaitu: a. Hak atas tanah yang tunduk kepada hukum agraria barat yang di atur dalam KUH Perdata. b. Hak atas tanah yang di tunduk pada hukum Agraria adat daerah masing-masing. c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja. d. Hahak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda. 3. Hak jaminan Atas tanah 4. Pendaftaran Tanah 1 Urip santoso, hukum agraria dan hak-hak atas tanah,kencana,jakarta,2009,h.24

Upload: indra-wijaya

Post on 24-May-2015

9.313 views

Category:

Education


11 download

DESCRIPTION

makalah ini menjelaskan hukum dan politik pada masa kolonial.

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum dan politik agraria kolonial

HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL

A. Hukum Agraria Kolonial

Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya

hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, di samping peraturan-peraturan dari

dan berdasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme itu meliputi bidang,yaitu1:

1. Hukum

Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria yaitu Hukum Agraria

Barat, Hukum Agraria adat, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria adminitratif,

Hukum Agraria Antar Golongan.

2. Hak Atas Tanah

Pada saat yang sama berlaku bermacam-macam hak atas tanah yang berbeda

hukumnya, yaitu:

a. Hak atas tanah yang tunduk kepada hukum agraria barat yang di atur dalam KUH

Perdata.

b. Hak atas tanah yang di tunduk pada hukum Agraria adat daerah masing-masing.

c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja.

d. Hahak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda.

3. Hak jaminan Atas tanah

4. Pendaftaran Tanah

Dari segi masa berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia di bagi menjadi 2, yaitu :

1. Hukum Agraria Kolonial

Hukum Agraria ini berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum di

undangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 september 1960.

2. Hukum Agraria Nasional

Hukum Agraria ini berlaku setelah di undangkannya UUPA.

Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam Konsideran UUPA di

bawah perkataan “menimbang” hufur b,c, dan d serta dimuat dalam Penjelasan Umum Angka 1

UUPA, yaitu :

1 Urip santoso, hukum agraria dan hak-hak atas tanah,kencana,jakarta,2009,h.24

Page 2: Hukum dan politik agraria kolonial

a. Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan

dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian di pengaruhi olehnya, hingga

bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi

nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.

b. Hokum Agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hokum adat, di

samping Hukum Agraria yang didasarkan atas hukum barat.

c. Bagi rakyat asli Hukum agrarian penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijakan agrarian yang

berlaku sebelum Indonesia merdaka di susun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi

Pemerintahan Hindia Belanda, dpat dijelaskan sebagai berikut2 :

1. Pada Masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)

VOC (1602-1799) didirikan sebagai badan perdagangan dengan maksud untuk

menghindari persaingan di antara para pedagang belanda, mendapatkan monopoli di asia

selatan.

Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang

ditetapkan oleh oleh VOC, antaralain :

a. Contingenten

Pajak atas hasil tanah pertanian harus di serahkan kepada penguasa colonial(kompeni).

Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa di

bayar sepersen pun.

b. Verplichte leveranten

Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang

kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga

sudah ditetapkan secara sepihak.

c. Roerendiensten

Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia

yang tidak mempunyai tanah pertanian.

2. Pada masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Deandles(1800-1811)

2 Urip santoso, ibid h.16

Page 3: Hukum dan politik agraria kolonial

Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalah menjual

tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda

sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah partikelir. Tanah

partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang

membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya

yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak

Pertuanan misalnya:

Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-

kepala kampung/desa;

Hak untuk menuntut keraj paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari

penduduk;

Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil

pertanian dari penduduk;

Hak untuk mendirikan pasar-pasar;

Hak untukmemungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;

Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan

tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan

sebagainya3.

3. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau

pajak tanah.

Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi

ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan

jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.

Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah

oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah.

Dapat dikurangi jumlahnya atau dicabut penguasaannya jika petani yang bersangkutan 3 Soedikno Mertokusumo,Hukum dan Politik agraria,Universitas Terbuka,karunika,Jakarta,1988,h.1.2

Page 4: Hukum dan politik agraria kolonial

tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang

bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.

Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat

sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang

menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak

tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang

menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang4.

4. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch

Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan

yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam

paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara

langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu.

Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan

apapun. Sedangkan rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan

tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk satu

tahunnya.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah

membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para

penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luasa dengan jaminan yang kuat

guna dapat mengusahakan dan mengolah tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha

yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara.

Tanah-tanah yang bisa disewa adalah tanah-tanah negara yang masih kosong.

5. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55

Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif)

dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di

bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha

dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.

Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan

oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55,

4 Budi Harsono(II)Undang-Undang Pokok Agraria sejarah Penyusan,isi dan pelaksanaannya,djambatan,jakarta2008,h.44-45

Page 5: Hukum dan politik agraria kolonial

sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No.

2. semula RR terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat

8) oleh Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian

menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447. isi Pasal 51 IS, adalah

sebagai berikut:

1. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.

2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang tidak diperuntukan

bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.

3. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-

orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat

pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.

4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi, diberikan tanah dengan Hak

Erfpacht selam tidak lebih dari 57 tahun.

5. Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-

hak rakyat pribumi.

6. Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan

hutan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai

tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali

untuk kepentingan umum atas dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-

tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang

bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.

7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang

turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya

yang sah dapat diberikan kepadnya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-

pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan

dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang

bersangkutan, demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan

pribumi.

Page 6: Hukum dan politik agraria kolonial

8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi

dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan Ordonansi.

6. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Besluit Stb. No, 118

Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan

dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah apa yang dimuat dalam

Koninklijk Besluit, yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit, Stb. 1870

No. 118. Agrarische Besluit terdiri atas tiga bab, yaitu:

1. Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah

2. Pasal 8 – 8b tentang pelapasan tanah, dan:

3. Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.

Pada Pasal 1 Agrarische Besluit memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein

Verklaring” (pernyataan kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya

ketentuan Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang

pihak lain tidak dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.

Asas Domein (domein beginsel) atau pernyataan domein berdasarkan Pasal 20

Agrarische Besluit hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Dengan Stb. 1875 No. 119a,

pernyataan domein itu diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. [ernyataan

yang dimuat dalam Stb. 1870 No. 118 dan Stb. 1875 No. 119a itu bersifat umum

(Algemene Domein Verklaring). Di samping itu, juga ada pernyataan domein yang

berlaku khusus (Speciale Domein Verklaring), yang berisi: “semua tanah kosong dalam

daerah pemerintahan langsung adalah domein negara, kecuali yang diusahakan oleh para

penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak pembukaan hutan. Mengenai

tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak

lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh

penduduk untuk membukanya”.

Maksud pernyataan domein khusus tersebut adalah untuk menegaskan agar tidak ada

keraguan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenag untuk memberikan tanah-tanah

yang dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah pemerintah. Pernyataan domein khusu

Page 7: Hukum dan politik agraria kolonial

berlaku bagi daerah Sumatra diatur dalam Stb. 1874 No. 94f, Manado dalam Stb. 1877

No. 55, dan untuk Kalimantan Selatan/Timur dalm Stb. 1888 No. 58.

Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindia Belanda (Indonesia)

dibagi menjadi dua jenis,yaitu:

a.    Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak

penduduk bumi putera.

b.    Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada

hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya Domein Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:

1. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan

hak-barat seperti yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal,

hak erfpacht.

2. Untuk keperluan pembuktia kepemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara

tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib

membuktikan haknya.

Pada masa berlakunya Domein Verklaring terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh

Pemerintah Hindia Belanda yang tidak termasuk ke dalam KUH Perdata. Hak atas tanah

itu adalah Hak Agrarische Eigendom, yaitu hak yang berasal dari hak milik adat yang

atas permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur tertentu diakui keberadaannya oleh

pengadilan. Hak ini diatur dalam Koninklijk Besluit Stb. 1872 No. 117 dan Stb. 1873 No.

38.

Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat

ketentuansemacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta tahn

1918 No. 16.

B. Politik Agraria Kolonial

Page 8: Hukum dan politik agraria kolonial

Politik agraria yang dimaksud di sini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah

garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara,

mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan

membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan

kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar (UUD) 19455.

Dalam politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil

bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga

setinggi-tingginya.

Ada dua tujuan politik agrarian colonial yang di jelmakan dalam Agrarische Wet,yaitu:

1. Tujuan Primer

Memberikan kesempatan kepada pihak swasta(asing) mendapatkan bidang tanah

yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang

murah.

2. Tujuan sekunder

Melindungi hak penduduk bumi putra atas tanahnya, yaitu:

a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesah hak bumi

putra

b. Pemerintah hanya boleh mengambil tana bumi putra apabila di perlukan

untuk kepentingan umum

c. Bumi putra diberikan kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat yaitu

hak eigendom

d. Deidakan peraturan sewa menyewa antara bumi putre dengan bukan bumi

putra.

Daftar Pustaka

Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta,2009.Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Karunika, Jakarta, 1988.

5 Soedikno Mertokusumo,opcit,h10.6

Page 9: Hukum dan politik agraria kolonial

Budi Harsono(II), Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penyusan, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta2008.