hukum dan kode etik pers

14
Hukum dan Kode Etik Pers PEMBAHASAN A. HUKUM DAN KODE ETIK PERS 1. Hukum Wiener mendefinisikan hukum adalah: sebagai suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma, dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. Menurut paradigma hukum, hukum merupakan perintah searah dari penguasa. Hukum dianggap perintah yang harus di taati oleh masyarakat. Masyarakat tidak dapat menyimpangi apa yang diharuskan oleh hukum karena penyimpangan akan mengakibatkan sankai hukum kepada mereka. Hakikat sanksi hukum adalah paksaan untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah hukum. Dalam pandangan masyarakat, hukum berhubungan dengan sanksi, dan sanki berhubungan pula dengan hukum. Sanksi adalah reaksi, akibat, atau konsekuensi pelanggaran kaidah sosial. Menurut Paul Bohanan, sanksi merupakan perangkat yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu system sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan. Dengan adanya sanksi, maka tujuan hukum diharafkan dapat tercapai. Menurut Marwan Mas, keberadaan hukum dalam masyarakat, sebenarnya tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, tetapi juga dijadikan sarana yang mampu berubah pola fikir dan pola perilaku warga masyarakat. pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum akibat tujuan hukum tidak tercapai, sangat bergantung pada praktik hukum (Haris Sumadira, 2008:224-225). Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum, Marwan Mas menyebutkan, dikenal tiga jenis aliran konvensional tentang tujuan hukum, yakni aliran etis, aliran utulitis, dan aliran normative dogmatic. Berikut penjelasan tentang ketiga aliran tersebut: a) Aliran Etis Aliran Etis adalah aliran yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum itu adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. Salah satu

Upload: danu-putra

Post on 14-Apr-2017

187 views

Category:

Education


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum dan kode etik pers

Hukum dan Kode Etik Pers

PEMBAHASAN

A. HUKUM DAN KODE ETIK PERS

1. Hukum

Wiener mendefinisikan hukum adalah: sebagai suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma, dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.

Menurut paradigma hukum, hukum merupakan perintah searah dari penguasa. Hukum dianggap perintah yang harus di taati oleh masyarakat. Masyarakat tidak dapat menyimpangi apa yang diharuskan oleh hukum karena penyimpangan akan mengakibatkan sankai hukum kepada mereka. Hakikat sanksi hukum adalah paksaan untuk membuat masyarakat patuh terhadap perintah hukum.

Dalam pandangan masyarakat, hukum berhubungan dengan sanksi, dan sanki berhubungan pula dengan hukum. Sanksi adalah reaksi, akibat, atau konsekuensi pelanggaran kaidah sosial. Menurut Paul Bohanan, sanksi merupakan perangkat yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu system sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.

Dengan adanya sanksi, maka tujuan hukum diharafkan dapat tercapai. Menurut Marwan Mas, keberadaan hukum dalam masyarakat, sebenarnya tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk menertibkan kehidupan masyarakat, tetapi juga dijadikan sarana yang mampu berubah pola fikir dan pola perilaku warga masyarakat. pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum akibat tujuan hukum tidak tercapai, sangat bergantung pada praktik hukum (Haris Sumadira, 2008:224-225).

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum, Marwan Mas menyebutkan, dikenal tiga jenis aliran konvensional tentang tujuan hukum, yakni aliran etis, aliran utulitis, dan aliran normative dogmatic. Berikut penjelasan tentang ketiga aliran tersebut:

a) Aliran Etis

Aliran Etis adalah aliran yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum itu adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. Salah satu penganut aliran etis ini adalah Aristoteles yang menganggap keadilan terbagi dalam dua jenis:

1. Keadilan Distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagaian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang.

2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa- jasa seseorang perseoranagn. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atas suatu hal tanpa memperhitungkan jasa perseorangan.

b) Aliran Utilitas

Page 2: Hukum dan kode etik pers

Aliran utilitas adalah aliran yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciftakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga masyarakat. Aliran ini antara lain dianut oleh Jeremi Bentham, James Mill, Jhon Stuart Mill, dan Seobekti. Jeremi Bentham berpendapat, tujuan hukum adalah menjamin adanya kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak-banyaknya pula.

c) Aliran Normatif-Dogmatik

Aliran normatif-dogmatk ialah aliran yang mengannggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata-mata untuk menciftakan kepastian hukum. Salah satu penganut aliran ini adalah Jhon Austin dan Van Kan, yang bersumber dari pemikiran yang positivis yang lebih melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tetulis. Artinya, karena hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata-mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang. Menurut van Kan, tujuan hukum adalah menjaga kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya. (Haris, 2008:227).

2. Kode etik

a. Kode Etik Jurnalistik

Kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan, kode etik yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. Menginformasikan atau menyampaikan yang benar, tidak berbohong dan merekayasa atau manipulasi fakta. Dalam Q.S. Al-Hajj:30 disebutkan yang artinya”…dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.

2. Meneliti kebenaran berita/fakta sebelum di publikasikan alias melakukan chek and recheck.

3. Hindari olok-olok, penghinaan, mengejek, atau caci maki sehingga menumbuhkan permusuhan dan kebencian.

4. Hindarkan prasangka buruk (suuzhan). Dalam istilah hukum, pegang teguh “asas praduga tak bersalah” (Asep Syamsul, 2009 :124).

b. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)

Kemerdekaan pers merupakan sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia menyadari adanya tanggung jawab social serta keberagaman masyarakat.

Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan moral/etika profesi yang bias menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan propesionalitas wartawan, Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan Kode etik sebagai berikut:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar

2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

Page 3: Hukum dan kode etik pers

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah dengan tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul. Serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the records sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab (Nurudin, 2001 : 151).

Kesimpulan

hukum adalah: sebagai suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma, dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum, Marwan Mas menyebutkan, dikenal tiga jenis aliran konvensional tentang tujuan hukum, yakni aliran etis, aliran utulitis, dan aliran normative dogmatic.

Kode Etik Jurnalistik

Kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan, kode etik yang dimaksud antara lain sebagai berikut: Menginformasikan atau menyampaikan yang benar, tidak berbohong dan merekayasa atau manipulasi fakta. Dalam Q.S. Al-Hajj:30 disebutkan yang artinya”…dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Meneliti kebenaran berita/fakta sebelum di publikasikan alias melakukan chek and recheck. Hindari olok-olok, penghinaan, mengejek, atau caci maki sehingga menumbuhkan permusuhan dan kebencian.

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), wartawan Indonesia menetapkan Kode etik sebagai berikut:

· Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar

· Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

· Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah dengan tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi

· Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul. Serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

· Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap

· Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the records sesuai kesepakatan.

· Wartawan Indonesia segera mencabut meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Page 4: Hukum dan kode etik pers

Daftar Pustaka

Sumadira Haris, 2008, Jurnalistik Indonesia, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Syamsul Asep, 2009, Jurnalistik Praktis, Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.

Nurudin, 2007, Hubungan Media “Konsep Diri” Semarang: Penerbit Rajawali Pers.

Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam Meningkatkan Kinerja Profesinyaby. Muliadi Nur

Pers adalah merupakan sebuah dan salah satu lembaga yang sangat urgen dalam ikut serta mencerdaskan serta membangun kehidupan bangsa, yang hanya dapat terlaksana jika pers memahami tanggung jawab profesinya serta norma hukum guna meningkatkan peranannya sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirasi rakyat, memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat, terlebih lagi melakukan kontrol sosial terhadap fenomena yang timbul berupa gejala-gejala yang dikhawatirkan dapat memberi suatu dampak yang negatif.

Profesi adalah suatu pekerjaan yang dimiliki seseorang dengan pendidikan dan mempunyai sifat mandiri, seperti halnya dalam bidang/pekerjaan jurnalistik. Olehnya diperlukan adanya suatu kode etik bagi seorang jurnalistik sebagai pedoman serta pegangan, karena etika merupakan sesuatu yang lahir dan keluar dari hati nurani seseorang, yang sangat diharapkan dapat mendorong serta memberi pengaruh positif dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sesuai profesi yang dijalankannya.

Berbicara masalah etika, khususnya dalam profesi jurnalistik (wartawan) sangatlah menghadapi tantangan yang besar terlebih dalam era globalisasi. Dari satu sisi, kemajuan dan perubahan teknologi mendorong perubahan nilai-nilai moral dan etika, dengan demikian makin kompleksnya masyarakat makin banyak dilema moral yang harus dipertimbangkan, di sisi lain hal ini menjadikan semakin sulitnya untuk menimbang secara jernih apa yang etis serta apa yang tidak etis. Hal ini paling tidak menjadikan etika sulit ditegakkan, meski etika juga semakin penting untuk menjaga kepentingan profesi.

Keberadaan dan pelaksanaan kode etik jurnalistik sebagai norma atau disebut landasan moral profesi wartawan dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila, oleh karena kode etik jurnalistik merupakan kaidah penentu bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus memberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan serta yang seharusnya ditinggalkan. Namun walau demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek sehari-hari masih terdapat (tidak semuanya) berbagai penyimpangan-penyimpangan terhadap kode etik jurnalistik maupun terhadap ketentuan-ketentuan lain (norma-norma hukum) yang berlaku bagi profesi ini.

Hal ini barangkali dapat dimaklumi, sebab mereka yang berkecimpung di dalam dunia jurnalistik adalah manusia, sama halnya dengan profesi lainnya. Demikian pula bahwa terkadang suatu keadaan dan kondisi tertentu ikut mempengaruhi banyak hal di dalam bidang ini, sehingga mungkin saja memunculkan suatu pemikiran, bahwa diperlukan adanya perubahan-perubahan di dalam kode etik itu sendiri atau kesadaran manusianya yang perlu ditingkatkan.

Pengertian Kode Etik ProfesiKeiser dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7), etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

Sedang Magnis Suseno (1991: 70) membedakan profesi sebagai profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian khusus. Pengertian profesi tersebut adalah pengertian profesi pada umumnya, sebab disamping itu terdapat pula yang disebut sebagai profesi luhur, yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat.

Tujuan Etika ProfesiSuhrawadi Lubis (1994: 13) menyatakan bahwa yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika dalam kode etik profesi antara lain :a. Standar-standar etika, yang menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada lembaga dan masyarakat umum.b. Membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam mengahadapi dilema pekerjaan mereka.c. Standar etika bertujuan untuk menjaga reputasi atau nama para profesional.d. Untuk menjaga kelakuan dan integritas para tenaga profesi.e. Standar etika juga merupakan pencerminan dan pengharapan dari komunitasnya, yang menjamin

Page 5: Hukum dan kode etik pers

pelaksanaan kode etik tersebut dalam pelayanannya.

Fungsi Etika ProfesiFungsi etika profesi antara lain:a. Sebagai sarana kontrol sosial;b. Mencegah pengawasan atau campur tangan pihak luar;c. Untuk membangun patokan kehendak yang lebih tinggi.

Pengertian JurnalistikPada prinsipnya jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam mengelola dan menyajikan informasi kepada khalayak, yang tujuannya adalah untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti menyebarluaskan informasi yang diperlukan. Jurnalistik sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu diurna dan dalam bahasa Inggris journal yang berarti catatan harian.

Adinegoro mengatakan bahwa jurnalistik adalah kepandaian, kecerdasan, keterampilan dalam menyampaikan, mengelola dan menyebarluaskan berita, karangan, artikel, kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. Sedang dalam kamus Jurnalistik (1988: 9) dijelaskan bahwa jurnalistik adalah suatu kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar atau majalah atau yang berkala lainnya.

Sehubungan dengan pengertian kode etik di atas, menurut maka UU. No. 40 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 Poin 14, bahwa “Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan”, sedang wartawan dalam point 4 dinyatakan sebagai “orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”.

PembahasanSuatu kegiatan jurnalistik dapat dikatakan berkualitas apabila memiliki suatu karakter, kemampuan teknis, bobot dan kualitas ide yang dibawakan serta dari segi manajemen yang profesional.

Sesuatu hal yang sangat penting di dalam dunia jurnalistik adalah menyangkut masalah pemberitaan. Olehnya suatu media atau penerbitan dapat dikatakan baik jika berita atau informasi serta hal-hal yang disajikannya juga baik. Guna menunjang hal tersebut, terdapat beberapa faktor yang selayaknya diperhatikan dengan baik, antara lain fakta, opini serta desas-desus.

Fakta adalah sesuatu yang benar-benar terjadi. Jika seseorang membuat suatu pernyataan, maka yang menjadi faktanya adalah orang yang menyampaikan pernyataan tersebut, sampai kemudian pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan jelas, sehingga apabila diangkat sebagai suatu berita, kebenaran serta sumbernya terjamin dan dapat dipercaya.

Adapun opini adalah suatu analisa atau pendapat dan terkadang pula berupa ulasan-ulasan seorang wartawan yang kerap muncul di setiap media dalam bentuk suatu tajuk rencana, kolom/rubrik ataupun sorotan dan lain-lain, yang disertai dengan nama penulisnya. Para pembaca umumnya membutuhkan adanya suatu pendapat/opini yang disajikan secara jelas guna membantu mereka dalam menilai suatu berita serta membentuk opini tersendiri.

Sedang desas-desus adalah pernyataan yang dibuat oleh sumber berita atau wartawan, tetapi tanpa didasari oleh otoritas yang cukup memadai, dan sering terjadi muncul pemberitaan yang tidak disebutkan sumbernya secara jelas.

Kode Etik JurnalistikKode etik merupakan prinsip yang keluar dari hati nurani setiap profesi, sehingga pada tiap tindakannya, seorang yang merasa berprofesi tentulah membutuhkan patokan moral dalam profesinya. Karenanya suatu kebebasan termasuk kebebasan pers sendiri tentunya mempunyai batasan, dimana batasan yang paling utama dan tak pernah salah adalah apa yang keluar dari hati nuraninya. Dalam hal ini, kebebasan pers bukan bukan saja dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistiknya akan tetapi tetap ada batasan lain, misalnya ketentuan menurut undang-undang.

Pada prinsipnya menurut Undang-undang No. 40 Tahun 1999 menganggap bahwa kegiatan jurnalistik/kewartawanan merupakan kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengadaan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat atau ulasan, gambar-gambar dan sebagainya, untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film.

Guna mewujudkan hal tersebut dan kaitannya dengan kinerja dari pers, keberadaan insan-insan pers yang profesional tentu sangat dibutuhkan, sebab walau bagaimanapun semua tidak terlepas dari insan-insan pers itu sendiri. Olehnya, seorang wartawan yang baik dan profesional sedapat mungkin memiliki syarat-syarat, yaitu : bersemangat dan agresif, prakarsa, berkepribadian, mempunyai rasa ingin tahu, jujur, bertanggung jawab, akurat dan tepat, pendidikan yang baik, hidung berita dan mempunyai kemampuan menulis dan berbicara yang baik.

Pada bab pembukaan kode etik jurnalistik dinyatakan bahwasanya kebebasan pers adalah perwujudan

Page 6: Hukum dan kode etik pers

kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang sekaligus pula merupakan salah satu ciri negara hukum, termasuk Indonesia. Namun kemerdekaan/kebebasan tersebut adalah kebebasan yang bertanggung jawab, yang semestinya sejalan dengan kesejahteraan sosial yang dijiwai oleh landasan moral. Karena itu PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang salah satu landasannya adalah untuk melestarikan kemerdekaan/kebebasan pers yang bertanggung jawab, disamping merupakan landasan etika para jurnalis. Di antara muatan Kode Etik Jurnalistik adalah:

KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIAWartawan Indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian, yaitu : bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat kesatria, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan, sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa.

PERTANGGUNGJAWABANBahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.

Kaitannya dengan hal di atas, dalam kenyataan yang ada masih terdapat banyak media cetak yang memuat berita atau gambar yang secara jelas bertentangan dengan kehidupan sosial yang religius. Namun walau demikian tampaknya gejala ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu kewajaran dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, sehingga batasan-batasan etika dan norma yang harusnya dikedepankan, menjadi kabur bahkan tidak lagi menjadi suatu pelanggaran kode etik, maupun norma/aturan hukum yang ada.

Sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 40/1999 disebutkan bahwa “Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Serta ditambahkan lagi dalam Pasal 13 yang memuat larangan tentang iklan, yaitu iklan yang memuat unsur : Mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan penggunaan wujud rokok atau penggunaan rokok.

Pertanggungjawaban dalam hal ini dapat pula terkait dengan keberpihakan seorang wartawan terhadap seseorang atau suatu golongan tertentu. Namun lagi-lagi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa keberpihakan tersebut tampaknya telah menjadi trend dan seolah tidak dipermasalahkan lagi.

CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPATSeorang wartawan hendaknya menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akurasinya sebelum menyiarkannya serta harus memperhatikan kredibiltas sumbernya. Di dalam menyusun suatu berita hendaknya dibedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini) sehingga tidak mencampurbaurkan antara keduanya, termasuk kedalamnya adalah obyektifitas dan sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab, serta menghindari cara-cara pemberitaan yang dapat menyinggung pribadi seseorang, sensasional, immoral dan melanggar kesusilaan.

Penyiaran suatu berita yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu kejadian adalah merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.

Menanggapi besarnya kesalahan yang dapat ditimbulkan dari proses/cara pemberitaan serta menyatakan pendapat di atas, maka dalam kode etik jurnalistik diatur juga mengenai hak jawab dan hak koreksi, dalam artian bahwa pemberitaan/penulisan yang tidak benar harus ditulis dan diralat kembali atas keinsafan wartawan yang bersangkutan, dan pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab dan memperbaiki pemberitaan dimaksud.

SUMBER BERITA Seorang wartawan diharuskan menyebut dengan jujur sumber pemberitaan dalam pengutipannya, sebab perbuatan mengutip berita gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbenya merupakan suatu pelanggaran kode etik. Sedang dalam hal berita tanpa penyebutan sumbernya maka pertanggung jawaban terletak pada wartawan dan atau penerbit yang bersangkutan.

KEKUATAN KODE ETIKKode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggung jawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers. Karenanya saksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak organisatoris dari PWI melalui organ-organnya.

Menyimak dari kandungan kode etik jurnalistik di atas tampak bahwa nilai-nilai moral, etika maupun kesusilaan mendapat tempat yang sangat urgen, namun walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan yang bebicara di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan.

Namun terlepas dari apakah kenyataan-kenyataan yang ada tersebut melanggar kode etik yang ada atau

Page 7: Hukum dan kode etik pers

norma/aturan hukum atau bahkan melanggar kedua-duanya, semua ini tetap terpulang pada pribadi insan pers bersangkutan, dan juga kepada masyarakat, sebab masyarakat sendirilah yang dapat menilai penerbitan/media yang hanya mencari popularitas dan penerbitan/media yang memang ditujukan untuk melayani masyarakat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tetap menjunjung tinggi kode etiknya.

PenutupPenerapan kode etik jurnalistik yang merupakan gambaran serta arah, apa dan bagaimana seharusnya profesi ini dalam bentuk idealnya oleh sebagian pers atau media massa belum direalisasikan sebagaimana yang diharapkan, yang menimbulkan kesan bahwa dunia jurnalistik (juga profesi lain) terkadang memandang kode etik sebagai pajangan-pajangan yang kaku. Namun terlepas dari ketimpangan dari apa yang seharusnya bagi dunia jurnalistik tersebut, tampaknya hal ini berpulang pada persepsi dan obyektifitas masyarakat/publik untuk menilai kualitas, bobot, popularitas maupun keberpihakan dari suatu media massa.

Kebebasan pers yang banyak didengungkan, sebenarnya tidak hanya dibatasi oleh kode etik jurnalistik, tetapi terdapat aturan lain yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan apa yang seharusnya. Untuk itulah masih diperlukan langkah-langkah konkrit dalam rangka mewujudkan peran dan fungsi pers, paling tidak menutup kemungkinan untuk dikurangi dari penyimpangan tersebut.

Secara yuridis, dewan pers pertama kali dibentuk pada tahun 1968. Melalui UU No. 11 Tahun 1966 UU Pokok pers ini ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Kala itu, dewan pers berfungsi sebagai pendamping pemerintah guna membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional, khususnya kantor kementrian penerangan. Mentri penerangan merangkap sebagai ketua dewan pers. Dewan pers secara ex-officio dijabat oleh mentri penernangan. Hal ini terus berlanjut selama masa orde baru.

Pada tahun 1982, UU tentang Pokok Pers sebelumnya diganti dengan UU No. 21 Tahun 1982. Perubahan UU ini tidak mengubahfungsi dan kedudukan dewan pers. Perubahan yang terjadi hanya pada penyebutan keterwakilan berbagai unsur dalam keanggotaan dewan pers, yaitu terdiri dari wakil organisasi pers, wakil pemerintah, dan wakil masyarakat. Ini terjadi karena pada UU sebelumnya, keanggotaan dewan pers hanya terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dibidang pers.

Ditahun 1999 terjad perubahan secara fundamental dalam UU Pokok Pers. Melalui UU No. 40 Tahun 1999, Dewan Pers berubah menjadi independen. UU yang ditandatangani oleh BJ Habibie pada 23 Setember 1999, fungsi dewan pers tidak lagi menjadi penasehat pemerintah, melainkan sebagai pelindung kemerdekaan pers. Seperti yang disebutkan pada pasal 15 (1) : “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pesdan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.

Sejak saat itu, keanggotaan dewan pers bebas dari campur tangan pemerintah. Sehingga keanggotaan dewan pers terdiri dari:

Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan

Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers

Tokoh masyarakat : ahli di bidang pers dan atau komunikasi da bidang lainnya yang dipilih oleh oraganisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

Page 8: Hukum dan kode etik pers

Berikut ini keanggotaan dewan pers setelah berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 :

I. Periode 2000-2003

Ketua : Atmakusumah Astraatmadja (Pakar)

Anggota :

a. Organisasi Wartawan:

- Goenawan Muhammad

- R.H. Siregar

- Atang Ruswita

b. Perusahaan Pers

- Jakob Oetama

- Surya Paloh

- Zainal Abidin Suryokusumo

- H. Azkarim Zaini

c. Pakar

- Atmakusumah Astraatmadja

- Benjamin Mangkoedilaga

II. Periode 2003-2006

Ketua : Ichlasul Amal (Pakar)

Wakil ketua : R.H. Siregar (Wartawan)

Anggota :

a. Organisasi Wartawan :

Santoso

Uni Zulfiani Lubis

Sutomo Parashto

b. Perusahaan Pers

Amir Effendi Siregar

Sabam Leo Batubara

c. Pakar

Page 9: Hukum dan kode etik pers

Sulastomo

Hinca I.P. Panjaitan

III. Periode 2007-2010

Ketua : Ichlasul Amal (Pakar)

Wakil Ketua : Sabam Batubara (Perusahaan Pers)

Anggota :

a. Organisasi Wartawan:

Bambang Harimurti

Bekti Nugroho

Wina Armada Sukardi

b. Perusahaan Pers

Abdullah Amaludin

Satria Naradha

c. Pakar :

Garin Nugroho

Wikrama Iryans Abidin

IV. Periode 2010-2013

Ketua : Bagir Manan

Wakil ketua : Bambang Harymurti

a. Organisasi Wartawan :

Bekti Nugroho

Margiono

b. Perusahaan Pers :

Anak Bagus Gde Satria Naradha

Muhammad Ridlo ‘Eisy

Zulfiani Lubis

c. Pakar

Agus Sudibyo

Wina Armada Sukardi

Visi dan Misi Dewan Pers:

Page 10: Hukum dan kode etik pers

Visi : Melindungi dan meningkatkan kemrrdekaan pers nasional berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, supermasi hukum dan Hak Asasi Manusia

Misi dewan pers

Melakukan penguatan lembaga dewan pers

Meningkatkan kualitas sumber daya pers, anatara lain dengan mendirikan school of journalism

Memberdayakan organisasi pers

Meningkatkan efektivitas penggunaan UU Pers No. 20/199 dalam melindungi emerdekaan pers

Melakukan pengkajian (mereview) UU Pers No. 40/1999

Memberdayakan jaringan ombudsman dan lembaga mediasi sengketa pembeitaan pers

Menumbuhkan masyarakat pers yang taat kode etik

Memperjuangkan kemerdekaan pers dalam constitutional rights

Meningkatkan kesadaran paham manusia (media literacy) masyarakat

Mewujudkan jurnalisme keberagaman (multicultural journalism)

- See more at: http://anisyahalfaqir.blogspot.co.id/2014/03/hukum-etika-pers-sejarah-dewan-pers.html#sthash.iP4qeR9l.dpuf

(Pasal 5 ayat [2] UU Pers) hak jawab

(Pasal 5 ayat [3] UU Pers) hak koreksi

(pasal 15) ayat[2] c dan d uu pers dan pasal 18 ayat [2 dan 3] uu pers

3. DELIK PERS BESERTA CONTOH

Delik pengertian umumnya adalah perbuatan pidana atau perbuatan melanggar

undang-undang/peraturan dan pelakunya di ancaman hukuman baik hukuman denda

maupun kurungan. Sesuatu tindakan baru disebut sebagai delik apabila ada undang-undang

atau peraturan yang dilanggar. Jadi intinya adalah segala perbuatan yang dilarang oleh UU

dan pelakuknya diancam hukuman.

A. Muis mengatakan bahwa Dari perspektif komunikasi delik pers berarti proses

penyampaian pesan antar manusia melalui pers yang dilarang oleh undang-undang dan

komunikatornya diancam pidana. (A.Muis, 1999, 56)

Delik penyiaran sebenarnya juga masuk dalam kategori ini, karena media penyiaran

Page 11: Hukum dan kode etik pers

merupakan bagian dari pers. Sedangkan dari perspektif hukum, menurut Van Hattum

mengharuskan memenuhi tiga kreteria:

a. Ia harus dilakukan dengan barang cetakan

b. Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan

c. Dari perumusan delik harus ternyata, bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk

dapat menimbulkan suatu kejahatan, apakah kejahatan tersebut dilakukan dengan

suatu tulisan

Maksudnya ialah delik yang penyelesaianya memerlukan publikasi dengan pers

danmerupakan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana. Dengan kata lain,

pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang penyelesainnya

membutuhkan publikasi dengan pers. Artinya kejahatan sudah terjadi pada saat surat kabar

yang memuatnya selesai dicetak (terbit).