hukum acara perdata
TRANSCRIPT
HUKUM ACARA PERDATA
1. Hukum Formil dan Hukum Materiil
a. Hukum Perdata Materil
Adalah hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam
hubungan perdata. Hukum materiil berkaitan dengan muatan atau isi dari
hukum itu dan terkait dengan apa yang diatur oleh hukum itu.
b. Hukum Perdata Formil (hukum acara perdata)
Adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau melaksanakan
hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan hukum perdata.
Hubungan antara hukum perdata materil dengan hukum perdata formil adalah
hukum perdata formil mempertahankan tegaknya hukum perdata materil jika
ada yang melanggar perdata materil maka diselesaikan dengan perdata formil.
Hukum perdata materiil yang ingin ditegakkan dengan hukum formil (Hukum
Acara Perdata) meliputi peraturan perundang-undangan seperti Burgerlijk
Wetbook (BW), Wvk, UU Pokok Agraria No.1 Tahun 1974, UU perkawinan, dan
lainnya serta peraturan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat atau
hukum kebiasaan yang hidup dalam suatu masyarakat.
1
c. Kekuasaan Kehakiman
Sebagaimana Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Sedangkan menurut UU No. 48 tahun 2009 pasal 1 ayat 1,
Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari
campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum
sebagaimana Pasal 3 ayat 2 UU No. 48 tahun 2009.
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawah dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 jo.
Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009). Peradilan dilakukan dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain itu, di dalam memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan negeri tertinggi di Indonesia. Mahkamah
Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain
menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Mahkamah agung
ttidak memiliki wewenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-
2
undang dasar tetapi hanya punya hak menguji undang-undang terhadap undang-
undang. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara dalam
melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunya kekuatan hukum tetap kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusilah yang berwenang menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar dalam tingkat pertama dan terakhir dan memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD.
Peradilan yang memeriksa perkara perdata, peradilan perdata menjadi
wewenang peradilan umum. Sedangkan yang bertugas sebagai hakim sehari-hari
biasa untuk segala penduduk dalam tingkat pertama untuk memeriksa dan
memutus segala perkara yang dahulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan
yang dihapuskan adalah hakim Pengadilan Negeri. Kekuasaan pengadilan dalam
perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang
timbul karenanya hutang piutang atau hak-hak keperdataan lain.
Pejabat-pejabat pada pengadilan yaitu :
1. Hakim
Memeriksa dan mengadili perkara di persidangan.
2. Panitera
Menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti semua sidang serta
musyawarah pengadilan dengan mencatat dengan teliti semua hal yang
dibicarakan dan terjadi secara relevan di persidangan.
3
3. Jurusita
Bertugas dalam sidang pengadilan melaksanakan perintah yang diberikan
ketua sidang.
d. Susunan Badan Peradilan
a. Dasar hukum badan peradilan di Indonesia adalah :
1. UUD 1945
2. UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009)
3. UU Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004)
4. UU Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003)
5. UU Pengadilan Umum (UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8 Tahun 2004)
6. UU Pengadilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006)
7. UU Pengadilan Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004)
8. UU Pengadilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997)
b. Susunan Badan Peradilan di Indonesia
1. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
4
Mahkamah Agung
Mahkamah Konstitusi
Pengadilan Umum
Pengadilan Agama
Pengadilan Tata Usaha
Negara
Pengadilan Militer
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Susunan MK terdiri dari
seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap
anggota, serta 7 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Hakim konstitusi harus memiliki syarat: memiliki
intergritas dan kepribadian yand tidak tercela; adil; dan negarawan yang
menguasai konstitusi ketatanegaraan
Dasar hukum:
- UUD 1945 Amandemen
- UU No. 24 Tahun 2003
Kewenangan:
- Pasal 24C (1) dan (2) UUD 1945 Amandemen
- Pasal 10 UU No. 24 Th. 2003
2. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh yang lain. Susunan MA
terdirin dari Pimpinan, Hakim Anggota, dan Sekretaris MA. Pimpinan MA
terdiri dari seorang Ketua, dua Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua
Muda, yang kesemuanya dalah Hakim Agung dan jumlahnya paling
banyak 60 orang. Sedangkan beberapa direktur jenderal dan kepala
badan.
Dasar Hukum:
- UUD 45 Amandemen
- UU No.14 Th 85 jo UU No.5 Th 2004
Kewenangan:
- Pasal 24 A (1) UUD Amandemen
- Pasal 28-39 UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No.5 Tahun 2004
5
(Menyelesaikan sengketa kewenangan, mengadili, Memeriksa
& memutus permohonan P.K, Uji materiil, Memberikan
pertimbangan hukum kpd presiden atas permohonan grasi dan
rehabilitasi).
3. Pengadilan Umum
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Dasar hukumnya UU No. 2
Tahun 1986 jo UU No 8 Tahun 2004. Pengadilan Umum terdiri dari :
a. Pengadilan Negeri (PN)
Pengadilan negeri merupakan organ kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di Ibukota
Kabupaten/Kota, dan memiliki daerah hokum mencakup wilayah
Kabupaten/Kota tersebut. Kewenangan PN ada di Pasal 50 UU No. 2
Tahun 86.
b. Pengadilan Tinggi (PT)
Pengadilan tinggi merupakan organ kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibukota Propinsi,
dan memiliki daerah hukum mencakup wilayah Propinsi. Kewenangan
PT ada di Pasal 51 UU No. 2 Tahun 86.
4. Pengadilan Agama
6
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama
1) Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah organ kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan Agama yang berkedudukan di kotamadya atau
ibukota kebupaten meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
2) Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan Tingkat Banding,
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota prpinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Dasar hukum: UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006
Kewenangan Pengadilan Agama : Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No.
3 Tahun 2006.
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. Zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. Ekonomi syariah.
5. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
a. Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat
pertama. Susunan pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota,
7
Panitera, dan Sekretaris; dan pemimpin pengadilan terdiri atas
seorang Ketua dan seoirang Wakil Ketua.
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang:
1. memeriksa dan memutuskan sengketa Tata Usaha Negara di
tingkat banding;
2. memeriksa dan memutuskan mengadili antara pengadilan Tata
Usaha Negara di dalam daerah hukumnya;
3. memeriksa , memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama
sengketa Tata Usaha Negara.
c. Pengadilan Militer
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer didasarkan pada UU No. 31
Tahun 1997. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer adalah badan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata, yang meliputi Pengadilan Meiliter, Pengadilan Militer Tinggi,
Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Meiliter Pertempuran.
a. Pengadilan Militer
Susunan persidangan Pengadilan Militer untuk memeriksa dan
memutuskan perkara pidana pada tingkat pertama adalah 1 orang
Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 orang Oditur
Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 orang Panitera.
b. Pengadilan Militer Tinggi
Susunan persidangan Pengadilan Militer Tinggi untuk memeriksa dan
memutus perkara pidana pada tingkat pertama adalah 1 orang Hakim
Ketua dan 2 orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 orang Oditur
Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 orang Panitera.
8
c. Pengadilan Militer Utama
Susunan persidangan Pengadilan Militer Utama untuk memeriksa dan
memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjatapada
tingkat banding adalah 1 orang Hakim Ketua dan 2 orang Hakim
Anggota dan dibantu 1 orang Panitera.
d. Pengadilan Militer Pertempuran
Susunan persidangan Pengadilan Militer Pertempuran untuk
memeriksa dan memutus suatu perkara pidana adalah 1 orang Hakim
Ketua dengan beberapa Hakim Anggota yang keseluruhannya selalu
berjumlah ganjil, yang dihadiri 1 orang Oditur Militer/ Oditur Militer
Tinggi dan dibantu 1 orang Panitera.
e. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Sumber Hukum Acara Perdata
a. Pengertian Hukum Acara Perdata
Pengertian hukum acara perdata menurut pendapat para ahli sebagai
berikut :
1. Abdul Kadir Muhammad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak
diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.1
2. Wirjono Projodikoro
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
9
dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.2
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum Acara Perdata adalah :
- Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.
- Hukum yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan
hak, memeriksa sera memutusnya dan pelaksanan daripada
putusannya.3
4. Retnowulan Sutantio
Hukum Acara Perdata adalah Kesemua kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam
hukum perdata materiil.4
Jadi, Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara beracara perdata di pengadilan dengan proses yang
diawali dengan diajukannya gugatan hingga pelaksanaan putusan hakim
demi menjamin terwujud dan ditaatinya hukum perdata materiil menjadi
kenyataan.
b. Tujuan Hukum Acara Perdata
2 Wirjono Projodikoro, Hukum Acara di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta,1998, hlm.2.4 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 1.
10
1. Mencegah jangan terjadi main hakim sendiri (eigenrichtig)
2. Mempertahanakan hukum perdata materiil
3. Menjamin dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
Sehingga setiap orang dapat mempertahankan hak perdatanya
dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran
terhadap hukum perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap
orang lain dapat dituntut melalui pengadilan.
c. Fungsi Hukum Acara Perdata
Fungsi hukum acara perdata yaitu mencegah terjadinya eigenrichting, sehingga
tuntutan hukum harus sesuai dengan prosedur (due process of law).
d. Sumber Hukum Acara Perdata5
Pada zaman Hindia Belanda:
a. (RV) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat R.V (Stb
1847 No. 52 dan Stb 1849 No. 63). Hukum Acara Perdata untuk
golongan Eropa (pedoman jika diperlukan) (reglement op de
Burgerlijk Rechtsvordering)=== golongan Eropa
b. HIR (Herzeine Indlandsch Reglement)===golongan Bumiputera daerah
Jawa dan Madura
c. RBg (Reglement voor de Buitengewesten)=== golongan Bumiputera
luar Jawa dan Madura.
Saat Ini:
5 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.7
11
a. Het Herziene Indonesisch Reglement, disingkat H.I.R atau disebut
juga Reglement Indonesia yang diperbaharui, disingkat (R.I.B) Stb.
1941 No. 44. ketentuan ini berlaku untuk pengadilan di daerah Jawa
dan Madura.
b. Rechtsreglement Buitengewesten, disingkat R. Bg atau Reglement
untuk daerah seberang disingkat R.D.S Stb 1927 No.227. ketentuan
ini berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura
c. Burgerlijk Wetboek (BW), Kitab Undang-undang Hukum Perdata ttg
pembuktian dan daluarsa
d. Wetboek van koop Handel en Faillissements Verordening (WvK),
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan.
e. UU No. 20 Tahun 1947, ketentuan yang mengatur tentang upaya
banding untuk daerah jawa dan Madura.
f. UU No. 14 Tahun 1970, ketentuan yang mengatur tentang upaya
banding untuk daerah Jawa dan Madura.
g. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975
tentang peraturan pelaksanaannya.
h. UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang sudah dirubah denhan UU
No. 5 tahun 2004 tentang MA.
i. UU No 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kehakiman
j. UU No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
k. Yurisprudensi.
l. SEMA
m. Hukum Adat
n. Doktrin
12
d. Sejarah HIR6
Perancang H.I.R. adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung
Tentara pada tahun 1846 di Batavia, yaitu Jhr. Mr. H.L. Wichers. Karena
beliau diberi tugas merencanakan sebuah Reglement tentang administrasi
polisi, acara perdata, dan acara pidana bagi golongan Indonesia oleh
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tepatnya pada 5 Desember 1846.
Tahun 1847 rancangan selesai dibuat, tetapi J.J. Rochussen mengajukan
keberatan yaitu pada Pasal 432 ayat (2) yang membolehkan pengadilan yang
memeriksa perkara perdata untuk golongan Bumiputera menggunakan
hukum acara perdata diperuntukkan untuk golongan Eropa. Rancangan itu
terlalu sederhana karena tidak dimasukkannya lembaga-lembaga intervensi,
kumulasi gugatan, penjaminan dan rekes civil. Akhirnya ditambahkan suau
ketentuan penutup yang bersifat umum yang kini menjadi pasal 393 H.I.R.
yang termuat dalam bab ke 15.
Sebelum tanggal 5 April 1848 hukum acara perdata yang digunakan di
pengadilan Gubernemen bagi golongan Bumiputera untuk kota-kota besar di
Jawa adalah BrV (hukum acara bagi golongan Eropa). Untuk luar kota-kota
besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819-20.
Pada tanggal 5 April 1948, rancangan winchers diterima oleh gubernur
Jenderal dan diumumkan dengan Stbl. 1848 No. 16 dengan sebutan Het
Inlands Reglement (I.R.) dan mulai berlaku pada tanggala 1 Mei 1848.
6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit., hlm. 7
13
Setelah melakukan perubahan dan penambahan maka rancangan itu
ditetapkan dengan nama Inlandsch Reglement (IR) yang ditetapak dengan
Stb 1848-16 dan disahkan dengan firman Raja No. 93 pada tanggal 29
September 1849 dengan Stb 1849-63. Oleh karena pengesahan ini, sifat
H.I.R. menjadi Koninklijk besluit.
Tahun 1927 diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
yaitu hukum acara perdata bagi golongan Bumiputera luar Jawa dan Madura.
Sebelumnya berlaku peraturan tentang susunan Kehakiman dan
kebijaksanaan Pengadilan berupa Stb 1847 -23.
Pada Tahun 1941 terjadi perubahan nama I.R. menjadi HIR (Herzeine
Indlansch Reglement) dengan Stb 1941-44 yang berlaku untuk Jawa dan
Madura. Pada saat ini dengan Pasal 1 UUD 1945 yang telah diamandemen,
HIr dan RBg masih berlaku sampai saat ini. Setelah negara Indonesia
merdeka dengan terjemahan H.I.R. yang telah dilakukan, maka H.I.R. disebut
juga R.I.B. (Reglemen Indonesia Baru).
e. Asas-Asas Umum Hukum Acara Perdata7
1. Hakim Bersifat Menunggu
Prakarsa untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi kalau tidak ada tuntutan
hak atau gugatan, maka tidak ada pengadilan perdata. Sehingga hakim
bersifat menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
2. Hakim Pasif7 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 10.
14
Hakim dalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif, di mana ruang
lingkup/hal pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa
pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan
oleh hakim.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif.
karena hakim selaku pemimpin sidang harus aktif, memimpin
pemeriksaan perkara.
3. Sifat Persidangan Yang Terbuka
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya terbuka untuk umum,
bahwa setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan
dipersidangan. Bilamana hakim lupa mengucapkan sidang terbuka untuk
umum mengakibatkan putusan batal demi hukum. kecuali undang-
undang menentukan lain persidangan dapat dilakukan dalam pintu
tertutup.
4. Mendengarkan Kedua Belah Pihak
Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak wajib diperlakukan sama,
tidak memihak dan didengar bersama-sama.
5. Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan yang dimaksud itu adalah
sebagai pertanggungjawaban hukum kepada rakyat, karena itu memiliki
15
nilai obyektif.
6. Berperkara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara perdata dikenakan biaya. Mereka yang tidak mampu
membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara dengan cuma-cuma.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
RIB tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung di hadapan
para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasanya jika dikehendakinya.
16
DAFTAR PUSTAKA
------, UUD 1945 dan Amandemen, Fokusmedia, Bandung, 2009.
------, UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, 2009.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdatadi Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta,1988.
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2009.
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982.
R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.
Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1992.
17