hukum acara peradilan agama

21
 HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA*)  I. Pendahuluan.  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan : ³Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini´. Anak kalimat ´perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini´ dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama  bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat  pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : 1.  perkawinan ; 2. waris ; 3. wasiat ; 4. hibah ; 5. wakaf ; 6. zakat ; 7. infaq ; 8. shadaqah ; dan 9. ekonomi syari¶ah. Bidang-bidang tersebut adalah perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan  judul di atas adalah Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. 1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.  Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka  pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.  R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan  peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan negara). Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan  pelaksanaan dari putusannya.

Upload: muhammad-husnul-faruq

Post on 15-Jul-2015

983 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 1/21

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA*) 

I.  Pendahuluan. 

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan : ³Peradilan Agama adalahsalah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islammengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini´.

Anak kalimat ´perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini´

dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama  bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat

 pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

1.   perkawinan ;

2.  waris ;

3.  wasiat ;4.  hibah ;5.  wakaf ;

6.  zakat ;7.  infaq ;

8.  shadaqah ; dan9.  ekonomi syari¶ah.

Bidang-bidang tersebut adalah perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan

 judul di atas adalah Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

1.  Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. 

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah

rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka  pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk 

melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 

R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan

  peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan,

melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilannegara).

Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan

 pelaksanaan dari putusannya.

Page 2: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 2/21

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalahrangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka

  pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara  bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara

 bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

2.  Sumber Hukum Acara Peradilan Agama. 

Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang

  Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku  pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang

 berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalamUndang-undang ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber hukum acara Peradilan

Agama antara lain :

1.  Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2.  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3.  Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan

Madura.4.  Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang

 Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.5.  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1Tahun 1974.

6. 

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.7.  Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.

8.  Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.9.  Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).

10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan KompilasiHukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang

Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung

yang diikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama.12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.

3.  Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. 

Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas

Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :

Page 3: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 3/21

1.  Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang

 Nomor 3 tahun 2006.2.  Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal

1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

3. 

Peradilan Agama menetapkan dan menmegakkan hukum berdasarkan keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).4.  Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan

hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun2006).

5.  Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa(pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang

 Nomor 3 tahun 2006).6.  Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2)

Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7Tahun 1989).

7. 

Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang

 Nomor 7 Tahun 1989).8.  Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4

ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).9.  Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga

orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota,dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang

 Nomor 4 tahun 2004).10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal

29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).

13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)

14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat(1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang

 Nomor 7 Tahun 1989).16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).

17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

19. Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat(1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat

(1)dan pasal 195 RBg.).

Page 4: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 4/21

21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat ³Bismillahir rahmaanir rahiim´ diikutidengan ³Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa´ (pasal 57

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4

tahun 2004).23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harusdibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989).24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan

 peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).25. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan

dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

II. 

Pengajuan Tuntutan Hak. 

Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat

menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilanuntuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum,   point d¶interet, poit d¶action,

 geen belang geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan).Putusan MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus

diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

1.  Surat gugatan. 

Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat

(pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisankepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang

ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebutditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.

Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus

memuat :

1.  Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal serta

kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan.2.  Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :

Page 5: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 5/21

1.  Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuangugatan. Atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat

merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan.2.  Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis

 pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.

3.  Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar diputus oleh Hakim dalam

 persidangan. Terdiri dari :

1.  Tuntutan pokok atau primer.2.  Tuntutan tambahan, antara lain :

i.  Tuntutan provisionil,ii.  Tuntutan pembayaran bunga moratoir,

iii.  Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom),iv.  Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad,

v.  Pembebanan biaya perkara.3.  Tuntutan subsider atau pengganti. Yaitu permohonan, apabila Hakim

 berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

2.  Penggabungan/kumulasi gugatan. 

Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1.  Penggabungan subyektif. Yaitu penggabungan para pihak berperkara yang terdiri

lebih dari seorang. Misalnya beberapa orang Penggugat melawan seorangTergugat, atau sebaliknya seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.

2. 

Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam satu  perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan bersama dengan gugatan penguasaan

anak, nafkah isteri, harta bersama.3.  Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ke tiga kedalam proses perkara, terdiri dari :

1.  Voeging, yaitu masuknya pihak ke tiga atas kehendak sendiri dengan bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau Tergugat.

2.  Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar iamenjadi penanggung bagi Tergugat.

3.  Tussenkomst, ialah pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yangsedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

3.  Gugatan secara cuma-cuma (prodeo). 

Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya

 perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon

kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok 

Page 6: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 6/21

diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan denganmelampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui

Camat.

4.  Upaya menjamin hak. 

Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya

dikabulkan, undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut dengan

  penyitaan (arrest, beslag). Sita adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifateksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan

 barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan,dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai barang-

  barang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat dilaksanakansebagaimana mestinya.

Hukum Acara Peradilan Agama mengenal beberapa macam sita yaitu :

1.  Sita conservatoir.

2.  Sita revindicatoir.

3.  Sita marital.4.  Sita persamaan .

5.  Sita eksekusi.

Uraian tentang cata cara sita yang meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan hal-

hal lain yang berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.

5.  Perubahan gugatan. 

Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam

Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua

 belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.

6.  Pencabutan gugatan. 

Pencabutan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam

Rv pasal 271, yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

1.  Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari pihak 

Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang adanyagugatan/belum tersentuh kepentingannya.

Page 7: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 7/21

2.  Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuanTergugat.

3.  Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dulu mendapat persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.

III.  Pemeriksaan Perkara. 

Pemeriksaan perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputiPenetapan Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya

dilakukan dalam pembahasan tersendiri).

Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar 

keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan

 perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi

dan patut, untuk menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasantersendiri).

Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan

dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-

undang Nomor 4 tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkanmelalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :

1.  Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg). Pada permulaan  persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara

  para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta

Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasildilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :2.  Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum

  pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugatyaitu:

1.  Mencabut gugatan.2.  Merubah gugatan

3.  Mempertahankan gugatan.

Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap

 berikutnya yaitu :

1.  Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :

1.  Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok  perkara) terdiri dari :

1.  Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok  perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :

Page 8: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 8/21

-  Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan

  bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkankewenangan lingkungan peradilan lain.

-  Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutanadalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan

Peradilan yang sama.-  Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang

  bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yangterdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

-  Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak 

mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salahmenentukan pihak Tergugat.

2.  Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yangmemeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil

gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:

- Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukanoleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.

-  Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih  bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada

 putusan yang berkekuatan hukum tetap.-  Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti

gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telahdibebaskan dari kewajiban membayar.

-  Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat

seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugatsendiri.

- Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas permasalahannya dan tidak beralasan.

-  Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh positanya.

2.  Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungandengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan

melumpuhkan dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukumyang berkenaan dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian

dalil gugatan dengan alat bukti lain yang sah sesuai dengan batasminimum pembuktian dan sebagainya.

3.  Pengakuan,   jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil

gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan,maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.4.  Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan

gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugathanya menunggu putusan Hakim.

5.  Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadapPenggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal

132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).

Page 9: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 9/21

Tujuannya :

1.  Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.

2.  Mempermudah prosedur.

3.  Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.

4. 

Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.5.  Menghemat biaya.

Syarat-syarat gugatan rekonpensi :

1.  Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai dengan sebelum

 pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.2.  Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.

3.  Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.4.  Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.

5.  Bukan mengenai pelaksanaan putusan

4.  Penyampaian Replik dari Penggugat. 

Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya,

atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.

5.  Penyampaian duplik dari Tergugat. 

Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya,

atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.

Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati,sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

6.  Pembuktian. 

1.  Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil

yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan sidangPengadilan.

2.  Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.

3.  Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan

seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).

4.  Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan

itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.

5.  Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak secarategasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas

yang diajukan oleh pihak yang berperkara.

Page 10: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 10/21

7.  Alat-alat bukti. 

Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR,

 pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata berupa :

1.  Alat bukti surat/tulisan.

Dibuat oleh Pejabat

Otentik 

Akta Dibuat di hadapan Pejabat

Surat Di bawah tangan

Bukan Akta

1. Surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan

sebagai pembuktian.

2.  Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar 

suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.3.  Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang

membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupuntanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat

didalamnya oleh yang berkepentingan.4.  Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam :

1.  Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang

tampak lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyaikekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2.  Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat,didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat,

serta kebenaran tanda tangan di bawah akta tersebut.

3.  Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yangdimuat dalam akta.

5.  Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud

dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.6.  Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :

Page 11: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 11/21

1.  Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tandatngan akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta

tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sepertiakta otentik.

2.  Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh

  pihak yang menanda tangani, maka pihak yangmengajukan akta harus berusaha membuktikankebenaran tanda tangan itu.

7.  Surat bukan akta, surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum

tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.Misalnya buku register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.

2.  Alat bukti saksi.

1.  Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang  peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan

  pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggildalam persidangan.

2.  Syarat-syarat saksi :

1.  Syarat formil saksi :

1.  Memberikan keterangan di depan Pengadilan

2.  Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).3.  Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174

RBg), menyatakan kesediaan menjadi saksi.4.  Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.

1.  Syarat materiil saksi :

1.  Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihatsendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain

(testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.2.  Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal

171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa iatelah tahu. Pendapat atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai

sebagai alat bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).3.  Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan

alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).4.  Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus

testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).

1.  Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :

1.  Tidak mampu absolut :

Page 12: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 12/21

1.  Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu pihak.2.  Suami isteri salah satu pihak meskipuin telah bercerai.

1.  Tidak mampu relatif :

1.  Anak belum berumur 15 tahun.2.  Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

1.  Yang boleh mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :

1.  Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu

 pihak.2.  Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan

dari suami/isteri salah satu pihak.3.  Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan

menyimpan rahasia.

3.  Bukti persangkaan.

Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal

atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri, tetapi

diambil dari alat bukti lain.

Persangkaan ada 2 macam :

1.  Persangkaan berdasarkan undang-undang.

Contoh : Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut

undang-undang (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974).

2.  Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yangtimbul di persidangan.

Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir 

  berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan sebelumnyatelah dibayar lunas.

4.  Bukti pengakuan.

Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.

Page 13: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 13/21

1.  Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.

2.  Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar  persidangan, dapat pula diberikan secara

3.  Ada tiga macam pengakuan :

1.  Pengakuan murni yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya

dengan tuntutan pihak lawan.

2.  Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan disertai penyangkalan sebagian .

Contoh : Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,-

dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah menerima uang dari

Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.

3.  Pengakuan dengan kalusula, yaitu pengakuan disertai keterangan tambahan yang

 bersifat membebaskan.

Contoh : Isteri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3 tahun,

suami mengakui benar tidak memberi nafkah karena isteri nusyuz.

5.  Bukti sumpah.

Diatur pasal 155 - 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.

1.  Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada

waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan

  percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang memberikan

keterangan akan dihukum oleh-Nya.

Ada dua macam sumpah :

1.  Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.

2.  Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatuhal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.

1.  Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :

1.  Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakimsetelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.

2.  Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepadaPenggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu

dengan rincian yang dituntutnya.

Page 14: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 14/21

3.  Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu  pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap

saat selama proses pemeriksaan di persidangan.

Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi

  pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang  pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa.Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

6.  Saksi ahli.

Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal215 Rv.

1.  Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan

untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim

sendiri.2.  Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang

 bersangkutan.

3.  Syarat-syarat saksi ahli :

1.  Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi

ahli.

2.  Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.

1.  Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan memberikan

  pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut pengetahuan/keahliannya

dengan sebaik-baiknya.2.  Pemeriksaan Setempat.

Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv.

Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan

di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat

sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.

IV.  Putusan. 

Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan

kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian

 bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.

Page 15: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 15/21

1.  Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk keputusan Hakim/Pengadilan :

1.  Putusan.2.  Penetapan

2.  Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai

  pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri ataumenyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari

 pemeriksaan perkara gugatan (contentious).3.  Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim

sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkandi persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan

 perkara permohonan (voluntair).4.   Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya,

apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan denganketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya

 berdasarkan fakta hukum.5.  Macam-macam Putusan Hakim :

1.  Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada duamacam yaitu :

1.  Putusan Akhir.

Putusan Akhir, yaitu putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik 

yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan.

Putusan Akhir yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah :

1.  Putusan gugur.

2.  Putusan Verstek yang tidak diajukan verzet.

3.  Putusan tidak menerima.4.  Putusan yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa.

2.  Putusan Sela.

Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.

Putusan sela dilakukan dalam hal :

1.  Pemeriksaan berperkara cuma-cuma

2.  Pemeriksaan eksepsi tisak berwenang.3.  Sumpah supletoir.4.  Sumpah decissoir.

5.  Sumpah penaksir.

Page 16: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 16/21

6.  Pemeriksaan gugatan provisionil.7.  Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi).

Beberapa jenis Putusan Sela :

1.  Putusan Praeparatoir, putusan sela sebagai persiapan putusan akhir, tidak berpengaruhterhadap pokok perkara dan putusan akhir. Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam BeritaAcara Persidangan.

2.  Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang berisi memerintahkan pembuktian seperti pemeriksaan saksi, pemeriksaan setempat.

3.  Putusan Insidentil, sehubungan dengan adanya peristiwa misalnya permohonan prodeo,eksepsi kewenangan, intervensi.

1.  Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :

1.  Putusan gugur.

Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat tidak hadir 

setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama atau

sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.

2.  Putusan verstek.

Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak mewakilkan

kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan gugatan sebelum tahap

 jawaban tergugat.

3.  Putusan contradictoir.

Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu

 pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan baik penggugatmaupun tergugat pernah hadir dalam sidang.

1.  Dari segi isinya terhadap gugatan ada empat macam :

1.  Tidak menerima gugatan.

Yaitu putusan yang menyatakan Hakim tidak menerima gugatan penggugat ataugugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya tidak memenuhi syarat

hukum formil maupun materiil. Terhadap putusan ini penggugat tidak dapatmengajukan banding, tetapi dapat mengajukan perkara baru.

2.  Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.

Page 17: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 17/21

Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan tetapidalil-dalil gugatan tidak terbukti.

3.  Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima

selebihnya.

Yaitu putusan di mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak 

terbukti, atau tidak memenuhi syarat syarat hukum formil maupun materiil.

1.  Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan.2.  Dalil gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak.

3.  Dalil yang tidak memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.

4.  Mengabukan gugatan Penggugat seluruhnya.

Yaitu putusan yang dijatuhkan di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan

seluruh dalil gugatan yang mendukung pet itum telah terbukti.

1.  Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, adatiga macam, yaitu :

1.  Declaratoir.

Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi menurut

hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatanhukum atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya suatu perbuatan hukum

dsb.

2.  Constitutif.

Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru,

  berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan perceraian, pembatalan perkawinan.

3.  Condemnatoir.

Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak 

lawan untuk memenuhi prestasi.

Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak terhukum tidak 

mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat

dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan yang memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoorraad).

Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk :

Page 18: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 18/21

1.  Menyerahkan suatu barang.2.  Membayar sejumlah uang.

3.  Melakukan suatu perbuatan tertentu.4.  Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.

5.  Mengosongkan tanah/rumah.

6.  Kekuatan putusan Hakim :

Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :

1.  Kekuatan mengikat.

Putusan Hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan

menghormati putusan itu

2.  Kekuatan pembuktian.

Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung

dalam putusan, dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.

Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai

hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.

3.  Kekuatan eksekutorial.

Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel

eksekutorial yaitu kalimat ³Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa´.

7.  Kekuatan hukum tetap.

Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut,

sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang,

tidak dimintakan upaya hukum.

V.  Upaya Hukum. 

Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan kadang-

kadang bersifat memihak, oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksaulang melalui upaya hukum.

Upaya hukum adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu  putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa dirugikan kepentingannya dalam

Page 19: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 19/21

memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditentukanundang-undang.

Ada dua macam upaya hukum :

1.  Upaya hukum biasa terdiri dari :

1.  Verzet.

Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan

di luar hadirnya Tergugat (verstek).

2.  Banding.

Yaitu permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan TingkatPertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding) karena merasa

tidak puas atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama, menurut cara-cara yangditentukan undang-undang.

3.  Kasasi.

Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa

kembali putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, menurut cara-cara yangditentukan undang-undang.

2.  Upaya hukum luar biasa yaitu :

Peninjauan kembali.

Yaitu peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena

ditemukannya hal-hal baru (novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga

apabila hal itu diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.

3.  Perlawanan Pihak Ke Tiga (derdenverzet).

Pada asasnya putusan Hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak 

mengikat pihak ke tiga. Tetapi ada pihak ke tiga yang merasa hak-haknya dirugikan olehsuatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).

VI.  Pelaksanaan Putusan. 

Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk 

memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.

Page 20: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 20/21

Pelaksanaan putusan hakim dapat dilakukan :

1.  Secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

2.  Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak 

terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.

Putusan yang dapat dimohonkan eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan yang bersifat

condemnatoir.

Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan :

1.  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan

suatu barang.

2.  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.

3.  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu

 perbuatan tertentu.4.  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan

suatu perbuatan/keadaan.

5.  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkantanah/rumah.

6.  Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.

Pembicaraan lebih lanjut masalah pelaksanaan putusan/eksekusi dilakukan dalam

 pembahasan tersendiri.

Daftar pustaka. 

1.  Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum.,  P enerapan Hukum Acara

 P erdata si Lingkungan  P eradilan Agama, yayasan Al Hikmah,Cetakan Pertama Jakarta, 2000.

2.  Mukti Arto, Drs, HA.,SH.,  P raktek   P erkara  P erdata  P ada P engadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama,

Yogyakarta, 1996.

3. 

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,U 

ndang-undang  Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI.,Jakarta, 2006.

4.  Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,  Himpunan P eraturan  P erundang-undangan Dalam Lingkungan  P eradilan

 Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003.5.  Eman Suparman, Dr.,SH.,MH.,  K itab U ndang-undang  P eradilan

U mum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.

Page 21: Hukum Acara Peradilan Agama

5/13/2018 Hukum Acara Peradilan Agama - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/hukum-acara-peradilan-agama-55a7513bc2939 21/21

6.  Simorangkir, JCT., SH.,  K amus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,1987.

7.  Soebekti, Prof., R., SH.,   Hukum Acara  P erdata, BPHN, BinaCipta, Bandung, 1977.

8.  Soeparmono, R.,SH.,   Hukum Acara  P erdata dan Yurisprudensi,

Mandar Maju, Bandung, 2000.9.  Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr.,SH.,   Hukum Acara  P erdata Indonesia, Liberty, edisi ke tiga, Cetakan Pertama, 1988.

10. Supomo, Prof., Dr., R,  Hukum Acara  P erdata  P engadilan Negeri,fasco, Jakarta, 1958.

11. Tresna, Mr.,R.,  K omentar HIR, Pradnya Paramita, Cetakan kesembilan belas, Jakarta, 1996.

*) Disampaikan pada Pelatihan Panitera/Jurusita Pengganti, di PTA Suarabaya, tanggal 19 Juni 2007 

23