hubungan stunting dengan skor iq anak usia …/hubungan...iii pengesahan skripsi skripsi dengan...

62
HUBUNGAN STUNTING DENGAN SKOR IQ ANAK USIA SEKOLAH DASAR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN KLATEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIDHA RAHMAWATI AYU PRADITA G0005168 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2009

Upload: lekien

Post on 01-Apr-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN STUNTING DENGAN SKOR IQ ANAK USIA SEKOLAH

DASAR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN KLATEN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

RIDHA RAHMAWATI AYU PRADITA

G0005168

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2009

ii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Juli 2009

Nama : Ridha Rahmawati Ayu Pradita

NIM : G0005168

iii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Stunting Dengan Skor IQ Anak Usia Sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten

Ridha Rahmawati Ayu Pradita , NIM: G0005168, Tahun : 2009

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, 17 Juli 2009.

Pembimbing Utama Nama : Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si. NIP : 131 884 421 (...................................) Pembimbing Pendamping Nama : Widardo, Drs., M.Sc. NIP : 131 884 417 (...................................) Penguji Utama Nama : Anik Lestari, dr., M.Kes. NIP : 132 297 281 (...................................) Anggota Penguji Nama : Suhanantyo, drg., M.SiMed. NIP : 131 569 271 (...................................)

Surakarta, ..................................

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Sri Wahjono, dr., MKes. Prof. Dr. AA Subijanto, dr., MS. NIP: 030 134 646 NIP: 030 134 565

iv

ABSTRACT Ridha Rahmawati Ayu Pradita, G0005168, Faculty of Medicine, The Relationship between Stunting and IQ Score of The Elementary School Ages Children of The Poor Family in Klaten Regency. Sebelas Maret University Surakarta. Background: Stunting is one of the types of under nutrition remarked by height-for-age Z score ≤ -2 SD (Standard Deviation) according to WHO 2000 reference. Stunting can cause interfere with cognitive ability because of the delay of the brain growth and development or it cannot reach the maximal condition. One of the brain development markers is IQ (Intelligence Quotient) which is can be measured with many types of the tests, one is Raven’s Colored Progressive Matrices. This study intent on knowing the relationship between stunting and IQ score. Methods: This study was analytical observational with cross sectional research method design and conducted in Klaten Regency. The subjects were determined by stratified random sampling of the 9-12 years old elementary school children who had slipped off the poor family screening, suffered from stunting or normal and satisfied the inclusion criteria. The height of each child was measured and noted the height-for-age-Z-score according to WHO 2000 reference. According to the rule of thumb, 30 samples for each stunting and normal children were taken by simple random sampling from the total data results. The data samples were analyzed by using Independent t test and One Way ANOVA. Results: The statistic output of Independent t test showed that there was a significant result between stunting and IQ score marked by p value 0,004. There was an insignificant result concerned to the relationship between stunting level and IQ score according to One Way ANOVA statistic output which was marked by p value 0,129. Conclusions: This study concluded that stunting had significant relationship with IQ score. But, the relationship between stunting level and IQ score showed an insignificant result. Key words: stunting, IQ (Intelligence Quotient), poor family, raven’s progressive

matrices

v

ABSTRAK

Ridha Rahmawati Ayu Pradita, G0005168, Fakultas Kedokteran, Hubungan Stunting dengan Skor IQ Anak Usia sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Stunting merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan hasil pengukuran tinggi badan menurut umur diperoleh ≤ -2 SD (Standar Deviasi) berdasarkan referensi WHO 2000. Stunting dapat menyebabkan terganggunya kemampuan kognitif dikarenakan terlambatnya maupun tidak maksimalnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Salah satu petanda perkembangan otak adalah IQ (Intelligence Quotient) yang dapat diukur dengan berbagai bentuk tes, diantaranya Raven’s Colored Progressive Matrices. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Stunting dengan skor IQ. Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional dan dilakukan di Kabupaten Klaten. Subjek penelitian adalah siswa-siswi sekolah dasar berumur 9-12 tahun yang secara stratified random sampling telah lolos skrining keluarga miskin yang menderita stunting maupun tidak (normal) serta memenuhi kriteria inklusi. Siswa-siswi diukur tinggi badannya dan dicatat hasil height-for-age-Z-score berdasarkan referensi WHO 2000. Dari total hasil yang didapat, diambil secara simple random sampling sebanyak 30 sampel untuk masing-masing subjek stunting dan normal/non stunting berdasarkan rule of thumb. Kemudian data yang diperoleh dianalisis menggunakan Independent t test dan One Way ANOVA. Hasil penghitungan statistik Independent t test menunjukkan ada hubungan signifikan antara stunting dengan skor IQ dengan p=0,004. Sedangkan hasil penghitungan one way ANOVA mengenai hubungan tingkatan stunting dengan skor IQ menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dimana p=0,129. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. Sedangkan hubungan antara tingkatan stunting dengan skor IQ didapatkan hasil yang tidak signifikan. Kata kunci: stunting, IQ (Intelligence Quotient), keluarga miskin, raven’s

progressive matrices

vi

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, rahmat, dan hidayah yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Hubungan Stunting dengan Skor IQ Anak Usia Sekolah Dasar Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. A. A. Subiyanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta 2. Sri Wahjono, dr., Mkes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Dr. Diffah Hanim, Dra., M.Si., selaku Pembimbimg Utama yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan kepada penulis. 4. Widardo, Drs., M.Sc., selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan kepada penulis. 5. Anik Lestari, dr., M.Kes., selaku Penguji Utama 6. Suhanantyo, drg., M.SiMed, selaku Anggota Penguji 7. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk peningkatan dan perkembangan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Surakarta, 10 Juli 2009

Ridha Rahmawati Ayu Pradita

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA..............................................................................................................vi

DAFTAR ISI..........................................................................................................vii

DAFTAR TABEL...................................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................xi

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Perumusan Masalah...............................................................................3

C. Tujuan Penelitian...................................................................................3

D. Manfaat Penelitian.................................................................................3

BAB II. LANDASAN TEORI................................................................................5

A. Tinjauan Pustaka...................................................................................5

1. Stunting…………………………………………………….............5

a. Pengertian Stunting......................................................................5

b. Periode yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting......................5

c. Penyebab Stunting......................................................................10

d. Tingkatan Stunting.....................................................................12

2. IQ (Intelligence Quotient)………………………………..............13

a. Pengertian dan Sejarah IQ.........................................................13

b. Tes IQ........................................................................................14

c. Hal-Hal yang Dapat Mempengaruhi IQ....................................15

viii

3. Raven’s Progressive Matrices……………………………............20

4. Keluarga Miskin (Gakin)………………………………................22

a. Kriteria Keluarga Miskin Menurut BPS....................................22

b. Kriteria Keluarga Miskin Menurut BKKBN.............................23

B. Kerangka Pemikiran............................................................................24

C. Hipotesis..............................................................................................25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN............................................................26

A. Jenis Penelitian....................................................................................26

B. Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................26

C. Subyek Penelitian................................................................................26

D. Teknik Pengambilan Sampel...............................................................27

E. Rancangan Penelitian..........................................................................28

F. Identifikasi Variabel Penelitian...........................................................29

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian............................................29

H. Intrumentasi Penelitian.......................................................................30

I. Teknik dan Analisis Data....................................................................31

BAB IV. HASIL PENELITIAN.............................................................................32

BAB V. PEMBAHASAN.....................................................................................40

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................44

A. Simpulan..............................................................................................44

B. Saran....................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................45

LAMPIRAN

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven................................29

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin.......................................32

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Rentang Umur.......................................32

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkatan Stunting................................33

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kuesioner BKKBN...............................34

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Skor IQ Menurut Interpretasi Raven....35

Tabel 7. Rata-rata dan Standar Deviasi Skor IQ Berdasarkan Kelompok IQ

Menurut Interpretasi Raven...................................................................36

Tabel 8. Hasil Uji Independent t test.....................................................................37

Tabel 9. Hasil Uji One Way ANOVA.....................................................................37

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penyebab Gizi Kurang........................................................................11

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Data Siswa Yang Menderita Stunting (Early, Moderate, Severe)

Dan Non Stunting (Normal)

Lampiran B. Lembar Jawab Tes IQ Raven “Set A_AB_B”

Lampiran C. Kuesioner

Lampiran D. Hasil Analisis Uji Independent t test

Lampiran E. Hasil Analisis Uji One Way ANOVA

Lampiran F. Daftar Tabel Tinggi Badan Menurut Umur pada Anak Laki-Laki

dan Perempuan Umur 9-12 Tahun Berdasarkan WHO-NCHS

(2000)

Lampiran G. Surat Izin Pengambilan Data

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gizi merupakan pilar pokok kehidupan, kesehatan, dan

perkembangan dalam seluruh rentang hidup manusia. Mulai dari tingkat

perkembangan fetus paling awal, saat lahir, masa pertumbuhan (kanak-

kanak), remaja, menuju kedewasaan dan masa tua, makanan yang baik dan

gizi yang tepat sangat penting untuk kelangsungan hidup, perkembangan

mental, prestasi dan produktivitas, kesehatan serta kesejahteraan (FAO/WHO,

1992; WHO, 2000). Fakta telah menunjukkan bahwa pertumbuhan fisik dan

perkembangan kognitif pada anak-anak lebih cepat pada tahun-tahun pertama

kehidupan, dan bahwa pada usia empat tahun, 50% kapasitas intelektual

dewasa telah dicapai dan sebelum 13 tahun, kapasitas intelektual dewasa

mencapai 92% (Vernon et al., 2000).

WHO (2002) memperkirakan 27% atau 168 juta anak Balita di

dunia menderita kurang gizi (under weight). Menurut Karmini (2004) hasil

pengolahan data Susenas ditemukan bahwa di Indonesia prevalensi kurang

gizi pada anak Balita tahun 2000 sebesar 24,6%. Menurut WHO (1998)

sebanyak 40% anak Balita di dunia menderita stunting, sedangkan di

Indonesia diperkirakan sebesar 40-50%. Dari seluruh anak usia 4-24 bulan

yang berjumlah 4,9 juta di Indonesia, sekitar seperempat berada dalam

kondisi kurang gizi (Qauliyah, 2008). Tiga puluh persen anak usia di bawah

1

xiii

lima tahun di negara berkembang menderita stunted tingkat sedang (tinggi

badan menurut umur kurang dari dua SD (standar deviasi)) maupun berat

(kurang dari tiga SD (standar deviasi)) (Children's Health: Stunting in

children under 5-moderate and severe). Menurut Toriola (2000), empat

persen dari seluruh anak-anak yang dilahirkan di negara-negara berkembang

meninggal dunia sebelum berusia lima tahun akibat malnutrisi, sedangkan

Adekunle (2005) menambahkan sebagian besar yang mengalaminya adalah

anak-anak dari orang tua yang buta huruf dan golongan sosio-ekonomi rendah

yang mempunyai daya beli rendah. Menurut Atmarita (2007), 62% lebih anak

di perkotaan memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di

pedesaan hanya 49%. Beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa

pemberian makanan yang buruk dan/atau infeksi berulang sebagai akibat dari

kemiskinan menyebabkan pertumbuhan terganggu atau stunted (kerdil),

kerusakan otak yang luas, kemampuan belajar dan kapasitas intelektual

rendah (Kerr dan Black, 2000; Ivanovic et al., 2002; Chang et al., 2002;

Braveman dan Gruskin, 2003; Liu et al., 2003;).

Beberapa penelitian membuktikan ada keterkaitan antara tubuh

pendek dan tingkat kecerdasan (Atmarita, 2007). Mendez dan Adair dalam

Ijarotimi dan Ijadunola (2007) menjelaskan praktik-praktik pemberian

makanan yang buruk berhubungan dengan pertumbuhan stunted dan

keterlambatan perkembangan mental serta ada hubungan antara status

pertumbuhan terganggu dengan IQ (Intelligence Quotient) dan prestasi

sekolah yang buruk (PAHO, 1998). Akan tetapi di Indonesia sendiri,

xiv

khususnya Kabupaten Klaten belum ada penelitian mengenai hubungan

stunting dengan skor IQ. Oleh karena itu pula, dilakukan penelitian hubungan

stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar keluarga miskin di

Kabupaten Klaten.

B. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara stunting dengan skor IQ pada anak

usia sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara stunting dengan Skor IQ pada anak usia

sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan angka kejadian stunting.

b. Mengukur skor IQ pada anak usia sekolah dasar yang menderita

stunting dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat menambah kepustakaan ilmiah tentang kejadian

stunting pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin. Di samping

xv

itu, juga diharapkan dapat membuktikan bahwa ada hubungan antara

stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

khususnya orang tua dari keluarga miskin agar lebih memperhatikan

status gizi anak.

b. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemegang kebijakan

tentang pentingnya pengaruh stunting dalam menghambat generasi

yang sehat, cerdas dan berkualitas.

xvi

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Stunting

a. Pengertian Stunting

Stunting (kerdil) adalah gangguan pertumbuhan fisik yang

sudah lewat, berupa penurunan kecepatan pertumbuhan dalam

perkembangan manusia yang merupakan dampak utama dari gizi

kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari ketidakseimbangan faktor-

faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal) (Tanuwidjaya,

2002). Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan,

seperti masa kehamilan, masa perinatal, masa menyusui, bayi dan masa

pertumbuhan (masa anak). Hal ini juga bisa disebabkan karena

defisiensi dari berbagai zat gizi, misalnya mikronutrien, protein atau

energi (Anonimb, 2008).

b. Beberapa Periode yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya Stunting:

1) Masa kehamilan

Anak yang lahir dari ibu yang gizinya kurang dan hidup di

lingkungan miskin maka akan mengalami kurang gizi juga dan

5

xvii

mudah terkena infeksi dan selanjutnya akan menghasilkan wanita

dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang pula. Keadaan ini

merupakan lingkaran setan yang akan berulang dari generasi ke

generasi selama kemiskinan tersebut tidak ditanggulangi

(Soetjiningsih, 1998).

2) Masa perinatal, menyusui, masa bayi (satu tahun pertama)

Masa perinatal yaitu 28 minggu dalam kandungan sampai

7 (tujuh) hari setelah lahir merupakan masa rawan dalam proses

tumbuh kembang anak, dimana malnutrisi yang terjadi pada

periode ini dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan dan

perkembangan yang normal (Soetjiningsih, 1998).

Menurut Soetjiningsih dan Suandi (2002), anak yang

minum ASI mempunyai tumbuh kembang yang lebih baik karena

ASI mengandung gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan

bayi, juga terdapat bermacam-macam zat anti baik seluler maupun

humoral.

Masa bayi (satu tahun pertama) merupakan masa transisi

dari makanan cair ke makanan orang dewasa. Pada masa ini

ditandai dengan tubuh kembang yang sangat cepat juga dijumpai

berbagai masalah makan, seperti asupan makan kurang, regurgitasi

atau muntah, diare atau tinja encer, kolik, konstipasi, defisiensi

xviii

makro dan mikro nutrien. Selain itu, gangguan gizi juga sering

terjadi pada masa ini, oleh karena keluarga/ibu :

a) Kurang pengetahuan mengenai kebutuhan bayi dan makanan

tambahan yang bergizi.

b) Ketidaktahuan menyiapkan makanan tambahan dari bahan-

bahan local yang bergizi.

c) Kemiskinan, sehingga kurang mampu menyediakan makanan

yang bergizi.

(Soetjiningsih dan Suandi, 2002).

3) Masa pertumbuhan (masa anak)

Pertumbuhan anak umur antara setahun sampai pra-remaja

sering disebut masa laten atau tenang. Walaupun pertumbuhan

fisiknya lambat, tetapi merupakan masa untuk perkembangan

sosial, kognitif dan emosional. Pada masa Balita merupakan

puncak kejadian defisiensi vitamin A dan KEP. Di samping itu,

anak umur 1-3 tahun mempunyai risiko mengalami anemia

defisiensi besi yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat

besi dan diet yang tidak cukup mengandung besi. Kebutuhan

kalsium pada periode ini juga meningkat, untuk mineralisasi dan

mempertahankan pertumbuhan tulang. Selain kalsium, seng juga

dibutuhkan untuk pertumbuhan. Defisiensi seng dapat

xix

mengakibatkan gagal tumbuh, penurunan nafsu makan dan

penyembuhan luka yang lambat (Soetjiningsih dan Suandi, 2002).

4) Kekurangan Energi Protein (KEP)

Meskipun kenaikan berat badan ibu kecil selama trimester

I kehamilan, namun sangat penting artinya karena pada waktu

inilah janin dan plasenta dibentuk. Kegagalan kenaikan berat badan

ibu pada trimester I dan II akan meningkatkan bayi BBLR. Hal ini

disebabkan karena KEP akan mengakibatkan ukuran plasenta kecil

dan kurangnya suplai zat-zat makanan ke janin (Soetjiningsih,

1998). Soekirman (2000) menambahkan KEP adalah suatu bentuk

masalah gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor

makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan

protein serta karena infeksi, yang berdampak pada penurunan status

gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi bergizi kurang atau

buruk.

5) Defisiensi vitamin dan mikronutrien

a) Defisiensi vitamin A, B12, C, D dan anemia gizi

Menurut Suyitno dan Narendra (2002) vitamin A,

B12, C dan D mempengaruhi pertumbuhan anak. Defisiensi

vitamin A pada masa kehamilan akan mengakibatkan

meningkatnya prevalensi prematuritas dan retardasi mental.

xx

Soetjiningsih (1998) menyatakan bahwa anemia gizi

merupakan masalah gizi di negara berkembang dengan

prevalensi tertinggi pada ibu hamil. Anemia gizi ini sering

akibat kekurangan Fe, asam folat, dan vitamin B12, yang

mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus,

cacat bawaan, BBLR, abruptio plasenta, dan cadangan besi

yang kurang. Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan

adanya hubungan antara anemia pada ibu hamil trimester

terakhir dengan bayi lahir sebelum waktunya, bayi lahir

dengan BBLR, dan kematian bayi (Soekirman, 2000).

b) Defisiensi Iodium

Defisiensi iodium pada ibu hamil dalam trimester I

kehamilan merupakan faktor utama terjadinya kretin endemik.

Akibat defisiensi iodium lainnya dapat mengakibatkan janin

diresorpsi, lahir mati atau bayi lahir lemah dan partus lama

(Soetjiningsih, 1998). Soekirman (2000) menambahkan

apabila gangguan akibat kurang zat yodium (GAKI) terjadi

pada kehamilan tua (lebih dari trimester kedua), dampak buruk

yang diakibatkan tidak dapat diperbaiki. Artinya kelainan fisik

dan mental yang terjadi pada janin akan menjadi permanen

sampai dewasa. Dampak buruk pada janin dan bayi dapat

berupa keguguran, lahir mati, lahir cacat, kretin, kelainan

xxi

psikomotor dan kematian bayi. Pada anak usia sekolah dan

orang dewasa, GAKI dapat berakibat pembesaran kelenjar

gondok, cacat mental dan fisik.

c) Defisiensi Zn (Seng) dan Ca (Kalsium)

Kekurangan kalori protein dapat menyebabkan anak

pendek, sedangkan anemia karena kekurangan zat besi menjadi

faktor risiko dominan munculnya defisiensi seng. Interaksi

kekurangan besi dan seng diketahui berdampak pada hambatan

pertumbuhan tinggi badan sehingga lahirlah anak-anak yang

pendek (Khomsan, 2004). Esminger dkk dalam Soekirman

(2000) menyatakan bahwa kurang seng menghambat

pertumbuhan anak dan remaja. Defisiensi seng dapat

mengakibatkan gagal tumbuh, penurunan nafsu makan dan

penyembuhan luka yang lambat (Soetjiningsih dan Suandi,

2002). Defisiensi kalsium pada ibu hamil akan mengakibatkan

kelainan struktur tulang secara menyeluruh pada janin

(Soetjiningsih, 1998).

c. Penyebab Stunting

Stunting merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh

berbagai penyebab, baik langsung maupun tidak langsung, serta

xxii

penyebab yang berasal dari pokok masalah yang ada di masyarakat dan

nasional. UNICEF (1998) memperkenalkan faktor penyebab kurang

gizi dalam gambar di bawah ini:

Gambar 1. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan

UNICEF (1998).The State of The World’s Children

1998. Oxford Univeesity Press).

KURANG GIZI

Makan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Tidak Cukup Persediaan Pangan

Pola Asuh Anak Tidak Memadai

Sanitasi dan Air Bersih / /Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai

Kurang Pendidikan , Pengetahuan dan Keterampilan

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga , kurang pemanfaatan

sumberdaya masyarakat

Pengangguran, , Inflasi, , kurang pangan dan kemiskinan

Krisis Ekonomi, Politik,

dan Sosial

Dampak

Penyebab langsung

Penyebab Tidak langsung

Pokok Masalah di Masyarakat

Akar Masalah ( nasional )

xxiii

d. Tingkatan Stunting

Stunting ditentukan dengan membandingkan pengukuran

tinggi badan menurut umur (TB/U) pada anak-anak dengan populasi

pada buku pedoman pertumbuhan WHO-NCHS (2000), dimana anak-

anak yang berada di bawah lima persentil atau kurang dari -2 SD

(Standar Deviasi) pada pedoman tinggi badan menurut umur

digolongkan stunting, tanpa memperhatikan alasan apapun. Sebagai

indikator status gizi, perbandingan pengukuran tinggi badan menurut

umur pada anak-anak pada kurva pertumbuhan dapat memberikan hasil

yang berbeda antara pengukuran anak-anak sebagai populasi dengan

anak-anak sebagai individu. Kenyataannya bahwa seorang anak yang

berada di bawah 5 (lima) persentil pada kurva tinggi badan menurut

umur dapat memperlihatkan variasi pertumbuhan yang normal dalam

sebuah populasi: secara sederhananya, seorang anak pendek mungkin

karena kedua orang tuanya membawa gen-gen pendek, dan bukan

disebabkan karena gizi yang tidak memadai. Apabila terdapat lebih

dari lima persen populasi anak-anak yang diidentifikasi memiliki kurva

pertumbuhan tinggi badan menurut umur kurang dari lima persentil,

sedangkan pada populasi disebutkan bahwa hasilnya lebih tinggi dari

prevalensi yang diperkirakan, maka gizi yang tidak memadai biasanya

merupakan alasan yang pertama kali dipertimbangkan. Terjadinya

stunting dapat disebabkan karena tidak cukup makan, terlalu banyak

makan makanan yang tidak seimbang (Anonimb, 2008).

xxiv

Mendez dan Adair (1999) menyatakan tingkatan height-for-

age Z-score (HAZ) untuk stunting berdasarkan referensi WHO (2000):

a. Early stunting (stunting tingkat awal), apabila didapatkan hasil HAZ

<-2

b. Moderate stunting (stunting tingkat sedang), apabila didapatkan hasil

HAZ <-2 dan ≥-3

c. Severe stunting (stunting tingkat berat) apabila didapatkan hasil HAZ

<-3

2. IQ (Intelligence Quotient)

a. Pengertian dan Sejarah IQ

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor (nilai) yang

diperoleh dari beberapa tes terstandardisasi berbeda yang dicoba untuk

mengukur kecerdasan. Istilah IQ, merupakan terjemahan dari bahasa

Jerman Intelligenze-Quotient, yang ditemukan oleh seorang psikolog

Jerman bernama William Stern pada tahun 1912 berupa metode

pengukuran kecerdasan anak-anak modern yang diusulkan seperti yang

dikembangkan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon pada awal abad

ke-20 (Anonima, 2007).

Skor IQ memiliki hubungan dengan beberapa faktor, seperti

morbiditas dan mortalitas (Cervilla, 2004), status sosial orang tua (The

American Psychological Association, 1995), dan hal yang lebih penting,

xxv

IQ orang tua. Sedangkan pewarisan IQ telah diteliti hampir selama satu

abad, tetapi masih meninggalkan kontroversi dan perdebatan mengenai

seberapa besar diwariskan, dan bagaimana mekanisme pewarisannya

(Devlin, Daniels , Roeder Nature, 1997).

Skor IQ digunakan dalam banyak konteks, sebagai prediktor

prestasi pendidikan atau kebutuhan khusus yang digunakan oleh para

peneliti sosial yang meneliti distribusi skor IQ pada suatu populasi dan

hubungan antara IQ dengan variabel-variabel lain, serta sebagai

prediktor prestasi dan hasil kerja (Whalley et al. 2000; Naomi Breslau,

Victoria, German, 2006; Laura Mandelli et al. 2006; Debbie Lawlor,

Heather Clark, David Leon, 2006).

b. Tes IQ

Tes-tes IQ terdapat beberapa bentuk. Beberapa tes

menggunakan satu bentuk pertanyaan atau soal, sedangkan yang lain

menggunakan beberapa subtes yang berbeda. Sebagian besar tes

menghasilkan skor subtes maupun skor keseluruhan individu. Tes IQ

khusus meminta subjek tes untuk menyelesaikan beberapa masalah

dalam waktu yang ditentukan di bawah pengawasan. Terdapat berbagai

macam bentuk domain pada sebagian besar tes, di antaranya bentuk

memori singkat, pengetahuan bahasa, visualisasi ruang dan kecepatan

pemahaman. Beberapa tes mempunyai batas waktu total, sebagian

mempunyai batas waktu untuk tiap-tiap subtes, sebagian kecil tidak

xxvi

dibatasi waktu tes dan tanpa pengawasan, khususnya bentuk tes untuk

mengukur kecerdasan tinggi (Anonima, 2007).

Analisis matematika dari skor subtes individu pada satu tes IQ

atau skor dari berbagai macam tes IQ, misalnya, Stanford-Binet, WISC-

R, Raven's Progressive Matrices, Cattell Culture Fair III, Universal

Nonverbal Intelligence Test, Primary Test of Nonverbal Intelligence,

dan sebagainya, dapat diuraikan secara matematika seperti mengukur

satu atau bermacam-macam faktor yang spesifik untuk setiap tes

(Gottfredson, 1998).

c. Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi IQ

1) Heritabilitas atau Pewarisan

Berbagai macam penelitian di Amerika Serikat yang

dikemukakan oleh Neisser et al. (1995), Plomin, Pedersen,

Lichtenstein dan McClearn (1994), dan Thomas Bouchard, David

Lykken, Matthew McGue, Nancy Segal, Auke Tellegen (1990)

dalam Anonima (2007) menemukan pewarisan IQ antara 0,4

sampai 0,8, serta menjelaskan bahwa kurang dari sampai lebih dari

setengah variasi pada IQ di antara anak-anak yang diteliti

disebabkan adanya variasi pada gen-gen mereka.

xxvii

2) Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan mempunyai peranan dalam

menentukan IQ. Hal ini mungkin untuk meningkatkan skor IQ

seseorang dengan berlatih, misalnya dengan bermain puzzle secara

teratur atau permainan adu strategi seperti catur. Latihan musik

pada masa kanak-kanak juga dapat meningkatkan IQ

(Schellenberg, 2004). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa

latihan dengan menggunakan memori pekerjaan seseorang bisa

meningkatkan IQ (Susanne et al. 2002).

3) Lingkungan Keluarga

The American Psychological Association 1995

melaporkan Intelligence: Knowns and Unknowns, menyatakan

bahwa tidak ada keragu-raguan bahwa perkembangan anak yang

normal memerlukan tingkat perhatian minimum. Variabel-variabel

seperti sumber daya dan bahasa yang digunakan dalam keluarga

berhubungan dengan skor IQ anak-anak (Neisser et al. 1995).

4) Malnutrisi Energi Protein

Suatu penelitian di Guatemala menemukan bahwa

pertumbuhan yang jelek selama masa kanak-kanak, begitu juga

berat badan lahir rendah, secara negatif berhubungan dengan hasil

tes prestasi dan kinerja masa remaja (Pollitt et al. 1993). Penelitian

lain meneliti mengenai pengaruh pemberian minuman berprotein

dan berenergi tinggi sebagai suplemen makanan pada anak usia 6-

xxviii

24 bulan. Efek positif dan besar ditemukan pada peningkatan

kemungkinan kehadiran/absensi dan kelulusan tingkat pertama,

peningkatan nilai dicapai pada usia 13 tahun, peningkatan

penyelesaian capaian sekolah dan untuk dewasa usia 25-40 tahun,

terjadi peningkatan skor IQ (Stein et al. 2005).

5) Defisiensi Vitamin dan Mikronutrien terhadap IQ

Penyakit anemia akibat kurang zat besi menyebabkan

penduduk Indonesia kehilangan 40-80 juta poin IQ. Sementara itu,

defisiensi iodium melenyapkan 150 juta poin IQ (Khomsan, 2006).

Kanarek dkk dan Politt dkk dalam Soekirman (2000) menjelaskan

dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara

Anemia Gizi Besi (AGB) dan gangguan perkembangan dan fungsi

otak serta perilaku kognitif. Kekurangan zat besi karena anemi

mempengaruhi proses pertumbuhan dan

perkembangan/kematangan sel otak serta menghambat produksi

dan pemecahan zat senyawa transmiter yang diperlukan untuk

mengantar rangsangan pesan dari satu sel neuron ke neuron yang

lainnya. Gangguan ini dapat berpengaruh pada kinerja otak.

Soekirman (2000) menambahkan dari banyak penelitian, antara lain

di Mesir, India, Indonesia, Thailand, dan Amerika Serikat

menunjukkan bahwa anak sekolah yang anemi, perkembangan

xxix

psikomotoriknya berkurang setara dengan lima sampai sepuluh

nilai IQ.

6) Otak dan IQ

Pada tahun 2004, Richard Haier, menggunakan MRI

(Magnetic Resonance Imaging) untuk memperoleh gambar struktur

otak pada 47 orang dewasa normal yang juga mengambil tes IQ

standard. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa kecerdasan

manusia pada umumnya tampak didasarkan pada lokasi dan

volume jaringan grey matter di otak. Distribusi regional grey

matter pada manusia sangat bersifat pewarisan. Penelitian tersebut

juga memperlihatkan bahwa hanya sekitar enam persen grey matter

otak yang berhubungan dengan IQ (Anonima, 2007).

7) Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa rata-rata IQ pria

melebihi wanita sekitar 3-4 poin (Douglas dan Rushton; Lynn dan

Irwing, 2004).

8) Bahan Kimia

Penggunaan beberapa produk pemutih kulit, yang terkenal

di kalangan wanita Asia, memiliki efek merugikan terhadap IQ.

Produk pemutih kulit, sering berisi bahan kimia toksik, seperti

merkuri dan hydroquinone sebagai bahan aktifnya (Counter, 2003;

Heyward dan Georgia, 2005). Beberapa penelitian menemukan

xxx

bahwa peningkatan 100 mikrogram merkuri dalam darah,

menurunkan IQ pada anak-anak rata-rata sebesar 14 poin (Countera

et al. 2002).

9) Tembakau

Hasil penelitian mengenai hubungan antara lingkungan

paparan asap tembakau, yang diukur dengan biomarker darah,

dengan kemampuan kognitif pada anak-anak dan remaja usia 6-16

tahun di Amerika Serikat, menemukan adanya hubungan antara

paparan dengan defisit kognitif, bahkan pada tingkat paparan yang

sangat rendah (Kimberly Yolton et al. 2005).

10) Stress

Teori Clancy Blair (2006) menjelaskan bahwa stres pada

awal masa pertumbuhan dapat mempengaruhi perkembangan otak

dan menyebabkan efek negatif. Paparan kekerasan pada masa

pertumbuhan dihubungkan dengan prestasi sekolah dan IQ yang

rendah pada semua ras. Paparan kekerasan dan trauma

menyebabkan penurunan IQ sebesar 7,5 poin, penurunan prestasi

membaca sebesar 9,8 poin. Kekerasan dapat memberikan dampak

negatif pada IQ, atau IQ bersifat protektif terhadap kekerasan,

mekanisme dan arah penyebabnya tidak diketahui (Virginia et al.

2002).

xxxi

11) Penyakit Infeksi Tropis

Malaria menyerang 300-500 juta orang setiap tahun,

sebagian besar pada anak-anak di bawah 5 (lima) tahun di Afrika,

menyebabkan anemia luas selama periode perkembangan otak dan

merusak otak secara langsung karena malaria serebral, dimana pada

anak-anak lebih rentan (Boivin, 2002; Holding dan Snow, 2001).

3. Raven's Progressive Matrices

Raven’s Progressive Matrices (sering disebut dengan Raven’s

Matrices) merupakan tes pilihan ganda tentang penalaran abstrak, yang

mula-mula dikembangkan oleh Dr. John C. Raven pada tahun 1936

(Raven, 1958). Pada setiap jenis tes, peserta diminta untuk

mengidentifikasi segmen yang hilang, yang diperlukan untuk melengkapi

pola yang lebih besar. Banyak item yang dibuat dalam bentuk matriks

berukuran 3X3 atau 2X2, yang akhirnya diberi nama matrices.

Menurut Raven dan Court (2003) terdapat 3 (tiga) bentuk matriks

yang berbeda untuk peserta dengan kemampuan yang berbeda pula:

1) Standard Progressive Matrices

Bentuk ini merupakan bentuk asli dari matrices yang

diterbitkan pertama kali pada tahun 1938. Bukletnya meliputi lima set

(A-E), yang masing-masing terdiri 12 item (misalnya, A1-A12),

dengan item-item dalam satu set semakin meningkat kesulitannya,

sehingga membutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk

xxxii

menganalisis dan mengode informasi. Keseluruhan item disajikan

dengan tinta hitam berlatar belakang putih (Raven, 1958).

2) Colored Progressive Matrices

Didesain untuk anak-anak yang lebih muda, dan orang-orang

dengan kesulitan belajar tingkat sedang dan berat. Tes ini terdiri atas

12 item yang disisipkan di antara dua, seperti Ab. Sebagian besar item

disajikan dengan latar belakang berwarna supaya tes tersebut dapat

menstimulasi peserta secara visual. Namun, item yang paling akhir

pada set B disajikan secara hitam-putih. Apabila peserta memiliki

kemampuan lebih, maka peralihan ke set C, D, dan E pada standard

matrices dihilangkan (Raven, 1958).

3) Advanced Progressive Matrices

Bentuk matriks yang diperbaharui terdiri 48 item, disajikan

dalam 12 satuan (set I); sedangkan yang lain dalam 36 satuan (set II).

Item-item disajikan secara hitam-putih dengan latar belakang putih,

dimana tiap set dibuat menjadi semakin sulit. Item-item ini tepat untuk

remaja dan dewasa yang mempunyai tingkat kecerdasan di atas

normal (Raven, 1958).

4. Keluarga Miskin (Gakin)

a. Kriteria keluarga miskin menurut BPS

BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk

memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan

xxxiii

makanan dan non makanan. BPS menggunakan indikator makanan

dengan kriteria yang direkomendasikan Widyakarya Pangan dan Gizi

yaitu 2100 kalori per orang perhari (Cahyat, 2004). Faktor non makanan

yang ditetapkan BPS berdasar sosialisasi Departemen Komunikasi dan

Informasi, rumah tangga dinyatakan miskin apabila memenuhi 14

indikator, yaitu:

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu

murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu

berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan

rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak

terlindung/sungai/air hujan.

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu

bakar/arang/minyak tanah.

8) Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

9) Hanya membeli 1 (satu) stel pakaian dalam 1 (satu) tahun.

10) Hanya sanggup makan sebanyak 1 (satu) atau 2 (dua) kali dalam 1

(satu) hari.

xxxiv

11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di

Puskesmas/Poliklinik.

12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani, dengan

luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh

perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp

600.000,00 perbulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak

tamat SD (Sekolah Dasar)/hanya SD.

14) Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan

nilai Rp 500.000,00; sepeti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas,

ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

(Rusmana, 2005)

b. Kriteria keluarga miskin menurut BKKBN

Kriteria BKKBN lebih menekankan pada keluarga sebagai

kesatuan individu, bukan sebagai unit ekonomi seperti yang dilakukan

oleh BPS. Kriteria yang dipakai menunjuk pada kesejahteraan secara

kualitatif bukan kemiskinan secara kuantitatif.

Kriteria keluarga miskin berdasarkan BKKBN yaitu keluarga

yang tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari enam indikator

penentu kemiskinan alasan ekonomi. Enam indikator penentu

kemiskinan tersebut adalah:

1) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari

atau lebih

xxxv

2) Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah,

bekerja/ sekolah dan bepergian

3) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah

4) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor

5) Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling

kurang satu stel pakaian baru

6) Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi untuk tiap

penghuni

(BKKBN, 2005)

B. Kerangka pemikiran

Keterangan :

STUNTING

SKOR IQ

: mempengaruhi

Penyebab Langsung:

Genetik, Penyakit Infeksi, Lingkungan, Jenis kelamin

Penyebab Tidak Langsung:

Pertumbuhan dan Perkembangan Otak

: Variabel yang diteliti

:Variabel yang tidak diteliti

xxxvi

C. Hipotesis

Ada hubungan antara stunting dengan skor IQ anak usia sekolah dasar

dari keluarga miskin

xxxvii

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional untuk

mencari hubungan antar variabel risiko dan efek (Taufiqurrahman, 2004).

Pada penelitian ini, pendekatan studi yang digunakan adalah cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di lima (5) sekolah dasar yang ada di

Kecamatan Wedi dan Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,

yaitu Sekolah Dasar Negeri 1 Melikan, Sekolah Dasar Negeri 2 Melikan,

Sekolah Dasar Negeri 1 Brangkal, Sekolah Dasar Negeri 2 Brangkal, Sekolah

Dasar Negeri 1 Paseban.

C. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, jumlah sampel sebesar 30 subjek penelitian,

karena merupakan sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian yang

datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat (rule of

thumb) (Murti, 2007). Dalam penelitian ini diambil 30 subjek yang menderita

stunting, dan 30 subjek dengan gizi baik/normal/non stunting, dengan kriteria:

26

xxxviii

1. Kriteria Inklusi:

a. Anak sekolah dasar usia 9-12 tahun

b. Menderita stunted baik early, moderate, severe berdasarkan diagram

height-for-age Z-score (HAZ) WHO (2000)

c. Dari keluarga miskin sesuai dengan kriteria keluarga miskin menurut

BKKBN.

2. Kriteria Ekslusi:

a. Anak sekolah dasar usia 9-12 tahun yang bersekolah selain di 5 sekolah

dasar sampel.

b. Anak menderita lumpuh, penyakit infeksi

c. Menderita retardasi mental

d. Over weight dan obesitas

e. Dari keluarga miskin sesuai dengan kriteria keluarga miskin menurut

BKKBN, tetapi anak tersebut bertempat tinggal di luar lokasi penelitian

atau bertempat tinggal di lokasi penelitian, tetapi tidak bersekolah di

sekolah dasar sampel.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling, yang

berarti memilih kasus-kasus dari kelompok/strata/subpopulasi yang

sebelumnya telah diidentifikasi sebagai pencuplikan (Murti, 2007). Dalam

penelitian ini diambil 2 (dua) kecamatan (Kecamatan Wedi dan Kecamatan

Bayat). Kemudian dari 2 (dua) kecamatan tersebut diambil 3 (tiga) desa di

xxxix

Kecamatan Wedi dan 2 (dua) desa di Kecamatan Bayat. Masing-masing desa

diambil 1 (satu) sekolah dasar.

E. Rancangan Penelitian

Populasi

Sub populasi Sub populasi

Screening (miskin)

Screening (miskin)

Stratified random

sampling

Tes Raven Tes Raven

Independent t test

Sampel

Sampel

Stunting (total)

Non Stunting (total)

Simple random sampling

Sub populasi Sub populasi

Stratified random

sampling

xl

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas (independent) :

stunting

2. Variabel terikat (dependent)

: skor IQ

3. Variabel perancu : genetik, penyakit infeksi, lingkungan,

umur, jenis kelamin, sosial ekonomi.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Stunting

Suatu keadaan gizi kurang sehingga terjadi kegagalan untuk

mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan TB/U (tinggi

badan menurut umur) yang sesuai dengan diagram WHO-NCHS (2000),

baik dalam kriteria early, moderate, severe.

Jenis data: rasio

2. IQ

IQ adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika dan

rasio anak. Hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran

akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan

matematika (Prismasmanda, 2005). Pengukuran skor IQ pada penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan Raven’s Colored Progressive Matrices

(Raven’s Matrices).

Jenis data: interval

xli

H. Instrumentasi Penelitian

1. Microtoise, dengan ketelitian 0,1 cm

2. Diagram tinggi badan menurut umur (TB/U) WHO-NCHS (2000)

3. Colored Progressive Matrices dari Raven (Raven’s Matrices), laptop,

LCD proyektor, layar (untuk tes gambar Raven’s Matrices)

4. Lembar jawab tes Raven

5. Tes IQ menggunakan Raven’s Colored Progressive Matrices dengan

interpretasi hasil:

Tabel 1. Skor IQ Wechsler yang dikembangkan oleh Raven

IQ Diskripsi Lama Diskripsi Raven Skor (100)

10 Idiot Retardasi mental sangat

berat Kurang dari 1

25 Idiot Retardasi Mental Berat Kurang dari 1

40 Imbecile Retardasi Mental Sedang Kurang dari 3

55 Moron Retardasi Mental Ringan Kurang dari 13

70 Garis Batas Kurang dari 15

85 Dull Normal Di bawah Rata-rata Kurang dari 16

100 Rata-rata 50 - 60

115 Di Atas Rata-rata 61 - 84

125 Superior 85 - 95

130 Jenius Sangat Superior 95 - 98.5

xlii

145 Sangat Sangat Superior 98.5 - 100

Sumber: Raven, 1995

I. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan Statistical Product

and Service Solution (SPSS) for Windows 15 (SPSS, Chicago, III, USA),

sedangkan untuk menentukan hubungan antara stunting dan skor IQ

menggunakan Independent t test, sedangkan untuk mengetahui hubungan

antara tingkatan stunting terhadap skor IQ menggunakan uji One Way

ANOVA.

xliii

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian mengenai hubungan stunting dengan skor IQ anak usia

sekolah dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten dilaksanakan di

Kecamatan Wedi dan Kecamatan Bayat pada November 2008 sampai Januari

2009. Setelah dilakukan pengambilan sampel secara stratified random

sampling, diperoleh 5 (lima) sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian,

observasi dan pengukuran tinggi badan pada siswa-siswi dari 5 (lima) sekolah

dasar didapatkan populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dengan jumlah 274 subjek, sebanyak 239 subjek menderita stunting dan 35

subjek non stunting/normal. Sesuai dengan rule of thumb, maka dari sampel

tersebut diambil sebanyak 30 sampel secara simple random sampling (untuk

masing-masing stunting dan non stunting) untuk kemudian disertakan dalam

penghitungan statistik.

1. Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian dideskripsikan berdasarkan jenis

kelamin, umur, tingkatan stunting. Berikut adalah distribusi frekuensi

subjek berdasarkan ketiga karakteristik tersebut.

xliv

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Normal

Status Gizi

Stunted

Status Gizi

Total

(normal+stunting)

No. Jenis

Kelamin

n % n % n %

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

11

19

36,67

63,33

19

11

63,33

36,67

30

30

50

50

Jumlah 30 100 30 100 60 100

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 60 subjek penderita

stunting dan normal yang diobservasi, jumlah subjek berjenis kelamin laki-

laki dan perempuan saling berkebalikan. Selain itu, dapat diketahui bahwa

kejadian stunting lebih banyak terjadi pada subjek berjenis kelamin laki-

laki, yaitu sebanyak 63,33%. Hal ini perlu kajian khusus tentang bias

gender terhadap kejadian stunting anak usia 9–12 tahun.

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Rentang Umur Normal Stunted Total

(normal+stunting) No. Umur (tahun,

bulan) n % n % n %

1. 2. 3. 4.

9 tahun - 9 tahun, 11 bulan 10 tahun - 10 tahun, 11 bulan 11tahun - 11 tahun, 11 bulan 12 tahun

9 8

10 3

30

26,67

33,33

10

8 7

11 4

26,67

23,33

36,67

13,33

17

15

21 7

28,33

25

35

11,67

32

xlv

Jumlah 30 100 30 100 60 100

Sumber: Data Primer, Januari 2009 Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 60 subjek penderita

stunting dan non stunting yang diobservasi, sebagian besar berada pada

rentang umur 11 tahun-11 tahun,11 bulan yaitu sejumlah 21 sampel (35%).

Hal ini juga berlaku baik pada subjek yang menderita stunting maupun non

stunting/normal, masing-masing 11 subjek (36,67%), dan 10 subjek

(33,33%).

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkatan Stunting

No. Tingkatan Stunting n %

1.

2.

3.

Ringan (Early)

Sedang (Moderate)

Berat (Severe)

10

10

10

33,33

33,33

33,33

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 4, dapat diketahui bahwa terdapat distribusi sampel

yang merata, baik early, moderate, severe masing-masing berjumlah 10

subjek (33,33%).

2. Hasil Tabulasi Kuesioner BKKBN (2005)

Data subjek mengenai kriteria keluarga miskin berdasarkan

BKKBN serta rata-rata dan standar deviasi skor IQ dapat dideskripsikan

dalam bentuk tabel distribusi di bawah ini:

xlvi

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kuesioner BKKBN (yang

memberi tanda (√) pada kolom “tidak”)

No. Kuesioner Normal Stunting

1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan

dua kali sehari atau lebih

6 14

2. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda

untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian

6 7

3. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah 14 25

4. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan

daging/ikan/telor

12 27

5. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga

memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru

13 16

6. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter

persegi untuk tiap penghuni

23 24

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 5 tersebut, tampak bahwa subjek yang menderita

stunting lebih banyak memberikan jawaban “tidak” pada item kuesioner

dari pada subjek non stunting secara keseluruhan.

xlvii

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Skor IQ Menurut Interpretasi

Raven

Normal Stunted No. Deskripsi Raven Skor IQ

(100) n % n %

1. Di Bawah Rata-

Rata

Kurang

dari 16

1 3,33 1 3,33

2. Rata-Rata 50-60 3 10 3 10

3. Di Atas Rata-Rata 61-84 19 63,33 19 63,33

4. Superior 85-95 4 13,33 - -

5. Sangat Superior 95-98,5 1 3,33 - -

6. Sangat-Sangat

Superior

98,5-100 - - - -

7. Tidak

terkategorikan

16-50 2 6,67 7 23,33

Jumlah 30 100 30 100

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 6, dapat diketahui bahwa pada subjek yang menderita

stunting dan subjek non stunting memiliki distribusi sampel berdasarkan

skor IQ yang sama pada kategori “di atas rata-rata”. Di samping itu,

didapatkan pula informasi perolehan skor IQ tertinggi terdapat pada subjek

non stunting pada kategori “sangat superior”.

xlviii

Tabel 7. Rata-Rata dan Standar Deviasi Skor IQ Berdasarkan Kelompok

IQ Menurut Interpretasi Raven

No. Kelompok IQ

Raven

n Rata-rata Standar

Deviasi

1. <16 2 15,33 0,00

2. 50-60 7 56,22 3,80

3. 61-84 37 72,21 6,87

4. 85-95 4 87,82 2,34

5. 95-98,5 1 96,63 -

6. 98,5-100 - - -

7. Tak terkategorikan

(16-50)

9 41,76 7,64

Total 60 65,33 17,27

Sumber: Data Primer, Januari 2009

Dari Tabel 5, total rata-rata skor IQ pada 60 subjek sebesar 96,33.

Rata-rata tertinggi terdapat pada kelompok IQ 95-98,5 sebesar 96,63,

sedangkan rata-rata terendah pada kelompok IQ kurang dari 16 sebesar

15,33. Dari tabel tersebut, dapat juga diketahui jumlah subjek terbanyak

terletak pada kelompok IQ 61-84, dengan rata-rata 72,21, serta jumlah

subjek terkecil pada kelompok IQ 15,33 dengan rata-rata 15,33.

xlix

B. Hasil Analisis

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) uji analisis. Untuk mengetahui

hubungan antara stunting dengan skor IQ digunakan uji Independent t test,

sedangkan untuk mengetahui adanya pengaruh tingkatan stunting terhadap

skor IQ digunakan uji One Way ANOVA.

Tabel 8. Hasil Uji Independent t test

Berdasarkan Tabel 8 diperoleh nilai signifikansi yang didapat

p=0,004, menunjukan taraf signifikansi yang bermakna, sehingga Ha diterima

dan Ho ditolak. Jadi, dapat diketahui ada perbedaan rata-rata skor IQ antara

subjek yang menderita stunting dengan subjek yang non stunting. Dengan

demikian, dapat disimpukan bahwa ada hubungan antara stunting dengan IQ

pada anak usia sekolah dasar dari keluarga miskin.

Tabel 9. Hasil Uji One Way ANOVA

No. Status Gizi n Rata-rata Standar Deviasi

1. Stunting 30 59,09 15,82116

2. Non stunting 30 71,569 16,61838

Independent t test 0,004

No. Tingkatan

Stunting

n % Rata-

rata

Standar

Deviasi

P

(keseragaman)

F

1.

2.

3.

Early

Moderate

Severe

10

10

10

33,33

33,33

33,33

60,88

59,21

57,18

15,54

14,33

18,76

0,882

0,129

Jumlah 30 100 59,09 15,82 0,882 0,129

l

Berdasarkan Tabel 9 diperoleh nilai F hitung 0,129, sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkatan stunting dengan skor

IQ (p>0,05).

li

BAB V

PEMBAHASAN

Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa subjek yang menderita

stunting sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dengan persentase sebesar

63,33%, sedangkan subjek berjenis kelamin perempuan, sebagian besar berstatus

gizi normal/baik/non stunting, dengan persentase 63,33%. Pada Tabel 3 dapat

diketahui bahwa sebanyak 21 subjek (35%) berada pada rentang umur 11 tahun-

11 tahun,11 bulan, dimana pada rentang umur tersebut merupakan rentang masa

remaja. Pada masa remaja terjadi perbedaan dimulainya “adolescent growth

spurt” (tumbuh cepat masa remaja) pada tinggi badan antara anak laki-laki dan

perempuan. Tumbuh cepat pada tinggi badan adolesen anak perempuan umumnya

dimulai kira-kira pada umur 10,5 tahun dan mencapai puncaknya kira-kira umur

11 tahun, 9 bulan-12 tahun. Pada anak laki-laki dimulainya tumbuh cepat masa

remaja dan mencapai puncaknya dicapai 2 tahun kemudian (Soetjiningsih, 2002).

Pada masa remaja tumbuh cepat perempuan pada usia 8–13 tahun dan laki-laki

pada usia 10–15 tahun dan pertumbuhan pada anak perempuan umumnya lebih

cepat daripada anak laki-laki (Soetjiningsih dan Suandi, 2002).

Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa terdapat distribusi sampel

yang merata berdasarkan tingkatan stunting, yaitu tingkatan ringan (early), sedang

(moderate) maupun berat (severe) masing-masing 10 subjek (33,33%). Sebanyak

239 subjek (87,23%) dari total populasi menderita stunting, dan hanya 35

40

lii

(12,77%) subjek non stunting. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian stunting

masih banyak ditemukan di Kabupaten Klaten dan meliputi semua tingkatan

status gizi, baik early, moderate, severe.

Dari Tabel 5, tampak bahwa subjek yang menderita stunting lebih

banyak memberikan jawaban “tidak” pada item kuesioner secara keseluruhan

daripada subjek non stunting. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa subjek

stunting maupun subjek non stunting dari keluarga miskin tidak mampu/memiliki

kemampuan rendah dalam memenuhi kebutuhan dasar. Sebaliknya, jika ditinjau

dari distribusi sampel berdasarkan skor IQ menurut interpretasi Raven pada Tabel

7 dapat diketahui bahwa baik subjek stunting maupun non stunting memiliki

distribusi yang hampir sama. Meskipun demikian, skor yang dicapai subjek

stunting sebagian besar masih berada di bawah subjek non stunting (lampiran A).

Selain itu, pada subjek stunting, skor IQ tertinggi hanya pada kategori “di atas

rata-rata”, sedangkan pada subjek non stunting nilai tertinggi dicapai pada

kategori “sangat superior”. Grantham et al. (2008) berpendapat bahwa kemiskinan

sangat berhubungan dengan tidak tercukupinya pangan serta higiene dan sanitasi

buruk yang meningkatkan kejadian infeksi dan stunting pada anak-anak. Bradley

dan Corwyn (2002), Hamadani et al. (2004), Baker et al. (2003) dalam Grantham

et al. (2008) mengemukakan bahwa kemiskinan juga berhubungan dengan

pendidikan ibu yang rendah, juga peningkatan depresi dan stres pada ibu, serta

peningkatan stimulasi yang tidak adekuat di rumah (Schady dan Paxson, 2005).

Semua faktor-faktor tersebut dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Tumbuh

kembang yang tidak optimal menyebabkan buruknya prestasi sekolah, yang

liii

diperburuk oleh kemiskinan keluarga (dikarenakan beban ekonomi dan rendahnya

pengetahuan dan apresiasi akan pentingnya pendidikan) dan tidak adekuatnya

sekolah (Bradley dan Corwyn, 2002).

Berdasarkan pada hasil uji statistik Independent t test pada Tabel 8,

dapat dinyatakan bahwa ada hubungan secara signifikan antara stunting dengan

IQ. Skor IQ pada anak-anak yang menderita stunting lebih rendah dibandingkan

dengan anak-anak non stunting (p<0,05). Menurut Chang et al. (2002), anak-anak

yang menderita stunting lebih banyak mengalami kesulitan belajar dan memilki

nilai yang lebih rendah di bidang matematika, pengejaan, membaca dan

pamahaman bahasa daripada anak-anak non stunting, tanpa menghiraukan latar

belakang sosial ekonomi. Lebih banyaknya kesulitan belajar yang dialami oleh

anak-anak stunting berhubungan erat dengan prestasi sekolah yang lebih buruk

dan rendahnya skor IQ. Grantham et al. (2008) menambahkan beberapa penelitian

di sejumlah negara berkembang mengenai stunting menunjukkan bahwa stunting

berhubungan erat dengan lambatnya pemahaman, kemajuan sekolah, maupun

keduanya, serta skor IQ yang lebih rendah daripada non stunting.

Melihat pada hasil uji statistik One Way ANOVA pada Tabel 9,

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik

antara tingkatan stunting dengan skor IQ (p>0,05). Artinya anak yang menderita

stunting berat (severe) belum tentu memiliki skor IQ yang lebih rendah

dibandingkan dengan anak yang menderita stunting ringan (early). Menurut

Soetjiningsih (2002), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang secara garis

besar dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu kebutuhan fisik-biomedis

liv

(ASUH), kebutuhan emosi/kasih sayang (ASIH) dan kebutuhan akan stimulasi

mental (ASAH). Suganda (2002) menambahkan bahwa falsafah “ASUH, ASIH,

ASAH” hendaknya dipakai dalam membesarkan anak supaya anak bisa tumbuh

dan berkembang secara optimal. Wachs (2000) berpendapat bahwa tumbuh

kembang anak dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan psikososial serta

pewarisan genetik, sedangkan perkembangan otak dipengaruhi juga oleh kualitas

lingkungan. Sedangkan Rodier (2004) dalam Grantham et al. (2008) menyatakan

penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa toksin lingkungan, stres

serta interaksi sosial dan stimulasi yang tidak baik dapat mempengaruhi struktur

dan fungsi otak, dan memberikan efek jangka panjang pada perkembangan

kognitif dan emosi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Center for Research on

Culture, Development, and Education (CRCDE), didapatkan hasil bahwa sumber

penghasilan ekonomi keluarga dan kualitas pola asuh orang tua masing-masing

memberikan peranan penting terhadap perkembangan kognitif anak. Orang tua

yang memiliki sumber penghasilan ekonomi yang lebih besar lebih mampu

memberikan asuhan suportif bagi anak-anaknya, yang kemudian berpengaruh

pada performa kognitif anak. Di samping itu, performa kognitif anak juga

dipengaruhi oleh pola asuh. Seorang ibu yang lebih suportif asuhannya

(menunjukkan kehangatan dan sensitivitas serta memberikan lebih banyak

stimulus kognitif) memberikan respon positif terhadap keberhasilan

perkembangan anaknya (Julieta, 2008).

lv

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian hubungan stunting dengan skor IQ anak usia sekolah

dasar dari keluarga miskin di Kabupaten Klaten ini menyimpulkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara stunting dengan skor IQ (p<0,05). Namun

hubungan antara tingkatan stunting (early, moderate, severe) dengan skor IQ,

tidak didapatkan hubungan yang signifikan (p>0,05).

B. Saran

1. Kepada para orang tua diharapkan dapat lebih memberikan perhatian

terhadap status gizi dan perkembangan anak-anak, sehingga dicapai

tumbuh kembang yang optimal serta dapat mengurangi kejadian stunting

di Kabupaten Klaten.

2. Kepada para orang tua, pengajar dan pendidik diharapkan dapat

memberikan perhatian yang lebih pada anak-anak yang menderita stunting

dalam pengembangan kemampuan kognitif serta penguasaan materi

sekolah.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab sesungguhnya

dari stunting secara Cohort dan dampak yang diakibatkannya terhadap

skor IQ dan EQ (Emotional Quotient) atau SQ (Spiritual Quotient).

44

lvi

DAFTAR PUSTAKA

Adekunle L. (2005) The effect of family structure on a sample of malnourished urban Nigerian children. Food and Nutrition Bulletin 26, 230–233.

Anonima. 2007. Intelligence Quotient.

http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=IQ&redirect=no. (7 Oktober 2008).

Anonimb. 2008. Stunted Growth. http://en.wikipedia.org/wiki/Stunted_growth. (7

Oktober 2008). Asian Development Bank. 1999. Reducing Poverty: Major findings and

implementation, a report based on consultations in selected developing member countries of The Asian Development Bank. ADB.

Atmarita, Tatang S.F. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat.

Proseding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan, p: 3.

Bappenas. 2000. Proceeding renewing poverty reduction strategy in Indonesia.

Bappenas. Jakarta. Bardosono S. 2005. Anak Pendek IQ bisa Rendah.

http://cyberwoman.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/summary.aspx?x=Child+Consultation&z=.htm. (7 Oktober 2008).

Bidang Informasi BKKBN. 2005. Pendataan keluarga tahun 2006. BKKBN.

Surakarta. Boivin M.J. 2002. Effects of early cerebral malaria on cognitive ability in

Senegalese children. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics. 23: 353-64.

BPS Kota Surakarta. 2005. Program kompensasi penggunaan subsidi bahan bakar minyak.

Bradley R., Corwyn R. 2002. Socioeconomic status and child development. Ann

Rev Psychol. 53:371–99. Braveman P., Gruskin S. 2003. Poverty, equity, human rights and health. Bulletin

of the World Health Organization. 81:539-545.

45

lvii

Cahyat, Ade. 2004. CIFOR dalam Governance Brief; Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model Perhitungan Kemiskinan di Indonesia. http//www.cifor.cgiar.org/publications/pdf-files/gorbrief/GovBrief0402.pdf. (15 Maret 2009).

Chang S.M., Walker S.P., Grantham S., Powell C.A. 2002. Early childhood

stunting and later behavior and school achievement. Journal of Child Psychology and Psychiatry. Volume 43 Issue 6. Pp: 775-783.

Cervilla. 2004. Premorbid cognitive testing predicts the onset of dementia and

Alzheimer's disease better than and independently of APOE genotype. Journal of Psychiatry. 75:1100-1106.

Chang S.M., Walker S.P., Grantham-McGregor S., Powell C.A. (2002) Early

child stunting and later behaviour and school achievement. Journal of Child Psychology and Psychiatry. 43:775-83.

Clancy Blair. 2006. How similar are fluid cognition and general intelligence? A

developmental neuroscience perspective on fluid cognition as an aspect of human cognitive ability. Cambridge: Cambridge University Press, pp: 109-125.

Clarkson, Thomas, Magos, Laszlo. 2002. The Toxicology of Mercury and Its

Chemical Compounds. http://www.ingentaconnect.com/content/tandf/btxc/2006/00000036/00000008/art00001?crawler=true. (7 Oktober 2008).

Countera S. Allen, Leo H. Buchanan. 2002. Mercury Exposure in Children: A

Review. http://www.state.nj.us/health/eoh/cehsweb/kiddiekollege/documents/counter04_mercuryexpochildren.pdf. (7 Oktober 2008).

Counter S. Allen. 2003. Whitening Skin can be Deadly, The Boston Globe.

http://www.boston.com/news/globe/health_science/articles/2003/12/16/whitening_skin_can_be_deadly/.htm. (7 Oktober 2008).

Debbie A. Lawlor, Heather Clark, David A. Leon. 2006. Associations between

childhood intelligence and hospital admissions for unintentional injuries in adulthood: the aberdeen children of the 1950s cohort study. American Journal of Public Health. 255: 962-6.

Devlin B., Daniels M., Roeder K. Nature. 1997. The Inheritability of IQ.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=ShowDetailView&TermToSearch=9242404&ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVAbstractPlus.htm. (7 Oktober 2008).

lviii

Douglas N. Jackson, J. Philippe Rushton. 2006. Males have greater g: Sex

differences in general mental ability from 100,000 17- to 18-year-olds on the Scholastic Assessment Test. Intelligence, Volume. 34: 479-486.

FAO/WHO. 1992. Nutrition and development: a global assessment.

International Conference on Nutrition. Rome. p: 25. Florey C.D., Leech A.M., Blackhall A. 1995. Infant feeding and mental and

motor development at 18 months of age in first born singletons. International Journal of Epidemiology. 24: 21-26.

Geoff Der, David Batty G., Ian J. Deary. 2006. Effect of breast feeding on

intelligence in children: prospective study, sibling pairs analysis, and meta-analysis (Abstract). British Medical Journal. 254:15-25.

Gomez Sanchiz M., Canete R., Rodero I., Baeza J.E., Gonzalez J.A. 2004.

Influence of breast-feeding and parental intelligence on cognitive development in the 24-month-old. Clin Pediatr (Phila). 43: 753-61.

Grantham-McGregor S. et al. 2008. Child development in developing countries:

development potential in the first 5 years for children in developing countries. PMC. 369(9555): 60-70.

Hasan, A., Junadi, P., Iljanto, S. 2001. Study on Decentralization of Social

Protection Sector Development Program. National Development Board&Center for Health Research. Jakarta: UI Press. (15 Maret 2009).

Heyward G. 2005. New York City Warns: Some Skin Creams are Poisonous, The

Epoch Times. http://en.epochtimes.com/news/5-2-5/26302.html. (7 Oktober 2008).

Holding P.A., Snow R.W. 2001. Impact of Plasmodium falciparum malaria on

performance and learning: review of the evidence. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene .64: 68-75.

Ijarotimi O.S., Ijadunola K.T. 2007. Nutitional status and intelligence quotient of

primary schoolchildren in Akure community of Ondo State, Nigeria. Tanzania Health Research Bulletin. 9: 69-76.

Ivanovic D.M., Leiva B.P., Perez H.T., Inzunza N.B., Almagia A.F., Toro T.D.,

Urrutia M.S., Cervilla J., Bosch E. 2002. Nutritional status, brain development and scholastic achievement of Chilean high school graduates from high and low intellectual quotient and socio-economic status. British Journal of Nutrition. 87:81-92.

lix

Julieta L. 2008. Family Resources, Parenting Quality Influence Children's Early Cognitive Development. http://esciencenews.com/topics/psychology.sociology/family.resources.parenting.quality.influence.childrens.early.cognitive.development.htm (15 Maret 2009)

Karmini M. 2004. Model Pelaksanaan Pemberian Mp-Asi Tradisional Yang Diperkaya "Fruchtooligosacharida" (FOS) Terhadap Kejadian Diare Dan Status Gizi Bayi Umur 6-11 Bulan. http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/index.php?option=com_content&task=section&id=4&Itemid=54/htm. (16 Oktober 2008).

Kerr M.A., Black M.M., Krishnakumar A. 2000. Failure-to-thrive, maltreatment

and the behavior and development of 6-year-old children from low-income, urban families: a cumulative risk model. Child Abuse and Neglect. 24:587-598.

Kimberly Yolton, Kim Dietrich, Peggy Auinger, Bruce P. Lanphear, Richard.

2005. Exposure to Environmental Tobacco Smoke and Cognitive Abilities among U.S. Children and Adolescents Hornung1. Environ Health Perspect. 113: 98–103.

Khomsan A. 2004. Defisiensi "Micronutrients” dan Nasib Bangsa Kita. Kompas. Laura Mandelli, Alessandro Serretti, Cristina Colombo, Marcello Florita, Alessia

Santoro, David Rossini, Raffaella Zanardi, Enrico Smeraldi. 2006. Improvement of cognitive functioning in mood disorder patients with depressive symptomatic recovery during treatment: An exploratory analysis. Psychiatry and Clinical Neurosciences Volume. 60: 598.

Linda S. Gottfredson. 1998. The General Intelligence Factor. Scientific American.

P: 8. Liu J., Raine A., Venables P.H., Dalais C., Mednick S.A. 2003. Malnutrition at

age 3 years and lower cognitive ability at age 11 years: independence from psychosocial adversity. Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine. 157: 593-600.

Lynn R., Irwing P. 2004. Sex differences on the progressive matrices: a meta-

analysis. Intelligence Journal. 32:481-49. Mahaffey, Kathryn R. 2002. Dynamics of Mercury Pollution on Regional and

Global Scales. http://www.springerlink.com/content/w245027uu23r4381/htm. (7 Oktober 2008).

lx

Masters R. 1997. Brain biochemistry and social status: The neurotoxicity hypothesis. In E. White (Ed.), Intelligence, political inequality, and public policy. Westport: Praeger, pp: 141-183.

Mendez M.A., Adair L.S. 1999. Severity and timing of stunting in the first two years of life affect performance on cognitive tests in late childhood. The Journal of Nutrition. 129:1555-1562.

Mulyani S. 2005. Indikator Kemiskinan Harus Segera Disepakati. www.antara.co.id. (23 Oktober 2008).

Murti B. 2007. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantutatif dan

Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yagyakarta: Gadjah Mada University Press, pp: 59, 81, 137.

Naomi Breslau, Victoria C. Lucia, German F. Alvarado, MD. 2006. Intelligence

and other predisposing factors in exposure to trauma and posttraumatic stress disorder. a follow-up study at age 17 years. Arch Gen Psychiatr. 63:1238-1245.

Neisser. 1995. Intelligence: Knowns and Unknowns.

http://www.lrainc.com/swtaboo/taboos/apa_01.html. (7Oktober 2008).

Qauliyah A. 2004. Pola Asuh dalam Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita Ditinjau dari Pekerjaan, Pendapatan, dan Pengeluaran Orang Tua di daerah Sulawesi Selatan. http://astaqauliyah.com/2006/12/20/pola-asuh-dalam-hubungannya-dengan-status-gizi-anak-balita-di-tinjau-dari-pekerjaan-pendapatan-dan-pengeluaran-orang-tua-di-daerah-sulawesi-selatan/htm. (17 Oktober 2008).

PAHO. 1998. Nutrition, Health and Child Development. Washington, DC, Pan

American Health organization. PAHO Scientific Publication. 566. Paul G.; Elizabeth M. King. 2004. The impact of early childhood nutritional status

on cognitive development: does the timing of malnutrition matter? The World Bank Economic Review. 15: 81-113.

Pollitt E., Gorman K.S., Engle P., Martorell R., Rivera J.A. 1993. Early

Supplementary Feeding and Cognition: Effects Over Two Decades Monographs of the Society for Research in Child Development. 235: 122.

Prismasmanda. 2005. Peranan IQ, EQ dan SQ dalam Mencapai Kesuksesan. http://prismasmanda.tripod.com/cd.htm. (29 Oktober 2008).

Ravallion, Martin. 2001. Poverty Comparison. World Bank. Raven, J.C. 1958. Standard Progressive Matrices, London, Lewis.

lxi

Raven Standard Progressive Matrices.

http://www.cps.nova.edu/~cpphelp/RSPM.html. (23 Oktober 2008). Rodier P. 2004. Environmental causes of central nervous system maldevelopment.

Pediatrics.113:1076–83.

Rusmana, Aep. 2006. Kajian indeks BPS tentang kemiskinan. Direktorat Pemberdayaan Keluarga. Departemen Sosial Republik Indonesia. pp: 3-5.

Schady N., Paxson C. 2005. Cognitive development among young children in

Ecuador: the roles of health, wealth and parenting. Washington DC: World Bank. (World Bank Policy Research Working Paper 3605, May, 2005).

Schellenberg, E. G. 2004. Music lessons enhance IQ. 15(8): 511-4. SMERU. 2006. Memperkenalkan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh

Masyarakat. No. 18/April-Juni 2006. ISSN. 0216-8634. http//www.smeru.or.id/newslet/2006. (15 Maret 2009).

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, pp: 80-125.

Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC, pp: 1-12, 101-2. Susanne M. Jaeggi, Martin Buschkuehl, John Jonides, Walter J. Perrig, Klingberg.

2002. Improving fluid intelligence with training on working memory. http://www.pnas.org/cgi/content/abstract/0801268105v1.htm. (7 Oktober 2008).

Stein A.D., Behrman J.R., DiGirolamo A., Grajeda R., Martorell R., Quisumbing

A., Ramakrishnan U.2005. Schooling, educational achievement, and cognitive functioning among young Guatemalan adults. Food Nutr Bull. pp: 46-54.

Strupp B.J., Levitsky D.A. 1995. Enduring cognitive effects of early

malnutrition: a theoretical reappraisal. Journal of Nutrition. 125: 2221-2232.

Tanuwidjaya S., Soetjiningsih, Suandi I.K.G., Suyitno H., Narendra M.B.,

Budipramana E.S.B., Irmawati, Pardede N., Titi S., Sukartini R. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Ed.1. Jakarta: CV Sagung Seto, pp: 22-92.

lxii

Taufiqurrahman, M.A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: CSGF (the Community Of Self Help Group Forum), pp: 77-82.

Toriola A.L. 2000. Anthropometric assessment of nutritional status of Nigerian

children. Tropical and Geographical Medicin. 42: 337-341. Vernon P.A., Wickett J.C., Bazana P.G., Stelmack R.M., Sterberg R.J. (ed). 2000.

The neuropsychology and psychophysiology of human intelligence. In Handbook of intelligence). New York: Cambridge University Press. Pp: 23-27.

Virginia Delaney Black, Chandice Covington, Steven J. Ondersma, Beth

Nordstrom Klee, Thomas Templin, Joel Ager, James Janisse, Robert J. Sokol. 2002. Violence Exposure, Trauma, and IQ and/or Reading Deficits Among Urban Children. http://archpedi.ama-assn.org/cgi/content/abstract/156/3/280.htm. (7 Oktober 2008).

Wachs T.D. 2000. Necessary but not sufficient: the respective roles of single and

multiple influences on individual development. Washington DC: American Psychological Association.

WHO. 2000. Nutrition for health and development. World Health Organization,

Geneva. Wickett J.C., Vernon P.A. , Lee D.H. 2000. Relationship between factors of

intelligence and brain volume. Personality and Individual Difference. 29: 1095-1122.

The American Psychological Association. 1995. Intelligence: knowns and

unknowns (report of a task force established by the board of scientific affairs of the american psychological association. The American Psychologist, Official Journal of the APA.

Whalley et al. 2000. Childhood mental ability and dementia. Journal of

Neurology. 55: 1455-1459. Whalley D. 2001. Longitudinal cohort study of childhood IQ and survival up to

age 76. British Medical Journal. 322: 819-819.