hubungan sanitasi lingkungan penderita tb...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PENDERITA TB PARU DENGAN
TINGKAT PENYEBARAN PENYAKIT TB PARU DI PUSKESMAS
ANDONG KABUPATEN BOYOLALI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :S a y o g i
NIM. ST 13063
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmad dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi dengan judul: “ Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan
Tingkat Penyebaran Penyakit TB Paru di Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali “.
Skripsi ini disusun untuk melakukan penelitian mengenai Tuberkulosa guna
menyelesaikan tugas akhir untuk meraih gelar kesarjanaan S-1 Keperawatan di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.
Penulis menyadari dalam menyusun Skripsi ini banyak dibantu oleh banyak
pihak yang mendukung dalam menyelesaikan tugas ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang
banyak memberikan fasilitas yang mendukung dalam menyelesaikan Skripsi ini.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Ketua Prodi S-1 Keperawatan
STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memfasilitasi proses pembelajaran di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Galih SetiaAdi, S.Kep, Ns., M.Kep selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian tugas Skripsi ini.
4. Sukardi, S.Kep., MM selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian tugas Skripsi ini.
5. Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep., Ns., M.Kep selaku penguji dalam ujian
sidang Skripsi ini.
6. Dr. Ony Hardoko selaku Kepala Puskesmas Andong yang telah memberikan ijin
penelitian Skripsi ini.
7. Seluruh keluarga, anak, istri, saudara dan orang tua yang telah memberikan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tugas Skripsi ini.
8. Seluruh responden yang telah bersedia secara sukarela menjadi responden dalam
penelitian ini.
9. Rekan – rekan Mahasiswa Program Transfer Angkatan I S-1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan
tugas ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan doa serta dukungan dalam
menyelesaikan tugas ini mendapat imbalan yang berlebih dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih banyak sekali kekurangan dan
kelemahan dalam penyusunannya, sehingga penulis dengan tangan terbuka menerima
saran dan kritik yang sifatnya membangun dalam menyempurnakan tugas ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Surakarta, 19 Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL SKRIPSI ……………….………………………………………...i
LEMBAR PENGESAHAN …..................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN ……………….……………………………………….iii
KATA PENGANTAR ……………….……………………………………….iv
DAFTAR ISI ……...……….………………………………………. vi
DAFTAR TABEL ……………….……………...………………...……...ix
DAFTAR GAMBAR ……………….………………………………………..x
DAFTAR LAMPIRAN ……………….……………………………………….xi
ABSTRAK ……………..………………………………………...xii
ABSTRACT ………………………………………………………xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …….…………………………..…………………1
1.2 Rumusan Masalah ….…………………………………………......4
1.3 Tujuan …………….……………………………………………....5
1.4 Manfaat Penelitian . ………………………………………..……..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ………………………………………………..….7
2.2 Sanitasi Lingkungan …………………………………………….14
2.3 Keaslian Penelitian ….……………………………….………….18
2.4 Kerangka Teori ……………………………………………….…20
vi
2.5 Kerangka Konsep …………………………………………….….21
2.6 Hipotesis …………………………………………………….......21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ………………………………...23
3.2 Populasi dan Sampel …………………………………………….23
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .………………………………....25
3.4 Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran.25
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ……………………26
3.6 Tehnik Pengolahan dan Analisa Data…………………………....29
3.7 Etika Penelitian …………………………………………….……30
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Analisa Univariat ……...………………………………….……. 32
4.2 Analisa Bivariat …...………………………………………….…36
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden …………………………………….…. 38
5.2 Sanitasi Lingkungan……………………………………………..43
5.3 Tingkat Penyebaran Penyakit …………………………….…… 45
5.4 Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Tingkat Penyebaran
Penyakit TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Andong Boyolali.. 47
vii
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ………….………………………………………… .49
6.2 Saran …………………………………………………………….50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
2.1 Penelitian tentang TBC Sebelumnya 18
3.1 Variabel, Definisi Operasional, dan
Skala Pengukuran 25
3.2 Blue Print Tingkat Penyebaran Penyakit 27
4.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden 33
4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden 33
4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden 34
4.4 Distribusi Frekuensi Pendapatan Responden 34
4.5 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden 35
4.6 Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan 35
4.7 Distribusi Frekuensi Penyebaran Penyakit TB 36
4.8 Hasil Analisa Bivariat dengan Uji Spearman rho 36
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar Halaman
Gambar
2.1 Kerangka Teori 21
2.2 Kerangka Konsep 22
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan
Lampiran
1. Surat Ijin Uji Validitas
2. Surat Permohonan Ijin Penelitian
3. Surat Ijin Penelitian
4. Kuesioner
5. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas
6 Hasil Pengolahan SPSS
7. Lembar Persetujuan Menjadi Responden
8. Lembar Konsultasi
xi
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATANSTIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2015
S a y o g i
Hubungan Sanitasi Lingkungan Penderita TB Paru Dengan Tingkat PenyebaranPenyakit TB Paru Di Puskesmas Andong Boyolali
Abstrak
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menjadi salah satu fokuspenanggulangan organisasi dunia WHO. Penderita TB Paru yang batuk maupunbersin bisa menularkan kuman penyakitnya ke orang lain ( droplet infection ).Kebersihan lingkungan menjadi salah satu perhatian dalam penanggulanganpenyebaran penyakit TB Paru ini.Tujuan penelitian adalah untuk mengetahuihubungan antara sanitasi lingkungan dengan tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
Penelitian dilakukan terhadap 30 orang penderita TB Paru dewasa dengantehnik purposivesampling.Analisa data dengan menggunakan korelasi Spearman'srho yang mengkorelasikan antara dua variabel.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan sanitasi lingkungan dengankategori baik sebanyak 56,7 % atau 17 responden. Untuk tingkat penyebaran penyakitTB Paru didapatkan sebanyak 63,3 % atau 19 responden berkategori penyebaranrendah. Angka keeratan dari hubungan sanitasi lingkungan dan tingkat penyebaranTBC atau p-value sebesar 0,001 dan nilai r tabel 0,591 yang artinya mempunyaitingkat keeratan yang kuat.
Sanitasi lingkungan sangat berhubungan dengan tingkat penyebaran penyakitTB Paru.
Kata kunci : Sanitasi Lingkungan, TB Paru, Tingkat PenyebaranDaftar pustaka: 29 ( 2002-2012)
xii
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCEKUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA
2015
Sayogi
Correlation between Environmental Sanitation for Pulmonary TB Patient andSpread Level of Pulmonary TB Disease at Community Health Center of
Andong, Boyolali
ABSTRACT
Pulmonary TB disease is contagious disease that becomes a major focus ofWHO. Pulmonary TB patients can spread the germs to other people via cough andsneeze (droplet infection). Environmental hygiene becomes one concern inpreventing the spread of this pulmonary TB disease. The objective of this research isto investigate the correlation between the environmental sanitation and spread level ofpulmonary TB disease.
The samples of research were 30 pulmonary TB adult patients and were takenby using the purposive sampling technique. The data of research were analyzed byusing the Spearman’s RHO to correlate the two variables.
The result of research shows that 17 respondents (56.7%) had a goodenvironmental sanitation, 19 respondents (63.3%) had a low spread level ofpulmonary TB disease. The correlation value between the environmental sanitationand spread level of pulmonary TB disease or the p-value was 0.001 and r table valuewas 0.591, meaning that the correlation was strong.
Thus, the environmental sanitation was highly correlated with the spread levelof pulmonary TB disease.
Keywords: Environmental sanitation, Pulmonary TB, Spread LevelReferences: 29 (2002-2012)
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis ( TB ) Paru adalah suatu penyakit menular yang menjadi
perhatian dunia. World Health Organisation( WHO ) memperkirakan
sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan
lima sampai sepuluh persen dari orang – orang yang terinfeksi ini akan
menjadi sakit atau menularkan kepada orang lain selama hidupnya. Data
WHO dalam Global Tuberculosis Control menyatakan bahwa terdapat 9,4
juta insiden TB dengan 1,1 juta penderita meninggal dunia. Jumlah insiden
TB tertinggi terdapat di Asia Tenggara sebanyak 35 % dari insiden total TB di
dunia dengan prevalensi 280 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan sebanyak 95 % adalah kasus TB Paru dan 98 %
kematian akibat TB Paru di dunia terjadi di negara – negara berkembang
termasuk Indonesia. Sebanyak 75 % kasus TB Paru mengenai kelompok usia
produktif secara ekonomis yang berumur 15 – 50 tahun. Diperkirakan seorang
pasien TB Paru dewasa akan kehilangan waktu kerjanya sebanyak tiga sampai
empat bulan dengan akibat kehilangan pendapatan rumah tangga setiap
tahunnya sebesar 20 % – 30 %. Selain secara ekonomis TB Paru juga
1
menjadikan dampak buruk secara sosial yaitu dikucilkan dari lingkungan
sekitarnya ( WHO, Global Tuberculosis Control , 2010 ).
Di Indonesia TB Paru merupakan salah satu masalah kesehatan utama
masyarakat. Jumlah pasien TB Paru di Indonesia merupakan peringkat ke
empat dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dengan prevalensi TB 285 per
100.000 penduduk atau sebanyak 302.861 kasus pada tahun 2010 ( WHO,
Global Tuberculosis Control, 2010 ).
Profil kesehatan Indonesia 2010 menyatakan bahwa provinsi dengan
prevalensi tertinggi di Indonesia yaitu Maluku Utara sebesar 22,9 % ,
Kepulauan Riau 18,7 % dan DKI Jakarta sebanyak 16,3 %. Sedangkan rata-
rata secara nasional persentasi pasien TB Paru BTA Positif terhadap suspek
TB Paru hanya 10,9 %.
Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah
Case Detection Rate (CDR) yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA (+) yang
ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA (+) yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. ( Dep Kes RI, 2007 ).
Pencapaian CDR di Jawa Tengah tahun 2008 sampai tahun 2012
masih dibawah target yang ditetapkan yaitu sebesar 100 %. Meskipun masih
dibawah target yang ditetapkan, capaian CDR tahun 2012 sebesar 58,45 %
lebih rendah dibanding tahun 2011 sebesar 59,52 %. CDR tertinggi di Kota
Magelang sebesar 292,91 % dan yang terendah di Kabupaten Magelang
sebesar 21,82 %. Terdapat lima kabupaten / kota yang telah melampaui target
2
100 % yaitu Kota Magelang (292,91 %),Kota Surakarta (128,17 %),Kota
Salatiga(109,84 %) ,Kota Tegal (203,09 %) dan Kota Pekalongan (137,75% ).
(Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2012).
Angka kejadian TB Paru BTA Positif Kabupaten Boyolali pada Tahun
2012 dan 2013 menunjukkan angka sebesar 238 dan 242 kasus secara
berurutan dan terjadi kenaikan penderita TB Paru Positif sebanyak 4 kasus
atau 9 %. Puskesmas Andong pada Tahun 2014 dari 1 Januari sampai 30
September 2014 ditemukan kasus penderita TB Paru BTA Positif sebanyak 30
kasus, meningkat 63 % dari 19 kasus pada tahun 2013.
Peneliti pernah mengunjungi 2 penderita TB Paru sebagai langkah
awal dalam membuat proses penelitian ini dan mengamati kondisi sanitasi
lingkungannya. Dari 2 penderita TB Paru tersebut yang peneliti kunjungi
ternyata mereka mempunyai status sanitasi lingkungan yang masih rendah
dibandingkan dengan standar sanitasi yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu
mengenai pencahayaan ruangan, ventilasi ruangan dan kelembaban ruangan.
Hal lain yang menjadi pengamatan peneliti adalah perilaku dari penderita TB
Paru yang membuang dahak pada waktu batuk yang masih belum sesuai
standar kesehatan.
Bakteri Mycobacterium tuberculosa berkembang dan menyebabkan
sakit dipengaruhi oleh kesehatan lingkungan. Blum dalam Noto Atmojo (
2004 ) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi derajad kesehatan
manusia yaitu lingkungan, keturunan, perilaku, dan sarana kesehatan.
3
Tuberculosis ditularkan melalui droplet infection atau percikan ludah
dan penularannya dipengaruhi oleh lingkungan rumah terutama kepadatan
rumah, pencahayaan, dan ventilasi rumah. Ruangan dengan delapan meter
persegi tidak dianjurkan dihuni oleh lebih dari dua orang karena akan
memudahkan menularnya bakteri patogen. Pencahayaan ruangan yang efektif
harus melalui ventilasi dengan luas minimal 10 % dari luas lantai dan sangat
mempengaruhi karena cahaya matahari dapat membunuh bakteri patogen.
Sedangkan ventilasi berfungsi sebagai pertukaran udara yang akan
mempengaruhi kelembaban udara di ruangan. Kelembaban yang buruk akan
menjadi media berkembang biak bakteri patogen termasuk bakteri TBC ( Kep
Men Kes RI No.829 Tahun 1999 ).
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat berbagai masalah kesehatan di Puskesmas Andong
Kabupaten Boyolali terutama penyakit TB Paru dan lingkungan sanitasinya,
peneliti akan melakukan penelitian dengan rumusan masalah yang didapat
yaitu :” Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Tingkat Penyebaran Penyakit
TB Paru di wilayah Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali “.
4
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
tingkat penyebaran penyakit TB Paru diwilayah Puskesmas Andong
Kabupaten Boyolali.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik responden penderita TB Paru.
2. Mengetahui karakteristik sanitasi lingkungan penderita TB Paru.
3. Mengetahui tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
4. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan dan tingkat
penyebaran penyakit TB Paru.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi puskesmas dan masyarakat
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh puskesmas sebagai
referensi untuk mengatasi kejadian TB Paru yang ada kaitannya
dengan sanitasi lingkungan.
2. Hasil penelitian bisa memberikan pengetahuan bagi masyarakat
dalam menjaga, memperbaiki sanitasi lingkungan serta untuk
mencegah penyakit TB Paru.
1.4.2 Manfaat bagi institusi pendidikan
1. Sebagai bahan referensi dalam mencari sumber informasi yang
berhubungan dengan masalah TB Paru dan sanitasi lingkungan.
5
2. Sebagai bahan tambahan guna memperbanyak sumber informasi di
perpustakaan.
1.4.3 Manfaat bagi peneliti lain
1. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian yang
akan dilakukan di tempat lain.
2. Sebagai referensi dalam memperkaya penelitian yang akan
dilakukan.
1.4.4 Manfaat bagi peneliti
1. Sebagai bahan untuk memperkaya ilmu pengetahuan khususnya
tentang sanitasi lingkungan dan TB Paru.
2. Sebagai tugas untuk menyelesaikan pendidikan S-1 Keperawatan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu infeksi bakteri yang berkembang biak
tidak hanya di paru-paru saja tetapi juga bisa menyebar ke organ
lainnya, misalnya tulang, limfe dll. Pengertian dari TB Paru sebagai
suatu penyakit menular langsung yang menyerang paru-paru yang
disebarkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosa (Dep Kes RI Tahun
2007).
2.1.2 Epidemiologi
Data WHO dalam Global Tuberkulosis Control tahun 2010,
terdapat 9,4 juta insiden TB Paru dan lebih dari 90 % penderita TB Paru
terjadi di negara berkembang seperti ASEAN (35%). Kematian tertinggi
terjadi di Asia Tenggara sebesar 480.000 kematian dan merupakan
kematian tertinggi dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Di
Indonesia, prevalensi angka kematian pada tahun 2010 sebesar 27 per
100.000 penduduk. Insiden TB Paru semakin hari semakin meningkat
dengan meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan,
7
penyalah gunaan obat terlarang dan meningkatnya penderita HIV dan
AIDS.
2.1.3 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi kemampuan TB
Paru menginfeksi manusia menurut Teori John Gordon (1950) dalam
Noor (2008) antara lain:
1. Umur
Insiden tertinggi angka kejadian TB Paru adalah usia muda dan
produktif yaitu sekitar 75 % umur 15 – 50 tahun. Pada usia ini
mereka menghabiskan waktunya untuk bekerja dan berinteraksi
dengan orang lain yang kemungkinan tertular TB paru.
2. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Luas lantai bangunan berdasarkan standar kesehatan rumah
adalah harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya yang tidak
boleh berlebih. Luas yang tidak sesuai bisa meningkatkan resiko
tertular kuman tuberkulosa ke anggota keluarga yang lain karena
satu orang penderita bisa menularkan ke dua sampai tiga orang lain
yang tinggal serumah.
3. Keadaan Sosial Ekonomi dan Status Gizi.
Tingkat sosial ekonomi yang rendah akan mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan hidup sehari – hari terutama pemenuhan
kebutuhan gizi, lingkungan rumah yang sehat dan kebutuhan akan
8
kesehatan. Jika pemenuhan kebutuhan gizi kurang, maka akan
menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terinfeksi TB Paru.
4. Sistem Kekebalan Tubuh
Orang dengan tingkat kekebalan tubuh rendah akan
meningkatkan resiko terinfeksi TB Paru seperti orang dengan
HIV/AIDS.
5. Frekuensi Kontak Dengan Penderita TB Paru
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dan percikan
dahak. TB Paru dengan BTA positif akan memberikan dampak
penularan lebih besar daripada penderita TB Paru BTA negatif.
Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk
of Tuberculosis Infection ( ARTI ) yaitu proporsi penduduk yang
beresiko terinfeksi TB Paru selama satu tahun. Annual Risk of
Tuberculosis Infection sebesar 10%, berarti ada 10 orang terinfeksi
dari 1000 penduduk setiap tahunnya. Sebagian orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB.Annual Risk of Tuberculosis
Infection di Indonesia bervariasi antara satu hingga tiga persen.
6. Jenis Kelamin
Tuberkulosa tidak menyerang penderita dengan jenis kelamin
tertentu, tetapi dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak menderita TB dibandingkan dengan perempuan.
Hal ini disebabkan karena laki-laki banyak keluar rumah mencari
9
nafkah dan banyak berinteraksi dengan orang lain yang mungkin
salah satunya terinfeksi kuman TB.
7. Pendidikan
WHO menyatakan bahwa tuberkulosis tidak hanya menyerang
kepada orang dengan usia produktif, tetapi juga kepada orang
dengan pendidikan yang rendah. Hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan rendah berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat
tentang pemenuhan gizi yang baik dan pencegahan serta pengobatan
TB Paru.
8. Pekerjaan
Jenis pekerjaan mempengaruhi pendapatan keluarga dan bisa
mempengaruhi pola kehidupan sehari-hari terutama pemenuhan
kebutuhan gizinya.
9. Pencahayaan Rumah
Cahaya matahari bisa membunuh kuman dan bakteri patogen
yang berada di lingkungan rumah, salah satunya tuberkulosis.
Karena itu rumah harus memiliki 20% luas jendela dari luas seluruh
rumah, supaya cahaya matahari bisa masuk ke rumah dan bisa
membunuh kuman tuberkulosis.
10
10. Kelembaban Udara
Kelembaban udara didalam rumah berpengaruh terhadap
kenyamanan penghuninya, dimana kelembaban maksimal 60%
dengan temperatur kamar 22°C hingga 30° C. Kelembaban diatas
60% akan mengakibatkan kuman tuberkulosis bisa bertahan lama
dan dapat menginfeksi penghuni rumah.
11. Perilaku
Perilaku seseorang terdiri dari pengetahuan, sikap dan
tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang mengenai
cara penularan, bahaya, dan cara pengobatan TB Paru akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang. Karena
ketidaktahuan mengenai cara penularan dan perilaku yang menjadi
faktor resiko TB Paru, maka tidak ada perubahan perilaku untuk
mencegah TB Paru, misalnya perilaku merokok.
2.1.4Cara penularan
Penderita TB Paru dapat menularkan penyakit TB Paru melalui
beberapa cara yaitu :
1. Sumber penularan adalah penderita TB Paru dengan Basil Tahan
Asam (BTA) positif.
2. Pada waktu bersin atau batuk, penderita dapat menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak yang dikeluarkan
11
(dropetinfection).Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan
dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dengan paparan
dahak yang berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan dahak, sinar matahari dapat
membunuh kuman, percikan dapat bertahan beberapa jam dalam
kondisi tertutup dan lembab.
4. Daya penularan pasien ke orang lain ditentukan banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya, makin banyak tingkat
kepositifannya maka semakin berbahaya dalam menularkan ke
orang lain.
5. Faktor yang memperngaruhi seseorang tertular TB Paru
ditentukan oleh konsentrasi percikan ke udara dan lamanya
menghirup udara tersebut.
2.1.5 Gejala Klinis Tuberkulosis
Gejala yang timbul adalah batuk produktif yang terjadi selama
3 minggu atau lebih . Gejala batuk dapat diikuti dengan gejala yang
lain yaitu sesak nafas, berkeringat pada malam hari, nafsu makan
menurun, malaise dan demam lebih dari satu bulan.
2.1.6Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berguna untuk menegakkan diagnosa,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
12
Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan tiga specimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berupa :
Sewaktu-Pagi-Sewaktu ( SPS ):
1) S ( Sewaktu ) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang suspek membawa pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
2) P ( Pagi ) : dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari
kedua,setelah bangun tidur. Kemudian pot diserahkan ke unit
pelayanan kesehatan.
3) S ( Sewaktu ) : dahak dikumpulkan pada hari ke dua pada saat
menyerahkan dahak pagi.
2.1.7 Penegakkan diagnosa Tuberkulosis Paru
TuberkulosisParu dapat ditegakkandengan beberapa tahapan
diagnosis:
1) Semua suspek TB di periksa tiga specimen dahak dalam waktu dua
hari yaitu pagi sewaktu pagi ( SPS ).
2) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB ( BTA ). Pada program Nasional
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan , uji
13
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasi.
3) Tidak dibenarkan hanya menegakkan diagnosa dengan foto thorak
saja karena tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
sehingga dapat menyebabkan over diagnosis.
2.2 Sanitasi Lingkungan
2.2.1 Definisi Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya ( Notoadmojo, 2003 ).
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan
manusia.Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman
mengalami perubahan.Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di
gua-gua, kemudian berkembang dengan mendirikan rumah tempat tinggal
di hutan-hutan dan dibawah pohon.Sampai pada abad modern ini manusia
sudah membangun rumah bertingkat dan dilengkapi dengan peralatan yang
serba modern.
2.2.2 Persyaratan Rumah Sehat
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829 / Menkes / SK /
VII / 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal, rumah sehat
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
14
1) Bahan bangunan tidak terbuat dari bahan yang melepaskan zat – zat
yang dapat membahayakan kesehatan, seperti kadar timah hitam tidak
melebihi 300 mg / kg, debu total tidak melebihi 150 gr /m3, asbes
bebas tidak melebihi 0,5 fiber / m3 / 4 jam, serta tidak terbuat dari
bahan yang tempat berkembangnya mikroorganisme patogen.
2) Komponen dan penataan ruang rumah harus memenuhi persyaratan
fisik dan biologis sebagai berikut:
a) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b) Dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk mengatur sirkulasi
udara ruangan, kedap air dan mudah dibersihkan.
c) Langit – langit mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan.
d) Rumah yang memiliki tinggi lebih dari 10 meter harus
memiliki penangkal petir.
e) Ruang didalam rumah harus ditata dengan baik agar bisa
berfungsi sebagai ruang tamu, ruang keluarga, ruang anak,
ruang kamar mandi, ruang dapur, ruang kamar anak.
f) Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan
asap.
3) Pencahayaan rumah ada dua macam, yaitu pencahayaan alami atau
dengan sinar matahari dan pencahayaan yang dibuat atau dengan
lampu. Penerangan alami sangat penting dalam menerangi rumah
15
untuk mengurangi kelembaban dan untuk membunuh kuman penyakit
tertentu. Untuk itu pencahayaan alami maupun buatan langsung
maupun tidak langsung harus menerangi ruangan minimal
intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
4) Kualitas udara didalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut :
a) Tidak berbau dan berwarna.
b) Suhu nyawan berkisar antara 18ºC sampai 30ºC.
c) Kelembaban udara antara 40% sampai 70%.
d) Terjadi pertukaran udara.
e) Konsentrasi zat CO tidak melebihi 100 ppm per 8 jam.
5) Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara
kotor dari ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.
Tersedianya udara segar diruangan rumah sangat dibutuhkan manusia
untuk proses sirkulasi udara. Jika suatu ruangan tidak mempunyai
sistem sirkulasi akan mengakibatkan over crowded dan akan
menimbulkan masalah kesehatan. Standar luas ventilasi rumah
menurut Kepmenkes RI. No.829 tahun 1999, minimal 10% dari luas
lantai. Kurangnya ventilasi juga mengakibatkan tidak bisa keluarnya
bakteri yang ada dalam ruangan yang dapat berpotensi menimbulkan
penyakit.
16
6) Air bersih adalah air yang dipergunakan untuk keperluan sehari – hari
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum
apabila memenuhi syaratnya yaitu telah dimasak. Dalam kehidupan
sehari – hari manusia membutuhkan air sebanyak 60 lt / hari / orang.
Adapun syarat – syarat air bersih yaitu :
a) Syarat fisik : tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna.
b) Syarat kimia : contoh kadar besi maksimum adalah 0,3 mg / lt.
c) Syarat mikrobiologis : koliform tinja / koliform maksimal 0 /
ml air.
7) Limbah cair yang berasal dari rumah tidak boleh mencemari sumber
air, tidak berbau , tidak mencemari permukaan tanah. Sedangkan
limbah padat juga tidak boleh mencemari permukaan tanah dan air
tanah serta tidak boleh berbau.
8) Kepadatan hunian rumah juga harus memiliki ruang tidur minimal
seluas delapan meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari
dua orang tidur dalam satu ruangan , kecuali anak dibawah lima tahun.
9) Binatang dapat menjadi sumber penyakit atau menjadi sarana berbagai
mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak dalam siklus
hidupnya. Contoh binatang yang dapat menularkan penyakit yaitu
tikus dan lalat serta nyamuk sehingga rumah harus bebas dari binatang
tersebut.
17
10) Kebersihan makanan yang akan dimakan mempengaruhi secara
langsung dari orang–orang yang mengkonsumsinya sehingga makanan
harus bersih dan higienis bebas dari kotoran hewan seperti serangga
dan tikus.
2.5 Keaslian Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian pertama kali pada waktu
dan tempat yang telah direncanakan. Namun ada beberapa penelitian sebelumnya
yang hampir mirip dengan penelitian yang akan dilakukan, antara lain :
Tabel 2.1Penelitian sebelumnya tentang TB Paru
No
NamaPeneliti
JudulPenelitian
Metode YangDigunakan
Hasil Penelitian Tahun
1. RikhaNurulPertiwi
Hubungankarakteristikindividu,praktikhygiene dansanitasilingkungandenganangkakejadiantuberculosisdiKecamatanSemarangUtara
AnalitikObservasionaldengan pendekatancase control
Riwayat kontakdan lingkunganpekerjaanmerupakan faktorresiko kejadianTB Paru diSemarang Utara
2011
2. MelisahPitriSiregar
Hubungankarakteristikrumahdengankejadianpenyakit
Deskriptik analitik Karakteristikrumah memilikihubungan yangsignifikan dengantuberculosis yaitukepadatan hunian,
2012
18
tuberculosisdiPuskesmasSimpangKiri KotaSubulusalam
ventilasi, jenislantai,pencahayaan,suhu dankelebaban.
3. SakinahDewi
Pengaruhsanitasirumah,penghasilankeluarga danupayapengendalian terhadapkejadianpenyakit TBParu padaibu rumahtangga diPuskesmasMulyorejoKabupatenDeliSerdang
Deskriptif analitikdengan desaincross sectional
Variabellingkungan rumahyangmenunjukkanhubungan TBparu yaitu:ventilasi,kelembaban, pencahayaan,dan suhu.
2012
19
2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.1Kerangka Teori
( Dep Kes RI 2011 )
Faktor resiko terkena TB Paru
Faktor agentinfeksi
Faktor host Faktor Lingkungan
Usia Produktif Jenis Kelamin
Laki-laki
PendidikanPekerjaan
Kontak denganbanyak orang
Bekerja diluarrumah
Status ekonomirendah
Kemungkinan tertularTB Paru lebih besar
Pemenuhan gizikurang
Lebih pentingpemenuhan makan
dan pakaian
Kekebalan tubuhkurang
Lingkunganrumah tidak sehat
Luas ventilasi tdkmemenuhi syarat
Pencahayaanrumah kurang
Kepadatanhunian rumah
Kuman TB tidakhilang
Kuman TBberkembang
biak
Mudahtertular
Kejadian TB Paru meningkat
20
2.5 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka konsep diatas, peneliti ingin mengetahui apakah
ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan tingkat penyebaran penyakit
TB Paru atau justru tidak ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan
tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
2.6 Hipotesis
Menurut Sugiono ( 2010 ), hipotesis diartikan sebagai jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Terdapat 2 macam hipotesis,
yaitu hipotesis nol dan hipotesis alternative. Hipotesis nol diartikan sebagai
tidak adanya hubungan antara parameter dan statistik, atau tidak adanya
hubungan antara ukuran populasi dan ukuran sampel. Hipotesis alternative
merupakan lawan dari hipotesis nol.
Sanitasi Lingkungan : Tingkat Penyebaran PenyakitTB Paru
21
Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
2.5.1 Hipotesis nol ( H 0 ) : tidak ada hubungan antara sanitasi lingkungan
dengan tingkat penyebaran kuman penyakit tuberkulosa paru di wilayah
Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali.
2.5.2 Hipotesis alternative ( H 1 ) : ada hubungan antara sanitasi lingkungan
dengan tingkat penyebaran kuman penyakit tuberkulosa paru di wilayah
Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah kuantitatif dengan
menggunakan desain correlation study dengan pendekatan cross sectional.
Correlation study yaitu untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen (Notoatmodjo, 2006) . Rancangan
cross sectional adalah suatu rancangan penelitian yang dilakukan hanya pada
satu waktu dimana variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel –
variabel lainnya diobservasi dan diukur (Nursalam, 2008).
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek yang memenuhi kriteria yang
ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2012).Populasi penelitian ini adalah
semua penderita tuberkulosa. Jumlah total penderita tuberkulosa sebanyak 38
penderita.
Sampel adalah bagian dari populasi, yang diambil dengan
menggunakan tehnik tertentu (Sugiyono, 2012).Pengambilan sampel dengan
tehnik purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang
dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Arikunto, 2006).
23
Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti membutuhkan kriteria
inklusi dan eksklusi untuk responden. Menurut Setiadi (2007) kriteria inklusi
adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu target populasi
menjangkau yang akan diteliti. Sedangkan kriteria eksklusi adalah
menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang tidak memenuhi kriteria
inklusi.
Kriteria inklusi dan eksklusi responden dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
a. Penderita TB Paru dewasa dengan BTA Positif
b. Penderita yang telah menjalani pengobatan maupun sudah
selesai menjalani pengobatan.
c. Penderita yang mau menjadi responden.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini :
a. Penderita TB Paru anak – anak dengan rontgen positif.
b. Penderita yang kambuh setelah selesai menjalani pengobatan
sebelumnya.
c. Penderita MDR ( Multi Drug Resistance ).
d. Penderita yang tidak mau menjadi responden.
24
Dari kriteria inklusi yang dijelaskan, yang memenuhi syarat dari
kriteria tersebut sejumlah 30 orang dan ini akan dijadikan responden sebagai
bahan penelitian ini.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali
yang meliputi 16 desa dengan 30 responden yang menjadi pasien di
Puskesmas Andong dalam kurun waktu 1 Januari sampai 30 September 2014.
Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 1 Juli sampai dengan 15 Juli
2015 dengan mendatangi responden yang sudah menjadi daftar pasien TB
Paru di Puskesmas Andong.
3.4 Variabel Penelitian, Definisi Operasional Dan Skala Pengukuran
Tabel 3.1Variabel Penelitian, Definisi Operasional, Dan Skala Pengukuran
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala
Independen:SanitasiLingkungan
Sanitasi Lingkunganadalah status kesehatansuatu lingkungan yangmencakupperumahan,pembuangankotoran, penyediaan airbersih dan sebagainya.
Kuesioner BaikCukupKurang
Skor11–18Skor6 – 10Skor < 6
Dependen:TingkatpenyebaranPenyakitTB Paru
Tingkat penyebaran TBParu dapat terjadimelalui dropletinfection
Kuesioner TinggiSedangRendah
Skor < 6Skor 6 - 8Skor 9–13
25
3.5 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan data.
Alat penelitian berupa kuesioner yang telah dilakukan uji validitas
terlebih dahulu, dan hasil uji validitas dan reabilitas terdapat pada lampiran
penelitian ini.Adapun sebaran pertanyaan di masukkan dalam sebuah blue
print hubungan sanitasi dengan tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
Kuesioner berupa angket yang diberikan memuat beberapa pertanyaan
yaitu mengenai karakteristik responden, sanitasi lingkungan dan penyebaran
penyakit TB Paru.Dari pertanyaan tentang sanitasi lingkungan dan penyebaran
penyakit terdiri dari dua jenis pertanyaan yaitu favorable yang bermakna
positif dan unfavorable yang bermakna negative.Jawaban berupa pilihan yaitu
“ya” dan “tidak”.Jika pertanyaan favorable di jawab “ya” maka nilainya 1
tetapi jika tidak nilainya 0.Jika pertanyaan yang unfavorable dijawab “ya”
maka nilainya 0 tetapi jika dijawab tidak nilainya 1.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer
dengan prosedur pengumpulan data kuesioner yang memuat karakteristik
responden yang meliputi data identitas dan karakteristik lingkungan rumah
yang meliputi jumlah penghuni rumah, lingkungan rumah, kondisi rumah,
kriteria rumah sehat, dan sanitasi rumah serta perilaku penghuni rumah
terhadap sanitasi lingkungan. Pertanyaan diajukan secara tertulis dan dijawab
oleh responden yang berjumlah 36 pertanyaan yang terbagi dalam 3
kategori.Yaitu tentang karakteristik responden dengan 5 pertanyaan, yang
26
kedua tentang sanitasi lingkungan dengan 18 pertanyaan dan yang terakhir
tentang penyebaran penyakit dengan 13 pertanyaan. Penilaian lingkungan
rumah dilakukan oleh peneliti dengan mengobservasi lingkungan rumah
responden .
Tabel 3.2
Blue Print Kuesioner Sanitasi Lingkungan Dan Tingkat PenyebaranPenyakit TB Paru
Aspek Indikator Favorabel Unfavorabel Total
SanitasiLingkungan
Kondisi rumah,pembuangankotoran, penyediaanair bersih.
9 9 18
TingkatpenyebaranPenyakit TBParu
Hasil laborat,pengobatan,menutup mulut saatbatuk, angotakeluarga yangmenderita sama,pembuangan dahak.
6 7 13
KarakteristikPenderita
0 0 5
Total 15 16 36
Cara pengumpulan data peneliti memberikan penjelasan terlebih
dahulu tentang maksud dan tujuan penelitian. Setelah mendapat persetujuan
dari responden, kemudian responden mengisi dan menandatangani lembar
persetujuan .Setelah itu kuesioner dapat langsung digunakan dan diisi oleh
respoden.
27
3.5.1 Uji Validitas dan Uji Reabilitas
1. Uji Validitas
Uji validitas adalah syarat mutlak bagi alat ukur agar dapat
digunakan dalam suatu pengukuran. Validitas menunjukkan
ketepatan pengukuran suatu instrumen, artinya suatu instrumen
dikatakan valid apabila instrumen mengukur apa yang seharusnya
diukur. ( Dharma, 2011 ).
Uji validitas dilakukan kepada responden yang memiliki
kriteria sama dengan sasaran penelitian di wilayah Puskesmas
Klego sejumlah 30 responden. Hasil dari uji validitas pada sanitasi
lingkungan adalah 0,990 - 0,997 dari 18 pertanyaan dan semuanya
valid. Untuk hasil tingkat penyebaran penyakit adalah 0,990-1 dari
13 pertanyaan semuanya valid.
2.Uji Reabilitas
Uji reabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran.
Reabilitas menunjukkan apakah pengukuran menghasilkan data
yang konsisten jika instrumen digunakan berulang kali
(Dharma,2011). Dalam penelitian ini menggunakan pengujian
reabilitas internal consistency dengan mencobakan intrumen sekali
saja di Puskesmas Andong Kabupaten Boyolali, kemudian data
yang diperoleh dianalisis dengan SPSS menggunakan Alpha
28
Cronbach’s dengan hasil untuk sanitasi lingkungan 0,999 dan
untuk penyebaran penyakit TB Paru 0,998.
3.6 Tehnik Pengolahan Data Dan Analisa Data
3.6.1 Tehnik Pengolahan Data
1. Editing
Memastikan kelengkapan dan kejelasan setiap aspek yang
diteliti, yaitu dengan melakukan pengecekan terhadap kuesioner
untuk memastikan bahwa kuesioner telah lengkap dan
benar.Caranya yaitu memilih data yang representative yang dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
2. Coding
Pengkodean dilakukan untuk memudahkan analisis.Kegiatan
pengubahan data lebih ringkas dengan menggunakan kode yang
dirumuskan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan
analisis data.Caranya yaitu memberikan kode kepada data yang
didapat dengan kode angka 1, 2, 3.
3. Tabulasi
Memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur angka-
angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai
kategori.
29
4. Entri Data
Data dari kuesioner dimasukkan dalam program computerize
SPSS( Statistical Package for Social Science ).
3.6.2 Analisa Data
1. Analisa Univariat
Analisa Univariat adalah untuk menjelaskan atau
mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian
( Notoatmodjo, Soekidjo, 2010 ). Analisa univariat dilakukan untuk
memberi gambaran dan penjelasan tentang variabel yang akan
diteliti yaitu tentang umur responden, pendidikan, pekerjaan, jumlah
penghasilan, jenis kelamin, sanitasi lingkungan dan penyebaran
penyakit TB paru.
2.Analisa Bivariat
Analisa Bivariat untuk mengetahui hubungan dua variabel
yaitu dependen dan independen .Jenis uji statistik yang digunakan
dalam penelitian di sesuaikan dengan jenis data.Analisis statistik
menggunakan uji Spearman's rho.Analisa bivariat dalam penelitian ini
yaitu hubungan antara sanitasi lingkungan penderita TB Paru dengan
tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
3.7 Etika Penelitian.
Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin
kepada Kepala Puskesmas Andong Boyolali.Setelah mendapatkan persetujuan
30
peneliti mulai melakukan penelitian dengan memperhatikan masalah etika
yang meliputi :
3.7.1 Informed Consent .
Sebelum lembar persetujuan diberikan pada responden, peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.Setelah diberikan
penjelasan, lembar persetujuan diberikan kepada responden. Jika
responden bersedia diteliti maka mereka harus menandatangani lembar
persetujuan, namun jika responden menolak untuk diteliti maka
peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
3.7.2 Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup
dengan memberikan kode pada masing-masing lembar tersebut.
3.7.3 Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan merupakan masalah etika dalam memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-
masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang
dilaporkan pada hasil riset (Hidayat,2007).
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Puskesmas Andong, salah satu kecamatan di Boyolali
bagian utara yang mempunyai penduduk sekitar 33 ribu jiwa yang terdiri dari 16
desa, sarana kesehatan terdiri dari puskesmas induk 1 unit, puskesmas pembantu 2
unit, poliklinik kesehatan desa ada13 unit. Penelitian dilakukan terhadap 30
responden pada tanggal 1 sampai 15 Juli 2015 dengan mengunakan instrumen yang
telah ditetapkan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan interpretasinya,
sedangkan pembahasan disajikan dalam bentuk tabel.
4.1Analisa Univariat
Data dari penelitian ini dikumpulkan dari 30 responden dengan
menggunakan lembar kuesioner. Dari hasil kuesioner yang diberikan dan diisi
oleh responden dapat diketahui karakteristik responden yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
32
4.1.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden Penderita TB Paru .
Karakteristik Frekuensi (f ) Persentase (%)
26 - 35 Tahun36 - 45 Tahun46 - 55 Tahun
3207
106723
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 30 responden
yang diteliti ,67 % berusia antara 36 – 45 tahun.
4.1.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden PenderitaTB Paru
Karakteristik Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
Laki – lakiPerempuan
237
7723
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa 77 % responden
berjenis kelamin laki – laki dan 23 % berjenis kelamin perempuan.
33
4.1.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden PenderitaTB Paru
Karakteristik Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
SDSMPSMAPerguruan Tinggi
210171
733573
Jumlah 30 100
Hasil observasi responden juga menunjukkan 57 % berpendidikan
Sekolah Menengah Atas dan 33 % terakhir Sekolah Menengah
Pertama.
4.1.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jumlah Penghasilan.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan JumlahPenghasilan.
Karakteristik Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
< Rp.1,2 Juta≥ Rp.1,2 juta
219
7030
Jumlah 30 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah responden yang memiliki
penghasilan kurang dari Rp.1,2 juta sejumlah 21 orang atau 70 % dan
sisanya 30 % atau 9 orang memiliki penghasilan diatas atau sama
dengan Rp.1,2 juta rupiah.
34
4.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden PenderitaTB Paru
Karakteristik Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
BuruhSwastaPNSTNI / POLRIPetani
124212
380737
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat status pekerjaan responden
80 % statusnya bekerja sebagai swasta.
4.1.6 Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Sanitasi lingkungan PenderitaTB Paru.
Kriteria Sanitasi Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
BaikSedangBuruk
17130
57430
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 30 responden
yang diteliti, ternyata sebagian besar dari responden dalam penelitian
ini yaitu sebanyak 17 orang ( 57 % ) mempunyai sanitasi lingkungan
yang baik, dan 13 orang ( 43 % ) dengan sanitasi yang sedang.
35
4.1.7 Distribusi Frekuensi Penyebaran Penyakit TB Paru.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Penyebaran Penyakit TB Paru .
Kriteria Penyebaran Frekuensi ( f ) Persentase ( % )
TinggiSedangRendah
01119
03763
Jumlah 30 100
Tabel tersebut menunjukkan frekuensi penyebaran TB Paru di wilayah
Puskesmas Andong Boyolali 63 % kategori rendah dan 37 %
menunjukkan frekuensi penyebaran kategori sedang.
4.2 Analisa Bivariat
4.2.1 Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Tingkat Penyebaran TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Andong Boyolali.
Tabel 4.8 Hasil Analisa Bivariat dengan Uji Spearman’s rho .
Variabel P- Valuer
HubungansanitasilingkungandengantingkatpenyebaranTB Paru
0,001 0,591
36
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa 30 responden yang
dilakukan penelitian, 15 responden mempunyai sanitasi lingkungan
yang baik dengan penyebaran rendah.
Pada penelitian ini untuk mendapatkan hasil analisa hubungan,
penulis menggunakan Spearman's rho, hal ini sangat tepat dikarenakan
data yang diambil bersifat data ordinal baik data pada variabel
independen maupun data pada variabel dependen Dari hasil analisa
data diketahui bahwa p-value ( 0,001) < taraf kekeliruan ( α = 0,05 ).
Sehingga dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
hubungan yang berarti / bermakna antara sanitasi lingkungan dengan
tingkat penyebaran TB Paru, taraf signifikansi dari hasil analisa 0,001
menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan untuk mengetahui antara
sanitasi lingkungan dengan tingkat penyebaran TB Paru sangat
signifikan.
Besarnya nilai tingkat keeratan hubungan antara sanitasi
lingkungan dengan tingkat penyebaran TB Paru yaitu sebesar 0,591 ,
hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara sanitasi
lingkungan dengan tingkat penyebaran TB Paru.
Arah hubungannya adalah positif antara sanitasi lingkungan
dan tingkat penyebaran penyakit TB Paru yaitu semakin baik tingkat
sanitasi lingkungan semakin rendah tingkat penyebaran penyakit TB
Paru.
37
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan terhadap 30 responden yang menjadi sasaran
penelitian di Puskesmas Andong Boyolali terhadap penderita TB Paru yang
ditemukan dalam periode 01 Januari 2014 - 30 September 2014 menghasilkan
beberapa penemuan yang akan dijadikan pembahasan dalam hasil penelitian ini.
5.1 Karakteristik Responden
5.1.1 Usia
Insiden tertinggi angka kejadian TB Paru adalah usia dewasa
akhir dan masih produktif yaitu umur 36 – 45 tahun sebanyak 67 %.
Pada usia ini mereka menghabiskan waktunya untuk bekerja dan
berinteraksi dengan orang lain yang kemungkinan tertular TB Paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden adalah usia
produktif dengan mayoritas berusia 36 – 45 tahun. Menurut Perdana
(2006) di Jakarta Timur yang meneliti tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru
menyatakan bahwa usia produktif beresiko besar terhadap penularan
penyakit TB Paru dari pada usia yang tidak produktif. Usia produktif
banyak melakukan aktifitas atau bekerja diluar rumah yang
mempunyai resiko kontak dengan banyak orang. Dari kegiatan
pekerjaan ini bisa jadi mereka tertular oleh rekan kerja yang
38
mempunyai penyakit TB Paru dan tidak mengetahui bagaimana
proses penyebarannya.
Menurut Desmon (2006) yang meneliti tentang hubungan
merokok, kayu bakar dan kondisi rumah dengan kejadian penyakit TB
Paru menyatakan bahwa umur bukan merupakan faktor tertular TB
Paru. Menurut Desmon, umur berapapun selama masih dalam kategori
usia produktif, maka beresiko terkena penyakit TB Paru .
5.1.2 Jenis Kelamin
Tuberkulosa tidak menyerang penderita dengan jenis kelamin
tertentu, tetapi dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki – laki
lebih banyak menderita TB Paru dibandingkan dengan perempuan.
Hal ini disebabkan karena laki-laki banyak keluar rumah mencari
nafkah dan banyak berinteraksi dengan orang lain yang mungkin salah
satunya terinfeksi kuman TB Paru (Gordon, 1950) dalam Noor (2008).
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa laki – laki mempunyai
resiko yang lebih besar daripada perempuan.Hal ini disebabkan laki –
laki menjadi tulang punggung keluarga dan menjadikan mereka sering
keluar rumah dan kontak dengan banyak orang.Disaat kontak itu
kemungkinan besar tertular oleh penyakit TB Paru (Gordon, 1950)
dalam Noor (2008).
Penelitian Granich dkk (2003) didapatkan 59 % terjadi pada
laki-laki sedangkan 41% terjadi pada perempuan. Secara epidemiologi
39
dibuktikan terdapat perbedaan antara laki – laki dan perempuan dalam
hal penyakit infeksi, progresifitas penyakit, insiden dan kematian
akibat TB Paru. Penelitian yang dilakukan Pertiwi (2012) tentang
praktik hygiene sanitasi lingkungan dengan angka kejadian
tuberkulosa, ditemukan 56,7% kasus TB Paru terjadi pada laki-laki,
dan 43,3 % kasus TB Paru terjadi pada perempuan. Hal ini
dikarenakan responden laki-laki cenderung yang menularkan resiko
TB Paru pada keluarga mengingat bahwa laki-laki yang terpapar
pajanan dilingkungan tempat pekerjaan.
5.1.3 Pendidikan
WHO menyatakan bahwa tuberculosis tidak hanya menyerang
kepada orang dengan usia produktif, tetapi juga kepada orang dengan
pendidikan yang rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan
rendah berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat tentang
pemenuhan gizi yang baik dan pencegahan penyakit TB Paru serta
pengobatan TB Paru.
Mayoritas pendidikan penderita TB Paru dari hasil penelitian
ini adalah SMA, dikarenakan pada usia produktif sekarang masyarakat
banyak yang sudah mengenyam pendidikan menengah atas dibanding
beberapa tahun yang lalu.
Tetapi penelitian yang ada berbeda dengan pernyataan WHO,
penelitian ini adalah penelitian Bambang dkk (2006) tentang
40
karakteristik penderita TB Paru di Kabupaten Karo yang menunjukkan
sebanyak 51,6 % dari 91 responden berpendidikan Sekolah Menengah
Atas ( SMA ).
Penelitian Ajis dkk ( 2007 ) tentang karakteristik penderita
tuberkulosa di Kabupaten Kuantan Singingi menunjukkan sebanyak
42 orang (38,53 %) dari 109 responden adalah berpendidikan SMA.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoadmodjo
(1993 ) dalam Bagoes ( 2006 ) yang menyatakan bahwa pendidikan
pada individu atau kelompok bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan yang diharapkan. Seseorang yang menyelesaikan
pendidikan dalam satu bidang akan mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan tertentu pula. Sedangkan menurut Green (1991),
menyatakan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi
kesehatan individu dan kelompok adalah pendidikan.
5.1.4 Pekerjaan
Jenis pekerjaan mempengaruhi pendapatan keluarga dan bisa
mempengaruhi pola kehidupan sehari-hari terutama pemenuhan
kebutuhan gizinya.
Pekerjaan yang dilakukan oleh responden dalam penelitian ini
kebanyakan adalah sektor swasta. Hal ini bisa jadi sektor swasta lebih
banyak menyerap tenaga kerja dibanding sektor yang lain. Dari sekian
banyak orang yang bekerja disektor swasta mengakibatkan seseorang
41
lebih banyak kontak dengan orang lain yang kemungkinan lebih besar
tertular oleh penyakit TB Paru dari teman yang mungkin menderita
penyakit tersebut.
Penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah
penelitian Bambang dkk ( 2006 ) tentang karakteristik penderita
tuberkulosis paru di Kabupaten Karo dengan hasil berupa pekerjaan
yang banyak dimiliki adalah pekerjaan sebagai buruh sebesar 41,8%.
5.1.5 Penghasilan
Tingkat sosial ekonomi yang rendah dikarenakan penghasilan
yang minim atau kurang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari
terutama pemenuhan kebutuhan gizinya, lingkungan rumah yang sehat
dan kebutuhan akan kesehatan. Jika pemenuhan kebutuhan gizi kurang
dikarenakan penghasilan yang kurang maka akan menurunkan daya
tahan tubuh sehingga mudah tertular penyakit salah satunya TB Paru.
Penghasilan dari responden mayoritas kurang dari 1,2 juta
rupiah perbulan yang merupakan batas minimum upah kabupaten. Hal
ini menyebabkan mereka kurang dalam mengalokasikan
penghasilannya untuk memelihara kesehatannya. Dari penghasilan
yang diperoleh kemungkinan sebagian besar dialokasikan untuk
kepentingan yang lain yang kurang mendukung dalam upaya
pemeliharaan kesehatannya.
42
Penelitian Bambang dkk (2006 ) tentang karakteristik penderita
tuberkulosa paru di Kabupaten Karo membuktikan bahwa penderita
TB Paru yang berada di kelompok status ekonomi rendah sebanyak
71,4%.
5.2 Sanitasi Lingkungan
Menurut Undang – Undang RI No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Pemukiman, rumah adalah tempat yang untuk tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan yang dimaksud sehat menurut
WHO ( World Health Organisation ) adalah suatu keadaan yang sempurna
baik fisik, mental, maupun sosial budayanya bukan hanya bebas dari penyakit
dan kelemahan. Berdasarkan pengertian diatas , maka dapat diartikan bahwa
rumah sehat tempat berlindung dan bernaung serta tempat untuk beristirahat
sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani maupun
sosial budaya.
Hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden terdapat 18 responden
dengan kondisi sanitasi lingkungan yang baik dan 12 responden dengan
kondisi sanitasi lingkungan yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
sebanyak 60% kondisi sanitasi lingkungan responden di wilayah kerja
Puskesmas Andong Boyolali dalam kondisi memadai atau baik sesuai syarat
sanitasi yang baik.
Dari hasil observasi kuesioner sanitasi lingkungan kondisi tertinggi poin
positif pertanyaan terdapat pada sektor keberadaan jendela rumah dan
43
penghuni rumah tidak lebih dari empat orang. Hasil terendah dimiliki pada
sektor kondisi kelembaban lantai dan keberadaan sumber air bersih. Kondisi
kelembaban lantai tersebut dikarenakan masih berlantai tanah dan
menggunakan sumur gali yang saat ini mulai mengering karena cuaca,
sehingga menyebabkan kekeruhan air mulai tampak.
Menurut Ahmadi (2005) faktor lingkungan (kepadatan, lantai rumah,
ventilasi, dll) merupakan faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya
penyakit Tb paru, di samping faktor kependudukan (jenis kelamin, umur,
status gizi, sosial ekonomi). Kondisi rumah yang baik penting untuk
mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila
memenuhi persyaratan empat hal pokok antara lain ; memenuhi kebutuhan
fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup dan
terhindar dari kebisingan yang mengganggu, memenuhi kebutuhan psikologis
seperti “Privacy” yang cukup dan komunikasi yang baik antar penghuni
rumah, memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi
penyediaan air bersih,pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas
dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, sinar
matahari yang cukup, makanan dan minuman yang terlindung dan
pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan yang cukup serta memenuhi
persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar rumah (Kep Men Kes RI No. 829, 1999).
44
5.3 Tingkat Penyebaran Penyakit
Penderita TB Paru menurut Pedoman Nasional Penanggulangan TB
Paru ( Dep Kes RI Tahun 2011 ) dapat menularkan penyakit TB Paru melalui
beberapa cara yaitu sumber penularan utama adalah penderita TB Paru dengan
Basil Tahan Asam ( BTA ) positif. Penderita TB Paru pada saat bersin atau
batuk, penderita dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak ( droplet infection ). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan
dahak.Penularan juga dapat terjadi didalam ruangan dengan paparan dahak
yang berada dalam waktu yang lama.
Menurut Teori John Gordon (1950) dalam Noor (2008), kondisi
lingkungan rumah termasuk ventilasi yang cukup, dapat mengurangi jumlah
percikan dahak, sinar matahari yang cukup dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi tertutup dan lembab. Daya
penularan pasien juga ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin banyak tingkat kepositifannya maka makin berbahaya
dalam menularkan ke orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 30 responden terdapat
penyebaran penyakit sebanyak 17 (57%) responden dengan kondisi
penyebaran TB Paru rendah, sedangkan 13 (43%) responden mempunyai
tingkat penyebaran TB Paru sedang.
Berdasarkan hasil observasi kuesioner penyebaran penyakit
didapatkan poin tinggi pertanyaan terdapat pada kondisi batuk responden
45
lebih dari tiga minggu . Hasil terendah dimiliki pada sektor kondisi
pemakaian sapu tangan yang dicuci dengan air biasa. Kondisi tersebut akibat
dari kebiasaan responden yang tidak selalu menggunakan sapu tangan dalam
mencegah penularan penyakit.
Resiko penularan TB Paru di Indonesia sukup tinggi, sekitar 1 – 3%.
Pada daerah dengan ARTI ( Annual Risk of Tuberculosis Infection) sebesar
1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB
Paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita. 10
% yang terinfeksi ini disebabkan kuman yang mengenai atau yang
menularkan bergradasi positif 3 dan kuman tersebut belum mendapatkan
pengobatan secara baik, akan tetapi kuman tersebut tidak bisa menular bila
mendapatkan pengobatan kombinasi selama kurang lebih 2 minggu berturut
turut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk
atau HIV/AIDS (Depkes, 2008).
5.4 Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Tingkat Penyebaran Penyakit TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Andong Boyolali.
Hasil analisa data menunjukkan berdasarkan pengujian statistik
dengan uji Spearman's rho, dinyatakan ada hubungan yang signifikan antara
sanitasi lingkungan dengan penyebaran penyakit TB Paru yang ditunjukan
dengan nilai p Value sebesar 0,001 atau kurang dari 0,05, pada taraf signifikan
46
95% sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara sanitasi
lingkungan dengan penyebaran penyakit TB Paru terbukti atau diterima.
Keeratan hubungan sanitasi lingkungan dengan penyebaran penyakit TB Paru
bisa ditunjukkan dengan nilai koefisien kontingensi dengan nilai 0,591 yang
berarti terdapat hubungan itu sangat kuat, hal ini sesuai tabel standar korelasi
versi De Vaus.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tobing
(2008), tentang Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Sanitasi
terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru, hasil penelitiannya
didapatkan p=0,414 berarti tidak ada hubungan antara kondisi jenis lantai
dengan penularan TB Paru. Hasil statistik odds Ratio 0,7 dengan CI 95%
(0,321-1,599) jadi tidak ada perbedaan antara jenis lantai tanah dengan bukan
lantai tanah. Hasil penelitiannya tersebut juga didapatkan didapatkan p=0,000
ada hubungan antara kondisi pencahayaan dengan penularan TB Paru. Hasil
statistik odds Ratio 5,9 dengan CI 95% (1,928 - 18,201) jadi kondisi
pencahayaan yang kurang mempunyai resiko penularan sebanyak 5,9 kali dari
kondisi pencahayan yang baik.
Hasil yang diperoleh ini tidak sejalan dengan penelitian Siswanto dkk
(2006) tentang sanitasi lingkungan dengan terjadinya TB Paru di Puskesmas
Pulo Merak yang menyatakan bahwa aspek kelembaban, kepadatan hunian,
dan pencahayaan rumah tidak berhubungan bermakna dengan kejadian TB
Paru. Hal ini disebabkan karena kondisi kelambaban, pencahayaan, dan
47
kepadatan hunian sangat baik.Sedangkan penelitian Fatimah (2008) tentang
faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB
Paru menunjukkan ada hubungan antara kejadian TB paru dengan
kelembaban, jenis dinding, ventilasi dan pencahayaan.Secara teori sanitasi
lingkungan berkaitan erat dengan kondisi pemukiman.Sanitasi lingkungan
yang dimaksud adalah usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan fisik
yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan
dan daya tahan hidup manusia. Upaya pengendalian tersebut adalah
penyediaan air rumah tangga yang baik, pengaturan pembuangan tinja,
sampah, air limbah, pengaturan rumah sehat, pembasmian vektor penyakit
seperti lalat dan nyamuk, pengawasan polusi udara dan radiasi dari sisa-sisa
zat radioaktif. Sanitasi keluarga diukur dari tiga aspek: kondisi fisik rumah,
sarana rumah tangga dan sumber air.
48
BAB VI
PENUTUP
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang peneliti lakukan selama proses
penelitian terhadap 30 responden penderita TB Paru bisa ditarik beberapa kesimpulan
dan saran yang bisa menjadikan motivasi dan pedoman dalam penelitian selanjutnya.
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Usia responden penderita dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
67 % responden berusia 36 – 45 tahun.
6.1.2 Responden dalam penelitian ini mayoritas berjenis kelamin laki – laki
yaitu sebanyak 77 % dari total responden.
6.1.3 Pekerjaan yang dilakukan oleh responden dalam penelitian ini
mayoritas adalah swasta sebanyak 80 % dari total 30 responden.
6.1.4 Penghasilan responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa
sebanyak 70 % berpenghasilan kurang dari Rp.1,2 juta yang
merupakan batas minimum sistem penggajian di wilayah Boyolali.
6.1.5 Sanitasi Lingkungan pada responden penelitian ini berkategori baik
sebanyak 57 % sedangkan sisanya yaitu 43 % mempunyai sanitasi
lingkungan yang berkategori sedang.
6.1.6 Tingkat penyebaran penyakit TB Paru dalam penelitian ini sebanyak
63 % berkategori rendah, sedangkan sisanya 37 % berkategori sedang.
49
6.1.7 Hubungan sanitasi lingkungan dengan tingkat penyebaran Penyakit
TB Paru di wilayah Puskesmas Andong mempunyai tingkat keeratan
sebesar 0.591 yang berarti adanya hubungan yang kuat antara sanitasi
lingkungan dan tingkat penyebaran penyakit TB Paru ini.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan beberapa
hal yang bisa menjadikan pedoman dan tindak lanjut dari hasil penelitian ini.
6.2.1 Disarankan Bagi Pihak Puskesmas dan Masyarakat.
Pihak Puskesmas bisa melakukan pendataan dan kunjungan
rutin terhadap pasien penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas
Andong Boyolali dan memberikan penyuluhan tentang sanitasi
lingkungan dan masyarakat di wilayah Kecamatan Andong khususnya
lebih memperhatikan kesehatan lingkungan rumahnya, baik dalam
rumah maupun luar rumah.
6.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan bisa menggunakan referensi hasil penelitian ini
untuk bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan perawatan
pasien TB Paru.
6.2.3 Bagi peneliti lain
50
51
Diharapkan melakukan penelitian serupa dengan menggunakan
jumlah sampel yang lebih banyak sehingga bisa didapatkan gambaran
yang lebih baik dari hasil analisa penelitiannya.
6.2.4 Bagi Peneliti
Dapat mengetahui secara nyata tentang hasil penelitian yang
dapat menunjukkan adanya hubungan antara sanitasi lingkungan
dengan tingkat penyebaran penyakit TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, U F ( 2005 ) . Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta : Penerbit
Buku Kompas.
Arikunto, S ( 2002 ). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rineka Cipta.
Bagoes W, PNP, Edy Widayat ( 2006 ). Pengaruh Karakteristik, Pengetahuan
Dan Sikap Petugas Pemegang Program Tuberkulosis Paru Puskesmas
Terhadap Penemuan Suspek TB Paru Di Kabupaten Blora. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia.
Coker, R., McKee, M., Atun, R., Dimitrova, B., Dodonova, E., Kuzetsov,
S.,Drobniewski, F.( 2006 ) risk factors for pulmonary tuberculosis in Rusia
case control study. BMJ.Vol.332.18.
Davidov, A.L., Mangura, B T., Napolitano, E.C., Reichman, L.B.( 2003 )
rethinking the sosioeconomics and geography of tuberculosis among
public health. Journal of personality and social psychology
Vol.93,No.6.1.7.
Desmon, F. (2006 ). Hubungan Antara Merokok, Kayu Bakar Dan Kondisi
Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru. Tesis Depok: FKM
Universitas Indonesia.
Dharma, K. ( 2011 ). Metodologi Penelitian Keperawatan, Panduan Melaksanakan
dan Menerapkan Hasil penelitian. Jakarta : Trans Info Media.
Fatimah, ( 2008 ). Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian TB Paru Di Kabupaten Cilacap ( Kecamatan :Sidareja
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari. Tesis Undip
Semarang .
Fauci AS, Kasper DL, Brauwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalso J.
Harrison’s.( 2009 ) Principle of Internal Medicine, 17th Edition New York.
Chapter 158.22.
Granich RM,Oh P, Lewis B, Porco TC, Flood J( 2005 ). Multidrug resistance among
person with tuberculosis in California 1994 – 2003, JAMA;293:22.
Hill, P.C., Jackson - Sillah, D., Donkor, S. A., Out, J., Adegbola, R.A., Lienhardt, C.
( 2006 ) Risk factors for pulmonary tuberculosis: A clinic - based case
control study in the Gambia. BMC Public Health 6:156.12.
Kementerian Kesehatan RI. Undang – Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Pemukiman.
Kementerian Kesehatan R I. Data Kabupaten atau Kota, 2010. Jakarta. Di :
http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtableti (diakses
25 Oktober 2014, 16.39 )
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010.2011.
Jakarta. Tersedia di http://www.depkes.go.id( diakses 28 Oktober 2014,19.21
WIB)
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2011
Edisi 2. Tersedia di:www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf ( 30 Oktober
2014,19.23 WIB).7
Kristanto, Wirawan. ( 2010 ) Tentang Rumah Sehat. Tersedia di
htpp:///www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=3049&catid=2&(diakses 28
Oktober 2014, 10.42)9.
Melisah, P S,.( 2012 ) Jurnal Hubungan Karakteristik Rumah dan Kejadian Penyakit
Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Simpang Kiri Kota Subulussalam.
Notoadmodjo, S ( 2002 ). Metodologi Penelitian Kesehatan ( rev.ed ). Jakarta :
Rineka Cipta.
Ogboi S.J., Idris S.H., Olayinka A.T., Junaid, I. ( 2010 ) Socio - demographic
characteristics of patiens presenting pulmonary tuberculosis in primary
health center, Zaria, Nigeria. Jurnal of Medical Laboratory and
Diagnosis.Vol.1(2)pp.11-14.16.
Perdana, P.( 2008 ) Faktor – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat
penderita TB Paru Selama Pengobatan Di Puskesmas Kecamatan
Ciracas .Jakarta Timur ( Skripsi tidak diterbitkan ) Jakarta : UI.
Pertiwi, RN.( 2012 ) Jurnal Kesehatan Masyarakat, Hubungan Karakteristik
Individu,Praktik Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Angka Kejadian
Tuberkulosa Di Kecamatan Semarang Utara,. Volume 1 Nomor 2 Halaman
435-445.
Ruswanto, B.(2011) Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Di
Tinjau Dari Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten
Pekalongan Semarang : Universitas Diponegoro.
Sakinah, D.(2012) Jurnal: Pengaruh Sanitasi Rumah, Penghasilan Keluarga dan
Upaya Pengendalian Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru pada Ibu Rumah
Tangga Di Puskesmas Mulyorejo Kabupaten Deli Serdang.
Setiadi, (2007).Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siswanto,dkk. 2006. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein, Status Gizi,
Sanitasi Lingkungan dengan terjadinya Penyakit TB Paru di Puskesmas Pulo,
Merak.
Sugiono, ( 2009 ). Metode Penelitian , Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung:
ALFABETA, cv.
Tobing, T.L 2009. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru Dan Kondisi Rumah
Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga Di
Kabupaten Tapanuli Utara .
(http://repository.usu.ac.id/bidstream/123456789/66jb/1/09E01348.pdf.
World Health Organisation Tuberculosis. 2010. Tersedia di
:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/ ( diakses 20 Oktober
2014 Jam 10.15 WIB ).
World Health Organisation. Global Tuberculosis Control 2011.2012. Tersedia di
:http://www.who.int/tb/publication/global report/en/ ( diakses 20 Oktober
2014,10.34 WIB).