hubungan peraturan pemerintah republik indonesia no. 63 tahun 2000 dengan sk no....

29
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA Hubungan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 63 tahun 2000 dengan SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009 Dosen Pengampu: Tjokorda Bagus Putra Marhaendra, S.H, S.T, M.Erg NAMA : DUWI MUFIDA NIM : 010125026 KELAS : 5A AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI BALI (ATRO BALI) 2014

Upload: duwi

Post on 26-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009

TRANSCRIPT

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

Hubungan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 63 tahun 2000

dengan SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009

Dosen Pengampu: Tjokorda Bagus Putra Marhaendra, S.H, S.T, M.Erg

NAMA : DUWI MUFIDA

NIM : 010125026

KELAS : 5A

AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI BALI

(ATRO BALI)

2014

2

KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang

Maha Esa. Karena atas berkat dan rahmat beliaulah penulis dapat menyelesaikan makalah

yang berjudul “Hubungan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 63 tahun 2000

dengan SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009”. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar – besarnya kepada Bapak Tjokorda Bagus Putra Marhaendra, SH, ST, M.Erg

yang telah memberikan kesempatan kepda saya sebagai penulis untuk mengerjakan makalah

ini serta semua pihak yang telah memberi bantuan, bimbingan, serta saran, sehingga makalah

ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari pada kesempurnaan serta tidak lepas

dari kesalahan dalam bentuk tulisan maupun penulisan kata-kata, oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

“Om Santih Santih Santih Om”

Denpasar, Desember 2014

Penulis

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang ................................................................................................4

1.2.Rumusan masalah ..........................................................................................5

1.3.Tujuan penulisan ............................................................................................5

1.4.Manfaat penulisan ..........................................................................................6

1.5.Sistematika penulisan.....................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja .............................................7

2.2. Macam-macam Kecelakaan Kerja ................................................................7

2.3. Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ............................8

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 63 tahun 2000 .....................11

3.2. Hubungan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 63 tahun 2000

dengan SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009 ...............................................26

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ...................................................................................................28

4.2. Saran .............................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................29

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang

memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari

bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang

wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan

menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh

dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang

menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai

bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada

masa yang akan datang.

Aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja

nyata. Norma keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah

terjadinya kecelakaan kerja yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja

serta lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini diharapkan mampu

menihilkan kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian

terhadap pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan

kerja. Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat

sekitar tempat kerja. Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang

mampu menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.

Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam

perusahaan. Pada era ini kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau

5

resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini

diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing

negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan

risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini

berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab

pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan

kerja. Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak

pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak

Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan

penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910.

1.2. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah

sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimana legal aspek hukum kesehatan dan keselamatan kerja

dalam PP RI no. 63 tahun 2000 ?

1.2.2. Bagaimana hubungan PP RI no. 63 tahun 2000 dengan SK no.

1250/MENKES/SK/XII/2009 ?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah

1.3.1. Untuk mengetahui legal aspek hukum kesehatan dan keselamatan

kerja dalam PP RI no. 63 tahun 2000.

1.3.2. Untuk mengetahui hubungan PP RI no. 63 tahun 2000 dengan SK

no. 1250/MENKES/SK/XII/2009.

6

1.4. Manfaat Penulisan

Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terutama

tentang legal aspek hukum kesehatan dan keselamatan kerja dalam PP RI no.

63 tahun 2000.

Bagi Pembaca, dapat menjadi referensi dalam hal legal aspek hukum

kesehatan dan keselamatan kerja dalam PP RI no. 63 tahun 2000.

1.5. Sistemtika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka berisi tentang tinjauan teori.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan dari rumusan masalah.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi tentang simpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan kerja adalah merupakan segala sarana dan upaya untuk

mencegah terjadinya suatu kecelakaan kerja (Silalahi, 1995). Dalam hal ini

keselamatan yang dimaksud bertalian erat dengan mesin, alat kerja dalam proses

landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.

Tujuan keselamatan kerja adalah melindungi keselamatan tenaga kerja didalam

melaksanakan tugasnya, melindungi keselamatan setiap orang yang berada di lokasi

tempat kerja dan melindungi keamanan peralatan serta sumber produksi agar selalu

dapat digunakan secara efisien.

Keselamatan kerja diutamakan dalam bekerja untuk menghindari terjadinya

kecelakaan. Menurut Sumakmur (1989), kecelakaan dapat diartikan sebagai suatu

peristiwa yang tidak diinginkan dan tidak diduga, yang kejadiannya dapat

menyebabkan timbulnya bencana atau kerugian. Pengertian dari kecelakaan adalaH

suatu peristiwa yang dapat merusak suatu rencana yang telah dibuat atau

direncanakan sebelumnya.

2.2. Macam-macam Kecelakaan Kerja

Berdasarkan selang waktu akibatnya, kecelakaan terbagi menjadi dua yaitu

kecelakaan langsung dan kecelakaan tidak langsung. Kecelakaan langsung merupakan

kecelakaan yang akibatnya langsung tampak atau terasa. Sedangkan kecelakaan tidak

8

langsung adalah kecelakaan yang akibatnya baru tampak atau terasa setelah ada

selang waktu dari saat kejadiannya (Sumakmur, 1989).

Berdasarkan dari sisi korbannya, kecelakaan juga terbagi menjadi dua yaitu

kecelakaan dengan korban manusia dan kecelakaan tanpa korban manusia.

Kecelakaan dengan korban manusia juga terbagi lagi menjadi tiga bagian yaitu

kecelakaan diukur berdasarkan besar-kecilnya kerugian material, kekacauan

organisasi kerja, maupun dampak negatif yang diakibatkannya (Sumakmur, 1989).

Manusia juga merupakan salah satu penyebab kecelakaan kerja atau tingkah

laku tidakaman. Adapun faktor penyebab tingkah laku tidak aman yaitu faktor

kebiasaan, emosi ataupsikologi dan kurang terampil. (Sumakmur, 1989),

menyimpulkan bahwa kurang lebih 80 % kecelakaan kerja disebabkan oleh tingkah

laku dan kelalaian manusia yang tidak aman.

Mesin atau alat produksi juga merupakan penyebab kecelakaan kerja. Hal ini

dapat disebabkan karena bagian-bagian mesin selalu bergerak dan berputar. Dan

pergeseran pada mesin atau alat produksi dapat menimbulkan suhu yang tinggi

sehingga bila kontak bahan yang mudah terbakar dapat menimbulkan kebakaran.

Selain manusia dan mesin, lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi kecelakaan

kerja. Hubungan mesin dengan operator atau manusia sangat berpengaruh sekali

karena mesin dapat menimbulkan suatu kecelakaan apabila seorang operator

mengalami keteledoran dalam menjalankan mesin atau alat produksi.

2.3. Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Dibuatkannya Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam

praktik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sesuatu yang sangat penting

dan harus. Karena hal ini akan menjamin dilaksanakannya Keselamatan dan

9

Kesehatan Kerja (K3) secara baik dan benar. Kemudian konsep ini berkembang

menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,

buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau

buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan

kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan

martabat serta nilai-nilai agama.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan

perundangan-undangan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti

peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang

dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.

Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang

keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di

darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di

dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja

dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,

pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang

produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan

bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada

pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya

personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena

itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di

10

masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna

membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.

11

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. PP RI no. 63 tahun 2000

BAB I Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion yang

selanjutnya disebut keselamatan radiasi adalah upaya yang dilakukan untuk

menciptakan kondisi yang sedemikian agar efek radiasi pengion terhadap

manusia dan lingkungan hidup tidak melampaui nilai batas yang ditentukan.

2. Tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apapun yang dibebaskan dalam

proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi

pengion.

3. Instalasi adalah instalasi zat radioaktif dan atau instalasi sumber radiasi

pengion.

4. Radiasi pengion adalah gelombang elektromagnetik dan partikel yang

karena energy yang dimilikinya mampu mengionisasi media yang dilaluinya.

5. Nilai batas dosis adalah dosis terbesar yang diizinkan oleh Badan Pengawas

yang dapat diterima oleh pekerja radiasi dan anggota masyarakat dalam

jangka waktu tertentu tanpa menimbulkan efek genetik dan somatik yang

berarti akibat pemanfaatan tenaga nuklir.

6. Dosis radiasi adalah jumlah radiasi yang terdapat dalam medan radiasi atau

jumlah energi radiasi yang diserap atau diterima oleh materi yang dilaluinya.

12

7. Catatan dosis adalah catatan tentang nilai dosis yang diterima oleh pekerja

radiasi selama bekerja di medan radiasi.

8. Pengusaha instalasi adalah pimpinan instalasi atau orang lain yang ditunjuk

untuk mewakilinya dan bertanggung jawab pada instalasinya.

9. Petugas proteksi radiasi adalah petugas yang ditunjuk oleh pengusaha

instalasi dan oleh Badan Pengawas dinyatakan mampu melaksanakan

pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi.

10. Pekerja radiasi adalah setiap orang yang bekerja di instalasi nuklir atau

instalasi radiasi pengion yang diperkirakan menerima dosis radiasi tahunan

melebihi dosis untuk masyarakat umum.

11. Kecelakaan radiasi adalah kejadian yang tidak direncanakan termasuk

kesalahan operasi kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain

yang menjurus timbulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau

kontaminasi yang melampaui batas keselamatan.

12. Badan Pelaksana adalah badan yang bertugas melaksanakan pemanfaatan

tenaga nuklir.

13. Badan Pengawas adalah badan yang bertugas melaksanakan pengawasan

terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

1. Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang persyaratan sistem pembatasan

dosis sistem manajemen keselamatan radiasi, kalibrasi, kesiapsiagaan dan

penanggulangan kecelakaan radiasi.

13

2. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menjamin keselamatan, keamanan,

dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta

perlindungan terhadap lingkungan hidup.

BAB III SISTEM PEMBATASAN DOSIS

Pasal 3

Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja masyarakat dan

lingkungan hidup pengusaha instalasi yang melaksanakan setiap kegiatan

pemanfaatan tenaga nukJir yang dapat mengakibatkan penerimaan dosis radiasi

harus memenuhi prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan sebagai berikut:

a. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus mempunyai manfaat lebih besar

dibanding dengan risiko yang ditimbulkan;

b. Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak melebihi

nilai batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas;

c. Kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber radiasi

harus dirancang dan dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang

terjadi ditekan serendah-rendahnya.

Pasal 4

1. Pengusaha instalasi yang merancang, membuat, mengoperasikan dan atau

merawat sistem dan komponen sumber radiasi yang mempunyai potensi

bahaya radiasi harus mencegah terjadinya penerimaan dosis yang berlebih.

2. Sistem dan komponen sumber radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus dirancang dan dibuat sesuai dengan standar.

14

3. Standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 5

1. Apabila dalam satu lokasi terdapat beberapa fasilitas pemanfaatan tenaga

nuklir, pengusaha instalasi menetapkan tingkat dosis yang lebih rendah

untuk masing-masing instalasi, agar dosis kumulatif tidak melampaui nilai

batas dosis.

2. Pelepasan zat radioaktif ke lingkungan hidup dari semua fasilitas

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengakibatkan nilai batas

dosis untuk masyarakat dilampaui.

Pasal 6

1. Dalam menerapkan dosis untuk keperluan medik dengan tujuan diagnostik

dan terapi, pengusaha instalasi harus memperhatikan perlindungan pasien

terhadap radiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan c.

2. Tingkat acuan untuk dosis, laju dosis dan aktivitas yang diberikan untuk

keperluan diagnostik dan terapi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala

Badan Pengawas.

BAB IV SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

Bagian Pertama

Umum

Pasal 7

Pengusaha instalasi harus menerapkan sistem manajemen keselamatan

radiasi, yang meliputi organisasi proteksi radiasi, pemantauan dosis radiasi dan

15

radioaktivitas, peralatan proteksi radiasi, pemeriksaan kesehatan, penyimpanan

dokumen, dan jaminan kualitas, serta pendidikan dan pelatihan.

Bagian Kedua

Organisasi Proteksi Radiasi

Pasal 8

Pengusaha instalasi harus memiliki organisasi proteksi radiasi yang

sekurang-kurangnya terdiri atas unsur pengusaha instalasi, petugas proteksi radiasi

dan pekerja radiasi.

Pasal 9

1. Setiap pengusaha instalasi yang memanfaatkan tenaga nuklir harus

mempunyai sekurang – kurangnya 1 (satu) orang petugas proteksi radiasi.

2. Pengusaha instalasi wajib menunjuk orang lain atau dirinya sendiri sebagai

petugas proteksi radiasi.

3. Persyaratan petugas proteksi radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Bagian Ketiga

Pemantauan Dosis Radiasi dan Radioaktivitas

Pasal 10

1. Pengusaha instalasi harus mewajibkan setiap pekerja radiasi untuk memakai

peralatan pemantau dosis perorangan, sesuai dengan jenis instalasi dan

sumber radiasi yang digunakan.

16

2. Peralatan pemantau dosis perorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus diolah dan dibaca oleh instansi atau badan yang telah terakreditasi dan

ditunjuk oleh Badan Pengawas.

3. Persyaratan untuk dapat ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 11

1. Hasil pengolahan dan pembacaan peralatan pemantau dosis perorangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) harus disampaikan kepada

pengusaha instalasi dan Badan Pengawas.

2. Pengusaha instalasi harus mengevaluasi hasil pemantauan dosis perorangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

3. Apabila dari hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdapat

dosis berlebih, pengusaha instalasi harus melaksanakan tindak lanjut.

4. Badan Pengawas dapat melakukan pemeriksaan apabila dari hasil evaluasi

terdapat dosis berlebih.

Pasal 12

1. Pengusaha instalasi bertanggung jawab atas pelaksanaan pencatatan dosis

radiasi yang diterima oleh setiap pekerja radiasi.

2. Pencatatan dosis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

petugas proteksi radiasi.

3. Setiap pekerja radiasi berhak mengetahui catatan dosis selama bekerja.

4. Catatan dosis radiasi harus dapat ditunjukkan sewaktu-waktu apabila

diminta oleh Badan Pengawas.

17

Pasal 13

1. Pengusaha instalasi harus memberikan salinan catatan dosis kepada pekerja

radiasi yang akan memutuskan hubungan kerja.

2. Apabila pekerja radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pindah

bekerja ke instalasi lain yang memanfaatkan tenaga nuklir harus

menyerahkan salinan catatan dosis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

kepada pengusaha instalasi yang baru.

Pasal 14

1. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauan daerah kerja secara terus

menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu berdasarkan jenis instalasi dan

sumber radiasi yang digunakan.

2. Pengusaha instalasi harus mencatat dan mendokumentasikan hasil

pemantauan daerah kerja.

3. Pemantauan daerah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 15

1. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauan tingkat radioaktivitas

buangan zat radioaktif ke lingkungan hidup, secara terus menerus, berkala,

dan atau sewaktu-waktu.

2. Buangan zat radioaktif ke lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) tidak boleh melebihi nilai batas radioaktivitas yang diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

3. Pengusaha instalasi harus mencatat dan mendokumentasikan hasil

pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

18

Pasal 16

1. Apabila pengusaha instalasi tidak mempunyai kemampuan melakukan

pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), pengusaha

instalasi dapat menunjuk instansi atau badan lain yang telah terakreditasi dan

ditunjuk oleh Badan Pengawas.

2. Persyaratan untuk dapat ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 17

Pengusaha instalasi harus dapat menunjukkan catatan dan dokumentasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) sewaktu-waktu apabila diminta oleh

Badan Pengawas.

Bagian Keempat

Peralatan Proteksi Radiasi

Pasal 18

Pengusaha instalasi harus menyediakan dan mengusahakan peralatan

proteksi radiasi, pemantau dosis perorangan, pemantau daerah kerja dan pemantau

lingkungan hidup, yang dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan jenis sumber

radiasi yang digunakan.

Bagian Kelima

Pemeriksaan Kesehatan

Pasal 19

1. Setiap orang yang akan bekerja sebagai pekerja radiasi harus sehat jasmani

dan rohani serta serendah-rendahnya berusia 18 (delapan belas) tahun.

19

2. Pengusaha instalasi harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan awal

secara teliti dan menyeluruh, untuk setiap orang yang akan bekerja sebagai

pekerja radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan

oleh dokter yang ditunjuk pengusaha instalasi dan disetujui oleh instansi

yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, rumah sakit umum, atau Badan

Pelaksana.

4. Jenis pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas setelah

berkonsultasi dengan instansi yang berwenang dalam bidang kesehatan.

Pasal 20

1. Pengusaha instalasi harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan bagi

setiap pekerja radiasi secara berkala selama bekerja sekurang-kurangnya

sekali dalam 1 (satu) tahun.

2. Apabila dipandang perlu pengusaha instalasi dapat melakukan pemeriksaan

khusus.

Pasal 21

1. Pengusaha instalasi harus memeriksakan kesehatan pekerja radiasi yang

akan memutuskan hubungan kerja secara teliti dan menyeluruh kepada

dokter yang ditunjuk oleh pengusaha instalasi dan disetujui oleh instansi

yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, rumah sakit umum, atau Badan

Pelaksana.

2. Hasil pemeriksaan kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

harus diberikan kepada pekerja radiasi yang bersangkutan.

20

Pasal 22

Pengusaha instalasi narus melaksanakan pencatatan hasil pemeriksaan

kesehatan setiap pekerja radiasi dalam kartu kesehatan dan menyimpan kartu

tersebut di bawah pengawasan dokter atau petugas lain yang ditunjuk oleh

pengusaha instalasi.

Pasal 23

Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus

menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan bagi pekerja radiasi yang diduga

menerima paparan radiasi berlebih.

Pasal 24

Biaya pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2),

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23 adalah tanggung jawab pengusaha instalasi yang

bersangkutan.

Bagian Keenam

Penyimpanan Dokumentasi

Pasal 25

Pengusaha instalasi harus tetap menyimpan dokumentasi yang memuat

catatan dosis, hasil pemantauan daerah kerja, hasil pemantauan lingkungan dan

kartu kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15

dan Pasal 22 selama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak pekerja radiasi berhenti

bekerja.

21

Bagian Ketujuh

Jaminan Kualitas

Pasal 26

1. Pengusaha instalasi harus membuat program jaminan kualitas bagi instalasi

yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi untuk kegiatan

perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan perawatan instalasi, serta

pengelolaan limbah radioaktif.

2. Program jaminan kualitas yang telah dibuat oleh pengusaha instalasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selanjutnya disampaikan kepada

Badan Pengawas untuk disetujui.

3. Program jaminan kualitas yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) harus dilaksanakan oleh pengusaha instalasi.

Pasal 27

Badan Pengawas melakukan inspeksi dan audit selama pelaksanaan program

jaminan kualitas untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya.

Pasal 28

Ketentuan dan pedoman pembuatan program jaminan kualitas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Kepala Badan Pengawas.

Bagian Kedelapan

Pendidikan dan Pelatihan

Pasal 29

1. Setiap pekerja radiasi harus memperoleh pendidikan dan pelatihan tentang

keselamatan dan kesehatan kerja terhadap radiasi.

22

2. Pengusaha instalasi bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan dan

pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

3. Pedoman pendidikan dan pelatihan bagi pekerja radiasi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan

Pengawas.

BAB V KALIBRASI

Pasal 30

1. Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasikan alat ukur radiasi secara berkala

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.

2. Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi keluaran radiasi (output) peralatan

radioterapi secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali .

3. Kalibrasi alat ukur radiasi dan atau peralatan radioterapi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh instansi

yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Pengawas.

Pasal 31

Ketentuan tentang Kalibrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

BAB VI PENANGGULANGAN KECELAKAAN RADIASI

Pasal 32

Pengusaha instalasi harus melakukan upaya pencegahan terjadinya

kecelakaan radiasi.

23

Pasal 33

1. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus melakukan

upaya

2. penanggulangan.

3. Dalam upaya penanggulangan kecelakaan radiasi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) keselamatan manusia harus diutamakan.

4. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus segera

melaporkan terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulangannya

kepada Badan Pengawas dan instansi terkait lainnya.

Pasal 34

1. Pengusaha instalasi yang mempunyai instalasi dengan potensi dampak

radiologi tinggi harus memiliki Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat

untuk mengatasi potensi bahaya dari kecelakaan radiasi yang mungkin

terjadi selama pengoperasian instalasi tersebut.

2. Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dibuat oleh pengusaha instalasi, sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Jenis/klasifikasi kecelakaan yang mungkin terjadi pada instalasi;

b. Upaya penanggulangan terhadap jenis/klasifikasi kecelakaan

tersebut;

c. Organisasi penanggulangan keadaan darurat;

d. Prosedur penanggulangan keadaan darurat;

e. Peralatan penanggulangan yang harus disediakan dan

perawatannya;

f. Personil penanggulangan keadaan darurat;

g. Latihan penanggulangan keadaan, darurat;

24

h. Sistem komunikasi dengan pihak lain yang terkait dalam

penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 35

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

BAB VII SANKSI ADMINISTRRATIF

Pasal 36

1. Badan Pengawas dapat memberikan peringatan tertulis kepada pengusaha

instalasi yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1),

Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasa1 15,

Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal

22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal

32, Pasal 33, dan Pasal 34 dalam Peraturan Pemerintah ini.

2. Jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

adalah 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkan peringatan, dan dapat

diperpanjang selama 2 (dua) kali apabila dianggap perlu.

3. Apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap tidak

diindahkan, Badan Pengawas dapat menghentikan sementara pengoperasian

instalasi selama 30 (tiga puluh) hari sejak perintah penghentian sementara

dikeluarkan.

4. Apabila Pengusaha instalasi yang dihentikan sementara pengoperasian

instalasinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tetap tidak

25

mengindahkan peringatan, izin pemanfaatan tenaga nuklir dapat dicabut oleh

Badan Pengawas.

Pasal 37

1. Pengusaha instalasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36 ayat (1) yang dapat menimbulkan bahaya bagi pekerja, masyarakat,

dan lingkungan dapat langsung diberikan Peringatan tertulis disertai

penghentian sementara pengoperasian instalasinya oleh Badan Pengawas.

2. Apabila pengusaha instalasi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari tidak mengindahkan peringatan, izin pemanfaatan tenaga nuklir dapat

dicabut oleh Badan Pengawas.

Pasal 38

Badan Pengawas dapat langsung mencabut izin pemanfaatan tenaga nuklir

apabila Pengusaha Instalasi yang karena kelalaiannya menimbulkan kecelakaan

radiasi setelah diadakan penilaian oleh Badan Pengawas.

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan

pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan

Kerja Terhadap Radiasi yang berhubungan dengan keselamatan kerja terhadap

radiasi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah ini.

26

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah

Nomor 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi dinyatakan

tidak berlaku.

Pasal 41

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

27

3.2. Hubungan PP RI no. 63 tahun 2000 dengan SK no.

1250/MENKES/SK/XII/2009

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2000

mengenai keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion telah

jelas dipaparkan hal – hal penting yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh pengusaha

dan pekerja radiasi. meliputi batas dosis radiasi yang diperoleh, system manajemen

keselamatan radiasi, ketentuan kalibrasi peralatan radiologi dan sebagainya.

Hubungan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2000

dengan SK no. 1250/MENKES/SK/XII/2009 adalah kesehatan dan keselamatan kerja

bagi para pekerja radiasi sangatlah penting, mengetahui bahwa bahaya dari radiasi

tersebut sangatlah besar. Bahaya radiasi tidak hanya terjadi akibat Human Error,

tetapi kerusakan alat dapat juga menjadi penyebab terjadinya kecelakaan kerja.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1250/Menkes/SK/XII/2009 mengatur mengenai kendali mutu peralatan

radiodiagnostik yang menjabarkan mengenai kegiatan kendali mutu pada pesawat

sinar-x, peralatan perlengkapan radiografi seperti film dan kaset serta kegiatan-

kegiatan kendali mutu lainnya pada setiap aspek pada bidang radiologi. Hal ini sangat

berhubungan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun

2000 yang membahas tentang keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan

radiasi pengion.

Dengan kata lain selain pemantauan dosis paparan radiasi terhadap pekerja,

quality control yang dilakukan pada alat – alat dan sumber radiasi juga sangat penting

dilakukan berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja agar para pekerja

radiasi dapat terhindar dari bahaya radiasi.

28

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Jadi dengan terlaksananya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1250/Menkes/SK/XII/2009 tentang pedoman kendali mutu (Quality Control)

peralatan radiodiagnostik, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63

Tahun 2000 akan terlaksana pula dengan baik.

4.2. Saran

Bagi radiografer sebaiknya dalam bekerja harus selalu berpedoman pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan jaminan mutu dan

legal aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk menghindari terjadinya

kecelakaan pada saat bekerja sehingga tercipta keselamatan dan kesehatan kerja yang

optimal serta meningkatnya mutu pelayanan radiodiagnostik.

29

DAFTAR PUSTAKA

Suma’mur. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. PT Toko Gunung

Agung.1989

http://www.hukor.depkes.go.id/