hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi rumah ... · sosial dengan kesejahteraan ekonomi...

101
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI NURUL FAUZIAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Upload: truongnga

Post on 08-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

NURUL FAUZIAH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Modal

Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Nurul Fauziah

NIM I34110094

ii

iii

ABSTRAK

NURUL FAUZIAH. Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi

Rumah Tangga Petani. Dibimbing oleh Dr SOFYAN SJAF, MSi

Moda produksi yang pemerintah fokuskan dalam meningkatkan kesejahteraan

petani tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan.

Berbagai modal sosial yang ada di masyarakat disinyalir mampu memberikan

kontribusi kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Tipologi modal sosial yang

berada pada masyarakat yaitu bounding, bridging dan linking dapat ditentukan

melalui tingginya tingkat unsur-unsur modal sosial. Kesejahteraan dapat dilihat

melalui dua pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan

objektif dan (2) kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif. Tujuan dari

penelitian ini adalah: (1) menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial

dengan kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani, (2) menganalisis

tingkat modal sosial rumah tangga petani, (3) menganalisis hubungan tipe modal

sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dan (4)

menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif

rumah tangga petani. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kuantitatif

melalui pendekatan survei. Teknik penentuan sampel dalam rancangan penelitian

ini adalah teknik simple random sampling. Pengolahan data menggunakan uji

statistik Rank Spearman untuk melihat hubungan variabel. Hasil penelitian yang

diperoleh menunjukkan bahwa tingkat modal sosial berada pada kategori sedang.

Hasil uji statistik menunjukkan tipe modal sosial yang berhubungan dengan

kesejahteraan objektif adalah social bounding dan social bridging, sedangkan tipe

modal sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan subjektif adalah social

bridging. Selain itu hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara modal sosial rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi

objektif dan subjektif.

Kata kunci: modal sosial, kesejahteraan, petani

ABSTRACT

NURUL FAUZIAH. The Correlation of Social Capital in Economic Welfare of

Farmer Households. Supervised by Dr SOFYAN SJAF, MSi

Mode of production that government focusing for improve the farmers welfare

still can not make the farmers freed from the shackles the poverty. Various social

capital in the community was allegedly able to contribute to the economic welfare

of society. Typology of social capital in communities are bounding, bridging and

linking can be determined by the high levels of the elements of social capital.

Welfare can be measured through two approaches, namely: (1) welfare that

measured by an objective approach and (2) welfare that measured by subjective

approach. The aim of this study are: (1) analyzing the correlation of social capital

with the objective and subjective welfare of farm households, (2) analyzing the

iv

level social capital stock of farmers household, (3) analyzing the correlation

between the type of social capital with the objective and subjective economic

welfare of farmers households. This study conducted by quantitative survey

approach with simple random sampling technique. Data processing used the

Rank-Spearman test to see the correlation of variables. The results obtained

showed that level of social capital stock on the middle category. Based on the

statistical test results showed the typology of social capital that have correlation

with objective ecomic walfare are social bounding and social bridging meanwhile

the typologi of social capital that have correlation with subjective econimic

walfare is social bridging. There was a correlation between social capital of

farmers household with objective and subjecetive economic welfare.

Key word: social capital, welfare, farmers

v

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

NURUL FAUZIAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

vi

vii

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf, MSi

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi

Rumah Tangga Petani

Nama : Nurul Fauziah

NIM : I34110094

viii

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang

telah melimpahkan segenap nikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis mampu

menyusun skripsi yang berjudul “Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan

Ekonomi Rumah Tangga Petani”. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat

kelulusan pada Program Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah

memberikan dukungan dan kontribusi selama proses pembuatan proposal skripsi.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Sofyan Sjaf, MSi selaku

dosen pembimbing yang telah membimbing, mendukung dan memberikan

masukan selama proses penyusunan skripsi. Selanjutnya penulis sampaikan rasa

hormat dan terima kasih kepada Bapak Hendro Sulistiyono dan Ibu Siti Khodijah

serta keluarga yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada

penulis. Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada donatur

beasiswa Angkatan 16 Sosek IPB yang telah memberi dukungan dan materi

selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada seluruh teman-teman

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dan teman-teman

dalam lingkup Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan kepada

penulis. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih dalam

perkembangan ilmu pengetahuan

Bogor, Juli 2015

Nurul Fauziah

x

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 15

Definisi Operasional 15

PENDEKATAN LAPANGAN 21

Metode Penelitian 21

Lokasi dan Waktu 21

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 21

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 22

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25

Kondisi Geografi dan Demografi 25

Kondisi Sosial dan Ekonomi 27

Karakteristik Responden 32

ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI 35

Kondisi Sosial Bounding Rumah Tangga Petani 35

Kondisi Social Bridging Rumah Tangga Petani 39

Kondisi Social Linking Rumah Tangga Petani 44

KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI 49

xii

Kesejahteraan Ekonomi Objektif 49

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif 53

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

57

Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif

dan Subjektif Rumah Tangga Petani

57

Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi

Objektif dan Subjektif Rumah Tangga Petani

62

SIMPULAN DAN SARAN 67

Simpulan 67

Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 71

RIWAYAT HIDUP 83

xiii

DAFTAR TABEL

1 Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial 6

2 Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal

sosial

10

3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok

umur dan jenis kelamin

27

4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat

pendidikan

28

5 Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014 29

6 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan

pertanian

30

7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan 32

8 Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian

lain selain petani

33

9 Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan 36

10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat ketaatan pada

norma sosial

37

11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social

bounding

38

12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan 40

13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas 41

14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi

dalam organisasi

42

15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging 43

16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan 44

17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan 46

18 Tabel jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking 47

19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesejahteraan ekonomi

objektif

50

20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian

50

xiv

21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah

tangga petani

52

22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas 52

23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi

Subjektif

53

24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan

ekonomi objektif

57

25 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi subejktif rumah tangga petani

59

26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat

pengeluaran rumah tangga

61

27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi obejktif rumah tangga petani

62

28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan

tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa

Krasak

63

29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani

65

30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan

tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa

Krasak

65

xv

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerangka pemikiran rancangan penelitian 13

2 Kalender musim pertanian Desa Krasak 25

1 Jadwal pelaksanaan penelitian 73

2 Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah 73

3 Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik 74

4 Dokumentasi 77

5 Tulisan tematik 78

6 Daftar nama responden 81

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah rumah tangga petani yang

besar. Pada tahun 2003 jumlah rumah tangga petani Indonesia mencapai 31 juta

rumah tangga, namun pada tahun 2013 terdapat 26 juta rumah tangga petani (BPS

2013). Penurunan angka kurang lebih sebesar lima juta rumah tangga petani

selama satu dekade tersebut dikarenakan berbagai banyak hal. Penyebab

penurunan tersebut salah satunya adalah karena petani maupun buruh tani

mengalami kemunduran kesejahteraan ekonomi, sehingga petani dan buruh tani

beralih mata pencaharian ke sektor lainnya. Hal tersebut juga dipicu dengan tidak

adanya jaminan kesejahteraan bagi petani Indonesia yang didukung dengan

kebijakan. Hampir semua kebijakan pertanian di Indonesia berpegang pada

peningkatan manfaat moda produksi. Moda produksi yang pemerintah pentingkan

tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan.

Data jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 adalah 22.71

persen dari total penduduk. Kemudian dari 22.71 persen total penduduk tersebut,

sebesar 14.32 persen adalah penduduk miskin di wilayah pedesaan Indonesia

(BPS 2013). Sekitar 56 persen dari total penduduk miskin Indonesia

menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian atau bekerja sebagai petani di

wilayah pedesaan. Diketahui pula bahwa dari seluruh penduduk miskin pedesaan

ini ternyata 90 persen telah bekerja dan sebagian besar petani (BPS 2013). Hal ini

memiliki arti bahwa masyarakat miskin di wilayah pedesaan yang sebagian besar

adalah petani telah bekerja keras namun tetap belum sejahtera.

Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan

dan Pemberdayaan Petani. Undang-Undang tersebut menimbang bahwa peraturan

perundang-undangan yang berlaku saat ini belum mengatur perlindungan dan

pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan holistik. Implementasi

UU Nomor 19 Tahun 2013 berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk

melindungi kepentingan petani, antara lain pengaturan impor komoditas pertanian

sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi di dalam negeri,

penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat waktu, tepat mutu, dan harga

terjangkau bagi petani, serta subsidi sarana produksi, kemudian penetapan tarif

bea masuk komoditas pertanian, serta penetapan tempat pemasukan komoditas

pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean.

Undang-Undang tersebut menetapkan kebijakan dalam hal sosial yaitu

masyarakat petani mendapatkan pemberdayaan mengenai kelembagaan, namun

kelembagaan tersebut didominasi oleh kelembagaan formal berisi tata aturan yang

mengikat. Sehingga terdapat kendala yang dirasakan petani untuk dapat

memanfaatkannya secara maksimal. Kelembagaan tersebut diantaranya adalah

pemberdayaan dalam kelembagaan kelompok tani. Semua kelompok masyarakat

di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang

kondusif dan dapat menunjang pembangunan. Persoalannya selama ini potensi-

potensi tersebut kurang mendapat tempat karena adanya anggapan potensi-potensi

tersebut tidak relevan dengan zaman dan tidak dapat digunakan untuk peningkatan

2

taraf hidup manusia. Akibatnya selain tidak banyak dipahami juga tidak diikut

sertakan dalam proses pembangunan itu sendiri. Terdapat penyeragaman modal

yang bersifat materi. Modal tersebut selalu diutamakan sehingga berakibat

kurangnya perhatian terhadap potensi-potensi lokal.

Salah satu ahli yang berfokus pada peranan modal sosial di masyarakat

adalah Putnam. Putnam (1995) dalam Pranadji (2006) menyatakan bahwa bangsa

yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam

menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan

kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu

tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan

masyarakat. Putnam et al. (1993) dalam Field (2010)menyatakan modal sosial

adalah penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma (atau hal

timbal balik), dan jaringan (dari ikatan-ikatan masyarakat). Penampilan organisasi

sosial tersebut dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi

adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.

Masalah Penelitian

Berbagai modal sosial yang ada di pedesaan disinyalir mampu memberikan

kontribusi bagi masyarakat pedesaan. Hal tersebut diketahui melalui berbagai

hasil penelitian yang ditelaah. Peran modal sosial dalam pencapaian kesejahteraan

seharusnya bukan hanya merupakan kegiatan rutinitas bagi masyarakat, namun

juga harus mampu menampung berbagai permasalahan dan melakukan

pemecahan masalah secara kolektif. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

pedesaan melalui optimalisasi modal sosial harusnya didukung dengan kebijakan

pemerintah yang tidak hanya fokus terhadap penyedian moda produksi. Modal

sosial dapat berupa sumber daya yang telah ada di masyarakat dan dapat

dimanfaatkan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Atas dasar uraian realitas

tersebut maka menarik untuk menelaah konsep modal sosial dengan mengaitkan

pada kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji seberapa kuat

hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif

rumah tangga petani?

Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam

Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli.

Adapun tipe dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial

yang mengikat (social bounding): tingkat kepercayaan dan nilai sosial, (2) tipe

modal sosial yang menjembatani (social bridging): jaringan, solidaritas, dan

tingkat partisipasi pada kelembagaan, (3) tipe modal sosial yang menghubungkan

(social linking): kebergantungan terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan.

Berdasarkan analisis yang mempertanyakan peranan modal sosial dalam

kesejahteraan keluarga dapat diidentifikasi bahwa unsur modal sosial terdiri dari:

tingkat kepercayaan, nilai sosial, perasaan senasib, jaringan, solidaritas, tingkat

partisipasi, kebergantungan terhadap komunitas lain, dan tingkat kepentingan.

Sedangkan aspek kesejahteraan digolongkan dalam pendekatan kesejahteraan

objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif dapat digolongkan

dalam beberapa indikator survei yang baku yaitu pengeluaran untuk kebutuhan

3

pangan, non pangan dan investasi. Kemudian kesejahteraan subjektif dapat diukur

dengan indikator kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan

investasi. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan dengan fokus

penelitian yaitu: (1) bagaimana tingkat modal sosial yang ada pada rumah tangga

petani? (2) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan

ekonomi rumah tangga petani? dan (3) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial

dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dirumuskan tujuan umum

penelitian ini yaitu menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial dengan

kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani. Adapun tujuan yang

lebih spesifik lainnya adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis tingkat modal sosial rumah tangga petani;

2. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi

objektif rumah tangga petani; dan

3. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi

subjektif rumah tangga petani.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai

pihak, yaitu:

1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

tambahan pengetahuan mengenai modal sosial yang ada dalam komunitas

petani dan kesejahteraan yang dimiliki komunitas petani. Selain itu penelitian

ini diharapkan mampu menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian

selanjutnya mengenai modal sosial komunitas petani dimasa mendatang

sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat

sebagai pertimbangan implementasi kebijakan.

2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai penguatan modal

sosial sehingga dapat membuat kebijakan yang tidak hanya berfokus pada

pemanfaatan moda produksi.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

serta kesadaran kritis tentang modal sosial sebagai komponen penting untuk

pembangunan Indonesia terutama dalam segi pertanian.

4

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Modal Sosial

Modal sosial menekankan pada potensi kelompok dan pola hubungan antar

individu dalam suatu kelompok. Modal sosial merupakan sumber daya yang

dimiliki masyarakat yang berkaitan dengan interaksi di kehidupan sehari-hari

yang tersedia di komunitas. Perkembangan konsep modal sosial bervariasi

menurut berbagai ahli. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) dalam Field

(2010), modal sosial adalah jumlah sumber daya aktual atau maya yang

berkumpul pada seseorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan

tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit

banyak terinstitusionalisasikan. Field (2010) mengemukakan bahwa teori modal

sosial Bourdieu (1992) secara jelas melihat modal sosial sebagai hak milik

eksklusif elite (berupa aset) yang didesain untuk mengamankan posisi elite

tersebut. Jika modal sosial Bourdieu menitik beratkan sebagai aset individu dan

modal sosial merupakan hasil, maka Coleman (1994) dalam Field (2010)

mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada

hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna pada

perkembangan kognitif atau sosial anak atau idividu. Pernyataan tersebut lebih

sarat akan makna karena di dalamnya ia menggambarkan nilai hubungan bagi

semua aktor, individu, dan kolektif baik yang berkedudukan istimewa maupun

yang kedudukannya tidak menguntungkan. Coleman (1994) dalam Field (2010)

melihat modal sosial sebagai sumber daya karena dapat memberi kontribusi

terhadap kesejahteraan individu.

Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial

adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang

mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai

tujuan bersama. Kemudian Field (2010) memaparkan pembahasan Putnam (1996)

selanjutnya, gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan memiliki

nilai kemudian kontak sosial akan memengaruhi produktivitas individu dan

kelompok. Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (1995) yang dikutip oleh

Cahyono dan Adhiatma (2012) bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai

atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu

kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Fukuyama

(1995) dalam Inayah (2012) menyatakan modal sosial timbul dari adanya

kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Dari definisi tersebut dapat dilihat

Fukuyama perpendapat bahwa modal sosial termasuk dalam budaya dan

kepercayaan. Berikut merupakan batasan definisi modal sosial menurut beberapa

ahli.

6

Tabel 1 Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial Ahli Definisi Peranan Lingkup Analisis

Bourdieu (1992) Hasil dari hubungan

timbal balik

perkenalan dan

pengakuan individu

maupun kelompok

Sebagai aset elite

untuk menjamin

tercapainya modal

ekonomi

Individu dalam

kelompok

Coleman (1994) Sumber daya yang

melekat pada

hubungan keluarga

dan dalam

organisasi sosial

komunitas

Untuk menjamin

tercapainya

kesejahteraan

keluarga/komunitas

Melihat hubungan

seluruh aktor.

Aktor atau individu

dalam keluarga dan

masyarakat

Putnam (1996) Jaringan,

kepercayaan dan

norma merupakan

aset/fasilitas untuk

mencapai tujuan

bersama

Untuk menjamin

tercapainya

kesejahteraan

ekonomi

Masyarakat luas

Fukuyama (1995) Nilai-nilai atau

norma-norma

informal yang

dimiliki bersama

yang

memungkinkan

terjalinnya

kerjasama

Untuk menjamin

tercapainya

kesejahteraan sesuai

dengan nilai-nilai

kelompok/komunitas

Komunitas.

Masyarakat.

Sumber: Bourdieau (1992); Coleman (1994); Putnam (1995) dalam Field (2010),

Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012)

Berbagai definisi di atas dapat diketahui modal sosial memiliki perbedaan

peranan maupun lingkup analisis sesuai dengan argumentasi ahli. Untuk studi

dalam suatu komunitas maka dapat dirumuskan kembali definisi dari modal sosial.

Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu

komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan

emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-

norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan

kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Kepercayaan akan membuat individu

mau untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, demikian juga terhadap jaringan.

Menurut beberapa hasil penelitian yang telah ditelaah, penggunaan definisi modal

sosial oleh Putnam lebih banyak digunakan karena Putnam mengkaji modal sosial

dalam ruang lingkup yang lebih luas.

Unsur dan Pengukuran Modal Sosial

Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012) mengetengahkan enam unsur pokok

dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, yaitu: (1)

participation in a network: kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri

dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang

saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary),

7

kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility), (2)

reciprocity: kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu

kelompok atau antar kelompok itu sendiri tanpa mengharapkan imbalan, (3) trust:

suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan

sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan

sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola

tindakan yang saling mendukung, (4) social norms: sekumpulan aturan yang

diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial

tertentu, (5) values: sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan

penting oleh anggota kelompok masyarakat, dan (6) proactive action: keinginan

yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa

mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan

masyarakat.

Berbagai unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah tersebut

memiliki kesamaan pula dengan unsur-unsur modal sosial yang dikaji oleh

beberapa penulis lain. Unsur modal sosial tersebut diukur dan dianalisis dalam

suatu masyarakat untuk mengungkap karakteristik modal sosial yang terdapat

pada masyarakat. Unsur tersebut diukur tingkat kekuatannya sehingga dapat

simpulkan karakteristik masyarakat lebih kuat pada unsur tertentu. Selanjutnya

mengenai unsur jaringan (network) tidak akan berdampak pada kehidupan

masyarakat jika tidak disertai nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan

kepercayaan (trust) yang dimiliki individu terhadap individu lain maupun

kelompok. Sehingga unsur trust dapat disimpulkan unsur yang penting dalam

mengkaji modal sosial.

Pranadji (2006) mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial di pedesaan,

pengertian kepercayaan (trust) seharusnya tidak dilihat sekedar masalah

personalitas (psikologis) atau intrapersonal, melainkan mencakup juga aspek

ekstrapersonal dan intersubyektif (asosiasi tingkat dukuh, organisasi tingkat desa

dan sistem jaringan sosial hingga melintasi batas desa). Pada masyarakat yang

berpotensi cepat maju umumnya mampu mengembangkan jaringan kepercayaan

(mutual trust) yang relatif besar. Selanjutnya mengenai nilai yang melekat dalam

masyarakat, Pranadji (2006) melihat tata nilai yang ada dalam masyarakat melalui

empat elemen nilai komposit, yaitu:

1. Ditegakkannya sistem sosial di pedesaan yang berdaya saing tinggi

(produktif) namun berwajah humanistik tidak eksploitatif dan intimidatif

terhadap sesama manusia atau masyarakat;

2. Ditegakkannya sistem keadilan yang dilandaskan pada pemenuhan

kebutuhan dasar manusia (tidak imperialistik dan menegasi kehidupan

sosial);

3. Ditegakkannya sistem solidaritas yang dilandaskan pada hubungan saling

percaya (mutual trust) antar elemen pembentuk sistem masyarakat; dan

4. Dikembangkannya peluang untuk mewujudkan tingkat kemandirian dan

keberlanjutan kehidupan masyarakat yang relatif tinggi, yang merupakan

salah satu bagian terpenting keberadaan suatu masyarakat.

Pendapat Pranadji tersebut mendukung konsep Fukuyama (1995) dalam

Field (2010) bahwa kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial yaitu komunitas

tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul spontan.

Purnomo et al. (2007) mendukung pendapat Pranadji bahwa masyarakat lebih

8

memilih melakukan interaksi sosial dan memanfaatkan modal sosial asli yang

berupa nilai-nilai asli masyarakat daripada melakukan kebijakan sebagai modal

sosial “bentukan”. Selanjutnya kebutuhan yang dipenuhi dalam suasana

persaingan dan menegasikan solidaritas sosial dan etika moral yang terpuji dan

dikehendaki dalam tatanan budaya ekonomi lokal. Suandi (2005) mengungkapkan

unsur modal sosial yaitu solidaritas. Solidaritas adalah rasa mau saling mau

menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka

saling bergantung satu sama lain sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat

tercapai (Suandi 2005). Unsur selanjutnya yaitu jaringan sosial, menurut Kamarni

(2012) Analisa jaringan sosial adalah upaya memetakan dan mengukur

kesalinghubungan dan aliran antara orang, kelompok orang, maupun organisasi

dalam sebuah sistem sosial.

Jamasy (2006) dalam Pontoh (2010) memaparkan bahwa karakter sosial

budaya yang menjadi ciri atau karakter modal sosial di masyarakat diketahui

melalui pendekatan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Faktor internal mencakup: (1) pola

organisasi sosial dalam suatu komunitas yang mencakup kepercayaan lokal, pola

dan sistem produksi dan reproduksi serta politik lokal, dan (2) norma dan nilai-

nilai yang melekat dalam komunitas. Sedangkan faktor eksternal dapat dirangkum

dalam pengaruh agama, pendidikan serta sistem dan hubungan politik dan

pemerintahan dengan luar komunitas. Faktor-faktor internal dan eksternal akan

membentuk karakter dari modal sosial suatu masyarakat.

Coleman dalam Sumarti (2007) mengemukakan bahwa ahli ekonomi gagal

memperkenalkan relasi sosial dalam analisanya. Coleman memperkenalkan

sosiologi berbasis kepentingan, menurutnya modal sosial adalah cerminan sebagai

adanya relasi sosial yang dapat membantu individu ketika mencoba untuk

merealisasikan kepentingannya. Sumarti (2007) menelaah konsep kepentingan

dalam analisa sosial. Sumarti (2007) mengemukakan bahwa konsep kepentingan

Swedberg mirip dengan konsep Weber1 bahwa kepentingan mendorong tindakan

manusia yaitu elemen sosial menentukan ekspresi dan arah tindakan apa yang

akan diambil. Selanjutnya Swedberg (2003) dalam Sumarti (2007)

mengemukakan bahwa seluruh kepentingan menjadi elemen sosial dalam dua

cara: (1) menjadi bagian masyarakat dimana individu dilahirkan, dan (2) individu

mempertimbangkan aktor lain ketika mencoba merealisasikan kepentingan

mereka.

Keanggotaan individu dapat berupa keanggotaan dalam kelembagaan formal

maupun informal. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat nelayan sumatera utara

yang memiliki kebergantungan dengan tengkulak atau “toke” dan pemilik kapal.2

Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa modal sosial dimanfaatkan oleh

nelayan Sumatera Utara untuk memperoleh moda produksi yaitu memenuhi

kebergantungan terhadap kebutuhan penyewaan kapal.

1Weber mengemukakan konsep kepentingan dalam pendekatan sosiologi. 2 Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan Advokasi Untuk

Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran yang kian terlupakan: membedah persoalan

nelayan tradisional Sumatera Utara. Universitas Michigan. Diakses di:

https://books.google.co.id/books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id

9

Pengukuran modal sosial secara kritis adalah bergantung pada melekatnya

modal sosial dalam konteks tertentu (Pontoh 2010). Bagi komunitas bisnis

pengukuran modal sosial adalah untuk menelaah keuntungan dan kerugian. Bagi

komunitas pemerintahan maupun lembaga kebijakan pemerintahan, pengukuran

diukur untuk mengetahui suatu kebijakan (program maupun aturan) dapat

terlaksana dengan baik. Kemudian bagi peneliti sosial, pengukuran dilakukan

untuk mengetahui karakteristik hubungan sosial masyarakat. Pemaparan di atas

menunjukkan unsur-unsur modal sosial yang akan digunakan dalam penelitian.

Penelitian ini akan menggunakan unsur-unsur modal sosial: (1) kepercayaan, (2)

norma sosial, (3) partisipasi dalam kelembagaan, (4) jaringan, (5) solidaritas, (6)

kepentingan dengan pihak luar komunitas dan (7) kebergantungan dengan pihak

luar komunitas.

Tipologi Modal Sosial

Putnam (2000) dalam Field (2010) mengemukakan perbedaan antara dua

bentuk dasar modal sosial yaitu menjembatani (inklusif) dan mengikat (ekskusif).

Modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan individu dari beragam

ranah sosial. Hubungan-hubungan yang menjembatani tersebut berperan dalam

penyediaan aset-aset eksternal dan bagi penyebaran informasi. Kemudian bentuk

modal sosial yang mengikat adalah modal sosial yang cenderung mendorong

identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas suatu masyarakat. Bentuk

modal sosial ini dapat menjadi perekat terkuat sosiologi sehingga terbentuk

solidaritas yang kuat. Konsep tersebut telah banyak diterima oleh peneliti sosial

(Field 2010). Ahli lain yaitu Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan

tipe modal sosial menjadi tiga tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang

mengikat (social bounding), (2) modal sosial yang menjembatani (social

bridging), dan (3) modal sosial yang menghubungkan (social linking). Pada

penerapannya kedua jenis tipe hubungan modal sosial yang diungkapkan Putnam

dan Woolcock adalah membedakan modal sosial akan lebih berkembang di dalam

komunitas internal saja atau modal sosial akan lebih kuat apabila diterapkan pada

antar komunitas.

Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat

berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian

social bounding adalah tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang

kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga yang mempunyai hubungan

kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Hubungan kekerabatan

ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan, mewujudkan rasa

simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik

nilai kebudayaan yang mereka percaya. Norma-norma seperti nilai, kultur,

persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom) tercermin dalam kehidupan sehari-

hari. Selanjutnya Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa

social bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai

macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam

kelemahan yang ada didalamnya sehingga memutuskan untuk membangun

kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging menurut Woolcock

(2001) dalam Nuryadin (2009) yaitu lebih luas dari social bounding karena dapat

bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Social bridging

10

bisa dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara

(participation), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan dari social

bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu

menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya

manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Hasil penelitian yang dilakukan

Firdaus (2006) dalam Muspida (2007) menyimpulkan bahwa meluasnya jaringan

petani yang berorientasi pada nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian telah

mendorong terbentuknya modal sosial yang menjembatani (bridging social

caital), sehingga kohesifitas sosial petani tidak hanya di tingkat kelompok tani.

Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial

yang terakhir adalah social linking yaitu bisa berupa hubungan atau jaringan

sosial. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara

beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam

masyarakat. Selanjutnya menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) dalam

relasi sosial akan terdapat perbedaan kepentingan, dalam situasi relasi tersebut

dibutuhkan adanya social linking yang mampu mengatasi kepentingan-

kepentingan tersebut. Dari kepentingan yang dimiliki oleh komunitas pada luar

komunitas, terdapat rasa kebergantungan pada luar komonitas. Contohnya dapat

digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni hubungan antara nelayan

Suku Bajo dengan lembaga perbankan, pemilik modal atau pemerintah yang

dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan

memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional.

Berdasarkan tipologi modal sosial Woolcock (2001) dalam Nuryadin

(2009); Field (2010) dapat diidentifikasi unsur-unsur modal sosial berdasakan

tipologi modal sosial. Berikut tabel identifikasi unsur-unsur modal sosial

berdasakan tipologi modal sosial.

Tabel 2 Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal sosial

Unsur modal sosial Tipologi modal sosial

Social bounding Social bridging Social linking

Kepercayaan √

Norma sosial √

Kuatnya Jaringan √

Solidaritas √

Tingkat partisipasi √

Kebergantungan terhadap

komunitas lain √

Tingkat kepentingan √

Sumber: Putnam (1995) dalam Field (2010); Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009),

Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012), Suandi (2007), Pontoh (2010),

Swedberg dalam Sumarti (2007), Nuryadi (2009), Firdaus (2006) dalam

Muspida (2007)

11

Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam

Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli

yaitu: Putnam, Fukuyama, Suandi, Pontoh, Nuryadin dan Firdaus. Tabel 2

menunjukkan bahwa tipe modal sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya

adalah: (1) tipe modal sosial yang mengikat (social bounding): tingkat

kepercayaan, norma sosial, (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social

bridging): kuatnya jaringan, solidaritas, dan tingkat partisipasi pada kelembagaan,

(3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking): kebergantungan

terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan.

Konsep Kesejahteraan

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan

kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu

tertentu (Suandi 2007). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki

bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap

kesejahteraan itu sendiri. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan

kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika

dilihat dari suatu aspek tertentu.

Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis

tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain: kesejahteraan finansial,

status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain lain. Santamarina et al.

(2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan tingkat ketergantungan

dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat

dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1) subsistem sosial dengan

faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan dinamika penduduk, kekuatan

sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan faktornya yaitu: konsumsi, hak

pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan aktifitas ekonomi. Kemudian

Suandi (2007) mengemukakan bahwa kesejahteraan juga dapat dilihat melalui dua

pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif dan (2)

kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif.

Kesejahteraan Objektif

Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat

kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan

patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi

2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan

pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi

objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran

keluarga. Suandi menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud adalah

pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan

pokok dan lainnya. Dengan demikian, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk

kebutuhan pangan, non pangan dan investasi (dapat berupa biaya pendidikan).

Untuk mengukur kesejahteraan, BPS (2014) menggunakan indikator kondisi

sosial ekonomi masyarakat melalui SUSENAS tahun 2013. Pengukuran

kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dalam penelitian

menggunakan indikator SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014) yang

dipisahkan indikator ekonominya yaitu meliputi: (1) pengeluaran kebutuhan

12

pangan, (2) pengeluaran kebutuhan non pangan, (3) luas penguasaan lahan, dan

(4) keadaan tempat tinggal.

Pada penelitian Johan et al. (2013)3, kesejahteraan objektif keluarga diukur

dengan pengertian penduduk miskin menurut BPS (2011). Penduduk miskin (BPS

2011) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan

di bawah garis kemiskinan (GK). Penelitian tersebut menggunakan perkiraan GK

Kabupaten Indramayu tahun 2012 sebesar Rp 277.596,00 per kapita per bulan.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar keluarga nelayan yang

diteliti termasuk dalam kategori tidak miskin.

Kesejahteraan Subjektif

Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan

yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan.

Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan

bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik

dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap

antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian

Sumarti (1999) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah

wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok

manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Menurut

Suandi (2007) tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif dapat diukur dari tingkat

kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Pada peneltian

Johan et al. (2013), kesejahteraan subjektif keluarga nelayan diukur berdasarkan

tingkat kepuasan istri terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya.

Indikator dari variabel tersebut adalah kepemilikan kitab suci, keamanaan tempat

tinggal, hubungan antar anggota keluarga, pengalokasian waktu yang dibuat

keluarga, dan kepuasaan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan pokok. Studi

oleh Hayo dan Seifert (2003) dalam Suandi (2007) menunjukan bahwa

kesejahteraan ekonomi subjektif berkolerasi positif terhadap kepuasaan hidup

masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi

subjektif maka tingkat kepuasan hidup akan lebih tinggi.

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi dari berbagai literatur, sejauh

ini program pemerintah belum mengintegrasikan modal sosial asli yang dimiliki

masyarakat dengan kebijakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan pemerintah cenderung untuk membuat modal sosial bentukan. Modal

sosial bentukan tersebut dapat berupa kelembagaan yang sistematika peraturannya

menyulitkan masyarakat. Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013

tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Implementasi Undang-Undang

tersebut berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi

kepentingan petani. Peraturan tersebut lebih memfokuskan pada pengadaan moda

3Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan, Strategi Koping,

dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol, 6 No.1

13

produksi daripada penguatan modal sosial yang telah ada dimasyarakat. Semua

kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai

potensi-potensi sosial budaya yang dapat menunjang pembangunan. Salah satu

potensi sosial tersebut adalah modal sosial. Kajian modal sosial tersebut

dijabarkan dalam kerangka penelitian (Gambar 1).

X. Modal Sosial

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Keterangan

: Berhubungan

X1. SOCIAL BOUNDING

1. Tingkat kepercayaan individu

dalam lingkup komunitas

- Kesedian untuk bersosialisasi

- Kesedian melakukan saran

- Tingkat komitmen

2. Kuatnya norma sosial dalam

komunitas

- Frekuensi melaksanakan

norma adat

- Frekuensi melaksanakan

norma agama

- Frekuensi melaksanakan

norma sosial

X2. SOCIAL BRIDGING

1. Kuatnya jaringan sosial

- Tingkat kerjasama

- Tingkat keterbukaan informasi

- Kebermanfaatan organisasi

2. Tingkat solidaritas

- Tingkat solidary making

- Tingkat persatuan kelompok

- Kepekaan terhadap kemajuan

pertanian

3. Tingkat partisipasi

- Jumlah kelembagaan yang

diikuti

- Keaktifan dalam pertemuan

- Pengambilan keputusan

X3. SOCIAL LINKING

1. Tingkat kebergantungan pada

komunitas lain

- Akses moda produksi

- Pemasaran hasil pertanian

2. Tingkat kepentingan

- Pemanfaatan lembaga

peminjaman modal nonformal

- Pemanfaatan lembaga

peminjaman modal formal

- Pemanfaatan keberadaan

penyuluh pertanian

Y. KESEJAHTERAAN

RUMAH TANGGA

Y1. TINGKAT

KESEJAHTERAAN

OBJEKTIF

1. Luas penguasaan lahan

2. Keadaan tempat tinggal

3. Pengeluaran kebutuhan

pangan

4. Pengeluaran kebutuhan

non pangan

(SUSENAS 2013)

Y2. TINGKAT

KESEJAHTERAAN

SUBJEKTIF

1. Pemenuhan kebutuhan

pangan

2. Pemenuhan kebutuhan

non pangan

3. Pemenuhan kebutuhan

investasi SDM

14

Modal sosial menurut berbagai ahli dapat didefinisikan kembali dalam

lingkup komunitas sebagai sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam

suatu komunitas yang berperan untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai

tujuan bersama Variabel atau unsur modal sosial digolongkan berdasarkan

tipologi modal sosial menurut Woolcock (2001) dalam Field (2005). Tipe modal

sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial yang

mengikat (social bounding), (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social

bridging), dan (3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking).

Unsur modal sosial yang ada di dalam tipologi modal sosial adalah tingkat

kepercayaan, tingkat kepatuhan pada norma sosial, luasnya jaringan, tingkat

solidaritas, tingkat partisipasi dalam kelembagaan, kebergantungan pada

komunitas lain, dan tingkat kepentingan. Tingkat kepercayaan diukur dalam

bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap tindakan secara konsisten pada saat

terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok dalam komunitas. Tingkat

kepercayaan merupakan elemen tata nilai yang ada pada masyarakat yang melekat

dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi sumber daya sosial. Variabel

selanjutnya adalah kuatnya norma, masyarakat dapat dilihat derajat modal

sosialnya melalui kuatnya norma yang diterapkan

Variabel modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Setelah terdapat

kepercayaan antar individu maupun kelompok dalam bermasyarakat, maka akan

memungkinkan terdapat jaringan sosial yang eksistensinya mengalami

keberlanjutan. Selanjutnya variabel partisipasi individu pada kelembagaan atau

asosiasi penting bagi kelembagaan yang individu ikuti karena sangat menentukan

kemajuan dan peran kelembagaan. Partisipasi berkaitan dengan pemanfaatan

jaringan pada komunitas. Individu dapat memanfaatkan jaringan yang terjalin

antar individu, maupun individu dengan kelompok. Variabel yang akan diukur

dalam modal sosial lainnya adalah solidaritas. Kemudian terdapat variabel modal

sosial yang terakhir adalah kebergantungan. Kebergantungan yang dimaksud

adalah tingkat kebergantungan individu pada komunitas lain. Variabel ini akan

diukur dari penggunaan sumber daya dari luar komunitas dan pemanfaatan modal

dari luar komunitas

Selanjutnya karakteristik modal sosial yang dilihat berdasarkan variabel-

variabel tersebut akan dihubungkan dengan kesejahteraan ekonomi komunitas

petani dan dilihat tingkat seberapa kuatnya. Kesejahteraan ekonomi suatu

komunitas dapat dibedakan menjadi kesejahteraan objektif dan subjektif. Tinggi

rendahnya tingkat kesejahteraan objektif diukur dari tingkat kesejahteraan

ekonomi SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014). Kesejahteraan subjektif dapat

dilihat dalam keluarga mengenai tingkat kepuasan terhadap pemenuhan

kebutuhan. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan menurut persepsi

individu yang merasakan seberapa tinggi kesejahteraannya, bukan dari persepsi

orang lain. Tinggi rendahnya kesejahteraan subjektif dilihat pada tingkat kepuasan

pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi.

15

Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan hipotesis uji yang terdiri dari:

1. Terdapat hubungan signifikan positif antara modal sosial (X) dengan

kesejahteraan ekonomi objektif (Y1) dan subjektif (Y2) rumah tangga petani

2. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2,

X3) dengan kesejahteraan objektif (Y1) ekonomi rumah tangga petani.

3. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2,

X3) dengan kesejahteraan subjektif (Y2) ekonomi rumah tangga petani.

Definisi Operasional

Definisi operasional untuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu

komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan

emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-

norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi

dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Modal sosial dibedakan

bertasarkan hubungan pada masyarakat menjadi tiga tipe modal sosial:

1. Modal sosial yang mengikat (social bounding), ikatan yang kuat dalam

sistem sosial seperti halnya keluarga petani yang mempunyai hubungan

kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Pengukuran

variabel kuatnya social bounding diukur melalui:

1. Tingkat kepercayaan antar individu satu komunitas yaitu perasaan yakin

yang terbangun antara petani dengan orang lain yang berhubungan

dengan pertanian daerah setempat. Indikator yang digunakan yaitu:

a. Kesediaan untuk bersosialisasi adalah tingkat kemauan petani untuk

berinteraksi dengan kerabat petani lain.

b. Kesediaan melakukan saran adalah tingkat kemauan petani untuk

melakukan saran petani lain dalam komunitas.

c. Tingkat komitmen adalah sejauhmana petani mau menepati sesuatu

yang dijanjikan pada individu lain yang tercermin pada tindakan.

Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur

dengan skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu:

skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju: skor 5.

2. Tingkat kepatuhan norma sosial dalam komunitas adalah tingkat

kepatuhan petani terhadap tata aturan kelompok dan masyarakat, dapat

berupa nilai adat atau budaya lokal. Indikator yang digunakan yaitu:

a. Frekuensi melaksanakan norma adat adalah intensitas petani

melaksanakan ide adat yang dianggap benar dalam komunitas.

b. Frekuensi melakukan norma agama adalah intensitas petani

melaksanakan nilai agama yang dilakukan secara bersama dalam

komunitas.

16

c. Frekuensi melakukan norma sosial adalah intensitas petani

melaksanakan gotong royong dalam komunitas.

Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur

dengan skor : sangat jarang: skor 1; jarang: skor 2; sering: skor 3; dan

selalu : skor 4.

Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang mengikati

atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:

1. social bounding rendah: x ≤ �̅� –sd

2. social bounding sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

3. social bounding tinggi : x ≥ �̅� + sd

2. Modal sosial yang menjembatani (social bridging) adalah modal sosial yang

mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberapa petani, seperti teman

jauh dan rekan kerja. Tujuan dari tipe modal sosial ini adalah

mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas baik sumber daya

manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Pengukuran variabel kuatnya

social bounding diukur menggunakan unsur modal sosial dalam konteks

social bounding. Variabel yang di ukur adalah:

1. Kuatnya jaringan sosial adalah kuatnya saluran petani dalam keterlibatan

hubungan keluarga, persaudaraan teman dan rekan kerja dalam satu

komunitas. Indikator yang digunakan yaitu:

a. Tingkat kerjasama adalah usaha antara (perorangan) petani ataupun

kelompok sehingga mencapai tujuan dengan lebih cepat dan lebih baik

b. Tingkat keterbukaan informasi adalah sejauh mana petani menerima

informasi mengenai pertanian untuk mendukung kegiatan produksi

pertanian.

c. Kebermanfaatan organisasi yang diikuti adalah tingkat manfaat

perkumpulan yang ada berlandasakan persamaan tujuan, yang diikuti

petani dalam lingkup komunitas.

Kuatnya jaringan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak

setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju:

skor 5.

2. Tingkat solidaritas adalah sejauh mana rasa kebersamaan dalam suatu

komunitas yang menyangkut tentang kesetiakawanan antara individu

petani dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama. Indikator yang

digunakan yaitu:

a. Tingkat solidarty making adalah seberapa jauh keinginan petani untuk

membuat hubungan kekerabatan antar petani.

b. Tingkat persatuan kelompok tani adalah sejauh mana petani memiliki

rasa kebersamaan atau rasa senasib.

c. Kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani

memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa.

Tingkat solidaritas diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak

setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju:

skor 5.

3.Tingkat partisipasi dalam organisasi di lingkungan sekitar adalah

keikutsertaan petani dan keaktifan dalam organisasi sosial/kerja di

keseharian komunitas petani. Indikator yang digunakan yaitu:

17

a. Jumlah kelembagaan yang diikuti adalah banyaknya keanggotaan

petani dalam kelembagaan formal maupun informal.

b. Keaktifan dalam pertemuan adalah sejauh mana petani mengikuti

kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal.

c. Pengambilan keputusan adalah sejauh mana petani terlibat dalam

pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal maupun informal.

Tingkat partisipasi diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2,

(3):3, (4): 4.

Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang

menjembatani atau social bridging dikategorkan ke dalam tiga kategori

yaitu:

1. social bridging rendah: x ≤ �̅� –sd

2. social bridging sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

3. social bridging tinggi : x ≥ �̅� + sd

3. Modal sosial yang menghubungkan (social linking), yaitu modal sosial yang

menjangkau individu pada situasi berbeda seperti mereka yang sepenuhnya

ada di luar komunitas, hubungan ini bersifat vertikal yaitu dapat dilihat

dengan kelembagaan yang berpengaruh. Variabel yang di ukur adalah:

1. Tingkat kebergantungan terhadap komunitas luar desa adalah sejauh

mana petani mengandalkan komunitas luar desa untuk mendukung

kegiatan pertaniannya. Indikator yang digunakan yaitu:

a. Tingkat akses moda produksi adalah bagaimana petani mendapatkan

modal untuk usaha produksi pertaniannya.

b. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang dilakukan petani

untuk menjual produk pertaniannya.

Tingkat kebergantungan diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2,

(3):3, (4): 4

2. Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani yang

berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan

yang akan diambil oleh petani. Indikator yang digunakan yaitu:

a. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal non formal adalah sejauh

mana kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota

lembaga peminjaman non formal.

b. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal formal adalah sejauh mana

kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota lembaga

permodalan formal.

c. Pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian adalah sejauh mana

kecenderungan petani untuk memanfaatkan keberadaan penyuluh

pertanian.

Tingkat kepentingan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1;

tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; sangat setuju:

skor 5.

Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang

menghubungkan atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga

kategori yaitu:

1. social linkingrendah: x ≤ �̅� –sd

2.social linking sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

18

3.social linking tinggi : x ≥ �̅� + sd

Tingkat kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah konsep yang

digunakan untuk menyatakan kualitas hidup rumah tangga petani di suatu

wilayah pada kurun waktu tertentu. Kesejahteraan akan diukur dengan dua

pendekatan yakni: kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi

subjektif.

1. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang melihat kesejahteraan

rumah tangga petani diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu

menggunakan ukuran ekonomi. Variabelnya adalah:

1. Luas penguasaan lahan pertanian adalah besaran luas tanah produktif

yang dikuasai rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah:

a. Luas lahan rendah: x ≤ �̅� –sd

b. Luas lahan sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

c. Luas lahan tinggi : x ≥ �̅� + sd

2. Luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah rumah yang

dimiliki rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah:

a. Luas lahan rendah: x ≤ �̅� –sd

b. Luas lahan sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

c. Luas lahan tinggi : x ≥ �̅� + sd

3. Keadaan tempat tinggal atau rumah adalah karakteristik tempat tinggal

responden (petani) meliputi bahan atap, bilik, status tempat tinggal,

bahan lantai, luas lantai dan luas pekarangan rumah. Indikator dan

pengukurannya adalah:

a. Bilik : tembok (4), kayu (3), bambu (2), triplek (1)

b. Lantai : keramik (4), semen (3), kayu/bambu (2), tanah (1)

c. Atap : beton (4), genteng (3), asbes (2), seng (1)

d. Status : milik sendiri (4), sewa (3), dinas/bebas sewa (2),

menumpang(1)

e. Penerangan rumah: listrik PLN (4), generator (3), petromak (2), obor

(1)

f. Fasilitas rumah tangga: keberadaan fasilitas rumah tangga meliputi:

televisi, radio, kulkas, telepon/telepon seluler, tempat tidur, lemari,

sepeda, sepeda motor dan mobil. Jika ada skor 2, jika tidak ada skor 1.

4. Pengeluaran kebutuhan pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan atau

ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya

adalah:

a. Pengeluaran rendah: x ≤ �̅� –sd

b. Pengeluaran sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ �̅� + sd

5. Pengeluaran kebutuhan non pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan

atau ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya

adalah:

a. Pengeluaran rendah: x ≤ �̅� –sd

b. Pengeluaran sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ �̅� + sd

Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi objektif

dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:

19

1. rendah: x ≤ �̅� –sd

2. sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

3. tinggi: x ≥ �̅� + sd

2. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang dilihat secara personal

oleh petani yang diukur dalam bentuk kepuasan pemenuhan kebutuhan

pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan subjektif dilihat dari:

1. Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan adalah sejauh mana rumah

tangga petani merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan

kebutuhann pangannya. Indikatornya adalah:

a. Kepuasan frekuensi makan setiap hari

b. Kepuasan keragaman pangan yang dikonsumsi rumah tangga petani

Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan diukur melalui skor jawaban 1,

2, 3, 4 dan hingga 5. Skor jawaban 1 adalah untuk jawaban tingkatan

tidak puas dan berturut-turut hingga 5 untuk jawaban sangat puas.

2. Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan (sandang dan papan)

adalah sejauh mana rumah tangga petani merasa berkecukupan atau puas

terhadap pemenuhan kebutuhan sandang dan papan. Indikatornya adalah:

a. Pemenuhan kebutuhan sandang/pakaian

b. Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal

c. Pemenuhan kebutuhan komunikasi

d. Pemenuhan kebutuhan sosial

Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat

tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor:

skor 4; sangat setuju: skor 5.

3. Kepuasan Investasi SDM adalah sejauh mana rumah tangga petani

merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan kebutuhann

investasi. Indikatornya adalah:

a. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan.

b. Pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan

Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat

tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor:

skor 4; sangat setuju: skor 5.

Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi

subjektif dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:

1. rendah: x ≤ �̅� –sd

2. sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd

3. tinggi : x ≥ �̅� + sd

20

21

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian mengenai hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi

rumah tangga petani ini menggunakan metode kuantitatif melalui pendekatan

survei. Pendekatan survei merupakan pendekatan penelitian yang mengambil

sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan

data (Singarimbun dan Efendi 1989). Sementara itu, metode kuantitatif digunakan

untuk mencari informasi hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi

objektif dan subjektif rumah tangga petani. Selain menggunakan data kuantitatif,

penelitian menggunakan data kualitatif sebagai argumentasi pendukung yaitu

dengan wawancara mendalam. Untuk itu, pendekatan lapang dilakukan dengan

penggalian informasi dari informan dengan wawancara mendalam. Hasil uraian

wawancara dijelaskan secara deskripsi, namun tetap berfokus pada hubungan

antar variabel untuk menguji hipotesa.

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di desa pertanian yaitu Desa Krasak, Kecamatan

Brebes, Kabupaten Brebes Provinsi jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan

secara purposive, dengan pertimbangan menurut Potensi Desa Krasak (2014) di

desa tersebut terdapat sejumlah 97% keluarga merupakan keluarga pertanian.

Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak adalah produk hortikultura

yaitu bawang merah dan tanaman pangan yaitu padi dan jagung. Komoditas

bawang merah terbesar bersentra di Kabupaten Brebes, maka menarik untuk

diteliti bagaimana hubungan tingkat modal sosial pada rumah tangga petani

dengan kesejahteraan ekonomi khususnya pada sentra komoditas pertanian yaitu

bawang merah.

Selanjutnya penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan dari bulan

Januari 2015 sampai Juli 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal

skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang

skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian

terlampir (Lampiran 1).

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani di Desa

Krasak, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Populasi dalam

penelitian ini memiliki karakter suku yang sama yaitu suku Jawa, berada pada

ekologi yang sama yaitu pada pertanian sawah. Responden memiliki mata

22

pencaharian yang sama yaitu sebagai petani sawah dan seluruh responden

beragama islam. Sebanyak 97% keluarga dari populasi merupakan keluarga

pertanian, selain itu keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis.

Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak

sederhana (simple random sampling). Hal ini sesuai dengan Singarimbun dan

Efendi (1989) bahwa simple random sampling dapat digunakan pada komunitas

dengan keadaan geografis yang sama dan tidak menyebar. Adapun unit analisa

penelitian adalah rumah tangga petani untuk menganalisis tingkat kesejahteraan

keluarga dan individu yaitu kepala rumah tangga untuk menganalisis tingkat

modal sosial. Jumlah sampel yang menjadi responden berjumlah 40 rumah tangga

petani yang akan merepresentasikan hasil mengenai hal yang akan dianalisa

korelasinya. Sedangkan informan akan dipilih secara purposive yaitu petani, ketua

Gapoktan, ketua Poktan dan perangkat desa.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, kuesioner, dan wawancara

kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner telah diuji coba

untuk mengetahui reliabilitas dari kuesioner tersebut. Maka diperoleh hasil

reliabilitas Cronbach’s alpha sebesar 0.864.

Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpa > 0.90, maka

realibilitas sempurna; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90, maka reliabilitas

tinggi; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5, maka reliabilitas moderat; dan jika nilai

alpha <0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner

penelitian ini menunjukkan angka 0.864 artinya kuesioner memiliki reliabilitas

tinggi.

Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang

berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak

yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti aparat pemerintah desa dan hasil

penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil

dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan

penelitian, seperti monografi desa, demografi desa, nama kepala keluarga dan

jumlah anggota keluarga yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis

korelasi dengan menggunakan uji statistik yaitu uji korelasi Rank Spearman untuk

mengetahui hubungan masing-masing tipe modal sosial dengan kesejahteraan

ekonomi objektif dan subjektif (data ordinal) rumah tangga petani dan untuk

menguji hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan

subjektif rumah tangga petani.

23

Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara

deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Data yang

diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2007

sebelum dimasukan ke perangkat lunak Statistical Package for the Social Science

for windows (SPSS) versi 17. Berdasarkan ketentuan nilai korelasi Rank Spearman

dan kategori keterhubungan yaitu: 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09

(hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan

moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9

(hubungan mendekati sempurna). Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif

diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, teks naratif,

matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai

dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

24

25

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi dan Demografi

Desa Krasak merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Brebes. Desa

Krasak terletak di bagian utara Kabupaten Brebes. Luas wilayah Desa Krasak

adalah 167.17 Ha. Luas untuk lahan pertanian adalah 118.72 Ha sedangkan luas

pemukiman Desa Krasak adalah 47.20 Ha. Kondisi tipologi Desa krasak adalah

dataran rendah dan terdapat aliran sungai yang terletak di samping jalan utama.

Untuk menyeberangi sungai tersebut tersedia 3 jembatan beton yang dapat dilalui

oleh kendaraan bermotor roda dua dan beberapa jembatan yang bukan beton.

Secara administratif, Desa Krasak terdiri dari tiga Rukun Warga (RW) dan 27

Rukun Tetangga (RT).

Wilayah Desa Krasak sebelah utara berbatasan dengan Desa Banjaranyar,

sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pemaron, sebelah timur berbatasan

dengan Desa Lembarawa dan sebelah barat berbatasan dengan Desa

Wangandalem. Jarak dari Desa Krasak ke ibukota Kecamatan Brebes yaitu 5 km

dengan akses jalan beraspal yang dapat ditempuh dengan angkutan umum.

Panjang jalan beraspal yang berada di Desa Krasak adalah sepanjang 1 Km

sedangkan jalan yang belum beraspal (jalan tanah) sepanjang 0.5 Km.

Masyarakat Desa Krasak menyatakan bahwa kondisi tanah di Desa Krasak

subur. Hal ini disebabkan karena komoditas sawah atau pertanian ditanam secara

musiman dapat mengurangi hama yang ada pada saat komoditas tertentu ditanam.

Desa Krasak merupakan desa pertanian sehingga dapat dinyatakan kalender

musim pertaniannya (Gambar 2).

Gambar 2 Kalender musim pertanian Desa Krasak

26

Musim tanaman atau komoditas padi berlangsung pada bulan Januari

sampai awal April. Setelah panen padi, petani melakukan pengolahan tanah

terlebih dahulu yaitu untuk menyiapkan bedengan untuk tanaman bawang merah.

Musim tanaman atau komoditas bawang merah berlangsung pada akhir bulan

April sampai akhir bulan Juni. Bulan Juli, Agustus hingga September adalah

musim kering atau kemarau maka petani memilih menanam jagung atau pun

tanaman hortikultura yang tahan akan kondisi kering. Pada bulan Oktober terdapat

perayaan sedekah bumi oleh masyarakat Desa Krasak. Musim tanaman bawang

merah selanjutnya berlangsung pada minggu ketiga dan keempat bulan Oktober

sampai minggu pertama dan kedua bulan Desember.

Petani Desa Krasak sangat menjaga pertumbuhan bawang merah dengan

pemupukan maupun dengan penggunaan pestisida, sedangkan untuk tanaman

padi, petani cenderung mengandalkan kesuburan tanah dan curah hujan. Tanaman

padi ditanam setelah musim bawang merah. Pada musim bawang merah,

penggunaan pupuk dan pestisida banyak. Biaya total yang dihabiskan oleh seluruh

petani Desa Krasak untuk membeli pestisida saat musim bawang merah adalah

kurang lebih Rp 126 500 000, biaya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan

pengeluaran total seluruh petani untuk pestisida pada musim tanam padi yaitu

kurang lebih Rp 10 000 000. Penggunaan pestisida pada tanaman padi tidak

banyak karena pada musim tanam padi serangan hama yang ada telah berkurang

akibat pemakaian pestisida pada saat musim bawang merah. Kemudian pada

musim padi, tanah masih mengandung unsur hara yang banyak yaitu

memanfaatkan unsur hara yang masih terkandung dalam tanah setelah pemanenan

bawang merah. Tekstur tanah di Desa Krasak adalah lempungan dengan warna

abu-abu. Saluran irigasi di Desa Krasak tergolong irigasi tadah hujan, jika hujan

maka irigasi akan penuh namun jika tidak hujan irigasi akan kering. Irigasi

tersebut dibangun dengan dana Program Nasional Pembangunan Mandiri

(PNPM). Desa Krasak memiliki jumlah penduduk sebanyak 7 119 jiwa pada

tahun 2014. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Krasak adalah

sebanyak 2 169 jiwa. Penduduk Desa Krasak terdiri dari penduduk laki-laki

sebanyak 3 589 jiwa dan perempuan 3 530 jiwa (lihat Tabel 3).

27

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok umur

dan jenis kelamin Tahun 2014

Kelompok

Umur

Jenis Kelamin

Total

(jiwa)

Persentase

(%) Laki-laki Perempuan

Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

Jumlah

(jiwa)

Persentase

(%)

0-4 292 4.10 282 3.96 574 8.06

5 9 433 6.08 321 4.51 754 10.59

10 14 386 5.42 363 5.10 749 10.52

15-19 440 6.18 430 6.04 870 12.22

20-24 360 5.06 350 4.92 710 9.97

25-29 395 5.55 387 5.44 782 10.98

30-34 315 4.42 325 4.57 640 8.99

35-39 225 3.16 214 3.01 439 6.17

40-44 270 3.79 284 3.99 554 7.78

45-49 194 2.73 175 2.46 369 5.18

50-54 105 1.47 107 1.50 212 2.98

55-59 77 1.08 84 1.18 161 2.26

60-64 72 1.01 61 0.86 133 1.87

65-69 63 0.88 56 0.79 119 1.67

70 35 0.49 18 0.25 53 0.74

Total 3 662 51.44 3 457 48.58 7 119 100.00

Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)

Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk Desa Krasak menurut kelompok

umur. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa jumlah penduduk yang berada pada

usia produktif antara 15 tahun sampai 64 tahun tergolong besar yaitu 4 870 jiwa,

sedangkan jumlah penduduk usia non produktif sebesar 2 249 jiwa. Dapat

diketahui dari hal tersebut bahwa penduduk usia produktif di Desa Krasa lebih

banyak dari pada penduduk usia non produktif. Penduduk usia produktif dapat

berpotensi sebagai modal dasar bagi pembangunan.

Kondisi Sosial dan Ekonomi

Pendidikan

Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh sebagian besar penduduk

Desa Krasak (3 450 jiwa) termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya pendidikan

di Desa Krasak diantaranya karena pada generasi petani sebelum sekarang, minat

warga Desa Krasak dalam pendidikan formal kurang. Selain itu juga disebabkan

oleh biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat

Pertama (SLTP) masih tergolong tinggi (Tabel 4).

28

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat

pendidikan Tahun 2014

Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tidak tamat SD/Sederajat 350 8.58

Tamat SD/sederat 3 100 75.96

Tamat SLTP/sederajat 310 7.60

Tamat SLTA/sederajat 101 2.47

Tamat Diploma 153 3.75

Tamat Perguruan Tinggi S1 65 1.59

Tamat Perguruan Tinggi S2 2 0.05

Tamat Perguruan Tinggi S3 0 0

Total 4 081 100.00

Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)

Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dengan jumlah penduduk

tertinggi adalah pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk yang tamat

SD pada tahun 2014 adalah 3 100 jiwa. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan

formal di Desa Krasak masih rendah yakni dengan 75.96 persen penduduknya

pada tingkat pendidikan SD dan 8.58 persen tidak tamat SD. Program Wajib

Belajar oleh pemerintah hanya dapat dicapai oleh 15,46 warga dan hanya 5.39

persen saja dari total penduduk Desa Krasak yang memiliki pendidikan setingkat

perguruan tinggi. Adanya perubahan minat masyarakat untuk memberikan

pendidkan tinggi kepada anak belum cukup untuk membuat anak mendapatkan

pendidikan tinggi. Kondisi keuangan keluarga dan biaya pendidikan yang mahal

adalah kondisi yang dihadapi keluarga pertanian di Desa Krasak. Pendapatan

keluarga petani yang tidak menentu mengakibatkan ketidakpastian keluarga untuk

dapat memberikan pendidikan tinggi bagi anak. Namun demikian menurut hasil

wawancara terhadap informan yaitu Kepala Desa, tingkat pendidikan di Desa

Krasak pada masing-masing jenjang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya

walaupun bukan pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi. Berikut

wawancara dengan informan.

“...Kondisi pendidikan di Krasak meningkat dari jaman saya masih

sekolah sampai sekarang. Dulu banyak teman-teman saya yang tidak

sekolah, mereka nggarap sawah. Sekarang minimal pada lanjut ke

SMP. Setip tahun meningkat ko Mbak. Laporan dari sekolah SD di

Krasak, muridnya bertambah banyak. Orang dulu kebanyakan SD,

orang tua saya juga SD, makanya cuma jadi tani. Kalau sekarang

pasti orang tua ingin anaknya sukses atau jadi pegawai. Peningkatan

itu misalkan begini Mbak, pada tahun 2013 anak-anak SD yang

melanjutkan ke SMP hanya sekitar 60 persen, nah kalau di tahun

2014 anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP bisa sampai 75 persen

begitu pula untuk SMP ke SMA.”(Bapak S, Kepala Desa)

29

Meningkatnya jenjang pendidikan pada anak di Desa Krasak dikarenakan

masyarakat telah tersosialisasi oleh pentingnya pendidikan dan berubahnya minat

dan pandangan orang tua. Jika pada generasi para petani sebelumnya orang tua

berpandangan bahwa tidak perlu sekolah tinggi karena anak akan meneruskan

usaha pertanian orang tua maka pada generasi petani sekarang, petani cenderung

menginginkan perubahan kesejahteraan keluarganya melalui tingkat pendidikan

anaknya yang tinggi .

Pemerintah desa telah berupaya dalam meningkatkan minat para orang tua

akan pendidikan ananknya yakni dengan pembangunan kembali Sekolah Dasar

Negeri 02 Krasak dengan fasilitas yang memadai. Hal tersebut membuat warga

desa tidak ragu untuk memberikan pendidikan dasar untuk anak-anaknya. Selain

pendidikan formal di Desa Krasak terdapat sarana pendidikan non formal.

Pendidikan non formal dilaksanakan dalam bentuk pengajian. Pelaksanaan

pengajian yang dimaksud adalah kegiatan belajar mengajar mengaji untuk anak-

anak. Pelaksanaan atau tempat belajar mengajar tersebut di rumah salah satu

tokoh agama atau yang disebut dengan Ustad. Pengajian tersebut dilaksanakan

setiap hari untuk anak-anak usia 7-20 tahun. Pendidikan non formal tersebut dapat

menunjang kuatnya norma agama dan menjadikan anak sebagai pribadi yang baik.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Desa Krasak adalah sebagian besar di sektor

pertanian. Hal ini didukung data bahwa pemanfaatan lahan terluas yakni kurang

lebih 118.72 ha adalah untuk lahan persawahan. Selain itu dengan kondisi tingkat

pendidikan di Desa Krasak yang tergolong rendah maka sebagian besar penduduk

tidak dapat memiliki pekerjaan di sektor formal. Potensi yang ada pada Desa

Krasak adalah lahan yang luas dan subur, hal itu dapat dimanfaatkan penduduk

untuk bertani. Keluarga petani di Desa Krasak terbagi menjadi dua jenis yaitu

keluarga yang seluruh anggota keluarga menjadi petani dan keluarga yang

anggota keluarganya ada yang menjadi buruh tani (terdapat anggota keluarga yang

bekerja di sektor lain) (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014

Kategori Jumlah (keluarga) Persentase (%)

Keluarga pertanian 624 29.52

Keluarga yang

anggotanya terdapat

buruh tani

1 490

70.48

Total 2 114 100.00

Sumber: Profil Desa Krasak 2014

Tabel 5 menunjukkan jumlah dan persentase keluarga yang memiliki mata

pencaharian sebagai petani. Terlihat bahwa walaupun sebagian besar penduduk

memiliki mata pencaharian petani, namun tidak semua petani di Desa Krasak

memiliki lahan sendiri atau menguasai lahan. Terdapat 70.48 persen keluarga

yang anggotanya keluarganya memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani,

jumlah ini lebih besar dari pada jumlah keluarga yang mempunyai hak

30

penguasaan lahan yakni 29.52 persen. Buruh tani di Desa Krasak disebut sebagai

petani klutuk yaitu pekerja yang membantu pengolahan tanah, perawatan tanaman,

pemanenan hingga pengangkutan saat penjulan hasil panen. Petani yang

mempekerjakan buruh tani juga ikut bekerja di lahan atau memantau para buruh

tani. Tidak semua petani yang memiliki hak penguasaan lahan di Desa Krasak

menggunakan jasa buruh tani, karena lahan yang mereka kuasai tidak terlalu luas

sehingga kegiatan pertanian masih dapat dikerjakan oleh petani tersebut dan

keluarganya. Sebagian besar petani tidak memiliki penguasaan lahan yang luas

(Tabel 6).

Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan

Pertanian Tahun 2014

Luas lahan (ha) Jumlah (jiwa) Persetase (%)

0.1 - 0.5 425 40.25

0.51 - 1 614 58.14

1.1 - 5 12 1.14

5.1- 10 3 0.28

> 10 2 0.19

Jumlah total penduduk 1 056 100.00

Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)

Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat 1 506 warga yang memiliki hak

penguasaan lahan pertanian. Akses lahan pertanian di Desa Krasak dapat berupa

penyewaan lahan, kepemilikan pribadi dan hak waris yang dibagi diantara saudara

untuk digarap. Sebesar 58.14 persen petani di Desa Krasak hanya menguasai

lahan seluas 0.51 ha sampai dengan 1 ha. Kemudian terdapat sebesar 40.25 persen

petani di Desa Krasak yang hanya menguasai lahan pertanian seluas 0.1 sampai

0.5. Sedangkan jumlah petani yang menguasai lahan lebih dari 5 ha hanya

berjumlah 5 orang (0.47 persen) dari total 1 056 petani yang memiliki hak

penguasaan lahan dari total petani. Dari data tersebut dapat diketahui mayoritas

petani Desa Krasak merupakan petani kecil.

Petani maupun buruh tani harus memanfaatkan seluruh potensi yang ada di

komunitas. Potensi tersebut dapat berupa potensi sosial maupun potensi alam.

Potensi sosial dapat berupa modal sosial. Jika petani di Desa Krasak hanya

memanfaatkan moda produksi dalam usaha pertaniannya, maka petani kecil akan

memperoleh hasil yang tidak maksimal dalam pertanian. Potensi sosial yaitu

modal sosial dapat dimanfaatkan oleh petani agar mudah mendapatkan moda

produksi pertanian seperti lahan pertanian, modal awal musim, dan berbagai

sarana produksi pertanian.

Selain mata pencaharian petani, berdagang juga merupakan mata

pencaharian yang banyak dilakukan oleh penduduk Desa Krasak. Warung-warung

sembako, warung-warung kecil, usaha dagang bensin eceran, terdapat di setiap

RW di Desa Krasak. Beberapa juga ada yang menjadi pedagang makanan keliling.

Berdagang juga dijadikan pekerjaan sampingan selain bertani. Kemudian terdapat

penduduk yang bermata pencaharian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejumlah 62

31

orang, guru sejumlah 11 orang, pensiunan sejumlah 17 orang, Pembantu Rumah

Tangga sejumlah 30 orang dan sopir angkutan umum sejumlah 30 orang (Profil

Desa Krasak Tahun 2014).

Pranata Sosial dan Kelembagaan

Kondisi sosial dan politik serta ketenteraman dan ketertiban di wilayah Desa

Krasak terbilang terkendali. Sebagian besar warga Desa Krasak adalah suku Jawa

dan beragama Islam sehingga keberagaman penduduk tidak terlalu beragam.

Warga masih memegang teguh norma-norma dan etika yang berlaku. Desa Krasak

memiliki kelembagaan berupa kelompok tani yang berjumlah 3 kelompok. Tidak

semua petani masuk dalam kelompok tani. Kelompok tani terdiri dari Kelompok

Tani Unggul Tani, Bina Tani dan Sejahtera Tani. Kelompok tani mengadakan

pertemuan setiap satu kali dalam dua minggu. Namun jika sedang mengadakan

kegiatan, kelompok tani dapat mengadakan pertemuan sebanyak satu kali dalam

seminggu. Kegiatan kelompok tani diantaranya pengadaan penyuluhan pertanian,

pengadaan kegiatan lampunisasi (pemasangan lampu di areal persawahan),

pelatihan pembuatan pupuk kompos dengan teknologi baru dan lain-lain. Tempat

berlangsungnya penyuluhan disebut gubuk temu.

Gubuk temu dimanfaatkan sebagai tempat yang digunakan petani untuk

berdiskusi mengenai pertanian di Tingkat desa. Tempat tersebut dikenal sebagai

dengan tempat pemecahan masalah. Petani juga berkoordinasi mengenai

pemasangan lampu di gubuk temu. Pemasangan lampu adalah kegiatan yang

penting untuk dilaksanakan. Pemasangan lampu pada areal persawahan

(lampunisasi) dilakukan pada minggu keempat bulan April sebelum bibit bawang

merah ditanam sampai dengan bulan juni saat bawang merah siap dipanen. Dana

pelaksanaan lampunisasi berasal dari iuran sukarela para petani yang memiliki

lahan garapan sawah di areal persawahan Desa Krasak. Kelompok tani Unggul

Tani mencoba mempermudah anggotanya untuk pembayaran iuran lampunisasi

menggunakan uang hasil tabungan para anggotanya. Biaya untuk lampunisasi

dapat terbilang besar namun petani dapat membayar iuran tersebut dalam dua

periode. Pemasangan lampu bertujan untuk mengurangi hama berupa serangga

yang menyerang pada malam hari. Pemasangan lampu dilaksanakan pada musim

bawang merah pada bulan April karena pada musim tersebut harga bawang merah

cenderung tinggi. Pada musim tersebut tanah dan cuaca sangat mendukung untuk

perkembangan bawang merah.

Pemasangan lampu pada pelaksanaannya dilakukan secara gotong royong

oleh warga desa terutama petani. Petani melakukan gotong rotong dalam RW

masing-masing. Kelompok tani yang ada pada setiap RW mengatur pelaksanaan

pemasangan lampu. Ada tiga generator yang digunakan untuk menyalakan lampu

dimana di setiap RW disediakan satu generator. Selain para petani yang

bergotong-royong, kegiatan tersebut harus didukung dengan pekerja atau teknisi

listrik. Setelah lampu terpasang, maka setiap malam hari akan dinyalakan oleh

petani yang bertugas menjaga generator. Penjagaan generator oleh petani

dilakukan secara bergiliran.

Warga Desa Krasak memiliki budaya atau kebiasaan yang masih dilakukan

terkait dengan mata pencaharian khususnya petani. Budaya tersebut adalah

“Sedekah Bung” atau sedekah bumi, budaya ini dilakukan pada setiap satu tahun

32

sekali yaitu pada awal bulan Oktober. Budaya sedekah bung dilakukan pada bulan

Oktober karena pada bulan tersebut dimulainya musim penghujan. Maka petani

harus bersyukur dan meminta berkah. Kegiatan adat ini didahului dengan

pembacaan doa bersama sebagai rasa syukur atas musim penghujan dan hasil

pertanian yang didapat satu tahun terakhir. Kemudian dilanjutkan dengan

pemotongan kambing dan berbagi nasi serta lauk-pauknya. “Sedekah Bung”

dilakukan di tanah lapang yang berada di tengah persawahan yang bernama “Blok

Pung”.

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 responden. Empat puluh

responden tersebut merupakan kepala rumah tangga pertanian. Petani di lokasi

penelitian adalah petani sawah yang melakukan penanaman berbagai komoditas

pertanian dengan waktu tertentu. Berikut penjelasan tentang profil responden.

Pendidikan Responden

Pendidikan warga di Desa Krasak tergolong rendah hal ini berkaitan dengan

minat anak dan orang tua. Sebagian besar warga adalah petani yang pada

generasinya tidak diberikan pendidikan tinggi oleh orang tuanya. Orang tua petani

pada saat itu juga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar warga yang

memiliki mata pencaharian sebagai petani diwariskan turun temurun sesuai

dengan pewarisan tanah atau pun mengikuti orang tua sebagai buruh tani.

Pertanian merupakan sektor informal yang tidak mengharuskan petani mempunyai

pendidikan formal yang tinggi (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan

Kategori Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Rendah (tidak tamat SD dan tamat SD atau

sederajat) 30 75.0

Sedang (tamat SLTP atau sederajat) 3 7.5

Tinggi (Tamat SLTA atau sederajat dam tamat

Perguruan Tinggi) 7 17.5

Total 40 100.0

Pendidikan sebagian besar responden tergolong rendah yaitu terdapat 75

persen responden dari total 40 responden yang termasuk dalam kategori tidak

tamat SD dan tamat SD atau sederajat. Tingkat pendidikan pada kategori tinggi

hanya memiliki persentase 17.5 persen. Responden yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi tersebut memilih bekerja sebagai petani karena melihat peluang

komoditas bawang merah yang dapat mendatangkan keuntungan. Selain itu

walaupun responden tidak memiliki lahan sawah, namun telah tersedia kapling

33

lahan yang ditawarkan untuk disewa. Terdapat satu responden pensiunan Pegawai

Negeri Sipil yang bekerja sebagai petani sawah.

Sebanyak 75 persen responden termasuk dalam kategori pendidikan rendah

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah biaya

pendidikan tingkat SLTP dan SLTA yang mahal dan minat warga yang cenderung

tidak ingin melanjutkan pendidikan karena ingin menggarap sawah orang tua. Hal

tersebut seperti yang dikatakan oleh salah satu responden.

“...Pendidikan terakhir saya SD Mbak. Istri juga SD. Dulu mau lanjut

SMP tapi enggak tau harus bagaimana. Orang dulu pada nggak tau.

Orang tua saya tani Mbak, jadi saya bantu-bantu orang tua.”(Bapak

K, Petani)

Generasi petani atau masyarakat sebelumnya belum tersosialisasi dan sadar

akan pendidikan menengah atau pun pendidikan tinggi. Masyarakat merasakan

sudah cukup untuk bisa baca tulis sehingga pendidikan sebagian besar masyarakat

hanya pada tingkat SD.

Mata pencaharian responden

Mata pencaharian responden selain sebagai petani, terdapat beberapa

responden yang memiliki mata pencaharian sampingan atau lainnya. Berikut tabel

jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain selain

petani (Tabel 8).

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain

selain petani

Mata pencaharian lain Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tidak mempunyai pekerjaan lain 25 62.5

Pedagang 8 20.0

Buruh bangunan 6 15.0

Pensiunan 1 2.5

Total 40 100.0

Tabel 8 menunjukkan bahwa 62.5 persen responden tidak memiliki mata

pencaharin lain selain petani. Hal ini menunjukkan kehidupan 62.5 persen

responden sangat bergantung pada hasil panen komoditas sawah. Komoditas

sawah yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga

petani di Desa Krasak adalah bawang merah yang harganya berfluktuatif.

Terdapat responden yang memiliki mata pencaharian lain. Sebesar 20 persen

responden mempunyai pekerjaan sampingan pedagang terdiri dari pedagang toko

kelontong dan pedagang bawang merah. Selain itu terdapat 15 persen atau 6

responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan.

Responden yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh bangunan akan lebih

banyak mendapat pekerjaan tersebut pada bulan Juli, Agustus dan September atau

pada bukan bulan musim bawang merah.

34

35

ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI

Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak merupakan

interaksi yang dibangun dari kehidupan sehari-hari. Interaksi tersebut dapat terjadi

antar petani dalam satu desa maupun dengan desa yang lain, antara petani dengan

tengkulak, antara petani dengan distributor kebutuhan pertanian, pemerintah, atau

petani dengan lembaga pendukung pertanian seperti lembaga perbankan.

Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga

tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang mengikat (social bounding), (2) modal

sosial yang menjembatani (social bridging), dan (3) modal sosial yang

menghubungkan (social linking). Analisis modal sosial berdasarkan tipe-tipe

modal sosial akan lebih jauh dipaparkan dalam bagian ini.

Kondisi Social Bounding pada Rumah Tangga Petani

Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat

berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Hal tersebut

mencerminkan adanya kekerabatan yang dilihat dari pelaksanaan berbagai norma-

norma sosial yang ada pada masyarakat. Penelitian sebelumnya yang

menyimpulkan bahwa suatu masyarakat tergolong lebih memanfaatkan social

bounding adalah Suandi (2007), Rustanto (2007) dan Pontoh (2010). Suandi

(2007) menyimpulkan demikian karena melihat variabel kepercayaan masyarakat.

Jumlah responden pada variabel kepercayaan tersebut besar pada kategori

kepercayaan sangat tinggi dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

relevan apabila penelitian ini menggunakan indikator kepercayaan sebagai

penyumbang konsep social bounding. Analisis social bounding ini menggunakan

indikator tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial. Hasil

penelitian ini menunujukan frekuensi dan persentase masing-masing indikator

tergolong sedang atau cukup baik.

Tingkat Kepercayaan

Tipe modal social bounding memiliki karakteristik adanya ikatan yang kuat

dan mengikat, maka indikator kepercayaan relevan digunakan untuk melihat

ikatan kuat yang ada dalam masyarakat. Kepercayaan yang ada dalam masyarakat

petani di Desa Krasak dapat berupa perasaan yakin yang terbangun antara petani

atau dengan orang lain, bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang

diharapkan dan saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari atau dapat pula

dalam kegiatan pertanian. Jumlah dan persentase indikator tingkat partisipasi

tergolong sedang (Tabel 9).

36

Tabel 9 Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 8 20

Sedang 26 65

Rendah 6 15

Total 40 100

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah responden pada kategori

sedang sebanyak 26 responden dengan persentase 65 persen. Sedangkan untuk

kategori tingkat kepercayaan tinggi terdapat 8 responden dengan persentase 20

persen. Tingkat kepercayaan petani Desa Krasak tergolong sedang dapat dilihat

dari kegiatan sehari-hari petani yaitu kesediaan berbagi pengalaman antar petani.

Kesediaan berbagi pengalaman antar petani tergolong tinggi, namun untuk

beberapa petani di Desa Krasak kesediaan melakukan saran petani lain mengenai

permasalahan pertanian dapat dikatakan tidak terlalu tinggi. Sehingga indikator

kepercayaan antar sesama tergolong sedang. Penyebab kurangnya kesediaan untuk

melakukan saran dalam bidang pertanian salah satunya adalah pada saran

penggunaan pupuk dan pestisida. Petani di Desa Krasak selektif terhadap

penggunaan jenis pestisida maupun pupuk. Petani sangat berhati-hati dalam

memilih jenis pestisida karena menurut pengalaman petani jika petsni langsung

melakukan saran petani lainnya belum tentu hasil panen akan meningkat. Setelah

diberi saran maka petani tidak langsung melakukan saran tersebut, melainkan

masih mempertimbangkannya. Seperti yang dikemukakan salah satu responden

berikut ini.

“..Kalau ada teman bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai

pupuk apa? Obatnya apa? Kadang dijawabnya jenis obat baru dari

PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke yang

lainnya.”(Bapak W, petani)

Kesediaan memberi dan melakukan saran menjadi hal yang penting dalam

kepercayaan antar petani. Sebagian besar petani bersedia memberikan saran.

Saling bertukar saran dalam masalah pertanian oleh petani dilakukan saat

berbincang dan beristirahat di sawah. Dalam hal berinteraksi antar sesama petani,

petani di Desa Krasak tergolong sering berinteraksi. Interaksi tersebut tercermin

seringnya petani berbincang dan beristirahat bersama saat bekerja di sawah.

Berikut wawancara dengan responden.

“Saya pasti ngbrol-ngobrol Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso,

kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya cerita hama yang

ditemuin pas di sawah tadi apa saja.” (Bapak W, petani)

Tingkat kepercayaan juga dapat dilihat dari pemenuhan tanggung jawab.

Tanggung jawab yang dimaksud adalah memberi saran tentang pertanian dengan

benar kepada petani lain dalam artian petani tidak berbohong dalam memberikan

saran. Dalam penjualan hasil pertanian petani memang bersaing untuk

37

mendapatkan harga yang tinggi, namun dalam perawatan tanaman petani bersidia

memberikan saran yang berdasarkan pengalamannya dapat meningkatkan hasil

panen. Bentuk tanggung jawab lainnya adalah petani akan melaksanakan tugas-

tugas yang diterimanya di organisasi maupun di masyarakat. Uraian hal-hal

tersebutlah memberi sumbangsih terhadap analisis tingkat kepercayaan antar

sesama petani yang tergolong dalam kategori sedang.

Tingkat Kepatuhan pada Norma Sosial

Tingkat kepatuhan pada norma sosial yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah tingkat kepatuhan petani terhadap tata aturan yang ada di masyarakat,

dapat berupa nilai adat atau budaya lokal. Norma sosial tersebut dapat terlihat dari

tingkat kepatuhan pada peraturan adat istiadat maupun nilai budaya, tingkat

kepatuhan terhadap norma agama. Salah satunya adalah kegiatan gotong-royong

yang diadakan di desa. Gotong-royong di Desa Krasak dilaksanakan saat

pembangunan jalan lingkungan, perayaan HUT-RI, dan acara-acara desa lainnya.

Tingkat kepatuhan pada norma sosial rumah tangga petani berada pada kategori

sedang (Tabel 10).

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan pada norma

sosial

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 6 15

Sedang 28 70

Rendah 6 15

Total 40 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase tingkat kepatuhan

pada norma sosial tergolong pada kategori sedang. Jumlah responden pada

kategori sedang adalah sebanyak 28 responden dengan persentase 70 persen.

Sedangkan untuk kategori kuat persentasenya adalah 5 persen. Tingkat kepatuhan

norma sosial berada pada kategori sedang dapat dilihat dari intensitas masyarakat

melakukan ide adat atau tradisi, salah satunya adalah sedekah bumi. Sedekah

bumi rutin dilaksanakan pada setiap bulan Oktober. Sedekah bumi tersebut lebih

dikenal dengan sedekah bung. Pelaksanaannya sedekah bung dimulai dari

penarikan iuran untuk disumbangkan. Iuran tersebut untuk keperluan sedekah

bumi diantaranya yaitu kambing dan makanan lainnya. Iuran tersebut sudah

menjadi norma dalam kehidupan masyarakat. Kemudian pada saat kegiatan warga

bersama-sama membawa sedekah untuk berdoa ke tanah lapang di dekat

persawahan yang disebut dengan blok pung. Namun tidak semua warga mengikuti

dalam acara sedekah bung, beberapa warga lebih memilih hanya berpartisipasi

dengan memberikan uang iuran saja. hal ini lah yang memberikan sumbangsih

bahwa tingkat kepatuhan pada norma, sehingga tergolong dalam kategori sedang.

Berikut salah satu responden yang tidak ikut serta dalam kegiatan sedekah bumi

karena bertentangan dengan ajaran agama.

38

“..Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut. Memang

acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama

Islam Mbak, Nanti saya musyrik” (Bapak A, petani)

Norma agama yang dilihat dalam tingkat kepatuhan terhadap norma adalah

norma hadir dalam tahlilan (berdoa bersama untuk orang meninggal) dan

jamiahan (pengajian yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan rutin pada waktu

tertentu) yang diadakan di lingkungan setempat. Hampir setiap hari dilaksanakan

jamiahan di Desa Krasak, namun pelaksananya adalah berbagai kelompok-

kelompok pengajian baik kelompok perempuan atau kelompok laki-laki. Petani

dapat mengikuti jamiahan sebanyak 3-6 kali dalam satu bulan.

Tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial

mempengaruhi tingkat social bounding yang ada di masyarakat. Analisis

sebelumnya memaparkan bahwa pada rumah tangga petani Desa Krasak, tingkat

kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma berada pada kategori sedang

karena beberapa hal. Demikian pula untuk persentase tingkat social bounding atau

modal sosial yang mengikat (Tabel 11)

Tabel 11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social

bounding

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 8 20

Sedang 26 65

Rendah 6 15

Total 40 100

Tabel 11 menunjukan bahwa rumah tangga petani di Desa Krasak

mempunyai tingkat social bounding yang tergolong dalam kategori sedang.

Rumah tangga petani yang tergolong sedang berjumlah 26 rumah tangga dengan

persentase 65 persen. Kemudian untuk kategori social bounding tinggi berjumlah

8 rumah tangga dengan persentase 20 persen. Sedikitnya jumlah responden yang

berada pada kategori tinggi dapat dikarenakan berkurangnya norma kekerabatan

yang ada pada masyarakat. Ikatan yang terbagun diantara petani tidaklah sekuat

pada tahun 1990an yaitu dilihat dengan tingkat kepercayaan dan tingkat

kepatuhan pada norma sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat ketua Gapoktan

Desa.

“...Petani di Desa Krasak bisa dikatakan merupakan petani mandiri

mbak. Dulu saat tahun 1990an disini selain bawang juga menanam

cabe merah. Cabe merah disini bagus, ada yang dikirim ke luar. Saat

itu petani masih sering keliatan rewang-rewang ngolah sawah dan

panen. Kalau sekarang masalah saling pinjam alat, meminjam modal

antar petani itu sudah jarang. Walaupun mungkin pasti masih ada

yang meminjam modal, tapi pasti sama keluarga.” (A W, ketua

Gapoktan)

39

Namun demikian, nilai-nilai kekeluargaan masih dilaksanakan seperti

membantu petani yang gagal panen, membantu keluarga atau tetangga yang

sedang menikahkan anaknya. Hal tersebut mencirikan social bounding yakni

hubungan masyarakat yang masih satu keluarga yang tinggal dalam satu wilayah

maupun antar keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga

lain yang masih satu etnik. Pada masyarakat Desa Krasak banyak terdapat warga

yang masih satu kerabat atau masih bersaudara. Hal tersebut diungkapkan oleh

salah satu responden berikut ini.

“...Saudara saya banyak di sini Mbak, adik-adik saya juga nggarap

sawah di sini. Rata-rata disini juga sawah keluarga jadi banyak

disini yang masih satu keluarga” (SN, petani dan pedagang bawang

merah)

Hubungan kekerabatan ini dapat menyebabkan adanya rasa empati atau

kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya,

resiprositas. Rasa empati pada masyarakat masih melekat, setiap Rukun Tangga

(RT) mengkoordinir warga untuk menjenguk apabila terdapat warga yang sakit

serta memberikan uang santunan. Meskipun dikoordinir oleh lembaga Rukun

Tangga namun warga memiliki rasa empati dan rasa berkewajiban untuk

membantu warga yang sedang mengalami musibah. Selain dari hubungan

kekerabatan, norma-norma sosial yang termasuk dalam unsur social bounding

yang ada pada masyarakat Desa Krasak dapat tercermin pada kebiasaan, persepsi

dan tradisi atau adat-istiadat dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada

norma tradisi adat, umumnya masyarakat akan melaksanakan Sedekah Bung dari

rangkaian acara awal hingga akhir namun pada lima tahun terakhir masyarakat

yang mengikuti rangkaian acara tidak banyak. Hal tersebut mengindikasikan

adanya kerenggangan atau melemahnya kepatuhan pada norma tradisi atau adat.

Kondisi Social Bridging pada Rumah Tangga Petani

Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa social

bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam

karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam

kelemahan yang ada di dalamnya sehingga memutuskan untuk membangun

kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging lebih luas dari social

bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok

kepentingan. Kemudian Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) melanjutkan,

social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga

negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan

dari social bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas

agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik

sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Berkaitan dengan

tujuan dari social bridging maka pengembangan potensi dari rumah tangga petani

maka interaksi sosial yang perlu dilihat adalah kuatnya jaringan, tingkat

solidaritas dan tingkat partisipasi dalam organisasi.

40

Kuatnya Jaringan

Pengukuran kuat jaringan rumah tangga petani di Desa Krasak dilakukan

dengan melihat beberapa hal seperti jaringan kerja sama antar pertani, tingkat

keterbukaan informasi dan kebermanfaatan asosiasi atau orgasasi kelompok tani.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kuat

jaringan yang dimiliki oleh rumah tangga petani yang ada di Desa Krasak berada

pada kategori sedang (Tabel 12).

Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Kuat 7 17.5

Sedang 26 65.0

Lemah 7 17.5

Total 40 100.0

Tabel 12 menunjukkan bahwa kuatnya jaringan pada rumah tangga petani

tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Berdasarkan hasil penelitian

Kuatnya jaringan petani yang tergolong sedang disebabkan oleh hubungan kerja

sama oleh petani dengan petani lain. Bentuk-bentuk kerja sama petani antara lain

penyewaan lahan sawah pada pemilik lahan, saling meminjamkan sarana

produksi, maupun kerja sama menanamkan modal bersama. Kerja sama tersebut

adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas

bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya. Dalam bekerja sama petani sudah

saling bersepakat dalam aturan menjalani kerja sama. Kesepakatan antara pemilik

lahan dan petani dibuat pada saat petani akan menyewa lahan. Harga sewa lahan

per bau atau ¾ Ha berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun.

Kuatnya jaringan termasuk dalam kategori sedang dapat dilihat pada

kebermanfaatan asosiasi kelompok tani. Kelompok tani merupakan jaringan yang

dapat dimanfaatkan sebagai wadah petani bernaung, mendapatkan informasi dan

bekerja sama antar petani. Namun terdapat lebih dari 50 persen responden yang

mengatakan bahwa dirinya tidak tergabung dalam kelompok tani. Hal ini

dikarenakan tidak ada keinginan petani untuk tergabung dalam kelompok tani

selain itu terdapat responden yang tidak menerima informasi mengenai cara

tergabung dalam kelompok tani. Terdapat responden yang tidak merasakan

manfaat dari keberdaan kelompok tani karena kelompok tani dinilai belum

maksimal mewadahi petani di Desa Krasak. Kemudian terdapat pula petani yang

telah tergabung namun tidak mendapatkkan kredit sarana produksi pertanian. Hal

ini memberikan anggapan bahwa keanggotaannya pada kelompok tani belum

memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut wawancara dengan

responden tersebut.

“...Iya, saya anggota Unggul Tani, tapi belum ada kredit untuk

sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya pupuk murah

sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani)

41

Adanya anggapan-anggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat

menyebabkan tidak dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa

Krasak sehingga para petani pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi

kelompok tani. Paparan hasil penelitian tersebut menyebabkan kuatnya jaringan

tergolong pada kategori sedang.

Tingkat Solidaritas Rumah Tangga Petani

Tingkat solidaritas yang ada pada rumah petani Desa Krasak dapat dilihat

dari hubungan pertemanan diantara pertani yang erat, yakni melihat sejauh mana

rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Rasa kebersamaan tersebut menyangkut

tentang kesetiakawanan antara individu petani dalam mencapai tujuan dan

keinginan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat solidaritas

rumah tangga petani Desa Krasak tergolong sedang (Tabel 13).

Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 7 17.5

Sedang 27 67.5

Rendah 6 15.0

Total 40 100.0

Tingkat solidaritas rumah tangga petani tergolong sedang dengan persentase

sebesar 67.5 persen. Tingkat solidaritas yang tergolong sedang dapat dilihat dari

solidarty making, yaitu seberapa jauh keinginan petani untuk membuat hubungan

kekerabatan antar petani. Responden menyatakan bahwa mereka berkeinginan

untuk berteman dengan petani lain. Kemudian dalam menjalani hubungan

pertemanan atau kekerabatan antar petani, petani berteman baik atau tidak ingin

memicu perselisihan. Petani menghindari hal-hal yang akan menimbulkan

perselisihan. Petani Desa Krasak lebih memilih mendiskusikan permasalahan dan

mengambil keputusan secara mufakat. Seperti pernyataan responden berikut.

“..Kalau ada acara, orang-orang sini berdiskusi Mbak. Kadang bikin

rapat dadakan buat acara-acara pertanian. Tidak ada perselisihan

yang terjadi kok Mbak. Permasalahan yang meresahkan ya paling

harga bawang Mbak..” (Bapak H. Petani)

Sehingga keadaan kehidupan sosial atau kehidupan sehari-hari petani dalam

kondisi tenang. Indikator lainnya adalah sejauh mana petani memiliki rasa

kebersamaan atau perasaan senasib. Jika terdapat petani yang sedang mengalami

permasalahan, petani lain cenderung akan membantu. Namun terdapat hambatan

yaitu jarangnya petani-petani tertentu menceritakan permasalahan yang sedang

dihadapinya. Sehingga petani maupun kelompok tani tidak tahu dan tidak dapat

membantu.

42

Tingkat solidaritas tergolong sedang disebabkan oleh keadaan pasca panen.

Para petani tidak berdiskusi mengenai permasalahan penjualan hasil panen. Para

petani cenderung menunggu pembeli/pengepul dengan tawaran harga beli

tertinggi. Tidak ada kelembagaan atau diskusi petani yang dapat memfasilitasi

hasil panen. Sehingga petani tidak dapat memecahkan permasalahan murahnya

harga bawang merah jika harga sedang turun. Hal tersebut menjadi sumbangsih

sedangnya solidaritas petani.

Indikator tingkat solidaritas yang lainnya yang mempengaruhi sedangnya

solidaritas adalah kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani

memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa. Wujud dari solidaritas ini

adalah berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa

penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim

tanam bawang merah, petani yang peduli akan hasil panen desa, berdiskusi di

gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit bawang merah varietas apa

yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama

maupun keadaan pengairan. Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit

yang baik pada musim itu. Mengenai hasil panen tidak pernah ada gagal panen

besar dalam skala desa. Selain itu terdapat lampunisasi yaitu pemasangan lampu

pada persawahan di Desa Krasak. Lampunisasi bertujuan untuk meminimlisir

serangan hama berupa serangga pada malam hari. Lampunisasi dilakukan oleh

warga secara sukarela dan bergotong royong. Dana dari kegiatan ini didapatkan

dari dana iuran petani atau warga yang lahan sawahnya berada di Desa Krasak.

Partisipasi dalam Organisasi di Lingkungan

Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012), yang mengetengahkan enam unsur

pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, salah

satunya yaitu participation in a network. Selanjutnya Hasbullah (2006) dalam

Inayah (2012) menyatakan participation in a network adalah kemampuan

sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,

melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas

dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan

(freedom), dan keadaban (civility).

Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi

dalam organisasi

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 7 17.5

Sedang 26 65.0

Rendah 7 17.5

Total 40 100.0

Tabel 14 menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga petani dalam

organisasi tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Sedangnya tingkat

partisipasi petani Desa Krasak dalam kelembagaan lingkungan dilihat dari

keikutsertaan petani dalam lembaga. Keikutsertaan petani dalam lembaga di

43

keseharian komunitas petani juga tergolong tidak tinggi. Rata-rata petani hanya

ikut serta dalam satu atau dua organisasi di lingkungannya. Organisasi formal dan

informal atau kelembagaan yang banyak diikuti oleh petani adalah kelompok

pengajian atau jamiahan. Jamiahan merupakan kelembagaan yang berasal dari

norma agama. Seluruh warga Desa Krasak beragama Islam, sehingga pelaksanaan

norma agama sangat penting. Hampir setiap hari ada kegiatan jamiahan, selain

untuk menjalankan norma agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat

saling bertukar informasi. Sedangkan kelembagaan formal yaitu kelompok tani

dianggap tidak dapat memberi kemajuan pada pertanian. Sehingga petani yang

tergabung dalam kelompok tani sedikit.

Indikator lainnya adalah keaktifan dalam pertemuan yaitu sejauh mana

petani mengikuti kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal. Petani

sering mengikuti kegiatan pengajian yaitu 4 sampai 6 kali dalam satu bulan,

namun untuk kegiatan rapat RT/RW hanya petani yang berkepentingan dalam

masalah yang dibahas saja yang aktif hadir. Hal tersebut menjadi salah satu

penyumbang bahwa tingkat partisipasi dalam organisasi (kelembagaan

formal/informal) tergolong sedang. Kemudian indikator selanjutnya adalah

pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah sejauh

mana petani terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal

maupun informal. Pada pengambilan keputusan, responden mengatakan bahwa

mereka selalu diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat. Terdapat 40 persen

responden yang sering (4 sampai 5 kali dalam satu bulan pertemuan)

menyampaikan pendapatnya dan pengambilan keputusan dilakukan secara

musyawarah dan mufakat.

Partisipasi dalam organisasi mendukung ruang lingkup social bridging yaitu

menggali potensi dan memaksimalkan kekuatan, dalam konteks ini adalah potensi

dan kekuatan sosial. Partisipasi petani dalam organisasi di lingkungan dapat

menjembatani petani untuk mengembangkan potensi karena dengan ikut serta

dalam organisasi, petani memperoleh informasi dan keuntungan yang lebih yaitu

dengan memiliki jaringan yang lebih luas.

Berdasarkan indikator social bridging yang telah dipaparkan maka dapat

diketahui social bridging yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak.

Tingkat social bridging pada rumah tangga petani Desa Krasak berada pada

kategori sedang. Selain dapat diketahui melalui pemaparan indikator, hal tersebut

dapat diketahui dari akumulasi skor social bridging (Tabel 15).

Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 7 17.5

Sedang 26 65.0

Rendah 7 17.5

Total 40 100.0

Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat social bridging rumah tangga petani

Desa Krasak tergolong dalam kategori sedang atau cukup baik dengan persentase

65 persen. Kategori tinggi dan sedang memperoleh persentase yang sama yaitu

44

17.5 persen. Baik kuatnya jaringan, tingkat solidaritas maupun tinggi rendahnya

partisipasi dalam organisasi, rumah tangga petani tergolong dalam kategori

sedang. Social bridging merupakan modal sosial yang berperan untuk

mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan

memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya manusia maupun

alam melalui interaksi sosial. Kondisi social bridging di komunitas petani Desa

Krasak sudah cukup baik namun perlu pengembangan yang lebih baik lagi agar

potensi-potensi yang ada dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan (sosial maupun

ekonomi) komunitas.

Kondisi Social Linking pada Rumah Tangga Petani

Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial

yang terakhir adalah social linking (modal sosial yang menghubungkan) yaitu

dapat berupa hubungan. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya

hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang

ada dalam masyarakat. Kemudian Nuryadin (2009) lebih menegaskan pendapat

Woolcock yaitu social linking lebih memberikan perhatian kepada hubungan yang

bersifat vertikal dengan para aktivis partai, kelembagaan dan pengambil

keputusan. Hal tersebut dapat digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni

hubungan antara nelayan suku Bajo dengan lembaga perbankan atau pemerintah

yang dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan

produksi dan memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional. Social

linking diukur dari tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar

komunitas dan tingkat kepentingan rumah tangga petani pada kelembagaan luar

komunitas.

Tingkat Kebergantungan

Tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar komunitas yang

akan dipaparkan adalah sejauh mana petani mengandalkan komunitas luar desa

untuk mendukung kegiatan pertaniannya. Sebuah sistem masyarakat pertanian di

dalamnya terdapat berbagai pihak-pihak yang menentukan kehidupan komunitas

pertanian tersebut.

Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase

Tinggi 8 20

Sedang 26 65

Rendah 6 15

Total 40 100

45

Tingkat kebergantungan rumah tangga petani tergolong dalam kategori

sedang dengan persentase 65 persen. Tingkat kebergantungan yang tergolong

sedang dapat terlihat dari tingkat akses moda produksi, yaitu bagaimana petani

mendapatkan modal dan sarana produksi pertanian untuk usaha pertaniannya.

Petani mendapatkan modal awal setiap musimnya dari berbagai sumber yaitu dari

lembaga peminjaman/perbankan atau dari tabungan sendiri. Petani yang

menggunakan modal dari tabungan sendiri berarti memiliki tingkat

kebergantungan yang rendah terhadap komunitas luar. Petani yang menggunakan

modal dari tabungan yakni petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih

untuk melanjutkan kegiatan bertani ke musim berikutnya. Seperti salah satu

responden berikut:

“..Ini sekitar pertengahan maret kan mau pada tanam, sekarang saya

harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau tidak. Setiap musim

kalau sedang stabil saya pakai uang tabungan saja. Kalau ditambah

pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang)

Tidak sedikit petani yang memiliki uang tabungan atau keuntungan hasil

panen musim sebelumnya tidak cukup untuk modal awal musim berikutnya. Maka

tidak ada pilihan lain selain bergantung pada kerabat atau lembaga perbankan

untuk meminjam modal. Petani yang melakukan peminjaman pada kerabat adalah

petani yang kesulitan akses modal di perbankan dan petani yang hanya

membutuhan tambahan modal sedikit. Sedangkan petani yang memilih meminjam

modal di Bank adalah petani yang telah tersosialisasi dengan tata cara aturan

peminjaman di Bank dan memang petani tersebut membutuhkan modal yang

besar. Petani yang pernah melakukan peminjaman modal di Bank mengaku tidak

ada kesulitan untuk melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian di setiap

musimnya. Seperti yang dikemukakan responden berikut.

“..Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI. Kalau tidak

begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau

udah ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak.” (Bapak K, petani)

Pernyataan responden tersebut juga didukung oleh informasi yang

didapatkan dari informan berikut.

“...Setahu saya petani besar maupun petani kecil modal awal musim

akan meminjam di Bank.Jika harga bawang normal, keuntungannya

tidak bisa dijadikan modal. Memang ada keuntungan. Tapi modal

tanam itu besar mbak. Untuk bibit dan pestisida itu yang paling

banyak belum lagi ditambah upah dan konsumsi pekerja.”(Bapak AW,

Petani dan ketua Gapoktan)

Selain itu akses moda produksi lainnya dapat dilihat pada petani yang

mendapatkan atau membeli sarana pertanian. Sebagian besar petani mendapatkan

pupuk dan pestisida dari penyuplai yang berada di dalam Desa. Hal ini

menunjukkan kebergantungan pada luar komunitas dalam hal mendapatkan pupuk

rendah. Sehingga hal tersebut dapat menjadi sumbangsih sedangnya tingkat

46

kebergantungan. Toko pupuk atau penyuplai di dalam desa memperbolehkan

petani ingin untuk berhutang dahulu. Sistem pembayaran hutang tersebut petani

dapat mengambil seluruh pupuk dengan berhutang atau pun dengan sistem

pembayaran setengahnya dahulu.

Tingkat kebergantungan rumah tangga petani dapat dilihat dari cara

pemasaran hasil pertanian. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang

dilakukan petani untuk menjual hasil pertaniannya. Dalam mengetahui harga

bawang merah maupun hasil pertanian lainnya. Petani mengetahuinya dari

pengepul dan dari informasi harga pasar dari media informasi. Namun sebagian

besar petani hanya mengetahui dari pengepul saja. Begitu pula dengan penetapan

harga, petani akan menawar harga per kilogram bawang merah dari harga yang

ditentukan pengepul terlebih dahulu. Selanjutnya terdapat proses tawar menawar

antara petani dan pengepul. Berikut pernyataan informan.

“..petani sini jarang bisa nawar tinggi. Seringnya nyerah Mbak.

Paling kalau bawang merah lagi naik tinggi baru bisa sedikit nawar

tinggi dan dibolehkan sama tengkulak. Itu pun petani besar, yang

tertentu saja..”(Bapak AW, Ketua Gapoktan)

Menurut informan yaitu ketua Gapoktan pada proses tawar menawar petani

cenderung lemah. Rantai penjualan hasil pertanian di Desa Krasak dimulai dari

petani yang menjual hasil pertanian pada tengkulak besar, rata-rata tengkulak akan

menggunakan jasa perantara (calo). Sehingga perantara dapat saja menawarkan

harga yang sangat rendah. Perantara akan mendapatkan upah dan juga tidak

sedikit keuntungan yang disebabkan oleh harga beli rendah. Tengkulak besar akan

menjual hasil pertanian tersebut pada tengkulak kecil dan selanjutnya dapat di

pasarkan pada konsumen.

Tingkat Kepentingan

Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani untuk

berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan yang akan

diambil oleh petani. Pihak-pihak berpengaruh tersebut adalah lembaga

peminjaman modal non formal, lembaga peminjaman modal non formal dan

penyuluh atau pemerintah. Tingkat kepentingan dapat dilihat dari sejauhmana

petani merasa perlu untuk berinteraksi atau memanfaatkan kelembagaan tersebut.

Petani memiliki kepentingan yang berbeda pada pihak-pihak tersebut bergantung

pada kebutuhan petani dalam menjalankan usaha pertanian (Tabel 17).

Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 5 12.5

Sedang 31 77.5

Rendah 4 10.0

Total 40 100.0

47

Tabel 17 menunjukkan tingkat kepentingan rumah tangga petani tergolong

dalam kategori sedang dengan persentase 77.5 persen. Tingkat kepentingan

tergolong sedang dapat dilihat dari sejauh mana pemanfaatan lembaga

peminjaman modal formal dan non formal. Lembaga peminjaman modal non

formal, tidak dimanfaatkan sebagian besar petani. Karena jumlah modal yang

ditawarkan sedikit dan jangka waktunya pendek. Petani yang memanfaatkan

kelembagaan ini adalah petani yang membuka toko klontong di rumahnya, yaitu

untuk keperluan menambah stok barang dagangan yang dijual. Sedangkan

kelembagaan peminjaman formal dibutuhkan sebagian besar petani atau petani

berkepentingan terhadap lembaga peminjaman formal. Selain dapat meminjam

modal dalam jumlah yang besar, syarat yang diajukan juga tergolong tidak rumit.

Petani meminjam modal dengan syarat jaminan surat BPKB kendaran bermotor.

Petani meminjam dengan jangka waktu musiman yakni kategori enam bulan atau

pun satu tahun. Jika harga bawang merah sedang menurun dan petani tidak

mendapatkan keuntungan, petani dapat memperpanjang masa peminjaman atau

waktu pengembalian uang mundur. Rata-rata petani meminjam pada kelembagaan

peminjaman formal (perbankan) berkisar antara 10 juta hingga 70 juta pertahun.

Selain dari pemanfaatan lembaga peminjaman, sedangnya tingkat

kepentingan dapat dilihat dari pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian.

Manfaat lembaga penyuluhan dapat dirasakan petani, yaitu dalam bentuk

sosialisasi berbagai macam sarana pertanian, pembudidayaan maupun sosialisasi

kebijakan baru. Namun tidak seluruh petani merasakan langsung manfaatnya.

Menurut ketua Gapoktan, pertemuan dalam rangka penyuluhan tersebut tidak

rutin dilaksanakan. Pelaksanaannya kurang efektif karena jumlah petani di Desa

Krasak besar namun penyuluhan dilakukan dalam tingkat desa bukan tingkat RW.

Berdasarkan pemaparan mengenai tingkat kebergantungan dan tingkat

kepentingan, dapat diketahui tingkat social linking rumah tangga petani tergolong

sedang (Tabel 18).

Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Rendah 6 15.0

Sedang 29 72.5

Tinggi 5 12.5

Total 40 100.0

Tabel 18 menunjukkan bahwa social linking rumah tangga petani tergolong

sedang dengan persentase 72.5 persen. Persentase tersebut didapatkan dari

akumulasi skor tingkat kebergantungan dan tingkat kepentingan yang tergolong

sedang. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa Krasak tidak dirasakan secara

langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam penyuluhan biasanya adalah para

perwakilan RT maupun RW. Hal ini menyebabkan anggapan bahwa masyarakat

petani merasa tidak memiliki kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal yang

ingin mereka wujudkan melalui penyuluhan. Namun petani memiliki

kebergantungan dan kepentingan terhadap kelembagaan perbankan. Petani

memanfaatkan kelembagaan perbankan untuk menyimpan uang penjualan hasil

48

panen. Kemudian untuk meminjam modal setiap awal musim tanam bawang

merah atau dua musim sekali. Modal tersebut digunakan untuk biaya sewa tanah

per musim, biaya pembelian pupuk, pembelian pestisida, dan biaya upah pekerja

jika menggunakan pekerja.

Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut menghubungkan petani

dengan moda produksi yang dibutuhkan petani. Selain itu melalui social linking

dapat dilihat hubungan vertikal antara petani dengan pemerintah (Dinas Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes). Dinas Pertanian Pangan

dan Hortikultura memberikan sosialisasi mengenai pembagian pupuk bersubsidi

per desa dan batasan penggunaan pupuk bersubsidi. Sehingga dapat dilihat bahwa

terdapat hubungan vertikal yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan pertanian

di Desa Krasak.

49

KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan

kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu

tertentu (Suandi 2007). Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan

untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain:

kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain

lain. Santamarina et al. (2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan

tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat

kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1)

subsistem sosial dengan faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan

dinamika penduduk, kekuatan sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan

faktornya yaitu: konsumsi, hak pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan

aktivitas ekonomi. Kemudian Suandi mengemukakan bahwa kesejahteraan juga

dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni kesejahteraan diukur dengan

pendekatan objektif dan kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif.

Kesejahteraan Ekonomi Objektif

Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat

kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan

patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi

2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan

pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi

objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran

keluarga. Suandi (2007) menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud

adalah pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari-

hari, yaitu kebutuhan pokok dan lainnya. Pengeluaran yang dimaksud adalah

pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan

pokok dan lainnya. Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif tersebut

juga dapat menggunakan ukuran kesejahteraan SUSENAS tahun 2013 yang telah

dimodifikasi atau dipisahkan indikator ekonominya. Sehingga ukuran atau

indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah: (1) luas penguasaan

lahan pertanian, (2) luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah

rumah dan pekarangan yang dimiliki rumah tangga petani, (3) keadaan tempat

tinggal atau rumah, (4) fasilitas rumah tangga, (5) pengeluaran kebutuhan pangan

dan (6) pengeluaran kebutuhan non pangan. Kesejahteraan ekonomi rumah tangga

petani di desa krasak cenderung tergolong kategori sedang (Tabel 19).

50

Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kesejahteraan

ekonomi objektif

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 17 42.5

Sedang 18 45.0

Rendah 5 12.5

Total 40 100.0

Kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani yang diukur secara objektif

berada pada kategori sedang dengan persentase 45 persen. Sedangkan pada

kategori tinggi persentasenya sebesar 42.50 persen. Tingkat kesejahteraan

ekonomi objektif di Desa Krasak terlihat dari luas penguasaan lahan pertanian.

Penguasaan lahan atau akses petani pada lahan dapat berupa lahan milik pribadi,

milik keluarga dan lahan sewa. Sebagian besar petani menanam di lahan sewa

baik lahan yang terletak di dalam Desa Krasak maupun di luar desa. Lahan

tersebut disewa oleh petani dengan waktu sewa per musim (2-3 bulan) atau pun

per tahun. Sistem bayarnya dapat berupa bagi hasil atau menggunakan uang tunai,

sesuai dengan kesepakatan petani dan pemilik lahan. Jika menggunakan

pembayaran uang tunai satu bau ( ¾ ha atau 7500 m2 luas lahan) harga sewanya

berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun. Luas lahan yang dikuasai oleh

petani di Desa Krasak cenderung sempit dan merata (lihat Tabel 20).

Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian

Kategori Luas Lahan (m2) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

> 8 178 5 12.5

434 – 8 177 35 87.5

< 433 0 0

Total 40 100.0

Tabel 20 menunjukkan bahwa penguasaan lahan pertanian di Desa Krasak

sebagian besar berkisar antara 434 m2 sampai 8177 m2 . Pengukuran lahan petani

di Desa Krasak umumnya menggunakan satuan bau atau setara dengan ¾ ha. Luas

lahan yang umumnya disewa responden sebesar ¼ sampai ½ bau atau setara

dengan 1 875 m2 sampai 3 750 m2. Hal tersebut diketahui dari informan yaitu

Sekretaris Desa. Berikut pernyataan Sekretaris Desa mengenai luas penguasaan

lahan rumah tangga petani di Desa Krasak

“Kurang lebih 70 persen lahan di desa adalah lahan persawahan.

Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani yang menyewa

lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di

sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga

besok mau ke Weleri, mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi

dulu, di Weleri ditanam bawang” (Bapak S, petani dan Sekretaris

Desa)

51

Petani kecil di Desa Krasak yang sebagian besar hanya memiliki

penguasaan lahan seluas ¼ bau atau hanya 1 875 m2 dapat menjadi penyebab

tingkat kesejahteraan ekonomi dalam kateori sedang. Selain itu terdapat gap atau

ketimpangan penguasaan lahan oleh petani. Lahan pertanian yang sangat luas

hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yaitu lahan seluas 5 Ha sampai 10 Ha

hanya dikuasai oleh 3 petani dan lahan yang luasnya lebih dari 10 Ha dikuasai

oleh 2 petani saja. Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan

di Desa Krasak (bukan buruh tani) juga dapat menguasai (menyewa) lahan di kota

lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri, Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan

sewaan yang berada di luar kota lebih sering untuk ditanami tanaman bawang

merah. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan Maret sampai Mei

dan Oktober sampai Desember. Petani berkepentingan dengan pemilik lahan agar

dapat mengembangkan usaha pertaniannya, dengan bertambahnya lahan

penguasaan maka petani dapat mengembangkan usaha pertanian dan menambah

keuntungan.

Harga jual hasil panen komoditas hortikultura tidak menentu, dalam hal ini

adalah komoditas bawang merah. Terakhir petani mengalami kerugian adalah

pada panen bawang merah tahun 2014. Harga bawang merah untuk dikonsumsi

sangat rendah. Harga per kilogram bawang merah pada saat itu dapat mencapai

Rp 5 000 saja per kilogram. Harga normal bawang merah adalah normal perkisar

antara Rp 13 000 per kilogram sampai Rp 15 000 per kilogram. Sehingga pada

awal tahun 2015 banyak petani kecil yang rugi dan tidak dapat mengembalikan

peminjaman modal seutuhnya dan tepat waktu. Banyak diantaranya yang mencari

pekerjaan sampingan lain. Seperti wawamcara dengan responden berikut ini.

“...Saya petani mbak, tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari

pada menganggur Saya ngerjain apa aja mbak yang Saya bisa.

Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik atau

meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang

tidak Saya jual, buat bibit saja.” (Bapak S, petani)

Petani di Kabupaten Brebes umumnya lebih mementingkan dan lebih

bergantung pada komoditas hortikultura yaitu bawang merah. Begitu pula dengan

petani di Desa Krasak, komoditas bawang merah akan lebih dirawat dan dijaga

agar hasil panennya maksimal. Komoditas lain seperti padi dan jagung tidak

terlalu diperhatikan perawatannya, karena dinilai kurang menguntungkan. Hasil

panen beras juga dijual namun cenderung disimpan untuk konsumsi dan keperluan

hajatan sendiri maupun hajatan kerabat.

Pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga petani diakumulasikan dalam

satu bulan. Pengeluaran tersebut terdiri dari pengeluaran kebutuhan pangan dan

kebutuhan non pangan. Pengeluaran rumah tangga petani di Desa Krasak

tergolong dalam kategori sedang (Tabel 21).

52

Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah

tangga petani

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 3 7.5

Sedang 35 87.5

Rendah 2 5.0

Total 40 100.0

Kebutuhan pangan terdiri dari beras, ikan, daging, telur dan susu, sayuran,

buah-buahan, minyak dan lemak, bumbu-bumbuan, tembakau dan sirih, minuman

jadi, dan makanan jadi. Pengeluaran kebutuhan non pangan terdiri dari biaya

pengeluaran untuk listrik, air, gas, pulsa handphone, kesehatan, rekreasi, kegiatan

sosial, biaya pendidikan sekolah, transportasi, pajak kendaraan dan pajak bumi

dan bangunan. Tabel 21 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga petani

tergolong dalam kategori sedang dengan persentase 87.5 persen dari total

responden. Pada kategori tinggi, tingkat pengeluaran rumah tangga petani

memiliki persentase 7.5 persen. Konsumsi pangan di daerah pedesaan pada

umumnya sederhana tidak banyak bahan makanan yang dikonsumsi dalam satu

waktu makan. Terdapat petani yang mengkonsumsi nasi dengan beras hasil panen

dan ada pula petani yang membeli beras untuk konsumsi pangan. Data

pengeluaran tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani pada umumnya

tidak mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi untuk pemenuhan kebutuhan rumah

tangganya.

Pengeluaran kebutuhan non pangan berkaitan dengan kepemilikan fasilitas

rumah tangga. Dengan banyaknya fasilitas rumah tangga yang dimiliki maka

semakin besar pula pengeluaran kebutuhan non pangan. Misalkan suatu rumah

tangga memiliki kulkas, televisi, motor dan mobil maka pengeluaran untuk biaya

listrik maupun bahan bakar akan lebih besar dari pada rumah tangga yang tidak

memiliki fasilitas tersebut. Fasilitas yang dilihat kelengkapannya pada rumah

tangga petani terdiri dari sembilan fasilitas.

Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Memiliki 7 – 9 fasilitas 29 72.5

Memiliki 4 – 6 fasilitas 10 25.0

Memiliki 1 – 3 fasilitas 1 2.5

Total 40 100.0

Fasilitas yang dilihat kelengkapannya adalah: (1) televisi, (2) radio, (3)

kulkas, (4) telepon, (5) tempat tidur/kasur, (6) lemari/bufet, (7) sepeda/sampan,

(8) sepeda motor/motor tempel dan (9) mobil. Persentase rumah tangga yang

memiliki 7 sampai 9 fasilitas sebesar 72.5 persen. Rumah tangga yang memiliki 4

sampai 6 fasilitas, persentasenya 25 persen dari total keseluruhan rumah tangga

responden. Terdapat indikator kesejahteraan yang diukur secara objektif lainnya

53

yaitu kondisi rumah. Kondisi rumah meliputi jenis lantai pada rumah, jenis

dinding, jenis atap, penerangan rumah dan sumber air minum. Pada indikator jenis

lantai rumah, lantai rumah responden ada yang menggunnakan semen dan ada

yang menggunakan keramik. Jenis dinding rumah responden umumnya

menggunakan tembok. Kondisi penerangan rumah responden umumnya

menggunakan listri dari PLN dan untuk sumber air minum menggunakan air dari

PAM (Perusahaan Air Minum). Sebagian besar rumah tangga petani tidak

memiliki sumber air dari PAM. Responden membelinya pada pedagang air minum

PAM eceran. Berdasarkan paparan hasil penelitian, secara objektif dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani di Desa Krasak belum

mencapai kesejahteraan.

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif

Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan

yang dilihat secara personal, diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan.

Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan

bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik

dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap

antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Tingkat kesejahteraan ekonomi

subjektif diukur dari tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan

dan investasi SDM (biaya pendidikan).

Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi

subjektif

Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Tinggi 11 27.5

Sedang 21 52.5

Rendah 8 20.0

Total 40 100.0

Tabel 23 menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi yang diukur secara

subjektif pada rumah tangga petani tergolong pada kategori sedang dengan

persentase 52.5 persen. Kesejahteraan yang diukur secara subjektif merupakan

cara untuk mengetahui sejauh mana pencapaian taraf hidup rumah tangga petani

sesuai dengan apa yang mereka rasakan sendiri. Sehingga dalam mengukur

kesejahteraan tidak menggunakan ukuran baku melainkan pendapat petani sendiri.

Petani mengungkapkan sudah atau belumnya kebutuhan keluarga petani tersebut

tercapai. Pencapaian tersebut meliputi pencapaian kebutuhan pangan atau

kepuasan kebutuhan pangan. Sebagian besar rumah tangga petani memenuhi

kebutuhan makan sebanyak tiga kali sehari. Rumah tangga petani menyatakan

sangat terpenuhi atau sangat puas dengan banyaknya waktu makan tersebut.

Berikut pernyataan salah satu responden.

54

“...Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya

biasa saja Mbak. Kadang kalau lapar, makan lagi. Sudah

Alhamdullillah Mbak.” (Bapak K, petani)

Rumah tangga petani mengkonsumsi karbohidrat yang beragam yaitu nasi,

jagung, kentang, ubi jalar dan roti. Hal tersebut dikarenakan petani dapat

menanam sendiri jenis-jenis makanan yang mengandung karbohidrat tersebut.

Selain itu di lingkungan desa terdapat pedagang keliling yang menjajakan

makanan tersebut setiap harinya. Sehingga makanan tersebut sangat sering

dikonsumsi rumah tangga petani. Rumah tangga petani juga mengkonsumsi jenis

sayuran yang beragam yaitu kangkung, wortel, bayam, sawi. Untuk konsumsi

lauk-pauk, rumah tangga petani sering mengkonsumsi tahu, tempe, kacang-

kacangan dan ikan. Sedangkan untuk jenis lauk ayam, daging dan udang rumah

tangga petani mengkonsumsi namun intensitasnya jarang. Jenis lauk daging sapi

atau pun kambing dalam satu minggu sekali pun jarang dikonsumsi oleh rumah

tangga petani. Sebanyak 27.5 persen responden menyatakan bahwa mereka

merasa cukup puas (cukup terpenuhi) akan keberagaman pangannya. Sedangkan

sebanyak 67 persen responden merasa puas dengan keberagaman pangan tersebut,

dengan kata lain 67 persen rumah tangga petani telah mencapai pemenuhan

kebutuhan pangannya. Berikut pernyataan responden saat wawancara.

“...Makan sehari-hari ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak.

Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur asem, sambel. Kalau beli

daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu dua kali.

Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya,

tidak ada.” (Bapak N, petani)

Kesejahteraan ekonomi subjektif juga diukur melalui pemenuhan kebutuhan

non pangan rumah tangga petani. Kebutuhan tersebut yaitu pemenuhan kebutuhan

pakaian, tempat tinggal, komunikasi dan transportasi. Kebutuhan pakaian meliputi

pakaian untuk beribadah (mukenah, sarung dan peci), pakaian untuk anak dan

pakaian untuk bersosialisasi di lingkungan. Petani hanya memerlukan pakaian

sederhana karena tidak bekerja pada sektor formal maka kebutuhan pakaian

rumah tangga petani dapat terpenuhi. Untuk kebutuhan tempat tinggal juga

kebutuhan petani terpenuhi, walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang

tua atau mertuanya. Namun untuk kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani

hanya merasa cukup dan cenderung kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan

wawancara dengan salah satu responden berikut.

“...kalau dikatakan terpenuhi, Saya tidak setuju Mbak. Kemarin

sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan tahun

kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya

ikut naik Mbak, lebih tinggi bulan ini.” (Bapak J, petani)

Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan

dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan

sumbangan adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk

sumbangan yang diberikan kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau

55

khitanan. Petani di Desa Krasak akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras

untuk kerabat mereka.

Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara subjektif dapat pula dilihat pada

pemenuhan kebutuhan investasi SDM (sumber daya manusia). Pemenuhan

kebutuhan tersebut adalah pemenuhan biaya pendidikan dan pemenuhan biaya

berobat. Kebutuhan biaya pendidikan SD (Sekolah Dasar) telah dibebaskan oleh

pemerintah, maka warga Desa Krasak merasa ringan dan mudah untuk

menyekolahkan anaknya pada jenjang SD. Sedangkan untuk jenjang SMP

(Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Akhir) menerapkan

uang bulanan atau SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk setiap

bulannya. SMP dan SMA terdekat dengan Desa Krasak adalah di Kecamatan

Brebes yang biaya uang bangunan dan uang SPP lebih tinggi dibandingkan

dengan kecamatan lain di Kabupaten Brebes.

56

57

HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN

EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

Modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat

bersatu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan yang di dalamnya

terdapat nilai dan norma yang dipatuhi (Coleman 199) dalam (Cahyono dan

Adhiatma 2012). Modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat menentukan

apakah persatuan masyarakat dapat terwujud sehingga memberikan sumbangsih

dalam kesejahteraan masyarakat.

Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif dan

Subjektif Rumah Tangga Petani

Tipe modal sosial terdiri dari, modal yang berbentuk ikatan yang kuat dari

petani yakni social bounding, modal yang menjembatani petani dengan kekuatan

lain untuk mengembangkan potensi yaitu social bridging kemudian modal yang

menghubungkan petani pada pihak pemerintah maupun pihak perbankan (social

linking). Modal sosial memiliki peran penting dalam kesejahteraan ekonomi

keluarga. Petani yang memiliki ikatan yang kuat terhadap sesama dan

berhubungan dengan komunitas lain, memiliki kesempatan yang lebih tinggi

untuk membangun usaha pertaniannya agar lebih baik. Dilakukan uji statistik

untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara masing-masing tipe modal

dengan kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif (lihat Tabel 24).

Tabel 24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan

ekonomi objektif

Tipe Modal Sosial Tingkat Kesejahteraan Objektif

Keterangan Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed)

Social bounding 0.321* 0.043 Berhubungan

Social bridging 0.398* 0.011 Berhubungan

Social linking 0.111 0.495 Tidak

berhubungan

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai

koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan objektif sebesar 0.321.

Hasil tersebut menunjukkan korelasi antara keduanya kurang signifikan atau

hubungan moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.043 (p <

0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat

hubungan antara tingkat social bonding rumah tangga petani dengan kesejahteraan

ekonomi objektif rumah tangga petani. Hubungan yang terbentuk diantara kedua

variabel merupakan hubungan yang searah atau positif. Semakin tinggi tingkat

social bounding yang ada dalam masyarakat maka umumnya semakin tinggi pula

58

kesejahteraan ekonomi yang diukur dengan pendekatan objektif. Hal ini dapat

dilihat dari hasil penelitian yang mayoritas rumah tangga petani memiliki social

bounding dalam kategori sedang umumnya juga tingkat kesejahteraan ekonomi

objektifnya sedang. Uraian sebelumnya memaparkan bahwa adanya kepercayan

antar sesama dan norma sosial yang dipatuhi dapat menentukan keberlangsungan

usaha pertanian rumah tangga petani yang diukur melalui patokan atau ukuran

tertentu. Kepercayaan yang ada dapat membuat petani berbagi saran dan

pengalaman dalam memecahkan permasalahan pertanian sehingga berdampak

pada hasil panen petani. Kepercayaan sebagai salah satu komponen pembentuk

social bounding juga memegang peranan menetukan keberhasilan petani

membangun hubungan kerjasama.

Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial lainnya yaitu social bridging

dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.389 yang

menunjukkan adanya hubungan nyata moderat. Berdasarkan nilai probabilitas

menunjukkan angka 0,011(p < 0.05). Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan

bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan antara tingkat social bridging

dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Sehingga dapat diartikan bahwa

tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat ditentukan dari jumlah

social bridging yang tersedia. Komponen social bridging diantaranya adalah

tingkat solidaritas, kuatnya jaringan, partisipasi atau keterlibatan petani dalam

organisasi di lingkungan. Kuatnya jaringan menyebabkan petani mudah menjalin

hubungan kerja sama dengan petani lainnya. Kerja sama tersebut adalah dalam

bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas bawang merah

yang kemudian dibagi hasilnya.

Solidaritas diwujudkan dalam rasa ingin mengembangkan pertanian desa.

Hal ini berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa

penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim

tanam bawang merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi)

mengenai bibit bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh

baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan.

Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit yang baik pada musim itu.

Informasi hasil pertemuan tersebut dapat dimanfaatkan petani untuk kegiatan

panennya dan menjadi salah satu penentu baik atau buruknya hasil panen. Social

bridging merupakan tipe modal sosial yang dicirikan dengan adanya ikatan sosial

yang muncul di dalam masyarakat dan merupakan reaksi atas adanya reaksi

masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut social bridging turut menyumbang tinggi

atau rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani.

Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial yang terakhir yaitu social linking

dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.111.

Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0,495 (p > 0.05). Hasil uji

korelasi tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak, yaitu tidak terdapat

hubungan antara social linking dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif.

Hal ini berarti kesejahteraan ekonomi objektif tidak ditentukan melalui seberapa

besar tinggi tingkat social linking. Social linking dapat terlihat melalui tingkat

kebergantungan pada komunitas lain dan tingkat kepentingan.

Jika dilihat melalui komponen social linking, kebergantungan rumah tangga

petani terlihat pada akses modal pada lembaga perbankan tidak menyebabkan

kesejahteraan petani tinggi atau pun rendah. Kemudian terlihat dari kepentingan

59

petani dengan lembaga penyuluhan. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa

Krasak tidak dirasakan secara langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam

penyuluhan biasanya adalah para perwakilan RT maupun RW. Hal ini

menyebabkan anggapan masyarakat petani bahwa mereka tidak memiliki

kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal maupun motivasi yang diwujudkan

melalui penyuluhan. Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut

menghubungkan petani dengan moda produksi yang dibutuhkan, namun tidak

menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif.

Sumarti (1999) dalam Suandi (2005) mengemukakan bahwa kesejahteraan

subjektif individu atau keluarga merupakan wujud kebudayaan yang dihasilkan

melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya

dengan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian dan pengukuran

kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal) masyarakat

setempat. Kemudian di dalam pengalaman hidupnya, sekelompok petani atau

rumah tangga petani tentu melakukan berbagai bentuk interaksi yang bertujuan

untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Kesejahteraaan ekonomi subjektif

dalam penelitian ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan. Kesejahteraan ekonomi

subjektif pada rumah tangga petani di Desa Krasak tergolong cukup baik atau

sedang dengan persentase 52.5 persen. Uji statistik digunakan untuk mengetahui

seberapa besar hubungan antara tipe modal sosial tertentu yang ada pada rumah

tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi subjektif (lihat Tabel 25).

Tabel 25 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan

ekonomi subjektif

Tipe Modal Sosial Tingkat Kesejahteraan Subjektif

Keterangan Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed)

Social bounding 0.117 0.471 Tidak

berhubungan

Social bridging 0.374* 0.017 Berhubungan

Social linking 0.139 0.391 Tidak

berhubungan

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai

koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar

0.117. Hasil tersebut menunjukkan korelasi atau namun lemah. Berdasarkan nilai

probabilitas menunjukkan angka 0.471 (p > 0.05). Nilai tersebut menunjukkan

bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social bounding

dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Artinya, tinggi rendahnya kesejahteraan

subjektif tidak ditentukan oleh kekuatan yang mengikat di dalam masyarakat.

Tidak terdapatnya hubungan social bounding dengan kesejahteraan ekonomi yang

diukur melalui pendekatan subjektif dapat dikarena dengan adanya rasa percaya

terhadap sesama dan norma sosial tidak menjamin pemenuhan kebutuhan rumah

tangga petani tercapai. Tingkat kepercayaan petani tercermin pada interaksi saat

bertani di sawah, kepercayaan untuk melakukan saran dari petani lain. Tingkat

kepatuhan pada norma sosial tercermin pada intensitas rumah tangga petani

melakukan norma agama, adat dll. Berikut wawancara dengan responden.

60

“..saya sering diskusi bareng petani Mbak. Ya ngobrol sambil tukar

pikir juga pasti dilakukan Mbak. Tukar pikirnya kadang di gubuk

temu, di sawah terus pas jamiahan. Kadang nemu solusi, hasilnya

bisa panen bagus tapi harga sedang anjlog. Seperti saat ini, saya

enggak berani jual. Nanti buat bibit atau disimpen dulu. Akibatnya ya

harus sangat hemat, rugi Mbak. Anak jajan juga seadanya. Kalau

sakit saya minum jamu saja.” (Bapak T, petani)

Walaupun kepercayaan dan norma sosial berperan dalam proses usaha

pertanian namun hasil panen tidak menjadi ukuran kepuasan dalam pemenuhan

kebutuhan. Penjualan hasil panen bergantung pada harga pasar. Petani menyimpan

hasil panen bawang merah jika harga pasarnya tersebut turun drastis.

Hasil uji korelasi social bridging dengan kesejahteraan subjektif

menunjukan nilai koefisien korelasi 0.374. Hasil tersebut menunjukkan korelasi

moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.017 (p < 0.05).

Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima atau terdapat hubungan

antara social bridging dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hasil uji tersebut

menunjukkan bahwa modal sosial yang menjembatani atau modal sosial yang

berfungsi untuk mengembangkan potensi dan kekuatan komunitas memiliki

hubungan nyata dengan kesejahteraan yang dilihat secara subjektif.

Komponen social bridging terdiri dari kuatnya jaringan, tingkat solidaritas

dan partisipasi (aktif atau tidaknya) petani dalam oraganisasi di lingkungan.

Solidaritas masyarakat Desa Krasak khususnya dalam skala rumah tangga petani

merupakan kondisi dimana petani dapat saling menerima, saling memiliki sebagai

anggota dari sebuah kesatuan. Semakin besar solidaritas antar petani maka petani

cenderung dapat memperhatikan keinginan masing-masing dalam mencari jalan

ke arah kerja sama yang baik sehingga hasil yang dicapai sama baik. Kuatnya

jaringan dapat membantu rumah tangga petani memenuhi kebutuhannya. Semakin

kuat hubungan kerja sama dengan petani lain, dan semakin tinggi kebermanfaatan

organisasi maka semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga

petani yang tercapai. Hubungan kerjasama dan informasi yang dimanfaatkan

berdampak langsung pada hasil pertanian dan berdampak pada kepuasaan

pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM bagi rumah tangga

petani.

Hasil uji korelasi social linking dengan kesejahteraan subjektif menunjukan

nilai koefisien korelasi 0.139. Hasil tersebut menunjukkan korelasi lemah.

Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.391 (p > 0.05). Nilai tersebut

menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social

linking dengan kesejahteraan ekonomi yang dilihat secara subjektif. Hal ini

menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kebergantungan dan kepentingan petani

pada pihak luar tidak selalu berkorelasi terhadap pemenuhan kebutuhan subjektif.

Menurut pengeluaran rumah tangga, dapat dilihat tipe modal sosial apa yang

paling kuat digunakan oleh rumah tangga petani dalam kehidupan atau kegiatan

pertaniannya (Tabel 26).

61

Tabel 26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat

pengeluaran rumah tangga

Tipe modal sosial Tingkat pengeluaran rumah tangga

Koefisien korelasi Sig. (2-tailed)

Social bounding 0.118 0.469

Social bridging 0.117 0.472

Social linking 0.143 0.380

Berdasarkan Tabel 26, nilai koefisien korelasi ketiga tipe modal sosial

menunjukkan hubungan lemah pada tingkat pengeluaran rumah tangga. Nilai

koefisien korelasi yang paling besar adalah pada social linking yaitu sebesar

0.143. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa pemanfaatan social linking oleh

petani lebih besar dari pada tipe modal sosial lainnya. Pemanfaatan penggunaan

social linking tersebut terlihat pada kegiatan pertanian yaitu dari awal musim.

Petani meminjam modal pada lembaga peminjaman formal atau perbankan.

Lembaga peminjaman modal memiliki peran yang sangat penting. Responden

yang menyatakan bahwa dirinya pernah meminjam pada lembaga perbankan

sebesar 80%. Peminjaman modal dilakukan oleh petani dianggap sebagai suatu

hal yang biasa karena keuntungan penjualan hasil panen tidak cukup untuk

melakukan kegiatan pertanian pada musim selanjutnya.

Petani Desa Krasak meminjam modal sebanyak 10 hingga 70 juta per

tahunnya. Peminjaman tersebut menggunakan syarat tertentu, yaitu jaminan surat-

surat penting seperti BPKB kendaraan bermotor dalam jangka waktu satu tahun.

Harga jual bawang merah yang berfluktuatif membuat penghasilan petani tidak

menentu. Hal ini berakibat pada kemampuan petani untuk mengembalikan

pinjaman modal secara tepat waktu. Jika petani tidak dapat mengembalikan modal

dalam waktu yang ditentukan, petani akan diberikan perjanjian tenggang waktu

kembali hingga seterusnya sampai penyitaan jaminan.

Ketiga tipe modal sosial saling berkaitan dan saling mendukung. Social

bounding bercirikan ikatan yang kuat antar petani yaitu dalam bentuk pelaksanaan

norma-norma bersama dan kepercayaan. Rasa percaya diantara petani sangat

menentukan unsur dari social bridging yang tersedia, yaitu kerja sama atau

membangun jaringan dan solidaritas antar petani. Social bridging dimanfaatkan

untuk pengembangan potensi dari dalam komunitas sehingga potensi tersebut

terfasilitasi dan membentuk suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan komunitas.

Social linking dapat berupa hubungan vertikal petani dengan pemerintah yaitu

berbentuk kebijakan. Petani sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, salah

satunya yaitu kebijakan pupuk bersubsidi. Penerapan kebijakan tersebut, Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes akan mendata

jumlah petani dan luas lahan yang dikuasai. Selanjutnya stok pupuk bersubsidi

akan ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan petani dan luas lahan di

Desa Krasak. Selain itu, social linking dapat dilihat melalui hubungan petani

dengan pihak perbankan. Untuk membeli sarana produksi, petani memanfaatkan

peminjaman modal sehingga dapat melakukan dan mengembangkan kegiatan

pertanian. Sehingga dalam membentuk kekuatan, komunitas menggunakan tipe

modal sosia yang tersedia, yaitu social bounding, bridging dan linking.

62

Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif

dan Subjektif Rumah Tangga Petani

Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial

adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang

mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai

tujuan bersama. Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi

rumah tangga tidak dapat terlihat langsung. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Suandi (2005) bahwa modal sosial bukan merupakan potensi atau modal yang

dapat mentrasformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan, maka

modal sosial dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan

kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Modal sosial

yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset untuk

mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat dimanfaatkan

sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas interaksi rumah

tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula

kesejahteraan rumah tangga tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi

rumah tangga (lihat Tabel 27).

Tabel 27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi obejektif rumah tangga petani

Modal sosial

Tingkat kesejahteraan objektif

Koefisien korelasi Sig (2-tailed)

0.331* 0.037

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai

koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar

0.331. Hasil tersebut menunjukkan korelasi moderat atau korelasi menengah.

Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.037 (p < 0.05). Nilai tersebut

menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan

nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga

petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat

ditentukan dengan kondisi modal sosial yang terdapat pada rumah tangga petani.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 28.

63

Tabel 28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan

tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa

Krasak

Modal

Sosial

Tingkat kesejahteraan objektif Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N %

Rendah 1 2.5 9 22.5 0 0 10 25

Sedang 3 7.5 7 17.5 13 32.5 23 57.5

Tinggi 1 2.5 2 5.0 4 10.0 7 17.5

Total 5 12.5 18 45.0 7 17.5 40 100

Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel ini merupakan hubungan

yang searah atau positif, dimana semakin tinggi modal sosial rumah petani maka

umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan objektifnya. Hal ini

dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah

tangga petani yang berada pada kategori tingkat modal sosial sedang umumnya

juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi objektif yang tergolong dalam

kategori sedang hingga tinggi. Persentase responden yangt tingkat modal sosial

dan tingkat kesejahteraan objektifnya tergolong sedang adalah sebesar 17.5

persen. Terdapat 32.5 persen responden yang tingkat modal sosialnya tergolong

sedang dan tingkat kesejahteraannya tergolong tinggi. Kedua variabel modal

sosial dan tingkat kesejahteraan objektif rumah tangga petani tergolong dalam

kategori sedang.

Rumah tangga petani masih memegang norma dan nilai kebudayaan yang

ada. Modal sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan ekonomi.

Pemanfaatan modal sosial pada usaha pertanian dilakakukan pada seluruh proses.

Proses-proses tersebut adalah: (1) pada saat petani akan menyewa lahan untuk per

musim atau pun per tahunnya, (2) pada saat petani mengakses modal pada

lembaga perbankan atau pun pada kerabat dekat, (3) petani melakukan diskusi

jenis pupuk dan pestisida apa yang terbaru dan yang cocok untuk tanaman bawang

merah pada musim tertentu, (4) pada saat perawatan tanaman hingga panen, petani

yang memiliki hak penguasaan lahan akan berinteraksi membangun jaringan

dengan buruh tani dan (5) pada saat penjualan harga panen petani membangun

jaringan dengan para petani lain, tengkulak maupun konsumen langsung. Peluang

tingginya tonase maupun kualitas hasil panen yang memanfaatkan potensi modal

sosial secara maksimal, akan lebih tinggi dari pada petani yang tidak maksimal

memanfaatkannya.

Petani tidak dapat menentukan harga jual bawang merah. Namun petani

dapat menawar harga jual yang lebih tinggi pada tengkulak atau pengumpul. Hasil

penjualan panen sangat bergantung pada harga pasar nasional. Penetapan harga

bawang merah yang cenderung berfluktuatif, sehingga walaupun petani berhasil

panen dan kualitasnya bagus belum tentu akan mendapatkan keuntungan yang

banyak. Bahkan pada suatu kondisi saat harga sangat rendah petani merugi dan

tidak dapat mengembalikan modal pinjaman secara tepat waktu keseluruhan.

Kondisi tersebut salah satunya terjadi pada panen bawang merah pada akhir tahun

2014. Harga jual bawang merah ditingkat petani merosot rendah yaitu dapat

64

mencapai Rp 5 000 per kilogram. Sedangkan petani dapat dikatakan untung jika

penjualan bawang merah mencapai kisaran Rp 13 000 sampai Rp 15 000 per

kilogram. Hal tersebut seharusnya dapat diupayakan petani agar tidak terjadi pada

masa mendatang. Hal tersebut juga dikemukakan oleh situs berita on line Brebes

yang meliput kunjungan dari Direktur Biro Ideologi Pengawasan dan

Pengembangan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri (Kemendag).

“Perlu ada langkah bersama dengan jalan menyatukan petani

bawang merah, perlu ada revitalisasi petani bawang merah agar

petani semakin sejahtera dan tidak merugi. Kalau jiwa gotong royong

dan bersatu dalam koperasi maka tidak ada permainan harga oleh

siapapun.” (Bapak SS)4

Selain harga di pasaran yang mempengaruhi hasil jual panen yang diperoleh

petani, terdapat pihak-pihak tertentu yang dapat melakukan permainan harga. Hal

ini perlu diantisipasi oleh petani melalui penguatan modal sosial. Untuk mencapai

harga yang stabil harus ada intervensi dari pusat berupa regulasi maupun

kebijakan lainnya seperti bantuan, bibit, pupuk, teknologi tepat guna dan lain-

lainnya.

Kerugian ekonomi akibat penurunan harga jual bawang dapat terjadi kapan

saja. Jika hal itu terjadi, maka petani akan memperpanjang tempo pelunasan

peminjaman modal. Sedangkan sebagian hasil penjualan akan digunakan untuk

biaya pengeluaran kebutuhan pangan dan biaya kebutuhan non pangan.

Kesejahteraan yang diukur dalam pendekatan objektif salah satu satunya dilihat

melalui status dan luas kepemilikan lahan sawah. Indikator tersebut berhubungan

langsung dengan modal sosial yaitu kepercayaan dan jarinagan. Sebagian besar

petani di Desa Krasak tidak memiliki lahan sawah sendiri, melainkan menyewa.

Jika petani tidak memiliki jaringan yang kuat terhadap pemilik lahan maka petani

tidak dapat menyewa lahan atau petani tidak dapat menyewa lahan tersebut

dengan harga yang menguntungkan petani.

Kesejahteraan ekonomi rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan

objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur dengan pendekatan yang

baku. Sedangkan pendekatan subjektif dilihat dari persepsi kondisi pemenuhan

kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan ekonomi

subjektif tidak hanya mendeskripsikan mengenai kekayaan rumah tangga namun

juga dapat mendeskripsikan sejauh mana kepuasan rumah tangga dalam

pencapaian kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Suatu rumah

tangga petani yang kondisi kehidupan objektifnya rendah belum tentu kondisi

kehidupan subjektifnya juga rendah, dan sebaliknya. Dalam penelitian Sembiring

dan Berutu (2005) modal sosial yang diteliti dapat dijadikan sebagai bentuk

potensi yang menunjang keberhasilan ekonomi, pemuasan kebutuhan tidak harus

menggunakan modal uang atau kebijakan baru namun dapat mengguanakan

potensi lokal yang sudah ada sebelumnya. Uji korelasi Rank Spearman digunakan

untuk mengetahui hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif

(lihat Tabel 29).

4 Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri: Distribusi Bawang Merah Harus di Kawal. Brebes

News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalam-

negeri-distribusi-bawang-merah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI. Diakses pada 20 Mei 2015

65

Tabel 29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani

Modal sosial

Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif

Koefisien korelasi Sig (2-tailed)

0.343* 0.030

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai

koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif sebesar

0.343 . Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi namun moderat atau lemah.

Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.030 (p <0.05). Nilai tersebut

menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan

nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga

petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif

dapat ditentukan dengan kondisi modal sosial yang ada pada rumah tangga petani.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan

tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa

Krasak

Modal

sosial

Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N %

Rendah 4 10.0 4 10.0 2 5.0 10 25.0

Sedang 4 10.0 14 35.0 5 12.5 23 57.5

Tinggi 0 0 3 7.5 4 10.0 7 17.5

Total 8 20.0 21 52.5 11 27.5 40 100.0

Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel merupakan hubungan

yang searah atau positif, dimana semakin tinggi tingkat modal sosial rumah petani

maka umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan subjektifnya. Hal

ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar

rumah tangga petani (35 persen) yang berada pada kategori modal sosial sedang

umumnya juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif yang tergolong

dalam kategori sedang. Kemudian terdapat 10 persen responden pada kategori

modal sosial tinggi yang juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi, sedangkan

responden yang memiliki kategori sedang sebesar 7.5 persen.

Hubungan antara tingkat modal sosial rumah tangga petani dengan tingkat

kesejahteraan ekonomi subjektif dapat tercermin pada interaksi yang dibangun

oleh petani dengan lingkungannya sekitarnya. Interaksi yang menjadi bagian dari

modal sosial tersebut bukanlah interaksi yang penuh dengan persaingan dan kaku,

sehingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani seperti

kebutuhan pangan, pakaian, fasilitas rumah tangga dapat tercapai dan relatif sama.

Interaksi tersebut terjadi di lingkungan Desa Krasak, dapat berupa pelaksanaan

66

norma sosial seperti bersilaturrahmi, berdiskusi, bergotong-royong. Berikut hasil

wawancara dengan responden mengenai pemenuhan kebutuhan.

“...Kalau masalah puas atau tidak, saya merasa puas Mbak.

Kebutuhan belanja harian, baiaya anak SD, listrik sudah terpenuhi

Mbak. Dengan untung segitu ya terpenuhi ko Mbak. Kalau tinggal

dikota yang serba mewah mungkin ga bisa. Saya juga kan punya

keluarga disini, kakak dan adik saya di sini. Kalau bawang sedang

jelek ya sama-sama saling membantu. Timbal balik saja.” (Bapak W,

petani)

Pemenuhan kebutuhan keluarga bergantung pada pengambilan keputusan

dalam aktivitas anggota keluarga, contohnya pola konsumsi. Jika suatu rumah

tangga petani lebih menyukai makanan sederhana yang murah maka pemenuhan

kebutuhannya tercapai (merasa puas) walaupun pengeluaran untuk konsumsi

pangan tergolong kecil.

Perbedaan pendekatan objektif dan subjektif tersebut dapat dilihat melalui

pengeluaran kebutuhan untuk investasi SDM misalnya pendidikan. Perbedaan

jenjang pendidikan yang sedang dijalani anak akan mempengaruhi pemuasan

pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan biaya untuk menyekolahkan anak pada jenjang

SMA dan S1 misalnya, akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya

menyekolahkan anak SD dan SMP. Sehingga walaupun pengeluaran keluarga

lebih tinggi (kesejahteraan objektif tinggi), bukan berarti keluarga tersebut pasti

dapat merasakan puas atas pemenuhan kebutuhan investasi SDM atau kebutuhan

lainnya.

67

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Semua kelompok masyarakat di Indonesia pada hakekatnya mempunyai

potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan.

Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah pemanfaatan modal sosial.

Jumlah rumah tangga petani di Indonesia semakin menurun. Hasil penelitian yang

dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial signifikan positif berhubungan

dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan subjeketif rumah tangga petani

di Desa Krasak. Hal ini berarti semakin tinggi modal sosial yang ada pada rumah

tangga petani maka semakin tinggi pula kesejahteraan ekonominya. Modal sosial

secara khusus dilihat dari tipe hubungannya yaitu social bounding, social bridging

dan social linking. Masing-masing kondisi modal sosial berdasarkan tipe

hubungannya, telah tersedia pada rumah tangga petani namun belum

dimanfaatkan secara maksimal.

Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui hubungan masing-masing tipe

modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi, baik yang diukur secara objektif dan

subjektif. Hasil penelitian menunjukkan tipe social bounding dan tipe social

bridging signifikan berhubungan positif dengan kesejahteraan ekonomi objektif.

Hal ini berarti semakin tinggi tingkat social bounding dan tingkat social bridging,

maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga

petani. Selanjutnya hanya tipe social bridging yang signifikan berhubungan

positif dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi tingkat social bridging maka semakin tinggi pula tingkat

kesejahteraan ekonomi subjektif pada rumah tangga petani Desa Krasak.

Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi rumah tangga

tidak dapat terlihat langsung. Modal sosial bukan merupakan potensi atau modal

yang dapat mentransformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan.

Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset

untuk mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat

dimanfaatkan sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas

interaksi rumah tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi

pula kesejahteraan rumah tangga tersebut. Peran modal sosial dapat terlihat yaitu

(1) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengetahui kebijakan pertanian

yang berpengaruh pada kehidupan petani, (2) meningkatkan tindakan bersama

dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, dan (3) dapat

menambah informasi dan membantu mendapatkan kebutuhan yang diterima

petani seperti fasilitas mengakses modal, fasilitas kredit dan berbagai bentuk

produksi.

68

Saran

Modal sosial merupakan salah satu aset yang telah tersedia yang dimiliki

oleh petani dalam menjamin keberlangsungan hidupnya. Modal sosial yang ada

belum seluruhnya dimanfaatkan oleh rumah tangga petani. Kelembagaan

kelompok tani di Desa Krasak belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal

tersebut disebabkan oleh persepsi petani yang menganggap bahwa bergabung

dalam kelompok tani tidak dapat meningkatkan usaha pertaniannya. Anggota

kelompok tani perlu memaksimalkan kinerja kelompok tani dan melakukan

sosialisasi tentang kebermanfaatan kelompok tani untuk para petani. Selain perlu

dimanfaatkan dengan maksimal, modal sosial juga perlu ditingkatkan.

Peningkatan modal sosial untuk membangun kekuatan kolektif.

Upaya peningkatan modal sosial rumah tangga petani dapat dilakukan

dengan mengadakan penyuluhan, dialog terbuka, atau pelatihan yang

memfasilitasi petani agar dapat membentuk jaringan dengan pihak lain. Upaya

tersebut diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada petani untuk

membangun dan mengembangkan jaringan yang dimiliki. Upaya-upaya tersebut

juga diharapkan agar modal sosial dapat mempercepat atau sebagai katalis menuju

rumah tangga petani yang berdaya. Perlu perhatian pemerintah mengenai modal

sosial yang sebaiknya diikutsertakan dalam berbagai kebijakan pertanian.

Kebijakan pertanian yang menyertakan pemanfaatan modal sosial akan lebih

efektif dan dapat diikuti oleh seluruh rumah tangga petani dari pada kebijakan

yang hanya mengutamakan moda produksi.

69

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase

Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013. [Internet]. Dapat

diunduh

di:http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek

=23&notab=7

. 2013. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas

Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013. [Internet]. Dapat diunduh di:

http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?search-

tabel=Jumlah+Rumah+Tangga+Usaha+Pertanian+menurut+Golongan+Lu

as+Lahan+yang+Dikuasai+Tahun+2003+dan+2013&tid=21&search-

wilayah=Indonesia&wid=0000000000&lang=id

. 2014. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dapat diunduh di: www.bps.go.id

. 2014. Potensi Desa Krasak Kabupaten Brebes 2014.

Cahyono, Adhiatma. 2012. Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Petani Tembakau di Kabupaten Wonosobo. [Prociding

seminar] Makalah disampaikan pada seminar Conference In Business,

Accounting and Management (CBAM) Vo.1 No.1 [Internet]. [diunduh 10

September 2010]. Dapat diunduh di:

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/cbam/article/view/128/104

Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri. 2014. Distribusi Bawang Merah

Harus di Kawal. Brebes News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/-

2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalam-negeri-distribusi-bawang-

merah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI

Field J. 2010. Modal Sosial (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh NURHADI)

Bantul [ID]: Kreasi Wacana 272 hal. [Judul asli Social Capital]

Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal Pengembangan

Humaniora Vol.12 No.1 [Internet]. [diunduh 20 September 2014]. Dapat

di undu di:

http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_6%20apr%

202012.pdf

Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan,

Strategi Koping, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu

Keluarga dan Konsumen Vol. 6 No.1

Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan

Advokasi Untuk Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran

yang kian terlupakan: membedah persoalan nelayan tradisional Sumatera

Utara. Universitas Michigan. Diakses di:https://books.google.co.id/-

books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id

Muspida. 2007. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri

Rakyat di Kabupaten Maros Sualwesi Selatan. Diunduh di:

http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/download/93/84

Nuryadin. 2009. Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Komunitas

Suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. [Disertasi].

70

Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Indonesia

Pontoh O. 2010. Identifikasi Dan Analisis Modal Sosial dalam Rangka

Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten

Minahasa Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. 6 No.3

[Internet]. [diunduh 15 Oktober 2014]. Dapat diunduh di:

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT/article/view/156/122

Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat

Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi Kasus:

Desa-desa (Hulu DAS) ex Proyek Bangunan Lahan Kering, Kabupaten

Boyolali. Jurnal Agro Ekologi Vol. 24 No.2. [Internet]. [diunduh 10

September 2014]. Dapat diunduh di: http://pse.litbang.deptan.go.id/-

ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf

Purnomo A, Dharmawan A.H, Agusta I. 2007. Transformasi Struktur Nafkah

Pedesaan: Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam Skema

Pengelolaan Hutan Bersama Mayarakat di Kabupaten Kuningan Vol. 1

No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/-

index.php/sodality/article/download/5931/4608

Singarimbun M, Efendi S. 1983. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES

Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah

Perdesaan Provinsi Jambi. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor. [diunduh 20 September 2007]. Dapat diunduh di:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40884/2007sua.pdf

?sequence=11

Sumarti T. 2007. Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi.

Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol.1

No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/-

index.php/sodality/article/view/5925/4603

[UU]. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan

Pemberdayaan Petani. [Internet]. Dapat diunduh di:

http://perundangan.pertanian.go.id/admin/uu/UU%20No.19%20Tahun%20

2013%20Perlindungan%20&%20Pemberdayaan%20Petani.pdf

71

LAMPIRAN

72

73

Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian

Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

Penyusunan

proposal

skripsi

Kolokium

Perbaikan

proposal

skripsi

Penjajagan

lapang

Pengambilan

data

lapangan

Pengolahan

dan analisis

data

Penyusunan

draft skripsi

Uji petik

Sidang

skripsi

Perbaikan

skripsi

Lampiran 2 Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah

74

Lampiran 3 Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik

Tabel 1 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan

objektif

Social

Bounding

Kesejahteraan

Objektif

Spearman's rho Social Bounding Correlation

Coefficient 1.000 .321*

Sig. (2-tailed) . .043

N 40 40

Kesejahteraan

Objektif

Correlation

Coefficient .321* 1.000

Sig. (2-tailed) .043 .

N 40 40

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Tabel 2 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan

objektif

Social

Bridging

Kesejahteraan

Objektif

Spearman's rho Social Bridging Correlation

Coefficient 1.000 .398*

Sig. (2-tailed) . .011

N 40 40

Kesejahteraan

Objektif

Correlation

Coefficient .398* 1.000

Sig. (2-tailed) .011 .

N 40 40

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

75

Tabel 3 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan

objektif

Social Linking

Kesejahteraan

Objektif

Spearman's rho Social Linking Correlation

Coefficient 1.000 .111

Sig. (2-tailed) . .495

N 40 40

Kesejahteraan Objektif Correlation

Coefficient .111 1.000

Sig. (2-tailed) .495 .

N 40 40

Tabel 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan

subjektif

Social

Bounding

Kesejahteraan

Subjektif

Spearman's rho Social Bounding Correlation

Coefficient 1.000 .117

Sig. (2-tailed) . .471

N 40 40

Kesejahteraan

Subjektif

Correlation

Coefficient .117 1.000

Sig. (2-tailed) .471 .

N 40 40

Tabel 5 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan

subjektif

Social

Bridging

Kesejahteraan

Subjektif

Spearman's rho Social Bridging Correlation

Coefficient 1.000 .374*

Sig. (2-tailed) . .017

N 40 40

Kesejahteraan

Subjektif

Correlation

Coefficient .374* 1.000

Sig. (2-tailed) .017 .

N 40 40

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

76

Tabel 6 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan

subjektif

Social Linking

Kesejahteraan

Subjektif

Spearman's rho Social Linking Correlation

Coefficient 1.000 .139

Sig. (2-tailed) . .391

N 40 40

Kesejahteraan Subjektif Correlation

Coefficient .139 1.000

Sig. (2-tailed) .391 .

N 40 40

77

Lampiran 4 Dokumentasi

Lahan tanaman bawang merah yang telah diolah Sosialisasi pupuk bersubsidi

Kegiatan penyortiran hasil panen bawang merah Wawancara responden

Penanaman tanaman bawang merah

Salah satu toko atau warung yang menjual

pestisida, pupuk dan sarana pertanian

lainnya

Gubuk tani

Padi yang akan di panen pada bulan April

78

Lampiran 5 Tulisan tematik

Modal sosial rumah tangga petani

Desa Krasak didominasi oleh masyarakat dengan pekerjaan utama sebagai petani.

Pemanfaatan lahan Desa Krasak antara lain untuk lahan persawahan yaitu dengan luas

kurang lebih 118.72 ha, luas pemukiman kurang lebih 47.20 ha. Maka Desa Krasak

dapat disebut dengan desa pertanian. Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak

adalah bawang merah, hal ini sejalan dengan Kabupaten Brebes yang merupakan sentra

bawang merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa

Krasak menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Agar keberlangsungan hidup

petani terjamin, maka petani perlu menggunakan modal sosial yang telah tersedia untuk

mendapatkan moda produksi. Modal sosial berdasarkan jenis hubungannya dibedakan

menjadi tiga tipe yaitu social bonding, social bridging, dan social lingking. Komponen

pembentuk sosial bounding adalah tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada

norma sosial. Kepercayaan yang terbangun antar petani cukup baik. Petani saling

mempercayai satu sama lain terutama dalam hal pengembangan pertanian. Hal ini

seperti yang dikemukakan oleh Bapak W sebagai berikut. “Saya pasti ngbrol-ngobrol

Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso, kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya

cerita hama yang ditemuin pas di sawah tadi apa saja. Kalau ada yang minta saran ya

saya kasih Mbak, obat apa aja yang baru yang lebih bagus. Kalau ada teman

bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai pupuk apa? Obatnya apa? Kadang

dijawabnya jenis obat baru dari PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke

yang lainnya”. Kepercayaan petani di Desa Krasak juga didasari oleh kedekatan petani

dengan yang lainnya seperti hubungan keluarga atau tetangga.

Tingkat kepatuhan norma sosial dapat dilihat dari intensitas masyarakat

melakukan ide atau tradisi. Norma tersebut berbentuk keikutsertaan dalam tradisi lokal,

silaturrahmi saat hari raya besar Islam, tahlilan, jamiahan. Salah satu tradisi lokal adalah

sedekah bumi. Pelaksanaan sedekah bumi adalah warga berkumpul di tanah lapang pada

malam hari dan membaca doa bersama dan diakhiri dengan makan bersama. Namun

terdapat warga yang tidak mengikuti acara sedekah bumi tersebut. Seperti wawancara

dengan Bapak A. Sedekah bumi ya setiap tahun saya iuran Mbak, warga ada yang ikut

ke Blok Pung ada yang tidak. Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut.

Memang acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama Islam

Mbak, Nanti saya musyrik. Tingkat kepatuhan terhadap norma tergolong baik. Keadaan

tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma tersebut membuat kondisi social

bounding tergolong tinggi.

Komponen pembentuk sosial bridging adalah kuatnya jaringan, tingkat solidaritas

dan tingkat partisipasi dalam organisasi. Kuatnya jaringan Kuatnya jaringan pada rumah

tangga petani cukup baik. Terdapat petani yang saling membangun jalinan kerja sama

dengan petani lain. Kerja sama tersebut adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan

modal dalam budidaya komoditas bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya.

Dalam bekerja sama petani sudah saling bersepakat dalam aturan bekerja sama baik

dalam proses penanaman modal awal, perawatan tanaman maupun, panen, maupun

dalam proses menjualan hasil panen.

Kuatnya jaringan dapat terlihat apabila petani banyak menerima informasi

perkembangan cara budidaya pertanian. Informasi tersebut didapatkan dari petani

lainya. Kemudian terdapat pula petani yang tidak mendapatkkan kredit sarana produksi

pertanian. Banyak petani yang kurang merasakan manfaat dari kelompok tani. Hal ini

79

dikarenakan petani-petani tersebut tidak tersosialisai dengan baik mengenai keuntungan

bergabung dengan kelompok tani. Terdapat anggapan bahwa keanggotaannya pada

kelompok tani belum memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut

wawancara dengan responden tersebut. “Iya, saya anggota Unggul Tani. Jarang ada

rapat atau perkumpulan kok Mbak. Saya hanya anggota, kadang dapat undangan buat

yang promosi pestisida. Seperti itu saja sih Mbak. Kalo pengkoordinasian sarana belum

ada. Belum ada kredit untuk sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya

pupuk murah sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani). Adanya anggapan-

anggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat menyebabkan tidak

dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa Krasak sehingga para petani

pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi Kelompok tani. Tingkat solidaritas

sesama petani di Desa Krasak cukup tinggi. Pada saat mendekati musim tanam bawang

merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit

bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala

pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan. Partisipasi dalam kelembagaan

di lingkungan sekitar dilihat dari intensitas petani mengikuti kegiatan kelembagaan

tersebut. Hampir setiap hari ada kegiatan “jamiahan”, selain untuk menjalankan norma

agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat saling bertukar informasi. Pada

kegiatan kelembagaan petani mengambil keputusan secara musyawarah.

Berdasarkan tingkat kebergantungan, petani cukup bergantung dengan

kelembagaan peminjaman modal dan para tengkulak. Dalam mendapatkan modal awal

setiap musimnya terdapat petani yang mendapatkan modal dari tabungan sendiri, yakni

petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih untuk melanjutkan kegiatan

bertani ke musim berikutnya. Seperti pernyataan Bapak W. “Sekitar pertengahan maret

kan mau pada tanam, sekarang saya harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau

tidak. Setiap musim kalau sedang stabil saja saya pakai uang tabungan saja. Kalau

ditambah pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang. Kemudian

Bapak K mengemukakan ” Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI.

Kalau tidak begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau udah

ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak”. Tingkat kepentingan petani pada luar

komunitas terlihat pada pemanfaatan keberadaan penyuluhan. Pemanfaatan keberadaan

penyuluh pertanian dapat dirasakan petani, namun tidak seluruh petani merasakannya

langsung. Penyuluhan pertanian memberikan penyuluhan kepada petani di “Gubuk

Temu”. Penyuluh pertanian menyampaikan mengenai cara-cara pembudidayaan terbaru.

Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani

Kesejahteraan ekonomi dilihat dari aspek-aspek ekonomi seperti pengeluaran

rumah tangga petani, penguasaan dan kepemilikan lahan sawah, luas bangunan rumah,

kepemilikan fasilitas rumah dan kondisi rumah. Terdapat petani yang memiliki lahan

sawah dan ada pula yang menyewa lahan persawahan. Hal tersebut dikemukakan oleh

informan yaitu Bapak S, Sekretaris Desa Krasak. “Kurang lebih 70 persen lahan di

desa adalah lahan persawahan. Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani

yang menyewa lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di

sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga besok mau ke Weleri,

mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi dulu, di Weleri ditanam bawang”.

Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan (bukan buruh tani) juga

80

dapat menguasai (menyewa) lahan di kota lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri,

Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan sewaan yang berada di luar kota lebih sering

untuk ditanami tanaman bawang. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan

Maret sampai Mei dan Oktober sampai Desember.

Pengeluaran rumah tangga petani dapat mencerminkan pendapatan petani. Untuk

mempermudah penelitian, digunakan indikator pengeluaran karena petani merupakan

pekerjaan sektor informal yang setiap panennya memperoleh pendapatan tidak tetap.

Seperti pernyataan responden yaitu Bapak S. “Bawang sedang anjlog harganya Mbak.

Walaupun hasilnya bagus tapi enggak berpengaruh buat harga jual. Saya petani mbak,

tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari pada menganggur Saya ngerjain apa aja

mbak yang Saya bisa. Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik

atau meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang tidak Saya jual,

buat bibit saja”. Pengukuran kesejahteraan menggunakan pendekatan subjektif adalah

dengan cara mengetahui seberapa jauh kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non

pangan dan investasi SDM.

Rumah tangga petani menyatakan puas dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya biasa saja Mbak. Kadang

kalau lapar, makan lagi. Sudah Alhamdullillah. (Bapak K, petani) Makan sehari-hari

ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak. Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur

asem, sambel. Kalau beli daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu

dua kali. Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya, tidak ada.”

(Bapak N, petani). Untuk kebutuhan tempat tinggal juga kebutuhan petani terpenuhi,

walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang tua atau mertuanya. Namun untuk

kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani hanya merasa cukup dan cenderung

kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan Bapak J. Kalau dikatakan terpenuhi, Saya

tidak setuju Mbak. Kemarin sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan

tahun kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya ikut naik

Mbak, lebih tinggi bulan ini.”

Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan

dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan sumbangan

adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk sumbangan yang diberikan

kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau khitanan, petani di Desa Krasak

akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras untuk kerabat mereka.

81

Lampiran 6 Daftar Nama Responden

No Nama Usia Alamat

1 Warson 35 RT 1 RW 1 Desa Krasak

2 Wahidin 65 RT 1 RW 1 Desa Krasak

3 Tarsim 50 RT 1 RW 1 Desa Krasak

4 Sunarto 50 RT 8 RW 1 Desa Krasak

5 Sangwar 52 RT 9 RW 1 Desa Krasak

6 Samsudi 38 RT 9 RW 3 Desa Krasak

7 Titis Adi S 25 RT 9 RW 3 Desa Krasak

8 Sumar 30 RT 9 RW 2 Desa Krasak

9 Sakwi 60 RT 9 RW 2 Desa Krasak

10 Tarwan 65 RT 7 RW 1 Desa Krasak

11 Kakim 65 RT 7 RW 1 Desa Krasak

12 Zuhri 57 RT 3 RW 1 Desa Krasak

13 Senyan 50 RT 3 RW 1 Desa Krasak

14 Waryono 52 RT 3 RW 1 Desa Krasak

15 Suhaji 45 RT 3 RW 1 Desa Krasak

16 Sutono 40 RT 2 RW 2 Desa Krasak

17 Abas 43 RT 3 RW 2 Desa Krasak

18 Tarnyan 55 RT 3 RW 2 Desa Krasak

19 Wa ad 60 RT 2 RW 2 Desa Krasak

20 Jaeli 46 RT 1 RW 3 Desa Krasak

21 Jaenudin 32 RT 6 RW 2 Desa Krasak

22 Jirab 40 RT 5 RW 2 Desa Krasak

23 Sarkham 30 RT 4 RW 1 Desa Krasak

24 Wasrip 45 RT 5 RW 1 Desa Krasak

25 Khasan 40 RT 5 RW 1 Desa Krasak

26 Manis 55 RT 5 RW 1 Desa Krasak

27 Nurokhim 37 RT 3 RW 2 Desa Krasak

28 Wa an 65 RT 3 RW 2 Desa Krasak

29 Supardi 43 RT 1 RW 3 Desa Krasak

30 M. K. Sarnadi 40 RT 2 RW 3 Desa Krasak

31 Rajad 50 RT 3 RW 3 Desa Krasak

32 Carsad 57 RT 4 RW 2 Desa Krasak

33 Jaroah 43 RT 4 RW 2 Desa Krasak

34 Suparmin 40 RT 3 RW 2 Desa Krasak

35 Hadining P 35 RT 4 RW 2 Desa Krasak

36 Sukram 50 RT 9 RW 2 Desa Krasak

37 Tarmidi 62 RT 2 RW 3 Desa Krasak

38 Wirsad 43 RT 2 RW 3 Desa Krasak

39 Nurohman 43 RT 2 RW 3 Desa Krasak

40 Nurcahya 40 RT 2 RW 3 Desa Krasak

82

83

RIWAYAT HIDUP

Nurul Fauziah dilahirkan di Brebes pada tanggal 3 Mei 1993 dari pasangan

Hendro Sulistiyono dan Siti Khodijah. Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya

yaitu SD, SMP dan SMA di Kabupaten Brebes. Pendidikan formal yang pernah dijalani

adalah di SD Muhammadiah Brebes, SMP Negeri 2 Brebes dan SMA Negeri 1 Brebes.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor dengan

Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada semester ke-3

tepatnya pada tahun 2012, hingga semester ke-8 penulis adalah penerima Beasiswa

Angkatan 16 Sosek IPB.

Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam

organisasi. Penulis aktif sebagai anggota KPMDB (Kumpulan Pelajar Mahasiswa

Daerah Brebes) pada tahun 2012 sampai tahun 2013, kemudian sebagai bendahara

KPMDB pada tahun 2014. Pada tahun 2013 penulis bergabung dalam kepengurusan

HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat). Dalam kepengurusan tersebut penulis menjadi sekretaris

divisi public relation. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah sebagai juara 2

menulis cerita pendek pada acara HIMASIERA OLAH TALENTA pada tahun 2012.

Kemudian menjadi finalis kategori cerita pendek pada acara Al-QalamWritification di

Universitas Pendidikan Indonesia.