hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi rumah ... · sosial dengan kesejahteraan ekonomi...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
NURUL FAUZIAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Modal
Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Nurul Fauziah
NIM I34110094
iii
ABSTRAK
NURUL FAUZIAH. Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi
Rumah Tangga Petani. Dibimbing oleh Dr SOFYAN SJAF, MSi
Moda produksi yang pemerintah fokuskan dalam meningkatkan kesejahteraan
petani tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan.
Berbagai modal sosial yang ada di masyarakat disinyalir mampu memberikan
kontribusi kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Tipologi modal sosial yang
berada pada masyarakat yaitu bounding, bridging dan linking dapat ditentukan
melalui tingginya tingkat unsur-unsur modal sosial. Kesejahteraan dapat dilihat
melalui dua pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan
objektif dan (2) kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif. Tujuan dari
penelitian ini adalah: (1) menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial
dengan kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani, (2) menganalisis
tingkat modal sosial rumah tangga petani, (3) menganalisis hubungan tipe modal
sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dan (4)
menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif
rumah tangga petani. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kuantitatif
melalui pendekatan survei. Teknik penentuan sampel dalam rancangan penelitian
ini adalah teknik simple random sampling. Pengolahan data menggunakan uji
statistik Rank Spearman untuk melihat hubungan variabel. Hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa tingkat modal sosial berada pada kategori sedang.
Hasil uji statistik menunjukkan tipe modal sosial yang berhubungan dengan
kesejahteraan objektif adalah social bounding dan social bridging, sedangkan tipe
modal sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan subjektif adalah social
bridging. Selain itu hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara modal sosial rumah tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi
objektif dan subjektif.
Kata kunci: modal sosial, kesejahteraan, petani
ABSTRACT
NURUL FAUZIAH. The Correlation of Social Capital in Economic Welfare of
Farmer Households. Supervised by Dr SOFYAN SJAF, MSi
Mode of production that government focusing for improve the farmers welfare
still can not make the farmers freed from the shackles the poverty. Various social
capital in the community was allegedly able to contribute to the economic welfare
of society. Typology of social capital in communities are bounding, bridging and
linking can be determined by the high levels of the elements of social capital.
Welfare can be measured through two approaches, namely: (1) welfare that
measured by an objective approach and (2) welfare that measured by subjective
approach. The aim of this study are: (1) analyzing the correlation of social capital
with the objective and subjective welfare of farm households, (2) analyzing the
iv
level social capital stock of farmers household, (3) analyzing the correlation
between the type of social capital with the objective and subjective economic
welfare of farmers households. This study conducted by quantitative survey
approach with simple random sampling technique. Data processing used the
Rank-Spearman test to see the correlation of variables. The results obtained
showed that level of social capital stock on the middle category. Based on the
statistical test results showed the typology of social capital that have correlation
with objective ecomic walfare are social bounding and social bridging meanwhile
the typologi of social capital that have correlation with subjective econimic
walfare is social bridging. There was a correlation between social capital of
farmers household with objective and subjecetive economic welfare.
Key word: social capital, welfare, farmers
v
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
NURUL FAUZIAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vii
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf, MSi
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi
Rumah Tangga Petani
Nama : Nurul Fauziah
NIM : I34110094
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang
telah melimpahkan segenap nikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis mampu
menyusun skripsi yang berjudul “Hubungan Modal Sosial dengan Kesejahteraan
Ekonomi Rumah Tangga Petani”. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat
kelulusan pada Program Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan dan kontribusi selama proses pembuatan proposal skripsi.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Sofyan Sjaf, MSi selaku
dosen pembimbing yang telah membimbing, mendukung dan memberikan
masukan selama proses penyusunan skripsi. Selanjutnya penulis sampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada Bapak Hendro Sulistiyono dan Ibu Siti Khodijah
serta keluarga yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada
penulis. Tak lupa rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada donatur
beasiswa Angkatan 16 Sosek IPB yang telah memberi dukungan dan materi
selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada seluruh teman-teman
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dan teman-teman
dalam lingkup Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dukungan kepada
penulis. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih dalam
perkembangan ilmu pengetahuan
Bogor, Juli 2015
Nurul Fauziah
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 2
Tujuan Penelitian 3
Kegunaan Penelitian 3
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Kerangka Pemikiran 12
Hipotesis Penelitian 15
Definisi Operasional 15
PENDEKATAN LAPANGAN 21
Metode Penelitian 21
Lokasi dan Waktu 21
Teknik Pemilihan Responden dan Informan 21
Teknik Pengumpulan Data 22
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 22
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25
Kondisi Geografi dan Demografi 25
Kondisi Sosial dan Ekonomi 27
Karakteristik Responden 32
ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI 35
Kondisi Sosial Bounding Rumah Tangga Petani 35
Kondisi Social Bridging Rumah Tangga Petani 39
Kondisi Social Linking Rumah Tangga Petani 44
KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI 49
xii
Kesejahteraan Ekonomi Objektif 49
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif 53
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
57
Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif
dan Subjektif Rumah Tangga Petani
57
Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi
Objektif dan Subjektif Rumah Tangga Petani
62
SIMPULAN DAN SARAN 67
Simpulan 67
Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 71
RIWAYAT HIDUP 83
xiii
DAFTAR TABEL
1 Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial 6
2 Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal
sosial
10
3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok
umur dan jenis kelamin
27
4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat
pendidikan
28
5 Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014 29
6 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan
pertanian
30
7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan 32
8 Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian
lain selain petani
33
9 Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan 36
10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat ketaatan pada
norma sosial
37
11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social
bounding
38
12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan 40
13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas 41
14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi
dalam organisasi
42
15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging 43
16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan 44
17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan 46
18 Tabel jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking 47
19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesejahteraan ekonomi
objektif
50
20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian
50
xiv
21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah
tangga petani
52
22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas 52
23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi
Subjektif
53
24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan
ekonomi objektif
57
25 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi subejktif rumah tangga petani
59
26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat
pengeluaran rumah tangga
61
27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi obejktif rumah tangga petani
62
28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan
tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa
Krasak
63
29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani
65
30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan
tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa
Krasak
65
xv
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kerangka pemikiran rancangan penelitian 13
2 Kalender musim pertanian Desa Krasak 25
1 Jadwal pelaksanaan penelitian 73
2 Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah 73
3 Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik 74
4 Dokumentasi 77
5 Tulisan tematik 78
6 Daftar nama responden 81
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah rumah tangga petani yang
besar. Pada tahun 2003 jumlah rumah tangga petani Indonesia mencapai 31 juta
rumah tangga, namun pada tahun 2013 terdapat 26 juta rumah tangga petani (BPS
2013). Penurunan angka kurang lebih sebesar lima juta rumah tangga petani
selama satu dekade tersebut dikarenakan berbagai banyak hal. Penyebab
penurunan tersebut salah satunya adalah karena petani maupun buruh tani
mengalami kemunduran kesejahteraan ekonomi, sehingga petani dan buruh tani
beralih mata pencaharian ke sektor lainnya. Hal tersebut juga dipicu dengan tidak
adanya jaminan kesejahteraan bagi petani Indonesia yang didukung dengan
kebijakan. Hampir semua kebijakan pertanian di Indonesia berpegang pada
peningkatan manfaat moda produksi. Moda produksi yang pemerintah pentingkan
tetap saja tidak membuat petani terbebas dari belenggu kemiskinan.
Data jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 adalah 22.71
persen dari total penduduk. Kemudian dari 22.71 persen total penduduk tersebut,
sebesar 14.32 persen adalah penduduk miskin di wilayah pedesaan Indonesia
(BPS 2013). Sekitar 56 persen dari total penduduk miskin Indonesia
menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian atau bekerja sebagai petani di
wilayah pedesaan. Diketahui pula bahwa dari seluruh penduduk miskin pedesaan
ini ternyata 90 persen telah bekerja dan sebagian besar petani (BPS 2013). Hal ini
memiliki arti bahwa masyarakat miskin di wilayah pedesaan yang sebagian besar
adalah petani telah bekerja keras namun tetap belum sejahtera.
Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani. Undang-Undang tersebut menimbang bahwa peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini belum mengatur perlindungan dan
pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan holistik. Implementasi
UU Nomor 19 Tahun 2013 berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk
melindungi kepentingan petani, antara lain pengaturan impor komoditas pertanian
sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi di dalam negeri,
penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat waktu, tepat mutu, dan harga
terjangkau bagi petani, serta subsidi sarana produksi, kemudian penetapan tarif
bea masuk komoditas pertanian, serta penetapan tempat pemasukan komoditas
pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean.
Undang-Undang tersebut menetapkan kebijakan dalam hal sosial yaitu
masyarakat petani mendapatkan pemberdayaan mengenai kelembagaan, namun
kelembagaan tersebut didominasi oleh kelembagaan formal berisi tata aturan yang
mengikat. Sehingga terdapat kendala yang dirasakan petani untuk dapat
memanfaatkannya secara maksimal. Kelembagaan tersebut diantaranya adalah
pemberdayaan dalam kelembagaan kelompok tani. Semua kelompok masyarakat
di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang
kondusif dan dapat menunjang pembangunan. Persoalannya selama ini potensi-
potensi tersebut kurang mendapat tempat karena adanya anggapan potensi-potensi
tersebut tidak relevan dengan zaman dan tidak dapat digunakan untuk peningkatan
2
taraf hidup manusia. Akibatnya selain tidak banyak dipahami juga tidak diikut
sertakan dalam proses pembangunan itu sendiri. Terdapat penyeragaman modal
yang bersifat materi. Modal tersebut selalu diutamakan sehingga berakibat
kurangnya perhatian terhadap potensi-potensi lokal.
Salah satu ahli yang berfokus pada peranan modal sosial di masyarakat
adalah Putnam. Putnam (1995) dalam Pranadji (2006) menyatakan bahwa bangsa
yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam
menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan
kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu
tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat. Putnam et al. (1993) dalam Field (2010)menyatakan modal sosial
adalah penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma (atau hal
timbal balik), dan jaringan (dari ikatan-ikatan masyarakat). Penampilan organisasi
sosial tersebut dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi
adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama.
Masalah Penelitian
Berbagai modal sosial yang ada di pedesaan disinyalir mampu memberikan
kontribusi bagi masyarakat pedesaan. Hal tersebut diketahui melalui berbagai
hasil penelitian yang ditelaah. Peran modal sosial dalam pencapaian kesejahteraan
seharusnya bukan hanya merupakan kegiatan rutinitas bagi masyarakat, namun
juga harus mampu menampung berbagai permasalahan dan melakukan
pemecahan masalah secara kolektif. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
pedesaan melalui optimalisasi modal sosial harusnya didukung dengan kebijakan
pemerintah yang tidak hanya fokus terhadap penyedian moda produksi. Modal
sosial dapat berupa sumber daya yang telah ada di masyarakat dan dapat
dimanfaatkan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Atas dasar uraian realitas
tersebut maka menarik untuk menelaah konsep modal sosial dengan mengaitkan
pada kesejahteraan. Oleh karena itu penelitian ini mengkaji seberapa kuat
hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif
rumah tangga petani?
Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam
Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli.
Adapun tipe dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial
yang mengikat (social bounding): tingkat kepercayaan dan nilai sosial, (2) tipe
modal sosial yang menjembatani (social bridging): jaringan, solidaritas, dan
tingkat partisipasi pada kelembagaan, (3) tipe modal sosial yang menghubungkan
(social linking): kebergantungan terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan.
Berdasarkan analisis yang mempertanyakan peranan modal sosial dalam
kesejahteraan keluarga dapat diidentifikasi bahwa unsur modal sosial terdiri dari:
tingkat kepercayaan, nilai sosial, perasaan senasib, jaringan, solidaritas, tingkat
partisipasi, kebergantungan terhadap komunitas lain, dan tingkat kepentingan.
Sedangkan aspek kesejahteraan digolongkan dalam pendekatan kesejahteraan
objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif dapat digolongkan
dalam beberapa indikator survei yang baku yaitu pengeluaran untuk kebutuhan
3
pangan, non pangan dan investasi. Kemudian kesejahteraan subjektif dapat diukur
dengan indikator kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan
investasi. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan dengan fokus
penelitian yaitu: (1) bagaimana tingkat modal sosial yang ada pada rumah tangga
petani? (2) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan
ekonomi rumah tangga petani? dan (3) seberapa jauh hubungan tipe modal sosial
dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dirumuskan tujuan umum
penelitian ini yaitu menganalisis sejauh mana hubungan modal sosial dengan
kesejahteraan objektif dan subjektif rumah tangga petani. Adapun tujuan yang
lebih spesifik lainnya adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis tingkat modal sosial rumah tangga petani;
2. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi
objektif rumah tangga petani; dan
3. Menganalisis hubungan tipe modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi
subjektif rumah tangga petani.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai
pihak, yaitu:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai modal sosial yang ada dalam komunitas
petani dan kesejahteraan yang dimiliki komunitas petani. Selain itu penelitian
ini diharapkan mampu menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian
selanjutnya mengenai modal sosial komunitas petani dimasa mendatang
sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat
sebagai pertimbangan implementasi kebijakan.
2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai penguatan modal
sosial sehingga dapat membuat kebijakan yang tidak hanya berfokus pada
pemanfaatan moda produksi.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
serta kesadaran kritis tentang modal sosial sebagai komponen penting untuk
pembangunan Indonesia terutama dalam segi pertanian.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Modal Sosial
Modal sosial menekankan pada potensi kelompok dan pola hubungan antar
individu dalam suatu kelompok. Modal sosial merupakan sumber daya yang
dimiliki masyarakat yang berkaitan dengan interaksi di kehidupan sehari-hari
yang tersedia di komunitas. Perkembangan konsep modal sosial bervariasi
menurut berbagai ahli. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) dalam Field
(2010), modal sosial adalah jumlah sumber daya aktual atau maya yang
berkumpul pada seseorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan
tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit
banyak terinstitusionalisasikan. Field (2010) mengemukakan bahwa teori modal
sosial Bourdieu (1992) secara jelas melihat modal sosial sebagai hak milik
eksklusif elite (berupa aset) yang didesain untuk mengamankan posisi elite
tersebut. Jika modal sosial Bourdieu menitik beratkan sebagai aset individu dan
modal sosial merupakan hasil, maka Coleman (1994) dalam Field (2010)
mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada
hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna pada
perkembangan kognitif atau sosial anak atau idividu. Pernyataan tersebut lebih
sarat akan makna karena di dalamnya ia menggambarkan nilai hubungan bagi
semua aktor, individu, dan kolektif baik yang berkedudukan istimewa maupun
yang kedudukannya tidak menguntungkan. Coleman (1994) dalam Field (2010)
melihat modal sosial sebagai sumber daya karena dapat memberi kontribusi
terhadap kesejahteraan individu.
Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial
adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang
mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai
tujuan bersama. Kemudian Field (2010) memaparkan pembahasan Putnam (1996)
selanjutnya, gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan memiliki
nilai kemudian kontak sosial akan memengaruhi produktivitas individu dan
kelompok. Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (1995) yang dikutip oleh
Cahyono dan Adhiatma (2012) bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai
atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu
kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Fukuyama
(1995) dalam Inayah (2012) menyatakan modal sosial timbul dari adanya
kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Dari definisi tersebut dapat dilihat
Fukuyama perpendapat bahwa modal sosial termasuk dalam budaya dan
kepercayaan. Berikut merupakan batasan definisi modal sosial menurut beberapa
ahli.
6
Tabel 1 Definisi, peranan dan lingkup analisis modal sosial Ahli Definisi Peranan Lingkup Analisis
Bourdieu (1992) Hasil dari hubungan
timbal balik
perkenalan dan
pengakuan individu
maupun kelompok
Sebagai aset elite
untuk menjamin
tercapainya modal
ekonomi
Individu dalam
kelompok
Coleman (1994) Sumber daya yang
melekat pada
hubungan keluarga
dan dalam
organisasi sosial
komunitas
Untuk menjamin
tercapainya
kesejahteraan
keluarga/komunitas
Melihat hubungan
seluruh aktor.
Aktor atau individu
dalam keluarga dan
masyarakat
Putnam (1996) Jaringan,
kepercayaan dan
norma merupakan
aset/fasilitas untuk
mencapai tujuan
bersama
Untuk menjamin
tercapainya
kesejahteraan
ekonomi
Masyarakat luas
Fukuyama (1995) Nilai-nilai atau
norma-norma
informal yang
dimiliki bersama
yang
memungkinkan
terjalinnya
kerjasama
Untuk menjamin
tercapainya
kesejahteraan sesuai
dengan nilai-nilai
kelompok/komunitas
Komunitas.
Masyarakat.
Sumber: Bourdieau (1992); Coleman (1994); Putnam (1995) dalam Field (2010),
Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012)
Berbagai definisi di atas dapat diketahui modal sosial memiliki perbedaan
peranan maupun lingkup analisis sesuai dengan argumentasi ahli. Untuk studi
dalam suatu komunitas maka dapat dirumuskan kembali definisi dari modal sosial.
Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu
komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan
emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-
norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan
kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Kepercayaan akan membuat individu
mau untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, demikian juga terhadap jaringan.
Menurut beberapa hasil penelitian yang telah ditelaah, penggunaan definisi modal
sosial oleh Putnam lebih banyak digunakan karena Putnam mengkaji modal sosial
dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Unsur dan Pengukuran Modal Sosial
Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012) mengetengahkan enam unsur pokok
dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, yaitu: (1)
participation in a network: kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri
dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang
saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary),
7
kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility), (2)
reciprocity: kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu
kelompok atau antar kelompok itu sendiri tanpa mengharapkan imbalan, (3) trust:
suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan
sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan
sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola
tindakan yang saling mendukung, (4) social norms: sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial
tertentu, (5) values: sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan
penting oleh anggota kelompok masyarakat, dan (6) proactive action: keinginan
yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa
mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan
masyarakat.
Berbagai unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah tersebut
memiliki kesamaan pula dengan unsur-unsur modal sosial yang dikaji oleh
beberapa penulis lain. Unsur modal sosial tersebut diukur dan dianalisis dalam
suatu masyarakat untuk mengungkap karakteristik modal sosial yang terdapat
pada masyarakat. Unsur tersebut diukur tingkat kekuatannya sehingga dapat
simpulkan karakteristik masyarakat lebih kuat pada unsur tertentu. Selanjutnya
mengenai unsur jaringan (network) tidak akan berdampak pada kehidupan
masyarakat jika tidak disertai nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan
kepercayaan (trust) yang dimiliki individu terhadap individu lain maupun
kelompok. Sehingga unsur trust dapat disimpulkan unsur yang penting dalam
mengkaji modal sosial.
Pranadji (2006) mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial di pedesaan,
pengertian kepercayaan (trust) seharusnya tidak dilihat sekedar masalah
personalitas (psikologis) atau intrapersonal, melainkan mencakup juga aspek
ekstrapersonal dan intersubyektif (asosiasi tingkat dukuh, organisasi tingkat desa
dan sistem jaringan sosial hingga melintasi batas desa). Pada masyarakat yang
berpotensi cepat maju umumnya mampu mengembangkan jaringan kepercayaan
(mutual trust) yang relatif besar. Selanjutnya mengenai nilai yang melekat dalam
masyarakat, Pranadji (2006) melihat tata nilai yang ada dalam masyarakat melalui
empat elemen nilai komposit, yaitu:
1. Ditegakkannya sistem sosial di pedesaan yang berdaya saing tinggi
(produktif) namun berwajah humanistik tidak eksploitatif dan intimidatif
terhadap sesama manusia atau masyarakat;
2. Ditegakkannya sistem keadilan yang dilandaskan pada pemenuhan
kebutuhan dasar manusia (tidak imperialistik dan menegasi kehidupan
sosial);
3. Ditegakkannya sistem solidaritas yang dilandaskan pada hubungan saling
percaya (mutual trust) antar elemen pembentuk sistem masyarakat; dan
4. Dikembangkannya peluang untuk mewujudkan tingkat kemandirian dan
keberlanjutan kehidupan masyarakat yang relatif tinggi, yang merupakan
salah satu bagian terpenting keberadaan suatu masyarakat.
Pendapat Pranadji tersebut mendukung konsep Fukuyama (1995) dalam
Field (2010) bahwa kepercayaan adalah dasar dari tatanan sosial yaitu komunitas
tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul spontan.
Purnomo et al. (2007) mendukung pendapat Pranadji bahwa masyarakat lebih
8
memilih melakukan interaksi sosial dan memanfaatkan modal sosial asli yang
berupa nilai-nilai asli masyarakat daripada melakukan kebijakan sebagai modal
sosial “bentukan”. Selanjutnya kebutuhan yang dipenuhi dalam suasana
persaingan dan menegasikan solidaritas sosial dan etika moral yang terpuji dan
dikehendaki dalam tatanan budaya ekonomi lokal. Suandi (2005) mengungkapkan
unsur modal sosial yaitu solidaritas. Solidaritas adalah rasa mau saling mau
menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka
saling bergantung satu sama lain sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat
tercapai (Suandi 2005). Unsur selanjutnya yaitu jaringan sosial, menurut Kamarni
(2012) Analisa jaringan sosial adalah upaya memetakan dan mengukur
kesalinghubungan dan aliran antara orang, kelompok orang, maupun organisasi
dalam sebuah sistem sosial.
Jamasy (2006) dalam Pontoh (2010) memaparkan bahwa karakter sosial
budaya yang menjadi ciri atau karakter modal sosial di masyarakat diketahui
melalui pendekatan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Faktor internal mencakup: (1) pola
organisasi sosial dalam suatu komunitas yang mencakup kepercayaan lokal, pola
dan sistem produksi dan reproduksi serta politik lokal, dan (2) norma dan nilai-
nilai yang melekat dalam komunitas. Sedangkan faktor eksternal dapat dirangkum
dalam pengaruh agama, pendidikan serta sistem dan hubungan politik dan
pemerintahan dengan luar komunitas. Faktor-faktor internal dan eksternal akan
membentuk karakter dari modal sosial suatu masyarakat.
Coleman dalam Sumarti (2007) mengemukakan bahwa ahli ekonomi gagal
memperkenalkan relasi sosial dalam analisanya. Coleman memperkenalkan
sosiologi berbasis kepentingan, menurutnya modal sosial adalah cerminan sebagai
adanya relasi sosial yang dapat membantu individu ketika mencoba untuk
merealisasikan kepentingannya. Sumarti (2007) menelaah konsep kepentingan
dalam analisa sosial. Sumarti (2007) mengemukakan bahwa konsep kepentingan
Swedberg mirip dengan konsep Weber1 bahwa kepentingan mendorong tindakan
manusia yaitu elemen sosial menentukan ekspresi dan arah tindakan apa yang
akan diambil. Selanjutnya Swedberg (2003) dalam Sumarti (2007)
mengemukakan bahwa seluruh kepentingan menjadi elemen sosial dalam dua
cara: (1) menjadi bagian masyarakat dimana individu dilahirkan, dan (2) individu
mempertimbangkan aktor lain ketika mencoba merealisasikan kepentingan
mereka.
Keanggotaan individu dapat berupa keanggotaan dalam kelembagaan formal
maupun informal. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat nelayan sumatera utara
yang memiliki kebergantungan dengan tengkulak atau “toke” dan pemilik kapal.2
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa modal sosial dimanfaatkan oleh
nelayan Sumatera Utara untuk memperoleh moda produksi yaitu memenuhi
kebergantungan terhadap kebutuhan penyewaan kapal.
1Weber mengemukakan konsep kepentingan dalam pendekatan sosiologi. 2 Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan Advokasi Untuk
Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran yang kian terlupakan: membedah persoalan
nelayan tradisional Sumatera Utara. Universitas Michigan. Diakses di:
https://books.google.co.id/books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id
9
Pengukuran modal sosial secara kritis adalah bergantung pada melekatnya
modal sosial dalam konteks tertentu (Pontoh 2010). Bagi komunitas bisnis
pengukuran modal sosial adalah untuk menelaah keuntungan dan kerugian. Bagi
komunitas pemerintahan maupun lembaga kebijakan pemerintahan, pengukuran
diukur untuk mengetahui suatu kebijakan (program maupun aturan) dapat
terlaksana dengan baik. Kemudian bagi peneliti sosial, pengukuran dilakukan
untuk mengetahui karakteristik hubungan sosial masyarakat. Pemaparan di atas
menunjukkan unsur-unsur modal sosial yang akan digunakan dalam penelitian.
Penelitian ini akan menggunakan unsur-unsur modal sosial: (1) kepercayaan, (2)
norma sosial, (3) partisipasi dalam kelembagaan, (4) jaringan, (5) solidaritas, (6)
kepentingan dengan pihak luar komunitas dan (7) kebergantungan dengan pihak
luar komunitas.
Tipologi Modal Sosial
Putnam (2000) dalam Field (2010) mengemukakan perbedaan antara dua
bentuk dasar modal sosial yaitu menjembatani (inklusif) dan mengikat (ekskusif).
Modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan individu dari beragam
ranah sosial. Hubungan-hubungan yang menjembatani tersebut berperan dalam
penyediaan aset-aset eksternal dan bagi penyebaran informasi. Kemudian bentuk
modal sosial yang mengikat adalah modal sosial yang cenderung mendorong
identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas suatu masyarakat. Bentuk
modal sosial ini dapat menjadi perekat terkuat sosiologi sehingga terbentuk
solidaritas yang kuat. Konsep tersebut telah banyak diterima oleh peneliti sosial
(Field 2010). Ahli lain yaitu Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan
tipe modal sosial menjadi tiga tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang
mengikat (social bounding), (2) modal sosial yang menjembatani (social
bridging), dan (3) modal sosial yang menghubungkan (social linking). Pada
penerapannya kedua jenis tipe hubungan modal sosial yang diungkapkan Putnam
dan Woolcock adalah membedakan modal sosial akan lebih berkembang di dalam
komunitas internal saja atau modal sosial akan lebih kuat apabila diterapkan pada
antar komunitas.
Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat
berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian
social bounding adalah tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang
kuat dalam sistem sosial seperti halnya keluarga yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Hubungan kekerabatan
ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/kebersamaan, mewujudkan rasa
simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik
nilai kebudayaan yang mereka percaya. Norma-norma seperti nilai, kultur,
persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom) tercermin dalam kehidupan sehari-
hari. Selanjutnya Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa
social bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai
macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam
kelemahan yang ada didalamnya sehingga memutuskan untuk membangun
kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging menurut Woolcock
(2001) dalam Nuryadin (2009) yaitu lebih luas dari social bounding karena dapat
bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok kepentingan. Social bridging
10
bisa dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga negara
(participation), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan dari social
bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu
menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya
manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Hasil penelitian yang dilakukan
Firdaus (2006) dalam Muspida (2007) menyimpulkan bahwa meluasnya jaringan
petani yang berorientasi pada nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian telah
mendorong terbentuknya modal sosial yang menjembatani (bridging social
caital), sehingga kohesifitas sosial petani tidak hanya di tingkat kelompok tani.
Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial
yang terakhir adalah social linking yaitu bisa berupa hubungan atau jaringan
sosial. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara
beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam
masyarakat. Selanjutnya menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) dalam
relasi sosial akan terdapat perbedaan kepentingan, dalam situasi relasi tersebut
dibutuhkan adanya social linking yang mampu mengatasi kepentingan-
kepentingan tersebut. Dari kepentingan yang dimiliki oleh komunitas pada luar
komunitas, terdapat rasa kebergantungan pada luar komonitas. Contohnya dapat
digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni hubungan antara nelayan
Suku Bajo dengan lembaga perbankan, pemilik modal atau pemerintah yang
dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan produksi dan
memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional.
Berdasarkan tipologi modal sosial Woolcock (2001) dalam Nuryadin
(2009); Field (2010) dapat diidentifikasi unsur-unsur modal sosial berdasakan
tipologi modal sosial. Berikut tabel identifikasi unsur-unsur modal sosial
berdasakan tipologi modal sosial.
Tabel 2 Identifikasi unsur-unsur modal sosial berdasarkan tipologi modal sosial
Unsur modal sosial Tipologi modal sosial
Social bounding Social bridging Social linking
Kepercayaan √
Norma sosial √
Kuatnya Jaringan √
Solidaritas √
Tingkat partisipasi √
Kebergantungan terhadap
komunitas lain √
Tingkat kepentingan √
Sumber: Putnam (1995) dalam Field (2010); Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009),
Fukuyama (1995) dalam Inayah (2012), Suandi (2007), Pontoh (2010),
Swedberg dalam Sumarti (2007), Nuryadi (2009), Firdaus (2006) dalam
Muspida (2007)
11
Penentuan tipe modal sosial yang digagas oleh Woolcock (2001) dalam
Field (2010) dapat berdasarkan variabel atau unsur modal sosial dari para ahli
yaitu: Putnam, Fukuyama, Suandi, Pontoh, Nuryadin dan Firdaus. Tabel 2
menunjukkan bahwa tipe modal sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya
adalah: (1) tipe modal sosial yang mengikat (social bounding): tingkat
kepercayaan, norma sosial, (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social
bridging): kuatnya jaringan, solidaritas, dan tingkat partisipasi pada kelembagaan,
(3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking): kebergantungan
terhadap komunitas lain dan tingkat kepentingan.
Konsep Kesejahteraan
Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu (Suandi 2007). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki
bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap
kesejahteraan itu sendiri. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan
kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika
dilihat dari suatu aspek tertentu.
Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis
tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain: kesejahteraan finansial,
status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain lain. Santamarina et al.
(2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan tingkat ketergantungan
dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat kesejahteraan masyarakat
dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1) subsistem sosial dengan
faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan dinamika penduduk, kekuatan
sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan faktornya yaitu: konsumsi, hak
pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan aktifitas ekonomi. Kemudian
Suandi (2007) mengemukakan bahwa kesejahteraan juga dapat dilihat melalui dua
pendekatan, yakni: (1) kesejahteraan diukur dengan pendekatan objektif dan (2)
kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif.
Kesejahteraan Objektif
Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat
kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan
patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi
2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan
pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi
objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran
keluarga. Suandi menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud adalah
pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan
pokok dan lainnya. Dengan demikian, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk
kebutuhan pangan, non pangan dan investasi (dapat berupa biaya pendidikan).
Untuk mengukur kesejahteraan, BPS (2014) menggunakan indikator kondisi
sosial ekonomi masyarakat melalui SUSENAS tahun 2013. Pengukuran
kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani dalam penelitian
menggunakan indikator SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014) yang
dipisahkan indikator ekonominya yaitu meliputi: (1) pengeluaran kebutuhan
12
pangan, (2) pengeluaran kebutuhan non pangan, (3) luas penguasaan lahan, dan
(4) keadaan tempat tinggal.
Pada penelitian Johan et al. (2013)3, kesejahteraan objektif keluarga diukur
dengan pengertian penduduk miskin menurut BPS (2011). Penduduk miskin (BPS
2011) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
di bawah garis kemiskinan (GK). Penelitian tersebut menggunakan perkiraan GK
Kabupaten Indramayu tahun 2012 sebesar Rp 277.596,00 per kapita per bulan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar keluarga nelayan yang
diteliti termasuk dalam kategori tidak miskin.
Kesejahteraan Subjektif
Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan
yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan.
Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan
bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik
dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap
antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Sumarti (1999) bahwa kesejahteraan subjektif individu atau keluarga adalah
wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui proses pengalaman hidup sekelompok
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan (fisik dan sosial). Menurut
Suandi (2007) tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif dapat diukur dari tingkat
kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Pada peneltian
Johan et al. (2013), kesejahteraan subjektif keluarga nelayan diukur berdasarkan
tingkat kepuasan istri terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya.
Indikator dari variabel tersebut adalah kepemilikan kitab suci, keamanaan tempat
tinggal, hubungan antar anggota keluarga, pengalokasian waktu yang dibuat
keluarga, dan kepuasaan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan pokok. Studi
oleh Hayo dan Seifert (2003) dalam Suandi (2007) menunjukan bahwa
kesejahteraan ekonomi subjektif berkolerasi positif terhadap kepuasaan hidup
masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonomi
subjektif maka tingkat kepuasan hidup akan lebih tinggi.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi dari berbagai literatur, sejauh
ini program pemerintah belum mengintegrasikan modal sosial asli yang dimiliki
masyarakat dengan kebijakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pemerintah cenderung untuk membuat modal sosial bentukan. Modal
sosial bentukan tersebut dapat berupa kelembagaan yang sistematika peraturannya
menyulitkan masyarakat. Pemerintah menetapkan UU Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Implementasi Undang-Undang
tersebut berupa bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi
kepentingan petani. Peraturan tersebut lebih memfokuskan pada pengadaan moda
3Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan, Strategi Koping,
dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol, 6 No.1
13
produksi daripada penguatan modal sosial yang telah ada dimasyarakat. Semua
kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai
potensi-potensi sosial budaya yang dapat menunjang pembangunan. Salah satu
potensi sosial tersebut adalah modal sosial. Kajian modal sosial tersebut
dijabarkan dalam kerangka penelitian (Gambar 1).
X. Modal Sosial
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Keterangan
: Berhubungan
X1. SOCIAL BOUNDING
1. Tingkat kepercayaan individu
dalam lingkup komunitas
- Kesedian untuk bersosialisasi
- Kesedian melakukan saran
- Tingkat komitmen
2. Kuatnya norma sosial dalam
komunitas
- Frekuensi melaksanakan
norma adat
- Frekuensi melaksanakan
norma agama
- Frekuensi melaksanakan
norma sosial
X2. SOCIAL BRIDGING
1. Kuatnya jaringan sosial
- Tingkat kerjasama
- Tingkat keterbukaan informasi
- Kebermanfaatan organisasi
2. Tingkat solidaritas
- Tingkat solidary making
- Tingkat persatuan kelompok
- Kepekaan terhadap kemajuan
pertanian
3. Tingkat partisipasi
- Jumlah kelembagaan yang
diikuti
- Keaktifan dalam pertemuan
- Pengambilan keputusan
X3. SOCIAL LINKING
1. Tingkat kebergantungan pada
komunitas lain
- Akses moda produksi
- Pemasaran hasil pertanian
2. Tingkat kepentingan
- Pemanfaatan lembaga
peminjaman modal nonformal
- Pemanfaatan lembaga
peminjaman modal formal
- Pemanfaatan keberadaan
penyuluh pertanian
Y. KESEJAHTERAAN
RUMAH TANGGA
Y1. TINGKAT
KESEJAHTERAAN
OBJEKTIF
1. Luas penguasaan lahan
2. Keadaan tempat tinggal
3. Pengeluaran kebutuhan
pangan
4. Pengeluaran kebutuhan
non pangan
(SUSENAS 2013)
Y2. TINGKAT
KESEJAHTERAAN
SUBJEKTIF
1. Pemenuhan kebutuhan
pangan
2. Pemenuhan kebutuhan
non pangan
3. Pemenuhan kebutuhan
investasi SDM
14
Modal sosial menurut berbagai ahli dapat didefinisikan kembali dalam
lingkup komunitas sebagai sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam
suatu komunitas yang berperan untuk koordinasi dan kerjasama dalam mencapai
tujuan bersama Variabel atau unsur modal sosial digolongkan berdasarkan
tipologi modal sosial menurut Woolcock (2001) dalam Field (2005). Tipe modal
sosial dan unsur yang terdapat di dalamnya adalah: (1) tipe modal sosial yang
mengikat (social bounding), (2) tipe modal sosial yang menjembatani (social
bridging), dan (3) tipe modal sosial yang menghubungkan (social linking).
Unsur modal sosial yang ada di dalam tipologi modal sosial adalah tingkat
kepercayaan, tingkat kepatuhan pada norma sosial, luasnya jaringan, tingkat
solidaritas, tingkat partisipasi dalam kelembagaan, kebergantungan pada
komunitas lain, dan tingkat kepentingan. Tingkat kepercayaan diukur dalam
bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap tindakan secara konsisten pada saat
terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok dalam komunitas. Tingkat
kepercayaan merupakan elemen tata nilai yang ada pada masyarakat yang melekat
dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi sumber daya sosial. Variabel
selanjutnya adalah kuatnya norma, masyarakat dapat dilihat derajat modal
sosialnya melalui kuatnya norma yang diterapkan
Variabel modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Setelah terdapat
kepercayaan antar individu maupun kelompok dalam bermasyarakat, maka akan
memungkinkan terdapat jaringan sosial yang eksistensinya mengalami
keberlanjutan. Selanjutnya variabel partisipasi individu pada kelembagaan atau
asosiasi penting bagi kelembagaan yang individu ikuti karena sangat menentukan
kemajuan dan peran kelembagaan. Partisipasi berkaitan dengan pemanfaatan
jaringan pada komunitas. Individu dapat memanfaatkan jaringan yang terjalin
antar individu, maupun individu dengan kelompok. Variabel yang akan diukur
dalam modal sosial lainnya adalah solidaritas. Kemudian terdapat variabel modal
sosial yang terakhir adalah kebergantungan. Kebergantungan yang dimaksud
adalah tingkat kebergantungan individu pada komunitas lain. Variabel ini akan
diukur dari penggunaan sumber daya dari luar komunitas dan pemanfaatan modal
dari luar komunitas
Selanjutnya karakteristik modal sosial yang dilihat berdasarkan variabel-
variabel tersebut akan dihubungkan dengan kesejahteraan ekonomi komunitas
petani dan dilihat tingkat seberapa kuatnya. Kesejahteraan ekonomi suatu
komunitas dapat dibedakan menjadi kesejahteraan objektif dan subjektif. Tinggi
rendahnya tingkat kesejahteraan objektif diukur dari tingkat kesejahteraan
ekonomi SUSENAS tahun 2013 dalam BPS (2014). Kesejahteraan subjektif dapat
dilihat dalam keluarga mengenai tingkat kepuasan terhadap pemenuhan
kebutuhan. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan menurut persepsi
individu yang merasakan seberapa tinggi kesejahteraannya, bukan dari persepsi
orang lain. Tinggi rendahnya kesejahteraan subjektif dilihat pada tingkat kepuasan
pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi.
15
Hipotesis Penelitian
Penelitian ini menggunakan hipotesis uji yang terdiri dari:
1. Terdapat hubungan signifikan positif antara modal sosial (X) dengan
kesejahteraan ekonomi objektif (Y1) dan subjektif (Y2) rumah tangga petani
2. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2,
X3) dengan kesejahteraan objektif (Y1) ekonomi rumah tangga petani.
3. Terdapat hubungan signifikan positif antara tipe modal sosial tertentu (X1, X2,
X3) dengan kesejahteraan subjektif (Y2) ekonomi rumah tangga petani.
Definisi Operasional
Definisi operasional untuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Modal sosial adalah sumber daya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu
komunitas, baik antar individu maupun institusi yang melahirkan ikatan
emosional berupa kepercayaan, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-
norma yang membentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi
dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Modal sosial dibedakan
bertasarkan hubungan pada masyarakat menjadi tiga tipe modal sosial:
1. Modal sosial yang mengikat (social bounding), ikatan yang kuat dalam
sistem sosial seperti halnya keluarga petani yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan keluarga lain yang masih satu etnik. Pengukuran
variabel kuatnya social bounding diukur melalui:
1. Tingkat kepercayaan antar individu satu komunitas yaitu perasaan yakin
yang terbangun antara petani dengan orang lain yang berhubungan
dengan pertanian daerah setempat. Indikator yang digunakan yaitu:
a. Kesediaan untuk bersosialisasi adalah tingkat kemauan petani untuk
berinteraksi dengan kerabat petani lain.
b. Kesediaan melakukan saran adalah tingkat kemauan petani untuk
melakukan saran petani lain dalam komunitas.
c. Tingkat komitmen adalah sejauhmana petani mau menepati sesuatu
yang dijanjikan pada individu lain yang tercermin pada tindakan.
Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur
dengan skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu:
skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju: skor 5.
2. Tingkat kepatuhan norma sosial dalam komunitas adalah tingkat
kepatuhan petani terhadap tata aturan kelompok dan masyarakat, dapat
berupa nilai adat atau budaya lokal. Indikator yang digunakan yaitu:
a. Frekuensi melaksanakan norma adat adalah intensitas petani
melaksanakan ide adat yang dianggap benar dalam komunitas.
b. Frekuensi melakukan norma agama adalah intensitas petani
melaksanakan nilai agama yang dilakukan secara bersama dalam
komunitas.
16
c. Frekuensi melakukan norma sosial adalah intensitas petani
melaksanakan gotong royong dalam komunitas.
Terdapat enam pertanyaan dimana masing-masing pertanyaan diukur
dengan skor : sangat jarang: skor 1; jarang: skor 2; sering: skor 3; dan
selalu : skor 4.
Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang mengikati
atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:
1. social bounding rendah: x ≤ �̅� –sd
2. social bounding sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
3. social bounding tinggi : x ≥ �̅� + sd
2. Modal sosial yang menjembatani (social bridging) adalah modal sosial yang
mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberapa petani, seperti teman
jauh dan rekan kerja. Tujuan dari tipe modal sosial ini adalah
mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas baik sumber daya
manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Pengukuran variabel kuatnya
social bounding diukur menggunakan unsur modal sosial dalam konteks
social bounding. Variabel yang di ukur adalah:
1. Kuatnya jaringan sosial adalah kuatnya saluran petani dalam keterlibatan
hubungan keluarga, persaudaraan teman dan rekan kerja dalam satu
komunitas. Indikator yang digunakan yaitu:
a. Tingkat kerjasama adalah usaha antara (perorangan) petani ataupun
kelompok sehingga mencapai tujuan dengan lebih cepat dan lebih baik
b. Tingkat keterbukaan informasi adalah sejauh mana petani menerima
informasi mengenai pertanian untuk mendukung kegiatan produksi
pertanian.
c. Kebermanfaatan organisasi yang diikuti adalah tingkat manfaat
perkumpulan yang ada berlandasakan persamaan tujuan, yang diikuti
petani dalam lingkup komunitas.
Kuatnya jaringan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak
setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju:
skor 5.
2. Tingkat solidaritas adalah sejauh mana rasa kebersamaan dalam suatu
komunitas yang menyangkut tentang kesetiakawanan antara individu
petani dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama. Indikator yang
digunakan yaitu:
a. Tingkat solidarty making adalah seberapa jauh keinginan petani untuk
membuat hubungan kekerabatan antar petani.
b. Tingkat persatuan kelompok tani adalah sejauh mana petani memiliki
rasa kebersamaan atau rasa senasib.
c. Kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani
memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa.
Tingkat solidaritas diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1; tidak
setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; dan sangat setuju:
skor 5.
3.Tingkat partisipasi dalam organisasi di lingkungan sekitar adalah
keikutsertaan petani dan keaktifan dalam organisasi sosial/kerja di
keseharian komunitas petani. Indikator yang digunakan yaitu:
17
a. Jumlah kelembagaan yang diikuti adalah banyaknya keanggotaan
petani dalam kelembagaan formal maupun informal.
b. Keaktifan dalam pertemuan adalah sejauh mana petani mengikuti
kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal.
c. Pengambilan keputusan adalah sejauh mana petani terlibat dalam
pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal maupun informal.
Tingkat partisipasi diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2,
(3):3, (4): 4.
Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang
menjembatani atau social bridging dikategorkan ke dalam tiga kategori
yaitu:
1. social bridging rendah: x ≤ �̅� –sd
2. social bridging sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
3. social bridging tinggi : x ≥ �̅� + sd
3. Modal sosial yang menghubungkan (social linking), yaitu modal sosial yang
menjangkau individu pada situasi berbeda seperti mereka yang sepenuhnya
ada di luar komunitas, hubungan ini bersifat vertikal yaitu dapat dilihat
dengan kelembagaan yang berpengaruh. Variabel yang di ukur adalah:
1. Tingkat kebergantungan terhadap komunitas luar desa adalah sejauh
mana petani mengandalkan komunitas luar desa untuk mendukung
kegiatan pertaniannya. Indikator yang digunakan yaitu:
a. Tingkat akses moda produksi adalah bagaimana petani mendapatkan
modal untuk usaha produksi pertaniannya.
b. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang dilakukan petani
untuk menjual produk pertaniannya.
Tingkat kebergantungan diukur melalui skor jawaban (1): skor 1; (2): 2,
(3):3, (4): 4
2. Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani yang
berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan
yang akan diambil oleh petani. Indikator yang digunakan yaitu:
a. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal non formal adalah sejauh
mana kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota
lembaga peminjaman non formal.
b. Pemanfaatan lembaga peminjaman modal formal adalah sejauh mana
kecenderungan petani untuk tergabung menjadi anggota lembaga
permodalan formal.
c. Pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian adalah sejauh mana
kecenderungan petani untuk memanfaatkan keberadaan penyuluh
pertanian.
Tingkat kepentingan diukur melalui skor : sangat tidak setuju: skor 1;
tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor: skor 4; sangat setuju:
skor 5.
Kemudian semua skor akumulatif dari modal sosial yang
menghubungkan atau social bounding dikategorkan ke dalam tiga
kategori yaitu:
1. social linkingrendah: x ≤ �̅� –sd
2.social linking sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
18
3.social linking tinggi : x ≥ �̅� + sd
Tingkat kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah konsep yang
digunakan untuk menyatakan kualitas hidup rumah tangga petani di suatu
wilayah pada kurun waktu tertentu. Kesejahteraan akan diukur dengan dua
pendekatan yakni: kesejahteraan ekonomi objektif dan kesejahteraan ekonomi
subjektif.
1. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang melihat kesejahteraan
rumah tangga petani diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu
menggunakan ukuran ekonomi. Variabelnya adalah:
1. Luas penguasaan lahan pertanian adalah besaran luas tanah produktif
yang dikuasai rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah:
a. Luas lahan rendah: x ≤ �̅� –sd
b. Luas lahan sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
c. Luas lahan tinggi : x ≥ �̅� + sd
2. Luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah rumah yang
dimiliki rumah tangga petani. Indikator dan pengukurannya adalah:
a. Luas lahan rendah: x ≤ �̅� –sd
b. Luas lahan sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
c. Luas lahan tinggi : x ≥ �̅� + sd
3. Keadaan tempat tinggal atau rumah adalah karakteristik tempat tinggal
responden (petani) meliputi bahan atap, bilik, status tempat tinggal,
bahan lantai, luas lantai dan luas pekarangan rumah. Indikator dan
pengukurannya adalah:
a. Bilik : tembok (4), kayu (3), bambu (2), triplek (1)
b. Lantai : keramik (4), semen (3), kayu/bambu (2), tanah (1)
c. Atap : beton (4), genteng (3), asbes (2), seng (1)
d. Status : milik sendiri (4), sewa (3), dinas/bebas sewa (2),
menumpang(1)
e. Penerangan rumah: listrik PLN (4), generator (3), petromak (2), obor
(1)
f. Fasilitas rumah tangga: keberadaan fasilitas rumah tangga meliputi:
televisi, radio, kulkas, telepon/telepon seluler, tempat tidur, lemari,
sepeda, sepeda motor dan mobil. Jika ada skor 2, jika tidak ada skor 1.
4. Pengeluaran kebutuhan pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan atau
ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya
adalah:
a. Pengeluaran rendah: x ≤ �̅� –sd
b. Pengeluaran sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ �̅� + sd
5. Pengeluaran kebutuhan non pangan adalah jumlah uang yang dibayarkan
atau ditransaksikan untuk kebutuhan pangan per bulan. Pengukurannya
adalah:
a. Pengeluaran rendah: x ≤ �̅� –sd
b. Pengeluaran sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
c. Pengeluaran tinggi jika: x ≥ �̅� + sd
Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi objektif
dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:
19
1. rendah: x ≤ �̅� –sd
2. sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
3. tinggi: x ≥ �̅� + sd
2. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang dilihat secara personal
oleh petani yang diukur dalam bentuk kepuasan pemenuhan kebutuhan
pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan subjektif dilihat dari:
1. Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan adalah sejauh mana rumah
tangga petani merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan
kebutuhann pangannya. Indikatornya adalah:
a. Kepuasan frekuensi makan setiap hari
b. Kepuasan keragaman pangan yang dikonsumsi rumah tangga petani
Kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan diukur melalui skor jawaban 1,
2, 3, 4 dan hingga 5. Skor jawaban 1 adalah untuk jawaban tingkatan
tidak puas dan berturut-turut hingga 5 untuk jawaban sangat puas.
2. Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan (sandang dan papan)
adalah sejauh mana rumah tangga petani merasa berkecukupan atau puas
terhadap pemenuhan kebutuhan sandang dan papan. Indikatornya adalah:
a. Pemenuhan kebutuhan sandang/pakaian
b. Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal
c. Pemenuhan kebutuhan komunikasi
d. Pemenuhan kebutuhan sosial
Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat
tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor:
skor 4; sangat setuju: skor 5.
3. Kepuasan Investasi SDM adalah sejauh mana rumah tangga petani
merasa berkecukupan atau puas terhadap pemenuhan kebutuhann
investasi. Indikatornya adalah:
a. Pemenuhan kebutuhan biaya pendidikan.
b. Pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan
Kepuasan pemenuhan kebutuhan non pangan diukur melalui skor : sangat
tidak setuju: skor 1; tidak setuju: skor 2; ragu-ragu: skor 3; setuju skor:
skor 4; sangat setuju: skor 5.
Kemudian semua skor akumulatif dari kesejahteraan ekonomi
subjektif dikategorkan ke dalam tiga kategori yaitu:
1. rendah: x ≤ �̅� –sd
2. sedang: �̅� –sd < x <�̅� + sd
3. tinggi : x ≥ �̅� + sd
21
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Penelitian mengenai hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi
rumah tangga petani ini menggunakan metode kuantitatif melalui pendekatan
survei. Pendekatan survei merupakan pendekatan penelitian yang mengambil
sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
data (Singarimbun dan Efendi 1989). Sementara itu, metode kuantitatif digunakan
untuk mencari informasi hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi
objektif dan subjektif rumah tangga petani. Selain menggunakan data kuantitatif,
penelitian menggunakan data kualitatif sebagai argumentasi pendukung yaitu
dengan wawancara mendalam. Untuk itu, pendekatan lapang dilakukan dengan
penggalian informasi dari informan dengan wawancara mendalam. Hasil uraian
wawancara dijelaskan secara deskripsi, namun tetap berfokus pada hubungan
antar variabel untuk menguji hipotesa.
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di desa pertanian yaitu Desa Krasak, Kecamatan
Brebes, Kabupaten Brebes Provinsi jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan
secara purposive, dengan pertimbangan menurut Potensi Desa Krasak (2014) di
desa tersebut terdapat sejumlah 97% keluarga merupakan keluarga pertanian.
Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak adalah produk hortikultura
yaitu bawang merah dan tanaman pangan yaitu padi dan jagung. Komoditas
bawang merah terbesar bersentra di Kabupaten Brebes, maka menarik untuk
diteliti bagaimana hubungan tingkat modal sosial pada rumah tangga petani
dengan kesejahteraan ekonomi khususnya pada sentra komoditas pertanian yaitu
bawang merah.
Selanjutnya penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan dari bulan
Januari 2015 sampai Juli 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal
skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang
skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian
terlampir (Lampiran 1).
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani di Desa
Krasak, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Populasi dalam
penelitian ini memiliki karakter suku yang sama yaitu suku Jawa, berada pada
ekologi yang sama yaitu pada pertanian sawah. Responden memiliki mata
22
pencaharian yang sama yaitu sebagai petani sawah dan seluruh responden
beragama islam. Sebanyak 97% keluarga dari populasi merupakan keluarga
pertanian, selain itu keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak
sederhana (simple random sampling). Hal ini sesuai dengan Singarimbun dan
Efendi (1989) bahwa simple random sampling dapat digunakan pada komunitas
dengan keadaan geografis yang sama dan tidak menyebar. Adapun unit analisa
penelitian adalah rumah tangga petani untuk menganalisis tingkat kesejahteraan
keluarga dan individu yaitu kepala rumah tangga untuk menganalisis tingkat
modal sosial. Jumlah sampel yang menjadi responden berjumlah 40 rumah tangga
petani yang akan merepresentasikan hasil mengenai hal yang akan dianalisa
korelasinya. Sedangkan informan akan dipilih secara purposive yaitu petani, ketua
Gapoktan, ketua Poktan dan perangkat desa.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, kuesioner, dan wawancara
kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner telah diuji coba
untuk mengetahui reliabilitas dari kuesioner tersebut. Maka diperoleh hasil
reliabilitas Cronbach’s alpha sebesar 0.864.
Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpa > 0.90, maka
realibilitas sempurna; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90, maka reliabilitas
tinggi; jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5, maka reliabilitas moderat; dan jika nilai
alpha <0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner
penelitian ini menunjukkan angka 0.864 artinya kuesioner memiliki reliabilitas
tinggi.
Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang
berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak
yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti aparat pemerintah desa dan hasil
penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil
dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan
penelitian, seperti monografi desa, demografi desa, nama kepala keluarga dan
jumlah anggota keluarga yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
korelasi dengan menggunakan uji statistik yaitu uji korelasi Rank Spearman untuk
mengetahui hubungan masing-masing tipe modal sosial dengan kesejahteraan
ekonomi objektif dan subjektif (data ordinal) rumah tangga petani dan untuk
menguji hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif dan
subjektif rumah tangga petani.
23
Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara
deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Data yang
diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2007
sebelum dimasukan ke perangkat lunak Statistical Package for the Social Science
for windows (SPSS) versi 17. Berdasarkan ketentuan nilai korelasi Rank Spearman
dan kategori keterhubungan yaitu: 0.000 (tidak ada hubungan), 0.01-0.09
(hubungan kurang berarti), 0.10-0.29 (hubungan lemah), 0.30-0.49 (hubungan
moderat), 0.5-0.69 (hubungan kuat) 0.07-0.89 (hubungan sangat kuat, >0.9
(hubungan mendekati sempurna). Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif
diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, teks naratif,
matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi dan Demografi
Desa Krasak merupakan salah satu desa di wilayah Kabupaten Brebes. Desa
Krasak terletak di bagian utara Kabupaten Brebes. Luas wilayah Desa Krasak
adalah 167.17 Ha. Luas untuk lahan pertanian adalah 118.72 Ha sedangkan luas
pemukiman Desa Krasak adalah 47.20 Ha. Kondisi tipologi Desa krasak adalah
dataran rendah dan terdapat aliran sungai yang terletak di samping jalan utama.
Untuk menyeberangi sungai tersebut tersedia 3 jembatan beton yang dapat dilalui
oleh kendaraan bermotor roda dua dan beberapa jembatan yang bukan beton.
Secara administratif, Desa Krasak terdiri dari tiga Rukun Warga (RW) dan 27
Rukun Tetangga (RT).
Wilayah Desa Krasak sebelah utara berbatasan dengan Desa Banjaranyar,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pemaron, sebelah timur berbatasan
dengan Desa Lembarawa dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Wangandalem. Jarak dari Desa Krasak ke ibukota Kecamatan Brebes yaitu 5 km
dengan akses jalan beraspal yang dapat ditempuh dengan angkutan umum.
Panjang jalan beraspal yang berada di Desa Krasak adalah sepanjang 1 Km
sedangkan jalan yang belum beraspal (jalan tanah) sepanjang 0.5 Km.
Masyarakat Desa Krasak menyatakan bahwa kondisi tanah di Desa Krasak
subur. Hal ini disebabkan karena komoditas sawah atau pertanian ditanam secara
musiman dapat mengurangi hama yang ada pada saat komoditas tertentu ditanam.
Desa Krasak merupakan desa pertanian sehingga dapat dinyatakan kalender
musim pertaniannya (Gambar 2).
Gambar 2 Kalender musim pertanian Desa Krasak
26
Musim tanaman atau komoditas padi berlangsung pada bulan Januari
sampai awal April. Setelah panen padi, petani melakukan pengolahan tanah
terlebih dahulu yaitu untuk menyiapkan bedengan untuk tanaman bawang merah.
Musim tanaman atau komoditas bawang merah berlangsung pada akhir bulan
April sampai akhir bulan Juni. Bulan Juli, Agustus hingga September adalah
musim kering atau kemarau maka petani memilih menanam jagung atau pun
tanaman hortikultura yang tahan akan kondisi kering. Pada bulan Oktober terdapat
perayaan sedekah bumi oleh masyarakat Desa Krasak. Musim tanaman bawang
merah selanjutnya berlangsung pada minggu ketiga dan keempat bulan Oktober
sampai minggu pertama dan kedua bulan Desember.
Petani Desa Krasak sangat menjaga pertumbuhan bawang merah dengan
pemupukan maupun dengan penggunaan pestisida, sedangkan untuk tanaman
padi, petani cenderung mengandalkan kesuburan tanah dan curah hujan. Tanaman
padi ditanam setelah musim bawang merah. Pada musim bawang merah,
penggunaan pupuk dan pestisida banyak. Biaya total yang dihabiskan oleh seluruh
petani Desa Krasak untuk membeli pestisida saat musim bawang merah adalah
kurang lebih Rp 126 500 000, biaya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan
pengeluaran total seluruh petani untuk pestisida pada musim tanam padi yaitu
kurang lebih Rp 10 000 000. Penggunaan pestisida pada tanaman padi tidak
banyak karena pada musim tanam padi serangan hama yang ada telah berkurang
akibat pemakaian pestisida pada saat musim bawang merah. Kemudian pada
musim padi, tanah masih mengandung unsur hara yang banyak yaitu
memanfaatkan unsur hara yang masih terkandung dalam tanah setelah pemanenan
bawang merah. Tekstur tanah di Desa Krasak adalah lempungan dengan warna
abu-abu. Saluran irigasi di Desa Krasak tergolong irigasi tadah hujan, jika hujan
maka irigasi akan penuh namun jika tidak hujan irigasi akan kering. Irigasi
tersebut dibangun dengan dana Program Nasional Pembangunan Mandiri
(PNPM). Desa Krasak memiliki jumlah penduduk sebanyak 7 119 jiwa pada
tahun 2014. Adapun jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Krasak adalah
sebanyak 2 169 jiwa. Penduduk Desa Krasak terdiri dari penduduk laki-laki
sebanyak 3 589 jiwa dan perempuan 3 530 jiwa (lihat Tabel 3).
27
Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut kelompok umur
dan jenis kelamin Tahun 2014
Kelompok
Umur
Jenis Kelamin
Total
(jiwa)
Persentase
(%) Laki-laki Perempuan
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
Jumlah
(jiwa)
Persentase
(%)
0-4 292 4.10 282 3.96 574 8.06
5 9 433 6.08 321 4.51 754 10.59
10 14 386 5.42 363 5.10 749 10.52
15-19 440 6.18 430 6.04 870 12.22
20-24 360 5.06 350 4.92 710 9.97
25-29 395 5.55 387 5.44 782 10.98
30-34 315 4.42 325 4.57 640 8.99
35-39 225 3.16 214 3.01 439 6.17
40-44 270 3.79 284 3.99 554 7.78
45-49 194 2.73 175 2.46 369 5.18
50-54 105 1.47 107 1.50 212 2.98
55-59 77 1.08 84 1.18 161 2.26
60-64 72 1.01 61 0.86 133 1.87
65-69 63 0.88 56 0.79 119 1.67
70 35 0.49 18 0.25 53 0.74
Total 3 662 51.44 3 457 48.58 7 119 100.00
Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
Tabel 3 menunjukkan jumlah penduduk Desa Krasak menurut kelompok
umur. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa jumlah penduduk yang berada pada
usia produktif antara 15 tahun sampai 64 tahun tergolong besar yaitu 4 870 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk usia non produktif sebesar 2 249 jiwa. Dapat
diketahui dari hal tersebut bahwa penduduk usia produktif di Desa Krasa lebih
banyak dari pada penduduk usia non produktif. Penduduk usia produktif dapat
berpotensi sebagai modal dasar bagi pembangunan.
Kondisi Sosial dan Ekonomi
Pendidikan
Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh sebagian besar penduduk
Desa Krasak (3 450 jiwa) termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya pendidikan
di Desa Krasak diantaranya karena pada generasi petani sebelum sekarang, minat
warga Desa Krasak dalam pendidikan formal kurang. Selain itu juga disebabkan
oleh biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat
Pertama (SLTP) masih tergolong tinggi (Tabel 4).
28
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Krasak menurut tingkat
pendidikan Tahun 2014
Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tidak tamat SD/Sederajat 350 8.58
Tamat SD/sederat 3 100 75.96
Tamat SLTP/sederajat 310 7.60
Tamat SLTA/sederajat 101 2.47
Tamat Diploma 153 3.75
Tamat Perguruan Tinggi S1 65 1.59
Tamat Perguruan Tinggi S2 2 0.05
Tamat Perguruan Tinggi S3 0 0
Total 4 081 100.00
Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dengan jumlah penduduk
tertinggi adalah pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Jumlah penduduk yang tamat
SD pada tahun 2014 adalah 3 100 jiwa. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan
formal di Desa Krasak masih rendah yakni dengan 75.96 persen penduduknya
pada tingkat pendidikan SD dan 8.58 persen tidak tamat SD. Program Wajib
Belajar oleh pemerintah hanya dapat dicapai oleh 15,46 warga dan hanya 5.39
persen saja dari total penduduk Desa Krasak yang memiliki pendidikan setingkat
perguruan tinggi. Adanya perubahan minat masyarakat untuk memberikan
pendidkan tinggi kepada anak belum cukup untuk membuat anak mendapatkan
pendidikan tinggi. Kondisi keuangan keluarga dan biaya pendidikan yang mahal
adalah kondisi yang dihadapi keluarga pertanian di Desa Krasak. Pendapatan
keluarga petani yang tidak menentu mengakibatkan ketidakpastian keluarga untuk
dapat memberikan pendidikan tinggi bagi anak. Namun demikian menurut hasil
wawancara terhadap informan yaitu Kepala Desa, tingkat pendidikan di Desa
Krasak pada masing-masing jenjang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya
walaupun bukan pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi. Berikut
wawancara dengan informan.
“...Kondisi pendidikan di Krasak meningkat dari jaman saya masih
sekolah sampai sekarang. Dulu banyak teman-teman saya yang tidak
sekolah, mereka nggarap sawah. Sekarang minimal pada lanjut ke
SMP. Setip tahun meningkat ko Mbak. Laporan dari sekolah SD di
Krasak, muridnya bertambah banyak. Orang dulu kebanyakan SD,
orang tua saya juga SD, makanya cuma jadi tani. Kalau sekarang
pasti orang tua ingin anaknya sukses atau jadi pegawai. Peningkatan
itu misalkan begini Mbak, pada tahun 2013 anak-anak SD yang
melanjutkan ke SMP hanya sekitar 60 persen, nah kalau di tahun
2014 anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP bisa sampai 75 persen
begitu pula untuk SMP ke SMA.”(Bapak S, Kepala Desa)
29
Meningkatnya jenjang pendidikan pada anak di Desa Krasak dikarenakan
masyarakat telah tersosialisasi oleh pentingnya pendidikan dan berubahnya minat
dan pandangan orang tua. Jika pada generasi para petani sebelumnya orang tua
berpandangan bahwa tidak perlu sekolah tinggi karena anak akan meneruskan
usaha pertanian orang tua maka pada generasi petani sekarang, petani cenderung
menginginkan perubahan kesejahteraan keluarganya melalui tingkat pendidikan
anaknya yang tinggi .
Pemerintah desa telah berupaya dalam meningkatkan minat para orang tua
akan pendidikan ananknya yakni dengan pembangunan kembali Sekolah Dasar
Negeri 02 Krasak dengan fasilitas yang memadai. Hal tersebut membuat warga
desa tidak ragu untuk memberikan pendidikan dasar untuk anak-anaknya. Selain
pendidikan formal di Desa Krasak terdapat sarana pendidikan non formal.
Pendidikan non formal dilaksanakan dalam bentuk pengajian. Pelaksanaan
pengajian yang dimaksud adalah kegiatan belajar mengajar mengaji untuk anak-
anak. Pelaksanaan atau tempat belajar mengajar tersebut di rumah salah satu
tokoh agama atau yang disebut dengan Ustad. Pengajian tersebut dilaksanakan
setiap hari untuk anak-anak usia 7-20 tahun. Pendidikan non formal tersebut dapat
menunjang kuatnya norma agama dan menjadikan anak sebagai pribadi yang baik.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Desa Krasak adalah sebagian besar di sektor
pertanian. Hal ini didukung data bahwa pemanfaatan lahan terluas yakni kurang
lebih 118.72 ha adalah untuk lahan persawahan. Selain itu dengan kondisi tingkat
pendidikan di Desa Krasak yang tergolong rendah maka sebagian besar penduduk
tidak dapat memiliki pekerjaan di sektor formal. Potensi yang ada pada Desa
Krasak adalah lahan yang luas dan subur, hal itu dapat dimanfaatkan penduduk
untuk bertani. Keluarga petani di Desa Krasak terbagi menjadi dua jenis yaitu
keluarga yang seluruh anggota keluarga menjadi petani dan keluarga yang
anggota keluarganya ada yang menjadi buruh tani (terdapat anggota keluarga yang
bekerja di sektor lain) (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah dan persentase keluarga pertanian Desa Krasak tahun 2014
Kategori Jumlah (keluarga) Persentase (%)
Keluarga pertanian 624 29.52
Keluarga yang
anggotanya terdapat
buruh tani
1 490
70.48
Total 2 114 100.00
Sumber: Profil Desa Krasak 2014
Tabel 5 menunjukkan jumlah dan persentase keluarga yang memiliki mata
pencaharian sebagai petani. Terlihat bahwa walaupun sebagian besar penduduk
memiliki mata pencaharian petani, namun tidak semua petani di Desa Krasak
memiliki lahan sendiri atau menguasai lahan. Terdapat 70.48 persen keluarga
yang anggotanya keluarganya memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani,
jumlah ini lebih besar dari pada jumlah keluarga yang mempunyai hak
30
penguasaan lahan yakni 29.52 persen. Buruh tani di Desa Krasak disebut sebagai
petani klutuk yaitu pekerja yang membantu pengolahan tanah, perawatan tanaman,
pemanenan hingga pengangkutan saat penjulan hasil panen. Petani yang
mempekerjakan buruh tani juga ikut bekerja di lahan atau memantau para buruh
tani. Tidak semua petani yang memiliki hak penguasaan lahan di Desa Krasak
menggunakan jasa buruh tani, karena lahan yang mereka kuasai tidak terlalu luas
sehingga kegiatan pertanian masih dapat dikerjakan oleh petani tersebut dan
keluarganya. Sebagian besar petani tidak memiliki penguasaan lahan yang luas
(Tabel 6).
Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan luas penguasaan lahan
Pertanian Tahun 2014
Luas lahan (ha) Jumlah (jiwa) Persetase (%)
0.1 - 0.5 425 40.25
0.51 - 1 614 58.14
1.1 - 5 12 1.14
5.1- 10 3 0.28
> 10 2 0.19
Jumlah total penduduk 1 056 100.00
Sumber: Profil Desa Krasak 2014 (diolah)
Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat 1 506 warga yang memiliki hak
penguasaan lahan pertanian. Akses lahan pertanian di Desa Krasak dapat berupa
penyewaan lahan, kepemilikan pribadi dan hak waris yang dibagi diantara saudara
untuk digarap. Sebesar 58.14 persen petani di Desa Krasak hanya menguasai
lahan seluas 0.51 ha sampai dengan 1 ha. Kemudian terdapat sebesar 40.25 persen
petani di Desa Krasak yang hanya menguasai lahan pertanian seluas 0.1 sampai
0.5. Sedangkan jumlah petani yang menguasai lahan lebih dari 5 ha hanya
berjumlah 5 orang (0.47 persen) dari total 1 056 petani yang memiliki hak
penguasaan lahan dari total petani. Dari data tersebut dapat diketahui mayoritas
petani Desa Krasak merupakan petani kecil.
Petani maupun buruh tani harus memanfaatkan seluruh potensi yang ada di
komunitas. Potensi tersebut dapat berupa potensi sosial maupun potensi alam.
Potensi sosial dapat berupa modal sosial. Jika petani di Desa Krasak hanya
memanfaatkan moda produksi dalam usaha pertaniannya, maka petani kecil akan
memperoleh hasil yang tidak maksimal dalam pertanian. Potensi sosial yaitu
modal sosial dapat dimanfaatkan oleh petani agar mudah mendapatkan moda
produksi pertanian seperti lahan pertanian, modal awal musim, dan berbagai
sarana produksi pertanian.
Selain mata pencaharian petani, berdagang juga merupakan mata
pencaharian yang banyak dilakukan oleh penduduk Desa Krasak. Warung-warung
sembako, warung-warung kecil, usaha dagang bensin eceran, terdapat di setiap
RW di Desa Krasak. Beberapa juga ada yang menjadi pedagang makanan keliling.
Berdagang juga dijadikan pekerjaan sampingan selain bertani. Kemudian terdapat
penduduk yang bermata pencaharian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejumlah 62
31
orang, guru sejumlah 11 orang, pensiunan sejumlah 17 orang, Pembantu Rumah
Tangga sejumlah 30 orang dan sopir angkutan umum sejumlah 30 orang (Profil
Desa Krasak Tahun 2014).
Pranata Sosial dan Kelembagaan
Kondisi sosial dan politik serta ketenteraman dan ketertiban di wilayah Desa
Krasak terbilang terkendali. Sebagian besar warga Desa Krasak adalah suku Jawa
dan beragama Islam sehingga keberagaman penduduk tidak terlalu beragam.
Warga masih memegang teguh norma-norma dan etika yang berlaku. Desa Krasak
memiliki kelembagaan berupa kelompok tani yang berjumlah 3 kelompok. Tidak
semua petani masuk dalam kelompok tani. Kelompok tani terdiri dari Kelompok
Tani Unggul Tani, Bina Tani dan Sejahtera Tani. Kelompok tani mengadakan
pertemuan setiap satu kali dalam dua minggu. Namun jika sedang mengadakan
kegiatan, kelompok tani dapat mengadakan pertemuan sebanyak satu kali dalam
seminggu. Kegiatan kelompok tani diantaranya pengadaan penyuluhan pertanian,
pengadaan kegiatan lampunisasi (pemasangan lampu di areal persawahan),
pelatihan pembuatan pupuk kompos dengan teknologi baru dan lain-lain. Tempat
berlangsungnya penyuluhan disebut gubuk temu.
Gubuk temu dimanfaatkan sebagai tempat yang digunakan petani untuk
berdiskusi mengenai pertanian di Tingkat desa. Tempat tersebut dikenal sebagai
dengan tempat pemecahan masalah. Petani juga berkoordinasi mengenai
pemasangan lampu di gubuk temu. Pemasangan lampu adalah kegiatan yang
penting untuk dilaksanakan. Pemasangan lampu pada areal persawahan
(lampunisasi) dilakukan pada minggu keempat bulan April sebelum bibit bawang
merah ditanam sampai dengan bulan juni saat bawang merah siap dipanen. Dana
pelaksanaan lampunisasi berasal dari iuran sukarela para petani yang memiliki
lahan garapan sawah di areal persawahan Desa Krasak. Kelompok tani Unggul
Tani mencoba mempermudah anggotanya untuk pembayaran iuran lampunisasi
menggunakan uang hasil tabungan para anggotanya. Biaya untuk lampunisasi
dapat terbilang besar namun petani dapat membayar iuran tersebut dalam dua
periode. Pemasangan lampu bertujan untuk mengurangi hama berupa serangga
yang menyerang pada malam hari. Pemasangan lampu dilaksanakan pada musim
bawang merah pada bulan April karena pada musim tersebut harga bawang merah
cenderung tinggi. Pada musim tersebut tanah dan cuaca sangat mendukung untuk
perkembangan bawang merah.
Pemasangan lampu pada pelaksanaannya dilakukan secara gotong royong
oleh warga desa terutama petani. Petani melakukan gotong rotong dalam RW
masing-masing. Kelompok tani yang ada pada setiap RW mengatur pelaksanaan
pemasangan lampu. Ada tiga generator yang digunakan untuk menyalakan lampu
dimana di setiap RW disediakan satu generator. Selain para petani yang
bergotong-royong, kegiatan tersebut harus didukung dengan pekerja atau teknisi
listrik. Setelah lampu terpasang, maka setiap malam hari akan dinyalakan oleh
petani yang bertugas menjaga generator. Penjagaan generator oleh petani
dilakukan secara bergiliran.
Warga Desa Krasak memiliki budaya atau kebiasaan yang masih dilakukan
terkait dengan mata pencaharian khususnya petani. Budaya tersebut adalah
“Sedekah Bung” atau sedekah bumi, budaya ini dilakukan pada setiap satu tahun
32
sekali yaitu pada awal bulan Oktober. Budaya sedekah bung dilakukan pada bulan
Oktober karena pada bulan tersebut dimulainya musim penghujan. Maka petani
harus bersyukur dan meminta berkah. Kegiatan adat ini didahului dengan
pembacaan doa bersama sebagai rasa syukur atas musim penghujan dan hasil
pertanian yang didapat satu tahun terakhir. Kemudian dilanjutkan dengan
pemotongan kambing dan berbagi nasi serta lauk-pauknya. “Sedekah Bung”
dilakukan di tanah lapang yang berada di tengah persawahan yang bernama “Blok
Pung”.
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 responden. Empat puluh
responden tersebut merupakan kepala rumah tangga pertanian. Petani di lokasi
penelitian adalah petani sawah yang melakukan penanaman berbagai komoditas
pertanian dengan waktu tertentu. Berikut penjelasan tentang profil responden.
Pendidikan Responden
Pendidikan warga di Desa Krasak tergolong rendah hal ini berkaitan dengan
minat anak dan orang tua. Sebagian besar warga adalah petani yang pada
generasinya tidak diberikan pendidikan tinggi oleh orang tuanya. Orang tua petani
pada saat itu juga bermata pencaharian sebagai petani. Sebagian besar warga yang
memiliki mata pencaharian sebagai petani diwariskan turun temurun sesuai
dengan pewarisan tanah atau pun mengikuti orang tua sebagai buruh tani.
Pertanian merupakan sektor informal yang tidak mengharuskan petani mempunyai
pendidikan formal yang tinggi (Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan
Kategori Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Rendah (tidak tamat SD dan tamat SD atau
sederajat) 30 75.0
Sedang (tamat SLTP atau sederajat) 3 7.5
Tinggi (Tamat SLTA atau sederajat dam tamat
Perguruan Tinggi) 7 17.5
Total 40 100.0
Pendidikan sebagian besar responden tergolong rendah yaitu terdapat 75
persen responden dari total 40 responden yang termasuk dalam kategori tidak
tamat SD dan tamat SD atau sederajat. Tingkat pendidikan pada kategori tinggi
hanya memiliki persentase 17.5 persen. Responden yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi tersebut memilih bekerja sebagai petani karena melihat peluang
komoditas bawang merah yang dapat mendatangkan keuntungan. Selain itu
walaupun responden tidak memiliki lahan sawah, namun telah tersedia kapling
33
lahan yang ditawarkan untuk disewa. Terdapat satu responden pensiunan Pegawai
Negeri Sipil yang bekerja sebagai petani sawah.
Sebanyak 75 persen responden termasuk dalam kategori pendidikan rendah
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah biaya
pendidikan tingkat SLTP dan SLTA yang mahal dan minat warga yang cenderung
tidak ingin melanjutkan pendidikan karena ingin menggarap sawah orang tua. Hal
tersebut seperti yang dikatakan oleh salah satu responden.
“...Pendidikan terakhir saya SD Mbak. Istri juga SD. Dulu mau lanjut
SMP tapi enggak tau harus bagaimana. Orang dulu pada nggak tau.
Orang tua saya tani Mbak, jadi saya bantu-bantu orang tua.”(Bapak
K, Petani)
Generasi petani atau masyarakat sebelumnya belum tersosialisasi dan sadar
akan pendidikan menengah atau pun pendidikan tinggi. Masyarakat merasakan
sudah cukup untuk bisa baca tulis sehingga pendidikan sebagian besar masyarakat
hanya pada tingkat SD.
Mata pencaharian responden
Mata pencaharian responden selain sebagai petani, terdapat beberapa
responden yang memiliki mata pencaharian sampingan atau lainnya. Berikut tabel
jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain selain
petani (Tabel 8).
Tabel 8 Jumlah dan persentase responden yang memiliki mata pencaharian lain
selain petani
Mata pencaharian lain Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tidak mempunyai pekerjaan lain 25 62.5
Pedagang 8 20.0
Buruh bangunan 6 15.0
Pensiunan 1 2.5
Total 40 100.0
Tabel 8 menunjukkan bahwa 62.5 persen responden tidak memiliki mata
pencaharin lain selain petani. Hal ini menunjukkan kehidupan 62.5 persen
responden sangat bergantung pada hasil panen komoditas sawah. Komoditas
sawah yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga
petani di Desa Krasak adalah bawang merah yang harganya berfluktuatif.
Terdapat responden yang memiliki mata pencaharian lain. Sebesar 20 persen
responden mempunyai pekerjaan sampingan pedagang terdiri dari pedagang toko
kelontong dan pedagang bawang merah. Selain itu terdapat 15 persen atau 6
responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan.
Responden yang mempunyai pekerjaan sebagai buruh bangunan akan lebih
banyak mendapat pekerjaan tersebut pada bulan Juli, Agustus dan September atau
pada bukan bulan musim bawang merah.
35
ANALISIS MODAL SOSIAL RUMAH TANGGA PETANI
Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak merupakan
interaksi yang dibangun dari kehidupan sehari-hari. Interaksi tersebut dapat terjadi
antar petani dalam satu desa maupun dengan desa yang lain, antara petani dengan
tengkulak, antara petani dengan distributor kebutuhan pertanian, pemerintah, atau
petani dengan lembaga pendukung pertanian seperti lembaga perbankan.
Woolcock (2001) dalam Field (2010) membedakan tipe modal sosial menjadi tiga
tipe hubungan, yaitu: (1) modal sosial yang mengikat (social bounding), (2) modal
sosial yang menjembatani (social bridging), dan (3) modal sosial yang
menghubungkan (social linking). Analisis modal sosial berdasarkan tipe-tipe
modal sosial akan lebih jauh dipaparkan dalam bagian ini.
Kondisi Social Bounding pada Rumah Tangga Petani
Menurut Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009), social bounding dapat
berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Hal tersebut
mencerminkan adanya kekerabatan yang dilihat dari pelaksanaan berbagai norma-
norma sosial yang ada pada masyarakat. Penelitian sebelumnya yang
menyimpulkan bahwa suatu masyarakat tergolong lebih memanfaatkan social
bounding adalah Suandi (2007), Rustanto (2007) dan Pontoh (2010). Suandi
(2007) menyimpulkan demikian karena melihat variabel kepercayaan masyarakat.
Jumlah responden pada variabel kepercayaan tersebut besar pada kategori
kepercayaan sangat tinggi dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
relevan apabila penelitian ini menggunakan indikator kepercayaan sebagai
penyumbang konsep social bounding. Analisis social bounding ini menggunakan
indikator tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial. Hasil
penelitian ini menunujukan frekuensi dan persentase masing-masing indikator
tergolong sedang atau cukup baik.
Tingkat Kepercayaan
Tipe modal social bounding memiliki karakteristik adanya ikatan yang kuat
dan mengikat, maka indikator kepercayaan relevan digunakan untuk melihat
ikatan kuat yang ada dalam masyarakat. Kepercayaan yang ada dalam masyarakat
petani di Desa Krasak dapat berupa perasaan yakin yang terbangun antara petani
atau dengan orang lain, bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang
diharapkan dan saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari atau dapat pula
dalam kegiatan pertanian. Jumlah dan persentase indikator tingkat partisipasi
tergolong sedang (Tabel 9).
36
Tabel 9 Jumlah dan peresentase responden menurut tingkat kepercayaan
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 8 20
Sedang 26 65
Rendah 6 15
Total 40 100
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah responden pada kategori
sedang sebanyak 26 responden dengan persentase 65 persen. Sedangkan untuk
kategori tingkat kepercayaan tinggi terdapat 8 responden dengan persentase 20
persen. Tingkat kepercayaan petani Desa Krasak tergolong sedang dapat dilihat
dari kegiatan sehari-hari petani yaitu kesediaan berbagi pengalaman antar petani.
Kesediaan berbagi pengalaman antar petani tergolong tinggi, namun untuk
beberapa petani di Desa Krasak kesediaan melakukan saran petani lain mengenai
permasalahan pertanian dapat dikatakan tidak terlalu tinggi. Sehingga indikator
kepercayaan antar sesama tergolong sedang. Penyebab kurangnya kesediaan untuk
melakukan saran dalam bidang pertanian salah satunya adalah pada saran
penggunaan pupuk dan pestisida. Petani di Desa Krasak selektif terhadap
penggunaan jenis pestisida maupun pupuk. Petani sangat berhati-hati dalam
memilih jenis pestisida karena menurut pengalaman petani jika petsni langsung
melakukan saran petani lainnya belum tentu hasil panen akan meningkat. Setelah
diberi saran maka petani tidak langsung melakukan saran tersebut, melainkan
masih mempertimbangkannya. Seperti yang dikemukakan salah satu responden
berikut ini.
“..Kalau ada teman bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai
pupuk apa? Obatnya apa? Kadang dijawabnya jenis obat baru dari
PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke yang
lainnya.”(Bapak W, petani)
Kesediaan memberi dan melakukan saran menjadi hal yang penting dalam
kepercayaan antar petani. Sebagian besar petani bersedia memberikan saran.
Saling bertukar saran dalam masalah pertanian oleh petani dilakukan saat
berbincang dan beristirahat di sawah. Dalam hal berinteraksi antar sesama petani,
petani di Desa Krasak tergolong sering berinteraksi. Interaksi tersebut tercermin
seringnya petani berbincang dan beristirahat bersama saat bekerja di sawah.
Berikut wawancara dengan responden.
“Saya pasti ngbrol-ngobrol Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso,
kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya cerita hama yang
ditemuin pas di sawah tadi apa saja.” (Bapak W, petani)
Tingkat kepercayaan juga dapat dilihat dari pemenuhan tanggung jawab.
Tanggung jawab yang dimaksud adalah memberi saran tentang pertanian dengan
benar kepada petani lain dalam artian petani tidak berbohong dalam memberikan
saran. Dalam penjualan hasil pertanian petani memang bersaing untuk
37
mendapatkan harga yang tinggi, namun dalam perawatan tanaman petani bersidia
memberikan saran yang berdasarkan pengalamannya dapat meningkatkan hasil
panen. Bentuk tanggung jawab lainnya adalah petani akan melaksanakan tugas-
tugas yang diterimanya di organisasi maupun di masyarakat. Uraian hal-hal
tersebutlah memberi sumbangsih terhadap analisis tingkat kepercayaan antar
sesama petani yang tergolong dalam kategori sedang.
Tingkat Kepatuhan pada Norma Sosial
Tingkat kepatuhan pada norma sosial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah tingkat kepatuhan petani terhadap tata aturan yang ada di masyarakat,
dapat berupa nilai adat atau budaya lokal. Norma sosial tersebut dapat terlihat dari
tingkat kepatuhan pada peraturan adat istiadat maupun nilai budaya, tingkat
kepatuhan terhadap norma agama. Salah satunya adalah kegiatan gotong-royong
yang diadakan di desa. Gotong-royong di Desa Krasak dilaksanakan saat
pembangunan jalan lingkungan, perayaan HUT-RI, dan acara-acara desa lainnya.
Tingkat kepatuhan pada norma sosial rumah tangga petani berada pada kategori
sedang (Tabel 10).
Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepatuhan pada norma
sosial
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 6 15
Sedang 28 70
Rendah 6 15
Total 40 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase tingkat kepatuhan
pada norma sosial tergolong pada kategori sedang. Jumlah responden pada
kategori sedang adalah sebanyak 28 responden dengan persentase 70 persen.
Sedangkan untuk kategori kuat persentasenya adalah 5 persen. Tingkat kepatuhan
norma sosial berada pada kategori sedang dapat dilihat dari intensitas masyarakat
melakukan ide adat atau tradisi, salah satunya adalah sedekah bumi. Sedekah
bumi rutin dilaksanakan pada setiap bulan Oktober. Sedekah bumi tersebut lebih
dikenal dengan sedekah bung. Pelaksanaannya sedekah bung dimulai dari
penarikan iuran untuk disumbangkan. Iuran tersebut untuk keperluan sedekah
bumi diantaranya yaitu kambing dan makanan lainnya. Iuran tersebut sudah
menjadi norma dalam kehidupan masyarakat. Kemudian pada saat kegiatan warga
bersama-sama membawa sedekah untuk berdoa ke tanah lapang di dekat
persawahan yang disebut dengan blok pung. Namun tidak semua warga mengikuti
dalam acara sedekah bung, beberapa warga lebih memilih hanya berpartisipasi
dengan memberikan uang iuran saja. hal ini lah yang memberikan sumbangsih
bahwa tingkat kepatuhan pada norma, sehingga tergolong dalam kategori sedang.
Berikut salah satu responden yang tidak ikut serta dalam kegiatan sedekah bumi
karena bertentangan dengan ajaran agama.
38
“..Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut. Memang
acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama
Islam Mbak, Nanti saya musyrik” (Bapak A, petani)
Norma agama yang dilihat dalam tingkat kepatuhan terhadap norma adalah
norma hadir dalam tahlilan (berdoa bersama untuk orang meninggal) dan
jamiahan (pengajian yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan rutin pada waktu
tertentu) yang diadakan di lingkungan setempat. Hampir setiap hari dilaksanakan
jamiahan di Desa Krasak, namun pelaksananya adalah berbagai kelompok-
kelompok pengajian baik kelompok perempuan atau kelompok laki-laki. Petani
dapat mengikuti jamiahan sebanyak 3-6 kali dalam satu bulan.
Tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma sosial
mempengaruhi tingkat social bounding yang ada di masyarakat. Analisis
sebelumnya memaparkan bahwa pada rumah tangga petani Desa Krasak, tingkat
kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma berada pada kategori sedang
karena beberapa hal. Demikian pula untuk persentase tingkat social bounding atau
modal sosial yang mengikat (Tabel 11)
Tabel 11 Jumlah dan persentase rumah tangga petani menurut tingkat social
bounding
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 8 20
Sedang 26 65
Rendah 6 15
Total 40 100
Tabel 11 menunjukan bahwa rumah tangga petani di Desa Krasak
mempunyai tingkat social bounding yang tergolong dalam kategori sedang.
Rumah tangga petani yang tergolong sedang berjumlah 26 rumah tangga dengan
persentase 65 persen. Kemudian untuk kategori social bounding tinggi berjumlah
8 rumah tangga dengan persentase 20 persen. Sedikitnya jumlah responden yang
berada pada kategori tinggi dapat dikarenakan berkurangnya norma kekerabatan
yang ada pada masyarakat. Ikatan yang terbagun diantara petani tidaklah sekuat
pada tahun 1990an yaitu dilihat dengan tingkat kepercayaan dan tingkat
kepatuhan pada norma sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat ketua Gapoktan
Desa.
“...Petani di Desa Krasak bisa dikatakan merupakan petani mandiri
mbak. Dulu saat tahun 1990an disini selain bawang juga menanam
cabe merah. Cabe merah disini bagus, ada yang dikirim ke luar. Saat
itu petani masih sering keliatan rewang-rewang ngolah sawah dan
panen. Kalau sekarang masalah saling pinjam alat, meminjam modal
antar petani itu sudah jarang. Walaupun mungkin pasti masih ada
yang meminjam modal, tapi pasti sama keluarga.” (A W, ketua
Gapoktan)
39
Namun demikian, nilai-nilai kekeluargaan masih dilaksanakan seperti
membantu petani yang gagal panen, membantu keluarga atau tetangga yang
sedang menikahkan anaknya. Hal tersebut mencirikan social bounding yakni
hubungan masyarakat yang masih satu keluarga yang tinggal dalam satu wilayah
maupun antar keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga
lain yang masih satu etnik. Pada masyarakat Desa Krasak banyak terdapat warga
yang masih satu kerabat atau masih bersaudara. Hal tersebut diungkapkan oleh
salah satu responden berikut ini.
“...Saudara saya banyak di sini Mbak, adik-adik saya juga nggarap
sawah di sini. Rata-rata disini juga sawah keluarga jadi banyak
disini yang masih satu keluarga” (SN, petani dan pedagang bawang
merah)
Hubungan kekerabatan ini dapat menyebabkan adanya rasa empati atau
kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya,
resiprositas. Rasa empati pada masyarakat masih melekat, setiap Rukun Tangga
(RT) mengkoordinir warga untuk menjenguk apabila terdapat warga yang sakit
serta memberikan uang santunan. Meskipun dikoordinir oleh lembaga Rukun
Tangga namun warga memiliki rasa empati dan rasa berkewajiban untuk
membantu warga yang sedang mengalami musibah. Selain dari hubungan
kekerabatan, norma-norma sosial yang termasuk dalam unsur social bounding
yang ada pada masyarakat Desa Krasak dapat tercermin pada kebiasaan, persepsi
dan tradisi atau adat-istiadat dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada
norma tradisi adat, umumnya masyarakat akan melaksanakan Sedekah Bung dari
rangkaian acara awal hingga akhir namun pada lima tahun terakhir masyarakat
yang mengikuti rangkaian acara tidak banyak. Hal tersebut mengindikasikan
adanya kerenggangan atau melemahnya kepatuhan pada norma tradisi atau adat.
Kondisi Social Bridging pada Rumah Tangga Petani
Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) menjelaskan bahwa social
bridging merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam
karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam
kelemahan yang ada di dalamnya sehingga memutuskan untuk membangun
kekuatan dari luar dirinya. Wilayah cakupan social bridging lebih luas dari social
bounding karena dapat bekerja lintas kelompok etnik, maupun kelompok
kepentingan. Kemudian Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) melanjutkan,
social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum sebagai warga
negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Sehingga dapat terlihat tujuan
dari social bridging adalah mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas
agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik
sumber daya manusia maupun alam melalui interaksi sosial. Berkaitan dengan
tujuan dari social bridging maka pengembangan potensi dari rumah tangga petani
maka interaksi sosial yang perlu dilihat adalah kuatnya jaringan, tingkat
solidaritas dan tingkat partisipasi dalam organisasi.
40
Kuatnya Jaringan
Pengukuran kuat jaringan rumah tangga petani di Desa Krasak dilakukan
dengan melihat beberapa hal seperti jaringan kerja sama antar pertani, tingkat
keterbukaan informasi dan kebermanfaatan asosiasi atau orgasasi kelompok tani.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kuat
jaringan yang dimiliki oleh rumah tangga petani yang ada di Desa Krasak berada
pada kategori sedang (Tabel 12).
Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut kuatnya jaringan
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Kuat 7 17.5
Sedang 26 65.0
Lemah 7 17.5
Total 40 100.0
Tabel 12 menunjukkan bahwa kuatnya jaringan pada rumah tangga petani
tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Berdasarkan hasil penelitian
Kuatnya jaringan petani yang tergolong sedang disebabkan oleh hubungan kerja
sama oleh petani dengan petani lain. Bentuk-bentuk kerja sama petani antara lain
penyewaan lahan sawah pada pemilik lahan, saling meminjamkan sarana
produksi, maupun kerja sama menanamkan modal bersama. Kerja sama tersebut
adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas
bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya. Dalam bekerja sama petani sudah
saling bersepakat dalam aturan menjalani kerja sama. Kesepakatan antara pemilik
lahan dan petani dibuat pada saat petani akan menyewa lahan. Harga sewa lahan
per bau atau ¾ Ha berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun.
Kuatnya jaringan termasuk dalam kategori sedang dapat dilihat pada
kebermanfaatan asosiasi kelompok tani. Kelompok tani merupakan jaringan yang
dapat dimanfaatkan sebagai wadah petani bernaung, mendapatkan informasi dan
bekerja sama antar petani. Namun terdapat lebih dari 50 persen responden yang
mengatakan bahwa dirinya tidak tergabung dalam kelompok tani. Hal ini
dikarenakan tidak ada keinginan petani untuk tergabung dalam kelompok tani
selain itu terdapat responden yang tidak menerima informasi mengenai cara
tergabung dalam kelompok tani. Terdapat responden yang tidak merasakan
manfaat dari keberdaan kelompok tani karena kelompok tani dinilai belum
maksimal mewadahi petani di Desa Krasak. Kemudian terdapat pula petani yang
telah tergabung namun tidak mendapatkkan kredit sarana produksi pertanian. Hal
ini memberikan anggapan bahwa keanggotaannya pada kelompok tani belum
memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut wawancara dengan
responden tersebut.
“...Iya, saya anggota Unggul Tani, tapi belum ada kredit untuk
sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya pupuk murah
sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani)
41
Adanya anggapan-anggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat
menyebabkan tidak dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa
Krasak sehingga para petani pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi
kelompok tani. Paparan hasil penelitian tersebut menyebabkan kuatnya jaringan
tergolong pada kategori sedang.
Tingkat Solidaritas Rumah Tangga Petani
Tingkat solidaritas yang ada pada rumah petani Desa Krasak dapat dilihat
dari hubungan pertemanan diantara pertani yang erat, yakni melihat sejauh mana
rasa kebersamaan dalam suatu komunitas. Rasa kebersamaan tersebut menyangkut
tentang kesetiakawanan antara individu petani dalam mencapai tujuan dan
keinginan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat solidaritas
rumah tangga petani Desa Krasak tergolong sedang (Tabel 13).
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat solidaritas
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 7 17.5
Sedang 27 67.5
Rendah 6 15.0
Total 40 100.0
Tingkat solidaritas rumah tangga petani tergolong sedang dengan persentase
sebesar 67.5 persen. Tingkat solidaritas yang tergolong sedang dapat dilihat dari
solidarty making, yaitu seberapa jauh keinginan petani untuk membuat hubungan
kekerabatan antar petani. Responden menyatakan bahwa mereka berkeinginan
untuk berteman dengan petani lain. Kemudian dalam menjalani hubungan
pertemanan atau kekerabatan antar petani, petani berteman baik atau tidak ingin
memicu perselisihan. Petani menghindari hal-hal yang akan menimbulkan
perselisihan. Petani Desa Krasak lebih memilih mendiskusikan permasalahan dan
mengambil keputusan secara mufakat. Seperti pernyataan responden berikut.
“..Kalau ada acara, orang-orang sini berdiskusi Mbak. Kadang bikin
rapat dadakan buat acara-acara pertanian. Tidak ada perselisihan
yang terjadi kok Mbak. Permasalahan yang meresahkan ya paling
harga bawang Mbak..” (Bapak H. Petani)
Sehingga keadaan kehidupan sosial atau kehidupan sehari-hari petani dalam
kondisi tenang. Indikator lainnya adalah sejauh mana petani memiliki rasa
kebersamaan atau perasaan senasib. Jika terdapat petani yang sedang mengalami
permasalahan, petani lain cenderung akan membantu. Namun terdapat hambatan
yaitu jarangnya petani-petani tertentu menceritakan permasalahan yang sedang
dihadapinya. Sehingga petani maupun kelompok tani tidak tahu dan tidak dapat
membantu.
42
Tingkat solidaritas tergolong sedang disebabkan oleh keadaan pasca panen.
Para petani tidak berdiskusi mengenai permasalahan penjualan hasil panen. Para
petani cenderung menunggu pembeli/pengepul dengan tawaran harga beli
tertinggi. Tidak ada kelembagaan atau diskusi petani yang dapat memfasilitasi
hasil panen. Sehingga petani tidak dapat memecahkan permasalahan murahnya
harga bawang merah jika harga sedang turun. Hal tersebut menjadi sumbangsih
sedangnya solidaritas petani.
Indikator tingkat solidaritas yang lainnya yang mempengaruhi sedangnya
solidaritas adalah kepekaan terhadap kemajuan pertanian desa sejauh mana petani
memiliki rasa ingin mengembangkan pertanian desa. Wujud dari solidaritas ini
adalah berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa
penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim
tanam bawang merah, petani yang peduli akan hasil panen desa, berdiskusi di
gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit bawang merah varietas apa
yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama
maupun keadaan pengairan. Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit
yang baik pada musim itu. Mengenai hasil panen tidak pernah ada gagal panen
besar dalam skala desa. Selain itu terdapat lampunisasi yaitu pemasangan lampu
pada persawahan di Desa Krasak. Lampunisasi bertujuan untuk meminimlisir
serangan hama berupa serangga pada malam hari. Lampunisasi dilakukan oleh
warga secara sukarela dan bergotong royong. Dana dari kegiatan ini didapatkan
dari dana iuran petani atau warga yang lahan sawahnya berada di Desa Krasak.
Partisipasi dalam Organisasi di Lingkungan
Hasbullah (2006) dalam Inayah (2012), yang mengetengahkan enam unsur
pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial, salah
satunya yaitu participation in a network. Selanjutnya Hasbullah (2006) dalam
Inayah (2012) menyatakan participation in a network adalah kemampuan
sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial,
melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas
dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan
(freedom), dan keadaban (civility).
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden menurut tinggi rendahnya partisipasi
dalam organisasi
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 7 17.5
Sedang 26 65.0
Rendah 7 17.5
Total 40 100.0
Tabel 14 menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga petani dalam
organisasi tergolong sedang dengan persentase 65 persen. Sedangnya tingkat
partisipasi petani Desa Krasak dalam kelembagaan lingkungan dilihat dari
keikutsertaan petani dalam lembaga. Keikutsertaan petani dalam lembaga di
43
keseharian komunitas petani juga tergolong tidak tinggi. Rata-rata petani hanya
ikut serta dalam satu atau dua organisasi di lingkungannya. Organisasi formal dan
informal atau kelembagaan yang banyak diikuti oleh petani adalah kelompok
pengajian atau jamiahan. Jamiahan merupakan kelembagaan yang berasal dari
norma agama. Seluruh warga Desa Krasak beragama Islam, sehingga pelaksanaan
norma agama sangat penting. Hampir setiap hari ada kegiatan jamiahan, selain
untuk menjalankan norma agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat
saling bertukar informasi. Sedangkan kelembagaan formal yaitu kelompok tani
dianggap tidak dapat memberi kemajuan pada pertanian. Sehingga petani yang
tergabung dalam kelompok tani sedikit.
Indikator lainnya adalah keaktifan dalam pertemuan yaitu sejauh mana
petani mengikuti kegiatan dalam kelembagaan formal maupun informal. Petani
sering mengikuti kegiatan pengajian yaitu 4 sampai 6 kali dalam satu bulan,
namun untuk kegiatan rapat RT/RW hanya petani yang berkepentingan dalam
masalah yang dibahas saja yang aktif hadir. Hal tersebut menjadi salah satu
penyumbang bahwa tingkat partisipasi dalam organisasi (kelembagaan
formal/informal) tergolong sedang. Kemudian indikator selanjutnya adalah
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah sejauh
mana petani terlibat dalam pengambilan keputusan dalam kelembagaan formal
maupun informal. Pada pengambilan keputusan, responden mengatakan bahwa
mereka selalu diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat. Terdapat 40 persen
responden yang sering (4 sampai 5 kali dalam satu bulan pertemuan)
menyampaikan pendapatnya dan pengambilan keputusan dilakukan secara
musyawarah dan mufakat.
Partisipasi dalam organisasi mendukung ruang lingkup social bridging yaitu
menggali potensi dan memaksimalkan kekuatan, dalam konteks ini adalah potensi
dan kekuatan sosial. Partisipasi petani dalam organisasi di lingkungan dapat
menjembatani petani untuk mengembangkan potensi karena dengan ikut serta
dalam organisasi, petani memperoleh informasi dan keuntungan yang lebih yaitu
dengan memiliki jaringan yang lebih luas.
Berdasarkan indikator social bridging yang telah dipaparkan maka dapat
diketahui social bridging yang ada pada rumah tangga petani di Desa Krasak.
Tingkat social bridging pada rumah tangga petani Desa Krasak berada pada
kategori sedang. Selain dapat diketahui melalui pemaparan indikator, hal tersebut
dapat diketahui dari akumulasi skor social bridging (Tabel 15).
Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat social bridging
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 7 17.5
Sedang 26 65.0
Rendah 7 17.5
Total 40 100.0
Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat social bridging rumah tangga petani
Desa Krasak tergolong dalam kategori sedang atau cukup baik dengan persentase
65 persen. Kategori tinggi dan sedang memperoleh persentase yang sama yaitu
44
17.5 persen. Baik kuatnya jaringan, tingkat solidaritas maupun tinggi rendahnya
partisipasi dalam organisasi, rumah tangga petani tergolong dalam kategori
sedang. Social bridging merupakan modal sosial yang berperan untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas agar mampu menggali dan
memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik sumber daya manusia maupun
alam melalui interaksi sosial. Kondisi social bridging di komunitas petani Desa
Krasak sudah cukup baik namun perlu pengembangan yang lebih baik lagi agar
potensi-potensi yang ada dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan (sosial maupun
ekonomi) komunitas.
Kondisi Social Linking pada Rumah Tangga Petani
Woolcock (2001) dalam Nuryadin (2009) mengemukakan tipe modal sosial
yang terakhir adalah social linking (modal sosial yang menghubungkan) yaitu
dapat berupa hubungan. Hubungan sosial dikarakteristikkan dengan adanya
hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang
ada dalam masyarakat. Kemudian Nuryadin (2009) lebih menegaskan pendapat
Woolcock yaitu social linking lebih memberikan perhatian kepada hubungan yang
bersifat vertikal dengan para aktivis partai, kelembagaan dan pengambil
keputusan. Hal tersebut dapat digambarkan pada penelitian Nuryadin (2009) yakni
hubungan antara nelayan suku Bajo dengan lembaga perbankan atau pemerintah
yang dianggap memiliki kapital ekonomi yang dapat mendukung kegiatan
produksi dan memfasilitasi pemasarannya secara lebih proporsional. Social
linking diukur dari tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar
komunitas dan tingkat kepentingan rumah tangga petani pada kelembagaan luar
komunitas.
Tingkat Kebergantungan
Tingkat kebergantungan rumah tangga petani pada luar komunitas yang
akan dipaparkan adalah sejauh mana petani mengandalkan komunitas luar desa
untuk mendukung kegiatan pertaniannya. Sebuah sistem masyarakat pertanian di
dalamnya terdapat berbagai pihak-pihak yang menentukan kehidupan komunitas
pertanian tersebut.
Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kebergantungan
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase
Tinggi 8 20
Sedang 26 65
Rendah 6 15
Total 40 100
45
Tingkat kebergantungan rumah tangga petani tergolong dalam kategori
sedang dengan persentase 65 persen. Tingkat kebergantungan yang tergolong
sedang dapat terlihat dari tingkat akses moda produksi, yaitu bagaimana petani
mendapatkan modal dan sarana produksi pertanian untuk usaha pertaniannya.
Petani mendapatkan modal awal setiap musimnya dari berbagai sumber yaitu dari
lembaga peminjaman/perbankan atau dari tabungan sendiri. Petani yang
menggunakan modal dari tabungan sendiri berarti memiliki tingkat
kebergantungan yang rendah terhadap komunitas luar. Petani yang menggunakan
modal dari tabungan yakni petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih
untuk melanjutkan kegiatan bertani ke musim berikutnya. Seperti salah satu
responden berikut:
“..Ini sekitar pertengahan maret kan mau pada tanam, sekarang saya
harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau tidak. Setiap musim
kalau sedang stabil saya pakai uang tabungan saja. Kalau ditambah
pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang)
Tidak sedikit petani yang memiliki uang tabungan atau keuntungan hasil
panen musim sebelumnya tidak cukup untuk modal awal musim berikutnya. Maka
tidak ada pilihan lain selain bergantung pada kerabat atau lembaga perbankan
untuk meminjam modal. Petani yang melakukan peminjaman pada kerabat adalah
petani yang kesulitan akses modal di perbankan dan petani yang hanya
membutuhan tambahan modal sedikit. Sedangkan petani yang memilih meminjam
modal di Bank adalah petani yang telah tersosialisasi dengan tata cara aturan
peminjaman di Bank dan memang petani tersebut membutuhkan modal yang
besar. Petani yang pernah melakukan peminjaman modal di Bank mengaku tidak
ada kesulitan untuk melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian di setiap
musimnya. Seperti yang dikemukakan responden berikut.
“..Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI. Kalau tidak
begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau
udah ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak.” (Bapak K, petani)
Pernyataan responden tersebut juga didukung oleh informasi yang
didapatkan dari informan berikut.
“...Setahu saya petani besar maupun petani kecil modal awal musim
akan meminjam di Bank.Jika harga bawang normal, keuntungannya
tidak bisa dijadikan modal. Memang ada keuntungan. Tapi modal
tanam itu besar mbak. Untuk bibit dan pestisida itu yang paling
banyak belum lagi ditambah upah dan konsumsi pekerja.”(Bapak AW,
Petani dan ketua Gapoktan)
Selain itu akses moda produksi lainnya dapat dilihat pada petani yang
mendapatkan atau membeli sarana pertanian. Sebagian besar petani mendapatkan
pupuk dan pestisida dari penyuplai yang berada di dalam Desa. Hal ini
menunjukkan kebergantungan pada luar komunitas dalam hal mendapatkan pupuk
rendah. Sehingga hal tersebut dapat menjadi sumbangsih sedangnya tingkat
46
kebergantungan. Toko pupuk atau penyuplai di dalam desa memperbolehkan
petani ingin untuk berhutang dahulu. Sistem pembayaran hutang tersebut petani
dapat mengambil seluruh pupuk dengan berhutang atau pun dengan sistem
pembayaran setengahnya dahulu.
Tingkat kebergantungan rumah tangga petani dapat dilihat dari cara
pemasaran hasil pertanian. Cara pemasaran hasil pertanian adalah cara yang
dilakukan petani untuk menjual hasil pertaniannya. Dalam mengetahui harga
bawang merah maupun hasil pertanian lainnya. Petani mengetahuinya dari
pengepul dan dari informasi harga pasar dari media informasi. Namun sebagian
besar petani hanya mengetahui dari pengepul saja. Begitu pula dengan penetapan
harga, petani akan menawar harga per kilogram bawang merah dari harga yang
ditentukan pengepul terlebih dahulu. Selanjutnya terdapat proses tawar menawar
antara petani dan pengepul. Berikut pernyataan informan.
“..petani sini jarang bisa nawar tinggi. Seringnya nyerah Mbak.
Paling kalau bawang merah lagi naik tinggi baru bisa sedikit nawar
tinggi dan dibolehkan sama tengkulak. Itu pun petani besar, yang
tertentu saja..”(Bapak AW, Ketua Gapoktan)
Menurut informan yaitu ketua Gapoktan pada proses tawar menawar petani
cenderung lemah. Rantai penjualan hasil pertanian di Desa Krasak dimulai dari
petani yang menjual hasil pertanian pada tengkulak besar, rata-rata tengkulak akan
menggunakan jasa perantara (calo). Sehingga perantara dapat saja menawarkan
harga yang sangat rendah. Perantara akan mendapatkan upah dan juga tidak
sedikit keuntungan yang disebabkan oleh harga beli rendah. Tengkulak besar akan
menjual hasil pertanian tersebut pada tengkulak kecil dan selanjutnya dapat di
pasarkan pada konsumen.
Tingkat Kepentingan
Tingkat kepentingan adalah kebutuhan atau keinginan petani untuk
berhubungan dengan pihak berpengaruh sehingga mendorong tindakan yang akan
diambil oleh petani. Pihak-pihak berpengaruh tersebut adalah lembaga
peminjaman modal non formal, lembaga peminjaman modal non formal dan
penyuluh atau pemerintah. Tingkat kepentingan dapat dilihat dari sejauhmana
petani merasa perlu untuk berinteraksi atau memanfaatkan kelembagaan tersebut.
Petani memiliki kepentingan yang berbeda pada pihak-pihak tersebut bergantung
pada kebutuhan petani dalam menjalankan usaha pertanian (Tabel 17).
Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 5 12.5
Sedang 31 77.5
Rendah 4 10.0
Total 40 100.0
47
Tabel 17 menunjukkan tingkat kepentingan rumah tangga petani tergolong
dalam kategori sedang dengan persentase 77.5 persen. Tingkat kepentingan
tergolong sedang dapat dilihat dari sejauh mana pemanfaatan lembaga
peminjaman modal formal dan non formal. Lembaga peminjaman modal non
formal, tidak dimanfaatkan sebagian besar petani. Karena jumlah modal yang
ditawarkan sedikit dan jangka waktunya pendek. Petani yang memanfaatkan
kelembagaan ini adalah petani yang membuka toko klontong di rumahnya, yaitu
untuk keperluan menambah stok barang dagangan yang dijual. Sedangkan
kelembagaan peminjaman formal dibutuhkan sebagian besar petani atau petani
berkepentingan terhadap lembaga peminjaman formal. Selain dapat meminjam
modal dalam jumlah yang besar, syarat yang diajukan juga tergolong tidak rumit.
Petani meminjam modal dengan syarat jaminan surat BPKB kendaran bermotor.
Petani meminjam dengan jangka waktu musiman yakni kategori enam bulan atau
pun satu tahun. Jika harga bawang merah sedang menurun dan petani tidak
mendapatkan keuntungan, petani dapat memperpanjang masa peminjaman atau
waktu pengembalian uang mundur. Rata-rata petani meminjam pada kelembagaan
peminjaman formal (perbankan) berkisar antara 10 juta hingga 70 juta pertahun.
Selain dari pemanfaatan lembaga peminjaman, sedangnya tingkat
kepentingan dapat dilihat dari pemanfaatan keberadaan penyuluh pertanian.
Manfaat lembaga penyuluhan dapat dirasakan petani, yaitu dalam bentuk
sosialisasi berbagai macam sarana pertanian, pembudidayaan maupun sosialisasi
kebijakan baru. Namun tidak seluruh petani merasakan langsung manfaatnya.
Menurut ketua Gapoktan, pertemuan dalam rangka penyuluhan tersebut tidak
rutin dilaksanakan. Pelaksanaannya kurang efektif karena jumlah petani di Desa
Krasak besar namun penyuluhan dilakukan dalam tingkat desa bukan tingkat RW.
Berdasarkan pemaparan mengenai tingkat kebergantungan dan tingkat
kepentingan, dapat diketahui tingkat social linking rumah tangga petani tergolong
sedang (Tabel 18).
Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat social linking
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Rendah 6 15.0
Sedang 29 72.5
Tinggi 5 12.5
Total 40 100.0
Tabel 18 menunjukkan bahwa social linking rumah tangga petani tergolong
sedang dengan persentase 72.5 persen. Persentase tersebut didapatkan dari
akumulasi skor tingkat kebergantungan dan tingkat kepentingan yang tergolong
sedang. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa Krasak tidak dirasakan secara
langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam penyuluhan biasanya adalah para
perwakilan RT maupun RW. Hal ini menyebabkan anggapan bahwa masyarakat
petani merasa tidak memiliki kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal yang
ingin mereka wujudkan melalui penyuluhan. Namun petani memiliki
kebergantungan dan kepentingan terhadap kelembagaan perbankan. Petani
memanfaatkan kelembagaan perbankan untuk menyimpan uang penjualan hasil
48
panen. Kemudian untuk meminjam modal setiap awal musim tanam bawang
merah atau dua musim sekali. Modal tersebut digunakan untuk biaya sewa tanah
per musim, biaya pembelian pupuk, pembelian pestisida, dan biaya upah pekerja
jika menggunakan pekerja.
Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut menghubungkan petani
dengan moda produksi yang dibutuhkan petani. Selain itu melalui social linking
dapat dilihat hubungan vertikal antara petani dengan pemerintah (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes). Dinas Pertanian Pangan
dan Hortikultura memberikan sosialisasi mengenai pembagian pupuk bersubsidi
per desa dan batasan penggunaan pupuk bersubsidi. Sehingga dapat dilihat bahwa
terdapat hubungan vertikal yang berdampak pada pelaksanaan kegiatan pertanian
di Desa Krasak.
49
KESEJAHTERAAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan
kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu
tertentu (Suandi 2007). Secara mikro terdapat beberapa istilah yang digunakan
untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi 2007) antara lain:
kesejahteraan finansial, status ekonomi, situasi ekonomi, interaksi sosial, dan lain
lain. Santamarina et al. (2002) dalam Suandi (2007) mengemukakan berdasarkan
tingkat ketergantungan dari dimensi standar hidup masyarakat, maka tingkat
kesejahteraan masyarakat dapat dibedakan ke dalam dua subsistem yakni: (1)
subsistem sosial dengan faktornya yaitu: pendidikan, kesehatan, struktur dan
dinamika penduduk, kekuatan sosial dll, dan (2) subsistem ekonomi dengan
faktornya yaitu: konsumsi, hak pemilikan akan tanah, tingkat kemiskinan dan
aktivitas ekonomi. Kemudian Suandi mengemukakan bahwa kesejahteraan juga
dapat dilihat melalui dua pendekatan, yakni kesejahteraan diukur dengan
pendekatan objektif dan kesejahteraan diukur dengan pendekatan subjektif.
Kesejahteraan Ekonomi Objektif
Pendekatan kesejahteraan dengan indikator objektif melihat bahwa tingkat
kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat diukur secara rata-rata dengan
patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya (Suandi
2007). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan
pendekatan yang baku. Kemudian menurut Suandi (2007), kesejahteraan ekonomi
objektif keluarga di wilayah penelitian diukur dengan besarnya pengeluaran
keluarga. Suandi (2007) menjelaskan bahwa pengeluaran keluarga yang dimaksud
adalah pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari-
hari, yaitu kebutuhan pokok dan lainnya. Pengeluaran yang dimaksud adalah
pengeluaran untuk pembelian kebutuhan keluarga sehari-hari, yaitu kebutuhan
pokok dan lainnya. Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif tersebut
juga dapat menggunakan ukuran kesejahteraan SUSENAS tahun 2013 yang telah
dimodifikasi atau dipisahkan indikator ekonominya. Sehingga ukuran atau
indikator kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani adalah: (1) luas penguasaan
lahan pertanian, (2) luas kepemilikan lahan rumah adalah besaran luas tanah
rumah dan pekarangan yang dimiliki rumah tangga petani, (3) keadaan tempat
tinggal atau rumah, (4) fasilitas rumah tangga, (5) pengeluaran kebutuhan pangan
dan (6) pengeluaran kebutuhan non pangan. Kesejahteraan ekonomi rumah tangga
petani di desa krasak cenderung tergolong kategori sedang (Tabel 19).
50
Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kesejahteraan
ekonomi objektif
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 17 42.5
Sedang 18 45.0
Rendah 5 12.5
Total 40 100.0
Kesejahteraan ekonomi rumah tangga petani yang diukur secara objektif
berada pada kategori sedang dengan persentase 45 persen. Sedangkan pada
kategori tinggi persentasenya sebesar 42.50 persen. Tingkat kesejahteraan
ekonomi objektif di Desa Krasak terlihat dari luas penguasaan lahan pertanian.
Penguasaan lahan atau akses petani pada lahan dapat berupa lahan milik pribadi,
milik keluarga dan lahan sewa. Sebagian besar petani menanam di lahan sewa
baik lahan yang terletak di dalam Desa Krasak maupun di luar desa. Lahan
tersebut disewa oleh petani dengan waktu sewa per musim (2-3 bulan) atau pun
per tahun. Sistem bayarnya dapat berupa bagi hasil atau menggunakan uang tunai,
sesuai dengan kesepakatan petani dan pemilik lahan. Jika menggunakan
pembayaran uang tunai satu bau ( ¾ ha atau 7500 m2 luas lahan) harga sewanya
berkisar antara 8 juta hingga 12 juta per tahun. Luas lahan yang dikuasai oleh
petani di Desa Krasak cenderung sempit dan merata (lihat Tabel 20).
Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut penguasaan lahan pertanian
Kategori Luas Lahan (m2) Jumlah (jiwa) Persentase (%)
> 8 178 5 12.5
434 – 8 177 35 87.5
< 433 0 0
Total 40 100.0
Tabel 20 menunjukkan bahwa penguasaan lahan pertanian di Desa Krasak
sebagian besar berkisar antara 434 m2 sampai 8177 m2 . Pengukuran lahan petani
di Desa Krasak umumnya menggunakan satuan bau atau setara dengan ¾ ha. Luas
lahan yang umumnya disewa responden sebesar ¼ sampai ½ bau atau setara
dengan 1 875 m2 sampai 3 750 m2. Hal tersebut diketahui dari informan yaitu
Sekretaris Desa. Berikut pernyataan Sekretaris Desa mengenai luas penguasaan
lahan rumah tangga petani di Desa Krasak
“Kurang lebih 70 persen lahan di desa adalah lahan persawahan.
Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani yang menyewa
lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di
sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga
besok mau ke Weleri, mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi
dulu, di Weleri ditanam bawang” (Bapak S, petani dan Sekretaris
Desa)
51
Petani kecil di Desa Krasak yang sebagian besar hanya memiliki
penguasaan lahan seluas ¼ bau atau hanya 1 875 m2 dapat menjadi penyebab
tingkat kesejahteraan ekonomi dalam kateori sedang. Selain itu terdapat gap atau
ketimpangan penguasaan lahan oleh petani. Lahan pertanian yang sangat luas
hanya dikuasai oleh beberapa orang saja yaitu lahan seluas 5 Ha sampai 10 Ha
hanya dikuasai oleh 3 petani dan lahan yang luasnya lebih dari 10 Ha dikuasai
oleh 2 petani saja. Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan
di Desa Krasak (bukan buruh tani) juga dapat menguasai (menyewa) lahan di kota
lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri, Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan
sewaan yang berada di luar kota lebih sering untuk ditanami tanaman bawang
merah. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan Maret sampai Mei
dan Oktober sampai Desember. Petani berkepentingan dengan pemilik lahan agar
dapat mengembangkan usaha pertaniannya, dengan bertambahnya lahan
penguasaan maka petani dapat mengembangkan usaha pertanian dan menambah
keuntungan.
Harga jual hasil panen komoditas hortikultura tidak menentu, dalam hal ini
adalah komoditas bawang merah. Terakhir petani mengalami kerugian adalah
pada panen bawang merah tahun 2014. Harga bawang merah untuk dikonsumsi
sangat rendah. Harga per kilogram bawang merah pada saat itu dapat mencapai
Rp 5 000 saja per kilogram. Harga normal bawang merah adalah normal perkisar
antara Rp 13 000 per kilogram sampai Rp 15 000 per kilogram. Sehingga pada
awal tahun 2015 banyak petani kecil yang rugi dan tidak dapat mengembalikan
peminjaman modal seutuhnya dan tepat waktu. Banyak diantaranya yang mencari
pekerjaan sampingan lain. Seperti wawamcara dengan responden berikut ini.
“...Saya petani mbak, tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari
pada menganggur Saya ngerjain apa aja mbak yang Saya bisa.
Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik atau
meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang
tidak Saya jual, buat bibit saja.” (Bapak S, petani)
Petani di Kabupaten Brebes umumnya lebih mementingkan dan lebih
bergantung pada komoditas hortikultura yaitu bawang merah. Begitu pula dengan
petani di Desa Krasak, komoditas bawang merah akan lebih dirawat dan dijaga
agar hasil panennya maksimal. Komoditas lain seperti padi dan jagung tidak
terlalu diperhatikan perawatannya, karena dinilai kurang menguntungkan. Hasil
panen beras juga dijual namun cenderung disimpan untuk konsumsi dan keperluan
hajatan sendiri maupun hajatan kerabat.
Pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga petani diakumulasikan dalam
satu bulan. Pengeluaran tersebut terdiri dari pengeluaran kebutuhan pangan dan
kebutuhan non pangan. Pengeluaran rumah tangga petani di Desa Krasak
tergolong dalam kategori sedang (Tabel 21).
52
Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengeluaran rumah
tangga petani
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 3 7.5
Sedang 35 87.5
Rendah 2 5.0
Total 40 100.0
Kebutuhan pangan terdiri dari beras, ikan, daging, telur dan susu, sayuran,
buah-buahan, minyak dan lemak, bumbu-bumbuan, tembakau dan sirih, minuman
jadi, dan makanan jadi. Pengeluaran kebutuhan non pangan terdiri dari biaya
pengeluaran untuk listrik, air, gas, pulsa handphone, kesehatan, rekreasi, kegiatan
sosial, biaya pendidikan sekolah, transportasi, pajak kendaraan dan pajak bumi
dan bangunan. Tabel 21 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga petani
tergolong dalam kategori sedang dengan persentase 87.5 persen dari total
responden. Pada kategori tinggi, tingkat pengeluaran rumah tangga petani
memiliki persentase 7.5 persen. Konsumsi pangan di daerah pedesaan pada
umumnya sederhana tidak banyak bahan makanan yang dikonsumsi dalam satu
waktu makan. Terdapat petani yang mengkonsumsi nasi dengan beras hasil panen
dan ada pula petani yang membeli beras untuk konsumsi pangan. Data
pengeluaran tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani pada umumnya
tidak mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi untuk pemenuhan kebutuhan rumah
tangganya.
Pengeluaran kebutuhan non pangan berkaitan dengan kepemilikan fasilitas
rumah tangga. Dengan banyaknya fasilitas rumah tangga yang dimiliki maka
semakin besar pula pengeluaran kebutuhan non pangan. Misalkan suatu rumah
tangga memiliki kulkas, televisi, motor dan mobil maka pengeluaran untuk biaya
listrik maupun bahan bakar akan lebih besar dari pada rumah tangga yang tidak
memiliki fasilitas tersebut. Fasilitas yang dilihat kelengkapannya pada rumah
tangga petani terdiri dari sembilan fasilitas.
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut kelengkapan fasilitas
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Memiliki 7 – 9 fasilitas 29 72.5
Memiliki 4 – 6 fasilitas 10 25.0
Memiliki 1 – 3 fasilitas 1 2.5
Total 40 100.0
Fasilitas yang dilihat kelengkapannya adalah: (1) televisi, (2) radio, (3)
kulkas, (4) telepon, (5) tempat tidur/kasur, (6) lemari/bufet, (7) sepeda/sampan,
(8) sepeda motor/motor tempel dan (9) mobil. Persentase rumah tangga yang
memiliki 7 sampai 9 fasilitas sebesar 72.5 persen. Rumah tangga yang memiliki 4
sampai 6 fasilitas, persentasenya 25 persen dari total keseluruhan rumah tangga
responden. Terdapat indikator kesejahteraan yang diukur secara objektif lainnya
53
yaitu kondisi rumah. Kondisi rumah meliputi jenis lantai pada rumah, jenis
dinding, jenis atap, penerangan rumah dan sumber air minum. Pada indikator jenis
lantai rumah, lantai rumah responden ada yang menggunnakan semen dan ada
yang menggunakan keramik. Jenis dinding rumah responden umumnya
menggunakan tembok. Kondisi penerangan rumah responden umumnya
menggunakan listri dari PLN dan untuk sumber air minum menggunakan air dari
PAM (Perusahaan Air Minum). Sebagian besar rumah tangga petani tidak
memiliki sumber air dari PAM. Responden membelinya pada pedagang air minum
PAM eceran. Berdasarkan paparan hasil penelitian, secara objektif dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani di Desa Krasak belum
mencapai kesejahteraan.
Kesejahteraan Ekonomi Subjektif
Kesejahteraan subjektif menurut Suandi (2007) adalah tingkat kesejahteraan
yang dilihat secara personal, diukur dalam bentuk kepuasan dan kebahagiaan.
Sumarwan dan Hira (1993) yang dikutip oleh Suandi (2007) mengemukakan
bahwa secara operasional variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik
dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap
antara aspirasi dengan tujuan yang dicapai. Tingkat kesejahteraan ekonomi
subjektif diukur dari tingkat kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan
dan investasi SDM (biaya pendidikan).
Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut kesejahteraan ekonomi
subjektif
Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tinggi 11 27.5
Sedang 21 52.5
Rendah 8 20.0
Total 40 100.0
Tabel 23 menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi yang diukur secara
subjektif pada rumah tangga petani tergolong pada kategori sedang dengan
persentase 52.5 persen. Kesejahteraan yang diukur secara subjektif merupakan
cara untuk mengetahui sejauh mana pencapaian taraf hidup rumah tangga petani
sesuai dengan apa yang mereka rasakan sendiri. Sehingga dalam mengukur
kesejahteraan tidak menggunakan ukuran baku melainkan pendapat petani sendiri.
Petani mengungkapkan sudah atau belumnya kebutuhan keluarga petani tersebut
tercapai. Pencapaian tersebut meliputi pencapaian kebutuhan pangan atau
kepuasan kebutuhan pangan. Sebagian besar rumah tangga petani memenuhi
kebutuhan makan sebanyak tiga kali sehari. Rumah tangga petani menyatakan
sangat terpenuhi atau sangat puas dengan banyaknya waktu makan tersebut.
Berikut pernyataan salah satu responden.
54
“...Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya
biasa saja Mbak. Kadang kalau lapar, makan lagi. Sudah
Alhamdullillah Mbak.” (Bapak K, petani)
Rumah tangga petani mengkonsumsi karbohidrat yang beragam yaitu nasi,
jagung, kentang, ubi jalar dan roti. Hal tersebut dikarenakan petani dapat
menanam sendiri jenis-jenis makanan yang mengandung karbohidrat tersebut.
Selain itu di lingkungan desa terdapat pedagang keliling yang menjajakan
makanan tersebut setiap harinya. Sehingga makanan tersebut sangat sering
dikonsumsi rumah tangga petani. Rumah tangga petani juga mengkonsumsi jenis
sayuran yang beragam yaitu kangkung, wortel, bayam, sawi. Untuk konsumsi
lauk-pauk, rumah tangga petani sering mengkonsumsi tahu, tempe, kacang-
kacangan dan ikan. Sedangkan untuk jenis lauk ayam, daging dan udang rumah
tangga petani mengkonsumsi namun intensitasnya jarang. Jenis lauk daging sapi
atau pun kambing dalam satu minggu sekali pun jarang dikonsumsi oleh rumah
tangga petani. Sebanyak 27.5 persen responden menyatakan bahwa mereka
merasa cukup puas (cukup terpenuhi) akan keberagaman pangannya. Sedangkan
sebanyak 67 persen responden merasa puas dengan keberagaman pangan tersebut,
dengan kata lain 67 persen rumah tangga petani telah mencapai pemenuhan
kebutuhan pangannya. Berikut pernyataan responden saat wawancara.
“...Makan sehari-hari ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak.
Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur asem, sambel. Kalau beli
daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu dua kali.
Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya,
tidak ada.” (Bapak N, petani)
Kesejahteraan ekonomi subjektif juga diukur melalui pemenuhan kebutuhan
non pangan rumah tangga petani. Kebutuhan tersebut yaitu pemenuhan kebutuhan
pakaian, tempat tinggal, komunikasi dan transportasi. Kebutuhan pakaian meliputi
pakaian untuk beribadah (mukenah, sarung dan peci), pakaian untuk anak dan
pakaian untuk bersosialisasi di lingkungan. Petani hanya memerlukan pakaian
sederhana karena tidak bekerja pada sektor formal maka kebutuhan pakaian
rumah tangga petani dapat terpenuhi. Untuk kebutuhan tempat tinggal juga
kebutuhan petani terpenuhi, walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang
tua atau mertuanya. Namun untuk kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani
hanya merasa cukup dan cenderung kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan
wawancara dengan salah satu responden berikut.
“...kalau dikatakan terpenuhi, Saya tidak setuju Mbak. Kemarin
sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan tahun
kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya
ikut naik Mbak, lebih tinggi bulan ini.” (Bapak J, petani)
Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan
dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan
sumbangan adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk
sumbangan yang diberikan kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau
55
khitanan. Petani di Desa Krasak akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras
untuk kerabat mereka.
Kesejahteraan ekonomi yang diukur secara subjektif dapat pula dilihat pada
pemenuhan kebutuhan investasi SDM (sumber daya manusia). Pemenuhan
kebutuhan tersebut adalah pemenuhan biaya pendidikan dan pemenuhan biaya
berobat. Kebutuhan biaya pendidikan SD (Sekolah Dasar) telah dibebaskan oleh
pemerintah, maka warga Desa Krasak merasa ringan dan mudah untuk
menyekolahkan anaknya pada jenjang SD. Sedangkan untuk jenjang SMP
(Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Akhir) menerapkan
uang bulanan atau SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk setiap
bulannya. SMP dan SMA terdekat dengan Desa Krasak adalah di Kecamatan
Brebes yang biaya uang bangunan dan uang SPP lebih tinggi dibandingkan
dengan kecamatan lain di Kabupaten Brebes.
57
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
Modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat
bersatu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan yang di dalamnya
terdapat nilai dan norma yang dipatuhi (Coleman 199) dalam (Cahyono dan
Adhiatma 2012). Modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat menentukan
apakah persatuan masyarakat dapat terwujud sehingga memberikan sumbangsih
dalam kesejahteraan masyarakat.
Hubungan Tipe Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Objektif dan
Subjektif Rumah Tangga Petani
Tipe modal sosial terdiri dari, modal yang berbentuk ikatan yang kuat dari
petani yakni social bounding, modal yang menjembatani petani dengan kekuatan
lain untuk mengembangkan potensi yaitu social bridging kemudian modal yang
menghubungkan petani pada pihak pemerintah maupun pihak perbankan (social
linking). Modal sosial memiliki peran penting dalam kesejahteraan ekonomi
keluarga. Petani yang memiliki ikatan yang kuat terhadap sesama dan
berhubungan dengan komunitas lain, memiliki kesempatan yang lebih tinggi
untuk membangun usaha pertaniannya agar lebih baik. Dilakukan uji statistik
untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara masing-masing tipe modal
dengan kesejahteraan ekonomi yang diukur secara objektif (lihat Tabel 24).
Tabel 24 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan
ekonomi objektif
Tipe Modal Sosial Tingkat Kesejahteraan Objektif
Keterangan Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed)
Social bounding 0.321* 0.043 Berhubungan
Social bridging 0.398* 0.011 Berhubungan
Social linking 0.111 0.495 Tidak
berhubungan
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai
koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan objektif sebesar 0.321.
Hasil tersebut menunjukkan korelasi antara keduanya kurang signifikan atau
hubungan moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.043 (p <
0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat
hubungan antara tingkat social bonding rumah tangga petani dengan kesejahteraan
ekonomi objektif rumah tangga petani. Hubungan yang terbentuk diantara kedua
variabel merupakan hubungan yang searah atau positif. Semakin tinggi tingkat
social bounding yang ada dalam masyarakat maka umumnya semakin tinggi pula
58
kesejahteraan ekonomi yang diukur dengan pendekatan objektif. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang mayoritas rumah tangga petani memiliki social
bounding dalam kategori sedang umumnya juga tingkat kesejahteraan ekonomi
objektifnya sedang. Uraian sebelumnya memaparkan bahwa adanya kepercayan
antar sesama dan norma sosial yang dipatuhi dapat menentukan keberlangsungan
usaha pertanian rumah tangga petani yang diukur melalui patokan atau ukuran
tertentu. Kepercayaan yang ada dapat membuat petani berbagi saran dan
pengalaman dalam memecahkan permasalahan pertanian sehingga berdampak
pada hasil panen petani. Kepercayaan sebagai salah satu komponen pembentuk
social bounding juga memegang peranan menetukan keberhasilan petani
membangun hubungan kerjasama.
Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial lainnya yaitu social bridging
dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.389 yang
menunjukkan adanya hubungan nyata moderat. Berdasarkan nilai probabilitas
menunjukkan angka 0,011(p < 0.05). Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan antara tingkat social bridging
dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif. Sehingga dapat diartikan bahwa
tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat ditentukan dari jumlah
social bridging yang tersedia. Komponen social bridging diantaranya adalah
tingkat solidaritas, kuatnya jaringan, partisipasi atau keterlibatan petani dalam
organisasi di lingkungan. Kuatnya jaringan menyebabkan petani mudah menjalin
hubungan kerja sama dengan petani lainnya. Kerja sama tersebut adalah dalam
bentuk sama-sama menanamkan modal dalam budidaya komoditas bawang merah
yang kemudian dibagi hasilnya.
Solidaritas diwujudkan dalam rasa ingin mengembangkan pertanian desa.
Hal ini berkaitan langsung dengan reputasi Desa Krasak sebagai salah satu desa
penghasil bawang merah dengan tonase terbaik. Pada saat mendekati musim
tanam bawang merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi)
mengenai bibit bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh
baik dengan segala pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan.
Sehingga petani menerima informasi mengenai bibit yang baik pada musim itu.
Informasi hasil pertemuan tersebut dapat dimanfaatkan petani untuk kegiatan
panennya dan menjadi salah satu penentu baik atau buruknya hasil panen. Social
bridging merupakan tipe modal sosial yang dicirikan dengan adanya ikatan sosial
yang muncul di dalam masyarakat dan merupakan reaksi atas adanya reaksi
masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut social bridging turut menyumbang tinggi
atau rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani.
Hasil uji korelasi pada tipe modal sosial yang terakhir yaitu social linking
dengan kesejahteraan objektif menunjukkan nilai koefisien korelasi 0.111.
Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0,495 (p > 0.05). Hasil uji
korelasi tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak, yaitu tidak terdapat
hubungan antara social linking dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif.
Hal ini berarti kesejahteraan ekonomi objektif tidak ditentukan melalui seberapa
besar tinggi tingkat social linking. Social linking dapat terlihat melalui tingkat
kebergantungan pada komunitas lain dan tingkat kepentingan.
Jika dilihat melalui komponen social linking, kebergantungan rumah tangga
petani terlihat pada akses modal pada lembaga perbankan tidak menyebabkan
kesejahteraan petani tinggi atau pun rendah. Kemudian terlihat dari kepentingan
59
petani dengan lembaga penyuluhan. Penyuluhan petani yang diadakan di Desa
Krasak tidak dirasakan secara langsung manfaatnya. Penerima informasi dalam
penyuluhan biasanya adalah para perwakilan RT maupun RW. Hal ini
menyebabkan anggapan masyarakat petani bahwa mereka tidak memiliki
kepentingan pada penyuluh. Tidak ada hal maupun motivasi yang diwujudkan
melalui penyuluhan. Keberadaan kelembagaan-kelembagaan tersebut
menghubungkan petani dengan moda produksi yang dibutuhkan, namun tidak
menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif.
Sumarti (1999) dalam Suandi (2005) mengemukakan bahwa kesejahteraan
subjektif individu atau keluarga merupakan wujud kebudayaan yang dihasilkan
melalui proses pengalaman hidup sekelompok manusia dalam hubungannya
dengan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian dan pengukuran
kesejahteraan haruslah berpedoman kepada subjektivitas (lokal) masyarakat
setempat. Kemudian di dalam pengalaman hidupnya, sekelompok petani atau
rumah tangga petani tentu melakukan berbagai bentuk interaksi yang bertujuan
untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Kesejahteraaan ekonomi subjektif
dalam penelitian ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan. Kesejahteraan ekonomi
subjektif pada rumah tangga petani di Desa Krasak tergolong cukup baik atau
sedang dengan persentase 52.5 persen. Uji statistik digunakan untuk mengetahui
seberapa besar hubungan antara tipe modal sosial tertentu yang ada pada rumah
tangga petani dengan kesejahteraan ekonomi subjektif (lihat Tabel 25).
Tabel 25 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan kesejahteraan
ekonomi subjektif
Tipe Modal Sosial Tingkat Kesejahteraan Subjektif
Keterangan Koefisien Korelasi Sig.(2-tailed)
Social bounding 0.117 0.471 Tidak
berhubungan
Social bridging 0.374* 0.017 Berhubungan
Social linking 0.139 0.391 Tidak
berhubungan
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai
koefisien korelasi social bounding dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar
0.117. Hasil tersebut menunjukkan korelasi atau namun lemah. Berdasarkan nilai
probabilitas menunjukkan angka 0.471 (p > 0.05). Nilai tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social bounding
dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Artinya, tinggi rendahnya kesejahteraan
subjektif tidak ditentukan oleh kekuatan yang mengikat di dalam masyarakat.
Tidak terdapatnya hubungan social bounding dengan kesejahteraan ekonomi yang
diukur melalui pendekatan subjektif dapat dikarena dengan adanya rasa percaya
terhadap sesama dan norma sosial tidak menjamin pemenuhan kebutuhan rumah
tangga petani tercapai. Tingkat kepercayaan petani tercermin pada interaksi saat
bertani di sawah, kepercayaan untuk melakukan saran dari petani lain. Tingkat
kepatuhan pada norma sosial tercermin pada intensitas rumah tangga petani
melakukan norma agama, adat dll. Berikut wawancara dengan responden.
60
“..saya sering diskusi bareng petani Mbak. Ya ngobrol sambil tukar
pikir juga pasti dilakukan Mbak. Tukar pikirnya kadang di gubuk
temu, di sawah terus pas jamiahan. Kadang nemu solusi, hasilnya
bisa panen bagus tapi harga sedang anjlog. Seperti saat ini, saya
enggak berani jual. Nanti buat bibit atau disimpen dulu. Akibatnya ya
harus sangat hemat, rugi Mbak. Anak jajan juga seadanya. Kalau
sakit saya minum jamu saja.” (Bapak T, petani)
Walaupun kepercayaan dan norma sosial berperan dalam proses usaha
pertanian namun hasil panen tidak menjadi ukuran kepuasan dalam pemenuhan
kebutuhan. Penjualan hasil panen bergantung pada harga pasar. Petani menyimpan
hasil panen bawang merah jika harga pasarnya tersebut turun drastis.
Hasil uji korelasi social bridging dengan kesejahteraan subjektif
menunjukan nilai koefisien korelasi 0.374. Hasil tersebut menunjukkan korelasi
moderat. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.017 (p < 0.05).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima atau terdapat hubungan
antara social bridging dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hasil uji tersebut
menunjukkan bahwa modal sosial yang menjembatani atau modal sosial yang
berfungsi untuk mengembangkan potensi dan kekuatan komunitas memiliki
hubungan nyata dengan kesejahteraan yang dilihat secara subjektif.
Komponen social bridging terdiri dari kuatnya jaringan, tingkat solidaritas
dan partisipasi (aktif atau tidaknya) petani dalam oraganisasi di lingkungan.
Solidaritas masyarakat Desa Krasak khususnya dalam skala rumah tangga petani
merupakan kondisi dimana petani dapat saling menerima, saling memiliki sebagai
anggota dari sebuah kesatuan. Semakin besar solidaritas antar petani maka petani
cenderung dapat memperhatikan keinginan masing-masing dalam mencari jalan
ke arah kerja sama yang baik sehingga hasil yang dicapai sama baik. Kuatnya
jaringan dapat membantu rumah tangga petani memenuhi kebutuhannya. Semakin
kuat hubungan kerja sama dengan petani lain, dan semakin tinggi kebermanfaatan
organisasi maka semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan rumah tangga
petani yang tercapai. Hubungan kerjasama dan informasi yang dimanfaatkan
berdampak langsung pada hasil pertanian dan berdampak pada kepuasaan
pemenuhan kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM bagi rumah tangga
petani.
Hasil uji korelasi social linking dengan kesejahteraan subjektif menunjukan
nilai koefisien korelasi 0.139. Hasil tersebut menunjukkan korelasi lemah.
Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.391 (p > 0.05). Nilai tersebut
menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara social
linking dengan kesejahteraan ekonomi yang dilihat secara subjektif. Hal ini
menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kebergantungan dan kepentingan petani
pada pihak luar tidak selalu berkorelasi terhadap pemenuhan kebutuhan subjektif.
Menurut pengeluaran rumah tangga, dapat dilihat tipe modal sosial apa yang
paling kuat digunakan oleh rumah tangga petani dalam kehidupan atau kegiatan
pertaniannya (Tabel 26).
61
Tabel 26 Uji korelasi Rank Spearman tipe modal sosial dengan tingkat
pengeluaran rumah tangga
Tipe modal sosial Tingkat pengeluaran rumah tangga
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed)
Social bounding 0.118 0.469
Social bridging 0.117 0.472
Social linking 0.143 0.380
Berdasarkan Tabel 26, nilai koefisien korelasi ketiga tipe modal sosial
menunjukkan hubungan lemah pada tingkat pengeluaran rumah tangga. Nilai
koefisien korelasi yang paling besar adalah pada social linking yaitu sebesar
0.143. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa pemanfaatan social linking oleh
petani lebih besar dari pada tipe modal sosial lainnya. Pemanfaatan penggunaan
social linking tersebut terlihat pada kegiatan pertanian yaitu dari awal musim.
Petani meminjam modal pada lembaga peminjaman formal atau perbankan.
Lembaga peminjaman modal memiliki peran yang sangat penting. Responden
yang menyatakan bahwa dirinya pernah meminjam pada lembaga perbankan
sebesar 80%. Peminjaman modal dilakukan oleh petani dianggap sebagai suatu
hal yang biasa karena keuntungan penjualan hasil panen tidak cukup untuk
melakukan kegiatan pertanian pada musim selanjutnya.
Petani Desa Krasak meminjam modal sebanyak 10 hingga 70 juta per
tahunnya. Peminjaman tersebut menggunakan syarat tertentu, yaitu jaminan surat-
surat penting seperti BPKB kendaraan bermotor dalam jangka waktu satu tahun.
Harga jual bawang merah yang berfluktuatif membuat penghasilan petani tidak
menentu. Hal ini berakibat pada kemampuan petani untuk mengembalikan
pinjaman modal secara tepat waktu. Jika petani tidak dapat mengembalikan modal
dalam waktu yang ditentukan, petani akan diberikan perjanjian tenggang waktu
kembali hingga seterusnya sampai penyitaan jaminan.
Ketiga tipe modal sosial saling berkaitan dan saling mendukung. Social
bounding bercirikan ikatan yang kuat antar petani yaitu dalam bentuk pelaksanaan
norma-norma bersama dan kepercayaan. Rasa percaya diantara petani sangat
menentukan unsur dari social bridging yang tersedia, yaitu kerja sama atau
membangun jaringan dan solidaritas antar petani. Social bridging dimanfaatkan
untuk pengembangan potensi dari dalam komunitas sehingga potensi tersebut
terfasilitasi dan membentuk suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan komunitas.
Social linking dapat berupa hubungan vertikal petani dengan pemerintah yaitu
berbentuk kebijakan. Petani sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, salah
satunya yaitu kebijakan pupuk bersubsidi. Penerapan kebijakan tersebut, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes akan mendata
jumlah petani dan luas lahan yang dikuasai. Selanjutnya stok pupuk bersubsidi
akan ditentukan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan petani dan luas lahan di
Desa Krasak. Selain itu, social linking dapat dilihat melalui hubungan petani
dengan pihak perbankan. Untuk membeli sarana produksi, petani memanfaatkan
peminjaman modal sehingga dapat melakukan dan mengembangkan kegiatan
pertanian. Sehingga dalam membentuk kekuatan, komunitas menggunakan tipe
modal sosia yang tersedia, yaitu social bounding, bridging dan linking.
62
Hubungan Modal Sosial dengan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Objektif
dan Subjektif Rumah Tangga Petani
Putnam (1996) dalam Field (2010) mengemukakan bahwa modal sosial
adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan yang
mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai
tujuan bersama. Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi
rumah tangga tidak dapat terlihat langsung. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Suandi (2005) bahwa modal sosial bukan merupakan potensi atau modal yang
dapat mentrasformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan, maka
modal sosial dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Modal sosial
yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset untuk
mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat dimanfaatkan
sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas interaksi rumah
tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi pula
kesejahteraan rumah tangga tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan ekonomi
rumah tangga (lihat Tabel 27).
Tabel 27 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi obejektif rumah tangga petani
Modal sosial
Tingkat kesejahteraan objektif
Koefisien korelasi Sig (2-tailed)
0.331* 0.037
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai
koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif sebesar
0.331. Hasil tersebut menunjukkan korelasi moderat atau korelasi menengah.
Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.037 (p < 0.05). Nilai tersebut
menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan
nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga
petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya kesejahteraan ekonomi objektif dapat
ditentukan dengan kondisi modal sosial yang terdapat pada rumah tangga petani.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 28.
63
Tabel 28 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan
tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga petani di Desa
Krasak
Modal
Sosial
Tingkat kesejahteraan objektif Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Rendah 1 2.5 9 22.5 0 0 10 25
Sedang 3 7.5 7 17.5 13 32.5 23 57.5
Tinggi 1 2.5 2 5.0 4 10.0 7 17.5
Total 5 12.5 18 45.0 7 17.5 40 100
Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel ini merupakan hubungan
yang searah atau positif, dimana semakin tinggi modal sosial rumah petani maka
umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan objektifnya. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah
tangga petani yang berada pada kategori tingkat modal sosial sedang umumnya
juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi objektif yang tergolong dalam
kategori sedang hingga tinggi. Persentase responden yangt tingkat modal sosial
dan tingkat kesejahteraan objektifnya tergolong sedang adalah sebesar 17.5
persen. Terdapat 32.5 persen responden yang tingkat modal sosialnya tergolong
sedang dan tingkat kesejahteraannya tergolong tinggi. Kedua variabel modal
sosial dan tingkat kesejahteraan objektif rumah tangga petani tergolong dalam
kategori sedang.
Rumah tangga petani masih memegang norma dan nilai kebudayaan yang
ada. Modal sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan ekonomi.
Pemanfaatan modal sosial pada usaha pertanian dilakakukan pada seluruh proses.
Proses-proses tersebut adalah: (1) pada saat petani akan menyewa lahan untuk per
musim atau pun per tahunnya, (2) pada saat petani mengakses modal pada
lembaga perbankan atau pun pada kerabat dekat, (3) petani melakukan diskusi
jenis pupuk dan pestisida apa yang terbaru dan yang cocok untuk tanaman bawang
merah pada musim tertentu, (4) pada saat perawatan tanaman hingga panen, petani
yang memiliki hak penguasaan lahan akan berinteraksi membangun jaringan
dengan buruh tani dan (5) pada saat penjualan harga panen petani membangun
jaringan dengan para petani lain, tengkulak maupun konsumen langsung. Peluang
tingginya tonase maupun kualitas hasil panen yang memanfaatkan potensi modal
sosial secara maksimal, akan lebih tinggi dari pada petani yang tidak maksimal
memanfaatkannya.
Petani tidak dapat menentukan harga jual bawang merah. Namun petani
dapat menawar harga jual yang lebih tinggi pada tengkulak atau pengumpul. Hasil
penjualan panen sangat bergantung pada harga pasar nasional. Penetapan harga
bawang merah yang cenderung berfluktuatif, sehingga walaupun petani berhasil
panen dan kualitasnya bagus belum tentu akan mendapatkan keuntungan yang
banyak. Bahkan pada suatu kondisi saat harga sangat rendah petani merugi dan
tidak dapat mengembalikan modal pinjaman secara tepat waktu keseluruhan.
Kondisi tersebut salah satunya terjadi pada panen bawang merah pada akhir tahun
2014. Harga jual bawang merah ditingkat petani merosot rendah yaitu dapat
64
mencapai Rp 5 000 per kilogram. Sedangkan petani dapat dikatakan untung jika
penjualan bawang merah mencapai kisaran Rp 13 000 sampai Rp 15 000 per
kilogram. Hal tersebut seharusnya dapat diupayakan petani agar tidak terjadi pada
masa mendatang. Hal tersebut juga dikemukakan oleh situs berita on line Brebes
yang meliput kunjungan dari Direktur Biro Ideologi Pengawasan dan
Pengembangan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri (Kemendag).
“Perlu ada langkah bersama dengan jalan menyatukan petani
bawang merah, perlu ada revitalisasi petani bawang merah agar
petani semakin sejahtera dan tidak merugi. Kalau jiwa gotong royong
dan bersatu dalam koperasi maka tidak ada permainan harga oleh
siapapun.” (Bapak SS)4
Selain harga di pasaran yang mempengaruhi hasil jual panen yang diperoleh
petani, terdapat pihak-pihak tertentu yang dapat melakukan permainan harga. Hal
ini perlu diantisipasi oleh petani melalui penguatan modal sosial. Untuk mencapai
harga yang stabil harus ada intervensi dari pusat berupa regulasi maupun
kebijakan lainnya seperti bantuan, bibit, pupuk, teknologi tepat guna dan lain-
lainnya.
Kerugian ekonomi akibat penurunan harga jual bawang dapat terjadi kapan
saja. Jika hal itu terjadi, maka petani akan memperpanjang tempo pelunasan
peminjaman modal. Sedangkan sebagian hasil penjualan akan digunakan untuk
biaya pengeluaran kebutuhan pangan dan biaya kebutuhan non pangan.
Kesejahteraan yang diukur dalam pendekatan objektif salah satu satunya dilihat
melalui status dan luas kepemilikan lahan sawah. Indikator tersebut berhubungan
langsung dengan modal sosial yaitu kepercayaan dan jarinagan. Sebagian besar
petani di Desa Krasak tidak memiliki lahan sawah sendiri, melainkan menyewa.
Jika petani tidak memiliki jaringan yang kuat terhadap pemilik lahan maka petani
tidak dapat menyewa lahan atau petani tidak dapat menyewa lahan tersebut
dengan harga yang menguntungkan petani.
Kesejahteraan ekonomi rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan
objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur dengan pendekatan yang
baku. Sedangkan pendekatan subjektif dilihat dari persepsi kondisi pemenuhan
kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Kesejahteraan ekonomi
subjektif tidak hanya mendeskripsikan mengenai kekayaan rumah tangga namun
juga dapat mendeskripsikan sejauh mana kepuasan rumah tangga dalam
pencapaian kebutuhan pangan, non pangan dan investasi SDM. Suatu rumah
tangga petani yang kondisi kehidupan objektifnya rendah belum tentu kondisi
kehidupan subjektifnya juga rendah, dan sebaliknya. Dalam penelitian Sembiring
dan Berutu (2005) modal sosial yang diteliti dapat dijadikan sebagai bentuk
potensi yang menunjang keberhasilan ekonomi, pemuasan kebutuhan tidak harus
menggunakan modal uang atau kebijakan baru namun dapat mengguanakan
potensi lokal yang sudah ada sebelumnya. Uji korelasi Rank Spearman digunakan
untuk mengetahui hubungan modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif
(lihat Tabel 29).
4 Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri: Distribusi Bawang Merah Harus di Kawal. Brebes
News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalam-
negeri-distribusi-bawang-merah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI. Diakses pada 20 Mei 2015
65
Tabel 29 Uji korelasi Rank Spearman antara modal sosial dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi subejektif rumah tangga petani
Modal sosial
Tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif
Koefisien korelasi Sig (2-tailed)
0.343* 0.030
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi dengan menggunakan Rank Spearman menunjukkan nilai
koefisien korelasi modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif sebesar
0.343 . Hasil tersebut menunjukkan adanya korelasi namun moderat atau lemah.
Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.030 (p <0.05). Nilai tersebut
menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan
nyata antara modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga
petani. Hal ini berarti tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif
dapat ditentukan dengan kondisi modal sosial yang ada pada rumah tangga petani.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal sosial dan
tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif rumah tangga petani di Desa
Krasak
Modal
sosial
Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Subjektif Total
Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % N %
Rendah 4 10.0 4 10.0 2 5.0 10 25.0
Sedang 4 10.0 14 35.0 5 12.5 23 57.5
Tinggi 0 0 3 7.5 4 10.0 7 17.5
Total 8 20.0 21 52.5 11 27.5 40 100.0
Hubungan yang terbentuk diantara kedua variabel merupakan hubungan
yang searah atau positif, dimana semakin tinggi tingkat modal sosial rumah petani
maka umumnya akan semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan subjektifnya. Hal
ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar
rumah tangga petani (35 persen) yang berada pada kategori modal sosial sedang
umumnya juga memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif yang tergolong
dalam kategori sedang. Kemudian terdapat 10 persen responden pada kategori
modal sosial tinggi yang juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi, sedangkan
responden yang memiliki kategori sedang sebesar 7.5 persen.
Hubungan antara tingkat modal sosial rumah tangga petani dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi subjektif dapat tercermin pada interaksi yang dibangun
oleh petani dengan lingkungannya sekitarnya. Interaksi yang menjadi bagian dari
modal sosial tersebut bukanlah interaksi yang penuh dengan persaingan dan kaku,
sehingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani seperti
kebutuhan pangan, pakaian, fasilitas rumah tangga dapat tercapai dan relatif sama.
Interaksi tersebut terjadi di lingkungan Desa Krasak, dapat berupa pelaksanaan
66
norma sosial seperti bersilaturrahmi, berdiskusi, bergotong-royong. Berikut hasil
wawancara dengan responden mengenai pemenuhan kebutuhan.
“...Kalau masalah puas atau tidak, saya merasa puas Mbak.
Kebutuhan belanja harian, baiaya anak SD, listrik sudah terpenuhi
Mbak. Dengan untung segitu ya terpenuhi ko Mbak. Kalau tinggal
dikota yang serba mewah mungkin ga bisa. Saya juga kan punya
keluarga disini, kakak dan adik saya di sini. Kalau bawang sedang
jelek ya sama-sama saling membantu. Timbal balik saja.” (Bapak W,
petani)
Pemenuhan kebutuhan keluarga bergantung pada pengambilan keputusan
dalam aktivitas anggota keluarga, contohnya pola konsumsi. Jika suatu rumah
tangga petani lebih menyukai makanan sederhana yang murah maka pemenuhan
kebutuhannya tercapai (merasa puas) walaupun pengeluaran untuk konsumsi
pangan tergolong kecil.
Perbedaan pendekatan objektif dan subjektif tersebut dapat dilihat melalui
pengeluaran kebutuhan untuk investasi SDM misalnya pendidikan. Perbedaan
jenjang pendidikan yang sedang dijalani anak akan mempengaruhi pemuasan
pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan biaya untuk menyekolahkan anak pada jenjang
SMA dan S1 misalnya, akan lebih banyak dibandingkan dengan biaya
menyekolahkan anak SD dan SMP. Sehingga walaupun pengeluaran keluarga
lebih tinggi (kesejahteraan objektif tinggi), bukan berarti keluarga tersebut pasti
dapat merasakan puas atas pemenuhan kebutuhan investasi SDM atau kebutuhan
lainnya.
67
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Semua kelompok masyarakat di Indonesia pada hakekatnya mempunyai
potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan.
Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah pemanfaatan modal sosial.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia semakin menurun. Hasil penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial signifikan positif berhubungan
dengan tingkat kesejahteraan ekonomi objektif dan subjeketif rumah tangga petani
di Desa Krasak. Hal ini berarti semakin tinggi modal sosial yang ada pada rumah
tangga petani maka semakin tinggi pula kesejahteraan ekonominya. Modal sosial
secara khusus dilihat dari tipe hubungannya yaitu social bounding, social bridging
dan social linking. Masing-masing kondisi modal sosial berdasarkan tipe
hubungannya, telah tersedia pada rumah tangga petani namun belum
dimanfaatkan secara maksimal.
Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui hubungan masing-masing tipe
modal sosial dengan kesejahteraan ekonomi, baik yang diukur secara objektif dan
subjektif. Hasil penelitian menunjukkan tipe social bounding dan tipe social
bridging signifikan berhubungan positif dengan kesejahteraan ekonomi objektif.
Hal ini berarti semakin tinggi tingkat social bounding dan tingkat social bridging,
maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan ekonomi objektif rumah tangga
petani. Selanjutnya hanya tipe social bridging yang signifikan berhubungan
positif dengan kesejahteraan ekonomi subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat social bridging maka semakin tinggi pula tingkat
kesejahteraan ekonomi subjektif pada rumah tangga petani Desa Krasak.
Peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi rumah tangga
tidak dapat terlihat langsung. Modal sosial bukan merupakan potensi atau modal
yang dapat mentransformasikan langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan.
Modal sosial yang ada pada rumah tangga petani telah dimanfaatkan sebagai aset
untuk mendapatkan moda produksi. Modal sosial adalah aset yang dapat
dimanfaatkan sebagai peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Semakin luas
interaksi rumah tangga dalam persatuan kelompok/lembaga maka semakin tinggi
pula kesejahteraan rumah tangga tersebut. Peran modal sosial dapat terlihat yaitu
(1) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengetahui kebijakan pertanian
yang berpengaruh pada kehidupan petani, (2) meningkatkan tindakan bersama
dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, dan (3) dapat
menambah informasi dan membantu mendapatkan kebutuhan yang diterima
petani seperti fasilitas mengakses modal, fasilitas kredit dan berbagai bentuk
produksi.
68
Saran
Modal sosial merupakan salah satu aset yang telah tersedia yang dimiliki
oleh petani dalam menjamin keberlangsungan hidupnya. Modal sosial yang ada
belum seluruhnya dimanfaatkan oleh rumah tangga petani. Kelembagaan
kelompok tani di Desa Krasak belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal
tersebut disebabkan oleh persepsi petani yang menganggap bahwa bergabung
dalam kelompok tani tidak dapat meningkatkan usaha pertaniannya. Anggota
kelompok tani perlu memaksimalkan kinerja kelompok tani dan melakukan
sosialisasi tentang kebermanfaatan kelompok tani untuk para petani. Selain perlu
dimanfaatkan dengan maksimal, modal sosial juga perlu ditingkatkan.
Peningkatan modal sosial untuk membangun kekuatan kolektif.
Upaya peningkatan modal sosial rumah tangga petani dapat dilakukan
dengan mengadakan penyuluhan, dialog terbuka, atau pelatihan yang
memfasilitasi petani agar dapat membentuk jaringan dengan pihak lain. Upaya
tersebut diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada petani untuk
membangun dan mengembangkan jaringan yang dimiliki. Upaya-upaya tersebut
juga diharapkan agar modal sosial dapat mempercepat atau sebagai katalis menuju
rumah tangga petani yang berdaya. Perlu perhatian pemerintah mengenai modal
sosial yang sebaiknya diikutsertakan dalam berbagai kebijakan pertanian.
Kebijakan pertanian yang menyertakan pemanfaatan modal sosial akan lebih
efektif dan dapat diikuti oleh seluruh rumah tangga petani dari pada kebijakan
yang hanya mengutamakan moda produksi.
69
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase
Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013. [Internet]. Dapat
diunduh
di:http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek
=23¬ab=7
. 2013. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas
Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013. [Internet]. Dapat diunduh di:
http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/tabel?search-
tabel=Jumlah+Rumah+Tangga+Usaha+Pertanian+menurut+Golongan+Lu
as+Lahan+yang+Dikuasai+Tahun+2003+dan+2013&tid=21&search-
wilayah=Indonesia&wid=0000000000&lang=id
. 2014. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dapat diunduh di: www.bps.go.id
. 2014. Potensi Desa Krasak Kabupaten Brebes 2014.
Cahyono, Adhiatma. 2012. Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat Petani Tembakau di Kabupaten Wonosobo. [Prociding
seminar] Makalah disampaikan pada seminar Conference In Business,
Accounting and Management (CBAM) Vo.1 No.1 [Internet]. [diunduh 10
September 2010]. Dapat diunduh di:
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/cbam/article/view/128/104
Ditjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri. 2014. Distribusi Bawang Merah
Harus di Kawal. Brebes News.Co. Dapat diakses di http://brebesnews.co/-
2014/12/ditjen-kesbangpol-kementrian-dalam-negeri-distribusi-bawang-
merah-harus-dikawal/#.VWVcvPB_SQI
Field J. 2010. Modal Sosial (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh NURHADI)
Bantul [ID]: Kreasi Wacana 272 hal. [Judul asli Social Capital]
Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal Pengembangan
Humaniora Vol.12 No.1 [Internet]. [diunduh 20 September 2014]. Dapat
di undu di:
http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_6%20apr%
202012.pdf
Johan I R, Muflikhati I, Mukhti D S. 2013. Gaya Hidup, Manajemen Keuangan,
Strategi Koping, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen Vol. 6 No.1
Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam di Indonesia, Jaringan
Advokasi Untuk Nelayan Sumatera Utara. 2010. Masyarakat pinggiran
yang kian terlupakan: membedah persoalan nelayan tradisional Sumatera
Utara. Universitas Michigan. Diakses di:https://books.google.co.id/-
books?ei=Gu2IVeOkB42GuASkwYnoBw&hl=id&id
Muspida. 2007. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri
Rakyat di Kabupaten Maros Sualwesi Selatan. Diunduh di:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/download/93/84
Nuryadin. 2009. Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Komunitas
Suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara. [Disertasi].
70
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia
Pontoh O. 2010. Identifikasi Dan Analisis Modal Sosial dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Desa Gangga Dua Kabupaten
Minahasa Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. 6 No.3
[Internet]. [diunduh 15 Oktober 2014]. Dapat diunduh di:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT/article/view/156/122
Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial Untuk Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi Kasus:
Desa-desa (Hulu DAS) ex Proyek Bangunan Lahan Kering, Kabupaten
Boyolali. Jurnal Agro Ekologi Vol. 24 No.2. [Internet]. [diunduh 10
September 2014]. Dapat diunduh di: http://pse.litbang.deptan.go.id/-
ind/pdffiles/JAE%2024-2d.pdf
Purnomo A, Dharmawan A.H, Agusta I. 2007. Transformasi Struktur Nafkah
Pedesaan: Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam Skema
Pengelolaan Hutan Bersama Mayarakat di Kabupaten Kuningan Vol. 1
No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/-
index.php/sodality/article/download/5931/4608
Singarimbun M, Efendi S. 1983. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES
Suandi. 2007. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah
Perdesaan Provinsi Jambi. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. [diunduh 20 September 2007]. Dapat diunduh di:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40884/2007sua.pdf
?sequence=11
Sumarti T. 2007. Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi.
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol.1
No.2 [Internet]. Dapat diunduh di: http://jamu.journal.ipb.ac.id/-
index.php/sodality/article/view/5925/4603
[UU]. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani. [Internet]. Dapat diunduh di:
http://perundangan.pertanian.go.id/admin/uu/UU%20No.19%20Tahun%20
2013%20Perlindungan%20&%20Pemberdayaan%20Petani.pdf
73
Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian
Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
skripsi
Penjajagan
lapang
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
dan analisis
data
Penyusunan
draft skripsi
Uji petik
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
Lampiran 2 Peta wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah
74
Lampiran 3 Hasil pengolahan data menggunakan uji statistik
Tabel 1 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan
objektif
Social
Bounding
Kesejahteraan
Objektif
Spearman's rho Social Bounding Correlation
Coefficient 1.000 .321*
Sig. (2-tailed) . .043
N 40 40
Kesejahteraan
Objektif
Correlation
Coefficient .321* 1.000
Sig. (2-tailed) .043 .
N 40 40
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Tabel 2 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan
objektif
Social
Bridging
Kesejahteraan
Objektif
Spearman's rho Social Bridging Correlation
Coefficient 1.000 .398*
Sig. (2-tailed) . .011
N 40 40
Kesejahteraan
Objektif
Correlation
Coefficient .398* 1.000
Sig. (2-tailed) .011 .
N 40 40
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
75
Tabel 3 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan
objektif
Social Linking
Kesejahteraan
Objektif
Spearman's rho Social Linking Correlation
Coefficient 1.000 .111
Sig. (2-tailed) . .495
N 40 40
Kesejahteraan Objektif Correlation
Coefficient .111 1.000
Sig. (2-tailed) .495 .
N 40 40
Tabel 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bounding dengan kesejahteraan
subjektif
Social
Bounding
Kesejahteraan
Subjektif
Spearman's rho Social Bounding Correlation
Coefficient 1.000 .117
Sig. (2-tailed) . .471
N 40 40
Kesejahteraan
Subjektif
Correlation
Coefficient .117 1.000
Sig. (2-tailed) .471 .
N 40 40
Tabel 5 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social bridging dengan kesejahteraan
subjektif
Social
Bridging
Kesejahteraan
Subjektif
Spearman's rho Social Bridging Correlation
Coefficient 1.000 .374*
Sig. (2-tailed) . .017
N 40 40
Kesejahteraan
Subjektif
Correlation
Coefficient .374* 1.000
Sig. (2-tailed) .017 .
N 40 40
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
76
Tabel 6 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara social linking dengan kesejahteraan
subjektif
Social Linking
Kesejahteraan
Subjektif
Spearman's rho Social Linking Correlation
Coefficient 1.000 .139
Sig. (2-tailed) . .391
N 40 40
Kesejahteraan Subjektif Correlation
Coefficient .139 1.000
Sig. (2-tailed) .391 .
N 40 40
77
Lampiran 4 Dokumentasi
Lahan tanaman bawang merah yang telah diolah Sosialisasi pupuk bersubsidi
Kegiatan penyortiran hasil panen bawang merah Wawancara responden
Penanaman tanaman bawang merah
Salah satu toko atau warung yang menjual
pestisida, pupuk dan sarana pertanian
lainnya
Gubuk tani
Padi yang akan di panen pada bulan April
78
Lampiran 5 Tulisan tematik
Modal sosial rumah tangga petani
Desa Krasak didominasi oleh masyarakat dengan pekerjaan utama sebagai petani.
Pemanfaatan lahan Desa Krasak antara lain untuk lahan persawahan yaitu dengan luas
kurang lebih 118.72 ha, luas pemukiman kurang lebih 47.20 ha. Maka Desa Krasak
dapat disebut dengan desa pertanian. Komoditas pertanian yang unggul di Desa Krasak
adalah bawang merah, hal ini sejalan dengan Kabupaten Brebes yang merupakan sentra
bawang merah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Krasak menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Agar keberlangsungan hidup
petani terjamin, maka petani perlu menggunakan modal sosial yang telah tersedia untuk
mendapatkan moda produksi. Modal sosial berdasarkan jenis hubungannya dibedakan
menjadi tiga tipe yaitu social bonding, social bridging, dan social lingking. Komponen
pembentuk sosial bounding adalah tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada
norma sosial. Kepercayaan yang terbangun antar petani cukup baik. Petani saling
mempercayai satu sama lain terutama dalam hal pengembangan pertanian. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Bapak W sebagai berikut. “Saya pasti ngbrol-ngobrol
Mbak. Apa lagi di Sawah saat ngaso, kumpul bareng, ya tukar pikir lah. Kadang saya
cerita hama yang ditemuin pas di sawah tadi apa saja. Kalau ada yang minta saran ya
saya kasih Mbak, obat apa aja yang baru yang lebih bagus. Kalau ada teman
bawangnya bagus, kadang saya tanya pakai pupuk apa? Obatnya apa? Kadang
dijawabnya jenis obat baru dari PT. Saya belum tahu obat itu jadi saya tanya lagi ke
yang lainnya”. Kepercayaan petani di Desa Krasak juga didasari oleh kedekatan petani
dengan yang lainnya seperti hubungan keluarga atau tetangga.
Tingkat kepatuhan norma sosial dapat dilihat dari intensitas masyarakat
melakukan ide atau tradisi. Norma tersebut berbentuk keikutsertaan dalam tradisi lokal,
silaturrahmi saat hari raya besar Islam, tahlilan, jamiahan. Salah satu tradisi lokal adalah
sedekah bumi. Pelaksanaan sedekah bumi adalah warga berkumpul di tanah lapang pada
malam hari dan membaca doa bersama dan diakhiri dengan makan bersama. Namun
terdapat warga yang tidak mengikuti acara sedekah bumi tersebut. Seperti wawancara
dengan Bapak A. Sedekah bumi ya setiap tahun saya iuran Mbak, warga ada yang ikut
ke Blok Pung ada yang tidak. Saya cuma iuran, kalau ke blok pung saya tidak ikut.
Memang acaranya juga pengajian Mbak, tapi ini bertentangan dengan Agama Islam
Mbak, Nanti saya musyrik. Tingkat kepatuhan terhadap norma tergolong baik. Keadaan
tingkat kepercayaan dan tingkat kepatuhan pada norma tersebut membuat kondisi social
bounding tergolong tinggi.
Komponen pembentuk sosial bridging adalah kuatnya jaringan, tingkat solidaritas
dan tingkat partisipasi dalam organisasi. Kuatnya jaringan Kuatnya jaringan pada rumah
tangga petani cukup baik. Terdapat petani yang saling membangun jalinan kerja sama
dengan petani lain. Kerja sama tersebut adalah dalam bentuk sama-sama menanamkan
modal dalam budidaya komoditas bawang merah yang kemudian dibagi hasilnya.
Dalam bekerja sama petani sudah saling bersepakat dalam aturan bekerja sama baik
dalam proses penanaman modal awal, perawatan tanaman maupun, panen, maupun
dalam proses menjualan hasil panen.
Kuatnya jaringan dapat terlihat apabila petani banyak menerima informasi
perkembangan cara budidaya pertanian. Informasi tersebut didapatkan dari petani
lainya. Kemudian terdapat pula petani yang tidak mendapatkkan kredit sarana produksi
pertanian. Banyak petani yang kurang merasakan manfaat dari kelompok tani. Hal ini
79
dikarenakan petani-petani tersebut tidak tersosialisai dengan baik mengenai keuntungan
bergabung dengan kelompok tani. Terdapat anggapan bahwa keanggotaannya pada
kelompok tani belum memberikan kemajuan pada usaha pertaniannya. Berikut
wawancara dengan responden tersebut. “Iya, saya anggota Unggul Tani. Jarang ada
rapat atau perkumpulan kok Mbak. Saya hanya anggota, kadang dapat undangan buat
yang promosi pestisida. Seperti itu saja sih Mbak. Kalo pengkoordinasian sarana belum
ada. Belum ada kredit untuk sarana pertanian. Sebetulnya yang paling dibutuhkan ya
pupuk murah sama cangkul yang sering hilang..” (Bapak H, petani). Adanya anggapan-
anggapan seperti yang diungkapkan oleh Bapak H, dapat menyebabkan tidak
dirasakannya manfaat organisasi Kelompok tani di Desa Krasak sehingga para petani
pun tidak tertarik untuk ikut dalam organisasi Kelompok tani. Tingkat solidaritas
sesama petani di Desa Krasak cukup tinggi. Pada saat mendekati musim tanam bawang
merah, petani berdiskusi di gubuk tani (tempat petani berdiskusi) mengenai bibit
bawang merah varietas apa yang musim tersebut dapat tumbuh baik dengan segala
pertimbangan cuaca, hama maupun keadaan pengairan. Partisipasi dalam kelembagaan
di lingkungan sekitar dilihat dari intensitas petani mengikuti kegiatan kelembagaan
tersebut. Hampir setiap hari ada kegiatan “jamiahan”, selain untuk menjalankan norma
agama, kegiatan ini dapat menjadi modal untuk tempat saling bertukar informasi. Pada
kegiatan kelembagaan petani mengambil keputusan secara musyawarah.
Berdasarkan tingkat kebergantungan, petani cukup bergantung dengan
kelembagaan peminjaman modal dan para tengkulak. Dalam mendapatkan modal awal
setiap musimnya terdapat petani yang mendapatkan modal dari tabungan sendiri, yakni
petani yang masih memiliki keuntungan yang berlebih untuk melanjutkan kegiatan
bertani ke musim berikutnya. Seperti pernyataan Bapak W. “Sekitar pertengahan maret
kan mau pada tanam, sekarang saya harus sudah tahu apakah tabungan cukup atau
tidak. Setiap musim kalau sedang stabil saja saya pakai uang tabungan saja. Kalau
ditambah pinjam pusing Mbak” (Bapak W, petani dan pedagang bawang. Kemudian
Bapak K mengemukakan ” Saya ke Brebes kalau mau pinjam modal Mbak, di BRI.
Kalau tidak begitu tidak bisa tanam bawang. Nanti pas panen dua bulan kalau udah
ada yang beli, bisa ditutup. Seperti itu Mbak”. Tingkat kepentingan petani pada luar
komunitas terlihat pada pemanfaatan keberadaan penyuluhan. Pemanfaatan keberadaan
penyuluh pertanian dapat dirasakan petani, namun tidak seluruh petani merasakannya
langsung. Penyuluhan pertanian memberikan penyuluhan kepada petani di “Gubuk
Temu”. Penyuluh pertanian menyampaikan mengenai cara-cara pembudidayaan terbaru.
Kesejahteraan Ekonomi Rumah Tangga Petani
Kesejahteraan ekonomi dilihat dari aspek-aspek ekonomi seperti pengeluaran
rumah tangga petani, penguasaan dan kepemilikan lahan sawah, luas bangunan rumah,
kepemilikan fasilitas rumah dan kondisi rumah. Terdapat petani yang memiliki lahan
sawah dan ada pula yang menyewa lahan persawahan. Hal tersebut dikemukakan oleh
informan yaitu Bapak S, Sekretaris Desa Krasak. “Kurang lebih 70 persen lahan di
desa adalah lahan persawahan. Lahan seluas itu juga masih kurang. Rata-rata petani
yang menyewa lahan di Desa Krasak biasanya hitungan ¼ bau atau ½ bau. Petani di
sini lahannya ada yang di luar Brebes Mbak. Nanti ini saya juga besok mau ke Weleri,
mau nanam yang di sana. Di sini dibiarkan padi dulu, di Weleri ditanam bawang”.
Informan mengungkapkan bahwa petani yang menguasai lahan (bukan buruh tani) juga
80
dapat menguasai (menyewa) lahan di kota lain. Kota-kota tersebut adalah Weleri,
Kendal, Karawang dan Indramayu. Lahan sewaan yang berada di luar kota lebih sering
untuk ditanami tanaman bawang. Petani menyewa lahan di luar kota banyak pada bulan
Maret sampai Mei dan Oktober sampai Desember.
Pengeluaran rumah tangga petani dapat mencerminkan pendapatan petani. Untuk
mempermudah penelitian, digunakan indikator pengeluaran karena petani merupakan
pekerjaan sektor informal yang setiap panennya memperoleh pendapatan tidak tetap.
Seperti pernyataan responden yaitu Bapak S. “Bawang sedang anjlog harganya Mbak.
Walaupun hasilnya bagus tapi enggak berpengaruh buat harga jual. Saya petani mbak,
tapi kan sekarang sedang musim pari. Dari pada menganggur Saya ngerjain apa aja
mbak yang Saya bisa. Kadang ada yang lagi bangun rumah, Saya ikut, benerin listrik
atau meja kursi Saya lakuin Mbak. Bawangnya murah, itu banyak yang tidak Saya jual,
buat bibit saja”. Pengukuran kesejahteraan menggunakan pendekatan subjektif adalah
dengan cara mengetahui seberapa jauh kepuasan pemenuhan kebutuhan pangan, non
pangan dan investasi SDM.
Rumah tangga petani menyatakan puas dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Keluarga di rumah makan sehari tiga kali, walaupun lauknya biasa saja Mbak. Kadang
kalau lapar, makan lagi. Sudah Alhamdullillah. (Bapak K, petani) Makan sehari-hari
ya tiga kali Mbak. Biasa seperti itu sih Mbak. Lauknya ya seadanya. Tahu, tempe sayur
asem, sambel. Kalau beli daging pas lebaran Mbak. Kalau ayam ya ada lah seminggu
dua kali. Kalau makan terpenuhi Mbak, berarti yang kurangnya dagingnya, tidak ada.”
(Bapak N, petani). Untuk kebutuhan tempat tinggal juga kebutuhan petani terpenuhi,
walaupun terdapat petani yang tinggal dengan orang tua atau mertuanya. Namun untuk
kebutuhan biaya listrik dan transportasi petani hanya merasa cukup dan cenderung
kurang terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan Bapak J. Kalau dikatakan terpenuhi, Saya
tidak setuju Mbak. Kemarin sedang tidak bagus harga bawangnya mulai pertengahan
tahun kemarin sudah turun, ditambah BBM sekarang naik. Listrik juga kaya ikut naik
Mbak, lebih tinggi bulan ini.”
Kebutuhan mengikuti acara sosial seperti iuran dan pemberian sumbangan
dirasakan terpenuhi oleh rumah tangga petani. Petani menganggap iuran dan sumbangan
adalah hal wajib yang harus mereka penuhi. Terutama untuk sumbangan yang diberikan
kepada saudara yang memiliki acara pernikahan atau khitanan, petani di Desa Krasak
akan menyumbangkan sejumlah uang dan beras untuk kerabat mereka.
81
Lampiran 6 Daftar Nama Responden
No Nama Usia Alamat
1 Warson 35 RT 1 RW 1 Desa Krasak
2 Wahidin 65 RT 1 RW 1 Desa Krasak
3 Tarsim 50 RT 1 RW 1 Desa Krasak
4 Sunarto 50 RT 8 RW 1 Desa Krasak
5 Sangwar 52 RT 9 RW 1 Desa Krasak
6 Samsudi 38 RT 9 RW 3 Desa Krasak
7 Titis Adi S 25 RT 9 RW 3 Desa Krasak
8 Sumar 30 RT 9 RW 2 Desa Krasak
9 Sakwi 60 RT 9 RW 2 Desa Krasak
10 Tarwan 65 RT 7 RW 1 Desa Krasak
11 Kakim 65 RT 7 RW 1 Desa Krasak
12 Zuhri 57 RT 3 RW 1 Desa Krasak
13 Senyan 50 RT 3 RW 1 Desa Krasak
14 Waryono 52 RT 3 RW 1 Desa Krasak
15 Suhaji 45 RT 3 RW 1 Desa Krasak
16 Sutono 40 RT 2 RW 2 Desa Krasak
17 Abas 43 RT 3 RW 2 Desa Krasak
18 Tarnyan 55 RT 3 RW 2 Desa Krasak
19 Wa ad 60 RT 2 RW 2 Desa Krasak
20 Jaeli 46 RT 1 RW 3 Desa Krasak
21 Jaenudin 32 RT 6 RW 2 Desa Krasak
22 Jirab 40 RT 5 RW 2 Desa Krasak
23 Sarkham 30 RT 4 RW 1 Desa Krasak
24 Wasrip 45 RT 5 RW 1 Desa Krasak
25 Khasan 40 RT 5 RW 1 Desa Krasak
26 Manis 55 RT 5 RW 1 Desa Krasak
27 Nurokhim 37 RT 3 RW 2 Desa Krasak
28 Wa an 65 RT 3 RW 2 Desa Krasak
29 Supardi 43 RT 1 RW 3 Desa Krasak
30 M. K. Sarnadi 40 RT 2 RW 3 Desa Krasak
31 Rajad 50 RT 3 RW 3 Desa Krasak
32 Carsad 57 RT 4 RW 2 Desa Krasak
33 Jaroah 43 RT 4 RW 2 Desa Krasak
34 Suparmin 40 RT 3 RW 2 Desa Krasak
35 Hadining P 35 RT 4 RW 2 Desa Krasak
36 Sukram 50 RT 9 RW 2 Desa Krasak
37 Tarmidi 62 RT 2 RW 3 Desa Krasak
38 Wirsad 43 RT 2 RW 3 Desa Krasak
39 Nurohman 43 RT 2 RW 3 Desa Krasak
40 Nurcahya 40 RT 2 RW 3 Desa Krasak
83
RIWAYAT HIDUP
Nurul Fauziah dilahirkan di Brebes pada tanggal 3 Mei 1993 dari pasangan
Hendro Sulistiyono dan Siti Khodijah. Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya
yaitu SD, SMP dan SMA di Kabupaten Brebes. Pendidikan formal yang pernah dijalani
adalah di SD Muhammadiah Brebes, SMP Negeri 2 Brebes dan SMA Negeri 1 Brebes.
Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor dengan
Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Pada semester ke-3
tepatnya pada tahun 2012, hingga semester ke-8 penulis adalah penerima Beasiswa
Angkatan 16 Sosek IPB.
Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
organisasi. Penulis aktif sebagai anggota KPMDB (Kumpulan Pelajar Mahasiswa
Daerah Brebes) pada tahun 2012 sampai tahun 2013, kemudian sebagai bendahara
KPMDB pada tahun 2014. Pada tahun 2013 penulis bergabung dalam kepengurusan
HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat). Dalam kepengurusan tersebut penulis menjadi sekretaris
divisi public relation. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah sebagai juara 2
menulis cerita pendek pada acara HIMASIERA OLAH TALENTA pada tahun 2012.
Kemudian menjadi finalis kategori cerita pendek pada acara Al-QalamWritification di
Universitas Pendidikan Indonesia.