hubungan locus of control dengan school well-...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DENGAN SCHOOL WELL-
BEING PADA SISWA SMA KRISTEN 2 SALATIGA
OLEH
APRIANI IMELDA
80 2013 046
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DENGAN SCHOOL WELL-
BEING PADA SISWA SMA KRISTEN 2 SALATIGA
Apriani Imelda
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan locus of
control dengan school well-being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Subjek penelitian
ini adalah 54 siswa. Pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan menggunakan dua
instrument. Untuk mengukur Locus of control menggunakan alat ukur IPC Locus of
control yang merupakan pengembangan dari alat ukur I-E milik Rotter oleh Levenson
(1981) sedangkan School Well-Being diukur dengan menggunakan skala School Well-
Being oleh Konu dan Rimpelä. Data dianalisa menggunakan uji korelasi product
moment (Pearson). Dari penelitian ini diperoleh koefisien r = 0,283 dengan sig. 0,038 (p
< 0,05). Hal ini menunjukkan ada hubungan positif signifikan Locus of control dengan
School Well-Being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Sumbangan efektif yang
diberikan Locus of control terhadap School Well-Being sebesar 8%, sedangkan 92%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan aspirasi, hubungan sosial, peran
sosial, serta teman dan waktu luang.
Kata kunci : locus of control, school well-being, siswa menengah atas,
remaja
ii
Abstract
The purpose of this research is to find out whether there is a relationship of locus of
control with school well-being at a Christian high school student 2 Salatiga. The
subject of this research is the 54 students. Quantitative data collection is done using
two instruments. To measure Locus of control using IPC measurement tool Locus of
control which is a development of the measuring instrument I-E owned by Levenson
Rotter (1981) while the School well-being measured using a scale School well-being by
Konu and Rimpelä. Data analysed using the test correlation product moment
(Pearson). From this research obtained coefficients of r = 0.283 with sig. 0.038 (p <
0.05). This shows thereis a significant positive relationship Locus of control with School
Well-Being at a Christian high school student 2 Salatiga. Donation given Locus of
control against the School Well-being by 8%, whereas 92% is affected
by other factors such as a aims and aspirations, social relationships, social roles, as
well as friends and free time.
Keywords :locus of control, school well-being, senior high school, teeneger
1
PENDAHULUAN
Sekolah adalah suatu lembaga yang dirancang khusus untuk siswa memperoleh
pengajaran yang diberikan oleh guru. Sekolah diharapkan dapat melaksanakan
fungsinya secara optimal untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan serta
mengasah keterampilan yang akan digunakan dalam kehidupan selanjutnya di
masyarakat (Holander dalam Bachrie, 2009). Sekolah yang baik adalah sekolah yang
diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa sehingga membuat
siswa-siswanya merasa sejahtera karena kesejahteraan siswa mempengaruhi hampir
seluruh aspek dan fungsi siswa di sekolah (Smith, R. dkk, 2010).
Disamping itu juga, sekolah memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan
kehidupan remaja karena, remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah
(Marin & Brown, 2005). Sekolah juga merupakan tempat belajar formal dilaksanakan
serta pusat kehidupan sosial remaja. Oleh karena itu, siswa remaja perlu merasa
sejahtera ketika berada di sekolah. Selain itu, sekolah juga akan membentuk kepribadian
dan membantu perkembangan sosial individu belajar untuk bersosialisasi, termasuk
didalamnya kepercayaan diri, di sekolah juga individu belajar untuk bersosialisasi
dengan orang lain, terutama dengan teman, guru, dan orang yang ada di lingkungan
sekolah.
Pada masa remaja, sekolah merupakan elemen yang penting dalam proses
perkembangan individu. Pada masa sekarang, pendidikan merupakan aspek yang
penting karena pendidikan menyiapkan remaja dalam pemilihan karir di masa depan
(Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Di Indonesia, anak usia remaja umumnya berada
pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan perkembangan individu dapat berjalan
dengan maksimal jika kondisi anak dalam keadaan nyaman untuk mengikuti proses
2
belajar. Berbagai hal dapat mempengaruhi proses belajar siswa sehingga untuk
mengetahui tingkat kenyamanan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah
maka, sekolah perlu melakukan sebuah penilaian subjektif siswa terhadap sekolahnya.
Konu dan Rimpelä (2002) penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal
ini adalah mengenai fasilitas sekolah, kesempatan yang diberikan sekolah, pelayanan
sekolah, dan jumlah murid di sekolah. Kondisi sekolah yang tidak menyenangkan,
menekan, dan membosankan akan berakibat pada pola siswa yang bereaksi negatif,
seperti stres, bosan, terasingkan, kesepian dan depresi. Kondisi tersebut akan
berdampak pada penilaian individu terhadap sekolahnya. Oleh sebab itu, well-being
pada siswa dapat dilihat dari penilaian mereka terhadap keadaan sekolah mereka sendiri,
bagaimana peran sekolah dalam proses belajar mereka.
Istilah well-being banyak ditemukan di psikologi humanistik dan psikologi
positif. Well-being sering diartikan sebagai sejahtera, para peneliti sering
mengartikannya sebagai sejahtera (Hartanti, 2010) namun tulisan ini menyoroti
kesejahteraan siswa dalam lingkungan sekolah.
Program school well-being menjadi penting diterapkan di sekolah karena siswa
yang sehat merasa bahagia dan sejahtera dalam mengikuti pelajaran di kelas, dapat
secara efektif dan memberi kontribusi positif pada sekolah dan lebih luas lagi pada
komunitas (Konu & Rimpela, 2006). Well-being harus menjadi fungsi pendidikan
utama, dan semua sekolah harus digerakkan untuk memaksimalkan pertumbuhan siswa
dan pendidik. Kesejahteraan pada siswa biasanya ditandai dengan adanya perilaku
positif yang berhubungan dengan baiknya performa akademik siswa, hubungan
interpersonal yang baik, serta tidak adanya masalah perilaku pada siswa seperti
penurunan prestasi, ketidakhadiran di kelas, kurangnya perilaku prososial serta masalah
kesehatan mental siswa.
3
Program WHO ini telah menjadi latar belakang dari terbentuknya konsep model
teoritis yaitu kesejahteraan sekolah (school well-being) yang berdasarkan konsep
kesejahteraan secara sosiologis (Konu & Rimpela, 2002). Model school well-being yang
dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002) melihat kesejahteraan dari sudut pandang
siswa yang terdiri dari empat aspek yaitu having (kondisi sekolah), loving (hubungan
sosial), being (pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Konsep tersebut memiliki
harapan bahwa kesejahteraan sekolah siswa lebih penting, yaitu perasaan siswa dalam
menilai kelayakan sekolah mereka sebagai lingkungan belajar yang mampu
memberikan dukungan, rasa aman, dan nyaman.
Penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal ini yaitu tentang pelayanan
dan fasilitas sekolah yang diharapkan mampu menunjang proses pembelajaran di
lingkungan sekolah sangatlah penting, karena dengan adanya dukungan fasilitas sekolah
diharapkan siswa memiliki rasa puas dalam lingkungan belajarnya (Owoeye & Yara,
2011). Penelitian yang dilakukan oleh Konu dan Lintonen (2002) mengungkapkan
kondisi fisik sekolah yang paling perlu ditingkatkan adalah ventilasi, fasilitas toilet, dan
suhu, yang merupakan beberapa indikator dari aspek having yang mempengaruhi
kepuasan siswa.
Selanjutnya penelitian tentang kesejahteraan sekolah yang dilakukan oleh Løhre,
Lydersen dan Vatten (2010) yang ingin mengetahui faktor-faktor yang membentuk
kesejahteraan dan pengaruhnya di sekolah. Subyek penelitian sejumlah 419 siswa terdiri
dari 230 siswa laki-laki dan 189 siswa perempuan dari kelas 1 sampai dengan kelas 10
di Norwegia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sekolah
berhubungan erat dengan kesenangan dalam pekerjaan sekolah dan pada pengalaman
mereka dalam menerima bantuan yang diperlukan dari guru.
4
Penjelasan mengenai school well-being dilakukan melalui studi literatur dengan
menggunakan data-data empiris dari hasil penelitian terdahulu sebagai tempat bagi para
siswa melaksanakan proses pendidikan, sekolah hendaknya memperhatikan hakikatnya
sebagai lingkungan belajar. Lingkungan yang tepat untuk belajar siswa adalah
lingkungan yang dapat memberikan kenyamanan. Peran siswa sebagai subyek
pendidikan dalam sekolah perlu mendapatkan perhatian lebih. Proses pembelajaran
disekolah sebaiknya juga memperhatikan sudut pandang siswa mengenai sekolah.
Karena keberhasilan pendidikan yang diperoleh oleh siswa adalah keberhasilan bagi
sekolah itu sendiri (Allardt dalam Alanen,etal., 2002)
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi school well-being siswa menurut
Keyes dan Waterman (dalam Bornstein, Davidson, Keyes, & Moore, 2003) yaitu
hubungan sosial, teman dan waktu luang, sukarelawan, peran sosial, karakteristik
kepribadian, kontrol diri dan sikap optimis, serta tujuan dan aspirasi. Individu yang
memiliki rasa optimis mampu menyesuaikan diri dengan baik pada situasi tertentu
seperti saat pergi ke sekolah. Dari beberapa faktor tersebut karakteristik kepribadian
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan sekolah yaitu locus of
control.
Konsep locus of control merupakan konsep keyakinan sejauh mana individu
yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins & Judge, 2007).
Locus of control pertama kali dikemukan oleh Julian B Rotter 1996 (dalam Engko dan
Guidono, 2007) dengan mendefinisikan sebagai cara pandang sesorang bahwa dia dapat
mengendalikan atau tidak, sebuah peristiwa yang sedang terjadi.
Rotter (1966) membagi locus of control menjadi dua, yaitu internal locus of
control dan external locus of control. Internal locus of control adalah cara pandang
individu bahwa segala sesuatu yang terjadi berasal dari perilaku mereka sendiri.
5
Sedangkan, external locus of control adalah cara pandang individu bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada dirinya bukan berasal dari tindakan mereka sendiri, melainkan
dari tindakan orang lain, nasib, keberuntungan atau kesempatan.
Bakare (2012) menyatakan bahwa individu yang berorientasi pada internal locus
of control memiliki well-being yang lebih tinggi daripada individu yang berorientasi
pada external locus of control. Internal locus of control cenderung dikaitkan dengan
tingginya well-being, dimana siswa dengan well-being memiliki kemampuan mengatasi
stres dan kecemasan (Lloyd & Hastings, 2009). Kemampuan mengatasi stress dan
kecemasan akan membantu siswa menjalani pendidikan dengan baik. Sebaliknya, siswa
yang berorientasi pada external locus of control cenderung dikaitkan dengan rendahnya
well-being, karena siswa tersebut lebih mudah mengalami stress dan kecemasan. Stress
dan kecemasan tersebut dapat menganggu bahkan menghambat keberhasilan siswa
dalam menjalani pendidikan Oleh karena itu, individu tersebut cenderung bergantung
pada faktor kekuatan dari luar dan tidak mengandalkan kemampuan pribadi dalam
menangani konsekuensi perbuatan dan perilaku yang mereka lakukan. (Robbins &
Coulter, 2012).
Phares (1999) menyatakan individu yang berorientasi internal cenderung lebih
percaya diri, berpikir optimis dalam setiap langkahnya. Individu akan cenderug
berusaha secara aktif untuk mencapai tujuan. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk
tindakan sosial, tindakan mencari informasi, pengambilan keputusan secara otonomi
sebaliknya, individu yang berorientasi rendah terhadap internal locus of control, berarti
ia memiliki locus of control external. Masih menurut Phares, individu yang berorientasi
pada external locus of control akan berkeyakinan bahwa peristiwa-peristiwa yang
dialaminya merupakan konsekuensi dari hal-hal diluar dirinya, seperti takidir,
kesempatan, keberuntungan atau orang lain, mereka cenderung lebih malas, karena
6
merasa bahwa usaha apapun yang dilakukan tidak akan menjamin keberhasilan dalam
pencapaian hasi yang diharapkan (Sudaryono,2007)
Selain itu, diketahui bahwa internal locus of control dan external locus of
control sebagai sebuah refleksi konsep keyakinan individu merupakan salah satu
komponen dari well-being (Spector, Cooper, Sanchez 2002). Terdapat banyak teori
yang menonjolkan hubungan antara persepsi individu tentang control (internal dan
external locus of control) dengan well-being. Dengan hal ini, dapat dilihat bahwa
internal locus of control dan external locus of control menjadi salah satu komponen
atau elemen penting dalam melihat well-being dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
faktor school well-being memiliki peran terhadap siswa di SMA Kristen 2 Salatiga.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara
locus of control dengan school well-being pada siswa SMA Kristen 2 di Salatiga.
Hipotesa Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara locus of control
dengan school well being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Maka ketika individu
memiliki internal locus of control tinggi maka, semakin tinggi juga school well-
beingnya, namun begitu juga sebaliknya apabila individu memiliki external locus of
control tinggi maka semakin rendah school well-beingnya.
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. School well-being
1. Pengertian School well-being
Berdasarkan konsep well-being yang dikemukakan Allardt, Konu dan Rimpelä
(2002) kemudian mengembangkan well-being dalam konteks sekolah yang
dinamakan school well-being Dalam kajiannya, Konu dan Rimpelä (2002)
mengembangkan konsep tersebut melalui kajian terhadap berbagai literatur
sosiologis, pendidikan, psikologis, dan peningkatan kesehatan, hingga pada akhirnya
menghasilkan model school well-being. Di dalamnya ditambahkan aspek health
sehingga kebutuhan dasar harus dipenuhi yaitu having, loving, being, dan health.
Konu dan Rimpelä (2002) kemudian mendefiniskan school well-being sebagai
sebuah keadaan sebuah sekolah yang memungkinkan individu memuaskan
kebutuhan dasarnya, yang meliputi having, loving, being, dan health.
2. Aspek-aspek atau dimensi School well-being
a. Having (Kondisi sekolah)
Having (kondisi sekolah) mencakup aspek material dan non-material meliputi
lingkungan fisik, mata pelajaran dan jadwal, hukuman, dan pelayanan di
sekolah (Konu &, Rimpelä 2002).
b. Loving (Hubungan sosial)
Loving (hubungan sosial) merujuk kepada lingkungan pembelajaran sosial,
hubungan antara guru dan murid, hubungan dengan teman sekelas, dinamisasi
kelompok, bullying, kerjasama antara sekolah dan rumah, pengambilan
keputusan disekolah, dan keseluruhan atmosfir sekolah Konu dan Rimpelä
(2002).
8
c. Being (Pemenuhan diri)
Being merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan sosial, misalnya kemungkinan
siswa untuk berkreativitas, penghargaan siswa di sekolah, bimbingan dan
dorongan yang diberikan pada siswa (Konu & Rimpela, 2002).
d. Health (Kesehatan)
Health (status kesehatan) Status siswa ini meliputi aspek fisik dan mental berupa
simtom psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan (seperti flu), dan
penghayatan akan keadaan diri (Konu & Rimpela, 2002).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi School Well-Being
Beberapa faktor yang mempengaruhi School well-being beradasarkan faktor yang
mempengaruhi well-being dari Keyes &Waterman (2008) antara lain :
a. Hubungan sosial
Hubungan sosial di sekolah dan di rumah yang dimiliki remaja mempengaruhi
well-being yang dimiliki oleh remaja.
b. Teman dan waktu luang
Bahwa individu yang mendapatkan dukungan dari teman akan lebih merasakan
kebahagiaan. Bahwa teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan
rasa saling memiliki yang penting dibutuhkan dalam situasi sekolah
c. Menjadi sukarelawan
Siswa sekolah, pencapaian serta penghargaan terhadap prestasi yang dimiliki
dapat meningkatkan kepuasan mereka terhadap kehidupan sekolah yang dijalani.
d. Peran sosial
Remaja memiliki kebutuhan untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya
dalam masyarakat. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat bagi siswa
untuk menjalani peran sosial melalui kegiatan-kegiatan yang ada.
9
e. Karakteristik Kepribadian
Tingkat sejauh mana seseorang mengharapkan bahwa penguatan atau hasil dari
perilaku mereka tergantung pada penilaian mereka sendiri atau karakteristik
kepribadan
f. Kontrol diri dan sikap optimis
Optimisme secara positif berkorelasi dengan kesehatan seseorang. Optimisme
juga memiliki korelasi yang kuat dengan kepuasan hidup.
g. Tujuan dan aspirasi
Komitmen individu untuk mengatur tujuannya akan membantunya memahami nya
untuk membantu masalah. Jika individu percaya bahwa tujuan mereka penting
maka individu tersebut memiliki level kesejahteraan yang tinggi dengan tujuan
untuk meningkatkan level kesejahteraan remaja dengan memfokuskan masa
depan.
B. Locus of control
1. Pengertian Locus of Control
Pada mulanya Rotter, melihat locus of control sebagai hal yang bersifat
undimensional (internal dan eksternal), namun pada tahun 1973, Levenson
mengembangkan konsep locus of control dari Rotter dan membaginya menjadi 3
dimensi independen, yaitu : internalisasi (internality), powerfull otehers dan
chance. Menurut model Levenson, seseorang dapat memunculkan masing-masing
dimensi locus of control secara independen dalam waktu yang sama (Zawawi, J.
A,. Shaher, H.H 2009).
10
Internal locus of control
Ketika individu memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas
konsekuensi perilaku mereka, mereka adalah individu yang memiliki konsep
internal locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu yang berorientasi
pada internal locus of control adalah individu yang percaya bahwa mereka dapat
mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka (Robbins & Judge, 2012), nasib dan
tujuan hidup mereka sendiri (Robbins & Coulter), serta kejadian dan konsekuensi
yang berdampak pada kehidupan mereka (Kreitner & Kinicki, 1995). Oleh karena
itu, internal locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang
mengontrol dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam
kehidupan adalah diri sendiri.
External Locus of Control
Ketika individu menafsirkan bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku
mereka tersebut dikontrol oleh keberuntungan, nasib, atau kekuatan orang lain,
individu tersebut memiliki memiliki konsep external locus of control (Rotter,
1966). Di samping itu, individu dengan orientasi keyakinan external locus of
control merupakan individu yang percaya bahwa apa yang terjadi pada diri
mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (Robbins & Judge, 2007
dan Robbins & Coulter, 2012). Oleh karena itu, external locus of control
merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah keberuntungan,
kesempatan, nasib atau kekuatan orang lain. Setelah itu, Levenson (1981)
mengembangkan dimensi locus of control yang telah dinyatakan oleh Rotter
(1981), yaitu:
11
a. Internality (I)
Internality (I) ditandai dengan keyakinan bahwa peristiwa yang mereka alami
terutama dikendalikan oleh kemampuan dan usaha mereka sendiri. Internality
merupakan dimensi yang menyatakan Internal locus of control.
b. Powerful Others (P)
Powerful others merupakan kecenderungan individu berperilaku dan berpikir
bahwa ada orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa dalam
mengontrol kehidupan dirinya. Powerful others merupakan dimensi yang
menyatakan external locus of control.
c. Chance (C)
Chance merupakan fokus individu pada persepsi individu mengenai suatu kendali
yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Chance
merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control.
C. Remaja (siswa SMA)
Masa remaja merupakan transisi dari perkembangan masa anak-anak yang akan
menuju pada kematangan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan
fisik, kognitif dan sosisal emosional (Santrock, 2003). Bagi siswa SMA yang sudah
memasuki masa remaja sudah mampu untuk memilih serta menilai berbagai hal
termasuk menilai sekolah tempatnya belajar. Ketakutan akan berubahnya
pandangan orang lain tentang penilaian yang diberikan oleh sekolah serta ketakutan
akan kurangnya animo masyarakat sehingga tidak lagi mempercayakan pendidikan
putra-putrinya untuk memperoleh pendidikan di sekolah tersebut perlu
mendapatkan perbaikan. Pandangan tersebut perlu diluruskan sebab jika sekolah
masih memiliki ketakutan akan penilaian siswa terhadap sekolah, maka
ketercapaian tujuan pendidikan tidak akan pernah benar-benar dapat dicapai.
12
METODE PENELITAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut
Azwar (2012) pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan
dapat diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh melalui suatu proses
pengukuran, di samping valid dan reliabel, juga objektif. Variabel-variabel yang akan
dilibatkan dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel X : Locus of control
b. Variabel Y : School Well-Being
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah sseluruh siswa SMA Kristen 2 Salatiga
yang berjumlah 56 siswa. Namun pada saat penelitian dilaksanakan siswa yang
hadir pada saat itu hanya 54 siswa. Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan teknik “Sampel Jenuh” atau “Sampling Jenuh” teknik pengumpulan
sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering
dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30 orang atau penelitian
yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Berdasarkan
teori diatas maka dalam penelitian ini, semua jumlah populasi siswa yang berada di
SMA Kristen 2 Salatiga dijadikan sampel, yaitu sebanyak 54 siswa
Tabel 1
Populasi Penelitian No Kelas Jumlah
1 XI-IPA 5 orang
2 XI-IPS 12 orang
3 XII-IPA 6 orang
4 XII-IPS 7 orang
5 X 26 orang
Jumlah Populasi 56 orang
13
C. Alat Ukur Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut
psikologis (Azwar, 1999). Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
Skala Locus of control dan skala School well-being.
1. Skala Locus of control
Untuk mengukur Locus of control penulis menggunakan skala IPC LOC yang
disusun oleh Levenson (1981). Skala ini merupakan modifikasi dari skala IE LOC
milik Rotter (1966). Pada skala ini terdapat 3 dimensi, yaitu I (internalitiy), P
(powerful others) dan C (chance). Internality digunakan untuk mengukur internal
locus of control, sedangkan powerful others dan chance digunakan untuk mengukur
external locus of control. Setiap dimensi diwakili oleh 8 aitem dengan jumlah aitem
pada skala ini adalah 24 aitem dengan pilihan jawaban Sangat tidak sesuai (STS)
dengan nilai 6, Tidak sesuai (TS) dengan nilai 5, Agak tidak sesuai (ATS) dengan
nilai 4, Agak sesuai (AS) dengan nilai 3, Sesuai (S) dengan nilai 2, dan Sangat sesuai
(SS) dengan nilai 3 dan sebalikya pada aitem unfavorable Penilaian skala ini adalah
semakin tinggi skor yang diperolah, maka internalnya semakin tinggi. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka externalnya semakin rendah.
Pada skala ini aitem gugut sebanyak 8 aitem sehingga menyisahkan 16 aitem dengan
total correlation bergerak antara 0, 254 sampai 0,614 dengan alfa cronbach sebesar
0,812.
14
Tabel 2
Sebaran Nomor Aitem Valid dan gugur Skala locus of control
No Dimensi
Indikator
Nomor Aitem Jumlah
Aitem Valid Fav Unfav
1.
Internality
Menekankan pada kemampuan
diri
1, 4, 9
21, 23* -
7
Memiliki kepercayaan diri 5, 18, 19 -
2 Powerfull
others Bergantung pada orang lain
3, 8*, 11,
13*, 15*,
22,
3
Tidak percaya diri 17, 20 2
3 Chance
Bergantung dan percaya pada
nasib, keberuntungan dan
kebetulan
2, 6,
7*,10,12*
, 14*,
16*, 24
4
Total 16
*(aitem yang gugur)
2. Skala School well being
Pada penelitian kali ini alat ukur dari school well-being yang digunakan adalah
alat ukur yang dikembangkan oleh Ahmad (2011) yang kemudian dimodifikasi
berdasarkan alat ukur school well-being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä
(2002). Alat ukur ini terdiri dari empat dimensi, yaitu having, loving, being dan
health dengan total aitem sebanyak 44 aitem dengan empat pilihan jawaban yaitu,
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (SS). Sistem
penilaian pada skala ini, aitem favorable diberi nilai 4 untuk Sangat Sesuai (SS), nilai
3 untuk Sesuai (S), nilai 2 untuk Tidak Sesuai (TS) dan nilai 1 untuk Sangat Tidak
Sesuai (STS). Sedangkan untuk aitem unfavorable adalah kebalikannya nilai 1 untuk
Sangat Sesuai (SS), nilai 2 untuk Sesuai (S), nilai 3 untuk Tidak Sesuai (TS) dan
nilai 4 untuk Sangat Tidak Sesuai (STS). Alat ukur ini telah melalui dua kali uji coba
sehingga memenuhi kualifikasi sebagai alat ukur yang baik, seperti koefisien
validitas dan reliabilitas yang sesuai standar. Hasil uji seleksi item dan reliabilitas
15
penentuan-penentuan aitem valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2010) yang
menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25
dan menunjukkan bahwa ada 18 aitem yang gugur melalui 3 kali pengujian.
Pengujian tersebut menyisakan aitem sebanyak 26 dengan item total correlation
bergerak antara 0,438 sampai 0,725. Hasil uji reliabilitas dengan alpha Cronbach's
sebesar 0,889
Tabel 3
Sebaran Nomor Aitem Valid dan Gugur Skala School well being
*(aitem yang gugur)
No Dimensi
Indikator
Nomor Aitem Jumlah
Aitem
Valid Fav Unfav
1 Having
Siswa merasa lingkungan fisik di
sekolahnya bersih dan nyaman 1, 28* 2, 24
7 Siswa menilai lingkungan
pembelajaran yang disediakan
sekolah sesuai dan tepat
3*, 30 4*, 29*
Siswa merasa puas dengan
pelayanan sekolah yang telah
disediakan
5, 33 6, 31*
2 Loving
Siswa merasakan iklim sekolah
yang positif 7*, 32 8
9
Siswa terlibat dalam kelompok
belajar 9*, 43 10
Siswa mampu menjalin hubungan
yang baik dengan guru 11*,35* 12
Siswa mampu berinteraksi dengan
teman sebaya di sekolah 13*, 41 14*
Sekolah memiliki hubungan yang
baik dengan pihak keluarga siswa 15, 37 16
3 Being
Siswa mendapatkan penghargaan
terhadap hasil kerja atau
kreativitasnya
17*, 38 18*
6
Siswa mendapatkan bimbingan
atau dorongan yang diberikan guru 19*, 39 20
Siswa memiliki kesempatan untuk
mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan berdasarkan minat
siswa
21, 42 22
4 Health
Siswa merasa sehat secara fisik
selama di sekolah 23*, 40* 26, 34
4 Siswa merasa sehat secara psikis
selama di sekolah 25, 44 27*, 36*
Total 26
16
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui
ada atau tidaknya korelasi locus of control dan school well-being pada siswa di SMA
Kristen 2 Salatiga. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti harus melakukan
uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis staristik parametik atau non-
parametik yang akan digunakan untuk uji korelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan
skala locus of control (K-S-Z = 12,40 p = 0,092 p > 0,05), dan skala school well-
being (K-S-Z = 0,933 p = 0,349 p > 0,05). Hasil ini menunjukkan data locus of
control internal dan external, serta school well-being berdistribusi normal,
ditunjukkan pada tabel 4
Tabel 4
Uji normalitas locus of control dengan school well-being.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Loc swb
N 54 54
Normal Parametersa Mean 45.06 68.63
Std. Deviation 10.766 9.361
Most Extreme Differences Absolute .169 .127
Positive .169 .127
Negative -.131 -.090
Kolmogorov-Smirnov Z 1.240 .933
Asymp. Sig. (2-tailed) .092 .349
a. Test distribution is Normal.
17
2. Uji Linieritas
Hasil uji linieritas menujukkan adanya hubungan yang linear antara locus of
control dengan school-well being dengan deviation from linearity sebesar F = 0,560 p =
0, 927 p > 0,05). Ditunjukkan pada tabel 5
Tabel 5
Uji Linear Locus of control dengan School well-being
ANOVA Table
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
swb * loc Between Groups (Combined) 1905.593 27 70.578 .670 .846
Linearity 371.235 1 371.235 3.524 .072
Deviation from
Linearity 1534.357 26 59.014 .560 .927
Within Groups 2739.000 26 105.346
Total 4644.593 53
Analisis Deskriptif
Tabel 7 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel.
Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 4 kategori mulai dari sangat
rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi. Interval skor untuk setiap kategori ditentukan
dengan menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000)
Tabel 6
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Loc 54 33 80 45.06 10.766
Swb 54 36 87 68.63 9.361
Valid N (listwise) 54
18
Tabel 7
Kategori Skor locus of control
Berdasarkan Tabel menunjukkan bahwa locus of control berada pada kategori
internal dengan mean sebesar 45,06. Sebanyak 33 siswa yang menjadi subjek penelitian
memiliki skor internal locus of control dengan prosentase 61% sedangkan pada kategori
external locus of control sebanyak 21 siswa yang memiliki skor external locus of
control dengan prosentase 39% Jumlah skor minimum yang diperoleh subjek adalah 33
dan skor maksimum adalah 80 dengan standar deviasi 10.766
Tabel 8.
Kategori Skor School well-being
No Interval
Kategorisasi Mean F %
1 26 ≤ × < 45,5 Sangat rendah 1 2%
2 45,5 ≤ × < 65 Rendah 13 24%
3 65 ≤ × < 84,5 Tinggi 68,63 35 65%
4 84,5≤ ×≤ 104 Sangat tinggi 5 9%
Jumlah 54 100%
Berdasarkan Tabel menunjukkan bahwa skor school well-being berada pada
kategori tinggi dengan mean sebesar 68,63. Sebanyak 35 siswa yang menjadi subjek
penelitian memiliki skor school well-being yang berada pada kategori tinggi dengan
prosentase 65%. 5 siswa berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 9%, 13
siswa berada pada kategori rendah dengan prosentase 24% dan 1 siswa berada pada
No Interval Kategorisasi Mean F %
1 16≤ × < 40 External locus of
control
21 39%
2 40 ≤ ×≤ 96 Internal locus of
control
45,06 33 61%
Jumlah 100%
19
kategori sangat rendah dengan prosentase 2%. Jumlah skor minimum yang diperoleh
adalah 36 sedangkan skor maksimumnya adalah 87 dengan standar deviasi 9,361
Uji korelasi
Dari hasil uji asumsi yang menunjukkan bahwa data yang diperoleh berdistribusi
normal dan variabel-variabel penelitian linear, maka dalam penelitian ini
menggunakan uji korelasi statistik parametik. Uji korelasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah korelasi Pearson.
Tabel 9
Uji Korelasi locus of control dengan School Well-Being
Berdasarkan hasil pengujian uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
locus of control dengan school well-being sebesar 0,283 dengan sig = 0,038 (p = < 0,05)
yang berarti ada hubungan yang positif signifikan antara locus of control dengan school
well-being.
Correlations
Loc swb
Loc Pearson Correlation 1 .283*
Sig. (2-tailed) .038
N 54 54
Swb Pearson Correlation .283* 1
Sig. (2-tailed) .038
N 54 54
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
20
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian uji korelasi Pearson menunjukkan koefisien
korelasi (r) = 0,283 dengan sig = 0,038 (p = < 0,05) yang berarti ada hubungan yang
positif signifikan antara locus of control dengan school well-being pada siswa SMA
Kristen 2 salatiga. Hal ini menunjukkan bahwa ketika individu memiliki individu
memiliki internal locus of control tinggi maka, semakin tinggi juga school well-
beingnya, namun begitu juga sebaliknya apabila individu memiliki external locus of
control tinggi maka semakin rendah school well-beingnya.
Korelasi signifikan antara Locus of control dengan school well-being pada siswa
SMA Kristen 2 Salatiga. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bakare (2012) menyatakan bahwa individu yang berorientasi pada internal locus of
control memiliki well-being yang lebih tinggi dibanding dengan individu yang
berorientasi pada external locus of control.
Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control akan cenderung
memiliki well-being yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang memiliki orientasi
pada external locus of control cenderung sulit untuk memiliki well-being. Lloyd dan
Hastings (2009) menambahkan pula bahwa semakin internal locus of control tersebut,
semakin tinggi pula well-being pada individu terkait, begitu pula sebaliknya. Seperti
yang kita ketahui bahwa seringkali kebahagiaan dan kepuasan muncul saat individu
mengalami keberhasilan atau mampu mendapatkan apa yang diinginkan. Individu akan
merasa lebih bahagia dan puas ketika mengetahui bahwa dirinya sendiri yang berperan
penting dalam keberhasilan tersebut. Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya
yang memegang peranan penting dalam kehidupan merupakan individu yang
berorientasi pada internal locus of control. Kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan
individu ini tentu akan lebih tinggi dibanding individu yang berorientasi pada external
21
locus of control, sebab mereka merasa bahwa keberhasilan tersebut hanyalah pemberian
orang lain atau karena suatu keberuntungan.
Rerata siswa SMA Kristen 2 Salatiga memiliki tingkat locus of control pada
kategori tinggi internal locus of control dan pada school well-being berada pada
kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji korelasi adapun sumbangan efektif yang diberikan
locus of control terhadap school well-being sebesar sebesar 8%, sedangkan 92%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan aspirasi, hubungan sosial, peran
sosial, serta teman dan waktu luang.
School well-being atau kesejahteraan diartikan sebagai sebuah pemenuhan
kepuasan individu pada kebutuhan dasarnya selama berada di lingkungan sekolah
(Konu dan Rimpelӓ, 2002, h. 82). School well-being pada siswa merupakan kehidupan
emosional yang positif yang dihasilkan dari keselarasan antara faktor lingkungan,
kebutuhan pribadi, dan harapan siswa di sekolah (Engels, Aelterman, Petergem, dan
Schepens, 2004, dalam O’Brien, 2008). Kebutuhan dasar siswa yang beragam seperti
tersedianya kondisi dan keadaan sekolah yang bersih serta nyaman, interaksi sosial
siswa dengan seluruh elemen sekolah yang kondusif, adanya kesempatan bagi siswa
untuk berprestasi, serta keadaan kesehatan siswa selama berada di sekolah merupakan
aspek-aspek yang mempengaruhi hasil penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif mengenai kategorisasi school well-being
siswa SMA Kristen 2 Salatiga diketahui bahwa terdapat 1 siswa yang memiliki school
well-being yang sangat rendah ditunjukkan dengan nilai 2% (1 orang), 24% (13 orang)
yang tergolong rendah, 65% (35 orang) yang tergolong tinggi, 9% (5 orang) yang
tergolong sangat tinggi. Jumlah dan presentasi terbanyak menempati kategori sangat
tinggi. Hasil deskriptif kategorisasi skala locus of control siswa tergolong pada internal
locus of control dibandingkan dengan external locus of control. Sebanyak 33 siswa
22
tergolong pada internal locus of control, sedangkan pada kategori external locus of
control sebanyak 21 siswa yang tergolong pada external locus of control.
Dengan hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hueber (dalam Konu dkk, 2002)
menjelaskan bahwa faktor kepribadian seperti internal locus of control, harga diri, dan
kecenderungan mempengaruhi well-being siswa disekolah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan locus of control dengan school well-
being pada SMA Kristen 2 Salatiga, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif antara locus of control dengan school well-being pada siswa di
SMA Kristen 2 Salatiga
2. Sebagian besar subjek termasuk dalam kategori internal locus of control dan
memiliki skor tinggi pada school well-being
3. Sumbangan efektif yang diberikan locus of control terhadap school well-being
sebesar 8%, sedangkan 92% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan
aspirasi, hubungan sosial, peran sosial, serta teman dan waktu luang.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan
hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi siswa
Bagi siswa lebih meningkatkan internal locus of control supaya siswa dapat memiliki
keyakinan bahwa kejadian yang dialami merupakan usaha sendiri, mempunyai
percaya diri, mempunyai kontrol diri, dan dapat membuat keputusan sendiri tanpa
memikirkan adanya nasib, dan keberuntungan.
23
2. Bagi sekolah
Guru dan pihak sekolah agar lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan siswa
di sekolah dengan cara membenahi dan melengkapi fasilitas-fasilitas, pelayanan
sekolah, dan sarana pemenuhan diri siswa yang terbatas sehingga siswa merasa
nyaman berada di sekolah. Selain itu, guru selaku orang tua di sekolah juga
diharapkan untuk tetap mempertahankan budaya interaksi seperti kegiatan diluar
sekolah yang melibatkan antara guru dan siswa dan melakukan pendekatan-
pendekatan pada siswa secara kekeluargaan.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya lebih memperhatikan penyusunan alat ukur
school well-being. Jika hendak mengadaptasi alat ukur asli, bisa lebih difokuskan
pada kondisi/situasi yang hendak diteliti seperti budaya atau kebiasaan yang ada
didalam tempat penelitian yang akan dituju, sehingga hasil penelitian menjadi lebih
baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, C. & Bishop, P. (2012). Middle grades transition programs around the globe
Effective school transition programs take a comprehensive approachto ensuring
student success in the middle grades. Middle School Journal.
April, K. A., Dharani, B., & Peters, K. (2012). Impact of locus of control expectancy
on level of well-being. Review of European Studies, 4(2), 124-137.doi:
10.5539/res.v4n2p124.
Azwar, S. (1999). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar
, S (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bornstein, M. H., Davidson, L., Keyes, C. L, M., Moore, K. A(2003). Well-being:
Positive development across the life course. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum
Associaters, Inc.
Bachrie, S.N. 2009. Hubungan Jenis Sekolah dan Indentifikasi Nilai Moral
Individualisme terhadap Kesadaran Sosial Siswa SMA di Jakarta. Skripsi.
Depok:Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Eccles, J. S., & Midgley, C. (1990). Changes in academic motivation and selfperception
during eary adolescence. In R. Montemayor, G. R. Adams, & T. P. Gullotta,
Form childhood adolescence: A transmission period? (pp. 134-155). California:
Sage Publications.
Hadi, S. (2000). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Konu, A. I., Lintonen, T. P., & Rimpelä, M. K. (2002). Factor structure of the School
Well-being Model. Health Education Research Vol.17.
Konu, A. I., Lintonen, T. P., (2006). School well-being in Grades 4–12. Journal of
Health Education Research Vol. 21 (5), 633–642
Keyes, C. L. M. & Waterman, M. B. (2008). Dimensions of well-being and mental
health in adulthood. Dalam Marc H. Bornstein, dkk. (Ed), Well-Being: Positive
development across the life course. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Knuver A.W.M, & Brandsma H.P., (1993), “Cognitive and affective outcomes in
school effectiveness research”. School effectiveness & School Improvement,
Vol. 4:1993, 189–204
Levenson, H. (1981). Differentiating among internality, powerful others, and chance.
Academy Press, 1, 15- 63.
Lloyd, T., & Hastings, R. P. (2009). Parental locus of control and psychological well-
being in mothers of children with intellectual disability. Journal of Intellectual
& Development Disability, 34(2), 104- 115.
O’Brien, M. (2008). Well-being and post-primary schooling. Dublin: National Council
for Curriculum and Assessment.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development. New York:
McGraw-Hill.
25
Pawestri, L. K. (2016). Hubungan antara peer preasure dengan school well-being pada
siswa SMP Negeri 2 Tuntang. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana
Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of
reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied, 80(1), 1- 28
Santrock, J. W. (2003). Adolescence (6th ed). New York, NY: McGraw-Hill, Inc.
Sugiyono. (2014). Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif,
dan R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta.
Wyn, J., Cahill, H., Holdsworth, R., & Rowling, L., (2000), “MindMatters, a
wholeschool approach promoting mental health and well-being”. Shirley
Carson Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 2000, Vol, 34,
594–601