hubungan locus of control dengan school well-...

34
HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DENGAN SCHOOL WELL- BEING PADA SISWA SMA KRISTEN 2 SALATIGA OLEH APRIANI IMELDA 80 2013 046 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Upload: lamtruc

Post on 19-May-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DENGAN SCHOOL WELL-

BEING PADA SISWA SMA KRISTEN 2 SALATIGA

OLEH

APRIANI IMELDA

80 2013 046

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2017

HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DENGAN SCHOOL WELL-

BEING PADA SISWA SMA KRISTEN 2 SALATIGA

Apriani Imelda

Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2017

i

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan locus of

control dengan school well-being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Subjek penelitian

ini adalah 54 siswa. Pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan menggunakan dua

instrument. Untuk mengukur Locus of control menggunakan alat ukur IPC Locus of

control yang merupakan pengembangan dari alat ukur I-E milik Rotter oleh Levenson

(1981) sedangkan School Well-Being diukur dengan menggunakan skala School Well-

Being oleh Konu dan Rimpelä. Data dianalisa menggunakan uji korelasi product

moment (Pearson). Dari penelitian ini diperoleh koefisien r = 0,283 dengan sig. 0,038 (p

< 0,05). Hal ini menunjukkan ada hubungan positif signifikan Locus of control dengan

School Well-Being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Sumbangan efektif yang

diberikan Locus of control terhadap School Well-Being sebesar 8%, sedangkan 92%

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan aspirasi, hubungan sosial, peran

sosial, serta teman dan waktu luang.

Kata kunci : locus of control, school well-being, siswa menengah atas,

remaja

ii

Abstract

The purpose of this research is to find out whether there is a relationship of locus of

control with school well-being at a Christian high school student 2 Salatiga. The

subject of this research is the 54 students. Quantitative data collection is done using

two instruments. To measure Locus of control using IPC measurement tool Locus of

control which is a development of the measuring instrument I-E owned by Levenson

Rotter (1981) while the School well-being measured using a scale School well-being by

Konu and Rimpelä. Data analysed using the test correlation product moment

(Pearson). From this research obtained coefficients of r = 0.283 with sig. 0.038 (p <

0.05). This shows thereis a significant positive relationship Locus of control with School

Well-Being at a Christian high school student 2 Salatiga. Donation given Locus of

control against the School Well-being by 8%, whereas 92% is affected

by other factors such as a aims and aspirations, social relationships, social roles, as

well as friends and free time.

Keywords :locus of control, school well-being, senior high school, teeneger

1

PENDAHULUAN

Sekolah adalah suatu lembaga yang dirancang khusus untuk siswa memperoleh

pengajaran yang diberikan oleh guru. Sekolah diharapkan dapat melaksanakan

fungsinya secara optimal untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan serta

mengasah keterampilan yang akan digunakan dalam kehidupan selanjutnya di

masyarakat (Holander dalam Bachrie, 2009). Sekolah yang baik adalah sekolah yang

diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa sehingga membuat

siswa-siswanya merasa sejahtera karena kesejahteraan siswa mempengaruhi hampir

seluruh aspek dan fungsi siswa di sekolah (Smith, R. dkk, 2010).

Disamping itu juga, sekolah memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan

kehidupan remaja karena, remaja menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah

(Marin & Brown, 2005). Sekolah juga merupakan tempat belajar formal dilaksanakan

serta pusat kehidupan sosial remaja. Oleh karena itu, siswa remaja perlu merasa

sejahtera ketika berada di sekolah. Selain itu, sekolah juga akan membentuk kepribadian

dan membantu perkembangan sosial individu belajar untuk bersosialisasi, termasuk

didalamnya kepercayaan diri, di sekolah juga individu belajar untuk bersosialisasi

dengan orang lain, terutama dengan teman, guru, dan orang yang ada di lingkungan

sekolah.

Pada masa remaja, sekolah merupakan elemen yang penting dalam proses

perkembangan individu. Pada masa sekarang, pendidikan merupakan aspek yang

penting karena pendidikan menyiapkan remaja dalam pemilihan karir di masa depan

(Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Di Indonesia, anak usia remaja umumnya berada

pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan perkembangan individu dapat berjalan

dengan maksimal jika kondisi anak dalam keadaan nyaman untuk mengikuti proses

2

belajar. Berbagai hal dapat mempengaruhi proses belajar siswa sehingga untuk

mengetahui tingkat kenyamanan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah

maka, sekolah perlu melakukan sebuah penilaian subjektif siswa terhadap sekolahnya.

Konu dan Rimpelä (2002) penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal

ini adalah mengenai fasilitas sekolah, kesempatan yang diberikan sekolah, pelayanan

sekolah, dan jumlah murid di sekolah. Kondisi sekolah yang tidak menyenangkan,

menekan, dan membosankan akan berakibat pada pola siswa yang bereaksi negatif,

seperti stres, bosan, terasingkan, kesepian dan depresi. Kondisi tersebut akan

berdampak pada penilaian individu terhadap sekolahnya. Oleh sebab itu, well-being

pada siswa dapat dilihat dari penilaian mereka terhadap keadaan sekolah mereka sendiri,

bagaimana peran sekolah dalam proses belajar mereka.

Istilah well-being banyak ditemukan di psikologi humanistik dan psikologi

positif. Well-being sering diartikan sebagai sejahtera, para peneliti sering

mengartikannya sebagai sejahtera (Hartanti, 2010) namun tulisan ini menyoroti

kesejahteraan siswa dalam lingkungan sekolah.

Program school well-being menjadi penting diterapkan di sekolah karena siswa

yang sehat merasa bahagia dan sejahtera dalam mengikuti pelajaran di kelas, dapat

secara efektif dan memberi kontribusi positif pada sekolah dan lebih luas lagi pada

komunitas (Konu & Rimpela, 2006). Well-being harus menjadi fungsi pendidikan

utama, dan semua sekolah harus digerakkan untuk memaksimalkan pertumbuhan siswa

dan pendidik. Kesejahteraan pada siswa biasanya ditandai dengan adanya perilaku

positif yang berhubungan dengan baiknya performa akademik siswa, hubungan

interpersonal yang baik, serta tidak adanya masalah perilaku pada siswa seperti

penurunan prestasi, ketidakhadiran di kelas, kurangnya perilaku prososial serta masalah

kesehatan mental siswa.

3

Program WHO ini telah menjadi latar belakang dari terbentuknya konsep model

teoritis yaitu kesejahteraan sekolah (school well-being) yang berdasarkan konsep

kesejahteraan secara sosiologis (Konu & Rimpela, 2002). Model school well-being yang

dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002) melihat kesejahteraan dari sudut pandang

siswa yang terdiri dari empat aspek yaitu having (kondisi sekolah), loving (hubungan

sosial), being (pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Konsep tersebut memiliki

harapan bahwa kesejahteraan sekolah siswa lebih penting, yaitu perasaan siswa dalam

menilai kelayakan sekolah mereka sebagai lingkungan belajar yang mampu

memberikan dukungan, rasa aman, dan nyaman.

Penilaian subjektif siswa tentang sekolah dalam hal ini yaitu tentang pelayanan

dan fasilitas sekolah yang diharapkan mampu menunjang proses pembelajaran di

lingkungan sekolah sangatlah penting, karena dengan adanya dukungan fasilitas sekolah

diharapkan siswa memiliki rasa puas dalam lingkungan belajarnya (Owoeye & Yara,

2011). Penelitian yang dilakukan oleh Konu dan Lintonen (2002) mengungkapkan

kondisi fisik sekolah yang paling perlu ditingkatkan adalah ventilasi, fasilitas toilet, dan

suhu, yang merupakan beberapa indikator dari aspek having yang mempengaruhi

kepuasan siswa.

Selanjutnya penelitian tentang kesejahteraan sekolah yang dilakukan oleh Løhre,

Lydersen dan Vatten (2010) yang ingin mengetahui faktor-faktor yang membentuk

kesejahteraan dan pengaruhnya di sekolah. Subyek penelitian sejumlah 419 siswa terdiri

dari 230 siswa laki-laki dan 189 siswa perempuan dari kelas 1 sampai dengan kelas 10

di Norwegia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sekolah

berhubungan erat dengan kesenangan dalam pekerjaan sekolah dan pada pengalaman

mereka dalam menerima bantuan yang diperlukan dari guru.

4

Penjelasan mengenai school well-being dilakukan melalui studi literatur dengan

menggunakan data-data empiris dari hasil penelitian terdahulu sebagai tempat bagi para

siswa melaksanakan proses pendidikan, sekolah hendaknya memperhatikan hakikatnya

sebagai lingkungan belajar. Lingkungan yang tepat untuk belajar siswa adalah

lingkungan yang dapat memberikan kenyamanan. Peran siswa sebagai subyek

pendidikan dalam sekolah perlu mendapatkan perhatian lebih. Proses pembelajaran

disekolah sebaiknya juga memperhatikan sudut pandang siswa mengenai sekolah.

Karena keberhasilan pendidikan yang diperoleh oleh siswa adalah keberhasilan bagi

sekolah itu sendiri (Allardt dalam Alanen,etal., 2002)

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi school well-being siswa menurut

Keyes dan Waterman (dalam Bornstein, Davidson, Keyes, & Moore, 2003) yaitu

hubungan sosial, teman dan waktu luang, sukarelawan, peran sosial, karakteristik

kepribadian, kontrol diri dan sikap optimis, serta tujuan dan aspirasi. Individu yang

memiliki rasa optimis mampu menyesuaikan diri dengan baik pada situasi tertentu

seperti saat pergi ke sekolah. Dari beberapa faktor tersebut karakteristik kepribadian

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan sekolah yaitu locus of

control.

Konsep locus of control merupakan konsep keyakinan sejauh mana individu

yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins & Judge, 2007).

Locus of control pertama kali dikemukan oleh Julian B Rotter 1996 (dalam Engko dan

Guidono, 2007) dengan mendefinisikan sebagai cara pandang sesorang bahwa dia dapat

mengendalikan atau tidak, sebuah peristiwa yang sedang terjadi.

Rotter (1966) membagi locus of control menjadi dua, yaitu internal locus of

control dan external locus of control. Internal locus of control adalah cara pandang

individu bahwa segala sesuatu yang terjadi berasal dari perilaku mereka sendiri.

5

Sedangkan, external locus of control adalah cara pandang individu bahwa segala

sesuatu yang terjadi pada dirinya bukan berasal dari tindakan mereka sendiri, melainkan

dari tindakan orang lain, nasib, keberuntungan atau kesempatan.

Bakare (2012) menyatakan bahwa individu yang berorientasi pada internal locus

of control memiliki well-being yang lebih tinggi daripada individu yang berorientasi

pada external locus of control. Internal locus of control cenderung dikaitkan dengan

tingginya well-being, dimana siswa dengan well-being memiliki kemampuan mengatasi

stres dan kecemasan (Lloyd & Hastings, 2009). Kemampuan mengatasi stress dan

kecemasan akan membantu siswa menjalani pendidikan dengan baik. Sebaliknya, siswa

yang berorientasi pada external locus of control cenderung dikaitkan dengan rendahnya

well-being, karena siswa tersebut lebih mudah mengalami stress dan kecemasan. Stress

dan kecemasan tersebut dapat menganggu bahkan menghambat keberhasilan siswa

dalam menjalani pendidikan Oleh karena itu, individu tersebut cenderung bergantung

pada faktor kekuatan dari luar dan tidak mengandalkan kemampuan pribadi dalam

menangani konsekuensi perbuatan dan perilaku yang mereka lakukan. (Robbins &

Coulter, 2012).

Phares (1999) menyatakan individu yang berorientasi internal cenderung lebih

percaya diri, berpikir optimis dalam setiap langkahnya. Individu akan cenderug

berusaha secara aktif untuk mencapai tujuan. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk

tindakan sosial, tindakan mencari informasi, pengambilan keputusan secara otonomi

sebaliknya, individu yang berorientasi rendah terhadap internal locus of control, berarti

ia memiliki locus of control external. Masih menurut Phares, individu yang berorientasi

pada external locus of control akan berkeyakinan bahwa peristiwa-peristiwa yang

dialaminya merupakan konsekuensi dari hal-hal diluar dirinya, seperti takidir,

kesempatan, keberuntungan atau orang lain, mereka cenderung lebih malas, karena

6

merasa bahwa usaha apapun yang dilakukan tidak akan menjamin keberhasilan dalam

pencapaian hasi yang diharapkan (Sudaryono,2007)

Selain itu, diketahui bahwa internal locus of control dan external locus of

control sebagai sebuah refleksi konsep keyakinan individu merupakan salah satu

komponen dari well-being (Spector, Cooper, Sanchez 2002). Terdapat banyak teori

yang menonjolkan hubungan antara persepsi individu tentang control (internal dan

external locus of control) dengan well-being. Dengan hal ini, dapat dilihat bahwa

internal locus of control dan external locus of control menjadi salah satu komponen

atau elemen penting dalam melihat well-being dalam diri individu.

Berdasarkan uraian tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah

faktor school well-being memiliki peran terhadap siswa di SMA Kristen 2 Salatiga.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara

locus of control dengan school well-being pada siswa SMA Kristen 2 di Salatiga.

Hipotesa Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara locus of control

dengan school well being pada siswa SMA Kristen 2 Salatiga. Maka ketika individu

memiliki internal locus of control tinggi maka, semakin tinggi juga school well-

beingnya, namun begitu juga sebaliknya apabila individu memiliki external locus of

control tinggi maka semakin rendah school well-beingnya.

7

TINJAUAN PUSTAKA

A. School well-being

1. Pengertian School well-being

Berdasarkan konsep well-being yang dikemukakan Allardt, Konu dan Rimpelä

(2002) kemudian mengembangkan well-being dalam konteks sekolah yang

dinamakan school well-being Dalam kajiannya, Konu dan Rimpelä (2002)

mengembangkan konsep tersebut melalui kajian terhadap berbagai literatur

sosiologis, pendidikan, psikologis, dan peningkatan kesehatan, hingga pada akhirnya

menghasilkan model school well-being. Di dalamnya ditambahkan aspek health

sehingga kebutuhan dasar harus dipenuhi yaitu having, loving, being, dan health.

Konu dan Rimpelä (2002) kemudian mendefiniskan school well-being sebagai

sebuah keadaan sebuah sekolah yang memungkinkan individu memuaskan

kebutuhan dasarnya, yang meliputi having, loving, being, dan health.

2. Aspek-aspek atau dimensi School well-being

a. Having (Kondisi sekolah)

Having (kondisi sekolah) mencakup aspek material dan non-material meliputi

lingkungan fisik, mata pelajaran dan jadwal, hukuman, dan pelayanan di

sekolah (Konu &, Rimpelä 2002).

b. Loving (Hubungan sosial)

Loving (hubungan sosial) merujuk kepada lingkungan pembelajaran sosial,

hubungan antara guru dan murid, hubungan dengan teman sekelas, dinamisasi

kelompok, bullying, kerjasama antara sekolah dan rumah, pengambilan

keputusan disekolah, dan keseluruhan atmosfir sekolah Konu dan Rimpelä

(2002).

8

c. Being (Pemenuhan diri)

Being merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan sosial, misalnya kemungkinan

siswa untuk berkreativitas, penghargaan siswa di sekolah, bimbingan dan

dorongan yang diberikan pada siswa (Konu & Rimpela, 2002).

d. Health (Kesehatan)

Health (status kesehatan) Status siswa ini meliputi aspek fisik dan mental berupa

simtom psikosomatis, penyakit kronis, penyakit ringan (seperti flu), dan

penghayatan akan keadaan diri (Konu & Rimpela, 2002).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi School Well-Being

Beberapa faktor yang mempengaruhi School well-being beradasarkan faktor yang

mempengaruhi well-being dari Keyes &Waterman (2008) antara lain :

a. Hubungan sosial

Hubungan sosial di sekolah dan di rumah yang dimiliki remaja mempengaruhi

well-being yang dimiliki oleh remaja.

b. Teman dan waktu luang

Bahwa individu yang mendapatkan dukungan dari teman akan lebih merasakan

kebahagiaan. Bahwa teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan

rasa saling memiliki yang penting dibutuhkan dalam situasi sekolah

c. Menjadi sukarelawan

Siswa sekolah, pencapaian serta penghargaan terhadap prestasi yang dimiliki

dapat meningkatkan kepuasan mereka terhadap kehidupan sekolah yang dijalani.

d. Peran sosial

Remaja memiliki kebutuhan untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya

dalam masyarakat. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat bagi siswa

untuk menjalani peran sosial melalui kegiatan-kegiatan yang ada.

9

e. Karakteristik Kepribadian

Tingkat sejauh mana seseorang mengharapkan bahwa penguatan atau hasil dari

perilaku mereka tergantung pada penilaian mereka sendiri atau karakteristik

kepribadan

f. Kontrol diri dan sikap optimis

Optimisme secara positif berkorelasi dengan kesehatan seseorang. Optimisme

juga memiliki korelasi yang kuat dengan kepuasan hidup.

g. Tujuan dan aspirasi

Komitmen individu untuk mengatur tujuannya akan membantunya memahami nya

untuk membantu masalah. Jika individu percaya bahwa tujuan mereka penting

maka individu tersebut memiliki level kesejahteraan yang tinggi dengan tujuan

untuk meningkatkan level kesejahteraan remaja dengan memfokuskan masa

depan.

B. Locus of control

1. Pengertian Locus of Control

Pada mulanya Rotter, melihat locus of control sebagai hal yang bersifat

undimensional (internal dan eksternal), namun pada tahun 1973, Levenson

mengembangkan konsep locus of control dari Rotter dan membaginya menjadi 3

dimensi independen, yaitu : internalisasi (internality), powerfull otehers dan

chance. Menurut model Levenson, seseorang dapat memunculkan masing-masing

dimensi locus of control secara independen dalam waktu yang sama (Zawawi, J.

A,. Shaher, H.H 2009).

10

Internal locus of control

Ketika individu memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas

konsekuensi perilaku mereka, mereka adalah individu yang memiliki konsep

internal locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu yang berorientasi

pada internal locus of control adalah individu yang percaya bahwa mereka dapat

mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka (Robbins & Judge, 2012), nasib dan

tujuan hidup mereka sendiri (Robbins & Coulter), serta kejadian dan konsekuensi

yang berdampak pada kehidupan mereka (Kreitner & Kinicki, 1995). Oleh karena

itu, internal locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang

mengontrol dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam

kehidupan adalah diri sendiri.

External Locus of Control

Ketika individu menafsirkan bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku

mereka tersebut dikontrol oleh keberuntungan, nasib, atau kekuatan orang lain,

individu tersebut memiliki memiliki konsep external locus of control (Rotter,

1966). Di samping itu, individu dengan orientasi keyakinan external locus of

control merupakan individu yang percaya bahwa apa yang terjadi pada diri

mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (Robbins & Judge, 2007

dan Robbins & Coulter, 2012). Oleh karena itu, external locus of control

merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab

terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah keberuntungan,

kesempatan, nasib atau kekuatan orang lain. Setelah itu, Levenson (1981)

mengembangkan dimensi locus of control yang telah dinyatakan oleh Rotter

(1981), yaitu:

11

a. Internality (I)

Internality (I) ditandai dengan keyakinan bahwa peristiwa yang mereka alami

terutama dikendalikan oleh kemampuan dan usaha mereka sendiri. Internality

merupakan dimensi yang menyatakan Internal locus of control.

b. Powerful Others (P)

Powerful others merupakan kecenderungan individu berperilaku dan berpikir

bahwa ada orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa dalam

mengontrol kehidupan dirinya. Powerful others merupakan dimensi yang

menyatakan external locus of control.

c. Chance (C)

Chance merupakan fokus individu pada persepsi individu mengenai suatu kendali

yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Chance

merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control.

C. Remaja (siswa SMA)

Masa remaja merupakan transisi dari perkembangan masa anak-anak yang akan

menuju pada kematangan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan

fisik, kognitif dan sosisal emosional (Santrock, 2003). Bagi siswa SMA yang sudah

memasuki masa remaja sudah mampu untuk memilih serta menilai berbagai hal

termasuk menilai sekolah tempatnya belajar. Ketakutan akan berubahnya

pandangan orang lain tentang penilaian yang diberikan oleh sekolah serta ketakutan

akan kurangnya animo masyarakat sehingga tidak lagi mempercayakan pendidikan

putra-putrinya untuk memperoleh pendidikan di sekolah tersebut perlu

mendapatkan perbaikan. Pandangan tersebut perlu diluruskan sebab jika sekolah

masih memiliki ketakutan akan penilaian siswa terhadap sekolah, maka

ketercapaian tujuan pendidikan tidak akan pernah benar-benar dapat dicapai.

12

METODE PENELITAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Menurut

Azwar (2012) pada pendekatan penelitian kuantitatif, data penelitian hanya akan

dapat diinterpretasikan dengan lebih objektif apabila diperoleh melalui suatu proses

pengukuran, di samping valid dan reliabel, juga objektif. Variabel-variabel yang akan

dilibatkan dalam penelitian ini adalah:

a. Variabel X : Locus of control

b. Variabel Y : School Well-Being

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah sseluruh siswa SMA Kristen 2 Salatiga

yang berjumlah 56 siswa. Namun pada saat penelitian dilaksanakan siswa yang

hadir pada saat itu hanya 54 siswa. Pengambilan sampel pada penelitian ini

menggunakan teknik “Sampel Jenuh” atau “Sampling Jenuh” teknik pengumpulan

sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering

dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30 orang atau penelitian

yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Berdasarkan

teori diatas maka dalam penelitian ini, semua jumlah populasi siswa yang berada di

SMA Kristen 2 Salatiga dijadikan sampel, yaitu sebanyak 54 siswa

Tabel 1

Populasi Penelitian No Kelas Jumlah

1 XI-IPA 5 orang

2 XI-IPS 12 orang

3 XII-IPA 6 orang

4 XII-IPS 7 orang

5 X 26 orang

Jumlah Populasi 56 orang

13

C. Alat Ukur Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut

psikologis (Azwar, 1999). Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

Skala Locus of control dan skala School well-being.

1. Skala Locus of control

Untuk mengukur Locus of control penulis menggunakan skala IPC LOC yang

disusun oleh Levenson (1981). Skala ini merupakan modifikasi dari skala IE LOC

milik Rotter (1966). Pada skala ini terdapat 3 dimensi, yaitu I (internalitiy), P

(powerful others) dan C (chance). Internality digunakan untuk mengukur internal

locus of control, sedangkan powerful others dan chance digunakan untuk mengukur

external locus of control. Setiap dimensi diwakili oleh 8 aitem dengan jumlah aitem

pada skala ini adalah 24 aitem dengan pilihan jawaban Sangat tidak sesuai (STS)

dengan nilai 6, Tidak sesuai (TS) dengan nilai 5, Agak tidak sesuai (ATS) dengan

nilai 4, Agak sesuai (AS) dengan nilai 3, Sesuai (S) dengan nilai 2, dan Sangat sesuai

(SS) dengan nilai 3 dan sebalikya pada aitem unfavorable Penilaian skala ini adalah

semakin tinggi skor yang diperolah, maka internalnya semakin tinggi. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka externalnya semakin rendah.

Pada skala ini aitem gugut sebanyak 8 aitem sehingga menyisahkan 16 aitem dengan

total correlation bergerak antara 0, 254 sampai 0,614 dengan alfa cronbach sebesar

0,812.

14

Tabel 2

Sebaran Nomor Aitem Valid dan gugur Skala locus of control

No Dimensi

Indikator

Nomor Aitem Jumlah

Aitem Valid Fav Unfav

1.

Internality

Menekankan pada kemampuan

diri

1, 4, 9

21, 23* -

7

Memiliki kepercayaan diri 5, 18, 19 -

2 Powerfull

others Bergantung pada orang lain

3, 8*, 11,

13*, 15*,

22,

3

Tidak percaya diri 17, 20 2

3 Chance

Bergantung dan percaya pada

nasib, keberuntungan dan

kebetulan

2, 6,

7*,10,12*

, 14*,

16*, 24

4

Total 16

*(aitem yang gugur)

2. Skala School well being

Pada penelitian kali ini alat ukur dari school well-being yang digunakan adalah

alat ukur yang dikembangkan oleh Ahmad (2011) yang kemudian dimodifikasi

berdasarkan alat ukur school well-being yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpelä

(2002). Alat ukur ini terdiri dari empat dimensi, yaitu having, loving, being dan

health dengan total aitem sebanyak 44 aitem dengan empat pilihan jawaban yaitu,

Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (SS). Sistem

penilaian pada skala ini, aitem favorable diberi nilai 4 untuk Sangat Sesuai (SS), nilai

3 untuk Sesuai (S), nilai 2 untuk Tidak Sesuai (TS) dan nilai 1 untuk Sangat Tidak

Sesuai (STS). Sedangkan untuk aitem unfavorable adalah kebalikannya nilai 1 untuk

Sangat Sesuai (SS), nilai 2 untuk Sesuai (S), nilai 3 untuk Tidak Sesuai (TS) dan

nilai 4 untuk Sangat Tidak Sesuai (STS). Alat ukur ini telah melalui dua kali uji coba

sehingga memenuhi kualifikasi sebagai alat ukur yang baik, seperti koefisien

validitas dan reliabilitas yang sesuai standar. Hasil uji seleksi item dan reliabilitas

15

penentuan-penentuan aitem valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2010) yang

menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥ 0,25

dan menunjukkan bahwa ada 18 aitem yang gugur melalui 3 kali pengujian.

Pengujian tersebut menyisakan aitem sebanyak 26 dengan item total correlation

bergerak antara 0,438 sampai 0,725. Hasil uji reliabilitas dengan alpha Cronbach's

sebesar 0,889

Tabel 3

Sebaran Nomor Aitem Valid dan Gugur Skala School well being

*(aitem yang gugur)

No Dimensi

Indikator

Nomor Aitem Jumlah

Aitem

Valid Fav Unfav

1 Having

Siswa merasa lingkungan fisik di

sekolahnya bersih dan nyaman 1, 28* 2, 24

7 Siswa menilai lingkungan

pembelajaran yang disediakan

sekolah sesuai dan tepat

3*, 30 4*, 29*

Siswa merasa puas dengan

pelayanan sekolah yang telah

disediakan

5, 33 6, 31*

2 Loving

Siswa merasakan iklim sekolah

yang positif 7*, 32 8

9

Siswa terlibat dalam kelompok

belajar 9*, 43 10

Siswa mampu menjalin hubungan

yang baik dengan guru 11*,35* 12

Siswa mampu berinteraksi dengan

teman sebaya di sekolah 13*, 41 14*

Sekolah memiliki hubungan yang

baik dengan pihak keluarga siswa 15, 37 16

3 Being

Siswa mendapatkan penghargaan

terhadap hasil kerja atau

kreativitasnya

17*, 38 18*

6

Siswa mendapatkan bimbingan

atau dorongan yang diberikan guru 19*, 39 20

Siswa memiliki kesempatan untuk

mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan berdasarkan minat

siswa

21, 42 22

4 Health

Siswa merasa sehat secara fisik

selama di sekolah 23*, 40* 26, 34

4 Siswa merasa sehat secara psikis

selama di sekolah 25, 44 27*, 36*

Total 26

16

HASIL PENELITIAN

Uji Asumsi

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui

ada atau tidaknya korelasi locus of control dan school well-being pada siswa di SMA

Kristen 2 Salatiga. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti harus melakukan

uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis staristik parametik atau non-

parametik yang akan digunakan untuk uji korelasi.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan

skala locus of control (K-S-Z = 12,40 p = 0,092 p > 0,05), dan skala school well-

being (K-S-Z = 0,933 p = 0,349 p > 0,05). Hasil ini menunjukkan data locus of

control internal dan external, serta school well-being berdistribusi normal,

ditunjukkan pada tabel 4

Tabel 4

Uji normalitas locus of control dengan school well-being.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Loc swb

N 54 54

Normal Parametersa Mean 45.06 68.63

Std. Deviation 10.766 9.361

Most Extreme Differences Absolute .169 .127

Positive .169 .127

Negative -.131 -.090

Kolmogorov-Smirnov Z 1.240 .933

Asymp. Sig. (2-tailed) .092 .349

a. Test distribution is Normal.

17

2. Uji Linieritas

Hasil uji linieritas menujukkan adanya hubungan yang linear antara locus of

control dengan school-well being dengan deviation from linearity sebesar F = 0,560 p =

0, 927 p > 0,05). Ditunjukkan pada tabel 5

Tabel 5

Uji Linear Locus of control dengan School well-being

ANOVA Table

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

swb * loc Between Groups (Combined) 1905.593 27 70.578 .670 .846

Linearity 371.235 1 371.235 3.524 .072

Deviation from

Linearity 1534.357 26 59.014 .560 .927

Within Groups 2739.000 26 105.346

Total 4644.593 53

Analisis Deskriptif

Tabel 7 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel.

Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 4 kategori mulai dari sangat

rendah, rendah, tinggi dan sangat tinggi. Interval skor untuk setiap kategori ditentukan

dengan menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000)

Tabel 6

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Loc 54 33 80 45.06 10.766

Swb 54 36 87 68.63 9.361

Valid N (listwise) 54

18

Tabel 7

Kategori Skor locus of control

Berdasarkan Tabel menunjukkan bahwa locus of control berada pada kategori

internal dengan mean sebesar 45,06. Sebanyak 33 siswa yang menjadi subjek penelitian

memiliki skor internal locus of control dengan prosentase 61% sedangkan pada kategori

external locus of control sebanyak 21 siswa yang memiliki skor external locus of

control dengan prosentase 39% Jumlah skor minimum yang diperoleh subjek adalah 33

dan skor maksimum adalah 80 dengan standar deviasi 10.766

Tabel 8.

Kategori Skor School well-being

No Interval

Kategorisasi Mean F %

1 26 ≤ × < 45,5 Sangat rendah 1 2%

2 45,5 ≤ × < 65 Rendah 13 24%

3 65 ≤ × < 84,5 Tinggi 68,63 35 65%

4 84,5≤ ×≤ 104 Sangat tinggi 5 9%

Jumlah 54 100%

Berdasarkan Tabel menunjukkan bahwa skor school well-being berada pada

kategori tinggi dengan mean sebesar 68,63. Sebanyak 35 siswa yang menjadi subjek

penelitian memiliki skor school well-being yang berada pada kategori tinggi dengan

prosentase 65%. 5 siswa berada pada kategori sangat tinggi dengan prosentase 9%, 13

siswa berada pada kategori rendah dengan prosentase 24% dan 1 siswa berada pada

No Interval Kategorisasi Mean F %

1 16≤ × < 40 External locus of

control

21 39%

2 40 ≤ ×≤ 96 Internal locus of

control

45,06 33 61%

Jumlah 100%

19

kategori sangat rendah dengan prosentase 2%. Jumlah skor minimum yang diperoleh

adalah 36 sedangkan skor maksimumnya adalah 87 dengan standar deviasi 9,361

Uji korelasi

Dari hasil uji asumsi yang menunjukkan bahwa data yang diperoleh berdistribusi

normal dan variabel-variabel penelitian linear, maka dalam penelitian ini

menggunakan uji korelasi statistik parametik. Uji korelasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah korelasi Pearson.

Tabel 9

Uji Korelasi locus of control dengan School Well-Being

Berdasarkan hasil pengujian uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara

locus of control dengan school well-being sebesar 0,283 dengan sig = 0,038 (p = < 0,05)

yang berarti ada hubungan yang positif signifikan antara locus of control dengan school

well-being.

Correlations

Loc swb

Loc Pearson Correlation 1 .283*

Sig. (2-tailed) .038

N 54 54

Swb Pearson Correlation .283* 1

Sig. (2-tailed) .038

N 54 54

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

20

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian uji korelasi Pearson menunjukkan koefisien

korelasi (r) = 0,283 dengan sig = 0,038 (p = < 0,05) yang berarti ada hubungan yang

positif signifikan antara locus of control dengan school well-being pada siswa SMA

Kristen 2 salatiga. Hal ini menunjukkan bahwa ketika individu memiliki individu

memiliki internal locus of control tinggi maka, semakin tinggi juga school well-

beingnya, namun begitu juga sebaliknya apabila individu memiliki external locus of

control tinggi maka semakin rendah school well-beingnya.

Korelasi signifikan antara Locus of control dengan school well-being pada siswa

SMA Kristen 2 Salatiga. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

Bakare (2012) menyatakan bahwa individu yang berorientasi pada internal locus of

control memiliki well-being yang lebih tinggi dibanding dengan individu yang

berorientasi pada external locus of control.

Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control akan cenderung

memiliki well-being yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang memiliki orientasi

pada external locus of control cenderung sulit untuk memiliki well-being. Lloyd dan

Hastings (2009) menambahkan pula bahwa semakin internal locus of control tersebut,

semakin tinggi pula well-being pada individu terkait, begitu pula sebaliknya. Seperti

yang kita ketahui bahwa seringkali kebahagiaan dan kepuasan muncul saat individu

mengalami keberhasilan atau mampu mendapatkan apa yang diinginkan. Individu akan

merasa lebih bahagia dan puas ketika mengetahui bahwa dirinya sendiri yang berperan

penting dalam keberhasilan tersebut. Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya

yang memegang peranan penting dalam kehidupan merupakan individu yang

berorientasi pada internal locus of control. Kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan

individu ini tentu akan lebih tinggi dibanding individu yang berorientasi pada external

21

locus of control, sebab mereka merasa bahwa keberhasilan tersebut hanyalah pemberian

orang lain atau karena suatu keberuntungan.

Rerata siswa SMA Kristen 2 Salatiga memiliki tingkat locus of control pada

kategori tinggi internal locus of control dan pada school well-being berada pada

kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji korelasi adapun sumbangan efektif yang diberikan

locus of control terhadap school well-being sebesar sebesar 8%, sedangkan 92%

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan aspirasi, hubungan sosial, peran

sosial, serta teman dan waktu luang.

School well-being atau kesejahteraan diartikan sebagai sebuah pemenuhan

kepuasan individu pada kebutuhan dasarnya selama berada di lingkungan sekolah

(Konu dan Rimpelӓ, 2002, h. 82). School well-being pada siswa merupakan kehidupan

emosional yang positif yang dihasilkan dari keselarasan antara faktor lingkungan,

kebutuhan pribadi, dan harapan siswa di sekolah (Engels, Aelterman, Petergem, dan

Schepens, 2004, dalam O’Brien, 2008). Kebutuhan dasar siswa yang beragam seperti

tersedianya kondisi dan keadaan sekolah yang bersih serta nyaman, interaksi sosial

siswa dengan seluruh elemen sekolah yang kondusif, adanya kesempatan bagi siswa

untuk berprestasi, serta keadaan kesehatan siswa selama berada di sekolah merupakan

aspek-aspek yang mempengaruhi hasil penelitian ini.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif mengenai kategorisasi school well-being

siswa SMA Kristen 2 Salatiga diketahui bahwa terdapat 1 siswa yang memiliki school

well-being yang sangat rendah ditunjukkan dengan nilai 2% (1 orang), 24% (13 orang)

yang tergolong rendah, 65% (35 orang) yang tergolong tinggi, 9% (5 orang) yang

tergolong sangat tinggi. Jumlah dan presentasi terbanyak menempati kategori sangat

tinggi. Hasil deskriptif kategorisasi skala locus of control siswa tergolong pada internal

locus of control dibandingkan dengan external locus of control. Sebanyak 33 siswa

22

tergolong pada internal locus of control, sedangkan pada kategori external locus of

control sebanyak 21 siswa yang tergolong pada external locus of control.

Dengan hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hueber (dalam Konu dkk, 2002)

menjelaskan bahwa faktor kepribadian seperti internal locus of control, harga diri, dan

kecenderungan mempengaruhi well-being siswa disekolah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan locus of control dengan school well-

being pada SMA Kristen 2 Salatiga, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif antara locus of control dengan school well-being pada siswa di

SMA Kristen 2 Salatiga

2. Sebagian besar subjek termasuk dalam kategori internal locus of control dan

memiliki skor tinggi pada school well-being

3. Sumbangan efektif yang diberikan locus of control terhadap school well-being

sebesar 8%, sedangkan 92% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti tujuan dan

aspirasi, hubungan sosial, peran sosial, serta teman dan waktu luang.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan

hal-hal sebagai berikut:

1. Bagi siswa

Bagi siswa lebih meningkatkan internal locus of control supaya siswa dapat memiliki

keyakinan bahwa kejadian yang dialami merupakan usaha sendiri, mempunyai

percaya diri, mempunyai kontrol diri, dan dapat membuat keputusan sendiri tanpa

memikirkan adanya nasib, dan keberuntungan.

23

2. Bagi sekolah

Guru dan pihak sekolah agar lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan siswa

di sekolah dengan cara membenahi dan melengkapi fasilitas-fasilitas, pelayanan

sekolah, dan sarana pemenuhan diri siswa yang terbatas sehingga siswa merasa

nyaman berada di sekolah. Selain itu, guru selaku orang tua di sekolah juga

diharapkan untuk tetap mempertahankan budaya interaksi seperti kegiatan diluar

sekolah yang melibatkan antara guru dan siswa dan melakukan pendekatan-

pendekatan pada siswa secara kekeluargaan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya lebih memperhatikan penyusunan alat ukur

school well-being. Jika hendak mengadaptasi alat ukur asli, bisa lebih difokuskan

pada kondisi/situasi yang hendak diteliti seperti budaya atau kebiasaan yang ada

didalam tempat penelitian yang akan dituju, sehingga hasil penelitian menjadi lebih

baik.

24

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, C. & Bishop, P. (2012). Middle grades transition programs around the globe

Effective school transition programs take a comprehensive approachto ensuring

student success in the middle grades. Middle School Journal.

April, K. A., Dharani, B., & Peters, K. (2012). Impact of locus of control expectancy

on level of well-being. Review of European Studies, 4(2), 124-137.doi:

10.5539/res.v4n2p124.

Azwar, S. (1999). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar

, S (2012). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bornstein, M. H., Davidson, L., Keyes, C. L, M., Moore, K. A(2003). Well-being:

Positive development across the life course. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum

Associaters, Inc.

Bachrie, S.N. 2009. Hubungan Jenis Sekolah dan Indentifikasi Nilai Moral

Individualisme terhadap Kesadaran Sosial Siswa SMA di Jakarta. Skripsi.

Depok:Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Eccles, J. S., & Midgley, C. (1990). Changes in academic motivation and selfperception

during eary adolescence. In R. Montemayor, G. R. Adams, & T. P. Gullotta,

Form childhood adolescence: A transmission period? (pp. 134-155). California:

Sage Publications.

Hadi, S. (2000). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Konu, A. I., Lintonen, T. P., & Rimpelä, M. K. (2002). Factor structure of the School

Well-being Model. Health Education Research Vol.17.

Konu, A. I., Lintonen, T. P., (2006). School well-being in Grades 4–12. Journal of

Health Education Research Vol. 21 (5), 633–642

Keyes, C. L. M. & Waterman, M. B. (2008). Dimensions of well-being and mental

health in adulthood. Dalam Marc H. Bornstein, dkk. (Ed), Well-Being: Positive

development across the life course. New Jersey, NJ: Lawrence Erlbaum

Associates, Inc.

Knuver A.W.M, & Brandsma H.P., (1993), “Cognitive and affective outcomes in

school effectiveness research”. School effectiveness & School Improvement,

Vol. 4:1993, 189–204

Levenson, H. (1981). Differentiating among internality, powerful others, and chance.

Academy Press, 1, 15- 63.

Lloyd, T., & Hastings, R. P. (2009). Parental locus of control and psychological well-

being in mothers of children with intellectual disability. Journal of Intellectual

& Development Disability, 34(2), 104- 115.

O’Brien, M. (2008). Well-being and post-primary schooling. Dublin: National Council

for Curriculum and Assessment.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development. New York:

McGraw-Hill.

25

Pawestri, L. K. (2016). Hubungan antara peer preasure dengan school well-being pada

siswa SMP Negeri 2 Tuntang. Skripsi. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Satya Wacana

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of

reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied, 80(1), 1- 28

Santrock, J. W. (2003). Adolescence (6th ed). New York, NY: McGraw-Hill, Inc.

Sugiyono. (2014). Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif,

dan R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta.

Wyn, J., Cahill, H., Holdsworth, R., & Rowling, L., (2000), “MindMatters, a

wholeschool approach promoting mental health and well-being”. Shirley

Carson Australian and New Zealand Journal of Psychiatry, 2000, Vol, 34,

594–601