hubungan kandungan protein dari gen esr1 … · under the direction of hasim and arief budi...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KANDUNGAN PROTEIN DARI GEN
ESR1 DENGAN ORGANOGENESIS 16 VARIETAS
LOKAL TEMBAKAU (Nicotiana tabacum L.)
CHANDRA RISDIAN
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
CHANDRA RISDIAN. Hubungan Kandungan Protein dari Gen ESR1 dengan
Organogenesis 16 Varietas Lokal Tembakau (Nicotiana tabacum L.). Dibimbing
oleh HASIM dan ARIEF BUDI WITARTO.
Studi tentang potensi organogenesis tembakau (Nicotiana tabacum L.) dan
hubungannya dengan kandungan protein dari gen ESR1 (Enhancer of Shoot
Regeneration 1) telah dilakukan. Potensi organogenesis ditentukan dari persentase
cakram daun yang dapat tumbuh tunas, persentase luas area permukaan yang
tumbuh tunas tiap cakram daun, dan jumlah tunas tiap cakram daun. Enam belas
varietas tembakau lokal telah dibuat cakram daun dan ditanam dalam media
induksi tunas (MS + BAP 1 ppm + NAA 0.1 ppm). Setelah 7 minggu hasilnya
menunjukkan bahwa dari tiap cakram daun dari 16 varietas tersebut semuanya
dapat tumbuh tunas (100%) dengan jumlah tunas rataan yang bervariasi. Varietas
Gewol Setiyeng menghasilkan persentase luas area permukaan yang tumbuh tunas
paling tinggi (92 %) sedangkan varietas Cetok menghasilkan persentase luas area
permukaan yang tumbuh tunas paling rendah (56 %). Varietas Gewol Setiyeng
juga tergolong dengan jumlah tunas tertinggi (43 tunas) sebaliknya varietas Deli
terendah (25 tunas). Hubungan antara persentase luas area permukaan yang
tumbuh tunas dengan jumlah tunas adalah linear dengan nilai R2
= 0.4423. Pita
protein terduga dari gen ESR1 sedikit lebih tebal pada varietas Gewol Setiyeng.
ABSTRACT
CHANDRA RISDIAN. The Relation Between Content of Protein from ESR1
Gene and Organogenesis 16 Varieties of Local Tobacco (Nicotiana tabacum L.).
Under the direction of HASIM and ARIEF BUDI WITARTO.
Study about potential of organogenesis in tobacco (Nicotiana tabacum L.)
and its relation with contents of protein from gene ESR1 (Enhancer of Shoot
Regeneration 1) had been done. Potential of organogenesis was determined by
percentage of leaf discs producing shoots, percentage of surface area producing
shoots per leaf disc, and amount of shoots per leaf disc. Sixteen varieties of local
tobacco had been made to leaf discs and had been cultivated on shoot induction
medium (MS + BAP 1 ppm + NAA 0.1 ppm). After 7 weeks the result showed
that all of leaf discs from 16 varieties could produce shoots (100%) with various
average amounts of shoots. Gewol Setiyeng variety is the best in percentage of
surface area producing shoots per leaf disc (92%) meanwhile Cetok variety is the
lowest (56 %). Gewol Setiyeng variety is also the greatest amount in shoots
production per leaf disc (43 shoots) in the contrary variety Deli was the smallest
(25 shoots). Correlation between percentage of surface area producing shoots and
amount of shoots per leaf disc are linear with R2 = 0.4423. Protein putative band
from ESR1 gene expression in Gewol Setiyeng variety is rather thicker than Deli
variety.
HUBUNGAN KANDUNGAN PROTEIN DARI GEN
ESR1 DENGAN ORGANOGENESIS 16 VARIETAS
LOKAL TEMBAKAU (Nicotiana tabacum L.)
CHANDRA RISDIAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Skripsi : Hubungan Kandungan Protein dari Gen ESR1 dengan
Organogenesis 16 Varietas Lokal Tembakau
(Nicotiana tabacum L.)
Nama : Chandra Risdian
NIM : G44102011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. Hasim, DEA Dr. Arief BudiWitarto, M.Eng
Ketua Anggota
Diketahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis alamatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan shalawat serta salam tak
lupa kepada Rasulullah Muhammad SAW. Penulis sangat bersyukur sekali dapat
menyelasaikan karya ilmiah ini, yang berjudul Hubungan Kandungan Protein dari
Gen ESR1 dengan Organogenesis 16 Varietas Lokal Tembakau (Nicotiana
tabacum L.).
Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kelompok
Penelitian Rekayasa Protein-LIPI, Cibinong, yang telah mengeluarkan dana untuk
penelitian ini, Dr. drh. Hasim, DEA. dan Dr.Arief Budi Witarto, M.Eng. sebagai
pembimbing, Desriani S.Si, M.Si yang telah banyak membantu penulis selama
mengejakan penelitian kultur jaringan tanaman serta karya tulis ini, Suwarti S.TP
yang telah membantu penulis dalam hal teknis pekerjaan analisis protein, ayah
dan ibu yang selalu memberikan semangat serta do’anya, Yulfan, Febri,
Bambang, Aris, Nanda, Firdaus, Anang, dan Aqwin yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penelitian, analisis data serta menyelesaikan karya tulis ini.
Akhir kata, penulis sangat berharap bahwa penelitian ini dapat
memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Tak
ada gading yang tak retak, penulis yakin di dalam karya tulis ini masih terdapat
kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
diharapkan.
Bogor, Januari 2007
Chandra Risdian
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Nopember 1984 dari ayah
Yudiswan dan ibu Sumarni. Penulis merupakan putra pertama dari empat
bersaudara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bekasi dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Kimia
Dasar II pada tahun ajaran 2003/2004, serta mata kuliah Biologi Dasar pada tahun
ajaran yang sama. Pada tahun 2006 penulis menerima penghargaan Indonesia
Sampoerna Best Student 2006, serta dipilih menjadi mahasiswa berprestasi
Departemen Biokimia dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
TINJAUAN PUSTAKA
Molecular farming ............................................................................... 1
Tanaman Tembakau ............................................................................. 2
Kultur Jaringan Tanaman ..................................................................... 3
Induksi Tunas ....................................................................................... 3
Potensi Organogenesis Tembakau ........................................................ 5
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ..................................................................................... 6
Metode ...............................................................................................
.............................................................................................................. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
JumlahTunas, Persentase Cakram Daun Yang Tumbuh Tunas dan
Persentase Area Permukaan Cakram Daun Tumbuh Tunas ................... 8
Analisis Protein Cakram Daun .............................................................. 11
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14
LAMPIRAN ................................................................................................. 16
DAFTAR TABEL Halaman
1 Protein-protein rekombinan bernilai tinggi yang dihasilkan tembakau dalam
usaha molecular farming ............................................................................... 2
2 Tembakau koleksi Laboratorium Rekayasa Protein-LIPI ............................. 6
3 Jumlah tunas dan persentase cakram daun yang tumbuh tunas dari 16
varietas lokal tembakau setelah 7 minggu ...................................................... 9
4 Data persentase luas area cakram daun tumbuh tunas dari 16 varietas lokal
setelah 7 minggu waktu inkubasi .................................................................... 11
5 Kelompok Duncan berdasarkan rataan jumlah tunas tiap cakram daun
yang terbentuk ................................................................................................. 12
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Mekanisme sinyal hormonal pada tanaman .................................................. 4
2 Macam-macam sitokinin ............................................................................. 4
3 Macam-macam auksin ................................................................................. 4
4 Reseptor sitokinin CRE1 .............................................................................. 4
5 Reseptor auksin ABP1 .................................................................................. 5
6 Grafik hubungan eksponensial antara jumlah tunas tiap eksplan daun
dengan persentase eksplan daun yang tumbuh tunas .................................... 5
7 Grafik hubungan eksponensial antara jumlah tunas yang tumbuh
dengan persentase luas area eksplan daun yang tumbuh tunas ..................... 5
8 Grafik hubungan antara jumlah tunas dengan persentase cakram daun
yang tumbuh tunas (%) ............................................................................... 10
9 Perbandingan tunas yang terbentuk antara varietas Gewol Setiyeng dengan
varietas Deli .............................................................................................. 10
10 Grafik hubungan antara jumlah tunas yang tumbuh dengan persentase luas
area eksplan daun yang tumbuh tunas ........................................................... 10
11 Perkembangan cakram daun tembakau ...................................................... 12
12 Elektroforegram total protein pada cakram daun ........................................ 13
13 Elektroforegram total protein cakram daun setelah sampel minggu I
diencerkan ................................................................................................. 13
14 Perbandingan pita protein terduga dari gen ESR1 pada varietas Gewol
Setiyeng dengan varietas Deli .................................................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Komposisi larutan stok Media MS .............................................................. 17
2 Tahap-tahap kerja penelitian ....................................................................... 18
3 Tahap-tahap ekstraksi dan analisis protein .................................................. 19
4 Larutan stok SDS-PAGE ............................................................................ 20
5 Komposisi gel akrilamid 10% ..................................................................... 21
6 Data hasil uji RAL ANOVA ....................................................................... 22
7 Data hasil uji Duncan ................................................................................. 23
8 Kurva protein standar SDS PAGE ulangan I ............................................... 24
9 Kurva protein standar SDS PAGE ulangan II ............................................. 25
10 Data jumlah tunas dari 16 varietas lokal tembakau ..................................... 26
PENDAHULUAN
Tembakau merupakan salah satu
tanaman komoditi di Indonesia. Tanaman ini
digunakan sebagai bahan baku pembuatan
rokok. Jenis tembakau di Indonesia antara lain
adalah tembakau deli, dan tembakau
temanggung. Perkembangan ilmu
pengetahuan menyebabkan tembakau bisa
dijadikan sarana untuk usaha molecular
farming di Indonesia.
Molecular farming adalah usaha
produksi protein rekombinan bernilai tinggi
pada tanaman. Kegiatan ini meliputi
penyisipan gen asing ke genom tanaman
(seperti gen penyandi serum albumin
manusia). Hasilnya kemudian dinamakan
tanaman transgenik (Niesing 2001). Dengan
molecular farming ini, tanaman tembakau bisa
direkayasa menjadi tanaman yang bernilai
tinggi karena mampu memproduksi protein-
protein bagi manusia.
Tembakau memiliki beberapa
kelebihan sehingga bisa dijadikan objek dalam
usaha molecular farming, yakni meliputi
sistem ekspresi tingkat tinggi untuk protein
asing, produksi biomassanya tinggi dan
merupakan tanaman nonpangan (Giddings et
al. 2000, Daniell et al. 2001, Maliga 2003).
Organogenesis tunas tembakau dari
eksplan daun adalah sistem regenerasi yang
sangat efektif yang digunakan untuk
transformasi tanaman (Horsch et al. 1985,
Svab & Maliga 1993).
Pembuatan tembakau transgenik
lokal memerlukan beberapa tahap, salah
satunya adalah mencari varietas bermutu baik
untuk ditransformasi. Parameter yang dilihat
diantaranya adalah respon menumbuhkan
tunas organogenesis meliputi persentase
bahan atau eksplan daun yang dapat
menumbuhkan tunas organogenesis,
persentase luas area permukaan yang dapat
menumbuhkan tunas tiap eksplan, serta
kemampuan untuk menumbuhkan tunas yang
banyak apabila diberi perlakuan oleh zat
penginduksi pertumbuhan tunas
organogenesis. Belum adanya informasi
penelitian yang melihat potensi organogenesis
dari tembakau varietas lokal menyebabkan
dilakukannya penelitan ini.
Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui potensi organogenesis tembakau
lokal berdasarkan kemampuan membentuk
tunas, serta membandingkan hasil analisis
kandungan protein dari gen ESR1 yang
merupakan gen pengatur jumlah tunas.
Hipotesis dari penelitian ini adalah
perbedaan genetik dan habitat asal dalam
suatu varietas tembakau akan mempengaruhi
potensi organogenesisnya, hipotesis yang
kedua adalah kandungan protein dari gen
ESR1 akan lebih banyak pada tembakau yang
lebih banyak tunasnya.
Penelitian ini dilakukan dari April sampai
September 2006 di Laboratorium Kelompok
Penelitian Rekayasa Protein - Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), Cibinong. Penelitian
ini dibiayai oleh Kelompok Penelitian
Rekayasa Protein yang merupakan bagian dari
penelitian molecular farming pada tembakau.
TINJAUAN PUSTAKA
Molecular farming
Molecular farming adalah usaha
produksi protein rekombinan bernilai tinggi
pada tanaman. Kegiatan ini meliputi
penyisipan gen asing ke genom tanaman
(seperti gen penyandi serum albumin
manusia). Hasilnya kemudian dinamakan
tanaman transgenik. Adanya gen asing yang
tersisipkan pada genomnya menyebabkan
tanaman tersebut dapat memproduksi protein
dari gen asing tersebut, yang disebut dengan
protein rekombinan. Molecular farming
merupakan cara yang efektif untuk
memproduksi produk-produk farmasi dan
protein berguna lainnya dalam skala yang
besar (Niesing 2001).
Usaha molecular farming saat ini
sedang berkembang di Indonesia. Pada tahun
2004 telah dilakukan tranformasi gen
penyandi protein human erythropoietin
(hEPO) untuk penyakit anemia dan sialidase,
yakni pendiagnosis adanya sel kanker, ke
tembakau varietas Petit Havana SR1.
Penelitan tersebut kemudian diteruskan untuk
tembakau varietas lokal (Witarto 2005).
Kusnadi et al. (1997) menyatakan
bahwa biaya produksi protein rekombinan dari
tanaman bisa mencapai 10-50 kali lebih
rendah daripada memproduksi protein yang
sama dalam Escherichia coli. Selain dari
keuntungan ekonomis, ada beberapa
keuntungan lainnya yang dimiliki oleh
tanaman dalam memproduksi protein
rekombinan, atau yang lebih spesifik lagi
adalah protein yang berhubungan dengan
farmasi.
Menurut Daniell et al. 2001
keuntungan digunakannya tanaman sebagai
sarana molecular farming antara lain adalah
(1) lebih ekonomis daripada menggunakan
sistem fermentasi atau bioreaktor yang
digunakan dalam industri, (2) telah
tersedianya teknologi untuk pemrosesan hasil
tanaman dalam skala yang besar, (3) protein
yang diproduksi pada tanaman lebih stabil
karena disimpan dalam ruangan intraseluler,
(4) jumlah produk rekombinan yang bisa
dihasilkan mendekati produksi skala industri,
dan (5) resiko terkontaminasi patogen dan
toksin manusia sangat kecil.
Sistem ekspresi pada sel hewan dapat
menghasilkan protein yang tepat, tetapi mahal
dan sensitif dengan perubahan lingkungan,
terutama saat dikultur untuk skala industri
(Fischer & Emans 2000, Fischer et al. 2000).
Pengendalian kondisi kultur yang ketat
diperlukan untuk menghasilkan produk yang
benar-benar murni (Giddings et al. 2000).
Kultur mikroba dan fungi lebih cepat
memproduksi protein, namun protein yang
diproduksinya nanti bisa tidak tepat,
disebabkan karena perbedaan penggunaan
kodon dan modifikasi pascatranslasi (Fischer
& Emans 2000, Fischer et al. 2000). Sintesis
protein, sekresi dan modifikasi pascatranslasi
untuk sel tanaman dan hewan hampir serupa,
hanya saja sedikit berbeda dalam glikosilasi
protein (Fischer et al. 2000). Sebagai
tambahan, produk dari tanaman transgenik
cenderung tidak terkontaminasi oleh patogen
hewan, toksin mikroba ataupun sekuens
onkogenik (Fischer & Emans 2000, Fischer et
al. 2000).
Beberapa tanaman yang telah
menghasilkan berbagai produk protein
rekombinan bernilai tinggi di antaranya adalah
tembakau (Human Protein C, Human
interferon- β, Human somatotropin, Human
serum albumin, Human erythropoietin), tomat
(Angiotensin-converting enzyme), Arabidopsis
(Human enkephalin), padi (Human α-1-
antitripsin), jagung (Human aprotinin), dan
kentang (Human lactoferrin) (Daniell et al.
2001). Penggunaan tanaman tembakau untuk
molecular farming sudah sangat banyak
digunakan sehingga sudah banyak protein
yang bernilai tinggi yang sudah dihasilkan
melalui usaha molecular farming ini. Jumlah
protein yang telah dihasilkan tiap tanaman
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tanaman Tembakau
Genus Nicotiana adalah salah satu
divisi terbesar pada famili Solanaceae.
Goodspeed (1954) mengelompokkan 3
subgenera yakni (1) subgenus rustica, (2)
subgenus tabacum, (3) subgenus petunioides.
Selain dibagi menjadi 3 subgenera, genus
Nicotiana juga dibagi lagi menjadi 14 seksi
dan 66 spesies. Sejumlah 45 spesies berasal
dari Amerika Utara dan Amerika Selatan, 20
spesies merupakan berasal dari Australia dan
1 spesies sisanya berasal dari Afrika
(Margaret et al. 1991). Subgenus yang paling
banyak mengandung alkaloid nikotin adalah
subgenus tabacum (Durbin 1979).
Tembakau adalah genus tanaman
yang berdaun lebar, berasal dari daerah
Amerika Utara dan Amerika Selatan. Daun
dari tanaman ini sering digunakan sebagai
bahan baku rokok, baik dengan menggunakan
pipa maupun digulung dalam bentuk rokok
atau cerutu. Daun tembakau dapat pula
dikunyah atau dikulum, dan ada pula yang
menghisap tembakau melalui hidung.
Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin,
sejenis neurotoksin yang sangat ampuh jika
digunakan pada serangga. Zat ini sering
digunakan sebagai bahan utama insektisida.
Tanaman tembakau pertama kali
masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1630,
kemudian berkembang ke berbagai daerah di
Tabel 1 Protein-protein rekombinan bernilai tinggi yang dihasilkan tembakau dalam usaha
molecular farming (Daniell et al. 2001)
Protein yang dihasilkan Jumlah yang dihasilkan
Human Protein C < 0.01% total protein larut air
Human granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor
Tidak dilaporkan
Human somatotropin 7.00% total protein larut air
Human erythropoietin < 0.01% total protein larut air
Human epidermal growth < 0.01% total protein larut air
Human interferon-β < 0.01% berat segar
Human serum albumin 0.02% total protein larut air
Human hemoglobin α,β 0.05% protein biji
Human heterotrimeric collagen < 0.01% berat segar
Angiotensin-converting enzyme Tidak dilaporkan
Glucocerebrosidase 1.00-10.00% total protein larut air
Indonesia (Rochman & Suwarso 2000).
Tjitrosoepomo (1994 di dalam Basuki,
Rochman & Yulaikah 2000)
mengelompokkan tanaman tembakau ke
dalam tumbuhan obat-obatan, dengan
sistematika sebagai berikut : divisi
Spermatophyta; kelas Dicotyledoneae; famili
Solanaceae; genus Nicotiana; spesies
tabacum.
Tembakau memiliki beberapa
kelebihan sehingga bisa dijadikan objek dalam
usaha molecular farming, yakni meliputi
sistem ekspresi tingkat tinggi untuk protein
asing, produksi biomassanya tinggi dan
merupakan tanaman nonpangan (Giddings et
al. 2000, Daniell et al. 2001, Maliga 2003).
Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman merupakan
teknik menumbuhkembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ
dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita
2003). Istilah in vitro digunakan untuk
menggambarkan lingkungan kultur yang steril
dan artifisial (Tisserat 1985). Tanaman yang
tumbuh dalam teknik kultur jaringan dengan
akar dan tunas yang sudah dapat dibedakan
disebut dengan planlet (Tisserat 1985).
Dengan teknik kultur jaringan ini, regenerasi
tanaman dari bagian tanaman lainnya dapat
dilakukan.
Regenerasi tanaman dengan kultur
jaringan tanaman dapat dilakukan dengan tiga
metode, yakni kultur embrio, embriogenesis
somatik, dan organogenesis. Kultur embrio
merupakan kultur yang menggunakan embrio
zigotik, salah satunya berasal dari biji.
Embriogenesis somatik merupakan teknik
yang memproduksi struktur mirip embrio
(misal: kalus) yang berasal dari sel somatik
(misal: daun, akar atau batang). Kalus
merupakan kumpulan sel-sel yang belum
terdeferensiasi. Organogenesis terjadi apabila
dari kalus tumbuh menjadi tunas atau tumbuh
tunas samping dari ujung-ujung bahan yang
dikulturkan, yang kemudian akan membentuk
akar juga (Tisserat 1985).
Bahan tanaman yang dikulturkan
secara in vitro lazim disebut dengan eksplan.
Umumnya bagian tanaman yang digunakan
sebagai eksplan adalah jaringan atau organ
meristematik (sedang tumbuh aktif). Jaringan
atau organ meristematik ini masih mampu
untuk memperbanyak selnya, sifat
totipotensinya masih tinggi, daya tahannya
masih baik dan sedikit mengandung
kontaminan (Tisserat 1985, Yusnita 2003).
Beberapa contoh bagian tanaman yang
digunakan sebagai eksplan adalah biji atau
bagian-bagian biji seperti aksis embrio atau
kotiledon, tunas pucuk, potongan batang atau
buku, potongan akar, potongan daun,
potongan umbi batang, umbi akar, empulur
batang, umbi lapis dengan sebagian batang
dan bagian bunga (Tisserat 1985, Yusnita
2003).
Selain memperhitungkan darimana
eksplan itu diambil, proses sterilisasi eksplan
harus diperhatikan juga. Sterilisasi eksplan
dapat menggunakan bahan-bahan seperti
etanol, NaOCl, Ca(OCl)2, Cl2, Br2, I2, HgBr2,
HgI2 HgCl2, dan Tween 20 (Dixon 1985,
Tisserat 1985).
Etanol merupakan pendenaturasi
protein dan perusak membran sel. Halogen
serta senyawanya merupakan oksidator kuat
yang dapat merusak komponen seluler.
Logam berat seperti Hg dapat mendenaturasi
protein. Tween 20 merupakan deterjen yang
dapat melarutkan membran sel (Pelczar &
Chan 1988). Bahan-bahan tersebut digunakan
dalam konsentrasi yang sedikit agar tidak
menyebabkan kematian eksplan juga.
Dibandingkan dengan perbanyakan
tanaman secara konvensional, perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan mempunyai
beberapa kelebihan yaitu (1) memberikan
peluang besar untuk menghasilkan jumlah
bibit tanaman yang banyak dalam waktu
relatif singkat sehingga lebih ekonomis; (2)
tidak memerlukan tempat yang luas; (3) dapat
dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung
pada musim; (4) bibit yang dihasilkan lebih
sehat; dan (5) memungkinkan dilakukannya
manipulasi genetik (Yusnita 2003).
Selain kelebihannya, teknik kultur
jaringan mempunyai beberapa kelemahan
yaitu (1) dibutuhkannya biaya awal yang
relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan
kimia; (2) dibutuhkan keahlian khusus untuk
melaksanakannya; (3) tanaman yang
dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan
terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban
tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke
lingkungan eksternal (Yusnita 2003).
Induksi Tunas
Pada tahun 1957, Skoog dan Miller (di
dalam Yusnita 2003) mengemukakan bahwa
regenerasi tunas dan akar in vitro dikontrol
secara hormonal oleh ZPT (Zat Pengatur
Tumbuh) sitokinin dan auksin. Dengan
menggunakan eksplan empulur tembakau,
Skoog dan Miller (1957) mendemonstrasikan
bahwa nisbah sitokinin dan auksin yang tinggi
mendorong pembentukan tunas, sedangkan
nisbah sitokinin dan auksin yang rendah
mendorong pembentukan akar. Jika diberikan
dalam jumlah yang seimbang, sitokinin dan
auksin akan mendorong pembentukan kalus.
Mekanisme kerja ZPT sama dengan
sistem transduksi hormon (Gambar 1). ZPT
dapat dikenali sel karena adanya reseptor
(penerima) pada membran sel. Pesan yang
dibawa ZPT akan diteruskan ke dalam sel
dengan bantuan caraka kedua, yakni IP3
(inositol 1,4,5-trifosfat) dan ion Ca2+
. Caraka
kedua kemudian akan menimbulkan respon
sel, salah satunya melalui pengaktifkan
protein kinase c (Salisbury FB & Ross CW
1995).
Zat pengatur tumbuh yang sering
digunakan berasal dari jenis sitokinin dan
auksin. Kerja sitokinin adalah merangsang
pertumbuhan tunas, sementara itu kerja auksin
adalah merangsang pembentukan akar. Jenis
sitokinin antara lain adalah kinetin,
isopentenil adenin (IPA), benziladenin purin
(BAP) dan thidiazuron (TDZ) (Gambar 2).
Jenis auksin antara lain adalah asam
indolbutarat (IBA), asam indolasetat (IAA)
dan asam L-naftalen asetat (NAA) (Gambar
3) (Dixon 1985, Salisbury FB & Ross CW
1995).
Gambar 1 Mekanisme sinyal hormonal pada
tanaman (Salisbury FB & Ross
CW 1995).
Inoue et al. pada tahun 2001
menemukan reseptor sitokinin yang
dinamakan CRE1 (Cytokinin Response 1).
CRE1 terdiri dari domain CHASE
(Cyclases/Histidine kinases
Associated
Sensory Extracellular) yang dihubungkan
dengan histidin kinase (Napier 2004).
Sedangkan reseptor auksin menurut Napier
(2004) dinamakan ABP1 (Auxin-Binding
Protein 1). Reseptor sitokinin dan auksin
tersebut ditampilkan dalam Gambar 4 dan 5.
Gambar 2 Macam-macam sitokinin.
Gambar 3 Macam-macam auksin.
Gambar 4 Reseptor sitokinin CRE1 (Napier
2004).
Gambar 5 Reseptor auksin ABP1 (Napier
2004).
POTENSI ORGANOGENESIS
TEMBAKAU
Pada penelitian Li, Huang, Bass
(2003) terhadap tanaman genus Nicotiana,
terdapat hubungan eksponensial antara jumlah
tunas tiap eksplan daun dengan persentase
eksplan daun yang tumbuh tunas. Hubungan
ini memiliki persamaan: jumlah tunas =
14.7825×(persentase)0.05×exp[–0.2455×(100–
persentase)–2
(R 2=0.6415, P<0.0001. Kurva
dari persamaan ini dapat dilihat pada Gambar
6. Li, Huang, Bass (2003) membuat 4 kriteria
untuk menentukan potensi daya
organogenesis. Kriteria pertama adalah 80-
100% (beregenerasi tinggi), kedua adalah 50-
79% (beregenerasi moderat), ketiga adalah 1-
49% (beregenerasi rendah), dan keempat 0%
(tidak beregenerasi).
Witarto dan Desriani (2005) telah
meneliti 9 varietas tembakau lokal (Nicotiana
tabacum L.) dengan parameter jumlah tunas
yang tumbuh serta persentase luas area
permukaan eksplan daun yang tumbuh tunas
untuk dapat membedakan potensi
organogenesis dari 9 varietas tembakau lokal.
Jumlah tunas
Persentase (%)
Gambar 6 Grafik hubungan eksponensial
antara jumlah tunas tiap eksplan
daun dengan persentase eksplan
daun yang tumbuh tunas (Li,
Huang, Bass 2003).
Dari kedua parameter tersebut didapat
hubungan eksponensial dengan persamaan:
jumlah tunas = 1.1814e0.0305 x persentase
(R2
=
0.828). Grafik dari persamaan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 7.
Walaupun mekanisme yang
mempengaruhi organogenesis tunas tidak
banyak diketahui, namun telah diidentifikasi
dan dikarakterisasi 2 tipe gen yang mengatur
organogenesis tunas. Tipe gen yang pertama
mengendalikan pembentukan tunas dari sel-
sel yang belum terdiferensiasi, sebagai contoh
adalah gen reseptor sitokinin CRE1. Gen
tersebut menyandikan protein histidin kinase
sehingga dapat memproduksi tunas ( Inoue et
al. 2001, Ueguchi et al. 2001). Tipe gen kedua
adalah yang mengendalikan jumlah tunas
yang tumbuh, contohnya adalah gen ESR1
(Enhancer of Shoot Regeneration 1). ESR1
menyandikan faktor transkripsi terduga (36.2
kDa) dan jika ekspresinya berlebih maka
dapat menginduksi tunas empat kali lebih
banyak dari kultur akar dibandingkan dengan
kontrolnya (Banno et al. 2001). Ekspresi gen
ESR1 diinduksi oleh sitokinin namun proses
sinyal yang secara pasti dari awal adanya
sitokinin hingga bisa mengaktifkan gen ESR1
belum diketahui (Banno et al. 2001).
Lebih lanjut menurut Witarto dan
Desriani (2005), tembakau varietas Gewol
Setiyeng (Jawa) memiliki potensi
organogenesis tertinggi kemudian varietas
Deli (Sumatera) memiliki potensi
organogenesis terendah. Perbedaan respon
atau potensi organogenesis ini kemungkinan
juga karena perbedaan habitat asalnya.
Gambar 7 Grafik hubungan eksponensial
antara jumlah tunas yang
tumbuh dengan persentase luas
area permukaan eksplan daun
yang tumbuh tunas (Witarto &
Desriani 2005).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
biji dan planlet tembakau varietas lokal (Tabel
2), media MS (Murashige-Skoog, yaitu
sukrosa, unsur hara makro, unsur hara mikro,
NaFeEDTA, vitamin dan asam amino,
mioinositol), fitagel, ZPT seperti BAP dan
NAA, aluminium foil, plastik tahan panas,
koran atau kertas bekas, kertas saring, etanol
70 %, plastik parafilm, akuades, Tris-HCl,
EDTA, merkaptoetanol, akrilamida, N’N’-
bismethylene-acrilamide, SDS, bromphenol
blue, APS, Temed, asam asetat, etanol, dan
glisin.
Alat-alat yang digunakan adalah
autoklaf, sentrifus, microwave, alat-alat
elektroforesis, tabung mikro, magnetic stirer,
pengaduk magnet, freezer, autopipet, neraca
analitik, skalpel, pinset, kertas saring, sarung
tangan tahan panas, laminar air-flow, dan
seperangkat alat gelas.
Tabel 2 Tembakau koleksi Laboratorium
Rekayasa Protein-LIPI
Nama Varietas
Tembakau
Asal
Gobir Andong
Gewol Setiyeng
Gewol Kerincing
Gobir Kemloko
Gobir Koplo
Gobir Mustang
SR 1
Deli
Jawa
Andeh Gadang
Andong Kuning
Genjah Kenongo
Cetok
Koplo
Srintil
Ngablak + Koplo
Kerlaeng + Loncang
Kemloko Kecil
Kemloko Putih-Besar
Kemloko Wonosobo
Besar
Andong
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Varietas
Internasional
Sumatera
Jawa
Sumatera
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Jawa
Metode
Jumlah varietas tembakau lokal yang
digunakan adalah sebanyak 16 varietas. Daun
ketiga atau keempat dari pucuk dijadikan
eksplan dalam bentuk cakram, yakni daun
yang dipotong dengan ukuran 0.5 cm x 0.5
cm. Sebanyak 5 buah cakram daun tiap
varietas ditanam di media induksi tunas (MS +
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA) selama 3
minggu kemudian dipindahkan ke media baru
yang sama selama 4 minggu, sehingga total
waktu yang digunakan adalah 7 minggu.
Tunas yang tumbuh tiap cakram daun
dihitung, persentase cakram daun yang dapat
menumbuhkan tunas dihitung berdasarkan
perbandingan jumlah cakram daun yang
tumbuh tunas dengan cakram daun total yang
diinkubasi, sedangkan persentase luas area
permukaan cakram daun yang tumbuh tunas
dihitung berdasarkan perbandingan luas area
permukaan yang tumbuh tunas terhadap total
luas area permukaan cakram daun.
Data jumlah tunas yang tumbuh
dianalisis secara statistik dengan
menggunakan metode rancangan acak lengkap
(RAL) ANOVA dengan α=0.05 Perbedaan
pengaruh perlakuan diuji dengan uji lanjutan
Duncan. Data diolah dengan menggunakan
program SAS. Model umum rancangan
tersebut (Mattjik & Sumertajaya. 2000)
adalah:
ijiijY ελµ ++=
keterangan:
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j,
µ = Pengaruh rataan umum,
L = Pengaruh perlakuan ke-i,
ξ = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j.
Analisis kandungan protein yang
mengatur jumlah tunas (protein dari gen
ESR1) dilakukan dengan metode SDS-PAGE
sebanyak 2 ulangan dengan menggunakan
cakram daun dari varietas dengan jumlah
tunas tertinggi dan jumlah tunas terendah.
Cakram daun yang dianalisis adalah cakram
daun yang telah diinkubasi selama 1, 2, dan 3
minggu dalam media induksi tunas. Untuk
mendukung metode ini maka semua alat,
bahan dan pengerjaannya harus steril.
Sterilisasi Alat
Semua alat-alat seperti cawan petri,
kertas saring, spatula, skalpel, pinset dan
bahan yakni akuades disterilisasi terlebih
dahulu. Sterilisasi dilakukan di dalam autoklaf
yang berada di ruang preparasi. Sterilisasi
dilakukan selama 15 menit pada suhu 121 oC ,
1.5 atm. Petri dibungkus dengan koran dan
dimasukkan ke dalam plastik tahan panas.
Kertas saring dipotong dengan ukuran kurang
lebih 6 x 6 cm dan dimasukkan ke dalam petri
ukuran besar untuk bersama-sama disterilisasi.
Spatula dan pinset dibungkus dengan
aluminium foil. Akuades dimasukkan ke
dalam botol ukuran 1 liter lalu ditutup dan
dari tutup hingga leher botol dilapisi dengan
aluminium foil. Mulut alat-alat gelas seperti
gelas ukur dan erlenmeyer ditutup dengan
aluminium foil.
Pembuatan dan Sterilisasi Media MS0
(Murashige-Skoog tanpa ZPT)
Media yang digunakan adalah media
MS0 (Murashige-Skoog tanpa ZPT). Media
dibuat sebanyak 1 liter, terdiri dari stok hara
makro 50 ml, stok hara mikro 2 ml, stok
NaFeEDTA 5 ml, stok vitamin dan asam
amino 5 ml, kemudian ditambahkan sukrosa
20 gram, mioinositol 0.1 gram, dan akuades
hingga volume campurannya 800 ml.
Campuran diatur pH-nya agar menjadi 5.8
dengan ditambahkannya beberapa tetes NaOH
1 N. Setelah itu ditera hingga 1000 ml dengan
akuades, dan ditambahkan fitagel sebanyak 3
gram.
Untuk membuat campuran agar
homogen, maka campuran yang telah dibuat
dididihkan dengan microwave. Dalam
keadaan panas, dengan menggunakan sarung
tangan tahan panas, campuran dituangkan 40-
50 ml ke dalam botol jar, ditutup lalu
disterilisasi dengan autoklaf 121 oC selama 15
menit. Media yang sudah steril lalu disegel
dengan plastik parafilm untuk mencegah
kontaminan masuk ke dalam botol.
Pembuatan dan Sterilisasi Media Induksi
Tunas
Media induksi tunas yang digunakan
adalah media MS (Murashige-Skoog)
ditambah 0.1 ppm NAA dan 1 ppm BAP.
Campuran diatur pH-nya agar menjadi 5.8
dengan ditambahkannya beberapa tetes NaOH
1 N. Setelah itu ditera hingga 1000 ml dengan
akuades dan ditambahkan fitagel sebanyak 3
gram.
Campuran kemudian dituangkan ke
dalam erlenmeyer kemudian ditutup dengan
aluminium foil lalu disterilisasi. Setelah steril
maka dituangkan secara aseptik sebanyak 20-
25 ml ke dalam petri yang steril di dalam
laminar air-flow.
Sterilisasi Permukaan Biji Tembakau
Sterilisasi permukaan biji tembakau
temanggung dilakukan secara aspetik di dalam
laminar air flow. Tangan pelaku disemprot
alkohol 70% terlebih dahulu. Biji tembakau
dituangkan ke dalam petri yang steril lalu
ditambahkan akuades steril secukupnya dan
digoyangkan selama 3 X 5 menit. Pemutih
pakaian 70 % kemudian ditambahkan ke
dalamnya, biji direndam dan digoyangkan
selama 30 menit setelah itu dibilas dengan
akuades steril 2 X 5 menit.
Biji yang sudah dibilas lalu
dikeringanginkan di atas kertas saring yang
steril kurang lebih selama 3-5 menit. Dengan
spatula yang steril lalu biji tersebut
dimasukkan ke dalam media yang telah
dibuat. Botol dan tutupnya disegel juga
dengan plastik parafilm. Biji yang sudah
ditanam di media lalu dikondisikan dalam
keadaan gelap dengan botol yang dibungkus
aluminium foil.
Induksi Tunas dari Eksplan Cakram Daun
Induksi tunas dari eksplan cakram daun
dilakukan dengan membuat potongan daun
kurang lebih berukuran 0.5 cm x 0.5 cm. Daun
diambil dari posisi kedua atau ketiga dari
pucuk plantlet lalu diinkubasi pada media
MS + 0.1 ppm NAA + 1 ppm BAP yang
dilakukan secara aseptik. Setelah berumur 3
minggu, eksplan dipindahkan ke media baru
yang sama komposisinya hingga 4 minggu.
Jadi, total waktu inkubasi adalah 7 minggu.
Perhitungan Jumlah Tunas, Persentase
Cakram Daun yang Tumbuh Tunas, dan
Persentase Luas Area Permukaan Cakram
Daun yang Tumbuh Tunas
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
tunas yang terbentuk pada cakram daun,
persentase cakram daun yang tumbuh tunas
dan persentase luas area permukaan cakram
daun yang tumbuh tunas pada minggu ke-7.
Jumlah tunas dihitung secara manual.
Persentase cakram daun yang tumbuh tunas
dihitung dengan cara membandingkan jumlah
cakram daun yang dapat tumbuh tunas dengan
total cakram daun yang diinkubasi.
Penghitungan persentase luas area eksplan
daun yang tumbuh tunas dilakukan secara
semikuantitatif dengan membandingkan luas
cakram daun yang tumbuh tunas terhadap luas
keseluruhan permukaan cakram daun. Apabila
persentase tunas yang tumbuh adalah 80-100
%, maka tingkat regenarasinya tinggi, 50-79
% memiliki tingkat regenerasi moderat, 1-49
% memiliki tingkat regenerasi rendah dan 0 %
tidak beregenerasi (Li, Huang & Bass 2003,
Witarto & Desraini 2005).
Ekstraksi Protein Dari Cakram Daun
Sebagian eksplan cakram daun yang
berumur 1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu
diambil dan digerus dengan menggunakan
pestle di dalam tabung mikro bersamaan
dengan ditambahkan larutan bufer ekstraksi
(100mM Tris-HCl pH 7.6 yang mengandung
20% gliserol, 5 % β-merkaptoetanol, dan 4 %
sodium dodesilsulfat) untuk dihomogenkan
lalu disentrifus pada 15000 rpm dengan suhu
4 oC selama 20 menit. Supernatan yang
diperoleh diambil dan dipindahkan ke dalam
tabung mikro, kemudian disimpan dalam
freezer (-20 oC).
Analisis Protein dengan Elektroforesis
SDS-PAGE
Pembuatan gel dilakukan dengan
lebih dahulu menyiapkan cetakan gel berupa
dua lembar kaca yang dipisahkan dengan
spacer. Konsentrasi akrilamid yang digunakan
adalah 10 %. Larutan untuk Resolving gel
dimasukkan ke dalam cetakan gel sampai
batas tertentu, kemudian ditambahkan etanol
agar permukaan gel rata. Gel dibiarkan
mengeras, lalu etanol 70 % yang berada di
atas separating gel dibuang. Larutan untuk
Stacking gel yang telah dibuat dimasukkan ke
dalam cetakan yang telah dipasangi sisir
pelubang dan dibiarkan mengeras. Sisir
kemudian dilepaskan dengan gerakan vertikal
ke atas. Gel telah siap digunakan dan dipasang
pada alat elekroforesis.
Sampel hasil ekstraksi protein dipipet
ke dalam tabung mikro dan ditambahkan
loading buffer dengan perbandingan 4:1.
Campuran tersebut kemudian dipanaskan
dalam air mendidih selama 3-5 menit.
Masing-masing sampel serta protein
standar sebanyak 5 µl dimasukkan ke dalam
sumur-sumur yang terdapat pada gel. Alat
elektroforesis dihubungkan ke power supply
pada tegangan 110 V. Elektroforesis
kemudian dilanjutkan selama kurang lebih
120 menit hingga pewarna mencapai ujung
gel . Deteksi protein pada gel dilakukan
dengan pewarnaan gel menggunakan larutan
staining selama semalam. Kemudian gel
dicuci sebanyak 1 kali dengan larutan
destaning selama 30 menit. Gel kemudian
dipanaskan dalam air (95 oC) hingga pita
protein terlihat dengan intensitas memadai.
Penyimpanan gel dilakukan dengan
melapisinya dengan plastik.
Identifikasi dan analisis pola SDS-
PAGE dilakukan dengan pengamatan
pemisahan pita proteinnya. Protein target
ditentukan Rf-nya, kemudian bobot molekul
dari protein tersebut ditentukan berdasarkan
kurva standar log BM terhadap Rf dari protein
standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini ada beberapa
varietas tembakau lokal yang belum ada
plantletnya sehingga harus ditumbuhkan
terlebih dahulu dari bijinya di dalam media
MS0 sehingga butuh waktu kurang lebih 6
minggu hingga plantletnya tersebut siap untuk
dijadikan eksplan cakram daun.
Pada awal penelitian, banyak sekali
cakram daun yang terkontaminasi bakteri dan
cendawan sehingga penelitian harus diulangi
lagi dengan hati-hati. Untuk menghindari
terjadinya kontaminasi maka alat dan bahan
yang digunakan harus dipastikan steril,
pengerjaannya juga harus steril misalnya saja
dengan menggunakan sarung tangan yang
sebelumnya diberikan alkohol atau dengan
menggunakan masker. Selain itu, wadah
inkubasi cakram daun sebaiknya jangan
terlalu banyak disentuh atau dipindahkan
karena plastik parafilm yang menyegelnya
mudah terbuka.
Jumlah cakram daun tiap varietas yang
digunakan adalah 5, karena jumlah ini sudah
cukup untuk memperkecil deviasi standar
walaupun pada penelitian Li, Huang, Bass
(2003) digunakan 10 cakram daun. Inkubasi
selama 7 minggu adalah waktu optimal untuk
organogenesis tunas dari cakram daun
berdasarkan hasil penelitian Li, Huang, Bass
(2003) dengan pemindahan ke media baru
yang sama setelah 3 minggu. Media induksi
tunas yang digunakan adalah MS + 1 ppm
BAP + 0.1 ppm NAA, media ini dapat
menginduksi tunas secara optimal dari cakram
daun varietas lokal yang telah dilakukan oleh
Witarto & Desriani (2005).
Jumlah Tunas, Persentase Cakram Daun
yang Tumbuh Tunas dan Persentase Luas
Area Permukaan Cakram Daun yang
Tumbuh Tunas
Hasil penelitian terhadap cakram daun
16 varietas tembakau lokal dalam media
induksi tunas (MS + BAP 1 ppm + NAA 0.1
ppm) selama 7 minggu menunjukkan bahwa
tiap cakram daun dari 16 varietas tersebut
semuanya dapat tumbuh tunas (100%) dengan
jumlah tunas rataan yang berbeda pada tiap
varietas (Tabel 3).
Rataan jumlah tunas tiap cakram daun
memiliki respon yang beragam dari tiap
varietas. Rataan jumlah tunas di atas 40 terjadi
pada 2 varietas, rataan jumlah tunas 30-40
terjadi pada 8 varietas, dan rataan jumlah
tunas 20-30 terjadi pada 6 varietas. Dari ke-16
varietas lokal tersebut varietas Gewol
Setiyeng adalah varietas yang paling banyak
memiliki rataan jumlah tunas tiap cakram
daun berespon tunas, sedangkan varietas Deli
adalah varietas yang paling sedikit
membentuk tunas tiap cakram daun yang
berespon tunas. Varietas Gewol Setiyeng
berasal dari Jawa sedangkan varietas Deli
berasal dari Sumatera, dengan demikian
perbedaan habitat asal berpengaruh terhadap
pembentukan tunas secara organogenesis.
Varietas lokal menurut Tjitrosoepomo
(1994) merupakan spesies tabacum, pada
penelitian Li, Huang, Bass di tahun 2003,
spesies tabacum yang berasal dari Amerika
Selatan dengan nomor aksesi PI 552432 dan
PI 119208 memiliki potensi organogenesis
yang tinggi karena memiliki persentase
cakram daun yang tumbuh tunas sebesar
100%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
persamaan yang dihasilkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Li, Huang, Bass (2003).
Persamaan tersebut yaitu: jumlah tunas =
14.7825×(persentase)0.05
×exp[–0.2455×(100–
persentase)–2
. Grafik yang dihasilkan oleh Li,
Huang & Bass (2003) menunjukkan garis
yang vertikal jika jumlah tunas yang
dihasilkan lebih dari 20 tunas, dengan
persentase sebesar 100%. Jika data dari
penelitian ini dibuat grafik, maka grafik
tersebut akan vertikal karena jumlah tunas
yang dihasilkan di atas 20 tunas dan
persentase cakram daun yang tumbuh tunas
menujukkan nilai 100% semuanya (Gambar
8).
Perbedaan pada tembakau varietas
lokal tersebut hanya terbatas pada jumlah
tunas saja, namun di dalam pengamatan
ternyata terdapat perbedaan antar varietas
yang lain, yakni luas area permukaan yang
tumbuh tunas pada tiap cakram daun berbeda
(Gambar 9). Oleh karena itu, untuk
melakukan studi potensi organogenesis dari
sesama spesies Nicotiana tabacum, L
digunakan parameter persentase luas area
permukaan cakram daun yang tumbuh tunas
dan jumlah tunas.
Witarto dan Desriani (2005)
menggunakan kedua parameter ini untuk
melihat potensi organogenesis 9 varietas
tembakau lokal, didapat persamaan
eksponensial dengan persamaan: jumlah tunas
= 1.1814e0.0305 x persentase
(R2
= 0,828). Nilai R
yang tinggi yaitu 0,828 menunujukkan bahwa
kedua parameter tersebut dapat digunakan
Tabel 3 Jumlah tunas dan persentase cakram daun yang tumbuh tunas dari 16 varietas lokal
tembakau setelah 7 minggu
Varietas Rataan jumlah
tunas tiap
cakram daun
Persentase cakram
daun yang tumbuh
tunas (%)
Gewol Setiyeng 43 100
Kemloko Wonosobo Besar 40 100
Srintil 37 100
Kemloko Murni 35 100
Jawa 35 100
Koplo 34 100
Gewol Kerincing 31 100
Gobir Koplo 31 100
Genjah Kenongo 31 100
Andong 31 100
Gobir Andong 30 100
Cetok 30 100
Gobir Kemloko 29 100
Kemloko Putih Besar 28 100
Gobir Mustang 26 100
Deli 25 100
untuk melakukan studi potensi organogenesis
pada spesies Nicotiana tabacum dengan
varietas yang berbeda-beda.
Penelitian dilakukan dengan
membandingkan luas area permukaan yang
tumbuh tunas terhadap total luas area
permukaan cakram daun, dan hasilnya dibuat
dengan satuan persentase. Witarto dan
Desriani (2005) juga mengelompokkan
potensi organogenesis ke dalam 4 golongan
berdasarkan persentase luas area ini, yaitu :
beregenerasi tinggi (80-100 %), beregenerasi
moderat (51-79 %), beregenerasi rendah (1-50
%) dan tidak beregenerasi (0 %).
Pada penelitian selama 7 minggu
inkubasi didapatkan 7 varietas lokal yang
tergolong tinggi potensi organogenesisnya
(80-100%) dan 9 varietas lokal yang tergolong
moderat (50-79%). Varietas Gewol Setiyeng
memiliki persentase rataan yang paling tinggi
(92%) di antara varietas lainnya sedangkan
varietas Cetok memiliki persentase rataan
yang paling rendah (56%), data selengkapnya
ditampilkan pada Tabel 4.
20
25
30
35
40
45
90 100 110
Persentase (%)
Jumlah tunas
Gambar 8 Grafik hubungan antara rataan
jumlah tunas dengan persentase
cakram daun yang tumbuh tunas
(%).
Gambar 9 Perbandingan tunas yang terbentuk
antara varietas Gewol Setiyeng
dangan varietas Deli; tunas
ditunjukkan dengan tanda panah,
area cakram daun tidak tumbuh
tunas ditandai dengan lingkaran.
Persamaan grafik hubungan antara
jumlah tunas dan persentase luas area
permukaan cakram daun tumbuh tunas
menunjukkan nilai R2 yang kecil sekali
(0.4423), grafik ini tidak seperti apa yang
telah didapatkan oleh Witarto dan Desriani
(1995). Jika grafik ini dibuat eksponensial
maka nilai R2 yang diperoleh lebih rendah
yakni 0.4344. Untuk itu grafik hubungan
antara keduanya dibuat dengan hubungan
linear walaupun nilai R2 yang diperoleh kecil
sekali (Gambar 10).
Dari grafik tersebut titik yang paling
atas dan yang paling kanan menunjukkan
persentase dan jumlah tunas yang paling
tinggi (varietas Gewol Setiyeng), titik yang
paling bawah menunjukkan jumlah tunas yang
paling rendah (varietas Deli), dan titik yang
paling kiri menunjukkan persentase yang
paling rendah (varietas Cetok).
Grafik yang memiliki nilai R2 kecil ini
disebabkan karena faktor ukuran tunas yang
berbeda selama inkubasi 7 minggu. Sebagai
contoh adalah perbandingan varietas Deli
(jumlah tunas terendah) dan varietas Cetok
(persentase terendah). Walaupun jumlah tunas
varietas Deli sangat sedikit namun varietas
Deli memiliki ukuran tunas kecil dan sedang
sehingga area tumbuh tunasnya agak sedikit
besar dibandingkan varietas Cetok yang
memiliki jumlah tunas selisih 5 tunas lebih
banyak dari varietas Deli memiliki ukuran
tunas yang sangat kecil dan sedikit sehingga
terdapat area tumbuh tunas yang sempit.
y = 0,3175x + 7,4671
R2 = 0,4423
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
50 60 70 80 90 100
Persentase area (%)
Jumlah tunas
Gambar 10 Grafik hubungan antara jumlah
tunas yang tumbuh dengan
persentase luas area eksplan
daun yang tumbuh tunas.
Analisis Protein Cakram Daun
Untuk analisis protein, perlu
dibandingkan varietas dengan jumlah tunas
yang berbeda nyata. Faktor jumlah tunas
dipilih karena telah diketahui protein yang
disandikan lebih banyak apabila jumlah
tunasnya juga banyak. Protein tersebut adalah
produk dari gen ESR1 (Enhancer of Shoot
Regeneration 1) yang ekspresinya diinduksi
oleh adanya sitokinin (Banno et al. 2001).
Faktor yang lainnya yaitu persentase
cakram daun yang tumbuh tunas tidak bisa
digunakan untuk membedakannya mengingat
semua varietas memiliki persentase 100%,
sedangkan faktor persentase luas area
permukaan yang tumbuh tunas belum dapat
diketahui protein apa yang berhubungan
dengannya.
Hasil analisis statistik rataan jumlah
tunas tiap cakram daun dengan ANOVA
tingkat kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa nilai F hitung sebesar 6,87 dengan
peluang nyata sebesar 0,0001 (α=0.01).
Dengan hasil tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa rataan jumlah tunas tiap cakram daun
dengan varietas yang berbeda adalah berbeda
secara signifikan.
Uji Duncan sebagai uji lanjut untuk
mengelompokkan varietas dengan rataan
jumlah tunas tiap cakram daun menunjukkan
bahwa terdapat 5 kelompok Duncan, varietas
yang berada pada kelompok yang sama
menunjukkan rataan jumlah tunas tiap cakram
daun yang tidak berbeda secara signifikan
(Tabel 5).
Varietas yang memiliki potensi
organogenesis tinggi namun jumlah tunasnya
menurut uji Duncan seperti pada varietas
Genjah Kenongo yang memiliki persentase
luas area tumbuh tunas 92% namun dalam
kelompok Duncan tergolong kelompok C,D,E
dapat dijelaskan karena varietas tersebut
memiliki tunas yang kecil dengan ukuran
cakram daun yang kecil juga.
Dari kelompok-kelompok tersebut
diperoleh bahwa varietas Gewol Setiyeng dan
varietas Deli memiliki perbedaan yang sangat
signifikan, sehingga untuk analisis protein,
digunakan 2 varietas ini, namun cakram daun
yang dipilih adalah yang berumur 1 sampai 3
minggu, hal ini karena secara kasat mata
dalam tempo 3 minggu sudah ada perbedaan
yang signifikan terhadap respon
Tabel 4 Data persentase luas area cakram daun tumbuh tunas dari 16 varietas lokal setelah 7 minggu
waktu inkubasi
Varietas Rataan jumlah
tunas
Rataan
Persentase area
tumbuh tunas
(%)
Potensi
organogenesis
Keterangan
Gewol Setiyeng 43 92 Tinggi Tunas kecil, cakram
daun kecil
Srintil 37 92 Tinggi Tunas kecil
Genjah Kenongo 31 91 Tinggi Tunas kecil, cakram
daun kecil
Kemloko
Wonosobo Besar
40 89 Tinggi Tunas kecil + sedang
Gobir Koplo 31 84 Tinggi Tunas kecil + sedang
Jawa 35 83 Tinggi Tunas kecil + sedang
Kemloko Murni 35 81 Tinggi Tunas kecil + sedang
Andong 31 78 Moderat Tunas kecil + sedang
Gobir Mustang 26 76 Moderat Tunas kecil
Gobir Kemloko 29 73 Moderat Tunas kecil
Gewol Kerincing 31 73 Moderat Tunas sedang,
cakram daun besar
Gobir Andong 30 73 Moderat Tunas kecil
Koplo 34 70 Moderat Tunas kecil
Kemloko Putih
Besar
28 71 Moderat Tunas kecil + besar
Deli 25 67 Moderat Tunas kecil + sedang
Cetok 30 56 Moderat Tunas kecil
Tabel 5 Kelompok Duncan berdasarkan
rataan jumlah tunas tiap cakram
daun yang terbentuk
Varietas Rataan
jumlah
tunas
Gewol Setiyeng 43.0 a
Kemloko Wonosobo Besar 40.0 a,b
Srintil 36.6 b,c
Jawa 35.4 b,c,d
Kemloko Murni 35.4 b,c,d
Koplo 34.6 b,c,d
Genjah Kenongo 31.2 c,d,e
Gobir Koplo 31.2 c,d,e
Andong 30.8 c,d,e
Gewol Kerincing 30.7 c,d,e
Cetok 30.4 c,d,e
Gobir Andong 30.0 d,e
Gobir Kemloko 29.0 d,e
Kemloko Putih Besar 27.8 e
Gobir Mustang 25.8 e
Deli 24.8 e
keterangan : huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata.
organogenesis di antara varietas tersebut.
Kemungkinan di tingkat molekuler juga
terdapat perbedaan yang signifikan sehingga
dijadikan landasan untuk pemilihan lama
inkubasi untuk kepentingan analisis protein
cakram daun sebagai respon terhadap
lingkungan tumbuhnya.
Tunas sudah muncul dari cakram daun
setelah 3 minggu. Dari minggu ke-1 hingga
minggu ke-2 terlihat bahwa ukuran cakram
daun membesar yang kemudian pada minggu
ke-3 muncul tunas dari sisi-sisi cakram daun
tembakau (Gambar 11). Pembesaran dan
pembentukan tunas ini merupakan respon
cakram daun ketika diberi tambahan ZPT
NAA dan BAP. NAA (Naphtalene Acetic
Acid) merupakan auksin sintetik yang cara
kerjanya sama dengan auksin alami. ZPT
lainnya yakni BAP (Benziladenin Purine)
merupakan sitokinin sintetik.
Auksin mempunyai efek membesarkan
sel, hal tersebut berawal dari meningkatnya isi
sel tetapi tidak diimbangi dengan
peningkatkan dinding sel sehingga terjadi
tekanan turgor dan hal ini akan mendorong
kerja enzim selulase memotong-motong
selulosa pada dinding primer hingga dinding
elastis dan sel membesar (Santoso & Nursandi
2003, Wattimena 1988).
Gambar 11 Perkembangan cakram daun.
Tembakau varietas Gewol
Setiyeng (atas) (a) minggu I,
(b) minggu II, dan (c) minggu
III dan Deli (bawah) (d)
minggu ke-1, (e) minggu ke-2,
dan (f) minggu ke-3. Tunas
ditunjukkan dengan lingkaran.
Selain membuat sel membesar, auksin
juga mempengaruhi jenis protein yang
terbentuk dan bekerja dengan sangat cepat.
Seperti auksin, sitokinin juga dapat
membesarkan sel dengan jalan mengganggu
enzim tertentu di dalam dinding sel (Salisbury
& Ross 1992). Namun, utamanya sitokinin
berperan memacu pertumbuhan tunas dengan
jalan pemacuan sitokinesis (pembelahan sel).
Sitokinin mendorong pembelahan sel dalam
biakan jaringan dengan cara meningkatkan
peralihan dari G2 ke mitosis (Salisbury &
Ross 1992).
Fase G2 merupakan fase pertumbuhan
sel sesudah replikasi DNA, pada fase ini sel
bersiap untuk membelah. Selain dengan
meningkatkan peralihan dari G2 ke mitosis,
sitokinin juga bekerja dengan cara
meningkatkan kestabilan mRNA, dan karena
itu mempercepat translasi pesan genetik
mereka menjadi protein (Salisbury & Ross
1992).
Salah satu syarat terpenting yang harus
dimiliki suatu tanaman untuk
dikembangankan dalam usaha molecular
farming adalah daya regenerasi dengan
metode kultur jaringan, karena pada
molecular farming digunakan metode kultur
jaringan untuk percepatan mendapatkan bibit
dengan jumlah besar dalam waktu sesingkat-
singkatnya. Organogenesis tunas dari eksplan
daun adalah yang umum digunakan baik
dalam regenerasi maupun transformasi
tembakau. Dari hasil ini, diketahui potensi
organogenesis dari 16 varietas lokal yang ada
di Indonesia, yang dapat dijadikan sebagai
landasan untuk molecular farming.
Mekanisme yang mempengaruhi
organogenesis tunas tidak banyak diketahui,
namun telah diidentifikasi dan dikarakterisasi
2 tipe gen yang mengatur organogenesis tunas
pada Arabidopsis. Tipe gen yang pertama
mengendalikan pembentukan tunas dari sel-
sel yang belum terdiferensiasi, sebagai contoh
adalah gen reseptor sitokinin CRE1. Gen
tersebut menyandikan protein histidin kinase
sehingga dapat memproduksi tunas (Inoue et
al.2001, Ueguchi et al. 2001). Tipe gen kedua
adalah yang mengendalikan jumlah tunas
yang tumbuh, contohnya adalah gen ESR1
(Enhancer of Shoot Regeneration 1). ESR1
menyandikan faktor transkripsi terduga (36.2
kDa) dan jika ekspresinya berlebih maka
dapat menginduksi tunas empat kali lebih
banyak dari kultur akar dibandingkan dengan
kontrolnya (Banno et al. 2001).
Hasil analisis total protein dengan
SDS-PAGE menunjukkan pada minggu kedua
dan ketiga, konsentrasi protein berkurang,
karena selama inkubasi cakram daun
menyerap air, sehingga mempengaruhi berat
sampel saat akan dianalisis.
Urutan Sampel : M = Protein standar
1 = Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng minggu I
2 = Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng
minggu II
3 = Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng
minggu III
4 = Total protein daun tembakau varietas Deli minggu I
5 = Total protein daun tembakau varietas Deli minggu II
6 = Total protein daun tembakau varietas Deli minggu III
Gambar 12 Elektroforegram total protein
pada cakram daun.
Analisis diulang kembali dengan
mengencerkan sampel minggu I dari 0.6 %
(v/v) menjadi 0.2 % (v/v). Hasilnya
menunjukkan konsentrasi sampel minggu I
hampir sama dengan sampel minggu II dan
minggu III (Gambar 13).
Hasil analisis protein ESR1 dengan
SDS-PAGE ditunjukkan pada Gambar 14.
Sampel pada minggu I antara varietas Gewol
Setiyeng yang tumbuh tunas paling banyak
dengan varietas Deli yang tumbuh tunas
paling sedikit menunjukkan ketebalan pita
daerah protein ESR1 (ditunjukkan dengan
tanda panah) yang dimiliki varietas Gewol
Setiyeng agak sedikit lebih tebal dibanding
varietas Deli. Hasil ini lebih mendukung
penyebab mengapa varietas Gewol Setiyeng
dapat menumbuhkan tunas lebih banyak
dibandingkan dengan varietas Deli.
Urutan Sampel : M = Protein standar
1= Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng minggu I
2= Total protein daun tembakau varietas Deli minggu I
3= Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng
minggu II
4= Total protein daun tembakau varietas Deli minggu II
5= Total protein daun tembakau varietas Gewol Setiyeng
minggu III
6= Total protein daun tembakau varietas Deli minggu III
Gambar 13 Elektroforegram total protein
pada cakram daun setelah
sampel minggu I diencerkan.
kDa M 1 2 3 4 5
Gambar 14 Perbandingan pita protein terduga
dari gen ESR1 pada varietas
Gewol Setiyeng dengan varietas
Deli. Urutan sampel dari kiri ke
kanan adalah protein standar,
varietas Gewol Setiyeng,
varietas Deli, pita protein
terduga dari gen ESR1
ditunjukkan dengan tanda panah.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari 16 varietas tembakau lokal,
varietas Gewol Setiyeng menghasilkan
persentase luas area permukaan yang tumbuh
tunas paling tinggi yaitu 92 %, sedangkan
varietas Cetok menghasilkan persentase luas
area permukaan yang tumbuh tunas paling
rendah yaitu 56 %. Varietas Gewol Setiyeng
tergolong dengan jumlah tunas tertinggi (43
tunas) dan varietas Deli terendah (25 tunas).
Hubungan antara persentase luas area
permukaan yang tumbuh tunas dengan jumlah
tunas tiap cakram daun memiliki nilai
R2=0.4423. Pada analisis protein, daerah yang
menunjukkan pita protein terduga dari gen
ESR1 sedikit lebih tebal pada varietas Gewol
Setiyeng. Saran untuk penelitian selanjutnya
adalah perlu dilakukan penelitian potensi
organogenesis terhadap varietas lokal lainnya
yang belum diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Banno H, Ikeda Y, Niu QW, Chua NH. 2001.
Over expression of Arabidopsis ESR1
induces initiation of shoot regeneration.
Plant Cell 13: 1609-1618.
Basuki S, Rochman F, Yulaikah S. 2000.
Biologi tembakau temanggung. Di
dalam: [Balittas] Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat.
Tembakau Temanggung. Malang:
Balittas.
Daniell H, Streatfield SJ, Wycoff K. 2001.
Medical molecular farming: production
of antibodies, biopharmaceuticals and
edible vaccine in plants. Trends Plant
Sci 5:219-226.
Dixon RA. 1985. Isolation and maintenance
of callus and cell suspension cultures.
Di dalam: Dixon RA, editor. Plant Cell
Culture A Practical Approach. Oxford:
IRL Pr. hlm 1-4.
Durbin RD (ed). 1979. Nicotiana: procedures
for experimental use. USDA Tech Bull
1586.
Fischer R, Emans N. 2000. Molecular farming
of pharmaceutical proteins [Abstrak].
Transgenic Res 9:279-299.
Fischer R, Hoffmann K, Schillberg S, Emans
N. 2000. Antibody production by
molecular farming in plants [Abstrak].
J Biol Regul Homeost Agents 14:83-92.
Giddings G, Allison G, Brooks D, Carter A.
2000. Transgenic plants as factories for
biopharmaceuticals. Nat Biotechnol
18:1151-1155.
Goodspeed TH. 1954. The Genus Nicotiana.
Waltham, Mass: Chronica Botanica
Horsch RB. 1985. A simple and general
method for transferring genes into
plants [Abstrak]. Science 227:1229-
1231.
Inoue et al. 2001. Identification of CRE1 as a
cytokinin receptor from Arabidopsis
[Abstrak]. Nature 409:1060-1063.
Kusnadi A, Nikolov ZL, Howard JA. 1997.
Production of recombinant proteins in
transgenic plants: practical
considerations. Biotechnol Bioeng
56:473-484.
Li B, Huang W, Bass T. 2003. Shoot
production per responsive leaf explant
increases exponentially with explant
organogenic potential in Nicotiana
species. Plant Cell Rep 22:231-238.
Maliga P. 2003. Progress towards
commercialization of plastid
transformation technology. Trends
Biotechnol 21:20-28.
Margaret et al. 1991. Compendium of tobacco
diseases. Minnesota: APS Pr.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000.
Perancangan Percobaan. Bogor: IPB
Pr.
Napier R. 2004. Plant hormone binding site.
Annals of Botany 93:227-233.
Niesing B. 2001. Therapeutic drugs from
tobacco. [terhubung berkala].
http://www.fraunhofer.de/fhg/archiv/m
agazin/pflege.zv.fhg.de/english/publica
tions/df/df2001/magazine2_2001_22.p
df. [16 Maret 2006].
Pelczar MJ dan Chan ECS. 1986. Dasar-
Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo
SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI
Pr. Terjemahan dari: Elements of
Microbiology.
Rochman F, Suwarso. 2000. Kultivar lokal
temanggung dan usaha perbaikannya.
Di dalam : [Balittas] Balai Penelitian
Tembakau dan Tanaman Serat.
Tembakau Temanggung. Malang :
Balittas.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi
Tumbuhan . Volume ke-3. Lukman DR,
penerjemah; Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Plant Physiology.
Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan
Tanaman. Malang: UMM Pr.
Svab Z, Maliga P. 1993. High frequency
plastid transformation in tobacco by
selection for a chimeric aadA gene.
Proc Natl Acad Sci USA 90: 913-917.
Tisserat B. 1985. Embryogenesis,
organogenesis and plant regenration. Di
dalam: Dixon RA, editor. Plant Cell
Culture A Practical Approach. Oxford:
IRL Pr. hlm 79-105.
Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi
Tumbuhan Obat-Obatan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Pr.
Ueguchi C, Sato S, Kato T, Tabata S. 2001.
The AHK4 gene involved in the
cytokinin signaling pathway as a direct
receptor molecule in Arabidopsis
thaliana. Plant Physiol 42: 751-755.
[Abstrak].
Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh
Tanaman. Bogor: PAU Bioteknologi
IPB.
Witarto AB. 2005. Molecular farming pada
tembakau, protein bernilai tinggi untuk
terapetik dan diagnostik, human
erythropoietin dan sialidase. [terhubung
berkala]. http://www.biodiversity-
lipi.org/programmes/biotech/biotech_ar
ief.html - 4k -. [30 Maret 2006].
Witarto AB, Desriani. 2005. Potensi
organogenesis 9 tembakau varietas
lokal. Di dalam: Laporan Kerja
Tahunan Puslit Bioteknologi LIPI.
Bogor: Puslit Bioteknologi LIPI
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara
Memperbanyak Tanaman Secara
Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.
16
LAMPIRAN
17
Lampiran 1 Komposisi larutan stok Media MS
1 Stok Hara Makro
Nama bahan Konsentrasi akhir
(g/L)
Stok 20X dalam
1000 ml (g)
Pemakaian
NH4NO3 1.650 33.0
KNO3 1.900 38.0 50 ml stok/liter media
MgSO4 0.370 7.4
KH2PO4 0.170 3.4
CaCl2 0.440 8.8
2 Stok Hara Mikro
Nama bahan Konsentrasi akhir
(mg/L)
Stok 500X dalam 200
ml (mg)
Pemakaian
KI 0.830 83.0
H3BO3 6.200 620.0
MnSO4 .4H2O 22.300 2230.0 2 ml stok/liter
media
ZnSO4.7H2O 8.600 860.0
Na2MoO4.2H2O 0.250 25.0
CuSO4.5H2O 0.025 2.5
CoCl2.6H2O 0.025 2.5
3 Stok NaFeEDTA
Nama bahan Konsentrasi akhir
(mg/L)
Stok 200X dalam
100 ml (mg)
Pemakaian
NaFeEDTA 36,700 734 mg 5 ml/liter
4 Stok Vitamin dan Asam Amino
Nama bahan Kosentrasi akhir
(mg/L)
Stok 200X dalam
100 ml (mg)
Pemakaian
Asam nikotinat 0.5 10 5 ml stok/liter
media
Piridoksin HCl 0.5 10
Tiamin HCl 0.3 2
Glisin 3.0 60
18
Lampiran 2 Tahap-tahap kerja penelitian
diambil daun kedua atau ketiga dari pucuk
dipotong berukuran 0.5 cm x 0.5 cm
ditanam di media induksi tunas
planlet tembakau
daun tembakau
cakram daun
pembentukan tunas
analisis statistik ekstraksi dan analisis
protein
19
Lampiran 3 Tahap-tahap ekstraksi dan analisis protein
cakram daun (0.3 g) + bufer ekstraksi protein 0.6 ml
digerus
disentrifus 15000 rpm, 20 menit, 4 oC
Pelet (debris sel dan sel belum hancur)
Supernatan (protein larut air dan fraksi membran dengan protein membran)
Ekstrak protein 64 µL + loading bufer 16 µL
Dididihkan 5 menit
Sampel dipindahkan ke gel
Hubungkan ke alat elektroforesis dengan power supply 110 volt, diatur 30 mA,
selama 120 menit
Gel + pewarna (larutan staining)
Didiamkan 1 malam
Larutan staining diganti dengan larutan destaining
Didiamkan 30 menit
Larutan destaining dibuang, dan gel dipanaskan selama 60 menit untuk
menghilangkan warna yang tidak terikat protein.
Gel dikemas dalam plastik mika
20
Lampiran 4 Larutan stok SDS-PAGE
1. 30 % Akrilamid
29.2 g akrilamid + 0.8 g N’N’-bis-metilen-akrilamid
Volume diatur hingga 100 ml, disimpan di tempat gelap, suhu 4 oC.
2. 1.5 M Tris-HCl (pH 8.8)
18.15 g basa Tris, pH diatur 8.8 dengan tambahan HCl.
Volume diatur hingga 100 ml, disimpan pada suhu 4 oC.
3. 0.5 M Tris-HCl (pH 6.8)
6.05 g basa Tris, pH diatur hingga 6.8 dengan tambahan HCl.
Volume diatur hingga 100 ml, disimpan pada suhu 4 oC.
4. 10 % SDS
10 g SDS dilarutkan dalam akuades hingga volumeya 100 ml.
5. 0.9 % APS (Ammonium Peroksida Sulfat)
0.09 g APS dilarutkan dalam 10 ml akuades, disimpan dalam 2 ml aliquot,
disimpan di freezer, dibiarkan mencair sebelum digunakan.
6. TEMED
7. Buffer elektroforesis stok 5x
15 g Tris-HCl + 72 g glisin + 5 g SDS.
Volume diatur hingga 1000 ml.
8. Loading buffer stok 3x
3 ml Tris-HCl 0,5 M (pH 6.8)
+ 0.3 ml EDTA 0,2 M
+ 3 ml 10 % SDS
+ 0.3 ml β-merkaptoetanol
+ 2.4 ml glisin
+ 3 ml akuades
9. Larutan resolving buffer
10 ml Tris-HCl 1.5 M (pH 8.8)
+ 0.4 ml SDS dan akuades 12. 4 ml.
10. Larutan stacking buffer
8 ml Tris-HCl 0,5 M (pH 6.8)
+ 0.3 ml SDS 10 % dan akuades 12 ml.
21
Lampiran 5 Komposisi gel akrilamid 10 %
1. Resolving gel
a. Resolving buffer 5.00 ml
b. Akrilamid 30% 4.00 ml
c. APS 0.9% 1.00 ml
d. TEMED 0.01 ml
Total 10.01 ml
2. Stacking gel
a. Resolving buffer 1.456 ml
b. Akrilamid 30% 1.174 ml
c. APS 0.9% 0.300 ml
d. TEMED 0.004 ml
Total 2.934 ml
22
Lampiran 6 Data hasil uji RAL ANOVA
Hasil Analisis Ragam - RAL
General Linear Models Procedure Class Level Information Class Levels Values VAR 16 1 2 3 4 5 6 8 9 b c d e h j k l Number of observations in data set = 76 Hasil Analisis Ragam - RAL General Linear Models Procedure Dependent Variable: TUNAS Jumlah tunas tiap cakram daun Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 15 1796.69122807 119.77941520 6.87 0.0001 Error 60 1045.46666667 17.42444444 Corrected Total 75 2842.15789474 R-Square C.V. Root MSE TUNAS Mean 0.632157 12.88561 4.17425975 32.39473684 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F VAR 15 1796.69122807 119.77941520 6.87 0.0001 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F VAR 15 1796.69122807 119.77941520 6.87 0.0001
23
Lampiran 7 Data hasil uji Duncan
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: TUNAS NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate,
not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 60 MSE= 17.42444 WARNING: Cell sizes are not equal. Harmonic Mean of cell sizes= 4.615385 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 5.496 5.782 5.971 6.108 6.213 6.298 6.367 6.426 Number of Means 10 11 12 13 14 15 16 Critical Range 6.475 6.518 6.556 6.588 6.617 6.643 6.666 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N VAR A 43.000 5 2 A B A 40.000 5 k B B C 36.600 5 e B C B C D 35.400 5 h B C D B C D 35.400 5 9 B C D B C D 34.600 5 d C D E C D 31.200 5 b E C D E C D 31.200 5 5 E C D E C D 30.800 5 l E C D E C D 30.667 3 3 E C D E C D 30.400 5 c E D E D 30.000 3 1 E D E D 29.000 5 4 E E 27.800 5 j E E 25.800 5 6
E E 24.800 5 8
24
Lampiran 8 Kurva protein standar SDS PAGE ulangan I
BM log BM Jarak geraknya pewarna (cm)
jarak geraknya pita (cm) Rf
94 1.973128 7.7 2.5 0.324675
67 1.826075 7.7 3.5 0.454545
43 1.633468 7.7 5.3 0.688312
30 1.477121 7.7 6.5 0.844156
20.1 1.303196 7.7 7.7 1
y = -0.9663x + 2.2826
R2 = 0.997
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Rf
Log BM
25
Lampiran 9 Kurva protein standar SDS PAGE ulangan II
BM log BM Jarak geraknya pewarna (cm)
jarak geraknya pita (cm) Rf
94 1.973128 7.3 2 0.273973
67 1.826075 7.3 3 0.410959
43 1.633468 7.3 4.5 0.616438
30 1.477121 7.3 6.1 0.835616
20.1 1.303196 7.3 7.3 1
y = -0.8963x + 2.2049
R2 = 0.996
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Rf
log BM
26
Lampiran 10 Data jumlah tunas dari 16 varietas lokal tembakau
Varietas Minggu I Minggu III Minggu VII Keterangan
ulangan
jumlah tunas
ulangan
jumlah tunas
ulangan jumlah
tunas
Gobir
Andong
0,0,0,0,0 3,3,2 30,34,26 2 cakram daun
terkontaminasi
Gewol
Setiyeng
0,0,0,0,0 4,4,2,4,3 47,40,45,40,43
Gewol
Kerincing
0,0,0,0,0 6,5,1 32,34,26 2 cakram daun
terkontaminasi
Gobir
Kemloko
0,0,0,0,0 2,3,2,3,4 20,34,30,26,35
Gobir
Koplo
0,0,0,0,0 3,2,1,3,3 29,39,26,27,35
Gobir
Mustang
0,0,0,0,0 3,0,1,1,1 19,27,24,27,32
Deli 0,0,0,0,0 1,3,2,0,0 28,27,22,23,24
Jawa 0,0,0,0,0 2,1,5,5,4 34,39,35,37,32
Genjah
Kenongo
0,0,0,0,0 2,3,3,7,6 34,30,31,30,31
Cetok 0,0,0,0,0 3,4,2,4,2 33,29,36,34,20
Koplo 0,0,0,0,0 3,4,2,2,4 39,36,30,35,33
Srintil 0,0,0,0,0 2,5,4,3,2 33,38,42,35,35
Kemloko
Murni
0,0,0,0,0 5,4,5,5,7 38,35,34,34,36
Kemloko
Putih Besar
0,0,0,0,0 2,4,3,1,2 16,32,28,31,32
Kemloko
Wonosobo
Besar
0,0,0,0,0 3,2,5,6,6 40,38,42,41,39
Andong 0,0,0,0,0 4,5,5,3,2 31,33,28,35,27