hubungan gejala rinosinusitis kronik jeanny bubun

22

Click here to load reader

Upload: nurul-charla-hidayah

Post on 11-Aug-2015

39 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar PerkasaBagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Tingginya prevalensi rinosinusitis kronik (RSK) di masyarakat memerlukan

deteksi dini, karena berdampak terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Gejala dan tanda RSK dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis dan evaluasi terapi, terutama di tempat yang belum memiliki

CT scan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara gejala dan tanda RSK berdasarkan “Task

Force”, menurut American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic

Society (ARS), dengan gambaran CT scan sinus paranasal berdasarkan skor “Lund-Mackay”.

Metode: Penelitian adalah suatu cross sectional study. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji

assosiasi linier. Hasil: Dari 53 orang sampel penelitian diperoleh gejala mayor yang paling sering

adalah rinore mukopurulen (83%), obstruksi nasi (81,1%), PND (81,1%), serta sekret di rongga

hidung (67,9%) dan gejala minor yang paling sering adalah sakit kepala (90,6%). Berdasarkan hasil

temuan CT scan, 7 orang (13,2%) tidak terdeteksi RSK dan yang paling banyak adalah multisinusitis

(52,8%). Rata-rata skor gejala sinus adalah 1-22, dengan grading skor yang tertinggi 1-8, yaitu 32

orang (60,3%). Kesimpulan: Penelitian terdapat hubungan yang bermakna antara gejala dan tanda

RSK berdasarkan “Task Force”, menurut AAOA dan ARS dengan gambaran CT scan berdasarkan

skor “Lund-Mackay” dengan p=0,035.

Kata kunci: rinosinusitis kronis, gejala, CT scan, skor Lund-Mackay

ABSTRACT

Background: The high prevalence of chronic rhinosinusitis in society required an early detection,

because of its impact on quality of life and economic burden. Symptoms and sign of chronic

rhinosinusitis could be used as a diagnosis and treatment evaluation, primarily in the setting where

CT scan is not available. Purpose: This study was aimed to find out the relationship between

symptoms and sign of chronic rhinosinusitis by using “Task Force”, according to the American

Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) and American Rhinologic Society (ARS), with paranasal

sinus CT scan image according to “Lund-Mackay” score. Methods: This is a cross sectional study.

The collected data was analyzed with linier association test. Results: From 53 samples, the most

common major symptoms including mucopurulent nasal discharge (83%), nasal obstruction (81.1%),

1

Laporan Penelitian

Page 2: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

post nasal drips (81.1%), discharge in the nasal cavity (67.9%) and common minor symptom is

headache (90.6%). Based on CT scan findings, 7 patients (13.2%) was not detected as chronic

rhinosinusitis and the most common is multisinusitis (52.8%). Average sinus symptoms scores are 1-

22, with highest grading scores are 1-8 about 32 patients (60.3%). Conclusion: There is a significant

association between symptoms and sign of chronic rhinosinusitis based on “Task Force” according

to AAOA and ARS with CT scan image based on “Lund Mackay” scores with p=0.035.

Key words: chronic rhinosinusitis, symptoms, CT scan, Lund-Mackay score

Alamat korespondensi: Jeanny Bubun, Bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Makassar. E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi

mukosa yang melapisi hidung dan sinus

paranasal. Peradangan ini sering bermula

dari infeksi virus, yang karena keadaan

tertentu berkembang menjadi infeksi

bakterial dengan penyebab bakteri patogen

yang terdapat di saluran napas bagian atas.

Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi

gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur

dan tumor.1,2

Menurut perjalanan penyakit sesuai

konsensus tahun 2004, rinosinusitis dibagi

dalam bentuk akut dengan batas sampai 4

minggu, subakut antara 4 sampai 12

minggu dan kronik jika lebih dari 12

minggu.3

Rinosinusitis kronik mempunyai

prevalensi yang cukup tinggi.

Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta

kunjungan ke dokter per tahun

dihubungkan dengan rinosinusitis atau

akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis

diperkirakan mengenai 10%–30%

populasi. Sebanyak 14% penduduk

Amerika, paling sedikitnya pernah

mengalami episode rinosinusitis semasa

hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan

menderita RSK. Dari respiratory

surveillance program, diperoleh data

demografik mengenai rinosinusitis paling

banyak ditemukan secara berturut-turut

pada etnis kulit putih, Afrika Amerika,

Spanyol dan Asia.4,5,6

Di Indonesia, di mana penyakit infeksi

saluran napas akut masih merupakan

penyakit utama di masyarakat, angka

kejadiannya belum jelas dan belum banyak

dilaporkan. Insiden kasus baru

rinosinusitis pada penderita dewasa yang

berkunjung di Divisi Rinologi Departemen

THT RS Cipto Mangunkusumo, selama

Januari–Agustus 2005 adalah 435 pasien.2

Di Makassar sendiri, terutama di rumah

sakit pendidikan selama tahun 2003–2007,

2

Page 3: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari

seluruh kasus rawat inap di Bagian THT.7,8

Menurut Task Force yang dibentuk

oleh the American Academy of

Otolaryngic Allergy (AAOA), dan

American Rhinologic Sosiety (ARS),

gejala klinik pada orang dewasa dapat

digolongkan menjadi gejala mayor dan

minor. Rinosinusitis kronik dapat

ditegakkan berdasarkan adanya dua gejala

mayor atau lebih, atau satu gejala mayor

ditambah dua gejala minor. Telah

dilaporkan bahwa kriteria Task Force ini

mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu

87,7% dalam mendiagnosis

rinosinusitis.7,9-11 Hwang et al12 pada tahun

2003, meneliti hubungan antara gejala

rinosinusitis dengan derajat CT scan sinus

paranasal sesuai skor Lund-Mackay. Hasil

penelitian dari 125 sampel menunjukkan

bahwa ingus purulen mempunyai nilai

duga positif sebesar (75%), hiposmia

(69%), nyeri wajah (67%), hidung

tersumbat (67%) dan nyeri kepala (64%).

Hwang menyatakan bahwa kriteria

diagnosis berdasarkan gejala klinik yang

digunakan oleh Task Force mempunyai

nilai sensitivitas yang cukup tinggi

terhadap hasil CT scan, yaitu 89%.

Bhattacharya et al13 pada tahun 2004,

melaporkan keakuratan CT scan dalam

mendiagnosis RSK pada anak-anak

berdasarkan skor Lund-Mackay

mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas

yang tinggi, yaitu 86% dan 85%.

Amaruddin dkk.14 pada tahun 2006,

melakukan penelitian yang serupa dengan

hasil dari 22 sampel, gejala yang paling

sering adalah hidung tersumbat (100%),

ingus purulen (95,5%), nyeri sinus (91%),

fatigue (63,6%), gangguan penghidu

(59,1%) dan gangguan tidur (54,5%).

Hasil uji korelasi antara skor gejala dan

skor CT scan menunjukkan adanya

hubungan yang linier.

Gejala yang timbul akibat RSK

merupakan salah satu hal penting dalam

menegakkan diagnosis, di samping

pemeriksaan pencitraan seperti CT scan.

Ada beberapa kriteria pengklasifikasian

rinosinusitis berdasarkan gambaran CT

scan, tetapi sistem staging CT scan Lund-

Mackay lebih sering digunakan, karena

dianggap lebih sederhana dan merupakan

satu-satunya sistem yang

direkomendasikan oleh Task Force untuk

mendiagnosis rinosinusitis.10,12

Di Indonesia, masih banyak rumah

sakit dan pusat kesehatan yang belum

memiliki fasilitas CT scan dan kalaupun

tersedia, tidak semua pasien mampu

membayarnya, sehingga penentuan

diagnosis dan evaluasi hasil terapi

berdasarkan gejala dapat digunakan

sebagai salah satu alternatif.14

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara gejala dan

3

Page 4: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

tanda RSK berdasarkan Task Force,

menurut AAOA dan ARS dengan

gambaran CT scan sinus paranasal

berdasarkan skor Lund-Mackay. Penelitian

ini belum pernah dilakukan sebelumnya di

Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar.

METODE

Penelitian dilakukan di RS Wahidin

Sudirohusodo, selama periode waktu

penelitian mulai Desember 2008 sampai

April 2009.

Populasi penelitian ini adalah semua

penderita yang datang berobat di lokasi

penelitian dengan keluhan pilek atau

hidung tersumbat lebih dari 12 minggu.

Sampel adalah semua penderita yang telah

terdiagnosa sebagai tersangka RSK.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan

fisis diagnostik THT termasuk kriteria

inklusi, serta tidak termasuk kriteria

eksklusi. Cara pengambilan sampel

dilakukan dengan cara consecutive

sampling, yaitu setiap penderita yang

berobat di poli THT yang memenuhi

syarat inklusi sampel. Besar sampel adalah

53 orang berdasarkan distribusi normal

dari Gauss.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini

adalah penderita yang didiagnosis

tersangka RSK, dan akan menjalani CT

scan sinus paranasal potongan koronal

tanpa kontras dengan posisi prone, umur

≥15 tahun. Kriteria eksklusi adalah

penderita dengan riwayat operasi hidung

terdiagnosis polip nasi dan tumor

sinonasal, terdapat riwayat trauma hidung

dan maksilofasial.

Bahan penelitian adalah subjek

penelitian yang terdiagnosis tersangka

RSK tanpa polip nasi, alat diagnostik set

THT, rekaman foto hasil CT scan sinus

paranasal potongan koronal tanpa kontras,

lembar kuisioner, kamera digital Canon

Power Shot A570 IS, 7,1 MP.

Cara kerja penelitian adalah sebagai

berikut: a) ditanyakan identitas, keluhan

utama, lamanya, serta gejala lainnya

berdasarkan kriteria Task Force yang

terjadi akibat RSK dan dicatat dalam

lembar kuisioner; b) pemeriksaan fisis

THT; c) setelah dicurigai RSK, diberi

penjelasan dan pengisian informed

consent; d) terhadap sampel sebelum

diberikan terapi langsung, dilakukan

pemeriksaan CT scan sinus paranasal

potongan koronal tanpa kontras dengan

irisan 3 mm; e) print out CT scan

didokumentasi dengan kamera digital,

kemudian melalui komputer, CT scan

sinus paranasal dinilai sesuai skor Lund-

Mackay.

Berdasarkan peran dan skalanya,

variabel dalam penelitian ini dibagi atas: a)

variabel bebas adalah gejala mayor dan

gejala minor berdasarkan Task Force

menurut AAOA dan ARS. Gejala dan

4

Page 5: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

tanda rinosinusitis mayor-minor menurut

Task Force, yang dibentuk oleh AAOA

dan ARS adalah keluhan subjektif

penderita yang dirasakan sebagai akibat

adanya peradangan mukosa hidung dan

sinus paranasal. Gejala mayor berupa

rinore, obstruksi nasi, nyeri wajah, sekret

di rongga hidung (dengan rinoskopi

anterior), post nasal drip, gangguan

penghidu. Sedangkan gejala minor berupa

sakit kepala, halitosis, rasa lelah, nyeri

gigi, rasa nyeri/penuh telinga dan demam.

Diagnosis rinosinusitis dapat ditegakkan

berdasarkan dua gejala mayor atau lebih,

atau satu gejala mayor ditambah dua gejala

minor;10,15 b) variabel tergantung adalah

derajat RSK, yang diukur berdasarkan

gambaran CT scan sinus paranasal

potongan koronal tanpa kontras dan dinilai

menurut skor Lund-Mackay. Skor CT scan

sinus paranasal menurut Lund-Mackay,

berdasarkan temuan setiap sinus di sisi

kanan dan kiri serta diberi skor nomor 0=

tidak ada kelainan, 1= perselubungan

parsial, dan 2= perselubungan total.

Sedangkan untuk setiap KOM diberi skor

nomor 0= tidak ada obstruksi dan 2=

obstruksi, sehingga skor total

kemungkinan adalah 24;10,16,17 c) variabel

yang tidak diteliti adalah faktor-faktor

predisposisi terjadinya suatu RSK, yaitu

alergi, genetik, imunodefisiensi,

lingkungan, tumor, mikroorganisme,

kelainan anatomi.

Data yang diperoleh dari hasil

penelitian ini diolah uji assosiasi linier,

untuk menilai hubungan antara gejala dan

tanda RSK berdasarkan Task Force,

menurut AAOA dan ARS dengan

gambaran CT scan sinus paranasal

berdasarkan skor Lund-Mackay. Hasil

dianggap bermakna jika nilai p<0,05.

HASIL

Selama kurun waktu 5 bulan, yaitu dari

bulan Desember 2008 sampai bulan April

2009, telah dilakukan pengambilan sampel

pada penderita RSK yang telah menjalani

pemeriksaan CT scan sinus paranasal

potongan koronal tanpa kontras di Bagian

Radiologi RS Wahidin Sudirohusodo,

yang memenuhi kriteria penelitian dengan

jumlah total sampel sebanyak 53 orang.

Tersangka RSK terbanyak ditemukan

pada kelompok umur 31-40 tahun, yaitu 18

orang (34%). Dan ditemukan lebih banyak

pada laki-laki, yaitu 28 orang (52,8%)

dibandingkan perempuan, yaitu 25 orang

(47,2%).

Distribusi jumlah gejala mayor pada

tersangka RSK terdapat paling banyak 2

gejala, yaitu 15 orang (28,3%), kemudian

5 gejala, yaitu 14 orang (26,4%) disusul 3

gejala dan 4 gejala, masing-masing 11

orang (20,8%) dan paling sedikit 1 gejala,

yaitu sebanyak 2 orang (3,8%). Sedangkan

jumlah gejala minor pada penderita RSK

5

Page 6: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

paling banyak adalah 2 gejala, yaitu 16

orang (30,2%) diikuti 1 gejala, yaitu 15

orang (28,3%), 3 gejala 12 orang (22,6%)

dan 4 gejala, yaitu 6 orang (11,3%), dan

yang paling sedikit yaitu tanpa gejala dan

6 gejala masing-masing 1 orang (1,9%).

Dari keseluruhan sampel, ada 52 orang

didiagnosis sebagai RSK menurut Task

Force, dan satu lainnya yang mempunyai

satu gejala mayor dan satu gejala minor

dianggap sebagai suspek RSK. Gejala

mayor pada tersangka RSK paling banyak

adalah rinore mukopurulen, yaitu 44 orang

diikuti obstruksi nasi dan PND, terdapat

sekret di rongga hidung pada pemeriksaan

rinoskopi anterior, nyeri wajah, serta

paling sedikit gangguan penghidu. Gejala

minor pada tersangka RSK yang paling

banyak adalah sakit kepala, yaitu 48 orang

(90,6%) dan paling sedikit gejala demam.

Data selengkapnya terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi gejala mayor dan gejala minor pada tersangka RSK

Gejala Mayor N % Gejala Minor N %

Rinore mukopurulen 448317

Sakit Kepala 48 90,6

Obstruksi nasi 43 81,1 Halitosis 13 24,5

Nyeri wajah 32 60,4 Lelah 26 49,1

Sekret pada RA 36 67,9 Sakit gigi 18 34,0

PND 43 81,1 Rasa nyeri/penuh telinga 9 17,0

Gangguan penghidu 16 30,2 Batuk 6 11,3

Demam 3 5,7

Distribusi jumlah sinus yang terlibat

berdasarkan CT scan sinus paranasal,

menunjukkan bahwa temuan hasil CT scan

sinus paranasal pada potongan koronal

terbanyak sebagai multisinusitis, yaitu 28

orang (52,8%) diikuti pansinusitis, yaitu 7

orang (13,2%), satu sinus yaitu 6 orang

(11,3%), dan yang paling sedikit

melibatkan dua sinus, yaitu 5 orang

(9,4%). Dari 53 sampel tersangka RSK,

didapatkan ada 7 orang (13,2%) yang tidak

terdeteksi sebagai sinusitis berdasarkan CT

scan sinus paranasal.

Lokasi kelainan masing-masing sinus

paranasal dapat dideteksi dengan

pemeriksaan CT scan sinus paranasal.

Pada perselubungan parsial, paling banyak

didapatkan di sinus maksila kanan, yaitu

32 orang (60,4%) dan sinus maksila kiri,

yaitu 31 orang (58,5%) diikuti sinus

etmoid anterior kanan, yaitu 22 orang

(41,6%), sinus etmoid anterior kiri 20

orang (37,7%) dan paling sedikit adalah

sinus sfenoid kiri, yaitu 5 orang (9,4%).

Demikian juga pada perselubungan

total, sinus yang paling banyak terlibat

6

Page 7: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

adalah sinus maksila, baik kanan maupun

kiri masing-masing 6 orang (11,3%) dan 5

orang (9,4%), diikuti berturut-turut sinus

frontal kanan, yaitu 7 orang (13,2%), sinus

etmoid anterior dan sinus frontal kiri

masing-masing 4 orang (7,5%) dan yang

paling sedikit sinus etmoid posterior, sinus

sfenoid kanan dan kiri masing-masing 2

orang (3,8%).

Kelainan pada KOM dapat dideteksi

dengan pemeriksaan CT scan sinus

paranasal, yaitu 29 orang (54,8%). Dari 53

orang yang mengalami obstruksi pada

KOM, dengan perincian obstruksi kanan

dan kiri 18 orang (34%), obstruksi KOM

kanan 8 orang (15,1%) dan obstruksi

KOM kiri 3 orang (5,7%) dan yang tidak

obstruksi ada 24 orang (45,3%).

Dari 47 sampel yang terdeteksi sebagai

RSK berdasarkan temuan CT scan, skor

Lund-Mackay berkisar antara 1-22, dengan

skor 1 dan 3 yang terbanyak, masing-

masing sebanyak 6 orang (11,3%) diikuti

skor 6 dan 8, masing-masing 5 orang

(9,4%), skor 4 dan 5 masing-masing 3

orang (5,7%), skor 2,7,10,13 dan 14

masing-masing 3 orang (5,7%) dan yang

paling sedikit skor 9,11,15 sampai 22

gejala masing-masing 1 orang (1,9%).

Dari 52 penderita yang terdiagnosis

RSK menurut gejala klinik “Task Force”

paling banyak dengan grading skor 1-8,

yaitu sebanyak 32 orang (60,3%) dan

paling sedikit di grading 17-24 dan 6

orang (11,3%) yang terdiagnosis sebagai

RSK, tidak terdeteksi dengan CT scan.

Selain itu yang masih tersangka RSK yaitu

1 orang (1,9%), memang tidak terdeteksi

dengan CT scan. Hal ini terlihat jelas pada

tabel 2.

Tabel 2. Distribusi tersangka RSK dengan skor CT scan sinus paranasal

SkorCT scan

Kriteria Task ForceRSK Tersangka RSK

N % N %01-89-1617-24

632104

11,360,318,97,6

1000

1,9000

Jumlah 52 98,1 1 1,9

Tabel 3. Distribusi jumlah sinus yang terlibat dengan skor CT scan sinus paranasal

Skor Jumlah sinus yang terlibat Jumlah

7

Page 8: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

CT scanNol Satu Dua Multi Pan

N % N % N % N % N % N %

0 7 13,2 0 0 0 0 0 0 0 0 7 13,2

1-8 0 0 6 11,3 5 9,4 21 39,6 0 0 32 60,4

9-16 0 0 0 0 0 0 7 13,2 3 5,7 10 18,9

17-24 0 0 0 0 0 0 0 0 4 7,5 4 7,5

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin

banyak sinus yang terlibat semakin tinggi

grading skor CT scan sinus paranasal.

Sebagai contoh pada multisinusitis, paling

banyak dengan grading 1-8 sebanyak 21

orang (39,6%), sedangkan pansinusitis

banyak didapatkan pada grading 17-24,

yaitu 4 orang (7,5%).

Dengan menggunakan uji association

linear, secara statistik terdapat hubungan

yang bermakna antara gejala klinis

menurut Task Force AAOA dan ARS,

dengan CT scan sinus paranasal sesuai

dengan skor Lund-Mackay, maka terdapat

kecenderungan bahwa semakin banyak

sinus yang terlibat, maka semakin tinggi

grading skor CT scan sinus paranasal. Dan

semakin banyak gejala mayor dan minor

yang didapatkan pada tersangka RSK,

maka kemungkinan jumlah sinus yang

terlibat semakin banyak.dengan p=0,035

(p<0,05).

DISKUSI

Berdasarkan hasil gejala klinis dan

pemeriksaan fisis, menurut kriteria Task

Force yang merupakan suatu kelompok

kerja yang dibentuk oleh AAOA dan ARS

yang menyatakan bahwa diagnosis RSK

dapat ditegakkan berdasarkan dua gejala

mayor atau lebih, atau satu gejala mayor

ditambah dua gejala minor, maka hasil

penelitian kami pada tabel 4 menunjukkan

bahwa dari 53 orang dengan tersangka

RSK, terdapat 52 orang yang didiagnosis

dengan RSK dan 1 orang (1,9%) yang

mempunyai hanya satu gejala mayor dan

satu gejala minor dan dianggap sebagai

tersangka RSK.

Satu pasien yang masih tersangka RSK

menurut Task Force dengan gejala mayor

adalah rinore, dan gejala minor adalah rasa

lelah. Hal ini terjadi karena pada saat

pengambilan sampel, peneliti hanya

berdasarkan adanya keluhan hidung

berupa rinore yang berlangsung lebih dari

12 minggu tanpa melihat adanya keluhan

lain yang menyertai. Kemungkinan pasien

menderita rinitis alergi atau rinitis

vasomotor yang merasa terganggu dengan

adanya rinore saat terpapar dengan faktor

pencetus.

8

Page 9: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

Gejala mayor yang paling sering

adalah rinore mukopurulen sebanyak 44

orang (83%), diikuti obstruksi nasi dan

PND, sekret di rongga hidung pada

pemeriksaan rinoskopi anterior, nyeri

muka dan paling sedikit gangguan

penghidu, yaitu sebanyak 16 orang

(30,2%). Gejala minor yang paling banyak

adalah sakit kepala sebanyak 48 orang

(90,6%).

Hasil penelitian ini serupa penelitian

sebelumnya oleh Hwang et al12 (2003) dan

Amaruddin dkk.14 (2006). Menurut Hwang

et al,12 gejala yang didapatkan berturut-

turut ingus purulen (75%), hiposmia

(69%), nyeri wajah (67%), hidung

tersumbat (67%) dan nyeri kepala (64%).

Sementara Amaruddin dkk.14 di

Yogyakarta menyebutkan bahwa dari 22

sampel, gejala yang paling menonjol

adalah hidung tersumbat (100%), diikuti

ingus purulen (95,5%), nyeri sinus (91%),

fatigue (63,6%), gangguan penghidu

(59,1%) dan gangguan tidur (54,5%).

Gangguan penghidu merupakan gejala

mayor yang paling sedikit didapatkan pada

penelitian kami, hal ini kemungkinan

disebabkan karena gangguan penghidu

merupakan gejala yang subjektif pada

setiap sampel dan tidak dilakukan

penilaian secara objektif, karena fasilitas

dan waktu yang tidak memungkinkan.

Sakit kepala walaupun bukan suatu

gejala khas RSK, tetapi merupakan gejala

yang sering ditemukan atau menyebabkan

seseorang berobat ke dokter. Sakit kepala

pada penderita RSK, kemungkinan besar

disebabkan karena adanya edema atau

kelainan anatomi rongga hidung yang

menyebabkan terjadinya obstruksi di

ostium sinus.18 Sakit kepala pada RSK

biasanya terasa pada pagi hari dan akan

berkurang atau hilang pada siang hari.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti,

tetapi mungkin karena pada malam hari

terjadi penimbunan sekret dalam rongga

hidung dan sinus, serta adanya stasis

vena.3

Pada pemeriksaan CT scan sinus

paranasal potongan koronal berdasarkan

jumlah sinus, maka multisinusitis paling

banyak didapatkan, yaitu 28 orang

(52,8%), diikuti berturut-turut pansinusitis,

1 sinus dan paling sedikit 2 sinus dan ada 7

orang (13,2%) lainnya yang tidak

terdiagnosis sebagai RSK berdasarkan

kriteria Lund-Mackay.

Tujuh orang yang tidak terdeteksi

sebagai RSK melalui CT scan sinus

paranasal, dimungkinkan karena

sebelumnya pasien sudah pernah berobat

baik ke pusat kesehatan lainnya atau

bahkan mengobati diri sendiri. Pada

penelitian kami terlihat bahwa sampel

yang tidak terdeteksi dengan CT scan

hanya mempunyai beberapa gejala mayor

dan minor saja. Selain itu kemungkinan

pasien memang menderita rinitis kronis

9

Page 10: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

baik karena alergi maupun vasomotor,

tetapi belum disertai dengan sinusitis

karena KOM masih terbuka, sehingga

drainase dan ventilasi sinus masih tetap

baik.

Lokasi sinus yang terbanyak

ditemukan sesuai dengan hasil CT scan,

yaitu di sinus maksila kanan maupun kiri,

diikuti secara berturut-turut sinus etmoid

anterior dan posterior, sinus frontalis dan

paling sedikit sinus sfenoid. Hasil serupa

dengan penelitian Amaruddin dkk.14

(2006) dan Tumbel19 (2005).

Lokasi sinus yang terbanyak

ditemukan di sinus maksila, menandakan

bahwa selain faktor rinogen atau

tersumbatnya KOM, faktor dentogen

merupakan salah satu penyebab penting

sinusitis maksilaris kronis, di mana dasar

sinus maksila adalah prosesus alveolaris

tempat akar gigi premolar dan molar atas,

sehingga jika terjadi infeksi apikal akar

gigi atau inflamasi jaringan periodontal

dengan mudah menyebar langsung ke

sinus melalui pembuluh darah dan limfe.3

Tingginya insiden sinusitis yang terjadi

di sinus maksila dan sinus etmoid anterior

dapat terjadi karena drainase sinus

maksila, sinus etmoid dan sinus frontal

melalui meatus nasi media, sehingga bila

terjadi kelainan pada daerah ini akan

terjadi gangguan drainase dan ventilasi

pada ketiga sinus ini yang kemudian akan

berkembang menjadi sinusitis. Demikian

pula untuk sinus etmoid posterior dan

sinus sfenoid, sinus yang bermuara melalui

resesus sfenoetmoidalis dan keluar melalui

meatus nasi superior.3,10

Kelainan pada KOM dapat dideteksi

dengan pemeriksaan CT scan sinus

paranasal, yaitu 29 orang (54,8%) dari 53

orang mengalami obstruksi pada KOM dan

24 orang (45,3%) yang tidak obstruksi

pada KOM. Hal ini menunjukkan bahwa

selain faktor inflamasi, kelainan anatomi

dalam rongga hidung dapat mempengaruhi

terjadinya obstruksi pada KOM. Hal ini

dijelaskan oleh Tumbel,19 dalam

penelitiannya yang menyatakan bahwa

kelainan anatomi yang dapat menyebabkan

sinusitis maksilaris kronis adalah berturut-

turut deviasi septum (52,1%), konka

bulosa (10,9%), konka paradoksal (6,8%)

dan selebihnya akibat adanya sel Haller

dan pneumatisasi prosessus unsinatus. Hal

ini membuktikan bahwa CT scan sinus

paranasal memiliki akurasi dalam

menentukan kondisi anatomi dan patologi

sinus paranasal yang lebih baik dibanding

dengan foto polos sinus paranasal.

Skor Lund-Mackay berkisar antara 1-

22, dengan skor 1 dan 3 yang tertinggi

masing-masing sebanyak 6 orang (11,3%),

diikuti skor 6 dan 8 masing-masing 5

orang (9,4%), dan yang paling sedikit

dengan skor 9, 11, 15 sampai 22 masing-

masing 1 orang (1,9%). Skor CT scan

kemudian kami bagi dalam empat

10

Page 11: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

kelompok seperti pada tabel 2, dan

menunjukkan bahwa dari 52 penderita

yang terdiagnosis RSK berdasarkan gejala

klinik Task Force menurut AAOA dan

ARS, paling banyak ditemukan pada

grading 1-8, yaitu 32 orang (61,5%) dan

paling sedikit pada grading 17-24, yaitu 4

orang (7,7%) serta 6 orang (11,3%) yang

tidak terdeteksi dengan CT scan. Yang

masih tersangka RSK yaitu 1 orang

(1,9%), yang mempunyai hanya satu gejala

mayor dan satu gejala minor, memang

tidak terdeteksi dengan CT scan.

Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin

banyak sinus yang terlibat, maka semakin

tinggi grading skor CT scan sinus

paranasal. Dan semakin banyak gejala

mayor dan minor yang didapatkan pada

tersangka RSK, maka kemungkinan

jumlah sinus yang terlibat semakin

banyak.

Dengan menggunakan uji association

linear, secara statistik terdapat hubungan

yang bermakna antara gejala klinis (gejala

mayor ditambah gejala minor), dan tanda

RSK berdasarkan Task Force menurut

AAOA dan ARS dengan CT scan sinus

paranasal sesuai skor Lund-Mackay

dengan p=0,035.

Hasil serupa didapatkan Amaruddin

dkk.14 pada penelitian dengan

menggunakan CT scan terbatas empat

slice, didapatkan adanya korelasi antara

beratnya gejala dengan skor Lund-Mackay

(p=0,001). Menurut beberapa penelitian,

kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinik

yang digunakan oleh Task Force

mempunyai nilai sensitivitas yang cukup

tinggi terhadap hasil CT scan, yaitu

89%.7,10,12 Bhattacharya et al13 melaporkan

keakuratan CT scan dalam mendiagnosis

RSK pada anak-anak berdasarkan skor

Lund-Mackay mempunyai nilai

sensitivitas dan spesifitas yang tinggi,

yaitu 86% dan 85%.

Dengan melihat hasil penelitian kami

dan berbagai penelitian sebelumnya, maka

dapat disimpulkan bahwa gejala dan tanda

RSK berdasarkan Task Force menurut

AAOA dan ARS, terutama gejala mayor

dapat digunakan sebagai salah satu

alternatif untuk menegakkan diagnosis

RSK, serta mengevaluasi hasil terapi RSK

bila tidak tersedia fasilitas CT scan atau

bila CT scan tidak dapat digunakan dengan

alasan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Benninger MS, Gottschall J.

Rhinosinusitis: clinical presentation and

diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis

from microbiology to management. New

York: Taylor and Francis Group; 2006. p.

39-52.

2. Soetjipto D, Dharmabakti U,

Mangunkusumo E, Utama R. Functional

endoscopic sinus surgery di Indonesia

11

Page 12: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta:

Yanmedic-Depkes; 2006. h. 1-52.

3. Mangunkusumo E, Soetjipto D, Sinusitis.

Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar

ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok

kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2007. h. 150-4.

4. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan

patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap

perkembangan terkini diagnosis dan

penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:

Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS

Dr. Soetomo; 2004. h. 1-16.

5. Puruckher M, Byrd R, Roy T,

Krishnaswany G. The diagnosis and

management of chronic rhinosinusitis.

Johnson City: Departement of Medicine

East Tennesse State University; 2008.

6. File TM. Sinusitis: epidemiology. In:

Itzhak Brook, ed. Sinusitis from

microbiology to management. New York:

Taylor and Francis Group; 2006. p. 1-13.

7. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis.

Dalam: Naskah lengkap perkembangan

terkini diagnosis dan penatalaksanaan

rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu

Kesehatan THT FK Unair/RS Dr.

Soetomo; 2004. h. 17-24.

8. Rahmi AD, Punagi Q. Pola penyakit Sub-

bagian Rinologi di RS Pendidikan

Makassar periode 2003-2007. Makasar:

Bagian Ilmu Kesehatan THT FK

Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan

di PIT IV Bandung, Juli 2008.

9. Batra P. Radiologic imaging in

rhinosinusitis, Cleveland. Clin J Med

Cleveland 2004; 71(11):886-8.

10. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid

rhinosinusitis: classification, diagnosis and

treatment. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds.

Head and neck surgery otolaryngology. 4th

ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2006. p. 405-16.

11. Jebreel A, Wu K, Loke D, Stafford N.

Chronic rhinosinusitis: role of CT scan in

the evaluation of paranasal sinuses. The

Internet Journal of Otorhinolaryngology

[serial on the internet]. 2007 [cited 2009

Jan 29]; 6(2). Available from:

http://www.ispub.com.

12. Hwang PH, Irwin SB, Griest SE, Caro JE,

Nesbit GM. Radiologic correlates of

symptom-based diagnostic criteria for

chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head

Neck Surg 2003; 128:489-96.

13. Bhattacharya N, Jones DT, Hill M,

Shapiro NL. The diagnostic accuracy of

computed tomography in pediatric chronic

rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head

Neck Surg 2004; 130:1029-32.

14. Amaruddin T, Kadriyan H, Iswarini AD,

Oedono T, Yohanes, Asmoro. Hubungan

antara derajat rinosinusitis berdasarkan

gejala dan CT scan. ORLI 2005; 35(4):40-

4.

15. Kennedy DW, Palmer JN. Revision

endoscopic sinus surgery. In: Charles WC,

ed. Cumming-otolaryngology head and

neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier

Mosby; 2005. p. 1229-60.

12

Page 13: Hubungan Gejala Rinosinusitis Kronik Jeanny Bubun

16. Zeifer BA, Curtin HD. Sinus imaging. In:

Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head and neck

surgery otolaryngology. 4th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2006. p. 429-45.

17. Aygun N, Zinreich SJ, Uzuner O. Imaging

sinusitis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis

from microbiology to management. New

York: Taylor and Francis Group; 2006. p.

55-90.

18. Ballenger JJ. Infeksi sinus paranasal.

Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga

hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi

ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h.

232-45.

19. Tumbel REC. Kelainan anatomi rongga

hidung pada sinusitis maksilaris kronis.

Tesis. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan

THT Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin; 2005.

13