hubungan asupan makanan, kebersihan diri dan sosial

50
HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL EKONOMI (PENDIDIKAN, STATUS PEKERJAN DAN PENDAPATAN) DENGAN STATUS GIZI BALITA PADA PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT TAHUN 2012 SKRIPSI OLEH EVI SRI RAHAYU NIM : 07C10104049 PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH 2013

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN

SOSIAL EKONOMI (PENDIDIKAN, STATUS PEKERJAN DAN PENDAPATAN) DENGAN STATUS GIZI BALITA

PADA PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT

TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH

EVI SRI RAHAYU

NIM : 07C10104049

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH

2013

Page 2: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik

masyarakat, swasta, maupun pemeritah yang bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan yang optimal (Depkes RI, 2007).

Masalah gizi menimbulkan masalah pembangunan di masa yang akan datang.

Keterlambatan dalam memberikan pelayanan gizi akan berakibat kerusakan yang

sukar atau malahan tidak dapat ditolong. Karena itulah usaha-usaha peningkatan gizi

terutama harus ditujukan pada anak-anak balita dan ibu yang mengandung. Anak-

anak masa kini adalah pemimpin-pemimpin, cendikiawan, dan pekerja di masa yang

akan datang, mereka adalah harapan nusa dan bangsa (Suhardjo, 2003).

Dalam kehidupan, masa balita merupakan masa yang paling rawan bagi

kelangsungan kehidupan oleh karena kelompok usia balita merupakan kelompok

penduduk yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan infeksi yang akan

mengancam kelangsungan hidupnya. Disamping besarnya ancaman tersebut, masa

balita juga merupakan masa kritis bagi kelangsungan pertumbuhan dan

perkembangan, juga merupakan masa paling penting untuk meletakkan dasar-dasar

Page 3: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

2

perkembangan motorik, kecerdasan dan kemampuan akademik serta perkembangan

kepribadian dan kemandirian pada seorang anak (Soetjiningsih, 2005).

Asupan gizi adalah indikator utama dalam tumbuh kembang anak, ditinjau

dari sudut tumbuh kembang anak masa balita merupakan kurun waktu pertumbuhan

paling pesat khususnya pertumbuhan dan perkembangan otak, oleh karena itu

pemberian nutrisi yang adekuat yang diberikan ibu memegang peranan penting bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak, karena gizi dibutuhkan sejak dalam

kandungan. Kebutuhan gizi sudah ada pembuktian bahwa gizi yang baik akan

menjadi modal besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut sampai

masa dewasanya kelak (Latief, 2006).

Secara umum, kurangnya asupan makanan dapat menyebabkan defisiensi gizi

balita sehingga dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh akibat

kebersihan diri yang kurang. Gizi kurang dan infeksi kedua-duanya dapat bermula

dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk

(Sediaoetama, 2004).

Khusus untuk masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau biasa dikenal

dengan gizi kurang atau yang sering ditemukan secara mendadak adalah gizi buruk

terutama pada anak balita, masih merupakan masalah yang sangat sulit sekali

ditanggulangi oleh pemerintah, walaupun penyebab kasus gizi itu sendiri pada

dasarnya sangat sederhana yaitu kurangnya intake (konsumsi) makanan terhadap

kebutuhan makan seseorang, namun tidak demikian oleh pemerintah dan masyarakat

karena masalah gizi buruk adalah masalah ketersediaan pangan ditingkat rumah

tangga, tetapi anehnya didaearah-daearah yang telah swasembada pangan bahkan

Page 4: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

3

telah terdistribusi merata sampai ketingkat rumah tangga (misalnya program raskin),

masih sering ditemukan kasus gizi (Arsad, 2006).

Selain itu, masalah kekurangan gizi juga terjadi akibat kebersihan diri yang

kurang yang akan memicu beberapa penyakit infeksi seperti diare, kecacingan, dan

infeksi saluran pernafasan. Balita yang terkena penyakit infeksi tersebut potensial

menderita kekurangan gizi (Depkes RI, 2007).

Salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan

kesehatan adalah anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah dapat main di luar

rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi

yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit

(Notoatmodjo,2003).

Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti

kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu anak-anak belum mempunyai kesadaran mengenai kesehatan dan

kebersihan dirinya sehingga masih tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam

merawat kebersihan diri balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak

memiliki perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya

ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan

kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih dan layak

dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di luar rumah.

Penyakit cacing dan diare sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan balita

secara umum, selain itu penyakit infeksi tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan balita (Gandahusada, 2000).

Page 5: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

4

Masalah gizi erat juga kaitannya dengan status sosial ekonomi yang

diakibatkan oleh kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan terbatasnya

lapangan pekerjaan yang menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat dalam

mencukupi kebutuhan sehari-hari (Depkes RI, 2007).

Soetjiningsih (2005) berpendapat bahwa pendidikan formal ibu akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. Semakin tinggi tingkat

pendidikan ibu semakin tinggi kemampuan ibu untuk menyerap pengetahuan lebih

baik dan juga dari pendidikan non formal terutama melalui media massa.

Kemiskinan juga merupakan penyebab berkurangnya asupan makanan,

sehingga harus mendapat perhatian yang lebih serius karena faktor sosial ekonomi

sangat berpengaruh pada konsumsi pangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas,

besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya setidaknya

keanekaragaman jenis makanan yang diberikan pada balita kurang bisa dijamin,

karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan (Karjati, 2003).

Upah Minimum Regional (UMR) Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2012

adalah Rp. 1.400.000.- perbulan (BPS NAD, 2012). Ini menggambarkan bahwa

penghasilan keluarga minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga di

Nanggroe Aceh Darussalam adalah Rp. 1.400.000.- perbulan. Bila penghasilan

keluarga tidak mencapai Rp. 1.400.000.- perbulan, maka akan sangat sulit untuk

memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

Hasil sensus penduduk dan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2011,

dari jumlah balita di Indonesia sebanyak 26,7 juta tercatat sekitar 4,7 juta balita di

Indonesia kini menderita gizi kurang dan 1,3 juta lainnya mengalami gizi buruk.

Page 6: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

5

Berdasarkan profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2011, di Provinsi Aceh

ditemukan Balita dengan gizi buruk 3.543 orang dan gizi kurang 18.457 orang.

Sedangkan di Kabupaten Aceh Barat dengan jumlah balita secara keseluruhan 14.275

balita, dari jumlah tersebut didapatkan 220 kasus gizi buruk (Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Aceh Barat tahun 2011).

Dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo dari 1.289 balita ditemukan 19

kasus gizi kurang dan 3 kasus gizi buruk (Laporan gizi Puskesmas tahun 2011).

Berdasarkan laporan tersebut, kasus gizi kurang pada balita yang terdapat di

kecamatan Meureubo termasuk tinggi bila dibandingkan pada wilayah kerja

Puskesmas Johan Pahlawan dengan kasus gizi kurang berjumlah 12 kasus dan 1

kasus gizi buruk dari 1.629 balita di kecamatan Johan Pahlawan (Profil Dinas

Kesehatan Kabupaten Aceh Barat tahun 2011).

Dari permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk mengambil masalah

tersebut dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Asupan Makanan, Kebersihan

diri, dan Sosial Ekonomi dengan Status Gizi Balita Pada Puskesmas Meureubo

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2012”.

1.2. Rumusan Masalah

Adakah hubungan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial ekonomi

terhadap status gizi balita dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan

Meureubo Kabupaten Aceh Barat tahun 2012.

Page 7: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

6

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial

ekonomi dengan status gizi balita dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan asupan makanan dengan status gizi balita di

wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten

Aceh Barat.

2. Untuk mengetahui hubungan kebersihan diri dengan status gizi balita di

wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten

Aceh Barat.

3. Untuk mengetahui hubungan tingkat Sosial Ekonomi dengan status gizi

balita di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo

Kabupaten Aceh Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Menambah pengetahuan serta wawasan bagi penulis tentang hubungan

antara faktor asupan makanan, sosial ekonomi, dan kebersihan diri dengan

status gizi balita.

Page 8: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

7

2. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang hubungan faktor asupan

makanan, kebersihan diri, dan status sosial ekonomi dengan status gizi

balita.

1.4.2. Manfaat Aplikatif

1. Sebagai informasi atau masukan kepada Puskesmas dalam program

menurunkan kasus gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Meureubo.

2. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat dalam

membuat kebijakan-kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan

peningkatan derajat kesehatan balita di Kabupaten Aceh Barat.

Page 9: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi Balita

2.1.1. Pengertian

Status gizi balita adalah indikator kesehatan yang penting, karena anak usia di

bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi (Depkes

RI, 2008).

Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan

antara konsumsi, penyerapan zat gizi dan penggunaannya di dalam tubuh (Supariasa,

2002).

Status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat

kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan

yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri ( Suhardjo, 2003).

2.1.2. Penilaian Status Gizi Balita

Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok

masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal

dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri

disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel umur, berat badan,

tinggi badan dan lingkar lengan atas (Arsad, 2006).

Ada beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran klinis,

biokimia, biofisik, dan antropometrik (Supariasa, 2002).

Page 10: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

9

1. Pengukuran Klinis

Pengukuran klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi

masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang

dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel

seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan

permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2002)

2. Pengukuran Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji

secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh

yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja, hati, dan otot (Supariasa, 2002).

3. Pengukuran Biofisik

Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan

melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan

jaringan.

4. Pengukuran Antropometrik

Dalam pengukuran antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran

yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Dari

beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai

dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).

Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau

TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang

dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna

sendiri-sendiri. Misalnya kombinasi BB dan umur membentuk indikator BB menurut

umur yang disimbolkan dengan ―BB/U‖. Kombinasi TB dan umur membentuk indikator

Page 11: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

10

TB menurut umur yang disimbolkan dengan ―TB/U‖. Kombinasi BB dan TB membentuk

indikator BB menurut TB yang disimbolkan dengan ―BB/TB‖ (Soekirman, 2000).

a. Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indikator BB/U berguna untuk mengukur status gizi saat ini. Berat badan

merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh

sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit

infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.

Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal

dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin maka

berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur.

Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan

berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.

Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur

digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat status gizi

seseorang saat ini (Supariasa, 2002).

1) Cara Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan cara :

a) Timbang berat badan anak.

b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/U yang sesuai dengan jenis

kelamin anak.

c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu umur.

d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.

Page 12: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

11

1. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada

kolom + 2 SD baku WHONCHS

2. Tergolong gizi baik jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada

kolom -2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-NCHS

3. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka

pada kolom - 3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS

4. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD

baku WHO-NCHS

2) Kelebihan indikator BB/U

a) Mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

b) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.

c) Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka pendek.

d) Dapat mendeteksi kegemukan

3) Kelemahan indikator BB/U

a) Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan atau oedem

b) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak tidak dilepas/dikoreksi dan

anak bergerak terus.

c) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah lima tahun.

d) Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orangtua untuk tidak mau

menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan.

b. Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indikator TB/U berguna untuk mengambarkan status gizi masa lalu. Dalam

keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur.

Page 13: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

12

Pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu

singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam

waktu yang cukup lama. (Soekirman, 2000).

1) Cara Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan cara :

a) Ukur tinggi badan anak.

b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS (World Health Organization-Nation

Center for Health Statistics) untuk indikator TB/U yang sesuai dengan jenis

kelamin anak.

c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu umur.

d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.

1. Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada

kolom - 2 SD baku WHO-NCHS

2. Tergolong Stunted/pendek gizi baik jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada

kolom -2 SD baku WHO-NCHS

2) Kelebihan indikator TB/U

a) Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau.

b) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

3) Kekurangan indikator TB/U

a) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkinh turun.

b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini.

c) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga

diperlukan dua orang untuk melakukannya.

Page 14: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

13

d) Ketepatan umur sulit didapat.

c. Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Merupakan pengukuran antropometrik yang terbaik. Ukuran ini dapat

menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Berat badan berkorelasi linear

dengan tinggi badan artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan

mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat

badan yang normal akan proposional dengan tinggi badannya (Soekirman 2000).

1) Cara Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan cara :

a) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan anak

b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/TB yang sesuai dengan

jenis kelamin anak

c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu Tinggi Badan

d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.

(1) Tergolong gemuk lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada

kolom + 2 SD baku WHO-NCHS

(2) Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom

-2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-NCHS

(3) Tergolong kurus/wasted jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada

kolom -3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS

(4) Tergolong sangat kurus gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada

kolom -3 SD baku WHONCHS

2) Kelebihan pemakaian indikator BB/TB

Page 15: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

14

a) Tidak memerlukan data umur.

b) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus).

3) Kelemahan pemakaian indikator BB/TB

a) Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi

badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena factor umur tidak

dipertimbangkan.

b) Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran

panjang/tinggi badan pada kelompok balita.

c) Membutuhkan dua macam alat ukur.

d) Pengukuran relatif lebih lama.

e) Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.

f) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila

dilakukan oleh kelompok non-profesional.

d) Indikator Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)

Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan

lapisan lemak bawah kulit.

1. Kelebihan Indeks LLA/U

a) Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.

b) Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri sendiri.

2. Kelemahan Indeks LLA/U

a) Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat.

b) Sulit menentukan ambang batas.

Page 16: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

15

c) Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 sampai 5

tahun yang perubahannya tidak nampak nyata.

Tabel 2.1. Penilaian Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks BB/U,TB/U,

BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS

No Indeks yang

dipakai

Batas

Pengelompokan

Sebutan Status

Gizi

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk - 3 SD s/d <-2 SD Gizi kurang

- 2 SD s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

- 3 SD s/d <-2 SD Pendek - 2 SD s/d +2 SD Normal > +2 SD Tinggi

3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus - 3 SD s/d <-2 SD Kurus - 2 SD s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk

Sumber : Depkes RI 2007.

Status Gizi adalah skor z dengan indeks BB/U dari anak balita diukur dengan

menggunakan baku rujukan WHO-NCHS yang dihitung secara manual. (Waterlow.et

al, dalam, Djuamadias, Abunain, 1990). Rumus untuk menghitung skor z:

Berat badan saat ini – Median Skor z =

SD (median -(-1SD)

Kegunaan penilaian atau deteksi tumbuh kembang untuk mengetahui

penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui secara dini, sehingga upaya

pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta pemulihan dapat

diberikan indikasi yang jelas sedini mungkin pada masa-masa kristis proses tumbuh

kembang, dimana upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan

Page 17: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

16

anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal

(Khomsan dkk, 2006).

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

2.2.1. Faktor Asupan Makanan

Dengan asupan makanan yang sehat, kondisi fisik tubuh akan lebih terjamin sehingga

tubuh akan dapat melakukan aktifitasnya dengan baik pula. Dengan tubuh yang sehat,

orang akan lebih bersemangat untuk bekerja, berpikir dan akan lebih produktif.

Begitu pula halnya dengan anak-anak. Anak yang sehat akan tampak lebih lincah,

kreatif dan bersemangat belajar. Hal ini karena kebutuhan tubuh dapat dipenuhi

dengan baik sehingga organ-organ tubuh akan melakukan fungsinya dengan baik

pula. Sebaliknya, bila tubuh kekurangan suatu zat gizi tertentu, maka daya tahannya

juga akan menurun. Kemampuan kerjanya melemah. Dan bila berkelanjutan akan

dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya (Hardani, 2002).

Gizi makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan termasuk pertumbuhan sel

otak sehingga dapat tumbuh optimal dan cerdas, untuk ini makanan perlu

diperhatikan keseimbangan gizinya sejak janin melalui makanan ibu hamil sebab

pertumbuhan sel otak akan berhenti pada usia 3-4 tahun (Suhardjo, 2003).

Usia balita merupakan masa peralihan makanan dari makanan pendamping

ASI ke makanan orang dewasa. Namun, pemberiannya juga masih bertahap

disesuaikan dengan kemampuan sistem pencernaan anak dan kebutuhan gizinya. Di

usia ini, saatnya memperkenalkan ragam makanan. Namun, yang harus diingat pilih

yang sehat dan alami karena akan menentukan pola makan anak selanjutnya.

Page 18: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

17

Sesuai dengan kemampuan pencernaan dan kebutuhan gizi, balita dipilah

menjadi dua, yaitu batita (1—3 tahun) dan prasekolah (4—5 tahun). Batita

merupakan konsumen pasif, artinya dia masih menerima saja makanan yang

diberikan orang tuanya. Berikan makan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering

(7—8 kali) sehari, terdiri atas tiga kali makan pagi, siang, dan sore, 2—3 kali makan

selingan, dan 3—4 kali minum susu.Masing-masing usia ini memerlukan makanan

yang berbeda sesuai tahap perkembangan saluran pencernaannya dan kebutuhan

gizinya (Sutomo, 2007).

Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional

(Depkes, 2000), menjelaskan bahwa penyebab langsung balita mengalami kurang gizi

yaitu anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang

tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang

mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit kecacingan, diare, atau

demam yang disebabkan kebersihan diri dan lingkungan yang rendah dapat menderita

kekurangan gizi. Demikian pada anak yang asupan makannya tidak cukup baik maka

daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik

asupan makanan maupun penyakit dan kebersihan diri yang kurang secara bersama-

sama merupakan penyebab kurang gizi.

Jenis makanan selingan yang baik adalah yang mengandung zat gizi lengkap

yaitu sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, seperti nasi isi daging

sayuran, tahu isi daging sayuran, roti isi daging ayam dan sayuran, pizzza dan lain-

lain. Fungsi makanan selingan adalah:

Page 19: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

18

1. Memperkenalkan aneka jenis makanan yang terdapat dalam bahan makanan

selingan.

2. Melengkapi zat-zat gizi yang mungkin kurang dalam makanan utamanya (pagi,

siang dan malam).

3. Mengisi kekurangan kalori akibat banyaknya aktivitas anak pada usia balita.

Makanan selingan yang baik dibuat sendiri di rumah sehingga sangat higienis

dibandingkan jika dibeli di luar rumah (Soetjiningsih, 2005).

Pengetahuan dasar tentang cara menyusun makanan sehari-sehari (menu) yang

seimbang sangat diperlukan guna mendapatkan fariasi dengan harga yang terjangkau

tapi memenuhi selera. Makanan sehari-hari harus memberikan semua zat gizi

essensial dalam jumlah yang adekuat. Susunan bahan makanan yang menghasilkan

komposisi cukup tersebut dikenal sebagai menu seimbang (Sulistijani, 2001).

Menurut Sulistijani (2001) ciri menu seimbang adalah sebagai berikut :

a. Menghasilkan cukup energi yang diperlukan tubuh.

b. Memenuhi kebutuhan protein untuk pertumbuhan, mekanisme pertahanan,

perbaikan jaringan yang rusak dan pemeliharaan.

c. Mengandung cukup lemak untuk memberikan asam lemak essensial dan

melarutkan vitamin yang larut dalam lemak.

d. Memberikan vitamin dan mineral dalam jumlah yang adekuat.

Page 20: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

19

2.2.2. Faktor Kebersihan diri

Kurangnya kebersihan diri pada balita sering dihubungkan dengan penyakit,

seperti penyakit infeksi, dan parasit (cacing). Di Indonesia, penyakit infeksi masih

menghantui jiwa dan kesehatan anak- anak balita. Infeksi bisa berhubungan dengan

gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu dapat mempengaruhi nafsu makan, dapat

juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah-muntah, atau

mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi yang dapat

menurunkan kekebalan pada diri balita (Sulistijani, 2001).

Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti

kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu anak-anak belum mempunyai kesadaran mengenai kesehatan dan

kebersihan dirinya sehingga masih tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam

merawat kebersihan diri balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak

memiliki perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya

ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan

kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih dan layak

dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di luar rumah.

Selain itu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan

kesehatan yaitu anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah dapat main di luar

rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi

yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit

(Notoatmodjo,2003).

Page 21: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

20

Kebersihan pada diri balita haruslah ditanam sejak dini, untuk mencegah

tingkat kesakitan yang lebih tinggi, seperti mencuci tangan sebelum makan,

menggosok gigi, mandi dan menggunting kuku (Kardjati, 2003).

a. Mencuci tangan

Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan

membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk

menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Biasakan mencuci tangan pakai

sabun (CPTS) pada 5 waktu kritis, yaitu sebelum makan, sehabis buang air besar,

sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki balita, dan

setelah kontak dengan hewan (Depkes RI, 2011).

b. Mandi dan menggosok gigi

Mandi minimal 2 kali sehari dapat menghindari anak terserang penyakit yang

diakibatkan oleh bakteri dan kuman. Berikan pakaian yang bersih setelah mandi dan

menggosok gigi balita pada pagi hari setelah makan dan malam sebelum tidur (Nova,

2011).

c. Menggunting kuku

Pertumbuhan kuku pada balita biasanya lebih cepat dari pada orang dewasa,

maka perlu menggunting kukunya 1-2 kali dalam seminggu (Nova, 2011).

2.2.3. Faktor Sosial Ekonomi

a. Pengertian

Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat sedangkan ekonomi

adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai

kemakmuran hidupnya serta pengaturan rumah tangganya (Pius dan Dahlan, 2001 ).

Page 22: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

21

Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi

keluarga harus melalui variabel-variabel pendapatan keluarga,tingkat pendidikan dan

pekerjaan (Notoatmodjo, 2005).

Keadaan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan

berbagai masalah kesehatan yang dihadapi, hal ini disebabkankarena

ketidakmampuan dan ketidaktahuan dalam mengatasi berbagaimasalah tersebut

(Nasrul,1998)

b. Variabel yang diukur dalam sosial ekonomi keluarga

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan

dirinya,masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).

Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang

dapat saling melengkapi dan memperkaya. Tingkat pendidikan formal terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan menengahdan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar

merupakan tingkat pendidikan yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Adapun

tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama

(SMP) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan

pendidikan dasar. Adapun bentuk pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah

Atas (SMA) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat

Page 23: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

22

pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, sarjana,

magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU RI

No. 20 tahun 2003).

Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan

meningkatnya pendidikan kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga

dapat meningkatkan daya beli makanan (FKM UI, 2007 ). Pendidikan diperlukan

untuk mendapatkan informasi, misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga

dapat meningkatkan kualitas hidup.

2. Pekerjaan ibu

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara

mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak. Bekerja umumnya

merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu- ibu akan mempunyai

pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Nursalam & S. Pariani, 2001).

Anak yang mendapatkanperhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional,

selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang maka keadaan gizinya

lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian

orang tua (Depkes RI, 2002).

3. Penghasilan keluarga

Menurut Emil Salim (Hartomo, 2004) bahwa kemiskinan adalah merupakan

suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi

kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan

lain- lain.

Page 24: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

23

Salah satu akibat dari kurangnya kesempatan kerja adalah rendahnya

pendapatan masyarakat. Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia tidak lepas dari

struktur perekonomian Indonesia yang sebagian besar masih tergantung pada sektor

pertanian termasuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar hidup dari hasil

pertaniaan (agraris) dan pekerjaan-pekerjaan yangbukan agraris hanya bersifat

sambilan sebagai pengisi waktu luang (Ahmadi Abu, 1997).

Tolok ukur yang umumnya digunakan untuk penggolongan seseorang atau

masyarakat dikatakan miskin adalah tingkat pendapatan (Ahmadi Abu, 1997).

Pendapatan merupakan nilai maksimal yang dapat dikonsumsi oleh seseorang

dalam satu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode

seperti semula (Rustam, 2002).

Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena

tingkat pendapatan merupakan faktor yangmenetukan kualitas dan kuantitas makanan

yang dikonsumsi. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain

tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan

terbatas kemungkinan besarakan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya

terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007).

Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat

ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk

makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja

untuk makanan (FKM UI, 2007 ). Hal ini akan berdampak terhadap status gizi balita

yang pada umumnya akan menurun (Depkes RI, 2000).

Page 25: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

24

Pendidikan

2.3. Kerangka konsep Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka yang menjelaskan bahwa penyebab masalah gizi

balita diantaranya disebabkan oleh faktor asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial

ekonomi yang meliputi pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan keluarga (Soekirman :

2000), Suhardjo : 2003, Sulistijani : 2001, dan Notoatmodjo : 2005).

Berdasarkan pemikiran di atas maka variabel penelitian dapat dilihat pada

skema di bawah ini:

Variabel Independen (Bebas)

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

2.4. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara faktor asupan makanan terhadap status gizi balita pada

Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

Asupan makanan

Kebersihan Diri

Status Gizi Balita

Pekerjaan

Penghasilan

Variabel Dependen (Terikat)

Page 26: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

25

2. Ada hubungan antara faktor kebersihan diri terhadap status gizi balita pada

Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

3. Ada hubungan antara faktor tingkat pendidikan ibu terhadap status gizi balita

pada Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

4. Ada hubungan antara faktor pekerjaan orang tua dengan status gizi balita pada

Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

5. Ada hubungan antara faktor tingkat penghasilan orang tua terhadap status gizi

balita pada Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh

Barat.

Page 27: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian survey yang bersifat analitik yang

menggunakan desain cross-sectional untuk melihat hubungan faktor asupan

makanan, kebersihan diri, dan sosial ekonomi orang tua dengan status gizi balita pada

Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten

Aceh Barat yang direncanakan pada tanggal 22 Juni sampai 03 juli 2012.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita di

wilayah kerja Puskesmas Meureubo tahun 2012 sebanyak 2659 orang (Laporan

Puskesmas Meureubo per Mei tahun 2012).

3.3.2. Sampel

Besar sampel diperoleh dengan menggunakan rumus Notoatmodjo (2005)

sebagai berikut :

Page 28: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

27

N

n = 1 + N ( d )2

2659

n =

1 + 2659 ( 0,1 )2

2659 n =

1 + 26596 ( 0,01 )

2659

n = 1 + 26,59

2659 n =

27,59

n = 96,3 = 96

Keterangan :

n = Besarnya sampel

N = Besarnya populasi

d = Besarnya penyimpangan yang masih dapat ditolerir (0,1).

Maka besarnya sampel minimal yang diambil pada penelitian ini adalah

sebanyak 96 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan

responden, menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan.

Page 29: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

28

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas

Meureubo dan Dinas kesehatan Kabupaten Kabupaten Aceh Barat, serta literatur-

literatur lainnya yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.1. Varibel Penelitian

No Variabel Independen

1. Variabel : Asupan Makanan

Definisi : Pola makan dan jenis makanan yang diberikan ibu

kepada balita serta jajanan di luar rumah. Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Baik

2. Kurang Baik

Skala ukur : Ordinal

2. Variabel : Kebersihan Diri

Definisi : Rutinitas yang dilakukan ibu terhadap balita yang mencakup kebiasaan cuci tangan, gunting kuku, mandi,

buang air besar, menggunakan alas kaki dan kebiasaan menyikat gigi.

Cara ukur : Wawancara / Observasi. Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Baik

2. Kurang Baik Skala ukur : Ordinal

3. Variabel : Pendidikan

Definisi : Jenjang kelulusan yang di tempuh responden dengan

mendapatkan ijazah Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Tinggi

2. Menengah

3. Rendah Skala ukur : Ordinal

Page 30: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

29

4. Variabel : Pekerjaan

Definisi : kegiatan rutin yang dilakukan orangtua balita untuk memenuhi kebutuhan hidup

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Tidak Bekerja

2. Bekerja Skala ukur : Nominal

5. Variabel : Penghasilan

Definisi : jumlah rata-rata pendapatan keluarga perbulan

Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner

Hasil ukur : 1. Tinggi ≥1.400.000/ bulan 2. Rendah <1.400.000/ bulan

Skala ukur : Ordinal

Variabel Dependen

6. Variabel : Status gizi balita

Definisi : keadaan kesehatan balita ditinjau dari pemenuhan kebutuhan gizi yang diukur dari BB/U.

Cara ukur : menghitung berat badan/umur (BB/U) balita Alat ukur : tabel baku rujukan WHO-NHCS yang dihitung secara

manual. Hasil ukur : 1. Baik 2. Kurang Baik

Skala ukur : Ordinal

3.6. Aspek pengukuran

3.6.1. Variabel Asupan Makanan

Penilaian variabel asupan makanan diukur dengan menggunakan skala Likert

(Sugiyono, 2002). Jumlah pertanyaan untuk mengukur variabel asupan makanan ada

6 pertanyaan dengan total nilai skor 18. Jika responden menjawab dengan tepat diberi

skor (3), jawaban yang kurang tepat diberi skor (2), dan jawaban tidak tepat diberi

skor (1).

Page 31: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

30

Berdasarkan total skor 18 dari 6 pertanyaan yang diajukan, maka variabel

asupan makanan dikategorikan dalam 2 kategori:

a. Kategori baik jika nilai >50% (skor >10)

b. Kategori kurang baik jika nilai ≤50% (skor ≤10)

3.6.2. Variabel Kebersihan Diri

Penilaian variabel kebersihan diri diukur dengan menggunakan skala Likert

dengan total skor 21 dari 7 pertanyaan yang diajukan, maka variabel kebersihan diri

dikategorikan dalam 2 kategori:

a. Kategori baik jika nilai >50% (skor >14)

b. Kategori kurang jika nilai ≤50% (skor ≤14)

3.6.3. Variabel Pendidikan

a. Tinggi : Apabila ibu tamat pendidikan diploma, sarjana, spesialis, dan

doktor.

b. Menengah : Apabila ibu tamat pendidikan SMA, SMK, dan MA

c. Rendah : Apabila ibu hanya tamat pendidikan SD/MI/, SMP/MTs

3.6.4. Variabel Pekerjaan

1. Tidak bekerja : Tidak ada pekerjaan sehari-hari yang mendapatkan

gaji/upah.

2. Bekerja : Mempunyai pekerjaan atau kegiatan sehari-hari yang

menghasilkan pemasukan bagi ekonomi keluarga.

3.6.5. Variabel Penghasilan

Page 32: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

31

1. Tinggi : Jika mempunyai pendapatan perbulan lebih dari atau sama

dengan Rp1.400.000,00 (Upah Minimum Regional Provinsi

Aceh tahun 2012).

2. Rendah : Jika mempunyai pendapatan perbulan kurang dari

Rp.1.400.000,00 (Upah Minimum Regional Provinsi Aceh

tahun 2012).

3.6.6. Variabel Status Gizi Balita

1. Baik : Dikategorikan dalam keadaan berat badan normal, yang

diukur menurut BB/U menggunakan baku rujukan WHO-

NCHS dengan rumus skor z (Tabel 2.1, hal 15)

2. Kurang Baik : Dikategorikan dalam keadaan berat badan kurang, buruk dan

lebih yang diukur menurut BB/U menggunakan baku

rujukan WHO-NCHS dengan rumus skor z (Tabel 2.1, hal

15)

3.7. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini sebagai berikut : setelah

peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi dan surat pengantar dari Fakultas

Kesehatan Masyarakat, kemudian peneliti meminta ijin kepada Kepala Puskesmas

Meureubo untuk melakukan penelitian. Setelah itu, peneliti meminta data jumlah

populasi balita yang ada di wilayah kerja puskesmas Meureubo pada unit pelayanan

gizi puskesmas, kemudian peneliti memilih responden secara acak dari data populasi

balita secara proporsional perposyandu. Didapatkan jumlah balita hasil pemilihan

Page 33: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

32

sebanyak 96 balita. Kemudian peneliti melakukan penelitian pada tanggal 22 Juni

sampai 03 Juli 2012. Sebelumnya peneliti meminta ijin untuk mewawancarai dan

menimbang balitanya kepada responden penelitian. Dan setelah berat badan dan umur

diketahui kemudian dibandingkan dengan tabel baku rujukan WHO-NCHS menurut

BB/U (Berat Badan/Umur) dengan melihat nilai Z-skore.

3.8. Teknik Analisis Data

3.8.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau menggambarkan

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dalam bentuk distribusi frekuensi

dari setiap variabel penelitian. Tujuannya adalah untuk melihat seberapa besar

proporsi variabel yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.

Analisis ini juga digunakan untuk mendapatkan gambaran proporsi status gizi

balita berdasarkan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial-ekonomi (pendidikan,

pekerjaan, dan penghasilan).

3.8.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan satu variabel independen

dengan satu variabel dependen, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen dengan tanpa mempertimbangkan variabel

independen atau faktor- faktor lainnya. Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat

(Chi-square ), karena semua data diukur dalam skala katagorik dikotomi (melihat

hubungan antara variabel katagorik dengan variabel katagorik). Jika ada sel yang

Page 34: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

33

mempunyai nilai harapan dari (kurang dari 5) lebih dari 20% dari jumlah keseluruhan

sel, maka uji yang digunakan ”Fisher’ s Exact Test”.

Prinsip dasar uji kal kai kuadrat adalah membandingkan frekuensi yang terjadi

( observed ) dengan frekuensi harapan ( expected ). Uji statistik Chi-square juga

untuk melihat suatu hubungan (jika ada) antara dua variabel sehingga diperole h nilai

χ² dan kemaknaan statistik ( nilai p value ).

(o – E)

Rumus : χ² = ∑ E

df = (k – 1)(b-1)

α= 0,05

Keterangan : O = Frekuensi Observed

E = frekuensi Expected

df = degree of fredom (derajat kebebasan)

k = kolom

b = baris

Uji ini dipergunakan untuk membandingkan hasil perhitungan statistik χ² yang

didapat dengan ”critical value” yang ditemukan pada tabel Chi-square. Critical value

tersebut tergantung pada yang dipilih (dalam penelitian ini α = 0,05) dan nilai df nilai

χ² tersebut akan bermakna jika nilai χ² yang diperoleh dari hasil perhitungan melebihi

nilai critical value dan nilai p yang diperoleh lebih kecil dari 0,05 atau secara manual

dikatakan bermakna jika nilai χ² hitung lebih besar dari nilai χ² tabel (Sutanto,

2007).

Page 35: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum

UPTD Puskesmas Meureubo berdiri pada tahun 1992 dan

merupakan Unit Pelaksana Dinas dengan sistem pelayanan rawat jalan

yang beralamat dijalan Datoek Janggoet Meuh Desa Meureubo Kecamatan

Meureubo dengan luas wilayah kerja 199,43 Ha.

Unit pelayanan puskesmas induk debantu dengan lima puskesmas

pembantu, salah satu puskesmas pembantu daerah transmigrasi local SP VI

dan lima unit polindes atau poskesdes yang terdiri dari 71 tenaga

kesehatan dengan berbagai disiplin ilmu dan 4 bidan PTT.

1. Georafis

Secara geografis, wilayah kerja UPTD Puskesmas Meureubo terbagi

dalam dua wilayah, yaitu:

a. Wilayah pesisir terdiri dari 16 desa

b. Wilayah pegunungan sebanyak 11 desa

Adapun batas-batas wilayah kerja:

a. Utara : berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Peureumeu

Kecamatan Kaway XIV Kab. Aceh Barat

b. Selatan : berbatasan dengan samudra hindia

c. Timur : wilayah kerja puskesmas Padang Rubek Kecamatan Kuala

Pesisir Kabupaten Nagan Raya.

Page 36: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

35

d. Barat : berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Johan

Pahlawan Kec. Johan Pahlawan Kab. Aceh Barat.

2. Kependudukan

Penduduk kecamatan meureubo merupakan masyarakat yang hydrogen

baik dari social budaya, ekonomi dan adat istiadat. Konsentrasi

penduduk terbanyak berada di :

1. Desa Paya Peunaga : 3730 jiwa (15,81%)

2. Desa Ujong Tanoh Darat : 2060 ( 8,73%)

3. Desa Meureubo : 1962 jiwa (8,31%)

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten

Aceh Barat yang direncanakan pada tanggal 22 Juni sampai 03 juli 2012. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita di wilayah kerja

Puskesmas Meureubo tahun 2012 sebanyak 2659 orang (Laporan Puskesmas

Meureubo Bulan Mei 2012).

Setelah dilakukan pencarian sampel dengan menggunakan rumus

proposional sampling (Arikunto, 2006).

𝐵𝑎𝑦𝑖 (𝑑𝑒𝑠𝑎 )

𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑦𝑖 (𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 ) 𝑋 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙, di dapat jumlah sampel 96 dari

2659 balita dengan penjambaran sebagai berikut:

Tabel 4.1. Jumlah Sampel Balita di wilayah kerja Puskesmas Meureubo

Tahun 2012

No. Desa Populasi Sampel

1 Peunaga Cut Ujong 112 4

2 Gunong Kleng 179 6

3 Peunaga Pasi 32 1

4 Peunaga Rayeuk 150 5

5 Paya Peunaga 514 18

6 Langung 186 6

7 Meureubo 205 7

Page 37: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

36

8 Ujong drien 114 4

9 pasi pinang 53 2

10 ujong tanjong 128 4

11 Bukit jaya 40 1

12 Buloh 18 1

13 Ranto panyang timur 63 2

14 Ranto panyang barat 56 2

15 Mesjid Tuha 62 2

16 Ujong Tanoh Darat 315 11

17 Ranub Dong 59 2

18 Pasi Mesjid 85 3

19 Pulo Tengoh 28 1

20 Balee 86 3

21 Sumber batu 22 1

22 Pasi Aceh Baroh 61 2

23 Pasi Aceh Tunong 48 2

24 Reudeup 20 1

25 Pucok Reudeup 8 4

26 Paya Baro 15 1

TOTAL 2659 96

4.1.2. Analisis Univariat

Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antar

variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan table distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel yang di teliti.

1. Status Gizi

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

No Status Gizi Frekuensi %

1 Baik 72 75,0

2 Kurang baik 24 25,0

Total 96 100

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.2 dari 96 responden di dapat bahwa 75% balita

mengalami gizi dalam keadaan baik dan 24% nya dalam keadaan gizi yang kurang

baik.

Page 38: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

37

2. Asupan Makanan

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan makanan

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

No Asupan Makanan Frekuensi %

1 Baik 68 70,8

2 Kurang baik 28 29,2

Total 96 100

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.3 dari 96 responden di dapat bahwa 70,8% balita

mendapakan asupan makanan dengan baik dan 29,2% nya mendapatkan asupan

makanan yang kurang baik.

3. Kebersihan Diri

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebersihan Diri

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

No Kebersihan Diri Frekuensi %

1 Baik 62 64,6

2 Kurang baik 34 35,4

Total 96 100

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.4 dari 96 responden di dapat bahwa 64,6% balita

kebersihan dirinya baik dan 35,4% kebersihan dirinya kurang baik.

4. Pendidikan

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

No Pendidikan Frekuensi %

1 Tinggi 16 16,7

2

3

Menengah

Rendah

64

16

66,7

16,7

Total 96 100

Page 39: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

38

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.5 dari 96 responden Ibu balita yang mengenyam

pendidikan di Tingkat Tinggi sebanyak 16,7%, di tingkat menengah 66,7% dan di

tingkat Rendah 16,7%.

5. Status Pekerjaan

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

No Status Pekerjaan Frekuensi %

1 Tidak Bekerja 58 60,4

2 Bekerja 38 39,6

Total 96 100

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.6 dari 96 responden di dapat bahwa 60,4% ibu tidak

bekerja dan 39,6% ibu bekerja.

6. Pendapatan Keluarga

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan

Keluarga Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

Tahun 2012.

No Pendapatan Keluarga Frekuensi %

1 Tinggi 71 74,0

2 Rendah 25 26,0

Total 96 100

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Berdasarkan tabel 4.7 dari 96 responden di dapat bahwa 74% pendapatan

keluarga tinggi dan 26% pendapatan keluarga rendah.

4.1.3. Analisis Bivariat

Page 40: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

39

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan

dependen. Penguji ini menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada hubungan yang

bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p< 0,05.

1. Hubungan Asupan Makanan dengan Status Gizi

Tabel 4.8. Hubungan Antara Asupan Makanan dengan Status Gizi Pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 68 balita yang mendapatkan asupan

makanan dengan baik diperoleh sebanyak 58 (85,3%) balita dalam keadaan status

gizi baik, sedangkan diantara balita yang mendapatkan asupan makanan yang

kurang baik, ada 14 (50,0%) dalam keadaan status gizi baik.

Dari hasil uji chi square di dapat hasik P value 0,001 dan ini lebih kecil

dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara

asupan makanan dengan status gizi pada balita.

Dari nilai OR 5,8000 dapat diinterprestasikan bahwa asupan makanan

yang baik memiliki peluang 5,8 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan

dengan asupan makanan yang kurang baik.

2. Hubungan Kebersihan Diri dengan Status Gizi

Tabel 4.9. Hubungan Antara Kebersihan Diri dengan Status Gizi Pada Balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

Asupan

Makanan

Status Gizi

Total

p

Baik Kurang baik

N % n % N % OR

Baik 58 85,3 10 14,7 68 100 0,001 5,8000

Kurang Baik 14 50,0 14 50,0 28 100

Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100

Kebersihan

Diri

Status Gizi

Total

p

Baik Kurang baik

N % n % n % OR

Page 41: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

40

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 62 balita yang kebersihan dirinya

baik diperoleh sebanyak 53 (85,5%) balita dalam keadaan status gizi baik.

Sedangkan diantara balita yang kebersihan dirinya kurang baik, ada 19 (55,9%)

balita dalam keadaan status gizi baik.

Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,003 dan ini lebih kecil

dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara

kebersihan diri dengan status gizi pada balita.

Dari nilai OR 4,649 dapat diinterprestasikan bahwa kebersihan diri yang

baik memiliki peluang 4,6 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan

dengan kebersihan diri yang kurang baik.

3. Hubungan Pendidikan dengan Status Gizi

Tabel 4.10. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Dari tabel diatas diketahui bahwa dari 16 ibu balita yang memilki tingkat

pendidikan tinggi diperoleh sebanyak 14 (87,5%) balitanya dalam status gizi baik,

dan dari 64 ibu balita dengan tingkat pendidikan menengah diperoleh sebanyak 47

(73,4%) balitanya dalam keadaaan status gizi baik. Sedangkan dari 16 ibu balita

Baik 53 85,5 9 14,5 62 100 0,003 4,649

Kurang Baik 19 55,9 15 44,1 35 100

Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100

Pendidikan

Status Gizi

Total

p

Baik Kurang baik

N % n % n % OR

Tinggi 14 87,5 2 12,5 16 100 0,417 a

Menengah

Rendah

47

11

73,4

68,8

17

5

26,6

31,3

64

16

100

100

Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100

Page 42: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

41

yang memilki tingkat pendidikan rendah, hanya ada 11 (68,8%) balitanya dalam

keadaan status gizi baik.

Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,417 dan ini lebih besar

dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan

antara pendidikan dengan status gizi pada balita.

4. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi

Tabel 4.11. Hubungan Antara Ibu yang Bekerja dengan Status Gizi Pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 58 ibu balita yang tidak bekerja

diperoleh 50 (86,2%) balitanya dalam keadaan status gizi baik, sedangkan

diantara ibu yang bekerja diperoleh sebanyak 22 (57,9%) balitanya dalam keadaan

status gizi baik.

Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,004 dan ini lebih kecil

dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara

Status Pekerjaan dengan status gizi pada balita.

Dari nilai OR 4,545 dapat diinterprestasikan bahwa ibu yang tidak bekerja

memiliki peluang 4,5 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan dengan

ibu yang bekerja.

Status

Pekerjaan Ibu

Status Gizi

Total

p

Baik Kurang baik

N % n % n % OR

Tidak bekerja 50 86,2 8 13,8 58 100 0,004 4,545

Bekerja 22 57,9 16 42,1 38 100

Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100

Page 43: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

42

5. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi

Tabel 4.12. Hubungan Antara Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi

Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun

2012.

Sumber: data primer (diolah tahun 2012)

Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 71 keluarga yang bependapatan

tinggi, diperoleh sebanyak 59 (83,1%) balitanya dalam keadaan status gizi baik.

Sedangkan dari 25 keluarga yang memilki pendapatan rendah hanya 13 (52,0%)

balitanya dalam keadaan status gizi baik.

Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,005 dan ini lebih kecil

dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara

pendapatan keluarga dengan status gizi pada balita.

Dari nilai OR 4,538 dapat diinterprestasikan bahwa keluarga yang

berpendapatan tinggi memiliki peluang 4,5 kali untuk mendapakatkan gizi baik

dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan rendah.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Hubungan Asupan Makanan dengan Status Gizi

Status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan

oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari

Pendapatan

Keluarga

Status Gizi

Total

p

Baik Kurang baik

N % n % n % OR

Tinggi 59 83,1 12 16,9 71 100 0,005 4,538

Rendah 13 52,0 12 48,0 25 100

Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100

Page 44: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

43

pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri

(Suhardjo, 2003).

Gizi makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan termasuk

pertumbuhan sel otak sehingga dapat tumbuh optimal dan cerdas, untuk ini

makanan perlu diperhatikan keseimbangan gizinya sejak janin melalui

makanan ibu hamil sebab pertumbuhan sel otak akan berhenti pada usia 3-

4 tahun (Suhardjo, 2003).

Dengan asupan makanan yang sehat, kondisi fisik tubuh akan lebih

terjamin sehingga tubuh akan dapat melakukan aktifitasnya dengan baik

pula. Dengan tubuh yang sehat, orang akan lebih bersemangat untuk

bekerja, berpikir dan akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan

anak-anak. Anak yang sehat akan tampak lebih lincah, kreatif dan

bersemangat belajar. Hal ini karena kebutuhan tubuh dapat dipenuhi

dengan baik sehingga organ-organ tubuh akan melakukan fungsinya

dengan baik pula. Sebaliknya, bila tubuh kekurangan suatu zat gizi

tertentu, maka daya tahannya juga akan menurun. Kemampuan kerjanya

melemah. Dan bila berkelanjutan akan dapat menimbulkan penyakit yang

berbahaya (Hardani, 2002).

Penelitian yang di lakukan pada anak balita di wilayah kerja

Puskesmas Meureubo diketahui bahwa asupan makanan akan sangat

berpengaruh terhadap status gizi balita di mana di dapat dari 68 balita yang

mendapatkan asupan makanan dengan baik di ketahui bahwa 85,3% nya

dalam kedaan status gizi yang baik pula, sehingga asupan makanan

memiliki hubungan dengan status gizi balita seperti penelitian yang

Page 45: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

44

dilakukan Amin (2010) di Desa Somakaton Kecamatan Somagede

Kabupaten Banyumas dimana asupan makanan memiliki hubungan

dengan status gizi balita yaitu P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu

(0,013).

4.2.2. Hubungan Kebersihan Diri dengan Status Gizi

Status gizi balita adalah indikator kesehatan yang penting, karena

anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap

kesehatan dan gizi (Depkes RI, 2008).

Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi

seperti kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu anak-anak belum mempunyai

kesadaran mengenai kesehatan dan kebersihan dirinya sehingga masih

tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam merawat kebersihan diri

balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak memiliki

perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya

ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan

kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih

dan layak dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di

luar rumah.

Selain itu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan

rawan kesehatan yaitu anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah

dapat main di luar rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan

lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi

dengan berbagai macam penyakit (Notoatmodjo,2003).

Page 46: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

45

Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Meureubo bahwa kebersihan diri adalah salah

satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita dimana dari 62

balita yang kebersihan dirinya baik 85,5% nya dalam keadaan status gizi

yang baik Sama halnya seperti penelitian Angelica (2008) Di desa

Cikarawang Bogor dimana 83,9% kebersihan dirinya baik dan keadaan

status gizinya juga baik.

Seperti pernyataan Kardjati (2003) Kebersihan pada diri balita

haruslah ditanam sejak dini, untuk mencegah tingkat kesakitan yang lebih

tinggi, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi, mandi

dan menggunting kuku dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap status

gizi pada balita anda.

4.2.3. Hubungan Pendidikan dengan Status Gizi

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat,

bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).

Semakin tingginya pendidikan seseorang maka akan semakin

banyak pula pengetahuan yang diketahuinya dan ini akan berpengaruh

terhadap perilakunya (Notoatmodjo, 2003)

Namun ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

pada ibu balita di wilayah kerja Puskesamas Meureubo dimana di dapat

Page 47: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

46

ibu yang berpengetahuan rendah lebih banyak memiliki anak yang status

gizinya baik yaitu 68,8% sedangkan ibu yang berpengetahuan rendah

terhadap status gizi balita yang kurang baik hanya 31,3%. Diperkuat

dengan hasil uji chi square dimana nilai P value lebih besar dari nilai α=

0,05 yaitu 0,417 yang disimpulkan tidak adanya pengaruh pendidikan

terhadap status gizi balita. Ini di sebabkan ibu yang memiliki tingkat

pendidikan menengah dan rendah mendapatkan pendidikan gizi secara

informal dari posyandu setiap bulannya, dimana Puskesmas Meureubo

menurunkan analisis gizi untuk menyampaikan pendidikan gizi bali balita.

4.2.4. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih

banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan

banyak. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu.

Bekerja bagi ibu- ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan

keluarga (Nursalam & S. Pariani, 2001).

Anak yang mendapatkanperhatian lebih, baik secara fisik maupun

emosional, selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang

maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya

yang kurang mendapat perhatian orang tua (Depkes RI, 2002).

Ini sejalan dengan penelitian bahwa ibu yang tidak bekerja akan

lebih banyak memiliki peluang untuk lebih bisa memperhatikan dan

merawat anaknya sehingga status gizi pad anak dalam keadaan baik, di

Page 48: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

47

ketahui bahwa dari 58 ibu yang bekerja 86,2% status gizi anaknya dalam

keadaan baik.

4.2.5. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi

Pendapatan merupakan nilai maksimal yang dapat dikonsumsi oleh

seseorang dalam satu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama

pada akhir periode seperti semula (Rustam, 2002).

Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal

itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yangmenetukan kualitas

dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Kemampuan keluarga untuk

membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya

pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan

besarakan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama

untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007).

Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan

tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar

pendapatan untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi

tinggi akan berkurang belanja untuk makanan (FKM UI, 2007 ). Hal ini

akan berdampak terhadap status gizi balita yang pada umumnya akan

menurun (Depkes RI, 2000).

Dan ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa

pendapatan keluarga berpegangan penting dalam mendapatkan status gizi

Page 49: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

48

pada balita dimana dari 71 keluarga yang berpendapatan tinggi 83,1% nya

balita dalam keadaan status gizi yan baik.

Page 50: HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN SOSIAL

49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Adanya hubungan antara asupan makanan dengan status gizi pada balita

dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,001.

2. Adanya hubungan antara kebersihan diri dengan status gizi pada balita

dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,003.

3. Tidak adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada

balita dengan P value lebih besar dari α=0,05 yaitu 0,417.

4. Adanya hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi pada

balita dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,004.

5. Adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi pada

balita dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,005.

5.2. Saran

1. Bagi masyarakat, agar dapat lebih meningkatkan kesadaran terhadap

asupan makanan pada balitanya dan lebih memperhatikan buah hatinya

dalam hal perawatan, makanan, dan juga pola asuhnya agar gizi pada

balitanya tetap terjaga dengan baik dan tidak mengalami gizi dalam

keadaan yang kurang baik.

2. Bagi Puskesmas Meureubo, agar dapat lebih memperhatikan pada balita-

balita yang mengalami gizi dalam keadaan yang kurang baik dan lebih

lagi mengadakan penyuluhan dan pemberian informasi tentang kesehatan

balita pada masyarakat.