hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi
TRANSCRIPT
Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X
Atthahira Sastia Kartika dan Dianti Endang Kusumawardhani
1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil di Kementrian X. Responden penelitian berjumlah 63 orang, dengan 38 laki-laki dan 25 perempuan (Musia=36,63 tahun, SD=1,1). Responden penelitian mengisi alat ukur job satisfaction survey yang mengukur kepuasan kerja dan affective, continuance, and normative commitment scales yang mengukur komitmen organisasi. Hasil menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil di Kementrian X. Kata Kunci: Kepuasan kerja; komitmen organisasi; pegawai negeri sipil.
Relationship between Job Satisfaction and Organizational Commitment among
Government Officials in Ministry X
Abstract
This study aimed to examine the relationship between job satisfaction and organizational commitment among government officials in Ministry X. Total respondents of this study were 63 people, consisted of 38 male respondents and 25 female respondents (Mage = 36,63 years, SD = 1,1). In this study, the participants filled in the job satisfaction survey as a tool to measure the job satisfaction, and affective, continuance, and normative commitment scales, that measure organizational commitment. The results showed a positive and significant relationship between job satisfaction and organizational commitment in the government officials in Ministry X. Keywords: Job satisfaction; organizational commitment; government officials Latar Belakang Dalam setiap organisasi, pengunduran diri pegawai merupakan hal yang lazim terjadi. Abbasi
dan Hollman (dalam Ahmad & Omar, 2010) mengatakan bahwa pengunduran diri pegawai
merupakan masalah yang terus menerus dialami oleh organisasi. Oleh karena itu, organisasi
perlu mewaspadai pengunduran diri pegawai karena menggantikan posisi pegawai
membutuhkan biaya dan usaha yang besar untuk proses seleksi, rekrutmen, serta pelatihan
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
bagi pegawai baru (Jex & Britt, 2008). Selain menyulitkan organisasi dalam hal seleksi dan
rekrutmen, tingkat pengunduran diri pegawai yang tinggi juga dapat merugikan dan
membahayakan strategi organisasi dalam mencapai tujuannya (Abbasi & Hollman, dalam
Ahmad & Omar, 2010). Kerugian tersebut terjadi karena umumnya pegawai yang
mengundurkan diri secara sukarela adalah pegawai berperforma tinggi, sehingga dapat
menurunkan produktivitas dan juga meningkatkan biaya seleksi dan rekrutmen untuk mengisi
posisi yang ditinggalkan oleh pegawai (Riggio, 2009). Selain kerugian materi, tingkat
pengunduran diri pegawai yang tinggi dapat memengaruhi reputasi dari organisasi sehingga
menyulitkan organisasi dalam menarik pegawai baru untuk bergabung ke dalam organisasi
(Jex, 2002; Jex & Britt, 2008). Dari hasil penelusuran peneliti, jarang diberitakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS)
mengundurkan diri dari pekerjaannya. Meskipun demikian, menurut Kementrian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, diperkirakan 40% PNS memiliki
kinerja yang buruk, sehingga akan diminta untuk pensiun dini (Wasono, 2012). Hal tersebut
dapat merugikan pemerintah karena PNS yang memiliki produktivitas yang rendah mungkin
akan membuat badan pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Selain itu, jika ditelusuri
lebih lanjut, banyak berita yang melaporkan buruknya kinerja PNS, seperti tidak masuk
setelah libur panjang tanpa alasan hingga tidak berada di tempat kerja pada saat jam kerja.
Sayangnya, kondisi tersebut berlangsung dari tahun ke tahun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah terus menerus menghadapi masalah yang sama dari tahun ke tahun,
terutama dalam hal kinerja PNS. Dari berita tersebut, terlihat bahwa perilaku counterproductive atau perilaku yang merugikan
organisasi (Riggio, 2009) yang ditunjukkan oleh PNS, mungkin merupakan respon negatif
PNS atas ketidapuasaan terhadap pekerjaannya. Counterproductive behavior itu sendiri
adalah perilaku yang berlawanan dengan tujuan organisasi (Jex & Britt, 2008). Pada saat
pegawai merasakan ketidakpuasaan, maka ada kemungkinan pegawai tersebut ingin
mengundurkan diri dari pekerjaannya (Jex & Britt, 2008). Pada saat pegawai yang tidak puas
akan pekerjaannya tetap bertahan di pekerjaannya, maka besar kemungkinannya pegawai
tersebut akan menunjukkan counterproductive behavior (Kumar, Ramendran, & Yacob,
2012). Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa perilaku counterproductive ini muncul
karena adanya ketidakpuasan pegawai terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan seorang pegawai atas pekerjaan yang dimiliki
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
beserta aspek-aspek yang terdapat di dalamnya (Spector, 1997). Noe dkk (2008) juga
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi
pegawai terhadap pekerjaan yang dimilikinya. Sejalan dengan pendapat Noe, Luthans (dalam
Azeem, 2010) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kondisi emosional yang positif
berdasarkan hasil penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dimiliki. Arnold dan Randall dkk. (2010) mengatakan bahwa kepuasan kerja sangat penting untuk
diperhatikan. Terdapat dua hal yang menyebabkan kepuasan kerja menjadi penting. Pertama,
kepuasan kerja menjadi salah satu indikator dari kesejahteraan psikologis maupun kesehatan
mental seseorang. Kedua, kepuasan kerja memengaruhi motivasi dan performa pegawai di
organisasi (Arnold & Randall dkk., 2010). Selain itu, kepuasan kerja juga berpengaruh
terhadap pengunduran diri pegawai (Riggio, 2009; Jex & Britt, 2008). Riggio (2009)
selanjutnya mengatakan bahwa biasanya keinginan ataupun keputusan seseorang untuk
mengundurkan diri dari pekerjaannya dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Pengunduran diri pegawai, atau employee turnover adalah keluarnya pegawai dari organisasi
tempatnya bekerja (Noe dkk., 2008). Employee turnover ini dapat dibedakan menjadi
voluntary turnover dan involuntary turnover (Noe dkk., 2008; Riggio, 2009). Voluntary
turnover terjadi ketika pegawai secara sukarela mengundurkan diri dari organisasi tempatnya
bekerja, dan involuntary turnover terjadi ketika organisasi memberhentikan pegawainya
(Riggio, 2009; Noe dkk., 2008). Banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai
pengunduran diri pegawai dengan meneliti intensi pengunduran diri pegawai (turnover
intention). Hal tersebut dilakukan karena intensi pengunduran diri ini dapat dengan akurat
memprediksi kemungkinan pengunduran diri pegawai atau actual turnover (Van Breukelen,
Van Der Vlist, & Steensma, 2004). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa voluntary turnover pada pegawai dapat
dipengaruhi oleh komitmen organisasi (Hom & Griffeth, dalam Samad, 2005; Riggio, 2009).
Komitmen organisasi atau organizational commitment didefinisikan sebagai keadaan
psikologis yang mencirikan hubungan antara pegawai dengan organisasi dan memengaruhi
keputusan pegawai untuk menghentikan atau mempertahankan keanggotaannya di dalam
organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Komitmen organisasi ini memiliki tiga komponen,
yang dikenal sebagai Three-Component Model (TCM) of Organizational Commitment, yaitu
komitmen afektif, komitmen berkesinambungan, dan komitmen normatif (Meyer & Allen,
1991; Meyer & Allen, 1997).
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Jika melihat fenomena PNS, counterproductive behavior ini juga secara tidak langsung
menunjukkan komitmen organisasi yang rendah dari pegawai. Meyer dan Allen (1997)
mengatakan bahwa pegawai yang memiliki komitmen afektif yang tinggi memiliki
keterikatan emosional terhadap organisasi tempatnya bekerja, sehingga akan menunjukkan
performa yang baik bagi keberhasilan organisasi. Selanjutnya, Meyer dan Allen (1997) juga
menjelaskan bahwa pegawai dengan komitmen berkesinambungan yang tinggi, tetap bertahan
di organisasinya, tetapi tidak memiliki keterikatan emosional sehingga kemungkinan untuk
berkontribusi demi tujuan organisasi lebih kecil dibandingkan pegawai dengan komitmen
afektif tinggi. Untuk pegawai dengan komitmen normatif yang tinggi, Meyer dan Allen
(1997) mengatakan bahwa, pegawai tersebut merasa berhutang terhadap organisasinya
sehingga termotivasi untuk membayar hutang tersebut dengan berperilaku yang baik bagi
organisasinya. Meskipun komitmen organisasi identik dengan turnover, menurut pendapat
Meyer dan Allen (1997) tidak ideal jika komitmen organisasi hanya dikaitkan dengan
turnover. Kinerja pegawai sama pentingnya dengan kesetiaan pegawai terhadap organisasi
(Meyer & Allen, 1997). Melihat penjelasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi
berhubungan satu sama lain. Kepuasan kerja itu sendiri menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi komitmen organisasi (Lok & Crawford, 2003; Mahanta, 2012; Salami, 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lok dan Crawford (2003), ditemukan bahwa komitmen
organisasi berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Salami (2008) juga melakukan
penelitian untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dan
menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen
organisasi. Hubungan tersebut terjadi karena pada dasarnya seorang pegawai yang merasa
puas dengan pekerjaannya memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi tempatnya
bekerja (Salami, 2008). Penelitian lain yang juga menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki
hubungan dengan komitmen organisasi adalah Muthuveloo dan Rose (2005) yang
menemukan bahwa kepuasan kerja dan karakteristik organisasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komitmen afektif dan normatif. Selain itu, Azeem (2010) juga
menemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan komitmen
organisasi. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terlihat bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi
dapat memengaruhi pengunduran diri pegawai dan juga perilaku pegawai di organisasi. Selain
itu, dengan memerhatikan hasil dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya,
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
terlihat bahwa kepuasan kerja sering dihubungkan dengan komitmen organisasi. Meskipun
demikian, dari hasil penelusuran, jarang sekali ditemukan penelitian yang melihat hubungan
antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS, terutama di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara kepuasan kerja dan
komitmen organisasi yang dimiliki PNS. Adapun pada penelitian ini, responden penelitian
adalah PNS pada kementrian X dengan karakteristik pegawai tetap, berusia minimal 20 tahun,
dan telah bekerja selama minimal dua tahun. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian korelasional untuk mencari hubungan antara dua variabel. Adapun
variabel yang terdapat di dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja dan komitmen organisasi
yang diukur menggunakan dua alat ukur yaitu job satisfaction survey dan affective,
continuance, and normative commitment scales. Berdasarkan penjelasan tersebut, adapun permasalahan di dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran kepuasan kerja pada Pegawai Negeri Sipil di dalam Kementrian
X?
2. Bagaimana gambaran komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di dalam
Kementrian X?
3. Apakah terdapat hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada
Pegawai Negeri Sipil di dalam Kementrian X?
4. Bagaimana gambaran kepuasan kerja pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian X
berdasarkan aspek-aspek demografis?
5. Bagaimana gambaran komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil di Kementrian
X berdasarkan aspek-aspek demografis? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat terdapat atau tidaknya hubungan antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS di dalam Kementrian X.
Pada penelitian ini, peneliti juga melihat gambaran kepuasan kerja dan komitmen organisasi
pada PNS secara umum, maupun berdasarkan aspek-aspek demografis.
Tinjauan Teoritis Kepuasan Kerja
Definisi Kepuasan Kerja
Pada dasarnya, kepuasan kerja adalah perasaan suka maupun tidak suka seorang pegawai
terhadap pekerjaan yang dimiliki (Spector, 1997; Spector, 2000). Definisi selanjutnya dikutip
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
dari pendapat Riggio (2009) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan dan
sikap pekerja, baik positif maupun negatif, terhadap pekerjaannya. Riggio kemudian
menambahkan bahwa kepuasan kerja ini dibangun dari beragam aspek, baik maupun buruk,
dari pekerjaan yang dimiliki. Noe dkk. (2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi bahwa pekerjaan yang dimiliki dapat
memenuhi nilai-nilai yang dianggap penting. Luthans (dalam Azeem, 2010) juga
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai kondisi emosional positif yang diperoleh dari hasil
penilaian seseorang terhadap pekerjaan yang dimiliki. Sejalan dengan pendapat Luthans,
Johnson dan Johnson (2000) juga mengungkapkan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah
respon dari pegawai terhadap pekerjaan yang dimiliki dan respon tersebut dibangun atas
interpretasi yang berbeda-beda. Dari definisi-definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja adalah
perasaan dan sikap pegawai, baik positif maupun negatif terhadap pekerjaannya, yang
diperoleh dari hasil penilaian pegawai mengenai mampu atau tidaknya pekerjaan tersebut
memenuhi kebutuhan yang dianggap penting. Faset Kepuasan Kerja
Spector (1997) mengatakan bahwa kepuasan kerja dapat dilihat sebagai perasaan pegawai
terhadap pekerjaannya secara umum (pendekatan global) maupun sebagai perasaan pegawai
terhadap pekerjaannya berdasarkan faset-faset dari pekerjaannya tersebut (pendekatan faset).
Dari kedua pendekatan tersebut, Spector (1997) mengatakan bahwa dengan pendekatan faset,
organisasi mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai kepuasan kerja dari para
pegawainya karena setiap pegawai bisa saja memiliki perasaan yang berbeda-beda mengenai
faset-faset dalam kepuasan kerja. Spector (1997) kemudian memberikan sembilan faset
kepuasan kerja, yaitu (1) Gaji, kepuasan akan gaji dan kenaikan gaji yang dialami oleh para
pegawai; (2) Promosi, kepuasan dengan kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan; (3)
Pengawasan, kepuasan terhadap atasan yang bertanggung jawab langsung mengawasi; (4)
Fringe Benefits, kepuasan atas keuntungan atau tunjangan yang diperoleh; (5) Hadiah,
kepuasan terhadap penghargaan yang diberikan atas pekerjaan yang dilakukan; (6) Operating
Conditions, kepuasan terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku di organisasi; (7) Rekan
Kerja, kepuasan terhadap rekan kerja di organisasi; (8) Tipe Pekerjaan, kepuasan terhadap
tipe pekerjaan yang dilakukan; dan (9) Komunikasi, kepuasan dengan komunikasi yang
terjalin di dalam organisasi.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja, baik yang berasal dari
pegawai (personal), maupun yang berasal dari pekerjaan itu sendiri (Spector, 1997; Aydogdu
& Asikgil, 2011). Faktor personal yang memengaruhi kepuasaan kerja diantaranya adalah
pengalaman, usia, dan jenis kelamin (Aydogdu & Asikgil, 2011). Spector (1997) juga
memberikan faktor personal yang dapat memengaruhi kepuasan kerja, yaitu trait kepribadian
dan person-job fit. Dari faktor pekerjaan, faktor-faktor tersebut diantaranya karakteristik
pekerjaan, tekanan organisasi, peran, gaji dan keuntungan, beban kerja, atasan dan rekan
kerja, promosi, kondisi pekerjaan, dan masa jabatan (Spector, 1997; Sarker, Crossman, &
Chinmeteepituck, 2003; Noe dkk., 2008; Aydogdu & Asikgil, 2011). Komitmen Organisasi
Definisi
Komitmen organisasi didefinisikan sebagai derajat seorang pegawai mengidentifikasikan dan
mendedikasikan dirinya dengan organisasi tempatnya bekerja, berusaha semaksimal mungkin
untuk kepentingan organisasi tersebut serta tetap mempertahankan pekerjaannya di organisasi
tersebut (Jex, 2002; Jex & Britt, 2008; Noe dkk., 2008). Selain itu, Mowday dkk. (dalam
Arnold & Randall dkk, 2010) juga mendefinisikan komitmen organisasi sebagai identifikasi
pegawai terhadap organisasi tempatnya bekerja dengan (1) meyakini nilai-nilai dan tujuan
yang dimiliki oleh organisasi, (2) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk organisasi, dan
(3) memiliki keinginan untuk bertahan di organisasi tempatnya bekerja. Meyer dan Allen (1991) juga memberikan definisi komitmen organisasi, yaitu keadaan
psikologis yang mencirikan hubungan antara pegawai dengan organisasi dan memengaruhi
keputusan pegawai untuk menghentikan atau mempertahankan keanggotannya di dalam
organisasi tersebut. Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa komitmen
organisasi adalah keadaan psikologis yang mencirikan hubungan pegawai dengan organisasi,
di mana pegawai mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tempatnya bekerja, bersedia
untuk berusaha sebaik-baiknya demi organisasi tersebut, serta memengaruhi keputusannya
untuk menetap atau menghentikan keanggotan di dalamnya. Komponen Komitmen Organisasi Komitmen Afektif
Komitmen afektif (affective commitment) adalah kelekatan emosional antara pegawai
terhadap organisasi tempatnya bekerja (Meyer & Allen, 1991; Meyer & Allen, 1997).
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Komitmen afektif juga menunjukkan bahwa selain memiliki kelekatan emosional, pegawai
juga mengidentifikasikan dirinya dan memiliki keterlibatan dengan organisasi tempatnya
bekerja (Meyer & Allen, 1991). Meyer dan Allen (1991), kemudian juga menjelaskan bahwa
para pegawai yang memiliki komitmen afektif, akan tetap bertahan di organisasi tempatnya
bekerja, karena mereka memang ingin bertahan di organisasi tersebut. Rhoades, Eisenberger,
dan Armeli (2001) menjelaskan bahwa kelekatan emosional pegawai dengan organisasi
tempatnya bekerja merupakan faktor yang penting dalam menentukan dedikasi dan kesetiaan
pegawai terhadap organisasi. Para pegawai dengan komitmen afektif yang tinggi akan
menunjukkan performa yang baik demi kelangsungan dan keberhasilan organisasi (Meyer &
Allen, 1997). Komitmen Berkesinambungan
Komitmen berkesinambungan (continuance commitment) adalah komitmen, di mana para
pegawai bertahan di organisasi tempat mereka bekerja dengan pertimbangan untung dan rugi
jika meninggalkan organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991; Meyer & Allen, 1997). Para
pegawai yang memiliki komitmen berkesinambungan bertahan di organisasi tempat mereka
bekerja karena mereka butuh untuk tetap bertahan di organisasi tersebut (Meyer & Allen,
1991). Para pegawai dengan komitmen berkesinambungan yang tinggi memiliki kemungkinan
yang kecil untuk berkontribusi demi tujuan organisasi (Meyer & Allen, 1997). Komitmen Normatif
Pada komitmen ini, para pegawai bertahan di organisasi karena merasa memiliki kewajiban
untuk tetap bertahan (Meyer & Allen, 1991). Mereka merasa berhutang budi terhadap
organisasi atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan oleh perusahaan, seperti gaji,
tunjangan, dan lain sebagainya. Perasaan berhutang inilah yang juga memotivasi para
pegawai untuk berperilaku baik dan turut serta berkontribusi di dalam organisasi tempatnya
bekerja untuk membayar hutangnya terhadap organisasi (Meyer & Allen, 1997). Di dalam
bentuk komitmen normatif ini, para pegawai bertahan di organisasi tempat mereka bekerja
karena merasa mereka harus bertahan di organisasi tersebut (Meyer & Allen, 1991). Faktor yang Memengaruhi Komitmen Organisasi
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi. Faktor-faktor tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu karakteristik personal dan karakteristik
organisasi (Suman & Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006). Di dalam karakteristik
personal, faktor-faktor tersebut terdiri dari usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan (Suman
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
& Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006; Salami, 2008; Aydogdu & Asikgil, 2011). Di
dalam karakteristik organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi terdiri
dari struktur organisasi, karakteristik pekerjaan, dukungan atasan dan rekan kerja,
kemudahan akses (Suman & Srivastava, 2010; Joiner & Bakalis, 2006), percieved
organizational support (Eisenberg dkk., dalam Joiner & Bakalis, 2006), dan masa jabatan
(Kaur & Sandhu, 2010; Noordin dkk., 2011). Metode Penelitian Tipe dan Desain Penelitian
Melihat dari aplikasi penelitian, penelitian ini adalah applied research karena hasil dari
penelitian ini dapat memberikan informasi bagi organisasi mengenai kepuasan kerja yang
dimiliki oleh pegawainya. Melihat dari tujuan penelitian, tipe penelitian ini termasuk ke
dalam penelitian korelasional karena peneliti ingin melihat keberadaan hubungan antara
kedua variabel yang digunakan yaitu kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Berdasarkan
metode pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Pada penelitian ini,
peneliti ini menggunakan desain penelitian cross-sectional study karena peneliti hanya
melakukan pengambilan data sebanyak satu kali. Peneliti menggunakan the retrospective
study design karena peneliti menggunakan data baru yang didasarkan pada hasil evaluasi
pegawai selama bekerja di organisasi. Penelitian ini merupakan penelitian non-experimental
karena peneliti tidak melakukan manipulasi maupun randomisasi terhadap responden. Responden Penelitian
Responden penelitian ini adalah PNS dengan status pegawai tetap pada Kementrian X yang
berusia minimal 20 tahun dan sudah bekerja minimal selama 2 tahun. Responden penelitian
ini berjumlah 63 orang dari Kementrian X dengan 38 responden laki-laki dan 25 responden
perempuan. Metode sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, data diperoleh melalui dua jenis alat ukur berupa kuesioner, yaitu job
satisfaction survey (JSS) untuk mengukur kepuasan kerja yang dikonstruksi oleh Spector pada
tahun 1985 (Spector, 1997) dan affective, continuance, and normative commitment scales
untuk mengukur komitmen organisasi yang dikonstruksi oleh Meyer dan Allen (1997).
Adapun kedua alat ukur ini kemudian diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia
JSS terdiri dari tiga puluh enam item untuk mengukur sembilan faset kepuasan kerja yaitu
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
gaji, promosi, pengawasan, keuntungan, hadiah, operating conditions, rekan kerja, tipe
pekerjaan, dan komunikasi (Spector, 1997). Selain mengukur sembilan faset kepuasan kerja,
JSS juga mengukur kepuasan kerja secara keseluruhan (Spector, 1997). Setiap faset dari
kepuasan kerja terdiri dari empat buah item dan skor total dapat diperoleh dengan
menjumlahkan skor-skor yang diperoleh dari setiap item (Spector, 1997). Alat ukur ini terdiri
dari penyataan-pernyataan yang bersifat favorable yang berjumlah 17 item dan unfavorable
yang berjumlah 19 item (Spector, 1997). Alat ukur ini menggunakan pilihan jawaban
berbentuk skala Likert dengan rentang 1 (satu) sampai 6 (enam), di mana 1 adalah sangat
tidak setuju dan 6 adalah sangat setuju. Skor minimal yang dapat diperoleh oleh responden
adalah 36 dan skor maksimal yang dapat diperoleh responden adalah 216. Untuk sub skala,
skor minimal yang dapat diperoleh adalah 4 dan skor maksimal adalah 24. Item-item favorable di dalam alat ukur ini akan diberikan skor 1 untuk “Sangat Tidak Setuju
(STS)” dan skor 6 untuk “Sangat Setuju (SS)”. Untuk item-item unfavorable, pemberian skor
dibalik sehingga untuk pilihan “Sangat Tidak Setuju (STS)” diberi skor 6 dan untuk pilihan
“Sangat Setuju” diberi skor 1. Selanjutnya, di dalam alat ukur ini, peneliti menambahkan
tulisan “Istilah organisasi merujuk pada organisasi tempat anda bekerja saat ini” di bawah alat
ukur Job Satisfaction Survey. Keputusan untuk menambahkan tulisan ini adalah untuk
menyamakan persepsi responden akan istilah organisasi yang terdapat di dalam alat ukur ini. Affective,Continuance, and Normative Commitment Scales terdiri dari 18 item yang mengukur
tiga komponen komitmen organisasi. Alat ukur ini terdiri dari penyataan-pernyataan yang
bersifat favorable yang berjumlah 14 item dan unfavorable yang berjumlah 4 item (Meyer &
Allen, 1997). Alat ukur ini menggunakan pilihan jawaban berbentuk skala Likert dengan
rentang 1 (satu) sampai 7 (tujuh), di mana 1 sangat tidak setuju dan 7 sangat setuju. Pada
penelitian ini, peneliti melakukan modifikasi dengan menghilangkan pilihan jawaban “ragu-
ragu” untuk menghindari kemungkinan jawaban mengumpul di tengah dan menambahkan
tulisan “Istilah organisasi merujuk pada organisasi tempat anda bekerja saat ini” di bawah alat
ukur Affective, Continuance, and Normative Commitment Scales untuk menyamakan persepsi
responden akan istilah organisasi yang terdapat di dalam alat ukur ini. Oleh karena itu, di
dalam alat ukur ini, peneliti menggunakan skala Likert dengan rentang 1 (satu) sampai 6
(enam). Skor minimal yang dapat diperoleh dari alat ukur ini adalah 18 dan skor maksimal 108. Item-
item favorable di dalam alat ukur ini diberikan skor 1 untuk “Sangat Tidak Setuju (STS)”
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
dan skor 6 untuk “Sangat Setuju (SS)”. Pada item unfavorable, pemberian skor dibalik
sehingga untuk pilihan “Sangat Tidak Setuju (STS)” diberi skor 6 dan pilihan “Sangat Setuju”
diberi skor 1. Teknik Statistik Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik statistik deskriptif, Pearson correlation,
independent sample t-test, dan one-way Analysis of Variance (ANOVA) dengan bantuan
perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0. Hasil Penelitian Gambaran Umum Kepuasan Kerja pada Pegawai Negeri Sipil Tabel. 1
Variabel N Rata-
Rata Modus Skor
Minimum Skor
Maksimum Standar Deviasi
Kepuasan Kerja 63 137,65 110 56 180 26,419
Dari skor kepuasan kerja yang diperoleh pada Tabel. 1, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja
yang dimiliki oleh PNS tinggi, dengan nilai rata-rata (137,65) mendekati skor maksimal.
Selain itu, berdasarkan faset kepuasan kerja, pada Tabel. 2 terlihat bahwa dari sembilan faset
kepuasan kerja, PNS terlihat paling puas dengan tipe pekerjaan yang dilakukan (rata-rata
17,11) dan paling tidak puas dengan prosedur atau peraturan yang berlaku di organisasi
(conditions of works) dengan rata-rata 13,65
Tabel. 2
No Variabel Rata-Rata 1 Tipe Pekerjaan 17,11 2 Pengawasan 16,89
3 Rekan Kerja 16,76 4 Hadiah 15,54
5 Gaji 15,13
6 Keuntungan 14,65
7 Promosi 14,08
8 Komunikasi 13,84
9 Conditions of Works
13,65
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Gambaran Umum Komitmen Organisasi pada Pegawai Negeri Sipil Tabel. 3
Variabel N Rata-
Rata Modus Skor
Minimum Skor
Maksimum Standar Deviasi
Komitmen organisasi
63 77,03 76 47 102 13,100
Pada Tabel. 3, dapat terlihat bahwa komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS tinggi
dengan rata-rata 77,03 yang lebih mendekati skor maksimum. Selanjutnya, pada Tabel. 4 data
terlihat gambaran tiap-tiap komponen komitmen organisasi pada PNS. Dari tabel tersebut,
dapat terlihat jika komitmen normatif paling tinggi dimiliki oleh PNS, dengan komitmen
berkesinambungan paling rendah dimiliki oleh PNS. Tabel. 4
Komponen N Rata-Rata
Modus Skor Minimum
Skor Maksimum
Standar Deviasi
Komitmen Normatif 63 26,37 30 11 35 5,392 Komitmen Afektif 63 26,19 26 14 36 5,349
Komitmen Berkesinambungan
63 24,48 21 11 36 4, 849
Hubungan antara Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi Pada Tabel. 5, dapat terlihat bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan komitmen organisasi (r= 0,633, p<0,01, 2-tailed). Melihat kekuatan
korelasi tersebut, jika menggunakan batasan kekuatan korelasi menurut Jackson (2009), maka
kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki hubungan yang moderat. Tabel. 5
Variabel N r P
Kepuasan kerja dan komitmen organisasi 63 0,633 .000**
** Signifikan pada LoS 0.01 (2-tailed)
Gambaran Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi berdasarkan Aspek Demografis Peneliti juga melihat kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS yang ditinjau dari
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
aspek demografis, yaitu yaitu usia, jenis kelamin, dan lama kerja (tahapan karir). Pada aspek
demografis ini, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja maupun
komitmen organisasi pada aspek demografis. Dari aspek usia, tidak ditemukan perbedaan
kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada kelompok usia (early-career, middle-
career, dan late-career). Melihat dari aspek jenis kelamin, juga tidak ditemukan perbedaan
kepuasan kerja maupun komitmen organisasi pada pria dan wanita. Terakhir, dari aspek lama
kerja (tahapan karir), juga tidak terdapat perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen
organisasi pada kelompok tahapan early-career, middle-career, maupun late-career. Pembahasan Dari analisis utama, ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan komitmen organisasi (r =0,633, p<0,01, 2-tailed). Hasil dari penelitian ini
sejalan dengan penelitian-penelitian lain yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Adapun penelitian tersebut diantaranya penelitian
yang dilakukan oleh Salami (2008), Altinoz, Cakiroglu, dan Cop (2012), Shah, Isran, dan
Memon (2012), serta Mahanta (2012). Pada penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi
pada jenis kelamin. Menurut Spector (2000) penelitian-penelitian yang melihat pengaruh jenis
kelamin pada kepuasan kerja memang memberikan hasil yang beragam dan tidak konsisten.
Terdapat penelitian yang menemukan bahwa wanita mungkin lebih merasa senang dengan
sedikit pekerjaan dibanding pria, tetapi alasan yang mendasarinya masih belum jelas (Spector,
2000). Hasil penelitian juga ini menunjukkan bahwa penelitian mengenai perbedaan jenis
kelamin pada komitmen organisasi memberikan hasil berbeda-beda dan tidak konsisten. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan kepuasan kerja pada tahap usia. Penelitian ini
bertolak belakang dengan penelitian Okpara (2004) yang menemukan usia memengaruhi
kepuasan kerja. Meskipun demikian, rata-rata kepuasan kerja pada tahap usia late-career
(141,15) paling tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata kepuasan kerja pada tahap usia
middle-career (129,00) dan early-career (139,18). Hal ini sesuai dengan penelitian Kaya
(dalam Aydogdu & Asikgil, 2011) yang menemukan bahwa kepuasan kerja akan meningkat
seiring bertambahnya usia. Selain itu, terlihat bahwa pada tahap usia middle-career, terdapat
penurunan pada kepuasan kerja jika dibandingkan dengan kepuasan kerja tahap usia early-
career, sehingga berdasarkan rata-rata tersebut, kepuasan kerja terlihat berbentuk U-Shaped.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Di dalam penelitiannya, Hunter (2007), juga menemukan bahwa kepuasan kerja dan usia
membentuk kurva U. Di dalam diskusinya, Hunter (2007) menjelaskan bahwa setelah para
pegawai muda merasa stabil dengan pekerjaan yang baru dimilikinya, mereka akan memiliki
keinginan untuk melebihi pencapaian yang telah dicapai. Meskipun demikian, hal tersebut
belum tentu dapat dilakukan karena pegawai masih berada pada tahap perkembangan karir
atau yang disebut Hunter sebagai line of progression. Pegawai mungkin melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat rutinitas dan akhirnya para pegawai merasa bosan sehingga
kepuasan kerja menurun. Meskipun bosan, karena tuntutan kebutuhan sehari-hari, mereka
akhirnya tetap bertahan di dalam pekerjaannya. Semakin lama seseorang bekerja dan semakin bertambahnya usia, maka orang tersebut akan
lebih terbiasa dengan rutinitas yang dilakukan karena merasa tidak lama lagi mereka akan
pensiun (Hunter, 2007). Hal itu membuat pegawai dapat mengatasi rasa ketidakpuasan
tersebut. Selain itu, Hunter (2007) juga mengatakan bahwa fluktuasi ini juga dapat disebabkan
tanggung jawab yang semakin besar, seperti keluarga, seiring bertambahnya usia. Pada perbedaan komitmen organisasi pada tahap usia early-career, middle-career, dan late-
career, penelitian ini tidak menemukan perbedaan. Hasil penelitian ini bertolak belakang
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salami (2008). Meskipun demikian, Salami juga
mengatakan bahwa terdapat penelitian lain yang tidak menemukan bahwa usia berhubungan
dengan komitmen organisasi. Suman dan Srivastava (2010) juga menemukan bahwa usia
tidak memengaruhi komitmen organisasi. Selain itu, Meyer dan Allen (1997) mengatakan
bahwa penelitian mengenai aspek demografis, seperti usia, memberikan hasil yang tidak
konsisten terutama dalam kaitannya dengan komitmen afektif. Oleh karena itu, dapat terlihat
bahwa pengaruh usia terhadap komitmen organisasi masih diperdebatkan. Pada penelitian ini, peneliti juga melihat perbedaan kepuasan kerja pada tahapan karir (lama
kerja) di mana tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja pada tahap early-career, middle-
career, maupun late-career. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sarker, Crossman, dan Chinmeteepituck (2003) yang menemukan
perbedaan kepuasan kerja yang signifikan pada tahapan karir. Meskipun demikian,
berdasarkan nilai rata-rata, terlihat bahwa nilai rata-rata kepuasan kerja pada late-career stage
(140,33) paling tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata middle-career stage (134,15) dan
early-career stage (139,82). Jika dilihat, kepuasan kerja pada tahap karir membentuk kurva
U. Hunter (2007) kemudian mengatakan kurva ini terbentuk karena mungkin para pegawai
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
yang telah bekerja lama (lebih dari 10 tahun) merasa bahwa kesempatan mereka untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menantang semakin sedikit, sehingga mereka
tidak terlalu berharap banyak, sedangkan para pegawai yang bekerja kurang dari 10 tahun,
mungkin masih memiliki harapan tersebut. Hal tersebut membuat para pegawai yang sudah
bekerja lama membentuk kepuasan kerja karena mereka merasa bahwa hanya pekerjaan
inilah yang mereka miliki Penelitian ini juga melihat perbedaan komitmen organisasi pada tahapan karir (lama kerja)
dan tidak menemukan perbedaan komitmen organisasi pada tahap early-career, middle-
career, dan late-career. Melihat dari nilai rata-rata komitmen organisasi, tahap late-career
memiliki nilai rata-rata tertinggi ada pada tahap late-career (77,03) jika dibandingkan dengan
middle-career stage (75,30) dan early-career stage (76,25). Penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Noordin dkk (2011) yang menemukan bahwa para
manajer yang sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun memiliki komitmen organisasi yang
lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena responden pada penelitian ini berasal dari jabatan
yang berbeda-beda, sehingga mungkin terdapat perbedaan di setiap jabatan. Natarajan dan Nagar (2011) mengatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja di sebuah
organisasi, maka semakin banyak pula masalah yang dihadapi, sehingga ketika masalah
tersebut dapat teratasi, pegawai akan semakin mengidentifikasikan dirinya ke dalam
organisasi tersebut. Melihat jabatan para responden penelitian ini berbeda-beda, dan
mayoritas adalah staf, maka masalah yang dihadapi pun berbeda-beda. Selain itu, mungkin
karena mayoritas jabatan responden adalah staf, mereka tidak memiliki andil yang besar
dalam penyelesaian masalah . Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai pekerjaan
yang dilakukan oleh PNS. Di dalam penelitian ini, fenomena perilaku counterproductive yang
ditunjukkan oleh PNS, diasumsikan terjadi karena adanya ketidakpuasan pegawai terhadap
pekerjaan yang dimiliki. Meskipun demikian, dari hasil penelitian ini, justru nilai rata-rata
keseluruhan kepuasan kerja pada PNS tinggi (137,65). Hal ini bertolak belakang dengan
asumsi peneliti yang menduga bahwa kepuasan kerja yang dimiliki PNS rendah. Kepuasan kerja yang tinggi tersebut mungkin terjadi karena ada kemungkinan PNS merasa
memiliki keamanan dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itulah para
PNS memiliki kepuasan kerja yang tinggi karena memiliki jaminan akan pekerjaan. Hal itu
pula yang dapat menjelaskan alasan komitmen normatif justru memiliki nilai rata-rata
tertinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata komitmen berkesinambungan karena
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
mereka merasa sudah aman di kementrian tersebut dan ingin membayar rasa aman tersebut. Pada penelitian ini, salah satu asumsi peneliti adalah PNS memiliki komitmen
berkesinambungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen afektif maupun normatif
sehingga memunculkan perilaku counterproductive. Hal ini sesuai dengan pendapat Meyer
dan Allen (1997) yang mengatakan bahwa pegawai yang memiliki komitmen
berkesinambungan yang lebih tinggi, cenderung memiliki performa yang rendah. Akan tetapi,
dari hasil penelitian ini justru ditemukan bahwa rata-rata komitmen berkesinambungan paling
kecil (24,48) jika dibandingkan dengan rata-rata komitmen afektif (26,19) dan komitmen
normatif (26,37). Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, hal ini mungkin terjadi karena
PNS ingin membayar rasa aman akan jaminan pekerjaan yang telah diberikan. Salah satu hal yang kontradiktif pada hasil penelitian ini adalah, para PNS memiliki
komitmen normatif yang tinggi tetapi kinerja yang buruk. Tingginya komitmen normatif yang
dimiliki PNS diasumsikan karena para pegawai mendapatkan jaminan pekerjaan yang
diberikan oleh badan pemerintahan. Asumsi ini dibuat berdasarkan pendapat Meyer dan Allen
(1997) yang mengatakan bahwa para pegawai dengan komitmen normatif yang tinggi akan
menunjukkan kinerja yang terbaik karena merasa hal itulah yang harus dilakukan untuk
membayar jasa yang telah diberikan oleh organisasi. Jika mengikuti teori yang diberikan oleh
Meyer dan Allen (1997), seharusnya PNS menunjukkan kinerja yang baik. Meskipun
demikian, kembali kepada fenomena PNS tersebut, terlihat bahwa PNS tidak menunjukkan
kinerja yang baik. Oleh karena itu, peneliti mewaspadai kemungkinan terjadinya social
desirability. Furr (2011) mengatakan bahwa social desirability adalah kecenderungan responden untuk
memberikan jawaban yang diperkirakan memang jawaban yang diharapkan untuk muncul.
Mungkin saja PNS yang menjadi responden penelitian ini merasa sedang diawasi sehingga
memberikan respon yang dianggap memang diinginkan. Social desirability inilah yang
mungkin memengaruhi hasil penelitian ini, terutama dalam kaitannya dengan komitmen
berkesinambungan dan komitmen normatif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
komitmen berkesinambungan menunjukkan kelekatan pegawai terhadap organisasi atas dasar
untung dan rugi. Bisa saja para pegawai merasa, tidak seharusnya mereka memanfaatkan
organisasi sehingga mereka menjawab beradasarkan jawaban yang dianggap diinginkan. Jika melihat dari sisi komitmen, dapat terlihat bahwa komitmen normatif yang dimiliki oleh
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
PNS paling tinggi jika dibandingkan dengan komitmen afektif dan berkesinambungan. Hal ini
dapat disebabkan oleh banyaknya tunjangan dan keuntungan yang diperoleh PNS, seperti
tunjangan pensiun. Selain itu, para PNS juga jarang diberhentikan secara mendadak. Adapun
prosedur pemberhentian PNS sudah diatur di dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun
1979. Di dalam peraturan tersebut dapat terlihat bahwa PNS hanya dapat diberhentikan secara
tidak hormat jika melanggar hukum. Di dalam peraturan tersebut juga dikatakan bahwa PNS
yang diberhentikan karena penyederhanaan organisasi akan disalurkan ke organisasi lain atau
diberhentikan secara hormat dengan tetap mendapatkan tunjangan-tunjangan. Melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa para PNS memang berusaha untuk membalas
keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh organisasi dengan tetap bertahan di organisasi
tersebut. Meskipun demikian, melihat fenomena PNS yang berperforma buruk, maka terdapat
kemungkinan besar bahwa social desirability ini terjadi. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS. Hubungan tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dimiliki oleh PNS maka semakin tinggi pula
komitmen organisasi yang dimiliki. Pada gambaran kepuasan kerja yang dimiliki oleh PNS,
ditemukan bahwa secara keseluruhan kepuasan kerja yang dimiliki PNS tinggi. Selain itu, jika
melihat dari faset-faset kepuasan kerja, terlihat bahwa kepuasan akan tipe pekerjaan yang
dilakukan paling tinggi dirasakan oleh PNS, sedangkan kepuasan akan peraturan dan
prosedur yang berlaku di dalam organisasi paling rendah dirasakan oleh PNS. Secara
keseluruhan, komitmen organisasi yang dimiliki oleh PNS tinggi. Jika dilihat berdasarkan
komponen komitmen organisasi, terlihat bahwa komitmen normatif paling tinggi dirasakan
oleh PNS, sedangkan komitmen berkesinambungan paling rendah dirasakan oleh PNS.Pada
penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan kepuasan kerja maupun komitmen organisasi
pada aspek demografis (usia, jenis kelamin, dan lama kerja) Saran Untuk penelitian-penelitan selanjutnya, ada baiknya peneliti memperbanyak jumlah
responden penelitian agar hasil dapat lebih mewakili kementrian X sebagai populasi. Selain
itu, peneliti perlu untuk memperluas cakupan penelitian, dimana tidak hanya terbatas pada
Kementrian X saja, agar dapat menjawab fenomena PNS di Indonesia secara luas. Peneliti
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
juga perlu untuk menggunakan metode pengumpulan data yang beragam, seperti wawancara
dan observasi, agar pemahaman yang diperoleh lebih mendalam. Selanjutnya, untuk
penelitian selanjutnya, ada baiknya peneliti memerhatikan karakteristik pegawai pada tahap
karir maupun usia agar mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai kepuasan kerja
maupun komitmen organisasi berdasarkan tahap karir maupun usia. Selain itu, untuk penelitian-penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menguji topik-
topik lain yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti penelitian kualitatif mengenai
kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada PNS untuk mengetahui alasan yang mendasari
PNS tetap bertahan di pekerjaannya tetapi menunjukkan perilaku counterproductive atau
pengaruh faktor-faktor di luar pekerjaan (keluarga, teman, dan lain sebagainya) yang dapat
memengaruhi kepuasan kerja dan komitmen organisasi PNS. Adapun saran praktis dari penelitian ini adalah pihak KementrianX, dapat melihat aspek-
aspek kepuasan kerja yang masih kurang dirasakan oleh PNS, yaitu kepuasan akan peraturan
dan prosedur yang berlaku di dalam organisasi. Oleh karena itu, pihak kementrian X dapat
mempertimbangkan untuk menganalisa kembali peraturan dan prosedur yang berlaku. Jika
melihat hasil penelitian yang menunjukkan PNS memiliki komitmen organisasi yang tinggi,
maka pihak organisasi harus mempertahankan hal tersebut dengan cara melihat aspek-aspek
kepuasan kerja yang masih kurang dari PNS.
. Referensi: Ahmad, A., & Omar, Z. (2010). Percieved family-supportive work culture, affective
commitment and turnover intention of employees. Journal of American Science, 6(12),
839-846.
Altinoz, M., Cakiroglu, D., & Cop, S. (2012). The Effect of Job Satisfaction of the Talented
Employees on Organizational Commitment: A Field Research. Procedia-Social and
Behavioral science, 58, 322-330.
Arnold, J & Randall, R., dkk. (2010). Work Psychology; Understanding Human Behavior in
the Workplace. 5th ed. Essex: Pearson
Aydogdu, S., & Asikgil, B. (2011). An empirical study of the relationship among job
satisfaction, organizational commitment, and turnover intention. International Review
of Management and Marketing, 1(3), 43-53.
Azeem, S. M. (2010). Job satisfaction and organizational commitment among employees in
the sultanate of Oman. Psychology, 1(4), 295-299. doi:10.4236/psych.2010.14038.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Furr, R. M. (2011). Scale Construction and Psychometrics: For Social and Personality
Psychology. London: SAGE Publication. Diunduh dari
http://books.google.co.id/books?id=bwp5W4DAz8MC&printsec=frontcover#v=onepa
ge&q&f=false
Hunter, D. (2007). Non linear patterns of job satisfaction and age cohorts in an industrial
environtment. Journal of American Academy of Business, Cambridge, 11(2), 231-238.
Jackson, S. L.(2009). Research Methods and Statistics: A Critical Thinking Approach. 3rd ed.
California: Wadsworth Cengage Learning.
Jex, S. M. (2002). Organizational Psychology: A Scientist Pratitioner Approach. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A Scientist pratitioner
approach. 2nd ed. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Joiner, T. A., & Bakalis, S. (2006). The antecendents of organizational commitment: The case
of Australian casual academics. International Journal of Education, 20(6), 439-452.
DOI 10.1108/09513540610683694
Johnson, G. J., & Johnson, W. R. (2000). Percieved overqualification and dimensions of job
satisfaction: A longitudinal analysis. The Journal of Psychology, 134(5), 537-555.
Kaur, K., & Sandhu, K. H. (2010). Career stage effect on organizational commitment:
Empirical evidence from Indian banking industry. International Journal of Business
and Management, 5(12), 141-152.
Kumar, R., Ramendran, C., & Yacob, P. (2012). A study on turnover intention in fast food
industry: Employees’ fit to the organizational culture and the important of their
commitment. International Journal of Academic Research in Business and Social
Sciences, 2(5), 9-42.
Lok, P., & Crawford, J. (2003). The effect of organizational culture and leadership style on
job satisfaction and organizational commitment: A cross-national comparison. The
Journal of Management Development, 23(3/4), 321-338.
Mahanta, M. (2012). Personal Characteristics and Job Satisfaction as Predictors of
Organizational Commitment: An Empirical Investigation. South Asian Journal of
Management, 19(4), 46-58.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A Three-component conceptualization of organizational
commitment. Human Resource Management Review, 1(1), 61-89.
Meyer, J. P., & Allen N. J., (1997). Commitment in the workplace: Theory, research and
application. New Delhi: Sage Publication, Inc.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Muthuveloo, R., & Rose, R. C. (2005). Antecedents and outcomes of organizational
commitment among Malaysian engineers. American Journal of Applied Sciences, 2(6),
1095-1100.
Natarajan, N. K., & Nagar, D. (2011). Effects of service tenure and nature of occupation on
organizational commitment and job satisfaction. Journal of Management Research,
11(1), 59-64.
Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2008). Fundamentals of human
research management. 3rd ed. New York: McGraw-Hill.
Noordin, F., Abdul Rahim, A. R., Ibrahim, A. H., & Omar, M. S. (2011). An analysis of
career stages on organisational commitment of australian managers. International
Journal of Business and Social Science, 2(17), 117-126.
Okpara, J. O. (2004). Personal characteristics as predictors of job satisfaction: An exploratory
study of IT managers in a developing economy. Information Technology & People, 17
(3), 327-338.
Rhoades, L., Eisenberger, R., & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization
: The contribution of percieved organizational support. Journal of applied psychology.
85(5). 825-836.
Riggio, R. E. (2009). Intoduction to industrial/organizational psychology. 5th ed. New Jersey:
Pearson Prentice Hall.
Samad, S. (2005). Unraveling the organizational commitment and job performance
relationship: Exploring the moderating effect of job satisfaction. The Bussines Review,
Cambridge, 4(2), 79-84.
Salami, S. O. (2008). Demographic and psychological factors predicting organizational
commitment among industrial workers. Anthropologist, 10(1), 31-38.
Sarker, S. J., Crossman, A., & Chinmeteepituck, P. (2003). The relationship of age and length
of service with job satisfaction: An examination of hotel employees in Thailand.
Journal of Managerial Psychology, 18(7), 745-758. DOI
10.1108/02683940310502421.
Shah, S. M. A., Isran, S., Memon, M. S. (2012). The impact of employee job satisfaction on
the organizational commitment: A study of faculty members of public sector
Universities of Pakistan. Interdiciplinary Journal of Contemporary Research in
Business, 3(10), 161-170.
Suman, S., & Srivastava, A. K. (2010). Antecedents of organizational commitment across the
jobs. Journal of Psychosocial Research, 59(2), 195-208.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013
Spector, P. E. (1997). Job satisfaction: Application, assessment, causes, and consequences.
California: Sage Publication Inc.
Spector, P. E. (2000). Industrial and Organizational Psychology: Research and Practice. 2nd
ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Van Breukelen, W., Van Der Vlist, R., & Steensma, H. (2004). Voluntary employee turnover:
Combining variables from the ‘traditional’ turnover literature with the theory of
planned behavior. Journal of Organizational Behavior, 25, 893-914. DOI:
10.1002/job.281.
Wasono, H.T. (2012, 21 Maret). Kinerja buruk, 40 persen PNS diminta pensiun dini. Tempo.
Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/03/21/173391746/Kinerja-Buruk-
40-Persen-PNS-Diminta-Pensiun-Dini.
Hubungan Antara..., Atthahira Sastia Kartika, FPsi UI, 2013