hubungan antara body image dengan harga diri...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA PRIA
YANG MENGIKUTI LATIHAN FITNESS/KEBUGARAN
GALUH HENGGARYADI Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Abstrak
Perubahan fisik terjadi saat seorang individu mencapai usia remaja, dimana seorang
remaja akan mengalami masa perubahan atau masa transisi dari anak-anak menjadi orang dewasa. Pada saat ini banyak perubahan yang terjadi karena pengaruh hormonal. Perubahan fisik yang terjadi ini tentu saja mempengaruhi penampilan fisik, seperti bertambah berat badan, tinggi badan, dan lain-lain.
Perubahan fisik yang terjadi pada remaja pria sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis mereka, serta akan membawa dampak sangat besar pada body imagenya. Body image sebagai bagian dari citra diri, mempunyai pengaruh terhadap bagaimana cara seseorang melihat dirinya. Selanjutnya akan membentuk juga cara seseorang menilai dirinya, dalam sikap yang dapat bersifat positif maupun negatif. Jika seseorang menilai dirinya secara positif maka ia akan menjadi seseorang yang merasa lebih berharga, sehingga akan memiliki tingkat harga diri yang tinggi. Dengan demikian remaja dapat menjalani proses interaksi sosial dengan lebih mudah. Lain halnya jika seseorang menilai dirinya secara negatif, maka ia akan menjadi seseorang yang merasa kurang berharga, sehingga mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Jika ditinjau secara teori jelas terdapat hubungan antara body image dengan harga diri. Namun apakah body image merupakan salah satu faktor yang menentukan harga diri seseorang?. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara body image dengan harga diri pada remaja pria yang mengikuti latihan fitness/kebugaran.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pria yang mengikuti fitness selama 3 bulan sampai 1 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu dengan angket atau kuesioner. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.
Dari hasil uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada skala body image diketahui nilai z = 0,081 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,108 (p > 0,05). Adapun hasil uji normalitas pada skala harga diri diperoleh nilai z = 0,076 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,162 (p>0,05). Sedangkan hasil uji linearitas pada skala body image menunjukkan hasil yang linear dengan nilai F = 29,482 dan nilai signifikansi sebesar 0,00 (p<0,05).
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan korelasi pearson, diperoleh koefisien korelasi r sebesar 0,481 dengan signifikansi 0,00 (p<0,01). Hal ini berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara body image dengan harga diri pada remaja pria yang mengikuti latihan finess/kebugaran. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi ada hubungan antara body image dengan harga diri adalah diterima. Hasil tambahan diketahui bahwa body image dan harga diri berada pada kategori tinggi.
Kata Kunci : body image, harga diri, remaja pria
1
PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Pada dasarnya manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna,
teristimewa, terbaik, dan terunik dibanding
dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Namun
terkadang kita sebagai manusia selalu
merasa tidak puas dengan apa yang sudah
diberikan Tuhan kepada kita sebagai
makhluk ciptaan-Nya. Ditambah lagi dengan
perkembangan zaman yang dapat merubah
cara berpikir seseorang dalam segala hal.
Khususnya cara berpikir remaja tentang
perkembangan fisik yang dialami, dimana
remaja akan mengindikasikan bahwa
seseorang yang memiliki tubuh bagus akan
memperoleh penghargaan yang lebih dari
lingkungan. Oleh karena itu banyak remaja
yang rela untuk merubah penampilan atau
bentuk tubuhnya (make over) agar menjadi
lebih ideal. Hal itu biasa dilakukan oleh
seorang remaja putri, sehingga perilaku
seperti itu sudah menjadi suatu hal yang
lumrah bagi remaja putri yang beranjak
dewasa. Sebaliknya bukan hanya remaja
putri saja yang berperilaku seperti itu, tetapi
remaja pria pun saat ini banyak yang berfikir
membentuk tubuhnya untuk menjadi lebih
proporsional.
Dalam penelitian ini akan di
khususkan pada masa remaja, karena
perubahan fisik yang paling terasa adalah
saat seorang individu mencapai usia remaja,
banyak perubahan yang terjadi dan ini
dikarenakan oleh beberapa faktor dan salah
satunya adalah pengaruh hormonal yang
tentu saja mempengaruhi penampilan fisik
remaja, seperti bertambahnya berat badan,
tinggi badan, dan lain sebagainya, serta
dapat juga mempengaruhi perkembangan
psikologis remaja seperti body image. Selain
itu pada masa ini dianggap sangat penting
dimana remaja berada dalam proses
peralihan dan pencarian identitas diri dan
cenderung berfikir egosentris, maka tingkah
laku yang ditampilkan biasanya berdasarkan
sudut pandang dari remaja itu sendiri tanpa
mempertimbangkan sudut pandang orang
lain (Hurlock, 1980). Oleh karena itu reaksi
emosi remaja terhadap perubahan fisik yang
terjadi sama pentingnya dengan perubahan
psikologis yang terjadi tersebut, yang akan
membawa dampak sangat besar pada body
image-nya, (Rice, 1996).
Oleh sebab itu para remaja pria
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu
yang penting, terlebih tentang citra tubuh
atletis yang banyak mempengaruhi persepsi
dan interpretasi remaja pria terhadap
tubuhnya, dikarenakan oleh tampilan-
tampilan yang ada di media masa saat ini
seperti televisi atau pun majalah-majalah
pria lainnya seperti majalah sport yang
mengulas profil atlit basket, sepak bola,
bahkan para pegulat WWF (World
Wrestrling Federation). Sehingga
mengakibatkan timbulnya citra positif
terhadap bentuk tubuh, dan itu dikarenakan
pada masa remaja biasanya mulai sibuk
dengan penampilan fisiknya dan ingin
merubah penampilannya tersebut agar
menjadi lebih baik.
Dengan demikian remaja pria pun
memperlihatkan dengan memberikan
2
perhatian yang lebih terhadap masalah kulit,
berat tubuh, tinggi badan yang ideal dan
tentu saja ingin memiliki bentuk tubuh yang
ideal seperti bentuk tubuh yang atletis, kekar
dan proporsional. Untuk merubah
penampilannya itu remaja pria rela
menghabiskan waktu berjam-jam di tempat
fitness (gym), hanya untuk merubah bentuk
tubuhnya supaya dilihat menjadi lebih
menarik, baik dari sudut pandang remaja
sendiri atau personal maupun dari sudut
pandang orang lain atau sosial. Menurut
Conger dan Petersen (dalam Caspersen,
2000), masa remaja (masa adolecence)
dianggap sebagai masa perpindahan atau
masa transisi dari kanak-kanak yang tidak
matang menuju ke masa dewasa yang lebih
matang.
Penampilan fisik seseorang
memang dianggap sebagai suatu hal yang
penting dalam kehidupan dimasa kini.
Dengan tampil menarik, remaja pria akan
merasa lebih berharga dan dapat tampil lebih
meyakinkan dalam berbagai situasi.
Keinginan memiliki penampilan yang
menarik cenderung dapat diamati dengan
menjamurnya pusat perampingan badan
(slimming center), pusat kebugaran (fitness
center), yang menjanjikan berbagai program
pembentukan tubuh, di samping berbagai
salon kecantikan untuk seluruh tubuh. Hal
ini dikarenakan minat masyarakat Indonesia,
terutama para remaja yang saat ini juga
menganggap penampilan menarik sebagai
hal yang penting (Kedley, 2001).
Banyak remaja pria yang menaruh perhatian
lebih terhadap penampilan, terutama tubuh
secara fisik dibandingkan hal-hal yang
berkaitan dengan aspek lain dari kehidupan
remaja pria itu sendiri. Jika apa yang remaja
pria inginkan tentang tubuh secara fisik yang
ideal terpenuhi maka mereka akan memiliki
body image positif tentang diri mereka
sendiri. Sebaliknya, jika body image yang
ideal dalam bayangan mereka teryata tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada maka
yang terjadi kemudian adalah body image
yang negatif (Arkoff, 1975).
Body image ini secara umum
dibentuk dari perbandingan yang dilakukan
seseorang atas fisiknya sendiri dengan
standar kecantikan yang dikenal oleh
lingkungan sosial dan budayanya. Karena
body image adalah bagian dari citra diri,
yang punya pengaruh terhadap cara
seseorang melihat dirinya. Selanjutnya akan
menentukan juga cara seseorang menilai
dirinya, positif atau negatif. Kalau seseorang
menilai dirinya positif, maka remaja juga
yakin akan kemampuan dirinya (Sloan,
2002).
Pandangan remaja tentang
penampilan dan aspek ke tubuhannya
merupakan citra tubuhnya atau body image.
Body image seseorang merupakan evaluasi
terhadap ukuran tubuh, berat badan ataupun
aspek-aspek lainnya dari tubuh yang
berhubungan dengan penampilan fisik
(Thompson & Altabe, 1993). Biasanya
remaja memiliki anggapan-anggapan bahwa
seseorang yang memiliki penampilan
menarik seperti memiliki tubuh yang atletis,
kekar dan proporsional dinilai memiliki
atribut-atribut positif dalam bergaul dan
3
bersosialisasi dengan teman-temannya, lebih
percaya diri dan dapat lebih mudah
membina hubungan dengan lawan jenis.
Sebaliknya remaja beranggapan
seseorang yang kurang menarik sering kali
menerima perlakuan yang tidak
menyenangkan seperti diskriminasi dalam
pergaulan dan interpersonal dengan lawan
jenis. Akibatnya remaja merasa perlu
memperbaiki atau merubah penampilannya
itu, dengan mendatangi tempat latihan
fitness (gym) dan ikut berlatih. Apalagi jika
ini terjadi pada remaja yang mengalami
pertumbuhan fisik yang kurang atau belum
sempurna (late physical maturers) seperti
kegemukan, kurus, pendek, tinggi,
ectomorph, endomorph, mesomorph. Hal ini
diperjelas oleh Honigman dan Castle (dalam
Hurlock, 1980) yang mengatakan bahwa
body image adalah gambaran mental
seseorang terhadap bentuk dan ukuran
tubuhnya; bagaimana seseorang
mempersepsi dan memberikan penilaian atas
apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap
ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana
kira-kira penilaiaan orang lain terhadap
dirinya.
Dengan begitu para remaja pria
yang memiliki kekurangan dan
keterlambatan dalam perkembangan fisik
biasanya berfikir untuk mengikuti atau
menjalani rutinitas fitness agar mereka
memiliki tubuh yang ideal sehingga lebih
percaya diri, selain mengikuti latihan demi
latihan seperti sit up, push up, angkat beban
seperti angkat barbell, dan lain-lain. Para
remaja juga diajarkan tentang berbagai
macam pola makan yang benar dengan
asupan gizi yang cukup serta mengkonsumsi
suplemen-suplemen yang dibutuhkan untuk
perkembangan tubuh ditambah lagi dengan
susu yang tinggi proteinnya dan berkalsium
tinggi.
Secara lebih lanjut, Elkind dan
Wainer (1995), menyebutkan bahwa remaja
kemudian mencoba untuk mencocokan
steriotipe tubuh mereka yang ideal sesuai
dengan jenis kelaminnya sehingga kepuasan
terhadap tubuh menjadi bergantung pada
sejauh mana mereka dapat mengusahakan
tubuh mereka mendekati ideal.
Diharapkan dengan mengikuti
latihan fitness dan menerapkan tips-tips yang
diberikan di tempat latihan fitness dengan
baik dan benar, secara perlahan tapi pasti
akan dapat merubah bentuk tubuh remaja
pria menjadi seperti yang diinginkan.
Dengan demikian pandangan tentang citra
tubuh yang negatif akan berubah menjadi
lebih positif, sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan diri seseorang dan
mempengaruhi tingkat harga diri seseorang,
terlebih terhadap remaja yang mengalami
perkembangan fisik yang kurang atau belum
sempurna (late physical maturers).
Kimmel dan Wainer (1995),
mangatakan bahwa kepercayaan diri yang
remaja pria punyai memiliki kaitan yang
cukup erat dengan perilaku yang
ditunjukkannya. Semakin menarik atau
efektif kepercayaan diri mereka terhadap
tubuh mereka maka semakin positif pula
harga diri yang mereka miliki. Karena body
image yang positif akan meningkatkan nilai
4
diri (self worth) seseorang, percaya diri (self
confidance) serta mempertegas jati diri pada
orang lain maupun dirinya sendiri, dan dari
kesemuanya itu akan mempengaruhi harga
diri seseorang.
Menurut Stuart dan Sundeen
(1991), harga diri adalah penilaian pribadi
terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh prilaku
memenuhi ideal diri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi harga diri yaitu ;
perkembangan individu, ideal diri yang tidak
realistis, gangguan fisik dan mental, sistem
keluarga yang tidak berfungsi dan
pengalaman traumatik yang berulang.
Ditinjau dari manfaat mengikuti
latihan fitness itu sendiri, selain untuk
kesehatan ternyata dapat juga merubah
gambaran diri seseorang yang mempunyai
image negatif terhadap tubuhnya, karena
dengan mengikuti latihan fitness lambat laun
dapat merubah bentuk tubuh seseorang
terlihat menjadi lebih menarik yang dapat
meningkatkan harga diri mereka. Maka
banyak remaja pria yang merasa butuh atau
perlu mengikuti treatmen-treatmen yang
diberikan atau diajarkan di tempat latihan
fitness tersebut. Terlebih kepada remaja pria
yang memiliki kekurangan dalam bentuk
tubuh dan lain-lainnya yang mengakibatkan
pria remaja menjadi kurang percaya diri,
sehingga remaja pria berfikir untuk
mengikuti berbagai latihan yang ada di
tempat fitness. Itu mereka lakukan agar bisa
merubah image tubuhnya menjadi lebih
positif sehingga harga dirinya pun ikut
meningkat. Disini peneliti ingin meneliti
apakah ada hubungan antara body image
dengan harga diri pada remaja pria yang
mengikuti latihan fitness?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
hubungan antara body image dengan harga
diri pada remaja pria yang mengikuti latihan
fitness.
Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi masukan yang bermanfaat
terhadap perkembangan ilmu psikologi,
khususnya ilmu Psikologi
Perkembangan. Selain itu dapat
dijadikan acuan bagi penelitian
selanjutnya, terutama yang berkaitan
dengan body image, harga diri dan
remaja pria.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi gambaran mengenai manfaat
mengikuti latihan fitness bagi remaja
pria dan sehubungan dengan hal itu
diharapkan remaja pria yang mengikuti
latihan fitness bisa meningkatkan harga
dirinya sehingga selaras dengan
gambaran tentang dirinya terhadap
lingkungan di sekitarnya.
5
TINJAUAN PUSTAKA Harga Diri
Harga diri menurut Tambunan
(2001) didefinisikan sebagai suatu hasil
penilaian individu terhadap dirinya sendiri
yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang
dapat bersifat positif maupun negatif.
Bagaimana seorang menilai tentang dirinya
akan mempengaruhi perilaku dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut Coopersmith (1967) harga
diri adalah sikap evaluatif terhadap diri
sendiri, harga diri mencerminkan sikap
penerimaan atau penolakan dan
mengindikasi keyakinan individu sebagai
seorang yang mampu, signifikan, sukses,
berhasil, serta berharga. Sehingga kebutuhan
harga diri itu sendiri adalah suatu kebutuhan
individu untuk memperoleh kompetisi
panghormatan, serta penghargaan dalam
diri, prestisie, popularitas status, maupun
keturunan. Terpenuhinya kebutuhan ini akan
menghasilkan rasa dan sikap percaya diri,
rasa kuat dan mampu (Maslow, 1989).
Papalia dan Olds (2004)
menjelaskan harga diri adalah seberapa
besar individu menerima penghargaan atau
dukungan dari orang tertentu dan berarti di
dalam hidupnya yang paling penting dan
berpengaruh dalam memberikan dukungan
maupun penghargaan adalah orang tua,
teman, dan guru.
Harga diri adalah suatu dimensi
evaluatif global dari dalam diri, dan harga
diri juga diajukan sebagai suatu nilai diri
atau citra diri (Wylie, 1969 ; Yardley, 1987).
Karena harga diri itu sendiri merupakan
penilainan dan penghargaan seseorang
terhadap dirinya sendiri, dan penilaiaan
orang lain dapat mempengaruhi bagaimana
seseorang bertingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari. Tapi yang terutama adalah
penilaian terhadap diri sendiri (Tjahono,
2005).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
harga diri adalah penilaian individu terhadap
dirinya sendiri baik positif maupun negatif,
dan merupakan persepsi diri terhadap
penghargaan, penerimaan serta perlakuan
orang lain terhadap dirinya yang tumbuh
dari interaksi sosial, usaha pribadi yang
memberikan pengalaman tertentu pada
individu.
Komponen Harga Diri
Perasaan-perasaan yang membentuk
komponen harga diri menurut Felker (1974)
adalah sebagai berikut :
a. Perasaan Diterima (feeling of
belonging)
Perasaan individu bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu kelompok
dan bahwa dirinya diterima serta akan
dihargai oleh kelompoknya.
b. Perasaan Mampu (feeling of
competence)
Perasaan yang dimiliki individu pada
saat dirinya mampu mencapai suatu
hasil yang diharapkan.
c. Perasaan Berharga (feeling of worth)
Perasaan yang sering muncul dari
pernyataan yang sifatnya pribadi
seperti: pandai, baik, perasaan harga diri
menyatakan (menilai) positif seseorang
atau menghormati diri.
6
Karakteristik Harga Diri
Harga diri terbagi atas harga diri
yang positif dan harga diri yang negatif.
Harga diri yang positif memiliki karakreritik
yang berbeda-beda satu sama lainnya.
Berikut dijelaskan lebih lanjut mengenai
karakteristik dari harga diri positif dan
negatif (Atwater & Duffy, 2002).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Harga Diri
Menurut Frey dan Carlock (1984)
faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
adalah faktor jenis kelamin. Berikut akan
dijelaskan lebih rinci tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi harga diri seseorang
yaitu:
a. Jenis Kelamin
Penelitian-penelitian terdahulu
menunjukan bahwa remaja putri lebih
memperhatikan penampilan fisik
dibanding remaja pria dan wanita pada
kelompok usia lainnya, sehingga lebih
mudah terkena gangguan terhadap
bentuk tubuhnya sehingga dapat
mempengaruhi harga diri seseorang
(Wonley, 1981; Notman, 1982 dalam
Frey & Carlock, 1984).
b. Kelas sosial dan Lingkungan sosial
Kelas sosial orang tua yang
ditandai dengan pekerjaan, pendidikan,
dan tingkat penghasilan orang tua turut
mempengaruhi harga diri remaja.
c. Pola Asuh
Menurut Purkey (dalam Frey &
Carlock, 1984) pengaruh orang tua
dalam pembentukkan konsep diri dan
harga diri anak sama pentingnya pada
masa remaja dengan saat kanak-kanak.
Orang tua yang memiliki harga diri
yang tinggi cenderung membesarkan
anaknya dengan harga diri yang tinggi
pula, dan begitu pula sebaliknya (Frey
& Carlock, 1984).
Tingkatan-tingkatan Harga Diri
Coopersmith (1967), membagi tingkatan
harga diri menjadi tiga yaitu : harga diri
tinggi, harga diri menengah, dan harga diri
rendah
a. Harga Diri Tinggi
Seseorang dengan harga diri tinggi,
akan memiliki ciri-ciri penuh percaya
diri, mandiri, aktif dalam kegiatan-
kegiatan fisik dan sosial, ambisius tetapi
realistis terhadap kemampuannya,
ekspresif, kreatif, dan memiliki skor
tinggi dalam intelegensi.
b. Harga Diri Menengah
Mereka menilai lebih baik dari
kebanyakan orang, akan tetapi tidak
termasuk dalam kelompok pilihan. Pada
dasarnya penilaian mereka cenderung
seperti kelompok dengan taraf harga
diri tinggi dari pada kelompok dengan
harga diri rendah.
c. Harga Diri Rendah
Individu dengan harga diri rendah,
memiliki ciri-ciri tidak percaya diri,
tidak menghargai diri sendiri, gampang
putus asa, kurang berusaha dan adanya
kecenderungan berorientasi pada
kegagalan.
7
Body Image
Pandangan remaja tentang
penampilan dan aspek ketubuhannya
merupakan citra tubuhnya atau body image.
Body image seseorang merupakan evaluasi
terhadap ukuran tubuh, berat badan ataupun
aspek-aspek lainnya dari tubuh yang
berhubungan dengan penampilan fisik
(Thompson & Altabe, 1993).
Ahli lain, Sloan (2002)
menyebutkan definisi body image sebagai
cara bagaimana individu mempersepsikan
penampilan fisiknya, sebagaimana individu
berfikir tentang persepsi orang lain tentang
dirinya.
Hal ini diperjelas menurut
ensiklopedia psikologi (Corsini, 1994) yang
mengatakan bahwa citra tubuh atau body
image adalah evaluasi dari tubuh seseorang
dan dipengaruhi oleh standar budaya
terhadap penampilannya saat itu.
Definisi lain juga diberikan oleh
Dusek (1996) yang mendefinisikan body
image sebagai cara bagaimana remaja
mengamati tubuhnya dari segi daya tarik
dalam konteks standar budaya yang ada.
Berdasarkan definisi diatas, maka
dapat di tarik kesimpulan bahwa body image
adalah suatu bentuk evaluasi terhadap
bentuk tubuhnya dengan memperhatikan
standar budaya yang ada.
Komponen Body Image
Thompson dan Altabe (1990)
mengatakan bahwa body image memiliki
keterkaitan dengan tiga komponen lainnya,
yaitu:
a. Komponen Persepsi
Komponen ini memperlihatkan sejauh
mana ketepatan individu dalam
memperkirakan keseluruhan tubuhnya.
b. Komponen Sikap
Komponen sikap ini berhubungan
dengan kepuasan individu terhadap
tubuhnya, perhatian individu terhadap
tubuhnya, kognisinya, evaluasi serta
kecemasan individu terhadap
penampilan tubuhnya.
c. Komponen Tingkah Laku
Komponen tingkah laku ini menitik
beratkan pada penghindaran individu
dari situasi yang menyebabkan individu
mengalami ketidak nyamannan yang
berhubungan dengan penampilan
fisiknya.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa
dari ketiga komponen yang dimiliki body
image adalah komponen persepsi atau sejauh
mana ketepatan individu dalam
memperkirakan keseluruhan tubuhnya,
kemudian komponen sikap yaitu perhatian
serta kecemasan individu terhadap
penampilan tubuhnya, serta komponen
tingkah laku yaitu cara individu menghindari
situasi yang tidak nyaman yang timbul
karena penampilan fisiknya.
Dimensi Body Image
Rice (1996) menyebutkan empat
dimensi body image, yaitu :
a. Daya Tarik Fisik (physical
attractiveness)
Daya tarik fisik ini memiliki
pengaruh pada perkembangan
8
kepribadian hubungan sosial dan
perilaku sosial. Remaja yang atraktif
memiliki karakteristik positif seperti
hangat, bersahabat, berhasil dan pandai.
Hasil penelitian mengatakan bahwa
remaja yang atraktif memperlihatkan
harga diri yang tinggi dan atribut
kepribadian yang sehat. Mereka
memiliki penilaian sosial yang lebih
baik dan mempunyai keterampilan
interpersonal yang bervariasi (Rice,
1996).
Cross dan Cross (dalam Hurlock,
1980) menerangkan bahwa kecantikan
dan daya tarik fisik sangat penting bagi
umat manusia. Dukungan sosial,
popularitas, pemilihan teman hidup dan
karir dipengaruhi oleh daya tarik
seseorang.
b. Bentuk Tubuh (body image)
Sheldon (dalam Suryabrata, 2002)
menyebutkan tiga bentuk tubuh atau
jasmani manusia yang dapat
diidentifikasikan antara lain adalah (1)
ectomorph, yaitu bentuk tubuh
cenderung tinggi atau jangkung, dada
kecil dan pipih, lemah, otot-otot hampir
tidak nampak berkembang, kemudian
(2) endomorph, yaitu bentuk tubuh
kebalikan dari ectomorph yang
cenderung pendek, gemuk, nampak luar
lembut, sedangkan (3) mesomorph,
yaitu gabungan antara kedua tipe diatas
dengan ciri-ciri antara lain kekar, kuat,
kokoh, dan lain-lain.
c. Berat Badan (body weigth)
Body image pada remaja memiliki
hubungan yang dekat dengan keadaan
berat tubuh. Beberapa remaja sangat
khawatir jika memiliki berat badan yang
yang berlebih atau yang dikenal dengan
obesitas.
Kemudian, salah satu cara yang
dilakukan remaja pria sebagai jalan
keluar untuk membentuk tubuh adalah
dengan melakukan latihan (exercise).
Kegiatan ini merupakan usaha dalam
membentuk badan yang ideal.
d. Norma Perkembangan Fisik Remaja
Elkind dan Wainer (1978)
menyebutkan bahwa remaja kemudian
mencoba untuk mencocokan stereotipe
tubuh yang ideal sesuai dengan sesuai
dengan jenis kelaminnya sehingga
kepuasan terhadap tubuh menjadi
bergantung pada sejauhmana remaja
dapat mengusahakan tubuhnya
mendekati ideal.
Ditambahkan oleh Corsini (1994)
terdapat sepuluh aspek kepuasan citra
tubuh atau body image yang mencakup
elemen kognitif, afektif dan tingkah
laku. Dimana elemen kognitif adalah
yang berhubungan dengan komponen
persepsi, sedang elemen afeksi adalah
yang berhubungan dengan perasaan dan
emosi sehingga siap, dan elemen
motorik berhubungan dengan
komponen tingkah laku yang terwujud
sesuai dengan sikap yang telah
terbentuk.
9
Remaja (adolescence)
Masa remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya
dalam artian perkembangan fisik tetapi juga
psikologis. Oleh karenanya perubahan-
perubahan fisik yang terjadi itulah yang
merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-
perubahan psikologis muncul antara lain
sebagai akibat dari perubahan-perubahan
fisik (Sarwono, 2003).
Definisi lain juga dikemukakan
oleh Muangman (dalam Sarwono, 2003),
bahwa remaja adalah suatu masa dimana :
a. Individu berkembang dari saat pertama
kali remaja menunjukan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat remaja
mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari kerergantungan
sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Istilah adolescence atau remaja,
seperti yang dipergunakan saat ini,
mempunyai arti yang lebih luas, mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan
fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh
Piaget (dalam Hurlock, 1980) dengan
mengatakan secara psikologis, masa remaja
adalah masa usia dimana individu
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa bahwa
tingkat orang yang lebih tua melainkan
berada pada tingkat yang sama atau sejajar,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Dalam pandangan psikologis,
seseorang dikatakan mulai menginjak masa
dewasa bila ia telah mencapai suatu titik
dimana individu tersebut sudah tidak lagi
menjalani kehidupan seperti masa kanak-
kanak. Ditambahkan pula oleh Santrock
(1998) bahwa remaja merupakan suatu
periode yang unik dan merupakan masa
transisi dari masa anak-anak ke masa
dewasa, yang meliputi adanya perubahan
fisik, kognitif dan sosial emosional.
Maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa masa remaja adalah masa peralihan
dari masa anak-anak menuju masa dewasa
yang lebih matang yang meliputi adanya
perubahan fisik, kognitif dan sosial
emosional, serta banyak sekali perubahan
yang harus dihadapi dan bersinggungan
secara langsung dengan sisi psikologis
kehidupan.
Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1980) remaja
mempunyai ciri-ciri antara lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
: disebut sebagai periode penting dalam
kehidupan karena pada masa ini terjadi
perubahan-perubahan fisik dan psikis
yang akan sangat mempengaruhi jiwa dan
karakter dari remaja tersebut. Perubahan
dan perkembangan ini menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan
membentuk sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan :
terjadinya peralihan pola psikologis dan
karkter dari seorang anak-anak tetapi
belum sampai pada tahapan dewasa, maka
10
dalam tahap ini sering menjadi
kebinggunggan dari sang remaja akibat
pencarian dan pematangan jati dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan :
terjadinya masa perubahan yang
bersamaan baik fisik, psikis, dan perilaku.
Perubahan tersebut mempunyai hubungan
yang sangat erat, apabila fisiknya
berkembang dengan baik dan pesat, maka
perilaku dan pikirannya pun mengalami
peningkatan begitu juga sebaliknya.
d. Masa remaja sebagai pencari masa
identitas : remaja adalah manusia biasa
yang merupakan makhluk sosial maka
mereka akan berusaha untuk mencari
identitas dirinya apakah dalam kelompok,
lingkungan atau mengidolakan seseorang.
e. Masa remaja adalah usia yang
menimbulkan ketakutan : terjadinya
banyak perubahan terutama dalam bentuk
fisik yang mengakibatkan remaja
memaksa untuk dianggap dewasa.
f. Masa remaja sebagai masa yang tidak
realistik : pada masa remaja mereka
memandang, melihat dan memutuskan
segala sesuatu berdasarkan “kacamata”
mereka saja. Mereka sangat sulit
menerima informasi dari orang lain
kecuali dari kelompoknya.
g.Masa remaja sebagai ambang masa
dewasa: dengan semakin mendekatnya
usia kematangan yang sah, para remaja
menjadi gelisah untuk meningkatkan
“image” sehingga mereka akan berusaha
menempatkan dirinya sebagai orang
dewasa maka mereka akan mengikuti
perilaku keseharian orang dewasa.
Batasan Usia Remaja
Pada tahun 1974, WHO (dalam
Sarwono, 2003) memberikan definisi
tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual dan batasan usia menurut WHO
adalah 10-20 tahun. Dalam definisi tersebut
dikemukakan juga kriteria yaitu biologis,
psikologis dan sosial ekonomi, sehingga
secara lengkap definisi tersebut berbunyi
sebagai berikut:
Remaja adalah suatu masa dimana:
a. Individu berkembang dari saat pertama
kali ia mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan
psikologik dan pola identity fiksasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan
sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mudah
Muangman (dalam Sarwono, 2003).
Mendefinisikan remaja untuk
masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan
menetapkan remaja secara umum.
Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri
dari berbagai macam suku, adat, dan
tingkatan sosial-ekonomi maupun
pendidikan. Walaupun demikian, sebagai
pedoman umum untuk kita dapat
menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan
sebelum menikah untuk remaja Indonesia
dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut (Sarwono, 2003):
a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada
umumnya tanda-tanda seksual sekunder
mulai muncul (kriteria fisik).
b. Dibanyak masyarakat indonesia, usia 11
tahun sudah dianggap akil balik, baik
11
menurut adat maupun agama, sehingga
masyarakat tidak lagi memerlukan
mereka sebagai anak-anak (kriteria
sosial).
c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-
tanda penyempurnaan perkembangan
jiwa seperti tercapainya identitas diri
(ego identity, menurut Erickson),
tercapainya puncak perkembangan
kognitif (Piaget) maupun moral (kriteria
psikologik) (kohlberg).
d. Batasan usia 24 tahun merupakan
batasan maksimal, yaitu untuk memberi
peluang bagi mereka yang sampai
batasan usia tersebut masih
menggantungkan diri pada orang tua,
belum memberikan pendapat sendiri,
sehingga mereka masih digolongkan
sebagai remaja.
e. Dalam definisi diatas, status perkawinan
sangat menentukan, karena seseorang
yang sudah menikah, pada usia
berapapun dianggap dan diperlakukan
sebagai orang dewasa penuh.
Menurut Monks dkk, (1998) dalam
masa remaja terdapat pembagian usia yaitu:
untuk remaja awal antara usia 12 sampai 15
tahun, remaja madya/tengah antara usia 15
sampai 18 tahun dan untuk remaja akhir
antara usia 18 sampai 21 tahun.
Sedangkan menurut Bagiot, dkk
(dalam Mappiare, 1982) masa usia remaja
berkisar antara 15-21 tahun. Sedang menurut
Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan
bahwa batasan usia remaja berkisar antara
12- 22 tahun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang mencapai usia remaja adalah
jika seseorang sudah mencapai usia 11-24
tahun.
Perkembangan Body Image pada Remaja
Pria
Remaja pria menjadi sangat peduli
dengan perubahan fisik yang terjadi pada
dirinya, karena masalah yang penting bagi
remaja adalah masalah penampilan fisik dan
kemenarikan fisik. Sehingga seorang remaja
sangat memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan body image seperti
bentuk tubuh, berat badan, dan tinggi badan
yang dimiliki, dihubungkan dengan konsep
tentang tubuh ideal yang ada dimasyarakat.
Proses pembentukan body image
remaja ke dalam diri (self) adalah bagian
dari tugas perkembangan yang sangat
penting. Biasanya remaja pria memiliki fisik
yang menarik akan mempunyai penilaian
diri yang yang lebih positif, menjadi lebih
popular dan mendapat penerimaan
kelompok yang lebih besar dibanding remaja
yang mengalami perkembangan fisik yang
terlambat biasanya remaja akan mendapat
perlakuan yang kurang menyenagkan seperti
ditolak dari kelompok atau diskriminasi dan
mempengaruhi tingkat harga diri (self
esteem) seorang remaja. Hal ini tentu saja
akan berpengaruh pada perkembangan
kepribadian dan tingkah laku serta
kehidupan sosial remaja selanjutnya,
Worsley (dalam Frey & carlock, 1984).
12
Perkembangan Harga Diri Remaja
Orang yang memiliki harga diri
yang tinggi biasanya menilai dirinya
berharga, dan memandang diri mereka
sejajar (equal) dengan orang lain.
Sedangkan orang yang memiliki harga diri
yang rendah, seorang remaja akan
mengalami penolakan diri (self-rejection),
ketidakpuasan (self-dissatisfacation),
sehingga seorang remaja merasa tidak
berharga. Tinggi rendahnya self-seteem
dipengaruhi oleh lingkungan, bila dianggap
favorable atau sesuai, maka Harga diri akan
meningkat, begitu juga sebaliknya Frey dan
Carlock (1984).
Rosenberg (dalam Frey dan
Carlock, 1984) mengemukakan tiga alasan
utama pentingnya perkembangan harga diri
pada remaja, yaitu:
a. Masa remaja adalah masa terjadinya
pengambilan keputusan yang penting
dalam hidup, seperti keputusan tentang
karir, pasangan hidup, perkawinan dan
pembentukan keluarga.
b. Masa remaja adalah masa status yang
ambisius sifatnya karena sering
diperlakukan sebagai seorang anak-
anak, kadang dituntut sebagai orang
dewasa.
c. Masa remaja adalah masa yang penuh
dengan perubahan yang cepat sifatnya,
yaitu perubahan fisik, seperti tinggi
badan, berat badan dan tanda-tanda
perubahan karakteristik seksual.
Apa yang dirasakan oleh seorang
remaja akan sangat berhubungan dengan
perasaan dan penilaian terhadap dirinya.
Demikian pula dengan perasaan dan
penilaian terhadap tubuhnya yang erat
dengan bagaimana seorang remaja akan
menilai dan mempunyai perasaan terhadap
dirinya.
Fitness
Fitness adalah olahraga yang
ditujukan untuk membentuk sebagian otot
tubuh agar terlihat besar dan proporsional
juga menarik (for Healthy magazine ed
agustus, 2004). Selain itu fitness adalah
suatu bentuk olahraga yang memakai
berbagai macam alat-alat. Alat-alat tersebut
dapat membentuk tubuh sesuai dengan yang
diinginkan (Kedley, 2002).
Fitness tidak bisa dilakukan hanya
1 kali atau 2 kali melainkan berulang-ulang
agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
Berulang-ulang yang dimaksud adalah
dengan beberapa kali latihan dilakukan
dalam frekuensi yang rutin atau dapat
disebut juga dengan intensifitas. Untuk
dapat mengetahui apa dampak dari
intensifitas fitness terhadap citra tubuh maka
harus dilakukan sebanyak mungkin agar
mendapat hasil yang maksimal.
Fitness adalah suatu bentuk latihan
untuk memperindah bentuk tubuh yakni
mencakup pada pembentukan otot-otot dan
juga bagian tubuh lainnya agar mendapat
hasil yang maksimal (Fortescue, 2003).
Fitness bisa dikatakan sebagai
bagian dari olahraga binaraga, karena dapat
membentuk otot-otot tubuh sesuai dengan
yang diinginkan. Selain itu membentuk otot
tubuh, fitness juga dapat membantu
13
kesehatan tubuh (Men’s Health Magazine,
2000). Berdasarkan pengertian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa fitness adalah
olahraga yang memakai berbagai macam
alat bantu untuk membentuk tubuh
khususnya otot-otot dan juga pada bagian
tubuh lainnya, selain itu juga membantu
dalam menjaga kesehatan tubuh.
Penjelasan Teoritis Terhadap Fitness
Berbagai penelitian telah dilakukan
guna mengidentifikasikan faktor psikologi
sosial yang dianggap dapat memprediksi
munculnya perilaku untuk mengikuti
olahraga fitness. Beberapa model penelitian
yang paling popular adalah Teory of
Reasoned Action dan Plened Behavior.
a. Theory of Reasoned Action (TRA)
Dalam teori ini perilaku berolahraga
diindikasikan dengan intensi untuk
melakukan perilaku tertentu yang
diprediksikan oleh sikap subjek
terhadap olahraga fitness dan
persepsinya terhadap norma sosial yang
berlaku di masyarakat (Fishbein &
Ajzen, dalam Marks, 2000).
b. Theory of Planed Behavior (TPB)
Memiliki tiga komponen utama yaitu
sikap terhadap tingkah laku, norma
subjektif, dan kontrol terhadap tingkah
laku (Perceive Behavioural Control).
1) Sikap terhadap tingkah laku
Merupakan faktor derajat
evaluasi individu baik positif
maupun negatif terhadap satu
tingkah laku yang spesifik. Sikap
untuk itu ditentukan oleh behavior
beliefs dan evaluasi dari hasil
tingkah laku. Jadi jika seseorang
percaya bahwa akan ada hasil yang
positif saat melakukan suatu
tingkah laku tertentu maka seorang
remaja akan mempunyai sikap yang
positif terhadap tingkah laku
tersebut. Dengan memiliki
anggapan bahwa olahraga
mempunyai manfaat yang positif
bagi kesehatan dan penampilan
seseorang untuk itulah seorang
remaja bersikap positif terhadap
tingkah laku olahraga.
2) Norma subjektif
Merupakan perangkat
sosial dimana faktor ini ditentukan
oleh norma subjektif dari individu
bila seseorang yang sangat penting
dan sangat berpengaruh bagi
dirinya menyetujui atau tidak
menyetujui suatu tingkah laku serta
motivasi individu yang
bersangkutan untuk menurutinya.
3) Kontrol terhadap perilaku
Kontrol terhadap perilaku
meliputi pemikiran bahwa ada
beberapa tingkah laku yang lebih
dapat dikendalikan.
14
Hubungan antara Body Image dengan
Harga Diri pada Remaja Pria yang
Mengikuti Latihan Fitness / Kebugaran
Masa remaja adalah masa peralihan
dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya
dalam artian perkembangan fisik tetapi juga
psikologis. Oleh karenanya perubahan-
perubahan fisik yang terjadi itulah yang
merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-
perubahan psikologis seperti harga diri
muncul antara lain sebagai akibat dari
perubahan-perubahan fisik (Sarwono, 2003).
Salah satu dari dimensi body image
adalah daya tarik fisik yang merupakan
salah satu unsur pembantu yang penting
dalam daya tarik pribadi. Penampilan fisik
yang menarik akan mengundang efek positif
sebagai respon dari lingkungan, sehingga
menimbulkan kesan positif pula dari
individu yang bersangkutan (Baron &
Byrne, 1994). Maka dari pada itu daya tarik
fisik sangat penting bagi umat manusia,
seperti dalam mendapat dukungan sosial,
popularitas, pemilihan teman hidup, dan
karir. Semua dapat dipengaruhi oleh daya
tarik seseorang. Dengan memiliki bentuk
fisik yang baik maka akan timbul kepuasan
dalam diri remaja terhadap keadaan
tubuhnya (Cross & Cross dalam Hurlock,
1980). Sebagai akibatnya remaja akan
percaya diri dan memiliki harga diri yang
baik. Melalui kepercayaan diri inilah,
individu yakin dalam menjalankan proses
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Sehingga remaja dalam masanya,
banyak sekali mengalami perubahan yang
harus dihadapi dan bersinggungan secara
langsung dengan sisi psikologis kehidupan.
Ditambahkan pula oleh Santrock (1990)
bahwa remaja merupakan suatu periode
yang unik dan merupakan masa transisi dari
masa anak-anak ke masa dewasa, yang
meliputi adanya perubahan fisik, kognitif
dan sosial emosional.
Oleh karenanya remaja yang
memiliki harga diri atau self-esteem yang
tinggi biasanya menilai dirinya berharga,
dan memandang diri mereka sejajar (equal)
dengan orang lain. Sedangkan orang yang
memiliki harga diri yang rendah, seorang
remaja akan mengalami penolakan diri (self-
rejection), ketidakpuasan (self-
dissatisfacation), sehingga seorang remaja
merasa tidak berharga. Tinggi rendahnya
harga diri dipengaruhi oleh lingkungan, bila
dianggap favorable atau sesuai, maka self-
esteem akan meningkat, begitu juga
sebaliknya (Frey & Carlock, 1987).
Karena harga diri itu sendiri adalah
penilaian individu terhadap dirinya sendiri
baik positif maupun negatif, dan merupakan
persepsi diri terhadap penghargaan,
penerimaan serta perlakuan orang lain
terhadap dirinya dan harga diri itu sendiri
tumbuh dari interaksi sosial, usaha pribadi
yang memberikan pengalaman tertentu pada
individu.
Sehingga ada kalanya kematangan
fisik itu dicapai oleh remaja pria dalam
waktu yang terlalu cepat (early maturers)
dan ada kalanya terlalu lamban bagi remaja
pria yang lain (late maturers). Menurut
Atkinson (dalam Rahardjo, 2002)
15
menyatakan bahwa kematangan fisik yang
terlalu cepat atau pun yang terlalu lamban
membawa beberapa efek psikologis penting
yang berbeda, yang salah satunya adalah
body image. Kematangan fisik yang terlalu
cepat bagi remaja pria membawa dampak
bagi perkembangan body image yang
cenderung bersifat positif. Sedangkan
kematangan fisik yang terlalu lamban bagi
remaja pria menyebabkan mereka cenderung
memiliki body image yang negatif.
Dengan kematangan fisik yang
terlalu cepat remaja pria berkembang
menjadi individu yang santai, lebih atraktif
dalam hubungan dengan teman sebaya,
lawan jenis dan orang-orang yang lebih
dewasa, dan merasa lebih populer
dikalangan teman-teman sebayanya. Di sisi
lain, harga diri meningkat sehingga mereka
menjadi lebih percaya diri, memiliki
ketergantungan yang relatif kecil dan suka
menjadi pemimpin (Kimmel & Wainer,
1995). Dengan perkembangan fisik yang
cepat dan menciptakan bentuk tubuh yang
bagus dimata masyarakat menyebabkan
remaja pria yang matang lebih cepat
diterima secara lebih baik oleh teman-teman
sebayanya dan orang dewasa lainnya.
Sehingga menciptakan body image yang
positif pada diri mereka (Conger, 1991), dan
begitu pula sebaliknya.
Karena Body image adalah sikap
seseorang terhadap tubuhnya secara sadar
dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi
dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi
penampilan dan potensi tubuh saat ini dan
masa lalu secara berkesinambungan yang
dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap
individu (Stuart & Sundeen, 1991). Dimana
cara individu memandang dirinya
mempunyai dampak yang penting pada
aspek psikologinya. Pandangan yang
realistis terhadap dirinya, dan menerima
bagian tubuhnya akan lebih merasa aman,
sehingga terhindar dari rasa cemas dan
justru meningkatkan harga diri begitu pula
sebaliknya (Keliat, 1992). Harga diri adalah
penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal diri (Stuart & Sundeen,
1991).
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas,
maka dapat ditarik hipotesis, yaitu ada
hubungan antara body image dengan harga
diri pada remaja pria yang mengikuti latihan
fitness atau kebugaran. Semakin positif body
image remaja pria yang mengikuti latihan
fitness atau kebugaran maka semakin tinggi
harga dirinya, dan semakin negatif body
image image remaja pria yang mengikuti
latihan fitness atau kebugaran maka semakin
rendah harga dirinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini memnggunakan
pendekatan kuantutatif yang bersifat
hubungan, yaitu menghubungkan antara
variable satu dengan yang lain.
Subjek penelitian ini adalah remaja
pria, berusia 13 s/d 24 tahun, dan yang telah
mengikuti latihan fitness selama sekitar 3
bulan sampai 1 tahun keatas, karena pada
16
masa itu sudah dapat terlihat perubahan-
perubahan fisik yang cukup signifikan.
Untuk teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini ditentukan dengan cara
Purposive sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri
tertentu yang berhubungan erat dengan
tujuan penelitian (Hadi, 1996). Jumlah
subjek dalam penelitian ini adalah 100
subjek.
Uji validitas dalam penelitian ini
adalah validitas konstrak (Costruct) dengan
menggunakan teknik Analisis product
moment (Anastasi, 2003). sedangkan Uji
reliabilitas dalam penelitian ini adalah
Internal Consistensi dengan menggunkan
Teknik Alpha Cronbach (Azwar, 1996). Pengujian hipotesis pada penelitian
ini menggunakan teknik korelasi product
moment dari Pearson, yaitu dengan cara
menganalisis hubungan antara body image
sebagai prediktor dengan harga diri sebagai
kriterium
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan
menggunakan metode try-out terpakai.
Menurut Azwar (1996) koefisien
validitas dapat dianggap memuaskan apabila
melebihi rxy = 0,30. dari hasil uji coba pada
Skala Body Image diperoleh hasil bahwa
dari 50 item yang diuji cobakan terdapat 16
item yang dinyatakan gugur. Aitem yang
valid 34 item dengan koefisien validitas
bergerak antara 0,309 sampai 0,605.
Sedangkan hasil uji reliabilitas sebesar
0,884. Ini berarti hasil uji reliabilitas
dikatakan reliabel, dimana dikatakan reliabel
apabila hasilnya > 0,7 (Azwar, 1996).
Pada Skala Harga Diri diperoleh
hasil bahwa dari 50 item yang diuji cobakan
terdapat 4 item yang dinyatakan gugur. Item
yang valid berjumlah 46 item dengan
koefisien validitas bergerak antara 0,324
sampai 0,706. Sedangkan hasil uji
reliabilitas sebesar 0,940. Ini berarti hasil uji
reliabilitas dikatakan reliabel, dimana
dikatakan reliabel apabila hasilnya > 0,7
(Azwar, 1996).
Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis,
terlebih dahulu dilakukan uji asumsi untuk
melihat normalitas sebaran skor serta uji
linearitas. Uji asumsi dilakukan dengan
menggunakan bantuan program SPSS for
windows versi 12.00.
a. Uji Normalitas
Dari hasil uji normalitas
menggunakan Kolmogorov-Smirnov
pada skala body image diketahui nilai z
= 0,081 dengan tingkat signifikansi
sebesar 0,108 (p > 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa distribusi skor
body image pada subjek penelitian
adalah normal.
Adapun hasil uji normalitas pada
skala harga diri diperoleh nilai z = 0,076
dengan tingkat signifikansi sebesar
0,162 (p>0,05). Hal ini menunjukkan
17
bahwa distribusi harga diri pada subjek
penelitian adalah normal.
b. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas pada skala body
image menunjukkan hasil yang linear
dengan nilai F = 29,482 dan nilai
signifikansi sebesar 0,00 (p<0,05).
Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang
linear antara body image dengan harga
diri.
Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji asumsi, baik
uji normalitas maupun uji linearitas dapat
diketahui bahwa data berdistribusi normal
dan linear. Oleh karena itu, untuk
selanjutnya data penelitian dianalisis dengan
menggunakan perhitungan statistik
parametrik, yaitu dengan teknik korelasi
product moment.
Dari hasil analisis data yang
dilakukan dengan menggunakan teknik
korelasi Pearson (1-tailed) diketahui nilai
koefisien korelasi r sebesar 0,481 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,00 (p<0,01).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis
penelitian ini diterima, artinya ada hubungan
yang sangat signifikan antara body image
dengan harga diri pada remaja pria yang
mengikuti latihan fitness. Dimana semakin
positif body image remaja pria yang
mengikuti latihan fitness / kebugaran maka
semakin tinggi harga dirinya, begitu pula
sebaliknya.
PEMBAHASAN
Penelitian ini berusaha untuk
menguji apakah ada hubungan antara body
image dengan harga diri pada remaja pria
yang mengikuti latihan fitness. Berdasarkan
penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis
diterima, artinya terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara body image dengan
harga diri pada remaja pria yang mengikuti
latihan fitness. Semakin positif body image
remaja pria yang mengikuti latihan fitness /
kebugaran maka semakin tinggi harga
dirinya, begitu pula sebaliknya.
Hal ini sejalan dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Atkinson (dalam
Rahardjo, 2002) yang menyatakan bahwa
kematangan fisik yang terlalu cepat atau pun
yang terlalu lamban membawa beberapa
efek psikologis penting yang berbeda, yang
salah satunya adalah body image.
Kematangan fisik yang terlalu cepat bagi
remaja pria membawa dampak bagi
perkembangan body image yang cenderung
bersifat positif. Sedangkan kematangan fisik
yang terlalu lamban bagi remaja pria
menyebabkan mereka cenderung memiliki
body image yang negatif.
Dengan kematangan fisik yang
terlalu cepat remaja pria berkembang
menjadi individu yang santai, lebih atraktif
dalam hubungan dengan teman sebaya,
lawan jenis dan orang-orang yang lebih
dewasa, dan merasa lebih populer
dikalangan teman-teman sebayanya. Dengan
demikian, harga diri remaja makin
meningkat sehingga mereka menjadi lebih
percaya diri, memiliki ketergantungan yang
18
relatif kecil dan suka menjadi pemimpin
(Kimmel & Wainer, 1995).
Dengan perkembangan fisik yang
cepat dan menciptakan bentuk tubuh yang
bagus dimata masyarakat menyebabkan
remaja pria yang matang lebih cepat
diterima secara lebih baik oleh teman-teman
sebayanya dan orang dewasa lainnya.
Sehingga menciptakan body image yang
positif pada diri mereka (Conger, 1977).
Sebaliknya, bagi remaja pria yang
terlambat matang akan mengalami perasaan
inadekuasi, dan merasa ditolak, didominasi,
menjadi lebih tergantung, agresif, tidak
aman dan pemberontak (Papalia & Olds,
1995). Tekanan yang dialami oleh remaja
pria yang terlambat mengalami kematangan
fisik semakin berat dengan adanya dapat dari
pengaruh media massa, khususnya televisi.
Televisi menciptakan suatu standard semua
akan bentuk tubuh ideal. Remaja yang
kurang dapat membedakan antara fantasi
dan kenyataan menjadi ingin memiliki
bentuk tubuh ideal yang berbeda dengan
bentuk tubuh sendiri (Sears & Sears, 2000).
Sehingga semakin dekat tingkat kesesuaian
bentuk tubuh yang dimiliki dengan bentuk
tubuh ideal (body ideal) maka akan semakin
siap individu menerima body image-nya
(Atwater, 1983).
Menurut Cross dan Cross (dalam
Hurlock, 1980) dengan memiliki bentuk
fisik yang baik maka akan timbul kepuasan
dalam diri remaja terhadap keadaan
tubuhnya. Sebagai akibatnya remaja akan
percaya diri dan memiliki harga diri yang
baik. Melalui kepercayaan diri inilah,
individu yakin dalam menjalankan proses
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Karena remaja dalam masanya, banyak
sekali mengalami perubahan yang harus
dihadapi dan bersinggungan secara langsung
dengan sisi psikologis kehidupan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang
telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa hipotesis dalam penelitian ini
diterima. Hal ini berarti ada hubungan yang
sangat signifikan antara body image dengan
harga diri pada remaja pria yang mengikuti
latihan fitness, dimana semakin positif body
image remaja pria yang mengikuti latihan
fitness atau kebugaran maka semakin tinggi
harga dirinya, begitu pula sebaliknya.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, peneliti mempunyai beberapa
saran yang dapat diberikan, diantaranya :
1. Bagi subjek yang telah memiliki harga
diri yang tinggi diharapkan dapat
mempertahankannya dan juga dapat
menempatkan diri dengan sebaik-
baiknya dalam lingkungan. Lain halnya
dengan subjek yang memiliki harga diri
yang rendah diharapkan agar dapat
memperbaiki sikap dan perilaku yang
sewajarnya dari pada terjebak dalam
obsesi untuk memiliki bentuk tubuh
19
yang atletis dengan tujuan-tujuan
tertentu atau setidaknya untuk memiliki
tubuh yang sehat mungkin lebih baik
atau lebih penting dibanding untuk
berfikir hal seperti itu. Karena
sebenarnya masih banyak hal-hal lain
yang lebih baik, menarik, dan lebih
bermakna dari pada memiliki tubuh
yang kekar, besar, dan atletis.
2. Sehubungan dengan penelitian ini,
penulis menyarankan untuk peneliti
selanjutnya dapat meneliti faktor-faktor
lain yang mempengaruhi harga diri
seperti jenis kelamin, kelas sosial,
pembagian usia serta
pengkategoriannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A., & Urbina, S. (1998). Tes
psikologi: Jilid 1. Alih bahasa: Drs. R. Haryono S. Imam, MA. Asia:Simon & Schuster Pte.Ltd.
Arkoff. (1975). The “body beautiful”: English adolescent’s image of ideal bodies (1). http://WWW.nisso.n1/naw201012.htm.
Arkoff, A. (1975). Psychology and personal
growth. Boston : Allyn & Bacon.
Atwater, E., & Duffy K.G. (2000). Psychology for living : Adjustment, growth and behavior today (7rd ed). New Jersey : Prentice Hall.
Atwater, E. (1983).Psychology of adjustment (2rd ed). New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Azwar, S. (2003). Tes prestasi (Fungsi & pengembangan pengukuran prestasi belajar – edisi II). Yogyakarta: Pustaka belajar.
Azwar, S. (2004). Dasar-dasar psikometri.
Yogyakarta: Pustaka belajar.
Baron, R.A., & Byrne, D. (1994). Social Psychology: Understanding human interaction (7rd ed). Massachussets: Allyn & Bacon.
Benokraitis, N.J. (1996). Adolescence and youth: Psychological development in a changing world (2rd ed). New York : Harper-Row, Publishers.
Burns, R.B. (1993). Konsep diri : Pengukuran, pengembangan, dan perilaku. Jakarta : Arcan.
Caspersen, Powell, & Christention. (2000). Sport for body image. Mc Graw-Hill Publishing Company.
Coopersmith, S. (1967). The Antencedents of self esteem. San Fransisco:W.H.Freeman and Company.
Conger, JJ. (1991). Adolescence and youth : Psychological development in a changing world (4rd ed). Washington, DC : Harper-Row Publishers.
Corsini, R. (1994). Encyclopedia of
psychology (2rd ed). New York: McGraw-Hill.
Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescence development (2rd ed). Durbuque, IA: Brown & Benchmark Publisher.
Dusek, J.B.(1996). Adolescence & development behavior (2rd ed). New Jersey: Prentice Hall.
Elkind, D., & Weiner, I.B. (1978). Development of the child. USA: John Wiley & Sons.Inc.
Fery, D.E., & Carlock, C.J. (1987). Enhancing self-esteem. (3rd ed). Ohio Indiana: Accelarate Development Inc.
Felker, D.W. (1974). Helping childern to like themselves. Minnearpolish: Bugess Publishing Company.
Fisbein,M & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior. New York: USA.
Fortescue,A. (2003). Dalam FHM (edisi
Agustus).
21
Frey,D., & Carlock,C.J. (1984). Enchacing self-esteem. Indiana: Accelerated Developmental Inc.
Fuhrman,B.S.(1990). Adolescence. USA: Scott,foreman/Little, Brown Higher Education.
Gunarsa, S.D., & Gunarsa, S.D. (1997). Psikologi untuk muda-mudi. Jakarta: BPK Gunung mulia.
Hadi, S. (1996). Statistik 2 (Edisi ke-16). Yogyakarta: Universitas gajah mada.
Hurlock, E. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (5rd ed) . Alih bahasa: Tjandrasa & Zarkasih. Jakarta: Penerbit erlangga.
Kedley. (2002). Fitness.
http://WWW.Yahoosports.com
Kimmel, D.C., & Wainer, I.B. (1995). Adolescence: A developmental transition (2rd ed). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja.
Surabaya_Indonesia: Usaha
nasional.
Marks. (2000). Theory of reasoned action.
http://WWW.Yahoosports.com.
Monks, F.J., Knoer, A.M.P., & Hadianto, S.R. (2001). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah mada university press.
Nazir, M. (2003). Metode penelitian.
Jakarta: Ghalia indonesia.
Papalia, D.E., & Olds, S.W. (1995). Human development (6rd ed). New York: McGraw-Hill, Inc.
Rice, F.P. (1996). The adolescent: Development, relationship and culture (8rd ed). Massachussets: Allyn & Bacon.
Rini, J.F. (2004). Mencemaskan penampilan. http://WWW.e-psikologi.com/remaja/110604.htm.
Santrock, J.W. (1998). Adolescence (2rd ed).
New York: Mc Graw-Hill
Sarwono, S.W. (2003). Psikologi remaja.
Jakarta: PT. Raja grafindo persada.
Sears, W. & Sears, M. (2000). Tahun-tahun pertumbuhan. Alih bahasa: Dra.Med. Meitasari, T. Batam: Interaksara.
Sloan. (2002). Body image. http://WWW.ag.ohio-state.edu/~ohioline/hyg-fact/5000/538.htm.
Stuart&Sundeen. (1991). http://WWW.library.usu.ac.id/doenload/fk/keperawatan-salbiah2.pdf.
Suryabrata, S. (2002). Psikologi pendidikan.
Jakarta: PT. Raja grafindo persada.
Tambunan, R. (2001). Harga Diri Remaja. http://WWW.e-psikologi.com/remaja/24ogol.htm
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. (2000). Social psychology (10rd ed). . New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Thompson, J.K. & Altabe, M. (1990). Body image changes during early
22
adulthood. International Journal of Eating disorder, 13 (3), 323-328.
Tjhono, S. (2005). Curhat meningkatkan harga diri. http://WWW.Kompas.com/kompas/cetak/0509/23/muda/2071153.htm.
Wirawan, H.E. (1998). Psikologi sosial 1.
Jakarta: Universitas tarumanegara.
Wylie. (1969). The self concept : Theory and research on selected topics. Lincoln: University of Nebraska Press.
Yardley, K. (1987). Self and identity: Psychosocial perspective. New York: Wiley.
23