hospital by law
TRANSCRIPT
HOSPITAL BY LAWdr. HM Mambodyanto SP., SH., MMR.
Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Law) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (Corporate By Law) dan peraturan staf medis
Rumah Sakit (Medical Staff By Law) yang disusun dalam rangka
menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit
(Medical Staff By Law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical
Privilege)
UU No.44 th 2009 Rumah Sakit adalahInstitusi pelayanan kesehatan yg
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yg menyediakan pelayanan Rawat Inap, Rawat Jalan dan Gawat Darurat.
Pengaturan di Rumah Sakit kebanyakan dilakukan berdasarkan kebiasaan, shg belum dilakukan dalam satu peraturan tertulis yang disebut dengan Hospital By Law (HBL)
Hospital Law merupakan bagian dari hukum umum (Lex Generalis) sehingga merupakan kepanjangan tangan dari Hukum umum sehingga merupakan Lez Spesialis.
Hospital Law merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang RS di Indonesia.
Sedangkan Hospital By Law (HBL) adalah bagian dari Hospital Law yaitu suatu tata cara pengaturan internal RS atau tata tertib adanya kepastian hukum dalam RS.
Aturan & disiplin manajemen yang dituangkan dalam HBL dipatuhi dengan baik, mk dpt berfungsi sbg pedoman dalam menjalankan roda manajemen RS yang baik & tertib.
CIRI DAN SUBSTANSI HBL1. HBL Adalah “Tailor-Made”
Tiap RS walaupun kelasnya sama, tapi mempunyai aturan yang berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi lingkungan, kemampuan, sumber daya yang ada, kepemilikan, jenisnya dan pengelolaannya, seperti tukang jahit atau “Tailor Made”.
2. HBL bersifat sistematis & tingkatnya berjenjangDalam pengaturan secara sistematis dan berjenjang sesuai aturan tatacara yang berlaku di manajemen RS tersebut. (Teori Hans Kelsen, Jerman tentang “Stufenbau das Rechts”)
3. Rumusan jelas, tegas, terperinci sesuai prosedur yang berlaku di manajemen RS tsb.Yang mengatur secara terperinci sesuai kebutuhan, kondisi dan situasi RS itu sendiri. Dan aturan dalam RS ini tidak boleh bertentangan dengan aturan2/UU yang lebih tinggi,
4. HBL dapat berfungsi sbg. “Perpanjangan Tangan dari Hukum” Berfungsi sebagai perpanjangan hukum dari Hospital Law dan merupakan perpanjangan aturan, dan peraturan internal RS sesuai kemampuan dan sumberdaya yang ada.Fungsi hukum adalah membuat peraturan yg bersifat umum & berlaku scr umum dlm berbagai hal.Kasus Hukum RS & Kedokteran bersifat kasuistis shg. Peraturan perundangannya harus ditafsirkan dengan peraturan yg lbh rinci yaitu HBL.
5. Mengatur seluruh manajemen di RS Baik dibidang medik, keperawatan, administrasi, SDM, pasien keamanan dan kenyamanan.
6. Mengatur tugas pokok dan fungsi sesuai profesi dan disiplin ilmu masing-masing di RS.
PERBANDINGAN ETIKA DAN BHLETIKA BHLKODE ETIK HOSPITAL
POLICIES1.Pedoman2.SOP3.Juklak – Juknis4.Butir-butir
Akreditasi
PERBANDINGAN ETIKA & BHLCIRI ETIK BHL
SIFAT SEHARUSNYA WAJIB DITAATI
TOLOK UKUR HATI NURANI (CONSCIENCE)
KETENTUAN TERTULIS
DIBUAT OLEH KELOMPOK SENDIRI (SELF IMPOSE REGULATION)
BADAN (ATASAN) RUMAH SAKIT
SANKSI OLEH ORGANISASI BADAN (ATASAN) PEMERINTAH
BERLAKU INTERN INTERN & DAPAT DIPAKAI SEBAGAI PERATURAN BUKTI/ HUKUM
ATASAN YANG BERWENANG
ATASAN/ INSTANSI MKEK
ATASAN/ PERADILAN
Hukum Kesehatan menurut Leenen dapat dikelompokkan menjadi 4 rumusan :
1. Ketentuan-ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan misalnya :a. UU RI No.29/2004 ttg Praktik
Kedokteranb. UU RI No.36/1948 ttg Kesehatanc. UU No.44/2009 ttg RS
2. Ketentuan-ketentuan yang tidak langsung berhubungan dengan pelayanan kesehatan, seperti hukum pidana, perdata dan administratif dapat diterapkan dalam hubungannya dengan Health Care.a. Pidana; Pasal 359 KUHAP, “Karena
lalai sehingga menyebabkan matinya seseorang, dihukum …… ”Pasal ini penerapannya untuk siapa saja, Dokter karena kelalaiannya mengobati pasien meninggal dapat dikenakan pasal ini.
b. Perdata : KUH Perdata psl. 1365; Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
c. Administrasi : Setiap dokter yang berpraktek harus memiliki Surat Izin Praktik, dari jajaran Departemen Kesehatan/ Dinas Kesehatan, yang hanya dapat diperoleh bila telah memiliki Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia.
PERATURAN DASAR RUMAH SAKIT (HBL VERSI INDONESIA)
1. ANGGARAN DASAR (AD)
2. ANGGARAN RUMAH TANGGA (ART)
4. SURAT KEPUTUSAN (SK)
5. PENGUMUMAN
3. PERATURAN RUMAH SAKIT (PRS)BIDANG UMUM (Um)
BIDANG MEDIK (Med)
RULES & REGULATIONS FOR HOSPITALSArti : suatu perangkat peraturan yg scr formal dibuat intern
oleh suatu badan di RS tertentu untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan fungsi2 intern atau praktek
The set of rules formally adopted internally by a specified hospital body to provide guidance for internal functions or practices (Georgia Departement of Human Resources Home Page, Revised May 20, 2002)Contoh Pengaturan tentang : penerimaan pasien, rekam
medik, konsultasi, pengobatan, instruksi lisan, prosedur kebijakan pelayanan & prosedur, pasien cenderung bunuh diri, pemulangan pasien, kematian pasien, kriteria untuk otopsi, donasi organ & jaringan tubuh, pelayanan gawat darurat, peraturan umum tentang bedah, supervisi staff kerumahtanggaan, kerahasiaan.
3. Pedoman internasional, hukum kebiasaan dan jurisprudensi yang ada kaitannya dengan 'health care‘
a.Pedoman Internasional
Konvensi Helsinki (1964) merupakan kesepakatan dokter sedunia mengenai penelitian kedokteran, khususnya eksperimen dengan manusia. Ditekankan pentingnya INFORMED CONSENT, yaitu persetujuan pasien setelah mendapat informasi sebelumnya dan informasi tersebut benar-benar telah dimengerti olehnya.
b. Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan, merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Misalnya pada transplantasi organ, tim dokter yang menangani DONOR harus berbeda dengan yang menangani RESIPIEN; karena ada dua kepentingan yang berbeda, yang satu menyembuhkan lainnya mengakibatkan mengakibatkan cacat.
Hukum kebiasaan yang sudah diterapkan sejak zaman Belanda dulu dalam praktik kedokteran adalah surat izin operasi dan pembuatan status pasien. Kedua kebiasaan tersebut yang belum jelas dasar hukumnya dalam tata hukum Indonesia, berubah menjadi hukum positif melalui Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu tentang Persetujuan Tindakan Medis dan Rekam Medis.
c.JurisprudensiJurisprudensi, bukan merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan keputusan hakim yang diikuti oleh hakim2 lain dalam menghadapi kasus yang serupa. Ada dua jurisprudensi, yaitu:1.Constante Jurisprudentie, yaitu jurisprudensi
yang konstan, merupakan putusan-putusan hakim yang serupa dalam kasus-kasus yang mirip.
2.Jurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dan diikuti oleh hakim dari badan peradilan yang lebih rendah tingkatnya sewaktu menghadapi kasus serupa.
“Dalam sejarah hukum kedokteran di Indonesia, ada suatu jurisprudensi yang berkaitan dengan transeksualisme. Pada
sekitar tahun 70-an, seorang beautician pria yang transeksual, menjalani operasi
perubahan kelamin menjadi wanita secara fisik di Singapura. Menurut ilmu kedokteran, pengobatan untuk kasus tersebut memang
operasi perubahan kelamin. Hal ini dilakukan agar identitas sesuai dengan kondisi
psikologisnya, hingga individu ini memperoleh keseimbangan jasmani-rohani. Permohonan
untuk merubah status hukum dari pria menjadi wanita, pada waktu itu diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan bantuan seorang pengacara.”
Dalam KUH Perdata, Hakim tidak menemukan pasal yang mengatur
masalah terkait transeksualisme ini. Akan tetapi, karena kepiawaian pengacara
pemohon, hakim dapat diyakinkan bahwa ia harus membuat penetapan,
mengabulkan permohonan tersebut. Apabila permohonan itu ditolak, maka
akan menderita seumur hidupnya. Hukum untuk kesejahteraan seseorang, tidak untuk menyengsarakan seseorang.
Dengan dikabulkannya permohonan tersebut, maka Ketetapan ini
menjadi jurisprudensi dalam kasus-kasus serupa, meskipun pernah ada
sidang yang dinyatakan tertutup bagi umum, karena majelis hakim ingin melihat sendiri secara fisik
apakah pemohon benar sudah menjadi wanita.
4. Hukum otonom, ilmu dan literature juga merupakan sumber hukum kedokteran.a. Hukum Otonom
Istilah hukum otonom biasanya digunakan sehubungan dengan ketentuan yang berlaku bagi suatu daerah tertentu. Misalnya Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, berlaku khusus untuk penduduk daerah itu saja. Dalam bidang kesehatan pengertian ini analog, dimana ketentuan yang dimaksud berlaku hanya bagi anggota dari suatu ikatan profesi kesehatan. Misalnya Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) berlaku hanya untuk dokter-dokter anggota IDI.2
2 Kodeki berlaku untuk seluruh dokter di Indonesia dengan Kep. Menkes RI No. 434183
Organisasi IDI memiliki suatu badan peradilan intern yang disebut Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Badan ini berwenang menjatuhkan hukuman kepada anggota IDI yang melanggar etika profesinya.
Hukuman tersebut dapat mulai berupa peringatan, ringan atau lisan dan tertulis;
atau sampai kepada pemecatan dari keanggotaan IDI, sementara atau selamanya. Di samping MKEK, di luar struktur organisasi
IDI dikenal badan lain yang merupakan struktur organisasi Departemen Kesehatan.
MKEK tugasnya memberi saran kepada pimpinan mengenai tindakan yang harus
dilakukan terhadap pelanggaran/kesalahan yang dilakukan oleh dokter atau pun tenaga
kesehatan lainnya. Oleh karena bukan merupakan badan peradilan, maka tidak ada
vewenang untuk menjatuhkan hukuman sendiri. Akan tetapi badan ini tetap
berwibawa karena setiap saran selalu diterima dan menghasilkan hukuman
administratif. Badan ini semula bernama Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik
Kedokteran (P3EK), kemudian diganti menjadi Majelis Pembinaan
Pengawasan Etika Pelayanan Medis (MP2EPM), lalu diubah lagi menjadi Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK).
Dengan terbitnya UU RI No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, maka MDTK praktis tidak difungsikan lagi. Badan baru yang dibentuk oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), yaitu MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) menangani terutama kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin kedokteran / kedokteran gigi.
b. Ilmu dan Literatur
Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran tidak sama di berbagai negara, sehingga ada prosedur tertentu yang berbeda-beda pula dalam mengobati pasien. Misalnya ketentuan bagi dokter gigi untuk menggunakan sarung tangan dalam mengobati pasiennya. Di Indonesia hal itu rupanya belum merupakan prosedur yang diharuskan.
Jurisprudensi Belanda yang biasanya diikuti oleh para hakim disana , untuk peradilan Indonesia tidak bisa
diterapkan secara langsung sebagai suatu jurisprudensi Indonesia.
Hal itu harus melalui literatur dahulu. Literatur yang merupakan pendapat tokoh-tokoh bidang hukum yang
berwibawa, dapat merupakan sumber hukum kesehatan.
Misalnya keputusan dari Hoge Raad (MA Belanda) tentang culpa lata/ kelalaian berat yang harus dipenuhi untuk meyatakan dokter melakukan
malpraktik dari aspek pidana. Bila kelalaiannya ringan tidak termasuk malapraktik pidana. Apabila yang
bersangkutan digugat kembali secara perdata, kemungkinan besar ia kalah.
PERHUKI, organisasi yang menghimpun mereka yang mempunyai kaitan dengan hukum kesehatan, semula pada waktu berdirinya bernama PERHIMPUNAN untuk HUKUM KEDOKTERAN INDONESIA. Dengan berbagai pertimbangan, nama yang sekarang adalah Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia.
Anggaran Dasar PERHUKI menyebutkan:
“ Yang dimaksud dengan hukum kesehatan adalah semua yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta
hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis
nasional/ internasional, hukum di bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu
pengetahuan bidang kesehatan—kedokteran.”
Nampaknya Perhuki saat ini tidak begitu jelas
peranannya. Beberapa waktu yang lalu
diselenggarakan Kongres I Masyarakat Hukum
Kesehatan Indonesia di Jakarta.
Hukum Kedokteran (Medical Law), sebagai bagian dari hukum kesehatan yang terpenting, meliputi ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan medis. Hukum kedokteran
disebut juga hukum kesehatan dalam arti sempit.
Apabila objek hukum kesehatan adalah pelayanan kesehatan di sebuah Rumah Sakit
maka objek hukum kedokteran adalah pelayanan medis di Rumah Sakit, hal itu
masuk dalam disiplin ilmu khusus yang disebut sebagai Hukum Rumah Sakit (Hospital Law).
Oleh karena pengertian hukum kesehatan lebih luas dari pada hukum
kedokteran dan juga meliputi ketentuan-ketentuan hukum yang
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan, di dalamnya terdapat bidang hukum lain seperti hukum rumah sakit, hukum keperawatan, hukum farmasi, hukum kesehatan
lingkungan, hukum keselamatan kerja.
Antara masing-masing bidang hukum tersebut bisa terdapat daerah kelabu
yang merupakan persinggungan antara masing-masing bidang. Hukum
kedokteran dianggap bagian terpenting karena hampir selalu terdapat
persinggungan atau daerah-daerah kelabu antara hukum kedokteran dengan
bidang-bidang hukum lainnya, yang tidak demikian halnya antar bidang-bidang hukum yang lain tersebut.
Dokter bisa melakukan profesinya dalam bentuk praktek pribadi, atau dalam praktek swasta berkelompok,
atau dalam suatu R.S. Terutama Di R.S, pelaksanaan profesi dokter akan
hampir selalu berhubungan dengan profesi lain seperti perawat, petugas farmasi, bidan, pefiata roentgen, analisis laboratorium, fisioterapis,
petugas kesehatan lingkungan dan lain sebagainya.
Hukum baru dapat mencampuri bidang manajemen apabila ada pengaduan atau
dugaan adanya penyalahgunaan kekuasaan/ mismanagement/ malpractice, sehingga sampai menimbulkan kerugian pada pasien.
Tanggungjawab manajemen (accountability, responsibility) tidaklah sama dengan tanggungjawab hukum (legal liability)
namun tanggungjawab hukum di Rumah Sakit timbul sebagai sebuah akibat dari
tanggungjawab manajemen.
Untuk lebih jelasnya, hukum kesehatan
dapat divisualisasikan kira-kira sebagai
berikut:
Hukum Kesehatan
HUKUM KESEHATAN
LINGKUNGAN
HUKUM RUMAH SAKIT
HUKUM FARMASI
HUKUM KEPERAWATAN
HUKUM KEDOKTERAN
PERTANGGUNG JAWABANHUKUM RUMAH SAKIT
Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di rumah Sakit dimana dokter bekerja. Rumah Sakit merupakan suatu usaha yang pokoknya dapat dikelompokkan menjadi :Pelayanan medis dalam arti luas
yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Rumah Sakit merupakan suatu usaha yang pokoknya dapat dikelompokkan menjadi : Pendidikan dan latihan tenaga
medis/ paramedis. Penelitian dan pengembangan
ilmu kedokteran
Dengan terbitnya UU RI No. 44/2009 ttg Rumah Sakit, dpt dilihat tugas & fungsi RS dalam pasal 4 & 5
Tugas Rumah Sakit adalah “ memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan.”
Sedangkan Fungsi RS adalah :
Menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai standar pelayanan RS
Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
Sedangkan Fungsi RS adalah :
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan serta penapisan teknologi kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu kesehatan
UU RI No. 44/2009 ttg Rumah Sakit Bab VI Jenis RS dibedakan menurut PELAYANAN DAN PENGELOLAANNYA.Berdasarkan PELAYANAN :1. RS Umum,
“ RS Umum memberikan pelayanan kesehatan kepada semua bidang dan jenis penyakit” &
2. RS Khusus, “ RS Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lain sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.”
Berdasarkan PENGELOLAANNYA, dibagi : 1. RS Publik,
“ RS Publik dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba, yaitu
badan hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik, melainkan digunakan untuk peningkatan pelayanan, seperti Yayasan, Perkumpulan, dan Perusahaan Umum. Adapun yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, termasuk TNI dan Polri”
2. RS Privat. “ RS Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero”
Ada RS lain selain dua RS di atas, yakni
“RS PENDIDIKAN”RS yang menyelenggarakan pendidikan
dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan,
dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya.
Klasifikasi RS, baik RS Umum maupun RS khusus dibedakan berdasarkan fasilitas & kemampuan pelayanan yg diberikan, dlm rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, yaitu
RS Umum terdiri atas 4 kelas, yaitu :1. A, 2. B, 3. C, 4. D;RS Khusus terdiri dari 3 kelas, yaitu :5. A, 6. B, 7. C.
RS Umum kelas A “ RS Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain, dan 13 subspesialis “
RS Umum kelas B “ RS Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis, penunjang medik, 8 spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar. “
RS Umum kelas C “ RS Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar dan 4 spesialis
penunjang medik. “
RS Umum kelas D “ RS Umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar. “
RS Khusus kelas A adalah “ RS Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. “
RS Khusus kelas B adalah “ RS Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan terbatas. “
Klasifikasi RSU dibedakan atas :RSU Pemerintah &RSU Swasta.RSU Pemerintah dibagi menjadi beberapa tipe:
1.A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik & subspesialistik yang luas.
2.B, pelayanan spesialistik luas & sub spesialistik terbatas.
3.C, pelayanan spesialistik, minimal untuk 4 yak besar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetri - ginekologi
4.D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum
RSU Swasta terdiri dari:1.RSU S Pratama, pelayanan medik
umum 2.RSU S Madya, pelayanan spesialistik3.RSU S Utama, palayanan spesialistik
& sub spesialistik
RS bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di RS.
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang undangan yang secara khusus mengatur hubungan antara dokter dengan RS. Swasta tempat ia bekerja.
Pertanggungjawaban hukum R.S., dalam hal ini badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yg terjadi, bisa secara:1.Langsung sebagai pihak, pada suatu
perjanjian bila ada wanprestasi, atau2.Tidak langsung sebagai majikan bila
karyawannya dalam pengertian peraturan perundang undangan melakukan perbuatan melanggar hukum.
Sebenarnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan R.S. bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian, yaitu:1. Perjanjian perawatan, seperti
kamar dengan perlengkapannya2. Perjanjian pelayanan medis,berupa
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang dibantu oleh paramedik.
Dokter yang berpraktek di R.S. bisa merupakan karyawan (dokter purnawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya disamping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa R.S. sebagai suatu lembaga yang memberikan layanan perawatan dan pengobatan bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di dalamnya, atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability,
dimana secara resmi terhadap pasien yang dirawat R.S. bertanggung jawab atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan, jadi yang pertama-tama bertanggung jawab adalah R.S. nya tetapi bila ada kesalahan dilakukan dokter, R.S. bisa menggunakan hak regresnya untuk minta ganti kembali. Doktrin Vicarious Liability, Let the Master Answer, majikan-karyawan bisa diterapkan dalam hubungan R.S. dengan karyawannya.
Sehubungan dengan doktrin vicarious liability ini ada yang disebut doktrin Captain of the Ship yang berlaku bagai dokter bedah yang melakukan operasi di R.S. Dokter bedah tersebut dalam hal ini tidak bekerja dalam kaftan langsung untuk dan atas nama R.S. misalnya dokter tamu atau dokter karyawan untuk pasien pribadinya.
Dokter itu dianggap bertanggung jawab atas kesalahan stafnya termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut yang merupakan karyawan R.S. dianggap dipinjamkan sehingga tanggung jawab itu beralih kepada sipemakai yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertanggung jawab atas doktrin majikan karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi.
Bentuk tanggung jawab lain di kamar bedah adalah tanggung jawab apabila ada kerjasama dari suatu tim dimana
beberapa ahli dalam bidangnya masing-masing bertanggung jawab
atas tindakannya sendiri. Pada suatu kasus bedah jantung dimana Prof. Nuboer ahli bedah
jantung dengan ahli-ahli lain. Ternyata dalam operasi tersebut tertinggal
jarum injeksi.
Pasien menuntut Prof. Nuboer yang dianggap sebagai kepala tim atas dasar "onrechmatige daad" Prof. Nuboer mengatakan bahwa ia harus berpacu dengan waktu
dan hanya punya waktu 6-7 menit saja untuk bekerja dengan penuh
konsentrasi sehingga tidak mungkin lagi ia mengawasi sejawatnya satu persatu.
Hoge Raad, 31 Mei 1968 menyatakan bahwa kasus ini
dilakukan oleh satu tim dimana masing-masing anggota
berkualifikasi dan bertanggung jawab penuh atas tugas masing-masing, sehingga mereka tidak bisa dianggap sebagai bawahan Nuboer, menurut KUH Perdata
1367 (3).
Khusus mengenai dokter ANESTESI, dokter bedah tidak bertanggung
jawab terhadap tindakannya yang pada umumnya sudah dianggap
bertanggung jawab penuh sendiri atas segala tindakannya. Malahan di dalam kamar induksi Captain of the ship-nya adalah ANESTESIOLOG.
Belum adanya peraturan pelaksanaan yang tegas dalam
mengatur penyelenggaraan R.S. di Indonesia, dapat menyulitkan
konsumen apabila timbul hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Fungsi sosial suatu R.S., sesuai dengan hak atas pelayanan kesehatan atau pelayanan
medis yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat, haruslah dipenuhi dengan
tersedianya pelayanan yang bermutu, baik dari segi sarana maupun tenaga kesehatan;
juga terjangkau, baik dari segi geografi maupun finansial.
Demikian pula hubungan kerja antara dokter dgn R.S., perlu diatur lebih lanjut dengan tujuan agar pelayanan R.S. menjadi lebih bermutu dan memberi perlindungan bagi
pasien.
Dalam UU RI No. 44/2009, dinyatakan dalam pasal 43 mengenai Keselamatan Pasien (patient safety), yaitu proses
dalam suatu RS yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman.
Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko
terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar &
menindaklanjuti insiden, & menerapkan solusi utk mengurangi serta
meminimalisir timbulnya risiko.
Adapun yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien
adalah medical error (kekeliruan medis), adverse event (kejadian yang tidak
diharapkan), dan near miss (nyaris terjadi), yang kesemuanya harus diteliti dan dipelajari untuk
tidak terulang lagi.
Organisasi Rumah Sakit disusun dengan tujuan untuk
mencapai visi misi Rumah Sakit dengan menjalankan tata
kelola perusahaan yang baik (Good Corporation
Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance).
SEKIAN DAN TERIMAKASIH.