histologi ikan kerapu pada bak-bak pemeliharaan …repository.ub.ac.id/6047/1/fariz nur...
TRANSCRIPT
HISTOLOGI IKAN KERAPU PADA BAK-BAK PEMELIHARAAN DENGAN TREATMENT Spirulina platensis DAN INFEKSI PAPARAN VIRAL NERVOUS
NECROSIS (VNN)
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
FARIZ NUR YAHYA
NIM. 135080100111063
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
HISTOLOGI IKAN KERAPU PADA BAK-BAK PEMELIHARAAN DENGAN TREATMENT Spirulina platensis DAN INFEKSI PAPARAN VIRAL NERVOUS
NECROSIS (VNN)
LAPORAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
FARIZ NUR YAHYA NIM. 135080100111063
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Identitas Tim Penguji
Judul :HISTOLOGI IKAN KERAPU PADA BAK-BAK PEMELIHARAAN DENGAN TREATMENT Spirulina platensis DAN INFEKSI PAPARAN VIRAL NERVOUS NECROSIS (VNN)
Nama Mahasiswa : FARIZ NUR YAHYA
NIM : 135080100111063
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING:
Pembimbing 1 : Dr. UUN YANUHAR, S.Pi, M.Si
Pembimbing 2 : Ir. KUSRIANI, MP.
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING:
Dosen Penguji 1 : Dr. ASUS MAIZAR S. H., S.Pi, M.P
Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. MOHAMMAD MAHMUDI, M.S Tanggal Ujian : 31 Juli 2017
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam laporan skripsi dengan judul
Histologi Ikan Kerapu Pada Bak-Bak Pemeliharaan Dengan Treatment Spirulina
platensis Dan Infeksi Paparan Viral Nervous Necrosis (VNN) yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 29 Juli 2017
Mahasiswa
Fariz Nur Yahya
NIM. 135080100111063
UCAPAN TERIMAKASIH
Yang Telah Membiayai :
Skema Penelitian BOPTN Unggulan Perguruan Tinggi Nomor :
063/SP2H/LT/DRPM/IV/2017, Tanggal 6 April 2017
Dengan Judul :
Peridinin Chloropyll Cell
Pigmen (PCP) Spesies Penting Mikroalga Laut Untuk Komoditas Unggulan Ikan
Sebagai Ketua Peneliti Dr. Uun Yanuhar, S.Pi., M.Si.
Anggota Tim Penelitian Sebagai Berikut:
1. Akbar Nugraha 13. Yosef Benny Alta
2. Irsyadul Fajri 14. Yuni Septiyani
3. Syamsul Rizal 15. Aji Sanjaya
4. Shabrina Andrawini 16. Fariz Nur Yahya
5. Yunda Deliza 17. Elsa Novan Alfiyanto
6. Mimin Wirawati 18. Dewi Mangshuroh
7. Faisal Nur Fachrudin 19. Amanda Agustina
8. M. Rizky Mustaqim 20. Ahmad Arief Fathoni
9. Gus Aryadi 21. Farouq Syahrondhi M.
10. Linda Ayu Pratiwi
11. Leny Rosiana
12. Wildan Effendy
Ketua Peneliti,
(Dr.Uun Yanuhar,S.Pi,M.Si) NIP. 19730404 200212 2 001
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pelaksanaan Penelitian Skripsi sehingga laporan ini dapat
terselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan dan penulisan
laporan Skripsi ini.
2. Ir. Kusriani, MP selaku dosen pembimbing Kedua yang juga telah
memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan dan penulisan
laporan Skripsi ini.
3. Orang tua dan seluruh keluarga yang selalu membantu, mendukung dan
mendoakan penulis.
4. Teman-teman Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan angkatan
2013 atas dukungannya serta pihak lainnya yang secara langsung maupun
tidak langsung telah berperan dalam menyelesaikan laporan ini.
Malang, 19 Juli 2017
Penulis
RINGKASAN
Fariz Nur Yahya. Histologi Ikan Kerapu Pada Bak-Bak Pemeliharaan Dengan Treatment Spirulina platensis Dan Infeksi Paparan Viral Nervous Necrosis (VNN). (dibawah bimbingan Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, MSi dan Ir. Kusriani, MP).
Ikan kerapu adalah ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi terdapat di perairan laut Indonesia Di Indonesia kegiatan pemeliharaan ikan kerapu semakin digalakkan berbanding lurus dengan bertambahnya permintaan untuk komoditas ikan tersebut, baik memenuhi permintaan dalam negeri, maupun luar negeri yang semakin hari semakin besar. Pemeliharaan ikan kerapu masih banyak ditemukan berbagai kendala, salah satunya adalah tingkat kematian masih tinggi yang diakibat penyakit infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Viral Nervous Necrosis (VNN) telah banyak dilaporkan menginfeksi ikan laut yang dibudidayakan di Indonesia dan telah ditetapkan dalam Kepmen nomor 26 tahun 2013 sebagai Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) Golongan I. Spirulina platensis merupakan salah satu jenis mikroalga sebagai sumber protein sel tunggal karena kandungan proteinnya yang tinggi antara 50 74% perberat kering. Dengan perkembangan bioteknologi penelitian dan pemanfaatan mikroalga diarahakan pada pengembangan produk baru dalam bidang perikanan.
Metode diagnosis pathogen virus dapat dilakukan dengan cara melihat gejala klinis, histopatologi, mikroskop elektron, isolasi agen virus dalam kultur sel yang kemudian diikuti dengan identifikasi secara molekuler atau dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Analisa histopatologi dapat digunakan sebagai biomarker untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan melalui perubahan struktur yang terjadi pada organ-organ penting ikan kerapu menjadi sasaran utama dari penyakit infikus dan pengobatan dengan antibiotik. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui kualitas histologi ikan kerapu (Cromileptes altivelis) dengan Treatment Spirulina platesis pada bak pemeliharaan infeksi Viral Nervous Necrosis. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan eksperimental dimana prosedur penelitian meliputi meliputi kultur Spirulina platensis, perhitungan kepadatan sel, ekstraksi VNN, aklimatisasi, Treatment mikroalga, analisis kualitas air, prosedur Polymerase Chain Reaction (PCR) dan analisis kualitas histopatologi.
Hasil Pertumbuhan sel Spirulina ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau pada media pemeliharaan ikan kerapu cantang. ertumbuhan S. platensis dilihat dari produksi biomassa pada medium air perlakuan menunjukkan bahwa pertumbuhan pada setiap perlakuan mengalami fase lag. Berdasarkan kualitas histopatologi, Treatment Spirulina tanpa VNN, lebih sedikit mengalami kerusakan jaringan dibandingkan dengan Treatment Spirulina dengan penambahan VNN. Pada Treatment dengan penambahan ekstraksi VNN ditemukan keruskan jaringan seperti nekrosis, kongesti, vakuolisasi dan hemoregge. Untuk hasil kualitas air dari dua parameter fisika dan kimia masih dalam batas yang normal untuk pemeliharaan ikan kerapu cantang.
KATA PENGANTAR
Segala Puji kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
Karunia-Nya. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan laporan skripsi yang
berjudul Histologi Ikan Kerapu Pada Bak-Bak Pemeliharaan Dengan Treatment
Spirulina platensis Dan Infeksi Paparan Viral Nervous Necrosis (VNN) sebagai
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih ditemukan banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf dan berbesar hati menerima
kritik dan saran apabila pembaca menemukan kesalahan dalam laporan ini.
Semoga laporan ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.
Malang, 29 Juli 2017
Penulis
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................................... iv
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 4
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) ............. 6 2.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup ..................................................................... 7
2.3 Penyakit Pada Ikan Kerapu ........................................................................ 8
2.4 Penyakit disebabkan parasit ....................................................................... 8
2.4.1 Penyakit infeksi bakteri ........................................................................ 9
2.4.2 Penyakit disebabkan virus ................................................................... 9 2.5 Viral Nervous Necrosis ............................................................................. 10
2.5.1 Infeksi Viral Nervous Necrosis ........................................................... 11
2.5.2 Gejala Klinis Terinfeksi VNN .............................................................. 11
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR) .......................................................... 12 2.7 Anatomi Histologi ..................................................................................... 13
2.7.1 Jenis Perubahan Histologi ................................................................. 14
2.8 Parameter Kualitas Air ............................................................................. 16
2.8.1 Suhu .................................................................................................. 16 2.8.2 Salinitas ............................................................................................. 17
2.8.3 pH ...................................................................................................... 17
2.8.4 Dissolve Oxygen (DO) ....................................................................... 18
2.9 Klasifikasi dan Morfologi Spirulina platensis. ............................................ 18 2.10 Pemanfaatan Mikroalga Spirulina sp. ..................................................... 20
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN ........................................................ 21 3.1 Materi Penelitian ...................................................................................... 21
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................ 21
3.3 Metode Penelitian..................................................................................... 21
3.4 Data Penelitian ......................................................................................... 22
3.4.1 Data Primer........................................................................................ 22 3.4.2 Data Sekunder ................................................................................... 23
3.5 Prosedur Penelitian .................................................................................. 24
3.5.1 Prosedur Kultur Spirulina platensis .................................................... 24
3.5.2 Prosedur Perhitungan Kelimpahan Sel .............................................. 25 3.5.3 Prosedur Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN) ............................. 25
3.5.4 Prosedur Aklimatisasi Ikan Kerapu cantang ....................................... 26
3.5.5 Prosedur Treatment Spirulina platensis Dan Infeksi Viral Nervous
Necrossis (VNN) ................................................................................ 26 3.6 Prosedur Analisis Kualitas Air .................................................................. 28
3.6.1 Prosedur pengukuran Parameter Fisika ............................................. 28
3.6.2 Prosedur Pengukuran Parameter Kimia ............................................. 29
3.7 Prosedur Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) .......................... 29 3.8 Pembuatan Preparat dan Pengamatan di Mikroskop ................................ 30
3.9 Analisis data ............................................................................................. 32
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 35 4.1 Treatment Spirulina platensis pada Ikan kerapu ....................................... 35
4.2 Pertumbuhan Spirulina platensis .............................................................. 35
4.3 Status Histologi Organ Mata dan Otak Ikan Kerapu Cantang ................... 36 4.4 Mekanisme Infeksi VNN pada Jaringan Organ Ikan Kerapu ..................... 41
4.5 Manfaat Spirulina dalam Mencegah Penyakit dan Virus ........................... 42
4.6 Analisa Kualitas Air .................................................................................. 43
4.6.1 Suhu .................................................................................................. 43 4.6.2 Salinitas ............................................................................................. 44
4.6.3 pH ...................................................................................................... 46
4.6.4 DO (Oksigen Terlarut) ........................................................................ 47
4.7 Analisis Data ............................................................................................ 49
V. PENUTUP ..................................................................................................... 51 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 51
5.2 Saran ....................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 52
LAMPIRAN ........................................................................................................ 56
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Spirulina sp...................................................................................... 19
Gambar 2. Grafik pertumbuhan Spirulina .......................................................... 35
Gambar 3. Struktur jaringan mata Ikan kerapu Cantang .................................... 37
Gambar 4. Histologi jaringan otak ikan kerapu .................................................. 40
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran suhu .......................................................... 43
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran Salinitas .................................................... 45
Gambar 7. Grafik Pengukuran nilai pH .............................................................. 46
Gambar 8. Grafik Hasil Pengukuran nilai DO .................................................... 48
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Denah Percobaan Penelitian
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam
Tabel 3. Analysis of Varian (ANOVA)
Tabel 4. Hasil Uji ANOVA
Tabel 5. Hasil Uji BNT
Tabel 6. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Kultur dan Perhitungan
Kelimpahan Sel Spirulina platensis
Tabel 7. Alat dan Bahan untuk Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN)
Tabel 8. Alat dan Bahan untuk Perlakuan Penelitian
Tabel 9. Alat dan Bahan untuk Pengukuran Kualitas Air
Tabel 10. Prosedur Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian
Lampiran 2. Prosedur Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR)
Lampiran 3. Perhitungan Pengkondisian Kepadatan Spirulina platensis
Lampiran 4. Data Laju pertumbuhan Spirulina platensis
Lampiran 5. Data Pengukuran Kualitas Air
Lampiran 6. Data Hasil PCR
Lampiran 7. Analysis of Varian (ANOVA) dan Beda Nyata Terkecil (BNT)
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan kerapu adalah ikan laut yang bernilai ekonomis tinggi terdapat di
perairan laut Indonesia. Salah satu penyebab tingginya harga ikan kerapu
dikarenakan ketersediannya yang mulai berkurang di alam bebas. Di Indonesia
kegiatan pemeliharaan ikan kerapu semakin digalakkan berbanding lurus dengan
bertambahnya permintaan untuk komoditas ikan tersebut, baik memenuhi
permintaan dalam negeri, maupun luar negeri yang semakin hari semakin besar.
Beberapa jenis ikan kerapu yang berada di Indonesia yaitu kerapu bebek/tikus,
kerapu lumpur, kerapu macan, kerapu kertang, kerapu sunu. Pada jaman
modern ini penangkapan dan budidaya ikan kerapu akan mengalami dampak
negative terhadap lingkungan laut khususnya rusaknya terumbu karang.
Kegiatan budidaya ikan laut di Indonesia salah satunya ikan kerapu
macan adalah budidaya laut yang memiliki prospek yang tinggi untuk
dikembangkan, karena budidaya ini berperan penting dalam memenuhi
kebutuhan ikan konsumsi, tingginya penghasilan dan penyediaan lapangan kerja
untuk petani ikan maupun nelayan dapat bermanfaat dalam pelestarian sumber
daya ikan laut yang mulai habis (Maghfirah, 2009).
Pemeliharaan ikan kerapu masih banyak ditemukan berbagai kendala,
salah satunya adalah tingkat kematian masih tinggi yang diakibat penyakit infeksi
Viral Nervous Necrosis (VNN). Virus ini umumnya menyerang stadia larva
sampai yuwana dan sasaran organnya yaitu sistem organ syaraf mata dan otak
(Yuasa et al., 2001 dalam Suratmi dan Aryani, 2007). Viral Nervous Necrosis
(VNN) menyerang dengan akut pada ukuran ikan dibawah 50g. Penyakit yang
diakibatkan oleh virus masih merupakan masalah utama dalam budidaya ikan
kerapu karena menyebabkan kematian ikan hingga 100% dalam waktu yang
singkat (Suratmi, 2007).
Ciri-ciri yang terlihat pada ikan yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis
(VNN) tidak sama sesuai dengan umur ikan yang terserang. Ikan yang berumur
kurang dari 20 hari jika terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) tidak
menamTreatment gejala klinis kecuali nafsu makan ikan yang menurun, ditandai
sisa rotifer yang terlalu banyak pada air pemeliharaan. Ikan kerapu umur 20-40
hari, cara berenang yang tidak normal yaitu ikan berenang di dekat permukaan
air dan setelah itu terjadi kematian di dasar air pemeliharaan. Pada ikan yang
berumur 2-4 bulan yang terinfeksi tampak diam di dasar perairan. Sedangkan
ikan umur lebih dari 4 bulan terlihat berenang mengambang di atas permukaan
air yang disertai dengan adanya pembesaran gelembung renang pada bagian
tubuhnya (Sugianti, 2005).
Kendala dalam usaha budidaya ikan tersebut yang banyak dikeluhkan
petani salah satunya adalah hama dan penyakit ikan. Salah satu penyakit
berbahaya dan merugikan dalam budidaya ikan adalah yang disebabkan oleh
virus (APEC/SEAFDEC, 2001 dalam Kusharyani et al., 2001). Umumnya ikan
laut budidaya seperti Kerapu Bebek, Kerapu Macan dan Kakap Putih sangat
rentan terhadap penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) (Johny dan Zafran,
2005). Viral Nervous Necrosis (VNN) telah banyak dilaporkan menginfeksi ikan
laut yang dibudidayakan di Indonesia dan telah ditetapkan dalam Kepmen nomor
26 tahun 2013 sebagai Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) Golongan I.
Metode diagnosis pathogen virus dapat dilakukan dengan cara melihat gejala
klinis, histopatologi, mikroskop elektron, isolasi agen virus dalam kultur sel yang
kemudian diikuti dengan identifikasi secara molekuler atau dengan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR).
Mikroalga memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai
sumber makanan, pangan menyehatkan, dan bahan bahan kimia lainnya.
Spirulina platensis merupakan salah satu jenis mikroalga sebagai sumber protein
sel tunggal karena kandungan proteinnya yang tinggi antara 50 74% perberat
kering. Mikroalga Spirulina platensis termasuk ke dalam kelompok sianobakteri
yang digolongkan ke dalam kelas Cyanophyceae karena memilikipigmen biru
kehijauan, multiseluler dan berfilamen. Spirulina bersifat planktonik hidup
diperairan tropis dan sub tropis dengan kisaran pH 8 -11 (Tomaselli, 1997).
Spesies Spirulina yang telah secara baik salah satunya adalah Spirulina
platensis karena kandungan proteinnya mencapai 74% dengan asam amino
yang seimbang, kandungan Vitamin B12 yang tinggi dari jenis Spirulina lain.
Mikroalga Spirulina dapat dikonsumsi langsung oleh manusia. Dengan
perkembangan bioteknologi penelitian dan pemanfaatan mikroalga diarahakan
pada pengembangan produk baru dalam bidang perikanan khususnya dalam
mengatasi hama dan penyakit yang dapat menurunkan produktifitas perikanan
nasional.
Perubahan histopatologi telah digunakan secara luas sebagai biomarker
dalam mengevaluasi kerusakan pada kesehatan ikan yang terpapar oleh
berbagai kontaminan. Organ yang telah berhasil digunakan sebagai biomarker
histopatologi dalam pengamatan lingkungan, adalah insang, hati dan ginjal
(Martinez dan Camargo, 2007). Organ-organ tersebut bertanggung jawab atas
fungsi respirasi, ekskresi, akumulasi, dan biotransformasi xenobiotic pada ikan.
Pemeriksaan histopatologis merupakan suatu teknik pemeriksaan dengan
mempelajari perubahan abnormal sel atau jaringan yang digunakan untuk
menentukan peneguhan diagnosa penyakit pada ikan (Mohammadi et al., 2012).
Penanggulangan memodifikasi lingkungan untuk penyakit infeksi dirasa
kurang efektif dalam proses penyembuhanya, melihat perkembangan penyakit
yang diakibatkan oleh viral Nervous Necrosis (VNN) sangat cepat menyebar dan
mematikan ikan target. Analisa histopatologi dapat digunakan sebagai biomarker
untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan melalui perubahan struktur yang terjadi
pada organ-organ penting ikan kerapu menjadi sasaran utama dari penyakit
infikus dan pengobatan dengan antibiotik. Penggunaan biomarker histopatologi
dapat juga digunakan sebagai monitoring perubahan yang terjadi pada jaringan
organ ikan dengan mengamati organ tersebut yang memiliki fungsi penting dalam
metabolisme tubuh sehingga dapat menjadi diagnosis awal terjadinya gangguan
kesehatan pada suatu organisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah di uraikan diatas, adapun
rumusan masalah penelitian yaitu:
Bagaimana menganalisis kesehatan ikan dilihat dari histologi ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dengan Treatment Spirulina platesis pada kolam
pemeliharaan infeksi paparan Viral Nervous Necrosis?
1.3 Tujuan
Adapun Tujuan dari penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas
adalah sebagai berikut :
Untuk menganalisis kondisi kesehatan ikan dilihat dari histologi ikan kerapu
(Cromileptes altivelis) dengan Treatment Spirulina platesis pada bak
pemeliharaan infeksi paparan Viral Nervous Necrosis.
1.4 Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
kualitas histologi ikan kerapu pada media pemeliharaan yang infeksi Viral
Nervous Necrosis (VNN) dengan Treatment Spirulina platesis dan sebagai bahan
rujukan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi tentang kerusakan organ ikan
kerapu yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN).
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian skripsi ini dilaksanakan pada tanggal 05 15 Juni
2017 yang berlokasi di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Kec.
Panarukan, Klatakan, Situbondo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)
Ikan kerapu adalah komoditas perikanan Indonesia yang diunggulkan dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mempunyai harga yang mahal serta
merupakan komoditas ekspor. Saat ini budidaya ikan kerapu sudah berkembang,
maka perlu ketersediaan benih secara kontinu, untuk mencukupi kebutuhan
benih perlu adanya usaha pembenihan ikan kerapu, yang teknologinya sudah
dapat diaplikasikan (Ismi, 2011).
Menurut Weber dan Beofort (1940), klasifikasi kerapu tikus adalah
sebagai berikut :
Phylum : Chordata Sub phylum : Verterbrata Class : Osteichtyes Sub class : Actinoperigi Ordo : Percomorphi Sub ordo : Percoidea Famili : Serranidae Genus : Cromileptes Spesies : C. altivelis Kerapu tikus bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu
dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil
dengan moncong agak meruncing. Karena kepala yang kecil mirip bebek, maka
jenis ini popular sebagai kerapu bebek. Namun, ada pula yang menyebutnya
sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai
moncong tikus. Kerapu tikus digolongkan sebagai ikan konsumsi bila bobot
tubuhnya telah mencapai 0.5 2 kg/ekor (Kordi, 2001).
Kerapu tikus memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung
tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3
jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm
atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30-50 cm. kerapu
bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil
lainnya. Kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang telah
dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan maupun pembesaran (Hemstra
dan
2.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup
Daerah penyebaran kerapu tikus yaitu Afrika Timur sampai Pasifik Barat
Daya. Di Indonesia kerapu tikus banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera,
Jawa, Sulawesi, Buru dan Ambon. Salah satu indikator adanya kerapu tikus
adalah perairan karang yang terhampar hampir diseluruh perairan pantai di
Indonesia. Setianto (2011) mengemukakan bahwa pada umumnya siklus hidup
kerapu tikus muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 - 3
meter selanjutnya saat masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam
antara 7 - 40 meter, pada umumnya perpindahan ini berlangsung pada siang hari
dan senja hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga
dewasa bersifat demersal.
Menurut Subyakto et al. (2003), kerapu bersifat hermaprodit protogini,
yakni pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis
kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar atau
ketika umurnya bertambah tua. Kebiasan makan kerapu tikus, yang termasuk
dalam keluarga serranidae merupakan ikan nokturnal dimana ikan ini mencari
makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan
soliter di mana aktivitas makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat
cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu luas serta lebih banyak
menggunakan indera perasa dan indera penciuman (Subyakto et al
2.3 Penyakit Pada Ikan Kerapu
Penyakit ikan merupakan salah satu masalah serius yang harus dihadapi
dalam pengembangan usaha budidaya ikan. Menurut Supriyadi (2007) kematian
yang ditimbulkan oleh penyakit ikan sangat tergantung pada jenis parasit ikan
yang menyerang, kondisi ikan dan kondisi lingkungan. Apabila kondisi lingkungan
menurun maka kematian yang diakibatkan oleh wabah penyakit sangat tinggi,
tapi sebaliknya apabila kondisi lingkungan baik maka kematian akibat infeksi
suatu penyakit lebih rendah.
Penyakit parasit yaitu penyakit akibat infeksi jasad parasitik seperti
golongan protozoa maupun metazoa. Protozoa yang sering ditemukan sebagai
organisme parasitik meliputi sporozoa, ciliata dan flagellata, sedangkan metazoa
meliputi: crustacea, isopoda dan helminth (cacing). Jasad parasit tersebut dapat
menginfeksi ikan air tawar maupun ikan laut (Taukhid, 2006).
2.4 Penyakit disebabkan parasit
Parasit yang paling banyak ditemukan pada sampel ikan Kerapu Cantang
adalah dari genus Dactylogyrus dan Benedenia yang keduanya dari kelas
monogenea. Parasit Benedenia dan Dactylogyrus menginfeksi hanya pada
permukaan tubuh ikan (sirip, operculum, dan permukaan tubuh) atau dinamakan
ektoparasit. Tempat hidup ektoparasit Benedenia adalah di kulit ikan sedangkan
ektoparasit Dactylogyrus hidup di insang. Dactylogyrus didapatkan menginfeksi
di permukaan tubuh Kerapu Cantang disebabkan memiliki prohaptor yaitu alat
menghisap bercabang empat dan memiliki ujung kelenjar yang dapat
mengeluarkan semacam cairan kental yang berfungsi untuk penempelan
maupun pergerakan pada permukaan tubuh inang. Oleh karena itu Dactylogyrus
dapat berpindah tempat dari insang ke permukaan tubuh atau sebaliknya. Selain
itu didapatkannya parasit Dactylogyrus bukan di organ insang kemungkinan
parasit ini berasal dari inang (ikan) lain yang berenang dan akan menginfeksi
benih ikan Kerapu Cantang (Nurhayati et al., 2015).
2.4.1 Penyakit infeksi bakteri
Kemampuan menimbulkan penyakit dari bakteri Aeromonas hydrophila
cukup tinggi. Gejala yang menyertai serangan bakteri ini antara lain ulser yang
berbentuk bulat/tidak teratur dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi dan
erosi di dalam rongga dan di sekitar mulut seperti penyakit mulut merah (red
mouth disease). Tanda lain adalah haemorhagi pada sirip dan eksopthalmia (pop
eye) yaitu mata membengkak dan menonjol (Nitimulyo et al., 1993). Selain itu
ciri-ciri lainnya adalah pendarahan pada tubuh, sisik terkuak, borok, nekrosis,
busung, dan juga ikan lemas sering di permukaan atau dasar kolam (Angka,
1990).
Bakteri A. salmonicida juga dimasukkankan ke dalam kelompok bakteri
gram negatif dengan ciri-ciri berbentuk batang, non motil, serta terdapat
diperairan air tawar, payau, dan laut, penyebab utama penyakit pada ikan
salmonid dengan penyakit yang dikenal dengan nama furunkulosis. Tanda-tanda
klinis serangan A. salmonicida antara lain adanya hemorrhage pada otot tubuh
dan bagian tubuh lainnya, jaringan subkutan seperti melepuh dan berkembang
menjadi borok yang dalam (ulcerative dermatitis). Pada beberapa kasus
septicemia terjadi pembengkakan limpa, ginjal, dan ascites, necrosis pada
jaringan, serta akumulasi sel bakteri dan sel inflamatori (sel fagositosis) akibat
eksotoksin leukositolitik (Angka, 2005).
2.4.2 Penyakit disebabkan virus
Hakim et al, (2015), Terdapat tiga jenis virus yang sering ditemukan pada
usaha budidaya kerapu yaitu Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV), Grouper
Iridovirus (GIV) dan Lympocyscvirus. Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV)
menyebabkan kematian massal pada stadia larva dan benih, sedangkan
kematian yang disebabkan oleh infeksi GIV terjadi pada stadia larva, benih
maupun ikan dengan ukuran besar. Kematian akibat infeksi Lympocyscvirus relaf
rendah, walaupun demikian berpotensi menurunkan kualitas produk akibat lesi
yang ditimbulkan pada permukaan tubuh.
2.5 Viral Nervous Necrosis
Viral Nerveus Necrosis (VNN) (istilah alternatif: virus encephalopathy dan
retinopathy (VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International
des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama di dalam produksi perikanan laut di
dunia. Identifikasi virus penyebab VNN ini adalah anggota family Nodaviridae
diperoleh dengan menyelidiki asam nukleat dan protein struktural dari larva virus
Pseudocaranx dentex. Keluarga Nodaviridae terdapat dua jenis yaitu jenis
Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam
menginfeksi ikan. Betanodaviruses (family Nodarideae) adalah agen penyebab
serangan viral nerveus necrosis (VNN) pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses
adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genome yang
terdiri atas dua ikatan tunggal (Yukio, 2007).
Piscine nodaviruses dapat digolongkan ke dalam 4 genotypes berdasar
pada urutan nucleotide protein mantel gen: SJNNV (striped jack nervous necrosis
virus), RGNNV (redspotted grouper nervous necrosis virus), TPNNV (tiger puffer
nervous necrosis virus), and BFNNV (barfin flounder nervous necrosis virus).
Infeksi Piscine nodavirus telah dihubungkan dengan angka kematian tinggi pada
jenis ikan grouper yang dibudaya di Taiwan, Singapore, Thailand, China, dan
Indonesia. Baru-baru ini telah didokumentasikan perjangkitan VNN antar larva
pada hatchery dari ikan orange-spotted grouper dan Asia Sea Bass di
Philippines. Dengan analisa phylogenetic, isolasi dari ikan orange-spotted
grouper dan Sea Bass Asia memiliki genotype RGNNV (data tak diterbitkan).
Infeksi Piscine nodavirus merupakan ancaman potensial untuk menyebabkan
kerusakan pada banyak jenis ikan aquakultur di daerah tersebut. Suatu
kebutuhan mendesak untuk menentukan cakupan ikan yang menjadi host dari
virus ini. Virus dari jenis betanodavirus adalah agen yang menyebabkan
encephalopathy karena virus dan retinopathy, juga dikenal sebagai viral necrosis
nerveus (VNN), suatu penyakit yang menghancurkan industri budidaya ikan laut
di seluruh dunia. (Chi, 2006,).
2.5.1 Infeksi Viral Nervous Necrosis
Penyakit budidaya dapat menyebar melalui banyak perantara seperti air,
media pembawa penyakit (produk hasil perikanan) dan Treatment pada
budidaya. Penyebaran penyakit dapat dicegah dengan mendeteksi media
pembawa penyakit yang dilihat dari gejala klinis dan uji Laboratorium.
Keberadaan infeksi penyakit dapat dilihat dari antigen yang terdapat pada darah
atau organ target yang dituju (Lestari dan Sudaryatma, 2014).
Virus ini dapat ditularkan melalui air dari ikan yang terinfeksi ke ikan yang
sehat dalam waktu 4 hari kontak. Nodaviruses juga dapat terdeteksi pada ikan
tanpa tanda-tanda penyakit klinis. Dengan demikian, induk kerapu dapat menjadi
sumber virus untuk larvanya (Roza et al., 2003).
2.5.2 Gejala Klinis Terinfeksi VNN
Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku
ikan terserang berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut diatas
disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh
terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang. Kematian (mortalitas) kumulatif
mencapai 34% dan 56% selama 10 minggu. Ikan yang terkena infeksi VNN
biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan
vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem nerves pusat dan retina (Thie´ry et al., 2006).
Menurut Prajitno (2008), diagnose gejala 1 berdasarkan gejala klinis, ikan
yang terserang VNN menunjukan gejala gangguan system saraf seperti
berenang tidak beraturan berputar dan berbalik (whirling), warna ikan menjadi
lebih gelap pada ikan kerapu dan lebih terang pada ikan kakap, kurus, luka,
gelembung renang mengembung dan mata mengalami kebutaan.biasanya ikan
yang terserang VNN menunjukan salah satu atau gabungan dari beberapa gejala
klinis tersebut diatas, tetapi kadang kadang tidak menunjukan gejala klinis sama
sekali.
Gejala klinis ikan kerapu yang terinfeksi VNN tampak berputar-putar dan
perilaku berenang horizontal dan inflasi gelembung renang. Viral nervous
necrosis menyerang otak sehingga menyebabkan ikan berenang berputar,
mengambang di permukaan dengan perut menghadap ke atas dan pigmentasi
yang lebih pekat pada warna ikan. Gambaran histopatologis terlihat banyak
ruang-ruang kosong pada otak, mata dan sumsum tulang belakang, hemoragi di
hati dan limpa, infiltrasi sel radang, terutama mononukleus (Gilda 2009).
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Marker merupakan sebuah penanda genetika berupa gen atau DNA
urutan dengan lokasi yang dikenal pada kromosom yang dapt juga digunakan
pada identifikasi sel sel, individu, atau spesies. Hal ini dapat digambarkan
sebagai variasi (yang mungkin timbul karena adanya mutasi atau perubahan
dalam lokus genomik) yang dapat diamati. Sebuah penanda genetik mungkin
menjadi ururtan DNA pendek, seperti urutan yang mengelilingi sebuah
perubahan pasangan basa tunggal (polimorfisme nukleotida tunggal, SNP), atau
panjang seperti minisatelites. Fungsi marker adalah memainkan peran dalam
rekayasa genetic, karena mereka dapat digunkan untuk memproduksi normal,
protein berfungsi untuk menggantikan yang rusak. Bagian yang rusak atau cacat
DNA akan dihapus dan digantikan dengan identic, tetapi berfungsi urutan gen
dari sumber lain (Masri, 2013).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode pendeteksian virus
yang banyak dipakai baik untuk virus pada manusia, hewan maupun tumbuhan.
Keunggulan PCR terletak pada kecepatan, spesivitas dan sensitivitasnya dalam
mendeteksi mikroorganisme pathogen, menjadikan teknik ini sebagai pilihan
untuk deteksi ataupun diagnose penyakit. Selain itu PCR begitu spesifik karena
dapat mendeteksi mikroorganisme pada tingkat DNAnya. Selain itu PCR juga
sangat sensitive karena mampu mendeteksi satu partikel virus di dalam sel yang
terinfeksi dengan cara menigkatkan jumlah DNAnya sampai (Natsir, 2002 dalam
Masri, 2013).
2.7 Anatomi Histologi
Histologi adalah ilmu yang menguraikan struktur dari hewan atau
tumbuhan secara terperinci dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel
dan jaringan dan fungsi-fungsi yang mereka lakukan. Unit terkecil untuk makhluk
hidup yang mempunyai fungsi tertentu adalah sel, suatu kesatuan organisasi
yang mampu mempertahankan keutuhannya, daya penyesuaiannya terhadap
lingkungan diluar batas dirinya, serta susunan kimiawinya yang khas. Pada
dasarnya, sel adalah suatu wadah bagi susunan kimiawi yang rumit, yang akan
terganggu sifatnya jika lingkungannya bebas masuk ke dalam sel itu
(Bevelander, 1988).
Histologi mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan dan sel
dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia. Zat-zat kimia di dalam
jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia yang menghasilkan senyawa
berwarna tak dapat larut, diamati dengan mikroskop cahaya atau penghamburan
electron oleh presipitat yang dapat diamati menggunakan mikroskop electron.
Disamping reaksi kimia yang terjadi dalam jaringan, metode lain misalnya
metode fisis sering digunakan, misalnya mikroskop interfensi yang
memungkinkan penentuan massa sel atau jaringan dan mikroskop
spektrofotometri yang memungkinkan penentuan jumlah DNA dan RNA dalam
sel (Harjana, 2011).
Pemeriksaan histologi merupakan suatu teknik pemeriksaan dengan
mempelajari perubahan abnormal sel atau jaringan yang digunakan untuk
menentukan peneguhan diagnosa penyakit pada ikan (mohammad et al., 2012).
Pemeriksaan secara histopatologi merupakan pendukung suatu diagnose dan
dapat menjadi pemeriksaan diagnose utama suatu penyakit dengan
ditemukannya perubahan suatu sel atau jaringan yang patognomonik akibat
suatu penyakit tertentu. Pada saat yang bersamaan pemeriksaan histopatologi
dapat merupakan pemeriksaan lanjutan dari penyakit parasite pada insang ikan.
Hal tersebut karena gejala klinis dan lesi patologis anatomis yang terjadi pada
insang seringkali diakibatkan oleh adanya perubahan lingkungan perairan secra
ekstrim (Sudaryatma dan Eriawati, 2012).
2.7.1 Jenis Perubahan Histologi
Hermoragi (hermorrhage) adalah sebuahh keadaan kehilangan darah
yang abnormal (varney et al., 2004). Suatu zat toksik seperti logam berat dapat
mempengaruhi permeabilitas sel dan mengakibatkan keterbatasan system
transportasi ion sehingga mengganggu trasnportasi cairan dari dan kedalam
membran sel, hal ini juga berakibat pada hancurnya sel darah akibat kerusakan
kapiler darah dan menyebabkan hermorrhage (Hadi dan Alwan, 2012). Lisis
artinya hancurnya sel karena robeknya membrane plasma. Terjadinya lisis
dikarenakan proses osmosis. Sel yang mempunyai sitoplasma pekat bila berada
dalam kondisi hipotonik akan kemasukan air hingga tekanan osmosis dalam sel
akan menjadi tinggi. Keadaan demikian akan memecah sel tersebut (Noferi,
2010). Sedangkan vakuolisasi inti adalah perubahan keseimbangan cairan dalam
sel akibat bertambahnya cairan. Vakuolisasi ditandai dengan inti yang tampak
membesar dan bergelembung serta khromatinnya jarang dan tidak eosinophil
(simanjutak, 2010).
Thrombosis adalah hsil dari aktivitas kaskade koagulasi dalam pembuluh
darah atau jantung dari hewan hidup. Massa yang dihasilkan adalah thrombus.
Thrombus menyumbat aliran darah, sehingga jaringan kekurangan darah.
Iskemia (kekurangan oksigen darah), mengakibatkan nekrosis pada jaringan.
Thrombus dapat terbagi-bagi, kemudian melepaskan emboli ke dalam sirkulasi.
Pada akhirnya dapat tersangkut di pembuluh darah kecil menghalangi aliran
darah, dan menyumbat nekrosis iskemik (Mumford et al., 2007).
Menurut Sunarto (2007), membedakan dan mengembangkan suatu
metode untuk mengevaluasi tingkat kerusakan yang terjadi pada suatu jaringan
organisme yang berhubungan dengan pengaruh pencernaan, yaitu :
1) Edema merupakan pembengkakan pada jaringan dan terjadi penimbunan
cairan di dalam tubuh.
2) Hiperplasia merupakan pembentukan jaringan secara berlebihan akibat
bertambahnya jumlah dan ukuran sel
3) Fusi merupakan menyatunya jaringan ataupun del tertentu
4) Atropi merupakan penyusutan pada sel maupun jaringan sehingga
tampak lebih kecil dari awalnya
5) Nekrosis hampir seluruh struktur jaringan mengalami kerusakan ataupun
kematian sel (suatu keadaan dimana sel dan jaringan mempunyai aktifitas
yang rendah dan kadang mati).
6) Kongesti (pembendungan) pada pembuluh darah yaitu meningkatnya
jumlah darah dalam pembuluh yang ditujukan dengan kapiler darah
tampak melebar yang penuh berisi eritrosit.
Kongesti dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan akibat trauma, toksin
atau mikroorganisme.
2.8 Parameter Kualitas Air
2.8.1 Suhu
Suhu adalah faktor yang sangat penting bagi proses metabolisme
organisme di lingkungan perairan. Fluktuasi suhu yang tinggi atau perubahan
suhu yang ekstrim dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup dalam air
bahkan dapat mengakibatkan kematian. Suhu di perairan akan mengalami
perubahan yang berbanding lurus dengan musim, letak lintang, ketinggian, waktu
pengukuran, dan kedalaman air. Suhu perairan mempunyai peranan penting
dalam mengatur kehidupan organisme perairan, terutama dalam proses
metabolism yang dilakukannya. Tingginya suhu menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen terlarut dalam air, tetapi juga mengakibatkan
turunnya oksigen terlarut dalam air. Maka dari itu pada kondisi tersebut
organisme air seringkali kesulitan dalam memenuhi kadar oksigen terlarut untuk
proses metabolism dan respirasi yang di perlukan untuk bertahan hidup (Effendi,
2003).
Suhu berdampak secara langsung pada pertumbuhan organisme dalam
air, yakni pada proses fotosintesis tumbuhan air, dan proses fisiologis hewan air,
terutama derajat metabolism dan siklus reproduksinya. Suhu secara tidak
langsung berpengaruh terhadap kelarutan karbondioksida yang digunakan untuk
proses fotosintesis dan ketersediaan oksigen terlarut dalam air yang diperlukan
untuk respirasi organisme air. Menurut hukum Vant Hoffs, kenaikan temperatur
sebesar 10oC akan meningkatkan laju metabolism organisme sebesar 2-3 kali
lipat. Akibatnya laju metabolism meningkat dan menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat, sementara itu dengan peningkatan temperature juga akan
mengakibatkan oksigen terlarut dalam air menjadi menurun (Barus, 2004).
2.8.2 Salinitas
Boyd (1982), salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam
air. Komposisi ion-ion pada air laut dapat dikatakan mantap dan didominasi oleh
ion-ion tertentu seperti khlorida, karbonat, bikarbonat, sulfat, natrium, kalsium
dan magnesium. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang
terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (permil,
gram per liter). Menurut Tim Peneliti Udana (2009), parameter-parameter
ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu salinitas antara 30 33
ppt (Nontji, 1986).
2.8.3 pH
Derajat keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air
karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air.
Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu,
sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut
sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan ikan (Effendi, 2003).
Untuk nilai pH yang sesuai untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,5,
sedangkan nilai yang baik untuk oksigen yang terlarut dalam air untuk
menunjang kehidupan organisme di dalam air yaitu minimal 2 ppm dan nilai
moniak yang tidak berbahaya untuk kelangsungan hidup ikan yaitu tidak melebihi
dari 1 ppm (Setyadi, 2007).
2.8.4 Dissolve Oxygen (DO)
Oksigen dibutuhkan organisme untuk menghasilkan energy yang penting
bagi pencernaan dan asimilasi makanan pemeliharaan keseimbangan osmotic,
dan aktivitas lainnya. Apabila persediaan oksigen terlarut di perairan sedikit maka
perairan tersebut tidak baik bagi kehidupan ikan dan makhluk hidup disekitarnya,
karena akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air tersebut.
Kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/l sudah cukup mendukung kehidupan
organisme perairan secara normal (Wardana, 1995).
Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologis organisme air terutama
adalah dalam proses respirasi. Konsentrasi oksigen terlarut berpengaruh secara
mutlak terhadap organisme air yang memang membutuhkan oksigen terlarut
untuk respirasinya. Konsumsi oksigen terlarut bagi organisme air sangat
berfluktuasi mengikuti proses-proses hidup yang dilaluinya. Pada umumnya
konsumsi oksigen terlarut bagi organisme air ini akan mencapai maksimum pada
masa-masa reproduksi berlangsung. Konsumsi oksigen juga dipengaruhi oleh
konsentrasi oksigen terlarut dalam air (Barus, 2004).
2.9 Klasifikasi dan Morfologi Spirulina platensis.
Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat
ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar
(Ciferri, 1983). Ciri-ciri morfologinya yaitu filamen yang tersusun dari trikoma
multiseluler berbentuk spiral yang bergabung menjadi satu, memiliki sel berkolom
membentuk filamen terpilin menyerupai spiral, tidak bercabang, autotrof, dan
berwarna biru kehijauan (Gambar 1).
Bentuk tubuh Spirulina sp. yang menyerupai benang merupakan
rangkaian sel yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis, berdiameter
1- Spirulina sp. hidup berdiri sendiri dan dapat bergerak bebas
(Tomaselli, 1997). Spirulina sp. berwarna hijau tua di dalam koloni besar yang
berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Spirulina sp. memiliki struktur trichoma
spiral dengan filamen filamen bersifat mortal dan tidak memiliki heterosit. Sel
Spirulina sp. berukuran relatif besar yaitu 110
pemanenan dengan menggunakan kertas saring lebih mudah (Borowitzka M.A.,
1988). Klasifikasi Spirulina sp. menurut Bold dan Wyne (1985) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Protista Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscilatoriaceae Genus : Spirulina Spesies : Spirulina sp.
Gambar 1. Spirulina sp. (Sumber: Henrickson, 1989)
Struktur sel Spirulina sp. hampir sama dengan tipe sel alga lainnya dari
golongan cyanobacteria. Dinding sel merupakan dinding sel gram-negatif yang
terdiri dari 4 lapisan, dengan lapisan utamanya tersusun dari peptidoglikan yang
membentuk lapisan koheren. Peptidoglikan berfungsi sebagai pembentukan
pergerakan pada Spirulina sp. yang membentuk spiral teratur dengan lebar
belokan 26- -sel pada trichoma memiliki lebar 6-
(Eykelenburg, 1977). Bagian tengah dari nukleoplasma mengandung beberapa
karboksisom, ribosom, badan silindris, dan lemak. Membran tilakoid berasosiasi
dengan pikobilisom yang tersebar disekeliling sitoplasma. Spirulina sp.
mempunyai kemampuan untuk berfotosintesis dan mengubah energi cahaya
menjadi energi kimia dalam bentuk karbohidrat (Mohanty et al., 1997).
2.10 Pemanfaatan Mikroalga Spirulina sp.
Pemanfaatan mikroalga Spirulina sp. sebagai makanan kesehatan sudah
banyak dilakukan. Selain mudah dicerna, mikroalga ini mengandung senyawa-
senyawa yang diperlukan oleh tubuh, seperti protein, lipid, karbohidrat, asam
lemak tidak jenuh, vitamin-vitamin, mineral, asam amino, dan beberapa jenis
pigmen yang sangat bermanfaat. Pada beberapa negara tertentu seperti
Spanyol, Switzerland, Australia, Jepang, dan Amerika, mikroalga telah
dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan bubuk keringnya dijadikan sebagai
makanan kesehatan yang dipasarkan (Henricson, 2009).
Analisis kimia dari Spirulina sp. dimulai pada tahun 1970 yang
menunjukkan Spirulina sp. sebagai sumber yang sangat kaya protein, vitamin
dan mineral. Kandungan protein pada Spirulina sp. bekisar antara 60% -70% dari
berat kering, -karoten yang kaya
vitamin B12 dan digunakan dalam pengobatan anemia, kandungan lipid sekitar
4-7%, serta karbohidrat sekitar 13,6% (Carrieri et al., 2010).
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi penelitian ini yaitu kualitas histologi ikan Kerapu pada bak bak
pemeliharaan yang terinfeksi VNN dengan treatmen makroalga Spirulina
platensis. Kualitas air yang dianalisis meliputi suhu, pH, salinitas, dan Dissolved
Oxygen (DO).
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada
Lampiran 1.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan
eksperimental yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai situasi atau
kejadian-kejadian. Pada metode ini pengambilan data dilakukan tidak hanya
terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tapi juga meliputi analisis dan
pebahasan dari data tersebut. Metode ini bertujuan untuk membuat
penggambaran secara sistematis, nyata data akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi suatu daerah tertentu (suryabrata, 1994).
Menurut Jaedun (2011), metode eksperimen merupakan penelitian yang
dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan cara pemberian
treatment/perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian guna membangkitkan
sesuatu kejadian/keadaan yang akan diteliti dan bagaimana akibatnya. Metode
eksperimen memiliki beberapa karakteristik yaitu metode eksperimen satu-
satunya metode penelitian yang dianggap paling dapat menguji hipotesis sebab-
akibat, metode eksperimen memberikan pengujian hipotesis yang paling ketat
dibanding jenis penelitian lainnya dan metode eksperimen digunakan untuk
mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap dampaknya dalam kondisi yang
terkendalikan.
3.4 Data Penelitian
Data adalah informasi atau keterangan mengenai suatu hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini data yang diambil
meliputi data primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer
Data primer data yang secara langsung di kumpulkan oleh penelitian dari
sumber pertamanya (suryabrata, 1994). Data ini dapat diperoleh langsung
dengan melakukan pengamatan dari pencatatan hasil observasi, serta
wawancara.
a. Observasi
Metode observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki. Ada tanpa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan meskipun objeknya orang (marzuki, 1983).
Observasi dilakukan dengan mengamati dan memotret mengenai
gambaran kerusakan histopatologi pada ikan kerapu yang telah terinfeksi VNN
serta pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, pH, Salinitas,
Dissolved Oxygen (DO).
b. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk tujuan tugas tertentu mencoba mendapatkan
informasi secara lisan dari responden dengan berdialog langsung dengan
responden tersebut (Salim, 2009). Dalam hal ini kegiatan wawancara dilakukan
untuk penggalian informasi yang mendalam terkait mengenai penyakit yang
sering menyeran pada media pemeliharaan ikan kerapu, serta wawancara
secara langsung terhadap para ahli histopatologi pembuatan preparat sampel
histopatologi ikan kerapu dengan pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin).
c. Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif adalah melakukan pengamatan dengan cara melibatkan
diri secara langsung atau menjadi bagian dari lingkungan social pada organisasi
yang sedang diamati (indriantoro dan supomo, 1999). Pada penelitian ini,
partisipasi aktif dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung
kualitas air baik parameter fisika, kimia, dan biologi.
d. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan gembar. Teknik ini berguna untuk memperkuat data-data yang
telah diambil dengan menggunakan teknik pengambilan data sebelumnya. Dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengambil gambar atau dokumentasi hasil
pengamatan ikan kerapu ketika dilakukan diagnosis dengan menggunakan teknik
polymerase chain reaction (PCR) dan pengamatan histopatologi ikan kerapu
yang terinfeksi VNN dan kegiatan pengukuran kualitas air baik parameter fisika,
kimia, dan biologi.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber yang dapat
dipakai untuk menunjang keberadaan informasi data primer yang dijadikan
informasi utama. Kepentingan data sekunder adalah untuk membuat (a) latar
belakang masalah penelitian, sehingga laporan penelitian lebih memiliki
dukungan data yang dapat memperkuat citra akademisi (b) untuk jenis penelitian
kepustakaan dan studi kajian buku (referensi), maka data sekunder merupakan
informasi utama (Salim, 2009). Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan
dari laporan hasil uji (LHU) mengenai uji pendahuluan organ mata dan otak yang
terinfeksi VNN menggunakan teknik PCR, penyusunan laporan didukung dengan
buku-buku, jurnal, majalah, laporan PKL atau skripsi, situs internet serta data
diperoleh dari instansi.
3.5 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini yaitu meliputi prosedur kultur Spirulina platensis,
prosedur perhitungan kelimpahan sel, prosedur aklimatisasi ikan kerapu cantang
,prosedur Treatment Spirulina platensis dan infeksi Viral Nervous Necrossis
(VNN), prosedur analisis kualitas air, prosedur Polymerase Chain Reaction
(PCR), prosedur analisis histopatologi.
3.5.1 Prosedur Kultur Spirulina platensis
Kultur Spirulina platensis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kultur
skala intermediate menggunakan menggunakan wadah aquarium 150 liter dan
bak fiber 500 liter dan 1000 liter. Menurut Sari dan Abdul (2012), kultur Spirulina
platensis skala intermediate di Balai Peikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Situbondo yaitu:
1. dibersihkan aquarium, bak fiber, selang dan batu aerasi.
diisi air laut bersalinitas 30-32 ppt dengan selang spiral yang diberi filter bag
sebagai penyaring air laut.
3. disterilisasi air laut menggunakan larutan chlorin (Cl2) 20 ppm kemudian
diaerasi kuat agar chlorin (Cl2) tercampur merata sehingga dapat
mematikan organisme-organisme patogen selama 15 menit.
4. dinetralkan sisa chlorin (Cl2) dalam media dengan natrium thiosulfat
(Na2S2O3) 10 ppm.
5. ditambahkan pupuk walne dengan dosis 1ml/L .
6. dimasukan starter atau bibit Spirulina platensis dengan kepadatan awal
kultur sekitar 2 juta sel/ml
diamati perkembangannya (perubahan warna,adanya gelembung/berbusa)
selama kultur, karena ruangan yang digunakan semi terbuka sehingga lebih
rentan terjadi kontaminasi.
8. dipanen Spirulina platensis setelah usia kultur 6-7 hari pemeliharaan, namun
apabila sebelum waktunya terjadi perubahan warna atau berbusa maka
segera dilakukan pemanenan.
3.5.2 Prosedur Perhitungan Kelimpahan Sel
Prosedur perhitungan kelimpahan sel Spirulina platensis menggunakan
hemacytometer dan alat bantu handcounter. Hemacytometer merupakan suatu
alat yang terbuat dari gelas dibagi menjadi kotak-kotak pada dua tempat bidang
pandang Sari dan Abdul (2012). Adapun Prosedur Perhitungan kelimpahan sel
Spirulina platensis adalah sebagai berikut:
1. diteteskan kultur sel mikroalga yang akan dianalisa kepadatan selnya
sebanyak satu tetes ke masing-masing dua bagian haemocytometer.
2. ditutup dengan menggunakan slide.
3. diletakan haemocytometer di bawah lensa objektif dan difokuskan hingga
terlihat kisi-kisi tempatperhitungan sel yang terdiri dari lima kisi perhitungan.
4. dihitung jumlah sel plankton menggunakan rumus berikut:
3.5.3 Prosedur Ekstraksi Viral Nervous Necrosis (VNN)
Diambil ikan kerapu yang sudah terinfeksi VNN
2. Digerus menggunakan mortart dan alu sampai halus
3. Ditimbang ikan yang sudah digerus
4. Ditambahkan Phosphat Buffer Saline 1 : 9 kemudian dihomogenkan
5. Dimasukan kedalam cuvet kemudian di-centrifuge dengan kecepatan 12000
rpm selama 15 menit
6. Dipisahkan supernatan dan pellet
7. Dimasukan supernatan ke dalam media perlakuan
3.5.4 Prosedur Aklimatisasi Ikan Kerapu cantang
Ikan uji yang digunakan yaitu ikan kerapu cantang yang berukuran 7
sampai 10 cm berjumlah 6 ekor dan ikan kerapu cantang ukuran 2-3 cm
sebanyak 10 ekor. Jumlah ikan per media 16 ekor. Aklimatisasi dilakukan di
BPBAP Situbondo. Menurut Yanuhar (2013), prosedur aklimatisasi pada ikan
kerapu tikus yang (Cromileptes altivelis) yaitu, ikan tidak langsung diberikan
Treatment, karena memerlukan adaptasi terhadap media pemeliharaanya yang
baru. Treatment diberikan setelah ikan terlihat sehat dan agresif. Treatment
diberikan secara adlibitum yaitu pemberian Treatment seikit demi sediki sampai
ikan kenyang tujuan nya yaitu menghidnari adanya pengendapan sisa Treatment
yang tidak dimakan pada dasar kolam sehingga mengakibatkan kolam ikan
mengalami penurunan kualitas air, Setelah itu dilakukan pengukuran parameter
kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut untuk menjaga agar
kondisi lingkungan ikan kerapu tikus tetap terjaga.
3.5.5 Prosedur Treatment Spirulina platensis Dan Infeksi Viral Nervous Necrossis (VNN)
Untuk melihat pengaruh pemberian Spirulina platensis dan infeksi Viral
Nervous Necrossis (VNN) pada ikan kerapu cantang pada penelitian ini dilakukan
3 perlakuan dan 1 kontrol:
1. dibuat Ikan kontrol yang merupakan ikan kerapu sehat yang dipelihara
dengan pemberian Treatment seperti biasanya (tidak ada pemberian
Spirulina platensis maupun penginfeksian virus).
2. dibuat perlakuan 1 (ikan kerapu + Spirulina platensis) : ikan kerapu cantang
yang diberi Treatment normal dengan dosis yang disesuaikan dengan berat
badan dan diberi perlakuan Spirulina platensis dengan kepadatan 102 , 104,
dan 106.
3. dibuat perlakuan 2 (ikan kerapu + VNN) : ikan kerapu cantang yang diberi
perlakuan dengan penginfeksian Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan
dosis yang disesuaikan dengan berat badan. Penginfeksian dilakukan
dengan memberikan Treatment yang dicampur dengan daging ikan kerapu
positif Viral Nervous Necrosis (VNN) yang telah di ekstraksi terlebih dahulu.
4. dibuat perlakuan 3 (ikan + Spirulina platensis + VNN) : ikan kerapu cantang
yang diberi Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 102 , 104, 106
dan infeksi VNN dengan menambahkan daging ikan positif VNN sebagai
campuran Treatment pada hari ke-3, ke-6, dan ke-9.
Denah percobaan penelitian ini digunakan untuk membuat rancangan
penelitian sebagaimana yang terlihat di Tabel 1.
Tabel 1. Denah Percobaan Penelitian
K S1 S2 S3
V SV1 SV2 SV3
Keterangan : K = Kontrol
S1 = Treatment Pemberian Spirulina platensis 102
S2= Treatment Pemberian Spirulina platensis 104 S3= Treatment Pemberian Spirulina platensis 106
SV1= Treatment Pemberian Spirulina platensis 102 + VNN
SV2= Treatment Pemberian Spirulina platensis 104 + VNN
SV3= Treatment Pemberian Spirulina platensis 106 + VNN V = Treatment Pemberian VNN
3.6 Prosedur Analisis Kualitas Air
Parameter kualitas air yang dianalisis pada penelitian ini antara lain
parameter fisika dan parameter kimia. Parameter yang diukur meliputi suhu, pH,
Salinitas, dan oksigen terlarut (DO).
3.6.1 Prosedur pengukuran Parameter Fisika
a. Suhu
Langkah langkah untuk mengukur suhu menurut Bloom (1998) sebagai
berikut:
1) Memasukkan thermometer Hg ke dalam perairan sekitar 10 cm dan
ditunggu sekitar 2 menit sampai air raksa dalam skala termometer
menunjuk atau berhenti pada skala tertentu
2) Mencatat dalam skala 0C
3) Membaca skala pada saat thermometer masih di dalam perairan dan
jangan sampai tangan menyentuh termometer.
b. Salinitas
Kordi (2005), menjelaskan pengukuran salinitas dilakukan dengan
menggunakan alat refraktometer, adapun cara pengukuran salinitas adalah:
1. Mengangkat penutup kaca prisma
2. Meletakkan 1-2 tetes air yang akan diukur
3. Menutup kembali denganhati-hati agar jangan sampai terjadi
gelembung udara dipermukaan kaca prisma
4. Melihat kaca pengintai dan akan terlihat pada lensa nilai atau salinitas
dari air yang sedang diukur
5. Membersihkan permukaan prisma setelah selesai digunakan
6. Melihat nilai salinitasnya dari air yang diukur melalui kaca pengintai.
3.6.2 Prosedur Pengukuran Parameter Kimia
a. pH
Langkah langkah untuk mengukur pH dengan menggunakan alat
berupa pH meter menurut Untung dan Perkasa (2002) sebagai berikut:
1) menyiapkan pH meter
2) masukkan pH meter ke dalam aquades untuk mensterilkan alat dan
mengkalibrasi pH meter, jika layar alat menunjukkan angka kurang atau lebih
dari 7 maka sekrup di bagian belakang alat diputar dengan obeng kecil
hingga layar memperlihatkan tepat angka 7
3) memasukan bagian pH meter ke dalam sampel air yang akan diukur nilai
pHnya
4) tekan tombol pada pH meter
5) pada layar akan tampil angka yang menunjukkan kondisi pH air yang diukur
d. Dissolved Oxygen (DO)
Langkah langkah untuk mengukur DO menurut Rovita et. al., (2012)
sebagai berikut:
1) Memasukkan DO meter ke dalam perairan
2) Ditunggu hingga skalanya stabil
3) Dibaca hasil oksigen terlarutnya pada DO meter
3.7 Prosedur Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pengujian PCR dilakukan untuk mengetahui ikan sampel positif atau
negatif terinfeksi VNN. Adapun prosedur pengujian Polymerase Chain Reaction
(PCR) yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.8 Pembuatan Preparat dan Pengamatan di Mikroskop
Dara pembuatan preparat (slide) jaringan mengacu pada pernyataan
menurut angka, et al. (1990) yaitu :
1) Mengambil sampel organ menggunakan pinset agar jaringan tidak rusak.
Organ ikan disayat membentuk persegi panjang dengan ketebalan 5 mm
agar bahan fiksatif dapat meresap sempurna. Sampel jaringan yang
diperoleh direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam, perendaman
dilakukan sebanyak 15-20 kali volume jaringan dan dilanjutkan dengan
dehidrasi.
2) Membuang larutan fiksatif, kemudian alcohol 70% dimasukkan ke dalam
botol film hingga jaringan terendam, selanjutnya organ diambil dari dalam
botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa lalu diikat
menggunakan benang yang dibentuk seperti the celup, agar
memudahkan dalam proses pergantian alkohol setelah 24 jam. Organ
yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tissue lalu
dimasukan ke dalam botl berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing
selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara yang
sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.
3) Proses clearing yaitu merendam jaringan dalam alkohol-xylol (1:1) selama
30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masing-masing
selama 30 menit. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.
4) Tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan paraffin cair yang
berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 C. Proses ini dilakukan
dengan perendaman jaringan kedalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan
dalam gelas piala selama 45 menit. Mengeblok jaringan yang telah di
embedding dalam paraffin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong)
dengan paraffin cair, kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan
cetakkan yang dapat dibuat dari kertas kaku, seperti kertas kalender
dengan ukuran 2x2x2 cm. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakkan
hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit
membeku.
5) Menyusun jaringan dalam cetakan dengan bagian sayatan yang
diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi paraffin cair hingga
material jaringan terendam selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang
selama 24 jam. Setelah paraffin beku dengan sempurna, blok paraffin
dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong tipis menggunakan silet bermata
satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.
6) Memulai pemotongan jaringan dengan meletakan blok paraffin yang
mengandung preparat pada tempat duduknya di mikrotom. Pita-pita
paraffin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan
yang mengandung preparat jaringan. Hasil irisan diambil dengan jarum
lalu diletakkan di permukaan air hangat dalam 45 50 0C waterbath
hingga mengembang setelah pita paraffin terkembang dengan baik, pita
paraffin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat
perekat.
7) Memulai dewaxing dengan meletakan gelas objek yang berisi jaringan
dalam keranjang preparat yang ukuranya sesuai dengan gelas objek. Lilin
akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih selanjutnya
dilakukan hidrasi yang merupakan proses pemasukan air ke dalam
preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing.
8) Merendam jaringan pada gelas dalam alkohol 100% dalam wadah
perendaman, lalu secara berturur-turut dimasukkan ke dalam alkohol
95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing masing selama dua menit
dengan cara yang sama pula selanjutnya preparat jaringan direndam
kedalam akudes selama dua menit,
9) Memberi pewarna hematoksilin-eosin pada preparat jaringan. Merendam
preparat jaringan dengan pewarna hematoksilin-eosin selama 7 menit
kemudian mencuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan
zat warna yang tidak diserap. Merendam preparat jaringan dengan
pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci dengan akuades. Preparat
jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 855, 90%, dan 100%
masing masing dilakukan selama dua menit, selanjutnya preparat
jaringan direndam dalam xylol I dan Xylo II masing-masing dengan durasi
selama dua menit.
10) Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat melakukan pembuatan
preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting
agent seperti enthelan. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup
yang sudah ditetesi enthelan dan dikeringkan dalam oven pada sush 40
0C selama 24 jam.
11) Mengamati preparat histologi dengan menggunakan mikroskop dengan
perbesaran mulai dari 40 kali hingga 1000 kali sesuai dengan kejelasan
objek.
12) Dokumentasi menggunakan kamera untuk dijadikan bahan analisis
deskriptif.
3.9 Analisis data
Analisa data pada penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK) dengan 3 kali pengulangan. Langkah awal adalah menghitung banyaknya
kerusakan vakuolisasi, hemorrage dan nekrosis. Selanjutnya data dianalisa
dengan menggunakan cara statistik yaitu analisa keragaman (ANOVA), dengan
tujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pemberian treatment. Apabila
dari analisa keragaman (sidik ragam) diketahui bahwa perlakuan menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata atau sangat berbeda nyata, maka untuk
membandingkan nilai dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT), untuk
mengetahui perlakuan yang mana yang berbeda. Model persamaan RAK adalah
sebagai berikut:
Keterangan : Yij =respon perlakuan ke-I serta ulangan ke-j I = perlakuan J = Ulangan i = pengaruh kelompok/blok ke -i µ = nilai rata-rata umum i = Pengaruh dari perlakuan ke-i (ij) = komponen acak
Langkah selanjutnya, data yang diperoleh dari penelitian diuji menggunakan
analisa sidik ragam. Tabel analisa sidik ragam untuk desain eksperimen
tersarang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam
Perlakuan Ulangan total Rata-rata 1 2 3
K K1 K2 K3 TK TK/3 V V1 V2 V3 TV TV/3
S 102 (S 102)1 (S 102)2 (S 102)3 TS102 TS1/3
S 104 (S 104)1 (S 104)2 (S 104)3 TS104 TS2/3 S 106 (S 106)1 (S 106)2 (S 106)3 TS106 TS3/3
SV 102 (SV102)1 (SV102)2 (SV102)3 TVS102 TSV1/3 SV 104 (SV104)1 (SV104)2 (SV104)3 TVS104 TSV2/3 SV 106 (SV106)1 (SV106)2 (SV106)3 TVS106 TSV3/3
Total T
Keterangan = 1, 2,dan 3 adalah ulangan (r) 1 = Nekrosis 2 = Vakuolisasi
3 = Hemorrage K,V,S102,S104,S106,SV102,SV104,dan SV106 adalah perlakuan (t) Dari data diatas maka dapat dihitung nilai dari:
Faktor koreksi (FK) = y2/tr = ( yij)2 /tr
Jumlah kuadrat total (JKT) = yij2 FK
Jumlah Kuadrat kelompok (JKK) =( y.j2)/t FK
Jumlah kuadrat perlakuan (JKP) =( yi.2 )/r FK
Jumlah kuadrat galat (JKG) = JKT JKP
Kuadrat Tengah (KT) =Jumlah Kuadrat /derajat bebas
Berdasarkan perhitungan tersebut, selanjutnya dapat dilakukan analisa
keragaman untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Adapun uraian analisa
keragaman dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Analysis of Varian (ANOVA)
Jika F hit > F tabel 5% maka perlakuan berbeda nyata
Jika F hit < F tabel 5% maka tidak berbeda nyata
Apabila sidik ragam diperoleh hasil berbeda nyata atau berbeda sangat
nyata, maka harus dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dari masing-masing
perlakuan. Rumus perhitungan uji BNT sebagai berikut :
BNT 5% = t tabel 5% DBG x LSD Kesimpulan:
Jika BNT 5% < selisih < BNT 1% maka berbeda nyata
SK DB JK KT Fhit Ftabel
5% Perlakuan i-1 JKP JKP/DBP KTP/KTG DBP,DBS
Kelompok j-1 JKK JKK/DBK KTK/KTS DBK,DSB
Galat Ij (i+j) +1
JKG JKG/DBG
Total ij-1 JKT
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Treatment Spirulina platensis pada Ikan kerapu
Treatment yang dilakukan pada media pemeliharaan ikan kerapu
dilakukan selama 2 minggu (14 hari). Ikan kerapu catang berukuran 7-10 cm
yang memiliki berat rata rata 34 gram dijadikan ikan uji. Treatment Spirulina
platensis pada ikan kerapu cantang dilakukan dengan mencampurkan Spirulina
platensis pada media pemeliharaan ikan kerapu cantang. Dosis yang diberikan
pada treatment Spirulina yaitu kepadatan 102, 104, dan 106.
4.2 Pertumbuhan Spirulina platensis
Pertumbuhan sel ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau pada
media pemeliharaan ikan kerapu cantang. Penentuan pola pertumbuhan
Spirulina dilakukan dengan cara sampling untuk menghitung kepadatan sel
menggunakan Haemocytometer. Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu
peningkatan masa sel dan disertai ukurannya oleh sintesis makromolekul yang
menghasilkan struktur baru (Becker 1994).
Gambar 2. Grafik pertumbuhan Spirulina
Keterangan: S10^4 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 104
S10^6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV10^4 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV10^6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Pada keempat perlakuan, pertumbuhan S. platensis dilihat dari produksi
biomassa pada medium air perlakuan menunjukkan bahwa pertumbuhan pada
setiap perlakuan mengalami fase lag terlebih dahulu pada 3-4 hari periode awal
pengamatan. Pada fase lag, sel melakukan penyesuaian dengan lingkungan
baru dan terjadi penundaan pertumbuhan sel (Wijoseno, 2011). Selanjutnya,
biomassa kultur S. platensis mengalami peningkatan hingga hari ke-7 atau sel
memasuki fase eksponensial. Pada fase ini, pertumbuhan dan aktivitas sel dalam
keadaan maksimum dimana sel terus bereproduksi didukung oleh nutrisi, pH,
dan salinitas pada medium yang masih dapat memenuhi kebutuhan fisiologis S.
platensis. Produksi biomassa cenderung konstan hingga hari ke-9, kemudian
mengalami penurunan dimana sel telah memasuki fase kematian. Penurunan
jumlah biomassa sel dapat diakibatkan oleh ketersediaan nutrisi yang semakin
menipis yang menghambat pertumbuhan S.platensis (Suantika dan
Hendrawandi, 2009).
4.3 Status Histologi Organ Mata dan Otak Ikan Kerapu Cantang
Pengamatan histologi mata dan otak kerapu cantang dilakukan dengan
cara membuat preparat tipis yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin,
kemudian diamati menggunakan mikroskop binokuler merk Olympus BX41 dan
difoto dengan menggunakan kamera digital. Analisis dilakukan untuk
menemukan jumlah kerusakan pada sel dan membandingkan dengan kondisi
jaringan pada ikan kontrol dan ikan yang hanya diberi treatment S. platensis.
Gambar 3. Struktur jaringan mata Ikan kerapu Cantang
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN S102 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 102
S104 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S106 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV102 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
VA
VA
HE
N
N
VA
HE
HE
N
VA
N
SV104 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV106 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Pada mata ikan kerapu dengan perbesaran 40X, mata ikan control dan
mata ikan dengan perlakuan treatment Spirulina saja kerusakan yang terjadi
hanya sedikit saja. Namun pada ikan dengan ekstraksi Viral Nervous Necrosis
(VNN), mengalami Nekrosis (N) serta pada ikan yang berada pada bak bak
pemeliharaan dengan treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 102, 104,
serta 106 dan penambahan infeksi paparan Viral Nervous Necrosis (VNN).
Ruang kosong pada sel ini merupakan kerusakan sel berupa Vakuolisasi (VA).
Vakuolisasi terjadi pada semua bak pemeliharaan dengan treatment Spirulina
platensis dengan penambahan ekstraksi VNN pada bak pemeliharaan.
Sedangkan kerusakan berupa hemorage hanya terjadi pada bak pemeliharaan
dengan penambahan ekstraksi VNN dan treatment Spirulina platensis pada
semua kepadatan yaitu 102, 104, dan 106. Kerusakan jaringan yang terjadi pada
mata merupakan akibat dari infeksi ekstraksi VNN yang diberikan pada perlakuan
bak bak pemeliharaan. VNN dapat merusak sel jeringan berupa kerusakan
nekrosis, vakuolisasi, dan hemorage pada ikan yang terserang VNN. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Putri et al. (2013), bahwa Virus VNN menginfeksi ikan
kerapu dengan mengeluarkan toksin yang menyebabkan aliran darah yang
bertugas mengedarkan nutrisi terganggu sehingga suplai nutrisi berkurang dan
menyebabkan pengecilan volume sel (atrofi). Hal itu mengakibatkan pelemahan
pada syaraf mata ikan, selanjutnya mengakibatkan ikan menjadi buta dan
berenang abnormal (menabrak dinding kolam).
Menurut Plumb (1994), nekrosis adalah kematian sel atau suatu jaringan
yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan
tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis
akan mengalami pembengkakan. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agen-
agen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agen agen kimia atau terjadinya
gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah pada organ tersebut.
Hemoragi adalah suatu kondisi keluarnya darah akibat adanya kerusakan pada
dinding vaskula pada suatu jaringan (Smith dan Jones, 1961). Sedangakan
Vakuolisasi: merupakan sel yang mengalami kerusakan menyebabkan sel
hancur sehingga tertinggal sebagai ruangan kosong pada jaringan (Putri et al.,
2013).
Analisa histologi juga dilakukan pada jaringan otak. Analisa histologi
jaringan otak ikan kerapu ini bertujuan untuk melihat kerusakan yang ditimbulkan
oleh infeksi virus VNN, biasanya ikan yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis VNN
akan mengalami kerusakan syaraf sehingga ikan berenang tidak beraturan. Otak
merupakan organ yang sering terpapar oleh Viral Nervous Necrosis VNN dan
organ penting dalam hubungannya dengan kondisi ikan. Viral Nervous Necrosis
(VNN) dapat masuk ke dalam otak melalui system sirkulasi darah. Apabila terjadi
infeksi ikan akan menunujukan gejala gejala pada tubuh dan tingkah lakunya.
Melalui pengamatan histopatologi akan didapatkan perubahan sel, jaringan dan
organ yang terinfeksi suatu penyakit sehingga dapat diketahui perbedaan sel,
jaringan maupun organ yang terinfeksi dan tidak terinfeksi. Struktur jaringan yang
normal maupun tidak normal dapat dipelajari secara mikroskopik dalam bentuk
preparat jaringan. Preparat ini dibuat melalui proses histopatologi (Panigoro et
al., 2007).
Adapun gambar histologi dari jaringan organ otak ikan kerapu yang
diwarnai dengan hematoksilin dan eosin, diamati dibawah mikrosokop binokuler
merk Olympus BX41 dan difoto dengan menggunakan kamera digital untuk
menentukan kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh paparan Viral Nervous
Necrosis (VNN) dapat dilihat pada Gambar 4 yang tertera dibawah ini:
Gambar 4. Histologi jaringan otak ikan kerapu
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN S102 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 102
S104 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S106 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV102 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
SV104 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV106 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
VAVA
VA
VA
HE
HE HE
HE
N
N
N
Gambar 4 diatas menunujukan perbedaan antara perlakuan pada bak yang
terinveksi virus VNN dan tidak terinveksi virus VNN. pada organ yang di tunjukan
ikan kontrol dan perlakuan Spirulina kerusakan tidak begitu nampak. Sedangkan
pada bak yang diperlakukan dengan virus VNN mengalami kerusakan yang
cukup parah. Sel dalam bak perlakuan VNN banyak mengalami Hemorage (H),
Vakuolisasi (V), dan Nekrosis (N). jumlah kerusakan yang diakibatkan juga tidak
sedikit. Hal ini menunjukan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh virus VNN
merupakan kerusakan yang sangat parah.
Menurut Tanaka et al. (1998), infeksi alami yang disebabkan oleh VNN
termasuk dalam tingkat akut/parah, dan terjangkitnya penyakit ini sangat hebat
ketika virus menyerang pada ikan yang stres akibat kepadatan yang tinggi dan
temperatur air yang tinggi dalam sistem budidaya. Apabila kerusakan terjadi pada
syaraf motorik dapat mengakibatkan terganggunya syaraf yang mengontrol
pergerakan dan keseimbangan ikan dalam berenang, sehingga terjadi perubahan
perilaku gerakan renang ikan menjadi berputar-putar (whirling). Vakuolisasi juga
ditemukan pada otak ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang mengalami
whirling akibatinfeksi bakteri Vibrio alginolyticus (Murdjani,2002).
4.4 Mekanisme Infeksi VNN pada Jaringan Organ Ikan Kerapu
Viral Nervous Necrosis VNN menginfeksi secara langsung terutama pada
organ mata dan otak. Sehingga target organ dari VNN dapat langsung
menimbulkan perubahan lesi histopatologi vakuola dan menimbulkan gejala klinis
ikan berenang berputar. Sel yang mengalami kerusakan (nekrosis) menyebabkan
sel hancur sehingga tertinggal sebagai ruangan kosong pada jaringan otak
karenaa adanya infeksi VNN. Ikan yang terinfeksi virus penyebab VNN
menyerang dengan mereplikasikan diri di sitoplasma atau di nucleus sel otot
kemudian menyebar dan bereplikasi di sistem saraf perifer dimana virus akan
langsung masuk ke dalam sistem saraf pusat (Sudaryatma et al. 2012). Hal ini
yang menyebabkan virus juga dapat menyebar ke seluruh organ yang bukan
merupakan target organ dari virus penyebab VNN sebagai tempat bereplikasi
virus. Virus menginfeksi larva dan juvenil ikan Halibut Atlantik (Hippoglossus
hippoglossus) pada sel sel saraf, makrofag, limfosit, sel myocardial, pembuluh
darah endothelium endokardial, usus, hati, insang, dan sirip pectoral (Grotmol et
al., 1999).
VNN menginfeksi organ mata ikan kerapu terjadi secara seketika/secara
langsung menyerang reseptor ikan karena VNN adalah virus yang tidak
mempunyai envelope, kemudian virus menyebar ke otak melalui sirkulasi darah.
Menurut Chi (2006), VNN menyerang otak melalui via sirkulasi darah.
Murphy et al. (2008) dalam Yanuhar (2011) menjelaskan bahwa VNN
secara langsung menempel pada reseptor dimana penempelan pada inang, virus
memasukkan materi genetik dalam sel inang atau infeksi intraseluler dengan
meninggalkan mantel protein di luar sel. Mantel protein adalah protein konstituen
struktur virion VNN, sehingga mantel protein adalah struktur penting. Mantel
protein tidak hanya berperan dalam asam nukleat virus VNN tetapi pada waktu
yang sama, protein memiliki status utama dalam proses infeksi pada sel sasaran.
4.5 Manfaat Spirulina dalam Mencegah Penyakit dan Virus
Berdasarkan hasil yang ditampilkan histologi organ kerapu mata dan otak
pada perlakuan ikan kerapu diberi treatment Spirulina platensis efek kerusakan
yang ditimbulkan oleh virus VNN (Viral Nervous Necrosis) masih rendah,
sehingga gejala klinis yang ditimbulkan tidak tampak secara sempurna atau
seluruhnya.
Spirulina mengandung bermacam-macam vitamin seperti vitamin B1, B3,
B6, B12, pro vitamin A dan vitamin E (Venkataraman, 1983). Spirulina platensis
merupakan alga hijau berfilamen yang sudah banyak digunakan sebagai sumber
Treatment alami untuk pembenihan larva udang, ikan dan krustase karena
memiliki nilai nutrisi yang tinggi. Kandungan protein Spirulina platensis adalah
60-70%, sekitar 85-95% dari protein tersebut dapat dicerna dengan baik,
sedangkan lemaknya cukup rendah yaitu 1,5-12% (Ciferri, 1983).
Berdasarkan kandungan proteinnya yang tinggi Spirulina platensis dapat
meningkatkan gizi ikan, sehingga sistem metabolisme tubuh ikan akan
meningkat, dengan meningkatnya sisitem metabolism tubuh ikan maka akan
mempercepat proses perbaikan sel yang rusak akan lebih baik. Potensi seperti
itu menyebabkan Spirulina dapat mencegah bahkan menyembuhkan beberapa
penyakit salah satunya yaitu Viral Nervous Necrosis (VNN).
4.6 Analisa Kualitas Air
4.6.1 Suhu
Suhu air menjadi faktor pembatas utama yang menentukan pertumbuhan
dan kehidupan ikan. suhu merupakan salah satu faktor penting untuk
kelangsungan kehidupan ikan di suatu perairan. Pada penelitian ini dilakukan
pengukuran suhu sebanyak tiga kali.
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran suhu
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN
S2 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 102
S4 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S6 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV2 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
SV4 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Gambar 5 diatas menunujukan hasil pengukuran suhu yang berkisar antara 23
26 oC. suhu terendah didapat pada pengukuran hari ke 9 perlakuan Spirulina
dengan kepadatan 102 dan hari ke 12 pada media kontrol yaitu 23,2 oC,
sedangkan suhu tertinggi didapat pada pengukuran hari ke 0 pada media
perlakuan VNN yaitu 26 oC. Rata rata suhu pada penelitian yang dilakukan pada
hari ke 0 sampai akhir yaitu 24,2 oC. Fluktuasi suhu yang terjadi selama
penelitian masih dianggap normal.
Perubahan temperatur yang terjadi selama penelitian masih dalam batas
layak bagi pertumbuhan Spirulina platensis. Temperatur yang dapat ditoleransi
oleh Spirulina platensis adalah 20-40 oC dengan temperature optimum antara 25-
35 oC. Temperatur mempengaruhi semua aktifitas metabolisme, keberadaan dan
pengambilan nutrient (Vonshak, 1997). Ikan kerapu termasuk kedalam
warmwater fish dengan suhu pemeliharaan optimum 20 30oC, dapat hidup
pada perairan payau dan laut (Mackie, 2000).
4.6.2 Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam
air laut. Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi
salinitas, akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Biota yang hidup di air
asin harus mampu menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari
lingkungannya. Pada penelitian yang dilakukan pengukuran salinitas
menggunakan alat refraktometer. Berikut adalah hasil dari pengukuran salinitas
yang didapatkan.
Gambar 6. Grafik hasil pengukuran Salinitas
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN S2 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 102
S4 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S6 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV2 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
SV4 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Gambar 6 menunjukan hasil pengukuran salinitas pada media pemeliharaan ikan
kerapu cantang yang berkisar antara 29 -37 ppt. hasil terendah pengukuran
salinitas didapatkan pada hari ke 6, 9, 12 perlakuan Spirulina dengan kepadatan
102 yaitu 29 ppt. Sedangkan hasil pengukuran tertinggi terdapat pada hari ke 3
perlakuan ikan kontroil yaitu 37 ppt. dan rata rata yang didapatkan dari
pengukuran salinitas yaitu 31 ppt. Salinitas berpengaruh terhadap organisme
dalam mempertahankan tekanan osmotik dengan lingkungannya.
Spirulina platensis bersifat euryhaline dengan kisaran salinitas antara 15-
31 ppt (Hastuti dan Djunaidah, 1993). Akbar dan Sudaryanto (2001) menyatakan
bahwa persyaratan kualitas air seperti suhu berkisar antara 27 dan 29 ºC,
salinitas antara 30 dan 33 º/oo, oksigen terlarut > 5 ppm, dan pH antara 8,0 dan
8,2.
4.6.3 pH
Derajat keasamaan lebih dikenal dengan istilah pH. pH yaitu logaritma dari
kepekatan ion-ion H (hydrogen) yang terlepas dalam suatu cairan. Nilai pH juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas perairan.
Biasanya nilai pH dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator dari adanya
keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-
unsur kimia dan unsur-unsur hara yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
vegetasi akuatik. Adapun hasil yang didapat dalam pengukuran pH yaitu
Gambar 7. Grafik Pengukuran nilai pH
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN S2 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 102
S4 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S6 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV2 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
SV4 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Data diatas menunujukan hasil nilai pH yang didapat selama penelitian, nilai pH
pada penelitian yang dilakukan berkisar antara 7,5 8,0. Nilai pH terendah
didapat pada hari ke 0 media kontrol dengan nilai pH 7,5. Sedangkan pH tertinggi
pada hari ke 0 perlakuan Spirulina 102, 104, 106. Nilai rata rata pH yaitu 7,8.
sesuai dengan Amiruddin et al . (2011), pernyataan pH yang optimum untuk
pertumbuhan ikan kerapu antara 7,0-7,8 sehingga dapat derajat keasaman
yang ada di dalam akuarium termasuk kategori yang normal untuk kehidupan
ikan kerapu cantang. Namun berbeda dengan pertumbuhan Spirulina, dalam
pernyataan Habib et al. (2008), S. platensis dapat tumbuh pada medium cair
dengan kondisi basa dengan rentang pH antara 8,5 11,0, sedangkan pH
optimum untuk pertumbuhan S. platensis berkisar antara 9,0-10,0.
4.6.4 DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang
sangat banyak, yaitu menempati ururtan kedua setelah nitrogen. Namun jika
dilihat dari segi kepentingan untuk budidaya perairan, oksigen menempati urutan
teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernapasannya harus terlarut
dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas sehingga bila
ketersedianya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka
segala aktivitas biota akan terhambat.
Gambar 8. Grafik Hasil Pengukuran nilai DO
Keterangan : K = bak Kontrol V = bak pemeliharaan dengan Virus VNN S2 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis
dengan kepadatan 102
S4 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 104
S6 = bak pemeliharaan ikan keparu Treatment Spirulina platensis dengan kepadatan 106
SV2 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 102
SV4 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 104
SV6 = bak pemeliharaan ikan kerapu Treatment S. platensis + Ekstraksi VNN dengan kepadatan 106
Data diatas menunjukan nilai dari DO yang didapat selama penelitian.
Nilai DO terendah yaitu 5,1 mg/l, sedangkan nilai DO tertinggi yaitu 6,72 mg/l.
sehingga dapat dikatakan bahwa oksigen terlarut yang terdapat pada bak bak
pemeliharaan ikan kerapu masih tergolong normal hal ini sesuai dengan
penyataan Ahmad et al., (1991) dalam Affan (2012), kisaran oksigen terlarut
optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu tikus berkisar 5 8 mg/l.
4.7 Analisis Data
Analysis of varians (ANOVA) sangat diperlu dilakukan untuk mengetahui
ada atau tidaknya pengaruh perlakuan yang berbeda (perlakuan K = ikan tanpa
pemberian S. platensis dan VNN, perlakuan V = ikan dengan pemberian Virulen
VNN, perlakuan S102 = ikan dengan pemberian S. platensis 102, S104 = ikan
dengan pemberian S. platensis 104, S106 = ikan dengan pemberian S. platensis
106, SV102 = ikan dengan pemberian S. platensis 102 dan virulen VNN, SV104 =
ikan dengan pemberian S. platensis 104 dan virulen VNN dan perlakuan SV106 =
ikan dengan pemberian S. platensis 106 dan virulen VNN) terhadap jumlah
kerusakan jaringan pada organ mata dan otak ikan kerapu. Hasil anova tersaji
pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji ANOVA
SK DB JK KT Fhit Ftabel
5% 1%
kelompok 2,00 7,58 3,79 1,53 tn 3,634 6,226
perlakuan 7 360,5 51,5 20,73 ** 2,657 4,026
galat 16 39,75 2,48
total 23,00 407,83
Keterangan :k = Kelompok
p = Perlakuan tn = tidak nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata
Hasil ANOVA diperoleh pada perlakuan Fhitung (P) > Ftabel. Hal itu
menandakan adanya pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap kerusakan
jaringan organ mata dan otak ikan kerapu, dilihat pada taraf uji 5% dan uji 1%
hasilnya berbeda sangat nyata. Setelah diketahui hasil uji anova menunjukkan
adanya pengaruh, maka dapat dilakukan uji selanjutnya berupa uji Beda Nyata
Terkecil (BNT). Uji BNT dilakukan guna mengetahui bagaimana pengaruh dari
perlakuan yang berbeda terhadap jumlah kerusakan jaringan organ mata dan
otak ikan kerapu. Berikut ini hasil uji BNT yang tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji BNT
Keterangan : warna merah = berbeda nyata
Hasil uji BNT diketahui bahwa setiap perlakuan memiliki hasil yang
berbeda. Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan S104 yaitu ikan sehat dengan
pemberian S. platensis 104, diikuti perlakuan K yaitu Ikan kontrol, lalu perlakuan
S102 yaitu Ikan sehat dengan pemberian S. platensis 102 kemudian perlakuan
S106 yaitu Ikan sehat dengan pemberian S. platensis 106, selanjutnya perlakuan
SV104 yaitu ikan yang diinfeksi dengan virus Viral Nervous Necrosis dan
ditambahkan S. platensis 104 , perlakuan SV106 yaitu ikan yang diinfeksi dengan
virus Viral Nervous Necrosis dan ditambahkan S. platensis 106, kemudian
perlakuan SV102 yaitu ikan yang diinfeksi dengan virus Viral Nervous Necrosis
dan ditambahkan S. platensis 102 dan terakhir perlakuan V yaitu ikan yang
diinfeksi virus Viral Nervous Necrosis tanpa ditambahkan S. platensis. Pada
perlakuan V memiliki jumlah mikronuklei yang paling tinggi, dikarenakan adanya
infeksi virulen VNN yang menyebabkan ikan menjadi stress sehingga jumlah
mikronuklei menjadi meningkat. Sedangkan perlakuan yang paling baik adalah
pemberian S. platensis pada kepadatan 104.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Kualitas histologi ikan kerapu pada
bak pemeliharaan dengan treatment Spirulina platensis dan infeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN) dapat disimpulkan sebagai berikut:
Berdasarkan pengamatan histopatologi, Treatment Spirulina tanpa VNN,
lebih sedikit mengalami kerusakan jaringan dibandingkan dengan treatment
Spirulina dengan penambahan VNN. Pada treatment dengan penambahan
ekstraksi VNN ditemukan keruskan jaringan seperti nekrosis, kongesti,
vakuolisasi dan hemoregge. Kerusakan-kerusakan yang terdapat dalam jaringan
otak ikan kerapu akibat infeksi VNN menunjukkan bahwa kerusakan itulah yang
menyebabkan terjadinya pelemahan syaraf pada otak sehingga ikan berenang
memutar (whirling) dan perubahan tingkah laku, serta penurunan nafsu makan
yang pada akhirnya menyebabkan kematian ikan.
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut sangat disarankan mengingat banyaknya kasus
kematian masal yang terjadi akibat Viral Nervous Necrosis ini baik untuk
meminimalisir tingkat infeksi VNN pada ikan kerapu maupun cara
pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L., I. Mokoginta, dan D. Damas. 1990. Pengendalian Penyakit Ikan Hispatologi dan Hematologi Ikan-Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air
Daratan.Medan: USU Press. Bevelander & Ramaley. 1988. Essentials of Histology, 8th Ed. London: Mosby
Co. Bloom, J. H. 1998. Analisa Mutu Air Secara Kimiawi dan Fisis. Sebuah Laporan
tentang Pelatihan dan Praktek pada Fakultas Perikanan. NUFFIC-UNIBRAW. Malang.
Camargo, M.M.P. and Martinez, C.B.R. 2007. Histopathology of gills, kidney and
liver of a neotropical fish caged in an urban stream. Neotrop. Ichtyol. 5: 327-336.
Carrieri, D., Momot D., Brasg, I.A., Ananyev, G., Lenz, O., Bryant, D.A.
Dismukes, G.C. 2010. Boosting autofermentation rates and product yields with sodium stress cycling: Application to production of renewable fuels by cyanobacteria. Journal Applied and Environmental Microbiology. 76(19): 6455-6462.
Chi, S. C. 2006. Piscine Nodavirus Infections in Asia. First International
Symposium on Viral Nervous Necrosis of Fish International Conference Center, Hiroshima, November 28 to December 1, 2006.
Chi, S.C, 2006, Piscine Nodavirus Infection in Asia, Department of Life Science
and Institute of Zoology, National Taiwan University. Ciferri, O. 1983. Spirulina The Edible Microorganisme. Microbial Review.
American Society. Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogjakarta: Kanisius. hlm. 17. Grotmol S, Bergh O, Totland GK. 1999. Transmission of viral encephalopathy
and retinopathy (VER) to yolk-sac larvae of the atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus): Occurrence of nodavirus in various organs and a possible route of infection. Disease of Aquatic Organisms 36: 95-106.
the world (Family Serranidae, sub family Epinepheline). An annotated and illustrated catalogue of the grouper, rockod, kind coral grouper and yellowtail species known to date. FAO fisheries synopsis Rome: 125-242.
Henricson, R. 1989. Earth Food Spirulina. How This Remarkable Blue-Green Algae Can Transform Your Health and Our Planet. Ronore Enterprises Inc. California.
Indiartoro dan Suporno. 1999. Metode Penelitian Bisnis: Untuk Akutansi dan
Bisnis Manajemen. Edisi 1. BPFE. Yogyakarta. Irawan, A., Aminullah, Dahlan, Ismail, Bahri, S., & Fahdian, Y. 2009. Faktor
Faktor Penting dalam Proses Pembesaran Ikan di Fasilitas Nursery dan Pembesaran. Makalah Bidang Kosentrasi Aquaculture Program Alih Jenjang Diploma IV ITB. hlm 1-17.
Ismi . S. dan A. Nirmala 2011. Teknik Pemeliharaan Larva Untuk Peningkatan
Mutu Benih Kerapu Pada Produksi Massal Secara Terkontrol. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.
Koesharyani I, Zafran, Des Roza, , Fris Johnny, Ketut Mahardika and Kei Yuasa,
2001. Manual for Fish Diseases Diagnosis II. Marine and Crustacean diseases in Indonesia. Gondol Research Station and JICA. 55p
Kordi, M. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambak. Kanisius.
Yogyakarta. Kordi, K M.G.H dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. PT. Rhineka Cipta: Jakarta. Lestari, Artanti Tri dan Putu Eka Sudaryatma. 2014. Studi Imunositokimia Darah
dan Suspensi Organ Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) yang Diinfeksi Virus Isolat Lapang Penyebab Viral Nervous Necrosis. Jurnal Sain Veteriner ISSN : 0126- 0421.
Maghfirah, H. 2009. Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) di CV. Dewata Laut, Desa Penyabangan. Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali.
Marzuki. 1983. Metodologi Riset. Fakultas Ekonomi. Universitas Islam Indonesia:
Yogyakarta. Mohammadi, F ., Mousavi, S.M. and Rezaie, A. 2012. Histopathological study of
parasitic Infestation of skin and gill on Oscar (Astronotus ocellatus) and discus (Symphysodon discus). AACL Bioflux 5: 88-93.
Nitimulyo, H, Triyanto, S. dan Kamiso, H.N. 1993. Vaksinasi Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. 72hlm Nontji A.1986. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Nurhayati, A.P.D., Pratiwi, S., Wahyuono, S., Istriyati., Abdillah, S. 2014. Isolation
and Identification of alkaloid compound of Marine Sponge Cinachyrella sp. (Family Tetillidae). Journal of Advanced Botany and Zoology. Vol.2. Issue 1: 1-4 (ISSN: 2348-7313).
Purnamawati. 2002. Peranan Kualitas Air Terhadap Keberhasilan Budidaya Ikan di Kolam. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 8(1): 1-34.
Risamasu, F.J.L. 2008. Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Karang denga
Bubu Dasar Berumpon. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 21 hlm. Romimohtarto, K. 2008. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. Freedom eLearningOf
Open Source. 1-16. Rovita, G. D., W. P. Pujiono dan S. Prijadi 2012. Strativikasi Vertikal NO3-N dan
PO4- pada perairan di Sekitar Eceng Gondok (Eichornia crassipes Solm)
dengan Latar Belakang Penggunaan Lahan Berbeda di Rawa Pening. Journal of Management Aquatic Resources. 1(1): 1-7.
Setianto, Adi. 2011. Usaha Budidaya Ikan Kerapu. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta.162 hml. Subyakto, Slamet dan Cahyaningasih, S. 2003. Pembenihan Kerapu Skala
Rumah Tangga. Agromedia pustaka. Jakarta. 61 hml. Sudaryatma PE, Artanti TL, Sunarsih NL, Widiarti KS, Nurhidayah SN. 2012.
Imunositokimia streptavidin biotin: deteksi dini viral nervous necrosis pada lendir ikan kerapu macan. Jurnal Sains Veteriner 30(1): 99-109.
Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional dalam
Pengendalian Penyakit Ikan. 1-37. Supriyadi, H. 2007. Pemeriksaan dan Identifikasi Hama dan Penyakit Ikan,
Hama, dan Penyakit Ikan Karantina. Pelatihan Dasar Karantina IkanTingkst Ahli dan Terampil Pusat Karantina Ikan: Jakarta. Hal: 6.
Suratmi, S., Aryani, N.L.T. 2007. Kasus Infeksi Penyakit Viral Nervous Necrosis
(VNN) pada Ikan Kerapu di Pulau Bali. Buletin Teknisi Litkayasa Akuakultur. 7(1):59-63.
Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian. Rajawali: Jakarta. 19 hlm. Sutarmat, T.2004. Beberapa Kunci Sukses pada Budidaya Kerapu di Keramba
Jaring Apung. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10(4): 1-3. Taukhid. 2006. Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Laboratorium Riset
Kesehatan Ikan: Bogor. Thie´ry, R., J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, and A. Schneemann. 2006.
Induction of a Protective Immune Response against Viral Nervous Necrosis in the European Sea Bass Dicentrarchus labrax by Using Betanodavirus Virus-Like Particles. Jurnal of Virology. 80(20): 10201-10207.
Tomaselli, L. 1978. Morphology Ultrastructure and Taxonomy of Arthospira
(Spirulina) maxima and Arthospira (Spiruline) pltensis. Di dalam V. Avigad (ed) Spirulana platensis (arthospira). Taylor and Francis. London.
Untung, O dan B. E. Perkasa. 2002. Mencetak Cupang Adu Jagoan. Penebar Swadaya: Jakarta. 36 hlm.
Venkataraman, L. V. 1983. A Monograph on Spirulina platensis Biotechnology
and Aplication. Central Food Technology Researh Institut. Mysore, India Weber, M. And L.F. De Beaufort. 1940. The fishes of the Indo-Australian
archipelago. VIII. Percomhorpi (continued). Cirrhitoidea. Labriformes, Pomacentriformes. Brill. Leiden, p: 484.
Yanuhar, U. 2009. Laporan Riset Unggulan Terpadu (tidak dipublikasikan).
Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Yanuhar, U. 2011. The Function of Receptor Protein Humpback Grouper
Cromileptes altivelis in Expression and Proliferation of CD4 and CD8 cells in Defence Immunity of Viral Nervous Necrotic Infection. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 1, No. 2.
Yuasa, K.I., Koesharyani, D. Roza, F. Jhony, and Zafran. 2001. Manual for PCR
Procedure; Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in Grouper. Lolitkanta-JICA Booklet. 13- 35.
Yukio, M., Leobert, D. D. & Erlinda, R. C. 2007. Susceptibility of Fish Species
Cultured in Mangrove. Japan Agricultural Research Quarterly. 41(1). 95-99.