hirschprung
DESCRIPTION
hirschprungTRANSCRIPT
BAB IIISI
2.1. Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung atau megakolon aganglionik bawaan diebabkan leh kelainan inervasi
usus, di mulai dari sfingter ani interna dan meluas ke proximal, melibatkan panjang usus yang
bervariasi. Hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering terjadi
pada neonatus, dengan insiden 1:1500 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak daripada
perempuan 4:1 dan ada insiden keluarga pada penyakit segmen panjang. Hisprung dengan
bawaan lain termasuk sindrom down, sindrom laurance moon-barderbield dan sindrom
wardenburg serta kelainan kardivaskuler (Behrman, 1996). Penyakit Hisprung disebut juga
kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang
tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari
anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus
besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang
usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon (aganglionic
megacolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam colon
(Suriadi, 2006). Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan
gangguan pergerakan usus dimana hal ini terjadi karena kelainan inervasi usus, mulai pada
spingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, Selain
itu, penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada
neonatus.
3
2.2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai
dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai
seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
Diduga terjadi karena kegagalan migrasi sel neuroenterik ganglion menyebabkan tidak adanya
sel ganglion pada segmen usus, diduga juga karena faktor genetik yang sering terjadi pada anak
dengan Down Syndrom (10% dari kasus); terutama pada kasus segmen panjang, kegagalan sel
neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan
sub mukosa dinding plexus.
2.3. Tanda dan Gejala Hisprung
Akibat dari kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja tidak dapat
keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam
pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau
bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat menggembung,
disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan
terjadi gangguan pertumbuhan.
Neonatus
a. Mekonium tidak keluar 2x24 jam setelah lahir
b. Tidak mau minum
4
c. Muntah, bernoda empedu
d. Distensi abdomen
Bayi
a. Kegagalan tumbuh kembang
b. Konstipasi
c. Distensi abdomen
d. Episode diare dan vomitus
e. Tanda-tanda yang mengancam (adanya enterokolitis): diare menyerupai air, menyemprot;
Demam; KU buruk
Anak-Anak
a. Konstipasi
b. Feses mirip tambang dan berbau busuk
c. Distensi abdomen
d. Peristaltik yang terlihat
e. Massa feses yang mudah diraba
f. Anak biasanya tampak malnutrisi dan anemik
2.4. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik
hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak
adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah
keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada
saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap
daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar.
2.5. WOC
5
2.6. Komplikasi
a. Obstruksi usus
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal
isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total.
Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya
lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.Obstruksi total usus halus
merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan
darurat bila penderita ingin tetap hidup. Obstruksi usus merupakan penyumbatan intestinal
mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding
usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus.
b. Konstipasi
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau
fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut
usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih
lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang
minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari
berturut-turut.
c. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
d. Entrokolitis
Merupakan terjadinya peradangan pada usus besar / kolon
2.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam
2. Biopsi isap yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari
sel ganglion pada daerah sub mukosa
6
3. Biopsi otot rectum yaitu pengambilan lapisan otot rectum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini
khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk
dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu pembedahan dan konservatif.a) Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-
mula dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga tonus dan ukuran usus
yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3
sampai 4 bulan).
Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:
- Prosedur duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya
di belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik
dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga
baru dengan anastomose.
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi
stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang
ditinggalkan apabila terlalu panjang.
- Prosedur swenson
7
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada
kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan
sfingter dilakukan pada bagian posterior. Mula-mula memperkenalkan operasi
tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit
Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari
linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga
dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun
1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya
menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. Prosedur
Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot
rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat
mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik,
selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah
direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan
0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end
dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai,
usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.
- Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh kemudian
kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya
anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk
tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun
1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang
8
aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk
kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut
b) Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan
udara.
2.9. Perawatan
Perawatan Pra Bedah
• untuk anak yang malnutrisi dilakukan perbaikan kondisi fisik, pemberian diet tinggi
kalori tinggi protein rendah serat atau pemberian nutrisi parenteral.
• Pengosongan usus bertujuan untuk pemberian enema salin berulang
• Pengurangan jumlah flora bakteri berupa antibiotik sistemik
• Irigasi kolon berupa larutan NaCl/antibiotik
• Observasi vital sign, tekanan darah apakah ada tanda-tanda syok
• Pantau pemberian cairan dan elektrolit
• Observasi gejala perforasi usus apakah ada demam, peningkatan distensi abdomen,
vomitus, peningkatan nyeri tekan, iritabilitas, dispnea serta sianosis
Perawatan Pascabedah
• Perawatan stoma
• Untuk mencegah kontaminasi pada bayi, popok dipenitikan di bawah kasa pembalut.
• Penggunaan kateter foley untuk mengalihkan aliran urine.
Perawatan saat pulang
• Anak usia sekolah dilibatkan, agar mereka lebih tahu, misalnya menggulung kantong
penampung kolostomi, mengoleskan salep pelindung.
• Ahli terapi enterostoma dapat memberikan bantuan spesialistik tambahan dalam
merencanakan asuhan keperawatan di rumah
9
2.10. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Konstipasi b/d obstruksi karena aganglionik pada usus
Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intake yang kurang, mual dan muntah
Nyeri b/d distensi usus, distensi abdomen
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastrointestinal
Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan adanya insisi
1. Konstipasi b/d obstruksi karena aganglionik pada usus
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal,
tidak distensi abdomen.
Intervensi :
- Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana
selanjutnya
- Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk
penggantian cairan
- Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi
terganggu.
2. Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intake yang kurang,
mual dan muntah
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi,
turgor kulit normal.
Intervensi :
- Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
- Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
10
- Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi
3. Nyeri b/d distensi usus, distensi abdomen
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman KHterpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
- Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
- Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
- Berikan obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem
saraf pusat
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastrointestinal
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai
kebutuhan secara parenteal atau per oral.
Intervensi :
- Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
- Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400
kalori
- Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
11