herpes zoster

18
BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar. Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life- threatening, namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%. Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat mengenali tanda klinis, 1

Upload: virdaus

Post on 12-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

terapi herpes zoster

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu

reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana

lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20

tahun. Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun

dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV-

AIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun,

insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar.

Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat

menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat

timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat

menggangu kualitas hidup pasien suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic neuralgia.

Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%.

Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil

Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan

daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa

komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu

dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis,

menatalaksana hingga tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.

Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah

pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus

ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster

sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan

dalam SKDI dapat sepenuhnya tercapai.

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Defensi

Herpes zoster (shingles) disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster (VZV) dari

keadaan laten setelah infeksi dengan chickenfox. Setelah infeksi akut, virus dorman, biasanya

selama beberapa dekade, di ganglion saraf dorsalis atau ganglion trigeminal/kranial.1,2

Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten

dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua

infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes

zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang

berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi,

menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada

usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada

usia lebih tua.³

2.2. Epidemiologi

Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim

dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki

dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti

Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di

Indonesia lebih kurang 1% setahun.

Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena

varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster.

Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan

tidak aktif dan aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50

tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus

hepes zoster pada bayi usia 11 bulan.

2

2.3. Etiologi

Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong virus

berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae.

Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat

hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma.8

VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada

sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh

virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus

yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro

virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan

yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik

DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam

sel yang terinfeksi.8

2.4. Patofisoiologi

Selama episode infeksiprimer varicella (cacar air), VZV sangat menular dan menyebar

baik melalui droplet pernafasan (bersin dan batuk) dan kontak langsung. Infeksi VZV terjadi

ketika virus kontak dengan mukosa dari saluran pernapasan atas atau konjungtiva mata. Virus

beredar dalam aliran darah melalui sel-sel mononuklear pada kulit, sehingga menimbulkan

ruam pada cacar air/ chikenfox. Virus ini juga menginfeksi sel manusia di ganglion akar

dorsal dari tulang belakang dan ganglion sarafkranial, di mana ia menjadi laten. Pada

dasarnya keadaan dorman tersebut terlindungi oleh sistem kekebalan tubuh manusia, VZV

biasanya tetap aktif dalam ganglia selama beberapa dekade.4

Sehingga pada saat imunitas seluler tubuh menurun. Herpes zoster teraktivasi kembali,

virus bermultiplikasi kembali sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris.

Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang belakang serta otak dan melalui saraf

sensoris akan sampai ke kulit dan kemudian menimbulkan gejala klinis.5

Reaktivasi virus varicellazoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan,

penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang

sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik.7

3

Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan

ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian

motorik kranialis sehingga menimbulkan gejala-gejala gangguan motorik.6

2.5. Gejala Klinis

Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.

Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu

sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu

akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang

edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat

menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik.

Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.8

Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap

timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala

kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya

unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus

trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul

kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat

struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.8

Gambar 2 – Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)

4

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:

1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf

trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala

konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari

sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata

bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster oftalmikus sinistra.

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian

ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik

unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra.

3. Herpes zoster brakialis

5

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra.

1. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra.

5. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis

6

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra.

3.1. Diagnosis

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia

beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit.3

Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam,

pusing dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian

berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu

sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi

keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat

menjadi krusta.8

Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa

nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal,

dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan.

Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel

berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.8

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu

menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula

pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes

serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang

mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,

7

hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan

mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara

imunofluoresensi.8

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan

tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain:

1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop

elektron.

2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

Pembantu Diagnosis

Pada pemeriksaan percobaan Tzanck dapat ditemukan sel datia berinti banyak.

3.2. Penatalaksanaan

Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika

disertai infeksi sekunder diberikan antibiotik. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan

modifikasinya, misalnya valasiklovir. Sebaiknya diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi

muncul.9

Dosis asiklovir yang di anjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari,

sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma tinggi.

8

Jika lesi baru masih tetap timbul obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan setelah

2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.9

Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus

sedini-dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa kami berikan ialah prednison

dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.9

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan

bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi

sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep

antibiotik.9

Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi atau

tunggal dengan pilihan sebagai berikut :4

1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam hari;

2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg per hari;

3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau

antidepresan trisiklik saja;

4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat menimbulkan

sensasi terbakar; dan

5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.

Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian kortikosteroid.

Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari nervus kranialis VII.

Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering off setelah satu minggu.

Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena

kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut

kortikosteroid seperti diabetes mellitus.4 Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis

terkait sangat dianjurkan.

9

3.3. Komplikasi

1. Neuralgia Paska Herpetik

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas

penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa

tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 %

dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi

persentasenya.8

2. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.

Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia

lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.8

3. Kelainan pada mata

Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik,

keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.8

4. Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan optikus,

sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai

dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan

gangguan pengecapan.8

5. Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus

secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini

biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi

seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya

akan sembuh spontan.8

3.4. Prognosis

Umumnya baik, pada herpes zosteroftalmikus prognosis bergantung pada

tindakanperawatan secara dini.

10

BAB III

KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang

menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah

infeksi primer.

Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus, fasialis,

brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa

kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas

bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.

Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana,

yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.

Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease),

tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia, semakin tinggi

frekuensi timbulnya komplikasi.

11

DAFTAR PUSTAKA

1. ACP Observerextra.2007.Aninternist’sguidetopreventing, diagnosingAna treating

herpes zoster. The American College ofPhysicians, 190 N. Independence MallWest,

Philadelphia, PA 19106-1572.

http://www.acpinternist.org/archives/2007/03/herpes.pdf

2. NCIRSFactsheet. Zostervaccine for Australianadults: Information for

ImmunisationProviders. NCIRS Factsheet:November 2009.

http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/herpes-zoster-vaccine-fact-

sheet.pdf

3. James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier

Saunders; 2011.

4. McCary, Jessie. HerpesZoster(Shingles). The Health Care of HomelessPersons - Part

I, hal. 47-51.

http://www.bhchp.org/BHCHP%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/HerpesZoster.pdf

5. Dumasari L., Ramona. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. USU e-Respository: 2009.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3425/1/08E00895.pdf

6. DjuandaA,Djuanda S, Hamzah M.,Aisah S.,editor. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.

7. Wicaksono D., Regar E., Rahmani H. 2013. Presentasi Kasus-HerpesZoster. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto

Mangunkusumo: Jakarta.

http://xa.yimg.com/kq/groups/86529852/1660844164/name/

Preskas_HerpesZoster_Dwi_Evan_Hanifah.pdf

8. Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-4. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 110-2.

9. DjuandaA,Djuanda S, Hamzah M.,Aisah S.,editor. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.

12