heritage sebagai tindakan sosial

98
Heritage Sebagai Tindakan Sosial Denis Byrne Pengantar Sebuah versi awal dari bab yang ada di hadapan pembaca sekarang ini muncul pertama kali dalam sebuah paper diskusi (Byrne, Brayshaw dan Ireland 2001) tentang nilai penting sosial lanskap heritage (heritage place) yang disusun oleh New South Wales National Parks and Wildlife Service. Organisasi ini bertanggung jawab terhadap pengelolaan lanskap heritage masyarakat Aborigin di seluruh negara bagian New South Wales (total sejumlah 60.000 lanskap) dan juga terhadap lanskap heritage non- lokal yang terdapat dalam wilayah taman nasional negara bagian tersebut (sejumlah 9.000 lanskap). Isi paper tersebut berkebalikan dengan kecenderungan fokus para praktisi yang tidak banyak memberi perhatian pada nilai penting sosial lanskap-lanskap heritage tersebut.

Upload: jusman-mahmud

Post on 27-Sep-2015

30 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Heritage Sebagai Tindakan Sosial

TRANSCRIPT

Heritage Sebagai Tindakan Sosial

Denis Byrne

PengantarSebuah versi awal dari bab yang ada di hadapan pembaca sekarang ini muncul pertama kali dalam sebuah paper diskusi (Byrne, Brayshaw dan Ireland 2001) tentang nilai penting sosial lanskap heritage (heritage place) yang disusun oleh New South Wales National Parks and Wildlife Service. Organisasi ini bertanggung jawab terhadap pengelolaan lanskap heritage masyarakat Aborigin di seluruh negara bagian New South Wales (total sejumlah 60.000 lanskap) dan juga terhadap lanskap heritage non-lokal yang terdapat dalam wilayah taman nasional negara bagian tersebut (sejumlah 9.000 lanskap). Isi paper tersebut berkebalikan dengan kecenderungan fokus para praktisi yang tidak banyak memberi perhatian pada nilai penting sosial lanskap-lanskap heritage tersebut. Sejauh membahas soal heritage masyarakat Aborigin, para praktisi, baik di dalam maupun di luar pemerintah, lebih menekankan pada nilai penting arkeologis lanskap tersebut, termasuk situs-situs seni cadas, timbunan kerang, tinggalan-tinggalan di gua-gua hunian, alat-alat batu, situs-situs inisiasi dan batu berpola untuk ritus-ritus tertentu, pepohonan berukir, dan situs-situs penguburan. Untuk kasus lanskap heritage yang non-lokal, yang merupakan bagian dari periode setelah munculnya permukiman orang-orang Inggris di Australia pada tahun 1788, penekanannya pada nilai penting arsitektur. Lanskap tersebut termasuk rumah-rumah tua dengan pekarangan yang luas (old homestead) dan infrastruktur untuk peternakan domba dan sapi (sheep and cattle station), tambang-tambang tua, mercu suar, sisa-sisa jalan yang dibangun oleh para narapidana (convict-built road), dan instalasi-instalasi pertahanan abad ke-19 dan 20 di sekitar Pelabuhan Sydney.Memang bahwa penduduk setempat di NSW umumnya menilai situs-situs tersebut dengan nilai arkeologis dan arsitekturnya. Namun jelas sekali bahwa kedua nilai tersebut telah menanduskan makna lanskap-lanskap heritage tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari masyarakat. Ke depannya, istilah keterikatan (attachment) sepertinya akan mencakup nilai penting lanskap heritage dalam kehidupan sehari-hari. Subjek keterikatan dengan tempat telah memperoleh perhatian yang besar dalam bidang ilmu psikologi lingkungan (misalnya, Altman dan Low 1992; Williams et al 1992) meskipun fokusnya cenderung pada keterikatan dengan alam ketimbang dengan lingkungan budaya. Dalam kajian warisan budaya (cultural heritage) di Australia, meskipun telah menjadi asumsi umum bahwa masyarakat pada dasarnya membentuk ikatan dengan apa yang kita sebut sebagai lanskap heritage, sepertinya masih sedikit yang memahami sifat keterikatan tersebut, bagaimana terbentuknya, dan bagaimana keterikatan tersebut berubah sepanjang waktu. Karena alasan ini, kami telah membahas isu keterikatan sebagai fokus utama selama beberapa tahun terakhir ini (Byrne dan Nugent 2003; Schilling 2003; Veale 2001).Bab yang ada dihadapan pembaca sekarang ini, dalam bentuk revisi, adalah bagian kontribusi saya dalam paper diskusi tersebut (Byrne, Brayshaw dan Ireland 2001). Maksud saya dalam bab ini adalah untuk merangsang pemikiran dan diskusi tentang nilai penting sosial lanskap heritage dengan mengulas beberapa literatur dalam bidang ilmu sejarah dan antropologi yang relevan. Harapannya, ulasan ini dapat bermanfaat bagi para praktisi heritage, baik yang bekerja pada lembaga swasta (sebagai konsultan) atau pada lembaga-lembaga pemerintah di mana pembacaan terhadap latar belakang cenderung tidak dianggap sebagai hal penting sebagaimana ketika pembacaan sejenis dilakukan di perguruan tinggi. Ciri referensi tentang penaksiran nilai atau nilai penting sosial yang sering mereka jadikan rujukan hampir seluruhnya berisi publikasi dan laporan heritage yang berbeda. Lingkaran yang relatif tertutup ini punya peran terhadap terbentuknya sifat yang mengabaikan teori (undertheorised) pada kajian tentang heritage. Juga, yang relevan di sini adalah adanya perkembangan praktik heritage pada wilayah-wilayah tertentu di dunia yang cenderung disesuaikan dengan peraturan-peraturan dan birokrasi heritage yang berlaku di tempat-tempat tersebut dan paradigma konservasi tertentu yang diterima secara lokal. Seringkali, hanya ada sedikit perhatian yang diberikan pada pengembangan inovatif pada model-model lokal tersebut.Terakhir, sebagai sebuah pengantar, harus juga disebutkan bahwa persoalan nilai penting sosial adalah bagian dari kajian heritage yang lebih luas, yang dikenal sebagai penaksiran nilai penting (significance) atau penaksiran nilai (value) (misalnya, Avrami, Mason dan De la Torre 2000; De la Torre 2002; Lipe 1984; Walker dan Marquis-Kyle 2004). Kegiatan penaksiran ini didasarkan pada pendekatan nilai pada heritage, yang mengasumsikan bahwa heritage memiliki ragam nilai dan nilai-nilai yang beragam tersebut harus dipahami dan ditaksir sebelum diambil tindakan apa pun untuk tujuan pengelolaan dan konservasi. Ragam nilai atau tipologi-tipologi nilai penting yang digunakan termasuk kategori-kategori berikut: estetika, arkeologis atau keilmuan, ekonomis, edukasi, historis, spiritual/religi, dan rekreasi. Mason (2002 dan dalam buku ini) memberikan sebuah gambaran umum mengenai tipologi-tipologi nilai ini. Pada bab ini, dan sejalan dengan konvensi yang umum digunakan di Australia, definisi nilai/nilai penting sosial yang dikembangkan meliputi juga nilai penting spiritual/religi.

Budaya dan LanskapApa itu budaya?Raymond Williams (1963; 13, 16) memberitahu kita bahwa kata culture (budaya) dalam Bahasa Inggris semata bermakna keseluruhan cara hidup, materil, intelektual, dan spiritual dalam pengertian abad ke-19. Bukan sebuah kebetulan bahwa gerakan konservasi monumen-monumen bersejarah bangkit pada sekitar waktu yang sama. Pada satu sisi, perkembangan-perkembangan tersebut mencerminkan gagasan bahwa negara bangsa merupakan sebuah entitas budaya, seperti halnya negara bangsa merupakan entitas politik. Pada sisi yang lain, itu juga mencerminkan bahwa budaya nasional merupakan sebentuk warisan yang harus dijaga. Situs-situs warisan budaya dianggap sebagai milik (property) nasional yang harus dikelola dan dijaga kelestariannya (conserve) oleh negara, oleh lembaga-lembaga negara yang khusus untuk itu, dan oleh profesi-profesi arkeologi, arsitektur dan sejarah seni. Namun pada beberapa dekade terakhir ini, para praktisi dan agen-agen (pemerhati) warisan budaya sudah mulai mengakui bahwa warisan budaya dapat saja milik orang-orang biasa dan komunitas-komunitas lokal yang barangkali memiliki keterkaitan, perasaan, atau kedekatan tertentu dengan warisan budaya tersebut. Sayangnya, ide bahwa warisan budaya dapat saja punya sebuah nilai penting sosial yang harus dijadikan pertimbangan dalam proses konservasi masih lemah perkembangannya.Dalam antropologi, istilah budaya mengacu pada keseluruhan perihal yang saling berhubungan yang membentuk perilaku kelompok. Jadi, budaya itu termasuk sistem kekerabatan sebuah masyarakat dan sekaligus juga sistem politiknya; budaya tinggi sekaligus juga budaya populer; keyakinan religi sekaligus juga sikap-sikap terhadap alam; sistem pertanian sekaligus juga cara mengatur wilayah domestik; cara makan, bagaimana menjalin hubungan dengan orang asing di sebuah halte bus, dan seterusnya. Dengan kata lain, budaya adalah paket keseluruhan, segala hal yang membuat sebuah masyarakat berbeda dari masyarakat lainnya.Selama seabad terakhir, konsep budaya telah menggantikan klasifikasi ras sebagai sarana untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan manusia. Meskipun begitu, pada paruh pertama abad ke-20, kita cenderung menyaksikan masih kuatnya pemahaman bahwa budaya-budaya non-Barat memiliki sejenis esensi yang tidak berubah, sebuah kualitas yang telah melekat pada individu-individunya. Konseptualisasi kita mengenai esensi ini tidak berbeda dengan cara kita berpikir tentang darah (Cowlishaw 1987). Baru setelah tahun 1960-an, sudah umum diterima bahwa semua budaya pada dasarnya terus-menerus mengalami perubahan, terus-menerus menandai kembali atau menemukan kembali diri mereka sendiri. Pandangan awal tersebut (bahwa budaya itu punya esensi yang tidak berubah) berakar pada penjelasan para esensialis. Sepertinya masih ada sisa-sisa esensialisme dalam bidang ilmu yang mempelajari warisan budaya sekarang ini. Sisa-sisa tersebut tercermin dalam dorongan untuk melakukan konservasi warisan budaya dengan cara-cara yang kuno. Dengan kata lain, dorongan untuk membekukan budaya berdasarkan tahapan masa lalunya yang (dianggap) ideal. Nilai penting pemahaman antropologi baru terhadap praktik warisan budaya memang tidak boleh dianggap terlalu hebat. Meskipun begitu, pemahaman baru itu menyiratkan bahwa nilai penting sosial warisan budaya punya kaitan yang erat dengan perubahan, inovasi, dan improvisasi.Bagi kita yang di Barat, dapat dikatakan bahwa kita kesulitan menjauhkan cara melihat budaya sebagai sesuatu yang mengandung struktur. Sebagai contoh, kita sering mengacu pada struktur sosial, ekonomi, dan politik. Pandangan budaya seperti ini terkait erat dengan mahzab fungsionalis dan strukturalis dalam ilmu antropologi yang dominan selama dekade awal dan pertengahan abad ke-20. Oleh Johannes Fabian, seorang antropolog, pandangan seperti itu merupakan pandangan yang berusaha membungkus budaya dengan hukum dan tatanan, sebuah frasa yang menggambarkan sesuatu yang mengandung seperangkat aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik yang kaku yang kita warisi sejak lahir dan yang selanjutnya menentukan eksistensi sosial kita (Fabian 1998: 4). Antropolog lainnya, Arjun Appadurai, mengatakan bahwa substansialisasi seperti itu membawa (pengertian) budaya kembali ke dalam ruang wacana tentang ras, gagasan yang pada awalnya hendak diperanginya. Maksud Appadurai di sini adalah bahwa meskipun kita telah menolak (istilah) ras dan lebih memilih (istilah) budaya sebagai cara untuk mengklasifikasikan masyarakat, namun entah bagaimana kita masih saja terus berpikir tentang perilaku tentang budaya yang membuat objek keluar dari pengertian tersebut. Para praktisi warisan budaya dapat dikatakan adalah orang-orang yang cenderung melakukan substansialisasi budaya seperti itu. Fokus kita pada materi/substansi fisik, apakah dalam bentuk artefak atau struktur yang terbentuk, seringkali menyerupai sejenis fetisisme. Begitu mudah bagi kita melupakan bahwa materi-materi tersebut adalah produk-produk budaya, bukannya yang mengkonstruksi budaya.Pandangan budaya kaum strukturalis terus menerus dikritik dan dibongkar dalam antropologi selama dekade-dekade terakhir abad ke-20. Pandangan strukturalis ini digantikan oleh pandangan yang menekankan pada praktik ketimbang struktur. Budaya dipandang sebagai sesuatu yang cair, terus-menerus ditemukan, dan responsif terhadap keadaan-keadaan yang berubah. Batas-batas budaya dipandang sebagai zona yang keropos atau mudah menyerap, bukannya cangkang yang keras atau kulit yang kedap air. Dulu sekali, cara pandang dalam melihat fenomena kontak budaya membangkitkan cara pandang tentang budaya yang seperti bola bilyard, sebuah cara pandang tentang budaya orang-orang Eropa yang bertemu dengan budaya orang-orang non-Eropa tanpa tercampur (Leach 1989). Berkebalikan dengan itu, sekarang kita berbicara tentang budaya-budaya yang menjadi saling terjalin ketika saling bertemu satu sama lainnya. Mereka saling meminjam satu sama lainnya dan apa yang mereka pinjam seringkali digarap ulang untuk kepentingan mereka sendiri (Thomas 1991).Pembahasan pada bagian ini bukan untuk menjawab secara utuh pertanyaan yang cakupannya sangat luas tersebut, apa itu budaya? Pertanyaan tersebut merupakan tugas ilmu antropologi, sosiologi, sejarah, dan studi-studi budaya untuk menjawabnya, dan sudah ada banyak sekali karya ilmiah yang membahas masalah tersebut. Alih-alih, beberapa segi baru pada pertanyaan budaya tersebut telah dipilih untuk pembahasan ini karena secara khusus terkait dengan subjek nilai penting sosial warisan budaya.

Pengetahuan lokal dan dunia kehidupanSalah satu tren paling terkemuka dalam ilmu-ilmu sosial selama beberapa dekade terakhir adalah bangkitnya (hal-hal) yang lokal dan spesifik, sebuah kebangkitan yang mewakili merosotnya teori-teori umum tentang bagaimana masyarakat berjalan (Marcus dan Fischer 1886: 8; Moore 1996: 2). Salah satu pionir temuan tentang pandangan dari dalam (view from the inside) ini adalah Clifford Geertz, yang sangat terkenal karena konsepnya tentang pengetahuan lokal (local knowledge) yang dia deskripsikan sebagai dunia yang signifikan dan cara pandang orang-orang setempat (indigenous outlooks) yang membentuk kehidupan mereka (Geertz 1983). Geertz memberi penekanan pada yang khusus (particular); fokusnya adalah komunitas lokal dan dunia skala kecil orang-orang biasa. Dunia seperti inilah yang akan kita tuju ketika membahas soal nilai penting sosial warisan budaya.Seperti halnya Geertz, kita pun harus harus hati-hati dalam hal ini karena kita tidak akan pernah bisa menempatkan diri kita di dalam dunia lokal orang lain. Kita hanya bisa melakukan interpretasi, dan interpretasi itu tidak pernah menemukan kata akhir atau selalu terbuka untuk interpretasi-interpretasi baru. Kritik-kritik terhadap Geertz, termasuk Marshal Sahlins (1985) dan Eric Woolf (1982) meskipun kedua pakar ini sangat mengagumi karya-karya Geertz , menganggap bahwa Geertz memperlakukan budaya sebagai pulau-pulau bagi dirinya sendiri, ruang-ruang yang tidak terhubung dengan pengaruh dan kekuatan eksternal atau bahkan global. Mereka juga menganggap bahwa model yang diajukan Geertz terbatas pada aktor-aktor lokal yang punya kesadaran diri dan menjadi agen-agen perubahan. Beberapa implikasi dari hal tersebut di bahas di bawah ini.Dalam bidang ilmu sejarah, kecenderungan pada partikularitas sejak era 1980-an menghasilkan sejumlah besar penelitian yang terkait dengan pertanyaan tentang bagaimana orang-orang biasa mengalami dan merasakan dunia yang mereka jalani (Biersack 1989: 76). Mungkin, contoh terbaik mengenai jenis sejarah seperti ini, dari tahun 1980-an, adalah buku Natalie Zemon Davis (1983, kemudian diangkat menjadi sebuah film), The Return of Martin Guerre. Davis menggunakan serangkaian insiden pada kehidupan petani Prancis abad ke-16 untuk menggali sentimen-sentimen, motivasi-motivasi, nilai-nilai, perasaan-perasaan, dan dunia kehidupan lokal (penekanan ditambahkan) (Biersack 1989: 76). Pada level tertentu, daftar tersebut hampir dapat merepresentasikan agenda untuk penaksiran nilai penting sosial. Dalam menaksir nilai penting sosial, kita tidak fokus pada makna lanskap warisan budaya, tetapi maknanya dalam dunia kehidupan orang-orang biasa. Harapannya, melalui hal tersebut kita bisa menyusun seperangkat strategi konservasi yang melindungi tempat-tempat dan benda-benda kuna dalam konteks dunia lokal yang mereka miliki ketimbang bangunan globalnya.Antropologi mengajarkan pada kita bahwa kita ini makhluk simbolik. Sepanjang hidup, kita memberikan makna-makna simbolik pada tempat-tempat dan benda-benda, yang berbeda dari makna praktis atau makna terlihat yang dipunyai oleh benda-benda tersebut untuk kita. Dalam sebuah skenario yang akan dipaparkan berikutnya, timbunan sampah kerang, bagi orang-orang Aborigin, merupakan penanda takdir orang-orang dulu yang membuat dan menempati situs tersebut. Setiap lanskap lokal dihuni oleh tempat-tempat yang telah diberikan makna simbolis oleh penduduk lokal (Field dan Baso 1996; Stewart 1994; Tilley 1994). Makna-makna tersebut diukir pada tempat-tempat tersebut tanpa terlihat, dan meskipun makna-makna tersebut dapat dibaca dengan mudah oleh penduduk lokal, makna-makna tersebut umumnya tidak terlihat oleh orang luar.Tempat-tempat berfungsi sebagai tanda-tanda dalam pengertian bahwa tempat-tempat tersebut ditandai dengan makna. Ketika kita menaksir nilai penting sosial lanskap warisan budaya, kita berusaha untuk mengakses pengetahuan lokal ini dalam upaya kita untuk mengkonservasi tempat-tempat tersebut bukan hanya karena makna-maknanya yang jelas terlihat (misalnya, timbunan sampah kulit kerang sebagai timbunan sampah kulit kerang), tetapi karena makna-makna yang diberikan oleh penduduk lokal pada tempat-tempat tersebut.Selama periode-periode setelah terjadinya kontak antara orang-orang Eropa dan penduduk asli di Asutralia (setelah tahun 1788), otoritas kulit putih berusaha keras membatasi daya terlihat (visibility) orang-orang Aborigin dalam lanskap yang dikoloni, juga menindas setiap aspek budaya Aborigin agar tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam misi-misi pemberadaban yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih. Bahkan, di bawah kondisi-kondisi seperti itu, meskipun banyak dari pengetahuan lama (old knowledge) yang telah hilang, elemen-elemen pemaknaan terhadap lanskap tradisi masih bisa bertahan. Tidak satu pun tekanan atau penindasan resmi yang dapat mengontrol pemaknaan dalam pikiran orang-orang tersebut yang diberikan pada tempat-tempat atau pemaknaan yang mereka komunikasikan dalam percakapan yang sifatnya privat. Tetap hidupnya lanskap tanda-tanda ini dapat menjadi sebuah tindakan yang bertentangan dengan yang umum disepakati, sebuah elemen yang disebut oleh Gillian Cowlishaw (1988: 132-137) sebagai budaya tandingan.Bahkan hingga sekarang ini, sisi yang berkaitan dengan sejarah dan budaya penduduk Aborigin di Australia pasca tahun 1788 masih menerima sedikit perhatian publik dan umumnya tidak disertakan dalam buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah, sejarah kulit putih (di Asutralia), dan pendataan (register) warisan budaya. Meskipun begitu, masyarakat Aborigin itu sendiri merekam sejarah-sejarah lokal mereka, sebagian besar dalam bentuk makna-makna tak terlihat yang mereka ukirkan pada tempat-tempat makna-makna yang tidak terlihat bagi orang luar. Situs tempat pembantaian, daerah pinggiran kota lama yang sekarang telah menjadi area pelatihan kuda pacuan, lahan yang mereka buka untuk petani kulit putih, situs-situs pemisahan seperti rumah sakit kota, teater, dan kolam renang publik makna tempat-tempat tersebut terpetakan dan terekam di dalam pikiran masyarakat Aborigin (Byrne 1996-1997, 2003a; Byrne dan Nugent 2004). Jadi, salah satu alasan mendokumentasikan makna-makna tempat bagi komunitas lokal adalah bahwa ada sejarah yang selama ini tersembunyi di sana. Ini adalah konsep tentang penandaan terkodekan, baik dalam pengertian pengetahuan rahasia atau semi rahasia (tidak diketahui secara resmi atau oleh publik luas) maupun dalam pengertian pengetahuan yang telah terkubur. Dengan demikian, kita berusaha untuk memahami bagaimana lanskap dapat memiliki layer-layer tanda yang berbeda, yang beberapa di antaranya lebih mudah diakses ketimbang yang lainnya.Sejak tahun 1950-an, banyak sejarawan, khususnya mereka yang terpengaruh oleh Mahzab Annales di Prancis, telah fokus pada aspek naratif produksi sejarah. Hayden White, yang mengembangkan tulisannya dari karya Paul Ricoeur, mengatakan bahwa produksi sejarah sebenarnya bersifat alegoris. Dia mengatakan bahwa sejarawan tidak terlibat dalam fiksi karena persitiwa-peristiwa yang dituliskannya benar-benar terjadi, tetapi dalam imajinasi. Apakah ada cara lain dalam melihat masa lalu, yang dari definisinya adalah membandingkan peristiwa-peristiwa, proses-proses, struktur-struktur, dan seterusnya, yang dianggap tidak lagi dapat diindra, yang terepresentasi dalam kesadaran atau wacana, selain dengan sebuah cara yang dibayangkan? Apakah tidak mungkin bahwa pertanyaan naratif dalam pembahasan teori sejarah apa pun pada akhirnya selalu tentang fungsi imajinasi dalam produksi sebuah kebenaran manusia yang spesifik?

Meskipun telah umum disetujui bahwa tidak akan pernah ada versi akhir atau yang paling pasti tentang sebuah peristiwa sejarah, ini jelas sekali tidak menghentikan sejarawan profesional membongkar arsip-arsip untuk memastikan bahwa narasi-narasi mereka punya kemungkinan akurasi maksimum dalam merepresentasikan apa yang terjadi di masa lalu. Pada sisi lain, diterimanya preposisi bahwa akan selalu ada versi berbeda dari sejarah telah memberikan dorongan pada gerakan sejarah publik dan dorongan untuk merekam sejarah-sejarah oral. Dalam bidang Penaksiran Dampak Lingkungan (environmental impact assessment atau EIA), yang merupakan konteks untuk begitu banyak karya dalam kajian warisan budaya hari ini, muncul kecenderungan untuk fokus pada usaha membangun kebenaran-kebenaran objektif. Meskipun begitu, tanggung jawab utama para praktisi warisan budaya tetap selalu pada usaha untuk merepresentasikan kebenaran manusia yang khusus, meminjam frasa Hayden White (1987: 57). Kebenaran yang khusus untuk makna tempat-tempat bagi individu dan komunitas jarang berupa kebenaran yang dapat dikuantifikasikan dan dibuktikan seperti kita umumnya memahami kebenaran berdasarkan bidang ilmu fisika, geologi, dan geologi. Pemaknaan budaya terhadap sebuah tempat mungkin saja saling bertentangan dalam konteks lokal, dan penduduk lokal yang berbeda dapat saja menarasikan sebuah tempat dengan cara yang berbeda. Bukan tugas praktisi heritage untuk menangani pertentangan tersebut. Namun dalam melihat persoalan seperti itu, ada baiknya mempertimbangkan Draft Kode Etik Kerjasama mengenai Konservasi Tempat-Tempat Penting (Bersejarah) dari ICOMOS tahun 1997. Pada pasal 14 Draft tersebut, disebutkan: apabila memungkinkan, berusahalah menyertakan secara bersama-sama (co-existence) persepsi-persepsi nilai penting budaya yang berbeda ketimbang mencari resolusi. Seringkali, para praktisi warisan budaya berada di bawah tekanan klien-klien mereka atau agen-agen pemerintah untuk sekedar membuat narasi sederhana tentang makna tempat atau menyusun validitas mengenai pandangan nilai penting sebuah kelompok komunitas atau individu di atas kelompok atau individu lainnya.Sementara sejarawan kian tertarik pada budaya, sejak tahun 1970-an, antropolog justru kian tertarik pada sejarah (Kuper 1996: 182). Buku Erick Woolf (1982) tentang perubahan historis yang terjadi pada budaya-budaya non-Barat merupakan sebuah contoh untuk kecenderungan ini. Antropologi tidak saja kian tertarik pada sejarah orang-orang yang mereka teliti, tetapi juga kian tertarik pada sejarah mereka sendiri sebagai antropolog. Sebagai contoh, karya Talad Asad (1973) memberitahu kita bahwa antropologi merupakan bagian dari produk kolonialisme. Dia berpendapat bahwa antropologi telah memberikan kekuatan pada kolonialisme dalam bentuk sarana-sarana untuk memahami dan memanipulasi atau mengatur subjek-subjek kolonial mereka. Jadi, antropolog dan sejarawan dapat dikatakan telah berbalik untuk mempertimbangkan diri mereka bukan saja sebagai orang yang menginterpretasikan sejarah dan masyarakat, tetapi juga sebagai subjek sejarah dan masyarakat itu sendiri.Kajian warisan budaya memang suatu keanehan dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora karena kajian ini relatif tidak tertarik pada perkembangan sejarahnya sendiri. Sebagian besar karya ilmiah selama beberapa dekade terakhir ini yang menempatkan praktik warisan budaya dalam perspektif historis dan politis berasal dari para sejarawan akedemik (misalnya, Anderson, 1991), arkeolog (misalnya, Silberman, 1989) atau pakar geografi (misalnya, Lowenthal 1985, 1996), yang sebagian besar dari mereka tidak terlibat secara profesional dengan konservasi warisan budaya. Ada kecenderungan yang kuat bagi kita para praktisi warisan budaya untuk menaturalisasi area kerja, melihat apa yang kita kerjakan sebagai sebuah respon alamiah atau terlihat jelas terhadap sebuah kebutuhan yang jelas terlihat (misalnya, sebuah bangunan tua nan indah yang mengalami kerusakan, kita segera keluar dan pergi mengkonservasinya). Kita tidak melihat pekerjaan kita sebagai pekerjaan yang memproduksi warisan budaya, dalam pengertian mengkonstruksinya secara diskursif, atau sebagai pekerjaan yang memproduksi sebuah cara pandang tertentu tentang warisan budaya.

Apa itu lanskap budaya?Wacana dan praktik konservasi warisan budaya adalah sesuatu yang relatif baru. Sebelumnya, kita tidak selalu menganggap tempat-tempat kuna (old place) sebagai warisan budaya. Meski demikian, tidak seorang pun pada masa-masa tersebut dapat mengabaikan begitu saja warisan budaya mereka tanpa mengambil resiko diabaikan oleh sejarah. Jadi, dalam mendeskripsikan apa lanskap budaya itu, akan lebih bijak jika memulainya dengan mengatakan bahwa lanskap budaya pada dasarnya diperebutkan. Di Australia, pengalaman penduduk Aborigin bersinggungan dengan orang-orang Eropa membuktikan hal tersebut. Pada koloni-koloni penetap seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, tidak cukup bagi para kolonis sekedar menempati daerah-daeran penduduk lokal; mereka perlu mengukir kembali daerah itu secara kultural. Agar tidak lagi menjadi orang asing dan mulai menjadi warga di tempat-tempat tersebut, untuk mulai mengada pada sebuah tempat, bukannya sekedar berada di sebuah tempat, lanskapnya perlu memulai mengisahkan sejarahmu. Di daerah-daerah pedesaan di Australia, sejarah permukiman orang-orang kulit putih diperingati dalam buku-buku sejarah lokal, museum-museum lokal, dan kajian-kajian heritage lokal. Khususnya di wilayah tenggara kontinen tersebut, tempat permukiman orang-orang kulit putih muncul lebih awal dan terkonsentrasi, ketertarikan pada produksi budaya orang-orang Aborigin adalah sebelum, dan bukannya sesudah, adanya permukiman orang-orang kulit putih. Tempat-tempat hunian orang-orang Aborigin yang berada di pinggiran pusat-pusat permukiman orang-orang Eropa tersebut dan misi pemberadaban orang-orang Aborigin dari abad ke-18 hingga abad ke-20 jarang disebutkan; partisipasi orang-orang Aborigin pada industri-industri lokal, seperti menguliti kulit domba, pembukaan lahan pertanian, pembukaan hutan, atau tambang juga jarang disebutkan. Subjek tentang hubungan ras yang sensitif terus menerus ditinggalkan. Dengan begitu efektif, sejarah dan heritage keberadaan dan pengalaman orang-orang Aborigin pada lanskap lokal setelah munculnya permukiman kulit putih disembunyikan dari pandangan publik. Pada tempat itu, kita menemukan sebuah lanskap yang dipenuhi dengan heritage permukiman kulit putih dan tidak ada ruang untuk heritage mengenai pengalaman orang-orang Aborigin. Ini adalah hal yang sangat mengejutkan. Heritage adalah sebuah medan yang diperebutkan dan kelompok-kelompok sosial yang paling berkuasalah yang paling memiliki kesempatan memiliki sejarahnya atau memperingati pengalaman mereka sebagai sebuah sejarah. Sebagai contoh, Dolores Hayden (1995) menunjukkan bagaimana lanskap-lanskap sejarah di Amerika Serikat tidak hanya telah mengeluarkan orang-orang Afro-Amerika dan pengalaman sejarah mereka, tetapi juga tidak menyertakan orang-orang kulit putih kelas pekerja dan pengalaman historisnya, sama halnya kecenderungan mengeluarkan perempuan dan pengalaman sejarah mereka. Jika kamu merupakan kelompok minoritas, maka terlihat dalam heritage seringkali merupakan persoalan pergulatan. Tidak bergulat untuk terlihat berarti akan tetap tidak terlihat dalam lanskap heritage tersebut. Peran pengelola atau praktisi heritage sejatinya bukanlah untuk ikut ambil bagian dalam pergulatan untuk terlihat dalam lanskap sejarah-budaya tersebut. Peran kita adalah memfasilitasi agar semuanya terlihat.Dengan mengamini bahwa lanskap-lanskap budaya itu sifatnya diperebutkan, poin kedua saya adalah bahwa lanskap budaya pada dasarnya dikonstruksi secara sosial. Banyak dari tulisan-tulisan yang terkait tentang ruang dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora sejak setidaknya tahun 1960-an mulai menyadari pemahaman seperti itu. Mengatakan bahwa lanskap budaya itu dikonstruksi secara sosial berarti mengatakan bahwa lanskap budaya memperoleh maknanya dari tindakan-tindakan dan imajinasi-imajinasi orang-orang dalam masyarakat. Kita sudah akrab dengan gagasan tentang formasi lanskap sebagai sebuah proses geomorfis yang melibatkan erosi dan sedimentasi, sebuah proses tererosinya secara bertahap pegunungan dan menyebabkan terjadinya sedimentasi di delta sungai. Lanskap budaya diciptakan sepanjang waktu melalui sebentuk sedimentasi budaya di mana tindakan-tindakan masa lalu manusia meninggalkan jejak-jejak jejak-jejak seperti rumah-rumah, campsite, tempat-tempat suci, parit-parit pertahanan pada saat berperang dan jalan-jalan kecil yang terakumulasi. Julian Thomas (2004: 214) memperingatkan kita agar tidak menganggap akumulasi ini sebagai dunia substansi dalam Cartesian. Sebaliknya, lanskap budaya yang kita warisi seharusnya dianggap sebagai lanskap yang terbentuk secara maknawi (Thomas 2004). Tindakan-tindakan yang terwakili oleh jejak-jejak tersebut punya makna dan makna tersebut mewujud dalam jejak-jejak tersebut. Oleh karena itu, kita yang hidup di masa sekarang selalu berhubungan dengan mereka yang menghuni tempat yang sama di masa lalu sebelum kita. Keberadaan mereka berinteraksi dengan keberadaan kita. Ini tidak berarti bahwa sebuah situs heritage bermakna sama pada kita dengan mereka yang menciptanya. Dalam berinteraksi tersebut, kita menginterpretasikan jejak-jejak makna dalam konteks kehidupan kita, imajinasi kita, hasrat dan ambisi kita. Interpretasi inilah yang membentuk nilai penting sosial tempat-tempat atau lanskap-lanskap heritage.Kita juga harus mempertimbangkan peran ingatan (memory). Orang-orang yang pergi ke sebuah lanskap di mana mereka sebelumnya pernah hidup atau menghabiskan beberapa lama waktu mereka di tempat tersebut akan menemukan jejak mereka sendiri di sana. Bukan saja jejak fisik, tetapi juga menemukan asosiasi-asosiasi. Mengingat kembali dan emosi dipicu oleh tampilan jejak tersebut dalam bentuk objek; ingatan kembali dan emosi tersebut juga dipicu dengan melihat, mencium, atau merasakan tempat-tempat yang familiar bahkan meskipun di tempat tersebut tidak ada lagi jejak fisik/tangible keberadaan tempat-tempat tersebut seperti sebelumnya. Secara bertahap, meskipun prosesnya lambat, praktik-praktik heritage akan mengakui pentingnya warisan budaya intangible dan oleh karena itu mengakui pentingnya ingatan.Antropolog Susanne Kuchler (1993: 100) mendeskripsikan bagaimana mengalami berjalan di sepanjang lanskap bagi penduduk lokal kepulauan Melanesia di New Ireland merupakan sebuah pengalaman membangkitkan atau membangkitkan kembali ingatan:Secondary forest (hutan yang telah tumbuh kembali setelah sebelumnya dibabat untuk dipanen atau dijadikan lahan permukiman) dan tanah-tanah kebun yang mengitari tiap permukiman menawarkan sebuah perjalanan kembali ke tempat-tempat ingatan yang telah terkubur. Jalan-jalan kecil yang menghubungkan pekarangan, permukiman, dan desa-desa juga terhubung ke permukiman-permukiman masa lalu, sehingga setiap perjalanan yang dilakukan dengan jalan kaki pada dasarnya adalah sebuah perjalanan membangkitkan kembali sebuah lanskap yang terlupakan dan telah terkubur ketika orang-orang yang lewat di jalan-jalan tersebut memetik pohon-pohon buah dan biji-bijian dari pepohonan di sana.

Salah satu cara bagi kita untuk mengingat lanskap-lanskap budaya adalah dalam bentuk peta mental. Banyak dari kita yang pernah punya pengalaman mencoba untuk meletakkan sebuah fitur di atas sebuah peta yang dibuat berdasarkan survei topografi dengan bantuan seorang petani atau anggota komunitas lokal penduduk Aborigin. Seringkali ketika peta itu diperiksa, orang-orang lokal akan bilang bahwa mereka (para pembuat peta itu) telah melakukan kesalahan karena peta mental mengenai lanskap lokal yang dimiliki oleh orang-orang lokal tersebut begitu berbeda dengan peta yang ditunjukkan dalam peta yang telah dipublikasikan. Peta mental tersebut seringkali terbentuk melalui sedimentasi pengalaman sepanjang hidup dan jauh lebih kompleks ketimbang peta apa pun di atas kertas.Dalam kajian heritage, proses penaksiran nilai penting sosial sebagian bertujuan untuk mengabsahkan peta-peta yang tersimpan dalam pikiran orang-orang. Salah satu hambatan dalam penaksiran nilai penting sosial adalah kebiasaan praktisi heritage untuk memaksakan peta mental lokal agar sesuai dengan peta resmi. Sebuah contoh yang sangat baik tentang penduduk lokal memasukkan kembali peta yang mereka miliki ke dalam sebuah peta resmi terjadi di Cape Town pada tahun 1990-an. Setelah pemindahan paksa populasi penduduk kulit berwarna dari Distrik Enam, dekat dari pusat kota, yang bermula pada tahun 1966, dan perubuhan rumah-rumah petak yang ada di tempat tersebut, satu-satunya jejak yang terlihat jelas dari daerah yang sebelumnya merupakan perumahan kosmopolitan ini (terpisah dari beberapa bangunan publik yang terisolasi) adalah jaringan jalan besar dan jalan kecil yang masih tersisa. Jaringan jalan tersebut kemudian menjadi sebuah pembantu ingatan ketika direproduksi sebagai sebuah peta pada lantai Museum Distrik Enam yang dibuka pada tahun 1994 di sebuah bangunan gereja yang sudah dikosongkan. Selama kunjungan-kunjungan ke museum tersebut, banyak penduduk sebelumnya dari daerah tersebut telah mengukir nama mereka, lokasi rumah-rumah mereka sebelumnya, dan informasi-informasi lainnya pada peta tersebut menggunakan pena. Mereka yang dulunya menjadi korban-korban apartheid, dengan cara ini, dapat memulihkan kembali secara simbolis sebuah ruang yang hilang dan mengukir kembali diri mereka ke dalamnya. Distrik Enam telah menadi sebuah situs kunci untuk heritage pemisahan pasca apartheid (Malan dan van Heyningen 2001).Masyarakat cenderung bukanlah entitas yang homogen. Sebaliknya, masyarakat terdiri dari pecahan-pecahan yang hidup berdampingan, seperti minoritas-minoritas etnis, sub-kultur, gender, kelas-kelas sosial-ekonomi, dan jamaah-jamaah sebuah agama. Pecahan-pecahan tersebut masing-masing membangun (construct) lanskap yang berbeda. Kita dapat mengasumsikan bahwa seorang warga sub-urban kelas atas di Sydney, di daerah Vaucluse, akan memetakan Sydney dengan cara yang berbeda dengan seorang warga di daerah Blacktown, juga di Sydney, yang situasinya kurang makmur. Warga yang pertama di atas mungkin memetakan Sydney sebagai sebuah lanskap yang dipenuhi dengan sekolah-sekolah swasta, gedung-gedung pencakar langit, butik-butik milik perancang asal Italia, dermaga-dermaga untuk yacht (sejenis perahu layar mewah), dan cocktail circuits. Sementara warga Balcktown mungkin memetakannya dengan sekolah-sekolah negeri, pusat-pusat perbelanjaan sub-urban, sinema-sinema di George Street, dan klub-klub sepak bola. Bukan berarti bahwa keduanya tidak memiliki pemetaan mental terhadap tempat yang sama Sydney Cricket Ground, misalnya, mungkin menjadi sebuah situs kunci yang sama dalam peta mental kedua individu yang berbeda tersebut. Namun lebih bijak mengatakan bahwa setiap orang mengalami Sydney sebagai sebuah tempat yang berbeda dalam istilah lanskap budaya, mereka adalah dua tempat yang berbeda.Untuk mengatakan ide tentang dua lanskap dapat menempati tempat yang sama pada waktu yang bersamaan, saya menawarkan deskripsi berikut, tentang sebuah kota yang dibayangkan di NSW pada tahun 1950-an. Gambaran ini dikembangkan dari karya Byrne (2003a) dan Byrne dan Nugent (2004).Kota itu, dengan jalan-jalan aspal, bioskop, pub-pub, jalan-jalan rumah, lanskap tempat pelatihan kuda pacuan berpagar yang terdapat di sekitarnya, jalan-jalan raya yang besar, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya adalah sebuah produk permukiman orang-orang Anglo-Celtic. Namun separuh kilometer dari tepian kota adalah daerah tempat orang-orang Aborigin biasanya mendirikan kamp-kamp hunian yang penduduknya tetap menyimpan dalam pikiran mereka sebuah peta tentang lanskap lokal yang, meskipun lanskap tersebut merepresentasikan secara tepat realitas kehidupan sehari-hari orang-orang tersebut, sepertinya tidak diakui oleh warga kulit putih.Lanskap Aborigin berisi tempat-tempat untuk tinggal dan lingkungan yang melingkupinya, ruang-ruang yang akrab dikenali dan ditandai oleh orang-orang Aborigin, tetapi merupakan area yang tidak didatangi oleh orang-orang kulit putih atau tempat-tempat yang mereka pilih untuk tidak mereka lihat. Lanskap tersebut termasuk tempat menangkap ikan dan berburu di rawa-rawa, sungai-sungai kecil, dan hutan-hutan, juga kamp Hari Natal di daerah pesisir pantai di mana komunitas-komunitas Aborigin menghabiskan beberapa minggu waktu mereka untuk camping. Lanskap tersebut termasuk juga jaringan rute dan jalan-jalan kecil, yang mana banyak dari rute dan jalan-jalan tersebut harus melewati daerah-daerah yang berada di bawah kontrol para pemilik lahan kulit putih, ada dari mereka yang baik hati maupun yang tidak mudah untuk memberikan ijin lewat bagi orang-orang Aborigin dalam perjalanan mereka untuk pergi menangkap ikan, berburu, atau mendirikan tenda-tenda hunian. Jaringan ini dan sejumlah informasi yang mendukungnya sangat penting untuk hunian tak terlihat mereka atau penggunaan sebuah topografi yang tidak lagi mereka miliki. Teater kota digunakan oleh kedua populasi, namun orang-orang Aborigin dipaksa untuk duduk terpisah di bagian depan. Kantor polisi juga merupakan sebuah situs di mana kedua lanskap seolah-olah bertemu, tetapi bagi sebagian sangat besar orang-orang Aborigin, di dalam sel-sel penjara di kantor polisi itulah mereka punya keakraban yang sangat. Tidak satu pun dari mereka yang pernah di sana dari balik meja.

KeterhubunganSalah satu hambatan untuk mengetahui nilai penting sosial lanskap heritage adalah karena adanya kecenderungan para pengelola heritage melihat tempat-tempat tersebut sebagai titik-titik yang berbeda dalam sebuah lanskap ketimbang sebagai elemen-elemen sebuah pola yang saling terhubung yang terkait dengan kehidupan masyarakat. Di Australia, praktik heritage dan birokrasi heritage dengan pendekatan berbasis pada situs telah tertanam dalam. Mungkin memang lebih mudah untuk mendata dan mengelola tempat-tempat sebagai entitas-entitas yang terpisah, namun cara ini dapat dengan mudah menyebabkan kesalahan interpretasi mengenai nilai penting budaya. Penduduk Aborigin di Australia seringkali sulit untuk mendamaikan pengalaman holistik mereka tentang daerah pedesaan dengan pendekatan yang sifatnya sebagian-sebagian yang lebih disukai oleh para praktisi heritage.Kita tahu bahwa banyak tempat-tempat yang kita sebut sebagai situs-situs heritage seringkali hanya berupa titik-titik pada jalan-jalan kecil atau setapak (atau jalur-jalur perlintasan). Situs-situs tersebut adalah momen-momen sebuah perjalanan melintasi sebuah lanskap. Ketika pendekatan berbasis situs digunakan pada heritage, titik-titik pada jalan-jalan setapak tersebut cenderung mendominasi cara berpikir kita dan jalan setapaknya sendiri tidak diperhatikan. Skenario berikut ini merupakan hasil refleksi penulis tentang perannya sebagai seorang arkeolog dan perekam situs.Selama pelaksanaan sebuah projek perekaman sejarah oral di Pantai Utara NSW, seorang arkeolog bertanya pada dua perempuan Aborigin apakah mereka bersedia menunjukkan kepadanya beberapa situs tempat menangkap ikan di sepanjang sungai besar yang terletak di antara tempat-tempat komunitasnya mendirikan tenda-tenda hunian dan di dekat kota. Ketiga ketiga orang itu sedang berkendara melintasi sebuah jalan sempit dari tempat kedua orang Aborigin tersebut tinggal menuju sungai tersebut, perempuan itu mengingat bagaimana ketika mereka dulu masih kecil pada tahun 1960-an, mereka selalu berjalan kaki melewati jalan ini untuk pergi menangkap ikan di sungai, seringkali bersama orang tua atau kerabat mereka. Mereka ingat pernah suatu kali ketika mereka memilih untuk mengambil jalan pintas melintasi sebuah lapangan tempat melatih kuda milik seorang petani yang terkenal tidak ramah terhadap penduduk Aborigin lokal dan mereka dikejar oleh anjing petani tersebut hingga kecebur masuk ke dalam sebuah kolam. Mereka ingat betapa takutnya mereka waktu itu dan mereka tertawa menceritakan kembali kisah mereka itu dan kemudian menjadi pelatuk ingatan-ingatan lain mereka tentang hal-hal yang terjadi ketika mereka sedang berjalan menuju sungai (untuk menangkap ikan). Setelah mencapai sungai, mereka berjalan turun melalui rerumputan menuju ke tepi sungai di mana mereka bercerita tentang ragam ikan yang telah mereka dan orang-orang Aborigin lainnya tangkap selama bertahun-tahun di tempat tersebut. Terjadi beberapa kali perdebatan ringan tentang ukuran beberapa ikan tersebut. Proses mengingat peristiwa-peristiwa menangkap ikan tersebut melebar ke pembicaraan tentang beberapa orang lainnya yang terlibat: di mana orang-orang tersebut sekarang berada, kapan mereka meninggal, detail-detail tentang kehidupan dan kepribadian mereka. Si arkeolog, yang telah mem-plot situs menangkap ikan di petanya kemudian menanyakan pertanyaan inti, menanyakan ke mereka untuk mendeskripsikan nilai penting tempat menangkap ikan tersebut, tempat di mana mereka berada pada saat itu. Apa arti tempat itu bagi mereka? Setelah jeda sejenak, salah satu dari kedua perempuan itu berkata, Jadi, ini adalah tempat yang biasanya kami datangi dan menangkap ikan di sini. Kami masih sering datang ke sini, bersama anak-anak kami. Ada jeda lainnya ketika mereka memperhatikan sekeliling tempat itu. Perempuan yang satunya lagi berkata, Sebenarnya, tidak banyak yang dapat kami ceritakan tentang tempat ini. Seolah-olah, dia kehilangan kata-kata. Tetapi ketika dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, mereka ngobrol lagi tentang hari-hari saat mereka masih kecil ketika sedang berjalan menuju ke sungai dari tenda-tenda tempat mereka tinggal. Apa yang telah direkam si arkeolog adalah sebuah titik di atas peta: sebuah situs/tempat menangkap ikan. Namun apa yang kedua perempuan itu bicarakan apa yang mereka simpan dalam pikiran mereka adalah tindakan pergi menangkap ikan. Ingatan pergi menangkap ikan tersebut ternyata sangat sedikit yang terkait dengan situs menangkap ikannya. Bagi mereka, jalan menuju dan kembali dari menangkap ikan sama kayanya dalam ingatan mereka dengan situsnya. Tindakan pergi menangkap ikan melibatkan keseluruhan bidang lanskap yang dilalui dan dialami selama pergi menangkap ikan. Dan bahkan ketika orang-orang tersebut sudah berada di situs tersebut untuk menangkap ikan, mereka menghabiskan banyak waktu mereka untuk memperhatikan pemandangan di sekitar sungai, menikmati pemandangannya, berpikir tentang cuaca, bertanya-tanya di mana kira-kira ikannya berada, memperhatikan tempat--tempat lain di sepanjang tepian sungai dan mengingat kapan mereka pernah berhasil menangkap ikan dari tempat-tempat tersebut, bersama siapa mereka saat itu, dan ikan apa yang mereka tangkap. Cara mereka memandang terus meluas dari tempat mereka berdiri dan cara pandang ini melampaui batas-batas situs itu sendiri. Tindakan si arkeolog dalam merekam situs menangkap ikan tersebut sebagai sebuah situs benar-benar telah memisahkan atau melepaskan tempat tersebut dari hampir segala hal yang membuat pergi menangkap ikan bermakna bagi kedua perempuan tersebut. Akurasi situs yang di-plot oleh si arkeolog di atas peta menyembunyikan ketidakakuratan kasar keseluruhan usaha perekaman tersebut. Ini adalah sebuah kesalahan interpretasi tentang realitas sosial. Situs dalam kasus ini tidak hadir sebagai sebuah situs yang berdiri sendiri. Berpikir dengan cara seperti itu sama seperti ketika kita melepaskan sebuah manik-manik dari kalungnya, memegangnya, dan mengatakan ini adalah sebuah kalung. Apa yang dilakukan si arkeolog itu pada dasarnya adalah meminta mereka untuk menerjemahkan keseluruhan dan kekayaan makna pergi menangkap ikan menjadi konsep situs yang eksotis dan asing.

Tidak sulit melihat bahwa apa yang terjadi di sini adalah bahwa makna sosial sebuah tempat, dalam pemaknaan si arkeolog, adalah hal penting yang kesekian. Ini adalah sebuah kasus yang mengistimewakan fisik ketimbang sifat sosial situs tersebut.

Model lama: heritage sebagai materiPrioritas yang relatif rendah yang diberikan pada nilai sosial lanskap-lanskap heritage adalah sebuah produk paradigma konservasi heritage yang menganggap tempat-tempat tersebut sebagai objek atau materi. Berikut ini, beberapa ciri paradigma ini akan dibahas.Bagi staf agen-agen heritage pemerintah, mereka seringkali sulit menyadari, atau mengingatkan orang lain, bahwa warisan budaya adalah tentang masyarakat, komunitas-komunitas, dan nilai (value) yang diberikan masyarakat pada lanskap-lanskap heritage tersebut. Dalam peran mereka menjalankan peraturan tentang heritage, para staf tersebut berhubungan dengan para pemilik lahan atau pengembang yang mencari celah keputusan-keputusan tentang pengelolaan aspek fisik lanskap-lanskap heritage tersebut dan mereka enggan mengakui bahwa tempat-tempat tersebut dapat saja punya nilai penting sosial. Pada level lainnya, staf warisan budaya seringkali berusaha keras meyakinkan staf pada area perlindungan lingkungan bahwa lanskap alam juga merupakan lanskap budaya, bahwa lanskap alam tersebut punya sejarah penggunaan oleh manusia dan seringkali diberi nilai oleh komunitas-komunitas dengan alasan-alasan kultural. Seringkali, kita seolah-olah lupa bahwa warisan budaya juga tentang budaya.Penolakan terhadap nilai penting sosial sepertinya merupakan hasil dari monopoli arkeologi dan arsitektur pada bidang pengelolaan warisan budaya. Meskipun begitu, kita juga harus ingat peran yang dimiliki oleh para pengembang, perencana, dan pengelola lahan dalam memelihara keutamaan segi arkeologi dan arsitektur. Para pengembang, perencana, atau pengelola lahan seringkali lebih memilih berurusan dengan arkeolog atau arsitek ketimbang komunitas-komunitas lokal karena lebih mudah berurusan dengan arkeolog dan arsitek ketimbang komunitas-komunitas lokal. Ini dapat dipahami. Namun yang seperti itu sudah tidak bisa lagi dipertahankan di dunia di mana konservasi merupakan arena tindakan komunitas.

Komodifikasi budayaMenganggap bahwa pendekatan materialis pada praktik warisan budaya (fokus pada substansi fisik) tidak terkait dengan kekuatan-kekuatan sosial dan historis yang lebih dalam adalah hal yang naif. Salah satunya adalah kecenderungan masyarakat kapitalis dalam mengkomodifikasi hal-hal.Dalam kritik Karl Marx terhadap kapitalisme, orang-orang biasa (para buruh) teralienasi dari barang-barang yang mereka produksi karena majikan mereka, orang yang mengontrol modal (kapital), hanya tertarik pada nilai moneter (monetary value) dari hasil produksi (output) mereka. Revolusi industri, dalam pandangan ini, melahirkan sebuah dunia di mana produksi objek dan kekayaan diistimewakan di atas kesejahteraan orang banyak. Sistem nilai baru ini dengan segera menaturalisasi atau menormalisasi dirinya sendiri sehingga keseluruhan populasi baik para pemilik kapital maupun para buruh/budak kapital segera menginternalisasi nilai-nilainya. Akumulasi kapital dan barang-barang dan kerja tanpa akhir yang harus ada untuk memperoleh keduanya (akumulasi kapital dan barang-barang) kemudian dipandang sebagai hal yang baik secara moral.Konsep tentang warisan budaya yang kita gunakan sekarang ini pertama kali muncul dalam masyarakat Eropa utara pada abad ke-19 yang merupakan masyarakat yang mendorong dunia masuk ke dalam perkembangan kapitalisme. Banyak ahli yang telah menghubungkan wujud konsep ini dengan pertalian antara modal ekonomi dan modal kultural. Secara khusus, cara pandang seperti ini terkait dengan munculnya kecenderungan negara-negara bangsa yang mulai berpikir tentang diri mereka sebagai pemilik sebuah heritage atau warisan dalam bentuk modal kultural (Anderson 1991). Modal kultural (kekayaan nasional) termasuk di dalamnya objek-objek dan tempat-tempat kuna yang sekarang ini dianggap sebagai sebentuk properti milik negara (Handler 1985, 1988).Tersulingnya pemahaman tentang komodifikasi berjalan seiring dengan gagasan tentang reifikasi. Dalam sebuah essei yang sangat terkenal pada tahun 1922, Georg Lucaks menyerang pembedaan yang diberikan antara objektivitas dan subjektivitas. Dia berpendapat bahwa pembedaan ini dalam dirinya sendiri merupakan sebuah produk sistem nilai kapitalis. Konsep reifikasi telah diserap ke dalam ilmu-ilmu sosial di mana konsep tersebut digunakan, misalnya, untuk menjelaskan bagaimana kita berpikir tentang budaya sebagai sebuah benda (thing) ketimbang sebagai sekumpulan gagasan, tindakan, dan keyakinan yang tersimpan dalam pikiran orang-orang.Gagasan bahwa kita dapat atau seharusnya melestarikan (preserve) budaya adalah sebuah contoh tentang reifikasi ini. Asumsinya di sini adalah bahwa budaya adalah sebuah benda (thing), sebuah objek yang dapat dianggap berasal dari luar, sebuah entitas yang tersedia untuk konservasi. Implikasinya adalah bahwa budaya merupakan sesuatu yang dapat hilang, seolah-olah itu adalah sekumpulan kunci mobil. Namun yang sebenarnya, budaya hanyalah sebuah kata yang kita berikan pada keseluruhan pola pikiran dan tindakan orang-orang. Sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, budaya adalah sebuah proses ketimbang sebuah objek. Dalam ilmu-ilmu sosial, banyak yang melihat kajian heritage sebagai kajian yang berkontribusi pada kian meningkatnya reifikasi atau pembendaan (thingification) (Taussig 1992: 84) budaya. Telah terdapat kajian yang serius tentang peran wacana heritage dalam mengobjektifikasi budaya masyarakat Aborigin Australia dan sejauh mana masyarakat Aborigin itu sendiri hanya memiliki sedikit pilihan, namun juga terlibat dalam wacana yang sarat akan kekuasaan di mana artefak-artefak dan tradisi-tradisi diistimewakan di atas tindakan sosial (Keefe 1988; Lattas 1990; Merlan 1989). Sebagai sebuah contoh tentang reifikasi, kita dapat membayangkan sebuah skenario di mana seorang praktisi heritage, dalam usahanya merekam sejarah oral seorang Aborigin, merekam sebuah cerita yang diceritakan tentang sebuah situs misi Aborigin pasca kontak atau sebuah situ Dreaming (mitologis). Hasil praktis dari pekerjaan ini kemungkinan berupa perekaman tempat-tempat tersebut ke dalam sebuah inventaris heritage yang lebih mengedepankan tempat-tempat tersebut ketimbang kisah-kisahnya dengan kata lain, apa yang diinventaris adalah tempat-tempat dengan kisah-kisah yang terkait ketimbang kisah-kisah dengan tempat-tempat yang terkait.

Inventaris dan komodifikasiInventaris heritage, di samping sangat penting untuk tugas konservasi heritage, juga menjadi sandaran untuk komodifikasi heritage. Ini sebagian melalui kecenderungannya menjelaskan tempat-tempat dalam pengertian fisiknya ketimbang nilainya (misalnya, nilai sosialnya). Ketika perekaman sebuah tempat dimasukkan ke dalam inventaris, bahaya yang muncul adalah bahwa rekaman tersebut akan dianggap ekuivalen dengan tempat tersebut. Pada kasus situs-situs arkeologis masyarakat Aborigin, apa yang umumnya direkam oleh para arkeolog adalah hanya bagian dari situs yang terlihat mata mereka (misalnya, artefak-artefak batu yang terlihat di sepanjang pembatas jalan atau pada permukaan yang mengalami erosi) ketimbang luasan yang sebenarnya dari situs tersebut. Jelasnya, pada kasus ini, perekaman merupakan sebuah representasi yang tidak lengkap mengenai situs tersebut.Rekaman inventaris tersebut bahkan bisa menjadi realitas yang lebih nyata ketimbang tempat yang direpresentasikannya. Seringkali kejadiannya adalah ketika sebuah situs arkeologis Aborigin ada dalam inventaris, perekaman dalam inventaris itulah yang akan diacu dalam laporan-laporan penaksiran dampak lingkungan ketimbang informasi yang diperoleh setelah dilakukan kunjungan kembali pada situs tersebut di lapangan. Sepertinya, sejumlah 50.000 situs yang direkam dalam inventaris heritage Aborigin (AHIMS) NSW tidak pernah dikunjungi kembali di lapangan setelah dilakukan pendataan pertama untuk inventaris tersebut. Situs-situs tersebut kita ketahui terutama melalui data inventaris. Jadi, tempat yang sesungguhnya menjadi kabur seiring kita secara terus-menerus mengacu pada data inventaris yang sudah tersedia dan dapat diakses.Inventaris-inventaris heritage, jika tidak dikelola secara hati-hati, dapat menjadikannya komodifikasi heritage. Inventaris-inventaris tersebut mengandung rincian-rincian lokasi (kartografi dan kadaster) tempat-tempat dan data tempat-tempat tersebut yang dapat dikuantifikasikan. Sebagai persoalan yang prinsipil, baiknya ada semacam kesepakatan di antara para profesional heritage bahwa nilai-nilai sosial harus diprioritaskan melebihi, atau setidaknya setara, dengan nilai-nilai keilmuan dan arsitektur. Namun ketika nilai-nilai tersebut disertakan ke dalam sebuah inventaris, tempat-tempat tersebut dapat dengan mudah terlepas dari konteks komunitasnya. Data lokasi dan arkeologis dapat dianggap memiliki makna yang berdiri sendiri, yang terpisah dari aspek-aspek nilai penting lainnya dari sebuah tempat.Nilai penting intrinsik dan emanensiPrinsip yang terbangun di dalam sebagian besar legislasi tentang warisan budaya adalah bahwa nilai penting sebuah lanskap heritage terletak pada substansi fisik atau bentuk tempatnya. Asumsinya adalah bahwa nilai penting tersebut berupa makna yang intrinsik pada atau inheren dalam sebuah tempat, bukannya dilekatkan oleh orang-orang pada tempat tersebut. Diperlukan adanya sebuah kritik tentang prinsip ke-inheren-an yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk peran nilai sosial dalam pengelolaan heritage ini.Dalam kontribusi yang mungkin paling penting untuk diskusi tentang nilai penting di USA, Tainter dan Lucas (1983) memberi catatan bahwa hukum dan piagam tentang warisan budaya, dari tahun 1930-an hingga 1950-an, semuanya menyertakan gagasan bahwa heritage pada dasarnya memiliki kualitas-kualitas intrinsik yang membuatnya unik dan secara inheren bernilai atau bernilai penting (significance). Mereka melacaknya hingga ke pengaruh tradisi filsafat Barat yang dikenal dengan beragam cara sebagai empirisme atau positivisme. Tradisi ini mengistimewakan pengalaman langsung atau observasi terhadap fenomena dalam menentukan realitas empiris. Dalam pandangan penganut empiris-positivis, nilai penting dianggap ada dalam sifat budaya, bukannya dalam pikiran pengamatnya, peran pengamat tersebut adalah secara objektif melaporkan sifat yang diamatinya sifat yang dapat dibuktikan.Para pemikir pascastrukturalis, di sisi lain, menolak gagasan tentang observasi dan bahasa sebagai sesuatu yang objektif dan netral secara teori. Selama pergeseran paradigma yang luar biasa hebatnya dalam sejarah keilmuan (seperti yang ditunjukkan oleh Kuhn), bukan saja teori yang mengalami perubahan, tetapi yang lebih fundamental, yaitu persepsi dasar tentang objek studi pun ikut berubah, sehingga objek studi seringkali dipandang memiliki sifat yang berbeda. (Tainter dab Lucas 1983: 713). Mengutip para ahli pascastrukturalis, Tainter dan Lucas (1983: 713) menuliskan bahwa teori-teori yang kita gunakan, juga pelatihan dan pendidikan kita, secara mendasar mempengaruhi pengalaman indrawi kita. Dia menggarisbawahi,. . . bahwa makna secara inheren terletak dalam objek persepsi . . . bertentangan dengan teori dan pengalaman antropologi dasar. Bagi siapa pun yang akrab dengan variasi lintas budaya dalam sistem-sistem simbol, seharusnya sudah menjadi jelas baginya bahwa makna ditandai melalui pikiran manusia.(1983: 713)

Sebelum melihat implikasi yang lebih luas dari kritik tersebut, kita perlu membahas implikasinya bagi arkeologi. Profesi arkeologi telah menolak gagasan nilai penting inheren tesis inherensi, sebagaimana Leone dan Potter (1992) menyebutnya. Dalam sebuah ulasan 83 karya terpublikasi tentang penaksiran nilai penting dalam arkeologi, yang kajiannya melingkupi periode 1972 hingga 1994, Briuer dan Mathers (1996: 11) menemukan adanya semacam kesepakatan di antara para penulis karya-karya tersebut mengenai prinsip bahwa nilai penting merupakan sebuah konsep yang dinamis dan relatif, bahwa nilai penting itu sifatnya pemberian, bukannya inheren, dan bahwa sifatnya dapat berubah, bukannya statis.Sejak tahun 1970-an, para arkeolog baik di USA maupun di Australia, dalam praktik, mengganti prinsip nilai penting inheren dengan prinsip keterwakilan (representativeness). Bermula dari premis bahwa semua situs sifatnya unik dan penting namun mengakui kenyataan bahwa tidak semua situs dapat dilestarikan mereka memfokuskan energi mereka untuk menentukan situs-situs mana saja yang representatif pada beragam level geografis (misalnya, skala lokal, skala regional) dari sekian banyak situs yang ada.Meskipun para arkeolog menolak prinsip nilai penting inheren, namun mereka cenderung melakukannya hanya dalam kaitannya dengan penaksiran arkeologis mereka. Meskipun mereka menganggap bahwa nilai penting itu dilekatkan atau diberikan, namun mereka tetap enggan mengakui bahwa nilai-nilai yang dilekatkan oleh orang-orang non-arkeolog pada tempat-tempat sama validnya dengan nilai-nilai yang mereka lekatkan pada tempat-tempat tersebut. Namun jika kritik inherensi berangkat dari kesimpulan logisnya, maka kita harus mengakui bahwa non-arkeolog sangat tidak mungkin menandai tempat-tempat dengan cara yang sama dengan yang kita lakukan. Jika nilai penting diakui sebagai pemberian, bukannya inheren, maka apa yang seseorang ukirkan (pada sebuah heritage) agaknya sama validnya dengan apa yang orang lain ukirkan (pada heritage yang sama). Ini bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa nilai penting, sebagai kualitas yang subjektif dan variabel, tidak mungkin digambarkan. Pada sebagian besar kasus, terdapat tingkat kesepakatan yang diberikan oleh kelompok-kelompok tentang makna tempat-tempat. Sebagian besar arkeolog mungkin sepakat, misalnya, bahwa sebuah situs tertentu bernilai karena layer-layer tinggalan-tinggalan yang terdapat di situs tersebut mewakili sebuah periode waktu yang panjang. Sebagian besar anggota masyarakat Aborigin mungkin sepakat bahwa situs yang sama punya nilai penting karena kaitannya dengan cerita Rainbow Serpent Dreaming.Fokus perhatian saya di sini pada konsep nilai penting intrinsik/inheren merefleksikan pengaruh yang saya percayai telah ada dalam profesi heritage terkait dengan pengabaian penaksiran nilai penting sosial. Dengan menganggap objek-objek dan tempat-tempat heritage memiliki makna dalam dirinya sendiri, itu berarti melepaskannya, dalam sebuah pengertian, dari konteks sosialnya. Namun kita harus berhati-hati bahwa kritik inherensi, di samping telah menolak salah satu tradisi Barat, akan berbahaya apabila diterapkan pada yang lainnya. Proposisi bahwa nilai penting diukirkan dan dikonstruksi secara sosial akan demokratis sifatnya sejauh itu mengakui keragaman makna yang dimiliki sebuah tempat memang telah umum diterima, namun itu juga dapat mengabaikan fakta bahwa sebagian besar populasi dunia meyakini bahwa banyak lanskap heritage secara inheren sakral dan punya kekuatan. Barangkali benar bahwa banyak dari mereka yang hidup di dunia Barat sejak Reformasi Protestan telah menolak gagasan tentang keberadaan nyata, makna bahwa keberadaan Tuhan (atau dewa, santo, dan sebagainya) dapat terwujud dalam objek-objek dan tempat-tempat yang merupakan agen-agen tuhan. Namun jutaan orang masih mempercayai hal ini. Bagi orang-orang yang percaya, dalam keyakinan mereka, kekuatan yang dimiliki oleh objek-objek dan tempat-tempat tersebut tidak dilekatkan (diukirkan) ke benda-benda dan tempat-tempat tersebut, tetapi memang sudah ada di sana. Keyakinan mereka seringkali diperkuat dengan kesaksian tentang daya mujarab objek-objek dan tempat-tempat tersebut, seperti pada kasus-kasus sakit yang sembuh setelah menyentuhkan (si sakit) ke objek-objek atau tempat-tempat tersebut. Sistem keyakinan seperti itu, yang terkadang dianggap sebagai religi yang sifatnya imanen (Eire 1986), menjadi bukti pentingnya peran yang dimainkan oleh tempat-tempat dan objek-objek tersebut melalui keyakinan orang-orang tentang kekuatan inheren yang dimilikinya.Tentu saja, kita cenderung mengatakan bahwa yang imanensi, pada akhirnya, bersandar pada keyakinan. Namun hal ini setara dengan cara kita merasionalisasi realitas. Bagi penduduk sebuah desa di Thailand yang melakukan ritual seserahan untuk meredakan kemarahan dewa animis mereka (phi) yang menghuni situs sebuah kuil Budha kuna, roh yang membungkus tempat tersebut hadir dalam kehidupan mereka. Dalam dunia sehari-hari yang didiami oleh penduduk desa tersebut, kekuatan dewa tersebut mewujud dalam berbagai cara (misalnya, dalam bentuk kesialan ketika mengunjungi orang-orang yang melanggar hak-hak kedewaan di tempat tersebut). Dalam tatanan kebendaan seperti itu, tempat-tenpat memiliki perwakilan. Tempat-tempat tersebut punya kemampuan menyebabkan sesuatu kepada orang-orang ketika orang-orang tersebut melakukan sesuatu padanya.Di negara-negara seperti Cina, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, keyakinan dan praktik religi jenis ini, yang seringkali dianggap memiliki dimensi magis-supranatural agama populer, tampaknya semakin merebak, bukannya merosot, di bawah kondisi-kondisi modernitas dan pesatnya perkembangan ekonomi (Jackson 1999; Keys, Hardacre, dan Kendall 1994). Kegagalan kita terlibat dalam realitas kehidupan berupa praktik dan keyakinan seperti itu membahayakan dunia konservasi heritage yang tetap terpisah dari kehidupan sehari-hari mayoritas populasi di negara-negara tersebut.

Model baru: warisan budaya sebagai tindakan sosialDengan mengacu pada Appadurai yang telah disebut sebelumnya, terkait dengan gagasan tentang budaya sebagai substansi, hal ini telah membawa kita kembali ke gagasan awal tentang budaya sebagai sebuah ras, sebuah gagasan yang diharapkan telah ditinggalkan dengan lahirnya konsep tentang budaya itu sendiri. Appadurai mengatakan bahwa kita menganggap budaya seperti cara kita dalam menggerakkan identitas-identitas kelompok. Pada bagian berikut, saya menggali gagasan bahwa warisan budaya adalah sebuah kajian tentang tindakan sosial/budaya.

Perubahan budaya dan nilai penting sosialDalam sebuah buku yang punya dampak besar terhadap cara berpikir para antropolog tentang budaya, Eric Wolf (1982) menunjukkan jumlah waktu yang dihabiskan anggota-anggota sebuah budaya untuk beradaptasi dengan keadaan-keadaan baru, menginterpretasikan sejarah mereka, dan menemukan praktik-praktik baru. Wolf menulis bahwa, [sebuah] budaya akan lebih baik apabila dipandang sebagai serangkaian proses yang membentuk (construct), membentuk ulang (reconstruct), dan membongkar materi-materi budaya . . . (1982: 378). Sekarang ini, budaya dipandang jauh lebih cair dan dapat berubah dibandingkan dengan pandangan tentang budaya sebelumnya. Masyarakat dipandang bukan sebagai pewaris atau penerima pasif budaya, tetapi sebagai pemilik aktif dan perubah budaya.Pada titik ini, akan bermanfaat melihat bahwa budaya dan ruang budaya (cultural space) sebagai sesuatu yang dikomunikasikan lintas generasi. Lanskap budaya pada satu waktu dapat dihuni oleh beberapa generasi yang berasal dari strata yang berbeda. Lanskap yang diatur secara kultural oleh satu generasi, diwariskan kepada generasi penerusnya, tetapi diinterpretasikan ulang dalam cara pandang pengalaman generasi penerus tersebut ketimbang diterima begitu saja sebagai sebuah warisan. Mereka ini adalah agen-agen dalam proses penciptaan sejarah, bukan penerima pasif pengetahuan historis. Generasi-generasi yang berbeda memiliki pengalaman sejarah yang berbeda (Colson 1984: 1-13; Rosaldo 1980) dan nilai penting atau makna lanskap-lanskap heritage secara bersamaan diwarisi dan ditemukan kembali oleh mereka yang hidup. Mereka yang hidup ini dapat dianggap sebagai orang-orang yang terus-menerus mereproduksi nilai penting.Lanskap historis diwariskan oleh satu generasi sebagai sebuah konfigurasi tempat yang nilai pentingnya dibentuk oleh generasi sebelumnya. Nilai penting ini dikomunikasikan oleh anggota-anggota generasi sebelumnya tersebut yang sekarang telah tua. Pada masyarakat Aborigin Australia, sebagaimana pada masyarakat lainnya yang lebih mengistimewakan tradisi oral ketimbang tradisi tulisan, komunikasi seperti inilah satu-satunya yang dapat terjadi karena adanya tumpang tindih generasi. Jika sebuah generasi berjarak 25 tahun, maka setidaknya sejumlah empat generasi kemungkinan hidup bersama dan berbagi lanskap bersama dalam satu waktu. Juga, mereka yang masuk dalam kategori generasi menengah, yang sudah berusia 40-60 tahun, berada di antara layer generasi yang lebih tua dan lebih muda. Mereka yang berasal dari generasi yang paling baru, mewarisi lanskap historis generasi orang tua mereka dan generasi nenek-kakek mereka, sekaligus menginterpretasikan ulang atau memediasi generasi orang tua mereka. Namun mereka dapat juga menerima itu secara langsung dari generasi nenek-kakek mereka. Kompleksitas situasi tersebut dapat dihargai jika kita mengakui bahwa tiap pengerjaan ulang lanskap oleh individu bukanlah sesuatu yang tuntas dan konkrit, tetapi sebuah proses menjadi (becoming) yang terus-menerus berlangsung hingga mati.Namun bukan semata proses interpretasi ulang jejak-jejak fisik tersebut yang menciptakan dinamika lanskap historis. Generasi penerus menambahkan jejak-jejak mereka dalam bentuk benda-benda yang mereka buat, tempat-tempat yang mereka kunjungi, mobil yang mereka kendarai dan tinggalkan, dan acara-acara (event) yang mereka saksikan dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan demikian, lanskap diautentifikasi (diberi cap diri) atau dipersonalisasi oleh setiap generasi dalam sebuah cara yang sifatnya transaksional, dalam pengertian bahwa masa kini dan masa lalu bertindak satu-sama lainnya.Dalam penaksiran nilai penting sosial tempat-tempat dan lanskap heritage, transmisi dan perubahan lintas generasi harus dipertimbangkan secara serius. Harus diakui bahwa nilai penting ini dapat dan berubah sepanjang waktu: sebuah penaksiran sosial yang dilakukan dua puluh tahun yang lalu, sekarang ini adalah dokumen sejarah, bukan sebuah dasar untuk menentukan nilai penting sebuah tempat di masa kini.Di Australia, salah satu dari projek-projek paling penting mengenai kajian tentang masyarakat Aborigin selama dua dekade terakhir adalah untuk menunjukkan bagaimana persepsi lama orang-orang Aborigin yang dianggap tardisional, usang, dan statis telah berfungsi menindas orang-orang Aborigin kontemporer, khususnya di wilayah-wilayah seperti New South Wales (NSW). Masyarakat Barat punya sejarah cara pandang terhadap budaya-budaya lainnya sebagai masyarakat yang terikat oleh adat-istiadat dan kurang hidup dan dinamis ketimbang budayanya sendiri (Thomas 1989: 39). Budaya-budaya lain dipandang kurang mampu berubah dan berinovasi. Kita tidak akan mengacu pada Inggris abad ke-18 atau 19 untuk berpikir tentang tradisional karena sejarah memberitahu kita bahwa periode ini, periode revolusi industri, adalah sebuah periode terjadinya perubahan besar pada masyarakat Inggris. Dengan cara yang sama, perubahan-perubahan tersebut tidak dipercaya telah membuat Eropa secara kultural berkurang ke-Eropa-annya. Barat, dengan kata lain, melihat perubahan sebagai hal yang alami dan pantas untuk budayanya. Namun ketika budaya-budaya tradisional non-Barat misalnya, budaya Aborigin diamati mengalami perubahan dalam konteks kolonial, ini dianggap sebagai gejala kemunduran atau keruntuhan budaya. Perubahan tersebut dipandang merepresentasikan sebuah kehilangan integritas dan autentisitas. Perubahan-perubahan juga hampir selalu dilihat sebagai perubahan yang dipaksakan pada budaya-budaya tersebut, hampir tidak pernah dilihat sebagai respon yang inovatif oleh orang-orang yang, meskipun bukan pilihan mereka untuk dikolonisasi, punya kesempatan dalam mengambi keuntungan dari situasi-situasi baru yang ada.Antropolog James Clifford (1988: 5) menjelaskan cara Barat melihat situasi orang-orang yang dikolonisasi:Memasuki dunia modern, sejarah mereka yang terlihat nyata segera menghilang. Disapu sebuah takdir didominasi oleh si kapitalis Barat dan oleh beragam (gagasan) sosialisme mutakhir secara teknologis, orang-orang yang tiba-tiba (dianggap) terbelakang ini tidak lagi menemukan masa depan lokal. Apa yang berbeda tentang mereka tetap terikat di masa lalu yang tradisional, struktur yang diwarisi yang bertahan atau menghasilkan sesuatu yang baru tetapi tidak bisa memproduksinya.

Seperti penduduk asli Benua Amerika di Amerika Serikat, orang-orang Aborigin kontemporer di Australia selalu dipandang sebagai orang-orang yang berhasil bertahan (survivor), sebuah kategori berpredikat harum dengan konotasi kepasifan. Sebagai orang-orang yang berhasil bertahan, mereka tidak dapat didefinisikan dinamis, inventif, atau ekspansif (Clifford 1988: 284).

Tempat-tempat dengan masa depan lokalSangat sedikitnya perekaman tentang lanskap-lanskap heritage periode sejarah masyarakat Aborigin (pasca kontak dengan orang-orang Kulit Putih) di Australia menyiratkan bahwa banyak dari pemikiran lama, yang digambarkan di atas, masih punya pengaruh dalam lapangan praktik heritage Australia (Byrne 2003b). Seperti telah disebutkan sebelumnya, tampaknya ada sebuah persepsi bahwa heritage masyarakat Aborigin pra kontak (sebelum 1788) bersifat lebih autentik Aborigin ketimbang heritage-heritage periode setelahnya. Harus dikatakan bahwa cara berpikir seperti itu dapat memproduksi sebuah iklim yang membuat nilai penting sosial lanskap-lanskap heritage tersebut bagi masyarakat Aborigin sekarang ini di NSW tidak akan diperlakukan secara seirus.Berhadapan dengan situasi seperti ini, masyarakat Aborigin telah merasakan adanya semacam paksaan untuk menggunakan bahasa sakral guna mendeskripsikan nilai lanskap heritage mereka yang seolah-olah sekuler. Sebagai contoh, sebuah situs timbunan sampah kerang sekarang ini mungkin punya makna simbolis dan asosiasi-asosiasi emosional yang dulunya tidak ada dalam budaya tradisional. Beberapa orang Aborigin, ketika datang di tempat-tempat seperti itu, dipenuhi sebuah perasaan tentang hadirnya orang-orang dulu dan rasa sedih terkait apa yang terjadi pada orang-orang tersebut kesedihan tentang kekerasan pada periode pembatasan dan penindasan yang diderita oleh nenek moyang mereka di bawah kebijakan-kebijakan Proteksi pemerintah. Dalam sebuah situasi ketika sistem heritage hanya memiliki satu kategori untuk situs-situs tersebut (timbunan sampah kerang - arkeologis) dan hanya responsif terhadap dua kategori nilai atau nilai penting (arkeologi dan sakral/Dreaming), seringkali terjadi orang-orang Aborigin mendeskripsikan situs-situs tersebut sebagai situs yang sakral. Dengan nada yang sama, Jane Jacobs (1988) menunjukkan cara kerangka kerja hukum yang menghubungkan hak-hak masyarakat Aborigin atas tanah di Australia Selatan telah menempatkan sebuah penekanan yang berlebihan pada situs yang sakral, menyebabkan situs dipandang sebagai situs Aborigin yang autentik. Ketika orang-orang Aborigin pada akhirnya menggunakan kategori sakral dalam konteks tersebut, mereka melakukan itu bukan karena mereka sangat menginginkan sebuah kata yang lebih baik atau sebuah sistem legal dan sistem heritage yang dapat mengakui bahwa ada cara-cara autentik yang unik untuk dilakukan pada masyarakat Aborigin sekarang ini dalam menilai tempat-tempat.Clifford menulis bahwa lebih mudah meregister hilangnya tatanan tradisional yang berbeda ketimbang merasakan munculnya tatanan yang baru (Clifford 1988: 15). Sayang sekali, hanya sedikit praktisi heritage yang sensitif terhadap wacana heritage kontemporer/modern yang unik yang kita lihat di antara penduduk lokal hari ini. Sebagai contoh, dalam skenario yang melibatkan tumpukan sampah kerang, ada sebuah kegagalan pada bagian sistem heritage untuk mengakui bahwa sebuah tempat kuna dapat didaur ulang menjadi budaya Aborigin dengan sebuah makna baru. Dengan kata lain, ada kegagalan mengakui bahwa nilai penting sebuah tempat dapat diperbaharui (up-dated), sebuah kegagalan, meminjam istilah Clifford, untuk mengakui bahwa sebuah tempat kuna dapat diberikan masa depan lokal.Bagian dari proses pemasadepanan lokal ini melibatkan kesadaran diri yang baru atau refleksi bahwa penduduk lokal sekarang ini memiliki cara hidup mereka sendiri. Tentu saja, ini adalah salah satu gejala modernitas. Ada pengakuan umum bahwa salah satu ciri modernitas adalah akselerasi perubahan praktik-praktik sosial yang cepat dengan datangnya informasi baru dan dengan perilaku merefleksikan praktik-praktik tersebut (Giddens 1990: 38). Kesadaran diri khusus ini dimungkinkan oleh kemajuan media cetak dan kemudian, tentu saja, media elektronik. Sebagai contoh, semakin sedikit komunitas lokal di dunia yang tidak menyadari bahwa ruang (sphere) aktivitas melibatkan identifikasi dan konservasi lanskap-lanskap warisan budaya. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa praktisi heritage sekarang ini tidak dapat pergi ke komunitas lokal untuk mengakses nilai penting sosial sebuah tempat kuna tanpa mengetahui bahwa ekspresi nilai penting komunitas tersebut tidak dipengaruhi atau terstruktur oleh konsep heritage yang diterima. Wacana heritage telah tiba pada komunitas mendahului praktisi heritage dan ekspresi-ekspresi nilai penting sebuah tempat yang sifatnya lokal akan disaring melalui wacana ini.Tentu saja, ini tidak bermaksud mengatakan bahwa ekspresi-ekspresi nilai penting lokal tersebut tidak autentik. Itu hanya berarti bahwa penduduk lokal terlibat, seperti kita sebagai praktisi heritage, dalam urusan memproduksi heritage yang sifatnya reflektif dan sadar diri. Lebih lanjut, kita juga dapat menyebutkan perkembangan dalam dunia pasca kolonial, sejak tahun 1950-an, terkait dengan membicarakan kembali atau menuliskan kembali. Kajian-kajian pasca kolonial menjelaskan cara subjek-subjek yang dulunya dikoloni di tempat-tempat seperti India, Afrika, dan Karibia telah membalik sistem pengetahuan yang dimiliki Barat pada hal tersebut. Para sarjana di negara-negara berkembang telah menggunakan pendidikan Barat di bidang ilmu seperti Sejarah, Antropologi, dan Kajian-Kajian Budaya untuk menyusun sebuah serangan pada Barat dan perlakuan Barat terhadap mereka. Tidak sulit menemukan contoh-contoh orang-orang Aborigin terlibat dalam wacana heritage dengan cara ini. Ketika John Ah Kit (1995: 34-36), misalnya, menggunakan pemahamannya tentang proses-proses heritage yang berlaku di Northern Territory guna meluncurkan sebuah kritik mengenai cara proses-proses tersebut mengeluarkan pengalaman orang-orang Aborigin dari heritage sejarah di wilayah itu, dia tidak lagi, jika pernah, menjadi seorang subjek yang pasif atau menerima begitu saja praktik heritage tersebut, tetapi menjadi seorang pembicara yang aktif.Jelas bahwa hasrat untuk mereformasi persepsi publik bukanlah sebuah premis yang baik untuk sebuah program penaksiran nilai penting sosial. Meskipun begitu, ada argumen yang mengatakan bahwa intervensi dapat dibenarkan ketika hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan. Chris Johnson (1990: 35) adalah pendukung hal ini di Australia. Bukannya memberikan pendidikan formal tentang heritage, dia mengatakan, komunitas harus diberikan kesempatan untuk menemukan dan berpartisipasi dalam proses heritage. Di sini, Johnson mengakui bahwa dari sudut pandang komunitas lokal, fakta bahwa mereka memiliki keterikatan pada dan pengetahuan tentang sebuah tempat tidak serta merta atau tidak cukup buat memastikan mereka mau mengambil peran atau posisi dalam arena heritage. Jika sebuah komunitas lokal ingin dijadikan sebagai stakeholder yang efektif dalam pengelolaan heritage, maka mereka harus mengembangkan skil-skil tertentu.Proses konservasi heritage punya konsep dan bahasanya yang sudah ditentukan. Heritage adalah sebuah diskursus yang perlu dipelajari oleh mereka yang non-profesional apabila mereka ingin cara pandang mereka dianggap. Dalam istilahnya Johnson (1990: 36), mereka perlu menjadi ahli khusus. Agaknya, dalam benak Johnson, diperlukan skenario komunitas lokal tidak hanya semata menilai sebuah bangunan tua atau sebuah fitur lanskap; mereka juga harus, misalnya, mampu mendeskripsikan sejarah tempat tersebut dan mungkin sejarah-sejarah oral yang terkait dengan tempat tersebut.Semua itu merefleksikan kesadaran yang semakin tinggi tentang persamaan antara bahasa dan kekuasaan dalam ilmu-ilmu sosial sekarang ini. Kesadaran seperti ini berakar dari karya Filsuf Prancis, Michael Foucoult (1972, 1980). Setelah karya Foucoult tersebut, telah memungkinkan dan bermanfaat untuk menganggap bahwa bidang ilmu seperti arkeologi adalah sebuah formasi konsep-konsep dan bahasa yang dapat disebarkan guna menciptakan pengertian tertentu tentang jejak-jejak fisik masa lalu manusia. Selama lebih dari 100 tahun, para arkeolog telah berhasil mendapat pengakuan, oleh pemerintah dan institusi-institusi, sebagai orang yang memiliki keahlian yang sah pada jejak-jejak fisik masa lalu manusia. Terlepas dari baik atau buruknya, arkeologi sekarang ini dianggap sebagai yang membentuk pengetahuan yang tepat mengenai jejak-jejak tersebut. Di bawah keadaan seperti itu, ada sebagian orang (misalnya, yang non-arkeologi) yang telah meminjam beberapa wacana arkeologi untuk menjelaskan tempat-tempat kuna. Orang-orang Aborigin di Australia telah menyebarkan wacana arkeologi untuk menjelaskan beberapa bagian tertentu dari tempat-tempat kuna mereka, agaknya karena bahasa arkeologi lebih punya bobot dalam upaya perlindungan tempat-tempat dibandingkan dengan bentuk bahasa lainnya. Karena alasan yang sama pula, mereka terus-menerus menyebarkan wacana heritage. Mereka bahkan dapat dikatakan telah menyesuaikan atau membajak wacana heritage, sebuah wacana yang asal mulanya dari masyarakat kulit putih.

Persoalan agensiSosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, punya pengaruh penting terhadap pemahaman kita sekarang ini tentang bagaimana masyarakat dialami oleh individu (aktor sosial individu). Dia menciptakan istilah habitus yang mengacu pada pengetahuan terakumulasi yang digunakan individu agar dapat diterima dan berhasil dalam masyarakat (Bourdieu 1977). Sebuah habitus individu termasuk kemampuan seseorang mengambil bagian dalam sebuah percakapan kelompok, kemampuan humornya, kemampuannya menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dalam situasi-situasi yang berbeda, tata kramanya saat di meja makan, cita rasa seninya, atau pengetahuannya tentang konvensi olahraga. Ini mungkin dapat semata dipandang sebagai proses sosialisasi individu. Namun bagi Bourdieu, ini digunakan untuk menjelaskan inisiatif yang dimiliki individu dalam memperoleh skil-skil tersebut dan menyebarkannya. Inisiatif tersebut dapat disebut sebagai agensi.Sudah jelas bahwa pada tiap budaya atau masyarakat,, ada cara berpikir yang umumnya diterima tentang tempat-tempat kuna dan ekspresi keterikatan dengannya, pengetahuan tentangnya, atau kepentingan terhadapnya. Cara-cara tersebut adalah bagian dari habitus individu. Elemen kunci konsep habitus adalah kita pada dasarnya terus-menerus mengumpulkan pengetahuan dan skil sepanjang hidup kita. Kita melakukan ini demi kepentingan kemajuan sosial kita. Telah diketahui dengan baik bahwa bentuk-bentuk tertentu apa yang kita sebut apresiasi heritage memiliki keterkaitan dengan kelas atas atau budaya elit. Contohnya adalah usaha mengoleksi karya seni tinggi dan barang-barang antik, mengumpulkan dan men-display pengetahuan tentang monumen-monumen Mesir kuna atau tentang arsitektur jaman Victoria atau Edwardian.Modal kultural, konsep Bourdeu lainnya, bermanfaat di sini. Skil dan pengetahuan yang dikumpulkan orang-orang sepanjang hidup mereka adalah sebentuk modal kultural. Modal kultural lebih dari sekedar bentuk status. Modal tersebut dapat disebarkan untuk beragam tujuan, seperti memperoleh jabatan publik resmi atau pintu masuk ke dalam lingkaran sosial yang berpengaruh di mana ada lebih banyak kesempatan untuk mengakumulasikan lebih banyak lagi modal kultural. Telah diketahui dengan baik bahwa pada beberapa negara, barang-barang antik telah menjadi sebentuk modal kultural yang menyebabkan ledakan perdagangan barang-barang antik yang seringkali diperoleh dari menjarah situs-situs heritage.Tetapi bahkan bagi mereka yang bukan kolektor, cukup mampu bicara soal tempat-tempat dan objek-objek kuna juga dapat menjadi faktor penting dalam mobilitas ke atas yang dalam istilah Bourdieu disebut lintasan personal (personal trajectories). Tidak diragukan lagi bahwa akumulasi modal kultural adalah sebuah fakta kehidupan dalam komunitas-komunitas di seluruh dunia, bahwa itu merupakan kekuatan pendorong dalam masyarakat lokal, National Trusts, kelompok-kelompok volunter museum, dan bentuk-bentuk partisipasi heritage lainnya. Jug, tidak diragukan lagi bahwa itu sekarang ini, sebuah dinamikalah yang menjadi dasar dari penaksiran nilai penting sosial. Meskipun begitu, akan salah apabila berusaha memisahkan bentuk pengetahuan dan apresiasi ini dari bentuk-bentuk yang dianggap lebih autentik. Bourdieu tidak menjelaskan bagaimana para pemanjat sosial ini beroperasi, tetapi bagaimana orang-orang beroperasi secara umum. Apresiasi terhadap lanskap-lanskap heritage bukanlah sesuatu yang terlahir bersama orang-orang, tetapi sesuatu yang diperoleh.Proses seperti itu harus disadari untuk dapat memahami nilai penting sosial lanskap-lanskap heritage. Pemahaman seperti itu juga memerlukan kesadaran tentang kapan dan bagaimana tempat-tempat tertentu menjadi fokus (penciptaan) modal kultural. Di sebagian besar wilayah Australia, misalnya, pengetahuan tentang situs-situs perekemaha di daerah pinggiran kota (fringe camp) yang kuna tidak akan bermanfaat bagu kemajuan sosial masyarakat kulit putih. Ada lebih banyak modal kultural yang dibangkitkan dari kepentingan terhadap lanskap-lanskap heritage Aborigin pra kontak (misalnya, situs-situs seni cadas) ketimbang lanskap-lankskap heritage pasca kontak. Ini disebabkan karena yang pertama umumnya dianggap oleh penduduk kulit putih merupakan ekspresi ke-Aborigin-an yang lebih autentik ketimbang yang kedua, yang dipandang merepresentasikan sebuah periode ketika budaya Aborigin yang sesungguhnya telah hilang. Masyarakat historis lokal yang dijumpai di sebagian besar kota-kota di Australia dan yang anggota-anggotanya cenderung orang-orang keturunan Anglo-Celtic yang eksklusif merupakan tiang utama kegiatan meningkatkan modal kultural melalui perayaan sejarah dan heritage para pemukim (Eropa). Pada banyak kasus, anggota-anggota mereka, yang tumbuh besar dan ke sekolah bersama orang-orang Aborigin, menunjukkan sebuah keengganan pada gagasan bahwa terus berlanjutnya eksistensi Aborigin dalam lanskap lokal yang telah dikolonisasi dapat menjadi sebuah subjek perekaman dan konservasi heritage. Dengan garis yang sama, Dolores Hayden (1995) mendeskripsikan bagaimana apresiasi terhadap heritage Afro-Amerika, perempuan, kelas pekerja, dan para imigran tidak disetujui secara sosial dalam budaya kulit putih di Amerika Serikat.Perdebatan ilmu sosial tentang perubahan budaya sangat terkait dengan konsep agensi. Para ilmuwan sosial semakin menyadari bahwa individu-individu dan kelompok-kelompok bukanlah subjek-subjek sosial yang pasif, tetapi sebaliknya, mereka aktif terlibat dalam membentuk masyarakat mereka, sama seperti masyarakat mereka membentuk mereka. Sama dengan sifat masyarakat yang dinamis, nilai penting sosial sebuah lanskap heritage seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah fakta sosial. Sebaliknya, hal tersebut merupakan bagian dari sebuah proses sosial. Ketika para praktisi heritage masuk ke dalam komunitas, mereka tidak berada dalam sebuah posisi untuk sekedar men-download dari komunitas tersebut informasi (fakta sosial) tentang cara mereka menilai tempat-tempat kuna. Lebih realistis apabila mereka melibatkan diri dalam komunitas tersebut dalam sebuah dialog, yang hasilnya dapat digunakan oleh para praktisi dan komunitas itu sendiri.

Mempromosikan nilai-nilai warisan budayaGagasan tentang warisan budaya sebagai sebentuk tindakan sosial dapat memperoleh penolakan dari para praktisi heritage yang mungkin berpendapat bahwa gagasan ini mengabaikan penemuan nilai penting. Mereka mungkin berpandangan bahwa nilai penting sosial sebuah tempat melekat dalam komunitas tanpa disadari oleh komunitas tersebut. Cara pandang seperti ini berjalan beriringan dengan fakta bahwa para praktisi dan agen-agen heritage selalu menjadi edukator, bahkan manipulator, opini publik dan nilai komunitas yang penuh energi. Tidak dipertanyakan lagi bahwa banyak ekspresi nilai publik yang dikumpulkan oleh para penaksir nilai penting sosial dari kelompok-kelompok komunitas dibibit oleh para profesional heritage. Di samping situasi seperti itu memang tidak dipertanyakan lagi adanya, memang tidak ada yang salah dalam hal itu. Situasi seperti itu semata menunjukkan bahwa heritage adalah sebuah lapangan tindakan sosial.Namun demikian, yang dapat dipertanyakan adalah kegagalan para profesional heritage mengakui realitas dalam area ini. Dan yang paling buruk, pengaburan ini (tangan kanan berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan tangan kiri) telah menghasilkan kurangnya transparansi mengenai karakteristik cara nilai penting sosial dibahas oleh sebagian besar profesional heritage.Heritage merupakan konsep yang relatif baru di masyarakat Barat. Piera Nora (1989) mengamati bahwa sebelum abad ke-19, lingkup memori merupakan sebuah bagian yang meresap dalam kehidupan sehari-hari dan bukan sesuatu yang diarahkan untuk perayaan sebagaimana hal tersebut dilakukan pada masa setelahnya. Dalam kata-kata John Gillis (1994: 6), orang-orang biasa merasakan masa lalu mereka sebagai bagian dari eksistensi kekinian mereka, yang mereka anggap bukanlah hal yang mendesak untuk direkam, diobjektifikasi, dan dilestarikan. Revolusi industri dan revolusi politik Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 merubah semua itu:Kebutuhan untuk perayaan kemudian dimulai oleh kelas menengah dan kelas pekerja perkotaan, yang secara bertahap meluas hingga, hari ini, setiap orang terobsesi untuk merekam, melestarikan, dan mengingat. Seturut Nora, kita berbicara begitu banyak tentang memori karena begitu sedikit yang tersisa tentang hal itu. Nora mengacu pada sejenis memori hidup, yang dikomunikasikan secara tatap muka (face to face), yang masih eksis di Irlandia pedesaan, tetapi yang sekarang harus berkompetisi dengan begitu bertumpuknya memori-memori lainnya, beberapa yang resmi, sementara sisanya dikomersilkan.(Gillis 1994: 7)

Sebagian besar kritikus heritage mencatat hubungan antara konsep heritage nasional dan usaha untuk menjual pembangunan identitas nasional (misalnya, Anderson 1991; Lowenthal 1985, 1996). Terdapat keyakinan yang berurat-akar oelh pemerintah di seluruh dunia bahwa identifikasi populasi nasional dengan situs-situs dan monumen-monumen tertentu membantu mengembangkan sebuah perasaan kohesi dan konsensus. Tidak akan ada yang mengatakan bahwa kohesi dan konsensus seperti itu adalah hal yang buruk jika hal tersebut berasal dari usaha menghindari kekerasan komunal dan konflik berdarah. Manfaat-manfaatnya, ini harus dikatakan, kurang jelas ketika heritage nasional digunakan untuk mendukung kediktatoran militer (contohnya cukup banyak, dari Hitler di Jerman hingga Myanmar di bawah resim militernya sekarang).Tinjauan terhadap situs-situs heritage nasional tidak ditujukan untuk mengatakan bahwa tempat-tempat tersebut tidak punya nilai atau nilai penting bagi komunitas-komunitas sebelum adanya negara bangsa modern (misalnya, sebelum abad ke-18 di Eropa). Apa yang hendak dikatakan adalah bahwa identifikasi tempat-tempat tersebut dengan negara adalah sesuatu yang baru dan ditemukan (Hobsbawm dan Ranger 1989). Dapat dikatakan bahwa sebagian besar misi Komisi Heritage Australia pada kuarter terakhir abad ke-20 adalah membuat penduduk Australia menyadari adanya sebuah heritage nasional bersama, sebuah heritage yang mewujud dalam daftar yang dibuat oleh National Estate. Banyak dari tempat-tempat tersebut dalam National Estate tidak dikenal oleh rata-rata penduduk Asutralia sebelum Komisi Heritage Australia dan institusi-institusi terkait mempublikasikan informasi tentang situs-situs tersebut.Sejak awal gerakan preservasi di Eropa pada abad ke-18, kemudian di Australia para arsitek, arkeolog, dan sejarawan begitu menggebu-gebu dalam mempromosikan apresiasi terhadap nilai-nilai heritage ke masyarakat. Di Inggris pada paruh kedua abad ke-18, baik John Ruskin maupun William Morris, keduanya merupakan publik figur yang suaranya didengarkan dalam hal perlindungan heritage, melihat diri mereka sebagai edukator opini publik dan sangat berkomitmen terhadap edukasi kelas bawah. Pada tahun 1931, Piagam Venice yang punya pengaruh sangat besar (dan kemudian konvensi-konvensi internasional) menggunakan cara penyebaran etika konservasi kepada publik umum sebagai salah satu prinsip utamanya. Lalu, National Trusts dan kemudian agen-agen heritage pemerintah juga menggunakan projek edukasi publik ini.Hanya sedikit yang meragukan bahwa banyak tempat-tempat heritage yang sekarang ini kita nilai dan cintai bertahan hanya karena bangkitnya dukungan publik untuk preservasinya, dukungan yang setidaknya sebagian karena produk usaha edukasi. Poinnya di sini adalah bahwa tersebarluasnya pengajaran mengenai cara menilai tempat-tempat kuna, sejak awalnya, telah menjadi bagian integral dari wacana heritage.Sebuah ekspresi khas para praktisi dan agen heritage adalah sebuah pernyataan berikut ini yang termuat dalam publikasi Heritage Assessments Lembaga Heritage NSW dengan judul, Apa yang dimaksud dengan Integritas?sebuah item . . . harus mampu diinterpretasikan dengan berhasil sekarang ini atau di masa depan sehingga publik umum dapat mengapresiasi nilai pentingnya.

Di sini, tidak ada pemisahan antara proses menanamkan nilai-nilai heritage dan proses menaksirnya. Hampir setiap publikasi tentang warisan budaya mengandung desakan untuk meningkatkan apresiasi heritage komunitas. Kita dapat menyimpulkan bahwa para praktisi heritage itu sendiri secara implisit menganggap konsep heritage sebagai sebentuk tindakan sosial.Banyak peraturan dan kebijakan tentang heritage menyebutkan kepentingan untuk generasi masa depan sebagai sebuah alasan untuk melindungi heritage pada masa sekarang ini. Pekerjaan memutuskan generasi-generasi masa depan seperti apa yang akan mengapresiasi, dan bagaimana mereka akan mengapresiasinya, dilakukan oleh para profesional heritage yang sebagian besar dari cara mereka menentukan hal