hendri widiyandari serat nano untuk energi surya · dari plta atau pltn. na-mun, teknologi ini...

1
Serat Nano untuk Energi Surya Hendri Widiyandari 10 | Sosok RABU, 18 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA E NTAH seberapa se- ring kita mengeluh- kan teriknya panas matahari kala siang. Namun, bagi Hendri Widiyan- dari, semakin panas, ia malah tambah semangat meneliti alat penangkap energi sang surya. Pasalnya, Indonesia yang tropis dan diterangi banyak sinar matahari memang terting- gal dalam pemanfaatan energi solar sebagai konversi energi pembangkit listrik. “Alasannya sederhana dan klise, saat ini harga sel surya ini masih relatif mahal jika dibandingkan dengan listrik dari PLTA atau PLTN. Na- mun, teknologi ini lebih ramah lingkungan, tanpa emisi CO (karbon monoksida) dan tidak akan habis sepanjang matahari masih bersinar,” ucap perem- puan yang akrab dipanggil Hendri itu kepada Media Indo- nesia, Rabu (11/8). Keprihatinan peneliti yang juga pengajar Universitas Di- ponegoro tersebut semakin menjadi saat berkesempatan mengunjungi Jepang pada 2004. Bukan hanya industri besar, permukiman penduduk pun mulai memberdayakan energi solar dalam kehidupan sehari- hari baik untuk pemanas an maupun penerangan. “Pernah saya menonton acara TV di Jepang yang menayang- kan sebuah mobil mirip van yang menggunakan sel surya untuk menggerakkan mesin, dan mobil tersebut mampu berjalan sepanjang siang hing- ga sore di sepanjang pesisir Jepang,” tuturnya iri. Hendri pun mulai mengutak- atik teknologi sel surya berjenis pewarna sensitif atau yang biasa disebut DSSC (dye sensi- tized solar cells). Dari sederet komponen DSSC, ujar Hendri, ia tertarik dengan TCO (transparent con- ductive oxide) glass, yang meru- pakan material utama sekaligus material termahal dalam pem- buatan DSSC. Memang, salah satu faktor yang membuat pembuatan sel surya berjenis DSSC mahal ialah material gelas penghan- tar listrik (gelas konduktor). Harganya mahal, serta tidak optimal menghantarkan listrik. Kuncinya ada pada struktur dari permukaan gelas konduk- tor tersebut. “Selama ini permukaan area atau interfacial area yang ada masih berbentuk planar atau butiran-butiran. Nah saya me- modifikasi struktur tersebut menjadi serat nano, seperti serat laba-laba, sehingga area permukaannya lebih luas,” papar Hendri Widiyandari. Dengan begitu, kemampuan gelas tersebut untuk menghan- tarkan listrik akan lebih opti- mal. “Nah, agar gelas ini lebih baik lagi berfungsi sebagai kon- duktor, ia harus transparan atau istilahnya transparent conductive oxide (TCO glass),” imbuhnya. Di awal penelitiannya, Hendri mengaku sempat kebingungan dengan material pembuat TCO glass, yakni ITO ( indium tin oxide). Harga bahan baku sa- ngat mahal dan tersedia dalam jumlah terbatas. “Saya pun menggantinya dengan mate- rial ourine tin oxide (FTO). Di beberapa negara maju, FTO ini bahkan sudah dijual secara komersial dalam bentuk negatif lm,” ucap Hendri. Selain itu, FTO memiliki be- berapa kelebihan dari ITO. FTO ternyata lebih tahan banting, tidak gampang rusak, serta lebih tahan panas. “Meskipun sebagai konduktor ITO tetap lebih baik tapi dengan dana yang terbatas, hasil gelas trans- paran yang tercipta cukup optimal,” tandas Hendri. Metode electrospinning Untuk menciptakan TCO glass yang memiliki permu- kaan area berstruktur serat nano, Hendri menggunakan metode electrospinning. Ter- bukti, metode itu menghasilkan serat yang kuat dan mampu menempel pada TCO glass dengan sempurna. “Metode ini memanfaatkan tekanan elektrostatis dari beda tegangan dan aliran cairan dalam pipa kapiler,” jelasnya. Selain sederhana, imbuh Hendri, metode pembuatan lm serat nano FTO ini terbukti lebih murah dengan kualitas tinggi karena lebih transparan. Tingkat kerentanan terhadap listrik juga rendah. Electrospinning ini terbuk- ti dapat menghasilkan serat dengan bentuk dan ukuran yang bisa dikontrol. Selain itu, seratnya juga terbentuk de- ngan beragam komposisi dan dengan ukuran diameter yang seragam dari nanometer hingga mikrometer. Dimensi panjang- nya pun juga sangat panjang. Jadi, benar-benar mirip benang laba-laba,” ucapnya. Hendri menambahkan saat ini ia sedang melakukan riset lebih lanjut mengenai angka esiensi listrik yang dihasilkan dengan menggunakan gelas transparan dengan permukaan serat nano. “Dari berbagai jenis sel surya, penelitian sel surya dari pe- warna sensitif ini (DSSC) ini memang tergolong baru di Indonesia. Jadi, kalau kita bisa membuatnya dengan biaya yang lebih murah, akan men- jadi solusi yang esien untuk krisis energi,” pungkasnya. Aplikasi beragam Hendri mengaku masih bu- tuh penelitian lanjutan untuk menghasilkan DSSC yang be- nar-benar efektif dalam meng- hasilkan listrik. Teknologi DSSC terakhir di Jerman saja, imbuh- nya, baru dapat menghasilkan listrik 11%. Namun, setidaknya saat ini TCO glass berbahan serat negatif film berukuran nanonya bisa diaplikasikan tak hanya untuk teknologi sel surya semata. “Pemanfaatan gelas TCO ini tidak terbatas pada sel surya saja, namun bisa digunakan juga untuk pembuatan elektroda pada PEC (photoelectrochemical) untuk menghasilkan hidrogen, yang juga merupakan salah satu energi alternatif,” ucapnya. Bahkan, ia bermimpi pengem- bangan risetnya mengenai serat nano ini suatu saat akan meng- hasilkan berbagai aplikasi di berbagai bidang. “Teknologi serat nano bisa di- aplikasikan untuk banyak hal, baik dalam bidang energi, lter, kedokteran, dan lingkungan. Misalkan saja untuk membuat lter AC atau untuk membuat jaringan dalam tubuh di bidang kedokteran,” jelasnya. Saat ini ia dan timnya me- mang sedang memfokuskan diri mengembangkan teknis pembuatan serat nano dengan metode electrospinning. “Prinsip kerja dari metode ini untuk memproduksi nanober adalah dengan memanfaatkan electro- static force,” sahutnya. Modal nekat Meneliti tema yang masih terbilang baru di Indonesia ini bukanlah perkara mudah. Na- mun, Hendri yang sejak kecil dikenal sebagai bondo (modal) nekat ini tak peduli. Tertem- pa dengan kegigihan ayah- nya yang seorang wirausaha, Hendri pun berjuang ke sana kemari untuk menciptakan TCO glass berbahan nanober hingga ke Jepang. “Saya sejak kecil ditempa oleh perjuangan ayah dan ibu dalam membesarkan saya dan tiga orang adik. Meski tampak sulit, ya saya coba saja. Apalagi sel surya jenis DSSC ini terbi- lang baru. Yang kata orang Jawa ya bondo nekat saja,” ucapnya polos. Padahal Hendri menyadari benar tantangan yang akan dihadapinya dalam meneliti benda yang masih terasa asing ini cukup berat. Mulai dari ba- han pembuatan penelitian yang sulit didapat hingga berbagai fasilitas alat uji yang jauh dari memadai. “Singkatnya, kalau di Jepang, pembuatan TCO glass mem- butuhkan satu bulan. Di Indo- nesia bisa satu tahun. Setiap uji satu komponen, saya bisa mengganti tempat penelitian,” ucapnya. Apalagi, tak seperti di Jepang, universitas di Indonesia ternya- ta tidak memiliki koordinasi yang kuat, bahkan antar fakul- tasnya. “Mengurus izin dan birokrasinya saja butuh waktu dan energi tersendiri,” tan- dasnya. Belum lagi profesinya seba- gai dosen tidak jarang justru menghambat penelitiannya. “Lebih enak kalau benar-benar fokus ke penelitian. Banyak tugas-tugas harian dosen yang cukup menyita waktu. Tapi keuntungannya, saya bisa sem- bari promosikan riset bidang energi solar ini ke mahasiswa. Terutama mahasiswa pascasar- jana, biar tambah banyak yang tertarik,” sahutnya. Hendri merasa krisis energi adalah permasalahan global dan Indonesia memiliki sumber energi solar besar. “Matahari itu ibaratnya bersinar pagi sampai sore, sepanjang tahun, sinarnya seakan tak pernah berhenti. Alangkah baik jika bisa me- manfaatkan matahari,” tutup ibu satu putra itu. (M-4) [email protected] Rasanya sudah tidak tepat lagi jika kita masih merengek soal keterbatasan energi listrik saat negara lain berpacu mengembangkan teknologi energi matahari. Vini Mariyane Rosya Pengantar Selama bulan Agustus 2010, kami menyajikan 17 sosok penuh inspirasi. Antara lain mereka yang bergelut dalam bidang energi, keragaman hayati, dan bioteknologi. Berikut ini ialah sosok ke-8, perempuan peneliti energi panas matahari yang memaksimalkan teknologi serat nano agar Indonesia bisa menjawab kekhawatiran akan kelangkaan energi di masa depan. HENDRI WIDIYANDARI Tempat, tanggal lahir: Ponorogo, 31 JulI 1975 Pendidikan: Doktor, Jurusan Teknik Kimia, Hiroshima University, Higashi- Hiroshima, Jepang (2008) Master fisika , Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Bandung, Bandung (2002) Sarjana fisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang (1998) Pengalaman Profesi: Pengajar Departemen Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang, (Mei 1999-sekarang) Staf peneliti Departemen Teknik Kimia, Hiroshima University, Jepang, (April 2008-Maret 2009) Asisten peneliti Departemen Teknik Kimia, Hiroshima University, Jepang (April 2005-Maret 2008) Pencapaian (antara lain): National Fellowship for Women in Science Loreal-UNESCO, 2009-2010 Beasiswa Thermal Fluids and Materials Processing Postdoc, Hiroshima University, April 2008-Maret 2009 Honors scholarship for privately financed international students, Kumahira Scholarship Foundation, Jepang, April 2006-Maret 2008 Thermal Fluids and Materials Processing Fellowship, Hiroshima University, April 2005-Maret 2006 Fellowship for Japanese Pre-Oversears Training, Dikti- Depdiknas (kini Kemendiknas), Juni-September 2004 Penerima beasiswa program magister, BPPS, Dikti-Depdiknas (Kemendiknas), 2000-2002 MI/HARYANTO MI/TERESIA AAN MELIANA Matahari itu ibaratnya bersinar pagi sampai sore, sepanjang tahun. Alangkah baik jika bisa memanfaatkan matahari.” MASIH MAHAL: Solar panel dipasang di atas atap sekolah di Deutsche Internasional School, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Selasa (9/2). Penggunaannya belum populer karena dinilai masih mahal.

Upload: vantram

Post on 09-Jun-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hendri Widiyandari Serat Nano untuk Energi Surya · dari PLTA atau PLTN. Na-mun, teknologi ini lebih ramah lingkungan, tanpa emisi CO (karbon monoksida) dan tidak akan habis sepanjang

Serat Nano untuk Energi SuryaHendri Widiyandari

10 | Sosok RABU, 18 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

ENTAH seberapa se-ring kita mengeluh-kan teriknya panas matahari kala siang.

Namun, bagi Hendri Widiyan-dari, semakin panas, ia malah tambah semangat meneliti alat penangkap energi sang surya.

Pasalnya, Indonesia yang tropis dan diterangi banyak sinar matahari memang terting-gal dalam pemanfaatan energi solar sebagai konversi energi pembangkit listrik.

“Alasannya sederhana dan klise, saat ini harga sel surya ini masih relatif mahal jika diban dingkan dengan listrik dari PLTA atau PLTN. Na-mun, teknologi ini lebih ramah lingkungan, tanpa emisi CO (karbon monoksida) dan tidak akan habis sepanjang matahari masih bersinar,” ucap perem-puan yang akrab dipanggil Hendri itu kepada Media Indo-nesia, Rabu (11/8).

Keprihatinan peneliti yang juga pengajar Universitas Di-ponegoro tersebut semakin menjadi saat berkesempatan mengunjungi Jepang pada 2004. Bukan hanya industri besar, permukiman penduduk pun mulai memberdayakan energi solar dalam kehidupan sehari-hari baik untuk pemanas an maupun penerangan.

“Pernah saya menonton acara TV di Jepang yang menayang-kan sebuah mobil mirip van yang menggunakan sel surya untuk menggerakkan mesin, dan mobil tersebut mampu berjalan sepanjang siang hing-ga sore di sepanjang pesisir Jepang,” tuturnya iri.

Hendri pun mulai mengutak-atik teknologi sel surya berjenis pewarna sensitif atau yang biasa disebut DSSC (dye sensi-tized solar cells).

Dari sederet komponen DSSC, ujar Hendri, ia tertarik dengan TCO (transparent con-ductive oxide) glass, yang meru-pakan material utama sekaligus material termahal dalam pem-buatan DSSC.

Memang, salah satu faktor yang membuat pembuatan sel surya berjenis DSSC mahal ialah material gelas penghan-

tar listrik (gelas konduktor). Harga nya mahal, serta tidak optimal menghantarkan listrik. Kuncinya ada pada struktur dari permukaan gelas konduk-tor tersebut.

“Selama ini permukaan area atau interfacial area yang ada masih berbentuk planar atau butiran-butiran. Nah saya me-modifikasi struktur tersebut menjadi serat nano, seperti serat laba-laba, sehingga area permukaannya lebih luas,” papar Hendri Widiyandari.

Dengan begitu, kemampuan gelas tersebut untuk menghan-tarkan listrik akan lebih opti-mal. “Nah, agar gelas ini lebih baik lagi berfungsi sebagai kon-duktor, ia harus transparan atau istilahnya transparent conductive oxide (TCO glass),” imbuhnya.

Di awal penelitiannya, Hendri mengaku sempat kebingungan dengan material pembuat TCO glass, yakni ITO (indium tin oxide). Harga bahan baku sa-ngat mahal dan tersedia dalam jumlah terbatas. “Saya pun menggantinya dengan mate-

rial fl ourine tin oxide (FTO). Di beberapa negara maju, FTO ini bahkan sudah dijual secara komersial dalam bentuk negatif fi lm,” ucap Hendri.

Selain itu, FTO memiliki be-berapa kelebihan dari ITO. FTO ternyata lebih tahan banting, tidak gampang rusak, serta lebih tahan panas. “Meskipun sebagai konduktor ITO tetap lebih baik tapi dengan dana yang terbatas, hasil gelas trans-paran yang tercipta cukup optimal,” tandas Hendri.

Metode electrospinningUntuk menciptakan TCO

glass yang memiliki permu-kaan area berstruktur serat nano, Hendri menggunakan metode electrospinning. Ter-bukti, metode itu menghasilkan serat yang kuat dan mampu menempel pada TCO glass dengan sempurna. “Metode ini memanfaatkan tekanan elektrostatis dari beda tegangan dan aliran cairan dalam pipa kapiler,” jelasnya.

Selain sederhana, imbuh Hendri, metode pembuatan fi lm serat nano FTO ini terbukti lebih murah dengan kualitas tinggi karena lebih transparan. Tingkat kerentanan terhadap listrik juga rendah.

“Electrospinning ini terbuk-ti dapat menghasilkan serat dengan bentuk dan ukuran yang bisa dikontrol. Selain itu, seratnya juga terbentuk de-ngan beragam komposisi dan dengan ukuran diameter yang seragam dari nanometer hingga mikrometer. Dimensi panjang-nya pun juga sangat panjang. Jadi, benar-benar mirip benang

laba-laba,” ucapnya.Hendri menambahkan saat

ini ia sedang melakukan riset lebih lanjut mengenai angka efi siensi listrik yang dihasilkan dengan menggunakan gelas transparan dengan permukaan serat nano.

“Dari berbagai jenis sel surya, penelitian sel surya dari pe-warna sensitif ini (DSSC) ini memang tergolong baru di Indonesia. Jadi, kalau kita bisa membuatnya dengan biaya yang lebih murah, akan men-jadi solusi yang efi sien untuk krisis energi,” pungkasnya.

Aplikasi beragamHendri mengaku masih bu-

tuh penelitian lanjutan untuk menghasilkan DSSC yang be-nar-benar efektif dalam meng-hasilkan listrik. Teknologi DSSC terakhir di Jerman saja, imbuh-nya, baru dapat menghasilkan listrik 11%. Namun, setidaknya

saat ini TCO glass berbahan serat negatif film berukuran nanonya bisa diaplikasikan tak hanya untuk teknologi sel surya semata. “Pemanfaatan gelas TCO ini tidak terbatas pada sel surya saja, namun bisa digunakan juga untuk pembuatan elektroda pada PEC (photoelectrochemical) untuk menghasilkan hidrogen, yang juga merupakan salah satu energi alternatif,” ucapnya.

Bahkan, ia bermimpi pengem-bangan risetnya menge nai serat nano ini suatu saat akan meng-hasilkan berbagai aplikasi di berbagai bidang.

“Teknologi serat nano bisa di-aplikasikan untuk banyak hal, baik dalam bidang energi, fi lter, kedokteran, dan lingkungan. Misalkan saja untuk membuat fi lter AC atau untuk membuat jaringan dalam tubuh di bidang kedokteran,” jelasnya.

Saat ini ia dan timnya me-

mang sedang memfokuskan diri mengembangkan teknis pembuatan serat nano dengan metode electrospinning. “Prinsip kerja dari metode ini untuk memproduksi nanofi ber adalah dengan memanfaatkan electro-static force,” sahutnya.

Modal nekatMeneliti tema yang masih

terbilang baru di Indonesia ini bukanlah perkara mudah. Na-mun, Hendri yang sejak kecil dikenal sebagai bondo (modal) nekat ini tak peduli. Tertem-pa dengan kegigihan ayah-nya yang seorang wirausaha, Hendri pun berjuang ke sana kemari untuk menciptakan TCO glass berbahan nanofi ber hingga ke Jepang.

“Saya sejak kecil ditempa oleh perjuangan ayah dan ibu dalam membesarkan saya dan tiga orang adik. Meski tampak sulit, ya saya coba saja. Apalagi sel surya jenis DSSC ini terbi-lang baru. Yang kata orang Jawa ya bondo nekat saja,” ucapnya polos.

Padahal Hendri menyadari benar tantangan yang akan dihadapinya dalam meneliti benda yang masih terasa asing ini cukup berat. Mulai dari ba-han pembuatan penelitian yang sulit didapat hingga berbagai fasilitas alat uji yang jauh dari memadai.

“Singkatnya, kalau di Jepang, pembuatan TCO glass mem-butuhkan satu bulan. Di Indo-nesia bisa satu tahun. Setiap uji satu komponen, saya bisa mengganti tempat penelitian,” ucapnya.

Apalagi, tak seperti di Jepang, universitas di Indonesia ternya-ta tidak memiliki koordinasi yang kuat, bahkan antar fakul-tasnya. “Mengurus izin dan birokrasinya saja butuh waktu dan energi tersendiri,” tan-dasnya.

Belum lagi profesinya seba-gai dosen tidak jarang justru menghambat penelitiannya. “Lebih enak kalau benar-benar fokus ke penelitian. Banyak tugas-tugas harian dosen yang cukup menyita waktu. Tapi keuntungannya, saya bisa sem-bari promosikan riset bidang energi solar ini ke mahasiswa. Terutama mahasiswa pascasar-jana, biar tambah banyak yang tertarik,” sahutnya.

Hendri merasa krisis energi adalah permasalahan global dan Indonesia memiliki sumber energi solar besar. “Matahari itu ibaratnya bersinar pagi sampai sore, sepanjang tahun, sinarnya seakan tak pernah berhenti. Alangkah baik jika bisa me-manfaatkan matahari,” tutup ibu satu putra itu. (M-4)

[email protected]

Rasanya sudah tidak tepat lagi jika kita masih merengek soal keterbatasan energi listrik saat negara lain berpacu mengembangkan teknologi energi matahari.

Vini Mariyane Rosya

Pengantar

Selama bulan Agustus 2010, kami menyajikan 17 sosok penuh inspirasi. Antara lain mereka yang bergelut dalam bidang energi, keragaman hayati, dan bioteknologi. Berikut ini ialah sosok ke-8, perempuan peneliti energi panas matahari yang memaksimalkan teknologi serat nano agar Indonesia bisa menjawab kekhawatiran akan kelangkaan energi di masa depan.

HENDRI WIDIYANDARI

Tempat, tanggal lahir: Ponorogo, 31 JulI 1975

Pendidikan: • Doktor, Jurusan Teknik Kimia, Hiroshima University, Higashi-

Hiroshima, Jepang (2008)• Master fisika , Jurusan Fisika,

Fakultas MIPA, Institut Teknologi Bandung, Bandung (2002)

• Sarjana fisika, Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas

Diponegoro, Semarang (1998)

Pengalaman Profesi: • Pengajar Departemen Fisika,

Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang,

(Mei 1999-sekarang)• Staf peneliti Departemen Teknik Kimia, Hiroshima

University, Jepang, (April 2008-Maret 2009)

• Asisten peneliti Departemen Teknik Kimia, Hiroshima University,

Jepang(April 2005-Maret 2008)

Pencapaian (antara lain):

• National Fellowship for Women in Science Loreal-UNESCO,

2009-2010• Beasiswa Thermal Fluids and Materials Processing Postdoc,

Hiroshima University, April 2008-Maret 2009

• Honors scholarship for privately financed international students,

Kumahira Scholarship Foundation, Jepang, April 2006-Maret 2008• Thermal Fluids and Materials

Processing Fellowship, Hiroshima University, April 2005-Maret 2006

• Fellowship for Japanese Pre-Oversears Training, Dikti-Depdiknas (kini Kemendiknas),

Juni-September 2004• Penerima beasiswa program

magister, BPPS, Dikti-Depdiknas (Kemendiknas), 2000-2002

MI/HARYANTO

MI/TERESIA AAN MELIANA

Matahari itu ibaratnya bersinar pagi sampai sore, sepanjang tahun.Alangkah baik jika bisa memanfaatkan matahari.”

MASIH MAHAL: Solar panel dipasang di atas atap sekolah di Deutsche Internasional School, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Selasa (9/2).Penggunaannya belum populer karena dinilai masih mahal.