hasil penelitian kedelai

20
TELAAH PENYEBAB GEJALA “GAPONG” PADA KACANG TANAH DAN KEMUNGKINAN CARA PENGENDALIANNYA Oleh: Agustina Asri Rahmianna Yuliantoro Baliadi BALAI PENELITIAN TANAMAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2009

Upload: vuongkhanh

Post on 22-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: HASIL PENELITIAN KEDELAI

TELAAH PENYEBAB GEJALA “GAPONG” PADA KACANG TANAH DAN

KEMUNGKINAN CARA PENGENDALIANNYA

Oleh:

Agustina Asri Rahmianna

Yuliantoro Baliadi

BALAI PENELITIAN TANAMAN KACANG-KACANGAN

DAN UMBI-UMBIAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

2009

Page 2: HASIL PENELITIAN KEDELAI

2

TELAAH PENYEBAB GEJALA “GAPONG” PADA KACANG TANAH DAN

KEMUNGKINAN CARA PENGENDALIANNYA

A. A. Rahmianna dan Y. Baliadi

Abstrak

Istilah “Gapong” yang mulai dipublikasikan pada tahun 1930an digunakan untuk

menamakan polong kacang tanah yang tidak berisi biji, polong berwarna hitam, kulit

polong rapuh dan kadang-kadang diikuti oleh kondisi busuk. Banyak petani di eks

Karisidenan Cirebon mengeluhkan gejala ini, karena menimbulkan kerigian ekonomi

sangat besar, melebihi karena serangan penyakit daun. Hingga kini penyebab utama

“gapong” masih belum diketahui sehingga cara penanganannya juga belum pasti. Hasil

survei tanaman kacang tanah di Kab. Cirebon dan Majalengka pada musim kemarau

tahun 2008 menunjukkan bahwa istilah gapong digunakan untuk menunjuk kondisi

polong yang tidak sehat dengan beragam keadaan. Namun demikian apabila dipilah-

pilahkan maka kondisi gapong bisa disebabkan karena serangan nematoda, serangan

hama tanah, serangan penyakit tular tanah, maupun karena luka mekanis (terluka oleh

alat-alat petanian) yang sangat memungkinkan untuk dikendalikan atau ditekan

serangannya dengan menggunakan pestisida atau teknologi pengendalian yang lainnya.

Sedangkan fenomena gapong yang mengacu pada kondisi polong berwarna hitam, kulit

polong bagian luar melepuh seperti terbakar, berserabut dan rapuh serta diikuti oleh

batang yang kaku, daun berukuran lebih kecil dan kaku, hingga kini masih belum bisa

diatasi. Hasil penelitian memberikan indikasi bahwa tampaknya ketersediaan unsur hara

makro N, P, K, Ca, dan pupuk kandang di dalam tanah berhubungan dengan munculnya

gejala gapong. Selain itu, aplikasi mulsa jerami juga bisa menekan gejala “gapong”

Kesehatan tanaman terutama dari penyakit daun bercak dan karat daun serta perlakuan

benih dengan fungisida Captan juga menekan kerusakan polong. Ke depan, hasil

penelitian ini ingin kami gabungkan dengan kearifan lokal untuk mengendalikan gejala

“gapong”

Kata kunci: gejala gapong, kacang tanah

Page 3: HASIL PENELITIAN KEDELAI

3

Assessing the “gapong” symptom in peanut pods and its possible management

A. A. Rahmianna dan Y. Baliadi

Abstract

The “gapong” symptom was firstly published in around 1930’s. This term is used

to express the condition of peanut pods that its seeds do not fully fulfilled (mostly are

empty pods), blackened pods, brittle shells and sometimes rot. Many peanut farmers in

ex-Karisidenan Cirebon complain about that symptom, as it is caused huge economic

failure more than it is caused by foliar diseases infection. Until recently, the main cause

for “gapong” incidence has not fully identified and therefore the management treatment

has not been fixed. Survey on peanut crops in Cirebon and Majalengka regency during

the dry season 2008 showed that the term of “gapong” pointed the unhealthy peanut

pods with various conditions. The grouping based on the main cause resulted in gapong

could be caused by nematode attack, soil pest attack, soil borne diseases infestation, as

well as physical wounds. All these causes are reasonably controlled or at least their

infestation can be minimized by applying pesticides or other control technologies.

Whilst, the “gapong” that refers to pod condition of blackened, burned-symptom of

shells, harsh surface and brittle and followed with hard stems, is unsolved problem. The

research results seemingly indicated that the availability of macro nutrients N, P, K, Ca,

and organic manure have a special relation to the appearance of “gapong” symptom. In

addition, the application of rice straw as mulch is somehow successful in minimizing

the “gapong” symptom. The free-foliar diseases infection crops as well as fungal seed

treatment with Captan gave a good prospect in reducing the amount of damaged/rotted

pods. In the future, we keen to enrich the local wisdom in combating “gapong”

symptom with our research findings.

Key words: Arachis hypogaea L; “gapong symptom.

Page 4: HASIL PENELITIAN KEDELAI

4

Latar Belakang

Gejala/fenomena “Gapong” pada kacang tanah, yang dicirikan dengan polong

tidak berisi dilanjutkan dengan busuk pada ujung polong, banyak dikeluhkan oleh petani

pada beragam agroekologi. Gejala ”Gapong” menyebabkan kerugian ekonomi yang

tinggi, melebihi kerugian yang diakibatkan oleh serangan penyakit daun.

Pengamatan sampel polong dengan gejala gapong yang diambil dari lapang baik

ketika polong masih dalam fase perkembangan atau pada saat panen menunjukkan

adanya infeksi jamur-jamur tular tanah. Penyebab primer dari penyakit ini belum

diketahui dengan pasti dan jamur-jamur tersebut agaknya bukan penyebab primer dari

gapong. Dengan demikian serangan jamur merupakan infeksi sekunder (secondary

infection). Serangan “Gapong” sangat merugikan karena menyebabkan kerugian

ekonomi yang sangat nyata.

Belum banyak laporan yang mengupas cara pengendalian gapong. Semangun

(2004) menginformasikan bahwa ada yang menganjurkan untuk melakukan pengairan

yang teratur setiap 2 minggu sekali. Pengairan dilakukan pada malam hari karena

pengairan pada waktu pagi hari akan memperparah insiden gapong. Pengairan

sebaiknya dihentikan paling lambat 15 hari menjelang panen, karena pengairan dalam

waktu 15 hari menjelang panen akan memperparah insiden gapong. Tampaknya,

dampak dari perubahan iklim global akan mengakibatkan kesulitan untuk menjamin air

selalu tersedia bagi tanaman pada musim kemarau. Oleh karena itu, dipandang perlu

menelaah dengan seksama penyebab utama gejala gapong dan kemungkinan cara

pengendaliannya.

Identifikasi Gejala “Gapong”

Gejala “Gapong” banyak dikeluhkan petani di Kabupaten Cirebon, Kuningan dan

Majalengka (Jawa Barat) dan di kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah), karena

menyebabkan kerugian yang besar. Berjangkitnya gejala gapong dilaporkan pertama

kali pada tahun 1930 an di Karisidenan Cirebon berdasarkan tulisan Leefman pada

tahun 1933 dan 1934, dan van der Goot pada tahun 1934 dan 1935. Selanjutnya, laporan

pada tahun 1953 menyebutkan bahwa karena besarnya kerugian ekonomi yang diderita,

maka petani tidak mau menanam kacang tanah pada musim kemarau (Semangun, 2004).

Selain menyebabkan rendahnya jumlah polong isi, gejala gapong juga menyebabkan

penurunan berat dan kualitas polong, sehingga mengakibatkan harga jual yang rendah.

“Gapong” dicirikan dengan polong berwarna coklat kehitaman mulai dari bagian ujung,

kulit polong menjadi rapuh (brittle), biji menjadi keriput/tidak bernas dan berwarna

coklat, berbau apek dan rasa tidak enak (Hadi, pers comm). Ciri-ciri ini mirip sekali

dengan serangan jamur R. solani pada polong seperti yang dilaporkan Subrahmanyam

dan Ravindranath (1988), dan polong akan busuk pada serangan yang lebih parah.

Hingga sekarang, serangan gapong masih menjadi salah satu penyebab rendahnya

pendapatan petani kacang tanah di daerah-daerah tersebut di atas.

Sutarto et al. (1988) dan Semangun (2004) mengemukakan bahwa gejala gapong

ternyata bisa diketahui dari daun dan polongnya. Tanaman yang terserang mempunyai

daun-daun yang terasa kaku jika dipegang dan kadang-kadang warnanya agak

kekuningan. Namun, gejala ini sering tidak terlihat. Gejala gapong hanya dapat

diketahui dengan memeriksa polong yang berada di dalam tanah. Apabila tanaman

dicabut, maka akan tampak polong dengan bintik-bintik kecil berwarna coklat

Page 5: HASIL PENELITIAN KEDELAI

5

kehitaman dan biji busuk. Pengamatan Hardaningsih (pers. comm) menunjukkan adanya

serangan Aspergillus niger, Penicilium sp dan Rhizoctonia solani pada kulit polong, biji

yang busuk dan eksudat yang ada. Gejala gapong muncul pertama kali pada waktu

polong sudah setengah masak. Pada kulitnya terdapat bercak-bercak bulat berwarna

hitam, lebih kurang bergaris tengah sampai dengan 5 mm. Kadang-kadang beberapa

bercak bergabung sehingga membentuk bercak yang besar. Di tengah bercak, terjadi

sebuah lubang yang bentuknya tidak teratur. Pada polong yang masih muda, biji-biji

menjadi busuk, sedangkan pada biji yang sudah masak biji masih dapat berkecambah.

Apabila hal ini terjadi beberapa waktu menjelang panen, biji masak tersebut

berkecambah sehingga pada waktu panen tidak dihasilkan biji (Semangun, 2004).

Faktor lingkungan ternyata mempengaruhi serangan gapong ini. Gejala gapong

paling parah terjadi pada kacang tanah yang ditanam di tanah pasir dan tanah laterit

ringan. Musim tanam sangat mempengaruhi timbulnya gejala ini. Kacang tanah yang

ditanam pada musim kemarau sangat peka terhadap serangan gapong terlebih jika masih

turun hujan pada fase generatif (Semangun, 2004).

Somaatmadja (1985) mengemukakan bahwa dari gejala-gejala yang timbul pada

polong, gejala tersebut identik dengan penyakit “meadow nematode” yang disebabkan

oleh P. leiocephalus dan spesies lainnya yang terdapat di North Carolina, Amerika

Serikat. Porter et al. (1984) menyebutkan bahwa nematoda Prathylenchus brachyurus

merupakan nematoda yang paling umum menyerang kacang tanah dan tersebar sangat

luas terutama pada lahan kacang tanah dengan tektur tanah pasiran.Pemuliaan untuk

membentuk varietas yang tahan tampaknya akan menjadi alat pengendalian yang

efektif. Sutarto et al (1988) menyebutkan adanya dugaan penyakit ini disebabkan oleh

nematoda, tanaman keracunan oleh air tanah dan musim tanam yang tidak tepat. Namun

hal ini masih disangsikan. Dugaan bahwa penyakit gapong disebabkan oleh nematoda

masih perlu dipastikan. Semangun (2004) melaporkan bahwa sampai sekarang

penyebab primer dari gapong belum diketahui dengan pasti. Hasil pengamatan memang

menunjukkan bahwa pada polong yang busuk terdapat jamur Aspergillus dan

Penicilium. Namun agaknya jamur-jamur ini bukan penyebab utama dari gapong.

Dari pendapat-pendapat di atas, kami susun dua skenario tentang gejala ”gapong”.

Skenario pertama: pada awalnya, polong kacang tanah diserang nematoda

Prathylenchus brachyurus dan setelah jaringan kulit polong dirusak akan ditumbuhi

jamur yang menyebabkan daerah tersebut menjadi busuk berwarna gelap. Good et al

(1958) dalam Porter et al (1982) menyatakan bahwa kerusakan pada kulit polong dan

pericarp karena serangan nematoda ini dapat dideskripsikan sebagai adanya luka yang

berwarna coklat keunguan dengan batas luka yang jelas dari jaringan di sekitarnya yang

tidak terserang. Miller dan Duke (1961) dalam Porter et al (1982) mendiskripsikan

bahwa kerusakan oleh P. brachyurus sebagai luka kecil atau titk (pin-point) berwarna

coklat pada kulit polong, yang akan tampak sebagai spot atau bulatan kecil (speckled)

jika luka-luka tersebut jumlahnya banyak. Boswell (1968) dalam Porter et al (1982)

mengatakan bahwa serangan nematoda berawal dari sebuah titik berwarna coklat muda

pada permukaan kulit polong, kemudian areal yang terserang akan berubah menjadi

berwarna lebih gelap dan semakin lebar ketika nematoda makan dan berkembang biak

di situ. Serangan nematoda yang parah akan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, daun

berwarna kekuningan dan berkurangnya volume akar. Lebih lanjut dikemukakan bahwa

bakteri dan jamur akan menyerang jaringan yang sudah mati sehingga bisa

menyebabkan busuknya biji dan polong. Ternyata ada interaksi antara nematoda dengan

patogen lain pada kacang tanah. Hasil pengamatan Porter di lapang menunjukkan bahwa

Page 6: HASIL PENELITIAN KEDELAI

6

nematoda P. brachyurus ditemukan berasosiasi dengan miselia jamur terutama jamur

Penicilium dan Fusarium (Porter et al., 1982). Boswell (1968) dalam Porter et al (1982)

mengatakan bahwa jamur R. solani sering berasosiasi pada luka (lesion) yang

jaringannya rusak oleh nematoda. Nematoda berada di pinggir luka sedangkan hifa

jamur mendominasi areal yang sudah berwarna gelap. Jaringan yang sudah rusak karena

serangan nematoda akan ditumbuhi mikroorganisme lain dan lubang pada kulit polong

akan dijadikan sebagai pintu untuk masuknya spora atau hifa jamur yang kemudian

mengkolonisasi biji sehingga biji rusak (Porter et al., 1984). Terjadinya infeksi jamur

pada jaringan yang sudah rusak sesuai dengan penemuan Christensen (1957) dalam

Diener et al. (1982) yang menyebutkan bahwa jamur-jamur saprofit umumnya tidak

menyerang polong kacang tanah kecuali polong telah rusak karena praktek budidaya,

serangan nematoda, serangga, jamur patogen atau kerusakan fisiologis karena

lingkungan yang ekstrim.

Sedangkan skenario kedua adalah tanaman pada awalnya mempunyai masalah

nutrisi/unsur hara. Porter et al., (1984) mengemukakan bahwa sebagai akibat

kekurangan unsur hara kalsium atau adanya ketidakseimbangan hara kalsium, kalium

dan magnesium pada daerah polong, maka polong akan terserang Rhizoctonia solani

atau mikroorganisme yang lain. Hal ini sesuai dengan pengamatan Hardaningsih dan

Hadi (2008) untuk polong dan biji kacang tanah yang berasal dari pertanaman musim

kemarau 2007 pada lahan sawah di Kabupaten Banjarnegara. Dengan demikian adanya

bukti bahwa polong dan biji yang busuk sangat mungkin merupakan hasil akhir dari

adanya masalah nutrisi pada tanaman.

Sankara Reddi (1988) mengemukakan bahwa berdasar banyak laporan maka rasio

hara K:Ca:Mg lebih penting daripada konsentrasi masing-masing unsur untuk

pertumbuhan dan hasil kacang tanah. Hal ini karena meningkatnya konsentrasi Mg akan

menurunkan atau menghambat penyerapan K dan Ca. Demikian pula tingginya

kandungan K di daerah polong (geocarphosphere) akan menurunkan kualitas polong

apabila konsentrasi Ca di daerah polong rendah. Penelitian pada tanah geluh pasiran

(sandy loam) pada kondisi tadah hujan atau berpengairan di Tirupati, India

menunjukkan aplikasi unsur hara K:Ca:Mg dengan rasio 4:4:0 menghasilkan polong

kacang tanah dan keuntungan lebih tinggi (Subba Rao et al. 1988 dalam Sankara Reddi,

1988). Sementara Gascho dan Davis (1994) merangkum publikasi dari banyak peneliti

dan mengemukakan bahwa kandungan Ca yang rendah di daerah polong menyebabkan

polong busuk karena serangan jamur tular tanah, antara lain R. solani. Mereka juga

menekankan pentingnya rasio hara K:Ca:Mg. Suplai K dan Mg dalam konsentrasi tinggi

akan meningkatkan insiden polong busuk.

Observasi Gejala ”Gapong” pada Tanaman Kacang Tanah

Pengumpulan informasi tentang gejala gapong dilakukan dengan cara datang ke

lahan petani pada sekitar saat panen kacang tanah pada musim kemarau di Cirebon dan

Majalengka. Pengambilan sampel polong, tanaman dan tanah di daerah polong

dilakukan pada sekitar 10-20 lokasi untuk setiap kabupaten.

Pengamatan nematoda pada pertanaman kacang tanah

Identifikasi nematoda berdasarkan pada bentuk morfologi dan panjang tubuh

stadia juvenil dan dewasa mengikuti petunjuk Mai dan Lyon (1975) dan Siddiqi (1986).

Populasi masing-masing jenis nematoda/100 g contoh tanah dihitung. Pengamatan juga

Page 7: HASIL PENELITIAN KEDELAI

7

dilakukan pada polong-polong yang diduga terserang “gapong” dengan cara mengamati

gejala pada kulit polong dan bagian luar, dalam, dan biji-biji yang terbentuk. Macam

dan jenis nematoda yang terdapat di dalam tanah pada pertanaman kacang tanah yang

disurvei di Kab. Cirebon secara rinci dicantumkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Helicotylenchus dan Rotylenchulus Meloidogyne, Helicotylenchus dan Rotylenchulus

Criconemella ornata Pratylenchus sp.

Gambar 1. Jenis nematoda yang dominan ditemukan di tanaman kacang tanah (Foto: Y.

Baliadi, 2008)

Nematoda peluka akar, Pratylenchus sp. ditemukan di 16 dari 16 lokasi

pengambilan contoh tanah. Di tujuh lokasi, populasi nematoda peluka akar tergolong

tinggi (102-150 ekor/100 g tanah) dan berdasarkan karakter morfologi, spesies yang

dominan adalah P. brachyurus. Spesies lain yang teridentifikasi adalah P. zeae dan P.

penetrans.

Nematoda puru akar (Meloidogyne sp.) ditemukan di 16 lokasi, di lima lokasi

populasinya cukup tinggi (88-160 ekor/100 g tanah). Kacang tanah tergolong tanaman

yang tahan terhadap infeksi Meloidogyne, kecuali terhadap M. arenaria dan M. hapla.

Spesies nematoda puru akar yang teridentifikasi sebagian besar adalah M. graminicola,

khususnya pada contoh tanah yang berasal dari lahan sawah atau pertanaman

sebelumnya adalah padi sawah atau padi gogo. M. arenaria dan M. javanica di lima

lokasi populasinya tinggi dan lebih dominan dibandingkan M. graminicola. Pada contoh

tanah yang diamati tidak ditemukan jenis M. hapla dan M. incognita.

Nematoda bentuk ginjal (Rotylenchulus sp.) hanya ditemukan di sembilan lokasi

dengan kisaran populasi 2-38 ekor/100g tanah dan diduga adalah R. reniformis.

Nematoda spiral (Helicotylenchus sp.) juga ditemukan di semua lokasi

pengambilan contoh tanah. Populasi nematoda ini paling tinggi dengan kisaran 42-230

ekor/100 g tanah. Spesies NPT lain yang teridentifikasi adalah Macrosposthonia ornata

(Criconemella ornata), Hirschmaniella oryzae, dan nematoda pemangsa cendawan dan

bakteri (free-living nematode).

Page 8: HASIL PENELITIAN KEDELAI

8

Pada umumnya akibat infeksi tanaman pada tanaman kacang tanah tidak begitu

tampak, kecuali puru-puru pada akar akibat infeksi Meloidogyne sp. Walaupun

demikian, pada sistem perakaran kacang tanah yang telah dicuci bersih terlihat adanya

beberapa gejala berupa nekrotik dan klorosis pada beberapa polong kacang tanah. Pada

bagian yang nekrotik terjadi penebalan pada kulit menyerupai kanker berwarna coklat

kekuningan menyerupai tanda/gejala terserang oleh M. arenaria. Selain itu juga diamati

gejala berupa perlukaan-perlukaan memanjang pada kulit polong menyerupai gejala

khas serangan P. brachyurus.

Tabel 1. Jenis nematoda parasit tanaman yang berasosiasi dengan sistem perakaran tanaman

kacang tanah di Kab. Cirebon, 12-14 Juli 2008

Lokasi Populasi nematoda/100 g tanah *)

Pratylen

chus

Meloi-

dogyne

Helicoty

-lenchus

Crico-

nemella

Rotylen

-

chulus

Hirschma

niella

Free-

living

Desa Munjul, Astanajapura

**

Desa Munjul, Astanajapura

**

Desa Munjul, Astanajapura

(Gogo-k. tanah-bera)

28 10 39 2 - 16 56

Desa Gumilang Tonggoh,

Greged (Gogo-k.tanah-bera)

126 98 68 14 2 28 80

Desa Gumulung Lebak.

Greged (Gogo-k.tanah-

k.tanah): A. craccivora

30 8 42 20 - 20 62

Desa Gumilang Tonggoh,

Greged (Gogo-k.tanah-

bera): N. viridula

92 46 180 4 - 4 90

Desa Gumilang Tonggoh,

Greged (Gogo-k.tanah-bera)

24 48 64 28 4 12 72

Desa Gumilang Tonggoh,

Greged (Gogo-k.tanah-bera)

44 12 68 - - 16 68

Desa Sindang kasih, Beber

(Padi sawah-k.tanah-bera)

144 20 184 40 28 80 124

Desa Sindang kasih, Beber 8 28 68 6 2 28 45

Desa Sindang kasih, Beber

(Padi gogo-k.tanah-bera)

128 20 99 10 18 6 132

Desa Sindang kasih, Beber

(Ubi jalar-k.tanah-bera)

98 42 113 12 38 18 104

Desa Wanayasa, Beber

(Padi sawah-k.tanah-bera)

102 60 202 48 - 14 97

Desa Wanayasa, Beber

(Padi sawah-k.tanah-bera)

58 92 126 18 20 74 106

Desa Mertapada,

Astanajapura

(Padi gogo-k.tanah-bera)

40 76 204 58 16 - 84

Page 9: HASIL PENELITIAN KEDELAI

9

Desa Munjul, Astanajapura 140 130 230 30 - 220 230

Desa Munjul, Astanajapura 150 160 140 20 6 270 150

Desa Munjul, Astanajapura 132 88 175 38 - 89 174

Keterangan: * ekstraksi nematode dengan metode modifikasi corong Baermann; ** pengamatan pada

polong hasil panen.

Sumber: A.A. Rahmianna dkk 2009

M. ornata tergolong ektoparasit migratori, dikenal dengan nama nematoda cincin

(ring nematode). Nematoda ini cukup penting secara ekonomi karena diketahui sebagai

penyebab ”peanut yellows” Gejala daun-daun kuning banyak dijumpai di lokasi survei

(Gambar 2) dan gejala tersebut oleh petani juga dinyatakan sebagai salah satu penanda

”gapong”. Penurunan hasil dapat mencapai 50% disertai dengan gejala diskolorisasi

berupa nekrotik coklat pada akar, polong, dan tangkai polong kacang tanah serta

seringkali menimbulkan penyakit lebih kompleks dengan beberapa patogen tular tanah

(soil borne diseases).

Gambar 2. Ciri gejala “gapong” pada daun kacang tanah (Foto: Y. Baliadi, 2008)

Sejauh mana peran NPT dalam kompleks penyakit gapong belum dapat diketahui

bila hanya berdasarkan hasil identifikasi terhadap contoh-contoh tanah yang diperoleh

dari pertanaman kacang tanah karena saat pengambilan contoh tanah bukan pada musim

gapong dan pertanaman kacang tanah yang terserang gapong juga rendah. Namun

demikian dapat dikemukakan bahwa NPT mungkin saja berkontribusi pada terjadinya

”gapong”. Pada tipe ”gapong” dengan pembatasan awal diduga disebabkan oleh

akumulasi dampak serangan tiga jenis NPT, yaitu P. brachyurus, M. arenaria, dan M.

ornata. Peran ketiganya secara tidak langsung adalah sebagai prekursor bagi cendawan-

cendawan tular tanah seperti Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Fusarium sp., dan

Aspergillus sp., karena pengamatan lapang dan polong-polong kacang tanah contoh juga

ditemukan adanya kompleks serangan cendawan tular tanah (Gambar 3).

Page 10: HASIL PENELITIAN KEDELAI

10

Polong terserang M. arenaria Polong terserang. P. brachyurus

Gambar 3. Gejala “gapong” yang diduga disebabkan oleh nematoda (Foto: Y. Baliadi, 2008)

Gambar 4. Polong terserang kompleks patogen tular tanah, Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia

solani, Pythium sp. atau Fusarium sp. (Fptp: Y. Baliadi, 2008)

M. graminicola dan Hirschmaniella oryzae adalah NPT padi dan pada populasi

tinggi dapat menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil tinggi. M. graminicola dapat

menggunakan kedelai sebagai inang, sehingga diduga kacang tanah juga menjadi salah

satu inang pilihannya.

Free-living nematode populasinya tergolong tinggi. Kelompok nematoda ini

beberapa di antaranya adalah pemangsa cendawan dan bakteri yang efektif dan kehadir-

annya dengan populasi tinggi diduga akibat kondisi tanah yang relatif menguntungkan

bagi pertumbuhan dan perkembangan cendawan-cendawan dan bakteri penghuni tanah

termasuk patogen-patogen cendawan dan bakteri tular tanah (soil-borne diseases).

Enam genus nematoda parasit tanaman yaitu: Meloidogyne, Pratylenchus,

Rotylenchulus, Helicotylenchus, Hirschmaniella, dan Criconemella diidentifikasi pada

contoh tanah yang diambil dari perakaran kacang tanah di Kab. Majalengka dengan

frekuensi deteksi masing-masing genus adalah 45,9%; 45,9%; 10,81%; 21,62%;

43,24%; dan 5,40% (n=36) (Tabel 2). Genus Meloidogyne dan Pratylenchus

menunjukkan frekuensi deteksi tertinggi (45,9%) dan ini berarti kedua genus tersebut

ditemukan di 17 lokasi dari 37 lokasi yang diamati. Meloidogyne adalah penyebab

gejala puru pada akar dan kulit polong kacang tanah yang terinfeksi, sedangkan

Pratylenchus adalah penyebab gejala luka pada akar dan kulit polong kacang tanah.

Genus Criconemella yang juga punya potensi tinggi menurunkan hasil kacang tanah

hanya terdeteksi di dua lokasi (5,40%).

Tingginya frekuensi deteksi genus Hirschmaniella (43,24%) disebabkan

agroekosistem pertanaman kacang tanah sebagian besar menerapkan pola pergiliran

tanam dengan padi. Genus Rotylenchulus dan Helicotylenchus merupakan nematoda

penting pada sebagian besar tanaman budidaya. Pola tumpang sari kacang tanah dengan

Page 11: HASIL PENELITIAN KEDELAI

11

padi, kedelai, kacang hijau, ubi jalar mendukung kontinuitas keberadaan keduanya di

lahan pertanaman kacang tanah.

Nematoda hidup bebas yang pada galibnya menggunakan mikroorganisme terma-

suk jamur dan bakteri sebagai sumber nutrisi dideteksi pada 34 lokasi pengambilan

contoh tanah. Tingginya populasi nematoda hidup bebas mencerminkan tingkat

keragaman spesies yang tinggi dan juga mencerminkan stabilitas agroekosistem yang

juga tinggi. Beberapa genus nematoda hidup bebas adalah juga agens pengendali efektif

terhadap patogen jamur dan bakteri.

Tabel 2. Nematoda parasit dan hidup bebas (free-living nematodes) pada perakaran kacang

tanah di daerah endemis “gapong” di Kab. Majalengka, Jawa Barat.

No

Kecamatan

Desa

Jenis dan populasi nematoda per 10 g tanah

Meloido

-gyne

Pratylen-

chus

Rotylen

-chulus

Helicoty

-lenchus

Hirschm

aniella

Cricone

mella

Free

living

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

Majalengka

Majalengka

Majalengka

Cigasong

Cigasong

Cigasong

Sukahaji

Sukahaji

Rajagaluh

Rajagaluh

Leuwimunding

Leuwimunding

Leuwimunding

Leuwimunding

Palasah

Palasah

Palasah

Palasah

Palasah

Palasah

Cigasong

Cigasong

Sukahaji

Sukahaji

Sukahaji

Sukahaji

Rajagaluh

Rajagaluh

Palasah

-

-

-

-

-

-

-

Munjul

Munjul

Sidamukti

Cigasong

Cigasong

Cigasong

Salagedang

Salagedang

Rajagaluh

Rajagaluh

Nanggerang

Leuwikujang

Leuwikujang

Leuwikujang

Sindanghaji

Sindanghaji

Pasir

Pasir

Kramat

Kramat

Tajur

Tajur

Ciekesik

Ciekesik

Ciekesik

Ciekesik

Telargedang

Telargedang

Kramat

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

20

30

20

-

-

-

20

10

40

10

50

10

-

60

-

-

40

10

20

80

10

-

-

-

-

-

-

-

20

-

40

10

20

-

-

-

-

20

20

40

-

10

10

30

-

70

230

-

10

-

-

-

20

20

-

90

130

110

-

30

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

10

-

-

10

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

20

-

-

-

-

-

10

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

50

-

30

-

-

40

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

30

80

-

-

-

-

10

-

-

50

10

-

-

-

-

-

40

-

-

60

40

20

20

30

10

-

240

-

-

20

10

-

-

30

-

10

40

10

-

10

20

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

80

-

-

-

-

-

50

-

-

110

80

10

130

-

400

80

10

140

-

160

300

460

810

130

710

440

60

90

20

40

70

160

1950

910

190

180

650

160

140

2300

480

120

1050

40

570

Frekuensi deteksi (%)

(N = 36 contoh tanah)

17

(45,94%

)

17

(45,94%

)

4

(10,81

%)

8

(21,62%

)

16

(43,24%

)

2

(5,40%)

34

(91,89

%) Keterangan: * ekstraksi nematoda dengan metode modifikasi corong Baermann

Sumber: A. A. Rahmianna dkk, 2009

Page 12: HASIL PENELITIAN KEDELAI

12

Pengamatan polong kacang tanah terserang ”Gapong”

Berdasarkan pengamatan pada polong kacang tanah, maka gapong dapat

diklasifikasikan ke dalam empat kelompok (Gambar 5), yaitu:

1. Polong terbentuk sempurna, biji tidak terbentuk (kopong)

2. Polong terbentuk sempurna, 1-2 biji tidak terbentuk sempurna

3. Polong terbentuk, ada gejala nekrotik dan klorosis, biji pada bagian kulit polong

bergejala nekrotik berubah warna

4. Polong terbentuk, ada lubang (± 1-2 mm), biji tergerek, ada bekas kotoran

5. Tanaman tumbuh subur, daun terserang mites, polong tidak terbentuk atau

jarang

Gambar 5. Variasi gejala ”gapong” pada kacang tanah

Hasil pengamatan pada polong-polong yang terindikasi ”gapong” menunjukkan

bahwa gejala gapong variasinya luas, sebagaimana cara penyebutan oleh masyarakat

tani, yaitu kemprong, kempong, kopong, cenos. Gejala ”gapong” berupa polong hampa

atau keriput serupa dan banyak dijumpai di sentra-sentra pertanaman kacang tanah lain

di luar Cirebon.

Pengamatan lebih diarahkan pada ”gapong” yang kulit polongnya terdapat luka

dan lubang. Hasil pengamatan terhadap polong-polong dengan gejala-gejala tersebut

membuktikan bahwa gejala”gapong” terdapat pada semua ukuran polong (dari polong

muda hingga tua, berukuran kecil hingga besar). Bila polong dibuka ditemukan bekas-

bekas liang gerekan larva serangga. Hasil gerekan larva menyisakan bekas-bekas

kotoran bulat kecil berukuran seragam. Lubang berukuran 2-3 mm pada kulit polong

adalah jalan keluar larva saat melanjutkan stadia pupa di dalam tanah.

Diduga imago serangga meletakkan telur sesaat sebelum ginofor akan masuk ke

dalam tanah. Telur mungkin menetas sebelum atau sesudah ginofor masuk ke dalam

tanah. Larva yang menetas masuk ke dalam kulit polong. Tingkat keparahan gejala

gerekan bergantung pada umur dan perkembangan polong kacang tanah. Pertanyaan

menarik: apakah larva di dalam polong kacang tanah dapat berpindah polong di dalam

Page 13: HASIL PENELITIAN KEDELAI

13

tanah? mengingat polong kacang tanah saling berdekatan dan dalam satu tanaman

ditemukan lebih dari 2-3 polong yang menunjukkan gejala ”gapong”.

Berdasarkan pada tipe gerekan dan mekanisme serangan diduga serangga yang

menyerang adalah Etiella sp (Gambar 6). Pada lokasi pengambilan contoh tanah diamati

adanya pola tanam tumpangsari dengan kedelai atau pada satu hamparan dapat

ditemukan kedelai ditanam bersamaan dengan kacang tanah. Selain kedelai, Etiella sp.

juga menggunakan tanaman orok-orok (Crotalaria sp.) sebagai tanaman inangnya. Dua

jenis Crotalaria sp. banyak ditemukan di lokasi survei (Gambar 7).

Imago E. zinckenella Imago E. hobsoni Telur E. zinckenella

Gambar 6. Penggerek polong, Etiella sp.(Foto: Y. Baliadi 2008)

Kedelai Crotalaria sp. Polong Crotalaria sp. Crotalaria sp.

Gambar 7. Tanaman inang hama penggerek polong, Etiella sp. (Foto: Y. Baliadi, 2008)

Pengamatan tanaman kacang tanah terserang ”Gapong”

Pengambilan sampel tanaman yang dilaksanakan di Kabupaten Majalengka pada

musim panen September 2008 menunjukkan bahwa dari 90 tanaman yang diambil pada

16 lokasi di empat kecamatan, sebanyak 57,7% dari jumlah batang berada pada kondisi

kaku, selebihnya (42,3%) berada pada kondisi sehat yang ditampakkan dengan batang

yang lemas. Ternyata pada batang yang lemas, terdapat lebih banyak polong sehat,

sebaliknya pada batang yang kaku terdapat polong tidak sehat, polong berlubang,

polong tidak jadi, polong terserang gapong dan puru akar dalam jumlah yang lebih

banyak (Tabel 3).

Page 14: HASIL PENELITIAN KEDELAI

14

Tabel 3. Ragam kualitas polong pada batang yang kaku dan batang yang lemas tanaman

kacang tanah dari Kabupaten Majalengka. MK II 2008.

Batang Jumlah

Batang

(%)

Polong

sehat

(%)

Polong

hitam

(%)

Polong

berlubang

(%)

Pol muda

berlubang

(%)

Ginofor

(%)

Polong

rusak

(%)

Gapong

(%)

Polong

berpuru

(%)

Kaku 57,7 32,5 73,2 96 100 60 63 84,5 73,3

Lemas 42,3 67,5 26,8 4 0 40 37 15,5 26,7

Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009

Pengamatan yang lebih rinci pada semua polong yang ada (sebanyak 945 polong)

pada semua tanaman sampel yang diperoleh menunjukkan adanya ragam kondisi fisik

biji pada beragam kondisi fisik polong (Tabel 4).

Tabel 4. Ragam kualitas biji pada polong tanaman kacang tanah dari Kab.

Majalengka. MK II 2008.

Kondisi fisik polong Biji

sehat

(%)

Biji

coklat

(%)

Biji

ngecap

(%)

Biji

rusak

(%)

Biji

berjamur

(%)

Polong sehat 39,2 11,1

Polong ber-puru 8,9 4,8

Polong ber-bintik hitam 5,4 10,2 1,8

Gapong 9,9

Rusak mekanis 1,5

Polong berlubang 1,2 4,6

Polong berjamur 1,5

Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009

Ternyata pada polong yang sehat terdapat pula biji yang sudah berubah warna

menjadi coklat. Demikian pula pada polong yang tidak sehat (misal pada polong yang

berpuru, berbintik hitam dan yang berlubang) selain menghasilkan biji yang sudah

berubah warna dan penampilan (ngecap: kulit ari biji berwarna coklat dan berlendir),

juga terdapat biji yang masih sehat. Keadaan ini mendukung hasil pengamatan sampel

tanaman dan polong yang berasal dari Kab. Cirebon yaitu adanya ragam kondisi fisik

biji dan polong.

Pemahaman petani tentang “gapong”

Pengumpulan informasi dari beragam sumber (petani, penangkar, penyuluh,

pedagang) tentang penyebab, ciri-ciri dan upaya pengendalian gejala “gapong”

terangkum pada tabel-tabel berikut.

Page 15: HASIL PENELITIAN KEDELAI

15

Tabel 6. Hasil survei tentang ciri-ciri gejala gapong. MT 2008.

Daun dan batang Polong dan biji

Majalengka

Tanaman kehitam-hitaman dan kuning Polong hitam seperti terbakar, isi kosong

Daun hitam/berem Biji hitam, terbakar, kempros

Daun dan batang agak keras--keras, batang

tegak, warna hijau

Polong garis-garis hitam (disebut tutung),

kulit polong tebal

Batang keras, daun merah/kuning Polong bagus, isi kosong, polong hitam, ada

lubang di polong

Daun kuning/berem/merah Bintik-bintik hitam pada polong

Tanpa biji atau polong besar biji kecil

Polong keriput (peot)

Cirebon

Tanaman hijau, kerdil, tidak mekar Polong keropos

Daun merah, keropos Polong berlubang kecil besar, coklat

Polong tidak penuh bahkan kosong

Polong utuh/berlubang tapi kosong

Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009

Tabel 7. Hasil survei tentang penyebab terjadinya gejala gapong. MT 2008.

Majalengka Cirebon

Tanaman MK II, tanam Juni-Juli Bibit muda

Tanah berpasir, bisa tidak panen. Di tanah liat/aluvial

tidak terlalu parah

Tanam dilakukan pada saat tanah

masih panas, siang hari

Hawa panas diairi Pemberian urea terlalu banyak

Pengaruh pengairan (MK II):

waktu pengisian polong kurang air disiram siang

hari hampir semua terserang polong bagus tapi

isinya keriput kecil. Di polong ada titik hitam

Tanaman MK yang kurang air

tanah nelo hama masuk dan

menyebabkan kemprong

Waktu pembijian kena air, jika kekurangan air

gapong banyak, kalau teratur tidak ada

Tanam bulan Mei-Juli (hal ini karena

cara pengairan yang terlalu lama)

Siang hari diairi tanah terlalu panas (tanah seperti api

disiram air)

Keadaan kering lalu kena hujan di

awal bunga

Tanam MK II, polong muda diairi terlalu banyak jadi

gapong. Seharusnya polong muda dibiarkan sampai

berbiji baru diairi

Air kurang (susah diatur)

Tanah abang pengairan di siang hari (kalo malam

baik)

Cendawan

Kurang air/pengairan siang hari kebersihan

Terlalu banyak air Berbunga terlalu jenuh, layu

Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009

Page 16: HASIL PENELITIAN KEDELAI

16

Tabel 8. Hasil survei tentang upaya pembenahan gejala gapong. MT 2008.

Majalengka Cirebon

Jangan mengairi di siang hari Abu dapur

Pengairan dilakukan pada jam 2, 3,4

pagi hawa masihh dingin Jerami ditambah garam dan air

Setiap pagi digembor

Jangan diberi pupuk urea

Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009

Petani Majalengka memiliki pengalaman yang panjang mengenai Gapong atau

tutung. Petani setempat menuturkan gapong pada kacang tanah (suuk)banyak muncul di

lahan sawah dengan jenis tanah berpasir pada pertanaman kacang tanah yang ditanam

pada Juni-Juli di MK II. Hal ini didukung oleh perntayaan Semangun (2004) bahwa

musim tanam sangat mempengaruhi timbulnya gejala ini. Kacang tanah yang ditanam

pada musim kemarau sangat peka terhadap serangan gapong terlebih jika masih turun

hujan pada fase generatif. Pertanaman kacang tanah di lahan dengan jenis tanah

liat/aluvial serangannya tidak parah, sedangkan pada jenis tanah berpasir hampir tidak

panen (puso).

Yang dimaksud gapong adalah bila urat-urat hitam tampak di kulit polong,

berwarna hitam seperti bekas kena api (terbakar), dalam polong tidak ada biji karena

hangus dan bila ada bijinya kecil dan keriput. Kondisi polong tersebut diistilahkan

”kempros”. Istilah ”leob” adalah pada kondisi panas disiang hari lahan kacang tanah

diairi dan memunculkan gejala gapong dengan ciri-ciri seperti disiram dengan air panas.

Pengamatan pada polong kacang tanah dengan gejala khas gapong juga ditemukan

adanya lubang dan bercak kehitaman. Adanya lubang kecil pada polong kacang tanah

salah satunya disebabkan oleh serangan larva penggerek polong (Etiella sp.) sedangkan

gejala kehitaman dapat disebabkan oleh serangan nematoda atau jamur patogenik.

Gejala gapong pada bagian tanaman lain adalah batang berubah warna menjadi agak

kehitaman, batang agak tegak, daun agak keras dan warna daun kekuningan.

Diding Casdi (PPL, per comm.) menginformasikan pada intensitas serangan

Cercospora sp. tinggi seringkali disertai dengan pemunculan gejala gapong. Pembuk-

tian di lapang menunjukkan bahwa 30-40% indikasi tersebut benar.

Petani setempat telah memahami fenomena tersebut, namun sulit dihindari karena

jadual pengairan bertepatan saat siang hari. Oleh karena itu di MK II hampir seluruh

pertanaman kacang tanah akan terdapat serangan gapong dengan tingkat serangan

beragam antar lokasi. Selama tahun 2008 minat bertanam kacang tanah turun karena

sejak April-Mei sudah tidak ada air hujan.

Teknologi pengendalian terhadap gapong tidak ada. Upaya pengendalian

gapong di Majalengka diarahkan pada tindakan preventif, yakni bagaimana agar gejala

gapong tidak muncul. Tindakan pencegahan yang diterapkan antara lain: (1) tidak

mengairi disiang hari. Teknik serupa juga digunakan oleh petani untuk mengendalikan

hama lanas pada ubi jalar. Petani menjelaskan berdasarkan pranata mangsa, MK II

adalah sat panas-panasnya tanah dimana disiang hari seperti ada uap asap. Pengairan

dilakukan di pagi (< pk. 10.00) dan sore hari (<pk 15.00), (2) pergiliran tanaman. Petani

mencoba menanam mentimun (non palawija) tahun 2007 dan pertanaman kacang tanah

pada tahun 2008 tumbuh baik. Petani setempat mengistilahkan “unjuk gigi waktu

kecil, menangis di waktu besar”, (3) menunda pengairan ± 2 minggu saat

pembentukan polong (istilah petani sudah keluar kacang). Penangkar benih kacang

Page 17: HASIL PENELITIAN KEDELAI

17

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Leng

kap

( L)

Tanpa

pupu

k

L - C

aL-

NL

- PL

- K

L - B

O

L - m

ulsa

Polong rusak

Polong hampa

Polong isi

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Leng

kap

( L)

Tanpa

pupu

k

L - C

aL-

NL

- PL

- K

L - B

O

L - m

ulsa

Polong rusak

Polong besar

Polong kecil

tanah menyatakan teknologi tersebut efektif. Pemahaman “tidak terlalu ambisi

kepada air” salah satu nya adalah tindakan penundaan pengairan tersebut.

Alternatif Cara Pengendalian Gejala ”Gapong”

Faktor penyebab gejala “gapong” yang berupa polong berlubang, busuk, berbintik

hitam, luka mekanis atau berpuru telah diketahui dan bisa dikendalikan dengan aplikasi

pestisida maupun tindakan agronomis lainnya. Sedangkan gejala gapong yang mengacu

pada polong rapuh, kulit polong hitam seperti terbakar, kulit menipis, berserabut, rapuh,

cracking masih belum diketahui penyebabnya. Berdasarkan penuturan narasumber-

narasumber yang berada di lapang, hal ini karena pengairan yang dilakukan pada siang

hari pada saat pembentukan polong/polong muda pada tanah berpasir dengan suhu yang

tinggi (Rahmianna dkk 2008). Cara pengendalian gejala gapong tersebut belum

ditemukan dari penelitian ini. Oleh karena itu disarankan perlunya dilakukan penelitian

di daerah endemik “Gapong” untuk mengetahui secara detail penyebab dan kemung-

kinan cara menanggulanginya.

Pengelolaan unsur hara

Kegiatan dilakukan pada lokasi endemik gejala “gapong” di desa Pasir, kecamatan

Palasah, kab. Majalengka pada musim tanam kacang tanah tahun 2009. Secara ringkas

dapat dikemukakan bahwa gejala “gapong” sangat parah pada percobaan ini. Kualitas

polong yang diamati dari 1 kg polong yang diambil pada setiap petak perlakuan

menunjukkan bahwa pengaruh pengelolaan hara nyata terhadap Persen bobot polong

baik yang terdiri atas polong berukuran besar dan kecil (nisbah bobot polong baik yang

berukuran normal/berat polong total) dan persen bobot polong rusak (nisbah bobot

polong rusak/bobot polong total). Pemupukan lengkap atau tanpa pemupukan sama

sekali memberikan kualitas polong paling baik (% bobot polong baik tertinggi dan %

bobot polong rusak paling rendah). Ditambahkan bahwa hara kalsium (digunakan kapur

petanian) dan mulsa jerami, masing-masing sangat mempengaruhi kualitas polong yaitu

menyebabkan polong rusak paling tinggi (Gambar 8 B).

Sedangkan pengamatan pada 10 tanaman contoh menunjukkan bahwa hara

kalsium, nitrogen dan kalium, masing-masing bertanggungjawab pada proses pengisian

polong. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen jumlah polong hampa pada

perlakuan tanpa unsur-unsur hara tersebut (Gambar 8 A).

(A) (B)

Gambar 8. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat

polong kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada delapan

perlakuan (Sumber N: 50 kg Urea/ha; Sumber P: 100 kg SP-36; Sumber K: 50 kg

KCl; Sumber Ca: 500 kg kapur pertanian, Pupuk kandang 10 t/ha, Jerami 10 t/ha)

Page 18: HASIL PENELITIAN KEDELAI

18

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Turan

gga

Singa

Kan

cil

Jera

pah

Bison

GH 16

JP 7

2

JP 2

6

JP 5

8

Loka

l

Polong rusak

Polong hampa

Polong isi

0%

10%20%

30%40%

50%

60%70%

80%90%

100%

Turan

gga

Singa

Kan

cil

Jera

pah

Bison

GH 16

JP 7

2

JP 2

6

JP 5

8

Loka

l

Polong rusak

Polong besar

Polong kecil

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Leng

kap

( L)

Tanpa

B/K

L - S

T

L-Nem

L -E

t

L-Hm

D

L - S

T, B

/K

L-Hm

D,E

t,Nem

Polong rusak

Polong hampa

Polong isi

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

Leng

kap

( L)

Tanpa

B/K

L - S

T

L-Nem

L -E

t

L-Hm

D

L - S

T, B

/K

L-Hm

D,E

t,Nem

Polong rusak

Polong besar

Polong kecil

Penanaman genotipe kacang tanah yang sesuai

(A) (B)

Gambar 9. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat polong

kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada 10 genotipe.

Sebanyak 10 genotipe kacang tanah dengan beragam karakter ditanam dalam satu

hamparan dengan kegiatan pengelolaan hara. Karakter-karakter tersebut adalah berkulit

polong tebal (Turangga dan Singa), berkulit polong sedang (Kancil), berkulit polong

tipis (Bison dan Jerapah), toleran kekeringan pada fase generatif (JP 72, JP 58), tahan

bercak dan karat daun (GH 16, JP 26) dan varietas lokal. Dari polong dan keragaan

tanaman yang dihasilkan ternyata tanda-tanda gejala”gapong” tidak separah percobaan

pengelolaan hara. Dengan demikian persen berat polong rusak atau persen jumlah

polong hampa juga rendah (Gambar 9 A dan B). Hal ini diperkuat oleh pernyataan para

petani di desa tersebut, bahwa “gapong” terjadi pada lokasi-lokasi tertentu. Hal ini tidak

kami perkirakan sebelumnya.

Pengendalian hama polong dan penyakit tanaman

(A) (B) Gambar 10. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat

polong kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada delapan

perlakuan.

Lokasi yang dipakai sebagai tempat percobaan ternyata juga mempunyai sejarah

“gapong” yang tidak parah. Dengan demikian pengaruh perlakuan terhadap kualitas

fisik polong juga tidak begitu nyata. Namun demikian dapat disampaikan di sini bahwa

tanaman yang tidak mendapat perlakuan benih dengan fungisida Captan atau tanaman

tidak dikendalikan penyakit daunnya (karat dan bercak daun) dan keduanya

menghasilkan persen bobot polong rusak paling tinggi (Gambar 10 B). Dengan

demikian dapat diinformasikan bahwa seed treatment dan pengendalian panyakit bercak

dan karat daun berpengaruh pada kualitas polong. Pengamatan jumlah polong isi dan

hampa pada tanaman tanaman contoh juga mendukung hal ini (Gambar 10 A).

Page 19: HASIL PENELITIAN KEDELAI

19

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor penyebab gejala “gapong” yang berupa polong berlubang, busuk,

berbintik hitam, luka mekanis atau berpuru telah diketahui dan bisa dikendalikan

dengan aplikasi pestisida maupun tindakan agronomis lainnya.

2. Sedangkan gejala gapong yang mengacu pada polong rapuh, kulit polong hitam

seperti terbkar, kulit menipis, berserabut, dan rapuh masih belum diketahui

penyebabnya. Cara pengendalian gejala gapong tersebut belum ditemukan dari

penelitian ini.

3. Dugaan sementara, ketidakseimbangan unsur hara utama N, P, K, dan Ca

menjadi penyebab mudahnya polong diserang hama atau penyakit. Dengan

demikian keseimbangan hara di dalam tanah harus dipertahankan.

4. Polong yang menempel pada tanaman yang diserang penyakit daun dan atau

penyakit tular tanah lebih mudah terkena “gapong”

5. Saran: perlu dilakukan penelitian di daerah endemik “Gapong” untuk

mengetahui secara detail penyebab dan kemungkinan cara menanggulanginya,

dengan memanfaatkan kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Diener, U.L., R.E. pettit and R.J. Cole. 1982. Aflatoxins and other mycotoxins in

peanuts. P. 486-519. In. H.E. Pattee and C.T. Young. (Eds.). Peanut Science and

Technology. Amer. Peanut Res. Educ.Soc., Inc., Texas.

Gascho, G.J., and J.G. Davis. 1988. Mineral nutrition. P. 214-254. In. J. Smartt (Ed.).

The Groundnut Crop. Chapman & Hall. London.

Hardaningsih, S., dan M. Hadi. 2008. Penyebab penyakit bercak polong dan hawar

batang pada tanaman kacang tanah di Kabupaten Banjarnegara. Hal. 386-391.

Dalam. A. Harsono (peny.). Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Prosiding Seminar di

Balitkabi pada tanggal 9 November 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan.

Porter, D.M., D.H. Smith, and R.Rodriguez-Kabana. 1982. Peanut plant diseases. P.

326-410. In. H.E. Pattee and C.T. Young. (Eds.). Peanut Science and Technology.

Amer. Peanut Res. Educ.Soc., Inc., Texas.

Porter, D.M., D.H. Smith, and R.Rodriguez-Kabana. 1984. Compendium of Peanut

Diseases. The American Phytopathological Soc. St. Paul, Minnesota. 73 pp.

Sankara Reddi, G.H., 1988. Cultivation, storage and marketing. P. 318-383. In. P.S.

Reddy (Ed.). Groundnut. Publications and Information Division Indian Council of

Agricultural Research. New Delhi.

Semangun, H., 2004. Penyakit-penyakit tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada

Univ., Press. Yogyakarta. p. 152-154.

Page 20: HASIL PENELITIAN KEDELAI

20

Somaatmadja, S. 1985. Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). C.V. Yasaguna. Jakarta.

48 hlm.

Subrahmanyam, P., and V. Ravindranath. 1988. Fungal and nematode diseases. P. 453-

507. In. P.S. Reddy (Ed.). Groundnut. Publications and Information Division Indian

Council of Agricultural Research. New Delhi.

Sutarto, Ig.,H., Harnoto dan S.A. Rais. 1988. Kacang Tanah. Buletin Teknik No.2. Balai

Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Bogor. 47 hlm.