hasil penelitian hubungan motivasi dan komitmen …
TRANSCRIPT
HASIL PENELITIAN
HUBUNGAN MOTIVASI DAN KOMITMEN KERJA
PERAWAT DENGAN PENERAPAN KESELAMATAN PASIEN
DI RUANG INTENSIF RSUP SANGLAH DENPASAR
OLEH:
KOMANG MENIK SRI KNIM: 1292121017
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang bersifat kompleks.
Kompleksitasnya meliputi berbagai jenis pelayanan seperti pelayanan medis, para
medis, penunjang medis yang didukung oleh sarana medis dan non medis dan
pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup besar serta interaksi
petugas dengan masyarakat. Apabila hal tersebut tidak dikelola dengan baik
sebagai upaya mewujudkan pelayanan yang bermutu sesuai dengan keinginan
masyarakat maka sangat berpotensi untuk menimbulkan kesalahan.
Proses asuhan pasien apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan standar mutu
dapat terjadi kesalahan diagnosis, terapi/pengobatan, prosedur pelayanan yang
berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Kesalahan tersebut dapat
mengakibatkan cedera dan dapat pula tidak mengakibatkan cedera. Kondisi pasien
yang tidak mengalami cedera meskipun terjadi kesalahan dikenal dengan istilah
Kejadian Nyaris Cedera (KNC), sedangkan pasien yang mengalami cedera karena
kesalahan disebut dengan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) (Kohn, et al, 2000).
Kasus KTD sebagai dampak dari kesalahan dalam proses asuhan pasien
sudah banyak terjadi di seluruh dunia terutama di negara-negara maju. Pada tahun
2000 Institute of Medicine (IOM) di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang
berjudul “To Err is Human, Building a Safer Health System”. Laporan ini
menguraikan dua penelitian besar di Utah dan Coloroado serta New York kasus
KTD dilaporkan mencapai 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Kedua penelitian
2
tersebut lebih dari separuh kasus KTD berasal dari kesalahan medis yang
sebenarnya masih dapat dicegah. Bila diekploitasi ke seluruh Amerika, angka
kematian akibat kesalahan medis mencapai 44.000 sampai 98.000 orang setiap
tahunnya. Hal ini menyimpulkan bahwa kematian karena kesalahan medis
termasuk urutan ke delapan penyebab kematian di Amerika.
Data tentang KTD dan KNC di Indonesia masih sangat langka akan tetapi
masih sering dijumpai kasus berkaitan dengan malpraktek. Apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain seperti Amerika dan Inggris yang memiliki standar
pelayanan kesehatan yang lebih baik masih memiliki angka KTD dan kesalahan
medis yang lebih besar dibandingkan Indonesia (Departemen Kesehatan RI,
2006). Oleh karena itu untuk menghindari KTD diperlukan peran SDM saat
memberikan pelayanan kesehatan harus bekerja sesuai dengan standar prosedur
oprasional (SPO) sehingga dapat mewujudkan keselamatan pasien.
Keselamatan pasien rumah sakit telah menjadi salah satu isu global. Terdapat
lima isu penting berkaitan dengan keselamatan yaitu: keselamatan pasien,
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan
di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan. Kelima aspek keselamatan tersebut sangat penting untuk
dilaksanakan di setiap rumah sakit, karena keselamatan pasien merupakan
prioritas utama untuk dilaksanakan untuk mewujudkan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2006)
Untuk dapat mewujudkan penerapan keselamatan pasien di rumah sakit
sangat dipengaruhi peran SDM pemberi pelayanan. SDM yang memiliki populasi
3
terbesar hampir 40% dibandingkan tenaga lainnya dan memiliki waktu paling
lama kontak langsung dengan pasien adalah tenaga perawat. Besarnya proporsi
tenaga perawat tersebut merupakan potensi mengembangkan kiat-kiat manajemen
mutu pelayanan kesehatan (Hasanbasri, 2007). Berkaitan dengan mutu pelayanan
kesehatan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian adalah diterapkannya
keselamatan pasien di rumah sakit.
Keselamatan pasien di rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain motivai kerja dan komitmen kerja. Motivasi kerja adalah proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi setiap pegawai yang menyebabkan timbulnya sikap
antusias dan persistensi dalam melaksanakan tugas (Winardi, 2011). Motivasi
dapat juga diartikan bahwa teknik motivasi harus dapat memastikan bahwa
lingkungan dimana mereka bekerja dapat memenuhi sejumlah kebutuhannya
(Wibowo, 2012). Menurut Kusnanto dan Riyadi (2006) dalam penelitiannya
tentang motivasi kerja menunjukkan bahwa ada hubungan motivasi kerja dengan
karakteristik perawat seperti pendidikan dan jenis kelamin perawat. Penelitian
Sanusi dan Hasnita (2005) di RS Dr. Achmad Bukit Tinggi menunjukkan bahwa
bahwa motivasi kerja berhubungan dengan karakteristik dan iklim organisasi dan
terjadi peningkatan sebesar 15,1%. Menurut Stoner Faktor lain yang dapat
meningkatkan motivasi kerja perawat adalah pemberian imbalan langsung
(insentif, tunjangan) dan imbalan tidak langsung (pelatihan, dan promosi jabatan).
Faktor lain yang berhubungan dengan sikap perawat dalam penerapan
keselamatan pasien adalah komitmen kerja. Beberapa pendapat berkaitan dengan
komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait dengan nilai-nilai dan
tujuan untuk memelihara keanggotaannya dalam rumah sakit (Robbins, 2006).
4
Komitmen kerja dapat juga diartikan bahwa tingkat kepercayaan, keterikatan
individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan
tugas dan bekerja di suatu rumah sakit (Mathis dan Jackson dalam Wijaya, 2012).
Beberapa penelitian sebelumnya berkaitan dengan komitmen kerja adalah
penelitian yang dilaksanakan oleh Nursyahfitri (2011) bahwa pengaruh komitmen
kerja karyawan pada Divisi Produksi PT Marumitsu Indonesia berpengaruh
terhadap kinerja perawat. Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh Wijaya
(2012) menunjukkan bahwa komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap
kinerja perawat dan bidan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangli.
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar sebagai salah satu
rumah sakit pemerintah terbesar di Bali dan sebagai Pusat Rujukan di Bali dan
Nusa Tenggara Timur, sebagai rumah sakit type A pendidikan yang lebih dituntut
dengan penerapan mutu sesuai standar, sejak tahun 2013 telah lulus standar Joint
Commission International (JCI) sebagai rumah sakit yang menerapkan mutu
standar international dan RSUP Sanglah Denpasar juga telah menetapkan Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) sejak tahun 2010.
Berdasarkan laporan keselamatan pasien RSUP Sanglah Denpasar tahun
2012 didapatkan data Kondisi Potensial Cedera (KPC) sebanyak 158 kasus, KNC
sebanyak 936 kasus, Kejadian Tidak Cedera (KTC) sebanyak 60 kasus, KTD
sebanyak 224 kasus, Sentinel Event sebanyak 2 kasus. Berdasarkan hasil
pelaporan kasus keselamatan pasien rumah sakit yang diterima TKPRS selama
bulan Februari 2014 terjadi 434 Kasus (RSUP Sanglah Denpasar, 2014).
5
Apabilila dilihat dari data korban kasus Januari – Februari 2014 bahwa
terjadi kasus cedera peningkatan kasus seperti yang dilihat dari korban kasus
pada bulan Januari 2014 sebanyak 232 kasus dan pada bulan Februari 434 kasus
dengan peningkatan sebesar 87%. Kasus yang paling banyak adalah karena faktor
pasien yang berjumlah 219 (94%) bulan Januari 2014 dan Februari berjumlah 421
(97%). Kasus faktor petugas pada bulan Januari 2014 berjumlah 205 (88%) dan
bulan Februari berjumlah 412 (95%). Berdasarkan laporan RSUP Sanglah
Denpasar bulan Januari sampai dengan Februari 2014, peningkatan kasus KPRS
di RSUP Sanglah dilhat dari tempat perawatan terjadi paling besar pada ruangan
Instalasi Rawat Inap (IRNA) C (121 kasus), IRNA D (24 kasus), IRNA B (23
kasus) dan Intensif Care Unit (ICU) sebanyak 12 kasus. Prosentase peningkatan
tertinggi terjadi di ruangan ICU dengan prosentase peningkatan kasus KPRS
sebanyak 140% yang awalnya pada bulan januari dilaporkan sebanyak 5 kasus
(RSUP Sanglah Denpasar, 2014).
ICU adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus
dan perawat yang terampil merawat pasien dengan keadaan yang gawat yang
perlu penanganan dengan segera dan pemantauan intensif (Gulli et al, 2001).
Salah satu tenaga kesehatan yang bertugas untuk mencegah terjadinya KTD
terutama pada pasien adalah tenaga keperawatan. Pasien yang dirawat di ruang
intensif merupakan pasien dengan ketergantungan total, sehingga segala
kebutuhan pasien dibantu oleh perawat, kesalahan dalam pemberian asuhan
ataupun human eror akan dapat mempengaruhi kesehatan dan kondisi jiwa pasien
itu sendiri (Ariyani, 2009)
6
Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu
mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep secara efektif, akurat, dan
konsisten. Bagi Perawat komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait
dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit
(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan,
keterikatan individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada
dalam rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001). Dengan komitmen kerja yang
tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai motivasi kuat untuk
berprestasi. Motivasi merupakan inisiatif penggerak atau pendorong perilaku
manusia akibat adanya interaksi stimulus instrinsik dan ekstrinsik yang
mendorong seseorang untuk berprilaku optimal guna mencapai suatu tujuan
seperti beragam keinginan, harapan, kebutuhan, dan kesukaannya. Stimulus
instrinsik meliputi kondisi internal, kejiwaan dan mental sedangkan stimulus
ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif (Azwar, 1996; Sadili, 2006).
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian lebih lanjut
tentang hubungan motivasi kerja dan komitmen kerja dengan penerapan
keselamatan pasien di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan permasalahan
penelitian, yaitu:
1. Apakah ada hubungan motivasi kerja perawat dengan penerapan keselamatan
pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar?
7
2. Apakah ada hubungan komitmen kerja perawat dengan penerapan
keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar?
3. Apakah ada hubungan secara bersama-sama antara motivasi dan komitmen
kerja perawat dengan penerapan keselamatan pasien di Instalasi Perawatan
Intensif RSUP Sanglah Denpasar?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan motivasi dan
komitmen kerja perawat dengan penerapan keselamatan pasien di Instalasi
Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan motivasi kerja perawat dengan penerapan keselamatan pasien di
Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
2. Hubungan komitmen kerja perawat dengan penerapan keselamatan pasien di
Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
3. Hubungan secara bersama-sama antara motivasi dan komitmen kerja perawat
dengan penerapan keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP
Sanglah.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Secara akademik studi ini bermanfaat sebagai pedoman dalam
pengembangan teori keperawatan terkait manajemen sumber daya manusia di
8
bidang kesehatan dan keselamatan pasien di rumah sakit yang berhubungan
dengan motivasi dan komitmen kerja perawat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu dipahami bahwa motivasi dan
komitmen kerja berhubungan penerapan keselamatan pasien. Diharapkan seluruh
karyawan di RSUP Sanglah Denpasar termotivasi dengan penerapan keselamatan
pasien sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
2.1.1 Pengertian
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem yang diterapkan untuk
mencegah terjadinya cedera akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan
melalui suatu sistem assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan faktor risiko,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dan tindak lanjut dari insident
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes RI,
2006). Keselamatan pasien merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah
Denpasar, 2011).
Taylor, et al. (1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi
yang berfokus kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai
kesehatannya secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan
keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus
memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan
pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama
berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan pasien dan
pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat
selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.
10
2.1.2 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien
Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
4. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit
wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya- upaya sebagai
berikut:
1. Akselerasi program infeksion control prevention (ICP)
2. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui akreditasi rumah
sakit
3. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).
4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.
5. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya wrong
person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100% tidak terjadi
kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)
6. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.
7. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite keselamatan
rumah sakit.
11
2.1.3 Manfaat Program Keselamatan Pasien
Program keselamatan pasien ini memberikan berbagai manfaat bagi rumah
sakit antara lain:
a. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang industri
lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam berbagai proses transaksi,
sehingga suatu produk menjadi semakin laris dan dicari masyarakat.
b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih mendominasi
pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-asuransi dan
menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider kesehatan
karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh masyarakat untuk mencari
Rumah Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan
keselamatan pasien.
2.1.4 Indikator Keselamatan Pasien
Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang masalah keselamatan pasien
yang menghebohkan dunia kesehatan mendorong banyak pihak berupaya
melakukan hal untuk memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang berhubungan
dengan keselamatan pasien. Para peneliti dalam bidang keperawatan berusaha
mengembangkan indikator mutu pelayanan keperawatan yang potensial bersifat
sensitif terhadap kepegawaian. Needleman, et al. (2006) melakukan penelitian
mengenai staffing dan adverse outcomes. Pada penelitian tersebut dilakukan
analisis regresi untuk mengetahui hubungan variabel-variabelnya dan ditemukan
adanya hubungan antara (1) lama tinggal/ lengths-of-stay , infeksi saluran kemih,
12
pneumonia yang diperoleh di rumah sakit, perdarahan saluran pencernaan atas,
renjatan, atau henti jantung pada pasien-pasien penyakit dalam, dan (2) failure to
rescue , yang didefinisikan sebagai kematian pasien yang disebabkan oleh salah
satu komplikasi yang mengancam kehidupan yaitu pneumonia, renjatan atau henti
jantung, perdarahan saluran pencernaan atas, sepsis atau thrombosis vena dalam
pada pasien-pasien bedah.
Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur
mengenai pengaruh kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien
menemukan bahwa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien
adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan pasien jatuh.
Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian
merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya
peran perawat (nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia,
perdarahan saluran pencernaan atas, shock/henti jantung, infeksi saluran kemih,
ulkus dekubitus dan failure to rescue.
Indikator mutu layanan keperawatan yang sensitif terhadap staffing pada
saat ini secara terus menerus dikembangkan. Banyak lembaga yang berupaya
membuat indikator mutu, namun banyak dari indikator tersebut kurang
mencerminkan pengaruh pelayanan keperawatan terhadap keselamatan pasien,
karena hanya dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan (ANA,
1995; Institute of Medicine , 1999, 2001, 2005; Joint Commision, 2007 dalam
Montalvo, 2007). Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center For Patient
Safety berupaya menetapkan Sembilan Solusi keselamatan pasien untuk
mempermudah pendeteksian terjadinya masalah pada keselamatan pasien di
13
Rumah Sakit, yaitu : (1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike,
sound-alike medication names). (2) Pastikan Identifikasi pasien, (3) Komunikasi
secara benar saat serah terima pasien, (4) Pastikan tindakan yang benar pada sisi
tubuh yang benar, (5) Kendalikan cairan elektrolit pekat, (6) Pastikan akurasi
pemberian obat pada pengalihan pelayanan, (7) Hindari salah cateter dan salah
sambung gelamng, (8) Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan (9) Tingkatkan
kebersihan tangan unuk pencegahan infeksi nosokomial (WHO, 2007 dalam Tim
KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).
2.1.5 Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari WHO (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International
(JCI). RSUP Sanglah Denpasar merupakan Rumah Sakit pendidikan Tipe A
dengan sumber manusia (dokter, perawat, dan lain-lain) yang cukup dan telah
mempunyai berbagai peralatan canggih yang memadai dan telah terakreditasi
Joint Commission International (JCI) (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011)
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong
perbaikan spesifik untuk menunjang keselamatan pasien. Sasaran menyoroti
bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan
bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik
adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu
14
tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi
yang menyeluruh.
Menurut Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar (2011) terdapat enam
sasaran keselamatan pasien yang menjadi prioritas gerakan keselamatan pasien.
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :
a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki /
meningkatkan ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam
mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan yang
terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur / kamar /
lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi yang lain.
Adapun maksud dari sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan
dalam setiap kegiatan pelayanan ke pasien. Pertama untuk identifikasi pasien
sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan dan kedua
untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan atau prosedur yang dilakukan secara kolaboratif dikembangkan
untuk memperbaiki proses identifikasi khususnya pada proses
pengidentifikasian pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau pemberian pengobatan serta
tindakan lain. Kebijakan atau prosedur tersebut memerlukan sedikitnya dua
cara untuk mengidentifikasi seorang pasien seperti nama pasien, nomor
rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-
lain. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan
15
atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat
diidentifikasi dengan tepat dan cepat.
Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai berikut :
1. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas
sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam
medik)
2. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan
dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan,
merah untuk pasien yang mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan
risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan menggunakan protap
penilaian skor jatuh yang sudah ada)
3. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau
produk darah.
4. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
5. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif
Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
komunikasi yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan
secara efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh
pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien.
Komunikasi yang mudah menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan terjadi
pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang
16
mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan
kritis. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk mencatat perintah yang
lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah, kemudian penerima
perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan dan
melakukan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang
adalah akurat. Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan
bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila
tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat.
Selemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal sebagai
berikut:
1. Melakukan kegiatan ‘READ BACK’ pada saat menerima permintaan secara
lisan atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ’SIGN HERE’
sebagai pengingat dokter harus tanda tangan.
2. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat melaporkan
keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand
off) dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan dengan
menggunakan singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.
c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan
Perhatian
Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila obat-obatan
menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen rumah sakit harus
berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien agar terhindar dari
17
risiko kesalahan pemberian obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan
serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan
kedengarannya mirip. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu
diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan
atau prosedur juga dapat mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan
elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label
secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut,
sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak
sengaja/kurang hati-hati.
Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound Alike
(LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)
2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap
distribusi obat dan pemberian obat pada masing-masing instansi pelayanan.
3. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT berada di tempat yang
aman dan diperlakukan dengan perlakuan khusus
4. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian Obat
(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu,
Cara, dan Dokumentasi).
18
d. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan
Tindakan Operasi
Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan pemberian pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-prosedur,
dan tepat- pasien. Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi
adalah sesuatu yang menkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang
tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya melibatkan pasien di
dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, pemeriksaan pasien yang tidak
adekuat, penelaahan ulang catatan medis yang kurang tepat, budaya yang tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah atau operasi,
permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca
(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kesalahan. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang efektif di dalam
mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga keadaan
yang berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist
dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal
Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu
pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten
di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator yang akan melakukan
tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan
19
harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan
pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan,
jari kaki, lesi) atau multipel level (bagian tulang belakang).
Proses verifikasi praoperatif ditujukan untuk memverifikasi lokasi, prosedur,
dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging),
hasil pemeriksaan yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik serta
dipampang dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau
implant - implant yang dibutuhkan. Tahapan “Sebelum insisi” (Time out)
memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan dengan baik dan
tepat. Time out dilakukan di tempat dimana tindakan akan dilakukan, tepat
sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya
menggunakan checklist dan sebagainya.
Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah memberi
tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat
dengan cara yang jelas dimengerti dan melibatkan pasien dalam hal ini (Informed
Consent)
e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan
pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan
dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya
20
dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran
kemih, infeksi pada aliran darah dan pneumonia. Pusat dari eliminasi infeksi
ini maupun infeksi-infeksi lain adalah kegiatan cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca di kepustakaan WHO, dan
berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses
kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur yang
menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara
umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai berikut.
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five Moment Hand
Hygiene dan digunakan dalam tatanan kesehatan untuk pelayanan ke pasien.
2. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan pelatihan cuci
tangan efektif.
3. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang jelas setiap
melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)
f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna
sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks masyarakat
yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu
mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi
risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat
dan telaah pasien yang bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan
dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.
21
Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.
3. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning
dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen
2.1.6 Langkah-Langkah Penerapan Sistem Keselamatan Pasien
Penerapan sistem keselamatan pasien membutuhkan dukungan dari
berbagai bidang. Langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain:
a. Membangun budaya kerja yang mementingkan keselamatan dan keamanan
pasien dengan meningkatkan kewaspadaan secara terus-menerus;
penyelidikan yang seimbang dan terutama mempertanyakan mengapa, bukan
siapa; keterbukaan dengan pasien untuk menciptakan suasana kerjasama dan
saling percaya antara petugas rumah sakit dan pasien.
b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap seluruh petugas rumah sakit dalam
menjaga keselamatan dan keamanan pasien : keteladanan, evaluasi dan
umpan balik, coaching dan mentoring terhadap staf secara berkesinambungan
untuk memberdayakan petugas rumah sakit, dukungan terhadap upaya
keselamatan pasien juga mencakup alokasi sumber daya manusia, informasi,
bahan dan peralatan.
c. Melakukan manajemen risiko secara terpadu. Makna manajemen risiko tidak
hanya terbatas pada litigasi oleh pasien maupun petugas kesehatan, tetapi
lebih mendasar lagi khususnya keselamatan pasien, petugas kesehatan dan
pengunjung rumah sakit, manajemen, analisis pemantauan, investigasi, dan
22
pelatihan mengendalikan risiko merupakan suatu kesatuan. Pertimbangan
risiko harus menjadi bagian strategi menajemen pelayanan kesehatan.
d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan semua kasus medical error yang
dapat digabungkan dari tingkat lokal sampai tingkat nasional dengan menjaga
kerahasiaan pasien dan organisasi yang melaporkan. Pelaporan harus menjadi
pendorong pembelajaran yang harus dikembangkan dengan budaya pelaporan
yang tanpa dibayangi ketakutan akan hukuman.
e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh masyarakat, menjelaskan dan bila
perlu minta maaf, menyelidiki penyebab secara terbuka. Mendukung pasien
dan keluarga bagaimana mengatasi dampak kesalahan medis, bekerjasama
dalam pengobatan dan perawatan lebih lanjut, dan melibatkan pasien dalam
investigasi dan rekomendasi untuk perubahan.
f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan tentang penyebab kegagalan
medis diantaranya pendekatan root cause analysis, dinamika sistem, diagram
tulang ikan, dan lain-lain.
g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah ”harm”, bukan hanya sebatas
menganjurkan staf untuk berhati-hati tetapi mengatasi permasalahan
mendasar, merancang peralatan dan sistem serta proses-proses lebih intuitif,
mempersulit petugas untuk melakukan kesalahan dan mempermudah petugas
untuk menemukan kesalahan.
23
2.1.7 Standar Patient Safety
Menurut PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus ada beberapa standar yang wajib dimiliki
oleh Rumah Sakit dalam menjalankan program keselamatan pasien.
Standar I. Ketentuan tentang hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD.
Adapun kriteria dari standar ini adalah :
a. Harus terdapat dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
kesehatan.
c. Dokter yang menjadi penanggung jawab pelayanan wajib memberikan
penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang
rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya KTD.
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung pasien dalam asuhan kesehatan pasien.
Adapun kriteria dari standar tersebut antara lain.
Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di
rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan
pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :
24
a. Memberi informasi yang tepat, benar, jelas, lengkap dan jujur.
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan kesehatan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. Rumah sakit
menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
a. Adanya koordinasi yang baik dari pelayanan kesehatan secara menyeluruh
mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan
pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah
sakit.
b. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan yang di sesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik
dan lancar.
c. Adanya koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,
konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
d. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga
dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
25
Standar IV. Rumah sakit mesti mendesain proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria dari standar IV adalah sebagai berikut:
a. Setiap rumah sakit melakukan proses perencanaan yang baik dengan mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien-petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor
lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit”
b. Setiap rumah sakit melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang
terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu
pelayanan dan keuangan.
c. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua
KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko
tinggi bagi pasien.
d. Setiap rumah sakit menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menentukan perubahan sistem yang di perlukan agar kinerja dan keselamatan
pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”Tujuh langkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit”
26
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk mengidentifikasi
risiko keselamatan pasien dan program untuk menekan atau mengurangi
KTD/KNC
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar
unit terkait dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengkaji,
mengukur, dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengkaji dan mengukur efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut.
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien
guna meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
b. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden yang mencakup jenis kejadian yang
memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near miss)
sampai dengan KTD (Adverse event)
c. Tersedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi serta berpartisipasi dalam program keselamatan
pasien.
d. Tersedia prosedur yang cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan
penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
27
f. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang berkaitan
dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang
analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien
mulai di laksanakan.
g. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan
proaktif untuk memperkecil resiko termasuk mekanisme untuk mendukung
staf dalam kaitan dengan kejadian yang tidak diinginkan.
h. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar
disiplin.
i. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk
evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
j. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien secara
jelas dan transparan.
b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
28
Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :
a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan
orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai
dangan tugasnya masing- masing.
b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam
setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan training tentang kerjasama
kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam
rangka melayani pasien.
Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.
a. Rumah sakit harus merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria dari standar ini adalah :
a. Rumah sakit perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan
mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang
hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme untuk mengidentifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
29
2.1.8 Determinan Pelaksanaan Keselamatan Pasien berdasarkan Konsep
Teori Logic Model Development Kellogg
a. Man
Dalam menerapkan model asuhan keperawatan profesional dibutuhkan
tenaga yang mampu memberikan asuhan keperawatan professional. Untuk itu
penataan tenaga keperawatan dalam ruang rawat inap sangat diperlukan
(Simamora, 2014).
Efektifitas dan efisiensi ketenagaan dalam keperawatan sangat ditunjang
oleh pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan kompetensi perawat yang
memadai. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan perencanaan yang strategis dan
sistematis dalam memenuhi kebutuhan tenaga keperawatan. Perencanaan yang
baik mempertimbangkan klasifikasi pasien berdasarkan tingkat ketergantungan,
metode pemberian asuhan keperawatan, jumlah dan kategori tenaga keperawatan
serta perhitungan jumlah tenaga keperawatan. Untuk itu diperlukan kontribusi dari
manajer keperawatan dalam menganalisis dan merencanakan.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah menetapkan standar
praktik keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik yang
dikeluarkan oleh American Nursing Association/ANA (PPNI, 2012). Standar
praktik keperawatan yang ditetapkan yaitu :
Standar I
Standar II
Standar III
Standar IV
Standar V
: perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien.
: perawat menetapkan diagnosa keperawatan.
: perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap
klien.
perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang
berisi rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan
:
:
perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan
dalam rencana asuhan keperawatan.
Standar VI : perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai
hasil akhir yang sudah ditetapkan.
30
b. Money
Dalam manajemen keperawatan sangat diperlukan adanya pengelolaan
dalam keuangan sebagai faktor pendukung terlaksananya pelayanan keperawatan.
c. Material
Di dalam manajemen keperawatan sangat diperlukan adanya pengelolaan
peralatan sebagai faktor pendukung/penunjang terlaksananya pelayanan
keperawatan. Pelayanan keperawatan merupakan semua bentuk alat kesehatan
atau peralatan lain yang dipergunakan untuk menunjang kelancaran dalam
melaksanakan asuhan keperawatan sehingga diperoleh tujuan pelayanan
keperawatan efisien dan efektif.
Jumlah fasilitas dan alat-alat kedokteran maupun keperawatan dapat
dipenuhi dengan standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing institusi
dengan memperhatikan jenis alat, bahan, ukuran, dan jumlah yang dibutuhkan.
d. Machine
e. Methodes
f. Market
Bed Occupation Rate
Bed Occupancy Rate (BOR) adalah presentase pemakaian tempat tidur pada
waktu tertentu yang didefinisikan sebagai jumlah tempat tidur yang terpakai
untuk perawatan pasien di dalam ruangan terhadap jumlah tempat tidur yang
tersedia. Standar nilai BOR menurut Barber Johnson adalah 75%-85% (Standar
Internasional), sedangkan standar nilai Depkes RI adalah 60%-85%.
Mutu Pelayanan Keperawatan
Penerapan upaya penjamin mutu keperawatan pasien dapat dilihat dari beberapa
aspek penilaian penting yang terdapat didalamnya. Indicator peningkatan mutu
pelayanan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain :
31
2.2 Motivasi kerja
2.2.1 Pengertian
Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan
dorongan dan pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut
memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi
ialah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan kepada masyarakat atau
kelompok untuk mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan
sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Azwar, Azrul, 1996).
Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku
seseorang secara optimal, hal ini disebabkan karena motivasi merupakan kondisi
internal, kejiwaan dan mental manusia seperti keinginan, harapan, kebutuhan,
dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku kerja guna
mencapai tujuan yang diinginkannya atau mendapatkan kepuasan atas
perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996)
Motivasi merupakan konsep yang dipakai untuk menguraikan keadaan
ekstrinsik yang ditampilkan dalam perilaku yng terdiri dari respons instrinsik dan
ekstrinsik. Respon instrinsik disebut juga sebagai motif (pendorong) yang
mengarahkan perilaku ke rumusan kebutuhan atau pencapaian tujuan sedangkan
stimulus ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif, mendorong individu
melakukan atau mencapai sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan
ekstrinsik yang dapat dilihat dengan adanya perilaku atau penampilan (Sadili,
2006). Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga kebutuhan dasar
32
yaitu: a) Kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli
atau berprestasi, b) Kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan
antar pribadi yang ramah dan karib, c) Kebutuhan akan kekuasaan (power)
kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai atau mendominasi orang
lain (Sigit, 2003).
Berdasarkan beberapa difinisi diatas dapat di simpulkan bahwa motivasi
merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja
individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam memuaskan kebutuhan-
kebutuhan yang berasal dari stimulus instrinsik maupun ekstrinsik.
2.2.2 Teori Motivasi
Berbagai teori dapat digunakan untuk menjelaskan tentnag motivasi.
Adapun teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Teori Abraham Maslow
Motivasi manusia timbul karena adanya kebutuhan- kebutuhan yang
dikemukan oleh Maslow yaitu : a) fisiologis (rasa lapar, haus, dan kebutuhan
jasmani lainnya), b) keamanan (keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian
fisik dan emosional) c) sosial (di terima baik, rasa memiliki, kasih sayang)
d) penghargaan (status, pengakuan dan perhatian), e) aktualisasi diri (pencapaian
potensi dan pemenuhan kebutuhan diri)
2. Teori Herzberg
Menurut Herzberg, tinggi rendahnya motivasi dan tingkat kepuasan kerja
seseorang ditentukan oleh faktor atau kondisi tertentu. Faktor-faktor tersebut
antara lain motivator (prestasi, kemajuan, keberhasilan dalam mencapai tujuan,
peningkatan atas prestasi seseorang (penghargaan), faktor higiene (kebijaksanaan
33
dan administrasi, pengawasan dan mutu pengawasan (supervisi), hubungan
pribadi sesama pegawai, atasan dan bawahan, kondisi lingkungan kerja dan
keamanan kerja, gaji dan insentif, status).
3. Teori Mc. Clelland
Menurut David Mc Clelland terdapat tiga macam teori motivasi yang
terdiri dari motif berprestasi, afiliasi dan motif berkausa. Adapun motif tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut. a) motif berprestasi, yaitu dorongan untuk
mencapai sukses dalam berkompetensi dengan standar sendiri selalu berusaha
meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan cita-citanya, b) motif affiliasi,
yaitu dorongan untuk diterima orang lain dan bersatu, pegawai yang bermotif
affiliasinya diterima, diakui dan dihargai orang lain, dan c) motif berkuasa, yaitu
dorongan yang timbul dalam diri seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi
orang lain.
2.2.3 Perangsang Motivasi
Agar seseorang dapat melakukan sesuatu yang diharapkan, maka harus ada
perangsang yang dapat menggerakkan seseorang tersebut untuk bertindak.
Perangsang dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Perangsang positif
Perangsang positif (positive insentive) adalah imbalan yang menyenangkan
yang disediakan untuk pegawai yang berprestasi. Rangsangan positif ini dapat
berupa hadiah, pengakuan promosi, dan atau melibatkan pegawai tersebut dalam
kegiatan yang menarik dan memiliki nilai prestasi yang tinggi.
34
2. Perangsang negatif.
Perangsang negatif (negative incentive) ialah imbalan yang tidak
menyenangkan berupa hukuman bagi pegawai yang berbuat kesalahan atau tidak
seperti yang di harapkan. Perangsang ini dapat berupa denda, teguran,
pemindahan tempat kerja (mutasi) dan pemberhentian.
2.3 Komitmen Kerja
2.3.1 Pengertian Komitmen Kerja
Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu
mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep secara efektif, akurat, dan
konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait
dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit
(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan,
keterikatan individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada
dalam rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan
terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat
aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).
Beberapa penelitian tentang komitmen kerja dilaksanakan oleh
Nursyahfitri (2010). Dia mengkaji “Pengaruh Komitmen Karyawan terhadap
Kinerja Karyawan pada Divisi Produksi PT. Marumitsu Indonesia”. Ternyata
komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t=3,037 dan p=0,000).
Penelitian yang dilakukan oleh Rois (2010) tentang “Pengaruh Komitmen
Anggota dan Budaya Kerja terhadap Kinerja Tim Koordinasi, Monitoring, dan
35
Evaluasi Nasional”. Menemukan pengaruh yang signifikan antara komitmen
anggota dengan kinerja Tim Kormonev Nasional dengan nilai Uji t 2,300 dan Uji
F 0,637. Penelitian Suparman (2007) tentang “Analisis Pengaruh Peran
Kepemimpinan, Motivasi dan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja
dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai”. Menemukan bahwa terdapat pengaruh
signifikan komitmen kerja terhadap kinerja (nilai t 0,25 dan P=0,000). Semua
hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa komitmen kerja secara nyata
berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
2.3.2 Peningkatan Komitmen Kerja
Komitmen kerja perawat dapat ditingkatkan untuk meningkatkan mutu
asuhan keperawatan dengan beberapa cara sebagai berikut.
1. Menciptakan rasa aman, suasana kerja yang kondusif serta lakukan promosi
secara regular
2. Menempatkan perawat sesuai dengan kapasitas, minat, dan motivasi kerjanya
agar memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
3. Meningkatkan keterampilan, kesempatan pengembangan diri, dan bimbingan
perencanaan karir agar perawat merasa mantap dalam pencapaian kariernya.
4. Mengembangkan fleksibilitas dan otonomi pelaksanaan tugas tetapi tetap
memegang teguh tanggung jawab.
5. Mengembangkan system monitoring peningkatan kinerja, dan pemahaman
terhadap nilai dan tujuan rumah sakit untuk menjaga kesesuaian antara visi
dan misi (Wijaya, 2012).
36
2.3.3 Peranan Komitmen
Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk peningkatan kinerja
perawat. Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang
meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Dengan
komitmen kerja yang tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai
motivasi kuat untuk berprestasi. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa
kepemilikan terhadap rumah sakit, karena ingin tetap bertahan menjadi anggota
rumah sakit (Wijaya, 2012).
2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen Kerja
Komitmen merupakan kekuatan perawat secara menyeluruh terhadap tugas
dan kondisi lingkungan rumah sakit. Factor-faktor yang mempengaruhi komitmen
kerja adalah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan
berusaha dan bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, keyakinan dan
kepercayaan terhadap nilai-nilai, serta tujuan organisasi. Pada penelitian ini,
komitmen kerja terdiri atas beberapa subvariabel seperti inisiatif, penghayatan
terhadap visi dan misi rumah sakit, peraturan rumah sakit, asuhan keperawatan,
dan indikator kinerja klinik. Penjabaran masing-masing subvariabel sebagai
berikut.
1. Inisiatif
Inisiatif merupakan kemampuan perawat dalam melaksanakan tugas tanpa
menunggu perintah. Hal ini terkait dengan peningkatan hasil pekerjaan,
menciptakan peluang untuk menghindari timbulnya masalah. Inisiatif juga
menyangkut kreativitas perawat untuk mengembangkan potensi diri dalam
37
melaksanakan Askep dan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Dalam
penelitian ini subvariabel inisiatif diukur dengan indikator kesempatan
menyampaikan pendapat untuk mengembangkan askep, memiliki upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan mengembangkan kompetensi dalam
melaksanakan Askep (Ubaydillah, 2009).
2. Penghayatan Terhadap Visi dan Misi Rumah Sakit
Visi merupakan suatu pernyataan ringkas tentang cita-cita pengembangan
organisasi di masa depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran
organisasi di masa depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran
organisasi yang mencakup kegiatan jangka panjang dan jangka pendek.
Pernyataan visi dan misi harus sesuai dengan kebutuhan rumah sakit dan
kebutuhan pasien. Keduanya harus bias mengantarkan rumah sakit mencapai
tujuan dengan menumbuhkan semangat kerja, keharmonisan dalam melaksanakan
Askep sesuai SOP. Peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi
dan misi rumah sakit. Dalam penelitian ini subvariabel visi dan misi rumah sakit
diukur dengan indikator pemahaman terhadap visi dan misi rumah sakit yang
sudah disosialisasikan kepada perawat dengan dijabarkan visi dan misi rumah
sakit dalam tugas pokok dan fungsi (Mangku Prawira, 2009).
3. Peraturan Rumah Sakit
Peraturan membatasi segala kegiatan perawat. Mereka harus mematuhi
karena ada sanksi bagi yang melanggar. Peraturan dapat berupa tata tertib yang
mengikat perawat melaksanakan askep sehingga tidak menyimpang dari tujuan
rumah sakit. Pada penelitian ini subvariabel peraturan rumah sakit diukur dengan
indikator kepatuhan terhadap peraturan rumah sakit yang diterapkan secara adil.
38
4. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang bersifat
dinamis dan membutuhkan kreativitas mereka memberikan pelayanan kepada
pasien. Askep yang diberikan kepada pasien merupakan pelayanan profesional
untuk membantu pasien secara komprehensif melakukan kegiatan rutinnya tanpa
bantuan orang lain. Dalam penelitian ini subvariabel Askep diukur dengan
indikator melaksanakan askep sesuai dengan SOP dan menerapkan Askep sesuai
dengan indikator kinerja klinik.
5. Indikator Kinerja Klinik (IKK)
Indikator kinerja klinik adalah variabel yang diukur dengan prestasi kerja
perawat dalam waktu tertentu. Dalam penelitian ini IKK dirumuskan dalam
bentuk kuantitas pelaksanaan SOP. Indikator kinerja klinik diidentifikasi,
dirumuskan, dan ditetapkan oleh kelompok perawat atas persetujuan kepala
ruangan, wakil kepala ruangan, dan koordinator/supervisor. Dalam penelitian ini
subvariabel diukur dengan indikator pengetahuan tentang indikator kinerja klinik
dan penilaian kinerja perawat yang dikaitkan dengan indikator kinerja klinik.
2.4 Instalasi Perawatan Intensif
2.4.1 Pengertian
Instalasi perawatan intensif adalah ruang perawatan terpisah yang berada
dalam suatu rumah sakit dan dikelola khusus untuk perawatan pasien dengan
kegawatan yang mengancam nyawa akibat penyakit, pembedahan atau trauma
dengan harapan dapat disembuhkan (reversibel) dan menjalani kehidupan sosial
melalui terapi intensif yang menunjang (suport fungsi vital tubuh) pasien tersebut
39
selama situasi kritis. Terapi suportif dengan obat dan alat meliputi fungsi
pernapasan, sirkulasi, sistem syaraf pusat, sistem pencernaan, ginjal yang
bertujuan agar ancaman kematian dapat dikurangi dan harapan sembuh kembali
normal dapat ditingkatkan (KARS, 2006).
Fasilitas pelayanan intensif dapaat berupa alat dan obat – obat emergensi,
tempat tidur khusus yaitu tempat tidur pasien yang dapat diatur ketinggian atau
posisi kepala, kaki, dan kemiringan secara mekanis atau elektris. Di atas tempat
tidur dilengkapi beberapa peralatan yang dipasang di dinding yaitu : suction,
exmination lamp, sphygnomanometer, kotak kontak, out let gasdan bed side
monitor.
2.4.2 Tujuan perawatan di Instalasi perawatan intensif
Instalasi perawatan intensif digunakan untuk mengelola pasien dengan
sakit berat dan kritis yang mengancam jiwa dengan melibatkan tenaga terlatih
serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus. Instalasi Perawatan Intensif
mempunyai tujuan yaitu :
a. Menyelamatkan kehidupan pasien yang mengalami penyakit kritis atau berat
b. Mencegah terjadinya kondisi yang memburuk dan terjadinya komplikasi dari
penyakit melalui observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan
untuk menginterpretasikan setiap data yang didapat dan melaksanakan tindak
lanjut perawatan pasien.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan pasien.
d. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ pasien.
e. Mengurangi jumlah kematian pasien kritis dan mempercepat penyembuhan
pasien.
40
2.4.3 Indikasi Pasien Masuk dan Keluar Instalasi Perawatan Intensif
Indikasi pasien yang dirawat diruang intensif dibagi dalam beberapa prioritas
yaitu :
1. Pasien prioritas 1 (satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, haemodinamik tidak stabil
yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus, obat-
obatan vasoaktif kontinyu dan lain-lain. Contoh pasien kelompok ini antara lain :
pasien pasca bedah kardiotorakik, atau pasien shock septic.
2. Pasien prioritas 2 (dua)
Kelompok ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih karena pasien
beresiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, pemantauan intensif
menggunakan metode seperti pulmonary chateter sangat menolong. Kelompok
pasien ini adalah : pasien yang menderita penyakit dasar jantung paru, atau ginjal
akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor, pasien kelompok 2
umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya, mengingat kondisi
mediknya senantiasa berubah.
3. Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien yang termasuk prioritas ini adalah pasien dengan sakit kritis, dan
tidak stabil dimana status kesehatannya baik penyakit yang mendasari maupun
penyakit akutnya sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau
mendapat manfaat dari terapi yang diberikan. Contoh pasien ini adalah pasien
dengan keganasan metastasik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponadeatau
sumbatan jalan nafas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal
disertai komplikasi akut berat. Pasien-pasien prioritas ini mungkin mendapat
41
terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tapi usaha terapi mungkin tidak
sampai melakukan intubasi atau resusitasi cardiopulmonal.
Indikasi pasien keluar dari ruang intensif juga dibagi dalam beberapa
kriteria :
a. Pasien prioritas 1 (satu)
Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari Instalasi perawatan intensif bila
kebutuhan untuk terapi intensif sudah tidak ada lagi atau bila terapi telah gagal
dan prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau
manfaat dari terapi intensif kontinyu sangat kecil. Misalnya pasien dengan tiga
atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespon terhadap pengelolaan agresif.
b. Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak
memerlukan terapi intensif telah berkurang.
c. Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan bila kebutuhan untuk terapi intensif
sudah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila
kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu kecil.
Misalnya pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung
atau liver terminal, karsinoma yang telah menyebar luas, dan lain-lain yang telah
tidak berespon terhadap terapi intensif untuk penyakit akutnya, yang prognosis
jangka pendek secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial
untuk memperbaiki prognosisnya.
42
2.4.4 Persyaratan Ruang Instalasi Perawatan Intensif
Sebagai tempat untuk memberikan pelayan secara intensif Instalasi
PErawatan Intensif harus didukung dengan peralatan yang memiliki persyaratan
sebagai berikut : kinerja akurat dan terkendali, keselamatan kerja terjamin,
aksesori lengkap dan baik, dan laik pakai. Dalam memenuhi persyaratan tersebut
peralatan harus dikelola dengan baik secara berkesinambungan dan ditunjuk
petugas yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola peralatan.
Selain peralatan, ruang perawatan di instalasi perawatan intensif juga
harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu :
a. Ruang terbuka 12-16 M2/ per unit.
b. Jarak antara dua tempat tidur adalah 2 meter.
c. Tempat tidur pasiem mudah dirubah posisinya.
d. Peralatan medis mudah dijangkau.
e. Tercukupinya persediaan obat-obatan.
f. Ruangan perawat ditempatkan sedemikian rupa sehingga memudahkan perawat
mengawasi dan menolong pasien.
g. Ruang ber-AC
h. Berdekatan dengan ruang operasi, ruang pulih sadar.
i. Cukup ruangan untuk peralatan dan sterilisasi.
j. Adanya cadangan sumber tenaga listrik darurat.
k. Adanya sistem alarm.
l. Adanya ruangan konsultasi keluarga pasien.
43
2.4.5 SDM di Instalasi Perawatan Intensif
Ketenagaan yang ada di Instalasi Perawatan Intensif terdiri dari : Tim
dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu, tenaga keperawatan dan tenaga lain
(pekerja kesehatan, tata usaha, tenaga medis non perawatan, teknisi, analis).
a. Perawat di Instalasi Perawatan Intensif.
Perawat adalah seorang yang telah menyelesaikan pendidikan perawat
tingkat dasar yakni perawat dengan pendidikan SPK, Perawat tingkat I yakni
perawat dengan pendidikan D III Keperawatan, dan perawat tingkat II yakni
perawat dengan pendidikan sarjana keperawatan S1 Keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan kesehatan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga,
masyarakat, baik sakit maupun sehat , yang mencakup seluruh proses kehidupan
manusia.
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada
praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien, pada berbagai
tingkat pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
dengan menggunakan metodologi proses keperawatan, berpedoman pada
keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam dalam lingkup
wewenang serta tanggungjawab keperawatan (PPNI, 1999)
b. Kualifikasi Tenaga Keperawatan di Instalasi Perawatan Intensif
Semua tenaga perawatan yang ditugaskan bekerja di pelayanan intensif
harus memenuhi persyaratan. Antara lain :
44
1. Mampu mengenal dan mencatat tanda dan gejala penyakit/kegawatan yang
mengancam nyawa.
2. Mampu melakukan perawatan gawat darurat pendahuluan termasuk RJP dasar.
3. Mampu memasang infus intra vena.
4. Mampu melakukan pelayanan perawatan intensif sesuai kebutuhan pasien.
5. Mampu mencegah kontaminasi dan infeksi silang.
6. Mendapat pelatihan pencegahan kecelakaan akibat pemakaian alat-alat
listrik/kecelakaan kerja yang lain.
7. Mampu menggunakan peralatan secara benar, efektif dan aman.
8. Bersikap tanggap dan perhatian terhadap keluhan dan kabutuhan pasien serta
keluarga termasuk segi psikologi dan sosial.
Selain itu perawat di Instalasi Perawatan Intensif juga harus melaksanakan
uraian tugas lain sebagaimana perawat pada umumnya. Adapun uraian tugas
tersebut sebagai berikut :
1. Bersedia memelihara kebersihan ruangan dan lingkungan.
2. Menerima dan mengorientasikan pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan
yang berlaku.
3. Memelihara dan merawat peralatan keperawatan dan alat-alat medis.
4. Melakukan observasi pasien (mengukur tanda-tanda vital) dan alat yang
digunakan.
5. Melakukan pengkajian keperawatan dan menentukan diagnosa keperawatan
sesuai batas kewenangan dan kemampuan.
6. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien sesuai kebutuhan dan batas
kemampuannya
45
7. Melaksanakan tindakan pengobatan sesuai program.
8. Memberi penyuluhan kesehatan dan KIE pada pasien dan keluarga.
9. Membantu pasien untuk latihan gerak (mobilisasi) kepada semua pasien yang
berpeluang mengalami kontraktur atau mengalami imobilisasi.
10. Melaksanakan tugas pagi, sore, malam dan hari libur secara bergilir sesuai
daftar dinas.
11. Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan sesuai
dengan ketentuan.
12. Memindahkan pasien ke ruangan bila pasien sudah stabil atau sesuai indikasi.
13. Mendokumentasikan identitas klien, tindakan keperawatan, tindakan
pemeliharaan medis sesuai dengan konsep keselamatan pasien (patient safety).
14. Melaksanakan serah terima tugas saat pergantian dinas secara tertulis maupun
lisan.
15. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh kepala ruang.
2.5 Hubungan Motivasi dan Komitmen Kerja Perawat dengan Penerapan
Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien adalah bebas dari cidera aksidental atau
menghindarkan cidera pada pasien akibat perawatan medis dan kesalahan
pengobatan . Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman (Dep Kes RI, 2006). Keselamatan pasien
merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011). Taylor, et al.
46
(1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi yang berfokus
kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai kesehatannya secara
optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan keperawatan yang
diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus memiliki kesadaran akan
adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan pasien melalui
pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama berinteraksi dengan
pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan pasien dan pencegahan
terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat selama
pemberian asuhan keperawatan berlangsung.
Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur
mengenai pengaruh kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien
menemukan bahwa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien
adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan pasien jatuh.
Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian
merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya
peran perawat (nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia,
perdarahan saluran pencernaan atas, shock/henti jantung, infeksi saluran kemih,
ulkus dekubitus dan failure to rescue.
Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu
mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep secara efektif, akurat, dan
konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait
dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit
47
(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan,
keterikatan individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada
dalam rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan
terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat
aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).
Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku
seseorang secara optimal, hal ini di sebabkan karena motivasi merupakan kondisi
internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan
kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku
kerja guna mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan atas
perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996). Motivasi juga merupakan konsep yang
dipakai untuk menguraikan keadaan ekstrinsik yang ditampilkan dalam perilaku.
Respon instrinsik disebut juga sebagai motif (pendorong) yang mengarahkan
perilaku ke rumusan kebutuhan atau pencapaian tujuan. Stimulus ekstrinsik dapat
berupa hadiah atau insentif, mendorong individu melakukan atau mencapai
sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan ekstrinsik yang dapat dilihat
berupa perilaku atau penampilan (Sadili, 2006). Dalam perilaku organisasi
motivasi merupakan kemauan yang kuat untuk berusaha ke tingkat yang lebih
tinggi atau lebih baik untuk mencapai tujuan organisasi, tanpa mengabaikan
kemampuan untuk memperoleh kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi.
Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga kebutuhan dasar yaitu:
a)kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli atau
berprestasi, b)kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan antar
48
pribadi yang ramah dan karib, c) kebutuhan akan kekuasaan (power) kebutuhan
yang mendorong seseorang untuk menguasai atau mendominasi orang lain (Sigit,
2003). Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk peningkatan kinerja
perawat. Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang
meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Dengan
komitmen kerja yang tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai
motivasi kuat untuk melaksanakan atau menerapkan program keselamatan pasien
sehingga tercapai prestasi organisasi yang diharapkan.
47
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan diharapkan
dapat memberikan pelayanan yang bermutu. Pelayanan yang bermutu adalah
pelayanan yang dilaksanakan dan pemberi pelayanan sesuai standar tanpa
membedakan status sosial pasien. Untuk mewujudkan tersebut tidak terlepas dari
diterapkannya keselamatan pasien dengan tujuan adalah memberikan keamanan
dan kenyamanan bagi pasien sehingga dapat mewujudkan kepuasan pasien dan
citra rumah sakit menjadi baik. Ada 6 (enam) faktor yang berpengaruh untuk
mewujudkan keselamat pasian antara lain: Man, Matherial, Machine, Methode,
Money dan Market. Di antara 6 (enam) faktor tersebut bahwa faktor manusia
merupakan unsur manajemen yang pokok karena manusia merupakan faktor yang
paling dominan dibandingkan faktor yang lainnya sebagai upaya mewujudkan
keselamatan pasien.
Dalam pelayanan kesehatan faktor manusia dalam hal ini perawat sebagai
salah satu sumberdaya yang memiliki pikiran, harapan, gagasan, reaksi psikis
yang sangat peka terhadap lingkungan kerjanya. Keberadaan tersebut dapat
memunculkan motivasi dan komitmen dalam penerapan keselamatan pasien.
48
1.2. Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat disusun konsep
penelitian sebagai berikut:
: Variabel yang diteliti
: Alur pikir
Sumber: Kellog.W.K. (1998)Logic Model Development
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Motivasi Kerja Perawat
1. Tanggung jawab2. Pengakuan3. Komitmen Pemimpin4. Insentif5. Kondisi Kerja
Pelaksanaan KeselamatanPasien
1. Mengidentifikasi pasiendengan tepat
2. Meningkatkankomunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamananobat yang membutuhkanperhatian
4. Mengurangi risiko salahlokasi, salah pasien dantindakan operasi
5. Mengurangi risiko infeksi6. Pengurangan risiko
pasien jatuhKomitmen Kerja
1. Inisiatif2. Penghayatan terhadap
Visi dan Misi RS3. Peraturan RS4. Asuhan Keperawatan5. Indikator Kinerja Klinik6. Pengembangan Karier7. Remunerasi8. Lingkungan Kerja
Money
Reward yang diberikan
Methods
Supervisi Keperawatan
Material
Fasilitas yang mendukung
Man (Sumber DayaManusia)
Machine
Jenis dan kelengkapan alatyang digunakan dalamperawatan
Market
Sosialisasi pelaksanaanpatient safety di ruangan
atau Rumah Sakit
Pengetahuan
Sikap
: Variabel yang tidak diteliti
49
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, kerangka berpikir dan konsep
penelitian maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: (sesuaikan dengan
rumusan masalah dan tujuan khusus)
Ha :
1. Terdapat hubungan antara motivasi kerja perawat dengan penerapan
keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
2. Terdapat hubungan antara komitmen kerja perawat dengan penerapan
keselamatan pasien di instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
3. Terdapat hubungan secara bersama-sama antara motivasi dan komitmen kerja
perawat dengan penerapan keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif
RSUP Sanglah.
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik. Model
pendekatan yang digunakan adalah cross sectional. Pengumpulan data
dilaksanakan satu kali dari variabel bebas dan terikat (Nursalam, 2008).
4.2 Tempat Penelitian dan Waktu Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan di seluruh ruang perawatan intensif RSUP Sanglah
Denpasar pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2015
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas dalam bidang manajemen administrasi
rumah sakit yang mengkhususkan tentang hubungan dari motivasi dan komitmen
kerja dalam penerapan keselamatan pasien di Ruang Intensif RSUP Sanglah
Denpasar.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah subjek (manusia/klien) yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi pada penelitian ini adalah semua perawat
yang bertugas di Ruang Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar yang
berjumlah sebanyak 122 orang.
51
4.4.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian diperoleh dengan menggunakan teknik sampling,
yaitu total sampling. Peneliti menggunakan keseluruhan populasi penelitian.
4.5 Variabel Penelitian
Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) menurut Soeparto, dkk dalam
Nursalam (2008).
a. Variabel bebas
Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel yang
lain (Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2012) variabel bebas adalah
merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya
atau timbulnya variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebas (independen)
adalah motivasi dan komitmen kerja perawat.
b. Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain
(Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2012) variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam
penelitian ini variabel terikat (dependen) adalah penerapan keselamatan pasien.
52
4.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang diamati tersebut (Nursalam, 2008). Definisi oprasional variabel
dalam penelitian ini diuraikan pada Tabel 4.2
Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Motivasi Kerja dan Komitmen Kerja
dengan Penerapan Keselamatan Pasien di RSUP Sanglah Denpasar
VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL SKALA UKURSKORING ALAT
UKURUsia Usia responden saat ini Interval 20-30
31-4041-50
Kuesioner
Jenis kelamin Jenis kelamin responden Nominal 1: laki-laki2:perempuan
Kuesioner
Tingkatpendidikan
Tingkat pendidikan respondenterakhir saat ini
Ordinal 1: D III Kep.2: DIV3: S1 Ners
Kuesioner
Statuskepegawaian
Status kepegawaian respondensaat ini
Nominal 1: PNS2: Honorer
Kuesioner
Motivasi kerja(tanggungjawab,pengakuan,komitmenpemimpin,insentif,kondisi kerja)
Dorongan yang timbul pada diriperawat instalasi perawatanintensif RSUP Sanglah untukmendukung atau tidakmendukung penerapan programkeselamatan pasien. Doronganyang dimaksud adalah doronganyang timbul karena adanyakeinginan untuk memberikanpelayanan kesehatan yang aman,yang jauh dari tuntutan karenakesalahan dalam memberikanpelayanan baik dari instrinsikmaupun ekstrinsik
Nominal ≤ mean:motivasikurang> mean:
motivasi baik
Kuesioner
Komitmenkerja (inisiatif,penghayatanterhadap visidan misi RS,peraturan RS,asuhankeperawatan,indikator kerja
Tangung jawab perawat instalasiperawatan intensif RSUP Sanglahterhadap askep dan keinginanuntuk tetap bekerja sertamemelihara sikap positif terhadapRumah Sakit yang terdiri darisubvariabel inisiatif, penghayatanterhadap visi dan misi RS,peraturan rumah sakit, askep dan
Nominal ≤ mean:komitmenkerja kurang>mean:
komitmenkerja baik
Kuesioner
53
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuisioner motivasi
perawat dan komitmen kerja dalam menerapkan keselamatan pasien. Instrumen
komitmen kerja dalam penelitian ini menggunakan kuesioner komitmen kerja
perawat yang pernah dipakai pada penelitian “Penerapan Manajemen Kinerja
Klinik berbasis Tri Hita Karana pada Komitmen kerja, Kepuasan kerja dan locus
of control terhadap peningkatan kinerja perawat dan bidan di RSU Bangli
(Wijaya, 2012). Hasil uji validitas dan reliabilitas instrument dilakukan terhadap
20 orang perawat dan bidan di Rumah Sakit Bangli dengan hasil menunjukkan
nilai koefiesien korelasi >0,3 dan signifikansi <0,05 yang berarti kuesioner
tersebut valid. Nilai reliabilits menunjukkan nilai alpha croncbach >0,7 yang
berarti kuesioner tersebut tergolong reliabel sehingga dapat dipergunakan sebagai
instrumen yang tepat untuk mengukur komitmen kerja.
Instrument Motivasi kerja menggunakan kuesioner penelitian Ariyani
(2009) dengan judul “Analisis Pengetahuan Dan Motivasi Perawat Yang
klinik) indikator kerja klinik
Penerapankeselamatanpasien
Sebagai tanggapan / persetujuanuntuk melakukan suatu tindakanatau aktifitas perawat di instalasiperawatan intensif RSUP Sanglahbaik yang dapat diamati secaralangsung maupun tidak langsungyang mempunyai maksudmendukung penerapan programkeselamatan pasien. Tindakantersebut dapat berbentukmencegah pasien jatuh, mencegahkejadian infeksi nosokomial,mencegah salah obat, salahpasien, salah dosis, salah waktudan salah prosedur
Nominal ≤mean:penerapankeselamatanpasien kurang>mean:penerapankeselamatanpasien baik
Kuesioner
54
Mempengaruhi Sikap Mendukung Penerapan Program Keselamatan Pasien Di
Instalasi Perawatan Intensif RSUD Dr Moewardi Surakarta Tahun 2008”. Uji
validitas dan reliabilitas dilakukan pada 30 perawat ICU/ICCU RS dr. Oen
Surakarta dengan hasil menunjukkan koefisien validitas bergerak dari 0,426
sampai 0,599 yang menunjukkan instrument ini valid. Uji Reliabel motivasi
perawat menunjukkan nilai alpha cronbach 0,848 yang artinya instrumen ini
reliable.
Instrumen pelaksanaan keselamatan pasien dalam penelitian ini
menggunakan kuesioner penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ariyani (2009).
Uji validitas instrumen menunjukkan koefisien validitas bergerak dari 0,377
sampai 0,561 yang menunjukkan instrument ini valid. Uji reliabilitas
menunjukkan nilai alpha cronbach ≥ 0,60 yaitu 0,799 sehingga kuesioner tersebut
sudah reliabel.
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung
melalui hasil wawancara kuesioner motivasi, komitmen kerja dan sikap dalam
penerapan keselamatan kerja yang diberikan kepada perawat di ruang perawatan
intensif RSUP Sanglah Denpasar. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dari data kepegawaian RSUP Sanglah Denpasar yang berupa jumlah tenaga
perawat yang bertugas di masing-masing Ruangan Rawat Intesif Terpadu dan
profil dari Ruang Instalasi tersebut.
55
4.8.2 Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data setelah mendapatkan ijin dari program studi
MIKM Universitas Udayana, Komite etik FK Unud, Rumah sakit Sanglah,
selanjutnya mengumpulkan sampel yaitu perawat Intensif RSUP Sanglah dan
melakukan penyebaran kuesioner pada saat responden melakukan dinas sesuai
shift kerja. Sebelum pengumpulan data dilakukan, calon responden diminta untuk
melakukan penandatanganan surat persetujuan menjadi responden dan melakukan
wawancara terstruktur menggunakan kuisioner dengan perawat.
4.9 Analisis Data
4.9.1 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data
berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus tertentu
sehingga menghasiilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007).
Langkah-langkah pengolahan data:
a. Editing
Menurut Setiadi(2007), editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah
diserahkan oleh para pengumpul data. Setiap instrument yang digunakan telah
diperiksa untuk dipastikan bahwa setiap instrument telah lengkap dan diisi sesuai
ketentuan. Memeriksa kembali hasil dari jawaban kuesioner, apabila ditemukan
kekurangan data yang didapatkan dari responden maka dilakukan kembali
pemberian kuesioner dengan responden saat itu juga.
56
b. Coding
Menurut Setiadi (2007), coding adalah mengklasifikasi jawaban-jawaban dari para
responden kedalam ketegori.Hasil kuesioner yang sudah terkumpul diperiksa
kelengkapannya, kemudian diberi kode responden sesuai ketentuan. Kode
diberikan sesuai dengan nomor urut responden yang diambil. Koding yang
digunakan untuk memasukan data ke dalam program statistik yaitu : untuk
masing-masing variabel missal variabel motivasi kode 1 untuk motivasi rendah, 2
untuk motivasi sedang dan 3 untuk motivasi tinggi.
c. Scoring
Pemberian skor dilakukan terhadap kuesioner yang telah dikumpulkan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini mengunakan tiga buah kuesioner yang terdiri
dari kuesioner motivasi, kuesioner komitmen kerja dan kuesioner penerapan
keselamatan pasien
Kuesioner motivasi terdiri dari 12 item pertanyaan dengan skala likert. Pemberian
skor dilakukan berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden. Responden
yang menjawab sangat sesuai diberikan skor 5, menjawab sesuai diberikan skor 4,
menjawab kurang sesuai diberi skor 3, menjawab tidak sesuai diberi skor 2 dan
menjawab sangat tidak sesuai diberi skor 1. Scoring pada kuesioner motivasi
menggunakan nilai rata-rata. Nilai ≤ mean yaitu motivasi kurang dan jika >nilai
mean yaitu motivasi baik. Kuesioner komitmen kerja terdiri dari 5 komponen
pertanyaan yang berjumlah 12 pertanyaan dengan skala likert. Setiap responden
yang menjawab sangat setuju diberikan skor 5, menjawab dengan setuju diberikan
nilai 4, menjawab ragu-ragu diberikan skor 3, menjawab tidak setuju diberikan
57
skor 2 dan menjawab sangat tidak setuju diberikan skor 1. Skoring pada kuisioner
komitmen kerja menggunakan nilai rata-rata. Nilai ≤ mean yaitu komitmen kerja
kurang dan > mean yaitu komitmen kerja baik.
Kuesioner penerapan keselamatan pasien 10 pertanyaan yang menggunakan skala
likert. Responden yang menjawab selalu diberikan skor 5, menjawab sering
diberikan skor 4, menjawab kadang-kadang diberi skor 3, menjawab jarang diberi
skor 2 dan menjawab tidk pernah diberi skor 1. Skoring pada kuesioner penerapan
keselamatan pasien menggunakan nilai rata-rata. Nilai ≤ mean yaitu penerapan
keselamatan pasien kurang dan nilai > mean yaitu penerapan keselamatan pasien
baik.
d. Entry atau transfering
Setelah data di editing dan coding maka memasukkan data dalam komputer
kemudian disimpan dalam bentuk flash disk.
e. Cleaning atau tabulasi
Untuk mengecek kesalahan-kesalahan dengan contingency check yaitu
menghubungkan jawaban satu sama lain untuk mengetahui adanya konsistensi
jawaban. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi.
58
4.9.2 Teknik Analisis Data
Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data
penelitian ini yaitu:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik
subjek/responden penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi
b. Analisis Bivariat
Analisis untuk menilai hubungan variabel bebas dengan variabel
tergantung. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masing-masing faktor
motivasi dan komitmen kerja dengan penerapan keselamatan pasien. Hasil analisis
bivariat ditampilkan dalam tabel 2x2 dengan row percentage. Dan uji statistik
yang digunakan adalah chi square atau regresi logistic dengan menampilkan
confident interval pada confident level 95% (95% CI) serta mendapatkan Odd
Ratio (OR)
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariate yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan uji
pengaruh dari 2 variabel independen terhadap variabel dependen uji ini
dimaksudkan untuk melihat sejauhmana pengaruh variabel independen dapat
dijadikan untuk sebagai prediktor untuk terjadinya variabel dependen. Hasil
analisis multivariat menunjukkan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap
variabel dependen dan analisis ini dapat mengontrol variabel confounding yang
terdapat dalam penelitian. Dalam penelitian ini analisis multivariat yang
dipergunakan adalah regresi logistik.
59
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini berisi menguraikan tentang hasil penelitian yang dilakukan
terhadap 112 responden perawat yang bertugas di ruang Intensif Rumah Sakit
Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Juli
sampai dengan Oktober 2015.
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar merupakan rumah
sakit pendidikan tipe A di Kota Denpasar (Permenkes 1636 tahun 2005 tanggal 12
Desember 2005). RSUP Sanglah Denpasar berstatus Badan Layanan Umum
(BLU) milik Departemen Kesehatan RI. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
sebagai rumah sakit pemerintah dan rumah sakit rujukan utama di Bali, Nusa
Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB). Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah dipimpin oleh seorang Direktur Utama dan dibantu oleh Direktorat
Medik dan Keperawatan yang membawahi Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat
Darurat (IGD), Instalasi Rawat Inap (IRNA A, IRNA B, IRNA C, dan IRNA D),
Instalasi Terpadu Intensif (Intensive Care Unit (ICU), Intensive Coronary Care
Unit (ICCU), Burn Unit), Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Wing Amerta, Inslatasi
Geriatri, dan Instalasi Pelayanan Jantung Terpadu.
Ruang perawatan intensif adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi
peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien dengan keadaan yang
gawat yang perlu penanganan dengan segera dan pemantauan intensif (Gulli et al,
2001). Ruang perawatan intensif terdiri dari ruang ICU, ICCU, Burn Unit dan 1
60
kamar operasi. Ruangan ICU dibagi menjadi 2 yakni ICU Barat dengan kapasitas
7 tempat tidur dan ICU Timur dengan kapasitas 10 tempat tidur. Ruang ICCU
merupakan ruangan khusus untuk pasien intensif yang memiliki masalah
kardiovaskuler. Ruang Burn Unit merupakan ruangan untuk pasien intensif
dengan masalah luka bakar yang terdiri dari ruangan isolasi, rawat biasa dan
kamar operasi. Semua ruangan intensif dilengkapi dengan peralatan lengkap untuk
menunjang keberhasilan penanganan serta keselamatan pasien.
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Responden Penelitian
Responden dalam penelitian ini yakni semua perawat yang bertugas di
Ruang Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar. Berdasarkan teknik total
sampling yang dipergunakan, maka diperoleh 112 orang sebagai sampel
penelitian. Data karakteristik responden, dikumpulkan melalui tahap pengisian
kuesioner penelitian, kemudian setelah diteliti didistribusikan ke dalam tabel
distribusi sebagai berikut.
a. Gambaran Karakteristik Responden
Data sosiodemografi merupakan karakteristik perawat yang terpilih sebagai
responden di Ruang Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan total
sampling sebanyak 112 orang. Data sosiodemografi diidentifikasikan berdasarkan
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, status kepegawaian,
dan masa kerja. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk data kategorik. Data
61
Kategorik dianalisis dan didapatkan hasil berupa frekwensi dan persentase. Hasil
analisis masing-masing variabel ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik RespondenVariabel
SosiodemografiJumlah (Responden) Persentase (%)
Umur20-30 Tahun 27 24,131-40 Tahun 69 61,641-50 Tahun 16 14,3Jenis kelaminLaki-laki 33 29,5Perempuan 79 70,5Tingkat pendidikanDIII Keperawatan 79 70,5DIVKeperawatan 5 4,5S1 Ners 28 25,0Status perkawinanKawin 95 84,8Tidak Kawin 17 15,2Status kepegawaianPNS 99 88,4Honorer 13 11,6Masa kerja< 5 Tahun 21 18,85-10 Tahun 51 45,5>10 Tahun 40 35,7
Jumlah 112 100
Berdasarkan tabel 5.1. diatas didapatkan bahwa sebagian besar
responden atau subjek penelitian berusia 31-40 tahun yakni sebanyak 69
responden (61,6%), sebanyak 27 responden (24,1%) berusia 20-30 tahun dan
sebanyak 16 responden (14,3) % berusia 41-50 tahun.
Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 79
responden (70,5%), sedangkan 33 responden (29,5%) berjenis kelamin laki-
laki, sedangkan terkait dengan tingkat pendidikan diperoleh bahwa sebagian
besar memiliki tingkat pendidikan DIII Keperawatan sebanyak 79 responden
62
(70,5%), sedangkan 28 responden (25%) memiliki tingkat pendidikan S1 Ners
dan sisanya sebanyak 5 responden (4,5%) memiliki tingkat pendidikan DIV
Keperawatan. Responden yang sudah kawin (84,8%) jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan responden yang tidak kawin (15,2%).
Sebagian besar responden berstatus PNS sebanyak 99 responden
(88,4%), sedangkan sebanyak 13 responden (11,6%) berstatus honorer.
Berdasarkan masa kerja diperoleh bahwa sebagian besar responden mamiliki
masa kerja 5-10 tahun sebanyak 51 responden (45,5%), sebanyak 40 responden
memiliki masa kerja > 10 tahun dan sebanyak 21 responden (18,8%) memiliki
masa kerja < 5 tahun.
b. Distribusi Motivasi Kerja Responden
Motivasi kerja dibagi menjadi 2 kategori yakni baik dan kurang. Karakteristik
responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2 Distribusi Motivasi Kerja RespondenMotivasi Jumlah (Responden) Persentase (%)
1 2 3Baik 91 81,2
Kurang 21 18,8Total 112 100
Berdasarkan tabel diatas diperoleh bahwa sebagian besar responden
memiliki motivasi kerja yang baik sebanyak 91 responden (81,2%), sedangkan
sebanyak 21 responden (18,8%) memiliki motivasi kurang.
c. Distribusi Komitmen Kerja Responden
Komitmen kerja dibagi menjadi 2 kategori yakni baik dan kurang. Karakteristik
responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.
63
Tabel 5.3 Distribusi Komitmen Kerja Responden
Berdasarkan hasil jawaban responden diperoleh bahwa sebagian besar
responden memiliki komitmen kerja yang baik sebanyak 86 responden (76,8%),
sedangkan 26 responden (23,2%) memiliki komitmen kerja yang kurang.
d. Distribusi Penerapan Keselamatan Pasien
Penerapan keselamatan pasien dibagi menjadi 2 kategori yakni baik dan
kurang. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 5.4 Distribusi Penerapan Keselamatan Pasien
Berdasarkan tabel diatas diperoleh bahwa sebagian besar responden melakukan
penerapan keselamatan pasien yang baik sebanyak 87 responden (77,7%),
sedangkan 25 responden (22,3%) melakukan penerapan keselamatan pasien yang
kurang.
Komitmen Jumlah (Responden) Persentase (%)1 2 3
Baik 86 76,8Kurang 26 23,2Total 112 100
Penerapan KeselamatanPasien
Jumlah (Responden) Persentase (%)
1 2 3Baik 87 77,7
Kurang 25 22,3Total 112 100
64
5.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat proporsi responden yang dikaitkan
dengan penerapan keselamatan pasien. Hasil analisis bivariat menggambarkan
proporsi nilai x2, nilai p=value, dan adjusted odd ratio (OR) dari setiap variabel
terhadap depresi. Analisis bivariate dilakukan terhadap variabel motivasi perawat
dan komitmen kerja terhadap penerapan keselamatan pasien di Ruang Intensif
RSUP Sanglah Denpasar.
5.2.1 Hubungan Motivasi kerja perawat dengan penerapan keselamatanpasien
Tabel 5.5 Hubungan motivasi kerja perawat dengan penerapan keselamatanpasien
Penerapan keselamatan pasienMotivasi perawat Kurang
n (%)Baikn (%)
Odd Ratio(OR)
(95% CI) P Value
Baik 13(14,28) 78(85,72) Ref. (2,814-22,744) 0,000*Kurang 12(57,14) 9(42,86) 8,002Jumlah (%) 25(22,32) 87(77,68)
*bermakna pada α = 0,05
Tabel 5.5 menggambarkan hubungan antara motivasi kerja perawat dengan
penerapan keselamatan pasien di Ruang Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
Berdasarkan p value 0,000 atau < 0,005 maka dari variabel motivasi kerja
perawat secara statistik berhubungan dengan penerapan keselamatan kerja pasien.
Terdapat 87 responden (77,68%) perawat dengan motivasi kerja baik dan
penerapan keselamatan kerja juga baik. Namun masih terdapat 12 responden
(57,14%) perawat dengan motivasi kerja kurang dan penerapan keselamatan
pasien juga kurang. Uji statistik juga menunjukkan nilai Adjusted Odd Ratio
(OR) motivasi kerja perawat 8,002 dengan CI: 2,814-22,744, kondisi ini dapat
65
menggambarkan bahwa perawat yang mempunyai motivasi kurang berpotensi 8 kali
penerapan keselamatan pasien juga kurang.
5.2.2 Hubungan Komitmen kerja dengan penerapan keselamatan pasien
Tabel 5.6 Hubungan komitmen kerja dengan penerapan keselamatan pasienPenerapan keselamatan pasien
Komitmen kerja Kurangn (%)
Baikn (%)
Odd Ratio(OR)
(95% CI) P Value
Baik 7(8,13) 79(91,87) Ref. (8,152-79,098) 0,000*Kurang 18(75,00) 8(25,00) 25,393Jumlah (%) 25(22,32) 87(77,68)
*bermakna pada α = 0,05
Tabel 5.6 menggambarkan hubungan antara komitmen perawat dengan
penerapan keselamatan pasien di Ruang Intensif RSUP Sanglah Denpasar.
Berdasarkan p value 0,000 atau < 0,005 maka dari variabel komitmen kerja
perawat secara statistik berhubungan dengan penerapan keselamatan kerja pasien.
Terdapat 79 responden (91,87%) perawat dengan komitmen kerja baik dan
penerapan keselamatan kerja juga baik. Namun masih terdapat 18 responden
(75,00%) perawat dengan komitmen kerja kurang dan penerapan keselamatan
pasien juga kurang. Uji statistik juga menunjukkan nilai Adjusted Odd Ratio
(OR) komitmen kerja perawat 25,393 dengan CI: 8,152-79,089, kondisi ini dapat
menggambarkan bahwa perawat yang mempunyai komitmen kerja kurang berpotensi 25
kali penerapan keselamatan pasien juga kurang.
66
5.3 Analisis multivariat
5.3.1 Seleksi awal variabel
Langkah pertama dalam melakukan analisis regresi logistik yaitu dengan
pemilihan variabel yang layak diikutkan atau termasuk substansi penting sehingga
dapat dimasukkan dalam analisis multivariat regresi logistik. Variabel yang bisa
dijadikan kandidat untuk masuk analisis multivariat selanjutnya yakni yang
memiliki p value < 0,25; α = 0,05. Hasil statistik menunjukkan bahwa kedua
variabel baik itu motivasi perawat maupun komitmen kerja perawat mempunyai
hasil p value < 0,25, oleh karena itu kedua variabel tersebut bisa dimasukkan
untuk melalukan analisis multivariat.
5.3.2 Pemodelan multivariat
Variabel yang sudah diseleksi sebelumnya selanjutnya dilakukan analisis
multivariat melalui regresi logistik dengan Confidence Interval 95%,
mendapatkan p value serta adjusted Odds Ratio. Langkah pemodelan dari uji
regresi poison model prediksi dapat dilhat pada Tabel 5.7 berikut:
Tabel 5.7 Tabel analisis statistik multivariateVariabel P value Adjs.OR (95% CI)
Umur 0,361 2,486 (0,353-17,527)Pendidikan 0,147 0,517 (0,212-1,261)Status perkawinan 0,008* 2,662 (1,985-8,022)Status kepegawaian 0,011* 3,511 (2,023-25,510)Masa kerja 0,402 2,046 (0,384-10,908)Motivasi 0,029* 5,350 (0,310-8,891)Komitmen 0,000* 21,612 (5,503-84,879)Nagelkerke R Square: 0,687
*bermakna pada α = 0,05
67
Dari analisis Tabel 5.7 terlihat bahwa terdapat empat variabel yang secara
statistik berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien yaitu: status
perkawinan, status kepegawaian, motivasi dan komitmen perawat. Berdasarkan
nilai Adjusted OR variabel yang paling dominan berpengaruh yaitu komitmen
perawat (Adjs.OR: 21,62), selanjutnya motivasi perawat (Adjs. OR: 5,35)
kemudian status kepegawaian (Adjs. OR: 3,51) dan status perkawinan (Adjs.OR:
2,66). nilai R2 menggambarkan besarnya pengaruh semua variabel bebas terhadap
variabel terikat yaitu penerapan keselamatan pasien. Pada hasil tersebut
menunjukkan bahwa ketujuh prediktor (umur, pendidikan, status perkawinan,
status kepegawaian, masa kerja, motivasi dan komitmen perawat) berpengaruh
68,7% terhadap penerapan keselamatan pasien, sisanya (31,3%) dipengaruhi oleh
faktor atau prediktor lainnya.
70
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Antara Motivasi kerja perawat dengan PenerapanKeselamatan Pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah
Berdasarkan data yang diperoleh kemudian dicari hubungan antara motivasi
dengan penerapan keselamatan pasien dengan menggunakan uji korelasi Chi-
Square Tests. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai signifikansi p value
sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 (p<0,05). Berarti menurut hasil yang
diperoleh pada penelitian ini bahwa H0 ditolak atau ada hubungan antara motivasi
dengan penerapan keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP
Sanglah Denpasar. Motivasi perawat yang kurang berpotensi 8 kali (OR:8,002,
CI:2,814-22,744) perawat tidak mampu menerapkan keselamatan pasien secara
baik.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
motivasi perawat sudah baik (81,2%), namun masih terdapat 18,2% motivasinya
masih kurang, hal ini kemungkinan disebabkan karena perawat merasa insentif,
kondisi kerja serta komitmen dari pimpinan yang belum maksimal, sedangkan
tanggung jawab serta pengakuan dirasa sudah baik. Kondisi ini tentu secara tidak
langsung akan berdampak terhadap penurunan motivasi perawat dalam
menerapkan keselamatan pasien terutama ketika melaksanakan tindakan-tindakan
keperawatan.
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah
71
Denpasar, 2011). Taylor, et al. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan
keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Kesadaran perawat
dalam melakukan tugasnya tentu dipengaruhi oleh motivasinya dalam bekerja.
Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku seseorang
secara optimal, karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan dan mental
manusia seperti aneka keinginan, harapan kebutuhan, dorongan dan kesukaan
yang mendorong individu untuk berperilaku kerja guna mencapai tujuan yang
dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan atas perbuatannya (Azwar, Azrul,
1996). Sejalan dengan Mc Clelland mengemukakan bahwa yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga
kebutuhan dasar yaitu: a) kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk
mengungguli atau berprestasi, b) kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk
berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib, c) kebutuhan akan kekuasaan
(power) kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai atau
mendominasi orang lain (Sigit, 2003). Motivasi kerja yang baik akan
mempengaruhi pola pikir seseorang dalam melakukan tanggung jawab kerjanya.
Sama halnya seorang perawatan yang memiliki motivasi kerja yang baik akan
mampu melakukan tugasnya dalam menerapkan asuhan keperawatan yang tepat
serta dapat mengutamakan keselamatan pasien.
Menurut Ariyani (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
mengelola dan mempertahankan motivasi kerja perawat pelaksana merupakan hal
penting dalam organisasi rumah sakit. Jika motivasi kerja diabaikan maka akan
72
mempengaruhi sikap kerja perawat termasuk dalam mendukung penerapan
keselamatan pasien (patient safety). Hasil penelitian Ridwan (2013) yang berjudul
“Pengaruh Motivasi Instrinsik dan Motivasi Ekstrinsik terhadap Kinerja Perawat”
menyebutkan bahwa hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan
pencapaian kinerja. Artinya, pimpinan, manajer dan pegawai yang mempunyai
motivasi tinggi akan mencapai kinerja tinggi, dan sebaliknya mereka yang
kinerjanya rendah disebabkan motivasi kerjanya yang rendah. Hasil penelitian
Maryani (2013) yang berjudul “Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja Terhadap
Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Bhayangkara Bandung” menyatakan bahwa
motivasi dan kepuasan kerja secara parsial berpengaruh positif signifikan
terhadap kinerja perawat. Hal ini ditunjukkan dengan pvalue < 0,05.
Berdasarkan data yang diperoleh serta penelitian lain yang mendukung
maka disimpulkan bahwa motivasi kerja seorang perawat akan berdampak pada
kinerja serta tanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan yang
profesional sehingga keselamatan pasien dapat menjadi proritas utama.
6.2 Hubungan antara Komitmen kerja perawat dengan PenerapanKeselamatan Pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah
Berdasarkan data yang diperoleh kemudian dicari hubungan antara
komitmen kerja dengan penerapan keselamatan pasien dengan menggunakan uji
korelasi Chi-Square Tests. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai
signifikansi p value sebesar 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 (p<0,05). Berarti
menurut hasil yang diperoleh pada penelitian ini bahwa H0 ditolak atau ada
hubungan antara komitmen kerja dengan penerapan keselamatan pasien di
73
Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar. Komitmen kerja yang
kurang berpotensi 25 kali (OR:25,39, CI: 8,152-79,098) perawat tidak mampu
menerapkan keselamatan pasien secara baik. Kondisi ini kemungkinan disebabkan
karena kurangnya penghayatan terhadap visi misi Rumah sakit yang belum baik
serta pencapaian indikator kinerja klinik yang belum maksimal.
Komitmen kerja didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan
individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam
rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001). Beberapa penelitian tentang komitmen
kerja dilaksanakan oleh Nursyahfitri (2010). Dia mengkaji “Pengaruh Komitmen
Karyawan terhadap Kinerja Karyawan pada Divisi Produksi PT. Marumitsu
Indonesia”. Ternyata komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t=3,037
dan p=0,000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika seorang karyawan
mempunyai komitmen kerja yang baik maka akan memiliki kinerja yang baik
pula. Begitu juga seorang perawat yang mempunyai komitmen kerja yang baik
maka akan memiliki kinerja yang baik dalam menerapkan asuhan keperawatan.
Seorang perawat yang memiliki komitmen dalam bekerja akan mempunyai kinerja
yang baik maka penerapan keselamatan pasien juga dapat tercapai.
Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait
dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit
(Robbins, 2006). Komitmen perawat terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan
prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melaksanakan asuhan keperawatan
(Wijaya, 2012). Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka
yang meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Komitmen
74
kerja juga dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap rumah sakit, karena
ingin tetap bertahan menjadi anggota rumah sakit (Wijaya, 2012). Pada ruang
lingkup ruamh sakit seorang perawat akan bekerja dalam sebuah tim. Hal tersebut
akan menuntut para perawat untuk memiliki komitmen dalam melakukan
tugasnya. Adanya suatu komitmen kerja dalam sebuah tim akan memberikan
dampak positif pada hasil kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rois (2010) tentang “Pengaruh Komitmen Anggota dan Budaya Kerja
terhadap Kinerja Tim Koordinasi, Monitoring, dan Evaluasi Nasional”.
Menemukan pengaruh yang signifikan antara komitmen anggota dengan kinerja
Tim Kormonev Nasional dengan nilai Uji t 2,300 dan Uji F 0,637. Komitmen
merupakan kekuatan perawat secara menyeluruh terhadap tugas dan kondisi
lingkungan rumah sakit. Seorang perawat harus memiliki komitmen dalam
bekerja sehingga akan mempengaruhi kinerjanya dalam memberikan asuhan
keperawatan. Asuhan keperawatan yang diaplikasikan dengan tepat akan
menghindari kesalahan dalam penanganan sehingga penerapan keselamatan
pasien dapat tercapai.
6.3 Hubungan Antara Motivasi dan Komitmen Kerja dengan PenerapanKeselamatan Pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah
Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan secara bersama sama
antara motivasi dan komitmen perawat serta karakteristik perawat (umur,
pendidikan, status perkawinan, status kepegawaian, masa kerja) terhadap
penerapan keselamatan pasien di Instalasi Perawatan Intensif RSUP Sanglah
Denpasar. Faktor atau prediktor tersebut berpengaruh 68,7% terhadap penerapan
75
keselamatan pasien dan 31,3% dipengaruhi oleh prediktor lain. Faktor komitmen
kerja lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor motivasi maupun
karakteristik perawat.
Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku
seseorang secara optimal, karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan
dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan kebutuhan, dorongan dan
kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku kerja guna mencapai tujuan
yang dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan atas perbuatannya (Azwar,
Azrul, 1996). Sejalan dengan Mc Clelland mengemukakan bahwa yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada
tiga kebutuhan dasar yaitu: a) kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan
untuk mengungguli atau berprestasi, b)kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat
untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib, c) kebutuhan akan
kekuasaan (power) kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai atau
mendominasi orang lain (Sigit, 2003). Motivasi kerja yang baik akan
mempengaruhi pola pikir seseorang dalam melakukan tanggung jawab kerjanya.
Sama halnya seorang perawat yang memiliki motivasi kerja yang baik akan
mampu melakukan tugasnya dalam menerapkan asuhan keperawatan yang tepat
serta dapat mengutamakan keselamatan pasien. Keselamatan pasien merupakan
suatu sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011). Taylor, et al. Oleh
karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat
76
harus mampu memastikan bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan
mengedepankan keselamatan. Kesadaran perawat dalam melakukan tugasnya
tentu dipengaruhi oleh motivasinya dalam bekerja.
Motivasi yang baik tentunya harus diimbangi komitmen kerja yang baik.
Komitmen kerja didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan individu
terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam rumah sakit
(Mathis dan Jackson, 2001). Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi
kekuatan yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara
keanggotaan dalam rumah sakit (Robbins, 2006). Komitmen perawat terhadap
rumah sakit ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif
melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012). Komitmen kerja perawat
dapat meningkatkan kinerja mereka yang meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas
dan kemampuan kerja. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa
kepemilikan terhadap rumah sakit, karena ingin tetap bertahan menjadi anggota
rumah sakit (Wijaya, 2012). Pada ruang lingkup rumah sakit seorang perawat
akan bekerja dalam sebuah tim. Hal tersebut akan menuntut para perawat untuk
memiliki komitmen dalam melakukan tugasnya. Adanya suatu komitmen kerja
dalam sebuah tim akan memberikan dampak positif pada hasil kerja. Seorang
perawat harus memiliki sebuah komitmen dalam mencapai hasil yang baik dari
penerapan asuhan keperawatan kepada pasien.
Perawat harus memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang
terdapat di lingkungan pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang mungkin
terjadi selama berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena
77
keselamatan pasien dan pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu
tanggung jawab perawat selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.
Perawat yang bertanggung jawab tentunya memiliki komitmen dalam bekerja
untuk mencapai tujuan serta hasil yang diinginkan. Selain komitmen kerja,
pentingnya sebuah motivasi dalam memberikan asuhan keperawatan juga menjadi
hal penting dalam keberhasilan sebuah pengaplikasian asuhan keperawatan. Untuk
itu, pentingnya suatu motivasi dan komitmen kerja dalam penerapan keselamatan
pasien.
78
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN
7.1.1 Terdapat hubungan antara motivasi perawat dengan penerapan keselamatan
pasien di Ruang perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar, sebagian
besar perawat mempunyai motivasi yang baik namun masih terdapat
perawat yang motivasinya kurang dalam menerapkan keselamatan pasien
ketika melaksanakan tindakan keperawatan. Perawat dengan motivasi yang
kurang berpotensi 8 kali penerapan keselamatan pasien juga kurang.
7.1.2 Terdapat hubungan antara komitmen kerja dengan penerapan keselamatan
pasien di Ruang perawatan Intensif RSUP Sanglah Denpasar, sebagian
besar perawat mempunyai komitmen kerja yang baik namun masih terdapat
perawat dengan komitmen kerja kurang dalam menerapkan keselamatan
pasien ketika melaksanakan tindakan keperawatan. Perawat dengan
komitmen kerja yang kurang berpotensi 25 kali penerapan keselamatan
pasien juga kurang.
7.1.3 Motivasi dan komitmen kerja serta karakteristik perawat (umur, pendidikan,
status perkawinan, status kepegawaian, masa kerja) secara bersama-sama
berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien di Ruang perawatan
Intensif RSUP Sanglah Denpasar. Faktor komitmen kerja paling dominan
berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien dibandingkan dengan
faktor motivasi perawat dan karakteristik perawat.
79
7.2 SARAN
Berdasarkan dari simpulan penelitian diatas dapat disampaikan beberapa saran
diantara:
a. Perlu adanya upaya dalam meningkatkan komitmen perawat melalui
sosialisasi terkait dengan pemahaman visi misi Rumah Sakit serta pencapaian
indikator kinerja perawat yang baik berupa peningkatan kualitas perawat baik
melalui pendidikan formal maupun informal secara berkesinambungan.
b. Perlu upaya peningkatan motivasi perawat terutama dalam hal penyesuaian
insentif, komitmen pimpinan serta menciptakan situasi kerja yang kondusif.
c. Perlu diadakan family gathering secara berkesinambungan sehingga tercipta
hubungan kekerabatan yang bai
d. Tenaga perawat sebaiknya memelihara serta meningkatkan motivasi melalui
kegiatan antar kelompok keperawatan baik ilmiah maupun non ilmiah.
e. Tenaga perawat perlu meningkatkan usaha pemahaman terhadap visi misi
Rumah sakit sehingga dapat mencapai indikator kinerja keperawatan yang
baik sesuai dengan target yang ditetapkan dalam rencana strategis Rumah
Sakit.
f. Peneliti selanjutnya sebaiknya mereplikasi penelitian ini di tatanan yang
berbeda, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif
yang berkontribusi terhadap kemampuan perawat dalam menerapkan prinsip
keselamatan pasien.
80
g. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat prediktor atau variabel
lain yang berpengaruh terhadap penerapan keselamatan pasien dalam
tindakan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariyani. 2009. Analisis Pengetahuan Dan Motivasi Perawat Yang MempengaruhiSikap Mendukung Penerapan Program Patient Safety Di InstalasiPerawatan Intensif Rsud Dr Moewardi Surakarta Tahun 2008. ProgramPasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar administrasi kesehatan edisi ketiga. Jakarta:Binarupa Aksara
Bambang Prasetyo. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Berenholtz, S.M., & Pronovost, P.J. 2007. Monitoring Patient Safety. Crit CareClin. 23 : 659 – 673.(Online).(www.criticalcare.theclinics.com, tanggal 10Januari 2014).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Panduan Nasional :Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta: Depkes R.I.
Depkes RI. 2006. Pedoman Pengembangan jenjang karir profesional perawat.Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan, DepKes RI
Wijaya, Ganda. 2012. Penerapan Manajemen Kinerja Klinik Berbasis Tri HitaKarana pada Komitmen Kerja, Kepuasan Kerja Locus of Control terhadapPeningkatan Kinerja Perawat dan Bidan di RSU Bangli. Program MagisterProgram Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pascasarjana.Universitas Udayana Denpasar
Hasanbasri. 2007. Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan BidanEvaluasi Pelatihan di Kulon Progo. Available at :http://www.kinerjaklinik-perawatbidan.or.id/home/index.php. Diaksestanggal 20 Mei 2014
Hasnita, E & Sanusi, R. 2005. Ciri-Ciri, Iklim Organisasi, dan Kinerja Perawat diInstalasi Rawat Inap RS Dr Achmad Moechtar Bukittinggi. Yogyakarta:UGM,Yogyakarta.
Hickam, et al. 2003. The Effect Of Health Care Conditions On Patient Safety.Evidence Report/Technology Assessment. (Prepared by Oregon Health &Science University under contract no. 290-97-0018). (Online). AHRQPublication No 03-E031. Rockville, MD : Agency for Healthcare Researchand Quality. (www.ahrq.gov, tanggal 16 Januari 2014)
Institute of Medicine. 2000. To Err is human : building a safer health system.Washington DC : National Academic Press
KARS. 2006. Standar Pelayanan Rumah Sakit, Instrumen Penilaian AkreditasiRS. Pelayanan Intensif Bandung.
Kohn, et al. 2000. To Err is human : building a safer health system. WashingtonDC : National Academic Press
KP-RS RSUP Sanglah Denpasar. 2011. Buku Saku Pedoman Keselamatan PasienRumah Sakit (Patient Safety). Denpasar: RSUP Sanglah.
Mangku Prawira, T. S. 2009. Visi, Misi, Tujuan dan SDM Perusahaan. (online).available from URL: http://www.google.com/pengertian_visi_misi.Diakses tanggal 11 Mey 2014
Menteri Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan Pasien RumahSakit. Departemen Kesehatan RI.
Montalvo, I. 2007. The National Database of Nursing Quality Indicators. TheOnline Journal of Issues in Nursing, Manuscript.(www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeriodicals/OJIN/TableofContents/Volume122007/No3Sept07/NursingQualityIndicators.aspx, tanggal 7 Januari 2014).
Needleman, et al. 2006. Nurse - Staffing Levels And Quality Of Care InHospitals.. N Engl J Med, May 30, 346 (22) : 1715 – 1722. (Online).(http://intqhc.oxfordjournals.org/cgi/content/full/15/4/275, tanggal 15Januari 2014)
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian IlmuKeperawatan, Jakarta : Salemba Medika
Nursyahfitri. 2010. Pengaruh Budaya Kerja dan Komitmen Karyawan TerhadapKinerja Karyawan Pada Karyawan Divisi Produksi PT. MarumitsuIndonesia. Skripsi, Fakultas Ekonomi USU, Medan.
Nursyahfitri. 2011. Pengaruh Komitmen Karyawan terhadap Kinerja Karyawanpada Divisi Produksi PT. Marumitsu Indonesia. (Skripsi). Jakarta:Universitas Gunadharma.
Persatuan Perawatan Nasional Indonesia (PPNI). 1999. Panduan Keperawatandan Praktek Keperawatan,Jakarta : PPNI
Riyadi S, Kusnanto H. 2006. Motivasi dan Perilaku. Semarang : Dahara Prize
Robbins P. S. 2006. Perilaku Organisasi Edisi Indonesia. Jakarta: PT Indeks.Kelompok Gramedia
Robert L. Mathis dan John H. Jackson. 2001. Sumber Daya Manusia, Alih BahasaJimmy. Sadeli. Jakarta : Salemba Empat
Rois. 2010. Pengaruh Komitmen Anggota dan Budaya Kerja terhadap KinerjaTim Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi nasional
Samsudin, Sadili. 2006. Manajemen Sumber daya Manusia. Bandung : PustakaSetia
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : GrahaIlmu.
Sigit, Soehardi. 2003. Perilaku Organisasional,Bagian Penerbitan FakultasEkonomi,Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
Stanton, M. W. & Rutherford, M.K. 2004. Hospital nurse staffing and quality ofcare. Reseach in action. AHRQ Publication No. 04-0029. Maret : issue 14.Rockville ,MD : Agency for Healthcare and quality.
Stoner, J. A. F. 1986. Manajemen. (jilid 2). Edisi bahasa Indonesia. Alihbahasa:Wilhelmus W.Bakowatun. Jakarta: Intermedia.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif”. Bandung : ALFABETA.
Suparman. 2007. Analisis Pengaruh Peran Kepemimpinan, Motivasi danKomitmen Kerja terhadap Kepuasan Kerja dalam Meningkatkan KinerjaPegawai (Studi pada Pegawai di Liingkungan Pemerintah DaerahKabupaten Sukamara di Provinsi Kalimantan Tengah). Tesis. Semarang:Universitas Diponegoro
Taylor et al. 1993. Fundamentals of nursing : the art and science of nursing care.(2nd. Ed). Philadelphia : J.B. Lippincott Company.
Ubaydillah, A. 2009. Jurnal Manajemen, Manajemen Sumber Daya Manusia,Bahan Kuliah. [cited 2014 May 1]. Available from: URL:http://www.google.co.id/pengertian_inisiatif.
Wibowo. 2012. Manajemen Kinerja (Edisi Ke 3) . Jakarta : Rajawali Pers
Winardi. 2011. Motivasi Pemotivasian. Jakarta : PT. Raja Grafindopersada.