hasil penelitian dan pembahasan - usm
TRANSCRIPT
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Status dan kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran beda
kewarganegaraan.
1.1. Status Kewarganegaraan atas Anak Hasil Perkawinan Campuran beda
Kewarganegaraan.
Status Hukum seseorang menentukan tempat tinggalnya sehingga
akan menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Status hukum
seseorang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP) yang sah sebgai
penduduk di desa atau kelurahan tempat tinggalnya. Tempat tinggal seorang
istri mengikuti tempat tinggal suaminya apabila suami istri adalah warga
Negara dari Negara yang sama. Hak dan Kewajiban hukum istri terikat pada
tempat kediaman suaminya. Jika suami istri berbeda warga Negara, hak dan
kewajiban hukum suami atau istri terikat dengan tempat tinggal di Negara
masing-masing, kecuali undang-undang menentukan lain.
Menurut penelitian Meilani (2009) menjelaskan bahwa status anak
sebelum adanya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006,
Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62
Tahun 1958 yang berlaku sejak di undangkan pada tanggal 1 Agustus 1958.
Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor
62 Tahun 1958 adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang dinyatakan
berstatus Warga Negara Indonesia, naturalisasi atau pewarganegaraan biasa,
31
akibat pewarganegaraan, pewarganegaraan istimewa, kehilangan
kewarganegaraan, dan siapa yang dinyatakan berstatus orang asing.
Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, perkawinan campuran didefinisikan sebagai berikut: ”Yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian
perkawinan internasional sebagai berikut : 26
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yangmengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa seorangmempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda denganmempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannyatetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungankedua-duanya.
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu :
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (intergentiel) Menerangkan
hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan
antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda
kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang
berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia
asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat ( Interlocaal) Mengatur hubungan
hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-
26 H. Zain Badjeber, Tanya Jawab Masalah Hukum Perkawinan, (Jakarta, Sinar Harapan,2003), halaman 80.
32
masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin dengan orang
Jawa.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama (interreligius) Mengatur
hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing
tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang
Islam dengan orang Kristiani.
Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran,
terdapat asas, yaitu :
1. Asas Mengikuti
Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan
dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.
2. Asas Persamarataan
Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang,
dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan
sikap dalam menentukan kewarganegaraan.
Pada dasarnya, tidak hanya anak hasil perkawinan campuran saja
yang mempunyai kewarganegaraan ganda, akan tetapi adapula‚ anak yang
berpeluang mempunyai status kewarganegaraan ganda, menurut Pasal 6 UU
No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, yaitu :
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
33
d. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga
negara Indonesia;
e. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia;
f.Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara
sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai
Warga Negara Indonesia; dan
g. Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun
diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan
penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai berikut:27 “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.” Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia
memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan.
Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam
keadaan hidup.28 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua
27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.28 Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata; Suatu Pengantar, (jakarta : PT, Rieneka, 2002), halaman 21.
34
manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak
memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
diwakili oleh orang lain.
Berdasarkan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa,
wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.29 Dengan
demikian, anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Hanya saja, seseorang yang tidak cakap karena
belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan
perbuatan hukum.
Meskipun demikian, anak tetap dapat dikategorikan sebagai subjek
hukum yang sama-sama mempunyai hak, salah satunya adalah hak
kewarganegaraan. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh karena itu, perlindungan terhadap anak perlu diperhatikan
dan dijauhkan dari kehidupan yang diskriminatif. Seperti yang tertuang dalam
UU HAM Pasal 13 ayat (1) yang bebunyi : “Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
(a) diskriminasi;
(b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
(c) penelantaran;
29 Ibid., halaman 25.
35
(d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
(e) ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status
anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan
orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya
sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau
perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah
yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dalam teori HPI
(Hukum Perdata Internasional) berkembang tiga pandangan tentang cara
penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:30
a. Absorption.
Prinsipnya, melalui absorption, lex cause yang dicari dan ditetapkanmelalui penerapan kaidah HPI untuk mengatur masalah pokok (mainissue) akan digunakan juga untuk menjawab “persoalan pendahuluan”.Jadi, setelah lex cause untuk masalah pokok ditetapkan melaluipenerapan kaidah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akanditundukkan pada lex cause yang sama. Cara ini adakalanya disebut carapenyelesaian berdasarkan lex cause. Kualifikasi serta penentuan kaidahhukum inter apa yang harus digunakan untuk memutus masalahpendahuluannya akan bergantung pada lex causae yang seharusnyadigunakan untuk menyelesaikan masalah pokok.
b. Repartition.
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causeuntuk masalah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkanlex cause dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Denganmengabaikan sistem hukum mana yang akan merupakan lex causeuntuk menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasiberdasarkan lex fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI-nya yangrelevan khusus untuk menetapkan lex cause dari masalahpendahuluan. Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.
30 Bayu Seto H, Dasar-Dasar Hukum Perdata InternasionaL, (Bandung : Citra AdityaBakti, 2006), halaman 144.
36
c. Pendekatan Kasus demi Kasus.
Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex cause untukmasalah pendahuluan atau incidental question harus dilakukan denganpendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakikat perkaraatau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.
1.2. Perlindungan Hukum Bagi Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
terlebih lagi kita hidup dalam negara demokrasi.
UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, menganut prinsip
umum dan universal yang diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia.
Sejumlah prinsip itu antara lain :31
Pertama, asas ius sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan
berdasarkan keturunan. Ius sanguinis, menetapkan kewarganegaraan
seseorang ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya, tanpa
mengindahkan di mana ia dilahirkan.
Kedua, asas ius soli, adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan
tempat kelahiran seseorang. Dengan kata lain, kewarganegaraan seseorang
ditentukan berdasarkan daerah/negara tempat ia dilahirkan.
Ketiga, nondiskriminatif. Kewarganegaraan Indonesia tidak
membedakan perlakuan antar warga negara, yang didasarkan perbedaan suku,
ras, agama, golongan dan gender.
31 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : PT. Raditia Tama, 2000), halaman 107.
37
Keempat, penghormatan terhadap HAM. Kewarganegaraan Indonesia
menghormati hak asasi pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya
yang tercantum dalam peraturan perundangan di Indonesia. Deklarasi PBB
mengakui, bahwa di semua negara di dunia ada anak-anak yang hidup dalam
kesulitan dan membutuhkan perhatian khusus. Diantaranya adalah
menghormati hak anak dan mempertahankan identitasnya termasuk
kewarganegaraannya, nama dan hubungan keluarga sebagaimana yang diakui
oleh undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah (Pasal 8 ayat 1).
Kelima, persamaan di muka hukum dan pemerintahan. Setiap warga
negara Indonesia akan mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan dalam pelayanan bidang kewarganegaraan dan kependudukan.
Keenam, mencegah terjadinya apatride (tanpa kewarganegaraan) dan
bipatride (kewarganegaraan ganda).
Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan
perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformiteit dalam
menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga negara dari berbagai
akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam kewarganegaraan maka
timbul berbagai macam permasalahan kewarganegaraan. Permasalahan
kewarganegaraan yang muncul adalah adanya kemungkinan seseorang
mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa
kewarganegaraan (apatride). Adapun yang membedakan antara bipatride
dengan apatride yaitu :32
1. Dwi Kewarganegaraan (Bipatride)
32 Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, (Bandung:PT. . Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 41.
38
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya
menganut asas ius sangunis lahir di negara lain yang menganut asas ius
soli, maka kedua negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut
warga negaranya. Sebagai contoh, sebelum ada perjanjian Menteri Luar
Negeri Indonesia, Soenario dan Menteri Luar Negeri Cina, Chow,
orang China yang berdomisili di Indonesia (ius soli) merupakan Warga
Negara Indonesia dan Warga Negara China (ius sangunis).
Untuk mencegah bipatride, maka Undang-Undang No. 62
Tahun 1958 Pasal 7 dinyatakan bahwa seorang perempuan asing yang
kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan dengan
syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.
b. Tanpa Kewarganegaraan (Apatride)
Apatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya
menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis.
Sebagai contoh, orang Cina yang pro Koumintang, tidak diakui
sebagai warga RRC, sedangkan Taiwan sebagai negara asal pada 1958
belum ada hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka mereka juga
tidak diakui sebagai Warga Negara Taiwan, sehingga mereka
merupakan "defacto apatride". Untuk mencegah apatride, Undang-
Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 Pasal 1 huruf f
menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia, selama
orang tuanya tidak diketahui adalah Warga Negara Indonesia.
39
Sementara bagi orang Cina, sebelurn lahirnya Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958, untuk menentukan
kewarganegaraan diadakan perjanjian antara Indonesia dengan Cina
yang dikenal dengan perjanjian Soenario-Chow pada tanggal 22 April
1955 yang diundangkan dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1958,
berisi bahwa. semua orang Cina yang berdomisili di Indonesia harus
mengadakan pilihan kewarganegaraan dengan tegas dan secara
tertulis.
Status kewarganegaraan adalah hal penting bagi setiap individu dan
sudah menjadi hak individu tersebut untuk memilih status
kewarganegaraannya. Alasan pentingnya kewarganegaraan dalam hukum
internasional adalah sebagai berikut :
1. Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri merupakan atributesensialkewarganegaraan. Negara bertanggung jawab melindungi warganya yangberada di luar negeri.
2. Negara di mana seseorang merupakan warga negaranya menjadibertanggung jawab kepada negara yang satu lagi jika is gagal dalamkewajibannya untuk mencegah tindakan-tindakan salah tertentu yangdilakukan oleh orang ini atau gagal menghukumnya setelah tindakan-tindakan salah ini dilakukan.
3. Pada umumnya, suatu negara tidak menolak untuk menerima kembaliwarga negaranya sendiri di wilayahnya. Pasal 12 ayat (4) PerjanjianIntemasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 menetapkan: ”Takseorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas haknya untukmemasuki negaranya”.
4. Kewarganegaraan menuntut kesetiaan dan salah satu bentuk utamakesetiaan itu ialah kewajiban melaksanakan wajib militer bagi negaraterhadap mana kesetiaan ini hams diberikan.
5. Suatu negara mempunyai hak umum (kecuali ada traktat khusus yangmengikat) untuk menolak mengekstradisi warga negaranya kepada suatunegara lain yang meminta supaya diserahkan.
6. Status musuh dalam perang ditentukan oleh kewarganegaraan orang yangbersangkutan.
7. Negara-negara sering melaksanakan yurisdiksi pidana atau yurisdiksi lainberdasarkan kewarganegaraan.
40
Dalam sebuah negara akan terdapat warga negara dan orang asing.
Warga negara mempunyai hak dan tanggung jawab yang besar
dibandingkan orang asing. Warga negara, dimanapun ia berada akan tetap
mempunyai hubungan dengan negaranya selama ia tidak melepaskan
kewarganegaraannya tersebut. Sedangkan orang asing hanya memiliki
hubungan dengan negara selama berdomisili di negara tersebut.
1.3. Pelaksanaan perlindungan anak pada peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan atau implementasi dari Undang-Undang belum berjalan
sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dalam upaya Perlindungan
anak. Perlindungan anak di Indonesia dan implementasinya
dipertanggungjawabkan serta bermanfaat untuk dikemukakan, beberapa
saran yang dapat diperhatikan dan dilaksanakan bersama mengingat situasi
dan kondisi yang ada pada saat ini dan dikemudian hari sebagi berikut:
1) Mengusahakan adanya suatu organisasi koordinasi kerjasama di
bidang pelayanan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai
koordinator yang memonitor dan membantu membina dan membuat
pola kebijaksanaan mereka yang melibatkan diri dalam perlindungan
anak pada tingkat nasional dan regional.33
2) Berupaya maksimal membuat, mengadakan penjamin pelaksanaan
perlindungan anak dengan berbagai cara yang mempunyai kepastian
hukum.34
33 Enggi Holt, Asas Perlindungan Anak dan Persamaan Kedudukan Hukum AntaraPerempuan dan Pria Dalam Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia,(Bandung : PT. . RajaGrafindo Persada, 2013), halaman 177.
34 Ibid., halaman 179.
41
3) Mengusahakan penyuluhan mengenai perlindungan anak serta
manfaatnya secara merata dengan tujuan meningkatkan kesadaran
setiap anggota masyarakat dan aparat pemerintah untuk ikut serta
dalam kegiatan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan dan
berbagai cara untuk tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
4) Mengusahakan penelitian di bidang perlindungan anak agar lebih
dapat memahami permasalahan untuk dapat membuat dan
melakasanakan kebijaksanaan secara dapat dipertanggungjawabkan
dan bermanfaat.
5) Meningkatkan pemenuhan hak-hak sipil dan kebebasan sebagai
manifest pertama haknya sebagai manusia, yang mencakup: Nama,
status kewarganegaraan, identitas penduduk, dan akta kelahiran;
Kebebasan dalam berekspresi, berpikir, berhati nurani, memeluk
agama, berserikat, akses terhadap informasi yang layak baik melalui
jalur organisasi pemerintah, organisasi masyarakat, maupun organisasi
yang dibentuk oleh mereka sendiri.
6) Perlindungan atas kehidupan pribadi.
7) Tidak menjadi subjek penyiksaan, hukum yang kejam, penjara seumur
hidup, penahanan semena-mena dan perampasan kebebasan.
Meningkatkan pemenuhan hak-hak sipil dan kebebasan sebagai
manifest pertama haknya sebagai manusia, yang mencakup:
1. Nama, status kewarganegaraan, identitas penduduk, dan akta
kelahiran;
42
2. Kebebasan dalam berekspresi, berpikir, berhati nurani, memeluk
agama, berserikat, akses terhadap informasi yang layak baik melalui
jalur organisasi pemerintah, organisasi masyarakat, maupun organisasi
yang dibentuk oleh mereka sendiri.
3. Perlindungan atas kehidupan pribadi.
4. Tidak menjadi subjek penyiksaan, hukum yang kejam, penjara seumur
hidup, penahanan semena-mena dan perampasan kebebasan.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan terbaik bagi anak adalah
bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan
oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan Yudikatif, kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Dalam hal
menjamin dan menghormati hak anak negara dan pemerintah tidak
dibenarkan melakukan diskriminasi/membedakan suku, agama, ras, golongan
dll, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 mengingat Penyelenggaraan
Perlindungan Anak harus berasaskan Pancasila dan UUD’45 dan prinsip
dasar Konvensi Hak Anak Perlindungan Anak harus tercermin dan
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain dalam
bidang hukum, baik Perdata maupun Pidana, yang dalam tulisan ini dibatasi
dalam bidang Pidana.
Mengingat bahwa pertanggung jawaban anak dalam hukum pidana
(toerekenvatbaarheid) atas pelanggaranpelanggaran hukum yang
dilakukannya adalah belum sempurna seperti orang dewasa, maka perlu
adanya ketentuan tentang batas usia minimum bagi anak untuk dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sebagai perbandingan yaitu dalam
43
KUHP (lama) belum menentukan batas usia minimum tersebut, karena Pasal
45 KUHP hanya menentukan sebelum batas umur (16 tahun) untuk dapat
dijatuhi tindakan ataupun pidana, yang lain jenisnya atau lebih ringan dari
pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa.
Dengan demikian menurut ketentuan tersebut, dapat dikatakan formil
juridis anak berumur 0 tahun, satu tahun hingga misalnya sampai 6-7 Tahun
dapat dituntut pidana, sedangkan dilihat baik dari segi biologis maupun
psychologis anak-anak seumur itu tidak dapat diharapkan mengerti akan sifat
baik buruknya suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian.
Kebanyakan negara mempunyai batas umur minimum dan batas maksimum
seorang anak untuk dapat diajukan ke sidang anak, dengan pengertian batas
umur minimum hanya berlaku bagi delinquent child (anak nakal), sedangkan
bagi neglected (Independent Child/Anak Terlantar) tidak ada batas usia
minimum. Sebagai perbandingan dengan negara-negara tersebut.
B. Hak waris anak yang lahir dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan.
Perwujudan yang selama ini tercermin pada aturan legal yang bersifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan
antarwarga negara serta kurang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan
Tahun 1958 dalam Pasal 8 Ayat (1), diatur bahwa seorang wanita WNI yang
melakukan kawin campur, maka akan kehilangan kewarganegaraan-nya.
Begitupun anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita WNI dengan
pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
44
Sedangkan perwujudan demokratisasi negara dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru tercermin dari produk hukumnya yang responsif,
yakni dalam bentuk persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara
dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006 dalam Pasal
2 disebutkan bahwa warga negara asli Indonesia adalah orang Indonesia yang
menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Undang-undang ini
menyiratkan penolakan konsep diskriminasi dalam perolehan
kewarganegaraan atas dasar ras, etnik, dan gender, maupun diskriminasi yang
didasarkan pada status perkawinan.
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan
hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang
memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan
campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi
pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya,
karena Undang-undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda
terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.” Pada hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status
sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUH Perdata memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
45
hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam
keadaan hidup.35
Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia
cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh
orang lain. Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, mereka yang digolongkan
tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka
yang dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap
karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan
perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda
sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda pula.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang
baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena
dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua
yurisdiksi hukum.
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari
perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi
warganegara asing :
35 Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata, SuatuPengantar, (Jakarta : Gitama Jaya, 2005), halaman 21.
46
a. Menjadi warganegara Indonesia Apabila anak tersebut lahir dariperkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan priawarganegara Indonesia (Pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958),maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibudapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa haruskehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggaldunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istridapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI diIndonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggaltidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
b. Menjadi warganegara asing Apabila anak tersebut lahir dariperkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia denganwarganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagaiwarga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di KedutaanBesar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara(KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannyatidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibuuntuk mengasuh anaknya, walaupun pada Pasal 3 UU No.62 tahun1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untukmemohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih dibawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalampraktek hal ini sulit dilakukan.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status
anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu
perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan
orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya,
atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar
nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Undang-
Undang kewarganegaraan yang baru (UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan) memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Berdasarkan Undang-undang ini anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui
sebagai warga negara Indonesia.
47
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan
mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia mempunyai
hubungan hukum keluarga. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda,
dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin.
Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan RI yang baru, anak
yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun
anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Sejak dahulu diakui
bahwa soal keturunan termasuk status personal (Statuta personalia adalah
kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi).
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius
sanguinis). Pada umumnya yang sering digunakan ialah hukum personal dari
sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah
keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga
dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari istri
dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang
terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman,
Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam
48
keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai
kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk
pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum
ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam
keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu
terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk
mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan,
terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.