halaman sampul halaman judul tesis kus sri … · keputusan-keputusan politik yang berdampak pada...

63
P k d G 4.1 K 4.1.1 a. Top Kabup Provinsi Da kecamatan, 110 o 16’26” dan kependu Gambar 4, T IV Kondisi Umum Profil Wila pografi dan K paten Kulon aerah Istime 88 desa, d BT dan 7 o 38 udukan (200 Tabel 3, Tabe Gamba Tabel Per Bagia Bagia Bagia Bagia Sumbe V. HASIL m Wilayah ayah Kependuduk Progo meru ewa Yogyak dan 930 ped 8’42” – 7 o 59 08) Kabupate el 4, dan Tab ar 4. Peta Ka 3. Batas Wil rbatasan an Barat an Timur an Utara an Selatan er: www.kul L DAN PEM kan upakan salah karta, deng dukuhan) d 9’3” LS. Bat en Kulon Pro bel 5 sebaga abupaten Ku layah Kabup Kabupaten Kabupaten DIY Kabupaten Samudera lonprogokab MBAHASAN h satu dari l an luas dae dan posisi g tas wilayah, ogo, berturu ai berikut: ulon Progo, P paten Kulon Wil n Purworejo n Sleman n Magelang a Hindia b.go.id N lima daerah erah 586,28 geografis 11 karakteristik ut-turut disaji Propinsi DIY Progo ayah o Provinsi Jaw dan Bantu Provinsi Jaw 33 otonom di 8 km 2 (12 10 o 1’37” – k topografi, ikan dalam Y. wa Tengah ul Provinsi wa Tengah

Upload: ngoliem

Post on 07-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

P

k

d

G

4.1 K

4.1.1

a. Top

Kabup

Provinsi Da

kecamatan,

110o16’26”

dan kependu

Gambar 4, T

IV

Kondisi Umum

Profil Wila

pografi dan K

paten Kulon

aerah Istime

88 desa, d

BT dan 7o38

udukan (200

Tabel 3, Tabe

Gamba

Tabel Per

BagiaBagia

BagiaBagia

Sumbe

V. HASIL

m Wilayah

ayah

Kependuduk

Progo meru

ewa Yogyak

dan 930 ped

8’42” – 7o59

08) Kabupate

el 4, dan Tab

ar 4. Peta Ka

3. Batas Wilrbatasan an Barat an Timur

an Utara an Selatan er: www.kul

L DAN PEM

kan

upakan salah

karta, deng

dukuhan) d

9’3” LS. Bat

en Kulon Pro

bel 5 sebaga

abupaten Ku

layah Kabup

KabupatenKabupatenDIY KabupatenSamudera

lonprogokab

MBAHASAN

h satu dari l

an luas dae

dan posisi g

tas wilayah,

ogo, berturu

ai berikut:

ulon Progo, P

paten Kulon Wil

n Purworejon Sleman

n Magelang a Hindia b.go.id

N

lima daerah

erah 586,28

geografis 11

karakteristik

ut-turut disaji

Propinsi DIY

Progo ayah

o Provinsi Jawdan Bantu

Provinsi Jaw

33

otonom di

8 km2 (12

10o1’37” –

k topografi,

ikan dalam

Y.

wa Tengahul Provinsi

wa Tengah

34  

  

Tabel 4. Karakteristik Topografi Kabupaten Kulon Progo Bagian Tinggi tempat

(m dpl) Kecamatan

Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap

Bagian Tengah

100-500

Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah

Bagian Selatan

0-100

Temon, Wates, Panjatan Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah

Sumber: www.kulonprogokab.go.id

Tabel 5. Kependudukan Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo

Kecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Jumlah penduduk

Temon 3.629,09 15 31.619

Wates 3.200,24 8 48.176

Panjatan 4.459,23 11 39.877

Galur 3.291,23 7 32.615

Jumlah 14.579,79 41 152.287 Sumber: www.kulonprogokab.go.id 

b. Sosiologi Lingkungan

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kulon Progo,

kawasan pesisir di tetapkan sebagai Kawasan Budidaya, yaitu pertanian lahan

kering (lahan pasir) dan sebagai Kawasan Lindung Setempat (Gambar 5 dan

Gambar 6). Penetapan fungsi kawasan ini merupakan penyesuaian terhadap

karakteristik ekosistem dan sosial setempat.

Pola kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo terbentuk dari

interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Ekosistem pesisir tersebut

merupakan hamparan gumuk pasir (sandbank) seluas 44 km2 ; yang dihimpit oleh

dua sungai besar, yaitu Sungai Serang dan Sungai Progo. Ekosistem tersebut

menyediakan potensi yang jarang ditemukan di ekosistem pesisir lain di

Indonesia, yaitu air tawar di sepanjang pantai. Selain mengandung air tawar,

35  

  

hamparan gumuk pasir di kawasan tersebut mengandung mineral besi. Dua

potensi ekonomi ini (air tawar dan pasir besi) menjadi unsur penting dalam

keputusan-keputusan politik yang berdampak pada perubahan sosial dan budaya

setempat.

Meskipun menempati kawasan yang dekat dengan aktivitas maritim pada

umumnya, masyarakat pesisir Kulon Progo justru merupakan masyarakat agraris.

Watak gelombang Samudera Hindia menjadi alasan bagi masyarakat untuk

memilih strategi nafkah. Alasan lain yang melatarbelakangi pilihan masyarakat

untuk hanya memanfaatkan potensi air tawar ialah bahwa akses ekonomi terhadap

pasir besi memerlukan syarat teknologi tinggi berskala industri yang jelas tidak

mereka kuasai.

 

Gambar

r 5 Peta RTRRWK KP unntuk Kawasaan Budidaya 

36

 

Gambar 6.

Peta RTRWWK KP untukk Kawasan LLindung. 

37

38  

  

4.1.2 Sejarah Wilayah

a. 1945-1950

Kultur sosial dan politik di Propinsi Yogyakarta tidak terlepas dari sejarah

situasi kolonial yang membentuknya. Surjomiharjo (1989) mengungkapkan

bahwa situasi kolonial, khususnya kota Yogyakarta sebagai pusat gerakan di masa

kemerdekaan, melibatkan kekuatan ekonomi politik suatu minoritas asing dengan

latar belakang peradaban yang berbeda. Minoritas asing ini membangun kerangka

administrasi kolonial sejak 1880-1930 dan turut membentuk kompleksitas sosial

melalui keterbukaan pada kekuatan pasar, aliran pemikiran, dan kebudayaan non

Jawa di Yogyakarta. Konfigurasi yang beragam itu kini memberi nuansa bahwa

Yogyakarta adalah miniatur Indonesia.

Dinamika eksistensi lembaga swapraja juga tidak lepas dari situasi kolonial

tersebut. Sebelum 1945, lembaga swapraja dalam arti struktur kekuasaan dan tata

pemerintahan dapat dikatakan sebagai produk kekuatan ekonomi politik

kolonial38. Wilayah Swapraja pada tahun 1830 (Gambar 7) hingga 1945 (Gambar

8) adalah wilayah Propinsi DIY yang sekarang. Sebagian wilayah Swapraja yang

dikuasai oleh Paku Alam berada di dalam kota yaitu meliputi Kecamatan Paku

Alaman yang sekarang, sedangkan wilayah luar kota (Kadipaten Adikarto)

meliputi daerah Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon, yang beribukota di

Wates, kini Kadipaten Adikarto merupakan wilayah selatan Kabupaten Kulon

Progo.

                                                            38 Dapat disimak dalam sejarah kekuasaan, baik yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian politik ; antara lain 1) Perjanjian Gianti 13 Februari 1755, 2) Penobatan KGPA Paku Alam I oleh Thomas Raffles pada 29 Juni 1812, 3) Kontrak Politik Paku Alaman dengan Inggris 17 Maret 1813, 4) Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18 tahun 1918 sebagai akibat pemberlakuan Agrarische Wet 1870, dan 5) Kontrak Politik Belanda dengan Sultan HB (1877-1940) sebagai akibat politik kekalahan perang Diponegoro, maupun hasil-hasil penelitian antara lain oleh Darmosugito (Sedjarah Kota Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta 200 tahun 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956, 1956), Soedarisman Poerwokoesoemo (Kasultanan Yogyakarta, Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1985), Selo Soemarjan (Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1986), Abdurrachman Surjomiharjo ( Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial, 1989), Djoko Suryo (Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, 2004) dan Luthfi et al. ( Keistimewaan Yogyakarta, Yang Diingat dan Yang Dilupakan, 2009).

 

Gamba

G

ar 7. Wilaya

Gambar 8. W

ah Swapraja

Wilayah Swa

1830 (sumb

apraja 1945

ber www.wik

(sumber ww

kipedia.com)

ww.wikipedia

39

).

a.com) 

40  

  

b. 1980-2006

Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat pesisir Kabupaten

Kulon Progo. Mereka yang hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang di

luar komunitasnya, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan

rendah, dan berpenyakitan. TJ (32) memberi kesaksian mengenai pencitraan ini39:

“Dahulu, sewaktu saya masih kecil orang-orang pesisir disebut

sebagai orang Cubung. Orang Cubung itu ya orang goblok, miskin,

penyakitan, pokoknya terbelakang lah. Hal itu sudah pas dengan

keadaannya karena kami tak punya pekerjaan selain bekerja sebagai

buruh kasar di kota. Pertanian lahan pasir belum berkembang seperti

sekarang, paling banter hasilnya cuma 3 kilo cabai. Keadaan di sini

sebelum penggarapan lahan jauh lebih buruk karena untuk bisa makan

nasi sehari harus mengumpulkan pendapatan seminggu. Setiap bulan

Agustus-November dari laut selatan bertiup angin yang membawa

pageblug (wabah), kalau sudah begitu, sakit mata dan kulit sudah

langganan.”

Sebelum dekade 1980-an masyarakat setempat memanen kelapa di

sepanjang pesisir sebagai komoditas ekonomi untuk melengkapi komoditas lain

yaitu anyaman daun pandan, yang sumbernya merupakan spesies endemik yang

tumbuh liar. Penghasilan lain diperoleh dari penambangan garam dari air laut

yang dalam istilah setempat aktivitas itu disebut sirat40. Perjuangan untuk hidup

dan tekanan alam mendorong generasi muda memilih jalan penghidupan lain

melalui urbanisasi (Kompas, April 2008ab)41. Kutipan wawancara dengan TJ (32)

juga menyebutkan gejala urbanisasi pada dekade 1980-an tersebut:

“Saya tidak pernah mimpi jadi petani dengan penghasilan minimal 30

juta per bulan seperti sekarang ini. Saya pernah kerja di Malaysia

sebagai buruh selama 3 tahun pada tahun 1997-2000, hasilnya hanya

                                                            39 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010, TJ (32),: 40 Wawancara dengan KN (50). Juli 2009 (Preliminary) 41 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010,TJ (32):

41  

  

cukup untuk modal buka lahan 2000 m2. Saya ini tergolong gerbong

terakhir pemuda yang beralih profesi menjadi petani, cukup terlambat

dibanding teman-teman seusia saya yang tidak tergiur menjadi buruh

perusahaan asing.”

Aktivitas ekonomi sebagai buruh di kota lambat laun mengendurkan ikatan

sosial individu urban dengan lingkungan asalnya. Sistem sosial yang semula

dibentuk oleh solidaritas mulai bersifat individualis. KN (50) mengemukakan

bahwa komunikasi tradisional setempat adalah pembentuk ikatan sosial42:

“Orang-orang Cubung di pesisir ini mempunyai kebiasaan bertukar

informasi, kebiasaan ini disebut endong-endongan. Apa yang

dibicarakan di endong-endongan macam-macam, biasanya seputar

masalah hidup sehari-hari. Kelak kebiasaan ini berperan dalam

penyebaran gagasan dan teknologi bertani di lahan pasir.”

Pada tahun 1982, salah seorang penduduk43 terinspirasi untuk memulai

bercocok tanam di lahan pasir pantai, ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai

liar yang mampu tumbuh dan berkembang di bentangan gumuk pasir itu44

(Kompas, April 2008b). KN (50), penduduk yang memulai penggarapan lahan itu,

mengemukakan sejarah awal mula perubahan ekosistem di pesisir Kulon Progo:

“Sebelum kembali pulang untuk bertani, saya dulu bertahun-tahun

merantau ke Jawa Barat dan Sumatera untuk mencari pekerjaan. Saya

hampir putus asa karena tak mendapatkan hasil, dalam kondisi itu

saya berjalan-jalan di tepi pantai dan saya mendapati sebatang

tanaman cabai yang tumbuh liar dan berbuah. Lalu muncul gagasan

saya, kalau tanaman liar saja bisa tumbuh apalagi kalau dirawat. Saya

                                                            42 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50) 43 Ada dua versi cerita mengenai kemunculan inspirasi ini, sumber lisan yaitu TJ (32) dan SR (40), keduanya Desa Garongan, menyatakan bahwa KN adalah sang pemula (lihat juga, Kompas April 2008b), sumber tertulis setempat menyatakan IJ adalah yang mengawali (Iman Rejo, 1996). Kedua versi tersebut menguatkan bukti bahwa gagasan untuk mengubah bentang alam pesisir menjadi lahan hortikultura berasal dari masyarakat lokal. 44 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50):

42  

  

memulai budidaya tanaman cabai dalam luasan kecil, dengan

memanfaatkan air tawar di bawah pasir.”

Bersama beberapa warga lainnya, KN (50) memanfaatkan sumberdaya air

tawar yang tersimpan di kedalaman 3-6 m di bawah permukaan pasir pantai untuk

menyuplai kebutuhan air bagi tanaman (Kompas, April 2008a). Air tawar di tepi

pantai memberikan berkah bagi jenis pekerjaan baru, yaitu petani hortikultura

terutama cabai dan semangka.

Pada tahun 1988-1995 budidaya tanaman hortikultura itu meluas di 4

kecamatan di kawasan pesisir (Temon, Wates, Panjatan, Galur), dengan didukung

pengembangan teknologi dan informasi. Pada mulanya mereka hanya membangun

sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Seiring dengan peningkatan

pengetahuan dan pendapatan petani, sumur timba tersebut kemudian berkembang

menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga (Iman Rejo,

1999). Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan kemudian

mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin. Menurut KN (50)

komunikasi tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya mempunyai peranan

dalam penyebaran pengetahuan setempat45:

“Kebiasaan endong-endongan membantu penyebaran apa yang saya

lakukan. Kami mulai membicarakan bagaimana meningkatkan hasil,

mulai dari mengubah sumur gronjong (berdinding bambu) menjadi

sumur timba, dari sumur timba menjadi sumur renteng (berantai).

Kami juga mulai memikirkan untuk membuat pagar angin baik itu

menanam tanaman keras di daerah dekat pantai, maupun menanam

tanaman selingan untuk melindungi tanaman utama. Hasil panen

meningkat pesat seiring perkembangan pengetahuan masyarakat, dan

teknologi yang diterapkan semakin canggih seiring pertambahan nilai

jual, harga paling tinggi adalah ketika krisis moneter 1997, di sini

banyak orang kaya mendadak.”

                                                            45 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50)

43  

  

Keberadaan jenis pekerjaan baru di desa lambat laun menggerakkan arus

balik urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Para pemuda yang dahulu bekerja di

sektor industri di kota kembali ke desa untuk menekuni profesi sebagai petani

yang lebih menjanjikan bagi penghidupan46. Matapencaharian baru ini mampu

menyerap tenaga kerja dari luar kawasan, yaitu sebagai buruh petik47.

Perkembangan informasi dan teknologi tidak hanya meningkatkan taraf hidup

secara ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan elemen

pembangunan di luar komunitas pesisir, terutama akademisi.

Pada tahun 2001 Fakultas Pertanian UGM mengkaji pengembangan potensi

lahan pasir pantai. Pertukaran informasi antara akademisi dan para petani lahan

pasir membuahkan kelembagaan baru di sektor distribusi, yaitu 1) pengaturan

sarana produksi dan 2) sistem lelang. Pengaturan sarana produksi meliputi

kegiatan penyediaan pupuk dan benih, sedangkan sistem lelang untuk

pengendalian harga panen. Kedua kelembagaan ini dijalankan oleh komunitas

setempat melalui pengorganisasian diri. Posisi tawar petani terhadap pasar

terbangun melalui proses interaktif yang panjang antara pengetahuan dan tindakan

yang berubah dari waktu ke waktu. Sistem lelang mulai dilakukan pada tahun

2002. Sistem ini memungkinkan petani mempunyai daya tawar terhadap pasar

distribusi dengan cara turut mengatur harga panen di tingkat petani48.

                                                            46 Dengan luas 1000 m2 atau 0,1 ha , hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai untuk komoditas cabai adalah Rp. 11.554.090,00 dengan indeks B/C ratio sebesar 4,54 dan rata-rata produktivitas 2.014 ton per satuan luas; artinya sangat layak diusahakan (sumber: Shiddieq et al., 2008, Anonim, 2007, dan Rismiyadi, 2003). Laporan Kelompok Gisik Pranaji di Bugel pada Mei 2010 menyatakan bahwa rerata hasil cabai adalah 0,8 kg/tanaman, jarak tanam 1 x1 m diterapkan untuk setiap 1.000 m2 (dalam setiap 1.000 m2 ada 1.000 lubang) rerata penggarapan petani adalah 3.000 m2, sehingga rerata hasil panen per keluarga petani adalah 0,8 kg x 3.000 tanaman= 2.400 kg/ panen. Panen dilakukan 5 hari sekali selama dua bulan (puncak produksi), sehingga rerata hasil panen per keluarga petani selama dua bulan adalah: 2.400 kg x 12 kali panen= 28.800 kg. Harga cabai pada bulan Mei dan Juni 2010 rerata Rp. 15.000,00 , dengan demikian pendapatan kotor petani selama dua bulan adalah 28.800 kg x Rp. 15.000,00 = Rp. 432.000.000,00 (Empat ratus tigapuluh dua juta rupiah). Biaya produksi total untuk setiap 3000 m2 adalah Rp. 115.200.000,00 (harga panen Rp. 4.000,00/kg). Dengan demikian, pendapatan bersih petani dalam dua bulan adalah Rp.432.000.000,00-Rp.115.200.000,00= Rp.316.800.000,00 (Tiga ratus enambelas juta delapan ratus ribu rupiah). 47 Wawancara dengan SR (40), Garongan, Panjatan, Agustus 2008 (Preliminary). 48 Mekanisme sistem lelang sebagai berikut:

1) Kelompok tani di setiap dusun mengadakan rapat untuk mengambil keputusan mengenai pelaksanaan lelang menjelang panen.

2) Tempat, waktu, dan tenaga operasional lelang ditetapkan. 3) Pada waktu panen, setiap keluarga petani menyetorkan hasil panen kepada kelompok,

hasil panen kemudian disortir oleh tenaga operasional lelang untuk dipilih yang memenuhi kualitas pasar,.

44  

  

Pada tahun 2005, PT. JM, PT NE, PT. KS dan AK Ltd. menjalin kerjasama

bisnis untuk pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo49. AK adalah

TNC di Australia dan mempunyai proyek pertambangan di beberapa negara, salah

satunya adalah pertambangan emas di Peru. Pada tahun 2006 AK tersebut berubah

nama IM Ltd50.

Pada tahun 2006 Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Ijin Kuasa

Pertambangan berikut mineral ikutannya kepada PT. JM yang merupakan

perusahaan keluarga lembaga swapraja Yogyakarta51. Saham yang dikuasai oleh

PT. JM dalam bisnis ini sebesar 30 % dan IM Ltd. sebesar 70 %.

4.1.3. Kultur Politik

a. Kedudukan Lembaga Swapraja

Struktur kekuasaan dan politik di Yogyakarta tidak mengalami perubahan

yang berarti bagi lembaga swapraja sebelum 1945 (Soemarjan, 1986). Kedudukan

Raja, terutama Sultan Hamengku Buwono, bagi masyarakat Jawa adalah sebagai

pusat dan sumber kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar yang diakui

oleh RI dan dipertahankan sejak 1755, yaitu: Sampeyan Ngarso Dalem Ingkang

Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo,

Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping… (I-

X) Ing Ngayogyakarto Hadiningrat (Andika Paduka Yang Mulia Baginda Sultan

Hamengku Buwono, Panglima Perang, Hamba Sang Maha Pengasih Pewaris

                                                                                                                                                                   4) Hasil panen sebelum dan sesudah proses penyortran dicatat dalam buku administrasi, dan

petani menerima tanda bukti. 5) Pada pukul 17.00-20.00 secara serentak dibuka lelang di setiap dusun. 6) Para pedagang atau tengkulak menuliskan harga beli secara rahasia dan tertutup dalam

secarik kertas dan dimasukkan dalam kotak undian. 7) Pada pukul 20.00, kotak undian dibuka. 8) Harga yang tertinggi adalah harga penjualan cabai yang berlaku di tingkat petani pada

hari itu, sehingga para pedagang yang akan memperoleh barang dagangan pada hari itu harus membeli sesuai harga yang telah disepakati.

49  Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005 dan Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005: 

50 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 51 Menurut Akta Notaris Pendirian PT JM No 40 Buntario Tigris Darmawa NG, SH.SE., PT JM didirikan 6 Oktober 2005.

45  

  

Rasulullah Sang Penata Agama, Wakil Allah Yang Bertahta Ke..[I-X] Di

Kerajaan Yogyakarta).

Meskipun hubungan ekonomi politik antara Pemerintah Kolonial Belanda

dengan Sultan diperbaharui setiap kali putra mahkota akan bertahta52, pandangan

masyarakat di Yogyakarta khususnya terhadap kedudukan Sultan tidak berubah:

Sultan adalah sosok yang dianugerahi kekuasaan politik, militer, dan keagamaan

secara absolut53, sebuah konsep kekuasaan yang diadopsi dari Khaliffah Islamiyah

di Timur Tengah pada Dinasti Abbassiyah.

Kedudukan politik dan budaya Sultan dan Paku Alam tetap dipertahankan

hingga sekarang dengan penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur di Propinsi DIY54. Keistimewaan Yogyakarta dinilai dari

sumbangan lembaga swapraja bagi perjuangan kemerdekaan 1908-1950.

                                                            52 Soemarjan (1986) mengemukakan bahwa pasal-pasal penting dari semua perjanjian politik selalu mencantumkan: 1) kedaulatan Kasultanan di bawah kerajaan Belanda, 2) pemberlakuan undang-undang kolonial di dalam kerajaan, 3) pengambilan keputusan pergantian kekuasaan Kasultanan oleh Gubernur Jenderal, 4) kewajiban Sultan untuk patuh kepada Kerajaan Belanda sepanjang memerintah Kasultanan, 5) sistem pertahanan dan keuangan diatur oleh Gubernur Jenderal, berikut wewenang pengelolaan SDA seperti hutan jati, pertambangan, dan produksi dan distribusi garam (hal 6-7). 53 Kesadaran mistis masyarakat Jawa atas kekuasaan Sultan diwujudkan dengan kepercayan pada kekuatan spiritual Sultan untuk dapat membaca arah jaman dan kemampuannya dalam membawa kemakmuran dan keaadilan bagi rakyat. Mengenai hal ini, telah dilaporkan oleh Soemarjan bahwa pada tahun 1932 dan 1948, ketika Yogyakarta dilanda wabah, penduduk memohon Sultan untuk menyelamatkan mereka dengan cara mengarak pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (panji hitam dengan tulisan-tulisan Arab yang diyakini sebagai bagian dari jubah penutup Ka’bah di Mekah) mengelilingi wilayah-wilayah epidemi. Arak-arakan itu diikuti oleh puluhan ribu orang dan dilakukan di tengah kota yang pada saat itu (1948) merupakan pusat revolusi, pergerakan, markas organisasi-organisasi politik, dan pembaruan sistem politik dari aristokrasi feodal menuju sistem demokrasi (Ibid: 24-25). 54 UU No 22 Tahun 1948 Tentang Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri pasal 18 (5)

Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.

Hal ini merupakan penguatan dari 1) Amanat 5 September 1945 yang menyatakan peleburan kekuasaan Swapraja menjadi bagian dari Republik Indonesia. 2) UUD 1945 pasal 18, 3) Piagam Kedudukan Sultan dan Paku Alam oleh Ir.Soekarno 19 Agustus 1945, dan 4) Amanat 30 Oktober 1945 yang menyatakan penyelarasan pemerintahan DIY dengan UUD 1945. Sistem politik yang diatur dalam UU No 22 Tahun 1948 dikuatkan kembali dalam UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. UU No 22 Taun 1948 telah dicabut dengan penerbitan UU No 1 Tahun 1957 (Era Demokrasi Parlementer). UU No 1 Tahun 1957 pada akhirnya dicabut dengan penerbitan UU No 18 Tahun 1965 (Era Demokrasi Terpimpin). UU No 18 Tahun 1965 dicabut dengan penerbitan UU No 5 Tahun 1974 (Era ORBA), dan UU No 5 Tahun 1974 dicabut dengan penerbitan UU No 22 Tahun

46  

  

b. Kekuasaan Lembaga Swapraja

Menurut Rijksblad 1918, kekuasaan Sultan dan Paku Alam meliputi

pemilikan dan pengelolaan SDA di seluruh wilayah kekuasaannya sepanjang

sumber agraria yang dimaksud tidak dilindungi oleh hak eigendom. Kekuasaan

Sultan dan Paku Alam juga meliputi dimensi politik pemerintahan, spiritual, dan

kultur sosial. Di dalam budaya kekuasaan masyarakat Jawa dikenal istilah: Sabda

Pandhita Ratu (perkataan seorang raja adalah hukum suci). Masyarakat

Yogyakarta pada khususnya menganggap setiap kata dari Sultan merupakan

petuah sakti yang didukung oleh kekuatan spiritual, perintah Sultan adalah

hukum, keinginan Sultan adalah perintah bagi rakyatnya55.

4.1.4. Konstelasi Ekonomi Politik SDA

Sejarah kelahiran Propinsi Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari sejarah

kekuasaan ekonomi politik kolonial yang membelenggu lembaga swapraja

sebagai pusat kekuasaan. Perubahan secara mendasar dalam struktur kekuasaan

atas SDA di DIY telah berlangsung sejak 1945-1984, melalui momentum 1)

penyerahan kedaulatan lembaga swapraja kepada RI, 2) kelahiran UUPA No 5

Tahun 1960, 3) kelahiran Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentang

Pemberlakuan UUPA dan aturan pelaksanaannya di DIY secara sepenuhnya, dan

4) Peraturan Daerah DIY No 34 Tahun 1984 yang menguatkan Keputusan

Presiden No 33 Tahun 1984. Konstelasi ekonomi politik SDA di DIY berubah

secara legal dari bentuk penguasaan oleh privat menjadi penguasaan oleh negara.

Pergeseran konstelasi ekonomi politik SDA di DIY dari penguasaan oleh

negara menjadi penguasaan oleh privat berlangsung sejak UU No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah diterbitkan. UU tersebut menjamin kewenangan

Pemda (terutama Bupati) untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan SDA. Di

tingkat kabupaten, Bupati Kulon Progo adalah pengambil keputusan secara legal

dalam agenda pembangunan.

                                                                                                                                                                   1999 yang disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 (Era Reformasi) yang mengatur bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. 55 Soemarjan (1986) : 25.

47  

  

Di tingkat propinsi, DPRD dan Gubernur DIY telah mengajukan

pengesahan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta sejak 2007,

yang akan menjamin keutuhan konstelasi kekuasaan politik dan ekonomi politik

SDA di Propinsi DIY.

Di tingkat nasional, agenda pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa telah

dijalankan sejak tahun 2002 dengan dana hutang Asian Development Bank (ADB),

proyek ini terhenti di Propinsi DIY karena terkendala pembebasan lahan.

Beberapa peraturan perundangan yang terkait ekstraksi SDA, penataan

ruang, dan lingkungan di Indonesia juga berubah sejak UU No 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan

Lingkungan Hidup ditetapkan.

Di tingkat internasional, desentralisasi berdampak pada iklim investasi yang

selaras dengan agenda OTDA, IM Ltd sebagai investor asing dapat menjalin

kerjasama investasi dengan perusahaan lokal (PT. JM) tanpa halangan politik dari

kekuasaan pusat.

Sistem politik nasional yang baru membuka peluang yang sama bagi para

pemodal lokal untuk meningkatkan intensitas penetrasi modal, termasuk industri

ekstraktif di daerahnya. PT. JM merupakan perusahaan milik keluarga swapraja.

Kultur politik masyarakat di DIY terhadap lembaga swapraja tidak berubah sejak

lembaga kekuasaan itu didirikan. Situasi ini menguatkan dominansi budaya yang

memudahkan penetrasi modal bagi PT. JM dan IM Ltd.

Dualisme kedudukan otoritas tertinggi di Propinsi baik sebagai Gubernur

dan Pemimpin Swapraja menjadikan tekanan-tekanan kepentingan investor

pertambangan pasir besi semakin memperoleh legitimasi politik, sehingga pada

akhirnya memicu konflik di daerah, terutama antara Pemda kabupaten dengan

penduduk di kawasan pesisir.

4.1.5. Ikhtisar

Situasi kolonial di DIY 1755-1945 merupakan cerminan dari sejarah

ekonomi politik SDA. Penyempitan wilayah kekuasaan lembaga Swapraja sejak

1830 hingga penerbitan Rijksblad 1918 dan Perjanjian Politik 1940 merupakan

bukti dominansi ekonomi politik dari kekuatan minoritas asing, sesungguhnya

48  

  

lembaga Swapraja belum dapat dikatakan berdaulat sepenuhnya. Secara politis,

lembaga ini merdeka bersamaan dengan kemerdekaan RI (pengakuan atas

kemerdekaan RI dan pernyataan untuk bergabung menjadi bagian RI adalah

bentuk lain dari penyerahan kedaulatan kepada RI), dengan konsekuensi tunduk

pada hukum nasional.

Minoritas asing yang berkuasa pada masa sebelum 1830 sesungguhnya

adalah korporasi (VOC), dan meskipun pada generasi berikutnya digantikan oleh

institusi politik (kerajaan Belanda) hingga 1945, kepentingan itupun tetap sama,

yaitu ekonomi politik SDA atas wilayah DIY. Pergantian jaman tampaknya tidak

mengubah konstelasi ekonomi politik tersebut, artinya kekuatan politik ekonomi

asing masih saja mendominasi dengan bentuk, pola, dan cara yang berbeda. IM

Ltd adalah kekuatan ekonomi politik asing yang baru tersebut.

49  

  

4.2. Struktur Penguasaan SDA

4.2.1 Sejarah Agraria DIY

a. Pra 1945

Menurut Wiradi (2009), perang Diponegoro (1825-1830) berdampak pada

perubahan kebijakan ekonomi politik kolonial di Jawa, yaitu kelahiran

Cultuurstelsel (tanam paksa) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Van den

Bosch 1830. Pada tahun 1848-1865, kaum liberal pemilik modal di Belanda

menuntut keterlibatan dalam urusan tanah jajahan, tuntutan mereka dipenuhi oleh

Menteri Jajahan Fans van de Putte (berhaluan liberal) dengan penerbitan RUU

yang menjamin Hak Erfpacht (hak sewa jangka panjang dan murah) selama 99

tahun di tanah jajahan dan Hak Eigendom (hak milik mutlak) atas tanah-tanah

komunal berada pada para pemodal. Pada 1870, diterbitkan Agrarische Wet yang

diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1870 No 55, yang

mengatur ketentuan antara lain sebagai berikut:

1) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menjual tanah, kecuali terhadap

bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau

penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perusahaan komersial.

2) Ijin bagi Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah sesuai dengan

Undang-Undang, kecuali terhadap tanah yang telah dibuka oleh

penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk

pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk

maksud-maksud lain.

3) Jangka waktu penyewaan oleh Gubernur Jenderal dibatasi 75 tahun,

dengan penghormatan pada hak-hak tanah penduduk asli.

4) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menguasai tanah yang telah

dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk

pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang

digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali a) untuk tujuan-tujuan

kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan b) untuk

pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar

dapat diberikan.

50  

  

5) Pemberian hak eigendom terhadap tanah-tanah yang dimiliki oleh

penduduk asli, termasuk hak untuk menjual kepada pihak manapun.

6) Mekanisme penyewaan tanah oleh penduduk asli kepada bukan

penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.

Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk

Jawa dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118,

Pasal 1 menyatakan :

“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul

5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie

semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap

milik negara”56.

Rijksblad Swapraja tahun 1918 mengacu pada ketetapan hukum tanah yang

diterbitkan oleh pemerintah kolonial berdasarkan domein verklaring.

b. 1945-1960

Tahun 1945-1960 merupakan periode pembentukan UUPA. Pada tahun

1948 diterbitkan UU No 3 Tahun 1948 tentang Perubahan Vorstenlandsch

Grondhuurreglement, yang mengamanatkan pencabutan ketetapan hukum

mengenai ‘tanah conversie’ di daerah Surakarta dan Yogyakarta dengan dasar

pertimbangan pelaksanaan UUD 1945 pasal 27 dan 33. Pembentukan DIY

melalui penerbitan UU No 3 Tahun 195057 merupakan tonggak dalam struktur

                                                            56 Staatsblad 1870, No 118 57 UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY: Pasal 1

(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.

(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi. Pasal 14

(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:

I. Urusan Umum.

II. Urusan Pemerintahan Umum. III. Urusan agraria. IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung. V. Urusan pertanian dan perikanan.

VI. Urusan kehewanan.

51  

  

politik sekaligus struktur penguasaan sumber-sumber agraria di DIY. UU tersebut

diturunkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 1954 tentang Hak atas

Tanah di DIY. Pokok-pokok pikiran Perda ini ialah:

1) Pernyataan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kekuasaan

untuk mengatur hak atas tanah. Sesuai dengan domein verklaring Tahun

1918.

2) Peraturan hak atas tanah didalam kota Yogyakarta, belum perlu diubah.

3) Kelurahan-kelurahan dalam batas yang tertentu diberi hak untuk

mengurus dan mengatur (beschikkingsrecht) mengingat adat.

4) Kepada perseorangan diberi hak milik perseorangan turun-temurun

(erfelijk individueel bezitsrecht) dengan tidak lepas dari desa-verband

(keinginan masyarakat).

                                                                                                                                                                   VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan

koperasi. VIII. Urusan perburuhan dan sosial.

IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja. X. Urusan penerangan.

XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan XII. Urusan kesehatan.

XIII. Urusan perusahaan.

(2) Urusan-urusan tersebut dalam ajat (1) diatas didjelaskan dalam daftar terlampir ini (lampiran A) dan dalam peraturan-peraturan peleksanaan pada waktu penjerahan.

(3) Dengan Undang-undang tiap-tiap waktu, dengan mengingat keadaan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Jogjakarta dan kewadjiban Pemerintah jang diserahkan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta di tambah.

(4) Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.

Penjelasan III. Urusan Agraria (tanah), meliputi: (1) penerimaan pejerahan hak ,,eigendom” atas tanah ,,eigendom” kepada negeri

(medebewind); (2) penjerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada djawatan-djawatan atau

Kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind); (3) pemberian idzin membalik nama hak ,,eigendom” dan “opstal” atas tanah, djika salah satu

fihak atau keduanja masuk golongan bangsa asing (medebewind); (4) pengawasan pekerdjaan daerah autonom dibawahnja (sebagian ada jang medebewind).

P a s a l 5 (1) Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-

perusahaan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuknja Undang-undang ini mendjadi milik Daerah Istimewa Jogjakarta, jang selanjutnja dapat menjerahkan sesuatunja kepada daerah-daerah dibawahnja.

(2) Segala hutang piutang Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, mendjadi tanggungan Daerah Istimewa Jogjakarta.

52  

  

5) Kelurahan sebagai badan Hukum diberi hak milik atas tanah terhadap

tanah yang sampai saat ini sudah dikuasai (tanah desa).

6) Larangan untuk bangsa asing.

7) Batalnya hak milik atas tanah dengan syarat-syarat yang tertentu masih

diperlukan.

8) Jaminan untuk Pemerintah sewaktu-waktu membutuhkan tanah.

9) Badan Hukum, umpama N.V. Yayasan, yang mengingini mempunyai

hak atas tanah, perlu ditinjau dalam-dalam dan diatur tersendiri.

Struktur penguasaan sumber-sumber agraria dalam kepentingan nasional

ditandai dengan kelahiran UU No 5 Tahun 1960, diktum ke-empat UU tersebut

menyatakan:

“hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja

atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya

berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara”

Rijksblad Swapraja 1918 menjadi dasar hukum positif bagi Sultanaat

Ground (SG) dan Paku Alamnaat Ground (PAG)58. SG dan PAG adalah status

atas tanah-tanah yang dimaksud sebagai tanah swapraja (kerajaan), karena kedua

lembaga tersebut telah ada sebelum kemerdekaan RI. Menurut perspektif

masyarakat pesisir Kulon Progo, pengakuan terhadap tanah-tanah swapraja

merupakan bagian dari konflik, seperti yang diungkapkan oleh TJ (32)59:

“Pewacanaan bahwa bentang lahan di pesisir ini adalah milik PA penting

dilakukan agar proses menuju penambangan sukses. Apa benar PA punya

hak milik atas tanah-tanah di pesisir? Jawabannya adalah UUPA 1960. Itu

                                                            58 Selama ini dibedakan secara tegas antara Sultan Ground (SG) dan Sultanaat Ground (SG), antara Paku Alam Ground (PA) dan Paku Alamanaat Ground (PAG). Sultan Ground adalah tanah milik Sultan sebagai perorangan, sedangkan Sultanaat Ground adalah tanah milik keraton Kasultanan. Paku Alam Ground (PA) adalah tanah milik Paku Alam secara perorangan, sedangkan Paku Alamanaat Ground (PAG) adalah tanah keraton Paku Alaman. 59 Catatan Harian Struktur Agraria, 14 Februari 2010, TJ (32): Menurut laporan Luthfi et al. (2009), luas tanah SG dan PAG di seluruh DIY yang tercatat di Biro Tata Pemerintahan DIY hingga tahun 2005 adalah sekitar 60.000.000 m2. Sedangkan perhitungan luas tanah tersebut menurut majalah Himmah pada tahun 2002 berjumlah 37.782.661 m2. Ketidakpastian letak dan luas tanah SG dan PAG juga diakui oleh Swapraja.

53  

  

satu-satunya landasan hukum yang bisa diacu jika kita hidup di Indonesia.

Kalau pihak penambang berdasar pada sejarah penguasa, maka kami juga

punya sejarah pesisir. Kami sadar kok kami akan dimusuhi orang se-Jogja

kalau melawan kekuasaan kraton. Tetapi, kami juga sadar kami akan

menjadi musuh hati nurani jika kami mengiyakan ketidakadilan.”

Lembaga Swapraja bukan badan hukum dan bukan pula perorangan. KN

(50) membangun argumentasinya berdasarkan PP No 224 Tahun 1961 yang

mengatur pembatasan luas kepemilikan atas tanah60 dan UU NO 5 Tahun 1960

yang mengatur subyek hukum yang dijamin hak kemilikannya atas tanah, yaitu

perorangan dan badan hukum61:

“Tanah di pesisir ini bisa disebut sebagai tanah gontai, yaitu tanah yang tidak

diusahakan oleh pemiliknya. Sejauh saya ketahui, kepemilikan atas tanah

gontai di luar kecamatan dapat dicabut oleh negara, misalkan saya

mempunyai tanah yang saya telantarkan di Kecamatan Galur, maka negara

bisa mencabut hak milik saya atas tanah itu untuk dialihkan kepada warga

Galur. Jika memang benar bahwa PA mempunyai hak milik yang sah atas

                                                            60 Catatan Harian Struktur Agraria, 16 Februari 2010, KN (50): 61 Pasal 7 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal 21 (1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan

syarat-syaratnya. 

54  

  

lahan pasir ini, maka menurut aturan itu hak kepemilikannya bisa beralih ke

masyarakat yang menggarap.”

c. 1960-1984

Kemauan politik pemerintah ORBA menjadi hambatan bagi pelaksanaan

UUPA sesuai dengan semangat sosialisme Indonesia62. Politik agraria dibekukan

melalui praktik-praktik industrialisasi ekstraktif berbasis tanah melalui kontrak

karya, yang secara ekonomi dan politik merugikan kepentingan nasional. DIY

merupakan daerah yang relatif bersih dari praktik industrialisasi ekstraktif oleh

pusat sepanjang pemerintahan ORBA karena kewibawaan Sultan dan Paku Alam.

Posisi lembaga swapraja di DIY tetap mengakar, sehingga kebudayaan berfungsi

sebagai kekuatan politik lokal untuk menangkal developmentalism rejim ORBA.

Dalam pandangan politik kebudayaan masyarakat DIY, kekuasaan lembaga

swapraja diangggap lebih absolut daripada Pemda sebagai wakil pemerintah

pusat. Bukti dari hal ini adalah mekanisme pelaksanaan investasi dan agenda

pembangunan berbasis agraria harus memperoleh ijin dari lembaga swapraja.

Adalah suatu konsensus sosial bahwa hak pakai atas tanah-tanah swapraja di DIY

oleh masyarakat harus melalui mekanisme magersari63 (pengakuan hak milik atas

tanah berada pada lembaga swapraja) untuk memperoleh serat kekancingan (surat

tanda relasi sebagai tanda bukti kesahihan hak pakai oleh masyarakat) dari

lembaga pertanahan Swapraja, yaitu Paniti Kismo. KE (50) berpendapat mengenai

magersari sebagai berikut:

“Saya ini meskipun tidak makan sekolahan tapi tahu undang-undang.

Diktum ke-4 UUPA menyatakan bahwa: hak-hak dan wewenang-

wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang

masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus

dan beralih kepada negara. Hal ini sudah jelas, Paku Alaman dan                                                             62 Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 63 Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 20 Februari 2010, KE (50).

55  

  

Kasultanan tidak memiliki hak yang sah menurut hukum yang berlaku

di Republik Indonesia. Magersari itu akal-akalannya penguasa untuk

memperoleh pengakuan masyarakat luas agar tambang besi jalan.”

Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 28 Mei 1984 memberitakan bahwa pada

HUT ke-9 UUPA 24 September 1973, Hamengku Buwono IX mengirim surat

kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya penegasan sikap untuk menyetujui

penyeragaman kebijakan agraria di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di DIY

(Luthfi et al., 2009). Inisiatif HB IX tersebut disambut oleh pusat dengan

penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No 33 Tahun 1984 tentang

Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan

dengan Perda No 34 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU

No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY.

d. 1984-sekarang

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Perda No 34 Tahun 1984

merupakan tonggak baru dalam struktur penguasaan SDA di DIY secara de jure.

Kepres dan Perda ini menggugurkan peraturan perundangan mengenai agraria

sebelum penerbitan UUPA 1960, termasuk UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun

1950 dan Perda No 5 Tahun 1954.

Keberadaan SG dan PAG secara de jure sudah ditiadakan, akan tetapi secara

de facto keberadaannya masih diakui. Proses hukum untuk pelegalan keberadaan

SG dan PAG sedang diupayakan oleh pemda DIY melalui pengesahan Rancangan

Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY. RUUK akan dibahas secara lebih

rinci dalam proses politik kebijakan.

4.2.2 Politik Agraria DIY

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan konsensus sosial keberadaan SG

dan PAG menandakan dualisme politik agraria di DIY sejak 1984. Penerapan

dualisme politik agraria ini berdampak pada ketidakpastian hukum dari struktur

penguasaan SDA di DIY. Pengambilan keputusan status hukum atas suatu lahan

pun menjadi kabur, antara wewenang BPN atau Paniti Kismo.

56  

  

Politik agraria tidak dapat dilepaskan dari sistem dan kultur politik yang

berlaku di DIY, yaitu kepala daerah harus berasal dari keluarga swapraja64, dan

pengakuan terhadap kekuasaan politik kedua lembaga tersebut meliputi

pengakuan terhadap kekuasaan atas wilayahnya (Tabel 6). Eksistensi SG dan PAG

merupakan manifestasi eksistensi lembaga swapraja. Dualisme politik agraria

dijalankan untuk menjaga integrasi sosial yang telah ada.

Struktur agraria di Propinsi DIY menganut dualisme paham antara struktur

agraria nasional dengan sistem feodal. Hukum positif mengatur bahwa semua

tanah yang tidak bertuan adalah milik negara, wacana ini diusung oleh

masyarakat, mengacu pada UU No 5 Tahun 1960 berikut peraturan

pelaksanaannya; akan tetapi, sistem feodal mengatur bahwa semua tanah tak

bertuan adalah milik kerajaan, wacana ini diusung oleh Pemda, mengacu pada

Rijksblad Swapraja Tahun 1918.

Ditinjau dari posisi politiknya terhadap NKRI dalam hal ketatanegaraan,

Propinsi DIY seharusnya mengacu diktum IV UU No 5 tahun 1960 yang

menyatakan penghapusan tanah-tanah bekas swapraja atau swapraja yang masih

ada. Namun, ditinjau dari pemaknaannya terhadap status keistimewaan suatu

wilayah yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 18, Propinsi DIY merasa berwenang

untuk mengatur struktur agraria dan penataan ruang secara otonom, sehingga

RUU Keistimewaan yang menjamin pemberlakuan kembali sistem feodal atas

tanah di DIY diajukan oleh otoritas tertinggi di Propinsi DIY, baik sebagai

Gubernur maupun sebagai Pemimpin Swapraja. Kesadaran masyarakat pesisir

Kulon Progo terhadap perbedaan konsep hak dan kuasa dalam menentukan akses

sumberdaya tumbuh karena konflik agrarian ini, sebagaimana diungkapkan oleh

BT (45)65:

“Hak atas tanah di Indonesia itu sepertinya belum jelas, meskipun

negara sudah mengaturnya melalui UUPA. Maksud saya, jika

memang ada jaminan hak atas tanah bagi rakyat, mengapa

kepemilikan tanah oleh pihak yang tidak berhak menurut UUPA

masih diakui oleh pemerintah, misalnya ya PAG atau SG kalau di

                                                            64 Landasan hukum aturan ini adalah UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun 1950. 65 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 11 Maret 2010, BT(45):

57  

  

wilayah DIY. Menurut saya, hak itu tidak selalu menjamin pemilik

hak untuk dapat memanfaatkan sepenuhnya apa yang menjadi

haknya…Nah, kalau orang kampus bilang akses tanah dengan hak atas

tanah itu berbeda. Silakan dicek apa pemahaman saya sudah pener

(tepat). Orang bisa memanfaatkan tanpa harus memiliki hak, asalkan

dia punya kekuasaan untuk mengendalikan situasi dan pendapat

umum. Kasultanan atau Paku Alaman turut mengendalikan sistem

pemerintahan di DIY, sehingga Kasultanan dan Paku Alaman itu

mempunyai kekuasaan untuk turut mengatur tata cara kepemilikan

tanah bagi warga DIY, melalui klaim SG atau PAG mereka dapat

memanfatkan seluruh tanah tak bersertifikat di seluruh DIY, meskipun

mereka tidak punya hak milik atas seluruh tanah itu. Jadi, kekuasaan

itu lebih berperan dalam akses tanah daripada hak atas tanah,

termasuk kekuasaan pemerintah, Kasultanan/Paku Alaman, rakyat,

atau bahkan swasta.”

Struktur agraria menurut sistem feodal belum memperoleh legitimiasi

hukum nasional, artinya klaim PAG masih sebatas wacana kultural yang akan

dibawa ke ranah politik, akan tetapi struktur agraria empiris sudah menunjukkan

ketimpangan otoritas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi

kepentingan antara pemerintah dan swasta memungkinkan struktur agraria

melahirkan hubungan produksi kapitalistik terhadap tanah dan konflik dengan

masyarakat. Kolaborasi kepentingan tersebut diungkapkan oleh KE (50) sebagai

berikut66:

“Permasalahannya adalah penguasa berselingkuh dengan pengusaha,

termasuk soal mengatur hak atas tanah. Kalau jaman ORBA kita

mengenal dwifungsi ABRI, sekarang ini dwifungsinya antara

penguasa dan pengusaha.”

                                                            66 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 21 Februari 2010, KE (50):

58  

  

Tabel 6 Identifikasi Status Tanah dan Luasannya Di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo

Kecamatan Desa

Status Tanah

Jumlah (ha) PA

(ha)

PAG

(ha)

Tanah

Negara

(ha)

Hak

Milik

(ha)

Temon

Jangkaran - 96,30 15,56 138,11 249,97

Sindutan - - 21,42 78,58 100,00

Palihan - 56,25 - 111,24 167,49

Glagah - - 136,73 163,15 299,88

Wates Karangwuni - 197,62 4,50 152,13 202,12

Panjatan

Garongan - - 147,59 177,40 324,99

Pleret 5,53 - 163,62 151,82 320,97

Bugel 31,58 - 163,67 114,74 309.99

Galur Karangsewu - - 278,16 141,67 419.83

Banaran 156 - - 230,00 386,00

Total 192,11 350,17 931,25 1458,84 2781.24

Sumber: Kantor Kepala Desa di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo (2008).

Keterangan:

PA: Tanah Kadipaten Paku Alaman

PAG: Tanah Kadipaten Paku Alaman yang beralih menjadi tanah negara.

Tanah Negara: Tanah yang tetapkan sebagai milik negara berdasar Ledger A tahun 1939.

Hak Milik: Tanah yang dimiliki oleh penduduk berdasar sertifikat atau letter C.

59  

  

4.2.3 Konflik Agraria

Di pesisir Kabupaten Kulon Progo, terdapat 5 megaproyek berbasis agraria

yang akan dijalankan, yaitu 1) Pembangunan Bandara Internasional, 2) Pelabuhan,

3) Lantamal TNI AL, 4) Pertambangan Pasir Besi dan Pabrik Baja, dan 5) Jalan

Lintas Selatan Jawa (JLSJ) yang didanai oleh Asian Development Bank.

Kompleksitas kepentingan atas SDA di pesisir Kulon Progo tersebut disadari oleh

masyarakat setempat, sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32)67:

“Di pesisir ini, ada 5 proyek besar yang ambisius: Pembangunan

LANTAMAL TNI AL, Pembangunan Pelabuhan, Pembangunan

Bandara Internasional, Pertambangan Pasir Besi, dan Jalan Lintas

Selatan Jawa. Dua proyek terakhir itu dapat dikatakan megaproyek

karena berdana besar dan meliputi daerah luas. Tambang besi ini

senilai 600 juta Dollar, dan JLS itu menurut informasi kawan-kawan

media akan menelan Rp. 15,5 Triliun berasal dari dana hutang ADB.

Tiga proyek yang lain sudah dilokalisir menjadi masalah Kabupaten,

mungkin karena kepentingannya tidak sekompleks Tambang Pasir

Besi atau JLS.”

Setiap proyek tersebut tidak berhubungan secara struktural, akan tetapi

sinergis dalam kepentingan. Pembangunan JLSJ telah berlangsung secara bertahap

sejak tahun 2002 di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, proyek ini terhenti

di DIY karena terkendala pembebasan lahan. Tiga kabupaten di DIY yang

terlintasi JLSJ adalah Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Pembebasan lahan

di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul sudah memasuki tahap kesepakatan jumlah

kompensasi, akan tetapi pembebasan lahan untuk JLSJ di Kabupaten Kulon Progo

masih terhambat oleh ketiadaan kesepakatan mengenai gagasan kompensasi

terkait proyek pertambangan pasir besi. Keberhasilan proyek pertambangan pasir

besi akan mendukung keberhasilan pembangunan JLSJ di Kabupaten Kulon

                                                            67 Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 15 Maret 2010, TJ(32):

60  

  

Progo68. Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo juga mengemukakan sinerginitas

kepentingan dari megaproyek-megaproyek di Kulon Progo:

“PT JM adalah pemegang kontrak karya, bukan perusahaan lain. Saya

tidak tahu persis apakah ada perusahaan lain yang akan menambang

sebelum 2006. Secara struktur, proyek pasir besi ini tidak ada

kaitannya dengan JLS, tetapi sama-sama menjadi program

pembangunan yang akan sinergis. Mengapa proyek pasir besi baru

dimulai tahun 2006? Karena ijin kuasa pertambangan untuk PT JM

dikeluarkan Bupati tahun itu. Alternatif kebijakan yang bentuknya

program tampaknya tidak perlu karena proses sudah berjalan sampai

tahap studi lingkungan, yang penting adalah ada win win solution.”

Ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir Kabupaten Kulon Progo menjadi

masalah utama bagi proyek-proyek berbasis agraria di DIY. Ketidakpastian

hukum tersebut merupakan artikulasi faktor politik, sosial, hukum, dan budaya,

yang kemudian muncul sebagai konflik-konflik land tenure, yaitu 1) konflik

politik hukum, yaitu antara hukum feodal dan hukum nasional, 2) konflik

kepemilikan dan aktor, yaitu antara kepemilikan privat dengan kepemilikan

negara, 3) konflik aliran pemikiran, yaitu antara aliran property rights dengan

aliran agrarian structure, 4) konflik teoritis, yaitu antara teori property rights

yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok hak dengan teori

akses yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan.

Penjelasan atas konflik-konflik land tenure tersebut diuraikan sebagai berikut:

                                                            68 Catatan Harian Proses Politik Kebijakan, 29 Mei 2010, Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo: Kepala Bapeda menjelaskan bahwa proyek JLS dan Pasir besi memang sedang terkendala. JLS terhambat soal pembebasan lahan, tetapi di Gunungkidul dan Bantul sudah selesai. Sedangkan proyek pasir besi terkendala perbedaan persepsi antara masyarakat dan pemerintah. Dekan Fak. Biologi PTN Di YOGYAKARTA mengemukakan risiko-risiko megaproyek di pesisir jika tidak taat asas AMDAL. Sedangkan Pak BT (45) menyosialisasikan penolakan beserta alasan dan fakta-fakta seputar skandal perundang-undangan. Saya mengajukan pertanyaan kepada Kepala Bapeda mengenai 1) Keberadaan perusahaan lain sebelum tahun 2006 yang akan melakukan proyek pertambangan di pesisir, 2) Hubungan proyek pasir besi dengan program JLS, 3) Alasan waktu penyelenggaraan proyek pasir besi, dan 4) Alternatif kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak dengan meminimalisasi konflik.

61  

  

1) Konflik Politik Hukum 

Ditinjau dari politik hukum, struktur agraria di Propinsi DIY secara de jure

mengikuti hukum nasional, akan tetapi secara de facto mengikuti hukum feodal.

Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan dua lembaga pertanahan yang sama-

sama mempunyai legitimasi hukum dalam penyelenggaraan agenda ekonomi

politik berbasis agraria, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Paniti

Kismo. Pelaksanaan UU No 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya

belum pernah dilaksanakan oleh BPN Propinsi DIY.

Undang-undang No 3 Tahun 1950 dan Perda No 5 Tahun 1954 mengatur

bahwa peraturan perundangan mengenai agraria di DIY mengacu pada peraturan

perundangan kolonial yang telah berlaku sebelum kemerdekaan, terutama

Rijksblad 1918 yang menjadi sumber hukum positif bagi SG dan PAG.

Undang-undang No 5 Tahun 1960, Kepres 33 Tahun 1984, dan Perda DIY

34 Tahun 1984 mengatur bahwa peraturan peundangan mengenai agraria di DIY

mengacu pada peraturan perundangan nasional yang berlaku sejak 1960, terutama

dalam hal penghapusan SG dan PAG.

Menurut dalil hukum lex posteriori derogate lex anteriori, dan lex superiori

derogate lex inferiori, UU No 5 tahun 1960 menghapuskan Perda No 5 tahun

1954 yang merupakan turunan dari UU No 3 Tahun 1950. Penafsiran pemerintah

propinsi DIY terhadap Pasal 18 UUD 1945 adalah landasan hukum bagi

penyelenggaraan sistem politik sekaligus penataan sumber agraria secara khusus

di DIY.

2) Konflik Kepemilikan dan Aktor

Ditinjau dari sistem kepemilikan dan aktor, struktur agraria di Propinsi DIY

lebih dekat kepada sistem kepemilikan privat dan kepemilikan negara. Menurut

sistem kepemilikan privat, seluruh tanah di DIY yang tidak memiliki tanda bukti

kepemilikan menjadi milik lembaga swapraja. Menurut sistem kepemilikan

negara, seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah

negara.

Aktor yang berkonflik dalam hal kepastian hukum atas sumber agraria

adalah Negara dengan lembaga swapraja. Dualisme politik agraria di DIY

62  

  

menunjukkan bukti bahwa posisi Pemda Propinsi DIY mewakili kepentingan

nasional (negara) sekaligus mewakili kepentingan feodal (lembaga swapraja).

3) Konflik Aliran Pemikiran

Ditinjau dari aliran pemikiran, struktur agraria di Propinsi DIY lebih dekat

kepada aliran property right dan aliran agrarian structure tradition. Dominansi

rejim property rights memunculkan upaya-upaya untuk mencapai kesahihan klaim

atas suatu sumberdaya melalui jalur hukum. Dalam konteks struktur penguasaan

SDA di DIY, pemerintah dan lembaga swapraja mencapai kesahihan klaim itu

melalui pengesahan RUUK DIY, sedangkan masyarakat mencapai kesahihan

klaim itu melalui supremasi hukum agraria. Masyarakat di pesisir Kulon Progo

memaknai pengesahan RUUK DIY sebagai bagian dari legitimasi proyek-proyek

konfliktual, sebagaimana diungkapkan oleh SR (40)69:

“Ini artinya bahwa saat ini status SG/PAG itu tidak diakui negara, dan

pihak Kasultanan/Paku Alaman tahu itu, sehingga diperjuangkan…

RUUK akan menjadi konflik lebih besar, kalau rakyat menyadari hak-

haknya. Bagi kami, RUUK dan kontrak karya sama saja, keduanya

harus ditolak harga mati.”

Governmentality berada pada rejim property rights, para pihak berupaya

untuk memperoleh kepastian hukum terlebih dahulu untuk mendapatkan akses.

Pemerintah menempuh upaya magersari, masyarakat mewacanakan sertifikasi.

Dimensi legal formal menjadi hal yang penting untuk memperoleh legitimasi

akses atas suatu sumberdaya.

4) Konflik Teoritis

Teori property rights mengakui bahwa hak menjadi pembatas legitimasi

seseorang atau sekelompok orang untuk mengakses suatu sumberdaya. Akses

dinilai legal apabila hak melekat pada aktor. Teori akses mengakui bahwa

kekuasaan menjadi penentu legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk

mengakses suatu sumberdaya.

                                                            69 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):

63  

  

Menurut teori property rights, lembaga swapraja tidak mempunyai hak atas

tanah-tanah di DIY secara legal karena di DIY telah diberlakukan UU No 5 Tahun

1960 melalui Kepres No 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No 34 Tahun 1984.

Struktur penguasaan SDA secara de jure menunjukkan hal ini. Menurut teori

akses, lembaga swapraja dapat mengakses SDA meskipun tidak memiliki hak

untuk akses karena kekuasaan yang melekat pada lembaga tersebut. Struktur

penguasaan SDA secara de facto menunjukkan hal ini.

Ketidakpastian struktur agraria di Propinsi DIYmemungkinkan aktor yang

berkuasa dapat mengakses ruang berikut isinya secara bebas, open acces atas

SDA justru berpotensi dilakukan oleh pemerintah dan swasta karena keduanya

mengendalikan otoritas politik dan ekonomi. Menurut masyarakat di pesisir Kulon

Progo, ketidakpastian hukum atas tanah menjadi salah satu faktor utama proyek

pertambangan pasir besi bisa dijalankan, seperti yang diungkapkan oleh SR (40)70:

“Barangkali benar bahwa warga penggarap dan swasta sama-sama

memanfaatkan ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir ini. Itu

kalau kami dianggap tidak berhak atas tanah ini. Dahulu pernah ada

perusahaan lain yang mau menambang pasir besi, tetapi tidak jadi,

entah apa sebabnya, mungkin tidak berani karena ini wilayah PA.”

Relasi antara struktur agraria di DIY dan konflik pertambangan terjalin

melalui ketidakpastian hukum atas tanah. Pemerintah dan swasta memanfaatkan

ketidakpastian hukum atas tanah untuk melegalkan pertambangan, mengingat

investor lokal proyek ini adalah keluarga swapraja, yang juga berperan sebagai

penjamin kesahihan PAG. Masyarakat memanfaatkan ketidakpastian hukum atas

tanah ini untuk mewacanakan kembali otoritas negara terhadap tanah di DIY,

terutama Kepres No 33 tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UU No 5

tahun 1960 di DIY, wacana ini diusung oleh masyarakat penggarap yang tidak

memiliki bukti kepemilikan tanah (30 % dari masyarakat pesisir tidak memiliki

sertifikat tanah).

                                                            70 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):

64  

  

Relasi antara struktur agraria dengan proses politik kebijakan terjalin

melalui RUUK DIY. Perundangan ini akan menjamin otoritas lembaga swapraja

dalam penataan ruang dan sumber agraria, dalam sistem politik yang otonom,

sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 dan 9 RUUK DIY71. Kesahihan status

PAG menjadi bagian dari legitimasi proyek pertambangan pasir besi. RUUK

adalah bagian dari proses politik kebijakan untuk menjamin kepastian hukum atas

tanah di DIY.

Hubungan antara struktur agraria dengan relasi kekuasaan terletak pada

kekuasaan Pemda untuk menentukan arah perubahan land tenure, dari

kepemilikan negara menjadi kepemilikan privat, dari aliran pemikiran agrarian

structure tradition menjadi aliran pemikiran property right .

Dalam konteks ekologi manusia, perubahan ekosistem lebih disebabkan

oleh keputusan-keputusan politik daripada proses alami. Struktur agraria tidak

dapat dimaknai sebagai hal yang terpisah dari perubahan ekosistem karena

memengaruhi pilihan keputusan politik terhadap lingkungan. Struktur agraria

empirik di pesisir Kulon Progo terbentuk dari kolaborasi kepentingan pemerintah

                                                            71 Pasal 5 (1) Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. Pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; b. penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; c. bidang kebudayaan; dan d. bidang pertanahan dan penataan ruang. (3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. (4) Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais. Pasal 9 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan. (2) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Kesultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond. (3) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond (4) Pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat. (5) Hak milik, tata guna serta pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond diatur dalam Perdais sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

65  

  

dan swasta, bentuk keputusan politik yang diambil adalah pertambangan,

perubahan ekosistem yang akan terjadi adalah perubahan bentuk dan fungsi

kawasan dari kawasan penyangga menjadi kawasan industri ekstraktif.

Ketimpangan struktur agraria adalah masalah mendasar yang harus diselesaikan

terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakan lingkungan yang bersifat teknis.

4.2.4. Ikhtisar

Struktur penguasan SDA di DIY ditandai dengan Kontestasi wacana sejak

masa kolonial hingga pascakolonial. Domein verklaring yang diacu dalam

Rijksblad 1918 maupun UU No 5 Tahun 1960 sesungguhnya hasil dari kontestasi

antara pengakuan kedaulatan lembaga swapraja berikut wilayah kekuasaannya

dengan pengakuan kedaulatan negara berikut wilayah kekuasaannya. Keduanya

sesungguhnya berada pada satu mazhab pemikiran yang sama, yaitu pengakuan

terhadap hak kepemilikan (property rights) yang diterjemahkan menjadi produk

hukum sebagai bentuk pengakuan sosial.

Kontestasi wacana tersebut masih berlangsung dalam konteks perbedaan

aktor dan agenda ekonomi politik, yaitu antara lembaga swapraja dan pemerintah

(bersandar pada Rijksblad 1918 dan produk hukum nasional yang

memfasilitasinya) berhadapan dengan masyarakat pesisir Kulon Progo (bersandar

pada UU No 5 Tahun 1960 beserta produk hukum turunannya). Perbedaan yang

terbaca dari penelitian ini, dan membedakan dengan kontestasi wacana di tahun-

tahun sebelumnya, adalah digunakannya kekuasaan untuk meraih pengakuan

sosial, mengacu pada Teori Akses, dengan bentuknya adalah upaya legalisasi

RUUK DIY oleh pemerintah daerah dan lembaga swapraja. Penerapan Teori

Akses atas tanah di DIY bukan semata-mata menjadi tujuan dan alat bagi

pengakuan status hukum, melainkan juga menjadi penentu siapa yang akan

bertahan hidup dari pertarungan wacana tersebut, masyarakat atau korporasi yang

berkoalisi dengan lembaga swapraja dan pemerintah daerah.

66  

  

Struk tu r Penguasaan Sum be rdaya Agrar ia

Str ukturPenguasaanSum ber -dayaA g raria

D e Jure (1984)

D e Facto (1984)

Sw apr aja

Tanah N egar a

Hukum Nasional H ukum Feodal

H ak Milik M asy ar ak at

Tanah Adat

Wacana/A liran Pemik iran

Propert y R ight Reg ime

Agrarian Structu re R egime

Tanah P r ivat Tanah Neg ar a

V S

V S

V S

Gambar 9. Struktur Penguasaan SDA di DIY 1984-2010

67  

  

Tabel 7.Struktur Penguasaan SDA di DIY

Ranah Materi Konsekuensi

Hukum Nasional

UU No 5 Tahun 1960 Diktum ke -4: Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara Keputusan Preseiden No 33 Tahun 1984: Pemberlakuan UU No 5 Tahun 1960 berserta peraturan pelaksanaannya di DIY. Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984: Pemberlakuan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan pencabutan rijksblad-rijksblad di DIY.

Tidak ada tanah tidak bertuan dan milik lembaga swapraja di DIY, kepemilikan tanah beralih kepada

negara.

Hukum Feodal Rijksblad Swapraja Tahun 1918: Seluruh tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom maka menjadi milik kerajaanku.

Tidak ada tanah tidak bertuan di DIY karena Hak Eigendom disertai tanda bukti kepemilikan menurut

hukum kolonial. Tanah tidak bertuan bukan serta merta menjadi milik negara.

Politik Rancangan UU Keistimewaan DIY

Pengakuan kembali kepemilikan tanah-tanah swapraja

di DIY oleh negara.

Sosial dan Budaya Pengakuan atas tanah-tanah Swapraja melalui keberadaan status SG dan PAG serta mekanisme magersari.

Eksistensi kepemilikan tanah swapraja simultan dengan eksistensi kekuasaan swapraja.

68  

  

4.3. Proses Politik Kebijakan

Proses politik kebijakan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo

bersifat multiaras, multiaktor, dan multiarena dari tahun 2005-2010, disebut

multiaras karena berlangsung dari aras internasional hingga komunitas, disebut

multiaktor karena melibatkan korporasi lintas negara (Transnational Corporation,

TNC); korporasi nasional dan lokal; pemerintah pusat dan daerah; lembaga

swapraja; dan masyarakat lokal, disebut multiarena karena berlangsung pada

dimensi hukum; politik; ekonomi; sosial; dan budaya.

Di aras internasional, proses kemunculan rencana pertambangan pasir besi

di Kabupaten Kulon Progo dimulai dari 2005 hingga 2006, yaitu dari perjanjian

bisnis antara TNC, korporasi nasional, dan korporasi lokal hingga perubahan

nama TNC. Di aras nasional, proses ini dimulai dari 2005 hingga 2010, yaitu dari

kerjasama kemitraan (MoU) korporasi nasional hingga penerbitan Kontrak Karya.

Dan di aras lokal, proses ini dimulai sejak 2006 hingga 2010, yaitu dari perijinan

kuasa pertambangan hingga perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

(RTRWP).

4.3.1. Proses-proses di aras internasional

Proses-proses di aras internasional dan nasional yang melatarbelakangi

keputusan proyek pertambangan tersebut pada 2005-2006 diuraikan sebagai

berikut:

1. Perjanjian bisnis antara PT JM dan NE Ltd. dengan AK Ltd. telah

berlangsung sejak 2005, sebelum penerbitan kuasa pertambangan di

tingkat lokal. Informasi potensi pasir besi telah diketahui sejak tahun

akhir 1970 dan awal 1980 oleh PT. AT, dan penelitiannya

disempurnakan oleh Lurgi dan Davy McKee dalam tahun 198572.

                                                            72 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005:

69  

  

2. Laporan AK tentang kondisi geologi lokasi, teknik dan infrastruktur,

transaksi komersial, struktur hukum Indonesia dan peningkatan modal

yang melibatkan Mc n Sc Pty Ltd. sebagai konsultan geologi dan Ba n

Mc International sebagi konsultan hukum. AK berencana untuk

melakukan 1) perubahan nama menjadi IM Ltd., 2) konsolidasi modal

untuk 10 basis, 3) meningkatkan permodalan sebesar 2.2 juta USD, dan

4) perekrutan jaringan (shareholders) untuk basis prioritas73.

3. Laporan Memorandum of Understanding antara PT JM dengan PT KS

sebagai mitra yang mengambil alih pengolahan pig iron dan Outokompu

Technology Asutralasia sebagai mitra yang menangani semua parameter

teknik dan teknologi dalam pemrosesan mineral dan rancangan

infrastruktur74.

4. Presentasi jadwal perusahaan pada Desember 2005.75

5. Laporan perubahan nama AK Ltd. menjadi IM Ltd. pada 7 Maret 200676.

6. Laporan tentang penandatanganan kontrak oleh PT JM untuk eksplorasi

di area rencana konsesi pertambangan seluas 22 x 1,8 km, melibatkan

PTN di Yogyakarta77.

7. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi pada 28 Maret

200678.

                                                            73 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005:

74 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Outokompu and KS Participation Irosands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 8 November 2005. 75 Announcement to ASX of Transaction 12 August 2005, Completion of due diligence 30 September 2005,Execution of formal agreements 21 October 2005,Issue shareholder meeting papers 26 October 2005, Announcement to ASX of Outokumpu & KS involvement 08 November 2005, Issue prospectus (to raise $2.2M) 17 November 2005, Shareholder meeting 29 November 2005, Capital consolidation 1 for 10 06 December 2005, Close Prospectus 16 December 2005, Change of Name (IM Ltd) 16 December 2005. 76 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 77 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Contact Signed-Ironsands-Pig Iron Project, tertanggal 7 Maret 2006. 78 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Program Commence-Ironsands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 28 Maret 2006.

70  

  

8. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi ke-2 untuk

memperoleh status JORC pada 5 Mei 200679.

9. Presentasi singkat tentang proyek (project brief) pada Mei 2006 oleh IM

Ltd80.

10. Laporan bantuan IM Ltd. untuk rehabilitasi infrastruktur pascabencana

gempa bumi 27 Mei 2006 kepada Pemerintah Propinsi DIY sebesar 100

juta rupiah81. Laporan hasil eksplorasi IM Ltd dan hasil status JORC

pada 12 Juli 200682.

11. Laporan IM Ltd. tentang pembiayaan JORC sebesar 30 % oleh PT

JM83.

4.3.2. Proses-proses di aras nasional dan lokal

Proses-proses di aras nasional dan lokal antara tahun 2006-2010 adalah

sebagai berikut:

1) 6 Oktober 2005

                                                            79 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Second Drilling Rig Commence-Ironsands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 5 May 2006. 80 Isinya antara lain:

Anticipated Product Grades

Ore % Concentrate % Pig Iron %

Fe up to 13 58 to 60 C 1.5 to 2.5 TiO2 7 to 9 Si 0.5 max V2O5 0.5 to 0.6 P 0.1 max SiO2 1.2 to 1.4 S 0.05 max Al2O3 3.3 to 3.5 Ti 0.05 max

S 0.03 to 0.05 V 0.02 max P2O5 0.24 to 0.26 Fe 94 min

TiO2, V2O5, SiO2, Al2O3 merupakan senyawa oksida yang akan ikut dalam slug (lumpur limbah) sehingga tidak dihitung sebagai mineral.

81 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Yogyakarta Earthquake, tertanggal 29 Mei 2006, isinya:

82 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Inferred Resource-JORC Compliant- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 12 Juli 2006, isinya:

83 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: IM Earns 30 % Interest- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 28 September 2006, isinya:

 

71  

  

PT JM mengajukan Surat Permohonan Kuasa Pertambangan (KP)

Eksplorasi Pasirbesi dan Mineral Pengikutnya kepada Pemda

Kabupaten Kulon Progo.

2) 12 Oktober 2005

Pemda Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin KP Eksplorasi Bahan

Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikutnya kepada PT JM, dengan surat

No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005.

3) November 2006

PT JM membentuk anak perusahaan dan bermitra dengan IM. Ltd.

(PMA) maka perlu konversi dari Kuasa Pertambangan ke Kontrak

Karya (KK) menurut UU. No. 1/1967 dan UU. No.11/1967. PT JM

mendapat persetujuan Pencadangan Wilayah dari otoritas tertinggi di

Kabupaten Kulon Progo (Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya

Mineral/ESDM No. 1614 tahun 2004) dengan menyetorkan uang

jaminan kesungguhan sebagai syarat mendapat Persetujuan Prinsip

Aplikasi KK (Keputusan Menteri ESDM No. 1603/40/MEM/2003).

4) 19 - 20 April 2007

Pemerintah RI dan PT JM/IM Ltd. melakukan rapat pembahasan KK di

Hotel MP Yogyakarta.

5) 26 Juni 2007

Departemen/instansi terkait di Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan

Kabupaten (interdepartemen) merundingkan Aplikasi KK di Hotel BK

Jakarta.

6) 6 dan 12 Oktober 2007

PT JM dan lembaga swapraja melakukan sosialisasi dengan kepala desa

di seluruh Kabupaten Kulon Progo. Pihak lembaga swapraja dan

sekaligus komisaris PT JM mengungkapkan bahwa proyek

pertambangan merupakan amanat HB IX pada tahun 199384 kepada

                                                            84 Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX wafat tahun 1988. Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010 : Terkait dengan temuan rekaman video itu, saya menggali pendapat beberapa pengurus PAGUYUBAN. Berikut pendapat Pak SR (40): “Bukti itu justru menjelaskan bahwa proyek

72  

  

putra mahkota. Pertemuan ini terdokumentasi secara audio visual. 6 hari

kemudian Pemda Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin

perpanjangan kedua Eksplorasi Bahan Galian Pasir besi dan Mineral

pengikutnya (hasil eksplorasi awal: Titanium dan Vanadium) kepada

PT. JM No : 15/KPTS/KP/EKPL/X/2007.

7) 29 November 2007

Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai

Selatan untuk guru-guru se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc

Kantor Kabupaten Kulon Progo.

8) 01 Desember 2007

Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai

Selatan untuk Perangkat Desa se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc

Kulon Progo.

9) 5 Desember 2007

Bupati dan Tim Perunding Kabupaten. Kulon Progo melakukan

Kunjungan Kerja ke PT. KS dan Pemerintah Kota Cilegon dalam

rangka persiapan pembangunan pabrik pengolahan besi baja di

Kabupaten Kulon Progo.

10) 6 Desember 2007

Pemda melakukan audiensi dengan Fraksi DPR-RI di Gedung

Nusantara Lt. 7 Jakarta.

11) 13 Desember 2007

Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi dan PT.JM/IM

Ltd. melakukan penjelasan kemajuan KK di Hotel Sph Yogyakarta.

12) 15 Desember 2007

Bupati Kulon Progo berkirim surat ke Komisi VII DPRRI tentang Dana

Community Development dan Regional Development dalam Naskah

KK antara Pemerintah RI dengan PT. JM/IM Ltd.

                                                                                                                                                                   pasir besi bukan berasal dari agenda pembangunan, seperti yang disosialisasikan pemerintah selama ini. Sudah jelas itu kepentingan pribadi yang mengatasnamakan pembangunan. Tetapi kemudian menjadi kepentingan banyak pihak di tingkat pusat, skandal kejahatan perundang-undangan Perda RTRW itu buktinya” 

73  

  

13) 19 Januari 2008

Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan PT. JM/IM Ltd. menjalin

kesepakatan tentang persentase dana Community Development dan

Regional Development yaitu sebesar 1,5 % dari penjualan untuk

sepuluh tahun pertama dan 2 % setelah tahun kesepuluh.

14) 23 Januari 2008

Bupati mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Mineral Batubara

dan Panas Bumi berisi permintaan penambahan dana untuk Regional

Development dan Community Development sesuai kesepakatan dengan

PT. JM/IM Ltd.

15) 29 Januari 2008

Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Surat ijin lokasi kepada

PT. JM untuk Proyek Percontohan & Pusat Studi Tenaga Kerja

Pertambangan di Desa Banaran Galur, dengan SK. Bupati No. 23

Tahun 2008.

16) 28 Februari 2008

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara berkirim surat

kepada PT. JM/IM Ltd. Ttg agar memenuhi permintaan Pemda Kulon

Progo untuk. penambahan dana Regional Development dan Community

Development.

17) 25 Juni 2008

PT JM melakukan sosialisasi pertambangan pasir besi kepada

akademisi, organisasi masyarakat, dan kemahasiswaan di Yogyakarta.

18) Juli 2008

PT JM melakukan sosialisasi dan koordinasi untuk stabilitas keamanan

operasional proyek pertambangan kepada korps militer distrik

Kabupaten Kulon Progo85.

                                                            85 Catatan Harian Penelitian, Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010, TJ (32): “Seperti yang sudah kami duga, kami akan dihadapkan dengan aparat bersenjata. Ya, kalau itu memang kemauan pemerintah, apa boleh buat. Mereka memaksa kami untuk melawan. Wong tani iku pakaryane nandur, yen awakdewe dipenging nandur lombok, wong tani arep nandur sopowae sing menging wong tani nandur lombok, yen ora nandur dudu tani arane ( petani itu kerjanya menanam, kalau kami dilarang untuk menanam cabai di pesisir ini, maka kami akan tanam siapapun yang melarang kami menanam cabai, karena kalau tidak menanam bukan petani namanya).”

74  

  

19) 4 November 2008

Pemerintah RI melalui Menteri ESDM melakukan Kontrak Karya

dengan PT JM/IM Ltd. di Jakarta

20) 22 Juni 2009

Raperda RTRWP DIY ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD DIY

dan Gubernur, memuat 129 pasal, tanpa pasal pertambangan.

21) Agustus 2009

PT. JM mempublikasikan pemberitahuan rencana pelaksanaan

AMDAL.

22) 20 Oktober 2009

Konsultasi Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan (KA

ANDAL) dilaksanakan di kantor Pemda Kulon Progo.

23) 13 Januari 2010

Melalui surat bernomor 1/KEP/DPRD/2010, DPRD Kabupaten Kulon

Progo menyetujui usulan Bupati untuk perubahan rencana tata ruang

wilayah, khususnya kawasan pesisir untuk pertambangan pasir besi.

Permohonan Bupati ini tertuang dalam Surat Bupati No 180/3027

tertanggal 11 Desember 2009.

24) 20 Januari 2010

AMDAL PT JM mulai dilaksanakan.

25) 16 Februari 2010

Hasil evaluasi MENDAGRI atas Raperda RTRWP DIY diterbitkan,

hasil evaluasi ini mengacu pada Rapera RTRWP DIY yang berjumlah

160 pasal.

26) 4 Maret 2010

Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur.

Perda ini memuat pasal pertambangan dan berisi 160 pasal.

Proses-proses politik kebijakan di aras nasional hingga komunitas

merupakan proses-proses yang dapat diamati perkembangan dan relasinya dengan

struktur penguasaan SDA, struktur konflik SDA, dan relasi kekuasaan atas SDA.

75  

  

4.3.3. Proses-proses legalisasi pertambangan pasir besi di Kulon Progo

Struktur Penguasaan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan

atas SDA terkait proyek pertambangan pasir besi86, sehingga pembahasan

terhadap proses-proses tersebut akan memperoleh porsi utama dalam bagian ini.

Sumber informasi setempat, SR (40), mengemukakan alur kebijakan yang

ditempuh oleh pemerintah dalam kutipan berikut:

“Sedulur-sedulur, tampaknya pemerintah akan menyukseskan proyek

tambang besi ini dengan tiga cara. Pertama, yaitu AMDAL untuk

menerbitkan ijin lingkungan bagi kontrak karya. Kedua, perubahan

perda tata ruang DIY agar bisa menjadi landasan untuk menyusun

AMDAL, yang isinya kita sudah mengetahui semua, dan ketiga adalah

pengesahan RUUK untuk menjadi UUK DIY sehingga ada jaminan

kepastian hukum atas tanah-tanah tak bertuan di seluruh propinsi ini.

Sehingga, tampaknya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali

memperjuangkan pembatalan Perda DIY No 2 tahun 2010 dan RUUK

itu. Jika salah satu dari keduanya sukses, maka kita akan segera

dipunahkan oleh Pemimpin Swapraja dan kroni-kroninya. Menurut

tim analis kita, kontrak karya tidak akan dapat dibatalkan kecuali oleh

ESDM dan PT JMI, dan pembatalan sepihak akan merugikan karena

si pembatal akan dikenakan denda. Tentu tidak ada yang mau rugi

dalam bisnis. Menolak proyek tambang pasir besi adalah satu paket

dengan penolakan pada RUUK dan JLS.”

                                                            86 Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan SDA, 1 Mei 2010, SR (40): Saya diundang untuk mengikuti rapat PAGUYUBAN yang sifatnya tertutup, yang membahas hasil analisa tim PAGUYUBAN mengenai strategi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk meloloskan proyek pertambangan pasir besi dan proyek-proyek industri lainnya. Hasil pembahasan ini akan disampaikan ke forum PAGUYUBAN secara terbuka setelah permasalahan dianggap dapat disampaikan secara sederhana. Pada rapat tertutup inilah saya memperoleh kutipan tersebut dari SR (40).

76  

  

Proses-proses politik kebijakan yang terkait dengan Struktur Penguasaan

SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA tersebut adalah:

A. Kontrak Karya

Kontrak karya antara Pemerintah RI dengan PT. JM dan IM Ltd. dilakukan

pada 4 November 2008, mendahului penerbitan UU No 4 tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada 12 Januari 2009. UU

tersebut mengakhiri mekanisme Kontrak Karya dalam industri pertambangan di

Indonesia yang telah berlangsung sejak 1967. Mekanisme kontrak karya ditempuh

karena menurut UU No 11 Tahun 1967 perusahaan asing tidak diperbolehkan

mempunyai kuasa pertambangan di dalam negeri secara langsung, dan kekuasaan

untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan asing berada pada pemerintah

pusat. Kontrak karya mengacu pada hukum pejanjian, sehingga tidak dapat

dibatalkan kecuali oleh Kementerian ESDM , PT. JM dan IM Ltd. Kontrak karya

dapat dijalankan jika ijin lingkungan telah diterbitkan melalui mekanisme

AMDAL.

Butir-butir kontrak karya yang penting adalah sebagai berikut (denah lokasi

Gambar 10) :

Masa operasi : 30 tahun

Luasan : 2.987 Ha (22 x 1,8 km)

Investasi : 1,7 M US$., 600 Juta US$ untuk Penambangan

dan 1,1 M US $ untuk Infrastruktur

Pajak : 20 Juta US $ per tahun

Pendanaan Lokal : 7 Juta US $ per tahun selama 10 tahun dan

selanjutnya 2 persen.

Royalti : 11,25 Juta US $ per tahun

Penambangan : 2011

Produksi besi : 2012

Volume : 1 juta ton per tahun.

Rasio investasi : JM 30% dan IM Ltd. 70 %.

Sebelum operasional, investor mempunyai masa penyelidikan umum selama

1 tahun, perpanjangan 1 tahun. Masa eksplorasi 3 tahun dengan 2 kali

 

p

t

k

s

p

d

d

d

(

d

d

l

 8

perpanjanga

termasuk A

konstruksi se

B. Ana

AMDA

suatu usaha

pertambanga

dilakukan pa

dan pelaksa

dan UPL dip

(di tingkat

dengan renc

ditanggulang

lebih kecil d

                       87 Dasar hukum

Gam

an masing-m

AMDAL sela

elama 3 tahu

alisis Menge

AL merupak

yang berda

an pasir be

ada Agustus

anaan studi A

putuskan lay

pusat) jika

cana tata rua

gi oleh tekn

daripada man

                       m AMDAL ada

Area pe

mbar 10. LokK

masing 1

ama 1 tahu

un.

enai Dampak

kan mekanis

ampak besar

esi. Pengum

2009, Kons

ANDAL mu

yak oleh Gub

memenuhi

ang wilayah,

nologi yang

nfaat dampak

             alah Peraturan

rtambangan 2

kasi Konsesiabupaten Ku

tahun. Sela

un, dengan

k Lingkunga

sme hukum

r dan pentin

muman pela

sultasi publik

ulai Januari

bernur (di tin

persyaratan

2) dampak

g tersedia, 3

k positif pro

Pemerintah No

22 x 1,8 km2

i Pertambanulon Progo D

anjutnya, m

perpanjanga

an (AMDAL

untuk pene

ng87, dalam

aksanaan A

k KA ANDA

2010. Doku

ngkat daerah

n yaitu 1) a

negatif terh

3) biaya pen

oyek, 4) ada

o 27 Tahun 19

gan Pasir BeDIY

masa studi

an 1 tahun

L)

erbitan ijin l

hal ini ada

AMDAL ole

AL pada Okt

umen AMD

h) atau Kepa

ada kesesuai

adap lingkun

nanggulanga

konsistensi

99 tentang AM

esi Di

77

kelayakan

dan masa

lingkungan

lah proyek

eh PT JM

tober 2009,

DAL, RKL,

ala Bapedal

ian proyek

ngan dapat

an dampak

rancangan,

MDAL.

78  

  

jenis proyek, luasan proyek, dan tidak terdapat perubahan mendasar pada

lingkungan di mana proyek dilaksanakan88.

Proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo termasuk sebagai proyek

yang dinilai berdampak penting menurut Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun

199489, sehingga merupakan usaha yang wajib mempunyai dokumen AMDAL

baik menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 11 Tahun 2006 maupun

PP No 27 Tahun 199990. Suatu dokumen AMDAL pada dasarnya dinilai layak

jika memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan, serta kesesuaian jenis proyek

dengan peruntukan tata ruang di mana proyek tersebut akan dilaksanakan91.

                                                            88 Dasar hukumnya adalah PP No 27 Tahun 1999 pasal 22, pasal 25, dan pasal 26.. 89 Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor berikut: a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak, b. Luas wilayah persebaran dampak, c. Lamanya dampak berlangsung, d. Intensitas dampak, e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak, f. Sifat kumulatif dampak, g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak. 90 PP No 27 Tahun 1999, Pasal 3: (1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan padat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; i. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. 91 PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16:

(4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan. 

79  

  

C. Perubahan RTRW

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan bagi

pelaksanaan studi AMDAL, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun

kabupaten/kota. Sifat RTRW adalah berhierarki, artinya RTRWN menjadi payung

bagi RTRWP, dan RTRWP menjadi payung bagi RTRWK.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 892,

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 baru dapat ditetapkan oleh Pemda setelah

memperoleh persetujuan substansi teknis dari instansi pusat yang membidangi tata

ruang. Raperda RTRWP DIY 2009-2029 ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD

DIY pada 22 Juni 2009, dan menurut Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2005

                                                            92 Pasal 5

Gubernur dibantu BKPRD Provinsi mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi, dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN. Bupati/Walikota dibantu BKPRD Kabupaten/Kota mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTR Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan RTRWK/K yang berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.

KONSULTASI RANCANGAN PERDA Bagian Kesatu Konsultasi Rancangan Perda Provinsi Pasal 6

Gubernur mengkonsultasikan rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) guna mendapatkan persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang.

Pasal 7 Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menyangkut substansi teknis rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, untuk disesuaikan dengan RTR Pulau/Kepulauan dan RTRWN. Materi konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi beserta lampirannya. Lampiran rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa : dokumen RTRWP dan album peta; dan dokumen RTR Kawasan Strategis Provinsi dan album peta.

Pasal 8 Konsultasi atas substansi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dilakukan sebelum rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi disetujui bersama DPRD.

Pasal 9 Persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menjadi bahan Menteri Dalam Negeri dalam melakukan: evaluasi terhadap rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi; dan klarifikasi terhadap perda tentang RTRWP dan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah ditetapkan. 

80  

  

pasal 3993 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 1494,

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 seharusnya diajukan oleh Gubernur kepada

Menteri Dalam Negeri untuk proses evaluasi selambat-lambatnya pada 25 Juni

2009 (3 hari sejak Raperda ditetapkan), dan proses evaluasi Raperda RTRWP

DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya selesai pada 10

Juli 2009 (15 hari sejak Raperda diterima).

Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur pada

4 Maret 2010. Perda ini memuat perubahan substansi dengan Raperda RTRWP

DIY yang telah disahkan, perubahan substansi ini tidak melibatkan DPRD DIY

2009-2014 (Kompas, 21 April 2010). Perubahan substansi tersebut95 berupa:

1) Penghilangan pasal Raperda: pasal 1 (13), 11, 37, 39, 55, 102, dan 115,

2) Perubahan bunyi pasal Raperda menjadi Perda: pasal 38 (2) menjadi

pasal 36 (3), pasal 42 menjadi pasal 39, dan pasal 95 menjadi pasal 97,

3) Penambahan pasal Perda: pasal 1 (22) (27) (41) (42), 52, 53, 54, 58, 59,

60, dan 79, dan

4) Penambahan dengan perubahan bunyi pasal Perda: dari pasal 114

sampai dengan pasal 160.

                                                            93 PP No 79 Tahun 2005 Pasal 39,

Raperda tentang Rencana Tata Ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD (ayat 1). Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi Raperda tentang Rencana Tata Ruang (ayat 2). Evaluasi Raperda dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan oleh Menteri Dalam Negeri.

94 Permendagri No 28 Tahun 2008 Pasal 14

(1) Rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah disetujui bersama DPRD sebelum ditetapkan oleh Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2) Penyampaian rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran rancangan perda dan surat persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang.

(3) Hasil evaluasi dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan perda dimaksud. 

(4) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Keputusan Menteri Dalam Negeri. 

95 Tabel perbandingan Raperda RTRWP DIY hasil paripurna (129 pasal) dan Raperda RTRWP DIY yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri (160 pasal) disajikan lampiran.

81  

  

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 yang ditetapkan oleh Gubernur dan

DPRD DIY memuat 129 pasal, sedangkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang

RTRWP DIY 2009-2029 memuat 160 pasal.

Hasil evaluasi Raperda RTRWP DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam

Negeri ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650-46 Tahun

2010 tertanggal 16 Februari 201096. Hasil evaluasi ini tidak mengacu pada

Raperda RTRWP yang ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD DIY karena memuat

materi evaluasi untuk pasal 149 dan 150. Menurut konsideran Keputusan Menteri

Dalam Negeri tersebut, persetujuan substansi atas Raperda RTRWP DIY 2009-

2029 dituangkan dalam Surat Menteri Pekerjaan Umum kepada Gubernur Nomor

HK.01.03-Mu/487 tertanggal 31 Agustus 2009 dan Surat Menteri Kehutanan

kepada Gubernur Nomor S.932/Menhut-VII/2009 tertanggal 11 Desember 2009.

Perda No 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf b nomor 2) berbunyi

Kawasan pesisir pantai selatan untuk pertambangan pasir besi, di Kecamatan

Wates, Panjatan, dan Galur. Pasal ini menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan

AMDAL yang ditargetkan selesai Oktober 201097.

                                                            96 Dokumen terlampir 97 Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 58

Kebijakan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf c memanfaatkan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mencegah dampak negatif terhadap lingkungan.

Pasal 59 Strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sebagai berikut: a. mengoptimalkan kawasan peruntukan pertambangan; b. menghindari perubahan fungsi lahan; c. mengembangkan pengelolaan kawasan dengan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi secara optimal dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Pasal 60 Arahan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 58 sebagai berikut : (1) Kegiatan pemanfaatan sumber daya mineral batu bara dan panas bumi dapat dilakukan di: a. kawasan lindung bawahan, kawasan lindung setempat dan kawasan rawan bencana alam; dan b. kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan permukiman perdesaan, kawasan industri, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Penetapan kawasan peruntukan pertambangan di : a. Kabupaten Gunungkidul untuk pertambangan batu kapur di Kecamatan Ponjong, Panggang, dan untuk pertambangan kaolin di Kecamatan Semin; b. Kabupaten Kulon Progo yaitu :

82  

  

 

D. RUUK DIY

Substansi RUUK DIY yang terkait kepentingan terhadap sumber daya alam

adalah sistem politik dan struktur penataan ruang dan sumber-sumber agraria.

Sistem politik tersebut adalah :

a) Penetapan Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil

Gubernur, mengacu pada UU No 22 Tahun 1948 dan UU No 3 Tahun

1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem politik

ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Pemerintah Propinsi DIY.

b) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Sistem politik

ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Jurusan Ilmu Pemerintahan

UGM dan Dewan Perwakilan Daerah.

c) Penempatan Sultan dan Paku Alam sebagai lembaga (paradhya) yang

berwenang:

1) Memberikan arahan umum kebijakan dalam penetapan

kelembagaan Pemda Provinsi, kebudayaan, serta pertanahan dan

penataan ruang;

2) Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah

disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Gubernur;

3) Memberikan rekomendasi untuk penindakan Gubernur dan/atau

Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan;

4) Memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah

sebelum diajukan ke Pemerintah sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan;

5) Memberikan persetujuan dalam hal Pemda Provinsi bermaksud

menerbitkan obligasi daerah; dan

                                                                                                                                                                   1) Perbukitan Menoreh untuk pertambangan emas di Kecamatan Kokap, mangaan di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, Pengasih; dan 2) Kawasan Pesisir Pantai Selatan untuk pertambangan pasir besi di Kecamatan Wates, Panjatan dan Galur. c. Kabupaten Sleman untuk pertambangan pasir di Kecamatan Pakem dan Minggir.

83  

  

6) Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian

kerjasama yang dibuat oleh Pemda Provinsi dengan pihak ketiga

yang membebani masyarakat.

d) Penempatan Sultan dan Paku alam sebagai pejabat (paradhya) yang

berhak:

1) Menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam

rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;

2) Mendapatkan seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau

informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan;

3) Mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais;

4) Mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur

setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah/janji

jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, tidak lagi memenuhi

syarat, dan/atau melanggar larangan sebagai Gubernur dan/atau

Wakil Gubernur;

5) Memperoleh pelayanan dan dukungan administrasi.

6) Mengajukan pertanyaan kepada Pemda Provinsi dan DPRD

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di bidang kelembagaan

Pemda Provinsi, kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang;

7) Mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan

DPRD Kabupaten/Kota di bidang kebudayaan serta pertanahan dan

penataan ruang; dan memiliki hak imunitas; protokoler setingkat

Menteri; dan keuangan.

e) Pengaturan kewajiban Gubernur dan DPRD DIY untuk:

1) Melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah;

2) Mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Parardhya;

dan

3) Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan:

pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur;

84  

  

penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; bidang kebudayaan; dan

bidang pertanahan dan penataan ruang.

f) Struktur agraria yang diatur dalam RUUK DIY adalah:

1) Penetapan lembaga swapraja sebagai Badan Hukum Kebudayaan

yang mempunyai hak milik atas Sultanaat Ground (SG) dan Paku

Alamanaat Ground (PAG).

2) Pengaturan hak milik, tata guna, pemanfaatan, dan pengaturan atas

SG dan PAG melalui Perdais.

Ketidakpastian hukum atas tanah di Propinsi DIY adalah kendala bagi

proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. DPR RI telah didorong oleh

Pemerintah Propinsi DIY dan lembaga swapraja untuk mengesahkan RUUK sejak

2007, agar ketidakpastian hukum atas tanah itu dapat diakhiri dengan penetapan

seluruh tanah tidak bertuan di DIY sebagai hak milik lembaga swapraja.

Dalam konteks penelitian ini, proses politik kebijakan SDA di Kabupaten

Kulon Progo berupa 1) Kontrak Karya sebagai wujud kepentingan ekonomi

politik terhadap SDA berbentuk proyek pertambangan, 2) AMDAL untuk

penerbitan ijin lingkungan bagi Kontrak Karya, 3) Perubahan Rencana Tata

Ruang Propinsi sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL, dan 4)

RUUK DIY sebagai penjamin kepastian hukum atas tanah dan kontrol

pengelolaan SDA melalui sistem politik. Alur proses politik kebijakan SDA di

lokasi penelitian di aras nasional hingga komunitas disajikan dalam Gambar 11,

dan proses kebijakan SDA di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 8.

Governmentality berada pada kepentingan ekonomi politik neoliberal yang

bekerja di level internasional, nasional, dan lokal. Kepentingan ekonomi politik

tersebut masuk melalui mekanisme yang diatur oleh produk hukum atau narasi

yang mengikat secara hukum dan memperoleh legitimasinya sebagai kebijakan.

Di aras internasional narasi tersebut adalah 1) Brundtland Report 1987 yang

menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan, 2) Washington Consensus

1989 yang menjadi landasan bagi pelaksanaan desentralisasi, dan 3) Letter of

Intent (LoI) IMF yang menjadi landasan bagi perubahan kebijakan fiskal dan

struktural.

85  

  

Brundtland Report 1987 merupakan kelanjutan dari Club of Rome 1972

(Limit to Growth) yang melahirkan konsep baru mengenai pembangunan

berkelanjutan. Pembangunan didefinisikan oleh The International Union for the

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai:

“The modification of the biosphere and the application of human, financial,

living and non-living resources to satisfy human needs and improve the quality of

human life . . . For development to be sustainable it must take account of the

social and ecological factors as well as economic ones: of the living and non-

living resource base, and of the long-term as well as the short-term advantages

and disadvantages of alternative actions” (The World Conservation Strategy

1980, dipublikasikan oleh IUCN).  

Definisi Pembangunan Berkelanjutan menurut Brundtland Report 1987

adalah:

“Sustainable development is meeting the needs of the present without

compromising the ability of future generations to develop.” (Our Common Future

dipublikasikan oleh The UN World Commission on Environment and

Development).

Pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh UU No 23 Tahun 1997 dan UU

No 32 Tahun 200998 dan menjadi paradigma baru dalam pembangunan di

Indonesia. Penerjemahan teknisnya adalah pelaksanaan AMDAL bagi proyek-

proyek berdampak penting untuk memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan.

Desentralisasi di Indonesia bermula dari pokok-pokok pikiran Washington

Consensus. Washington Consensus pertama kali dirumuskan oleh John

Williamson pada 1989, dan merupakan kesepakatan bersama 3 lembaga yaitu                                                             98 UU No 23 Tahun 1997, Pasal 1, Ketentuan Umum, nomor 3: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan; UU No 32 Tahun 2009, Pasal 1, Ketentuan Umum, Nomor 3: Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

86  

  

World Bank, IMF, dan Dapartemen Keuangan AS, memuat 10 kebijakan

reformasi99 bagi negara berkembang (Third World) pascaperang dingin dan

apartheid, yaitu:

1) Disiplin fiskal

2) Penataan kembali prioritas belanja publik

3) Reformasi pajak

4) Laju liberalisasi kepentingan

5) Laju pertukaran matauang yang kompetitif                                                             99  The story started in the Spring of 1989 when I (John Williamson) was testifying before a Congressional committee in favor of the Brady Plan (Williamson, 2004). 1. Fiscal Discipline. This was in the context of a region where almost all countries had run large deficits that led to balance of payments crises and high inflation that hit mainly the poor because the rich could park their money abroad. 2. Reordering Public Expenditure Priorities. This suggested switching expenditure in a progrowth and propoor way, from things like nonmerit subsidies to basic health and education and infrastructure. It did not call for all the burden of achieving fiscal discipline to be placed on expenditure cuts; on the contrary, the intention was to be strictly neutral about the desirable size of the public sector, an issue on which even a hopeless consensus-seeker like me did not imagine that the battle had been resolved with the end of history that was being promulgated at the time. 3. Tax Reform. The aim was a tax system that would combine a broad tax base with moderate marginal tax rates. 4. Liberalizing Interest Rates. In retrospect I wish I had formulated this in a broader way as financial liberalization, stressed that views differed on how fast it should be achieved, and—especially—recognized the importance of accompanying financial liberalization with prudential supervision. 5. A Competitive Exchange Rate. [ I have seen it asserted that a competitive exchange rate is the same as an undervalued rate. Not so; a competitive rate is a rate that is not overvalued, i.e. that is either undervalued or correctly valued. My fifth point reflects a conviction that overvalued exchange rates are worse than undervalued rates, but a rate that is nether overvalued nor undervalued is better still.] I fear I indulged in wishful thinking in asserting that there was a consensus in favor of ensuring that the exchange rate would be competitive, which pretty much implies an intermediate regime; in fact Washington was already beginning to edge toward the two-corner doctrine which holds that a country must either fix firmly or else it must float “cleanly”. 6. Trade Liberalization. I acknowledged that there was a difference of view about how fast trade should be liberalized, but everyone agreed that was the appropriate direction in which to move. 7. Liberalization of Inward Foreign Direct Investment. I specifically did not include comprehensive capital account liberalization, because I did not believe that did or should command a consensus in Washington. 8. Privatization. As noted already, this was the one area in which what originated as a neoliberal idea had won broad acceptance. We have since been made very conscious that it matters a lot how privatization is done: it can be a highly corrupt process that transfers assets to a privileged elite for a fraction of their true value, but the evidence is that it brings benefits (especially in terms of improved service coverage) when done properly, and the privatized enterprise either sells into a competitive market or is properly regulated. 9. Deregulation. This focused specifically on easing barriers to entry and exit, not on abolishing regulations designed for safety or environmental reasons, or to govern prices in a non-competitive industry. 10. Property Rights. This was primarily about providing the informal sector with the ability to gain property rights at acceptable cost (inspired by Hernando de Soto’s analysis).

87  

  

6) Liberalisasi perdagangan

7) Liberalisasi penanaman modal asing hingga level lokal

8) Privatisasi

9) Deregulasi

10) Property Rights (Kepastian hukum atas Hak Kepemilikan)

Penandatangan LoI antara Pemerintah RI dan IMF pertamakali pada 31

Oktober 1997, pokok-pokok isinya adalah:

1) Penyehatan sektor keuangan;

2) Kebijakan fiskal;

3) Kebijakan moneter;

4) Penyesuaian struktural (diterjemahkan sebagai Reformasi Hubungan

Pusat - Daerah dalam hal kewenangan dan keuangan, selanjutnya

menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, sebagai prasyarat operasionalisasi kebijakan fiskal dan

moneter).

Pada 15 Januari 1998 Pemerintah RI dan IMF menandatangani LoI yang ke-

2, pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut:

1) Kebijakan makro-ekonomi

a. Kebijakan fiskal

b. Kebijakan moneter dan nilai tukar

2) Restrukturisasi sektor keuangan

a. Program restrukturisasi bank

b. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

3) Reformasi struktural

a. Perdagangan luar negeri dan investasi

b. Deregulasi dan swastanisasi

c. Social safety net (Jaringan Pengaman Sosial, JPS) 

d. Lingkungan hidup (penyusunan UU Lingkungan Hidup yang

baru, pengganti UU No 23 Tahun 1997) 

88  

  

UU No 23 Tahun 1997 (terbit 23 September 1997) disusun dalam kerangka

sistem politik sentralistik100 (saat itu Indonesia belum menerapkan desentralisasi,

karena UU No 22 Tahun 1999 terbit pada 7 Mei 1999). PP No 27 Tahun 1999

(terbit 7 Mei 1999) disusun dalam kerangka sistem politik desentralisasi yang

mengubah kewenangan penerbitan ijin dari Menteri Lingkungan Hidup (menurut

UU No 23 No 1997) menjadi kepada Kepada Bapedal (di tingkat pusat) atau

Gubernur (di tingkat daerah)101.

                                                            100 Pasal 11 (1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri. (2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 (1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat: a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah; b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya. (2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 (1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. (2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia. (3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri. (4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri. 101 PP No 27 Tahun 1999, Pasal 1 , Ketentuan Umum, nomor 9: Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah berada pada Gubernur; Pasal 16: (2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh Iima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (3) ApabiIa instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan daIam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rnaka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud. (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib rnenolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

89  

  

Di aras nasional, produk hukum yang dimaksud adalah 1) UU No 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah, 2) UU No

11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur

kuasa pertambangan, 3) UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang

mengatur kaidah-kaidah penyusunan RTRW, dan 4) PP No 27 Tahun 1999

tentang AMDAL yang mengatur kaidah-kaidah penyusunan dan penilaian

dokumen AMDAL.

Di aras lokal, produk hukum yang dimaksud adalah 1) RUUK DIY, 2)

Kepres No 33 Tahun 1984, dan 3) Perda DIY No 34 Tahun 1984. Matriks

mengenai materi produk hukum dan implikasinya dalam proses politik kebijakan

SDA di Kabupaten kulon Progo disajikan dalam Tabel 9.

4.3.4. Ikhtisar

Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian tidak terlepas dari

kepentingan ekonomi politik global yang masuk melalui cara, 1) penyusupan

agenda liberalisasi ke dalam produk hukum nasional, yaitu penerbitan UU No 22

Tahun 1999 dan PP No 27 No 1999; 2) pengurangan kekuasaan pemerintah pusat

dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah (good governance is less

government), baik itu dalam hal penataan ruang maupun pengelolaan SDA, yaitu

penerbitan UU No 26 Tahun 2007 dan PP No 27 Tahun 1999 sebagai turunan UU

No 23 Tahun 1997; 3) pemanfaatan ketidakpastian hukum dalam kewenangan dan

tanggungjawab pemerintah, yaitu penerapan kontrak karya (UU No 11 Tahun

1967) di era yang sudah tidak memberlakukannya lagi (UU No 4 Tahun 2009) dan

penerapan dualisme politik agraria di DIY.

Di aras nasional, kontrak karya ditandatangani setelah kesepakatan-

kesepakatan bisnis interkorporasi memperoleh kepastian hukum di aras

                                                                                                                                                                   Pasal 20 (1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selarnbat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 18 ayat (2). (2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan.

90  

  

internasional, artinya pemerintah pusat adalah pihak yang tiba-tiba menerima hasil

kesepakatan tersebut tanpa dilibatkan dalam proses yang mendahuluinya.

Mekanisme ini memungkinkan untuk terjadi karena kontrol dan tangungjawab

pemerintah pusat terhadap agenda ekonomi politik SDA di daerah ditiadakan oleh

UU 32 Tahun 2004 (hanya 6 bidang yang menjadi wewenang pusat). Akan tetapi,

pada saat penentuan kontrak karya, pemerintah pusat dilibatkan sebagai mitra

bisnis pada proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. Dua hal yang

sesungguhnya menunjukkan inkonsistensi wewenang dan tanggungjawab

pemerintah.

Di aras lokal, keterlibatan masyarakat tidak diupayakan oleh pengambil

kebijakan sejak rencana pertambangan itu baru pada taraf proses penerbitan ijin

kuasa pertambangan (2006). Pengabaian ini terus berlangsung hingga penerbitan

proses penerbitan Perda No 2 Tahun 2010 yang mengatur RTRWP DIY 2009-

2029 oleh Gubernur , termasuk pengabaian terhadap peran DPRD.

Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian merupakan cerminan dari

1) struktur kekuasaan empirik, artinya pengambilan keputusan atas suatu bentuk

pengelolaan SDA di suatu daerah merupakan mata rantai dari keputusan-

keputusan dari kekuatan-kekuatan tidak tampak, dalam hal ini adalah TNC dan

lembaga finansial internasional, yang telah lama bekerja di aras nasional, 2)

ketidakpastian wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah dalam

pengelolaan SDA berikut dampaknya, 3) jalur hukum merupakan mekanisme

yang lentur (flexible) bagi penyesuaian-penyesuaian kepentingan utama

pengelolaan SDA, yaitu komoditisasi SDA.

91  

  

Proses Politik Kebijakan SDA

Kontrak bisnisantara : Australia Kimberly Diamond (AKD), JMM, Krakatau Steel

Kontrak Karya : Indo Mines, JMI, Pemerintah RI

Perubahan nama: JMM menjadi JMIAKD menjadi Indo Mines

Proses PenerbitanIjin Lingkungan, Kesesuaian zonasiKepastian hukumatas tanah,

Operasional

2005-2006 2008 2009-2010 2011

Sosialisasi JMI ke: Militer, PerangkatDesa, Akademisi, Ormas

RUUK DIY, AMDAL, PerdaRTRW

Internasional

Nasional

Lokal dan Komunitas

Gambar 11. Alur Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian.

92  

  

Tabel 8. Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian

Aras Aktor Aktivitas dan Waktu Peristiwa Tujuan

Internasional Korporasi TNC dan Lokal (TNC-L) Perjanjian bisnis, 2005 Industri ekstraksi mineral

Nasional

Korporasi TNC-L dan Pemerintah RI (ESDM)

Kontrak Karya , 2008 Industri ekstraksi mineral

Pemerintah Daerah dan BKPRN Penatanaan Ruang Propinsi, 2009-2010

Penyesuaian RTRWP untuk Proyek Pertambangan

Swapraja dan Pemerintah Pusat Legalisasi RUU K DIY, 2007 Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja

Propinsi

Korporasi Lokal dan Swapraja Investasi, 2005 Penanaman modal Swapraja dan Pemerintah Daerah RUUK DIY, 2007 Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja Korporasi TNC-L dengan Pemerintah Daerah

AMDAL, 2010 Penerbitan ijin Lingkungan

Pemerintah Daerah Propinsi Pengesahan RTRWP DIY, 2010 Landasan hukum bagi AMDAL

Kabupaten

Pemerintah Daerah dan Korporasi Ijin Kuasa Pertambangan ,2006 Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten Penyesuaian RTRWK, 2010 Landasan hukum bagi AMDAL Swapraja dan Seluruh Kepala Desa Sosialisasi proyek, 2007 Perolehan dukungan politik Korporasi dan Militer Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan stabilitas keamanan Korporasi dan Masyarakat di luar kawasan Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara

sosial Korporasi dan Organisasi Masyarakat Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara

sosial Korporasi dan Akademisi Sosialisasi proyek dan MoU Reklamasi

pascaoperasi, 2008 Perolehan dukungan otoritas ilmiah terhadap proyek

Komunitas

Pemerintah Daerah dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi AMDAL, 2009

Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial

Pemerintah Daerah Propinsi dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi perubahan RTRWP, 2009 Perolehan dukungan terhadap RTRWP secara sosial

93  

  

Pemerintah Daerah Kabupaten dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi perubahan RTRWK, 2010 Perolehan dukungan terhadap zonasi kawasan secara sosial

Swapraja dan Masyarakat terdampak Sosialisasi Magersari, 2008 Perolehan dukungan terhadap tanah swapraja secara sosial

Korporasi dan Masyarakat terdampak Sosialisasi Kontrak Karya, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial

94  

  

Tabel 9. Perbandingan Materi Produk Hukum dan Implikasinya dalam Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian

Aras Substansi Dasar Hukum Aturan Implikasi

Internasional

Desentralisasi Washington Consensus 1989

10 Reformasi kebijakan untuk liberalisasi

Liberalisasi ekonomi membutuhkan prasyarat berupa sistem politik yang sesuai, yaitu sistem

otonomi daerah.

Pembangunan Berkelanjutan Brundtland Report 1987 Definisi Pembangunan

Berkelanjutan

Kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi mendapat porsi yang sama dalam pembangunan. Efisiensi pertumbuhan ekonomi dicapai melalui

desentralisasi.

Kebijakan fiskal dan struktural

LoI IMF 17 Oktober 1997-14 Mei

1999

Paket kebijakan IMF dibidang sistem politik dan

lingkungan hidup

Reformasi kebijakan fiskal menuntut reformasi kebijakan politik dan lingkungan.

Nasional

Otonomi Daerah UU No 32 Tahun 2004 Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14

Selain 6 urusan pemerintahan pusat, urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah

daerah (propinsi pengemban fungsi administratif, kabupaten pengemban fungsi eksekutif)

Kontrak Karya

UU No 11 Tahun 1967 Pasal 15 Kontrak Karya dalah mekanisme hukum untuk investasi di sektor pertambangan.

UU No 4 Tahun 2009 Pasal 169 Mekanisme Kontrak karya setelah tahun 2009 dihapuskan. Kontrak karya sebelum penerbitan

UU masih berlaku.

Ijin Lingkungan

UU No 32 Tahun 2009 Pasal 36 Ijin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya.

PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16, Pasal 20 Di tingkat daerah, kelayakan suatu dokumen AMDAL ditentukan oleh kemauan politik

Gubernur. RencanaTataRuang Wilayah Propinsi UU No 26 Tahun 2006 Pasal 10 Penyusunan RTRW daerah menjadi kewenangan

pemerintah daerah.

95  

  

Peraturan Menteri Dalam Negeri

No 28 Tahun 2008

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14

Persetujuan substansi oleh Menteri PU dilakukan sebelum Raperda ditetapkan. Hasil evaluasi

Menteri Dalam Negeri wajib ditindaklanjuto oleh Gubernur bersama DPRD. Penyusunan Perda

secara sepihak oleh Gubernur adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Lokal* Kepastian hukum atas

tanah dan sistem politik

RUUK DIY Pasal 5, Pasal 9, Pasal 21

Swapraja memiliki hak milik atas tanah SG dan PAG, dan memiliki wewenang untuk

menetapkan kelembagaan pemerintah daerah propinsi, penataan agrarian dan ruang, dan

Gubernur dipilih secara langsung .

UU No 32 Tahun 2004 Pasal 56, Pasal 58, Pasal 226

Kepala Daerah dipilih secara langsung dan pembatasan masa jabatan 5 tahun dalam 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud

UU No 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan menurut UU 32 Tahun 2004. Tidak diatur

penetapan Gubernur.

UU No 22 Tahun 1999 Pasal 34

Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan dilantik oleh Presiden, masa jabatan 5 tahun. Untuk 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud

UU No 5 Taun 1974 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan

menurut UU 22 Tahun 1999.

UU No 5 Tahun 1960 Pasal 58, Ketentuan konversi, Pasal IX, Diktum ke 4

Swapraja tidak memiliki hak atas tanah, hak atas tanah tidak bertuan beralih kepada negara.

Keterangan: Lokal* : Aras Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas