halaman judul implementasi penerapan pemberian...
TRANSCRIPT
i
i
HALAMAN JUDUL
IMPLEMENTASI PENERAPAN PEMBERIAN GANTI
KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN PESAWAT
(Studi Kasus Lion Air JT-610 PK-LPQ
Pada Tanggal 29 Oktober 2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
PRAMUDITYA SYAIFUL MAARIF
NIM: 11150480000004
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
iv
LEMBAR PERNYATAAN
v
ABSTRAK
Pramuditya Syaiful Maarif. NIM 11150480000004. MEKANISME
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN PESAWAT
(Studi Kasus Kecelakaan Lion Air JT-610 PK-LPQ Pada Tanggal 29 Oktober
2018). Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab hukum pengangkut
dalam pemberian ganti kerugian kecelakaan pesawat dan penggunaan dokumen
release and discharge dalam ganti kerugian korban kecelakaan pesawat Lion Air
JT-610 PK-LPQ menurut Undang-Undang.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dengan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan pada Undang-Undang
Nomor. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor. PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pendekatan konseptual untuk menganalisis permasalahan penelitian yang beranjak
dari adanya norma kosong.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Lion Air telah memberikan ganti
kerugian yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebesar
Rp.1.300.000.000,00 (satu milyar tiga ratus juta rupiah) per penumpang atau korban
kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, namun dalam penggunaan dokumen release
and discharge terkait pemberian ganti kerugian pihak Lion Air melanggar Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang isi dokumen menggunakan klausul eksonerasi
atau pembebasan tanggung jawab sedangkan tanggung jawab pengangkut saat
terjadi kecelakaan pesawat adalah mutlak.
Kata Kunci: Mekanisme Pemberian, Ganti Kerugian, Tanggung Jawab
Pembimbing Skripsi : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai 2019
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala, yang maha adil dan maha
bijaksana, yang telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq lagi sempurna
untuk mengatur ummat manusia berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai
khalifah di muka bumi. Berkat rahmat Allah penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Mekanisme Pemberian Ganti Kerugian Korban Kecelakaan Pesawat
(Studi Kasus Kecelakaan Lion Air JT-610 PK-LPQ Pada Tanggal 29 Oktober
2019)”. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’ Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini
peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag.,S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris
Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. pembimbing skripsi yang telah memberikan
bimbingan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tua saya, Irwan dan Muji Rahayu yang tidak pernah lelah
mendoakan serta memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Pimpinan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
vii
6. Ketiga saudara kandung saya, kakak saya Aranda, adik saya Feby dan Hadid
yang telah memberikan motivasi kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan
skripsi ini.
7. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulis ini.
Peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah, membantu
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari Allah
SWT. Peneliti menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini.
Jakarta, 3 Januari 2020
Pramuditya Syaiful Maarif
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ......................................... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 5
D. Metode Penelitian ..................................................................................... 5
E. Sistematika Pembahasan .......................................................................... 9
BAB II TINJAUAN TANGGUNG JAWAB PENERBANGAN ..................... 11
A. Kerangka Konseptual ............................................................................. 11
B. Kerangka Teori ....................................................................................... 27
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu...................................................... 31
BAB III LION AIR DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM KECELAKAAN
PESAWAT ........................................................................................................... 34
A. Hubungan Hukum Penumpang dan Pengangkut Udara ......................... 34
B. Kronologi Kejadian Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610 PK-LPQ..... 34
C. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan ...................................................................................................... 39
BAB IV PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KECELAKAAN PESAWAT
LION AIR JT-610 DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
............................................................................................................................... 43
A. Implementasi Mekanisme Penerapan Ganti Kerugian Korban Kecelakaan
Pesawat Lion Air JT-610 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan ...................................................................................................... 43
ix
B. Penggunaan Dokumen Release and Discharge Dalam Ganti Kerugian
Lion Air JT-610 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan ...................................................................................................... 52
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................................................................. 67
B. Rekomendasi .......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75
x
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 : Rekaman Data Penerbangan Lion Air JT-610 ................ 37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan industri angkutan udara (penerbangan sipil) lebih pesat
dibandingkan industri angkutan lainnya dan sarana angkutan ini telah
mendominasi perjalanan dalam negeri maupun internasional. Disamping
menghemat waktu, angkutan udara juga menerapkan sistem keamanan (safety)
yang lebih ketat dibandingkan sarana angkutan lainnya. Namun, kegiatan
penerbangan, terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan angkutan
udara, merupakan kegiatan yang katastrofis, yakni, apabila terjadi kecelakaan
dapat menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar yang meliputi miliaran
rupiah.1
Dalam kegiatan pengangkutan udara, mempunyai risiko bagi
penumpang, seperti mengalami keterlambatan, bagasinya rusak atau hilang,
mungkin mengalami kecelakaan sehingga ia menderita luka-luka atau tewas.
Bagi pengirim barang mungkin barangnya hilang, terlambat atau rusak baik
sebagian atau sepenuhnya. Bagi pengangkut kehilangan pesawat, dan harus
bertanggung jawab terkait kerugian-kerugian yang dialami penumpang atau
pengirim barang dan pihak ketiga. Pada dasarnya risiko dari penumpang atau
pengirim barang, dapat beralih kepada pengangkut dan menjadi tanggung jawab
pengangkut. Terhadap masalah tanggung jawab pengangkut adalah hal yang
paling penting di bidang pengangkutan udara.
Pengaturan ganti kerugian kecelakaan penerbangan juga sudah ada di
Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Aturan lainnya berkaitan
dengan perlindungan konsumen selaku penumpang perusahaan penerbangan
1 Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa Dan
Perkembangannya, (Bandung: Remadja Karya CV Bandung, 1988), h. 133
2
adalah, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, pengangkut angkutan udara bertanggung jawab atas kerugian
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan
kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
Apabila kerugian timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari
pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab
atas kerugian. Tanggung jawab penyelenggara angkutan tersebut dilimpahkan
kepada perusahaan asuransi yang diatur Pasal 179 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menentukan Pengangkut wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo
sebagaimana dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.
Asuransi sebagai lembaga pelimpahan resiko. Dalam keadaan wajar
biasanya seseorang atau suatu badan usaha itu secara pribadi selalu harus
menanggung semua kemungkinan kerugian yang dideritanya yang disebabkan
karena peristiwa apapun juga. Guna menghadapi segala kemungkinan tersebut
maka orang berusaha melimpahkan semua kemungkinan kerugian yang timbul
kepada pihak lain yang kiranya bersedia menggantikan kedudukannya.1
Dalam Pasal 246 KUHD menjelaskan bahwa: asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Adanya kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak pasti, ketika
terjadinya kecelakaan pada pengangkutan udara, pihak pengangkut angkutan
1 Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di
Indonesia, (Jakarta: Bharata, 1996), h. 82
3
udara wajib bertanggung jawab kepada para penumpang yang menjadi korban
yang meninggal dunia dan korban yang mengalami cacat atau luka-luka.
Pengguna jasa angkutan udara sebagai konsumen yang mengalami
kecelakaan dapat menuntut santunan/ganti kerugian terhadap pihak yang
dianggap bertanggung jawab. Penyelesaian pembayaran santunan kepada
pengguna jasa angkutan udara yang meninggal dunia, luka-luka, atau cacat
akibat kecelakaan tersebut sebagai salah satu konsekuensi hukum dalam
penyelenggaraan angkutan udara. Namun persoalan penyelesaian pembayaran
santunan ini dalam praktek seringkali belum sepenuhnya dapat diselesaikan,
karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum dipahami atau
kurang jelas atau tidak diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan angkutan udara.2
Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610 yang menewaskan 189
penumpang dan awak kabin pada Senin, 29 Oktober 2018 lalu, ini, masih
menyisahkaan pertanyaan terhadap keluarga korban terkait ganti kerugian dari
Lion Air, Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 mengaku belum
dapat kepastian mengenai pembayaran ganti kerugian bagi ahli waris.
Pasalnya, pihak Lion Air justru memberikan syarat kepada keluarga korban,
yakni harus menandatangani Release and Discharge (R&D).3 Keluarga korban
penumpang pesawat JT 610 menolak menandatangani surat Release and
Discharge untuk mencairkan asuransi. Release and Discharge merupakan
kesepakatan antar kedua pihak yakni ahli waris dengan pihak Lion Air terdapat
deadlock.
Dalam ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun
2011 perihal syarat klaim asuransi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat
2 Ridwan Khairandy, Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab
Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 25
No.1 2006, h. 21 3 Ameidyo Daud, “Dipaksa Teken Syarat Ganti Rugi, Keluarga Korban JT-610 Protes”,
Katadata, diakses dari http://www.katadata.co.id/berita/2019/04/08/dipaksa-teken-syarat-ganti-
rugi-keluarga-korban-jt-610-protes, pada tanggal 28 Juni 2019 pukul 15.04 WIB
4
belum diakomodir di dalamnya, mengingat belum adanya pembaharuan
Peraturan Menteri Perhubungan tersebut yang menurut penulis belum
direlevansikan kembali dengan perkembangan jaman. Bermula dari konsep
berpikir penulis di atas yang menurut penulis tertarik untuk dibahas, apakah
nominal ganti kerugian korban kecelakaan pesawat Lion Air JT610 sudah
sesuai menurut Undang-Undang dan apakah syarat pemberian dokumen
release and discharge bertentangan dengan undang-undang yang akan peneliti
tuangkan untuk menulis skripsi dengan judul “ MEKANISME
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KORBAN KECELAKAAN
PESAWAT (Studi Kasus Kecelakaan Lion Air JT-610 PK-LQP Pada
Tanggal 29 Oktober 2018)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti identifikasi dalam
skripsi ini, sebagai berikut:
a. Penggunaan dokumen Release and Discharge dalam pemberian ganti
kerugian terhadap korban kecelakaan pesawat membuat deadlock.
b. Kurangnya aturan perlindungan hak-hak korban kecelakaan pesawat.
c. Adanya perbedaan mengenai ahli waris dalam ganti kerugian
kecelakaan pesawat.
d. Tidak adanya kepastian hukum dalam pemberian ganti kerugian kepada
keluarga korban kecelakaan pesawat.
e. Peran asuransi dalam kecelekaan penerbangan
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan tidak terlalu meluas,
permasalahan difokuskan mengenai dokumen release and discharge dalam
pemberian ganti kerugian kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion
Air JT 610 yang berlaku di Indonesia dengan ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
77 Tahun 2011 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338.
5
3. Perumusan Masalah
Berlandaskan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang
telah dijabarkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu:
Mekanisme pemberian ganti korban kecelakaan pesawat (studi kasus
kecelakaan Lion Air JT- 610 PK-LPQ pada tanggal 29 Oktober 2018).
Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitiannya
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi mekanisme penerapan ganti kerugian korban
kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan?
b. Apakah syarat penggunaaan dokumen release and discharge dalam
ganti kerugian Lion Air JT 601 bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui penerapan ganti kerugian korban kecelakaan pesawat
Lion Air JT-610 dalam Undang-Undang Nomor 1 TAhun 2009 tentang
Penerbangan.
b. Untuk mengetahui penggunaan dokumen release and discharge dalam
ganti kerugian Lion Air JT-610 menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009.
2. Adapun manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Memberikan sumbangan pikiran bagi keilmuan khususnya bagi ilmu
hukum penerbangan.
b. Bagi Pemerintah, Untuk lebih ketat dalam mengawasi maskapai yang
tidak memberikan hak-hak konsumen dan menambahkan aturan terkait.
c. Dapat menjadi literatur dalam proses kegiatan akademik.
D. Metode Penelitian
Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai, suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
6
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.4 Penelitian
ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Didalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian
normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian
hukum mengenai pemberlakuan hukum normatif (kodifikasi, undang-
undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum yang
terjadi dalam masyarakat.5 Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Aproach)
Dengan pendekatan perundang-undangan ini, peneliti dapat
menganalisa secara kritis undang-undang yang berkaitan dengan kasus
yang peneliti akan teliti yaitu kasus kecelakaan Lion Air JT-610 PQ-
LQP. Berdasarkan hal tersebut peneliti menggunakan beberapa
peraturan perundang-undangan. Berikut pendekatan perundang-
undangan yang digunakan peneliti yakni:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
5) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
6) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 92
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara.
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 29 5 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), h. 134
7
7) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
16/PMK.010/2017 tentang Besar Santunan Dan Sumbangan Wajib
Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
b. Pendekatan konseptual (Conceptual Aproach)
Pendekatan konseptual biasanya digunakan untuk menguraikan
dan menganalisis permasalahan penelitian yang beranjak dari adanya
norma kosong. Artinya dalam sistem hukum yang sedang berlaku tidak
atau belum ada norma dari suatu peraturan perundang-undangan yang
dapat diterapkan pada peristiwa hukum atau sengketa hukum konkret.6
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang memerlukan
pemahaman akan norma-norma terkait dengan isu yang diangkat. Jenis
penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-
temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan
lainnya.7
3. Data Penelitian
Data yang dipakai oleh peneliti, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas.
Bahan hukum primer yang di gunakan meliputi perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan. Dalam hal penelitian ini terdapat beberapa sumber data yang
digunakan sebagai berikut:
1) Undang-Undang:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2017), h. 159 7 Moh Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 151
8
2) Peraturan Lain:
a) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 tentang
Besaran Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum Di
Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, dan Udara.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan hukum tidak resmi. Yang akan memeberikan
penejelasan mengenai bahan-bahan hukum primer. Berupa data-data
dari wawancara peneliti, pendapat-penadapat hukum yang diambil dari
buku-buku, artikel, website-website di internet, dan jurnal hukum yang
berkaitan dengan penelitian yang di teliti.
c. Bahan Hukum Non-Hukum
Bahan hukum non-hukum meliputi hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, yaitu berupa buku-buku mengenai ilmu penerbangan,
keselamatan penerbangan, laporan mengenai kecelakaan pesawat dan
lain-lain.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa dokumen
release and discharge yang diperoleh dari wawancara dengan keluarga
korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan apa yang diteliti, maka
teknik pengumpulan data yang tepat adalah menggunakan teknik
pengumpulan data melalui kajian kepustakaan. Yang dimaksud kajian
kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenan dengan
pengumpulan bahan pustaka dengan membaca dan mencatat serta mengolah
9
bahan penelitian. Serta melakukan wawancara kepada pihak yang
kompeten.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan
seleksi data hasil penelitian tersebut secara sistematis, yang dilakukan
secara logis, dengan mencari keterkaitan antara bahan hukum satu dengan
bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil
penelitian.8Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yakni
metode yang tidak menggunakan angka-angka sebagai hasil penelitian
melainkan penjabaran melalui bentuk tulisan. Dari metode tersebut maka
kesimpulannya akan berbentuk kesimpulan deduktif, yakni menarik
kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkrit yang dihadapi.
7. Metode Penulisan
Dalam penyusunan ini peneliti menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang terdapat pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan isi skripsi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menyajikan Pendahuluan memuat secara keseluruhan
mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah,
perumusan, dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) terdahulu, dan juga metode penelitian.
BAB II TINJAUAN TANGGUNG JAWAB PENERBANGAN
8 Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 63
10
Dalam bab ini, akan menjelaskan kerangka konseptual, kerangka
teori, yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam
penelitian ini. Selanjutnya tinjauan (review) kajian terdahulu agar
tidak ada persamaan terhadap materi dan pembahasan.
BAB III LION AIR DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM
KECELAKAAN PESAWAT
Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana hubungan hukum
penumpang dan pengangkut angkutan udara, hak dan kewajiban
penumpang dan pengangkut angkutan udara, ketentuan asuransi
dalam tanggung jawab pengangkutan udara, jumlah ganti kerugian
terhadap korban kecelakaan pesawat, kronologi kejadian
kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ dan latar belakang
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
BAB IV PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KECELAKAAN
PESAWAT LION AIR JT-610 DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG
PENERBANGAN
Pada bab ini peneliti akan membahas dan menjawab permasalahan
pada penelitian ini dengan menjelaskan tanggung jawab hukum
pengangkut dalam kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 terkait
nominal ganti kerugian dan menganalisis dokumen release and
discharge yang dikeluarkan Lion Air untuk ganti kerugian menurut
Undang-Undang.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini, berisikan kesimpulan hasil penelitian dan
rekomendasi untuk menjawab perumusan masalah yang
bersangkutan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
11
BAB II
TINJAUAN TANGGUNG JAWAB PENERBANGAN
A. Kerangka Konseptual
Untuk lebih memahami penulisan ini, maka penulis akan menguraikan
beberapa istilah yang akan digunakan didalam penulisan ini agar mengurangi
terjadinya perbedaan interpretasi, serta memudahkan pembaca dalam
memahami isi dari penulisan ini, istilah yang dimaksud sebagai berikut:
1. Angkutan Udara Dalam Negeri
Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat
izin usaha angkutan udara niaga berjadwal. Badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal tersebut dalam hal adanya kebutuhan kapasitas angkutan
udara pada rute tertentu yang yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas
angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE
(meeting, insentive travel, convetion, and exhibition), angkutan haji,
bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat
nasional dan internasional dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk
jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan hanya dapat
diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama, dapat melakukan
kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat
persetujuan dari Menteri Perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga tidak
berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif
instansi pemerintah dan/ atau atas permintaan badan usaha angkutan udara
niaga nasional. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut
tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi
12
tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha
angkutan udara niaga berjadwal lainnya.
1 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Pasal 1 ayat (16) Angkutan Udara Dalam Negeri adalah
kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu
bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Angkutan udara dalam negeri dibedakan, menjadi dua yang
berjadwal dan tidak berjadwal. Angkutan udara dalam negeri yang
berjadwal adalah setipa kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu bandar udara ke bandar udara lain atau beberapa bandar
udara.
Pada umumunya angkutan udara berjadwal (scheduled airlines)
mempunyai ciri-ciri antara lain, angkutan udara tersebut disediakan untuk
penumpang yang menilai waktu lebih berharga dibandingkan dengan nilai
uang, pesawat udara tetap tinggal landas sesuai dengan jadwal penerbangan
yang diumumkan walaupun pesawat udara belum penuh, biasanya harga
tiketnya lebih mahal dibandingkan dengan angkutan udara tidak berjadwal,
penumpangnya orang-orang yang mempunyai urusan penting (business
people), penumpang sanggup tinggal di hotel yang mahal, karena biasanya
dibiayai oleh perusahaan, tetapi secepatnya kembali pulang, penumpang
dapat membeli tiket pesawat udara secara individu, tanpa harus merupakan
rombongan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak terdapat
pengertian angkutan udara tidak berjadwal, namun demikian pengertian
tersebut dapat meminjam pengertian yang tercantum di dalam keputusaN
1 Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik ( Public
International and National Air Law), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h. 235-236
13
Menteri Perhubungan Nomor SK 13/S/1971. Menurut keputusan Menteri
Perhubungan tersebut transportasi udara tidak berjadwal adalah
penerbangan dengan pesawat udara secara tidak berencana. Kegiatan
angkutan udara dapat dilakukan secara tidak berjadwal oleh suatu badan
usaha angkutan udara nasional untuk mengangkut penumpang dan/atau
kargo atau khusus mengangkut kargo yang dilakukan oleh badan usaha yang
telah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan.2
2. Dokumen Pengangkutan
Dokumen pengangkutan terdiri atas tiket penumpang (passenger
ticket), tiket bagasi (baggage ticket), surat muatan udara (air waybill). Tiket
penumpang merupakan alat bukti adanya perjanjian antara penumpang
dengan perusahaan penerbangan, namun demikian bilamana tiket hilang
atau rusak bukan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, karena alat
bukti tersebut dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya misalnya bukti
penerimaan uang oleh perusahaan penerbangan dari penumpang.
Pada prinsipnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam tiket
penumpang (passengers ticket), tiket bagasi (baggage claim tag) dan surat
muatan udara (air waybill) sama dengan ketentuan yang terdapat dalam
Konvensi Warsawa 1929. Tiket-tiket tersebut juga merupakan alat bukti
tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan.3
3. Pengangkut
Pengangkut (air carries) ialah “ orang atau badan yang mengadakan
persetujuan untuk mengangkut penumpang, bagasi atau barang dengan
pesawat terbang”. Pengangkutan udara yang dil;akukan secara tidak tetap
dikenal dengan pengangkutan tidak terjadwal ( non scheduled air traffic),
perbededaan penerbangan terjadwal dengan tidak terjadwal terletak pada :
dalam terjadwal, penerbangan dilakukan berdasarkan pada jadwal waktu
2 Martono dan Amad Sudiro, Aspek Hukum Transportasi Udara Jemaah Haji
Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h.49-76 3 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016), h. 171-173
14
yang dilakukan secara terbuka ( published) dan terikat dengan jadwal dan
tarif reguler, sedangkan penerbangan tidak terjadwal selain tidak
mempunyai jadwal waktu yang terbuka dan rute penerbangan, juga tidak
terikat dengan tarif yang berlaku bagi penerbangan reguler.4
5. Penumpang
Menurut konvensi Warsawa 1929, penumpang (passenger) adalah
“setiap orang yang diangkut dalam pesawat terbang kecuali orang-orang
yang merupakan anggota awak pesawat, termasuk pramugari/pramugara.
Menurut definisi ini, seorang pegawai pengangkut udara, baik dalam tugas
maupun tidak, dianggap sebagai penumpang, kecuali bila ia awak anggota
pesawat. Dalam peraturan Menteri Keungan Republik Indonesia Nomor
15/PMK.010/2017 tentang Besar santunan dan iuran wajib dana
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang
umum di darat, sungai/danau, feri/penyeberangan, laut, dan udara Pasal 4
ayat (1) Penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada
di dalam alat angkutan penumpang umum di udara atau ahli warisnya
berhak atas santunan. Penumpang dapat dibuktikan dengan tiket yang
dikeluarkan oleh maskapai penerbangan sebagai perjanjian antara maskapai
dengan penumpang.
6. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas lex specialis derogate legi generali (hukum khusus
menyampingkan hukum umum) merupakan salah satu asas preferensi yang
dikenal dalam ilmu hukum. Asas preferensi adalah asas hukum yang
menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan (untuk diberlakukan), jika
dalam suatu peristiwa (hukum) terkait atau terlanggar beberapa peraturan.
Menurut Soerjono Soekanto maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap
peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebut
peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula
4 Toto Tohir Suriaatmadja, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 70
15
diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau
lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.5
7. Ganti Rugi Terhadap Penumpang
Penumpang pesawat udara yang meninggal dunia akibat kecelakaan
pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan
pengangkutan udara diberikan ganti rugi sebesar Rp 1.250.000,000,00 (satu
miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Yang dimaksudkan dengan
kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang
mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan
dan/atau korban jiwa atau luka serius. Dalam Annex 13 Konvensi Chicago
1944 kecelakaan dirumuskan suatu peristiwa di luar kemampuan manusia
yang terjadi di dalam pesawat udara dalam penerbangan dari bandara
keberangkatan ke bandara tujuan di mana penumpang meninggal dunia atau
luka atau mengalami kerugian yang disebabkan oleh benturan dengan badan
pesawat udara atau semburan mesin jet atau ada kerusakan struktural atau
ada peralatan pesawat udara yang perlu diganti atau pesawat udara hilang
sama sekali.6
8. Wajib Asuransi Tanggung Jawab
Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawab mereka
terhadap penumpang, bagasi tercatat, kargo maupun pihak ketiga di
permukaan bumi.7 Menurut Pasal 16 Ayat (1) Peraturan Menteri Nomor.
PM 77 Tahun 2011 tersebut tanggung jawab perusahaan penerbangan
terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap total atau cacat tetap
sebagian atau luka-luka, bagasi kabin yang hilang, musnah atau rusak,
keterlambatan angkutan udara baik terhadap penumpang, kabin bagasi
maupun bagasi tercatat, kerugian yang diderita oleh pihak ketiga di
5 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1983), h. 8 6 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, ... h. 203 7 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, ... h. 212
16
permukaan bumi harus diasuransikan kepada perusahaan asuransi dalam
bentuk konsorsium asuransi.
Sistem reinsurance merupakan suatu cara untuk menyebarkan risiko
yang dimiliki penanggung. Penyebaran risiko ini dilakukan antara
penanggung pertama (original insurer) dengan beberapa reinsurer.
Tujuannya adalah untuk membagi-bagi risiko agar apabila terjadi suatu
kerugian, tidak menyulitkan penanggung dalam memenuhi kewajiban-
kewajibannya8
9. Asuransi Tanggung Jawab
Asuransi pertanggungjawaban ini sebagai konsekuensi dari adanya
tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian yang menimpa penumpang,
bagasi, kargo, dan pihak ketiga di darat. Selain tanggung jawab kepada
pengguna, operator bertanggung jawab pula terhadapa pihak ketiga (third
legal liability). Sebagaimana diatur dalam Konvensi Roma tahun 1952.9
8. Konsep Asuransi Tanggung Jawab Produk (Product Liability Insurance)
Merupakan perjanjian asuransi yang ditutup oleh seseorang untuk
mengalihkan atau membagi kewajibannya membayar sejumlah uang
terhadap pihak lain karena tanggung jawabnya terhadap perusahaan
asuransi dengan membayar premi, karena dapat menjamin hak konsumen
dan mengurangi beban produsen. Dengan adanya asuransi tanggung jawab
produk, maka produsen tidak lagi menanggung secara pribadi tuntutan
kerugian dari konsumen yang menderita kerugian akibat cacat produk,
melainkan sudah digantikan oleh perusahaan asuransi tersebut.10
9. Dasar Hukum Pengangkutan Udara Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
Nasional
8 Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan
Perkembangannnya, (Bandung : Remadja Karya CV, 1988), h. 147 9 Toto Tohir Suriaatmadja, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
Nasional, ... h. 76-77 10 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2001), h.15
17
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
b. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara .
c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Angkutan Udara.
d. Ordonansi Pengangkutan Udara S. 1939-100
9. Mekanisme Pengajuan Klaim Ganti Kerugian
Pengajuan ganti kerugian dilakukan dengan menyatakan dengan
menyerahkan berkas tuntutan disampaikan kepada komisi klaim yang
bertugas untuk menerima tuntutan pihak penumpang/korban atau ahli waris
setelah dokumen-dokumen yang diperlukan lengkap, dan memutuskan
apakah klaim tersebut akan dikabulkan atau ditolak, serta berapa jumlah
kerugian yang akan dibayarkan. Dalam pengambilan keputusan ini komisi
klaim didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dan Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 dan syarat-
syarat yang ditentukan oleh perusahaan penerbangan sebagai pengangkut,
sebagai berikut:
a. Sebagai bukti pembayaran pengangkutan yaitu tiket pesawat yang
membuktikan bahwa telah terjadi hubungan hukum antara pengangkut
dan penumpang
b. Surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa benar penumpang
yang mengalami kerugian akibat kecelakaan pengangkutan udara
sedang dalam perawatan dokter, disertai kuitansi obat atau resep.
c. Kartu Tanda Penduduk (KTP) penumpang/korban atau ahli warisnya
yang sah dan masih berlaku.
d. Akta perkawinan (surat nikah) dari suami atau istri penumpang yang
meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan udara.
e. Akta kelahiran dari anak-anak penumpang/korban sebagai ahli waris.
f. Akta kelahiran dari anak-anak penumpang/korban sebagai ahli waris.
g. Kartu Keluarga dari penumpang/korban.
18
h. Jangka waktu pengajuan klaim 2 tahun.
Komisi klaim ini mempunyai anggota yang terdiri dari wakil -wakil
bagian dalam perusahaan penerbangan tersebut terutama berkaitan dengan
persoalan klaim dalambidang masing-masing.11
10. Hak dan Kewajiban Penumpang dan Pengangkut Udara
Suatu kegiatan pengangkutan udara terdapat pihak-pihak, pihak
pertama adalah perusahaan pengangkut dan pihak kedua penumpang
sebagai konsumen. Pihak tersebut diikat oleh suatu perjanjian, yaitu
perjanjian pengangkutan yang terdapat pada tiket. Selayaknya perjanjian
merupakan bentuk dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan, pada
hakikatnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan
dipenuhi.
a. Hak dan Kewajiban Pengangkut Angkutan Udara
Hak-Hak Pengangkut Angkutan Udara pada umumnya diatur dalam
Undang-Undang Pasal 6 Nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
11 Tuhana, Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan Pada
Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Jurnal
Privat Law, Vol. 5 No. 1 Januari 2017, h. 102
19
b. Kewajiban Pengangkutan Udara menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut:
1) Mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau
pengirim barang serta pihak ketiga akibat kecelakaan pesawat atau
kelalaian pengangkut sesuai Peraturan Menteri.
2) Mengasuransikan pesawat udara, personel pesawat udara, tanggung
jawab kerugian dan kegiatan investigasi kecelakaan pesawat udara
(Pasal 62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan).
3) Menyerahkan tiket kepada penumpang (Pasal 151 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009)
4) Mengangkut orang dan/atau kargo setelah disepakatinya perjanjian
pengangkutan (Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009)
5) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahin 1999)
6) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
7) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif
8) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standard mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku
9) Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
c. Hak dan Kewajiban Penumpang
Hak-Hak Penumpang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 meliputi:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan dijanjikan
3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan
5) Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
20
6) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
7) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
8) Hak untuk menuntut pengangkut ke pengadilan untuk mendapat
ganti kerugian lebih (Pasal 23 Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011).
d. Adapun Kewajiban Penumpang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Demi kepentingan umum dan demi melindungi pihak yang lemah,
salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah
adalah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan Pasal 18 telah ditentukan
berbagai larangan dalam membuat atau mencantumkan klausula baku dalam
setiap dokumen dan/atau perjanjian sebagai berikut:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen
3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen
4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
21
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran
5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa
7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan batal demi hukum
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang-undang ini.
Melihat ketentuan tersebut di atas, maka keabsahan dari perjanjian
baku yang mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha (yang dikenal dengan istilah klausula eksonerasi) berakibat klausula
tersebut dinyatakan batal demi hukum.12
11. Ketentuan Asuransi Dalam Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
12 Zakiyah, Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Jurnal
Al’Adl, Vol. 9 No. 3 Desember 2017, h. 448
22
Menurut Santoso Poedjosoebroto,”Asuransi adalah suatu perjanjian
timbal balik, dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi
mengikatkan diri untuk memberikan pembayaran pada pengambil asuransi
atau orang yang ditunjuk karena terjadinya suatu peristiwa yang belum
pasti, yang disebut dalam perjanjian, baik karena pengambilan asuransi atau
tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi, maupun
karena peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validituit seorang
tertanggung.13
Asuransi sendiri merupakan suatu persetujuan dimana pihak yang
menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah
uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh
yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang bbelum jelas.14
Dari segi kebutuhan pengalihan risiko, perusahaan asuransi berperan
sebagai penanggung atas tuntutan/gugatan yang diajukan oleh konsumen.
Selain itu lembaga asuransi dimaksudkan untuk memenuhi permintaan atau
tuntutan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan kepentingan
konsumen dan produsen, dengan memberikan ruang lingkup jaminan atas
risiko tanggung jawab akibat kecelakaan atau kerusakan yang diderita oleh
konsumen.15Adapun menurut Pasal 179 Undang-Undang tentang
Penerbangan menyebutkan bahwa pengangkut wajib mengasuransikan
tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut.
Penumpang angkutan udara membayar premi asuransi ketika
mereka membeli tiket, yang fungsinya untuk menjamin keselamatan setiap
penumpang angkutan udara selama satu kali perjalanan termasuk transit.16
13 Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspek Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia cetakan ke-
2, (Bandung: Alumni, 1976), h.82 14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), h. 2 15 Ahmad Sudiro, Asuransi Tanggung Jawab Produk dan Perlindungan Terhadap Konsumen, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 21 No. 4 Oktober 2014, h. 697 16 Radiks Purba, Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, (Jakarta: Djambatan,2009), h.242
23
a. Adapun hal-hal terkait Asuransi Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
meliputi:
1) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka
2) Hilang atau rusaknya bagasi kabin
3) Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
4) Hilang, musnah, atau rusaknya kargo
5) Keterlambatan angkutan udara
6) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
b. Unsur-Unsur Asuransi Pengangkutan Udara Yaitu:
1) Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud Pasal 2 wajib
asuransikan oleh pengangkut kepada satu atau gabungan beberapa
perusahaan asuransi (Pasal 1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
92 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara)
2) Bentuk Konsorsium bersifat terbuka kepada seluruh perusahaan
asuransi (Pasal 16 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang Pengangkut Angkutan Udara)
3) Untuk kepentingan Badan Usaha Angkutan Udara sebagai pemegang
polis dan/atau tertanggung, maka penutupan asuransi dan
penanganan penyelesaian klaim asuransi tanggung jawab
pengangkutan udara dapat dilakukan dengan menggunakan jasa
keperantaraan perusahaan pialang asuransi.
4) Perusahaan asuransi sebagai anggota konsorsium asuransi wajib
melaporkan asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara
kepada Menteri yang bbertanggung jawab di bidang pengawasan
perasuransian.
5) Nilai pertanggungan asuransi sekurang-kurangnya harus sama
dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Peraturan
24
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
6) Premi asuransi untuk menutup nilai pertanggungan berdasarkan
perhitungan yang layak sesuai prinsip asuransi yang sehat.
12. Jumlah Ganti Kerugian Terhadap Korban Kecelakaan Pesawat
Tanggung jawab pengangkut atau maskapai penerbangan diatur
dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Pasal tersebut menentukan bahwa:
a. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang
meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian
angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
b. Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) timbul karena
tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-
undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
c. Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke
pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti
kerugian yang telah ditetapkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkutan Udara dikatakan bahwa tanggung jawab pengangkut
wajib diasuransikan. Di dalam peraturan ini, pemerintah mengatur secara
rinci jumlah ganti kerugian yang wajib di berikan oleh pengangkut kepada
penumpang, yaitu:
a. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat akan diberikan
ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima
puluh ribu rupiah)
b. Penumpang yang meninggal dunia karena kejadian yang berhubungan
dengan pengangkutan udara saat proses meninggalkan ruang tunggu
25
atau turun dari pesawat dan/atau bandar udara persinggahan akan
diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
c. Penumpang yang mengalami cacat tetap total akan diberikan ganti
kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh
juta rupiah) serta apabila penumpang mengalami cacat tetap sebagian
dimana ganti kerugian ditetapkan sebagaimana diatur dalam lampiran
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011.
d. Penumpang yang mengalami kerugian sehingga diharuskannya
menjalani pengobatan di rumah sakit atau pun balai pengobatan akan
diberikan ganti kerugian paling nyata maksimal Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
e. Penumpang yang mengalami kerusakan pada bagasi tercatat akan
diberikan ganti kerugian sesuai dengan jenis, bentuk, ukuran dan merk
bagasi tercatat hilang maka penumpang akan diberikan ganti kerugian
sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kilogram dan paling
banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang
f. Penumpang yang mengalami keterlambatan lebih dari 4 jam akan
diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)
serta adanya alternatif lainnya yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2011.17
Perlu diketahui korban kecelakaan pesawat masih mendapatkan
santunan dari Jasa Raharja yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 15 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang
Umum Di Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, dan Udara:
17 Chrisai Marselino Riung, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Asuransi
Pengguna Jasa Angkutan Udara Indonesia, Jurnal Lex Administratum, Vol. 5 No. 4 Juni 2017, h.
96
26
a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak atas Santunan
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam Pasal 4 Ayat
2 Huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2017.
b. Dalam hal penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan selama
berada di dalam alat Angkutan umum di darat, sungai/danau,
feri/penyeberangan, laut, dan udara tidak mempunyai ahli waris, kepada
pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya
penguburan sebesar Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) diatur dalam
Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2017.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tidak mengatur
secara khusus mengenai ganti kerugian untuk korban yang mengalami cacat
mental yang tidak disertai cacat tetap atau cacat tetap total. Dalam peraturan
tersebut hanya disebutkan bahwa cacat mental termasuk dalam lingkup
cacat tetap dan/atau cacat tetap total dalam Pasal 1 angka 14 dan angka 15.
Meski demikian, bukan berarti korban yang menderita cacat mental
tanpa disertai cacat tetap/cacat total yang disebabkan kesalahan pengangkut
tidak dapat menuntut ganti kerugian. Karena dalam Pasal 23 Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 nominal ganti kerugian yang
diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang,
ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut
ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Korban yang menderita cacat mental tanpa disertai cacat tetap/cacat
tetap sebagian yang disebabkan kesalahan pengangkut dapat menuntut
pengangkut ke pengadilan negeri di wilayah Indonesia.
Apabila penumpang atau ahli waris ingin melakukan gugatan terhadap
pengangkutan udara melalui jalur pengadilan. Berkenaan dengan
ketidakpuasan dengan nominal ganti kerugian, maka tuntutan ganti kerugian
dapat diajukan pada:
27
a. Pengadilan negeri di wilayah kantor pusat penerbangan berada.
b. Pengadilan negeri di wilayah tiket dibeli.
c. Pengadilan negeri di wilayah tempat tujuan perjalanan.
d. Pengadilan negeri di wilayah perwakilan perusahaan penerbangan
berada.18
Adapun proses pengajuan gugatan ganti kerugian penumpang kepada
perusahaan penerbangan sebagai pengangkut melalui pengadilan negeri
sebagai berikut:
a. Penumpang atau ahli waris membuat permohonan gugatan kepada ketua
pengadilan negeri, syaratnya sebagai berikut:
1) Gugatan harus ditulis dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasa
hukumnya
2) Gugatan harus berisi penjelasan hubungan hukum antara
penumpang dengan pengangkut sebagai tergugat
3) Gugatan harus menjelaskan alasan diajukan gugatan, artinya surat
gugatan ganti kerugian dijelaskan terperinci, alasan-alasan pengugat
mengajukan gugatan tersebut
4) Gugatan harus menjelaskan apa yang dimohon penggugat supaya
diputuskan dan diperintahkan oleh Hakim
b. Surat gugatan yang diajukan, maka harus membayar biaya perkara
gugatan melalui panitera pengadilan negeri
c. Surat gugatan oleh panitera pengadilan negeri dimasukkan dalam daftar
urutan perkara
d. Hakim yang mengadili gugatan tersebut menentukan hari dan tanggal
pemerikasaan perkara.19
B. Kerangka Teori
1. Teori Tanggung Jawab Hukum
18 Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor.1
tahun 2009,(Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2010), h. 315 19 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata:Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
& putusan pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 99
28
Menurut Soekidjo Notoatmojo,”Tanggung jawab hukum adalah
suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya
yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.”20Sedangkan menurut Titik Triwulan “pertanggungjawaban
harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum
bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang
mewajibkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
pertanggungjawabannya.”21Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI)
tanggung jawab adalah “kewajiban menanggung segala sesuatunya bila
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan.”Menurut
Kamus Hukum, tanggung jawab adalah “suatu keharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibbkan kepadanya.”22
Martono mengemukakan bahwa dalam hukum, khususnya dalam
penerbangan dikenal ada tiga konsep tanggung jawab yang berkaitan
dengan penyelesaian pembayaran ganti kerugian. Ketiga teori tanggung
jawab tersebut, meliputi:
a) Konsep tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (based on
fault liability theory)
Konsep ini di Indonesia dikenal dengan tanggung jawab
berdasarkan perbuatan yang melanggar hukum, dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Tanggung
jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) terdapat
dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut
yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum (onrechtsmatigdaad)
berlaku umum terhadap siapa pun juga, termasuk perusahaan
penerbangan. Menurut pasal tersebut setiap perbuatan melawan hukum
20 Soekidjo Notoatmojo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 27 21 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2010), h.48 22 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h.49
29
yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang
karena perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian (to
compensate the damage). Berdasarkan ketentuan tersebut setiap orang
harus bertanggung jawab (liable) secara hukum atas perbuatan sendiri
artinya apabila karena perbuatannya mengakibatkan kerugian kepada
orang lain, maka orang tersebut harus bertanggung jawab untuk mebayar
ganti rugi yang diderita oleh orang tersebut.23
Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak
hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga terhadap
perbuatan, karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila
menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut
bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada
orang tersebut yang sangat sulit dalam pembuktian dalam pengadilan
karena berat sebelah. Tanggung jawab atas dasar kesalahan harus
memenuhi unsur-unsur adanya kesalahan, ada kerugian dan kerugian
tersebut ada hubungannya dengan kesalahan, korban yang harus
membuktikan adanya kesalahan, bilamana terbukti ada kesalahan jumlah
ganti rugi tidak terbatas, korban sebagai penggugat dengan perusahaan
sebagai tergugat mempunyai kedudukan yang sama dalam arti dapat
saling membuktikan.
b) Konsep tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability)
Konsep ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab, sampai tergugat dapat membuktikan sebaliknya
bahwa tergugat tidak bersalah. Dalam perkembangannya tanggung jawab
atas dasar kesalahan (based on fault liability) tidak dapat diterapkan
dalam pengangkutan udara, karena kedudukan antara penumpang
dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan tidak
seimbang. Dalam pengangkutan udara, khususnya perusahaan
23 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, ... h. 10
30
penerbangan menguasai teknologi tinggi, sementara itu penumpang
dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi tinggi penerbangan,
sehingga apabila penumpang dan/atau pengirim barang harus
membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan pasti tidak akan
berhasil, karena itu sejak tahun 1929 dikenalkan konsep tanggung jawab
hukum praduga bersalah (presumption of liability concept).
Konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) atas
dasar praduga bersalah (presumption of liability) mulai diterapkan sejak
Konvensi Warsawa 1929. Menurut konsep tanggung jawab hukum
praduga bersalah (presumption of liability concept), perusahaan
penerbangan dianggap (presumed) bersalah, sehingga perusahaan
penerbangan demi hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh
penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih
dahulu, kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah.
Penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan
kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya
kerugian yang terjadi pada saat kecelakaan, sehingga penumpang
dan/atau pengirim barang tidak harus membuktikan kesalahan
perusahaan penerbangan. Sebagai imbalan, perusahaan penerbangan
berhak menikmati batas maksimum (limited liability) ganti rugi yang
telah ditetapkan dalam konvensi atau regulasi artinya berapa pun juga
kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang,
perusahaan penerbangan tidak akan bertanggung jawab membayar
semua kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.
Unsur-unsur konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of
liability) adalah beban pembuktian terbalik, tanggung jawabnya terbatas
(limited liability), perlindungan hukum (exoneration), ikut bersalah
(contributory negligence), dan kesalahan yang disengaja (wilfull
misconduct).
c) Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability theory)
31
Merupakan konsep yang mengkaji bahwa tanggung jawab yang
berlaku tanpa keharusan adanya pembuktian unsur kesalahan/kelalaian.
Menurut ajaran hukum (doctrine), konsep tanggung jawab hukum tanpa
bersalah (legal liability without fault concept) atau sering disebut juga
tanggung jawab mutlak (strict liability) konsep tanggung jawab mutlak,
perusahaan penerbangan (air carrier) bertanggung jawab mutlak
terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang timbul akibat
kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya barang dan/atau orang dari
pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.
Konsep ini diterapkan terhadap tanggung jawab operator pesawat
udara kepada pihak ketiga. Dalam konsep tanggung jawab mutlak
operator tidak dapat membebaskan diri kewajiban membayar ganti rugi
(damages).24
2. Teori Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang
yang berisi peraturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi
Skripsi yang di tulis oleh Rizki Diah Nasrunisa26 Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2018. Pada skripsi
tersebut membahas tentang perlindungan konsumen terkait pembatalan
24 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, ... h.18 25 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h.158 26 Rizki Diah Nasrunisa, Akibat Hukum Pembatalan Penerbangan Karena Overseat Oleh
Maskapai Lion Air (Studi Putusan Nomor 471 PK/Pdt/2017), (Jakarta : Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2018)
32
penerbangan dan menganalisis putusan hakim terhadap kasus PT Lion Air
Mentari VS Rolas Budiman Sitinjak. Persamaan dengan penelitian peneliti
yakni, membahas tanggung jawab maskapai dalam hukum penerbangan di
Indonesia terhadap penumpang dan pihak-pihak mana saja yang ikut
bertanggung jawab, namun terdapat perbedaan dimana penelitian peneliti
mengarah kepada ganti kerugian terhadap keluarga korban kecelakaan
pesawat yang menggunakan syarat-syarat untuk pemberian ganti kerugian
sedangkan sedangkan skripsi ini lebih menganalisis hasil putusan yang
sudah ada.
2. Skripsi
Skripsi yang ditulis oleh Rizwan Zauhar27 Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang tahun 2012. Pada skripsi tersebut membahas
bentuk perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan pesawat Joy Flight
dan hambatan-hambatan dalam pemberian ganti kerugian terhadap korban.
Persamaan dengan penelitian yang akan diteliti sama-sama membahas gantu
kerugian korban kecelakaan pesawat yang sulit mendapatkan kompensasi
atas kecelakaan pesawat oleh maskapai penerbangan, sedangkan
perbedaannya pada penelitian peneliti pada objek penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti membahas maskapai penerbangan niaga sedangkan
skripsi ini membahas maskapai penerbangan joy flight.
3. Jurnal
Jurnal ini disusun oleh Mohammad Sufi Syalabi.28 Merupakan
cetakan ke-1 : September 2017. Terdapat persamaan pada jurnal ini dengan
penelitian yang akan peneliti teliti yakni, dalam objek pembahasan terkait
ganti kerugian korban kecelakaan pesawat dan bagaimana bentuk tanggung
27 Rizwan Zauhar, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan Joy Flight
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Konvensi Chicago
1944 (Studi Kasus Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 Pada Tanggal 9 Mei 2012), (Malang :
Universitas Brawijaya, 2012) 28 Mohammad Sufi Syalabi, dkk. Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi
Udara dan Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Yang Dirugikan Akibat
Kecelakaan Pesawat, (Semarang : Diponegoro Law Journal, 2017)
33
jawab maskapai, adapun perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti
teliti yaitu pada kasus kecelakaan pesawat yang di dalam jurnal memakai
kasus kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 yang dimana Undang-Undang
Penerbangan Nomor. 1 Tahun 2009 tidak dapat diterapkan karena maskapai
Air Asia bukan terdaftar sebagai angkutan udara dalam negeri.
34
BAB III
LION AIR DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM KECELAKAAN
PESAWAT
A. Hubungan Hukum Penumpang dan Pengangkut Udara
Pada dasarnya pengangkutan udara adalah perjanjian timbal balik, baik
lisan maupun tertulis antara perusahaan penerbangan yang mengikatkan diri,
dengan penumpang dan pengirim barang.1
Menurut Subekti, perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian,
dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau
barang dari satu tempat ke tempat lain sedangkan pihak yang lain menyanggupi
akan membayar ongkosnya.2Dalam suatu perikatan dalam hukum akan
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
B. Kronologi Kejadian Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610 PK-LPQ
Pada bulan Oktober-29-2018 pukul 06.21 waktu Indonesia barat
pesawat Lion Air JT 610 PK-LPQ lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta
tidak ada kendala saat Lion Air JT 610 lepas landas, beberapa saat pilot meminta
return to base atau kembali ke bandara asal, komunikasi saat itu belum di tutup
namun saat itu tiba-tiba terputus, dan pukul 06.33 waktu Indonesia barat.
Pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP dinyatakan hilang kontak.
Siaran pers dari Kementerian Perhubungan kemudian memastikan
pesawat ini hilang kontak pada pukul 06.33 WIB. Tak berselang lama, Badan
SAR Nasional menyatakan kabar yang sama. Kemungkinan pesawat jatuh di
perairan Karawang, Jawa Barat, menguat, berdasarkan sejumlah laporan
termasuk dari masyarakat. Tim pencari dari lintas instansi bergerak menuju
lokasi. Sekitar pukul 10.00 WIB, sejumlah puing yang diduga berasal dari
pesawat tersebut ditemukan.
1 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Cetakan ke-2, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 8 2 R, Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Internasional, 1985), h.1
35
Konfirmasi dari Lion Air sebagai operator pesawat tersebut tiba pada
sekitar pukul 11.00 WIB. Pesawat dipastikan mengalami kecelakaan, setelah
lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta pada pukul 06.21 WIB.
Setelah 13 menit mengudara, pesawat jatuh di koordinat S5’49.052” E 107’
06.628” (sekitar Karawang).
Data penumpang tercakup pula di dalamnya, yaitu 178 penumpang
dewasa, satu anak-anak, dan dua bayi. Di antara penumpang dewasa itu
termasuk tiga pramugari yang tengah menjalani pelatihan dan satu teknisi.
Pesawat dipiloti Kapten Bhavye Suneja dan Kopilot Harvino, dengan enam
awak kabin, pramugari dan pramugara. Kamis 23 November 2018 Dewan
Perwakilan Rakyat menggelar rapat dengar pendapat terkait kecelakaan Lion
Air JT-610 PK-LQP dengan sejumlah pihak terkait diantaranya Menteri
Perhubungan, Basarnas, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), dan KNKT. Komisi V DPR RI meminta penjelasan kepada seluruh
pihak yang terkait, termasuk BMKG, sesuai dengan tupoksi dan tanggung
jawab masing-masing Kementerian/Lembaga.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan kepada anggota
Dewan bahwa kondisi cuaca bukanlah salah satu penyebab terjadinya peristiwa
pada tanggal 29 Oktober 2018 tersebut. “Segera setelah mendapatkan informasi
terkait kejadian tersebut. Berdasarkan hasil analisis citra satelit, dari jam 06.00-
07.00 WIB, kondisi perawanan di sekitar lokasi kejadian merupakan awan
dengan jenis Cumulus Congestus dan awan tinggi. Berdasarkan hasil observasi
dari Stasiun Meteorologi Soekarno-Hatta pada tanggal yang sama, jam 04.30
sampai jam 07.00 WIB, kondisi cuaca di wilayah Bandara Soekarno-Hatta
adalah berawan dengan kecepatan angin 4 hingga 7 km/jam dengan arah dari
Selatan dan Bervariasi. Laporan ini di sampaikan untuk mengklarifikasi apakah
jatuhnya pesawat diakibatkan oleh faktor cuaca” jelas Kepala BMKG.3
3 Murni Kemala Dewi, RDP Jatuhnya Pesawat Lion Air JT 610, diterima dari
https://www.bmkg.go.id/berita/?p=rdp-jatuhnya-pesawat-lion-air-jt-610&lang=ID&tag=berita-
utama diakses pada 30 Oktober 2019
36
Hingga saat ini, data pemantauan penerbangan seperti yang tersedia dari
Flight Radar masih menjadi sumber informasi mengenai 13 menit tersebut.
Data yang didapat sudah memunculkan sejumlah pertanyaan. Dari data Flight
Radar, yang menyediakan pula versi detail berupa dokumen worksheet di
dalamnya, terlihat lonjakan kecepatan pesawat pada menit ketiga setelah lepas
landas. Kecepatan pesawat terpantau mencapai kisaran 300 knot, sementara
pesawat bahkan belum mencapai ketinggian jelajah di kisaran 10.000 feet, dan
terpantau naik turun tidak stabil. Berikut rekaman data penerbanganLionAirJT-
610:
Gambar 1: Rekaman Data Penerbangan Lion Air JT-610
Data itu memperlihatkan, pesawat terus berada di kecepatan sekitar 300
knot, dengan ketinggian tertinggi tak sampai 6.000 feet. Bila dikonversi,
kecepatan 300 knot setara sekitar 550 kilometer per jam. Adapun ketinggian
6.000 feet setara sekitar 1.800 meter dari permukaan tanah.
“Bila membaca data itu, ada indikasi overspeed selama penerbangan
dari menit ketiga sampai kecepatan dan keberadaan pesawat hilang dari data
radar pada menit ke-13 di ketinggian sedikit di bawah 4.000 feet,” kata praktisi
dan pengamat penerbangan, Yayan Mulyana.
Dalam standar dunia penerbangan, menurut Yayan Mulyana, untuk
ketinggian di bawah jelajah maka kecepatan maksimal pesawat seharusnya
tidak melibihi 250 knot. Kecepatan ini dipantau lewat alat bernama airspeed
37
indicator di kokpit pesawat. Kalaupun ada situasi yang membuat batas aturan
keselamatan penerbangan itu terlanggar, alat tersebut akan membunyikan
clackers warning sebagai pengingat bagi pilot untuk segera mengendalikan
kecepatan.
Yayan berpendapat “kemungkinan ada kebocoran badan pesawat
sehingga pesawat tidak juga naik ke ketinggian jelajah, sepertinya harus
disingkirkan karena fakta tahun pembuatannya yang belum lagi satu tahun.
Sebaliknya, kondisi overspeed memunculkan beberapa resiko terhadap badan
pesawat (airframe)”. Meski begitu, Yayan menyebut kecelakaan ini cukup
langka karena terjadi di tahap yang semestinya merupakan fase climbing. Rata-
rata kecelakaan pesawat terjadi pada saat lepas landas atau dalam proses
pendaratan, bukan pada posisi climbing atau sesudahnya di ketinggian dan
kecepatan jelajah, sekalipun selalu ada saja perkecualian.4
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya
mengungkapkan laporan final hasil investigasi, terhadap insiden kecelakaan
pesawat Lion Air JT 610 ke publik. Ada sembilan temuan yang diungkap
KNKT terkait dengan kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Ai,
sebagai berikut:
1. “Desain dan sertifikasi pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 yang diproduksi
oleh Boeing.co tidak sesuai dengan asumsi respons pilot terhadap
manufungsi sistem”, ujar Kepala Sub-bidang Komite Penerbangan KNKT
Nurcahyo Utomo di kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat 25
Oktober 2019.
2. Berdasarkan pada asumsi yang salah tentang respons pilot dan tinjauan tidak
lengkap dari beberapa efek penerbangan, sistem Maneuvering
Characteristic Augmentation System (MCAS) pada sensor tunggal dianggap
tepat dan memenuhisemua persyaratan sertifikasi.
4 Kristianto Purnomo, Kronologi dan Fakta Kecelakaan Boeing 737 Max 8, diterima dari
https://nasional.kompas.com/jeo/kronologi-dan-fakta-kecelakaan-boeing-737-max-8-lion-air-jt-
610 diakses pada 30 Oktober 2019
38
3. MCAS pada Boeing 737 MAX 8 dirancang bergantung pada sensor angle of
attack atau AOA tunggal. Desain itu membuatnya rentan terhadap gangguan
atau munculnya masalah.
4. Tidak ada panduan mengenai MCAS untuk pilot, bahkan saat mereka
melakukan training. Maksudnya, pilot tidak mengenali sistem MCAS dalam
penerbangan Boeing 737 MAX 8.
5. Perangkat “AOA Disagree” tidak berfungsi pada Boeing 737 MAX 8.
Akibatnya, pilot tidak bisa melihat adanya AOA Disagree. Sehingga, pilot
yang menerbangkan JT 610 sebelumnya dari rute Denpasar-Jakarta sebelum
kecelakaan, tidak melaporkan adanya AOA Disagree. Pilot hanya
melaporkan adanya ketidaksesuaian antara AOA bagian kiri dan kanan.
“Pemberitahuan AOA juga tidak muncul selama penerbangan dengan
sensor AOA yang salah dikalibrasi, tidak dapat didokumentasikan oleh kru
penerbangan,” tutur Nurcahyo.
6. Pemasangan AOA sensor pesawat mengalami miskalibarasi atau
ketidaksesuaian sebesar 21 derajat. AOA sensor ini, menurut Nurcahyo,
memang sudah dipasang di pesawat milik Lion Air Group, yakni Malindo
Air namun mengalami kerusakan dan dikirim ke bengkel. Setelah
diperbaiki, AOA ini dikirim kembali ke Batam. Saat dikirim kembali,
miskalibrasi ini tidak terdeteksi.
7. “Saat pemasangan AOA sensor di Bali, kita tidak bisa lihat apakah AOA
sensor sudah dilakukan dengan benar. Miskalibrasi ini yang kami lihat
tidak bisa terdeteksi sehingga kami tidak bisa menentukan, apa
pemasangan ini sukses atau tidak,” Nurcahyo menjelaskan.
8. Pilot Denpasar-Jakarta tidak melaporkan log perawatan mengenai stick
shaker dan penggunaan, prosedur non-normal runaway stabilizer pada
penerbangan sebelumnya. Sehingga, tidak tercatat pada buku catatan
penerbangan. Itu berarti, informasi yang disampaikan kepada kru
pemeliharaan pesawat di Jakarta tidak lengkap. Karenanya, kru tak dapat
mengambil tindakan yang sesuai. Pilot Denpasar-Jakarta hanya melaporkan
log perawatan tentang stick shaker kontinyu dan stabilizer NNC yang
39
mengalami gangguan. Itu berarti, informasi yang disampaikan kepada kru
pemeliharaan pesawat di Jakarta tidak lengkap. Karenanya, kru tak dapat
mengambil tindakan yang sesuai.
9. “Kami temukan beberapa indikasi atau peringatan yang menyala. Lalu
MCAS aktif berulang-ulang. Kondisi ini tidak bisa dikelola dengan baik,”
Nurcahyo memaparkan.
KNKT juga menemukan masalah yang sama soal performa manajemen
pilot terhadap koordinasi dengan awak pesawat saat pelatihan.”Pernah
diidentifikasi saat pelatihan,”. Investigasi ini mengacu pada International Civil
Aviation Organization (ICAO) Annex 13, yang dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Adapun investigasi
dilakukan berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor. 62 Tahun 2013.5
C. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan
.Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi
di Indonesia. Undang-Undang adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, serta disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Undang-Undang merupakan peraturan
yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945.6
Perkembangan lingkuangan strategis nasional dan internasional
menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha,
perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan
kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi
daerah. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah
5 Rahma Tri, “KNKT Ungkap 9 Temuan dari Investigasi Kecelakaan Lion Air JT 610”,
Tempo.Co,diakses https://bisnis.tempo.co/amp/1264407/knkt-ungkap-9-temuan-dari-investigasi-
kecelakaan-lion-air-jt-610, pada tanggal 5 Desember 2019 pukul 00.15 WIB 6 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan Jenis,Fungsi, dan Materi Muatan,
(Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), h.215
40
tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan
penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-
undang yang baru.
1. Dasar Hukum undang-undang ini adalah : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dalam Undang-undang ini diatur tentang : hak, kewajiban, serta tanggung
jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung
jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat
dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan internasional atas
objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka pembangunan hukum
nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum,
Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan konsumen tanpa
mengorbankan kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi serta
memberi kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengembangkan
usaha-usaha tertentu di bandar udara yang tidak terkait langsung dengan
keselamatan penerbangan.7
Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada
Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan
transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah
kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan pesawat
udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan
keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat
udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan
7 http://www.dpr.go.id/jdih/index/id/514 diakses pada 30 Oktober 2019 pukul 23.00 WIB
41
majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum,
berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun
bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority
shares tetap berada pada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia,
persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus
mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif
transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib
asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut
usia, anak di bawah umur, pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya (
dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut,
konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut,
tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability),
tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles,
perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di
bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi
penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan
bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan
navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum,
penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya
keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan
berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung
keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.
Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan
operator sehingga fungsi, tugas, dan tanggung jawab masing-masing jelas. Di
samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 juga bermaksud memberi
kesempatan kepada swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta berperan
dalam pembangunan penerbangan di Indonesia untuk menambah rute
penerbangan ke daerah-daerah yang sepi rute penerbangan membantu
transportasi yang sulit dijangkau dengan kendaraan darat dan laut. Undang-
undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103
pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal.
42
Bagian ketiga hukum udara nasional dalam bab I tentang Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengandung pembahasan angkutan udara niaga
dan bukan niaga, kedaulatan negara di udara, pendaftaran dan kebangsaan
pesawat udara, pencarian dan pertolongan pesawat udara, investigasi
kecelakaan pesawat udara, dokumen penerbangan, peran Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional terhadap Indonesia sebagai berikut. Berbeda
dengan Konvensi Chicago 1944 yang gagal mengatur aspek ekonomi angkutan
udara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, masalah aspek ekonomi
angkutan udara diatur secara komprehensif. Hal ini dapat diamati dalam Pasal
83 sampai Pasal 138. Di dalam pasal-pasal tersebut diatur angkutan udara
niaga, pelayanan angkutan udara niaga berjadwal, angkutan udara bukan niaga,
angkutan perintis, perizinan angkutan udara niaga, perizinan angkutan udara
bukan niaga, kewajiban pemegang izin angkutan udara, jejaring dan rute
penerbangan, tarif, kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagai berikut.
Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dalam
rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur, dan/atau pelayanan
angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang
tetap dan teratur oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau
asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut
kargo.8
8 Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h. 233-235
43
BAB IV
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KECELAKAAN PESAWAT LION AIR
JT-610 DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
A. Implementasi Mekanisme Penerapan Ganti Kerugian Korban Kecelakaan
Pesawat Lion Air JT-610 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan
Tanggung jawab pengangkut angkutan udara Pasal 141 Undang-
Undang Nomor. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, mengenai tanggung
jawab pengangkut terhadap penumpang dan/atau pengirim kargo sebagai
berikut:
1. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal
dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara
di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
2. Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena
tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang
ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 di atas, menegaskan
jika perusahaan angkutan udara bertanggung jawab untuk membayar
kompensasi kepada pengguna jasanya harus memenuhi syarat-syarat yang
meliputi:
1. Kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan
2. Kecelakaan itu harus terjadi dalam pesawat
3. Kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu melakukan embarkasi atau
disembarkasi.
Adanya risiko kerugian dalam melakukan kegiatan usaha itu dapat
terjadi setiap saat. Pada penyelenggaraan pengangkutan udara beberapa tahun
terakhir ini masih menunjukkan sering terjadi serangkaian kecelakaan pesawat
44
udara, dengan berbagai sebab yang mengakibatkan kerugian terhadap
penumpang sebagai konsumen. Kecelakaan-kecelakaan pesawat udara tersebut
dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain faktor manusia (human), mesin
pesawat udara (machine/technical), dan cuaca (weather).1
Adapun dugaan hasil final investigasi KNKT terhadap kecelakaan pesawat
Lion Air JT-610 PK-LPQ faktor-faktor penyebab kecelakaan yaitu:2
1. Desain dan sertifikasi pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 yang diproduksi
oleh Boeing.co tidak sesuai dengan asumsi respons pilot terhadap
manufungsi sistem.
2. Berdasarkan pada asumsi yang salah tentang respons pilot dan tinjauan
tidak lengkap dari beberapa efek penerbangan, sistem Manuvering
Characteristic Augmentation System (MCAS) pada sensor tunggal
dianggap tepat dan memenuhi semua persyaratan sertifikasi.
3. MCAS pada Boeing 737 MAX 8 dirancang bergantung pada sensor angle
of attack (AOA) tunggal. Desain itu membuatnya rentan terhadap gangguan
atau munculnya masalah.
4. Tidak ada panduan mengenai MCAS untuk pilot, bahkan saat mereka
melakukan training. Pilot tidak mengenali sistem MCAS dalam
penerbangan Boeing 737 MAX 8.
5. Perangkat AOA Disagree tidak berfungsi pada Boeing 737 MAX 8.
Akibatnya, pilot tidak bisa melihat adanya AOA Disagree.
6. Pemasangan AOA sensor pesawat mengalami ketidaksesuaian sebesar 21
derajat.
7. Pemasangan AOA sensor di Bali, tidak bisa dilihat apakah AOA sensor
sudah dilakukan dengan benar.
1 Amad Sudiro, Product Liability Dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Vol. 41 No. 1 Januari 2011, h. 187 2 Rahma Tri, “KNKT Ungkap 9 Temuan dari Investigasi Kecelakaan Lion Air JT 610”,
Tempo.Co, diakses https://bisnis.tempo.co/amp/1264407/knkt-ungkap-9-temuan-dari-investigasi-
kecelakaan-lion-air-jt-610, pada tanggal 5 Desember 2019 pukul 00.15 WIB
45
8. Pilot Denpasar-Jakarta tidak melaporkan log perawatan mengenai stick
shaker dan penggunaan, prosedur non-normal runway stabilizer pada
penerbangan sebelumnya. Sehingga, tidak tercatat pada buku catatan
penerbangan. Itu berarti, informasi yang disampaikan kepada kru
pemeliharaan pesawat di Jakarta tidak lengkap. Karenanya, kru tak dapat
mengambil tindakan yang sesuai. Pilot Denpasar-Jakarta hanya
melaporkan log perawatan tentang stick shaker continue dan stabilizer
NNC yang mengalami gangguan. Sehingga kru pemeliharaan pesawat di
Jakarta tak dapat mengambil tindakan yang sesuai.
9. Ada peringatan menyala dari MCAS aktif berulang-ulang, yang kondisi ini
tidak dapat dikelola dengan baik.
Berdasarkan dugaan hasil final investigasi dari pihak KNKT diatas,
terdapat dua faktor penyebab kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ,
yaitu Kesalahan Manusia (Human Error) dan Kerusakan Mesin (Machine
Error) dan ada dua pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini pihak
pertama Boeing. Co selaku produsen pesawat Boeing 737 MAX 8 dan Pihak
kedua Lion Air selaku maskapai dalam negeri yang menggunakan pesawat
jenis Boeing 737 MAX 8 untuk pengangkutan udara. Terhadap kasus
kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ jurusan Jakarta ke Pangkal
Pinang di perairan Karawang pada hari Senin, 29 Oktober 2018. Kecelakaan
pesawat Lion Air JT-610 mengakibatkan hilangnya nyawa 189 orang yang
terdiri dari 182 penumpang dan 7 awak pesawat.3
Karena kerugian kecelakaan pesawat menimbulkan kerugian finansial,
yang cukup besar meliputi miliaran rupiah. Salah satu cara mengatasi hal
tersebut adalah dengan cara mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi
dengan mengadakan perjanjian asuransi.4
3 Heru Dahnur, “Total Jumlah Penumpang Lion Air JT 610 yang Jatuh 189 Orang”,
Kompas,diakseshttps://regional.kompas.com/read/2018/10/29/10285291/total-jumlah-penumpang-
lion-air-jt-610-yang-jatuh-189-orang, pada tanggal 24 Desember 2019 pukul 15.00 WIB 4 Man Suparaman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi Dan Surat Berharga,
(Bandung: PT Alumni, 2003), h. 9
46
Menurut Mehr, tentang mengelola risiko dengan cara pengalihan risiko
kepada pihak lain, yaitu dengan cara:
1. Hedging, yaitu menjual dengan menetapkan suatu harga tertentu saat ini
untuk menghindari kerugian di masa datang jika terjadi penurunan harga.
Di lain pihak, tindakan ini mempunyai risiko hilangnya kesempatan untuk
memperoleh keuntungan lebih tinggi jika ternyata harga itu naik.
2. Subcontracting, misalnya kontraktor gedung memberikan bagian pekerjaan
tertentu kepada sub kontraktor yang ahli dalam pekerjaan tersebut dan
memindahkan risiko kegagalan bagian tersebut kepada sub kontraktor itu.
3. Hold Harmless Agreements, yaitu perjanjian yang menyebabkan
berpindahnya risiko tanggung jawab (liabilities).
4. Surety Bonding, yaitu perjanjian antara tiga pihak. Pihak pertama yaitu
perusahaan yang diikat (bonding) yang disebut surety. Pihak kedua adalah
perusahaan pelaku yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian suatu
pekerjaan, yang disebut principal. Pihak terakhir adalah pihak yang
menyuruh principal untuk melakukan suatu pekerjaan, yaitu oblige. Dalam
perjanjian ini, pihak surety bertanggung jawab terhadap semua kelalaian
pihak principal. Maksudnya, setiap kerugian pihak oblige akibat kesalahan
pihak principal akan dibayar oleh surety.
5. Insurance, adalah metode paling umum dalam memindahkan risiko.
Dengan membeli asuransi, maka tertanggung memindahkan konsekuensi
finansial atas kerugian kepada penanggung.
Dari lima jenis pengelolaan risiko di atas Mehr menyatakan,
pertanggungan penumpang pada angkutan udara termasuk dalam jenis
pengelolaan risiko surety bonding, yang melibatkan tiga pihak dalam
pengelolaan risiko yang terjadi.5
5 Salusra Satria, Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi di Indonesia Dengan
Analisis Rasio Keuangan Early Warning System, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Indonesia, 2003),
h.15-16
47
Dalam kewajiban asuransi penerbangan diatur dalam Pasal 179
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan berbunyi:
“Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap
penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141,
Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.”
Adapun hal-hal terkait Asuransi Tanggung Jawab Pengangkutan Udara
Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
meliputi:
1. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka
2. Hilang atau rusaknya bagasi kabin
3. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo
4. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo
5. Keterlambatan angkutan udara
6. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Dalam asuransi kerugian kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, yang
berperan sebagai pihak penanggung yaitu perusahaan asuransi PT. Tugu Pratama
dan yang berperan sebagai pihak tertanggung yaitu pihak yang mengalihkan
risiko kepada penanggung Lion Air Group dalam bentuk perjanjian asuransi,
untuk perlindungan terhadap risiko kerugian mencakup kerusakan rangka
pesawat, kewajiban yang timbul akibat kecelakaan, dan asuransi kecelakaan
sendiri.6
Adapun, terkait dengan nilai pertanggungan asuransi untuk penumpang
mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Di dalam peraturan ini,
pemerintah mengatur secara rinci jumlah ganti kerugian yang wajib di berikan
oleh pengangkut kepada penumpang, untuk pertanggungan dari asuransi dalam
6 Azizah Nur Alfi, “Asuransi Penerbangan : Tugu Tanggung Lion Air”, Bisnis, diakses
https://sumatra.bisnis.com/read/20181102/444/855841/asuransi-penerbangan-tugu-tanggung-lion-
air, pada tanggal 24 Desember 2019 pada pukul 21.00 WIB
48
peraturan diatas hanya untuk kerugian materiil dari penumpang, pengirim barang
dan pihak ketiga yaitu:
1. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat akan diberikan ganti
kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh ribu
rupiah).
2. Penumpang yang meninggal dunia karena kejadian yang berhubungan
dengan pengangkutan udara saat proses meninggalkan ruang tunggu atau
turun dari pesawat dan/atau bandar udara persinggahan akan diberikan ganti
kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Penumpang yang mengalami cacat tetap total akan diberikan ganti kerugian
sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah)
serta apabila penumpang mengalami cacat tetap sebagian dimana ganti
kerugian ditetapkan sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011.
4. Penumpang yang mengalami kerugian sehingga diharuskannya menjalani
pengobatan di rumah sakit atau pun balai pengobatan akan diberikan ganti
kerugian paling nyata maksimal Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
5. Penumpang yang mengalami kerusakan pada bagasi tercatat akan diberikan
ganti kerugian sesuai dengan jenis, bentuk, ukuran dan merek bagasi tercatat
hilang maka penumpang akan diberikan ganti kerugian sebesar Rp.
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kilogram dan paling banyak Rp.
4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang.
6. Penumpang yang mengalami keterlambatan lebih dari 4 jam akan diberikan
ganti kerugian sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) serta adanya
alternatif lainnya yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2011.7
Pada dasarnya jika terjadi kecelakaan maka terjadi 2 (dua) kemungkinan
yaitu:
7 Chrisai Marselino Riung, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Asuransi Pengguna
Jasa Angkutan Udara Indonesia, Jurnal Lex Administratum, Vol. 5 No. 4 Juni 2017, h. 96
49
1. Penumpang tetap hidup dan/atau mengalami luka-luka/cacat.
2. Penumpang Meninggal dunia.
Dengan melihat 2 (dua) kemungkinan tersebut, dapat ditentukan pihak-
pihak yang berhak untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak pengangkut,
meliputi :
1. Penumpang akibat kecelakaan pengangkutan udara yang masih hidup tetapi
mengalami luka-luka/cacat pada anggota badannya, maka pihak yang berhak
mendapat ganti kerugian adalah penumpangnya.
2. Penumpang akibat kecelakaan pengangkutan udara yang meninggal dunia,
maka pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian adalah ahli waris
korban yang meninggal dunia. Pihak yang berhak sebagai ahli waris korban
yaitu suami atau istri dari penumpang yang meninggal dunia, anak-anak
korban atau orang tua yang menjadi tanggungan korban.8
Untuk menghindari penuntutan ganti kerugian dari pihak yang
sebenarnya tidak berhak, maka perusahaan penerbangan membuat suatu kriteria
dan persyaratan bagi pihak yang menuntut kerugian, syarat tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bagi penumpang yang masih hidup dan mengalami luka-luka/cacat pada
tubuhnya akibat kecelakaan pengangkutan udara, diperlukan pemerikasaan
dan keterangan dokter yang ditunjuk perusahaan penerbangan yang
menentukan bahwa benar luka-luka/cacat pada tubuh atau anggota badan
penumpang ada setelah terjadi kecelakaan pengangkutan udara. Selain itu
diperlukan surat keterangan kesehatan bagi penumpang yang sakit sebelum
naik pesawat terbang.
2. Bagi penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pengangkutan
udara, maka orang yang menjadi tanggungannya harus membuktikan bahwa
benar sebagai ahli waris korban yang sah dan menjadi tanggungan
8 Retno Puspandari, Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap
Kecelakaan Pada Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Jurnal Privat Law, Vol. 5 No. 1 Juni 2017, h. 99-100
50
penumpang tersebut, yang ditetapkan oleh pengadilan negeri dengan
memperlihatkan fakta waris. Dari ketentuan limitatis ini maka tidak ada
orang lagi yang dapat menuntut ganti kerugian, kecuali golongan ahli waris
yang telah ditetapkan pengadilan negeri tersebut atau keluarga yang
mempunyai hubungan paling dekat dengan korban, yaitu:
a. Suami atau istri dari penumpang yang meninggal dunia tersebut, dengan
bukti memperlihatkan akta perkawinan (surat nikah) dan kartu keluarga.
b. Anak atau orang tua dari penumpang yang meninggal dunia tersebut
dengan bukti memperlihatkan akta kelahiran dan kartu keluarga.
Pada Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2008 jika
penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan selama berada di dalam
angkutan udara tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang
menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan
sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).9
Dalam pasal diatas untuk korban kecelakaan pesawat yang tidak
memiliki keluarga atau ahli waris uang ganti kerugian akan diambil pemerintah
dengan mengurangi biaya pemakaman korban kecelakaan pesawat.
Adapun keterangan dari perwakilan keluarga korban Rian Ariyandi
(belum diidentifikasi/belum ditemukan) dan Muhammad Rafi Andrian
(teridentifikasi/ sudah ditemukan) Bapak Anton Sahadi. Terkait nilai nominal
yang diberikan pihak Lion Air dalam ganti kerugian ini sebesar Rp.
1.300.000.000,00 (satu miliyar tiga ratus juta rupiah).10
Menurut Soekidjo Notoatmojo, “Tanggung jawab hukum adalah suatu
akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan
dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan,”11Sedangkan Titik
Triwulan menyatakan, “Pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal
9 Martono dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No 1 Tahun
2009, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.312 10 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Anton Sahadi selaku, Perwakilan Keluarga
Korban Lion Air JT 610 Rian Ariyandi dan Muhammad Rafi Andrian 11 Soekidjo Notoatmojo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 27
51
yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang
lain sekaligus berupa hal yang mewajibkan kewajiban hukum orang lain untuk
memberi pertanggungjawaban.”12
Berangkat dari teori di atas peneliti menganalisa bahwa perusahaan
angkutan Lion Air bertanggung jawab atas kerugian yang di derita penumpang
yang meninggal dengan syarat hanya kecelakaan yang menyebabkan kematian
yang terjadi di dalam pesawat atau pada saat melakukan embarkasi atau
disembarkasi. Pembayaran ganti kerugian merupakan kewajiban pihak Lion Air
selaku pengangkut sebagai konsekuensi, tanggung jawabnya sesuai dengan
ketentuan dalam Perundang-Undangan. Dengan membagi risiko pada pihak
asuransi. Dalam pembayaran ganti kerugian penumpang Lion Air JT-610, pihak
Lion Air tidak bisa memberi ganti kerugian lebih rendah dari nilai nominal yang
sudah ditentukan, dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
senilai Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliyar dua ratus lima puluh juta) dan Rp.
4.000.000,00 (empat juta rupiah) untuk uang bagasi. Apabila melihat keterangan
dari keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 nilai ganti kerugian
yang di berikan pihak Lion Air sebesar Rp. 1.300.000.000,00 (satu miliyar tiga
ratus lima puluh juta) yang dalam hal ini pihak Lion Air melebihkan
Rp.47.000.000,00 (empat puluh tujuh juta rupiah) hal ini sudah sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang dan pihak Lion Air dalam nominal pemberian ganti
kerugian sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun untuk
penggunaan dokumen Release and Discharge tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 dalam klaim ganti kerugian tidak
perlu ada syarat tambahan hanya berupa dokumen mengenai ahli waris.
12 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2010), h. 48
52
B. Penggunaan Dokumen Release and Discharge Dalam Ganti Kerugian Lion
Air JT-610 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan
Setahun setelah kecelakaan Lion Air JT-610, baru 75 ahli waris korban
dari total 189 korban kecelakaan yang sudah mendapatkan ganti kerugian dari
perusahaan asuransi yang menangani kasus tersebut. “Belum (seluruhnya).
Kami memang ada release and discharge, ini yang masih proses. Yang terbaru,
ada 75 yang sudah menerima,” kata Managing Director Lion Air Group Daniel
Putut Kuncoro Adi.13
Daftar 75 korban yang sudah menerima uang ganti kerugian dengan
tanda tangan dokumen release and discharge antara lain:14
1. Vivian Afifa Menerima
2. Indra Bayu Aji Menerima
3. Resky Amalia Menerima
4. Restia Amelia Menerima
5. Muhammad Andrian Menerima
6. Vicky Ardian Menerima
7. Fauzan Azima Menerima
8. Naqiya Azmi Menerima
9. Ariska Cici Menerima
10. Jannatun Dewi Menerima
11. Sui Di Menerima
12. Capt. Efendi Menerima
13. Jan Efriyanto Menerima
14. Filzaladi Menerima
15. Fiona Ayu Zen Menerima
13 Tendi,”Baru 75 Ahli Waris Korban Kecelakaan Lion Air Yang Dapat Ganti Rugi,
Kenapa?”, Kontan, diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/baru-75-ahli-waris-korban-
kecelakaan-lion-air-yang-dapat-ganti-rugi-kenapa, pada tanggal 15 Desember 2019 pada pukul
21.00 WIB 14 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Engki Bocana selaku, Perwakilan Keluarga
Korban Lion Air JT-610 Tami Julian
53
16. Ibnu Hantoro Menerima
17. Fais Harharah Menerima
18. Darwin Harianto Menerima
19. Harwinoko Menerima
20. Chandra Hasan Menerima
21. Hendra Menerima
22. Dewi Herlina Menerima
23. Ambo Malis HM Menerima
24. A. Innajatullah Menerima
25. Jumalih Menerima
26. HK. Junaidi Menerima
27. Karmin Karmin Menerima
28. Y. Kartikawati Menerima
29. Kasan Menerima
30. Sui Khiun Menerima
31. Khotijah Menerima
32. Chandra Kirana Menerima
33. Mariya Kusum Menerima
34. Linda Menerima
35. Martono Menerima
36. Sekar Maulana Menerima
37. M. Syafii Menerima
38. Murdiman Menerima
39. Muhammad Nasir Menerima
40. Njat Ngo Menerima
41. Zulva Ningrum Menerima
42. Noorviantoro Menerima
43. Agil Nugroho Menerima
44. Hesti Nuraini Menerima
45. Joyo Nuroso Menerima
46. Chris Prabowo Menerima
54
47. Ridwan Pranata Menerima
48. Rio Pranata Menerima
49. Junior Priadi Menerima
50. Fatikah Putty Menerima
51. N. Rabagus Menerima
52. Shan Ramadhan Menerima
53. Ruma Ramadhan Menerima
54. Rebiyanti Menerima
55. Nur Rezkianti Menerima
56. Rijalmahdi Menerima
57. Romhan Sagala Menerima
58. Ubaidi Salabi Menerima
59. Nikky Santoso Menerima
60. Yunit Sapitri Menerima
61. Hizkia Jori Saroinsong Menerima
62. Natalia Setiawan Menerima
63. Cosa R Shabab Menerima
64. Sian Menerima
65. Nu Sitharesmi Menerima
66. Mack Stanli Menerima
67. Wahyu Susilo Menerima
68. Eko Sutanto Menerima
69. Trianingsih Menerima
70. Maria Ulfah Menerima
71. Bambang Usman Menerima
72. Witaseriani Menerima
73. Yunita Menerima
74. Bhavve Suneja (Pilot) Menerima
75. Alfiani Hidayatul Solikah (Pramugari) Menerima
Adapun keluarga korban yang belum menerima ganti kerugian
tersebut dikarenakan, dalam dokumen release and discharge terdapat
55
pelepasan hak dan tanggung jawab yang tulisan dalam dokumen itu
menggunakan huruf kecil seperti polis asuransi. Bagi keluarga korban
dokumen release and discharge mempersekusi mereka karena bertentangan
dengan nurani, etika, estetika dan hukum. Beberapa hal-hal yang di tentukan
dalam dokumen release and discharge sebagai berikut:15
Masing-masing secara perorangan selaku penerima dan/atau
secara bersama-sama dengan penandatanganan lainnya di bawah ini selaku
ahli waris dan atas nama keluarga yang ditinggalkan, waris dan atas nama
keluarga yang ditinggalkan, warisan, para ahli waris, para penerima hak, para
penerima manfaat atau para tanggungan (selanjutnya bersama-sama disebut
“Para Pemberi Pelepasan”) dari keluarga penumpang, seorang penumpang
yang meninggal dunia dalam kecelakaan yang melibatkan pesawat udara PT
Lion Mentari Boeing 737-8 MAX pendaftaran PK-LPQ (pesawat udara) yang
beroperasi sebagai penerbbangan nomor JT 610 dari Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta ke Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka
Belitung, Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2018 (Kecelakaan) dengan ini
menerima pembayaran dari PT. Lion Mentari (Lion Air) sebesar Rp.
1.300.000.000, (satu milyar tiga ratus juta rupiah) (kompensasi) sebagai
penyelesaian secara penuh, akhir dan menyeluruh atas tuntutan-tuntutan para
pemberi pelepasan yang timbul ddari atau yang terkait kematian Penumpang.
Sebagai akibat dari Kecelakaan.
Untuk dan sebagai imbalan atas Kompensasi, kecukupan dan
penerimaan mana dengan ini diakui, Para Pemberi Pelepasan menyatakan dan
menyetujui hal-hal berikut ini:
1. Para Pemberi Pelepasan dengan ini melepaskan, membebaskan dan untuk
selam-lamanya menanggalkan seluruh haknya untuk mengajukan gugatan
atau tuntutan hukum dalam bentuk apapun di yurisdiksi mana pun, baik
secara perdata, pidana, administratif atau lainnya, dimanapun, atau untuk
15 Data Audiensi dan Wawancara Bersama Anton Sahadi selaku, Perwakilan Keluarga
Korban Lion Air JT 610 Rian Ariyandi dan Muhammad Rafi Andrian
56
menuntut dengan cara apapun, tuntutan-tuntutan, keberatan-keberatan,
klaim-klaim, permintaan-permintaan, kewajiban-kewajiban, tanggung
jawab, gugatan-gugatan, dasar gugatan, perkara-perkara, ganti rugi,
manfaat-manfaat, biaya-biaya, kehilangan bantuan hukum atau bantuan
finansial, biaya-biaya pemakaman, hutang-hutang, iuran-iuran, sejumlah
uang, rekening, perhitungan, obligasi, tagihan-tagihan, perjanjian-
perjanjian dalam segala bentuk apa pun termasuk namun tidak terbatas
pada kontrak-kontrak, persetujuan-persetujuan, dan janji-janji,
perselisihan, perbedaan, pelanggaran, putusan-putusan, eksekusi-eksekusi,
dan setiap dan segala jenis klaim dan tuntutan dan tuntutan dalam bentuk
dan sifat apapun yang timbul baik di masa lalu, saat ini dan masa depan,
baik untuk ganti rugi yang diduga atau ganti rugi yang sebenarnya, ganti
rugi yang bersifat menghukum, ganti rugi moral, ganti rugi yang bernilai
atau tidak bernilai, ganti rugi materiil atau immateriil, gugatan atas
kematian, survival actions, kerugian harta benda, kerugian bisnis,
kehilangan keuntungan, luka-luka, atau setiap kerugian atau biaya yang
lainnya, termasuk juga seluruh klaim potensial apapun dan dalam bentuk
atau sifat apa pun yang terkait dengan satu atau semua ganti rugi, luka-
luka atau kerugian lainnya, baik yang diketahui maupun yang tidak
diketahui, yang dapat diduga atau tidak dapat diduga, yang dimiliki oleh
Para Pemberi Pelepasan sekarang, atau dinyatakan dimiliki, atau yang
selanjutnya diperoleh, atau yang akan mungkin didapatkan dari yurisdiksi
manapun di seluruh dunia, karena, atau yang akan mungkin didapatkan
dari yurisdiksi manapun di seluruh dunia, karena, atau yang dengan cara
apapun berhubungan dengan atau timbul dari kecelakaan yang dengan
cara apapun berhubungan dengan atau timbul dari kecelakaan terhadap
setiap atau seluruh dari “Para Penerima Pelepasan” (sebagaimana
didefenisikan pada klausul 2 di bawah ini) dalam setiap tribunal atau
perkara hukum, termasuk namun tidak terbatas pada setiap pengadilan,
arbitrase atau lembaga penegak hukum mana pun atau instansi pemerintah
lainnya, menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
57
di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 92 Tahun 2011, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan/atau setiap perundang-undangan di
bidang perlindungan konsumen, dan/atau hukum dan peraturan
perundang-undangan dari negara-negara lain.
2. Untuk tujuan-tujuan Pelepasan dan Pembebasan ini, istilah “Para
Penerima Pelepasan” harus diartikan sebagai, dan termasuk, semua entitas
di bawah ini:
a. PT Lion Mentari; dan
b. CMIG Aircraft Leasing Fifteen Ireland Limited, Transportation
Partners Pte. Ltd., Integrated Aero Network S.A.S., CMIG Aviation
Capital Holding Ireland DAC, DVB Bank SE, Singapore Branch, BNP
Paribas, The Boeing Company, CFM International, Inc, General
Electric Company, GE Aviation, Safran Aircraft Engines SAS, United
Technologies Corporation dan setiap serta semua orang atau entitas
bisnis yang disebutkan pada Lampiran 1 disisni, yang secara tegas
dimasukkan ke dalam dan merupakan bagian integral dari Pelepasan
dan Pembebasan ini; dan
c. Setiap dan semua orang atau entitas bisnis yang membuat, merancang,
menyediakan, menjual atau yang memasang setiap bagian, komponen,
atau sistem yang terdapat pada, merupakan bagian dari, atau yang
tergabung dalam pesawat udara dan/atau mesin-mesinnya dan setiap
orang atau entitas bisnis yang terikat perjanjian atau menerima
subkontrak untuk, atau melaksanakan jasa penanganan darat dalam
bentuk apa pun, pemeliharaan, perbaikan, perombakan, pemeriksaan
layanan-layanan, pembaharuan, pelatihan, inspeksi-inspeksi, return to
service, atau pemasangan bagian-bagian, komponen-komponen atau
58
sistem-sistem, pada setiap saat pada Pesawat Udara dan/atau mesin-
mesinnya; dan
d. Setiap orang atau entitas bisnis yang memiliki atau yang pernah
mempunyai kepentingan kepemilikan, kepentingan jaminan atau
kepentingan keuangan dalam pesawat udara dan/atau mesin-mesinnya
atau yang memiliki atau pernah memiliki kepentingan selaku pihak yang
menyewakan pesawat udara dan/ atau mesin-mesinnya; dan
e. Setiap orang, entitas bisnis, pemerintah, agensi, atau organisasi lainnya
yang bertanggung jawab dan/atau mungkin dapat diduga bertanggung
jawab baik secara sendiri dan/atau bersama-sama sebagai kumpulan
pelaku kesalahan atau sebaliknya, atas kecelakaan; dan
f. Dalam hubungannya dengan butir (a), (b), (c), (d) dan (e) di atas, setiap
dan seluruh pejabat, manajer, direktur, komisaris, para pemegang
saham, pengacara, agen (termasuk namun tidak terbatas pada agen
perjalanan dan agen tiket), perwakilan, karyawan, para pemberi kerja,
perusahaan yang terkait, dan/atau anak-anak perusahaan, perusahaan
induk, afiliasi-afiliasi, rekanan, usaha patungan, pemberi sewa,
penerima sewa, para kontraktor dan sub-kontraktor, perantara
termasuk pialang asuransi, para penanggung asuransi dan reasuradur,
para pengganti dan penerima hak mereka masing-masing di masa lalu,
saat ini, dan masa depan.
3. Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang sebelumnya dan untuk
menghindari keraguan-keraguan, para pemberi pelepasan mengakui dan
menyatakan bahwa dengan menandatangani Pelepasan dan Pembebbasan
ini, mereka telah melepaskan, membeaskan, dan untuk selama-lamanya
melepaskan setiap tuntutan untuk ganti rugi atau kompensasi apa pun yang
dimiliki atau mungkin dimiliki oleh Para Pemberi Pelepasan yang timbul
dari atau dengan cara apa pun berhubungan dengan Kecelakaan terhadap
setiap orang atau entitas apa pun di seluruh dunia.
4. Para pemberi pelepasan dengan ini secara tegas menjamin, menyatakan
dan menyetujui bahwa dalam menandatangani Pelepasan dan Pembebasan
59
ini, Para Pemberi Pelepasan melaksanakannya dengan pengetahuan penuh
atas setiap dan semua hak yang dimiliki Para Pemberi Pelepasan
sehubungan dengan Para Penerima Pelepasan dan Para Pemberi
Pelepasan tidak dan tidak pernah bergantung pada nasihat, gambaran atau
pernyataan apa pun yang dibuat oleh, atas nama, atau setiap orang yang
terkait dengan Para Penerima Pelepasan berkaitan dengan pernyataan-
pernyataan faktual mengenai kecelakaan yang dituntut oleh para pemberi
pelepasan dalam hubungannya dengan hal itu dan para pemberi pelepasan
dengan ini memikul resiko kesalahan yang berkaitan dengan fakta-fakta
apa pun yang sekarang tidak diketahui oleh Para Pemberi Pelepasan yang
berhubungan dengan hal itu.
5. Para pemberi Pelepasan setuju untuk membela, menjamin serta melindungi
Para Penerima Pelepasan dari dan terhadap semua tuntutan yang mungkin
diajukan oleh setiap orang atau entitas lain terhadap salah satu atau lebih
Para Penerima Pelepasan yang timbul dari atau yang berkaitan dengan
kematian Penumpang sebagai akibat dari Kecelakaan atau penyelesaian ini
atau pembayaran yang dilakukan menurut Pelepasan dan Pembebasan ini.
6. Sebagai imbalan atas pembayaran Kompensasi, Para Pemberi Pelepasan
menyerahkan dan mengalihkan seluruh hak yang mereka miliki untuk
menuntut setiap pihak mana pun yang timbul dari Kecelakaan kepada Lion
Air dan/atau para penanggung asuransinya yang menerima subrogasi hak-
hak tersebut.
7. Pembayaran Kompensasi bukanlah merupakan pengakuan tanggung
jawab, kesalahan dan/atau kelalaian Para Penerima Pelepasan yang
dengan cara apapun berkaitan dengan kecelakaan. Baik Pelepasan dan
Pembebasan ini maupun segala ketentuan di dalamnya tidak dapat
ditawarkan atau diterima sebagai alat bukti dalam proses hukum
dimanapun sebagai pengakuan atau bukti dari tanggung jawab atau
kesalahan dari Para Penerima Pelepasan. Para Pemberi Pelepasan
mengakui bahwa masing-masing Penerima Pelepasan dengan tegas
menyangkal dan mengingkari tanggung jawab dan kewajiban tersebut dan
60
bahwa pembayaran yang dijelaskan disini dibuat untuk menghindari
litigasi dan untuk menerima perdamaian dari Para Penerima Pelepasan.
8. Para Pemberi Pelepasan menjamin bahwa mereka adalah satu-satunya
perwakilan perorangan dari warisan Penumpang, para ahli waris, para
penerima manfaat dan/atau para tanggungan dari Penumpang yang berhak
menuntut dan menerima Kompensasi dalam kaitannya dengan kematian
Penumpang atau Kecelakaan dan bahwa tidak ada para perwakilan
perorangan, ahli waris, penerima manfaat atau tanggungan dari
Penumpang yang lainnya. Para Pemberi Pelepasan lebih lanjut menjamin
bahwa Para Pemberi Pelepasan tidak pernah meninggalkan, menyerahkan
atau sebaliknya mengalihkan hak-hak yang dimiliki Para Pemberi
Pelepasan atas warisan Penumpang.
9. Para Pemberi Pelepasan menjamin bahwa mereka memiliki kapasitas
hukum dan wewenang penuh untuk menandatangani pelepasan dan
pembebasan ini atas nama mereka sendiri dan/atau atas nama setiap dan
semua orang dan entitas lainnya yang memiliki kepentingan manfaat
apapun dalam klaim-klaim dan tuntutan-tuntutan yang dilepaskan, dan
para pemberi pelepasan menyetujui untuk membela, menjamin dan
melindungi para penerima pelepasan dari dan terhadap setiap dan seluruh
tuntutan dan gugatan yang mungkin dibuat setelah ini atau diajukan
terhadap setiap dan semua para penerima pelepasan, untuk tujuan
pelaksanaan tuntutan apapun dari para pemberi pelepasan, atau untuk
ganti rugi yang timbul dari atau sebagai akibat dari kematian penumpang,
termasuk biaya pembelaan para penerima pelepasan dalam gugatan
tersebut atau gugatan-gugatan apa pun.
10. Untuk menghindari keragu-raguan, ketentuan-ketentuan pelepasan dan
pembebasan ini mengikat para pemberi pelepasan, warisan dari
penumpang dan para ahli waris penumpang, para pelaksana, para
pengurus, agen-agen, para perwakilan, para pengganti, keluarga yang
ditinggalkan, para penerima hak, para penerima manfaat, para tanggungan
dan/atau para perwakilan perorangan.
61
Klausul eksonerasi adalah suatu klausul dalam suatu perjanjian, dimana
ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu,
yang secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Dengan adanya klausul eksonerasi hak dan kewajiban dari para pihak menjadi
tidak seimbang.16
Berdasarkan analisis peneliti terhadap dokumen release and discharge,
peneliti menemukan adanya klausul eksonerasi seperti:
1. Para pemberi pelepasan melepaskan, membebaskan untuk selama-lamanya
seluruh hak untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hukum dalam
yurisdiksi mana pun.
2. Mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 92 Tahun 2011, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan/atau setiap perundang-undangan di
bidang perlindungan konsumen dan peraturan perundang-undangan dari
negara-negara lain.
3. Kewajiban para pemberi pelepasan Membela dan melindungi terhadap
setiap tuntutan yang mungkin diajukan oleh setiap orang atau entitas lain
terhadap kematian penumpang sebagai akibat dari kecelakaan atau
penyelesaian pembayaran dalam pelepasan dan pembebasan ini.
4. Kompensasi bukanlah pengakuan tanggung jawab, kesalahan dan/atau
kelalaian para penerima pelepasan yang dengan cara apapun berkaitan
dengan kecelakaan.
5. Para pemberi pelepasan mengakui bahwa masing-masing penerima
pelepasan dengan tegas menyangkal dan mengingkari tanggung jawab dan
kewajiban dan pembayaran disini dibuat untuk menghindari litigasi.
16 J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1995), h. 120
62
Pencantuman klausul eksonerasi terjadi karena posisi para pihak dalam
perjanjian berada dalam posisi yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak
yang lebih kuat yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian, sementara di
pihak lainnya dalam posisi terjepit. Kondisi seperti ini yang menimbulkan
adanya penyalahgunaan keadaan dari pihak yang menentukan syarat-syarat
dalam perjanjian terhadap pihak lainnya.17
Demi kepentingan umum dan melindungi pihak yang lemah, salah satu
bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah adalah dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam ketentuan Pasal 18 telah ditentukan berbagai larangan
dalam membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen
17 Zakiyah, Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Jurnal
Al’Adl, Vol. 9 No. 3 Desember 2017, h. 437
63
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambbahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan batal demi hukum
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Melihat ketentuan di atas, maka keabsahan dokumen release and
discharge yang mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha (yang dikenal dengan istilah klausula eksonerasi) berakibat klausul
tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Dalam penerapan persyaratan khusus atau membuat perjanjian diatur
Pasal 186 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
berbunyi:
“Pengangkut dilarang membuat perjanjian atau persyaratan khusus yang
meniadakan tanggung jawab pengangkut atau persyaratan khusus yang
meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih
rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dari penejelasan Pasal di atas dapat kita pahami bahwa dalam
pengangkutan udara telah menerapkan konsep tanggung jawab mutlak.
Berdasarkan konsep tanggung jawab ini korban tidak perlu membuktikan
64
kesalahan dari maskapai penerbangan, tetapi otomatis memperoleh ganti rugi.
Para korban cukup memberi tahu bahwa menderita kerugian akibat jatuhnya
pesawat udara atau orang dan barang-barang dari pesawat udara.18
Menurut Pasal 141 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan para ahli waris diperbolehkan menuntut yang berbunyi:
“Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara
sebagaimana dimaksud udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian
tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan.”
Berdasarkan Pasal di atas, hak penumpang atau ahli waris dalam
kecelakaan pesawat selain ganti kerugian/kompensasi yang sudah ditentukan
dapat meminta lebih dengan lewat jalur pengadilan.
Apabila penumpang atau ahli waris ingin melakukan gugatan terhadap
pengangkutan udara melalui jalur pengadilan. Berkenaan dengan
ketidakpuasaan dengan normal ganti kerugian, maka tuntutan ganti kerugian
dapat diajukan pada:
1. Pengadilan negeri di wilayah kantor pusat penerbangan berada.
2. Pengadilan negeri di wilayah tiket dibeli.
3. Pengadilan negeri di wilayah tempat tujuan perjalanan.
4. Pengadilan negeri di wilayah perwakilan perusahaan penerbangan
berada.19
Adapun proses pengajuan gugatan ganti kerugian penumpang kepada
perusahaan penerbangan sebagai pengangkut melalui pengadilan negeri
sebagai berikut:
1. Penumpang atau ahli waris membuat permohonan gugatan kepada ketua
pengadilan negeri, syaratnya sebagai berikut:
a. Gugatan harus ditulis dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasa
hukumnya
18 Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2016), h. 17 19 Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang RI
No. 1 tahun 2009, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2010), h. 315
65
b. Gugatan harus berisi penjelasan hubungan hukum antara penumpang
dengan pengangkut sebagai tergugat
c. Gugatan harus menjelaskan alas an diajukan gugatan, artinya surat
gugatan ganti kerugian dijelaskan terperinci, alasan-alasan penggugat
mengajukan gugatan tersebut
d. Gugatan harus menjelaskan apa yang dimohon penggugat supaya
diputuskan dan diperintahkan oleh Hakim
2. Surat gugatan yang diajukan, maka harus membayar biaya perkara gugatan
melalui panitera pengadilan negeri
3. Surat gugatan oleh panitera pengadilan negeri dimasukkan dalam daftar
urutan perkara
4. Hakim yang mengadili gugatan tersebut menentukan hari dan tanggal
pemeriksaan perkara.20
Untuk pembuktian penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan,
maka ahli waris atau kuasa hukumnya dapat mengajukan gugatan atau tuntutan
ganti kerugian dengan ketentuan:
1. Apabila suami atau istri, maka harus memperlihatkan bukti surat
pembayaran pengangkutan meliputi tiket pesawat penumpang, akta
perkawinan, kartu keluarga.
2. Apabila anak-anaknya, maka harus memperlihatkan alat bukti surat
pembayaran pengangkutan meliputi tiket, akta kelahiran dan kartu
keluarga.
3. Apabila orang tuanya, maka harus memperlihatkan alat bukti surat
pembayaran pengangkutan yaitu tiket dan kartu keluarga.21
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
merupakan pernyataan yang menekan aspek seharusnya atau das sollen,
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberative. Undang-
Undang yang berisi peraturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
20 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
& putusan pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 99 21 Tuana, Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan Pada
Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Jurnal
Privat Law, Vol. 5 No. 1 Januari 2017, h. 103
66
individu bertingkah laku. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.22
Berdasarkan teori di atas, peneliti menganalisa bahwa dalam pemberian
ganti kerugian kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ terdapat syarat
tambahan dalam bentuk dokumen release and discharge dari pihak Lion Air.
Apabila melihat isi dokumen release and discharge merupakan sebuah
pelepasan dan pembebasan hak para ahli waris korban kecelakaan pesawat
Lion Air JT-610, yang menggunakan klausul eksonerasi. Hal ini tidak
melanggar ketentuan dalam Pasal 186 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Namun sayang dalam peraturan ini tidak memberikan sanksi, bagi yang
melanggar ketentuan tersebut. Mengakibatkan pemberian ganti kerugian
kecelakaan pesawat Lion Air Jt-610 PK-LPQ, pihak pengangkut tidak
menerapkan peraturan/perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Tidak
adanya batas waktu kepastian dalam pemberian ganti kerugian ini.
22 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah peneliti jelaskan,
maka untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah dan untuk mengakhiri
skripsi ini peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam pemberian ganti kerugian korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-
610, pihak Lion Air memberikan nilai ganti kerugian sebesar Rp.
1.300.000.000,00 (satu milyar tiga ratus juta rupiah) per Penumpang/korban
kecelakaan pesawat dengan mengalihkan risiko ganti kerugian kepada
perusahaan asuransi PT. Tugu Pratama. Dalam hal nilai ganti kerugian ini
sudah sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Untuk
penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat diberikan ganti
kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu milyar dua ratus lima puluh
juta rupiah) per penumpang/korban dan Rp.4.000.000,00 (empat juta
rupiah) per bagasi yang berarti terdapat lebih Rp. 47.000.000,00 (empat
puluh tujuh juta rupiah) terkait pemberian ganti kerugian korban kecelakaan
pesawat Lion Air JT-610 pihak Lion Air telah memenuhi tanggung jawab
nilai ganti kerugian korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Namun mengenai syarat tambahan dengan tanda tangan dokumen Release
and Discharge tidak sesuai dengan Pasal 23 Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 77 Tahun 2011 untuk menuntut lebih.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mengatur larangan perjanjian yang menggunakan klausul eksonerasi
(meniadakan tanggung jawab pengangkut) dilarang. Namun pihak Lion Air
melanggarnya dengan menggunakan dokumen release and discharge
68
sebagai syarat tambahan terkait pemberian ganti kerugian korban
kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, yang dimana dokumen ini berisi
klausul eksonerasi sebagai berikut:
a. Para pemberi pelepasan melepaskan, membebaskan untuk selama-
lamanya seluruh hak untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hukum
dalam yurisdiksi mana pun.
b. Mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana
diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan/atau setiap perundang-
undangan di bidang perlindungan konsumen dan peraturan perundang-
undangan dari negara-negara lain.
c. Kewajiban para pemberi pelepasan membela dan melindungi terhadap
setiap tuntutan yang mungkin diajukan oleh setiap orang atau entitas lain
terhadap kematian penumpang sebagai akibat dari kecelakaan atau
penyelesaian pembayaran dalam pelepasan dan pembebasan ini.
d. Kompensasi bukanlah pengakuan tanggung jawab, kesalahan dan/atau
kelalaian para penerima pelepasan yang dengan cara apapun berkaitan
dengan kecelakaan.
e. Para pemberi pelepasan mengakui bahwa masing-masing penerima
pelepasan dengan tegas menyangkal dan mengingkari tanggung jawab
dan kewajiban dan pembayaran disini dibuat untuk menghindari litigasi.
Dokumen release and discharge menyebabkan ketidakpastian dalam ganti
kerugian korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, yang membuat
hilangnya hak istimewa ahli waris/keluarga korban. Dengan demikian
penggunaan dokumen release and discharge bisa batal demi hukum karena
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
69
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti memberikan rekomendasi
sebagai berikut:
1. Kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia yang menjadi
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang perhubungan,
agar merumuskan Peraturan tambahan dalam Peraturan Menteri
Perhubungan mengenai batas waktu maksimal pembayaran ganti kerugian,
sanksi kepada maskapai yang tidak memberikan atau menahan uang dan
menggunakan perjanjian tambahan untuk menghilangkan tanggung jawab
ganti kerugian kecelakaan pesawat, dan pengawasan polis asuransi antara
pihak maskapai dengan PT. asuransinya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
2. Kepada Maskapai Lion Air, untuk tidak menggunakan dokumen release
and discharge kepada ahli waris, karena pihak Lion Air tak memiliki hak
untuk mengambil alih atas hak tuntutan keluarga korban di balik kecelakaan
pesawat ini, dan pihak Lion Air cukup memberikan uang ganti kerugian
dengan cek sebagai tanda terima.
70
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ananda, Azwar. Pengantar Hukum Udara Internasional dan Indonesia. Padang:
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang. 1997.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Prenada
Media Group. 2017.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 1989.
Hutagol, Desmond. Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional. Jakarta:
Erlangga. 2013.
Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulanangan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
2013.
Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2005.
H.S, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta: PT Raja
Grafindo. 2008.
Hartono, Sri Redjeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar
Grafika. 2001.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata: Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian & putusan pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Martono, Amad Sudiro. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public
International and National Air Law). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2016.
__________________. Aspek Hukum Transportasi Udara Jemaah Haji Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.
__________________. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang RI
No. 1 Tahun 2009. Jakarta: Raya Grafindo Persada. 2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2004.
Martono,Agus Pramono. Hukum Udara Perdata Internasional & Nasional. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada. 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Cetakan ke-2. Jakarta: Kencana. 2008.
71
Meliala, A. Qirom Syamsudin. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty. 2010.
Notoatmojo, Soekidjo. Etika Dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.
Purba, Radiks. Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara. Jakarta:
Djambatan. 2009.
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Perundang-undangan dan
Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1983.
Poedjosoebroto, Santoso. Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di
Indonesia. Jakarta: Bharata. 1996.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: PT Intermasa. 1987.
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif
cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Rido, Ali. Hukum Dagang. Bandung: Alumni. 1993.
S, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan Jenis,Fungsi, dan Materi
Muatan. Yogyakarta: PT Kanisius. 2007.
Supriyadi, Yaddy. Keselamatan Penerbangan Teori dan Problematika, Tangerang:
Telaga Ilmu, 2012.
_________, Keselamatan Penerbangan Problematika Lalu Lintas Udara Analisis
Operasional, Hukum & Sosio-Psikologis. Jakarta: FORDIK BDSMP. 2015.
Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group. 2016.
Sudiro, Amad, Deni Bram. Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional & Internasional).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.
Suriaatmadja, Toto Tohir. Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
Nasional. Bandung: Mandar Maju. 2006.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009.
Satrio, J. Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. 1995.
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Cetakan ke-2. Jakarta: Rajawali. 1986.
Suharnako. Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus cetakan ke-9, Jakarta:
Kencana. 2015.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Internasional. 1985.
72
Sastrawidjaja, Man Suparaman. Aspek-Aspek Hukum Asuransi Dan Surat
Berharga. Bandung: PT Alumni. 2003.
Satria, Salusra. Pengukuran Kinerja Keuangan Perusahaan Asuransi di Indonesia
Dengan Analisis Rasio Keuangan Early Warning System. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Indonesia. 2003.
Triwulan, Titik dan Shinta Febriani. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta:
Prestasi Pustaka. 2010.
Wiradipradja, Saefullah dan Mieke Komar. Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan
Perkembangannnya. Bandung : Remadja Karya CV. 1988.
JURNAL
Hardijan, Rusli. Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana, Law Review
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. 5. 2006.
Khairandy, Ridwan. Tanggung Jawab Pengangkut dan Asuransi Tanggung Jawab
Sebagai Instrumen Perlindungan Konsumen Angkutan Udara, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 25 No. 1 2006.
Mohammad Sufi Syalabi, Bambang Eko Turisno, Kabul Supriyadhie.
Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Udara dan
Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Yang
Dirugikan Akibat Kecelakaan Pesawat. Jurnal Hukum, Vol. 6. 2017.
Puspandari, Retno. Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap
Kecelakaan Pada Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, Jurnal Privat Law, Vol. 5 No. 1 Juni
2017.
Riung, Chrisai Marselino. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Asuransi
Pengguna Jasa Angkutan Udara Indonesia, Jurnal Lex Administratum,
Vol. 5 No. 4 Juni 2017.
Sudiro, Ahmad. Asuransi Tanggung Jawab Produk dan Perlindungan Terhadap
Konsumen, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol 21 No. 4 Oktober 2014.
_____________. Product Liability Dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 41 No. 1 Januari 2011.
Tuhana. Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan
Pada Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan, Jurnal Privat Law, Vol. 5 No. 1 2017.
73
Zakiyah. Klausula Eksonerasi Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Jurnal
Al’Adl, Vol. 9 No. 3 Desember 2017.
INTERNET
Dewi, Murni Kemala. RDP Jatuhnya Pesawat Lion Air JT 610, diterima
https://www.bmkg.go.id/berita/?p=rdp-jatuhnya-pesawat-lion-air-jt-
610&lang=ID&tag=berita-utama diakses, 30/10/2019.
DPR RI. Penerbangan, diterima http://www.dpr.go.id/jdih/index/id/514 diakses,
30/10/ 2019.
Daud, Ameidyo. Dipaksa Teken Syarat Ganti Rugi, Keluarga Korban JT-610
Protes, diterima dari http://www.katadata.co.id/berita/2019/04/08/dipaksa-
teken-syarat-ganti-rugi-keluarga-korban-jt-610-protes, diakses 28/ 6/2019.
Tri, Rahma. KNKT Ungkap 9 Temuan dari Investigasi Kecelakaan Lion Air JT 610,
diterima https://bisnis.tempo.co/amp/1264407/knkt-ungkap-9-temuan-dari-
investigasi-kecelakaan-lion-air-jt-610 diakses, 5/12/ 2019.
Tendi. Baru 75 Ahli Waris Korban Kecelakaan Lion Air Yang Dapat Ganti Rugi,
Kenapa?, diterima https://industri.kontan.co.id/news/baru-75-ahli-waris-
korban-kecelakaan-lion-air-yang-dapat-ganti-rugi-
kenapadiakses,15/12/2019.
Purnomo, Kristianto. Kronologi dan Fakta Kecelakaan Boeing 737 Max 8, diterima
https://nasional.kompas.com/jeo/kronologi-dan-fakta-kecelakaan-boeing-
737-max-8-lion-air-jt-610 diakses, 30/ 10/2019.
Azizah Nur Alfi. Asuransi Penerbangan : Tugu Tanggung Lion Air, diterima
https://sumatra.bisnis.com/read/20181102/444/855841/asuransi-
penerbangan-tugu-tanggung-lion-air diakses, 24/12/2019.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara
74
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 92 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77
Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/PMK.010/2017
Tentang Besar Santunan Dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu
Lintas Jalan
WAWANCARA
Wawancara pribadi dengan Bapak Anton Sahadi sebagai Keluarga Korban
Kecelakaan Lion Air JT-610 PK-LPQ perwakilan keluarga korban Rian
Ariyandi (belum Diidentifikasi/belum ditemukan) dan Muhammad Rafi
Andrian (Teridentifikasi/sudah ditemukan), Jakarta 28 Agustus 2019.
Wawancara melalui via telpon dengan Bapak Engki Bocana sebagai Keluarga
Korban Kecelakaan Lion Air JT-610 PK-LPQ perwakilan keluarga kroban
Tami Julian, Jakarta 26 Januari 2020.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran Tanya-Jawab
A. Pertanyaan Tentang Pemberian Ganti Kerugian Lion Air JT-610 PK-LPQ
dengan Keluarga Korban Pak Anton Sahadi
1. Atas Nama Keluarga Korban Siapa?
Saya itu sebagai keluarga korban ada dua, adik sepupu saya dari istri, ada dua,
satu atas nama Muhammad Rafi Andrian sudah teridentivikasi, yang kedua
Rian Ariandi belum teridentivikasi dan tidak ditemukan.
2. Langkah Pertama yang dilakukan Keluarga Korban ?
Kami membuat tim kecil, di tim kecil ini tidak mengurangi kesepakatan
Bersama semua keluarga korban, maupun ahli waris baik itu penumpang
maupun awak kabin. Seiring waktu berjalan tanggal 23 Desember 2018, itukan
penutupan pencarian,penutupan posko baik itu di rumah sakit polri, maupun di
hotel ibis, sesudah penutupan itu, jadi kami hamper semua keluarga korban
diusir Lion Grup, diusir dari posko. Tugas saya dalam tim keluarga korban
adalah memberikan keterangan pers, dan sampai hari ini 125 korban yang sudah
teridentivikasi, 64 korban belum teridentivikasi, namun ada hal-hal yang
menjadi bahan pertimbangan kami, Boeing 737 MAX 8 itu kapasitasnya 210
orang.
Setelah tanggal 23 Desember 2018, sudah ada kesepakatan kami bentuk tim,
ada tim lima, salah satunya saya, Pak Johan Hari Sariansong, Neuis Mafuah,
Okto Manurung, dan kak Irvan. Jadi itu mewakili ada yang dari Medan, Jakarta,
Pangkal Pinang. Jadi lengkap disitu, kami dipanggil kepala rumah sakit
keramatjati, kami menanyakan terkait identivikasi korban. Kami membuat tim
77
mandiri untuk melakukan pencarian korban dengan menggunakan dana sendiri,
karena masih merasa tidak puas dengan pencarian BASARNAS.
3. Pihak-pihak mana saja yang sudah ditemui Untuk membantu pemberian
kompensasi atas kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 PK-LPQ ?
Banyak yang sudah kami temuin, diantaranya Komisi V DPR RI, saya sudah
mengirim surat, atas nama JT 610 Family sudah menemui wakil ketua DPR RI
Fahri Hamzah, tanggapan dari DPR RI hanya sebatas pertemuan, say hello,
ngobrol-ngobrol, diskusi, dan dia mengeritik Pemerintah. Kami juga menemui
Dewan Pertimbangan Presiden, sudah menemui Kepala KNKT, sudah
kordinasi juga ke Menko Maritim, pertemuan kita di fasilitasi Deputi, karena
mengingat Menteri Perhubungan itu dibawah kordinasi Meneteri Menko
Maritim, kalau dari KNKT kita meminta rilis yang benar, yang asli terkait
dengan proses, berhubungan dengan masalah teknis kenapa pesawat itu bisa
jatuh.
Kita sempat juga aksi damai di depan istana, kami ke pihak Lion Air juga sudah
berapa kali, terakhir saya ke Lion membahas masalah pembuatan tugu, karena
banyak tugas Lion belum selesai, Tugu peringatan itu belum selesai. Duduk
bareng pihak PT. Tugu Asuransi juga pernah, di Kementerian Perhubungan,
dan disitu kita tanya langsung kenapa ada, Release and Discharge apa
alasannya, kalau dari pihak PT. Tugu Pratama gak bisa jawab karena, yang buat
itu urusan Lion Air, memang pesawat itu diasuransikan ke PT. Tugu Pratama
dan dari PT.Tugu Pratama di Reasuransikan ke asosisinya di Singapura
Kennedys. Poin yang kami tuntut hilangkan release and discharge tapi tetap
tidak peduli. Sebenarnya kalau Lion Air terus bersama keluarga korban ini tidak
akan terjadi polemik, masalahnya tidak akan jadi besar. Tinggal memang pola
penyelesaian seperti apa.
78
Terkait release and discharge sudah jelas baik secara nurani, etika, estetika, dan
secara hukum bertentangan kenapa, karena pada saat itu kami di suruh masuk
dalam ruangan kecil, yang dikelilingi Notaris Lion Air, kami di sodorkan
dokumen release and discharge. Di bacain, langsung tanda tangan, tanpa di beri
waktu beberapa hari untuk memahami dokumen tersebut. Ada juga keluarga
korban yang tidak ambil pusing main tanda tangan saja, setiap halaman itu di
paraf-paraf, lebih seram lagi melihat halaman belakang dokumen release and
discharge yang berisi beberapa perusahan-perusahaan yang tidak boleh di
tuntut. Karena dari kami keluarga, tidak ada tanda tangan kesepakatan polis.
Sambil menunjukan dokumen Release and Discharge. Menurut Saya dokumen
release and discharge adalah kejahatan korporasi.
4. Apa ada Pemberian Santunan dari Jasa Raharja ?
Terkait dengan Jasa Raharja yang sudah tahu mengenai kecelakaan pesawat itu
ada manifes dan segala macam. Jasa Raharja wilayah setempat atau domisili
korban datang ke rumah korban dan memberikan santunan ada yang diberikan
langsung dan ada yang melalui transfer rekening bank, sebesar Rp. 50.000.000,
(Lima Puluh Juta Rupiah).
5. Apa ada pemberitahuan dari Boeing terkait pemberian uang Kompensasi
?
Kalau mengenai uang santunan dari Boeing belum diberitahukan langsung dari
Boeingnya tapi kalau dari Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di
Washington, D.C. sudah dan ada rilis dari sana tapi, itu pasti pihak ketiga yang
di pakai buat menyerahkan uang santunan dari Boeing baik pengacaranya atau
Non Goverment Organisation (NGO) yang gratis.
6. Apa sudah memberitahukan Menteri Perhubungan terkait adanya
dokumen release and discharge untuk pembayaran kompensasi ?
79
Sampai hari ini secara tertulis atau rilis tidak ada penjelasan terkait dokumen
release and discharge yang dikeluarkan oleh pihak Lion Air. Saya sudah
bertemu langsung dengan Menteri Perhubungan Ir. Budi Karya Sumadi, belum
ada pemberitahuan dari Menteri Perhubungan terkait mensuspend Lion Air
kepada keluarga korban. Kami menanyakan langsung ke Menteri Perhubungan
terkait di keluarkannya release and discharge oleh Lion Air sebagai syarat ganti
kerugian, dan Menteri Perhubungan baru mau melihat dokumen release and
discharge.
7. Mekanisme apa yang dilakukan untuk ganti kerugian atas kecelakaan
pesawat Lion Air- JT 610 PK-LPQ ?
Jadi kami melakukan beberapa mekanisme ada yang melalui litigasi dan
negosiasi, dengan adanya release and discharge ini mempersekusi kami sebagai
keluarga korban, karena di suruh baca hari itu, tidak boleh di bawa keluar, dan
tidak boleh di foto copy. Seharusnya ada dokumen release and discharge itu di
buat 2 rangkap satunya di pegang ahli waris minimal ada tanda bukti.
Kami cuma tanda tangan terus tukar buku tabungan dengan nominal sebesar
Rp. 1.300.000.000, (Satu Milyar Tiga Ratus Juta Rupiah) sedangkan di
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor.77 jelas Rp. 1.250.000.000, (Satu
Milyar Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah). Rp. 50.000.000, (Lima Puluh Juta
Rupiah) ini tambahan apa, dari pihak Lion Air bilang ini ganti bagasi, kalau
bagasi di peraturan jelas total Rp. 4.000.000, (Empat Juta Rupiah), ini
dilebihkan. Memang sebelumnya ada uang tunggu bagi keluarga korban yang
sudah tiba di posko nominalnya Rp. 5.000.000, (Lima Juta Rupiah), dan uang
duka pemakaman Rp.25.000.000, (Dua Puluh Lima Juta Rupiah).
Dalam dokumen release and discharge dari awal adalah pelepasan hak dan
tulisan dalam dokumen release and discharge menggunakan huruf dan angka
yang kecil seperti polis asuransi.
80
8. Apa sudah ditanyakan ke pihak PT. Tugu Pratama terkait kesiapan dalam
pembayaran asuransi kecelakaan pesawat ?
Dari pihak Asuransi PT. Tugu Pratama sudah, jelas siap membayar klaim
asuransi Lion Air JT 610, yang seharusnya 30 hari setelah kejadian sudah
menerima uang seniali Rp. 1.250.000.000, (Satu Miliar Dua Ratus Lima Puluh
Juta Rupiah), tapi ini sudah 10 bulan lebih, masih banyak yang belum
menerima. Sebenarnya kami sudah konfirmasi langsung ke pihak asuransi PT.
Tugu Pratama menanyakan terkait uang santunan yang sudah diserahkan atau
belum, jawab dari pihak PT. Tugu Pratama sudah kami serahkan dari 30 hari
yang lalu, uang santunan ke pihak Lion Air.
9. Apa isi tuntutan keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610
PK-LPQ
Isi tuntutan kami adalah menuntut Lion Air untuk melakukan segala upaya,
baik sumber daya, moril, materiil. Untuk melakukan pencarian dan
mengidentivikasi korban, awak pesawat, meminta Presiden, dan seluruh
instansi Basarnas, KNKT, Polri, Kementerian Perhubungan, sejak hari ini
sampai tuntas tanpa ada batas waktu. Kenapa kami memakai bahasa tanpa batas
waktu mengingat kejadian Air Asia dulu sampai 83 hari, ini Cuma 13 hari.
10. Apa boleh saya melihat Dokumen Release and Discharge dan
menggunakannya dalam Skripsi ?
Sangat Boleh.
B. Pertanyaan Tentang Pemberian Ganti Kerugian Lion Air JT-610 PK-
LPQ dengan Keluarga Korban Engki Bocana
1. Atas Nama Keluarga Korban Siapa?
Saya sebagai paman dari Tami Julian, yang menjadi korban kecelakaan
pesawat Lion Air JT-610 PK-LPQ rute Jakarta-PangkalPinang.
81
2. Bagaiamana mekanisme pengambilan ganti kerugian ke pihak Lion
Air ?
Dalam pengambilan ganti kerugian ke pihak Lion Air kami keluarga korban
harus menyiapkan dokumen-dokumen seperti akta kelahiran, kartu keluarga
dan keterangan mengenai ahli waris lainnya ke pihak Lion Air.
3. Untuk Proses pemberian ganti kerugian itu seperti apa?
Jadi setelah kami melengkapi semua dokumen keterangan ahli waris, itu
langsung melakukan tanda tangan Release and Discharge sebagai syarat
tambahan untuk ganti kerugian, setelah menandatangani Release and
Discharge sekitar satu jam pihak Lion Air memberikan Buku Tabungan
Bank BRI yang berisi nominal RP. 1.300.000.000,00 (satu milyar tiga ratus
juta rupiah).
4. Dalam Pemberian ganti kerugian ini apa pemerintah ikut melihat atau
mengawasi dalam pemberian ganti kerugian ini?
Jadi untuk saat pemberian ganti kerugian ini hanya ada pihak keluarga
korban, Lion Air dan Notaris dari pihak Lion Air.
5. Untuk pemeberian ganti kerugian apa Boeing memberikan juga?
Ada yang disebut Boeing Families jadi boeing memberikan uang santunan
sebesar Rp. 47.000.000.000,00 (empat puluh tujuh milyar rupiah) per orang
korban kecelakaan.
6. Untuk keluarga korban Lion Air JT-610 yang sudah tanda tangan
Release and Discharge dengan menerima Uang Rp.1.300.000.000,00
(satu milyar tiga ratus juta rupiah) ?
Mengenai keluarga korban yang sudah tanda tangan Dokumen Release and
Discharge dengan langsung menerima Uang RP. 1.300.000.000,00 (satu
milyar tiga ratus juta rupiah) ada 75 keluarga korban yang sudah
menandatangani Dokomen Release and Discharge dengan langsung
menerima uang senilai RP.1.300.000.000,00 (satu milyar tiga ratus juta
rupiah).
7. Bisa disebutkan untuk keluarga korban mana saja yang sudah
menerima ganti kerugian dengan menandatangani Dokumen Release
and Discharge dari Lion Air?
Untuk Penumpang yang sudah menerima dan belum antara lain:
82
1. Rang Adiprana Belum
2. Vivian Afifa Sudah
Menerima
3. Indra Bayu Aji Sudah
Menerima
4. Firmansyah Akbar Belum
5. Wahyu Alldila Belum
6. Resky Amalia Sudah
Menerima
7. Restia Amelia Sudah
Menerima
8. Muhammad Andrian Sudah
Menerima
9. P. Anggrimulja Belum
10. Dede Angraini Belum
11. Liu Anto Belum
12. Vicky Ardian Sudah
Menerima
13. Arfiyandi Belum
14. Reni Ariyanti Belum
15. Riyan Aryandi Belum
16. Chairul Aswan Belum
17. Paul Aryobaba Belum
18. Fauzan Azima Sudah
Menerima
19. Naqiya Azmi Sudah
Menerima
20. Berly Boen Belum
83
21. Adoni Bongkal Belum
22. Matth Bongkal Belum
23. Hari Budianto Belum
24. Ar. Budiastuti Belum
25. Ken Cannavaro Belum
26. Liu Chandra Belum
27. Fe Christanto Belum
28. Ariska Cici Sudah
Menerima
29. Dadang Belum
30. Nursi Damanik Belum
31. Dia Damayanti Belum
32. Dary Daryanto Belum
33. Janu Daryoko Belum
34. Prato Dewanto Belum
35. Inayah Dewi Belum
36. Jannatun Dewi Sudah
Menerima
37. Sui Di Sudah
Menerima
38. Dolar Belum
39. Dony Belum
40. Dwinanto Belum
41. Abdul Efendi Belum
42. Capt. Efendi Sudah
Menerima
84
43. Jan Efriyanto Sudah
Menerima
44. Sri Endang Belum
45. Eryanto Belum
46. Xhe Fachridzi Belum
47. Mohammad Fadillah Belum
48. Der Febrianto Belum
49. Filzaladi Sudah
Menerima
50. Fiona Ayu Zen Sudah
Menerima
51. Trie Gautama Belum
52. Achmad Hadi Belum
53. Tri Hafidzi Belum
54. Fifi Hajanto Belum
55. Ibnu Hantoro Sudah
Menerima
56. Hardy Belum
57. Fais Harharah Sudah
Menerima
58. Darwin Harianto Sudah
Menerima
59. Harwinoko Sudah
Menerima
60. Chandra Hasan Sudah
Menerima
61. Has Hasnawati Belum
62. Hedy Belum
85
63. Hendra Sudah
Menerima
64. Herjuno Belum
65. Dewi Herlina Sudah
Menerima
66. Henny Heuw Belum
67. Ambo Malis HM Sudah
Menerima
68. A. Innajatullah Sudah
Menerima
69. Dicky Jatnika Belum
70. Ervin Jayanti Belum
71. Muhammad Jufri Belum
72. Tami Julian Belum
73. Jumalih Sudah
Menerima
74. HK Junaidi Sudah
Menerima
75. Dodi Junaidi Belum
76. Vera Junita Belum
77. Karmin Karmin Sudah
Menerima
78. Y Kartikawati Sudah
Menerima
79. Kasan Sudah
Menerima
80. Tesa Kausar Belum
81. Abdul Khaer Belum
86
82. Sui Khiun Sudah
Menerima
83. Khotijah Sudah
Menerima
84. Chandra Kirana Sudah
Menerima
85. Ariauw Komardy Belum
86. Igan Kurnia Belum
87. Mariya Kusum Sudah
Menerima
88. Liany Belum
89. Linda Sudah
Menerima
90. Rudi Lumban Toruan Belum
91. Mahheru Belum
92. Andr Mangredi Belum
93. Martono Sudah
Menerima
94. Sekar Maulana Sudah
Menerima
95. Mito Belum
96. Moejino Belum
97. Monni Belum
98. M. Syafii Sudah
Menerima
99. Akmad Mugnich Belum
100. Murdiman Sudah
Menerima
101. Murita Belum
87
102. Muhammad Nasir Sudah
Menerima
103. Njat Ngo Sudah
Menerima
104. Nie Nie Belum
105. Zulva Ningrum Sudah
Menerima
106. Noe Grohantoro Belum
107. Noorviantoro Sudah
Menerima
108. Agil Nugroho Sudah
Menerima
109. Hesti Nuraini Sudah
Menerima
110. Joyo Nuroso Sudah
Menerima
111. Nurramdhani Belum
112. Onggomardoyo Belum
113. Yoga Perdana Belum
114. Chris Prabowo Sudah
Menerima
115. Ridwan Pranata Sudah
Menerima
116. Rio Pratama Sudah
Menerima
117. Junior Priadi Sudah
Menerima
118. Ruslian Purba Belum
119. Puspita Putri Belum
88
120. Fatikah Putty Sudah
Menerima
121. N. Rabagus Sudah
Menerima
122. Shan Ramadhan Sudah
Menerima
123. Ruma Ramadhan Sudah
Menerima
124. Muchta Rasyid Belum
125. Ema Ratnapuri Belum
126. Rebiyanti Sudah
Menerima
127. Nur Rezkianti Sudah
Menerima
128. Rijalmahdi Sudah
Menerima
129. Muhammad Riyadi Belum
130. Imam Riyanto Belum
131. Akhim Rokhmana Belum
132. Romhan Sagala Sudah
Menerima
133. Sah Sahabudin Belum
134. Martua Sahata Belum
135. Ubaidi Salabi Sudah
Menerima
136. Nikky Santoso Sudah
Menerima
137. Yunit Sapitri Sudah
Menerima
89
138. Mawar Sariati Belum
139. Ase Saripudin Belum
140. Hizkia Jori Saroinsong Sudah
Menerima
141. Sas Sastiarta Belum
142. Rudolf Sayers Belum
143. Natalia Setiawan Sudah
Menerima
144. Cosa R Shabab Sudah
Menerima
145. Shella Belum
146. Sian Sudah
Menerima
147. Man Sihombing Belum
148. Yul Silvianti Belum
149. Nu Sitharesmi Sudah
Menerima
150. Nia Soegiyono Belum
151. Rizal Saputra Belum
152. Mack Stanli Sudah
Menerima
153. Eka M Suganda Belum
154. Fanki Sukandar Belum
155. Idha Susanti Belum
156. Rober Susanto Belum
157. Wahyu Susilo Sudah
Menerima
90
158. Eko Sutanto Sudah
Menerima
159. Eling Sutikno Belum
160. Sya Syahrudin Belum
161. Hendra Tanjaya Belum
162. Tan Mr. Toni Belum
163. Trianingsih Sudah
Menerima
164. Maria Ulfah Sudah
Menerima
165. Bambang Usman Sudah
Menerima
166. Verian Utama Belum
167. Miche Vergina Belum
168. Wanto Belum
169. Wendy Belum
170. Radik Widjaya Belum
171. Krisma Wijaya Belum
172. Daniel Wijaya Belum
173. Andr Wiranofa Belum
174. Witaseriani Sudah
Menerima
175. Wulurastuti Belum
176. Nicko Yogha Belum
177. Reo Yumitro Belum
178. Yuniarsi Belum
179. Yunita Sudah
Menerima
91
180. Bayi 1 Belum
181. Bayi 2 Belum
8 Kru Pesawat :
1. Bhavve Suneja (Pilot) Sudah
Menerima
2. Harvino (Co-pilot) Belum
3. Shintia Melina (Supervisi pramugari) Belum
4. Citra Novita Anggelia Putri (Pramugari) Belum
5. Alfiani Hidayatul Solikah (Pramugari) Sudah
Menerima
6. Fita Damayanti Simarmata (Pramugari) Belum
7. Meri Yulyanda (Pramugari) Belum
8. Deni Maulana (Pramugara) Belum