hak penolakan rujuk di indonesia dan negara...
TRANSCRIPT
i
HAK PENOLAKAN RUJUK DI INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI
DARUSSALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, GENDER, DAN HAM
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)
pada Program Studi Magister Hukum Keluarga
Oleh:
ADE IRMA IMAMAH
NIM. 21150435000002
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/1439 H
v
ABSTRAK
Ade Irma Imamah. NIM: 21150435000002. Hak Penolakan Rujuk di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam Perspektif Hukum Islam, Gender,
dan HAM. Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018
M. xv + 186 halaman + 44 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak perempuan menolak rujuk
ditinjau dari perspektif hukum Islam, gender, dan HAM serta menganalisis
legalitas rujuk yang berlaku di Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Untuk
melengkapi hasil penelitian, dirasa perlu juga mengungkap pandangan para ulama,
akademisi, dan praktisi hukum di kedua negara tersebut.
Pendekatan penelitian dalam tesis ini, menggunakan pendekatan normatif-
doktriner dan empiris. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif,
di antaranya sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil tulisan yang
telah disistematisasi.
Penelitian tesis ini menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 165
dan Undang-undang Keluarga Islam pasal 52 ayat 8, menyatakan rujuk yang
dilakukan tanpa persetujuan istri dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama di
Indonesia ataupun Mahkamah Syariah Negara Brunei Darussalam. Para ulama,
praktisi hukum, dan akademisi pun bersepakat bahwa perlu adanya persetujuan
istri dalam hal rujuk. Implementasi penolakan rujuk menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam, apabila dikaji
dari perspektif hukum Islam maka tampak kemaslahatan bagi suami istri. Adapun
peraturan rujuk yang berlaku didua negara tersebut apabila dilihat dari perspektif
gender, dinilai telah mengakomodasi kesetaraan gender. Perlunya persetujuan
rujuk dari mantan istri yang diatur kedua negara ini merupakan bagian pemenuhan
Hak Asasi Manusia, sebagaimana prinsip pelarangan diskriminasi adalah salah
satu bagian penting kesetaraan sehingga suami istri memiliki hak yang sama dan
seimbang.
Kata Kunci : Rujuk, Perundang-undangan Indonesia-Brunei
Darussalam, Hukum Islam, Gender, dan HAM.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1958 s.d Tahun 2018.
vi
ABSTRACT
Ade Irma Imamah. Student ID: 21150435000002. Right of Rejection
of Marital Reconciliation in Indonesia and Brunei Darussalam in the
Perspective of Islamic Law, Gender and Human Rights. Study Program of
Master of Family Law, Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. xv + 186 pages + 44
appendices.
This research aims at knowing the women rights to reject marital
reconciliation from the perspectives of Islamic law, gender, and human rights and
also analysing the legality of reconciliation implemented in Indonesia and Brunei
Darussalam. To support the result of this research, it is necessary to reveal the
views of Islamic scholars, academicians, and legal practitioners in both countries.
The approach of this research was normative-doctrines and empirical by
qualitative design. The data were taken from primary sources, i.e. data from direct
source s, and secondary data from systemized writing results.
This thesis research revealed that Compilation of Islamic Law article 165
and Islamic Family Law article 52 Verse 8 stated that reconciliation made without
the consent of a wife may be undone by a Religious Court in Indonesia or Syariah
Court in Brunei Darussalam. The Islamic scholars, law practitioners, and
academicians were also in agreement that it was obligatory to have consent form
the wife in term of reconciliation. The implementation of reconciliation rejection
was based on the Indonesian and Brunei Darussalam legislation; when analysed
comprehensively based on Islamic law perspective, it brought goodness for both
husband and wife. The legislation of reconciliation implemented in both countries
seen from gender perspective accommodated both genders. The need for approval
from the ex-wife applied in the both countries was a part from human rights
fulfilment, as the principle of prohibition of discrimination was an essential part
of equality so that husbands and wives had equal rights.
Keywords : Reconciliation, Indonesian and Brunei Darussalam Legislation,
Islamic Law, Gender, and Human Rights.
Advisor : Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag.
Bibliography : The Year of 1958 until The Year of 2018.
vii
ملخص
. حقوق رفض الرجعة بإندونيسيا وبروناي 20031053111112أدي إرمى إمامة. رقم القيد: . برنامج املاجستري يف حقوق األحوال األحكام اإلسالمية والجندر وحقوق اإلنساندار السالم من منظور
م. 8192\ه9341الشخصية كلية الشريعة واحلقوق جامعة شريف ىداية اهلل اإلسالمية احلكومية جاكرتا، ملحقا. 33صفحة و 921
حكام اإلسالمية ىدف ىذا البحث إىل الكشف عن حق رفض الرجعة لدى املرأة املطلقة من منظور األبإندونيسيا وبروناي دار السالم والكشف عما يؤكد واجلندر وحقوق اإلنسان والكشف عن قانونية الرجعة اجلارية
على نتائج ىذا البحث من آراء رجال الدين واألكادمييني والقضاة يف كال البلدين.
أنو حبث نوعي اعتمد على وقد استخدم ىذا البحث املدخل املعياري العقائدي والعملي. واتصف باملصادر األولية اليت تكتسب من مصادرىا األساسية بشكل مباشر واملصادر الثانوية اليت تكتسب من املؤلفات
اليت مت تنظيمها.
دل ىذا البحث على النتائج أن الرجعة دون رضا الزوجة املطلقة ميكن أن ينقضها احملكمة الشرعية وقانون 911كما أشار إليو جمموعة األحكام اإلسالمية يف املادة ي دار السالم أكانت بإندونيسيا أم بربونا
كادمييون والقضاة يف كال . ويف نفس الوقت اتفق رجال الدين واأل2والرقم 18لألسرة املسلمة يف املادة بروناييقو يف كال البلدين يف على ضرورة رضا الزوجة املطلقة يف شأن الرجعة. فنظام رفض الرجعة الذي مت تطب البلدين
منظور األحكام اإلسالمية فيو املصاحل للزوجني، وأما يف منظور اجلندر فيعد بأن كال البلدين قد حققا املساواة اجلندرية. وضرورة رضا الزوجة املطلقة يف شأن الرجعة كما قرره كال البلدين تعترب جزءا من استيفاء احلقوق
فض التمييز من أىم مبادئ املساواة اجلندرية اليت ىدفها حصول كال الزوجني على اإلنسانية باإلضافة إىل أن ر نفس احلقوق بشكل متوازن.
إندونيسيا وبروناي دار السالم، األحكام اإلسالمية، اجلندر، حقوق اإلنسان.النقاط احلاكمة: الرجعة، دستور
املشرفة: الدكتورة ميسريين
.م 8192م إىل 9112املراجع: من السنة
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
أ tidak dilambangkan
بb de
تt te
ثts te dan es
جj je
حh ha dengan gais bawah
خkh ka dan ha
دd de
ذdz de dan zet
رr er
زz zet
سs es
شsy es dan ye
صs es dengan garis bawah
ضd de dengan garis bawah
طt te dengan garis bawah
ظz zet dengan garis bawah
ع‘ koma terbalik di atas
hadap kanan
غgh ge dan ha
فf ef
قq qo
كk ka
لl el
مm em
ix
نn en
وw we
ھh ha
ء` apostrop
يy ya
2. Vokal Tunggal (Monoftong)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
- a fathah
- i kasrah
u dammah
3. Vokal Rangkap (Diftong)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
4. Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
Î i dengan topi di atas ي
و Û u dengan topi di atas
x
هبسم ٱلله حم حيم ٱلره ٱلره
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas diucapkan dalam kesempatan ini
selain persembahan puji syukur tiada terkira kehadirat Illahi Robbi, karena atas
karunia dan pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi
Agung Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dalam penulisan tesis ini, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada
Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang berperan penting dalam memberikan informasi
demi terselesaikannya tesis penulis.
Penelitian ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta,
Ayahanda Ismail (alm) dan Ibunda Ranih yang selalu memberikan nasehat-
nasehat berharga. Dari beliaulah penulis belajar akan kesabaran dan pentingnya
pendidikan, kelak berguna menjadi pendidik untuk pribadi, anak-anak, dan
masyarakat luas. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kebahagiaan di
masa tuanya.
Ucapan teristimewa kepada suami tercinta, Aditya Darmadi, S. PdI yang
selalu memotivasi penulis, mencurahkan seluruh waktu dan kasih sayangnya
untuk penulis sehingga rampungnya tesis ini. Begitu juga kasih sayang tak
terhingga untuk putri tercinta penulis, Siti Yurifa El Mu’min yang mana waktu
bersama dengan mimih –panggilan sayang kepada penulis- terpaksa harus
dikurangi demi terselesaikannya tesis ini.
Penulisan tesis ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis
hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
xi
Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Syahrul A’dam, M.Ag dan Dr. Nahrowi, SH., M.H selaku Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag selaku dosen pembimbing yang tiada henti dan
sabar meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mensupport
penulis agar terselesaikannya tesis ini. Beliau adalah my inspiring women.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf dan karyawan akademik
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama serta
Perpustakaan Pasca Sarjana yang telah membantu penulis dalam pengadaan
referensi sebagai bahan rujukan tesis.
5. Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD dan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo,
sebagai inspirasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Dengan melihat
begitu banyak karyanya yang menjadikan referensi utama dalam penulisan
tesis ini.
6. Dr. KH. A. Mukri Aji, MA., Dr. A. Sudirman Abbas, MA dan Dr. Sirajuddin
Sailellah, MH yang telah banyak memberikan wawasan dan pandangan rujuk
dalam konteks Indonesia.
7. Awang Haji Azman binti Ismail, Ustad Baihaqy, Dr. Waiduri binti Haji
Mohammad Ali, dan Dr. Raneya Fatdal binti Hajah Ja’far yang telah bersedia
menyempatkan waktunya dan memberikan wawasan serta informasi dalam
konteks negara Brunei Darussalam.
8. Prof. Harapandi Dosen Kolej University Perguruan Ugama Bandar seri
Begawan, dari awal proses kunjungan, perjalanan, dan hotel beliaulah yang
mengarahkan. Prof. Mulyadi Kartanegara Selaku Guru Besar Fakultas
Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, namun dipertemukan di
Universitas Brunei Darussalam.
xii
9. Dr. Yayan Sopyan, SH., M.H., MA yang telah merekomendasikan penulis
bertemu Bapak Haji Bakar dan Istri (Mamah Yayu binti Haji Furqon), rabiah,
rabiqoh, teh neng dan shadi. Mereka yang telah melimpahkan kasih sayang
dan memberikan tempat tinggal, melindungi dan memfasilitasi penulis serta
sudah seperti menjadi bagian dari keluarga penulis selama berada di Brunei
Darussalam.
10. Terkasih dan sayang untuk sahabat seperjuangan Magister Hukum Keluarga
2015 yaitu Burhanatut Dyana, Triyana, Resti, Pak Ekrom, Danil, Fathin,
Madnur, Ilham, serta Bang Asso yang saling memberikan motivasi dalam
menyelesaikan tesis ini.
11. Teruntuk adikku tersayang, Muhammad Robi yang sedang menyelesaikan
skripsinya. Dia yang selalu memberikan semangat, cinta kasihnya serta selalu
mendampingi penulis saat melakukan perjalanan ke kampus yang sama
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Kepada mereka semua penulis sampaikan terima kasih dan semoga
Allah membalas segala amal perbuatan mereka. Akhirnya, penulis berharap
semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya. Lebih dari itu, penulis juga menyadari bahwa
penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam perbaikan penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan rahmat dan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.
Ciputat, 05 Juni 2018 M/20 Ramadan 1439 H
Penulis,
Ade Irma Imamah
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................ iv
ABSTRAK............................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI....................................................................... viii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... x
DAFTAR ISI...................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
B. Permasalahan..............................................................................5
C. Tujuan penelitian........................................................................7
D. Signifikansi Penelitian...............................................................8
E. Review Studi Terdahulu............................................................8
F. Metode Penelitian.................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan...............................................................14
BAB II HUKUM ISLAM, GENDER, DAN HAM
A. Hukum Islam.......................................................................... 16
B. Diskursus Kesetaraan Gender..................................................38
C. Teori Hak Asasi Manusia Dalam UDHR................................49
xiv
BAB III SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN PERKAWINAN
INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Sejarah Perundang-undangan Perkawinan Indonesia..............56
B. Perundang-undangan Perkawinan Negara Brunei
Darussalam............................................................................. 72
C. Kedudukan Perundang-undangan Perkawinan dalam Sistem
Hukum Nasional Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam............................................................................. 81
BAB IV KETENTUAN RUJUK MENURUT FUKAHA, HUKUM
KELUARGA INDONESIA, DAN NEGARA BRUNEI
DARUSSALAM
A. Rujuk Menurut Fukaha........................................................... 87
B. Rujuk Menurut Hukum Keluarga Indonesia......................... 96
C. Rujuk Menurut Hukum Keluarga Negara Brunei
Darussalam........................................................................... 106
BAB V HAK PEREMPUAN MENOLAK RUJUK
A. Perbandingan Pendapat Fukaha, Peraturan Perundang-
undangan Indonesia dan Negara Brunei Darussalam tentang
Hak Menolak
Rujuk.................................................................................... 115
B. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Maqâsid al-
Syarî’ah dan Maslahah Mursalah........................................ 133
C. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Gender............. 142
D. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Hak Asasi
Manusia................................................................................ 147
E. Pandangan Ulama, Praktisi Hukum, dan Akademisi tentang
Hak Perempuan Menolak Rujuk.......................................... 149
F. Implementasi Rujuk di Indonesia dan Negara Brunei
Darussalam........................................................................... 158
xv
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................... 165
B. Saran..................................................................................... 167
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 168
LAMPIRAN
1. Surat Penunjukkan Pembimbing Tesis.
2. Surat Permohonan Pengambilan Data/Wawancara kepada Kolej Universiti
Perguruan Ugama Islam Bandar Seri Begawan.
3. Surat Permohonan Pengambilan Data/Wawancara kepada Mahkamah
Syariah Brunei Darussalam
4. Surat Permohonan Pengambilan Data/Wawancara Ketua Pengadilan
Agama Bogor Kota.
5. Surat Keterangan Pengambilan Data/Wawancara dari Pengadilan Agama
Bogor Kota.
6. Surat Permohonan Pengambilan Data/Wawancara kepada Ketua Kantor
Urusan Agama Kecamatan Parung.
7. Surat Keterangan Pengambilan Data/Wawancara dari Kantor Urusan
Agama Kecamatan Parung.
8. Kompilasi Hukum Islam tentang Rujuk.
9. Perlembagaan Negara Brunei Darussalam (Perintah di bawah bab 83 (3))
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999).
10. Transkip Wawancara.
11. Dokumentasi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kedamaian
dan kebahagiaan bagi suami istri dan anak yang terlahir dari perkawinan
tersebut. Namun dalam keadaan rumah tangga yang tidak bisa lagi
dipertahankan, maka Islam membolehkan perceraian. Perceraian adalah
jalan terakhir yang ditempuh ketika sudah tidak ada jalan perdamaian.
Setelah suami istri melakukan perceraian, Islam masih memberikan
kesempatan untuk mereka mengembalikan keutuhan perkawinan tersebut.
Salah satu cara mengembalikan keutuhan rumah tangga, ketika kata
“talak” dilontarkan dari mulut sang suami kepada sang istri yaitu dengan
cara rujuk. Bahwa ketentuan rujuk sudah dibahas sejak lama oleh para
ulama dalam kitab-kitab fikih klasik.1 Yang dimaksud dengan rujuk yaitu
meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan, antara
pasangan suami istri yang sebelumnya dikhawatirkan dapat terputus
karena jatuhnya talak raj‟î oleh suami.2 Fuqaha memiliki pandangan yang
seragam mengenai hak rujuk yang dimiliki oleh suami. Hak rujuk suami
bersifat mutlak tanpa memandang hak seorang istri, apakah ia bersedia
untuk rujuk kembali dengan suaminya ataupun tidak.3
Apabila seorang suami tidak puas dengan cara istrinya dalam
mengatur rumah tangga namun suami tersebut tidak menegurnya dengan
baik, justru suami memarah-marahi istrinya, bahkan sampai ada yang
mentalak istrinya. Kemudian, setelah menyadari kesalahannya suami
1 Lihat Muhammad Ibn Idrîs al- Syafiî, Syarh al-Ŭmm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmîyya,
1994), jilid VII, h. 245. al-Imam Sahnûn ibn Sa‟id al-Tanûkhi, al-Mudâwanah al-Kubra, (Beirut:
Dâr Sadîr, 1323 H), h. 275. Abû Muhammad „Abdillah ibn Ahmad Ibn Qudâmah, al-Mughnî wa
Syarh al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), jilid VII, h. 270. Syams al-Dîn al-Sarâkshî, al-
Mabsûth, (Beirut: Dâr al-Ma‟rûfah, 1989), juz 2, h. 67.
2 Muhammad Jawad Mughnîyah, Fikih Lima Mazhab, ter. Masykur, dkk. (Jakarta:
Lentera, 1999), h. 481.
3 Muhammad Jawad Mughnîyah, Fikih Lima Mazhab, h. 481 dan Mustofa Dib al-Bughâ,
dkk. Fikih Manhâjî, terj. Misrah (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), h. 721. Dalam kedua kitab ini
walaupun berbeda zaman, memaknai rujuk tetap hak suami tanpa perlu persetujuan istri.
2
tersebut ingin kembali lagi dengan mantan istri (rujuk) dengan cara yang
sama sekali tidak menghargai seorang istri, dan hal ini bisa terjadi berkali-
kali sehingga menyakiti hati istri. Padahal, tidak dibenarkan mantan suami
mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik misalnya
untuk menyengsarakan mantan istrinya, atau untuk mempermainkannya,
sebab dengan demikian bekas suami itu berbuat aniaya atau berbuat zalim,
sedangkan berbuat zalim itu diharamkan.
Para ulama ahli tafsir, di antaranya adalah al-Baidhawî berpendapat
bahwa kalimat إصالحا دوااأرإن dalam surat Al-Baqarah ayat 228 bukanlah
merupakan bentuk syarat. Menurutnya4, bahwa kalimat tersebut bukanlah
dimaksudkan sebagai syarat, tetapi hanya merupakan tahridh5
, yakni
kembalinya mantan suami kepada mantan istri hendaklah dimaksudkan
untuk ishlah, dan bukan untuk menyakiti atau melukainya.
Demikian pula dalam memahami kata أحق. Para ulama ahli tafsir,
mengartikan kata tersebut bukan sebagai bentuk tafdhîl, yang mengandung
arti lebih berhak. Akan tetapi, mereka mengartikan sebagai kata biasa
(tidak mempunyai makna tafdhîl).6
Hal ini merupakan bukti bahwa
menurut penafsiran mereka tidak ada hak rujuk bagi seorang perempuan,
bahkan mereka tidak mempunyai hak sama sekali untuk menolak atau
diberi hak untuk dimintai pendapatnya, apabila mantan suami
menghendaki rujuk untuk kembali kepada mantan istrinya.
Berdasarkan pada ayat dalam masalah rujuk tersebut, ulama tidak
memberikan hak sedikitpun kepada seorang istri. Berbeda dengan masalah
talak, meskipun hak talak tetap dipegang oleh suami, tetapi seorang istri
bila merasa suatu hal yang mengganggu kehidupan rumah tangganya, dan
4 Al-Baidhawî, Tafsir al-Baidhawî, (Beirut: Dâr al-Nasyr, 1996), Juz 1, h. 516.
5 Tahridh dalam istilah bahasa Arab adalah bentuk ajakan yang maknanya bukan hanya
penawaran, tetapi lebih berat ke bentuk perintah. (Al-Baidhawî, Tafsîr al-Baidhawî), Juz 1, h.
516.
6 Al-Baidhawî, Tafsîr al-Baidhawî, h. 516.
3
itu datang dari pihak suami, maka kepadanya diberikan hak untuk
menuntut suami menceraikannya dengan cara khuluk.7
Padahal, bila kita lihat ayat selanjutnya, secara jelas menerangkan
bahwa seorang suami tidak boleh menyakiti istrinya, apabila ia bermaksud
untuk rujuk. Dalam hal tidak menyakiti, apakah hanya dari pihak suami
saja yang didengar pendapatnya, sehingga bila suami mengatakan tidak
bermaksud menyakiti dapat diterima begitu saja, tanpa melihat
kepentingan dan perasaan mantan istri tersebut. Dalam hal ini, yang
menjadi permasalahan adalah sejauh mana penafsiran ulama tersebut,
apakah merupakan suatu hal yang sudah pasti atau hanya sebuah
penafsiran saja? Atau apakah dimungkinkan munculnya suatu penafsiran
baru yang sesuai dengan kondisi yang berkembang pada saat ini, yang
mana pada masa ini sering disebut sebagai masa di mana arah kebebasan
hak asasi manusia sedang menjadi perbincangan yang sangat menarik. 8
Kebolehan mantan suami merujuki mantan istri tanpa
memperdulikan kesediaan mantan istri tersebut, seperti disampaikan para
ulama klasik tampaknya bertentangan dengan konsep keadilan.9
7
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khuluk adalah perceraian atas permintaan
pihak perempuan dengan mengembalikan mas kawin yang diterimanya atau biasa dikenal dengan
talak tebus. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-1, h. 767.
8 Lily Zakiyah Munir (ed.), Memposisikan Kodrat Wanita, (Bandung: Mizan, 1999), h.24.
9 Dalam Ensiklopedia Hukum Islam dikemukakan bahwa secara etimologi arti “adil” (al-
„adl) berarti tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan sesuatu pada tempatnya (wâd
„asy-syaifî maqâmih). Menurut Ibnu Qudâmah bahwa yang dimaksud dengan keadilan adalah
sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah Swt. Berlaku adil
itu sangat terkait dengan hak dan kewajiban, hak yang dimiliki oleh seseorang termasuk hak asasi
wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah
wajib pula diberikan kepada yang berhak menerimanya. Dalam Anonim, Ensiklopedi Hukum
Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 25. Lihat juga Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, h. 112. Kemudian menurut filosof Ulpinus yang telah diambil alih
oleh Kitab Hukum Justianus mengatakan bahwa keadilan itu adalah kehendak yang ajeg dan tetap
untuk memberikan terhadap masing-masing bagiannya (Iustitia est constant et perpetua voluntas
ius suum euique tribuendi). Dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 112.
Lihat juga Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2002), h. 155-157.
Menurut Aristoteles keadilan itu adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar
manusia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti, adil itu
dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding yaitu yang semestinya. Dalam Darji
Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, h.157. Lihat juga Muhammad Hashim
Kamali, Freedom Equality and Justicein Islam, (Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher SDN, BHR,
4
Bagaimana tidak, karena sesungguhnya ini sangat merugikan pihak istri,
karena istri hanya menjadi objek untuk ditalak dan dirujuk oleh suami
yang mempunyai hak mutlak dalam menjatuhkan talak dan juga
mempunyai hak mutlak untuk merujukinya.
Berbeda dengan ketentuan rujuk yang ditentukan dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dan juga dalam ketentuan rujuk di negara
Brunei Darussalam. Walaupun hak melakukan rujuk tidak diberikan
kepada mantan istri, namun mantan istri mempunyai hak untuk tidak
menerima rujuk yang dilakukan mantan suami. Hal ini dijelaskan oleh
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia BAB XVIII Pasal 163 sampai Pasal
169 tentang rujuk dan tatacara rujuk. Pada pasal 165 dijelaskan bahwa
rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas istri, dapat dinyatakan
tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Begitupun yang tertera
dalam Perlembagaan Negara Brunei Darussalam Perintah Darurat
(Undang-undang Keluarga Islam), 1999. Pada Bab V Pasal 52 terdapat 8
ayat tentang pengaturan rujuk mulai dari pembatalan talak hingga ingin
kembali menikah (rujuk). Negara Brunei Darussalam juga mengatur
bahwa perempuan diberikan kebebasan untuk memilih, apakah ia akan
menerima rujuk mantan suami tersebut ataupun menolaknya.
Kedua negara, Indonesia dan negara Brunei Darussalam terkesan
sudah membuat aturan yang lebih adil untuk laki-laki dan perempuan. Ada
hak yang sama antara mantan suami dan mantan istri dalam masa idah
talak raj‟î ini. Mantan suami memiliki hak untuk melakukan rujuk dan
mantan istri mempunyai wewenang untuk menolak ataupun menerima
rujuk mantan suaminya.
1999), h. 140-141. Sedangkan menurut John Rawls prinsip keadilan terbagi dua, yaitu; Pertama,
setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan
kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Prinsip ini dikenal dengan
“prinsip kebebasan yang sama” (equal liberty principle), misalnya kemerdekaan berpolitik
(political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and
expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Kedua, ketidaksamaan sosial dan
ekonomi diatur sedemikian rupa. Prinsip kedua ini disebut prinsip perbedaan (difference principle)
dan dinamakan prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Dalam Pan
Mohamad Faiz. “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, (Jakarta: April,
2009), h. 140.
5
Mengapa terjadi pergeseran ketentuan rujuk yang berlaku di kedua
negara, Indonesia dan negara Brunei Darussalam dengan pendapat mazhab
yang tercantum dalam kitab-kitab fikih tradisional? Bagaimana pandangan
ulama, praktisi hukum, dan akademisi dalam menerima perbedaan hak
rujuk tersebut? Bagaimana pelaksanaan rujuk yang dipraktikkan oleh
masyarakat di kedua negara ini? Serta bagaimana rujuk yang diatur di dua
negara ini, apabila ditinjau dari perspektif hukum Islam, perspektif gender,
dan perspektif HAM? Ketentuan yang diatur di dua negara, Indonesia dan
negara Brunei Darussalam ini cukup menarik untuk dikaji. Karena,
keduanya adalah negara yang sama-sama mayoritas berpenduduk muslim,
yang mana hukum Islam memberikan hak rujuk itu menjadi hak mutlak
suami. Bahkan negara Brunei Darussalam adalah negara yang secara resmi
mencetuskan diri sebagai negara Islam, tetapi dalam ketentuan rujuk ini
negara Brunei Darussalam tidak mengikuti pendapat ulama fikih-fikih
klasik. Selain itu, di negara Brunei Darussalam gerakan organisasi ataupun
individu yang menyuarakan kesetaraan gender tidak terlalu tampak, tetapi
mengapa dalam hak rujuk ini istri mendapat posisi lebih dibanding yang
diatur dalam fikih-fikih klasik? Berbeda dengan di Indonesia, yang mana
geliat tuntutan kesetaraan gender sangat ramai disuarakan. Untuk
menjawab semua pertanyaan tersebut, peneliti mengkajinya dalam sebuah
tesis dengan judul: “Hak Penolakan Rujuk di Indonesia dan Negara
Brunei Darussalam Perspektif Hukum Islam, Gender, dan HAM.”
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas diketahui bahwa menurut
pendapat ulama dalam kitab fikih klasik rujuk adalah hak mutlak mantan
suami, istri tidak diberi kesempatan untuk menolak keinginan rujuk dari
mantan suami. Berbeda dengan pendapat dalam aturan rujuk di Indonesia
dan negara Brunei Darussalam, yang mana kedua negara ini mengatur hak
menolak rujuk bagi mantan istri terhadap rujuk yang dilakukan oleh
mantan suami. Mengapa muncul perbedaan aturan di dua negara tersebut,
6
dengan pendapat ulama mazhab yang diyakini oleh kedua negara yang
mayoritas beragama Islam ini. Bagaimana penerimaan ulama di kedua
negara terhadap aturan ini dan bagaimana praktek di masyarakat, apakah
mantan istri diberikan hak menolak rujuk atau memang rujuk itu menjadi
hak mutlak mantan suami. Bagaimana ketentuan yang sudah lahir di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam, apabila dikaji dari perspektif
hukum Islam, perspektif gender, dan perspektif HAM.
1. Identifikasi Masalah
Berbagai permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
a. Pandangan empat imam mazhab tentang hak menolak rujuk oleh
istri.
b. Ketentuan dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan negara
Brunei Darussalam dalam hal rujuk.
c. Hak menolak rujuk perspektif hukum Islam.
d. Hak menolak rujuk perspektif gender.
e. Hak menolak rujuk perspektif hak asasi manusia.
f. Hak menolak rujuk di dua negara yaitu Indonesia dan negara
Brunei Darussalam dilihat dari perspektif hukum Islam, gender,
dan HAM.
g. Pandangan ulama, praktisi hukum dan akademisi dalam hak
perempuan menolak rujuk.
h. Praktik pelaksanaan rujuk di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana hak menolak rujuk oleh istri berdasarkan penetapan
perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam,
7
apabila dikaji dari perspektif hukum Islam, perspektif gender, dan
perspektif HAM?
b. Bagaimana pandangan ulama, praktisi hukum dan akademisi dalam
menerima perbedaan ketentuan hak rujuk yang berlaku di kedua
negara tersebut dengan pendapat semua mazhab yang tercantum
dalam kitab-kitab fikih klasik?
c. Bagaimana pelaksanaan rujuk yang dipraktikkan saat ini oleh
masyarakat di kedua negara, Indonesia dan negara Brunei
Darussalam?
3. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah, peneliti membatasi masalah yang akan
dibahas sehingga lebih jelas dan terarah. Penelitian ini akan membahas
peraturan yang mengatur tentang rujuk di negara Indonesia dan negara
Brunei Darussalam dengan menggunakan analisis vertikal, horizontal, dan
diagonal. Di Indonesia yang dijadikan sumber data pokok adalah
Kompilasi Hukum Islam, sedangkan di negara Brunei Darussalam adalah
Perintah Darurat Undang-undang Keluarga Islam Tahun 1999. Kemudian,
menganalisis persamaan dan perbedaan ketentuan rujuk yang berlaku di
kedua negara, dengan pendapat semua mazhab yang tercantum dalam
kitab-kitab fikih klasik di Indonesia dan negara Brunei Darussalam yang
akan dikaji dari pespektif hukum Islam, gender, dan HAM.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan
penelitian sebagai berikut:
a. Untuk memahami bagaimana hak menolak rujuk oleh mantan istri
berdasarkan penetapan perundang-undangan di Indonesia dan
negara Brunei Darussalam, apabila dikaji dari perspektif hukum
Islam, perspektif gender, dan perspektif HAM.
8
b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama, praktisi hukum
dan akademisi dalam menerima perbedaan ketentuan hak rujuk
yang berlaku di kedua negara tersebut dengan pendapat semua
mazhab yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik.
c. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan rujuk yang dipraktikkan
saat ini oleh masyarakat dikedua negara tersebut.
D. Signifikansi Penelitian
Selain tujuan yang telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan signifikansi sebagai berikut:
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa hak menolak
rujuk bagi mantan istri tidak hanya di atur di dalam negeri saja,
akan tetapi juga dilakukan di luar negeri yaitu negara Brunei
Darussalam, sebagai bentuk perlindungan khususnya bagi
perempuan.
2. Sebagai referensi bagi pencari keadilan, khususnya bagi
perempuan, serta memberikan kejelasan pada masyarakat
umumnya, tentang hak seimbang seorang perempuan dengan laki-
laki.
3. Sebagai masukan untuk pemerintah, agar lebih memperhatikan
derajat perempuan atas haknya sebagai manusia.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Peneliti
menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan, akan tetapi
mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti, adapun penelitian tersebut dintaranya:
Tesis yang berjudul: “Hak Rujuk Perempuan dalam Hukum Islam
(Studi Analisis atas Hak Rujuk Perempuan dalam Perspektif Gender)”,
yang ditulis oleh Wiwi Ma‟shum, tahun 2006 mahasiswa Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari hasil penelitian
9
tesis ini menjelaskan sejauh mana hak-hak perempuan seputar rujuk yang
dikaitkan dengan masalah gender yang sedang hangat diperbincangkan di
kalangan masyarakat. Bagaimana pandangan Islam terhadap hak-hak
perempuan dalam rujuk, dan ditegaskan pula bahwa hak-hak perempuan
yang dijamin oleh ayat tentang rujuk dapat dijadikan syarat bagi akad
rujuk yang ditawarkan suami, sehingga perempuan dapat menolak atau
menerima rujuk yang hendak dilakukan oleh suami yang menceraikannya.
Perbedaan dengan tesis peneliti adalah menambahkan perspektif dalam
menganalisa hak rujuk bagi mantan istri ditinjau dari perspektif HAM,
serta memperbandingkan peraturan perundang-undangan di dua negara
Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Penulis pun sepakat dengan tesis
ini, yang memberikan hak kepada mantan istri untuk menerima atau
menolak rujuk mantan suami.
Disertasi yang berjudul: “Hak-hak Perempuan Pasca Cerai di Asia
Tenggara: Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dengan
Malaysia”, yang ditulis oleh Mesraini, Mahasiswa Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008. Hasil penelitian ini menyebutkan
bahwa hak-hak perempuan pasca cerai di Indonesia dan Malaysia tidak
jauh berbeda. Disebutkan di dalamnya, bahwa di antara hak perempuan
pasca cerai itu adalah hak menolak rujuk. Dalam hukum keluarga di dua
negara, Indonesia dan Malaysia dinyatakan kebolehan istri untuk
menerima atau menolak rujuk suami. Penelitian disertasi ini, membahas
hak menolak rujuk perspektif hukum Islam dan memperbandingkan
perundang-undangan Indonesia dan Malaysia, dan tidak spesifik
membahas hak rujuk bagi perempuan dari perspektif gender dan HAM.
Tetapi juga membahas hak-hak pasca cerai lainnya, yaitu hak memperoleh
mut‟ah, nafkah, menolak rujuk, hadhanah, dan harta bersama. Negara yang
di perbandingkan dalam disertasi tersebut berbeda dengan penelitian tesis
ini, yaitu negara Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Penulis
berpandangan sama dengan pernyataan disertasi ini, bahwa mantan istri
diberi hak menolak rujuk mantan suami dikuatkan dengan peraturan
10
perundang-undangan sehingga terdapat keseimbangan hukum antara suami
dan istri.
Tesis yang berjudul: “Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Pandangan Empat Imam Mazhab, tahun 2011
oleh Imam Nurhamim, mahasiswa UIN Malang. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa Imam Hambali berpendapat rujuk hanya terjadi
melalui pencampuran. Apabila ada pencampuran, maka terjadilah rujuk
walaupun tanpa niat. Menurut Imam Hanafi, selain melalui pencampuran
rujuk juga bisa terjadi melalui sentuhan, bercumbu dan sejenisnya. Imam
Malik menambahkan harus adanya niat rujuk dari sang suami di samping
perbuatan, pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat Imam Hanafi
yang menyatakan rujuk bisa terjadi dengan perbuatan saja tanpa adanya
niat. Sedangkan menurut Imam Syafiî, rujuk harus dengan ucapan yang
jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika hanya
dengan perbuatan. Menurut penulis pendapat yang dianggap relevan
adalah pendapat Imam Syafiî dalam konteks ke Indonesiaan yang
mewajibkan adanya saksi dalam konsep rujuk begitupun dengan negara
Brunei Darussalam. Dalam penelitian tesis yang dilakukan peneliti tidak
terfokus kepada pendapat imam mazhab saja berbeda dengan penelitian
tesis di atas. Selain itu, penelitian tesis yang dilakukan Imam Nurhamim
tidak menggunakan multi perspektif seperti rujuk ditinjau dari perspektif
gender, HAM, serta mengetahui bagaimana respon ulama, praktisi hukum,
dan akademisi dalam ketentuan rujuk yang berlaku di dua negara
Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
Tesis yang berjudul: “Hak Istri Menolak Rujuk dalam Masa Idah
Talak Raj‟î Perspektif Hak Asasi Manusia. Nur Aida, Mahasiswa UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, tahun 2011. Dalam penelitian Tesisnya
membahas tentang hak rujuk bagi istri analisis Kompilasi Hukum Islam
dan pasal-pasalnya, serta dikaitkan dengan perspektif Hak Asasi Manusia.
Dalam penelitian ini, Kompilasi Hukum Islam mengatur adanya kebolehan
istri menolak rujuk yang diajukan oleh suami, dilihat dari perspektif HAM
11
bahwa istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Penulis
sepakat dengan pernyataan tesis di atas, bahwa hak penolakan rujuk yang
dilakukan oleh mantan istri merupakan bagian dari perlindungan hak asasi
manusia. Oleh karena itu, persamaan dalam penelitian ini sama-sama
mengkaji rujuk dari perspektif HAM namun tesis tersebut tidak membahas
perspektif gender. Selain itu, tesis yang penulis lakukan ini juga
mengungkap bagaimana pandangan ulama, praktisi hukum, dan akademisi
dalam ketentuan rujuk yang diatur di negara Indonesia dan negara Brunei
Darussalam.
Dari hasil penelitian terdahulu, jelas memiliki perbedaan dengan
peneliti, fokus peneliti pada hak rujuk oleh mantan istri ditinjau dari
perspektif hukum Islam, gender, dan Hak Asasi Manusia. Kemudian ingin
mengetahui respon ulama, praktisi hukum, dan akademisi dalam menerima
perbedaan ketentuan hak rujuk yang berlaku di negara Indonesia dan
negara Brunei Darussalam, serta berusaha mengungkap bagaimana
pelaksanaan rujuk yang dipraktikkan oleh masyarakat di kedua negara
tersebut.
F. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-
doktriner dan juga gabungan empiris. Kemudian, jenis penelitian yang
digunakan adalah kualitatif. Adapun sumber data dalam penelitian ini
dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.
Untuk memperjelas jalannya penelitian ini, maka diuraikan metode
penelitiannya sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam tesis ini menggunakan pendekatan
normatif-doktriner dan juga gabungan empiris. Pendekatan normatif-
doktriner yaitu untuk membahas kajian tentang bagaimana peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang rujuk di negara Indonesia dan
12
negara Brunei Darussalam, apabila dikaji dari perspektif hukum Islam,
gender, dan HAM. Sedangkan pendekatan empiris yaitu untuk mengetahui
bagaimana pandangan ulama, praktisi hukum, akademisi dalam menerima
perbedaan ketentuan hak rujuk yang berlaku di Indonesia dan negara
Brunei Darussalam, dan bagaimana pelaksanaan rujuk yang dipraktikkan
saat ini oleh masyarakat di Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Adapun ciri dari
metode kualitatif adalah data yang disajikan berupa gambaran kata-kata,
pendapat, ungkapan, gagasan, norma atau aturan-aturan dari fenomena
yang diteliti.10
Data kualitatif diperoleh dari hasil observasi, wawancara
dan sumber data lain yang terkait dengan hak menolak rujuk oleh mantan
istri di Indonesia dan Brunei Darussalam.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumbernya, di antaranya sumber data primer pertama dalam
penelitian ini adalah peraturan yang mengatur tentang rujuk di negara
Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Di Indonesia yang dijadikan
sumber data pokok adalah Kompilasi Hukum Islam, sedangkan negara
Brunei Darussalam adalah Perintah Darurat Undang-undang Keluarga
Islam tahun 1999. Selanjutnya, sumber data primer kedua adalah
wawancara di Indonesia dengan ulama, akademisi dan praktisi hukum di
Pengadilan Agama serta Kantor Urusan Agama yang memang mempunyai
kewenangan menangani kasus penolakan rujuk.11
Adapun di negara Brunei
10 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), h. 3
11
Di Indonesia, wawancara dengan ulama di antaranya: Pertama, Prof. Huzaemah Tahido
Yanggo. Alasannya, karena selain Ulama Perempuan Majelis Ulama Indonesia Pusat, beliau juga
sebagai dosen dalam mata kuliah Fikih Munakahat Kontemporer sehingga pandangannya sebagai
ulama perempuan sesuai dengan isu yang sedang dibahas. Kedua, Dr. A. Mukri Aji, MA. Beliau
13
Darussalam Ulama, akademisi, dan praktisi hukum sudah ditentukan oleh
lembaga yang ditunjuk.12
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil tulisan yang
telah disistematisasi oleh orang lain. Adapun kategori yang termasuk data
sekunder adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan hukum
perkawinan, serta buku-buku dan literatur yang mendukung data primer.
Seperti buku, tulisan, jurnal, kamus hukum, ensiklopedia, media online,
you tube, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan rujuk.
4. Teknik Pengolahan Data
Tekhnik pengolahan data dalam tesis ini dimulai dengan
pengkodean data. Untuk selanjutnya digunakan kategorisasi dan
fragmentasi data, kemudian dilakukan pemilahan pemilihan dan
pemotongan data sesuai dengan kebutuhan seperti menulis fragmentasi,
interview dan data kepustakaan yang akan dikutip dalam penulisan.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah dengan menggunakan content analysis,
dan comparatif law. Content analysis yaitu metode yang menganalisis isi
sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bogor, yang memang mewakili pendapatnya
sebagai ulama laki-laki dalam isu rujuk ini.
Wawancara sekaligus konsultasi dengan Akademisi di antaranya Prof. M. Atho‟
Mudzhar, MSPD. Alasannya, selain guru besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta beliau
juga dosen mata kuliah tentang sosiologi hukum. Sehingga pandangan beliau sesuai dengan isu
rujuk di Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Kedua, Dr. A. Sudirman Abbas, MA. Beliau
dosen FSH UIN Jakarta syariah yang memang mumpuni dalam bidang hukum keluarga.
Kemudian wawancara dengan praktisi hukum di antaranya hakim di Pengadilan Agama
dan Kantor Urusan Agama yang memang mempunyai kewenangan menangani kasus penolakan
rujuk ini.
12
Adapun wawancara di negara Brunei Darussalam, ditunjuk langsung oleh lembaga
yang bersangkutan. Di antaranya: Ulama Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan, yaitu
Ustad Baihaqi. Beliau memang ulama sekaligus akademisi yang memang pendapatnya dirasa
penting dalam isu rujuk di Brunei Darussalam.
Wawancara dengan akademisi, yaitu dosen syariah dan hukum Kolej Universiti
Perguruan Ugama Seri Begawan, di antaranya: Dr. Waiduri binti Haji Mohammad Ali, Dr. Raneya
Fatdal binti Hajah Ja‟far. Pendapat mereka dirasa penting untuk mengetahui isu rujuk saat ini di
negara Brunei Darussalam.
Wawancara dengan praktisi hukum, Mahkamah Syariah menunjuk Awang Haji Azman
bin Haji Ismail sebagai panitera Mahkamah Syariah. Informasi yang diberikan bertujuan untuk
lebih menguatkan implementasi rujuk yang terjadi saat ini di negara Brunei Darussalam.
14
peraturan tentang hak rujuk di Indonesia dan negara Brunei Darussalam,
yang akan dikaji dari perspektif hukum Islam, perspektif gender, dan
perspektif HAM. Sedangkan comparatif law adalah metode yang
menganalisis dan membandingkan suatu permasalahan akan diteliti.
Metode ini terbagi menjadi perbandingan vertikal, horizontal, dan
diagonal. Perbandingan vertikal yaitu perbandingan antara konsep fikih
mazhab dan perundang-undangan perkawinan di dua negara Indonesia dan
negara Brunei Darussalam. Selanjutnya perbandingan horizontal yaitu
perbandingan antara perundang-undangan perkawinan di dua negara,
Indonesia dan negara Brunei Darussalam. Sedangkan perbandingan
diagonal yaitu perbandingan yang melakukan penelusuran terhadap aspek-
aspek perbedaan aturan, antara negara Indonesia dan negara Brunei
Darussalam berikut dengan tingkat perbedaannya masing-masing.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari enam bab yang di dalamnya terdapat sub bab
yang akan memperjelas fokus penelitian ini dan akan disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, permasalahan, identifikasi masalah, rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, review
studi terdahulu, metode penelitian meliputi serta sistematika penulisan
yang berisi tentang uraian masing-masing bab. Semua penjelasan tersebut
akan memberikan gambaran secara umum dari penelitian ini.
Bab II, menjelaskan tentang teori di antaranya hukum Islam teori
gender, dan teori Hak Asasi Manusia dalam UDHR.
Bab III, merupakan sejarah perundang-undangan perkawinan
Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
Bab IV, menjelaskan ketentuan rujuk dan tata cara rujuk menurut
fukaha, hukum keluarga di Indonesia, dan negara Brunei Darussalam.
15
Bab V, bab ini merupakan bab analisis tentang hak perempuan
menolak rujuk, di antaranya: perbandingan pendapat fukaha, peraturan
perundang-undangan perkawinan Indonesia dan negara Brunei
Darussalam; hak perempuan menolak rujuk perspektif maqâsid al-syarî‟ah
dan maslahah mursalah, perspektif gender, perspektif Hak Asasi Manusia,
serta pandangan ulama, praktisi hukum, dan akademisi, begitu pula
implementasi rujuk di Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
Bab VI, bab penutup yang akan mengakhiri seluruh rangkaian
pembahasan dalam tesis ini yang mencakup di dalamnya kesimpulan dan
saran.
16
16
BAB II
HUKUM ISLAM, GENDER, DAN HAM
A. Hukum Islam
1. Pengertian dan Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata
“Islam”. Kedua kata itu, secara terpisah, merupakan kata yang digunakan
dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Alquran, juga berlaku dalam
bahasa Indonesia. “Hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah
menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, namun bukan
merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab, dan tidak ditemukan
dalam Alquran; juga tidak ditemukan dalam literatur yang berbahasa
Arab.1
Untuk memudahkan dalam memahami pengertian “Hukum Islam”,
maka terlebih dahulu memahami pengertian hukum secara sederhana,
yaitu seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat; disusun oleh orang-orang yang berwenang;
berlaku dan mengikat untuk seluruh masyarakat itu.2 Atau hukum adalah
peraturan dan adat yang secara resmi di anggap mengikat yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; segala undang-undang,
peraturan untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.3 Kata Islam
adalah bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja salima. Secara
etimologi, kata salima berarti selamat, damai, dan sejahtera. Sedangkan
secara terminologi, Islam berarti penyerahan atau penundukkan diri setiap
makhluk kepada Allah SWT. Esensi kata Islam adalah “perdamaian”.4
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1997), h. 4
2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 5.
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), ed. Ke-4, h. 510. Lihat juga Yayan Sopyan, Islam-
Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2010), h. 12.
4 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 12.
17
Apabila dua definisi di atas digabungkan akan mengalami
kerancuan, tetapi definisi hukum Islam dapat disederhanakan, sebagai
perangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua
yang beragama Islam berdasarkan Alquran dan hadis.5
Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, dapat diambil benang
merah dari arti definisi di atas, bahwa “peraturan” itu adalah hukum Islam
yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang
mengikat. Kata “berdasarkan Alquran dan hadis” mengandung arti bahwa
peraturan itu digali dari dan berdasarkan nash. Dan kata “ tentang tingkah
laku manusia mukallaf ” menegaskan objek hukum adalah tingkah laku
manusia dewasa yang secara hukum dapat mempertanggungjawabkan
setiap pekerjaannya.6
Hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan karakteristik sistem hukum lain yang berlaku di dunia ini.
Berbedanya karakteristik ini disebabkan karena hukum Islam berasal dari
Allah SWT., bukan buatan manusia. Salah satu karakteristik hukum Islam
adalah menyedikitkan beban agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini
dapat dilaksanakan oleh manusia agar tercapai kebahagiaan dalam
hidupnya.7
Hasbi ash-Shiddîeqy8 menyebutkan beberapa karakteristik
9 hukum
Islam, yaitu sempurna (ta‟âmul), harmonis (wasathîyah) dan dinamis
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 5.
6 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 12-13.
7 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 94.
8 Hasbi ash-Shiddîeqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
h. 29.
9 Karakterristik hukum Islam diantaranya: 1. Ketuhanan (Rabbanîyah) yaitu Hukum Islam
yang memiliki kelebihan yang tidak semua undang-undang buatan manusia dalam berbagai segi
dan makna; hukum Islam yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, dunia
dan akhirat; 2. Universal (Syumûl), salah satu fakta yang tidak dapat diingkari adalah bahwa
hukum Islam telah berlaku hampir di seluruh dunia dengankelebihannya dan kekurangannya,
keragaman bangsa dan peradabannya, sesuai dengan perubahan waktu dan zamannya. Hukum
Islam juga memiliki sifat elastis (murûnah) yang menakjubkan sehingga menjadikan fleksibel
terhadap masalah baru dan mampu mengatasi berbagai dilema zaman modern. Menurut Yusuf al-
Qardhâwi makna syumûl dalam syariat Islam adalah memberikan pengertiankepada seluruh umat
18
(harâkah). Sedangkan Muhammad Ali al-Sayyîs10
mengemukakan bahwa
karakteristik hukum Islam yang paling menonjol ada tiga, yaitu tidak
menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya,
menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan dalam
penerapannya.11
Hukum Islam biasanya sering disebut dengan beberapa istilah atau
nama yang masing-masing menggambarkan sisi atau karakteristik tertentu
hukum tersebut. Dalam studi hukum Islam, sering kali dijumpai istilah
syariah, fiqh, qanun, fatwa, dan yurisprudensi. Dari beberapa istilah
tersebut, jika dikaji secara mendalam tentu akan mengandung perbedaan,
berikut penjelasannya:
a. Syariah
Syariah12
secara etimologis berarti “way” or path to the water
source”; yaitu jalan yang lempang; jalan yang dilalui air terjun; jalan
menuju mata air atau jalan yang harus diikuti. Sedangkan secara
terminologis, syariah didefinisikan sebagai:
األوامر والىىاهي اإللهية المتعلقة بالسلىك العملي مه حياة اإلوسان
manusia bahwa Islam adalah risalah bagi umat manusia dalam semua sektor kehidupan dan
aktivitasnya. Lebih lanjut baca Yusuf al-Qaradâwi, Karakteristik Islam dalam Kajian Analitik,
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 125-137; 3. Harmonis (al-Wasathîyyah), karakteristik ini
mempunyai arti yang sama dengan keseimbangan (at-tawazun) yaitu keseimbangan di antara dua
jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan, di mana salah satunya tidak dapat
berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain serta tidak dapat mengambil hak yang
banyak melampaui yang lain. Teori wasathîyyah ini menjiwai sejarah perkembangan masyarakat
karena mempunyai kemampuan bergerak dalam membentuk diri sesuai dengan perkembangan
zaman; 4. Manusiawi (Insanîyah), karakteristik hukum Islam yang bersifat manusiawi adalah
bahwa hukum Islam diperuntuk untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing dan
memelihara sifa-sifat humanistiknya serta menjaga dari sifat Jahat hewani agar tidak mengalahkan
sifat kemanusiaannya. Dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 95-103.
10
Muhammad Ali al-Sayyîs, Tarikh al Fiqh al-Islamî. Makalah wa Matbâ‟ah Muhammad
Ali Sabîh wa Awlâduh, (Mesir: Kairo, tt., t.th.,), h. 25.
11
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (PT. RajaGrafindo Persada, 2006),
Ed. 1, Cet. Ke-1, h. 94.
12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Syariah atau Syariat adalah hukum agama
yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan
manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Lihat Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), ed. Ke-4, h.
19
Artinya: “Perintah dan larangan Tuhan yang berhubungan dengan
tingkah laku kehidupan manusia”13
Dalam hal ini, agama yang ditetapkan Allah untuk manusia disebut
syariah, dalam artian lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam
kehidupannya di dunia. Kesamaan syariah Islam dengan jalan air adalah
dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah ia akan mengalir dan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-
tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai
penyebab kehidupan jiwa manusia.14
Menurut para ahli, definisi syariah
adalah “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia
di luar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama
bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.15
Mahmoud Syaltût mengartikan syariah adalah ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut
untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-Muslim,
dengan alam maupun dalam menata kehidupan ini.16
Melihat definisi syariah dalam konotasi hukum Islam terbagi
kepada dua macam, yaitu syarîah ilahi atau lebih dikenal dengan istilah
tasyrî‟ samawi dan syarî‟ah wadh‟î atau tasyrî‟ wadh‟i. Syariah Ilahi
(tasyrî‟ samawi) adalah ketentuan-ketentuan hukum yang langsung
dinyatakan secara eksplisit dalam Alquran dan Sunnah. Sedangkan yang
dimaksud dengan syarî‟ah wadh‟i adalah ketentuan hukum yang dilakukan
oleh para mujtahid, baik mujtahid mustanbith maupun mujtahid
muthâliq.17
13 Hasbi Ash Shiddîeqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), ed. Ke- 1,
h. 7.
14
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya,
1993), h. 13.
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 1.
16
Mahmôud Syaltût, al-Islam Aqidah wa Syarî‟ah, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1966), h. 12.
Lihat juga Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 41.
17
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 42.
20
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syariah
mengandung tiga dimensi, yaitu Pertama, dimensi akidah yang mencakup
hukum-hukum yang berhubungan dengan zat Allah, sifat-sifat-Nya;
Kedua, dimensi moral, yaitu membahas spesifik tentang etika, tingkah
laku, pendidikan dan pembersihan jiwa, budi pekerti yang harus ada pada
diri seseorang dan sifat buruk yang harus dihindari seseorang; Ketiga,
dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia seperti ibadah,
muamalah, hukuman, dan sebagainya yang termasuk ranah ilmu fikih.
Pengertian syariat Islam juga terbagi menjadi dua, yaitu pengertian
dalam bidang yang luas yaitu meliputi semua hukum yang telah disusun
dengan teratur oleh para ahli fikih alam pendapat fikihnya mengenai
persoalan dimasa mereka, atau mereka perkirakan akan terjadi kemudian
dengan mengambil dalil langsung dari Alquran dan al-Hadis atau sumber
hukum yang lain. Sedangkan dalam pengertian bidang yang sempit,
syariat Islam itu terbatas pada hukum-hukum yang berdalilkan pasti dan
tegas, yang tertera dalam Alquran, Hadis yang sahih atau ditetapkan
dengan ijma‟.18
b. Fikih
Ilmu yang mempelajari Syariah disebut Ilmu fikih. Kata “fiqh”
-secara etimologis berarti “paham yang mendalam” (al-fahmu al ,(فقه)
amîq). Fikih dalam arti terminologi menurut para ulama adalah: Ilmu
tentang hukum-hukum syara‟ yang berhubungan dengan perbuatan
manusia yang digali atau diambil dari dalil-dalilnya yang tafshîli.
Sedangkan menurut Muhammad Abû Zahrah, pengertian fikih menurut
istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliah
yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terperinci.19
Secara definitif, fikih
berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar‟î yang bersifat amaliah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafshîli”.
18 Ahmad Zaki Yamani, Syari‟at yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, terjemahan KMS
Agustjik, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1978), h. 14-15. Lihat juga Tema Dirasah Islamiyah UIJ,
Ibadah dan Syariah, Promotor, 1999, h. 3. Lihat juga Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di
Indonesia, h. 43.
19
Muhammad Abû Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arab, 1958), h. 6.
21
Dalam definisi ini, fikih diibaratkan dengan ilmu karena fikih itu
semacam ilmu pengetahuan. Memang, fikih itu tidak sama dengan ilmu
seperti disebutkan di atas, fikih itu bersifat zhanni. Fikih adalah apa yang
dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedangkan ilmu tidak
bersifat zhanni seperti fikih. Namun karena zhan dalam fikih ini kuat,
maka ia mendekati kepada ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu
digunakan juga untuk fikih.20
Definisi ilmu fikih menurut istilah syara adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, yang
diambil dari dalil-dalilnya secara rinci, dengan kata lain yurisprudensi atau
kumpulan hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, yang
diambil dari dalil-dalilnya secara rinci.21
Sosiolog Muslim terkenal Ibnu
Khaldûn mengatakan bahwa fikih adalah ilmu yang dengannya diketahui
segala hukum Allah yang berhubungan dengan pekerjaan mukallaf, baik
yang wajib, yang haram, dan yang mubah -harus- yang diambil
(diistinbatkan) dari Al-Kitab dan As-Sunah, dari dalil-dalil yang telah
tegas ditegakkan syara‟, seperti qiyas. Apabila dikeluarkan hukum-hukum
dengan jalan ijtihad dari dalil-dalilnya, maka yang dikeluarkan itu,
dinamai fikih.22
Dengan menganalisa definisi yang disebutkan di atas dapat
ditemukan hakikat dari fikih yaitu ilmu tentang hukum Allah; yang
dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amâliyah furû‟iyah; pengetahuan
tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili; fikih itu digali dan
ditemukan melalui penalaran dan istidlâl seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dikatakan, “Fikih itu adalah dugaan kuat
yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum
Allah”.23
20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 3.
21
Abdul Wahhâb Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), ed. Ke-1, h. 2.
22
Hasbi Ash Shiddîeqy, Pengantar Ilmu Fiqh, h. 24. Lihat juga Abd. Shomad, Hukum
Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 29.
23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 4.
22
Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya
dengan “digali”) adalah memberikan penjelasan bahwa fikih itu hasil
penalaran dan istidlal.24
Maka kegiatan menggali atau mengambil hukum
dari dalil-dalilnya yang tafshili itulah yang merupakan kegiatan akal
pikiran. Hasil pemahaman manusia melalui akal pikirannya tersebut, akan
banyak tergantung pada kualitas dan kondisi setiap manusia.
Nampaknya, pengertian fikih jelas lebih luas sekedar faham. Fikih
berarti memahami kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkannya;
faham dan mengerti kehendak Allah dengan segala firman-firman-Nya.25
Fikih senantiasa berubah, karena sifatnya yang berubah-ubah itu, fikih bisa
dinisbahkan kepada mujtahid yang memformulasikannya.26
Fikih yang
dihasilkan adalah melalui proses ijtihad, kerangka berfikir yang sering
muncul dikalangan ahli ushul fikih dan pakar pembaharuan dikenal antara
dalil qath‟î dan dalil zhannîy, baik eksistensinya (wûrud) maupun
penunjukkannya (dalâlah).27
Dalam kaitannya antara syariah dan fikih, dijelaskan secara
terperinci tentang konsep syariah dan fikih bahwa syariah mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas, ia meliputi segala aspek kehidupan
manusia, sedangkan ruang lingkup fikih lebih sempit dan hanya
menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan
hukum.28
Syariah mengingatkan kita pada wahyu dan „ilm tentang
perantaraan Alquran dan Hadis, arah dan tujuan syariah ditetapkan oleh
Tuhan dan nabi-Nya, sedangkan materi yang tercantum dalam fikih
disusun dan diangkat atas usaha manusia.29
24 Taj al-Dîn „Abd al-Wahhâb Ibn al-Subkî, Jam‟ al-Jawamî, (Mesir: Musthafâ al-Halabi,
1937), h. 5.
25
Abd. Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1989), h. 112
26
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.
Ke- ke.1, h. 10.
27
Wahbah al-Zuhailî, al-Wasîth fî Usûl al-Fiqh, (Damsyîq: al-muthba‟ât al-Ilmîyyat,
1969), h. 606. Lihat Ali Hasbullah, Usûl al-Tasyrî al-Islamî, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1964), h. 20.
28
Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (London: Oxford, 1960), cet . ke-3, h.
21.
29
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 48.
23
Namun demikian, karena peringkat kemampuan dan martabat
manusia itu tidak sama, maka kemampuan memahami kehendak dan
wahyu Allah pun berbeda pula. Inilah sebabnya fikih identik dengan „ilm
al-syarî‟ah. Sebagaimana halnya suatu ilmu mempunyai tingkat kebenaran
yang relatif zhanny, maka fikih pun sifatnya adalah relatif atau zhanny.
Dari sisi ini, dapat dimengerti mengapa Ibn Qayyîm mengatakan:
Perubahan dan perbedaan fatwa hukum dapat terjadi karena perubahan dan
perbedaan waktu, ruang, kondisi, niat dan manfaat.30
c. Qanun
Fikih sebagaimana yang telah diuraikan di atas merupakan refleksi
dari perkembangan kehidupan masyarakat sesuai dengan kondisi zaman,
karena dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu dan situasi setiap
masyarakat. Fikih yang sudah berbentuk peraturan atau undang-undang
mempunyai daya paksa untuk melaksanakannya dan inilah yang disebut
dengan qanun.31
Qanun menggambarkan bagian dari syariah yang telah
dipositifisasi dan diintegrasikan oleh pemerintah menjadi hukum negara,
seperti hukum perkawinan, hukum wakaf, dan lain-lain. Selain itu, qanun
juga merujuk kepada berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah di negeri muslim dalam rangka pelaksanaan syariah dan
mengisi kekosongan serta melengkapi syariah. Tindakan ini disebut
siyasah syar‟îyyah.32
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, qanun berarti undang-
undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah.33
Qanun
adalah “rule made by authority for the proper of a community or society or
for correct conduct in life,” maksudnya peraturan yang dibuat oleh pihak
30 Jaenal Arifin dan Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syar‟î, (Jakarta:
Lemlit UIN Jakarta Press, 2006), ed. Ke-1, h. 10-11.
31
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 49-50.
32
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), h.
11-15. Lihat juga Mustofa dan Abd. Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), ed. Ke-1, cet. Ke-2, h. 3.
33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
442.
24
yang berkuasa yang diperuntukkan untuk masyarakat, atau untuk menata
yang betul segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat.34
Menurut
Muhammad Muslehuddin bahwa qanun adalah himpunan peraturan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan resmi dalam suatu negara, yang mana
negara atau komunitas tertentu menentukan sebagai sesuatu yang terikat
kepada rakyatnya.35
Beberapa istilah yang memiliki sinonim dengan qanun, yaitu: (1)
hukm jamaknya ahkâm; (2) kaidah jamaknya qawâ‟id; (3) dustûr
(konstitusi); (4) dhabîthah jamaknya dhawâbith; (5) rasm jamaknya
rusûm.36
Istilah “qanun‟ baru mulai dipakai pada masa modernisasi di Turki
dengan adanya al-Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Majalah yang
dikeluarkan di Turki ini merupakan contoh paling awal tentang hukum
Islam dengan bentuk undang-undang (model Roman Law System) yang
sekaligus mempunyai kekuatan memaksa seperti undang-undang pada
umumnya.37
Subhi Mahmassani, mengemukakan dalam perkembangan
hukum modern, qanun mempunyai tiga arti, yaitu pertama, qanun adalah
kumpulan peraturan hukum atau undnag-undang (kitab undang-undang).
Kedua, istilah yang merupakan padanan hukum, dapat mempergunakan
istilah ilmu qanun sama dengan ilmu hukum, qanun Islam sama dengan
hukum Islam, dan sebagainya. Ketiga, qanun sama artinya dengan undang-
undang, pengertian ini lebih khusus pada masalah tertentu, misalnya qanun
perkawinan. Qanun dalam pengertian ini biasanya hanya mengenai hukum
34 Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English, (Oxford: The University
Press, 1964), h. 476.
35
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, (Islamic
Publications Ltd, 1980), h. 17. Dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 51.
36
Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fiqih, dan
Qanun, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 120-121.
37
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 51.
25
yang berkaitan dengan muamalah, bukan ibadah dan mempunyai kekuatan
hukum yang pelaksanaannya tergantung negara.38
Fikih dan qanun serta syariah memiliki perbedaan yang sangat
signifikan. Fikih sebelum diadopsi menjadi qanun, memilki karakter yang
implementasinya bersifat suka rela dan pada umumnya didasarkan pada
perasaan tanggung jawab di akhirat kelak.39
Syariah adalah kumpulan
perintah, larangan, petunjuk dan kaidah yang disyariatkan Allah kepada
umat manusia melalui tugas rasul yang diutus. Berbeda halnya dengan
qanun yang memilki kekuasaan atau kekuatan untuk pelaksanaannya,
persis sekali dengan undang-undang ketika sudah menjadi putusan hakim.
Dan dalam konteks perbedaan dengan syariah qanun adalah hukum yang
dipilih oleh pemilik kekuasaan (pemerintah/penguasa) dalam masyarakat
tentang aturan yang mereka setujui sebagai rujukan, dan mereka
melaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum itu.40
d. Fatwa
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada
suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa sendiri daam
bahasa Arab artinya adalah nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.41
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa berarti keputusan atau
pendapat yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; atau nasihat
orang alim tentang pelajaran baik dan petuah.42
Jadi, yang dimaksud
dengan fatwa adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau
38 Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, terjemahan Ahmad Sudjono dari
Buku Falsafat al-Tasyrî‟ fî al-Islam, (Bandung: al- Ma‟arif, 1981), h. 22. Lihat juga Abdul Manan,
Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 53.
39
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indoneisa, h. 54.
40
Muhammad Ali as-Sayyîs, Tarikh al Fiqh al-Islamî, Terjemah dari Nurhadi M.B.A.,
Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kaustar, 2003), h. 12-113. Lihat juga Abdul
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indoneisa, h. 54-55.
41
Racmat Taufik Hidayat, dkk. Almanak Alam Islami, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000),
diakses dari https://wikipedia.org pada Selasa, 5 Desember 2017, pukul 09.41 WIB.
42
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Ed. 1, cet. Ke-1, h. 389.
26
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak
harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.43
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini
juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum,
akan tetapi ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang
bagi seorang muslim untuk menentangnya apabila fatwa itu didasarkan
pada dalil-dalil yang jelas dan benar.44
Pembaharuan hukum Islam melalui proyeksi fatwa mencakup
lapangan sangat luas dan kompleks. Oleh karena itu, fatwa-fatwa hukum
Islam dalam berbagai bidang telah dilakukan oleh lembaga resmi yang
dibentuk oleh lembaga Internasional dan juga oleh lembaga resmi yang
dibentuk oleh seluruh negara Islam. Adapun hukum berfatwa adalah fardu
kifayah, apabila ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya.
Kemudian kalau tidak ada orang lain yang dapat memberikan fatwa dan
masalah yang difatwakan cukup mendesak maka ia pun secara fardu „ain
wajib memberi fatwa atas peristiwa itu.45
Fatwa yang dilaksanakan oleh lembaga fatwa resmi internasional
telah memberikan fatwa dalam berbagai masalah hukum Islam dan telah
disebarkan kepada umat Islam di seluruh dunia.46
Adapun fatwa yang
dikeluarkan oleh perorangan yang kapasitasnya sangat dihormati oleh
mayoritas ulama Islam, di mana mayoritas umat Islam meminta fatwa
kepadanya dalam berbagai persoalan hukum Islam, lalu para ulama
memberikan fatwa kepada mereka secara tertulis yang disebarkan melalui
majalah dan buku-buku, seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Syaikh
43 Rahmat Taufik Hidayat, dkk. Almanak Alam Islami, pukul 09.41 WIB.
44
Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), diakses
dari Makalah Fatwa https://sina-na.blogspot.co.id. Pada Selasa, 5 desember 2017, pukul 10.02
WIB.
45
Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Makalah Fatwa https://sina-na.blogspot.co.id. Pada
Selasa, 5 desember 2017, pukul 10.02 WIB.
46
Adapun lembaga resmi tersebut, yaitu Dârr Al-Ifta yang bermarkas di Mesir, Lajnah al-
Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia dan beberapa lembaga fatwa lainnya. sebagai contoh adalah
fatwa-fatwa yang dimuat dalam majalah al-Manar.
27
Imam Mahmud Syaltut dan Syaikh Hasanudin Makhluf serta fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh stasiun televisi Qatar. Pembaruan hukum Islam
yang dilaksanakan melalui fatwa juga dilakukan oleh lembaga, organisasi,
dan badan kajian Islam, baik nasional maupun internasional.47
e. Yurisprudensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisprudensi berarti ajaran
hukum melalui peradilan dan/atau himpunan putusan hakim.48
Sedangkan
menurut Kamus Hukum, yurisprudensi adalah kumpulan atau sari
keputusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonnis beberapa macam
jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijaksanaan para Hakim
sendiri yang kemudian dianut oleh para Hakim lainnya dalam memutuskan
kasus-kasus perkara yang sama. Dengan adanya Yurisprudensi itu, para
Hakim secara tidak langsung membentuk materi hukum atau yurisprudensi
itu juga merupakan sumber hukum.49
Istilah yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin)
yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi
sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata yurisprudentie
dalam bahasa Prancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. Kata
yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene
rechtsleer: General theory of law), sedangkan untuk pengertian
yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah case law atau judge law.50
Dalam sistem common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai,
“Suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya
dengan hukum lain”. Sedangkan dalam sistem statute law dan civil law,
diterjemahkan sebagai “Putusan-putusan Hakim terdahulu yang telah
berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para Hakim atau badan
47 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 195.
48
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
1568.
49
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (T.tp,: Wipress, 2007), cet.
Ke-1, 517.
50
Purnadi Purbacaraka, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, h. 55. Dalam R.
Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata: Bagian 1 tentang Kompetensi Kewenangan
Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. xxx.
28
peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus putusan Hakim yang
lebih tinggi tingkatannya.
Menurut pasal 22 A.B undang-undang dasar 1945 yang
mengandung pengertian bahwa, “Hakim yang menolak untuk
menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak
mengadili”. Dengan demikian, Hakim mempunyai kewenangan
menciptakan hukum (Judge Made Law), terutama terhadap kasus yang
sama sekali belum ada hukumnya, tetapi telah masuk di Pengadilan. 51
Hakim juga memiliki kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-
ketentuan hukum tertulis yang telah ada, yang telah usang oleh zaman
sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara ini
disebut “Contra Legem”. Selanjutnya, putusan Hakim tersebut menjadi
sumber hukum di Pengadilan. Tujuannya adalah untuk menghindari
“Disparitas” putusan Hakim dalam perkara yang sama.52
Namun, tidak
semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat
dikatakan sebagai yurisprudensi, sebab untuk dapat dikategorikan sebagai
yurisprudensi harus melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari
Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah
memenuhi standar hukum yurisprudensi.
Yurisprudensi terbagi menjadi dua macam, yaitu: pertama,
yurisprudensi tetap adalah keputusan-keputusan hakim yang berulang kali
dipergunakan pada kasus-kasus yang sama. Jadi, yurisprudensi tetap
terjadi karena suatu rangkaian keputusan-keputusan yang serupa atau
karena beberapa keputusan yang diberi nama standar arresten, yaitu
keputusan Mahkamah Agung yang menjadi dasar bagi pengadilan untuk
51 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. Ke-1, cet. Ke-3, h. 8-9.
52
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, h. 9.
29
mengambil keputusan.53
Kedua, yurisprudensi tidak tetap adalah
yurisprudensi yang belum masuk menjadi yurisprudensi tetap atau
yurisprudensi yang belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim
yurisprudensi Hakim Agung Mahkamah Agung RI tersebut, dan belum
ada rekomendasi sebagai yurisprudensi tetap.54
2. Maqâsid al-Syarî’ah
Secara etimologis, Maqâsid al-Syarî‟ah adalah gabungan dari dua
kata: Maqâsid dan al-Syarî‟ah.. Maqasid adalah bentuk plural dari
Maqâsid yang merupakan derivasi dari kata kerja يقصد -قصد (qasada-
yaqsuda) yang mempunyai banyak arti, seperti menuju suatu arah, tujuan,
tengah-tengah,
adil, konsisten, tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara
berlebih-lebihan dan kekurangan.55
Menurut istilah Maqâsid al-Syarî‟ah
adalah al-ma‟ânni allati syuri‟at laha al- ahkam yang berarti kandungan
nilai yang menjadi tujuan persyaratan hukum.56
Imam Mawardi
mengungkapkan bahwa makna-makna tersebut semuanya terdapat dalam
alqur‟an. Sementara kata syarî‟ah, secara etimologi bermakna jalan
menuju mata air. Sedangkan secara terminologis, syarî‟ah didefinisikan
sebagai perintah dan larangan Tuhan yang berhubungan dengan tingkah
laku kehidupan manusia.57
Teori Maqâsid al-Syarî‟ah baru dikenal pada abad keempat
Hijriah. Pertama kali istilah Maqâsid al-Syarî‟ah itu dipergunakan oleh
53R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata: Bagian 1 tentang Kompetensi
Kewenangan Pengadilan, h.xxxiii.
54
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, h. 12. Lihat juga
R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata: Bagian 1 tentang Kompetensi Kewenangan
Pengadilan, h.xxxiv.
55
Muhammad Amin Suhayli, Qâ‟idah Dâr„u al-Mafâsîd Awla Min Jalb al-Masalih
Dirasah Tahlilîyyah, (Mesir: Dâr al-Salam, 2010), h. 64. Lihat juga A. Halil Thahir, Ijtihad
Maqasidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, (Yogyakarta: PT. LKIS
Pelangi Aksara, 2015), cet. Ke-1, h. 15.
56
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâshid al-Syarîah Menurut Al-Syatîbi, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996), ed. Ke-1, cet. Ke-1, h. 5.
57
A. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas
Maslahah, h. 15.
30
Abû Abdalah al-Tirmizi al-Hakim dalam buku yang ditulisnya. Kemudian
istilah Maqâsid ini dipopulerkan oleh al-Imam al-Haramain al-Juaini
dalam beberapa kitab yang ditulisnya dan beliaulah orang yang pertama
kali mengklasifikasikan Maqâshid al-Syarîah menjadi tiga kategori besar,
yaitu darûriyyat, hajîyyat, dan tahsinîyyat. Pemikiran al-Juaini ini
dikembangkan lebih lanjut oleh Abû Hamid al-Ghazali yang menulis
secara panjang lebar tentang maqâsid al-Syarî‟ah dalam kitab Shifâ al-
Ghalîl dan al-Musthasfâ min „Ilmi al-Usûl.58
Dalam membicarakan Maqâsid al-Syarî‟ah, al-Syatîbi59
mempergunakan kata yang berbeda-beda, tetapi mempunyai arti yang
sama dengan Maqâsid al-Syarî‟ah. Kata-kata itu ialah al-Maqâsid al-
Syarî‟ah fî al- Syarî‟ah,60
dan Maqâsid min syar‟î al-hukm, yaitu hukum-
hukum yang disyariatkan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.61
Al-Syatîbi mengungkapkan bahwa sesungguhnya syariah itu
bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba. Dari pengertian
yang diberikan al-Syatibi, nampaknya mengambil porsi cukup besar
terhadap kajian maqâsid al-syarî‟ah secara tidak langsung dipaparkan
hampir dalam keempat volume al-Muwâfaqatnya. Bertitik tolak dari
58 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 107.
59
Nama lengkap al-Syatîbi Abû Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Gharnatî al-Syatîbi, tanggal
lahir dan tahun serta latar belakang keluarganya yang belum banyak diketahui. Al-Syatîbi
meninggal pada tahun 790 H, walaupun keluarganya berasal dari Syatibah, namun al-Syatîbi
sendiri tidak lahir di negeri asal keluarganya, karena pada waktu itu kota Syatibah telah jatuh ke
tangan penguasa Kristen sebelum kelahiran al-Syatîbi. Semua penduduk diusir dari Syatibah ke
Granada dan sebagian bermukim sebagian bermukim sampai akhir hayatnya. Maka dari itu, nama
al-Syatîbi dikaitkan dengan kota Granada ini. Lihat Mustafa al-Marâghi, al-Fath al-Mubin fi
Thabaqat al-Usuliyyîn, (Beirut: Muhammad Amin Ramj wa Syirkah, 1974), Vol. II, h. 204. Lihat
juga Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syarî‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 21.
Kota Syatibah adalah kota yang cukup penting di Spanyol. Masa sebelum dan masa
kekuasaan Islam, kota ini terkenal dengan industri kertas. Kota tersebut jatuh kembali ke tangan
Kristen tahun 1239 M. Lihat Ahmad Syantawî, Dairah al-Ma‟ârif, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), ed.
Ke-III, h. 66.
60
Al-Syatîbi, al-Muwâfaqat fî Usûl al-Syarî‟ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), Jilid I,
h. 21.
61
Al-Syatîbi, al-Muwâfaqat fî Ushul al-Syarîah, h. 374.
31
pandangannya bahwa semua kewajiban (taklif) diciptakan dalam rangka
merealisasikan kemaslahatan hamba.62
Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum
yang menurut al-Syatîbi sama dengan taklîf mâ lâ yutaq (membebankan
sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan) dan hal ini tidak mungkin terjadi
pada hukum-hukum Allah.63
Pandangan ini diperkuat Muhammad Abû
Zahrah64
yang mengatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah
kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang disyariatkan, baik
dalam Al-quran dan Sunnah melainkan di dalamnya terdapat
kemaslahatan.65
Kemaslahatan menurut al-Syatîbi dapat dilihat dari dua sudut
pandang yaitu: Pertama, Maqâsid al-Syarî‟ah (Tujuan Tuhan); Kedua,
Maqâsid al-Mukallaf (Tujuan Mukallaf).66
Maqâsid al-Syarî‟ah dalam arti
al-syar‟î, mengandung empat aspek. Keempat aspek itu yaitu: Pertama,
Tujuan awal dari syariat adalah kemaslahatan di dunia dan akhirat; Kedua,
Syarî‟ah sebagai sesuatu yang harus dipahami dan ini berkaitan dengan
dimensi bahasa agar dapat dipahami sehingga tercapai kemaslahatan;
Ketiga, Syarî‟ah sebagai suatu hukum takflîf yang harus dilakukan; dan
Keempat, Tujuan syariat adalah membawa manusia ke bawah naungan
hukum dan ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf di
bawah dan terdapat dalam hukum Allah.67
Tujuan tersebut di atas hendak dicapai melalui taklîf, yang
pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama,
62 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâshid Syarî‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 64.
63
Al-Syatîbi, al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarîah, h. 150. Lihat juga Asafri Jaya Bakri,
Konsep Maqâshid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 65.
64
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al-Fikr al- „Arâbi, 1958), h. 366.
65
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), ed.
1, cet. Ke-3, h. 106. Lihat juga Husein Hamid Hasan, Nazâriyah al-maslahah fî al-Fiqh al-Islamî,
(Mesir: Dâr al-Nahdah al-„Arabîyyah, 1971), h. 5.
66
Al-Syatîbi, al-Muwâfaqat fî Usûl al-Syarîah, h. 5. Maqâshid al-Mukallaf tidak akan
dibahas lebih lanjut karena lebih menggambarkan sikap mukallaf terhadap Maqâsid al-Syari‟.
Lihat juga Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syarî‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 70.
67
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h.107. Lihat Asafri Jaya Bakri,
Konsep Maqâsid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, h.70. Lihat
32
Alquran dan Hadis.68
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat, kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur
pokok dapat dipelihara dan diwujudkan.69
Tujuan hukum Islam (maqâsid
al-Syarî‟ah) dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut al-Maqâsid al-
Khamsah atau al-Kullîyat al-Khamsah.
Lima tujuan itu yaitu: pertama, memelihara agama (hifz al-dîn);
kedua, memelihara jiwa (hifz al-nafs); ketiga, memelihara akal (hifdz al-
„aql); keempat, memelihara keturunan (hifz al-nasl); dan kelima,
memelihara harta benda (hifz al-mâl).70
Guna kepentingan dalam
menetapkan hukum, kelima unsur di atas terbagi menjadi tiga macam inti
pokok, yaitu: Pertama, maqâshid al-darûriyyat yaitu untuk memelihara
lima unsur pokok dalam kehidupan manusia yang meliputi memelihara
agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Kedua, Maqâsid al-Hajîyyat, yaitu
untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap
lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Ketiga, Maqâsid al-Tahsinîyyat
yaitu maqashid yang dimaksudkan agar manusia melakukan yang terbaik
untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok.71
Tidak tercapai dan tidak terwujudnya aspek darûriyyat dapat
merusak kehidupan manusia di dunia dan akhirat secara keseluruhan.
Pengabdian terhadap aspek hajîyyat tidak sampai merusak keberadaan
lima unsur pokok, tetapi akan membawa kesulitan bagi manusia mukallaf
dalam merealisasikannya. Sedangkan pengabaian aspek tahsinîyyat,
membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Dengan
68 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, (Pamulang Timur: Logos
Wacana Ilmu, 1997), cet. Ke-1, h. 125.
69
Satria Effendi, Maqâsid al-Syarîah dan Perubahan Sosial, Makalah Seminar Aktualisasi
Ajaran Islam III, (Jakarta: Departemen Agama, 1991), h. 1. Dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syarî‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 71. Lihat juga Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum
Islam Bagian Pertama, h. 125.
70
Lima unsur pokok ini, menurut al-Syatîbi adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
Dalam literature-literatur hukum Islam lebih dikenal dengan Ushul al-Khamsah dan susunannya
adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas
dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001), cet. Ke-2, h. 66-67.
71
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syarî‟ah Menurut Al-Syatîbi, h. 72. Lihat Abdul
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h.108.
33
demikian kepentingan yang termasuk tahsinîyyat menyempurnakan tingkat
hajîyyat, kepentingan hajîyyat menyempurnakan tingkat darûriyyat, dan
kepentingan darûriyyat merupakan induk tujuan hukum Islam.72
Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk mengatur
hubungan manusia dan al-Khaliq, manusia dengan makhluk lainnya, baik
kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Menurut Ibn Qayyîm, tujuan
hukum islam sebagai syariat yang bersendi dan berasas atas hikmat dan
kemaslahatan manusia dalam hidup di dunia dan akhirat. Syariat Islam
adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan
sepenuhnya. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di
tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah di antara makhluk-makhluk-
Nya.73
Jelaslah bahwa tujuan diturunkannya syariat (hukum) Islam adalah
untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat
manusia di dunia dan akhirat kelak.
3. Maslahah Mursalah
Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri dari dua kata: yaitu
maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata bahasa arab يصلح
صلح – menjadi صلحا atau مصلحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang
ditafsirkan sehingga menjadi isim maf‟ul, yaitu: ارسالا –يرسل –ارسل مرسلا –
menjadi مرسل yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).74
Perpaduan dua kata menjadi “Maslahah Mursalah” yang berarti
prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu
hukum Islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai
72 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 68.
73
Ibn al-Qayyîm, I‟lm al-Muwaqqi‟în, (Mesir: al-Maktâbah Tijarîyah, 1955), juz 3, h. 14-
15. Lihat dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h.110-111. Lihat juga 73
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, h. 68.
74
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Mashlahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011), cet. Ke-1, h. 43.
34
baik (manfaat).75
Maslahat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah dan kegunaan.
Sedangkan kemaslahatan mempunyai arti kegunaan, kebaikan, manfaat,
atau kepentingan seseorang dermawan untuk manusia.76
Kemaslahatan berasal dari kata al-Maslahah yang mempunyai
makna sebanding dengan kata al-Manfa‟ah artinya adalah segala sesuatu
yang mengandung kegunaan atau manfaat tanpa ada dalil yang
mendukungnya atau menolaknya.77
Definisi lain menyebutkan bahwa al-
Maslahah atau kemaslahatan adalah kemanfaatan untuk umat manusia
dalam memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sesuai
dengan aturan yang telah ditentukan.78
Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam
hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang
“Apakah karena untuk mewujudkan maslahah itu Allah menetapkan
hukum syarak‟?” Atau dengan kata lain, “Apakah maslahat itu yang
mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”
Meskipun ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai masalah
tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa
secara praktis dalam hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut,
yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan
dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat
hukum syarak dalam bentuk suruhan. Sebaliknya, pada setiap perbuatan
yang dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk
perbuatan itu ada hukum syarak dalam bentuk larangan. Setiap hukum
75 Khairu Umam, at.al; Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 135. Dikutip
pula Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, h.
44.
76
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
884.
77
Muhammad Sa‟id Ramadlan al-Buthŷ, Dhawâbith al-Maslahah fî al-Syarî‟ah al-
Islamîyyah, (Damsyiq: t.p, 1967), h. 330.
78
Abu Hamid al-Ghazalî, al-Mustashfâ min al-Ulum al-Ushul, (Beirut: al-Resâlah, 1997),
Vol. I, h. 416. Dikutip pula Maskur Hidayat, Konsep Negara Kemaslahatan: Telaah Terhadap
Teori Negara Menurut Imam Al-Mawardi, Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques
Roussean, (Surabaya: Laros, t.th.,), h. 152.
35
syarak selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia sejalan
dengan hukum syarak.79
Kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata masalih; selain itu
dikenal pula istilah istishlah yang berarti mencari maslahat, memandang
maslahat atau baik, mendapatkan maslahat atau kebaikan, dan
kebalikannya adalah al-istisfad atau memandang buruk atau rusak,
mendapatkan keburukan atau kerusakan.80
Sedangkan kata mursalah
merupakan bentuk isim maf‟ul dari akar kata: arsala- yursilu- irsal; yang
mempunyai arti „adam at-taqyîd (tidak terikat); atau al-mutlaqah (bebas
atau lepas).81
Ditinjau dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum, maslahah ada tiga macam, yaitu: Pertama, Maslahah Darûriyyat,
kemaslahatan dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan
manusia. Artinya, kehidupan manusia tidak mempunyai arti apa-apa
apabila dari salah satu prinsip yang lima tidak ada. Kedua, Maslahah
Hajîyyat, kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak berada pada tingkat darûri, bentuk kemaslahatannya tidak secara
langsung bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Ketiga, Maslahah
Tahsinîyyat, yaitu maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak sampai kepada tingkat dharûri, juga tidak sampai pada tingkat
hajîyyat, tetapi kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan hidup manusia.82
Apabila ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan
hukum, mashlahah itu disebut juga dengan munasib atau keserasian
maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam pengertian munasib ini
dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Pertama, Maslahah al-Mu‟tabârah,
79 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
Ed. 1, Cet. Ke-8, h. 344.
80
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 532. Dikutip pula Ahmad Mukri Aji, Urgensi
Maslahah Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, h. 45.
81
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 100.
82
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 264.
36
yakni kemaslahatan yang didukung oleh syarak, maksudnya ada dalil
khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak diragukan lagi
keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam mengamalkannya.83
Kedua, Maslahah al-Mulghah, disebutkan juga dengan maslahah yang
ditolak, yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak
diperhatikan oleh syarak dan ada petunjuk syarak yang menolaknya.
Ketiga, Maslahah Mursalah atau juga disebut dengan istishlah, yaitu apa
yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan hukum syarak dalam
menetapkan hukum, tetapi kemaslahatan yang keberadaannya tidak
didukung syarak dan tidak pula ditolak syarak melalui dalil yang rinci.
Kemaslahata dalam bentuk ini terbagi atas dua macam, yaitu: (1).
Maslahah al-Gharîban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara‟; (2). Maslahah al-
Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan
makna nash (ayat dan hadis).84
Adapun dari segi kandungan mashlahat terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, Maslahah al-Ammah, yakni kemaslahatan umum yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini, tidak
berarti untuk semua kepentingan orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat atau kelompok. Kedua, Maslahah al-Khassha, yakni
kemaslahatan pribadi seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan
pemutusan hubungan perkawinan sesorang yang dinyatakan hilang.85
Meskipun Maslahah Mursalah ini dapat dijadikan dalil hukum dan
hujjah syariah, tetapi perlu kehati-hatian dalam penggunaannya, kriteria
yang telah disepakati, hendaknya dipegang teguh dalam aplikasinya dan
hal ini harus disadari bahwa pekerjaan mengistinbat hukum itu adalah
83 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, h. 52.
84
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 265. Lihat juga Ahmad Mukri
Aji, Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, h. 53-54.
85
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, h. 53.
37
pekerjaan mujtahid yang karenanya tidak boleh lepas dari persyaratan
yang telah ditentukan untuk para mujtahid.86
Dalam hal ini, Abdul
Wahhâb Khallaf mengemukakan bahwa mempergunakan teori maslahah
dalam menyelesaikan segala masalah hukum hendaklah memenuhi
persyaratan kemaslahatan, yaitu: 1). Maslahah itu hakiki, bukan dugaan;
2). Maslahah itu untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan
perorangan; 3). Tidak bertentanagn dengan Maqâsid al-Syarî‟ah; 4) harus
dapat menjaga hal-hal yang darûri dan menghindarkan kesusahan; 5).
Dapat diterima oleh akal sehat.87
Adapun dasar hukum para ahli hukum Islam dalam
mempergunakan Maslahah Mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah
syariah di antaranya adalah: Pertama, perintah Allah dalam Alquran surat
al-Nisa ayat 59.88
Dalam hal ini, ketika ditemukan permasalahan yang
tidak ada penyelesaiannya dalam Alquran dan Sunnah, maka salah satu
jalan keluar untuk penyelesaiannya bisa dengan menggunakan metode
qiyas dan Maslahah Mursalah. Kedua, hadis Mu‟âz bin Zabal.89
Dalam
hadis ini, Rasulullah memberi restu kepada Mu‟az untuk melakukan
ijtihad dengan metode Istislah atau Maslahah Mursalah dapat dijadikan
dalil hukum atau hujjah syariah dalam menetapkan suatu hukum. Ketiga,
Ijtihad para sahabat, pada zaman sahabat banyak permasalahan baru
muncul yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Dalam
86 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 282.
87
Abdul Wahhâb Khallaf, Ilmu Usûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-Islamîyah
Shabab al-Azhar, 1990), h. 85.
88
“Hai orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah
(Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
89
Saat Mu‟âz bin Jabal ditanya oleh Rasulullah tentang bagaimana cara penyelesaian
permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan hadis, sebagai berikut: “Bagaimana engkau
(Mu‟az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap suatu persoalan hukum yang diajukan
kepadanya? Jawab Mu‟az, “Saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab
Allah (Alquran).” Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah? Jawab Mu‟az, “Saya
akan mengambil keputusan berdasarkan atas Sunnah Rasul.” Selanjutnya nabi bertanya, jika
engkau tidak mendapatkannya dalam Sunnah? Jawab Mu‟az, “Saya akan berijtihad dan saya
tidak akan menyimpang daripadanya.” Lalu Rasulullah menepuk dada Mu‟az seraya mengatakan.
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq urusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai
oleh Allah dan Rasul-Nya.”
38
menyelesaikan masalah baru tersebut para sahabat banyak
mempergunakan ijtihad berdasarkan Maslahah Mursalah. Keempat,
melaksanakan konsep Maqâshid al-Syarî‟ah. Bahwa tujuan pokok
melaksanakan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Kemaslahatan manusia akan terus berubah dan bertambah sesuai
dengan kemajuan zaman.90
B. Diskursus Kesetaraan Gender
1. Pengertian Gender
Istilah gender pada awalnya berasal dari bahasa inggris yang
bermakna jenis kelamin. Kata ini kemudian diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia dan berubah menjadi jender.91
Secara terminologis, „gender‟
oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan. Gender di sini bisa dijadikan sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.92
Untuk
memahami konsep gender, maka terlebih dahulu harus dibedakan
pengertian jenis kelamin (seks) dengan gender.
Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang mencirikan laki-laki dan perempuan yang sudah
ditentukan secara biologis sebagai pemberian Tuhan (anugrah, given),
tidak dapat dipertukarkan dan melekat pada manusia serta bersifat
permanen sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).93
Misalnya, manusia jenis
laki-laki memiliki penis, memiliki jakun (kala menjing), dan memproduksi
sperma. Sedangkan manusia jenis perempuan memiliki vagina, mengalami
haid, memiliki payudara, rahim dan memproduksi sel telur.
90 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 274-276.
91
„Gender : jender, yang berarti jenis kelamin‟, lihat Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 439.
92
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta:
Gradedia Pustaka Utama Paramadina, 1999). Cet ke-1, h. 34.
93
Yumarni, Pemerolehan Bahasa dan Pembelajaran Kesetaraan, dalam Jurnal Harkat
Media Komunikasi Gender, Vol. 8, No. 1 Oktober 2007, h. 45
39
Jika dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa jenis kelamin
adalah hal yang bersifat kodrati, maka berbeda dengan pengertian gender.
Gender bukanlah jenis kelamin dan bukan pula berbicara tentang laki-laki
ataupun perempuan. Women‟s Studies Encyclopedia94
mendefiniskan
gender sebagai suatu konsep kultural (budaya) yang berupaya untuk
membuat suatu perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakter emosional yang telah hidup dan
berkembang dalam lingkungan masyarakat.
Kamla Bhasin, salah satu aktivis keadilan gender membedakan
antara jenis kelamin dan gender. Kamla mengatakan bahwa jenis kelamin
(seks) adalah sesuatu yang berifat natural, biologis, alamiah, tetap, tidak
dapat berubah terkait dengan fungsinya. Sedangkan gender merupakan hal
yang bersifat sosial budaya, dibuat oleh manusia dan merujuk pada
tanggung jawab, peran, perilaku, kualitas dan hal-hal lainnya yang bersifat
maskulin dan feminism, bersifat tidak tetap dan dapat berubah dari waktu
ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya bahkan dari
satu keluarga ke keluarga yang lainnya.95
Ann Oakley, pencetus pemakaian kata gender dalam feminisme
mengatakan bahwa ada dua istilah yang serupa tapi tak sama, yaitu seks
dan gender. Ia mendefinisikan gender sebagai suatu perbedaan yang bukan
bersifat biologis maupun kodrat, melainkan perbedaan yang merujuk pada
perbedaan perilaku antara laki-laki dengan perempuan yang kemudian
dikontruksi secara sosial melalui proses sosial dan kultural yang panjang.96
Selanjutnya Mansour Fakih mengatakan bahwa gender merupakan
suatu sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan yang telah
dikontruksi secara sosial dan kultural.97
Hal senada juga disampaikan oleh
94 Helen Tierney, (ed), Women‟s Studies Encyclopedia, (Inggris: Greenwood Press, 1999),
diakses dari http://gem.greenwood.com pada Selasa, 28 Februari 2017, pukul 11: 41 WIB
95
Kamla Bhasin, Understanding Gender, Terj. Moh. Zaki Hussein, (Jakarta: Teplok Press,
2003), Cet. Ke-3, h. 4
96
Ann Oakley, Sex, Gender and Society, (Inggris: Ashgate, 1972), h. 115
97
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2013), Cet Ke-15, h. 8
40
Nasaruddin Umar yang mengatakan bahwa gender merupakan efek yang
dihasilkan dari adanya perbedaan anatomi biologi manusia yang jelas
(antara laki-laki dan perempuan) dan telah dikontruksi oleh sosial
budaya.98
Misalnya, laki-laki adalah mahluk yang dianggap kuat, perkasa,
gagah, rasional, pemberani, maskulin, dan superior. Sementara perempuan
adalah mahluk yang feminim, emosional, lemah lembut, cantik, keibuan,
suka bersolek, inferior dan sebagainya.
Dari beragam definisi gender di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa gender merupakan sebuah bentuk pembagian peran,
sikap, sifat, perilaku, tugas, tanggung jawab, relasi dan status sosial antara
laki-laki dengan perempuan yang tidak dibawa sejak lahir melainkan
dibentuk oleh masyarakat, dapat dipertukarkan dan bersifat relatif sesuai
dengan perubahan dan perkembangan budaya sosial dan tidak memiliki
hubungan dengan jenis kelamin yang bersifat nature.
2. Kesetaraan Gender
Maksud dari kesetaraan gender adalah semua orang tanpa melihat
bagaimana background-nya memiliki kesamaan dalam peluang, akses,
partisipasi atau keterlibatan dalam suatu kegiatan yang produktif.99
Namun, Sdalam kenyataannya, khususnya dalam konteks kesetaraan
gender, perbedaan peran, status, jenis kelamin, seringkali menghalangi
seseorang untuk mengakses hak-hak dasar.
Sulitnya akses tersebut tentu tidak terlepas dari adanya
diskriminasi gender yang berakar pada pandangan dan stigma masyarakat
yang dominan terhadap budaya yang bias gender, seperti halnya budaya
patriarki dan matriarki.100
Inti dari kesetaraan gender adalah memberikan
98 Nasaruddin Umar, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), h. 3
99
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Gender dalam Tatanan Internasional dan Nasional, dalam
Agama, Politik Global dan Hak-hak Perempuan, Din Wahid dan Jamhari Makruf, (ed), (Jakarta:
PPM UIN Jakarta bekerjasama dengan British Embassy, 2007), h. 5
100
Sistem patriarkhi adalah sistem dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol dan lebih
berpengaruh dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Misalnya, bentuk pembagian warisan
yang berlaku di Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian.
41
kedudukan, kesempatan dan kebebasan yang sama dan sejajar (equality)
antara laki-laki dan perempuan untuk mengambil keputusan dan
memperoleh manfaat.101
Namun, kenyataannya dalam masyarakat tetap
saja terjadi subordinasi terhadap kaum perempuan, baik yang didasarkan
pada adat, negara maupun agama. Oleh sebab itu, secara garis besar
muncul empat aliran yang berjuang untuk mempertahankan kesetaraan,
keadilan, kebebasan dan martabat kaum perempuan yang kemudian
disebut dengan gerakan feminisme di antaranya:
a. Feminisme Liberal
Gerakan liberal berkembang di Barat pada abad ke-18. Menurut
kaum liberal seperti yang dikatakan Rosemarie Putnam Tong dalam
Feminist Thought bahwa “hak” harus diberikan sebagai prioritas di atas
“kebaikan”.102
Maksudnya, mereka setuju bahwa masyarakat yang adil
adalah masyarakat yang membenarkan setiap individu untuk menunjukkan
otonominya. Tuntutan kaum liberal diantaranya adalah menekan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, hak
politik dan kesempatan ekonomi (bekerja di luar rumah).103
Golongan ini berasumsi bahwa terjadinya ketidakadilan bagi
perempuan dilatar belakangi oleh keterbelakangan dan ketidakmampuan
kaum perempuan bersaing dengan laki-laki karena kelemahan mereka
sendiri yang disebabkan oleh kebodohan dan sikap irrasional yang
berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional yang berakibat terjadinya
patriarki.104
Sedangkan sistem matriarkhi adalah sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu, maksudnya
kedudukan kaum perempuan lebih dominan, menonjol dan lebih berpengaruh dibandingkan
kedudukan kaum laki-laki. Misalnya, bentuk pembagian waris yang berlaku di daerah
Minangkabau, Enggano dan Timur. Lihat Nurul Elmiyah, Rosa Agustina dan Erman Rajagukguk,
Hukum Adat Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007), Cet. Ke-1, h. 11.
101
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 12
102
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Terj.
Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), Cet. Ke-5, h.16
103
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, h.
52
104
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 144
42
b. Feminisme Radikal
Untuk pertama kali aliran ini muncul pada tahun 1960-an. Berbeda
dengan liberal, golongan radikal justru melihat bahwa akar dari
penindasan kaum perempuan terletak pada dominasi laki-laki terhadap
penguasaan fisik perempuan.105
Maksudnya, laki-laki dengan bebas selalu
mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dan melakukan penindasan
dalam seksual.
Akibat dari penindasan ini, feminis radikal muncul dengan tuntutan
yang sangat ekstrim. Mereka tidak hanya menuntut persamaan hak dengan
laki-laki, bahkan mereka juga menuntut persamaan seks, dalam arti
kepuasaan seks bisa diperoleh dari sesama perempuan sehingga mereka
mentolerir praktek lesbian.106
c. Feminisme Marxis
Pemikiran feminis marxis cenderung mengikuti pemikir abad 19,
seperti Marx, Engels dan sebagaianya. Mereka memandang bahwa
penindasan perempuan disebabkan oleh kelasisme (classim)107
dalam
hubungan produksi, sehingga isu ini menjadi bersifat dan mendukung
sistem kapitalisme.108
Aliran ini cenderung mendesak kaum perempuan untuk memasuki
industri publik, dalam arti kesetaraan perempuan akan terjadi jika urusan
pekerjaan domestik (pengelolaan rumah tangga dan pengasuhan anak)
ditransformasikan menjadi industri sosial.109
Akhirnya, fokus utama aliran
marxis adalah kemandirian dan kesejahteraan ekonomi perempuan.
105Alison Jaggar, Political Philosophies of Women‟s Liberation, dalam Feminism and
Philosophy, Veterling-Braggin, (ed), (West Hartforth: Kumarian Press, 1977)
106
Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction, (London: Routledge, 1989), h. 2
107
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, h.
139
108
Kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan pertukaran, sehingga
kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat pasar yang mana segalanya mempunyai nilai
dan harga, yang juga didalamnya meliputi kekuatan seseorang, tenaga, pekerjaan dan keringat
seseorang berhak atas upah, termasuk di dalamnya isteri yang melakukan pekerjaan rumah tangga
dan mengasuh anak juga berhak atas gaji yang diberikan oleh suaminya.
109
Mansour Fakih, Anaisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 145-146
43
d. Feminisme Sosialis
Aliran ini muncul pada tahun 1970-an dan sebagai kritikan
terhadap aliran feminis marxis. Mereka mengatakan bahwasanya
penindasan perempuan disebabkan oleh dua hal, yaitu kapitalis dan
patriarkis. Hal ini terungkap dalam dua teori yang dikembangkan oleh
feminis sosial, yaitu teori sistem ganda dan teori sistem menyatu. Teori
sistem ganda dapat dipahami bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi karena adanya dua ideologi yang berbeda, yaitu kapitalis dan
patriarkis, sedangkan maksud dari teori sistem menyatu adalah gabungan
dari berbagai macam konsep terhadap segala hal yang menyebabkan
terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan yang berlangsung di
masyarakat.110
Berangkat dari argumentasi inilah muncul sebuah faham yang
mengatakan “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada
Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”.111
Maksudnya, feminisme
sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem kepemilikan, seperti halnya
kepemilikan suami atas isteri dan menginginkan suatu masyarakat tanpa
pembedaan gender dan kelas.
3. Bentuk Diskriminasi Gender
Pada dasarnya ketidakadilan gender bisa terjadi pada perempuan
maupun laki-laki, akan tetapi dalam kebanyakan kasus ketidakadilan
gender sering terjadi pada kaum perempuan, sehingga gender terlihat
seperti bentuk perwujudan wajah perempuan. Berikut bentuk-bentuk
diskriminasi yang sering terjadi pada kaum perempuan.
110 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction,
Second Edition, (Westview Press: Colorado, 1998)
111
Ratna Hildya Astuti, Sejarah Feminisme, diakses dari
http://jendelagender.blogspot.co.id/ 2013/11/ sejarah-feminisme.html pada Kamis, 02 Maret 2017,
pukul 10:29 WIB
44
a. Subordinasi (penomorduaan)112
Penomorduaan perempuan sering terjadi dalam banyak hal,
khususnya dalam pengambilan keputusan karena perempuan dianggap
sebagai mahluk yang irasional dan emosional. Tradisi, adat, aturan negara
bahkan agama sering dijadikan alasan untuk menomorduakan perempuan.
Misalnya, anggapan masyarakat bahwa anak perempuan akan kembali ke
dapur, maka tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh pada akhirnya laki-laki
yang akan menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah, sehingga laki-laki
dituntut harus lebih pintar, kuat dan memiliki pekerjaan bagus.
b. Stereotype (pelabelan)113
Stereotype merupakan pelebelan negatif yang mengakibatkan
berbagai macam ketidakadilan. Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan
saja, laki-laki, etnis, suku, dan agama tertentu bisa saja mengalami
stereotype. Misalkan, kulit hitam lebih buruk dibanding kulit putih,114
jika
perempuan pulang malam maka ia dianggap sebagai perempuan tidak
benar. Bahkan dalam pepatah Jawa disebutkan bahwa isteri itu konco
wingking (berperan di belakang) suami yang akhirnya mengakibatkan
suwargo nunut neroko katut (ke surga ikut, ke neraka juga menurut).115
112 Istilah subordinasi mengacu pada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan peran dan posisi laki-laki. diakses dari http://www.koalisiperempuan.or.id
pada Kamis, 02 Maret 2017.
Lebih lanjut, subordinasi memiliki arti meletakkan perempuan di bawah atau perempuan
memiliki kedudukan dan posisi yang inferior, dimana ia akan tunduk terhadap control atau otoritas
orang lain, khususnya laki-laki yang pada akhirnya mengakibatkan kurangnya akses perempuan
terhadap sumber-sumber pengahasilan, pengambilan keputusan dan sebagainya. Lihat Kamla
Bhasin, Understanding Gender, h. 63
113
Stereotype merupakan pelebelan negatif yang diletakkan pada karakteristik tertentu,
baik secara kepibadian, fisik maupun kognitif. Seperti perempuan adalah mahluk yang lemah
secara fisik, sedangkan laki-laki kuat. Perempuan itu mahluk yang irasional, emosional, lemah
lembut, cengeng. Sebaliknya laki-laki itu rasional, tegas, inisiatif dan sebagainya. Jika perempuan
itu feminism, maka laki-laki adalah maskulin. Lihat Ester Lianawati, A Feminist Psychologist‟s
Blog, diakses dari https://esterlianawati.wordpress.com pada Kamis, 02 Maret 2017, pukul 12:17
WIB
114
Jennifer Saul, Implicit Bias, Stereotype Threat, and Women in Philosophy, diakses dari
http://www.sheffield.ac.uk/polopoly_fs/1.394073!/file/saul_implicit.pdf pada Kamis, 02 Maret
2017, pukul 11:57 WIB
115
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 15
45
c. Marginalisasi (peminggiran)
Akibat subordinasi dan stereotype, maka perempuan menjadi
korban marginalisasi yang berdampak pada pemiskinan ekonomi. Hal
semacam ini paling sering terjadi dalam lingkungan kerja, seperti
pemberian upah atas pekerjaan perempuan lebih rendah dibanding laki-
laki walaupun melakukan jenis pekerjaan yang sama, misalkan sama-sama
menjadi buruh ladang. Hal ini dilatarbelakangi oleh kontruksi sosial yang
didasarkan atas tubuh laki-laki dan perempuan, dimana perempuan
dianggap lebih lemah.
d. Multi-burdened (beban kerja yang berlebih)
Perempuan merupakan bentuk perwajahan pekerjaan domestik.
Mereka harus mengelola, menjaga, memelihara kerapihan rumah dan
mengasuh anak-anak. Perempuan harus menanggung beban kerja domestik
lebih banyak (burden). Sungguhpun demikian, perempuan masih tetap
harus bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah. Hal semacam ini justru
menambah beban kerja perempuan sehingga terkesan pekerjaan
perempuan berlebihan.116
e. Violence (Kekerasan)117
Kekerasan yang terjadi kepada perempuan sangat beragam, mulai
dari kekerasan verbal (seperti bersiul, menggoda), kekerasan fisik (seperti
pemukulan), kekerasan psikis (seperti kata-kata yang melecehkan dan
merendahkan), kekerasan seksual (seperti perkosaan) dan sebagainya.118
116 Agnes Aristiarini, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, (Yogyakarta: PMII
Komisariat Sunan Kalijaga-Pact-INPI, 1998), h. 18, lihat juga AD. Lahadu, Problem Perempuan
Jurnalis Dalam Praktik Jurnalisme Berspektif Gender, tahun 2012, h. 22, diaskes dari http://e-
journal. uajy.ac.id/1055/2/1KOM03200.pdf pada Kamis, 02 Maret 2017, pukul 13:50 WIB
117
Kekerasan adalah tindakan agresif dan penyalahgunaan yang menyebabkan kerusakan
atau menimbulkan rasa sakit pada seseorang. Secara garis besar, kekerasan dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu kekerasan terpencar, yakni kekerasan berskala kecil atau tidak
disengaja dan kekerasan yang terkoordinasi atau tindak kekerasan yang diupayakan oleh suatu
kelompok baik yang memiliki otoritas/kewenangan untuk melakukannya maupun tidak. Lihat
Syafiq Hasyim, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Islam, dalam dalam Agama, Politik Global
dan Hak-hak Perempuan, Din Wahid dan Jamhari Makruf, (ed), (Jakarta: PPM UIN Jakarta
bekerjasama dengan British Embassy, 2007), h. 21
118
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 22, lihat juga Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, h. 75
46
4. Perempuan pada Masa Pra-Islam dan Awal Islam
Secara kronologis, persoalan gender dalam pengertian sederhana
sesungguhnya telah menjadi bahan perbincangan sejak lama. Banyak
sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam perempuan
sering menjadi bahan perdebatan dalam berbagai forum.119
Orang Yunani memandang perempuan sebagai penyebab lahirnya
perbuatan syetan. Bahkan, di anggap sebagai barang komoditi yang bisa
diperjualbelikan di pasar bebas. Perempuan tidak berhak melakukan
transaksi apapun dan tidak boleh memiliki suatu benda apapun, bahkan
tidak boleh mendapat warisan sedikitpun. Bila ditinggal mati suaminya,
seorang istri bisa diwariskan kepada saudaranya atau kerabatnya.120
Bangsa Romawi menganggap perempuan hanyalah sebagai alat
yang dipergunakan setan untuk menggoda dan merusak hati manusia.
Seminar yang pernah dilakukan dahulu menyimpulkan bahwa perempuan
adalah makhluk tak berjiwa dan tidak akan menikmati kehidupan akhirat.
Undang-undang Romawi tidak memberikan sebagian besar hak manusia
kepada perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan mutlak terhadap kaum
Hawa dan boleh menjualnya sebagai budak belian.121
Di India, perempuan bagaikan benda yang tidak boleh hidup
sepeninggal suaminya. Ia harus dibakar hidup-hidup. Di Persia, kehidupan
perempuan seratus persen bergantung kepada laki-laki. Bisa dibunuh oleh
suaminya bila mau dan bisa juga dipenjarakan di rumah untuk
selamanya.122
Pada dasarnya, pandangan buruk terhadap perempuan tidak hanya
muncul dalam wacana sosial budaya seperti dicontohkan di atas, tetapi
119 Achmad Satori Ismail, „Fiqh Perempuan dan Feminisme‟ dalam Mansoer Fakih, et,al.,
Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996),
cet. Ke-1 h. 132.
120
Ahmad Khairat, Markâz al-Maw‟âh fî al-Islam, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1983), cet. Ke-
3, h. 11.
121
Al-Abd al-Wahid Wafî, al-musâwa fî al-Islam, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, t.th), h. 49.
122
Mesraini, Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi Hukum
Islam dalam Perspektif Jender, (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2001), h. 23
47
lebih jauh lagi merebak ke dalam wacana ajaran dan norma keagamaan.
Dalam agama Yahudi, misalnya, dijumpai pandangan negatif terhadap
perempuan yang tidak jauh berbeda dengan pandangan bangsa Yunani.
Kebencian orang Yahudi terhadap perempuan demikian tingginya
sehingga dalam doa sehari-hari pun terungkap kata-kata yang
merendahkan kaum perempuan. Mereka sering berdoa. “Terpujilah
Engkau, Tuhan, yang tidak menciptakan aku sebagai perempuan”.123
Banyak peristiwa yang mendukung pernyataan di atas. Dalam
tradisi masyarakat pra-Islam di Timur Tengah, jika seorang suami
meninggal dunia maka saudara tuanya atau yang lain mendapat warisan
untuk memiliki jandanya. Rendahnya martabat kaum perempuan juga
terlihat dari hakikat perkawinan yang bersifat posesive. Bahkan, kebiasaan
mengubur bayi perempuan hidup-hidup telah menyebar di pelosok dunia
Arab pada masa itu. Sebab, anak perempuan dianggap sebagai penyebab
kehinaan dalam keluarga.124
Sekitar tahun 1750-1800 SM, muncul seorang tokoh yang
berwibawa yang bernama Hammurabi. Ia membangun kerajaan dan
mengembangkan masyarakat yang tertib dan aman. Ia membuat peraturan
hukum yang kemudian disebut Kode Hammurabi. Dalam Kode
Hammurabi, ketentuan-ketentuan khusus yang sifatnya membatasi
perempuan, sudah mulai diterapkan. Di dalam peraturan Hammurabi,
tercantum membatasi waktu bagi seorang laki-laki untuk dapat
menggadaikan istri dan atau anaknya selama tiga tahun dan melarang tegas
memukul, dan atau menyakiti „barang‟ yang dijadikan sebagai agunan
gadai ini. Pemberian hak-hak istimewa kepada laki-laki dapat ditemukan
123 Munawar Ahmad Aness, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, (Bandung:
Mizan, 1991), cet. Ke-1, h. 188.
124
Mesraini, Jender dan Kompilasi Hukum Islam, h. 25. Al-Quran melukiskan kondisi
Arab Jahiliyah sebagai berikut: „‟Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan
melahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburnya ke dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu”. Lihat Qs. al-Nahl: 58-59.
48
dalam naskah itu, seperti ayah atau suami dalam keluarga memegang
peranan utama dan kewenangan yang tak terbatas. Tidak sah suatu
perkawinan tanpa restu dan izin dari ayah. Hal ini ditegaskan dalam Kode
Hammurabi pasal 128: “Jika seorang laki-laki melaksanakan perkawinan,
tetapi tidak membuat kontrak tertulis kepada pihak calon istrinya (dalam
hal ini diwakili oleh ayahnya), maka perempuan itu tidak sah sebagai
istrinya”.125
Dalam kehidupan keluarga, hak laki-laki lebih diutamakan
daripada perempuan, misalnya: “Bilamana seorang perempuan gagal
menjadi istri yang baik, sering berkeluyuran, melalaikan tugas-tugasnya di
rumah, dan melecehkan suaminya maka perempuan tersebut harus
dilemparkan ke dalam air”.126
Dalam peraturan itu, tidak diberlakukan
untuk laki-laki yang melakukan hal serupa. Itulah sekilas tentang
pemerkosaan zaman dahulu terhadap harkat dan martabat perempuan
sebelum Islam tampak sangat suram dan gelap. Akan tetapi, bukan berarti
tidak pernah ada sisi baiknya.
Ketika Islam datang, pandangan terhadap perempuan berubah.
Kedudukan perempuan diangkat dan dihilangkan segala bentuk kezaliman
dan kesewenang-wenangan. Islam datang membawa misi pengembalian
hak-hak perempuan yang telah dirampas dan dijajah oleh kaum laki-laki di
zaman jahiliah. Islam mengangkat martabat kaum perempuan dan
memberikan kembali hak-hak mereka yang telah hancur berantakan,
diinjak-injak oleh dominasi kaum laki-laki dan telah diluluhlantahkan oleh
tradisi-tradisi keagamaan, fanatisme golongan, dan kebangsaan yang
sempit.127
Islam menjunjung tinggi perempuan dan meletakkannya sejajar
dengan laki-laki. Islam juga merevisi perlakuan tradisi jahiliyah terhadap
perempuan, seperti; (a) Islam memberikan hak talak bagi perempuan
125 Sabatino Moscati, Ancient Semitic Civilizations, (London: Eleks Books, 1957), h. 82.
126
James Balkie, The Life of the Ancient East, (New York: The Macmillan Company,
1923), h. 257.
127
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010). Cet ke-1, h. 115.
49
(khuluk) ketika terjadi ketidakcocokan atau perlakuan yang tidak adil
terhadap dirinya; (b) perempuan berhak mewarisi dan mewakili kekayaan
dan berhak men-tasharuf-kannya. Adapun sumber-sumber kekayaan itu
didapatkan dari harta warisan dan mas kawin (mahar); (c) perempuan
memiliki hak penuh untuk memelihara anaknya (haqq al-hadhânah).128
Dengan demikian, bisa dipahami dalam masyarakat Islam,
perempuan menempati kedudukan yang penting yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Tidak ada undang-undang atau aturan manusia sebelum Islam
yang memberikan hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan
Islam. Hal itu disebabkan karena Islam datang membawa prinsip
persamaan di antara seluruh manusia, tidak ada perbedaan antara satu
individu dengan individu yang lain. Begitu juga tidak ada perbedaan
gender antara laki-laki dan perempuan.129
C. Teori Hak Asasi Manusia dalam UDHR
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Sistem nilai yang menjelma dalam konsep hak asasi manusia
(HAM) tidaklah semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki
dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama.130
Pandangan
dunia tentang hak asasi manusia adalah pandangan kesemestaan bagi
eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia. Wacana hak
asasi manusia terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran
manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya.131
Hak Asasi Manusia dalam tradisi Barat dikenal dengan istilah
“right of man” yang juga melingkupi “right of women”. Istilah “right of
man” menggantikan istilah “natural right”. Eleanor Roosevelt, kemudian
128 Mesraini, Jender dan Kompilasi Hukum Islam, h. 30
129
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam
Islam, h.37.
130
Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, (Leiden:
Martinus Nijhoff Publishers, 2003), h. 1.
131
Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Ed. Ke-2, cet ke-2, h. 1.
50
mengubahnya dengan istilah “human rights”, karena istilah ini dipandang
lebih netral dan universal.132
Timbul pertanyaan, apakah Hak Asasi manusia itu? Hak asasi
manusia adalah hak kodrati yang diberikan Tuhan133
atau hak-hak yang
dimiliki oleh setiap manusia dan berhak dinikmatinya semata-mata karena
ia adalah manusia.134
Semua hak itu berasal dari „martabat inheren
manusia‟ dan telah didefinisikan sebagai „klaim-klaim manusia‟, untuk
diri mereka sendiri atau untuk orang-orang lain, yang didukung oleh suatu
teori yang berpusat pada perikemanusiaan manusia, pada manusia sebagai
manusia, anggota umat manusia.135
Konsep hak asasi manusia dan hukum hak asasi manusia bersifat
dinamis. Dinamisme inilah yang membuat hak asasi manusia berpotensi
sebagai alat yang ampuh untuk memajukan keadilan sosial dan martabat
semua orang.136
Hal mendasar yang terlihat kental dalam konsep hak asasi
manusia terbagi dua, yaitu pertama, rendahnya pemahaman filosofis
terhadap kandungan materi muatan HAM, dan kedua, bobot materi muatan
hak asasi manusia juga ditengarai memiliki bias pemahaman akibat
tajamnya intrik sosial politik yang melingkupinya.137
Oleh karena itu, upaya rekonstruksi konsep dasar hak asasi
manusia merupakan langkah awal yang harus serius dilakukan. Dengan
demikian, hak asasi manusia memperoleh makna dan dimensi baru pada
132 Tim ICCE, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 200-201. Lihat juga Sukron Kamil, dkk.
Sayriah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan,
dan Non-Muslim, (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture [CSRC], 2007), cet. Ke-1,
h. 1.
133
Adnan Buyung Nasution, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Islam dan Barat,
dalam buku Agama dan Dialog Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 108.
134
Julia Mertus, Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International and
Human Rights Watch, Penerjemah Ismu M. Gunawan, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan
Langkah Demi Langkah, (Jakarta: LBH Apik Pustaka Sinar Harapan,2001), h. 12.
135
Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic law, Penerjemah Musa
Kazhim dan Edwin Arifin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, (Jakarta:
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), cet ke-1, h. 15.
136
Julia Mertus, Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International and
Human Rights Watch, h. 12.
137
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya,h. 4.
51
berbagai peristiwa, dalam sejarah dengan adanya kelompok-kelompok
tertindas yang menuntut pengakuan atas dasar hak-hak mereka, dan
kondisi baru yang menimbulkan kebutuhan akan perlindungan baru.138
2. Perkembangan Hak Asasi Manusia
Kewajiban hak asasi manusia internasional dewasa ini berakar
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelanggaran hak yang meluas
atas orang dan kelompok –termasuk pemusnahan suatu kaum secara
terencana (genosida), pembunuhan massal dan bentuk-bentuk lain
kekerasan terhadap kemanusiaan- menggerakkan berbagai pemerintah
untuk menuntut dan menentukan standar bagaimana pemerintah
memperlakukan rakyatnya sendiri.139
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah dokumen pertama
yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 10 Desember 1948, yang mengandung senarai hak asasi manusia
yang diakui secara Internasional. Di antara hak-hak dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia adalah: hak hidup, kemerdekaan dan
keamanan pribadi (Pasal 3); larangan perbudakan dan perhambaan (Pasal
4); larangan penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat (Pasal 5); pengakuan sebagai pribadi (Pasal 6);
kesetaraan di depan hukum (Pasal 7); pemulihan hukum yang efektif
(Pasal 8); proses hukum yang adil (Pasal 9, 10, dan 11); larangan
mengganggu urusan pribadi secara sewenang-wenang (Pasal 12);
kebebasan bergerak (Pasal 13); suaka (Pasal 14); kewarganegaraan (Pasal
15); pernikahan dan pembentukan keluarga (Pasal 16); kepemilikan (Pasal
17); kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18); kebebasan
berpendapat dan menyatakan pendapat (Pasal 19); kebebasan berkumpul
secara damai dan berserikat (Pasal 20); berpartisipasi dalam pemerintahan
138Julia Mertus, Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International and
Human Rights Watch, h. 12. Lihat juga Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya,h. 5.
139
Julia Mertus, Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International and
Human Rights Watch, h. 13.
52
(Pasal 21); jaminan sosial (Pasal 22); pekerjaan dan kesetaraan upah untuk
pekerjaan yang sama (Pasal 23); istirahat dan liburan (Pasal 24); taraf
kehidupan yang memadai (Pasal 25); pendidikan (Pasal 26); partisipasi
dalam kehidupan budaya (Pasal 27).
Deklarasi ini merupakan referensi artikulasi kehidupan manusia
sejagad dan diakui sebagai standar umum bagi semua masyarakat untuk
berjuang bagi kemajuan martabat manusia.140
Deklrasai Universal Hak
Asasi Manusia bersifat tidak mengikat, karena negara-negara tidak pernah
meratifikasi deklarasi itu seperti suatu perjanjian formal yang
menimbulkan kewajiban hukum yang mengikat. 141
3. Kategorisasi dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Apa yang tertuang di dalamnya dilihat dri perspektif
perkembangan generasi Hak Asasi Manusia. Generasi Hak Asasi Manusia
adalah ke dalam generasi pertama dari tiga atau ada yang menyebutnya
empat generasi Hak Asasi Manusia yang ada. Elemen dasar dari konsepsi
generasi Hak Asasi Manusia pertama mencakup soal prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, kebebasan sipil, dan politik.142
Menurut Karel Vasak143
, seorang ahli hukum dari Perancis,
membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang
terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”. Generasi
hak asasi manusia itu di antaranya:
a. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
Generasi Hak Asasi Manusia pertama adalah kebebasan atau sering
dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik. Hak-hak ini muncul dari
140 Burns H. Watson, Human Rights, dalam Robert P. Gwinn, et.al. (ed), The New
Encyclopaedia Britannica, ed. Ke-15, vol. 20, (Chicago: the University of Chicago, 1986), h. 715.
Lihat Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, h.
19.
141
Julia Mertus, Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International and
Human Rights Watch, h. 14.
142
Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
h. 22.
143
Karel Vasak, “A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the
Universal Declaration of Human Rights”, Unesco Courier, November, 1977, h. 32.
53
tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutism
negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya.144
Generasi ini berasal dari
teori-teori reformis abad ke-17 dan ke-18 yang sangat tajam menyoroti
revolusi-revolusi di Inggris, Amerika, dan Prancis. Karena itulah hak-hak
generasi pertama ini dikatakan sebagai hak-hak klasik.
Generasi Hak Asasi Manusia pertama sering pula disebut sebagai
hak-hak negatif (freedom from) ketimbang bersifat positif (right to).
Artinya, hak asasi manusia dipahami sebagai abstensi negara dalam
pencarian martabat manusia.145
b. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
Generasi kedua hak asasi manusia adalah persamaan atau hak-hak
yang diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan
terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai dengan
kesehatan. Dengan demikian, negara dituntut bertindak lebih aktif agar
hak-hak tersebut dapat terpenuhi.146
Melalui Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) tanggal 16
Desember 1966 lahirlah dua buah kovenan, yakni pertama, International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik. Kedua, International Covenant on
Economic, Social and Culturl Rights/ICESCR (Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Kedua kovenna ini
memberikan artikulasi DUHAM secara substansial dan revolusioner.
Secara tegas, berhasil menyatukan dua perspektif perlindungan Hak Asasi
Manusia, yakni hak-hak individu dan hak-hak sosial yang berimplikasi
kepada kewajiban-kewajiban negara.147
144 Rhona K.M. Smith, dkk. Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008), cet. Ke-1, h. 15.
145
Burns H. Watson, Human Rights, h. 716
146
Lihat Krzysztof, Catarina Crause dan Allan Rosas (eds), Social Rights as Human
Rights: A European Challenge, (Academi University Institute for Human Rights, 1994), h, 15-16.
147
Majda El-Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
h. 23.
54
c. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
Fenomena lahirnya nasionalisme dunia ketiga oleh Watson
merupakan realitas tuntutan pemerataan alokasi kekuasaan dalam
kehidupan global. Pasal 28 DUHAM148
memberikan inspirasi penting
terhadap lahirnya generasi hak asasi manusia ketiga ini. Hak-hak generasi
hak asasi manusia ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi
kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi
manusia terdahulu.
Beberapa prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia
internasional. Prinsip-prinsip terdapat di hampir semua perjanjian
internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Di
antaranya, Pertama, prinsip kesetaraan, yakni prinsip yang sangat
fundamental dari hak asasi manusia kontemporer, ide yang meletakkan
semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi
manusia; Kedua, prinsip pelarangan diskriminasi atau pelarangan terhadap
diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Jika
semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif;
Ketiga, prinsip kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu, suatu
negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-
kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif
untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan
kebebasan. 149
Ada beberapa aspek hukum keluarga yang disentuh oleh Deklarasi
Hak Asasi Manusia (UDHR) ini. Di antaranya, perkawinan atau
berkeluarga. Aspek ini tercantum pada pasal 16 yang menyatakan bahwa
setiap orang dewasa baik pria ataupun wanita, dengan tidak dibatasi
kebangsaan, warga negara dan agama berhak untuk mencari jodoh dan
membentuk keluarga (ayat 1). Perkawinan yang dilakukan harus
berdasarkan suka sama suka (ayat 2). Pasal 12 dan pasal 23 ayat 3 dan 25
148 “Everyone is entitled to a social and international order in which the rights set forth in
this Declaration can be fully realized”. Pasal 28 DUHAM.
149
Rhona K.M. Smith, dkk. Hukum Hak Asasi Manusia, h. 39-40.
55
menyentuh tentang hak untuk mengatur keluarga atau rumah tangganya
tanpa intervensi orang lain, memperoleh pekerjaan demi menjamin
kehidupan diri dan keluarganya, dan mempunyai kehidupan yang layak
untuk menjamin tersedianya kesehatan, sandang-pangan, pakaian dan
perumahan bagi diri dan keluarganya.150
Mengingat, sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga
dan pembangunan masyarakat, yang selama ini belum sepenuhnya diakui,
arti sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga
dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan wanita
dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar
diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak mewajibkan
pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita serta masyarakat secara
keseluruhan. Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan
tradisional pria maupun wanita dalam masyarakat dan keluarga, untuk
mencapai persamaan sepenuhnya antara pria dan wanita. Maka
diperlukannya rasa saling menghargai satu sma lain terhadap hak dan
kewajiban sebagai suami dan istri.151
150 Muhammad Faisal Hamdani, Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif HAM Universal
(UDHR) dan HAM Islam (UIDHR). Jurnal Ahkam Ilmu Syariah, Januari. Vol. XVI, No. 1, h. 26.
151
Kelompok Kerja Convention Watch: Pusat Kajian Wanita dan Jender, Hak Azasi
Perempuan:Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan, (Jakarta: Departemen Pemberdayaan
Perempuan, 2006), h. 11.
56
BAB III
SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN PERKAWINAN
INDONESIA DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
Indonesia dan negara Brunei Darussalam adalah dua Negara yang
sama-sama pernah didatangi oleh bangsa Eropa; Indonesia oleh Belanda
dan negara Brunei Darussalam di Britishasi oleh Inggris.1 Maka tidak dapat
dihindari jika hukum keluarga yang berlaku di dua negara ini dipengaruhi
oleh hukum negara penguasa tersebut. Untuk melihat lebih rinci
pembahasan mengenai sejarah perundang-undangan perkawinan, di
Indonesia dibagi menjadi tiga periode yaitu sebelum penjajahan, masa
penjajahan, dan pasca kemerdekaan. Demikian dengan negara Brunei
Darussalam akan dibagi menjadi tiga periode, yaitu sebelum British, masa
British, dan pasca kemerdekaan.
A. Sejarah Perundang-undangan Perkawinan Indonesia
1. Sebelum Penjajahan Belanda
Konsep kesatuan hukum masih asing bagi masyarakat Indonesia,
karena memang tiap-tiap pulau dan suku diperintah oleh kerajaan yang
berbeda.2 Ketika Islam masuk ke Indonesia dan menjadi anutan mayoritas
penduduk, ajaran Islam pun menjadi unsur dominan dari sistem sosial dan
hukum di Indonesia. Meski kedatangan Islam tidak berarti mempersatukan
kerajaan-kerajaan yang ada, setiap kerajaan yang menganut Islam pada
umumnya memberlakukan aturan-aturan Islam untuk rakyatnya, terutama
1 Indonesia sebenarnya pernah dijajah oleh Portugis, Inggris dan Jepang. Namun Belanda
adalah negara yang paling lama menjajah sehingga pengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia
sangat besar. Demikian dengan negara Brunei Darussalam, bahwa negara Brunei tidak pernah
dijajah tetapi menjadi negara Britishasi oleh Inggris sehingga ada campur tangan dalam sistem
perundangan Islam di Brunei di antaranya terbentuk Muhammaden Laws Enactment (No. 2/1912)
dan Marriage and Divorce Enactment (No. 1/1913), dan diikuti perjanjian demi perjanjian yang
pada akhirnya Undang-undang Islam menjadi sempit. Lihat Datin Dr. Hajah Saadiah binti Datu
Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-Undang, (Bandar Seri Begawan: Pusat
Da‟wah Islamiah, 2012), cet. Ke-2, h. 3.
2 Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: Tripathi, 1972), h.
192.
57
dalam soal-soal kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, dan warisan.3
Dalam hal ini selalu ada orang-orang yang ahli dalam bidang agama Islam
yang dipercayai oleh masyarakat dan diserahi tugas mengurus masjid dan
perkawinan.4
Kerajaan Samudra Pasai, yang berdiri pada abad ke- 13 dikenal
sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia5, menerapkan hukum Islam
bermazhab Syafii. Kerajaan Aceh, yang berdiri setelah Samudra Pasai
ditaklukkan Portugis pada 1521 M, juga menerapkan hukum Islam
bermazhab Syafii sebagai hukum resmi kerajaan.6 Begitupun di Jawa,
kerajaan Islam seperti demak, Mataram, Cirebon, Banten, dan lain-lain pun
memberlakukan hukum Islam. Kerajaan-kerajaan itu mengangkat mufti
atau kadi yang menangani perkara-perkara umat Islam, baik pidana maupun
perdata.7
Secara kelembagaan, lembaga tahkim merupakan lembaga yang kali
pertama muncul di Indonesia. Dari lembaga tahkim kemudian diikuti
dengan lembaga ahl al-hilli wa al-aqd dalam bentuk peradilan adat, di
mana para hakim diangkat oleh rapat marga, nagari, dan semacamnya.
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, lembaga ini
berubah menjadi Peradilan Swapraja, yang kemudian berubah lagi menjadi
Peradilan Agama. Sedangkan bentuk dari lembaga peradilan ini disetiap
daerah nusantara masing-masing berbeda.8
3 Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, 2008), cet ke-1, h.
50.
4
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.
38.
5 Sebenarnya kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Perlak, Aceh. Didirikan pada
tahun 225 H/840 M (abad ke-9 M), dengan raja pertamanya bernama Sultan Alauddin Sayyid
Maulana Abdul Azis Syah. Lihat Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-
undangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 50.
6 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2005), h. 19.
7 Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, h. 50.
8
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 38-39.
58
Ada empat model pengadilan yaitu: Pertama: Hakim diangkat oleh
para penguasa setempat, hal ini berlaku di Aceh dan Jambi di Sumatera,
Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi dan beberapa tempat lain. Kedua;
Tidak ada kedudukan tersendiri bagi Pengadilan agama, tetapi pemuka-
pemuka agama melakukan tugas-tugas peradilan. Hal ini berlaku di
Sulawesi Utara, Tapanuli di Sumatera Utara, Gayo dan Alas di Aceh serta
Sumatera Selatan. Ketiga; Hakim-hakim Islam (Pengadilan Agama) sudah
ada di setiap kabupaten kira-kira abad ke 16, di mana tugas Pengadilan
Agama diselenggarakan oleh Penghulu atau Pejabat Kemesjidan setempat.
Hal ini terdapat di Jawa dan biasanya pengadilan berada di serambi masjid,
dan tidak ditempat tertentu, sehingga disebut pengadilan serambi.9
2. Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1760, dibentuk kitab hukum “Compendium Freijer”
yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Kitab ini
diterapkan pada peradilan-peradilan yang ada di daerah kekuasaan VOC.
Selain itu, terdapat pula kitab Muharrar yang berlaku untuk Pengadilan
Agama Semarang. Kitab hukum ini berisi perkara-perkara perdata dan
perkara-perkara pidana yang sebagian besar bermuatan hukum Islam.10
Kitab hukum lain yang dibuat pada zaman VOC adalah hukum-hukum
Jawa yang diwakili oleh Babad Tanah Jawi, Babad Mataram, dan
Papakem Cirebon, pada abad ke 16 atau pada tahun 1768. Berisi kumpulan
hukum Jawa tua yang semula merupakan kompilasi ketentuan-ketentuan
hukum Hindu, kemudian mengalami perubahan-perubahan yang tampak
adanya pengaruh Islam.11
9 Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study of the Political Bases of Legal
Institutions, (Barkelay and Los Angeles: University of California Press, 1972), h. 10-25. Lihat
Yayan Sofyan, Islam-Negara:Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h.
79. Lihat juga Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 38-39.
10
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, h. 34.
11
Mohammad Atho‟ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Edisi dwibahasa, (Jakarta: INIS, 1993)
59
Penyebutan pertama kali tentang adanya semacam pengadilan-
pengadilan Islam dilakukan oleh Persatuan Kompeni Belanda di Hindia
Timur (VOC) pada tahun 1808 dalam sepucuk surat perintah, yang
menyatakan para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus perkara-
perkara perkawinan dan warisan.12
Sewaktu wilayah jajahan Indonesia
dikembalikan (oleh Inggris) kepada Belanda pada tahun 1816, soal
pengadilan-pengadilan Islam atau penghulu-penghulu Islam tidak disebut-
sebut lagi, yang menimbulkan pertanyaan apakah perintah tahun 1808
masih tetap berlaku.13
Tetapi pada tahun 1817 Raffles menulis bahwa
dewan-dewan kehakiman terdiri atas dua macam, yakni yang dipimpin oleh
para penghulu yang didasarkan atas hukum-hukum Islam dan yang
ditangani oleh jaksa yang didasarkan atas adat setempat. Keterangan ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu semacam sarana pengadilan Islam
masih ada.14
Bersamaan dengan itu, dasar hukum Peradilan Agama menunjukkan
berlakunya hukum Islam. Sebab pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling
menyatakan, bahwa perkara-perkara perdata yang timbul di antara orang-
orang Islam diadili oleh Pengadilan Agama Islam, apabila hukum adat
mereka menentukannya, kecuali jika sesuatu undang-undang ditetapkan
lain.15
Hanya saja, berdasarkan Ind. Stbl. No. 55, pada tanggal 3 Agustus
1828, Compendium Freijer yang sebagian diperbarui, kemudian dicabut
secara berangsur-angsur pada abad ke-19. Sedang bagian terakhir, yakni
h. 35. Lihat juga Mesraini, Hak-Hak Perenpuan Pasca Cerai:Studi Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia dan Malaysia, h. 19.
12
Mahadi, Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia: Sebuah Catatan Sejarah Sampai
Tahun 1882, h. 101.
13
Mohammad Atho‟ Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. h. 37.
14
Raffles, History of Java, (Cetakan kedua, 1830), h. 309. Sebagaimana dikutip oleh
Mahadi, Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia, h. 115, dan Mohammad Atho‟ Mudzhar,
Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 37.
15
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur,
1974), h. 24.
60
mengenai warisan, baru dicabut pada tanggal 17 Pebruari 1913 dengan Stbl.
No. 354.16
Dengan demikian, berakhirnya riwayat Hukum Perkawinan Islam
yang tertulis dan dicukupkan dengan menampung pada pasal 131 ayat (2)
sub b I.S. (Indische Staatsregeling), yang merupakan kelanjutan dari pasal
redaksi lama Regelings Reglement (R.R.) tahun 1854. Menurut Arso dan
Wasit Aulawi17
, pasal ini hanya mengatur tentang pendaftaran. Dengan
demikian, sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan dicabutnya Compendium
Freijer, secara tekstual, Hukum Perkawinan yang berlaku adalah Hukum
Adat, kecuali bagi orang-orang Kristen berlaku Undang-undang
Perkawinan Kristen jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie
Christen Indonesiers Java, Minahasa an Amboina [HOCI]).18
Jika diperhatikan berbagai ketentuan tertulis yang dibuat pemerintah
Belanda dan pemerintah Hindia Belanda saat itu, tampak sekali bahwa
mereka secara yuridis formal mengakui hukum Islam bagi orang-orang
pribumi. Barangkali ini merupakan wujud sikap kompromistis penjajah
untuk menarik simpati warga pribumi yang mayoritas beragama Islam.19
Kebijakan tersebut sesuai dengan teori “reception in complexie”
yang digagas oleh Salomon Keyzer (1823-1868) seorang ahli bahasa dan
ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Kemudian teori ini dikemukakan atau
diberi nama oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1925)
seorang ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda
untuk bahasa Timur dan Hukum Islam.20
Teori ini mengemukakan bahwa
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu menganut
16 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 40.
17
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978). Cet ke-2, h. 13. Pasal 131 ayat (2) sub b I.S., menurut Wirjono, yang
merupakan dasar perkawinan adalah hukum adat. R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di
Indonesia, h. 14.
18
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 41.
19
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, h. 40.
20
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), cet. Ke-3, h. 15.
61
agama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata
lain, teori ini menyebut bahwa bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi
mereka adalah hukum agamanya. Namun, penting dicatat, hukum Islam
yang berlaku tetap saja dalam masalah hukum keluarga, perkawinan,
perceraian, dan warisan.21
Selanjutnya muncul teori atau kebijakan yang dikemukakan oleh
Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje. Cornelis van
Vollenhoven (1874-1933) adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang
diberi gelar sebagai pendasar (grondlegger), pencipta, dan pembuat sistem
(system bouwer) ilmu hukum adat.22
Sedang Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936) adalah seorang doktor sastra Semit dan ahli dalam bidang
hukum Islam.23
Menurut teori “receptie” bahwa hukum Islam tidak
otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam baru akan berlaku dan
memiliki kekuatan hukum tetap apabila telah benar-benar diterima
(diresepsi) oleh hukum adat. Jadi, hukum adatlah yang menentukan ada
atau tidaknya hukum Islam.24
Pada masa kekuasaan Belanda, perkawinan diatur dalam beberapa
peraturan menurut golongannya. Pertama, bagi orang-orang Eropa berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek [WB]). Kedua,
bagi orang-orang Tionghoa, secara umum, juga berlaku Burgelijk Wetboek
(WB) dengan sedikit pengecualian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan
pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Ketiga, bagi orang Arab
dan Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka.
Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka, ditambah
21 Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Mesraini,
Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia dan
Malaysia, h. 58.
22
J. F. Holleman, Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, (Leiden: The Hague- Martinus
Nijhoff, 1981), h. xxix. Lihat juga Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1976), h. 57.
23
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 112.
24
Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan
Peradilan Agama di Indonesia, dalam Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai: Studi
Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia dan Malaysia,, h. 58.
62
untuk orang Kristen berlaku Undang-undang Perkawinan Kristen Jawa,
Minahasa dan Ambon (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java,
Minahasa an Amboina [HOCI]) berdasar Stbl. No. 74 Tahun 1933. Kelima,
bagi orang yang tidak termasuk kedalam empat golongan tersebut berlaku
peraturan Perkawinan Campuran.25
Demikian dapat disimpulkan, sebelum datangnya Belanda ke
Indonesia, hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Islam.
Kemudian dengan kedatangan Belanda ke Indonesia, pemberlakuan hukum
Islam berkurang sedikit demi sedikit, yang akhirnya hanya diberlakukan
untuk kasus-kasus yang sangat terbatas.26
Pada tahun 1842, Belanda hengkang dari bumi Indonesia sebagai
akibat pecahnya perang Pasifik. Jepang datang ke Indonesia dengan
mengklaim dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Tujuannya untuk
merangkul pribumi supaya membantu Jepang memenangkan perang.27
Kendati demikian, Jepang ingin menghapus simbol pemerintahan
Belanda di Indonesia, sehingga tetap saja Jepang mengambil kebijakan-
kebijakan yang menjadikan karakter pemerintahannya berbeda dengan
Belanda.28
Perubahan yang sangat terasa pengaruhnya bahwa pendudukan
Jepang ternyata hanya membawa kemajuan dan memperkuat kedudukan
Pengadilan Agama dalam satu atau dua daerah diluar Jawa saja. Di Aceh,
Pemerintah militer Jepang memberikan izin kepada para ulama untuk
bertindak, tetapi hanya sebagai suapan untuk mengambil hati golongan
Islam.29
Sebegitu jauh tidak ada perubahan penting yang terjadi dalam
lembaga-lembaga keIslaman selama masa pendudukan Jepang.30
25 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 14. Lihat Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan
Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 39.
26
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia
27
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial Politik di
Indonesia, h. 83.
28
Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia dan Malaysia, h. 61.
29
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A study in the Political Basses of Legal
Institutions, (Berkeley, Los Angeles-London: University of California Press, 1972). Di alihbahasa
63
Kemudian Jepang membentuk kebijakan untuk membuat peradilan
sekular seperti Gun Hooin (Districtgerecht), Ken Hooin
(Regentschapsgerecht), Keizai hooin (Landgerecht), Tihoo Hooin
(Landraad), Kootoo Hooin (Raad van Justitie), dan Saiko Hooin
(Hoggerechtshop), yang kesemuanya itu diunifikasikan menjadi satu
lembaga pengadilan golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht
yang khusus untuk orang-orang Eropa dihapuskan.31
Jepang juga membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di
Jakarta untuk menarik simpati para pemimpin Islam.32
Ketua pertamanya
seorang Jepang bernama Kolonel Hara, digantikan oleh Husen
Djajadiningrat, lalu digantikan oleh K.H. Hasyim Asy‟ari. Kemudian pada
tahun 1943 dibuka cabang-cabangnya diseluruh Indonesia yang disebut
Shumuka. Pendirian Kantor Departemen Agama ini sangat menguntungkan
kalangan Islam, dan K.H. Hasyim Asy‟ari yang memimpin departemen ini
sangat memanfaatkannya untuk menyebarkan hukum Islam melalui
peluang-peluang dalam bidang tugasnya.33
Walaupun Jepang tidak begitu
oleh Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama di Indonesia: Suatu studi tentang landasan politik
lembaga-lembaga hukum, (Jakarta: Intermasa, 1980), cet. Ke-1, h. 51. Kebanyakan dari mereka
hanya namanya saja Ulama – dan sering disebut ulama Jepang- pengangkatan mereka disokong
oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi Islam di Aceh yang terkuat.
Mereka di angkat di dalam pengadilan-pengadilan baru yang dibentuk oleh pemerintahan militer
Jepang.
30
Dalam masa Jepang terbentuk organisasi yang bernama “Masyumi” yang merupakan
badan penyelubung organisasi-organisasi Islam, yang kemudian badan organisasi itu menjadi
nama sebuah partai dalam permulaan masa revolusi, merupakan suatu pengecualian. Pada masa
pendudukan Jepang Islam tidak merasakan perbaikan. Hal ini pun ditegaskan Anderson, bahwa
seperti halnya Belanda, pihak Jepang pun menyadari akan perlunya kalangan priyayi untuk
menyelenggarakan pemerintahan di Indonesia. Yang mana hal ini dengan sendirinya bertentangan
dengan kepentingan Islam. Lihat Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A study in the
Political Basses of Legal Institutions, h. 51.
31
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana,
2006), cet. Ke-3, h. 16.
32
Bagi umat Islam di Indonesia, ini adalah suatu loncatan yang amat jauh walaupun pada
permulaannya tidak banyak orang yang memahaminya. Bala tentara Jepanglah yang mengadakan
perubahan struktur dan suasana baru dengan mendirikan Jawatan Agama Pusat (Shumubu), hal ini
menjadi dasar dan alasan bagi pembentukan Departemen Agama. Ini hanya merupakan langkah
permulaan, sebab ternyata perkembangan tentara Jepang kemudian sangat bergantung kepada
perlindungan dan dukungan dari kekuatan politik Islam.
33
Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, h. 62. Para pemimpin Islam pada waktu itu melihat adanya kesempatan
untuk memperoleh kembali hak-hak yang telah hilang pada tahun 1920 dan 1930, dan mungkin
64
lama menjajah Indonesia, namun setidaknya tampak perubahan terlihat
pada kelembagaan peradilan agama Islam dengan didirikan Departemen
Agama yang sampai sekarang telah diadopsi Pemerintah Indonesia pasca
merdeka.34
3. Pasca Kemerdekaan
Dengan bebasnya Indonesia dari penjajahan, maka bebas pula
Indonesia dalam menentukan sistem hukumnya. Menurut Hazairin, setelah
Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum
yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD
1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori
receptie tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945. Hazairin
mengajukan teori yang disebut receptie exit untuk melawan teori receptie.
Jika dalam teori receptie “hukum Islam baru akan dilaksanakan apabila
sudah diterima oleh hukum adat”, maka sebaliknya, teori receptie exit
menyatakan “hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan
hukum Islam. 35
Maka usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada
akhir tahun 1950 dengan Surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor
B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan
lebih dari itu. Mereka berusaha menekan Pemerintah Bala tentara Nippon agar mau memulihkan
kembali hak-hak umat Islam. Tetapi pemimpin-pemimpin nasionalis “priyayi”, dimana Soekarno
menjadi tokoh utamanya, nampaknya dapat mengubah tekanan itu menjadi hampir kebalikannya.
Lihat Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A study in the Political Basses of Legal
Institutions, h. 52.
34
Perlu diketahui, sebetulnya Departemen Agama ini tidak pernah diterima dengan sepenuh
hati oleh golongan nasionalis yang non-Islam ataupun dalam keadaan tertentu oleh kalangan Islam
sendiri. Bagi kalangan priyayi nasionalis, termasuk Soekarno, hal ini adalah suatu kerugian yang
harus dibayar untuk dapat kerja sama dengan golongan Islam. Tetapi kerugian itu dapat menjadi
keuntungan, bukan sekedar membebaskan diri dari Islam tetapi juga untuk memecah belah dengan
tetap memperoleh dukungan dari kalangan Islam tradisionil, terutama Nahdlatul Ulama, mereka
kini sudah biasa diajak kerja sama bahkan untuk “main” dengan kalangan priyayi Jawa. Lihat
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A study in the Political Basses of Legal Institutions, h.
65.
35
Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, h. 63. Lihat juga Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI, h. 17
65
Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh Mr. Teuku Moh.
Hasan, tetapi panitia ini tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena
banyak hambatan dan tantangan di dalam melaksanakan tugasnya. Karena
panitia tersebut dianggap tidak dapat bekerja secara efektif, maka setelah
mengalami beberapa perubahan, pada tanggal 1 April 1961 dibentuk sebuah
panitia baru yang diketuai oleh Mr. Noer Persoetjipto. Pembentukan panitia
baru ini dimaksudkan agar dapat bekerja lebih efektif lagi karena panitia
yang lama dianggap belum membuahkan hasil sebagaimana yang
diharapkan.36
Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah
merdeka adalah UU No. 22 Tahun 1946. UU ini diperluas wilayah
berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 Tahun 1954, yakni
Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Keberadaan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl.
No 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl.
No. 98 Tahun 1933.37
Dengan demikian, secara umum ditulis, ada dua
tahapan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1946, yakni: (1) tanggal 1
Pebruari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura; dan (2) tanggal 2
November 1954 untuk wilayah lainnya. Namun Wirjono menulis tiga
tahapan yakni: (1) pada tanggal 1 Pebruari 1947 berlaku UU No. 22 Tahun
1946 bagi Jawa dan Madura, berdasar penetapan Menteri Agama tanggal
21 Januari 1947; (2) bagi Sumatera mulai berlaku tanggal 16 Juni 1949,
berdasarkan ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tanggal 14
Juni 1949, No. 1/PDRI/KA; dan (3) bagi wilayah-wilayah lainnya tanggal 2
November 1954, berdasar Undang-undang tanggal 26 Oktober 1954 No. 32
Tahun 1954.38
Karena itu, penyebutan dua tahapan barangkali hanya untuk
mempermudah berdasarkan Undang-undang.39
36 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 3.
37
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.21.
38
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 50.
39
Adapun isi UU No. 22 Tahun 1946 terdiri dari 7 pasal, yang secara umum hanya memuat
dua hal, yakni (1) keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk, serta (2) penetapan
pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk.
66
Keberadaan UU No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang berlaku efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975. Adapun isi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdiri atas 14
bab dan 67 pasal. Bab I tentang Dasar Perkawinan terdiri 5 pasal; Bab II
tentang Syarat-syarat Perkawinan terdiri 7 pasal; Bab III tentang
Pencegahan Perkwawinan terdiri 9 pasal; Bab IV tentang Batalnya
Perkawinan terdiri 7 pasal; Bab V tentang Perjanjian Perkawinan terdiri 1
pasal; Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri terdiri 5 pasal; Bab
VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan terdiri 3 pasal; Bab VIII
tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya terdiri 4 pasal; Bab IX
tentang Kedudukan Anak terdiri 3 pasal; Bab X tentang Hak dan
Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak terdiri 5 pasal; Bab XI tentang
Perwalian terdiri 5 pasal; Bab XII tentang Ketentuan-Ketentuan Lain terdiri
9 pasal;40
Bab XIII tentang Ketentuan Peralihan terdiri 2 pasal; Bab XIV
tentang Ketentuan Penutup terdiri 2 pasal.41
Dalam rancangannya, RUU ini berisi 15 bab dan 73 pasal. Di antara
pasal-pasal yang dipersoalkan dalam RUU tentang perkawinan ini adalah
rancangan aturan tentang pencatatan nikah sebagai syarat sah pernikahan
(pasal 2 ayat [1]) dan pasal 44); bahwa poligami harus mendapat izin dari
pengadilan (pasal 3, 4, dan 5); pembatasan usia minimal boleh nikah, 21
tahun untuk laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan (pasal 6); perkawinan
antara pemeluk agama yang berbeda dibolehkan (pasal 11); pertunangan
(pasal 13); perceraian harus dengan izin pengadilan (pasal 40), dan
pengangkatan anak (pasal 62).42
Undang-undang ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia
dari berbagai agama. Undang-undang ini lahir melalui proses yang alot dan
40 Bab XII tentang Ketentuan-Ketentuan Lain, pada bagian pertama tentang pembuktian
asal-usul anak terdiri 1 pasal; Bagian kedua tentang Perkawinan di Luar Indonesia terdiri 1 pasal;
Bagian ketiga tentang Perkawinan Campuran terdiri 6 pasal; dan bagian keempat tentang
Pengadilan terdiri 1 pasal.
41
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
42
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 55.
67
perdebatan yang cukup panjang, bukan hanya di DPR tapi lebih-lebih
dikalangan masyarakat dari berbagai golongan, dari ormas maupun tokoh
perorangan. Protes paling keras muncul dari kalangan Islam, yang
menganggap RUU yang diajukan pemerintahan pada tanggal 31 Juli 1973
ke DPR tersebut banyak yang isinya tidak sesuai dengan ajaran Islam
sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fikih.43
Hazairin, menanggapi atas RUU Perkawinan ini, ia menyatakan
bahwa isi RUU ini banyak melenceng jauh dari aturan hukum Islam, malah
lebih jauh tujuannya dari pada teori receptie yang diterapkan semasa
penjajahan Belanda. Isu yang ditanggapi Hazairin antara lain soal
perkawinan beda agama yang disebutnya haram menurut ketetapan Tuhan
Yang Maha Esa dalam Qs. al-Baqarah ayat 221, soal poligami yang
mempersyaratkan persetujuan isteri adalah tidak sesuai dengan Qs. al-Nisa
ayat 3, dan bahwa hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam beberapa
hadis tidak mengizinkan pengakuan atau pengesahan anak hasil zina oleh
ayahnya.44
Dalam masalah pencatatan nikah ditetapkan bahwa pencatatan
merupakan syarat sah pernikahan. Aturan ini dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam yang menganggap pernikahan sebagai satu ikatan yang sangat
sakral dan penuh dengan nuansa agama. Begitu juga dengan perceraian
hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari pengadilan, dikategorikan
sebagai aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam.45
Mengenai batas
minimal usia perkawinan, 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun bagi
perempuan, adalah terlalu tinggi dan tidak mengakar dengan kenyataan
sosial di Indonesia. Menurut Asmah Sjahroni, wakil dari Fraksi Persatuan
43 Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia dan Malaysia, h. 66. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara:Studi
terhadap Perundang-undnagan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h.
55.
44
Hazairin, Beberapa Komentar atas RUU Perkawinan, dalam Sayuti Thalib, Hukum
kekeluargaan Indonesia, h. 163-167.
45
M.B. Hooker, Islamic Law in South-East Asia, (Oxford, New York; Singapore:
University Press, 1984), h. 272.
68
Pembangunan (FPP), larangan perkawinan bawah umur malah justru akan
memberikan peluang tumbuh suburnya pergaulan bebas.46
Dalam mencari jalan keluar atas pertentangan tersebut, akhirnya
setelah melalui lobi-lobi yang ketat antara kalangan Islam dan Pemerintah,
RUU ini dapat diterima sebagai Undang-undang dengan mengubah atau
mencoret pasal-pasal yang bertentangan dengan agama Islam.47
Kehadiran UU No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul pula dengan keluarnya
Peraturan Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Bagi umat Islam diatur dalam Peraturan (Menag) No. 3 Tahun 1975 dan
No. 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2
Tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam keputusan
(Mendagri) No. 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil. Adapun isi PP No. 9 Tahun 1975
terdiri atas 10 bab, 49 pasal.48
RUU-PA ini diajukan dengan amanat
Presiden tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan Ketetapan
Pemerintah pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada
46 Menurut Asmah ditemukan alasan/dasar yang cukup kompleks tentang mengapa terjadi
pernikahan dini, yaitu antara lain: alasan ekonomi; menjaga anak agar tidak terjadi hubungan di
luar nikah; alasan kepentingan keluarga dan lain-lain. Lihat Risalah DPR RI, 18 September 1973,
dalam Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h. 56.
47
Perlu dicatat upaya FPP dalam mempertahankan eksistensi hukum Islam, maka dicapailah
suatu kesepakatan antara FPP dan Fraksi ABRI yang isinya: (1) Hukum agama Islam dalam
perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah; (2) Sebagai konsekuensi dari poin 1, maka alat-alat
pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau diubah. Tegasnya, UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No.
14 Tahun 1970 tidak dijamin kelangsungannya; (3) Hal-hal yang bertentangan dengan agama
Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang ini akan dihilangkan; (4) Pasal 2
disetujui untuk dirumuskan di antaranya: Ayat [1]: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”; Ayat [2]: “Tiap-tiap perkawinan
wajib dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.” (5). Mengenai perceraian
dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan. Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h. 25. Lihat juga Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai,h. 68.
48
Ichtijanto S. A., Prospek Peradilan Agama sebagai Peradilan Negeri dalam Sistem
Politik Hukum di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, (ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional, h. 185. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi
terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h.
44.
69
tanggal 28 Januari 1989. UU yang ditetapkan pada tanggal 14 Desember
1989 ini secara umum berisi tentang Pengadilan yang meliputi Susunan
Pengadilan, Ketetapan Pengadilan dan Hukum Acara.49
Setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1989, dikeluarkan tiga
peraturan yaitu: Pertama, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun
1990, tanggal 12 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai
pasal 84 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989; Kedua, Surat Edaran Menteri
Agama No. 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 7 Tahun
1989; Ketiga, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebar
Luasan Kompilasi Hukum Islam.50
Kemajuan terbesar perkembangan hukum Islam di Indonesia
dicapai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) lewat Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991. Adapun isi kompilasi Hukum Islam di
Indonesia terdiri atas tiga buku, yakni buku I tentang Hukum perkawinan,
buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Perwakafan.51
Buku I terdiri dari 19 bab dan 170 pasal, Buku II terdiri dari 6 bab dan 44
pasal, Buku III berisi 5 bab dan 15 pasal. Total keseluruhan 229 pasal.
Inpres No. 1 Tahun 1991 ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri Agama
Nomor 154 Tahun 1991.52
Ada empat jalur dalam pengumpulan data untuk buku Kompilasi
Hukum Islam Indonesia53
, yaitu: (1) melalui kitab-kitab fikih, karena kitab-
kitab fikih merupakan bentuk perkembangan pemikiran hukum Islam dalam
sejarah perkembangannya. Terdapat 38 kitab yang di teliti54
, dan terdapat
49 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h. 45.
50
Sulaikin Lubis, et al. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), ed. Ke-1, cet. Ke-2, h. 36.
51
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: AKAPRES, 1995), cet Ke-
2, h. 98-111.
52
Anggota IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam:
Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, (Bandung: Fokus Media, 2010),
Cet. Ke-1, h. iv-v.
53
Bushtanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 59-60.
54
Ke-38 Kitab Fikih yang dimaksud adalah kitab fikih yang diambil dari 7 IAIN di
antaranya: Pertama, IAIN ar-Raniri Banda Aceh sebanyak 6 kitab, yaitu: (1) al-Bajurî; (2) Fath al-
70
160 masalah hukum yang diselidiki; (2) melalui wawancara dengan ulama
Indonesia, karena ulama-ulama Indonesia dianggap paling mengetahui
kondisi Indonesia dari sisi tradisi, kebudayaan dan konteks masyarakatnya;
(3) melalui yurisprudensi peradilan agama karena ulama-ulama Indonesia
dianggap paling mengetahui kondisi Indonesia dari sisi tradisi, kebudayaan
dan konteks masyarakatnya; dan (4) melalui studi banding ke negara-
negara yang mempunyai perundang-undangan dalam bidang yang dibahas
dalam Kompilasi Hukum Islam, dan untuk mengetahui bagaimana negara-
negara muslim lain memberikan respons terhadap fenomena kontemporer
yang berhubungan dengan hukum perkawinan, dalam hal ini negara yang
menjadi rujukan di antaranya Maroko, Turki dan Mesir.55
Selain dari empat jalur informasi di atas, masukan-masukan materi
Kompilasi Hukum Islam juga diperoleh dari dua organisasi Islam terbesar
di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) wilayah Jawa Timur yang
mengadakan tiga kali bahtsul masail di tiga pondok pesantren, dan Majlis
Tarjih PP Muhammadiyah melalui suatu seminar tentang Kompilasi
Mu‟în; (3) Syarqawî „alâ al-Tahrîr; (4) Mughnî al-Muhtâj; (5) Nihâyah al-Muhtâj; (6) al-Syarqawî.
Kedua, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebanyak 6 kitab, yaitu: (1) I‟ânah al-Thâlibîn; (2)
Tuhfah; (3) Targhîb al-Musytaq; (4) Bulghah al-Sîlik; (5) Syamsuri fî al-Farâidl; (6) al-
Mudâwanah. Ketiga, IAIN Antasari Banjarmasin sebanyak 6 kitab, yaitu: (1) Qalyûbi/ Mahallî; (2)
Fath al-Wahhb dan syarahnya; (3) Bidâyah al-Mujtahid; (4) al-Umm; (5) Bughyah al-
Musytarsyidîn; (6) „Aqîdah wa al-Syarî‟ah. Keempat, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebanyak
5 kitab, yaitu: (1) al-Muhallî; (2) al-Wajîz; (3) Fath al-Qadîr; (4) al-Fiqh „alâ Madzâhib al-
Arbâ‟ah; (5) Fiqh al-Sunnah. Kelima, IAIN Sunan Ampel Surabaya sebanyak 5 kitab, yaitu: (1)
Kasyâf al-Qinâ; (2) Majmû‟ah al-Fatâwi Ibn Taimiyah, (3) qawânin Syar‟iyyah li al-Sayyid
„Utsmân bin Yahya; (4) al-Mughnî; (5) al-Hidâyah Syarh Bidayah al-Mujtahid. Keenam, IAIN
Alauddin Ujung Pandang sebanyak 5 kitab, yaitu: (1) Qawânin Syar‟iyyah li al-Sayyid Sudaqah
Dahlan; (2) Nawâb al-Jalâl; (3) Syarh ibn Abidin; (4) al-Muwaththa‟; (5) Hasyiyah Syams al-Dîn
al-Dasukî. Ketujuh, IAIN Imam Bonjol Padang sebanyak lima kitab, yaitu: Badâ‟i al-Shanâ‟i; (2)
Tabŷin al-Haqâiq; (3) al-Fatâwî al-Hindiyyah; (4) Fath al-Qadîr; (5) al-Nihâyah. Lihat Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, “Sejarah
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam buku Kompilasi Hukum Islam dan di
kutip oleh Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai, h. 73.
55
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h. 44. Negara Maroko,
Turki, dan Mesir dipilih sebagai tempat untuk mengadakan studi banding, sebab Maroko adalah
Negara yang pengikutnya bermazhab Maliki, sedangkan Turki sebagai negara sekular dan
pengikut mazhab Hanafi, sementara Mesir disamping lokasinya yang berada di antara Maroko dan
Turki, juga sebagai Negara pengikut Mazhab Syafii. Lihat Munawir Sjadzali, Pengadilan Agama
dan Kompilasi Hukum Islam, dalam Moh. Mahfud dkk., Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1993), h. 3.
71
Hukum Islam. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga diambil
sebagai bahan rujukan.56
Adapun tujuan penetapan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk
penyatuan hukum (unifikasi). Di samping itu juga upaya untuk membuat
keputusan hakim sebagai ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum
sama dengan putusan Pengadilan Umum.57
Hal ini di dukung pula bahwa
penetapan Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang diilhami dari fakta
sejarah Muslim yang telah mencoba beberapa kali melahirkan unifikasi
hukum Islam. Di antaranya upaya unifikasi pertama yang pernah dilakukan
oleh Khalifah „Umar bin „Abd al-„Aziz. Pada abad ke-17, kerajaan Mughal
Aurengzeb melakukan unifikasi hukum Islam (Fatawa Alam Ghiri).
Selanjutnya Turki, dengan al-majallat al-Ahkam al-„Adlîyyah.58
Kendati Kompilasi Hukum Islam telah diputuskan untuk digunakan
dalam lingkup Peradilan Agama, tetap saja menimbulkan polemik. Apakah
Kompilasi Hukum Islam itu termasuk hukum tertulis atau hukum yang
tidak tertulis. Terlepas dari polemik yang sebenarnya sangat teoritis,
kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dapat dicatat sebagai
prestasi bagi umat Islam. Menurut Yahya Harahap59
, Kompilasi Hukum
Islam itu diharapkan dapat; Pertama, melengkapi pilar Peradilan Agama;
Kedua, menyamakan persepsi penerapan hukum; Ketiga, mempercepat
proses taqrib bainal ummah; dan Keempat, menyingkirkan paham private
Affair.
56Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Depag RI, h. 41.
57
Bustanul Arifin, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Indonesia, dalam Ahmad
Mohamed Ibrahim dan Abdul Munir Yaacob, (eds)., The Administration of Islamic Laws, (Kuala
Lumpur: Institute of Islamic Understanding Malaysia [IKIM], 1997), h. 114.
58
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h. 48-49. Dalam catatan
Bustanul Arifin, Pentadbiran Undang-Undang Islam, h. 118.
59
Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi
Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum, No.4 Tahun II, 1991, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah dan
Direktorat Pembinaan Badan peradilan Departemen Agama, 1991), h. 27-29. Dikutip juga oleh
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No 1 Tahun 1974 samapai KHI, h.35.
72
Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, maka saat ini Indonesia
tidak akan ditemukan lagi pluralisme keputusan peradilan agama, karena
kitab yang dijadikan rujukan para hakim di Peradilan Agama adalah sama.
Selain itu fikih yang belum menjadi positif, telah ditransformasikan
menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam.
Mengingat proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam melibatkan
banyak pihak dan metode serta sumber data yang sangat beragam, Amir
Syarifuddin menyatakan, bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan
puncak pemikiran fikih Indonesia, setidaknya hingga saat ini. Pernyataan
tersebut didasarkan pada di adakannya lokakarya nasional60
yang dihadiri
tokoh ulama dari perguruan tinggi, masyarakat umum, dan diperkirakan
dari semua lapisan ulama fikih ikut dalam pembahasan sehingga Kompilasi
Hukum Islam patut dinilai sebagai ijma ulama Indonesia.
Oleh karena itu, Kompilasi Hukum Islam mampu menjadi rujukan
yang memiliki bobot yang cukup tinggi dalam menyelesaikan permasalahan
hukum Islam diantaranya dalam lingkup hukum perkawinan, pewarisan,
dan perwakafan bagi umat Islam Indonesia.
B. Perundang-undangan Perkawinan Negara Brunei Darussalam
1. Undang-Undang Islam Sebelum Kedatangan British
Sebelum kedatangan Inggris, undang-undang orang Islam di negara
Brunei adalah berdasarkan Hukum Kanun Brunei yang merupakan teks
undang-undang yang di salin dari Hukum Kanun Melaka. Dikarenakan
60 Amir Syarifuddin, guru besar IAIN Padang. pendapatnya senada dengan pernyataan pada
diadakannya lokakarya nasional bertajuk “Lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi”, dilaksanakan di Hotel Kartika Candra Jakarta pada tanggal 2 s.d 6 Februari 1988.
Lokakarya ini dihadiri oleh 124 orang, di antaranya Ulama dan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Mereka merupakan wakil-wakil yang representatif dari daerah penelitian dan wawancara dengan
mempertimbangkan luas jangkauan pengaruhnya dan bidang keahliannya. Lihat Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, “Sejarah
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam buku Kompilasi Hukum Islam, h. 147.
Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993),
h. 16-17. Dalam Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai, h. 77.
73
negara Brunei menerima pengaruh Islam setelah Kesultanan Melaka yang
berkembang sebagai kerajaan Islam pada saat itu.61
Dari segi sejarah, negara Brunei bukan negara jajahan, tetapi
sebuah negara di bawah naungan Inggris. Namun demikian, dalam sistem
pemerintahan dan perundang-undangan, negara Brunei mengalami nasib
yang sama dengan negara-negara jajahan Inggris, yakni terjadi Britishsasi.62
Terlihat tetap ada usaha Inggris untuk melahirkan UU Islam, yakni,
misalnya pada tahun 1911, dengan keluarnya Enakmen UU Ugama Islam,
yang terkenal dengan Muhammadan‟s Law. Undang-undang ini berisi
tentang ibadat dan Hukum Keluarga, khususnya nikah dan cerai orang-
orang Islam. Sebagai penyempurnaan terhadap Muhammadan‟s Law 1911,
tahun 1913 disetujui satu Enakmen yang berisi tentang Peraturan
Pendaftaran Perkawinan dan Perceraian. Enakmen ini terkenal dengan
Muhamadan‟s Marriage and Divorce Enactment (laws of Brunei 1906-
1930, Enakmen No. 2 of 1913).63
Pemberian kekuasaan di bidang Hukum umum secara penuh, baru
diberikan kepada Inggris setelah ditandatanganinya perjanjian pada 1888
dalam Artikel VII yang membuat aturan:
1. Bidang kuasa sivil dan jinayah kepada jawatan kuasa Inggris untuk
mengendalikan kes rakyat, kes rakyat asing dan Negara-negara jajahan
61 M.B Hooker, Islamic Law in South- East Asia, h. 173. Undang-undang dan Adat Brunei
Lama terkenal dengan sebutan “Naskah Lawas”, karena konon naskah ini berasal dari Lawas,
sebuah wilayah bekas negara Brunei yang sekarang sudah menjadi bagian dari Sarawak. Adapun
pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah perkawinan dari Hukum Kanun Brunei adalah
pasal 18 (sebagian daripadanya) tentang hukuman bagi peminang yang meminang pinangan orang
lain, pasal 20 tentang syarat-syarat dan lafaz akad nikah, pasal 28 tentang khiyar dan fasakh, dan
pasal 29 tentang talak. Lihat Awang Othman , Pentadbiran Undang-undang Islam, h. 80.
62
Dato Seri Setia Haji Awang Salim Haji Besar, Pentadbiran UU Keluarga Islam:
Pengalaman Negeri Brunei, (Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1998), h. 4-5. Dalam Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 90.
63
M. Atho‟ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern:
Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Moden dari Kitab-kitab Fikih, h. 180. Lihat Dato Seri
Setia Haji Awang Salim Haji Besar, Pentadbiran UU Keluarga Islam: Pengalaman Negeri Brunei,
h. 5-6. Peraturan ini hanya sebagai penyempurna pelaksana aturan-aturan dalam Muhammadan
Law, yang isinya berkenaan dengan peraturan nikah dan cerai bagi orang Islam.
74
Inggris dan kes rakyat negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan
Negara mereka.64
2. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei
jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut
atau pendakwa. Tetapi jika di dalam sesuatu kes tersebut, rakyat
Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan
diadili oleh Mahkamah Tempatan.65
Undang-undang tertulis negara Brunei Darussalam66
pertama yang
mengatur perkawinan adalah Hukum Kanun Brunei dan Undang-undang
serta Adat Brunei Lama. Hukum Kanun Brunei memuat 96 pasal,
sementara Undang-Undang dan Adat Brunei Lama memuat 68 pasal.67
Hukum Kanun Brunei, yang isinya bercampur dengan adat Melayu, ditulis
pada masa pemerintahan Sultan Hassan (1605-1619 M), dan dilaksanakan
dengan sempurna pada masa kekuasaan Sultan Jalilul Akbar (1619-1649).
Sultan Jalilul Akbar juga mewasiatkan kepada putranya, Sultan Abdul
Jalilul Jabbar (1649-1652 M) agar melaksanakan isi Kanun Brunei. Ditulis
dalam wasiat tersebut:
Hal-hal yang berhubungan dengan negeri harus ada kesepakatan
(mufakat) dikalangan Perdana Menteri (wazir), anak-anak raja (ceteria),
semua menteri dan semua sanak saudara, dan tentang hukum negeri harus
ada kesepakatan di kalangan keempat unsur tersebut, berdasarkan hukum
64 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), h.198.
65
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis, h. 198.
66
Semula Brunei merupakan bagian dari Borneo Utara (sekarang Kalimantan), sama dengan
Sarawak dan Sabah. Sarawak keluar dari Brunei dengan memberontak karena kekerasan, tentang
cara memungut pajak yang dilakukan Sultan Brunei. Akhirnya, Sarawak berpisah dari Brunei dan
sementara menjadi wilayah jajahan Inggris.
67
Haji Mahmoed Saedon bin Awang Othman, Undang-undang Islam dalam Kesultanan
Melayu Brunei hingga tahun 1959, bahan kursus Pengesahan (pentadbiran) Undang-undang dan
Kehakiman Islam 1415/1995, (Brunei Darussalam: Kementerian Hal Ehwal Ugama, 1995), h. 22.
Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 89.
75
adat (adat istiadat yang berlaku), Undang-undang Kanun, dan Hukum
Islam (syara).68
2. Undang-undang Islam Masa British
Perkembangan undang-undang Islam setelah kedatangan British ke
negara Brunei bermula dengan hubungan resmi kerajaan British dengan
negara Brunei pada tahun 1847 dengan adanya Perjanjian Perdagangan dan
Persahabatan. Pada tahun 1888 negara Brunei dinyatakan sebagai sebuah
negara naungan British. Walau bagaimanapun, pada tahun 1905 dan 1906
beberapa perjanjian lagi ditandatangani yang dinamakan Perjanjian
Tambahan, yang menyatakan seorang penduduk British. Nasihat penduduk
harus dipatuhi dalam semua hal kecuali yang berkaitan dengan agama
Islam.69
Sistem kerajaan seperti ini juga berlaku di negeri-negeri Melayu
lain yang berada di bawah naungan British. Penerimaan sistem undang-
undang yang berasaskan sistem undang-undang British dan juga penerapan
perundangan Islam yang sangat minim, yang terbukti menyebabkan corak
administrasi undang-undang bagi orang Islam bersifat derivatif.70
Pada tahun 1924, Duli Yang Maha Mulia Sultan Ahmad Tajuddin
dalam Majlis Pertemuan Negara telah menyetujui satu undang-undang
tambahn atas The Muhammadan Laws Enactment (No. 1 of 1912) yang
dikenal sebagai “Brunei Order in Council 1924 (No. 1 of 1924)”. Walau
bagaimanapun, undang-undang tambahan ini merupakan tambahan atas The
Muhammadan Marriages and Divorce Enactment (No. 3 of 1913), karena
hampir keseluruhan isi kandungannya berkaitan dengan Peraturan Nikah
dan Cerai dalam Islam.71
68 Manuskrip asli ada dalam simpanan Arsip Meseum Sarawak (simpanan Arkib Muzium
Sarawak), dikutip dari Haji Mahmud Saedon, h. 27. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di
Asia Tenggara, h. 89.
69
Hajah Sa‟adiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Suara Wanita Brunei, h. 161.
70
M. B. Hooker, Islamic in South-East Asia, Terj. Rohani Abd. Rohim, dkk. h. 201.
71
Hajah Sa‟adiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Suara Wanita Brunei, h. 162.
76
Mengingat undang-undang yang ada masih kurang rapi dan
alokasinya terbatas pada nikah cerai saja, maka pada tahun 1941, Kadi
Besar menyarankan satu amandemen aats undang-undang Islam meliputi
semua bidang yang berlaku bagi semua orang Islam di negeri ini. Untuk
mencapai tujuan itu, Penasihat Jama‟ah Syariah (Muhammadan Religious
Advisers) telah dilantik oleh Duli Yang Maha Mulia Sultan tahun 1948.
Melalui badan inilah satu saran diserahkan untuk memperkenalkan
Undang-undang Jama‟ah Syari‟ah.72
Sebuah draft administrasi tentang Undang-undang Islam yang
terakhir terjadi pada tahun 1955 yaitu sebelum Perlembagaan Bertulis
Negeri Brunei pada tahun 1959, yang dinamakan Undang-undang Majlis
Ugama, Adat Istiadat, Mahkamah-Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1955 dan
telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956.73
Alokasi ini dilihat dari yurisdiksinya lebih meluas dan menyeluruh
dari undang-undang sebelumnya. Walau bagaimanapun, peruntukan
undang-undang ini masih seputar perkara-perkara yang berhubungan
dengan pengaturan perorangan (perdata). Yurisdiksi dalam bidang jinayah
terbatas pada kesalahan-kesalahan khalwat, perstubuhan (perzinahan), dan
minuman keras yang menjadi kewenangan di Mahkamah Kadi.
3. Undang-undang Islam Pasca Kemerdekaan
Perkembangan undang-undang Islam semakin pesat setelah negara
Brunei mencapai kemerdekaan. Terumusnya Perintah Darurat (Mahkamah-
mahkamah Syariah) 1998 telah mengangkat kedudukan Mahkamah-
72 Jabatan Hal Ehwal Ugama Brunei, 1954-1979, (Brunei: Pusat Dakwah Islamiah, 1981),
h. 1.
73
Perlembagaan Bertulis Brunei telah ditetapkan pada 29 September 1959, salah satu
perjanjian yang telah disepakati antara kerajaan Brunei dengan Inggris. Isi perjanjian itu antara lain
membatalkan kuasa campur tangan Inggris dalam hal ehwal dalam Negeri Brunei, di samping
menghapuskan jawatan Residen dan menggantikannya dengan jawatan Pesuruhjaya Tinggi yang
hanya menguruskan pentadbiran hal ehwal luar negeri dan pertahanan Brunei. Peristiwa ini
berlaku di zaman pemerintah Sultan Omar Ali Saifuddien III, Sultan Brunei yang ke 28. Lihat
Zainab Binti Awg Haji Tuah, Perkembangan Pentadbiran Mahkamah Syariah di Brunei
Darussalam, (Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-undang Akademi Pengajian Islam,
2009), h. 39. Undang-undang ini di rancang menurut Undang-undang Negeri Kelantan, yang mana
telah dirubah dan disesuaikan dengan keadaan sosio budaya, adat negara Brunei ketika itu.
77
mahkamah Syariah dan meluaskan kewenangan dalam bidangnya sejajar
dengan kedudukan Mahkamah Sivil. Pendiriannya atas permintaan
Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji
Hassanal Bolkiah Mu‟izzaddin Waddaulah telah bertitah pada Hari
Keputeraan baginda ke 50 tahun di Istana Nurul Iman pada 15 Juli 1996. 74
Ketika diadakan revisi UU negara Brunei (Revision Laws of
Brunei) tahun 1984, UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20
Tahun 1956, juga mengalami beberapa perubahan kecil, disamping
mengganti namanya menjadi Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi
Penggal 77 (AKUMP 77).75
Akan tetapi Akta Penggal 77 mempunyai
beberapa kelemahan, yaitu: (a) ketidakjelasan beberapa ketentuan; (b) tidak
ada tafsiran yang jelas; (c) bahkan ada beberapa ketentuan yang
bertentangan dengan hukum Syariat; dan (d) ada konflik pentadbiran di
antara dua sistem peradilan. Untuk mengatasi kekurangan ini, maka
dilakukan: (a) mengadakan peraturan tentang urusan pejabat kadi yang
tidak di undangkan, (b) mendapat fatwa dari mufti kerajaan, dan (c)
meminta Mahkamah Sivil untuk melaksanakan apa saja untuk menetapkan
dan melaksanakan perintah Mahkamah Kadi.76
Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker didasarkan
pada perundangan yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami
penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi negara Brunei. Peraturan ini
membuat peraturan tentang: a. Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4); b. Majlis
74 Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-
Undang, (Bandar Seri Begawan: Pusat Da‟wah Islamiyah, 2012), Cet. Ke-1, h. 3.
75
Bentuk dan isi Akte Penggal 77 pada prinsipnya sama dengan bentuk dan isi UU Majlis
Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1955, di mana UU Keluarga Islam secara khusus
diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah judul Marriage and Divorce pada bagian VI,
yakni pasal 134-156. Sedang judul Maintenance of Dependants pada bagian VII, mulai dari bab
157-163. Penyusunan UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, pada prinsipnya
sama dengan UU Keluarga Islam di Negeri-negeri Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia). Lihat
Dato Seri Setia Haji Awang Salim Haji Besar, Pentadbiran UU Keluarga Islam: Pengalaman
Negeri Brunei, h. 7.
76
Contoh ketidakjelasan UU Keluarga Islam, misalnya pada pasal 134 tentang penggunaan
UU, bahwa setiap yang beragama Islam boleh menjalankan pernikahan sesuai dengan UU asal
menurut hukum Syariah. Aturan ini terlalu umum karena tidak membedakan antara warga negara
Brunei dan yang bukan warga negara Brunei. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia
Tenggara, h. 91.
78
Ugama Islam (Bagian II Pasal 5-44); c. Mahkamah Syarî‟ah (Bagian III
Pasal 45-96); d. Masalah Keuangan (Bagian IV Pasal 97-122); e. Masjid
(Bagian V Pasal 123-133); f. Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI Pasal
134-156); g. Nafkah Tanggungan (Bagian VII Pasal 157-163); h. Mualaf
(Bagian VIII Pasal 164-168); i. Kesalahan (Bagian IX Pasal 169-195); dan
j. Perkara Umum (Bagian X Pasal 196-204).77
Dalam masa yang sama, Majlis Agama Islam membentuk
cadangan formulasi undang-undang keluarga Islam Negara Brunei
Darussalam dalam menggantikan undang-undang mengenai perkawinan,
perceraian dalam Akta Penggal 77 berikut dengan cadangan perwakilan
dalam pertemuan untuk mewujudkan pedoman Undang-undang Keluarga
Islam Negara-negara MABIMS yang diadakan di Kuala Lumpur.78
Adapun Undang-undang Keluarga Islam di bawah perintah darurat
dan tambahan perintah perlindungan keluarga, di antaranya:
77 M.B. Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, h. 203. Lihat juga Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis, h. 198.
Dalam M. Atho‟ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.
181..
78
MABIMS adalah Suatu bentuk kesepakatan serantau yang bergerak atas dasar keagamaan
bagi menjaga muslihat dan kepentingan umat Islam tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat
politik. Dan merupakan negara-negara muslim di Asia Tenggara, yang masing-masing memiliki
undang-undang keluarga sendiri. MABIMS didirikan pada hari Senin, 5 Muharram 1410 H atau
bertepatan pada tanggal 7 Agustus 1989. Terdiri dari 4 negara anggota yaitu: (1) Negara Brunei
Darussalam, (2) Republik Indonesia, (3) Malaysia, dan (4) Republik Singapura. Pertemuan
pertama kali diadakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan pada saat itu
dianggotai oleh 3 Menteri saja yaitu Negara Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia. Brunei
Darussalam diwakili oleh Pehin Jawatan Luar Pekerma Raja Dato Seri Setia Ustaz Awang Haji
Mohd Zain bin Haji Serudin, Indonesia diwakili oleh Menteri Agama Kiayi Haji Munawir
Sjadzali, dan Malaysia diwakili oleh Menteri di Jabatan Perdana Menteri Dato‟ Dr. Mohd. Yusof
Noor. Di akses dari https//:Emabims.Org, pada tanggal 6 November 2017, pukul 10.39 WIB.
Dalam perubahan Undang-undang Brunei ini pertama kali diadakan Tahun 1914/1994 dan
pertemuan ke dua Tahun 1914/1995. Bahwa perwakilan Brunei Darussalam membutuhkan
undang-undang keluarga Islam yang lengkap dan tersendiri, dengan memandang Akta Penggal 77
kurang sesuai dan banyak kelemahan-kelemahan yang tidak berbanding dengan perkembangan
sosial budaya, serta kepesatan penduduk di Negara Brunei saat ini. Pada tahun 1955, satu komite
telah didirikan oleh Majlis Ugama Islam dan diberi nama “Jawatankuasa Penggubal Undang-
Undang Keluarga Islam”. Salah satu pendiri jawatan ini di antaranya Prof. Dato Dr. Haji Mahmud
Saedon bin Awang Othman yaitu Seorang Pakar Perundangan Islam Kementerian Hal Ehwal
Ugama sebagai Ketua dan Awang Haji Salim bin Haji Besar yaitu Kadi Besar pada ketika itu.
Lihat Zainab binti Awg Haji Tuah, Perkembangan Pentadbiran Mahkamah Syariah di Negara
Brunei Darussalam, h. 69.
79
a. Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999
Kemudian pada tahun 1999, telah lahir undang-undang Perintah
Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999, yang menjadi rujukan
kepada hal dan tindakan yang berhubungan dengan Institusi Keluarga
seperti perkawinan dan perceraian. Dalam menjalankan kuasa yang
diberikan oleh bagian (3) bab 83 dari Perlembagaan Negara Brunei
Darussalam, maka Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda
Sultan dan Yang Di-Pertuan telah membuat perintah yaitu Perintah Darurat
(Undang-undang Keluarga Islam) 1999. Perintah ini juga dikenali sebagai
“Suatu Perintah bagi draft peruntukkan-peruntukan tertentu mengenai
Undang-undang Keluarga Islam berkaitan dengan perkahwinan, perceraian,
nafkah, penjagaan dan perkara-perkara lain berhubungan dengan kehidupan
keluarga”.79
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999 ini
mengandung sepuluh bagian. Bagian pertama, permulaan mengandung bab
1 hingga Bab 7 yaitu judul dan penjelasan. Bagian kedua, mengandung bab
8 hingga 23 yaitu mengenai perkawinan dan orang yang boleh mengakad
nikahkan perkawinan. Bagian ketiga, mengenai pendaftaran perkawinan
yang diperuntukkan dari bab 24 hingga bab 32. Bagian keempat,
mengandung bab 33 hingga 39 mengenai hukuman dan rangkaian
administrasi yang berhubungan dengan akad nikah dan perndaftaran
perkawinan. Bagian kelima, pembubaran perkawinan diperuntukkan dalam
bab 40 hingga bab 60. Bagian keenam, mengenai nafkah istri, anak dan
lain-lain yang diperuntukkan dari bab 61 hingga bab 87.80
Bagian ketujuh,
mengandung bab 88 hingga bab 94, bab ini berisi tentang penjagaan
(hadhanah) anak-anak.81
Bagian kedelapan, mengenai rampaian
diperuntukkan dari bab 113 hingga bab 122. Bagian kesembilan, mengenai
79 Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-
Undang, h. 4.
80
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) tahun 1999, isi undang-undang
Darurat dari bagian pertama hingga ke sepuluh yang terdiri dari 147 bab.
81
Bagian tujuh juga mengenai penjagaan orang dan harta yang dijelaskan dalam bab 95
hingga 112.
80
hukuman diperuntukkan dalam bab 123 hingga 139. Bagian kesepuluh,
mengenai perkara-perkara menyeluruh dari bab 140 hingga 147 yaitu
membetulkan kesalahan-kesalahan, pemeriksaan daftar dan indeks, bukti,
tugas untuk membuat aturan-aturan.82
Undang-undang ini pada prinsipnya telah meletakkan wanita pada
kedudukan dan hak yang sama dengan lelaki, misalnya dalam proses
pertunangan, proses permohonan untuk menikah, pendaftaran perkawinan
dan persamaan dalam memiliki Akta Nikah, Akad Nikah, dan Akta Talak.
Undang-undang ini juga menjamin dan memberi perlindungan kepada istri
dari segi ekonomi (nafkah). Jaminan ekonomi dalam masa perkawinan
adalah suami wajib memberi mas kawin kepada isteri, nafkah. Begitu juga
undang-undang ini memberi jaminan ekonomi setelah bercerai seperti
mut‟ah, nafkah idah dan tempat tinggal selama masa idah, harta bersama,
dan nafkah anak yang masih dibawah penjagaan bekas istri.83
b. Tambahan Perintah Perlindungan Keluarga 2010 (Amendment
Family Protection Order 2010)
Perintah ini disetujui pada bulan Juni 2010, bertujuan untuk
memberi perlindungan atas mereka (wanita) yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Di antaranya sebab-sebab yang bisa
diadukan yaitu: Pertama, Dharar Syar‟ie, dilihat dari perspektif keluarga
Islam berlaku kemudharatan terhadap istri dalam bentuk fisik atau mental,
khususnya atas kelima hak asasi yang perlu diberikan perlindungan yaitu
agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Kedua, Hak-hak Perlindungan, hak
yang bisa dimohonkan di antaranya: hak memohon perlindungan keluarga;
hak perlindungan di bawah Bab 60B; Hak perlindungan segera di bawah
60C; Hak perampasan dan hak mendapatkan perintah tambahan. Ketiga,
peranan perlindungan meliputi peranan kewajiban penegakan hukum;
82 Hukum Syarak‟ hendaklah dibebankan jika tidak ada peruntukkan, pengecualian,
perubahan dan amandemen pada bab 5 dari penggal 124. Lihat Hajah Saadiah binti Datu Derma
Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-Undang, h. 5.
83
Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Suara Wanita Brunei, h. 167-168.
81
Peranan dan tanggung jawab Kementerian Kebajikan Pemuda dan
Olahraga; dan Perintah menangkap dan proses pendakwaan.84
Dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga Islam negara Brunei
Darussalam mengalami reformasi setelah berkenalan dengan Inggris.
Semenjak kedatangan penduduk Inggris, pelaksanaan Hukum Keluarga
Islam secara khusus diserahkan kepada pemerintah Brunei. Pembaharuan
demi pembaharuan terus dilakukan sampai datangnya Kemerdekaan.85
C. Kedudukan Perundang-undangan Perkawinan dalam Sistem Hukum
Nasional Negara Indonesia dan Negara Brunei Darussalam
1. Kedudukan Perundang-undangan Perkawinan dalam Sistem Hukum
Nasional Negara Indonesia
Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis
khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia, serta antara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang memilki 17.50486
pulau atau dikenal dengan nama
“nusantara”. Luas wilayahnya sekitar 1.904.569 km dengan populasi lebih
dari 263.846.946 juta jiwa pada tahun 201687
, Indonesia juga termasuk
negara terbesar keempat di dunia yang mayoritas berpenduduk muslim
dengan lebih dari 220 juta jiwa88
. Menurut hasil sensus penduduk tahun
2010, dari jumlah penduduk Indonesia 237.641.326 yang 87,18% adalah
pemeluk Islam, Protestan (6,96%), Katolik (2,9%), Hindu (1,69%), Buddha
(0,72%), Kong Hu Cu (0.05%), agama lainnya (0,13%) dan 0,38% tidak
84 Tambahan Perintah Perlindungan Keluarga 2010, Pasal 60K, Pasal 60(1), dan pasal
60(b).
85
M. atho‟ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern:
Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fiqh, h. 196.
86
Eko Prasetya, (Reporter), Dari 17.504 Pulau di Indonesia, 16.056 telah diverifikasi PBB,
diakses dari https://id.m.wikipedia.org pada Kamis, 12 Oktober 2017, pukul 15.00 WIB.
87
Badan Pusat Statiska, Indonesian Population Projection 2010-2035, (Jakarta: Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pusat Statistik [United Nations Population Fund],
2013), h. 24-25, diakses dari https://www.bps.go.id, pada Kamis, 12 Oktober 2017, pukul 15.15.
WIB.
88
Badan Pusat Statiska, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Sensus
Penduduk 2016, (Jakarta-Indonesia: BPS – Statistics Indonesia, 2013), h. 24, diakses dari
https://www.bps.go.id, pada Kamis, 12 Oktober 2017, pukul 15.25. WIB.
82
terjawab atau tidak ditanyakan.89
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah
Republik yang dipimpin oleh Presiden dengan dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
Di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum Adat, hukum
Islam, dan hukum Barat. Kedudukannya disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik
peradilan. Hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia, berdasarkan Tap No.
XX/MPRS/1966, adalah Undang-undang Dasar 1945, yang menjadi payung
bagi seluruh bentuk hukum di bawahnya.90
Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan tiga jenis peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu), dan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Tap No. XX/MPRS/1966 bahwa tata urutan perundang-
undangan di Indonesia saat ini berturut-turut dan berjenjang dari atas ke
bawah yaitu: 1) UUD 1945; 2) Ketetapan MPR-RI (Tap MPR); 3) Undang-
undang; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu); 5)
Peraturan Pemerintah (PP); 6) Keputusan Presiden; 7) Keputusan Menteri
(Kepmen); 8) Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen; 9)
Keputusan Dirjen; 10) Keputusan Badan Negara; 11) Peraturan Daerah
Tingkat I; 12) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I; 13) Peraturan
Daerah Tingkat II, 14) Keputusan Bupati dan Walikotamadya/ Kepala
Daerah Tingkat II.91
Melihat hirarki perundang-undangan di atas, tampak bahwa dari
segi kekuatan hukum, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memiliki kedudukan yang kuat karena bentuknya undang-
undang. Tetapi dari segi kelengkapan materi, Inpres No. 1 Tahun 1991
89 Badan Pusat Statistik, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut:Sensus
Penduduk 2010, (Jakarta Indonesia: Badan Pusat Statistik, 2010), diakses dari https://
id.m.wikipedia.org, pada Kamis, 12 Oktober 2017, pukul 15.50 WIB. 90
Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 97. 91
A. Hamid S. Attamimi, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional”, dalam Amrullah Ahmad, (Ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 152.
83
tentang Kompilasi Hukum Islam lebih lengkap. Karena memang, tujuan
dibuatnya Kompilasi Hukum Islam ialah untuk menutupi
kekuranglengkapan materi produk-produk hukum sebelumnya. Kemudian,
antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974
mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membentuk keluarga yang
sakinah, mawadddah, dan rahmah.
Walaupun kedudukan Kompilasi Hukum Islam dari segi hukum
masih dipertanyakan, dari segi praktik pengambilan keputusan di
Pengadilan Agama. Namun Kompilasi Hukum Islam telah mengubah
paradigma hukum Islam di Indonesia. Bila sebelumnya putusan-putusan
Pengadilan Agama merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟î, sejak adanya
Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam maka putusan-putusan Pengadilan
Agama oleh Hakim berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Keberadaan
Kompilasi Hukum Islam, menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang
hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat
Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum
berkaitan apabila memerlukannya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.92
2. Kedudukan Perundang-undangan Perkawinan dalam Sistem Hukum
Nasional Negara Brunei Darussalam
Negara Brunei Darussalam yang beribu kotakan Bandar Seri
Begawan merupakan salah satu negara kerajaan Islam yang memiliki luas
wilayah 5.765 km, yang menempati pulau Borneo dengan garis pantai
seluruhnya menyentuh Laut Cina di Selatan Utara. Bagian Barat Negara
Brunei terdiri dari Daerah Belait, Tutong dan Brunei Muara serta
Temburong di bagian Timur. Negara Brunei adalah sebuah negara tua di
Alam Melayu yang mempunyai warisan sejarah yang bersaing dengan
Palembang Tua di Sumatera dan Taruma Perlak, Pasai, Melaka, Demak
92
Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 101.
84
dan Aceh.93
Jumlah populasi penduduk pada tahun 2017 sekitar 415,717
dengan kepadatan 67,3/km.94
Dengan komposisi penduduk Melayu (69%),
Asli (5%), Cina (18%), dan bangsa lain (8%). Agama resmi Islam (67%)95
,
Kristen (9,7%), dan lainnya (12%) termasuk orang pribumi suku layik.96
Brunei Darussalam menjadi negara kesultanan yang merdeka dan berdaulat
pada 1 Januari 1984.97
Bentuk pemerintahan negara Brunei dijalankan oleh
Majlis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan sebagai
Menteri Besar (Ketua Menteri) yang mempunyai kekuasaan eksekutif
tertinggi.98
Kehidupan masyarakat Brunei sebelum Islam dilingkari oleh adat
kebudayaan Melayu yang dipengaruhi oleh kepercayaan dan paham
animisme serta Hindu-Buddha. Masyarakat Melayu mengalami berbagai
tahap perkembangan budaya dan perubahan kepercayaan yang telah
berhasil membentuk cara dan corak berfikir orang Melayu. Keadaan ini
terus berlangsung sampai negara Brunei Darussalam mencapai
kemerdekaan pada tahun 1984. Pada tahun 1888-1983 Brunei berada di
93 Jamil al-Sufri, History of Brunei in Brief, (Brunei: Brunei History Centre, Ministry of
Culture, Youth and Sports, 2000), h. 1.
94
“The World Fatcbook: Negara Brunei Darussalam”, diakses dari https:// wikipedia.org,
pada Kamis, 2 November 2017, pukul 10.26 WIB.
95
Agama Islam di Brunei Darussalam bermazhab kan Syafii. John L. Eposito (Ed), The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995),
Get. 1, h. 232.
96
Pada tahun 2011, menurut sumber dari Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi,
Jabatan perdana Menteri, Jumlah penduduk Brunei kurang lebih 393, 372 penduduk. Dari jumlah
ini, kaum laki-laki berjumlah 203,149 jiwa (51,6%) dan kaum perempuan sebanyak 190,223
(48,4%). Penduduk Bangsa Melayu sebanyak 66,3% yang meliputi dua pertiga penduduk Brunei.
Kemudian, Bangsa Cina 11,25%, Pribumi bukan Melayu 3,4%, dan lain-lain sebanyak 19,1%.
Penduduk yang beragama Islam sebanyak 67%, Kristen 13%, Buddha 10%, dan lain-lain 10%.
Lihat Brunei Statistical Yearbook 2011, Department Of Statistic, Departmen Of Economic
Planning and Development (DEPD, Prime Minister‟s Office, Brunei Darussalam.
97
Innamullah khan (ed), The World Muslim Gazeteer, (Delhi: International Islamic
Publisher, 1992), h. 175. Pada tahun 1847 Sultan Brunei mengadakan perjanjian dengan Inggris
Raya untuk memajukan hubungan dagang dan penumpasan para pembajak. Perjanjian berikutnya
di adakan pada tahun 1881 yaitu perjanjian negara Brunei berada di bawah Proteksi Inggris Raya.
Pada tahun 1963 negara Brunei berbentuk negara Merdeka Melayu Inggris dan tidak bergabung
dengan Federasi Malaysia. Sampai akhirnya tanggal 1 Januari 1984 Brunei Darussalam menjadi
Negara Kesultanan yang merdeka dan berdaulat. Lihat M. Atho‟ Mudzhar dan Khairuddin
Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU
Modern dari Kitab-kitab Fiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. Ke-1 h. 176.
98
“The World Fatcbook: Negara Brunei Darussalam”, diakses dari https:// wikipedia.org,
pada Kamis, 2 November 2017, pukul 10.26 WIB.
85
bawah penguasaan Inggris. Kemudian memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 31 Desember 1983. Setelah merdeka, Masyarakat Brunei
khususnya Melayu, bukan Melayu dan Pribumi menjadikan konsep Melayu
Islam Baraja (MIB) sebagai dasar dan panduan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.99
Di negara Brunei Darussalam undang-undang dan peraturan serta
kebiasaan setara dengan kebiasaan kesultanan Brunei. Pada tahap awal
perkembangan hukum adalah Adat, Resam, Syarak, dan Qanun. Walau
bagaimanapun undang-undang ini mengalami transformasi hukum sesuai
dengan kondisi zaman.
Perkembangan undang-undang Islam di negara Brunei terbagi
menjadi tiga peringkat, yaitu:100
1) Undang-undang Islam sebelum kedatangan British (Adat,
Resam, Syarak, dan Hukum Qanun).
2) Undang-undang Islam setelah kedatangan British adalah The
Muhammadan Laws Enactment (No. 1 of 1912); The
Muhammadan Marriages and Divorces Enactment (No. 3 of
1913); Brunei Order in Council 1924 (No. 1 of 1924); The
Religious Council, State Custom and Kathi‟s Court Enactment
1955 (No. 20 of 1955); dan Constitution of Brunei Darussalam
1959.
3) Undang-undang Islam Pasca Kemerdekaan Tahun 1984 adalah
Majlis Ugama Islam dan Akta Mahkamah Kadi; Chapter 77 of
the Laws of Brunei Darussalam; Akta Mahkamah Syariah; Bab
184 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) Tahun
1999; Halal Meat Act BAB 18; Halal Meat Rule BAB 183;
Islamic Banking Act BAB 168; Syariah Courts Evidence Act
2001; Pawnbrokers Order 2001; Islamic Adoption of Children
99 Hajah Sa‟adiah Binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Suara Wanita Brunei, Jilid 4, h.
154.
100
Hajah Sa‟adiah Binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Suara Wanita Brunei Jilid 4, h.
155-156.
86
Act 2001; Islamic Family Laws of Rules 2002 dan The Syariah
Penal Code 2013.
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) tahun 1999
merupakan Undang-undang Keluarga yang mempunyai ketentuan yang
lebih rapi dan komprehensif. Perintah ini tidak mengubah ketentuan dalam
Majlis Ugama Islam dan Akta Mahkamah Kadi, Chapter 77 of the Laws of
Brunei Darussalam keseluruhannya hanya bagian VI dan VII.101
Ketentuan dalam Undang-undang Keluarga Islam Tahun 1999 ini,
telah mengangkat kedudukan wanita dan memberi keadilan serta menjamin
hak-hak wanita dalam perkawinan. Selain itu juga undang-undang ini
bertujuan untuk melindungi institusi keluarga khususnya kaum wanita dari
kezaliman, penindasan, penderaaan, dan lain sebagainya. Undang-undang
ini juga pada prinsipnya telah meletakkan wanita pada kedudukan yang
sama dengan laki-laki. Misalnya, dalam proses pertunangan, proses
permohonan untuk berkahwin, pendaftaran perkawinan dan persamaan
dalam memiliki Sijil Nikah, Kad Nikah dan Sijil Takliq dan Rujuk.102
101
Pasal 175, 176, 178 (1), 178 (2), 179 dan 180 yang telah dimansuhkan. 102
Hajah Sa‟adiah Binti Datu Derma Wijaya Haji Tamit, Institusi Keluarga dan Undang-
undang, h. 2.
87
87
BAB IV
KETENTUAN RUJUK MENURUT FUKAHA, HUKUM KELUARGA
INDONESIA, DAN NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
A. Rujuk Dalam Pandangan Fukaha
Secara etimologis, rujuk berasal dari kata جعر –يزجع –عا رجى yang
bermakna اصزف atau دعا (berpaling atau kembali).1 Rujuk dalam pengertian
terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan pernikahan dengan
istri yang telah ditalak raj‟î, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa
idah.2 Adapun dalam istilah hukum Islam, fuqaha mengenal istilah “ruju” dan
istilah “raj‟ah” yang keduanya memiliki makna yang sama. Fukaha berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian rujuk.
Menurut Hanafiyah, talak raj‟î yang diucapkan oleh suami, baru benar-
benar memutuskan hubungan pernikahan setelah istri selesai menjalani masa
idah. Selama masa idah talak raj‟î, suami masih memiliki istri secara penuh.
Jadi, dengan rujuknya suami pada saat istri masih menjalani masa idah, berarti
suami meneruskan pernikahan yang belum terputus ( ي لن يقطع الكاح الذء بقا ).
Dalil yang dipakai oleh Hanafiyah ini adalah merujuk pada Qs. al-Baqarah
ayat 228 “ دهيبعىلتهي احق بزو ”. Dalam ayat tersebut dipakai kata-kata لتهيبعى
yang maknanya الوطلق (laki-laki yang mentalak), الوطلق tersebut adalah جلشوا .
Berarti الوطلق tersebut masih berstatus sebagai seorang suami. Penafsiran yang
demikian juga didukung oleh QS. Al-Baqarah ayat 231 “ هي بوعزوففاهسكى ”.
Lafal اهساك sama artinya dengan ابقاء. Jadi, definisi rujuk menurut Hanafiyah
adalah meneruskan pernikahan pada waktu menjalani idah talak raj‟î.3
Berbeda dengan pendapat Syafiîyah. Menurut Syafiîyah dengan
terjadinya talak, hubungan pernikahan yang ada sebelumnya menjadi hilang,
sekalipun istri masih menjalani masa idah. Rujuk yang dilakukan oleh suami
berfungsi untuk mengembalikan status pernikahan yang telah hilang karena
1 Louis Ma‟lûf, al-Munjîd, (Beirut: Dâr al-Masyrîg, 1986), h. 250.
2 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 90.
3 Muhammad Abû Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, h. 366.
88
talak (إعادة الكاح الذي اسالها الطالق).4 Oleh karena itulah definisi rujuk yang
diberikan oleh Syafiiyah berbunyi: “Mengembalikan status pernikahan dalam
masa idah setelah terjadinya talak raj‟î (اعاة احكام الشواج في اثاءالعدة بعد الطالق)”.5
Dalil yang dipakai oleh Syafiîyah juga ayat “ دهيحق بزلتهي ابعىو ”, tetapi
mereka lebih mempedomani lafal بزدهي. Lafal رد berarti اعادة
(mengembalikan). Pendapat yang sama dengan Syafiiyah, juga disebutkan
oleh Malikiyah dan Hanabilah. Menurut Malikiyah, rujuk adalah:
“Mengembalikan istri yang telah ditalak raj‟î agar terpelihara dari dosa
tanpa akad nikah yang baru.” Sedangkan Hanabilah menyebutkan bahwa
rujuk berarti: “Mengembalikan istri yang telah ditalak yang bukan ba‟in
kepada keadaan sebelumnya tanpa akad.”6
Dari beberapa definisi dan istilah di atas, dapat disimpulkan bahwa
rujuk dapat diartikan sebagai mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh, setelah terjadinya talak raj‟î yang dilakukan oleh bekas suami terhadap
bekas istri dalam masa idah dengan ucapan tertentu. Dalam masa idah, suami
dikurangi haknya sebagai suami antara lain haram mencampuri istrinya.
Adapun kewajibannya tetap kepada istri dan anak-anaknya dalam jaminan
nafkah dan tempat tinggal, selama masa idah bekas suami mendapat prioritas
untuk merujuk bekas istrinya.7
Adapun rukun rujuk adalah shighat (pernyataan kembali dari suami)
serta perbuatan yang menunjukkan keinginan tersebut. Beberapa rukun dan
syarat yang harus dipenuhi suami dan istri agar rujuk dinilai sah, yaitu:
Pertama, laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk;
suami yang akan melakukan rujuk dipersyaratkan harus muslim dan cakap
bertindak hukum, dalam artian baligh, berakal, dan atas kesadaran sendiri.8
4 Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, h. 189.
5 Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islamî wa „Adillatuhu, h. 366, Abd al-Rahman al-Jazîri,
al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah,..h. 429.
6 Abd al-Rahman al-Jazîri, al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah, h. 428-429.
7 Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008), cet. Ke-1, h. 283.
8 Suami yang murtad sebelum rujuk lalu ia merujuk istrinya yang muslim, maka rujuknya
itu tidak sah, sebelum ia bertaubat terlebih dahulu. Karena, murtad menghilangkan bekas kehalalan
89
Kedua, Istri yang akan dirujuk dipersyaratkan sudah pernah disetubuhi oleh
suami sebelum mentalaknya; masih dalam masa idah talak raj‟î; istri ditalak
tidak dengan cara khuluk dan tidak pula ditalak tiga dan istri seorang muslim9.
Dalam hal istri yang ditalak sebelum disetubuhi oleh suaminya tidak
memiliki masa idah, sedangkan rujuk harus dilakukan ketika istri sedang
menjalani masa idah. Dengan demikian, istri yang ditalak sebelum disetubuhi
tidak dapat dirujuk. Begitupun suami masih mempunyai hubungan hukum
dengan istri yang ditalak raj‟î selama masih berada dalam masa idah.10
Fukaha
memahami hal tersebut dari QS. Al-Ahzab ayat 49: ووهنذ موا ذقتموهنذ من قبل ٱن ثمسه ت ثذ طل ممؤمن
ذا نكحت ٱ
ين ءامنوا ا لذ
ا ٱ أيه نذ ي موم لو
ة دذ يل من احا ج حوهنذ س ونا متعوهنذ وس ٩٤ثعتده
Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya.”
antara suami istri tersebut. Orang yang cakap hukum dalam rujuk itu sama dengan memulai akad
nikah yang baru. Oleh karena itu, rujuk tidak sah dilaksanakan oleh anak kecil, orang mabuk, orang
gila, atau begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, maka tidak sah rujuknya.
Rujuk yang dilakukan oleh orang-orang tersebut, kecil kemungkinan akan mewujudkan tujuan dari
rujuk (mencapai ishlah). Akhirnya, rujuk yang dilakukan itu akan menjadi sia-sia belaka. Hal
tersebut dapat saja disebabkan oleh kesadaran yang muncul dalam hati kecil suami belum ada,
sehingga dia akan mengulangi kembali kesalahannya di masa lalu. Lihat Mesraini, Hak-hak
Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 191.
Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), Ed. Ke-1, h. 341.
Sighat disini dapat dikatakan dengan ijab dan qabul. Ijab maksudnya ucapan suami kepada
mantan istrinya bahwa ia bermaksud merujuk mantan isterinya tersebut, dan qabul yaitu penerimaan
istri terhadap rujuk yang dilakukan oleh mantan suami. Ucapan suami untuk merujuk istri boleh
secara terang-terangan atau sindiran, dan disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila berupa tulisan,
maka pernyataan rujuk dibuat tertulis, ditanda tangani suami di atas materai Rp. 6000 dan ditanda
tangani dua orang saksi. Lihat Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, h. 288.
9 Namun, dalam hal ini masih ada ulama yang membolehkan suami merujuk istrinya yang
murtad ke agama ahli kitab. Alasan mereka, menikahi perempuan ahli kitab dibolehkan, demikian
juga untuk merujuknya.
10
Abd al-Rahman al-Jazîri, al-Fiqh „ala Madzahîb al-Arba‟ah, h. 439. Lihat juga Ibn
Qudâmah, al-Mughnî,. h.
90
Islam menetapkan kebolehan merujuk bekas istri yang dilakukan oleh
bekas suami, dengan tujuan untuk memperbaiki hubungan suami istri yang
sebelumnya retak dan tidak harmonis, sehingga dengan rujuk itu hubungan
suami istri dan keluarga menjadi lebih baik dan lebih harmonis lagi. Hal ini
berbeda dengan tradisi pada zaman jahiliyah. Pada masyarakat jahiliyah, hak
suami menceraikan istrinya tanpa ada batas. Suami bisa saja mentalak dan
merujuki istrinya kapan saja ia mau. Perbuatan rujuk haram dilakukan dengan
tujuan untuk menyakiti, menganiaya, menyengsarakan atau mempermainkan
bekas istri. Sebagaimana firman Allah QS. Albaqarah (2): 231.
حوهنذ بمعروف ول ساء بلغن ٱجلهنذ أمسكوهنذ بمعروف ٱو س من ذقت ٱ ذا طل
وا
للذ ت ٱ ۥ ول ثتذخذوا ءاي ل قد ظل هفسه تعتدوا ومن يفعل ذ ارا م ه وا ثمسكوهنذ ض
ذقوا ث ۦ وٱ محكة يعظم به
ب وٱ مكت
ن ٱ ليم وما ٱن ل ليم م للذ
ذكروا هعمت ٱ
وٱ للذ
ٱ
ء ليم بك ش للذ لموا ٱنذ ٱ
١٣٢ وٱ
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir
idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian,
maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang diturunkan Allah
kepadamu yaitu Al-kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya
itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Secara umum, tata cara pelaksanaan rujuk dalam Islam dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: rujuk dengan fi‟lî (perbuatan) dan rujuk dengan
qaulî (perkataan). Rujuk dengan fi‟lî (perbuatan) adalah rujuk yang dilakukan
oleh suami terhadap istri yang masih menjalani masa idah talak raj‟î, dengan
91
cara langsung menyetubuhi istri, tanpa dengan menggunakan ungkapan-
ungkapan rujuk secara lisan.
Mengenai rujuk dengan perbuatan ini terjadi perbedaan pendapat
antara ulama yang mementingkan perbuatan dan ulama yang memerlukan niat.
Menurut Malikiyah, niat rujuk dipentingkan sekali bagi suami yang rujuk
dengan cara langsung mempergauli istrinya yang beridah itu tanpa niat
merujukinya, maka rujuknya itu tidak sah, sekalipun dia tidak dikenakan had
zina.11
Sedangkan Hanabilah berpendapat bahwa dalam rujuk dengan
perbuatan ini tidak diperlukan niat. Apabila suami mempergauli istrinya yang
sedang menjalani masa idah tersebut, hal tersebut dapat dikatakan rujuk
sekalipun dilakukan tidak dengan niat. Namun disyaratkan bahwa suami
tersebut langsung mempergaulinya secara hakiki.12
Imam Syafiî mengatakan bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan
atau tulisan. Karena itu, rujuk tidak sah bila dilakukan dengan mencampuri
istri sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk. Suami haram mencampuri
istri dalam masa idah. Kalau dia melakukan hal itu, ia harus membayar mahar
mitsîl, sebab percampuran tersebut tergolong pada percampuran syubhat.13
Imam Hanafî mengatakan bahwa rujuk bisa juga terjadi melalui
tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila.
Misalnya, seorang laki-laki mentalak istrinya, kemudian dia terserang
penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa idahnya.14
Ulama juga sepakat bahwa rujuk bisa dilakukan dengan perkataan
(ucapan), namun mereka mensyaratkan hendaknya kalimatnya tegas dan tidak
digantungkan pada sesuatu. Kalau suami mengungkapkan rujuknya dengan
disertai ta‟liq, misalnya dengan mengatakan “Saya merujukmu jika engkau
mau,” maka rujuknya tidak sah.15
Berdasar itu, bila sesudah menyampaikan
11 Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian, h. 193. Lihat Muhammad Jawad
Mughniyyah, al-Ahwal al-Syakhsîyyah, (Beirut: Dâr al-Ilm, 1964), h. 160.
12
Muhammad Jawad Mughnîyah, al-Fiqh „ala al-Madzâhib al-Khamsah. (Beirut: Dâr al-
Jawad, 1996), cet ke-1, h. 160.
13
Abd al-Rahman al-Jazîri, Kitab al-Fiqh ‟ala „al-Madzâhib al-Arbâ‟ah, h.434.
14
Muhammad Jawad Mughnîyah, al-Fiqh „ala al-Madzâhib al-Khamsah, h. 481.
15
Penyusun kitab Al-Jawahir dan penyusun kitab Al-Masalik menukil: Umumnya
pendapat ulama mazhab Imamiyah menyatakan: tidak dibenarkannya melakukan ta‟liq dalam rujuk.
92
maksudnya tersebut tidak keluar tindakan atau ucapan yang tegas yang
membuktikan rujuknya hingga wanita tersebut menyelesaikan masa idahnya,
maka wanita tersebut menjadi wanita lain (bukan istri) baginya.16
Adapun rujuk dengan qaulî (perkataan) adalah rujuk yang dilakukan
oleh suami terhadap istri yang masih menjalani masa idah talak raj‟î, dengan
cara menegaskan lewat ungkapan lisan bahwa ia merujukinya, tidak hanya
dengan sekedar menyetubuhi.17
Lafal yang dapat dipakai dalam rujuk dengan
qaulî ini ada dua18
; lafal sarih dan lafal kinayah. Lafal sarih adalah lafal yang
tegas maksudnya untuk rujuk. Orang yang mendengar lafal tersebut sudah
langsung dapat memahami maksud si pembicara dan tidak perlu lagi mencari
makna yang lain. Seperti kata suami kepada istrinya "رجعتل" (aku rujuk
kepadamu) atau "ارجعتل" (aku kembalikan engkau kepadaku).19
Penting untuk dicatat, sighat dalam hal rujuk berbeda dengan sighat
dalam akad nikah. Bila sighat pada akad nikah, wali dan mempelai pria
mengucapkan ijab dan qabul, maka dalam rujuk hanya pernyataan dari suami
saja bahkan bisa hanya dengan niat yang kemudian dilanjutkan dengan
persetubuhan, sebagaimana yang telah dibahas terdahulu.20
Lafal kinayah adalah lafal yang tidak tegas maksudnya untuk rujuk.
Orang yang mendengar lafal tersebut mungkin memahami maksud si
pembicara untuk rujuk dan mungkin pula memahaminya dengan makna yang
Jumhur ulama menetapkan bahwa tidak boleh ucapan rujuk dikaitkan kepada syarat, baik syarat
terjadinya sesuatu yaitu menghendaki terjadinya sesuatu, seperti ucapan suami: “Bila ayahmu
menghendaki maka saya rujuk kepadamu”; Adapun mengkaitkan rujuk dengan waktu yang akan
datang, seperti: “saya rujuk kepadamu besok, menurut kebanyakan ulama hukumnya boleh, karena
yang demikian itu tidak berarti menggantungkan terlaksananya rujuk itu kepada syarat yang akan
terjadi. Dalam jilid II kitab Al-Masalik, dikatakan bahwa: pendapat yang lebih umum adalah tidak
terjadinya rujuk, bahkan bagi orang-orang yang memperbolehkan ta‟liq talak, dengan alasan,
mengkaitkan persoalan rujuk ini dengan nikah.
16
Muhammad Jawad Mughnîyah, al-Fiqh „ala al-Madzâhib al-Khamsah, h. 482.
17
Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian, h. 195.
18
Ucapan yang dijadikan sebagai cara untuk rujuk ada dua macam, yaitu: Pertama, ucapan
sharih yang berarti ucapan yang jelas untuk tujuan rujuk dan digunakan dalam Alquran untuk tujuan
rujuk; Kedua, ucapan yang digunakan dalam Alquran untuk rujuk yaitu lafaz rajâ-„a, am-sa-ka, dan
radda. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 343.
19
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah, h. 441.
20
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 153. Dalam
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, h. 266.
93
lain. Seperti "كحتل" (aku nikahi engkau) dan "سوجتل" (aku kawini engkau).
Kedua lafal tersebut tidak mungkin digunakan sebagai lafal sharih untuk
rujuk, karena keduanya adalah lafal sharih untuk akad nikah. Akan tetapi,
keduanya dapat digunakan sebagai lafal kinayah untuk rujuk.21
Fukaha
berbeda pendapat tentang hukum sah atau tidaknya rujuk dengan memakai
lafal kinayah. Menurut Syafiîyah, untuk menentukan sah atau tidaknya rujuk
dengan menggunakan lafal kinayah tergantung kepada niat suami yang akan
merujuk. Sedangkan Malikiyah berpendapat, rujuk tidak sah dilakukan dengan
memakai lafal kinayah.22
Tentang saksi dalam hal rujuk, Imam Syafiî berbeda pendapat dengan
Imam Malik. Imam Syafiî berpendapat bahwa kehadiran dua orang saksi pada
saat dilakukan rujuk oleh bekas suami kepada bekas istrinya adalah wajib
hukumnya. Alasannya adalah tujuan rujuk sama dengan tujuan nikah, yaitu
menghalalkan hubungan seksual.23
Lain halnya Imam Malik, ia berpendapat
bahwa kehadiran saksi dalam hal rujuk hanya bersifat anjuran. Alasannya
adalah rujuk tidak mewajibkan adanya wali maka saksi pun kehadirannya
tidak wajib, melainkan hanya bersifat anjuran. Namun demikian, pendapat
Imam Syafiî kelihatannya yang dijadikan dasar dalam norma-norma hukum
perkawinan di Indonesia. Karena itu, rujuk harus dibuktikan dengan kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.24
Sebagaimana firman Allah QS. Ath-
Thalaq (65): 2):
21 Kaidah yang mendukung pendapat ini: “ Suatu lafal yang sharih pada babnya dan tidak
memperoleh nafaz pada maudlu‟nya, maka adalah kinayah pada yang lainnya”. Lihat, Abd al-
Rahman al-Jazîri, al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah, h. 441. Lihat juga Mesraini, Hak-Hak
Perempuan Pasca Perceraian, h. 195.
22
Abd al-Rahmân al-Jaziîri, al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah, h. 441-442.
23
Imam Syafi‟î mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku
dalam akad nikah. Keharusan adanya saksi ini tidak dilihat dari segi rujuk, tetapi karena adanya
perintah Allah, sebagaimana dalam firman Allah Surat At-Thalaq ayat 2: “Bila mereka mendekati
akhir masa idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantaramu; dan tegakkan kesaksian karena
Allah”. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 343-344.
24
Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 91.
94
نم ذا بلغن ٱجلهنذ أمسكوهنذ بمعروف ٱو ارقوهنذ بمعروف وٱشهدوا ذوي دل موٱقميوا ا
دة للذ هو مشذ ٱ
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Dari ayat di atas, menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat tentang
hukum saksi dalam rujuk disebabkan perbedaan ulama dalam memakai makna
amar “اشهدوا”. Fukaha yang mewajibkan saksi dalam rujuk berpendapat
bahwa lafal amar dalam ayat itu faedahnya untuk wajib. Sementara fukaha
yang menganjurkan saksi dalam rujuk meyakini bahwa lafal amar tersebut
hanya untuk irsyad.
Namun demikian, dianjurkan adanya saksi guna mengantisipasi
pengingkaran istri terhadap rujuk setelah masa idahnya berakhir, yang pada
gilirannya suami tidak dapat menetapkan adanya rujuk. Selain adanya saksi
ketika rujuk dapat menjauhkan diri agar tidak terjerumus ke tempat-tempat
fitnah. Sebab, jika orang-orang mengetahui bahwa suami telah menceraikan
istrinya, lalu ia merujuknya tanpa ada saksi yang menyaksikan rujuk tersebut
maka mereka akan mengira hubungan badan yang dilakukan di antara mereka
adalah hubungan di luar nikah.25
Adapun rujuk terhadap wanita yang ditalak ba‟in terbatas hanya
terhadap wanita yang ditalak melalui khulu‟, dengan tebusan, dengan syarat
dicampuri, dan hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak tiga.26
Mazhab
empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain
(bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad,
mahar, wali, dan kesediaan wanita. Hanya saja dalam hal ini selesainya idah
25 Harits Fadly, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), h.
391.
26
Muhammad Jawad Mughnîyah, al-Fiqh „ala al-Madzâhib al-Khamsah, h. 483.
95
tidak dianggap sebagai syarat.27
Selanjutnya, fukaha telah sepakat bahwa rujuk
yang dilakukan oleh suami dalam masa idah talak raj‟î tidak memerlukan
persetujuan istri ataupun walinya. Sekalipun istri tidak menyukai kehendak
rujuk itu, istri tidak berhak menolaknya. Menurut mereka, hak rujuk itu hak
mutlak suami.28
Pengertian احق (lebih berhak) dalam QS. Al-Baqarah ayat 228
dipahami oleh para ulama sebagai kewenangan mutlak bagi suami untuk
merujuk istrinya, selama dalam masa idah talak raj‟î. Begitu juga perintah
dalam ayat 231 menyiratkan bahwa Allah SWT memerintahkan rujuk فاهسكىهي
oleh suami, karena rujuk itu hak suami, bukan hak istri.29
Namun demikian,
menurut Syekh „Ali al-Sayyîs, seorang mufasir dalam ayat-ayat hukum,
dijelaskan bahwa dengan ada kata-kata إصالحا ارادواإى pada QS. Al-Baqarah
ayat 228 dan kata-kata بوعزوف yang dikuatkan lagi oleh kata-kata والتوسكىهي
pada ayat 231 mengisyaratkan bahwa rujuk yang dilakukan harus ضزارا لتعتدوا
tidak menimbulkan mudarat bagi pihak istri.
Selain kedua ayat tersebut, fukaha juga mendasarkan pendapat mereka
pada hadis Nabi yang membicarakan tentang anjuran rujuk bagi Ibn „Umar.
Dari hadis Ibn Umar inilah para ulama memahami bahwa dalam pelaksanaan
rujuk, suami tidak memerlukan persetujuan istri dan walinya, karena Rasul
menyuruh Ibn „Umar rujuk tanpa merinci apakah istri yang ditalak itu setuju
atau tidak.30
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia keberadaan saksi dan
persetujuan istri ini menjadi sangat penting, sehingga ia menjadi syarat dalam
tata cara pelaksanaan rujuk itu sendiri. Maka dalam perkembangan
selanjutnya, tata cara rujuk tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh
27 Lihat, Ibnu Rusyd, Bidayat AL-Mujtahîd wa Nihâyat al-Muqtashîd, Jilid II.
28
Ibnu Qudâmah, al-Mughnî,…Pendapat fukaha ini didasarkan atas firman Allah SWT
dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 dan QS. Al-Baqarah ayat 231.
29
Muhammad Ali al-Shabûni, Rawai al-Bayan ti Tafsîr Ayat al-Ahkâm, (t.t: Dâr al-Fikr,
t.th), jilid 1, h. 332.
30
Muhammad Ali al-Sayyîs, Tafsîr Ayat al-Ahkam, (t.t., t.p., t.th.,), juz 1, h. 139.
Sebagaimana dikutip Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian,, h. 198.
96
ulama fikih. Seperti yang terlihat di dalam perundang-undangan yang berlaku,
dan berikut tata caranya yang di atur dalam KHI.31
B. Rujuk Menurut Hukum Keluarga di Indonesia
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989,
tidak memuat aturan tentang rujuk. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur masalah rujuk adalah undang-undang Nomor 22
tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,32
dan Kompilasi
Hukum Islam yang telah memuat aturan-aturan rujuk yang dapat dikatakan
rinci. Dalam tingkat tertentu, Kompilasi Hukum Islam sekalipun hanya
mengulang penjelasan fiqih, namun berkenaan dengan proses, kompilasi
Hukum Islam melangkah lebih jauh. Permasalahan rujuk di dalam Kompilasi
Hukum Islam diungkapkan pada pasal 10, 118, 150 dan 163-169.
Rujuk merupakan suatu istilah yang sudah lazim dipakai dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itulah, baik undang-undang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk ataupun Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan lagi pengertian
rujuk. Pasangan suami istri yang telah bercerai dan bermaksud rujuk, harus
datang menghadap Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi
tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari
Kepala Desa atau Lurah, serta kutipan dari Buku Pendaftaran Talak/Cerai atau
Akta Talak/Akta Cerai.
Di Indonesia, tidak semua perceraian boleh dirujuk. Rujuk hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal yang di atur dalam Kompilasi Hukum Islam.33
31 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, h. 268.
32
Semula Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Akan tetapi, dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 yang disahkan pada tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
33
Putusnya pernikahan karena talak, kecuali talak yang telah terjadi tiga kali atau talak
yang terjadi qabla al dukhul (suami belum pernah sama sekali menyetubuhi istrinya); Putusnya
pernikahan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan
khuluk‟. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 163 ayat (2). Lihat Mesraini, Hak-Hak Perempuan
Pasca Perceraian: Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 255.
97
Berkenaan dengan tata cara pelaksanaan rujuk dijelaskan pada pasal 167 pada
ayat 2, disebutkan bahwa rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Sebelum
pelaksanaan rujuk, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terlebih
dahulu, yaitu:
(1) Suami yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam fikih munakahat, yaitu suami tidak murtad dan harus
cakap bertindak hukum.34
(2) Perempuan yang dirujuk adalah bekas istri. Namun tidak semua bekas
istri boleh dirujuk. Bekas istri yang boleh dirujuk hanya terbatas pada
perceraian yang terjadi karena talak raj‟î dan perceraian yang terjadi
berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain
zina dan khuluk‟.35
(3) Rujuk harus dilakukan dalam masa idah.36
(4) Bekas istri menyetujui rujuk yang dilakukan bekas suaminya.37
(5) Harus ada saksi-saksi yang menyaksikan ikrar rujuk tersebut.38
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
terjadi atau tidaknya rujuk hanya dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini sesuai
34 KHI pasal 167 ayat (3) menyebutkan: “Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat
Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat
merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam idah talak
raj‟i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
35
Lihat KHI pasal 167 ayat (3) dan pasal 167 ayat (2).
36
Lihat KHI pasal 118: “Talak raj‟î adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak
rujuk selama istri dalam masa idah”. Lihat juga KHI pasal 150: “Bekas suami berhak melakukan
rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam idah”. KHI pasal 163 ayat (1): “Seorang suami dapat
merujuk istrinya yang dalam masa idah”.
37
Hal ini dapat dipahami dari beberapa pasal berikut; KHI pasal 167 ayat (2), bahwa rujuk
dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah. Dalam KHI pasal 164, “Seorang wanita dalam masa idah talak raj‟î berhak
mengajukan keberatan atau kehendak rujuk dari mantan suaminya di hadapan Pegawai Pencatat
Akta Nikah disaksikan dua orang saksi, dan lihat KHI pasal 165, “Rujuk yang dilakukan tanpa
persetujuan mantan istri dapat dinyatakan tidak sah dengan Putusan Pegadilan Agama”.
38
Keharusan adanya saksi dipahami dari KHI pasal 167 ayat (4): “Setelah itu suami
mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani
Buku Pendaftaran Rujuk”. Dan KHI pasal 168 ayat (1): “Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap (2) dua, diisi dan ditandatangani
oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi,..”.
98
dengan kompilasi hukum Islam pasal 166, yaitu bahwa “Rujuk harus
dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran rujuk dan bila bukti tersebut
hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan
duplikatnya pada instansi yang mengeluarkan semula”.
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) akan memberikan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk apabila rujuk dilakukan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk
sebagaimana tersebut -pada UU No 22 Tahun 1946 pasal 1 ayat 1 bahwa,
“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah,
diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri gama atau
oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut
agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
Pegawai Pencatat nikah” tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu
kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat 2 pasal 1 yaitu: “Yang berhak
melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak
dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh
pegawai yang ditunjuk olehnya,” maka ia dihukum denda sebanyak-
banyaknya Rp. 50,-(lima puluh rupiah).39
Adapun Tata cara pelaksanaan rujuk yang diatur dalam KHI pasal 167-
169, di antaranya:
39 Pada penjelasan pasal-pasal UU No. 22 Tahun 1946, yang dimaksud pasal 3 ini sama
dengan pasal Huwelijks ordonnantie S. 1929 No. 348, hanya saja pelanggaran terhadap aturan
pemberitahuan tentang talak yang dijatuhkan dan rujuk yang dilakukan dinaikkan dari Rp. 5,-
menjadi Rp. 50,- agar supaya hakim dapat memberi denda setimpal dengan kesalahannya. Oleh
karena sering terjadi seorang isteri yang telah dirujuk kembali, akan tetapi oleh karena tidak
diberitahukannya kepada Pegawai Pencatat Nikah tentang suami merujuk istri sehingga Pegawai
Pencatat Nikah menjadi tidak mengetahui hal perujukan akan kawin lagi dengan orang lain.
Kemudian datang suaminya yang lama, sehingga perkawinan tidak dapat dilangsungkan; atau telah
kawin dengan orang lain kemudian datang suami pertama, sehingga perkawinan yang baru itu
dibubarkan. Lebih menyedihkan lagi, apabila perkawinan yang baru itu mendapati kehidupan yang
rukun yang sudah dikaruniai anak. Lihat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Penghulu, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 226.
99
1. Pendaftaran Kehendak Rujuk40
Suami yang hendak rujuk harus datang bersama istrinya ke Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang mewilayahi tempat tinggal suami istri,
dengan membawa:
a. Surat Keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa/Lurah;
b. Akta Cerai Talak yang diterima dari Pengadilan Agama.
Pada pasal 168 dijelaskan tentang penambahan bagi tata cara rujuk,
yaitu: Pasal 168 (1), “Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh
masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi, disertai surat-surat keterangan yang
diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain
disimpan”.
Ayat (2), “Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
sesudah rujuk dilakukan”. Lalu ayat (3) dijelaskan bahwa: “Apabila lembar
pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pencatat Nikah
membuatkan salinan dari daftar kedua, dengan berita acara tentang sebab
hilang lainnya”.
Apabila pasangan yang akan rujuk itu berada di Jawa dan Madura,
maka P3N yang telah menerima pemberitahuan kehendak rujuk tadi
diharuskan mencatatnya dengan teliti dalam Buku Catatan Kehendak Rujuk
yang dipegangnya. Selanjutnya, dengan diantar oleh P3N, yang bersangkutan
memberitahukan kehendaknya kepada PPN dengan membawa kedua
persyaratan di atas, lalu PPN yang akan melakukan pemeriksaan rujuk.41
Dalam UU No. 22 Tahun 1946 pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa, “Pegawai
40 KHI pasal 167 ayat (1): “Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama
istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan. Lihat Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian, h. 257.
41
Apabila pasangan yang akan melakukan rujuk itu berada di Luar Jawa dan Madura maka
setelah pemberitahuan kehendak rujuknya diterima, P3N-lah yang akan melakukan pemeriksaan
kehendak rujuk.
100
pencatat nikah dan orang yanggg tersebut pada ayat 3 pasal 1 membuat catatan
tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya dan tentang talak dan
rujuk yang diberitahukan kepadanya, catatan yang dimaksudkan pada pasal 1
dimasukkan di dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan
untuk hal itu, dan contohnya masing-masing ditetapkan oleh Menteri
Agama.”42
2. Pemeriksaan Kehendak Rujuk43
PPN (di Jawa dan Madura) atau P3N (di Luar Jawa dan Madura) yang
menerima pemberitahuan kehendak rujuk melakukan pemeriksaan terhadap
hal-hal berikut:
a. Apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk;
b. Apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa idah talak raj‟î;
c. Apakah perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya;
d. Apakah ada persetujuan dari bekas istri yang akan dirujukinya itu;
e. Apakah putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan
atau alasan-alasan selain zina dan khuluk;
f. Apakah mendatangkan saksi untuk melakukan rujuk ini.
3. Pembayaran Biaya Rujuk44
Apabila kehendak rujuk yang sudah diperiksa itu dinyatakan telah
lengkap dan memenuhi syarat oleh PPN/P3N, maka sebelum rujuk
dilaksanakan suami yang akan rujuk harus membayar biaya pencatatan rujuk
ke rekening kas Negara melalui bank atau kantor pos yang telah ditunjuk.
Besarnya biaya pencatatan rujuk yang disetorkan ke kas Negara
melalui Bank/Pos Persepsi adalah Rp 30.000,- (Peraturan Pemerintah Nomor
47 tahun 2004). Selain itu, suami yang akan rujuk membayar pula honorarium
42 Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa, “Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka
pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh Kepala Jawatan Agama
Daerah.
43
KHI pasal 167 ayat (3), “Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah
memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk
itu masih dalam idah talak raj‟î, apakah perempuan yang akan dirujuk itu istrinya”.
44
UU No.2 Tahun 1946 pasal 1 ayat (4) menyebutkan, “Seorang yang nikah, menjatuhkan
talak atau merujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh
Menteri Agama..”
101
P3N. Honorarium ini diserahkan langsung oleh yang bersangkutan kepada
P3N. Adapun jumlah honorarium tersebut ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama propinsi dengan persetujuan terlebih dahulu dari
Kepala Daerah setempat.45
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Nomor DJ. III/600 Tahun 2016, bahwa Nikah dan rujuk
yang dilakukan diluar Kantor Urusan Agama dan bukan pada hari kerja
dikenakan tarif Rp. 600.000,- dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan
Pajak atas Biaya Nikah atau Rujuk dilakukan melalui Rekening Kas Negara,
dan Rekening Bendahara Penerimaan (BPN) Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam.46
Orang-orang yang tidak mampu membayar biaya rujuk, dengan
membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan, dapat
dibebaskan dari biaya-biaya rujuk tersebut. Hal ini di dasarkan UU No.2
Tahun 1946 pasal 1 ayat (4) menyebutkan”dari mereka yang dapat
menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desanya
(kelurahannya) tidak dipungut biaya.
45 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 15. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa biaya pencatatan rujuk yang pemeriksaan dan
pencatatannya dilakukan oleh P3N boleh juga dibayar oleh yang bersangkutan melalui P3N
sebelum rujuk dilaksanakan, untuk disetor ke kas Negara melalui Bank/Pos. Dalam Mesraini, Hak-
Hak Perempuan Pasca Perceraian, h. 258-259.
46
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. III/ 600 Tahun 2016, Juklak
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah
atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, (Jakarta: Departemen Agama, 2016).
Adapun biaya pencatatan rujuk yang pemeriksaannya dan pencatatannya dilakukan P3N
boleh juga dibayar oleh yang bersangkutan melalui P3N sebelum rujuk dilaksanakan, untuk disetor
ke kas negara melalui Bank/Pos. Tetapi, di dalam Juklak PNBPNR dijelaskan bahwa biaya tersebut
sudah meliputi transpot penghulu yang melayani nikah diluar KUA, transpot penghulu yang
melayani dan bimbingan nikah dalam satu waktu (nikah massal), transpot penghulu/ Kepala KUA
yang melakukan layanan dan bimbingan nikah di wilayah terdalam atau daerah perbatasan, transpot
dalam layanan dan bimbingan dengan jarak tempuh 5 KM dikenakan transpot lokal sesuai dengan
standar biaya masukan. Dan honorarium pelaksanaan serta bimbingan nikah atau rujuk di luar
Kantor menggunakan akun belanja jasa profesi (522151).
102
4. Ikrar Rujuk dan Pencatatannya47
Setelah biaya pencatatan rujuk dibayar, PPN/P3N mempersilahkan
suami untuk mengikrarkan rujuknya dihadapan istri dan saksi-saksi, serta
PPN/P3N yang mengawasinya. Kemudian, PPN/P3N melakukan prosedur
pencatatan rujuk.
Ada perbedaan antara prosedur pencatatan rujuk bagi pasangan yang
berada di Jawa dan Madura dengan prosedur pencatatan rujuk bagi pasangan
yang berada di Luar Jawa dan Madura. Bagi pasangan yang berada di Jawa
dan Madura, ikrar rujuk dilaksanakan di bawah pengawasan PPN. Begitu juga
dengan pencatatannya, semuanya dilakukan langsung oleh PPN. Sedangkan
bagi pasangan yang berada di luar Jawa dan Madura, ikrar rujuk dilaksanakan
di bawah pengawasan P3N, tetapi sebahagian lagi dilakukan oleh PPN.
Prosedur pencatatan rujuk yang dilakukan di hadapan PPN (bagi
masyarakat di Jawa dan Madura) adalah sebagai berikut:
a. Suami mengikrarkan rujuknya di hadapan istri, saksi-saksi dan PPN yang
mengawasinya.
b. PPN mencatat rujuk dalam Buku Pencatatan Rujuk (model R), kemudian
membacakannya, dan dimana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
mudah dimengerti oleh yang bersangkutan, dan selanjutnya ditandatangani
oleh masing-masing pihak.
c. PPN membuat Kutipan Buku Pencatatan Rujuk (model RA) rangkap dua
dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan diberikan kepada suami dan istri.
47 Pelaksanaan Ikrar Rujuk dan pencatatannya ini dipahami dari KHI pasal 167 ayat (4)
yang menyebutkan bahwa, “Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.” Selanjutnya KHI pasal
169 ayat (1) menjelaskan bahwa, “Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang
terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak
yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama”. Ayat (2), “Suami isteri atau
kuasanya dengan membawa kutipan buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama
di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah
masing-masing yang bersangkutan setelah tersedia Kutipan Akta tersebut, bahwa yang
bersangkutan telah rujuk”. Ayat (3), “Catatan yang dimaksud ayat (2), berisi tempat terjadinya
rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftran Rujuk dan tanda
tangan panitera.”
103
e. PPN membuat Surat Pemberitahuan tentang terjadinya rujuk (model RC)
dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta
Cerai Talak yang bersangkutan.
f. Suami istri dengan membawa Kutipan Buku Pencatatan Rujuk (model RA)
datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak, untuk mendapatkan
kembali Kutipan Akta Nikah masing-masing yang selama ini disimpan
oleh Pengadilan Agama tersebut.
g. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
setelah diberi catatan seperlunya dengan menerima Kutipan Buku
Pencatatan Rujuk untuk disimpan.
h. PPN mencatat pada Akta Nikah yang bersangkutan pada catatan pinggir
bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
i. Apabila pencatatan rujuk tidak dilakukan pada KUA Kecamatan tempat
pencatatan nikahnya dulu, maka PPN tempat rujuk memberitahukan
kepada PPN yang mengeluarkan Akta Nikahnya bahwa yang bersangkutan
telah rujuk dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Rujuk (model RD),
dan PPN tempat pencatatan nikah itulah yang mencatatnya dalam catatan
pinggir Akta nikahnya.
Adapun prosedur pencatatan rujuk yang dilakukan di hadapan P3N
(bagi masyarakat di Luar Jawa dan Madura) adalah sebagai berikut:48
a. Suami mengikrarkan rujuknya dihadapan istri, saksi-saksi dan P3N yang
mengawasinya.
b. P3N mencatat rujuk itu ke dalam Daftar Pemeriksaan Rujuk (model RB)
rangkap dua, kemudian membacakannya, dan di mana perlu diterjemahkan
ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh yang bersangkutan.
48 KHI pasal 168 ayat (1), “Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat dua rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-
masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku
Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan”. Ayat (2), “Pengiriman lembar pertama daftar rujuk
oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah
rujuk dilakukan.”
104
c. Kedua lembar itu ditandatangani oleh yang bersangkutan, saksi-saksi dan
P3N yang mengawasinya.
d. Surat-surat yang diperlukan dikumpulan menjadi satu dengan model RB
dan disimpan dalam sebuah map.
e. Selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak rujuk diikrarkan, model RB
yang dilampiri surat-surat yang diperlukan dan biayanya dikirimkan
kepada KUA kecamatan yang mewilayahinya.
f. PPN yang menerima model RB dari P3N, memeriksa dengan teliti,
kemudian mencatat rujuk itu dalam Buku Pencatatan Rujuk (model R).
g. PPN membuat Kutipan Buku Pencatatan Rujuk (model RA) rangkap dua
untuk suami dan istri dengan nomor dan kode yang sama.
h. Kutipan tersebut disampaikan kepada suami istri melalui P3N.
i. PPN membuat Surat Pemberitahuan tentang terjadinya rujuk (model RC)
dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta
Cerai Talak yang bersangkutan.
j. Suami istri dengan membawa Kutipan Buku Pencatatan Rujuk (model
RA) datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk
mendapatkan kembali Kutipan Akta Nikah masing-masing yang selama ini
disimpan oleh Pengadilan Agama tersebut.
k. Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
setelah diberi catatan seperlunya dengan menerima Kutipan Buku
Pencatatan Rujuk untuk disimpan.
l. PPN mencatat pada Akta Nikah yang bersangkutan pada catatan pinggir
bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
m. Apabila pencatatan rujuk tidak dilakukan pada KUA Kecamatan tempat
pencatatan nikahnya dulu, maka PPN tempat rujuk memberitahukan
kepada PPN yang mengeluarkan Akta nikahnya bahwa yang bersangkutan
telah rujuk dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Rujuk (model RD),
dan PPN tempat pencatatan nikah itulah yang mencatatnya dalam catatan
pinggir Akta Nikahnya.
105
Terdapat penjelasan yang sangat signifikan dan berbeda dengan fikih
pada pelaksanaan rujuk, dalam kompilasi Hukum Islam pasal 164 menyatakan
bahwa “Seorang wanita dalam masa idah talak raj‟î berhak mengajukan
keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi, bahkan pasal 165 menegaskan
bahwa “Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan
tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Proses penolakan rujuk yang dilakukan oleh istri terbagi ke dalam dua
bentuk, yaitu:
a. Penolakan rujuk dapat dilakukan oleh istri ketika kehendak rujuk belum
didaftarkan kepada PPN atau P3N yang berwenang. Artinya, sebelum
suami datang ke PPN atau P3N, ditanyakan terlebih dahulu tentang
persetujuan istrinya. Jika istrinya tidak menyetujui dan suami menerima
pernyataan istri, maka penolakan rujuk dari istri tersebut telah berlaku.
Akan tetapi, jika istri menolak rujuk dan suami tidak menerima penolakan
itu maka perkara itu baru bisa diselesaikan setelah diajukan ke Pengadilan
Agama.49
b. Istri melakukan penolakan rujuk ketika pengajuan rujuk telah didaftarkan
kepada PPN atau P3N. Artinya, istri dapat mengajukan keberatan atas
kehendak rujuk bekas suaminya di hadapan PPN atau P3N yang
disaksikan oleh dua orang saksi. Dalam keadaan demikian, suami belum
dapat mengikrarkan rujuknya.50
Apabila suami tidak menerima penolakan rujuk dari istrinya maka ia
harus mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan Agama, bukan pada
PPN/P3N. Hal ini sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Menteri Agama
49 Perintah ini sesuai dengan peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 2 bahwa:
“Pegawai Pencatat Nikah hanya bertugas mengawasi dan mencatat nikah, talak, cerai, dan rujuk
yang mewilayahi perkara tersebut, serta memeriksa syarat-syarat yang berkaitan dengan nikah,
talak, cerai , dan rujuk.
50
Dalam mengurus perkara-perkara yang berbentuk sengketa diserahkan kepada
Pengadilan Agama, termasuk di dalamnya sengketa penolakan rujuk yang dilakukan oleh istri.
Dengan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Agama untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta memutus perkara, termasuk di dalamnya perkara hak menolak rujuk yang diajukan
oleh istri, yang kemudian akan dipertimbangkan keberatan istri dalam hak rujuk ini.
106
bahwa PPN/P3N hanya bertugas melaksanakan pengawasan dan pencatatan
nikah dan rujuk bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, sedangkan
untuk memutus perkara-perkara yang berbentuk sengketa, itu diserahkan
kepada Pengadilan Agama, termasuk di dalamnya sengketa penolakan rujuk
yang diajukan oleh istri ini. Dengan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan
Agama untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, perkara penolakan rujuk itu akan
diselesaikan dengan diterima atau ditolak secara adil.51
C. Rujuk Menurut Hukum Keluarga Negara Brunei Darussalam
Bagian pendaftaran perkawinan, perceraian, pembatalan, dan rujuk
bagi orang Islam adalah salah satu bagian dalam struktur kewenangan
Mahkamah Syariah. Yang mana kewenangan administrasi ini telah
diperintahkan pada daerah-daerah yang dikendalikan oleh Pusat Administrasi
yaitu Ketua Pendaftaran Mahkamah Rayuan Syariah bagi orang Islam. Hal ini
berdasarkan Perintah Darurat Undang-Undang Keluarga Islam 1999.52
Negara Brunei Darussalam mempuyai kriteria perceraian yang dapat
dirujuk kembali oleh suami, sama halnya dengan negara Indonesia. Bahwa
tidak semua perceraian boleh melakukan rujuk, rujuk hanya dapat dilakukan
dalam hal-hal yang di atur dalam Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam) tahun 1999.53
Berkenaan dengan tata cara pelaksanaan rujuk bagi orang
51 Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 264.
52
Dalam Perintah Darurat Undang-undang Keluarga Islam, 1999 bagian II-III dan bab 54.
Bahwa Mahkamah mempunyai kewenangan bagi warga Brunei di antaranya: Mengeluarkan izin
menikah dalam dan luar negeri (bab 16(1) dan 18(3); Pendaftaran nikah dalam dan luar negeri;
Pengeluaran surat nikah dan talak (Bab 24 (3) dan 29(1); Pendaftaran perceraian dan pembatalan
(Bab 22 (1) (2); Mengeluarkan sertifikat perceraian dan pembatalan nikah (Bab 54(3)(4)(5) dan (6).;
Pendaftaran rujuk dan penerbitan sertifikat rujuk (Bab 52(1) dan (2); Pembetulan atau pemeriksaan
kesalahan-kesalahan yang masuk dalam akta nikah, perceraian, pembatalan, dan rujuk (Bab 140(1);
Pemeriksaan daftar dan indeks pernikahan, perceraian, dan rujuk (Bab 141(1); dan Memproses
klaim tentang uang saku yang diterima juru nikah.
53
Perceraian yang boleh dirujuk di negara Brunei Darussalam, dalam pasal 52 ayat (7) dan
(8) di antaranya: Putusnya perkawinan karena talak raj‟i, kecuali talak yang telah terjadi tiga kali
atau talak yang terjadi qabla al-dukhul (suami belum pernah sama sekali menyetubuhi istrinya;
Putusnya pernikahan berdasarkan putusan Hakim Agama dengan alasan yang dibenarkan oleh
hukum syarak‟. Lihat Perlembagaan Negara Brunei Darussalam (Perintah di bawah bab 83 (3))
107
Islam, yang di atur dalam Undang-undang Keluarga Islam yaitu yang terdapat
pada pasal 52 ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6),(7), dan (8).
Pengertian rujuk dijelaskan dalam Mahkamah-mahkamah Kadi
Penggal 77 dan Perintah Darurat Undang-undang Keluarga Islam tahun 1999,
bahwa rujuk adalah perkembalian seorang perempuan yang ditalak oleh
suaminya bukan secara ba‟in untuk kembali kepada pernikahan semula
dengan tidak memerlukan akad baru.54
Namun demikian, dalam Undang-
undang keluarga Islam yang berlaku di negara Brunei Darussalam tidak ada
aturan khusus yang menjelaskan syarat-syarat rujuk. Rujuk dipandang sah
apabila memenuhi persyaratan sesuai dengan hukum syara‟ (pendapat fikih
mazhab, dalam hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Syafi‟î).55
Apabila pasangan yang disahkan bercerai oleh Mahkamah, dan ingin
rujuk kembali dalam masa idah, maka pasangan tersebut hendaklah
mendaftarkan rujuknya itu. Di negara Brunei Darussalam, rujuk tidak harus
dilakukan di hadapan Pendaftar. Akan tetapi, rujuk yang dilakukan tidak
dihadapan Pendaftar wajib dilaporkan kepada pendaftar untuk dicatat.56
Adapun prosedur Pendaftaran Rujuk di Negara Brunei Darussalam
adalah sebagai berikut:
a. Suami istri yang akan melakukan rujuk harus melapor atau mendaftarkan
rujuk tersebut kepada Pendaftar tempat mereka berdomisili57
, dengan
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999. (Bandar Seri Begawan: Jabatan
Percetakan Kerajaan, 1999), h. 873.
54
Perlembagaan negara Brunei Darussalam (Perintah di bawah bab 83 (3)) Perintah
Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999. Bahagian 1, Permulaan Seksyen 2 (1) tentang
Tafsiran atau penjelasan dari Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77.
55
Dalam Al-Umm, Imam Syafi‟î berpendapat tentang Firman Allah SWT dalam Qs. al-
Baqarah ayat 228: “… Jika kamu menginginkan perdamaian…“ maksudnya adalah rujuk. Apabila
suami yang mentalak istrinya satu kali atau dua kali talak sesudah mensetubuhinya, maka laki-laki
itu berhak merujuknya selama perempuan itu belum habis masa idahnya. Lihat M. Atho‟ Mudzhar
dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan
Keberanjakaan UU Moden dari Kitab Fikih, h. 194.
56
Hal ini terdapat dalam pasal 52 ayat (4) yang menjelaskan bahwa: “Siapa saja pihak
(suami istri) yang tidak mendaftarkan rujuknya kembali, sebagaimana yang di atur pada ayat (1)
adalah melakukan suatu kesalahan dan jika dihukum atas kesalahan tersebut maka hukuman denda
tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak melebihi tiga bulan atau kedua-keduanya”.
57
Perintah Darurat UU Keluarga Islam, 1999. Pasal 52 ayat (1)
108
mengisi formulir permohonan rujuk dengan lengkap dalam masa empat
belas hari dan menyerahkan persyaratan berikut:
1. Surat pengesahan cerai dari Mahkamah;
2. Membayar pendaftaran rujuk; dan
3. Salinan Sijil Perakuan Cerai.58
b. Apabila rujuk telah dilakukan bukan di hadapan Pendaftar, maka Pendaftar
harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa rujuk yang
dilakukan tidak bertentangan dengan hukum syarak.59
c. Apabila Pendaftar yakin bahwa rujuk yang dilakukan itu sah menurut
hukum syarak, maka Pendaftar mendaftarkan rujuk dengan membuat
endorsemen pada catatan berhubungan dengan perceraian itu dalam Daftar
Perceraian, Pembatalan dan Rujuk.60
d. Apabila perceraian itu tidak didaftarkan dan dilaporkan oleh Pendaftar
sebagaimana ayat (1), maka suami atau istri hendaklah menuliskan dalam
Sijil Cerai nomor berseri dan butiran sijil rujuk itu, dan mengantarkan sijil
cerai itu kepada Pendaftar yang telah mengeluarkannya bersama dengan
satu salinan Sijil Rujuk. Kemudian Pendaftar yang telah mengeluarkan
sijil cerai itu hendaklah mendaftarkan rujuk dengan disertai membuat
pengesahan pada catatan yang berhubungan dengan perceraian itu dalam
Daftar Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk yang disimpan olehnya. Maka
Pendaftar menyerahkan Salinan Sijil Rujuk itu kepada Ketua Pendaftar
yang akan mendaftarkan rujuknya itu.61
Dalam hal pemeriksaan berkas-berkas pendaftaran rujuk yang
dilakukan oleh suami dan istri, maka Pendaftar wajib memeriksa dan meneliti
hal-hal sebagai berikut:
58 Perintah Darurat UU Keluarga Islam, 1999. Pasal 52 ayat (2)
59
Pasal 141 ayat (1) ditegaskan bahwa: “Tiap-tiap daftar dan indeks perkahwinan,
perceraian, pembatalan dan rujuk yang disimpan oleh Ketua Pendaftar atau Pendaftar di bawah
Perintah UU ini, hendaklah terbuka untuk diperiksa oleh siapa saja orang yang telah melakukan
pembayaran pendaftaran rujuk yang telah ditetapkan.
60
Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (3). Dalam
Pasal 53 ayat (2) menjelaskan bahwa“Perakuan yang dikeluarkan di bawah ayat (1) hendaklah
didaftarkan di dalam Daftar Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk seolah-olah perakuan itu telah
mewujudkan perceraian”.
61
Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (5).
109
a. Setiap daftar dan indeks perkawinan, perceraian, pembatalan dan rujuk
yang disimpan oleh Ketua Pendaftar atau Pendaftar di bawah Perintah ini
hendaklah terbuka untuk diperiksa oleh siapa pun orang setelah
pembayaran yang ditetapkan dibayar.62
b. Ketua Pendaftar atau Pendaftar, mengikuti apapun yang berlaku.
Kemudian setelah membayaran pembayaran yang ditetapkan, maka
Pendaftar memberi satu salinan catatan dalam daftar dan indeks
perkawinan, perceraian, pembatalan rujuk yang disertifikasi oleh
tandatangan dan cap kantor Jawatan Ketua Pendaftar atau Pendaftar,
berikut mana saja yang relevan dengan seseorng yang menginginkan rujuk
itu.63
c. Setiap Pendaftar dan Ketua Pendaftar harus memelihara atau menyimpan
Daftar Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk dalam borang yang ditetapkan
masing-masing, dengan memasukkan keterangan yang ditentukan dari
semua perintah perceraian dan pembatalan yang dikirimkan kepadanya
berdasarkan ayat (2) dan mengenai semua perintah perceraian dan
pembatalan yang diajukan berdasarkan ayat (3) untuk didaftarkan.64
d. Setiap Mahkamah yang memberikan tentang rekaman sebuah perintah
perceraian atau pembatalan atau yang mengizinkan hasil rekaman dan
mencatat talaq atau bentuk perceraian lainnya, maka salinan catatan yang
sudah tersertifikasi dikirimkan kepada Pendaftar yang bersangkutan dan
kepada Ketua Pendaftar untuk didaftarkan.65
e. Jika suatu perkawinan yang diakad nikahkan dalam Negara Brunei
Darussalam dibubarkan atau dibatalkan dengan perintah Mahkamah yang
memenuhi syarat dalam otoritas Negara asing, salah satu pihak dapat
mengajukan permohonan kepada panitera yang sesuai dengan spesifikasi
yang telah ditentukan untuk pendaftaran dan Ketua Pendaftar hendaklah
mendaftarkan perintah itu apabila berpuas hati bahwa perintah itu adalah
62 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 141 ayat (1)
63
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 141 ayat (2)
64
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 54 ayat (1).
65
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 54 ayat (2).
110
satu perintah yang harus diakui sebagai hukum yang sah undang-undang
negara Brunei Darussalam.66
f. Dan dibuktikan dengan salinan yang bermaterai dari Ketua Pendaftar
berdasarkan pada Pasal 143, “Setiap Daftar perkawinan, dan Daftar
Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk yang disimpan oleh Ketua Pendaftar
atau Pendaftar berdasarkan Perintah ini dan setiap salinan entri manapun
di dalamnya, yang disahkan dengan tandatangan dan materai jawatannya
sebagai satu salinan atau ekstrak sejati, adalah menjadi bukti keterangan
prima-facie dalam semua Mahkamah, tanggal dan perbuatan-perbuatan
dalam pengadilan yang dinyatakan dalam bentuk Daftar Perkahwinan,
Daftar Perceraian, Pembatalan dan Rujuk atau salinan itu.67
Berkaitan dengan pelaksanaan rujuk, Perintah Darurat (Undang-
undang Keluarga Islam), 1999 pasal 52 ayat 8 menjelaskan bahwa seorang
perempuan berhak menolak rujuk atas kehendak suami dengan alasan yang
dibenarkan oleh hukum syarak. Hukum syarak disini adalah suatu perbuatan
atau alasan istri menolak rujuk yang dilakukan oleh suami yang dibenarkan,
diakui hukum syarak ataupun terjadi dharar syar‟i. Misalnya istri menolak
rujuk suami dikarenakan saat pernikahan hubungannya tidak harmonis, atau
karena sikap suami yang temperamental dan kasar sehingga istri memiliki
pertimbangan dalam hal ini untuk melanjutkan atau menolak permintaan rujuk
tersebut.
Kemudian jika setelah menjatuhkan talak – yang masih bisa dirujuk
kembali – pihak suami mengucapkan rujuk dan pihak istri menerimanya, maka
istri dapat diperintahkan oleh Kadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah
tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan. Hal ini
sesuai dengan Pasal 52 ayat (6) bahwa: “ Jika talak raj‟î telah terjadi tanpa
diketahui oleh istri, maka suami tidak bisa menghendaki atau meminta istri
66Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 54 ayat (3). Tata cara
pelaksanaan rujuk ini sama dengan tata cara pelaksanaan bagi perceraian, dalam bidang tugas
Pendaftar atau orang yang mengurusi pendaftaran Perkawinan, Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk.
67
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 142.
111
supaya rujuk kembali dengannya tanpa menjelaskan kepadanya perceraian
itu.68
Menurut Undang-undang keluarga Islam, 1999. Jika suami telah
mengucapkan rujuk dan istri pun telah menyetujui pelaksanaan rujuk tersebut,
maka Mahkamah memerintahkan suami istri tersebut untuk hidup bersama
kembali sebagaimana suami istri yang sah. Akan tetapi, jika istri menolak
untuk hidup bersama dengan alasan yang dibenarkan hukum syarak‟. Dengan
demikian Mahkamah melantik Pegawai Khidmat Nasihat keluarga sebagai
juru damai untuk mendamaikan dan menyelesaikan perkara tersebut.69
Selanjutnya, apabila setelah talak raj‟î suami mengucapkan rujuk
tetapi istri menolaknya atau tidak bersedia untuk dirujuk dengan alasan-alasan
yang dibenarkan oleh hukum syara‟, maka Mahkamah tidak dapat memaksa
istri untuk menerima rujuk tersebut. Dengan demikian, Mahkamah harus
mengangkat atau melantik Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga untuk
mendamaikan suami istri tersebut. Dalam hal ini, Pegawai Khidmat Nasihat
Keluarga sama persis dengan pengangkatan dan tugas Pegawai Khidmat
Nasihat Keluarga pada perceraian.70
68 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (6).
69
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (7) bahwa: “Jika
selepas talak raj‟î suami melafazkan ruju‟ dan istri telah bersetuju terhadap ruju‟ itu, istri boleh,
atau permohonan suami, diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai suami istri,
melainkan jika istri itu menunjukkan sebab-sebab yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum
Syarak‟ dan , jika demikian halnya, Mahkamah boleh merujukkan perkara itu kepada Pegawai
Khidmat Nasihat Keluarga”.
70
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (8) bahwa: “Jika
selepas talak raj‟î sumai melafazkan rujuk tetapi istri tidak besetuju terhadap rujuk itu kerana
sebab-sebab yang dibenarkan oleh Hukum Syara‟ dia tidaklah boleh diperintahkan oleh Mahkamah
supaya berbaik semula sebagai suami isteri, tetapi Mahkamah boleh merujukkan perkara itu
kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.” Dan Melantik Hakam sebagai timbangtara, dalam
Pasal 43 ayat (4) “Mahkamah boleh memerintahkan kepada Hakam itu berkenaan dengan tatacara
menjalankan perdamaian atau penyelesaian dan hendaklah Hakam itu menyempurnakan perintah
itu mengikut Hukum Syarak‟ dengan menjalankan penyiasatan untuk mengetahui sebab-sebab atau
punca pertikaian (syiqaq) antara suami isteri itu dan hendaklah berusaha bersungguh-sungguh
pada mendamaikan kedua-duanya”. Lalu pada ayat (6) dijelaskan bahwa: “Jika didapati bahwa
Hakam-Hakam itu tidak semufakat dan berlaku pertentangan pendapat di antara satu sama lain,
Mahkamah hendaklah memerintahkan supaya kedua-duanya mengulangi usaha mereka dan
sekiranya kemudian dari pada itu didapati pertentangan di antara mereka masih berlaku,
Mahkamah hendaklah memberhentikan kedua-duanya dan melantik Hakam-Hakam lain”.
Bila dicermati, peraturan Undang-undang Brunei ini sama dengan Isi Undang-undang
Keluarga Islam di Malaysia, yang mana memberikan hak rujuk kepada istri dan cara
penyelesaiannya di Mahkamah. Kedua hal ini sama dengan peraturan di Indonesia, dalam
112
Mengenai Pelantikan71
Ketua Pendaftar, Pendaftar, Wakil Pendaftar
dan Jurunikah dalam pernikahan, perceraian, pembatalan dan rujuk,
sebagaimana di atur dalam Pasal 26, yaitu:
a. Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang
Di-Pertuan dapat melantik siapa pun orang Islam bermazhab Syafi‟î yang
berkualitas dan layak menjadi Ketua Pendaftar Perkawinan, Perceraian,
Pembatalan, dan Rujuk. Orang Islam yang dimaksud dalam Perintah ini,
yang bertanggung jawab atas pengawasan dan mengendalikan atas
Pendaftar-Pendaftar dan Wakil-wakil Pendaftar, serta Pendaftaran
Perkawinan, Perceraian, Pembatalan dan Rujuk di bawah perintah ini.72
b. Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang
Di-Pertuan dapat melantik beberapa orang Islam bermazhab Syafi‟î yang
berkualitas dan mampu dalam bidang ini sesuai kebutuhan untuk menjadi
Pendaftar-Pendaftar dan Wakil-wakil Pendaftar Perkawinan, Perceraian,
Pembatalan dan Rujuk Orang Islam sesuai dengan perintah ini.73
c. Ketua Hakim Agama dan Hakim-Hakim Agama dapat lah menjadi
jurunikah bagi orang Islam karena posisinya.74
d. Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang
Di-Pertuan dapat melantik siapa pun orang yang layak atau berkualitas
selain yang disebutkan dalam ayat (3), menjadi jurunikah dan menetapkan
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan hak kepada istri dalam menerima atau menolak rujuk
tersebut.
71
Undang-undang pendaftaran perkawinan dan perceraian telah diperuntukkan dalam Akta
Penggal 77. Kadi Besar dan Kadi atas nama jawatannya menjadi Pendaftar nikah cerai orang-orang
Islam mengikut kawasan masing-masing sebagaimana mereka itu berbidang kuasa dalam perkara-
perkara jinayah dan sivil. Begitu juga Imam-imam tiap-tiap masjid atas nama jawatannya dilantik
menjadi Pendaftar Nikah cerai orang Islam bagi tiap mukim masjidnya. Pada saat ini Pelantikan
Imam-imam menjadi Pendaftar nikah cerai orang Islam adalah atas sokongan Jabatan Hal Ehwal
Masjid dan hendaklah lulus peperiksaan yang diadakan Jabatan yang berkenaan.
Selain dari pada Kadi-kadi dan imam-imam, orang-orang awam yang terdiri dari pada
pegawai-pegawai ugama dan guru-guru ugama yang berkelayakan juga dilantik menjadi jurunikah
mengikut daerah yang telah ditetapkan dan menerima tauliah pelantikan dari pada Kebawah Duli
Yang Maha Mulia Sultan. Biasanya, lantikan atas orang-orang awam sebagai jurunikah adalah di
kalangan pegawai-pegawai ugama yang berkelulusan Universitas al-Azhar Mesir berdasarkan
sokongan Jabatan masing-masing kepada Majlis Ugama Islam. Akta Penggal 77, Bab VI Pasal 134-
156.
72
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 26 ayat (1), h. 859.
73
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 26 ayat (2), h. 859.
74
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 26 ayat (3), h. 859.
113
bidang jurunikah tersebut dalam tugasnya mengakad nikahkan di negara
Brunei Darussalam.75
e. Ketua Pendaftar, Pendaftar-Pendaftar dan Wakil-wakil Pendaftar, yang
disebutkan di dalam ayat (1) dan (2) di atas, untuk memiliki kewenangan
dan hak-hak yang terletak padanya, dan untuk menjalankan kewajibannya
menurut daerah kewenangannya sebagaimana dalam Perintah ini atau
mana saja aturan yang diperbuat di bawah Perintah ini.76
f. Tentang Daftar dan Buku-buku hendaklah disimpan mengenai semua
Perkawinan, Perceraian, Pembatalan dan Rujuk dalam borang yang
ditetapkan dan buku-buku sebagaimana yang ditetapkan oleh Perintah ini
atau oleh aturan-aturan yang dibuat di bawah Perintah ini, dan tiap-tiap
perkawinan yang diakadnikahkan dalam negara Brunei Darussalam
hendaklah didaftarkan sesuai prosedur oleh Pendaftar dalam Daftar
Perkawinan tersebut.77
Demikian peraturan perundang-undangan tentang tatacara rujuk bagi
pasangan suami istri yang di atur dalam Undang-undang Keluarga Islam.
Melihat paparan di atas, dapat dipahami bahwa secara umum terdapat
persamaan dan sekaligus perbedaan yang begitu diametral baik antara
pendapat yang dikemukakan oleh fukaha dengan diktum perundang-undangan
keluarga Islam baik di Indonesia maupun negara Brunei Darussalam.
Letak persamaannya adalah baik fukaha maupun peraturan perundang-
undangan keluarga Islam di Indonesia dan negara Brunei Darussalam,
ketiganya menempatkan hak rujuk itu ada pada suami. Suamilah yang
memiliki kewenangan untuk mengajak rujuk, sedangkan istri adalah sebagai
subjek yang diajak rujuk sebagaimana yang disepakati oleh fukaha dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
Sedangkan letak perbedaan pada pendapat fukaha dengan peraturan
perundang-undangan hukum keluarga Islam di Indonesia dan negara Brunei
75 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 26 ayat (4), h. 860.
76
Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 26 ayat (5), h. 860.
77
Mahkamah-Mahkamah Kadi Penggal 77, Pasal 22. Dalam UU Darurat Keluarga Islam,
1999, h. 860.
114
Darussalam adalah mengenai keterlibatan istri di dalam menerima atau
menolak ajakan rujuk tersebut.
Penting untuk diketahui, dalam undang-undang negara Brunei
Darussalam tidak ada peruntukan khusus tentang dera atau hukuman bagi
wanita. Walau bagaimanapun, suami atau istri yang melakukan penganiayaan
atas salah satu pihak atau menggunakan harta suami istri maka mereka dapat
dikenakan hukuman di bawah Bab 128, yaitu: “Jika suatu kesalahan dapat
dihukum denda tidak melebihi dua ribu ringgit atau penjara tidak melebihi
enam bulan atau hukuman kedua-duanya”.78
Untuk lebih jelas dan terarah akan dibahas di bab selanjutnya
mengenai analisis hak perempuan menolak rujuk menurut fukaha, peraturan
perundang-undangan baik di Indonesia maupun di negara Brunei Darussalam.
78 Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga Islam) 1999.
115
BAB V
HAK PEREMPUAN MENOLAK RUJUK
A. Perbandingan Pendapat Fukaha, Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, dan Negara Brunei Darussalam tentang Hak Menolak
Rujuk
1. Perbandingan Vertikal
Salah satu hikmah masa idah adalah masa bagi suami dan istri
untuk memikirkan, apakah mereka akan melanjutkan perkawinannya
atau mengakhirinya dengan menghabiskan masa idah berlalu tanpa
rujuk. Apabila masa menunggu itu, suami berfikir untuk tetap
melanjutkan perkawinannya, maka yang dilakukannya adalah merujuk
istrinya dengan ketentuan yang ditetapkan oleh hukum syarak.1
Dalam hukum keluarga di Indonesia bahwa rujuk adalah hak
mutlak suami. Disebutkan pula bahwa perempuan memiliki hak untuk
menolak rujuk suami. Pernyataan ini sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam pasal 164 yaitu: “Seorang wanita dalam idah talak raj‟î berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi”.
Kemudian, dikuatkan dengan pasal 165 yang menyatakan bahwa:
“Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan
tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama”. Apabila suami
bersikeras ingin melakukan rujuk dan tidak menerima atas penolakan
rujuk dari istrinya, maka istri dapat melakukan pembatalan rujuk ke
Pengadilan Agama. Dengan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan
Agama untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara yang berbentuk sengketa yang
diajukan kepadanya, maka perkara penolakan rujuk itu akan
diselesaikan dengan diterima atau ditolak secara adil.
1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, h. 264.
116
Begitu juga dalam Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei
Darussalam bahwa rujuk adalah hak mutlak suami. Dalam pasal 52
ayat 7 disebutkan bahwa: “Jika selepas talak raj‟ie suami melafazkan
ruju‟ dan istri telah bersetuju terhadap ruju‟ itu, istri boleh, atas
permohonan suami, diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik
semula sebagai suami istri, melainkan jika istri itu menunjukkan
sebab-sebab yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum Syarak
dan, jika demikian halnya, Mahkamah boleh merujukkan perkara itu
kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.” Kemudian, ditegaskan
pula pada ayat 8 bahwa: “Jika selepas talak raj‟ie suami melafazkan
ruju‟ tetapi istri tidak bersetuju terhadap ruju‟ itu kerana sebab-sebab
yang dibenarkan oleh Hukum Syarak dia tidaklah boleh diperintahkan
oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai suami istri, tetapi
Mahkamah boleh merujukkan perkara itu kepada Pegawai Khidmat
Nasihat Keluarga.” Apabila suami ingin melakukan rujuk kepada
istrinya, kemudian istri menolak rujuk tersebut. Maka, istri dapat
mengajukan pembatalan rujuk tersebut kepada Mahkamah untuk
diselesaikan secara adil.
Pasal-pasal tentang rujuk dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia dan Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei
Darussalam, menjelaskan dan memberikan hak kepada istri dalam
menerima atau menolak kehendak rujuk suaminya. Aturan hukum
keluarga Indonesia dan Brunei Darussalam yang memberikan hak
menolak rujuk kepada perempuan, jika dibandingkan dengan pendapat
fukaha. Maka, ditemukan persamaan dan perbedaan yang begitu
diametral. Apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam, bertolak belakang dengan
apa yang dirumuskan dalam fikih-fikih klasik. Jelas, dalam fikih klasik
fukaha sepakat bahwa rujuk itu adalah hak mutlak suami. Rujuk yang
dilakukan oleh suami tidak mentergantungkan kepada persetujuan istri,
117
apalagi persetujuan wali. Apabila suami ingin rujuk, maka suami bisa
saja melakukannya.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam masa idah
talak raj‟î sang istri masih berada dalam masa kekuatan sang suami.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat fukaha, di antaranya menurut
Hanafiyah, talak raj‟î yang diucapkan oleh suami, baru benar-benar
memutuskan hubungan pernikahan setelah istri selesai menjalani masa
idah. Selama masa idah talak raj‟î, suami masih memiliki istri secara
penuh. Jadi, dengan rujuknya suami pada saat istri masih menjalani
masa idah, berarti suami meneruskan pernikahan yang belum terputus.
Sedangkan menurut Syafiîyah dengan terjadinya talak, hubungan
pernikahan yang ada sebelumnya menjadi hilang, sekalipun istri masih
menjalani masa idah. Rujuk yang dilakukan oleh suami berfungsi
untuk mengembalikan status pernikahan yang telah hilang karena
talak. Pendapat yang sama dengan Syafiîyah, juga disebutkan oleh
Malikiyah dan Hanabilah. Menurut Malikiyah, rujuk adalah
mengembalikan istri yang telah ditalak raj‟î agar terpelihara dari dosa
tanpa akad nikah yang baru.2
Dari beberapa pendapat fukaha tersebut dapat disimpulkan
bahwa rujuk diartikan sebagai mengembalikan status hukum
perkawinan secara penuh, setelah terjadinya talak raj‟î yang dilakukan
oleh mantan suami terhadap mantan istri dalam masa idah dengan
ucapan tertentu.
Maka dari itu, peraturan rujuk menurut fukaha dengan
peraturan perundang-undangan perkawinan baik di Indonesia maupun
negara Brunei Darussalam, terdapat persamaan dan sekaligus
perbedaan, secara umum ketiganya menempatkan hak rujuk itu ada
pada suami. Sementara istri disepakati fukaha dan perundang-
undangan perkawinan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam
2 Abd al-Rahman al-Jazîri, al-Fiqh „ala Madzâhib al-Arbâ‟ah, h. 428-429.
118
sebagai pihak yang diajak untuk rujuk. Sementara perbedaan yang
prinsip antara fukaha, undang-undang perkawinan di Indonesia dan
negara Brunei Darussalam adalah hak istri dalam menyetujui atau
menolak ajakan rujuk suami.
Perbedaan pendapat antara fukaha dengan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam pada
zaman modern ini, dapat dilihat dari beberapa alasan fukaha di
antaranya:
a. Nash Alquran dan Hadis
Pendapat fukaha yang menyatakan bahwa rujuk adalah hak
mutlak suami, didasarkan atas firman Allah SWT dalam QS. Al-
Baqarah ayat 228:
لك إن أرادوا هه في ذ اإصالح وبعىلتهه أحق برد
Artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
Kemudian dalam QS. Al-Baqarah ayat 231:
م ٱلنساء فبلغه أجلهه فأمسكىهه بمعروف وإذا طلقت
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati
akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang
ma‟ruf.”
Pengertian احق dipahami (lebih berhak) dalam QS. Al-Baqarah
ayat 228 oleh para ulama sebagai kewenangan mutlak bagi suami
untuk merujuk istrinya, selama dalam masa idah talak raj‟î. Begitu
juga perintah فامسكوهن dalam QS. Al-Baqarah ayat 231 menyiratkan
bahwa Allah SWT memerintahkan rujuk oleh suami, karena rujuk itu
119
hak suami, bukan hak istri sehingga tidak diperlukannya kerelaan atau
persetujuan istri.3
Sekiranya, perlu dilakukan penafsiran ulang terhadap landasan
normatif yang menjadi rujukan fukaha dalam QS. Al-Baqarah ayat
228, yaitu lafal احق dalam ayat tersebut merupakan shîghah tafdhîl
yang menunjukkan sesuatu yang lebih atau dapat dipahami dengan
“suami lebih berhak”. Artinya, dalam rujuk ini ada orang lain yang
berhak, dengan kata lain tidak menafikkan bahwa ada hak istri dalam
pelaksanaan rujuk. Kalimat “ هه احق برد “ menurut penulis kurang tepat
dengan kalimat syarat sesudahnya إصالحا دوااإن ار dan kalimat بمعروف
yang mempunyai arti bahwa kehendak rujuk suami dilandasi dengan
tujuan ishlâh dan kebaikan-kebaikan baik bagi suami maupun istri.
Kemudian dikuatkan lagi oleh kata-kata لتعتدواضراراهه والتمسكى pada
ayat 231 mengisyaratkan bahwa rujuk yang dilakukan tidak boleh
menimbulkan mudharat bagi pihak istri.4
Menurut „Ali al-Sayyîs, menyatakan bahwa rujuk dapat
dilakukan semata-mata dengan tujuan berbuat baik (ishlâh) dan tidak
mendatangkan atau menimbulkan mudarat bagi istri yang dirujuk.
Menurutnya, dalam kasus rujuk ini yang mengetahui timbulnya
mudharat adalah seorang istri, bukan suami, yang didasarkan atas
pertimbangan yang matang. Maka istrilah yang menjadi acuan dalam
merasakan mudharat atau tidaknya jika rujuk dilakukan. Dari
pandangan „Ali al-Sayyîs ini, telah memberikan penghargaan kepada
istri untuk mempertimbangkan bahwa rujuk itu menimbulkan
mudharat atau tidak bagi dirinya. Pertimbangan-pertimbangan inilah
yang menjadikan hak istri untuk menerima atau tidak ajakan rujuk
suami.
Persetujuan istri dalam rujuk adalah interpretasi Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-undang Keluarga Islam terhadap QS. Al-
3 Muhammad Ali al-Shabûni, Rawai al-Bayan ti Tafsîr Ayat al-Ahkam, h. 332.
4
Mesraini, Hak-Hak Perempuan Cerai: Studi Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia dan Malaysia, h. 198.
120
Baqarah ayat 228 yaitu دهه وبعىلتحه احق بر (para suami lebih berhak
untuk merujuk istri-istri mereka) tidak hanya didasarkan pada makna
tersurat dari nash (dalâlah al-„ibârah), tetapi juga makna yang tersirat
(dalâlah al-ishârah), yaitu apabila suami lebih berhak (ahaqq) dalam
masalah rujuk, berarti istri juga memiliki hak walaupun sedikit dan
bersifat pasif.
Menurut fukaha, dalam masa idah talak raj‟î yang dijalani istri,
suami dikurangi haknya sebagai suami antara lain haram mencampuri
istrinya. Adapun kewajibannya tetap kepada istri dan anak-anaknya
dalam jaminan nafkah dan tempat tinggal, selama masa idah mantan
suami mendapat prioritas untuk merujuk mantan istrinya.5
Oleh
karenanya, suami berhak secara mutlak untuk menentukan rujuk atau
tidak, dengan tanpa mempertimbangkan persetujuan istri.
Selain kedua ayat tersebut fukaha juga mendasarkan pendapat
mereka dalam sebuah hadis, Rasulullah menceritakan bahwa ia telah
menceraikan Hafsah binti Umar Ibn al-Khattab, ketika itu Rasulullah
didatangi malaikat Jibril seraya berkata, “Kembalilah pada Hafsah,
karena dia itu istri engkau di surga”. Dari hadis Ibn „Umar inilah para
ulama memahami bahwa dalam pelaksanaan rujuk, suami tidak
memerlukan persetujuan istri dan walinya, sebagaimana rujuk
dilakukan tanpa merinci apakah isteri yang ditalak itu setuju atau
tidak.6
b. Perubahan kondisi sosial masyarakat
Memberikan rujuk sebagai hak mutlak suami, apabila dipahami
dalam konteks praktik masyarakat pada masa fukaha klasik, dapat
dikatakan logis dan sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat itu.
5 Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, h. 283.
6Asbabun Nuzul dari QS. Al-Thalâq ayat 1 dari Anas RA: menceritakan bahwa suatu saat
Rasulullah SAW menceraikan salah satu istrinya, Hafshâh RA. Ia pun pulang kepada keluarganya,
maka itu, turunlah ayat ini yang memerintahkan Rasul SAW untuk memberi nafkah kepada
Hafshâh RA, sampai habis masa idahnya. Lalu, Jibril berkata kepada Rasul SAW, agar beliau
rujuk kembali, karena Hafshah RA, termasuk wanita ahli puasa dan shalat malam. Lihat
Muhammad „Ali al-Sayyîs, Tafsîr Ayat al-Ahkam, h. 139
121
Secara tidak langsung, terdapat gender atau perlindungan bagi
perempuan yang memang tidak tertuliskan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan beberapa penjelasan berikut:
Pertama, fukaha berpendapat bahwa talak yang dilakukan
suami merupakan hak preogratif suami, kapanpun suami dapat
mengatakan kata talak terhadap istrinya. Artinya, bahwa talak
merupakan hak suami dan atas dasar keinginan suami. Dengan kata
lain, ucapan talak suami yang diucapkan secara jelas (sharîh) kepada
istrinya, dapat terjadi talak walaupun karena bergurau dan tidak
disertai niat. Ini merupakan bentuk talak yang sah sehingga dapat
memisahkan hubungan perkawinan
Kedua, fukaha berpendapat bahwa rujuk adalah hak mutlak
suami karena memang sesuai dengan kondisi pada waktu itu, dan
memang pendapat itulah yang terbaik untuk diterapkan di tengah
masyarakat pada saat itu. Sebab, setiap istri yang ditalak oleh
suaminya, selama menunggu masa idah berakhir. Istri masih diberikan
tempat tinggal di rumah suaminya dan ditanggung segala kebutuhan
dan keperluan selama masa menunggu itu berakhir. Bahkan, istri
dianjurkan untuk berdandan agar menarik hati mantan suaminya.
Maka, kecil kemungkinan bagi istri untuk menolak permintaan rujuk
yang dilakukan oleh suami.7
Namun, terdapat perubahan sosial yang terjadi pada saat ini,
perempuan mengalami perubahan pola fikir dan perubahan sosial.
Jangankan perkawinannya yang sudah diputus oleh Pengadilan, ketika
masih pisah ranjang atau masih dalam proses perceraian saja pasangan
suami istri sudah tidak lagi hidup dalam satu rumah. Maka dari itu
logis, apabila hukum juga berubah sehingga saat ini perempuan diberi
hak untuk menolak rujuk. Dapat dikatakan, hukum menundukkan diri
mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan yang serba modern ini.
7 Mesraini, Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Malaysia, h. 271.
122
Demi tercapainya suatu kemaslahatan dan keadilan bagi suami istri
dalam permasalahan rujuk.
Senada dengan pendapat Satjipto Rahardjo, yang menyatakan
bahwa “Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme),
namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan
manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui
upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran
dalam menggapai keadilan.”8
Konteks praktik masyarakat pada masa fukaha berbeda dengan
perkembangan kontemporer di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam saat ini. Menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam, hak talak bukanlah hak
suami secara mutlak. Talak tidak dapat terjadi dengan sepihak, karena
dalam pelaksanaannya harus ada izin pengadilan. Pernyataan ini sesuai
dengan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.” Kemudian, Pengadilan Agama
memberi izin untuk menjatuhkan talak apabila ada persetujuan istri.
Demikian halnya rujuk, yang berkepentingan adalah suami dan istri,
maka persetujuan istri mutlak diperlukan.
Dalam tata cara pelaksanaan rujuk dalam Islam dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: rujuk dengan fi‟lî (perbuatan) dan rujuk dengan
qaulî (perkataan). Ulama berbeda pendapat tentang rujuk yang
dilakukan. Menurut Malikiyah, niat rujuk dipentingkan sekali bagi
suami yang rujuk dengan cara langsung mempergauli istrinya yang
beridah itu tanpa niat merujukinya, maka rujuknya itu tidak sah,
8 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2010), cet. Ke-1, h. 1.
123
sekalipun dia tidak dikenakan had zina.9 Hanabilah berpendapat bahwa
dalam rujuk dengan perbuatan ini tidak diperlukan niat. Sedangkan
Imam Syafi‟î berpendapat bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan
atau tulisan. Karena itu, rujuk tidak sah bila dilakukan dengan
mencampuri istri sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk. Suami
haram mencampuri istri dalam masa idah. Kalau suami melakukan hal
itu, ia harus membayar mahar mitsîl, sebab percampuran tersebut
tergolong pada percampuran syubhat.10
Tampaknya, dalam tatacara pelaksanaan rujuk negara Indonesia
dan negara Brunei Darussalam memperkuat pendapat Imam Syafi‟î
bahwa rujuk itu harus dilakukan dengan lisan dan dua orang saksi.
Kemudian, dalam pelaksanaan rujuk di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam memperkuat pendapat Imam Syafi‟î namun terjadi
keberanjakkan sosial. Dalam hukum keluarga Indonesia, rujuk harus
dengan lisan, dua orang saksi, dan dicatatkan di Kantor Urusan
Agama. Begitupun dengan negara Brunei Darussalam, rujuk harus
dicatat dan disaksikan oleh dua orang saksi
c. Asbabun Nuzul Ayat
Pendapat fukaha yang menyatakan bahwa rujuk adalah hak
mutlak suami pada dasarnya bersumber dari hak menjatuhkan talak.
Menjatuhkan talak adalah hak suami yang tidak dimiliki oleh orang
lain termasuk istri. Begitu pun dengan rujuk akan berlaku demikian.
Apabila dilihat dari sebab turunnya ayat tentang rujuk pada QS. Al-
Baqarah ayat 228, maka sangat logis praktik masyarakat pada zaman
fukaha yang berpendapat bahwa talak adalah hak mutlak suami,
sehingga istri tidak boleh menolak talak tersebut. Demikian dengan
rujuk adalah hak mutlak suami, maka istri tidak berhak menolak atau
pun dimintai persetujuannya dalam rujuk yang dilakukan suami.
9 Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Malaysia, h. 193. Lihat Muhammad Jawad Mughnîyyah, al-Ahwal al-
Syakhsîyyah, (Beirut: Dâr al-Ilm, 1964), h. 160.
10
Abd al-Rahman al-Jazîri, Kitab al-Fiqh ‟ala „al-Madzâhib al-Arbâ‟ah, h.434.
124
Diceritakan bahwa Asmâ‟ binti Yazîd bin Sakan al-
Anshâriyyah RA. Berkata: “Aku ditalak pada zaman Rasulullah SAW.
Ketika itu, perempuan yang ditalak belum ada ketentuan idah (masa
menunggu). Maka dari itu, Allah menurunkan ayat ini sebagai
ketentuan idah bagi perempuan yang ditalak.”11
Ketika ayat ini
diturunkan, fukaha berpandangan bahwa rujuk adalah hak mutlak
suami sekalipun ia telah mentalak istrinya lebih dari seratus kali.
Kemudian turun ayat sesudahnya yang membatasi talak hanya tiga
kali, sehingga wanita-wanita pada saat itu mendatangi Rasulullah
untuk meminta batas ketentuan talak yang dilakukan oleh suami-suami
mereka. Maka, muncul di kalangan masyarakat pada waktu itu tentang
batasan talak, bahwa wanita yang di talak itu mempunyai batasan talak
yaitu talak ba‟in atau bukan talak ba‟in (talak raj‟î). Dapat ditarik
kesimpulan, setelah turun ayat ini para suami tidak bisa lagi mentalak
dan merujuk istri lebih dari tiga kali dengan ketentuan masa idah
sebagai hak bagi istri.
Akhirnya, dengan diturunkannya ayat ini pun memberikan
kesempatan bagi istri dalam menggunakan haknya. Istri berhak pula
atas rujuk yang diajukan oleh suaminya, sehingga persetujuan istri
sangat diperlukan untuk mendapatkan suatu kebaikan dan
kemaslahatan diantara para pihak.
Kemudian, asbabun nuzul QS. al-Baqarah ayat 231, diceritakan
dari Ibnu Abbâs RA, berkata: “Ada seorang laki-laki yang menalak
istrinya, kemudian ia rujuk sebelum masa idahnya habis. Setelah itu, ia
menalak lagi. Sang suami melakukan hal itu untuk mempersulit
istrinya dan menghalanginya menikah dengan laki-laki lain. Lalu,
turunlah ayat ini.”12
Fukaha memahami فامسكوهن dalam ayat ini yaitu
perintah yang ditujukan kepada suami, bahwa rujuk adalah hak suami
11 Musthafâ al-Maraghi, Terjemah Tafsîr al-Maraghi, (Bandung: CV. Rosda, t.th), h. 285.
12 Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an, (Jakarta: Maghfîrah, 2006), cet. Ke-1, h. 37. Lihat Tafsîr
Ibnu Katsîr, Juz 1, h. 380.
125
dan persetujuan istri tidak diperlukan. Kemudian, apabila dilihat
kalimat ayat sesudahnya yaitu kata بمعروف mengisyaratkan bahwa
rujuk harus dilakukan dengan perbuatan baik atau perbuatan yang
menimbulkan kebaikan bukan kemudharatan, maka keputusan rujuk
dapat dirasakan adil bagi suami dan istri.
Oleh karena itu, sesungguhnya perbuatan rujuk itu lahir dari hati
suami yang tulus serta psikologis suami dan istri dalam menanggapi
hal rujuk tersebut. Ketika istri menolak rujuk suami, maka dilihat
terlebih dahulu alasan istri mengapa menolak rujuk suaminya. Dari sini
dapat disimpulkan, bahwa faktor psikologis menentukan sikap
seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Maka tidak menutup
kemungkinan, bahwa dari sinilah perumus peraturan perundang-
undangan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam mensyaratkan
rujuk harus dengan persetujuan istri.
Kemudian dapat dipahami, perbedaan pendapat antara fukaha
dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam pada zaman modern ini, terjadi karena dipengaruhi
beberapa faktor, di antaranya: faktor sosial, budaya, dan politik yang
cenderung sangat berbeda. Apalagi letak geografis tempat fukaha
tinggal, di wilayah Timur Tengah, serta Indonesia dan negara Brunei
Darussalam di Asia Tenggara. Perbedaan-perbedaan inilah yang
menjadikan ketentuan hukum pun menjadi berbeda. Apabila pendapat
fukaha diimplementasikan ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dan negara Brunei Darussalam dimasa modern ini, tentu tidak menutup
kemungkinan timbulnya polemik tersendiri yang harus diselesaikan.
Penulis tidak memungkiri bahwa ijtihad para ulama terdahulu
relevan dengan keadaan pada saat itu, dan bahkan pada zaman saat ini
pun ijtihad para ulama terdahulu, apalagi Alquran dan hadis dapat
menjawab masalah yang tidak tertuliskan melalui ijtihad para ulama
kontemporer. Kemudian proses hukum yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama, bahwa kesemuanya itu yang melengkapi dan
126
menjawab masalah-masalah yang tidak tertuliskan, guna mewujudkan
tujuan hukum dan keadilan.
Maka dari itu, perkembangan pemikiran fikih juga dapat
dilihat pada pasal-pasal dan aturan-aturan Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang Keluarga Islam yang berkenaan dengan tata cara
rujuk. Dalam tata cara rujuk begitu jelas, terdapat cukup banyak aturan
administratif yang harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang akan
melakukan rujuk. Kompilasi Hukum Islam melibatkan dan
memberikan amanah serta tugas kepada Pegawai Pencatat Nikah,
untuk menasehati kedua pasangan suami istri agar konflik tidak
terulang lagi dalam berumah tangga. Dengan demikian, rujuk dalam
kitab-kitab fikih yang pada awalnya dianggap peristiwa personal yang
hanya melibatkan suami dan istri, kini telah digeser menjadi wilayah
yang sedikit terbuka. Sehingga persyaratan administratif dianggap
penting dan menjadi salah satu bukti otentik dalam peristiwa rujuk.13
2. Perbandingan Horizontal
Perkembangan zaman semakin hari semakin pesat. Demikian
halnya dengan hukum Islam, terkadang apa yang tersurat dalam nash
Alquran maupun hadis tidak sesuai dengan kultur masyarakat zaman
sekarang. Oleh sebab itu perlu adanya reformasi hukum agar sejalan
dengan tuntutan zaman, namun tetap berpegang pada Alquran dan
hadis sebagai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan hukum
kontemporer, seperti halnya dalam masalah hak penolakan rujuk bagi
mantan istri. Peraturan tentang rujuk adalah merupakan satu hal
tersendiri yang sekaligus juga merupakan tambahan ketentuan bagi
hukum acara Pengadilan Agama mengenai masalah tersebut.14
Apabila dilihat dari perspektif perundang-undangan hukum
keluarga baik di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam maupun
13 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, h. 264.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia , h. 77.
127
negara Brunei Darussalam yaitu Undang-undang Darurat 1999,
mengatur tentang hak suami dan istri dalam masalah rujuk secara
seimbang. Dalam Kompilasi Hukum Islam rujuk merupakan kawin
kembali dengan seorang wanita. Dalam pelaksanaanya, perkawinan
harus di dasarkan atas persetujuan kedua belah pihak yang akan
menjadi pasangan suami istri atau harus melibatkan persetujuan dari
istri. Begitu pun dengan rujuk, ketika suami ingin kembali dengan
mantan istri, maka persetujuan istri sangat diperlukan sebagaimana
pasal 165 Kompilasi Hukum Islam yaitu “Rujuk yang dilakukan tanpa
persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan
Pengadilan Agama.” Ketika istri tidak bersedia dirujuk oleh suaminya
maka istri berhak melakukan penolakan rujuk. Pernyataan ini sesuai
dengan pasal 164 Kompilasi Hukum Islam, yaitu “Seorang wanita
dalam idah talak raj‟î berhak mengajukan keberatan atas kehendak
rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
disaksikan dua orang saksi.” 15
Demikian juga Perintah Darurat (Undang-undang Keluarga
Islam) tahun 1999 negara Brunei Darussalam mengatur bahwa istri
dapat melakukan penolakan rujuk yang dilakukan oleh suaminya,
apabila memiliki alasan-alasan yang dibenarkan hukum syarak.
Pernyataan ini sesuai dengan pasal 52 ayat 8, yaitu “Jika selepas talak
raj‟ie suami melafazkan ruju‟ tetapi istri tidak bersetuju terhadap
ruju‟ itu kerana sebab-sebab yang dibenarkan oleh Hukum Syarak dia
tidaklah boleh diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula
sebagai suami istri, tetapi Mahkamah boleh merujukkan perkara itu
kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.”16
Pandangan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang
Keluarga Islam 1999 berupaya mensejajarkan hak antara suami dan
istri secara seimbang dalam rujuk ini, peraturan perundang-undnagan
15 KHI pasal 164, 165, dan 167 ayat (2).
16
Perintah Darurat (Undang-undang keluarga Islam) 1999, pasal 52 ayat 8.
128
ini merupakan pandangan kontemporer yang berbeda dengan fikih
mazhab klasik atau fukaha. Dengan demikian, dalam rujuk terjadi
perkembangan konseptual yang signifikan dari fikih ke Undang-
undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-
undang Keluarga Islam 1999 negara Brunei Darussalam.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 3 menjelaskan, bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
sakinah, mawaddah, warahmah dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa.17
Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa rujuk
merupakan kawin kembali dengan seorang wanita. Dalam
pelaksanaannya, perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan
kedua belah pihak yang akan menjadi pasangan suami istri.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Tahun
1974 dan pasal 16 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yaitu “Perkawian
itu harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan
menjadi pasangan suami istri.” Hal ini mengandung pengertian, bahwa
dalam melakukan rujuk sama halnya dengan melakukan akad
pernikahan yang membutuhkan kesediaan atau persetujuan calon istri.
Apabila tidak adanya persetujuan istri yang dirujuk, mustahil
tujuan pernikahan dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 3
Kompilasi Hukum Islam dapat tercapai. Dengan demikian, dalam
upaya pemeliharaan keutuhan rumah tangga (perkawinan) sesuai
hukum Islam, maka salah satunya dengan rujuk akan terwujud apabila
adanya kerelaan istri. Dan bila dikaitkan dengan hak dan kedudukan
suami istri yang seimbang dalam rumah tangga dan sama-sama berhak
melakukan perbuatan hukum, maka jelas rujuk yang dilakukan harus
didasari suka sama suka, sehingga tidak terjadi penindasan hak dan
17 Undang-Undang Pokok Perkawinan: Beserta Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI,
Anggota POLRI, Pegawai Kejaksaan, dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
1.
129
kedudukan pasangan suami istri. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 1
Tahun 1974 pasal 31 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 79 ayat (2)
yang menyatakan bahwa: “Hak dan Kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”, dan ayat (3) menyatakan
bahwa: “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum”.
Hemat penulis, para perumus peraturan perundang-undangan
di kedua negara yaitu Indonesia dan negara Brunei Darussalam tidak
bermaksud mengurangi hak-hak suami dalam masalah rujuk, tetapi
berusaha mengatur agar kepentingan masing-masing pihak dapat
terlindungi. Ketentuan rujuk dalam Kompilasi Hukum Islam
merupakan satu bentuk perlindungan terhadap perempuan, dan aturan
yang sangat memperhatikan hak yang seimbang antara suami istri,
yang mana suami mempunyai hak rujuk dan istri mempunyai hak
untuk menolak atau menerima rujuk yang dilakukan suami. Begitu
pula dalam Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei
Darussalam, yang melangkah jauh dari pendapat imam Syafiî yang
menyatakan bahwa dalam rujuk tidak diperlukan persetujuan seorang
istri namun sebaliknya undang-undang ini sangat memperhatikan
perempuan dalam hak rujuk .
3. Perbandingan Diagonal
Terdapat persamaan dan perbedaan dalam Kompilasi Hukum
Islam serta Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei Darussalam,
tentang kewenangan istri menolak rujuk yang diajukan oleh mantan
suaminya. Persamaan yang sangat menonjol dari kedua peraturan
perundang-undangan ini yaitu diaturnya hak suami dan istri dalam
masalah rujuk secara seimbang. Kedua peraturan ini juga sama-sama
memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberikan perlindungan
hukum kepada istri, dengan memberikan hak menolak dan persetujuan
130
rujuk kepada istri, yang mana sebelumnya tidak ada hak persetujuan
bagi istri dalam pandangan fukaha.
Kedua peraturan perundang-undangan ini memberikan hak
kepada istri dalam menerima atau menolak rujuk yang dilakukan oleh
mantan suaminya, terdapat dalam pasal 164 Kompilasi Hukum Islam
yang menyatakan bahwa seorang wanita dalam talak raj‟î berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Lalu di
tegaskan oleh pasal 165 bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan
mantan istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan
Agama. Begitupun dengan Undang-undang Keluarga Islam 1999
terdapat pada pasal 52 ayat 7 menjelaskan bahwa suami telah
mengucapkan rujuk dan istri pun menyetujui pelaksanaan rujuk
tersebut. Maka, Mahkamah dapat memerintahkan untuk hidup bersama
seperti semula sebagaimana suami istri yang sah.18
Akan tetapi jika istri menolak rujuk suami seperti yang dijelaskan
pasal 52 ayat 8 bahwa, jika suami ingin melakukan rujuk dan istri tidak
bersedia atas rujuknya itu dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh
hukum syarak, maka Mahkamah tidak boleh memaksa istri untuk
menerima rujuk tersebut kembali kepada mantan suaminya.
Selanjutnya, Mahkamah akan menunjuk untuk menyelesaikan perkara
tersebut dan melakukan mediasi kepada Pegawai Khidmat Nasihat
Keluarga, demi mencari keadilan dan keputusan yang diinginkan para
pihak. Jika Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga tidak berhasil dalam
melakukan mediasi ini, maka perkara tersebut akan dikembalikan
kepada Mahkamah untuk diselesaikan dan diputuskan atas perkara
18 Undang-undang Keluarga Islam 1999 Pasal 52 ayat 7, menjelaskan bahwa: “Jika selepas
talaq raj‟ie suami melafazkan ruju‟ dan istri telah bersetuju terhadap ruju‟ itu, istri boleh, atas
permohonan suami, diperintahkan oleh Mahkamah supaya berbaik semula sebagai suami istri,
melainkan jika istri itu menunjukkan sebab-sebab yang munasabah sebaliknya mengikut Hukum
Syara‟ dan, jika demikian halnya, Mahkamah boleh merujukkan perkara itu kepada Pegawai
Khidmat Nasihat Keluarga.”
131
ini.19
Maka dapat ditarik pemahaman, bahwa perundang-undangan di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam, keduanya memberikan hak
dan kewenangan bagi istri menolak rujuk.
Prosedur administrasi baik Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-undang Keluarga Islam 1999 mempunyai persamaan
mensyaratkan bahwa rujuk yang dilakukan oleh pasangan suami istri,
harus didaftarkan dengan membawa persyaratan yang sudah
ditentukan. Begitu pula dengan penolakan rujuk oleh istri, ketika
kedua pasangan bersikeras atas pendapatnya masing-masing maka
perkara ini dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.
Disisi lain terdapat perbedaan tentang rujuk berkaitan dengan
beberapa hal:
1. Tata cara pendaftaran rujuk
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, menentukan secara tegas
bahwa pernyataan penolakan rujuk oleh istri harus dilaksanakan
dihadapan Pejabat yang berwenang (PPN atau Pembantu PPN) dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Bahwa aturan ini berkaitan dengan
aturan Kompilasi Hukum Islam tentang tata cara rujuk, rujuk harus
dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang.
Berbeda dengan negara Brunei Darussalam, walaupun suami
istri yang melakukan rujuk harus melapor kepada Pendaftar, namun
rujuk tersebut tidak harus dilakukan di hadapan Pendaftar. Begitu
juga dengan penolakan rujuk oleh istri, tidak harus dilakukan di
hadapan Pendaftar. Hanya saja, ketika suami bersikeras ingin tetap
melakukan rujuk terhadap istri, kemudian istri enggan menerimanya,
maka suami dapat mengajukan perkara tersebut kepada Mahkamah
yang berwenang. Apabila Mahkamah menerima permohonan rujuk
tersebut dan alasan-alasan penolakan rujuk tidak bertentangan dengan
19 Undang-undang Keluarga Islam 1999 Pasal 52 ayat 8, menyatakan bahwa: “Jika selepas
talaq raj‟ie suami melafazkan ruju‟ tetapi istri tidak bersetuju terhadap ruju‟ itu kerana sebab-
sebab yang dibenarkan oleh Hukum Syara‟ dan tidaklah boleh diperintahkan oleh Mahkamah
supaya berbaik semula sebagai suami istri, tetapi Mahkamah boleh merujukkan perkara itu
kepada Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga.”
132
hukum syarak, maka Mahkamah tidak boleh memaksa istri untuk
menerima rujuk suaminya. Akan tetapi, Mahkamah bisa
merekomendasikan perkara rujuk ini kepada Pegawai Khidmat
Nasihat Keluarga. Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga inilah yang
akan menjadi perantara untuk menasehati dan mendamaikan suami
istri.
Akhirnya, Mahkamah baru dapat mengabulkan penolakan
rujuk oleh istri, setelah Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga
mengambil kesimpulan dari perkara tersebut. Sebaliknya, apabila
Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga merasa bahwa suami istri masih
mungkin untuk bersatu kembali. Maka Pegawai Khidmat Nasihat
Keluarga merekomendasikan agar Mahkamah dapat memaksa istri
untuk menerima rujuk suaminya.
2. Sanksi
Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei Darussalam,
terdapat sanksi bagi pasangan suami istri yang tidak melaporkan
rujuknya, pada masa empat belas hari setelah rujuk itu berlangsung.
Pasangan suami istri dikenai hukuman berupa denda tidak melebihi
satu ribu ringgit, atau penjara tidak melebihi dari tiga bulan atau pun
mendapat kedua hukuman tersebut. Sanksi dan hukuman ini
tercantum pada pasal 52 ayat 4 yang rnenyatakan bahwa “Mana saja
pihak yang melakukan rujuk lalu tidak didaftarkan atau dilaporkan
dalam masa empat belas hari, maka itu merupakan kesalahan dan
dikenai hukuman berupa denda tidak melebihi satu ribu ringit atau
penjara tidak melebihi tiga bulan atau kedua-duanya.”20
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, tidak
ada pasal atau ayat yang menjelaskan tentang sanksi ataupun denda
terhadap kewajiban mendaftarkan rujuk yang hendak dilakukan.
20 Undang-udang Keluarga Islam, 1999 Pasal 52 ayat 4, menjelaskan bahwa: “Mana-mana
pihak kepada suatu perkahwinan yang tidak mendaftarkan hak ruju‟ semula sebagaimana yang
dikehendaki oleh ceraian (1) adalah melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan
hendaklah dihukum denda tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak melebihi tiga bulan
atau kedua-duanya sekali.”
133
Apabila pasangan suami istri tidak mendaftarkan dan melaporkan
rujuknya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka Akta Nikah
suami istri tersebut masih tertahan di Kantor Urusan Agama.
Sehingga, dalam data negara pun perkawinan suami istri tersebut
masih berstatus cerai, dapat dikatakan rujuk yang dilakukan adalah
rujuk yang tidak tercatat. Maka dari itu, walaupun tata cara rujuk di
Indonesia bersifat anjuran, namun pencatatan rujuk diwajibkan
sebagai bukti otentik untuk kepentingan masa yang akan datang.
Demikian, peraturan perundang-undangan hukum keluarga
baik di Indonesia maupun negara Brunei Darussalam telah
mempertegas ketentuan pelaksanaan rujuk. Dalam Islam rujuk
mengandung hikmah yang sangat besar, bahwa pada dasarnya
perceraian itu adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Islam karena
dampak yang ditimbulkan dari perbuatan itu baik kepada suami, istri,
maupun terhadap anak-anaknya bagi yang telah memiliki anak.
Sebaliknya, perdamaian (Ishlâh) atau rujuk merupakan perbuatan
yang sangat disukai oleh Islam, bahwa merupakan kesempatan yang
cukup baik untuk melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang
terjadi antara suami dan istri.21
Dengan kata lain, rujuk merupakan
kesempatan bagi suami dan istri untuk memperbaiki hubungan yang
sebelumnya rusak menjadi harmonis kembali.
B. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Maqâsid al-Syarî’ah
dan Maslahah
Secara umum sangat jelas tujuan hukum Islam adalah untuk
mengatur hubungan manusia dan al-Khaliq, manusia dengan makhluk
lainnya, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Menurut Ibn
al-Qayyîm, tujuan hukum Islam sebagai syariat yang bersendi dan
berasas atas hikmat dan kemaslahatan manusia dalam hidup di dunia
21Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indoneisa: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Thaun 1974, sampai KHI, h. 274.
134
dan akhirat. Syariat Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang),
kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Hukum Islam itu adil
dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih
sayang Allah di antara makhluk-makhluk-Nya.22
Apabila dilihat dari QS. Al-Baqarah ayat 228 ( إصالحا ادواإن ار )
kalimat ini mengisyaratkan bukan untuk penganiayaan dalam rujuk.
Dapat dipahami kalimat ayat 228 dalam Qs. Al-Baqarah, bahwa
dengan tidak teraniayanya istri apabila dirujuki oleh mantan suaminya
itu mengisyaratkan pula bahwa rujuk yang dilakukan memerlukan
persetujuan istri. Dengan demikian, rujuk yang dilakukan adalah hak
mutlak suami sehingga istri tidak berhak menolaknya, tetapi apabila
rujuk yang dilakukan mendatangkan atau menimbulkan mudharat
bagi istri, maka istri berhak menolak ajakan rujuk tersebut.
Melihat tujuan dari ayat ini sama dengan ketentuan yang dimuat
dalam perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam, bahwa istri mempunyai wewenang dan berhak menolak
rujuk suami. Penolakan rujuk ini didasarkan pada pasal 164 dan pasal
165 Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Keluarga Islam
1999, pasal 52 ayat 7 dan ayat 8 yang menyatakan bahwa penolakan
rujuk ini akan diselesaikan oleh Pengadilan Agama (Mahkamah
Syariah) apabila penolakan rujuk yang dilakukan oleh mantan istri
memuat alasan-alasan yang diterima oleh hukum syarak maka
tuntutan penolakan rujuk itu dapat diterima atau dikabulkan oleh
Hakim sehingga rujuk tersebut tidak sah (batal). Akan tetapi, bila
penolakan rujuk tersebut tidak memuat alasan-alasan yang diterima
oleh hukum syarak, maka tuntutan penolakan rujuk itu ditolak oleh
22 Ibn al-Qayyîm, I‟lm al-Muwaqqi‟în, h. 14-15. Lihat dalam Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, h.110-111. Lihat juga Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan
Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 68.
135
Hakim (dibatalkan) sehingga rujuk yang dilakukan oleh suami yang
ditolak dinyatakan tetap sah.23
Maka dalam menetapkan pemeriksaan perkara penolakan rujuk
harus dilakukan oleh Hakim. Sebab, dengan adanya pemeriksaan
perkara oleh Hakim Pengadilan Agama di Indonesia dan Mahkamah
Syariah negara Brunei Darussalam, maka akan terjamin segala hak-
hak yang diperoleh bagi suami istri. Oleh karena Alquran dan Sunah
tidak mengatur persoalan ini, maka pertimbangan kemaslahatan
dipentingkan oleh manusia seperti Maslahah Mursalah. Dengan
demikian tidak berarti tata cara rujuk itu tidak ada dalam Alquran,
hanya saja manusialah yang mendetailkan dan memperincikan secara
tekstual, misalnya dengan melalui ijtihad-ijtihad para Hakim.
Wahbâh al-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr, menjelaskan bahwa
kata اصال حا دوااار ان menunjukkan bahwa rujuk itu disyariatkan
dengan syarat adanya maksud untuk memperbaiki bukan
mendatangkan mudharat. Apabila suami mendatangkan kemudharatan
dan memperpanjang masa idah istrinya sehingga ia terkatung-katung,
yang demikian itu diharamkan dan suami telah berbuat zalim.
Oleh sebab itu pokok melaksanakan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia
akan terus berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman.
Dalam kondisi semacam ini, akan banyak muncul masalah baru yang
hukumnya belum ditegaskan dalam Alquran dan Sunnah.24
Apabila
dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahat, maka hak perempuan
menolak rujuk termasuk ke dalam Maslahah al-Mutagayyîrah, yakni
23 Hal ini didasarkan pada pasal 164 dan pasal 165 yang menegaskan bahwa seorang
wanita dalam masa idah talak raj‟î berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas
suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi; Rujuk yang dilakukan
tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan. Dari kata
“dapat” yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam sama dengan tafsiran kata “dapat” pada
pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pembatalan perkawinan.
24
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indoneisa, h. 276.
136
kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat,
waktu, dan subjek hukum.25
Hal ini senada dengan Abdul Wahhâb Khallaf mengemukakan
bahwa mempergunakan teori Maslahah dalam menyelesaikan segala
masalah hukum hendaklah memenuhi persyaratan kemaslahatan,
yaitu: 1). Maslahah itu hakiki, bukan dugaan; 2). Maslahah itu untuk
kepentingan umum bukan untuk kepentingan perorangan; 3). Tidak
bertentangan dengan Maqâsid al-Syarî‟ah; 4) Harus dapat menjaga
hal-hal yang darûri dan menghindarkan kesusahan; 5). Dapat diterima
oleh akal sehat.26
Maka dari itu, tidak satupun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan hukum yang menurut al-Syatîbi sama dengan taklif
mâ lâ yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan)
dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah.27
Pandangan ini diperkuat Muhammad Abû Zahrah yang mengatakan
bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan
tidak satupun hukum yang disyariatkan, baik dalam Al-quran dan
Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.28
Kemaslahatan menurut al-Syatîbi dapat dilihat dari dua sudut
pandang yaitu: Pertama, Maqâsid al-Syarî‟ah (Tujuan Tuhan); Kedua,
Maqâsid Mukallaf (Tujuan Mukallaf).29
Maka, rujuk dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam dapat
dikategorikan mengandung aspek tujuan dari maksud hukum syarîah,
diantaranya:
25 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahah Mursalah dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, h. 53.
26
Abdul Wahhâb Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 85.
27
Al-Syatîbi, al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarîah, h. 150.
28
Dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 106. Lihat juga Husein
Hamid Hasan, Nazâriyah al-maslahah fî al-Fiqh al-Islamî, h. 5. 29
Maqâshid al-Mukallaf tidak akan dibahas lebih lanjut karena lebih menggambarkan
sikap mukallaf terhadap Maqashid al-Syari‟. Lihat juga Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 70. h
137
Pertama, Tujuan awal dari syariat adalah kemaslahatan di
dunia dan akhirat, Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-undang
Keluarga Islam dibentuk untuk mewujudkan kemaslahatan bagi para
pencari keadilan baik di dunia maupun di akhirat; Kedua, Syariat
sebagai sesuatu yang harus dipahami dan ini berkaitan dengan dimensi
bahasa agar dapat tercapai kemaslahatan, dari segi bahasa bahwa sudut
pandang fukaha yang menyatakan hak rujuk adalah hak mutlak suami
yang tidak memerlukan persetujuan istri. Sehingga peraturan
perundang-undangan di kedua negara ini memberikan suatu penjelasan
dari jawaban terhadap dinamika persoalan saat ini, yang tidak terlepas
dari nash Alquran dan Sunnah tentang rujuk guna tercapainya
kemaslahatan suami dan istri; Ketiga, Syariat sebagai hukum taklif
yang harus dilakukan; dan Keempat, Tujuan syariat adalah membawa
manusia ke bawah naungan hukum dan ini berkaitan dengan kepatuhan
manusia sebagai mukallaf dan terdapat dalam hukum Allah, sehingga
tujuan dari rujuk itu sendiri adalah menyatukan dua pihak yang
berselisih agar membentuk rumah tangga semula menjadi lebih baik
lagi dan harmonis.30
Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklîf, yang
pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang
utama, Alquran dan Hadis.31
Dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, kemaslahatan itu dapat
diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat dipelihara dan
diwujudkan.32
Lima tujuan itu yaitu: pertama, Memelihara agama
(hîfz al-Dîn); kedua, Memelihara jiwa (hîfz al-Nafs); ketiga,
Memelihara akal (hîfz al-„Aql); keempat, Memelihara keturunan (hifz
al-Nasl); dan kelima, Memelihara harta benda (hîfz al-Mâl).33
Untuk
30
Aspek ini dapat dilihat dari konsep Maqâshid Syarîah menurut Al-Syatîbi.
31
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, h. 125.
32
Satria Effendi, Maqâshid al-Syarîah dan Perubahan Sosial, Makalah Seminar
Aktualisasi Ajaran Islam III, h. 1.
33
Lima unsur pokok ini , menurut al-Syâtibi adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan
harta. Dalam literatur-literatur hukum Islam lebih dikenal dengan Ushûl al-Khamsah dan
138
memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia yang
meliputi memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Maka,
dalam pemberian hak rujuk kepada istri, sesungguhnya yang
dibincangkan bukan kata menolaknya tetapi sisi kebaikannya dari
Alquran.
Apabila hak perempuan menolak rujuk dilihat dari lima unsur
pokok tujuan hukum dalam mencapai kemaslahatan, maka tampak
rujuk termasuk kedalam unsur pokok memelihara akal (hîfz al-„Aql).
Karena memelihara akal berkaitan dengan cara seseorang bertindak
dengan akal yang sehat, dan menyelesaikan suatu masalah dengan
mendatangkan manfaat dan kemaslahatan yang diharapkan.
Memelihara akal juga termasuk ke dalam cara seseorang berfikir, dan
sangat bersentuhan dengan psikologis suami istri dalam mengambil
tindakan rujuk ini. Sehingga, hak perempuan menolak rujuk adalah
suatu kemaslahatan dalam memelihara akal seorang istri, untuk
mendapatkan hasil terbaik dari keputusan yang diambil.
Mengenai tingkatan kemaslahatan, tampaknya hak perempuan
menolak rujuk termasuk ke dalam tingkatan hajîyyat. Karena, dilihat
dari tingkatannya hak perempuan menolak rujuk merupakan aspek
pelengkap dari hukum yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan perkawinan baik di Indonesia maupun di negara Brunei
Darussalam. Maka, aspek hajîyyat bertujuan untuk menghilangkan
kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok
menjadi lebih baik lagi khususnya dalam pemeliharaan akal seorang
istri.
Maka dari itu, tidak tercapainya dan tidak terwujudnya aspek
darûriyyat dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan akhirat
secara keseluruhan. Pengabdian terhadap aspek hajîyyat tidak sampai
merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi akan membawa
susunannya adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Suparman Usman, Hukum Islam:
Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 66-67. Lihat juga
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 71.
139
kesulitan bagi manusia mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan
pengabaian aspek tahsinîyyat, membawa upaya pemeliharaan lima
unsur pokok tidak sempurna.34
Dengan demikian, kepentingan yang
termasuk tahsinîyyat menyempurnakan tingkat hajîyyat, kepentingan
hajîyyat menyempurnakan tingkat darûriyyat, dan kepentingan
darûriyyat merupakan induk tujuan hukum Islam.35
Menurut Buya Hamka, unsur pokok kemaslahatan terbagi
menjadi enam, yaitu dengan menambahkan pemeliharaan
kehormatan. Dalam tulisannya, beliau menyatakan bahwa hak asli
adalah segenap kewajiban yang diperintahkan oleh hati seseorang
adalah natijah (hasil) daripada tabiat kemanusiaan. Untuk memelihara
dan memberi perlindungan kepada manusia hendaklah dihormati
kemerdekaan menyatakan apa yang terasa di hati. Sebab, tak ada
orang yang merasakan nikmat hidup apabila gerak-geriknya
terkungkung. Yang memerintahkan mengerjakan atau mengatakan
sesuatu bukan datang dari luar dirinya, tetapi jiwanya sendiri, itulah
yang dinamai damir.36
Oleh sebab itu, segenap manusia wajib
menghormati hak yang ada pada orang lain karena hak itu ada pula
pada dirinya. Segenap manusia berhak menghormati atau dihormati
hidupnya, kemerdekaannya, hatinya, seluruh kekuatannya,
kemuliaannya, dan harta bendanya.37
Menurut penulis, hak perempuan menolak rujuk sangat
berkaitan dengan pemeliharaan kehormatan. Dengan dimintanya
persetujuan istri dalam hak rujuk ini, merupakan salah satu perhargaan
dan penghormatan dalam menyampaikan pendapatnya dan
34
Al-Muwâfaqat, Jilid II, h. 11. Bandingkan dengan Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri‟ al-
Islamî, (Mesir: Dâr al-Ma‟arif, 1976), h. 297. Dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, h. 72. 35
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 68.
36
Hamka, Mutiara Falsafah Buya Hamka: Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati
Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, (Jakarta: Republika Penerbit,
2015), cet. Ke-2, h. 165.
37
Hamka, Mutiara Falsafah Buya Hamka: Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati
Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuia Ketetapan Ilahi, h. 158.
140
keinginannya yang diberikan kepada istri melalui peraturan perundang-
undangan perkawinan di Indonesia dan negara Brunei Darussalam.
Ketika seorang istri ingin kembali kepada suaminya maka
jangan dihalangi, sebaliknya yang tersirat dan seandainya istri tidak
mau kembali dengan mantan suaminya maka jangan dipaksa dan
jangan kau halangi pula. Aspek ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat
232, bahwa jangan kau halangi ketika perempuan ingin kembali
kepada suaminya dan kebalikannya dari ayat in, jangan halangi pula
dia (istri) untuk menolak kembali kepada suaminya. Perintah pada ayat
ini menunjukkan bahwa jangan kau halangi para wanita yang ingin
menikah (dari perwalianmu).38
Bahwa jelas, untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi, hak
rujuk yang diberikan kepada istri melalui peraturan Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang Keluarga Islam memberikan perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, akal dan harta serta kehormatan.
Perlindungan ini sesuai dengan kaidah fikih, yaitu:
درء المفا سد مقد م على جلب المصا لح39
“Menolak kemudaratan didahulukan dari pada mengambil
kemaslahatan”.
Jadi, kemungkinan mafsadat itu lebih dikedepankan dari pada
memikirkan hal-hal yang bersifat manfaat. Dari kaidah ini, dapat
ditarik simpul bahwa hak perempuan jauh lebih diutamakan karena
istrilah yang mengetahui maslahatnya sendiri bukan orang lain ataupun
ibu bapaknya. Senada dengan pendapat al-Marâghi, bahwa suami tidak
dianjurkan merujuk istrinya dan kembali dalam ikatan nikah kecuali
38 Asbabun nuzul dari Qs. Al-Baqarah ayat 232 adalah
39
„Ali Hasballah, Usûl al-Tasyri al-Islami, (Kuwait: Dâr al-Ma‟arif, t.th), h. 309.
141
dengan tujuan memperbaiki hubungan dengan mantan istrinya dan
dengan niat muâsyarah bî al-ma‟rûf. Sebagaimana kaidah berikut:
ر يزالالضر40
“Kemudharatan harus dihilangkan”
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia
harus di jauhkan dari idhrâr (tindak menyakiti), baik oleh dirinya
sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan
bahaya (menyakiti) pada orang lain. Dengan demikian, dapat
dipahami pula bahwa proses penolakan rujuk di luar pengadilan lebih
baik ditinggalkan, karena mudharatnya lebih besar dari pada maslahat
yang dikandungnya. Sebaliknya proses penolakan rujuk yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan
negara Brunei Darussalam, di pandang sangat relevan pada kondisi
saat ini. Sehingga terdapat perlindungan terhadap hak-hak suami yang
merujuk, dan isteri yang dirujuk tanpa menimbulkan rasa kecewa di
antara dua pihak. Memang, fikih lebih banyak memuat hukum secara
materil dan hampir tidak membincangkan tata cara atau hukum
acaranya.
Dengan demikian aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang keluarga Islam merupakan pelengkap dari
aturan yang ditetapkan oleh fikih, sehingga terdapat perlindungan hak
bagi suami dan istri. Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang
Keluarga Islam 1999 mengatur sedemikan rapih dan rinci tentang
hukum dan tata cara rujuk, yang memang pada implementasinya
jarang terjadi di Pengadilan, apalagi untuk kasus yang memang sering
40 Nash Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawâid Fiqhiyyâh,
Penj. Wahyu Setiawan, (Jakarta: Cv. Amzah, 2009), Cet. Ke-1, h. 17.
142
terjadi kedua undang-undang ini mengaturnya secara detail bagi orang
Islam.
C. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Gender
Permasalahan yang berkenaan dengan hukum pernikahan,
merupakan permasalahan yang banyak menjadi perdebatan di kalangan
para ahli tentang Islam. Perbedaan pendapat pun terjadi pada kalangan
mufassir dan para ulama fikih sendiri dalam menentukan adakah rujuk
itu merupakan hak mutlak suami, sehingga istri harus menerima begitu
saja terhadap rujuk yang dilakukan suami ataukah istri dapat menolak
rujuk yang dilakukan suaminya.
Apabila rujuk dilihat dari sudut pandang kesetaraan gender,
yaitu semua orang tanpa melihat bagaimana background-nya memiliki
kesamaan dalam peluang, akses, partisipasi atau keterlibatan dalam
suatu kegiatan yang produktif.41
Namun, dalam kenyataannya,
khususnya dalam konteks kesetaraan gender, perbedaan peran, status,
jenis kelamin, seringkali menghalangi seseorang untuk mengakses
hak-hak dasar. Sulitnya akses tersebut tentu tidak terlepas dari adanya
diskriminasi gender yang berakar pada pandangan dan stigma
masyarakat yang dominan terhadap budaya yang bias gender, seperti
halnya budaya patriarki dan matriarki.42
Inti dari kesetaraan gender adalah memberikan kedudukan,
kesempatan dan kebebasan yang sama dan sejajar (equality) antara
laki-laki dan perempuan untuk mengambil keputusan dan memperoleh
41 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Gender dalam Tatanan Internasional dan Nasional, dalam
Agama, Politik Global dan Hak-hak Perempuan, Din Wahid dan Jamhari Makruf, (ed), h. 5
42
Sistem patriarkhi adalah sistem dimana kedudukan laki-laki lebih menonjol dan lebih
berpengaruh dibandingkan dengan kedudukan perempuan. Misalnya, bentuk pembagian warisan
yang berlaku di Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian.
Sedangkan sistem matriarkhi adalah sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu, maksudnya
kedudukan kaum perempuan lebih dominan, menonjol dan lebih berpengaruh dibandingkan
kedudukan kaum laki-laki. Misalnya, bentuk pembagian waris yang berlaku di daerah
Minangkabau, Enggano dan Timur.
143
manfaat.43
Namun, kenyataannya dalam masyarakat tetap saja terjadi
subordinasi terhadap kaum perempuan, baik yang didasarkan pada
adat, negara maupun agama. Oleh sebab itu, secara garis besar muncul
empat aliran yang berjuang untuk mempertahankan kesetaraan,
keadilan, kebebasan dan martabat kaum perempuan yang kemudian
disebut dengan gerakan feminism. Apabila rujuk dilihat dari beberapa
perspektif kesetaran gender, di antaranya:
Pertama, feminisme liberal mereka setuju bahwa masyarakat
yang adil adalah masyarakat yang membenarkan setiap individu untuk
menunjukkan otonominya. Golongan ini berasumsi bahwa terjadinya
ketidakadilan bagi perempuan, dilatar belakangi oleh keterbelakangan
dan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki.
Karena kelemahan mereka sendiri yang disebabkan oleh kebodohan
dan sikap irrasional, yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional
yang berakibat terjadinya patriarki.44
Dalam pandangan ini, hak perempuan menolak rujuk
merupakan keadilan bagi perempuan dalam menunjukkan otonominya
sehingga perempuan mempunyai kemandirian untuk mengurus segala
kebutuhannya, setelah dimintai persetujuannya dalam hal rujuk yang
diajukan suaminya. Sehingga, yang pada awalnya perempuan lebih
dicondongkan dengan pemikiran irasional dan tradisional, sekarang
semakin melangkah jauh untuk mendapatkan kemaslahatan yang
seimbang bagi para pihak baik suami maupun istri.
Kedua, feminisme sosialis dua teori yang dikembangkan oleh
feminis sosial, yaitu teori sistem ganda dan teori sistem menyatu. Teori
sistem ganda dapat dipahami bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi karena adanya dua ideologi yang berbeda, yaitu kapitalis dan
patriarkis. Sedangkan maksud dari teori sistem menyatu adalah
gabungan dari berbagai macam konsep, terhadap segala hal yang
43 Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 12
44 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 144
144
menyebabkan terjadinya penindasan bagi kaum perempuan yang
berlangsung di masyarakat.45
Secara realita, teori ini masuk kedalam
masalah rujuk yang mana ideologi kapitalis dan patriarkis melekat
pada asumsi yang menyatakan bahwa tidak diperlukannya persetujuan
istri dalam rujuk yang dilakukan suami. Justru, persetujuan istri sangat
diperlukan demi meraih kemaslahatan bersama. Maka, sama halnya
dengan feminisme liberal yang menyatakan bahwa masyarakat yang
adil adalah masyarakat yang membenarkan setiap individu untuk
menunjukkan otonominya tanpa harus ada perbedaan gender dan kelas.
Pada akhirnya, ketidakadilan gender bisa terjadi pada
perempuan maupun laki-laki, akan tetapi dalam kebanyakan kasus
ketidakadilan gender sering terjadi pada kaum perempuan, sehingga
gender terlihat seperti bentuk perwujudan wajah perempuan. Bentuk-
bentuk diskriminasi yang sering terjadi pada kaum perempuan apabila
dikaitkan dengan rujuk, di antaranya:
Pertama, penomorduaan perempuan (subordinasi) sering
terjadi dalam banyak hal, khususnya dalam pengambilan keputusan,
karena perempuan dianggap sebagai mahluk yang irasional dan
emosional. Tradisi, adat, aturan negara bahkan agama sering dijadikan
alasan untuk menomorduakan perempuan. Apabila dilihat pendapat
fukaha yang menyatakan bahwa tidak dibutuhkan persetujuan istri
dalam rujuk, maka terkesan istri sebagai orang kedua setelah suami.
Sehingga tidak ada kesempatan dalam memberikan suatu keputusan,
yaitu apakah istri dapat menerima rujuk yang diajukan oleh mantan
suaminya ataukah menolak rujuk suaminya. Fukaha lebih berpendapat
bahwa rujuk adalah hak mutlak suami.
Kedua, stereotype (pelabelan) merupakan pelabelan negatif
yang mengakibatkan berbagai macam ketidakadilan. Hal ini tidak
hanya terjadi pada perempuan saja, laki-laki, etnis, suku, dan agama
45
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction,
Second Edition, h. 139.
145
tertentu bisa saja mengalami stereotype. Misalnya, persetujuan laki-
laki lebih utama dari perempuan dan rujuk merupakan hak mutlak
suami. Terkesan, istri tidak mempunyai hak sedikitpun dalam rujuk ini.
Padahal, bila ditelususri bahwa suami dan istri mempunyai hak yang
seimbang dalam hal apapun, baik dalam keluarga, sosial dan
sebagainya.
Kelima, violence (kekerasan) yaitu kekerasan yang terjadi
kepada perempuan sangat beragam, mulai dari kekerasan verbal
(seperti bersiul, menggoda), kekerasan fisik (seperti pemukulan),
kekerasan psikis (seperti kata-kata yang melecehkan dan
merendahkan), kekerasan seksual (seperti perkosaan) dan
sebagainya.46
Tidak dipungkiri, alasan istri menolak rujuk suami
karena diakibatkan dari kekerasan yang dilakukan suami. Baik
kekerasan fisik maupun kekerasan psikis, sehingga istri tidak ingin
hidup bersama kembali dengan mengulangi perbuatan mantan
suaminya. Salah satu alasan yang diterima hukum ataupun hukum
syarak adalah kekerasan yang ditimbulkan oleh orang lain maupun
suami istri.
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Keluarga Islam
negara Brunei Darussalam, berkaitan dengan pasal-pasalnya
memberikan kewenangan bagi istri dalam memberikan persetujuan
atau keputusan untuk mencapai suatu manfaat. Maka dapat dipahami,
bahwa hak bagi istri untuk menerima atau menolak pengajuan rujuk
mantan suaminya dapat dipertahankan secara yuridis. Pengakuan
terhadap hak ini tentu saja mengindikasikan bahwa Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei Darussalam
tidak bersikap diskriminatif. Laki-laki dan perempuan diberi
kesempatan yang sama dalam memutuskan kehendaknya tanpa ada
beban status dirinya baik sebagai suami maupun sebagai istri. Maka
46
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 22, lihat juga Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial, h. 75
146
dari itu, bahwa pasal yang terkait dengan kewenangan istri menolak
rujuk cenderung mengakomodir kesetaraan gender.
Apabila ditarik sejarah ke belakang bahwa ketika Islam
datang, pandangan terhadap perempuan berubah. Kedudukan
perempuan diangkat dan dihilangkan segala bentuk kezaliman dan
kesewenang-wenangan. Islam datang membawa misi pengembalian
hak-hak perempuan yang telah dirampas dan dijajah oleh kaum laki-
laki di zaman jahiliyah. Islam mengangkat martabat kaum perempuan
dan memberikan kembali hak-hak mereka yang telah hancur
berantakan, diinjak-injak oleh dominasi kaum laki-laki dan telah
diluluhlantahkan oleh tradisi-tradisi keagamaan, fanatisme golongan,
dan kebangsaan yang sempit.47
Islam juga menjunjung tinggi perempuan dan meletakkannya
sejajar dengan laki-laki. Sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw,
perempuan tidak memiliki nilai yang patut disebutkan dan
dibanggakan, dan Islam-lah yang memberinya kedudukan ini. Islam
memberikan penghormatan kepada perempuan di mana hal yang sama
tidak diberikannya kepada laki-laki.48
Islam juga merevisi perlakuan
tradisi jahiliyah terhadap perempuan, seperti; (a) Islam memberikan
hak talak bagi perempuan (khuluk‟) ketika terjadi ketidakcocokan atau
perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya; (b) perempuan berhak
mewarisi dan mewakili kekayaan dan berhak men-tasharuf-kannya.
Adapun sumber-sumber kekayaan itu didapatkan dari harta warisan
dan mas kawin (mahar); (c) perempuan memiliki hak penuh untuk
memelihara anaknya (haqq al-hadhanah).49
Dengan demikian, bisa dipahami dalam masyarakat Islam,
perempuan menempati kedudukan yang penting yang tidak pernah
terjadi sebelumnya. Tidak ada undang-undang atau aturan manusia
sebelum Islam yang memberikan hak-hak kepada perempuan seperti
47
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 115. 48
Husein Alkaff, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini, h. 80. 49
Mesraini, Jender dan Kompilasi Hukum Islam, h. 30
147
yang diberikan Islam. Hal itu disebabkan karena Islam datang
membawa prinsip persamaan di antara seluruh manusia, tidak ada
perbedaan antara satu individu dengan individu yang lain. Begitu juga
tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan.50
D. Hak Perempuan Menolak Rujuk Perspektif Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia dipahami sebagai abstensi negara dalam
pencarian martabat manusia.51
Di antaranya beberapa aspek hukum
keluarga yang disentuh oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia (UDHR)
yaitu perkawinan atau berkeluarga. Aspek ini tercantum pada pasal 16
yang menyatakan bahwa setiap orang dewasa baik pria ataupun wanita,
dengan tidak dibatasi kebangsaan, warga negara dan agama berhak
untuk mencari jodoh dan membentuk keluarga (ayat 1). Kemudian
perkawinan yang dilakukan harus berdasarkan suka sama suka, pada
(ayat 2) ini menjelaskan bahwa baik pernikahan maupun perbuatan
rujuk yang dilakukan suami terhadap istrinya, harus berdasarkan
kerelaan masing-masing pihak. Dengan kata lain, persetujuan istri
untuk dimintai pendapatnya dalam menerima atau menolak rujuk yang
dilakukan suaminya. Kemudian Pasal 12 dan pasal 23 ayat 3 dan ayat
25 menyentuh tentang hak untuk mengatur keluarga atau rumah
tangganya tanpa intervensi orang lain, memperoleh pekerjaan demi
menjamin kehidupan diri dan keluarganya, dan mempunyai kehidupan
yang layak untuk menjamin tersedianya kesehatan, sandang-pangan,
pakaian dan perumahan bagi diri dan keluarganya.52
Oleh karena itu, kewenangan menolak rujuk bagi istri dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negara Brunei
Darussalam merupakan langkah awal pemerintah untuk melindungi
dan memenuhi hak-hak dasar bagi pasangan suami istri, terlebih bagi
50
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam
Islam, h.37. 51
Burns H. Watson, Human Rights, h. 716
52
Muhammad Faisal Hamdani, Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif HAM Universal
(UDHR) dan HAM Islam (UIDHR) h. 26.
148
istri yang sebelumnya tidak ada hak dan terabaikannya kesempatan
dalam persetujuannya untuk menerima atau menolak rujuk yang
dilakukan oleh mantan suaminya. Dalam konteks pemenuhan hak asasi
manusia, sebagaimana prinsip pelarangan diskriminasi atau pelarangan
terhadap diskriminasi yakni salah satu bagian penting prinsip
kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada
perlakuan diskriminatif. Dengan demikian, negara menjadi subjek
hukum utama yang bertanggung jawab untuk melindungi, menegakkan
dan memajukan hak asasi manusia (duty holder) baik secara nasional
maupun internasional.
Begitu pula dengan rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan
mantan istri dapat dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, sebagaimana
dijelaskan pada pasal 165 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 52 ayat 8
Hukum Keluarga Islam. Hal ini termasuk kedalam prinsip-prinsip hak
asasi manusia yakni prinsip kesetaraan, yang mana prinsip ini
menjelaskan bahwa prinsip yang sangat fundamental dari hak asasi
manusia kontemporer, ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas
dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia.
Dengan demikian Pengadilan Agama di Indonesia dan
Mahkamah Syariah negara Brunei Darussalam merupakan bentuk
perwujudan acces to Justice dari pemerintah, yang menyatakan bahwa
semua warga negara Indonesia maupun Brunei Darussalam di
manapun berada berhak atas akses ke pengadilan dan memperoleh
keadilan. Sehingga, hal ini sesuai dengan prinsip kewajiban positif
untuk melindungi hak-hak tertentu, bahwa suatu negara tidak boleh
secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk
melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan
kebebasan.53
53
Rhona K.M. Smith, dkk. Hukum Hak Asasi Manusia, h. 39-40.
149
Maka hal ini senada dengan pasal 7 DUHAM yang
menyebutkan bahwa, semua orang sama di depan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak
atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi dan
terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi.54
Dengan
demikian, hal ini merupakan satu bentuk pembaharuan terhadap
kedudukan wanita dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, dan
lainnya.
E. Pandangan Ulama, Praktisi Hukum, dan Akademisi tentang Hak
Perempuan Menolak Rujuk
Pandangan tentang hak perempuan menolak rujuk,
menimbulkan berbagai pendapat baik dari ulama, praktisi hukum, dan
akademisi. Terkait dengan pendapat fukaha yang sepakat menyatakan
bahwa rujuk adalah hak mutlak suami, sehingga persetujuan istri tidak
diperlukan dalam pelaksanaan rujuk yang dilakukan mantan suaminya.
Ketika istri tidak bersedia dirujuk oleh suaminya, maka istri tidak
berhak melakukan penolakan rujuk. Pandangan fukaha ini didasarkan
atas firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 dan QS. Al-Baqarah
ayat 231. Fukaha memahami QS. Al-Baqarah ayat 228 sebagai
kewenangan mutlak bagi suami untuk merujuk istrinya, selama masih
dalam masa idah talak raj‟î. dan ayat QS. Al-Baqarah ayat 231
menyiratkan bahwa Allah SWT memerintahkan rujuk bagi suami,
karena rujuk itu hak mutlak suami bukan hak istri.
Pendapat yang dikatakan oleh Ustad Baihaqy bahwa rujuk
harus membawa kebaikan dan manfaat bagi pasangan terutama bagi
istri. Sebagaimana pernyataan berikut:
“Kata بمعروف dalam QS. Al-Baqarah ayat 231 mempunyai banyak arti
dan makna, kata ma‟rûf memiliki kandungan arti tentang sesuatu yang
membawa kebaikan, kebahagiaan, dan manfaat pada suatu perbuatan.
54 Simon Pattiradjawane, Mengenal Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi dan Undang-
undang, h. 66.
150
Jadi, rujuk yang hendak dilakukan suami harus membawa kebaikan
dan manfaat bagi istri.”55
Namun demikian, apabila dipahami dalam konteks praktik
masyarakat masa fukaha, bahwa fukaha memutus pada zaman dan
kondisi masyarakat yang berbeda. Sehingga logis dengan keadaan
sosial masyarakat saat itu. Hal ini senada dengan pendapat Dr. A.
Mukri Aji, bahwa Imam mazhab memutuskan dan memberikan ijtihad
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya serta dengan kondisi
masyarakat pada saat itu.
“Para Imam Mazhab dengan kompetensinya pada zaman itu sudah
sangat tepat dengan ijtihadnya, yang dinilai relevan dalam kehidupan
kemanusiaan dan mereka tetap melakukan riset. Hanya saja memang,
dari zaman ke zaman kan psikologi sosial dan sebagainya itu kan
bukan berbeda ya tetapi ada dinamikanya. Bukan diartikan bahwa
hasil ijtihad masa lalu tidak relevan dengan zaman ini, kan framenya
masih dengan Alqur‟an dan Sunnah.” 56
Maka dari itu, jelas berbeda dengan dinamika sosial pada saat
ini apabila ketentuan rujuk fukaha tetap diterapkan dan tidak ada
pembaharuan, bukan tidak mungkin konflik rujuk tidak ada
penyelesaian dan kemaslahatan bagi para pihak.
Pendapat yang sama disampaikan bapak Dr. A. Sudirman
Abbas, bahwa pada zaman fukaha pun gender tetap diterapkan.
“Tidak mungkin fukaha tidak memperhatikan aspek kemanusiaan, tidak
mengetahui dan tidak mempunyai pendapat, karena Kompilasi Hukum
Islam itu lahir dari pendapat para ulama yang merujuk pada ulama
klasik. Jadi, apa yang disimpulkan oleh Kompilasi Hukum Islam
adalah pendapat ulama terdahulu, apabila ditanyakan apakah ada
perlindungan untuk perempuan. Maka jelas ada perlindungan, karena
ada hak perempuan untuk menolak. Begitupun dengan Alquran yang
sering membincangkan hamba sahaya, seolah-olah membincangkan
sesuatu yang sudah kumuh tetapi sebenarnya tidak demikian. Justru
55 Wawancara pribadi dengan Ustad Baihaqy. Ulama di Kolej University Perguruan
Ugama Seri Begawan, di ruang kerja, pada Rabu 30 Mei 2017.
56
Wawancara pribadi dengan Dr. A. Mukri Aji. Ketua Majlis Ulama Indonesia Kabupaten
Bogor, di rumah beliau, pada Sabtu 23 Desember 2017.
151
hal yang ditinggalkan dan tidak pernah terjadi ditutup rapat-rapat
agar tidak terjadi kembali.”57
Pendapat yang sama bahwa kondisi pada masa fukaha sesuai
dengan masyarakat pada saat itu. Hal ini dipahami dari pernyataan
Prof. Huzaemah Tahido Yanggo.58
“Fukaha pada saat itu memang memutus sesuai dengan kondisi
masyarakatnya, tetapi mereka juga mempunyai alasan yang sangat
mendukung pada saat itu. Alasan fukaha, mengapa istri tidak boleh
menolak rujuk suami karena pada masa itu istri yang dicerai masih
diberi tempat tinggal dan nafkah. Sehingga, dalam masa berfikir itu
istri tidak mempunyai alasan dan kesempatan untuk menolak mantan
suaminya dengan pemenuhan nafkah tersebut. Jadi, apa yang terjadi
pada masa lampau masih berlaku juga dengan masa sekarang.
Kalaupun istri menolak rujuk suami, apa alasannya padahal hak dan
kewajiban suami dalam masa idah terpenuhi.”
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Kemudian, Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
bahwa: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” Maka dari itu, apabila
tidak adanya persetujuan istri yang dirujuk, mustahil pernikahan dapat
tercapai. Dengan demikian, dalam upaya pemeliharaan keutuhan
rumah tangga (perkawinan) sesuai hukum Islam, maka salah satunya
dengan rujuk akan terwujud apabila adanya kerelaan istri.
Pernyataan ini senada dengan bapak Dr. A. Mukri Aji, bahwa
hukum syariah adalah hukum yang bersifat objektif dan tidak ada
pemaksaan.
57 Wawancara pribadi dengan Dr. A. Sudirman Abbas, MA sebagai akademisi di rumah
beliau Jl. Ali Andong, Bojong Sari, pada Kamis, 21 desember 2017.
58
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, sebagai Guru Besar FSH
dan ulama perempuan MUI Pusat, di ruang rektorat IIQ, pada Jum‟at, 02 Maret 2018.
152
“Hukum syarîah itu adalah hukum yang tidak ada pemaksaan atau
hukum yang bersifat objektif, sehingga dalam melakukan perbuatan
dalam bidang apapun harus adanya sebuah kerelaan. Apalagi rujuk
yang sangat menyentuh ranah psikis dan psikologis seorang istri,
maka kerelaan suami dan istri dalam rujuk ini sangat diperlukan.59
Hal yang sama ditegaskan oleh Prof. Huzaemah Tahido
Yanggo, menurutnya permasalahan apa pun tidak boleh diselesaikan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis.
“Sesuatu permasalahan tidak boleh diselesaikan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan Alquran. Apa yang diatur dalam Alquran
tentang pernikahan, maka harus diikuti kecuali memang ada hal yang
harus diselesaikan dengan melibatkan badan hukum seperti
Pengadilan Agama. Begitu juga dengan permasalahan rujuk, maka
KUA dan Pengadilan lah yang berwenang memyelesaikan.” 60
Peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negara
Brunei Darussalam, keduanya tidak bermaksud mengurangi hak-hak
suami dalam masalah rujuk, tetapi berusaha mengatur agar
kepentingan masing-masing pihak dapat terlindungi. Ketentuan rujuk
dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan satu bentuk perlindungan
terhadap perempuan dan aturan yang memperhatikan hak seimbang
antara suami dan istri. Begitu pula dengan undang-undang keluarga
Islam negara Brunei Darussalam yang memberikan hak kepada istri
tentang persetujuan rujuk yang dilakukan suaminya. Maka jelas, kedua
peraturan perundang-undangan ini memberikan perlindungan hukum
dan menjaga hak suami dan istri secara seimbang.
Pernyataan ini diperkuat oleh Ketua Pengadilan Agama Kota
Bogor, bahwa perempuan dalam hukum perkawinan sangat
diuntungkan sekali dengan hak-hak yang diterimanya baik dalam
pernikahan dan pasca perceraian.
59 Wawancara pribadi dengan Dr. A. Mukri Aji. Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Bogor, di Rumah Jl. H. Mawi Parung, pada Sabtu 23 Desember 2017.
60
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, sebagai Guru Besar FSH
dan ulama perempuan MUI Pusat, di ruang rektorat IIQ, pada Jum‟at, 02 Maret 2018.
153
“Kompilasi Hukum Islam dalam memberikan perlindungan kepada
seorang istri terlihat dari proses pengajuan perkara saja sampai
pemanggilan diutamakan kepentingan perempuan seperti cerai gugat
diajukan ditempat istri atau cerai talak diajukan ditempat tinggal istri,
kemudian kan ada indikator bahwa perempuan sangat diposisikan
pada posisi diuntungkan dengan Kompilasi. Belum hak-hak lain
seperti dibolehkan pengadilan atau hakim memutus secara ex officio
karena jabatannya, menyambung hak-hak istri meskipun dia tidak
butuh atau menuntut karena mungkin awam. Hakim yang memutus
memberikan nafkah idahnya, mut‟ah, hadhanah dan sebagainya. Itu
artinya pengadilan agama dalam menerapkan Kompilasi Hukum Islam
sangat menghargai posisi kaum perempuan. Misalnya hari ini pun kita
rayakan hari ibu.61
Hal yang sama di pahami dari pernyataan Panitera Mahkamah
Syariah, bahwa dengan adanya Undang-undang Keluarga Islam 1999
perempuan telah diberikan perhatian dan perlindungan hukum.
“Undang-undang Keluarga Islam 1999, telah memberikan hak dan
perhatian penuh kepada perempuan. Sebagaimana banyak dijelaskan
dalam isi peraturan undang-undangan ini, yang banyak sekali
membicarakan tentang hak perempuan atau isteri, baik dari hak-
haknya sebagai istri baik pasca cerai maupun hak dalam persetujuan
istri menolak rujuk. Undang-undang keluarga Islam 1999 ini, sudah
dimansukhkan untuk bab perkawinan dan perceraian dari undang-
undang Penggal 77. Maka, undang-undang keluarga Islam 1999, ini
sangat dirasa perhatian yang seimbang baik bagi laki-laki maupun
perempuan.”62
Maka dapat ditarik simpul bahwa jelas, Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-undang keluarga Islam negara Brunei Darussalam, sangat
memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak seimbang kepada
istri. Hal ini ditegaskan pula oleh Hakim Peradilan Agama Kota
Bogor, bahwa sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan terhadap
hak-hak yang seimbang maka perempuan diberikan hak
persetujuannya terhadap rujuk.
61 Wawancara pribadi dengan bapak Dr. Sirajuddin Sailellah, M.H. Ketua pengadilan
agama Kota Bogor, di ruang kerja, pada Jum‟at 22 Desember 2017.
62
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera Mahkamah
Syariah Bandar Seri Begawan, di Ruang tamu Mahkamah Syariah, pada Selasa 31 Mei 2017.
154
“Terkait dengan hak perempuan, istri berhak menentukan sikap, tidak
mungkin di bawah tekanan atau karena terpaksa. Maka hak tersebut
tidak bisa dipaksakan, karena itu adalah hak masing-masing
perempuan untuk menentukan masa depannya apakah ia mau rujuk
ataupun mencari pasangan baru. Apakah karena pertimbangan
trauma takut terulang seperti itu lagi. Kalau saya secara pribadi, akan
memberikan kemandirian kepada seorang istri untuk menentukan
sikap dan pilihan dalam menghadapi tekanan ataupun sifatnya yang
menyudutkan kaum perempuan. Kalaupun istri tidak menerima rujuk
suaminya maka jangan dipaksakan, apalagi sampai diancam dengan
tidak memberikan harta, itu tidak bisa karena tidak berpengaruh hak
istri dengan perkawinan itu tidak berpengaruh dia rujuk atau tidak.
Diceraikan pun istri bisa menuntut hak-haknya setelah perceraian.”63
Kemudian hak ini pun produktif dengan adanya perlindungan
terhadap perempuan, sebagaimana pendapat bahwa Panitera
Mahkamah Syari‟ah Brunei Darussalam.64
“Di Indonesia dan Brunei Darussalam, kedudukan wanita sama
seperti wanita-wanita di negara-negara lain, mereka diberi peluang
untuk berkarir di setiap bidang. Keterlibatan wanita dalam pendidikan
dan pencapaian yang mendorong pada tingkat pendidikan sehingga
menjadikan kedudukan wanita sejajar terutama dalam bidang
pekerjaan, administrasi, bidang ekonomi, dan sebagainya.”
Oleh karena itu, sesungguhnya perbuatan rujuk itu lahir dari hati
suami yang tulus. Ketika istri menolak rujuk suami, maka dilihat
terlebih dahulu alasan mengapa istri menolak rujuk tersebut. Dari sini,
dapat disimpulkan bahwa faktor psikologis dan psikis suami istri
sangat menentukan dalam mengambil keputusan. Maka tidak menutup
kemungkinan, dari sinilah perumus peraturan perundang-undangan di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam mensyaratkan rujuk harus
dengan persetujuan istri.
Sebagaimana dipahami dari pernyataan Dr. A. Mukri Aji,
menyatakan bahwa perbuatan rujuk itu adalah urusan hati suami dan
63 Wawancara pribadi dengan Dr. Sirajuddin Sailellah. M.H. Katua Pengadilan Agama
Kota Bogor, di ruang kerja PA Bogor, pada Jum‟at 22 Desember 2017.
64
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera Mahkamah
Syari‟ah, di ruang kerja Mahkamah Syari‟ah Bandar Seri Begawan, pada Rabu 31 Mei 2017.
155
istri. Sehingga, hasil keputusan apapun dari perbuatan rujuk sangat
bersentuhan dengan psikologis masing-masing pasangan.
“Perbuatan rujuk kan berkaitan dengan psikologis pasangan itu
sendiri, memang dalam perspektif Imam Mazhab kecuali di
Pengadilan yang kita tahu nuansa-nuansa bathin para pihak bukan
pada teksnya. Hal itu juga berkaitan dengan kejiwaan, psikologis istri
yang ditalak. Ada pertimbangan ketika istri akan menerima atau
menolak rujuk yang diajukan suaminya. Maka dapat diambil
kesimpulan, bahwa fukaha hanya menjelaskan tentang rujuk yang
bersifat normatif. Tetapi dibalik teks normatif itu terdapat
psikologisnya istri. Artinya, bahwa ketika istri itu menolak kembali
kepada suaminya atau menolak rujuk suaminya dengan alasan kuat.
Apakah karena istri tersakiti psikologisnya. Sehingga analisis
terhadap fukaha pun juga harus dikawal oleh nuansa psikologis oleh
para pihak.65
Begitu pun dengan pendapat Awang Haji Azman bin Haji
Ismail. Panitera Mahkamah Syariah Bandar Seri Begawan. 66
“Di dalam Islam, ketika istri menolak rujuk suami dengan alasan yang
dibenarkan hukum syarak atau misalnya adanya kekerasan dalam
rumah tangga, maka penolakan rujuk yang diajukan oleh istri dapat
diterima dan dikabulkan dengan alasan menolak kemudharatan, dan
penyesalan dikemudian hari apabila rujuk itu tetap dilakukan. Maka
undang-undang keluarga Islam 1999 ini, memberikan peluang besar
bagi perempuan dalam menerima haknya.
Dengan demikian, hak perempuan menolak rujuk bukan
dilakukan semata-mata tanpa dasar hukum, melainkan mendatangkan
suatu manfaat dan kemaslahatan bagi suami dan istri. Sebagaimana
kaidah fikih bahwa “Kemudharatan harus dihilangkan”, kaidah ini
memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari tindak
menyakiti, baik itu oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Suami
tidak dianjurkan merujuk istrinya dan kembali dalam ikatan nikah,
kecuali dengan tujuan memperbaiki hubungan terhadap mantan
istrinya dan dengan niat muâsyarah bi al-ma‟rûf.
65 Wawancara pribadi dengan Dr. A. Mukri Aji. Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Bogor, di Rumah Jl. H. Mawi Parung, pada Sabtu 23 Desember 2017.
66
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera Mahkamah
Syariah Bandar Seri Begawan, di Ruang tamu Mahkamah Syariah, pada Rabu 31 Mei 2017.
156
Pernyataan yang sama diegaskan oleh Waiduri binti Hajah
Mohammad Ali, Dosen Syariah Kolej University Pendidikan Ugama
Bandar Seri Begawan.67
“Kebolehan menolak rujuk bagi istri adalah dengan tujuan menolak
timbulnya kemudharatan, baik bagi istri maupun untuk kelanjutan
rumah tangga mereka. Dalam Undang-undang Keluarga Islam 1999
di Brunei pun mengatur tentang itu, tetapi ketika ada sebab-sebab
yang dibenarkan oleh hukum syarak dan hakimlah yang bisa
memutuskan perkara tersebut. Jadi, urusan rujuk juga sudah diatur
sedemikian rupa oleh negara ini.”
Pendapat yang sama oleh bapak Dr. A. Mukri Aji, menurutnya
hasil dari keputusan istri menerima atau menolak rujuk suami, maka
harus dihargai keputusan tersebut.
“Hukum syariah itu adalah hukum yang tidak ada pamaksaan atau
hukum yang objektifitas. Artinya adanya keikhlasan para pihak dan
harus ada kerelaan dari masing-masing pihak. Maka jangan
disalahkan mantan istri menolak rujuk mantan suaminya. Maka
dengan begitu menolak hak yang negatif lebih baik dari pada
mengambil hal yang positif, apabila istri harus menolak rujuk
suaminya dan itu mendatangkan kemaslahatan maka inilah yang harus
ditempuh. Tahkik al-Masholih Linnâs yaitu merealisasikan
kemaslahatan untuk kebahagiaan sebagai insan baik di dunia dan
akhirat, sehingga bukan hanya norma rujuk yang jelas aplikatifnya.
Maka urusan rujuk itu pada akhirnya kembali lagi kepada hati dan
psikologis masing-masing pasangan.68
Dari hasil konsultasi pribadi kepada Prof. M. Atho Mudzhar,
beliau mengatakan bahwa rujuk yang dilakukan oleh suami terhadap
mantan istrinya, kemudian istri menolak dengan alasan yang memang
sangat mendukung penolakan tersebut. Maka diperbolehkan.
“Istri boleh menolak rujuk yang dilakukan oleh suami dengan alasan
tertentu. Dan hal ini dapat dikaji lagi dengan melihat pendapat
fukaha, peraturan perundang-undangan, dan masalah yang berkaitan
dengan hal itu. Analisisnya pun nanti akan terlihat, dengan
67 Wawancara pribadi dengan Waiduri binti Hajah Mohammad Ali, Dosen Syariah Kolej
University Pendidikan Ugama Badar Seri Begawan, di ruang meeting Fakultas Syariah, pada 1
Juni 2017.
68
Wawancara pribadi dengan Dr. A. Mukri Aji. Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Bogor, di Rumah Jl. H. Mawi Parung, pada Sabtu 23 Desember 2017.
157
menggunakan analisis vertikal, horizontal, dan diagonal. Karena hal
ini bersifat konservatif.”69
Menurut Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, nampaknya agak
berbeda, hal ini dapat dipahami dari pernyataan beliau bahwa
penolakan rujuk tidak boleh dilakukan oleh istri, apabila selama masa
idah suami memberikan hak dan kewajibannya. Istri boleh menolak,
apabila suami tidak bertanggung jawab atau tidak memberikan hak dan
kewajibannya dalam masa idah. Pendapat beliau didasarkan kepada
fukaha tentang kebiasaan istri yang dicerai, kemudian suami masih
memberi tempat tinggal dan nafkah.
“Sebagai ulama perempuan bukan berarti saya membela perempuan
dalam urusan yang memang tidak sesuai dengan Alquran. Menurut
saya, hak perempuan menolak rujuk itu boleh apabila mantan suami
tidak memenuhi hak dan kewajibannya selama masa idah
berlangsung. Itu artinya, suami telah menelantarkan istri atas hak dan
kewajibannya dalam masa idah. Jika memang demikian, istri boleh
menolak rujuk suami karena tidak memperhatikan istri dalam hal
nafkah dan kemudian ini akan diputus dan diselesaikan oleh Hakim.
Hakim pun akan melihat, mengapa istri menolak rujuk suami. Jadi,
menurut saya aneh kalau istri menolak rujuk suami, sedangkan hak
dan kewajibannya pasca cerai terpenuhi. Kalaupun memang,
alasannya suami akan berbuat hal yang buruk kenapa istri tidak cerai
gugat suami saja pada awalnya itu kan lebih masuk akal.”70
Akhirnya, dapat dipahami bahwa pandangan para ulama,
praktisi hukum, dan akademisi memberikan pendapat sesuai dengan
latar belakang sosial, pendidikan, dan keahliannya dibidang masing-
masing. Sehingga, pendapat ini cenderung mengakomodir gender
dengan melihat peraturan perundang-undangan di Indonesia dan negar
Brunei Darussalam tentang rujuk.
69 Konsultasi Pribadi dengan Prof. Atho Mudzhar. Guru Besar Fakultas Syariahdan Hukum
UIN Jakarta, di ruang dosen bagian Selatan Pasca Sarjana, pada Senin 26 Februari 2018.
70
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, sebagai Guru Besar FSH
dan ulama perempuan MUI Pusat, di ruang rektorat IIQ, pada Jum‟at, 02 Maret 2018.
158
F. Implementasi Rujuk di Indonesia dan Brunei Darussalam
Peraturan rujuk yang telah diatur oleh undang-undang
perkawinan baik di Indonesia dan negara Brunei Darussalam,
merupakan salah satu langkah penertiban administrasi dan tentunya
memberikan perlindungan hukum serta terpenuhinya hak-hak
seimbang kepada perempuan.
Aturan rujuk di Indonesia mensyaratkan bahwa rujuk harus
dilakukan didepan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan menghadirkan
dua orang saksi. Pasangan suami istri yang telah bercerai dan
bermaksud rujuk, harus datang menghadap Kepala Kantor Urusan
Agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa
surat keterangan untuk rujuk dari Kepala Desa atau Lurah, serta
kutipan dari Buku Pendaftaran Talak/Cerai atau Akta Talak/Akta
Cerai.71
Hal ini dapat dipahami dari pernyataan bapak H. Dadang, Ketua
Kantor Urusan Agama Parung bahwa:
“Prosedur rujuk sama dengan prosedur pendaftaran nikah. Pasangan
suami istri datang ke KUA yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dan membawa berkas-berkas yang diperlukan seperti tentang surat
penetapan terjadinya talak dahulu. Lalu setelah itu akan diperiksa
oleh Pegawai Pencatat Nikah tentang berkas-berkas dan syarat-syarat
rujuk tesebut. Setelah berkas sudah lengkap, maka suami
mengucapkan ikrar rujuk dan menandatangi Buku Pendaftaran Rujuk
dengan menyertakan para saksi. Setelah sah rujuk lalu kami (Pegawai
Pencatat Nikah) menasehati tentang hukum rujuk tersebut sesuai
dengan hukum agama dan perundang-undangan, lalu Pegawai
Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk ke
Pengadilan Agama. Prosedur ini tidak berbeda jauh dengan
pendaftaran nikah.72
71
KHI pasal 167 ayat (1): “Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama
isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan
lain yang diperlukan.”
72
Wawancara pribadi dengan Bapak H. Dadang, MA. Ketua Kantor Urusan Agama
Kecamatan Parung, di Ruang Kerja Ketua KUA, pada Senin 18 Desember 2017.
159
Persyaratan ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam tentang
penambahan bagi tata cara rujuk, yaitu: Pasal 168 (1), “Dalam hal
rujuk dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan daftar rujuk
dibuat rangkap 2 (dua), diisi serta ditandatangani oleh masing-masing
yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi, disertai surat-surat keterangan yang
diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain
disimpan”. Kemudian dalam pemeriksaan kehendak rujuk, Pegawai
Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak rujuk
melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal diantaranya: 1) Apakah
suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat rujuk; 2) Apakah
rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam masa idah talak raj‟î; 3)
Apakah perempuan yang akan dirujuk itu bekas istrinya; 4) Apakah
ada persetujuan dari bekas istri yang akan dirujukinya itu; 5) Apakah
putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khuluk‟; 6) Apakah mendatangkan saksi
untuk melakukan rujuk ini.
Mengenai biaya rujuk mengikuti prosedur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. III/600
Tahun 2016, bahwa nikah dan rujuk yang dilakukan diluar Kantor
Urusan Agama dan bukan pada hari kerja dikenakan tarif Rp.
600.000,- dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya
Nikah atau Rujuk dilakukan melalui Rekening Kas Negara, dan
Rekening Bendahara Penerimaan (BPN) Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam.73
73
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. III/ 600 Thaun 2016, Juklak
Tentang Petunju Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah
atau Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, (Jakarta: Departemen Agama, 2016).
Adapun biaya biaya pencatatan rujuk yang pemeriksaannya dan pencatatannya dilakukan P3N
boleh juga dibayar oleh yang bersangkutan melalui P3N sebelum rujuk dilaksanakan, untuk disetor
ke kas nrgara melalui Bank/Pos. Tetapi, di dalam Juklak PNBPNR dijelaskan bahwa biaya tersebut
sudah meliputi transpot penghulu yang melayani nikah diluar KUA, transpot penghulu yang
melayani dan bimbingan nikah dalam satu waktu (nikah massal), transpot penghulu/ Kepala KUA
yang melakukan layanan dan bimbingan nikah di wilayah terdalam atau daerah perbatasan,
160
Pernyataan ini ditegaskan pula oleh bapak H. Dadang, bahwa
prosedur nikah dan rujuk sekarang agak berubah dari awal proses
pendaftaran.
“Mengenai biaya rujuk sekarang merujuk kepada peraturan
baru. Biaya rujuk sama dengan biaya pendaftaran nikah, yaitu Rp
600.000,- (Enam Ratus Ribu Rupiah) untuk nikah dan rujuk yang
dilakukan diluar KUA baik hari kerja dan hari libur. Nikah dan rujuk
yang dilakukan di KUA pada hari kerja tidak dipungut biaya sama
sekali atau gratis, kecuali nikah dan rujuk yang dilakukan di KUA
pada hari libur tetap dikenai biaya Rp 600.000,- (Enam Ratus Ribu
Rupiah). Adapun bagi pasangan calon suami istri yang ingin menikah
atau rujuk tetapi tidak mempunyai biaya dan ingin menikah atau rujuk
di luar Kantor Urusan Agama, maka calon pasangan tersebut tidak
dikenai biaya dengan catatan harus melampirkan Surat Keterangan
Tidak Mampu dari Desa setempat.
Kemudian tata cara pembayaran pendaftaran nikah dan
rujuk sekarang sedikit berubah, tetapi tetap melibatkan KUA dalam
pembayaran ini. Yang mana dahulu pendaftaran nikah dan rujuk
hanya disetorkan Rp 35.000,- (Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah) ke
Kementerian Agama dan langsung membayar ke KUA setempat
melalui Pegawai KUA. Peraturan saat ini, pasangan suami isteri atau
pun yang mewakili seperti RT, RW, ataupun Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah datang ke KUA dengan membawa berkas-berkas dan
persyaratan yang diperlukan ke Kantor Urusan Agama, lalu dari
pihak KUA memberikan nomor bil kepada pendaftar untuk digunakan
dalam pembayaran di Bank yang telah ditunjuk oleh Kementerian
Agama. Jadi, KUA tidak berurusan lagi dalam penerimaan biaya atau
anggaran pernikahan dan rujuk, hanya membantu proses atau cara
penyetoran uang ke Bank dengan memberikan nomor bil tersebut.
Maka dari itu semuanya riil langsung ke Pemerintah melalui Bank.74
Sebagaimana tata cara rujuk di Indonesia, negara Brunei
Darussalam pun mempunyai prosedur dan tata cara rujuk yang tidak
jauh berbeda dengan negara Indonesia. Aturan rujuk di negara Brunei
Darussalam yang tercantum dalam Undang-undang keluarga Islam
transpot dalam layanan dan bimbingan dengan jarak tempuh 5 KM dikenakan transpot local sesuai
dengan standar biaya masukan. Dan honorarium pelaksanaan dan bimbingan nikah atau rujuk di
luar Kantor menggunakan akun belanja jasa profesi (522151).
74
Wawancara pribadi dengan Bapak H. Dadang, MA. Ketua KUA Parung, di Kantor KUA
Kecamatan Parung, pada Senin 18 Desember 2017.
161
1999, bahwa rujuk dipandang sah apabila telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh hukum syarak (pendapat fikih mazhab).75
Negara Brunei Darussalam rujuk tidak mesti di lakukan di
hadapan Pendaftar. Akan tetapi, rujuk yang dilakukan tidak dihadapan
Pendaftar wajib dilaporkan kepada Pendaftar untuk dicatat.76
Jika
seorang suami melakukan rujuk kepada istrinya, kemudian mereka
tidak memberitahukannya kepada Pendaftar tempat mereka
berdomisili, maka mereka dihukum bersalah dan harus dikenai
sanksi.77
Adapun prosedur pendaftaran rujuk di negara Brunei
Darussalam diantaranya:
1) Suami istri yang akan melakukan rujuk harus melapor atau
mendaftarkan rujuk tersebut kepada Pendaftar tempat mereka
berdomisili78
, dengan mengisi formulir permohonan rujuk dengan
lengkap dalam masa empat belas hari dan menyerahkan
persyaratan berikut: a) Surat pengesahan cerai dari Mahkamah; b)
Membayar pendaftaran rujuk; dan c) Salinan Sijil Perakuan
Cerai.79
2) Apabila rujuk telah dilakukan bukan di hadapan Pendaftar, maka
Pendaftar harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan
75 Hal ini dapat dipahami dari Undang-undnag Keluarga Islam 1999 seksyen 52 ayat (2):
“Pendaftar hendaklah membuat penyiasatan sebagaimana yang mungin perlu dan, jika berpuas hati
bahwa ruju‟ semula telah berlaku mengikut Hukum Syara‟ , hendaklah mendaftarkan ruju‟
semula…” Hukum Syarak ertinya Undang-undnag Islam mengikut mana-mana Mazhab yang
diiktiraf.”
76
Aturan ini sesuai dalam Undang-undang Keluarga Islam 1999 seksyen 52 (1): “Jika,
selepas sesuatu talaq raj‟î dan dalam masa „idah, suami istri telah ruju‟ semula, pihak-pihak itu
hendaklah mendaftarkan hal ruju‟ semula itu dan butir-butir lain yang berkaitan kepada Pendaftar
bagi kawasan di mana mereka bermastautin dalam masa empat belas hari ruju‟ semula itu dalam
borang yang ditetapkan.”
77
Sebagaimana dalam seksyen 52 (4): “Mana-mana pihak kepada suatu perkahwinan yang
tdak mendaftarkan hal ruju‟ semula sebagaimana yang dikehendaki oleh ceraian (1) adalah
melakukan suatu kesalahan dan jika disabitkan kesalahan hendaklah dihukum dernda tidak
melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak melebihi tiga bulan atau kedua-keduanya sekali.” 78
Perintah Darurat UU Keluarga Islam, 1999. Pasal 52 ayat (1) 79
Perintah Darurat UU Keluarga Islam, 1999. Pasal 52 ayat (2)
162
bahwa rujuk yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum
syarak.80
3) Apabila Pendaftar yakin bahwa rujuk yang dilakukan itu sah
menurut hukum syarak, maka Pendaftar mendaftarkan rujuk
dengan membuat endorsemen pada catatan berhubungan dengan
perceraian itu dalam Daftar Perceraian, Pembatalan dan Rujuk.81
4) Apabila perceraian itu tidak didaftarkan dan dilaporkan oleh
Pendaftar sebagaimana ayat (1), maka suami atau istri hendaklah
menuliskan dalam Sijil Cerai nomor berseri dan butiran sijil rujuk
itu, dan mengantarkan sijil cerai itu kepada Pendaftar yang telah
mengeluarkannya bersama denagn satu salinan Sijil Rujuk.
Kemudian Pendaftar yang telah mengeluarkan sijil cerai itu
hendaklah mendaftarkan rujuk dengan disertai membuat
pengesahan pada catatan yang berhubungan dengan perceraian itu
dalam Daftar Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk yang disimpan
olehnya. Maka Pendaftar menyerahkan Salinan Sijil Rujuk itu
kepada Ketua Pendaftar yang akan mendaftarkan rujuknya itu.82
Begitu pun dengan pendapat Panitera Mahkamah Syariah
bahwa: “Prosedur rujuk atau nikah sudah di atur dalam undang-
undang keluarga Islam, baik dari tata caranya maupun sanksi apabila
rujuk atau nikah yang tidak di daftarkan. Dan apabila ada kasus
penolakan rujuk, maka kes ini akan ditangani oleh Mahkamah Syariah
di Brunei ini.”83
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Keluarga Islam
1999, begitu rinci mengatur tata cara rujuk. Namun, dari hasil
80
Pasal 141 ayat (1) ditegaskan bahwa: “Tiap-tiap daftar dan indeks perkahwinan,
perceraian, pembatalan dan rujuk yang disimpan oleh Ketua Pendaftar atau Pendaftar di bawah
Perintah UU ini, hendaklah terbuka untuk diperiksa oleh siapa saja orang yang telah melakukan
pembayaran pendaftaran rujuk yang telah ditetapkan. 81
Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (3). Dalam
Pasal 53 ayat (2) menjelaskan bahwa“Perakuan yang dikeluarkan di bawah ayat (1) hendaklah
didaftarkan di dalam Daftar Perceraian, Pembatalan, dan Rujuk seolah-olah perakuan itu telah
mewujudkan perceraian”. 82
Perintah Darurat (Undang-Undang Keluarga Islam, 1999). Pasal 52 ayat (5).
83
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera Mahkamah
Syariah Bandar Seri Begawan, di ruang tamu Mahkamah Syariah, pada Rabu 31 Mei 2017.
163
wawancara baik di KUA, Pengadilan Agama di Indonesia dan
Mahkamah Syariah negara Brunei Darussalam. Bahwa implementasi
rujuk, baik di Indonesia dan negara Brunei Darussalam jarang terjadi
dengan berbagai alasan. Setidaknya, hukum telah mengatur begitu
rinci tentang rujuk yang pada realitanya tidak terimplementasikan di
Badan Peradilan. Walaupun demikian, dengan adanya peraturan yang
mengatur tentang rujuk, secara tidak langsung memberikan
perlindungan hukum kepada perempuan dan pemenuhan hak-hak
secara seimbang bagi suami dan istri dalam rujuk ini.
Pendapat yang disampaikan oleh Ketua Hakim Agama bahwa:
“Dalam kasus penolakan rujuk jarang terimplementasi, karena
perempuan sendiri tidak menggunakan haknya itu. Kalaupun dia ingin
menolaknya, itu adalah hak masing-masing orang. Tetapi disini,
persetujuan isteri justru sangat diperlukan sebagaimana melakukan
akad pernikahan. Ketika seseorang sudah pisah, sudah cerai maka
haknya menjadi milik masing-masing tidak bisa diatur lagi. Jadi,
perempuan mandiri dengan statusnya sebagai janda dan suami
sebagai duda, pada posisinya suami atau istri tidak bisa memaksakan
bahwa kamu harus kembali kepada pasangan masing-masing.
Mungkin pertimbangan filosofinya, jangan sampai karena tekanan
kemudian istri melakukan rujuk sehingga perlu persetujuan dari istri.
Kita berharap, bila perlu seluruh perceraian itu meskipun endingnya
mereka berpisah tetapi mereka ishlah setelah itu dan ini adalah
harapan kita.84
Ditegaskan pula dengan pendapat Ketua KUA Parung bahwa
kasus rujuk seperti penolakan rujuk yang harus diselesaikan ke
Pengadilan Agama, sampai saat ini KUA belum menangani.
“Rujuk dalam implementasinya saat ini sangat minim sekali baik itu di
KUA dan Pengadilan Agama, bukan berarti tidak ada yang melakukan
rujuk. Tetapi kebanyakan dan pemahaman masyarakat tentang rujuk
itu adalah ketika masa idah sudah berakhir, sehingga rujuk dilakukan
dengan memulai akad baru lagi seperti awal pernikahan. Apalagi
rujuk yang kaitannya dengan penolakan yang dilakukan oleh istri.
Biasanya, ketika ada pasangan suami istri yang ingin melakukan
84 Wawancara pribadi dengan bapak Dr. Sirajuddin Sailellah. M.H. Ketua Pengadilan
Agama Bogor, pada Jum‟at 22 Desember 2017.
164
rujuk, akan diarahkan terlebih dahulu. Apakah yakin ingin kembali
dan sudah difikirkan konsekuensi baik dan buruknya.85
Sama halnya rujuk di negara Brunei Darussalam, yang pada
implementasinya penolakan rujuk yang dilakukan oleh istri jarang
sekali terjadi, kalaupun ada adalah pernikahan yang setelah habis masa
idah dengan memulai akad baru. Hal ini senada dengan pendapat
Awang Haji Azman, Panitera Mahkamah Syariah bahwa:
“Rujuk pada implementasinya di Mahkamah Syariah ini belum
menangani kasus rujuk itu. Namun demikian, dengan adanya aturan
dalam undang-undang keluarga Islam 1999 ini sangat diapresiasi
sekali. Karena dengan adanya aturan tersebut, telah memberikan
kesempatan bagi perempuan untuk bersuara dan menyampaikan hak-
haknya.”86
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa penolakan rujuk pada
implementasinya baik di Kantor Urusan Agama, Pengadilan Agama,
dan Mahkamah Syariah negara Brunei Darussalam tidak terlalu
nampak. Namun dirasa penting dengan adanya peraturan perundang-
undangan yang mengatur rujuk, sehingga hukum tetap mengatur
tentang persoalan rujuk agar tidak terjadi kekosongan hukum.
85 Wawancara pribadi dengan Bapak H. Dadang, MA. Ketua KUA Parung, di Kantor KUA
Kecamatan Parung, pada Senin 18 Desember 2017
86
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera Mahkamah
Syariah Bandar Seri Begawan, di Ruang tamu Mahkamah Syariah, pada Rabu 31 Mei 2017.
165
165
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi ini menghasilkan temuan bahwa hak perempuan menolak
rujuk memiliki legitimasi yang cukup kuat, baik dalam Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-undang Keluarga Islam negara Brunei Darussalam.
Kebolehan menolak rujuk bagi perempuan juga dikuatkan dengan
argumentasi para ulama kontemporer, akademisi, dan praktisi hukum yang
cenderung mengakomodasi gender.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama,
hak perempuan menolak rujuk ditinjau dari berbagai perspektif di
antaranya: a) Menurut hukum Islam hak menolak rujuk dalam konsep
mashlahah mengandung unsur pokok memelihara akal (hîfdz al-‘aql).
Pemeliharaan akal berkaitan dengan cara seseorang bertindak dan berfikir
dengan akal sehat, guna mendatangkan manfaat dan kemaslahatan. Hal ini
bersentuhan dengan psikologis suami istri dalam mengambil tindakan
rujuk. Adapun tingkatan kemaslahatannya termasuk dalam tingkatan
hajjîyah yang menjadi aspek pelengkap dari hukum perkawinan di
Indonesia dan negara Brunei Darussalam; b) Dalam konteks gender bahwa
pasal-pasal yang berkaitan dengan hak perempuan menolak rujuk
cenderung mengakomodir gender, apabila di bandingkan dengan pendapat
fukaha yang tidak memberikan hak rujuk kepada isteri; c) Dalam
pemenuhan Hak Asasi Manusia baik dalam UDHR maupun dalam Islam,
sebagaimana prinsip pelarangan diskriminasi atau pelarangan terhadap
diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Maka
dalam UDHR tercantum pasal 16 ayat (1) bahwa setiap orang dewasa baik
pria maupun wanita, dengan tidak dibatasi kebangsaan, warga negara dan
agama berhak untuk mencari jodoh dan membentuk keluarga; kemudian
166
ayat (2) menjelaskan bahwa baik pernikahan maupun perbuatan rujuk yang
dilakukan suami terhadap istri, harus berdasarkan kerelaan masing-masing
pihak. Dalam Islam, perlindungan terhadap lima unsur pokok
kemaslahatan yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
benda merupakan hak asasi manusia yang harus ada pada diri seorang
muslim . Kedua, pandangan para ulama, akademisi, dan praktisi hukum
dalam melihat masalah rujuk mengalami beberapa perbedaan, sehingga
melahirkan argumentasi yang berbeda pula. Perbedaan pandangan ini
dilatarbelakangi oleh background pendidikan dan status sosial. Namun
demikian, para ulama, akademisi, dan praktisi hukum pada saat ini
bersepakat bahwa perlu adanya persetujuan istri dalam rujuk. Pendapat ini
tentu bertentangan dengan pendapat fukaha terdahulu yang tidak
memerlukan izin rujuk dari istri, dikarenakan istri yang ditalak masih
diberikan tempat tinggal dalam masa idah. Keadaan semacam ini telah
berubah pada masa sekarang, sehingga terjadilah perubahan sosial dan
pola fikir yang dialami perempuan pada saat ini yang menjadikan hukum
bersifat dinamis. Ketiga, implementasi penolakan rujuk baik KUA maupun
Pengadilan Agama, ataupun di Mahkamah Syariah sampai saat ini belum
menangani kasus tersebut. Namun, bukan berarti tidak ada yang
melakukan rujuk atau mendaftarkan rujuknya. Pemahaman masyarakat
tentang rujuk adalah ketika masa idah sudah berakhir, sehingga pernikahan
tersebut dilakukan dengan memulai akad baru. Apabila terjadi perselisihan
antara suami dan istri atas penolakan rujuk yang dilakukan istri, maka dari
pihak KUA akan dilakukan mediasi dan apabila mediasi tidak berhasil
maka pihak KUA akan menyerahkan masalah ini ke Pengadilan Agama.
Begitupun negara Brunei Darussalam, ketika ada sengketa rujuk maka
diselesaikan melalui Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga. Kemudian,
apabila mediasi tidak berhasil maka Pegawai Khidmat Nasihat Keluarga
menyerahkan masalah rujuk ini ke Mahkamah Syarîah. Sehingga,
Mahkamah Syarîahlah yang akan menyelesaikan dan memutuskan perkara
tersebut.
167
B. Saran
Studi ini telah mengelaborasi tentang studi perbandingan hukum
keluarga di Indonesia dan negara Brunei Darussalam, tentang hak menolak
rujuk bagi mantan istri. Kedua negara ini dijadikan sample untuk konteks
Asia Tenggara, penelitian ini mengambil negara yang memang
mencetuskan negaranya sebagai negara Islam. Tentu saja, mungkin sudah
ada penelitian terdahulu yang melakukan studi perbandingan hukum di
Asia Tenggara seperti penelitian tesis ini. Maka dari itu, kajian
perbandingan hukum sebagaimana penelitian ini akan lebih menarik lagi
jika dikaji dengan beberapa negara muslim lainnya di Asia Tenggara,
sehingga menghasilkan penemuan baru yang komprehensip.
Dalam konteks studi perundang-undangan di Indonesia, Kompilasi
Hukum Islam yang didasarkan atas legitimasi Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 cenderung belum memiliki kekuatan hukum tetap. Namun,
pada praktiknya Kompilasi Hukum Islam dijadikan rujukan bagi para
hakim di Pengadilan Agama sebagai bahan pengambilan keputusan. Di sisi
lain, Kompilasi Hukum Islam juga sebagai referensi bagi pencari
keadilan, khususnya bagi perempuan dalam rujuk ini serta memberikan
kejelasan pada masyarakat umumnya, tentang hak seimbang bagi suami
istri. Penelitian ini sebagai masukan untuk pemerintah, agar lebih
memperhatikan derajat perempuan atas haknya sebagai manusia dengan
melihat kepada negara-negara muslim lainya yang menjunjung tinggi
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
168
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: AKAPRES, 1995,
cet. Ke-2.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialektika Pemikiran
Hukum Islam. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011, cet. Ke-1.
Al-Baidhawî. Tafsir al-Baidhawî. Beirut: Dâr al-Nasyr, 1996, Juz 1.
Al-Bughâ, Mustofa Dib, dkk. Fikih Manhajî. terj. Misrah. Yogyakarta: Darul
Uswah, 2012.
Al-Buthŷ, Muhammad Sa‟id Ramadlan. Dhawâbith al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-
Islamîyyah. Damsyiq: t.p, 1967.
Al-Jazîri, Abd al-Rahman. Kitab al-Fiqh ’ala ‘al-Mazahib al-Arbâ’ah. Mesir: al-
Maktabat al- Tijarîyyat al-Kubra, 1969, bab. IV.
Al-Marâghi, Mustafa. al-Fath al-Mubîn fi Thabaqat al-Usuliyyîn. Beirut:
Muhammad Amin Ramj wa Syirkah, 1974, Vol. II.
Al-Qaradâwi, Yusuf. Karakteristik Islam dalam Kajian Analitik. Surabaya:
Risalah Gusti, 1995.
Al-Qayyîm, Ibn. I’lam al-Muwaqqi’in. Mesir: Qahirah, Maktabah Tijariyah, 1955,
juz 3.
Al-Sarâkshî, Syams al-Dîn. al-Mabsûth. Beirut: Dâr al-Ma‟rûfah, 1989, juz 2.
Al-Sayyîs, Muhammad Ali. Tafsîr Ayat al-Ahkam. t.t., t.p., t,th., Juz 1.
Al-Shabûni, Muhammad Ali. Rawai al-Bayan ti Tafsîr Ayat al-Ahkam. t.t: Dâr al-
Fikr, t.th, jilid 1.
Al-Subkî, Taj al-Dîn „Abd al-Wahhabn Ibn. Jam’ al-Jawamî. Mesir: Musthafâ al-
Halabi, 1937.
Al-Sufri, Jamil. History of Brunei in Brief. Brunei: Brunei History Centre,
Ministry of Culture, Youth and Sports, 2000.
Al-Syafi‟î, Muhammad Ibn Idrîs. Syarh al-Ŭmm. Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmîyya
1994, jilid VII.
169
Al-Syatîbi. Al-Muwâfaqat fî Ushul al-Syarîah. Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.,
Jilid I.
Al-Tanûkhi, al-Imam Sahnun ibn Sa‟id. al-Mudâwanah al-Kubra. Beirut: Dâr
Sadir, 1323 H.
Al-Zuhailî, Wahbah. Al-Wasith fî Ushûl al-Fiqh. Damsyîq: al-muthba‟at al-
Ilmîyyat, 1969.
Aness, Munawar Ahmad. Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia.
Bandung: Mizan, 1991, cet. Ke-1.
Anonim. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Cakrawala, 2006.
Arifin, Bushtanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Arifin, Jaenal dan Azharudin Latif. Filsafat Hukum Islam: Tasyri dan Syar’î.
Jakarta: Lemlit UIN Jakarta Press, 2006, ed. Ke-1.
Aristiarini, Agnes. Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender. Yogyakarta: PMII
Komisariat Sunan Kalijaga-Pact-INPI, 1998.
Ash Shiddieeqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1985. ed.
Ke- 1.
--------, Filsafat Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Baderin, Mashood A. International Human Rights and Islamic law, Penerjemah
Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
dan Hukum Islam. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007.cet
ke-1
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid al-Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1996, ed. Ke-1, cet. Ke-1.
Balkie, James. The Life of the Ancient East. New York: The Macmillan Company,
1923.
Besar, Dato Seri Setia Haji Awang Salim Haji. Pentadbiran UU Keluarga Islam:
Pengalaman Negeri Brunei. Institut Kefahaman Islam Malaysia, 1998.
Bhasin, Kamla. Understanding Gender, Terj. Moh. Zaki Hussein. Jakarta: Teplok
Press, 2003. Cet. Ke-3.
170
Brunei Statistical Yearbook. Department Of Statistic, Departmen Of Economic
Planning and Development (Brunei Darussalam: Prime Minister‟s Office,
2011).
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, Ed. 1, cet. Ke-1 dan Ke-4.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Pedoman Penghulu. Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Depag RI. Jakarta: 1995.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama. Pamulang Timur:
Logos Wacana Ilmu, 1997, cet. Ke-1.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. Gender dalam Tatanan Internasional dan Nasional,
dalam Agama, Politik Global dan Hak-hak Perempuan, Din Wahid dan
Jamhari Makruf, (ed). Jakarta: PPM UIN
Effendi, M. Zein Satria. Maqashid al-Syari’ah dan Perubahan Sosial, Makalah
Seminar Aktualisasi Ajaran Islam III. Jakarta: Departemen Agama, 1991.
Elmiyah, Nurul Rosa Agustina dan Erman Rajagukguk. Hukum Adat Dalam
Putusan Pengadilan. Jakarta: Lembaga Studi Hukum Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007. Cet. Ke-1.
El-Muhtaj, Majda. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: Rajawali Pers, 2009, Ed. Ke-2, cet ke-2.
Eposito, John L. (Ed). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World.
New York: Oxford University Press, 1995, Get. 1.
Fadly, Harits. Panduan Hukum Keluarga Sakinah. Surakarta: Era Intermedia,
2005.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2013, Cet. Ke-15.
Fyzee, Asaf A.A. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford, 1960, cet . ke-
3.
171
Hamka, Mutiara Falsafah Buya Hamka: Lembaga Hidup, Ikhtiar Sepenuh Hati
Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuia Ketetapan Ilahi. Jakarta:
Republika Penerbit, 2015. cet. Ke-2.
Hasan, Husein Hamid. Nazâriyah al-maslahah fî al-Fiqh al-Islamî. Mesir: Dâr al-
Nahdah al-„Arabiyyah, 1971.
Hasyim, Syafiq. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Islam, dalam dalam Agama,
Politik Global dan Hak-hak Perempuan, Din Wahid dan Jamhari Makruf,
(ed). Jakarta: PPM UIN Jakarta bekerjasama dengan British Embassy,
2007.
Hidayatullah, Syarif. Qawaid Fiqiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi
Keuangan Syarî’ah Kontemporer (Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, dan
Mu’ashirah). Jakarta: Gramata Publishing, 2012.
Holleman, J. F. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Leiden: The Hague-
Martinus Nijhoff, 1981.
Hooker, M. B. Islamic in South-East Asia, Terj. Rohani Abd. Rohim, dkk.
Malaysia. Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, 1991.
Ibn Qudâmah, Abû Muhammad „Abdillah ibn Ahmad. al-Mughnî wa Syarh al-
Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984. Jjilid VII.
Ismail, Achmad Satori. „Fiqh Perempuan dan Feminisme’ dalam Mansoer Fakih,
et,al., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti, 1996, cet. Ke-1.
Jabatan Hal Ehwal Ugama Brunei, 1954-1979. Brunei: Pusat Dakwah Islamiyah,
1981.
Jaggar, Alison. Political Philosophies of Women’s Liberation, dalam Feminism
and Philosophy, Veterling-Braggin, (ed). West Hartforth: Kumarian Press,
1977.
Kamali, Muhammad Hashim. Freedom Equality and Justicein Islam. Kuala
Lumpur: Ilmiah Publisher SDN, BHR, 1999.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi. Jakarta:
Kencana, 2008, Ed. Ke-1, cet. Ke-3.
172
Kamil, Sukron, dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: Center
for the Study of Religion and Culture [CSRC], 2007, cet. Ke-1.
Kelompok Kerja Convention Watch: Pusat Kajian Wanita dan Gender. Hak Asasi
Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan. Jakarta:
Departemen Pemberdayaan Perempuan, 2006.
Khairat, Ahmad. Markaz al-Maw’ah fî al-Islam. Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1983, cet.
Ke-3.
Khallâf, „Abdul Wahhâb. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Dakwah al-
Islamîyah al- Azhar, 1990.
-------, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Khan, Innamullah (ed). The World Muslim Gazeteer. Delhi: International Islamic
Publisher, 1992.
Krzysztof, Catarina Crause dan Allan Rosas (ed). Social Rights as Human Rights:
A European Challenge. Europe: University Institute for Human Rights,
1994.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.
Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Lev, Daniel S. Islamic Courts in Indonesia: A Study of the Political Bases of Legal
Institutions. Barkelay and Los Angeles: University of California Press,
1972.
Lubis, Sulaikin, et al. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2006, ed. Ke-1, cet. Ke-2.
Ma‟luf, Louis. al-Munjid. Beirut: Dâr al-Masyrig, 1986.
Mahmassani, Subhi. Falsafat al-Tasyrî’ fî al-Islam. Filsafat Hukum Dalam Islam.
Terj. Ahmad Sudjono dalam Filsafat Hukum Dalam Islam. Bandung: al-
Ma‟ârif, 1981.
Mahmood, Tahir . Family Law Reform in the Muslim World. Bombay: Tripathi,
1972.
173
-------, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978.
Manan, Abd. dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1989.
-------, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
-------, Reformasi Hukum Islam di Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Ed. 1, Cet. Ke-1.
Mertus, Julia. Florence Butegwa, dkk, Women, Law & Development International
and Human Rights Watch, Penerjemah Ismu M. Gunawan, Hak Asasi
Manusia Kaum Perempuan Langkah Demi Langkah. Jakarta: LBH Apik
Pustaka Sinar Harapan,2001.
Mesraini, Hak-hak Perempuan Pasca Cerai: Studi Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Pusat Studi dan
Pengembangan Pesantren, 2008, cet ke-1.
-------, Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi Hukum
Islam dalam Perspektif Jender. Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2001.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004.
Moscati, Sabatino. Ancient Semitic Civilizations. London: Eleks Books, 1957.
Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Edisi
dwibahasa. Jakarta: INIS, 1993.
Mughnîyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab. ter. Masykur, dkk. Jakarta:
Lentera, 1999.
-------, al-Ahwal al-Syakhsîyyah. Beirut: Dâr al-Ilm, 1964.
-------, al-Fiqh ‘ala al-Madzahîb al-Khamsah. Beirut: Dâr al-Jawad, 1996. Cet.
Ke-1.
Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
174
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984.
Munir, Lily Zakiyah (ed.). Memposisikan Kodrat Wanita. Bandung: Mizan, 1999.
Muslehuddin, Muhammad. Philosophy of Islamic Law and The Orientalists.
Islamic Publications Ltd, 1980.
Mustofa, dan Abdul Wahid. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika,
2013, ed. Ke- 1, cet. Ke-2.
Nasution, Adnan Buyung. Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Islam dan
Barat, dalam buku Agama dan Dialog Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1996.
Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
danMalaysia. Jakarta: INIS, 2002.
Nowak, Manfred. Introduction to the International Human Rights Regime. Leiden:
Martinus Nijhoff Publishers, 2003.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-3.
Oakley, Ann. Sex, Gender and Society. Inggris: Ashgate, 1972.
Othman, Haji Mahmoed Saedon bin Awang. Undang-undang Islam dalam
Kesultanan Melayu Brunei hingga tahun 1959, bahan kursus Pengesahan
(pentadbiran) Undang-undang dan Kehakiman Islam 1415/1995. Brunei
Darussalam: Kementerian Hal Ehwal Ugama, 1995.
Prajogo, Soesilo. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia. T.tp,: Wipress,
2007, cet. Ke-1.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Penerbit
Sumur, 1974.
Purbacaraka, Purnadi. Perundang-Undangan dan Yurisprudensi. Dalam R.
Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata: Bagian 1 tentang
Kompetensi Kewenangan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
175
Qudâmah, Abû Muhammad „Abdillah ibn Ahmad Ibn. al-Mughnî wa Syarh al-
Kabîr Beirut: Dâr al-Fikr, 1984, jilid VII.
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2010. Cet. Ke-1.
Ramazanoglu, Caroline. Feminism and Contradiction. London: Routledge, 1989.
Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Smith,Rhona K.M. dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008, cet. Ke-1.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Cet ke-2.
Suhayli, Muhammad Amin. Qâ’idah Dâr ‘u al-Mafâsîd Awla Min Jalb al-
Mashalih Dirasah Tahlilîyyah. Mesir: Dâr al-Salam, 2010.
Sukardja, Ahmad dan Mujar Ibnu Syarif. Tiga Kategori Hukum Syariat, Fiqih, dan
Qanun. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Sumitro,Warkum. Perkembangan Hukum Islam di tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia. Malang: Bayumedia, 2005.
Syaltût, Mahmôud. al-Islam Aqidah wa Syarî’ah. Beirut: Libanon, Dâr al-Qalam,
1966.
Syantawî, Ahmad. Dairah al-Ma’arif. Beirut: Dâr al-Fikr, t. th. ed. Ke-III.
Syarifuddin, Amir . Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008. Ed. 1, Cet. Ke-8.
-------, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007, Ed. Ke-1.
-------, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya, 1993.
-------, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos, 1997.
Tamit, Hajah Saadiah binti Datu Derma Wijaya Haji. Institusi Keluarga dan
Undang-Undang. Bandar Seri Begawan: Pusat Da‟wah Islamiah , 2012,
cet. Ke-2.
176
-------, Suara Wanita Brunei. Bandar Seri Begawan: Akademi Pengajian Brunei
Univeristi Brunei Darussalam, 2015, Jilid 4.
Thahir, A. Halil. Ijtihad Maqasidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis
Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2015,
cet. Ke-1.
Thalib, Sayuthi. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1982, cet. Ke-3.
Tim ICCE, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: A More Comprehensive
Introduction, Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra,
2010), Cet. Ke-5.
Tuah, Zainab Binti Awg Haji. Perkembangan Pentadbiran Mahkamah Syariah di
Brunei Darussalam. Kuala Lumpur: Jabatan Syariah dan Undang-undang
Akademi Pengajian Islam, 2009.
Umam, Khairu Umam, at.al; Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Gradedia Pustaka Utama Paramadina, 1999. Cet ke-1.
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001, cet. 2.
Vries, Dede Wiliam-de. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi
Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for Internasional Forestry
Research (CIFOR), 2006.
Wafî, Al-Abd al-Wahid. Al-Musâwa fî al-Islam. Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, t.th).
Washil, Nash Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawaid
Fiqhiyyah. Penj. Wahyu Setiawan. Jakarta: CV. Amzah, 2009. Cet. Ke-1.
Yamani, Ahmad Zaki. Syarîat Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini. Jakarta: t.p.,
1978.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010. Cet ke-1.
Zahrah, Muhammad Abû. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr al-Arab, 1958.
177
Zurinal. Z dan Aminuddin. Fiqih Ibadah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2008, cet. Ke-1.
Perundang-undangan
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam: Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan. Bandung: Fokus
Media, 2010.
Perlembagaan Negara Brunei Darussalam (Perintah di bawah bab 83 (3)) Perintah
Darurat (Undang-undang Keluarga Islam), 1999. Bandar Seri Begawan:
Jabatan Percetakan Kerajaan, 1999.
Undang-undang Negara Brunei Darussalam Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-
Mahkamah Kadi Penggal 77. Bandar Seri Begawan: Jabatan Percetakan
Kerajaan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-
Undang RI Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk di Seluruh Daerah Jawad dan Madura.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jakarta: Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri, 1974.
Jurnal
Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mustashfâ min al-Ulum al-Ushul. Beirut: al-Resalah,
1997, Vol. I, Hidayat, Maskur. Konsep Negara Kemaslahatan: Telaah
Terhadap Toeri Negara Menurut Imam Al- Mawardi, Thomas Hobbes,
John Locke, dan Jean Jacques Roussean. Surabaya: Laros, t.th.
Faiz, Pan Mohamad. “Teori Keadilan John Rawls”. Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No.
1. Jakarta: April, 2009.
Hamdani,Muhammad Faisal. Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif HAM
Universal (UDHR) dan HAM Islam (UIDHR). Jurnal Ahkam Ilmu Syariah,
Januari. Vol. XVI, No. 1
178
Harahap, Yahya. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum, No.4 Tahun II, 1991.
Jakarta: Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan peradilan
Departemen Agama, 1991.
Vasak, Karel. “A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of
Law to the Universal Declaration of Human Rights”, Unesco Courier,
November, 1977.
Watson,Burns H. Human Rights, dalam Robert P. Gwinn, et.al. (ed), The New
Encyclopaedia Britannica, ed. Ke-15, vol. 20. Chicago: the University of
Chicago, 1986.
Yumarni, Pemerolehan Bahasa dan Pembelajaran Kesetaraan. Jurnal Harkat
Media Komunikasi Gender, Vol. 8, No. 1 Oktober 2007.
Internet
“The World Fatcbook: Negara Brunei Darussalam”, diakses dari
https://wikipedia. org, pada Kamis, 2 November 2017.
Astuti, Ratna Hildya. Sejarah Feminisme. Diakses dari http://jendelagender.
blogspot.co.id/ 2013/11/ sejarah-feminisme.html pada Kamis, 02 Maret
2017.
Badan Pusat Statiska, Indonesian Population Projection 2010-2035. Jakarta:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pusat Statistik
[United Nations Population Fund], 2013. Diakses dari
https://www.bps.go.id, pada Kamis, 12 Oktober 2017.
-------, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Sensus Penduduk
2016. Jakarta-Indonesia: BPS–Statistics Indonesia, 2013. diakses dari
https:// www.bps. go. id, pada Kamis, 12 Oktober 2017.
-------, Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang dianut:Sensus Penduduk
2010. Jakarta Indonesia: Badan Pusat Statistik, 2010, diakses dari
https://id.m.wikipedia.org, pada Kamis, 12 Oktober 2017.
179
Eko Prasetya, (Reporter), Dari 17.504 Pulau di Indonesia, 16.056 telah
diverifikasi PBB, diakses dari https://id.m.wikipedia.org pada Kamis, 12
Oktober 2017.
Hidayat, Racmat Taufik dkk. Almanak Alam Islami. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000,
diakses dari https://wikipedia.org pada Selasa, 5 Desember 2017.
Lahadu, AD. Problem Perempuan Jurnalis Dalam Praktik Jurnalisme Berspektif
Gender, tahun 2012. Diaskes dari http://ejournal.uajy.ac.id/1055/2/
1KOM0320. pdf pada Kamis, 02 Maret 2017.
Lianawati, Ester. A Feminist Psychologist’s Blog, diakses dari https:// esterliana
watiwordpress.com pada Kamis, 02 Maret 2017.
Mubarak, Jaih. Ijtihad Kemanusiaan. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005),
diakses dari Makalah Fatwa https://sina-na.blogspot.co.id. Pada Selasa, 5
desember 2017.
Saul, Jennifer. Implicit Bias, Stereotype Threat, and Women in Philosophy,
diakses dari http:// www.sheffield.ac .uk/polopoly_fs/1.394073!/file/saul_
implicit.pdf pada Kamis, 02 Maret 2017.
Tierney, Helen, (ed). Women’s Studies Encyclopedia. Inggris: Greenwood Press,
1999, diakses dari http://gem.greenwood.com pada Selasa, 28 Februari
2017.
Interview
Konsultasi Pribadi dengan Prof. M. Atho Mudzhar. Guru Besar Fakultas Syariah
dan hukum. Di ruang Dosen Pasca sarjana UIN Jakarta. Senin 26 Februari
2018.
Wawancara pribadi dengan Awang Haji Azman bin Haji Ismail. Panitera
Mahkamah Syariah Bandar Seri Begawan. Di Ruang tamu Mahkamah
Syariah, pada Selasa 31 Mei 2017.
Wawancara pribadi dengan Bapak H. Dadang. Ketua Kantor Urusan Agama
Kecamatan Parung, pada Senin 18 Desember 2017.
180
Wawancara pribadi dengan DR. A. Sudirman Abbas, MA., sebagai akademisi. Di
rumah beliau Jl. Ali Andong, Bojong Sari, pada Kamis, 21 desember
2017.
Wawancara pribadi dengan Dr. Sirajuddin Sailellah, MH. Ketua Pengadilan
Agama Bogor, pada Jum‟at 22 Desember 2017.
Wawancara pribadi dengan Dr. A. Mukri Aji, MA. Ketua Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Bogor. Di Rumah Jl. H. Mawi Parung, pada Sabtu
23 Desember 2017.
Wawancara pribadi dengan Prof. Huzaemah Tahido Yanggo. Ulama Perempuan
MUI Pusat. Di ruang Rektor IIQ. Jum‟at 2 Maret 2018.
Wawancara pribadi dengan Ustad Baihaqy. Ulama di Kolej University Perguruan
Ugama Seri Begawan, pada Rabu 30 Mei 2017.
Wawancara pribadi dengan Waiduri binti Hajah Mohammad Ali, Dosen Syariah
Kolej University Pendidikan Ugama Badar Seri Begawan. Di ruang
meeting Fakultas Syariah, pada 1 Juni 2017.
TRANSKIP WAWANCARA DAN KOSNSULTASI TENTANG RUJUK
Nama : Drs. H. Dadang, MA
Jabatan : Kepala KUA Kecamatan Parung
Alamat : Bojong Gede Kabupaten Bogor
Pertanyaan:
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk adalah suatu perbuatan atau kembalinya seorang suami atau
istri dalam masa idah talak raj’i, yang mana di dahului oleh masa
idah yang belum berakhir guna untuk masa berfikir bagi pasangan
suami isteri tersebut. Apakah perceraian yang mereka ambil ini
benar-benar baik untuk masa depannya terlebih kepada anak-
anaknya, hikmah dari masa menunggu atau idah itu sangat besar
sekali dan tidak hanya untuk mendeteksi apakah ada janin atau tidak
di dalam Rahim si istri. Maka dengan masa idah itu suami isteri
dapat rujuk atau bersatu kembali dengan isterinya tanpa
menggunakan akad baru lagi.
2. Bagaimana implementasi rujuk saat ini dan apakah ada rujuk dalam
masa talak raj’i yang didaftarkan di KUA Parung?
Jawab: Rujuk dalam implementasinya saat ini sangat minim sekali baik itu
di KUA dan Pengadilan Agama, bukan berarti tidak ada yang
melakukan rujuk. Tetapi kebanyakan dan pemahaman masyarakat
tentang rujuk itu adalah ketika masa idah sudah berakhir, sehingga
rujuk dilakukan dengan memulai akad baru lagi seperti awal
pernikahan. Apalagi rujuk yang kaitannya dengan penolakan yang
dilakukan oleh isteri. Biasanya, ketika ada pasangan suami isteri
yang ingin melakukan rujuk, akan diarahkan terlebih dahulu.
Apakah yakin ingin kembali dan sudah difikirkan konsekuensi baik
dan buruknya. Kalaupun memang sampai terjadi perselisihan antara
suami dan isteri, atau penolakan rujuk oleh si isteri karena alasan
yang masuk akal, maka dari pihak KUA akan dilakukan mediasi
(sharing dan pengarahan) terlebih dahulu sampai tiga kali
pemanggilan pasangan suami istri tersebut. Lalu apabila mediasi
dari KUA tidak berhasil dan masalahnya semakin rumit, maka pihak
KUA akan menyerahkan masalah ini ke Pengadilan Agama sesuai
dengan kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang rujuk seperti Kompilasi Hukum Islam.
3. Bagaimana prosedur rujuk yang di atur dalam undang-undang
perkawinan dan di implementasikan di KUA ini?
Jawab: Prosedur rujuk sama dengan prosedur pendaftaran nikah. Pasangan
suami istri datang ke KUA yang mewilayahi tempat tinggal suami
istri dan membawa berkas-berkas yang diperlukan seperti tentang
surat penetapan terjadinya talak dahulu. Lalu setelah itu akan
diperiksa oleh Pegawai Pencatat Nikah tentang berkas-berkas dan
syarat-syarat rujuk tesebut. Setelah berkas sudah lengkap, maka
suami mengucapkan ikrar rujuk dan menandatangi Buku
Pendaftaran Rujuk dengan menyertakan para saksi. Setelah sah
rujuk lalu kami (Pegawai Pencatat Nikah) menasehati tentang
hukum rujuk tersebut sesuai dengan hukum agama dan perundang-
undangan, lalu Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan
tentang terjadinya rujuk ke Pengadilan Agama. Prosedur ini tidak
berbeda jauh dengan pendaftaran nikah.
4. Mengenai anggaran dan biaya rujuk bagaimana?
Jawab: Mengenai biaya rujuk sekarang merujuk kepada peraturan baru.
Biaya rujuk sama dengan biaya pendaftaran nikah, yaitu Rp
600.000,- (Enam Ratus Ribu Rupiah) untuk nikah dan rujuk yang
dilakukan diluar KUA baik hari kerja dan hari libur. Nikah dan
rujuk yang dilakukan di KUA pada hari kerja tidak dipungut biaya
sama sekali atau gratis, kecuali nikah dan rujuk yang dilakukan di
KUA pada hari libur tetap dikenai biaya Rp 600.000,- (Enam Ratus
Ribu Rupiah). Adapun bagi pasangan calon suami istri yang ingin
menikah atau rujuk tetapi tidak mempunyai biaya dan ingin
menikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama, maka calon
pasangan tersebut tidak dikenai biaya dengan catatan harus
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Desa setempat.
5. Lalu bagaimana tata cara pembayaran nikah dan rujuk sekarang ini?
Jawab: Tata cara pembayaran pendaftaran nikah dan rujuk sekarang sedikit
berubah, tetapi tetap melibatkan KUA dalam pembayaran ini. Yang
mana dahulu pendaftaran nikah dan rujuk hanya disetorkan Rp
35.000,- (Tiga Puluh Lima Ribu Rupiah) ke Kementerian Agama
dan langsung membayar ke KUA setempat melalui Pegawai KUA.
Peraturan saat ini, pasangan suami isteri atau pun yang mewakili
seperti RT, RW, ataupun Pembantu Pegawai Pencatat Nikah datang
ke KUA dengan membawa berkas-berkas dan persyaratan yang
diperlukan ke Kantor Urusan Agama, lalu dari pihak KUA
memberikan Nomor bil kepada pendaftar untuk digunakan dalam
pembayaran di Bank yang telah ditunjuk oleh Kementerian Agama.
Jadi, KUA tidak berurusan lagi dalam penerimaan biaya atau
anggaran pernikahan dan rujuk hanya membantu proses atau cara
penyetoran uang ke Bank dengan memberikan nomor bil tersebut.
Maka dari itu semuanya riil langsung ke Pemerintah melalui Bank.
6. Pasal 164 dan pasal 165 saling berkaitan yaitu tentang kewenangan istri
menolak atau keberatan dengan rujuk yang diajukan oleh mantan
suaminya, lalu ditegaskan apabila rujuk yag dilakukan tanpa
persetujuan istri, dapat dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Agama.
Bagaimana pandangan anda sebagai Pejabat Kantor Urusan Agama?
Jawab: Kami selaku Pegawai Pencatat Nikah, hanya menjalankan tugas dan
mengikuti aturan hukum yang sesuai dengan undang-undang.
Adapun untuk kewenangan isteri dapat menolak rujuk yang
diajukan suami, itu sah-sah saja. berarti memang undang-undang
dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam sangat menghargai dan
memberikan perlindungan kepada isteri agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Dan kami akan melakukan tindakan sesuai
prosedur apabila memang terjadi hal penolakan rujuk yang diajukan
di KUA ini.
7. Menurut anda, apakah Kompilasi Hukum Islam ini adalah suatu bentuk
perlindungan hukum bagi perempuan atau dalam hal ini bagi seorang
istri?
Jawab: Seperti yang tadi saya katakana, Kompilasi Hukum Islam sangat
memberikan perlindungan bagi kaum perempuan khususnya isteri,
karena apabila isteri menerima rujuk dari suami dan akan
mendatangkan mudharat dikemudian hari, maka hak-hak istri tidak
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam.
HASIL WAWANCARA
Nama : Dr. H. Sirajuddin Sailellah, SH. MH
Jabatan : Ketua Pengadilan Agama Kota Bogor
Alamat : JL. Yasmin Kota Bogor
Pertanyaan:
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Bahwa rujuk itu harus ada kesepakatan antara kedua belah
pihak. Tidak akan mungkin ada rujuk kalau hanya dilakukan
sepihak saja, karena ketika perkara sudah diputus sejak itu
masing-masing punya hak menentukan apa-apa untuk
kedepannya. Sebetulnya setiap kali ada persidangan mulai dari
awal mereka sudah melakukan mediasi setelah itu kita masih
nasehati lagi. Tujuannya apa, agar mereka bisa rujuk sebelum
ada putusan pengadilan. Konteks rujuk yang kita pahami
adalah setelah cerai padahal kan rujuk itu kembali atau ishlah,
tidak mesti ada perceraian kalau bisa sebelum ada putusan
pengadilan ia bisa rujuk kembali. Terkadang menjadi sangat
dilematis satu sisi masih ingin kembali dan satu sisi tidak ingin
lagi kembali. Padahal persoalannya tidak rumit hanya
persoalan rasa gengsi saja. Jadi, kalau saya ditanya tentang
pandangan rujuk bahwa rujuk adalah hak masing-masing orang
untuk kembali, seperti tadi ketika isterinya ingin kembali tetapi
suaminya tidak mau atau sebaliknya suami ingin kembali tetapi
istri tidak mau, ya tidak bisa dipaksakan.
2. Apakah rujuk terimplementasikan di Pengadilan Kota Bogor ini?
Jawab: Kalau di Bogor sendiri memang belum pernah menangani kasus
sengketa rujuk seperti itu dan bahkan belum pernah ada. Karena
mungkin tadi persoalannya ada rasa gengsi, yang tadinya
mereka berseteru tiba-tiba akur malu mereka dengan Majelis
Hakim hal seperti itu hanya analisis saya. Kemungkinan karena
faktor gengsi yang tadinya tidak akur, kita lakukan mediasi
sehingga kalaupun mereka akur biasanya memulai akad baru.
3. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak menjelaskan
tentang rujuk ataupun tata cara rujuk. Berbeda dengan Kompilasi
Hukum Islam yang menjelaskan tentang rujuk sekaligus dengan tata
caranya. Bagaimana pandangan anda?
Jawab: Undang-undang nomor 1 tahun 1974 memang tidak membahas
rujuk atau merincinya sebagaimana halnya dengan Kompilasi
Hukum Islam, dari kewenangan isteri dan tata caranya diatur.
Namun demikian, kedua peraturan ini adalah rujukan bagi para
hakim, dan pegawai pencatat nikah dalam melaksanakan tugas.
Kompilasi Hukum Islam adalah rincian dari undang-undang
perkawinan nomor 1 tahun 1974, khususnya bagi orang Islam.
Saya rasa, dengan adanya Kompilasi Hukum Islam sangat
membantu untuk menyelesaikan suatu perkara yang memang
belum diuatur sebelumnya seperti rujuk ini.
4. Dengan diaturnya rujuk dalam Kompilasi Hukum Islam, apakah itu
suatu bentuk perlindungan untuk perempuan?
Jawab: Kemudian dari proses pengajuan perkara saja sampai
pemanggilan diutamakan kepentingan perempuan seperti cerai
gugat diajukan ditempat istri atau cerai talak diajukan ditempat
tinggal isteri, kemudian kan ada indikator bahwa perempuan
sangat diposisikan pada posisi diuntungkan dengan Kompilasi.
Belum hak-hak lain seperti dibolehkan pengadilan atau hakim
memutus secara ex officio karena jabatannya, menyambung hak-
hak isteri meskipun dia tidak butuh atau menuntut karena
mungkin awam. Hakim yang memutus memberikan nafkah
idahnya, mut’ah, hadhanah dan sebagainya. Itu artinya
pengadilan agama dalam menerapkan Kompilasi Hukum Islam
sangat menghargai posisi kaum perempuan. Misalnya hari ini
pun kita rayakan hari ibu.
5. Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal 164 dan 165 Kompilasi
Hukum Islam, apakah yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum
Islam memang bertujuan bagi pihak isteri dalam menerima atau
menolak rujuk suaminya, dengan dua alasan yang pertama, istri
ragu-ragu dengan kembalinya suami tersebut dan kedua, istri
trauma dengan menjalani kehidupan dengan mantan suaminya
sehingga berakibat memberikan mudharat, atau bagaimana
menurut anda?
Jawab: Kami belum punya data tentang itu, sebab sampai hari ini belum
pernah ada yang datang melayangkan berita atau meminta
rekomendasi rujuk atau ingin nikah kembali belum ada. Karena
seperti yang saya katakan tadi, kalo rujuk itu biasanya setelah
habis masa idahnya lalu melakukan akad lagi, saya belum
mempunyai data yang mana sih yang membuat mereka (istri)
menolak rujuk yang dilakukan suami. Mungkin untuk lebih
yakin telusuri di Kantor Urusan Agama, alasan orang menolak
rujuk itu apa dan bagaimana.
6. Bagaimana Kesimpulan mengenai Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur rujuk, namun implementasinya sangat jarang dan hampir
tidak ada baik di KUA maupun di Pengadilan Agama?
Jawab: Kesimpulannya, bahwa perempuan sendiri tidak menggunakan
haknya itu. Kalaupun dia ingin menolaknya, itu adalah hak
masing-masing orang. Tetapi disini, persetujuan istri justru
sangat diperlukan sebagaimana melakukan akad pernikahan.
Jadi ketika seseorang sudah pisah, sudah cerai maka haknya
menjadi milik masing-masing tidak bisa diatur lagi. Jadi,
perempuan mandiri dengan statusnya sebagai janda dan suami
sebagai duda, pada posisinya suami atau istri tidak bisa
memaksakan bahwa kamu harus kembali kepada pasangan
masing-masing.
Mungkin pertimbangan filosofinya, jangan sampai
karena tekanan kemudian isteri melakukan rujuk sehingga perlu
persetujuan dari isteri. Kita berharap, bila perlu seluruh
perceraian itu meskipun endingnya mereka berpisah tetapi
mereka ishlah setelah itu dan ini adalah harapan kita. Kalau
terkait dengan hak perempuan isteri berhak menentukan sikap
tidak mungkin di bawah tekanan atau karena terpaksa. Maka
hak tersebut tidak bisa dipaksakan, karena itu adalah hak
masing-masing perempuan untuk menentukan masa depannya
apakah ia mau rujuk ataupun mencari pasangan baru. Apakah
karena pertimbangan trauma takut terulang seperti itu lagi.
Kalau saya secara pribadi, berikan kemandirian kepada seorang
isteri untuk menentukan sikap dan pilihan dalam menghadapi
tekanan ataupun sifatnya yang menyudutkan kaum perempuan.
kalaupun isteri tidak menerima rujuk suaminya maka jangan
dipaksakan, apalagi sampai diancam dengan tidak memberikan
harta itu tidak bisa karena tidak berpengaruh hak istri dengan
perkawinan itu tidak berpengaruh dia rujuk atau tidak.
Diceraikan pun isteri bisa menuntut hak-haknya setelah
perceraian.
HASIL KONSULTASI
Nama : Prof. Atho’ Mudzhar, MSPD
Jabatan : Guru Besar FSH UIN Jakarta
Alamat : Konsultasi Pribadi Pasca Sarjana UIN Jakarta
Pertanyaan:
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Apabila anda memang membahas rujuk. maka bahas lah dengan
melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan multi
perspektif.
2. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 rujuk tidak diatur tetapi
dalam Kompilasi Hukum Islam diatur sangat rinci, bagaimana menurut
anda?
Jawab: Itu memang sudah aturannya, nah tugas anda sekarang mencari
mengapa hal itu bisa terjadi. Fukaha itu kan berpendapat dalam hal
yang konservatif jadi sah-sah saja, ketika meneliti sesuatu hal yang
memang memberikan suatu pembaharuan pendapat guna
memberikan jawaban persoalan saat ini.
3. Apakah para Imam Mazhab senada dengan Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-undang Keluarga Islam dalam memberikan perlindungan
hukum bagi perempuan dalam rujuk ini?
Jawab: Jelas, semua ulama mempunyai keahlian masing-masing pada
zamannya.
4. Pendapat anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan isteri?
Jawab: Istri boleh menolak rujuk yang dilakukan oleh suami dengan alasan
tertentu. Dan hal ini dapat dikaji lagi dengan melihat pendapat
fukaha, peraturan perundang-undangan, dan masalah yang berkaitan
dengan hal itu. Analisisnya pun nanti akan terlihat, dengan
menggunakan analisis vertikal, horizontal, dan diagonal. Karena hal
ini bersifat konservatif.
HASIL WAWANCARA
Nama : Dr. Sudirman Abbas, MA
Jabatan : Akademisi
Alamat : JL. Ali Andong, Bojong Sari
Pertanyaan:
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Menurut saya rujuk adalah perbuatan yang baik. Di mana banyak
sekali dalam Alquran ayat tentang rujuk suami kepada isterinya
dengan mendatangkan kebaikan. Rujuk itu banyak macamnya,
apakah rujuk pada masa idah talak raj’i maka tanpa memulai akad
baru sedangkan rujuk setelah masa idah maka wajib memulai akad
baru seperti halnya pernikahan.
2. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 rujuk tidak diatur tetapi
dalam Kompilasi Hukum Islam diatur sangat rinci, bagaimana menurut
anda?
Jawab: Bagaimana Kompilasi Hukum Islam bisa menyimpulkan bahwa
rujuk dalam masa idah talak raj’î yang tidak disetujui oleh istri itu
tidak bisa terjadi, tentu itu semua dari fikih. Jadi, sesungguhnya
tidak ada persoalan. Ulama membawa kitab saat merumuskan baik
di Indonesia, Brunei dan Malaysia yang serumpun bermazhab
Syafii sentries, para mazhab itu antara lain mewajibkan harus
adanya saksi. Imam Syafii mengatakan “Laa nikaha ila bi waliyin
wa sahidin adlin” dua orang saksi dan wali, kalau mazhab Hanafi
tidak ada wali tidak apa-apa tetapi harus memenuhi empat
syaratnya dan sesungguhnya bunyinya sama tidak ada yang
berbeda. Siapa yang berhak menikahkan seorang gadis yang sudah
dewasa dan dia rasyidah (mampu mengurus kebutuhannya sendiri),
dewasa dan baligh dalam pengertian rasyidah itu. Usianya
berapapun tidak menjadi ukuran, maka yang menjadi ukuran
standarnya dari balighnya, usianya sudah menstruasi, ia mampu
mengurus dirinya sendiri dan dilengkapi dengan mahar mitsil serta
kufu. Jadi Kompilasi Hukum Islam ini dari mana? Dari fikih. Nah
kita yang mendetailkan, karena tidak ada dalam fikih. Apa yang
dikatakan para Imam Mazhab, maka kita yang mendetailkan dan
melengkapkan seperti proses dan sebagainya.
3. Pasal 164 dan pasal 165 Kompilasi Hukum Islam dibandingkan dengan
pernyataan yang dijelaskan fukaha
Jawab: Abu Hanifah mengatakan seorang wanita janda berhak menikahkan
dirinya tetapi dengan empat (4) syarat: 1) balighah, 2) Rosyidah
(mampu mengurus kebutuhannya sendiri), 3) Mahar Mitsil, dan 4)
Kufu atau sekufu dari segala arah. Itulah seorang wanita janda boleh
menikahkan dirinya, tetapi Abu Hanifah tidak menolak seorang
ayahpun ketika hadir tidak ditolak, kalaupun ada jauh lebih baik
jangan dipisah menurut Abu Hanifah. Manakala seorang gadis wali
berhak memaksakan (wali mujbir) tetapi nanti perempuan ini
mempunyai hak pilih ketika ia dewasa, mana yang dianut
sesungguhnya seorang laki-laki itu mengetahui calon istrinya
sehingga walipun mengetahui calon menantunya.Berangkat dari sini
saja, pendapat Abu Hanifah dapat dijadikan dasar ketika seorang
wanita itu sudah dewasa maka dewasa itu ada dua pengertian
pertama, dewasa dalam pengertian usia dalam undang-undang No. 1
Tahun1974. Masalah kedewasaan ini tidak dibincangkan juga oleh
fikih atas dasar itu juga fikih tidak membincangkan persetujuan
isteri dan makna rujuk. Rujuk itu tentu dikembalikan pada pendapat
para ulama tadi sehingga tidak memaksakan kehendaknya untuk
menikahkan putrinya tetapi putrinya mempunyai hak untuk menolak
ketika dia sudah dewasa. Maka saat kita menentukan dewasa dari
aspek umur maka itu ukurannya.
Tetapi merujuk pada peristiwa Rasulullah, Aisyah dinikahi itu
dalam usia ada yang mengatakan 9 tahun ada yang mengatakan 13
tahun. Mana yang benar? Aisyah dinikahkan oleh Rasulullah itu
lebih pertama ketimbang Saudah, para sahabat ketika Rasulullah
bersedih dihibur dnegan Isra Mi’raj dan sahabat tidak berani
menegur Rasulullah. Sampai satu sahabat datang lalu mengaakan:
Ya Rasul, aku melihat engkau bersedih begini tetapi manakala
engkau aku nikahkan dengan Saudah. Lalu Rasul senang dan
kemudian dalam sejarahnya, rasul lalu mengatakan: Lalu bagaimana
mengurus keperluannya (keperluan pribadi)? Sahabat menjawab:
Aku sudah paham, untuk merespon hal itu maka aku nikahkan
engkau dengan Saudah. Kemudian Aisyah di dukhul ketika sudah
dewasa dan berada di Madinah. Di satu sisi ada janda, nah
berkembanglah pendapat ulama yang mengatakan “boleh tidak
menikahkan janda itu tanpa wali atau tidak, lalu bagaimana? Tetapi
sepakat seluruh ulama seorang perempuan itu wajib dinikahkan
dengan walinya dan dua orang saksi, bilamana dinikahkan tanpa
wali maka pernikahan tersebut tidak sah. Lalu bagaimana dengan
pendapat Abu Hanifah yang mengatakan empat syaratnya tidak
berarti dia menolak wali , beliau hanya mengatakan kedatangan wali
jauh lebih baik dan afdhol ketimbang tidak ada wali. Apabila tidak
ada wali, maka sang janda boleh menikahkan dirinya tetapi dengan
emapat syarat tadi.
4. Apakah para Imam Mazhab senada dengan Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-undang Keluarga Islam dalam memberikan perlindungan
hukum bagi perempuan dalam rujuk ini?
Jawab: Kompilasi Hukum Islam itu lahir dari pendapat para ulama yang
merujuk pada ulama klasik. Jadi, tidak mungkin mereka tidak tahu
dan tidak mempunyai pendapat. Jadi apa yang disimpulkan oleh
Kompilasi Hukum Islam adalah pendapat ulama tempo dulu, apabila
ditanyakan apakah ada perlindungan bagi perempuan? jelas ada
perlindungan, karena ada hak perempuan untuk menolak.
Contohnya dalam Qs. al-Baqarah ayat 232 yang menyatakan bahwa
Jangan kamu halangi ketika perempuan ingin kembali kepada
suaminya dan kebalikannya dan jangan kamu halangi pula dia untuk
menolak kembali kepada suaminya atau jangan dipaksakan untuk
kembali.
5. Pendapat anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan isteri?
Jawab: Karena terkait tentang fiqhiyyah, “Mengutamakan sisi mudharat
untuk dihindari jauh lebih utama ketimbang kita memilih atau
memikirkan sisi manfaatnya dahulu.” Jadi kemungkinan mafsadat
itu lebih dikedepankan dari pada memikirkan hal-hal yang bersifat
mafsadat. Dari kaidah itu dapat disimpulkan bahwa hak perempuan
jauh lebih diutamakan, karena dia sendiri yang merasakan
maslahatnya itu. Logikanya rujuk saja yang tidak
terimplementasikan diberikan perlindungan hukum, apalagi kasus
yang sering terjadi. Alquran sering membincangkan sahabat sahaya,
seolah-olah membincangkan sesuatu yang sudah kumuh, sebenarnya
tidak. Justeru hal yang ditinggalkan dan tidak pernah terjadi ditutup
rapat-rapat agar tidak terjadi lagi.
HASIL WAWANCARA
Nama : Prof. Huzaemah Tahido Yanggo
Jabatan : Ulama Perempuan Majlis Ulama Indoneisa Pusat
Alamat : Ruang Rektorat IIQ Jakarta
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk adalah perbuatan yang dilakukan suami untuk dapat kembali
dengan istrinya. Ini adalah suatu perbuatan terpuji dan baik
menurut saya.
2. Apa yang dimaksud dalam padal 164 dan 165 Kompilasi Hukum Islam
dengan pendapat fukaha tentang rujuk?
Jawab: Sesuatu permasalahan tidak boleh diselesaikan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan Alquran. Apa yang diatur dalam Alquran
tentang pernikahan, maka harus diikuti kecuali memang ada hal
yang harus diselesaikan dengan melibatkan badan hukum seperti
Pengadilan Agama. Begitu juga dengan permasalahan rujuk, maka
KUA dan Pengadilan Agama lah yang berwenang menyelesaikan.
3. Menurut anda sudahkah Kompilasi Hukum Islam memberikan
perlindungan bagi perempuan?
Jawab: Jelas, karena kan memang sebagian besar perkawinan dan
perceraianorang Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
4. Apakah para fukaha demikian memberikan perlindungan bagi
perempuan dalam rujuk ini?
Jawab: Fukaha saat itu memutuskan masalah sesuai dengan kondisi
masyarakatnya, tetapi mereka juga mempunyai alasan yang sangat
mendukung pada saat itu. Alasan fukaha, mengapa istri tidak boleh
menolak rujuk suami. Karena pada masa itu isteri yang dicerai
masih diberi tempat tinggal dan nafkah. Sehingga, dalam masa
berfikir itu isteri tidak mempunyai alasan dan kesempatan untuk
menolak mantan suaminya dengan pemenuhan nafkah tersebut.
Jadi, apa yang terjadi pada masa lampau masih berlaku juga pada
masa sekarang. Kalaupun isteri menolak rujuk suami, apa
alasannya padahal hak dan kewajiban suami dalam masa idah
terpenuhi.
5. Pandangan anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan isteri?
Jawab: Sebagai ulama perempuan, bukan berarti saya membela perempuan
dalam urusan yang memang tidak sesuai dengan Alquran. Menurut
saya, hak perempuan menolak rujuk itu boleh apabila mantan
suami tidak memenuhi hak dan kewajibannya selama masa idah
berlangsung. Itu artinya, suami telah menelantarkan isteri atas hak
dan kewajibannya dalam masa idah itu. Jika memang demikian,
isteri boleh menolak rujuk suami karena tidak memperhatikan istri
dalam hal nafkah. Kemudian masalah ini kan nantinya akan
diputus dan diselesaikan oleh Hakim. Hakim pun akan melihat,
mengapa istri menolak rujuk suami. Jadi, menurut saya aneh sekali
apabila istri menolak rujuk suami, sedangkan hak dan
kewajibannya pasca cerai terpenuhi. Kalaupun memang alasannya
suami akan berbuat hal yang buruk, mengapa istri tidak menggugat
cerai suami saja pada awal itu kan lebih masuk akal.
HASIL WAWANCARA
Nama : Dr. KH. Mukri Aji, MA.
Jabatan : Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bogor
Alamat : JL. H. Mawi Parung-Bogor
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk adalah kembalinya pasangan suami dan istri tentunya untuk
membentuk kelurga yang baik dan harmonis dari kehidupan
sebelumnya atau untuk memperbaiki hubungan yang rusak dahulu
menjadi lebih baik. Karena hikmah idah adalah masa berfikir bagi
pasangan suami dan isteri, apakah ia ingin kembali lagi atau tidak
dengan konsekuensinya. Maka ketika pasangan berkehendak
bahwa dengan rujuk, mereka akan memperbaiki kehidupan
selanjutnya.
2. Apa yang dimaksud dalam padal 164 dan 165 Kompilasi Hukum Islam
dengan pendapat fukaha tentang rujuk?
Jawab: Perbuatan rujuk kan berkaitan dengan psikologis pasangan itu
sendiri, memang dalam perspektif Imam Mazhab kecuali di
Pengadilan yang kita tahu nuansa-nuansa bathin para pihak bukan
pada teksnya. Hal itu juga berkaitan dengan kejiwaan, psikologis
istri yang ditalak. Ada pertimbangan ketika istri akan menerima atau
menolak rujuk yang diajukan suaminya. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa fukaha yang menjelaskan tentang rujuk yang
bersifat normatif. Tetapi dibalik teks normatif itu terdapat
psikologisnya isteri. Artinya, bahwa ketika isteri itu menolak
kembali kepada suaminya atau menolak rujuk suaminya dengan
alasan kuat. Apakah karena isteri tersakiti psikologisnya. Sehingga
analisis terhadap para imam mazhab pun juga harus dikawal oleh
nuansa psikologis oleh para pihak.
3. Menurut anda sudahkah Kompilasi Hukum Islam memberikan
perlindungan bagi perempuan?
Jawab: Kompilasi Hukum Islam sudah memberikan perlindungan ataupun
hukum baru dalam rujuk ini. Yang mana sebelumnya tidak ada hak
bagi isteri dalam rujuk ini. Sangat diapresiasi sekali dengan adanya
hukum yang mengatur rujuk ini, berarti pemerintah memberikan
perlindungan hukum dan hak-hak yang seimbang antara suami dan
istri.
4. Apakah para fukaha demikian memberikan perlindungan bagi
perempuan dalam rujuk ini?
Jawab: Para imam mazhab dengan kompetensinya pada zaman itu sudah
sangat tepat. Dengan ijtihadnya dinilai kondusif dalam kehidupan
kemanusiaan pada saat itu. Tetap mereka melakukan riset hanya saja
memang dari zaman ke zaman kan psikologi sosial dan sebagainya
itu kan bukan berbeda tetapi dinamikanya ada. Bukan diartikan
bahwa hasil ijtihad masa lalu tidak relevaan dengan zaman ini,
karena kan framenya masih Alquran dan Hadis. Artinya, jawaban-
jawaban normatife imam mazhab tentang rujuk ya sah-sah saja
karena memang sesuai dengan konteksnya. Jadi, ketika ada yang
mengatakan bahwa ulama terdahulu ijtihadnya sudah tidak relevan,
syaa tidak setuju. Bahwa sudah jelas rumusan-rumusan yang
diberikan dan ijtihad para ulama tadi sudah diperhitungkan sangat
matang sehingga memberikan suatu jawaban atas persoalan
kekinian.
5. Pandangan anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan istri?
Jawab: Hukum syariah itu adalah hukum yang tidak ada pamaksaan atau
hukum yang objektifitas. Artinya adanya keikhlasan para pihak dan
harus ada kerelaan dari masing-masing pihak. Maka jangan
disalahkan mantan isteri menolak rujuk mantan suaminya. Maka
dengan begitu menolak hak yang negatif lebih baik dari pada
mengambil hal yang positif, apabila isteri harus menolak rujuk
suaminya dan itu mendatangkan kemaslahatan maka inilah yang
harus ditempuh. Tahkik Limasholih Linnas yaitu merealisasikan
kemaslahatan untuk kebahagiaan sebagai insan baik di dunia dan
akhirat, sehingga bukan hanya norma rujuk yang jelas aplikatifnya.
Maka urusan rujuk itu pada akhirnya kembali lagi kepada hati dan
psikologis masing-masing pasangan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Waiduri binti Haji Mohammad Ali
Jabatan : Akademisi KUPUSB Bandar Seri Begawan
Alamat : Bandar Seri Begawan
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami yang telah
mentalak isteri dalam masa idah, lalu ia berkeinginan untuk kembali
dengan mantan isterinya tanpa mengulangi akad baru. Tentunya,
dengan tata cara yang berlaku sesuai hukun syarak dan undang-
undnag perkawinan yang mengatur hal tersebut.
2. Undang-undang apa yang berlaku di Brunei Darussalam dalam hukum
keluarga?
Jawab: Undang-undang hukum keluarga atau undang-undnag perkawinan
khususnya untuk orang Islam saat ini adalah undang-undang
keluarga Islam 1999, yang sudah dimansukhkan untuk bab
perkawinan. Kemudian undang-undang Penggal 77 untuk perkara
lain. Undnag-undang ini, adalah rujukan bagi Hakim di Mahkamah
Syariah dan orang-orang Islam yang mempunyai perkara seputar
perkawinan, perceraian, hak asuh anak, nafkah idah, mut’ah dan
sebagainya. Jadi, ketika ada perkara-perkara yang berkaitan dengan
hukum keluarga, maka rujukan Hakim di Mahkamah Syariah adalah
undang-undang keluarga Islam 1999. Adapun undang-undang
penggal untuk perkara lain selain perkara hukum keluarga, misalnya
tentang kewenangan Hakim dan tugas-tugasnya diatur dalam
undang-undang Penggal 77.
3. Bagaimana peran pemerintah dalam pemberian hak dan perlindungan
kepada perempuan, khususnya dalam perkara perkawinan?
Jawab: Saya rasa, perempuan di Brunei sudah mendapatkan porsinya dalam
menerima keadilan. Apalagi dalam kasus hukum keluarga yang
meliputi perceraian dan hak asuh anak, nafkah dan sebagainya.
Contohnya dalam hak pasca cerai, perempuan Brunei mendapat hak
seperti hadhanah, mut’ah, nafkah idah dan sebagainya. Melihat
kembali kebiasaan-kebiasaan perempuan di Brunei itu Sami’nâ Wa
atho’nâ dengan peraturan yang sudah dibuat oleh pemerintahan atau
dengan kata lain mengikuti aturan ketika raja memerintah. Jadi,
tuntutan hak bagi perempuan sangat minim terjadi. Sekalipun ada
hal demikian, maka akan ditolerir untuk dicarikan jalan keluarnya.
4. Bagaimana isu gender di negara Brunei Darussalam saat ini?
Jawab: Isu gender di Brunei sangat minim sekali. Bisa dikatakan isu gender
tak pernah tampak, karena itu tadi perempuan Brunei merasa haknya
sudah terpenuhi dan mengikuti saja apa yang diperintah raja.
Sekalipun ada protes, hanya di dalam forum tersendiri saja
dibahasnya. Namun kemudian, tak berlangsung lama hal itu terjadi.
Ya, begitulah disini. Perempuan hampir semua berkarir sehingga
hak dan kewajiban suami istri terpenuhi. Dapat dilihat dalam
undang-undang keluarga Islam yang mengatur sedetail mungkin
tentang hak-hak perempuan dari mulai perkawinan hingga
perceraian, dan atau penolakan rujuk sekalipun di atur serinci
mungkin. Sehingga, para pencari keadilan mendapatkan jawaban
dan kepuasan dengan adanya undang-undang keluarga Islam ini.
Penolakan rujuk yang di atur dalam uu keluarga Islam 1999,
merupakan langkah yang sangat jauh demi mendapatkan keadilan
dan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Patut diberikan
penghargaan, sehingga perempuan tidak dipandang sebelah mata.
5. Bagaimana pandangan anda sebagai akademisi terkait perempuan
menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya?
Jawab: Di dalam Islam, ketika istri menolak rujuk yang dilakukan oleh
mantan suaminya dengan ada alasan misalnya KDRT, maka
diperbolehkan saja karena mendatangkan mudharat baik itu bagi
iseri maupun suami. Dalam undang-undang keluarga Islam 1999
pun mengatur demikian, ketika isteri enggan menerima rujuk yang
diajukan oleh mantan suaminya maka suami tidak bisa kembali
dengan isterinya sebelum ada persetujuan dari istri yang diruju
HASIL WAWANCARA
Nama : Raneya Fatdal binti Hajah Ja’far
Jabatan : Akademisi KUPUSB Bandar Seri Begawa
Alamat : Bandar Seri Begawan
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Kembalinya seorang suami kepada mantan istri dengan tujuan
membentuk kembali hubungan perkawinan yang sebelumnya telah
rusak menjadi harmonis kembali.
2. Undang-undang apa yang berlaku di negara Brunei Darussalam dalam
hukum keluarga?
Jawab: Pada awalnya undang-undang perkawinan yang berlaku di Brunei
adalah undang-undang Penggal 77 untuk urusan perkawinan.
Kemudian, untuk bab perkawinan dan perceraian sudah
dimansukhkan dari undang-undang Penggal 77. Undang-undang
Penggal 77 sendiri berlaku untuk perkara lain, dalam undnag-
undang keluarga Islam menurut saya membahas bagian rujuk sama
seperti di Indonesia baik tata cara dan pelaksanaannya hampir sama.
Undang-undang keluarga Isam 1999, dirasa sangat memberikan
solusi bagi orang Islam khususnya.
3. Bagaimana peran pemerintah dalam pemberian hak dan perlindungan
kepada perempuan, khususnya dalam perkara perkawinan?
Jawab:Pemerintah ikut turut campur dalam memberikan perlindungan bagi
perempuan. Khusunya dalam hal pendidikan, perempuan
mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki. Terkait dengan
hukum keluarga pun, terlihat sekali keseimbangan hak antara laki-
laki dan perempuan di dalam menerima haknya. Di Brunei
Darussalam, cukup memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, tidak
hanya laki-laki tetapi perempuan sangat diperhatikan derajatnya.
Dari segi pendidikan, ekonomi, pekerjaan, sosial, dan lainnya
perempuan di sini bersuara dan menjalankan hak serta kewajiban
sesuai dengan apa yang di perintah atau di atur oleh raja.
4. Bagaimana isu gender di negara Brunei Darussalam saat ini?
Jawab: Pemahaman kami tentang gender adalah keseimbangan antara hak
laki-laki dan perempuan dalam hal apapun. Tetapi, tidak semua
yang dimiliki laki-laki menjadi milik perempuan dalam hal kodrati.
Perempuan bisa memiliki hak dan kewajiban yang sama di
antaranya dalam hal pendidikan, pekerjaan, sosial masyarakat dan
bahkan dalam politik sekalipun. Keadilan untuk mendapatkan
haknya, perempuan sama dengan laki-laki dimuka hukum. Menurut
saya, isu gender di Brunei ini sudah tertuang dalam undang-undang
misalnya dalam hukum keluarga Islam ini, yang memberikan dan
memposisikan perempuan secara seimbang dalam menerima
haknya. Contohnya saja, thesis anda dalam perempuan menolak
rujuk. Undang-undang keluarga Islam 1999 sudah membahasnya
dan malah memberikan porsi yang lebih dari aturan Syafii sendiri.
Sehingga, kemaslahatan dan manfaat dari undang-undang itu dapat
dirasakan bagi pencari keadilan.
5. Bagaimana pandangan anda sebagai akademisi terkait perempuan
menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya?
Jawab: Pada kasus perempuan menolak rujuk, itu sah-sah saja selagi
memang alasannya itu dibenarkan oleh hukum syarak. Kalaupun
memang undang-undang sudah mengaturnya dan perempuan ingin
menggunakan haknya dalam rujuk. Silahkan saja. Apalagi peraturan
ini sudah mengatur dan memberikan porsi untuk perempuan dalam
penolakan atau penerimaan rujuk yang dilakukan oleh mantan
suami.
HASIL WAWANCARA
Nama : Ustad Baihaqy
Jabatan : Ulama KUPU Bandar Seri Begawan
Alamat : Bandar Seri Begawan
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk adalah suatu perbuatan dengan tujuan untuk mengembalikan
keutuhan rumah tangga yang pada awalnya rusak atau tidak
harmonis. Sehingga, suami mempunyai keinginan untuk
memperbaiki hubungan tersebut. Rujuk yang dilakukan itu
sebenarnya rujuk dalam masa idah talak raj’i, sehingga tidak perlu
memulai akad baru. Rujuk merupakan salah satu perbuatan yang
sangat mulia menurut saya. Karena apa, karena niat seorang suami
yang ingin mengembalikan hubungan pernikahan menjadi lebih baik
lagi dan dengan harapan perceraian tidak terulang kembali.
2. Apa yang dimaksud dalam pasal 52 ayat 7 dan ayat 8 undang-undang
keluarga Islam dengan pendapat fukaha tentang rujuk?
Jawab: Terkait dengan pasal yang mengatur rujuk ini membuktikan bahwa
hukum Islam sudah melakukan tranformasi hukum, bukan berarti
pada zaman fukaha perempuan tidak diperhatikan hak-haknya.
Namun, ada masa dan waktunya dimana perubahan hukum terjadi.
Kalau kita berbicara dengan logika historis, kita akan melihat ijtihad
tidak pernah putus pada abad kapan pun. Allah memberi keutamaan
terhadap umat, bahwa pada setiap abad dari seluruh masa tidak akan
kosong dari seorang mujtahid yang akan memberikan fatwanya.
Termasuk undang-undang keluarga Islam ini pun tidak terputus atau
bertolak dari Imam mazhab Syafiî. Namun, redaksinya
menyesuaikan perkembangan zaman, agar memberikan maslahat
bagi umat.
3. Menurut anda sudahkah undang-undang keluarga Islam 1999 ini
memberikan perlindungan bagi perempuan?
Jawab: Jelas, undang-undang keluarga Islam sudah mengakomodir
perlindungan baik bagi isteri pasca cerai maupun tentang penolakan
rujuk ini. Persetujuan istri sangat dibutuhkan dalam rujuk ini,
sehingga dapat dikatakan fukaha sudah berlaku demikian pada saat
itu. Islam sangat menghargai dan menjunjung tinggi perempuan.
Jadi, undang-undang ini adalah peraturan yang mengakomodir
hukum Islam terhadap perlindungan perempuan akan hak-haknya di
dalam perkawinan.
4. Apakah fukaha demikian memberikan perlindungan bagi perempuan
dalam rujuk ini?
Jawab: Tentu. Pada masa fukaha pun sebenarnya ada perlindungan terhadap
perempuan. Bahkan Rasulullah sendiri pun yang telah mengangkat
derajat perempuan. Tak ada yang bisa disalahkan atau mengklaim
bahwa fukaha itu tidak memperhatikan perlindungan bagi
perempuan. Tetapi, memang saja dalam masalah rujuk fukaha tidak
memerincikan atau membahas secara detail tentang tata cara rujuk
yang mensyaratkan harus adanya persetujuan isteri.
5. Pandangan anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan istri?
Jawab: Sesungguhnya perceraian adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh
Allah SWT. Maka, jalan terbaik untuk memperbaiki hubungan
rumah tangga menjadi harmonis kembali adalah rujuk. Apabila,
ketika istri menolak rujuk suami maka itu adalah hak isteri. Maka
biarkan lah kepada isteri dalam menggunakan haknya. Bisa jadi,
penolakan yang dilakukan oleh istri mempunyai alasan yang sesuai
dengan hukum syarak. Sehingga, penolakan isteri tersebut dapat
dikabulkan dan dibenarkan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Awang Haji Azman bin Haji Ismail
Jabatan : Panitera Mahkamah Syari’ah
Alamat : Bandar Seri Begawan
Pertanyaan
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
Jawab: Rujuk merupakan suatu langkah yang baik untuk melakukan
perbaikan terhadap hubungan rumah tangga yang sebelumnya rusak.
Dengan rujuk, suami isteri mempunyai kesempatan untuk
mengevaluasi kekurangan dan kelebihan yang dimiliki pada masing-
masing pasangan. Sehingga, perceraian yang lalu menjadi cerminan
dalam menjalani hidup selanjutnya.
2. Apakah rujuk terimplementasikan di Mahkamah Syariah ini?
Jawab: Kes rujuk. baik itu rujuk tanpa penolakan isteri maupun ada
penolakan dari isteri sampai saat ini belum ada data yang masuk.
Namun demikian, adanya undang-undang keluarga Islam 1999
tentang rujuk ini memberikan gambaran dan wawasan kepada
pasangan suami isteri bahwa isteri mempunyai hak juga dalam rujuk
ini. Sehingga, masing-masing pasangan mengerti dan ketika sampai
ada penolakan seperti itu, ya suami menerima saja sampai sejauh ini
yang saya amati.
3. Apakah dengan diaturnya rujuk dalam undang-undang keluarga Islam,
merupakan suatu bentuk perlindungan untuk perempuan?
Jawab: Undang-undang keluarga Islam 1999, telah memberikan hak dan
perhatian penuh kepada perempuan. Sebagaimana banyak dijelaskan
dalam isi peraturan perundang-undangan ini, yang banyak sekali
membicarakan tentang hak perempuan atau istri, baik dari hak-
haknya sebagai isteri pasca cerai maupun dalam penolakan rujuk ini.
Undang-undang keluarga Islam ini sudah dimansukhkan untuk bab
perkawinan dan perceraian dari undang-undang penggal 77. Maka,
undang-undang keluarga Islam ini sangat dirasa memberikan
perhatian yang cukup seimbang baik bagi laki-lak (suami) maupun
perempuan (isteri). Sehingga, undang-undang ini sangat
mengakomodir hak-hak perempuan.
4. Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal 52 ayat 7 dan 8 undang-
undang keluarga Islam, apakah yang dimaksud dengan undang-undang
keluarga Islam memang bertujuan memberi kesempatan bagi pihak
isteri dalam menerima atau menolak rujuk suaminya, dengan dua
alasan yang pertama, isteri ragu-ragu dengan kembalinya suami tersebut
dan kedua, istri trauma dengan menjalani kehidupan dengan mantan
suaminya sehingga berakibat memberikan mudharat, atau bagaimana
menurut anda?
Jawab: Bisa dikatakan seperti itu. Salah satu tujuan undang-undang keluarga
Islam 1999 ini, memberikan kesempatan bagi isteri untuk berfikir
kembali dan berfikir secara matang apakah rujuk yang dilakukan
oleh mantan suaminya akan memberikan maslahat ataukah
mudharat. Maka dari itu, undang-undang keluarga Islam ini sangat
memperhatikan kedudukan isteri dan memberikan perlindungan
hukum secara seimbang. Jadi, tidak ada yang berhak atau memaksa
isteri untuk kembai atau tidak kepada suaminya, hak itu diberikan
kepada isteri dalam dimintai persetujuan dan pertimbangannya
dalam rujuk ini.
5. Bagaimana pandangan anda tentang hak perempuan menolak rujuk?
Jawab: Di dalam Islam, ketika istri menolak rujuk suami dengan alasan yang
dibenarkan hukum syarak atau misalnyaadanya kekerasan dalam
rumah tangga. Maka penolakan rujuk yang diajukan oleh istri dapat
diterima dan dikabulkan dengan alasan menolak kemudaratan dan
menghindari penyesalan dikemudian hari apabila rujuk itu tetap
dilakukan. Maka undang-undang keluarga Islam ini, memberikan
peluang besar dalam menerima dan menegakkan haknya. Hal ini
merupakan satu bentuk pembaharuan terhadap kedudukan wanita
dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, dan lainnya. Jadi,
bisa dikatakan bahwa di Indonesia dan Brunei Darussalam
kedudukan wanita sama seperti wanita di negara-negara muslim
lain, mereka diberi peluang untuk berkarir disetiap bidang.
Sehingga, keterlibatan wanita dalam pendidikan dan pencapaian
yang mendorong pada tingkat pendidikan yang menjadikan
kedudukan wanita sejajar dengan laki-laki dalam bidang pendidikan,
pekerjaan, sosial, dan lain sebagainya.
PEDOMAN WAWANCARA ULAMA INDONESIA,
NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
2. Apa yang dimaksud dalam padal 164 dan 165 Kompilasi Hukum Islam
dengan pendapat fukaha tentang rujuk?
3. Menurut anda sudahkah Kompilasi Hukum Islam memberikan
perlindungan bagi perempuan?
4. Apakah para fukaha demikian memberikan perlindungan bagi
perempuan dalam rujuk ini?
5. Pandangan anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan istri di
Indonesia?
6. Apa yang dimaksud dalam pasal 52 ayat 7 dan ayat 8 undang-undang
keluarga Islam dengan pendapat fukaha tentang rujuk?
7. Apakah fukaha demikian memberikan perlindungan bagi mantan istri
dalam rujuk ini?
8. Pandangan anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan istri di Brunei
Darussalam?
PEDOMAN WAWANCARA AKADEMISI INDONESIA,
NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
2. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 rujuk tidak diatur tetapi
dalam Kompilasi Hukum Islam diatur sangat rinci, bagaimana menurut
anda?
3. Pasal 164 dan pasal 165 Kompilasi Hukum Islam dibandingkan dengan
pernyataan yang dijelaskan fukaha
4. Apakah para Imam Mazhab senada dengan Kompilasi Hukum Islam
dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dalam rujuk
ini?
5. Pendapat anda tentang hak menolak rujuk bagi mantan istri di
Indonesia?
6. Undang-undang perkawinan yang berlaku di Brunei Darussalam dalam
hukum keluarga?
6. Apakah para Imam Mazhab senada dengan Undang-undang Keluarga
Islam dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dalam
rujuk ini?
7. Bagaimana peran pemerintah dalam pemberian hak dan perlindungan
kepada perempuan, khususnya dalam perkara perkawinan?
8. Bagaimana isu gender di negara Brunei Darussalam saat ini?
9. Bagaimana pandangan anda sebagai akademisi terkait perempuan
menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suami di Brunei
Darussalam?
PEDOMAN WAWANCARA PRAKTISI HUKUM INDONESIA,
NEGARA BRUNEI DARUSSALAM
1. Apa pendapat anda tentang rujuk?
2. Apakah rujuk terimplementasikan di Pengadilan Kota Bogor ini?
3. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak menjelaskan
tentang rujuk ataupun tata cara rujuk. Berbeda dengan Kompilasi
Hukum Islam yang menjelaskan tentang rujuk sekaligus dengan tata
caranya. Bagaimana pandangan anda?
4. Dengan diaturnya rujuk dalam Kompilasi Hukum Islam, apakah itu
suatu bentuk perlindungan untuk perempuan?
5. Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal 164 dan 165 Kompilasi
Hukum Islam, apakah yang dimaksud dengan Kompilasi Hukum
Islam memang bertujuan bagi pihak isteri dalam menerima atau
menolak rujuk suaminya, dengan dua alasan yang pertama, istri
ragu-ragu dengan kembalinya suami tersebut dan kedua, istri
trauma dengan menjalani kehidupan dengan mantan suaminya
sehingga berakibat memberikan mudharat, atau bagaimana
menurut anda?
6. Bagaimana Kesimpulan mengenai Kompilasi Hukum Islam yang
mengatur rujuk, namun implementasinya sangat jarang dan hampir
tidak ada baik di KUA maupun di Pengadilan Agama di Indonesia?
7. Apakah dengan diaturnya rujuk dalam undang-undang keluarga
Islam 1999, merupakan suatu bentuk perlindungan untuk
perempuan?
8. Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal 52 ayat 7 dan 8 undang-
undang keluarga Islam, apakah yang dimaksud dengan undang-
undang keluarga Islam memang bertujuan memberi kesempatan
bagi pihak isteri dalam menerima atau menolak rujuk suaminya,
dengan dua alasan yang pertama, istri ragu-ragu dengan kembalinya
suami tersebut dan kedua, istri trauma dengan menjalani kehidupan
dengan mantan suaminya sehingga berakibat memberikan
mudharat, atau bagaimana menurut anda?
9. Bagaimana pandangan anda tentang hak perempuan menolak rujuk
di negara Brunei Darussalam?
KH. Mukri Aji, MA. Ketua Majelis Prof. Huzaemah Tahido Yanggo, Ulama
Ulama Indonesia Kab. Bogor Perempuan Majelis Ulama Indonesia
Dr. Sirajjudin Sailellah. Awang Haji Azman bin Haji Ismail.
Ketua Pengadilan Agama Kota Bogor Panitera Mahkamah Syariah Brunei
Darussalam
H. Dadang, MA. Ketua KUA Kec. Parung Dr. Sudirman Abbas. Akademisi FSH UIN Jakarta
Akademisi Fakultas Syariah Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan, Dr. Waiduri binti
Haji Mohammad Ali (Kiri), Dr. Raneya Fatdal binti Haji Ja’far (Tengah), dan Dr. Rabiqah binti
Haji Tamit (Kanan)
Prof. Mulyadi Kartanegara, dosen Perpustakan Pusat Dakwah Islamiyah
University Brunei Darussalam Brunei Darussalam
Prof. Harapandi. Ulama Kolej University Perguruan Ugama Islam
Keluarga Haji Bakar yang menyediakan tempat tinggal untuk Peneliti selama pengambilan data
dan penelitian di Brunei Darussalam
Dosen Kolej University Perguruan Ugama Seri Begawan