habakuk, si peratap dan si pemuji

Upload: ddujerslilo

Post on 20-Jul-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

HABAKUK SI PERATAP DAN SI PEMUJI (Habakuk 1:2-4; 3:17-19) Oleh: Deflit Dujerslaim Lilo, S.ThSekilas Pandang-Sebuah Pengantar Sepanjang sejarah kehidupan bangsa Israel (seperti yang tercatat dalam PL dan PB), ada banyak, bahkan hampir seluruh tokoh selalu mengalami pergumulan-pergumulan yang penting baik itu yang berhubungan dengan hidup maupun pelayanan mereka. Tidak jarang, pergumulanpergumulan itu memberikan sejuta rasa, bukan saja rasa senang dan sukacita, tetapi juga kebimbangan, kekuatira

TRANSCRIPT

HABAKUK SI PERATAP DAN SI PEMUJI (Habakuk 1:2-4; 3:17-19) Oleh: Deflit Dujerslaim Lilo, S.Th

Sekilas Pandang-Sebuah Pengantar Sepanjang sejarah kehidupan bangsa Israel (seperti yang tercatat dalam PL dan PB), ada banyak, bahkan hampir seluruh tokoh selalu mengalami pergumulan-pergumulan yang penting baik itu yang berhubungan dengan hidup maupun pelayanan mereka. Tidak jarang, pergumulanpergumulan itu memberikan sejuta rasa, bukan saja rasa senang dan sukacita, tetapi juga kebimbangan, kekuatiran, kesedihan, ketidakadilan, keterpurukan, dan hingga kematian. Pergumulan yang sulit dan menguras banyak tenaga, pikiran, hati, dan nyawa sekalipun. Hal yang menarik dari kisah-kisah ini adalah bahwa seolah-olah sejuta rasa itu telah menjadi bagian dan patokan dalam hidup dan pelayanan mereka selama di dunia ini. Tokoh-tokoh tersebut misalnya, antara lain: Abraham yang bergumul tentang keturunannya dan perihal Lot sekeluarga di Sodom dan Gomora; Musa yang bergumul tentang penindasan Mesir atas bangsanya; Daud, tentang musuh-musuhnya; Ayub, tentang penderitaannya; Yeremia, tentang pelayanannya; Naomi dan Rut, tentang kelangsungan hidup keluarganya; Elisabeth, tentang kerinduan memiliki anak; Paulus, tentang panggilan dan tugas pelayanannya; bahkan, Yesus Kristus, tentang tujuan kedatangan-Nya di dunia ini. Semuanya hidup dalam pergumulan. Oleh sebab itu, sangatlah tidak bijak jika saat mempelajari tokoh-tokoh dalam Alkitab, setiap persoalan yang dialami oleh mereka disampingkan dan dilupakan. Mengapa? Karena dengan cara tersebut maka pemahaman terhadap hidup dan pelayanan para tokoh Alkitab akan menjadi tidak obyektif, proporsional, dan terarah. Misalnya, dalam mempelajari narasi-narasi atau teksteks dalam PL, pendalaman terhadap hidup dan karakter para tokoh akan sangat begitu membantu memahami alur cerita secara komprehensif. Dengan kata lain, baik karakter maupun plot sama-sama memainkan peranan penting dalam suatu narasi atau teks Alkitab.[1] Informasi ini sekaligus juga menjadi pengantar ke inti pembahasan dalam artikel yang singkat ini. Pembahasan tentang kisah pergumulan yang dialami oleh salah satu Nabi Penulis[2] yang hidup dan melayani di Yehuda sekitar paruh kedua abad ke-7 dan perihal pesan-pesan apa yang disampaikannya pada waktu itu. Nabi itu adalah Habakuk.

Dasar pembahasan ini akan berpusat pada kitab Habakuk 1:2-4 dan 3:17-19 serta melihat relevansinya dengan keseluruhan pasal. Hidup dan Pelayanan Habakuk Untuk memahami hidup dan pelayanan nabi ini, paling tidak ada 2 (dua) pertanyaan penting yang harus dikemukakan. Pertama, siapakah Habakuk? Kedua, Bagaimana pelayanannya? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, mari simak ulasannya di bawah ini. Siapakah Habakuk? Nama Habakuk dalam bahasa Ibrani chabaq, dapat diartikan memeluk. Dalam bentuk aktif, kata ini juga dapat berarti seseorang yang memeluk atau bergantung. Nama ini cocok dengan sikap Habakuk yang bergantung sepenuhnya pada Allah sebagai penyelamatnya.[3] Namun, ada dua fakta menarik dari kitab ini. Pertama, si Penulis (Habakuk) tidak pernah membeberkan latar belakang pribadinya dalam sepanjang kitab ini. Kedua, nabi Habakuk (sebagai salah satu tokoh sentral dalam kitab ini) juga tidak pernah disebutkan biografinya, dimana pun, sepanjang kitab-kitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Informasi mengenai Zefanya, Nahum, dan Yeremia yang adalah nabi-nabi yang melayani se-zaman dengan Habakuk pun jauh lebih banyak ditemukan.[4] Satu-satunya informasi dalam kitab ini, yang menunjukkan siapa dirinya adalah seperti yang terdapat pada Pasal 1:1 dan 3:1. Pada kedua ayat tersebut, ia disebut sebagai nabi. Mungkin untuk alasan inilah maka Habakuk digolongkan ke dalam kelompok nabi-nabi kecil. Bukan hanya karena singkatnya waktu pelayanan dan Firman Tuhan yang diwahyukan, tetapi juga karena minimnya data pribadi tentangnya. Akan tetapi, tidak berarti tidak ada informasi apapun dalam Alkitab, yang dapat digunakan untuk memahami siapakah Habakuk. Misalnya, ketika meneliti waktu pelayanannya. Meskipun ia tidak secara gamblang menyebutkan pemerintahan raja mana pun saat ia ditugaskan oleh Allah, namun dari bukti-bukti internal seperti yang terdapat dalam 2 Raja-Raja 23:36-24:7, menunjukkan bahwa ia menyusun kitabnya pada masa pemerintahan Raja Yoyakim (609-598 sM). Atau lebih tepatnya pada masa ketika Nebukadnezar pertama kali menyerang Yerusalem (605 sM). Jeane Ch. Obadja bahkan berpendapat bahwa Habakuk telah memulai pelayanannya sebelum bangsa Babel menyerang Yehuda.[5] Bukti-bukti lain seperti dalam pasal 1:2-4. Terdapat informasi di sana bahwa tindakan-tindakan amoral yang berat telah terjadi di lingkungan bangsanya sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Yosia (2Raja-Raja 22:1-23:30; 2Taw. 34:1-35:27).[6] Hal ini berarti, Habakuk hidup dan melayani pada masa-masa yang sulit, karena di satu sisi dia harus menghadapi penyerangan bangsa Babel dan di sisi lain dia melayani pada masa pemerintahan Yoyakhim, yang terkenal jahat di mata Tuhan dan tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik.[7] Ia tentu menjalankan pelayanannya dengan sulit seperti Yeremia, teman seperjuangannya. Berusaha sekuat tenaga dalam menentang perbuatan Yoyakhim dan kronikroninya yang fasik. Belum lagi keadaan kerohanian bangsanya yang makin bobrok dengan segala kemaksiatan yang dilakukan di hadapan Allah. Plus, desakan dan serangan dari bangsa kafir yang sangar bin ganas itu. Segala konsekuensi buruk dapat diterimanya setiap saat.

Kondisi ini pula dapat mempengaruhi keadaan psikologi dan phisikologinya. Sungguh, pergumulan yang sukar-sulit untuk seorang nabi pada masa itu. Bukankah ia bisa saja meninggalkan tugas panggilannya karena tidak ingin menderita bagi bangsa yang bebal? Apakah Habakuk menyerah dan mundur dari tugas kenabiannya? Seperti apakah pelayanan yang dilakukannya di tengah-tengah keadaan mencekam itu? Bagaimanakah sikapnya pada masa itu sebagai seorang rakyat sekaligus nabi? Meratap atau memuji? Bagaimana Pelayanannya? Habakuk adalah nabi yang memusatkan perhatiannya pada peralihan kekuasaan dari Asyur ke Babilonia atas Yehuda. Dalam keadaan demikian, tentu tidaklah mengherankan jika Habakuk akhirnya ingin melepaskan tanggung jawab pelayanannya. Kenyataannya tidaklah demikian. Habakuk justru tetap mengemban tugasnya meskipun ada banyak hal yang menjadi pergumulan pribadinya. Menarik untuk disimak. Habakuk membuka dua pasal pertama kitabnya dengan dialog panjang yang penuh dengan perenungan, yang ditujukan untuk Allah. Jika pada nabi-nabi lain, nubuatan dan khotbah juga disampaikan kepada bangsa Israel atau bangsa-bangsa lain, maka Habakuk justru hanya mengonsentrasikan keluhan dan aspirasinya kepada Allah. Bahwa ia mengharapkan adanya pemecahan masalah, bertalian dengan bagaimana Allah memerintah seluruh bangsa di dunia. Baxter berpendapat bahwa dalam hal inilah, keistimewaan kitab Habakuk menjadi lebih mencolok.[8] Di bagian pertama artikel ini, telah dijelaskan bahwa Habakuk melayani pada masa-masa yang sukar-sulit. Bukan saja pada pemerintahan negeri yang jahat tetapi juga penyerbuan bangsa kafir sebagai hukuman yang ditimpakan. Pergumulan Habakuk tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Paling tidak ada dua hal yang terus-menerus menjadi bahan pergumulannya. Mengapa Allah tidak menghukum orang-orang se-bangsanya yang terus-menerus melakukan kejahatan (1:1-4)? dan mengapa, ketika hendak menimpakan hukuman itu, Allah justru memakai bangsa yang lebih lalim daripada bangsanya sendiri sebagai alat penghakiman (1:12-2:1)? Habakuk bingung dengan situasi ini. Nabi yang GALAU! Pada ayat 2-4, ia sedang bergumul tentang masalah-masalah yang terjadi di dalam negerinya. Dari ayat-ayat ini, kurang lebih ada beberapa kejahatan yang dilakukan dan dialami oleh bangsanya, yaitu: penindasan, kelaliman, aniaya, kekerasan, perbantahan, pertikaian, ketidakadilan, penyalahgunaan hukum, dan orang fasik mengepung orang benar. Begitu banyak dan meningkatnya varian kejahatan yang terjadi, mendesak Habakuk untuk mengajukan pertanyaan dengan penekanan penting: Berapa lama lagi.? atau Mengapa.?. Pertanyaanpertanyaan tersebut menunjukan bahwa Habakuk sangat merindukan cara-cara hidup yang berkenan di hadapan Allah. Ia tentu tahu bahwa jika semakin lama kejahatan ini dibiarkan maka akan menimbulkan kutuk dan hukuman bagi bangsanya, termasuk dirinya. Dari sinilah, ia akhirnya menyampaikan doa pada Allah agar orang-orang yang berbuat jahat itu segera dihukum dan mendambakan pemulihan sesegera mungkin atas bangsanya.

Bagaimana respons Allah terhadap pergumulan Habakuk ini? Jika meneliti bagian dialog ini selanjutnya maka pada pasal 1:5-11, Allah akhirnya menjawab doa Habakuk. Allah menyatakan bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan pasti akan dihukum. Tentu kabar ini langsung menjadi angin segar bagi Habakuk. Jika dapat digambarkan, ia tentu akan loncat kegirangan dan sangat bersyukur atas jawaban Allah tersebut. Habakuk tidak hanya akan senyum simpul ketika mendengar kabar luar biasa baik itu, tetapi tertawa lega dan terharu. Namun, segala kegembiraan itu segera lenyap. Allah masih melanjutkan penyataannya. Bahwa hukuman itu akan ditimpakan melalui serbuan dan penindasan orang-orang Kasdim. Celaka 13! Baru sedikit merasa lega, kini harus menghadapi kenyataan pahit lainnya. Ditindas oleh bangsa kafir dan lalim. Penyataan ini sontak membuat ia merasa heran, sedih, dan kecewa. Kini, ia harus bertanya lagi pada Allah, Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? atau Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia? Baxter berpendapat: Bagi pikiran Habakuk yang kebingungan, hal ini hanyalah berarti memecahkan suatu soal dengan menimbulkan soal yang lebih besar lagi. Jika Yehuda akan dihukum, memang itu selayaknya; tapi mengapa Tuhan akan mmenghukum Yehuda dengan menggunakan suatu bangsa yang jauh lebih jahat dari bangsa Yahudi? Pikiran-pikiran ini sangat menyiksa hati Habakuk. Nampaknya sukar untuk diterima, dan bertentangan dengan kepercayaannya keadilan pemerintahan Tuhan atas segala bangsa di muka bumi.[9] Baru saja Habakuk bergumul tentang kejahatan bangsanya, kini ia harus bergumul lagi mengenai penindasan yang akan dialami dari tangan penjajah lalim. Peristiwa ini bisa mengakibatkannya makin putus asa dan tanpa harapan. Habakuk semakin GALAU. Akan tetapi, ia tidak menyerah untuk mencari keadilan. Pada Pasal 2:1, jelas menyatakan bahwa kini Habakuk memasrahkan sepenuhnya pada keputusan Allah. Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku. Ia masih memiliki keyakinan bahwa sekalipun bangsanya harus dihukum dan bangsa lalim dipakai untuk menjalankan penghukuman itu, keadilan Allah akan tetap dinyatakan. Dari pergumulan inilah, kemudian Allah menyatakan bahwa para penindas pun akan dihukum dengan hukuman yang setimpal (Pasal 2:6-20). Kitab ini sangat unik. Perhatikan! Habakuk memulai kitabnya dengan suatu pergumulan panjang akan kejahatan dan penindasan baik dari dalam maupun luar bangsanya. Namun, ia menutupnya dengan mazmur pengharapan (Pasal 3), khususnya pada ayat 16-19. Satu hal menarik dari kitab ini adalah nubuatan-nubuatannya dimulai dengan pergumulanpergumulan yang sulit tetapi diakhiri dengan sajak penyembahan yang indah. Sajak yang mengungkapkan iman yang teguh akan providensi Allah atas bangsanya.[10] Mengawali dengan keluhan mengakhiri dengan kepercayaan. Baxter menyebut doa Habakuk ini sebagai benarbenar cetusan iman.[11]

Meskipun pohon ara tak ada buahnya dan pohon anggur tak ada anggurnya, biarpun panen zaitun menemui kegagalan dan hasil gandum di ladang mengecewakan, walaupun domba-domba mati semua dan kandang ternak tiada isinya, aku akan gembira selalu, sebab Engkau TUHAN Allah penyelamatku.[12] Penggalan sajak di atas adalah ungkapan iman Habakuk yang sangat terkenal. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Habakuk menggunakan analogi ketiadaan hasil ladang (gandum), pohon ara, pohon anggur, zaitun, domba-domba, dan ternak untuk menyatakan imannya akan pemeliharaan dan perlindungan Tuhan atas bangsanya. Bagi bangsa Israel, kelima hal ini selalu dihubungkan dengan janji akan kemakmuran. Hasil yang banyak dari pohon ara dan yang lainnya juga merupakan tanda perdamaian dan karunia Allah. Ini berarti Habakuk menyatakan bahwa meskipun ekonomi menjadi terpuruk dan sedang hancur akibat kejahatan bangsa sendiri dan kelaliman bangsa Babel, namun ia tetap bersukacita dan percaya bahwa kebaikan dan kekuatan Allah yang menyelamatkan itu akan tetap menyertai bangsanya. Habakuk yang adalah nabi yang kecewa, sedih, dan galau itu akhirnya berjuang mengokohkan imannya sembari memuji Tuhan. Habakuk, Si Peratap dan Si Pemuji! Relevansi-Aplikasi pada Kehidupan Kristen Mengingat pergumulan Habakuk ini juga (tidak dapat dikatakan tidak) dialami oleh orang Kristen, maka alangkah baiknya jika mengambil beberapa penerapan yang dapat dihubungkan dengan konteks kehidupan orang Kristen saat ini. 1. Menjalani kehidupan bukanlah sesuatu yang gampang dan mudah untuk dilakukan. Ada begitu banyak pergumulan akan tumpukan masalah ketidakadilan dan penindasan yang telah, sedang, dan akan dialami. Namun, banyaknya hal buruk yang terjadi, hendaknya tidak menjerumuskan diri. Habakuk sadar akan segala kejahatan itu, tetapi ia tidak terjerumus juga dalam dosa-dosa. Bahkan, ia memiliki kerinduan dan berusaha agar halhal yang buruk dapat menjadi lebih baik. Orang Kristen juga diperhadapkan dengan banyaknya persoalan pada masa kini. Bersikap defensif sembari berupaya merubah keadaan buruk menjadi baik adalah langkah yang lebih tepat dibanding berdiam diri dan bersikap skeptis. 2. Allah dapat memakai situasi atau keadaan yang tidak menyenangkan, bahkan orangorang jahat sekalipun, untuk menyadarkan, menegur, dan menghukum umat-Nya dari

dosa dan kejahatan. Sebagai umat Tuhan, memandang peristiwa ini sekedar ketidakadilan Tuhan, tidak akan membawa perubahan apapun yang lebih bermakna. Memiliki pengharapan dan iman bahwa selalu ada jalan keluar dan pertolongan saat segala sesuatunya tidak mungkin, adalah tahap dimana umat-Nya berada dalam anugerah yang sesungguhnya. Roma 8:28, Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Adalah sebuah pengharapan yang juga hendak dinyatakan oleh Habakuk dalam sajaknya itu. Langkah Habakuk dalam menghadapi persoalan yang berat ini hendaknya juga diteladani oleh setiap orang yang mengaku percaya pada Tuhan Yesus Kristus. Berlandaskan pada iman dan pengharapan itulah, setiap orang percaya hendaknya tidak hanya bersedih dan meratapi kemalangannya, tetapi juga tetap mengucap syukur dalam segala hal. Mengeluh akan masalah yang dialami adalah hal yang wajar terjadi pada siapapun, tetapi memuji Tuhan atas masalah yang dihadapai adalah tahap tinggi atau level atas untuk sebuah kewajaran. Oleh karena itu, jadilah orang Kristen yang tidak hanya MERATAP tetapi juga MEMUJI. LAUS DEO

[1] Lihat penjelasan yang menarik seputar peran tokoh dan alur cerita PL di: Richard L. Pratt, Jr., He Gave Us Stories The Bible Students Guide to Interpreting Old Testament Narratives, (Surabaya: Momentum, 2005), 147-170. Dalam bagian ini, Richard juga mengutip pendapat S. Chatman yang sangat menarik mengenai isu ini. Menurut Chatman, saat menganalisis PL, baik para tokoh yang mewakili setiap karakter maupun alur cerita sama-sama penting (lihat S. Chatman, Story and Discourse [Ithaca: Cornell University, 1978], 108-110). Dalam kutipan itu, Richard juga mengutip pendapat Ryken, Beberapa kisah secara keseluruhan lebih merupakan kisah berplot sedangkan yang lain secara keseluruhan lebih merupakan kisah berkarakter, tetapi kisah-kisah pada akhirnya adalah sebuah interaksi antara plot dan karakter (lihat Ryken, Words of Delight, 71). [2] Istilah ini digunakan untuk menyebut mereka (para nabi PL) yang dipakai Allah untuk menulis kitab-kitab yang merupakan bagian nubuat PL. Isitilah ini digunakan oleh beberapa teolog/penulis buku, seperti: Leon J. Wood (Lihat dalam bukunya The Prophets of Israel, 2005). [3] Lihat: Jeane Ch. Obadja, Survei Ringkas Perjanjian Lama (Surabaya: Momentum, 2004), 177 [4] Band. J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Ayub sampai dengan Maleakhi, cetakan ke delapan (Jakarta: YKBK/OMF, 2002), 449. [5] Jeane Ch. Obadja, Ibid., 176. [6] Untuk memahami alasan-alasan lain mengapa Habakuk hidup dan melayani pada masa pemerintahan Raja Yoyakhim dan pada saat tentara Kasdim pertama kali menyerang Yerusalem, lihat: Leon J. Wood, The Prophets of Israel (Malang: Gandum Mas, 2005), 464-465; band.

Joseph P. Free, Arkeologi dan Sejarah Alkitab (Malang: Gandum Mas, 2001), 281-282; J. Sidlow Baxter, Ibid., 449. [7] Leon J. Wood, Ibid., 467. [8] Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai pendapat ini, lihat: J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Ayub sampai dengan Maleakhi, Ibid., 448-449 [9] J. Sidlow Baxter, Ibid., 451 [10] Lihat ulasan terkait pada: Carol Smith, Bible from A tto Z, terj. Olive Nidya (Yogyakarta: ANDI, 2009), 165. Band. David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 123. [11] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab Ayub sampai dengan Maleakhi, Ibid., 453 [12] Habakuk 3;17-18, BIS