h. abdul malik

496
MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH H. Abdul Malik PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG DINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: H. Abdul Malik

iABDUL MALIK

MENJEMPUT TUAHMENJUNGJUNG MARWAH

H. Abdul Malik

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANGDINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

Page 2: H. Abdul Malik

ii MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

MENJEMPUT TUAHMENJUNGJUNG MARWAH

@ Abdul MalikHak cipta dilindungi undang-undang.

All right reserved.

Visualisai Isi :Andi S.P.

Desain Sampul:Tugas Suprianto

Cetakan ke-1, Oktober 2012Cetakan ke 2, Desember 2013

xx + 476 hal. 17,5 X 25 cm ISBN 9999-999-999-

Diterbitkan olehPEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

DINAS PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

Dicetak oleh:PT Komodo Books (Anggota IKAPI)

Jl. Pepaya Blok Q/9,Mekarsari, Depok, Indonesia

Telp. 021-8712879 Faks. 021-8712879Email: [email protected]

Page 3: H. Abdul Malik

iiiABDUL MALIK

SambutanKepala Dinas Pariwisata

Dan Ekonomi KreatifKota Tanjungpinang

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah s.w.t. berkat rahmat dan hidayah-Nya telah terbit sebuah lagi buku tentang budaya Melayu dari Tanjungpinang,

Kepulauan Riau. Salawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang telah menuntun kita kepada cahaya ilmu pengetahuan. Semoga dengan terus dan banyak bersalawat kepada Baginda Nabi Junjungan Alam kita senantiasa memperoleh manfaat ilmu pengetahuan yang diajarkannya kepada kita sebagai pedoman hidup di dunia dan bekal hidup di akhirat kelak.

Sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Tanjungpinang, kami menyambut baik penerbitan buku ini. Dengan membaca buku ini kita akan memperoleh tambahan pengetahuan tentang berbagai hal yang ditinjau dari sudut pandang budaya Melayu. Penulis buku ini, Saudara H. Abdul Malik, memang dikenal luas sebagai seorang cendekiawan dan budayawan yang sangat menaruh perhatian terhadap budaya Melayu. Karya-karya beliau selama ini tak hanya dikenal di tingkat daerah dan nasional, tetapi juga telah menjadi koleksi perpustakaan universitas ternama di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan Amerika Serikat.

Page 4: H. Abdul Malik

iv MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Ketekunan, konsistensi, dan keluasan pandangan beliau menjadi jaminan bahwa buku ini sangat patut untuk dibaca oleh semua kalangan.

Akhirnya, kami mengucapkan tahniah dan terima kasih kepada Saudara H. Abdul Malik atas upaya beliau menghasilkan karya yang bermutu ini. Semoga buku ini bermanfaat pula bagi sidang pembaca.

Tanjungpinang, 5 Desember 2013

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,

Drs. E iyar M. Amin

Page 5: H. Abdul Malik

vABDUL MALIK

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah s.w.t. Berkat rahmat dan hidayah-Nya, Pemerintah Kota Tanjungpinang, melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif, dapat menerbitkan buku yang sangat bagus ini. Salawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang telah menuntun kita kepada cahaya ilmu pengetahuan. Semoga dengan terus dan banyak bersalawat kepada Baginda Nabi Junjungan Alam kita senantiasa memperoleh manfaat ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh beliau sebagai pedoman hidup di dunia dan untuk bekal hidup kita di akhirat kelak.

Buku Menjemput Tuah Menjungjung Marwah sangat menarik untuk dibaca. Buku ini menyoroti berbagai persoalan terkini dari lensa kebudayaan Melayu. Dengan demikian, buku ini telah menyegarkan kembali kajian-kajian kemelayuan di kawasan ini.

Pembahasannya yang komprehensif menunjukkan bahwa penulisnya memang memahami persoalan yang dibicarakannya. Gaya bahasanya yang khas menjadi daya tarik tersendiri bagi kita untuk terus membaca buku ini sampai tamat. Terkesan pula kepedulian penulisnya terhadap bangsa Melayu dan kebudayaannya. Dengan cara yang khas itulah, penulis buku ini mengajak kita untuk senantiasa

SambutanYang Dipertua Ahlal Halli Wal-Aqdi

Perhimpunan Agung Kesultanan Riau-Lingga

Page 6: H. Abdul Malik

vi MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

menjemput tuah agar kita tak kehilangan marwah. Oleh sebab itu, saya memberikan apresiasi positif terhadap isi buku ini dan penerbitannya.

Akhirnya, saya mengucapkan tahniah dan penghargaan kepada Datuk Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Muthalib—Presiden Rusydiah Kelab Perhimpunan Agung Kesultanan Riau-Lingga yang juga budayawan dan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, Kepulauan Riau—atas upaya beliau menulis karya yang bermutu ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi upaya memartabatkan dan menjulangkan kembali budaya Melayu di negeri ini.

Tanjungpinang, 5 Desember 2013Yang Dipertua Ahlal Halli wal-Aqdi

Perhimpunan Agung Kesultanan Riau-Lingga,

Raja Datuk Wira M.E. Mansyur ibni Raja A. Razak

Page 7: H. Abdul Malik

viiABDUL MALIK

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan seru sekalian alam, yang berkat tau ik dan hidayah-Nyalah penulisan buku ini dapat saya selesaikan. Salawat dan

salam saya tujukan kepada Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad s.a.w., para ahli keluarga Baginda, para sahabat Baginda, dan para pengikut Baginda sampai ke akhir zaman.

Buku ini saya beri judul Menjemput Tuah Menjunjung Marwah. Judul itu diangkat dari judul salah satu tulisan di dalam buku ini, yang disajikan sebagai tulisan pertama pula di dalam buku ini. Judul itu diangkat sebagai judul buku ini sekaligus menjadi tulisan pertama di dalam buku ini tentu dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangannya tiada lain bahwa menjemput tuah menjunjung marwah merupakan tema utama buku ini. Keseluruhan tulisan di dalam buku ini, walaupun terdiri atas pelbagai judul, bermuara kepada tema utama itu. Hanya dengan kesetiaan, kebersediaan, dan kesungguhan untuk menjemput tuah barulah kita mampu dan dapat menjunjung marwah negeri dan bangsa ini. Itulah keyakinan saya dan mudah-mudahan juga keyakinan sebagian besar anak bangsa yang besar ini.

Buku ini berisi kumpulan tulisan yang saya kerjakan sejak 5 Juli 2009 sampai dengan 8 Juli 2012, tak kurang dari tiga tahun. Kesemuanya merupakan tulisan yang pernah dimuat di “Kolom Budaya”, Surat Kabar Batam Pos, yang terbit setiap Ahad di dalam rubrik Sastra dan Budaya. Ternyata, setelah membaca “Kolom Budaya” itu, banyak sekali pembaca yang menganjurkan agar tulisan-tulisan itu dihimpun dan diterbitkan di dalam satu buku. Atas anjuran itulah saya berusaha untuk menyuntingnya dan menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini sedapat-dapatnya saya urutkan sesuai dengan tanggal penerbitannya di “Kolom Budaya”, Batam Pos. Akan tetapi, dengan pertimbangan pribadi ada beberapa tulisan saya kecualikan

Pengantar

Page 8: H. Abdul Malik

viii MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

seperti tulisan yang menjadi judul buku ini. Mudah-mudahan, pengecualian itu tak mengganggu pembaca dalam membaca buku ini.

Penerbitan buku ini dapat dilakukan karena upaya dan kerja sama banyak pihak. Berhubung dengan itu, patutlah saya mengucapkan setinggi-tingginya tahniah kepada pihak-pihak yang begitu berjasa dalam penerbitan buku ini.

Buku ini dapat diterbitkan karena bantuan biaya dari Pemerintah Kota Tanjungpinang. Tanpa bantuan dana penerbitan itu mana mungkin buku ini dapat sampai di hadapan sidang pembaca. Saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang, khasnya kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Drs. E iyar M. Amin, yang telah pula memberikan sambutan untuk buku ini, dan seluruh jajarannya, atas bantuan yang telah diberikan. Semoga bantuan itu menjadi hitungan amal jariyah bagi mereka.

Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada segenap pimpinan dan staf Harian Pagi Batam Pos, khususnya para pengelola rubrik Sastra dan Budaya. Mereka telah menyediakan ruang untuk saya setiap Ahad sehingga dapat dihasilkan tulisan-tulisan yang terhimpun di dalam buku ini. Dalam hal ini, saya sangat berutang budi kepada H. Rida K. Liamsi, pemimpin utama Batam Pos Group, dan kepada beliau saya sangat berterima kasih. Ini buku kedua kumpulan tulisan “Kolom Budaya” setelah buku pertama Memelihara Warisan yang Agung, terbit secara nasional pada 2009 silam dan buku itu juga dikoleksi oleh Perpustakaan Ohio University dan Yale University, Amerika Serikat.

Kepada para pembaca setia “Kolom Budaya”, Harian Pagi Batam Pos, saya sampaikan terima kasih yang khusus. Dorongan dan dukungan Anda sekalian memungkinkan saya untuk terus menulis di media massa di tengah kesibukan utama saya sebagai pengajar di universitas. Semoga dengan kehadiran buku ini perhubungan silaturrahim kita melalui berbagi pemikiran, khususnya dalam bidang budaya, akan bertambah baik lagi ke depan ini.

Buku ini juga dapat diterbitkan atas partisipasi teman-teman di Komodo Books, Depok. Mas Agus R. Sarjono telah pula memberikan pengantar ulasan yang sangat menarik. Saya mengucapkan terima kasih atas semua jasa baik itu.

Karya ini juga merupakan bagian dari penghargaan saya terhadap Perhimpunan Agung Kesultanan Riau-Lingga. Perhimpunan tersebut turut memacu saya untuk mendalami kebudayaan Melayu. Kepada segenap pentadbir Perhimpunan Agung saya ucapkan terima kasih, khususnya kepada Yang Dipertua Ahlal Halli wal-Aqdi, Raja Datuk Wira M.E. Mansyur ibni Raja A. Razak, yang telah memberikan sambutan untuk buku ini.

Page 9: H. Abdul Malik

ixABDUL MALIK

Semangat saya menulis menjadi bertambah karena dukungan dari keluarga. Istri dan anak-anak saya sangat mendukung saya untuk berkarya sehingga mereka merelakan sebagian waktu mereka yang seyogianya bersama saya digunakan untuk saya menyelesaikan tulisan. Tanpa pengorbanan dan pengertian mereka tak mungkin saya dapat memusatkan perhatian untuk menulis. Hajjah Isnaini Leo Shanty (Shanty), istri saya tercinta, Annisa Bestari (Esta), Abdelrezki Tafriansyah (Rian), dan Abdelzikri Hajiansyah (Zikri), anak-anak saya terkasih, buku ini saya persembahkan kepada kalian sebagai tanda kasih-sayang kepada kalian, orang-orang yang dengan setia telah mendampingi saya dalam suka dan duka selama ini.

Segala kelebihan buku ini bersumber dari Allah dan kesemua kekurangannya berasal dari saya sebagai makhluk-Nya yang tak sunyi dari kelemahan. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Seujung sajadah sekalam sembah

Bukti tertulis Rasul Junjungan

Menjemput Tuah Menjunjung Marwah

Bakti terwaris terlena jangan

Tanjungpinang, Rabu, 1 Safar 1435 H.bersamaan dengan 4 Desember 2013 M.

Penulis,

Abdul Malik

Page 10: H. Abdul Malik

x MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Page 11: H. Abdul Malik

xiABDUL MALIK

Datuk H. Abdul Malik jelas seorang akademisi. Dia melakukan penelitian-penelitian, menjadi dosen di Universitas Riau dan Universitas Maritin

Raja Ali Haji, bahkan menjadi Dekan. Tidak heran jika dia pernah dinobatkan sebagai dosen teladan. Namun, dia bukan jenis akademisi yang mengurung diri di bilik kampus dan spesialisasinya belaka. Perhatian dan minatnya meluas ke berbagai arah, demikian pula pergaulannya, sehingga ia bukan sekedar akademisi melainkan menjelma menjadi intelektual yang ditandai oleh kepeduliannya pada berbagai masalah penting di masyarakatnya. Yang paling mengesankan dari sosok intelektual Kepulauan Riau ini adalah kecintaan dan kepeduliannya yang habis-habisan kepada alam tamadun Melayu, baik sejarah dan pencapaian-pencapaian tamadun Melayu di masa lalu, maupun tantangan, ancaman, dan harapan tamadun Melayu di masa kini. Cinta dan kepeduliannya inilah yang mendasari nyaris semua kiprahnya, baik saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, Staf Ahli Gubernur Kepulauan Riau bidang pendidikan dan kebudayaan, Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan, Universitas Riau, maupun kegiatannya di Biro Sosio-Budaya, Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) di Melaka, Malaysia dan di Provinsi Kepulauan Riau.

Kecintaan dan kepeduliannya pada dunia Melayu itulah yang mendasari dan memberi ruh pada nyaris semua tulisannya dalam buku ini. Buku ini merupakan kumpulan kolom-kolomnya sebagai penulis tetap “Kolom Budaya”, Surat Kabar Batam Pos Minggu selama berbilang tahun.

Sebagai sebuah kolom —yang dibatasi oleh jumlah halaman media massa tempat ia diterbitkan— setiap tulisan dalam buku ini tidak bisa panjang lebar dengan landasan teoretis, tabel-tabel, terminologi yang ketat, dan analisis mendalam. Maka tulisan pun melandaskan diri pada bentuk tulisan esai. Untuk meminjam ungkapan Michel de Montaigne —penggagas jenis tulisan esai— setiap

Pesta Kolom Hidangan Melayu

Pengantar Agus R. Sarjono

Page 12: H. Abdul Malik

xii MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

esai pada hakekatnya adalah garam penggugah selera. Oleh sebab itu ia harus padat, enak dibaca, dan menggoda pikiran dan perhatian pembaca.

Tidak mudah bagi seorang akademisi, khususnya akademisi Indonesia, untuk menulis esai. Mereka yang terbiasa menulis diktat dan karangan ilmiah sudah terbiasa untuk menulis dingin, panjang lebar —setiap kesimpulan harus dibangun dengan sejumlah argumentasi dan data-data adekuat, sesuai dengan prinsip ber ikir vertikal— dan kadang menjemukan, akan mengalami kesulitan luar biasa untuk dapat menulis dengan singkat, padat, menarik, sekaligus argumentatif. Seorang penulis esai harus mampu ber ikir vertikal dan lateral sekaligus. Dalam ber ikir lateral, demikian Edward de Bono, argumentasi tidak harus dibangun tahap demi tahap, ia bisa mulai dari tengah, dari depan, bahkan dari belakang.

Abdul Malik, sebagaimana terlihat dalam kolom-kolomnya, menunjukkan kemampuannya untuk menulis esai dan ber ikir lateral. Itu sebabnya dia dapat bebas meloncat dari satu tema ke tema lainnya, dari satu gagasan ke gagasan lainnya, serta dari satu tantangan masalah ke tantangan masalah lainnya. Bayangkan, dalam buku ini kita disuguhi bermacam sajian mulai dari kasus Pulau Berhala sampai pengalaman belajar ke Bali; mulai dari sosok Datuk Ali Melaka sampai sosok Obama; mulai dari kesenian Makyong sampai Gurindam, perayaan imlek, Pantun, Huruf Jawi serta batik Kepulauan Riau; mulai urusan di Kabupaten Kundur sampai urusan di negara Melayu Brunei Darussalam.

Hidangannya pun ada yang berat seperti: tradisi intelektual Melayu, permasalahan bahasa dari Van Ophuijsen hingga upaya menginternasionalkan Bahasa Melayu. Ada yang polemis seperti Heboh Sastra Malaysia atau Temu Sastrawan Indonesia. Ada yang berupa ingatan, mulai dari tokoh Khalid Hitam, Raja Ali Kelana, Aisyah Sulaiman, hingga Hasan Junus. Ada yang relijius seperti tamasya Ibadah dan Punggawa Syaitan, serta ada yang politis seperti pendapat Al-Imam tentang Penguasa atau samarat al-Muhimmah: Jamuan Para Pemimpin. Bukan hanya topiknya yang beragam, nada tulisannya pun beragam: memprovokasi, menghimbau, mengejek, menyapa, memberi tabik, memuji, memberi semangat, maupun menantang dan sesekali mengajak bersitegang.

Dalam keluasan urusan dan keberagaman topik yang diarungi sang penulis, ada satu hal yang tetap, yakni cinta dan kepeduliannya pada kemelayuan. Dan kemelayuan itu, dapat disimpulkan dalam dua kata kunci: tuah dan marwah. Tuah adalah keunggulan kodrati pemberian Illahi sebagai suatu potensi yang terberi. Kepenuhan sebuah tuah baru benar-benar mewujud jika dan hanya jika yang diberi potensi tuah itu benar-benar bekerja keras menjadikan keunggulan potensial itu menjadi sesuatu yang benar-benar termanifestasi dalam kehidupan nyata. Tuah sebagai potensi unggul itu hanya dan hanya bisa mewujud jika yang

Page 13: H. Abdul Malik

xiiiABDUL MALIK

mendapat tuah tersebut dalam upaya kerja kerasnya meraih dan mewujudkan tuahnya berpegang pada marwah. Marwah (martabat, dignity, harga diri) tidak pernah dapat dilepaskan dari sifat amanah. Barang siapa tidak amanah, dia akan kehilangan marwah. Dan barang siapa kehilangan marwah, ia tak akan sanggup menggenggam tuah.

Dalam kaitan ini, penulis mengambil ungkapan Melayu yang pernah dikemukakan juga dalam alu-aluan Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, H. Abdul Razak Ab., sebagai berikut:

“Apa tanda Melayu jati, karena amanah berani mati; apa tanda Melayu bermarwah, hidup dan mati memegang amanah; apa tanda Melayu bermarwah, menaati janji memelihara amanah.”

Bagi penulis, orang yang bermarwah dan bekerja keras meraih tuah akan menjelma menjadi orang yang mandiri, kokoh, dan tegar menghadapi apa saja. Sebab, di mata penulis

...tak ada celah untuk mencela orang yang bermarwah. Biar pun itnah datang menerpa bertubi-tubi bagai beribu-ribu anak panah, orang atau puak yang menjunjung marwah tak pernah goyah, apa lagi rebeh, rebah, ataupun roboh. Pasal apa? Orang atau puak itu akan memperoleh inayah Allah.

Pada titik ini, berhasil atau gagal, hidup atau mati, orang yang menunjung marwah akan tetap unggul: jika berhasil ia akan meraih tuah gemilang, jika pun harus mati, ia akan syahid i sabilillah.

Dengan dua kata kunci itu —tuah dan marwah— penulis meneroka, mengelola, dan menilai segala persoalan yang dihadapi masyarakat Melayu, khususnya situasi mutakhir di Provinsi Kepulauan Riau dewasa ini. Ia mengingatkan kembali bahwa Istilah sakral marwah itulah yang digunakan oleh rakyat Kepulauan Riau ketika memperjuangkan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Maka dalam nyaris semua tulisan dalam buku ini —langsung maupun tak langsung— ia mengingatkan kita untuk senantiasa berpegang pada marwah (yakni berpegang pada amanah yang dipercayakan kepada kita) karena tidak bisa tidak Kepulauan Riau secara kodrati diberkahi Tuhan dengan tuah: potensi alam yang luar biasa. Jika para pengelolanya (juga masyarakatnya) tidak berpegang pada amanah, tidak menjunjung marwah maka tuah anugerah Illahi itu tidak akan mewujud menjadi negeri bertuah yang mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Bahkan, tuah yang menjadi potensi pemberian Illahi itu justru akan menjadi kutukan jika yang diamanahi negeri bertuah itu tidak menjunjung marwah. Maka judul buku ini —Menjemput Tuah Menjunjung Marwah— secara tepat merangkum dasar pijakan sekaligus dasar ajakan penulisnya. Karena bagi Abdul

Page 14: H. Abdul Malik

xiv MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Malik menjemput tuah menjunjung marwah merupakan perjuangan kultural yang nilai-nilainya harus terus kekal dalam diri masyarakat yang meyakini kesucian dan kekeramatannya.

Di tengah situasi tanah air yang dipenuhi oleh para pemimpin yang kurang menjunjung marwah dan masyarakat yang cenderung puas dengan tuah instant yang mencemari martabat dan marwah masyarakat, bujukan, tantangan, bahkan provokasi untuk merebut tuah dan menjunjung marwah yang terdapat di sekujur buku ini menjadi sangat relevan. Apalagi ajakan untuk hidup bermasyarakat dengan penuh martabat itu disajikan serupa hidangan dalam pesta-pesta Melayu: seronok, beragam, berlimpah, serta serba lezat dan bermanfaat. jelas ini bukan hidangan yang mudah ditolak bagi mereka yang tubuh kulturalnya masih sehat dan belum banyak pantangan hipertensi, kolesterol, asam urat dan sebagainya akibat dijerat padatnya kehidupan untuk merebut tuah tanpa sedia menjunjung marwah.

Selamat membaca dan berpesta.[]

Page 15: H. Abdul Malik

xvABDUL MALIK

Daftar Isi

Sambutan Kepala Dinas Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif

Kota Tanjungpinang ...................................................................................................... i i i

Sambutan Yang Dipertua Ahlal Halli Wal-Aqdi Perhimpunan Agung

Kesultanan Riau-Lingga .............................................................................................. v

Pengantar Penulis .................................................................................................................... v i i

Pesta Kolom Hidangan Melayu

Pengantar Agus R. Sarjono ......................................................................................... x i

Daftar Isi ............................................................................................................................ x v

Menjemput Tuah Menjunjung Marwah ................................................................ 3

Menjunjung Marwah Memegang Amanah .......................................................... 6

Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah ............................................................ 9

Darjah Gemilang Seri Melaka .................................................................................... 1 4

Kehendak Menegerikan Universitas Maritim Raja Ali Haji .......................... 1 7

Marwah Pulau Berhala ................................................................................................ 2 0

Pertemuan Dua Setia .................................................................................................... 2 4

Datuk Ali Melaka ............................................................................................................ 2 7

Belajar ke Bali .................................................................................................................. 3 0

Bengkel Kembara Wangsa: Johor-Riau-Lingga ................................................ 3 3

Corak Melayu Lingga .................................................................................................... 4 2

Hujan Rahmat di Bumi Lingga .................................................................................. 5 0

Page 16: H. Abdul Malik

xvi MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Budi Bahasa Melayu ...................................................................................................... 5 3

Ketika Makyong Menggoyang Batam .................................................................... 5 7

Karena Obama Membungkuk ................................................................................... 6 1

Darjah Mulia Seri Melaka ........................................................................................... 6 4

Cahaya Itu pun Terbanglah ........................................................................................ 6 7

Jika Hendak Dibilangkan Nama ............................................................................... 7 0

Tamasya Ibadah .............................................................................................................. 7 3

Memelihara Akhlak Mulia .......................................................................................... 7 6

Kerajaan Hati ................................................................................................................... 7 9

Bertahta Budi Bermahkota Bahasa ........................................................................ 8 5

Sahabat yang Baik Budi ............................................................................................... 8 8

Siasat Tak Hendak Sesat .............................................................................................. 9 1

Jagalah Diri ....................................................................................................................... 9 7

Punggawa Syaitan .......................................................................................................... 100

Keluarga Bahagia ........................................................................................................... 103

Karena Berjasa Murah Perangai .............................................................................. 106

Awalnya Dunia, Akhirnya Akhirat ........................................................................... 109

Gurindam Negeri UMRAH .......................................................................................... 113

Pemasangan Perabung Gedung ............................................................................... 116

Imlek, Pantun, dan Huruf Jawi.................................................................................. 119

Kabar dari Dompak ....................................................................................................... 122

Batik Kepulauan Riau ................................................................................................... 125

Yang Kuasa Memberi Daulat ..................................................................................... 129

Sumpah Setia dan Marwah ........................................................................................ 133

Kelab Loyar ....................................................................................................................... 136

Kampung Kita, Kampung Dunia .............................................................................. 140

Dilema Membawa Bencana ....................................................................................... 143

Yang Hemah yang Selamba ........................................................................................ 146

Kabupaten Kundur ........................................................................................................ 149

Membaca Oemar Bakri ................................................................................................ 152

Lomba Batik Daerah ..................................................................................................... 155

Page 17: H. Abdul Malik

xviiABDUL MALIK

Tanjungpinang Kota Puisi........................................................................................... 158

Negara Melayu Brunei Darussalam ........................................................................ 161

UMRAH: Ultah dan Pangkah ...................................................................................... 164

Prasasti Bahasa ............................................................................................................... 168

Anugerah Dua Termasa ............................................................................................... 171

Tradisi Intelektual Melayu ......................................................................................... 174

Puncak-Puncak Bahasa Melayu .............................................................................. 177

Kecerdasan Budaya ....................................................................................................... 189

Konvensyen XI DMDI: Kota Batam, Kepulauan Riau, Indonesia ................ 192

Temu Sastrawan Indonesia ........................................................................................ 196

Menjunjung Bahasa Persatuan ................................................................................. 199

Apa Kata Van Ophuijsen .............................................................................................. 202

Sepuluh Bukti .................................................................................................................. 205

Aisyah Sulaiman ............................................................................................................. 213

Kerajaan Bintan .............................................................................................................. 219

Meningkatkan Martabat ............................................................................................. 225

Bahasa Melayu ................................................................................................................ 225

Hasan Junus ...................................................................................................................... 231

Heboh Sastra Malaysia ................................................................................................. 234

Bahasa, Ilmu, dan Adab ............................................................................................... 237

Dipilih Buku ...................................................................................................................... 240

Karya Elok di Negeri Molek ....................................................................................... 243

Memperkenalkan Negeri Melalui Sastra .............................................................. 251

Virus Kepengarangan ................................................................................................... 254

Karena Hang Tuah Belum Kembali ........................................................................ 258

Dari Dermaga ke Tangkuban Perahu ..................................................................... 264

Tarung Penyair Panggung .......................................................................................... 270

Haji Ibrahim ..................................................................................................................... 273

Cinta Kasih ........................................................................................................................ 276

Jujur ..................................................................................................................................... 279

Gemintang Penabur Matahari .................................................................................. 282

Page 18: H. Abdul Malik

xviii MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Mengembangkan Tamadun Melayu ....................................................................... 285

Pendidikan Budi Pekerti ............................................................................................. 288

Khalid Hitam .................................................................................................................... 291

Merong Mahawangsa ................................................................................................... 295

Budi Pekerti dan Buku Teks ...................................................................................... 298

Perkara –il Itu Termasuk Izrail, Bang!................................................................... 301

Buku Baru Penulis Muda ............................................................................................ 304

Dari Pendidikan ke Budaya Tradisional ............................................................... 307

Budaya Kita di Negeri Orang ..................................................................................... 311

Tradisi yang Punah ........................................................................................................ 314

Menjaga Keutuhan Bangsa ......................................................................................... 317

Malam Tujuh Likur ........................................................................................................ 321

Nuansa Hari Raya ........................................................................................................... 326

Raja Ali Kelana ................................................................................................................ 329

Keindahan Melayu ......................................................................................................... 332

Negeri Berhari Jadi ........................................................................................................ 335

Kebudayaan dan Akal-Budi ....................................................................................... 338

Pantun: Warisan Sadu Perdana ................................................................................ 341

Menginternasionalkan Bahasa Melayu ................................................................. 345

Cabaran Sosio-Budaya Melayu ................................................................................. 348

Kesadaran Budaya ......................................................................................................... 351

Gedung Raja Nong Isa .................................................................................................. 355

Abu Muhammad Adnan ............................................................................................... 359

Guru dan Seteru .............................................................................................................. 363

Budaya Membangun ..................................................................................................... 367

Lagu Mengulik ................................................................................................................. 370

Perbauran Tionghoa dengan Melayu..................................................................... 373

Patriotisme Hang Tuah ................................................................................................ 377

Universitas Maritim Raja Ali Haji: Di Bawah Payung Negeri....................... 381

Festival Pulau Penyengat ............................................................................................ 385

Sang Penjerumat Itu pun Berlayar Jauh ............................................................... 389

Page 19: H. Abdul Malik

xixABDUL MALIK

Peran dan Pentingnya Budaya Daerah .................................................................. 393

Ke Bandar Seri Bentan ................................................................................................. 397

Dengan Syair Menyemai Budi ................................................................................... 401

Tak Orang Tak Kita ........................................................................................................ 405

Bandar Baru Telukbakau ............................................................................................ 408

Mengawal Tradisi ........................................................................................................... 412

Al-Imam tentang Penguasa ........................................................................................ 416

Mutiara Karam: Putih-Hitam Kebenaran ............................................................. 420

Hasan Junus: Tauladan Para Pengarang ............................................................... 424

Raja Ali Haji tentang Budi Pekerti .......................................................................... 430

Cahaya Ilahi di Telukbakau ........................................................................................ 440

Sikap Melayu .................................................................................................................... 444

Anugerah LAM Kabupaten Karimun...................................................................... 448

Tsamarat al-Muhimmah: Jamuan Para Pemimpin ........................................... 452

Rukun Tetangga .............................................................................................................. 456

Politik dan Budaya ......................................................................................................... 461

Memperkasa Tamadun Melayu ................................................................................ 465

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 469

BIODATA ............................................................................................................................ 473

Page 20: H. Abdul Malik

xx MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Page 21: H. Abdul Malik

1ABDUL MALIK

MENJEMPUT TUAHMENJUNJUNG MARWAH

Page 22: H. Abdul Malik

2 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Page 23: H. Abdul Malik

3ABDUL MALIK

LAZIMLAH dalam setiap bahasa ada kata-kata yang bersinonim. Artinya, beberapa kata memiliki arti yang mirip atau lebih kurang sama. Walaupun

begitu, kemiripan arti taklah berarti bahwa kata-kata yang bersinonim itu memiliki arti yang persis sama, apakah secara leksikal (arti kata seperti di dalam kamus) lebih-lebih secara kontekstual (arti kata sesuai dengan lingkungan pemakai dan pemakaiannya).

Kata tuah, misalnya, memang bersinonim dengan untung, keunggulan, keistimewaan, dan sebagainya; tetapi di dalam kumpulan kata yang searti itu kata tuah mengandungi keunggulan dan keistimewaan makna secara sosio-kultural bagi orang Melayu. Begitu pula halnya dengan kata marwah. Kendatipun searti dengan harga diri, kepribadian, dan nama baik; kata marwah dinilai jauh lebih sakral maknanya. Oleh sebab itu, untuk mengungkapkan perihal ‘keberuntungan’ dan ‘harga diri’ yang mengarah kepada sesuatu yang bersifat suci dan atau keramat; orang Melayu akan menggunakan ungkapan tuah dan marwah.

Seseorang perempuan, lebih-lebih perempuan muda yang berparas cantik, dan seseorang laki-laki, apa lagi laki-laki muda yang berwajah tampan, dapat dikatakan memiliki tuah, terutama jika dibandingkan dengan orang lain yang kualitas rupanya di bawah dirinya. Akan tetapi, keberadaan tuah bawaan itu baru bersifat potensial. Seseorang yang memiliki keberuntungan itu harus menyerasikannya dengan kualitas budi. Budi bukanlah sifat bawaan, melainkan harus dijemput, harus diperjuangkan. Cara menjemput budi melalui proses belajar, baik di lingkungan keluarga, di dalam masyarakat, maupun di lembaga pendidikan. Menyepadukan kualitas wajah dan kualitas budi itulah yang disebut menjemput tuah diri bagi manusia. Ungkapan menjemput itu jadinya bermakna dan bernilai perjuangan. Keserasian wajah dan budi itulah seperti yang pernah saya tulis dalam tulisan yang lain sebagai kesebatian seri gunung dan seri pantai, yang seyogianya menjadi dambaan setiap insan.

Menjemput Tuah Menjunjung Marwah

Page 24: H. Abdul Malik

4 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu masyarakat, sama ada kecil ataupun besar ukuran kelompoknya, baru rela menjemput tuah kalau dia atau mereka menghayati makna marwah. Tanpa kesadaran marwah, manusia tak pernah acuh akan kualitas diri. Jika contoh di atas yang diambil kembali, dengan keelokan paras dan atau kekuatan isik yang dimilikinya, anak manusia boleh berbuat apa saja demi keuntungan pragmatis sesaat. Bukan tak mungkin perbuatan yang dilakukannya itu dapat berdampak negatif bagi dirinya sendiri apa lagi bagi orang lain. Akan tetapi, karena tak didasari kesadaran marwah, lebih-lebih kalau terpaan hedonistis begitu membara, dia tak akan memedulikannya atau bahkan memang tak memahami kesemuanya itu. Sebaliknya pula, orang yang menjunjung marwah, memuliakan jati diri, memelihara kehormatan diri, menjaga nama baik; akan terus berjuang menjemput tuah dalam hidupnya. Alhasil, dalam kehidupan ini keserasian, keselarasan, kesanggaman, dan kesebatian menjemput tuah dan menjunjung marwah menjadi kunci mutu manusia.

Dari tuah orang perorangan atau sekelompok orang, kita beralih ke tuah negeri. Jika suatu negeri dikaruniai sumber daya alam yang berlimpah ruah, berarti negeri itu memiliki tuah potensial. Tuah itu pun tak berarti apa-apa kalau tak dijemput. Menjemput tuah dalam hal ini bermakna memperjuangkan dengan bersungguh-sungguh agar kekayaan sumber daya alam itu betul-betul dapat menyejahterakan masyarakat dan memakmurkan negeri. Menyejahterakan masyarakat berarti memperjuangkan kualitas hidup masyarakat dalam kesemua bidang kehidupan agar terus meningkat ke arah yang lebih baik dengan memanfaatkan tuah kelimpahan sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri.

Selanjutnya, memakmurkan negeri berkelindan dengan kualitas negeri terus membaik, baik penataan isik wilayahnya maupun keberadaan sosio-budaya masyarakat yang mendiaminya. Bertambahnya lingkungan selekeh (slum area), meningkatnya kekerasan di dalam masyarakat, dan menurunnya kualitas ketenangan hidup merupakan sebagian dari indikator menurunnya kualitas kemakmuran negeri. Dalam keadaan negeri berlimpah kekayaan alam, tetapi pergaduhan (perkelahian) memperebutkan hasilnya terus berkecamuk dari hari ke hari; berarti anugerah yang seharusnya menjadi tuah ternyata berubah menjadi musibah. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa negeri itu kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas pada kesemua peringkat kemasyarakatannya. Akibatnya, tuah negeri justeru diambil alih oleh orang atau negeri lain. Intinya, negeri itu gagal menjemput tuahnya.

Berhasil atau gagalnya sesebuah negeri menjemput tuahnya sangat bergantung kepada kesadaran dan kesetiaan anak negerinya menjunjung marwah diri dan negeri. Yang dimaksud dengan anak negeri tak lain dari kesatuan secara keseluruhan penguasa dan masyarakat negeri itu. Kesadaran akan nilai-nilai marwah diri dan penghayatan terhadap nilai-nilai marwah negeri memungkinkan anak negeri untuk

Page 25: H. Abdul Malik

5ABDUL MALIK

berjuang memakmurkan negerinya. Secara perorangan atau bersama-sama, sama ada dia penguasa atau rakyat jelata, yang biasa saja lebih-lebih yang terpelajar terkemuka; mereka akan menanggung malu jika kelimpahan potensi negerinya tak mampu dimanfaatkan untuk memakmurkan negeri. Dia pun tak akan tergamak dan sampai hati jika kekayaan negerinya hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan segelintir orang di kanan-kiri, apa lagi kalau hanya untuk memuaskan syahwat kekuasaan yang tak terkendali. Bahkan, aib terbesar bagi dirinya jika justeru orang lain atau negeri lain yang mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan negerinya. Kesadaran dan kesetiaan itu akan memacu dan memicu mereka secara bersama-sama berjuang untuk mengembalikan marwah negeri.

Menjemput tuah menjunjung marwah merupakan perjuangan kultural. Nilai-nilainya harus terus kekal di dalam diri masyarakat yang meyakini kesucian dan kekeramatannya. Jika nilai-nilai sakral itu terus tergerus, masyarakat yang selama ini meyakini dan mengamalkannya untuk kemudian tak lagi memedulikannya akan kehilangan jati diri. Puing-puing masyarakat itu selanjutnya melanjutkan kehidupan tanpa roh kultural yang dapat dipedomani dan menyemangatinya. Mereka akan terombang-ambing di atas gelombang samudera luas kehidupan yang tak bertepi. Pada gilirannya, keberadaan mereka di dalam masyarakat global tak lagi diperhitungkan. Karena apa? Karena tak ada lagi kekhasan yang mustahak diperhitungkan pada diri mereka. Yang muncul ke permukaan hanyalah kelemahan belaka sebab keunggulannya telah lesap dan lenyap mereka tenggelamkan sendiri. Nah, bukan orang lain, melainkan mereka sendirilah yang memunahranahkannya. Dalam keadaan seperti itu, mereka dengan mudah ditarik ulur untuk pelbagai kepentingan, yang kesemuanya menguntungkan orang lain, negeri lain, dan atau bangsa lain.

Tanpa semangat menjemput tuah menjunjung marwah, jatuhlah sebuah bangsa ke jurang terdalam dan terkelam dari tragedi kekalahan. Mereka hanya menjadi jasad tanpa roh kultural yang dapat dibanggakan dan membanggakan. Itulah piala “terhormat” bagi para kecundang atau pecundang di dalam dunia yang memang penuh persaingan. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi itu bukan diperoleh secara cuma-cuma atau gratis di dunia ini kendatipun kita memiliki negeri yang elok dan berlimpah ruah. Lebih-lebih dalam era rezim yang politik dan ekonomi menjadi panglima ini, hutan tanah dan kebun kita boleh menjadi milik orang lain dalam sekelip mata saja jika kita silap, kurang siasat, dan atau sambil lewa (acuh tak acuh) dalam hidup ini.

Tak ada jaminan bahwa pekik, “Kami adalah ahli waris sah negeri ini!” akan menggerunkan orang jika tak kita perjuangkan dengan bersungguh-sungguh dan secara bersama-sama. Maka itu, jemputlah tuah dan junjunglah marwah diri dan negeri yang tercinta ini. Hanya itulah yang akan menyelamatkan kita dan anak-cucu kita secara berketurunan kelak, selain dari inayah Allah. []

Page 26: H. Abdul Malik

6 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

MARWAH merupakan harga diri, harkat, dan martabat. Marwah dalam hidup menjelma menjadi jati diri. Marwah berwujud di dalam niat, sifat, sikap, dan

perilaku (tabiat, perangai) yang baik. Oleh itu, marwah sangat mustahak perannya dalam kehidupan orang Melayu.

Marwah bukanlah pemberian dari langit. Oleh itu, marwah harus diperjuangkan. Begitu telah diraih, ia wajib dipertahankan dan dipertingkatkan secara palar (terus-menerus) apa pun tantangan yang harus dihadapi. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tak bermarwah. Niat, sifat, sikap, dan perangai yang berasaskan marwah mewujudkan budi pekerti yang elok tiada bertolok, yang pada gilirannya orang yang menjunjungnya tak akan diperolok-olok. Cahaya marwah sejati yang memancar di kening pemiliknya menjadikan dirinya disegani, sama ada oleh kawan ataupun lawan.

Tak ada celah untuk mencela orang yang bermarwah. Biar pun itnah datang menerpa bertubi-tubi bagai beribu-ribu anak panah, orang atau puak yang menjunjung marwah tak pernah goyah, apa lagi rebeh, rebah, ataupun roboh. Pasal apa? Orang atau puak itu akan memperoleh inayah Allah. “Apa tanda Melayu bermarwah, hanya berharap rida Allah.” Kalau demikian keadaannya, kejahatan jenis apakah yang mampu mencelakakannya? Tak ada. Tak ada suatu kemungkaran pun yang dapat mendekati, jangankan merasuki, orang yang hidup dan matinya, apa pun yang diniatkannya, yang dikatakannya, dan yang didarmabaktikannya hanya mendambakan rida Allah. Bahkan, jika harus mati pun, mereka syahid i sabilillah. Begitulah para pejuang marwah sejati mendapatkan ganjaran yang baik, baik di dunia maupun di akhirat.

Istilah sakral marwah itulah yang digunakan oleh rakyat Kepulauan Riau ketika memperjuangkan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Mewujudkan daerah ini yang mula-mulanya adalah pusat kerajaan besar (Kerajaan Riau-Lingga-Johor-

Menjunjung MarwahMemegang Amanah

Page 27: H. Abdul Malik

7ABDUL MALIK

Pahang), kemudian menjadi ibukota provinsi (berkedudukan di Tanjungpinang), selanjutnya turun statusnya hanya menjadi sebuah Kabupaten Kepulauan Riau untuk dikembalikan menjadi sebuah provinsi yang menjadi kebanggaan; oleh rakyat Kepulauan Riau yang menyadari marwah dirinya, dianggap sebagai perjuangan menjunjung marwah. Dengan dasar itu, rakyat Kepulauan Riau bahu-membahu berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkannya.

Tak ada silang selisih ketika perjuangan dilakukan, kecuali yang kecil-kecil, terutama di kalangan para pejuang setia dan sejatinya. Kesemuanya bergerak dalam suasana persaudaraan yang nyaris tanpa cela sebab, sekali lagi, dalam semangat yang menyeluruh untuk menjunjung marwah. Perjuangan sungguh-sungguh dilakukan dengan semangat kebersamaan Melayu jati, “Kalau raja minta daulatnya, kalau tua minta berkatnya, kalau muda minta semangatnya, kalau alim minta doanya, kalau kaya minta ringgitnya, kalau cerdik minta akalnya, kalau berani minta kuatnya, kalau rimbun tempat berteduh.”

Begitulah tarikh resmi perjuangan menjunjung marwah itu ditetapkan pada 15 Mei 1999. Tarikh itu disesuaikan dengan pelaksanaan Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau yang dilaksanakan pada tanggal tersebut di Hotel Royal Palace (sekarang Hotel Comfort), Tanjungpinang. Pada peristiwa bersejarah itulah dideklarasikan perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Setelah berjuang dengan gigih, baru pada 24 September 2002 undang-undang tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan pada 1 Juli 2004 diresmikanlah pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang diperjuangkan itu.

Mudah sekali meringkaskannya dalam tulisan ini. Akan tetapi, perjuangannya sendiri harus dilakukan dalam deruan ombak gelombang utara dan selatan serta semak belukar onak dan duri. Suka dan duka silih berganti menerpa, yang kalau tak cekal hati, tak akan sampai ke matlamatnya. Akan tetapi, itu tadi dengan berbekal marwah diri, ternyata Allah memberikan inayah-Nya. Tarikh awal perjuangan pembentukan provinsi tercinta ini disebut Hari Marwah. Dan, tepat hari ini, 15 Mei, kita kembali memperingatinya, yang mungkin dalam suasana yang sangat jauh berbeda! Pasal, mungkin karena harinya kian menjauh, kita pun tak lagi mampu membedakan mana yang dekat dan mana yang jauh. Lalu, marwah itu, relakah kita ia menjauh? “Mulia niat karena sifatnya, mulia kata karena kotanya. Pantang Melayu memesongkan niatnya, mulia Melayu mengotakan katanya, pantang tukang membuang kayu.”

Perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dilakukan dengan matlamat utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan tak mungkin, karena matlamat mulia itulah perjuangan itu mendapat pertolongan dari Allah. Dengan demikian, adalah menjadi tanggung jawab sesiapa pun yang menerajui negeri

Page 28: H. Abdul Malik

8 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

ini untuk berusaha sekuat dapat agar matlamat itu mampu diraih. Apa lagi, para peneraju negeri itu dipilih oleh rakyat karena dianggap mampu membawa negeri dan seluruh rakyatnya menjadi lebih bermarwah. Peningkatan kesejahteraan secara merata merupakan salah satu indikator meningkatnya marwah masyarakat atau bangsa. Menjulangnya nama bangsa-bangsa Amerika Serikat, Jepang, Korea, Singapura, Brunei Darussalam, yang dalam proses diikuti oleh Malaysia, Thailand, dan Republik Rakyat Tiongkok, misalnya, adalah karena meningkatnya kesejahteraan mereka secara signi ikan.

Secara kebetulan atau disengaja, berdekatan dengan Hari Marwah, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau pada Rabu, 7 Jumadil Akhir 1432 Hijriyah bersamaan dengan 11 Mei 2011 menyelenggarakan acara adat yang tergolong besar. Istiadat Penganugerahan Gelar Datuk Setia Amanah nama acara itu. Gelar itu diberikan kepada Gubernur Kepulauan Riau, Drs. H. Muhammad Sani.

Gelar adat Datuk Setia Amanah secara tradisi memang dianugerahkan kepada kepala daerah kabupaten, kota, dan provinsi di Riau dan Kepulauan Riau. Gelar itu bersifat ex of icio. Selama kepala pemerintahan itu menjabati jabatannya, beliau berhak menyandangnya sebagai pelindung adat dan masyarakat adat Melayu. Jika nanti yang bersangkutan habis masa perkhidmatannya, gelar itu pun tanggallah dengan sendirinya dan penggantinya pulalah yang menyandang gelar adat tersebut, “Esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti.”

Dalam ucapan elu-eluannya, Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, H. Abdul Razak Ab., mengutip ungkapan Melayu. Di antara ungkapan itu, “Apa tanda Melayu jati, karena amanah berani mati; apa tanda Melayu bermarwah, hidup dan mati memegang amanah; apa tanda Melayu bermarwah, menaati janji memelihara amanah.”

Dari ungkapan itu jelaslah siratan tugas dan tanggung jawab berat seorang Datuk Setia Amanah. Amanah adat Melayu itu saling tak tumpah dengan amanah rakyat Kepulauan Riau ketika memperjuangkan pembentukan provinsi yang bertuah ini. Gubernur Kepulauan Riau yang juga Datuk Setia Amanah patutlah memprioritaskan kebijakan pembangunan yang dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah ini secara merata. Dengan begitu, semua rakyat dapat sama-sama merasakan tuah daerah ini menjadi provinsi. Karena H. Muhammad Sani merupakan salah seorang pejuang pembentukan provinsi ini, kita percaya, beliau pun pasti berupaya menerapkan watak pembangunan kesejahteraan yang kita dambakan. Dan, tentu dukungan seluruh rakyat, tanpa kecuali, sangat diperlukan untuk mewujudkan marwah bersama itu. “Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.” Semoga demikianlah adanya.[]

Page 29: H. Abdul Malik

9ABDUL MALIK

TANJUNGPINANG sekarang kita kenal sebagai pusat pemerintahan Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Suatu masa

dahulu kawasan ini pernah menjadi pusat pemerintahan negara yang besar. Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang nama negara itu. Kawasannya meliputi seluruh Provinsi Kepulauan Riau, beberapa daerah lain di Sumatera, dan sebagian besar Malaysia, dan Singapura sekarang.

Sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga, dan kedudukan Yang Dipertuan Muda dipindahkan ke Pulau Penyengat Indera Sakti, kedua penguasa negeri itu berhimpun di pusat pemerintahan di Sungai Carang, Hulu Riau. Begitulah Sungai Carang memainkan perannya yang sangat signi ikan dalam perjalanan sejarah kejayaan Kesultanan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Tersebutlah Laksemana Tun Abdul Jamil atas titah Sultan Abdul Jalil Syah III membuka Sungai Carang, Hulu Riau di wilayah administratif Kota Tanjungpinang sekarang, pada 1673. Tak diragukan lagi bahwa yang terpikirkan oleh Baginda Sultan dan para pembesar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu adalah ini. Kawasan itu, Sungai Carang, akan dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Melayu yang ternama untuk menjulangkan kembali kejayaan tamadun Melayu setelah robohnya Kerajaan Melaka. Bukankah semasa Kerajaan Bintan, pulau bertuah itu pun pernah menjadi pusat pemerintahan negara? Kini pun, setelah dibukanya Sungai Carang, tak diragukan lagi bahwa kawasan Tanjungpinang itu dapat menggantikan posisi Johor yang kala itu masih menjadi pusat pemerintahan kerajaan.

Begitulah, kemudian, Sungai Carang atau Hulu Riau menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Riau-Johor setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Johor ke Pulau Riau oleh Sultan Ibrahim Syah, penerus Sultan Abdul Jalil

Sungai Carang: Tapak Tuah dan Marwah

Page 30: H. Abdul Malik

10 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Syah III. Pulau Riau sesungguhnya adalah pulau kecil yang dipisahkan oleh Sungai Carang, Sungai Terusan, Sungai Ladi, dan Sungai Timun dengan tanah besar Pulau Bintan. Di kalangan masyarakat tempatan, kota itu juga disebut Riau Lama, Kota Raja, atau Kota Lama. Penamaan Kota Raja dilakukan sehubungan dengan kota itu dijadikan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor atau Yang Dipertuan Besar, yang kala itu dijabat oleh Sultan Ibrahim.

Sungai Carang pulalah yang menjadi saksi sekaligus tempat bertolak, setahun kemudian, tatkala Sultan Ibrahim menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk menjemput kembali marwah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang pernah dicabar ketika masih berpusat di Batu Sawar, Johor Lama. Dan, dari tanah bertuah itu Laksemana Abdul Jamil berjaya secara gemilang mengangkat kembali marwah negaranya sehingga musuh mengaku takluk kepada kesultanan yang berdaulat lagi perkasa itu. Sejarah kejayaan awal pun tercatatlah sudah. Itu merupakan tanda yang baik bagi tapak sebuah kesultanan besar yang akan tumbuh kemudian. Dan, memang dari situlah sinar gemala tamadun itu mulai memancarkan sinar gemilangnya.

Perihal Riau Lama itu terekam juga dalam pantun pusaka yang dikenal luas oleh masyarakat. Demikianlah pantun itu memberikan informasi tentang keberadaan bandar yang mula-mula dibangun, Riau Lama, yang terdapat di kawasan Tanjungpinang. Pantun itu pun menjadi bukti aktivitas bersastra memang menjadi kebiasaan hidup sehari-hari orang Melayu Kepulauan Riau, khasnya Tanjungpinang, sehingga sebagian besar peristiwa yang terjadi di kawasan ini terekam dalam karya sastra. Sastra telah menjadi roh kehidupan masyarakat.

Tanjungpinang parit pemutusDi situ tempat Riau Lama

Kasih sayang janganlah putusKalau dapat biarlah lama

Setelah lebih kurang sepuluh tahun di Sungai Carang, Hulu Riau, pada 1683 Sultan Ibrahim memindahkan kembali pusat kerajaan ke Johor. Dalam pada itu, empat tahun kemudian misi Belanda di bawah pimpinan William Velentyn berkunjung ke Riau Lama pada 2 Mei 1687. Setelah lebih kurang empat belas tahun dibangun, mereka mendapati pusat Riau Lama itu berkembang menjadi bandar perdagangan yang sangat maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau-Johor dalam mengelola pelabuhan, laut, dan perdagangan. Pada 1709 Sultan Johor-Riau Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan kembali pusat kerajaan ke Sungai Carang, Hulu Riau, dalam suatu perpindahan besar-besaran.

Page 31: H. Abdul Malik

11ABDUL MALIK

Lebih kurang seratus tahun berikutnya sejak dibangunkan Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan, tepatnya pada 1778, Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Johor mendirikan kota lagi di Pulau Biram Dewa yang terletak di seberang Sungai Riau. Kota baru itu dijadikan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda. Kota yang baru itu dikenal juga dengan nama Kota Baru atau Kota Piring.

Berikut ini penuturan Raja Ali Haji di dalam karyanya Tuhfat al-Na is tentang peristiwa bersejarah itu.

“Maka Yang Dipertuan Muda pun berbuatlah istana di Pulau Biram Dewa serta dengan kotanya yang indah-indah, yaitu kota batu bertatah dengan pinggan dan piring sangatlah indahnya, dan satu pula balai dengan dindingnya cermin, adalah tiang kaki balai itu bersalut dengan kaki pahar tembaga dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan buncung, adapun kota itu apabila kena matahari memancarlah cahayanya.”

“Kemudian diperbuatnya satu istana pula di Sungai Galang Besar sangat juga indah-indah perbuatannya, iaitu istana paduka anakanda Baginda Sultan Mahmud. Dan perhiasan istana Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda itu daripada emas dan perak hingga rantai-rantai setelobnya dengan rantai perak jua dan seperti talam dan ceper kebanyakan diperbuat di Negeri Cina dan seperti tepak dan baling air mawar daripada emas dan perak diperbuat di Negeri Benila yang berkarang bertatahkan intan dan yang berserodi. Dan adapun pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan cawan kebanyakan diperbuat di Negeri Cina serta tersurat dengan air emas pada pantat cawan itu tersebut nama Pulau Biram Dewa atau Malim Dewa (Matheson Hooker, 1991:380—388).

Kota yang dibangun oleh Raja Haji Fisabilillah sebagai tempat kedudukan beliau sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang itulah yang dikenal sebagai Kota Piring. Disebut demikian karena pagar tembok istananya terbuat dari pinggan dan piring yang sangat indah. Dalam pada itu, istana Sultan Mahmud Riayat Syah dibangun di Kota Lama. Dengan mencermati perian (deskripsi) Raja Ali Haji tentang betapa megahnya istana-istana yang yang dibangun itu, tahulah pula kita betapa makmurnya Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu.

Pada 1778 perdagangan di Kerajaan Riau-Johor memang semakin maju pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup sejahtera dan negara menjadi makmur. Aktivitas kehidupan beragama Islam berkembang dengan subur. Rakyat dan pemerintah betul-betul mengejar kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat seperti yang diajarkan oleh syariat Rasulullah s.a.w. Keperluan hidup di dunia dipenuhi dan pada saat yang sama bekal untuk kehidupan akhirat terus ditambah dari hari ke hari.

Page 32: H. Abdul Malik

12 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Setahun kemudian, 1779, lahirlah putra Raja Haji yang diberi nama Raja Ahmad ibni Raja Haji. Putra Yang Dipertuan Muda IV ini nanti memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan tradisi intelektual dan kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga. Berawal dari beliau, dunia kepengarangan di kawasan ini tumbuh merecup dengan subur dan sangat membanggakan kita hingga hari ini.

Selain Raja Ahmad dan putra-putrinya yang lain, Raja Haji, yang setelah wafat karena perjuangannya yang heroik menentang penjajah mendapat gelar Fisabilillah, memiliki seorang putri yang diberi nama Raja Hamidah. Perempuan yang bukan perempuan biasa itu kemudian biasa disapa Engku Puteri Raja Hamidah. Setelah sampai jodohnya, beliau disunting oleh Sultan Mahmud Marhum Besar atau Marhum Mesjid, Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812). Emas kawinnya tak tanggung-tanggung, sebuah pulau kecil di depan Tanjungpinang, yang kelak menjadi pusat pembinaan dan pengembangan tamadun Melayu, yang seri kegemilangannya memancarkan cahaya sampai jauh, ke sekutah-kutah nusantara. Itulah keistimewaan Pulau Pengengat Inderasakti, Pulau Emas Kawin, untuk Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suaminya Sultan Mahmud.

Selain itu, Engku Puteri juga dianugerahi jabatan sebagai pemegang regalia oleh suaminya yang sultan itu. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran Kesultanan Riau-Johor yaitu alat yang menjadi simbol kebesaran adat-istiadat Melayu, termasuk peralatan kebesaran yang menentukan sah-tidaknya penabalan seseorang sultan. Itulah anugerah sekaligus amanah yang dititipkan oleh suaminya kepada Raja Hamidah, istrinya tercinta. Dan, beliau dengan anggun lagi setia memegang dan menjalankan amanah itu dengan segenap jiwa-raganya, bagai menatang minyak yang penuh, demi menjunjung marwah bangsanya.

Demikianlah pada 1803 Pulau Penyengat Inderasakti mulai dibuka untuk tempat kediaman Engku Puteri Raja Hamidah. Dua tahun kemudian, pada 1805, Raja Ja’far ibni Raja Haji Fisabilillah, saudara kandung Raja Hamidah, ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Muda VI Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Oleh beliau, sejak itu pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda dipindahkan dari Kota Piring, Pulau Biram Dewa, ke Pulau Penyengat Inderasakti. Di pulau kecil tetapi ternama itulah sampai seterusnya pentadbiran Kesultanan Melayu di bawah kuasa Yang Dipertuan Muda diselenggarakan. Di pulau itu pula para cendekiawan Kesultanan Riau-Lingga “mendirikan” taman para penulis untuk memelihara warisan yang agung. Dan, dari pulau itulah sinar gemala mestika alam memancarkan cahayanya ke relung-relung hati yang tidak buta untuk membangunkan dan mengembangkan tamadun Melayu-Islam yang terala (luhur) lagi ranggi.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dengan peristiwa Perjanjian London (The Treaty of London atau Traktaat London), 1824, Kerajaan Riau-Lingga-

Page 33: H. Abdul Malik

13ABDUL MALIK

Johor-Pahang dipisahkan menjadi dua bagian oleh kuasa kolonial Belanda dan Inggris. Kawasan Riau-Lingga (kawasan Indonesia sekarang) berada di bawah pengawasan Belanda, sedangkan Johor, Singapura, Pahang, dan Trengganu (kawasan Malaysia sekarang) berada di bawah penjagaan Inggris. Sejak itu pula terpisahlah bangsa Melayu yang mulanya berada di bawah satu payung panji Kesultanan Melayu yang besar dan jaya ke dalam dua negara yang berbeda, bahkan tiga negara setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia pada 9 Agustus 1965.

Hari-hari setelah Perjanjian London itu harus dijalani oleh bangsa yang secara genealogis dan sosio-kultural itu sesungguhnya bersaudara dengan sampan sejarah yang berbeda walau taman tempat bercengkeramanya tetaplah sama: Selat Melaka dan Laut Cina Selatan yang melegenda itu. Tatkala nafsu politik dan ekonomi terus dan terus berupaya untuk memecahkan keutuhan sesama manusia dan kemanusiaannya demi memuliakan dwitunggal sesembahan baru yang bernama “laba-kuasa”, alam jualah—dalam hal ini laut—tak pernah sampai hati memutus tali persaudaraan orang-orang yang bersaudara. Laksana hamba yang perkasa lagi setia, Selat Melaka dan Laut Cina Selatan dari dahulu sampai sekarang tetap mengokohkan persebatian puak yang bertalian darah yang hidup di sekitarnya. Kalau berani diakui, kearifan alam justeru jauh lebih memukau, lebih berdelau, daripada kecerdasan manusia, yang bahkan konon mengaku paling beradab sekalipun. Dan, Sungai Carang telah menunaikan baktinya yang sempurna dalam menjulangkan anak manusia yang sungguh-sungguh berjuang dengan ikhlas demi marwah bangsa. []

Page 34: H. Abdul Malik

14 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

HAJI MUHAMMAD SANI, Gubernur Kepulauan Riau, pada Sabtu, 8 Oktober 2011 menerima Anugerah Darjah Gemilang Seri Melaka. Anugerah diberikan oleh

Tuan Yang Terutama Yang Dipertua Negeri Melaka, Tun Datuk Seri Utama Mohd. Khalil bin Yaacob. Penganugerahan itu dilaksanakan di Dewan (Aula) Seri Negeri, Ayer Keroh, Melaka, Malaysia.

Kerajaan Negeri (setingkat provinsi di Indonesia) Melaka sejak Sultan Mahmud meninggalkan negeri itu dalam penyerbuan yang dilakukan oleh Portugis pada 1511 tak lagi memiliki sultan. Oleh karena itu, rakyat memilih seseorang yang paling dihormati untuk menjadi ketua negeri. Ketua negeri itulah yang diangkat dalam jabatan Tuan Yang Terutama Yang Dipertua Negeri Melaka. Jabatan itu setaraf dan setingkat dengan sultan di kerajaan-kerajaan negeri yang memiliki sultan di Malaysia walaupun yang menjabatnya bukanlah keturunan Diraja Melayu.

Pada 8 Oktober 2011 yang lalu Kerajaan Negeri Melaka memperingati Hari Keputeraan (hari jadi, ulang tahun) ke-73 Tuan Yang Terutama Dipertua Negeri Melaka. Telah menjadi tradisi dalam adat-istiadat Diraja Melayu sejak zaman-berzaman, pada hari keputeraan beliau, pemimpin negeri (sultan, yang dipertuan besar, atau yang dipertua negeri) memberi anugerah berupa darjah, tauliah, bintang, dan atau pingat (medali) kebesaran kerajaan kepada orang-orang yang dinilai paling berjasa kepada negeri. Untuk Kerajaan Negeri Melaka, tentulah penghargaan itu dianugerahkan kepada mereka yang berjasa kepada Negeri Melaka dan yang berprestasi di dalam negeri penerima anugerah yang bersangkutan dalam pelbagai bidang.

Pada Hari Keputeraan ke-73 beliau tahun ini Tuan Yang Terutama Dipertua Negeri Melaka kembali memberikan anugerah kepada orang-orang yang dinilai patut dan layak. Dari luar Negeri Melaka dan luar Negara Malaysia, anugerah tinggi Kerajaan Negeri Melaka itu diberikan kepada Tuan Haji Muhammad Sani,

Darjah Gemilang Seri Melaka

Page 35: H. Abdul Malik

15ABDUL MALIK

begitulah cara Melayu dan Malaysia menyebut nama seseorang dengan sapaan yang takzim menurut adat-istiadat yang dijunjung tinggi. Darjah yang dianugerahkan kepada Gubernur Kepulauan Riau, Indonesia itu adalah Darjah Gemilang Seri Melaka (D.G.S.M.). Darjah Gemilang Seri Melaka mulai dikaruniakan di Melaka sejak 1983.

Menurut pedoman adat-istiadat Melayu Melaka, Darjah Gemilang Seri Melaka dikurniakan kepada orang perseorangan yang menyumbangkan perkhidmatan cemerlang kepada Kerajaan Negeri Melaka serta mempunyai taraf kedudukan yang tinggi. Penerima anugerah ini dikhaskan kepada YAB (Yang Amat Berhormat) Ketua Menteri dan Menteri Besar (sama dengan gubernur di negara kita), duta-duta, dan lain-lain yang setaraf (setingkat). Penerima anugerah D.G.S.M. berhak atas gelar Datuk Seri dan istrinya diberi gelar Datin Seri.

Berbeda dengan gelar adat Datuk Setia Amanah (DSA) yang diberikan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) di negeri kita yang bersifat ex of icio (gelar akan tanggal dengan sendirinya jika yang bersangkutan tak lagi memangku jabatan kepala daerah: gubernur, bupati, atau walikota), gelar Datuk Seri bersifat tetap karena dikaruniakan bukan berdasarkan jabatan yang disandang oleh seseorang, melainkan prestasi dalam perkhidmatannya sehingga melekat kepada penerimanya sampai bila-bila masa pun. Dengan penganugerahan itu, Gubernur Kepulauan Riau berhak menggunakan nama lengkap Datuk Seri Haji Muhammad Sani, D.G.S.M. dan istri beliau berhak atas gelar Datin Seri Hajjah Aisyah.

Apakah alasan Kerajaan Negeri Melaka memberikan anugerah Datuk Seri itu kepada Gubernur Kepulauan Riau, Tuan Haji Muhammad Sani? Di antara pertimbangannya, pertama, dilihat dari perkhidmatan dan bakti beliau di negaranya sendiri, dalam hal ini Indonesia. Tuan Haji Muhammad Sani dinilai sebagai putra Melayu yang berjaya mengukir prestasi gemilang. Beliau telah menapaki karir dan bakti dari pegawai negeri peringkat yang paling rendah. Dari situ karirnya terus naik karena pengabdian yang tulus kepada negara dan bangsa sehingga berjaya menduduki jabatan eselon II, terus menjadi walikota, bupati, dan wakil gubernur. Sampailah beliau menduduki jabatan tertinggi di provinsi sekarang yaitu menjadi Gubernur Kepulauan Riau. Tak semua orang mampu sampai kepada jabatan yang tinggi itu. Kesemuanya diraih beliau dengan dedikasi yang tinggi untuk mengabdikan diri demi membangun daerah, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Beliau pun dinilai sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memahami benar permasalahan masyarakat yang dipimpinnya. Beliau juga dikenal sebagai pemimpin yang gigih berjuang untuk kemajuan masyarakat, daerah, bangsa, dan negara.

Pertimbangan kedua, Tuan Haji Muhammad Sani dalam perkhidmatannya selama ini dinilai telah berjaya merapatkan lagi dan mempereratkan perhubungan

Page 36: H. Abdul Malik

16 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

antara Kerajaan Negeri Melaka dan Provinsi Kepulauan Riau, khasnya, serta Malaysia dan Indonesia, umumnya. Itu pertimbangan dari segi penadbiran atau penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, yang juga mustahak, beliau dinilai telah berhasil merapatkan lagi perhubungan antara masyarakat Kepulauan Riau dan Indonesia dengan masyarakat Kerajaan Negeri Melaka dan Malaysia. Perhubungan di antara kedua masyarakat itu semakin harmonis dan mesra karena kepemimpinan Datuk Seri Haji Muhammad Sani dinilai mampu menjembataninya dengan baik.

Bagi kita masyarakat Kepulauan Riau, anugerah yang dikurniakan kepada pemimpin negeri ini tentulah harus disambut dengan rasa syukur kepada Allah swt. dan bangga. Dengan anugerah itu berarti nama Kepulauan Riau makin dikenal di Malaysia sehingga akan semakin memudahkan jalan bagi pelbagai kerja sama yang baik di antara masyarakat kedua negeri dan negara serumpun yang sedang bergerak maju ke depan ini. Itu sangat mustahak bagi kita agar bangsa Melayu serumpun, khasnya, Indonesia dan Malaysia, umumnya, dapat tetap eksis dan teserlah di dalam persaingan masyarakat global. Hanya dengan pemahaman dan kerja sama yang baik itulah masyarakat, bangsa, dan negara serumpun ini dapat mencapai matlamat kejayaan di tengah persaingan global yang tak mengenal istilah bertimbang rasa, kecuali siapa yang unggul dan cemerlang, dialah yang keluar sebagai pemenang sehingga tak hilang di bumi.

Perhubungan yang semakin rapat dan erat itu hendaklah dimanfaatkan oleh masyarakat kedua negeri dan negara ini untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mara (maju) bersama dengan semangat Melayu serumpun. Banyak kerja yang dapat dibuat dalam bidang ekonomi dan perdagangan, sosio-budaya, politik, pendidikan, agama, dan sebagainya. Hal itu telah ditunjukkan oleh upaya-upaya yang dilakukan melalui aktivitas Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang berpusat di Melaka, Malaysia. Ke depan ini kesemuanya itu harus ditingkatkan lagi dalam upaya nyata kerja sama yang saling menguntungkan. Alangkah sayangnya, jika perhubungan yang makin terjalin baik itu tak dimanfaatkan untuk meningkatkan martabat dan marwah kita sebagai bangsa serumpun. Oleh itu, upaya-upaya untuk meningkatkan penguasaan sains dan teknologi serta memperkasa kekuatan ekonomi harus mendapat perhatian yang utama. Karena apa? Karena budaya modern mutlak bersandar kepada tiga pilar utama: penguasaan sains, teknologi, dan ekonomi. Ke sanalah hala tuju harus kita pusatkan untuk mencapai matlamat kemajuan yang kita idam-idamkan bersama.

Akhirnya, tahniah kepada Datuk Seri Haji Muhammad Sani, D.G.S.M. dan Datin Seri Hajjah Aisyah. Semoga Seri Gemilang itu senantiasa memancarkan cahaya cemerlang di Bumi Segantang Lada dan Indonesia yang kita cintai ini. []

Page 37: H. Abdul Malik

17ABDUL MALIK

KITA akan maju terus, kita akan maju terus, Pak! Insya Allah, tinggal selangkah lagi.” Itulah kalimat mesra yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pendidikan

Nasional, Prof. Dr. H. Fasli Jalal ketika menyambut Gubernur Kepulauan Riau, H. Muhammad Sani, dan rombongan di ruang tamu Gedung A, Kementerian Pendidikan Nasional, Senin, 31 Januari 2011. Kalimat mesra? Ya, karena Fasli Jalal menyatakan kalimat itu sambil tersenyum mesra. Memang begitulah kebiasaan beliau menyambut para tamu sehingga perbicaraan selanjutnya berjalan lancar dan akrab. Itu memang ciri khas seorang Fasli Jalal sejak dulu dan tetap menjadi kebiasaannya sampai ketika beliau telah menjabat wakil menteri. Tak ada yang berubah sehingga siapa pun yang bertemu dengannya akan terbawa ke suasana yang menyenangkan. Senyum memang pakaian yang paling menyenangkan lagi menyejukkan dalam peristiwa komunikasi.

Hari itu di tempat itu sekitar pukul 14.30 diadakan acara Serah Terima Tahap II Aset Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kepada Kementerian Pendidikan Nasional sebagai syarat untuk mengubah status UMRAH dari perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri. Pada tahap kedua ini aset yang diserahkan terdiri atas lahan 7,6 hektar, sumber daya manusia (dosen dan pegawai), dan sarana/prasarana. Untuk aset lahan saja dengan penyerahan tahap kedua ini berarti telah 22,6 hektar yang diserahterimakan karena pada tahap pertama telah diserahkan 15,0 hektar.

Rombongan Kepulauan Riau langsung dipimpin oleh Gubernur H. Muhammad Sani. Bersama beliau Ketua DPRD, Ir. H.M. Nur Syafriadi, M.Si., yang juga Dewan Pendiri UMRAH, Ketua Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau, Dr. Suhajar Diantoro, M.Si., Wakil Ketua Yayasan H. Fahmi Fikri, S.Ag., Rektor UMRAH, Prof. Dr. H. Maswardi M. Amin, M.Pd., para pembantu rektor, para dekan di lingkungan UMRAH, dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi.

Kehendak Menegerikan Universitas Maritim Raja Ali Haji

Page 38: H. Abdul Malik

18 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional yang hadir adalah Wakil Menteri dan jajarannya. Di antara mereka adalah para direktur jenderal dan inspektur jenderal, para direktur, dan staf di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Sekretariat Jenderal.

Acara yang berlangsung akrab lagi mesra itu dimulai dengan penandatanganan naskah serah terima aset, yang dilakukan oleh ketua yayasan dan rektor dari pihak UMRAH dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dari pihak Kementerian Pendidikan Nasional. Gubernur Kepulauan Riau, Ketua DPRD, dan Wakil Menteri Pendidikan Nasional bertindak sebagai saksi.

Dalam sambutannya Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa keberadaan pendidikan tinggi di daerah amat mustahak dan bernilai strategis. Berdirinya perguruan tinggi di daerah akan meningkatkan masyarakat yang cerdas, baik kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, peningkatan akses perguruan tinggi di daerah sejalan dengan program yang sedang dijalankan oleh pihaknya. Oleh sebab itu, upaya masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mendirikan UMRAH untuk dijadikan universitas negeri memang patut diapresiasi secara positif dan pihaknya akan segera merealisasikannya.

Ditambahkan beliau, dengan masuknya ke dalam jajaran universitas negeri, UMRAH harus terus meningkatkan mutu. Hal itu berarti para sivitas akademika dan tenaga kependidikan UMRAH harus membina budaya akademik yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan keunggulan kompetitif. Hanya dengan begitulah UMRAH terpandang dan berguna bagi bangsa dan negara.

Pada gilirannya memberikan sambutan, Wakil Menteri Pendidikan Nasional juga menekankan mustahaknya meningkatkan lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Pasal, menurut Pak Fasli, setakat ini angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi kita baru 18,0—19,0. Hal itu berarti dari jumlah penduduk Indonesia usia pendidikan tinggi (18—24 tahun), hanya 18,0—19,0 persen saja yang berpendidikan tinggi. Padahal, negara tetangga kita jauh lebih tinggi APK pendidikan tingginya: Malaysia 35,0; Thailand 45,0; dan Korea Selatan 98,0. Dengan alasan itu, pemerintah menyambut baik prakarsa dan perjuangan mendirikan UMRAH yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.

Sebagai mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang mengetahui benar sejarah berdirinya UMRAH, beliau menjelaskan hal itu kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang baru. Menurut beliau, masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah berupaya memperjuangkan UMRAH menjadi universitas negeri sejak akhir 2004 yang silam. Segala daya telah dikerahkan dan banyak dana yang telah dikeluarkan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu. Karena apa yang diusahakan pihak Kepulauan Riau itu sejalan dengan kebijakan Kementerian

Page 39: H. Abdul Malik

19ABDUL MALIK

Pendidikan Nasional, khususnya, dan Pemerintah Pusat, umumnya, tak ada alasan lagi untuk menunda penegerian UMRAH, kata beliau.

Beliau juga menjelaskan bahwa tertundanya penegerian UMRAH karena dua sebab. Pertama, ada di antara perguruan tinggi yang mula-mula mau bergabung dengan UMRAH, kemudian mengambil sikap untuk tetap berdiri sendiri. Kedua, dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kini kesemuanya itu telah diselesaikan sehingga dalam waktu dekat ini UMRAH akan menjadi universitas negeri. “Jika pada awal perjuangannya Pak Sani sebagai Wakil Gubernur memperjuangkan UMRAH menjadi PTN, maka ketika menjadi Gubernur sekarang Pak Sani akan menerima buah perjuangan itu, UMRAH menjadi universitas negeri,” tegas beliau yang disambut alu-aluan yang panjang oleh hadirin.

Gubernur Kepulauan Riau mendapat giliran pertama menyampaikan sambutan. Dalam sambutan itu beliau kembali menegaskan kehendak rakyat dan pemerintah daerah untuk memiliki universitas negeri. Itulah sebabnya, UMRAH didirikan dan sementara belum menjadi PTN berada di bawah binaan Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau. Inilah harapan masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, kata beliau.

H. Muhammad Sani juga menyampaikan bahwa beliau sendiri akan bertemu dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Keuangan untuk merealisasikan penegerian UMRAH. Hal itu perlu dilakukan karena proses menjadikan UMRAH sebagai universitas negeri juga harus membabitkan kedua kementerian itu. Bahkan, Gubernur juga berharap, kalau mungkin, peresmian penegerian UMRAH dapat dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersempena kunjungan kerja beliau ke Kepulauan Riau pada 17—19 Februari 2011 ini. “Marilah kita sama-sama berdoa agar niat itu terkabul,” pelawaan Gubernur.

Acara ditutup dengan doa yang dipimpin oleh ustadz dari Kementerian Pendidikan Nasional. Di antara doa yang diucapkan itu berbunyi, “Ya Allah ya Tuhan kami. Kabulkanlah harapan dan cita-cita kami. Jadikanlah UMRAH universitas negeri yang membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara kami.” Kesemua kita, baik yang hadir maupun tidak dalam acara itu, patutlah menyambut ayat-ayat doa itu dengan ucapan, “Amiiin ya Rabbal Alamiiin.”

Alhamdulillah, pada 8 September 2011 UMRAH telah menjadi perguruan tinggi pemerintah (PTP) atau lebih akrab dikenal dengan istilah perguruan tinggi negeri (PTN). Penegerian itu ditandai dengan telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) No. 53 Tahun 2011 tentang penegerian UMRAH oleh Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Ternyata, perjuangan rakyat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dikabulkan Allah.[]

Page 40: H. Abdul Malik

20 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

PULAU BERHALA kembali ke pangkuan bunda kandungnya, Provinsi Kepulauan Riau. Sebelum itu, anak kandung Negeri Segantang Lada itu sempat diambil

“secara aneh” oleh Provinsi Jambi. Pengambilan itu disebut aneh karena semenjak wujudnya, mulai dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, Kerajaan Riau-Lingga, bahkan sangat tak diragukan semasa Kerajaan Bintan yang lebih tua pun, Pulau Berhala memang milik sah negeri yang sekarang disebut Provinsi Kepulauan Riau.

Tak ada angin, apa lagi ribut. Langit di atas Kepulauan Riau berona cerah tanda hujan tak mungkin turun. Tiba-tiba, guruh kiriman beruntun dua dentuman menggelegar di perairan Kepulauan Riau, lebih keras lagi di laut dan pantai Pulau Berhala. Laut yang tadinya tenang serta-merta berubah menjadi gemunung air yang membuncah garang. Di tengah amukan gelombang itu, kabut tebal menutupi seluruh Pulau Berhala sehingga nyaris lenyap dari pandangan kita. Dalam hanya sekelip mata, tanah milik Bunda Tanah Melayu itu bagai raib ditelan gergasi. Hati siapa yang takkan berkecamuk?

Gelegar dua dentuman guntur aneh itu sungguh menggerunkan, tetapi juga menjerang darah kita nyaris pada titik didih. Dentuman pertama kiriman Jakarta yang dikenenkan ke Jambi, lalu dari Jambi ditambahkan lagi satu dentuman yang dibelokkan melalui Tanjungjabung Timur untuk dihalakan ke Kepulauan Riau dengan sasaran utama Pulau Berhala. Tentulah “invasi” Jambi dengan pasukan Tanjungjabung Timur-nya, yang mendadak terkenal karena dibantu oleh Pemerintah Pusat, itu mengejutkan seluruh masyarakat, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dan Kabupaten Lingga.

Betapa tidak? Alih-alih, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gamawan Fauzi, menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2011, 27 September 2011 dan diundang-undangkan 7 Oktober 2011 yang menyatakan Pulau Berhala menjadi bagian dari Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi.

Marwah Pulau Berhala

Page 41: H. Abdul Malik

21ABDUL MALIK

Persekongkolan Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, dengan Pemerintah Provinsi Jambi itu sungguh memicu kemarahan sekaligus kepiluan masyarakat Kepulauan Riau. Bagaimanakah mungkin di dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) suatu daerah dibenarkan meng-“invasi” daerah lain dengan hanya dengan memanfaatkan sebuah peraturan menteri yang dibuat tanpa usul periksa dan kajian yang mendalam?

Masyarakat Kepulauan Riau tak merelakan perbuatan sewenang-wenang itu dan mendorong pemerintah daerah ini melakukan upaya hukum untuk mengembalikan Pulau Berhala ke pangkuan bunda kandungnya. Kenyataan pahit itu dirasakan lebih mencabar lagi ketika Provinsi Kepulauan Riau, bahkan, dipimpin oleh putra daerahnya sendiri. Dalam konteks itu, tak terbayangkan aib apa yang akan diderita oleh Kepulauan Riau secara sosiokultural jika Pulau Berhala tak dapat dikembalikan ke daerah ini. Selain menantang, pengalihan kepemilikan Pulau Berhala itu nyata sekali menjejas marwah Kepulauan Riau.

Jika kita putar jarum sejarah, sebetulnya bukan dalam era modern ini saja Jambi berusaha mengambil bagian yang menjadi milik sah wilayah yang sekarang bernama Provinsi Kepulauan Riau. Karena tergiur akan kemakmuran kawasan ini, pada masa kerajaan dahulu pun upaya invasi itu pernah mereka lakukan, bahkan dengan menggunakan kekuatan militer. Sekitar 1673 bala tentara Kerajaan Jambi menyerang Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berpusat di Batu Sawar, Johor Lama. Akibat serangan Jambi itu, pusat Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga itu ranap dan punah-ranah. Baru pada 1681 Batu Sawar dapat dibangunkan kembali setelah kegiatan perdagangan bergairah lagi di bekas pusat kerajaan itu.

Batu Sawar tak aman lagi sebagai pusat pemerintahan. Sultan memerintahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk membuka Ulu Riau di Pulau Bintan untuk dijadikan ibukota baru negara. Lima tahun setelah serangan Jambi, yaitu pada 1678, Sultan Ibrahim memindahkan pusat kerajaan ke Ulu Riau yang juga dikenal dengan nama Riau Lama, kawasan Tanjungpinang sekarang, yang telah dibuka oleh Laksemana Tun Abdul Jamil dan nama kerajaan itu kemudian dikenal sebagai Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Lebih kurang setahun kemudian, tepatnya Juni 1679, Sultan Ibrahim menitahkan Laksemana Tun Abdul Jamil untuk menghentikan permusuhan Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Untuk melaksanakan titah itu, Laksemana Tun Abdul Jamil membawa bala tentara dengan kekuatan 300 kapal perang untuk menyerang Jambi. Dalam peperangan itu Kerajaan Jambi dapat ditaklukkan, lalu minta berdamai, dan menyatakan diri tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berpusat di Ulu Riau, yakni wilayah Kepulauan Riau sekarang. Nah, apakah artinya peristiwa itu bagi kita pada masa kini?

Page 42: H. Abdul Malik

22 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Kembali ke masa kini. Upaya Provinsi Jambi yang didukung oleh Pemerintah Pusat itu ternyata mendapat perlawanan dari masyarakat dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Tak orang tak kitalah. Manakan mungkin perilaku seperti itu boleh dibiarkan begitu saja. Dicabar sedemikian rupa, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, yang dipimpin oleh Datuk Seri Haji Muhammad Sani, mengajukan judicial review atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2011 itu. Tim yang dibentuk langsung dipimpin oleh Wakil Gubernur, H.M. Soerya Respationo. Alhasil, gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri itu dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 49 P/HUM/2012 yang membatalkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2011. Artinya, kabut tebal yang melenyapkan Pulau Berhala dari pandangan kita dan gelombang besar yang coba menghanyutkannya jauh dari pangkuan bundanya ternyata dapat dikalahkan. Pulau Berhala kembali ke haribaan ibu kandungnya, Provinsi Kepulauan Riau.

Prahara yang menimpa Pulau Berhala dan Kepulauan Riau itu tentulah ada hikmahnya. Di antaranya, Pemerintah Pusat seyogianya arif dalam membuat putusan yang berdampak luas seperti tragedi Pulau Berhala itu. Kecerobohan dapat membuat daerah-daerah bertetangga di lingkungan NKRI ini jadi bermusuh-musuhan, yang tentulah kurang kondusif bagi upaya kita untuk memelihara keutuhan bangsa. Bagi Kepulauan Riau, upaya hukum itu terpaksa diambil untuk membela marwah daerah ini.

Seperti yang diakui oleh Gubernur Kepulauan Riau, Datuk Seri H. Muhammad Sani, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Kepulauan Riau juga haruslah memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah Kepulauan Riau ini. Bukan hanya di Pulau Berhala saja, melainkan kesemua wilayah yang termasuk kawasan provinsi ini. Dengan demikian, masyarakat akan merasa mereka benar-benar memiliki dan menjadi bagian penting dari daerahnya sehingga akan mempertahankannya dengan apa pun taruhannya. Pemerintah daerah sepatutnyalah memberi perhatian kepada warga masyarakat yang ikhlas membela tanah tumpah darahnya dengan daya dan cara mereka masing-masing. Alhasil, akan terpelihara harmoni dalam perhubungan antara pemerintah dan masyarakatnya karena mereka merasa bahwa upaya mereka diapresiasi, begitu pula sebaliknya.

Yang juga mustahak adalah masyarakat Kepulauan Riau perlu memupuk rasa kebersamaan dan menjaga keutuhan. Dalam hal ini, jika suatu bagian dari wilayah ini terusik oleh anasir lain, kita kesemuanya wajib merasakannya sebagai beban bersama. Kasus Pulau Berhala, misalnya, tak boleh hanya dirasakan oleh masyarakat Pulau Berhala dan Kabupaten Lingga saja. Akan tetapi, kesemua rakyat Kepulauan Riau merasakan pahit-maungnya, tanpa maksud terselubung

Page 43: H. Abdul Malik

23ABDUL MALIK

di sebalik itu. Begitu pula, jika ada bagian lain dari daerah ini yang akan dijejas oleh pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan begitu, kita betul-betul mengamalkan ajaran orang tua-tua kita: senasib-sepenanggungan, seaib-semalu, dan seiya-sekata. Hanya dengan sikap seperti itulah kita akan senantiasa diperhitungkan.

Akhirnya, tahniah dan terima kasih kepada Datuk Seri H. Muhammad Sani, Bapak H.M. Soerya Respationo, tim hukum Pulau Berhala, dan seluruh masyarakat Kepulauan Riau. Alhamdulillah, dengan hidayah dan inayah Allah, Pulau Berhala dapat kita bawa kembali ke pangkuan bunda kandungnya, tanah pusaka yang kita cintai ini. Kejayaan ini juga membuktikan bahwa di dalam diri kita masih tetap tersemat semangat: marwah kita tak boleh tergadai! []

Page 44: H. Abdul Malik

24 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SETIA, dalam budaya siasah atau politik Melayu, bukanlah kata biasa dengan denotasi yang “datar” sahaja. Setia tak sekadar kata dengan makna ‘taat,

teguh, atau patuh’ walaupun ketiga makna itu sangat positif. Setia, dalam konteks pemberian kekuasaan politik, hanya boleh disandangkan kepada pemimpin pilihan.

Segarkan ingatan kita ketika Sang Sapurba akan ditabalkan menjadi raja di Bukit Seguntang Mahameru. Sang Sapurba dipilih untuk menjadi raja karena dialah yang terbaik di antara laki-laki pada masa itu, baik dari segi isik, budi, maupun pekerti (perilaku), yang nyaris tanpa cela. Itu saja tak cukup. Oleh Datuk Demang Lebar Daun, yang mewakili rakyat, Sang Sapurba tetap diminta untuk bersedia mengucapkan “Sumpah Setia”.

Setelah berucap Sumpah Setia barulah segala “daulat” atau “tuah” secara penuh tercurahkan kepadanya. Seseorang pemimpin wajib memiliki daulat atau tuah itu. Dengan itulah, dia dipercayai mampu memerintah dengan adil, memakmurkan negeri, dan menyejahterakan rakyat. Secara sosiokultural, predikat Setia yang melekat pada seseorang pemimpin memungkinkannya menyelenggarakan pemerintahan (pentadbiran) dengan bermartabat dan bermarwah, tempat rakyat meletakkan kesemua harapan dan cita-cita ideal tertinggi dalam kehidupan bernegeri atau bernegara. Sang pemimpin yang memahami dan menghayati nilai-nilai kultural bangsanya tentulah akan berteguh hati untuk mewujudkan cita-cita luhur itu. Jadi, pada ungkapan, lebih-lebih gelar, Setia tersirat daulat dan tuah sehingga seseorang dipercayai sah menjadi pemimpin.

Senin, 27 Februari 2012 di Gedung Daerah Tanjungpinang berlangsung acara bersejarah. Pengurus dua organisasi terpenting dan terbesar yang berbasis Melayu akan dikukuhkan oleh Datuk Seri H. Muhammad Sani. Kedua organisasi itu adalah Lembaga Adat Melayu (LAM) dan Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Provinsi Kepulauan Riau. LAM dinakhodai oleh Datuk Seri H. Abdul Razak Ab., A.T.P. dan

Pertemuan Dua Setia

Page 45: H. Abdul Malik

25ABDUL MALIK

DMDI dipimpin oleh Datuk Dr. H. Suhajar Diantoro, M.Si. H. Abdul Razak terpilih dalam pemilihan Ketua Umum LAM Provinsi Kepulauan Riau beberapa waktu lalu dan H. Suhajar Diantoro dideligasikan memimpin DMDI, yang sebelumnya dipimpin oleh H. Muhammad Sani. Gubernur Kepulauan Riau itu nampaknya melakukan regenerasi pada kepemimpinan puncak DMDI provinsi ini dan lebih memilih menjadi penasehat saja.

Bersamaan dengan itu, dilangsungkan acara puncak. LAM dan DMDI Provinsi Kepulauan Riau akan memberikan anugerah adat kepada Datuk Seri Hj. Mohd. Ali bin Hj. Mohd. Rustam, Ketua Menteri Melaka yang juga Ketua DMDI Pusat. Penganugerahan gelar kepada Datuk Ali, begitu beliau biasa disapa, itu sangat bersejarah. Karena apa? Karena bagi LAM Provinsi Kepulauan Riau, inilah kali pertama organisasi Melayu itu memberikan gelar kepada tokoh dari luar provinsi ini. Pun gelar untuk tokoh di provinsi baru diberikan kepada H. Muhammad Sani, Gubernur Kepulauan Riau, yaitu Datuk Setia Amanah, yang secara ex of icio memang harus disandang oleh pemimpin politik puncak daerah ini.

Datuk Seri Ali Rustam dinilai sangat berhasil dalam memimpin Negeri Melaka sekaligus Presiden DMDI. Sebagai Ketua Menteri Melaka, beliau telah berjaya menjadikan negerinya meraih puncak kemajuan ekonomi, perdagangan, budaya, pelancongan (pariwisata), kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Tak hanya itu, beliau dengan sangat berkesan telah berhasil memadukan kemajuan ekonomi dan kebudayaan. Tinggalan bersejarah Kerajaan Melaka masih tetap lestari. Rumah-rumah, bangunan-bangunan, dan kampung lama di sepanjang Sungai Melaka dirawat dan dipelihara dengan baik. Sungai Melaka juga terawat dengan rapi. Kesemuanya menjadi daya tarik wisata, yang membuat pelancong dari pelbagai belahan dunia berdatangan ke Melaka.

Dalam pada itu, tempat-tempat wisata baru terus pula dibangun seperti Menara Taming Sari yang menggunakan ikon sejarah, keris milik Hang Tuah yang terkenal itu. Untuk membangunnya, Kerajaan Melaka telah mengeluarkan dana 21 juta ringgit Malaysia (lebih kurang 63 miliar rupiah). Daya pikatnya ternyata sungguh luar biasa. Sekarang setiap hari menara itu ramai dikunjungi pelancong sehingga terus pula menghasilkan uang yang tak sedikit dan membuka lapangan kerja baru.

Penulisan buku-buku sejarah dan budaya terus digalakkan. Para pelajar diperkenalkan kembali kepada hasil-hasil kebudayaan dan kesenian tradisional supaya mereka mengenal jatidiri warisan nenek moyang. Pelbagai seminar budaya dan tamasya (festival) seni-budaya bertaraf antarabangsa (internasional) diselenggarakan di Negeri Melaka. Pendek kata, Melaka betul-betul hendak mengembalikan kejayaan dan kegemilangan masa lalu, menjadi Venesia di Asia, sebagai suatu puncak kejayaan Melayu di dunia.

Page 46: H. Abdul Malik

26 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Budaya dibangunkan dan diperoleh pula keuntungan ekonomi yang menyejahterakan masyarakat. Di bawah kepemimpinan Hj. Mohd. Ali Rustam-lah, Kota Melaka disahkan oleh UNESCO sebagai Bandaraya Warisan Dunia. Kesemuanya merupakan hasil dari kerja keras yang penuh percaya diri pemimpin Melayu yang bertangan dingin itu. Kepemimpinan seperti itu memang patut ditauladani.

Yang lebih mustahak, sebagai Presiden DMDI, Datuk Ali telah berjaya menyatukan orang Melayu dan umat Islam sedunia. Pelbagai kerja sama telah dan sedang dibuat untuk saling membantu sesama Melayu dan Islam seluruh dunia, termasuk dengan Indonesia dan provinsi-provinsi di negara kita. Orang-orang kurang beruntung mendapatkan bantuan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain. Para belia (pemuda) digerakkan untuk melaksanakan kerja-kerja yang bermanfaat, terutama menolong masyarakat yang memerlukannya.

Upaya itu dilaksanakan juga oleh Belia DMDI Kepulauan Riau yang dipimpin oleh Saudara Basyaruddin Idris (Oom), yang menjadi penggerak sekaligus Ketua Belia DMDI provinsi ini. Tokoh muda ini sangat lasak memperjuangkan program-program DMDI, khususnya yang berkenaan dengan program belia. Bahkan, hampir sebagian besar kegiatan DMDI diikutinya bersama kawan-kawan.

Masih sangat banyak yang telah dilakukan oleh Datuk Ali dalam kepemimpinan yang cemerlang, tetapi tak dapat disebutkan kesemuanya di sini karena terbatasnya ruang. Oleh itu, sangat tepatlah LAM Provinsi Kepulauan Riau memberikan gelar adat “Datuk Setia Jayaesa Wangsa” kepada beliau. Secara sederhana gelar itu bermakna ‘pemimpin bertuah yang berjaya mempersatukan bangsa (Melayu sedunia)’.

Datuk Ali datang ke Tanjungpinang bersama pengurus DMDI Pusat. Di antara tokoh yang datang bersama beliau adalah Prof. Datuk Wira Dr. Hj. Abdul Latiff Abu Bakar. Anak jati Melaka ini juga sangat gigih memperjuangkan kemajuan Melayu, khususnya DMDI, bersama Datuk Ali dan kawan-kawan. Beliau juga adalah tokoh pemikir Malaysia dan Ketua I Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia. Guru Besar dan Pengarah Instutut Peradaban Melayu, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Malaysia itu dikenal luas di Indonesia karena pelbagai upaya untuk memartabatkan lagi budaya Melayu (nusantara) dan merapatkan lagi perhubungan para sarjana nusantara untuk membangun tamadun warisan terala (luhur) nenek moyang bangsa kita.

Alhamdulillah, kita telah menjadi saksi kedua “Setia” itu bertemu: Datuk Sani dan Datuk Ali. Gelar adat dan anugerah itu memang patut dan layak diberikan kepada Ketua Menteri Melaka. Semoga mereka tetap menjadi “tuah” bagi negeri dan rakyat sekaliannya. []

Page 47: H. Abdul Malik

27ABDUL MALIK

DATUK Seri Haji Mohd. Ali bin Haji Mohd. Rustam, itulah nama lengkapnya. Sebutlah namanya, umumnya orang Malaysia tahu siapa yang kita

maksudkan. Gelar Datuk Seri di depan namanya berarti beliau telah memperoleh Anugerah Darjah Gemilang Seri Melaka (D.G.S.M.) dari Kerajaan Negeri. Gelar itu dianugerahkan kepada orang perseorangan yang telah memberikan perkhidmatan yang cemerlang kepada Negeri Melaka, khasnya, dan Malaysia, umumnya, serta mempunyai taraf kedudukan yang tinggi. Di pemerintahan Negeri Melaka beliau menjabat sebagai ketua menteri (sama dengan gubernur). Namanya lebih menjulang karena dinilai oleh masyarakat Melayu sedunia sebagai sosok yang sangat berhasil memimpin organisasi bertaraf internasional Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI). Walaupun begitu, Presiden DMDI itu tetap tampil sebagai sosok yang rendah hati dan sangat ramah kepada semua orang.

Pada 4—6 Desember 2009 beliau kembali menjadi pusat perhatian. Dalam pidato pembukaan acara Konvensyen ke-10 DMDI yang dipusatkan di Melaka International Trade Centre (MITC) itu dengan nada bicara yang tenang, bersahabat, tetapi tetap menunjukkan kewibawaan seorang pemimpin; beliau lagi-lagi menegaskan pentingnya bangsa Melayu sedunia yang jumlahnya lebih kurang 300 juta jiwa (tentu termasuk Indonesia) itu untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan, tanpa harus dihambat oleh sekat geopolitik. Kesamaan atau kemiripan budaya orang Melayu di mana pun mereka bertebaran di muka bumi ini hendaknya dijadikan perekat dan asas untuk mencapai kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan: ekonomi, politik, hukum, pemerintahan, dan sebagainya. Perbedaan yang ada di antara budaya-budaya kita hendaknya jangan dijadikan alat untuk saling bermusuhan, tetapi sebaiknya disadari untuk saling belajar satu sama lain sehingga keberadaan bangsa Melayu di dunia ini menjadi tak tergoyahkan. Hanya dengan mengutamakan persatupaduan, dengan budaya sebagai perekat persebatian, barulah bangsa Melayu dapat berada di puncak tamadun (peradaban)

Datuk Ali Melaka

Page 48: H. Abdul Malik

28 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

sama dengan bangsa lain di dunia ini seperti bangsa Cina, Jepang, Arab, dan bangsa-bangsa Barat.

Harapan akan pentingnya keutuhan Melayu pun disampaikan oleh Menteri Keuangan II Malaysia, Dato’ Seri H. Ahmad Husni Hanadzlah. Penjajahanlah, kata beliau ketika meresmikan Konvensyen, yang menyebabkan bangsa Melayu terpasung lama dalam belenggu ketertinggalan. Oleh sebab itu, generasi Melayu masa kini harus mengambil berat akan hal ini dengan memanfaat peluang yang terbuka lebar setelah merdeka untuk menuntut ilmu guna menguasai sains dan teknologi. Sains dan teknologi sebagai unsur budaya ternyata sangat signi ikan dalam meninggikan derajat manusia seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat. Secara tersirat menteri ini juga berharap agar bangsa Melayu dapat meniru sisi positif bangsa Cina. Di mana pun berada di dunia ini, mereka tetap bersatu untuk membangun kejayaan bangsa Cina.

DMDI, yang diterajui oleh Datuk Seri Haji Mohd. Ali Rustam, nampaknya sangat bersungguh-sungguh untuk memajukan bangsa Melayu. Berhubung dengan itu, dibentuk biro-biro: dakwah, ekonomi, pendidikan, sosio-budaya, pelancongan, sains-teknologi-inovasi, belia, dan wanita. Biro dakwah menjadi salah satu biro yang penting karena diyakini dengan dasar iman yang kokoh, kesemua pencapaian bidang-bidang lain akan mudah dilakukan. Dengan dasar keimanan kepada Allah, orang Melayu akan mampu menuai hasil yang gemilang. Yang lebih menarik, kesemua biro yang terbentuk itu memiliki program-program nyata yang harus dipertanggungjawabkan setiap tahun pada saat konvensyen.

Dalam bidang pendidikan DMDI telah melakukan banyak sekali kegiatan yang ditujukan kepada orang Melayu di seluruh dunia. Di antara kegiatan itu ialah pemberian beasiswa kepada siswa dan mahasiswa Melayu. Program lainnya adalah bantuan sarana pendidikan seperti buku pelajaran dan sebagainya. Anak-anak korban tsunami di Aceh, misalnya, diberikan beasiswa dari sekolah dasar sampai menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Begitu pula bantuan diberikan kepada korban gempa di Sumatera Barat dan di tempat-tempat lain di Indonesia.

Para belia (pemuda), antara lain, digesa untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung. Mereka biasanya memberikan bantuan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang kurang mampu. Untuk tahun 2010, seperti dikemukakan oleh Basyaruddin (Oom) Idris, Ketua Majelis Belia Kepulauan Riau, Konvensyen memutuskan untuk mendirikan rumah pintar atau perpustakaan bagi masyarakat pinggiran. Dalam hal ini, para belia diharapkan lebih mampu mengapresiasi dan lebih peduli terhadap kesulitan masyarakat. Dengan program seperti itu mereka kelak diharapkan akan tumbuh menjadi pemimpin yang betul-betul memperhatikan masyarakat karena sudah terbiasa menolong masyarakat.

Page 49: H. Abdul Malik

29ABDUL MALIK

Untuk menyokong program ekonomi, telah didirikan DMDI Finance House, merancang pembangunan jembatan terpanjang di dunia yang menghubungkan Melaka dengan Dumai, Riau, Indonesia. Program pembangunan jembatan itu telah disetujui oleh Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Cina telah menyatakan kesediaannya untuk ikut berinvestasi. Berkaitan dengan program ekonomi itu juga dilaksanakan program pelatihan kewirausahaan, perdagangan, usaha kecil dan menengah, dan sebagainya yang melibatkan semua negara anggota DMDI. DMDI pun telah memiliki aset untuk pelbagai pengembangan usaha di semua negara anggota.

Ketika menyaksikan kemajuan pesat DMDI, semua orang menghubungkannya dengan kepiawaian kepemimpinan Datuk Seri Haji Mohd. Ali Rustam. Bagaimanakah beliau menanggapi semuanya itu? Saya, begitu Datuk Ali, hanya meneruskan gagasan para pendahulu seperti mantan Perdana Menteri Tun Haji Abdul Razak dan mantan Perdana Menteri Datuk Seri Haji Mahathir Mohammad. Dari pernyataannya itu, tahulah kita betapa budi bahasa seorang Mohd. Ali Rustam yang rendah hati sebagai ciri pemimpin Melayu sejati. Padahal, semua orang tahu bahwa dengan kecekalan hati dan kerja kerasnyalah semua itu boleh terwujud.

Untuk mengapresiasi para anggota yang dinilai berprestasi dalam bidang yang dikhidmatinya, saban tahun DMDI memberikan anugerah. Ada tiga jenis penghargaan: Anugerah Hang Tuah, Tun Fatimah, dan Tun Perak. Untuk tahun 2009 ini, dari Kepulauan Riau ada empat orang yang memperoleh anugerah. H. Abdul Razak A.B. (Ketua Lembaga Adat Melayu) dan Drs. H. Ahmad Dahlan (Walikota Batam) memperoleh Tun Perak. Anugerah Hang Tuah diberikan kepada Mahadi Rahman, S.Ag. (Direktur Quran Centre). Alhamdulillah, berkat doa Anda para pembaca, saya (AM) ternyata memperoleh Anugerah Hang Tuah. Untuk saya yang dinilai adalah konsistensi dalam penulisan buku-buku dan artikel tentang budaya Melayu serta keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan ilmiah tentang budaya Melayu sejak 1981. Penilaian untuk para penerima anugerah langsung dipimpin oleh Datuk Ali.

Sisi lain yang paling menarik dari Ketua Menteri Melaka ini beliau langsung yang memimpin sidang-sidang pleno setiap kali Konvensyen berlangsung. Dapat dibayangkankan betapa sibuknya beliau pada hari-hari Konvensyen. Dan, yang memang paling sulit dilupakan orang tentang tokoh ini ialah beliau senantiasa mau bercakap-cakap dengan sesiapa pun tanpa pandang bulu, dengan ciri khasnya yang ramah dan murah senyum, juga diselingi dengan senda gurau yang memesona. Bagi orang yang baru berjumpa dengannya, mungkin tak akan tahu bahwa beliau adalah pejabat tertinggi dalam pemerintahan Negeri Melaka karena begitu merakyatnya Presiden DMDI itu. Dari kepribadiannya yang istimewa itu, siapa pun tak akan dapat melupakan Datuk Seri Haji Mohd. Ali bin Mohd. Rustam. []

Page 50: H. Abdul Malik

30 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

PADA 22—25 Juni 2009 saya dapat memenuhi undangan untuk berkunjung ke Kota Denpasar, Propinsi Bali. Kunjungan singkat itu khusus untuk meninjau

atau lebih tepatnya belajar bagaimanakah Pemerintah Kota Denpasar, khususnya, dan Pemerintah Propinsi Bali, umumnya, mengelola hutan bakau (mangrove) menjadi kawasan wisata (ecotourism). Bali dijadikan tempat tujuan kunjungan karena daerah itu dinilai berhasil mengelola, mengembangkan, dan mengemas hutan bakau sebagai objek sekaligus daya tarik wisata. Dengan begitu, juga tercapai tujuan penyelamatan dan perlindungan lingkungan.

Ke Bali kali ini saya bersama rombongan Pemerintah Kota Tanjungpinang, yang dipimpin langsung oleh Walikota Hj. Suryatati A. Manan. Untuk kunjungan ini, Walikota membawa rombongan yang cukup besar meliputi perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Sekretaris Daerah, Asisten, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota, beberapa kepala dinas terkait, termasuk Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan para camat se-Kota Tanjungpinang. Tujuan Walikota membawa mereka jelas agar para pembantunya itu dapat melihat secara langsung apakah yang dilaksanakan oleh Kota Denpasar, khususnya, dan Propinsi Bali, umumnya, dalam menyelamatkan, mengelola, dan mengembangkan lingkungan, khususnya hutan bakau sehingga menjadi objek dan daya tarik wisata yang banyak diminati pelancong, baik domestik maupun mancanegara. Bukankah Kota Tanjungpinang, khususnya, dan Propinsi Kepulauan Riau, umumnya, juga memiliki hutan bakau yang sangat luas? Bedanya, kita belum mengelola dan mengembangkannya menjadi objek wisata, sedangkan Bali sudah dan terus mengemas dan mengembangkannya.

Bagaimanakah Bali mengelola dan mengembangkan hutan bakau menjadi objek wisata? Selepas ini diperikan riwayatnya secara serbaringkas.

Pada awal 1990-an luas hutan bakau di Indonesia mengalami penurunan sebagai akibat dari pembalakan liar dan konversi menjadi lahan tambak,

Belajar ke Bali

Page 51: H. Abdul Malik

31ABDUL MALIK

permukiman, pelabuhan, dan lahan industri. Kondisi mangrove semakin banyak mendapat tekanan, baik isik maupun ekologis. Penyebab utamanya ialah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan bakau dan meningkatnya keperluan ekonomi. Padahal, bakau memegang peran penting dalam melindungi lingkungan. Bakau melindungi daratan dari abrasi oleh gelombang laut dan menjadi pelindung alami dari amukan tsunami.

Pada 1992 sampai dengan 1999 Departemen Kehutanan mengadakan kerja sama dengan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Tujuannya melakukan investasi untuk mendukung penghijauan kembali dan pengelolaan hutan bakau yang berkelanjutan. Kerja sama dilanjutkan pada 2001—2006 yang difokuskan pada kegiatan penguatan kelembagaan melalui proyek Mangrove Information Centre (MIC). Selanjutnya, sejak 16 Februari 2007 berdirilah Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) yang secara teknis wilayahnya dibagi dua. BPHM I berpusat di Bali yang mewakili wilayah Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, dan Papua; sedangkan BPHM II mewakili wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Hutan bakau yang sekarang menjadi salah satu objek wisata primadona Kota Denpasar atau Bali umumnya sebagian besarnya adalah hasil penanaman kembali. Sebelum ini lebih dari 600 hektar hutan bakaunya punah ranah. Pasalnya, kayu bakau itu dulu ditebang secara liar oleh masyarakat untuk dibuat arang. Selain itu, areal hutan bakaunya juga dijadikan permukiman penduduk, tambak garam, dan tambak ikan. Dapat dibayangkan berapa keuntungan yang diraih oleh para pembuat arang dan petani tambak.

Dalam keadaan seperti itu, tak heranlah terjadi pertentangan di antara masyarakat, terutama masyarakat yang selama ini menikmati manis madunya berusaha dengan memanfaatkan hutan bakau, dan pemerintah daerah ketika hutan bakau akan dijadikan objek wisata lingkungan. “Akan tetapi, pertentangan itu hanya sebatas perbedaan pendapat saja, tak sampai kepada benturan isik,” kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Denpasar. Apakah rahasianya?

Ternyata, dalam keadaan yang genting itu adat dan budaya sangat berperan. Orang Bali memang dikenal sangat kuat memegang adat dan budaya sehingga orang lain yang tinggal di Bali pun wajib menghormatinya. Mana ada daerah lain di Indonesia yang rela menghentikan aktivitas di bandar udara bertaraf internasional hanya karena pertimbangan agama dan adat-istiadat, kecuali Bali. Pada malam Hari Raya Nyepi Bandara Internasional Ngurah Rai ditutup untuk semua jenis penerbangan. Itu dia! Padahal, kalau dihitung secara material, berapa ruginya kebijakan itu. Namun, apalah artinya materi untuk memuliakan sesuatu yang dianggap sakral dan menjamin keberlangsungan hidup, sama ada di alam fana apatah lagi di alam baka?

Page 52: H. Abdul Malik

32 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Nilai-nilai adat dan budaya yang dijunjung tinggi jugalah yang mampu mencegah pertelagahan antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyelamatan hutan bakau. Masyarakat, melalui kegiatan penyuluhan dan pendidikan, disadarkan bahwa perusakan lingkungan tak dibenarkan oleh adat-istiadat dan budaya Bali, apa pun alasannya. Dengan pendekatan yang beralaskan adat itu masyarakat dapat menerima bahwa adalah tugas manusia untuk memelihara lingkungan, bukan malah merusakinya.

Dalam pada itu, kampanye perbaikan dan pengembangan lingkungan, khususnya hutan bakau, dilancarkan ke sekutah negeri. Masyarakat yang selama ini bekerja dengan memanfaatkan hutan bakau dialihkan ke pekerjaan lain, terutama di sektor pariwisata. Mereka menerima kesemuanya itu dengan senang hati. Gerakan menyelamatkan dan mencintai hutan bakau digalakkan dengan melibatkan masyarakat untuk menanam kembali pohon bakau. Pelbagai sayembara tentang bakau dilaksanakan antara lain lumba pidato tentang pemiliharaan hutan bakau dan lumba menulis dan melukis, yang melibatkan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi pun melibatkan diri untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Ini baru bersatu untuk maju namanya, bersatu untuk kebaikan! Dan, yang ini perlu ditiru.

Dengan cara seperti itu, hutan bakau Bali dapat diselamatkan untuk kemudian dikelola, dikembangkan, dan dikemas menjadi objek wisata yang sangat menarik. Setakat ini berjalan-jalan, bersiar-siar, dan berolah raga di dalam hutan bakau yang menghijau lagi indah menjadi kegemaran baru di kalangan pelancong, baik domestik maupun mancanegara, bahkan masyarakat tempatan Bali. Hutan bakau dengan daunnya yang berbisik renyah, batangnya yang kokoh, dan akarnya yang kuat mampu memikat dan mengikat para pelancong untuk tinggal lebih lama di Pulau Dewata itu.

Dari perian serbasingkat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kunjungan rombongan Kota Tanjungpinang ke Bali untuk mempelajari pengelolaan hutan bakau menjadi objek wisata sangat jelas manfaatnya. Para pembuat dan pelaksana kebijakan Kota Gurindam Negeri Pantun itu dapat melihat dengan mata kepala sendiri betapa sinergi antardinas instansi yang terkait, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) yang lain dapat membuahkan hasil yang mengagumkan.

Upaya yang dilakukan itu juga menunjukkan kesungguhan Pemerintah dan Legislatif Kota Tanjungpinang untuk mengembangkan sektor pariwisata daerah ini ke taraf yang lebih maju lagi. Dengan belajar dari pengalaman Bali, jika kesemuanya itu dapat diimplementasikan, bukan mustahil daerah ini pun mampu mencapai matlamat yang diidam-idamkan. Semoga demikianlah hendaknya.[]

Page 53: H. Abdul Malik

33ABDUL MALIK

KERAJAAN Negeri Johor pada 10—12 Agustus 2009 menyelenggarakan Bengkel (Workshop) Kembara Wangsa: Pembangunan Tapak-Tapak Sejarah

di Sepanjang Sungai Johor. Penyelenggara kegiatan adalah Yayasan Warisan Johor, suatu badan yang berada di bawah Menteri Besar (setingkat gubernur, A.M.) Johor. Kembara wangsa itu sendiri ditakri i sebagai gambaran perjalanan, pengembaraan, dan perpindahan bangsa Melayu sejak 1511 dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu pusat pemerintahan ke pusat pemerintahan yang lain pada zaman pemerintahan Kesultanan Melayu Johor-Riau atau Riau-Johor dari Sungai Johor hingga ke Kepulauan Riau yang meninggalkan tapak-tapak (jejak-jejak) sejarah tinggalan warisan silam. Matlamat yang hendak dicapai oleh Bengkel ini adalah untuk memeroleh pandangan-pandangan dan rencana-rencana yang konkret, yang dapat dijadikan rujukan dan pedoman oleh Kerajaan Negeri Johor untuk melaksanakan pembangunan tapak-tapak sejarah di sepanjang Sungai Johor sebagai destinasi pelancongan (pariwisata).

Untuk mencapai matlamat itu, Panitia mengundang lima orang pembicara. Para pembentang makalah itu terdiri atas Prof. Dr. Abdullah Zakaria Ghazali (Universiti Malaya, Kuala Lumpur), Prof. Datuk Dr. Nik Hassan Suhaimi Abd. Rahman (Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur), Prof. Dr. Amran bin Hamzah (Universiti Teknologi Malaysia, Johor Bahru), Abdul Malik (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang), dan Tuan Hj. Azam bin Mohd. Abid (Pengarah Jabatan Perancangan Bandar dan Desa Johor). Saya diminta membentangkan makalah “Kemungkinan Kerja Sama Kepulauan Riau-Johor dalam Pembangunan Pelancongan”. Selain itu, dari Kepulauan Riau juga diundang peserta aktif yang terdiri atas Rektor UMRAH, Dra. Hj. Isnaini Leo Shanty (Dosen UMRAH), Hj. Djuraida Idris (Ikatan Keluarga Besar UMRAH), R. Malik Hafrizal R. Hamzah (Balai Kajian Sejarah, Penyengat Indrasakti, Kepulauan Riau), dan Basyaruddin Idris (Majelis Belia Melayu Kepulauan Riau).

Bengkel Kembara Wangsa: Johor-Riau-Lingga

Page 54: H. Abdul Malik

34 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Mengawali kegiatan pada Senin, 10 Agustus 2009, kesemua peserta dibawa menyusuri Sungai Johor seraya mengunjungi tapak-tapak sejarah di sepanjang sungai itu. Dengan pengawalan keselamatan yang sangat menyenangkan, para peserta Bengkel diberangkatkan dari dermaga Kota Tinggi. Dari situ rombongan yang diangkut dengan speed boat yang berperangkat keselamatan lengkap dibawa menuju ke hulu sungai untuk berziarah ke makam Megat Seri Rama atau di Johor lebih terkenal dengan sebutan Laksemana Bentan, yang terdapat di Kampung Kelantan, kurang lebih 2 km dari Bandar Kota Tinggi. Dengan demikian, dugaan masyarakat Bintan bahwa di Komplek Makam Bukit Batu, Bintan terdapat makam Megat Seri Rama menjadi tak berdasar karena makam beliau ternyata di Kampung Kelantan, Kota Tinggi, Johor.

Megat Seri Rama mencapai jabatan tertinggi sebagai Laksemana atau Panglima Angkatan Laut Kerajaan Johor pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II. Megat Seri Rama meninggal pada 29 Oktober 1698 setelah beliau menikam Sultan Mahmud karena menuntut bela atas kematian istrinya, Dang Anum, yang dibunuh oleh Tun Bija Ali atas perintah Sultan Mahmud pada 23 Oktober 1698. Pasalnya, Dang Anum makan seulas nangka milik Sultan karena mengidam ketika hamil anak sulung. Megat Seri Rama meninggal karena kena lemparan keris Sultan Mahmud di ujung ibu jari kakinya dan disumpah muntah darah oleh Sultan. Sumpah itu berlaku kepada tujuh keturunan Laksemana, tak boleh menginjakkan kaki di Kota Tinggi dan atau Johor Lama, yang kalau dilanggar akan muntah darah. Sultan Mahmud juga mangkat karena ditikam oleh Megat Seri Rama ketika dijulang. Itulah sebabnya, setelah mangkat Baginda disebut Marhum Mangkat Dijulang. Peristiwa itu merupakan yang paling tragis dalam sejarah Melayu sepanjang masa, jauh lebih tragis daripada perlawanan Hang Jebat terhadap Sultan Melaka. Pusara Laksemana Bentan dan istrinya tercinta, Dang Anum, bersanding mesra di Kompek Makam Kampung Kelantan.

Dari Kampung Kelantan rombongan dibawa menghilir ke Kampung Makam Kota Tauhid, Kota Tinggi. Di Kampung ini terdapat dua makam penting yaitu Makam Sultan Mahmud Mangkat Dijulang dan Makam Tun Habib Abdul Majid. Kota Tauhid menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor-Riau ke-7 yaitu pada era pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III (1623—1677) dan Sultan Mahmud Syah II (1685—1699). Kala itu bendaharanya adalah Bendahara Sri Maharaja Tun Habib Abdul Majid dan Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil. Kota Tinggi kala itu didatangi oleh banyak sekali pedagang dari pelbagai negara seperti Cina, Inggris, India, Arab, Eropa, dan Kepulauan Nusantara (di Malaysia disebut Kepulauan Melayu). Portugis pernah beberapa kali menyerang Kota Tinggi, tetapi dapat dikalahkan oleh tentara Johor-Riau. Komplek Makam Sultan Mahmud Mangkat Dijulang berdiri tesergam di samping kiri Mesjid Kampung Makam dan merupakan komplek makam termegah di sepanjang Sungai Johor.

Page 55: H. Abdul Malik

35ABDUL MALIK

Menghilir Sungai Johor kira-kira 3 km dari Kota Tinggi terdapat Kota Batu Sawar. Kota ini dibangun setelah Kerajaan Johor-Riau kalah dari Portugis pada 1587. Batu Sawar menjadi pusat pemerintahan Johor-Riau semasa Sultan Alauddin Riayat Syah III (1597—1615) dan menjadi tempat berdirinya istana Sultan Abdul Jalil Syah III (1623—1677). Batu Sawar juga banyak didatangi pedagang mancanegara ketika menjadi ibukota Kerajaan Johor-Riau. Pada 1608 tentara Potugis menyerang kota ini, tetapi kuasa asing itu dapat dikalahkan oleh tentara Johor-Riau. Pada 1613 Aceh dengan pasukan yang besar menyerang Batu Sawar sehingga terjadi peperangan selama 29 hari. Sultan Alauddin Riayat Syah III, Raja Abdullah adinda Baginda Sultan, dan Tun Seri Lanang ditawan dan dibawa ke Aceh. Pada 1673 tentara Kerajaan Jambi pula menyerang Batu Sawar yang menjadi tempat bersemayamnya Sultan Abdul Jalil Syah III. Batu Sawar tempo dulu laksana “nak dara jelita” yang senantiasa membangkitkan nafsu pihak luar untuk memilikinya dengan pelbagai cara dan helah. Johor-Riau memang senantiasa menawan, tak dulu tak sekarang, begitulah adanya. Kini di Batu Sawar terdapat Makam Sultan Alauddin Riayat Syah II, putera Sultan Mahmud Melaka yang juga sultan pertama Riau-Johor, yang berupaya membangun negara Melayu baru di Johor setelah kekalahan Melaka dari Portugis.

Kini kita menghilir sekitar 7 km dari Bandar Kota Tinggi ke tempat di antara kuala Sungai Seluyut dan Selat Medina. Di ketinggian sekitar 204 kaki dari paras air terdapat Kota Seluyut di atas Bukit Seluyut. Kota Seluyut menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor-Riau semasa Sultan Muzaff ar Syah (1564—1570). Di kota ini pulalah Tun Muhammad atau yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang pengarang buku Sulalatu’s Salatin atau Sejarah Melayu itu dilahirkan. Sebagai pusat pemerintahan, Kota Seluyut hanya bertahan 7 tahun saja karena kemudian Sultan Ali Jalla Abdul Jalil memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanah Putih selama 2 tahun, untuk kemudian dipindahkan lagi ke Johor Lama.

Di ketinggian Bukit Seluyut selain terdapat tinggalan Kota Seluyut, juga dijumpai Komplek Makam Tiga Beranak. Di makam itu bersemayam dengan damai dan tenang Sultan Muzaff ar Syah, Raja Fatimah (adinda Sultan Muzaff ar), dan Sultan Muzaff ar Syah II yang disebut juga Marhum Seluyut yang meninggal ketika masih kecil. Di komplek yang terpisah terdapat satu makam lagi yaitu Makam Bendahara Seri Maharaja Tun Isap Misai. Sebagai tambahan, jabatan bendahara dalam pemerintahan Kerajaan Melayu merupakan jabatan tertinggi kedua di bawah sultan. Di antara tinggalan sejarah di sepanjang Sungai Johor, tantangan terbesar di Bukit Seluyut inilah karena kita harus menaiki bukit yang agak terjal juga. Walaupun begitu, kesan yang diperoleh tetaplah menyenangkan dan membahagiakan.

***

Page 56: H. Abdul Malik

36 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Masyarakat, termasuk anak-anak sekolah, sudah lebih kurang satu jam menanti rombongan Bengkel Kembara Wangsa di dermaga (di Malaysia disebut jeti) Kota Panchor (baca: Pancur). Kota Panchor menjadi persinggahan selanjutnya setelah rombongan meninggalkan Bukit Seluyut. Kota Panchor terletak di atas Bukit Tukul kurang lebih 14 km dari Bandar Kota Tinggi. Kalau kita menghilir Sungai Johor, posisinya di tebing kiri sungai yang menjadi saksi bisu pelbagai peristiwa bersejarah yang dilakoni dan dialami oleh bangsa Melayu ratusan tahun silam. Disebut nama Panchor, saya teringat akan nama kota di Lingga Utara, nama jalan di Tanjungpinang, dan nama kampung di Batam. Rupanya, orang Melayu tempo dulu suka memberi nama yang sama bagi tempat-tempat mereka bertebaran dan bermastautin di kawasan Kerajaan Johor-Riau-Lingga. Kebiasaan itu kini sering dilakukan masyarakat Jawa perantauan bagi nama kampung yang mereka diami di seluruh nusantara.

Begitu speed boat rombongan Bengkel merapat di dermaga Kota Panchor, terlihat durja-durja yang cerah dan berseri masyarakat tuan rumah—tua-muda, besar-kecil, dan laki-laki-perempuan—menyambut tamu yang memang telah dinanti-nantikan sejak tadi. Senyum yang diselingi dengan ketawa berderai sanak saudara membuat sukma berbunga-bunga. Anak-anak sekolah melambaikan bendera berukuran kecil dua macam: bendera Malaysia dan bendera Kerajaan Negeri Johor. Untuk diketahui, setiap kerajaan negeri di Malaysia (setingkat provinsi) memiliki bendera masing-masing. Memang tak ada penyambutan secara adat seperti di Kampung Makam tempat bersemayamnya Marhum Mangkat Dijulang, yang masyarakatnya menyambut dengan taburan beras kunyit dan pukulan kompang. Tidak, di Kota Panchor upacara penyambutan seperti itu tak dilakukan, tetapi kemesraannya tak kalah dengan masyarakat di tempat-tempat sebelumnya.

Azan zuhur berkumandang. Tamu dan tuan rumah berbaur melaksanakan salat zuhur berjamaah. Setelah itu, para tamu dipersilakan memasuki gedung semacam balai pertemuan untuk menikmati tambul (makanan kecil) berupa mie goreng dan minuman berupa kopi, teh, dan sirup yang dapat dipilih sesuai dengan selera dan kebiasaan minum masing-masing. Dalam hati, saya bertanya juga, “Mengapakah tambul yang disajikan, tak adakah acara makan tengah hari yang sesungguhnya (maksudnya, nasi dan lauk-pauk)?” Tiada, memang tak ada acara makan siang di Kota Panchor. Akan tetapi, tambul pun jadilah daripada tak ada sama sekali, bukan? Masalahnya bukan kemaruk pula. Bagi penginap penyakit maag yang agak kronis macam saya, kalau tak dapat nasi pada jam segitu memang agak tersiksa. Tak pula boleh yang lain, harus nasi. Itulah susahnya. “Alangkah penting artinya nikmat kesehatan yang dianugerahkan Allah,” hati saya berbisik.

Page 57: H. Abdul Malik

37ABDUL MALIK

Selesai menikmati tambul yang cukup lezat, kami berziarah ke Makam Sultan Abdul Jalil I yaitu Sultan ke-4 Kerajaan Johor-Riau (1570—1571) dan Makam Tengku Dara Putih. Itulah di antara tinggalan bersejarah yang terdapat di Kota Panchor.

Panchor menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor-Riau-Lingga pada masa Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699—1718). Sebagai bandar perdagangan, Panchor tempo dulu banyak dikunjungi pedagang dari Eropa, Asia, dan nusantara. Kota ini pada 1718 diserang oleh Raja Kecil dari Siak, yang mengaku sebagai putra Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Sultan Abdul Jalil beredar ke Pahang, kemudian mangkat di Kuala Pahang.

Anak-anak sekolah melambai-lambaikan bendera kecil ketika speed boat kami meninggalkan jeti Kota Panchor. Kesemuanya dengan wajah berseri-seri dan merona seperti halnya kami. Agaknya, ada rasa puas sampai ke batin setelah bertemu walaupun sekejap dalam takaran waktu. “Inilah kami, Encik-Encik, Puan-Puan, Tuan-Tuan, Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, putra-putri yang tetap setia di tempat yang suatu ketika dulu panji-panji kebesaran Melayu pernah berkibar demikian jayanya!” Agak-agak mereka hendak mengatakan itu dengan mengibarkan bendera-bendera. Mudah-mudahan memang itu yang ada di lubuk hati mereka yang terdalam.

Namanya juga perahu laju (speed boat). Hanya sekejap ia bergerak perlahan dari jeti Kota Pancur. Sesudah itu, ia melesat bagai menitis di air Sungai Johor untuk menuju ke tempat kunjungan terakhir hari itu. Apalagi, pertemuan sungai dan laut di sekitar Panchor itu memang jauh lebih lebar dan dalam sehingga perahu laju dapat bergerak dalam kecepatan yang maksimal. Hendak ke mana? Ke mana lagi kalau bukan ke Johor Lama.

Kalau kita menghilir Sungai Johor, Johor Lama berada sekitar 27 km dari Bandar Kota Tinggi. Jika kita menggunakan jalan darat dari Kota Tinggi—Pengerang—Pekan Teluk Sengat, jaraknya kurang lebih 30 km.

Masyarakat sudah menyemut di jeti Johor Lama ketika kami merapat. Seperti di Panchor tak seorang pun terlihat bermuram durja. Senyum dan ketawa begitu lepas ketika kami bersalam-salaman di ruang tunggu pelabuhan. Taburan beras kunyit menjadi pengungkap rasa syukur dan ikhlas tuan rumah menyambut saudara-maranya yang baru tiba. Lebih dari itu, pada siang menjelang petang itu, ada pemandangan yang tak boleh diabaikan. Saya menjeling mesra pada hidangan makan siang yang sudah disediakan oleh masyarakat Johor Lama. Aroma dan tampilannya sungguh memikat sukma apalagi dalam keadaan lapar dan dahaga yang memang sudah diambang batas toleransi.

Page 58: H. Abdul Malik

38 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Akan tetapi, nanti dulu. Kesemuanya belum boleh dinikmati. Tuan rumah punya hajat kultural untuk menyuguhkan marhaban dan tarian yang dipersembahkan anak-anak sekolah rendah (sekolah dasar). Menyaksikan persembahan itu, saya dan kesemua rombongan jadi lupa makan. Rupanya, makanan rohani jauh lebih lezat daripada sekadar makanan badani, yang tadi bagai sangat diharapkan. Seperti di tempat kita, kanak-kanak yang menari itu begitu memesona dan di pundak merekalah kelak kesenian Melayu akan diletakkan untuk kemudian dikembangkan sebagai pengekal jati diri Melayu di nusantara ini.

Usai acara kesenian, para tamu dan tuan rumah berbaur untuk makan siang bersama. Ada pelbagai lauk-pauk, juadah, dan minuman. Umumnya sama dengan di tempat kita, makanan laut. Namun, hati saya sungguh tertawan pada lauk belangkas masak goreng berlada. Belangkas? Seingat saya, hanya sekali-dua pernah menikmati belangkas di kala kecil. Sesudah itu, belangkas raib dari perairan di tempat kelahiran saya. Tinggallah saya melihat kulit belangkas menjadi penghias dinding di rumah Datuk (Kakek) saya. Itu pun kini entah ke mana perginya. Eh, di Sungai Johor, khususnya di Johor Lama, belangkas masih bertimbun lahak. Alhasil, itulah lauk yang paling banyak saya santap siang itu. Hendak dikatakan kemaruk pun tak apalah.

Kota Johor Lama terletak di puncak bukit. Sebagian tembok kotanya terletak di Tanjung Batu (Haaa, kan namanya sama dengan yang ada di Kundur?). Johor Lama didirikan pada 1540 oleh Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528—1564). Di Johor beliau dikenal sebagai Sultan Johor pertama. Sebetulnya, ayahnda bagindalah Sultan Johor-Riau yang pertama yaitu Sultan Mahmud. Hanya, Sultan Mahmud mendirikan pusat pemerintahan di Bintan sebagai pengganti (sementara rencananya) pusat pemerintahan Kerajaan Melaka yang dirampas oleh Peringgi (Portugis) pada 1511. Pada era pemerintahan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571—1597) Johor Lama kembali dijadikan pusat pemerintahan. Pada 1576 dan 1578 Portugis menyerang kota ini, tetapi pasukan penjajah itu dapat dikalahkan oleh tentara Melayu. Pada 15 Agustus 1587 Potugis kembali menyerang dan kali ini dari tiga penjuru. Terjadi pertempuran sengit satu bulan. Malangnya, “Si Dara Jelita” Johor Lama dapat direbut oleh pasukan penjajah itu. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II memindahkan pusat pemerintahan Johor-Riau ke Batu Sawar yang sudah kita kunjungi tadi.

***

Bus penjemput telah disediakan di perhentian dekat dengan jeti Johor Lama. Pusat pemerintahan pertama Kerajaan Johor-Riau di Semenanjung Melayu itu menjadi tempat terakhir yang dikunjungi peserta Bengkel. Rombongan dikembalikan dengan bus menuju The Pulai Desaru Beach, Bandar Penawar,

Page 59: H. Abdul Malik

39ABDUL MALIK

Johor, tempat acara sekaligus tempat menginap. Sampai di hotel hari pun petang menjelang malam. Penat? Seharus iya, tetapi aneh, tak sedikit pun berbekas keletihan di wajah para peserta. Buktinya, sejam kemudian ketika bertemu di acara makan malam, kesemua peserta kelihatan gembira dengan durja yang merona bahagia. Jamuan makan malam menjadi istimewa karena selain diikuti oleh kesemua pejabat tinggi Kerajaan Negeri Johor (sama dengan pejabat eselon I dan II di Indonesia), wakil rakyat (anggota DPRD), dan pejabat tertinggi sampai terendah Kota Tinggi, juga dihadiri oleh orang nomer satu dalam jajaran eksekutif Kerajaan Negeri Johor yaitu Menteri Besar Johor, Yang Amat Berhormat (YAB) Datuk Hj. Abdul Ghani bin Othman.

Sebetulnya, YAB sudah berencana untuk memimpin langsung lawatan di sepanjang Sungai Johor. Namun, karena mendadak ada acara yang sangat mustahak, terpaksalah pimpinan lawatan diwakilkan kepada pejabat setingkat di bawah jabatannya. Beliau mengaku sangat kecewa karena tak dapat bersama peserta sejak pagi hari. Kemudian, barulah kami tahu bahwa begitu sudah menapak di tempat acara, beliau tak pulang-pulang ke Johor Bahru sampailah acara usai. Luar biasa Datuk!

Ada lagi, acara makan malam yang dilengkapi suguhan kesenian berupa tarian dan nyanyian dari kelompok kesenian binaan Yayasan Warisan Johor itu ditutup dengan dua buah lagu alunan suara merdu YAB, setelah beliau meminta kesemua anak buahnya satu per satu untuk bernyanyi. Malam jadi penuh canda dan ketawa antara tuan rumah dan tamu, antara atasan dan bawahan, tak serambut pun ada pembatas tembok beku birokrasi.

Selasa, 11 Agustus 2009, sejak pukul 8.00 waktu Malaysia, kegiatan Bengkel dimulai dengan pembentangan kertas kerja oleh para pemakalah. Saya mendapat giliran keempat untuk menyajikan makalah. Kegiatan ini berlangsung sampai rehat salat zuhur dan makan siang. Bakda zuhur kegiatan dilanjutkan dengan diskusi kelompok, yang pesertanya dibagi atas lima kelompok kerja, masing-masing diberi nama sesuai dengan tempat bersejarah di Kerajaan Johor-Riau, termasuk Kelompok Penyengat. Diskusi kelompok itu berlangsung sampai Rabu petang, 12 Agustus 2009.

Peserta diskusi kelompok adalah kesemua pejabat Kerajaan Negeri Johor (tingkat provinsi), kesemua pejabat Kota Tinggi dari yang tertinggi (setingkat bupati atau walikota, kepala-kepala dinasnya sampai kepada kepala-kepala kampung karena Kota Tinggi merupakan tuan rumah yang lokasi tapak sejarah di sepanjang Sungai Johor berada dalam wilayah Kota Tinggi, instansi swasta, pengurus Yayasan Warisan Johor, lembaga swadaya masyarakat (NGO), kalangan pers, dan lain-lain. Yang menarik bagi saya, untuk urusan yang berkaitan dengan kebudayaan dan pelancongan ini, kesemua pejabat dilibatkan—provinsi dan kabupaten—tak hanya

Page 60: H. Abdul Malik

40 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

yang mengurus masalah kebudayaan dan pariwisata, sungguh suatu fenomena yang jarang terjadi di Indonesia. Apalagi, pejabatnya aktif memberikan kontribusi pemikiran untuk pembangunan yang akan dilaksanakan.

Inilah rahasianya. Abdul Ghani Othman tak hanya dikenal sebagai politisi di Malaysia. Beliau juga seorang intelektual. Putra kelahiran Pekan Sungaimati, Muar, Johor Darulta’zim itu adalah sarjana ekonomi-politik lulusan Queensland University. Beliau awalnya berkhidmat sebagai dosen di Universiti Malaya dan menjadi Dekan Fakulti Ekonomi dan Pentadbiran pada 1980—1982. Beliau baru terjun ke dunia politik pada Juli 1986 dan dilantik sebagai Ahli Dewan Negara. Sebagai intelektual, Abdul Ghani menerbitkan buku, antara lain, Pembangunan Holistik: Dimensi Kebudayaan (MPH Group Publishing Sdn Bhd, Petaling Jaya, Selangor, 2008).

Sesuai dengan faham pembangunan yang diyakini dan diamalkannya, suatu aspek pembangunan mesti dirancang dan dilaksanakan dengan ancangan yang menyeluruh (holistik). Dalam menjelaskan fahamnya itu, dia menyebutkan, “Pembangunan negara dan bangsa mesti meliputi kesemua aspek kehidupan yang saling berkait dengan amat erat—politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Keseluruhan sistem kehidupan adalah kesatuan yang padu dan utuh, yang menyeluruh dan tidak terpisahkan, yang difahami sebagai the sum is more than the total of its parts.”

Tak heranlah mengapa Menteri Besar Johor ini menerapkan pembangunan yang didekati dengan pelbagai dimensi keilmuan secara menyeluruh. Dengan demikian, pembangunan kebudayaan dan pelancongan pun harus melibatkan pelbagai disiplin ilmu yang saling mendukung. Oleh sebab itu, dalam perencanaan dan pelaksanaannya tak hanya harus melibatkan Yang Berhormat (YB) Puan Asiah Mohd. Ariff sebagai Pengerusi Jawatankuasa Kemajuan Luar Bandar dan Wilayah, Kesenian, Kebudayaan, dan Warisan Negeri Johor sebagai pejabat yang bertanggung jawab, tetapi kesemua dinas dan instansi Negeri Johor. Lebih hebat lagi, Menteri Besar terlibat langsung sebagai peserta diskusi aktif dengan mengajukan pertanyaan dan tanggapan dalam kesemua sesi yang diadakan selama dua hari dua malam, tanpa sekali pun memakai baju dinas dan tanda kebesaran sehingga terkesan seperti peserta biasa. Bukan main!

BKW ditutup pada Rabu malam, 12 Agustus 2009. Pada malam penutupan itu dibacakan hasilnya yang disebut “Resolusi Sungai Johor”. Di antara Resolusi itu ialah (1) memberi keutamaan kepada orang Melayu di sepanjang Sungai Johor supaya terlibat secara langsung dan menikmati manfaat dalam pembangunan industri pelancongan, (2) memberikan pelatihan dan pendidikan yang berterusan kepada penduduk Melayu tempatan supaya mengeksploitasi peluang perniagaan yang wujud (ada), (3) menubuhkan institut penyelidikan mengenai Johor dan

Page 61: H. Abdul Malik

41ABDUL MALIK

Kepulauan Riau yang disebut The Royal Institute of Johor, Riau-Lingga (RIJRL), (4) memantapkan perhubungan kerja sama antara Johor dan Kepulauan Riau melalui pelbagai mekanisme yang terancang, dan lain-lain. Resolusi itu ditandatangani langsung oleh YAB Menteri Besar Johor.

“Pak, bagaimana sebetulnya susur galur Raja-Raja Johor-Riau ini?” saya terkejut tiba-tiba Menteri Besar sudah ada di samping kanan saya ketika saya sedang makan. Padahal, beliau sudah disediakan meja makan khusus. Kami terlibat percakapan tentang Kerajaan Johor-Riau-Lingga sambil YAB mempersilakan saya terus makan. Tentu saja saya kikuk menghadapi situasi itu karena selama ini tak pernah ditemani makan oleh pejabat tinggi walaupun sebaliknya saya sering menemani atau makan bersama pejabat tinggi. Selesai makan, saya, juga pemakalah lain, yang memang belum makan diajak ke meja makan beliau dan perbincangan terus dilakukan sambil menikmati makanan. Begitulah Abdul Ghani Othman, tak puas atau tak selesai di ruang diskusi, beliau melanjutkan percakapan di meja makan, konsisten dengan pertanyaan dan gagasan yang bernas.

Batin saya berkata, Malaysia yang pemerintahannya berbentuk monarki, pejabatnya ternyata sangat egaliter. Dalam pada itu, saya terkenang akan kawan-kawan saya yang dulu pernah senasib sepenanggungan, seperiuk-setikar pandan, sesajadah-semesjid kelam. Di antara mereka ada yang sudah menjadi anggota legislatif dari daerah sampai ke pusat, yang menjadi eksekutif dari kepala daerah sampai pimpinan dinas instansi. Walau bernaung di dalam negara yang berbentuk republik, faham egalitarianisme masih jauh dari diri mereka. Masih sukakah mereka saya sapa dengan kata kawan? Entahlah![]

Page 62: H. Abdul Malik

42 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

DI ANTARA khazanah budaya Melayu Lingga yang masih ada sampai saat ini ialah corak (motif) dan ragi (disain) ragam hias yang beraneka ragam. Nilai

dan falsafah yang dikandungnya pun amat berarti bagi kemanusiaan.

Mengamati tenunan, yang di Kabupaten Lingga dimekarkan lagi menjadi tudung mantur, kain batik, kain telepok, dan sebagainya, sebagai salah satu puncak kegemilangan tamadun Melayu, berarti kita membaca dan menyimak kearifan, yang di samping bernilai semesta (universal), tetapi juga bernuansa khas Melayu Kabupaten Lingga. Kita, jadinya, berhadapan dengan teks nonverbal sebagai bunga, buah, sekaligus taman kreativitas yang tak pernah mengenal kata berhenti. Walaupun sangat disadari, dalam perjalanan panjangnya dijumpai sumbatan-sumbatan, yang kadang-kadang cukup mencemaskan, bahkan menggerunkan.

Kejayaan ragam hias Melayu Kabupaten Lingga sebagai hasil dari kreativitas berbudaya khususnya pada masa keemasan Kesultanan Melayu Lingga-Riau pada masa lampau, menyiratkan sekaligus menyuratkan betapa kebersamaan antar penguasa (kerajaan) dan rakyat akan mampu mencapai matlamat menjemput budi dan menolak bala karena didasari oleh hasrat dan kemauan yang sungguh-sungguh menjunjung adat dan memelihara marwah. Pada gilirannya kebudayaan Melayu, yang salah satu wujudnya adalah tenunan dengan corak dan raginya yang ranggi, mampu mencapai peringkat keindahan seri gunung dan seri pantai yaitu kecantikan luar dan dalam atau keelokan lahiriah dan batiniah, yang berpuncak pada kesempurnaan insaniah dan ilahiah. Alhasil, dengan sukacitannya kita mewarisi keindahan yang bermutu sadu perdana yang bernilai tujuh laksana atau kemolekan utama yang patut dihadiahi tujuh bintang. Intinya, kesemuannya berpunca dari kerja sama yang baik: seiya sekata, seaib semalu, senasib sepenanggungan, antara penguasa dan rakyat.

Masyarakat Melayu Kabupaten Lingga memiliki beraneka ragam corak dasar

Corak Melayu Lingga

Page 63: H. Abdul Malik

43ABDUL MALIK

yang sejak ratusan tahun silam menjadi bagian dari khazanah budayanya. Sebagian dari corak-corak itu dikekalkan dalam bentuk ukiran (kayu, perunggu, emas, perak, dan suasa); sebagian yang lain dalam bentuk kain tenunan; dan sebagian lagi dalam bentuk sulaman, tekat, dan suji; selain dalam bentuk anyaman (pandan, rotan, dan akar-akaran). Dahulu hampir tiap-tiap alat dan kelengkapan rumah tangga, peralatan bertani, kelengkapan menangkap ikan, berburu, apalagi ragam hias, lazimnya memakai corak-corak tradisional yang diwarisi turun-temurun.

Pewarisan pengetahuan, kemahiran membuat, dan keahlian memanfaatkan corak-corak itu dilakukan melalui pelatihan tradisional hampir dalam setiap rumah tangga. Para ayah mengajari anak-anaknya membuat alat dan kelengkapan hidup mereka; para ibu mengajari anak-anaknya menenun, menganyam, menyulam, menekat, dan menyuji sejak dini. Dengan cara itulah, beraneka ragam kerajinan terus berlanjut dan corak-coraknya terus pula terwarisi dari generasi ke generasi.

Bagi orang Melayu, corak tak hanya menjadi hiasan semata, tetapi juga dijadikan lambang yang mengandung makna dan falsafah tertentu yang sarat berisi nilai-nilai terala budaya tempatan. Dengan demikian, kedudukan corak menjadi semakin kokoh dan berfungsi pula sebagai penyebarluasan nilai-nilai luhur yang dimaksud. Dengan fungsi ganda itu, sebagian corak diatur penempatan dan pemanfaatannya oleh adat sehingga ada yang diperuntukkan bagi hiasan bangunan; ada untuk tenunan, sulaman, tekat, dan suji; ada untuk anyaman; ada pula untuk benda-benda adat; bahkan ada yang dibakukan menjadi lambang kerajaan, dan sebagainnya. Namun, ada pula corak yang dapat digunakan di mana saja sehingga pemakaiannya menjadi “serba guna” dan dikenal hampir oleh seluruh kelompok masyarakat.

Corak dasar Melayu Kabupaten Lingga umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas lora, fauna, dan benda-benda langit. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodi ikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, lebah bergantung, awan larat, dan sebagainya.

Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan ( lora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada hal-hal yang berbau keberhalaan. Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai—walaupun tak dalam bentuk sesungguhnya—disebut semut beriring karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong.

Page 64: H. Abdul Malik

44 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Begitu pula dengan corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainnya. Selain itu, benda-benda langit seperti bulan, bintang, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.

Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik, lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligra i yang diambil dari kitab Alquran.

Dalam tradisi Melayu Kepulauan Riau, umumnya, dan Kabupaten Lingga, khasnya, corak-corak dasar itu dikembangkan lagi dengan beragam variasi sehingga membentuk suatu perpaduan yang serasi. Bahkan, ada yang menimbulkan nama-nama baru untuk ragam hias yang dimaksud. Corak pucuk rebung, misalnya, berkembang menjadi berpuluh-puluh bentuk, begitu pulalah corak yang lain. Hal itu selain memperkaya khazanah corak Melayu Kabupaten Lingga, juga menunjukkan tingginya daya kreasi dan inovasi masyarakat Melayu Kabupaten Lingga dalam berseni budaya, khususnya para perajin, setidak-tidaknya suatu masa dahulu.

Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya. Pasalnya, pengembangan corak dari corak dasarnya berimplikasi pada pemekaran nilai falsafah yang dikandungnya.

Penamaan corak disesuaikan dengan sumbernya. Corak yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan ( lora), antara lain, sebagai berikut ini. Corak bunga jumlahnya relatif banyak. Di antaranya ialah bunga bakung, bunga melati, bunga kundur, bunga mentimun, bunga hutan, bunga kiambang, bunga cengkih, bunga setaman, bunga serangkai, bunga berseluk, bunga bersanggit, bunga sejurai, bunga kembar, bunga tunggal, bunga selari, bunga-bungaan, dan lain-lain. Corak kuntum-kuntuman, antara lain, ialah kuntum tak jadi, kuntum merekah, kuntum serangkai, kuntum bersanding, kuntum kembar, kuntum berjurai, kuntum jeruju, kuntum setanding, kuntum tak sudah, kuntum sejurai, dan sebagainya.

Corak dari daun-daunan pula, misalnya, daun bersusun, daun sirih, daun keladi, daun bersanggit bunga, susun sirih pengantin, susun sirih sekawan, daun berseluk, pucuk rebung, dan lain-lain.

Corak bersumber dari buah-buahan juga banyak terdapat dalam ragam hias Melayu Kabupaten Lingga. Di antaranya ialah tampuk manggis, buah hutan, buah delima, buah anggur, buah setangkai, pisang-pisang, pinang-pinang, buah mengkedu, delima merekah, dan lain-lain. Dari akar-akaran, antara lain, diwarisi corak kaluk pakis atau kaluk paku, akar bergelut, akar melilit, akar berpilin, akar berjuntai, akar-akaran, belah rotan, dan sebagainya.

Page 65: H. Abdul Malik

45ABDUL MALIK

Corak yang berasal dari hewan juga sangat banyak. Berikut ini periannya. Corak dari jenis unggas, antara lain, itik dan itik pulang petang, ayam jantan, ayam bersabung, burung punai, burung bangau, burung serindit, burung balam atau balam dua setengger, burung kuau, kurau mengigal, elang menyambar, burung merak, merak sepasang, siku keluang, dan lain-lain. Corak dan jenis hewan melata, misalnya, ular-ularan, ular melingkar, ular tidur, naga-nagaan, naga bersabung, naga berjuang, dan sebagainya. Corak dari kelompok hewan buas, misalnya, singa-singaan dan harimau jantan. Corak dari jenis serangga, antara lain, semut beriring, lebah bergantung, atau bergayut, kupu-kupu, kupu-kupu sepasang, belalang rusa, sepatung (kelempung) berkawan, dan sebagainya. Corak hewan air lazimnya mengambil jenis ikan dan sedikit sekali jenis yang lain. Corak ikan lazimnya disebut ikan-ikan dengan variasi ikan bergelut, ikan sekawan, ketam-ketam, dan lain-lain.

Corak yang bersumber dari benda-benda langit juga terdapat dalam ragam hias Melayu Kabupaten Lingga. Di antara corak itu ialah bulan penuh, bulan sabit, bulan temaram, bintang-bintang, bintang bertabur, bintang bersusun, bintang lima, bintang tujuh, bintang tiga, bintang meninggi hari, matahari pagi, awan larat, awan bergelut, dan sebagainya.

Corak yang direka dari segi dan bentuk-bentuk atau bangun-bangun tertentu, antara lain, segi penjuru empat, segi penjuru enam, segi lima, segi delapan, segi tiga, segi panjang, bulat benuh, bujur telur, lengkung anak bulan, lentik bersusun, dan lain-lain. Corak kaligra i umumnya mengacu kepada kaligra i yang ada. Corak ini diambil dari ayat-ayat suci Alquran.

Setiap corak ragam hias Melayu Kabupaten Lingga mengandung makna dan falsafah tertentu. Nilainya mengacu kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan corak, yang disepadukan dengan nilai-nilai kepercayaan dan budaya tempatan. Kesemuanya itu disimpai dengan nilai-nilai terala agama Islam. Dengan mengacu kepada nilai-nilai terala yang terkandung di dalam setiap corak itulah, adat resam tempatan mengatur pemakaian dan penempatannya. Hal itu menyebabkan corak menjadi semakin kokoh, menjadi kegemaran, dan menjadi kebanggaan sehingga diwariskan turun-temurun.

Dahulu setiap perajin diharuskan untuk memahami makna dan falsfaah yang terkandung di dalam setiap corak. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka secara pribadi mampu menyerap dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskannya, dan mampu pula menempatkan corak itu sesuai dengan alur dan patutnya.

Karena orang Melayu adalah penganut Islam, nilai-nilai Islam banyak memengaruhi nilai budaya mereka, termasuk nilai-nilai ragam hiasnya. Di dalam ungkapan adat dikatakan, “Berpijak pada Yang Satu” atau “Hidup berselimut adat, mati berkafan iman.” Nilai ketakwaan ini, antara lain, dapat disimak pada corak bulan sabit, bintang-bintang, dan lain-lain.

Page 66: H. Abdul Malik

46 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Orang Melayu amatlah tinggi menjunjung kerukunan hidup, baik dalam kehidupan rumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai ini tersimpul dalam corak balam dua setengger (lambang kerukunan suami-istri dan keluarga), akar berpilin, sirih bersusun, kembang setaman, dan lain-lain.

Kerukunan hidup baru terwujud apabila dilandasi oleh rasa persatuan dan kesatuan serta kegotongroyongan dan timbang rasa yang tinggi. Hal itu terbuhul dalam ungkapan, “senasib sepenanggungan, seaib dan semalu” sehingga “yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing” atau dikatakan juga “ke laut sama berbasah, ke darat sama berkering”, “mendapat sama berlaba, hilang sama merugi”. Nilai ini dapat ditemui dalam corak semut beriring, itik pulang petang, bunga berseluk daun, ikan sekawan, dan lain-lain.

Bagi orang Melayu, persatuan dan kesatuan yang lazim disebut “persebatian iman” atau “perpaduan umat” amatlah diutamakan. Rasa ini pula yang mengekalkan tali persaudaraan, baik antar sesama masyarakat Melayu maupun dengan masyarakat lain. Landasan inilah yang menyebabkan orang Melayu selalu menerima siapa pun yang datang ke daerah mereka dengan muka yang jernih dan hati yang bersih.

Sifat arif dan bijaksana menjadi salah satu landasan sifat orang Melayu. Arif dalam menyimak dan bijaksana dalam bertindak telah dibakukan dalam ungkapan adat “arif menyimak kabar burung, bijak laku dalam bertindak”. Ungkapan lain menyebutkan bahwa “yang arif menjemput tuah, yang bijak menjemput marwah”. Nilai itu terpateri, antara lain, di dalam motif burung serindit yang dimitoskan sebagai lambang kearifan dan kebijaksanaan Melayu.

Orang Melayu menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan sebagaimana disimpaikan dalam ungkapan “esa hilang dua terbilang, tak Melayu hilang di bumi” atau disebut “sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang” atau dikatakan juga “sekali masuk gelanggang, berbalik kita berpantang”. Nilai itu dipahatkan, antara lain, ke dalam motif naga berjuang, elang menyambar, ayam jantan, dan lain-lain.

Corak-corak yang bermuatan lambang-lambang kepahlawanan itu, selain dijadikan hiasan kain dan bangunan, lazim pula dipakai pada benda-benda kerajaan, alat-alat kelengkapan upacara adat, senjata, dan sebagainya. Corak yang mengandung nilai kepahlawanan dapat pula memberikan “perangsang semangat” atau mendorong tumbuhnya keberanian seseorang dalam mengahadapi musuh.

Nilai kasih sayang atau sayang-menyayangi, hormat menghormati, lemah-lembut, dan bersih hati menjadi acuan pula dalam budaya Melayu. Oleh sebab itu, banyak pula corak dasar Melayu yang mengandung nilai yang dimaksudkan. Nilai tersebut dilambangkan dalam hampir kesemua corak bunga dan kuntum seperti bunga bakung, bunga sekuntum, bunga cengkih, bunga mentimun, bunga kundur, kuntum setaman, kuntum berjurai, dan lain-lain.

Page 67: H. Abdul Malik

47ABDUL MALIK

Bunga dan kuntum selalu menjadi lambang kasih sayang, kesucian, ketulusan dan kehalusan budi pekerti, persahabatan, dan persaudaraan. Oleh sebab itu, corak bunga dan kuntum dipakai dalam hampir semua ragam hias Melayu. Jadi, tak heranlah jika disebutkan bahwa gambar bunga dan kuntum menjadi mahkota dalam hiasan.

Kesuburan mengandung makna kemakmuran hidup lahiriah dan batiniah, murah rezeki, dan berkembang usaha. Pada gilirannya, terwujudlah kehidupan yang aman, damai, sejahtera, dan bahagia. Lambang ini terpancar, antara lain, di dalam corak pucuk rebung dengan segala bentuk variasinya.

Sifat tahu diri sangat diutamakan oleh orang Melayu. Sesuai dengan ungkapan adat, “Tahu diri dengan perinya, tahu duduk dengan tegaknya, tahu alur dengan patutnya.” Di dalam corak nilai itu, antara lain, terdapat pada corak bulan penuh, kaluk pakis dengan segala variasinya, dan sebagian corak awan larat.

Kepribadian yang memiliki sifat bertanggung jawab menjadi idaman setiap orang Melayu. Oleh sebab itu, nilai ini dijalin pula ke dalam coraknya, antara lain, siku keluang, akar berjalin, dan sebagainya.

Selain nilai-nilai terdahulu, masih banyak nilai lainnya yang terkandung di dalam corak-corak Melayu, yang mencerminkan nilai-nilai budaya tempatan serta norma-norma sosial masyarakatnya. Karena budaya Melayu amat bersebati dengan ajaran Islam, inti sari ajaran itu terpateri pula dalam corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat Nabi Muhammad yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun Islam yang lima, bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman yang enam, bentuk wajik dikaitkan dengan sifat Allah yang Maha Pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah Yang Maha Mengetahui dan Penguasa Alam Semesta, dan sebagainya.

Dalam kebiasaan hidup orang Melayu, makna dan falsafah dalam setiap corak, selain dapat meningkatkan minat orang untuk menggunakan corak itu, juga dapat menyebarluaskan niai-nilai Islam yang mereka yakini. Itulah sebabnya, dahulu setiap perajin diajarkan membuat atau meniru corak, kemudian menjelaskan makna dan falsafah yang terkandung di dalamnya.

Sudah menjadi kebiasaan perajin Melayu untuk tak terpaku kepada “corak tunggal” (corak dasar) saja. Berhubung dengan itu, mereka diberi kebebasan untuk mengembangkan corak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun, pengembangan itu haruslah tak menghilangkan unsur dasarnya dan tak pula dilakukan sebarang saja. Perajin yang pakar mampu melihat “inti” setiap corak, kemudian “mengawinkan”–nya dengan corak lain sehingga menghasilkan bentuk yang indah dengan makna dan falsafah yang semakin luas. Kebebasan penggabungan ini amat besar faedahnya dalam memperkaya khazanah corak dasar

Page 68: H. Abdul Malik

48 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Melayu. Itulah sebabnya, satu jenis corak dasar dapat direka dan divariasikan menjadi berpuluh-puluh corak dengan nama yang beragam dan makna serta falsafah yang beragam pula.

Untuk melihat sejauh mana kreativitas perajin mengembangkan corak, dapat diperhatikan corak-corak yang dipakai untuk kain tenunan, sulaman, tekat, suji, atau anyaman, ukiran, dan aksesori lainnya. Dengan kemampuan yang luar biasa, mereka mampu menjalin corak-corak itu ke dalam bentuk-bentuk yang serasi, baik perpaduan coraknya maupun komposisi dan ukurannya. Keahlian itu tentu diperoleh melalui pengkajian dan pemahaman tentang hakikat corak-corak dasar, makna, dan falsafahnya yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, diperlukan juga pengetahuan tentang adat istiadat dan budaya Melayu dalam arti luas.

Keahlian memadukan corak itu, di sisi lain, menyebabkan mereka mampu menjalin corak yang lazim untuk tenunan dan sejenisnya dengan corak untuk bangunan atau alat dan kelengkapan yang lain. Corak awan larat dan kaluk pakis (kaluk paku), misalnya, tak hanya diperuntukkan bagi tenunan dan sejenisnya, tetapi lazim pula dipakai untuk bangunan dan benda-benda lainnya. Namun, setiap corak yang disepadukan itu selalu dilakukan secara cermat sehingga kelihatan serasi dan saling mengisi.

Corak-corak Melayu ditempatkan menurut kelaziman yang diwarisi turun-tenurun. Kelaziman itu berpunca dari bentuk dasar corak, dari makna dan falsafahnya, dan dari ketentuan adat tempatan. Corak awan larat dan kaluk pakis, misalnya, lazimnya ditempatkan pada bidang yang memanjang karena corak ini dapat direka bentuk tak terbatas. Corak pucuk rebung lazimnya ditempatkan pada bagian pinggir bidang atau berdampingan dengan kaluk pakis dan awan larat karena dapat disusun dengan beragam variasi. Corak bunga tunggal atau bunga sekuntum lazimnya ditempatkan pada bidang-bidang yang lapang, yang disebut bunga tabur, yang variasinya dapat dihubungkan dengan garis-garis lurus atau lengkung. Bila dihubungkan dengan garis lurus, disebut bunga bergelas dan apabila dengan garis lengkung, disebut bunga berangkai.

Corak itik pulang petang dan semut beriring lazimnya ditempatkan pada bidang memanjang seperti awan larat, kaluk paku, dan pucuk rebung karena dapat dipadukan dengan banyak variasi. Corak wajik-wajik lazimnya dipakai pada bidang yang memanjang dan untuk susur pelaminan, tudung hidangan, dan sebagainya. Corak tampuk manggis lazimnya dijadikan bunga tabur dan bunga bergelas. Begitulah corak-corak ditempatkan sesuai dengan kelaziman yang diwarisi.

Selain itu, ada pula kelaziman memilih corak untuk tenunan, sulaman, tekat, dan suji. Corak-corak ini lazimnya terdiri atas tampuk manggis, pucuk rebung, siku keluang, kaluk pakis, bunga-bungaan, awan larat, dan wajik-wajik. Namun, tak pula dibatasi untuk dimasukkannya atau ditempatkannya corak lain asalkan

Page 69: H. Abdul Malik

49ABDUL MALIK

serasi dalam persepaduannya. Tolok ukur keserasian itu selalu dilihat dari komposisi bidang, makna dan falsafahnya, serta kepala kain. Di dalam tenunan, penempatan hiasan pada bagian kepala kain itulah yang paling menentukan atau paling diperhatikan orang. Kepala kain atau muka kain yang memakai ragi penuh disebut muka pekat.

Dengan mencontohkan kepada kelaziman itulah, sebagian besar para perajin Melayu menepatkan corak-corak yang mereka ketahui. Namun, kelaziman itu taklah membatasi kreativitas mereka untuk mengembangkan corak tersebut sepanjang tak menyalahi nilai yang dikandungnya. Corak lebah bergantung, misalnya, haruslah dipasang dengan bagian lengkungnya di sebelah bawah. Bila terbaik namanya bukan lagi lebah bergantung, tetapi menjadi corak oombak-ombak, yang makna dan falsafahnya pun lain pula. Hal itulah yang dahulu dikhawatirkan para perajin dalam merancang bentuk dan menempatkan corak tanpa pengetahuan yang mendalam mengenai makna dan falsafahnya.

Pemakaian corak Melayu juga ada pantang larangnya. Yang dipantangkan ialah corak-corak yang sudah dibakukan menjadi lambang-lambang atau simbol tertentu seperti lambang kerajaan atau lambang yang ditetapkan adat untuk orang atau tempat khusus. Walaupun begitu, upaya untuk mengembangkan corak Melayu taklah dibatasi, bahkan cenderung diberi kebebasan. Corak yang dijadikan lambang kerajaan, antara lain, corak Cogan Kerajaan Lingga-Riau dan corak yang terdapat pada cap kerajaan. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa corak yang sudah diperuntukkan bagi raja atau orang besar kerajaan atau yang lazim mereka pakai dahulu tak dibenarkan dipakai umum.

Corak dan ragi ragam hias Melayu, umumnya, Melayu Kabupaten Lingga, khasnya, sudah berkembang sejak lama. Khazanah budaya ini merupakan pusaka turun-temurun sejak orang Melayu hidup dalam zaman Kerajaan Melayu pada masa lalu. Di Kabupaten Lingga kekayaan itu merupakan warisan dari Kerajaan Lingga-Riau, bahkan jauh sebelum itu.

Walaupun kita kini memiliki kecanggihan corak dan ragi ragam hias (untuk tenunan, tekat, suji, sulaman, anyaman, pelbagai peralatan, dan sebagainya) sebagai hasil dari ketinggian tamadun, kesemuanya itu bukanlah sesuatu yang tamat sampai setakat itu saja. Kreativitas budaya ini tak mengenal kata berhenti. Daya kreasi dan inovasi para seniman, budayawan, dan perajin sangat diharapkan untuk mengembangkan warisan mulia yang sedia ada itu untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan peredaran masa. Tak pernah ada sekatan untuk pengembangan serupa itu asal tetap diperhatikan nilai-nilai terala budaya Melayu yang bersumber kepada ajaran agama Islam.[]

Page 70: H. Abdul Malik

50 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

ANGIN bertiup sepoi-sepoi, ribut tak turun barang sekejap jua. Awan tak segumpal pun bermuram durja sehingga kilat tak sedelis pula mendahului

guntur, yang memang tak ada tanda-tanda untuk menyuraikan kenyamanan yang selesa. Alam laksana bertasbih dalam suasana cerah dan ceria memuji kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Alih-alih, hujan menyirami bumi sambil menyenandungkan kalam Pencipta Yang Maha Esa. Ini tentulah bukan hujan panas di siang hari sebagai penanda akan tibanya kabar duka, melainkan hujan rahmat di Bumi Lingga, yang patut disyukuri dan diterima dengan bersuka cita.

Sekurang-kurangnya itulah gambaran yang dapat dituturkan dengan kata-kata tentang apa yang dapat dilihat di Gedung Nasional, Dabo Singkep pada Senin, 5 Oktober 2009. Hari itu saya, Prof. Dr. Firdaus, M.Si. (Guru Besar Universitas Riau, Pekanbaru, yang anakjati Lingga), dan Drs. Ilyas Ra i, M.M. (Departemen Perindustrian, Jakarta) berada di Dabo Singkep, Kabupaten Lingga. Kami diundang sebagai pembicara bersempena dengan Seminar Penerapan Serti ikasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Produk Unggulan Kabupaten Lingga yang ditaja oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Lingga. Sebetulnya, ada seorang pembicara lagi yang diundang dan sangat diharapkan kehadirannya yaitu H. Rida K. Liamsi (CEO Riau Pos dan Batam Pos Group, yang juga anakjati Lingga). Sayang, walau sangat ingin memenuhi jemputan itu, beliau tak dapat melaksanakannya karena ada kegiatan lain dalam waktu yang bersamaan, yang telah dijadwalkan lebih dahulu. Pemerintah dan masyarakat Lingga nampak memang agak kecewa karena tak dapat menghadirkan Pak Rida dalam acara itu. Namun, mereka maklum bahwa tokoh kebanggaan mereka itu memiliki acara yang sangat padat setiap hari. Acara seminar berlangsung pada 5—6 Oktober 2009.

Menghadiri dan menjadi pembicara dalam seminar bagi kami sudah menjadi pekerjaan biasa sehingga tak perlu dibesar-besarkan. Akan tetapi, ada suatu pemandangan yang sungguh menggetarkan sukma dapat disaksikan disejalankan

Hujan Rahmat di Bumi Lingga

Page 71: H. Abdul Malik

51ABDUL MALIK

dengan acara seminar itu. Panitia juga memamerkan produk unggulan Kabupaten Lingga, yang di antaranya terdapatlah kain batik, kain telepok, dan tentu tudung mantur. Perihal tudung mantur Lingga yang masyhur itu tak mengherankan saya karena sudah dikenal sangat luas. Bahwa Kabupaten Lingga sudah kembali mengembangkan kain batik dan kain telepok sungguh membuat saya tercengang-cengang.

Pasal apa? Berbeda dengan daerah lain yang sangat gencar mempromosikan produk batiknya, ternyata Lingga memilih cara lebih baik banyak bekerja daripada banyak berkata-kata. Padahal, mereka sudah kembali mengembangkan kerajinan batik sekurang-kurangnya lebih dari setahun yang lalu. Memang, produk kerajinan unggulan Lingga itu belum didaftarkan hak ciptanya karena sekarang sedang dalam pengurusan. Agaknya, setelah hak cipta itu diperoleh barulah Negeri Bunda Tanah Melayu itu akan mempromosikannya kepada dunia luas.

Batik dan kain telepok Lingga itu, di samping memancarkan ciri yang khas, juga menampilkan keelokan dan keindahan yang sungguh membanggakan. Paling tidak, tak kalah dengan daerah-daerah lain yang sudah lama mengembangkan kerajinan itu. Bahkan, hasil kreativitas dan inovasi pemerintah dan masyarakat Lingga itu dalam beberapa hal memang menunjukkan keunggulan, terutama dalam tata warna serta corak (motif) dan raginya (disain). Memang, seharusnya secara jujur harus diakui bahwa corak ragam hias yang berkembang di sekutah-kutah kawasan Melayu ini banyak yang bersumber dari Lingga. Pasal, Lingga pernah menjadi pusat Kesultanan Melayu pada masa lalu.

Bukan hanya itu. Satu-satunya kawasan Melayu di Riau dan Kepulauan Riau, hanya batik Daik-Lingga-lah yang dikenal dalam sejarah. Kenyataan itu membuktikan bahwa kawasan Melayu yang lain baru mengembangkan batik sesudah itu. Itulah sebabnya, saya sebutkan di atas tadi bahwa upaya Lingga ini merupakan “mengembangkan kembali” karena sudah pernah sangat berjaya pada suatu masa dulu, khususnya pada masa Kesultanan Melayu berpusat di Daik, Lingga. Dengan demikian, upaya Kabupaten Lingga mengembangkan kembali kerajinan batik dan kain telepok ini dapat diibaratkan “mengembalikan mutiara yang hilang” sehingga sangat patutlah disambut dengan gembira dan bahagia.

Di dalam seminar terkuak kenyataan yang sungguh memilukan hati. Setakat ini Kabupaten Lingga hanya boleh mendaftarkan hak cipta corak (motif) daerahnya sekitar 21corak saja lagi. Lalu, bagaimanakah nasib berpuluh-puluh corak milik Kabupaten Lingga sebagai warisan tinggalan bersejarah yang dikenal selama ini. Bayangkan, dari corak dasar pucuk rebung saja, Kabupaten Lingga seharusnya memiliki lebih dari dua puluh variasi yang dikenal sebelum ini. Belum dihitung lagi corak-corak yang lain, yang bersumber dari lora, fauna, alam, bentuk bangunan, dan kaligra i. Ke manakah perginya corak-corak itu, padahal dari tinggalan

Page 72: H. Abdul Malik

52 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kain-kain lama yang ada di Lingga setakat ini kesemua corak dan ragi itu masih ada? Jawabnya, corak-corak itu sudah didaftarkan atas nama daerah lain, Masya Allah!

Dalam menghadapi kenyataan itu, jelaslah bahwa para perajin, seniman, dan budayawan Kabupaten Lingga dengan disokong oleh masyarakat dan pemerintah daerahnya harus bekerja lebih keras lagi. Perlu adanya upaya untuk mengembangkan corak-corak baru berdasarkan corak dasar yang telah ada selama ini sehingga kekayaan corak khas Kabupaten Lingga akan kembali bermekaran. Untuk mewujudkan itu memang diperlukan kreativitas dan inovasi, yang menurut hemat saya tak terlalu sukar untuk diraih asal tetap terpelihara keteguhan dan kesungguhan hati. Pasal apa? Karena kabupaten yang dulunya pernah menjadi ibukota negara dalam era Kesultanan Melayu ini menjadi tempat asal sebagian besar corak Melayu itu sehingga suatu ketika nanti kita akan menyaksikan juga “sirih pulang ke gagang, pinang pulang ke tampuknya”. Apalagi, upaya-upaya untuk mengembalikan kejayaan itu sedang giat-giatnya dilakukan sekarang.

Selain kenyataan telah kembali berkembangnya kerajinan batik, yang patut juga disyukuri adalah kenyataan ini. Selama dua hari berturut-turut acara seminar, kegiatan itu tak hanya dihadiri oleh para perajin, seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat. Akan tetapi, Bupati Lingga, Drs. H. Daria dan istri beliau, para pejabat Kabupaten Lingga baik sipil maupun militer, pimpinan dan anggota DPRD Lingga, serta para pengusaha kesemuanya mengikuti acara itu sampai selesai. Mereka pun, termasuk Bupati H. Daria, secara aktif memberikan tanggapan yang kritis ketika seminar berlangsung. Kenyataan itu membuktikan bahwa pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lingga bersungguh-sungguh hendak memajukan kembali kerajinan batik, khasnya, dan tenun, umumnya di daerah mereka. Kalau kebiasaan yang baik ini berkelanjutan, sejarah kecemerlangan akan berulang kembali di Kabupaten Lingga.

Kini kalau berkunjung ke Kabupaten Lingga, kita tak perlu pulang dengan tangan kosong. Ada batik, kain telepok, dan tentu saja tudung mantur—yang bukan hanya indah dan berharga, melainkan juga memiliki nilai sejarah—yang dapat dijadikan buah tangan untuk para kerabat dan sahabat di kampung halaman kita masing-masing. Kenyataan itu mengesankan bahwa pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lingga betul-betul seiya-sekata dan sehati-sejiwa untuk melakukan upaya-upaya menjemput tuah dan menjunjung marwah. Tahniah Pak Daria dan masyarakat Kabupaten Lingga. Dengan izin Allah, kita yakin, Lingga akan berjaya![]

Page 73: H. Abdul Malik

53ABDUL MALIK

BUDI adalah unsur dalaman (batiniah) berupa persebatian antara akal dan perasaan yang mampu menimbang buruk dan baik. Pada budi selalu melekat

konotasi baik. Oleh sebab itu, orang yang perilakunya baik, pandai, dan bijaksana disebut budiman. Budi berwujud dalam perasaan, tutur kata (lisan dan tulisan), perilaku (tabiat, i’il), sifat, dan sikap yang dari kesemuanya itu dapat dihasilkan atau diwujudkan sesuatu yang bernilai baik. Atas dasar itulah, orang Melayu, bahkan kesemua suku dan bangsa di dunia ini, mengidealkan menjadi orang budiman dalam hidupnya. Dengan demikian, konsep budi bernilai semesta (universal), yang diakui dan diidealkan oleh semua bangsa beradab di dunia ini. Hanya, strategi pencapaian dan tolok ukur penetapannya barangkali berbeda pada setiap kebudayaan.

Sebagai contoh, pada kebudayaan tertentu, berkata-kata dengan benar boleh jadi sudah memenuhi padaan budi asal sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi, bagi orang Melayu, benar saja belumlah memadai untuk menunjukkan budi. Ungkapan yang benar itu haruslah disepadukan secara mesra dengan baik barulah ia dapat memenuhi kualitas berbudi.

Budi bahasa mengacu kepada tutur kata, tabiat, dan perilaku yang baik. Jika mampu memelihara bahasa ketika bertutur kata dengan orang lain, berarti kita sudah menanam budi. Kalau dapat bertimbang rasa (menunjukkan empati dalam arti memahami, merasakan, apalagi membantu orang lain untuk mengatasi kesulitannya), berarti kita telah menanam budi. Ketika mampu membuat orang lain bahagia, berarti kita juga telah menanam budi. Oleh sebab itu, Raja Ali Haji berpesan, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa.”

Bahasa dapat digunakan untuk menyatakan sikap terhadap yang dituturkan. Dalam hal ini, kita memperlihatkan emosi ketika bertutur: gembira, sedih, marah, dan sebagainya.

Budi Bahasa Melayu

Page 74: H. Abdul Malik

54 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Karena kegigihanku, akhirnya aku berhasil mengembangkan usaha.Alhamdulillah, usaha ini berkembang berkat rahmat Allah.

Tuturan (1) walaupun mengandung kebenaran, tak disukai dalam budaya Melayu karena terkesan orang yang menuturkannya sombong. Sebaliknya, tuturan (2) sangat disukai untuk mengungkapkan kegembiraan karena dianggap tuturan yang berbudi.

Kita tersinggung karena orang lain meremehkan proses dan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Alternatif tuturan untuk menjawab orang yang meremehkan itu antara lain berikut ini.

Sebagai manusia biasa, saya memang masih banyak kekurangan.Apa pun penilaian Saudara, saya sudah berbuat.Ada juga yang aku buat. Engkau... apa yang telah kauhasilkan selama ini!

Tuturan (3) paling disukai karena menunjukkan ketinggian budi. Walau masih di bawah tuturan (3), tuturan (4) masih dianggap cukup sopan. Akan tetapi, tuturan (5) tak menunjukkan kualitas sebagai bahasa yang bermuatan budi.

Begitulah, antara lain, budaya Melayu mengajarkan kita tentang meluahkan emosi dalam bertutur kata. Dalam hal ini fungsi pribadi (personal) bahasa dipergunakan sedemikian rupa agar memancarkan ketinggian budi orang yang menuturkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari biasa pula terjadi kita harus mengarahkan tingkah laku orang lain. Dalam kasus hipotetis katakanlah Si Polan memiliki kebiasaan bercekak (bertolak) pinggang ketika berbicara dengan orang lain. Kebiasaan itu dinilai negatif dalam budaya Melayu. Untuk mengarahkan Si Polan dapat digunakan tuturan berikut.

Jangan biasakan bercekak pinggang kalau berbicara.Hebat betul Awak ya, bercakap sambil bercekak pinggang.Orang sini tak biasa berbicara sambil bercekak pinggang.

Dengan memanfaatkan fungsi mengarahkan (direktif) yang dimiliki bahasa, kita dapat mengarahkan tingkah laku orang lain seperti tuturan contoh di atas. Namun, penilaian orang tentang keberbudian ketiga tuturan di atas berbeda. Tuturan (6) masih dianggap wajar walau bukan pilihan yang paling baik. Sebaliknya, orang berbudi akan menghindari tuturan (7) karena terkesan terlalu kasar dan memalukan orang lain. Tuturan (8) paling disukai karena dinilai paling sopan dan mengandung ketinggian budi bahasa. Dalam hal ini, orang yang melakukan kesalahan itu tak merasa dituding secara langsung. Bandingkanlah dengan arahan

Page 75: H. Abdul Malik

55ABDUL MALIK

Raja Ali Haji terhadap orang yang terlalu mementingkan dunia dan melupakan akhirat, “Akhirat itu terlalu nyata, bagi hati yang tidak buta.” Itulah mutiara budi dalam pengarahan dengan cara Melayu.

Bahasa pun dapat digunakan untuk menjalin perhubungan, memeliharanya, memperlihatkan perasaan bersahabat, dan atau solidaritas sosial. Jika digunakan, berarti kita memanfaatkan fungsi fatik bahasa. Begitulah ungkapan-ungkapan yang telah terpola digunakan sewaktu berpamitan, berjumpa, membicarakan cuaca, bertanya tentang kesehatan, dan sebagainya.

Dua orang bersahabat bertemu, setelah lebih dari seminggu keduanya tak bersua karena seorang di antaranya sakit. Terjadilah dialog hipotetis berikut ini.

Sudah berjalan-jalan, Mad? Katanya sakit.Ah, Engkau (i)ni, bukannya mendoakan aku lekas sembuh, malah suka aku sakit.

Tuturan (9) dan (10) walaupun di antara dua orang yang jarak sosialnya dekat (bersahabat) cenderung tak disukai. Tak terpancar ketinggian budi dalam tuturan yang diucapkan kedua orang itu. Sebaliknya, tuturan (11) dan (12)-lah yang paling disukai orang.

Sudah sehat, Mad?Alhamdulillah, jauh lebih baik dari minggu lalu.

Bahasa pun lazim digunakan oleh orang tua (ibu-bapa) untuk melakukan sosialisasi terhadap anak-anaknya. Tuturannya mengatur tingkah laku seseorang berdasarkan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, digunakan fungsi mengatur (regulatory) bahasa.

Karena kesal anaknya pulang ke rumah larut malam, orang tua mungkin menggunakan tuturan berikut.Baik betul perangai kau ya, tak balik lagi bagus!Mengapa baru balik selarut ini, Nak. Kan tak baik untuk kamu!

Tuturan (13) dianggap tak baik karena tak mencerminkan budi di dalamnya. Jika orang tua mendidik anak-anaknya dengan menggunakan bahasa seperti itu dalam kehidupan sehari-hari, dikhawatirkan anak-anak akan tumbuh sebagai manusia yang cenderung bertabiat kasar. Dalam mengatur tingkah laku anak-anak, sangat diharapkan dan dihargai sekurang-kurangnya digunakan tuturan yang sebanding dengan tuturan (14). Dengan begitu, anak-anak terbiasa diarahkan dengan kasih sayang yang ditunjukkan oleh pemakaian bahasa yang mencerminkan ketinggian budi.

Page 76: H. Abdul Malik

56 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Bahasa memang paling konkret menggambarkan perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Melayu, bahasa yang mencerminkan ketinggian budilah yang paling dihargai orang. Dalam tingkah laku sosial sehari-hari, bukan hanya apa yang kita katakan yang dinilai orang benar salah-salahnya, melainkan lebih-lebih baik-buruknya cara yang kita lakukan untuk menuturkannya. Persilangan di antara pelbagai kebudayaan biasanya terjadi karena pedoman nilai dalam bertutur kata dapat berbeda pada kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, orang tua-tua kita berpesan, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”[]

Page 77: H. Abdul Malik

57ABDUL MALIK

BULAN-BULAN terakhir ini pelbagai resa dan rasa menerpa kita. Pasalnya apa lagi kalau bukan kabar tentang runtuhnya kebun binatang yang sebelumnya

sangat kita banggakan. Begitulah hari-hari kita diisi oleh berita dari media massa—sama ada cetak ataupun elektronik—soal makin menggilanya harimau, singa, tikus, buaya, cecak, dan entah apa lagi jenisnya yang lain. Tentu tak mau ketinggalan si kunang-kunang, yang tak lagi mampu terbang untuk menebarkan terangnya karena terpaan dan deraan isik, psikhis, bahkan mungkin juga etis di ujung senja usia yang tak bahagia. Kebun, yang seharusnya membuat kita gembira dan bahagia, yang seyogianya berpagar duri, ternyata hanya dijaga oleh pagar yang makan tanaman.

Jadilah kita diterpa pelbagai resa dan rasa: mual, kembung, senuh, dan senak yang tak hendak mereda karena tak dapat bersenda(wa). Di tengah pergaulan masyarakat antara-bangsa kita bagai tak mampu menegakkan kepala. Inferioritas, yang bibitnya memang sudah lama menggejala, menjadi makin dan makin dalam menghunjam jiwa. Memang, nyaris tak ada lagi baki kebanggaan yang dapat kita tunjukkan.

Untunglah, kita tergolong bangsa yang tak pernah berhenti berharap dan berdoa. Di dalam kegelapan har iah dan konotatif yang memang menjadi menu terlezat kita akhir-akhir ini, masih ada harapan semoga kesemua kusut masai itu dapatlah diurai secara bermarwah. Dalam pada itu, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, bukan tak ada kekhawatiran di hati. Jangan-jangan ceritanya tak sampai ke akhir—bahagia atau derita—karena tiba-tiba lampu panggung padam, yang paling-paling memberikan beban terakhir kepada penjaga pentas, yang jangankan jadi pemeran utama, jadi iguran pun tidak, untuk berakting di tengah kegelapan.

Tuhan tetap dan pasti tak hendak kita larut dalam nestapa yang berlarut-

Ketika Makyong Menggoyang Batam

Page 78: H. Abdul Malik

58 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

larut. Di tengah pelbagai resa dan rasa itu, kita yang bermastautin di kawasan ini dianugerahi-Nya kegembiraan, yang mudah-mudahan berlanjut dengan kebahagiaan. Suka cita itu pun, eloknya lagi, juga berasal dari cerita tentang binatang. Begini ceritanya.

Sesuai dengan waktu, hari, dan bulan yang ditentukan pada 1972 berceritalah Pak Man (Abdul Rahman), warga Pulau Mantang Arang, Bintan Timur, Kabupaten Bintan kepada budayawan Hasan Junus. Itu tadi cerita tentang binatang, tepatnya harimau.

“Suatu hari adalah seorang lelaki yang pergi masuk hutan dan tersesat. Untunglah dia berjumpa sebuah kampung, dan orang yang tinggal di ujung kampung itu baik hati mengajaknya bermalam di pondoknya. Setelah selesai makan tuan rumah berpesan, ‘Jangan ke mana-mana, jangan pergi ke luar rumah. Tutup pintu-tingkap dan tidurlah, saya ada kerja sedikit.’ Hari pun malamlah.

Begitu hari malam orang sekampung itu berubah menjadi (ha)rimau kesemuanya. Lalu, terdengar bunyi gong dan tambur, amatlah bagus bunyinya. Orang yang sesat tadi mengintip dari celah-celah dinding. Rupanya (ha)rimau jadi-jadian itu sedang bersenang-senang dengan suatu permainan penghibur hati, pengobat penat di siang hari. Begitu permainan selesai, mereka pun letih dan terkapar tidur sampai tak sempat mencium bau manusia.

Besoknya orang yang tersesat tadi balik ke kampungnya. Permainan (ha)rimau jadi-jadian itu ditirunya dan dimainkannya di kampungnya. Itulah mula asal Makyong. Entah ya entah tidak, begitulah yang diceritakan orang tua-tua dulu kepada saya.” (lih. Abdul Malik, Hasan Junus, dan Auzar Thaher, Kepulauan Riau: Cagar Budaya Melayu, Unri Press, 2003, hlm. 172).

Kisah yang disampaikan oleh Pak Man dari Mantang Arang kepada budayawan Hasan Junus itu menjelaskan asal-usul teater Makyong menurut versi cerita rakyat. Memang, Mantang Arang, Bintan Timur merupakan salah satu sentra kesenian Makyong di Kepulauan Riau, sekurang-kurangnya suatu masa dulu. Di samping soal asal-muasal, cerita Pak Man itu juga menyiratkan pesan bahwa nafsu kebuasan dapat diredam oleh kesenian, yang dalam hal ini kesenian Makyong. Begitulah kesenian dapat membedakan manusia yang sejatinya juga animal dengan animal jenis lain yang tak mampu mengembangkan kesenian. Oleh sebab itu, mengekalkan, membina, dan mengembangkan kesenian sangat mustahak bagi manusia untuk mempertahankan kemanusiaannya, yang apabila sedikit saja kita leka akan memungkinkan keanimalan menjadi mengemuka.

Berita gembira itu berasal dari Batam Pos, Ahad (8/11/2009), hlm. 25. Di bawah judul “Menjual Mak Yong dari Pulau Panjang” Batam Pos melanjutkannya dengan teras berita. “Selain menjual lokasi wisata dan kesenian moderen, Pemerintah Kota

Page 79: H. Abdul Malik

59ABDUL MALIK

Batam juga mengandalkan seni tradisional sebagai daya tarik untuk mengundang wisatawan datang ke Batam.” Seni tradisional yang dimaksudkan itu tak lain teater Makyong Pulau Panjang.

Tak dina ikan peran kesenian modern sebagai atraksi pariwisata. Akan tetapi, kesenian tradisional, terutama yang khas kawasan tujuan wisata, jauh lebih menarik perhatian wisatawan, apalagi pelancong luar negara. Bagi wisatawan mancanegara, kesenian modern bukanlah sesuatu yang istimewa karena mereka sudah biasa berakrab mesra dengan semua genre itu. Sebaliknya, kesenian tradisional dirasakan unik dan menjadi pengalaman baru bagi mereka sehingga senantiasa diharapkan untuk dapat disaksikan ketika melakukan perjalanan wisata. Beruntunglah kawasan tujuan wisata yang memiliki kesenian tradisional yang khas sehingga dapat memenuhi motif wisatawan melakukan perjalanan wisatanya.

Teater Makyong diyakini dapat memuaskan wisatawan—bahkan siapa pun pencinta seni—karena tergolong kesenian yang lengkap. Di dalamnya ada seni peran, tarian, nyanyian, komedi, dan tentu saja musik. Lebih dari itu, Makyong memiliki latar belakang yang sangat menarik, yang apabila diketahui oleh para wisatawan tentu mereka akan lebih tertarik. Apakah itu?

Menurut para peneliti, Makyong berasal dari kepercayaan animisme, yang mulanya digunakan untuk pengobatan tradisional. Kenyataan itu nampak pada penggunaan lambang-lambang yang mengarah kepada shamanisme. Berhubung dengan itu, kata Makyong berasal dari Mak Hyang yang mengacu kepada semangat induk padi yang dipuja dan dihormati oleh masyarakat agraris-animis. Semangat itu terlihat pada upacara semah untuk makhluk halus, yang memaduserasikan tiga olahan padi: (1) beras basuh yakni beras yang tak patah, tak berantah, dan sudah bersih dari segala macam cemaran; (2) beras kunyit yakni beras yang dikuningkan dengan kunyit; dan (3) bertih yakni padi yang digoreng tanpa minyak (digonseng). Beras basuh yang putih bersih dikiaskan dengan perak, beras kunyit dikiaskan dengan emas, dan bertih dikiaskan dengan rezeki yang terus merecup. Persepaduan dari ketiganya melambangkan rezeki yang melimpah, kesejahteraan, dan kemakmuran negeri.

Banyak cerita menarik di sebalik teater Makyong ini. Yang pasti, dapat dipastikan bahwa menjadikan kesenian warisan tradisi kawasan ini sebagai atraksi utama pariwisata Kota Batam merupakan gagasan yang cemerlang, yang pada gilirannya niscaya dunia pariwisata Batam akan menuai kegemilangan yang pasti terbilang. Oleh sebab itu, sudah pada tempat dan patutnyalah kita menyambut gembira rencana tersebut. Tentu ada catatannya yaitu kesemuanya harus dikelola secara profesional, bertanggung jawab, dan baik.

Page 80: H. Abdul Malik

60 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Sebagai sambutan suka cita, saya hendak mengutip satu bait syair karya Encik Abdullah Syair Perkawinan Anak Kapitan Cina, yang ditulis di Pulau Penyengat Indrasakti pada 1860. Perhatikanlah judul syairnya, betapa perkawinan anak Kapitan Cina dimeriahkan dengan cara Melayu.

Makyong menari sambil berjalanSerta dengan bunyi-bunyianOrang melihat berlari-larianAda laki-laki ada perempuan

Begitulah hendaknya dunia pelancongan atau pariwisata Kota Batam. Semogalah dan tahniah kepada Pemerintah Kota Batam di bawah pimpinan Walikota H. Ahmad Dahlan dan seluruh masyarakat Kota Batam.[]

Page 81: H. Abdul Malik

61ABDUL MALIK

BERMULA dari rangkaian kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama (Obama), ke Asia. Satu di antara negara yang dikunjunginya

adalah Jepang. Begitu sampai di Istana Kekaisaran Jepang, Tokyo, Sabtu, 14 November 2009, Obama memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada Kaisar Jepang, Akihito, yang didampingi Permaisuri.

Adab Obama memberi hormat dengan membungkukkan badan sambil berjabat tangan dengan Kaisar Akihito itu menyinggung perasaan sebagian rakyat AS. Pihak pengeritik menganggap sikap Presiden AS itu berlebihan sebab dia membungkuk terlalu rendah. Etiket orang nomer satu AS yang pernah tinggal di Jakarta pada masa kecilnya itu dimaknai para pengeritiknya sebagai tanda tunduknya AS terhadap Jepang, bukan main! (baca juga: Batam Pos, Rabu, 18 November 2009, hlm. 9).

Rasanya, dari sudut pandang budaya Indonesia khususnya dan budaya Timur umumnya, pemaknaan yang dibuat oleh kubu konservatif AS itu terlalu berlebihan. Pasalnya, Obama membungkukkan badan untuk menghormati Kaisar Jepang itu mengikuti kebiasaan yang baik dalam budaya Timur ketika seseorang berjumpa dengan orang yang dihormatinya. Obama jelas memiliki alasan etis untuk menghormati Kaisar Akihito karena selain pemimpin monarki Negeri Sakura itu seorang kaisar, Baginda juga lebih tua daripada Paduka Yang Mulia Obama (75:48 tahun). Perbedaan usia itu, berdasarkan budaya Timur umumnya, menyebabkan yang muda menghormati yang lebih tua walaupun dalam hal pangkat dan atau jabatan formalnya keduanya setara. Lagi pula, Presiden Obama-lah yang datang berkunjung kepada Kaisar Akihito, bukan sebaliknya.

Alasan lain, Obama terlihat membungkuk terlalu rendah karena kebetulan dia berpostur lebih jangkung daripada Kaisar. Seperti yang terlihat pada gambar, sebetulnya Kaisar dan Permaisuri juga membungkukkan badan kepada Obama

Karena Obama Membungkuk

Page 82: H. Abdul Malik

62 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

hanya memang tak terlalu bungkuk karena mereka nyatanya bertubuh lebih rendah daripada Presiden AS itu. Dapat dibayangkan pemandangan apa yang akan terlihat kalau keduanya juga membungkuk terlalu rendah.

Cara pandang konservatif Barat terhadap bangsa dan budaya lain memang cenderung ironis dan kontroversial. Di satu sisi mereka sering mengagung-agungkan perjuangan kesamaan derajat di antara kesemua bangsa di dunia. Perjuangan kesamaan derajat itu bukan tak ditunggangi oleh pamer kebolehan: merekalah setakat ini yang meraih capaian tertinggi dalam pembangunan peradaban. Sayangnya, tolok ukur yang mereka gunakan selalu nilai yang mereka anut. Nilai terala bangsa lain yang berbeda dari nilai mereka sering dianggap tak memenuhi syarat, bahkan biadab. Itulah sebabnya, sampai setakat ini masih ada orang putih AS yang menyapa orang hitam dengan sapaan boy, sedangkan mereka harus disapa dengan sapaan Sir.

Kita barangkali masih ingat akan pemeo ini. Berdatanganlah Orang Eropa Barat ke tanah air ini sebelum masa kolonial. Mereka mendapati bangsa kita menyapa mereka dengan sapaan Tuan. Mereka membuka kamus. Pada kata-kepala (lema, entri) tuan terbacalah artinya ‘orang tempat mengabdi, orang yang memberi pekerjaan, majikan’. Itulah pemahaman mereka tentang kata tuan, bahwa kita sebagai bangsa memang dengan ikhlas menjadikan diri kita sebagai abdi mereka. Padahal, dalam konteks yang lain kata tuan dalam budaya (bahasa) kita juga digunakan untuk sapaan hormat bagi orang laki-laki dewasa, tak ada kaitannya sama sekali dengan abdi dan majikan. Atas dasar pemahaman yang salah itu, bangsa Eropa Barat menjajah kita di samping nafsu kolonialismenya memang mengalahkan nilai-nilai yang sebenarnya juga mereka ajarkan: penjajahan adalah perbuatan biadab.

Orang lain harus mengikuti nilai mereka. Pikiran itu telah terpola dalam minda mereka. Jangan terbalik, mereka mengikuti nilai kita. Harus diupayakan sedapat-dapatnya agar bangsa lain mengakui bahwa nilai-nilai Baratlah yang paling baik, yang pada gilirannya bangsa itu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau tak mau, paksa—apa pun cara dan kiat harus dilakukan. Penjajahan dalam bentuk penanaman nilai dan pola pikir Barat terhadap bangsa lain jauh lebih efektif untuk menguasai mereka dalam kesemua aspek kehidupan daripada sekadar penjajahan isik. Jika misi itu berjaya, bangsa yang dirasuki dengan mudah dapat dikuasai, seperti kerbau dicocok hidung, ikut apa pun yang dikehendaki sang majikan, Sang Tuan, tanpa kata protes.

Baik saya ilustrasikan sebuah ilm AS (tak perlulah disebut judulnya). Dalam diskusi di kelas antara guru dan para siswanya, sang guru menegaskan perihal sangat pentingnya bahasa Inggris. Para siswa harus menguasainya dengan baik. Juga para siswa yang penutur asli bahasa Inggris itu diamanahkan untuk

Page 83: H. Abdul Malik

63ABDUL MALIK

mengajarkannya kepada orang lain, termasuk yang bukan masyarakat bahasa Inggris. Lalu, seorang siswa bertanya, kalau mereka tak mau bagaimana? Tanpa ekspresi berlebihan sang guru menjawab, paksa! Agaknya, terlepas dari kita suka atau benci, dengan cara itulah globalisasi digelindingkan ke sekutah-kutah dunia, dari kota yang paling metropolitan sampai ke kampung yang paling selekeh sekali pun. Ajaran guru itu jelas telah memperhitungkan arah neraca labanya ke mana, bukan? Oleh sebab itu, seorang kawan saya, yang kebetulan pakar berkebangsaan Belanda, dengan nada yang ironis mengungkapkan, “Saya tak pernah percaya terhadap “binatang” yang namanya globalisasi.” Nah, itu dia!

Apa pun yang dilakukan Barat terhadap nilai-nilai mereka sebetulnya sah-sah saja. Tentu ada asalnya. Asal, mereka tak boleh memaksakannya kepada bangsa lain yang memiliki nilai-nilai terala yang dijunjung tinggi. Tak patut mereka meneroka bangsa lain dengan tolok ukur mereka. Jangan memvonis anak-anak Asia atau Afrika yang diminta mengacungkan tangan, tetapi tak mengacungkannya dengan cap mereka bodoh. Ada ajaran dalam budaya Timur bahwa orang yang berbudi tinggi adalah orang yang tak menonjolkan diri, sedangkan acungan tangan merupakan simbol menonjolkan diri atau sombong.

Mungkin mereka juga menganggap bangsa Timur tak dapat dipercaya. Pasalnya, kalau berbicara bersemuka (berhadap-hadapan), kita tak mau berlama-lama saling menatap. Dalam budaya Timur bertatapan lama dianggap kurang sopan, sedangkan dalam budaya Barat hal itu diwajibkan supaya kita terhindar dari cap tak dapat dipercaya. Perbedaan-perbedaan seperti inilah sebenarnya yang harus dipahami dan wajib ditoleransikan, bukan dipaksakehendakkan di antara pelbagai kebudayaan. Baik pada kita, belum tentu baik juga pada orang lain. Kalau kebiasaan orang-lain lain dari kita, tak berarti kita lebih baik dari mereka atau sebaliknya. Kenyataan itu mengharuskan kita saling belajar, memahami, dan menghargai agar kita dapat dijulang sebagai bangsa beradab yang sesungguhnya. Tak ada menu yang hanya sedap pada kita saja dalam pergaulan masyarakat pelbagai budaya di bumi Allah ini.

Alhasil, sikap hormat yang ditunjukkan oleh Presiden Obama terhadap Kaisar Akihito itu sangat wajar dan patutlah dipuji. Dengan memahami, menghargai, dan mengimplementasikan budaya bangsa lain ketika berkunjung ke negara bangsa itu, Yang Mulia Obama menunjukkan kehalusan dan ketinggian budinya. Presiden berkulit hitam manis pertama AS itu telah memberi contoh terbaik bagaimana seharusnya seorang pemimpin negara yang paling berkuasa di dunia seharusnya berperilaku. Bangsa AS sepatutnya bangga memiliki Presiden Barack Hussein Obama, bukan malah mengeritiknya dengan alasan yang tak sabit di akal.[]

Page 84: H. Abdul Malik

64 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

HADIRIN berdiri dengan penuh takzim. Diiringi musik khas yang mengalun lembut, pawai khidmat Tuan Yang Terutama (TYT) Yang Dipertua Negeri

Melaka, Tun Datuk Seri Utama Mohd. Khalil bin Yaakob dan Yang Amat Berbahagia (Y.A.Bhg.) Toh Puan Datuk Seri Utama Dato’ Zurina binti Kasim, yang didampingi oleh Mufti Kerajaan Negeri Melaka, Pemimpin Upacara Adat (Penghulu Balai), dan para pengawal yang bersenjata tradisional lengkap memasuki tempat upacara. TYT Yang Dipertua Negeri dan Y.A. Bhg. Toh Puan menduduki singgasana di petarakna yang terdapat di bagian paling depan tengah dewan (gedung pertemuan) berhadapan dengan hadirin. Di samping kanan dan kiri agak ke belakang Baginda berdua masing-masing berdiri seorang pengawal. Di samping kanan di luar petarakna berdiri pula beberapa orang pengawal yang bersenjata lengkap. Di samping kanan depan duduk bersanding Yang Amat Berhormat (Y.A.B.) Ketua Menteri Melaka, Datuk Seri Hj. Mohd. Ali bin Mohd. Rustam dan Y.A. Bhg. Datin Seri Datuk Wira Hajjah Asmah binti Abdul Rahman. Di samping kiri depan Baginda duduk pula Mufti Kerajaan dan Ketua Upacara Adat. Kesemuanya mengenakan pakaian kebesaran Kerajaan Negeri.

Itulah pemandangan yang dapat disaksikan dimulai pukul 09.00 pagi waktu Malaysia (pukul 08.00 WIB), Ahad, 22 November 2009 di Dewan Seri Negeri (DSN), Ayer Keroh, Melaka. DSN memang menjadi tempat berlangsungnya upacara penting yang dilaksanakan oleh Kerajaan Melaka. Ratusan undangan nampak bagai terpukau menyaksikan jalannya upacara istiadat yang sangat sakral pagi itu. Hari itu dilaksanakan “Istiadat Penganugerahan Darjah, Tauliah, Bintang, dan Pingat (Medali) Kebesaran Negeri Melaka bersempena dengan Sambutan Hari Jadi ke-71 TYT Yang Dipertua Negeri Melaka Tahun 2009”. Jelaslah bahwa Negeri Melaka melanjutkan tradisi Kerajaan Melayu sejak masa lalu yakni memperingati hari kelahiran pemimpin negeri dengan, antara lain, menyelenggarakan penganugerahan kepada orang-orang yang berjasa kepada negeri.

Sama dengan empat kerajaan negeri di Malaysia, tetapi berbeda dengan kerajaan negeri lain yang dipimpin oleh sultan. Hal itu terjadi karena sejak Sultan

Darjah Mulia Seri Melaka

Page 85: H. Abdul Malik

65ABDUL MALIK

Mahmud beredar ke Bintan untuk menghindarkan diri dari serbuan penceroboh Portugis pada 1511, Kerajaan Melaka tak pernah lagi memiliki sultan. Jabatan yang setara dengan sultan kemudian disebut Yang Dipertua Negeri. Dalam pada itu, pemimpin pemerintahan disebut Ketua Menteri.

Memasuki acara penganugerahan, pembawa acara mempersilakan dua orang Datuk untuk mengatur sembah kepada T.Y.T. Kedua orang yang sudah bergelar Datuk itu rupanya dipersiapkan untuk menjadi pendamping orang yang akan memperoleh anugerah. Lalu, disebutlah bahwa yang akan menerima anugerah adalah H. Ismeth Abdullah, Gubernur Kepulauan Riau, Indonesia (ketika menerima anugerah ini pada 2009 semasa tulisan ini dibuat Drs. H. Ismeth Abdullah masih menjabat Gubernur Kepulauan Riau) yang memperoleh anugerah Darjah Mulia Seri Melaka (D.M.S.M.). T.Y.T memasangkan selempang kebesaran dan menyematkan lencana darjah kebesaran kepada H. Ismeth Abdullah. Sesuai dengan pedoman istiadat Kerajaan Negeri Melaka, khususnya, dan Malaysia, umumnya, sejak itu “Penerima anugerah D.M.S.M. hendaklah digelar DATUK dan isterinya DATIN.” Mulai saat itu Gubernur Kepulauan Riau di Malaysia dikenal sebagai Yang Berbahagia (Y.Bhg.) Datuk H. Ismeth Abdullah dan istri beliau Y.Bhg. Datin Hj. Aida Ismeth. Sejak itu pula beliau memperoleh hak sebagai seorang Datuk, antara lain, mendapatkan pengawalan khusus sebagai Datuk dan Datin kalau berada di Malaysia. Gelar kebesaran Melayu itu berhak digunakan sepanjang hayat.

Empat tahun memasuki lima tahun memimpin Kepulauan Riau, Datuk H. Ismeth Abdullah, harus diakui, memang mengukir prestasi yang luar biasa. Walau Kepulauan Riau sejatinya provinsi termuda, capaian yang diraihnya sangat mengagumkan yakni menjadi provinsi terbaik keenam di Indonesia. Padahal, sejak awal lagi banyak pihak yang meragukan bahwa daerah ini dapat maju begitu cepat. Di antara kemajuan yang diraih itu ialah makin eratnya perhubungan antara Kepulauan Riau dengan negara tetangga seperti Singapura dan kerajaan-kerajaan negeri di Malaysia, khususnya Melaka. Kesemuanya itu taklah semudah mengatakannya, apa lagi di tengah tensi politik di tingkat nasional dan daerah yang belum juga menurun. Dengan gaya kepemimpinannya yang tenang, sabar, tekun, santun, penuh perhitungan, dan mengutamakan kerja keras; beliau mampu memenuhi harapan rakyat daerah ini untuk meraih kejayaan dalam pelbagai bidang kehidupan.

Ternyata, prestasi beliau dalam memimpin salah satu kawasan Melayu ini diapresiasi dengan baik oleh Kerajaan Negeri Melaka. Darjah Mulia Seri Melaka bukanlah anugerah yang boleh diberikan secara sebarangan. Penghargaan itu hanya boleh diberikan kepada perseorangan yang dinilai telah memberi perkhidmatan dan bakti amat terpuji, baik kepada negerinya maupun kepada Negeri Melaka. Dengan demikian, Datuk Ismeth dinilai telah sangat berhasil memimpin negerinya dan mampu pula meningkatkan kerja sama dengan negara tetangga. Karena

Page 86: H. Abdul Malik

66 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

penghargaan ini diberikan oleh pihak luar negeri, kerajaan negeri yang suatu masa dulu menjadi Kerajaan Melayu terbesar dan termasyhur di Asia Tenggara, objektivitasnya tentulah sangat kita yakini.

Sampai dengan 2009 itu baru H. Ismeth Abdullah dan Hj. Aida Ismeth-lah orang Kepulauan Riau yang memperoleh gelar Datuk dan Datin dari Kerajaan Negeri di Malaysia. Hal itu membuktikan bahwa penganugerahan gelar tersebut betul-betul memperhatikan prestasi kerja pihak yang akan diberi gelar dengan penilaian yang ketat. Nampaknya, bakti kepada negeri dan rakyat banyaklah yang menjadi pertimbangan utama.

Dengan penghargaan yang diperoleh itu, bukan hanya nama Datuk Ismeth dan Datin Aida yang disebut-sebut, melainkan nama seluruh rakyat Kepulauan Riau menjadi harum di negeri seberang. Apalagi, acara penganugerahan itu mendapat peliputan yang luas oleh media massa di Malaysia. Kenyataan itu tentulah akan meningkatkan perhubungan silarurrahim, persaudaraan, dan kerja sama pelbagai bidang antara Kepulauan Riau, khususnya, dan Indonesia, umumnya, dengan Malaysia, khususnya Melaka. Inilah berkah yang paling mustahak dari anugerah yang diperoleh Gubernur Kepulauan Riau itu.

Memang banyak tugas berat yang harus kita kerjakan ke depan ini untuk mengejar cita-cita memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat. Untuk itu, kita perlu bekerja keras agar semua harapan terwujud. Kesemuanya akan mampu kita raih kalau kita mau terus mencerdaskan diri serta memiliki pemerintahan yang bersih dan baik di bawah pemimpin yang sudah teruji kepatutan dan kepiawaiannya seperti Datuk Ismeth Abdullah. Walaupun begitu, sehebat apa pun beliau sebagai pemimpin—seperti diakui pelbagai pihak dalam dan luar negeri—keseiyasekataan rakyat merupakan faktor yang paling menentukan.

Selain anugerah dari Kerajaan Melaka, Datuk Ismeth sebelumnya telah memperoleh penghargaan sebagai “Pemimpin Adat Melayu Serantau” (Mei 2009). Lagi-lagi penghargaan itu diperolehnya dari luar Kepulauan Riau yaitu dari Lembaga Adat Melayu Serantau Kalimantan Barat. Dalam hal ini, beliau dinilai sebagai tokoh Melayu yang sangat berjasa dalam memajukan masyarakat serta membina dan mengekalkan adat-istiadat Melayu serantau.

Mencermati kinerja Gubernur Kepulauan Riau ini memang menjadi sangat menarik. Kepemimpinannya yang sejuk membuatnya dapat diterima oleh semua kalangan. Begitu pula, beliau mampu mengakomodasi kesemua pihak dengan cara yang sangat berkesan. Tak heranlah kalau Kerajaan Negeri Melaka, Venesia di Asia, sampai jatuh hati kepadanya. Tahniah Datuk H. Ismeth Abdullah dan Datin Hj. Aida Ismeth. Kita percaya bahwa diawali dengan kepemimpinan dan bakti Y. Bhg. Datuk Ismeth, Kepulauan Riau, amnya, dan Melayu, khasnya, akan makin bersinar ke depan ini! []

Page 87: H. Abdul Malik

67ABDUL MALIK

CAMNE pendapat mike, Wai?” dia bertanya kepada saya dalam percakapan melalui telepon. Kala itu saya tinggal di Pekanbaru dan dia di Tanjungbalai

Karimun. Mendapat pertanyaan darinya, saya pun berjanji untuk bertemu di Batam akhir Mei 2004. Walau sudah lama tahu namanya—karena dia pejabat di Karimun—dalam pertemuan di Batam itulah saya baru bertemu dengannya. Kami lekas sekali akrab walau baru kali pertama bersua karena berasal dari satu kampung (satu kabupaten).

Dia minta pendapat tentang rencananya pindah ke Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang segera akan terbentuk. Kebetulan kala itu saya memang sering dimintai pendapat oleh kawan-kawan dari kabupaten/kota yang ingin pindah berkhidmat ke provinsi. Pertimbangannya mungkin karena saya satu di antara Ketua Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR), yang kebetulan bermastautin di Pekanbaru, Propinsi Riau. Pada awal berdiri Provinsi Kepulauan Riau kesemua pejabatnya dari Plt. Sekretaris Daerah, kepala dinas/badan/biro ditetapkan oleh Gubernur Riau.

Ringkasnya, jadilah dia salah seorang pejabat Eselon II B di Provinsi Kepulauan Riau. Sejak itu kami sering bersama, baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja kalau kami tak ada tugas keluar daerah. Pertemuan demi pertemuan membuat kami tambah akrab, sudah seperti adik-beradik. Lagipula, setelah ditelusuri saya dan dia masih ada perhubungan kerabat. Memang, penduduk asal Kepulauan Riau ini kalau dicari susur-galurnya pastilah ada hubungan darahnya, sama ada dekat ataupun jauh.

Takkan banyak yang dapat dipercakapkan dengannya pada jam kerja, kecuali perkara-perkara kedinasan. Pasal apa? Dia tergolong pejabat yang gila kerja dan tak mau membuang masa dengan bercakap yang tak tentu hala. Dalam hati saya bersyukur karena dia ternyata orang yang sangat tunak dengan pekerjaannya dan amat loyal terhadap atasan. Begitulah memang seharusnya seorang pegawai negeri

Cahaya Itu pun Terbanglah

"

Page 88: H. Abdul Malik

68 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

sipil. Dimutasi dari satu jabatan ke jabatan lain baginya biasa saja sampailah dia menduduki Eselon II A dari sebelumnya malang melintang di Eselon II B. Bahkan, dia disebut oleh banyak pihak bakal menduduki jabatan Eselon I, yaitu jabatan tertinggi di birokrasi tingkat provinsi. Lebih hebat lagi, dia diprediksi oleh banyak kalangan bakal menjadi salah satu calon Wakil Gubernur Kepulauan Riau periode 2010—2015 dari kalangan birokrat. Menghadapi desas-desus itu, dia tenang-tenang saja. Baginya lebih baik mengerjakan kesemua tugas dengan sepenuh hati daripada terlibat dengan hiruk-pikuk politik yang tak jelas maksudnya itu. Dia memang berhasil mengasah dan mengasuh dirinya untuk menjadi birokrat sejati.

Berbeda dengan di kantor, di luar kami dapat berbual lepas sambil ketawa, juga lepas. Ketika masih bertugas di Batam, kami paling selalu berjumpa pada akhir pekan, kadang-kadang pagi, siang, petang, atau malam. Pokoknya bila sempat sajalah. Dalam perjumpaan seperti itu kami bercakap tentang pelbagai hal, dari nostalgia selama di kampung masing-masing, keadaan masyarakat—terutama generasi muda Kepulauan Riau—sampai kepada perjalanan Negeri Segantang Lada ini ke depan. Topik yang ringan sampai yang paling berat sekali pun selalu kami perbincangkan. Ada empat lima orang kami yang berperangai seperti itu. Kelompok kami itu rata-rata sebaya dan mengalami perjalanan hidup yang rata-rata mirip semasa di kampung dan di perantauan dulu. Setelah pindah ke Tanjungpinang, pertemuan seperti itu masih tetap kami lakukan walau tak sekerap di Batam.

Kami terkekeh-kekeh ketika dia bercerita tentang memakai daun pisang di kala hujan ketika pergi ke dan pulang dari sekolah semasa di sekolah dasar (SD) dengan berjalan kaki dan sering dengan bertelanjang kaki. Dia lebih parah lagi, sejak SD telah berpisah dari orang tuanya karena di kampungnya tak ada SD. Saya lebih beruntung karena setelah melanjutkan pendidikan di Pendidikan Guru Agama (PGA) baru “merantau” ke tempat orang karena di kampung saya sudah sejak lama ada SD. Nostalgia daun pisang itu membuat dia bergumam sambil merenung jauh, “Boleh tahan juga kita di waktu kecil ya, Wai?” Saya dan kawan-kawan yang lain mengiyakan ucapannya, tetapi tetap dengan penuh semangat. “Kadang-kadang kita heran juga dengan anak-anak sekarang,” dia melanjutkan, “dengan fasilitas yang jauh di atas memadai, masih juga tak mau belajar dengan tekun. Padahal, kan tinggal menyiapkan badan saja untuk bersekolah.” Pengalaman hidup memang membuat orang menjadi lebih arif walaupun tak kesemuanya mampu dan mau menyadari hal itu.

Walau tak pernah menjabat di instansi pendidikan, perhatiannya terhadap dunia pendidikan cukup besar. Hal itu mungkin dipicu dan dipacu oleh sulitnya dia—seperti halnya kami semua anak-anak kampung di pulau-pulau kecil—untuk mendapatkan pendidikan formal sehingga dari kecil sudah harus terbiasa merantau. Karena kepeduliannya itulah dia ditunjuk menjadi Wakil Sekretaris

Page 89: H. Abdul Malik

69ABDUL MALIK

ketika dibentuk Konsorsium Pendirian Universitas Negeri Kepulauan Riau pada 2004 silam. Dia, lagi-lagi, melaksanakan kesemua tugas yang dibebankan kepadanya dengan penuh dedikasi dan ikhlas sehingga terbentuklah Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Bersabit dengan pahit maungnya perjuangan untuk mendapatkan pendidikan, apalagi pendidikan tinggi, itulah dia mengingatkan kami akan begitu gigihnya ayah dan bunda di kampung. Dengan pekerjaan sebagai petani dan nelayan di kampung, tentu penghasilannya pun pas-pasan, orang tua berhempas pulas, bertungkus lumus, bermandi peluh untuk menyekolahkan anak-anaknya. Hujan dan badai tak dihiraukan demi keberhasilan anak-anaknya. Beruntunglah, anak-anak pun tahu diri memahami keadaan itu dan mau bekerja keras meraih cita-cita. Alhasil, dapatlah dipanen buah yang masak di batang sehingga manis dan harumnya menjadi bagian dari wanginya kehidupan. Dia menjadi contoh terbaik untuk buah perjuangan yang boleh dibanggakan itu.

Suatu hari kami terlibat dalam percakapan tentang kebiasaan orang Melayu memberi nama untuk anak-anaknya. Sama ada yang paling tradisional ataupun yang paling modern, orang tua-tua menabalkan nama disertai mitos yang melatarinya. Kami ketawa berderai mengingat nama-nama Melayu yang untuk ukuran sekarang terkesan lucu. Dan, ketika namanya saya sebut dikaitkan dengan mitos cahaya yang dihubungkan pula dengan nama nabi akhir zaman, dia menganggap saya berlebihan. Saya sampaikan kepadanya bahwa walau dia tak mau peduli dengan semua itu, dia telah mengukuhkan mitos tentang namanya melalui karier dan kerja keras.

“Awak,” kata saya, “telah menjadi cahaya yang berkilau bagi keluarga, bagi orang kampung, bagi kampung, bagi Karimun, dan bagi Kepulauan Riau umumnya. Awak telah memberikan ketauladanan bahwa kejujuran, keikhlasan, kerja keras, loyalitas, dedikasi, dan semangat untuk terus belajar menjadi punca dari puncak keberhasilan yang dapat diraih oleh manusia, dari mana pun dia berasal, tak kampung tak kota.”

“Awak berlebihan memuji kawan,” jawabnya tetap dengan rendah hati seorang Melayu.

Sabtu, 28 November 2009 sekitar pukul 06.30 pagi saya mendapat SMS: “H. Muhammad Nur, S.H., M.Si., Kepala BKD Provinsi Kepri telah berpulang ke rahmatullah.” Saya nyaris tak percaya membaca SMS itu. Padahal, Sabtu malam itu kami berjanji untuk berkumpul sekadar berbincang-bincang seperti yang biasa kami lakukan selama ini. Ternyata, cahaya itu lebih memilih terbang pulang ke pangkuan Yang Maha Pengasih.

“Nur, selamat jalan Wai. Kawan tetap yakin bahwa Awak adalah cahaya dalam pandangan banyak orang, Saudaraku!” []

Page 90: H. Abdul Malik

70 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

NAMA? Itu soal penting dalam budaya kita. Itulah sebabnya, nama harus baik. Dalam pengembaraan di dunia yang fana ini seraya mengumpulkan bekal

secukupnya untuk menuju tempat bermastautin yang abadi, akhirat yang pasti menanti, keterbilangan nama menjadi sangat mustahak. Jika di dunia saja nama telah berbelang-belang, di akhirat apatah lagi? Masalahnya kita bukan harimau yang kewajibannya setelah mati meninggalkan belang. Kita pun bukanlah gajah, yang ketika mati hanya berkewajiban meninggalkan gading sebagai barang komoditas untuk kompensasi ketika hidup dimanfaatkannya untuk mengoyak-ngoyak musuh. Kita manusia, yang di ujung pengembaraan harus meninggalkan sesuatu di alam dunia yang fana ini untuk selanjutnya membawanya ke alam akhirat yang abadi yaitu nama yang terbilang.

Tak ada kata kebetulan ketika Raja Ali Haji (RAH) memulai mahakaryanya Gurindam Dua Belas (GDB) dengan persoalan nama pada Pasal yang Pertama, bait 1 (“Barang siapa tiada mengenal agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.”). Dengan tak ada kata kebetulan berarti hal itu memang disengaja oleh RAH untuk mengusung tema utama nama untuk didedahkan dalam keseluruhan GDB.

Memang, GDB, antara lain, dapat dipahami dengan melakukan telaah intrateks (di dalam teks itu) dengan menggunakan prinsip penafsiran lokal, tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang di luar teks. Asumsi substantifnya tentulah teks itu sendiri telah memadai untuk menjelaskan makna yang akan diinformasikan tanpa memerlukan teks yang lain. Untuk itu, perlu dijelaskan beberapa istilah teknis yang digunakan untuk mendedahkan perkara ini.

Di sini digunakan teknik perujukan (pengacuan, penunjukan) ke dalam teks (disebut endoforik). Perujukan endoforik terdiri atas (1) penunjukan kepada yang berikutnya atau ke bawah (kataforik) dan (2) penunjukan kepada yang telah disebutkan atau ke atas (anaforik). Dengan teknik itulah, pendedahan GDB ini dilakukan.

Jika Hendak Dibilangkan Nama

Page 91: H. Abdul Malik

71ABDUL MALIK

Apakah yang dimaksudkan dengan nama yang terbilang? Bagaimanakah mewujudkan nama yang terbilang?

Jika hendak dibilangkan nama, harus mengenal agama (GDB, Pasal I, bait 1). Apa tanda mengenal agama? Pertama-tama, harus diperhatikan persoalan akidah. Dalam hal ini, yang terutama manusia harus mengenal Allah (GDB, Pasal I, bait 3, “Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.”). Manusia yang mengenal Allah ditandai dengan ikhlas melaksanakan suruhan (perintah) dan taat menjauhi tegahan (larangan)-Nya. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah itu dilaksanakannya dengan cara yang benar (tiada ia menyalah).

Persoalan akidah yang berkelindan dengan mengenal agama juga ditandai dengan mengenal diri (GDB, Pasal I, bait 4, “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan Yang Bahari.”). Mengenal diri berarti menyadari kekurangan diri sebagai makhluk Allah yang tak akan pernah dapat dibandingkan dan disandingkan dengan Allah Yang Mahasempurna. Karena banyaknya sisi kelemahan itulah, manusia harus senantiasa waspada dengan mengharapkan pertolongan dari Tuhan Yang Bahari.

Selanjutnya, manusia dapat dikatakan mengenal agama kalau dia mengenal dunia (GDB, Pasal I, bait 5, “Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terpedaya.”). Dari tuntunan yang diberikan oleh agama kita menjadi sadar bahwa dunia ini penuh dengan tipu daya. Pengembaraan sementara di alam dunia menjadi penuh tantangan sehingga ketika manusia terleka, lari dari pedoman agama, dia boleh jadi lupa mengambil bekal untuk dibawa ke alam yang kekal, tempat yang menjanjikan kebahagiaan sejati bagi mereka yang sungguh-sungguh mengikuti pedoman Ilahi.

Terakhir dari sisi akidah, manusia dikatakan mengenal agama kalau dia mengenal akhirat (GDB, Pasal I, bait 6, “Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat.”). Akhirat adalah alam kekal yang menjadi tujuan akhir pengembaraan manusia. Akhirat menyediakan kebahagiaan sejati bagi yang mengikuti petunjuk Ilahi, tetapi dapat menjadi penderitaan yang juga sejati bagi yang mengingkari-Nya. Akhirat jauh lebih bermanfaat daripada dunia, yang justeru lebih memberikan mudarat bagi mereka yang tak mengenal agama. Ringkasnya, bahagia dan nestapa akhirat yang abadi tak sebanding dengan dunia yang fana.

Manusia yang memiliki empat pengetahuan dasar yaitu tentang Allah, diri, dunia, dan akhirat itulah yang mampu mencapai makrifat (GDB, Pasal I, bait 2, “Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang makrifat.”). Meyakini, mengetahui, memahami, dan menghayati hakikat Allah, diri, dunia, dan akhirat akan mengantarkan manusia kepada penyerahan dan penghambaan diri secara menyeluruh kepada Allah sampai ke peringkat yang tertinggi (makrifat).

Page 92: H. Abdul Malik

72 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Manusia yang memiliki keempat pengetahuan dasar itu pulalah yang akan mampu mencapai kualitas takwa (GDB, Pasal 2, bait 1, “Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut.”). Dengan mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat; manusia akan dengan ikhlas melaksanakan perintah Allah dan dengan ketaatan yang berlandaskan keyakinan dan pengetahuan yang benar dari sumber Yang Mahabenar dia menjauhi segala larangan-Nya. Pasalnya, dia kini tahu bahwa yang diperintahkan atau yang dianjurkan itu memang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain serta kesemua yang dilarang itu memang mendatangkan kerugian kalau dilanggar.

Sekadar catatan, ada juga orang yang menafsirkan yang empat pada GDB, Pasal I, bait 2, baris (1) sebagai syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Menurut hemat saya, ada empat keberatan jika pernyataan itu hendak diterima. Pertama, secara intratekstual, kenyataan itu tak ditemukan secara tersurat (eksplisit), sama ada dirujuk secara kataforik ataupun anaforik. Kedua, justeru RAH begitu menyebutkan yang empat (GDB, Pasal I, bait 2) langsung memerikan perihal Allah, diri, dunia, dan akhirat secara kataforik (menunjuk kepada yang berikutnya atau ke bawah) pada GDB, Pasal I, bait 3, 4, 5, dan 6. Ketiga, perujukan secara anaforik (mengacu kepada yang telah disebutkan atau ke atas) terdapat pula pada GDB, Pasal II, bait 1 (“Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut.”) yang berfungsi untuk menegaskan. Ungkapan yang tersebut itu jelas mengacu kepada Allah, diri, dunia, dan akhirat yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat, pada GDB Pasal I, bait 2 disebutkan bahwa orang yang “mengenal yang empat” itulah “orang yang makrifat”. Pujangga besar sekelas RAH tak mungkin akan mengatakan bahwa orang yang makrifat adalah orang yang memahami syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Dengan kata lain, mana mungkin konsep makrifat meliputi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Lagi pula, mungkinkah seorang RAH akan menyebutkan ada makrifat di dalam makrifat?

Terlepas dari perbedaan itu, jika hendak dibilangkan nama, manusia pertama-tama harus mengenal agama. Dikaitkan dengan akidah, menurut GDB, manusia harus mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat. Amanat utama GDB jelaslah bahwa hanya manusia yang memegang teguh agamalah yang namanya boleh terbilang, bukan dan tak akan pernah karena yang lain. Jika oleh sebab yang lain ada juga manusia yang namanya dibilang-bilang, hal itu tak ubahnya belang pada harimau dan gading pada gajah. Peliknya, manusia bukanlah harimau ataupun gajah. []

Page 93: H. Abdul Malik

73ABDUL MALIK

MASUK ke Pasal yang Kedua Gurindam Dua Belas (GDB), kita dibawa oleh Raja Ali Haji (RAH) untuk mengenal, memahami, dan menghayati tamasya ibadah.

Dengan kata lain, pasal ini mendedahkan persoalan yang berkaitan dengan ibadah yang wajib dilaksanakan oleh manusia yang beragama.

Jika hendak dibilangkan nama, sesuai dengan tema GDB, manusia wajib menunaikan ibadah. Tanpa itu akidah menjadi sia-sia, menjadi tak berguna. Tak ada akidah tanpa ibadah, begitu pula sebaliknya, tiada ibadah tanpa akidah. Pelaksanaan ibadah menjadi indikator utama tentang pemahaman dan keaslian akidah. “Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah,” (GDB, Pasal I, bait 3). Ibadah merupakan bagian dari suruhan (perintah) Allah sehingga kalau ditinggalkan berarti manusia menyalahi atau mengingkari perintah-Nya.

Tamasya ibadah pertama yang wajib dilaksanakan ialah sembahyang atau salat (GDB Pasal II, bait 2, “Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang.”). Jika agama diibarat rumah dengan akidah (pengenalan Allah, diri, dunia, dan akhirat) sebagai pondasinya; akan sia-sialah pondasi itu kalau manusia tak melaksanakan salat. Jika agama diibaratkan rumah dengan ibadah-ibadah lain, akhlak, dan muamalah sebagai rasuk, gelegar, lantai, dinding, pintu, tingkap, kasau, atap, dan segala ragam hiasnya; akan sia-sialah kesemuanya itu kalau diri tak sembahyang. Tentu pula, yang dimaksudkan dengan sembahyang itu paling kurang salat wajib lima kali sehari semalam.

Pasal apa? Tak ada rumah yang dapat berdiri tanpa tiang walau betapa hebat pun bagian-bagian yang lain. Dengan dianalogikan salat bagai tiang bagi agama, berarti GDB hendak menegaskan tak ada agama tanpa pelaksanaan salat. Salatlah yang menentukan keabsahan kesemua ibadah dan perbuatan baik yang lain. Dengan demikian, sembahyang memegang peran yang sangat penting. Tak heranlah begitu memasuki wilayah ibadah, GDB langsung memandu manusia ke tamasya keutamaan salat.

Tamasya Ibadah

Page 94: H. Abdul Malik

74 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Tamasya diteruskan dengan memasuki wilayah ibadah puasa (GDB, Pasal II, bait 3, “Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa.”). Puasa dalam konteks ini terutama puasa wajib sebulan penuh pada bulan Ramadan bagi yang tak beralangan. Puasa-puasa sunat tetaplah menjadi anjuran, tetapi pastilah puasa wajib yang menjadi keutamaan.

Manusia yang melaksanakan ibadah puasa, menurut GDB, akan memperoleh kenikmatan yang disebut dua termasa. Kata termasa yang dimaksudkan itu tiada lain yang kita kenal sekarang dengan tamasya. Secara har iah, kata itu berarti keindahan. Secara konotatif dan kontekstual, kata itu jelas berarti kenikmatan dan atau kebahagiaan.

Apakah dua keindahan, dua kenikmatan, dan atau dua kebahagiaan itu? Jawabnya tiada lain keindahan, kenikmatan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, manusia yang melaksanakan ibadah puasa akan memperoleh kebahagiaan yang tiada bertara, yang di dunia ini saja telah dapat dinikmatinya, apatah lagi di alam akhirat. Sebaliknya, amat merugilah mereka yang dengan sengaja meninggalkan ibadah yang indah ini karena jangankan di akhirat, di dunia saja mereka akan menerima padah yang pedih.

Tamasya ibadah memasuki wilayah ketiga yang tak kalah menariknya. Apalagi kalau bukan kawasan zakat (GDB Pasal II, bait 4, “Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat.”). Rupanya, harta yang dianugerahkan Allah kepada manusia—begitu inferensi yang dapat ditarik dari bait ini—ada bagian orang lain di dalamnya. Bagian yang bukan menjadi hak si pemerolehnya itu harus dikembalikan kepada yang berhak menerimanya, terutama melalui ibadah zakat.

Dengan kewajiban membayar zakat, manusia dituntun untuk menjadi orang yang dermawan. Lebih dari itu, dengan berzakatlah baru harta yang diperoleh akan mendapat berkat dari Allah swt. Jika tidak, walaupun diperoleh dengan cara dan dari sumber yang sah, harta itu tak akan pernah membawa kebaikan dalam hidup manusia. Dari luar terlihat hidup bergelimang harta, tetapi di kedalaman hati, jiwa tersiksa yang tak diketahui apa sebab-musababnya.

Dengan berzakat, manusia juga dapat terhindar dari kunjungan mesra tamu yang seharusnya tak perlu diundang “si bakhil” atau sifat kikir, lokek, dan atau kedekut. Manusia yang telah disinggahi penyakit itu diumpamakan sebagai “perompak yang amat gagah”, yang nanti dapat kita jumpai pada GDB Pasal IV, bait 7. Betapa tidak, dengan enggan berzakat berarti manusia itu menyantap harta yang bukan menjadi milik dirinya. Dengan begitu, samalah dirinya mendustai Allah swt. Hanya manusia yang menganggap dirinya teramat gagahlah, yang berani menyombongkan dirinya di hadapan Allah walaupun perilakunya itu semata-mata karena kepicikan dirinya.

Page 95: H. Abdul Malik

75ABDUL MALIK

Tamasya ibadah dengan kendaraan GDB memasuki wilayah yang terakhir yaitu perkampungan haji (GDB Pasal II, bait 5, “Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah menyempurnakan janji.”). Mengapakah tak menunaikan ibadah haji disebut tak menyempurnakan janji? Pasalnya begini. Manusia yang telah mendirikan salat, melaksanakan puasa, dan membayar zakat dapatlah digolongkan mereka yang telah menunaikan janji sebagai orang yang mengaku beragama. Akan tetapi, janji itu belum sempurna terpenuhi. Kesempurnaan janji manusia yang beragama, yang kemudian dapat dibilangkan nama, baru terpenuhi kalau dia menunaikan ibadah haji.

Manusia memiliki ikhtiar. Dia mengetahui dan menyadari bahwa ibadah haji mempersyaratkan kemampuan: isik, material, dan mental. Hanya mereka yang memenuhi kesehatan isik dan mentallah yang dapat menyempurnakan janji berhaji. Hanya mereka yang memiliki modal material yang cukuplah yang dapat menyempurnakan janji berhaji. Lebih dari itu, hanya mereka yang mempersiapkan segala persyaratan itu sejak awallah yang mampu menyempurnakan janji berhaji. Dengan menyadari janjinya yang dilandasi kecintaan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta, seyogianya manusia telah mempersiapkan dirinya untuk suatu ketika yang telah direncanakan akan memenuhi janji itu.

Fenomena seperti ini tak jarang ditemui. Ada manusia yang isik dan mentalnya tak kurang suatu apa. Materi pun berlimpah ruah. Di pihak lain, ada manusia yang isiknya jauh dari batas sehat yang sesungguhnya. Materi pun amat jarang berlebih dari keperluan sehari-hari. Anehnya, manusia yang disebut terakhirlah yang mampu menyempurnakan janjinya menunaikan ibadah haji, sedangkan yang disebut pertama tidak. Mengapakah? Jawabnya, semuanya tergantung pada niat dan ikhtiar untuk menyempurnakan janji.

Yang juga menarik pada GDB Pasal II ini ialah penuturannya menggunakan pola negasi, “Barang siapa meninggalkan...” bukan “Barang siapa mengerjakan...”, misalnya, yang dilanjutkan dengan konsekuensi atau akibatnya. Pola ini pun, menurut hemat saya, bukan kebetulan tetapi memang disengaja oleh RAH. Dengan menggunakan pola negasi itu, RAH hendak menekankan atau menegaskan betapa mustahaknya perkara-perkara utama yang diperikan pada GDB Pasal II ini sehingga jangan dipandang sambil lewa saja. Kesemua manusia harus betul-betul mengambil berat akan hal itu dengan melaksanakannya secara konsisten dan konsekuen. Hanya dengan cara itulah seorang manusia baru boleh dibilangkan nama.[]

Page 96: H. Abdul Malik

76 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

JIKA hendak dibilangkan nama, manusia harus memelihara akhlak yang mulia. Tema itulah yang tersirat dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Ketiga,

yang meliputi tujuh bait. Kesemuanya dikaitkan oleh Raja Ali Haji (RAH) dengan fungsi anggota tubuh dari yang paling atas (mata) sampai yang paling bawah (kaki).

Perihal mata dikemukakan oleh RAH pada GDB Pasal III, bait 1, “Apabila terpelihara mata, sedikitlah bercita-cita.” Mata merupakan organ tubuh yang sangat penting. Fungsinya untuk melihat. Mata harus dipelihara atau dijaga, jangan sampai melihat hal-hal yang dilarang agama. Mata seyogianya melihat hal-hal yang baik-baik saja supaya sedikit bercita-cita. Sedikit bercita-cita maksudnya tak berangan-angan kosong atau angan-angan yang membawa kerugian pada diri sendiri atau yang menyebabkan rusaknya akidah dan akhlak manusia. Pedoman baik-buruknya tentulah ketentuan agama.

GDB Pasal III, bait 2 mendedahkan fungsi kuping atau telinga, “Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tidaklah damping.” Kuping atau telinga merupakan organ tubuh yang berfungsi utama untuk mendengar. Seperti halnya mata, telinga pun harus dipelihara atau dijaga, jangan sampai fungsinya diselewengkan. Manusia harus membiasakan diri untuk menghindar dari mendengarkan berita atau kabar yang jahat. Tak ada artinya mata terpelihara dari melihat yang terlarang, tetapi telinga dibuka lebar-lebar untuk mendengarkan kabar yang sumbang berdasarkan acuan agama. Dengan terpeliharanya pendengaran, segala kabar atau berita yang jahat takut untuk menghampiri manusia (khabar yang jahat tidaklah damping). Alhasil, fungsi telinga terpelihara yang pada gilirannya akidah dan akhlak tetap terjaga.

Kita bergerak lebih ke bawah lagi. Di sini kita temukan lidah. Soal lidah, GDB Pasal III, bait 3 menyebutkan, “Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya

Memelihara Akhlak Mulia

Page 97: H. Abdul Malik

77ABDUL MALIK

faedah.” Lidah pun menjadi organ tubuh manusia yang sangat penting. Lidah selalu dikaitkan dengan fungsi utamanya untuk berkata-kata. Memang lidah pun memiliki fungsi lain dan organ yang diperlukan untuk berkata-kata bukanlah hanya lidah. Akan tetapi, lidah dalam budaya kita umumnya dikelindankan dengan fungsinya untuk berkata-kata.

Dengan memelihara lidah, berarti manusia hanya berkata-kata yang baik-baik saja. Diharamkannya, sesuai dengan pedoman agama yang diyakininya, untuk bercakap jahat yaitu mengatakan sesuatu yang tak benar, buruk, atau jelek. Sesuatu yang benar pun karena memang ada faktanya kalau menurut pertimbangan budi tak patut untuk dikatakan, tak boleh dipercakapkan seperti mendedahkan aib orang lain. Manusia yang mampu mengelola perkataannya dengan baik, menurut GDB, akan memperoleh pelbagai manfaat di dalam hidupnya. Manusia seperti itu patut diteladani karena keutamaan akhlaknya.

Lebih ke bawah lagi, anggota tubuh yang harus diperhatikan adalah tangan karena begitu mustahak fungsinya. Berhubung dengan tangan itu, GDB Pasal III, bait 4 menyampaikan pesannya, “Bersungguh-sungguh engkau memelihara tangan, daripada segala berat dan ringan.” Tangan dikaitkan dengan fungsinya bagi manusia untuk mengerjakan sesuatu, sama ada pekerjaan berat atau pekerjaan ringan.

Tangan yang terpelihara atau terjaga adalah tangan yang hanya mau mengerjakan pekerjaan yang baik-baik saja, pekerjaan yang dianjurkan oleh agama, yang sah, halal, lagi baik. Bukan sebaliknya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, haram, dan buruk, yang dapat membawa malapetaka bagi manusia dan kemanusiaannya. Bukan pekerjaan, baik ringan maupun berat, yang meruntuhkan sendi-sendi akidah dan akhlak manusia. Peliharalah tangan untuk meninggikan budi pekerti dan akhlak yang mulia agar manusia betul-betul tampil dengan sisi kemanusiaannya yang terbaik.

Kita dibawa lebih menukik lagi. Apalagi kalau bukan ke bagian perut. GDB Pasal III, bait 5 mengandungi wasiat sekitar perut, “Apabila perut terlalu penuh, keluarlah iil yang tiada senonoh.” Perut di sini dikiaskan kepada fungsinya untuk menyimpan makanan karena ketika makan kita mengisi perut yang kosong sehingga kita tak merasa lapar.

Bait ini secara har iah mengingatkan bahwa manusia makan tak boleh terlalu kenyang. Berhenti makan sebelum terlalu kenyang merupakan perbuatan terpuji. Lebih daripada itu, bait ini hendak menekankan bahwa manusia tak boleh mengutamakan hidup ini hanya untuk makan saja. Kalau orientasi hidup hanya untuk makan, manusia jadi lupa akan tugas dan tanggung jawab utamanya kepada Allah swt. yaitu untuk mengabdi kepada-Nya dengan mengharapkan ridha-Nya. Manusia yang hanya berorientasi makan menjadi orang yang pemalas dan banyak

Page 98: H. Abdul Malik

78 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

tidur sehingga lalai untuk melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Malas merupakan iil, perangai, atau perilaku yang tak senonoh, tak baik.

Ini wilayah yang sangat sensitif dari organ tubuh manusia. Sayangnya, organ ini tak boleh disebut secara terang-terangan kalau kita hendak memelihara lidah, kecuali dalam pelajaran biologi atau ikih. RAH hanya menyebutnya dengan kiasan anggota tengah. Apakah itu? Kita mesti tahu jawabnya karena anggota yang satu ini berperan vital. Apakah kata GDB Pasal III, bait 6 tentang anggota tengah itu? “Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat.”

Jelaslah sudah amanatnya. Manusia harus sekuat-kuatnya mengendalikan nafsu syahwatnya. Pasal apa? Nafsu syahwat yang tak terkendali itulah yang sering menjerumuskan manusia kepada perbuatan dosa, perbuatan yang dilarang oleh agama. Walaupun begitu, orang yang kuat memegang akidah akan mampu mengelola nafsu syahwatnya sehingga kegemilangan dan kemerlangan akhlaknya menjadi terpancarkan. Itulah manusia yang mampu mencapai derajat utama, yang sanggup mewujudkan citra dirinya sebagai manusia, bukan sekadar dan sebarang animal.

Akhirnya, GDB mengajak kita melihat ke bagian tubuh yang paling bawah. Kita bertemu dengan kaki. Pasal III, bait 7 menyerlahkannya, “Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan membawa rugi.” Fungsi utama kaki bagi manusia memang untuk berjalan. Akan tetapi, tak semua tempat boleh dijalani. Berjalan dengan menggunakan kaki atau apa pun alat yang dapat membawa kita berjalan tak boleh ke sebarang tempat. Tempat-tempat maksiat, misalnya, adalah terlarang untuk dikunjungi. Hendaknya, manusia mampu mengendalikan kakinya dari berjalan ke tempat seperti itu.

Kaki pun secara konotatif dikaitkan dengan perjalanan hidup manusia dari alam dunia ke alam akhirat. GDB mengingatkan manusia jangan sampai perjalanan hidup kita di dunia ini disia-siakan. Kalau itu yang terjadi, alangkah ruginya kita sebagai manusia, yang padahal sudah dikaruniai akal budi oleh Allah swt. untuk dapat menimbang baik dan buruk. Dengan berpedoman kepada ajaran agama, niscaya perjalanan manusia di dunia ini akan menjadi bermanfaat, baik dalam kehidupan sementara di dunia ini maupun kehidupan abadi di akhirat kelak.

Dengan memelihara anggota tubuh, dalam arti memfungsikannya sesuai dengan petunjuk Allah swt., niscaya manusia akan mampu mencapai derajat keutamaan, berakhlak mulia. Dengan begitu, barulah seseorang manusia boleh dibilangkan nama. []

Page 99: H. Abdul Malik

79ABDUL MALIK

PUNCANYA pada hati. Jika hendak dibilangkan nama, hati harus dijaga atau dipelihara. Pasal yang keempat Gurindam Dua Belas (GDB) masih mendedahkan

persoalan akhlak. Dalam pasal ini Raja Ali Haji (RAH) memusatkan perhatian pada perkara yang bersangkutan dengan pikiran, sikap, dan perilaku manusia, yang kesemuanya berpusat pada hati. Hati yang dimaksudkan di sini lebih dari sekadar, walaupun pada dasarnya juga mencakupi, organ tubuh di bagian kanan atas rongga perut yang berwarna kemerah-merahan. Pasal yang keempat ini lebih menukik kepada persoalan hati dalam pengertian yang lebih luas yaitu sesuatu yang terdapat di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian, perasaan, dan pelbagai unsur dalaman yang lain.

Awal-awal lagi GDB langsung mengajak kita mengunjungi pusat kerajaan di dalam tubuh yaitu hati. Pasal IV, bait 1 GDB bertutur, “Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun roboh.” Ungkapan kerajaan di dalam tubuh tentulah maksudnya hatilah yang menjadi penentu dari pikiran, sikap, dan perilaku manusia. Kata roboh pun pada baris 2, bait 1 ini berupa kiasan, bukan berarti tumbang, melainkan akan menjadi buruk, tak senonoh, atau sumbang yang menyebabkan manusia kehilangan kemanusiaannya sehingga tak dapat dibilangkan nama.

Segala pikiran, sikap, dan perilaku buruk dan keji: dengki, mengumpat, bahkan memuji yang berlebihan, marah, bohong, dan sebagainya muncul karena hati tak terpelihara. Kesemuanya itu berpunca dari hati yang zalim, yang jahat sejahat-jahatnya. Kalau hati baik, maka akan baiklah semua unsur isik dan jiwa. Sebaliknya, kalau hati busuk, akan rusaklah fungsi kesemua unsur manusia itu. Setiap pribadilah yang menjadi penilai utama tentang pikiran, sikap, dan perilaku masing-masing. Kalau ada yang tak kena atau janggal, berarti ada cemaran yang yang menodai hati. Kita pun boleh merenung apakah penyebabnya sesuatu yang

Kerajaan Hati

Page 100: H. Abdul Malik

80 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

“melukai” isik dan atau batin hati itu. Pesan edukatifnya tentulah manusia wajib menjaga hatinya supaya tetap sehat, bersih, dan suci. Manusia yang hatinya bersih dan suci, dengan berpedoman kepada irman Ilahi, dapat dijamin keterbilangan namanya, di dunia dan lebih-lebih di akhirat.

Hati yang ternoda menimbulkan dengki atau iri terhadap keberuntungan orang lain. Dia sendiri tak mau berbuat, tetapi jika orang lain memperoleh keberhasilan, timbullah irinya yang amat sangat. GDB Pasal IV, bait 2 mengatakan, “Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah.” Dengki yang sudah bertanah atau bertapak di hati manusia akan mendatangkan beberapa anak panah yaitu pelbagai pikiran, sikap, dan atau perilaku buruk. Kesemuanya itu tak hanya berpotensi untuk mencelakai orang lain, tetapi juga terutama dapat berbalik menikam diri sendiri.

Tak ada kebaikan dan kebahagiaan yang didatangkan oleh sikap dengki. Manusia yang dengki tak hanya merusak kebahagiaan orang lain, tetapi lebih-lebih membuat dirinya tak pernah merasa hidup tenteram dan bahagia. Hari-hari dihadapinya bagai hidup di tepi bahang atau di atas bara. Oleh sebab itu, adalah menjadi tugas utama manusia untuk menjaga dirinya jangan sampai terjangkit penyakit dengki.

Penyakit yang bersumber dari hati yang busuk juga menjelma dalam perilaku mengumpat dan memuji. GDB Pasal IV, bait 3 memberi petuah, “Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir.” Mengumpat berarti mengata-ngatai atau memburuk-burukkan orang lain di belakang atau tak berhadapan dengan orang yang menjadi sasaran umpatan. Sebaliknya pula, memuji menyebutkan kebaikan orang, sama ada di depan atau di belakang orang yang bersangkutan. Walau memuji itu sikap dan perilaku yang baik, kalau berlebihan boleh menjadi tak baik juga karena tak sesuai dengan kenyataan. Orang Melayu menyebutnya dengan ungkapan mengampu. Ada niat dan atau maksud jelek dan atau jahat di sebalik perbuatan mengampu.

Jika hendak dibilangkan nama, manusia wajib menghindari perbuatan mengumpat karena perilaku itu tergolong tak terpuji. Sebaliknya, memuji pun harus berpada-pada yakni harus sesuai dengan kenyataan sifat, sikap, dan perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang dipuji. Sebaik-baiknya pikiran, sikap, dan perilaku berkaitan dengan penilaian terhadap orang lain itu ialah berpada-pada. “Berbuat baik berpada-pada, berbuat jahat jangan sekali,” kata orang tua-tua dapat dipakai untuk menegaskan apa yang hendak dikatakan oleh RAH pada bait ini.

Kalau hati zalim, manusia tak dapat mengendalikan nafsu amarah. Padahal, marah itu bukanlah sifat yang terpuji. Dalam hal ini, GDB Pasal IV, bait 4 menegaskan, “Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala.” Kata dibela pada bait

Page 101: H. Abdul Malik

81ABDUL MALIK

ini dibaca dengan e pepet (lemah) seperti kita menyebutkan e pada kata petang. Dengan demikian, jangan dibela berarti jangan dipelihara. Hilang akal di kepala bermakna tak mampu mengendalikan akal atau pikiran.

Sifat marah ternyata berdampak negatif. Marah menyebabkan manusia tak mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Marah dipicu oleh suasana hati yang buruk. Hanya manusia yang berhati bersih dan sucilah yang mampu mengendalikan nafsu amarah. Dengan merawat hati, manusia dapat menghindarkan diri dari sifat pemarah. Dengan demikian, salah satu ciri keutamaan manusia adalah tersemainya sifat sabar pada dirinya, yang ditandai oleh kemampuannya meredam kemarahannya.

Hati yang terpelihara akan menuntun manusia berkata benar. Sebaliknya, kalau orang suka berbohong, itulah bukti bahwa hatinya tercemar virus yang merusakkan akhlak. “Jika sedikit pun berbuat bohong, bolehlah diumpamakan mulutnya pekung,” demikian pesan GDB Pasal IV, bait 5. Betapa berbahayanya perilaku berbohong itu, jangankan banyak, sedikit saja dilakukan sudah sama dengan pekung. Pekung adalah penyakit kulit sejenis kudis yang besar, berlubang, bernanah, dan menimbulkan bau yang sangat busuk. Dapat dibayangkan betapa menjijikkan penyakit pekung itu, apatah lagi kalau mulut—karena berbohong—disamakan dengan pekung.

Perbandingan perbuatan berbohong dengan penyakit yang sangat memalukan itu—pekung—menunjukkan RAH memandang perilaku berbohong merupakan penyakit batin yang sangat berbahaya dan memalukan. Betapa tidak? Banyak angkara murka terjadi di dunia ini, dari yang berskala kecil sampai yang terbesar, bersumber dari kebohongan. Harta boleh tergadai karena kebohongan; nyawa manusia dapat melayang karena kebohongan; marwah bangsa bisa luntur karena kebohongan; bangsa yang besar boleh terjajah karena kebohongan; dan pelbagai bentuk degradasi kemanusiaan dan tamadun atau peradabannya justeru bersumber dari kebohongan. Jika hendak dibilangkan nama, jangan sekali-kali dan sedikit pun pernah berkata bohong.

Jagalah hati. Kalau hendak dibilangkan nama, hati harus tetap bersih dan suci. Jika tidak, celakalah diri. Pasal apa? Manusia yang hatinya tak terbela cenderung lupa diri. GDB Pasal IV, bait 6 menebarkan aromanya, “Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka.”

Begitulah memang padah yang akan menimpa. Manusia akan senantiasa ditimpa dan dibelenggu kesulitan dan kemalangan (celaka) dalam hidupnya. Jikalau apa? Jikalau dia tak menyadari kekurangan dan keburukan diri sendiri. Baginya, yang buruk, jahat, bejat, tak senonoh selalu ada dan menjadi pakaian hidup orang lain. Perihal dirinya pula selamanya ada dalam keadaan bersih, murni, dan suci dalam pandangannya. Semut di seberang lautan dia nampak, sedangkan gajah di

Page 102: H. Abdul Malik

82 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

depan matanya tak kuasa dia melihatnya. Dia terpasung dalam jerat kebanggaan diri bahwa hanya dialah orang yang mulia, sedangkan orang lain semuanya nista. Padahal, kata RAH, dengan bekal pikiran, sikap, dan perilaku atau perangai seperti itu; jangankan hendak dibilangkan nama, justeru dialah manusia yang paling merugi karena dia memberikan predikat sebagai orang yang amat celaka kepada dirinya sendiri.

Hati pun harus dijaga supaya tak terjangkit penyakit bakhil. Apakah bakhil itu? Bakhil adalah sifat dan perilaku kikir, lokek, pelit, dan atau kedekut. GDB Pasal IV, bait 7 bertutur tentang penyakit hati ini, “Bakhil jangan diberi singgah, itulah perompak yang amat gagah.”

Itu dia. RAH membuat analogi bakhil dengan perompak yang amat gagah. Apakah perompak? Perompak tak lain tak bukan pencuri atau penjenayah (penjahat) di laut. Bukan perompak sebarang perompak, melainkan perompak yang amat gagah. Jangan senang dulu dengan bergurau atau bercanda, “Biarlah perompak asal dia yang amat gagah.” Bukan, bukan yang amat gagah berarti yang sangat tampan atau amat elok bentuk tubuhnya. Bukan itu. Yang amat gagah yang dimaksudkan RAH adalah yang amat kejam, sangat jahat, tak berperikemanusiaan. Dengan demikian, bakhil sama dengan penjahat kelas kakap yang amat kejam, tak mengenal perikemanusiaan.

GDB Pasal IV, bait 7 ini jelas menyiratkan amanat bahwa seberapa banyak pun harta yang berhasil kita kumpulkan ada bagian orang lain di dalamnya. Oleh sebab itu, bagian orang lain itu, fakir miskin misalnya, harus dikembalikan kepada yang berhak. Sangat tak patut kita menahannya untuk diri kita sendiri. Jadi, hati seyogianya senantiasa disinari dengan cahaya infak dan sedekah supaya terus-menerus bercahaya cemerlang bagi kehidupan dan kemanusiaan.

Manusia tak selama kecil, tiba waktu dan ketikanya besarlah dia. Secara har iah, besar berarti dari kanak-kanak menjadi orang dewasa. Lebih daripada itu, besar bisa bermakna dari tak berkuasa menjadi berkuasa, dari berpangkat rendah menjadi berpangkat tinggi, dari tak berjabatan menjadi berjabatan penting, dan sebagainya. Apa pun kelindannya besar itu, inilah kata GDB Pasal IV, bait 8, “Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar.”

Sama ada besar secara har iah atau besar dalam makna kiasnya, orang yang menyandang predikat itu tak patutlah berlaku kasar. Siapa pun yang berperangai kasar, seyogianya sadarlah akan kekerdilan dirinya. Itulah penyakit hati yang harus diobati. Orang yang sudah besar semestinya berhalus budi, berendah hati, berelok pekerti.

Sungguh manusia akan tekor kalau hatinya masih kotor. Betapa tidak? Hati yang kotor ternyata menjelmakan perkataan kotor. Padahal, GDB Pasal IV, bait 9

Page 103: H. Abdul Malik

83ABDUL MALIK

telah melapor, “Barang siapa perkataannya kotor, mulutnya itu umpama ketor.”

Mulut yang menghasilkan perkataan kotor ternyata diumpakan oleh RAH bagaikan ketor. Apakah ketor itu? Ketor adalah tempat atau wadah yang terbuat dari kuningan, tembaga, dan sebagainya yang digunakan orang untuk membuang air ludah. Dapat dibayangkan betapakah berbau tak sedapnya ketor itu. Seperti itulah keadaan mulut orang yang mengeluarkan perkataan kotor. Secara lahiriah, barangkali bau tak sedap itu dapat diredakan dengan pelbagai pengharum mulut dan napas, tetapi secara batiniah aroma yang dapat membuat orang muntah itu akan menjalar ke mana-mana sampai mematikan kemanusiaan seorang manusia, terutama pemelihara perangai berkata kotor itu. Jangankan hendak dibilangkan nama, kemanusiaan orang yang membiasakan diri dengan perangai tak terpuji itu pun patutlah diragukan. Dengan mengharamkan diri dari berkata kotor, sangat mungkin manusia menjadi tersohor.

Manusia memang makhluk yang cenderung alpa. Kealpaan utamanya, antara lain, tak menyadari kesalahan diri sendiri. Untunglah, kita dikelilingi oleh orang lain: istri, suami, ayah, ibu, anak-anak, kerabat, sahabat, dan sebagainya. Orang-orang tercinta di sekeliling kita itu mungkin dapat mengingatkan, menegur, mengoreksi, dan mengeritik kita karena kesalahan yang kita perbuat. Kesemuanya itu harus disyukuri karena dapat menyadarkan kita tentang kealpaan kita. Apakah kata GDB Pasal IV tentang hal ini?

Bait 10 menyinggung soal ini, “Di manakah salah diri, jika tidak orang lain berperi.” Memang, dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang kita peroleh dalam kehidupan ini, seyogianya kita sendirilah yang menyadari kesalahan yang pernah kita lakukan. Konsekuensi dari kesadaran itu, kita tak lagi melakukan kesalahan tersebut. Akan tetapi, karena pelbagai keterbatasan yang ada pada kita, jarang pulalah kita menginsya i pelbagai kesalahan yang pernah kita lakukan. Oleh sebab itu, kita semestinya memberikan laluan kepada orang lain untuk mengingatkan dan mengeritik kita untuk dan berdasarkan niat kebaikan.

Orang lainlah yang berperi. Orang lainlah yang mengatakan karena mereka sedikit-banyaknya tahu dan atau bukan tak mungkin menanggung akibat dari kesalahan yang kita lakukan. Terbuka terhadap kritik yang membangun yang disampaikan oleh orang lain merupakan ciri orang yang boleh dibilangkan nama. Pikiran, sikap, dan perilaku terbuka itu pun menunjukkan kualitas seorang yang hatinya terjaga dengan baik.

Hati yang dibela akan menjauhkan manusia dari pikiran, sifat, sikap, dan perilaku takabur. RAH mengingatkan kita agar menjaga hati supaya tak terjangkit kuman penyakit takabur pada GDB Pasal IV, bait 11 yang sekaligus penutup pasal ini, “Pekerjaan takabur jangan direpih, sebelum mati didapat juga sepih.”

Page 104: H. Abdul Malik

84 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Takabur janganlah direpih, didekati, dibuat, atau dikerjakan. Memanglah takabur yang semakna dengan angkuh dan sombong itu merupakan penyakit hati yang tak menguntungkan penderitanya. Mungkin di depan kita orang “membenarkan” kesombongan kita karena orang tersebut segan atau lebih-lebih takut. Akan tetapi, di belakang kita pastilah dia tak berkenan akan sifat, sikap, dan perangai kita itu. Pasalnya, takabur, angkuh, atau sombong bukanlah pakaian manusia yang baik.

RAH dengan bijaksana mengingatkan kita bahwa sepih atau akibat dari ketakaburan, keangkuhan, dan kesombongan itu akan dialami oleh manusia sebelum kita mati lagi. Nah, kalau di dunia sudah demikian, di akhirat apa lagi? Pasal apa? Perangai buruk itu akan menghela kita untuk dijauhi orang, tak disukai orang. Hanya orang-orang yang tak atau kurang waras saja barangkali yang menyukai orang yang takabur, bahkan mungkin juga tidak. Oleh sebab itu, tak perlulah berlaku takabur. Lagi pula, apakah yang dapat kita sombongkan dan angkuhkan di dunia ini. Bukankah kesemua yang kita miliki di dunia ini hanyalah pinjaman sementara dari Allah? []

Page 105: H. Abdul Malik

85ABDUL MALIK

KALAU hati diibaratkan kerajaan, maka budi menjadi tahtanya dan bahasa menjadi mahkotanya. Hati yang terpelihara akan memancarkan budi yang

patut dikenang untuk selanjutnya melahirkan bahasa yang menawan. Sebatian hati, budi, dan bahasa yang terbela membuat jasad—siapa pun yang empunya—rela tertawan tanpa perlawanan. Itulah keperkasaan orang perseorangan, yang semestinya dipupuk dan dibina di dalam diri supaya dapat tampil sebagai sosok seorang bangsawan. Itulah kekuatan magis sebuah bangsa, yang seyogianya diolah sedemikian rupa untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan. Itulah yang sesungguhnya bagi kita menjadi “pakaian” yang paling padu, patut, dan padan—yang kalau ada kenyakinan yang kuat untuk membelanya—dapat menjadi pakaian yang pokta (terelok dan terindah) sehingga menjadi bangsa yang terala (paling mulia).

Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kelima menghadiahi kita dengan kepoktaan dan keteralaan budi bahasa. Pasal yang masih bertutur tentang akhlak dan disepadusepadankan dengan muamalah ini pada bait 1 langsung menyirami sukma, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa.”

Bangsa yang dimaksudkan RAH di sini taklah semata-mata sebatian orang-orang seasal keturunan, seadat-sebudaya, dan sepengalaman sejarah. Jelaslah bangsa itu juga mencakupi konsep keturunan atau kedudukan yang mulia. Perihal budi pula jelaslah tiada lain dari unsur batiniah yang berupa sebatian akal dan nurani untuk menjelmakan pikiran, perasaan, sikap, sifat, dan perilaku yang baik. Dari situlah teserlahnya bahasa yang memesona, yang tak hanya bernas kandungan isinya, elok cara penuturannya, tetapi juga indah budi bicaranya. Dalam bahasa yang populer, RAH hendak mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang memelihara budi bahasanya. Lebih dari itu, suatu bangsa akan mampu menjadi besar dan mulia jika bangsa itu menjadikan budi bahasa warisan terala

Bertahta Budi Bermahkota Bahasa

Page 106: H. Abdul Malik

86 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

(luhur)-nya sebagai kekuatan jati diri bangsanya. Nah, jika hendak dibilangkan nama, peliharalah budi bahasa.

Apakah kunci kebahagiaan? GDB Pasal V, bait 2 memberikan pedoman, “Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia.” Untuk memahami bait ini, tentulah kita tak boleh bersandar pada ungkapan yang har iahnya. Pasal apa?

Jika kandungan har iahnya yang diikuti, tentulah seolah-olah orang akan berbahagia jika dia melakukan kerja (memelihara) yang sia-sia yaitu sesuatu yang tak berguna, tak bermanfaat. Jelaslah yang dimaksudkan oleh bait ini justeru sebaliknya, orang akan berbahagia jika dia memelihara dirinya dari berbuat yang sia-sia atau melakukan pekerjaan yang tak bermanfaat. Dengan perkataan lain, jika kita ingin berbahagia, janganlah lakukan pekerjaan yang tak berfaedah.

Perilaku yang ditunjukkan membuat orang lain dapat menilai derajat seseorang. Itu berarti, bukan pangkat, jabatan, harta, atau hal-hal yang berkaitan dengan unsur material yang lain yang menentukan derajat manusia. GDB Pasal V, bait 3 menegaskan, “Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia.”

Kelakuanlah yang menentukan kemuliaan seseorang, suatu puak, suatu kaum, suatu kelompok, bahkan suatu bangsa. Perbuatan, perangai, atau tingkah laku itulah yang menjadi indikator mulia atau hinanya manusia. Hidup berpunya, tetapi perangai bakhil, misalnya, tak mencerminkan kemuliaan. Pangkat tinggi dan jabatan bagus, tetapi tak mau membedakan yang halal dan yang haram, umpamanya, bukan contoh yang representatif bagi orang mulia. Paras elok dan potongan ada, tetapi perilaku kasar membuat gusar, contohnya, tak perlu dijadikan pujaan atau idaman karena tak mencerminkan kelas kemuliaan. Orang yang berkelakuan baiklah yang memperoleh anugerah manusia mulia. Kebiasaan memelihara kelakuan yang baik menjadi tanda bagi kemuliaan diri manusia.

Gelar akademikkah yang menjadi penentu bahwa pemiliknya orang berilmu? Ternyata, bukan. Pasal? Gelar akademik boleh didapatkan dengan pelbagai cara, sama ada sah ataupun haram. Secara sah, berarti pemiliknya memang tamat dari menuntut ilmu sehingga dia berhak atas gelar itu. Sebaliknya secara haram, sekolah tidak, belajar apalagi, tiba-tiba sederetan gelar akademik berjejer di depan dan di belakang namanya. Salangkan orang yang memang belajar belum tentu berilmu, yang tak belajar apatah lagi?

Pedoman untuk itu diberikan oleh GDB Pasal V, bait 4, “Jika hendak mengenal orang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu.” Rupanya, tanda orang berilmu itu ialah sepanjang hidupnya dia terus dan terus bertanya tentang fenomena kehidupan ini. Selebihnya, dia pun terus tanpa henti belajar sepanjang hayat. Orang yang berilmu, begitu kira-kira yang ditegaskan RAH, adalah orang yang mencintai

Page 107: H. Abdul Malik

87ABDUL MALIK

ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Dia mendasarkan pikiran, perkataan, dan perbuatannya dari ilmu yang dimilikinya.

“Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal.” Inilah GDB Pasal V, bait 5. Melalui bait ini jelaslah RAH hendak perpesan bahwa dunia bukanlah tempat terakhir bagi makhluk Allah. Manusia dan segala makhluk ciptaan Tuhan sedang berjalan atau berlayar menuju alam yang menjadi tujuan sesungguhnya, sedangkan dunia hanyalah tempat persinggahan sementara sahaja.

Dalam perjalanan menuju alam yang kekal itu manusia seyogianya memiliki bekal. Bekal itu harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya di dunia ini untuk kehidupan yang abadi kelak. Itulah gunanya dunia ini, terutama bagi manusia: sebagai tempat mengambil bekal. Untuk itu, diperlukan kecerdasan dengan menggunakan akal. Tentulah tak sebarang kecerdasan dapat digunakan, tetapi kecerdasan religius (ketuhanan) yang mampu memancarkan cahaya keyakinan yang bertimbal keimanan bahwa memang ada kehidupan setelah alam dunia. Manusia yang berusaha mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya itulah yang nyata-nyata memanfaatkan dengan baik akal yang dianugerahkan kepadanya. Bekal yang dimaksudkan tentulah amal salih sesuai dengan tuntunan agama. Menggunakan akal secara benar dan baik taklah memadai hanya dengan melaksanakan kebajikan, tetapi juga harus menunaikan kewajiban dengan penuh ketaatan hanya mengharapkan rida Allah.

Di manakah kita mengetahui bahwa seseorang berperilaku baik? Atau, bagaimanakah caranya kita mengetahui seseorang berkelakuan baik? GDB Pasal V, bait 6 (terakhir) menunjukkan caranya, “Jika hendak mengenal orang baik perangai, lihatlah ketika bercampur dengan orang ramai.”

Di situlah rupanya tempatnya. Baik-buruk perilaku, tabiat, atau perangai manusia dapat diketahui ketika dia bergaul di dalam masyarakat (bercampur dengan orang ramai). Orang yang baik perangai senantiasa bersikap santun, menghindari perbuatan tercela, dan selalu berusaha menjadi orang yang bermanfaat di lingkungan masyarakat tempat dia berada. Alangkah ruginya diri jika hidup tak berbudi sehingga banyak orang yang membenci. Jadi, jika hendak dibilangkan nama, baikkanlah perangai sehingga disukai oleh orang ramai.[]

Page 108: H. Abdul Malik

88 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

JIKA hendak dibilangkan nama, manusia harus pandai mencari pendamping bagi dirinya. Dengan begitulah setiap manusia dapat selamat dalam menjalani

kehidupan di dunia ini. Tema utama inilah yang diangkat oleh Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Keenam. Pasal ini masih berbicara tentang persoalan akhlak dan muamalah.

“Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat.” GDB Pasal VI dimulai (bait 1) dengan persoalan mencari sahabat. Sahabat, teman, atau kawan mudah didapat, terutama ketika kita berada dalam keadaan senang, suka, dan gembira. Akan tetapi, dalam keadaan sebaliknya, ketika kita ditimpa sengsara, derita, lara, dan sejenisnya tak banyak orang yang bersedia mendampingi.

Kualitas utama seseorang yang dapat dijadikan sahabat adalah dia dapat menjadi obat. Artinya apa? Sahabat sejati adalah orang yang tak hanya bersedia mendampingi kita di kala suka, tetapi dia juga rela bersama kita tatkala duka. Bahkan, dia mampu membawa kita lepas dari belenggu kesengsaraan, penderitaan, dan kedukaan. Dalam hal yang disebutkan terakhir itulah, dia berperan sebagai obat. Jelaslah bait 1 ini menuntun kita pada dua hal yang bertimbal balik dalam bersahabat: pertama, kita harus teliti dalam memilih orang untuk dijadikan sahabat dan kedua, jika hendak menjadi sahabat yang baik, kita harus siap dan rela untuk sama-sama senang dan sama-sama susah dengan orang yang menjadi sahabat kita. Itulah kualitas orang bersahabat yang boleh dibilangkan nama.

Manusia lahir hanya membawa potensi yang dianugerahkan Allah swt. Kesemua yang bersifat potensial itu harus dikembangkan. Untuk mengembangkan potensi itu, diperlukan guru. Dengan demikian, siapa pun yang mampu mengajar, melatih, dan mendidik kita untuk mengembangkan potensi yang kita miliki dapatlah disebut dengan istilah umum guru. Persoalannya adalah guru dengan kualitas bagaimanakah yang kita perlukan?

Sahabat yang Baik Budi

Page 109: H. Abdul Malik

89ABDUL MALIK

GDB Pasal VI, bait 2 mengarahkan, “Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru.” Seteru adalah musuh. Seteru atau musuh itu ada yang bersifat internal dan ada pula yang bersifat eksternal. Seteru internal adalah diri kita sendiri yaitu segala potensi jelek yang kita miliki: sombong, kikir, dusta, dengki, khianat, marah, kasar, bengis, takabur, dan pelbagai potensi sifat dan perangai negatif lainnya. Seteru eksternal dapat dibedakan atas dua macam pula. Pertama, seteru yang nampak yaitu manusia di luar diri kita, yang dapat terdiri atas orang-orang yang berhubungan dekat dan jauh dengan kita, baik secara genetis maupun secara sosial. Kedua, seteru yang tak nampak tetapi nyata yaitu setan dan iblis.

Guru yang baik adalah pendidik yang mampu mengajar dan mendidik orang sedemikian rupa sehingga orang yang dididiknya sanggup membedakan kawan dengan seteru atau musuh. Kawan harus ditemani, tetapi musuh wajib dijauhi. Ketelitian manusia mencari guru sehingga dia mampu mengetahui seteru dan kemampuan guru yang dapat mengajarkan orang untuk membedakan kawan dengan seteru menunjukkan mutu manusia yang dapat dibilangkan nama.

“Cahari olehmu akan istri,” hanya hati-hati bukan sebarang istri, tetapi, “yang boleh dimenyerahkan diri.” Demikian amanat GDB Pasal VI, bait 3. Yang boleh dimenyerahkan diri? Konstruksi kata dimenyerahkan itu sangat tak lazim dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia karena awalan di- (pasif) dipadukan dalam satu kata dengan awalan me- (aktif). Akan tetapi, RAH membentuknya dengan maksud tertentu. Dalam hal ini, maksudnya suamilah yang menyerahkan diri kepada istri, bukan sebaliknya. Akan tetapi, bukan dalam pengertian har iah tempat suami sekadar merebahkan dirinya.

Istri dengan kualitas yang bagaimanakah yang boleh menjadi tempat suami menyerahkan diri? Dia adalah perempuan dengan kualitas memahami dan mengamalkan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sebagai istri sehingga bersama suaminya yang berkualitas sama mampu menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah atau kehidupan berumah tangga yang senantiasa mengikuti petunjuk dan memperoleh inayah Allah.

Hanya dari istri yang berkualitas seperti itulah akan tercipta rumah tangga yang bahagia. Hanya dari istri dengan kualitas seperti itulah rumah akan menjadi surga bagi suaminya, dirinya sendiri (istri), dan anak-anaknya. Hanya istri dengan kualitas seperti itu pulalah yang dapat dibilangkan nama sebagai istri yang sebenar-benar istri.

Siapakah lagi pendamping manusia yang sangat penting dalam kehidupan ini? Siapa lagi kalau bukan kawan. Dalam bahasa kita, kawan dan lawan hanya berbeda bunyi awal saja secara lisan dan secara tertulis hanya berbeda huruf awal

Page 110: H. Abdul Malik

90 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

(k dan l). Walaupun begitu, dampak perbedaannya sangat besar. Yang pertama (kawan) dapat membuat hidup kita menawan, sedangkan yang kedua (lawan) dapat menjadikan kita tawanan.

Berdasarkan kenyataan itu, tak heranlah RAH melalui GDB Pasal VI, bait 4 merasa perlu memberikan sumbangan dalam hal ini. Inilah sumbangan yang dimaksudkan itu, “Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan.” Kawan, menurut RAH, mestinya orang yang setiawan yaitu orang yang memiliki sifat setia.

Orang yang setiawan dalam berkawan akan setia kawan. Dia memiliki perasaan bersatu dengan kawannya, dia memiliki pandangan hidup yang sama, dia pun tak rela kawannya tersesat ke arah yang berlawanan dalam perjalanan hidupnya. Orang yang setiawan dalam berkawan akan menunjukkan sifat yang budiman yaitu senantiasa menunjukkan kebaikan budinya dalam berteman. Manusia yang sanggup memilih kawan yang setiawan dan orang yang mampu menjadi setiawan dalam berkawan dapat diperhitungkan sebagai orang yang dapat dibilangkan nama.

Tak jarang dalam kehidupan ini, untuk pelbagai keperluan tertentu, manusia memerlukan orang-orang yang membantunya. Suatu ketika dahulu, sesuai dengan zamannya, para pembantu (tak harus hanya berarti pembantu rumah tangga, tetapi lebih luas dari itu) disebut abdi. Dalam konteks kekinian konsepnya dapat dikenakan kepada sesiapa pun yang menyediakan jasanya untuk membantu orang lain.

GDB Pasal VI ditutup dengan tuntunan untuk mencari “para pembantu” ini. Bait 5 mendedahkan, “Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi.”

Tak semua orang rupanya dapat dijadikan pembantu, penolong, atau pengikut. Standar yang diamanahkan oleh RAH mengarah pada kualitas budi. Orang yang memiliki budi yang baiklah yang dapat dijadikan pembantu atau penolong—atau dalam bahasa dan konteks klasik: abdi—yang baik. Dengan demikian, dia memiliki pikiran (akal, minda), perasaan (hati nurani), dan perilaku terpuji. Para pembantu dengan kualitas seperti itu tak akan pernah menjerumuskan atasan atau majikannya ke lembah kehinaan.

Dengan ketinggian dan kehalusan budinya, dia mampu memelihara kehormatan atasan atau majikannya. Pekerjaan pembantuan yang dikhidmatkannya tak membekaskan cacat-cela sedikit jua pun. Khidmat baktinya didedikasikan semata-mata berdasarkan ketulusan dan keikhlasan yang berpilarkan tiang seri budi yang kokoh lagi tinggi. Pada gilirannya, minda, nurani, dan tingkah lakunya yang terpuji telah menempatkan dirinya di atas singgasana keutamaan manusia yang sadu perdana (kemuliaan yang utama). Pada akhirnya, budi jualah yang menjadi indikator utama kualitas manusia. Dan, itulah manusia yang boleh dibilangkan nama. []

Page 111: H. Abdul Malik

91ABDUL MALIK

SESAT berarti salah jalan, menyimpang dari jalan yang benar, dan atau tak melalui jalan yang benar. Muatan maknanya dapat dikenakan pada pikiran

(yang bersumber dari akal/minda), perasaan dengan segala sifat turunannya (yang bersumber dari hati nurani), dan perilaku dengan semua tindakan turunannya. Pikiran hendak menganiaya orang yang dianggap saingan, misalnya, adalah pikiran sesat. Rasa benci dan dendam kesumat kepada orang lain adalah perasaan sesat. Perbuatan mem itnah orang sehingga orang yang menjadi sasarannya mengalami penderitaan, umpamanya, tak lain dari perilaku sesat.

Sebab sifatnya buruk dan konotasinya negatif, tak seorang manusia pun berkeinginan terbawa ke wilayah yang salah ini. Akan tetapi, manusia tetaplah manusia. Tak jarang terjadi, karena pelbagai sebab dan alasan, kesesatan dapat juga menyertai perjalanan hidupnya, disadari atau tidak. Kecuali, pada orang-orang yang memiliki siasat atau sifat teliti dan saksama dalam menghadapi pelbagai fenomena kehidupan, kesesatan tak mampu menghampiri dirinya.

Siasat apakah yang harus digunakan agar kita terhindar dari kesesatan? Raja Ali Haji (RAH) berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kita dalam kaitannya dengan perkara ini melalui Gurindam Dua Belas (GDB) Pasal yang Ketujuh. Ada sebelas bait persoalan mustahak tentang akhlak dan muamalah yang mendedahkan siasat menghindari sesat didedahkan pada pasal ini.

Inilah siasat pertama, “Apabila banyak berkata-kata, di situ jalan masuk dusta.” Siasat menghindari dusta ini terhimpun dalam GDB Pasal VII, bait 1. Nampaknya, RAH sengaja menempatkannya sebagai pembuka kalam GDB Pasal VII karena kedustaan atau kebohonganlah yang menjadi pangkal bala atau punca kesesatan yang menimpa umat manusia. Contohnya berserak di sekeliling kita, dari lingkungan kota dunia yang paling metropolitan sampai ke dusun kampung yang amat selekeh.

Siasat Tak Hendak Sesat

Page 112: H. Abdul Malik

92 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Berkata-kata tentang sesuatu yang jelas faktanya tentulah perlu asal dipenuhi syarat santunnya. Dengan begitu, kebenaran akan mengemuka sehingga diketahui khalayak. Bahkan, dari perkataan yang benar yang dikomunikasi secara bijaklah niscaya terhimpun masyarakat yang bersepadu untuk mengembangkan tamadun. Akan tetapi, berkata-kata dengan memanipulasi bahasa sedemikian rupa tanpa menghiraukan nilai kebenaran, di situlah jalan masuk dusta, kebohongan, yang tak hanya menyesatkan diri sendiri (orang yang berkata-kata itu), tetapi juga berpotensi menyesatkan orang lain apabila orang yang menjadi sasarannya kurang periksa, kurang teliti, atau kurang siasat ketika mendengarkan atau membaca perkataan si pelaku. Bahkan, kebohongan dapat mencelakakan orang lain, menjejas marwah bangsa, sampai kepada yang paling dahsyat melenyapkan tamadun. Berkata benar dengan siasat yang benar merupakan mutu orang yang dapat dibilangkan nama.

Agaknya tak sesiapa pun yang hendak berduka. Oleh sebab itu, manusia senantiasa berusaha agar tak dirundung duka. GDB Pasal VII, bait 2 mengusulkan siasatnya, “Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itu tanda hampirkan duka.”

Seperti halnya berkata-kata, adalah hak manusia untuk bersuka-ria, bersenang-senang. Walaupun begitu, bersuka-sukaan pun haruslah berpada-pada, tak boleh berlebihan-lebihan. Pasal apa? Orang yang berlebih-lebihan suka cenderung tak siap menghadapi duka. Padahal, dalam perjalanan hidup manusia, suka dan duka boleh datang silih berganti. Suka atau tak suka, siapa pun harus siap menghadapinya. Jika suka dirasakan berlebihan-lebihan, maka duka sekecil kerikil pun akan dihayati sebagai musibah yang akan menghancurkan dunia. Berpada-pada dalam menghadapi suka merupakan siasat orang yang boleh dibilangkan nama.

Inilah pula siasat ketiga, “Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat.” Apa pun pekerjaan yang kita lakukan hendaklah dilaksanakan dengan teliti dan saksama. Perlu strategi dan taktik yang tepat dan benar untuk mencapai kejayaan. Itulah pesan yang terkandung dalam GDB Pasal VII, bait 3 ini.

Sifat kurang teliti, tak saksama, dan tanpa strategi yang tepat lagi benar akan menjerumuskan kita pada kesalahan yang berakibat buruk. Berpikir dengan siasat, berasa dengan siasat, dan bertindak sebagai perwujudan pikir dan rasa pun harus dengan siasat. Jika yang terjadi “lain yang diniatkan, lain yang dikatakan, dan lain pula yang dikerjakan”; di situlah sarang kesesatan yang amat nyata. Manusia seyogianya mampu menghindari sesat dengan siasat. Dan, itulah mutu manusia yang boleh dibilangkan nama.

Setiap lahir seorang anak manusia, dia telah dianugerahkan oleh Allah swt. dengan semua potensi yang diperlukannya untuk hidup di dunia. Potensi itu harus dikembangkan dengan bantuan orang-orang di sekelilingnya. Tentulah tugas pengembangan potensi anak-anak itu menjadi kewajiban utama ibu-bapanya.

Page 113: H. Abdul Malik

93ABDUL MALIK

GDB Pasal VII, bait 3 mengusulkan siasat untuk itu, “Apabila anak tiada dilatih, jika besar bapanya letih.”

Anak-anak yang tak mendapatkan pendidikan, di dalamnya termasuk pelatihan, secara baik sejak usia dini menyebabkan potensi yang dimilikinya tak berkembang. Si anak akan kehilangan arah dalam menjalani kehidupan. Dalam keadaan seperti itu, si anak mudah terbelok ke arah yang sesat, salah jalan. Akibatnya, si anak akan menjadi masalah, bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, masyarakatnya, bahkan bangsanya. Sebagai anugerah Allah, anak-anak harus memperoleh pendidikan yang baik sejak kecil. Dan, memiliki siasat mendidik anak dengan baik sejak anak berusia dini merupakan mutu ibu-bapa atau orang tua yang boleh dibilangkan nama.

Ini adalah siasat yang kelima, “Apabila banyak mencacat orang, itulah tanda dirinya kurang.” Mencacat orang? Artinya, kesemua perasaan orang lain, pikiran orang lain, sifat orang lain, sikap orang lain, pekerjaan orang lain, dan sebagainya tak pernah betul bagi dirinya. Lalu, yang betul siapa? Hanya dirinya sendiri. Dialah yang paling betul, paling baik, paling mulia, paling pandai, paling jujur, dan segala sifat yang baik harus terpulang kepada dirinya, tak boleh kepada orang lain. Jatah orang lain hanyalah tak baik, tak betul, tak senonoh, dan segala sifat turunan yang berkonotasi negatif. Itulah perilaku yang dikenal sebagai mencacat orang.

RAH dengan tegas menyebutkan bahwa perilaku mencacat orang menunjukkan ciri diri pelakunya yang kurang. Kurang dalam hal apa? Sekurang-kurangnya, kurang dalam hal yang dituduhkannya kepada orang lain. Kalau orang lain dituduh tak jujur, misalnya, boleh jadi si pencacat merupakan sarang utama ketakjujuran. Bahkan, kurangnya boleh melebar sampai kepada seluruh kearifan yang seyogianya dimiliki manusia.

Sebetulnya apa betul yang hendak kita banggakan di dunia ini? Kita hanya diberi pinjaman ilmu yang sedikit, hanya seujung kuku saja. Satu kebenaran yang kita ajukan untuk suatu perkara, masih tersedia kebenaran lain tentang perkara yang sama dalam jumlah yang tak terbatas sampai ke langit yang ketujuh. Yang kita perlukan sebetulnya hanyalah niat baik, yang untuk selanjutnya dikatakan (dikomunikasikan) dan dikerjakan dengan baik pula.

Jelaslah, kita memerlukan siasat untuk menghindarkan diri dari kerja mencacat orang supaya tak terbelok ke arah yang sesat. Dan, itu tak dapat tiada adalah kemerlangan mutu manusia yang boleh dibilangkan nama.

Malas lawannya rajin. Malas bernilai negatif, sedangkan rajin positif. Tak ada manusia yang suka dilekati sifat malas, tetapi tetap saja ada pemalas di dunia ini, tak kira suku, ras, agama, jenis kelamin, dan atau bangsa walaupun selalu saja orang yang mengidap penyakit itu menyangkalnya. Satu di antara tanda orang pemalas adalah dia sangat rajin tidur, banyak tidur daripada jaga.

Page 114: H. Abdul Malik

94 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

GDB Pasal VII, bait 6 bertutur tentang orang yang banyak tidur. Inilah nasehat RAH tentang hal itu, “Apabila orang banyak tidur, sia-sia sajalah umur.” Begitulah, orang yang banyak tidur menyia-nyiakan karunia umur yang diberikan Allah kepadanya. Pasal apa?

Tidur memang perlu untuk menjaga kesehatan. Akan tetapi, tidur yang berlebihan sepanjang dan setiap hari menghambat manusia untuk beraktivitas: belajar, bekerja, bermasyarakat, dan beribadah. Bukankah di dunia ini manusia seyogianya mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya sedaya mungkin untuk dibawa ke kampung yang indah lagi abadi di akhirat kelak? Belajar, bekerja, bermasyarakat, dan beribadah merupakan peluang manusia untuk mengambil bekal itu, bahkan juga untuk keperluan hidup di dunia yang fana ini. Manusia yang memahami tuntunan agama, malah, mampu menjadikan kegiatan belajar, bekerja, dan bermasyarakat bernilai ibadah, yang dapat menggandakan keuntungannya karena baik untuk dunia dan bermanfaat untuk akhirat. Memanfaatkan umur sebaik mungkin menjadi ciri manusia yang boleh dibilangkan nama.

Setiap hari dalam kehidupan ini kita biasa menerima kabar, sama ada lisan ataupun tulisan. Di samping yang jelas, banyak juga kabar itu yang kabur. Inilah siasat mendengar dan atau membaca kabar, yang tersurat dalam GDB Pasal VII, bait 7, “Apabila mendengar akan khabar, menerimanya itu hendaklah sabar.”

Jelas atau kabur, suka atau duka, dan itnah atau fakta isi kabar yang diterima, RAH menganjurkan kita agar bersabar dalam menanggapinya. Kesemuanya perlu disiasati atau diteliti: sumbernya, isinya, tujuannya, alasan yang melatarinya, dan sebagainya. Sabar dalam menerima kabar merupakan ciri manusia yang boleh dibilangkan nama.

“Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan.” Itulah siasat mendengarkan aduan yang dianjurkan GDB Pasal VII, bait 8. Membicarakannya itu hendaklah cemburuan? Iya, maksudnya siapa pun yang menerima aduan dari siapa pun tak boleh tergopoh-gopoh atau terburu-buru dalam membuat putusan yang bersabit dengan aduan itu. Dengan kata lain, perlu siasat dalam menerima aduan supaya kita tak terlencong ke jalan yang salah, cara yang sesat.

Inilah pasalnya. Ada aduan yang berasal dari hawa nafsu si pengadu. Ada pula aduan yang bersumber dari bisikan halus iblis kepada si pengadu, yang pada gilirannya diteruskan oleh si pengadu kepada pihak yang menerima aduan itu, atasan misalnya kalau di kantor. Tujuan aduan itu tak lain untuk mencelakakan orang yang diadu. Aduan jenis ini banyak dijumpai dalam persaingan bisnis, persaingan politik, perebutan jabatan dan kekuasaan, dan sebagainya yang bersifat tak sehat, tak adil. Jika pembuat kebijakan dan atau pengambil putusan kurang siasat sehingga membuat putusan yang salah tentang aduan itu, orang

Page 115: H. Abdul Malik

95ABDUL MALIK

yang menjadi sasarannya akan mendapat celaka. Padahal, ada maksud jahat di sebalik aduan itu.

Di samping itu, ada pula aduan yang memang berdasarkan fakta, bersumber dari niat baik si pengadu, yang mungkin saja mendapat petunujuk dari Allah dengan perantaraan malaikat. Aduan jenis baik inilah yang seharusnya betul-betul diperhatikan untuk kebaikan, entah bagi perorangan, keluarga, pegawai, pejabat, kantor, masyarakat, bangsa, negara, dan sebagainya. Kearifan seorang pemimpin ditentukan, antara lain, oleh bagaimana dia mengurus aduan dengan siasat, dengan teliti, dengan bijaksana. Mampu menyelesaikan aduan dengan bijak menjadi ciri manusia yang boleh dibilangkan nama.

Sebagai makhluk sosial, kita dituntut agar mampu berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Alat komunikasi utama yang kita gunakan ialah bahasa. Kita menggunakan bahasa, entah lisan atau tulisan, kepada orang lain. Dalam berbahasa kita diharapkan pula agar dapat melakukannya dengan santun sesuai dengan adat-istiadat atau budaya selingkung, tempat bahasa itu digunakan. Kalau bercakap, tak boleh asal cakap; kalau menulis, tak boleh asal tulis. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan aturan sosial-budaya. “Lembut gigi daripada lidah,” kata orang tua-tua.

Berkaitan dengan hal yang disebutkan di atas, GDB Pasal VII, bait 9 memberi pedoman, “Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut.” Begitu rupanya. Ternyata, perkataan yang lemah-lembutlah yang membuat banyak orang tertarik sehingga apa pun yang kita katakan lebih banyak kemungkinannya untuk diikuti oleh orang lain. Memang, orang yang mampu berkata-kata atau berbahasa dengan lemah-lembut menunjukkan ketinggian dan kehalusan budinya sebagai pancaran pikiran dan perasaan yang benar lagi baik sehingga disukai banyak orang. Mampu berkata-kata dengan lemah-lembut menunjukkan ciri manusia yang boleh dibilangkan nama.

Sebaliknya pula, GDB Pasal VII, bait 10 menitipkan amanat, “Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah sekalian orang gusar.” Nampaknya, dalam berkata-kata bukan hanya apa yang kita katakan yang diperhatikan orang, melainkan lebih-lebih bagaimana cara kita mengatakannya. Perkara yang benar pun, apalagi yang salah, kalau dikatakan atau dikomunikasikan dengan kasar, banyak orang yang tak menyukainya.

Seperti halnya kelembutan bahasa (kata-kata), kekasaran perkataan pun merupakan jelmaan pikiran, perasaan, sifat, dan sikap seseorang. Bedanya, kelembutan berkonotasi positif sehingga disukai orang, sedangkan kekasaran berkonotasi negatif sehingga tak disenangi orang. Perkataan yang kasar, apalagi kotor, menjadi penanda bahwa orang yang menggunakannya juga cenderung berpikiran, berperasaan, dan berperilaku kasar. Jelaslah, mampu mengendalikan

Page 116: H. Abdul Malik

96 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

diri dari mengeluarkan perkataan kasar merupakan ciri manusia yang boleh dibilangakan nama.

Pekerjaan apakah yang patut dikerjakan? Bagaimanakah mengerjakan pekerjaan? Dan, apakah dampak dari cara kita bekerja? GDB Pasal VII, bait 11 memberikan pedoman, “Apabila pekerjaan yang amat benar, tidaklah boleh orang berbuah honar.”

Pekerjaan yang boleh lagi patut dikerjakan adalah pekerjaan yang benar. Pengerjaannya pun haruslah benar pula. Jika kita mampu mengerjakan pekerjaan yang benar dengan cara yang benar, tak sesiapa pun mampu mengacau, mencacat, dan atau membuat huru-hara terhadap kita dan pekerjaan kita, tak ada seorang pun yang sanggup berbuat onar. Itulah manfaat dari mengerjakan pekerjaan yang benar dengan cara benar, bukan dibenar-benarkan padahal tak benar. Itulah sebabnya, setiap pekerjaan harus dikerjakan oleh orang yang ahli dalam pekerjaan itu. Matlamatnya tiada lain supaya pekerjaan yang benar itu benar-benar dapat dikerjakan secara benar sehingga mendatangkan hasil yang baik dan bermanfaat, baik bagi orang yang mengerjakannya maupun bagi orang lain.

Sebaliknya pula, jika pekerjaan yang benar dikerjakan dengan cara yang salah atau yang dikerjakan itu memang pekerjaan yang salah, kita harus bersiap-siap untuk menerima padah dari pekerjaan itu. Huru-hara, cacat-cela, pelbagai onar akan datang silih berganti. Aneka reaksi ketakpuasan akan menerpa sepanjang hari. Jadi, mampu mengerjakan pekerjaan yang benar dengan cara yang benar, menjadi ciri manusia yang boleh dibilangkan nama. []

Page 117: H. Abdul Malik

97ABDUL MALIK

DIRI, yang meliputi unsur lahiriah dan batiniah, jasmaniah dan rohaniah, tiada lain adalah amanah Allah. Sebagai titipan dari Yang Maha Pencipta,

apalagi manusia dibekali akal-budi sehingga menjadi makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, diri harus dijaga dengan baik. Terus dan terus menumpuk kebaikan dan pada waktu yang bersamaan senantiasa menekan keburukan diri supaya tak muncul ke permukaan merupakan tanggung jawab manusia terhadap dirinya. Ketika amanah itu dicuaikan, manusia terjerembab ke kubang pengkhianatan diri, suatu kecelakaan yang seyogianya tak terjadi pada makhluk yang berakal-budi.

Perihal akhlak dan muamalah, khasnya yang berkaitan dengan penjagaan diri, diungkapkan oleh Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kedelapan. Bait 1 langsung dimulai dengan, “Barang siapa khianat dirinya, apalagi kepada yang lainnya.”

Alangkah malangnya diri. Tubuh kasar dibiarkan tak terawat. Atau, mungkin tubuh mendapatkan perhatian yang khas, dibedak disolek sedemikian rupa sehingga penampilan luar membuat orang yang memandang jadi terpesona oleh kilauan wajah yang senantiasa merona. Sayangnya, keelokan tubuh tak mampu membina jiwa secara seksama sehingga perilaku yang muncul ke permukaan membuat risau kawan dan taulan. Akal dan nurani dibiarkan hanyut terhantar ke samudera hitam nan liar tak bertepi. Itulah gambaran sederhana tentang orang yang berkhianat pada dirinya sendiri.

Kalau diri sendiri rela dikhianati, dirusakbinasakan, apalagi orang lain. Orang yang berperangai seperti itu sangat mudah dan tak segan-segan untuk mengajak orang lain, dengan segala cara dan daya, untuk berasyik-masyuk ke lembah hitam kehidupan, yang disulap sebagai taman surga duniawi. Padahal, kesemuanya hanyalah fatamorgana belaka. Pasal, surga sesungguhnya hanyalah dapat dicapai oleh diri dan jiwa yang terpelihara dengan baik, bagai menatang

Jagalah Diri

Page 118: H. Abdul Malik

98 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

minyak yang penuh. Hanya orang yang mampu memegang amanah dirilah yang boleh dibilangkan nama.

“Kepada dirinya ia dianiaya, orang ini jangan engkau percaya,” demikian RAH lebih menegaskan wasiatnya dalam GDB Pasal VIII, bait 2. Tak ada kepercayaan yang dapat disandarkan pada orang yang rela menganiaya dirinya sendiri. Kalau kepada dirinya dia dapat berbuat sewenang-wenang, apa lagi kepada orang lain. Jadi, jika hendak memberikan sesuatu kepercayaan kepada orang lain, awal-awal lagi kita harus meneliti adakah orang itu telah berbuat baik untuk dirinya sendiri? Jika tidak, sia-sialah kepercayaan yang diamanahkan kepadanya, bahkan boleh mendatangkan malapetaka bagi kita dan atau orang banyak.

Membela diri dari tuduhan yang tak berdasar menjadi kewajiban setiap diri. Akan tetapi, senantiasa membenarkan diri di satu pihak dan menyalahkan orang lain di pihak lain bukanlah perilaku terpuji. GDB Pasal VIII, bait 3 berbicara tentang hal itu, “Lidah suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya.”

Dalam setiap perkara yang melibatkan diri dan orang lain, selalulah diri sendiri yang dibenarkan, diri sendirilah yang harus menang. Lidah menyebut dan hati pun mengikut, “Akulah yang benar, sedangkan kamu, dia, dan mereka salah belaka. Bukankah dunia diciptakan untukku seorang? Bukankah hanya aku yang mampu berpikir, berasa, berkata, dan bertindak benar?” Itulah dunia keakuannya yang pantang mengaku salah. Dunia yang dibangun dari kerajaan pikir yang kelam dan bersinggasanakan hati yang hitam legam.

Padahal, diri yang dikelola oleh pikiran yang bernas dan nurani yang kemas akan mengupayakan lisan untuk tak mengatakan kebenaran diri, kecuali dalam keadaan yang sangat mustahak. Jika diri memang benar, biarlah orang lain yang menyebutkan kebenaran itu. Hanya orang yang mampu menahan lisannya untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain yang dapat digolongkan sebagai manusia yang boleh dibilangkan nama.

Bersifat sabar itu penting. Akan tetapi, lebih penting daripada itu adalah sabar dari memuji diri sendiri. Diri yang tak terpelihara dengan baik akan cenderung berperilaku begini, “sedikit bubur, banyak sudu”. Yang dibuat sedikit, itu pun kalau memang ada, tetapi puji-pujiannya sampai ke langit yang ketujuh. Yang memuji siapakah? Orang lainkah? Kalau memang demikian, tak perlu terlalu dirisaukan. Ini pujian justeru datang dari diri sendiri. Ibarat dalam sebuah pertandingan, yang main diri dan yang jadi jurinya pun diri sendiri.

Apakah kata GDB Pasal VIII, bait 4 tentang hal itu? “Dari pada memuji diri hendaklah sabar, biar daripada orang lain datangnya khabar.” Artinya, tak baik memuji diri. Kalau memang ada kebajikan dan kebaikan yang kita lakukan dan memang patut lagi layak mendapat pujian, biarlah orang lain yang memujinya.

Page 119: H. Abdul Malik

99ABDUL MALIK

Jika pujian manusia tak kunjung datang, bukankah Tuhan Maha Mengetahui? Dan, mampu menahan diri untuk memuji diri sendiri merupakan ciri manusia yang boleh dibilang nama.

Siapa pula yang tak mau berbuat jasa. Lagi pula, setiap manusia dianjurkan untuk berbuat jasa sebanyak mungkin sesuai dengan daya dan kuasa yang dimilikinya. Akan tetapi, GDB Pasal VIII, bait 5 mengingatkan kita, “Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripada syirik mengaku kuasa.”

Rupanya, dalam hal berbuat jasa atau berbuat kebaikan itu yang tak boleh adalah menampak-nampakkannya. Ke dalam pengertian itu termasuklah menyebut-nyebutkannya pada setiap kesempatan, pada setiap waktu, di setiap tempat. Seolah-olah, hanya dia seoranglah tukang buat jasa di dunia ini, orang lain tidak. RAH mengecam perilaku seperti itu yang disebutnya “setengah daripada syirik mengaku kuasa”.

Bukan main-main, perilaku seperti itu rupanya nilainya sama dengan setengah menyekutukan Tuhan, menganggap diri sama berkuasanya dengan Allah. Padahal, kalaulah bukan dengan kuasa Ilahi, adakah barang sesuatu yang mampu kita perbuat? Orang yang tak menghiraukan seberapa banyak pun jasa yang pernah dibuatnya dalam kehidupan ini tergolong manusia yang boleh dibilang nama.

Namanya juga manusia. Pada suatu ketika dan di suatu tempat kita mungkin pernah berbuat salah, melakukan kejahatan. Dalam pada itu, di suatu tempat dan pada ketika yang lain kita pun mungkin pernah berbuat baik, melaksanakan kebajikan. Bagaimanakah kita harus bersikap menghadapi dua fenomena yang bertolak belakang itu? GDB Pasal VIII, bait 6 memberikan solusi, “Kejahatan diri sembunyikan, kebaikan diri diamkan.”

Jelaslah sudah bahwa kita tak perlu menyampaikan kepada orang lain tentang kejahatan yang pernah kita lakukan. Bukankah itu aib. Yang penting, kita perlu menginsya inya sehingga tak melakukan perbuatan jahat itu lagi. Sama halnya dengan kita tak perlu pula membesar-besarkan kebaikan yang pernah diperbuat. Biarlah hanya Tuhan saja yang mengetahuinya. Mampu kita bersikap seperti itu dapatlah kita digolongkan sebagai manusia yang boleh dibilangkan nama.

Inilah bait terakhir GDB Pasal VIII, “Keaiban orang jangan dibuka, keaiban diri hendaklah sangka.” Mencari-cari apalagi membuka atau menyebut-nyebut aib orang lain merupakan perbuatan tercela, sangat jahat. Rasakanlah kalau keaiban kita yang diceritakan orang, tentulah kita pun tak menyukainya. Daripada mencari keaiban orang, lebih baik menyadari dan mengakui bahwa diri kita pun tak kurang aibnya.

Memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tentu termasuk diri kita. Tak orang tak kitalah. Menyadari keburukan diri dengan niat dan upaya untuk menekannya serendah mungkin, jauh lebih baik daripada membuka aib orang. Dan, itulah kualitas manusia yang boleh dibilangkan nama.[]

Page 120: H. Abdul Malik

100 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SYAITAN memang musuh terbesar manusia. Pasalnya, syaitan senantiasa mengajak, membujuk, merayu, menuntun, bahkan dalam keadaan tertentu

memaksa manusia mengikuti jalan yang menjadi pilihan hidup mereka yaitu jalan yang sesat: melawan Allah swt., Tuhan seru sekalian alam, yang tiada Tuhan selain Dia. Pelbagai siasat digunakan oleh syaitan untuk menjerumuskan manusia karena iri hati dan cemburu yang teramat sangat kepada manusia, yang menurut mereka, oleh Allah swt. diberikan anugerah terlalu istimewa sebagai makhluk yang paling sempurna dan menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Syaitan, dengan pilihannya itu, rela menanggung kesemua konsekuensinya, mengingkari Sang Pencipta, yang padahal sebelumnya mereka adalah pengabdi utama. Malangnya, di antara manusia, sadar atau tidak, ada yang dengan suka rela dan suka cita menjadi punggawa syaitan, kepala pasukan, hulubalang, sekaligus hamba abdi makhluk durjana yang sejatinya menetapkan manusia sebagai sasaran dan musuh utama yang harus ditumpaskannya.

Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kesembilan memerikan segala sepak terjang syaitan terhadap manusia. Inilah gambaran sosok syaitan yang diperikan pada bait 1, “Tahu pekerjaan yang tak baik tetapi dikerjakan, bukanlah manusia yaitulah syaitan.” Inilah persoalan akhlak dan muamalah pertama yang diwasiatkan tentang pertembungan manusia dengan syaitan.

Kita pastilah tak mendapatkan data yang pasti tentang jumlah syaitan yang gaib. Sayangnya, kita juga tak sanggup menghitung syaitan yang nyata karena dari masa awal penciptaan manusia sampailah lebih-lebih setakat ini ada teramat sangat banyak orang yang tahu suatu pekerjaan tak baik, tetapi tetap juga dilakukan. Apakah kesemuanya dikerjakan karena memang pilihan hidup, himpitan hidup, cara hidup, tiruan hidup, dan atau bahkan memang gaya hidup? Yang pasti, hanya manusia yang mengerjakan pekerjaan yang baik dengan cara yang baiklah yang menjadi musuh syaitan. Syaitan sangat benci kepada mereka karena mereka sangat

Punggawa Syaitan

Page 121: H. Abdul Malik

101ABDUL MALIK

taat kepada Allah. Dan, manusia dengan kualitas yang disebutkan terakhir itulah yang boleh dibilangkan nama.

“Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya punggawa.” Itulah tukikan tajam GDB Pasal IX, bait 2. Tak tanggung-tanggung. Rupanya kepala pasukan atau punggawa iblis berwujud perempuan tua yang jahat. Begitulah hebatnya siasat syaitan untuk memerdayakan manusia.

Perempuan tua seyogianya menjadi suri tauladan. Dia sangat mangkus (efektif) menjadi pembimbing manusia yang muda-muda ke arah kebaikan yang ditunjukkan dan disukai Allah. Perempuan, lebih-lebih perempuan tua, memiliki naluri keibuan, kelembutan, dan kasih sayang yang khas yang tak dimiliki oleh lelaki. Iblis sangat memahami kelebihan perempuan. Meniru siasat Tuhan, iblis menggunakan perempuan tua untuk menjalankan misi dan mencapai matlamatnya. Tatkala Allah melapangkan jalan bagi manusia untuk menuju surga, maka iblis menutup jalan itu seraya membuat simpangan lain ke arah neraka melalui punggawanya. Hanya perempuan tua yang berhati cekal dan beriman tebal sajalah yang mampu menangkis serangan itu dan pada waktu yang sama melakukan tindak balas terhadap tipuan syaitan sehingga, sebagai manusia, dia boleh dibilangkan nama.

Syaitan rupanya memiliki tempat untuk bermanja-manja. Di manakah dan kepada siapakah? Inilah jawaban GDB Pasal IX, bait 3, “Kepada segala hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya bermanja.” Mengapakah tempat itu dianggap strategis oleh syaitan untuk bermanja-manja?

Hamba-hamba raja (itu cerita zaman dahulu) atau para bawahan, para pembantu pemimpin, dan atau para pegawai (ini cerita zaman terkini)—tentu dengan bekal keahlian yang diajarkan syaitan—sangat potensial untuk merayu, membujuk, dan atau menyarankan raja atau pemimpin. Pasal, saban hari mereka bekerja membantu pemimpinnya, para kepala. Hanya pemimpin yang teguh, tegar, dan tegaslah yang tak mempan terhadap segala tipu muslihat syaitan itu. Dan, para hamba atau apa pun sebutannya, untuk setiap pergantian masa, yang tak memberi sedikit pun tempat bagi syaitan untuk bermanja-manjalah yang boleh dibilangkan nama.

Orang muda-muda pula dijadikan tunggangan oleh syaitan. Dalam GDB Pasal IX, bait 4 RAH bermadah, “Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah syaitan tempat berkuda.”

Orang muda-muda betapa hebatnya. Tenaga masih prima, paras dan rupa yang elok lagi memesona, gerak-gerik lincah ke mana pun perginya, keakuan tinggi tiada duanya. Hanya satu saja celah kelemahannya: ilmu dan pengalaman belumlah seberapa, itu pun terkadang disangkalnya. Segala kelebihan dan kekurangan itu coba dimanfaatkan oleh syaitan untuk memenangi pertarungannya. Yang bersedia

Page 122: H. Abdul Malik

102 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

berkongsi dengannya diberi kesenangan duniawi yang tiada bertara. Akan tetapi, orang muda-muda yang mengenal agama tak pernah rela diperkuda oleh syaitan yang durjana. Itulah orang muda-muda yang boleh dibilangkan nama.

Sehabis berkuda, sebagaimana lazimnya syaitan pun membuat perjamuan. “Perkumpulan laki-laki dan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan.” Perilaku syaitan itu terekam dalam GDB Pasal IX, bait 5.

Syaitan sangat menyukai pergaulan dan perkumpulan laki-laki dan perempuan yang tanpa batas. Lebih-lebih yang paling digemarinya pergaulan yang tak menghiraukan nilai-nilai agama dan adat-istiadat. Itulah jamuan yang teramat sangat lezat bagi syaitan laknatullah. Liurnya kecur sampai meleleh berjujai-jujai melihat jamuan khas itu. Hanya laki-laki dan perempuan, yang walaupun mereka berkumpul, tetapi dibentengi dan diperkasa oleh akidah agama dan nilai-nilai adat-istiadat, syaitan sangat takut untuk mendekatinya, apalagi menjadikannya jamuan. Laki-laki dan perempuan tangguh seperti itulah yang boleh dibilangkan nama.

Orang tua-tua pun boleh menjadi sasaran empuk syaitan. Cuma, GDB Pasal IX, bait 6 menegaskan, “Adapun orang tua yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat.” Hemat dalam hal apa?

Bukan sekadar hemat dalam membelanjakan uang. Di dalamnya juga terkandung maksud teliti atau saksama dalam menjaga kehidupan sesuai dengan tuntunan Allah. Orang tua-tua seperti itu senantiasa memagari dirinya, orang muda-muda, dan lingkungannya dari cemaran yang coba dimuntahkan syaitan. Orang tua-tua yang hemat berani menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun dan dalam situasi apa pun mereka berada. Pedomannya hanya satu: kebenaran yang sesuai dengan petunjuk Allah. Takutnya pun hanya satu: kepada Allah. Bukankah hidup dan mati hanya karena Allah? Tak ada tempat untuk bersubhat. Merekalah orang tua-tua yang boleh dibilangkan nama.

GDB Pasal IX ditutup (bait 7) dengan menampilkan keperkasaan orang muda-muda. “Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru.”

Orang muda-muda yang rajin menuntut ilmu (berguru) memungkinkan khazanah pengetahuan, pengalaman, dan keimanannya terus bertambah. Pemahamannya tentang fenomena kehidupan dari kegiatannya berguru membuatnya mampu membedakan kasa dan cindai: buruk dan baik; salah dan benar. Tahulah dia bahwa syaitanlah musuh utama manusia yang harus dilawan sampai ke tetesan darah yang penghabisan, hembusan nafas terakhir. Orang tua beriman, itu biasa; tetapi orang muda bertakwa, nah itu dia... berkinyau, bercahaya, cemerlang! Dia tampil sebagai orang muda yang unggul lagi perkasa sehingga syaitan pun tak mampu melawannya. Alhasil, dia keluar sebagai pemenang, bukan sebagai orang muda sekadar, tetapi sebagai manusia yang boleh dibilangkan nama. []

Page 123: H. Abdul Malik

103ABDUL MALIK

TAK sesiapa pun yang hendak hidup menderita, hidup dalam keadaan kacau-balau, lahir dan batin. Hidup menderita bagaikan duduk di atas bara. Idealnya,

manusia mendambakan kebahagiaan dalam hidup. Kalau hidup bahagia, kehidupan dijalani dengan suka cita, seberat apa pun beban dan tanggungan dapat dikerjakan dengan cara yang menyenangkan. Karena perasaan senang dan pikiran tenang, pekerjaan yang berat pun menjadi ringan, menjadi mudah. Siapakah yang tak mendambakan kehidupan yang indah berseri seperti itu? Itulah sebabnya, jika mampu meraih kebahagiaan dalam hidup, manusia bagaikan ingin hidup sampai seribu tahun lagi. Kebahagiaanlah kunci untuk meraih cita-cita dalam kehidupan.

Tak terlalu sulit untuk mencapai kebahagiaan hidup. Kuncinya ciptakanlah kebahagiaan di lingkungan keluarga dan orang-orang terdekat. Pasal, orang-orang itulah yang paling banyak berinteraksi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Kalau telah mampu membuat diri bahagia, tak terlalu sukar untuk menciptakan kebahagiaan dalam perhubungan dengan orang lain, apalagi dengan orang-orang terdekat yakni keluarga dan teman-teman.

Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal Kesepuluh memberikan kunci meraih kebahagiaan bersama orang-orang terdekat dengan kita. Jelaslah, GDB Pasal X ini masih berbicara tentang akhlak dan muamalah. Inilah kunci pertama yang terekam pada bait 1, “Dengan Bapa jangan durhaka, supaya Allah tidak murka.”

Hendak bahagia? Pertama-tama, jangan menentang atau melawan bapak kita. Pasalnya, perilaku melawan bapak menimbulkan murka Allah. Tuhan benci terhadap anak yang menentang bapaknya. Kemurkaan Allah itulah yang menyebabkan manusia jadi menderita. Anak yang durhaka akan jauh dari rahmat dan pertolongan Tuhan.

Keluarga Bahagia

Page 124: H. Abdul Malik

104 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Memang, dalam perjalanan hidup ada kemungkinan pikiran, pendapat, dan atau gagasan anak tak sejalan dengan bapaknya. Bapak, misalnya, terlalu konservatif (kuno) dalam memandang suatu masalah. Si anak pula terlalu maju dalam pandangan sang bapak. Kesemuanya dapat terjadi karena perbedaan ruang dan waktu kehidupan. Orang tua hidup pada masa kini dengan kenangan masa lampau, sedangkan anak hidup pada masa kini dengan cita-cita masa depan. Itulah sebabnya, di dalam ungkapan ada disebutkan, “Orang muda menanggung rindu, orang tua menanggung ragam.”

Dunia orang tua yang berbeda dari dunia anak menyebabkan timbulnya perbedaan. Akan tetapi, perbedaan itu tak boleh dijadikan alasan untuk anak mendurhaka kepada bapaknya. Anak, dengan segala kemampuan yang dimilikinya, harus mampu menyenangkan hati orang tuanya. Itulah anak yang akan menikmati kebahagiaan sejati, anak yang boleh dibilangkan nama.

“Dengan Ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat,” demikian amanat GDB Pasal X, bait 2. Di samping tak boleh mendurhaka, anak yang hendak selamat, hendak bahagia, haruslah hormat kepada ibu-bapaknya. Apa pun dan bagaimanapun keadaan orang tua, kewajiban anak adalah menghormatinya. Tak boleh terjadi, umpamanya, di masa orang tua kuat, sehat, dan berharta; anak-anak memujanya. Akan tetapi, begitu orang tua mulai lemah, sakit-sakitan, dan tak lagi berharta; anak-anak justeru menganggapnya sebagai beban.

Kiranya, bukan pengetahuan yang banyak, pangkat dan jabatan yang tinggi, dan harta yang melimpah yang dapat menyelamatkan kita. Banyak contoh, dan setakat ini bertambah-tambah banyak, orang yang pengetahuannya di atas rata-rata, pangkat dan jabatannya tak ada yang menyamainya, dan harta tak hanya di dalam negeri adanya, di luar negeri, bahkan, melimpah ruah tak terkira. Malangnya, hidup bagai di atas bara, menanggung malu tiada terkira, yang dengan kekuasaan yang dimiliki berusaha menyeret orang lain pula untuk menutupi angkara. Tak ada, kesemuanya itu palsu belaka. Ternyata, hormat kepada ibu-bapaklah yang membuat diri selamat dalam hidup. Sikap dan perilaku hormat yang tulus kepada orang yang menyebabkan kita lahir ke dunia itulah yang membawa bahagia, yang memungkinkan anak boleh dibilangkan nama.

Bagi ibu-bapak pula, menjadi tanggung jawabnya untuk mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab utama orang tua. Oleh sebab itu, GDB Pasal X, bait 3 menyebutkan, “Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai.”

Naik ke tengah balai adalah ungkapan kiasan yang mengacu kepada kehormatan, derajat yang mulia, dan atau marwah. Hanya anak yang terdidik dengan baiklah yang dapat meningkatkan harkat dan martabat, kehormatan, dan marwah. Bagi siapakah? Ya, bagi ibu-bapaknya, bagi keluarga, dan terutama bagi si

Page 125: H. Abdul Malik

105ABDUL MALIK

anak itu sendiri. Orang tua yang memerhatikan dan bertanggung jawab, atau tak lalai terhadap anaknyalah yang boleh berasa bahagia. Sebagai ibu-bapak, mereka pun boleh dibilangkan nama.

Ada orang beristri seorang saja. Namun, ada juga laki-laki yang beristri lebih dari satu. Suatu masa dahulu, istri kedua dan seterusnya disebut gundik. Jelas berbeda dengan pengertian gundik yang dipahami orang sekarang. Juga, suatu masa dahulu orang biasa saja menyebut kata kemaluan. Pasal, pada masa itu kata itu berarti ‘rasa malu’. Sekarang maknanya juga telah berubah. Kedua kata itu perlu diberi penjelasan berkaitan dengan GDB Pasal X, bait 4 berikut ini. Dalam makna bahasa klasik Melayulah kedua kata itu harus dipahami.

“Dengan istri dan gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa.” Bait ini jelas-jelas mengingatkan para suami agar menjaga istrinya dengan baik sesuai dengan ajaran agama. Jika istri atau istri-istri tak dijaga sebagaimana mestinya, perempuan atau perempuan-perempuan yang disayangi lagi dicintai itu boleh mendatangkan malu bagi suaminya. Suami yang pandai menjaga istrinyalah yang boleh menikmati kebahagiaan bersuami-istri atau berumah tangga dan dia boleh dibilangkan nama.

Siapakah lagi yang memungkinkan manusia berbahagia atau sengsara? Siapa lagi kalau bukan kawan atau teman. Pasalnya, kawanlah orang terdekat kita setelah anggota keluarga. Bahkan, kawan yang baik budi boleh berperan lebih daripada keluarga. Sebaliknya pula, kawan yang tak setia dan lebih-lebih kawan yang tak diperlakukan secara adil, dapat membuat kita menderita. Berhubung dengan itu, GDB Pasal X, bait 5 (terakhir) berpesan, “Dengan kawan hendaklah adil, supaya tangannya jadi kapil.”

Yang dimaksudkan dengan tangannya menjadi kapil adalah memegang amanah. Kawan yang diperlakukan secara adil akan memegang kepercayaan yang kita berikan. Pada gilirannya, dia akan dapat dijadikan wakil kita yang tepercaya. Dia akan menjaga diri kita agar tak terbabit dengan hal-hal yang tak baik, yang menyesatkan. Kawan seperti itulah yang dapat disebut sahabat sejati.

Pandai memilih kawan dan dapat berlaku adil terhadap teman memungkinkan kita hidup bahagia. Oleh sebab itu, orang yang pandai berkawan tergolong manusia yang boleh dibilangkan nama. Dan, alangkah indahnya kalau dapat hidup bermandikan kebahagiaan, lebih-lebih, berbahagia di dunia dan di akhirat. Seyogianya, itulah yang menjadi idaman setiap manusia yang hendak dibilangkan nama. []

Page 126: H. Abdul Malik

106 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

JASA tak lain tak bukan adalah perbuatan yang baik. Disebut baik karena bermanfaat bagi yang melakukannya dan yang menjadi sasarannya: entah orang

perorangan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan atau negara. Berbuat baik kepada orang lain, misalnya, tergolong berjasa kepada orang tersebut. Idealnya, di antara cita-cita tertinggi manusia adalah berbuat jasa, berjasa kepada siapa pun dan atau apa pun. Pasalnya, pada akhirnya hanya jasa jualah yang dikenang orang.

Sesiapa pun patutlah berusaha untuk berbuat jasa. Lebih daripada itu, tuntutan berjasa sangat ditekankan pada para pemimpin. Seseorang pemimpin baru dapat disebut berjasa apabila dia mampu, misalnya, membuat orang-orang yang dipimpinnya menjadi sejahtera dari sebelumnya hidup dalam serba kekurangan. Jika tidak, seorang pemimpin dapat dianggap gagal, bahkan hanya gergasi (raksasa) penindas belaka. Jasa tak dapat diukur dari banyaknya medali atau pingat yang disematkan, apalagi kalau tanda-tanda lahiriah seperti itu diperoleh dengan cara yang tak benar, “dibeli” umpamanya. Itulah kualitas akhlak dan muamalah yang mesti ditunjukkan oleh para pemimpin dalam perilaku (perangai) kepemimpinannya. Perkara itulah yang dituangkan oleh Raja Ali Haji (RAH) dalam Gurindam Dua Belas (GDB), Pasal yang Kesebelas.

“Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa.” Bait 1 ini tegas-tegas menyarankan pemimpin untuk berbuat jasa kepada bangsanya. Oleh sebab itu, berjasa kepada bangsa bagi pemimpin merupakan tanggung jawabnya, bukan sesuatu yang luar biasa. Rakyat menanam pohon bakau untuk menyelamatkan lingkungan pantai, misalnya, merupakan perilaku yang luar biasa. Sebaliknya pula, pemimpin yang membuat kebijakan penghijauan kembali pantai memang menjadi tanggung jawabnya. Akan tetapi, pemimpin yang melakukan kebijakan yang entah cepat atau lambat dapat menyebabkan robohnya pantai tergolong perilaku berkhianat kepada bangsa dan tanah airnya. Pendek kata, hanya pemimpin yang mampu berbuat jasa kepada bangsanyalah yang boleh dibilangkan nama.

Karena Berjasa Murah Perangai

Page 127: H. Abdul Malik

107ABDUL MALIK

Selain syarat harus mampu berbuat jasa, GDB Pasal XI, Bait 2 menuntut pemimpin, “Hendak jadi kepala, buang perangai yang cela.” Sesiapa pun yang hendak menjadi pemimpin (kepala) harus memiliki perilaku yang baik. Pemimpin tak boleh memiliki perangai tercela. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati memilih pemimpin. Pasal apa? Jika memilih pemimpin yang perilakunya buruk, kita pun akan menerima padahnya, akibat yang buruk karena salah memilih. Padah dari kesalahan itu kualitas kehidupan kita kian memburuk, bukan bertambah baik. Mestinya, pemimpin diadakan untuk menciptakan kualitas kehidupan yang kian baik dari masa ke masa, bukan sebaliknya menjadi makin kelam kabut.

Sesiapa pun yang bercita-cita hendak jadi pemimpin harus mampu menempa dirinya untuk berperilaku baik. Bibit-bibit perangai tercela—untuk memperkaya diri, keluarga, kroni, dan sebagainya, misalnya—harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Jika tidak, kepemimpinannya pasti menuai masalah yang takkan pernah dapat diatasi. Kepemimpinan yang dilandasi niat dan perangai tercela takkan pernah mampu menyelesaikan masalah, malah mendatangkan masalah baru sehingga kehidupan menjadi makin kusut masai. Berperilaku baik, dengan demikian, merupakan tanggung jawab pemimpin yang jika dapat diwujudkannya, dia boleh dibilangkan nama.

Pemimpin pun harus memiliki kualitas tepercaya. Berhubung dengan itu, GDB Pasal XI, Bait 3 menegaskan, “Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat.” Hanya orang yang amanahlah yang boleh jadi pemimpin. Dia meletakkan dasar kepemimpinannya untuk berbakti kepada rakyat, bangsa, dan negaranya. Dalam keadaan dilematis, harus memilih antara kepentingan pribadi, keluarga, kelompoknya di satu pihak, dan kepentingan bangsa dan negaranya di pihak lain; pemimpin yang amanah mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya.

Haram bagi pemimpin jika berkhianat terhadap kepercayaan yang diberikan kepadanya. Sebagai pemimpin, dia diharapkan dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yang sejahtera, bagi rakyat dan bangsanya. Pemimpin yang berkhianat melupakan tanggung jawab itu sehingga dia lebih asyik memikirkan dan mengupayakan kesejahteraan pribadi dan orang-orang terdekatnya. Akibatnya, tanggung jawabnya terhadap rakyat dan bangsanya tercecer. Pelbagai cara dan upaya dilakukannya untuk menutupi pengkhianatannya. Akan tetapi, karena lubang pengkhianatan itu makin lama makin besar, amat sulit untuk ditutupinya. Rakyat jadi hidup dalam prahara, dalam ketakpastian untuk kesemua aspek kehidupan. Alhasil, pemimpin yang berperangai seperti itu tak pernah dapat dibilangkan nama. Pasal, hanya pemimpin yang amanahlah yang boleh dibilangkan nama.

“Hendak marah, dahulukan hujah,” demikian anjuran GDB Pasal XI, Bait 4. Pemimpin seyogianya meredam sifat buruk suka marah. Tak pernah ada masalah kepemimpinan yang dapat diselesaikan dengan marah. Bukankah sifat marah itu

Page 128: H. Abdul Malik

108 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

perilaku syaitan? Itulah sebabnya, kualitas kepemimpinan yang diutamakan adalah mampu bersabar dalam menghadapi pelbagai masalah dan cobaan.

Daripada marah lebih baik hujahlah yang diutamakan. Pemimpin yang baik akan berusaha menyelesaikan masalah dengan mencari akar permasalahan melalui penemuan alasan dan penyebab timbulnya masalah. Kesemuanya diselesaikan dengan kepala dingin dan akal sehat. Pada seorang pemimpin yang bertangan dingin dan berakal sehat, tak ada masalah yang tak dapat diatasi asal dapat ditemukan punca (akar) persoalannya. Dengan kepiawaiannya sebagai pemimpin sejati, dia akan mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang elegan, bukan dengan menimbulkan masalah baru. Pemimpin seperti itulah yang boleh dibilangkan nama.

Seorang pemimpin sejati mestilah berwibawa, bermarwah. Karena kepemimpinannya yang baik, kesemua orang menaruh hormat kepadanya, bukan orang takut kepadanya karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga dapat digunakannya untuk alat intimidasi. Cahaya kepemimpinan yang dipancarkannya membuat orang tak kuasa untuk menentangnya karena memang tak ada yang harus ditentang.

Rahasianya apa? GDB Pasal XI, Bait 5 memberi tuntunan, “Hendak dimalui, jangan melalui.” Rupanya mudah saja. Seorang pemimpin akan dihormati orang dalam arti sesungguhnya (dimalui) kalau dia tak melanggar ketentuan yang patut dan wajib diikuti oleh seorang pemimpin (tak melalui). Dengan kata lain, hanya pemimpin yang taat terhadap peraturanlah yang akan meraih kehormatan kepemimpinan yang tertinggi. Itulah pemimpin yang didambakan setiap orang karena dia boleh dibilangkan nama.

GDB Pasal XI ditutup dengan Bait 6, “Hendak ramai, murahkan perangai.” Pemimpin yang baik akan memiliki banyak pengikut (ramai). Alangkah malangnya seorang pemimpin jika tak ada atau tak banyak orang yang bersedia menjadi pengikutnya. Keadaan akan bertambah buruk jika banyak orang yang membenci dan menghujatnya setiap hari.

Kiranya, hanya pemimpin yang berperilaku baik (murah perangai)-lah yang diikuti oleh banyak orang. Kesemua sifat dan perilaku manusia dan pemimpin terpuji dimilikinya: sopan, ramah, lembut, hormat, sabar, dan sebagainya kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Dialah pemimpin yang senantiasa diharapkan kehadirannya oleh banyak orang pada setiap periode dan waktu. Dialah pemimpin yang banyak harapan oleh banyak orang tertumpu. Dialah pemimpin yang Allah pun pasti memberinya restu. Dialah pemimpin yang tujuan kepemimpinannya hanya tiga: berjaya di dunia, berguna di akhirat, dan beroleh rida dari Allah swt. Dialah pemimpin yang boleh dibilangkan nama.[]

Page 129: H. Abdul Malik

109ABDUL MALIK

JATUH-BANGUNNYA sesebuah negara atau negeri sangat bergantung kepada kepiawaian penyelenggaranya. Negara atau negeri yang dipimpin oleh pemimpin

yang berkualitas akan berjaya, mudah mencapai kemakmurannya, sedangkan pemimpin yang buruk perangai hanya menjadikan kemakmuran sebagai slogan belaka. Bukannya makmur dan sejahtera yang diperoleh, malah rakyat tak henti-hentinya dirundung derita dalam pelbagai bentuknya. Oleh sebab itu, pemimpin negeri atau penyelenggara negara haruslah orang yang memenuhi syarat bersifat dan berperilaku terpuji dalam arti yang sebenarnya.

Menutup Gurindam Dua Belas (GDB), Raja Ali Haji (RAH) bertutur tentang peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitulah Pasal yang Kedua Belas ini menukik persoalan akhlak dan muamalah, terutama yang berkaitan dengan penyelenggara negara, pemimpin negeri. Akan datang inilah perian lengkapnya.

“Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagar duri.” Bait 1 dimulai dengan sentuhan piawai sedemikian rupa. Apa tanda penyelenggaraan negara atau pemimpin negeri yang baik? Pada mulanya, pemimpin negeri itu (apa pun sebutannya untuk setiap pergantian pemerintahan sesuai dengan semangat zamannya, yang di dalam GDB disebut raja) dan para penolongnya (apa jugalah sebutannya, GDB menyebutnya menteri) senantiasa seiya-sekata, seaib-semalu, dan senasib-sepenanggungan (mufakat) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Matlamatnya tiada lain agar penyelenggaraan negara atau penadbiran negeri dapat berlangsung dengan baik sehingga mendatangkan kemakmuran bagi negeri dan kesejahteraan bagi rakyat.

Alhasil, negara atau negeri terkawal dengan baik, tak sesiapa penceroboh pun berani menyusupinya, apalagi memorakporandakannya. Pasal, negara atau negeri telah “seperti kebun berpagar duri.” Hubungan antara pemimpin dan bawahannya bagai kulit dengan isi, begitu sanggam, begitu serasi, begitu sebati, begitu mesra,

Awalnya Dunia, Akhirnya Akhirat

Page 130: H. Abdul Malik

110 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dan saling menjaga. Bukan sebaliknya, di antara mereka berlumba-lumba untuk bantah-membantah, bantai-membantai, atau malu-memalukan untuk kepentingan pragmatis sesaat dan terkesan kampungan. Para penyelenggara negara atau pemimpin negeri yang memiliki semangat tim yang terpadu serasilah yang boleh dibilangkan nama.

Itu tadi Bait 1 dan inilah Bait 2-nya, “Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja.” Inilah kunci kedua dalam penyelenggaraan negara atau negeri yang baik. Bawahan dan rakyat sekaliannya tak boleh berprasangka buruk kepada pemimpin. Tentulah syaratnya sang pemimpin pun harus mampu menunjukkan kinerja kepemimpinan yang baik dan bersih, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Konsekuensinya, sang pemimpin tak boleh berpaling tadah dari garis kepemimpinan yang benar, tak boleh menyalah.

Dalam keadaan sang pemimpin berada pada jalan yang lurus dan para bawahan serta rakyat berprasangka baik terhadap pemimpinnya, karena memang tak ada alasan yang sabit di akal untuk mencurigainya, kesemua program kerja yang telah direncanakan akan dapat dilaksanakan dengan baik, “tanda jadi sebarang kerja.” Alhasil, penyelenggaraan negara atau penadbiran negeri dapat berlangsung dengan aman dan damai. Pada gilirannya, kesemua matlamat yang hendak dituju tak terlalu sukar untuk diraih. Bawahan dan rakyat dengan kualitas seperti itulah yang boleh dibilangkan nama.

Kualitas sekaligus ujian utama kepemimpinan ialah mampu berlaku adil. Pemimpin, sesuai dengan kapasitasnya, berhak atas keadilan. Bawahan juga memiliki hak yang sama. Tanpa harus dibedakan, rakyat pun harus diperlakukan secara adil. Pemimpin yang mampu berlaku adil sama ada pada dirinya, pada bawahannya, dan pada rakyatnya berarti memiliki kualitas dan lulus ujian kepemimpinan yang baik. Apa kata GDB Pasal XII, Bait 3 tentang hal itu? “Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat.”

Pemimpin yang adil akan diterangi cahaya Ilahi dalam kepemimpinannya. Seberat apa pun masalah yang dihadapinya, akan dapat dihadapi dan diatasinya dengan baik. Dia tak akan tergopoh-gopoh jika menghadapi persoalan. Pasal apa? Dia senantiasa mendapatkan pertolongan (inayat) Allah. Akhirnya, dia akan keluar sebagai pemenang dengan pertolongan: bukan dari sebarang orang, melainkan dari Yang Maha Penolong. Dia memperoleh kenikmatan kepemimpinan yang tiada bertara. Dari keningnya memancar seri cahaya kewibawaan yang membuat kesemua orang menaruh hormat kepadanya, tanpa dipaksakan. Dialah pemimpin yang tak seorang jua pun kuasa menolaknya, menampiknya, bahkan iblis pun ngeri bersua dengannya. Dialah pemimpin, pemimpin yang adil, yang boleh dibilangkan nama.

Lalu, GDB Pasal XII dilanjutkan dengan Bait 4, “Kasihkan orang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.” Bagaimanakah kita memahami bait ini? Pertama, pemimpin

Page 131: H. Abdul Malik

111ABDUL MALIK

itu sendiri hendaklah dicari dari orang yang berilmu. Hanya orang yang berilmu yang benar dan baiklah yang berpotensi menjadi pemimpin yang baik. Tugas kepemimpinan memang memerlukan pemecahan dan pencerahan yang mesti didasari oleh kadar ilmu tertentu.

Kedua, pemimpin pun seyogianya menyayangi orang yang berilmu. Dia tak segan-segan meminta bantuan, berkonsultasi, dan bertukar pendapat dengan orang yang berilmu dalam menyelesaikan masalah dalam kepemimpinannya. Dia, bahkan, akan berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas orang yang berilmu di wilayah kekuasaannya. Kesemuanya dilakukannya sebab dia tahu bahwa dengan begitulah kepemimpinannya akan mendapat rahmat dari Allah. Bukankah hanya kepemimpinan yang dirahmati Allah yang akan berjaya? Dialah pemimpin yang boleh dibilangkan nama.

Pemimpin yang cerdas komprehensif, yang mampu mengimplementasikan kecerdasannya untuk mewujudkan kepemimpinan yang benar, patutlah dihormati. Segala anugerah kepandaian yang dimilikinya digunakannya untuk memajukan negeri dan menyejahterakan rakyatnya. Tak ada alasan, bahkan dapat digolongkan berdosa, untuk menolak pemimpin dengan kualitas yang baik ini. “Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai,” demikian GDB Pasal XII, Bait 5 berperi tentang orang yang pandai atau cerdas.

Sebaliknya pula, pemimpin pun haruslah hormat kepada orang-orang yang cerdas. Tak boleh terjadi, justeru, cerdik-pandai dimusuhi karena khawatir akan menjadi pesaing dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas akan menjadikan cerdik-pandai sebagai kawan (mitra) dalam kepemimpinannya sehingga matlamat kemakmuran dapat diraih dengan mudah dan cepat. Pemimpin seperti itu mampu membedakan yang buruk dengan yang baik, dia “mengenal kasa [kain yang kasar, murah] dan cindai [sutera halus, mahal]”. Jadilah dia pemimpin yang boleh dibilangkan nama.

“Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti.” GDB Pasal XII, Bait 6 ini mengingatkan bahwa apa pun bakti yang dilakukan di dunia ini, tak hanya berguna semasa kita hidup, tetapi lebih-lebih itulah yang akan dibawa mati. Kerja-kerja luhur kepemimpinan mestinya dijadikan bekal berharga untuk kehidupan sesudah mati. Kalau hal itu disadari, tak ada alasan untuk melencongkan misi kepemimpinan. Kualitas ini pun harus dimiliki oleh pemimpin yang hendak dibilangkan nama.

Sejak awal kehidupan di dunia manusia seyogianya menyadari bahwa dia wajib mengenal akidah, melaksanakan ibadah, serta memelihara akhlak dan muamalah untuk bekal kehidupannya di dunia dan di akhirat. Hanya dengan melaksanakan kesemuanya itu dengan penuh tanggung jawablah kebahagiaan sejati akan diperoleh. Pilihannya terpulang kepada kita. Akan tetapi, GDB diakhiri

Page 132: H. Abdul Malik

112 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dengan Pasal XII, Bait 7, “Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.” Nah, merawat hati agar tak buta menjadi tugas utama karena kesemua perbuatan di dunia harus kita pertanggungjawabkan di akhirat. Itu pasti. Begitu jugalah halnya dengan kepemimpinan. Ia tak hanya selesai di dunia, tetapi lebih-lebih harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Mampukah kita menjadi orang yang boleh dibilangkan nama? Tepuk dada, tanyalah selera. Semoga berjaya! []

Page 133: H. Abdul Malik

113ABDUL MALIK

UMRAH telah ditabalkan negeriIsmeth Abdullah terpatri di hati

Tak berlebihanlah sebait gurindam, suatu genre puisi yang sangat luas dikenal karena jasa Raja Ali Haji, diciptakan untuk menjadi ingatan dan memberikan

apresiasi terhadap peristiwa yang sangat bersejarah dari rangkaian peristiwa terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Pada Sabtu, 30 Muharram 1431 atau 16 Januari 2010 l.k. pukul 3.00 petang di Gedung Daerah, sebuah gedung yang juga bersejarah, dilaksanakan acara serah terima aset Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kepada Departemen Pendidikan Nasional.

Pelaku acara serah terima itu dua orang yang sangat berjasa dalam pendirian dan upaya penegerian UMRAH yaitu Drs. H. Ismeth Abdullah, Gubernur Kepulauan Riau, sebagai pihak yang menyerahkan aset dan Prof. dr. H. Fasli Jalal, Ph.D., Wakil Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yang sebelumnya menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, sebagai pihak yang menerima aset. Kebetulan, dalam pergaulan sehari-hari kedua pejabat itu memang seperti abang dan adik. Dengan diserahterimakannya aset itu resmilah UMRAH menjadi universitas negeri di republik ini dan satu-satunya universitas negeri di provinsi termuda ini, yang kampusnya berlokasi di ibukota Negeri Segantang Lada: Tanjungpinang.

Inilah kenangan indahnya. Baru lebih kurang empat bulan menjabat Plt. Gubernur Kepulauan Riau, H. Ismeth Abdullah langsung membuat program besar dan penting bagi Kepulauan Riau dan Indonesia. Pada 24 Oktober 2004 beliau menerbitkan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor KPTS 61/X/2004 tentang Konsorsium Pendirian Universitas Negeri Kepulauan Riau. Keputusan itu sekurang-kurangnya dilandasi oleh dua pertimbangan utama. Pertama,

Gurindam Negeri UMRAH

Page 134: H. Abdul Malik

114 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

beliau menampung aspirasi masyarakat yang sangat mengharapkan berdirinya sebuah universitas negeri sebagai bagian dari perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Aspirasi itu disampaikan oleh masyarakat Kepulauan Riau ke kota mana pun beliau berkunjung di seluruh Indonesia. Kedua, beliau sangat menyadari bahwa karena posisi strategis dan dengan perkembangan pesat pembangunan daerah ini tak mungkin beban itu dapat dipikul oleh masyarakat yang hanya 3,7 persen berpendidikan tinggi kala itu (2004). Oleh sebab itu, adalah tugas utama pemerintahan yang dipimpinnya untuk mendirikan sebuah universitas yang bermutu dan sesuai dengan keperluan pembangunan daerah. Itu merupakan visi H. Ismeth Abdullah yang sangat cemerlang dalam memimpin provinsi yang baru ini.

Sebagai orang yang dipercayai untuk membantu beliau—kala itu saya menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan—saya diminta untuk menghimpun putra terbaik Kepulauan Riau yang berkhidmat di pelbagai perguruan tinggi ternama di tanah air untuk menjadi anggota Konsorsium. Adalah kebetulan pula saya ditunjuk sebagai Ketua Konsorsium sekadar untuk memudahkan koordinasi karena saya bermastautin di Batam saat itu. Berdasarkan kepercayaan itu, saya kumpulkan kawan-kawan dari Universitas Riau, Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Pajajaran, dan Universitas Negeri Padang untuk duduk di Konsorsium. Tugas utama Konsorsium adalah mempersiapkan persyaratan untuk mendirikan universitas negeri di Kepulauan Riau. Alhasil, pada 1 Agustus 2007 berdirilah UMRAH, yang untuk tahap awal berstatus swasta menjelang dinegerikan. Walaupun begitu, bagi Ismeth Abdullah, negeri atau tidak, UMRAH harus menjadi universitas besar, bermutu, dan bermanfaat bagi daerah dan bangsa ini secara nasional. Harapannya itu selalu disampaikan dalam pelbagai kesempatan.

Memang ada Konsorsium, Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulaua Riau, manajemen UMRAH, para dosen, pegawai, dan mahasiswa yang begitu bersemangat sesuai dengan kapasitas masing-masing untuk mewujudkan UMRAH menjadi universitas negeri. Dukungan masyarakat Kepulauan Riau di daerah dan luar daerah juga tak terbilang hebatnya. Bahkan, perjuangan dan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang senantiasa memantau dan bertanya, “Bila UMRAH menjadi unversitas negeri?” setiap kali rapat dengan yayasan dan manajemen UMRAH, terutama rapat anggaran. Di atas kesemuanya itu H. Ismeth Abdullah-lah yang pertama-tama harus dibilangkan nama. Untuk mewujudkan harapan dan kebanggaan masyarakat itu, beliau tak segan-segan berbolak-balik ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, menelepon, dan berkirim SMS kepada Pak Fasli Jalal untuk menggesa percepatan penegerian UMRAH. Hal ini diakui sendiri oleh Wakil Mendiknas itu dalam sambutan bersempena Deklarasi Penegerian UMRAH.

Ternyata, pendirian dan penegerian UMRAH tak hanya bernilai strategis bagi pembangunan Kepulauan Riau. Bahkan, upaya ini sangat mustahak untuk

Page 135: H. Abdul Malik

115ABDUL MALIK

meningkatkan akses masyarakat Indonesia ke pendidikan tinggi. Pasalnya, seperti yang disampaikan oleh Fasli Jalal, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia setakat ini hanya 18 persen. Artinya, dari jumlah penduduk Indonesia usia pendidikan tinggi, hanya 18 persen yang melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Kita ketinggalan jauh dari negera tetangga seperti Malaysia yang APK-nya sudah mencapai 35 persen, Thailand bahkan telah mencapai 70 persen, dan Korea lebih menakjubkan karena telah mencapai 91 persen. Dengan berdirinya UMRAH sebagai universitas negeri akan terbuka peluang bagi lulusan SLTA seluruh daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di universitas negeri yang baru ini. Kesemuanya itu lebih dimungkinkan dengan dialihstatusnegerikannya UMRAH karena jelas biaya pendidikannya dipermurahkan. Satu di antara sekian kendala lulusan SLTA kita melanjutkan pendidikan karena masih mahalnya biaya pendidikan tinggi.

Ada peristiwa menarik dalam acara Deklarasi Penegerian UMRAH itu. Dalam sambutannya, H. Ismeth Abdullah memberi apresiasi dan mengucapkan tahniah kepada Konsorsium yang telah bekerja keras selama ini. Selain itu, beliau memperkenalkan Konsorsium kepada hadirin. Mendapati kenyataan itu, Prof. Dr. H. Moch. Saad, M.Si., Wakil Ketua Konsorsium dan yang paling senior di antara anggota Konsorsium berbisik kepada saya, “Bagus sekali Pak Ismeth ini ya, Pak Malik. Kalau beliau tak memperkenalkan kita, mungkin ada di antara hadirin yang tak tahu apa telah kita buat.” Jawab saya, “Begitulah Pak Ismeth, Prof. Beliau sangat dan senantiasa menghargai jasa orang.”

Kini UMRAH telah menjadi universitas negeri. Pendirian perguruan tinggi yang disejalankan dengan cita-cita perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau itu tercapailah sudah. Yang lebih mustahak lagi, manajemen, para dosen, pegawai, dan mahasiswa UMRAH haruslah menjadikan anugerah Allah ini sebagai pemicu dan pemacu semangat untuk bekerja dan belajar lebih giat lagi sehingga mutu UMRAH dan alumninya terus meningkat dan terpelihara. Dukungan pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya juga diharapkan terus mengalir. Hanya dengan begitulah UMRAH akan bermanfaat bagi pembangunan daerah, khasnya, dan pembangunan nasional, umumnya.

Tokoh ini telah memberikan tauladan yang baik. Dari pikirannya yang cerdas, tangannya yang dingin, dadanya yang lapang, pergaulannya yang luas, sikapnya yang sabar, dan budinya yang halus dalam memimpin; telah lahir universitas negeri di Kepulauan Riau seperti yang didambakan oleh masyarakat. Inilah kalam penutupnya, “Hendak menjadi orang terbilang, selalulah mengenang jasa orang.” Terima kasih dan tahniah Datuk H. Ismeth Abdullah, D.M.S.M. Nama Datuk niscaya telah terpatri harum di hati sanubari seluruh rakyat Kepulauan Riau.[]

Page 136: H. Abdul Malik

116 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

MASIH tetap Pulau Dompak, belum berubah statusnya menjadi Kota Dompak.” Kalimat itu disampaikan oleh Datuk H. Ismeth Abdullah, Gubernur

Kepulauan Riau sesaat sebelum memberi sambutan. Kalimat yang sarat makna itu disampaikannya untuk mengingatkan pembawa acara yang menggunakan sebutan Kota Dompak bagi tempat berlangsungnya acara pagi itu (Sabtu, 4/2/2010). Hadirin pun tak kuasa untuk menahan ketawa berderai karena beliau menyampaikannya dengan nada bergurau yang bersepadu dengan kewibawaan seorang pemimpin yang karismatik.

Akan halnya pembawa acara tak pula terlalu berlebihan. Seperti disaksikan juga oleh para undangan dan hadirin dalam perjalanan menuju ke tempat acara, Dompak sekarang isiknya jauh berbeda dengan Dompak dahulu, bagai siang dengan malam bandingannya. Jalan-jalan Dompak sekarang lebar-lebar dan dibuat sehala. Kalau selesai pembangunannya nanti di kiri-kanan atau di antara dua badan jalan yang berdampingan dibuat taman, tentulah pemandangannya akan lebih memesona. Di samping itu, bangunan kantor pemerintahan telah mulai menyerikan wajah Dompak sekarang.

Dalam perjalanan itu ada yang tiba-tiba menyebutkan, “Kalau sudah seperti ini, Dompak ke depan tak hanya akan menjadi pusat pemerintahan provinsi, tetapi juga berpotensi menjadi destinasi pelancongan yang sangat menjanjikan bagi Tanjungpinang dan Kepulauan Riau.” Kesemuanya itu serba mungkin karena potensinya memang tak diragukan. Tentulah syarat pembangunan yang berwawasan lingkungan harus diperhatikan. Artinya, pertumbuhan bangunan dan gedung harus diperhatikan berimbang dengan pengekalan hutan, yang diperseri oleh taman kota yang indah-indah, baik di sepanjang jalan-jalan utama maupun di sekitar gedung yang dibangun. Apa lagi, kesemuanya itu diserasikan dengan keramahan penduduknya dan para pegawai yang nantinya akan berkantor di Dompak. Keelokan dan kemolekan isik wilayah saja taklah memadai untuk

Pemasangan Perabung Gedung

"

Page 137: H. Abdul Malik

117ABDUL MALIK

menjadikan suatu kawasan sebagai destinasi pelancongan. Pada akhirnya, manusia yang menempati kawasan itulah yang paling menentukan. Pendek kata, Dompak sekarang betul-betul tampil beda: dari kampung tertinggal pada masa lalu menjadi kota yang berseri ke depan ini. Oleh sebab itu, tak heranlah jika pembawa acara yang dikenal bersuara merdu itu menyebutnya dengan Kota Dompak.

Di dalam pidato sambutannya, Datuk H. Ismeth Abdullah juga mengatakan bahwa tak perlulah menggunakan istilah asing untuk acara yang dilaksanakan pagi itu. “Sampai-sampai pemandu doa tadi pun menggunakan istilah topping off. Kita gunakan bahasa kita saja yaitu menutup atap tak usahlah topping off,” sambung Gubernur. Ya, seperti tertera pada surat undangan pagi itu diadakan acara Topping Off Pembangunan Kantor Gubernur, Dinas, dan Badan di Pulau Dompak.

Selain itu, Ismeth Abdullah menjelaskan bahwa pembangunan kantor Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dilaksanakan untuk memenuhi amanat undang-undang bahwa setiap pemerintah harus memiliki kantor sendiri. Bahkan, katanya, kita harus berbangga dan bersyukur kepada Tuhan karena kita membangun dengan daya dan kekuatan sendiri. Banyak daerah lain membangun dengan bantuan Pemerintah Pusat. Menurut beliau lagi, gedung-gedung perkantoran yang dibangun itu taklah mewah, tetapi layak. Dengan siapnya kompleks perkantoran, pelayanan kepada masyarakat pun menjadi lebih mudah dan masyarakat pun akan lebih selesa berurusan di kantor pemerintah. Yang terpenting, para pegawai pemerintah terus memperbaharui citra diri yang lebih baik karena masyarakat memang memerlukan pelayanan yang lebih baik.

Dari laporan pihak pelaksana proyek dapatlah diketahui bahwa di Pulau Dompak dilaksanakan lima paket pembangunan gedung. Paket-paket itu meliputi kantor Pemerintah Provinsi, mesjid, Kantor DPRD, Kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), dan Kantor Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau dan Gedung Kesenian. Satu paket gedung lagi yaitu Rumah Sakit Umum Provinsi dibangun di Tanjungpinang. Di samping itu, ada tiga paket pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan Pulau Dompak dengan Tanjungpinang. Dalam empat bulan ke depan kesemua kegiatan pembangunan itu akan selesai. Kalau itu betul, betapa bersemaraknya Pulau Dompak empat bulan yang akan datang. Salangkan belum selesai saja keadaannya telah jauh berubah lebih elok dan indah, apakan lagi kalau telah siap kesemua pembangunannya.

Dalam acara yang sangat sederhana dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat Kepulauan Riau itu, juga memberi sambutan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Ir. H. Nur Syafriadi, M.Si. Dalam sambutannya Ketua DPRD kembali menegaskan dukungan DPRD terhadap pembangunan Pulau Dompak. Bahkan, menurutnya, DPRD akan mengadakan sayembara untuk memberikan nama baru bagi kawasan Dompak karena keadaannya telah berubah dari Dompak yang dahulu.

Page 138: H. Abdul Malik

118 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hemat saya, pemberian nama baru boleh-boleh saja sepanjang tak melangkahi nilai-nilai sejarah dan budaya Pulau Dompak. Hal itu berarti, nama Pulau Dompak harus tetap dipertahankan karena nama itu memiliki nilai historis dan budaya sesuai dengan yang ditabalkan para pendahulu kita. Tak berarti isiknya sudah modern, lalu namanya juga harus diubah. Sebagai perbandingan, setelah menjadi pusat pemerintahan Raja Muda atau Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga, Pulau Penyengat ditambah namanya menjadi Pulau Penyengat Indrasakti. Nama Pulau Penyengatnya tetap dipertahankan. Begitulah hendaknya dengan Pulau Dompak. Ada kawasan di Pulau Dompak kemudian diberi nama Dompak Seri Laksana, Dompak Seri Cemerlang, sekadar menyebut dua contoh, tentulah boleh dilakukan asal sesuai dan sepadan dengan nilai-nilai sejarah dan sosiobudaya Pulau Dompak.

Dari acara yang dilaksanakan itu kita dapat mencermati ketelitian dan kecintaan seorang Datuk H. Ismeth Abdullah terhadap nilai-nilai terala budaya bangsanya. Beliau menegur dengan halus pembawa acara yang menyebut Pulau Dompak dengan Kota Dompak. Bagaimanapun megahnya Dompak setelah dibangun kini biarlah Pulau Dompak dan masyarakatnya memiliki kebanggaan tanpa harus menjejas nama aslinya. Ibarat manusia, bukan karena namanya Juliana lalu dia menjadi modern dan sebab namanya Zulaiha dia menjadi kuno. Kemodernan ditunjukkan pada perubahan pikiran, sikap, dan perilaku ke arah yang lebih maju sesuai dengan perkembangan masa, bukan pada nama.

Kritik Gubernur terhadap penggunaan istilah topping off pun menunjukkan kualitas pemimpin yang menjunjung tinggi budaya bangsa sendiri. Padahal, kesemua orang tahu bahwa Datuk Ismeth sangat fasih berbahasa Inggris. Dengan begitu, beliau hendak menegaskan bahwa kalau ada budaya sendiri dan untuk digunakan di lingkungan sendiri, mengapakah harus dipakai budaya bangsa lain. Topping off pun bagi penutur asli (native speakers) bahasa Inggris bukanlah hal yang istimewa, biasa saja, tetapi kita yang melebih-lebihkannya. Padahal, di dalam bahasa kita ada ungkapan menutup atap atau lebih tepatnya pemasangan perabung dalam bahasa Melayu/Indonesia. Penutup atap itu dalam seni arsitektur kita disebut perabung. Kecenderungan kita kalau telah menghasilkan sesuatu yang berbau modern langsung memberikan nama asing bagi barang yang dihasilkan itu. Yang membuatnya kita, mengapakah tak diberikan nama yang sesuai dengan budaya kita?

Datuk H. Ismeth Abdullah sekali lagi telah menunjukkan suri tauladan yang baik sebagai pemimpin negeri. Pemimpin dengan kualitas budi seperti inilah yang pada zaman sekarang sulit dicari. “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa,” demikian amanat Raja Ali Haji.[]

Page 139: H. Abdul Malik

119ABDUL MALIK

"GONG Xi Fa Chai. Selamat Tahun Baru Imlek 2561. Semoga pada Tahun Harimau ini kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik.” Itulah ucapan selamat

Hari Raya Imlek yang saya kirim melalui pesan pendek (SMS) telepon genggam kepada sahabat-sahabat saya yang merayakannya minggu lalu. Memang begitulah cara dan gaya saya berkomunikasi dalam peristiwa yang sakral, resmi dan baku, walaupun kepada sahabat-sahabat, apa lagi secara tertulis. Dalam komunikasi sehari-hari gaya itu tak pernah hadir.

“Ada tokek makan lumpia, biar bokek yang penting Sin Cia. Ada rayap dekat bakpao, mohon maap, tak ada angpao. Buah leci daun kucai, kuucapkan Gong Xi Fa Cai.” Sungguh saya terkejut, lagi terkesan. Di antara balasan SMS, selain yang resmi-baku seperti “Terima kasih, Saudaraku. Semoga Saudaraku sekeluarga pun memperoleh kebahagiaan”, terdapat banyak ucapan dalam bentuk pantun kilat (karmina) yang isinya lucu-lucu seperti yang saya kutipkan pada awal perenggan (paragraf) ini. Untuk para pembaca yang kurang memahaminya, ungkapan Sin Cia yang berarti Hari Raya banyak digunakan oleh masyarakat Tionghoa selain Imlek.

Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang sahabat perihal penggunaan pantun sebagai ucapan Sin Cia ketika berkunjung ke rumahnya pada Hari Raya Imlek itu. Dari jawabannya barulah saya tahu bahwa penggunaan pantun tak hanya ditujukan kepada saudara-saudara yang bukan etnis Tionghoa saja, tetapi di antara sesama masyarakat Tionghoa pun, khasnya di kalangan generasi muda, pantun banyak digunakan untuk ucapan Imlek. Dan, fenomena itu telah berlangsung lama. Sungguh saya ketinggalan kereta, tetapi pada Tahun Harimau ini kereta itu tak meninggalkan saya lagi. Mungkinkah ini penanda baik bagi saya pada tahun ini, saya pun kurang periksa. Akan tetapi, yang berikut ini sungguh-sungguh saya periksa.

Imlek, Pantun, dan Huruf Jawi

Page 140: H. Abdul Malik

120 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Ternyata pantun telah sangat memasyarakat di kalangan bangsa kita, tak kira usia, agama, etnis, atau apa pun perbedaan yang ada. Betapa keriangan, kegembiraan, dan kebahagian saudara-saudara kita masyarakat Tionghoa menyambut Sin Cia (Imlek) begitu terasa dalam pantun yang mereka ciptakan. Genre pantun begitu bersepadu dan dibancuh serasi dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa seperti terekam pada kata-kata lumpia, bakpao, leci, kucai, dan angpao. Pantun ternyata telah menunjukkan jati dirinya sebagai sarana perbauran yang sangat mangkus (efektif) bagi bangsa kita. Tak sesiapa pun dapat membantah kelincahan ucapan dan ungkapan saudara-saudara Tionghoa kita dalam ucapan Tahun Barunya dalam pantun yang mereka ucapkan. Pantun kiranya telah memberikan sesuatu yang santun dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Memang, kebudayaanlah yang boleh menyatukan, bukan yang lain, walaupun kebudayaan masyarakat kita berbeda-beda.

Seperti halnya Hari Raya yang lain, pada Sin Cia kali ini saudara-saudara kita yang merayakannya banyak mendapat ucapan selamat dari saudara-saudaranya yang bukan Tionghoa. Ada ucapan yang disampaikan secara lanngsung, melalui telepon, SMS, kartu ucapan selamat, kain rentang (spanduk), baliho, iklan di media massa, dan sebagainya.

Yang paling menarik tentulah ucapan yang menggunakan kain rentang, baliho, dan iklan. Sekurang-kurangnya ada lima hal yang membuat ucapan itu menarik. Pertama, ucapan itu dibuat di atas media dengan dasar merah, warna khas budaya Tionghoa, yang menghiasi jalan-jalan protokol di setiap kota. Kedua, ucapan itu disertai dengan tulisan huruf kanji, tulisan bahasa Mandarin. Ketiga, ucapan itu umumnya berasal dari para politisi yang bukan etnis Tionghoa. Keempat, di antara ucapan itu ada yang disertai foto si pemberi ucapan beserta keluarga (suami-istri, ada juga dengan anak-anak) dalam pelbagai ukuran, sesuai dengan tingkat kemapanan dan kesejahteraan hidup mereka. Kelima, banyak di antara foto itu yang menampilkan si pemberi ucapan mengenakan pakaian tradisional Tionghoa dengan pelbagai modenya. Sungguh suatu pemandangan yang sangat menarik dan semarak.

Bagi kalangan politisi, penampilan yang menarik lengkap dengan foto memang sangat mustahak dilakukan agar mereka lebih dikenal. Dengan begitu, mereka dapat lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, yang bersempena Sin Cia (Imlek) ini, dikhususkan kepada masyarakat Tionghoa. Mana tahu, dengan begitu masyarakat Tionghoa akan tertarik kepada mereka dalam kaitannya dengan peristiwa politik yang sedang dan akan dijalani kelak. Apatah lagi mereka betul-betul telah menunjukkan perbauran dengan menggunakan tulisan huruf kanji dalam ucapannya, yang entah mereka dapat membaca atau tidak tulisan itu yang penting diupahkan saja orang membuatnya, dan mengenakan busana tradisional Tionghoa. Memang, Sin Cia atau Hari Raya Imlek ini memiliki daya tarik yang luar biasa.

Page 141: H. Abdul Malik

121ABDUL MALIK

Berhubung dengan ucapan Sin Cia, nampaknya agak ada perbedaan cara dan penampilan orang mengucapkannya dibandingkan dengan ucapan Hari Raya Aidil itri, misalnya. Ada ucapan yang disertai foto pemberi ucapan sama saja. Ucapan yang menggunakan pelbagai media juga tak berbeda. Bedanya, hampir tak ada ucapan dari saudara-saudara nonmuslim yang fotonya mengenakan busana muslim atau baju Melayu lengkap dengan songkok, misalnya. Begitu pula, tak pernah terlihat ucapan yang menggunakan tulisan huruf Jawi (huruf Arab-Melayu), bahkan juga dari pemberi ucapan yang muslim dan atau Melayu sekalipun. Kalau pun ada, ucapan dalam huruf Latin yang disepadukan dengan bahasa Arab (bukan Arab-Melayu) dari pemberi ucapan yang beragama Islam.

Biasanya kebiasaan hanya menggunakan huruf Latin, tak menggunakan huruf Arab-Melayu, dalam ucapan itu dikaitkan dengan kenyataan konon tak banyak orang yang dapat membaca tulisan itu. Dengan demikian, akan mubazir kalau ucapan menggunakan huruf Arab-Melayu walaupun itu adalah bagian dari budaya kita. Kalau demikian keadaannya, sudahkah kesemua masyarakat Indonesia mampu membaca huruf kanji sehingga banyak yang memberi ucapan selamat dengan menggunakan huruf kanji?

Dari fenomena ini, dalam kaitannya dengan pembinaan, pengekalan, dan pengembangan budaya Indonesia dan daerah, yang untuk daerah ini budaya Melayu, kita perlu kembali kepada amanat Nabi Muhammad saw. “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Tiongkok.” Perayaan Sin Cia ini membuktikan amanat itu tak terbantahkan. Tak banyak leguh-legah yang dilakukan oleh saudara-saudara kita masyarakat Tionghoa untuk membina, mengekalkan, dan mengembangkan budaya terala nenek-moyang mereka. Yang ada mereka tetap menjunjung tinggi budaya yang ranggi itu, lebih-lebih masyarakat Tionghoa perantauan di mana pun mereka bermastautin di muka bumi ini.

Betapa pun budaya asing menerpa, mereka tak berganjak: tetap menjunjung tinggi budaya sendiri, merasa bermartabat, dan memiliki harga diri dengan warisan leluhur yang ranggi. Inilah pikiran, sifat, sikap, dan perilaku terpuji dalam memelihara warisan budaya sendiri. Alhasil, semua ikon budaya Tionghoa menjadi menarik masyarakat di mana pun mereka berada. Huruf kanji, bahasa Mandarin, busana tradisional Tionghoa, dan barongsai kini telah merakyat di seluruh belahan dunia sehingga menjadi belahan hati. Menariknya lagi, Pemerintah Tiongkok tak pernah memprotes permainan barongsai di mana pun di dunia ini. Pasal, mereka tahu bahwa di mana bumi dipijak, di situ ada orang Tionghoa yang bijak.

Akhirnya, ada lumpia ada bakpao, ada Sin Cia pasti ada angpao. Ada ikan, kangkung-terasi, dan kucai; saya ucapkan Gong Xi Fa Chai. []

Page 142: H. Abdul Malik

122 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

PULAU Dompak identik dengan pusat ibukota Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Pasalnya, pulau kecil di dalam wilayah Kota Tanjungpinang itu kini sedang

dibangun pelbagai fasilitas untuk menyokong penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Kepulauan Riau.

Lebih jauh daripada itu sebetulnya pembangunan Pulau Dompak selaras dengan visi Provinsi Kepulauan Riau. Pembangunan pulau, yang sebelumnya hanya sebuah kampung, itu hendak menegaskan pencapaian wawasan untuk mencapai masyarakat yang cerdas, sejahtera, dan berakhlak mulia, yang berpayungkan budaya Melayu.

Dengan dibangunnya Kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) di kawasan Dompak, diharapkan kesemua pemikiran tentang pencerdasan masyarakat dapat dihasilkan dari institusi pendidikan tinggi negeri itu. Hal itu sangat dimungkinkan karena UMRAH wajib mewujudkan misi penyelenggaraan dan pengembangan sains, teknologi, dan seni, yang diimplementasikan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. UMRAH, dengan demikian, wajib mewujudkan misi pencerdasan masyarakat agar keberadaannya menjadi bermanfaat bagi negara, daerah, dan masyarakat.

UMRAH tak dapat tiada harus mampu menjadi dapur pemikiran bagi kemajuan daerah dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, pengembangan program studi di universitas negeri ini harus betul-betul relevan dan kontekstual dengan potensi dan keperluan daerah serta masyarakat Kepulauan Riau. Sivitas akademika UMRAH diharapkan mampu memberikan kemampuan terbaiknya untuk kemajuan daerah, yang ditunjukkan oleh meningkatnya tingkat kecerdasan masyarakat secara berarti. Hanya dengan cara itulah keberadaan UMRAH membawa berkah bagi negara, daerah, dan masyarakat seperti yang dicita-citakan dari misi perjuangan

Kabar dari Dompak

Page 143: H. Abdul Malik

123ABDUL MALIK

pendiriannya selama ini. Pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan misi itu mesti menjadi tanggung jawab utama semua sivitas akademika UMRAH. Intinya, UMRAH harus menjadi sentra utama pencerdasan masyarakat, tanpa mengurangi arti peran institusi lain yang ada di daerah ini.

Dalam pada itu, lembaga eksekutif dan legislatif, yang juga berpusat di Dompak, sangat diharapkan mencurahkan kesemua pemikiran, kebijakan, dan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan terus meningkatkan kualitas pemerintahan yang baik dan bersih, kita berharap masyarakat tak perlu menanti terlalu lama untuk sampai pada tingkat kesejahteraan yang diidealkan. Kerja sama yang baik antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif niscaya akan mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, yang pada gilirannya akan mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat. Dengan kerja sama yang baik dimaksudkan ketiga lembaga ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bagi masyarakat, kriteria utama keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kesejahteraan mereka secara berarti. Hal itu bermakna ukuran pragmatis dari masyarakat tentang keberhasilan pembangunan terletak pada kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah untuk mewujudkan percepatan peningkatan kesejahteraan tersebut. Jika tidak, pemerintah dan pemerintah daerah pasti dianggap gagal atau tak berdaya. Dari perkembangan pembangunan Provinsi Kepulauan Riau selama ini jalan ke arah itu telah terbuka lebar. Kini dan ke depan ini diperlukan konsistensi dalam penerapannya sehingga apa-apa yang telah dilaksanakan selama ini menjadi terus meningkat untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat, yang pasti akan terus meningkat pula sesuai dengan perjalanan waktu.

Inilah institusi yang sangat diharapkan untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia. Islamic Center dan Mesjid Provinsi yang berdiri megah di Pulau Dompak niscaya akan diisi oleh orang-orang yang memang profesional dalam bidangnya. Kecanggihan bangunannya mestilah representatif dengan sumber daya manusia yang mengelolanya. Kita pun sangat optimistis bahwa lembaga keagamaan ini mampu mencapai misi menciptakan masyarakat yang berakhlak mulia dengan mengambil perbandingan dengan kinerja yang telah ditunjukkan oleh Quran Center di Batam, yang dipimpin oleh H. Mahadi Rahman, S.Q. Telah terbukti Quran Center mampu menjadikan anak-anak kampung sebagai qari dan qariah peringkat antara bangsa (internasional) dengan ketekunan, dedikasi, dan profesionalitas yang ditunjukkan oleh para pengelolanya. Begitu pulalah harapan kita terhadap institusi Islamic Center dan Mesjid Provinsi yang pembangunan sarana dan prasarananya sedang dilaksanakan setakat ini.

Page 144: H. Abdul Malik

124 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Dua institusi yang disebutkan terakhir selepas ini juga sangat mustahak keberadaannya. Di samping juga berperan untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau sangat penting perannya bagi pembinaan, pengekalan, dan pengembangan adat-istiadat Melayu. Dari mereka yang tunak berbakti di LAM kita berharap masyarakat dan pemerintah memperoleh pedoman tentang adat-istiadat yang diperlukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dan penyelenggaraan pemerintahan yang selaras dengan nilai-nilai budaya Melayu. LAM akan menjadi rujukan mana-mana yang boleh dan tak boleh dilakukan dalam perikehidupan bermasyarakat dan pelaksanaan pembangunan daerah ini. Pendek kata, adalah tugas dan tanggung jawab utama LAM untuk memikirkan, merumuskan, dan menyebarluaskan dasar-dasar pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat yang selaras dengan nilai-nilai budaya Melayu. Jadi, LAM harus menyerlahkan dirinya sebagai institusi penjamin bagi kekalnya motto, “Tak Melayu hilang di bumi” di daerah ini.

Apakah lagi institusi yang sangat berperan dalam pembinaan, pengekalan, dan pengembangan budaya Melayu? Tak lain tak bukan, lembaga kesenian daerah, yang pembangunan gedungnya juga dipusatkan dan sedang dilaksanakan di Pulau Dompak. Dari Gedung Kesenian ini nanti diharapkan terus mengalir kreativitas dan inovasi dari para pegiat seni budaya. Karya-karya mereka diharapkan tak hanya dikenal pada peringkat daerah dan nasional, tetapi juga antara bangsa (internasional). Dari karya mereka yang bertungkus lumus dalam bidang seni dan budaya ini diharapkan seni budaya Melayu akan terus memberikan sumbangan terhadap kebudayaan dunia.

Kesemuanya itu dimungkinkan jika diupayakan peningkatan kuantitas dan kualitas penciptaan dan pertunjukan karya seni budaya di sentra pengembangan tamadun di kawasan Dompak ini. Gedung Kesenian diharapkan mampu menjadi tempat pengembangan, promosi, sekaligus pertunjukan seni budaya Melayu secara berkala dan terus-menerus. Dari gedung inilah kelak diharapkan akan diadakan pertunjukan seni budaya—khasnya Melayu—peringkat daerah, nasional, dan antara bangsa. Kalau dalam bidang olahraga kita dapat menyelenggarakan kegiatan berskala internasional, tentulah kita pun mampu berbuat hal yang serupa dalam bidang seni budaya. Dan, dari pegiat seni budaya yang ada di daerah ini selama ini, tentu tak harus dicuaikan peningkatan kuantitas dan kualitasnya, kita percaya misi ini tak terlalu sulit untuk dicapai. Semoga demikianlah hendaknya. []

Page 145: H. Abdul Malik

125ABDUL MALIK

TENSI politik begitu tinggi di Kepulauan Riau pada April dan Mei 2010. Biasalah itu. Pasal, pada Mei itu diadakan Pemilihan Umum Kepala Daerah yang Kedua

Provinsi Kepulauan Riau. Kesemua pihak nampaknya larut dalam hajat besar yang akan dilangsungkan itu, dari politisi, aparat, media massa, sampailah kepada seluruh rakyat. Di antara mereka bagai tak hendak ketinggalan sedikit jua pun momen politik yang mustahak ini. Pikiran dan tenaga betul-betul dikerahkan untuk menjayakan kerja besar itu.

Di antara mereka ada yang mengurangi porsi tidur, makan, dan pelbagai kegiatan sosial yang biasa dilakukan. Bahkan, para kolomnis media massa yang biasanya menulis dalam bidang lain juga larut, melencong dari misi awal, menulis kolom politik yang cenderung mengampanyekan calon yang diusungnya, yang pada sisi lain—tersurat atau tersirat—mendeskreditkan calon yang lain pula. Gejala itu menunjukkan bahwa di negara dan negeri ini euforia politik memang sedang naik daun, jauh meninggalkan bidang kehidupan yang lain. Saya jadi teringat ucapan seorang profesor dari Malaysia, “Kesemua orang suka politik.” Ingatan saya pun tertuju kepada Allahyarham Saddam Hussein, “Dalam politik praktis, lain yang diniatkan, lain yang dikatakan, dan lain pula yang dikerjakan.” Itu dia! Alhasil, itu tadi: biasalah kesemuanya itu. Jangan terlalu diambil hati, nanti sakit pula!

Di tengah leguh-legah politik praktis itu, untunglah ada juga tersisa dua agenda kebudayaan yang cukup monumental. Pertama, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Kota Tanjungpinang mengerjakan dan menerbitkan buku Kepengarangan Sastra Tanjungpinang: dari Raja Ali Haji ke Suryatati A. Manan. Setelah selesai ternyata buku itu memang sangat monumental. Kedua, melalui Dinas Perindustrian, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada Mei mengadakan Sayembara Batik Kepulauan Riau. Tahun sebelumnya kegiatan serupa telah dilaksanakan, tetapi bedanya pada 2010 pesertanya meliputi seluruh Indonesia. Tulisan ini hanya mengupas perihal Sayembara Batik itu saja.

Batik Kepulauan Riau

Page 146: H. Abdul Malik

126 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Tanpa mengurangkan arti penting aspek ekonomis atau lebih tepatnya selera pasar dan mudah-sukarnya suatu ragi (desain) diterapkan menjadi karya batik, aspek budaya harus mendapat perhatian penting. Maksudnya, nama corak (motif), asal corak, iloso i, dan rancangan raginya haruslah menampilkan ciri khas Kepulauan Riau. Hal itu mustahak tak hanya untuk mengekalkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya Melayu Kepulauan Riau, tetapi juga untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi karya tersebut ditolak ketika didaftar sebagai hak kekayaan intelektual (HKI) Kepulauan Riau. Kalau sampai terjadi penolakan, tentulah kerja besar itu menjadi sia-sia, bukan?

Potensi penolakan itu sangat besar. Pasal apa? Kepulauan Riau berbudaya asal Melayu, tetapi bukan hanya kita yang berbudaya Melayu. Banyak daerah dan negara lain di dunia ini juga mewarisi budaya Melayu. Dengan demikian, corak dan ragi ragam hiasnya (termasuk batik) sama atau sekurang-kurangnya mirip. Masalahnya, daerah-daerah dan negara-negara lain lebih dulu eksis karena mereka memang sudah lama berpemerintahan provinsi, bahkan negara, sedangkan Kepulauan Riau provinsi baru dan baru setelah itu mengembangkan karya batik atas nama Provinsi Kepulauan Riau. Memang telah terjadi corak dan ragi Melayu itu terdaftar atas nama provinsi dan atau negara lain karena mereka lebih dahulu mendaftarkannya. Padahal, bukan tak mungkin karya yang didaftarkan itu asalnya dulu dari Kepulauan Riau karena daerah ini suatu masa dulu sangat lama menjadi pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu. Akan tetapi, itulah pat...pat...nya...nya..., siapa cepat siapa punya. Akibatnya, kita nyaris tak punya apa-apa.

Sebagai contoh kasus, dari sekian banyak corak dan ragi yang didaftarkan oleh Kabupaten Lingga, hanya 21 corak dan ragi saja yang diterima atas nama Lingga. Padahal, kesemua orang tahu bahwa Lingga adalah salah satu pusat corak dan ragi Melayu karena selain pernah menjadi pusat Negara Melayu pada masa lampau, Lingga pulalah yang tercatat pernah mengembangkan industri batik di kawasan Melayu pada masa lalu. Alhasil, kabupaten pusat Kesultanan Melayu itu hanya boleh mendaftarkan sisa karya yang belum didaftarkan orang. Memang tragis, tetapi itulah kenyataan yang terjadi setakat ini.

Corak dasar Melayu bersumber dari enam kategori: (1) tumbuh-tumbuhan, (2) hewan, (3) benda-benda alam, (4) benda-benda pusaka, (5) bidang, dan (6) kaligra i. Dari tumbuh-tumbuhan, terdapat corak pucuk rebung, kaluk pakis, daun sirih, bunga rampai, dan sebagainya. Dari hewan dikembangkan corak lebah bergayut atau lebah bergantung, semut beriring, itik pulang petang, elang menyambar, dan sebagainya. Dari benda alam, ada corak bulan sabit, bintang-bintangan, awan larat, laut-lautan, dan lain-lain. Dari benda pusaka pula, terdapatlah corak keris, pasu-pasu, tepak, dan sebagainya. Dari bidang, ada corak segi tiga, segi empat,

Page 147: H. Abdul Malik

127ABDUL MALIK

segi lima, dan lain-lain. Dan, dari kaligra i, terdapat pelbagai corak kaligra i yang diambil dari ayat suci Alquran.

Dari corak dasar itu dapat dikembangkan dalam jumlah tak berhingga corak-corak turunan: pucuk rebung susun berjajar, awan larat menyisir pantai, dan sebagainya. Itulah peluang seniman dan atau perajin untuk mengembangkan kreativitasnya sehingga terus menambah khazanah corak yang telah ada.

Corak-corak yang dikembangkan menjadi corak batik dapat berupa corak tunggal, pucuk rebung misalnya. Akan tetapi, corak tunggal itu dapat juga disepadukan dengan corak tunggal yang lain, berupa perpaduan beberapa corak sehingga menjadi elang menyambar di rembang petang, misalnya. Pemaduan corak tunggal dalam bentuk perpaduan memerlukan kreativitas seniman dan atau perajin batik sehingga dari segi estetika terlihat indah dan dari segi budaya menunjukkan nilai yang terala (luhur). Oleh sebab itu, seniman dan atau perajin batik Melayu dipersyaratkan tak hanya memahami nilai-nilai estetika secara umum, tetapi juga mengetahui nilai-nilai budaya Melayu, khususnya corak dan ragi ragam hiasnya.

Seandainya seniman dan atau perajin menghasilkan karya “pucuk rebung tunggal”, misalnya, pastilah corak itu akan ditolak ketika akan didaftar sebagai hak cipta Kepulauan Riau. Pasal apa? Corak itu juga ada di kawasan Melayu yang lain dan, bahkan, mereka dapat dipastikan telah mendaftarkannya atas nama daerah mereka. Oleh sebab itu, peluang Kepulauan Riau ada pada inovasi dan kreativitas penggabungan corak. Dalam meragi (mendesain)-nya pun diharapkan betul-betul menunjukkan kekhasan Kepulauan Riau, tak terlihat kesamaannya dengan kawasan Melayu yang lain, sehingga begitu melihat secara sepintas, orang tahu bahwa karya itu berasal dari Kepulauan Riau. Bandingkan dengan kain besurek, umpamanya, yang orang langsung tahu bahwa karya itu berasal dari Bengkulu.

Hal mustahak lainnya tentulah iloso i corak dan ragi yang dikembangkan. Filoso i menjadi bagian yang bersebati (menyatu) dengan corak dan raginya. Akan terasa janggal jika corak dan ragi diciptakan, tetapi penciptanya tak tahu nilai iloso isnya. Lazimnya iloso i itu dituangkan dalam bentuk pantun. Kandungan

isinya terdiri atas nama corak dan penggabungannya, penempatannya di dalam ragi, dan nilai manfaatnya.

Keris bersilang nama coraknyaDipadu tanjak menjemput marwah

Nama terjulang segak geraknyaBicaranya bijak membawa tuah

Page 148: H. Abdul Malik

128 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Filoso i itu menyuratkan nama corak: Keris Bersilang Menjemput Marwah, perpaduannya: corak keris berpadu tanjak, dan nilai manfaatnya bagi pemakai: nama harum, geraknya segak (tampan, cergas), berbicara bijak, dan mendatangkan tuah (keberuntungan). Bagaimanakah penampilan corak dan ragi batiknya? Kesemuanya terpulang kepada kreativitas penciptanya.

Anda berminat untuk menekuni kerajinan batik khas Melayu Kepulauan Riau? Itu minat yang terpuji dan menjanjikan secara materi. Namun, sekurang-kurangnya pahamilah nilai-nilai yang terperi. Insya Allah, Anda akan terpuji! []

Page 149: H. Abdul Malik

129ABDUL MALIK

SEBAGAI makhluk sosial, manusia harus hidup bermasyarakat. Artinya, tiada seorang jua pun manusia yang sehat jasmani dan rohani yang sanggup hidup

sebatang kara, seorang diri, di dunia ini. Oleh sebab itu, manusia memerlukan kelompok hidup bersama yang biasa disebut masyarakat.

Masyarakat merupakan kelompok manusia yang terbesar yang memiliki kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, sikap, dan perasaan persatuan yang relatif sama (lihat juga Gillin dan Gillin, 1948). Jika perbedaan yang kecil-kecil diperhitungkan, secara kuantitatif masyarakat pun menjadi kecil. Akan tetapi, kalau unsur yang sama yang lebih diperhitungkan, masyarakat pun menjadi besar. Jadi, besar-kecilnya masyarakat sangat bergantung kepada persepsi kita tentang kesamaan dan kebedaan.

Masyarakat Malaysia, misalnya, menghitung jumlah masyarakat Melayu di dunia ini tak kurang dari 300 juta orang, suatu jumlah yang cukup besar. Hal itu disebabkan oleh cara pandang Malaysia yang mencirikan Melayu atas tiga indikator utama: berbahasa Melayu (apa pun variasi dialek atau logatnya), beradat-istiadat Melayu (dengan pelbagai ragam tempatan yang menambah semarak), dan beragama Islam. Akan tetapi, dengan cara pandang Indonesia yang lebih memperinci perbedaan, jumlah masyarakat Melayu di dunia ini hanya sekitar 15—20 persen saja dari hitungan Malaysia, jauh lebih kecil. Cara pandang Indonesia itu konon diwarisi dari kolonial Belanda, yang pernah bertapak lama di persada nusantara ini. Ironisnya, kita pun telah lama merdeka.

Dalam hitungan kecil ataupun besar, orang Melayu memiliki nilai-nilai terala, yang dianggap luhur, baik, dan mulia untuk hidup di dalam masyarakat. Jika nilai-nilai itu diterapkan, seseorang dianggap sebagai anggota masyarakat yang baik, tetapi jika tidak, berlakulah hal yang sebaliknya. Di antara nilai-nilai itu tertuang dalam ungkapan, yang biasa pula disebut ungkapan adat atau petuah orang tua-tua.

Yang Kuasa Memberi Daulat

Page 150: H. Abdul Malik

130 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hidup bermasyarakat terutama harus dipelihara atau dijaga keutuhan. Nilai keutuhan atau kesebatian itu akan terjaga jika anggota masyarakat tak membeda-bedakan keberadaan yang satu dengan yang lainnya.

Searang dibagi-bagiSekuman dibelah-belahDitimbang sama beratDiukur sama panjang

Dengan cara yang lain, Raja Ali Haji mengingatkan, “Jangan bedakan antara orang dalam dan orang luar.” kesemua anggota masyarakat harus memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tak boleh ada yang mendapat perlakukan istimewa.

Keakraban dan kerukunan menjadi nilai yang penting untuk hidup bermasya-rakat. Anggota masyarakat tak dibenarkan mementingkan diri sendiri, kerabat sendiri, dan atau sahabat sendiri. Kesemua orang seyogianya dapat dijadikan saudara. Dengan begitu, kehidupan berlangsung secara mesra.

Lapang sama berlegaSempit sama berhimpit

Lebih beri-memberiKurang isi-mengisi

Keberlangsungan hidup bermasyarakat yang harmonis dapat diwujudkan jika para anggotanya menyadari fungsinya masing-masing. Fungsi dalam masyarakat itu menjadi tanggung jawab yang harus dijalankan.

Yang tua memberi nasehatYang alim memberi amanatYang berani memberi kuat

Yang kuasa memberi daulat

Kehidupan dalam masyarakat akan menjadi kacau-balau jika yang terjadi kebalikannya. Yang tua tak jelas nasehatnya, yang alim tak terdengar amanatnya, yang berani tak terarah kuatnya, dan yang kuasa tak paham akan daulatnya.

Begitulah pentingnya setiap anggota masyarakat menyadari tanggung jawabnya. Pasal apa? Untuk keberlangsungan hidup yang baik, sesama anggota masyarakat mau dan sanggup saling mengingatkan. Untuk itu, mesti ada tokoh yang dapat ditauladani atau diikuti petuah dan tunjuk ajarnya.

Yang lupa diingatkanYang bengkok diluruskan

Yang tidur dijagakan

Page 151: H. Abdul Malik

131ABDUL MALIK

Kalau kendali sosial seperti itu dapat berjalan, masyarakat akan hidup dalam tenteram dan damai. Oleh sebab itu, perlu dikekalkan kebiasaan “yang salah tegur-menegur; yang rendah angkat-mengangkat; yang tinggi junjung-menjunjung.” Dengan demikian, harkat, martabat, atau marwah masyarakat akan tetap terpelihara.

Nilai kesetiaan dan kejujuranlah yang paling menentukan kesebatian atau keutuhan hidup bermasyarakat. Dalam hal ini, bermasyarakat diibaratkan berjalan beriringan.

Kalau berjalan beriringanYang dulu jangan menunjang

Yang tengah jangan membelokYang di belakang jangan menumit

Dalam hubungan sosial, baik secara horizontal maupun vertikal, mengamalkan nilai kesetiaan dan kejujuran itu sangat mustahak adanya. Kalau jadi pemimpin, jangan menindas, jangan mempersulit, dan jangan menghalangi rakyat untuk maju. Justeru, dengan kekuasaan dan daulat yang ada, pemimpin harus mampu memberi laluan bagi masyarakat untuk maju dalam pelbagai bidang kehidupan, siapa pun orangnya. Orang-orang yang dipimpin pula tak perlu mengada-ada. Kalau pemimpin melaksanakan kepemimpinannya secara benar, tak ada alasan untuk menolaknya, apa lagi dengan alasan yang dicari-cari yang tak lain semata-mata tipu helah belaka.

Keberlangsungan hidup bermasyarakat juga ditentukan oleh mampu-tidaknya kita menjauhi sifat tercela. Lebih daripada itu, di antara anggota masyarakat sanggup saling memaa kan jika terjadi kesalahan.

Yang semak buang ke rimbaYang keruh buang ke laut

Buang yang keruh, ambil yang jernih

Pasal apa? Tak ada manusia yang sunyi dari kesilapan dan kesalahan. Mampu memaa kan orang lain merupakan sifat yang terpuji.

Mengapakah nilai-nilai sosial-budaya itu perlu dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat? Jawabnya tiada lain bahwa pada akhirnya kita akan pulang kepada Yang Satu jua. Sejauh mana pun berjalan, setinggi apa pun pangkat dan jabatan, dan seberapa banyak pun harta yang berhasil dikumpulkan, keridhaan Allah juga yang kita dambakan.

Page 152: H. Abdul Malik

132 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Kaya benda tinggal di duniaKaya iman dibawa mati

Masih relevankah nilai-nilai itu dalam era globalisasi ini? Kesemuanya terpulang kepada pandangan kita tentang makna kehidupan dan nilai kemanusiaan yang akan kita raih. []

Page 153: H. Abdul Malik

133ABDUL MALIK

PASCA Kemaharajaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu, yang pusatnya dipindahkan ke Selat Melaka dimulai dari Kerajaan Bintan, diramalkan akan menjadi

kerajaan yang besar. Adalah Datuk Demang Lebar Daun yang memiliki pandangan ke depan begitu cemerlang kala itu. Oleh sebab itu, agar Kerajaan-Kerajaan Melayu yang bertumbuh dan berkembang kemudian dapat berkekalan dan sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkan sejak awal, tak melencong ke arah yang salah, digagaslah suatu ritual budaya yang dikenal sebagai “Sumpah Setia Melayu”.

Pelakunya adalah Datuk Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba. Datuk Demang Lebar Daun bertindak mewakili rakyat, sedangkan Sang Sapurba bertindak sebagai orang yang akan dirajakan. Kedua tokoh itu melakukan Sumpah Setia dengan pertimbangan supaya tak terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan penguasa di belakang hari. Pendek kata, Sumpah Setia diucapkan dan, tentu wajib dilaksanakan, dengan matlamat utama mengangkat marwah: rakyat, penguasa, dan negeri. Dengan Sumpah Setia diharapkan rakyat dan penguasa akan seiya-sekata, senasib-sepenanggungan, dan seaib-semalu. Matlamatnya tentulah negeri aman, sejahtera, dan makmur.

Inilah inti sari janji sakral itu, “Rakyat tak akan mendurhaka kepada raja dan raja pun tak boleh mempermalukan rakyat.” Begitu dahsyat dan betapa hebatnya! Atas dasar Sumpah Setia itulah Kerajaan Melayu didirikan dan pemerintahannya diselenggarakan. Sumpah Setia menjadi tagan atau jaminan sosio-budaya dan politik untuk keberlangsungan bernegara dan berpemerintahan di kalangan bangsa Melayu. Kedua belah pihak—rakyat dan penguasa turun-temurun—tak boleh melanggarnya. Sesiapa pun yang mengingkarinya akan menerima padahnya, yang sering merupakan azab yang pedih, kalau tak mau disebut mahadahsyat.

Sumpah Setia itu dapat dipahami dengan cara begini. Tak ada alasan bagi rakyat untuk menentang kebijakan pemimpin yang melaksanakan pemerintahan dengan cara yang benar, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika dalam keadaan seperti

Sumpah Setia dan Marwah

Page 154: H. Abdul Malik

134 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

itu ada di kalangan rakyat yang melawan, dia patut diberi hukuman—seberat apa pun sesuai dengan kesalahannya—tetapi tetap tak boleh dipermalukan. Dalam pada itu, sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya oleh rakyat, pemimpin dan atau penguasa wajib menyejahterakan rakyat dan memakmurkan negeri. Dia memang dipilih dan atau diangkat untuk menjalankan tugas yang mulia itu. Kalau tak mampu, apa lagi karena memang sengaja berbuat untuk kepentingan diri sendiri dan atau kelompok sendiri, sang pemimpin atau lebih tepatnya penguasa sudah tergolong yang mempermalukan rakyat. Dalam keadaan seperti itu, berlakulah ungkapan Hang Jebat, “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.” Dan, lazimnya kejatuhan sang penguasa tinggal menghitung hari.

Datuk Demang Lebar Daun bukanlah sebarang orang. Dia sangat maklum bahwa kekuasaan sangat berpotensi membuat banyak orang lupa diri. Berdasarkan kenyataan itulah, dia menggagas perlunya Sumpah Setia. Dalam perjalanan sejarah Kerajaan-Kerajaan Melayu di kawasan ini selepas itu tak kurang terjadi peristiwa yang memilukan dan memalukan. Pasal apa? Apa lagi kalau bukan penguasanya dibutakan oleh kekuasaan sehingga melanggar sumpah yang telah diikrarkan.

Dalam senarai yang tak terlalu lengkap, kita ingat peristiwa Singapura dilanggar todak karena rajanya Paduka Seri Maharaja lupa akan Sumpah Setia, berbuat sewenang-wenang atas nama kekuasaan yang tanpa batas. Lagi, tragedi Singapura dikalahkan oleh Majapahit juga karena rajanya Iskandar Syah lupa diri sekaligus lupa janji. Dan, sekarang Singapura—yang tapak mulanya dibangun oleh Raja Bintan Seri Tri Buana itu—dikalahkan oleh siapa? Perlawanan yang sangat menghebohkan dunia Melayu yang dilakukan oleh Hang Jebat pun karena Raja Melaka lupa daratan, dibutakan oleh kekuasaan. Betapa besar dan kuatnya Kerajaan Melaka pada zamannya ternyata dapat dikalahkan oleh Portugis juga karena sultan lupa bahwa tak ada yang boleh melanggar Sumpah Setia. Puncaknya, tragedi berdarah yang paling menggemparkan, memilukan, dan memalukan alam Melayu yaitu Sultan Mahmud—Sultan Johor-Riau—mangkat dijulang, dibunuh oleh Megat Seri Rama atau Laksemana Bentan juga karena sultan gelap mata oleh kekuasaan.

Berdasarkan contoh-contoh yang sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah itulah, orang Melayu makin memercayai mitos Sumpah Setia. Tanah Melayu ini sesungguhnya bumi bertuah, jangan coba-coba berbuat onar. Silalah mengais rezeki yang berlimpah di darat, di laut, dan di udaranya, tetapi janganlah berniat salah karena akan buruk padahnya. Ada juga orang yang berkelakar, “Banyak juga penguasa yang menjadikan rakyat dan penderitaannya sebagai panggung tempat menari, tetapi mengapakah mereka tak termakan sumpah?” Jawabnya, sejarah berjalan di garis waktu. Nah, kita tinggal menanti: cepat atau lambat. Oleh sebab itu, siapa pun yang hendak menjadi pemimpin di negeri ini harus sanggup memenuhi Sumpah Setia Melayu.

Page 155: H. Abdul Malik

135ABDUL MALIK

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pemerintahan Melayu kembali berpusat di Kepulauan Riau. Pada masa itu pulalah mulai berbaurnya Melayu dengan Bugis. Ternyata, tradisi bersumpah setia tetap dilanjutkan. Sumpah Setia itu dikenal dengan sebutan Sumpah Setia Melayu-Bugis, yang diucapkan oleh Yang Dipertuan Muda Daeng Celak di hadapan Sultan Sulaiman.

“Lihatlah Sultan Sulaiman Badr al-Alam Syah. Patiklah Yang Dipertuan Muda. Barang yang Tuanku tiada suka membujur di hadapanmu, maka patik lintangkan. Dan, barang yang tiada suka Tuanku melintang di hadapanmu, maka patik bujurkan. Barang yang semak berduri di hadapanmu, patik cucikan.”

Konon setiap penabalan Raja Muda, baik ketika masih bernama Kerajaan Riau-Johor maupun setelah itu Riau-Lingga, Sumpah Setia itu selalu diulang. Siasat itu dilakukan untuk mengingatkan penguasanya agar tak ingkar janji. Bukan kebetulan pula, pelbagai peristiwa heroik menentang anasir luar terjadi pada masa itu. Sebaliknya, tak pernah berlaku tragedi yang memalukan karena penguasanya setia akan janji. Alhasil, rakyat sejahtera dan negeri pun makmurlah sesuai dengan matlamat didirikannya Kerajaan Melayu.

Pada setiap 15 Mei rakyat Kepulauan Riau memperingati Hari Marwah. Peringatan itu bersempena dengan Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau pada 15 Mei 1999 di Hotel Royal Palace (sekarang Hotel Comfort), Tanjungpinang. Musyawarah yang dihadiri oleh perwakilan dari semua desa dan kecamatan se-Kepulauan Riau itu menghasilkan Deklarasi yang menuntut pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan pemekaran kabupaten/kotanya. Matlamatnya sekali untuk mempercepat pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Konsekuensi dari Deklarasi itu, rakyat Kepulauan Riau harus berjuang dan berkorban cukup lama karena baru pada 1 Juli 2004 Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau resmi terbentuk. Walau tak disebut dengan istilah yang sama, Deklarasi Rakyat Kepulauan Riau itu sesungguhnya memiliki benang merah dengan Sumpah Setia, terutama matlamat yang hendak dicapai.

Tradisi memperingati Hari Marwah itu memang patutlah dikekalkan. Pasal, banyak di antara mereka yang kini menjadi pemimpin di negeri ini, baik di eksekutif maupun di legislatif, tak merasakan pahit-maungnya memperjuangkan Provinsi Kepulauan Riau. Apa lagi, di antara mereka ada pula aktor yang dulunya sangat gigih menentang pembentukan provinsi ini. Kini mereka dapat merasakan betapa megah, indah, dan enaknya duduk di singgasana kekuasaan. Namun, perlu diingat kesemuanya taklah diperoleh secara cuma-cuma. Marwah rakyat menjadi tagan utamanya. Hendak mendustakan kesemuanya itu? Nantikan saja padahnya. Salam Hari Marwah! []

Page 156: H. Abdul Malik

136 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

KELAB Loyar adalah frase bahasa Melayu. Asalnya dari bahasa Inggris Lawyer’s Club. Mengapakah lawyer menjadi loyar dan club jadi kelab? Pasalnya,

dalam tradisi mengambil kata asing, orang Melayu melakukannya berdasarkan bunyi, bukan berdasarkan tulisan seperti dalam bahasa Indonesia sekarang. Cara mengambil bahasa lain berdasarkan pendengaran berlaku juga pada bahasa Melayu-Malaysia setakat ini. Dari kata Inggris bus, misalnya, Indonesia mengambilnya menjadi bus (diucapkan bus), sedangkan Malaysia mengambilnya menjadi bas (diucapkan bas).

Soal club menjadi kelab itu begini. Suatu suku kata asing yang berupa gugus konsonan yang berurutan, seperti cl pada club, orang Melayu menambahkan pepet (e) di antara kedua bunyi itu. Oleh sebab itu, club menjadi kelab. Cara itu bukanlah aneh dalam tradisi ambil-mengambil bahasa di dunia ini. Kata bahasa kita bambu diambil oleh bahasa Inggris menjadi bamboo, yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Inggris.

Lalu, soal loyar. Secara lisan sehari-hari, orang Melayu mengucapkannya [loya]. Pasal, orang Melayu dalam bahasa percakapan sehari-hari tak menyebutkan r pada akhir kata, baik kata asli maupun serapan dari bahasa lain. Oleh sebab itu, kita akan mendengarkan orang Melayu menyebutkan [laya] untuk layar, [geba] untuk gebar atau selimu), [taya] untuk tayar atau ban (dari bahasa Inggris tire), dan lain-lain. Namun, kata radar tetap diucapkan [radar]. Pasal, radar masih dianggap asing, belum sepenuhnya Melayu. Harus dibedakan pula loyar dengan loya yang diucapkan [loye] karena loya berarti ‘mual, macam hendak muntah’.

Tulisan ini berbicara tentang loyar. Dari segi makna, loyar dengan makna asalnya ‘pengacara’ masih dipakai orang Melayu. Profesi loyar dianggap mulia. Oleh sebab itu, banyak orang tua yang berharap anaknya dapat masuk sekolah loyar agar kelak menjadi loyar, kalau tak dapat menjadi hakim atau jaksa. Jika

Kelab Loyar

Page 157: H. Abdul Malik

137ABDUL MALIK

tak juga, jadi guru atau profesor loyar pun terhormat karena dapat mengajarkan orang tentang selok-belok loyar atau ilmu hukum. Selain makna asal, loyar pun dalam masyarakat Melayu memiliki makna turunan. Inilah yang menarik. Loyar juga dikenakan kepada orang yang banyak cakap dan sering yang dikatakannya itu lebih banyak bohong daripada benarnya. Benang merah antara loyar dalam makna asal dan turunannya dibuat dengan analogi bahwa keduanya memang lihai berhujah.

Bedanya, loyar asli, mungkin, ada dasar ilmiahnya, sedangkan loyar turunan tak ada pijakan ilmu hukum, kecuali itu tadi: temberang saja. Jika yang pertama memerlukan sijil atau ijazah dan pengetahuan hukum, yang kedua tak memerlukannya sama sekali. Bahkan, si loyar dapat merambah segala bidang kehidupan. Pembual tingkat tinggi disebut loyar buruk.

Kelab Loyar adalah pemelayuan acara yang disiarkan TV One, Jakarta, setiap Senin malam. Acara diskusi hukum itu cukup menarik karena melibatkan para praktisi hukum, anggota Dewan Perwakilan Rakya (politisi), jaksa, hakim, dosen ilmu hukum, polisi, dan lain-lain yang umumnya orang terkenal di Indonesia. Dengan menghangatnya makelar hukum, acara ini semakin heboh karena dikaitkan dengan isu hukum aktual dan terkini. Entah karena malu menggunakan bahasa Indonesia atau khawatir akan imbas kata loyar bahasa Melayu yang berarti ‘borak doang’, acara yang sering panas itu menggunakan bahasa Inggris: Jakarta Lawyer’s Club, kemudian diluaskan lagi menjadi Indonesia Lawyer’s Club. Bukan main, boleh tahanlah!

Pelbagai topik hukum didiskusikan. Di antaranya yang menarik adalah kasus Bibit-Chandra. Perdebatan sengit terjadi di antara orang hukum itu soal perlu-tidaknya diteruskan perkara hukum kedua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (sekarang jadi mantan) yang sedang disorot. Memang banyak yang bersuara sebaiknya dihentikan dengan hujah yang berbeda-beda, tetapi yang berpendapat diteruskan ke pengadilan pun tak kurang pula. Diskusi tak menemukan kata putus, tetapi perkara itu akhirnya memang dihentikan, tak sampai ke pengadilan.

Tatkala Anggodo Widjojo memenangi praperadilan, kasus Bibit-Chandra kembali diperdebatkan. Dengan komposisi orang yang lebih kurang sama dengan sebelumnya, pendapat yang cenderung sebaiknya diteruskan ke pengadilan justeru lebih nyaring terdengar. Namun, tetap tak ada suatu apa pun yang dapat disimpulkan tentang topik yang dibahas dalam acara itu.

Acara Senin, 17 Mei 2010 membahas topik patut-tidaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendatangi tempat Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji ditahan. Perdebatan sengit terjadi sepanjang acara dengan pendapat yang beragam,

Page 158: H. Abdul Malik

138 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

nyaris sebanyak orang yang terlibat langsung dalam acara itu. Lagi, acara ditutup tanpa kesepakatan apa pun, kecuali bersepakat untuk tak bersepakat. Pada setiap akhir acara, pemandunya, Karni Ilyas, berusaha membuat simpulan. Namun, rasanya simpulan itu hanya disepakati oleh si pemandu acara saja, sedangkan peserta tetap pada pendapatnya masing-masing.

Dengan menyaksikan acara itu, kita orang awam ini bertambah tak paham akan hukum di negara ini. Betapa tidak? Satu pasal undang-undang dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh para praktisi dan pakar hukum kita. Pasal-pasal undang-undang telah mengambil tempat baris-baris puisi, yang memang itrahnya multi-interpretable, bermakna ganda, tergantung pada daya interpretasi dan apresiasi setiap orang. Para Datuk dan Mbah hukum saja berbeda pendapat tentang pasal-pasal undang-undang, apatah lagi orang awam. Kerisauan dan kebingungan menyatu dalam ketakpastian hukum yang membelenggu.

Dalam keadaan seperti itu, dapatkah kita pastikan bahwa orang yang diputuskan bersalah oleh pengadilan sesungguhnya bersalah atau sebaliknya? Sungguhkah orang yang diputuskan hukuman berat memang seharusnya menerima hukuman berat atau sebaliknya? Putusan hukum bukan berdasarkan fakta hukum dan keadilan, tetapi berdasarkan pendapat tentang hukum. Hukum menjadi sangat subjektif dan orang boleh menetapkan putusan sebelum persidangan sehingga sangat empuk untuk dimarkumkan. Tak seorang pun tahu, kecuali Tuhan Yang Mahatahu dan Mahaadil.

Tak jauh-jauh, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada Pasal 58 Undang-Undang 32 Tahun 2004 pada 10 November 2009. Inti keputusannya kepala daerah yang telah menjalani dua periode masa jabatan, tetapi jabatannya yang pertama menggantikan kepala daerah sebelumnya dan kurang dari setengah masa jabatan (kurang dari 2,5 tahun), jabatan yang pertama itu tak dihitung satu periode masa jabatan. Dengan demikian, kepala daerah itu boleh kembali mengikuti pemilihan kepala daerah periode berikutnya, jadi tiga periodelah.

Masalahnya adalah pertama, bukankah yang bersangkutan disumpah dan dilantik sebagai kepala daerah ketika menggantikan kepala daerah yang berhalangan tetap? Karena itu, logikanya terhitung satu periode. Kedua, kalau masa yang kurang dari setengah itu tak dianggap, secara hukum sahkah “kepala daerah” itu memimpin dan membuat kebijakan pemerintahan di daerah itu? Logikanya, kalau masa yang kurang dari setengah itu tak dihitung, pada rentang waktu itu daerah yang bersangkutan tak memiliki kepala daerah. Siapakah yang harus bertanggung jawab tentang konsekuensinya, padahal pelaksanaannya telah berlangsung.

Page 159: H. Abdul Malik

139ABDUL MALIK

Sungguh saya termenung memikirkan perkara pelik ini. Datanglah kawan saya sekampung. Di kampung dia dikenal sebagai loyar buruk, tetapi tampilannya tak pernah mengesankan kampungan. Namanya Markus bin Markum. “Jangan terlalu dipikirkan perkara dunia ini. Nanti pecah pula kepala,” dia menasehati saya.

Saya berusaha mencari jawab dari masalah sekaligus menanggapi si loyar buruk itu. Alhasil, “Iya tak iya juga ya?” terucap dari mulut saya begitu saja. Dasar loyar buruk! []

Page 160: H. Abdul Malik

140 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

"WAHAI manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu terdiri atas laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

berpuak-puak supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya semulia-mulianya kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa” (Al-Quran, Surat al-Hujurat: 13).

Firman Allah swt. yang dikutip di atas mengingatkan kita akan tiga perkara penting. Pertama, Allah-lah yang menciptakan manusia. Kedua, manusia diciptakan-Nya berbangsa-bangsa dan berpuak-puak. Ketiga, hanya manusia yang bertakwa kepada-Nya yang berhak atas predikat mulia di sisi Allah.

Apakah ciri-ciri yang membedakan di antara bangsa dan puak itu? Jelas, kebudayaanya. Kebudayaanlah yang menyerlahkan (mengeksplisitkan) jati diri setiap bangsa dan puak. Dengan akal-budi yang dianugerahkan Allah kepadanya, manusia mengembangkan kebudayaannya agar bangsa dan puaknya tetap eksis di dunia ini. Memelihara, mengekalkan, dan mengembangkan kebudayaan sendiri menjadi bagian dari perjuangan untuk mendapatkan keridaan Allah, yang pada gilirannya sesuai dengan janji-Nya, orang-orang yang melakukannya dengan ikhlas dan berbekal takwa kepada-Nya, akan dimuliakan di sisi Allah. Dengan demikian, kebudayaan yang berbeda-beda bagi setiap bangsa dan puak merupakan anugerah Allah sekaligus amanah yang harus dipertahankan dan diperjuangkan.

Kebudayaan hidup, tumbuh, dan berkembang dalam suatu perkumpulan manusia yang disebut masyarakat. Kebudayaan memerlukan wadah tempatnya berkembang yaitu masyarakat, sebaliknya pula masyarakat memerlukan kebudayaan agar harmoni dan keteraturan di antara warga masyarakat terjamin. Kebudayaan dan masyarakat tak dapat dipisahkan.

Luas atau sempitnya cakupan suatu masyarakat sangat bergantung kepada pemikiran bersama tentang hal-hal yang mempersatukan mereka. Masyarakat Melayu, misalnya, dipersatukan oleh (1) bahasa yaitu bahasa Melayu, (2) adat-

Kampung Kita, Kampung Dunia

Page 161: H. Abdul Malik

141ABDUL MALIK

istiadat yaitu adat-resam Melayu, dan (3) agama yaitu agama Islam. Dengan demikian, persebaran masyarakat dan kebudayaan Melayu itu sangat luas, mengatasi batas wilayah administrasi pemerintahan dan geopolitik seperti kabupaten, kota, provinsi, bahkan negara sekalipun. Tentulah ada nuansa di antara ketiga unsur pemersatu itu, kecuali agama, yakni adanya perbedaan dialek atau logat dan ragam adat-resam yang memperindah kebersamaan.

Karena begitu luasnya tempat bermukimnya itu, orang Melayu mengiaskannya dengan ungkapan. “Ke laut berbunga karang, ke darat berbunga kayu, ke sungai berbunga pasir, ke gunung berbunga awan. Di situlah tempat orang Melayu.” Jadi, tempat bermastautin orang Melayu itu ada yang di kawasan pantai, di wilayah daratan, di pinggir sungai, dan di kawasan pegunungan.

Tak heranlah jika di dalam kebudayaan Melayu itu ada nuansa dialek atau logat dan adat-resam. Namun, kesemuanya berteraskan budaya Melayu yang berbalut budi-pekerti dan bersumber kepada irman Allah serta sabda Nabi Muhammad saw. “Adat berwaris kepada Nabi, adat berkhalifah kepada Adam, adat berinduk ke ulama, adat tersurat dalam kertas, adat tersirat dalam sunnah, adat dikungkung Kitabullah.”

Masyarakat dengan kebudayaannya bermukim di suatu tempat yang disebut kampung. Tak perlu dikaitkan dengan dikotomi ini: jika masih tradisional dan tak mengalami banyak kemajuan, disebut kampung dan kalau sudah modern dan mengalami banyak kemajuan, disebut kota. Dalam hal ini, baik kampung maupun kota dalam dikotomi itu, dirangkum dalam satu istilah: kampung. Dengan demikian, luas-sempitnya kampung setiap bangsa dan puak pun nisbi (relatif). Dengan menggunakan ilustrasi di atas, kampung orang Melayu meliputi kawasan yang sangat luas. Kawasan Melayu itulah bagi orang Melayu disebut kampung kita. Begitu pula halnya bagi puak yang lain.

Sama ada dahulu dan lebih-lebih kini, “kampung kita” bagi setiap puak dan bangsa harus dijaga, dipelihara, dan dikawal lebih ketat dan berhati-hati. Kerja keras dalam menjaga kampung dengan budayanya setakat ini lebih-lebih harus dilakukan oleh puak dan bangsa yang sedang berkembang seperti bangsa kita.

Pasal apa? Di tengah pemahaman dan kesadaran tentang kampung kita, saat ini muncul konsep kampung dunia (global village). Konsep kampung dunia mekar bersamaan dengan keadaan dunia yang sedang mengalami proses globalisasi. Kampung dunia dan globalisasi itu ditunjang oleh kemajuan pesat teknologi dan komunikasi. Kesemua peristiwa yang terjadi di mana pun di dunia ini—baik yang positif maupun negatif—dapat dengan mudah dan cepat didengar, dilihat, dan diketahui dengan bantuan teknologi canggih.

Dengan memanfaatkan globalisasi itu, negara-negara adidaya (super power), secara lunak atau keras, berupaya memaksakan kebudayaannya kepada puak dan

Page 162: H. Abdul Malik

142 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

bangsa yang dianggap lemah. Upaya mereka itu dimungkinkan dengan sokongan yang berarti dari faktor-faktor ekonomi, politik, sains, dan teknologi. Kemajuan negara-negara adidaya itu dalam keempat bidang tersebut sangat memungkinkan puak dan bangsa lain, terutama mereka yang ketahanan budayanya lemah, untuk tertawan oleh budaya mereka, yang jelas tak cocok, tak patut, dan tak padan bagi puak dan bangsa kita (lihat irman Allah di atas).

Upaya negara-negara adidaya untuk “memukimkan” kesemua puak dan bangsa dalam satu kampung dunia bukanlah tanpa motivasi ekonomi-politik. Dengan terseretnya puak dan bangsa yang lemah ke dalam kebudayaan mereka, negara-negara kuat itu, terutama Barat, dapat dengan mudah menguasai bangsa lain. Ini merupakan revisi dari upaya penjajahan isik yang mereka lakukan pada masa lalu, yang mereka anggap gagal karena ternyata bangsa yang dijajah secara isik itu terbukti kemudian melawan. Oleh sebab itu, penjajahan budaya di kampung dunia dianggap sangat mangkus (efektif) untuk menundukkan bangsa yang lemah ketahanan budayanya. Pada gilirannya, Barat akan memperoleh keuntungan politik dan ekonomi, yang memang menjadi sasaran dan matlamat utamanya.

Untuk menangkis serangan Barat melalui penajajahan budaya di kampung dunia, kita dapat mengambil hikmah dari apa yang dilakukan oleh bangsa Jepang. Untuk meredam serangan sekaligus menyejajarkan bangsanya dengan Barat, bangsa Jepang menggunakan politik Wakon Yosai yaitu kepribadian Jepang, teknologi Barat. Dengan politik itu, bangsa Jepang terbukti dapat kembali mengangkat marwahnya. Dengan demikian, tak ada cara selain kesadaran akan jati diri amat penting bagi bangsa kita agar tak terpuruk menjadi bangsa peniru dan pengekor serta tunduk di bawah komando Barat. Lihatlah, ketika demokrasi dan sistem ekonomi Barat dipaksakan di negara kita, bangsa kita tak kunjung selesai ditimpa masalah. Kita bagai hadir di antara masyarakat dunia sebagai bangsa yang tak percaya diri.

Kuncinya kita wajib melaksanakan amanah Allah dengan memelihara, mengekalkan, dan mengembangkan budaya kita sendiri. Tentulah nilai-nilai budaya luar yang positif boleh diadopsi untuk memperkaya budaya kita, baik dari Barat maupun dari Timur.

Nilai-nilai terala (mulia, baik, dan luhur) budaya kita harus menjadi nilai utama yang diterapkan dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Kehidupan politik, ekonomi, hukum, pemerintahan, dan pelbagai bidang kehidupan yang lain mesti didasari oleh nilai budaya kita. Kita tak boleh membiarkan budaya global—yang notabene budaya Barat—mendominasi kehidupan bangsa kita, yang memang ditakdirkan harus berbeda. Hanya dengan berjuang untuk memartabatkan budaya sendirilah kita sebagai bangsa akan dimuliakan Allah. Pasal, dengan begitu, kita tak diperhitungkan sebagai bangsa yang menyangkal atau mendustai irman-Nya. []

Page 163: H. Abdul Malik

143ABDUL MALIK

TENGKU Abdurrahman, bukan kakanda (abang)-nya Tengku Husin, diangkat menjadi Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Baginda menjadi sultan menggantikan ayahndanya Sultan Mahmud Syah yang mangkat (meninggal dunia) di ibukota kerajaan, Daik, Lingga pada 12 Januari 1812.

Sultan Mahmud Syah (1761—1812) meninggalkan empat orang istri. Pertama, Engku Puan binti Bendahara Pahang, tanpa anak. Kedua, Encik Makoh binti Encik Jakfar Daeng Maturang dengan putranya Tengku Husin. Ketiga, Encik Maryam binti Datuk Bandar Hasan dengan putranya Tengku Abdurrahman. Keempat, Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah, tanpa anak karena meninggal semasa bayi.

Putra sulung Sultan Mahmud adalah Tengku Husin. Oleh itu, dia dikenal dengan sapaan Tengku Sulung atau Engku Long. Urutan kelahiran itu sangat penting dalam adat-istiadat diraja Melayu. Jika sultan mangkat, putra sulunglah yang menggantikan ayahndanya.

Waktu ayahndanya mangkat Tengku Husin tak dapat menyaksikannya. Saat itu dia tak berada di Daik, Lingga, tetapi sedang di Pahang, konon pergi untuk menikah dengan putri Bendahara Pahang. Namun, bukan perkara itu yang menjadi punca dia tak ditunjuk menggantikan ayahndanya. Ada perkara lain yang lebih mustahak, yang justeru tak biasa menurut adat-istiadat diraja Melayu selama ini. Ada apa rupanya?

Akan halnya Tengku Abdurrahman, dia juga dikenal dengan nama Raja Jumat dan nama timangan Komeng. Tentulah paduka ayahndanya, sesuai dengan pengalaman Sultan Mahmud yang sangat lama sebagai kepala negara, memandang putra keduanya ini lebih memancarkan seri kepemimpinan dibandingkan kakanda sulungnya. Oleh sebab itu, baginda berwasiat bahwa Tengku Abdurrahman yang

DILEMA MEMBAWA BENCANA

Page 164: H. Abdul Malik

144 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

harus menggantikannya jika baginda mangkat. Berdasarkan wasiat ayahndanya itulah Tengku Abdurrahman diangkat menjadi sultan. Karena wasiat ayahndanya itu jugalah Tengku Husin harus menguburkan impiannya untuk menjadi Sultan Riau-Johor. Dan, karena wasiat itu jugalah orang-orang yang masih hidup harus menghadapi keadaan serbasalah. Betapa tak dilematis?

Engku Puteri Raja Hamidah, yang tiada lain ibu tiri orang berdua beradik yang sedang memperebutkan tahta kerajaan itu, tak bersetuju Tengku Abdurrahman diangkat menjadi sultan. Konon, perhubungan antara Engku Puteri dengan Tengku Abdurrahman memang tak mesra. Sebaliknya, perempuan berhati baja itu lebih sayang kepada Tengku Husin dan karena itu tentulah dia sangat berharap Engku Long yang menjadi sultan. Akan tetapi, rasanya bukan soal itu yang menjadi penyebab utama putri Raja Haji itu tak menyetujui Tengku Abdurrahman. Sebagai orang yang sangat setia memegang adat, Raja Hamidah tentulah tak mau penunjukan dan pengangkatan sultan yang tak lazim menurut adat-istiadat Melayu itu.

Sebaliknya pula, Yang Dipertuan Muda VI Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yakni Raja Jakfar ibni Raja Haji Fisabilillah, yang tiada lain saudara kandung Engku Putri, mendukung Tengku Abdurrahman sepenuhnya. Konon, perhubungan Raja Jakfar dengan Tengku Husin tak mesra karena perseteruan di masa muda. Raja Jakfar jatuh hati kepada dara manis bernama Encik Puan Bulang, nama timangannya Buntat, binti Engku Muda Temenggung Raja Melayu. Malang bagi Raja Jakfar, kekasih hatinya itu justeru menikah dengan Tengku Husin. Namun, bukan itulah yang menjadi punca dia mendukung Tengku Abdurrahman dan menolak Tengku Husin. Kewajiban melaksanakan wasiat sultan yang mangkatlah yang menjadi pegangan utama. Bukankah sultan pemegang utama teraju adat? Jika ada titah sultan yang tak sesuai dengan kelaziman selama ini, hal itu berarti sultan menganggap bahwa ketentuan itu tak dapat lagi dipertahankan apa lagi yang berkaitan dengan kepemimpinan negara, yang memang memerlukan kepiawaian dan kearifan.

Keadaan menjadi makin dilematis. Engku Puteri Raja Hamidah tak mau menyerahkan regalia atau alat kebesaran kerajaan kepada Sultan Abdurrahman Syah. Regalia selama ini berada di bawah penjagaan Engku Puteri karena beliau memang diamanahkan oleh Sultan untuk menjaganya. Oleh banyak penulis disebutkan bahwa perempuan perkasa itu menjaganya dengan sepenuh cinta-kasih dan jiwa-raganya karena beliau tahu bahwa regalia merupakan simbol marwah Melayu. Padahal, tanpa regalia penabalan seorang sultan tak sah menurut adat. Tak ada Kerajaan Melayu tanpa regalia kerajaan. Alhasil orang-orang anak-beranak dan adik-beradik itu dan rakyat pendukungnya masing-masing harus hidup dalam situasi yang serba dilematis.

Tatkala anak negeri menghadapi keadaan yang tak menentu itu, mulailah kuasa asing memainkan siasatnya untuk membenamkan kukunya sampai ke

Page 165: H. Abdul Malik

145ABDUL MALIK

sumsum. Tiada lain tujuannya, penguasaan politik dan ekonomi. Tengku Husin diangkat oleh pihak Inggris menjadi Sultan Singapura. Padahal, Singapura kala itu di bawah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Dengan demikian, Inggris telah memecah belah Kerajaan Riau-Johor. Pihak Inggris pula, dengan memanfaatkan Tengku Husin, coba menyogok Engku Puteri dengan 50.000 ringgit Spanyol untuk mendapatkan regalia supaya pengangkatan Tengku Husin menjadi sah.

Tentulah Engku Puteri merasa terhina dengan upaya bejat Inggris itu. Baginya, perilaku itu sama dengan hendak membeli marwah Melayu. Beliau jadi berbalik membenci Tengku Husin, anak yang sebelumnya sangat disayanginya karena ternyata begitu rapuhnya Tengku Long itu. Itulah sebabnya, politik uang untuk mendapatkan kekuasaan sangat nista dalam budaya Melayu. Pelakunya, seperti yang coba dilakukan Tengku Husin yang ditunggangi oleh Inggris, diyakini pasti menerima padah yang buruk, cepat atau lambat.

Akan halnya Belanda, karena tak berhasil membujuk, pada 13 Oktober 1822 Gubernur Belanda di Melaka Timmerman Tijssen dengan pasukan tentaranya mengepung istana Engku Puteri di Pulau Penyengat. Perempuan Melayu yang kokoh itu hanya sendiri ditodong dengan senjata para serdadu dan regalia dirampas dari tangannya secara paksa. Pengambilan yang tak beradab dan tak beradat itu membuat regalia tak lagi memiliki tuah dan keramat. Belanda tak pernah berhasil menaklukkan marwah Melayu, kecuali kepingan logam, yang walau terbuat dari emas, tak bernilai apa pun secara kultural. Marwah Melayu tak pernah tergadai dan janganlah siapa pun coba melakukannya pada masa kini atau akan datang karena akan buruk padahnya.

Sayang, Belanda tak memahami keadaan sosio-budaya orang Melayu. Padahal, Engku Puteri telah mengutuk keras Inggris dan membenci Tengku Husin karena perilaku biadabnya. Kalau sedikit bersabar dan menggunakan siasat yang santun, tentulah perempuan mulia itu akan luluh juga hatinya. Bukankah yang hendak disahkan menjadi sultan itu anaknya juga, yang tak pernah berbuat salah kepadanya? Malangnya lagi, Sultan Abdurrahman dan YDM Raja Jakfar bagai mati akal berhadapan dengan ibu dan saudara perempuannya yang sangat berwibawa itu. Alhasil, 27 November 1823 barulah Tengku Abdurrahman disahkan menjadi sultan.

Tak lama sesudah itu, 17 Maret 1824 kuasa asing Inggris dan Belanda mengapling Kerajaan Melayu melalui Treaty of London. Kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya berada di bawah kuasa Belanda, sedangkan Johor, Singapura, Pahang, dan Trengganu di bawah kuasa Inggris. Di Kerajaan Riau-Lingga laut memerah oleh darah para syuhada, sedangkan di kawasan Tengku Husin nyaris tak terdengar perlawanan yang serupa. Alhasil, Singapura lepaslah sudah dari dekapan sayang Bunda Tanah Melayu. Tidakkah itu bencana? Dan, tidakkah kita mengari i puncanya.[]

Page 166: H. Abdul Malik

146 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SEMENJAK kerajinan batik mulai digesa di Kepulauan Riau, banyak kawan yang datang menemui saya. Di antara mereka ada pula yang berkomunikasi

melalui telepon karena belum sempat datang ke daerah ini. Yang belum sempat datang itu berjanji akan berkunjung dalam waktu yang tak terlalu lama. Kami berbincang dan berdiskusi tentang batik Kepulauan Riau dan pelbagai hal yang terkait dengannya. Nampaknya, mereka sangat hemah (menaruh minat, begitu perhatian, sangat peduli) terhadap warisan budaya yang satu ini. Ketika kita di sini begitu menggebu-gebu membabitkan diri dalam peristiwa politik semasa, kawan-kawan dari luar daerah itu malah lebih tertarik kepada khazanah budaya kita, yang mereka nilai sangat mengagumkan dan menjanjikan.

Ya, mereka yang berdatangan itu bukan dari daerah ini, melainkan dari Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, pokoknya dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Di antara mereka memang ada juga orang Kepulauan Riau yang telah menetap lama di Jawa, tetapi ada pula memang kawan-kawan yang berasal dari daerah-daerah di Jawa. Dari perbincangan dan diskusi yang kami lakukan, tahulah saya bahwa mereka betul-betul ingin mengetahui segala hal yang berkaitan dengan batik Negeri Segantang Lada ini. Profesi mereka beraneka ragam: ada perajin batik, pengusaha batik, pakar batik sekaligus akademisi di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Trisakti.

Dari mereka pulalah saya mengetahui bahwa buku Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau (Adi Cita, Yogyakarta, 2003) menjadi referensi yang banyak dicari setakat ini. Buku itu dapat diterbitkan dengan edisi luks karena jasa baik Pemerintah Propinsi Riau, yang kala itu dipimpin oleh Gubernur H. Saleh Djasit, S.H. Memang, buku itu memerikan pelbagai hal tentang corak (motif) ragam hias Melayu yang relatif lengkap, lengkap dengan iloso i dan gambarnya yang sangat menarik. Rupanya dari buku itulah kawan-kawan tadi mengetahui saya dan berusaha mencari informasi tentang tempat saya bermastautin kini. Dari tulisan-tulisan di Batam

Yang Hemah yang Selamba

Page 167: H. Abdul Malik

147ABDUL MALIK

Pos dan beberapa media lain yang mereka akses di internet, akhirnya mereka mengetahui bahwa saya telah kembali menetap di kampung halaman, Kepulauan Riau, tepatnya di Tanjungpinang.

Singkat bicara, mereka yang datang berbincang-bincang itu berasal dari luar Kepulauan Riau. Padahal, saya sangat berharap—sungguh—orang-orang kita di sinilah yang lebih hemah. Rupanya, hal itu belum terjadi. Mahasiswa di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) yang mendapatkan materi ini melalui mata kuliah Tradisi Melayu pun tak menunjukkan semangat yang bergelora (antusiasme) ketika saya ajarkan, kecuali satu-dua orang. Saya menduga hal itu terjadi karena dua sebab. Pertama, mereka telah mengetahui segala selok-belok yang berkenaan dengan batik Melayu Kepulauan Riau, khususnya, dan ragam hias Melayu, umumnya. Kedua, mereka tak memandang penting warisan budaya sendiri sehingga tak terlalu menaruh perhatian. Istilah kita di sini selamba saja, acuh tak acuh.

Jika gejala pertama yang terjadi, kita harus bersyukur karena kebanyakan masyarakat kita di sini telah mengenal dan memahami warisan budayanya, khususnya batik Melayu Kepulauan Riau. Akan tetapi, kalau sebab kedualah yang menjadi puncanya, sungguh kita prihatin. Salangkan orang lain saja sangat hemah terhadap warisan budaya terala kita karena mereka tahu akan kandungan ilmu, nilai, dan tentu saja prospek ekonominya ke depan ini; mengapakah kita yang memang ahli waris sahnya selamba saja? Tahan kita larut dalam hiruk-pikuk yang tak membawa faedah nyata kepada kita daripada menceburkan diri dalam upaya-upaya penyelamatan, pengekalan, dan pengembangan warisan budaya sendiri. Padahal, warisan yang agung itu kalau dikelola dengan baik tak hanya memberikan manfaat kultural, tetapi juga menjanjikan keuntungan ekonomis, yang tentulah pada gilirannya akan membanggakan kita semua. Sering terjadi, kalau warisan budaya kita dikembangkan dan dimanfaatkan oleh orang lain sehingga menjadi terkenal, barulah kita terperangah, merasa kecolongan. “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna,” sindir orang tua-tua. Ya, sesal kemudian apa pun kita tak dapat, jangankan pendapatan!

Menghadapi situasi seperti itu, saya jadi teringat peristiwa sepuluh tahun silam ketika kami (saya, alm. Hasan Junus, dan Auzar Thaher) mengadakan penelitian untuk buku Corak dan Ragi yang saya sebutkan tadi. Kala itu kami meneliti di Daik, Lingga. Kami berkesempatan mewawancari seorang perajin perempuan muda yang sangat cantik. Ketika kami tanyakan tentang motivasinya menekuni kerajinan tudung mantur, dengan lemah lembut tetapi mantap dia menjawab:

“Saya sudah ikut Emak menekuni kerajinan ini sejak kecil lagi. Saya ingin seperti Emak, terkenal ke sekutah-kutah negeri karena mahir membuat tudung mantur. Tudung mantur kebanggaan kami, orang Melayu Daik. Ketekunan dan kepiawaian Emak dalam membuat tudung

Page 168: H. Abdul Malik

148 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

mantur, membuat Emak dikagumi di mana-mana: seluruh Riau, beberapa tempat lain di Indonesia, Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke Brunei Darussalam. Bagi kami sekeluarga, bukan uang ringgit yang utama. Kami dapat mempertahankan tradisi kami, budaya kami, itu merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Pak, saya merasa utuh dan sempurna menjadi perempuan Melayu Daik karena karena saya memiliki sedikit banyak kemampuan untuk membuat tudung mantur. Tudung mantur yang sedang saya kerjakan ini saya persiapkan untuk saya pakai sendiri pada upacara pernikahan saya bulan depan.”

Emak dan ayah dara manis itu memandang putri mereka dengan penuh bangga. Kami terpana mendengarkan jawaban yang sungguh tak terduga itu. Betapa tidak? Dara manis yang tekun dan terkesan pendiam itu ternyata menyimpan bara perjuangan kultural yang sangat mengagumkan. Siapakah yang takkan bangga? Kalaulah di dalam keluarga itu ada seseorang yang memiliki naluri, kemauan, dan keahlian berwirausaha; usaha keluarga mereka, saya yakin, akan berkembang pesat. Si Dara tentulah kini tak terlalu muda lagi dan telah pun bersuami. Masihkah dia menekuni kerajinan tudung mantur? Kami pun tak mengetahuinya. Akan tetapi, memang tak ada lagikah semangat yang menggelora pada kalangan kita setakat ini, terutama yang muda-muda, untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan daerahnya seperti kerajinan batik Kepulauan Riau, yang sesungguhnya di bawah bimbingan orang-orang yang berdedikasi akan sangat menjanjikan nilai tambah ekonominya?

Saya patutlah khawatir karena alasan ini. Di antara kawan yang menemui saya itu, rupanya pernah bekerja sama dengan salah satu pemerintah daerah di sini menyelenggarakan pelatihan batik. Apa yang terjadi? Ternyata, yang mau ikut pelatihan itu hanya belasan orang saja. “Ternyata, Pak Malik,” kata kawan saya tadi, “orang-orang kita di sini kurang berminat menekuni kerajinan batik.”

Mendengar penjelasannya, saya menjawab, “Mungkin mereka belum mengetahui manfaat praktisnya, terutama manfaat ekonominya.” Itulah zahir jawaban saya. Namun, jauh di lubuk hati yang terdalam sesungguhnya ada rasa malu dan pilu, yang memang tak terucapkan.

Dengan memperhatikan fenomena itu, nampaknya pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain yang hendak mengembangkan kerajinan batik di daerah ini perlu melakukan upaya yang konprehensif. Jika tidak, tak akan banyak manfaatnya, kecuali kita hanya dapat nama saja. Apalagi batik Kepulauan Riau yang mulai diproduksi setakat ini tak dibuat di sini. Padahal, kalau kesemuanya dikerjakan di daerah ini, tentulah akan diperoleh manfaat berganda, terutama menambah lapangan kerja. Keuntungan pariwisatanya tentulah juga akan menyusul kemudian. Di sinilah dituntut komitmen kita.[]

Page 169: H. Abdul Malik

149ABDUL MALIK

SEMINGGU terakhir ini media lokal kembali banyak memberitakan rencana pembentukan Kabupaten Kundur. Terbetiklah kabar bahwa rencana itu telah

matang adanya dan persiapannya telah mendekati lengkap pula. Fenomena ini menarik. Apa pasal suatu daerah yang baru dimekarkan, Kabupaten Karimun tergolong masih muda, tetapi beberapa kecamatannya ingin membentuk kabupaten baru lagi?

Pasal pertamanya tergolong klasik, tetapi logis. Daerah dan masyarakat yang memperjuangkan pemekaran berasa tak puas terhadap kabupaten induk. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini terkonsenstrasi di pusat pemerintahan, sedangkan kawasan di pinggir dan di luar itu cenderung tertinggal. Akibatnya, potensi masyarakat tak berkembang sehingga kesejahteraan mereka tergencat (tak meningkat). Padahal, bukankah misi awal membentuk kabupaten untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Kabupaten terbentuk karena perjuangan bersama. Seyogianya kemakmuran dan kesejahteraan bersama secara meratalah yang harus diutamakan. Kalau itu tak mampu diwujudkan, bukankah lebih baik mencari jalan masing-masing? Apalah gunanya hidup bersama kalau ternyata tak seiring jalan, bukan?

Gejala itu juga membuktikan bahwa walaupun telah sepuluh tahun berjalan, pemerintah Kabupaten Karimun tak memiliki visi, kepekaan, dan kreativitas untuk mengembangkan potensi masyarakat. Dana pembangunan yang berlimpah tak mampu dikelola untuk memajukan daerah, mengembangkan potensi masyarakat, dan memeratakan pembangunan ke seluruh kecamatan. Bahkan, pembangunan di ibukota kabupaten pun cenderung tak meningkat secara berarti. “Tak ade ape pon yang nak dibanggekanlah,” kata orang Karimun. Kalau ada pun yang meningkat kesejahteraannya, hanya satu golongan, yaitu para elit di lingkaran kekuasaan. Kenyataan itu terlihat secara kasat mata. Kalau begitu keadaannya, kabupaten dibentuk untuk siapakah?

Kabupaten Kundur

Page 170: H. Abdul Malik

150 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Terlepas dari itu, calon Kabupaten Kundur memiliki potensi ekonomi yang sangat memadai jika kelak dikembangkan secara optimal. Pertama, Kundur memiliki lahan yang cukup luas untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan. Namanya juga Kundur, diambil dari hasil pertanian. Sektor inilah suatu masa dulu yang membuat masyarakat Kundur hidup sejahtera. Ketika terjadi krisis ekonomi nasional dan global, sektor ini pulalah yang memungkinkan masyarakat Kundur dapat bertahan. Lagi pula, masyarakat Kundur tergolong rajin bekerja dan sangat gemar bertani. Jika sektor ini dikelola dan dikembangkan dengan baik, tak ada alangan yang berarti bagi Kundur untuk maju.

Kedua, jika Moro dan Durai memilih bergabung dengan Kundur, sektor perikanan juga akan menjadi andalan. Moro dan Durai sangat potensial untuk perikanan tangkap dan budidaya. Jika Kundur akan menjadi sentra pertanian, Moro dan Durai akan menjadi sentra perikanan. Keahlian dan kecekapan berperikanan masyarakat Moro dan Durai pun tak diragukan lagi. Pemerintah tinggal memberikan dorongan serta bantuan teknis dan permodalan saja lagi. Gilirannya, tentulah akan berkembang agribisnis, termasuk aquabisnis, yang akan melambungkan perekonomian Kundur ke depan.

Kalau Moro dan Durai bergabung dengan Kundur, itu adalah pilihan yang tepat. Secara genealogis (keturunan) dan lebih-lebih sosiologis (kemasyarakatan), masyarakatnya memang lebih rapat dengan Kundur. Hubungan batin mereka lebih dekat sehingga sangat penting untuk mencapai misi dan matlamat kemajuan bersama.

Ketiga, sektor perdagangan, terutama perdagangan antarpulau. Telah sejak lama masyarakat Kundur melakoni kerja ini sehingga kalau mendapat perhatian yang memadai, tentulah akan menjadi andalan ekonomi. Perdagangan antarpulau itu tak hanya meliputi kawasan Kepulauan Riau dan provinsi tetangga seperti Riau dan Jambi, tetapi juga Singapura dan Malaysia. Itu adalah kenyataan historis yang masih berlangsung sampai setakat ini.

Keempat, andalan Kundur adalah sektor pariwisata. Potensi wisata alamnya cukup menjanjikan. Kundur, termasuk Moro, memiliki pantai dan laut yang sangat indah. Potensi wisata alam itu dapat disepadukan dengan agrowisata dan wisata budaya, yang tak kalah dari daerah-daerah lain. Pendek kata, potensi pariwisata Kundur hanya tinggal menunggu pemikiran inovatif dan sentuhan tangan-tangan kreatif, terutama dari pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Apa lagi, perhubungan darah dengan masyarakat Singapura dan Malaysia akan memungkinkan Kabupaten Kundur menjadi destinasi pariwisata yang akan banyak dikunjungi oleh pelancong luar negeri.

Sektor industri pun pasti akan menyusul. Pengembangan industri itu dimungkinkan karena letak Kabupaten Kundur yang strategis dan berdekatan

Page 171: H. Abdul Malik

151ABDUL MALIK

dengan Singapura. Hanya, hemat saya, pemerintah harus lebih memberikan perhatian pada sektor ekonomi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Inilah kelebihan lain Kundur. Daerah ini memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sangat memadai. SDM birokrat yang berpengalaman dan pegawai pemerintahannya ada di kesemua kabupaten/kota se-Kepulauan Riau, di Provinsi Kepulauan Riau, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Orang Kundur tergolong penyuka politik. Oleh sebab itu, banyak SDM mereka yang terjun ke kancah politik dan menjadi politisi handal. Lobi-lobi mereka di tingkat provinsi dan pusat cukup kuat sehingga membuka peluang bagi Kundur untuk maju. Kesemua pemimpin pemerintahan dan politik Kabupaten Karimun saat ini berasal dari daerah ini: Bupati (Moro), Wakil Bupati (Kundur), dan Ketua DPRD (Durai).

Mentelah lagi, SDM Kundur itu umumnya putra daerah sehingga keterikatan batinnya dengan daerah dan masyarakat relatif lebih kuat. Asal, mereka betul-betul punya komitmen, loyalitas, dan dedikasi untuk memajukan daerah dan masyarakat. Namun, kalau mereka juga terjebak pada kepentingan elit semata, Kundur pun akan berlayar singit (miring), kalau tak karam sama sekali. Penyakit yang diderita oleh kabupaten induk itu janganlah terjangkit pada Kundur.

Apa lagi kelebihan Kundur? Inilah yang sangat mustahak. Masyarakat Kundur tergolong orang-orang yang taat beragama dan masih menjunjung tinggi adat-istiadat. Nilai-nilai agama dan adat-istiadat itu begitu bersebati dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat Kundur, Moro, dan Durai memiliki solidaritas yang tinggi antarsesamanya. Dalam bahasa sehari-hari, mereka selama ini sangat kompak. Jika nilai-nilai terala (luhur) itu tetap bertahan dan diimplementasikan dalam membangun, niscaya hidayah dan inayah Allah sudah pasti menyertai kemajuan Kabupaten Kundur.

Hasrat Kundur untuk berkabupaten adalah logis dan menjanjikan. Hanya, tetaplah harus diingat bahwa matlamat pengembangan daerah adalah untuk memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat. Dahulukanlah nilai-nilai budaya yang cenderung menyatukan untuk mencapai matlamat mulia itu daripada nilai praktis politik yang cenderung memecah-belah.

Masyarakat dan kultur kita telah lama siap bersaing, tetapi bukan secara tak sehat. Kegagalan dan salah urus oleh pemerintah Kabupaten Karimun selama ini hendaklah dijadikan pelajaran supaya tak terulang di Kabupaten Kundur. Jika sejarah berulang, jangan heran, akan ada kecamatan yang akan memisahkan diri lagi. Bahkan, Alai di depan Tanjungbatu itu pun, kalau mendapat restu dari pusat, akan membentuk kabupaten baru. Sebaliknya, jika penyelenggaraan pemerintahan berlangsung baik dan bersih sehingga kesejahteraan masyarakat terwujud, berjuta-juta doa akan dilafazkan oleh rakyat untuk keselamatan pemimpinnya. Kabupaten Kundur pasti boleh punyalah. Selamat berjuang! []

Page 172: H. Abdul Malik

152 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

BANYAK gagasan besar tentang kebangkitan kembali bangsa kita dari jurang degradasi dalam pelbagai bidang kehidupan. Kebetulan, sebagai bangsa yang

besar, kita memiliki banyak sekali penggagas. Ide demi ide bermunculan karena kita memang sudah sangat gelisah, bahkan bosan, oleh deraan keterpurukan yang sepertinya malu untuk berlalu di tengah budaya malu yang kian menipis, nyaris dalam arti yang sesungguhnya (har iah).

Gagasan terbesarnya ialah untuk bangkit kembali, Indonesia harus membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul, yang mampu bersaing dengan bangsa mana pun di dunia ini, kuncinya melalui pendidikan. Intinya, pendidikan yang bermutu dan relevan harus betul-betul digesa secara merata di seluruh nusantara, tanpa membedakan kota dan desa, daerah teramai atau terpencil. Kesemua anak bangsa harus memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu secara memadai. Hanya dengan upaya itulah marwah (harkat dan martabat) bangsa ini akan diperhitungkan kembali dalam percaturan dunia yang terus berubah dalam era globalisasi.

Untuk memberikan daya terhadap ide besar itu ditetapkan peraturan hukum bahwa anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD provinsi dan kabupaten/kota sekurang-kurangnya harus mencapai 20 persen. Provinsi Kepulauan Riau termasuk beruntung karena termasuk sepuluh provinsi yang sudah dapat merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBD-nya. Namun, masih banyak provinsi dan kabupaten/kota di negara yang tercinta ini belum melakukan itu.

Berhubung dengan guru sebagai mata tombak dalam pendidikan, ditetapkanlah bahwa guru dari pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan formal, pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), sampai dengan pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/MAK) harus berkuali ikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-4). Selain itu, guru harus memiliki serti ikat profesi sesuai dengan

Membaca Oemar Bakri

Page 173: H. Abdul Malik

153ABDUL MALIK

jabatannya sebagai tenaga profesional. Jika kesemua itu sudah terpenuhi, kesejahteraan guru akan memadai karena pendapatannya akan meningkat tajam. Itu dimungkinkan, selain mendapatkan gaji pokok, guru akan memperoleh pelbagai tunjangan, yang jelas sangat menjanjikan.

Sayang, kelimpahan kita akan gagasan tak diiringi dengan munculnya orang-orang yang sungguh-sungguh berani untuk melaksanakan gagasan itu. Bukankah belum semua APBD di daerah-daerah memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 20 persen untuk pembangunan pendidikan, di luar gaji guru dan tenaga kependidikan? Sudah meratakah lembaga pendidikan setingkat SLTP sampai ke pelosok desa untuk menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun? Sudah berapa persenkah dan bagaimanakah kemerataan dan proporsi pendidikan menengah kejuruan (SMK/MAK) dibandingkan pendidikan menengah umum (SMA/MA) dalam upaya kita menghasilkan tenaga mahir tingkat menengah untuk memfasilitasi perubahan struktur ketenagakerjaan di setiap daerah?

Bagaimanakah keberadaan dan kemerataan fasilitas pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah seperti buku teks, perpustakaan, laboratorium, fasilitas praktik, dan sebagainya? Padahal, kesemua siswa setiap tahun harus mengikuti ujian nasional (UN), tanpa diperhitungkan apakah sekolahnya memiliki fasilitas penunjang pendidikan atau tidak? Sudah berapa persenkah guru kita yang ditingkatkan pendidikannya sampai ke jenjang S-1 dan atau D-4, ataukah untuk memenuhi ketentuan itu mereka dibebankan untuk membiayai sendiri pendidikannya? Padahal, jangankan membiayai pendidikannya, untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari saja ada kepala sekolah yang harus bekerja sambilan sebagai pemulung. Bukankah menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional persyaratan itu sudah harus dipenuhi selambat-lambatnya pada 2015? Berapa persenkah guru kita yang sudah memperoleh serti ikat pendidik? Masih ada sederet panjang pertanyaan lain untuk menguji perealisasian gagasan besar dan peraturan hukum yang diharapkan memberikan daya untuk membangun SDM Indonesia yang bermutu, umumnya, dan pembangunan pendidikan, khususnya.

Kalau ternyata jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas lebih banyak pada sisi belum, gagasan besar itu baru sebatas bual besar. Hal itu sangat berbahaya dalam upaya kita untuk membangun sebuah peradaban, apalagi peradaban besar, kecuali mendirikan “Kerajaan Kata-Kata”. Dalam hal ini, orang diposisikan di awang-awang. Meminjam istilah Durkheim, kita berada pada tahap anomie.

Sepatutnya, dalam kondisi sekarang ini kita harus mengapresiasi dan mengikuti nasehat bernas budayawan-pejuang Melayu Kepulauan Riau, Raja Ali Haji, ”Hendaklah berjasa kepada yang sebangsa.” Padahal lagi, kalau betul-betul konsisten dan berpegang pada komitmen yang telah dibuat, kita sesungguhnya

Page 174: H. Abdul Malik

154 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

sanggup (dapat) melakukannya. Persoalan sesungguhnya, kita mau atau tidak? Jadi, setakat ini kita masih menunggu kehadiran ”si pemberani” yang mampu merealisasikan gagasan besar tentang pembangunan SDM yang berkualitas, khususnya melalui pendidikan.

Pahit-maungnya perjuangan guru dalam membangun pendidikan dapat kita baca di dalam buku Nasibmu ”Oemar Bakri” (Catatan Nurani Seorang Guru) karya Maswito, S.Pd. (CV Milaz Gra ika, Tanjungpinang, 2010). Penulis buku ini mulanya memang berprofesi sebagai guru, entah dia telah memperoleh serti ikat profesi atau belum. Walau akhirnya, dia tergoda juga untuk menjadi birokrat di Kota Tanjungpinang. Selain itu, Saudara Maswito saya tahu sangat tunak dalam kegiatan tulis-menulis, khususnya di media massa. Sekarang ini tak banyak lagi guru yang rajin menulis walaupun hanya artikel populer di media massa, mungkin juga karena deraan kehidupan yang membuat mereka tak sempat lagi untuk melakukannya. Padahal, kalau banyak guru yang mampu, mau, dan menyempatkan diri menulis untuk publik, tentulah akan sangat bermanfaat dalam pembangunan pendidikan di tanah air kita.

Itulah yang menjadi daya tarik utama buku ini. Kesemuanya berdasarkan fakta yang dialami oleh para guru dan kenyataan dunia pendidikan kita berdasarkan sudut pandang seorang guru, yang menjadi mata tombak dalam pendidikan. Tak ada suatu apa pun yang dapat menggantikan peran guru dalam pendidikan sampai bila masa pun. Akan tetapi, suratan nasibnya tak pernah sebanding dengan selaksa harapan yang dibebankan ke pundaknya. Hanya gurulah yang mampu menjalani kesemuanya itu. Walaupun begitu, sejalan dengan perkembangan peradaban, seyogianya ada upaya yang sungguh-sungguh nyata untuk mewujudkan kenyamanan dan keselesaan hidup para guru. Akankah sang pemberani itu hadir dalam waktu dekat ini? []

Page 175: H. Abdul Malik

155ABDUL MALIK

SETELAH diberi waktu tak kurang sebulan, terkumpullah 170 karya corak (motif) batik Melayu Provinsi Kepulauan Riau yang mengikuti lomba. Secara

lengkap, kegiatan itu diberi nama Lomba Motif Batik Khas Daerah Provinsi Kepulauan Riau 2010. Acara itu ditaja oleh Pemerintah Provinsi melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Penilaian karya-karya dilaksanakan pada 6—8 Juli 2010 di Hotel Golden View dan Mega Mall, Batam. Dewan juri terdiri atas seniman dan budayawan daerah ini serta seniman, perajin, dan pakar batik dari Surabaya, Pekalongan, Yogyakarta, dan Jakarta.

Sesuai dengan namanya, karya corak batik yang boleh mengikuti lomba adalah corak yang berasal dari tradisi Melayu Kepulauan Riau. Dengan demikian, walaupun terbuka secara nasional, para peserta wajib mengirimkan corak batik yang berasal dari Kepulauan Riau, bukan dari daerah lain kendatipun pesertanya banyak yang berasal dari daerah di luar Provinsi Kepulauan Riau.

Dari banyaknya peserta luar Kepulauan Riau yang mengikuti lomba ini, kita boleh berbangga hati. Ternyata banyak seniman dan atau perajin batik di luar budaya Melayu Kepulauan Riau yang berminat mengembangkan corak batik Kepulauan Riau. Kebanggaan itu menjadi lebih lengkap. Pasal apa? Seniman daerah ini pun tak kalah berminatnya dari peserta luar. Karya dari daerah meliputi kesemua kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau. Itulah sebabnya, karya yang mengikuti lomba menjadi sepuluh kali lipat lebih banyak daripada tahun sebelumnya (2009). Kalau kecenderungan itu konsisten, niscaya masa depan batik Kepulauan Riau akan cemerlang.

Dari segi kualitas, corak batik yang diperlombakan tahun ini pun boleh tahan juga dibandingkan tahun yang lalu. Pelbagai corak ragam hias Melayu dipaduserasikan berupa-rupa menjadi corak perpaduan (kombinasi) yang sangat indah dan menarik. Pelbagai khazanah Kepulauan Riau yang berciri bahari,

Lomba Batik Daerah

Page 176: H. Abdul Malik

156 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

termasuk khazanah budayanya, diangkat menjadi corak batik yang sungguh menawan. Pendek kata, senimannya betul-betul berusaha untuk menghasilkan karya corak batik yang khas Kepulauan Riau. Kenyataan itu membuktikan bahwa dari tangan-tangan yang kreatif, khazanah kuno pun akan dapat memperbaharui diri, pada saat yang sama dapat menyesuaikan diri dengan zaman. Berhadapan dengan khazanah dan karya seperti itu waktu pun menjadi gerun (takut, gentar) sebab ia tak pernah tunduk di bawah kekuasaan masa yang cenderung membinasakan. Dalam hal ini, seniman sejatilah yang menjadi pembela dan penyelamat khazanah budaya.

Walaupun begitu, tetap saja ada catatannya, khasnya dari sudut pandang saya. Kalau karya-karya itu digabungkan atau bergabung dengan corak batik dari daerah lain, masih sulit dibedakan mana yang berasal dari Kepulauan Riau dan mana pula dari daerah lain. Apa lagi, jika yang melihatnya itu orang awam, yang tak begitu mengenal corak khas daerah ini. Apakah artinya itu? Artinya, senimannya belum betul-betul mampu membuat ragi (desain) yang dapat membedakan ciptaannya dari ragi batik daerah lain, terurtama ragi batik Jawa walaupun coraknya memang khas Kepulauan Riau. Sekali lagi, saya hendak menyebut kain besurek untuk menjelaskan kemuskilan ini. Corak dan ragi kain besurek itu betul-betul khas Bengkulu karena tak ada batik daerah lain yang sama dengannya, apakah dari sudut isik corak dan raginya apalagi dari sudut batinnya yaitu nilai dan iloso i yang dikandungnya.

Bercakap tentang nilai dan iloso i corak yang diciptakan (tepatnya diubah suai karena diangkat dari khazanah yang ada), kesukaan kita pun mengemuka. Pasal apa? Di antara peserta lomba ternyata sebagian besar telah mencantumkan nilai dan iloso i corak yang dikembangkannya. Akan tetapi, kita pun dapat bermuram durja karena ada juga peserta yang sama sekali tak mencantumkan makna dan iloso i karyanya. Padahal, unsur batin itu melekat dan bersebati dengan keseluruhan wujud ciptaan corak batiknya. Bahkan, ada pula peserta yang tak mampu membuat judul karyanya. Untuk dua kasus yang disebut terakhir itu, jelaslah bahwa penciptanya hanya tahu melukis atau menggambar coraknya, tetapi tak memahami kandungan nilai dan falsafah corak yang dihasilkan. Tekun belajar dan hemah (menaruh minat, menghargai) merupakan kunci keberhasilan untuk mengatasi kekurangan itu. Janganlah sampai terjadi perkara mustahak itu dipandang sambil lewa (tak serius). Pasal, ini adalah bidang pekerjaan yang menyerasikan olah pikir dan olah hati dalam arti yang sesungguhnya, yang tak boleh dibuat main-main atau sekadar kesenangan (hobi) semata.

Ini yang paling parah dan tak patut. Karyanya cukup menarik. Malangnya, nama karyanya dibuat dalam bahasa Inggris. Tak mampukah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia untuk mewakili ide dan perasaan yang hendak dituangkan penciptanya

Page 177: H. Abdul Malik

157ABDUL MALIK

lewat karya corak batiknya. Bukankah karya itu diangkat dari khazanah budaya tradisional kita? Mestinya, nama dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesialah yang paling mewakili apa pun yang hendak ditampilkan melalui karya itu. Penamaan dalam bahasa Inggris, menurut hemat saya, dalam kasus ini sungguh mengada-ada. Kalau nama aslinya telah dibuat dalam bahasa kita sendiri, kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa asing supaya orang asing lebih memahami karya kita, itu lain pulalah ceritanya. Ini tidak, bulat-bulat karya itu dinamai dalam bahasa Inggris. Memang terlalu tinggikah nilai karyanya itu menurut si pencipta sehingga bahasa kita tak mampu menampung kecanggihannya? Penyakit latah jenis apa pulakah yang telah berjangkit. Berapa senkah rupanya budaya kita ini akan dijual? Hargailah budaya kita dengan padan dan patutnya.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, kekompakan dan kekeluargaan di antara para juri dan panitia patutlah dicatat. Juri daerah yang umumnya tak begitu mesra dengan teknologi perbatikan dan pembatikan dapat belajar banyak dari juri yang memang pakar dalam bidang itu, umumnya dari Jawa. Sebaliknya pula, rekan-rekan juri dari Jawa dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang budaya Melayu, umumnya, dan corak ragam hias daerah ini, khususnya. Jelas kelihatan mereka dapat mengapresiasi kesemuanya itu dengan baik karena memang berlatar kajian budaya selama ini. Lebih dari itu, semangat untuk saling menghargailah yang menjadi pengukir indahnya kebersamaan.

Alhasil, sesuai dengan ketentuan panitia, dewan juri telah menetapkan sepuluh karya corak batik terbaik. Kesepuluh corak itu, oleh panitia, harus diaplikasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk kain dan pakaian batik, baik untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Setelah itu, karya-karya tersebut akan dikenakan oleh sepuluh pasang dara dan bujang pada hari (mungkin malam) inal. Pada hari itulah dewan juri kembali menilai urutan karya terbaik yang mewakili corak batik khas Provinsi Kepulauan Riau.

Pengumuman pemenang dilakukan pada puncak acara, yang direncanakan meriah itu. Semoga semeriah itu pula perkembangan kerajinan batik daerah ini. Majulah batik Provinsi Kepulauan Riau! []

Page 178: H. Abdul Malik

158 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

AKAN terasa sangat subjektif kalau pernyataan itu berasal dari saya. Betapa tidak? Saya anak jati Kepulauan Riau, yang bermastautin di Tanjungpinang.

Bukan, pernyataan itu bukan dari saya. Lalu, dari manakah sumbernya? Nanti sekejap. Kita apresiasi dulu pernyataan itu.

Pernyataan yang saya jadikan judul kolom budaya kali ini sungguh berdelau, macam pulut! Dengan menyandang gelar kota puisi, Tanjungpinang dianggap sebagai kota yang paling konsisten mengekalkan, membina, dan mengembangkan warisan budaya leluhur. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sedang dirasuki pemikiran politik dan ekonomi sehingga saban hari orang dipaksa hanya boleh berurusan dengan kedua sektor itu untuk bertahan hidup, ada kota yang menyandang predikat budaya sungguh sesuatu yang luar biasa. Apa lagi, penamaan itu pun dikaitkelindankan dengan aktivitas hidup masyarakatnya sehari-hari. Sungguh suatu fenomena yang dapat menyejukkan jiwa tatkala sengatan politik dan ekonomi yang kian mengerontangkan kehidupan, bahkan meluluhkan kemanusiaan.

Satu-satunya gelar kota yang sebanding adalah Surabaya Kota Pahlawan. Itu pun kalau orang masih menghargai jasa pahlawan. Itu pun masih diragukan karena pada zaman sekarang bukan hanya banyak orang yang tak memahami makna pahlawan yang sesungguhnya, melainkan juga banyak yang memang tak mengindahkannya, tak menghiraukannya, tak memedulikannya. Seolah-olah kenikmatan hidup yang dirasakannya sekarang, bagi yang menikmatinya, hanya karena perjuangan dirinya seorang, tak ada kaitannya dengan perjuangan para pahlawan yang gugur atau berkorban dan terkorban pada masa silam.

Kembalilah kita pada sumber pernyataan di atas. Berikut ini saya kutip seutuhnya dari sumber aslinya.

“Di negeri ini (maksudnya Indonesia), kota yang paling layak menyandang sebutan kota puisi adalah Tanjung Pinang. Ya, Tanjung Pinang, ibukota

Tanjungpinang Kota Puisi

Page 179: H. Abdul Malik

159ABDUL MALIK

Provinsi Kepulauan Riau, ini dijuluki Kota Gurindam. Di kota ini, membuat puisi menjadi salah satu hobi masyarakat kebanyakan, termasuk pemimpin daerahnya” (Koran Jakarta, Sabtu, 3/7/10: 19).

Nah, pernyataan yang berimplikasi pengakuan itu berasal dari surat kabar Koran Jakarta (KJ) yang terbit di ibukota negara. Pada teras tulisan yang berjudul “Mencermati Makna Puisi sebagai Budaya Leluhur” itu KJ mengemukakan alasannya, “Saat ini, boleh dibilang orang yang hobi menulis puisi bisa dihitung dengan jari. Apalagi mengumpulkannya untuk dijadikan sebuah buku, terlebih bagi pejabat” (ibid). Dengan itu, KJ seolah-olah hendak mengungkapkan bahwa Jakarta pun bahkan tak mampu menandingi Tanjungpinang dalam urusan mencintai puisi, memelihara warisan budaya.

Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, menurut KJ, merupakan salah satu kota di Indonesia yang banyak melahirkan pujangga terkenal. Salah satunya adalah Raja Ali Haji (RAH) yang tersohor karena menghasilkan karya sastra terbesar sepanjang sejarah: Gurindam Dua Belas (GDB). Nampaknya, KJ lebih mengenal GDB dibandingkan banyak karya RAH yang lain, yang tak kalah menariknya.

Karena mewarisi tradisi puisi secara turun-temurun, warga Tanjungpinang menjadikan menulis puisi sebagai salah satu kegemaran. Di kalangan pejabat pula, menurut KJ, setiap pemberian kata sambutan, pejabat Tanjungpinang akan menyelipkan puisi atau pantun dalam kalimatnya. Dengan demikian, KJ menyiratkan bahwa puisilah yang menyatukan masyarakat dengan pejabat. Dalam aktivitas berpuisi, tak ada lagi batas antara pejabat dan masyarakat. Betapa sesungguhnya puisi, yang salah satu genre sastra dan hasil kebudayaan itu, mampu menjadi perekat persatuan di antara warga masyarakat walaupun secara sosial terdapat perbedaan di antara mereka.

Di antara pejabat Kota Tanjungpinang yang disebut menggemari puisi adalah Suryatati A. Manan, walikota yang juga penyair itu. Menurut KJ, Suryatati telah membaca puisi di pelbagai kota di Indonesia dan di luar negeri dalam setiap kesempatan kunjungan kerjanya. Dia pernah membaca puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dia juga pernah membaca puisi pada gelar sajak jalan bersama penyair Melayu Indonesia. Dia disebutkan oleh KJ telah menghimpun puisinya ke dalam buku kumpulan puisi Melayukah Aku?

Tak ada salah tentang penyair dan walikota Tanjungpinang yang ditulis oleh KJ. Hanya, tentang jumlah buku kumpulan puisi penyair yang, menurut saya, mampu menciptakan “puisi manis manja” walau apa pun suasana yang melatarinya ini, KJ belum memperoleh data yang terkini. Setahu saya, Suryatati telah menerbitkan tiga buah buku kumpulan puisi, bukan sekadar satu dan terakhir Surat untuk Suami (Yayasan Panggung Melayu, Jakarta, Maret 2009).

Page 180: H. Abdul Malik

160 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Pejabat yang juga disebutkan oleh KJ menyenangi puisi adalah H. Muhammad Sani. Agar objektif, pernyataan KJ saya kutip secara utuh berikut ini.

“Selain Suryatati, HM Sani yang terpilih sebagai gubernur dalam pilkada tahun ini hobi menulis dan membacakan puisi. Baginya, membaca puisi atau pantun bukan sekadar hobi, tapi juga sudah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan warga Melayu” (ibid).

Abdul Kadir Ibrahim (Akib) adalah pejabat sekaligus sastrawan yang banyak diulas oleh KJ. Ucapan Akib yang dikutip oleh koran ini, antara lain, “... banyak orang yang bisa menulis puisi, tapi tidak banyak yang bisa menulis puisi berkualitas yang memiliki makna bagi pembacanya. Sebab, puisi adalah tulisan indah yang harus dibuat sangat padat, berisi, dengan gaya bahasa indah dan tersusun rapi.” Selain itu, gagasan Akib tentang pilihan kata, teknik membaca dan menulis puisi, dan apresiasi generasi muda terhadap puisi leluhurnya dibahas KJ secara mendetil.

Yang tak kalah menarik, surat kabar Jakarta itu mengutip lengkap pernyataan Joehan, pelajar SMK di Tanjungpinang, tentang kiat membaca puisi. Dengan itu, KJ hendak meyakinkan bahwa di Tanjungpinang, puisi disukai kesemua kalangan. Kesemua orang di kota itu dapat dan mampu diajak berbicara tentang puisi.

Mengutip Suryatati, KJ menyebutkan perkembangan puisi cukup maju di Kepulauan Riau karena hampir di setiap sekolah, dari SD sampai SMA, puisi menjadi salah satu pelajaran wajib. Pemerintah daerah ikut memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan karya sastra dengan mensponsori pelbagai lomba cipta dan baca puisi.

Sanjungan yang diberikan oleh KJ terhadap Tanjungpinang sungguh luar biasa. “Macam pulut!” kata saya tadi. Akan tetapi, entah mengapa walau narasinya sehalaman penuh (hlm 19) tak satu pun memuat foto sastrawan dan atau pejabat dari daerah ini yang gemar bersastra. Narasinya memang dilengkapi foto, tetapi foto Tau ik Ismail, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dll. Apa pulalah alasan KJ dalam hal ini, memang tak dapat diterka, kecuali mereka tak punya foto seniman daerah ini. Agak-agak, tak mungkinlah mereka tak punya foto Sutardji Calzoum Bachri, bukan? Entahlah.

Terlepas dari itu, apresiasi yang diberikan oleh KJ terhadap Tanjungpinang, khasnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, patutlah disambut dengan bahagia. Itu bukanlah sanjungan tanpa alasan. Memelihara penilaian baik itu menjadi tanggung jawab kita. Oleh sebab itu, kita harus mewujudkan nilai kebenaran, keindahan, kejujuran, kebaikan, kesetiakawanan, kesopanan, kelembutan, dan sebagainya menjadi pakaian hidup kita sehari-hari. Itulah nilai-nilai yang tersurat dan tersirat di dalam puisi. Jika makna yang terkandung dalam sebutan Kota Puisi itu betul-betul mendarah daging di dalam diri, nilainya jauh lebih tinggi dari sebuah Adipura.[]

Page 181: H. Abdul Malik

161ABDUL MALIK

HENDAK menulis kesan yang baik, indah, dan menyenangkan tentang sesebuah negeri atau negara yang baru kali pertama dikunjungi? Jika ya, tulislah kesan

pada tiga hari pertama berada di negeri atau negara itu. Itulah keyakinan saya selama ini. Karena apa? Pada tiga hari pertama itulah kita berasa gembira sampai di tempat orang. Hari-hari berikutnya belum tahu lagi karena kita mulai berasa adanya perbedaan-perbedaan yang, secara psikologis, cenderung kurang atau tak menyenangkan sebelum sampai pada tahap penyesuaian sebagian, dan pada akhirnya akulturasi penuh.

Alkisah, pada 16—18 Juli 2010 saya mendapat berkah berkunjung ke Brunei Darussalam untuk menghadiri acara Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) IV. Kali ini Bandar Seri Begawan, ibukota Brunei Darussalam, mendapat giliran menjadi tuan rumah. Kota-kota yang pernah menjadi tuan rumah acara ini adalah Medan (2007), Kediri (2008), dan Kuala Lumpur (2009). Tahun depan Palembang yang mendapat giliran. Nampaknya, Thailand dan Filipina belum mendapat tuah menjadi tuan rumah, apa pasal?

Berkah? Betapa tidak. Dalam keadaan sosial ekonomi saya, tak pernah terbayangkan, mimpi pun tidak, saya boleh sampai ke Brunei. Hasrat hendak melihat negara yang makmur itu memang telah lama terpendam. Namun, saya mesti tahu diri. Alhamdulillah, saya diundang dalam kapasitas sebagai akademisi yang membidangi sastra dan kebudayaan. Pihak pengundangnya adalah Pengerusi (Panitia) Bersama PPN IV yang diketuai oleh Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah, mantan Dekan Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Brunei Darussalam, yang juga sastrawan penerima South-East Asia Write Award 2005. Jadilah saya berangkat ke Brunei bersama seniman Indonesia asal Tanjungpinang: Suryatati A. Manan, Abdul Kadir Ibrahim (Akib), dan Husnizar Hood, serta wartawan senior Akmal Atatrick.

Negara Melayu Brunei Darussalam

Page 182: H. Abdul Malik

162 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Sampai di Lapangan Terbang Internasional Brunei Darussalam, saya langsung terkagum-kagum. Bukan pada bangunan isik bandaranya, melainkan pada papan nama dan kesemua papan penunjuk yang ada di situ. Karena apa? Karena, kesemua papan nama dan papan penunjuk itu menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu (Jawi). Setelah masuk ke kota, saya menyaksikan kesemua papan nama untuk bangunan pemerintah dan swasta, toko-toko, nama jalan, bangunan publik, dan sebagainya menggunakan huruf Arab-Melayu. Penulisannya ada yang ditulis biasa dan ada pula yang menggunakan kaligra i. Pada malam hari nama-nama yang menggunakan huruf Arab-Melayu itu menjadi lebih megah karena dihiasi lampu berwarna-warni sehingga bangunannya menjadi lebih megah, bercahaya, dan berseri lagi. Hanya di Bruneilah pemandangan seperti itu dapat dilihat. Asyik saya memandangnya. Mimpi saya di tanah air menjadi kenyataan di Brunei, Tempat yang Aman, Darussalam.

Kota-kota di Indonesia yang berbudaya Melayu dan Malaysia juga ada yang menggunakan huruf Arab-Melayu. Namun, tak sama dengan Brunei. Pasal, di Brunei Darussalam huruf Arab-Melayulah yang muncul pertama (di atas), bukan huruf Latin. Susunannya dapat bervariasi seperti ini: (1) nama Melayu dengan huruf Arab-Melayu, diikuti oleh nama Melayu dengan huruf Latin, lalu nama berbahasa Inggris dengan huruf Latin; (2) nama Melayu dengan huruf Jawi, diikuti oleh nama berbahasa Inggris dengan huruf Latin; dan (3) nama Melayu dengan huruf Jawi diikuti oleh nama Melayu dengan huruf Latin. Bahkan, nama perusahaan atau toko yang berbahasa asing pun ditulis lebih dahulu dengan huruf Arab-Melayu seperti British Airways dan Kopi Phow Jit Me (Kedai Kopi Siang Malam).

Saya jadi terbayang akan Thailand, Vietnam, Myanmar, Korea, Jepang, Tiongkok, dan Arab. Bangsa-bangsa itu sangat bangga akan bahasa dan tulisan tradisi mereka. Saya pun jadi teringat akan peristiwa seorang artis Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan tempat dia harus berasa tak sedap hati. Pasal apa? Ketika berbelanja di sebuah mal, dia menggunakan bahasa Inggris. Ternyata, tak seorang pelayan toko pun yang mau meladeninya. Agaknya, di benak pelayan toko itu terpatri sikap, “Di Korea Anda harus berbahasa Korea!”

Sampai begitu sekalikah? Memang, begitulah bangsa yang betul-betul menghargai warisan terala (luhur) nenek moyangnya, tak tergoyahkan oleh alasan pragmatis apa pun. Nampaknya, untuk bangsa Melayu, Brunei Darussalam masih memegang teguh tradisi itu walaupun mereka tak menolak untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Ya, di dunia Melayu harus diakui hanya Brunei Darussalam dan ternyata mereka tak hidup miskin karena mempertahankan tradisi itu. Bukan tak mungkin justeru mereka dianugerahi kekayaan yang berlimpah karena mempertahankan warisan budaya terala itu sebagai wujud keyakinan akan ayat-ayat Allah.

Page 183: H. Abdul Malik

163ABDUL MALIK

Kedua, saya terpaut dengan Kampong Ayer. Ini adalah permukiman di atas air yang terbesar di dunia. Kampong Ayer adalah sebuah kampung di atas air sebab dikelilingi oleh Sungai Brunei. Telah sejak lama, atau awal-awal lagi, bangsa Brunei tinggal di Kampong Ayer. Mereka baru pindah ke darat pada awal abad ke-20. Walaupun sebagian penduduk pindah ke darat, kampung ini masih dikekalkan menjadi tempat sebagian penduduk bermukim. Kini Kampong Ayer dikelilingi oleh ibukota Bandar Seri Begawan dan menjadi destinasi pelancongan terbesar di Brunei Darussalam, yang paling banyak dikunjungi oleh pelancong.

Masyarakat Kampong Ayer masih mempertahankan kebiasaan dan tradisi Melayu dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu menjadi daya tarik utama para pelancong, terutama wisatawan mancanegara. Walau Brunei Darussalam bergerak menuju negara modern, adat-istiadat dan tradisi Melayu di Kampong Ayer tak terjejas, masih terpelihara dengan baik.

Untuk menuju Kampong Ayer disediakan fasilitas yang sangat memadai. Boat bermesin yang sangat laju akan membawa kita hanya sekitar lima menit dari Bandar Seri Begawan. Sampai di Kampong Ayer kita naik ke dermaga modern yang megah. Di pelabuhan itu pula telah menanti sebuah bangunan indah dan kokoh berasitektur Melayu: Galeri Kebudayaan dan Pelancongan Kampong Ayer. Galeri yang dilengkapi dengan alat penyaman udara (AC) itu menyediakan media audio-visual yang memuat informasi tentang sejarah dan kebudayaan masyarakat Kampong Ayer, khususnya, dan Brunei Darussalam, umumnya. Galeri juga memajangi benda-benda bersejarah dan hasil kerajinan masyarakat Kampong Ayer. Melihat keanggunan galeri itu, saya berbisik kepada Akib, “Kalaulah Kepulauan Riau memiliki galeri seperti ini, tentulah pariwisata kita akan bersemarak. Pasal, khazanah kita jauh lebih lengkap dan beragam.” Ya, tetapi kita memang belum punya!

Satu lagi ikon Melayu yang masih lestari di Brunei adalah ini. Pelajar dan pegawai perempuan Melayu Brunei mengenakan baju kurung lengkap dengan tudung (jilbab) saban hari. Nampaknya, pakaian modern ala Barat diharamkan untuk dipakai di kantor dan di sekolah. Dengan berpakaian seperti itu, perempuan Melayu atau muslimah dengan mudah dapat dibedakan dengan perempuan non-Melayu. Walaupun begitu, jangan dikira mereka tak modern. Berpakaian tradisional tak identik dengan tertinggal. Pasal, mereka kesemuanya bermobil ke kantor, sama ada anak dara ataupun yang telah bersuami. Apa lagi, di samping berbahasa Melayu, mereka pun mahir berbahasa Inggris.

Nampaknya, hanya tinggal Brunei Darusslamlah lagi negara Melayu sesungguhnya di dunia ini. Mudah-mudahan, Negara Sultan Haji Hasanal Bolkiah ini tak terjejaskan oleh propaganda yang mengatasnamakan globalisasi. Pada Brunei Darussalamlah, kalau tak berubah, harapan terbesar dunia Melayu dapat disandarkan. []

Page 184: H. Abdul Malik

164 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

HARI ini 1 Agustus 2010 genaplah sudah tiga tahun usia Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH). Dari upaya awal pendiriannya (Oktober 2004)

sampailah kepada pembenahannya setelah berdiri, telah enam tahun waktu berlalu. Dalam rentang itu, pelbagai onak dan duri telah dialami untuk mewujudkan harapan seluruh rakyat Kepulauan Riau, memiliki sebuah universitas negeri. Tinggal selangkah lagi harapan akan tercapai, menanti pengesahan oleh Presiden melalui Menteri Pendidikan Nasional, kalau tak dirintang paling lama pada 2011 telah terwujud. Sebab apa? Kesemua persyaratan untuk menjadi universitas negeri telah dipenuhi, bahkan penyerahan aset dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kepada pemerintah pusat telah dilaksanakan pada Sabtu, 30 Muharram 1431 atau 16 Januari 2010 sekitar pukul 3.00 petang di Gedung Daerah, Tanjungpinang.

Memiliki universitas negeri yang bermutu memang menjadi cita-cita terbesar rakyat Kepulauan Riau setelah berhasilnya perjuangan membentuk provinsi. Bahkan, pendirian Perguruan Tinggi Negeri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan pembentukan provinsi ini. Rakyat Kepulauan Riau rela berkorban apa saja untuk mewujudkan provinsi untuk mencapai cita-cita peningkatan kesejahteraan, yang termasuk memungkinkan anak negeri memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan murah. Oleh sebab itu, pemerintah Provinsi Kepulauan Riau yang didukung sepenuhnya oleh DPRD Provinsi Kepulauan Riau betul-betul menggesa pendirian UMRAH untuk melaksanakan amanah rakyat.

Lagi pula, perkembangan pembangunan Kepulauan Riau kini dan ke depan memang memerlukan SDM yang berkualitas dalam pelbagai bidang ilmu, yang hanya dapat dihasilkan oleh sebuah perguruan tinggi bermutu, yang manajemennya betul-betul memahami dan komit akan kepentingan daerah dan masyarakat. Besarnya potensi SDA, makin pesatnya pembangunan, dan strategisnya posisi Kepulauan Riau memerlukan anak bangsa yang memiliki kemampuan dalam

UMRAH: Ultah dan Pangkah

Page 185: H. Abdul Malik

165ABDUL MALIK

pelbagai disiplin ilmu untuk mengelolanya secara benar dan baik sehingga bermanfaat bagi masyarakat, daerah, bangsa, dan negara.

Tak heranlah mengapa harapan untuk memiliki sebuah universitas negeri yang bermutu, yang tentu dikelola oleh SDM yang juga bermutu—baik intelektual maupun moralnya—telah tertanam sejak lama di hati sanubari rakyat Negeri Segantang Lada ini. Sayangnya, harapan itu terpaksa kandas tatkala ibukota provinsi kemudian dipindahkan ke Pekanbaru sehingga di ibukota yang baru itu berdirilah Universitas Riau sebagai universitas negeri. Para pendahulu kita tak patah semangat. Lalu, didirikanlah Universitas Hang Tuah (UHT) di Tanjungpinang, yang diharapkan kelak dapat menjadi universitas negeri. Ternyata, belum terlalu jauh berlayar, bahtera UHT harus karam diterjang badai. Kini, setelah berprovinsi sendiri, UMRAH-lah yang diharapkan menjadi universitas negeri.

Di tengah harapan yang demikian besar, tiba-tiba muncul musibah nilai-gate di salah satu program studi (prodi) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UMRAH. Seorang mahasiswa tertangkap tangan memalsukan nilai akademiknya dari perguruan tinggi lamanya untuk dapat mengikuti ujian sarjana di FISIP, UMRAH. Entah apalah yang melatari dan membuat Purwanto berani melakukan tindakan tak terpuji itu. Yang pasti, rumitnya pengurusan administrasi dari perguruan tinggi lamanya ke fakultas barunya merupakan salah satu indikasi yang menyebabkannya melakukan perbuatan nekat itu. Sayangnya, perbuatan itu baru tersebar setelah Purwanto melaksanakan ujian skripsi dan telah menerima ijazah. Sayangnya lagi, dosen yang bersangkutan langsung melaporkan perkara itu ke kepolisian tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi UMRAH secara keseluruhan. Malangnya juga, nyaris tak ada pimpinan fakultas lain yang tahu kejadian di FISIP itu kalau tak membacanya di surat kabar.

Langkah yang ditempuh oleh dosen yang bersangkutan tergolong luar biasa. Apa lagi, kemudian diketahui bukan dia yang menjadi pengasuh mata kuliah itu di perguruan tinggi asal Purwanto. Di hampir semua perguruan tinggi lain dalam menghadapi kasus seperti ini biasanya didahulukan pendekatan akademik-edukatif. Namanya juga institusi pendidikan.

Caranya begini. Ketika akan mengikuti ujian skripsi (akhir), nilai mahasiswa, sebutlah Si Pulan, diteliti dulu di prodi. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan jumlah mata kuliah dan satuan kredit semester (sks) yang telah diambil oleh Pulan, termasuk betul-tidaknya nilai yang tercantum di dalam kartu hasil studi (KHS)-nya. Kalau sksnya telah cukup dan semua nilai itu benar, barulah Pulan boleh mengikuti ujian skripsi.

Kalau tak betul? Katakanlah nilai yang tercantum di KHS dan nilai yang dikeluarkan oleh dosen yang bersangkutan pada akhir semester ternyata berbeda.

Page 186: H. Abdul Malik

166 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Penelitian dilanjutkan oleh pihak prodi yang dikonsultasikan dengan pihak Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) untuk menentukan sebab terjadinya perbedaan itu. Jika ternyata karena salah pengetikan, ketikannya diperbaiki dan Pulan dapat melanjutkan ujian skripsi kalau memang semua sks yang diwajibkan telah terpenuhi. Namun, jika ternyata terbukti adanya manipulasi nilai, Pulan dibatalkan mengikuti ujian akhir dan para pihak yang terlibat dalam penipuan itu dikenakan sanksi administratif dan akademik sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sanksi diberikan oleh pimpinan fakultas dan atau universitas sesuai dengan kode etik institusi yang bersangkutan. Jadi, mestinya kesalahan itu telah diketahui sebelum ujian skripsi lagi, jauh sebelum dekan dan rektor menandatangi ijazah. Sekali lagi malang, penyelesaian kasus ini harus ditempuh melalui jalur hukum formal.

Kita prihatin akan nasib sekitar 300-an mahasiswa transisi dari perguruan tinggi lamanya ke FISIP, UMRAH. Wajar pulalah mereka mempertanyakan nasib mereka. Apa lagi, mereka disebut dengan ungkapan yang tak sedap, yang tak ada dalam kamus akademik mana pun yaitu mahasiswa bodong. Kalau kita mau berpikir jernih, yang bodong itu siapa?

Dengan mengemukakan hal ini, mungkin saya akan dicap sebagai mengambil jalan yang berbeda dengan beberapa pihak, yang umumnya saya kenal. Jika itu yang terjadi, saya ikhlas menanggung resikonya. Sebab apa? Sebab, naluri keguruan saya sungguh tak dapat menerima anak didik kita, harapan Kepulauan Riau ke depan yang akan menggantikan kita yang telah tua-tua ini, nasib pendidikannya diombang-ambingkan oleh kita, yang konon menyandang predikat mulia pendidik, mahaguru lagi karena berkhidmat di perguruan tinggi.

Berita negatif bertubi-tubi saban hari akhir-akhir ini, seolah-olah tak ada yang baik lagi di UMRAH, jelas merupakan upaya untuk memunculkan citra negatif UMRAH. Sasaran akhirnya, penegerian UMRAH dibatalkan untuk kemudian UMRAH dibubarkan, dipangkah, seperti nasib universitas di Kepulauan Riau yang pernah didirikan. Gejala seperti itu terlihat sejak rencana awal pendirian UMRAH lagi. Bahkan, memang ada pihak yang secara terang-terangan mengungkapkan niat, hasrat, dan keinginan mereka itu. Pertanyaannya adalah apakah tindakan itu menguntungkan Kepulauan Riau dan masyarakat secara keseluruhan? Mengapakah kita marah terhadap nyamuk, lalu seluruh kampung kita bakar? Bijaksanakah sikap dan tindakan seperti itu?

Melalui saya, beberapa tokoh Kepulauan Riau menitip pesan untuk pimpinan UMRAH. Janganlah karena nila setitik ini, harapan rakyat Kepulauan Riau untuk memiliki universitas negeri menjadi kandas lagi. Saya kira pun, pemerintah pusat tentulah sangat arif membaca situasi ini. Dalam situasi itulah UMRAH mengadakan

Page 187: H. Abdul Malik

167ABDUL MALIK

dies natalis (ulang tahun) ke-3 pada 2 Agustus 2010. Dan, bersempena dengan itu, dilaksanakan Seminar Internasional “Menggagas dan Mewujudkan Prasasti Bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai Asal Bahasa Indonesia.” Pembicaranya pakar bahasa, sastra, dan kebudayaan dari Jakarta, Pekanbaru, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan UMRAH sendiri. Dari hasil seminar itu akan dibangun prasasti bahasa sebagai peringatan sumbangan terbesar kita bagi bangsa dan negara ini: bahasa persatuan. Dirgahayu UMRAH! []

Page 188: H. Abdul Malik

168 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

BERSEMPENA dengan Dies Natalis III dan Wisuda I Sarjana Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Senin, 2 Agustus 2010 dilaksanakan Seminar

Internasional “Menggagas dan Mewujudkan Prasasti Bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai Asal Bahasa Indonesia”. Para pembicara pada seminar itu terdiri atas pakar yang memang telah berkecimpung lama dalam pengkajian linguistik dan kesusastraan. Di antara mereka ada pula yang memang memusatkan perhatian pada aktivitas intelektual Raja Ali Haji, tokoh pengasas bahasa Melayu, yang kemudian dijadikan bahasa nasional Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Para pembicara yang dimaksud adalah Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, Prof. Datuk Dr. Haji Abdul Latiff Abu Bakar, Drs. H. U.U. Hamidy, M.A., Prof. Dr. Abdullah Hasan, dan Abdul Malik.

Seminar itu membuat catatan sejarah tersendiri pula. Baru dari seminar itulah betul-betul disepakati bahwa asal-usul bahasa Indonesia memang dari bahasa Melayu Kepulauan Riau. Dari sekian banyak seminar dan pertemuan ilmiah yang membicarakan topik yang sama selama ini, belum diperoleh kesepakatan yang betul-betul mantap tentang asal-usul bahasa Indonesia, kecuali bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Masalah ini memang pelik dan rumit sehingga tak dapat dibuat putusan yang tergesa-gesa. Karena apa? Karena kawasan yang menggunakan bahasa Melayu sangat banyak di nusantara ini.

Tak heranlah Medan, Sumatera Utara, pernah menahbiskan diri sebagai tempat asal bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, Kongres II Bahasa Indonesia dilaksanakan di sana. Akan tetapi, tetap saja Kongres itu tak dapat memutuskan bahwa dialek Melayu Deli (Medan) sebagai asal bahasa Indonesia karena tak didukung oleh bukti yang kuat. Memang, tak ada aktivitas intelektual bahasa yang kuat pada masa kolonial Belanda yang dilaksanakan di Medan walaupun bahasa Melayu dialek Deli mirip dengan bahasa Melayu Kepulauan Riau, yang di dalam buku-buku sejarah bahasa disebut bahasa Melayu Riau karena berhubung dengan nama kerajaan

Prasasti Bahasa

Page 189: H. Abdul Malik

169ABDUL MALIK

pusat peradaban tempat bahasa itu dibina yaitu Kerajaan Melayu Riau atau biasa juga disebut Kerajaan Melayu Riau-Johor, yang berpusat di Lingga dan Penyengat Inderasakti. Kalimantan Barat juga pernah menyatakan diri sebagai tempat asal bahasa Indonesia. Namun, tetap tak ada bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung pernyataan itu.

Seminar yang ditaja oleh UMRAH itu, kebetulan entah apalah pertimbangannya saya dipercaya sebagai ketua pelaksananya, memberikan beberapa informasi ilmiah yang mustahak. Di antaranya merupakan temuan kajian historis yang terbaru.

Tokoh yang pertama sekali mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan setelah Indonesia merdeka adalah R.M. Soerjadi Soerjaningrat yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Usul itu disampaikan melalui makalah beliau yang dibentangkan dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda pada 28 Agustus 1916. Menurut beliau, bahasa Melayu yang paling pesat perkembangannya kelak di Indonesia. Kenyataan itu sangat beralasan karena bahasa Melayu telah dijadikan bahasa pengantar pendidikan di Indonesia berdasarkan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Oleh sebab itu, sebagian besar bangsa Indonesia telah memahiri bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, selain bahasa daerah mereka masing-masing sebagai bahasa pertama.

Pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926 muncul dua nama untuk bahasa persatuan Indonesia. Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, tetap sesuai dengan nama aslinya. Tokoh lain yaitu M. Tabrani mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai nama baru bahasa Melayu sejalan dengan nama negara yang akan terbentuk. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia secara aklamasi menerima nama bahasa Indonesia. Nama itu, kemudian, dikukuhkan kembali pada Kongres II Pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Ki Hajar Dewantara pulalah yang meredakan polemik tentang asal-usul bahasa Indonesia. Bahasa Melayu mana? Itu yang menjadi polemik kemudian. Sebagai pengusul pertama, cendekiawan, dan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, beliau mengetahui persis asal-usul bahasa nasional itu. Menurut beliau bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, yang dasarnya berasal dari Melayu Riau. Rujukan Melayu Riau yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara itu adalah Kerajaan Melayu Riau, yang berpusat di Kepulauan Riau.

Persoalan yang mengemuka kemudian adalah kawasan Riau yang mana? Pasal, bahasa Melayu Riau memiliki banyak subdialek atau logat. Apa lagi, setelah Riau dimekarkan menjadi dua provinsi yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau yang terbentuk kemudian.

Untuk memastikan hal itu, walau sebetulnya sudah terang lagi bersuluh, perlu

Page 190: H. Abdul Malik

170 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dicari rujukan yang paling tepat. Tentulah acuannya dokumen resmi pemerintah kolonial Belanda yang membuat standardisasi bahasa Melayu yang boleh dipakai di lembaga pendidikan untuk pribumi di kawasan jajahannya di Hindia Belanda. Pada Pasal 28 Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1872 disebutkan bahwa “Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat,... bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau.” Jadi, bahasa Melayu yang dijadikan bahasa pengantar pendidikan dan diajarkan di seluruh nusantara itu berdasarkan standar Melayu Kepulauan Riau meliputi tata bahasa, ejaan, dan lafal (ucapan)-nya karena dinilai masih murni. Bahasa Melayu Standar itu disebut juga bahasa Melayu Tinggi. Bahasa itulah yang dipelajari oleh para intektual kita semasa mereka menuntut ilmu, yang kemudian mereka gunakan sebagai alat komunikasi dan alat pemersatu dalam pergerakan kemerdekaan.

Mengapakah bahasa Melayu Kepulauan Riau sangat terpelihara tata bahasa, ejaan, dan lafalnya? Jawabnya, karena Raja Ali Haji telah melakukan pembinaan dengan menulis buku tentang tata bahasa dan ejaan yaitu Bustanul Katibin (1851) dan kamus Melayu yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Di kawasan Melayu lain walaupun ada diterbitkan buku, tak pernah ada yang khusus menulis buku tentang tata bahasa, ejaan, dan kamus. Buku-buku Raja Ali Haji itulah, kemudian, yang dirujuk oleh van Ophuijsen ketika beliau menulis buku Logat Melayu (1901) yang berisi tata bahasa dan pedoman ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin. Sejak itu, mulailah diperkenalkan huruf Latin dalam penulisan bahasa Melayu.

Pada Sabtu, 29 April 2000 Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, ketika membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru menegaskan pengakuan akan jasa pahlawan Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. “Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini,” tegas beliau. Dengan itu, sebetulnya Kepulauan Riau sebagai asal bahasa Indonesia telah mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Republik Indonesia karena di sinilah tempat Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia, Raja Ali Haji, berkarya.

Dengan dasar itu, Seminar memberikan rekomendasi supaya di ibukota Kepulauan Riau, Tanjungpinang, atau di Pulau Penyengat, dibangun Prasasti Bahasa untuk mengekalkan memori anak bangsa tentang perjuangan para pendahulu kita dalam melahirkan bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia. Selain itu, Kepulauan Riau juga seyogianya memiliki Institusi Pengajian Tamadun Melayu untuk meneruskan upaya yang telah dirintis oleh Raja Ali Haji dkk. Hanya dengan itu tradisi intelektual yang menjadi ciri khas tamadun Melayu zaman berzaman dapat terus berlanjut di sini. Semogalah kesemuanya segera terwujud. []

Page 191: H. Abdul Malik

171ABDUL MALIK

BARANG siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa.” Kutipan ini sudah pasti sangat kita kenal. Tak ada suatu ungkapan dalam bahasa

mana pun yang serupa dengannya. Itu saja telah menunjukkan kelasnya sebagai karya yang agung. Siapa pun yang akrab dengan sastra Melayu Klasik pasti tahu bahwa itu adalah Bait 3, Pasal Kedua, Gurindam Dua Belas (GDB), karya agung sastrawan, budayawan, pakar bahasa, ilmuwan, sejarawan, dan ulama termasyhur, Raja Ali Haji (RAH). Bersempena dengan bulan suci Ramadan 1431 H. sengaja bait itu saya bahas untuk menjadi renungan, dan mudah-mudahan menuntun, kita dalam menunaikan ibadah puasa dalam bulan yang penuh berkah ini. Bahwa bahasannya mengandungi kealpaan, sangat saya sadari sebab itulah bukti bahwa manusia tak dianugerahi ilmu oleh Allah Yang Mahatahu, kecuali hanya sedikit. Mudah-mudahan pula, perian ini menjadi bagian dari tradisi tetua kita, “Lebih beri-memberi, kurang isi-mengisi.”

Bait 3 ini menggunakan kalimat negasi yang ditandai dengan kata meninggalkan pada baris pertama dan kata tidaklah pada baris kedua. Kedua ungkapan negasi itu sengaja digunakan RAH untuk menegaskan mustahak dan pentingnya amanat yang terkandung di dalamnya. Puasa sebagai ibadah utama dalam Islam seyogianya diamalkan dengan ikhlas, jangan sekali-kali ditinggalkan. Sebab apa? Sebab, di dalamnya terkandung hikmah dan anugerah Allah berupa kenikmatan yang sangat kita perlukan, baik dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini maupun lebih-lebih sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Jadi, meninggalkan puasa, bukan hanya berdosa, melainkan juga menyia-nyiakan anugerah yang, padahal, pasti diberikan Allah kepada makhluknya yang beriman dan bertakwa.

Termasa adalah kosakata bahasa klasik Melayu, yang di dalam bahasa modern Melayu dan atau bahasa Indonesia berubah bunyinya menjadi tamasya. Secara har iah, artinya ‘keindahan’. Itulah sebabnya, dalam bahasa kita sekarang ada kata bertamasya yang bermakna ‘pergi melihat tempat-tempat yang indah-indah’. Secara

Anugerah Dua Termasa

"

Page 192: H. Abdul Malik

172 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

konotatif, termasa atau tamasya dapat bermakna ‘kenikmatan, kebahagiaan, dan kegembiraan’.

GDB merupakan karya sastra, yang memanfaatkan ilmu agama (Islam) dan ilsafat Melayu sebagai landasannya. Sebagai lazimnya karya sastra, GDB menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat tak hanya dengan makna har iah, tetapi tentu mengandung metafora. Oleh sebab itu, GDB terbuka untuk pelbagai interpretasi, sepanjang tak menyesatkan.

Setelah penjelasan yang agak berjela-jela, kita kembali kepada dikotomi dua termasa atau tamasya. Di manakah letak kenikmatan, keindahan, dan atau kegembiraan ibadah puasa itu?

Ramadan, yang di dalamnya kita diwajibkan berpuasa, adalah bulan pengampunan. Kedudukannya sangat istimewa jika dibandingkan dengan sebelas bulan yang lain. Pada bulan ini segala dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang lain akan diampuni Allah Yang Maha Pengampun. Asal apa? Asal kita benar-benar bertaubat dan melaksanakan rangkaian ibadah Ramadan dengan khusuk, ikhlas, dan hanya mengharapkan keridaan-Nya. Tak ada motif lain dalam beribadah, kesemuanya hanya bukti penghambaan kita kepada Sang Khalik. Kita tinggalkan dan enyahkan segala sifat, perilaku, dan tabiat yang dapat membatalkan puasa dengan suka rela dan suka cita hanya mengharapkan ampunan dan keridaan-Nya. Kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan itu jadi berlipat ganda manakala segala perilaku dan sifat-sifat terpuji yang kita amalkan selama bulan Ramadan, kita tingkatkan terus-menerus pada bulan-bulan yang lain sampai kita bertemu kembali dengan Ramadan berikutnya sehingga keberadaan kita sebagai orang yang bertakwa tetap terpelihara, tanpa cela sedikit jua pun. Adakah kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang lebih tinggi daripada itu? Jika itu terjadi, kita betul-betul mendapat anugerah dua termasa.

Bagi mereka yang biasa hidup berkecukupan, menahan haus dan lapar sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Bagi mereka yang merasa tak cukup-cukup, menahan diri dari “bergaul” dengan istri atau suami pada siang hari pun dapat menimbulkan perasaan tersiksa. Padahal, pada bulan-bulan yang lain kesemuanya halal dilaksanakan. Apalagi, mengekang diri dari perbuatan yang memang selamanya diharamkan, termasuk menahan hasrat untuk makan segala makanan yang menerbitkan selera pada siang hari yang harus dipuaskan pada waktu berbuka nanti. Akan tetapi, dengan hanya mengharapkan rida Allah untuk mencapai kualitas bertakwa, orang beriman mampu melawan kesemuanya itu dengan baik, sempurna, dan anggun. Dia berjaya memerangi godaan hawa nafsunya sendiri, musuh terbesarnya sepanjang hayat, karena tak ada intervensi iblis atau syaitan pada bulan Ramadan. Dia boleh menundukkan kepala sambil mengucapkan syukur kepada Allah Azza wa Jalla

Page 193: H. Abdul Malik

173ABDUL MALIK

karena telah mencapai taraf manusia yang sesungguhnya.

Kala itu pula mereka yang sungguh beriman menginsya i betapa penderitaan saudara-saudaranya yang selama ini hidup menderita karena serba kekurangan: entah makan dan minum, kesehatan, pendidikan, atau dan pelbagai keperluan hidup layak sebagai manusia. Dia lebih-lebih insyaf akan hinanya diri jika ternyata kekurangan saudara-saudaranya itu karena ada campur tangan kotornya selama ini yang tak pernah puas memburu kenikmatan dunia. Dengan kesadaran itu, timbullah niat yang diikuti perbuatan nyata untuk menolong saudara-saudaranya agar keluar dari perangkap kesulitan hidup yang menghimpit sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Dia betul-betul telah mendapatkan anugerah pencerahan karena menunaikan ibadah puasa dengan benar. Kini dia menjadi sadar akan hikmah para tetua, “Searang dibagi-bagi; sekuman dibelah-belah; ditimbang sama berat; diukur sama panjang.”

Inilah anugerah dua termasa utama bagi mereka yang berpuasa. Di dunia dia akan memperoleh kegembiraan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Zahir dan batinnya senantiasa tercukupkan. Zahirnya tak pernah berasa kekurangan karena telah dicukupkan oleh Allah Taala. Batinnya lebih-lebih lagi senantiasa merasa bahagia, tak suatu apa pun yang mampu membuatnya tak selesa karena telah dijamin oleh Tuhan yang tiada tuhan selain Dia. Dengan predikat takwa yang dimilikinya, dia diberi laluan yang lempang untuk hidup bahagia di dunia.

Di akhirat pula? Apa lagi. Kabar gembira telah tercatat dan menantinya di pintu surga. Dia berhasil meraih kebahagiaan yang sempurna sebagai makhluk yang mulia. Dia sungguh memperoleh kenikmatan yang tiada bertara, kembali ke surga tempatnya semula, yang sebelumnya harus ditempa dengan ujian dunia. Dengan kualitas iman dan takwa, dia berhasil melalui kesemuanya itu dengan mulia dan sempurna. Dialah yang tak menyia-nyiakan anugerah dua termasa. Siapakah yang tak mendambakan kebahagian sempurna begitu rupa? Itulah termasa yang disediakan oleh puasa. Pada bulan Ramadan ini kesemuanya itu dianugerahkan untuk kita. “Kaya harta tinggal di dunia, kaya iman dibawa mati,” petuah para tetua. Dan, RAH menutupnya dengan manis, “Akhirat itu terlalu nyata, bagi hati yang tidak buta.”

Telah sekian banyak kata yang digoreskan selama ini. Saya percaya, tak kesemuanya menyenangkan hati walau sungguh, ketika menggoreskan kalam, tak pernah terniatkan untuk menusuk hati, kecuali pencerahan setakat yang saya mampu. Bersempena dengan Ramadan yang mulia ini, saya mohon maaf zahir dan batin. Selamat menunaikan ibadah-ibadah Ramadan. Semoga kita memperoleh anugerah dua termasa.[]

Page 194: H. Abdul Malik

174 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

MELAYU dan tamadun (peradaban)-nya tergolong satu di antara tamadun yang cukup tua di dunia. Berdasarkan bukti-bukti prasejarah yang diperoleh,

bangsa Melayu dijangka telah ada sejak 4.000 tahun yang lalu yaitu dimulai pada 2.000 S.M. (Proto Melayu, Melayu Tua).

Hasil penelitian terkini yang dilakukan oleh Prof. Liang Liji, Universitas Beijing, Cina membuktikan bahwa pada abad ke-17—11 S.M. telah terjadi perhubungan antara Melayu dan China. Dalam perpustakaan Dinasti Han, On Shu Oi Li Zhi disebutkan bahwa pada masa Maharaja Han Wu Di (140—87 S.M.) telah dibuka perjalanan dari China ke India melalui Semenanjung Tanah Melayu. Maharaja Sun Quan pada 222—252 M. mengirim Zhu Ying dan Kang Tai untuk menjalin persahabatan dengan Negeri-Negeri Melayu (Liang Liji, 13 Juni 2010). Berikutnya, barulah datang Yi Jing dan para pendeta agama Budha ke Sriwijaya untuk belajar agama Budha mulai abad ke-7 M.

Satu di antara ciri yang menonjol dari setiap puncak tamadun Melayu itu ialah berkembangnya tradisi intelektual. Nampaknya, tradisi intelektual menjadi ciri utama tamadun Melayu yang terus dipertahankan oleh dunia Melayu zaman-berzaman di mana pun pusat tamadun Melayu itu berada dan bila masa pun ianya ada.

Puncak pertama tamadun Melayu terjadi pada zaman Kemaharajaan Sriwijaya (633—1397 M.). Tamadun Melayu-Budha yang menaungi kejayaan Sriwijaya ini memang menghasilkan mahakarya yang menjadi satu di antara keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur. Akan tetapi, lebih daripada itu Sriwijaya juga menjadi pusat pengajian ilmu agama Budha terbesar di Asia Tenggara kala itu. Alhasil, bahasa Melayu, yang oleh orang China disebut bahasa Kunlun dan oleh orang India disebut bahasa Dwipantara menjadi bahasa internasional di Asia Tenggara.

Puncak kedua tamadun Melayu berlangsung pada zaman Kerajaan Melaka (abad ke-13—16). Pada awal abad ke-15 Kerajaan Melaka sudah menjadi pusat perdagangan dunia di sebelah timur yang maju pesat. Para saudagar yang datang

Tradisi Intelektual Melayu

Page 195: H. Abdul Malik

175ABDUL MALIK

dari Persia, Gujarat, dan Pasai—sambil berniaga—juga menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah kekuasaan Melaka. Tak hanya itu, mereka pun menyebarkan bahasa Melayu karena penduduk tempatan yang mereka kunjungi tak memahami bahasa mereka, begitu pula sebaliknya. Bersamaan dengan masa keemasan Melaka ini, dimulailah tamadun Melayu-Islam. Bahasa Melayu pun mendapat pengaruh bahasa Arab dan bangsa-bangsa pedagang itu (Arab, Parsi, dll.) menjadikannya sebagai bahasa kedua mereka.

Menurut Ensiklopedia Bahasa Utama Dunia (1998:56), ulama Gujarat seperti Nuruddin al-Raniri berkarya dan berdakwah dengan menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula Francis Xavier yang menyampaikan summon dalam bahasa Melayu ketika beliau berada di Kepulauan Maluku. Masuknya Islam ke dunia Melayu makin meningkatkan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional dalam dunia Islam dan menjadi bahasa kedua terbesar setelah bahasa Arab (www.prihatin.net).

Pada masa kejayaan Melaka itu bahasa dan kesusastraan Melayu turut berkembang. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, bahasa perdagangan, bahasa ilmu dan pengetahuan, di samping bahasa perhubungan sehari-hari rakyat. Malangnya, pada 1511 Kerajaan Melaka dapat ditaklukkan oleh Portugis dan lebih tragis lagi, khazanah kebudayaan zaman Melaka itu musnah terbakar ketika terjadi penyerbuan oleh penjajah tersebut. Sultan Mahmud Syah berundur ke Pahang, lalu mendirikan pusat kerajaan Melayu di Bintan pada 1513, dengan wilayahnya meliputi Indragiri, Siak, Kampar, Rokan, dan lain-lain.

Puncak ketiga tamadun Melayu terjadi pada zaman Kerajaan Riau-Johor (1530—1824). Secara lengkap, nama kerajaan ini adalah Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Pada masa ini di Johor berkembang tradisi intelektual untuk menggantikan khazanah Melaka yang telah musnah. Di samping itu, diterbitkan pula karya-karya baru. Di antara karya tradisi Johor itu yang terkenal ialah Sejarah Melayu (Sulalatu’s Salatin ‘Peraturan Segala Raja’) tulisan Tun Muhammad Seri Lanang gelar Bendahara Paduka Raja. Karya yang amat masyhur ini mulai ditulis di Johor pada 1535 selesai pada 1021 H. bersamaan dengan 13 Mei 1612 di Lingga.

Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar sejarah berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa Melayu di bawah Kerajaan Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah menyamai bahasa-bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya.

“Bahasa mereka, bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang dipahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang, tidak ubah seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropa, atau sebagai bahasa lingua franca di Italia dan di Levant. Sungguh luas tersebarnya bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tidaklah mungkin kita kehilangan jejak, karena

Page 196: H. Abdul Malik

176 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

bahasa itu bukan sahaja dipahami di Persia bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga Kepulauan Filipina.”

Pada permulaan abad ke-19 di Singapura bersinar kepengarangan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah itu penting artinya bagi pelanjutan dan pengembangan bahasa dan tamadun Melayu sebagai penerus tradisi intelektual yang mencirikan tamadun Melayu.

Setelah Riau dan Johor dipecah dua oleh penjajah pada 1824, pusat tamadun Melayu berpindah ke Kerajaan Riau-Lingga (1824—1913). Masa ini disebutkan oleh banyak penulis menjadi kemuncak utama perkembangan tamadun Melayu. Dengan Raja Ali Haji sebagai tokoh utamanya, diikuti oleh banyak sekali penulis dan ilmuwan lain, di Kerajaan Riau-Lingga pada pertengahan dan akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20 kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir dengan subur. Tak berlebihanlah apabila disebut bahwa pada abad itu Kerajaan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam.

Untuk mengoptimalkan kreativitas intelektual dan kultural mereka, para cendekiawan dan budayawan Kerajaan Riau-Lingga mendirikan pula Rusydiah Kelab pada 1880. Rusydiah Kelab merupakan perkumpulan cendekiawan Riau-Lingga, tempat mereka membahas pelbagai hal yang berkaitan dengan ihwal pekerjaan mereka.

Kegiatan intelektual dan dunia kepengarangan tak akan lengkap tanpa percetakan. Sadar akan kenyataan itu, kerajaan mendirikan percetakan (1) Rumah Cap Kerajaan di Lingga, (2) Mathba’at Al-Riauwiyah di Penyengat, dan (3) Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Dengan adanya ketiga percetakan itu, karya-karya Riau-Lingga itu dapat dicetak dengan baik, yang pada gilirannya disebarluaskan. Alhasil, aktivitas intelektual yang berlangsung di Kerajaan Riau-Lingga diketahui masyarakat internasional di seluruh dunia.

Nyatalah bahwa Kepulauan Riau pada masa lalu menjadi pusat tamadun Melayu yang amat penting. Seyogianyalah tradisi intelektual yang menjadi ciri utama tamadun Melayu itu dapat dikekalkan dan berkesinambungan. Sangat tak patut, menurut hemat saya, kalau generasi yang hidup pada masa ini hanya sekadar menggantungkan kebanggaan pada apa yang telah dibuat oleh generasi terdahulu.

Kawasan Melayu yang lain, kerajaan-kerajaan negeri di Malaysia dan Provinsi Riau dan Kalimantan Barat misalnya, sedang berupaya keras dan sangat giat untuk menjadikan negerinya atau daerahnya sebagai pusat tamadun Melayu baru. Sebagai kawasan yang memang menjadi pusat tamadun Melayu pada masa lampau, sudah sepatutnyalah Kepulauan Riau pun ikut bersaing. Untuk itu, daerah ini mesti memiliki Pusat Pengajian Tamadun Melayu sebagai tempat kesemua aktivitas intelektual itu diselenggarakan. []

Page 197: H. Abdul Malik

177ABDUL MALIK

SIAPAKAH yang mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan bangsa Indonesia setelah merdeka kelak? Ternyata, usul itu berasal dari R.M. Soewardi

Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dalam makalahnya yang disampaikan pada 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda. Setelah itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia muncul dua pendapat untuk nama bahasa nasional Indonesia. Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, sebagaimana nama asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru untuk bahasa itu yaitu bahasa Indonesia. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia itu pada 26 Mei 1926 menyetujui nama bahasa Indonesia seperti yang diusulkan M. Tabrani.

Bahasa Indonesia berasal dari atau adalah juga bahasa Melayu tak ada keraguan atau bantahan dari pihak mana pun karena memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, kawasan bahasa Melayu di dunia ini sangat luas dan variasi bahasa Melayu juga tak sedikit. Ditinjau dari sudut geogra is, banyak sekali dialek Melayu yang tersebar di nusantara ini. Dengan demikian, bahasa Melayu dialek manakah yang “diangkat” menjadi bahasa Indonesia? Tulisan ini berusaha mengungkapkan perkara yang mustahak itu.

Puncak Pertama: Zaman SriwijayaBahasa Melayu merupakan salah satu bahasa alamiah (bahasa linguistik) di

antara 5.000-an bahasa alamiah yang ada di dunia ini. Sejak bila tepatnya bahasa Melayu dikenal di muka bumi ini tak ada orang yang mengetahuinya dengan pasti setakat ini. Walaupun begitu, dari sumber prasejarah, diyakini bahwa bahasa Melayu telah digunakan oleh bangsa Melayu sejak 4.000 tahun silam. Keyakinan itu didasari oleh kenyataan bahwa pada abad ketujuh (Sriwijaya) bahasa Melayu sudah mencapai kejayaannya. Tak ada bahasa di dunia ini yang dapat berjaya secara tiba-tiba tanpa melalui perkembangan tahap demi tahap.

Puncak-Puncak Bahasa Melayu

Page 198: H. Abdul Malik

178 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Sejauh yang dapat ditelusuri, puncak pertama kejayaan bahasa Melayu terjadi sejak abad ketujuh (633 M) sampai dengan abad keempat belas (1397 M.) yaitu pada masa Kemaharajaan Sriwijaya. Menurut Kong Yuan Zhi (1993:1), pada November 671 Yi Jing (635—713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou (Kanton) menuju India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Budha. Kurang dari dua puluh hari ia sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian ilmu agama Budha di Asia Tenggara. Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah tahun Yi Jing belajar sabdawidya (tata bahasa Sansekerta) sebagai persiapan melanjutkan perjalanannya ke India. Setelah tiga belas tahun belajar di India (Tamralipiti/Tamluk), ia kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun (686—689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Budha. Setelah itu ia kembali ke negerinya, tetapi pada tahun yang sama ia datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana sampai 695.

Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun, yang dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Yi Jing menyebutkan bahwa bahasa Kunlun telah dipelajari dan dikuasai oleh para pendeta agama Budha Dinasti Tang. Mereka menggunakan bahasa Kunlun untuk menyebarkan agama Budha di Asia Tenggara. Dengan demikian, bahasa Kunlun menjadi bahasa kedua para pendeta itu. Ringkasnya, bahasa Kunlun merupakan bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang meliputi Asia Tenggara. Pada masa itu bahasa Kunlun telah menjadi bahasa internasional. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah bahasa Melayu Kuno.

Pada masa Sriwijaya itu bahasa Melayu telah bertembung dengan bahasa Sansekerta yang dibawa oleh kebudayaan India. Bangsa India menyebut bahasa Melayu sebagai Dwipantara sejak abad pertama masehi lagi (Levi, 1931 dalam Hassim dkk., 2010:3). Pertembungan dengan bahasa Sansekerta menyebabkan bahasa Melayu mengalami evolusi yang pertama. Bahasa Melayu telah berkembang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan mampu menyampaikan gagasan-gagasan baru yang tinggi, yang sebelumnya tak ada dalam kebudayaan Melayu (lihat Ismail Hussein, 1966:10—11).

Dari perenggan di atas jelaslah bahwa bahasa Melayu (Kuno) sudah tersebar luas di Asia Tenggara dan mencapai puncak kejayaan pertamanya sejak abad ketujuh karena digunakan sebagai bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya. Itu pulalah sebabnya, bahasa Melayu mampu menjadi lingua franca dan menjadi bahasa internasional di Asia Tenggara. Masa Sriwijaya itu dikenal sebagai tradisi Melayu-Budha dengan peninggalannya berupa prasasti-prasasti di Kedukan Bukit, Palembang (tahun Saka 605 = 683 M.), di Talang Tuwo, Palembang (tahun

Page 199: H. Abdul Malik

179ABDUL MALIK

Saka 606 = 864 M.), di Kota Kapur, Bangka (tahun Saka 608 = 686 M.), di Karang Berahi, hulu Sungai Merangin (tahun Saka 608 = 686 M.). Semua prasasti itu menggunakan huruf Pallawa (India Selatan) dan bercampur dengan kata pungut dari bahasa Sansekerta.

Puncak Kedua: Zaman MelakaSetelah masa kegemilangan dan kecemerlangan Sriwijaya meredup, pusat

tamadun Melayu berpindah-pindah. Perpindahan itu dimulai dari Bintan, Melaka, Johor, Bintan, Lingga, dan Penyengat Indrasakti.

Antara abad ke-12 hingga abad ke-13 berdirilah kerajaan Melayu di Selat Melaka. Kerajaan Melayu tua itu dikenal dengan nama Kerajaan Bintan-Temasik, yang wilayah kekuasaannya meliputi Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Sesudah masa Bintan-Temasik inilah termasyhur pula Kerajaan Melaka sejak abad ke-13.

Pada awal abad kelima belas Kerajaan Melaka sudah menjadi pusat perdagangan dunia di sebelah timur yang maju pesat. Para saudagar yang datang dari Persia, Gujarat, dan Pasai—sambil berniaga—juga menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah kekuasaan Melaka. Tak hanya itu, mereka pun menyebarkan bahasa Melayu karena penduduk tempatan yang mereka kunjungi tak memahami bahasa para pedagang itu, begitu pula sebaliknya. Jalan yang harus ditempuh ialah menggunakan bahasa Melayu. Bersamaan dengan masa keemasan Melaka ini, dimulailah tamadun Melayu-Islam. Bahasa Melayu pun mendapat pengaruh bahasa Arab dan bangsa-bangsa pedagang itu (Arab, Parsi, dan lain-lain) menjadikannya sebagai bahasa kedua mereka.

Menurut Ensiklopedia Bahasa Utama Dunia (1998:56), ulama Gujarat seperti Nuruddin al-Raniri berkarya dan berdakwah dengan menggunakan bahasa Melayu. Begitu pula Francis Xavier yang menyampaikan summon dalam bahasa Melayu ketika beliau berada di Kepulauan Maluku. Masuknya Islam ke dunia Melayu makin meningkatkan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional dalam dunia Islam dan menjadi bahasa kedua terbesar setelah bahasa Arab (www.prihatin.net).

Pada masa kejayaan Melaka itu bahasa dan kesusastraan Melayu turut berkembang. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, bahasa perdagangan, bahasa ilmu dan pengetahuan, di samping bahasa perhubungan sehari-hari rakyat. Bahasa Melayu yang berkembang pada zaman Melaka ini disebut bahasa Melayu Melaka. Malangnya, pada 1511 Kerajaan Melaka dapat ditaklukkan oleh Portugis dan lebih tragis lagi, khazanah kebudayaan zaman Melaka itu musnah terbakar ketika terjadi penyerbuan oleh penjajah itu.

Page 200: H. Abdul Malik

180 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Puncak Ketiga: Zaman Riau-JohorTeraju kepemimpinan Melayu dilanjutkan oleh putra Sultan Mahmud yang

bergelar Sultan Ala’uddin Riayat Syah II. Beliau mendirikan negara Melayu baru yang pemerintahannya berpusat di Johor pada 1530. Beliau berkali-kali berusaha untuk merebut kembali Melaka, tetapi tetap tak berjaya.

Walaupun begitu, di Johor ini dilakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan kesusastraan untuk menggantikan khazanah Melaka yang telah musnah. Di samping itu, diterbitkan pula karya-karya baru. Di antara karya tradisi Johor itu yang terkenal ialah Sejarah Melayu (Sulatu’s Salatin ‘Peraturan Segala Raja’) tulisan Tun Mahmud Sri Lanang gelar Bendahara Paduka Raja. Karya yang amat masyhur ini mulai ditulis di Johor pada 1535 selesai pada 1021 H. bersamaan dengan 13 Mei 1612 di Lingga. Bahasa yang digunakan dalam tradisi Johor ini biasa disebut bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau. Di Indonesia bahasa itu dikenal dengan nama bahasa Melayu Riau, sedangkan di Malaysia biasa juga disebut bahasa Melayu Johor, selain sebutan bahasa Melayu Johor-Riau.

Misi Belanda di bawah pimpinan William Velentijn yang berkunjung ke Riau (Kepulauan) pada 2 Mei 1687 mendapati Riau sebagai bandar perdagangan yang maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau dalam bidang perdagangan dan kelautan umumnya.

Pada 1778 perdagangan di Kerajaan Riau bertambah maju dengan pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup dengan makmur, yang diikuti oleh kehidupan beragama (Islam) yang berkembang pesat. Kala itu pemerintahan dipimpin oleh Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Haji pulalah yang membangun koalisi nusantara yang terdiri atas Batu Bahara, Siak, Indragiri, Jambi, pesisir Kalimantan, Selangor, Naning, dan Rembau, bahkan mencoba berhubungan dengan para raja di Jawa dalam melawan kompeni Belanda untuk membela marwah bangsanya. Akhirnya, beliau syahid di medan perang pada 19 Juni 1784 di Teluk Ketapang.

Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar sejarah berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa Melayu di bawah Kerajaan Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah menyamai bahasa-bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya seperti dikutip oleh Nik Sapiah Karim dkk., 2003:14 dan Hassim dkk., 2010:4) dalam bahasa Melayu Malaysia.

“Bahasa mereka, bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang, tidak ubah seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropah, atau sebagai bahasa Lingua Franca di Itali dan di Levant. Sungguh

Page 201: H. Abdul Malik

181ABDUL MALIK

luas tersebarnya bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tidaklah mungkin kita kehilangan jejak, kerana bahasa itu bukan sahaja difahami di Parsi bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga Kepulauan Filipina.”

Dengan keterangan Francois Valentijn itu, jelaslah bahwa bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama masyarakat di Kepulauan Melayu. Bersamaan dengan itu, bahasa Melayu bukan pula baru digunakan sebagai bahasa kedua oleh seluruh penduduk nusantara ini. Hal ini perlu digarisbawahi dalam kita menyikapi persilangan pendapat tentang asal-usul bahasa Indonesia karena ada sarjana yang mengemukakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin atau kreol Melayu. Pada bagian selanjutnya persoalan ini dibahas kembali.

Pada 1824, melalui Treaty of London (Perjanjian London), Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dibagi dua. Riau-Lingga berada di bawah Belanda, sedangkan Johor-Pahang di bawah Inggris.

Pada permulaan abad ke-19 di Singapura bersinar kepengarangan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Buah karyanya yang kesemuanya dalam bahasa Melayu, antara lain, Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Dawa ul Kulub (?), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), Hikayat Abdullah (1849), Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Selain itu, karya-karya terjemahannya, antara lain, Hikayat Pancatanderan (1835), Injil Matheus (bersama Thomsen), Kisah Rasul-Rasul, dan Henry dan Pengasuhnya (bersama Paderi Keasberry). Karya-karya Abdullah itu penting artinya bagi pengembangan bahasa Melayu, apalagi karya-karyanya itu tak lagi bersifat istana sentris, sebagai langkah awal menuju tradisi Melayu modern.

Puncak Utama: Zaman Riau-LinggaDi Kerajaan Riau-Lingga pada pertengahan dan akhir abad ke-19 serta awal

abad ke-20 kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir dengan subur. Tak berlebihanlah apabila disebut bahwa pada abad itu Kerajaan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam. Di antara para penulis dan karya-karyanya disenaraikan berikut ini.

Raja Ali Haji (1808—1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau kala itu. Beliau menulis dua buah buku dalam bidang bahasa (Melayu) yaitu Bustanul Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Buah karyanya yang lain dalam bidang hukum dan pemerintahan yaitu Tsamarat Al-Muhimmah dan Muqaddima Fi Intizam, bidang sejarah Silsilah Melayu dan Bugis (1866) dan Tuhfat Al-Na is (1865), bidang ilsafat yang berbaur dengan puisi Gurindam Dua

Page 202: H. Abdul Malik

182 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Belas (1847), bidang sastra (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama Syair Abdul Muluk (1846), Syair Sinar Gemala Mestika Alam, Syair Suluh Pegawai, dan Syair Siti Sianah. Karyanya yang lain ialah Al-Wusta, Al-Qubra, dan Al-Sugra. Dia juga diperkirakan menulis naskah Peringatan Sejarah Negeri Johor.

Abu Muhammad Adnan menghasilkan karya asli dan terjemahan. Karyanya dalam bidang bahasa adalah Kitab Pelajaran Bahasa Melayu dengan rangkaian Penolong Bagi yang Menuntut Akan Pengetahuan yang Patut, Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah, Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah. Selain itu, dia juga menulis Hikayat Tanah Suci, Kutipan Mutiara, Syair Syahinsyah, Ghayat al-Muna, dan Seribu Satu Hari.

Penulis berikutnya Raja Ali Kelana. Dia menghasilkan karya dalam bidang bahasa yaitu Bughiat al-Ani Fi Huruf al-Ma’ani. Karyanya yang lain ialah Pohon Perhimpunan, Perhimpunan Pelakat, Rencana Madah, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, dan Percakapan Si Bakhil.

Penulis lain yang juga sangat dikenal ialah Haji Ibrahim. Dari penulis ini, Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya dalam bidang bahasa ialah Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-Johor (dua jilid; penerbitan pertama 1868 dan kedua 1875, di Batavia). Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu, Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja Damsyik, dan Cerita Pak Belalang dan Lebai Malang.

Raja Ahmad Engku Haji Tua (ayahnda Raja Ali Haji menulis tiga buah buku: (1) Syair Engku Puteri, (2) Syair Perang Johor, dan (3) Syair Raksi. Dia juga mengerjakan kerangka awal buku Tuhfat al-Na is yang kemudian disempurnakan dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji.

Penulis yang lain adalah Raja Haji Daud, saudara seayah Raja Ali Haji. Dia menulis buku (1) Asal Ilmu Tabib dan (2) Syair Peperangan Pangeran Syarif Hasyim.

Raja Hasan, anak laki-laki Raja Ali Haji, diketahui menulis sebuah syair. Syair Burung nama gubahannya itu.

Pengarang berikutnya adalah Umar bin Hasan. Dia menulis buku Ibu di dalam Rumah Tangga.

Khalid Hitam, selain aktif dalam kegiatan politik, juga dikenal sebagai pengarang. Karyanya (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura, (2) Peri Keindahan Istana Sultan Johor yang Amat Elok, dan (3) Tsamarat al-Matlub Fi Anuar al-Qulub.

Raja Haji Ahmad Tabib menulis lima buah buku. Kelima buku tersebut adalah (1) Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri, (2) Syair Raksi Macam Baru, (3)

Page 203: H. Abdul Malik

183ABDUL MALIK

Syair Tuntutan Kelakuan, (4) Syair Dalail al-Ihsan, dan (5) Syair Perkawinan di Pulau Penyengat.

Raja Ali dan Raja Abdullah, selain dikenal sebagai pemimpin kerajaan yaitu sebagai Yang Dipertuan Muda Riau, keduanya juga adalah penulis. Raja Ali menulis (1) Hikayat Negeri Johor dan (2) Syair Nasihat. Akan halnya Raja Abdullah dia menghasilkan karya (1) Syair Madi, (2) Syair Kahar Masyhur, (3) Syair Syarkan, dan (4) Syair Encik Dosman.

Raja Haji Muhammad Tahir sehari-hari dikenal sebagai hakim. Walaupun begitu, dia juga menghasilkan karya sastra yaitu Syair Pintu Hantu.

Raja Haji Muhammad Said dikenal sebagai penerjemah. Karya terjemahannya (1) Gubahan Permata Mutiara (terjemahan karya Ja’far al-Barzanji) dan (2) Simpulan Islam (terjemahan karya Syaikh Ibrahim Mashiri).

Abdul Muthalib menghasilkan dua buah karya: (1) Tazkiratul Ikhtisar dan (2) Ilmu Firasat Orang Melayu.

Pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga juga diramaikan oleh penulis-penulis perempuan. Di antara mereka terdapat nama Raja Saliha. Dia dipercayai mengarang Syair Abdul Muluk bersama Raja Ali Haji.

Raja Sa iah mengarang Syair Kumbang Mengindera dan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bodoh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji.

Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu menulis (1) Syair khadamuddin, (2) Syair Seligi Tajam Bertimbal, (3) Syamsul Anwar, dann (4) Hikayat Shariful Akhtar.

Masih ada paling tidak dua orang penulis perempuan lagi yang menulis karya asli. Pertama, Salamah binti Ambar menulis dua buku yaitu (1) Nilam Permata dan, (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Kedua, Khadijah Terung menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan.

Penulis perempuan yang lain ialah Badriah Muhammad Thahir. Dia memusatkan perhatian dalam bidang penerjemahan. Karya terjemahannya adalah Adab al-Fatat, berupa terjemahan dari karya Ali Afandi Fikri.

Untuk mengoptimalkan kreativitas intelektual dan kultural mereka, para cendekiawan dan budayawan Kerajaan Riau-Lingga itu mendirikan pula Rusydiyah Klab pada 1880. Rusydiyah Klab merupakan perkumpulan cendekiawan Riau-Lingga, tempat mereka membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ihwal pekerjaan mereka itu.

Dunia kepengarangan tak akan lengkap tanpa percetakan. Sadar akan

Page 204: H. Abdul Malik

184 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kenyataan itu, kerajaan mendirikan percetakan (1) Rumah Cap Kerajaan di Lingga, (2) Mathba’at Al-Riauwiyah di Penyengat, dan (3) Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Dengan adanya ketiga percetakan itu, karya-karya Riau-Lingga itu dapat dicetak dengan baik, yang pada gilirannya disebarluaskan.

Bahasa Melayu yang dibina dan dikembangkan pada masa Imperium Melayu sejak abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 itu disebut bahasa Melayu klasik. Ciri utamanya ialah begitu melekat dan bersebatinya bahasa Melayu itu dengan Islam. Oleh sebab itu, tamadun yang dinaunginya terkenal dengan sebutan tamadun Melayu-Islam. Dari tamadun itulah bangsa Melayu mewarisi tulisan Jawi atau tulisan Arab-Melayu.

Peran Bahasa Melayu pada Masa PenjajahanPada masa pendudukannya di nusantara ini pemerintah kolonial Belanda

berkali-kali berusaha untuk mengatasi kedudukan istimewa bahasa Melayu, yang hendak digantikannya dengan bahasa Belanda. Ketika pada 1849 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa, muncullah persoalan bahasa: bahasa apakah yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar? Terjadilah perselisihan pendapat. Akan tetapi, Gubernur Jenderal Rochussen dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia.

Ada satu hal lagi yang tak boleh dilupakan dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Melayu di nusantara ini. Walau di bawah penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan sebagai bahasa resmi antara pihak Belanda dan raja-raja serta pemimpin rakyat kala itu. Oleh C.A. Mees (1957:16) disimpulkannya, “Demikianlah bahasa Melayu itu mempertahankan sifat yang internasional dan bertambah kuat dan luaslah kedudukannya yang istimewa itu.”

Memasuki abad ke-20 bahasa Melayu memainkan peran sebagai bahasa pergerakan nasional. Ketika Dewan Rakyat dilantik pada 1918, dimunculkan keinginan akan bahasa persatuan. Pada 25 Juni 1918, berdasarkan Ketetapan Raja Belanda, para anggota Dewan diberi kebebasan menggunakan bahasa Melayu. Begitulah selanjutnya, berdirinya penerbit Balai Pustaka dengan Majalah Panji Pustaka, Majalah Pujangga Baru, Surat Kabar Bintang Timur (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), organisasi sosial dan politik, semua menggunakan bahasa Melayu. Di antaranya ada yang berdiri sebelum dan sesudah peristiwa Kongres Pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang mengukuhkan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang (1942—1945) kedudukan bahasa Melayu (Indonesia) menjadi lebih kuat lagi karena pemerintah kolonial Jepang tak

Page 205: H. Abdul Malik

185ABDUL MALIK

mengizinkan bangsa Indonesia menggunakan bahasa Belanda. Alhasil, dalam waktu hanya tujuh belas tahun sejak 1928 dengan menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) sebagai alat perjuangan, bangsa Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Padahal, sebelum itu bangsa kita sudah berjuang lebih kurang 333 tahun, tetapi tak mampu mengusir penjajah.

Persilangan PendapatMasih terdapat perbedaan pendapat tentang asal-usul bahasa Indonesia.

Kesepakatan yang ada hanya bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang mana? Para sarjana dan pakar bahasa mengikuti jalan mereka masing-masing.

Rogers T. Bell (1976:167) mengemukakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi pijin bahasa Melayu. “Bahasa Indonesia berasal dari satu variasi pijin bahasa Melayu, yang dengan demikian, tak ada masyarakat pemakai B1-nya (bahasa pertama, bahasa ibu), lebih menyukainya daripada bahasa Jawa dengan 40 persen penutur. Pemilihan ini sangatlah menarik dari segi sosiolinguistik karena ini memperlihatkan keputusan untuk mengangkat satu bahasa pijin dan menyesuaikannya dalam pemakaian sebagai bahasa nasional, yaitu mengubahnya menjadi satu bahasa baku.”

Pendapat lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi kreol bahasa Melayu. Sarjana yang berpandangan demikian, antara lain, R.A. Hall Jr.

Soal mitos bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kreol Melayu sudah dibantah oleh Harimurti Kridalaksana (1991:176—177). Dalam bantahan itu disebutkan, antara lain, bahwa ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia, 1928, bahasa Melayu secara substansiil sudah merupakan bahasa penuh (full- ledged language) dan menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan, dan sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang—kesusastraan yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20—yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14. Selanjutnya, menurut Kridalaksana, “Sebelum menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda.”

Jelas dalam sejarah, bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Kepulauan Melayu. Bahasa Melayu pun telah sejak berabad-abad menjadi bahasa kedua penduduk seluruh nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada masa kegemilangannya bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa internasional. Francois Valentijn, bahkan, mengatakan bahwa sejak abad ke-18 bahasa Melayu telah menyamai bahasa-

Page 206: H. Abdul Malik

186 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

bahasa penting di Eropa dan persebarannya sangat luas sampai ke Persia. Mana mungkin bahasa seperti itu disebut bahasa pijin atau kreol atau Melayu Pasar.

Perihal bahasa Indonesia merupakan nama lain dari bahasa Melayu banyak pakar yang sependapat. Dalam esainya yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru pada 1933, S. Takdir Alisjahbana mengatakan:

“Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang [antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, AM] itu tiada beralasan sedikit juapun. Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang sesungguh2nya nyata antara bahasa yang disebut sekarang bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut bahasa Melayu … ” (Alisjahbana, 1978:47).

Tokoh lain yang perlu disebut ialah R.M. Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Dalam makalahnya “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 1938, beliau lebih tegas lagi menyebutkan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu... dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’....” (Puar, 1985:324; lih. juga Malik, 1992:3).

Dalam rumusan hasil Kongres Bahasa Indonesia II, Medan, 1954 sekali lagi ditegaskan: “...asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang”

Dari beberapa rujukan penting itu jelaslah bahwa bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sama. Lagi pula, secara linguistik, bahasa itu adalah bahasa yang satu karena sistemnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis) sama. Malah, Ki Hajar Dewantara, secara kesatria, menegaskan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Beliau dapat menegaskan itu karena beliaulah yang menjadi pengusul pertamanya.

Pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Balai Pustaka sangat kurang beralasan. Pasalnya, bukan hanya penulis Balai Pustaka yang menyebarkan bahasa Melayu ke seluruh nusantara ini, melainkan telah terjadi jauh sebelumnya yakni pada masa Melayu Klasik lagi. Lagi pula, berdasarkan dokumen Belanda, bahasa Melayu Tinggi yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa pemerintahan Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Riau. Bahasa itu disebut Melayu Tinggi karena sudah mengalami proses standardisasi yang diupayakan oleh para cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Soal pemakaian bahasa, dalam tradisi Riau-Lingga, memang dituntut tanggung jawab yang besar.

Lembaga pendidikan Kweekschool di Bukittinggi merupakan tempat bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau diajarkan. Alumni dari sekolah itulah

Page 207: H. Abdul Malik

187ABDUL MALIK

yang kebanyakannya menjadi penulis Balai Pustaka. Yang jelas, bahasa ibu para penulis Balai Pustaka itu sangat berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan dalam tulisan-tulisan mereka. Karya-karya mereka menggunakan bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau yang memang wajib dipelajari dalam pendidikan di seluruh nusantara, sesuai dengan kebijakan pendidikan kolonial kala itu.

Ternyata, bahasa Melayu Riau juga memiliki subdialek yang beragam. Kalau demikian keadaannya, di manakah tempat asal bahasa Indonesia, yang diangkat dari bahasa Melayu Riau itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, dapatlah dicermati rujukan berikut ini.

Dalam buku Kees Groeneboer, Jalan ke Barat (1995:166) tercatat pada Pasal 28 dari Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi dari tahun 1872, disebutkan “Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu seperti bahasa Jawa menurut bahasa yang biasa dipakai di Surakarta, bahasa Sunda menurut yang biasa dipakai di Bandung, bahasa Batak menurut bahasa yang dipakai di Mandailing, bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau [huruf tebal oleh AM], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899: Lampiran I).

Ternyata, para pendiri bangsa ini memilih bahasa Melayu yang diubah namanya menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui Kongres I Pemuda Indonesia pada 2 Mei 1926 dan dikukuhkan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Jelaslah asal bahasa nasional Indonesia itu. Dalam hal ini, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Kepulauan Riau. Kenyataan itu tak terbantahkan oleh upaya pembinaan bahasa yang memang telah dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 di Kerajaan Riau-Lingga yang pusat pemerintahannya sekarang disebut Propinsi Kepulauan Riau. Dengan upaya itu, bahasa Melayu menjadi baik lafalnya (murni ucapannya) dan ejaan serta tata bahasanya menjadi baku. Oleh itu, pemerintah Hindia-Belanda menjadikannya sebagai bahasa pengantar pendidikan di kawasan jajahannya.

Kalam PenutupPembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. di Kerajaan

Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 memungkinkan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa baku, yang biasa disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itulah, pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dikukuhkan sebagai bahasa Indonesia.

Page 208: H. Abdul Malik

188 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Bahasa Melayu yang berasal dari Kepulauan Riau-lah yang dijadikan bahasa Indonesia. Pemilihan itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda sebelumnya yang menilai bahwa bahasa Melayu Kepulauan Riau paling murni lafalnya serta paling baik tata bahasa dan ejaannya sehingga diwajibkan menjadi bahasa pengantar pendidikan pribumi di seluruh kawasan pemerintahan Hindia-Belanda. Karena kebijakan itu, kalau tak menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu Kepulauan Riau menjadi bahasa kedua sebagian besar penduduk nusantara. Oleh sebab itu, ketika diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara, Muh. Yamin, dan M. Tabrani (dengan perubahan nama), para pendiri bangsa ini, apa pun latar belakang suku dan bahasa ibunya, dengan suara bulat menerimanya. []

Page 209: H. Abdul Malik

189ABDUL MALIK

PEMBANGUNAN harus dipahami. Oleh siapa dan untuk apa? Kesemua pihak yang terlibat, baik langsung maupun tak langsung, wajib memahami

pembangunan. Dengan memahaminya, kita dapat menilai apakah pembangunan yang dilaksanakan sudah benar atau tidak, bermanfaat atau tidak, berkeadilan atau tidak, atau baru sebagian betulnya, dan sebagainya.

Untuk memahami pembangunan, diperlukan kecerdasan. Di kalangan bangsa-bangsa yang maju, kecerdasan intelektual menjadi sandaran utama untuk memahami pembangunan. Rencana, pelaksanaan, dan hasil-hasil pembangunan diteroka berdasarkan kecerdasan intelektual untuk menentukan nilainya: benar, baik, bermanfaat, adil, dan sebagainya. Dalam ukuran suatu bangsa, kecerdasan intelektual baru dapat digunakan jika bangsa itu telah mencapai angka partisipasi kasar (APK) lulusan sarjana di atas 50 persen. Bangsa yang APK sarjananya kurang dari 50 persen tak akan mampu memahami pembangunan berdasarkan kecerdasan intelektual sehingga mereka cenderung mudah diperdaya.

Sebagai ilustrasi, baru-baru ini kita diharubirukan oleh memanasnya perhubungan antara negara kita dan Malaysia. Pelbagai ungkapan dan reaksi emosional ditunjukkan oleh sekelompok orang untuk menyikapi persoalan itu, yang berpuncak pada ungkapan “Ganyang Malaysia” tanpa usul periksa tentang duduk perkara sebenarnya. Rupanya, yang menjadi punca masalahnya adalah belum jelasnya batas wilayah maritim antara negara kita dan Malaysia.

Kalau masalah itu dipahami dengan kecerdasan intelektual, tak perlu ada ungkapan dan reaksi emosional yang berlebihan. Sebaliknya, kita jadi paham bahwa pembangunan maritim kita masih banyak masalahnya, termasuk belum tuntasnya perbatasan dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, termasuk Vietnam. Dengan kecerdasan intelektual pula, kita dapat mengari i bahwa perlu segera dituntaskan perbatasan negara kita dengan negara tetangga supaya masalah

Kecerdasan Budaya

Page 210: H. Abdul Malik

190 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

serupa tak berlarut-larut sehingga rakyat tak perlu makin gelisah. Tanggapan sebagian masyarakat kita yang cenderung mendorong penabuhan genderang perang dapat dipahami karena kita baru memiliki APK sarjana 18 persen.

Belum mampunya kita sebagai bangsa, kecuali sebagian orang, memahami pembangunan berdasarkan kecerdasan intelektual, taklah berarti kita tak sepenuhnya mampu menilai pembangunan. Dalam hal ini, kecerdasan budayalah yang dapat kita gunakan sebagai alatnya. Kecerdasan budaya dapat diterjemahkan sebagai kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada peringkat nasional ia berupa nilai-nilai terala (luhur) dari puncak-puncak budaya daerah.

Untuk pembangunan yang dilaksanakan di daerah-daerah, nilai-nilai terala budaya tempatanlah yang mesti dijadikan acuan utama untuk memahami pembangunan (di) daerah itu. Kecerdasan budaya atau kearifan lokal itu terdapat dalam pelbagai genre kebudayaan: cerita rakyat, adat-istiadat, ungkapan adat, puisi rakyat, pantang-larang, falsafah hidup, tunjuk-ajar, lagu-lagu rakyat, teater rakyat, dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu merupakan sumber kecerdasan budaya yang patut dijadikan acuan dalam memahami pembangunan. Dan, kecerdasan budaya itu dapat diacu karena telah hadir bersama bangsa kita sejak awal keberadaan bangsa ini lagi, yang berkembang sesuai dengan perkembangan tamadun (peradaban) kita selama ribuan tahun.

Di kawasan Melayu, Kepulauan Riau misalnya, nilai-nilai budaya Melayulah yang seyogianya menjadi pedoman utama untuk memahami pembangunan. Sebagai contoh, di dalam ungkapan terala orang tua-tua disebutkan bahwa kehidupan bernegara, berbangsa, dan atau berdaerah itu ibarat “orang berjalan beriringan”. Dalam perjalanan yang beriringan itu, ada yang di depan, di tengah, dan di belakang. Kesemuanya itu harus seiring-sejalan, senasib-sepenanggungan, seiya-sekata, dan seaib-semalu. Jika tidak, peringingan itu akan sumbang dan takkan pernah sampai ke matlamat yang hendak dituju. Di dalam ungkapan terala itu disebut sebagai berikut.

“Kalau berjalan beriringan, yang dulu jangan menunjang.” Ungkapan “yang dulu” mengacu kepada pemimpin. Artinya, haram bagi pemimpin untuk menekan, “jangan menunjang”, bawahannya dan rakyat sekaliannya. Sebaliknya, pemimpin, dengan kualitas kepemimpinannya, mampu membuat bawahannya mengikuti dan melaksanakan kebijaksanaannya dengan sebaik-baiknya, tak seorang pun rela melanggarnya karena pemimpinnya berjalan di garis yang benar. Tak ada suatu alasan pun yang dapat membenarkan pembangkangan terhadap kepemimpinan yang benar dan baik. Rakyat pun dengan bangga akan mengikuti kepemimpinan seperti itu. Dalam hal ini, sang pemimpin telah menunjukkan kualitas “yang kuasa memberi daulat”, yang membawa tuah bagi negara, bangsa, dan atau daerahnya.

Page 211: H. Abdul Malik

191ABDUL MALIK

Untuk sampai kepada taraf itu, sang pemimpin harus dapat berlaku adil. Dia harus mampu memiliki hati bawahan dan rakyat sekaliannya. Menurut Raja Ali Haji, “Jangan dilebihkan orang-dalam dengan orang-luar.” Dalam hal ini, kerabat dan sahabat pemimpin tak boleh diberi hak-hak istimewa dibandingkan dengan orang (yang dianggap) lain. Jika pemimpin, justeru, lebih mengutamakan kerabat dan sahabatnya, pembangunan yang dilaksanakan di bawah kepemimpinannya takkan dinilai benar, baik, dan mulia karena dia dianggap menyimpang dari nilai-nilai terala yang dijunjung tinggi. Dia dianggap sebagai “yang dulu”, tetapi “menunjang”. Alangkah buruknya kepemimpinan yang demikian.

“Yang tengah jangan membelok.” Dalam periringan itu ada yang bertindak sebagai “yang tengah” yaitu para pembantu atau orang-orang kepercayaan sang pemimpin. Tak ada alasan untuk membelot, “membelok”, dari pemimpin yang baik dan benar. Jika terjadi pembelokan, penyebabnya satu di antara dua ini: bawahan memang berniat jahat untuk menjerumuskan pemimpinnya atau sang pemimpin memang cenderung hanya mengeksploitasi bawahannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pembelotan oleh para bawahan, apa pun alasannya, menyebabkan pembangunan tak akan mendatangkan kebaikan yang diharapkan karena mereka adalah pelaksana teknis di lapangan. Akibatnya, nilai pembangunan menjadi negatif, tak bermanfaat—bahkan mudarat—bagi rakyat.

Dalam perjalanan beriringan untuk membangun itu ada pula yang berperan penting sebagai “yang di belakang”. Kearifan lokal Melayu mengingatkan, “yang di belakang jangan menumit.” Siapakah yang di belakang itu? Itulah rakyat sekaliannya. Alangkah celakanya jika rakyat tanpa sebab yang jelas menolak pemimpinnya. Pemimpin yang mendasarkan kepemimpinannya atas nilai kebaikan, kebenaran, dan keadilan tak patut untuk ditolak. Penolakan yang tak tentu pasal dan tak tentu hala itulah yang akan menyebabkan pembangunan menjadi carut-marut. Akan tetapi, pemimpin yang berpaling tadah, sudah selayaknyalah dia mendapat pelajaran dari rakyatnya.

Perjalanan beriringan dalam membangun itu akan menjadi sempurna jika “yang tua memberi nasehat, yang alim memberi amanat, yang berani memberi kuat.” Dan, setiap orang dalam periringan itu menyadari dan melaksanakan setiap tugas yang diembannya dengan penuh tanggung jawab. Karena apa? Karena, apa pun pekerjaan yang kita lakukan di dunia ini, pertanggungjawabannya tak hanya di dunia yang fana ini saja, tetapi lebih-lebih di akhirat, yang tiada sesiapa pun boleh mengingkarinya dan berdalih dari tindakan salah yang pernah diperbuatnya. Alhasil, perjalanan beriringan itu akan menjadi kacau-balau kalau yang tua tak sadar di tuanya, yang alim tak tahu di alimnya, dan yang kuat tak berdaya di kuatnya. Nauzubillahi min zalik! []

Page 212: H. Abdul Malik

192 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

RENCANA awalnya akan dilaksanakan pada 28 Oktober 2010. Penetapan tanggal itu bersempena dengan Hari Sumpah Pemuda serta Bulan Bahasa

yang dilaksanakan secara nasional setiap tahun. Ada berkah dan hikmah yang diharapkan untuk kerja baik ini. Akan tetapi, sesuai dengan kelaziman rencana manusia, karena sesuatu hal, jadwalnya diundur. Jadilah Konvensi (Konvensyen) XI Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) dilaksanakan pada 11 November 2010. Penetapan tanggal terbaru itu juga menarik karena Konvensi DMDI tahun itu merupakan yang ke-11 dan dilaksanakan pada tanggal 11 dan bulan 11 pula. Adakah penetapan jadwal itu berkaitan dengan hidayah Allah atau secara kebetulan belaka, sayangnya, tak pula saya tahu. Padahal, saya sungguh-sungguh hendak mengetahuinya.

Bukan hanya penetapan jadwal itu saja yang menarik. Ada beberapa hal yang lebih mustahak berkaitan dengan Konvensi XI DMDI ini, yang selepas inilah periannya.

Konvensi DMDI kali ini mencatatkan sejarah karena baru kali ini dilaksanakan di luar Kerajaan Negeri (sama dengan provinsi di Indonesia) Melaka, Malaysia. Selama ini dari Konvensi I sampai dengan X kesemuanya dilaksanakan di Melaka. Dengan demikian, bahkan kerajaan negeri lain di Malaysia pun belum pernah mengambil kesempatan untuk menjadi tuan rumah Konvensi DMDI sebelum ini.

Kesediaan Provinsi Kepulauan Riau menyelenggarakan Konvensi XI ini patutlah diapresiasi secara positif. Karena apa? Sangat banyak provinsi lain di Indonesia dan kawasan Melayu lain di dunia yang menjadi anggota DMDI, tetapi mereka belum mendapat kesempatan emas untuk menjadi tuan rumah. Bagi Kepulauan Riau, khasnya Kota Batam sebagai tempat penyelenggaraan, kesempatan ini bagai seligi tajam bertimbal.

Di satu sisi, ia dapat menunjukkan komitmen bahwa sebagai anggota, Provinsi

Konvensyen XI DMDI:Kota Batam, Kepulauan Riau,

Indonesia

Page 213: H. Abdul Malik

193ABDUL MALIK

Kepulauan Riau siap untuk menjadi tuan rumah yang baik. Di sisi lain, provinsi termuda kedua di Indonesia ini dapat lebih memperkenalkan dirinya kepada anggota-anggota yang lain lengkap dengan segala potensinya sehingga ke depan diharapkan dapat dilakukan kerja sama yang saling menguntungkan dengan sesama anggota DMDI. Memang, dalam setiap Konvensi DMDI dilaksanakan perbincangan hal-hal yang berkaitan dengan kerja sama di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kesehatan, kepemudaan (belia), dan sebagainya dan telah banyak pula hasil nyatanya, bukan sekadar wacana. Jika program-program DMDI itu mengalir di alur yang lurus, tanpa terpaan topan kecuali dorongan gelombang cita-cita mulia, tentulah bahtera yang dinaiki kesemua anggotanya akan sampai ke samudera kesejahteraan, yang memang menjadi matlamatnya. Bergandengan tangan mengejar kemajuan dalam keridaan Ilahi berpayungkan budaya dan agama yang sama, Islam.

Pada Konvensi XI ini juga dilaksanakan Seminar Bahasa dan Adat Melayu. Seminar Bahasa Melayu diselenggarakan sebagai lanjutan dari dua seminar yang pernah diadakan di Pulau Penyengat dan Tanjungpinang. Seminar ketiga ini menjadi kemuncaknya untuk mengukuhkan bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai asal-muasal bahasa nasional Indonesia. Dalam pada itu, Seminar Adat Melayu ditaja untuk meningkatkan peran adat Melayu sebagai penyerlah jati diri orang Melayu. Pembicara atau pembentang makalah kedua seminar itu terdiri atas para pakar dan praktisi yang memang tunak dalam bidangnya dari dalam dan luar negeri. Seminar yang diadakan oleh Biro Sosio-Budaya DMDI itu memang diharapkan menjadi andang di purnama yang benderang.

Sebagai wujud nyata dari Seminar Bahasa diharapkan dapat dikukuhkan kedudukan bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai asal-muasal bahasa nasional dan bahasa negara Republik Indonesia. Karena kelenturannya, bahasa Melayu Kepulauan Riau mampu menerima semua unsur bahasa daerah dan bahasa asing sampai setakat ini untuk memperkaya diri dan menjelma menjadi induk kebudayaan nasional Indonesia, bahkan juga Malaysia, Brunei Darussalam, termasuk Singapura khasnya untuk puak Melayu. Dengan dasar itu, sudah sepatutnyalah dibangun Prasasti Bahasa di Kepulauan Riau yang diharapkan dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pembangunan Prasasti Bahasa itu juga penting artinya sebagai bentuk apresiasi kita sebagai bangsa yang “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” dan dengan bangga menunaikan amanah para pendiri bangsa, “bahasa negara adalah bahasa Indonesia.” Dengan begitu, jati diri kita sebagai bangsa di dalam bingkai emas Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi semakin kokoh dan takkan goyah walau diterpa badai sekuat apa pun dan dari mana pun arah datangnya.

Page 214: H. Abdul Malik

194 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Konvensi XI DMDI ini menjadi lebih bermakna karena rencananya dihadiri oleh dua kepala pemerintahan bangsa serumpun yaitu Yang Mulia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Republik Indonesia) dan Y.A.B. Datuk Seri H. Muhammad Najib bin Tun H. Abdul Razak (Perdana Menteri Malaysia). Konvensi DMDI dihadiri oleh Perdana Menteri Malaysia sudah biasa. Akan tetapi, dihadiri oleh dua pemimpin bangsa yang kini sama-sama sedang giat-giatnya membangun di tengah semaraknya demokratisasi dan globalisasi untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya, sungguh suatu hal yang istimewa. Jika kedua pemimpin itu berkesempatan hadir, Konvensi DMDI kali ini sungguh bagai bulan berpagar bintang, cahayanya niscaya akan menerangi minda dan kalbu kedua bangsa serumpun ini dan dapat dipastikan juga memancar cemerlang ke bangsa-bangsa lain yang menjadi anggota DMDI. (Karena sesuatu dan lain hal, kedua pemimpin negara itu beralangan hadir. Tulisan ini dibuat sebelum acara berlangsung).

Kalau tak ada aral melintang, bersempena Konvensi kali ini akan diadakan acara puncak yaitu pemberian anugerah adat. Penerimanya adalah Yang Mulia Presiden Republik Indonesia dan Y.A.B. Perdana Menteri Malaysia. Anugerah akan diberikan oleh masyarakat adat Melayu, yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau. Tersiar kabar bahwa LAM Kepulauan Riau akan memberikan anugerah adat tertinggi kepada kedua pemimpin bangsa itu. Niat itu tentulah tak berlebihan karena SBY dan NTR dinilai sangat berjasa dan berprestasi sangat gemilang dalam memimpin bangsa serumpun yang bertetangga dekat ini. Memang, mulia bangsa menjunjung adat, elok pekerti menghargai bakti. (Karena kedua pemimpin itu beralangan hadir, pemberian anugerah adat itu pun tak jadi dilaksanakan).

Bagi LAM Kepulauan Riau pula, setahu saya, peristiwa ini menjadi pengalaman besar pertama. Baru kali ini, kalau jadi, LAM Kepulauan Riau memberikan anugerah adat kepada pemimpin bangsa. Pengalaman ini tentulah sangat berharga untuk memicu dan memacu kinerja LAM Kepulauan Riau ke depan ini. Mudah-mudahan, keberadaan dan marwah adat Melayu akan bangkit kembali dalam menuntun perjalanan anak bangsa menuju tangga kejayaan.”Tegak adat karena mufakat, seluruh rakyat mendapat berkat.”

Sampailah kita kepada ucapan setinggi-tinggi tahniah. Pertama, kepada Presiden DMDI yang juga Ketua Menteri Melaka Y.A.B. Datuk Seri H. Mohd. Ali bin H. Mohd. Rustam dan Wakil Presiden DMDI yang juga Gubernur Riau Y.Bhg. Datuk H. Muhammad Rusli Zainal, S.E., M.P. yang telah berhasil membawa DMDI ke tangga kejayaan hingga setakat ini. Dengan kepemimpinan mereka, DMDI terus saja berbakti dan berkhidmat untuk dunia Melayu dan Islam. Siapakah yang membawa Konvensi XI DMDI keluar dari Melaka dan diselenggarakan di Kepulauan Riau? Mereka tak lain tak bukan Gubernur Kepulauan Riau Y.Bhg. Drs. H. Muhammad Sani

Page 215: H. Abdul Malik

195ABDUL MALIK

dan Wakil Gubernur Y.Bhg. Dr. H. Muhammad Surya Respationo, S.H., M.H. serta Walikota Batam Y.Bhg. Drs. H. Ahmad Dahlan. Nampaknya, para pemimpin daerah ini betul-betul hendak menjadikan budaya Melayu sebagai pilar pembangunan Kepulauan Riau. Syabas, Datuk-Datuk dan Bapak-Bapak. Akhirnya, selamat kepada pemimpin, rakyatnya makmur terjamin. Alhamdulillah, Kepulauan Riau ternyata mampu menjadi tuan ramah yang baik![]

Page 216: H. Abdul Malik

196 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

KOTA Tanjungpinang memang sulit dicari tolok bandingnya di Kepulauan Riau dalam hal kepeduliannya terhadap kegiatan seni-budaya. Oleh sebab

itu, tak berlebihanlah apabila media massa besar terbitan Jakarta memberi gelar Tanjungpinang sebagai Kota Puisi di Indonesia. Aktivitas seni-budaya yang dilaksanakan di Kota Gurindam Negeri Pantun ini telah melambungkan nama Kota Tanjungpinang dan pemimpinnya, Walikota Hj. Suryatati A. Manan ke sekutah-kutah negeri, sama ada di dalam negeri ataupun di mancanegara. Tanjungpinang menjadi buah bibir di tingkat nasional dan regional sebagai kota yang hendak mengembalikan kegemilangan seni-budaya di Kepulauan Riau, yang memang pernah berjaya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 silam.

Suryatati, yang juga dikenal sebagai Walikota Penyair itu, dengan kebijakannya bagai rembulan yang senantiasa setia menerangi kota dan warganya dengan simbahan cahaya cemerlang seni-budaya. Sebagai dampak positifnya, warga Kota Tanjungpinang menjadi masyarakat yang sadar akan dan sangat mencintai seni-budaya. Kegairahan masyarakat akan seni-budaya menjadi terus berkelanjutan sebagai penyambung mata rantai kecintaan akan aktivitas seni-budaya dan kegiatan intelektual yang menjadi ciri utama daerah ini zaman-berzaman.

Dari sudut pengunjung pula, kala orang datang ke suatu negeri pada akhirnya seni-budaya yang dimiliki negeri itulah yang paling banyak dikenang. Dengan kata lain, seni-budaya menjadi ikon utama suatu negeri, di mana pun negeri itu di dunia ini. Jadi, kebijakan yang memberi perhatian yang memadai terhadap pengekalan, pembinaan, dan pengembangan seni-budaya merupakan pilihan yang bijak. Dan, tak berlebihanlah apabila pemimpin yang membuat pilihan itu disebut sebagai pemimpin yang arif.

Atas dasar kepedulian dan perhatian yang besar itulah, pada 28—30 Oktober 2010 Tanjungpinang didaulat untuk menjadi tuan rumah kegiatan kebudayaan

Temu Sastrawan Indonesia

Page 217: H. Abdul Malik

197ABDUL MALIK

berskala nasional, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III. Penunjukan itu tentulah tak dilakukan secara acak, tetapi dengan pertimbangan terhadap keseriusan dan keberhasilan Tanjungpinang melaksanakan pelbagai kegiatan seni-budaya berskala besar selama ini. Sebagai kelompok pemikir yang memuliakan kebenaran di republik ini, para sastrawan dan atau seniman tentulah tak mengharapkan acara yang mereka selenggarakan terkesan asal jadi. Jadi, jelaslah bahwa Tanjungpinang dipilih sebagai tempat TSI III ini telah melalui suatu evaluasi yang menyeluruh tentang kelayakan dan kepatutannya.

Bagi masyarakat Tanjungpinang, khususnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, pelaksanaan TSI III merupakan kesempatan untuk menyaksikan dan atau bertemu langsung dengan sastrawan dan pakar sastra terkenal yang telah memiliki nama besar di Indonesia dan mancanegara. Jika selama ini sebagian masyarakat hanya menyaksikan mereka di media, baik cetak maupun elektronik, dan membaca buku karya mereka; kali ini kesempatan untuk bertemu secara bersemuka menjadi lebih terbuka. Pelbagai acara yang melibatkan para sastrawan dan pakar sastra nasional seperti pembacaan puisi, cerpen, bengkel sastra, seminar, dan sebagainya yang diselenggarakan bersempena dengan TSI III ini memungkinkan masyarakat, khususnya para pemuda, pelajar, dan mahasiswa, untuk lebih memahami dunia sastra dan pengabdian para sastrawan kepada bangsa dan negaranya, khususnya, dan kemanusiaan, umumnya. Alhasil, apresiasi masyarakat terhadap sastra dan sastrawan akan meningkat, yang berdampak positif bagi upaya pembangunan seni-budaya di daerah ini.

Bagi para sastrawan dan pakar sastra pula, kita berharap tentulah mereka hadir dan tampil secara optimal di Kota Tanjungpinang. Bukan apa. Bergaul dalam cukup banyak kegiatan seni-budaya, khususnya sastra, saban tahun, membuat masyarakat Tanjungpinang cukup peka dan kritis dalam bidang yang satu ini. Sastra dan seni-budaya menjadi satu di antara sekian rujukan nilai yang sangat berharga bagi masyarakat daerah ini untuk memperoleh pencerahan dan pencerdasan diri. Sastra menjadi setawar-sedingin ketika lara terus dan terus saja menerpa karena kekalutan ekonomi, politik, hukum, dan keamanan yang bagai segan untuk berlalu. Sastra menjadi pendamai dan penenteram ketika angin ribut dan gelora gelombang terus saja sabung-menyabung di perbatasan dengan negara-negara tetangga terdekat dan serumpun pula. Dunia sastra adalah kehidupan sehari-hari orang Kepulauan Riau, khususnya Tanjungpinang. Jika penampilan para sastrawan dan pakar sastra dalam TSI III memang memberikan pencerahan, tentulah mereka diterima bagai menyambut pemimpin yang karismatik lagi terhormat. Akan tetapi, apabila sebaliknya yang terjadi, jangan sampai terkejut jika terdengar nyanyian resah, “Banyak sudu daripada bubur.”

Page 218: H. Abdul Malik

198 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hemat saya, masyarakat berharap banyak dari kegiatan TSI III di Tanjungpinang itu. Di antaranya, para sastrawan nasional dapat lebih mengenal masyarakat dan daerah tempat asal bahasa nasional Indonesia, yang menjadi medium utama sastra kita. Pelbagai genre sastra yang masih kekal di daerah ini mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi kalangan sastrawan untuk menghasilkan karya mereka. Kepedulian masyarakat dan pemerintahnya terhadap seni-budaya dan kesusastraan tentulah menjadi fenomena yang menarik pula. Selebihnya, tentulah banyak hikmah yang akan dipetik oleh masyarakat dari perjuangan sastrawan dalam menyuarakan dan menegakkan kebenaran, sama ada dalam karya yang tercipta ataupun perilaku hidup sehari-hari. Itulah sebabnya, TSI III tak hanya diharapkan hanya sekadar pertemuan sastrawan sesama sastrawan, tetapi pertembungan segitiga: para sastrawan, masyarakat, dan karya sastra. Para sastrawan diharapkan dapat lebih meyakinkan masyarakat bahwa pilihan mereka untuk mencintai dunia sastra merupakan pilihan benar, bijak, dan menyenangkan.

Ada baiknya juga kita melihat persiapan tuan rumah. Dari senarai panitianya saja, kita yakin bahwa Kota Tanjungpinang hendak tampil sebaik mungkin untuk menjayakan kerja ini. Betapa tidak? Pelindung kegiatannya langsung dipimpin oleh Gubernur Kepulauan Riau (H. Muhammad Sani) dan Walikota Tanjungpinang (Hj. Suryatati A. Manan). Lembaga Adat Melayu didaulat menjadi penasihat. Ketua umumnya langsung dijabat oleh Wakil Walikota (Drs. H. Edward Mushalli). Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (Drs. Abdul Kadir Ibrahim, M.T. atau Akib yang juga seniman nasional) ditunjuk sebagai ketua pelaksana. Selanjutnya, Sekretaris Daerah (Drs. Gatot Winoto, M.T.), beberapa kepala dinas, para pejabat pelbagai kantor, tokoh masyarakat, seniman, wartawan, akademisi, dan guru semuanya dilibatkan dalam kepanitiaan.

Nampaknya, dengan susunan panitia itu Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, hendak menegaskan bahwa ini adalah kerja kita bersama. Keberhasilannya adalah kesuksesan kita bersama, begitu pula sebaliknya. Lebih jauh dari itu, Walikota yang seniman itu juga bagai hendak mengungkapkan bahwa seni-budaya, khususnya sastra, adalah bagian yang mustahak dari keperluan hidup kita. Oleh sebab itu, kita perlu menghidupkannya secara bersama-sama. Nah, atas dasar kesemuanya itu, sudah sepatutnyalah masyarakat Tanjungpinang menjayakan TSI III dengan segenap daya yang ada. Semoga dengan telah dilaksanakannya TSI III, Kota Tanjungpinang makin bersinar ke depan ini. Syabas, Kota Tanjungpinang! []

Page 219: H. Abdul Malik

199ABDUL MALIK

MENJUNJUNG berarti ‘meletakkan atau membawa sesuatu di atas kepala’. Tak semua benda dapat atau boleh dijunjung. Pasal apa? Kepala, dalam

kebudayaan masyarakat kita, tergolong anggota tubuh yang diistimewakan, bahkan dimuliakan. Tangan, kaki, atau punggung, misalnya, boleh disentuh dan atau dipegang oleh orang lain tanpa syarat yang ketat. Akan tetapi, hanya dalam keadaan “istimewa” saja orang rela kepalanya dipegang oleh orang lain. Secara umum, kepala adalah anggota tubuh yang pantang disentuh oleh orang lain. Dengan demikian, sesuatu yang dijunjung, baik konkret maupun abstrak, mestilah yang bernilai baik.

Jadilah perbuatan menjunjung itu bermakna menghargai, menaati, menghormati, dan memuliai. Kesemuanya berkonotasi positif atau baik. Itulah sebabnya, sesuatu atau seseorang yang dihormati, disayangi, dicintai, dan dimuliai disebut junjungan. Kekasih yang dicintai disebut junjungan hati, pemimpin yang dihormati disebut junjungan bangsa, nabi yang dimuliai disebut Junjungan Alam, dan sebagainya.

Kata menjunjung itu terdapat dalam teks Sumpah Pemuda. Kamis, 28 Oktober 2010, kita memperingati 82 tahun Sumpah Pemuda. Bagi bangsa kita, Sumpah Pemuda merupakan satu di antara peristiwa penting lagi sakral. Dari peristiwa itulah, bangsa Indonesia, yang dipelopori oleh para pemuda pejuang, secara resmi menyatakan bersatu dalam perjuangan dengan perekat satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yakni Indonesia. Perjuangan yang dimaksudkan itu bukan sekadar untuk melepaskan diri dari penjajahan, melainkan pelbagai jenis perjuangan untuk memajukan bangsa dalam kesemua aspek kehidupan di alam Indonesia merdeka. Untuk menyegarkan ingatan kita, ada baiknya isi Sumpah Pemuda itu dikutip lengkap.

Menjunjung Bahasa Persatuan

Page 220: H. Abdul Malik

200 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

“Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Dalam teks Sumpah Pemuda hanya yang berkaitan dengan bahasa persatuan digunakan kata menjunjung. Untuk dua hal yang disebuti terdahulu yakni tanah air dan bangsa yang satu (Indonesia) digunakan kata mengaku. Hal itu taklah berarti bahwa satu tanah air dan satu bangsa tak penting. Malah, bersatu dalam kedua hal itu sangat mustahak karena sebelum kedatangan bangsa-bangsa penjajah, bangsa-bangsa yang senasib sepenanggungan karena terjajah, yang kemudian berikrar atau bersumpah setia untuk menjadi satu bangsa yang besar bernama Indonesia, itu sesungguhnya terdiri atas bangsa-bangsa yang merdeka dengan tanah air yang merdeka lagi berbeda-beda pula.

Lalu, apakah istimewanya bahasa persatuan sehingga digunakan kata takzim menjunjung, bukan hanya sekadar mengaku? Pasal, satu-satunya jaminan bagi kekekalan dan keberlangsungan bangsa-bangsa yang bertekad menjadi bangsa yang satu dan bertanah air yang satu itu adalah bahasa persatuan. Bahasa persatuanlah yang menjadi perekat bangsa yang satu di tanah air yang satu itu. Dengan bahasa persatuan, kita dapat berpikir, berasa, dan bertindak yang sama untuk dan atas nama bangsa yang satu di tanah air yang satu, Indonesia.

Bahasa persatuanlah yang menyerlahkan atau mengeksplisitkan jati diri kita sebagai bangsa, bangsa Indonesia. Dapat dibayangkan betapa kacau-balaunya keadaan jika kita mengaku satu bangsa dan satu tanah air, tetapi menggunakan bahasa persatuan yang berbeda-beda. Akan lebih parah lagi keadaannya jika kita sebagai bangsa memuja bahasa asing yang tak ada kena-mengenanya dengan sejarah dan kebudayaan bangsa kita sebagai bahasa persatuan tandingan, betapa pun hebatnya pengaruh bangsa itu dalam peradaban dunia setakat ini. Oleh sebab itu, kita wajib menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Konsekuensinya, memeliharakan, membinakan, mengembangkan, memperjuangkan, memajukan, membanggakan, memuliakan, dan menggunakan bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia, secara baik dan benar menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa. Hanya dengan sikap, cara, dan tindakan itulah kita dapat mempertahankan cita-cita luhur satu bangsa dan satu tanah air.

Bertolak dari pikiran itu, kita sungguh prihatin akan kenyataan menjamurnya penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di lingkungan pembangunan (di) Indonesia. Penamaan dengan bahasa Inggris untuk kompleks perkantoran baru, kota baru, dan pelbagai produk baru nampaknya sudah dianggap biasa dan tak menjejas rasa kebangsaan dan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Sebutlah Seasons City, Kuningan City, Jakarta Convention Center, Sudirman Square,

Page 221: H. Abdul Malik

201ABDUL MALIK

Melayu Square, Chinese Square, Bintan Beach Resort, Bintan Center, Batam Center sekadar beberapa contoh dari ribuan nama yang telah tercipta. Penyakit yang bermula di Jakarta, yang ironisnya adalah ibukota negara, dengan sangat cepat mewabah ke daerah-daerah seluruh Indonesia.

Wabah itu semakin parah di kawasan-kawasan tujuan wisata dan tempat-tempat investasi asing. Ada kesan bahwa produk wisata kita hanya akan laku kalau dijual dengan menggunakan bahasa Inggris. Sebaliknya, bahasa Indonesia tak mampu membuat dunia pariwisata kita berkembang. Bahkan, di tempat asal bahasa Indonesia, karena menjadi destinasi pariwisata, penamaan dengan bahasa Inggris bagai tak kuasa untuk ditolak. Padahal, kalau kita mau belajar dari negara luar—Thailand, Jepang, Korea Selatan, Cina, misalnya—mereka sangat percaya diri menjual produk wisatanya dengan tetap menggunakan bahasa nasionalnya. Thailand malah menjadi negara di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para pelancong mancanegara.

Keprihatinan kita jadi berlipat ganda manakala mendapati kenyataan seolah-olah ada pembiaran terhadap penyelewengan ini. Pemerintah, yang seyogianya menjadi aktor utama untuk mencegah penjajahan bahasa di lingkungan nasional kita, bagai tak berdaya dan terkesan tak mampu berbuat apa-apa untuk membela kepentingan, kebanggaan, dan keutuhan bangsa dari serbuan anasir (bahasa) asing. Padahal, gejala ini harus diantisipasi karena cepat atau lambat ia dapat menjejas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukankah republik ini berdiri didasari oleh sumpah untuk tetap setia terhadap tritunggal keutuhan: tanah air, bangsa, dan bahasa? Jika satu di antara ketiga kesatuan itu terusik, keutuhan NKRI menjadi tercabar!

Kita sekali lagi harus mengakui keunggulan generasi pendahulu. Walau hidup dalam masa penjajahan, mereka tak pernah dapat dipaksa penjajah Belanda untuk menggunakan bahasa Belanda. Kebanggaan dan kesetiaan terhadap budaya (dan) bahasa sendiri menjadikan mereka bagai baja yang kebal dari senjata dan propaganda penjajah. Dengan semangat seperti itulah, mereka mampu mewariskan kepada kita sebuah negara dan bangsa yang merdeka: Indonesia. Oleh sebab itu, sudah sepatutnyalah kita menjaga keutuhan nilai-nilai terala (luhur) Sumpah Pemuda, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk itu, menolak penamaan dengan bahasa asing, apa pun alasannya, di lingkungan nasional kita harus menjadi kewajiban kita dan harus segera kita lakukan. []

Page 222: H. Abdul Malik

202 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

VAN OPHUIJSEN adalah profesor atau guru besar bahasa berkebangsaan Belanda. Minatnya yang besar terhadap bahasa Melayu dibuktikan dengan

menghasilkan karya-karya tentang bahasa Melayu dalam bahasa Belanda. Di antara karyanya adalah Woordenlijst voor de Spelling der Maleische Taal (1901), “Maleische taalstudien,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 46:145—212 (1903), Het Maleische Volksdicht (1904), dan Maleische Spraakkunst (1910 dan 1915).

Ch. A. van Ophuijsenlah yang menyusun ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin berdasarkan kaidah ejaan bahasa Belanda. Ejaan yang disusunnya itu disebut Ejaan van Ophuijsen dan mulai digunakan pada 1901. Setelah bahasa Melayu berubah namanya menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, Ejaan van Ophuijsen masih tetap dipakai sebagai ejaan resmi bahasa Indonesia sampai 19 Maret 1947 untuk digantikan dengan Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Walaupun begitu, sampai setakat ini masih banyak orang Indonesia yang menulis nama dirinya dengan Ejaan van Ophuijsen, Moehammad Dja’far, misalnya, yang kalau ditulis dengan Ejaan yang Disempurnakan seharusnya ditulis Muhammad Jakfar. Begitulah kuatnya pengaruh Ejaan van Ophuijsen terhadap bangsa Indonesia.

Buku Ch. A. van Ophuijsen Maleische Spraakkunst diterjemahkan oleh T.W. Kamil ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tata Bahasa Melayu (Penerbit Djambatan, Jakarta, 1983). Redakturnya W.A.L. Stokhof, asisten redaktur J. Soegiarto dan S. Moeimam, dan penasihat redaktur Amran Halim, Anton M. Moeliono, A. Teeuw, dan H. Steinhauer. Buku ini dipandang perlu untuk diterjemahkan dan diterbitkan kembali, seperti dikatakan oleh T.W. Kamil karena “... tulisan Van Ophuijsen sungguh berbobot dan berpandangan jauh ke depan.”

Buku yang berbobot dan mengandungi pandangan yang jauh ke depan itulah salah satu rujukan ilmiah yang dapat digunakan untuk menjawab keraguan sebagian orang tentang asal-muasal bahasa nasional Indonesia. Dengan membaca buku

Apa Kata Van Ophuijsen

Page 223: H. Abdul Malik

203ABDUL MALIK

itu, sebetulnya tak perlu lagi ada keraguan tentang dasar dan tempat asal bahasa Indonesia. Ternyata, masih juga ada orang yang ragu akan hal itu. Padahal, kalau mereka membaca buku penting ini—sarjana bahasa yang tak membaca buku penting ini, rasanya agak aneh juga—tak perlu lagi ada keraguan, kecuali akal-akalan yang tak ilmiah untuk menegakkan benang basah. Untuk menjawab keraguan itulah, pada Konvensyen XI Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang dilaksanakan di Batam kembali diselenggarakan Seminar Bahasa pada 10 November 2010.

Dalam Bab Pendahuluan bukunya itu Van Ophuijsen bertutur panjang lebar perihal bahasa Melayu berdasarkan temuan penelitiannya. Tuturannya itu diperikan berikut ini.

Bahasa Melayu adalah bahasa orang yang menamakan dirinya orang Melayu dan yang merupakan penduduk asli sebagian Semenanjung Melayu, Kepulauan Riau-Lingga, serta pantai timur Sumatera. Karena orang Melayu termasuk bangsa pelaut dan pedagang, bahasanya itu tak terbatas pada daerah tersebut saja, tetapi dituturkan juga di sejumlah besar pemukiman Melayu di pantai pelbagai pulau di Kepulauan Hindia Timur (Kepulauan Indonesia, A.M.), antara lain Kalimantan.

Selain itu, semua orang asing, baik orang Eropa maupun orang Timur, hampir hanya menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan antara mereka dan dalam pergaulan dengan penduduk seluruh Kepulauan Hindia Timur. Begitu pula pelbagai suku bangsa di antara penduduk kepulauan tersebut menggunakannya sebagai bahasa pergaulan antara mereka. Akhirnya, bukan hanya kalangan raja pribumi, yang terutama memakai bahasa Melayu dalam urusan surat-menyuratnya dengan pemerintah dan antara sesamanya, melainkan seluruh surat-menyurat antara pegawai negeri Eropa dan pribumi pun dilangsungkan dalam bahasa itu.

Penyebaran bahasa Melayu tak terjadi baru-baru ini, bahkan juga tak mulai terjadi pada awal pemukiman orang Eropa di Kepulauan Hindia Timur. Sudah berabad-abad bahasa tersebut merupakan bahasa antarmasyarakat, atau mungkin lebih baik jika disebut bahasa internasional, yang terutama dipakai di dalam bidang diplomasi oleh raja yang memelihara hubungan dengan raja lain.

Mengapakah justeru bahasa Melayu yang dipilih untuk kepentingan tersebut? Seperti dikatakan di atas, orang Melayu menyebar ke seluruh Kepulauan Indonesia sebagai pelaut dan pedagang. Lagi pula, bahasa itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, sedangkan tak ada bunyi yang sulit diucapkan oleh orang asing. Namun, agar tetap dapat menjalankan peranannya sebagai bahasa internasional, bahasa itu harus sedikit mengalami perubahan. Syarat itu, tak disangsikan lagi, telah dipenuhi dengan baik; kemantapannya masih merupakan salah satu cirinya yang terpenting.

Bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, memiliki banyak logat. Di antara aneka logat, maka yang diutamakan oleh orang Melayu—dan mereka tentu saja

Page 224: H. Abdul Malik

204 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

satu-satunya penilai yang berwewenang—ialah logat yang dituturkan di Johor, di sebagian Semenanjung Melayu, dan di Kepulauan Riau-Lingga (khususnya di Pulau Penyengat, tempat Raja Muda Riau dulu bersemanyam dan di Daik di Pulau Lingga yang sampai baru-baru ini menjadi tempat kedudukan Sultan Lingga). Jadi, di daerah para Raja Melayu dahulu.

Selanjutnya, Van Ophuijsen menjelaskan bahwa bahasa Melayu Riau-Johor itulah, yang menjadi bahasa baku orang Melayu di Kepulauan Indonesia, yang dijadikannya rujukan untuk menulis buku tata bahasanya Maleische Spraakkunst. Alasannya, pertama, sebagian besar kepustakaan tertulis terdapat dalam bahasa itu. Kedua, di istana-istana Melayu sebanyak mungkin masih digunakan bahasa yang kami sebut bahasa Melayu Riau atau Johor tadi sehingga dipakai, baik dalam pergaulan maupun dalam surat-menyurat oleh golongan berpendidikan. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh yang dialaminya dari bahasa-bahasa lain paling kecil; di sanalah watak khasnya paling terpelihara. Untuk mereka yang ingin menelaah bahasa nusantara yang lain, pengetahuan tentang bahasa Melayu ini merupakan bantuan besar.

Begitulah penjelasan Van Ophuijsen tentang asal-muasal bahasa Melayu. Setahun setelah beliau menerbitkan bukunya untuk kedua kalinya (1915), R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan bangsa Indonesia setelah merdeka kelak. Usul itu disampaikan beliau dalam makalahnya yang disampaikan pada 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda. Setelah itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia muncul dua pengusul. Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, sebagaimana nama asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru yaitu bahasa Indonesia. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia itu pada 2 Mei 1926 menyetujui nama bahasa Indonesia seperti yang diusulkan M. Tabrani. Begitulah nama bahasa Indonesia ditabalkan pada Kongres II Pemuda Indonesia, Jakarta, 28 Oktober 1928 sebagai nama lain bahasa Melayu. Pada Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25—28 Juni 1938, Ki Hajar Dewantara sekali lagi menegaskan bahwa yang dinamakan bahasa Indonesia asalnya dari Melayu Riau, persis seperti yang dimaksudkan oleh Van Ophuijsen.

Begitu pulalah bahasa Melayu Riau-Johor logat (dialek) Kepulauan Riau ditakdirkan untuk menjadi bahasa nasional sebuah negara dan bangsa yang besar, Indonesia. Dan, Kepulauan Riau tercatat dengan tinta emas peradaban bangsa ini sebagai tempat asal bahasa Indonesia. Masih adakah keraguan tentang itu? Jika kita hendak belajar dari sejarah dan berpikiran terbuka, mestinya tak perlu lagi ada senoktah pun kesangsian. Pasal, kesemuanya sudah terang-benderang. Sudah terang lagi bersuluh. []

Page 225: H. Abdul Malik

205ABDUL MALIK

UPAYA mengungkapkan asal-muasal bahasa nasional Indonesia sangat mustahak. Pasal apa? Pertama, supaya jelas perhubungan bahasa nasional

dengan bahasa yang pernah digunakan oleh bangsa kita sejak zaman-berzaman. Bukankah bahasa yang sejak 2 Mei 1926 kita sebut bahasa Indonesia itu bukanlah bahasa yang sama sekali baru atau bukan bahasa ciptaan baru? Soal kemudian ia mendapat pengaruh dari pelbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing, itu gejala alamiah yang dialami oleh kesemua bahasa di dunia ini, bahasa-bahasa kuno pun demikian jangankan bahasa-bahasa modern. Andai bahasa Melayu tak menjadi bahasa nasional pun, kita yakin, kreativitasnya untuk memanfaatkan unsur luar pasti terjadi sesuai dengan kenyataan perkembangannya selama berabad-abad.

Kedua, supaya terpelihara kelurusan sejarah dan kejujuran ilmiah dalam menyikapi asal-muasal bahasa nasional ini. Jangan hanya karena sekarang kawasan yang menyumbangkan bahasa nasional itu “dianggap” tak lagi penting dalam perkembangan tamadun nasional, lalu peran historisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya dipandang dengan sebelah mata. Jika kenyataan itu yang muncul, telah terjadi kecelakaan sejarah di lingkungan kebangsaan kita yang pasti akan berdampak pada tamadun atau peradaban yang sedang dan akan kita kembangkan.

Dalam perjalanan waktu yang hanya 84 tahun, data historis tentang asal-muasal bahasa nasional itu masih mudah diperoleh. Lagi pula, datanya masih banyak tersedia asal kita rajin mengumpulkannya. Bahkan, data tersebut—walau tak terlalu lengkap—terdapat juga di dalam buku pelajaran sekolah. Walaupun begitu, entah karena pertimbangan politis atau apa, tak banyak orang yang bersedia mengungkapkan perihal asal-muasal bahasa Indonesia, bahkan para pakar bahasa pun banyak yang memilih “zona aman”, diam, kalau tak membuatnya kabur atau bersilang pendapat. Dalam hal ini, pendapat yang didasari fakta ilmiahlah yang

Sepuluh Bukti

Page 226: H. Abdul Malik

206 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

seyogianya diutamakan. Itulah ciri keutamaan yang harus dipegang teguh oleh setiap ilmuwan.

Setelah mempelajari perjalanan panjang bahasa Melayu selama 4.000 tahun dengan puncak pertamanya pada zaman Kerajaan Sriwijaya (633—1397) hingga yang terakhir Kerajaan Riau-Lingga (1824—1913) sebelum berubah nama menjadi bahasa Indonesia, dapatlah dihimpun sekurang-kurangnya sepuluh bukti asal-muasalnya.

Bukti 1Pada 1849 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa.

Berkaitan dengan itu muncullah masalah bahasa pengantar yang harus digunakan. Dalam menyikapi persoalan itu terjadilah perselisihan pendapat. Namun, Gubernur Jenderal Rochussen dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia (Indonesia). Penegasan itu dilakukannya setelah menyadari keadaan bahwa bahasa Melayu pun telah menyebar luas di kalangan masyarakat Jawa yang digunakan sebagai bahasa kedua.

Kala itu Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji telah dikenal di seluruh nusantara dan mengalami cetak ulang berkali-kali di Singapura. Versi ilmiahnya lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga dimuat di majalah Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Begitu berpengaruhnya syair karya Raja Ali Haji itu sehingga menjadi bahan cerita teater rakyat yang juga diberi nama Dul Muluk di Palembang, tempat yang dulunya menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu Kuno, dan Bangka-Belitung.

Tak ada jalan lain bagi pemerintah kolonial Belanda. Bahasa Melayu Riau-Lingga harus dijadikan bahasa pengantar di lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk orang pribumi, termasuk di Pulau Jawa.

Bukti 2Pada 1855 Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Von de Wall menjadi

pegawai bahasa. Beliau adalah pegawai Belanda kelahiran Jerman, yang sebelumnya berkhidmat sebagai tentara. Beliau ditugasi untuk menyusun buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu. Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda merupakan pekerjaan yang sangat penting kala itu karena Pemerintah Hindia-Belanda memerlukan ejaan dan kosakata baku untuk pendidikan di Kepulauan Hindia-Belanda. Berhubung dengan tugas itu, Von de Wall diutus ke Kerajaan Riau-Lingga pada 1857.

Page 227: H. Abdul Malik

207ABDUL MALIK

Untuk menyelesaikan tugasnya itu, beliau bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim serta mengangkat Abdullah (anak Haji Ibrahim) menjadi juru tulisnya. Beliau menetap di Tanjungpinang sampai 1860. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 14 Februari 1862, beliau kembali lagi ke Kerajaan Riau-Lingga. Sejak itu beliau terus berulang-alik Batavia—Riau-Lingga sampai 1873 untuk menyelesaikan tugasnya dan mendalami bahasa Melayu (lihat Van der Putten dan Al Azhar, 2006:4—11).

Dalam masa tugasnya itu Von de Wall sempat menyunting buku karya Haji Ibrahim: Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor. Jilid pertama buku itu diterbitkan di Batavia pada 1868 dan pada 1872 terbit pula jilid keduanya.

Pada masa Von de Wall bertugas itu beberapa karya Raja Ali Haji (RAH) sudah dikenal luas. Syair Abdul Muluk yang dicetak di Singapura mengalami beberapa kali cetak ulang. Syair itu diterbitkan dalam versi ilmiah lengkap dengan terjemahan bahasa Belandanya dan diberi pendahuluan oleh P.P. Roorda van Eysinga di Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Dua karya RAH yang lain juga dimuat di dalam majalah berbahasa Belanda yaitu sebuah syair tanpa judul dimuat di majalah Warnasarie dan Gurindam Dua Belas yang diterbitkan oleh Netscher dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap. Syair RAH yang dimuat dalam Warnasarie merupakan satu-satunya syair berbahasa Melayu di dalam majalah yang bertujuan untuk menerbitkan sajak Belanda di tanah jajahan (Van der Putten dan Al Azhar, 2006:17—18).

Karena bermitra dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, tentulah karya-karya penulis ternama Kerajaan Riau-Lingga itu berpengaruh pada pekerjaan Von de Wall. Selain karya Haji Ibrahim yang telah disebutkan di atas yang bahkan Von de Wall menjadi penyuntingnya, tentulah karya linguistik Raja Ali Haji Bustan al-Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) juga menjadi rujukan Von de Wall. Pasal, semasa beliau bertugas di Tanjungpinang dan Penyengat, buku Raja Ali Haji itu telah dicetak. Selain itu, penjelasan lisan kedua orang pendeta bahasa Melayu itu jelas menjadi acuan utama Von de Wall karena memang kedua sahabatnya itulah yang menjadi informan utama pegawai bahasa Pemerintah Hindia-Belanda itu.

Pada Mei 1864 datang seorang pakar bahasa lagi ke Kerajaan Riau-Lingga. H.C. Klinkert, nama pakar itu, dikirim oleh Majelis Injil Belanda untuk mempelajari bahasa Melayu yang murni. Tujuannya adalah untuk memperbaiki terjemahan Injil dalam bahasa Melayu. Beliau tinggal di Tanjungpinang lebih kurang dua setengah tahun (lihat Van der Putten dan Al Azhar, 2006:9).

Page 228: H. Abdul Malik

208 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Bukti 3Berhubung dengan adanya keraguan tentang asal-muasal bahasa Indonesia, S.

Takdir Alisjahbana menantang pihak-pihak yang ragu itu. Dalam esai yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru pada 1933, beliau menegaskan:

“Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang [antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, A.M.] itu tiada beralasan sedikit juapun. Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang sesungguh2nya nyata antara bahasa yang disebut sekarang bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut bahasa Melayu … ” (Alisjahbana, 1978:47).

Bukti 4Tokoh lain yang perlu disebut ialah R.M. Suwardi Soerjaningrat yang lebih

dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Beliaulah orang pertama yang mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan dalam pergerakan nasional dan di alam Indonesia merdeka pada 1916, bahkan di Negeri Belanda. Dalam makalahnya “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres I Bahasa Indonesia di Solo pada 1938, beliau lebih tegas lagi menyebutkan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu... dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’....” (Puar, 1985:324; lih. juga Malik, 1992:3).

Bukti 5Di dalam rumusan hasil Kongres II Bahasa Indonesia, Medan, 1954, sekali lagi

ditegaskan: “... asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang” (lih. Malik, 1992:3).

Bukti 6Di dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988:2) yang disusun

oleh sejumlah pakar bahasa dari perguruan tinggi ternama di Indonesia dan Pusat Bahasa dengan Anton M. Moeliono sebagai penyunting penyelianya secara tersirat disebut asal-muasal bahasa Indonesia walau tak setegas Ki Hajar Dewantara.

“Patokan kedua (maksudnya pentingnya bahasa Indonesia ditinjau dari luas persebarannya, A.M.) jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatra, di Pulau Riau dan Bangka, serta daerah pantai Kalimantan.... Belum lagi bahasa Malaysia, dan bahasa Melayu di Singapura dan Brunei, yang, jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa, merupakan bahasa yang sama juga.”

Page 229: H. Abdul Malik

209ABDUL MALIK

Bukti 7Harimurti Kridalaksana (1991:176—177), seorang pakar bahasa Indonesia

yang sangat karismatik, membantah pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kreol Melayu. Dalam bantahan itu beliau mengatakan, antara lain, bahwa ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia, 1928, bahasa Melayu secara substansiil sudah merupakan bahasa penuh (full- ledged language) dan menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan, dan sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang—kesusastraan yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20—yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14. Selanjutnya, menurut Kridalaksana, “Sebelum menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda.”

Dari perian tentang sejarah bahasa Melayu sesuai dengan zamannya di atas, jelas telah saya (A.M.) dedahkan bahwa bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Kepulauan Melayu. Di samping itu, bahasa Melayu pun telah sejak berabad-abad menjadi bahasa kedua penduduk seluruh nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada masa kegemilangannya, bahasa Melayu, bahkan seperti diakui oleh banyak pakar asing, telah sejak lama menjadi bahasa internasional. Francois Valentijn, bahkan, mengatakan bahwa sejak abad ke-18 bahasa Melayu telah menyamai bahasa-bahasa penting di Eropa dan persebarannya sangat luas sampai ke Persia. Mana mungkin bahasa seperti itu disebut bahasa pijin atau kreol atau Melayu Pasar.

Lagi pula, selain telah mengalami proses standardisasi dalam sistem pendidikan kolonial Belanda, bahasa Melayu pun telah mendapat pembinaan dan pengembangan dari kalangan intelektual Kerajaan Riau-Lingga. Karya-karya Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, dan para penulis yang terhimpun di dalam Kelab Rusydiah dalam pelbagai bidang, terutama dalam bidang bahasa, memungkinkan kedudukan bahasa Melayu tinggi (Melayu baku) menjadi istimewa dan berpengaruh luas ke seluruh Kepulauan Nusantara. Hal itu dimungkinkan karena ada rujukan yang jelas tentang sistem bahasa Melayu tinggi seperti yang diakui oleh banyak peneliti asing.

Bukti 8 Dalam buku Kees Groeneboer, Jalan ke Barat (1995:166) tercatat pada Pasal

28 dari Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi yang mulai ditetapkan pada tahun 1872, yang berbunyi sebagai berikut.

“Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu... bahasa

Page 230: H. Abdul Malik

210 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau [huruf miring oleh A.M.], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899: Lampiran I).

Bukti 9Ch. A. van Ophuijsen, guru besar bahasa berkebangsaan Belanda, menulis

banyak hal tentang bahasa Melayu. Di dalam bukunya Maleische Spraakkunst (1910 dan 1915) yang diterjemahkan oleh T.W. Kamil ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Bahasa Melayu (1983). Penyusun Ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin (1901) itu, antara lain, menjelaskan hal-hal berikut.

1. Bahasa Melayu adalah bahasa orang yang menamakan dirinya orang Melayu dan yang merupakan penduduk asli sebagian Semenanjung Melayu, Kepulauan Riau-Lingga, serta pantai timur Sumatera.

2. Orang Melayu termasuk bangsa pelaut dan pedagang sehingga bahasanya berpengaruh di sejumlah besar pemukiman Melayu di pantai pelbagai pulau di Kepulauan Hindia Timur (Kepulauan Indonesia, A.M.), antara lain Kalimantan.

3. Semua orang asing, baik orang Eropa maupun orang Timur, hampir hanya menggunakan bahasa Melayu dalam pergaulan antara mereka dan dalam pergaulan dengan penduduk seluruh Kepulauan Hindia Timur.

4. Pelbagai suku bangsa di antara penduduk kepulauan itu menggunakannya sebagai bahasa pergaulan antara mereka.

5. Kalangan raja pribumi memakai bahasa Melayu dalam urusan surat-menyuratnya dengan pemerintah (maksudnya Pemerintah Hindia-Belanda, A.M.) dan antara sesamanya.

6. Semua surat-menyurat antara pegawai negeri Eropa dan pribumi pun dilangsungkan dalam bahasa itu.

7. Penyebaran bahasa Melayu telah terjadi selama berabad-abad sehingga dapat disebut bahasa internasional, yang terutama dipakai di dalam bidang diplomasi oleh raja yang memelihara hubungan dengan raja lain.

8. Bahasa Melayu itu menonjol karena sederhana susunannya dan sedap bunyinya, tak ada bunyinya yang sulit diucapkan oleh orang asing.

9. Bahasa Melayu dapat menjalankan peranannya sebagai bahasa internasional karena syarat kemantapannya telah dipenuhi dengan baik, yang menjadi salah satu cirinya yang terpenting.

Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa bahasa Melayu, seperti halnya bahasa Belanda, memiliki banyak logat. Di antara aneka logat, yang diutamakan oleh orang

Page 231: H. Abdul Malik

211ABDUL MALIK

Melayu ialah logat yang dituturkan di Johor, di sebagian Semenanjung Melayu, dan di Kepulauan Riau-Lingga (khususnya di Pulau Penyengat, tempat Raja Muda Riau dulu bersemanyam dan di Daik di Pulau Lingga yang sampai baru-baru ini menjadi tempat kedudukan Sultan Lingga).

Bahasa Melayu Riau-Lingga itu dijadikan rujukan karena dua sebab. Pertama, sebagian besar kepustakaan tertulis ada dalam bahasa itu. Kedua, di istana-istana Melayu sebanyak mungkin masih digunakan bahasa itu, baik dalam pergaulan maupun dalam surat-menyurat oleh golongan berpendidikan. Di daerah tersebut, pengaruh yang dialaminya dari bahasa-bahasa lain paling kecil; di sanalah watak khasnya paling terpelihara. Untuk mereka yang ingin menelaah bahasa nusantara yang lain, pengetahuan tentang bahasa Melayu Riau-Lingga atau Riau-Johor ini merupakan bantuan besar.

Bukti 10Pada Sabtu, 29 April 2000 Presiden Republik Indonesia, Haji Abdurrahman

Wahid (Gus Dur) membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru. Dalam pidatonya beliau menegaskan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia akan jasa pahlawan Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. “Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini,” tegas beliau.

Selanjutnya, pada 6 November 2004 Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa. Penganugerahan itu diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan itu, sebetulnya bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai asal-muasal bahasa Indonesia telah diakui secara resmi atau telah diiktiraf oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pasal, Kepulauan Riaulah tempat Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa, Raja Ali Haji, dilahirkan, berkarya, dan wafat serta dalam bahasa Melayu Kepulauan Riau pulalah beliau berkarya untuk bangsa dan negaranya.

SimpulanBahasa Melayu sejak abad ke-7 telah menjadi bahasa yang terpenting di

nusantara. Dari masa kegemilanngan Sriwijaya, yang mengembangkan tamadun Melayu-Budha, hingga masa-masa kecemerlangan Imperium Melayu Melaka, Johor-Riau atau Riau-Johor, dan Riau-Lingga, yang mengembangkan tamadun Melayu-Islam, bahasa Melayu telah memainkan perannya yang sangat penting dalam bidang perdagangan, pemerintahan, agama, ilmu dan pengetahun, dan sosial-budaya umumnya. Itulah sebabnya, bahasa Melayu menjadi lingua franca, yang pada gilirannya menjadi bahasa internasional kala itu.

Page 232: H. Abdul Malik

212 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Pembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. di Kerajaan Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 memungkinkan bahasa Melayu Kerajaan Riau-Lingga terpelihara sebagai bahasa baku, yang biasa disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itulah, pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dikukuhkan sebagai bahasa Indonesia.

Dengan demikian, bahasa Melayu yang berasal dari Kepulauan Riaulah (tempat kedudukan Sultan Riau-Lingga, Daik, dan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda, Penyengat Inderasakti) yang dijadikan bahasa Indonesia, yang dalam alam Indonesia merdeka berkedudukan sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara.

Pemilihan itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda sebelumnya yang menilai bahwa bahasa Melayu Kepulauan Riau paling murni lafalnya serta paling baik tata bahasa dan ejaannya sehingga diwajibkan menjadi bahasa pengantar pendidikan pribumi di seluruh kawasan pemerintahan Hindia-Belanda. Kebijakan itu didasari oleh kenyataan bahwa kalau tak menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu Kepulauan Riau (bahasa sekolah) menjadi bahasa kedua sebagian besar penduduk nusantara. Oleh sebab itu, ketika diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara, Muh. Yamin, dan M. Tabrani (dengan perubahan nama), para pendiri bangsa ini—apa pun latar belakang suku, budaya, dan bahasa ibunya—dengan suara bulat menerimanya.

RekomendasiSesuai dengan perian sebelum ini, berikut dikemukakan tiga butir rekomendasi

untuk melanjutkan tradisi intelektual yang menjadi ciri utama tamadun Melayu di kawasan ini. Pertama, Kepulauan Riau seyogianya memiliki Institusi Pengajian Bahasa dan Tamadun Melayu untuk meneruskan upaya yang telah dirintis oleh Raja Ali Haji dkk. Hanya dengan itu tradisi intelektual yang menjadi ciri khas tamadun Melayu zaman-berzaman akan terpelihara dan dapat terus berlanjut di sini.

Kedua, di ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, atau di Pulau Penyengat sebaiknya dibangun Prasasti Bahasa. Keberadaan prasasti itu mustahak untuk mengekalkan memori anak bangsa tentang perjuangan para pendahulu kita dalam memperjuangkan kebudayaan bangsa, yang menjadi jati diri kita, dan melahirkan bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia.

Ketiga, untuk memelihara khazanah kebudayaan kita, sebaiknya juga segera digesa pembangunan Museum Kebudayaan Kepulauan Riau yang representatif di ibukota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang. []

Page 233: H. Abdul Malik

213ABDUL MALIK

BELIAU masyhur dengan nama Aisyah Sulaiman saja. Nama lengkapnya Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Aisyah Sulaiman adalah cucu Raja Ali Haji.

Suaminya adalah Raja Khalid bin Raja Hasan atau lebih lebih dikenal sebagai Khalid Hitam, yang selain menjadi politisi Kerajaan Riau-Lingga, juga seorang pengarang. Khalid Hitam sesungguhnya saudara sepupu Aisyah Sulaiman. Dengan demikian, Aisyah Sulaiman memang keturunan dan hidup di lingkungan keluarga pengarang. Selain itu, beliau jelaslah keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga.

Tak terlalu dapat dipastikan tarikh kehidupan Aisyah Sulaiman. Walaupun begitu, beliau diperkirakan lahir pada 1869 atau 1870 dan meninggal pada 1924 atau 1925 dalam usia lebih kurang 55 tahun.

Sebagai putri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman sangat akrab dengan kehidupan di lingkungan istana Kerajaan Riau-Lingga. Di sanalah yaitu di tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda (Raja Muda) Kerajaan Riau-Lingga, di Pulau Penyengat Inderasakti, beliau dilahirkan dan dibesarkan. Akan tetapi, kehidupan di lingkungan istana Diraja di Pulau Penyengat, di tanah tumpah darahnya, itu tak dapat dinikmatinya sampai ke akhir hayatnya. Pasal, pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda secara sepihak. Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda, Aisyah Sulaiman dan keluarganya berhijrah ke Singapura. Tak lama bermastautin di Singapura, beliau harus berpindah lagi ke Johor karena menghindari orang-orang yang menaruh hati terhadapnya selepas suaminya tercinta meninggal di Tokyo, Jepang pada 11 Maret 1914 dalam suatu misi politik meminta bantuan Pemerintah Jepang untuk menghalau penjajah Belanda dari Kerajaan Riau-Lingga (Kepulauan Riau). Di Johorlah, kemudian, Aisyah Sulaiman bertempat tinggal sampai ke akhir hayatnya.

Dalam tradisi kepengarangan, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai

Aisyah Sulaiman

Page 234: H. Abdul Malik

214 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan tradisional Melayu ke kesusastraan modern Melayu-Indonesia. Kenyataan itu ditinjau dari sudut masa kepengarangan dan tema karya yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional yaitu syair dan hikayat. Dengan berdasarkan sudut pandang itu, pendapat yang selama ini menyebutkan bahwa Munsyi Abdullah bin Munsyi Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan modern Melayu harus diperdebatkan. Pasal, Munsyi Abdullah hidup sampai pertengahan abad ke-19, sedangkan masa peralihan kesusatraan tradisional Melayu ke modern Melayu berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan perempat awal abad ke-20. Masa-masa itulah Aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi Abdullah telah tiada. Lagi pula, karya-karyanya telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat lama Melayu ke masyarakat baru Melayu dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merobohkan tembok-tembok kokoh tradisi yang diangggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.

Dalam karirnya sebagai pengarang, sepanjang yang dapat diketahui, Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya. Karya-karya tersebut diperikan sebagai berikut.

1. Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin. Hikayat ini diduga merupakan karya awal Aisyah Sulaiman.

2. Syair Khadamuddin. Karya ini diterbitkan pada 1345 H. atau 1926 M. Menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis setelah beliau pindah ke Singapura.

3. Hikayat Syarif al-Akhtar. Hikayat ini baru diterbitkan setelah Aisyah Sulaiman meninggal dunia yaitu pada 1929 M.

4. Syair Seligi Tajam Bertimbal. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karyanya ini Aisyah Sulaiman tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.

Hikayat Syamsul Anwar berkisah tentang seorang putri, Putri Badrul Muin namanya. Putri ini sangat cantik dan kisah kecantikannya diketahui oleh banyak raja negeri lain sehingga mereka berdatangan untuk melamarnya. Putri Badrul Muin muak terhadap perilaku raja-raja yang mencoba untuk melamarnya itu, lalu pergi meninggalkan istananya. Sang putri menyamar sebagai laki-laki dan memilih memakai nama Afandi Hakim. Dalam pengembaraannya itu, dia bertemu dengan putra raja, Syamsul Anwar.

Syamsul Anwar sangat senang berteman dengan Afandi Hakim dan sangat menghormatinya sehingga selalu berusaha untuk mendampinginya. Sebaliknya, Afandi Hakim sangat benci terhadap Syamsul Anwar dan senantiasa berusaha

Page 235: H. Abdul Malik

215ABDUL MALIK

untuk menjauhkan diri dari pemuda itu. Syamsul Anwar curiga terhadap tingkah laku Afandi Hakim sehingga dia mengintip untuk mengetahui jati diri putri yang menyamar itu. Alhasil, samaran Putri Badrul Muin diketahui, tetapi dia diselamatkan oleh batu gemala.

Setelah sekian lama dan bersusah payah, Syamsul Anwar dipertemukan juga dengan Putri Badrul Muin. Dia melamar putri itu. Akan tetapi, bukannya menerima pinangan Syamsul Anwar, malah Tuan Putri marah terhadap menteri tua dan permaisuri yang mendukung lamaran putra raja itu. Tuan Putri berusaha menolak pinangan Syamsul Anwar karena dia ditabalkan menjadi raja menggantikan ayahndanya yang mangkat. Dia marah karena putusan diterimanya pinangan Syamsul Anwar tanpa meminta persetujuan dirinya. Bukankah dirinya berhak untuk menentukan nasibnya dalam pernikahannya? Dia merasa dipaksa untuk menikah dengan Syamsul Anwar. Orang-orang yang terlibat dalam “pemaksaan” pernikahannya ditantang habis-habisan oleh perempuan yang menganggap bahwa kaum laki-laki selalu memberikan kesusahan itu.

Kebenciannya terhadap suaminya terus berlanjut. Dia terus saja mengelak berada di bilik peraduan (kamar tidur) berdua dengan suaminya. Keadaan seperti itu terus berlangsung sampai tiga bulan lamanya.

Penentangan dan kebencian Putri Badrul Muin terhadap laki-laki menunjukkan sikap Aisyah Sulaiman untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Kelantangan tokoh-tokoh perempuan di dalam hikayat ketika berdebat dengan tokoh-tokoh laki-laki, yang justeru orang-orang penting kerajaan, juga menyerlahkan misi yang sama, kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Pada masa hikayat ini ditulis, hal seperti itu masih sangat pantang (tabu) dilakukan. Sangat jelas kepeloporan Aisyah Sulaiman dalam memperjuangkan dan atau menyuarakan hak-hak perempuan dalam hikayatnya ini. Dia jelas jauh mengatasi karya-karya sebelumnya, yang memang tak menampakkan nuansa perjuangan perempuan.

Bahkan, Putri Badrul Muin jauh lebih maju dari Siti Nurbaya, yang selama ini disebut-sebut sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia. Betapa tidak? Siti Nurbaya dan orang-orang di sekitarnya nyaris tak berdaya menghadapi kelicikan atau dan kegigihan tokoh tua Datuk Maringgih dalam Roman Siti Nurbaya. Tak ada penentangan yang begitu berarti terhadap Datuk Maringgih, yang kecuali kaya, padahal hanyalah seorang tua bangka yang hodoh (buruk rupa) pula. Pemuda Syamsul Bahri, kekasih Siti Nurbaya, memang menentang Datuk Maringgih, tetapi itu pun harus melalui cara yang hina yaitu berkomplot dengan musuh hanya untuk membunuh orang tua yang merebut kekasih hatinya. Datuk Maringgih terkesan sangat bersinar dalam roman ini, bukan Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, atau orang muda-muda yang lain.

Berbeda halnya dengan Putri Badrul Muin. Dia sangat bertenaga, perkasa, dan

Page 236: H. Abdul Malik

216 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

bercahaya dalam Hikayat Syamsul Anwar. Para lelaki didebatnya habis-habisan dengan pelbagai gagasan keunggulan perempuan. Raja-raja yang melamarnya ditolaknya dan ditinggalkannya begitu saja karena dia memang tak berkenan. Dia tak dapat dibujuk dengan kekuasaan dan harta, yang padahal raja-raja yang melamarnya jauh lebih berkuasa dan berlimpah harta daripada hanya seorang Datuk Maringgih. Bahkan, Syamsul Anwar yang putra raja, perkasa, tampan, dan memang sangat mencintainya ditolaknya mentah-mentah walaupun akhirnya mereka berjodoh juga. Untuk sampai kepada perjodohan yang serasi itu, Syamsul Anwar dan orang-orang yang mendukungnya harus berjuang keras dan menampilkan kesabaran yang luar biasa karena harus berhadapan dengan perempuan muda yang jelita, tetapi bagaikan tembok baja. Pasal, baginya tak ada alasan untuk menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Hakikatnya, perempuan dan laki-laki memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama.

Bagaimanakah halnya dengan Syair Khadamuddin? Melalui karyanya ini, lagi-lagi Aisyah Sulaiman mencabar (menantang) keperkasaan laki-laki yang telanjur dikokohkan selama ini.

Syair diawali dengan kisah tentang penulisnya. Diceritakan bahwa beliau terpaksa meninggalkan kampung halamannya Kepulauan Riau, tentulah Pulau Penyengat maksudnya. Dari tanah kelahirannya itu, beliau berhijrah ke Singapura bersama suaminya. Beliau kemudian harus berpindah lagi ke Johor untuk menghindari godaan laki-laki yang banyak memburunya, terutama setelah kemangkatan suaminya. Barulah kemudian syair mengalir pada perwatakan dua tokoh utamanya yaitu pasangan istri-suami Siti Sabariah dan Khadamuddin.

Khadamuddin minta izin kepada istrinya Siti Sabariah, ketika putra mereka Hasan telah berusia 14 tahun, untuk mengikuti rombongan pedagang berniaga ke luar negeri. Sang istri mengizinkan suaminya, lalu berangkatlah sang suami. Dalam perjalanan di tengah padang pasir rombongan pedagang itu diserang oleh perampok. Banyak anggota rombongan itu yang meninggal karena dibunuh oleh penjahat tersebut.

Berita perampokan terhadap rombongan Khadamuddin sampai juga ke negeri asalnya. Bahkan, Khadamuddin pun dipercayai terbunuh dalam peristiwa perampokan itu.

Kejadian yang sebenarnya Khadamuddin dapat melarikan diri dan selamat dari maut di padang pasir itu. Dia melarikan diri ke dalam sebuah gua. Di dalam gua itu ada seorang syekh yang sedang beribadah dan dia memberikan pertolongan kepada Khadamuddin.

Mendengar berita kematian suami dan bapaknya, Siti Sabariah dan Hasan, putranya, menjadi sangat terpukul dan sedih. Setelah itu Siti Sabariah terus

Page 237: H. Abdul Malik

217ABDUL MALIK

digoda dan dilamar oleh banyak laki-laki, termasuk raja negeri mereka, untuk menjadikannya istri. Siti Sabariah, sesuai dengan namanya, tetap bersabar dan menangkis godaan serta menolak pinangan para laki-laki itu dengan santun walaupun hatinya hancur dirundung kepedihan dan penderitaan ditinggal mati oleh suaminya tercinta.

Kesabaran, kecintaan, dan keimanan Siti Sabariah dan puteranya berbuah kebahagiaan. Akhirnya, suami dan bapak tercinta orang anak-beranak itu, Khadamuddin, pulang kembali ke haribaan mereka dengan selamat.

Syair Khadamuddin, seperti halnya Hikayat Badrul Muin, adalah samaran kehidupan Aisyah Sulaiman sendiri. Melalui kedua karyanya itu, sesungguhnya, Aisyah Sulaiman menulis biogra inya, tetapi disamarkan dengan tokoh-tokoh iktif. Dengan begitu, dengan leluasa beliau dapat menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan tentang perjuangan perempuan untuk mengangkat derajatnya setara dengan kaum laki-laki, yang secara sosio-kultural memang telah terlalu perkasa selama ini.

Padahal lelaki sangatlah mudahApabila habis hartamu sudahHilang kasih sayang berpindahDicarinya perempuan yang lebih indah

Melalui tokoh-tokoh perempuannya, Aisyah Sulaiman mengingatkan kaumnya agar selalu berhati-hati menghadapi sifat laki-laki yang tak senonoh.

Mula berkata istri perdanaTerlalu susah kita betinaLamun jagaan tiada sempurnaBermacam bahaya jadi terkenaSahut bini Haji SalehUmpama perempuan bujang terpilihSyaitan sangat tamak menolehDicabarnya juga seboleh-boleh

Aisyah Sulaiman juga menasihati kaumnya supaya taat terhadap suami seperti yang diajarkan oleh syariat. Akan tetapi, ketaatan atau kepatuhan itu tak boleh membabi buta, tetap berdasarkan kesetaraan perempuan dan laki-laki, dengan menggunakan petunjuk Allah menjadi pedomannya.

Bini kadhi menjawab segeraDi dalam taat ada bicara

Page 238: H. Abdul Malik

218 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Maulah jua dengan berkiraTiadalah kelak mendapat cederaDan itulah salah bid’ahTiada sekali memberi manfa’ahLaki-laki yang jahat melanggar syari’ahAdakah patut engkau nan ta’ah

Perempuan tak boleh lagi mendapatkan hinaan dari laki-laki. Perempuan tak boleh membiarkan dirinya menjadi budak permainan laki-laki. Perempuanlah, hanya perempuan, yang mesti melakukan perjuangan untuk mengubah citranya di mata laki-laki, khasnya, dan masyarakat, umumnya. Untuk itu, perempuan harus memiliki pendidikan yang memadai. Dengan berpendidikan, tak ada alasan oleh siapa pun untuk memandang rendah kaum perempuan. Itulah perjuangan yang harus dilakukan oleh kaum perempuan supaya harkat dan martabatnya diakui.

Sebenarnya salah kita perempuanAkhirnya tiada akal pengetahuanJika demikian halnya tuanDiperbuat laki-laki seperti haiwan

Jelaslah bahwa Aisyah Sulaiman telah memperjuangkan harkat, martabat, dan marwah kaum perempuan melalui karya-karyanya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Semangat individualistik begitu teserlah (ketara) di dalam karyanya sehingga mengantarkan Aisyah Sulaiman sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia. Dia, bahkan, dapat mengungguli karya-karya pengarang sesudahnya, termasuk pengarang laki-laki yang telanjur disebut pelopor sebelum ini. Dengan demikian, Raja Aisyah binti Raja Sulaiman telah berhasil menjadikan dirinya dan karya-karyanya sebagai pejuang emansipasi bagi kaumnya. Tak hanya sampai di situ, Aisyah Sulaiman, bahkan, mengukuhkan dirinya sebagai pelopor kesusastraan modern Melayu-Indonesia. []

Page 239: H. Abdul Malik

219ABDUL MALIK

UNTUK mengetahui perihal Bintan, kita dapat berkonsultasi dengan Raja Ali Haji melalui karya kamus ekabahasanya Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

Berikut ini Engku Haji Ali memerikannya.“Bintan yaitu di dalam daerah Negeri Riau (tentulah maksudnya Riau dalam konteks masa itu, yang sekarang kita kenal sebagai Kepulauan Riau), satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Beni namanya, yaitu perempuan. Kemudian, datang Raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka, diserahkannya Negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu. Kemudian Raja Seri Tribuana itulah yang memperbuat Negeri Singapura, dan anaknya menggantikan dia yang berpindah ke Melaka, dan balik ke Johor semula, lalu ke Riau ke Bintan semula. Dialah asalnya Raja Melayu sebelah Johor dan sebelah tanah-tanah Melayu; anak-cucunyalah menjadi raja sampai masa kepada membuat kamus bahasa ini.”

Di dalam karya beliau yang lain yakni Tuhfat al-Na is (1865), Raja Ali Haji menjelaskan bahwa Raja Seri Tribuana datang ke Bintan bersama Demang Lebar Daun. Orang yang disebutkan terakhir itu tak lain dari Raja Palembang yang menjadi mertua Seri Tribuana.

Dalam suatu versi Sejarah Melayu disebutkan bahwa Seri Tribuana bernama asli Seri Nila Pahlawan dari keturunan Iskandar Zulkarnaen. Beliau turun ke Bukit Seguntang Mahameru bersama dua saudaranya, Seri Nila Utama dan Seri Krishna Pandita. Kala itu Palembang diperintah oleh seorang raja yang bernama Demang Lebar Daun.

Tatkala mendengar berita ada anak raja besar keturunan Iskandar Zulkarnaen turun ke Bukit Seguntang, Raja Demang Lebar Daun segera menemuinya untuk

Kerajaan Bintan

Page 240: H. Abdul Malik

220 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

mendapatkan berkat kebesaran anak raja itu. Nila Pahlawan, kemudian, dinikahkan dengan putri Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari. Baginda kemudian diangkat menjadi Raja Palembang menggantikan Demang Lebar Daun setelah keduanya mengucapkan sumpah setia.

Sumpah itu dikenal dengan sebutan Sumpah Setia Melayu (lihat Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu). Inilah sumpah yang diucapkan oleh kedua pengasas Melayu itu.

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Adapun Tuanku segala anak-cucu patik sedia jadi hamba ke bawah duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak-cucu duli Tuanku. Dan, ia berdosa, sebesar-besar dosanya pun, jangan ia difadhihatkan, dinista dengan kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh, itu pun jikalau berlaku pada hukum syarak.”

Maka titah Sang Sapuba, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak-cucu Bapa hamba jangan durhaka pada anak-cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.”

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah Tuanku, tetapi jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak-cucu patik pun mengubahkanlah.”

Maka titah Seri Tri Buana,”Baiklah, kabullah hamba akan waad itu.”

Maka keduanya pun bersumpah-sumpahlah, barang siapa mengubahkan perjanjiannya itu dibalik(kan) Allah subhanahu wa taala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas.

Dengan bahasa kita sekarang, inti Sumpah Setia Melayu itu, “Rakyat tak boleh mendurhaka kepada raja, tetapi raja pun tak boleh mempermalukan rakyat.” Pelbagai penafsiran boleh dibuat tentang makna yang dikandung oleh Sumpah Setia itu selain arti har iahnya, terutama tentang ubah-mengubah janji dan terbaliknya bumbungan rumah.

Raja Ali Haji memang tak menyebutkan perihal Sumpah Setia itu di dalam karya-karya beliau. Akan tetapi, di dalam Tuhfat al-Na is jelas-jelas beliau mengatakan mengapa peristiwa-peristiwa ini terjadi: Singapura dilanggar todak, Singapura ditaklukkan oleh Majapahit, dan Melaka dilanggar Peringgi. Engku Haji Ali secara tersirat hendak mengingatkan kita akan saktinya Sumpah Setia Melayu itu. Dan, putra-putra perkasa Bintan, Hang Tuah, Hang Jebat, dan yang paling menggemparkan Laksemana Bintan atau Laksemana Megat Seri Rama mempertegaskan bahwa Sumpah Setia itu memang tak boleh dilanggar.

Setelah menjadi Raja Palembang, Seri Nila Pahlawan menggunakan gelar Seri Maharaja Sang Sapurba Paduka Seri Trimurti Tribuana. Dalam versi lain Baginda disebut Suparba Seri Tribuana atau Seri Tribuana atau Sang Sapurba saja.

Page 241: H. Abdul Malik

221ABDUL MALIK

Seri Nila Pahlawan atau Sang Sapurba atau Seri Tribuana dikurniai empat orang anak yaitu Sang Maniaka, Sang Nila Utama, Puteri Candra Dewi, dan Puteri Seri Dewi atau Puteri Mengindra Dewi. Karena diserang Majapahit pada abad ke-13, Baginda dan keluarga berhijrah ke Bintan dan mangkat pun di Bintan.

Sang Nila Utama menggantikan ayahndanya menjadi raja. Ketika ditabalkan menjadi raja, Baginda memakai gelar Seri Maharaja Sang Utama Parameswara Batara Seri Tribuana. Bagindalah, kemudian, yang memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik, yang lalu diberi nama baru Singapura, pada 1324.

PercanggahanAda beberapa data yang bercanggah (bertentangan) sekitar sejarah Kerajaan

Bintan seperti yang diperikan di atas. Percanggahan itu meliputi tokoh dan peristiwanya.

Pertama, soal tokoh Sang Sapurba. Semua versi Sejarah Melayu menyebut nama ini. Selain itu, Baginda juga dikenal dengan nama Suparba Seri Tribuana, Seri Tribuana, atau Sang Nila Utama. Raja Ali Haji dalam kedua karya beliau disebutkan di atas hanya menyebutkan nama Seri Tribuana, tak disebutkan Sang Sapurba. Tokoh inilah yang dijadikan anak angkat oleh Wan Seri Beni, Raja Bintan, bahkan dinikahkan dengan Putri Bintan, anak Wan Seri Beni dan mendiang suaminya Raja Bintan Asyhar Aya.

Versi lain menyebutkan bahwa Sang Sapurba atau Seri Tribuana berbeda dengan Sang Nila Utama. Nama yang disebutkan terakhir itu dikatakan adalah putra kedua Sang Sapurba, yang kemudian menggantikan ayahndanya sebagai Raja Bintan, kemudian lagi memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik atau Singapura, sedangkan Sang Sapurba atau Seri Tribuana wafat di Bintan. Padahal, menurut Raja Ali Haji Seri Tribuana wafat di Singapura.

Berhubung dengan percanggahan tentang tokoh itu, versi Raja Ali Haji dan pendapat yang selari dengan itu lebih meyakinkan. Pasal, Sang Sapurba atau Seri Tribuana atau Sang Nila Utama tak berada lama di Bintan, lalu Baginda membuka Singapura dan meninggal di sana.

Kedua, ada yang mengatakan bahwa Raja Melayu Palembang dan keluarganya itu sampai di Bintan sekitar 1158. Ada pula yang menyebutkan bahwa mereka berpindah setelah Sriwijaya diserang Majapahit pada abad ke-13.

Percanggahan tentang tarikh kedatangan keluarga Diraja Melayu Palembang itu tak kalah menariknya lagi mustahak. Kedua pendapat yang dikemukakan itu agak kurang sabit di akal. Pasalnya begini.

Pertama, pada 1158 Sriwijaya masih menjadi Kemaharajaan Melayu yang

Page 242: H. Abdul Malik

222 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

besar dan kuat, ia baru melemah satu abad lebih kemudian. Lagi pula, jarak waktu ketibaan di Bintan dan dibukanya Singapura sangat lama yaitu 166 tahun yaitu pada 1324 M. (tarikh dibukanya Temasik atau Singapura menjadi negeri).

Kedua, pada akhir abad ke-13 Majapahit baru berdiri (1293 M.) sehingga belum menjadi kerajaan yang besar dan kuat. Tambahan lagi, Majapahit baru merebut Singapura pada 1376 M. ketika piut Sang Sapurba berkuasa yaitu Raja Parameswara atau Iskandar Syah. Majapahit mengalahkan Sriwijaya setahun kemudian yaitu pada 1377 M. sehingga Sriwijaya yang telah lemah dan terpecah-pecah itu baru betul-betul jatuh.

Lebih sabit di akal kedatangan keluarga Diraja Palembang ke Bintan sekitar 1272 M. yaitu setelah Sriwijaya dikalahkan oleh Kerajaan Tumapel-Singosari. Dari Kerajaan Singosari itulah memang kemudian didirikan Kerajaan Majapahit setelah mereka dikalahkan oleh Kerajaan Daha. Ketika dikalahkan Singosari, Sriwijaya belum betul-betul runtuh.

Kerajaan Bintan yang Mula-MulaKerajaan Bintan bukanlah kerajaan yang baru. Kerajaan ini diperkirakan telah

ada sekitar 200 S.M. lagi. Kerajaan Melayu-Hindu Bintan itu berdiri bersamaan dengan kerajaan-kerajaan merdeka kala itu seperti Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat), Kalingga (Jawa), Sriwijaya (Sumatera Tengah), Pasai (Aceh), Langkasuka (Kedah, Malaysia), Patani (Thailand selatan), Inderapura (Pahang), dan Temasik.

Empat ratus tahun kemudian yaitu sekitar 200 M. beberapa di antara kerajaan yang berdiri hampir bersamaan itu menjadi besar dan kuat. Kerajaan yang menjadi besar itu adalah Tarumanegara, Kalingga, Langkasuka, dan Sriwijaya. Kerajaan Tarumanegara dapat menaklukkan Lampung, Inderagiri, Temasik, termasuk Bintan. Sejak itu, Kerajaan Bintan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara.

Memasuki abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya betul-betul berkembang pesat. Pada masa itu Sriwijaya telah menguasai Tarumanegara dengan semua daerah takluknya, seluruh Sumatera, Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, Kalimantan, Maluku, sampai ke Kepulauan Filipina. Pendek kata, Sriwijaya melesat menjadi Kemaharajaan Melayu Raya di Asia Tenggara. Dengan demikian, Kerajaan Bintan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Bintan menjadi kerajaan merdeka kembali ketika Sriwijaya diambang kehancuran oleh perang saudara. Antara lain, Sriwijaya dapat dikalahkan oleh Kerajaan Tumapel-Singosari pada 1272 M. Tak lama setelah itulah keluarga

Page 243: H. Abdul Malik

223ABDUL MALIK

Diraja Sang Sapurba atau Seri Tribuana datang dari Bukit Seguntang Mahameru, Palembang ke Bintan dan dijadikan Raja Bintan oleh Ratu Wan Seri Beni setelah dijadikan anak angkat dan menantu oleh raja perempuan itu. Atas izin Wan Seri Beni jualah, Seri Tribuana memindahkan pusat pemerintahan ke Singapura pada 1324 M. karena kala itu Temasik menjadi bagian dari Kerajaan Bintan.

Pada 1292 Marcopolo, pelaut Venesia, sempat singgah di Kerajaan Bintan-Temasik. Beliau mendapati Bintan sebagai bandar yang ramai dan makmur. Rakyatnya hidup sejahtera.

Ketika Singapura ditaklukkan oleh Majapahit pada 1376 M., Bintan kembali terjajah. Setelah Majapahit jatuh, Bintan berada di bawah Kerajaan Melaka karena Melaka pula yang menjadi kerajaan besar di Asia Tenggara.

Pada masa Kerajaan Melaka itulah putra-putra Bintan kembali bersinar. Ketika Melaka diperintahi oleh Raja Abdullah atau Sultan Mansyur Syah (1458—1477) melejitlah nama-nama Laksemana Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi. Bahkan, karena begitu terkenal dan harum namanya, mereka diperakui oleh banyak daerah lain, terutama Laksemana Hang Tuah, berasal dari daerah itu, padahal jelas sejatinya mereka adalah putra-putra terbaik Bintan kala itu.

Masa Sultan Mansyur Syah itu penjagaan Bintan, seluruh Kepulauan Riau, dan Singapura diserahkan tanggung jawabnya kepada Laksemana Hang Tuah. Setelah beliau wafat, tugas itu diteruskan oleh anak-cucunya dan mereka diberi gelar Datuk Kaya dan Datuk Petinggi.

Bintan sebagai Benteng PertahananKetika Peringgi atau orang Portugis baru menjejakkan kakinya di Melaka

pada 1509, mereka mendapati Kemaharajaan Melayu Melaka memang luar biasa. Negerinya ramai dan berlimpah kemakmuran. Bersamaan dengan itu raswah pun kian merajalela. Kesemuanya tertera dalam berita-berita Cina dan kronika Portugis. Dalam catatannya, Tome Pires menulis, “Siapa yang memiliki Melaka, dialah yang menentukan hidup-matinya Venesia.”

Tak diragukan lagi, itulah puncanya Melaka diserang Peringgi pada 25 Juli 1511. Pihak penceroboh itu mengerahkan kekuatan 1.600 serdadu dengan 15 kapal besar yang dipimpin oleh Admiral D’Alburqueque. Namun, tak mudah untuk menaklukkan Melaka. Baru pada 15 Agustus tahun itu juga Melaka dapat dikuasai oleh musuh setelah mereka mendatangkan bantuan dari jajahan Portugis di Goa (India).

Roboh sudah Kota Melaka. Sultan Mahmud, Sultan terakhir Melaka, memindahkan pusat pemerintahan yang juga menjadi benteng pertahanan. Ke

Page 244: H. Abdul Malik

224 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

mana lagi kalau bukan ke Bintan, yaitu di Kopak yang diperkuat dengan benteng pelindung di Kota Kara. Dari situlah Laksemana Hang Nadim melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka sehingga Peringgi harus menderita kerugian besar.

Pada Oktober 1512 Kota Kara diserang Portugis di bawah pimpinan Jorge d’Alburqueque dan Jorge de Brito dengan kekuatan 600 serdadu. Tak puas dengan itu, penjajah itu datang lagi pada 1523 dan 1524.

Dalam suatu serangan penghabisan, Kota Kara dihancurkan dan Kopak dibumihanguskan. Itu dilakukan setelah lebih dulu Pedo Mascarenhas yang memimpin 1.000 serdadu menyerang Bengkalis, salah satu tempat pertahanan Sultan Mahmud, pada 23 Oktober 1526. Dari sana mereka terus ke Pulau Bulang, dan akhirnya ke Bintan.

Sultan Mahmud beredar ke Kampar. Dan, pada 1528 Baginda mangkat di Pekan Tua, kembali ke rahmatullah.

Dengan pasang-surutnya perjalanan sejarah itu, berakhir pulalah riwayat Kerajaan Bintan. Walaupun begitu, Pulau Bintan belum mengakhiri “perkhidmatan”-nya sebagai pusat Kerajaan Melayu. Tak lama lagi akan datang Kerajaan Melayu yang bakal menjadi salah satu kekuatan baru dan puncak tamadun Melayu. Mula-mula kerajaan itu bernama Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Kemudian, karena wilayahnya terbagi dua, namanya dikenal sebagai Kerajaan Riau-Lingga saja. Dan, untuk kerajaan itu, Pulau Bintan sekali lagi memainkan peran yang sangat penting yaitu sebagai pusat pemerintahan selain Pulau Lingga dan Pulau Penyengat. []

Page 245: H. Abdul Malik

225ABDUL MALIK

DI NEGARA kita sejak 2 Mei 1926 bahasa Melayu mendapat nama baru yaitu bahasa Indonesia. Selanjutnya, sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,

bahasa itu dijunjung sebagai bahasa persatuan Indonesia. Jadi, bahasa Indonesia adalah nama yang diberikan secara politis dari nama linguistisnya bahasa Melayu.

Selepas itu, dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia setakat ini terdapat kebijakan yang bercanggah (kontroversial). Di satu sisi penutur asli bahasa Melayu diakui sebagai penutur asli bahasa Indonesia. Di sisi lain, setelah menyumbangkan bahasa nasional, bahasa Melayu diturunkan tarafnya menjadi bahasa daerah. Mestinya, karena bahasa Melayu itulah juga bahasa Indonesia, kedudukannya harus berbeda dari bahasa daerah.

Kenyataan itu tentulah berikutan dengan upaya-upaya untuk menjauhkan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Hal itu memang banyak diungkapkan oleh para pendekar bahasa yang berkedudukan di ibukota negara, yang inti pernyataannya adalah setelah “diangkat” menjadi bahasa nasional, bahasa Melayu dan bahasa Indonesia mengalami perkembangannya masing-masing.

Memang, lazimnya sebuah negara yang dibangun dari bangsa-bangsa yang berbeda-beda, tiap-tiap bangsa di dalam negara-bangsa yang baru mengharapkan unsur-unsur bahasanya terdapat di dalam bahasa nasional. Faktor itulah yang menyebabkan rumitnya persoalan bahasa nasional di Filipina dan India, misalnya. Oleh sebab itu, pengambil kebijakan bahasa nasional biasanya berusaha memasukkan sebanyak mungkin unsur bahasa dari bangsa-bangsa yang tergabung di dalam negara baru itu agar setiap anggota masyarakatnya merasa teridenti ikasi di dalam bahasa nasionalnya. Akibatnya, sering terjadi unsur yang tak memenuhi syarat untuk masuk pun dipaksakan masuk. Kasus yang terjadi di Filipina dan India, misalnya, sebetulnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Bedanya hanya kalau di

Meningkatkan Martabat Bahasa Melayu

Page 246: H. Abdul Malik

226 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Filipina dan India gesekan itu terdengar agak “bingit” atau sengaja “dibingitkan”, di Indonesia persaingannya berlangsung dalam “senyap”.

Nasib yang ditimpakan terhadap bahasa Melayu itu seyogianya mendorong daerah-daerah yang mewarisi bahasa Melayu untuk melaksanakan sendiri perencanaan bahasa Melayu. Pasal, bahasa Melayu merupakan anugerah yang paling berharga yang dimiliki oleh orang Melayu. Bahkan, tugas itu merupakan tanggung jawab warisan yang memang harus dilakukan oleh ahli waris bahasa Melayu masa kini untuk meningkatkan martabat bahasa Melayu kini dan ke depan ini. Dalam hal ini, upaya mengembalikan kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional, sebagaimana kedudukan yang pernah disandangnya pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lalu, adalah matlamat utama yang mesti segera digesa.

Karena penutur bahasa Melayu mengatasi batas geopolitik di nusantara ini, kerja sama yang baik antara pemilik bahasa Melayu akan memudahkan perencanaan bahasa Melayu. Apa lagi, kalau di antara negara dan bangsa yang menggunakan bahasa Melayu itu berjaya menjadi negara dan bangsa yang maju pada suku pertama abad ini, bahasa Melayu pun akan terjulang menjadi lebih perkasa.

Kolom kali ini membahas upaya pengkajian bahasa Melayu untuk meningkatkan mutu bahasa itu dan mutu pemakaiannya sehingga memenuhi syarat untuk menjadi bahasa modern dan bahasa internasional. Nampaknya, haluan bahasa Melayu telah menggariskan bahwa penutur aslinyalah yang paling bertanggung jawab terhadap hidup-matinya ke depan ini dalam persaingan yang mendunia, bukan mendaerah. Pasal, bahasa Melayu telah sejak lama berlepas dari garis batas daerah.

Bahasa yang Sakti Telah banyak disebut bahwa bahasa Melayu mencapai puncak kegemilangan

sejak menjulangnya Kerajaan Sriwijaya (sejak abad ke-7) sampai dengan Kerajaan Riau-Lingga (sampai awal abad ke-20). Selepas itu, bahasa Melayu menjadi alat pemersatu dalam pergerakan kebangsaan Indonesia. R.M. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda mengusulkan bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, dalam Kongres I Pemuda Indonesia, Muh. Yamin mengusulkan nama bahasa Melayu, sebagaimana nama asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru untuk bahasa itu yaitu bahasa Indonesia. Alhasil, Kongres I Pemuda Indonesia itu pada 2 Mei 1926 menyetujui nama bahasa Indonesia. Nama bahasa Indonesia itulah, kemudian, diterima secara aklamasi dalam Kongres II Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928. Sejak itu,

Page 247: H. Abdul Malik

227ABDUL MALIK

bahasa Melayu secara politis memperoleh nama baru yaitu bahasa Indonesia, yang berkedudukan resmi sebagai bahasa nasional Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, bahasa Melayu atau bahasa Indonesia memperoleh satu kedudukan baru lagi sebagai bahasa negara, sama halnya dengan kedudukannya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu sebelumnya.

Bahasa Melayu terbukti sangat sakti dan memiliki wibawa yang luar biasa. Betapa tidak? Indonesia yang terdiri atas tak kurang dari 250 suku bangsa dengan 750 bahasa, yang muatan budayanya berbeda-beda pula, dapat dipersatukannya. Alhasil, masyarakat Indonesia dari berbilang suku bangsa dapat berkomunikasi dengan lancar dalam kehidupan sehari-hari. Itu bukanlah peran baru, melainkan jauh sebelum bahasa Melayu diberi nama bahasa Indonesia. Pasalnya, kalau tak menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu pasti menjadi bahasa kedua penduduk nusantara dan orang asing yang bermastautin di sini, sejak lama.

Bahkan, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai alat perjuangan, hanya dalam jangka waktu 17 tahun bangsa Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Padahal, sebelum itu kita telah berjuang 333 tahun dengan bahasa yang berbeda-beda, tetapi tetap tak berjaya menghalau penjajah. Takkah ada kaitan perjuangan 17 tahun itu dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945? Kalau angka 17 itu hanya kebetulan, hidayah penetapannya pastilah memang digerakkan oleh Allah swt.

Dalam pada itu, bahasa Melayu terus mengembangkan peran internasionalnya. Kini bahasa itu diajarkan sebagai bahasa asing di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Rusia, Belanda, Perancis, Italia, Korea, Jepang, Cina, Thailand, dan lain-lain. Ringkasnya, ada 129 pusat perguruan tinggi dunia yang menawarkan pengkajian bahasa Melayu di 52 negara (Eropa, Amerika, Asia Timur, dan Timur Jauh) setakat ini.

Di Republik Rakyat China (RRC) bahasa Melayu dipelajari Universitas Peking, Universitas Pengkajian Bahasa-Bahasa Asing Beijing, Universitas Komunikasi China Beijing, Universitas Pengkajian Asing Guangdong (di Guangzhou), Universitas Bangsa-Bangsa Guangxi (di Nanning), dan Universitas Bangsa-Bangsa Kunming (Provinsi Yunnan).

Adakah gesaan pemerolehan bahasa Melayu melalui sistem pendidikan RRC itu merupakan bentuk konkret dukungan pemerintahnya agar bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan bangsa-bangsa Asia? Kabar tentang hal itu mulai tersiar akhir-akhir ini. Namun, jawab yang pasti atas pertanyaan itu mesti kita nantikan beberapa waktu ke depan.

Page 248: H. Abdul Malik

228 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Pengkajian Bahasa Melayu Pengkajian bahasa menjadi bagian dari perencanaan bahasa. Di dalam era

globalisasi ini perencanaan bahasa dapat dikelompokkan ke dalam tiga bidang utama. Ketiga bidang itu adalah (1) pemerolehan bahasa Melayu, (2) perencanaan fungsi sosiolinguistiknya, dan (3) pengembangan bentuk atau korpusnya.

Perencanaan pemerolehan bahasa berupa upaya untuk meningkatkan jumlah penutur bahasa Melayu yang mahir, sama ada sebagai bahasa pertama, bahasa kedua, ataupun bahasa asing. Untuk mencapai tujuan itu, perlu dirancang pendidikan yang bermutu tentang bahasa Melayu. Tak kalah mustahaknya upaya promosi bahasa Melayu secara besar-besaran di dalam dan di luar negeri melalui karya-karya berbahasa Melayu. Terbabit dengan itu, perlu dilakukan penulisan, penerbitan, dan penyebarluasan buku-buku berbahasa Melayu dalam pelbagai bidang kehidupan, sama ada edisi ilmiah, edisi sekolah, dan edisi populer. Juga penting penerbitan dalam bentuk jurnal, majalah, buletin, surat kabar, dan melalui media elektronik radio, televisi, internet, dan sebagainya.

Perencanaan fungsi sosiolinguistik berkaitan dengan pelbagai tugas kemasyarakatan bahasa Melayu di dalam masyarakat pemakainya. Fungsi itu harus terus diperkuat dan ditingkatkan mutunya agar bahasa Melayu dapat bersaing dengan bahasa-bahasa lain, terutama bahasa asing yang kian merambah dalam era ini. Peningkatan kemahiran orang Melayu menggunakan bahasa Melayu, baik lisan maupun tulisan, akan memperkuat jati diri dan ketahanan budaya orang Melayu dalam menghadapi pengaruh negatif bahasa dan budaya asing. Pasal, jika penutur bahasa Melayu mahir menggunakan bahasa Melayu secara lisan dan tulisan, hal itu akan meningkatkan kesadarannya untuk meningkatkan mutunya dan mengembangkannya. Pada gilirannya, mereka akan membela bahasanya dari rempuhan bahasa asing yang membawa unsur budaya negatif, tetapi memanfaatkan unsur asing yang positif secara piawai untuk memperkasakan bahasa dan budaya Melayu.

Perencanaan korpus berhubung dengan pelbagai upaya untuk menghimpun sistem bahasa Melayu. Melalui kegiatan ini dilakukan penyusunan, penerbitan, dan penyebarluasan kamus bahasa Melayu, kamus istilah bahasa Melayu untuk pelbagai bidang kehidupan, tata-bahasa bahasa Melayu, kamus ungkapan bahasa Melayu, dan sebagainya.

Pengkajian bahasa Melayu bukan sesuatu yang sama sekali baru. Oleh itu, upaya ini tak dimulai dari nol. Sejak masa Melayu klasik, Raja Ali Haji telah melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu dengan pola perencanaan modern. Selanjutnya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang kemudian diubah namanya menjadi Pusat Bahasa, dan sekarang menjadi Badan Bahasa telah

Page 249: H. Abdul Malik

229ABDUL MALIK

menghasilkan cukup banyak karya penelitian bahasa Melayu. Pekerjaan serupa juga dilakukan oleh banyak perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Bahkan, ada juga lembaga-lembaga di luar itu yang telah melakukan upaya serupa, termasuk upaya yang dilakukan oleh orang perorangan.

Kesemua karya yang ada itu sedapat-dapatnya dihimpun kembali. Mana-mana bidang yang kajiannya telah tuntas dan lengkap tak perlu diulang lagi, tinggal dimanfaatkan saja. Hasil yang belum tuntas harus dituntaskan, dilanjutkan, disempurnakan dan atau diperbaiki. Sub-bidang dan bidang yang sama sekali belum dikerjakan harus dilakukan pengkajian dari awal.

Inilah agenda kajian yang mustahak dilakukan: 1. Pengkajian struktur bahasa Melayu, yang meliputi bidang-bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan pragmatik bahasa Melayu. 2. Pengkajian dialek-dialek dan aneka ragam bahasa Melayu menurut bidang, penutur bahasa, media (lisan dan tulis), peristiwa tutur, dan sebagainya. 3. Pengkajian fungsi kemasyarakatan bahasa Melayu yaitu fungsi bahasa Melayu di dalam kehidupan masyarakat bahasanya. 4. Pengkajian tindak bahasa atau etnogra i berbahasa Melayu yang dikaitkan dengan latar, penyapa, pesapa, hadirin, tujuan, peristiwa, jalur, waktu, norma, dan ragam bahasa. 5. Pengkajian sikap bahasa penutur bahasa Melayu. 6. Pengkajian kemampuan komunikatif atau etika berbahasa penutur bahasa Melayu sesuai dengan acuan budaya Melayu. 7. Pengkajian hubungan antara bahasa dan budaya Melayu secara keseluruhan. 8. Pengkajian mutu pemakaian bahasa Melayu, baik lisan maupun tulisan, di kalangan penuturnya. 9. Pengkajian istilah dan ungkapan khas bahasa Melayu dalam pelbagai bidang kehidupan. 10. Penelitian gaya-bahasa bahasa Melayu yang terpakai dalam masyarakat, baik lisan maupun tulisan, sama ada terkini maupun klasik. 11. Pengkajian pengembangan pelbagai laras bahasa Melayu pelbagai bidang.

Temuan-temuan penelitian itu, kemudian, disebarluaskan. Dalam bentuk buku ada edisi ilmiah, edisi sekolah, dan edisi populer untuk masyarakat awam. Buku-buku yang dimaksud meliputi Tata-Bahasa Bahasa Melayu, Kamus Bahasa Melayu, Kamus Istilah Bahasa Melayu dalam pelbagai bidang kehidupan, Kamus Ungkapan Bahasa Melayu, Gaya-Bahasa Bahasa Melayu, Buku Pelajaran Bahasa Melayu untuk pelbagai tingkat dan jenjang pendidikan, dan lain-lain. Penyebarluasan hasil-hasil itu dilakukan melalui media massa cetak dan elektronik. Selain buku, harus dimanfaatkan juga majalah, buletin, tabloid, jurnal, surat kabar, radio, televisi, internet, dan sebagainya untuk menyebarluaskan dan mempromosikan bahasa Melayu.

Di antara takrif perencanaan bahasa adalah “kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan masalah kebahasaan dalam masyarakat” (Jernudd dan Gupta, 1971:211). Itu berarti, berjaya atau gagalnya kegiatan ini sangat ditentukan oleh

Page 250: H. Abdul Malik

230 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kemauan dan kebijakan politik Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tempat bahasa Melayu digunakan. Tanpa dukungan yang berarti dari Pemerintah Daerah, DPRD, dan pemangku kepentingan lainnya, pekerjaan mustahak ini amat berat untuk dilaksanakan.

Lazimnya perencanaan bahasa dilaksanakan oleh lembaga yang memang ditugasi untuk menyelesaikan masalah kebahasaan masyarakat. Dalam hal pengkajian bahasa dan tamadun Melayu, lembaga itu boleh berada di lingkungan Pemerintah Daerah atau yayasan yang dibina oleh Pemerintah Daerah.

Pengkajian yang baik tentang bahasa dan tamadun Melayu mengandaikan adanya tenaga pakar dalam bidang-bidang yang terbabit. Ketersediaan tenaga pakar secara kuantitatif dan kualitatif memadai menjadi syarat mutlak bagi terlaksananya tugas ini. Oleh itu, daerah harus mempersiapkan tenaga dengan kepakaran yang diperlukan secara bertahap.

Perkara yang mendasar adalah kesemua pihak mestilah menghayati tugas ini sebagai bakti mulia yang membawa kebahagiaan, bukan beban. “Hendak mengenal orang yang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa,” itulah hakikat moral yang menjadi kunci pengabdian dan perjuangan untuk mencapai matlamatnya. Dan, itu tak terbantahkan di mana pun kita bermastautin di muka bumi ini jika kita hendak diperhitungkan sebagai bangsa yang bermarwah. Lagi pula, prestasi dan prestise membela tamadun takkan pernah terkalahkan oleh apa dan siapa pun, bahkan waktu pun akan bertabik hormat. Karena apa? Karena ini bersabit dengan pengekalan jati diri, karena ini berkaitan dengan pembangunan karakter bangsa, dan karena ini pekerjaan yang mulia. []

Page 251: H. Abdul Malik

231ABDUL MALIK

MAYA kehidupan macam hilang di Kepulauan Riau. Bukan pula sekejap, melainkan sangat lama yakni tak kurang dari 50 tahun. Kekosongan setengah

abad itu dihitung sejak karya anak jati Kepulauan Riau, Aisyah Sulaiman, yaitu Hikayat Syarif al-Akhtar terakhir diterbitkan pada 1929. Aisyah Sulaiman tak berkarya lagi sebab beliau telah kembali ke rahmatullah pada 1924 atau 1925. Kepulauan Riau betul-betul kehilangan maya, tiada berseri lagi.

Hidup tak bermaya sungguh menyakitkan, membosankan, bahkan memalukan. Pasal apa? Pasal tak ada lagi yang dapat dibanggakan, tetapi lebih-lebih tak ada lagi penyeri kehidupan. Hidup tak bermaya bermakna tubuh masih hidup karena dapat bergerak dan bernapas, tetapi roh merayau entah ke mana.

Mengapakah maya kehidupan itu boleh hilang sampai 50 tahun? Beginilah kisahnya. Telah lebih dari 100 tahun terhitung dari masa Raja Ali Haji, bahkan beratus-ratus tahun jika dihitung dari penulis-penulis dunia Melayu sebelum itu, kreativitas sastra dan karya-karya intelektual telah menjadi maya atau roh kehidupan masyarakat Melayu. Karya sastra telah menjadi setawar-sedingin untuk memecahkan pelbagai masalah kehidupan dalam masyarakat. Karya sastra telah berjaya menjadi penerang di kala gelap, menjadi penyeri di kala terang, menjadi penghibur di kala nestapa, menjadi pengingat di kala bahagia, menjadi obat di kala sakit, dan menjadi penyemangat di kala sehat. Singkatnya, karya sastra telah memberikan maya bagi kehidupan masyarakat. Akibatnya, masyarakat Melayu, khususnya di Kepulauan Riau, tak dapat dipisahkan dengan kreativitas dan karya sastra.

Kesemuanya itu bukan tak ada dasarnya. Karya sastra dihasilkan dengan budi-bahasa yang baik dan perilaku yang beradab. Persebatian antara budi-bahasa dan pekerti yang adab itulah yang menjadi teras atau inti tamadun Melayu. Tanpa budi-bahasa dan adab-pekerti akan hilanglah (kebesaran, keunggulan) Melayu di

Hasan Junus

Page 252: H. Abdul Malik

232 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

bumi. Oleh itu, mengekalkan, membina, dan mengembangkan dwitunggal budi-bahasa dan adab-pekerti menjadi tanggung jawab warisan setiap generasi Melayu sampai bila-bila masa pun. Tugas mulia untuk mempertahankan teras tamadun itu, antara lain, berada di bahu sastra Melayu. Sastra Melayu mesti menjadi sarana pemertinggi budi-bahasa dan pemerelok adab-pekerti sehingga pada gilirannya berdampak pada terpeliharanya generasi yang berkecerdasan tinggi sekaligus berpekerti santun.

Tak heranlah mengapa kehilangan kreativitas sastra sampai setengah abad sangat menggelisahkan masyarakat. Kesemuanya itu tentulah ada puncanya. Namun, tak perlulah kita mengungkitkan kesemua penyebab itu karena bukan di sini tempat yang patutnya, sekurang-kurang bukan di kolom kali ini. Kalau ada hidayah dan inayah Allah, akan saya ulas juga perkara mustahak itu pada kali yang lain.

Dengan rahmat Allah, muncul juga pemecah tembok tebal penyekat kreativitas itu. Mereka adalah penyair tiga serangkai: Hasan Junus, Rida K. Liamsi (yang menggunakan nama pena Iskandar Leo), dan Eddy Mawuntu. Penyair tiga serangkai itu menerbitkan antologi puisi bersama yang diberi judul Jelaga pada 1979 di Tanjungpinang. Masa beku selama ini mencairlah sudah sejak tarikh itu. Itulah sebabnya, 1979 merupakan tahun yang bersejarah bagi kreativitas sastra di Kepulauan Riau. Pasal, sejak saat itu kreativitas sastra dan budaya terus mengalir tanpa henti untuk memperkaya khazanah sastra Melayu, baik untuk Kepulauan Riau, Indonesia, maupun dunia. Apa lagi, di antara mereka yakni Hasan Junus dan Rida K. Liamsi sangat terkenal, sama ada di kalangan pegiat sastra dan budaya nasional ataupun internasional.

Kolom kali ini hanya akan mengulas secara terbatas kreativitas Hasan Junus. Pasal, pada 12 Januari 2011 beberapa hari yang lalu beliau berulang tahun ke-70. Kolom kali ini memang sengaja saya persembahkan sebagai hadiah ulang tahun beliau. Sebagai hamba yang daif, saya mula-mula agak segan untuk membuat catatan ini. Karena apa? Karena Hasan Junus bukanlah sebarang orang. Beliau adalah orang yang telah memiliki nama besar dalam bidang sastra dan kebudayaan di tanah air. Akan tetapi, karena hasrat yang kuat dan diperkuatkan lagi oleh kekaguman saya terhadap kreativitas, dedikasi, dan prestasi beliau; tak kuasa saya menahan diri untuk menuliskannya walaupun mungkin tak sebanding dengan apa yang telah beliau sumbangkan bagi dunia kesusastraan dan kebudayaan dunia selama ini.

Hasan Junus sesungguhnya bernama lengkap Raja Haji Hasan bin Raja Haji Muhammad Junus. Beliau dilahirkan di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dari namanya, tahulah kita bahwa beliau sesungguhnya keturunan bangsawan Melayu. Silsilah keturunannya dari Raja Haji Fisabilillah,

Page 253: H. Abdul Malik

233ABDUL MALIK

Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang berputrakan Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua, yang berputrakan Raja Ali Haji dan Raja Haji Umar (Raja Haji Endut), lalu Raja Haji Umar berputrakan Raja Haji Ahmad, yang berputrakan Raja Haji Muhammad Junus, yang antara lain berputrakan Raja Haji Hasan Junus, yang kita kenal sebagai Hasan Junus. Karena ketinggian budilah, beliau tak pernah menggunakan gelar keturunan (raja) dan gelar keagamaan (haji) di depan namanya. Beliau lebih bahagia disapa Hasan Junus sahaja. Dari silsilah keturunannya pula kita ketahui bahwa beliau juga adalah keturunan pengarang terkenal Melayu, Raja Ali Haji.

Akan tetapi, Hasan Junus bukanlah besar karena keturunan Dirajanya itu. Beliau telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perkembangan kesusastraan dan kebudayaan. Karya-karya beliau meliputi pelbagai genre: puisi, cerpen, naskah sandiwara, novelet, esai, kritik, dan karya ilmiah. Kesemuanya itu lahir dari kerja keras, kecintaan, ketunakan, kecendekiaan, kecerdasan, kepedulian, dan kesetiaan dalam bidang yang digelutinya. Kemahirannya dalam beberapa bahasa asing, baik Timur maupun Barat, dan pengetahuannya yang luas tentang sastra dan kebudayaan dunia memungkinkan karya-karya beliau menjadi bernas bernilai tinggi. Sebagai penulis, beliau dikenal sebagai pembaca yang tekun lagi kritis. Beliau ikhlas memuji karya yang baik, tetapi dengan tangkas mengkritisi karya yang jelek. Dorongannya kepada penulis muda untuk maju menyebabkan beliau selalu disenangi semua orang.

Karya beliau di dalam Jelaga menjadi satu bagian Anthology of ASEAN Literature-Oral Literature of Indonesia (1983). Karya cerpennya Pengantin Boneka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jeanette Lingard dan diterbitkan dalam Diverse Lives-Contemporary Stories from Indonesia oleh Oxford University Press (1995), sebuah penerbit berkelas dunia. Setakat ini hanya Hasan Junus seorang saja di Kepulauan Riau dan Riau yang menyandarkan hidupnya pada profesi mengarang. Pilihan hidup yang satu ini di Indonesia sulit diikuti oleh siapa pun.

Kehadiran seorang Hasan Junus dalam perjuangan dan perkembangan kesusastraan modern Melayu dan Indonesia sungguh telah memberikan warna yang khas dan terwaris. Walau sangat tunak dengan kebudayaan dunia, beliau tak pernah kehilangan jati diri kemelayuannya. Siapa pun yang membaca karya-karyanya, pasti bangga memiliki seorang Melayu yang berkelas dunia. Hasan Junus memang memberikan kebanggaan sekaligus impian itu kepada kita.

Bersempena ulang tahunnya, kita berdoa semoga beliau diberikan kekuatan untuk terus berkarya. Kepulauan Riau, Riau, Indonesia, dan dunia Melayu masih memerlukan karya-karya terbaik dari putra terbaiknya: Hasan Junus. Selamat ulang tahun, Pak Hasan! []

Page 254: H. Abdul Malik

234 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SABTU, 8 Januari 2011 menjadi hari yang memilukan bagi kesusastraan Malaysia. Pada hari itu novel Interlok karya Sasterawan Negara Malaysia, Datuk Abdullah

Hussain, dibakar di muka umum oleh sekitar seratus orang berketurunan India. Bahkan, foto penulisnya juga turut dibakar dalam peristiwa tragis yang dilakukan di depan Dewan (Aula) Sentosa, Majlis Perbandaran Klang. Ironisnya, demonstrasi pembakaran itu dihadiri oleh dua orang tokoh politik yaitu anggota Parlemen Kota Raja, Dr. Mariah Mahmud, dan anggota Dewan Undangan Negeri Kota Alam Shah, M. Manoharan.

Interlok merupakan salah satu novel terbaik Malaysia. Novel itu bukan pula baru diterbitkan, melainkan telah terbit pada 1970-an dan dijadikan buku pelajaran sekolah sejak saat itu. Sejak kali pertama terbit tak pernah ada protes dari pihak mana pun terhadap karya salah seorang Sasterawan Negara yang menjadi kebanggaan rakyat Malaysia itu. Alih-alih, tak ada angin tak ada ribut, karya yang murni sastra itu diperlakukan secara biadab oleh orang-orang yang buta terhadap hakikat karya sastra serta perannnya bagi kemanusiaan dan kehidupan. Itulah sebabnya, pembakaran Interlok betul-betul mengejutkan rakyat Malaysia.

Datuk Abdullah Hussain, pengarang Interlok, adalah salah seorang sastrawan dan pengarang terbaik yang dimiliki oleh Malaysia. Karya-karyanya umumnya memberikan inspirasi bagi perjuangan pembangunan negera jiran itu. Pemikirannya yang maju dan inovatif menjadikan karya-karyanya bernilai tinggi dan sangat dihargai. Bahkan, beliau oleh banyak kalangan dianggap sebagai penulis pejuang. Karena kerja kerasnya, beliau memperoleh anugerah Sasterawan Negara dari Duli Yang Mahamulia Sri Paduka Baginda Yang Dipertuan Agung, pemimpin tertinggi Kerajaan Malaysia. Hanya penulis yang memiliki dedikasi tertinggi dan menghasilkan karya cemerlanglah yang memperoleh anugerah yang bergensi itu, bukan sebarang pengarang.

Heboh Sastra Malaysia

Page 255: H. Abdul Malik

235ABDUL MALIK

Setakat ini penulis Interlok itu berusia 91 tahun. Beliau tak lagi kuat berjalan dan sehari-hari menggunakan kursi beroda. Beberapa hari setelah pembakaran karyanya dilakukan orang, saya berkesempatan berkunjung ke rumah beliau di Petaling Jaya, Malaysia (Rabu, 12 Januari 2011, siang) bersama pengurus Gabungan Penulis Nasional Malaysia (Gapena) Prof. Datuk Dr. H. Abdul Latiff Abu Bakar dan H. Hamzah Hamdani untuk memberikan dorongan dan menyatakan simpati. Walau sudah sangat tua, kecerdasan beliau masih terkesan ketika kami berbincang-bincang. Dari pertemuan itu tahulah saya bahwa Datuk Abdullah Hussain merupakan pribadi yang sangat lembut dan rendah hati. Saya jadi teringat sastrawan kita almarhum Suman Hs. Di antara ucapannya yang berkesan di hati saya adalah ini.

“Mengapa orang membaca karya itu sepotong-sepotong? Mengapa mereka tak membacanya secara menyeluruh. Mengapa mereka memahaminya secara dangkal? Interlok memang berbicara tentang asal-usul dan itu memang kenyataan historisnya. Mengapa pula kita hendak menyangkalnya? Akan tetapi, lebih daripada kesemuanya itu Interlok menggambarkan bagaimana harmoni dan perpaduan masyarakat berbilang kaum menjadi kunci untuk mencapai matlamat perjuangan dan meraih kejayaan. Saya tak terlalu terpengaruh dengan tindakan mereka, saya hanya prihatin.”

Interlok diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, sebuah badan penerbit di Malaysia yang dikenal sangat teliti dan banyak menerbitkan karya yang bermutu. Novel itu kembali dipakai sebagai buku komponen sastra dalam mata pelajaran Bahasa Malaysia untuk siswa kelas dua Sekolah Menengah Atas (di Malaysia disebut tingkatan lima sekolah menengah). Karya ini dinilai mengandung nilai-nilai kebangsaan dalam masyarakat multietnis sehingga sangat baik untuk menanamkan semangat nasionalisme di kalangan pelajar dan generasi muda. Itulah sebabnya, Interlok terpilih sebagai salah satu buku teks SMA.

Interlok bercerita tentang tiga tokoh utamanya: Seman (Melayu), Chin Huat (Tionghoa), dan Maniam (India). Latar ceritanya berupa peristiwa 150 tahun yang lalu ketika para pekerja dari India dan Tiongkok didatangkan ke Malaysia pada masa penjajahan dan berbaur dengan penduduk tempatan (Melayu). Perpaduan mereka itulah yang melahirkan bangsa Malaysia sekarang.

Anehnya, sebagian masyarakat Malaysia berketurunan India berkeberatan terhadap isi novel pada halaman 111—120. Menurut mereka, perujukan tokoh Maniam dari keturunan “paria” yaitu kasta yang rendah di India Selatan menimbulkan isu perkauman (rasis). Itulah sebabnya, mereka membakar karya tersebut. Padahal, kenyataan sejarahnya memang demikian.

Tak heranlah, pelbagai reaksi dari pelbagai kalangan muncul akibat pembakaran novel sastra itu. Mantan Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka

Page 256: H. Abdul Malik

236 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

yang juga budayawan Malaysia, Datuk A. Aziz Deraman mengatakan bahwa Interlok mengangkat tema perpaduan dan keharmonian masyarakat. Kesemua fakta sejarah yang diungkapkan di dalam novel itu benar belaka. Buku itu tak boleh dilihat dari perspektif perkauman. Lagi pula, ketelitian Abdullah Hussain dalam menggunakan fakta sejarah telah terbukti dalam karyanya yang lain, novel Imam, misalnya. Tindakan membakar novel itu tak sesuai dengan harapan kecintaan masyarakat terhadap ilmu dan pengetahuan.

K. Baradan, mantan wartawan surat kabar The Star, menegaskan bahwa novel itu patut dibaca dan tak boleh diharamkan (dilarang). Beliau mengatakan begitu karena tuntutan demonstran agar Interlok ditarik dari peredaran dan dinyatakan sebagai buku terlarang. Menurut Baradan lagi, dengan membaca novel itu masyarakat Malaysia kini mengetahui bagaimana wujud asal masyarakat pelbagai budaya di Malaysia dan awal kedatangan masyarakat India dan Tionghoa ke negara itu. Mestinya buku itu wajib dibaca oleh kesemua rakyat Malaysia, bukan hanya siswa sekolah saja. Sebagai penulis, Abdullah Hussain telah bercerita dengan jujur dan adalah tak adil jika beliau dipersalahkan.

Gapena menganggap pembakaran Interlok sebagai perbuatan biadab, kurang ajar, dan tak bertamadun. Ketua Media Gapena, Borhan Md. Zan, menyebutkan bahwa perbuatan itu tak waras dan tak menghormati Sasterawan Negara. Tindakan itu menunjukkan kedangkalan pikiran pelakunya dan hanya mengejar keuntungan politik sesaat.

Memang, para analis politik Malaysia melihat pembakaran Interlok adalah upaya kalangan politisi tertentu untuk memperoleh simpati pemilih dari kalangan masyarakat India-Malaysia. Padahal, itu adalah tindakan bodoh dan kekanak-kanakan, kata Timbalan (Wakil) Menteri Pelajaran Malaysia, Dr. Mohd. Fuad Zarkashi.

Pendek kata, pembakaran Interlok mendapat reaksi sangat keras dari para tokoh dan sebagian besar rakyat Malaysia. Bahkan, Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak pun ikut berbicara untuk menenangkan situasi. Umumnya mereka mengutuk perbuatan biadab itu. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa tindakan itu sengaja dilakukan untuk menghina Yang Dipertuan Agung karena Bagindalah yang menganugerahi Sasterawan Negara kepada Abdullah Hussain. Hikmahnya, rakyat Malaysia jadi sadar bahwa amat penting untuk membaca, memahami, dan mengapresiasi karya sastra secara benar. Dan, Interlok laku keras sehingga toko-toko buku dan Dewan Bahasa dan Pustaka kehabisan stok. Pesanan terus berdatangan hingga hari ini. []

Page 257: H. Abdul Malik

237ABDUL MALIK

RAJA Ali Haji (RAH) menguraikan tujuh kata utama dalam Al-Bab al-Awwal (Bab Pertama) kamus ekabahasanya Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

Selepas membahas ketujuh kata itu secara panjang lebar, beliau memerikan simpulannya.

Pertama, Allah yakni nama zat Tuhan Yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah Tuhan yang wajib adanya, mustahil tiadanya. Keberadaannya tak disebabkan oleh sesuatu. Dialah yang menjadikan alam daripada tiada kepada ada. Allah memiliki sifat-sifat Yang Mahasempurna, daripada-Nyalah segala makhluk dapat berwujud dari mulanya tiada.

Kedua, al-Nabi yaitu Ahmad yang masyhur namanya Muhammad. Dialah Rasul Allah yang wajib diikuti dan haram atas segala makhluk mendustakan dan menyalahinya. Dengan mengikutinya, manusia akan memperoleh kesempurnaan, tetapi durhaka dan merugilah orang-orang yang menolaknya.

Ketiga, al-Ashab yaitu kesemua sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka dimulai dari Saidina Abu Bakar al-Siddiq, Saidina Umar ibn Al-Khatab, Saidina Umar ibn Aff an, Saidina Ali ibn Abi Thalib, dan seterusnya. Segala sahabat itu kesemuanya menyertai pekerjaan dan berjuang bersama Nabi saw. dalam mendirikan agama Islam.

Keempat, al-Akhbar yaitu segala ulama yang besar-besar yang alim lagi muhtadi, yang menyebarkan agama Islam sampai ke akhir zaman. Orang-orang yang mengikuti dan membesarkan segala ulama sama halnya dengan mengikuti dan membesarkan segala Nabi dan Rasul, yang berarti juga patuh terhadap Allah Swt.

Kelima, al-Insan yaitu manusia yang tiada lain makhluk yang dijadikan Allah swt. dari tiada kepada ada. Jasadnya dijadikan dari empat anasir: api, angin, air, dan tanah. Manusia terdiri atas jasad dan ruh atau nyawa yang menyebabkan tubuhnya dapat hidup. Manusia menjalani takdirnya masing-masing.

Bahasa, Ilmu, dan Adab

Page 258: H. Abdul Malik

238 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Keenam, al-Awwali yaitu dunia yang juga dijadikan oleh Allah swt. daripada tiada. Ada yang nampak dipandang dengan mata dan pancaindera dan ada yang halus. Segala perbuatan dan kelakuan manusia sebelum dia mati yang tak berguna bagi akhirat, juga disebut dunia walaupun bentuknya seperti perbuatan akhirat. Sebaliknya, perbuatan dan kelakuan sebelum mati yang berguna bagi akhirat walaupun berbentuk dunia, tetaplah dinamai akhirat. Di antara syurah dunia yang tak berfaedah bagi akhirat seperti bermegah-megah, menumpuk harta kekayaan, takabur, dan pelbagai perbuatan tercela lainnya. Sebaliknya, berbuat adil dan menyenangkan hati rakyat, misalnya, akan jelas kebaikan dan pahalanya, sangat berfaedah bagi akhirat dan bermanfaat bagi dunia.

Ketujuh, al-Akhirat yaitu kesudahan pekerjaan dan perjalanan manusia. Bermulanya dari keluarnya ruh dari badan, masuk ke alam barzah yang zahirnya kubur, yang dapat berupa kebun dari beberapa kebun surga atau satu galian dari beberapa galian api neraka. Yang hidup di dalam surga adalah mereka yang sa’adah, mati dalam hasanul khatimah, yang diampuni Allah segala dosanya. Yang tinggal di dalam neraka adalah mereka yang syaqawah yakni yang mati tak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Itulah ikhtisar tujuh kata utama pada bab awal Kitab Pengetahuan Bahasa. Mengapakah ketujuh kata itu yang pertama sekali diperikan RAH di dalam kamusnya? Jawabnya tiada lain bahwa pengkajian bahasa adalah ilmu untuk mencapai makrifat yakni mengenali Allah dan segala kewujudannya, memperteguh keimanan dan ketakwaan, serta mempertinggi adab-pekerti yang mulia. Itulah sandaran utama setiap ilmuwan Islam ketika mereka membahas ilmu bahasa. RAH menyimpulkannya sebagai berikut.

“… segala manusia itu apabila mengenal makrifat yang tujuh dan pengetahuan yang tujuh … itu serta beriman akan dia, niscaya sempurnalah akalnya dan berbedalah ia dengan binatang pada pihak pengetahuannya.”

Padahal, kata RAH, tiada beda antara manusia dan binatang, kecuali pada akal-budi dan ilmu yang makrifat itulah. Itulah sebabnya, bahasa harus dipelajari dan diajarkan secara benar dan baik supaya diperoleh ilmu yang benar dan adab yang santun.

Di dalam muqaddimah karya bidang bahasanya yang ditulis lebih awal yakni Bustan al-Katibin (1850) RAH menegaskan perhubungan antara kemahiran berbahasa, ilmu yang tinggi, dan adab-pekerti yang mulia.

“Bermula kehendak ilmu perkataan pada jalan berkata-kata karena adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan. Bermula apabila berkehendak kepada menuturkan ilmu

Page 259: H. Abdul Malik

239ABDUL MALIK

atau berkata-kata yang beradab dan sopan, tak dapat tiada mengetahui ilmu yang dua itu yaitu ilmu wa al-kalam (ilmu dan pertuturan). Adapun kelebihan ilmu wa al-kalam amat besar …. Ini sangat zahir pada orang yang ahli nazar (peneliti).”

Jelaslah bahwa RAH memandang begitu pentingnya kedudukan bahasa bagi manusia. Untuk apa? Agar manusia mampu mencapai taraf orang yang beradab sopan, berakal-budi, dan berilmu yang tinggi lagi bermanfaat.

Dalam muqaddimah karya yang disebut terakhir itu, lebih awal beliau telah menjelaskan hal ini.

“… kelebihan akal dan adab itu tiada sebab bangsa dan sebab asal. Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya yakni kehinaan juga diperolehnya…. Buah akal itu menaikkan ikhtiar…barang siapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya…. Apabila tiada ilmu dan akal, alamat tiadalah ia mencium bau kemuliaan dan sangatlah jinak kehinaan kepadanya…. Maka tatkala itu hukumnya badan itu seperti binatang” karena akal telah keluar dari tubuh sehingga laknat Allah akan datang karena ketiadaan ilmu.

Atas dasar itu RAH menekankan pentingnya tertib bertutur dan berbahasa. Pasal apa? Pasal, bahasa menjadi dasar pembinaan ilmu dan adab-pekerti. Itulah sebabnya, setiap orang harus memahiri bahasa secara benar dan baik, terutama harus dikaitkan pembelajaran bahasanya dengan matlamat untuk mencapai makrifat mengenali Allah, mengagungkan-Nya, dan mensyukuri nikmat dan rahmat ilmu dan akal yang dianugerahkan-Nya sehingga manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain.

Memang tak terbantahkan bahwa manusia menjadi berbeda dari hewan, misalnya, karena manusia memiliki bahasa. Dengan bahasanya, manusia memiliki kebudayaan sehingga terus dapat memperbaiki dan memperbaharui kehidupan hingga sampai ke puncak tamadunnya yang tertinggi. Dalam hal ini, RAH berpandangan sangat maju dan modern, yang bahkan melampaui ilmuwan yang menyebut dirinya modern sekalipun. Itulah sebabnya, banyak ilmuwan modern yang salah dalam memahami ilsafat dan ilmu bahasa yang dikembangkan oleh RAH.

Mengkaji bahasa untuk memuji kebesaran Allah dengan segala konsekuensi ikutannya: keimanan, ketakwaan, adab, sopan-santun, dan ketinggian budi pekerti. Bukan tak mungkin karena niat yang suci dan jalan yang ditempuhnya benar, bahasa yang dibina oleh RAH menjadi bahasa nasional beberapa negara karena rahmat yang dicurahkan oleh Allah Swt. []

Page 260: H. Abdul Malik

240 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

"ADA KALANYA kita tak memilih buku, tetapi bukulah yang memilih kita.” Itu bukanlah kutipan dari ayat-ayat kitab suci, melainkan kalimat bijak dari ilm

The Hurricane yang diputar oleh stasiun televisi HBO pada Rabu tengah malam, 9 Februari 2011. Filmnya bercerita tentang petinju hebat yang harus menjalani hukuman penjara 30 tahun karena kasus pembunuhan yang tak dilakukannya. Motifnya apa lagi kalau bukan prasangka rasial (SARA). Karena si petinju berkulit hitam, minoritas, dan cenderung tak berdaya, dia dengan mudah dijadikan kambing hitam dan dipermainkan oleh para ma ia hukum dalam sistem hukum yang korup, jauh dari rasa keadilan dan nilai kebenaran. Setelah melalui perjuangan yang panjang dan berliku-liku, si tokoh utama akhirnya bebas juga karena dia memang bukan pembunuh, malah karir gemilangnya harus tamat hanya karena harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tak dilakukannya. Lebih dari sekadar bukti-bukti dan hujah-hujah hukum, dia bebas karena “Prasangkalah yang memenjarakan saya, tetapi cinta justeru membebaskan saya.” Sebuah ilm yang sangat memikat apa lagi didukung oleh para pemeran yang memang hebat.

Karena ingin mendalami dan—kalau dapat—memecahkan masalah politik, hukum, ekonomi, etika, budaya, bahkan agama, misalnya; seseorang mencari buku tentang hal-hal itu sampai berkeliling dunia karena tak ada buku yang berkenaan dijual dan beredar di tanah air. Daripada susah mencari dan membeli bukunya, karena kekuasaan yang nyaris tak terbatas yang disandangnya, ada kelompok-kelompok orang berperingkat-peringkat juga dengan misi yang sama, tetapi memilih metode yang lebih praktis yaitu studi banding, umpamanya, juga ke mancanegara. Apa pun yang diupayakan oleh Si Polan atau Para Polan hipotetis itu, kecuali kelompok studi banding, dia tetaplah pembaca biasa. Pembaca mencari buku adalah hal biasa walaupun tujuannnya untuk mendalami dan memahami masalah luar biasa rumitnya sehingga tak kunjung selesai secara biasa. Kalaupun ada yang diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan dengan cara yang luar biasa,

Dipilih Buku

Page 261: H. Abdul Malik

241ABDUL MALIK

deponering misalnya, setelah pelbagai akal-akalan biasa tak lagi mempan untuk menyumbat mulut orang seperti biasa, seperti yang dulu-dulu juga. Ah, aku masih seperti yang dulu, tak ada yang berubah tabiatnya. Kesemuanya biasa sehingga menjadi kebiasaan yang akut.

Pembaca yang dipilih oleh buku bukanlah pembaca biasa. Pada peringkat tertinggi dia bercontoh pada diri para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menerima dan atau menyebarkan ayat-ayat-Nya yang terhimpun dalam kitab suci, pun bukan buku biasa. Kitablah yang memilih mereka melalui rahmat Ilahi, yang menjadikan mereka sebagai manusia pilihan. Ada konsekuensi menjadi orang terpilih. Mereka harus berjuang keras untuk membuktikan kebenaran kandungannya guna memuliakan dan menyelamatkan manusia. Tugas mulia yang menjadikan nyawa sebagai tagannya, taruhannya.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang jiwa dan raganya dijamin masuk surga. Mungkin tak dapat, bahkan tak patut, dibandingkan dengan manusia biasa. Namun, bukan tak mungkin bacaan (buku) memilih pembacanya dari kalangan manusia biasa. Bukankah para nabi itu adalah tauladan yang paling baik bagi manusia (biasa)? Dan, andaikan sesebuah buku memilih kita menjadi pembacanya, marilah berharap buku itu bukanlah buku biasa, melainkan buku yang tak menyimpang dari ayat-ayat Allah yang terhimpun dalam kitab suci-Nya. Pasal, di luar itu buku apa pun tak pernah mencerahkan. Di negeri ini setakat ini banyak buku kehilangan daya aksiologisnya, daya gunanya bagi kehidupan, sehingga kemanusiaan menjadi makin kelabu asap.

Kalau itu buku ilmu politik dan memilih pembacanya, berharaplah buku itu, dengan inayah Sang Khalik, mampu mengangkat pembacanya menjadi sang pencerah bagi dunia politik kita yang kian berserabut setakat ini. Sudah bosan rasanya kita hidup di lingkungan dongeng-dongeng politik yang tak bermutu yang diperdengarkan, diperbentangkan, dan dipertontonkan saban hari di pelbagai media. Kalaupun mutu itu berkelindan dengan manfaat, maka apa yang mereka pertengkarkan itu hanya bermutu bagi mereka (elit penguasa) saja, yang menjadikan rakyat sebagai penonton pasif sepanjang masa. Perseteruan para elit itu tak lebih tak kurang hanya soal mengatur posisi mereka masing-masing di singgasana kekuasaan: agar mendapat kedudukan yang lebih baik, lebih basah, dan atau tak terjerembab. Anehnya, mereka mengatasnamakan bangsa dan negara, menekankan rakyat agar meningkatkan semangat kebangsaan, tetapi nasionalisme mereka sendiri diletakkan entah di mana. Si pembaca terpilih diharapkan mampu menghapus aib sehingga tak perlu ada lagi wakil rakyat diikat oleh warganya sendiri karena ingkar janji. Alangkah selesanya hidup jika tak ada lagi praktik jual-beli suara dalam pemilihan umum karena pemimpin bermutulah yang sesungguhnya diperlukan oleh bangsa ini, bukan pemimpin beruang.

Page 262: H. Abdul Malik

242 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Seandainya buku hukum? Ia diharapkan sanggup mengubah pembaca terpilihnya menjadi pemulih sistem hukum kita yang kian tenat. Pada gilirannya, si pembaca berhasil memutus mata rantai ma ia hukum yang semakin kuat dari hari ke hari dan menjadi lapangan kerja baru yang penghasilannya sangat menggiurkan sehingga tak perlu dikeluhkan, dicurhatkan, dan diparodikan. Tak perlu lagi adanya sandera-menyandera kasus untuk mempertahankan kedudukan dan menegakkan benang yang memang tak mungkin tegak sebab telah basah kuyup. Si pembaca terpilih diharapkan sanggup mengembalikan nilai kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya karena hanya dengan itu negara dan bangsa ini dapat diselamatkan dan mampu menegakkan kepala kembali dalam pergaulan masyarakat dunia. Dengan predikat negara terkorup di dunia setakat ini, masih sanggupkah kita berjalan dengan gagah perkasa di lebuh raya kampung sejagat?

Tentu pula kita berharap ada buku ekonomi yang memilih pembacanya dari kalangan anak negeri. Kalau itu memang terjadi, marilah kita berdoa agar buku itu mampu membuat pembaca terpilihnya menjadi orang yang arif, mau, dan mampu mendistribusikan kekayaan negara sampai ke rakyat jelata supaya terjamin dan jelas kesejahteraannya. Dalam hitung-hitungan ilmu ekonomi di buku biasa yang kita baca sekarang memang terlihat ekonomi tumbuh secara meyakinkan. Namun, mengapakah ia tak menetes, jangankan melimpah, sampai ke akar rumput? Kalau begitu, ada yang salah dalam buku ekonomi yang kita hafal selama ini, yang ironisnya menyebabkan rambut kita rebas (rontok) satu per satu. Untunglah botak menjadi gaya rambut yang lagi trendi saat ini sehingga penampilan kita tak terlihat menggelikan. Mata bening berotot kencang di sekelilingnya serta merta berubah menjadi kusam dan bengkak. Memangnya, apa yang kita perjuangkan selama ini?

Bapa yang langit memang telah lama tak berkata-kata lagi. Dia mengubah citra dirinya menjadi anak kecil peretir (cengeng) yang menangis saban hari. Ibu yang bumi jualah yang harus menampung tangisan Sang Bapa yang merajuk hati. Malangnya, Sang Ibu pun rinsa sehingga air mata Sang Bapa dibiarkannya melimpah ke mana-mana, sekehendak hatinya. Sang Ibu pun ikut-ikutan batuk, menggigil, bahkan melepuhkan diri karena derita lahir-batin yang tak terperikan lagi. Dari keterpisahjauhan kadang-kadang mereka serentak saling bertanya, “Apakah yang dicari oleh anak-anak kita di kefanaan dunia ini?” []

Page 263: H. Abdul Malik

243ABDUL MALIK

"TANJUNGPINANG, sebelum Daik-Lingga, suatu masa dahulu pernah menjadi pusat pemerintahan negara yang besar. Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang

nama negara itu. Kawasannya meliputi seluruh Provinsi Kepulauan Riau, beberapa daerah lain di Sumatera, dan sebagian besar Malaysia, dan Singapura sekarang. Selain itu, Pulau Penyengat Inderasakti, sekarang satu kelurahan di dalam wilayah Kota Tanjungpinang, pada masa Kerajaan Riau-Lingga pernah menjadi tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda (Raja Muda) Kerajaan Riau-Lingga dan menjadi pusat pengekalan, pembinaan, dan pengembangan tamadun Melayu-Islam yang amat masyhur.

Adalah Laksemana Tun Abdul Jamil atas titah Sultan Abdul Jalil Syah III membuka Sungai Carang, Hulu Riau di wilayah administratif Kota Tanjungpinang sekarang, pada 1673. Tak diragukan lagi bahwa yang terpikirkan oleh Baginda Sultan dan para pembesar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu tentulah bahwa kawasan itu akan dikembalikan menjadi pusat pemerintahan kerajaan Melayu yang ternama untuk menjulang kembali kejayaan tamadun Melayu setelah robohnya Kerajaan Melaka. Bukankah semasa Kerajaan Bintan, pulau bertuah itu pun pernah menjadi pusat pemerintahan negara? Kini pun, setelah dibukanya Sungai Carang, tak diragukan lagi bahwa kawasan Tanjungpinang itu dapat menggantikan posisi Johor yang kala itu masih menjadi pusat pemerintahan kerajaan.

Begitulah, kemudian, Hulu Sungai Carang atau Hulu Riau menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Johor setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Johor ke Pulau Riau. Pulau Riau sesungguhnya adalah pulau kecil yang dipisahkan oleh Sungai Carang, Sungai Terusan, Sungai Ladi, dan Sungai Timun dengan tanah besar Pulau Bintan. Di kalangan masyarakat tempatan, kota itu juga disebut Riau Lama, Kota Raja, atau Kota Lama. Penamaan Kota Raja dilakukan sehubungan dengan kota itu dijadikan tempat kedudukan Sultan Riau-Johor atau

Karya Elok di Negeri Molek

Page 264: H. Abdul Malik

244 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Yang Dipertuan Besar, yang kala itu dijabat oleh Sultan Ibrahim, pengganti Sultan Abdul Jalil yang mangkat (1677/8).

Perihal Riau Lama itu terekam juga dalam pantun pusaka yang dikenal luas oleh masyarakat. Demikianlah pantun itu memberikan informasi tentang keberadaan bandar yang mula-mula dibangun, Riau Lama, yang terdapat di kawasan Tanjungpinang. Pantun itu pun menjadi bukti aktivitas bersastra memang menjadi kebiasaan hidup sehari-hari orang Melayu Kepulauan Riau, khasnya Tanjungpinang, sehingga sebagian besar peristiwa yang terjadi di kawasan ini terekam dalam karya sastra. Sastra telah menjadi roh kehidupan masyarakat.

Tanjungpinang parit pemutusDi situ tempat Riau Lama

Kasih sayang janganlah putusKalau dapat biarlah lama

Setelah lebih kurang sepuluh tahun di Sungai Carang, Hulu Riau, pada 1683 Sultan Ibrahim memindahkan kembali pusat kerajaan ke Johor. Dalam pada itu, empat tahun kemudian misi Belanda di bawah pimpinan William Velentyn berkunjung ke Riau Lama pada 2 Mei 1687. Setelah lebih kurang empat belas tahun dibangun, mereka mendapati pusat Riau Lama itu berkembang menjadi bandar perdagangan yang sangat maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Kerajaan Riau-Johor dalam mengelola pelabuhan, laut, dan perdagangan. Pada 1709 Sultan Johor-Riau Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan kembali pusat kerajaan ke Sungai Carang, Hulu Riau, dalam suatu perpindahan besar-besaran.

Lebih kurang seratus tahun berikutnya sejak dibangunkan Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan, tepatnya pada 1778, Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Johor mendirikan kota lagi di Pulau Biram Dewa yang terletak di seberang Sungai Riau. Kota baru itu dijadikan tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda. Kota yang baru itu dikenal juga dengan nama Kota Baru atau Kota Piring.

Berikut ini penuturan Raja Ali Haji di dalam karyanya Tuhfat al-Na is tentang peristiwa bersejarah itu.

“Maka Yang Dipertuan Muda pun berbuatlah istana di Pulau Biram Dewa serta dengan kotanya yang indah-indah, yaitu kota batu bertatah dengan pinggan dan piring sangatlah indahnya, dan satu pula balai dengan dindingnya cermin, adalah tiang kaki balai itu bersalut dengan kaki pahar tembaga dan kota itu sebelah atasnya berkisi-kisikan buncung, adapun kota itu apabila kena matahari memancarlah cahayanya.”

Page 265: H. Abdul Malik

245ABDUL MALIK

Kota yang dibangun oleh Raja Haji Fisabilillah sebagai tempat kedudukan beliau sebagai Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang itulah yang dikenal sebagai Kota Piring. Disebut demikian karena pagar tembok istananya terbuat dari pinggan dan piring yang sangat indah. Dengan mencermati perian (deskripsi) Raja Ali Haji tentang betapa megahnya istana Kota Piring itu, tahulah pula kita betapa makmurnya Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang kala itu walau beliau tak memerikan perihal Kota Lama atau Riau Lama, yang menjadi tempat kedudukan Sultan atau Yang Dipertuan Besar Kerajaan itu.

Pada 1778 perdagangan di Kerajaan Riau-Johor semakin maju pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup sejahtera dan negara menjadi makmur. Aktivitas kehidupan beragama Islam berkembang dengan subur. Rakyat dan pemerintah betul-betul mengejar kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat seperti yang diajarkan oleh syariat Rasulullah saw. Keperluan hidup di dunia dipenuhi dan pada saat yang sama bekal untuk kehidupan akhirat terus ditambah dari hari ke hari.

Setahun kemudian, 1779, lahirlah putra Raja Haji yang diberi nama Raja Ahmad ibni Raja Haji. Putra Yang Dipertuan Muda IV ini nanti memainkan peran yang sangat penting bagi perkembangan tradisi intelektual dan kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga. Berawal dari beliau, dunia kepengarangan di kawasan ini tumbuh merecup dengan subur dan sangat membanggakan kita hingga hari ini.

Selain Raja Ahmad dan putra-putrinya yang lain, Raja Haji, yang setelah wafat karena perjuangannya yang heroik menentang penjajah mendapat gelar Fisabilillah, memiliki seorang putri yang diberi nama Raja Hamidah. Perempuan yang bukan perempuan biasa itu kemudian biasa disapa Engku Puteri Raja Hamidah. Setelah sampai jodohnya, beliau disunting oleh Sultan Mahmud Marhum Besar atau Marhum Mesjid, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Emas kawinnya tak tanggung-tanggung, sebuah pulau kecil di depan Tanjungpinang, yang kelak menjadi pusat pembinaan dan pengembangan tamadun Melayu, yang seri kegemilangannya memancarkan cahaya sampai jauh, ke sekutah-kutah nusantara. Itulah keistimewaan Pulau Pengengat Inderasakti, Pulau Emas Kawin, untuk Engku Puteri Raja Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suaminya Sultan Mahmud.

Engku Puteri juga dianugerahi jabatan sebagai pemegang regalia oleh suaminya yang sultan itu. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran Kerajaan Riau-Johor yaitu alat yang menjadi simbol kebesaran adat-istiadat Melayu, termasuk peralatan kebesaran yang menentukan sah tidaknya menabalan seseorang sultan. Itulah anugerah sekaligus amanah yang dititipkan oleh suaminya kepada Raja Hamidah, istrinya tercinta. Dan, beliau dengan anggun lagi setia memegang dan menjalankan amanah itu dengan segenap jiwa-raganya, bagai menatang minyak yang penuh, demi menjunjung marwah.

Page 266: H. Abdul Malik

246 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Demikianlah pada 1803 Pulau Penyengat Inderasakti mulai dibuka untuk tempat kediaman Engku Puteri Raja Hamidah. Dua tahun kemudian, pada 1805, Raja Ja’far ibni Raja Haji Fisabilillah, saudara kandung Raja Hamidah, ditabalkan menjadi Yang Dipertuan Muda VI Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Oleh beliau, sejak itu pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda dipindahkan dari Kota Piring, Pulau Biram Dewa, ke Pulau Penyengat Inderasakti. Di pulau kecil tetapi ternama itulah sampai seterusnya penadbiran Kerajaan Melayu di bawah kuasa Yang Dipertuan Muda diselenggarakan. Di pulau itu pula para cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga “mendirikan” taman para penulis untuk memelihara warisan yang agung. Dan, dari pulau itulah sinar gemala mestika alam memancarkan cahayanya ke relung-relung hati yang tidak buta untuk membangunkan dan mengembangkan tamadun Melayu-Islam yang terala lagi ranggi.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dengan peristiwa Perjanjian London, 1824, Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dipecah dua oleh kuasa kolonial Belanda dan Inggris. Kawasan Riau-Lingga (kawasan Indonesia sekarang) berada di bawah pengawasan Belanda, sedangkan Johor, Singapura, Pahang, dan Trengganu (kawasan Malaysia sekarang) berada di bawah penjagaan Inggris. Sejak itu pula terpisahlah bangsa Melayu yang mula-mulanya berada di bawah satu payung panji Kesultanan Melayu yang besar dan jaya ke dalam dua negara yang berbeda, bahkan tiga negara setelah Singapura memisahkan diri dari Malaysia pada 9 Agustus 1965.

Hari-hari setelah Perjanjian London itu harus dijalani oleh bangsa yang secara genealogis dan sosio-kultural itu sesungguhnya bersaudara dengan sampan sejarah yang berbeda walau taman tempat bercengkeramanya tetaplah sama: Selat Melaka dan Laut Cina Selatan yang amat terkenal itu. Tatkala nafsu politik dan ekonomi terus dan terus berupaya untuk memecahkan keutuhan sesama manusia dan kemanusiaannya demi memuliakan dwitunggal sesembahan baru yang bernama “laba-kuasa”, alam jualah—dalam hal ini laut—tak pernah sampai hati memutus tali persaudaraan orang-orang yang bersaudara. Laksana hamba yang perkasa lagi setia, Selat Melaka dan Laut Cina Selatan dari dahulu sampai sekarang tetap mengokohkan persebatian puak yang bertalian darah yang hidup di sekitarnya. Kalau berani diakui, kearifan alam justeru jauh lebih memukau, lebih berdelau, daripada kecerdasan manusia, yang bahkan konon mengaku paling beradab sekalipun.

Di Kerajaan Riau-Lingga sejak separuh pertama abad ke-19 sampai awal abad ke-20 kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir deras. Di sini aktivitas intelektual, yang menjadi ciri khas tamadun Melayu sejak zaman Sriwijaya, tumbuh merecup kembali. Tak berlebihanlah apabila disebut bahwa pada abad itu Kerajaan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam, pasca Kerajaan Melaka. Dari

Page 267: H. Abdul Malik

247ABDUL MALIK

kalangan penulis keturunan Diraja Melayu, kesemuanya itu dimulai dari Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Fisabilillah.

Walaupun begitu, agaknya petuah anaknyalah, Raja Ali Haji, yang paling memacu dan memicu semangat berkarya dalam bidang kepengarangan. Di dalam mukadimah karyanya Bustan al-Katibin (1857) yaitu buku tentang tata bahasa dan ejaan bahasa Melayu kita disajikan hidangan berharga berikut ini.

“Segala pekerjaan pedang itu boleh diperbuat dengan kalam, adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh diperbuat oleh pedang… Dan, berapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores kalam jadi tersarung.”

Kalam yang berteraskan budilah yang mampu membuat beribu-ribu dan berlaksa-laksa pedang yang sudah terhunus jadi tersarung. Memang, ketika minda manusia sudah tercerahkan, dengan apa pun bentuk pengabdian hanya demi Sang Khalik, kehadiran pedang tak lagi diperlukan. Hal itu mengingatkan kita akan wahyu pertama Allah swt. kepada rasul pilihannya Muhammad saw. yang terdapat dalam QS Al-‘Alaq: 1—4, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajari (manusia) dengan kalam.”

Raja Ali Haji juga mengobarkan semangat mencipta dengan menggunakan kalam melalui syair Parsi yang dikutipnya dalam buku yang disebutkan di atas, “Berkata kalam, aku ini raja (yang) memerintah akan dunia. Barangsiapa yang mengambil akan daku dengan tangannya, tak dapat tiada aku sampaikan juga (dia) kepada kerajaan(nya).”

Tak heranlah mengapa pekerjaan mengarang sangat dimuliakan di lingkungan istana Kerajaan Riau-Lingga. Para pembesar istana berasa hidupnya belumlah lengkap walau telah menjabat suatu jabatan tinggi sebelum mereka menghasilkan karya tulis, entah karya sastra atau bukan. Begitulah profesi mengarang menjadi begitu mulia dan diidam-idamkan oleh setiap orang. Kepengarangan jadinya bagaikan tali arus yang terus bergerak, walaupun kadang-kadang begitu deras dan pada ketika yang lain agak tenang, untuk mengantarkan suatu capaian tamadun yang cemerlang, gemilang, dan terbilang.

Pengarang Bilal Abu atau biasa juga disapa Lebai Abu mengawali kedahsyatan kalam. Beliau sekurang-kurangnya menulis dua buah karya sastra. Karya-karya beliau itu ialah Syair Siti Zawiyah dan Syair Haris. Kedua syair ini selesai ditulis pada 1820.

Kemudian, bermulalah kepengarangan Raja Ahmad. Setelah dewasa, berkeluarga, dan menunaikan ibadah haji; Raja Ahmad dikenal dengan nama lengkap Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah. Setakat

Page 268: H. Abdul Malik

248 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

ini beliau diketahui sebagai orang pertama dari kalangan Diraja Melayu yang menceburkan diri dalam dunia kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga. Dalam karir beliau sebagai pengarang, Engku Haji Tua menulis tiga buah buku sastra: (1) Syair Engku Puteri (1835), (2) Syair Perang Johor, dan (3) Syair Raksi. Beliau juga mengerjakan kerangka awal buku yang sangat terkenal Tuhfat al-Na is yang kemudian disempurnakan dan diselesaikan oleh anandanya, Raja Ali Haji.

Raja Ali Haji (1808—1873), putra Raja Ahmad, meneruskan jalan yang telah dirintis oleh Bilal Abu dan ayahndanya. Beliau kemudian tampil sebagai cendekiawan paling masyhur di antara kaum intelektual Riau-Lingga kala itu. Beliau menulis dua buah buku dalam bidang bahasa (Melayu). Buah karyanya yang lain dalam bidang hukum dan pemerintahan, bidang ilsafat yang berbaur dengan puisi, bidang sastra (puisi), bidang agama, dan sejarah.

Sabtu, 29 April 2000 Presiden Republik Indonesia, Haji Abdurrahman Wahid membuka Temu Akbar I Thariqat Mu’tabarah Se-Sumatera, di Masjid Agung Annur, Pekanbaru, Riau. Dalam pidatonya beliau menegaskan pengakuan Pemerintah Republik Indonesia akan jasa Raja Ali Haji dalam mempersatukan bangsa dan menciptakan bahasa nasional. “Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang ini,” tegas Gus Dur.

Raja Ali Haji, atas segala jasanya, telah memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Bapak Bahasa Indonesia dari Pemerintah Republik Indonesia pada 6 November 2004. Dengan demikian, beliau mengikuti jejak kakeknya Raja Haji Fisabilillah yang juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Bedanya, sang kakek melakukan perjuangan isik dengan pedang melawan penjajah Belanda sampai syahid di medan perang, bahkan di sarang musuh, sedangkan sang cucu berjuang dengan kalam melalui perjuangan kebudayaan seperti keyakinan yang ditanamkannya selama ini.

Penulis sezaman Raja Ali Haji yang juga sangat dikenal ialah Haji Ibrahim. Dari penulis ini, Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-Johor (dua jilid; penerbitan pertama 1868 dan kedua 1875, di Batavia) dapat menempatkannya sebagai pelopor penulisan cerpen di Indonesia. Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu, Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja Damsyik, dan Cerita Pak Belalang dan Lebai Malang.

Selepas itu terus bermunculan para pengarang dan karya-karyanya. Sampailah kepada generasi Abu Muhammad Adnan, Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, dan Aisyah, Sang Pejuang Perempuan, Sulaiman yang masyhur itu.

Aisyah Sulaiman diperkirakan wafat pada 1925. Karyanya diterbitkan terakhir pada 1926 sekitar setahun setelah beliau berpulang ke rahmatullah. Sejak itu

Page 269: H. Abdul Malik

249ABDUL MALIK

kreativitas kepengarangan di Tanjungpinang, khususnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, bagai mati suri. Kegiatan tulis-menulis dan penciptaan karya sastra yang selama ini menjadi roh masyarakat, bahkan sangat digemari kalangan pejabat pemerintah, secara mendadak seolah-olah terhenti begitu saja.

Fenomena itu membuktikan bahwa amat mustahak sinergi antara para pegiat sastra, pemerintah, dan masyarakat agar kreativitas bersastra terus bertumbuh dan berkembang. Sayangnya, hal itulah yang tak ada lagi setelah jatuhnya Kerajaan Riau-Lingga. Nikmat kemerdekaan setelah sekian lama dibelenggu penjajah tak serta-merta membangkitkan kembali gairah bersastra di dalam masyarakat, yang ironisnya sangat mencintai kehidupan berkesenian sebelumnya. Sangat ketara bahwa pemerintah kala itu sangat tak peduli terhadap kebudayaan masyarakat.

Sirih akhirnya pulang ke gagang yang bertimbal dengan pinang pulang ke tampuknya jua. Karena roh bersastra telah merasuk lama di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Tanjungpinang dan Kepulauan Riau umumnya muncul juga generasi penembus sumbatan kreativitas di tengah ketakacuhan pihak berkuasa. Mereka adalah anak muda-muda yang tak rela warisan terala lagi ranggi yang dititipkan oleh para pendahulunya menjadi berlapuk begitu saja.

Dalam barisan penembus sumbatan dan penerus tradisi intelektual itu tersebutlah Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan B.M. Syamsuddin yang muncul pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Dengan usaha sendiri, mereka berupaya sekuat dapat untuk menghidupkan kembali kreativitas bersastra. Dan, mereka mengawali karir di Kota Tanjungpinang, yang kala itu berstatus ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Kepulauan Riau. Setelah itu, barulah Ibrahim Sattah, Hasan Junus, dan B.M. Syamsuddin berhijrah ke Pekanbaru, ibukota Propinsi Riau. Rida K. Liamsi lebih dulu berpindah ke Jawa untuk kemudian kembali juga ke Pekanbaru. Dalam pada itu, Sutardji Calzoum Bachri memilih untuk berkreativitas di Jakarta.

Tak lama setelah itu, muncul pula Machzumi Dawood. Penulis ini tak tertarik untuk berpindah ke tempat lain. Sampai setakat ini beliau tetap setia berkarya di Tanjungpinang. Di antara kesibukannya kini, beliau dengan tekun mengasuh rubrik “Jerumat”, yaitu rubrik budaya Harian Pagi Tanjungpinang Pos.

Barisan berikutnya diisi oleh lebih banyak penulis walau jumlahnya belum sebanding dengan era Kerajaan Riau-Lingga. Di dalam barisan ini terdapatlah Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim (Akib), Husnizar Hood, Bhinneka Surya Syam, Junewal Muchtar, dan Suryatati A. Manan. Sampai dengan generasi ini dunia kepengarangan sastra dan aktivitas berkesenian di Kota Tanjungpinang umumnya semakin bergairah kembali. Pasalnya, di samping semangat dan minat para penulis itu memang sedang menggelora, perhatian Pemerintah Kota Tanjungpinang pun, yang diterajui oleh Hajjah Suryatati A. Manan, sangat memuaskan. Tanjungpinang

Page 270: H. Abdul Malik

250 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kini bagai hendak mengembalikan kegemilangan masa lampau dalam aktivitas dan kreativitas seni-budaya.

Di belakang mereka ada sederet panjang penulis dan pegiat seni-budaya berbakat sedang bertungkus lumus dan berhempas pulas untuk menunjukkan jati diri mereka. Jika kondisi seperti sekarang ini tetap terjaga dan terus meningkat, Tanjungpinang akan kembali diperhitungkan sebagai kiblat sastra dan seni-budaya umumnya. Setakat ini saja, karena peningkatannya cukup signi ikan, ada media nasional yang berterus terang menyebutkan bahwa “Tanjungpinang adalah satu-satunya Kota Puisi di Indonesia”. Memang, prestasi itu harus terus ditingkatkan sebab di hati masyarakat telah tersemat kebanggaan bahwa Tanjungpinang adalah Kota Gurindam Negeri Pantun. Kesemuanya menggunakan ikon seni sastra.

Bukan tak mungkin Tanjungpinang pun dapat mendulang kembali kejayaan Kerajaan Riau-Lingga dalam memajukan tradisi intelektual yang menjadi ciri kawasan ini dalam setiap puncak tamadunnya. Untuk mencapai matlamat itu kini dan ke depan ini, kita wajib menjadikannya tanggung jawab bersama.

Hari-hari setelah Perjanjian London harus dijalani oleh bangsa Melayu dengan sampan sejarah yang berbeda walau laman tempat bergurausendanya tetaplah sama: Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Tatkala nafsu politik dan ekonomi terus saja berupaya untuk memecahkan keutuhan sesama manusia dan kemanusiaannya demi memuliakan dwitunggal sesembahan baru yang bernama “laba-kuasa”, alam jualah—dalam hal ini laut—tak pernah sampai hati memutus tali persaudaraan orang-orang yang bersaudara. Dan, tradisi intelektuallah yang lebih menyebatikan pertautan itu. Asal, siapa pun kita yang hidup di hari ini bersedia menjaga, membina, dan mengembangkannya dengan sepenuh hati, bagai menatang minyak yang penuh. []

Page 271: H. Abdul Malik

251ABDUL MALIK

ITULAH tujuan pakar sastra berkebangsaan Jerman, yang memiliki kepakaran dalam sastra Jerman dan Indonesia, Berthold Damshäuser, yang menggandeng

sastrawan sekaligus pakar sastra Indonesia dan dunia, Agus R. Sarjono. Ya, itulah matlamat mereka yang dapat disimak: memperkenalkan kebudayaan dan bangsa Jerman melalui karya sastra, khususnya puisi, kepada masyarakat Indonesia secara lebih luas. Tujuan itu jelas didasari oleh niat baik untuk mempereratkan persahabatan di antara kedua negara dan bangsa: Jerman-Indonesia.

Bersabit dengan itu, saya teringat kalimat dialog dalam ilm Amerika Serikat I Know What You Did Last Summer yang diucapkan oleh salah seorang tokohnya, “Dengan seni kulayani negeriku.” Siapa pun memang dapat mengabdi dan berbakti untuk negeri dan bangsanya. Itu wajib hukumnya. Politisi dengan jabatan politiknya seyogianya dapat menjadikan negeri dan bangsanya aman-tenteram, jauh dari kekacauan dan kegalauan. Praktisi ekonomi seharusnya dapat menciptakan kemakmuran negeri dan kesejahteraan bangsanya. Praktisi hukum semestinya mampu menciptakan kehidupan yang berketeraturan dan berkeadilan. Itu sekadar beberapa contoh bakti yang harus dibuktikan.

Malangnya, bidang yang dijadikan contoh itulah yang paling banyak mencelakakan manusia dan menjejaskan kemanusiaan karena disandang oleh orang-orang yang berniat, bertujuan, dan bertindak salah. Kekacaubalauan dan keporakporandaan yang dialami oleh banyak negara dan bangsa, sama ada dahulu ataupun kini, banyak disebabkan oleh kerakusan politik, ekonomi, dan hukum pada mereka yang berkuasa, yang menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan, bahkan nilai-nilai ketuhanan juga. Maka, negara dan bangsa itu pun tak pernah mampu meraih kemajuan yang didambakan, betapa pun besar potensinya untuk naik ke puncak jaya sebuah tamadun. Pasal, kejayaan bangsa menjadi ancaman bagi si penguasa yang tak berhati perut dan dinastinya untuk terus menguasai. Di sebalik keteduhan wajah yang nampak nyaris tanpa dosa berselindung singa, buaya, bahkan puaka

Memperkenalkan Negeri Melalui Sastra

Page 272: H. Abdul Malik

252 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

yang siap menerkam siapa saja, termasuk bangsa dan saudaranya sendiri. Tak perlulah diberi contoh, nanti banyak pula orang marah.

Berbeda halnya dengan seni. Seni cenderung menyatukan dan mencerahkan manusia dan kemanusiaannya. Menariknya lagi, kesemua orang menyukai seni. Pembaik yang mengapresiasi seni akan bertambah-tambah kebaikannya. Bahkan, penjahat yang menghayati nilai-nilai seni akan berkurang-kurang kejahatannya dari hari ke hari sehingga cepat atau lambat akan menjauh juga bibit kemungkaran itu dari jiwa-raganya. Oleh sebab itu, menjatuhkan pilihan dengan menjadikan seni sebagai sarana untuk melayani bangsa dan negara merupakan pilihan yang bijak.

Sesuai dengan kepakaran yang mereka miliki, Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono memilih seni, dalam hal ini sastra, untuk memperapatkan perhubungan kedua bangsa: Indonesia-Jerman. Dalam hal ini, mereka menerjemahkan karya-karya sastrawan Jerman termasyhur ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, masyarakat Indonesia yang tak mampu berbahasa Jerman dapat membaca karya sastra Jerman edisi bahasa Indonesia. Bahkan, Damshäuser pun menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman, antara lain karya Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang masyhur itu. Dengan demikian, publik Jerman pun dapat menikmati karya sastra Indonesia sehingga pemahaman mereka tentang Indonesia dan masyarakatnya menjadi lebih luas lagi. Alhasil, persahabatan kedua negara dan bangsa ini dapat diperapat dan dipereratkan, yang tentulah berdampak positif untuk pelbagai kerja sama di antara kedua bangsa dalam pelbagai bidang kehidupan.

Ada manfaat lebih lagi jika dihubungkan dengan suasana terkini Indonesia. Dengan mengikuti berita yang disiarkan oleh pelbagai media, tentulah orang Jerman berhitung-hitung untuk datang ke negara kita, apatah lagi untuk melakukan pelbagai kerja sama. Betapa tidak? Nyaris tanpa hari tanpa kehebohan, huru-hara, dan haru-biru yang terjadi di sini yang diberitakan. Namun, setelah membaca karya sastra Indonesia, tahulah publik Jerman bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia sama juga dengan bangsa mana pun di dunia: mencintai kedamaian, menyukai ketenangan, mengasihi persaudaraan, memuliakan kemanusiaan, mendambakan kesejahteraan, dan sebagainya walaupun perjuangan mereka sangat berat untuk mencapai kesemuanya itu akhir-akhir ini.

Begitulah Berthold Damshäuser (dosen Universität Bonn, Jerman) dan Agus R. Sarjono (sastrawan dan redaktur Majalah Sastra Horison, Jakarta) telah mengerjakan dan menerbitkan enam jilid buku seri dwibahasa puisi Jerman: Jerman-Indonesia. Kesemuanya karya pujangga besar Jerman: Goethe, Rilke, Paul Celan, Bertolt Brecht, Hans Magnus Enzenberger, dan Nietzsche. Karya-karya Friedrich Nietzsche dihimpun di dalam Seri VI dengan judul Syahwat Keabadian

Page 273: H. Abdul Malik

253ABDUL MALIK

(Komodo Books, Jakarta, September 2010). Karya itulah yang diluncurkan di empat kota di Jawa: Semarang, Solo, Magelang, dan Jakarta serta satu-satunya kota di luar Jawa, Tanjungpinang, tepatnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), UMRAH, bekerja sama dengan Goethe Institut, Jakarta, yang dilaksanakan pada Selasa, 1 Maret 2011 lalu.

Penunjukan FKIP UMRAH Tanjungpinang sebagai tempat peluncuran Seri VI Puisi Jerman itu merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Pasal, selama ini belum pernah ada pembahasan karya sastra Jerman di Kepulauan Riau. Akan tetapi, yang lebih-lebih disyukuri adalah begitu antusiasnya peserta mengikuti diskusi dan pembacaan puisi Nietzsche, yang sungguh tak terduga sama sekali. Mereka terdiri atas para mahasiswa, pemuda, akademisi, pimpinan beberapa dinas instansi, dan tokoh masyarakat. Sesi diskusi tentu akan jauh melampaui batas waktu yang disediakan kalau moderator, Abdul Kadir Ibrahim, tak mengambil langkah antisipatif dengan menutup pembahasan karena memang telah melebihi satu jam dari waktu yang disediakan. Selesai acara, Pak Berthold dan Pak Agus langsung berkomentar kepada saya, “Luar biasa Tanjungpinang ini, Bung!” Dan, Berthold melanjutkan, “Akan sulit bagi saya untuk melupakan Bintan. Sungguh luar biasa!” Saya sangat yakin bahwa ucapan mereka itu betul-betul ikhlas.

Tahniah Pak Berthold dan Pak Agus. Saya yakin, niat dan tujuan mulia Anda berdua untuk mempererat dan memperapatkan lagi perhubungan kedua bangsa kita, Indonesia-Jerman, melalui karya sastra akan berjaya. Kami menanti Seri VII Puisi Jerman dan Tanjungpinang siap kembali menjadi penaja. Dengan seni kita melayani negeri karena memang itu jalan mulia yang kita pilih. Syabas!

Pikiran saya pun menerawang. Kalaulah karya-karya Kepulauan Riau dibuat juga seperti itu, alangkah besarnya negeri ini di mata dunia. Sebab apa? Sebab, kita pun memiliki sastrawan yang karya-karyanya tak kalah menariknya dengan karya-karya dari mancanegara. Dan, sesiapa pun yang membabitkan diri dalam upaya mulia ini, apa pun kapasitasnya, takkan pernah dilupakan sampai bila masa pun karena karya itu akan terus dibaca, generasi demi generasi. Jalan, jembatan, dan bangunan boleh roboh. Bersamaan dengan itu, pembuatnya pun dilupakan oranglah. Jangankan itu, pejuang Provinsi Kepulauan Riau saja tak diingat orang lagi, begitulah resam dunia ini. Akan tetapi, karya sastra tak pernah mati, tak pernah berhenti melayani negeri, baik yang lama maupun yang baru. []

Page 274: H. Abdul Malik

254 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

INI bukan kisah tentang virus jahat seperti virus penyakit atau virus komputer. Ini cerita tentang virus baik. Orang jadi “gila” menulis. Karena tertular virus

kepengarangan, seseorang jadi tak kuasa menahan resa (mood) untuk mengarang. Badannya akan lesu, bahkan kadang-kadang demam kalau tak menulis, apa pun genre tulisan yang diminatinya. Jadilah “demam”-nya itu bermanfaat bagi kehidupan, bagi kemanusiaan.

Pada zaman Kerajaan Riau-Lingga virus kepengarangan itu pertama sekali menular dalam diri untuk kemudian ditularkan oleh Bilal Abu dan Raja Ahmad Engku Haji Tua. Kegemaran mereka menulis ternyata kemudian menurun kepada generasi anak-cucu sehingga menjadi bagai kewajiban yang menyenangkan. Merekalah generasi pengasas atau peletak dasarnya.

Generasi selanjutnya yang paling bersinar adalah dua nama besar: Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim. Kedua pengarang ini paling produktif dan paling masyhur pada zamannya. Walaupun demikian, bersama mereka masih ada Raja Saliha dan Raja Haji Daud. Mereka membuktikan bahwa virus kepengarangan dapat dirasukkan ke sekutah-kutah negeri sehingga menjadi tradisi yang membanggakan, yang tak mungkin lagi dilawan, kecuali diikuti saja ke mana pun mengalirnya.

Maka generasi berikutnya kerasukanlah. Di antara mereka tersebutlah Raja Ali, Raja Abdullah Mursyid, Raja Hasan, Raja Sa iah, Raja Muhammad Tahir, dan Raja Ahmad Tabib. Kreativitas itu lagi-lagi tak mau berhenti sehingga mengalirkan Raja Umar Hasan, Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, Salamah binti Ambar, Khadijah Terung, Raja Ali Kelana, Daeng Wuh, Raja Muhammad Said, Raja Abdul Muthalib, Badriah Muhammad Tahir, sampailah kepada Aisyah Sulaiman. Senarai ini pun belumlah lengkap benar, tetapi memadailah untuk dijadikan bukti begitu menggilanya kreativitas mengarang pada masa itu.

Virus Kepengarangan

Page 275: H. Abdul Malik

255ABDUL MALIK

Mengarang menjadi profesi yang sangat mulia. Mereka belum merasa sempurna menjadi manusia walaupun telah berpangkat dan berjabatan tinggi. Menjadi Yang Dipertuan Muda (Raja Muda), hakim agung, penasihat kerajaan, dan pelbagai jabatan tinggi lainnya tak dianggap istimewa sebelum seseorang membuktikan diri sebagai pengarang. Mengaranglah yang memperlengkapkan diri mereka sebagai manusia.

Penyebaran virus kepengarangan itu jadi makin menjadi-jadi karena adanya kemudahan untuk menjalar. Percetakan Mathba’at al-Riauwiyah, Mathba’at al-Ahmadiyah, dan Ahmadiyah Press di antara pemberi laluan itu. Karangan para penulis itu dicetak di ketiga percetakan itu. Alhasil, karya para pengarang itu terjamin ketercetakannya, yang pada gilirannya sampai kepada khalayak pembacanya secara baik.

Tak hanya itu. Dengan diterbitkannya Majalah Al-Imam oleh Rusydiah Kelab, nama perkumpulan intelektual Kerajaan Riau-Lingga itu, para pengarang dapat mengungkapkan segala pemikiran mereka dengan leluasa. Topik-topik tentang pemerintahan, politik, ekonomi, budaya, agama, dan lain-lain silih berganti mengisi halaman-halaman Al-Imam sehingga masyarakat yang dapat mengaksesnya menjadi terdedah dan tercerahkan dengan persoalan tersebut. Jadilah tradisi intelektual itu bagian yang tak terpisahkan dari perikehidupan sehari-hari. Tradisi itu, dengan variasi plus-minus kuantitas dan kualitasnya, berlanjut hingga ke hari ini di sini sejak ia mulai bertapak.

Masa pascakerajaan, di Riau Daratan institusi pendidikan tinggi paling giat menularkan virus itu. Sebutlah Universitas Riau (UR). Dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ada sejumlah orang yang jadi pengasas. Di antara mereka tersebutlah Muchtar Lut i, Kailani Hasan, Suwardi M.S., Said Mahmud Umar, U.U. Hamidy, M. Diah Zainuddin, Dalami Kari, dan Saidat Dahlan. Dalam deretan berikutnya muncullah Idrus Lubis, Ruswan, Abubakar Sulaiman, Sugyo Hadimartono, Maleha Aziz, Marlely Rahim, Rukmini, dan Bustami Ramli.

Aktivitas menulis makin menjadi-jadi di FKIP UR. Muncullah kemudian Abdul Razak, Isjoni Ishak, Temul Amsal, Dasri al-Mubari, Al-Azhar, Auzar Thaher, Isnaini Leo Shanty, Said Suhil Ahmad, Daeng Ayub Natuna, Mangatur Sinaga, Firdaus Ln., Tau ik Ikram Jamil, Mosthamir Thalib, Deny Kurnia,, Kazzaini Ks., Elmustian Rahman, Abdul Jalil, Samson Rambah Pasir, Eddy Ahmad R.M., Sutrianto, Musa Ismail, Encik Abdul Hajar, Maswito, Thamrin Dahlan, Eryanto Hadi, dan Murparsaulian.

Dari fakultas-fakultas lain tersebutlah nama-nama yang dikenal luas seperti Bosman Saleh, Muchtar Ahmad, Tabrani Rab, Mochd. Saad, Said Syahbudin, Tengku Dahril, Nazar Dahlan, Fachri Yasin, Zulkarnaini, dan Nursyiah Chalid. Dalam barisan berikutnya terdapat pula Rusli Zainal, Ashaluddin Jalil, Yusmar Yusuf, Fakhrunnas

Page 276: H. Abdul Malik

256 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

M.A. Jabar, B. Isyandi, Hainim Kadir, Edyanus Herman Halim, Deliarnov, Syapsan, dan Candra Ibrahim.

Senarai di atas jauh dari lengkap. Pasal, sebagai perguruan tinggi terbesar di Riau, Universitas Riau memang paling banyak melahirkan penulis. Ada sederet panjang nama lagi yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini. Mereka menulis pelbagai bidang sesuai dengan kepakaran, keahlian, dan minat masing-masing. Tulisan mereka tersebar dalam bentuk buku, artikel, dan pelbagai karya kreatif. Setakat ini mereka berprofesi beragam: akademisi, wartawan, pejabat pemerintah, politisi, eksekutif perusahaan swasta, guru, dan lain-lain. Yang berkhidmat di perguruan tinggi banyak yang telah meraih gelar doktor dan profesor.

Menjalarnya virus kepengarangan di dalam diri mereka diperkuat oleh adanya media penyaluran. Selain jurnal yang diterbitkan oleh universitas, fakultas, dan program studi; Surat Kabar Kampus Bahana Mahasiswa berperan sangat signi ikan. Bahana Mahasiswa-lah yang menjadi tempat mula mahasiswa UR mengasah diri dalam aktivitas tulis-menulis, terutama karya-karya jurnalistik. Alumni Bahana Mahasiswa banyak yang menjadi jurnalis dan penulis terkenal setakat ini. Selain itu, banyaknya media yang terbit di Pekanbaru memungkinkan para penulis itu menyalurkan tulisannya.

UR juga memiliki badan penerbit yang memudahkan para pengarang menerbitkan karya mereka. Setakat ini Unri Press, nama badan penerbit itu, telah menerbitkan beribu-ribu buku dalam genre yang beragam. Sokongan dana dari Pemerintah Provinsi Riau juga lumayan.

Perguruan tinggi lain di Riau juga banyak menyumbangkan penulis. Kehadiran mereka betul-betul telah mewarnai wajah pembangunan Provinsi Riau. Hampir tak ada bidang pembangunan yang tak menjadi sorotan para penulis itu. Begitulah dahsyatnya virus kepengarangan itu menyerang sehingga minda kita secara beransur-ansur tercerahkan. Di luar kampus banyak pula penulis tunak yang tak pernah berhenti mengarang.

Walau masih muda, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang pun telah tertular virus kepengarangan. Beberapa mahasiswanya telah menerbitkan novel. Muharroni dari FKIP baru-baru ini menerbitkan novel perdananya Laksmana Jangoi. Mahasiswa FKIP UMRAH lain yang telah menerbitkan buku adalah Fatih Muftih dan Fakhriyansyah, di samping beberapa nama lagi yang menerbitkan karya bersama berupa karya sastra. Begitu pula seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi lebih awal menerbitkan novelnya. Beberapa dosen mudanya telah pula menerbitkan beberapa buku ilmiah dan karya kreatif, di antaranya Muhammad Candra, Suhardi, dan Riau Wati. Buku-buku mereka diterbitkan oleh UMRAH Press dan beberapa penerbit lain.

Page 277: H. Abdul Malik

257ABDUL MALIK

Selain itu, Mahasiswa FKIP telah pula menerbitkan Tabloid Laksmana. Pelbagai karya jurnalistik, cerpen, puisi, dan sebagainya telah diterbitkan melalui tabloid itu. Banyak penulis muda bakal bermunculan di Tanjungpinang dan Kepulauan Riau ke depan ini. Begitulah virus kepengarangan kalau telah menular. Ia terus mara dan tak pernah hendak berhenti, dahsyat! []

Page 278: H. Abdul Malik

258 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

HANG TUAH adalah tauladan pemimpin Melayu yang paling cemerlang, gemilang, dan terbilang. Di dalam dirinya melekat sifat-sifat kepemimpinan

yang agung: setia, cerdas, cergas, wira, berani, jujur, sabar, ikhlas, dan pelbagai sifat mulia yang memang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena sadar berasal dari rakyat suatu negeri, dia mendarmabaktikan seluruh jiwa-raganya untuk membela rakyat dan negeri yang membesarkannya sehingga berhasil meraih pangkat sebagai panglima tertinggi angkatan laut, laksemana.

Apa pun atau siapa pun dia di puncak karir itu tak pernah ada artinya tanpa negeri, rakyat, dan sahabat yang selalu setia berada di belakangnya. Maka, adalah tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin untuk membela marwah rakyat dan negerinya. Oleh sebab itu, tak heranlah siapa pun yang berhadapan dengan Hang Tuah yang membawa niat salah akan mendengarkan dan berlawan lebih dulu dengan bisikan halus di dalam hati mereka masing-masing, “Engkau kira hanya berdepan dengan Hang Tuah seorang diri, sebatang kara? Tidak, di belakang Si Tuah itu ada berlaksa-laksa, bahkan berjuta-juta, orang yang siap membelanya. Sanggupkah engkau menghadapi rempuhan itu, wahai Pulan?”

Menghadapi seorang wira yang jiwa-raganya bagaikan tembok sekaligus tombak baja itu, musuh manakah yang tak akan gerun, yang sanggup menatap matanya? Ya, sepasang mata bening yang memancarkan cahaya cemerlang melebihi makhluk apa pun dan dari mana pun, buah dari pengabdian yang tulus dan atas nama kebenaran semesta (universal). Kewibawaan seorang wira memang muncul bersamaan dengan integritas pribadinya, yang siap melakukan apa saja demi marwah bangsa dan negerinya. Dia, dengan kewibawaan dan kelebihan yang dimilikinya, tak pernah rela walau sesaat pun negeri dan rakyatnya terhina atau tak dianggap keberadaannya.

Karena Hang Tuah Belum Kembali

Page 279: H. Abdul Malik

259ABDUL MALIK

Siapa pun yang mencabar marwah Melayu harus bertembung dengan ini, “Langkah dulu mayat Hang Tuah, baru kalian dapat menaklukkan bangsa dan negeriku.” Dalam ungkapannya yang paling memukau, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Seorang Melayu yang paling dayus pun (bukan gayus, ya!), akan bangkit maya dan semangatnya jika menghayati ucapan Sang Wira yang gagah berani, pengabdi sejati, yang anak jati Bentan itu.

Untuk sampai ke pangkat laksemana, Hang Tuah taklah mendapatkannya secara karbitan, apa lagi instan. Dia menapak karir setapak demi setapak hingga sampai ke jabatan puncak. Dia pun mendapat sokongan yang sangat berarti dari sahabat-sahabatnya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dan, orang yang paling berjasa dalam hidupnya, selain ayahnda dan ibundanya, adalah orang tua yang kearifannya melebihi sultan, Bendahara Paduka Raja. Bendaharalah yang paling banyak membimbing dan membela Hang Tuah sehingga dia sampai ke puncak jaya.

Pelbagai onak dan duri kehidupan harus dilalui Hang Tuah dan para sahabatnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Kesemuanya itu dapat dilaluinya dengan anggun dan bermartabat. Segala tipu helah yang dilakukan oleh musuh-musuhnya untuk menghancurkan rajanya, dirinya, sahabat-sahabatnya, rakyatnya, dan negerinya dapat ditangkis dan ditepisnya secara cerdas, cergas, dan tangkas. Tak heranlah bahwa kemudian musuh-musuhnya harus bingkas dan menanggung malu karena mencoba melakukan perbuatan tak terpuji pada seorang perwira yang berjiwa suci. Pada gilirannya, para musuhnya pun harus mengakui bahwa mereka takkan pernah mampu mengalahkan seorang pahlawan yang mendasarkan baktinya pada ketinggian budi dan keelokan pekerti.

Di antara cabaran yang paling sering dan paling kejam menerpa Hang Tuah, apa lagi kalau bukan itnah dari lingkungan dalam sendiri. Gayung bersambut, pantun pun berbalas. Bisikan syaitan yang disampaikan kepada raja, penguasa yang bertelinga tipis dan jauh dari cahaya kearifan itu, diterima begitu saja tanpa usul periksa. Tak kurang dari dua kali dia di itnah dengan kejam. Adakah mungkin seorang Hang Tuah bermain muda (berbuat mesum) dengan dayang-dayang raja? Sabitkah di akal seorang pengabdi sejati negeri bermukah ria (berselingkuh) dengan gundik raja (istri raja yang bukan permaisuri)? Akan tetapi, begitulah kalau penguasa telah dikuasai rayuan syaitan. Baginda menerima semua tuduhan itu begitu saja. Alhasil, Hang Tuah divonis dengan hukuman: Mati!

Dihukum mati, justeru Hang Tuah tak juga wafat. Kearifan seorang tua Bendahara Paduka Rajalah yang menyelamatkannya, dan pasti pula menyelamatkan muka raja karena ternyata kebijakan Baginda itu salah. Bendahara tak melaksanakan titah raja, tetapi mengungsikan Hang Tuah ke luar ibukota

Page 280: H. Abdul Malik

260 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

negara. Tatkala bangsa dan negara benar-benar memerlukan seorang wira yang tangguh, oleh Bendahara dihadirkanlah Hang Tuah di hadapan Baginda. Tentulah penguasa itu terkejut karena Si Tuah ternyata masih hidup. Akan tetapi, Baginda tak murka malah bersyukur dengan kehadiran si pembela bangsa itu. Penguasa pun terbebas dari arang yang hendak dicontengkan orang ke keningnya (bukan ke rekeningnya!). Sampailah Hang Tuah di itnah kedua kalinya dan hukumannya sekali lagi: Bunuh!

Tentulah Hang Jebat tak menerima sahabat sejatinya itu diperlakukan demikian. Si Jebat mengamuk sejadi-jadinya, “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.” Bahkan, oleh Hang Jebat, Bendahara Paduka Raja pun dipermalukannya karena dianggapnya tokoh karismatik yang selama ini menjadi tempat mereka mengadu itu telah bersebahat dengan raja untuk membunuh Hang Tuah.

Ternyata, Hang Jebat salah. Bendahara tetap di pihak yang benar, di pihak mereka, di pihak Hang Tuah yang diyakininya tak ada cacat-celanya. Sekali lagi, Hang Tuah dihadirkan di hadapan raja ketika penguasa itu kehabisan akal menghadapi penghinaan yang dilakukan Hang Jebat. “Ah, kalaulah ada Si Tuah, takkan beta mendapat aib begini.” Hang Tuah memang benar-benar ada, dia bangkit dari “kematiannya” untuk menghadapi situasi simalakama, “Dimakan mati emak, diluah mati bapak!” Karena apa? Karena harus membunuh sahabatnya sendiri, yang justeru membelanya dan membela Sumpah Setia Melayu.

Malangnya Si Jebat. Mengapakah dia harus membunuhi orang-orang yang tak berdosa? Apakah salahnya dayang-dayangnya istana sehingga harus diperlakukan secara tak senonoh? Mengapakah dia harus menghabisi para pengawal kerajaan karena dendamnya kepada sultan? Bukankah dayang-dayang dan pengawal-pengawal yang tak berdosa itu dari kalangan kita juga, kalangan rakyat yang selama ini setia mendukung perjuangan mereka dan senantiasa mengalu-alukan setiap mereka mengalahkan para perusuh? Kalau marah kepada raja, penguasa zalim itu, mengapakah bukan raja langsung yang dijadikan sasaran tuntut bela? Marah kepada seekor nyamuk parasit raksasa, mengapakah kelambu harus dibakar? Itukah sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang wira sejati?

Pikiran Hang Tuah berkecamuk. Padahal, titah telah turun dari Sang Raja. “Sebagai Laksemana Negeri, Hang Tuah, engkau, Beta perintahkan untuk membunuh Hang Jebat!” Di luar balairung seri, petir sekawan menggelegar bagai hendak mengoyakkan Bumi Melayu.

***

Hang Tuah betul-betul dihadapkan pada situasi serba salah. Malangnya lagi Si Jebat. Mengapakah angkara murka harus dilawan dengan angkara murka yang lain? Bukankah akan lebih canggih jika kemungkaran dilawan dengan kebijaksanaan.

Page 281: H. Abdul Malik

261ABDUL MALIK

Langsung membalas dendam kepada Sang Raja yang kejam akan jauh lebih mulia daripada “memberi hati” dengan mempermalukan perempuan-perempuan tak berdosa dan para pengawal, yang karena profesinya, harus tunduk kepada titah raja. Takkah pilihan itu lebih jantan daripada yang dilakukan saat ini? Adakah Si Jebat tak cukup bernyali (gentar) berhadapan langsung satu lawan satu dengan penguasa yang kurang usul periksa itu? Mengapakah jalan ini yang harus diambil untuk membalaskan sakit hatinya karena pengkhiatan yang dilakukan penguasa?

Kini kedua karib itu benar-benar berhadapan. Alangkah terkejutnya Hang Jebat, “Tuan Hamba masih hidup rupanya, Tuah? Takkah Bendahara Paduka Raja melaksanakan titah sultan untuk membunuh Tuan Hamba? Rupanya salah dugaan hamba selama ini.” Walaupun begitu, Hang Jebat sangat bahagia karena orang yang sangat dihormati dan dicintainya masih hidup. Berarti, keselamatan Melayu masih terjaga.

“Tidak Jebat, saudaraku. Manakan mungkin Bendahara yang arif itu akan melaksanakan titah sultan. Beliau sangat yakin bahwa hamba tak bersalah, seperti keyakinanmu dan semua orang Melayu, karena tak mungkin hamba melakukan perbuatan tak senonoh itu. Akan halnya Tuan Hamba, Jebat, mengapakah melakukan tindakan yang tergesa-gesa?”

“Jawabnya tentulah Tuan Hamba tahu, Tuah. Rasa hormat dan cinta hamba kepada Tuan Hamba melebihi kasih hamba kepada siapa pun di dunia ini, bahkan melebihi cinta hamba kepada diri hamba sendiri. Tak sanggup hati ini menanggung dendam ketika Tuan Hamba diperlakukan secara tak adil.Tapi, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Alang-alang menyeluk pekasam, biarlah sampai ke pangkal lengan. Pantang Melayu menjilat ludahnya sendiri! Kini hamba pun tahu tujuan Tuan Hamba datang menemui hamba di sini. Laksanakanlah titah Baginda itu. Hamba rela mati di tangan Tuan Hamba daripada hidup menanggung malu.”

Remuk redamlah hati kedua orang bersahabat itu. Perkelahian pun dimulailah: yang seorang melaksanakan perintah sultan, sedangkan yang lain mempertahankan diri sekuat dapat. Perkelahian keduanya digambarkan sangat lama karena sama-sama sakti. Bukankah mereka pendekar Melayu yang namanya sudah termasyhur di sekutah-kutah negeri? Bedanya, Si Tuah pendekar berilmu tinggi yang mampu menguasai diri dalam keadaan segenting apa pun, sedangkan Si Jebat sangat sulit menahan amok kalau sudah sampai ke puncaknya. Akhirnya, Hang Jebat menyerahkan keris Taming Sari yang digunakannya dalam perkelahian itu kepada pemiliknya, Hang Tuah.

“Terimalah keris Tuan Hamba ini. Selama hamba menggunakan kerismu ini, Tuan Hamba takkan mampu membunuh hamba.”

Page 282: H. Abdul Malik

262 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hang Tuah menerima kerisnya sambil menahan linangan air mata. Keduanya meneruskan perkelahian. Tak juga mudah Hang Jebat untuk dirobohkan. Karena telah terlalu letih, akhirnya Hang Jebat tertikam juga oleh Hang Tuah. Selesai menikam Hang Jebat itu, Hang Tuah memeluk sahabatnya itu seraya membalut luka tikamannya. “Sekarang Jebat saudaraku, mengamuklah dikau sesuka hatimu!” Hang Tuah meninggalkan sahabatnya, pulang ke rumahnya tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Tiga hari tiga malam diceritakan Hang Jebat mengamuk itu. Setelah betul-betul letih, dia menuju ke rumah Hang Tuah. “Tibalah saatnya untuk berpisah, Tuah. Relakanlah hamba pergi dahulu. Bukalah balutan luka hamba ini dan izinkan hamba mati di pangkuan Tuan Hamba. Biarlah tragedi yang menimpa kita ini menjadi tauladan bagi anak-cucu kita kelak, generasi Melayu yang sangat kita cintai. Bahwa cinta terhadap saudara, rakyat, dan negeri sendiri jauh lebih tinggi nilainya daripada cinta kepada apa pun, kecuali cinta kepada Allah.”

Hang Tuah tak berkata sepatah pun. Dia menatap sahabatnya itu dengan duka tertahan. Dalam pada itu, perlahan-lahan dibukanya balutan luka Hang Jebat. Mereka bertatapan beberapa saat untuk saat-saat kemudian perlahan-lahan juga Hang Jebat menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, yang seperti permintaannya, di pangkuan Hang Tuah. Begitu Jebat menghembuskan napas yang penghabisan, Tuah tak kuasa lagi menahan laranya. Dia menangis sejadi-jadinya. Itulah tangis yang paling menyayat hati dari sang pengabdi sejati. “Selamat jalan, saudaraku. Semoga Tuan Hamba diterima di sisi Allah.” Dan, adakah artinya peristiwa ini bagi kita hari ini di sini?

Setelah wafatnya Hang Jebat, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya masih terus mengabdi untuk rakyat dan negeri. Dia berkunjung ke banyak negeri. Ke mana pun dia datang, dia selalu dikagumi karena keluhuran budi dan kesantunan pekertinya. Begitulah dia memperkenalkan karakter bangsanya kepada masyarakat dunia sehingga dia jauh lebih dulu mengglobal sebelum isu-isu globalisasi merebak seperti yang terjadi setakat ini. Dengan misinya itu, Negeri Melayu terkenal sampai jauh yang membuat banyak bangsa berpusu-pusu datang ke Bumi Melayu untuk berniaga, bermuhibah, dan sebagainya. Alhasil, terkenallah Negeri Melayu sebagai negeri yang sangat makmur dan rakyatnya sejahtera belaka. Hang Tuah tak perlu, dan memang tak terniat sedikit pun di hatinya, untuk menjual tanah airnya secara har iah. Dia mempromosikan tanah air dan bangsanya dengan kecerdasan dan kecendekiaan. Itulah Hang Tuah.

Di antara yang datang itu, tersebutlah bangsa Peringgi (Portugis). Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, Peringgi datang untuk menguasai, menjajah, dan menjatuhkan marwah Melayu. Tentulah perangai Peringgi itu tak disukai Hang Tuah dan kesemua orang Melayu. Peringgi yang berniat salah itu diperangi Hang

Page 283: H. Abdul Malik

263ABDUL MALIK

Tuah dan harus lari meninggalkan Bumi Melayu untuk kembali ke negeri mereka dengan menanggung malu. Selagi ada Hang Tuah, pantang Melayu kalau dicabar! Bukankah di negeri ini tembuni kita ditanam?

Sampai ketikanya, Hang Tuah meninggalkan gelanggang penadbiran Kerajaan Melayu. Dia bersara (pensiun). Mungkin terkandung niat di dalam hatinya, kinilah saatnya regenerasi. Dia digantikan oleh generasi anaknya, Laksemana Hang Nadim, sebagai penerus kewiraan Melayu. Dalam pada itu, Hang Tuah menghilang tak tahu rimbanya, entah di mana? Akan tetapi, apakah yang terjadi kemudian?

Peringgi datang lagi ke Negeri Melayu. Mereka mengetahui bahwa Hang Tuah telah mengundurkan diri. Kinilah saatnya melanjutkan misi jahatnya, menguasai Bumi Melayu, menjarah hasil-hasilnya, dan menempatkan bangsa Melayu ke jurang terdalam sebuah kehancuran. Bersamaan dengan itu, itnah, hasad, dan rasuah merejalela di pemerintahan Melayu. Retak mencari belah. Maka, dengan mudah Peringgi berhasil menjajah Melayu.

Konon dalam kelenyapannya, Hang Tuah menjadi raja bagi biduanda (hamba-hamba raja), orang hutan, dan orang laut di suatu tempat di negeri ini (Melayu). Para biduanda, orang hutan, dan orang laut itu bukanlah sebarang orang. Mereka adalah pengikut setia Hang Tuah yang tak rela tunduk di bawah telapak kaki penjajah, siapa pun penjajah itu. Sampai hari ini mereka masih menjadi pengikut setia Sang Pahlawan Melayu. Mereka lebih bangga disebut orang udik daripada disebut masyarakat metropolis, tetapi menyudu di telapak tangan penjajah. Sayangnya, sampai hari ini Hang Tuah belum hendak kembali. Padahal, kalau dia kembali, dengan sekali pekik Allahu Akbar, niscaya marwah Melayu akan terangkat kembali![]

Page 284: H. Abdul Malik

264 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

PADA 29—30 Maret 2011, saya diundang untuk mengikuti rombongan Walikota Tanjungpinang ke Pulau Jawa. Ada dua kota yang dikunjungi yaitu Jakarta

dan Bandung, walaupun Jakarta tak pernah disebut oleh masyarakat di Jawa sebagai Jawa meskipun ibukota negara itu berada di Pulau Jawa. Kunjungan kali ini semata-mata muhibah kebudayaan. Di Jakarta kami menghadiri peluncuran buku Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji ke Suryatati A. Manan (selanjutnya disebut Dermaga Sastra saja) dan di Bandung pula kami mengikuti kegiatan Diskusi Kebudayaan di Fakultas Sastra, Universitas Pajajaran (Unpad). Tepatlah kalau kolom kali ini diberi judul lengkap Dari Dermaga ke Tangkuban Perahu: Sebuah Perjalanan Budaya.

Dermaga Sastra adalah buku yang membahas kepengarangan sastra Kota Tanjungpinang, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (ketika itu kepala dinasnya Drs. Abdul Kadir Ibrahim, M.T.) bekerja sama dengan Penerbit Komodo Books, Jakarta, akhir 2010. Buku ini ditulis oleh lima orang: Jamal D. Rahman (dosen UIN Jakarta, sastrawan, dan pemred majalah sastra Horison), Al azhar (budayawan Riau, Pekanbaru), Abdul Malik (penulis kolom ini), Agus R. Sarjono (dosen STSI Bandung, sastrawan, dan redaktur majalah sastra Horison), dan Raja Malik Hafrizal (Kepala Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu, Pulau Penyengat, Tanjungpinang).

Sesuai dengan judulnya, Dermaga Sastra mengulas kreativitas pengarang Tanjungpinang dan karya-karya mereka, terutama penulis yang telah menerbitkan buku. Buku ini, seperti yang ditulis oleh Harian Kompas (31/3/2011), merekam jejak sastra Melayu Tanjungpinang. Pemeriannya diawali dengan sejarah berdirinya pusat Kerajaan Riau-Johor di Hulu Riau, wilayah Kota Tanjungpinang sekarang. Pengarang yang dihimpun dalam buku ini relatif lengkap, sepanjang yang bersangkutan telah menerbitkan buku, dari Bilal Abu, Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, dan seterusnya hingga generasi berikutnya Hasan

Dari Dermaga ke Tangkuban Perahu

Page 285: H. Abdul Malik

265ABDUL MALIK

Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, B.M. Syamsuddin, Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Abdul Kadir Ibrahim, Hoesnizar Hood, Bhinneka Surya Sam, Junewal Muchtar, sampai Suryati A. Manan yang dilanjutkan dengan penulis-penulis seperti Teja Alhabd dan lain-lain serta para penulis muda berbakat setakat ini.

Peluncurannya dilaksanakan di Bentara Budaya, Jakarta. Gedung yang sangat representatif untuk kegiatan kesenian itu ternyata tak kuasa menahan melimpahnya pengunjung, sampai ada yang harus berdiri dan duduk bersila. Menurut panitia, undangan yang dikirim sesuai dengan jumlah tempat duduk yang tersedia, tetapi ternyata peminatnya jauh lebih banyak sehingga mereka tak memerlukan undangan resmi untuk datang. Walau harus berdesak-desakan, para pengunjung sangat puas yang terlihat dari roman wajah dan reaksi mereka ketika acara berlangsung sampailah ke akhir acara. Lama setelah acara resmi berakhir, barulah pengunjung bersurai satu per satu. Kami pun harus bergadang sampai pukul 04.00 subuh karena teman-teman seniman Jakarta masih mengajak berbincang-bincang tentang pembangunan kebudayaan di tanah air. Biasalah, komunitas budaya memang selalu resah ketika kondisi pembangunan tak memperhatikan nilai-nilai budaya. Padahal, nilai-nilai budaya harus tetap kekal dalam diri setiap insan Indonesia agar kepribadian bangsa ini tak hanyut dan tenggelam dibawa arus globalisasi.

Peluncuran buku dilakukan oleh Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan. Sambutannya tentang upaya pembinaan kebudayaan di Kota Tanjungpinang mendapat alu-aluan yang panjang dari hadirin. Bahkan, setelah menyampaikan pidato resmi, Tatik didaulat untuk membaca puisi. Berkata Tatik, “Selesai membaca puisi ini di Padang beberapa waktu lalu, saya disalami dan diciumi ibu-ibu di sana. Kata mereka, ‘Terima kasih Bu Wali karena Ibu telah memperjuangkan kaum padusi.’ Judul puisinya Lelaki,” kata Tatik menutup pengantarnya.

Belum lagi Tatik membacakan puisinya, di antara hadirin sudah ada yang bertanya, “Padusi itu apa, Bu?” “Padusi itu bahasa Minang, artinya kaum perempuan,” jawab Tatik sambil tersenyum. Gedung itu pun bergemuruh dengan ketawa meriah. Ketika membacakan puisinya pun, Tatik banyak mendapat tepukan tangan karena bait-bait puisinya memang “menggelitik” dan penuh dengan kritik sosial, tetapi dengan nada dan diksi yang santun. Tatik memang tak pernah membaca puisi dengan meledak-ledak, tetapi tenang yang diiringi senyumnya yang khas. Dengan teknik itu, dia berhasil membawa hadirin larut ke dalam puisi yang dibacakannya. Dan, dengan begitu, Tatik hendak menunjukkan bahwa begitulah kepribadian perempuan Melayu sesungguhnya. Nah, siapakah yang takkan terpikat? Tak kira perempuan, apa lagi laki-laki.

Sesi pembahasan menampilkan dua orang sastrawan yang juga profesor sastra.

Page 286: H. Abdul Malik

266 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Mereka adalah Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. (Universitas Paramadina, Jakarta) dan Prof. Dr. Budi Darma (Universitas Negeri Surabaya). Abdul Hadi W.M. banyak mengulas kreativitas kepengarangan Raja Ali Haji (RAH) dalam pelbagai bidang ilmu, tak hanya sastra. “Dari RAH kita mewarisi sikap keharusan menggunakan bahasa secara benar dan baik,“ kata beliau. “Tak heranlah keyakinan itu terus menjadi pegangan penulis Melayu sampai saat ini. Bukan hanya itu, RAH telah mengembangkan ide-ide universal yang mendunia yang bersumber dari kebudayaan Melayu sehingga kebudayaan Melayu memberikan sumbangan yang besar bagi kebudayaan modern kita sekarang. Itulah arti penting buku Dermaga Sastra ini,” kata beliau.

Di antara ulasannya, Budi Darma menghubungkan ketokohan Hamzah Fansuri (Aceh), Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (Singapura), dan Raja Ali Haji (Riau-Lingga). Ketiga tokoh itu merupakan pengasas kebudayaan Melayu. Mereka secara genetik sesungguhnya bangsa yang satu. Dari kasus itu menjadi jelas bahwa ada kalanya bangsa dan kebudayaan, termasuk bahasa, dapat ditundukkan oleh kekuatan politik.

Sebelum itu, pakar sastra Inggris itu mengungkapkan upaya Ratu Victoria dan Ratu Elizabeth dari Kerajaan Inggris yang menggesa rakyatnya untuk menulis. Atas dorongan kedua ratu itu, rakyat Inggris menjadi gemar menulis. Alhasil, bangsa Inggris menjadi bangsa yang besar di dunia, yang suatu masa dahulu terkenal sebagai bangsa yang menguasai lautan. Begitulah ketauladanan pemimpin politik dapat membawa bangsa dan negaranya menuju kemajuan yang didambakan.

Di lingkungan kita saat ini, sambung penulis kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington itu, sosoknya ada pada Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan. Jadi, jangan heran mengapa tradisi menulis, yang memang berakar kuat di Tanjungpinang, kini makin menjadi-jadi di kalangan masyarakat Tanjungpinang. Tatik telah mengawal gerbang tamadun itu dengan baik selama kepemimpinannya di tanah kelahirannya itu.

Alu-aluan yang panjang dari hadirin di Bentara Budaya Jakarta bergemuruh ketika Budi Darma mengungkapkan pernyataannya yang jujur itu. Di antara hadirin itu ada banyak pengamat budaya dan tentu saja para wartawan media massa ternama ibukota. Tanjungpinang, khasnya, dan Kepulauan Riau pun, amnya, menjadi buah bibir sampai jauh, sampai ke Tangkuban Perahu. Minggu depan kita akan berkunjung ke sana dalam sebuah perjalanan budaya yang menyenangkan.

***

Bakda subuh, 30 Maret 2011, kami bertolak ke Bandung dari Jakarta. Kami menggunakan bus mini dan saya satu rombongan dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, H. Said Parman, S.Sn. Persisnya kami tak tidur

Page 287: H. Abdul Malik

267ABDUL MALIK

semalaman. Sebagian rombongan telah berangkat malam tadi, selesai acara di Bentara Budaya, Jakarta, termasuk Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan. Perjalanan Jakarta—Bandung harus ditempuh tiga jam.

Kami harus berangkat pagi-pagi sekali karena pada pukul 10.00 hari itu harus mengikuti diskusi kebudayaan di Fakultas Sastra, Universitas Pajajaran (Unpad). Dalam perjalanan itu saya masih terbayang akan persembahan musikalisasi puisi Sanggar Matahari, Jakarta pada acara di Bentara Budaya. Penampilan mereka sangat menarik ketika menyanyikan lagu dari puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Suryatati A. Manan, Raja Ali Haji (Gurindam Dua Belas), dan Agus R. Sarjono. Persembahan yang kreatif dan memikat itu menjadikan acara bertambah semarak. Alhamdulillah, dengan hanya sekali berhenti untuk sarapan, kami tiba di Bandung sekitar pukul 08.30 pagi. Kecuali agak letih, kami tak mengalami hambatan apa pun dalam perjalanan itu. Setelah beristirahat sekejap di penginapan, kami langsung menuju kampus Unpad, tempat berlangsungnya acara.

Acara yang dilaksanakan di Aula Fakultas Sastra Unpad itu tepatnya baru dimulai pada pukul 10.30. Biasalah, di mana-mana di negara kita kebiasaan seperti itu selalu terjadi. Untunglah, di pintu masuk aula dipamerkan buku-buku dan boleh pula dibeli. Banyak di antara kami yang membeli buku-buku yang dijual di situ.

Acara dibuka dengan pelbagai pertunjukan kesenian tari dan nyanyi, kreasi para dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Unpad. Kesemuanya menarik sehingga dapat menjadi pereda rasa letih dan mengantuk. Setelah itu, barulah ditampilkan dua pembicara utama diskusi: Walikota Tanjungpinang dan Rektor Unpad. Topik yang dibicarakan adalah Birokrasi dan Kebudayaan, sebuah topik yang memang menarik pula.

Hj. Suryatati didaulat untuk berbicara lebih dahulu. Sebelum membahas topik intinya, Ibu Walikota memperkenalkan rombongan yang terdiri atas beberapa orang akademisi dari perguruan tinggi di Tanjungpinang, para birokrat, dan para seniman yang menyertai beliau. “Mereka sengaja saya minta untuk mendampingi dan membantu saya jika ada pertanyaan hadirin yang tak mampu saya jelaskan,” kata Ibu Tatik.

Beliau banyak menguraikan kebijakan Pemerintah Kota Tanjungpinang dalam memajukan seni-budaya, khasnya seni-budaya Melayu dan nasional. Ibu Tatik membicarakan kesemuanya itu dengan sangat lancar tak ubahnya seorang pakar budaya berbicara tentang masalah kebudayaan. Tak ada celah bagi hadirin untuk lari dari pesonanya karena beliau berbicara secara lugas, apa adanya, yang kadang-kadang diselingi dengan dialek Melayu Kepulauan Riau. “Karena masyarakat Kota Tanjungpinang menyenangi seni-budaya,” kata Tatik, “seni-budaya itulah yang kami gunakan sebagai sarana untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk mengimbau masyarakat agar tak lalai membayar pajak,

Page 288: H. Abdul Malik

268 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

misalnya, kami gunakan pantun yang isinya agar masyarakat ikhlas membayar pajak. Alhasil, masyarakat sadar akan kewajiban mereka dan cara penyampaiannya pun tak terkesan menggurui lagi terasa sejuk, sopan, dan indah,” kata walikota yang juga penyair itu, yang disambut tepuk tangan bergemuruh dari hadirin.

Untuk membuktikan bahwa masyarakat Tanjungpinang memang menyenangi seni-budaya, di sela-sela pembicaraannya, Walikota Tanjungpinang meminta beberapa orang dari rombongan yang mendampinginya untuk berpantun dan membaca puisi. Nampaknya, memang hadirin yang memenuhi tempat pertemuan itu terkesan akan suguhan pantun dan puisi yang disampaikan oleh anggota rombongan beliau itu, yang dibuktikan dengan alu-aluan dari hadirin. Rasanya itu bukanlah basa-basi, melainkan memang apresiasi yang diberikan oleh pengunjung.

Rektor Unpad pun menegaskan perihal mustahaknya birokrat yang memahami, menghayati, dan mencintai kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun nasional. Sayangnya, menurut beliau, setakat ini belum banyak pemimpin birokrasi di Indonesia yang memandang penting akan hal yang mustahak itu. Bahkan, tak jarang terjadi mereka berseberangan dengan nilai-nilai budaya ketika membuat kebijakan dan melaksanakan pembangunan. Akibatnya, kebudayaan menjadi terbiarkan dan tak jarang terjadi malah punah.

Biasanya, menurut pemimpin Unpad itu, jika pemimpin suatu daerah menyenangi kebudayaan, aktivitas seni-budaya di daerah itu akan berkembang. Malangnya, jika pejabat itu tak menjabat lagi, kesemua yang telah dikembangkannya selama ini ikut memudar pula karena pejabat berikutnya tak menyukai kebudayaan. Padahal, kebudayaan seharusnya menjadi acuan di samping memberikan arah bagi pembangunan yang dapat dikategorikan bermanfaat atau mudarat bagi masyarakat. Rektor yang menyenangi seni itu pun menunjukkan kemampuannya menulis dan membaca puisi. Dalam sesi itu beliau membacakan puisinya yang ditulis dalam bahasa Sunda. Hadirin pun memberikan tepukan yang panjang karena memang menarik adanya.

Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Pertanyaan yang diajukan kepada Walikota Tanjungpinang umumnya berkaitan dengan pengalaman beliau membangun kebudayaan di Kota Tanjungpinang sehingga masyarakatnya menjadi gemar berseni-budaya. Kesemua pertanyaan itu dapat dijawab dengan lancar oleh Ibu Suryatati karena beliau memerikan apa adanya sesuai dengan yang dilakukannya selama ini. Tak ada yang dilebih-lebihkan, apa lagi dibuat-buat. Alhasil, tak seorang pun dari akademisi, budayawan, dan seniman yang menyertainya perlu menambahkannya lagi. Kesemuanya sudah pas dan mengundang rasa kagum hadirin terhadap perempuan walikota yang sangat mencintai budaya daerahnya itu.

Page 289: H. Abdul Malik

269ABDUL MALIK

Petang harinya dilanjutkan dengan pembacaan puisi bersama antara seniman Tanjungpinang dan mahasiswa Unpad. Kesemua penyair yang ikut ke Kota Tangkuban Perahu itu mendapat giliran untuk menunjukkan kebolehan mereka membaca puisi, baik penyair senior maupun penyair muda. Keakraban begitu terasa ketika acara itu berlangsung. Sampai menjelang magrib barulah acara selesai.

Masih ada satu acara lagi yang dilaksanakan pada malam hari: ramah tamah komunitas budaya Unpad dengan seniman dan budayawan Tanjungpinang. Dalam acara yang santai itu, terkesan sekali bahwa mereka banyak menimba pengalaman seniman dan budayawan Tanjungpinang dalam mempertahankan Kota Tanjungpinang sebagai kota budaya, yang menurut mereka, gemanya sangat terasa secara nasional setakat ini. Selain itu, terkesan pula kekhawatiran mereka akan memudarnya kebudayaan daerah, budaya Sunda, di Jawa Barat kini dan ke depan ini. Kami menepis kekhawatiran mereka itu dengan alasan bahwa budaya Sunda sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia karena banyaknya pendukung budaya daerah itu. Namun, dengan pelbagai alasan, mereka tetap meragukannya.

Dalam keraguan yang sama tentang keberlangsungan kebudayaan Melayu di sini ke depan ini, saya masih menyisakan pertanyaan. Betulkah di tengah bersemaraknya seni-budaya modern di Bandung, seni-budaya tradisionalnya ditinggalkan oleh masyarakatnya, terutama generasi muda? Dan, masihkah kebudayaan Melayu menampakkan sosok perkembangannya yang berarti di sini jika nanti Hj. Suryatati mengakhiri perkhidmatannya sebagai Walikota Tanjungpinang? Dalam pada itu, foto-foto telah banyak terpampang.

Page 290: H. Abdul Malik

270 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

BUKAN tarung sebarang tarung. Ini Tarung Penyair Panggung (TPP). Kegiatan kesenian besar itulah yang diselenggarakan oleh Kota Tanjungpinang pada

14—16 April 2011. Pertarungan ini dilaksanakan untuk kali kedua bagi penyair Kota Tanjungpinang dan baru kali pertama untuk peringkat Asia Tenggara. Menurut Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, dan Ketua Panitia Pelaksana, Tusiran Suseno, TPP peringkat Kota Tanjungpinang dilaksanakan kali pertama pada 2008. Dalam pada itu, pertarungan untuk peringkat Asia Tenggara baru julung-julung kalinya diselenggarakan pada tahun ini.

Acara kesenian, yang menggunakan istilah yang biasa digunakan dalam olahraga bela diri itu, untuk peringkat Kota Tanjungpinang sangat diminati oleh para penyair muda. Kenyataan itu terdedah dari begitu banyaknya peserta yang mendaftar. Nyatalah bahwa minat para pemuda Kota Tanjungpinang dalam bidang kesusastraan sangat besar, terlepas dari siapa pun pemenangnya. Gejala itu tentulah sangat menggembirakan dan menjanjikan bagi perkembangan kesusastraan, khususnya, dan kebudayaan, umumnya, di ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Semoga semangat mereka terus berkobar untuk memajukan kebudayaan di Kota Budaya itu. Pasal, sebagai kota yang dikenal luas, baik di dalam maupun di luar negeri, menjadi pusat tamadun Melayu dan salah satu sentral kebudayaan Indonesia, aktivitas dan kreativitas seni-budaya tak boleh berhenti di Kota Pantun dan Negeri Gurindam itu. Sekali ia tergencat (terhenti), akan terlalu sulit untuk memulihkannya kembali. Itulah sebabnya, kehadiran sastrawan muda yang penuh minat dan bakat patutlah dibanggakan. Di pundak merekalah nantinya tanggung jawab perjuangan kebudayaan harus diletakkan. Saya percaya, pada waktu, situasi, dan tempat yang tepat mereka akan mampu memikul tanggung jawab itu dengan rasa bangga.

Di peringkat antarabangsa (ASEAN) baru Brunei Darussalam yang “berani” mengirimkan utusannya. Negara-negara lain nampaknya belum memanfaatkan

Tarung Penyair Panggung

Page 291: H. Abdul Malik

271ABDUL MALIK

peluang itu. Sekadar catatan, dari komunikasi pribadi saya dengan teman-teman komunitas sastra-budaya Singapura, Malaysia, dan Thailand; dapatlah dikesan hal ini. Umumnya mereka tak mengetahui bahwa ada kegiatan Tarung Penyair Panggung di Indonesia, khususnya di Tanjungpinang. Menurut mereka, kalau tahu ada kegiatan serupa itu pastilah mereka akan mengikutinya, menang atau kalah bukan masalah. Dengan mengikuti kegiatan serupa itu, sekurang-kurangnyanya, perhubungan bangsa serumpun dapat terus diperapat dan dipereratkan lagi. Karena TPP peringkat ASEAN ini baru kali pertama diadakan, miskomunikasi seperti itu sangat lumrah terjadi. Kalau diundang, mereka berharap pertarungan berikutnya dapat menyertainya. Bahkan, seperti juga diungkapkan oleh utusan Brunei Darussalam, mereka berharap suatu masa nanti acara serupa dapat dilaksanakan di negara mereka mengikuti jejak yang telah dirintis oleh Tanjungpinang, Indonesia.

Pertarungan di peringkat ASEAN juga diikuti oleh banyak penyair muda. Memang, membacakan puisi di panggung sebagai seni pertunjukan memerlukan tenaga yang prima, selain penguasaan teknik-teknik pertunjukan yang lain, untuk dapat tampil maksimal dan memenangi pertarungan. Persyaratan itulah yang tak mungkin diputar ulang oleh para penyair senior karena mereka telah melampaui fase itu, terutama dari segi umur. Bahkan, penyair senior yang berani maju ke arena pertarungan jelas sekali kelihatan tak berdaya dikepung oleh para penyair muda usia lagi kaya penghayatan di panggung tarung penyair itu. Walaupun begitu, kita patutlah memberikan apresiasi dan alu-aluan kepada para penyair senior yang mengambil bagian dalam pertarungan itu. Kehadiran mereka di antara yang muda-muda tentulah membuat bangga para penyair muda karena telah mendapat dorongan moral dari senior mereka. Itulah sumbangan utama lagi mustahak dari para penyair senior yang ikut bertarung dalam acara itu. Kesemuanya itu nilainya tak dapat diukur dengan apa pun, apa lagi materi.

Menarik juga tanggapan dari perwakilan peserta pelbagai daerah di Indonesia dan luar negeri (Brunei Darussalam), yang disiarkan secara multimedia pada malam puncak. Intinya, mereka bangga, bahagia, dan berterima kasih dapat mengikuti acara itu. Lebih lanjut, mereka berharap kegiatan TPP, yang digagas oleh Kota Tanjungpinang itu, dapat dilaksanakan di kota-kota lain se-Indonesia dan negara-negara ASEAN pada masa yang akan datang. Kesemuanya serba mungkin. Yang pasti, penggagasan dan penyelenggaraan acara itu di Tanjungpinang pastilah makin mengharumkan Kota Bestari ke sekutah-kutah negeri. Itu juga menjadi nilai tambah yang tak mungkin dapat diukur dengan apa pun. Pada gilirannya, cepat atau lambat, orang akan berdatangan ke Tanjungpinang, khasnya, dan Kepulauan Riau, amnya, untuk pelbagai urusan yang pasti menguntungkan kedua belah pihak asal dikelola dengan baik. Itulah manfaat lebih dari suatu kegiatan seni-budaya, di

Page 292: H. Abdul Malik

272 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

samping untuk mengembangkan kebudayaan itu sendiri sebagai penyerlah dan pemerkuat jati diri bangsa.

Pada peringkat ASEAN TPP telah menjulangkan nama Jefri Al-Malay, penyair asal Bengkalis, Riau, karena dia menjuarainya. Tak pada tempatnya untuk membandingkannya dengan penampilan Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, atau Hamid Jabbar, misalnya, kala mereka muda dulu. Pasal, Jefri dan para seniornya itu berada pada waktu yang berbeda. Saya pun yakin, jika konsisten dan tetap pada jalurnya, pemuda Bengkalis itu akan lebih meningkat lagi ke depan ini. Yang perlu diambil hikmahnya oleh penyair yang belum berjaya sebagai penampil kemuncak adalah ini. Seperti para pendahulunya, Jefri telah mampu memanfaatkan, mengolah, dan mengembangkan khazanah budaya dan tradisi tempat dia dilahirkan dan dibesarkan untuk dimaksimalkan dengan penampilan maksimal dalam acara besar seperti TPP itu. Dipadu dengan penampilannya yang enerjik, jadilah tampilannya itu unik, menarik, memukau, dan mengesankan. Itulah yang hendak dilihat orang dalam setiap seni pertunjukan dalam genre apa pun. Dan, Jefri mampu mengemas kesemuanya itu dengan baik.

Tak ada gading yang tak retak. Retak kecil acara TPP itu agak ketara ketika pemanggilan pambaca nominasi juara pada malam puncak. Agak kurang elok rasanya pembacanya ditukar ganti sesuka hati ketika pembaca nominasi yang dipanggil ternyata tak hadir. Bagi pembaca yang menggantikannya, apa lagi kalau mereka setaraf dalam jabatan, terkesan tak biasa dan agak kurang baik dalam kebiasaan di birokrasi. Menjaga perasaan seperti itu pun harus dibiasakan ke depan ini, apa lagi ini kegiatan budaya. Alangkah baiknya jika sebelum acara, pembacanya dipastikan kesediaannya sebelum ditetapkan sebagai pembacanya. Maksud hati memang hendak memberikan penghormatan kepada seseorang, tetapi jangan pula sampai memalukan orang yang lain. Itu saja, selebihnya sempurna.

TPP II peringkat Kota Tanjungpinang dan TPP I peringkat ASEAN telah sangat berhasil mencapai matlamatnya. Akan menjadi sangat sulit bagi sesiapa pun kini untuk melupakan kontribusi Kota Tanjungpinang dalam pelestarian, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan di negara yang kita cintai ini. Tahniah kepada Tusiran Suseno (seniman senior nasional) sebagai ketua penyelenggara, Asrizal Nur (seniman senior nasional) sebagai pengarah acara, dan semua teman-teman seniman yang telah menjayakan kegiatan ini. Setinggi-tinggi penghargaan patutlah ditujukan kepada seniman nasional yang juga Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan. Kami sangat bangga sebagai masyarakat Tanjungpinang dengan penyelenggaraan Tarung Penyair Panggung itu. Memukau dan berdelau! []

Page 293: H. Abdul Malik

273ABDUL MALIK

DALAM kreativitas kepengarangan dan tradisi intelektual di Kerajaan Riau-Lingga ada angapan ini. Kecendekiawanan itu dimonopoli oleh keluarga Diraja

atau kalangan istana. Haji Ibrahim, bahkan sebelumnya sezaman dengan Raja Ahmad Engku Haji Tua (ayahnda Raja Ali Haji) telah ada Bilal Abu, membuktikan bahwa anggapan seperti itu salah.

Encik Ibrahim, begitu beliau disapa sebelum menunaikan ibadah haji, adalah putera Datuk Syahbandar Abdullah. Beliau berasal dari kalangan rakyat biasa yang bekerja sebagai pegawai kerajaan. Pada 1830-an beliau menunaikan ibadah haji dalam usia yang masih sangat muda dan sejak itu beliau akrab disapa Haji Ibrahim. Karena kemahirannya dalam menulis, beliau kemudian diangkat menjadi jurutulis pribadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Dari jabatannya itu beliau mendapat gelar kehormatan Datuk Kaya Muda. Gelar Datuk Kaya Muda biasa diberikan kepada orang yang berpangkat dan bermartabat tinggi, atau boleh juga merupakan penghormatan kepada orang yang sangat berjasa kepada kerajaan. Dengan gelar itu pulalah, beliau masyhur dikenal dengan nama lengkap Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda.

Menurut E. Netscher (“Beschrijving van een gedeelde der residentie Riouw”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde II, 1894:158), Haji Ibrahim merupakan pribumi yang paling cerdas, tekun, berwawasan luas, berbudi, dan kreatif. Netscher juga menegaskan bahwa Haji Ibrahim sebagai seorang yang cerdik dan rajin. Tak heranlah bahwa beliau diberi kepercayaan menjadi sekretaris (jurutulis) bagi tiga orang Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau- Lingga secara berturut-turut pada 1850-an: Raja Ali (YDM VII), Raja Abdul Rahman (YDM VIII), dan Raja Haji Abdullah (YDM IX) sehingga beliau dianugerahi gelar Datuk Kaya Muda.

Tak dapat diketahui secara pasti tarikh lahir dan wafat Haji Ibrahim. Walaupun

Haji Ibrahim

Page 294: H. Abdul Malik

274 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

begitu, dari sumber-sumber lisan, diperkirakan beliau lahir di Tanjungpinang dan wafat serta dimakamkan di Pulau Penyengat. Dari tarikh karya-karyanya dapat dipastikan bahwa beliau hidup semasa dengan Raja Ali Haji.

Haji Ibrahim, dalam karirnya sebagai penulis, biasa bekerja sama dengan Raja Ali Haji. Pada akhir 1855 Haji Ibrahim, Raja Ali Haji, dan H. von de Wall bekerja sama menyusun kamus dwibahasa Melayu-Belanda dan Belanda-Melayu. Selanjutnya, pada 1867 Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim (bersama anaknya, Abdullah) bekerja sama menyalin dan menyunting naskah Hikayat Kurais dan Hikayat Golam.

Sebagai pengarang yang ulung, selain bekerja sama dengan sahabat-sahabatnya, tentulah Haji Ibrahim menghasilkan karya sendiri. Sepanjang yang dapat ditelusuri inilah karya-karya beliau: (1) Syair Raja Damsyik (1864), (2) Syair Sidi Ibrahim bin Khasib (1865), (3) Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor Jilid I (diterbitkan oleh Percetakan Gubernemen, Batavia, 1868), (4) Ceritera Pak Belalang (1870), (5) Lebai Malang, (6) Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor Jilid II (diterbitkan oleh Percetakan Gubernemen, Batavia, 1872), dan (7) Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu (diterbitkan oleh W. Bruining, Batavia, 1877).

Syair Raja Damsyik adalah karya puisi naratif yang digubah dari karya prosa naratif Hikayat Raja Damsyik. Dari tangan Haji Ibrahim tak semata-mata perubahan genre itu yang teserlah. Berkaitan dengan itu, buku Dermaga Sastra Indonesia (Komodo Books, Jakarta, 2010) bertutur “… kisah fantastik berlatar Timur Tengah yang jauh itu seperti dibawa turun ke bumi. Damsyik (Damaskus), Baghdad, Yaman, Mesir, dan Kufah terkesan bukan lagi sebutan yang membawa kita ke tempat-tempat yang tak terperikan, tetapi seperti sudah berada di halaman rumah tempat bermain imajinasi-imajinasi orang Melayu. Kedekatan jarak ini nampaknya berhubungan erat dengan posisi yang dipilih pengarang dalam teksnya. Bila pengarang-nyata (real author) dalam teks Hikayat Damsyik menyembunyikan diri di kejauhan, teks Syair Raja Damsyik (Haji Ibrahim) sebaliknya: “lalu-lalang” di dalam kisahan, “mengganggu” pengarang tersirat (implied author), bahkan tokoh-tokohnya. Inilah contoh terbaik puitika “reproduksi kreatif ” pengarang Melayu umumnya, yang mempraktikkan takrif mengarang sebagai prinsip menyadur, yaitu ubah-suai teks dan cara-cara pembentangannya ke dalam realitas harapan-harapan pembaca atau pendengar yang dibayangkannya…. Arus kepengarangan yang seperti itu memang tergugat oleh kecenderungan baru pengaryaan di Pulau Penyengat abad ke-19, yang umumnya lebih banyak bersuara tentang realitas lingkungan semasa (representasi kritis).”

Dalam Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor, Haji Ibrahim kembali menunjukkan kepiawaiannya. Karya itu, bahkan, membedakannya dengan penulis mana pun yang sezaman dengannya. Kali ini beliau menggunakan

Page 295: H. Abdul Malik

275ABDUL MALIK

genre yang tak pernah dibuat orang: menggunakan pola percakapan dari bahasa sehari-hari masyarakat yang sekarang dikenal dalam penulisan naskah drama. Sebuah percobaan yang berani untuk ukuran masa itu dan berhasil. Kreativitas beliau dipuji oleh Raja Ali Haji. Dalam suratnya kepada sahabatnya von de Wall (8 September 1867) Raja Ali Haji menegaskan bahwa kesemua yang diperikan oleh Haji Ibrahim sudah betul. Dengan demikian, karyanya itu mengukuhkan Haji Ibrahim sebagai pelopor penulisan teks drama Melayu dan Indonesia.

Dua karyanya yang lain yaitu Ceritera Pak Belalang dan Lebai Malang memang sangat dikenal dalam kesusastraan lisan Melayu. Haji Ibrahim menghimpunnya dan mengangkatnya menjadi karya tertulis. Cerita pendek-pendek yang sangat biasa terdengar dalam kehidupan keseharian masyarakat Melayu itu digubahnya sedemikian rupa sehingga menjadi karya tertulis yang memikat. Untuk kreativitas dan baktinya itu, siapakah yang berani membantah bahwa Haji Ibrahimlah pelopor cerita pendek (cerpen) Melayu dan Indonesia?

Lagi, Haji Ibrahim menghimpun tradisi lisan menjadi tradisi tulis. Kali ini terdapat dalam karyanya Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu (1877). Sebelum ini, memang pantun ada juga diselipkan di dalam Sulalat us-Salatin (Sejarah Melayu) dan Hikayat Hang Tuah, misalnya. Akan tetapi, pantun di dalam kedua karya terdahulu itu hanya berfungsi sebagai “penghias” saja, bukan menjadi inti cerita. Karya Haji Ibrahim ini berbeda: seluruh isi bukunya berupa himpunan pantun Melayu. Sekali lagi, Haji Ibrahim menjadi pelopor: mengubah pantun dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis.

Padi segenggam habis lecuhTidak boleh ditumbuk lagi

Kehendak Allah juga yang sungguhTidak boleh sekehendak hati

Pantun di atas dikutip dari karya Haji Ibrahim. Bukan sebarang pantun, melainkan pantun yang antara sampiran dan isinya sangat terkait maknanya. Itulah pantun yang sesungguhnya.

Haji Ibrahim tak hanya berprofesi sebagai penulis. Beliau juga berkhidmat sebagai diplomat dan politisi. Dalam posisinya itu, beliau selalu mendamaikan perseteruan antara pihak kerajaan dan pemerintah Hindia-Belanda yang cenderung berseteru. Oleh pihak kolonial, beliau tetap dianggap duri di dalam daging bagi kepentingan penjajah itu. Hanya karena kepiawaiannya bermain politiklah yang membuatnya dapat bertahan. Mungkin pihak penjajah itu lupa bahwa bagi wira sejati seperti Haji Ibrahim telah tersemat lekat di dalam dadanya, “Takkan pernah kujual negeri dan bangsaku demi kepentingan kalian, wahai penjajah!”[]

Page 296: H. Abdul Malik

276 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

CINTA KASIH merupakan satu di antara nilai budaya semesta (universal) yang dikenal oleh umat manusia di mana pun mereka berada. Siapa pun kita, tak

kira suku, bangsa, warna kulit, dan agama, mendambakan terwujudnya cinta kasih di dalam hidup ini. Bahkan, kadar cinta kasih seseorang, suatu keluarga, suatu puak atau kaum, dan atau suatu bangsa menjadi penentu mutu budi pekerti yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

Pertengkaran di antara dua orang, pertikaian di dalam keluarga, huru-hara sebuah bangsa, atau persengketaan di antara bangsa-bangsa menjadi indikator telah berkurangnya kadar cinta kasih di antara mereka. Memang dahsyat padah yang dialami oleh manusia jika cinta kasih telah luntur apa lagi sirna: huru-hara, kacau-bilau, atau porak-poranda. Itulah sebabnya, cinta kasih menjadi indikator utama budi pekerti manusia. Dengan demikian, mewujudkan keadaan terus berseminya cinta kasih dalam kehidupan kita sehari-hari menjadi tanggung jawab setiap anak manusia.

Di dalam setiap bangsa cinta kasih dimanifestasikan dalam kesemua genre kebudayaannya. Begitu jugalah halnya dengan kebudayaan Melayu. Di dalam kesusastraan Melayu, misalnya, cinta kasih menjadi tema sekaligus amanat utama yang senantiasa mengemuka. Lihatlah Pasal Pertama, bait ketiga, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, “Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.” Cinta makhluk kepada Khaliknya harus diwujudkan dengan betul-betul mengenali-Nya dan meyakini keberadaan-Nya. Dengan begitu, akan memunculkan cinta kasih kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih itu. Sebagai konsekuensinya, apa pun yang diperintahkan dan dilarang-Nya akan diikuti dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab tanpa syarat apa pun, kecuali rasa cinta kasih yang murni kepada Yang Maha Penyayang itu. Satu-satunya yang didambakan oleh setiap manusia tentulah agar cinta kasih itu tak bertepuk sebelah tangan sehingga kita mendapatkan rida-Nya.

Cinta Kasih

Page 297: H. Abdul Malik

277ABDUL MALIK

Di dalam peribahasa Melayu pula, terdapat banyak sekali tema cinta kasih. “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah” merupakan peribahasa yang dikenal luas. Peribahasa itu menyiratkan makna ‘cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya sepanjang hayat, tetapi kadang-kadang cinta kasih anak-anak terhadap orang tuanya hanya sekejap dan boleh hilang sama sekali’. Itulah kondisi yang tak simetris (tak berimbang) antara cinta kasih ibu-bapa dan anak-anaknya. Dengan peribahasa itu diharapkan implikasinya bahwa anak-anak harus senantiasa ingat dan terus memupuk cinta kasihnya kepada ibu-bapanya. Perkara yang sebaliknya, tak perlu disangsikan lagi, bahwa orang tua akan senantiasa mencintai anak-anaknya.

“Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri.” Itu merupakan peribahasa tentang cinta kasih seseorang kepada negerinya. Walau negeri dan kampung halamannya belum sebaik atau semaju negeri orang, setiap orang idealnya mestilah mencintai negerinya sendiri, kampung halamannya sendiri. Bahkan, ada tanggung jawab untuk terus memperbaiki kondisi negeri kalau memang keadaannya belum mencapai taraf kemajuan yang didambakan.

Peribahasa Melayu mengiaskan pula tentang cinta kasih kepada sesama. “Tukang tidak membuang kayu.” Dengan peribahasa itu dimaksudkan bahwa manusia ini kesemuanya saling berguna, tak ada yang dijadikan secara sia-sia. Oleh sebab itu, sayang-menyayang di antara sesama manusia merupakan sifat dan perilaku yang terpuji sehingga sangat dianjurkan karena paling menentukan kualitas hidup.

Lain lagi amanat yang dianjurkan oleh peribahasa ini. “Air dicencang tak akan putus.” Dalam perjalanan hidup orang bersaudara, pastilah ada perselisihan walau barang sedikit. Akan tetapi, keadaan itu tak harus mematikan kasih sayang sesama saudara. Janganlah karena hal-hal kecil menjadikan “retak membawa belah”. Sangat tak terpuji bagi sesiapa pun yang memutuskan cinta kasih sesama saudara.

“Setikar seketiduran, sebantal sekalang hulu.” Ini adalah peribahasa yang dikiaskan kepada cinta kasih orang yang bersahabat. Begitulah kualitas persahabatan di antara anak manusia yang diidealkan. Hanya orang yang dapat menerapkan perilaku berteman seperti itulah yang dapat disebut sahabat sejati.

Orang-orang yang saling mencintai dan saling mengasihi diibaratkan dengan peribahasa, “Bagai aur dengan tebing.” Cinta kasih seperti itu tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas. Itulah cinta sejati yang tak akan hanyut oleh pasang, tak akan terbawa oleh surut, dan tak akan sirna oleh topan dan badai sekalipun. Masih sangat banyak peribahasa Melayu yang bertemakan cinta kasih itu.

Cinta kasih pun banyak terekam dalam pantun pusaka Melayu. Karena keterbatasan ruang, hanya beberapa di antara pantun itu yang ditampilkan di sini.

Page 298: H. Abdul Malik

278 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Ribu-ribu jalan ke KandisLandak membawa geliganya

Bundaku tinggal jangan menangisAnak membawa akan nasibnya

Karena begitu kasihnya kepada sang anak, si ibu tak sampai hatinya mendapati kenyataan bahwa anaknya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman. Bagaimanapun kenyataan itu harus dihadapi demi masa depan yang lebih baik bagi anak terkasih. “Pergilah intan, pergilah nyawa; pandai-pandailah membawa diri; Allah jangan nandaku lupai; ingatlah pesan ayah dan bunda.”

Cinta kasih orang bersaudara digambarkan pula di dalam pantun berikut ini.

Baru diikat bunga tanjungSama terikat bunga pandanBaru melihat adik kandung

Kembali semangat dalam badan

Itulah idealnya perhubungan kasih sayang orang bersaudara. Keberadaan yang satu boleh memberi semangat hidup bagi yang lain. Alhasil, kita dapat menjalani kehidupan dengan hati yang berbunga-bunga. Bunga itu kelak akan melahirkan kinerja yang unggul sebagai buah cinta kasih.

Alangkah bahagianya kita jika kondisi yang terekam dan diidealkan oleh pantun ini terwujud dalam kehidupan keseharian kita.

Habis sembahyang terus mengajiBerdagang luar kain pelekatBerkasih sayang seisi negeriHidup bahagia dunia akhirat

Itulah keadaan negeri yang sangat didambakan oleh semua umat manusia di dunia ini. Malangnya, sampai setakat ini manusia belum mampu mencapai matlamat idealnya itu dengan gemilang karena pelbagai alasan, terutama sebab tak mampu menguasai hawa nafsu. Kesemuanya harus terus dan terus diperjuangkan. Jika tidak, berarti kita menolak tesis bahwa Sang Khalik menciptakan makhluk-Nya dengan cinta kasih-Nya yang abadi. Padahal, dengan cinta Ilahi itulah kita akan menemukan kebahagiaan yang sejati. []

Page 299: H. Abdul Malik

279ABDUL MALIK

JUJUR merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh semua kebudayaan dunia. Tak ada suatu budaya pun yang menentang nilai kejujuran. Orang yang jujur akan

disanjung di mana pun dia bermastautin. Sebaliknya, ketakjujuran menjadi musuh bagi bangsa-bangsa yang beradab.

Khazanah budaya Melayu, sebagai bagian dari kebudayaan dunia, menempatkan kejujuran di tempat yang tinggi. Hal itu teserlah di dalam pelbagai genre sastra Melayu yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam peribahasa Melayu, orang yang jujur disebut “lurus-lurus tabung”. Kelurusan tabung itu sempurna, tak ada bengkoknya sama sekali. Beda, misalnya, dengan lurus kayu, lurus buluh (bambu), dan lurus lidi; yang walaupun lurus ada juga bengkoknya. Justeru, lurus yang ada bengkoknya itu lebih berbahaya. Karena apa? Karena, dia disangka jujur, rupanya berkhianat.

Banyak kiasan yang mengarah kepada orang yang tak jujur. Di antara kiasan itu ialah “lidah biawak” atau “lidah bercabang dua”. Peribahasa itu merujuk kepada orang yang kalau di depan kita berkata lain, tetapi dengan orang lain berkata lain lagi. Orang dengan tabiat seperti itu tak boleh dipercaya karena tak jujur.

“Pagar makan tanaman” juga ungkapan yang ditujukan kepada orang yang tak jujur. Pagar seyogianya menjaga tanaman agar tak dimakan oleh hama yang bertubuh besar, babi hutan misalnya. Diharapkan menjaga tanaman dari serangan hama, rupanya pagar itu pulalah yang menjelma menjadi hama, memusnahkan tanaman. Ungkapan itu mengacu kepada orang yang diamanahkan memelihara sesuatu, tetapi dia berkhianat karena sifatnya yang tak jujur.

Bangunan yang akan roboh karena sudah tua dapat dipertahankan, kalau memang diinginkan, dengan memberikan sokong (penopang). Alhasil, bangunan yang nyaris roboh itu menjadi kuat kembali. Tak disangka “sokong membawa rebah”, orang yang kita percayakan itulah yang menjatuhkan kita. Peribahasa itu

Jujur

Page 300: H. Abdul Malik

280 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

juga diarahkan kepada pengkhianat yaitu orang yang tak dapat dipercaya karena tak jujur. Setara dengan itu disebutkan juga “tongkat membawa jatuh”. Orang yang tak jujur juga dikiaskan dengan “lurus-lurus ekor anjing, ada juga bengkoknya.”

Itulah di antara peribahasa Melayu yang mengungkapkan persoalan kejujuran dan ketakjujuran. Selain dari peribahasa, pantun Melayu pun banyak mengungkapkan mustahaknya kejujuran. Di antara pantun itu ada yang dihimpun oleh Haji Ibrahim (pengarang Riau-Lingga sezaman dengan Raja Ali Haji) di dalam buku beliau Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu.

Inilah pantun Haji Ibrahim itu. //Tanjungpinang tempatnya elok/tempat Belanda dengannya Keling//di manakan senang di hati makhluk/mulut berkata hati berpaling//. Haji Ibrahim, dengan pantunnya itu, mengungkapkan begitu buruknya perangai orang yang tak jujur. Mulutnya berkata manis, tetapi ada maksud jahat di sebalik kesemuanya itu: bagai “menanam tebu di pinggir bibir”, padahal “mengaduk racun di cangkir hati”. Dengan orang yang berperangai seperti itu, kita harus berhati-hati, siapa pun dia.

Haji Ibrahim masih melanjutkan pantunnya. //Tempat Belanda dengannya Keling/Cina Melayu ada di situ//mulut berkata hati berpaling/di manakan boleh mendapat tentu//. Sangat jelas amanat pantun dari pengarang ternama itu. Orang yang tak jujur tak boleh dipercaya. Tak ada suatu kebaikan pun yang dapat kita ambil dari orang yang berperangai tercela itu. Oleh sebab itu, kita tak boleh terpesona dengan tampilan luar seseorang, tetapi lubuk hatinyalah yangn harus kita selami. Dari situ diharapkan kita dapat membedakan kasa dengan cindai atau kaca dengan berlian.

Pantun pusaka Melayu masih menuntun kita tentang karenah ketakjujuran. //Kertas buruk dibuat sampah/mari dibuang ke dalam paya//paras elok harta berlimpah/kalau tak jujur apa gunanya//. Rupanya, rupa yang cantik atau tampan yang bergelimang dengan harta dunia tak ada artinya bagi orang yang beradab kalau pemiliknya tak bersifat jujur. Pantun itu juga menyiratkan betapa hinanya orang yang mengumpulkan harta dengan cara yang tak jujur atau dengan cara-cara yang tak sah.

Di dalam gurindam Melayu yang dihimpun di Volksalmanak (bukan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji) terdapat beberapa bait yang mengungkapkan betapa kejinya ketakjujuran. Di antara bait gurindam itu “Telunjuk lurus kelingking berkait, hati sesama jadi tersait”. Orang yang berperangai tak jujur menyebabkan hati orang lain terluka. Oleh karena itu, tak ada tempat yang baik bagi orang-orang yang tak jujur di lingkungan masyarakat yang beradab.

“Janji itu sebagai utang, ingatkan dia pagi dan petang”. Ini juga bait gurindam yang dikutip dari sumber yang sama (lihat paragraf di atas). Bait itu dilanjutkan

Page 301: H. Abdul Malik

281ABDUL MALIK

dengan “Barang siapa mungkirkan janji, namanya tentu menjadi keji”. Orang yang jujur sudah pasti akan menunaikan janjinya. Siapa pun yang pernah berjanji, tetapi dia mungkir; orang itu tak dapat dipercaya. Dia tergolong orang yang tak jujur dan bersifat keji. Itulah kecaman keras budaya Melayu terhadap orang yang mungkir janji.

Raja Ali Haji di dalam karyanya Gurindam Dua Belas (GDB) juga membahas persoalan kejujuran ini. “Barang siapa khianat dirinya, apalagi kepada lainnya” merupakan bait pertama Pasal Kedelapan GDB. Bait GDB itu sangat jelas mengecam perilaku khianat atau tak jujur. Bahkan, GDB menambahkan, “Kepada dirinya ia aniaya, orang ini jangan engkau percaya.” Itu berarti, sangat tak patut untuk memercayai orang yang tak jujur, jangankan kepada orang lain, kepada dirinya sendiri pun dia berkhianat. Jelaslah bahwa dalam pandangan Raja Ali Haji kejujuran merupakan sifat yang sangat mustahak untuk dimiliki oleh manusia yang beradab. Tanpa menghargai nilai kejujuran, manusia dapat dikatakan kehilangan kemanusiaannya.

Dengarlah Tuan suatu madahManusia jujur empunya kisah

Di dunia hidupnya menjadi mudahDi surga tempatnya terlalu indah

Syair di atas melukiskan betapa mulia dan indahnya hidup dalam kejujuran. Tak ada seorang pun, di dalam lingkungan masyarakat beradab, yang akan memandang rendah orang yang bersifat dan berperilaku jujur. Sangat berbeda keadaannya dengan orang-orang yang khianat seperti tergambar dari petikan-petikan sebelumnya. Bahkan, bangsa-bangsa beradab percaya bahwa orang jujur akan menempati singgasana surga Allah setelah mereka meninggal dan dihidupkan kembali dalam kehidupan abadi di akhirat kelak. Pasal apa? Tak mudah memperjuangkan kejujuran di tengah kehidupan dunia yang penuh dengan cobaan dan tipu daya. Walaupun begitu, manusia yang berteguh hati bahwa dia makhluk yang paling mulia diciptakan Allah tak akan menyia-nyiakan hidupnya dengan berlaku khianat, baik kepada dirinya maupun kepada orang lain, dengan alasan apa pun.

Kini dapatlah kita menimbang-nimbang, apakah sebagai pribadi, masyarakat, ataupun bangsa, di garis haluan manakah kita berada atau akan dibawa. Adalah patut kita berhitung-hitung kalau ternyata garis menyimpang demikian ketara. Akan tetapi, kalau kita menganggap cahaya kejujuran menyinari kita dengan cemerlang, patutlah kita bersyukur kepada Allah. Pasal, karunia itu sangat mulia dan terlalu indah untuk disia-siakan. []

Page 302: H. Abdul Malik

282 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

GEMINTANG Penabur Matahari (GPM) adalah nama “geng” siswa sekolah dasar (SD). Geng itu terdiri atas enam orang bersahabat: Dina Aprilia Ardaini

(Dina), Sinta Arnindi (Nindi), Amanda Rosliana (Liana), Bella Marlinda (Bella), Mila Samarinda (Mila), dan Vely Salsabila Joanda (Vely). Kesemuanya putri. Mereka bersekolah di SD Bestari Permai dan duduk di kelas 6B, kecuali Vely di kelas 6A. Keenam siswa bersahabat itu sangat baik hati, rajin belajar dan bekerja, cerdas, kreatif, periang, dan tentu saja cantik-cantik.

Kecuali kebetulan belaka, dicari sekeliling dunia pun tak akan pernah kita temukan keenam gadis kecil itu. Pun kita tak akan menemukan sekolah mereka, orang tua mereka, para guru mereka, dan orang-orang di sekeliling mereka. Pasal apa? Pasal, mereka adalah tokoh-tokoh iktif dalam Novel Anak-Anak karya Tiara Ayu Karmita, siswa kelas enam SD Negeri 012, Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Tiara Ayu Karmita, penulis novel itu, kala menerbitkan novelnya baru berusia 11 tahun. Walaupun masih sangat muda usianya, Tiara mampu menulis novel yang sangat bagus, yang membuktikan bakat menulisnya sangat besar.

Tiara Ayu Karmita adalah putri Drs. Abdul Kadir Ibrahim, M.T. dan Ermita Thaib, S.Ag. Ayahnya yang akrab disapa Akib adalah seorang sastrawan ternama dan banyak menghasilkan karya, baik puisi maupun prosa. Nampaknya, bakat menulis Tiara turun dari ayahnya itu. Terlepas dari itu, Tiara memang sangat rajin membaca buku sehingga pengetahuannya cukup banyak. Hal itu terlihat nyata dari kualitas karya yang dihasilkannya.

Novel GPM diterbitkan oleh penerbit Komodo Books (April, 2011), suatu penerbit yang terkenal di Jakarta. Di kulit depan novel, yang bergambar lukisan lima orang gadis kecil yang sedang berlatih musik itu, tertera cap bulat dengan tulisan berwarna perak, “ANAK KECIL KARYA BESAR” dan di tengahnya tertulis “11 tahun”. Yang lebih menarik, sastrawan dan budayawan nasional ternama Putu Wijaya menulis di sampul depan, “Tak hanya ajaib karena dalam usia belia, Tiara

Gemintang Penabur Matahari

Page 303: H. Abdul Malik

283ABDUL MALIK

sudah mampu menulis novel dengan bahasa Indonesia yang begitu bagus. Ia berbeda dari generasi kini yang tergerus bahasa gaul, curhatnya pun menarik.”

Dalam pengamatan saya pun, bahasa Indonesia yang digunakan oleh Tiara dalam novelnya ini nyaris sempurna, baik narasi maupun dialognya. Tak banyak anak-anak dan remaja yang mampu menulis seperti itu setakat ini karena mereka umumnya terpengaruh bahasa Indonesia dialek Jakarta (Betawi), yang banyak ditularkan, terutama, oleh sinetron TV Jakarta. Akan tetapi, karena bertempat tinggal di Tanjungpinang, barangkali, Tiara mampu menjaga bahasa Indonesianya dengan baik.

Jumat, 20 Mei 2011, dalam acara Peluncuran Novel GPM di SD Negeri 012 Bukit Bestari, Tanjungpinang, Walikota Tanjungpinang, Dra. Hj. Suryatati A. Manan pun memberi pujian terhadap karya Tiara ini. Menurut beliau, novel itu dihadiahkannya kepada cucu beliau. Ternyata si cucu membacanya berkali-kali. Ketika ditanya mengapa membacanya berulang-ulang, si cucu menjawab bahwa ceritanya bagus sekali. Dan, si cucu pun balik bertanya, adakah kelanjutan dari GPM?

Ada cukup banyak novel kanak-kanak yang ditulis setakat ini. Akan tetapi, kebanyakan penulisnya adalah orang dewasa. Akibatnya, terkesan sekali bahwa yang diceritakan adalah kisah kanak-kanak menurut persepsi, kalau tak mau disebut kemauan, orang dewasa. Tak jarang terjadi, baik penceritaan maupun kisahnya, terkesan dipaksakan dan atau dibuat-buat.

GPM ditulis oleh anak yang berusia sebelas tahun secara alamiah menurut pandangan kanak-kanak. Namun, kemampuan berceritanya sungguh luar biasa, sangat memesona. Itu menunjukkan bakatnya yang cemerlang. Perhatikanlah deskripsinya berikut ini.

“Akhirnya, aku dan kedua Kakakku beserta keempat sahabatku langsung pergi menuju lantai atas. Di sana kami melihat bintang di langit bening tak berawan. Di antara gemintang itu, ada yang paling terang cahayanya. Sementara bulan, terlihat masih belum penuh. Dan, ketika kami lagi asyik memperhatikan bintang-bintang itu, maka tiba-tiba terlihat ada tiga bintang jatuh. Cahayanya meluncur dari langit begitu laju. Melihat itu, maka kami pun langsung menyebutkan permintaan di hati kami. Pecahlah tawa kami semua.” (GPM, hlm. 113—114).

GPM bercerita tentang indahnya persahabatan di antara kanak-kanak, dengan latar keluarga kelas menengah perkotaan. Tak cuma itu, tema cinta kasih begitu menyerlah (ketara): di antara anak-anak dengan orang tuanya secara timbal-balik, di antara siswa dan gurunya, di antara anak-anak dan pembantu rumah tangganya, di antara orang adik-beradik, dan sebagainya. Juga cita-cita kanak-kanak untuk membangun masa depannya. Pendek kata, kisahnya sangat inspiratif dan edukatif sekaligus. Dengan membaca novel ini, orang dewasa dapat memahami

Page 304: H. Abdul Malik

284 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

apa sesungguhnya yang dipikirkan dan kehidupan ideal yang didambakan oleh anak-anak.

Walau hidup berkecukupan dan kedua orang tuanya bekerja, Dina (tokoh utama) sangat bahagia karena ibunya menyempatkan diri untuk memasak dan kebiasaan keluarga untuk makan bersama di rumah. Si anak pun begitu bahagia dapat membantu ibu dan pembantunya bekerja di dapur. Dapur yang nyaris tak ada di dalam ilm dan sinetron kita, begitu mengemuka di dalam GPM. Si anak pun begitu bahagia dapat belajar bersama-sama dengan teman-temannya di rumah. Perhatian para orang tua ketika mereka menyempatkan diri menghadiri acara pertandingan anak-anaknya di sekolah membuat hati anak-anak berbunga-bunga. Lengkaplah kebahagiaan itu ketika Sang Ayah yang memimpin beribadah (menjadi imam salat berjamaah).

Guru yang baik kelihatan begitu cantik dan bercahaya. Sebaliknya, guru yang pemarah terlihat sangat murung, muram, dan jelek. Begitu guru pemarah itu berubah jadi baik, wajahnya serta-merta berubah menjadi bagai Tuan Putri yang tercantik di dunia. Itu sekilas tentang guru yang terekam di dalam GPM dan masih banyak lagi tentang guru.

“Kami saling (ber)cerita (tentang) kegiatan kami masing-masing. Satu yang pasti, sekarang kami setia melakukan kegiatan kami seperti dulu, menolong orang, dan lain-lain demi kebaikan… kami berkata: GEMINTANG PENABUR MATAHARI! Seperti dulu lagi. Gapai prestasi, buat bakti bagi negeri dengan sepenuh hati!” (GPM, hlm. 211). Rupanya, begitulah hasrat murni kanak-kanak sebelum mereka mendapatkan racun kehidupan dari orang dewasa. Mengapakah mereka harus diracuni? Berikanlah mereka laluan yang sehat: lahir dan batin.

Dalam siraman cinta kasih pelbagai pihak dan usaha yang tak kenal lelah, kanak-kanak itu menjadi remaja putri yang berhasil melanjutkan pendidikan sampai ke luar negeri, seperti yang mereka cita-citakan. Tak ada kegamangan, tak ada keraguan, tak ada kebimbangan sedikit jua pun karena cinta kasih membuat mereka kuat dan percaya diri. Para gadis itu menatap masa depan dengan optimistik sehingga mereka berhasil kuliah di Paris, kecuali Bella yang pergi lebih jauh dan lebih tinggi lagi melewati batas angkasa dunia.

“Sekarang Nindi menjadi artis yang juga dikenal luas. Mila menjadi pengarang lagu yang terkenal. Liana sebagai salah seorang pemusik terbaik. Dan Vely, menjadi pemain badminton yang hebat. Kalau aku berhasil mencapai cita-citaku, aku ingin menjadi profesor. Bella, seandainya kau masih hidup pasti kita akan bahagia seperti dulu lagi, kataku dalam hati,” begitu Tiara bercerita mendekati akhir GPM-nya. Sungguh cemerlang generasi penerus ini. Teruslah gemilang, Tiara, agar namamu menjadi terbilang! []

Page 305: H. Abdul Malik

285ABDUL MALIK

JATI DIRI Melayu, apa pun cabaran atau tantangannya, harus dipertahankan, dibina, dan dikembangkan. Karena apa? Seperti halnya bangsa mana pun

di dunia ini, orang Melayu hanya dapat berkembang secara maksimal dengan berpedomankan dan memanfaatkan budayanya sendiri. Kenyataan itu taklah berarti bahwa orang Melayu harus menutup diri dari budaya lain. Budaya luar yang positif dan tak bertentangan dengan budaya Melayu dan agama Islam boleh diserap sepanjang untuk memperkaya budaya Melayu. Berdasarkan pandangan seperti itulah budaya Melayu berkembang selama ini sejak zaman berzaman. Tak heranlah kita mendapati kenyataan bahwa unsur-unsur budaya Melayu seperti bahasa, kesusastraan, kesenian, makanan, pakaian, adat-istiadat, dan sistem pengetahuan telah mengadopsi sedikit atau banyak budaya bangsa-bangsa di seluruh dunia. Dengan begitu, budaya Melayu menjadi tak statis, tetapi terus berkembang secara dinamis sesuai dengan tuntutan semasa.

Di antara bangsa berbudaya Melayu yang mulai menyadari hakekat mustahaknya memelihara, membina, dan mengembangkan budaya sendiri itu setakat ini adalah Malaysia. Negara tetangga itu agak beruntung dalam hal ini karena konsep Melayu yang mereka anut sangat luas: berbahasa Melayu (apa pun dialeknya), beragama Islam, dan berbudaya serta beradat-resam nusantara. Berhubung dengan itu, untuk mencapai matlamat perjuangan yang mereka sebut “memperkasa tamadun Melayu”, mereka melakukan kerja sama dengan semua puak Melayu yang ada di seluruh dunia, termasuk dengan muslim India, Tiongkok, Inggris, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Dengan sesama bangsa Asia Tenggara kerja sama pelbagai bidang telah sangat intensif dilakukan, termasuk dengan Indonesia yang paling banyak dilakukan karena sesama bangsa serumpun.

Pemerintah Malaysia melaksanakan tugas itu melalui kerja sama multilateral dengan negara-negara yang berkenaan. Dalam pada itu, perguruan tinggi mereka melakukan kerja sama dengan pelbagai perguruan tinggi di dunia dalam bentuk

Mengembangkan Tamadun Melayu

Page 306: H. Abdul Malik

286 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kerja sama pendidikan, penelitian, pelatihan, dan sebagainya. Selanjutnya, organisasi dan lembaga swadaya masyarakat pun tak ketinggalan berhubungan dengan lembaga sejenis di seluruh dunia.

Yang paling menonjol setakat ini ialah apa yang dilakukan oleh Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) yang berpusat di Melaka Bandaraya Dunia dengan anggotanya ada di sebagian besar negara di dunia. Di bawah pimpinan Datuk Seri Haji Mohammad Ali bin Haji Mohammad Rustam, yang juga Ketua Menteri (setingkat gubernur kalau di Indonesia) Melaka, DMDI betul-betul bertekad untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu berdasarkan kesamaan budaya dan agama tanpa membabitkan geopolitik yang membatasi bangsa-bangsa itu. Yang menjadi dasar semata-mata kesamaan budaya dan agama untuk menjulang kembali tamadun Melayu. Pelbagai bentuk kerja sama telah dilakukan oleh DMDI, terutama dalam bidang pendidikan, kebudayaan, pariwisata, kesehatan, dan ekonomi. Sebagian besar provinsi di Indonesia menjadi anggota DMDI ini.

DMDI pulalah yang paling aktif mengadakan acara seni-budaya dengan menghimpun kesemua negara anggotanya. Setiap tahun banyak sekali kegiatan seni-budaya yang diselenggarakan dan membabitkan peserta yang banyak pula. Minggu lepas diadakan pertandingan pencak silat yang melibatkan negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, dan lain-lain. Biro Belia DMDI Provinsi Kepulauan Riau termasuk di antara perwakilan provinsi yang mengikuti kegiatan itu. Alhamdulillah, Kepulauan Riau berhasil meraih juara ketiga.

Basyaruddin “Oom” Idris, Ketua Biro Belia DMDI Provinsi Kepulauan Riau, dengan bangga menyatakan bahwa keikutsertaan belia menunjukkan bahwa para pemuda sudah menaruh perhatian yang besar terhadap budaya Melayu. “Bukan menang atau kalah yang kami pikirkan. Akan tetapi, kita ingin menunjukkan bahwa para pemuda siap untuk memperkasa tamadun Melayu melalui seni-budaya, olahraga, pendidikan, dan sebagainya,” kata Oom, panggilan akrab Basyaruddin Idris itu.

Seperti yang disebutkan di muka bahwa perguruan tinggi Malaysia pun sangat lasak memperjuangkan pemerkasaan tamadun Melayu ini. Di antara perguruan tinggi itu memang sudah ternama di Asia, bahkan di dunia, seperti Universiti Pendidikan Sultan Idris, Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Teknologi Malaysia, Universiti Pertanian Malaysia, dan sebagainya. Kesemua disiplin ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan di universitas-universitas itu sekarang mulai disepadukan dengan budaya Melayu dan atau dimanfaatkan untuk mengembangkan tamadun Melayu. Di samping itu, Fakultas dan atau Jurusan (di Malaysia disebut Jabatan) Alam dan Tamadun Melayu didirikan di setiap universitas tersebut.

Page 307: H. Abdul Malik

287ABDUL MALIK

Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Tanjung Malim, Perak sebagai universitas tertua di Malaysia pada 30 Mei 2011 menandatangani kesepakatan kerja sama dengan delapan perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi itu terdiri atas Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Kepulauan Riau; Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung; Universitas Jenderal Sudirman; Universitas Pasundan; Universitas Islam Bandung; Universitas Siliwangi; Universitas Cordova; dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komunikasi, Purwokerto. Kerja sama yang akan dilakukan meliputi pertukaran mahasiswa, pertukaran dosen, program pendidikan sarjana dan pascasarjana (S1, S2, dan S3), penelitian bersama, penerbitan buku dan jurnal ilmiah, program-program beasiswa, dan lain-lain. Kerja sama itu dilakukan dengan matlamat untuk memperapatkan perhubungan antara Indonesia dan Malaysia serta mengembangkan pendidikan dan kebudayaan kedua negara melalui aktivitas institusi pendidikan tinggi.

Satu lagi organisasi yang sangat lasak menyambungkan tali silaturrahim sesama Melayu adalah Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia. Organisasi yang saat ini diterajui oleh Prof. Dr. Datuk Wira Haji Abdul Latiff Abu Bakar yang melanjutkan kepemimpinan Prof. Tan Sri Haji Ismail Hussein (mantan Guru Besar Sastra, Universiti Malaya, Kuala Lumpur) itu setakat ini telah berhubungan dengan sebagian besar bangsa Melayu dan Islam di seluruh dunia. Mereka pun telah banyak bekerja sama dengan pemerintah daerah di Indonesia.

Anggotanya terdiri atas para penulis dan seniman dalam pelbagai bidang. Dengan cara itulah mereka membina dan mengembangkan budaya Melayu di Malaysia. Di samping itu, Gapena sangat giat memperjuangkan kepentingan orang Melayu di Malaysia, yang kini telah menjadi negara pelbagai kaum (multietnis). Satu di antara perjuangan itu ialah mereka telah berhasil mengembalikan bahasa Melayu sebagai pengantar pendidikan, yang sebelumnya selama beberapa tahun sempat digantikan dengan bahasa Inggris. Gapena nampaknya sangat perkasa dan percaya diri dengan khidmat mengawalnya itu karena mereka memang terdiri atas para tokoh dan intelektual Melayu Malaysia yang namanya sangat diperhitungkan di negara jiran itu.

Bagi kita di Kepulauan Riau, kerja sama dengan pelbagai pihak di Malaysia itu seyogianya dimanfaatkan sebaik mungkin. Pengalaman mereka membangun tamadunnya sehingga tak lama lagi akan setaraf dengan bangsa yang maju patutlah ditiru untuk membina dan mengembangkan kebudayaan Melayu di sini. Begitu pula kerja sama dalam bidang pendidikan semoga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah ini sehingga berdampak pada kenaikan kesejahteraan masyarakat. Jika itu dapat dilakukan, berarti kita telah mengembangkan tamadun Melayu secara berarti untuk kemaslahatan manusia sejagat.[]

Page 308: H. Abdul Malik

288 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

DI NEGARA kita sekarang Pendidikan Budi Pekerti dilaksanakan kembali. Kebijakan itu diambil berdasarkan, antara lain, Ketentuan Umum, Pasal 1,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecedasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, Pendidikan Budi Pekerti secara umum bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur kepada peserta didik supaya mereka menjadi manusia seutuhnya.

Budi pekerti merupakan ungkapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta. Kata budi berasal dari bud yang berarti ‘kesadaran, pengertian, pikiran, dan kecerdasan’. Selanjutnya, kata pekerti berarti ‘penampilan, pelaksanaan, aktualisasi, dan perilaku’. Dengan demikian, secara etimologis budi pekerti berarti ‘perilaku atau penampilan diri yang berbudi’. Dengan Pendidikan Budi Pekerti, peserta didik tak hanya diharapkan memiliki pengetahuan dan kemahiran dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; tetapi juga mengamalkan perilaku yang mulia dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku yang berbudi itu diaktualisasikan di dalam pikiran, perasaan, keinginan, sikap, perkataan, perbuatan, dan hasil karya.

Berdasarkan pengertian di atas, Pendidikan Budi Pekerti, secara konsepsional, berarti usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur atau berakhlak mulia. Atas dasar itu, secara operasional, Pendidikan Budi Pekerti merupakan upaya untuk membentuk perilaku berbudi pada peserta didik yang tecermin di dalam pikiran, perasaan, keinginan, sikap, perkataan, perbuatan, dan hasil karya berdasarkan nilai, norma, dan moral luhur

Pendidikan Budi Pekerti

Page 309: H. Abdul Malik

289ABDUL MALIK

bangsa Indonesia melalui kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan pelatihan).

Dalam era globalisasi ini perhatian terhadap Pendidikan Budi Pekerti memang patut diutamakan. Pasal, dampaknya tak hanya dirasakan dalam bidang ekonomi dan politik, tetapi juga dalam bidang budaya. Pelbagai nilai budaya asing yang masuk memerlukan tapisan karena tak kesemuanya positif atau cocok untuk bangsa Indonesia. Dengan pengetahuan, pemahaman, dan kecintaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa sendiri diharapkan peserta didik memiliki jati diri yang kokoh sehingga dapat bersaing secara bermartabat dengan bangsa mana pun di dunia ini. Dengan begitu, mereka dapat mempersiapkan dan membangun masa depannya, bangsanya, dan negaranya dengan lebih baik.

Telah disebutkan di atas bahwa pedoman nilai Pendidikan Budi Pekerti adalah norma, nilai, moral luhur bangsa kita sendiri, Indonesia. Dengan demikian, setiap daerah dapat memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung di dalam puncak-puncak kebudayaan daerah masing-masing untuk ditransferkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila tetaplah menjadi rujukan utama.

Berdasarkan kenyataan itu, Pendidikan Budi Pekerti menjadi upaya yang bagaikan “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.” Dengan ungkapan itu dimaksudkan, melalui Pendidikan Budi Pekerti peserta didik diperkenalkan secara lebih intensif lagi dengan budaya terala (luhur) bangsanya sendiri sehingga diharapkan mereka akan lebih mencintainya. Lebih daripada itu, mereka memperoleh pedoman nilai, norma, dan moral untuk diaktualisasikan dalam perilaku hidup sehari-hari. Alhasil, akan terbentuk generasi penerus bangsa yang tak hanya menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; tetapi juga berbudi pekerti halus dan berkarakter sesuai dengan kepribadian bangsanya sendiri.

Setakat ini kebijakan yang diambil untuk mengimplementasikan Pendidikan Budi Pekerti melalui pengintegrasian (pemaduan) ke dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal itu berarti Pendidikan Budi Pekerti disepadukan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai budi pekerti ditransferkan kepada peserta didik melalui mata pelajaran tersebut yang disesuaikan dengan materi yang diajarkan. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas materi tentang berbicara, misalnya, peserta didik tak hanya diarahkan untuk berbicara secara logis, sistematis, dan rasional; tetapi juga dipandu untuk menunjukkan sikap sopan-santun (berbudi). Begitu pulalah sebaliknya ketika menanggapi pembicaraan orang lain, sikap harga-menghargai, hormat-menghormati, bertimbang rasa, dan sebagainya sebagai nilai budi pekerti yang harus diutamakan.

Kepulauan Riau menetapkan nilai-nilai yang terdapat di dalam Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji sebagai nilai utama yang menjadi rujukan Pendidikan Budi

Page 310: H. Abdul Malik

290 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Pekerti di daerah ini. Di samping itu, juga dimanfaatkan nilai-nilai yang terdapat di dalam khazanah budaya pantun, syair, peribahasa, cerita rakyat, dan sebagainya. Khazanah budaya itu tak diragukan lagi memang mengandung nilai-nilai terala lagi ranggi. Gurindam Dua Belas, misalnya, berisi pedoman hidup yang sangat mulia, yang tak sesiapa pun akan membantahnya. Bahkan, karya Raja Ali Haji itu menjadi materi pelajaran Bahasa Indonesia secara nasional.

Perihal Gurindam Dua Belas dijadikan rujukan utama Pendidikan Budi Pekerti di daerah ini tak terlepas dari gagasan H. Muhammad Sani, Gubernur Kepulauan Riau. Dalam beberapa kesempatan, beliau menyampaikan bahwa sangat patut dan tepat apabila karya Raja Ali Haji itu dijadikan acuan Pendidikan Budi Pekerti. Ternyata, gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari kalangan praktisi pendidikan, baik nasional maupun daerah karena memang sangat cocok dengan matlamat pendidikan yang hendak dilaksanakan.

Jadilah Provinsi Kepulauan Riau daerah pertama yang mengimplementasikan Pendidikan Budi Pekerti dari kesemua provinsi di Indonesia. Setakat ini para guru dan pengawas dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP/MTs), sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SMA/MA/SMK) sedang melaksanakan pelatihan untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terdapat di dalam Gurindam Dua Belas dan nilai-nilai budaya Melayu menjadi bahan dan media Pendidikan Budi Pekerti. Pengintegrasian itu dilakukan ke dalam pemetaan materi, silabus, dan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP). Pada gilirannya nanti, sudah tentulah dikembangkan buku teks untuk melengkapi kesemua sarana pembelajaran yang diperlukan.

Dari pelaksanaan pelatihan yang telah berlangsung beberapa bulan ini, kita patutlah memberikan apreasiasi kepada para guru dan pengawas yang mengikuti kegiatan tersebut. Mereka umumnya sangat bersemangat untuk memajukan Pendidikan Budi Pekerti ini, khususnya, dan bidang pendidikan di daerah ini, umumnya. Walaupun harus mengikuti pelatihan dari pagi sampai ke malam hari selama berminggu-minggu tak ada kesan letih atau bosan pada diri mereka. Dan, mereka nampaknya sangat yakin bahwa kalau program ini dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, matlamat yang hendak dituju akan tercapai.

Selain optimisme itu, kita menyadari bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung juga kepada sinergi antara orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang lain. Intinya, program ini harus berhasil. Kini kita dihadapkan pada dua pilihan: program ini berhasil atau kita akan makin terpuruk sebagai bangsa. Semoga Allah memberikan inayah-Nya kepada kita.[]

Page 311: H. Abdul Malik

291ABDUL MALIK

NAMA asli dan lengkapnya Raja Khalid bin Raja Hasan. Walaupun begitu, beliau lebih dikenal dengan nama tanpa gelar bangsawan, Khalid Hitam. Raja Hasan,

ayahndanya, adalah putra Raja Ali Haji. Dengan demikian, beliau adalah cucunda Raja Ali Haji.

Setakat ini tak dapat dipastikan tarikh kelahiran Khalid Hitam. Hanya beliau dipastikan meninggal di Jepang pada 11 Maret 1914 dalam misi politik bilateral untuk menyelamatkan negaranya, Kerajaan Riau-Lingga, dari belenggu penjajahan Belanda.

Beliau pergi ke Jepang untuk meminta bantuan Pemerintah Jepang. Sebelum meninggal di Negeri Sakura itu, telah dua kali Raja Khalid bin Raja Hasan berkunjung ke Jepang yakni pada 1911 dan 1912 untuk menjalankan misi yang sama. Memang, pada 1911 Sultan Abdurrahman Muazamsyah dimakzulkan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda sehingga Kerajaan Riau-Lingga jatuh. Pemerintah dan rakyat Kerajaan Riau-Lingga tentu tak menerima perlakuan penjajah itu. Untuk mengembalikan kejayaan negaranya itulah, Khalid Hitam berbolak-balik ke Jepang dalam suatu misi rahasia. Upayanya gagal dan Kerajaan Riau-Lingga serta sultannya tak bangkit-bangkit lagi sejak itu. Sejak itu pula sistem pemerintahan monarki lenyap di Kepulauan Riau, yang resmi pembubarannya dilakukan penjajah Belanda pada 1913.

Raja Khalid menikah dengan sepupunya, yang juga keturunan bangsawan Kerajaan Riau-Lingga bahkan juga cucunda Raja Ali Haji, Raja Aisyah binti Raja Sulaiman. Istri beliau adalah pengarang ternama, yang lebih dikenal dengan sapaan, juga tanpa gelar kebangsawanan, Aisyah Sulaiman. Dengan demikian, kedua orang bersuami-istri itu merupakan pasangan dan keluarga pengarang. Kenyataan itu juga membuktikan bahwa di Kerajaan Riau-Lingga profesi pengarang sangat dihormati dan dimuliai atau pekerjaan yang bergengsi. Itulah sebabnya,

Khalid Hitam

Page 312: H. Abdul Malik

292 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

banyak kalangan keluarga Diraja Riau-Lingga melibatkan diri ke dalam pekerjaan terhormat itu.

Sebagai putri Diraja Melayu, Aisyah Sulaiman, istri Khalid Hitam, sangat akrab dengan kehidupan di lingkungan istana Kerajaan Riau-Lingga. Di sanalah yaitu di tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda (Raja Muda) Kerajaan Riau-Lingga, di Pulau Penyengat, beliau dilahirkan dan dibesarkan. Akan tetapi, kehidupan di lingkungan istana Diraja di Pulau Penyengat, di tanah tumpah darahnya, itu tak dapat dinikmatinya sampai ke akhir hayatnya. Pasal, pada 1913 Kerajaan Riau-Lingga dimansuhkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena tak sudi hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda, Aisyah Sulaiman bersama suami dan keluarganya berhijrah ke Singapura. Tak lama bermastautin di Singapura, beliau harus berpindah lagi ke Johor karena menghindari orang-orang yang menaruh hati terhadapnya selepas suaminya tercinta meninggal di Jepang. Di Johorlah, kemudian, Aisyah Sulaiman bertempat tinggal sampai ke akhir hayatnya.

Dalam tradisi kepengarangan, Aisyah Sulaiman dapat digolongkan sebagai pelopor pengarang zaman peralihan atau transisi dari kesusastraan Melayu tradisional ke kesusastraan Melayu-Indonesia modern. Kenyataan itu ditinjau dari sudut masa kepengarangan dan tema karya yang dihasilkan walaupun beliau masih menggunakan genre kesusastraan tradisional yaitu syair dan hikayat. Dengan berdasarkan sudut pandang itu, pendapat yang selama ini menyebutkan bahwa Munsyi Abdullah bin Munsyi Abdul Kadir atau Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai pelopor kesusastraan modern Melayu harus diperdebatkan. Pasal, Munsyi Abdullah hidup sampai pertengahan abad ke-19, sedangkan masa peralihan kesusatraan tradisional Melayu ke modern Melayu berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 sampai dengan perempat awal abad ke-20. Masa-masa itulah Aisyah Sulaiman sedang giat-giatnya berkarya, sedangkan Munsyi Abdullah telah tiada. Lagi pula, karya-karyanya telah mengungkapkan perubahan dalam masyarakat, dari masyarakat lama Melayu ke masyarakat baru Melayu dan perjuangan masyarakat, terutama kaum perempuan, merobohkan tembok-tembok kokoh tradisi yang diangggap tak lagi sesuai dengan perubahan zaman.

Dalam karirnya sebagai pengarang, sepanjang yang dapat diketahui, Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya. Karya-karya tersebut diperikan sebagai berikut.

Hikayat Syamsul Anwar atau Hikayat Badrul Muin. Hikayat ini diduga merupakan karya awal Aisyah Sulaiman.

Syair Khadamuddin. Karya ini diterbitkan pada 1345 H. atau 1926 M. Menurut beberapa peneliti, syair ini ditulis setelah beliau pindah ke Singapura.

Page 313: H. Abdul Malik

293ABDUL MALIK

Hikayat Syarif al-Akhtar. Hikayat ini baru diterbitkan setelah Aisyah Sulaiman meninggal dunia yaitu pada 1929 M.

Syair Seligi Tajam Bertimbal. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, dalam karyanya ini Aisyah Sulaiman tak menggunakan nama asli, tetapi memakai nama samaran Cik Wok Aminah.

Kembali ke Khalid Hitam. Sebagai politisi yang sangat menentang pemerintah kolonial Belanda, begitu Kerajaan Riau-Lingga jatuh ke tangan musuh, Khalid Hitam tak mau lagi tinggal di tempat kelahirannya di Pulau Penyengat Indrasakti. Jika tetap di tanah kelahiran, berarti beliau harus mengakui keabsahan Pemerintah Hindia-Belanda di tanah tumpah darahnya. Raja Khalid tak merelakan dirinya dan keluarganya menanggung aib seperti itu, menjadi anak jajahan di negara sendiri.

Dengan memegang idealisme itulah, Raja Khalid bin Raja Hasan berpindah ke Singapura bersama keluarganya. Singapura suatu masa dahulu memang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan pada saat sama rajanya tak dimakzulkan walaupun di bawah pemerintahan Inggris. Lagi pula, Khalid Hitam memiliki siasat lain yaitu berkunjung ke Jepang untuk meminta bantuan menumpaskan penjajahan Belanda melalui Singapura. Malangnya, pada misi terakhirnya 1914 beliau wafat di negeri orang, Jepang.

Sebagai suami, Raja Khalid bin Raja Hasan sangat dicintai oleh dan menjadi inspirasi istrinya, Raja Aisyah Sulaiman, dalam berkarya. Kehidupan rumah tangga mereka disamarkan Aisyah Sulaiman dalam karya-karyanya. Oleh sebab itu, tak heran ada pengamat yang berpendapat bahwa karya Aisyah Sulaiman sesungguhnya biogra i yang ditulis secara tersamar dalam bentuk hikayat dan syair serta telah menonjolkan individualitas.

Selain sebagai politisi ulung, Khalid Hitam juga dikenal sebagai seorang pengarang, sama halnya dengan istrinya tercinta. Dalam kapasitasnya sebagai pengarang, beliau diketahui telah menghasilkan tiga buah karya. Dua di antara karya itu merupakan karya sastra yaitu (1) Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura dan (2) Syair Peri Keindahan Istana Sultan Johor yang Amat Elok. Satu lagi karyanya tak tergolong karya sastra yaitu Tsamarat al-Matlub Fi Anuar al-Qulub.

Dengan memperhatikan karya-karyanya, jelaslah bahwa Khalid Hitam merupakan pengarang di pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau terbukti sebagai seorang lagi bangsawan Melayu Riau-Lingga yang menambah rancak dan semaraknya kepengarangan sastra dan aktivitas intelektual di dunia Melayu kala itu.

Page 314: H. Abdul Malik

294 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Jelaslah bahwa Khalid Hitam telah berkhidmat dan berjuang dalam dua bidang sekaligus: politik dan kebudayaan. Kesemuanya itu dilakukannya untuk kejayaan bangsanya. Sikapnya yang tegas dalam menentang penjajah membuat musuhnya harus berbelah bagi sikap ketika berhadapan dengannya: membencinya dan menghormatinya sekaligus. Hanya wira berjiwa tangguhlah yang rela melepaskan kemewahan duniawi untuk memperjuangkan marwah bangsanya. Lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Dan, sikap itu dimiliki dengan tanpa cela oleh seorang Khalid Hitam. []

Page 315: H. Abdul Malik

295ABDUL MALIK

RAJA Romawi hendak menikahkan putranya dengan putri Raja China. Baginda mengundang kesemua sahabatnya di seluruh dunia. Di antara sahabat yang

diundang itu tersebutlah Raja Merong Mahawangsa. Para pemimpin negeri itu diundang bukan karena pernikahan putra Baginda akan dilangsungkan di Romawi, melainkan di negeri calon menantunya, Negeri China. Lalu, untuk apakah raja-raja seluruh dunia itu diundang ke Romawi?

Kisah itu dapat kita baca di dalam Hikayat Merong Mahawangsa. Hikayat ini merupakan sastra sejarah yang berkisah tentang tokoh Merong Mahawangsa, seorang Raja Melayu yang sangat perkasa lagi sakti. Sebagai sastra sejarah, tentulah kisahnya berupa paduan yang serasi antara fakta sejarah dan iksi untuk, antara lain, memperindah kisahnya. Kebesaran namanyalah yang menyebabkan Raja Merong Mahawangsa bersahabat dengan raja-raja ternama di dunia seperti Raja Romawi dan Raja China.

Apakah kelebihan Merong Mahawangsa? Dari kisah ini dapatlah diketahui bahwa Merong Mahawangsa sangat mahir dalam pelayaran dan pertempuran di laut. Dia sangat paham perihal lautan di Asia sehingga sangat hafal akan rute perjalanan sampai ke Negeri China. Tak hanya sampai di situ. Dia pun sangat mengetahui selok-belok lautan di Eropa sehingga selalu berbolak-balik ke Romawi. Itulah pula sebabnya dia dikenal oleh untuk kemudian bersahabat dengan Raja Romawi.

Selain itu, Raja Merong Mahawangsa yang wira Melayu ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Di dalam pelayaran dan pertempuran di laut dan di darat dia tak pernah mengenal rasa takut. Dia pun memiliki senjata yang hebat berupa panah yang anak-anak panahnya terdiri atas tiga macam dengan nama yang berbeda: ayun-ayunan, berana pura, dan pusar sempani gembira. Keistimewaan anak-anak panah itu dapat berubah wujud sesuai dengan perlawanan yang dilakukan oleh pihak musuh. Dengan kelebihan itu, segala bentuk serangan musuh dapat dielak, ditangkis, dan atau diserang balik. Sungguh luar biasa kehebatan senjata itu. Senjata sehebat itu tentulah hanya dimiliki oleh orang yang luar biasa hebatnya pula.

Merong Mahawangsa

Page 316: H. Abdul Malik

296 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Rupanya, selain mengabarkan perihal rencana pernikahan putranya dengan putri Raja China, Raja Romawi mengundang para sahabatnya untuk meminta bantuan. Pertolongan yang diharapkan itu tiada lain untuk mengawal dan mengantarkan putranya ke Negeri China. Pada masa itu pelayaran di laut taklah aman, terutama bagi para pemimpin negeri dan keluarganya. Para lanun dan perompak senantiasa mengintip mangsanya. Mengetahui permintaan Raja Romawi, tentulah kesemua sahabatnya bersedia memenuhinya. Mereka berbangga kalau dapat mengantarkan dan mendampingi putra Raja Romawi sampai ke Negeri China.

Di antara para sahabatnya raja-raja sedunia itu, ternyata Raja Romawi memilih Merong Mahawangsa, Raja Melayu, untuk mengawal dan mengantarkan anandanya. Pilihan itu bukanlah sebarang pilihan, melainkan pilihan seorang raja bijak yang mengetahui reputasi kesemua sahabatnya para pemimpin dunia kala itu. Pilihan terhadap Merong Mahawangsa karena dia terkenal ke sekutah-kutah negeri sebagai raja yang sangat menguasai lautan dan paling mahir dalam peperangan di laut. Begitu pula keberaniannya yang tak bertolok banding menjadikan namanya termasyhur di kalangan pemimpin dunia. Ringkasnya, jadilah Merong Mahawangsa yang mendampingi putra Raja Romawi ke Negeri China.

Dalam pada itu, mendapat kabar bahwa putri Raja China akan menikah dengan putra Raja Romawi, rupanya ada pihak yang tak suka. Makhluk yang tak menyukai itu bukanlah pula manusia, melainkan seekor burung yang sangat sakti dan lagi perkasa: garuda. Pernikahan itu tak boleh dilangsungkan dan kedua orang muda itu harus dipisahkan. Itulah yang ada di benak garuda dan ia konsisten dengan sikap permusuhan itu.

Niat penghalangannya langsung dilaksanakan dengan tindakan. Suatu hari ia terbang ke Negeri China dan menculik putri Raja China yang sedang bermain di taman bersama inang pengasuh dan dayang-dayang. Tak hanya Tuan Putri yang dibawanya, inang pengasuh dan dayang-dayang juga diterbangkannya ke Pulau Langkapuri, tempat garuda bermastautin. Di pulau itulah putri Raja China disembunyikan. Setelah itu, garuda mulai menyerang putra Raja Romawi yang dikawal oleh Merong Mahawangsa dalam pelayaran mereka menuju Negeri China.

Pertempuran yang dahsyat antara garuda dan Merong Mahawangsa terjadi di laut itu. Kedua belah pihak mengerahkan segala kekuatan dan kesaktian masing-masing untuk saling mengalahkan. Akan tetapi, setiap serangan yang dilakukan oleh garuda dapat dilawan oleh Raja Merong Mahawangsa sehingga garuda kewalahan dan melarikan diri untuk bersembunyi.

Setelah beberapa hari, garuda tak lagi menyerang rombongan Merong Mahawangsa dan putra Raja Romawi. Mereka berasa perjalanan telah aman dari rintangan dan gangguan. Tak lama berlayar dari tempat pertempuran itu, mereka menemukan sebuah pulau. Merong Mahawangsa singgah di pulau itu untuk

Page 317: H. Abdul Malik

297ABDUL MALIK

menambah kayu bakar dan air, sedangkan putra Raja Romawi dimintanya terus berlayar dan nanti akan disusulnya. Tak disangka, garuda terus mengintai dan ketika dilihatnya Merong Mahawangsa tak mengiringi kapal putra Raja Romawi, rombongan putra mahkota itu diserangnya. Putra Raja Romawi dan anak buahnya tak berdaya menghadapi serangan garuda. Kapalnya pecah dan tenggelam.

Dalam kegirangan yang luar biasa, garuda melapor kepada Nabi Sulaiman bahwa ia telah menggagalkan pernikahan kedua anak pemimpin negeri yang berlainan bangsa itu. Sebelum melaksanakan niatnya, ia memang telah memberitahukan hal itu. Menurut Nabi Sulaiman kala itu, kalau kedua anak muda itu memang dijodohkan Tuhan, garuda tak dapat menghalanginya. Garuda tak percaya. Mendengar laporan garuda, Nabi Sulaiman ketawa dan memerintahkan Harman Syah, bangsa jin, untuk membawa kedua orang muda itu ke istananya. Alangkah terkejutnya garuda. Bagaimanakah keduanya dapat bertemu? Itu panjang ceritanya. Harman Syah, kemudian, diperintahkan mengantarkan keduanya dan pengasuhnya ke Negeri China.

Merong Mahawangsa terus mencari putra Raja Romawi dan sempat singgah di Pulau Seri atau Langkasuka, hunian para raksasa. Dia diminta jadi raja di situ dan membangun negeri (istri Merong Mahawangsa keturunan raksasa). Negeri itu jadi masyhur di bawah pimpinannya sehingga banyak orang dari pelbagai belahan dunia berdatangan. Dari tempat itulah dia mengetahui bahwa putra Raja Romawi telah diselamatkan oleh Nabi Sulaiman dan dia sangat bersyukur. Dia pun menikahkan putranya Raja Merong Mahapudisat dengan putri Raja Kelinggi, Aceh, dan menjadikan putranya raja di negeri yang kemudian dinamai Kedah Zaman Turan. Keturunannyalah yang menjadi raja-raja Kedah dan Perak, Malaysia, dan Thailand sekarang.

Hikayat Merong Mahawangsa mengabarkan bahwa bangsa Melayu telah lama berhubungan baik dengan bangsa China dan Eropa. Sebelum bangsa Asia lain dan bangsa Eropa datang ke kawasan kita, bangsa Melayu lebih dulu merayau ke Timur dan Barat serta termasyhur sebagai bangsa yang sangat mahir dalam pelayaran dan perkasa dalam pertempuran di laut. Kisah itu pun terdapat di dalam berita China, India, dan Eropa. Budi pekertinya yang cinta damai telah menyatukan Timur dan Barat seperti yang dikiaskan oleh riwayat di atas. Dan, Merong Mahawangsa adalah satu di antara tokoh legendaris yang membuktikan kebesaran Melayu pada masa lampau. Akankah dia kembali bangkit? Kesemuanya terpulanglah kepada kita yang hidup hari ini setelah sekian lama terbenam dalam memori sebagai bangsa yang pernah terjajah. []

Page 318: H. Abdul Malik

298 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SETELAH beberapa bulan dilaksanakan, Pelatihan (TOT) Guru Pendidikan Budi Pekerti Tingkat Provinsi Kepulauan Riau 2011 memasuki bagian-bagian

terakhir. Teman-teman para pengawas dan guru pendidikan dasar (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah) telah pun menyelesaikan baktinya mengikuti pelatihan. Selebihnya, teman-teman pendidik (pengawas dan guru) pendidikan menengah (sekolah menengah atas, madrasah aliyah, dan sekolah menengah kejuruan) mengikuti pelatihan tahap akhir.

Mereka pun telah berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang Pendidikan Budi Pekerti kepada teman-teman guru di kabupaten/kota masing-masing, yang belum mengikuti pelatihan, terutama di sekolah-sekolah yang terjangkau. Penyebaran pengetahuan dan pengalaman itu akan diteruskan setelah pelatihan selesai sehingga kesemua guru Provinsi Kepulauan Riau memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang sama. Tahun ajaran 2011/2012 Provinsi Kepulauan Riau telah melaksanakan Pendidikan Budi Pekerti secara menyeluruh. Sebuah kerja besar, penuh cabaran (tantangan), sekaligus sangat mulia.

Ditilik dari sudut pandang budaya kita dan tujuan pendidikan nasional, inilah pendidikan yang sesungguhnya: melahirkan insan Indonesia yang berbudi pekerti terala dan berakhlah mulia yang mampu mengembangkan potensi kecerdasannya, baik kecerdasan spiritual, emosional, maupun intelektual. Bakti ini akan semakin mendapat cabaran jika ternyata nanti pihak-pihak yang berkepentingan tak ikut proaktif untuk menjayakannya. Akan tetapi, jika kesemua pihak mengambil berat (menaruh perhatian) akan tugas mulia ini dengan semangat senasib-sepenanggungan, seiya-sekata, dan seaib-semalu; manfaat dan hasil yang akan kita peroleh akan sangat luar biasa.

Kita dengan bangga akan menyaksikan anak bangsa, anak-cucu kita, akan

Budi Pekerti dan Buku Teks

Page 319: H. Abdul Malik

299ABDUL MALIK

tumbuh sebagai manusia harapan bangsa yang rela berkorban apa saja demi marwah dan martabat nusa, bangsa, dan tanah airnya. Sebab apa? Karena, “di sini tempat lahir beta, dibuai dan dibesarkan Bunda, tempat bernaung di hari (kecil, muda, dan) tua, sampai nanti menutup mata.” Anak bangsa yang menghayati nilai-nilai terala itu tak akan pernah rela membuat ibu pertiwinya menderita, apa lagi menangis. Anak bangsa yang memiliki kekayaan rohaniah seperti itu jauh lebih berguna untuk membangun bangsanya dibandingkan mereka yang lena bertilam dan berbantalkan materi, tetapi berjiwa kering-kerontang dan tak bertimbang rasa, yang menganggap Indonesia Pusaka nan Jaya ini milik dia seorang, keluarganya, dan para kroninya.

Pelatihan Guru Pendidikan Budi Pekerti telah memungkinkan para guru mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) mata pelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai budi pekerti dan karakter bangsa Indonesia. Selain itu, mereka pun telah memahiri pelbagai metode dan teknik yang dapat diterapkan dalam pengajaran di kelas. Bagi para guru yang memang saban hari bergelut dan bergulat dalam kerja-kerja profesional seperti itu, nyaris tak ada hambatan yang berarti untuk mengembangkan kesemua kiat yang diperlukan sekaligus memang dituntut oleh kegiatan pendidikan itu.

Ada satu hal mustahak ditemui ketika berdiskusi dengan teman-teman guru kesemua peringkat di Kepulauan Riau. Ketika membahas materi “Tokoh Idola”, misalnya, mereka menampilkan tokoh nasional, tetapi tak satu pun yang berasal dari daerah ini. Jika kenyataan itu terus berlanjut, dapat dipastikan akan terkesan di pikiran para peserta didik bahwa di daerahnya tak ada tokoh yang menjadi tokoh nasional dan patut dijadikan idola. Padahal, kita tahu bahwa ada banyak tokoh yang memiliki reputasi nasional dan internasional dari daerah ini dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Dengan keadaan seperti itu, bukan tak mungkin para peserta didik hanya tahu bahwa Gurindam Dua Belas yang mereka pelajari, misalnya, tetapi mereka tak mengenal Raja Ali Haji, pengarangnya, secara memadai. Pendek kata, mereka jadi lebih mengenal tokoh nasional dari daerah lain dibandingkan dengan tokoh dari daerahnya sendiri. Bukan berarti para peserta didik tak boleh mengenal tokoh dari daerah lain, hanya pengenalannya secara proporsional (berimbang) dengan tokoh yang berasal dari daerahnya sendiri akan memberikan kebanggaan yang lebih dalam diri peserta didik kita.

Kita tahu pasti bahwa ada banyak tokoh dari daerah ini dalam pelbagai bidang yang patut dibaggakan, sama ada laki-laki ataupun perempuan. Kolom Budaya, Batam Pos pun, dalam perkhidmatannya hampir tiga tahun, telah memperkenalkan cukup banyak tokoh dari daerah ini walaupun secara sekilas. Keterbatasan ruang kolom membuatnya tak dapat diperikan secara panjang lebar. Lagi pula, kolom ini merupakan tulisan di media massa, berbeda dengan buku.

Page 320: H. Abdul Malik

300 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Ketika saya tanyakan penyebab hal itu terjadi kepada teman-teman guru kita, mereka secara aklamasi menjawab ini. Buku paket yang mereka gunakan di sekolah memang hanya memuat tokoh-tokoh nasional dari luar daerah ini. Itulah puncanya. Para pendidik dan peserta didik kita sangat tergantung pada buku paket. Malangnya, buku-buku paket itu dan buku bacaan lainnya umumnya ditulis oleh penulis dan diterbitkan oleh penerbit dari daerah lain. Tentulah mereka hanya memperkenalkan tokoh-tokoh dari daerah mereka saja karena, mungkin, hanya tokoh dari daerah mereka saja yang mereka kenal.

Kota Tanjungpinang memang telah cukup banyak menerbitkan buku yang berkaitan dengan ketokohan para tokoh sejarah daerah ini. Akan tetapi, jumlah buku yang dicetak masih sangat terbatas, antara 1.000 sampai dengan 2.000 buku setiap judul. Tentulah buku-buku itu tak memenuhi keperluan buku teks untuk kesemua sekolah di Kepulauan Riau dan tak kesemuanya sampai ke sekolah-sekolah di seluruh Kepulauan Riau. Bahkan, ada buku yang ditulis di daerah ini telah menjadi bacaan di perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Australia, tetapi sekolah dasar di Kabupaten Karimun, umpamanya, tak memilikinya. Itulah ironisnya. Lagi pula, buku-buku itu belum tersusun menurut standar keterbacaan berdasarkan peringkat pendidikan (pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah menurut kelasnya). Pasal apa? Pasal, buku-buku itu umumnya ditulis untuk bacaan umum, bukan khusus untuk buku pelajaran (buku paket) sekolah berdasarkan jenjang pendidikannya.

Dengan memperhatikan perkara di atas, sudah pada tempatnyalah diupayakan penulisan dan penerbitan buku-buku pelajaran untuk sekolah-sekolah kita di sini. Buku-buku yang dimaksud, terutama, yang berkaitan dengan tokoh-tokoh dan nilai-nilai budaya daerah sehingga dapat menyokong pengembangan Pendidikan Budi Pekerti dan jenis pendidikan yang lain di sekolah-sekolah. Buku-buku itu harus disusun berdasarkan peringkat kelas untuk kesemua jenjang pendidikan. Kalau pun tak dapat dalam bentuk buku paket, buku bacaan pelengkap pun sudah memadai pada tahap permulaan. Penyusunan dan atau penulisan buku-buku itu harus memenuhi standar didaktik-metodik, keterbacaan, cakupan materi kurikulum, dan kebakuan bahasanya. Para penulisnya haruslah orang-orang yang memang memahami akan hal-hal penting itu sehingga bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Pendidikan memang tak dapat dipisahkan dengan buku walaupun tak hanya buku yang digunakan orang untuk belajar. Oleh sebab itu, ketersediaan buku yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, akan ikut menentukan tercapainya tujuan pendidikan.[]

Page 321: H. Abdul Malik

301ABDUL MALIK

AGAK aneh memang. Sesama penggiat kebudayaan, saya dan Tusiran Suseno kali pertama bersemuka bukan pada peristiwa budaya, melainkan pada peristiwa

politik. Kala itu pada awal 2006 saya mencalonkan diri untuk menjadi Bupati Karimun periode 2006—2011. Karena mengetahui saya mencalonkan diri Tusiran Suseno, Bhinneka Surya Syam, dan Teja Alhabd menemui saya untuk memberikan semangat. Agaknya, karena sama-sama bergiat dalam bidang kebudayaan, para sahabat itu tertarik akan visi saya menjadikan nilai-nilai budaya, khasnya budaya Melayu, sebagai acuan utama pembangunan daerah. Jadilah kami berjumpa di Batam, tempat saya bermastautin kala itu. Dari perbincangan kami di dalam pertemuan itu, saya semakin yakin bahwa Tusiran Suseno memang memiliki komitmen yang kuat dalam pengembangan kebudayaan Melayu. Kenyataan itu membuat kami semakin akrab, lebih-lebih lagi setelah saya berpindah ke Tanjungpinang karena kami agak sering bersua, dan tentu, berbincang-bincang.

Walau pertemuan bersemuka baru terjadi pada awal 2006, saya telah sangat akrab dengan tulisan-tulisan Tusiran Suseno. Semasa masih bermastautin di Pekanbaru lagi saya telah membaca beberapa karya beliau. Begitu pun sebaliknya, beliau pun biasa membaca karya-karya saya. Hal itu terbukti dari karya beliau bersama Amiruddin dan Teja Alhabd, Butang Emas (2006), yang menggunakan dua karya saya sebagai referensi: (1) Sastra Lisan Mantra Daerah Riau dan (2) Kepulauan Riau sebagai Cagar Budaya Melayu. Pendek kata, pertemuan karya menjadikan kami bertambah akrab.

Tusiran Suseno adalah tauladan yang paling representatif dalam ketunakan berkarya, khasnya karya budaya. Hampir kesemua genre sastra ditekuni dan ditulisnya. Tak banyak penulis Indonesia yang dapat berbuat begitu, apa lagi beliau menyepadukan karya-karya tradisional dan modern dengan sangat mesra.

Bang Tusiran, begitu sapaan akrab saya sehari-hari kepada beliau, terkenal sebagai penulis naskah sandiwara radio yang sangat produktif dan handal.

Perkara –il Itu Termasuk Izrail, Bang!

Page 322: H. Abdul Malik

302 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Pekerjaan itu terutama dilakoninya semasa bekerja di Radio Republik Indonesia, Tanjungpinang. Dedikasinya dalam bidang ini diakui dengan diperolehnya sejumlah penghargaan. Karyanya Setegar Karang dinobatkan sebagai Juara II Swara Kencana (1989). Ombak Gelombang meraih Juara I Swara Kencana (1991), yang juga terpilih mewakili Indonesia untuk meraih Trophy Morits Hight, Jepang. Dua karya naskah sandiwara radionya yang lain Pelangi (1995) dan Karam di Laut Hati (1998) masing-masing juga berhasil mendapat Juara II.

Dalam bidang perpuisian pula, beliau menerbitkan antologi bersama penyair lain Karya Cipta Sastrawan Kepulauan Riau (1994). Pada 2006 terbit pula Rampai Budaya Melayu untuk Kepulauan Riau, juga bersama para penyair lain. Karyanya yang lain juga bersama penyair lain terbit pada 2008, Jalan Bersama 2. Beliau juga menjadi penyusun buku puisi ciptaan para pejabat Tanjungpinang, Menatap Bayang, 2002.

Tusiran Suseno juga dikenal sebagai novelis. Sejumlah novelnya telah diterbitkan yaitu Matahari di Bawah Laut (1998), Sebuah Perjalanan: Menapak Tak Berjejak (1999), Bangsawan (2003), Siti Payung (2004), dan Mutiara Karam (2008), yang berhasil meraih Juara II Sayembara Penulisan Novel, Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Kecintaannya kepada budaya Melayu membuat beliau juga menyusun cerita rakyat dan aneka ragam khazanah budaya Melayu. Di antara karyanya dalam bidang ini adalah Pulau Paku (bersama Amiruddin, 2005), Putri Pandan Berduri (2007), dan Butang Emas (2007).

Bang Tusiran juga dikenal sebagai Raja Pantun. Kecintaannya terhadap puisi tradisional Melayu itu membuatnya menulis beberapa karya. Mari Berpantun diterbitkannya pada 2003 dan beliau termasuk penulis naskah pantun untuk Opera Pantun yang dipertunjukkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 29 April 2008. Bahkan, beliau telah pun menerbitkan karya pantun terakhirnya Sepuluh Ribu Pantun. Saya memang belum membaca dan memperoleh karya terakhir beliau itu. Akan tetapi, saya mengetahuinya karena karya itu termasuk di antara cenderamata yang diberikan oleh Walikota Tanjungpinang, Hj. Suryatati A. Manan, kepada rombongan Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena), Malaysia beberapa waktu yang lalu ketika para tamu itu berkunjung ke Tanjungpinang.

Karya-karyanya itu menunjukkan betapa akrab dan cintanya Tusiran Suseno terhadap budaya Melayu. Di dalam karyanya Mutiara Karam, beliau mendedahkan betapa kehalusan budi orang Melayu, yang dipertentangkannya dengan kelompok lanun, yaitu perompak yang ganas, kasar, dan tak bertimbang rasa. Walau ada di dalam sistem sosial masyarakat Melayu, para lanun tak mendapat tempat yang baik di dalam kebudayaan Melayu karena perilaku mereka yang cenderung biadab itu. Melayu sangat mengutamakan ketaatan pada peraturan, keelokan perangai,

Page 323: H. Abdul Malik

303ABDUL MALIK

dan kehalusan budi bahasa. Itulah sebabnya, tokoh-tokoh lanun di dalam Mutiara Karam kesemuanya tewas, termasuk mereka yang akan bertaubat sekali pun. Agak ekstrem memang, tetapi itulah pilihan nilai yang diambil oleh seorang Tusiran Suseno. Agaknya, beliau hendak mengatakan, “Tangan yang mencencang, bahu yang memikul. Tak boleh ada pengkhianatan pada sesuatu yang dimuliakan. Sudah tahu jalannya salah, mengapakah jalan itu yang diikuti? Tak ada kata “ampun” untuk sebuah pengkhianatan kultural, apa pun alasannya. Karena apa? Karena begitu ditoleransi, ia akan membawa musibah besar di belakang hari.

Siang 31 Maret 2011 kami bertolak dari Bandung menuju Bandara Sukarno-Hatta untuk pulang ke Tanjungpinang. Dari pagi semalam sampai ke malam hari kami sibuk mengikuti acara budaya di Fakultas Sastra, Universitas Pajajaran bersama Walikota Tanjungpinang atas undangan FS-Unpad. Untuk menghilangkan letih dan jenuh selama perjalanan, kami bercerita tentang pelbagai hal, terutama yang lucu-lucu. Dalam hal ini, Bang Tusiran termasuk yang paling banyak menampilkan cerita pendek-pendek yang membuat kami ketawa. Tak ada rasa letih atau mengantuk dalam perjalanan dengan bus selama empat jam itu. Begitulah hebatnya cerita-cerita itu.

Di antara cerita yang dikisahkan oleh Bang Tusiran adalah kata-kata bahasa Melayu yang yang berakhir dengan –il. Kesemua kata yang dijadikannya contoh ternyata lucu-lucu belaka. Karena menarik, saya usulkan kepada beliau kala itu supaya cerita tentang –il itu dibukukan, jangan hanya jadi cerita lisan saja sehingga nanti terbang tak berkesan dibawa angin. Mendengar usul saya beliau tertarik, “Judulnya apa?” tanyanya. “Perkara –il supaya teserlah nuansa Melayunya” jawab saya spontan. Menurut Bhinneka Surya Syam (Tokmok), buku itu sedang ditulisnya dan telah sampai pada abjad N.

Tusiran Suseno, sastrawan dan budayawan produktif, kelahiran Tanjungpinang, 30 Juni 1957 itu memang tak pernah hendak berhenti berkarya. Hal-ilwal –il pun menjadi renungan dan perhatiannya. Memang dari cerita tentang –il itu beliau tak menyebut Izrail. Ternyata, menurut Sang Khalik yang menciptakannya telah cukup sudah bakti Tusiran Suseno untuk manusia dan dunia. Oleh sebab itu, diperintahkan-Nya Izrail untuk menjemput Sang Penghalau Lanun itu kembali ke haribaan-Nya. Rabu, 13 Juli 2011 sekitar pukul 21.00 Bang Tusiran menerima panggilan itu dengan ikhlas seraya mengucapkan kalimat, “La ilahaillallah Muhammadarrasulullah.” Cara kembali yang sangat baik menurut pandangan Islam. Beristirahatlah dengan tenang di pangkuan-Nya, Bang. Cita-cita Abang pasti akan ada yang meneruskannya. []

Page 324: H. Abdul Malik

304 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SEORANG lagi penulis Tanjungpinang menerbitkan buku. Kali ini giliran Fatih Muftih, seorang penulis muda. Menjadi penulis nampaknya memang menjadi

cita-cita guru yang juga mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) ini. Apa tanda diri penulis? Ada bukunya yang diterbitkan. Itulah de inisi operasional penulis yang diyakini oleh penulis kumpulan cerpen sulungnya ini. Oleh sebab itu, dia berusaha sekuat dapat agar karyanya diterbitkan. Sekarang kumpulan cerpen yang berisi delapan belas cerpen itu telah pun diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta. Di antara cerpen itu ada yang pernah dimuat di surat kabar dan ada pula beberapa yang menjadi pemenang pelbagai sayembara.

Setelah membaca naskahnya, saya menemukan tema besar yang tersirat di dalam kumpulan ini. Apa lagi kalau bukan cinta-kasih. Bukan pula sebarang cinta-kasih, melainkan cinta-kasih yang dijalin sedemikian rupa dalam rangkaian cerita yang cukup menarik dengan pelbagai motif, latar, dan gayanya.

Cinta-kasih terhadap agama (Islam) mendapat tempat pertama di dalam kumpulan cerpen ini. Melalui “Bangkitnya Surau Kami”, penulisnya mendedahkan ironi kehidupan beragama masa kini. Betapa tidak? Orang-orang (umat) dengan mudahnya meninggalkan rumah ibadah, dan tentu juga melalaikan ibadah, hanya karena tempat suci itu sudah tua dan tak ada upaya sedikit jua pun untuk meremajakannya. Untunglah, tampil dua orang muda: yang seorang laki-laki yang memang taat beribadah, sedangkan yang seorang lagi justeru perempuan muda yang berprofesi pelacur, yang menyedekahkan penghasilannya untuk membangun kembali surau. Karena upaya kedua orang muda itulah, surau dapat dimakmurkan kembali walau si perempuan penderma tak sempat menyaksikan hasil karyanya karena lebih dulu diterkam maut, bahkan mungkin tak sempat minta ampun atas-atas dosa-dosanya yang terpaksa bekerja sebagai penjual diri. Padahal, jiwanya sungguh bersih berdelau.

Buku Baru Penulis Muda

Page 325: H. Abdul Malik

305ABDUL MALIK

Karena penulisnya tergolong masih muda, tema cinta-kasih orang muda-muda tentulah mendapat tempat yang lumayan. Ada cinta-kasih remaja yang ditentang oleh guru agamanya karena menurut keyakinan sang guru berpacaran itu haram hukumnya, tetapi dibela oleh guru seni-budaya dengan alasan cinta-kasih (“Di Mata Seniman dan Guru Agama”). Cinta-kasih santriwati dan ustadznya yang gaul harus terhalang karena tradisi pesantren memandang hal itu tabu. Bahkan, ustadz yang menyenangi lagu-lagu Barat itu harus dibuang dari lingkungan pesantren (“Elegi Santriwati”). Tak puas dengan itu, masih ada “Pantun in Love” yang bercerita tentang remaja menyatakan cintanya dengan pantun sehingga terkesan santun. Yang lebih menggugah “Perempuan Misterius di Kasada”. Cerpen ini berkisah tentang tentang cinta-kasih orang muda-muda yang nyaris putus karena pertimbangan pragmatis orang tua. Peristiwa nekat memungkinkan cinta itu bersemi kembali dengan akhir, yang tentu saja, bahagia.

Cinta-kasih orang tua terhadap anaknya dan atau sebaliknya diwakili oleh dua cerita: “Gurat Abu-Abu di Dahiku” dan “Ombak Air Mata Ibu”. Keduanya mendedahkan peristiwa anak yang harus berpisah dengan orang tua yang dikasihinya karena mengejar masa depan yang lebih baik.

“Malu pada Detakmu”, “Pelantar Kusam”, dan “Setelah Sepuluh Tahun Bercinta dengan Puisi” bercerita tentang cinta terhadap profesi kepengarangan. Keberhasilan para tokohnya menduduki singgasana kejayaan tak diperoleh dengan mudah, tetapi kesemuanya dengan kerja keras dan penuh cabaran. Tak ada tempat untuk seorang pemalas di dunia kepengarangan. Ketekunan, ketelitian, dan kerja keras merupakan kunci keberhasilan seseorang untuk menjadi pengarang.

Cinta-kasih suami-istri yang berkecai terekam secara menyeramkan di dalam “Psikosomatis”. Tak terbayangkan, di tengah suaminya yang menderita sakit, si istri justeru membayangkan laki-laki lain; bahkan, si suami pun berniat mencari perempuan lain jika sembuh kelak. Oleh anaknya, bahkan, sebelum sembuh bapaknya telah “disuapi” dengan perempuan lain. Anehnya, itulah obat yang menyembuhkan penyakitnya. Betul-betul gila atau gila betul-betul barangkali.

“Tak Melayu Hilang di Jawa” jelas mengikuti slogan Hang Tuah, “Tak Melayu Hilang di Bumi”. Cerpen ini berkisah tentang kecintaan terhadap tradisi, khususnya tradisi berpantun, yang telah berkembang lama di dunia Melayu. Tradisi itu bangkit kembali kini, khasnya di Kepulauan Riau.

Cinta-kasih memang tema besar yang takkan habis-habisnya. Dengan teknik penceritaan yang lumayan bagus, penulisnya berkisah tentang cinta-kasih orang bersahabat di dalam “Tembuni”, pun kata khas Melayu, tetapi bermain di latar Jawa Timur. Itulah menariknya. Cerita ini juga menggugah karena demi cinta-kasihnya kepada orang tuanya, si anak rela mengorbankan cita-citanya, sesuatu yang pada masa kini sulit ditemukan.

Page 326: H. Abdul Malik

306 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

“Ping” menyiratkan kecintaan akan tinggalan bersejarah. Cerpen ini menjadi menarik karena tokoh-tokohnya terdiri atas benda-benda tinggalan bersejarah Kerajaan Riau-Lingga, yang oleh penulisnya, dibuat bernyawa dan berperilaku seperti manusia. Membaca cerpen ini tentu mengingatkan kita akan salah satu ilm Holywood, tetapi dengan cerita serta latar sejarah dan sosial yang berbeda

walau latar tempatnya (museum) sama. Lagi-lagi, karena teknik berceritanya yang lincah, kisahnya menjadi menarik untuk diikuti.

Penulis kumpulan ini juga menggunakan pola cerita berbingkai, yang populer dalam hikayat Melayu, pada dua cerpennya. Pertama, “Laki-Laki dalam Ramalan” yang bercerita tentang asal-usul Dabo Singkep, salah satu kecamatan di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Cerita ini jelas berasal dari cerita rakyat. Kedua, “Warisan Jebat” yang mengingatkan kita akan tokoh Hang Jebat dan Hang Tuah di dalam Hikayat Hang Tuah. Kedua cerpen ini menjadi menarik karena imajinasi penulisnya begitu memikat, yang disepadukan secara mesra dengan masing-masing cerita rakyat dan hikayat tersebut.

Di dalam “Politik: Bola Salju” terekam pikiran penulisnya tentang politik praktis terkini di negara yang tercinta ini. Politik praktis senantiasa membuahkan prahara, tetapi sangat diminati pelbagai kalangan. Melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, sangat jelas penulisnya hendak meluahkan isi hatinya tentang huru-hara politik praktis dalam era reformasi ini.

“Protes Bisu” ternyata tak dibuatnya bisu, tetapi dengan tegas menyatakan kritik terhadap budaya kampus tempatnya menuntut ilmu. Pun kritik yang sama dinyatakannya secara terbuka di dalam “Warisan Jebat”. Penyesalan tokoh-tokohnya memilih perguruan tinggi tempat berguru nyaris menyiratkan penyesalan penulisnya terhadap kampusnya juga. Itulah akibat salah memilih perguruan tinggi yang baru berdiri dengan fasilitas dan sumber daya yang serba terbatas. Hanya sivitas akademika yang berjiwa wiralah yang mampu mengangkat citra dirinya dan almamaternya ke julang harapan yang didambakan.

Fatih Muftih dengan kumpulan cerpennya ini telah menunjukkan bakatnya dalam bidang kesusastraan. Bakat saja tak pernah cukup. Dia telah membuktikan bahwa ketunakan dan ketekunan menggauli suatu bidang akan membuahkan hasil yang baik. Buah yang manis itu dapat kita rasakan dengan membaca kumpulan ini. Seterusnya, komitmen dan konsistensilah yang menjadi pengadil ke depan. Teruslah berkarya, Fatih, dan tahniah![]

Page 327: H. Abdul Malik

307ABDUL MALIK

SANGAT menarik wawancara TVRI dengan Duta Besar Afrika Selatan, Jumat, 29 Juli 2011. Dari acara itu, banyak hal mustahak tentang perjuangan bangsa

Afrika Selatan mengembalikan marwahnya patut diambil hikmahnya, setelah sekian lama ditindas oleh rezim pemerintah berkulit putih yang deskriminatif. Ketegaran dan ketauladanan kepemimpinan Nelson Mandela yang kuat dan karismatik nampaknya sangat memacu semangat rakyat berkulit hitam atau berwarna, yang diperlakukan secara biadab oleh rezim pemerintah sebelumnya, untuk mengatasi ketertinggalan mereka selama ini. Alhasil, Afrika Selatan mara dan melejit menjadi bangsa dan negara yang maju pesat di benua Afrika. Marwah negara dan bangsa pun terjulanglah.

Begitulah sosok pemimpin yang ikhlas, jujur, cerdas, dedikatif, dan kuat akan mampu menggerakkan kesemua potensi rakyatnya untuk bergerak maju walau apa pun cabaran yang harus dihadapi. Perkataannya didengar, sifatnya ditiru, ajakannya diikuti, perilakunya ditauladani. Begitu namanya disebut, hati rakyatnya berbunga-bunga dengan berjuta rasa bangga dan bahagia. Dalam keadaan seperti itu, tak ada tantangan yang tak sanggup dihadapi.

Ketika ditanya perihal kiat negaranya mengembangkan industri permata, dengan rendah hati tetapi penuh percaya diri, Duta Besar Afrika Selatan menyebutkan kunci kejayaannya: pendidikan. Kesemua kemajuan ekonomi Afrika Selatan, menurut beliau, berhasil diraih karena mereka berusaha semampu-mampunya memajukan sistem pendidikan. Rakyat diberi laluan untuk mengakses pendidikan yang bermutu tanpa pandang bulu. Bangsa berkulit hitam dan berwarna yang selama ini tertindas dimotivasi untuk meraih kesempatan mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya untuk mempersiapkan masa depan yang jauh lebih baik. Rakyat didorong untuk mengatasi ketertinggalan mereka dalam pendidikan dari bangsa

Dari Pendidikan ke Budaya Tradisional

Page 328: H. Abdul Malik

308 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

berkulit putih, yang memang diistimewakan oleh rezim sebelumnya. Hasilnya sungguh menakjubkan. Buktinya, Afrika Selatan menjadi negara yang ekonominya sangat berkembang di Afrika sampai setakat ini.

Rakyat dididik sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya. Di daerah-daerah yang menghasilkan permata, misalnya, rakyatnya dididik dan dilatih untuk mampu mengolah permata itu menjadi industri permata. Kalau dulu, permata kami dikirim ke Eropa untuk diolah sehingga rakyat kami harus membeli perhiasan dengan harga yang mahal. Kini kami sendirilah yang mengolahnya dan mengekspornya ke seluruh dunia. Pendidikan kami arahkan agar kami mampu mengelola segala potensi sumber daya sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa kami. Karena kami yang memiliki sumber daya itu, tentulah bangsa kami yang harus menikmati hasil terbanyaknya secara adil, begitu beliau menjelaskan dengan tumpat.

Kenyataan itu membuktikan bahwa kemerdekaan sejati yang diperoleh suatu bangsa terbukti membangkitkan semangat mereka untuk maju dalam pelbagai bidang. Apa lagi, kemerdekaan itu diperoleh dari perjuangan yang tak mengenal kata menyerah dan dipimpin oleh seorang wira yang berwatak mulia, Nelson Mandela. Kini dunia menjadi saksi bahwa bangsa berkulit hitam dan berwarna Afrika Selatan menjadi bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa mana pun dalam segala bidang kehidupan.

Tak sesiapa pun kini sanggup berkata bahwa pribumi itu bodoh dan pemalas. Pasal apa? Pasal, mereka memang sejatinya pandai dan rajin seperti halnya bangsa lain juga, termasuk bangsa berkulit putih. Sistem dan rezim politik yang deskriminatif yang diwariskan bangsa penjajahlah yang secara terang-terangan dan atau tersembunyi membodohkan dan mencap mereka pemalas supaya mereka tetap tersubordinasi dan rendah diri sehingga tak mampu menegakkan kepala di depan kaum penjajah, ironisnya di tanah air mereka sendiri. Dengan begitu, mereka dengan mudah diperkuli dan dihisap secara isik dan psikologis untuk kepentingan kemuliaan sang duli kolonialisme walaupun si penjajah pun konon mengaku sebagai bangsa Afrika Selatan.

Retorika politik keji seperti itu sungguh mematikan. Akan tetapi, bangsa pribumi Afrika Selatan bangkit memperjuangkan hak-hak mereka dan ternyata mereka berjaya secara gemilang. Sekali lagi, pemimpin sejatilah yang mampu membawa bangsanya menjulangkan kegemilangan yang terbilang. Takkan pernah berwujud seinci pun kemajuan di bawah kepemimpinan yang menerapkan praktik “lain di mulut, lain pula di hati” walau pemimpin itu dari kalangan bangsa sendiri pun. Secara politis, bahkan mungkin juga genetis, dia sebangsa, tetapi secara ideologis dia tak ubahnya penjajah.

Page 329: H. Abdul Malik

309ABDUL MALIK

Kunci kejayaan lain Afrika Selatan adalah pemerintahan demokratis sekarang sangat menghargai perbedaan. Tak dibedakan antara mayoritas dan minoritas. Rakyat didorong untuk merebut setiap kesempatan untuk maju, termasuk bangsa berkulit putih yang dulunya menjajah. Setiap rakyat digesa untuk memperolehi hak-haknya, yang pada gilirannya juga melaksanakan kewajibannya sebagai individu dan masyarakat yang merdeka. Dalam keadaan seperti itu, tak ada alasan untuk saling mencurigai antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Kesemuanya berlumba-lumba untuk mencapai kemajuan dan kejayaan dalam semangat yang berkedudukan setaraf.

Bahkan, Nelson Mandela mewariskan sikap ini: tak boleh ada rasa dendam terhadap rezim yang dulunya menjajah. Rakyat Afrika Selatan harus bekerja bahu-membahu untuk meraih kejayaan diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Hanya dengan sikap itulah sebuah bangsa akan terpandang. Lebih daripada itu, mereka takkan pernah dapat dipandang remeh oleh bangsa mana pun. Nelson Mandela, sekali lagi, telah menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin sejati.

“Bagaimanakah apresiasi para pemuda Afrika Selatan terhadap budaya tradisional?” tanya seorang mahasiswa yang hadir dalam acara itu. Duta Besar Afrika Selatan sekali lagi memberikan jawaban yang sungguh membanggakan. Selain menekankan pentingnya menuntut ilmu, pemerintah Afrika Selatan sangat mendorong para pemuda untuk mencintai dan mengembangkan seni-budaya, baik tradisional maupun modern. Karena apa? Karena para pemuda kamilah, kata beliau, yang akan meneruskan dan menentukan kemajuan bangsa Afrika Selatan ke depan.

Para pemuda mereka diyakinkan bahwa budaya dan nilai-nilainya yang terala merupakan jati diri bangsa Afrika Selatan. Oleh sebab itu, para pemuda dimotivasi untuk mempelajari, membela, dan mengembangkan budaya warisan nenek moyangnya yang memang diterapkan di dalam sistem pendidikan. Bukan pula kebetulan, telah mengalir di dalam darah para pemuda Afrika Selatan sikap menyenangi dan mencintai seni-budaya mereka sendiri. Untuk memajukan budaya, banyak pemuda dan pelajar dikirim ke luar negeri untuk mendalami bidang yang menjadi pembentuk idealisme bangsa itu.

Bangsa Afrika Selatan mengakui hubungan mereka dengan Indonesia, seperti diungkapkan oleh duta besarnya, telah terjalin mesra sejak 350 tahun silam. Perhitungan waktu itu berdasarkan kedatangan kali pertama orang Melayu ke sana pada masa penjajahan. Kini harus diakui bahwa mereka berada di atas kita dalam pelbagai bidang kehidupan. Kesemuanya itu dapat diraih dengan kerja keras dan perjuangan yang tiada henti oleh rakyat berkulit hitam, pribumi, yang sadar akan marwah bangsanya.

Page 330: H. Abdul Malik

310 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Mereka pun beruntung memiliki pemimpin tangguh, Nelson Mandela, yang kini menjadi legenda hidup dan telah berusia 93 tahun (ketika kolom ini ditulis). Dari dalam diri pemimpin karismatik itu terpancar cahaya agung kepemimpinan dan kenegarawanan sejati, yang mampu memompakan semangat rakyatnya untuk memperjuangkan masa depan dengan penuh percaya diri. Komitmen memajukan pendidikan dan kebudayaan bangsa menjadi kunci kejayaan bangsa Afrika Selatan meraih masa depan yang cemerlang, gemilang, dan terbilang. []

Page 331: H. Abdul Malik

311ABDUL MALIK

BUDAYA Indonesia ternyata sangat diminati oleh masyarakat internasional. Minat bangsa asing terhadap budaya kita itu sebetulnya telah dimulai sejak

mereka, baik Timur maupun Barat, mengenal alam dan tamadun nusantara, bahkan, sejak ribuan tahun silam. Keperkasaan dan kemahiran bangsa nusantara dalam pekerjaan di laut pada masa lampau menjadi salah satu sebab budaya kita dipelajari oleh bangsa-bangsa lain. Dalam era modern sekarang, justeru, perhatian masyarakat antarabangsa terhadap budaya kita makin meningkat.

Unsur utama budaya kita yang paling menarik perhatian bangsa-bangsa asing tentulah bahasa. Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia sampai setakat ini paling banyak dipelajari di banyak negara luar. Kenyataan itu sesuai dengan salah satu fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal itu berarti untuk mengenal bangsa Indonesia dan budayanya, orang asing terlebih dahulu harus menguasai bahasa Indonesia. Bahkan, selain bahasa nasional, bahasa-bahasa daerah utama di Indonesia seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan pelbagai bahasa daerah di Indonesia Timur memiliki kelompok peminat yang tak sedikit di luar negeri.

Sekali waktu TV One, Jakarta, melalui acara “Bukan Jalan-Jalan Biasa” menampilkan liputan pembelajaran bahasa Indonesia di University of Melbourne, Australia. Gambar diambil ketika para mahasiswa itu sedang berdiskusi di bawah bimbingan dosennya. Terlihat jelas para mahasiswa Australia itu sangat tekun mengikuti pelajaran. Sebagai perbandingan, selama saya menjadi dosen, tak kurang dari 26 tahun, belum pernah saya menjumpai mahasiswa Indonesia belajar bahasa Indonesia seserius itu, kecuali ketika saya mengajarkan mahasiswa Universitas Leiden, Belanda, dan mahasiswa National University of Singapore, Singapura, yang tingkat kesungguh-sungguhannya nyaris tak berbeda dengan mahasiswa Australia yang diliput oleh TV One.

Budaya Kita di Negeri Orang

Page 332: H. Abdul Malik

312 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Memang demikianlah halnya. Bagi penutur asli (native speaker), bahasa sendiri itu ibarat bernapas. Ketika orang selesa (nyaman) bernapas, napas dan proses bernapas itu tak pernah menjadi perhatian. Bilakah pernapasan itu mulai menarik perhatian kita? Jawabnya ketika kita semput (sulit bernapas). Kala itu barulah napas dan bernapas mendapat perhatian yang serius.

Para mahasiswa Australia tadi dibimbing oleh profesor bahasa yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau, bahkan, bukan sarjana bahasa Indonesia, melainkan sarjana bahasa Inggris, tetapi pernah mengajarkan bahasa Inggris di salah satu universitas di Indonesia. Selama di Indonesia beliau juga banyak belajar kebudayaan dan kesenian Indonesia, khasnya gamelan Cirebon, yang menarik perhatiannya.

Sebagai profesor bahasa, pengetahuan kebahasaan (linguistik) sang dosen tak perlu diragukan. Hanya dalam hal lafal (pengucapan) dan intonasi bahasanya memang menjadi masalah. Beliau belum dapat berbahasa Indonesia dengan lafal dan intonasi yang seharusnya, melainkan dengan lafal dan intonasi bahasa Inggris seperti lazimnya orang Barat berbahasa Indonesia. Walaupun begitu, kita dapat memahami bahasa Indonesia yang diucapkannya kendatipun kedengaran aneh (lucu).

Selain mengajarkan bahasa, sang profesor juga mengajarkan kesenian Indonesia, khasnya gamelan Cirebon. Sekali lagi, para mahasiswa itu menunjukkan keseriusan yang luar biasa. Apakah yang menjadi penyebabnya?

Para mahasiswa Australia belajar bahasa Indonesia dengan pelbagai latar pengalaman belajar sebelumnya. Ada di antara mereka yang memang telah belajar bahasa Indonesia sejak SD lagi karena di SD-nya bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib. Ada pula yang baru belajar setelah di sekolah menengah, sama ada sebagai mata pelajaran pilihan atau wajib. Kesemuanya mengaku belum lancar berbahasa Indonesia walau telah belajar bertahun-tahun. Keadaan itu menggesa mereka untuk belajar lebih giat lagi supaya betul-betul fasih berbahasa Indonesia. Hambatan seperti itu memang lumrah dihadapi karena bahasa sehari-hari mereka bukanlah bahasa Indonesia, melainkan bahasa Inggris Australia. Hambatan yang dihadapi oleh peserta didik Indonesia yang belajar bahasa asing apa pun di dalam negeri begitu juga karena sehari-hari kita berbahasa Indonesia atau berbahasa daerah. Pembelajar Singapura lebih cepat menguasai bahasa Inggris, misalnya, karena bahasa komunikasi sehari-hari antaretnis di sana adalah bahasa Inggris Singapura (Singlish).

Yang juga menarik adalah motivasi pelajar dan mahasiswa Australia belajar bahasa Indonesia. Di antaranya dengan motivasi integratif yaitu mereka belajar

Page 333: H. Abdul Malik

313ABDUL MALIK

karena ingin bergaul mesra (berbaur) dengan orang Indonesia. Menurut mereka, masyarakat dan budaya Indonesia umumnya baik sehingga mereka ingin mengenal dan bergaul lebih rapat dengan bangsa Indonesia sebagai tetangga.

Memang ada juga kekhawatiran mereka tentang pelbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Mereka patut khawatir karena dalam peristiwa berdarah “Bom Bali”, misalnya, pelancong Australia termasuk yang terbanyak menjadi mangsa (korban). Namun, mereka pun menyadari bahwa kekerasan bukan sifat asli orang Indonesia. Kesemuanya itu dipicu dan dipacu oleh motivasi politik dan ekonomi oleh segelintir orang Indonesia dan orang asing juga untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari keadaan Indonesia yang tak stabil.

Sebagian yang lain belajar dengan motivasi instrumental. Mereka belajar bahasa dan budaya Indonesia karena hendak bekerja di Indonesia suatu hari kelak. Begitulah Indonesia menjadi negara tujuan utama mereka sebagai tempat bekerja. Mereka berasal dari pelbagai spesialisasi ilmu: kedokteran, teknik, pendidikan, kelautan, pertambangan, dll. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa Indonesia merupakan pasar kerja yang menjanjikan. Dan, sebagai orang asing, mereka tentulah akan mendapatkan gaji yang lebih besar. Bukankah aksi mogok yang dilakukan oleh pilot Garuda baru-baru ini karena pilot asli Indonesia menuntut gaji yang sama dengan pilot asing? Kenyataan di negara kita segala yang berbau asing memang mendapat tempat yang terhormat. Bukankah Indonesia juga dikenal sebagai surga bagi (orang) asing?

Di Jepang pun kegilaan tentang bahasa dan budaya Indonesia makin menjadi-jadi. Selain bahasa, musik dangdut Indonesia menjadi hiburan yang banyak dicari. Bahkan, kini telah ada musisi Jepang yang membentuk kelompok musik dangdut Indonesia dan sangat digemari. Makanan Indonesia pun menjadi primadona di Negeri Sakura, yang terkenal dengan pemimpinnya siap mundur jika ternyata gagal memenuhi janjinya walaupun baru menjabat dalam hitungan hari.

Begitulah apresiasi bangsa asing terhadap budaya kita. Di negara kita, justeru, budaya sendiri nyaris asing di kalangan peserta didik. Kalau keadaan itu terus berlanjut, bukan tak mungkin, suatu ketika nanti bangsa asinglah yang lebih menguasai dan mendapatkan manfaat lebih dari budaya kita. Apalagi, perhatian pemerintah kita, baik pusat maupun daerah, terhadap pembangunan budaya lebih bersifat “pelentur lidah dan pemanis bibir” sahaja. Jadilah pembangunan budaya sebatas seremonial belaka. []

Page 334: H. Abdul Malik

314 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SUATU masa dahulu, di kalangan masyarakat Melayu, Ramadan disambut dengan suka cita karena dua perkara. Seperkara berkaitan dengan agama

Islam dan seperkara lagi berhubung dengan tradisi. Perkara tradisi itu pun masih berkelindan dengan masalah agama. Pasal apa? Karena adanya ibadah puasalah, tradisi itu berkembang.

Perkara pertama bersabit dengan pelaksanaan rukun Islam yaitu ibadah puasa. Bulan ini sangat dinanti-nantikan karena menjadi bulan terbaik dari seribu bulan, penuh berkah, bulan pengampunan, dan pahala kebajikan yang berlipat ganda akan diberikan oleh Allah swt. kepada makhluk-Nya yang taat, yang mampu melaksanakan rangkaian ibadah dengan baik selama Ramadan sesuai dengan tuntunan agama Islam. Tak sesiapa pun sanggup menolak untuk bergembira tatkala menyambut bulan yang istimewa itu. Suka cita Ramadan dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah itu, Alhamdulillah, masih terasa sampai setakat ini walaupun tetap ada perbedaan kadar dan kualitasnya antara orang perorangan.

Perkara kedua berhubung dengan tradisi. Dalam hal ini, ada banyak tradisi Melayu yang biasa dilakukan selama Ramadan. Kolom kali ini hanya akan memerikan satu saja di antara sekian tradisi itu.

Selama bulan Puasa—suatu masa dahulu—di lingkungan masyarakat Melayu terdapat banyak sekali makanan dan minuman. Aneka ragam juadah dan minuman itu dapat kita jumpai di rumah-rumah ibadah (mesjid dan surau) dan di rumah-rumah penduduk. Pokoknya, menjelang berbuka puasa, kita akan menyaksikan pelbagai jenis makanan dihidangkan untuk berbuka dan makan malam. Juadah yang dimaksudkan itu taklah terlalu banyak jumlahnya, tetapi jenisnya beragam sehingga sangat berbeda dengan keadaan pada bulan-bulan di luar Ramadan. Dari manakah kesemua makanan itu berasal?

Suasana di mesjid atau surau dulu. Pelbagai kue, minuman, dan lauk-pauk untuk berbuka puasa dan makan malam disediakan oleh masyarakat, terutama

Tradisi yang Punah

Page 335: H. Abdul Malik

315ABDUL MALIK

masyarakat di sekitar rumah ibadah itu. Tak dapat banyak sedikit, masyarakat merasa berkewajiban untuk menyediakan makanan dan minuman untuk jemaah yang berbuka, salat, dan tadarus di mesjid. Walau tak diwajibkan, masyarakat akan merasa malu jika tak mengantarkan makanan perbukaan ke mesjid. Kesemuanya itu tak pula dirasakan sebagai beban, tetapi sekadar amal yang memang patut dilaksanakan. Oleh karena itu, mesjid atau surau dapat menyajikan perbukaan yang beraneka ragam sepanjang malam-malam Ramadan. Suasana itu sangat menarik perhatian kanak-kanak sehingga mereka betah beribadah di mesjid atau surau pada bulan Puasa.

Selain itu, ada pula mesjid yang mengamalkan tradisi menyediakan makan khas untuk berbuka. Dalam hal ini, makanan khas itu dimasak di mesjid oleh para jemaah, yang memang ahli memasaknya. Biasanya jemaah, khasnya, dan masyarakat, umumnya, sangat menggemari makanan yang disediakan itu, terutama sekali orang muda-muda dan kanak-kanak yang selera makannya memang sedang naik-naiknya.

Makanan itu disebut “bubur berlauk”, atau di tempat lain, lain pula namanya barangkali. Makanan itu disebut demikian karena bubur nasi dimasak dengan cara dicampurkan dengan pelbagai lauk dan bumbunya yang khas. Lauk-pauk itu dapat terdiri atas ayam, ikan, udang, dan sebagainya yang disepadukan sedemikian rupa dengan sayur-sayuran dan bumbu khusus. Di luar Ramadan, bubur berlauk jarang ditemukan.

Bubur berlauk berbeda dengan bubur air. Bubur air adalah nasi bubur yang dimasak tersendiri, sedangkan lauk-pauknya dimasak tersendiri pula. Waktu makan barulah bubur dan lauk-pauknya dicampur seperti halnya kita makan nasi sehari-hari. Bubur berlauk adalah nasi bubur yang dimasak secara bersamaan dengan segala lauk-pauk dan bumbunya di dalam suatu wadah, biasanya kawah atau kuali besar atau periuk besar. Bubur berlauk tak memerlukan lauk tambahan di luar lauk-pauk yang sudah dicampurkan karena memang kesemuanya telah cukup takarannya.

Tradisi masyarakat mengantarkan makanan perbukaan ke mesjid atau surau masih kekal sampai setakat ini di Kepulauan Riau. Akan tetapi, tradisi mesjid menyediakan makan khas seperti bubur Ramadan seperti yang diperikan di atas nyaris punah di daerah ini. Di Singapura dan Malaysia tradisi itu masih terpelihara walau mereka jauh lebih “metropolis” daripada kita di sini. Tradisi itu masih dipelihara oleh masyarakat Aceh Sepakat di Medan, Sumatera Utara. Di mesjid-mesjid yang menyediakan makanan khas itu, siapa pun boleh menikmatinya secara cuma-cuma (gratis).

Harus diakui bahwa suasana Ramadan di mesjid yang menyediakan makanan khas itu memang terkesan istimewa. Bukan karena makanannya, melainkan

Page 336: H. Abdul Malik

316 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kebersamaan untuk mengadakan bahan-bahannya (umumnya berasal dari sumbangan jemaah) dan bersama-sama mengerjakan serta memasaknya membuat suasana menjadi bersemarak. Kesemarakan yang membuat Ramadan dirindui pada bulan-bulan yang lain dan dinanti-nantikan kehadirannya kembali.

Di rumah-rumah penduduk pula, menjelang berbuka telah tersedia pelbagai jenis makanan yang jarang dijumpai di luar Ramadan. Dari jenis nasi mungkin ada nasi lemak, nasi minyak, nasi dagang, dsb. Lauk-pauk beragam jenis dan deretan kue-kue ada putu piring, putu mayang, buah melaka, penganan talam, seri salat, bingka pisang, apam, jemput-jemput, dan masih banyak lagi. Begitu pulalah dengan pelbagai jenis makanan lain seperti lendut, laksa, pelbagai jenis mie, roti canai, roti jala, dsb. Begitulah makanan itu digilir-gilirkan sepanjang Ramadan.

Sebuah rumah tangga tak perlu menyediakan kesemua makanan itu. Satu rumah mungkin cukup hanya menyediakan satu jenis kue untuk satu hari. Walaupun begitu, waktu berbuka dan makan malam mereka akan menyantap pelbagai jenis makanan. Dari manakah kesemuanya itu? Jawabnya dari tetangga.

Katakanlah kita memasak kurmak ayam petang ini. Kita tak hanya memasak lauk itu untuk kita anak-beranak, tetapi juga untuk para tetangga di sekitar. Makin banyak rezeki, makin banyak pula kurmak yang dibuat sehingga makin banyak tetangga yang mendapat makanan itu. Sebaliknya, tetangga sebelah-menyebelah pun akan mengantarkan makanan perbukaan mereka masing-masing ke rumah kita. Jadilah setiap rumah tangga menyantap pelbagai jenis makanan saat berbuka dan makan malam. Lebih dari itu, petang dan malam Ramadan menjadi lebih indah dari seribu bulan.

Tradisi berbagi makanan perbukaan itu nyaris tak ada lagi di kalangan masyarakat Melayu masa kini, bahkan di kampung-kampung sekalipun. Kemiskinan yang melanda kebanyakan orang Melayu menyebabkan mereka tak mampu lagi menyediakan makanan yang lebih untuk memeriahkan Ramadan. Perubahan sifat dan sikap yang lebih mementingkan diri dan keluarga sendiri, yang merupakan pengaruh budaya asing yang negatif, juga sangat menonjol setakat ini. Dampaknya, orang Melayu masa kini pun merasa tak perlu berbagi—walau sekadar makanan—karena mereka merasa terbebani dengan kesemua tradisi itu. Apalagi, banyak di antara mereka tak memasak sendiri makanan yang diperlukannya. Dengan kata lain, perbukaan itu mereka beli sehingga tak dirasakan ada kewajiban untuk dibagikan kepada orang lain. Alhasil, keindahan berbagi pada petang-petang dan malam Ramadan pun tak dirasakan lagi. Kesemuanya kini tinggal kenangan. Nyaris sama halnya dengan kehilangan kampung-kampung Melayu satu demi satu; lenyap untuk kepentingan politik dan ekonomi modern yang mengatasnamakan pembangunan. []

Page 337: H. Abdul Malik

317ABDUL MALIK

JAUH sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing, di nusantara ini telah berdiri beratus-ratus negara merdeka, besar dan kecil. Negara-negara merdeka yang

berbentuk kerajaan itu mengurusi bangsa mereka masing-masing. Negara-negara dan bangsa-bangsa itu sebagaimana lazimnya pula mengalami pasang-surut, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Yang pasti, bangsa-bangsa nusantara itu dikagumi oleh bangsa-bangsa lain karena dua hal: (1) kemahirannya dalam mengelola hal-hal yang berkenaan dengan laut, termasuk keberaniannya mengarungi lautan (SDM kelautan yang andal) dan (2) wilayahnya memiliki sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah.

Di antara kerajaan-kerajaan itu ada yang menjelma menjadi raksasa nusantara. Kerajaan Melayu-Sriwijaya menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara. Majapahit pula menjelma menjadi negara besar yang membawahkan kerajaan-kerajaan kecil hampir seluruh nusantara. Kerajaan Melaka melanjutkan kejayaan Majapahit di nusantara. Dan, Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang wilayahnya meliputi sebagian wilayah Indonesia, sebagian Malaysia, dan Singapura sekarang. Pendek kata, negara-negara dan bangsa-bangsa itu merdeka sedia kalanya.

Kemudian, datanglah bangsa-bangsa asing. Mula-mula bangsa Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Potugis serta disusul kemudian oleh bangsa Jepun (Jepang) hanya bertujuan untuk mengadakan kerja sama perniagaan dengan negara-negara di nusantara. Namun, karena situasinya memungkinkan untuk memenuhi nafsu duniawinya atau syahwat materialismenya, mereka pun bertindak lebih jauh lagi untuk menguasai nusantara dengan cara menjajah. Negara-negara dan bangsa-bangsa yang sebelumnya merdeka itu pun terjajahlah. Jauh sebelum itu, pun telah terjadi perhubungan multilateral dengan bangsa-bangsa Asia dan Eropa yang lain, tetapi mereka tak pernah menjajah.

Menjaga Keutuhan Bangsa

Page 338: H. Abdul Malik

318 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Di dalam sistem pemerintahan kolonial, ada di antara negara di nusantara ini diperbolehkan meneruskan pemerintahannya, tetapi di bawah kendali penjajah. Ada pula negara yang kerajaannya dihapus, Kerajaan Riau-Lingga, misalnya, pada 1913, sehingga menjadi betul-betul terjajah. Penjajahan Inggris di Malaysia tak menghapus pemerintahan pribumi yang dikepalai oleh sultan, kecuali Kerajaan Melaka karena rajanya beredar tatkala terjadi penyerbuan Portugis ke ibukota kerajaan ternama itu. Nasib tragis menimpa pusat Kerajaan Melayu terbesar setelah Sriwijaya itu yang harus kehilangan tuah beraja sampai sekarang.

Sebagai bangsa yang sebelumnya merdeka, tentulah bangsa-bangsa nusantara tak rela terjajah. Oleh sebab itu, mereka melawan untuk merebut kembali kemerdekaan. Mula-mula perjuangan itu dilakukan secara terpisah-pisah oleh negara masing-masing. Belajar dari kekalahan yang diderita selama ratusan tahun, memasuki abad ke-20 bangsa-bangsa nusantara itu bersatu. Bahkan, lebih jauh penyatuan itu menghala ke perpaduan tanah air, bangsa, dan bahasa untuk memperjuangkan terwujudnya negara besar baru: Indonesia. Alhamdulillah, perjuangan serentak dan serempak itu berjaya. Penjajah Barat dan Timur dapat diusir dari bumi nusantara. Indonesia sebagai kesatuan dari negara-negara dan bangsa-bangsa nusantara itu merdeka! Sejak 17 Agustus 1945 berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara modern, di dalam NKRI tak ada lagi kerajaan-kerajaan, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Negara baru memberikan harapan baru. Cita-cita dan matlamat terbesarnya adalah mewujudkan kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat. Karena apa? Karena hanya dengan itu NKRI dan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan negara dan bangsa lain. Hanya dengan itu marwah dan martabat bangsa akan terangkat kembali. Hanya dengan itu cita-cita luhur para pejuang dan pendiri bangsa akan berwujud.

“Malang memang tak berbau.” Kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan rakyat tak juga kunjung berwujud. Bahkan, kemelaratan dan kemiskinan makin kencang melanda rakyat. Ironisnya, kesengsaraan itu banyak terjadi di sentra-sentra SDA yang melimpah ruah. “Ayam mati di lumbung padi, tikus kenyang terus menari.” Suatu gejala ketakadilan kehidupan yang sangat terasa menyesakkan, terutama dialami oleh sebagian besar rakyat.

Bung Karno pernah mengingatkan bahwa generasi beliau dan sebelumnya berjuang melawan musuh yang jelas yakni bangsa penjajah. Namun, generasi berikutnya akan berhadapan dengan para penguasa dari bangsa sendiri. Pasal apa? Pasal para elit penguasa justeru lupa akan cita-cita luhur perjuangan kemerdekaan. Daripada mengupayakan kemakmuran bangsa dan kesejahteraan rakyat secara merata dan berkeadilan, mereka serempak, serentak, dan kompak

Page 339: H. Abdul Malik

319ABDUL MALIK

memperjuangkan kemakmuran diri sendiri, kelompoknya, para kroninya, dan pihak asing. Begitu dan begitu, silih berganti. Ratusan triliun, bahkan lebih, uang rakyat menguap.

Ada bukti atau hanya sekadar rumor belaka? Indonesia menjadi negara terkorup di Asia, bukan buktikah itu? “Sudah terang lagi bersuluh”. Lembaga-lembaga penegak hukum sungguh tak berdaya menghadapi para koruptor, bahkan ikut basau (masuk angin). Tak tanggung-tanggung, beberapa pimpinan lembaga yang disebut superbody untuk memberantas korupsi dan memang sangat dipercaya oleh sebagian tokoh (?) dan rakyat yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata terselamatkan dan kebagian deponeering gate.

Lagi, kalau Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat dan tersangka pelbagai kasus korupsi, seberani ketika dia dalam pelarian mengungkapkan para pihak yang terlibat, termasuk disebut beberapa pimpinan KPK, entah aib apa lagi yang dapat disembunyikan dari negara ini. Tak ada bukti, tak ada fakta hukum, kata pihak-pihak yang ditunjuk langsung. Mereka lupa—seperti penyakit yang diidap Nazaruddin sekarang—bahwa fakta moralnya, “sudah berandang di terang bulan.” Mata rakyat telah terbuka lebar melihat kesemua pengkhianatan. Ternyata, gaji yang jauh lebih besar daripada penyelenggara negara yang lain tak menjamin para oknum untuk ikut juga menikmati hasil jarahan dari rakyat. Bukan rahasia lagi bahwa perkara korupsi menjadi daya tawar politik, kekuasaan, dan ekonomi di antara para elit itu setakat ini.

Penyelenggaraan negara betul-betul telah menyimpang dari cita-cita proklamasi. Padahal, cita-cita luhur itulah yang harus diperjuangkan para elit ketika mereka dititipkan kekuasaan oleh rakyat. Kenyataannya, mereka bagaikan pagar makan tanaman: rela melihat rakyat sendiri menderita demi kebahagiaan segelintir mereka: dari pusat sampai ke daerah. Ironisnya, dari tangan-tangan merekalah kemiskinan itu diciptakan. Sungguh terlalu!

Tak heran jika ada daerah-daerah tertentu, terutama mereka dari tradisi kerajaan besar dahulu, mengkaji ulang konsep NKRI. Secara ekstrem pertanyaan besarnya: tetap bersatu atau lebih baik berpisah saja. Kesemuanya bermuara pada konsep “kebersamaan dan keadilan” yang sangat sakral disepakati ketika membentuk NKRI. Ketika kesemuanya itu kian dikhianati beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Papua mulai melakukan re-evaluasi. Bahkan, rakyat Yogyakarta sangat marah ketika Pemerintah Pusat coba menghilangkan keistimewaan DIY. Kecaman mereka, Pemerintah Pusat tak memahami sejarah dan berusaha menusuk hati-sanubari rakyat Yogya. Sungguh berani dan luar biasa!

Sebelum menulis kolom ini saya sempat menyaksikan acara “Satu Jam Bersama Rinto Harahap” (TV One). Lagu-lagu “pop manis” yang diciptakan Maestro Musik

Page 340: H. Abdul Malik

320 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Indonesia itu kesemuanya bertemakan “cinta-kasih” dan disenandungkan dengan lembut oleh para penyanyi pilihan. Itulah hati-sanubari, jiwa, dan roh bangsa kita sejatinya. Mengapakah penyelenggaraan negara tak dapat dilaksanakan berdasarkan cinta-kasih sesama anak bangsa untuk menjaga keutuhan dan kejayaan NKRI? Sampai bilakah kita harus bertahan dengan keterpurukan moral yang menyiksa ini? Dan, siapakah yang akan ditauladani oleh anak-anak kita dalam Pendidikan Budi Pekerti? Selamat Ulang Tahun ke-66 Kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia! []

Page 341: H. Abdul Malik

321ABDUL MALIK

SEKEJAP lagi azan magrib akan berkumandang. Empat orang anak-beranak itu sedang duduk mengelilingi perbukaan. Awang Likur (8 tahun), adiknya Dara

Likur (6,5 tahun), ayahnya Pak Likur, dan ibunya Mak Likur larut dengan pikiran masing-masing. Awang dan adiknya punya rencana khas setelah berbuka nanti.

Pak Likur pula terlihat puas setelah menyiapkan semua colok (lampu yang terbuat dari buluh atau bambu, diberi sumbu, dan diisi minyak tanah) dan cangkok (lampu yang terbuat dari kaleng susu atau kaleng sardin bekas dsb.), baik untuk sekitar rumahnya maupun untuk jalan kampung yang menjadi tanggung jawabnya. Dia tadi dibantu oleh anaknya Awang. Lelaki itu pun puas dapat memenuhi disain colok yang diminta oleh kedua anaknya.

Mak Likur pun sangat senang dapat menyelesaikan juadah untuk acara mendoa bakda magrib nanti, lengkap dengan kue apam, belebat, dan bingka ubi, khas untuk kanak-kanak. Kesemuanya sudah disajikan di dalam hidangan tertutup tudung saji, diatur di anjung dan ruang tengah. Pengaturan seperti itu memang khas karena acaranya harus berlangsung cepat sehingga agak berbeda dengan acara mendoa yang lazim: berdoa dulu baru hidangan disajikan.

Kesemua rumah masyarakat harus mendapat giliran. Kebetulan, rumah mereka dikunjungi pertama oleh rombongan masyarakat dalam acara syukuran itu sambil menuju ke mesjid untuk salat Isya dan tarwih. Selesai tarwih nanti acara berdoa itu diteruskan sampai selesai. Hari ini 26 Ramadan, malam ke-27, malam istimewa pada bulan Ramadan sebelum malam 1 Syawal. Ini malam tujuh likur.

Beduk berbunyi, azan pun berkumandang. Tak lengah, Awang dan Dara membaca doa berbuka, minum air putih masing-masing seteguk, dan mencicipi kurma sebiji seorang. Masih dalam keadaan mengunyah kurma, kedua beradik itu berhamburan ke luar. Mereka memasangi colok dan cangkok di luar rumah dan

Malam Tujuh Likur

Page 342: H. Abdul Malik

322 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

jalan: satu per satu sampai kesemuanya menyala. Dan, sampailah mereka pada colok berhias istimewa.

Secara bersama-sama mereka menghitung: satu, dua, tiga, Bismillah! Keduanya menyotongkan korek api ke colok khas masing-masing yang sudah dibuatkan oleh ayah petang tadi. Begitu disotong, colok Dara memancarkan cahaya api dengan motif “Selendang Delima Melayang Manja” dan milik abangnya “Tanjak Tuah Bersanding Keris Pusaka”. Begitu rangkaian colok berhias itu menyala, mereka bersorak gembira, wajah mereka merona bahagia. Ibu dan ayah mereka saling berpandang sekejap di anjung rumah untuk kemudian ikut tertawa. Colok berhias Selendang Delima dan Tanjak-Keris menjadi mascot rumah mereka sampai dengan malam-malam Aidil itri nanti. Rumah-rumah tetangga dihiasi pula oleh colok-cangkok istimewa sesuai dengan selera masing-masing.

Langit cemerlang, gemintang berkelip riang, hujan pun masih cuti sehingga enggan untuk menjelang. Tanda apakah gerangan membentang?

Cahaya colok dan cangkok akan maksimal menghiasi malam: dari rumah ke rumah sampai sepanjang jalan, sekutah-kutah kampung. Kedua beradik itu berpimpin tangan masuk ke rumah untuk menunaikan salat magrib berjamaah bersama ayah-bunda mereka. Wajah mereka bercahaya dan hati kedua anak itu berbunga-bunga.

Tak lama selesai magrib, jemaah telah sampai ke rumah mereka. Acara berdoa pun dimulailah oleh imam mesjid. Doa itu intinya mengucapkan rasa syukur kepada Ilahi karena telah dapat melaksanakan rangkaian ibadah Ramadan dan memohon perkenan Allah agar dapat melanjutkan ibadah pada sisa Ramadan sampai ke Aidil itri. Doa juga disampaikan untuk para arwah yang telah mendahului dan keselamatan kampung serta masyarakat.

Tak lama, hanya sekitar lima belas menit saja. Orang-orang mencicipi hidangan. Kanak-kanak mendapat hadiah juadah utama: apam beras bertabur kelapa parut (kadang-kadang kelapa dicampurkan gula pasir) atau belebat (lepat) dan bingka ubi. Mereka bersorak gembira menerima juadah khas malam tujuh likur itu. Tanpa ampun, kue-kue itu mereka santap dengan lahapnya.

“Assalamualaikum!” ucap Pak Imam dan mereka pun meninggalkan rumah Pak Likur menuju rumah Pakcik Atan. Pak Likur sekeluarga tentu saja ikut serta. Memang begitulah caranya.

Rumah Pakcik Atan tak begitu besar sehingga tak semua jemaah dapat masuk. Akan tetapi, itu bukanlah masalah. Jemaah rela bersempit-sempit dan sebagian duduk di luar rumah. Di rumah ini jemaah agak lama sedikit karena Pakcik Atan kurang sehat. Walaupun begitu, beliau sangat bersemangat menyambut jemaah

Page 343: H. Abdul Malik

323ABDUL MALIK

dengan mengenakan baju teluk belanga baru, yang dipersiapkannya untuk salat ied nanti. Beliau sangat gembira dikunjungi dan jemaah berdoa di rumahnya. Sakit dan derita terasa sirna seketika itu juga. Dukungan dari masyarakat sekampung membuatnya kuat untuk menyambut Hari Raya dan menjalani hari-hari ke depan. Istri dan anak-anaknya pun diliputi rasa bahagia yang tak bertara. Dan, mereka mengucapkan puji kepada Allah Azza wa Jalla karena memperoleh rahmat karunia-Nya.

Rumah Makngah Minah, janda dengan tiga orang anak, dikunjungi terakhir sebelum salat Isya dan tarwih. Kebetulan rumah perempuan salihah itu di samping mesjid. Kendati orang-orang menaruh kasihan kepadanya karena harus membesarkan anak-anaknya seorang diri, Makngah Minah tak pernah menunjukkan kesedihannya. Perempuan itu senantiasa tegar menghadapi dan menjalani kehidupan.

“Tak baik bagi perkembangan anak-anakku kalau aku terkesan sedih,” jawab perempuan yang ketika daranya dulu menjadi bunga desa itu kepada sahabatnya Mak Likur suatu hari dulu saat ditanya tentang rahasia ketabahannya menghadapi musibah. Ketika sedang sendiri, barulah terasa olehnya segala remuk redam dan rindu dendam. Aminah tak pernah dapat melepaskan kenangan bersama suaminya tercinta yang tenggelam di laut ketika sedang menjaring ikan, tiga tahun lalu. Mayat suaminya sampai hari ini tak ditemukan. Tiga orang menjadi korban dalam peristiwa angin ribut yang membawa naas itu.

Bakda tarwih, doa bersama dari rumah ke rumah dilanjutkan. Tentulah rombongan harus dibagi-bagi dalam kelompok. Soalnya, kesemua rumah seisi kampung harus mendapat giliran dalam satu malam. Tak boleh disambung malam besok. Berkat malam tujuh likur ya malam ini, bukan besok, lusa, tulat, atau tubin. Besok dan seterusnya berkat lain lagi, bukan berkat tujuh likur.

Tiba pula giliran rumah Paklong Basar. Long nampaknya agak malu menerima jemaah. Sebaliknya, istrinya, Maklong Buntat menyambut para tamu dengan ramah dan senyum khasnya yang membuat siapa pun sulit melupakannya. Maklong memang dikenal sebagai perempuan yang sangat ramah di kampung itu. Anak-anak mereka yang berempat orang itu pun langsung berbaur dengan teman-teman mereka yang datang dan bermain dengan gembira.

Acara berdoa di rumah keluarga-berada (orang kaya) di kampung itu selesai sudah. Orang-orang akan meminta diri untuk ke rumah yang lain pula. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh tingkah Paklong Basar. Dia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat Pak Imam. Kesemua mata tertuju kepadanya dengan pandangan iba, termasuk anak-istrinya.

Page 344: H. Abdul Malik

324 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

“Maa kan saya, Pak Imam. Selama ini saya kurang bergaul di kampung kita ini. Saya hanya larut dalam urusan bisnis dan partai. Saya jadi jarang berjamaah di mesjid. Nyaris lupa dengan saudara-saudara sekampung, bahkan kepada istri dan anak-anak. Saya minta maaf karena saya lupa diri dan berubah jadi sombong belakangan ini.”

Paklong Basar termasuk orang yang paling berhasil secara politik dan ekonomi di kampung itu. Dia dapat membesarkan bisnisnya sehingga terkenal ke mana-mana. Karena keberhasilan itu, dia diangkat menjadi pengurus inti parpolnya. Dengan jabatan itu, dia makin mudah memperbesarkan bisnisnya dan kelompoknya. Dia jadi lebih banyak bergaul dengan orang-orang luar dan nyaris tak bersinggungan lagi dengan orang-orang sekampungnya belasan tahun. Itulah yang menyebabkan dia lupa diri, termasuk lupa kepada kawan-kawan yang menolongnya dulu. Pak Imam termasuk sahabatnya yang paling banyak membantu karir politik Long Basar. Sayang, Long bagai kacang lupakan kulit sekarang. Padahal, dia hanyalah pemuda dari keluarga yang sangat sederhana sebelumnya, sama dengan masyarakat di kampung itu umumnya.

“Sudahlah, Long. Lupakan saja kesemua yang telah berlalu. Yang penting Long mau mengubah diri. Kami kesemuanya di kampung kita ini sayang kepada Long sekeluarga. Kita ini keluarga besar, harus saling membantu, saling mengingatkan. Syukurlah sekarang Long sudah sadar. Dunia ini sampai di manalah batasnya, Long,” nasihat Pak Imam kepada Paklong Basar.

Paklong Basar tak kuasa menahan air mata. Dia terisak-isak. Kesemua yang hadir juga larut dalam isak tangis. Mereka bersyukur, Long Basar telah kembali ke itrahnya semula. Dalam keadaan masih menangis, Long Basar menyalami jemaah

satu per satu, besar-kecil kesemuanya disalaminya. Sudah lama itu tak dilakukannya secara ikhlas, kecuali basa-basi untuk kepentingan politik dan bisnisnya. Dia pun memeluk anak-istrinya. Long Basar sungguh merasa tercerahkan malam ini.

Pak Imam mengajak Long Basar ikut berkeliling ke rumah-rumah masyarakat. Ajakan itu langsung diterima Long dengan suka cita. Telah lama kebiasaan itu ditinggalkannya, kecuali dalam acara Safari Ramadan, yang juga lebih banyak basi daripada basanya.

Lampu-lampu colok di sekeliling dan di sekitar rumah keluarga Long Basar makin terang menyala. Ditiup angin sepoi-sepoi malam itu cahayanya menjadi semakin indah. Ada desauan merdu dari elusan kayu dan bambu yang saling menyentuh membuat malam makin cemerlang. Kanak-kanak makin asyik bermain dan bergembira riang di ruang bebas beratapkan langit terbentang.

Page 345: H. Abdul Malik

325ABDUL MALIK

Seperti yang diperkirakan, acara itu baru selesai sampai lepas tengah malam. Walaupun begitu, masyarakat sangat menikmatinya sehingga tak merasa terbebani. Bahagia merasuk sampai ke lubuk jiwa mereka yang terdalam. Banyak di antara mereka memilih baru tidur setelah salat Subuh.

“Mengapa kami dihadiahi kue apam atau belebat dan bingka ubi, Mak?” tanya Awang setelah kembali dari berdoa berkeliling rumah masyarakat.

Ibunya memandang anak sulungnya sekejap dengan pandangan penuh kasih. “Kue apam itu termasuk yang paling mengembang, Nak. Kue itu juga dimakan bersama kelapa parut yang dicampur gula dan dilengketkan ke kuenya. Itu lambang bahwa kalian kanak-kanak ini sedang berkembang. Dalam perkembangan itu, kalian harus menuntut ilmu yang baik dan banyak. Itu dikiaskan dengan kelapa parut dan gula yang putih bersih. Begitu dicampurkan dengan kelapa parut dan gula putih, kue apam yang kita makan terasa sangat lezat. Itulah perumpamaan ilmu yang baik. Ia membawa manfaat bagi kehidupan sehingga kalian dapat menjalani hidup dengan baik dan nikmat kelak.”

“Begitu pula belebat dan bingka. Kedua kue itu agak lengket. Itu kiasan agar segala ilmu yang baik yang kalian tuntut melekat di pikiran dan hati,” sambung ayahnya. Apalagi ilmu dan hikmah ketika kita beribadah pada bulan Ramadan. Manfaatnya tak hanya untuk kehidupan dunia, tetapi juga bekal di akhirat. Kita akan memperoleh dua termasa: kesehatan lahiriah dan batiniah serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita pun berbagi suka-duka seisi kampung dalam persaudaraan yang tak pernah putus. Saling mendukung satu sama lain. Itulah arti penting kita mera’ikan malam tujuh likur, anak-anakku,” kata ayahnya.

Awang dan Dara berpandang-pandangan. Dalam hati, mereka bangga memiliki ayah dan ibu yang sangat mencintai mereka. Mereka pun berbahagia karena kedua orang tuanya senantiasa menjaga adat-istiadat dan tradisi yang baik dan mendidik anaknya dengan tradisi yang baik pula. Serentak, mereka memeluk ayah-bunda mereka.

Orang berempat beranak itu berurai air mata. Air mata pengurai bahagia. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan oleh sesiapa pun, termasuk oleh pacal yang hina si penulis kolom budaya. Mereka bermandikan cahaya rahmat, yang mungkin disaksikan oleh para malaikat dan arwah para syuhada yang khusus turun dari surga pada malam Ramadan penuh berkah: malam tujuh likur.

Colok dan cangkok pun meneruskan bakti, memancarkan terang sampai ke pagi. Kali ini lebih berseri. []

Page 346: H. Abdul Malik

326 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

HARI RAYA AIDILFITRI patutlah disambut dengan gembira. Karena apa? Karena hari itu salah satu hari mulia. Selepas sebulan penuh berjuang keras zahir

dan batin melawan hawa nafsu di bulan Ramadan, bulan yang penuh mag irah, umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar dapat kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan, tanpa cela, noda, dan dosa. Kita bersyukur karena Allah menciptakan bulan khusus untuk kita menghapus segala dosa untuk pada gilirannya menjadikan kita orang yang bertakwa.

Tanda-tanda kembali itrah dan mendapat mag irah itu teserlah manakala segala kebaikan dan kebajikan yang kita lakukan pada bulan Ramadan terus berlanjut pada kesebelas bulan berikutnya. Pada akhirnya, kita mampu mencapai kualitas spiritual yang utama, yang membimbing kualitas emosional dan kualitas intelektual kita menjadi lebih baik. Jadilah kita manusia-manusia yang tercerahkan, yang diharapkan mampu melaksanakan kesemua tugas yang kita emban di muka bumi ini dengan bersuluhkan cahaya Ilahi. Tak berlebihanlah apabila Hari Raya kita sambut dengan gembira, gempita, dan bahagia. Asal, kesemuanya kita lakukan tak berlebihan dan bebas dari sifat dan sikap ria: entah karena kekayaan, entah karena kekuasaan, entah karena jabatan, dan sebagainya yang dapat memesongkan kita kepada orang-orang yang kufur nikmat. Alhasil, nilai puasa kita pun menjadi cedera. Nauzubillahi min zalik!

Kita umat Islam Indonesia menjadi lebih berbahagia lagi. Walau akidah kita sama, ternyata terdapat dua keyakinan tentang penetapan jatuhnya 1 Syawal 1432 H. Sebagian saudara-saudara kita berkeyakinan bahwa Ramadan berakhir pada Senin, 29 Agustus 2011 sehingga mereka ber-Hari Raya pada Selasa, 30 Agustus 2011. Sebagian lagi, berkeyakinan—seperti halnya keyakinan pemerintah—bahwa Ramadan berakhir Selasa, 30 Agustus 2011 dan Aidil itri jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011. Walaupun begitu, kita bangsa Indonesia dapat saling menghargai perbedaan itu sehingga dapat ber-Hari Raya secara damai dan penuh persaudaraan.

Nuansa Hari Raya

Page 347: H. Abdul Malik

327ABDUL MALIK

Perbedaan ternyata tak membuat kita berpecah-belah. Malah, kita semakin kokoh bersepadu dalam semangat harga-menghargai, sayang-menyayangi, dan puji-memuji di dalam rahmat Allah. Semangat itu amat mustahak bagi upaya kita membangun keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara kita sampai bila masa pun. Semangat persatuan dan kesatuan itu memang kita warisi dari para pendahulu kita zaman-berzaman: lebih mengutamakan persatuan dan keutuhan serta menghargai perbedaan, tak memaksakan kehendak antara satu dan lainnya. Itulah harmoni yang harus kita ambil himahnya.

Kita menjadi lebih berbahagia lagi karena saudara-saudara kita sebangsa yang nonmuslim pun ikut bergembira di Hari Raya. Mereka juga dengan tulus dan ikhlas menyampaikan ucapan Selamat Hari Raya, bahkan seperti halnya muslim dan muslimah, mengucapkan permintaan maaf zahir dan batin kepada saudara-saudara muslim-muslimahnya. Mereka pun, seperti yang terpelihara dalam tradisi kita, bersilaturrahim ke rumah-rumah saudara Islamnya dengan semangat persaudaraan sejati. Kita memang berbeda agama, tetapi sebagai bangsa Indonesia, kita tetaplah bersaudara di dalam sebuah rumah bangsa yang besar lagi indah ini. Bahkan, kesemuanya itu kita lakukan demi kemaslahatan umat manusia, yang percaya bahwa dirinya hanyalah makhluk Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, di muka bumi ini. Dengan memelihara dan mengimplementasikan keyakinan itu, kita makin kokoh berdiri sebagai masyarakat madani, yang pasti akan dihormati dan disegani oleh bangsa mana pun di dunia ini.

Hari Raya memang sering membawa kisah suka dan duka. Di samping kegembiraan dan kebahagiaan itu, kita pun patutlah berbelasungkawa. Dari jutaan saudara kita yang mudik ke kampung masing-masing, ternyata ada lebih dari 300-an orang yang tak selamat sampai di kampungnya. Mereka meninggal di dalam perjalanan karena naas di jalan raya (kecelakaan lalu-lintas), terutama di Pulau Jawa. Itu baru angka arus mudik (balik kampung), belum tahu lagi angka arus baliknya (kembali ke kota tempat bekerja, ke Jakarta misalnya). Pun tak terhitung yang mendapat cedera di perjalanan sehingga harus dirawat di rumah sakit. Niat hati untuk ber-Hari Raya di kampung halaman bersama saudara-saudara dan keluarga besar, tetapi ternyata Allah lebih dulu memanggil pulang mereka ke kampung yang kekal abadi, akhirat. Terlepas dari ajal dan maut yang memang rahasia Allah, dalam tradisi balik kampung itu kita memang perlu berhati-hati dan penuh perhitungan. Dari media massa kita mengetahui bahwa sebagian besar naas itu terjadi karena yang membawa kendaraan darat dalam keadaan mengantuk.

Masih terbayang di pelupuk mata kita di Hari nan Fitri ini sebagian saudara-saudara kita yang berdesak-desakan dan berhimpit-himpitan. Tak pula orang muda-muda, tetapi orang tua-tua (kebanyakannya perempuan) dan anak-anak. Mereka berebutan untuk mendapatkan pembagian zakat dalam bentuk uang dan makanan menjelang Hari Raya kemarin. Begitu pengapnya suasana, ada

Page 348: H. Abdul Malik

328 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

di antara mereka sampai jatuh pingsan. Padahal, yang mereka perebutkan itu hanyalah bernilai 20 ribu rupiah. Sungguh suatu kenyataan yang memilukan dan, karena peristiwa itu diliput oleh media nasional dan internasional, mestinya juga memalukan. Peristiwa itu seharusnya mengiris hati kita.

Mengapakah para orang kaya melakukan cara seperti itu dalam pembayaran zakat? Dan, mengapakah pula mereka diizinkan melakukan pembayaran zakat dengan cara tak terpuji itu? Di atas kesemuanya itu, diakui atau tidak, terutama oleh pemerintah, bahwa kemiskinan masih menjadi masalah utama bangsa kita. Kemiskinan itu seyogianya bukan untuk dieksploitasi oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab, tetapi diatasi secara cerdas dan tegas, pun tak perlu berbantah-bantah untuk mena ikannya. Terlepas dari berhasil atau tidaknya pembangunan kita secara makro, pada tataran rakyat jelata itulah kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Semoga di dalam suasana hati yang itri ini kita mampu mengevaluasi diri dalam kaitannya dengan “tanggung jawab yang kita kehendaki” untuk membangun bangsa ini.

Di luar negara masih di dalam suasana Hari Raya ini sebagian kita mungkin bersedih menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita di Somalia. Mereka didera oleh musibah kelaparan yang menyiksa. Anak-anak dan orang tua-tua tampil dengan tubuh kurus kering dan wajah yang sungguh tak sampai hati kita melihatnya. Pelbagai penyakit mendera mereka karena kekurangan makanan dan gizi. Apakah yang menyebabkan kesemuanya itu? Jawabnya tiada lain, salah urus dalam membangun bangsa. Dampak terbesarnya tentulah diderita oleh rakyat. Semoga Allah memberikan mereka pertolongan dan semangat untuk bertahan.

Di Irak, walaupun rezim lama telah tumbang, ternyata perang saudara belum juga usai. Darah tertumpah dan nyawa melayang sia-sia karena bom bunuh diri di sana-sini. Rakyat Irak harus mengalami suasana perang dalam waktu lama. Padahal, sponsor Barat-nya sedang berpesta menikmati pampasan dan atau dalal yang menjadi matlamatnya.

Suasana perang saudara masih riuh-rendah di Libya. Perubahan sistem pemerintahan dan politik yang didambakan oleh rakyat, sekali lagi, dimanfaatkan oleh kuasa asing. Keadaan Negeri Libya kacau-balau. Sesama sendiri, seakidah, dan sebangsa saling memusuhi dan membunuhi. Menurut berita resmi, tak kurang dari 50 ribu rakyat Libya tak sempat bertemu Hari Raya 1432 H. karena lebih dahulu mati. Dalam pada itu, kuku-kuku asing Barat makin kuat mencengkeram untuk menciptakan surga dunia yang menjadi keyakinan pragmatis mereka.

Di Hari Raya ini kesemuanya itu patutlah kita renungkan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, lebih bermarwah, dan lebih madani. Betapa keserakahan dalam bentuk apa pun senantiasa berdampak buruk bagi tamadun manusia di mana pun di muka bumi ini. Akhirnya, Selamat Aidil itri serta mohon maaf zahir dan batin dari pacal yang hina ini kepada pembaca yang budiman.[]

Page 349: H. Abdul Malik

329ABDUL MALIK

"APABILA negeri itu berubah kelakuannya, maka tinggalkan dia.” Aforisme itu termaktub di dalam buku Bughiyat al-‘Aini i Huruf al-Ma’ani karya Raja Ali

Kelana (Mathba’at al-Ahmadiyah Press, Singapura, 1922). Itu adalah sikap hidup dan keyakinan seorang Raja Ali Kelana, petinggi dan cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga yang cukup masyhur itu. Seolah-olah sikap itu merupakan antitesis dari kesetiaan lama bangsa kita bahwa “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri.”

Hakekatnya, Raja Ali Kelana lebih menekankan keyakinannya pada tamadun (peradaban) yang dibangun di suatu negeri dan atau negara secara keseluruhan, terutama perilaku atau praktik penyelenggaraan negara, dibandingkan kesetiaan lama yang lebih berbicara pada konteks kesejahteraan (ekonomi) semata. Aforisme Raja Ali Kelana itu juga menunjukkan nilai dan sikap teguh yang dimiliki oleh seorang negarawan sejati yang tak mau berkompromi (bersubhat) dengan praktik yang bertolak belakang dari matlamat (tujuan) asal penubuhan (pendirian) sebuah negeri dan atau negara.

Siapakah Raja Ali Kelana? Beliau oleh keluarganya diberi nama Ali. Karena keturunan bangsawan Kerajaan Riau-Lingga, di depan nama kecilnya itu melekat gelar keturunan Raja sehingga menjadi Raja Ali. Lengkapnya nama beliau Raja Ali ibni Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi. Selain itu, beliau juga dikenal dengan nama-nama alias yang lain yaitu Raja Ali Ahmadi, Raja Ali Riau, Raja Ali Bukit, dan Engku Ali Riau. Penambahan “Kelana” di belakang namanya sehingga menjadi Raja Ali Kelana merupakan jabatan yang disandangnya yaitu menjadi Kelana di dalam Kerajaan Riau-Lingga. Jabatan Kelana itu merupakan jabatan tinggi setingkat di bawah Yang Dipertuan Muda (Raja Muda yaitu orang kedua setelah Sultan di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga kala itu). Orang yang telah menjabat Kelana merupakan calon Yang Dipertuan Muda.

Raja Ali Kelana

Page 350: H. Abdul Malik

330 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Ayahndanya Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi adalah Yang Dipertuan Muda X Kerajaan Riau-Lingga. Baginda wafat pada 1899. Sesuai dengan ketentuan adat, seharusnya Raja Ali Kelana yang menggantikan ayahndanya menjadi Yang Dipertuan Muda XI Kerajaan Riau-Lingga. Akan tetapi, beliau tak sempat dilantik untuk jabatan yang menjadi haknya itu karena meningkatnya perseteruan antara Kerajaan dengan Pemerintah Hindia-Belanda, yang dari pihak Kerajaan, Raja Ali Kelana dikenal sebagai pembangkang yang sangat diperhitungkan pihak Belanda.

Raja Ali Kelana menunjukkan sikap permusuhannya dengan Pemerintah Hindia-Belanda dalam banyak kesempatan. Di antaranya beliau menolak keras penggunaan kata “ irman” dan “akhazatun” yang digunakan pihak Hindia-Belanda untuk perjanjian politik dengan Kerajaan Riau-Lingga. Kata “ irman” ditolaknya karena kata itu dikhususkan untuk Allah swt., bukan untuk ucapan pemimpin Hindia-Belanda. Dan, kata “akhazatun” ditentangnya karena bukan hanya untuk penghalusan (eufemisme) kata “pinjaman”. Lebih dari itu, oleh pihak Hindia-Belanda, Kerajaan Riau-Lingga yang “meminjam” kepada Pemerintah Hindia-Belanda. “Kami yang ahli waris sah kerajaan (negeri) ini, mengapa pula dibalikkan menjadi meminjam kepada kalian, wahai kaum penjajah?” begitu kira-kira penentangan yang dilakukan oleh Raja Ali Kelana.

Raja Ali Kelana adalah salah seorang pendiri dan pengurus inti Rusydiah Kelab. Itu bukanlah sebarang kelab. Rusydiah kelab merupakan organisasi cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga yang didirikan pada 1885. Perhimpunan ini telah menunjukkan kerja berlandaskan budaya modern dengan mengutamakan penggalakan kemajuan pendidikan dan kebudayaan serta ekonomi. Mereka sangat menyadari bahwa untuk eksis di dunia modern, ilmu dan ekonomi menjadi pilar utama. Itulah yang mereka perjuangkan di samping menjadi kelompok penekan bagi pihak Kerajaan dan Pemerintah Hindia-Belanda agar menjalankan pemerintahan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan. Jangankan pihak penjajah, Kerajaan Riau-Lingga pun kalau menyimpang dalam penyelenggaraan negara akan mereka kritik. Organisasi ini berjuang berasaskan Melayu-Islam, adat-istiadat Melayu, dan bahasa Melayu. Di organisasi inilah Raja Ali Kelana menjadi salah seorang pemikir dan penggeraknya.

Raja Ali Kelana merupakan tokoh yang ditempa dengan pendidikan (Islam) yang baik. Selain menuntut ilmu di lingkungan kerajaan di Penyengat Inderasakti, beliau sempat memperdalam ilmunya di Mekah. Di antaranya beliau dibimbing oleh ulama ternama seperti Syekh Ahmad al-Fatani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, dan lain-lain. Kegiatan menuntut ilmu itu dilakukannya ketika singgah di Mekah dalam perjalanannya untuk melaksanakan tugas diplomatik kerajaan ke Mesir. Selain itu, beliau juga berkunjung ke Turki Usmaniyah pada 1895 dan 1905 untuk urusan diplomatik kerajaan.

Page 351: H. Abdul Malik

331ABDUL MALIK

Raja Ali Kelana juga mengemban tugas dalam pengembangan ekonomi. Berdasarkan surat Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga, Rabu, 29 Rabiul Akhir 1308 H., Raja Ali Kelana dan Raja Muhammad Tahir ibni Raja Haji Abdullah al-Khalidi diberi hak untuk mengelola Pulau Batam. Oleh keduanya, didirikanlah perusahaan batu bata “Batam Brick Goods” di Pulau Batam itu. Ketentuan itu dipertegas lagi dengan surat Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga, Selasa, 8 Rabiul Awal 1316 H. bersamaan dengan 26 Juli 1898. Dalam surat terbaru itu haknya dikukuhkan lagi bersama dengan Raja Abdullah (Tengku Besar) dan Raja Muhammad Tahir. Sejak itu berkembanglah usaha batu bata di Pulau Batam.

Sebagai cendekiawan, pada 1896 Raja Ali Kelana ikut mendirikan badan penerbit Al-Imam, yang kemudian pada 1906—1908 menerbitkan Majalah Al-Imam, yang terbit di Singapura. Beliaulah yang menjadi donator penerbitan majalah itu.

Pada 1896 beliau menyelesaikan buku Pohon Perhimpunan pada Menyatakan Peri Perjalanan. Buku dengan gaya jurnalistik itu ditulis berdasarkan hasil perjalanan ke Pulau Tujuh (sekarang Kabupaten Natuna dan Anambas) sebagai bagian tugasnya sebagai Kelana. Dengan demikian, Raja Ali Kelana merupakan tokoh jurnalistik pertama dari Kerajaan Riau-Lingga. Selanjutnya, terbit buku beliau Perhimpunan Plakat (1900), Kumpulan Ringkas-Berbetulan Lekas-Pada Orang yang Pantas-Dengan Pikiran yang Lantas (1910), Bughiyat al-‘Ani i Huruf al-Ma’ani (1922) yaitu buku pelajaran bahasa Melayu, dan Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah.

Pada 11 Februari 1911 Pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan Riau-Lingga secara sepihak karena sultan dianggap pembangkang. Bersamaan dengan, Residen Riau di Tanjungpinang pada 23 Juni 1911 mengeluarkan “ irman” yang ditandatangani oleh G.F. de Bryn Kops yang membatalkan kesemua surat kepemilikan yang dikeluarkan oleh Sultan Riau-Lingga. Selanjutnya, pada 1913 Pemerintah Hindia-Belanda membubarkan Kerajaan Riau-Lingga (Staatblad/Lembaran Negara 1913/19).

Para pemimpin dan rakyat Kerajaan Riau-Lingga tentu tak mau menerima putusan sepihak itu. Sebagian dari mereka memilih berhijrah ke Johor dan Singapura untuk mendapatkan suaka politik dari Sultan Johor, termasuk Raja Ali Kelana. Rencananya, dari tempat pengasingan itulah akan disusun kembali strategi untuk merebut kembali tanah tumpah darah mereka. Selain Khalid Hitam yang berusaha menjalin upaya diplomatik dengan Jepang, Raja Ali Kelana pergi kembali ke Turki pada 1913 untuk meminta bantuan. Malangnya, upaya-upaya itu gagal. Dan, sejak itu Kerajaan Riau-Lingga tak pernah berdiri lagi. Karena kepakarannya, Raja Ali Kelana diangkat sebagai Ketua Agama Islam Negeri Johor oleh Sultan Johor. Raja Ali Kelana, tokoh agama, pendidikan, politik, jurnalistik, dan cendekiawan itu betul-betul meyakini aforisme yang disuratkannya. []

Page 352: H. Abdul Malik

332 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SIAPAKAH orang Melayu? Menurut Encyclopaedia Britannica (Micropaedia, 1985:727), orang Melayu adalah “ethnic group of the Malay Peninsula and

part of adjacent island of Southeast Asia, including the east coast of Sumatera, the coast of Borneo, and smaller islands between areas.” (Satu kelompok etnis di Semenanjung Malaya dan sebagian pulau-pulau yang berdekatan di Asia Tenggara, termasuk pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pulau-pulau yang lebih kecil di antara kawasan itu).

Berdasarkan batasan di atas, kelompok etnis Melayu di Indonesia mendiami kawasan yang terentang dari Temiang di sebelah selatan Aceh, beberapa bagian Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Kalimantan Barat. Beberapa pakar sosial-budaya, bahkan, membuat batasan yang jauh lebih luas daripada itu. Kalau bahasa yang dijadikan acuan, persebaran itu akan mencapai sebagian besar Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Maluku. Kawasan itulah yang disebut sebagai kawasan kebudayaan pesisir dengan ciri khas utamanya berupa kepercayaan dan kelembagaan Islam serta berorientasi ke arah aktivitas pasar (lihat juga Geertz, 1981:43). Di Malaysia Melayu dide inisikan secara lebih luas lagi yaitu bangsa yang (1) berbahasa Melayu, (2) beradat-istiadat Melayu (dalam arti luas), dan (3) beragama Islam.

Sebagaimana bangsa mana pun di dunia ini, orang Melayu memiliki konsep tentang keindahan. Salah satu karya sastra lama Melayu, Hikayat Dewa Mandu, menggambarkan perihal “cantik” sebagai bagian dari konsep keindahan itu. Dalam hal ini, diperikan keindahan yang berkaitan dengan rupa manusia.

“Setelah Dewa Mandu mendengar kata Puteri Lela Ratna Kumala demikian itu maka Baginda pun tersenyum seraya membaca suatu isim Allah, lalu ditiupnya kepala gajah putih itu tiga kali. Maka dirasai oleh Tuan Puteri itu sejuklah segala anggotanya, seketika ia pun kembalilah seperti sediakala menjadi manusia. Setelah

Keindahan Melayu

Page 353: H. Abdul Malik

333ABDUL MALIK

dilihat oleh Dewa Mandu akan rupa Tuan Puteri itu maka ia pun pingsanlah seketika. Lalu Tuan Puteri itu pun meniup kepala Dewa Mandu. Maka Dewa Mandu pun sadarlah akan dirinya, lalu ia mengucap seraya memuji Tuhan seru sekalian alam katanya, ‘Salangkan hamba-Nya yang dijadikan-Nya lagi sekian [cantiknya, AM], jikalau yang menjadikan berapa lagi.’ Makin bertambah-tambahlah tauhid dan tasdiknya akan Tuhan Malik al-Manan. (Chambert-Loir, 1980:109)

Petikan di atas menggambarkan aspek ontologis konsep estetika Melayu. Konsep itu dengan jelas memaduserasikan antara keindahan duniawi atau lahiriyah dan keindahan ilahiyah dengan membandingkan kecantikan Puteri Lela Ratna Kumala dengan Kemahaindahan Tuhan. Konsep itu pun dinyatakan dengan sangat indah oleh penyair Amir Hamzah sebagai “rupa Mahasempurna” dalam salah satu sajaknya.

Kecantikan duniawi (lahiriyah) sebagai tertera dalam Hikayat Dewa Mandu yang dipetik di atas, baru akan dapat mencapai derajat kesempurnaan apabila merupakan gabungan dari “seri gunung” dan “seri pantai” yang juga diterangkan sebagai “beaut’e vue de loint et beaute vue de pres.” (Chambert-Loir, 1980:332).

Kesepaduan antara seri gunung dan seri pantai atau kecantikan yang terlihat dari jauh dan kecantikan yang terlihat dari dekat itulah yang dinamakan oleh pengarang lama Melayu, Ahmad Rijaluddin, sebagai “sadu perdana” dan bernilai “tujuh laksana,” (C. Skinner, 1982:96). Kecantikan yang terlihat dari dekat juga berkias pada keindahan lahiriyah dan duniawi, sedangkan kecantikan yang terlihat dari jauh berhakikat pada keindahan batiniyah dan ukhrawi. Sosok idealnya menjelma dalam diri bidadari Sakerba yang dikisahkan dalam salah satu karya sastra lama Melayu yang piawai Syair Ken Tambuhan: keindahan atau kecantikan yang sanggup menghidupkan kembali pasangan pecinta yang sudah mati.

Di dalam Hikayat Hang Tuah salah seorang tokoh yang terus memesona karena diabadikan oleh penulis karya itu ialah Tun Teja. Sejarah Melayu (Sulalat as-Salatin) karya Tun Sri Lanang mengisahkannya dengan pantun ini: //Tun Teja ratna Benggala/pandai membelah lada sulah//jikalau Tuan kurang percaya/mari bersumpah Kalamullah// (Shellebear, 1903:267).

Raja Ali Haji, di dalam karya kamus monolingual sulung (pertama) Melayu dan Indonesia yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) menakri kan “cantik” sebagai ‘sesuatu sifat sama-ada pada manusia atau lainnya yang memberi indah kepada mata yang tiada cacat pada pemandangan manusia’ (Raja Ali Haji, 1986:325).

Takrif (de inisi) tentang molek, cantik, indah, dan elok sebagai lawan dari kata (b)odoh dapat dirujuk sebagai ‘sifat yang indah pada pemandangan mata atau pada tilik hati yang memberi indah pada pemandangan keduanya itu’ dan ‘memberi indah pada pemandangan mata atau kepada hati’.

Page 354: H. Abdul Malik

334 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Suatu karya tari, misalnya, baru mencapai derajat keindahan apabila sasaran takrifnya sampai, yaitu ‘pekerjaan seseorang dengan kesukaan maka menggerakkan tangannya atau kakinya dengan bertimbang dan beratur yang menjadi indah pada pemandangan adanya’. Tari yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana sebagaimana disebut–sebut orang Melayu ialah yang “kakinya tak jejak ke lantai”.

Demikian pula dengan takrif nyanyi yaitu ‘mengeluarkan suara serta huruf dan serta dengan lagunya dengan had timbangannya’ (ibid.:292). Dan, nyanyian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana sebagaimana disebut orang Melayu dengan ungkapan suaranya bagai “buluh perindu”.

Jadi, suatu karya seni menurut konsep keindahan Melayu yang sadu perdana dan tujuh laksana atau yang kelas satu dan tujuh bintangnya hendaklah bersifat seri gunung dan seri pantai yaitu molek dilihat dari jauh dan molek pula dilihat dari dekat serta elok pada pandangan mata dan elok pula pada tilikan hati. Konsep ini padan dan patut jika disandingkan dengan pendapat Benaventura yang menilai keindahan lukisan dengan mengatakan bahwa suatu karya seni disebut indah apabila, pertama, dibuat dengan baik dan, kedua, mempunyai makna (Sedlmayr, 1959:128).

Bagaimanakah halnya dengan keindahan perilaku? Lagi-lagi, kita dapat merujuk karya Raja Ali Haji. Kali ini kita mengacu kepada karya agung Gurindam Dua Belas (1847). Pada pasal kelima, bait tiga disebutkan, “Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia.” Seri gunung dan seri pantai itu terletak pada kelakuan atau perilaku manusia. Hal itu diungkapkan dengan tegas pada pasal yang sama bait satu Gurindam Dua Belas, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi bahasa.”

Hal itu berarti perilaku yang ideal itu berkaitan dengan kehalusan atau ketinggian budi pekerti dan kesantunan bahasa. Perilaku yang mencerminkan budi pekerti yang halus dan bahasa yang santun itu membawa keutamaan kepada manusia yang memilikinya. Manusia dengan kualitas itu juga, seperti dijelaskan oleh bait-bait yang lain pada pasal yang sama, tak mengerjakan hal-hal yang sia-sia (tak berfaedah), suka dan terus menuntut ilmu sebagai bekal untuk hidup di dunia dan di akhirat, serta pantai bergaul di dalam masyarakat. Manusia dengan perilaku seperti itulah yang bernilai “sadu perdana” karena ketinggian dan kehalusan budi pekertinya.

Manusia dengan kualitas itulah yang memperoleh keindahan kemanusiaannya. Dia tak pernah sampai hati untuk merusak citra kemanusiaannya dengan perbuatan tak berbudi dan tak terpuji, apa pun alasannya. Dia patutlah disebut sebagai manusia utama. Dialah yang berhak atas penghargaan “tujuh bintang” kemanusiaan. Takkah itu sangat indah? []

Page 355: H. Abdul Malik

335ABDUL MALIK

BERTEPATAN dengan 24 September 2011, Sabtu, di Hotel Aston, Tanjungpinang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Provinsi Kepulauan Riau

memperingati Hari Jadi ke-9 Provinsi Kepulauan Riau. Penetapan tanggal itu sebagai Hari Jadi Provinsi Kepulauan Riau mengambil sempena peristiwa disahkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada tanggal dan bulan yang sama sembilan tahun silam, Selasa petang. Walau pemerintahannya baru diresmikan lebih kurang dua tahun kemudian, yakni 1 Juli 2004, Undang-undang tentang pembentukan provinsi ini lebih dulu disahkan.

Setiap peringatan Hari Jadi Provinsi Kepulauan Riau, sama ada diundang atau tidak—kebetulan di Hotel Aston itu saya diundang—kenangan yang paling indah yang terekam di minda dan dibenarkan oleh hati saya adalah dua peristiwa di tempat yang sama. Pertama, di dalam Ruang Rapat Paripurna DPR RI ketika Wakil Ketua DPR ketika itu, Tosari Widjaya, yang memimpin rapat mengetukkan palu tanda disetujuinya Kepulauan Riau menjadi provinsi. Sungguh peristiwa yang mengharukan kami yang memenuhi ruang itu mengingat begitu berliku-likunya perjuangan untuk membentuk provinsi ini. Tak ada kata dan kalimat yang tepat untuk melukiskan keharuan, kegembiraan, dan kebahagiaan itu, kecuali ditunjukkan dengan isak-tangis, pekik Allahu Akbar yang membahana, dan sujud syukur. Kedua, ketika kami memasuki Masjid Baitul Rahman di Kompleks Gedung DPR/MPR RI untuk melaksanakan salat Magrib, yang kami mulakan dengan kembali melakukan sujud syukur sekali lagi.

Mengetahui kebahagiaan itu, sebagian besar jamaah masjid menyalami kami dan mengucapkan tahniah. Hati siapakah yang tak berbunga-bunga? Itulah klimaks dari perjuangan bersama rakyat Kepulauan Riau yang paling membanggakan. Itulah hadiah yang paling berharga dari perjuangan serempak dan serentak yang penuh rintangan dan hambatan sejak 15 Mei 1999, bahkan lebih jauh lagi jika dihitung

Negeri Berhari Jadi

Page 356: H. Abdul Malik

336 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

upaya-upaya yang pernah dilakukan oleh generasi terdahulu tetapi gagal. Agaknya pula, itulah puncak dari kebersamaan dan kebahagiaan bersama, yang sangat sulit disanding dan dibandingkan dengan hari-hari yang berlalu kemudian.

Di dalam ruang Peringatan Hari Jadi hari itu, saya tenggelam dalam luapan emosional sembilan tahun silam. Kalau tak kesemuanya, setidak-tidaknya sebagian dari teman-teman yang lain pun, saya yakin, diliputi perasaan yang sama. Takkan pernah ada acara Peringatan Hari Jadi di hotel yang aduhai itu seandainya perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dulu gagal. Takkan ada wajah-wajah yang penuh ceria yang memenuhi ruang itu jika perjuangan tak membuahkan hasil, bahkan wajah-wajah yang ketika perjuangan kita lancarkan dulu sangat cemberut dan garang menentang malah kini terlihat jauh lebih berseri. Memandang bangunan hotel yang megah itu pun saya berpikir, sudah dibangunkah hotel sehebat ini di sini kalau Provinsi Kepulauan Riau tak berwujud?

Fenomena orang-orang yang hadir dan tak hadir di dalam acara itu paling menarik perhatian saya. Di antara teman-teman seperjuangan, ada yang tak hadir di tempat itu. Beberapa di antara mereka memang lebih dulu berpulang ke Rahmatullah. Banyak pula yang mungkin undangannya tak sampai atau, bahkan, memang tak diundang karena jumlahnya memang sangat banyak. Jika kesemuanya dijemput, pastilah ruang acara itu tak mampu menampungnya.

Di antara yang hadir pula, pada masa perjuangan dulu berada pada dua kubu yang berseberangan. Kubu pertama, teman-teman yang mempertaruhkan segala-galanya untuk mewujudkan terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau. Kami menyebutnya “Perjuangan Menjemput Marwah”. Itulah sebabnya, di kalangan para pejuang setiap 15 Mei saban tahun diperingati sebagai “Hari Marwah”. Kubu kedua, mereka yang berjuang juga, tetapi berupaya dengan segala helah dan daya untuk menggagalkan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Kini kami bertembung di dalam satu ruang pada acara Peringatan Hari Jadi Provinsi Kepulauan Riau yang dulunya diperjuangkan untuk diwujudkan oleh satu pihak dan akan digagalkan oleh pihak lain; yang kini menjadi pihak yang sama. Itulah fenomena manusia, “Sekali air bah, sekali pantai berubah!”

Kebiasaan ini agak mengganggu sehingga saya agak kurang selesa di tempat dan pada waktu yang seharusnya saya bahagia. Apakah itu? Apa lagi kalau bukan kebiasaan menerka-nerka. Barangkali, terkaan pertama saya, mereka yang dulunya menentang merasa cemas jika Provinsi Kepulauan Riau terbentuk karir politik dan birokrasi mereka akan hancur. Atau, ini yang kedua, mereka khawatir kemapanan sosial-ekonomi mereka sebelum provinsi ini terbentuk akan menyusut dan menguap karena takkan ada tempat bagi mereka untuk berimprovisasi seperti di dalam lingkungan lamanya yang memang telah terbukti banyak berbuat “bakti” bagi mereka dengan limpahan “rezeki”.

Page 357: H. Abdul Malik

337ABDUL MALIK

Kalau memang pikiran itu yang bergelayut di minda dan hati mereka kala itu, kini Allah swt. ingin menunjukkan bahwa jangan mendahului-Nya untuk hal-hal yang tak patut diketahui oleh manusia. Kini mereka malah mendapat hadiah, entah berupa ujian atau anugerah, dari hasil sebuah perjuangan dari pejuang-pejuang sejati yang tak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri, baik dulu, kini, maupun nanti, yang dulunya mereka tentang habis-habisan. Hadiah apakah yang mereka dapatkan itu? Karir dan kelimpahan sosial-ekonomi yang jauh lebih tinggi dan besar daripada yang sanggup mereka pikirkan sebelum ini. Bahkan, banyak di antara mereka yang “full team” (dalam hitungan kekerabatan) masuk dalam barisan “pengisi kemerdekaan” pada pelbagai lini kehidupan yang disediakan oleh provinsi ini setakat ini. Padahal, pejuang sejatinya ada yang malah pada acara ulang tahun, diundang pun tidak, jangankan mendapatkan kemudahan hidup.

Terlepas dari kesemua fenomena yang kadang-kadang meradangkan itu, pencapaian matlamat pembentukan Provinsi Kepulauan Riau harus terus digesa dan ditingkatkan. Kesejahteraan masyarakat secara merata yang bersimpul pada tiga pilar: peningkatan pendapatan keluarga, pemerolehan pendidikan yang lebih baik, dan pelayanan kesehatan yang lebih selesa dan bermutu harus menjadi perhatian utama oleh siapa pun yang memimpin negeri ini. Saya percaya bahwa pasti akan ada hidayah dan inayah dari Allah swt. bagi para pemimpin yang memperjuangkan tujuan itu walau apa pun cabaran dan tantangan yang dihadapinya. Sebaliknya pula, kealpaan yang satu akan menjadi penjemput kealpaan yang lain. Itu janji yang cepat atau lambat pasti terbukti, kita percaya atau tidak. Karena apa? Karena ini amanah rakyat yang disaksikan oleh Sang Khalik.

Dengan plus-minusnya, Provinsi Kepulauan Riau kini sedang menuju ke hala positif pencapaian matlamat itu. Adalah terlalu picik rasanya bagi siapa pun yang ungkal untuk mengakui hal itu. Bahwa di sana-sini masih ada kekurangan, itu merupakan hal yang tak terlalu luar biasa bagi daerah yang sedang membangun. Semangat seiya-sekata, seaib-semalu, dan senasib-sepenanggungan yang bersebati dalam perjuangan pembentukannya dulu rasanya akan meniupkan roh yang lebih dahsyat lagi suci jika diterapkan dalam pembangunan. Selamat berhari jadi negeriku, negeri kita. Dirgahayu Provinsi Kepulauan Riau! []

Page 358: H. Abdul Malik

338 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

MANUSIA adalah makhluk yang istimewa. Manusia memperoleh karunia utama akal-budi dari Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa, sehingga keberadaannya

menjadi berbeda daripada makhluk yang lain, yang padahal diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla juga. Tanpa akal-budi nyaris tak dapat dibedakan antara manusia dan ciptaan-Nya yang lain. Bahkan, dalam hal kekuatan isik semula-jadi, banyak makhluk yang lain lebih unggul daripada manusia. Manusia menjadi istimewa karena akal-budinya.

Akal merupakan kata bahasa Melayu (bahasa Indonesia) yang berasal dari bahasa Arab, sedangkan kata budi berasal dari bahasa Sansekerta “bud”. Dalam kebiasaan orang Melayu, kedua kata itu senantiasa disanding dan digandengkan menjadi kata majemuk “akal-budi” untuk mengungkapkan sesuatu yang berkonotasi baik.

Raja Ali Haji (RAH) di dalam karya kamus ekabahasa sulung dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia-nya, Kitab Pengetahuan Bahasa, bahkan, tak menyediakan lema (entri) akal. Penjelasan tentang akal dilakukan bersamaan dengan lema budi. Budi, menurut RAH, “mustak daripadanya yang berbudi yaitu jika dengan bahasa Arab dikatalah akal dan orang-orang Melayu menyebut akal (-budi) itu seolah-olah bahasa dirinya daripada sangat maklum dan masyhurnya. Maka di dalam hal yang demikian itu maka tiada dapat hendaklah kita ketahui makna akal (-budi) itu karena akal (-budi) itu memuliakan manusia jika ada ia tetap kepada manusia adanya.”

Lebih lanjut RAH menjelaskan bahwa dengan akal-budilah manusia memperoleh pengetahuan yang sukar-sukar seolah-olah ia cahaya yang terang, di dalam hati tempatnya memancarkan cahaya naik ke otak, yang dengan itulah dapat dibedakan antara yang benar dan yang salah serta antara yang baik dan yang buruk. Ringkasnya, akal bersumber dari otak, sedangkan budi berasal dari hati (nurani).

Kebudayaan dan Akal-Budi

Page 359: H. Abdul Malik

339ABDUL MALIK

Apakah implikasi sosio-kultural dari faham itu bagi orang Melayu? Apa lagi kalau bukan ini. Akal saja belumlah cukup untuk menyerlahkan (menandai) makhluk sebagai manusia. (Beberapa temuan penelitian terkini membuktikan bahwa hewan-hewan tertentu pun memiliki akal. Jadi, akal bukan hak monopoli manusia.) Betapa tidak?

Di dalam masyarakat Melayu dikenal ungkapan main akal yang berkonotasi sangat negatif. Orang yang tak masuk kerja atau peserta didik yang tak datang ke sekolah tanpa alasan yang munasabah (bolos), misalnya, disebut main akal. Pun masih ada ungkapan mengakali dengan konotasi negatif ‘memerdayai, membohongi orang lain’. Itulah sebabnya, perilaku main akal dan mengakali tergolong perbuatan tercela dalam budaya Melayu. Karena apa? Karena perbuatan itu berakibat tak baik bagi diri sendiri dan mencelakakan orang lain. Akar-pucuknya dan ujung-pangkalnya mendustai kemanusiaan. Alhasil, akal saja tak memadai dan tak menjamin kemanusiaan anak manusia.

Akal harus berbancuh serasi dengan budi sehingga menjadi adonan yang bersebati. Oleh sebab itu, bagi ahli waris sah budaya Melayu, di dalam minda sampai ke perilaku, akal dan budi senantiasa dibanding dan digandengkan sehingga berwujud akal-budi. Dengan itulah kita berpikir, dengan itulah kita merasai, dengan itu pulalah kita memaknai kehidupan ini.

Kalau membaca naskah kuno atau klasik Melayu, kita sering menemukan ungkapan ini, “Apa(kah) budi bicara Tuan hamba?” Sebaliknya, kita tak akan pernah bertemu dengan teks, “Apa(kah) akal bicara Tuan hamba?” kecuali pada percakapan di kalangan para ma ia, perompak, atau lanun. Pasal apa? Pasal, banyak cacat-cela pada akal, tetapi pada budilah tersalut emas-permata kemanusiaan.

Pembicaraan tentang budi memang tak pernah mengenal khatam. Pasal, budi bukan hanya pakaian anak manusia ketika dia hidup di dunia. Lebih daripada itu, budi merupakan karunia istimewa yang pasti dibawa sampai mati. Budi tak pernah dapat dibayar, sama ada di dunia ataupun di akhirat.

Pisang emas bawa berlayarMasak sebiji di dalam petiUtang emas boleh dibayarUtang budi dibawa mati

Akal-budilah yang menyempurnakan kemanusiaan anak manusia. Dengan akal-budi manusia mengembangkan tamadunnya. Dengan tamadun (peradaban) yang disinari akal-budilah manusia menciptakan pemerlain dirinya dari makhluk lain. Bahkan, berdasarkan tamadun yang berakar pada akal-budilah suatu kelompok manusia membedakan kelompoknya dengan kelompok yang lain sehingga kita

Page 360: H. Abdul Malik

340 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dapati perbedaan sedikit atau banyak di antara pelbagai tamadun itu. Maka, dunia pun jadi berseri oleh cahaya cemerlang akal-budi yang menjelmakan tamadun bernilai tinggi.

Berbicara tentang dunia Melayu, kita jadi tak dapat memisahkannya dengan aktivitas dan kreativitas budaya. Berhadapan dengan kenyataan itu, kita harus bersyukur kepada Allah swt. yang senantiasa mencucuri rahmat-Nya untuk memberikan kesadaran akan kewajiban itu kepada kita. Karena apa? Karena kebudayaan senantiasa membangkitkan pencerahan, tanggung jawab, dan kebanggaan bagi setiap pendukungnya. Pada gilirannya, kebudayaan kerap memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Alhasil, kebudayaan dan tamadunlah yang menjadi pengorak simpul kehidupan yang kusut-masai (kusut tak beraturan). Tak berlebihan jika disebut bahwa berpaling dari kebudayaan berarti mengundang malapetaka.

Mengapakah orang Melayu begitu bergairah dengan budayanya, setidak-tidaknya suatu masa dahulu? Jawabnya memadailah diminta dari George Henry Lewes dalam bukunya The Principle of Success in Literature (1969), yang dikaitkan dengan konteks historis Kerajaan Riau-Lingga bahwa rakyat dari segenap lapisan masyarakat sangat mencintai aktivitas dan kreativitas budaya. Itu satu kuncinya. Jika informasi itu masih juga kurang, kita dapat bertanya kepada Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson melalui artikel mereka “Islamic Thought and Malay Tradition: The Writings of Raja Ali Haji of Riau, ca. 1809—ca. 1870” (1979) bahwa kaum bangsawan dan elit Kerajaan Riau-Lingga melibatkan diri langsung secara aktif dalam kegiatan berbudaya itu. Nah, peran pemimpin sangat menentukan dalam hal bertanam budi ini. Alhasil, jasa mereka tetap dikenang dan dihargai sampai setakat ini, jauh melebihi bakti lain yang pernah mereka lakukan. Pasal apa? Pasal, memperjuangkan kebudayaan berarti mempertahankan dan menjunjung marwah dan jati diri bangsa. Dari situlah kesemua kisah tamadun manusia bermula.

Hikmahnya pada kita pada hari ini adalah bahwa kerja-kerja budaya memerlukan keikhlasan, ketulusan, dan ketunakan yang berkesinambungan. Ia bukanlah kerja sambil lewa (asal jadi) sekadar memenuhi pelawaan (permintaan) dari kanan dan kiri. Ia bukan pula sekadar pertunjukan sekali-sekala untuk melupakan kerunsingan dan beban hidup sehari-hari. Ia tak pula bermakna menumpang keharuman dari upaya gemilang para pendahulu yang melegenda.

Kebudayaan boleh kekal, terbina, dan maju jika penyelenggaraannya didasari oleh akal-budi yang mengharapkan rida Allah. Itulah yang menjadi punca dan puncak dari niat, hasrat, dan pekerti untuk mengabdi. Sejarah mengajarkan bahwa tamadun yang dibangun oleh akal-budi menjadikan pelakunya tak pernah dapat dilupakan walaupun telah lama berpulang ke kampung yang abadi.[]

Page 361: H. Abdul Malik

341ABDUL MALIK

Inilah pantun baharu direkaMenyurat di dalam tidak mengertiAda sebatang pohon angsukaTumbuh di mercu gunung yang tinggi

Menyurat di dalam tidak mengertiMakna dendang dipuput bayuTumbuh di mercu gunung yang tinggiBahasanya orang cara Melayu

Pantun di atas dikutip dari buku Perhimpunan Pantun Melayu karangan Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda yang terbit pada 1877. Beliau dipercayai sebagai

penulis pertama Melayu yang mengubah pantun dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis dengan karyanya itu. Dari pantun itu dapatlah diketahui hal ini. Pantun merupakan gubahan yang menggunakan bahasa Melayu tinggi. Pantun juga dihargai sebagai karya yang bernilai tinggi. Oleh sebab itu, kemahiran berpantun pun memerlukan kecerdasan yang tinggi pula.

Keindahan dalam konsep estetika Melayu senantiasa disepadankan dengan kepelbagaian: rupa, warna, bunyi, rasa, dan sebagainya. Kepelbagaian yang bagi barang siapa yang berupaya mengapresiasinya dengan baik akan menikmati kepuasan batiniah yang tiada bertara. Satu di antara jenis sastra yang memenuhi persyaratan estetika itu ialah pantun.

Pantun merupakan jenis sastra lama Melayu yang sangat disukai, dari dahulu sampai setakat ini. Tua-muda, besar-kecil, dan laki-laki-perempuan tak ada yang berasa bosan kalau berpantun dan atau mendengarkan pantun. Di kalangan para peneliti sastra pula, daya tarik pantun adalah “Sifatnya yang tidak lazim …

Pantun:Warisan Sadu Perdana

Page 362: H. Abdul Malik

342 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

sesudah dua baris yang pertama, ada perubahan yang tiba-tiba dalam arti kata-katanya dan bahwa inti seluruhnya terutama terdapat dalam dua baris terakhir (Djajadiningrat, 1933). Ketaklaziman itu membuat para peneliti, Barat dan Timur, terkagum-kagum dan berupaya sedapat-dapatnya untuk mencari rahasianya. Pantun memang memberikan kepelbagaian cita-rasa dan penuh dengan kejutan, tetapi indah, bermakna, dan bermanfaat. Itulah daya pikatnya.

Daya tarik lain pantun di kalangan masyarakat adalah ini. Jenis sastra lama Melayu ini boleh digunakan pelbagai kalangan dari kesemua peringkat umur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan atau gagasannya. Kanak-kanak, orang muda-muda, dan orang tua-tua boleh menggunakan pantun untuk menyampaikan pesannya. Itulah sebabnya, pantun banyak diminati.

Mengapakah begitu? Tamadun Melayu menyebatikan konsep budi dan bahasa. Dalam hal ini, terbentuklah konsep dwitunggal: budi menuntun bahasa untuk mencapai bahasa memancarkan budi. Jadi, menjadi jelaslah mengapa sastra, khasnya pantun, mendapat tempat terhormat dalam kehidupan masyarakat Melayu. Karena apa? Karena pantun memenuhi syarat bahasa memancarkan budi dan budi yang menuntun bahasa itu. Tak heranlah kita ada peneliti mengaitkan pantun dengan akar kata tun ’teratur’ dan berhubung makna dengan kata tuntun ’bimbing, membimbing, mengatur, atau mengarahkan’ (lihat Brandstetter, 1925).

Islam menjadi teras tamadun Melayu. Hal itulah, barangkali, yang menjadi penyebab utama begitu berkesannya amanat Syaiyidina Ali bin Abi Thalib dalam hati sanubari orang Melayu. ”Bahasa yang rusak menggambarkan akhlak yang sudah rusak pula,” demikian kata Syaiyidina Ali. Oleh sebab itu, membəla (memelihara) dan membéla bahasa dari sebarang anasir yang berusaha untuk merusakkannya menjadi tugas mulia.

Karena merupakan medium utama karya sastra, bahasa yang memenuhi syarat untuk dikelompokkan ke dalam sastra Melayu, baik bentuk maupun isi (makna)-nya ialah bahasa yang benar sesuai dengan tuntunan nalar dan baik sesuai dengan pedoman hati (nurani). Singkatnya, bahasa yang mengandung budi. Karena mengandung kebenaran dan kebaikan itulah suatu karya dapat dikategorikan sebagai karya sastra dalam kebudayaan Melayu, yang pada gilirannya memunculkan keindahan dan kemanfaatan. Haji Ibrahim menguatkan hujah itu dengan pantun berikut ini.

Makna dendang dipuput bayuSeekor burung dipukul angin

Bahasanya orang cara MelayuTiada tahu erti yang lain

Page 363: H. Abdul Malik

343ABDUL MALIK

Berdasarkan perian di atas menjadi jelaslah mengapa sastra mendapat tempat yang penting dalam kebudayaan Melayu. Dengan sastra, khasnya pantun, hasrat, resa, dan tanggung jawab untuk mengekalkan budi yang terala (luhur dan mulia) dapat diwujudkan, yang pada gilirannya menjadi peneguh dan pengukuh jati diri bangsa. Dengan demikian, membina dan mengembangkan pantun sebagai bagian dari tamadun Melayu menjadi tugas yang mustahak lagi mulia.

Begitulah dunia Melayu mewariskan pelbagai jenis karya sastra untuk dinikmati dan diambil hikmahnya untuk kehidupan, dari dahulu sampailah masa kini. Pantun merupakan genre sastra lama yang paling digemari sampai setakat ini. Para peminat dan penikmatnya tak kira umur, status sosial, suku, dan agama. Untuk pelbagai aktivitas, pantun terus digunakan dan diciptakan orang. Agaknya, bentuknya yang ringkas, isinya yang terbuka untuk semua jenis dan peringkat persoalan dan persajakannya yang indah menawan; membuat pantun memiliki daya pikat lebih. Apalagi, untuk menghasilkan sampiran dan isi yang serasi memang diperlukan kreativitas pikir dan kemampuan berbahasa yang menantang. Akal dan budi harus dibancuh sedemikian rupa sehingga menghasilkan adonan yang bersebati.

Akan tetapi, awal dari kesemuanya itu pantun memang sudah diperkenalkan kepada orang Melayu sejak mereka masih bayi lagi. Lagu untuk menidurkan anak-anak yang disebut lagu mengulik (the lullaby) dalam budaya Melayu digubah dalam bentuk pantun. Salah satu liriknya sebagai berikut.

Ayun tajak buai tajakTajak bertimbang di Tanah Jawa

Ayun anak buai anakAnak bertimbang dengan nyawa

Di atas kesemuanya itu, pantun memberikan kesan psikologis yang jauh lebih mendalam kepada pengucap, pendengar, dan atau pembacanya dibandingkan dengan ungkapan biasa. Itulah daya magis pantun yang sesungguhnya sehingga keberadaan warisan sadu perdana itu tetap lestari sampai setakat ini. Ucapan terima kasih yang disampaikan seseorang karena mendapatkan bantuan kebaikan dari orang lain terkesan biasa, bahkan, cenderung dirasakan hanya basa-basi saja. Akan tetapi, amanatnya jauh lebih menghunjam dalam sampai ke sanubari jika diungkapkan dengan pantun.

Nyiur gading puncak mahligaiGunung Daik bercabang tiga

Hancur badan tulang berkecaiBudi baik dikenang juga

Page 364: H. Abdul Malik

344 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Dengan daya magis istimewanya itu, pantun mampu membangkitkan semangat yang bernyala-nyala. Perhatikan dengan seksama pantun ini.

Kalau roboh Kota MelakaPapan di Jawa kami dirikanKalau sungguh bagai dikata

Nyawa dan badan kami serahkan

Begitulah pantun yang baik mampu menyampaikan amanat untuk meningkatkan semangat membangun dan tak mengenal putus asa bagi sesiapa saja. Bahasa dengan pemerian biasa tak akan mampu menandinginya untuk memberikan kesan yang menyentak dan menghunjam dalam. ”Pantun Kota Melaka”, melalui persebatian sampiran dan isinya, itu memberikan kesan ”sungguh bagai dikata” sehingga orang ”rela mengorbankan nyawa dan badan” untuk matlamat suci membela kebenaran, memperjuangkan hak, dan atau membangun bangsa dan negara. []

Page 365: H. Abdul Malik

345ABDUL MALIK

UPAYA-UPAYA menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional makin kuat digesa setakat ini. Selain Malaysia, perjuangan itu diperkuat oleh para

akademisi Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Usaha-usaha yang dilakukan oleh para intelektual negara yang berpenduduk terbanyak di dunia itu, antara lain, mempromosikan bahasa Melayu di kalangan penduduk RRT dan mengintensi kan pengajaran bahasa Melayu melalui lembaga-lembaga pendidikan di negara mereka.

Satu di antara pejuang penginternasionalan bahasa Melayu itu adalah Prof. Dr. Wu Zhong Yu dari Universitas Beijing, RRT. Tokoh ini amat dikenal di negaranya dan sangat dihormati di dunia Melayu, khasnya di Malaysia. Beliau telah mempelajari bahasa Melayu sejak tak kurang dari lima puluh tahun yang lalu, dengan sarana yang sangat terbatas kala itu. Saat ini beliau sangat fasih berbahasa Melayu/Indonesia dan logatnya sangat mirip dengan penutur asli bahasa Melayu Kepulauan Riau, bahkan tak terlalu mirip dengan penutur asli bahasa Melayu di Malaysia. Mendengar beliau bertutur dalam bahasa Melayu betul-betul membuat kita terkesan. Karena apa? Karena sebagai penutur asing, beliau dapat berbahasa Melayu dengan sangat baik dan santun berkat ketekunan belajarnya selama puluhan tahun dan kecintaannya terhadap bahasa Melayu. Menurutnya, setelah bahasa ibunya dan bahasa Mandarin, bahasa Melayu-lah yang paling disukainya.

Dalam wawancaranya dengan TV 1 Malaysia, Jumat, 21 Oktober 2011; Prof. Wu menceritakan secara singkat pengalamannya bersama teman-temannya untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional, terutama yang telah dilakukan di RRT. Menurut beliau, kini bahasa Melayu telah menjadi mata pelajaran wajib di peringkat pra-universitas tujuh institusi ternama di RRT. Yang lebih membanggakan, menurut beliau, bagi rakyat RRT bahasa Melayu sekarang telah menjadi bahasa asing utama di negaranya bersama bahasa Inggris.

Menginternasionalkan Bahasa Melayu

Page 366: H. Abdul Malik

346 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Bahkan, secara instrumental mungkin juga integratif, bangsa RRT lebih cenderung mempelajari bahasa Melayu dibandingkan dengan bahasa Inggris. Itu bukan karena semangat Asia saja, melainkan lebih-lebih karena pertimbangan pragmatis. Bagi mereka, dengan memahiri bahasa Melayu lebih memungkinkan bangsa RRT untuk bekerja di negara-negara berbahasa Melayu yang kawasannya cukup luas seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain-lain. Sebaliknya pula, kemahiran berbahasa Inggris tak terlalu menjamin mereka untuk diterima bekerja di negara-negara yang berbahasa Inggris. Oleh sebab itu, bangsa RRT lebih menyukai belajar bahasa Melayu dibandingkan dengan menekuni bahasa asing lain.

Ketika ditanya faktor apakah yang dapat mempercepat bahasa Melayu menjadi bahasa internasional, dengan bersemangat Prof. Wu yang tak muda lagi secara isik itu menjawab ini. “Bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Melayu atau

bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa ibu (bahasa pertama) maupun sebagai bahasa nasional (bahasa kedua), harus yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka adalah bangsa yang besar dan memiliki bahasa yang besar pula dalam perjalanan sejarahnya ratusan tahun. Masyarakat dunia menaruh harapan besar terhadap bahasa Melayu dan bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Melayu, yang jumlah penuturnya tak kurang dari 300 juta orang ini. Itu belum lagi dihitung jumlah pemakainya sebagai bahasa asing seperti di RRT, Jepang, Korea, Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Potensi bangsa-bangsa dan bahasa Melayu sangat diperhitungkan di dunia ini. Hal itu tak boleh disia-siakan dan diabaikan, tetapi harus dimanfaatkan untuk memartabatkan lagi bahasa Melayu di kalangan masyarakat internasional.”

Pendapat pejuang penginternasionalan bahasa Melayu, Prof. Wu Zhong Yu, itu memiliki alasan yang cukup kuat. Di dalam masyarakat internasional, kini bahasa Melayu telah diajarkan dan dipelajari sebagai bahasa asing di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Rusia, Belanda, Perancis, Italia, Australia, Selandia Baru, Korea, Jepang, RRT, Thailand, dan lain-lain. Tak kurang dari 129 institusi pendidikan tinggi dunia yang telah menawarkan pengkajian bahasa Melayu di 52 negara (Eropa, Amerika, Asia Timur, dan Timur Jauh) setakat ini.

Di RRT bahasa Melayu dipelajari di Universitas Peking, Universitas Pengkajian Bahasa-Bahasa Asing Beijing, Universitas Komunikasi China Beijing, Universitas Pengkajian Asing Guangdong (di Guangzhou), Universitas Bangsa-Bangsa Guangxi (di Nanning), dan Universitas Bangsa-Bangsa Kunming (Provinsi Yunnan).

Adakah upaya-upaya pembelajaran bahasa Melayu melalui sistem pendidikan RRT dan negara-negara lain itu merupakan bentuk konkret dukungan pemerintahnya agar bahasa Melayu menjadi bahasa internasional? Walau belum ada pernyataan resmi, tetapi dengan mencermati wawancara TV 1 Malaysia

Page 367: H. Abdul Malik

347ABDUL MALIK

dengan Prof. Wu, jalan ke arah itu sudah mulai terbuka. Apa lagi, sokongan yang sangat berarti dari kalangan akademisi negara-negara tersebut tentulah sangat diperhitungkan oleh para pemimpinnya karena berdasarkan pemikiran ilmiah.

Karena bahasa Melayu atau bahasa Indonesia itu adalah bahasa kita, tentulah pulangan utamanya tergantung kepada kita yang memilikinya. Masyarakat internasional pun tak akan dapat berbuat banyak kalau negara-negara dan bangsa yang menggunakan bahasa Melayu itu sendiri tak berbuat secara memadai untuk memartabatkan bahasanya untuk menjadi bahasa internasional. Yang paling menentukan dalam hal ini adalah Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang penduduknya terbanyak menggunakan bahasa Melayu. Jika kita serius, dukungan dari pelbagai pihak akan segera mengalir karena dunia internasional pun sangat mengharapkan peningkatan peran bahasa Melayu seperti yang diungkapkan secara jujur dan lugas oleh Prof. Wu di atas.

Di dalam negeri upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penguasaan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia di kalangan penduduk. Hal itu berarti kualitas berbahasa Melayu/Indonesia masyarakat harus terus ditingkatkan. Pendidikan dan pengajaran bahasa Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan pendidikan tinggi pun harus ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, pemikiran masyarakat yang terus berkembang sesuai dengan keadaan yang terus berubah terwadahi dengan bahasanya. Pun, masyarakat menjadi makin terbiasa menerima dan memahami pemikiran yang canggih yang dituangkan dengan bahasa yang tentu makin canggih pula. Jangan pula sampai terjadi, kecanggihan pemikiran yang disampaikan dalam bahasa Melayu/Indonesia, justeru, lebih dipahami oleh bangsa asing karena mereka mempelajarinya secara tekun, sedangkan sebagian besar bangsa kita tak memahaminya karena tak perduli atau menanggapinya sambil lewa (tak dengan sepenuh hati). Oleh sebab itu, kualitas pendidikan dan pengajaran bahasa Melayu/Indonesia untuk meningkatkan pengetahuan bahasa, kemahiran berbahasa, dan sikap positif (cinta) terhadap bahasa sendiri harus diupayakan dengan bersungguh-sungguh.

Yang juga mustahak adalah peningkatan kualitas pengajaran bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa asing, baik untuk pelajar asing yang belajar di negara kita maupun untuk mereka yang belajar di negara mereka. Semakin mudah mereka mempelajarinya, akan semakin tertarik mereka terhadap bahasa kita.

Kesemuanya itu akan membuka jalan yang semakin lebar bagi upaya pemercepatan bahasa Melayu/Indonesia menjadi bahasa internasional. Ingatlah, masyarakat dunia sesungguhnya tak sabar menanti bilakah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, satu di antara bahasa besar dunia ini, akan diangkat menjadi bahasa internasional. Jawabnya, sekali lagi, terpulang kepada kita! []

Page 368: H. Abdul Malik

348 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

ERA GLOBALISASI mengandaikan pengembangan kepribadian bangsa mendapat perhatian yang serius. Pasal, hanya bangsa yang memiliki kepribadian yang

kokoh dan kuatlah yang mampu bersaing dalam era yang kompetitif ini. Masalah orang Melayu tak jauh berbeda dengan persoalan bangsa-bangsa

berkembang lainnya. Kenyataannya, di Kepulauan Nusantara ini pernah berdiri negara-negara besar dan kecil, termasuk negara yang berbasis Melayu, yang mulanya bangsa atau suku-suku bangsa itu berkembang secara terpisah. Di samping itu, karena letak geogra is dan proses sejarah (a.l. pernah terjajah), mereka mengembangkan kebudayaan yang beraneka ragam pula.

Keanekaragaman kebudayaan Melayu di nusantara ini menjadi semakin besar karena pengaruh kebudayaan asing dari masa lampau sampai ke masa kini. Oleh sebab itu, setelah menjadi bangsa-bangsa yang merdeka timbullah pelbagai cabaran dan keperluan, khususnya keperluan akan kebudayaan yang dapat berfungsi sebagai pengikat persatuan dan kesatuan bangsa yang terwujud sebagai masyarakat yang majemuk.

Dinamika pergolakan sosial yang timbul karena keberadaan masyarakat bangsa yang beraneka ragam tak boleh dibiarkan begitu saja. Pasalnya, di satu sisi hal itu akan menimbulkan ketakseimbangan, tetapi di sisi lain juga dapat memacu perubahan ke arah pembaharuan. Perubahan itu, justeru, diperlukan untuk membina persatuan dan kesatuan masyarakat yang beraneka ragam.

Dalam konteks masyarakat yang majemuk, keberadaan suatu kebudayaan yang mempersatukan menjadi sangat mustahak. Hal itu dapat kita rasakan, terutama kalau kita menghadapi ketegangan sosial yang muncul akibat isu-isu tentang pelbagai perbedaan: suku, adat-istiadat, ras, dan agama; yang justeru muncul karena kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh perbedaan cara pandang berdasarkan kebudayaan yang berbeda. Suatu gejala yang sama ditafsirkan berlainan karena cara pandang kebudayaan yang berbeda.

Cabaran Sosio-Budaya Melayu

Page 369: H. Abdul Malik

349ABDUL MALIK

Apa pun bentuk ketegangan sosial dalam masyarakat majemuk itu perlu diatasi. Caranya ialah dengan memanfaatkan nilai-nilai terala (luhur dan mulia) dari budaya-budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Oleh itu, mutu kebudayaan Melayu yang berkembang sejak lama di nusantara ini harus ditingkatkan terus sesuai dengan keadaan yang terus berubah sehingga dapat memberikan sumbangan yang berterusan bagi kebudayaan nasional bangsa-bangsa Melayu di mana pun di dunia ini.

Fungsi kebudayaan dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa yang sangat penting ialah sebagai pedoman penafsiran dan pemaknaan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Fungsi ini sangat mustahak dalam kaitannya dengan pembangunan. Setakat ini negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sedang melaksanakan pembangunan secara menyeluruh dengan melibatkan peran-serta seluruh rakyat. Hal itu berarti rakyat harus dapat diyakinkan tentang arti pentingnya pembangunan sehingga mereka ikhlas dan rela terlibat secara aktif tanpa tekanan. Begitu pula, kecepatan perubahan global harus diperhitungkan sesuai dengan kemajemukan masyarakat, yang daya serapnya berbeda.

Kebudayaan yang menjadi acuan masyarakat pendukungnya taklah statis, tetapi dinamis dan berkembang. Karena proses pembangunan, perkembangan kebudayaan menjadi lebih cepat lagi dan meliputi lebih banyak sektor kehidupan.

Akibatnya, sering timbul reaksi penolakan atau hambatan-hambatan sosial. Faktor budaya yang menghambat itu umumnya berkaitan dengan minat dan keperluan masyarakat, daya serap masyarakat karena rumitnya pembaharuan, keterkaitan dengan adat-istiadat, kekhawatiran golongan tertentu akan lenyapnya nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan keyakinan tradisional. Jika kebudayaan sebagai rujukan bersama tak berkembang sesuai dengan pesatnya pembangunan di bidang yang lain, dapat dipastikan akan terjadi perbedaan penafsiran dan pengertian dalam masyarakat majemuk atas rencana-rencana pembangunan. Alhasil, tujuan pembangunan untuk memantapkan persatuan dan kesatuan serta daya saing masyarakat, justeru, boleh jadi berakibat sebaliknya. Apalagi, jika tujuan pembangunan itu diselewengkan oleh para pihak yang terbabit.

Itulah sebabnya, diperlukan pedoman nilai-nilai budaya yang memberikan makna terhadap pembangunan bagi segenap anggota masyarakat, terlepas dari latar belakang kebudayaan masing-masing. Dengan adanya kebudayaan acuan yang dapat memberikan pengertian tentang pembangunan secara luas, ketegangan dalam masyarakat dapat diperkecil, persatuan dan kesatuan dapat diperkukuh, dan daya saing masyarakat dapat ditingkatkan. Pada gilirannya, proses pembangunan dapat dipercepat dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat.

Pertambahan penduduk akan menimbulkan masalah sosial-budaya. Lebih-lebih, kalau perubahan itu tak diimbangi dengan peningkatan kemudahan sarana

Page 370: H. Abdul Malik

350 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dan prasarana yang diperlukan. Daya tampung lingkungan akan berkurang. Semakin hari semakin keras persaingan orang untuk memperebutkan sumber daya. Alhasil, hanya orang-orang tertentu, yang secara positif memiliki daya saing tinggi dan atau secara negatif diberikan kemudahan khusus karena pelbagai pertimbangan—nepotisme misalnya, akan berhasil dalam memperebutkan sumber daya. Akibatnya, sering terjadi pelbagai ketegangan, yang seharusnya tak perlu jika diantisipasi dengan rujukan nilai-nilai budaya terala.

Berdasarkan kenyataan itu, pengembangan kebudayaan Melayu sangat mustahak digesa. Pengembangan kebudayaan itu tak cukup hanya merujuk budaya lama dan asli, tetapi juga dapat menyerap budaya-budaya asing yang dapat mempertinggi marwah orang Melayu. Contohnya, perilaku positif terhadap sains dan teknologi modern yang dikembangkan oleh budaya Barat.

Persatuan dan kesatuan bangsa Melayu perlu dipupuk dan dibina tak hanya dengan kesatuan acuan kultural. Di samping itu, masih perlu perwujudan identitas kemelayuan yaitu nilai-nilai budaya yang terala sehingga dapat menumbuhkan rasa kebanggaan di antara anggota masyarakat sebagai pendukung kebudayaan yang berkepribadian.

Pengembangan kebudayaan Melayu sangat penting untuk memantapkan inti budaya. Hal itu memungkinkan pemahaman masyarakat akan makna dan arah kehidupan sebagai bangsa serta terwujudnya ketahanan bangsa karena dapat berfungsi sebagai mekanisme pengarah dan pengendali dalam masyarakat yang beraneka ragam.

Orang Melayu memerlukan ciri pengenal yang dapat dibanggakan dan membedakan dirinya dari bangsa-bangsa lain di dunia. Ciri pengenal itu dapat membina kepribadian bangsa yang kuat dalam pergaulan antarbangsa yang sederajat. Pengembangan kebudayaan Melayu itu merupakan perpaduan puncak-puncak kebudayaan yang ada di kawasan Melayu, yang niscaya akan mewujudkan kesamaan nilai, perasaan, dan moral yang menjiwai sikap dan bentuk perilaku bangsa Melayu di mana pun mereka bermastautin di muka bumi ini. Oleh sebab itu, pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu kebudayaan Melayu harus dilakukan secara terencana, terarah, dan berterusan.

Dengan begitu, keberadaan orang Melayu yang bermartabat dan bermarwah akan tetap diperhitungkan di dalam pergaulan masyarakat internasional. “Tak Melayu hilang di bumi,” kata Hang Tuah. Dan, ini adalah pekerjaan besar yang serius, bukan sambil lewa. []

Page 371: H. Abdul Malik

351ABDUL MALIK

SEBAGAI generasi Melayu yang hidup pada hari ini, kita patutlah bersyukur. Karena apa? Karena daerah kita dianugerahi oleh Allah swt. dengan sumber

daya alam (SDA) yang berlimpah ruah, itu satu. Kebahagiaan itu tentulah akan berlipat ganda lagi jika kita juga dapat menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas komprehensif, ini dua, agar SDA yang kita miliki dapat dikelola sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama sampai ke generasi mendatang, yang ini tiga.

Untuk menciptakan SDM berkualitas yang dicita-citakan itu, kita sadar bahwa generasi Melayu, antara lain, haruslah memiliki kesadaran budaya yang memadai. Ini mustahak dan genting. Dengan kesadaran kultural itu, timbullah hasrat untuk memilikinya dengan penuh tanggung jawab, mengekalkannya, membinanya, dan mengembangkan warisan budaya yang memang ranggi itu. Dengan begitu, di satu sisi nilai-nilai budaya Melayu akan membentuk generasi yang berkarakter baik dan berakhlak mulia. Di sisi lain, nilai-nilai budaya Melayu yang penuh dengan kehalusan budi itu akan terus berkembang untuk menjadi pedoman nilai bagi generasi Melayu, khasnya, dan masyarakat, umumnya, dalam menjalani hidup, sama ada pada masa kini ataupun yang akan datang. Dengan demikian, gerak dinamis budaya Melayu dan nilai-nilainya yang terala (luhur) terus bermekaran dan secara pragmatis bermanfaat dalam kehidupan kita dan generasi berikutnya.

Berhubung dengan itu, kita sekali lagi harus bersyukur kehadirat Allah swt. karena daerah kita juga telah dianugerahi khazanah budaya yang berlimpah. Ini sungguh tak ternilai harganya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tradisi lisan dan tulis kita yang tersedia telah mengantarkan orang Melayu ke puncak jaya tamadun Melayu-Islam yang sangat membanggakan, sekurang-kurangnya pada masa lalu.

Dalam hal ini, kita patutlah berterima kasih kepada para pendahulu sejak

Kesadaran Budaya

Page 372: H. Abdul Malik

352 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

zaman Kesultanan Melayu yang lampau. Mereka telah bekerja bertungkus lumus, bermandi peluh, dan berhempas pulas untuk memperjuangkan orang Melayu dan tamadunnya ke puncak kejayaan. Warisan yang mereka tinggalkan bukan saja sangat membanggakan kita yang hidup pada hari ini, melainkan juga sangat bermanfaat untuk kita pedomani dalam menjalani kehidupan, apa pun profesi dan pekerjaan kita dalam hidup ini. Bahkan, karena budaya Melayu meletakkan Islam sebagai terasnya, pengamalannya dalam hidup di dunia niscaya akan memungkinkan kita juga memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak. “Kaya harta tinggal di dunia, kaya iman dibawa mati,” petuah orang tua-tua kita.

Para pendahulu kita, kalau dihitung dari masa Kerajaan Riau-Lingga saja, yang dimulai oleh Bilal Abu dan Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua telah menanamkan semangat betapa mustahaknya mengembangkan tamadun untuk menyerlahkan, mempertahankan, dan memartabatkan jati diri Melayu. Mereka diikuti oleh cendekiawan Melayu berikutnya seperti Raja Ali Haji, Haji Ibrahim, Raja Haji Ali, Raja Haji Abdullah Mursyid, Raja Saliha, Raja Haji Daud, dengan Raja Ali Haji sebagai maestronya. Ketauladanan yang mereka berikan menyemangati generasi Raja Sa iah, Raja Hasan, Encik Kamariah, dan lain-lain. Dalam barisan berikutnya berdiri tegap dan tegar Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, Abu Muhammad Adnan, dan sang pejuang kaum perempuan yang teramat kokoh Aisyah Sulaiman.

Dari buah pikir, daya kreatif, dan ketekunan mereka yang luar biasa, dunia Melayu telah mewarisi tradisi tulis yang sangat mengagumkan. Bukan hanya kita yang berasa demikian, bahkan dunia pun mengakuinya. Mereka telah mengajarkan kita bahwa memelihara budaya yang agung mestilah bagai menatang minyak yang penuh: dengan ikhlas, sepenuh hati, kerja keras, dan siap mati—kalau perlu—untuk membelanya.

Karena kerja keras, ikhlas, dan penuh kecintaan dari para pejuang itulah; bahasa kita, bahasa Melayu, mencapai puncak kejayaan, dijunjung menjadi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tak hanya sampai di situ, mereka telah mewariskan kepada kita pelbagai bidang ilmu seperti agama, bahasa, sastra, ilsafat, politik, pemerintahan, astronomi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan masih banyak lagi. Dengan perjuangan itu, Raja Ali Haji telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Bapak Bahasa dan Pahlawan Nasional sejak 6 November 2004. Itulah di antara bukti nyata bahwa daerah ini menjadi pusat tamadun Melayu pada masa lalu, antara abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20.

Kita tentulah tak mengharapkan generasi Melayu hanya bertumpu pada kebanggaan masa lampau. Apa-apa yang telah dicapai oleh generasi terdahulu dan yang kita perbuat sekarang, hendaklah dilanjutkan oleh anak-cucu dengan kecintaan yang sama, kalau dapat lebih hebat lagi. Untuk mencapai matlamat itu, haruslah kita pikirkan bersama-sama kerja-kerja apa saja yang boleh dan patut kita

Page 373: H. Abdul Malik

353ABDUL MALIK

lakukan untuk lebih menyemarakkan lagi perkembangan kebudayaan Melayu ke depan ini. Kesemuanya itu bukanlah sekadar pertunjukan kehebatan, melainkan memang mustahak kita perlukan untuk membentengi kepribadian bangsa. Kita sangat tak berharap bahwa generasi kita hanya menjadi peniru tamadun atau peradaban bangsa lain. Pasal apa? Pasal, itu sangat berbahaya karena dapat merusakkan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Secara geogra is, Melayu memiliki kawasan yang sangat luas di nusantara ini. Di kawasan yang luas itu terdapat pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) yang sangat representatif. Bukankah kita dapat bersinergi untuk meningkatkan kerja sama dalam memelihara, mengekalkan, membina, dan mengembangkan kebudayaan kita, kebudayaan Melayu. Bagi para pemimpinnya, untuk apalah kekuasaan yang diamanahkan masyarakat jika kita tak mau memberi perhatian yang sewajarnya terhadap perkara yang mustahak dan genting ini. Jika kita mau belajar dari kejayaan Kerajaan Riau-Lingga, tamadun Melayu menduduki singgasana emasnya dan memberikan berlian budi-pekerti serta kebanggaan bangsa karena pemimpin dan rakyatnya sama-sama bersinergi untuk memajukannya. Itulah kunci kejayaannya mencapai puncak mahligai peradaban.

Kesemuanya itu adalah warisan tamadun berharga milik kita bersama. Dengan demikian, menjadi tanggung jawab kita bersamalah untuk mengembangkannya ke depan ini. Bukan pula menggunakan cara dan helah tak terpuji seperti yang dilakukan oleh Provinsi Jambi dengan mengambil Pulau Berhala, yang jelas dan sangat pasti milik Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau secara kultural dan historis. Itu mencabar (menantang) dan menjejas marwah dan harga diri sesama Melayu namanya. Praktik seperti itu berbahaya dan tak baik dalam upaya kita membangun tamadun yang bersalutkan ketinggian budi. Mengapakah kita tak dapat bekerja sama membangun tamadun dalam pelbagai bidang tanpa harus mengusik hak terwaris saudara kita? Hal ini mustahak untuk direnungkan, dipikirkan, dan dirasakan secara arif. “Tegak Melayu menjunjung adat,” petuah orang tua-tua kita. “Hendak dimalui, jangan memalui,” pesan Raja Ali Haji. Intinya, kita mestilah saling menjaga marwah sesama Melayu, bahkan marwah bangsa lain juga. Itulah cogan ketinggian budi Melayu. Mengapakah kesemuanya itu diabaikan?

Kita sangat berharap agar Lembaga Adat atau apa pun nama lembaganya di kawasan Melayu di nusantara ini, para cendekiawan, budayawan, dan mereka yang berkhidmat di penadbiran negeri (pemerintah) bersedia untuk merumuskan, merencanakan, dan melaksanakan kerja-kerja yang memang patut untuk dilakukan. Jika tak dapat melampaui capaian para pendahulu, saya yakin, kita memiliki kemampuan, kemauan, dan semangat yang sama untuk sekurang-kurangnya menyamainya. Jika Rusydiah Kelab mampu melahirkan pemikir-pemikir kelas dunia seperti Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, dan Sayyid Sekh Al-Hadi, yang

Page 374: H. Abdul Malik

354 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

menjiwai semangat Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim, takkanlah kita sekarang harus kalah dari mereka.

Karena apa? Karena generasi kita sekarang mendapatkan pendidikan yang relatif lebih baik daripada mereka. Tidakkah kita merasa malu terus terpuruk di lembah degradasi kultural yang menyesakkan dada selama ini? Padahal, kita memiliki fasilitas yang relatif sangat memungkinkan untuk maju menjadi masyarakat modern yang madani berteraskan tamadun kita, tamadun Melayu. []

Page 375: H. Abdul Malik

355ABDUL MALIK

GEDUNG Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam yang diberi nama yang sangat baik, Gedung Raja Nong Isa, sangat menarik perhatian saya. Oleh sebab

itu, kolom kali ini saya pusatkan pada hal-hal yang berkaitan dengan gedung yang berdiri megah tesergam itu.

Penabalan dan peresmian nama Gedung Raja Nong Isa untuk Kantor LAM Kota Batam dilakukan pada Jumat, 11 November 2011, tepat pukul 11.00 siang. Peresmian gedung kantor yang berlokasi di Jalan Engku Putri 20, Batam Centre, Kota Batam itu langsung dilakukan oleh orang nomer satu Kota Batam yaitu Walikota sekaligus Datuk Setia Amanah Kota Batam, H. Ahmad Dahlan, A.D.T.P. didampingi oleh Wakil Walikota Rudi, unsur Muspida, dan tentu disaksikan oleh para pengurus LAM Kota Batam serta tokoh masyarakat Kota Batam (lihat Batam Pos, Sabtu, 12/11/2011, hlm. 28).

Sekadar informasi tambahan, di belakang nama Walikota Batam saya tulis A.D.T.P. Itu adalah kebiasaan yang dilakukan di Malaysia, sekurang-kurangnya di Kerajaan Negeri Melaka. Walikota Batam, H. Ahmad Dahlan, adalah penerima Anugerah Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Tun Perak. Itu adalah anugerah tertinggi di lingkungan DMDI untuk orang perorangan yang dinilai berjasa untuk memajukan DMDI, baik organisasi maupun masyarakat Melayu-Islam. Sesuai dengan anugerah yang diperolehnya, berdasarkan kelaziman di Malaysia, di belakang nama penerimanya dituliskan singkatan anugerah yang diperoleh. A.D.T.P. adalah singkatan dari Anugerah DMDI Tun Perak, satu gelar adat yang memang patut dijunjung tinggi bagi sesiapa pun yang bernaung di bawah payung panji adat Melayu. Hal itu berarti, jasa penerima anugerahnya dinilai tak kalah dengan Tun Perak untuk Kerajaan Negeri Melaka dalam sejarah Kerajaan Melaka pada masa lampau.

Gedung Raja Nong Isa

Page 376: H. Abdul Malik

356 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Penabalan nama Gedung Raja Nong Isa untuk Rumah Perkhidmatan (Kantor) LAM Kota Batam juga patutlah diapresiasi positif. Dengan pemberian nama itu, berarti kita yang hidup pada masa ini betul-betul menghargai dan menghormati pendahulu yang telah menunaikan darma baktinya untuk daerah ini tanpa pamrih. Kesemuanya mereka lakukan untuk memartabatkan tanah tumpah darahnya dan anak-cucunya. Adalah tugas kita yang hidup pada hari ini untuk menjulangkan nama mereka. Nama itu menyerlahkan kebanggaan akan kemelayuan yang sangat berpatutan pada tempat dan layaknya. Kemegahan gedung dan keharuman namanya begitu bersebati dan sangat sanggam bersesuaian dengan isik gedung yang berdiri tesergam di pusat kota industri, Batam Bandaraya Modern yang Madani.

Penabalan dan peresmian Gedung Raja Nong Isa, Rumah Perkhidmatan LAM Kota Batam dilaksanakan pada Jumat, 11 November 2011, tepat pukul 11.00 siang. Menurut Ketua LAM Batam, penabalan yang mengambil hari, tanggal, dan waktu itu diharapkan dapat membawa berkah (Batam Pos, Sabtu, 12/11/2011, hlm. 28). Dengan demikian, Ketua LAM Batam terpengaruh ‘mitos’ sama juga dengan banyak pasangan pengantin baru yang melangsungkan pernikahan pada 11/11/2011 dengan harapan mendapat berkah dari tarikh yang kebetulan tanggal, bulan, dan tahunnya kesemuanya sebelas.

Bagi saya, ‘kepercayaan’ tentang penanggalan itu kesemuanya tahyul belaka. Berkah akan sesuatu bukanlah bersumber dari penanggalan, melainkan datangnya dari Allah swt. Jika kita makhluk-Nya senantiasa taat kepada-Nya dengan menunaikan segala perintahkan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, Insya Allah, berkah dari-Nya akan berdatangan tiada berhingga. Bukankah itu telah dijanjikan Allah dan Dia tak pernah mungkir janji. Yang paling saya percaya dari tarikh penabalan itu ialah harinya yaitu penabalan dan peresmian dilaksanakan pada Jumat. Kesemua kita tahu bahwa Jumat adalah satu di antara hari yang baik dalam kepercayaan Melayu-Islam.

Lalu, bagaimanakah halnya dengan tanggalnya? Harus diingat, bahwa penanggalan yang diacu itu bukanlah berasal dari tamadun Melayu-Islam. Lagi pula, yang sama dari penanggalan itu hanyalah tanggal dan bulannya saja, sedangkan tahunnya adalah 2011, bukan tahun 11. Pun tak ada jaminan bahwa tanggal, bulan, dan tahun yang sama bilangannya itu lebih istimewa dari yang lain ditinjau dari berkah Allah. Sebaiknya, hemat saya, kita menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau tahyul atau klenik seperti ini. Akan menjadi buruk dampak dan padahnya jika ucapan Ketua LAM Batam itu diacu sebagai ‘fatwa adat’ oleh pemangku dan masyarakat adat Melayu Batam, khasnya, dan masyarakat Melayu di mana pun mereka bermastautin, umumnya.

Page 377: H. Abdul Malik

357ABDUL MALIK

Adat dan budaya Melayu memiliki sistem tersendiri tentang hari dan bulan yang dianggap baik, yang tak bertentangan dengan akidah Islam. Keberadaan Batam untuk menjadi Bandaraya Modern dan Madani dipertaruhkan di sini. Tak ada yang namanya tahyul dan klenik di dalam masyarakat modern dan madani. Jangan-jangan karena ketelanjuran ucapan satu dua orang, Melayu yang besar ini pula yang dipersalahkan orang. Tegasnya, itu bukanlah cara berpikir dan berasa yang berasal dari tamadun Melayu-Islam.

Dengan mengambil hikmah dari kejadian ini, hemat saya begini. Sebelum terlalu jauh melangkah, LAM Batam—dan LAM di mana pun—perlu memikirkan untuk mengadakan suatu bidang yang khusus mempelajari dan menangani urusan yang berkenaan dengan hari baik dan bulan baik yang suatu masa dulu biasa juga disebut ‘pelangkah’ dan atau sejenisnya. Dengan begitu, jika LAM dimintai saran tentang bila harus mendirikan rumah, menikahkan anak, pindah kantor, dan sebagainya, LAM dapat memberikan fatwa yang benar, baik, dan memuaskan menurut adat-resam Melayu-Islam.

Terlepas dari kesemuanya itu, masyarakat Kota Batam patutlah berbahagia dan berbangga. Karena apa? Karena Kota Batam, sebagai kota industri yang paling maju di Kepulauan Riau dan terkenal sampai ke mancanegara, telah memiliki Gedung Raja Nong Isa, Rumah Perkhidmatan LAM Kota Batam. Seperti saya sebutkan di atas, gedung itu berdiri tesergam dan megah di pusat kota. Keelokan dan kemolekannya tak kalah dengan gedung-gedung canggih yang berdiri lebih dulu dan kemudian di Batam. Setahu saya, belum ada kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki gedung LAM secanggih Kota Batam. Bahkan, LAM Provinsi Kepulauan Riau pun belum memiliki rumah perkhidmatan (kantor) semegah itu.

Dengan begitu, Pemerintah Kota Batam hendak menunjukkan bahwa walaupun Batam bergerak menjadi bandaraya modern, adat-istiadat dan budaya Melayu sebagai budaya asal daerah ini tetap terpilihara dan terbina dengan baik. Ada niat dan kehendak untuk maju berlandaskan adat dan budaya terala milik bangsa sendiri, bukan menggantungkan diri pada budaya bangsa lain. Setidak-tidaknya, orang yang berdatangan ke Batam akan terkagum-kagum menyaksikan kecanggihan Gedung Raja Nong Isa itu dari luar. Soal membenahi kegiatannya di dalam, sangat terpulang kepada komitmen, dedikasi, dan loyalitas para pengurus LAM dan masyarakat Melayu-Islam Batam, yang tentu dengan sokongan sepenuhnya dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam.

Banyak kerja yang dapat dan memang patut dilakukan agar adat-istiadat dan budaya Melayu-Islam memberikan sumbangan yang lebih banyak bagi pergaulan hidup masyarakat ke depan ini, yang seperti diucapkan oleh Datuk Setia Amanah

Page 378: H. Abdul Malik

358 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

H. Ahmad Dahlan, agar masyarakat kita tak tergerus oleh arus nilai-nilai global yang negatif. Hemat saya, arahkan lebih banyak perhatian untuk membina dan mengembangkan adat-istiadat dan budaya Melayu di kalangan generasi muda dan para anak didik kita. Merekalah harapan kita ke depan ini dan supaya mereka siap untuk tak mengamalkan faham dan budaya hedonistis kalau menjadi pemimpin kelak.

Tahniah Datuk Setia Haji Ahmad Dahlan, Pak Rudi, Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Batam, Muspida Kota Batam, LAM Batam, dan seluruh masyarakat Kota Batam. Gedung Raja Nong Isa, Insya Allah, dengan aktivitasnya yang representatif, aktif, dan terpelihara menurut adat-istiadat Melayu-Islam, akan menjadi ikon Batam sebagai Bandaraya Modern dan Madani. []

Page 379: H. Abdul Malik

359ABDUL MALIK

ABU MUHAMMAD ADNAN bernama sebenar Raja Haji Abdullah ibni Raja Hasan ibni Raja Ali Haji. Dengan demikian, Abu Muhammad Adnan adalah cucunda

Raja Ali Haji dan putra Raja Hasan, yang juga pengarang. Tak heranlah di dalam dirinya mengalir darah kepengarangan. Nyata juga bahwa ketauladanan ayahnda dan kakeknda beliau telah memberikan pedoman yang baik dan begitu meresap ke dalam hati sanubari hakim agung yang pengarang ini.

Nama Muhammad Adnan digunakannya sebagai nama pena untuk mengenang ananda sulungnya, Raja Muhammad Adnan, yang meninggal pada usia yang masih sangat muda. Tambahan nama Abu di depan nama anandanya itu berarti ‘ayah’. Dia juga dikenal dengan sapaan Engku Haji Lah atau Engku Lah. Selain sebagai pengarang, beliau berprofesi sebagai hakim Mahkamah Kerajaan Riau-Lingga. Jelaslah bahwa profesi utamanya adalah sebagai hakim agung, tetapi mengarang merupakan tanggung jawab terwaris yang dijalaninya dengan segenap kecintaan dan jiwa-raganya.

Tak diketahui tarikh pasti kelahiran Abu Muhammad Adnan. Walaupun begitu, dapat dipastikan bahwa beliau meninggal pada 1926.

Engku Haji Lah membuktikan bahwa pada zaman Kerajaan Riau-Lingga pekerjaan menulis sangat diminati oleh para petinggi negara. Sebagai hakim agung di Mahkamah Kerajaan, beliau ternyata juga menekuni bidang sastra dan bahasa, bahkan beliau pun menceburkan diri dalam cabang seni yang lain. Sangat jelas pada masa itu ada keyakinan bahwa kepengarangan menjadikan seseorang tampil sebagai manusia yang utuh dan bermartabat, bukan sekadar pangkat dan jabatan yang tinggi. Dalam kasus beliau, bahkan, profesinya sebagai pengaranglah yang menyebabkannya dikenang sampai hari ini, bukan jabatan tinggi yang pernah disandangnya. Tak heranlah kala itu profesi sebagai pengarang didambakan oleh

Abu Muhammad Adnan

Page 380: H. Abdul Malik

360 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

banyak orang. Dengan demikian, tradisi intelektual Melayu terus berkembang dan terpelihara untuk memberikan semangat zaman dan meneruskan semangat para pendahulu.

Beliau beristri dua orang yaitu Salamah binti Ambar dan Khadijah Terung. Kedua istri Abu Muhammad Adnan itu juga pengarang. Salamah binti Ambar menghasilkan dua karya: (1) Syair Nilam Permata dan (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Khadijah Terung pula menulis Perhimpunan Gunawan bagi Laki-Laki dan Perempuan, sebuah karya yang sangat “berani” dan pasti mendebarkan jantung siapa pun yang membacanya.

Sebagai seniman, Raja Haji Abdullah tak hanya dikenal sebagai sastrawan. Beliau juga memiliki keahlian dalam bidang seni lukis dan seni patung.

Abu Muhammad Adnan merupakan pengarang yang memiliki bacaan yang sangat luas. Perpustakaan pribadinya dilengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Melayu, Arab, dan Perancis. Kebiasaan yang ditunjukkan oleh Engku Lah ini pun hendak menegaskan bahwa kepengarangan merupakan profesi yang penuh dengan tanggung jawab. Orang tak mungkin menjadi pengarang yang baik tanpa banyak membaca. Tak ada yang bersifat instan dalam dunia kepengarangan. Mengarang memerlukan kesungguhan yang memadukan kecerdasan secara komprehensif dengan konsistensi dan disiplin yang tinggi. Ketunakan dalam tradisi tulis menjadi kunci untuk menjadi pengarang yang baik dan bertanggung jawab.

Beliau juga rajin menulis kalimat-kalimat berhikmah di buku-buku karya asli dan atau terjemahannya. Di antara kalimat yang pernah ditulisnya berbunyi, “Apabila diarahkan dengan jitu, al-khayalan akan merangsang pikiran sehingga hasilnya pun akan menjadi berfaedah, bermanfaat, bermakna.” Dengan demikian, jelaslah bahwa Abu Muhammad Adnan menganggap bahwa imajinasi (hayalan) sangat penting bagi tumbuh dan berkembangnya inovasi dan kreativitas.

Selain dibuktikannya sendiri dengan karya-karya yang dihasilkannya, keyakinan Engku Lah itu memang tak terbantahkan. Nyaris tak ada karya besar dalam bidang apa pun yang dihasilkan oleh umat manusia di dunia ini tanpa hayalan terlebih dahulu. Syaratnya, imajinasi tak boleh dibiarkan begitu saja, tetapi harus diolah sedemikian rupa dengan kerja keras sehingga menghasilkan karya yang bermutu. Alangkah sia-sianya imajinasi jika ia tinggal hanya sebagai hayalan kosong belaka, hanya angan-angan.

Selain menulis karya sastra, asli dan terjemahan, Abu Muhammad Adnan juga menulis buku pelajaran bahasa Melayu. Di antara bukunya dalam bidang bahasa ialah (1) Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah, (2) Penolong Bagi yang Menuntut Akan Pengetahuan yang Patut, dan (3) Pembukaan Bagi yang Berkehendak dengan Huraian yang Pandak.

Page 381: H. Abdul Malik

361ABDUL MALIK

Karya-karya Abu Muhammad Adnan dalam bidang bahasa itu melengkapkan seri pengkajian bahasa dalam tradisi intelektual Kerajaan Riau Lingga. Kakek beliau Raja Ali Haji menulis dalam bidang ejaan, tata bahasa, dan kamus. Haji Ibrahim menulis dalam bidang etimologi (asal-usul kata) dan morfologi (bentuk kata). Raja Ali Kelana menulis dalam bidang semantik (makna kata). Dengan karyanya, Raja Abdullah bin Raja Hasan ini menggenapkan pengkajian bahasa Melayu dengan bidang pelajaran bahasa.

Dalam bidang kesusastraan, karya-karya suami Salamah binti Ambar dan Kadijah Terung ini yang dapat diketahui setakat ini meliputi enam karya: (1) Hikayat Tanah Suci (1924), (2) Kutipan Mutiara, (3) Syair Syahinsyah (1922), (4) Ghayat al-Muna, (5) Syair Seribu Satu Hari (1919), dan (6) Syair Pahlawan Farhad.

Karya-karya Abu Muhammad Adnan juga diangkat menjadi cerita Wayang Bangsawan, suatu genre teater Melayu yang sangat digemari suatu masa dahulu. Sekurang-kurangnya ada empat karya beliau yang pernah dijadikan cerita Wayang Bangsawan: Syair Pahlawan Farhad, Syair Ghayat al-Muna, Syair Seribu Satu Hari, dan Syair Syahinsyah.

Dalam perkembangan seni Wayang Bangsawan, Abu Muhammad Adnan cukup berperan. Walau tak terlibat secara langsung dalam aktivitas genre seni pertunjukan itu, beliau sering dimintai naskah cerita dan model tata busana oleh perkumpulan Wayang Bangsawan istana. Kemampuannya sebagai pelukis memungkinkan Engku Lah untuk mereka busana bagi tokoh Wayang Bangsawan: raja, menteri, jin, penjahat, orang asing, khadam, dan sebagainya. Model tata busana rekaannya itu ternyata digunakan oleh perkumpulan Wayang Bangsawan kala itu.

Dari bukti bakti yang pernah disumbangkannya, jelaslah bahwa Abu Muhammad Adnan tergolong seniman yang memiliki bakat besar dan kecintaan yang tinggi terhadap banyak cabang seni. Ketunakan beliau dalam bidang yang digelutinya itu telah menambah khazanah karya yang pernah dihasilkan oleh para budayawan Kerajaan Riau-Lingga sehingga nilai-nilainya dapat dipelajari dan dikaji sampai ke hari ini. Kesemua karyanya itu patutlah menjadi kebanggaan kita yang hidup pada masa ini.

Walaupun demikian, kebanggaan itu akan menjadi sia-sia dan tak berguna jika karya-karya monumental itu dibiarkan diam begitu saja. Alangkah baiknya jika dilakukan pengkajian yang mendalam tentang peninggalan Abu Muhammad Adnan dari pelbagai sudut pandang keilmuan, khasnya ilmu-ilmu budaya. Jika pekerjaan itu dapat dilakukan, berarti kita betul-betul menghargai jerih-payah

Page 382: H. Abdul Malik

362 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

para pendahulu dengan wajar sekaligus dapat mengembangkannya bagi kehidupan kita kini dan generasi yang akan datang.

Saya yakin banyak nilai bermanfaat di dalam karya beliau yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup sepanjang masa. Dengan begitu, berarti kita juga telah ikut berperan dalam menyambung tradisi intelektual yang pernah tumbuh merecup di negeri ini suatu masa dahulu. Tradisi itulah yang membuat kawasan ini pernah memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Dan, itu juga berarti kita telah menyelamatkan budaya dan bangsa kita. []

Page 383: H. Abdul Malik

363ABDUL MALIK

SETIAP 25 November kita memperingati Hari Guru. Ada satu hari dalam setahun yang diperingati khas untuk guru sebetulnya menunjukkan bahwa bangsa ini

menaruh perhatian khusus terhadap profesi pendidik, sekurang-kurang secara formal. Betapa tidak? Dalam sistem pendidikan, walaupun bukan satu-satunya komponen yang menentukan, peran guru tetaplah penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Tulisan ini didedikasikan pada hal-hal yang berkaitan dengan profesi dan bakti guru, para pendidik.

“Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru.” Itu adalah pesan Raja Ali Haji di dalam Gurindam Dua Belas, Pasal Keenam, bait 2. Bait ini menukik langsung perihal perhubungan peserta didik dan pendidik atau guru (muamalah dan akhlak). Peserta didik dianjurkan untuk mencari pendidik yang mampu mengajarkan, membimbing, melatih, dan mendidik mereka sehingga mampu mengenal seteru.

Seteru? Ya, segala sesuatu yang menjadi lawan bagi manusia dan kemanusiaannya. Lawan yang siap menerkam mangsanya bila-bila masa dan di mana saja. Guru yang baik adalah pendidik yang bersedia, ikhlas, dan layak membimbing para peserta didiknya sedemikian rupa sehingga mereka pun mampu mengenal, memahami, untuk pada gilirannya melawan setiap seteru yang akan membinasakan dirinya dan kemanusiaannya. Pendidik dengan kualitas itulah yang patut dan wajib dicari oleh setiap peserta didik.

Marilah kita tinjau masalah genting (krusial) yang dihadapi oleh bangsa kita setakat ini. Masalah utamanya adalah makin terpuruknya kehidupan berbangsa dan bernegara kita akhir-akhir ini. Masalah itu berkaitan dengan kian lunturnya budaya nasional kita dan makin menurun (terdegradasinya) karakter bangsa ini, di satu pihak, serta makin kerasnya cabaran atau tantangan budaya global

Guru dan Seteru

Page 384: H. Abdul Malik

364 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

(Barat) yang tak sesuai dengan budaya kita untuk menggeser nilai-nilai baik yang kita yakini selama ini, di pihak lain. Akibatnya, pelbagai musibah menimpa kita sebagai bangsa, baik yang bersifat alami maupun sosio-kultural. Jenis, kuantitas, dan kualitas musibahnya nyaris tak terperikan lagi. Pun, nyaris bangsa kitalah yang paling tinggi tensi musibahnya dibandingkan bangsa-bangsa lain, yang terus berpacu mengejar kemajuan, sedangkan kita masih berputar-putar di sekitar musibah-musibah itu saja.

Apakah punca atau penyebab utama kesemuanya itu. Jawabnya tiada lain yaitu seteru utama manusia: kebodohan. Pasti banyak orang yang tak bersetuju dengan pernyataan itu. Keberatan itu pun dapatlah dipahami. Karena apa? Karena telah cukup banyak orang di antara bangsa kita yang bersekolah cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada para pendahulu pada awal kemerdekaan dahulu. Akan tetapi, kenyataannya—diakui atau tidak—sekolah dengan ijazah tinggi ternyata tak selalu seiring dengan terdidik secara baik dan komprehensif. Tak jarang terjadi mereka yang berijazah tinggi itulah yang menjadi pangkal bala, bagian dari masalah. Perseteruan di antara mereka membawa malapetaka dan marabahaya bagi bangsa yang besar ini secara menyeluruh. Sendi-sendi kehidupan nyaris punah-ranah.

Mereka hanya sibuk dengan urusan diri dan kelompok sendiri sehingga rela mengorbankan bangsa dan negara tanpa merasa bersalah sedikit jua pun. Pelbagai helah dan hujah dikemukakan seolah-olah mereka memang paling cerdas. Di sebalik kesemuanya itu tak lain tipu-daya belaka. Perseteruan di antara mereka dipertunjukkan saban hari tanpa ada di antara kita yang sanggup melawannya. Bahkan, kalau ada pun satu-dua orang yang berjuang untuk menghadangnya, pada akhirnya tenggelam juga ke dasar terdalam samudera kekacaubalauan itu. Pilihannya biasanya adalah ikut bermain di atas gelombang panas atau tenggelam alias terkucil dari silauan hedonistis yang makin bersemarak. Pesta pertunjukan kemegahan dan kemewahan bak tuhan baru di samping tuhan lama yang tetap mereka sembah di dalam peribadatan, yang ironisnya mereka laksanakan juga, entah untuk apa. Maka, bermunculanlah para ir’aun baru walau tak sejantan Fir’aun asli.

Gejala itu membuktikan bahwa kecerdasan intelektual yang terbungkus ijazah tinggi tak menjamin manusia mengenal, apalagi melawan, seteru utamanya. Masih diperlukan kecerdasan-kecerdasan lain seperti kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional yang mampu membawa manusia memiliki kecerdasan komprehensif. Olah pikir yang mampu mengembangkan potensi kecerdasan intelektual ternyata hanya sanggup melahirkan orang yang pandai, bahkan setakat pandai di dunia saja. Itulah kebodohan terbesar yang mengemuka selama ini. Itulah seteru utama yang harus diketahui, dihayati, dan dilawan oleh

Page 385: H. Abdul Malik

365ABDUL MALIK

peserta didik yang seyogianya ilmunya diperoleh dari pendidik sejati, yang tak hanya memiliki ilmu, tetapi memberikan tauladan diri kepada peserta didiknya.

Untuk menghasilkan manusia yang cerdas secara komprehensif, masih diperlukan upaya-upaya lain. Olah kinestetika perlu dilakukan agar dapat dikembangkan potensi kecerdasan sosial untuk menghasilkan insan yang bertanggung jawab. Insan yang jujur dihasilkan melalui upaya olah hati untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual. Upaya olah rasa pun mustahak untuk mengembangkan potensi kecerdasan emosional sehingga dapat dihasilkan insan yang peduli dan kreatif. Ketiga jenis kecerdasan yang disebut terakhir inilah yang, justeru, terlupakan dalam upaya pendidikan kita selama ini, baik pendidikan informal, formal, maupun nonformal. Kita begitu menggebu-gebu untuk menciptakan orang yang pandai secara intelektual, yang ternyata berjiwa kering kerontang.

Dengan kecerdasan komprehensif itu, peserta didik diharapkan tak hanya berbangga diri akan predikat orang pandai di dunia. Akan tetapi, mereka menjadi paham dan sadar sesadar-sadarnya untuk membekali diri agar mampu menjadi orang pandai di akhirat. Pasal apa? Pasal, orang yang sekadar pandai di dunia, yang dipuja-puji di dunia karena kepandaian duniawinya, tak akan dipandang Tuhan di akhirat kelak. Hanya manusia yang membekali diri dengan pengetahuan dan ilmu untuk menjadi pandai kedua-duanyalah, dunia dan akhirat, yang diperhitungkan oleh Sang Khalik di kehidupan akhirat yang kekal abadi. Insya Allah, jika peserta didik mendapatkan pendidikan yang baik dan diberi laluan untuk mengembangkan potensi kecerdasan komprehensif secara holistik, mereka tak hanya menjadi insan yang berguna di dunia, tetapi akan memperoleh kebahagian sejati di akhirat, di hadapan Tuhannya. Itulah hakikat dan tujuan hidup manusia sesungguhnya sehingga kita harus terus meningkatkan kemanusiaan dan mengembangkan tamadun kita.

Tugas, peran, dan tanggung jawab itulah yang ada di pundak para pendidik. Melalui proses pendidikan harus dapat dihasilkan insan yang dapat menikmati kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Untuk memperolehnya, tentulah diperlukan pengetahuan, ilmu, perilaku, dan sikap yang patut dan padan. Insan seperti itulah yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negaranya sehingga sebagai bangsa, kita menjadi berwibawa dan terhormat dalam pergaulan masyarakat dunia. Dan, hidayah serta inayah Allah akan senantiasa mengalir bagi bangsa yang berkualitas dan berkarakter baik seperti itu.

Semakin nyatalah bahwa tugas dan tanggung jawab pendidik sangat berat, tetapi pun sangat mulia. Tugas besar itu tak mungkin hanya dideligasikan kepada para guru saja. Untuk mencapai matlamat mulia itu, peran orang tua, masyarakat,

Page 386: H. Abdul Malik

366 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dan pemerintah harus ditingkatkan dalam pendidikan anak bangsa ini. Generasi kita tak hanya memerlukan ilmu dan teknologi yang canggih untuk menghadapi tantangan pada masanya, tetapi juga karakter tauladan di lingkungannya: rumah tangga, sekolah, masyarakat, dan dalam lingkup bangsa yang besar ini. Oleh sebab itu, jika kita betul-betul berazam untuk menyelamatkan bangsa ini, setiap orang dewasa harus mau dan mampu berperan sebagai guru. Kuncinya pada perkataan, perbuatan, perilaku, dan sikap hidup yang patut dijadikan suri tauladan. Selamat Hari Guru. []

Page 387: H. Abdul Malik

367ABDUL MALIK

DIAKUI atau tidak, pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih diarahkan pada aspek ekonomi. Alasan yang dikemukakan tiada lain untuk mempercepat

tercapainya kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, segala daya yang ada dikerahkan dan pikiran pun sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kemajuan ekonomi, yang malangnya sering melupakan aspek lain. Kata kunci kesejahteraan seolah-olah begitu sakral dan menjadi alat pembenaran untuk mengutamakan pembangunan ekonomi dibandingkan aspek lain.

Ternyata, banyak dijumpai program pembangunan ekonomi yang sebagian besarnya gagal, bahkan gagal total. Karena apa? Karena pembangunan itu sesungguhnya bersifat holistik. Program pembangunan ekonomi yang didewakan itu justeru tak membuahkan hasil yang diharapkan kalau aspek lain dialpaan, yang justeru sangat diperlukan untuk menggerakkannya, terutama aspek budaya. Malangnya, tak jarang terjadi aspek budaya itulah yang paling kurang mendapat perhatian di dalam implementasi pembangunan selama ini walau sebagai bumbu retorika politik untuk menarik perhatian rakyat, pembangunan kebudayaan selalu disebut mendapat perhatian penting konon.

Pembangunan mengandalkan manusia sebagai pelakunya. Manusia pelaku pembangunan itu taklah ada dalam keadaan hampa atau kosong sebagai benda mati. Manusia adalah subjek yang hidup dan kehidupannya itu secara terwaris menganut serangkaian nilai budaya. Manusia pelaku pembangunan itu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya itu pada tataran perseorangan mewujudkan sikap mental yang menjadi penggerak pembangunan, baik pembangunan ekonomi, politik, maupun pembangunan sosial lainnya. Dengan demikian, tak heranlah kita bahwa pembangunan yang mengabaikan aspek budaya dapat dipastikan menuai kegagalan. Jadi, janganlah terlalu heran jika ternyata pembangunan infrastruktur ekonomi seperti jembatan yang megah berusia muda boleh rontok seketika seperti mainan kanak-kanak.

Budaya Membangun

Page 388: H. Abdul Malik

368 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Apa pasal? Untuk menjadi subjek pembangunan, manusia tak hanya memerlukan kemahiran, keahlian, ilmu-pengetahuan, dan teknologi. Lebih daripada kesemuanya itu masih diperlukan unsur utama berupa tata nilai sebagai pedoman berperilaku dan pemacu semangat dalam bekerja. Keahlian serta penguasaan sains dan teknologinya mungkin cukup baik, tetapi kalau tata nilai terhadap kualitas kerja yang dianutnya negatif; hasilnya pastilah kegagalan, kalau tak sampai mengundang malapetaka. Sikap mental yang keropos akan menghasilkan “jembatan” yang keropos pula walaupun manusia yang terlibat dalam pengerjaannya memiliki keahlian serta menguasai sains dan teknologi canggih. Apa bedanya dengan ahli politik yang menyelewengkan tujuan politik bersih (semestinya juga untuk mewujudkan kesejahteraan bersama) karena lemahnya penghayatan nilai-nilai budaya yang diwujudkan pada pikiran, sikap mental, dan perilakunya.

Tata nilai yang dipedomani oleh manusia adalah sistem nilai budaya yang sangat abstrak. Ia berupa konsepsi-konsepsi yang hidup di dalam pikiran sebagian besar masyarakat tentang hal-hal yang dianggap baik dalam hidup manusia (lihat juga Kuntjaraningrat, 1985). Sistem nilai budaya itulah yang mengatur kelakuan atau perilaku manusia pada peringkat yang lebih konkret dalam bentuk aturan-aturan khusus, hukum, norma, dan adat-istiadat dalam pelbagai bidang.

Nilai budaya yang bersifat kolektif itu tumbuh di dalam diri manusia dari masyarakat budaya itu secara perorangan. Itulah yang disebut mentalitas. Jadi, mentalitas manusia secara individual itu bersumber dari sistem nilai budaya di dalam masyarakatnya. Jika sistem nilai budaya bersifat kolektif masyarakat, mentalitas bersifat individual perorangan.

Telah disebutkan bahwa dalam wujud yang lebih konkret sistem nilai budaya terdapat di dalam kebiasaan, adat-istiadat, aturan-aturan khusus, norma-norma, dan hukum. Manusia yang tak terdedah kepada unsur budayanya karena dia tak memedulikannya, katakanlah adat-resam masyarakatnya, tentulah tak mampu mengambil nilai-nilai baik dan positif dari budaya itu untuk menjadi bagian dari mentalitas pribadinya. Dalam keadaan seperti itu dia boleh jadi menggunakan orientasi nilai yang tak sesuai dengan tata nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya dan atau tak cocok untuk pembangunan. Katakanlah sikap mental dalam bekerja asal selesai saja dan demi keuntungan materi, tanpa mementingkan kualitas hasilnya. Dia tak pernah mau memikirkan dampak pekerjaannya itu bagi lingkungannya, baik lingkungan sosial (manusia) maupun lingkungan alam. Dari pelaku pembangunan seperti itu hanya akan ditemukan kegagalan pembangunan.

Ilustrasi di atas menjelaskan betapa pelaku pembangunan memerlukan kesadaran budaya. Dengan kesadaran itu, dia diharapkan dapat menghayatinya untuk menjadi bagian dari mentalitasnya. Pada gilirannya, dia pun menjadi peka akan keperluan mutu pembangunan di dalam masyarakat budaya tempatnya hidup

Page 389: H. Abdul Malik

369ABDUL MALIK

dan menghidupinya. Alhasil, nilai-nilai budaya memberikan kontribusi positif pada upaya pembangunan yang bermutu sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Jika yang dimaksudkan itu pembangunan ekonomi, maka pembangunan itu memang menyejahterakan masyarakat.

Keadaan tak pernah statis, tetapi terus berubah. Seiring dengan itu, sistem nilai budaya pun harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan supaya tetap segar dan terpakai. Dengan demikian, tata nilai budaya itu tetap mampu menjadi penuntun berperilaku bagi pelaku pembangunan untuk menggunakan orientasi nilai yang terdapat di dalam budaya tertentu, nilai-nilai budaya Melayu, misalnya, di kawasan berbudaya Melayu. Dalam konteks ini, budaya harus menjadi sasaran pembangunan, yang berbeda dengan perian di atas yaitu perannya sebagai penggerak pembangunan.

Upaya-upaya pembangunan kebudayaan meliputi pengekalan (pelestarian), pembinaan, dan pengembangannya. Kesemua upaya itu, terutama pengembangannya, dilakukan untuk meningkatkan kualitas budaya supaya mampu terus berkembang sesuai dengan kehidupan yang terus berubah karena perkembangan zaman. Dalam menghadapi perubahan itu diperlukan orientasi nilai baru agar tantangannya dapat dihadapi dengan tepat. Nilai-nilai baru itu, melalui upaya pembangunan kebudayaan, tak terlepas dari akar budayanya, tetapi mampu beradaptasi dengan perubahan. Pada gilirannya, kebudayaan terus berkembang dan tak luntur sehingga nilai-nilainya dapat menjadi pedoman secara berkekalan.

Dalam kaitannya dengan pembangunan, kebudayaan yang berperan sebagai penggerak dan kebudayaan yang menjadi sasaran pembangunan sesungguhnya bersifat timbal-balik. Pembangunan memerlukan kebudayaan karena manusia yang menjadi penggerak pembangunan itu memiliki sikap mental tertentu yang bersumber dari sistem nilai budayanya. Sikap mental itulah yang menentukan kualitas pembangunan yang dihasilkannya. Sebaliknya pula, kebudayaan mestilah menjadi sasaran pembangunan (pembangunan kebudayaan) supaya tetap terpelihara, terbina, dan berkembang untuk terus dapat berperan dalam pembangunan. Pembangunan kebudayaan memungkinkannya tidak mati sehingga dapat terus memberikan kontribusi terhadap orientasi nilai dalam pembangunan di segala bidang.

Sesungguhnya, dorongan untuk membangun adalah kepuasan untuk mencapai hasil karya yang bermutu dan bermanfaat bagi kehidupan. Hal itu berarti membangun bukan sekadar untuk bertahan hidup, apalagi sekadar menumpuk kekayaan, mengejar kedudukan, memburu kehormatan, dan merangkul kekuasaan. Memang diperlukan orientasi nilai budaya yang baik untuk memahami dan menikmati hikmah itu. Yang pasti, kesemua bangsa maju di dunia ini melaksanakan karya pembangunan berdasarkan pemikiran positif itu, menghasilkan karya yang bermutu. Itulah kunci keberhasilan mereka menjadi bangsa yang maju. []

Page 390: H. Abdul Malik

370 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

DALAM tradisi Melayu sangat dikenal kebiasaan menidurkan anak dengan nyanyian. Maksudnya, sebelum anak tidur terlebih dahulu dia diantarkan

dengan nyanyian. Nyanyian pengantar tidur anak itu disebut lagu mengulik. Dalam bahasa Inggris lagu untuk mendodoikan anak itu dikenal dengan sebutan the lullaby song.

Umumnya lagu mengulik dinyanyikan oleh ibunda si anak. Akan tetapi, hal itu taklah mutlak. Adakalanya juga ayahnda si anak, datuknya (kakek), nenek, makcik (bibi), abang, kakak, kerabat yang lain, atau bahkan tetangga biasa mendodoikan si anak selain dari ibundanya. Hal itu berarti, melalui lagu mengulik, kanak-kanak sejak masih bayi lagi telah diperkenalkan dengan struktur sosial masyarakatnya yakni masyarakat Melayu, khasnya yang berkelindan dengan sistem kekerabatan dalam keluarganya. Perhubungan sosial antara si anak dan para kerabatnya telah disosialisasikan sejak kanak-kanak masih bayi sehingga diharapkan dia dapat menjaganya sampailah dewasa kelak.

Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, lirik lagu mengulik umumnya menggunakan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu tinggi), bukan bahasa percakapan sehari-hari. Sebagai contoh, jika di dalam percakapan lisan sehari-hari kata tidur diucapkan tido, di dalam lagu mengulik diucapkan tidur, sapaan sehari-hari emak, di dalam lagu mengulik disebut ibu, begitu seterusnya. Kenyataan itu menunjukkan bahwa sejak kecil, kanak-kanak telah dididik untuk memelihara bahasa yang baik. Penggunaan bahasa Melayu tinggi juga mengacu kepada kesopanan. Di situlah letak nilai budi pekerti yang akan ditanamkan para orang tua kepada si anak melalui lagu mengulik ini.

Memang, lagu-lagu mengulik sarat akan nilai-nilai budi pekerti. Itu memang menjadi misi sekaligus pesan utamanya untuk menjadi bekal bagi kanak-kanak dalam menjalani kehidupannya ketika dia dewasa kelak. Oleh sebab itu, janganlah

Lagu Mengulik

Page 391: H. Abdul Malik

371ABDUL MALIK

heran jika ada orang yang secara formal tak berpendidikan tinggi, tetapi karena pendidikan di rumah tangga yang diberikan oleh orang tuanya sangat baik, antara lain melalui lagu-lagu mengulik sejak dia bayi, orang itu akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik dan berbudi pekerti luhur. Kebaikannya, bahkan, mengalahkan orang yang berpendidikan formal tertinggi sekalipun, bagi yang mampu membedakan kasa dengan cindai atau kaca dengan permata.

Ayun tajak buai tajakTajak bertimbang di Tanah Jawa

Ayun anak buai anakAnak bertimbang dengan nyawa

Lirik lagu mengulik di atas menggunakan pola pantun. Begitulah lagu mengulik menggunakan pelbagai genre sastra Melayu, terutama pantun dan syair. Lagi-lagi lagu mengulik dijadikan sarana pendidikan bagi kanak-kanak untuk mencintai warisan khazanah budaya terala sebagai bagian dari kearifan nenek-moyangnya dalam membangun peradaban. Kanak-kanak yang terbiasa didodoikan dengan lagu-lagu mengulik pasti akan menghayati kesemuanya itu sampailah dia besar kelak. Karena apa? Karena setelah berusia enam minggu, kanak-kanak sudah mulai mencerna hal-hal yang dilihat dan didengarnya di lingkungannya walaupun dia belum mampu berkata-kata. Oleh sebab itu, orang tua yang selalu bertengkar dan pelbagai perilaku buruk lainnya ketika kanak-kanak masih bayi akan berdampak buruk bagi jiwa si anak ketika dia dewasa.

Lirik lagu mengulik di atas terutama mengirimkan pesan kasih sayang orang tuanya terhadap si anak. Kebanyakan lagu mengulik memang menonjolkan unsur pesan kasih sayang. Bahkan, pesan kasih sayang itu sungguh luar biasa. Jika dihadapkan pada situasi yang dilematis, nyawa anak atau orang tua yang harus dikorbankan, orang tua lebih rela nyawalah yang dikorbankan, bukan nyawa anandanya tercinta. Dia bersedia bertukar nyawa dengan anandanya untuk kebahagiaan belahan jiwanya, ananda tercinta. Lagi-lagi lagu mengulik hendak menegaskan bahwa kehidupan yang baik baru dapat diraih jika diisi dengan cinta kasih sejati, yang tak jarang memerlukan pengorbanan.

Buah hatiku hubungan jiwaBuah hatiku hubungan jiwa

Tidurlah anak ya tidur Ibu dodoikanYa sayang

Tidurlah anak ya tidur Ibu dodoikanAlah sayang dodoi si dodoiAlah sayang dodoi si dodoi

Page 392: H. Abdul Malik

372 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Lirik lagu mengulik di atas ada variasi dalam masyarakat Melayu. Di samping ungkapan hubungan jiwa, ada juga yang menggunakan ungkapan belahan jiwa. Begitu pula dodoi si dodoi ada juga yang menggunakan variasi dodoi didodoi. Apa pun variasinya, ungkapan dodoi untuk bayi mengacu kepada makna kasih sayang orang tua kepada anaknya. Di dalam lagu di atas, orang tua menegaskan bahwa anaknya adalah hubungan, sambungan, dan atau belahan dari jiwa orang tuanya. Begitulah berartinya seorang anak bagi orang tuanya. Melalui lagu mengulik, orang tua hendak berpesan kepada anaknya tercinta betapa cinta kasih orang tua terhadap anaknya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Sebagai sarana edukasi, lagu mengulik dapat menyampaikan pelbagai pesan yang berguna bagi kanak-kanak. Berikut ini pesan yang lain lagi.

Alhamdulillah mulai disuratSudah disurat digulung-gulung

Nabi Muhammad turun berangkatMalaikat ada membawa payung

. . .Empat orang sahabat nabi

Yang seorang suami FatimahAbu Bakar, Umar, Usman

Syaiyidina Ali jadi khalifah

Bait lirik lagu mengulik di atas memperkenalkan Nabi Muhammad saw. kepada kanak-kanak. Keagungan nabi itu ditunjukkan dengan keberangkatannya diiringi oleh para malaikat yang memayunginya. Selanjutnya, juga diperkenalkan para sahabat setia Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Aff an, dan Ali bin Abi Thalib. Dengan lagu mengulik itu, orang tua berharap anaknya mencintai Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Ini jelas pendidikan agama yang diajarkan melalui lagu mengulik. Memang, lagu mengulik dapat digunakan untuk mengajarkan apa saja kepada kanak-kanak, tergantung kepada inprovisasi dan kreativitas orang tuanya. Kesemuanya itu biasanya dinyanyikan dengan spontan.

Lagu mengulik dinyanyikan dengan mendayu-dayu. Nada yang mendayu-dayu itu pun membawa pesan kasih sayang kepada si anak. Pada gilirannya, nada atau melodi itu meresapkan pesan yang hendak disampaikan hingga ke lubuk hati sanubari anak yang terdalam, untuk kemudian terekam indah di dalam memori mindanya yang belum tercemar. Jika suatu ketika kelak akan digunakan, memori itu tinggal dipanggil dengan bujukan mesra seperti ibunya membujuknya untuk tidur dengan lagu mengulik, yang membawanya terlena dengan jiwa bahagia. Dan, berbahagialah anak manusia yang semasa kecilnya pernah didodoikan oleh orang tuanya dengan lagu-lagu mengulik. []

Page 393: H. Abdul Malik

373ABDUL MALIK

PERTEMUAN dan persahabatan bangsa Tionghoa dengan orang Melayu telah terjadi sejak lama, pada abad sebelum Masehi lagi. Berdasarkan hasil penelitian

Prof. Liang Liji dari Universitas Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang dilaporkannya pada 13 Juni 2010, orang Melayu dan tamadunnya telah ada sejak 4.000 tahun yang lalu. Dalam kurun waktu itu, pada abad ke-17—11 S.M. telah terjadi perhubungan antara bangsa Tionghoa dan orang Melayu.

Dalam perpustakaan Dinasti Han, On Shu Oi Li Zhi disebutkan bahwa pada masa Maharaja Han Wu Di (140—87 S.M.) telah dibuka perjalanan dari Tiongkok ke India melalui Semenanjung Tanah Melayu. Selanjutnya, Maharaja Sun Quan pada 222—252 M. mengirim Zhu Ying dan Kang Tai untuk menjalin persahabatan dengan Negeri-Negeri Melayu.

Pada 644—645 M. datang pula utusan Negeri Tiongkok dari Dinasti T’ang ke negeri yang mereka sebut Mo Lo Yu yang terletak di pantai timur Sumatera. Berita ini dilaporkan oleh Yi Jing atau biasa juga dikenal dengan nama I Tsing pada 672. Yi Jing datang ke Negeri Melayu untuk mendalami agama Budha sebelum meneruskan perjalanan ke India. Setelah beberapa lama di India, dia singgah kembali dan menetap beberapa tahun di Negeri Melayu sebelum pulang ke Tiongkok.

Menurut Yi Jing juga, kala itu Negeri Melayu telah ramai penduduknya. Bahasa yang digunakan oleh penduduk tempatan disebutnya bahasa Kun Lun. Begitulah bangsa Tionghoa menyebut bahasa Melayu Kuno itu.

Dari catatan-catatan di atas belum ada laporan yang menyebutkan bahwa bangsa Tionghoa yang tinggal menetap di Tanah Melayu. Mereka datang untuk menjalin muhibah (persahabatan) dan khusus bagi Yi Jing dan anak buahnya untuk belajar agama Budha. Sejak bilakah bangsa Tionghoa tinggal menetap di Tanah Melayu?

Perbauran Tionghoadengan Melayu

Page 394: H. Abdul Malik

374 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Berdasarkan hasil kajian Reinout Vos pada 1993, Gubernur Belanda di Melaka membuat laporan ke Batavia tentang sambutan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, Sultan Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, atas kedatangan para pendatang bangsa Tionghoa dari Pulau Jawa pada 1741 M. (lihat Hasan Junus, 2002:41). Dengan demikian, bangsa Tionghoa mulai datang dan menetap di Kepulauan Riau sejak 270 tahun yang lalu dan mereka datang ke Tanah Melayu bukan langsung dari Negeri Tiongkok, melainkan dari Tanah Jawa lebih dahulu. Bahkan, ada sumber yang menyebutkan bahwa kedatangan mereka lebih awal lagi yaitu sekitar 1730-an. Sejak itulah terjadinya perbauran bangsa Tionghoa dengan orang Melayu di kawasan ini.

Menurut laporan Netscher (1854), sekitar 111 tahun kemudian yaitu pada 1852 di Tanjungpinang saja terdapat penduduk keturunan Tionghoa yang berusia 12 tahun ke atas sekitar 1.165 jiwa. Orang Tionghoa itu terdiri atas dua suku bangsa dan bertempat tinggal di dua tempat: Tanjungpinang dan Senggarang. Kala itu mereka bekerja di perkebunan gambir milik orang Melayu.

Hasan Junus (2002) merujuk laporan Netscher menyebutkan bahwa di Tanah Melayu, masyarakat Tionghoa terdiri atas kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut dengan dua istilah yaitu kapitan dan letnan. Pada 1871 di Kepulauan Riau (waktu itu masih bernama Kerajaan Riau-Lingga) terdapat satu kapitan di Tanjungpinang, satu kapitan di Lingga, satu letnan di Tanjungpinang, satu letnan di Senggarang, satu letnan di Karimun, satu letnan di Bintan Utara, satu letnan di Bintan Selatan, dan satu letnan di Batam. Walau tak ada di dalam laporan Netscher, dalam laporan perjalanan Raja Ali Kelana (1896), masih ada satu letnan lagi di Siantan, kawasan Kabupaten Anambas sekarang. Jelaslah bahwa pembangian kelompok masyarakat Tionghoa dengan pemimpinnya kapitan atau letnan didasarkan pada besar-kecilnya jumlah anggota kelompok yang dipimpin oleh setiap ketua kelompok masyarakat itu.

Dalam rentang waktu ratusan tahun itu, perhubungan dan perbauran masyarakat Tionghoa dengan orang Melayu di Kepulauan Riau ternyata berjalan sangat baik. Bahkan, pada masa Kerajaan Riau-Lingga, ada putra Kapitan Tionghoa yang dinikahkan oleh Engku Putri Raja Hamidah dengan menggunakan adat-istiadat Melayu. Dan menariknya lagi, Kapitan Tionghoa itu bersedia putranya menikah dengan adat-resam Melayu karena dia mengetahui bahwa hal itu adalah penghargaan yang ditunjukkan oleh orang Melayu terhadapnya dan masyarakat Tionghoa karena persahabatan yang baik selama ini.

Peristiwa pernikahan putra Kapitan Tionghoa yang diselenggarakan dengan adat-istiadat Melayu itu terekam di dalam sebuah syair. Nama syairnya adalah Syair Perkawinan Tik Sing Anak Kapitan China.

Page 395: H. Abdul Malik

375ABDUL MALIK

Tik Sing pun datang hampir dekatSambil menyembah bersila rapat

Parasnya elok bagai disifatBerpatutan baju kancing bertekat

. . .Berseluar panjang kain berantai

Berbaju benang emas bunga terataiDikenakan dokoh dimasukkan rantai

Eloknya tiada lagi berbagai

Bait-bait syair di atas menggambarkan Tik Sing, mempelai laki-laki, anak Kapitan Tionghoa, mengikuti acara pernikahannya dengan adat-istiadat Melayu seperti menyembah, bersila, dan menggunakan pakaian pengantin Melayu yang indah-indah. Tak hanya itu, mempelai perempuan pun, istri Tik Sing, memakai busana pengantin perempuan Melayu.

Diberi berkain berantai kuningKida-kida emas berdering-dering

Dimasukkan baju diikatkan pendingEloknya tiada lagi berbanding

Para jemputan (undangan) dari kalangan masyarakat Tionghoa juga memakai pakaian Melayu pada acara pernikahan Tik Sing. Kesemua jemputan itu merasa gembira dan bahagia pada acara pernikahan meriah, yang dilaksanakan oleh Engku Putri itu.

Nyonya A Ninyak ada juga sertaBerbaju ungu berkain kosta

Itu pun manis pemandangan mataBerkenan sedikit di dalam cita

. . .Nyonya Kis Ming orang seberangRupanya seperti bunga dikarangMemakai kain tenun PalembangBerbaju ungu bunga kembang

Page 396: H. Abdul Malik

376 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Kesemuanya itu menunjukkan bahwa perbauran masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Melayu telah terjalin sangat baik selama ini. Persahabatan itu begitu harmonis dalam semangat hormat-menghormati dan saling menjaga di antara yang satu dan yang lainnya. Semogalah perhubungan baik itu terus terpelihara dalam upaya kita menciptakan masyarakat madani demi kejayaan bangsa kita ke depan ini. []

Page 397: H. Abdul Malik

377ABDUL MALIK

KARYA sastra klasik Melayu yang paling kuat pengaruhnya terhadap patriotisme adalah Hikayat Hang Tuah. Pengaruh itu paling terasa terutama bagi masyarakat

Melayu walaupun masyarakat lain yang pernah membacanya juga sangat mungkin untuk merasakan sentuhannya. Di kalangan orang Melayu pengaruh Hikayat Hang Tuah—khasnya pengaruh tokoh-tokohnya Hang Tuah, Hang Jebat, dan Bendahara Paduka Raja—telah berlangsung sejak zaman-berzaman hingga sekarang. Nilai-nilai yang terkandung di dalam hikayat ini, termasuk nilai patriotisme, menjadi pedoman nilai dalam hidup bagi orang Melayu, baik generasi tua maupun generasi muda. Inilah contoh karya sastra yang tak lekang dek panas dan tak lapuk dek hujan.

Di samping yang memang telah diterima dan dipahami selama ini, nilai-nilai yang dikandungnya terus mengalami reinterpretasi, terutama oleh kalangan muda. Di antara nilai-nilai yang kerap menjadi perdebatan ialah nilai utama yang menjadi tema Hikayat Hang Tuah yaitu kesetiaan dan ketaatan. Begitu pula nilai-nilai keadilan, kebijakan, kearifan, persahabatan, cinta-kasih, kerja sama, kerja keras, dan sebagainya yang memunculkan patriotisme terus didalami oleh generasi muda Melayu dewasa ini. Perkara itu memang mustahak karena kesemuanya itulah yang membentuk mentalitas dan jati diri orang Melayu. Pada gilirannya, nilai-nilai baik yang membentuk mentalitas itu menjadi pedoman serta daya dorong dan atau pemacu semangat dalam kehidupan, sama ada untuk berpikir, berasa, bersikap, berkelakuan, belajar, ataupun bekerja.

Prof. Dr. Siti Hawa Haji Salleh dalam bukunya Kelopak Pemikiran Sastera Melayu (Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Malaysia, 2009:383—401) menempatkan Hikayat Hang Tuah sebagai epik Melayu yang membanggakan. Pernyataan beliau itu memang tak terbantahkan. Buktinya, sampai kini cerita-cerita di dalam Hikayat Hang Tuah tetap terpatri di dalam minda dan hati sanubari orang Melayu di mana pun mereka bermastautin.

Patriotisme Hang Tuah

Page 398: H. Abdul Malik

378 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Tujuan dan tema Hikayat Hang Tuah ditempatkan pengarangnya pada permulaan pengisahan. “… Ini hikayat Hang Tuah yang amat setiawan pada tuannya dan terlalu sangat berbuat kebaktian kepada tuannya.”

Jelaslah bahwa Hikayat Hang Tuah dimaksudkan oleh pengarangnya untuk menonjolkan ketokohan Hang Tuah dengan sifatnya yang taat dan setia kepada raja dan negara. Tokoh-tokoh lain diadakan, bahkan dikorbankan, untuk mendukung ketokohan Hang Tuah. Bukan hanya tokoh-tokoh yang tak terlalu ada kena-mengena dengan dirinya, bahkan, sahabatnya yang telah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri, Hang Jebat, harus dibunuh oleh Hang Tuah demi ketaatan dan kesetiaannya kepada raja (dan negara?).

Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu memang menjadi idola orang muda-muda Melayu, terutama Hang Tuah dan Hang Jebat. Kesempurnaan isik dan sifat mereka sebagai wira (pahlawan) sungguh memesona. Sifat mereka yang rajin menuntut ilmu dan bekerja keras memungkinkan mereka mengubah status diri dari hanya sebatas rakyat biasa menjadi pembesar negara. Mereka memperoleh status itu bukan secara terwaris, melainkan dengan jerih payah yang tanpa mengenal lelah dan putus asa. Keberanian mereka dalam membela negara tak ada tolok bandingnya.

Kecuali itu, jika Hang Tuah disebutkan “mulutnya dengan manisnya berkata-kata”, Hang Jebat pula diperikan oleh pengarang dengan “perkataannya keras”. Guru mereka Sang Aria Putera jauh-jauh hari lagi telah meramalkan bahwa kelima orang bersahabat itu akan menjadi pegawai besar.

Hang Tuah dan ketiga sahabatnya, sekali lagi kecuali Hang Jebat, juga diramalkan akan menerima nasib baik kemudian hari. Bahkan, Hang Tuah diberitahukan akan terbebas dari segala perbuatan hasad-dengki dan itnah yang dihalakan (diarahkan) kepadanya. Akan tetapi, tak ada alamat baik yang disebutkan untuk Hang Jebat. Kesemuanya itu menjadi isyarat bahwa pada akhirnya Hang Tuah akan dipertentangkan dengan sahabatnya Hang Jebat.

Pada tokoh Bendahara Paduka Raja juga dapat diambil contoh ketaatan dan kesetiaan kepada raja dan negara. Selain itu, dari tokoh ini sangat patut ditiru kebijaksanaan, kearifan, dan kepiawaian dalam menyelamatkan negara dan raja. Dia pun adalah tokoh yang sangat santun berbahasa dan rendah hati. Dalam hal ini, Bendahara terkesan jauh lebih arif daripada raja sekalipun.

Hanya karena jauh lebih tua dan tak bertempur langsung di medan perang, kendatipun dia yang mengatur strategi perang, Bendahara Paduka Raja berada di bawah ketokohan Hang Tuah. Walaupun begitu, nilai-nilai patriotisme sangat ketara pada tokoh Bendahara ini. Ketokohannya mengingatkan orang akan tokoh Demang Lebar Daun di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu).

Page 399: H. Abdul Malik

379ABDUL MALIK

Tokoh raja pula diperikan sangat taksa, ambigu. Dia condong mempermainkan keadilan sesuai dengan seleranya, sewenang-wenang, dan sekehendak hatinya. Kebijaksanaannya dalam menyelenggarakan negara dan memerintah membuat pembaca berasa kelam-kabut di dalam hati. Dari kebijaksanaannya yang terkesan tergesa-gesalah yang memunculkan tragedi “pendurhakaan” Hang Jebat.

Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hang Tuah yang selama ini sangat taat dan setia kepada raja dan negara membangkitkan kemarahan Hang Jebat. Raja seolah-olah tak memiliki kecerahan dan kebeningan nurani untuk membedakan kasa dengan cindai; kaca dengan permata. Secara objektif, pengarang seolah-olah hendak menegaskan bahwa selagi bernama manusia, raja pun memiliki kelemahan, di samping kelebihan yang ada padanya. Akan tetapi, para pembaca mempunyai tafsiran lain: “penguasa memang cenderung berlaku zalim.” Alhasil, tindakan Hang Jebat mendapat sokongan setidak-tidaknya dari sebagian pembaca.

Dalam keadaan serupa itu, tak ada jalan lain bagi Hang Jebat, selain menuntut bela. “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah,” ungkapannya yang terkenal itu terus terngiang-ngiang di dalam minda dan hati orang Melayu. Ungkapan itu menjadi setara, sejajar, sebanding, dan setanding dengan ucapanan Hang Tuah, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.” Nampaknya, kedua tokoh ini terus dan selamanya berupaya berebut simpati pembacanya dengan pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku khas mereka masing-masing. Tindakan Hang Jebat itu mengingatkan kita akan “Sumpah Setia Melayu” antara Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba di dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Dalam hal ini, bukankah raja yang mengubahkan (mengingkari) Sumpah Setia itu?

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Adapun Tuanku segala anak-cucu patik sedia jadi hamba ke bawah duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak-cucu duli Tuanku. Dan, (jika) ia berdosa, sebesar-besar dosanya pun, jangan ia difadhihatkan, dinista dengan kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh, itu pun jikalau berlaku pada hukum syarak.”

Maka titah Sang Sapurba, “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak-cucu Bapa hamba jangan durhaka pada anak-cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.”

Maka sembah Demang Lebar Daun, “Baiklah Tuanku, tetapi jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak-cucu patik pun mengubahkanlah.”

Maka titah Seri Tri Buana,”Baiklah, kabullah hamba akan waad itu.”

Maka keduanya pun bersumpah-sumpahlah, barang siapa mengubahkan perjanjiannya itu dibalik(kan) Allah subhanahu wa taala bumbungan rumahnya ke bawah, kaki tiangnya ke atas.

Page 400: H. Abdul Malik

380 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hikayat Hang Tuah telah berhasil memberikan pengaruh positif terhadap patriotisme masyarakat, terutama masyarakat Melayu. Sampai setakat ini tokoh-tokoh, watak, dan peristiwa yang diceritakan di dalam hikayat itu masih terus menjadi perbincangan. Para pemuda Melayu dihadapkan pada pilihan sulit: hendak berpihak kepada Hang Tuah atau Hang Jebat dalam menunjukkan jati diri Melayu. Apa lagi, pengarang memang membuka ruang seluas-luasnya untuk pembaca menentukan sikap dan pilihannya walau ceritanya dipusatkan pada ketokohan Hang Tuah. Dalam hal ini, Hikayat Hang Tuah menjadi karya sastra sejarah (karya sastra yang diangkat dari peristiwa sejarah) yang sangat berhasil menampilkan karakter tokohnya.

Para pakar sejarah, sastra, dan atau budaya boleh melakukan analisis dan interpretasi ilmiah apa pun sesuai dengan bidang ilmu mereka masing-masing. Akan tetapi, khalayak penikmat (entah memang membacanya atau sekadar mendengarkan ceritanya dari orang yang pernah membacanya) mempunyai penilaian tersendiri. Dalam hal ini, pilihan kepada Hang Jebat, justeru, makin mengemuka di kalangan generasi muda Melayu masa kini. Perbedaan ruang dan waktu, barangkali, menjadi penyebab utama peralihan pilihan ke arah “yang berlawanan” itu. []

Page 401: H. Abdul Malik

381ABDUL MALIK

AKHIRNYA Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menteri P dan K), Pof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, meresmikan Universitas Maritim Raja

Ali Haji (UMRAH) menjadi universitas negeri. Saya menggunakan kata akhirnya karena rencana peresmian itu sebelumnya beberapa kali tertunda. Penundaan terpaksa dilakukan karena kesibukan Menteri P dan K pada bulan-bulan terakhir ini sehingga beliau beralangan datang ke Tanjungpinang. Baru pada Senin, 26 Desember 2011, beliau dapat berkunjung ke ibukota Provinsi Kepulauan Riau dengan agenda utama meresmikan penegerian UMRAH.

Sebetulnya, tanpa diresmikan pun UMRAH telah menjadi perguruan tinggi pemerintah (PTP) atau lebih akrab dikenal dengan istilah perguruan tinggi negeri (PTN) beberapa bulan sebelum ini. Pasal, pada 8 September 2011 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 53 Tahun 2011 tentang penegerian UMRAH. Perpres 53/2011 itulah dokumen resmi pemerintah yang mengesahkan UMRAH menjadi PTP. Hanya, karena telah menjadi kebiasaan kita, sebelum acara seremonial peresmian, rasanya belum sah keberadaan sesuatu. Alhamdulillah, selain Menteri P dan K peresmian itu juga dihadiri oleh Prof. Dr. Eko Prasojo, putra Kepulauan Riau yang baru diangkat menjadi Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Kisah apakah yang ada di sekitar pendirian dan penegerian UMRAH? Kolom kali ini menuturkan garis besarnya karena keterbatasan ruang. Pada 1 Juli 2004 Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau diresmikan. Padahal, Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 24 September 2002. Bersamaan dengan itu, dilantiklah Drs. H. Ismeth Abdullah menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Kepulauan Riau.

Universitas Maritim Raja Ali Haji: Di Bawah Payung Negeri

Page 402: H. Abdul Malik

382 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Dalam kapasitasnya sebagai Plt. Gubernur, Pak Ismeth sering berkunjung ke kabupaten/kota dan daerah lain di luar Kepulauan Riau. Pada setiap kali kunjungan itu, sepanjang pengetahuan saya karena mengikuti beliau dalam kapasitas saya sebagai Kepala Dinas P dan K Provinsi Kepulauan Riau kala itu, Pak Ismeth selalu ditanyai tentang rencana pendirian universitas negeri. Karena apa? Karena masyarakat Kepulauan Riau di mana pun berada mengetahui bahwa rencana pendirian universitas negeri itu menjadi bagian dari perjuangan pembentukan provinsi ini. Oleh sebab itu, saya sering berkonsultasi dengan beliau tentang rencana pendirian universitas negeri ini, bahkan setengah mendesak beliau. Alhasil, beliau meminta saya untuk mengumpulkan putra-putra Kepulauan Riau yang berkhidmat di PTN seluruh Indonesia.

Mendapat mandat itu, saya sungguh bahagia. Melalui telepon atau dengan cara lain, saya hubungi teman-teman yang menjadi dosen di PTN se-Indonesia dan saya sampaikan rencana tersebut. Di antara mereka ada yang tak bersedia menjadi anggota tim karena alasan sibuk dengan tugas dan jabatan masing-masing. Hanya sebagian saja yang bersedia dan sebagian besar di antara mereka tak dikenal oleh Pak Ismeth sebelumnya. Saya ajukan nama-nama mereka yang bersedia kepada gubernur dan menjelaskan latar belakang mereka masing-masing. Ternyata, beliau bersetuju dan saya diwajibkan menjadi ketua dengan alasan untuk memudahkan koordinasi. Sambil bergurau Pak Ismeth berkata kepada saya, “Pasti jadi universitas negeri, Lik. Kamu memang gigih!” kalimat itu terus terekam dalam memori saya dan saya jadikan pemacu semangat untuk melaksanakan tugas apa pun yang dibebankan kepada saya. Sebetulnya, kegigihan itu juga dipicu oleh janji kepada masyarakat ketika kami memperjuangkan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Sekitar lebih kurang empat bulan menjabat Plt. Gubernur Kepulauan Riau, H. Ismeth Abdullah langsung menerbitkan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor KPTS 61/X/2004 tentang Konsorsium Pendirian Universitas Negeri Kepulauan Riau pada 24 Oktober 2004. Orang-orang yang duduk di dalam konsorsium itu tak perlulah saya sebut lagi karena telah beberapa kali saya sebut dalam tulisan-tulisan terdahulu. Sejak itu konsorsium langsung bekerja menyiapkan segala persyaratan yang diperlukan untuk mendirikan universitas negeri. Keadaan tak semudah yang dibayangkan karena Dinas P dan K Kepulauan Riau kala itu baru mendapat porsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) hanya 20 milyar rupiah untuk kesemua programnya mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, kebudayaan, serta pemuda dan olahraga (sekarang Dinas P dan K dimekarkan menjadi tiga dinas). Bagaimanapun perjuangan ini harus berhasil karena posisi strategis Kepulauan Riau dan dengan perkembangan pesat pembangunan daerah ini tak mungkin beban itu dapat dipikul

Page 403: H. Abdul Malik

383ABDUL MALIK

oleh masyarakat yang hanya 3,7 persen berpendidikan tinggi kala itu (2004), sedangkan bagian terbesarnya hanya berpendidikan tamat dan tak tamat sekolah dasar. Saya pun harus memberi apresiasi kepada semua staf Dinas P dan K kala itu karena mereka bertungkus lumus bekerja membantu konsorsium sampai malam hari, di luar jam kerja tanpa biaya lembur atau honorarium.

Ketika dilantik menjadi gubernur de initif, Pak Ismeth dengan gembira sekali lagi menegaskan, “Jadi universitas negeri kita, Lik!” saat saya menyalami beliau. Alhamdulillah, sebagai salah seorang pejuang Provinsi Kepulauan Riau, H. Muhammad Sani yang menjabat Wakil Gubernur kala itu juga memiliki visi dan semangat yang sama sehingga memudahkan kerja yang dilaksanakan. Antara 2004—2005 sebagian besar persyaratan telah diselesaikan oleh konsorsium. Dan, pada akhir 2005 saya mengundurkan diri dari jabatan Kepala Dinas P dan K. Bersamaan dengan itu, bawahan saya Saudara Ibnu Maja diangkat menjadi kepala dinas sekaligus penanggung jawab konsorsium. Saya masih tetap berada di dalam konsorsium sebagai anggota. Pada masa ini keadaan sudah mulai membaik karena anggaran Dinas Pendidikan sudah mulai membesar pula. Pada 2006 saya diangkat menjadi Staf Ahli Gubernur Bidang Pendidikan dan Kebudayaan sehingga lebih memudahkan saya bekerja di dalam konsorsium.

Sampai akhir masa jabatan beliau, Pak Ismeth telah berhasil membuat UMRAH mendapatkan izin berdiri dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 124/D/O/2007, 1 Agustus 2007. Sejak itu berdirilah UMRAH di bawah naungan Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau. Menjelang dinegerikan, pada masa Pak Ismeth telah pula diserahterimakan aset UMRAH kepada Kementerian Pendidikan Nasional sebagai persyaratan penegerian.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa orang yang paling berjasa dan tokoh utama dalam penegerian UMRAH adalah dua orang Gubernur Kepulauan Riau: H. Ismeth Abdullah (gubernur pertama) dan H. Muhammad Sani (wakil gubernur pertama dan gubernur sekarang). Mereka bukan saja menunjukkan kemauan politik untuk mendirikan universitas negeri di daerah ini, tetapi juga melobi langsung para menteri terkait, bahkan presiden. Tanpa upaya politik seperti itu mana mungkin UMRAH boleh berdiri, apalagi menjadi PTP. Inilah yang harus dipahami dan diapresiasi oleh kesemua pihak supaya jangan sampai terlalu berlebihan membanggakan diri sebagai pahlawan penegerian UMRAH. Sebagai pekerja, memang banyak orang yang terlibat dalam upaya menjadikan UMRAH berstatus PTN, termasuk para pejabat kementerian terkait di Jakarta.

Selain itu, tentulah dukungan penuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Riau memberikan andil yang sangat besar. Tanpa persetujuan mereka, anggaran untuk perjuangan pendirian UMRAH dan biaya rutin yang disalurkan melalui Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau tak akan pernah

Page 404: H. Abdul Malik

384 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

ada. Tanpa anggaran, tak ada suatu lembaga pun dapat bergerak, betapa pun piawainya orang yang menyelenggarakan lembaga itu. Sebagian pimpinan dan anggota DPRD itu adalah pejuang pembentukan provinsi ini sehingga mereka memang menyadari tanggung jawab untuk memperjuangkan PTN di daerah ini.

Pun jasa empat orang di Yayasan. Saudara Suhajar Diantoro (Ketua), Fahmi Fachri (Wakil Ketua), Lamidi (Sekretaris), dan Azza Faroni (Bendahara). Mereka adalah pejabat-pejabat penting daerah ini sehingga memudahkan urusan perjuangan UMRAH. Kepada mereka harus diberikan apresiasi yang wajar karena telah bekerja bertungkus lumus selama ini.

Bagi civitas akademika UMRAH, yang mustahak ke depan ini adalah memperjuangkan dan mengembangkannya menjadi perguruan tinggi bermutu sehingga betul-betul menjadi kebanggaan Indonesia dan Kepulauan Riau. Untuk itu, pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi harus semakin baik dan manajemennya harus menunjukkan kinerja yang unggul berdasarkan kriteria ilmiah, bukan semata-mata politis. Sambil menanti kesemuanya itu terwujud, marilah kita mengucapkan syukur kehadirat Ilahi karena di atas segalanya, dengan berkat rahmat-Nyalah berdirinya UMRAH sebagai PTN yang sejak lama didambakan oleh masyarakat Kepulauan Riau di Negeri Segantang Lada ini. []

Page 405: H. Abdul Malik

385ABDUL MALIK

PADA akhir 2011, tepatnya 30—31 Desember, berlangsung acara yang cukup penting di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Acara yang

diberi nama Festival Pulau Penyengat (FPP) 2011 itu masuk dalam ranah kegiatan pariwisata, dengan memanfaatkan kebudayaan sebagai atraksinya. Sebagai upaya awal, FPP dapat dikatakan cukup bagus walaupun memang perlu beberapa catatan untuk perbaikan ke depan.

Nama acara yang menggunakan kata festival mungkin perlu ditinjau ulang. Bahasa kita memiliki kata-kata yang tak kalah nilai jualnya dari segi ekonomi, apalagi budaya, untuk atraksi pelancongan seperti itu. Kita boleh menggunakan kata perayaan, tamasya, kenduri budaya, bahkan mungkin juga pesta—misalnya—yang kesemuanya memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan menggunakan khazanah bahasa sendiri itu, sekaligus kita menunjukkan kepada dunia luar bahwa kita memiliki sesuatu yang memang layak jual dan pasti memuaskan “para pembeli”. Lebih daripada itu, penggunaan khazanah bahasa sendiri itu menunjukkan bahwa kita percaya diri dan memuliakan kebudayaan sendiri.

Sebagai perbandingan, tetangga kita Malaysia, misalnya, jarang lagi menggunakan kata atau istilah bahasa Inggris untuk atraksi pelancongan serupa itu. Mereka lebih suka menggunakan kata-kata bahasa kebangsaan mereka seperti temasya, kembara, dan kata-kata lain yang semakna seperti “Kembara Sungai Johor”, “Temasya Melaka Bandaraya Bersejarah”, dan sebagainya untuk kegiatan promosi pelancongan yang mereka laksanakan. Ternyata, pilihan itu menarik sekaligus memiliki daya tarik. Padahal, soal pertembungan bangsa Malaysia dengan bahasa Inggris rasanya jauh lebih lama mereka dibandingkan dengan kita, bukan?

Materi acara FPP 2011 tergolong cukup memikat. Ada festival (lagi-lagi) seni-budaya, lomba sampan layar tradisional, dialog budaya, bazar makanan tradisional, dan beberapa jenis acara lagi. Lomba sampan layar tradisional,

Festival Pulau Penyengat

Page 406: H. Abdul Malik

386 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

misalnya, mungkin tak terlalu akrab di mata dan di hati kanak-kanak dan orang muda-muda Tanjungpinang dan sekitarnya setakat ini. Mereka jarang, kalau tak dapat dikatakan nyaris tak pernah, menyaksikan atraksi hebat dan perkasa itu sekarang. Bahkan, mereka barangkali jauh lebih akrab dengan dragon boat karena ada race-nya saban tahun dilaksanakan di Kota Tanjungpinang. Di Kabupaten Karimun, setahu saya, lomba sampan layar tradisional—biasa disebut Lumba Kolek—masih sangat populer dan senantiasa memesona.

Dengan menyaksikan lomba sampan layar tradisional itu, di dalam hati anak-anak akan tumbuh rasa kagum terhadap keperkasaan bangsanya di laut. Atraksi luar biasa yang ditunjukkan oleh awak sampan layar agar sampannya seimbang, melaju, dan memenangi lomba menunjukkan bahwa bangsa kita memang raja di laut. Dengan sampan kecil saja mereka boleh sehebat itu, apalagi kalau menggunakan perahu atau kapal besar. Masalah besarnya hanyalah mereka tak pernah lagi mendapat kesempatan besar untuk memperoleh sesuatu yang besar, itu saja.

Dengan sendirinya, sedikit demi sedikit akan tumbuh apresiasi anak-anak kita terhadap laut dan segala aktivitas serta tantangannya. Pada gilirannya, cabaran itu akan membangkitkan apresiasi dan kreativitas untuk menciptakan karya-karya kreatif yang berkaitan dengan laut. Pada generasi yang mencintai lautlah, harapan terbesar daerah yang wilayah lautnya 96 persen ini seyogianya diletakkan. Itulah nilai penting atraksi lomba sampan layar tradisional dalam FPP 2011 yang memang patut diapresiasi positif.

Daya jual lomba sampan layar tradisional terhadap wisatawan mancanegara tak perlu diragukan lagi. Tinggal bagaimana cara mengemasnya dan mempromosikannya kepada pelancong asing. Dalam hal ini, memang diperlukan orang yang mahir (profesional) dalam pemasaran paket pariwisata. Alhasil, atraksi itu patut dijadikan agenda tahunan ke depan ini.

Acara dialog budaya yang dilaksanakan di Balai Adat Pulau Penyengat mengangkat tema yang sangat penting yaitu “kearifan lokal”. Kearifan lokal yang tak lain dari kecerdasan dan kecemerlangan budaya itu memang menarik karena terbukti menjadikan bangsa kita memiliki ketahanan budaya zaman-berzaman walau diterpa oleh pelbagai budaya asing. Bahkan, kearipan lokal itulah yang memungkinkan kita mampu beradaptasi dengan unsur budaya asing yang positif sehingga memperkaya khazanah budaya kita. Begitu kearifan lokal dicuai dan diabaikan, kita sebagai bangsa nyaris terhoyong-hoyong sekarang. Memang, modernisasi yang kita kejar justeru sengaja kita benturkan dengan kearifan lokal. Nah, yang membenturkannya itu kita sendiri, bukan orang lain. Itulah ironisnya!

Para pemakalah dalam dialog budaya itu adalah Zamzami A. Karim (Tanjungpinang), Samson Rambah Pasir (Batam), dan Abdul Malik (Senggarang).

Page 407: H. Abdul Malik

387ABDUL MALIK

Pesertanya pula para tokoh masyarakat, akademisi, beberapa pejabat, para guru, dan mahasiswa. Kesemuanya bersemangat dalam berdialog. Sayangnya, waktu yang disediakan terlalu sedikit sehingga peserta kurang puas.

Lagipula, dialog diakhiri tanpa resolusi. Akibatnya, muncullah kesan bahwa tak jelas apa yang akan ditindaklanjuti dari materi dialog yang sebetulnya sangat mustahak itu. Sangat berbeda dengan acara serupa yang dilaksanakan di Malaysia, misalnya. Di sana seminar atau dialog penting seperti itu dihadiri, bahkan dipandu, oleh menteri besar atau ketua menteri (setingkat gubernur) dan para pejabat yang terkait terlibat secara langsung sebagai peserta aktif di dalam diskusi dan perumusan resolusi. Menteri besar atau ketua menterilah yang menandatangani resolusinya sehingga menjadi program kerja yang harus dilaksanakan oleh dinas-dinas yang berkenaan. Perkara semacam inilah yang harus diperbaiki ke depan ini sehingga tak ada kerja yang terkesan sekadar mengisi acara dan sia-sia belaka, tanpa tindak lanjut yang jelas. Hal itulah yang banyak mendapat sorotan dari para peserta dialog budaya dalam FPP 2011 ini.

Acara-acara pertunjukan kesenian, bazar makanan tradisional, dan pelbagai atraksi budaya yang lain juga sangat memikat. Kesemua acara itu dilaksanakan di Pulau Penyengat. Dalam konteks itu, terkesan memang telah ada upaya untuk menjual paket budaya secara holistik dalam promosi pariwisata daerah ini. Dan, tentu saja “menjual” Pulau Penyengat sebagai destinasi pelancongan sejarah dan budaya yang memang menjanjikan dan memiliki harapan yang cerah ke depan ini jika memang dikelola secara proporsional, profesional, dan baik.

Jika tahun-tahun ke depan acara yang disejalankan dengan promosi Pulau Penyengat sebagai cagar budaya ini dilaksanakan lagi, perencanaannya tentulah harus lebih matang. Promosi FPP 2011 itu sangat kurang. Jangankan menjangkau seluruh Kepulauan Riau dan daerah-daerah penting di Indonesia seperti Jakarta sebagai ibukota negara, masyarakat Tanjungpinang saja banyak yang tak mengetahui perihal acara yang berlangsung di Penyengat itu. Mereka malah jauh lebih mengetahui bahwa pada malam tahun baru akan diadakan pesta bunga api di laut antara Pulau Penyengat dan Tanjungpinang. Gedung Daerah akan bermandi cahaya laksana acara pembukaan SEA Games Palembang yang lalu. Pun mereka hafal tentang biaya yang dikeluarkan untuk itu karena diberitakan di media surat kabar. Malangnya, mereka tak tahu sedang ada acara apakah gerangan di Pulau Penyengat dua hari itu.

Acara seperti FPP 2011 itu ke depan ini seyogianya melibatkan peserta seluruh kabupaten/kota di Kepulauan Riau. Alangkah baiknya jika peserta pelbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam juga diundang. Kalau mereka hadir, tentulah pelbagai khazanah budaya kita menjadi perhatian dan menjadi kesan indah yang

Page 408: H. Abdul Malik

388 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

akan dibawa pulang ke tempat mereka masing-masing. Misi menjadikan Pulau Penyengat sebagai destinasi pariwisata akan tercapai karena mereka membawa cerita itu ke kampung halaman masing-masing sehingga banyak orang lagi akan datang ke Pulau Penyengat, khasnya, dan Kepulauan Riau, umumnya.

FPP jelas juga mengemban misi mengekalkan, membina, dan mengembangkan budaya daerah. Dengan adanya acara serupa itu yang dijadikan kalender tetap, aktivitas dan kreativitas seni-budaya daerah ini harus ikut dikembangkan dan ditingkatkan. Suguhan atraksi seni-budaya yang bervariasi, baik bentuk maupun jenisnya, memungkinkan daya tariknya terus meningkat. Begitulah sisi positif dalam pembinaan seni-budaya yang memang patut dimanfaatkan dalam kaitannya dengan acara seperti FPP 2011 itu. Kita tentulah berharap FPP atau yang sejenisnya akan berlanjut di Pulau Penyengat saban tahun ke depan ini. []

Page 409: H. Abdul Malik

389ABDUL MALIK

AKTIVITAS mutakhirnya adalah mengelola ruang budaya di Harian Tanjungpinang Pos, yang dibaktikannya sejak 2009. Ruang budaya itu

dinamakannya Jerumat. Kata jerumat berarti ‘menjahit sesuatu (kain dan sebagainya) yang koyak atau berlubang’. Kerja menjerumat jelaslah memerlukan ketekunan supaya hasil yang diperoleh memuaskan. Kain yang dijerumat (ditisik) bukan hanya tak lagi berlubang, melainkan sedap dipandang. Kerja menjerumat juga memerlukan ketenangan. Ketenangan itulah yang menjelma di dalam karya-karyanya, sikap, dan perilaku hidupnya sehari-hari. Tak pernah meledak-ledak walau masalah yang diangkatnya tergolong menggelegar sekali pun. Ketunakan, kesetiaan, dan tanggung jawabnya dalam bidang yang ditekuninya, yakni sastra dan budaya, memang menempatkannya sebagai penjerumat yang sangat patut disegani dan dihormati.

Beliau tergolong seniman dan sastrawan pejuang untuk aktivitas berkesusastraan di tanah kelahirannya, Kepulauan Riau. Betapa tidak? Tak kurang dari 40 tahun setelah berakhirnya Kerajaan Riau-Lingga, Kepulauan Riau senyap dari aktivitas bersastra. Tapak tuah itu ternyata tak rela membisu terlalu lama lagi dan ia dibangun kembali oleh anak-anak kandung Negeri Laut ini. Muncullah sang penyair liris (gelar yang diberikan kepadanya oleh para penulis buku Dermaga Sastra Indonesia, Komodo Books, 2010) ini pada 1971, beberapa tahun saja setelah kemunculan generasi Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, dan B.M Syamsuddin yang memang menjadi pengorak simpul kreativitas yang mati suri itu.

Maka sejak beliau betul-betul menekuni dunia sastra pada 1971 itu, mengalirlah karya-karyanya dalam bidang puisi. Pada 1974 terbit kumpulan puisinya yang berisi 13 sajak yang diterbitkan khusus untuk Bengkel Teater Grota Tanjungpinang, yang terhimpun di dalam Kumpulan Pertama. Kumpulan puisi berikutnya terbit

Sang Penjerumat Itu punBerlayar Jauh

Page 410: H. Abdul Malik

390 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dalam bentuk stensilan pada 1976 dengan judul Topeng Bulan. Dalam kumpulan kedua ini terhimpun 25 sajak. Selanjutnya, di dalam kumpulan Sajak untuk Dia yang terbit pada 1996 terhimpun pula 26 sajak.

Masih dalam genre puisi, beliau juga menerbitkan sajak-sajaknya dalam antologi bersama penyair lain. Bersama Tusiran Suseno, Hoesnizar Hood, dan Heru Untung mereka menerbitkan kumpulan puisi Karya Cipta pada 1994. Pada 1998 terbit pula kumpulan puisi Sajak di Mimbar DPR yang merupakan antologi bersama enam penyair Tanjungpinang. Antologi puisi Jazirah Luka dan Sajak-Sajak Lain terbit pada 1999. Bersama Junewal Muchtar dan Hoesnizar Hood pada 2002 mereka menerbitkan antologi Tersebab Senandung Laut Hitam. Bersama sejumlah penyair Nusantara terbit pula puisinya di dalam antologi Rampai Melayu untuk Kepulauan Riau pada 2006. Pada 2008 terbit lagi puisinya di dalam antologi bersama penyair lain yang diberi tajuk Jalan Bersama 2. Sejumlah puisinya yang pernah dimuat di Harian Pagi Riau Pos (Pekanbaru) terpilih untuk masuk antologi Sagang 1996, yang berupa cerita pendek, puisi, dan esai pilihan Riau Pos.

Sebagai sastrawan, beliau tak hanya menulis puisi. Beliau juga seorang cerpenis. Cerita pendek, juga puisi,-nya terbit dalam buku Ka Te Pe yang berupa antologi cerita pendek dan puisi Pemenang Sayembara Mengarang Cerita Pendek dan Puisi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, 2007. Beliau menggenapkan bakti sebagai sastrawan dengan menjadi novelis. Novel Encik Dawud ditulisnya pada 2001 dan diterbitkan oleh Gurindam Press pada 2006.

Sebelum mengelola Jerumat di Tanjungpinang Pos, sastrawan yang lahir di Tanjungpinang pada 5 Desember 1951 dan pernah memakai nama pena M.D. Moehammad ini memang berpengalaman menyelenggarakan ruang sastra dan budaya. Antara 1977 sampai dengan 1987 beliau menjadi penyelenggara Ruang Sastera dan Kebudayaan, Radio Republik Indonesia (RRI) Tanjungpinang. Tak heranlah kemudian beliau dapat mengelola Jerumat dengan yang sangat baik.

Sebagai sastrawan beliau pun rajin mengikuti pelbagai lomba dan memena-nginya. Beliau menjadi Pemenang Harapan pada Lomba Mengarang Fiksi, Majalah Gadis, Jakarta, 1977. Juga Pemenang II pada Lomba Cipta Puisi 50 Tahun Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Radio La Victor dan Bengkel Muda Surabaya, 1978. Selanjutnya, Pemenang III pada Lomba Penulisan Pariwisata Kepulauan Riau yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Kepulauan Riau, Tanjungpinang. Novelnya Encik Dawud menjadi Pemenang IV pada Lomba Penulisan Novel, Dewan Kesenian Riau (DKR), 2001.

Kelebihan beliau menyuarakan pengalaman dan penghayatan batinnya melalui karya yang menyerlahkan ketenangan. Padahal, masalah yang hendak

Page 411: H. Abdul Malik

391ABDUL MALIK

diungkapkannya sesungguhnya membuncah hebat. Alhasil, pembaca atau penikmat karyanya, puisi khasnya, terbawa cara pengucapan puitiknya untuk “hanyut” memandang, memahami, dan mengahayati sesuatu dengan mata dan timbangan batin yang tenang pula. Tak perlu hiruk-pikuk menghadapi suasana yang memang mengharu-biru. Hadapi kesemuanya itu dengan tenang sehingga kita dapat memecahkan masalahnya dengan menggunakan akal dan nurani dengan baik. Barangkali itulah pesan tersirat yang hendak diungkapkannya melalui karya-karyanya.

Bahtera kita telah belayar jauh. . .

Surya bintang dan bulanAsin lautan

Terpaan badaiDan deru angin

Tetap akan jadi sahabat-sahabat kitaDengan salam mereka

Yang barangkali tak sempat kita balas

Bait sajaknya “Bahtera Kita” di atas membuktikan ketenangan itu. Padahal, bahtera kita yang merupakan lambang dari ‘negara kita’ sedang benar-benar oleng, bahkan nyaris karam-tenggelam, diamuk badai politik (terpaan badai dan deru angin) yang tak jelas hala tujunya. Sajak serupa itu tak mungkin boleh dibaca secara meledak-ledak walaupun menggambarkan suasana terpaan badai dan deru angin. Karena apa? Karena “mereka” ternyata tetaplah “sahabat-sahabat kita”, yang bahkan, memberi “salam”. Hanya sayang, selama ini salam itu “tak sempat kita balas” wahai Saudara-Saudaraku anggota DPR.

Nah, bahkan mengadakan protes di depan DPR pun penyairnya masih menggunakan diksi kita untuk menunjukkan kelembutan dan ketenangannya serta menyatakan bahwa dirinya bagian dari mereka yang diprotes itu walau sebenarnya sang penyair sama sekali tak terlibat sebagai pemicu hiruk-pikuk politik itu. Akan tetapi, apa pun alasannya ini adalah perjalanan kita bersama yang memang patut diselamatkan dengan cara yang bertamadun. Dengan airlah memadamkan api, bukan dengan menambahkan api yang lain. Luar biasa arifnya! Begitu pulalah sang penyair ini dalam kesehariannya: selalu teduh dan meneduhkan, senantiasa tenang dan menenangkan. Tak pernah membuat orang rinsa (gusar) dengan perangainya sehingga kita pun bersedia berlama-lama berbincang dengannya.

Page 412: H. Abdul Malik

392 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Hanya, kini kita tak mungkin dapat berbincang-bincang lagi dengannya walau untuk menimba hikmah ketenangan kalbu. Kecuali, kita masih akan terus dapat menghayati karya-karyanya yang tetap teduh di kegaduhan kehidupan ini sampai bila-bila masa pun. Karya senantiasa abadi kendatipun penciptanya telah pergi untuk selama-lamanya. Dan, Machzumi bin H. Muhammad Daud atau lebih dikenal sebagai Machzumi Dawood, sang seniman yang menghasilkan karya itu, telah dipanggil pulang ke rahmatullah pada Jumat, 13 Januari 2012 sekitar pukul 15.25 WIB di Tanjungpinang. “Selamat jalan, Bang. Semoga bakti Abang dalam bidang sastra dan budaya menjadi hitungan pahala untuk Abang dari Allah Swt.”[]

Page 413: H. Abdul Malik

393ABDUL MALIK

PADA mulanya Indonesia sebagai negara dan bangsa tak memiliki kebudayaan nasional, kecuali satu unsur yang sekaligus juga menjadi induk kebudayaan

yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah dijunjung sejak Kongres I Pemuda Indonesia pada 2 Mei 1926 menyetujui nama bahasa Indonesia seperti yang diusulkan M. Tabrani sebagai nama politisnya dari nama-asli kulturalnya bahasa Melayu Riau-Lingga (Kepulauan Riau sekarang). Dan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia itu dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia mengemban satu fungsi lagi sebagai bahasa negara (lihat Malik, 2010:13). Itulah satu-satunya unsur budaya yang melekatkan nama Indonesia, mampu mempersatukan seluruh bangsa Nusantara, dan diakui oleh segenap bangsa Indonesia sebagai milik bersama jauh sebelum Indonesia merdeka.

Selebihnya, yang ada adalah kebudayaan daerah-daerah yang tergabung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, sejak awal kemerdekaan Indonesia sampai setakat ini dikembangkanlah budaya nasional dari puncak-puncak budaya daerah. Pengembangan budaya nasional itu sangat penting untuk menjembatani perbedaan-perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk karena berbeda latar budaya untuk dijadikan kerangka acuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa NKRI merupakan perpaduan dari negara-negara dan bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa di nusantara ini yang sebelumnya merdeka, lalu kemudian takluk di bawah penjajahan Belanda dan Jepang.

Dinamika persoalan sosial yang timbul karena keberadaan masyarakat bangsa yang majemuk tak dapat diabaikan begitu saja. Apa pun bentuk ketegangan sosial dalam masyarakat majemuk itu perlu diatasi. Caranya ialah dengan memanfaatkan nilai-nilai luhur dari budaya-budaya daerah yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Peran dan PentingnyaBudaya Daerah

Page 414: H. Abdul Malik

394 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Fungsi kebudayaan dalam pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa yang sangat penting ialah sebagai pedoman penafsiran dan pemaknaan terhadap segala masalah yang dihadapi. Fungsi ini sangat mustahak dalam kaitannya dengan pembangunan.

Kecepatan perubahan pun harus diperhitungkan sesuai dengan kemajemukan masyarakat dengan daya serapnya yang beragam. Itulah peran penting perencanaan pembangunan supaya jangan sampai terjadi pembangunan hanya untuk pembangunan, sedangkan masyarakat jadi telantar, terutama masyarakat yang ditempatnya pembangunan sedang dilaksanakan. Kalau yang disebut terakhir itu terjadi, akan muncullah pertanyaan bernada protes, “Pembangunan ini untuk siapa?” Dalam keadaan demikian, masyarakat akan sulit untuk diajak berpartisipasi secara positif.

Faktor yang sering menghambat pembangunan adalah kebudayaan masyarakat. Faktor budaya yang menghambat itu umumnya berkaitan dengan minat dan keperluan masyarakat, daya serap masyarakat karena rumitnya pembaharuan, keterkaitan dengan adat, kekhawatiran golongan tertentu akan lenyapnya nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan keyakinan tradisional. Ringkasnya, pembangunan yang berlawanan arah dengan nilai-nilai terala yang dijunjung oleh masyarakat pasti akan mendapat tantangan, yang kadarnya disesuaikan dengan kesebatian (kohesi) masyarakat dengan nilai-nilai budayanya.

Jika kebudayaan nasional sebagai kerangka acuan bersama tak berkembang sesuai dengan pesatnya pembangunan di bidang yang lain, dapat dipastikan akan terjadi perbedaan penafsiran dan pengertian dalam masyarakat majemuk atas rencana-rencana pembangunan nasional, yang dilaksanakan di pusat dan daerah. Akibatnya, tujuan pembangunan untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional, justeru dapat berakibat sebaliknya. Inilah yang dikhawatirkan dan janganlah sampai terus terjadi. Alih-alih pembangunan untuk menyatukan dan menyejahterakan bangsa, yang terjadi bangsa menjadi terkoyak dan huru-hara tak kunjung mereda.

Itulah sebabnya, diperlukan budaya nasional yang dapat memberikan makna pada pembangunan bagi segenap anggota masyarakat, terlepas dari latar belakang kebudayaan masing-masing. Dengan adanya kebudayaan sebagai kerangka acuan yang dapat memberikan pengertian akan perencanaan pembangunan secara nasional itu, yang nilai-nilai itu dipahami dan dilaksanakan juga oleh perencana dan pelaksana pembangunan, ketegangan dalam masyarakat dapat diperkecil, persatuan dan kesatuan nasional dapat diperkokoh, dan proses pembangunan dapat dipercepat dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat.

Page 415: H. Abdul Malik

395ABDUL MALIK

Indonesia memerlukan ciri pengenal yang bersifat nasional yang dapat dibanggakan dan membedakan dirinya dari bangsa-bangsa lain di dunia. Ciri pengenal itu dapat membina kepribadian bangsa yang kuat dalam pergaulan antarbangsa yang sederajat. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan perpaduan puncak-puncak kebudayaan yang ada di daerah-daerah, yang niscaya akan mewujudkan kesamaan nilai, perasaan, dan moral yang menjiwai sikap dan pola perilaku masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa.

Berdasarkan kenyataan itu, sangat jelas peran kebudayaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Juga, bagaimana peran kebudayaan dalam pembinaan dan pengembangan kepribadian bangsa. Oleh sebab itu, pembinaan, pengembangan, dan peningkatan mutu budaya daerah dalam kaitannya untuk memberikan sumbangan secara terus-menerus terhadap kebudayaan nasional harus dilakukan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dengan begitu, keberadaan kita sebagai bangsa yang bermartabat dan bermarwah akan tetap diperhitungkan di dalam pergaulan antarbangsa.

Pembinaan dan pengembangan budaya juga berkaitan erat dengan pembangunan karakter bangsa dalam menuju masyarakat madani. Tak ada suatu aspek pembangunan pun akan bermakna dan bermanfaat jika pembangunan kebudayaan tak sesuai dengan yang diharapkan. Tak terbayangkan betapa menderitanya kita jika bangsa yang besar ini tak memiliki kesatuan acuan kultural secara nasional dalam memandang dan menghadapi pelbagai fenomena kehidupan yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Dengan perkataan lain, melalui pembinaan dan pengembangan kebudayaan yang dilaksanakan secara konsisten, berkelanjutan, dan baiklah; kita akan menjadi manusia seutuhnya.

Matlamat dari pembangunan kebudayaan adalah peningkatam mutu manusia dan kualitas karyanya secara berkesinambungan. Bukankah yang diperhitungkan pada diri manusia itu kualitas diri dan hasil karyanya untuk menjawab tantangan zaman? Pada sisi hakiki itulah peran yang dimainkan oleh kebudayaan. Dalam hal ini, pengembangan kebudayaan nasional sedapat-dapatnya dan sebanyak-banyaknya memanfaatkan budaya daerah. Pasal, budaya daerah dan nilai-nilai luhur yang dikandungnya bersebati dengan jiwa bangsa kita.

Budaya daerah sangat penting peran dan artinya bagi upaya pengembangan budaya nasional. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa budaya nasional sesungguhnya berasal dari budaya daerah-daerah yang ada di nusantara ini, yang dipadukan juga dengan unsur budaya asing yang dianggap positif bagi pengembangan budaya nasional kita. Oleh sebab itu, pelestarian, pembinaan, dan pengembangan budaya nasional haruslah disejalankan dengan upaya serupa

Page 416: H. Abdul Malik

396 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

terhadap budaya daerah secara berimbang, tanpa lebih mengistimewakan yang satu daripada yang lainnya.

Di dalam setiap unsur budaya daerah terkandung nilai-nilai luhur lagi universal yang memang layak dan patut dimiliki oleh bangsa kita kalau diangkat untuk memperkaya budaya nasional. Di tengah keperluan kita akan jati diri yang kokoh dan tangguh serta untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang besar ini, upaya serius untuk memanfaatkan budaya-budaya daerah, termasuk budaya Melayu, memang harus segera digesa. Sebaliknya, pengutamaan satu-dua budaya daerah saja untuk memperkaya budaya nasional akan menenggelamkan kita ke jurang degradasi sebagai bangsa. []

Page 417: H. Abdul Malik

397ABDUL MALIK

DI PULAU BINTAN kini ada satu tempat yang dinamai Bandar Seri Bentan. Kata bandar berarti ‘kota’, seri adalah ‘cahaya, bagus, cantik, indah, mulia, dan atau

semarak’, dan Bentan merupakan nama (sebutan) klasik bagi salah satu pulau yang agak besar di antara ribuan pulau di wilayah Kepulauan Riau, yang juga nama kerajaan Melayu tertua yang pernah berdiri di pulau itu—Kerajaan Bentan—juga nama pusat pemerintahan kerajaan itu, serta nama orang yang mendiami pulau dan penduduk di pusat kerajaan itu, yang biasa disebut orang Bentan. Kini Bentan lebih dikenal sebagai Bintan.

Perihal Bentan atau Bintan ada disebutkan oleh Raja Ali Haji (RAH) di dalam karyanya kamus ekabahasa Kitab Pengetahuan Bahasa (1857). Kita ikuti tuturan RAH tersebut berikut ini (lihat juga Malik dkk., Kepulauan Riau: Cagar Budaya Melayu, 2003:6—9)

“Bintan yaitu di dalam daerah Negeri Riau, satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya Wan Seri Beni namanya, yaitu perempuan. Kemudian datang Raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka, diserahkannya Negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu. Kemudian, Raja Seri Tribuana itulah memperbuat Singapura, dan anaknya menggantikan dia yang berpindah ke Melaka, dan balik ke Johor semula, lalu ke Riau ke Bintan semula. Dialah asalnya raja Melayu sebelah Johor dan sebelah Tanah-Tanah Melayu, anak-cucunyalah menjadi raja sampai masa kepada membuat kamus bahasa ini.”

Demikian, antara lain, tuturan RAH tentang Bintan. Sebagai catatan, nama Riau disebut RAH berdasarkan latar waktu beliau menulis bukunya itu. Sesungguhnya nama Riau belum wujud pada masa Kerajaan Bintan. Yang ada kala itu hanyalah

Ke Bandar Seri Bentan

Page 418: H. Abdul Malik

398 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

nama Bintan. Nama Riau baru digunakan ketika Laksemana Tun Abdul Jamil membangun negeri di Sungai Carang, Riau Lama atau Hulu Riau, kawasan Kota Tanjungpinang sekarang, pada abad ke-17. Jadi, pada 1857 ketika RAH menulis bukunya yang monumental itu, nama kerajaannya memang telah menjadi Kerajaan Riau-Lingga.

Bintan merupakan kerajaan merdeka ketika Sriwijaya diambang kehancuran oleh perang saudara. Tak lama setelah itulah keluarga Diraja Sang Sapurba atau Seri Tribuana datang dari Bukit Seguntang Mahameru, Palembang ke Bintan. Di Bintan dia dijadikan anak angkat oleh Ratu Wan Seri Beni, raja Bintan yang menduduki tahta menggantikan mendiang suaminya, Raja Asyhar Aya. Kebetulan, Wan Seri Beni tak memiliki anak laki-laki. Kemudian, Seri Tribuana dinikahkan dengan Putri Bintan, putri Asyhar Arya dan Wan Seri Beni, dan dinobatkan menjadi Raja Bintan menggantikan ibu mertuanya. Atas izin Wan Seri Beni jualah, Seri Tribuana memindahkan pusat pemerintahan ke Temasik pada 1324 karena kala itu Temasik menjadi bagian dari Kerajaan Bintan. Lalu, diubahnya nama Temasik menjadi Singapura. Piut Seri Tribuana yang bernama Raja Parameswara atau Iskandar Syah, kemudian, memindahkan pusat pemerintahan ke Melaka sehingga menjadi Kerajaan Melayu yang besar setelah runtuhnya Sriwijaya.

Bintan sangat terkenal dalam sejarah karena melahirkan putra-putra yang tangguh berperang membela negara. Di dalam Hikayat Hang Tuah nama-nama Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi menjadi legenda yang dikenang hingga setakat ini. Kelima Hang itu sangat berjasa membesarkan Kerajaan Melaka. Nama mereka juga disebut di dalam Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Seri Lanang. Bahkan, Sulalatus Salatin mencatat seorang lagi laksemana asal Bintan yaitu Megat Seri Rama atau Laksemana Bintan yang menggemparkan sejarah Melayu ketika pusat Kerajaan Melayu berpindah ke Johor. Tome Pires menggambarkan bahwa orang-orang Bintan memang terkenal bangat sebagai tentara yang handal.

Sejarah menuntun dan menuntut tamadun manusia agar apa-apa yang ada dan terjadi pada masa kini haruslah lebih baik daripada masa lampau. Jika tidak, berarti kita mundur. Dalam konteks itulah, keberadaan Bintan sebagai salah satu kabupaten di Kepulauan Riau menarik untuk disimak. Nampaknya, generasi Bintan masa kini betul-betul menjawab cabaran itu.

Marilah kita ke Bandar Seri Bentan, pusat ibukota Kabupaten Bintan sekarang. Pusat ibukota itu sebelumnya hanyalah sebuah hutan di Desa Bintan Buyu. Kini ia benar-benar menjadi kota yang berseri, indah, dan bersemarak. Dengan latar belakang Gunung Bintan yang berlekuk seperti yang disebut RAH itu kini berdiri tesergam Kompleks Gedung Perkantoran Pemerintahan Kabupaten

Page 419: H. Abdul Malik

399ABDUL MALIK

Bintan. Bangunannya umumnya berasitektur dasar Melayu, yang tentu saja dipermodernkan sesuai dengan semangat zaman, yang terdiri atas Kompleks Gedung Kantor Bupati Bintan, Kantor DPRD, dan Kantor-Kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Bintan. Betapa eloknya kalau Kantor Bupati itu dinamai Gedung Seri Bentan.Tak lama lagi akan dibangun pula Mesjid Kabupaten Bintan di bandar baru itu. Bangunan pemerintah daerah berdiri di atas tanah 1.000 hektar. Selain itu, untuk pelbagai pembangunan lain di Kawasan Bandar Seri Bentan itu juga telah disediakan lahan lebih dari 5.000 hektar.

Pada Jumat, 26 Januari 2012 diadakan acara Peresmian dan Doa Selamat Pemakaian Gedung Kantor Bupati Bintan. Acaranya tergolong besar karena tamu jemputannya cukup banyak, tetapi tak terkesan mewah atau berlebihan, biasa saja. Dalam sambutannya, Bupati Bintan, H. Ansar Ahmad (saya jadi teringat Asyhar Aya di atas), menyebutkan bahwa pembangunan Bandar Seri Bentan itu bukan tanpa hambatan dan cabaran. Namun, kesemuanya itu dihadapi dengan tabah, sabar, dan tekun. Siapa pun yang mengikuti perkembangan pembangunan Kabupaten Bintan, yang adalah kabupaten induk karena sebelumnya bernama Kabupaten Kepulauan Riau, tentulah tak dapat mena ikan hal-hal yang disampaikan oleh bupati yang senantiasa bersemangat itu.

“Bagai disulap!” kata seorang jemputan ketika melihat Kompleks Perkantoran di Bandar Seri Bentan itu karena baru kali itulah dia melihatnya. Yang lain lagi mengatakan, “Sungguh membanggakan.” Mudah-mudahan, perasaan seperti itu jugalah yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Bintan, khasnya, dan Kepulauan Riau, umumnya.

Selain pembangunan di Bandar Seri Bentan itu, aura pembangunan di Kabupaten Bintan dapat kita rasakan dengan melihat sarana jalan-jalan baru yang dibangun di hampir kesemua kecamatan dan kampung. Kini nyaris seluruh kecamatan dan desa di Kabupaten Bintan dapat diakses dengan mudah karena baiknya sarana jalan. Bahkan, sebagian jalan utamanya mirip dengan jalan tol.

Di samping pembangunan pariwisata yang memang telah eksis sejak lama, Kabupaten Bintan kini terus menggesa pembangunan pertanian dan perkebunan. Sepanjang jalan di Kabupaten Bintan kini kita dapat menyaksikan perkebunan baru di samping kebun-kebun lama yang memang telah ada. Kesemuanya itu tentulah bermatlamat pada kesejahteraan.

Pada acara peresmian itu juga hadirin dapat menyaksikan kehandalan qari cilik Bintan, binaan pesantren yang berpusat di Tanjunguban, salah satu kota kebanggaan masyarakat Kabupaten Bintan. Kenyataan itu membuktikan bahwa Kabupaten Bintan sangat giat membangun bidang sosio-budaya dan agama.

Page 420: H. Abdul Malik

400 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Itulah hasil dari “Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagar duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat,” kata RAH. Semogalah kerja-kerja baik itu berkelanjutan sehingga Bandar Seri Bentan menyinari cahaya indah, baik, semarak, dan mulianya bagi Pulau Bintan dan Kepulauan Riau ke depan ini. Hanya “hati yang buta” sajalah yang tak mampu mengakui bahwa Kabupaten Bintan telah maju pesat setakat ini. Tahniah H. Ansar Ahmad, Bupati Bintan, DPRD Kabupaten Bintan, kesemua perangkat pemerintahan, dan masyarakat Kabupaten Bintan. Sungguh prestasi gemilang anak negeri yang patut dibanggakan dalam membangun negeri tercinta ini. []

Page 421: H. Abdul Malik

401ABDUL MALIK

SYAIR tergolong puisi lama. Di dalam masyarakat Melayu, syair digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan, selain media

hiburan. Kalau ada unsur hiburan pun, pastilah hiburan yang bersifat didaktis. Di antara pesan didaktik itu adalah pesan yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai budi pekerti. Karena didedahkan kepada anak-anak sejak mereka masih bayi dan didendangkan dengan irama yang khas (mendayu-dayu), pesan yang akan disampaikan melalui syair mampu meresap jauh sampai ke lubuk hati sanubari anak-anak. Oleh sebab itu, anak-anak yang biasa dididik dengan menggunakan media syair sejak kecil tak mudah melenyapkan nilai-nilai yang diajarkan kepadanya sampai bila-bila masa pun.

Ditinjau dari sudut amanat yang dikandungnya, syair dapat dikelompokkan atas dua macam: syair naratif dan syair non-naratif. Syair naratif adalah syair yang bercerita: ada tokoh, alur, latar, dan sebagainya dan amanat lengkapnya baru diperoleh setelah membaca keseluruhan rangkaian syair yang membangun cerita secara utuh. Syair Suluh Pengawai karangan Raja Ali Haji, misalnya, amanatnya baru dapat disimpulkan setelah kita membaca rangkaian syairnya yang terhimpun dalam satu buku lengkap. Sebaliknya, syair non-naratif tak bercerita dan berupa syair lepas yang amanatnya secara utuh terdapat di dalam setiap baitnya.

Seperti disebutkan di atas, syair juga merupakan khazanah kesusastraan sekaligus kebudayaan Melayu yang banyak memuat nilai budi pekerti. Kandungan nilainya beraneka ragam, dari yang bersifat religius sampai kepada hanya manusiawi. Tak jarang terjadi, syair pun memadukan mitos ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Oleh sebab itu, pelbagai nilai kehidupan dapat dipetik dari gubahan syair.

Dengan SyairMenyemai Budi

Page 422: H. Abdul Malik

402 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Wahai Ananda dengarlah pesanIngatlah Allah janganlah bosan

Kerjakan suruh-Nya larangan jauhkanBacalah kitab dan alam sekalian

Syair (1) mengungkapkan pesan untuk melaksanakan suruhan dan menjauhi larangan Tuhan. Selain itu, tertera juga nasehat untuk rajin membaca, baik membaca buku (kitab) maupun membaca tanda-tanda alam. Hanya dengan begitu manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan yang komprehensif: teoretik (di dalam buku/kitab) dan praktik (belajar dari fenomena alamiah). Dengan demikian, syair pada (1) mengandung nilai religius dan nilai gemar membaca.

Ananda juwita lagi rupawanDunia ini banyak cobaan

Pertolongan kawan boleh harapkanUpaya sendiri hendaklah dahulukan

Seperti halnya syair (1), syair (2) juga beramanat ganda. Pertama, dianjurkan untuk mendapatkan pertolongan sahabat dalam hidup ini. Akan tetapi, kedua, yang harus diutamakan ialah upayakan sendiri lebih dahulu sebelum meminta bantuan kepada orang lain. Dengan demikian, syair (2) mengetengahkan nilai persahabatan/komunikatif dan mandiri. Nilai-nilai itu sangat penting untuk membentuk karakter bangsa.

Satu lagi harus diingatiJangan pula engkau jahati

Hutan dan padang kita hidupiJagalah ia sepenuh hati

Syair (3) mengandung nilai budi pekerti peduli lingkungan. Lingkungan yang disebut dalam syair itu adalah hutan dan padang rumput (“Hutan dan padang kita hidupi”). Pembaca syair itu diamanahkan untuk menjaganya dengan sepenuh hati dan tak merusakkannya (“Jangan pula engkau jahati”).

Anandaku belia muda bestariHidup penuh onak dan duri

Perangai lalai engkau hindariMalas dan leka musuh diri

Page 423: H. Abdul Malik

403ABDUL MALIK

Dengan membaca syair (4), kita dimaklumkan bahwa hidup ini penuh dengan cabaran dan tantangan (“Hidup penuh onak dan duri”). Oleh sebab itu, adalah nista memelihara sifat lalai, malas, dan leka. Nilai budi pekerti utama yang menyerlah pada syair (4) tiada lain kerja keras. Manusia dituntut untuk bekerja keras agar berjaya dan mulia dalam hidup.

Pada syair (5) berikut ini terekam pula nilai budi pekerti rasa ingin tahu. Nilai itu sangat mustahak untuk membangunkan karakter yang senang mengamati dan mempelajari sesuatu untuk menambah perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman.

Apa gerangan hewan lakukanDi subuh hari kokok bersahutanSepanjang hidupnya tiada bosan

Walaupun akal tiada dapatan

Ayam yang tak berakal ternyata melaksanakan tugas dalam hidupnya dengan konsisten. Subuh hari mereka sudah bangun sambil berkokok riang, langsung melaksanakan tugas hariannya dengan taat sampai ke petang hari. Mengapakah mereka mampu melaksanakan kesemuanya itu tanpa cela? Seharusnya, manusia mempelajari fenomena kesetiaan hewan itu dengan penuh rasa ingin tahu. Hewan mungkin tak mampu memikirkan perbuatannya, tetapi manusia wajib mengambil hikmah dan pelajaran dari fenomena itu.

Bunda hanya mengandungkan NandaDengan kasih membesarkan juwita

Tanpa negeri musa ir lataBelalah ia dengan perkasa

Dengan syair (6) Sang Ibu (boleh siapa saja) menegaskan bahwa dia memang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya. Akan tetapi, hal-hal itu taklah lengkap, bahkan, dapat menyebabkan manusia hanya menjadi musa ir yang melata dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu negeri ke negeri yang lain jika tak ada tanah air tempat bernaung. Oleh sebab itu, manusia wajib membela tanah tumpah darahnya. Dengan demikian, syair (6) menegaskan perihal pentingnya nilai budi pekerti mencintai tanah air.

Dengan syair kesemua pesan edukasi budi pekerti dapat disampaikan. Pengungkapannya yang khas, karena biasanya dinyanyikan secara mendayu-dayu, menjadi daya pikat tersendiri pula. Makin pandai orang melagukannya, makin

Page 424: H. Abdul Malik

404 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

menarik sebuah syair. Syair memang menjadi salah satu khazanah budaya kita yang sangat cocok untuk menjadi sarana dan media pendidikan budi pekerti.

Pada para pendidik yang memahami dan menghayati iloso i syair, pembe-lajaran budi pekerti yang memanfaatkan syair sebagai medianya akan memberikan kesegaran pikiran, ketenangan jiwa, dan kecerahan nurani bagi para peserta didik. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik jika pendidiknya pun mahir melantunkan syair dengan pelbagai variasi lagu yang memikat. Dan, proses transfer ilmu itu menjadi lebih bermakna jika para pendidik melaksanakannya bukan hanya dengan olah pikir, melainkan lebih-lebih dengan olah hati. Dengan kasih, kita mampu meruntuhkan tembok hati yang paling angkuh sekalipun. []

Page 425: H. Abdul Malik

405ABDUL MALIK

SUATU hari dua orang bersahabat bertemu, sebuah perjumpaan rutin dan biasa. Seperti biasanya juga mereka berbincang-bincang tentang pelbagai hal. Berikut

ini sebagian dialog hipotetis di antara Abdullah dan Abdillah, nama kedua orang bersahabat itu, dalam pertemuan mereka hari itu.

Abdullah : Penghulu Kebun marah betul kepada Wak Entol.Abdillah : Apa pasal?Abdullah : Wak Entol menuduh Penghulu Kebun korupsi.Abdillah : Tak orang tak kitalah!

Dalam menanggapi penjelasan Abdullah, Abdillah menggunakan ungkapan “tak orang tak kita”. Ungkapan itu menggunakan pola negasi (menidakkan). Dalam bahasa Melayu, pola negasi banyak digunakan untuk menekankan makna atau amanat yang akan disampaikan dalam berkomunikasi. Marilah kita lihat ilustrasi berikut ini.

“Barang siapa tiada mengenal agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.” Kutipan ini sudah sangat luas dikenal yaitu isi Pasal Pertama, bait 1 Gurindam Dua Belas karya pakar termasyhur dan Pahlawan Nasional bidang bahasa, Allahyarham Raja Ali Haji (RAH). Sesuai dengan amanat yang hendak disampaikannya, RAH boleh menggunakan kalimat, “Setiap manusia wajib mengenal agama yang diyakininya,” misalnya. Akan tetapi, kalimat itu tak beliau gunakan. Karena apa? Karena selain tak memenuhi persyaratan bait gurindam, kalimat itu tak bertenaga atau tak bertekanan. Dengan demikian, pola negasi digunakan, antara lain, untuk memberikan tenaga atau tekanan pada kalimat sehingga pesan yang akan disampaikan kepada teman berkomunikasi menjadi lebih bermakna.

Ungkapan “tak orang tak kita” yang diucapkan oleh Abdillah dalam dialog hipotetis di atas bermakna ‘kita begitu orang pun begitu pula’ atau ‘apa yang kita

Tak Orang Tak Kita

Page 426: H. Abdul Malik

406 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

rasakan (ketika menghadapi sesuatu hal, peristiwa, dan atau proses) akan dirasakan sama oleh orang lain’. Itulah maksud atau amanat yang hendak disampaikan oleh Abdillah kepada Abdullah, sahabatnya itu.

Dalam konteks dialog di atas, Abdillah hendak mengatakan kepada Abdullah bahwa adalah patut Penghulu Kebun sangat marah kepada Wak Entol. Pasalnya, mungkin tuduhan Wak Entol tak memiliki dasar yang kuat atau tanpa bukti yang memadai. Dalam keadaan demikian, Wak Entol telah menyinggung perasaan dan atau harga diri Penghulu Kebun. Jika keadaannya dibalikkan, Penghulu Kebun yang menuduh, Wak Entol pun pasti akan merasakan ketersinggungan yang sama. “Tak orang tak kita.”

Dari ungkapan Abdillah itu, berarti dia bersetuju dengan sikap Penghulu Kebun. Sebaliknya, dia menganggap tindakan (tuduhan) Wak Entol terhadap Penghulu Kebun tergolong perbuatan tak terpuji. Dasar sikapnya itu adalah tuduhan Wak Entol tak disertai bukti yang cukup. Sikap Abdillah itu akan menjadi lebih kokoh—yakni tak bersimpati terhadap perlakuan Wak Entol—jika dia memang mengetahui secara pasti, berdasarkan pengalaman bergaul selama ini, bahwa Wak Entol memang memiliki perangai buruk yaitu selalu curiga terhadap orang lain atau suka menekan orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Keuntungan apakah yang dipatok oleh Wak Entol dengan tuduhan “beracun”-nya terhadap Penghulu Kebun itu? Sekurang-kurangnya, ada tiga laras tembakan beruntunnya.

Pertama secara ekonomi, dia berharap mendapatkan keuntungan materi jika Penghulu Kebun ternyata “termakan” tuduhannya sehingga rela membayar sejumlah uang kepadanya sebagai “upah tutup mulut” atau tak memperpanjang masalah. Tembakan itu akan mangkus (efektif) jika Penghulu Kebun memang ber-“masalah”. Berdasarkan pengalamannya selama ini, Wak Entol tahu persis bahwa korbannya akan bersedia berunding kepada pihak pengungkap agar masalahnya tak diperpanjang atau tak diungkit-ungkit.

Kedua secara sosiologis, Wak Entol berkemungkinan berhasil mengubah “bintang”-nya menjadi bersinar di dalam masyarakat. Dia boleh jadi dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat. Pasalnya, dia telah berhasil mewujudkan dirinya sebagai peniup peluit untuk mengungkapkan tindak pidana korupsi. Di dalam masyarakat yang euforia pemberantasan korupsi berada pada tensi yang paling tinggi, bidikan itu boleh jadi memenuhi sasarannya. Tak peduli apakah bidikan itu memang jitu (jika benar Penghulu Kebun melakukan korupsi) atau hanya sekadar tembakan yang membabi buta. Kalau kena bagus, tak kena pun tak apa-apalah. Namanya juga menguji nasib, mengadu peruntungan (kalau tuduhan itu itnah belaka). Yang pasti, dalam konteks masyarakat yang begitu bersemangat memburu “hewan korupsi”, sasaran sosiologisnya boleh jadi terpenuhi. Wak Entol bukan tak mungkin menjadi “hero” masyarakat, bahkan mungkin sekali bintang media.

Page 427: H. Abdul Malik

407ABDUL MALIK

Ketiga secara psikologis, dia berhasil menekan Penghulu Kebun. Biasanya, dalam konteks yang diperikan pada perenggan di atas, orang akan sangat terpukul jika dituduh melakukan tindak pidana korupsi setakat ini. Bukan hanya itu. Si tertuduh bukan tak mungkin harus berurusan dengan pihak yang berwewenang untuk membuktikan keterlibatan atau ketakterlibatannya. Energi isik dan psikologisnya akan terkuras untuk menyelesaikan kesemua urusan itu, baik positif (dia tak terbukti korup) maupun negatif (dia memang korup). Terlepas dari terbukti atau tidaknya, nama baiknya di mata masyarakat telah tercemar. Pasal apa? Nyaris tak ada lagi orang yang mau percaya setakat ini bahwa si tertuduh pelaku tindak pidana korupsi, ternyata tak terbukti melakukan perbuatan tak terpuji itu. Jangankan orang awam, bahkan para penegak hukum pun cenderung menggunakan asumsi itu. Kalau selama ini ada dendam kesumat Wak Entol terhadap Penghulu Kebun yang belum terbalaskan, saat itulah kesemuanya terbayar lunas.

Wak Entol dapat merajalela melakukan perbuatannya karena disokong oleh sistem yang nyaris tak memerlukan pertanggungjawaban hukum bagi pelaku tuduhan korupsi kepada seseorang. Mungkin peraturan hukumnya ada secara tertulis seperti tindak pencemaran nama baik. Akan tetapi, kenyataannya akan sangat sulit si pembuat itnah seperti itu untuk dijerat secara hukum karena kokohnya bertengger asumsi yang disebutkan di atas tadi dalam praktik hukum kita setakat ini. Itulah sebabnya, makin hari makin banyak orang—sama ada secara pribadi seperti Wak Entol, berkelompok, ataupun berorganisasi—berteriak nyaring menuduh seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Tak ada beban bagi mereka sebab memang tak ada sanksi hukumnya.

Ketika berhadapan dengan situasi yang kelam kabut seperti itu, kaidah budaya sebetulnya mengajarkan kita agar “bertimbang rasa”. Ungkapan “tak orang tak kita” itu memang berkelindan dengan nilai “bertimbang rasa”. Dengan bertimbang rasa diharapkan setiap orang seyogianya betul-betul berpikir dengan akalnya, berasa dengan hatinya, dan berhikmat dengan nuraninya agar tak mudah menuduh atau mem itnah orang. Dengan bertimbang rasa, kita mampu merasakan dan menghayati dampak negatif bagi si tertuduh, yang kalau kita pun yang mengalaminya akan merasakan penderitaan yang sama. Itulah sebabnya, budaya Melayu menjunjung tinggi nilai bertimbang rasa sehingga orang-orang yang menghayati dan mengamalkannya dalam hidup tak akan tergamak atau sampai hati membuat orang lain menderita karena tindakan atau perbuatannya.

Tak ada manusia yang berbahagia diterpa, apalagi diterpakan, padah yang buruk terhadap dirinya. Semua orang mendambakan hidup damai dan bahagia. Ketika kedamaian dan kebahagiaan itu diusik dengan cara-cara tak terpuji, pastilah anak manusia itu akan bereaksi. Tak orang tak kita! []

Page 428: H. Abdul Malik

408 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

TATKALA mendengar nama Desa Telukbakau pastilah terbayang di minda kita sebuah kampung di tepi pantai. Citraan itu memang wajar, lebih-lebih bagi

sesiapa pun yang belum pernah berkunjung ke desa yang terdapat di Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau itu. Bahkan, bagi mereka yang pernah berkunjung ke desa itu beberapa tahun lalu pun, citraan itu menjadi kenyataan setelah melihat dengan mata-kepala sendiri.

Kata desa dan Telukbakau memang telah melambangkan hakikat ‘kampung’-nya tempat yang sedang diperbincangkan ini. Lebih jauh, menjadi tak terelakkan benak kita akan merayau untuk menghubungkannnya dengan ‘ketertinggalan’ sebagaimana pengalaman kita selama ini jika dikaitkan dengan kampung atau desa umumnya di Indonesia. Akan berbeda halnya citraan yang muncul jika kita mendengar atau membaca perihal Desa Kijang Kota, misalnya. Walaupun sama-sama menggunakan kata desa, kelompok kata Kijang Kota mengenyahkan diri kita untuk mewujudkan citraan kampung. Alhasil, minda kita dapat memetakan dua objek yang berbeda kualitasnya: Desa Telukbakau indentik dengan kawasan kampung dan ketertinggalan dan Desa Kijang Kota identik dengan kawasan kota (walau di dalam pemerintahan desa) dan maju.

Jika kita berkunjung ke Desa Telukbakau sekarang, tahulah kita bahwa citraan yang muncul di benak kita itu ternyata menipu. Betapa tidak, desa yang termasuk dalam kawasan Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan itu kini bagai disulap. Wujudnya telah berubah menjadi sebuah bandar atau kota baru. Jalannya yang cukup lebar dan mulus menjadi satu di antara sekian penanda perubahan itu. Di sepanjang pantainya yang memang panjang dan putih bersih itu kini telah berdiri berjejer pondok-pondok peranginan yang siap melayani keperluan pelancong (wisatawan) untuk melepaskan penat sambil menikmati aneka jenis makanan

Bandar Baru Telukbakau

Page 429: H. Abdul Malik

409ABDUL MALIK

laut yang lezat dan atau sekadar menyaksikan pemandangan laut dan pantai yang memesona serta berenang di pantai yang airnya jernih dan biru.

Pantai panjang berpasir putih bersih itu memang terkenal sejak dahulu. Siapakah yang tak kenal atau tak pernah mendengar nama Pantai Trikora di Bintan itu? Siapa pun yang berkunjung ke Pulau Bintan, rasanya memang belum sah kalau belum sampai ke Pantai Trikora, sama halnya kalau belum sampai ke Pulau Penyengat. Bedanya, di Pulau Penyengat kita dapat menyaksikan pelbagai tinggalan bersejarah Kerajaan Melayu masa lalu, sedang di Pantai Trikora kita dapat menyaksikan pesona pemandangan pantai dan laut yang sulit dicari tara (bandingan)-nya. Apalagi, pantainya masih betul-betul alami.

Tak hanya itu yang menyebabkan Desa Telukbakau berbeda dari sebelumnya. Kini di desa itu berdiri tesergam kompleks gedung yang canggih lagi indah. Kompleks gedung itulah yang membuat desa ini benar-benar bersinar dan meningkatkan statusnya menjadi bandar baru. Kompleks gedung itu memang belum diberi nama, tetapi setakat ini hanya dikenal sesuai dengan peruntukannya setelah selesai pembangunannya nanti yaitu Kompleks Gedung Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), Kabupaten Bintan.

Dapat dibayangkan tak jauh dari gedung-gedung kokoh permanen itu terdapat pantai yang berpasir putih yang menawarkan pemandangan laut yang memukau dan di atasnya itulah berdiri Kompleks Gedung MTQ yang membuat perubahan yang signi ikan. Di situlah kelak akan diselenggarakan MTQ tingkat Provinsi Kepulauan Riau, yang saya yakin pasti akan mengundang rasa takjub para ka ilah dan pengunjung dari seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Kepulauan Riau.

Selasa (28/2/2012), saya berkesempatan berkunjung ke sana. Secara kebetulan, saya bertemu dengan Bupati Bintan, H. Ansar Ahmad, dan beberapa pejabat Kabupaten Bintan yang sedang meninjau kawasan MTQ itu. Dalam pertemuan yang tak direncanakan itu, saya menjadi terkesan dan mengucapkan syukur kepada Allah. Ternyata, walaupun tergolong muda dan berbasis pendidikan ekonomi, Bupati Bintan itu sangat peka terhadap nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh dirinya sendiri dan masyarakatnya. Insya Allah, kalau beliau konsisten dengan sikapnya itu, nilai-nilai budaya Melayu dan Islam akan terpelihara dengan baik di Kabupaten Bintan.

Sebagaimana lazimnya kompleks gedung yang canggih, Kompleks Gedung MTQ Kabupaten Bintan itu dilengkapi juga dengan ragam hias (ornament). Penempatan ragam hias bukanlah sekadar untuk menambah nilai estetika gedung-gedung. Lebih dari itu, ornamen tersebut berfungsi sebagai penyerasi dan penyebati nilai kultural, spiritual, bahkan religius pada gedung yang memang berasitektur Melayu

Page 430: H. Abdul Malik

410 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

itu. Di situlah sebetulnya terletak semangat dan roh bagi sebuah bangunan agar menjadi ikon budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Ketika mengitari kompleks bangunan itu sambil mengamati ornamennya yang telah hampir selesai terpasang kesemuanya, alih-alih kami dikejutkan oleh pertanyaan Bupati Bintan, “Itu ragam hias daerah mana? Rasanya, bukan ornamen kita!” Beliau mengemukakan hal itu setelah melihat sebagian dari ornamen yang menghiasi gedung-gedung itu, yang menurutnya, bukanlah ragam hias Melayu walaupun agak mirip. Bahkan, tak jelas ornamen dari daerah mana karena nyaris tak pernah dijumpai selama ini.

Selain kepada para pejabat yang mendampinginya, beliau juga meminta pendapat saya. Awalnya, saya agak segan untuk mengemukakannya karena khawatir ada pihak yang berasa tersinggung. Selama menekuni bidang budaya, khasnya budaya Melayu, saya memang senantiasa menjaga sedapat mungkin menghindarkan diri dari ketersinggungan orang lain. Akan tetapi, setelah saya melihat bahwa Bupati Bintan bersungguh-sungguh meminta tanggapan saya walaupun sebetulnya pendapat beliau sudah benar, saya katakan bahwa saya bersetuju dengan beliau. Artinya, ragam hias yang dipasang itu bukanlah ornamen Melayu.

Di situlah saya menjadi lebih menaruh hormat, dalam hal ini, karena dengan lembut tetapi berwibawa, beliau meminta pihak pelaksana konstruksi untuk menggantikannya dengan ragam hias Melayu. Dalam hati saya berkata, beginilah seharusnya para pemimpin Melayu bersikap dan bertindak jika ternyata ada ikon budaya yang dibangun pemerintah, tetapi tak sesuai dengan budaya masyarakat tempatan, masyarakat Melayu, sang pemimpin harus berani memerintahkannya untuk diubah atau diganti. Ansar Ahmad, pemimpin muda itu, telah menunjukkan sikap dan tindakan yang positif itu.

Ornamen atau ragam hias bangunan untuk setiap daerah dan budayanya sesungguhnya memiliki iloso i, lambang, dan makna tertentu. Begitu pulalah halnya dengan ragam hias Melayu. Pilihan corak (motif), ragi/tata letak (desain), dan warna kesemuanya berkaitan dengan iloso i, lambang, dan makna yang dimaksud. Oleh sebab itu, pemakaiannya tak boleh sebarangan atau asal letak saja. Berkenaan dengan itu, orang tua-tua dahulu selalu mengingatkan, “Pantang memakai memandai-mandai.” Dan, lebih keras lagi ancamannya, “Salah pakai perut terburai.” Karena apa? Karena kesalahannya menyebabkan kesemua nilai yang hendak diungkapkan menjadi sirna, bahkan sangat mungkin berlawanan. Diperlukan kecermatan, kehati-hatian, dan kearifan dalam hal ini. Tak ada salahnya untuk bertanya kepada orang yang mengetahuinya sebelum sesuatu ornamen diterapkan di dalam pekerjaan semacam pekerjaan konstruksi itu.

Page 431: H. Abdul Malik

411ABDUL MALIK

Terlepas dari kesalahan yang sudah pun diperbaiki oleh pelaksana konstruksinya, kini kita bolehlah berbangga jika berkunjung ke Desa Telukbakau. Di sana telah berdiri tesergam ikon Melayu dan Islam, Kompleks Bangunan MTQ Kabupaten Bintan. Karena belum bernama, Bandar Wan Seri Beni patut dipertimbangkan untuk nama Kompleks Budaya dan Agama itu. Dengan ikon baru itu, Telukbakau betul-betul telah berubah wujud menjadi bandar baru yang niscaya akan terus bersinar ke depan ini. Setinggi-tingginya tahniah dan penghargaan kepada H. Ansar Ahmad, Bupati Bintan, DPRD, jajaran pemerintah, dan seluruh masyarakat Kabupaten Bintan. Syabas dan jayalah selalu! []

Page 432: H. Abdul Malik

412 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

TRADISI adalah perwujudan jati diri puak, kaum, dan atau bangsa. Tradisi sesungguhnya adalah penerusan peraturan, norma-norma, nilai-nilai, adat-

istiadat, dan kebiasaan yang baik di dalam masyarakat secara turun-temurun. Kesanggupannya bertahan dalam kurun waktu yang sangat lama membuktikan bahwa tradisi mengandung kearifan. Berkait dengan tradisi masyarakat tempatan, ia disebut kearifan lokal, tetapi bernilai semesta (universal) sebab iloso i atau pemikiran yang mendasarinya mengandungi kebenaran yang diakui oleh kesemua umat manusia asal mereka memahami dan menghayatinya dengan pikiran dan hati yang terbuka. Dalam perjuangan memajukan tamadun, fungsinya setara dengan kecerdasan intelektual.

Dalam kehidupan masyarakat terkini, secara sewenang-wenang dan tak adil, tradisi sering dikonotasikan dengan ketertinggalan, kolot, dan atau kuno. Di sisi lain, kemodernan dianggap sebagai simbol kemajuan. Padahal, di dalam tradisi sangat banyak terkandung pemikiran maju, yang malah di dalam masyarakat modern hal itu dicuaikan sehingga mendatangkan malapetaka. Tradisi pantang mencemari dan merusakkan laut, sungai, dan hutan, misalnya, merupakan lambang yang beramanatkan mustahaknya memelihara lingkungan hidup. Jika pantang itu ditaati, terpeliharalah kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dan lingkungan alamnya sehingga mutu kehidupan terpelihara dengan baik. Dalam masyarakat modern, bahkan, hanya dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan atau politik, kekayaan alam itu dibabat habis tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi keberlangsungan hidup makhluk: manusia atau bukan manusia. Berdasarkan kenyataan itu, perilaku manakah yang tergolong primitif dan tertinggal, modern atau tradisi?

Sebagai hasil pemikiran manusia, tradisi memang tak kesemuanya baik bagi kehidupan yang terus berubah. Ada bagian tradisi yang tak tahan rempuhan

Mengawal Tradisi

Page 433: H. Abdul Malik

413ABDUL MALIK

waktu. Kepercayaan terhadap kekuatan magis benda-benda, misalnya, tak hanya menyalahi akidah agama bagi umat Islam, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia kepada perilaku lalai berusaha sebab mengharapkan bantuan daya magis benda yang diyakini itu. Tradisi itu harus ditinggalkan atau direvisi mitosnya. Pasal, dampaknya akan merusak akidah umat yang agamanya mengharamkan kepercayaan itu dan menghambat kemajuan tamadun manusia.

Percaya terhadap daya magis pada keris, umpamanya, harus diubah suai menjadi mencintai hasil kebudayaan sebagai penyerlah jati diri, benda seni yang menjadi simbol persatuan manusia yang mewarisi budaya berkeris (Melayu, Jawa, Minangkabau, Batak, dll.), dan lambang penghargaan kepada ketekunan, ketelitian, kerja keras, dan mutu kerja (proses pembuatan keris dijiwai oleh semangat itu). Bagi pemimpin yang diberi kuasa oleh rakyat, keris menjadi lambang amanah yang dititipkan untuk dijalankan dengan bijaksana dan adil sehingga rakyat dan negeri terpelihara dengan baik. Keris menjadi simbol daya magis rakyat yang dipinjamkan kepada pemimpin untuk digunakan sesuai dengan matlamat yang sebenarnya dan tak boleh diselewengkan. Kesemuanya itu, dikurangi nilai negatifnya yang wajib dibuang, mendorong semangat kita untuk menjadi lebih baik sebagai manusia dan memperbaiki kemanusiaan secara terus-menerus.

Hasil pemikiran modern pun tak kurang cacatnya. Ambillah liberalisasi politik dan ekonomi sebagai contoh. Walau konon didasari nilai demokratis dan keadilan, ternyata pemikiran itu hanya menguntungkan negara-negara dan bangsa-bangsa maju, yang membuat negara dan bangsa berkembang makin tertekan untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Alhasil, negara berkembang terus dicetak menjadi hinterland bagi negara maju. Hal itu terjadi karena pada hakikatnya negara dan bangsa itu tak berangkat dari titik dan kondisi yang sama. Akibatnya, yang tertinggal makin tertinggal dan yang “maju” makin gila menguras mangsanya. Kekerasan hidup terjadi di mana-mana, bahkan di negara maju pun, terutama yang dialami oleh masyarakat menengah ke bawah, masyarakat pinggiran.

Demokrasi dan keadilan hanya menjadi eufemisme bagi perilaku yang tak ubahnya lintah darat yang menghisap darah tamadun manusia dari hari ke hari. Pemikiran itu hanya menghasilkan raja-raja terbesar sampai terkecil dalam konteks politik dan ekonomi secara berjenjang dari negara yang paling berkuasa dan kota terbesar sampai negara dan dusun terkecil di jagat raya ini. Sistem itulah yang membenarkan kasta-kasta dalam tamadun manusia, yang konon ditentang para penganut dan pengagum demokrasi modern. Pemikiran jahat yang tersirat di sebalik manisnya istilah yang memang diciptakan untuk itulah sesungguhnya yang dipraktikkan dalam kenyataan. Karena apa? Karena memang itulah matlamat sesungguhnya atau, untuk lebih lunak, tujuan yang diselewengkan oleh penguasa

Page 434: H. Abdul Malik

414 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

yang dijiwai oleh semangat kebuasan primitif dan mendustakan kemanusiaan, bahkan ketuhanan. Dalam keadaan seperti itu, harapan dan kebanggaan apakah yang dapat diletakkan pada pemikiran modern? Jawabnya, nihil!

Pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai tradisi niscaya dapat menghindarkan kita dari serbuan buas modernisasi yang menggila. Ambillah hikmah dari kebijakan dan kearifan Sultan Mahmud III mengamanahkan pengawalan regalia, lambang adat-istiadat, kekuasaan, marwah, dan keagungan Kerajaan Riau-Lingga kepada Engku Putri Raja Hamidah, istri Baginda. Amanah pengawalan tradisi kepada perempuan perkasa itu merupakan simbol pelbagai kearifan yang menandakan ketinggian budi seorang pemimpin.

Istri harus menjadi pendamping terbaik suami, apalagi bagi kepemimpinannya. Itu makna pertama dari amanah pengawalan yang dititipkan. Karena pemimpin yang baik harus memiliki pendamping terbaik pula, maka istri yang baiklah yang harus memegang peran utama itu, apakah di kala suka apalagi di kala duka. Saling percaya suami-istri menjadi awal dan pengawal keberhasilan kepemimpinan. Suami tak menempatkan istrinya hanya sebagai penghias tahta belaka dan istri pun tak rela menggiring suaminya ke jurang penyelewengan kekuasaan.

Makna kedua, cinta-kasih kepemimpinan harus menjelma menjadi cinta-kasih kepada negara, negeri, dan rakyat. Penyatuan suami-istri itu pun merupakan lambang penyatuan bangsa (sang suami Melayu asli dan sang istri Melayu-Bugis). Dalam konteks pengawalan regalia, jika tak berada di tangan yang tepat, nasib negara dan bangsa akan tergadai. Hanya orang yang berjiwa wira dan negarawanlah yang mampu memegang amanah itu dengan segenap jiwa-raganya. Engku Putri Raja Hamidah berhasil menjadikan dirinya ikon pengawal tradisi itu dengan cemerlang berkat kepercayaan, cinta, dan kasih suaminya, pemimpin negara, rakyat sekaliannya, dan marwah dirinya sebagai perempuan terbilang.

Dengan menerima amanah itu, seseorang harus sanggup menghadapi pelbagai tantangan karena tanggung jawabnya sangat besar. Engku Putri sangat menyadari konsekuensi itu dan Baginda menempatkan marwah negara dan bangsanya di atas segala-galanya. Dan betul, dua kekuatan besar yang sedang dimabuk kuasa, Inggris dan Belanda kala itu, berkali-kali merayu dan menerornya dengan uang (rasuah, korupsi) dan karena kehabisan akal akhirnya menggunakan senjata. Apakah yang terjadi?

Perempuan mulia lagi perkasa itu tetap teguh, kokoh, tak berganjak. Lalu, dipekikkannya kepada calon penjajah itu, “Kalian tak akan mampu menjaga regalia ini karena ianya marwah bangsa dan negara kami. Hanya kamilah yang boleh dan tahu cara menjaganya dengan benar. Ia harus berada di tangan orang yang

Page 435: H. Abdul Malik

415ABDUL MALIK

setia menggunakan segenap pikiran, hati, cinta-kasih, dan jiwa-raganya untuk mengawalnya. Jika kalian rampas dariku, ia tinggal menjadi lempengan emas yang tak ada lagi tuahnya, tetapi memang sangat bermakna bagi budaya kalian. Ingat dan camkanlah baik-baik, kalian tak pernah mampu merampas marwah kami!” Sebuah tembakan tepat dan telak yang menembus kepala dan jantung penceroboh dan membuat mereka terkapar membisu dari bidikan seorang perempuan perkasa pengawal tradisi.

Dalam setiap generasi senantiasa ada orang yang mengabdikan dirinya sebagai penyelamat tradisi, penjaga gerbang marwah dan tuah. Karena pilihan itu diambil, cabarannya pun silih berganti. Keyakinanlah yang membuatnya bertahan karena bakti itu sesungguhnya amanah Allah. Amat merugilah orang-orang yang memalingkan hatinya dari kebajikan terpuji ini. []

Page 436: H. Abdul Malik

416 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

RUSYDIAH KELAB memang sangat luas dikenal pada masanya. Perhimpunan para cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga yang terdiri atas para pemikir,

penulis, politisi, dan pengusaha yang cerdas, berpengetahuan luas, dan berani itu meneruskan tradisi intelektual yang diwarisi dari Kerajaan-Kerajaan Melayu sebelumnya sampailah kepada generasi Raja Ahmad Engku Haji Tua ibni Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fi Sabilillah, Raja Ali Haji ibni Raja Ahmad Engku Haji Tua, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda, dan lain-lain. Kelompok cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga itu, oleh budayawan Hasan Junus di dalam bukunya Karena Emas di Bunga Lautan (Unri Press, Pekanbaru, 2002) digelar sebagai kelompok penekan atau pressure group.

Betapa tidak? Demi kebenaran dan kemajuan negara yang signi ikan, melalui tulisan-tulisan dan orasi mereka, Rusydiah Kelab tak segan-segan mengeritik pemerintah, apakah pihak sultan (Sultan Abdul Rahman al-Muazam Syah, sultan mutakhir Kerajaan Riau-Lingga) ataupun pihak Pemerintah Hindia-Belanda. Soal resiko, mana ada perbuatan yang tak beresiko: “Tangan mencencang, bahu harus memikul.” Mengapakah harus ragu atau takut jika yang diperjuangkan itu memang sungguh-sungguh kebenaran dan demi kebaikan negara dan bangsa? Pikiran itu nyaris tersurat, di samping memang tersirat, dari perjuangan Rusydiah Kelab.

Rusydiah Kelab berdiri sekitar dasawarsa terakhir abad ke-19. Di antara tokoh pendirinya adalah pengusaha, politisi, pejabat pemerintah, juga penulis handal Raja Ali Kelana ibni Yang Dipertuan Muda X Kerajaan Riau-Lingga, Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi. Dengan jabatan Kelana yang disandangnya, beliau adalah calon Yang Dipertuan Muda berikutnya, tetapi tak sempat dijabatnya. Pasalnya, Kerajaan Riau-Lingga hanya sampai pada Yang Dipertuan Muda X sebab dibubarkan Pemerintah Hindia-Belanda pada 1913.

Al-Imam tentang Penguasa

Page 437: H. Abdul Malik

417ABDUL MALIK

Raja Ali Kelana tak sudi bertuankan Belanda, lalu memilih berhijrah ke Johor dan diangkat oleh Sultan Johor menjadi Penasihat Rahasia (Politik) dan Ketua Urusan Agama Islam Kerajaan Johor, suatu jabatan yang jauh lebih mulia daripada menjadi “penguasa boneka” Penjajah Belanda (kalau beliau mau) di tanah tumpah darahnya sendiri. Akan tetapi, bukan pejuang namanya kalau beliau tak berupaya membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah. Takdir menentukan walau telah melakukan pelbagai usaha bersama Khalid Hitam, termasuk mengupayakan bantuan dari Pemerintah Turki dan Jepang, kesemua upaya itu gagal. Selepas itu, jadilah negara dan bangsanya tetap di dalam penjajahan!

Saudara seayah Sultan Abdul Rahman al-Muazam Syah itu adalah pemimpin perusahaan batu bata Batam Brick Works di Pulau Batam, pengusaha banyak rumah sewa di Singapura, dan pemilik perkebunan yang sangat luas di Batam dan Bintan. Yang paling mustahak untuk dicamkan dari misi bisnis para pemimpin Kerajaan Riau-Lingga kala itu adalah ini: agar sanak-saudara tak ada yang susah hidupnya dan terbentuk persatuan yang kokoh di kalangan anak watan (lihat juga Hasan Junus, 2002:141—142). Adakah yang masih mengamalkan perilaku itu dalam berbisnis setakat ini? Bagi Raja Ali Kelana, begitu beliau menjatuhkan “talak” kepada Pemerintah Hindia-Belanda, kesemua harta dunia itu ditinggalkannya.

Tokoh-tokoh lain Rusydiah Kelab di antaranya Khalid Hitam, Sayid Sekh Al-Hadi Wan Anom, dan Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki. Sayid Sekh Al-Hadi adalah anak angkat Raja Ali Kelana dan pengelola perusahaan batu bata milik ayah angkatnya. Beliau pernah belajar di Mesir dan berguru dengan Muhammad Abduh di Kairo. Beliau kemudian menjadi tokoh pemikir besar di Malaysia. Sejak 1904 perkumpulan cendekiawan ini dipimpin oleh Tengku Besar Umar ibni Sultan Abdul Rahman al-Muazam Syah, dengan sebutan Presiden Rusydiah Kelab, yang dipanggil pulang dari belajar di Hoofdenschool Bandung karena khawatir pengaruh negatif lingkungan Belanda. Beliau dididik langsung oleh pamannya Raja Ali Kelana dan Khalid Hitam untuk menjadi calon sultan.

Rusydiah Kelab banyak mengusahakan penerbitan. Selain buku-buku kalangan sendiri dan buku karangan para penulis dunia, mereka juga mengelola berkala atau majalah yang diberi nama Al-Imam. Penyandang dana utama Al-Imam siapa lagi kalau bukan Sang Karismatik Raja Ali Kelana. Penanggung jawab redaksinya adalah Syekh Jalaluddin Tahir Al-Azhari Al-Falaki.

Di dalam kolom kali ini dipetik dua hal yang pernah disorot Al-Imam tentang raja atau penguasa atau pemimpim. Pertama, perihal teori lama Melayu yang menyatakan bahwa raja adalah zhilullahi il ardh atau bayang-bayang Allah di bumi. Berhubung dengan itu, Al-Imam mengulasnya sebagai berikut.

Page 438: H. Abdul Malik

418 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

“Doktrin ini walau bagaimanapun memerlukan sumbangan dan kualiti tertentu yaitu pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran, kesengajaan, kelakuan yang baik, bersimpati kepada yang lemah, sayang akan rakyatnya, cakap dalam pentadbiran dan politik, memahami sejarah raja-raja masa silam. Ini ialah karena dunia ini dari satu segi adalah warisan kerajaan-kerajaan mereka, lalu usaha-usaha mereka menjadi kenangan kerajaan-kerajaan yang selanjutnya” (Al-Imam, Vol. 2, No. 8, 4 Februari 1908, hlm. 24).

Nampak nyata bahwa Al-Imam tak menolak bahwa raja atau pemimpin atau penguasa merupakan bayang-bayang Allah di muka bumi. Akan tetapi, penguasa yang ideal itu harus memenuhi persyaratan tertentu. Di antara syarat itu adalah (1) pemimpin memiliki pengetahuan, tentu berimbang ilmu dunia dan akhirat; (2) pemimpin harus bijaksana; (3) pemimpin harus memperjuangkan kebenaran; (4) pemimpin memang berkeinginan untuk menjadi pemimpin (kesengajaan); (5) pemimpin wajib memiliki kelakuan yang baik dalam arti sesungguhnya; (6) pemimpin sanggup membela yang lemah; (7) pemimpin sayang kepada rakyatnya sehingga tak rela rakyat menderita dan ditimpa kesusahan; dan (8) pemimpin haruslah cakap dalam memerintah dan berpolitik. Hanya kalau mampu memenuhi syarat itulah seseorang baru boleh dijadikan pemimpin dan dapat pula menyandang bayang-bayang Tuhan di bumi.

Sebagai lawan dari sifat terpuji itu, Al-Imam juga menyoroti sifat yang tak boleh ada pada seseorang raja, pemimpin, atau penguasa. Berikut ini sifat tercela itu.

“Jika raja jahil dan berkelakuan jahat, tiada cita-cita, tamak dan mengingini hak orang lain, berpikiran sempit, bodoh, mempunyai motif jahat, tidak jujur, maka tidak ragu-ragu sikap sedemikian itu akan menyebabkan keruntuhan negaranya ke dalam jurang yang merugikan akibat penyimpangan daripada jalan yang benar” (Al-Imam, Vol. 2, No. 12, 12 Juli 1907, hlm. 26—27).

Jelaslah bahwa, menurut Al-Imam, seseorang yang berperangai jahat, tak bercita-cita memperbaiki negeri, negara, dan rakyat, tamak dan senantiasa berupaya mengumpulkan harta dengan mengambil hak orang lain, berpikiran sempit semata pada lingkungan dan golongannya sendiri, bodoh dalam arti yang har iah karena kurangnya ilmu dunia dan akhirat, menjadi pemimpin dengan motif jahat seperti untuk menumpuk kekayaan, menekan pihak lain, dan sebagainya, dan tak jujur dalam kepemimpinannya; orang seperti itu tak patut dan tak layak dijadikan pemimpin. Karena apa? Karena kalau dia menjadi pemimpin, dia akan membawa negara dan bangsanya ke jalan yang tak benar sehingga negara atau negeri akan runtuh. Jelaslah bahwa para pengasuh Majalah Al-Imam sangat kental

Page 439: H. Abdul Malik

419ABDUL MALIK

berkiblat kepada pemikiran senior mereka Raja Ali Haji (RAH) dalam buku beliau Muqaddima i Intizam dan Tsamarat al-Muhimmah. Di dalam kedua bukunya, terutama Tsamarat al-Muhimmah, itu RAH mengulas panjang-lebar tentang kualitas pemimpin yang akan mendapat pertolongan Allah.

Satu hal yang juga mustahak, Al-Imam menegaskan perlunya penguasa yang memimpin suatu negeri untuk mememahami sejarah raja-raja masa silam. Pasal apa? Negeri ini adalah warisan kerajaan mereka dan karena usaha merekalah kerajaan-kerajaan yang selanjutnya berdiri, apa pun bentuk dan nama “kerajaan” itu kemudian. Jika peristiadatan dan ketakziman itu dicuaikan dan atau dilanggar, cepat atau lambat, penguasa “yang lalai” itu akan kena tulah atau kuwalatnya. Dan, padahnya itu telah banyak terbukti sangat buruk lagi pedih. Wallahu a’lam. []

Page 440: H. Abdul Malik

420 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

TAFSIRANNYA dituangkannya ke dalam karya-karyanya berbilang ragam: sandiwara radio, puisi modern, pantun, cerita rakyat, buku budaya, dan

novel. Bukti karya itu menunjukkan betapa mesranya dia dengan budaya tanah kelahirannnya, budaya Melayu Kepulauan Riau. Bukti karya itu juga menjelaskan betapa fasihnya dia membaca untuk kemudian begitu petahnya dia bercakap tentang budaya masyarakatnya. Dan, bukti karya itu pun jelas menyerlahkan betapa cintanya dia terhadap budaya tempatan di tanah kelahirannya. Kecintaanlah sesungguhnya yang menyemangati seseorang anak manusia untuk berbuat kebajikan. Tusiran Suseno—penyair, novelis, dan budayawan kelahiran Tanjungpinang, 30 Juni 1957—itu, tak diragukan lagi, adalah penafsir kehidupan yang handal.

Kesemua karya Tusiran Suseno sangat menarik untuk dibicarakan. Walaupun begitu, saya sangat tertarik terhadap novelnya Mutiara Karam. Karena apa? Karena dengan latar sejarah dan keadaan sosiobudaya masyarakat tempatan, Kepulauan Riau, dia telah berhasil mengangkat masalah utama yang dialami manusia sejagat raya ini: pertarungan abadi antara si putih kebaikan dan si hitam kejahatan, tetapi karena pelbagai kepentingan, tak ada pembatas yang tegas lagi di antara keduanya.

Pilihan judul Mutiara Karam saja telah menonjolkan kemenarikan itu. Judul itu dapat dipastikan telah memelawa (mengajak) orang untuk membaca isi novelnya sampai selesai. Pasal apa? Inilah penyebabnya. Mutiara secara denotatif berarti ‘permata yang berasal dari kulit kerang mutiara’ yang adanya memang di dalam laut. Dalam kenyataan sehari-hari, mutiara tak pernah karam sebab karam adalah ‘tumbang di laut atau sungai (tentang alat transportasi air: perahu, kapal, dan sebagainya’). Dengan demikian, seharusnya yang karam itu adalah kapal atau perahu, bukan mutiara. Mutiara hanya berkemungkinan untuk tenggelam,

Mutiara Karam: Putih-Hitam Kebenaran

Page 441: H. Abdul Malik

421ABDUL MALIK

bukan karam, dalam keadaan ianya telah diangkat dari dasar laut ke permukaan, kemudian terjatuh lagi sehingga tenggelam kembali ke dalam laut. Itu berarti bahwa Mutiara Karam menyiratkan lambang ‘sesuatu yang sangat berharga (mutiara), tetapi kemudian hilang, sirna, dan atau musnah (karam)’.

Apakah yang sangat berharga itu? Apalagi kalau bukan ‘kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran’. Mutiara Karam sejatinya berkisah tentang pertarungan abadi ‘kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran’ di satu pihak melawan ‘kesalahan, keburukan, keonaran, dan atau pengkhianatan’ di pihak lain.

Novel ini menggunakan latar sejarah zaman Kerajaan Riau-Lingga dengan keadaan sosiobudaya masyarakatnya kala itu. Pertikaian kian meruncing ketika terjadi perseteruan pihak kerajaan dan orang-orangnya yang melambangkan ‘kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran’ berlawan dengan pihak lanun (perompak, penjahat di laut yang merampas muatan kapal yang berlalu lalang di laut dan sering juga membunuh lawannya yang dirompak itu) yang jelas melambangkan ‘kesalahan, keburukan, keonaran, dan atau pengkhianatan’.

Malangnya, ada gunting dalam lipatan di sisi ‘kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran’ itu. Hal ini dilambangkan dengan pengkhiatan yang dilakukan oleh pihak kerajaan terhadap Tengkuk dan Kaman, yang padahal adalah dua orang panglima kerajaan yang setia. Karena kecewa terhadap penguasa, Tengkuk dan Kaman berpaling tadah masuk ke kelompok lanun. Dalam hal ini, Tengkuk dan Kaman memilih jalan Hang Jebat: melawan kejahatan dengan menggunakan kejahatan yang lain. Mereka berbeda dengan Hang Tuah: melawan kejahatan atau kezaliman dengan tetap menggunakan kebenaran dan kebajikan, tak berganjak dari tapak suci kebenaran sehingga kejahatan dan pengkhiatan menjadi lumpuh, yang pada gilirannya tamadun manusia dapat diselamatkan. Kedua panglima itu juga berbeda dengan Megat Seri Rama yang melawan kejahatan dan kezaliman dengan membinasakan kebiadaban itu dengan cara yang amat keras walaupun dia harus menjadi korban, demi kebenaran dan keadilan sejati.

Sekian lama berada di lingkungan lanun, akhirnya Kaman menyadari dan menyesali kesalahannya. Dia merindui kampung halamannya dan berusaha menebus kesalahannya dengan melawan pihak lanun. Akan tetapi, dia tewas di tangan kawan sesama pelarian dari kerajaan, Tengkuk, yang telah benar-benar menjadi bagai lanun sejati. Peristiwa itu melambangkan betapa sulitnya untuk kembali ke jalan yang benar manakala manusia telah jatuh ke jurang kejahatan.

Sahar, anak Kaman, yang menjadi lanun karena mengikuti bapaknya juga sangat merindui kampung halamannya dan berharap dapat kembali ke tanah

Page 442: H. Abdul Malik

422 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

kelahirannya. Dalam pertempuran antara lanun dan pihak kerajaan, Sahar, bahkan, berpihak kepada kerajaan dan membunuh para lanun. Peristiwa itu juga merupakan simbol upaya manusia untuk kembali ke pangkal jalan (kebaikan) setelah sesat di ujung jalan (kejahatan).

Sahar pun jatuh hati kepada Suri, anak perempuan Encik Bakak, orang Lingga (kerajaan), yang tewas diserang lanun. Suri kemudian ditawan di sarang lanun. Ternyata, cinta Sahar tak bertepuk sebelah tangan. Suri pun mencintai Sahar sepenuh hati. Cinta Sahar kepada Suri melambangkan kecintaan anak manusia kepada kebaikan dan tak ada kebenaran sejati yang menolak kebaikan sejati (cinta Suri terhadap Sahar). Malangnya, Sahar pun akhirnya tewas juga walaupun telah berusaha kembali ke jalan yang benar. Ada kejahatan yang dibungkus dengan kebaikan yang tak menghendaki kebenaran sejati tampil ke permukaan. Itulah simbol dari tragedi tewasnya Sahar dan tak sampainya kasih pemuda itu terhadap kekasih hatinya, Suri. Sebuah tragedi kemanusiaan, yang juga tragedi kebenaran.

Alhasil, kesemua kawanan lanun itu pun tewaslah, baik lanun sejati (Markong, Marasan, dan lain-lain) maupun lanun yang tercipta karena pengkhianatan (Tengkuk, Kaman, dan Sahar) dalam serangan yang dipimpin oleh Datok Kaya Mepar dari pihak kerajaan. Dengan demikian, tumpaslah sudah kesemua jenis kejahatan dan pengkhiatan.

Bagaimanakah halnya dengan Suri? Namanya saja sangat menarik. Artinya ‘tauladan’. Dia sejatinya anak perawan yang suci yang tertawan di sarang lanun. Perawan inilah lambang kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran yang sejati. Cintanya kepada Sahar pun melambangkan nilai itu. Sayang, cintanya tak sampai, atau lebih tepat digagalkan. Bahkan, Suri pun tewas, sama halnya dengan kekasihnya Sahar. Maka, kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran sejati pun lenyaplah sudah. Bersamaan dengan itu, punah jugalah ketauladanan. Tak ada lagi tokoh yang dapat ditauladani di dalam kehidupan ini. Tauladan sejati telah dimusnahkan. Ianya dikalahkan oleh “kebenaran” yang lain.

Kebenaran yang lain? Tentara penguasa yang dipimpin oleh Datok Kaya Mepar berhasil mengalahkan para lanun. Tak seorang lanun pun tersisa, termasuk lanun yang telah bertobat dan ingin kembali ke jalan yang benar. Artinya, kebenaran dan kebaikan telah mengalahkan kesalahan dan kejahatan dalam perebutan tahta di singgasana nurani manusia.

Malangnya, ianya bukanlah kebenaran dan kebaikan sejati. Pasal, kebenaran itu sedari awal lagi telah ternoda atau tercemar oleh pengkhiatan terhadap Tengkuk, Kaman, dan Sahar oleh penguasa, bahkan lebih-lebih, terhadap Suri

Page 443: H. Abdul Malik

423ABDUL MALIK

yang suci sehingga sang tauladan itu pun ikut menjadi korbannya. Tinggallah kini “kebenaran, kebaikan, kesucian, dan atau kejujuran” menurut versi penguasa, kebenaran yang dide inisikan demi kekuasaan. Oleh sebab itu, Sahar dan Suri pun harus tewas sebab jika hidup dan berbahagia, mereka akan menjadi ancaman bagi penguasa. Mutiara berdelau itu telah karam, tenggelam, dan terbenam jauh ke dasar lumpur terdalam sebuah pengkhiatan dan keonaran terhadap tamadun manusia.

Sebuah tafsiran kehidupan dan kemanusiaan yang sungguh luar biasa yang telah dibuat oleh seorang Tusiran Suseno. Andaikan para juri Sayembara Novel, Dewan Kesenian Jakarta, 2006 memahami sosiobudaya Melayu, novel ini tak mungkin meraih Juara II. Tempat terhormatnya seyogianya Juara I. Sayang, mungkin tak seorang pun di antara dewan jurinya yang memahami budaya Melayu. Tak tertutup kemungkinan ada juga pengkhianatan yang dibungkus rapi dengan “kebenaran” sehingga terjadilah pengkhianatan terselubung di sini. Dan, juri rupanya adalah juga penguasa yang bertopeng jenis lain. []

Page 444: H. Abdul Malik

424 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

TANJUNGPINANG, khasnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, bagai dilanda musim kering kerontang yang amat panjang. Betapa tidak? Lebih kurang 40

tahun lamanya sejak Hikayat Syarif al-Akhtar karya Aisyah Sulaiman diterbitkan pada 1929, tak ada lagi karya sastra diciptakan dan diterbitkan di tanah yang, ironisnya, sastra sebelumnya menjadi roh kehidupan masyarakat selama berabad-abad. Aisyah Sulaiman sendiri berpulang ke rahmatullah pada 1924 atau 1925 dan karyanya itu diterbitkan setelah beliau wafat.

Puji syukur patutlah diucapkan kehadirat Allah Malik al-Manan. Karena rahmat-Nya jualah, hujan kreativitas sastra yang telah lama dinanti-nantikan itu akhirnya turun juga membasahi bumi yang menjadi kiblat sastra dan tradisi intelektual Melayu, Tanjungpinang.

Pada 1969 terbit antologi Jelaga karya bersama tiga penulis Hasan Junus, Iskandar Leo (Rida K. Liamsi), dan Eddy Mawuntu. Setelah mengalami masa jeda yang sangat panjang, karya itu tak berlebihan jika disebut sebagai penyelamat tradisi kepengarangan di Kepulauan Riau, yang suatu masa dulu pernah menjadi pusat Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang untuk kemudian hanya menjadi Kerajaan Riau-Lingga, sebuah negara yang sangat berjaya mengekalkan tradisi intelektual dunia Melayu. Apalagi setelah masa beku itu mencair, teruslah mengalir karya pelbagai genre meliputi puisi, cerpen, naskah sandiwara, novelet, esai, kritik, dan karya ilmiah terutama yang lahir dari kecendekiaan, kecerdasan, kepedulian, kesetiaan, dan tangan dingin seorang Hasan Junus.

Hasan Junus, itulah nama yang banyak dikenal orang. Bahkan, di kalangan para penulis beliau sering disapa HJ sahaja. Akan tetapi, di tanah kelahirannya dan di dalam masyarakatnya beliau sangat diketahui bernama sebenar Raja Haji Hasan ibni Raja Haji Muhammad Junus ibni Raja Haji Ahmad ibni Raja Haji Umar alias Raja Endut ibni Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja Haji Fisabilillah, Yang

Hasan Junus:Tauladan Para Pengarang

Page 445: H. Abdul Malik

425ABDUL MALIK

Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Jelaslah bahwa Hasan Junus adalah keturunan Diraja Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang dan keturunan langsung Raja Haji Fisabilillah yang pahlawan nasional itu. Di dalam diri Hasan Junus juga mengalir darah kepengarangan Raja Ali Haji, pujangga terkenal Melayu, pahlawan nasional, dan Bapak Bahasa Indonesia. Kakek ayahnda beliau Raja Haji Muhammad Junus adalah Raja Haji Umar tak lain tak bukan adalah saudara kandung Raja Ali Haji karena kedua orang itu adalah putra Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua. Bukankah Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua adalah pengarang pengasas di Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang? Dan, Aisyah Sulaiman yang pengarang pejuang marwah perempuan dan disebut di awal tulisan ini adalah ibu saudara dua pupu Hasan Junus. Begitu jugalah pengarang-pengarang dan intelektual Melayu keturunan Diraja Kerajaan Riau-Lingga kesemuanya mempunyai hubungan darah dengan Hasan Junus.

Mengarang nampaknya bagai seligi tajam bertimbal dalam diri Hasan Junus. Di satu ujungnya ia menjadi warisan intelektual Melayu yang memang wajib dipertahankan dan diteruskan oleh generasi Melayu sampai bila masa pun. Di ujung yang lain ia menjadi pusaka keturunan yang memang mesti ada yang menjaga dan melanjutkannya sehingga tugas mulia itu tak terputus di tengah jalan. Dan, untuk kedua tugas itu, Hasan Junus telah mengabdikan diri dengan sangat baik, bahkan luar biasa, jika dilihat dari mutu kerja dan kualitas karya yang telah dihasilkannya.

Hasan Junus, sepengetahuan saya, pernah menjadi guru sekolah menengah swasta di Tanjungbatu Kundur, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Beliau pun pernah menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam Riau, Pekanbaru dan Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru. Walaupun begitu, pengajar bukanlah profesi utamanya. Profesi itu hanyalah sampingan bagi beliau dan dijalankannya tak terlalu lama. Menulis atau mengaranglah yang menjadi profesi utamanya.

Ketika banyak orang menjadikan menulis sebagai kerja sampingan, Hasan Junus justeru bercekal hati memilih menulis, terutama penulisan sastra dan budaya, untuk menjadi sandaran utama hidupnya. Pada zaman ini pemilihan profesi itu memerlukan keberanian yang luar biasa. Bukan karena pekerjaan itu tak mulia, malah sangat bergengsi, melainkan imbalan yang diperoleh sangat tak sebanding dengan tenaga, pikiran, dan perasaan yang dikorbankan. Itulah mungkin resiko profesi yang menjadi pilihan hidupnya dan beliau memang tak pernah memedulikannya. Semangatnya untuk membina dan mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan membuatnya sangat tegar tanpa terlalu memikirkan hal-hal yang bertetek-bengek. Semangat seperti itulah pada zaman sekarang sangat langka. Untuk hal ini, sekali lagi Hasan Junus telah menunjukkan ketauladanan yang sukar dicari bandingannya.

Page 446: H. Abdul Malik

426 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Kesetiaannya menekuni bidangnya menjadikan Hasan Junus bukan penulis sekadar. Namanya tak hanya dikenal di peringkat daerah Kepulauan Riau dan Riau, tetapi juga dikagumi di persada nusantara, bahkan sampai ke luar negara. Karya cerpennya Pengantin Boneka, misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jeanette Lingard dan diterbitkan dalam Diverse Lives-Contemporary Stories from Indonesia oleh Oxford University Press (1995), sebuah penerbit bergengsi di dunia. Bukunya Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau (Adicita, Yogyakarta, 2003) yang ditulis bersama Abdul Malik, Tenas Eff endy, dan Auzar Thaher kini menjadi bacaan di Australia dan dikoleksi oleh National Library of Australia.

Karena ketunakannya menekuni bidang yang menjadi minat utamanya, oleh penulis buku Dermaga Sastra Indonesia (Jamal D. Rahman dkk.), Penerbit Komodo Books, Jakarta, 2010; Hasan Junus disetarakan dengan H.B. Jassin. Disebutkan bahwa keduanya adalah pengamat yang setia dan penuh dedikasi atas pelbagai aspek sastra dan kesastrawanan yang menjadi pilihannya. Keduanya menulis kritik dan esai tentang karya-karya sastra dan fenomena kebudayaan serta kesastraan yang hidup di wilayahnya. Keduanya penerjemah yang piawai karya-karya sastra mancanegara. Dan, keduanya juga memiliki suara yang menentukan dan sangat didengar. Akan tetapi, kelebihan Hasan Junus adalah beliau menulis karya puisi, prosa, dan drama; sedangkan H.B. Jassin tidak.

Satu perkara yang juga tak boleh dilupakan ketika kita mencatat pengabdian Hasan Junus dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan adalah ini. Beliau selalu membuka diri untuk menjadi tempat bertanya dan belajar bagi siapa pun, terutama bagi penulis muda. Memang, di kalangan penulis Kepulauan Riau dan Riau beliau telah dianggap bagai ensiklopedia berjalan. Bacaannya yang luas tentang kesusastraan dunia, baik Timur maupun Barat, memungkinkan beliau memiliki khazanah pengetahuan dan pengalaman yang sangat banyak dan rencam, beraneka ragam.

Menariknya, beliau senantiasa tekun melayani setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dan memberikan penjelasan dengan bersemangat. Dalam setiap diskusi atau seminar sastra dan budaya, beliau selalu tampil sebagai pembicara yang memang dinanti-nantikan hujahnya dan selalu menginspirasi, memukau, dan mencerahkan. Dalam percakapan lisan dan tulisannya selalu saja ada dorongan bagi penulis lain untuk menggali khazanah budaya sendiri dengan tetap mempelajari budaya asing agar dapat memanfaatkan yang sesuai dan berguna bagi perkembangan sastra dan budaya Melayu, khasnya, dan Indonesia, umumnya. Itu kelebihan lain seorang Hasan Junus yang tak semua orang memilikinya. Oleh sebab itu, tak berlebihanlah apabila para penulis buku Dermaga Sastra Indonesia menggelari (menjuluki) Hasan Junus sebagai Kiai Sastra atau Ulama Sastra.

Sebagai penulis yang tekun, telah banyak karya yang dihasilkan oleh Hasan

Page 447: H. Abdul Malik

427ABDUL MALIK

Junus. Dan, hal itu telah banyak pula diulas dan ditulis orang sehingga tak perlulah diulang di sini. Yang pasti, kesemua karya beliau sangat penting bagi perkembangan kesusastraan modern Melayu dan Indonesia, bahkan dunia. Di antara karya beliau itu yang perlu disebutkan di sini ada dua. Pertama, beliau menulis sejarah perjuangan Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Kedua, bersama beberapa penulis lain, beliau juga menulis sejarah perjuangan Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan kebudayaan untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Alhasil, Raja Haji Fisabilillah telah dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Raja Ali Haji pun telah diangkat sebagai pahlawan nasional dan Bapak Bahasa Indonesia. Rakyat Kepulauan Riau sangat bangga memiliki dua orang pahlawan itu sambil menanti pahlawan-pahlawan lain yang pasti akan diusulkan sesuai dengan jasa-jasa mereka terhadap bangsa dan negara ini. Bersamaan dengan itu, masyarakat Tanjungpinang, khasnya, Kepulauan Riau dan Riau, amnya, tentulah juga sangat bangga memiliki seorang Hasan Junus yang dengan tulisannya telah memungkinkan perjuangan dan jasa-jasa para pendahulu itu diketahui, diapresiasi, dan diakui sehingga keduanya diangkat menjadi pahlawan nasional.

Apakah yang menarik ketika kita membaca tulisan Hasan Junus? Ada banyak hal sebetulnya yang dapat dipetik dari karya-karya beliau. Gaya bertuturnya yang khas memang menjadi daya pikat pertama ketika kita membaca karya Hasan Junus. Tuturan yang lincah, indah, dan mengalir lancar membuat kita tak hendak berhenti membacanya dan sering secara tak sadar telah sampai ke batas akhir bacaan. Itulah sebabnya, tulisan beliau selalu dinanti-nantikan. Karena apa? Karena penulisnya memang mahir menggunakan kata-kata dan menjalin kalimat demi kalimat sehingga menghasilkan wacana yang memesona.

Isi tulisan yang bernas memberikan kenikmatan intelektual bagi siapa pun yang membaca karangan beliau. Keluasan ilmunya begitu ketara dalam setiap tulisannya. Dari bacaan yang dibaca, tahulah kita bahwa penulisnya memang seorang yang berdedikasi dalam bidangnya dan tak terbiasa menghasilkan karya yang asal jadi. Sumber dalam (daerah) dan luar (nasional dan mancanegara) selalu disepadukan sedemikian rupa sehingga tulisannya sangat informatif tentang apa pun pokok persoalan yang dibahasnya.

Bahkan, di dalam noveletnya Burung Tiung Seri Gading terdapat banyak sekali fakta sejarah. Kelebihannya, kekuatan imajinasi pengarangnya menjadikan cerita begitu hidup sehingga sebagai pembaca kita senantiasa larut dalam kisah yang diceritakan dan peristiwa yang dialami oleh para tokohnya. Ditambah dengan gaya bahasa yang kaya dan teknik bercerita yang memukau, karya itu menjadi sesuatu yang tak mudah dilupakan setelah dibaca. Gaya berceritanya yang khas berkultur Melayu membuatnya begitu memikat. Begitulah memang penulis yang

Page 448: H. Abdul Malik

428 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

berpengalaman dapat berbagi suka-duka kehidupan dengan pembacanya melalui cara-cara yang sering tak terduga. Hasan Junus sangat ahli dalam hal ini.

Beliau memiliki pengetahuan yang luas tentang kesusastraan nasional dan mancanegara. Beliau pun banyak menulis tentang apa pun yang diketahuinya tentang kesusastraan nasional dan mancanegara. Beliau juga banyak menerjemahkan dan menyadur karya-karya besar dari mancanegara. Bahkan, beliau juga banyak dibicarakan orang dalam kaitannya dengan kesusastraan nasional dan mancanegara. Walaupun begitu, Hasan Junus tak pernah kehilangan jati dirinya, identitasnya sebagai seorang Melayu. Diksi yang digunakannya, pola-pola kalimat yang dipakainya, teks atau wacana yang dihasilkannya tetap menyerlahkan beliau sebagai seorang Melayu sejati. Akan tetapi, bukan Melayu sebarang Melayu, melainkan Melayu berkualitas dunia karena kemauan, ketekunan, kecendekiaan, kecerdasan, dan kerja keras yang tak mengenal kata lelah, apa lagi berhenti.

Kehadiran seorang Hasan Junus dalam perjuangan dan perkembangan kesusastraan modern Melayu dan Indonesia sungguh telah memberikan warna yang khas dan terwaris sekaligus. Disebut khas karena kita tak dapat membandingkannya dengan sesiapa pun. Beliau memiliki kelebihan sendiri yang tak pernah sama dengan orang lain walaupun dengan penulis terdahulu dan terkemudian yang berhubungan darah dan kultur dengannya. Di samping itu, dengan segala perjuangannya, beliau telah membuktikan bahwa pada setiap generasi pasti ada pelanjut tradisi intelektual Melayu asal kita menyadari betapa mustahaknya jati diri bagi suatu bangsa. Mewujudkan itu dengan karya yang bermutu menjadi tanggung jawab warisan setiap generasi Melayu. Itulah tugas terwaris yang telah ditunaikan dengan sangat baik oleh Hasan Junus.

Saya merasa sangat beruntung dapat bekerja sama dalam beberapa pekerjaan dengan Hasan Junus. Kami pernah melakukan beberapa penelitian bersama dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan di Riau dan Kepulauan Riau. Kami pun ada menulis dua buku bersama yaitu Kepulauan Riau: Cagar Budaya Melayu (Unri Press, Pekanbaru, 2003) dan Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau (Adi Cita, Yogyakarta, cetakan pertama 2003). Dari kerja bersama dan banyak perbincangan yang kami lakukan, saya banyak belajar dari tokoh ini. Sampai setakat ini karya-karya beliau menjadi rujukan penting bagi tulisan-tulisan saya. Bagi saya, Hasan Junus adalah guru saya di luar kampus, banyak ilmu dan pengalaman saya timba dari beliau.

Suatu hari beliau berkirim pesat pendek melalui telepon genggam (SMS) kepada saya. Bunyinya, “Di masa tua ini saya sangat berharap dapat menghasilkan karya sastra.” Saya kira, yang dimaksudkan beliau karya sastra yang akan dikerjakannya itu adalah novel. Pasal apa? Suatu ketika saya pernah bertanya kepada beliau, genre sastra apa yang paling beliau sukai untuk ditulis. Jawab beliau novel. Saya tak tahu

Page 449: H. Abdul Malik

429ABDUL MALIK

persis apakah beliau dapat mengerjakan karya sastra yang dimaksudkannya itu karena memang akhir-akhir ini kesehatan beliau sering terganggu.

Pada 30 Maret sampai dengan 1 April 2012 saya menghadiri undangan dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia bersama Abdul Kadir Ibrahim (Akib) pada “Acara Baca Puisi dan Seminar Sastra” di Melaka sempena Hari Sastra XV Malaysia dan Ulang Tahun ke-750 Kota Melaka. Pada Sabtu pagi, 31 Maret 2012 saya menerima beberapa SMS dari kerabat dan sahabat. Isi SMS itu menyampaikan kabar duka bahwa Hasan Junus, sastrawan dan budayawan kenamaan Riau dan Kepulauan Riau, telah kembali ke rahmatullah, Jumat, 30 Maret 2012, sekitar pukul 23.45. Saya terhenyak seketika seperti tak percaya akan berita itu walaupun saya tahu bahwa beliau memang sering sakit akhir-akhir ini. Berita duka itu, kemudian, saya sampaikan kepada para sastrawan dan budayawan ASEAN yang sedang berseminar di Dewan Syahbandar, Kompleks Pejabat (Kantor) Ketua Menteri Melaka. Di antara mereka memang teman-teman Hasan Junus atau orang-orang yang sangat kenal dengan beliau. Mereka pun sangat terkejut dan mengucapkan turut berduka cita.

Hasan Junus tak akan pernah tergantikan. Kehidupannya memberikan banyak kesan kepada banyak orang dan kepergiannya tentu menjadikan kesedihan bagi banyak orang pula. Sebagai pengarang handal yang menghasilkan karya-karya bermutu, beliau akan terus hidup melalui karya-karyanya yang senantiasa akan dirujuk dan dikaji orang sampai bila-bila masa pun. Ketunakan, ketekunan, kerja keras, konsistensi, dan dedikasinya patutlah menjadi tauladan bagi pengarang yang datang kemudian.

Selamat jalan Pak Hasan. Semoga karya-karya Pak Hasan menjadi pahala dan Pak Hasan mendapat tempat yang baik di sisi Allah swt. Amiiin ya Rabbal ‘Alamiiin. []

Page 450: H. Abdul Malik

430 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

RAJA ALI HAJI memandang budi pekerti merupakan hal yang sangat mustahak untuk menunjukkan jati diri manusia, termasuk orang Melayu. Pemikirannya

itu terekam di dalam ilsafat dan pandangan jagatnya tentang pengembangan ilmu dan bahasa yang dilakukannya.

Di dalam mukadimah karyanya Bustan al-Katibin (1850) Raja Ali Haji menegaskan perhubungan antara kemahiran berbahasa, ilmu yang tinggi, dan adab-pekerti yang mulia.

“Bermula kehendak ilmu perkataan pada jalan berkata-kata karena adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan. Bermula apabila berkehendak kepada menuturkan ilmu atau berkata-kata yang beradab dan sopan, tak dapat tiada mengetahui ilmu yang dua itu yaitu ilmu wa al-kalam (ilmu dan pertuturan). Adapun kelebihan ilmu wa al-kalam amat besar …. Ini sangat zahir pada orang yang ahli nazar (peneliti).”

Masih di dalam mukadimah Bustan al-Katibin juga, Raja Ali Haji menjelaskan pula hal berikut ini.

“… kelebihan akal dan adab itu tiada sebab bangsa dan sebab asal. Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya yakni kehinaan juga diperolehnya…. Barang siapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya…. Apabila tiada ilmu dan akal, alamat tiadalah ia mencium bau kemuliaan dan sangatlah jinak kehinaan kepadanya…. Maka tatkala itu hukumnya badan itu seperti binatang” karena akal telah keluar dari tubuh sehingga laknat Allah akan datang karena ketiadaan ilmu.

Raja Ali Haji tentang Budi Pekerti

Page 451: H. Abdul Malik

431ABDUL MALIK

Sangat jelas pemikiran dan pandangan Raja Ali Haji tentang mustahaknya ilmu, akal, dan budi pekerti (adab) bagi sesuatu bangsa. Kemuliaan sesuatu bangsa bukan ditentukan oleh asal-muasal keturunan, melainkan pada ketinggian ilmu, akal, dan budi-pekerti. Jika ketiga hal yang mustahak itu diabaikan, sesuatu bangsa akan jatuh ke lembah kehinaan, tak jauh berbeda dengan hewan.

Raja Ali Haji di dalam karya kamus ekabahasanya Kitab Pengetahuan Bahasa memberikan takrif kata budi. Berikut ini uraiannya.

“Budi mustak daripadanya yang berbudi yaitu jika dengan bahasa Arab dikatalah akal dan orang-orang Melayu menyebut akal itu seolah-olah bahasa dirinya daripada sangat maklum dan masyhurnya. Maka di dalam hal yang demikian itu maka tiada dapat, hendaklah kita ketahui makna akal itu karena akal itu memuliakan manusia jika ada ia tetap kepada manusia adanya” (Raja Ali Haji, 1986/1987:216).

Selanjutnya, Raja Ali Haji meneruskan penjelasannya tentang budi atau akal-budi itu dengan mengacu kitab Ithalaful Murid yang bermakna ‘menegakkan’

“... yaitu menegahkan yang mempunyai[nya] daripada berpaling daripada jalan yang betul, tiada ia mau pada jalan yang tiada betul dan (mengikut) kitab Sekh Al-Islam, akal itu tabiat, perangai yang disediakan dengan dia memperdapat akan pengetahuan yang sukar-sukar seolah-olah ia cahaya yang terang di dalam hati tempatnya dan memancar cahayanya naik kepada otak dengan dialah boleh membedakan benar dengan salah, baik dengan jahat, maka mulialah orang yang dikurniai Allah Ta’ala akal itu” (Raja Ali Haji, 1986/1987:216).

Jelaslah kepada kita bahwa Raja Ali Haji menyamakan atau menyepadukan pengertian budi itu dengan akal. Menurut beliau, budi itu memuliakan manusia, menegah manusia berada pada jalan yang salah atau berbuat salah, sesuatu yang memungkinkan manusia mendapatkan pengetahuan yang sukar-sukar seolah-olah budi itu adalah cahaya yang terang-benderang. Tempat budi atau akal itu di dalam hati, yang cahayanya memancar terus naik ke otak sehingga seseorang boleh membedakan yang benar dengan yang salah dan yang baik dengan buruk. Budi itu juga menjelma ke dalam perangai atau tabiat. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki cahaya budi-pekerti mendapat kemuliaan daripada Allah Ta’ala.

Perhatian Raja Ali Haji yang begitu besar terhadap persoalan budi juga terekam dalam syair yang digubahnya untuk menjelaskan konsep budi itu. Syair itu ditempatkan beliau sebagai penjelasan lema (entri) budi di dalam karyanya Kitab Pengetahun Bahasa yang telah disebut di atas. Karena tak berjudul, untuk

Page 452: H. Abdul Malik

432 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

memudahkan penulisan masalah ini, syair itu diberi judul Syair Budi. Pada bait pertama Syair Budi Raja Ali Haji langsung memerikan ciri orang yang berbudi.

Orang berakal sangatlah muliaPakaian ambia dan aulia

Barang siapa mengikut diaItulah tanda orang bahgia

Penjelasan Raja Ali Haji tentang konsep budi atau akal-budi itu juga mendedahkan pikiran dan sikap beliau berkenaan dengan peran budi bagi manusia. Dalam hal ini, menurut beliau karena memiliki budilah, manusia memperolehi kemuliaan. Di samping itu juga, budi itulah yang membentuk perangai. Dengan demikian, konsep budi dan pekerti (perangai atau tabiat) tak boleh dipisahkan. Hal itu bermakna budi menuntun pekerti supaya manusia berkelakuan baik, sebaliknya pula pekerti yang terlihat pada seseorang menunjukkan kualitas atau mutu budinya. Alhasil, kehalusan atau ketinggian budi yang bersepadu dengan pekertinyalah yang menentukan kemuliaan (kualitas) seseorang manusia, yang pada gilirannya mendatangkan kebahagiaan bagi sesiapa pun yang memilikinya.

Kolom kali ini mendedahkan konsep budi pekerti menurut pemikiran Raja Ali Haji. Hal itu dilakukan karena Raja Ali Haji adalah cendekiawan Melayu yang memahami benar jalan pikiran dan perasaan bangsanya yakni bangsa Melayu. Apa yang beliau perikan di dalam karyanya adalah gambaran pemikiran, perasaan, sikap, dan cara pandang orang Melayu ketika berhadapan dengan pelbagai gejala dalam kehidupan ini, sama ada gejala alam ataupun gejala sosial.

Budi pekerti pertama-tama berkaitan dengan nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan (religius) adalah sikap dan perilaku seseorang yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Di dalam Gurindam Dua Belas (GDB), nilai ketuhanan terdapat pada Pasal Pertama meliputi bait 1 sampai bait 6, Pasal Kedua dari bait 1 sampai dengan bait 5, dan Pasal Kedua Belas bait 6 dan bait 7. Berikut ini dipetik Pasal I, bait 1.

Barang siapa tiada mengenal agamaSekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Begitulah Raja Ali Haji memulai GDB dengan nilai ketuhanan. Pasal, kewajiban memeluk agama merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya. “Maka hadapkanlah wajahmu kepada din (agama) dengan lurus sebagai itrah Allah yang atasnya manusia diciptakan” (QS al-Rum:30).

Page 453: H. Abdul Malik

433ABDUL MALIK

Di dalam Syair Budi bait 9 (KPB) disebutkan pula oleh Raja Ali Haji tentang nilai ketuhanan itu sebagai berikut.

Sebagai lagi tanda berakal [berbudi]Perintah syarak tidak menyangkal

Menjauhkan tamak hendak tawakalIbanya tahu dunia tak kekal

Inilah pula nilai ketuhanan di dalam syair tanpa judul di dalam Tsamarat al-Muhimmah (selanjutnya disebut Syair Tsamarat al-Muhimmah saja), Pasal IV, bait 42.

Beberapa negeri terkena balaSebab perbuatan kepala-kepala

Karena perbuatan banyak yang celaDatanglah murka Allah Ta’al

Budi pekerti ditentukan juga oleh ada tidaknya kejujuran di dalam diri seseorang. Nilai kejujuran tercermin pada perilaku manusia yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. GDB mendedahkan nilai itu di dalam Pasal Ketiga, bait 3; Pasal Keempat, bait 3, 5, 9, dan 11; Pasal Kelima, bait 2, dan Pasal Ketujuh, bait 1, 3, 9, 10, dan 11. Perhatikanlah GDB, Pasal VII, bait 11.

Apabila pekerjaan yang amat benarTidaklah boleh orang berbuat honar

Di dalam Syair Hukum Nikah juga terdapat nilai kejujuran. Berikut ini dikutip bait 36 syair tersebut.

Hukum janda semata-mataMemberi izin hendak[lah] berkataJangan pura-pura membuat manta

Hati di dalam sangat bercinta

Syair Tsamarat al-Muhimmah pula menasehati raja atau pemimpin agar berperilaku jujur dan rajin bekerja sesuai dengan kekuasaan dan jabatan yang diamanahkan kepadanya. Syair tersebut terekam pada bait 4.

Page 454: H. Abdul Malik

434 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Wahai ananda muda remajaKetika ananda menjadi raja

Hati yang betul hendak disahajaSerta rajin pada bekerja

Manusia berbudi pekerti harus mengamalkan nilai toleransi. Nilai toleransi terlihat pada sikap dan tindakan seseorang manusia yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Nilai toleransi ini terdapat di dalam Pasal Keempat, bait 10; Pasal Kelima, bait 6, Pasal Ketujuh, bait 5; Pasal Kedelapan, bait 3 dan 7; dan Pasal Kesebelas, bait 5 Gurindam Dua Belas. Berikut ini disajikan GDB, Pasal V, bait 6.

Jika hendak mengenal orang baik perangaiLihatlah ketika bercampur dengan orang ramai

Syair Raja Ali Haji berikut juga mengetengahkan nilai toleransi. Perbedaan tak menyebabkan orang menjadi sombong atau angkuh, itulah amanat syair tersebut.

Sebagai lagi perangai encikTiada menghinakan orang yang kecik

Tiadalah panjang tiadalah picikTetapi benci ia cakap mengejek

Bait syair di atas terekam sebagai bait 6 Syair Budi di dalam Kitab Pengetahuan Bahasa. Jelaslah bahwa Raja Ali Haji sangat menekankan perihal mustahaknya menghargai perbedaan (toleransi).

Di dalam Tsamarat al-Muhimmah, Raja Ali Haji juga menegaskan perihal nilai toleransi itu. “Janganlah sekali-kali menaruh dengki dan dendam atas sama sepekerjaan sebab kurang derajatnya dan perolehannya karena lebih kurang itu semata-mata karunia Allah Ta’ala atas hambanya....”

Tindakan seseorang yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada pelbagai ketentuan dan peraturan merupakan ciri orang yang disiplin. Disiplin juga merupakan ciri budi pekerti. Di dalam Gurindam Dua Belas nilai disiplin terdapat pada Pasal Ketiga, bait 1 sampai dengan bait 7 dan Pasal Kelima, bait 6. Amatilah GDB, Pasal III, bait 5.

Apabila perut terlalu penuhKeluarlah i’il yang tiada senonoh

Page 455: H. Abdul Malik

435ABDUL MALIK

Perkara disiplin itu pun terdapat di dalam Syair Tsamarat al-Muhimmah. Berikut ini dipetik bait 35 dan 36.

Ayuhai segala pegawai sultanHendaklah jaga pada jabatan

Kamu itu seperti intanJangan dibuang ke dalam hutan

Yakni jangan lengah dan lalaiPekerjaan raja dihelai-belai

Lengah dengan nasi dan gulaiAkhirnya kelak badan tersalai

Nilai disiplin juga terdapat di dalam Syair Budi. Pada bait 13 syair itu tersurat pesan untuk selalu meminta tunjuk ajar agar tak salah dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan.

Rajin ziarah selalu-selaluKe rumah adik kakak hilir dan hulu

Minta ajaran bertalu-taluTakut pekerjaan salah terlalu

Nilai budi-pekerti kerja keras berupa perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi pelbagai hambatan belajar dan tugas, serta dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Setiap manusia mestilah mengamalkan nilai kerja keras jika hendak dikatakan berbudi pekerti. Di dalam Gurindam Dua Belas nilai kerja keras terdapat pada Pasal Kelima, bait 2, 4, dan 5; Pasal Keenam, bait 2; Pasal Ketujuh, bait 6; dan Pasal Kesembilan, bait 7. Inilah GDB, Pasal IX, bait 7.

Jika orang muda kuat berguruDengan syaitan jadi berseteru

Begitu juga Syair Budi di dalam Kitab Pengetahuan Bahasa memuat nilai kerja keras itu. Di situ diketengahkan amanat kerja keras menuntut ilmu (bait 16).

Demikian lagi dengar olehmuTanda berakal kasihkan ilmu

Suka mentelaah tiadalah jemuMencari kupasan jangan tersemu

Page 456: H. Abdul Malik

436 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Nilai kerja keras pun termuat di dalam Syair Tsamarat al-Muhimmah. Kandungan nilai itu terdapat antara lain di dalam bait 40 dan 41.

Ayuhai segala raja menteriSerta pegawai kanan dan kiri

Hendaklah jaga ingatkan negeriPerampok penyamun perompak pencuri

Kehidupan rakyat janganlah lupaFakir miskin hina dan papaJangan sekali Tuan nan alpa

Akhirnya bala datang menerpa

Agar bala (bencana) tak menerpa, manusia harus bekerja keras. Jika tidak, negeri tinggal menanti saat-saat punah-ranah. Semoga kita dijauhi dari azab seperti itu.

Budi pekerti juga mencerminkan nilai kreatif. Seseorang yang berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki berarti dia mengamalkan nilai kreatif. Gurindam Dua Belas memuat nilai kreatif itu pada Pasal Kelima, bait 5 dan Pasal Kesepuluh, bait 3. Kutipan berikut diambil dari GDB, Pasal V, bait 5.

Jika hendak mengenal orang yang berakalDi dalam dunia mengambil bekal

Di dalam Syair Budi nilai kreatif terdapat pada bait 8. Berikut ini disajikan syair yang dimaksud.

Jika ada di dalam dirinyaSuka sangat menolong sahabatnya

Jika tiada maujud sertanyaIkhtiar yang makruf dicarikannya

Syair Tsamarat al-Muhimmah juga memuat nilai kreatif. Syair yang dipetik ini merupakan bait 61.

Tiliklah edaran dunianyaZaman dahulu bagaimana khabarnya

Zaman sekarang apa rupanyaBerlain-lain ilmu pandainya

Page 457: H. Abdul Malik

437ABDUL MALIK

Tak kurang pentingnya orang berbudi pekerti jika mampu mengamalkan nilai demokratis dalam hidupnya. Nilai demokratis ada pada diri seseorang jika caranya ber ikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Di dalam Gurindam Dua Belas nilai demokratis terdapat pada Pasal Keempat, bait 8 dan 10; Pasal Kelima, bait 6; Pasal Kedelapan, bait 3; Pasal Kesepuluh, bait 5; Pasal Kesebelas, bait 5; dan Pasal Kedua belas, bait 1, 2, dan 3. Di sini disajikan contoh GDB, Pasal XII, bait 1 saja.

Raja mufakat dengan menteriSeperti kebun berpagar duri

Syair Budi juga memuat nilai demokratis. Nilai budi pekerti yang dimaksudkan itu terdapat pada bait 12.

Inilah tanda orang yang bijakDikasihi raja tidak melonjakPada pekerjaan berajak-ajak

Kecil dan besar sedikit sebanyak

Di dalam Syair Tsamarat al-Muhimmah pula nilai demokratis antara lain terdapat pada bait 73.

Inilah akhir kalam tersuratKepada medan ilmu musyawarat

Amalkan dia janganlah beratSupaya tertolak segala mudarat

Budi pekerti pun menjelma di dalam semangat mencintai tanah air. Nilai cinta tanah air bermakna cara seseorang ber ikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan isik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Nilai budi pekerti ini di dalam Gurindam Dua Belas terdapat pada Pasal Kelima, bait 1 dan Pasal Kedua Belas, bait 3. Perhatikanlah GDB, Pasal XII, bait 3 sebagai contohnya.

Hukum adil atas rakyatTanda raja beroleh inayat

Selain dari Gurindam Dua Belas, nilai cinta tanah air juga terdapat di dalam Syair Budi. Nilai tersebut terkandung di dalam bait 5.

Page 458: H. Abdul Malik

438 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Karena ia akalnya tajamMenjadi kepala bela bermacam

Jika mata melihatkan kejamDisebutlah jalannya ia tersunjam

Nilai cinta tanah air juga terdapat di dalam Syair Tsamarat al-Muhimmah. Di antaranya nilai ini terekam pada bait 5.

Kerja kebajikan janganlah malasZahir dan batin janganlah culasJernihkan hati hendaklah ikhlas

Seperti air di dalam gelas

Budi pekerti mempersyaratkan manusia menghargai prestasi. Seseorang dapat dikatakan menghargai prestasi apabila memiliki sikap dan tindakan yang mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain. Di dalam Gurindam Dua Belas nilai ini terdapat pada Pasal Kedua Belas, bait 4 dan 5. Petikan berikut diambil dari Pasal XII, bait 5.

Hormat akan orang yang pandaiTanda mengenal kasa dan cindai

Di dalam Syair Budi pula nilai menghargai prestasi terdapat antara lain pada bait 14. Berikut ini syair yang dimaksud.

Tatkala orang melihat demikianJadilah orang kasih dan kasihan

Inilah tanda orang pilihanMemikirkan akhir akibat pekerjaan

Syair Tsamarat al-Muhimmah memuat beberapa bait yang mengandung nilai menghargai prestasi. Di antaranya terdapat pada bait 17.

Jika anakanda jadi menteriOrang berilmu anakanda hampiri

Lawan musyawarat berperiSupaya pekerjaan jadi ugahari

Page 459: H. Abdul Malik

439ABDUL MALIK

Seseorang dapat dikatakan mengamalkan nilai peduli sosial jika menunjukkan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang memerlukannya. Nilai peduli sosial itu merupakan bagian dari budi pekerti. Gurindam Dua Belas memuat nilai ini pada Pasal Ketiga, bait 4 dan Pasal Keempat, bait 7. Pasal dan bait yang disebut terakhir disajikan berikut ini.

Bakhil jangan diberi singgahItulah perompak yang amat gagah

Di dalam Syair Budi juga terdapat nilai peduli sosial. Petikan syair dari bait 2 menunjukkan nilai yang dimaksud.

Tanda berakal merendahkan diriKepada taulannya kanan dan kiri

Tiada peminta suka memberiTingkah lakunya dengan ugahari

Syair Tsamarat al-Muhimmah memuat beberapa bait syair yang menyerlahkan nilai peduli sosial. Syair kutipan berikut ini tercantum pada bait 24.

Kehidupan rakyat pikirkan benarSupaya ia jangan berbuat honar

Jangan diikutkan pikir yang nanarTiada lain memenuhkan lasnar

Sebetulnya masih sangat banyak nilai budi pekerti di dalam karya Raja Ali Haji. Umumnya karya beliau mengandung nilai-nilai budi pekerti yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, khasnya masyarakat Melayu-Islam. Hal itu sesuai dengan keyakinan beliau bahwa ilmu, akal, dan budi pekertilah yang menentukan kualitas manusia. Bangsa yang berjaya mengembangkannya akan menjadi bangsa yang mulia. Sebaliknya pula, bangsa yang mencuaikannya akan jatuh pada kedudukan yang hina di dalam pergaulan bangsa-bangsa sejagat. Wallahu a’lam bissawab. []

Page 460: H. Abdul Malik

440 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

DI KOLOM BUDAYA, Batam Pos, Ahad, 4 Maret 2012, antara lain, terekam pernyataan ini, “Di situlah kelak akan diselenggarakan MTQ (Musabaqah

Tilawatil Quran) tingkat Provinsi Kepulauan Riau, yang saya yakin pasti akan mengundang rasa takjub para ka ilah dan pengunjung dari seluruh kabupaten/kota se-Provinsi Kepulauan Riau.” Frase di situlah yang saya maksudkan tiada lain Desa Telukbakau, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau beserta bangunan tesergam yang didirikan di kawasan itu yaitu Kompleks MTQ. Bahkan, saya agak berani menyebutkan waktu itu bahwa dengan berdirinya Kompleks MTQ yang megah itu yang dilengkapi pelbagai infrastruktur lainnya, terutama jalan yang sangat baik, Telukbakau telah naik statusnya menjadi bandar (kota) baru.

Ternyata, setelah diselenggarakannya MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau di Kompleks MTQ Telukbakau, Bintan, prediksi itu saling tak tumpah dengan kenyataannya. Jangankan para ka ilah dan pengunjung biasa yang memang berasal dari kabupaten/kota se-Kepulauan Riau, tamu-tamu kehormatan dari ibukota negara pun terkagum-kagum menyaksikan cahaya gemilang berkilauan di kawasan MTQ Telukbakau itu. Dengan jujur bercampur bangga, Menteri Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa penyelenggaraan MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau di Telukbakau, Bintan itu merupakan salah satu yang terhebat di Indonesia. Dari manakah gerangan sumber segala cahaya itu?

Alunan merdu gema wahyu Ilahi dari suara lemak-manis para qari dan qariah sepanjang pelaksanaan MTQ IV menjadi satu unsur adonan cahaya cemerlang itu. Kualitas para pembaca kalam Ilahi, mulai dari peserta kanak-kanak sampai peserta dewasa, itu menjadi daya pikat tersendiri. Nampaknya, pembinaan seni baca Al-Quran di Kepulauan Riau terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai bukti dari kerja keras para pembinanya dan ketunakan para qari dan qariah kita untuk belajar dan terus belajar. Dalam waktu yang tak terlalu lama, setakat ini qari dan qariah

Cahaya Ilahi di Telukbakau

Page 461: H. Abdul Malik

441ABDUL MALIK

Kepulauan Riau benar-benar telah dapat berdiri sejajar dengan teman-temannya dari daerah lain dalam persaingan pada tingkat nasional. Pun, bacaan kalam Ilahi itu telah berhasil menyegarkan minda, menenteramkan hati, menyejukkan sukma, dan meneduhkan jiwa ketika kita begitu sibuk dengan pelbagai urusan keseharian. Itulah pengalaman spiritual dan religius yang begitu terasa selama kita mengikuti MTQ IV di Kabupaten Bintan.

Megahnya Kompleks dan Arena MTQ Telukbakau, Bintan, yang selama pelaksanaan MTQ IV itu malamnya bermandikan cahaya terang-benderang, bukan hanya menyulap Telukbakau dan kawasan-kawasan sekitarnya sejak kita memasuki batas wilayah Kabupaten Bintan, melainkan juga bagai magnet yang menarik orang untuk berpusu-pusu mengunjunginya. Betapa tidak? Hari-hari selama MTQ IV, lebih-lebih pada malam hari, betul-betul mengubah suasana zahir Telukbakau menjadi bagai kota metropolitan, tetapi kondisi batinnya dipagari cahaya religius sehingga terasa nyaman, teduh, lagi tenteram. Pendek kata, Arena MTQ Telukbakau, Bintan tak kalah dengan kompleks sejenis di negara kita, bahkan seperti diakui oleh banyak kalangan, kelasnya berada di atas rata-rata nasional. Padahal, pembangunan isik Kabupaten Bintan baru beberapa tahun belakangan ini intensif dilaksanakan. Sungguh luar biasa!

Cahaya MTQ IV itu paling ditentukan oleh kepedulian masyarakat Pulau Bintan, terutama masyarakat Kabupaten Bintan dan tak kurang juga Tanjungpinang, yang sangat antusias untuk menjayakan perhelatan religius dan kultural itu. Masyarakat seolah-olah hendak mengatakan bahwa mereka bersungguh-sungguh ingin menjadi tuan rumah yang baik. “Begitu ditunjuk, kami ingin membuktikan bahwa beginilah seharusnya menjadi tuan rumah sebuah even besar. Besar-kecilnya sebuah even sangat tergantung kepada kepedulian kita sebagai tuan rumah. Sebuah kawasan terpencil pun akan berubah menjadi besar dan bercahaya jika masyarakat tuan rumahnya memang berusaha untuk meramaikan dan membesarkannya.” Tak heranlah kita mengapa tak siang tak malam Arena MTQ Telukbakau penuh sesak oleh pengunjung, dari kanak-kanak, remaja, sampai kepada orang dewasa. Bahkan, menurut pengamatan saya, masyarakat nonmuslim pun ikut berkunjung ke arena itu untuk menyaksikan saudara-saudara muslimnya mengikuti MTQ. Alhasil, tema yang diusung Panitia yaitu “Melalui MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau, kita tingkatkan kerukunan umat beragama” sunguh-sungguh menjadi kenyataan. Dalam keadaan seperti itu, siapakah yang tak berasa bahagia?

Cahaya itu pun tentulah dipancarkan dari kesuksesan penyelenggaraan. Dalam hal ini, banyaklah pihak yang terlibat. Tentulah yang terutama di antara mereka adalah Gubernur Kepulauan Riau, Datuk Seri Haji Muhammad Sani, sebagai pemimpin daerah dan penanggung jawab utama tingkat provinsi tentang berhasil atau gagalnya MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau. Sukses besar MTQ IV

Page 462: H. Abdul Malik

442 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

tak terlepas dari kepemimpinan beliau. Cahaya keberhasilan terpancar di wajah gubernur ketika beliau menyampaikan pidato penutupan dengan rasa syukur yang mendalam. Sebagai pemimpin senior, dengan mantap beliau berharap agar pelaksanaan MTQ selanjutnya di Kepulauan Riau terus ditingkatkan dan lebih penting daripada itu nilai-nilai agama benar-benar diaplikasikan di dalam kesemua aspek kehidupan.

Lalu, tuan rumah Kabupaten Bintan? Di sinilah kunci utama suksesnya. Sebagai bupati sekaligus ketua panitia, Haji Ansar Ahmad telah berjaya menjadikan MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau menjadi yang paling berdelau dan spektakuler dalam sejarah penyelenggaraan MTQ di Negeri Segantang Lada ini. Kesungguhan pemimpin muda ini dalam memimpin telah memungkinkan bawahannya bekerja dengan kompak dan bersatu hati. Tokoh-tokoh masyarakat Bintan seia-sekata menjayakan kegiatan yang bernuansa agama Islam itu di daerah mereka. Masyarakat pun bersatu padu melakukan pelbagai aktivitas yang menunjang keberhasilan pelaksanaannya, baik langsung maupun tak langsung.

Kemegahan Arena MTQ yang telah mengubah Telukbakau dari sebuah kampung menjadi bandar baru dan sukses besar penyelenggaraan MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau menjadi simbol dari keberhasilan pembangunan Kabupaten Bintan yang begitu melejit beberapa tahun terakhir ini. Banyak kawasan di Bintan yang sebelumnya benar-benar kampung telah berubah menjadi kota baru. Bukan hanya pembangunan isik yang diutamakan, melainkan juga pembangunan mental-spiritual seperti yang terlihat dalam penyelenggaraan MTQ IV itu. Bertitik tolak dari itu, Bintan akan terus berkembang ke depan ini jika dasar-dasar yang telah diterapkan dapat dilaksanakan secara konsisten. Tak ada kata yang patut diucapkan, kecuali rasa syukur dan bangga karena satu di antara kabupaten di provinsi yang baru ini telah tumbuh merecup dengan begitu mengesankan.

Di atas segala cahaya itu adalah cahaya Ilahi yang memang dicurahkan di Bandar Baru Telukbakau. Tak sesiapa pun mengira bahwa di antara sekian kawasan di Kabupaten Bintan, ternyata Telukbakau yang dipilih sebagai Arena MTQ. Tuhan dengan kehendak-Nya telah menggerakkan hati pemimpin Bintan untuk menetapkan desa itu sebagai Kompleks MTQ. Dengan dibangunnya kompleks MTQ, Telukbakau benar-benar telah berubah menjadi kawasan modern, tetapi religius dan kultural. Karena cahaya Ilahi itulah, kini Telukbakau telah menjadi salah satu ikon pembangunan Kabupaten Bintan. Siapa pun yang berhati terbuka menilai sebuah pembangunan pastilah akan memberikan apresiasi positif terhadap pembangunan kawasan Arena MTQ itu. Nasib kawasan itu ke depan ini sangat tergantung pada masyarakatnya. Masyarakat harus menjaganya bagai menatang minyak yang penuh agar Bandar Baru Telukbakau senantiasa memancarkan serinya. Itulah anugerah Allah yang harus dipelihara dengan sepenuh hati.

Page 463: H. Abdul Malik

443ABDUL MALIK

Berbekal pengalaman sukses MTQ IV Provinsi Kepulauan Riau, Arena MTQ Bandar Baru Telukbakau niscaya siap segalanya untuk menjadi tuan rumah MTQ Nasional 2014 yang akan dilaksanakan di Provinsi Kepulauan Riau. Pernyataan jujur seniman religius besar Indonesia, Rhoma Irama, dapatlah dijadikan patokan untuk menetapkan Kabupaten Bintan sebagai tuan rumah, “Selama saya mengikuti MTQ di negara kita ini, baru di Kabupaten Bintan inilah saya rasakan yang paling megah dan paling spektakuler.” Sambil menanti, marilah kita berdoa agar Bandar Baru Telukbakau, Bintan, dapat menunjukkan jati dirinya yang ramah dan mesra kembali menyambut para ka ilah dari pelbagai daerah di nusantara ini dalam MTQ Nasional 2014. Teruslah bercahaya Kabupaten Bintan! []

Page 464: H. Abdul Malik

444 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

SIKAP merupakan maujud yang abstrak. Artinya, sikap tak dapat diamati secara langsung sebagaimana kita mengamati postur tubuh manusia, ikan

yang berenang di dalam aquarium, dan sebagainya. Sama halnya dengan pikiran, perasaan, dan minat—misalnya—sikap hanya dapat diamati melalui perantaraan perilaku atau perangai. Keberadaan sikap ditunjukkan oleh rasa suka atau tak suka, senang atau tak senang seseorang atau kelompok masyarakat pada objek tertentu. Menurut, Berkowitz (1972) sikap seseorang (juga suatu puak, kaum, masyarakat, atau bangsa) terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) atau perasaan tak mendukung (unfavorable) suatu objek. Salah satu unsur pembentuk sikap adalah budaya. Sikap seseorang atau masyarakat yang bersumberkan nilai budayanya disebut sikap budaya.

Sikap selalu dikaitkan dengan perilaku yang berada dalam kenormalan dan merupakan respon atau reaksi terhadap rangsangan lingkungan sosial. Pembentukan sikap sering tak disadari oleh orang atau masyarakat yang bersangkutan karena ia terbentuk di alam bawah sadar. Akan tetapi, sikap bersifat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan yang disebabkan oleh interaksi seseorang atau masyarakat dengan lingkungan sekitarnya. Kondisi lingkungan pada suatu saat dan di suatu tempat tak disangsikan lagi pengaruhnya terhadap pernyataan sikap.

Diakui atau tidak, bagi sesiapa pun, berinteraksi dan berbaur dengan orang Melayu menjadi pengalaman yang menyenangkan dan selesa. Itulah sebabnya, di kawasan Melayu, di mana pun di dunia ini, orang-orang pelbagai ras, suku, dan agama berdatangan untuk mengubah nasib, terutama mereka yang di tempat asalnya kurang beruntung atau tak dapat mengembangkan diri secara optimal. Bahkan, dalam banyak kasus mereka yang datang dari pelbagai penjuru kawasan pada suatu saat jumlahnya lebih banyak dibandingkan orang Melayu sendiri di

Sikap Melayu

Page 465: H. Abdul Malik

445ABDUL MALIK

kawasan Melayu. Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau merupakan contoh yang paling representatif untuk menjelaskan gejala itu. Dalam konteks negara, Singapura juga Malaysia menjadi contoh yang paling tepat juga.

Mengapakah terjadi demikian? Jawabnya orang Melayu bersikap terbuka bagi sesiapa saja. Tak pernah terjadi tantangan atau hambatan dari orang Melayu terhadap sesiapa pun yang datang ke kawasan mereka. Lingkungan hidup orang Melayu yang memang strategis dan terbuka dari segala penjuru membentuk sikap terbuka pada diri mereka. Di samping itu, keyakinan orang Melayu bahwa kesemua makhluk berhak memperoleh kehidupan yang layak dan baik di bumi Allah, menjadikan mereka menumbuhkan dan mengembangkan sikap bertimbang rasa terhadap sesama. Oleh sebab itu, timbullah pikiran bahwa orang tak akan berhijrah jauh-jauh dari tanah kelahirannya jika telah menemukan kehidupan yang ideal di tempat asalnya itu. Dengan demikian, perjuangan manusia untuk memperoleh kehidupan yang layak dengan cara yang baik tak boleh dihambat, malah harus didukung sepenuhnya.

Dalam interaksi sosial, termasuk bersama saudara barunya, orang Melayu menyenangi suasana yang harmoni. Mereka akan sangat malu jika untuk memperoleh rezeki di bumi Allah ini, misalnya, harus dilakukan dengan cara-cara kekerasan terhadap orang lain. ”Setiap orang memerlukan lampu agar mendapatkan terang, tetapi janganlah mematikan lampu orang lain untuk menghidupkan lampu kita sendiri.” Itu adalah keyakinan orang Melayu tentang keharmonisan hidup bersama di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, orang Melayu sangat mencela praktik-praktik kekerasan dan persaingan tak sehat. Jika berhadapan dengan gejala tak harmonis itu, biasanya mereka memilih untuk tak terbabit atau tak melibatkan diri. Walaupun begitu, mereka akan bertindak reaktif jika ternyata ketakelokan perangai telah bersimaharaja lela di kawasan mereka. Dengan demikian, ada perilaku yang boleh ditimbangrasakan, boleh ditoleransikan, tetapi kalau sudah melampaui batas kepatutan tak boleh pula dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu, sebagai contoh, pernah merasakan betapa sulitnya meredam reaksi orang Melayu jika mereka telah tersinggung.

Untuk menjaga harmoni di lingkungan hidup mereka, orang Melayu sangat terbiasa menaati peraturan sosial. Hal itu dimungkinkan karena sejak lama mereka berada dalam sistem pemerintahan kerajaan yang membesarkan tamadunnya dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Konsistensi dalam penerapan peraturan hukum itulah yang menyebabkan kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lalu mencapai kejayaannya dan lama baru dapat dijajah oleh pihak asing. Kerajaan Riau-Lingga, misalnya, baru betul-betul dapat dijajah Belanda pada 1913. Itu pun karena Pemerintah Hindia Belanda merasa sangat terancam

Page 466: H. Abdul Malik

446 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

oleh penentangan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Rahman Muazamsyah. Cara yang ditempuh Belanda pun tergolong tak lazim yaitu ketika sultan tak berada di tempatnya. Kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaysia memang akhirnya dijajah oleh Inggris, tetapi daulat raja-raja tetap dihormati oleh penjajah itu sehingga kerajaan atau raja-rajanya tetap berkuasa untuk mengatur kehidupan masyarakat. Pasal, peraturan yang dibuat kerajaan sangat efektif untuk mengatur perilaku dan peri kehidupan masyarakat.

Bertahan pada sikap yang diperikan di atas dianggap dilema oleh sebagian orang. Tak kurang dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad, menganggap fenomena itu merupakan ”dilema Melayu”. Sebetulnya, orang Melayu memantangkan diri untuk memasuki arena persaingan yang tak fair, tak sesuai dengan peraturan yang baku. Oleh sebab itu, tak heranlah orang Melayu akan tertinggal jika dihadapkan dengan persaingan yang mereka sebut sebagai perilaku ”tak tentu arah” itu. Sebaliknya, orang Melayu akan menunjukkan semangat yang bernyala-nyala jika diberi laluan di jalan yang benar, yang sesuai dengan peraturan hukum. Tak heranlah, dalam banyak kasus, anak-anak orang Melayu sering kalah dalam memperebutkan beasiswa pendidikan saja, misalnya, dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain jika untuk mendapatkannya harus ditempuh cara-cara yang di luar dari alur dan patutnya, bahkan di kawasan atau di daerah mereka sendiri. Ironis memang, tetapi mempertahankan harga diri merupakan sikap yang mereka anggap tak dapat ditawar-tawar.

Biasanya, jika dihadapkan dengan tekanan, reaksi yang ditunjukkan oleh orang Melayu sangat perlahan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti mereka tak bereaksi sama sekali. Reaksi itu akan meningkat tahap demi tahap dari yang biasa disebut marah, merajuk, aruk, sampailah pada titik yang paling tinggi dan paling dahsyat yaitu amuk. Dalam sejarah tamadun Melayu, aruk dan amuk pernah dilakukan oleh orang Melayu karena diperlakukan secara tak adil. Aruk dilakukan oleh Hang Jebat sehingga dia berhasil mempermalukan penguasa di hadapan rakyatnya. Dan, tensi tertinggi amuk ditunjukkan oleh Megat Seri Rama atau Laksemana Bentan terhadap Sultan Mahmud Johor karena perilaku penguasa itu dianggap telah melampaui batas rasa yang boleh dipertimbangkan. Pemerintah Hindia Belanda pun pernah merasakan dahsyatnya amuk Raja Haji Fisabilillah dan Sultan Mahmud Syah III walaupun tokoh yang disebutkan terakhir itu melakukannya dengan strategi yang berbeda.

Di atas segalanya, seperti yang disebutkan di atas, keserasian, keselarasan, dan harmaonilah yang diidealkan oleh orang Melayu dalam hidup berdampingan dengan sesiapa pun, sama ada di luar kawasannya lebih-lebih di dalam kawasan Melayunya. Cita-cita tertinggi dalam kehidupan sosial itu baru dapat dicapai jika

Page 467: H. Abdul Malik

447ABDUL MALIK

nilai-nilai keadilan dapat dilaksanakan secara konsisten, baik oleh sesama anggota masyarakat dari mana pun asalnya maupun oleh penguasa yang di tangannya nuansa kehidupan dipertaruhkan. Ketika dihadapkan dengan dilema, orang Melayu akan memilih: tetap mempertahankan nilai-nilai bertimbang rasa atau, justeru, membuat perhitungan dengan ”ritual amuk” terhadap sumber yang mati rasa. Alhasil, itulah sikap Melayu. []

Page 468: H. Abdul Malik

448 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

RANGKAIAN acara adat itu telah dimulai pada Jumat malam, 1 Juni 2012 di rumah dinas Bupati Karimun di dalam kawasan yang dulunya dinamakan

Taman Bunga. Acara pada malam itu berupa pertunjukan berdah, sebuah kesenian tradisional Melayu yang masih hidup walau didominasi oleh kalangan tua. Kesenian itu berupa syair berbahasa Arab yang berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang dilagukan secara khas dan diiringi musik rebana (atau sebagian orang Karimun biasa menyebutnya bebana, sejenis alat musik gendang berbentuk seperti kompang, tetapi lebih besar).

Tempat itu disebut Taman Bunga karena sebelum terbentuk Kabupaten Karimun memang merupakan sebuah taman yang cukup indah, yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan tentu ada bunga-bungaan. Di tempat itu juga dahulu ada sebuah panggung pertunjukan, yang dikenal sebagai Panggung Rakyat. Di Panggung Rakyat itulah segala jenis pertunjukan kesenian diselenggarakan.

Suasana Taman Bunga menjadi kian menarik, indah, dan memesona karena dari situ kita dapat menyaksikan pemandangan pantai berpasir putih dan laut lepas ke arah Pulau Parit dan pulau-pulau lain di seberang Pulau Karimun, yang juga indah-indah. Di pantai Taman Bunga kita juga disuguhkan pemandangan cuma-cuma (gratis) kegiatan orang-orang memukat ikan bilis (teri) dari petang hingga ke malam hari. Ikan bilis di pantai Taman Bunga itu tergolong berkualitas baik dan umumnya besar-besar. Kalau kita membeli bilis segar itu dan sesampainya di rumah langsung dimasak, masakan asam pedas dicampur nenas yang khas Melayu, misalnya, rasanya sangat kemat, lezat, dan ada aroma manisnya. Pokoknya, nikmat dan sedaplah!

Di lokasi rumah dinas Bupati Karimun itu dahulu berdiri bangunan tinggalan bersejarah zaman Belanda yang disebut Rumah Wedana awalnya, kemudian dinamakan Rumah Camat. Rumah Wedana sebutannya karena tatkala Tanjungbalai

Anugerah LAM Kabupaten Karimun

Page 469: H. Abdul Malik

449ABDUL MALIK

Karimun menjadi ibukota Kewedaan Karimun, rumah itu menjadi tempat kediaman resmi Wedana Karimun. Ketika pemerintahan kewedaan dihapus, bangunan itu menjadi kediaman resmi Camat Karimun karena Tanjungbalai statusnya hanya menjadi ibukota Kecamatan Karimun.

Dahulu pada malam-malam hari libur masyarakat Karimun umumnya berkumpul di Taman Bunga itulah. Tujuannya tiada lain untuk melepaskan penat setelah bekerja seharian dan berkumpul dengan kawan-kawan. Jika ada pertunjukan kesenian di Panggung Rakyat, Taman Bunga tumpah-ruah oleh pengunjung—tak kecil tak besar, tak tua tak muda—kesemuanya berpusu-pusu ke Taman Bunga. Pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tempat itu menjadi bertambah meriah karena masyarakat dari pulau-pulau sekitar juga datang ke situ. Biasanya sampai sepekan mereka menetap di sepanjang pantai Taman Bunga, bahkan menginap di dalam sampan mereka masing-masing. Di pantai berpasir putih itu pulalah diselenggarakan pelbagai pertandingan olahraga air seperti “lumba kolek”. Tamasya dan keindahan Taman Bunga yang bersepadu serasi dengan Panggung Rakyat dan Rumah Wedana tinggalan bersejarah itu tak pernah tergantikan dan tak pernah terbayarkan walau berapa besar pun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Karimun setakat ini.

Betapa tidak? Keindahan alami yang diberikan oleh kawasan pantai berpasir putih, berair jernih, dengan pemandangan ke laut lepas tanpa alangan senoktah pun yang disepadukan dengan keindahan sentuhan tangan manusia berupa Panggung Rakyat dan pelbagai acara kesenian yang diselenggarakan di situ serta bangunan Rumah Wedana tinggalan bersejarah yang menjadi saksi bisu keberadaan Tanjungbalai Karimun pada zaman kolonial Belanda menjadikan kawasan itu sebagai salah satu ikon Karimun pada masa lalu. Bagi sesiapa pun yang memahami, menghayati, dan menghargai nilai-nilai keindahan dan lebih-lebih nilai sejarah, Taman Bunga dan artefak yang ada di sekitarnya merupakan kekayaan yang tak terhingga nilainya. Oleh sebab itu, ianya tak tergantikan dengan uang berapa pun jumlahnya dan dalam mata uang apa pun wujudnya.

Lenyapnya Rumah Wedana, Taman Bunga, dan Panggung Rakyat menyebabkan Karimun kehilangan sebagian dari artefak sejarahnya, sebuah kerugian besar yang tak pernah dapat digantikan sampai bila-bila masa pun. Iya, Taman Bunga itu sudah tak ada lagi sekarang. Tempat itu telah dibangun hotel yang menutup pemandangan ke laut. Sisa tanah kosongnya yang tak seberapa luasnya telah dijadikan area parkir kendaraan. Bersamaan dengan itu, pantai berpasir putihnya juga lenyaplah sudah, berganti dengan tanah berlumpur hitam. Panggung Rakyat dan Rumah Wedana pun telah dirobohkan pada masa pemerintahan Bupati Karimun yang pertama. “Dah kena tebang dah!” ungkapan sarkastis masyarakat Karimun yang kritis dan peduli ketika tinggalan bersejarah itu baru dimusnahkan dulu. Apa pun

Page 470: H. Abdul Malik

450 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

perasaannya, mereka tetap tak berdaya melawan kekuasaan. Di tempat itulah, kemudian, didirikan rumah dinas Bupati Karimun yang sekarang ini. Walaupun tesergam, nilai historisnya tentulah tak sebanding dengan Rumah Wedana yang telah ada sejak zaman Belanda. Kawasan yang saya sebutkan itu tak jauh dari pelabuhan laut domestik dan internasional Tanjungbalai Karimun sekarang.

Di rumah dinas bupati itulah Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Kabupaten Karimun menyelenggarakan acara adat “Penganugerahan Gelar Adat Datuk Setia Amanah dan Timbalan Setia Amanah Adat Melayu Kabupaten Karimun” kepada Bupati dan Wakil Bupati Karimun pada Sabtu, 2 Juni 2012. Pemilihan tempat acara itu memang sempat dipertanyakan oleh beberapa tokoh dan masyarakat Karimun. Karena apa? Karena LAM Karimun memiliki gedung yang cukup megah. “Mengapakah tak dilaksanakan di Gedung LAM?” begitu pertanyaan mereka. Saya tentu tak dapat menjawab pertanyaan itu karena keberadaan saya di situ pun sebatas menghadiri jemputan Panitia dan kebetulan sebagai salah seorang yang diberikan anugerah adat pada hari itu. Panitialah yang paling mengetahui alasan pemilihan tempat itu.

LAM Kabupaten Karimun merupakan satu-satunya Lembaga Adat Melayu yang memberikan gelar Timbalan Setia Amanah kepada Wakil Bupati. LAM lain, termasuk LAM Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, tak mengadakan gelar itu karena memang selama ini tak diatur seperti di dalam struktur pemerintahan. Biasanya, hanya kepala daerah saja yang ditabalkan sebagai Datuk Setia Amanah. Bagaimanapun pengurus LAM Kabupaten Karimun tentulah mempunyai pertimbangan tertentu untuk gelar adat yang disandangkan kepada kepala daerah secara ex of icio itu.

Tamu jemputannya sangat banyak sehingga memenuhi kesemua tempat yang memang disediakan. Selain jemputan dari kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Karimun, hadir juga jemputan perwakilan masyarakat Kabupaten Karimun di perantauan seperti Tanjungpinang, Pekanbaru, dan Pulau Jawa. Panitia benar-benar ingin masyarakat merasakan bahwa acara ini adalah pekerjaan bersama masyarakat Kabupaten Karimun. Dari kehadiran jemputan, jelas sekali matlamat itu berhasil diraih.

Acaranya sendiri berlangsung khidmat dan sungguh meriah. Pembacaan ayat suci Al-Qurannya memukau. Memang, Kabupaten Karimun kini menyandang Juara Umum MTQ Provinsi Kepulauan Riau 2012. Qari yang tampil pada acara pagi itu pun cukup representatif. Pembawa acaranya Raja Umar bin Raja Sum dan pendamping perempuannya (maaf, saya tak tahu namanya) terkesan sangat karismatik. Penyampaian Petua Melayu oleh Raja Masnur pun begitu memukau. Dan, tentulah pembacaan Warkah Pentabalan oleh Ketua LAM Kabupaten Karimun, Datuk Haji Abdul Hamid bin Haji Abdul Aziz, S.E., dengan suaranya yang khas dan berwibawa menjadikan acara istiadat itu lengkap sempurna, tanpa cacat-cela.

Page 471: H. Abdul Malik

451ABDUL MALIK

Yang juga menarik, baru LAM Kabupaten Karimunlah di kawasan kita yang memberikan anugerah adat Datuk kepada masyarakatnya, bukan kepala daerah, yang dianggap berjasa dan berprestasi. Tradisi itu biasa dilakukan oleh institusi adat kerajaan negeri di Malaysia dan Sumatera Barat, misalnya. Akan tetapi, anugerah seperti itu belum pernah diberikan oleh LAM mana pun di Kepulauan Riau, termasuk LAM Provinsi Kepulauan Riau. Dalam hal ini, dua orang diberikan anugerah adat itu. Pertama, Raja Haji Adnan Daud, S.H., tokoh masyarakat Karimun, yang dinilai berprestasi dalam bidang politik selama puluhan tahun, baik pada tingkat kabupaten maupun provinsi. Kedua, kebetulan saya (Abdul Malik) dari kalangan masyarakat biasa Karimun yang dinilai cukup memperhatikan keberlangsungan budaya Melayu. Tradisi baik ini seyogianya dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang untuk memotivasi masyarakat. Nampaknya, memang itulah matlamat LAM Kabupaten Karimun memberikan anugerah gelar adat kepada masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umumnya kepada saya beberapa hari sebelum acara dilangsungkan. Artinya, memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berprestasi dalam bidangnya masing-masing. Jelaslah bahwa matlamat itu sungguh mulia.

Akhirnya, tahniah kepada Datuk Setia Amanah, H. Nurdin Basirun, dan Timbalan Setia Amanah Adat Kabupaten Karimun, H. Aunur Ra iq. Syabas kepada Datuk H. Abdul Hamid bin H. Abdul Aziz, Ketua Umum LAM Kabupaten Karimun, serta seluruh pengurus. Selamat bekerja dan semoga di tangan Anda semua marwah Melayu Kabupaten Karimun senantiasa terjaga. []

Page 472: H. Abdul Malik

452 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

RAJA ALI HAJI (RAH), karena karya-karyanya, termasyhur sebagai cendekiawan Melayu multidisiplin. Di antara bidang kajian beliau adalah ilmu hukum dan

politik pemerintahan. Dari kajian di bidang itu, antara lain, beliau mewariskan karyanya yang terkenal Tsamarat al-Muhimmah. Di bawah judul besar itu ditambahkannya subjudul Dliyafat lil-umara’ wal-kubara’ liahli al-mahkamat yang dimelayukan beliau menjadi Buah-Buahan yang Dicita-Cita Jadi Jamuan bagi Raja-Raja dan Orang Besar-Besar yang Mempunyai Pekerjaan di dalam Tempat Berhukum.

RAH menyelesaikan penulisan bukunya itu pada pukul 02.00 dini hari, Selasa, 10 Syakban 1275 H. (1858 M.) seperti yang ditulisnya pada akhir karyanya itu. Tentang matlamatnya menulis buku itu, RAH bertutur dengan takzim dan rendah hati, “Inilah akhir barang yang dikurniakan Allah Ta’ala atasku pada menzahirkan sedikit tertib kerajaan dan rahasia pekerjaan ahl al-mahkamah atas pahamku yang singkat dan atas ilmuku yang kurang. Akan tetapi, daripada sangat hajatku hendak menzahirkan atas kaum kerabatku pada tempatku ini, maka aku perbuat juga alakadar pahamku yang kurang jikalau aku bukan ahli daripada demikian itu sekalian.” Jelaslah bahwa karya itu didedikasikannya kepada para pemimpin, yang pada zamannya disebut raja, orang besar-besar, dan para pejabat yang membidangi hukum.

Tsamarat al-Muhimmah baru dicetak oleh Of ice Cap Kerajaan di Daik-Lingga pada 1304 H. bersamaan 1886 M. sekitar 28 tahun setelah selesai ditulis. Buku ini dimulai dengan mukadimah atau pendahuluan, dilanjutkan dengan tiga bab utama, dan diakhiri dengan khatimah atau penutup.

Pada bagian mukadimah, RAH, sesuai dengan ciri khas banyak tulisannya, memulainya dengan keutamaan ilmu dan akal serta asal-usul keduanya itu.

Tsamarat al-Muhimmah: Jamuan Para Pemimpin

Page 473: H. Abdul Malik

453ABDUL MALIK

Selain penjelasan tentang peran ilmu dan akal untuk menaikkan derajat manusia umumnya, tanpa keduanya itu manusia tak ubahnya dengan hewan, bahkan, ada hewan lebih hebat daripada manusia, RAH menegaskan mustahaknya ilmu dan akal itu untuk dituntut (dipelajari) dan diamalkan. Tanpa diamalkan, sia-sialah ilmu, terutama kerja-kerja kepemimpinan harus menggunakan ilmu yang benar. Kerja-kerja kepemimpinan tak boleh membelot dari kebenaran ilmu yang dianugerahkan oleh Tuhan. “Syahdan maka nyatalah dilebihkan Allah Ta’ala akan ahli ilmu itu dengan akal dan naqal, intaha,” begitu RAH menegaskannya. Dengan menekankan naqal, jelaslah bahwa RAH hendak meyakinkan para pemimpin jangan sekali-kali melangkahi wahyu Ilahi dalam melaksanakan amanah yang dititipkan kepada mereka.

Bab-bab utama berkembang kian menarik. Kepala pemerintahan, menurut Tsamarat al-Muhimmah, mengandung tiga makna sesuai dengan fungsi dan tugas yang diamanahkan kepadanya. Pertama, terkandung makna ‘khalifah’ dengan kewajiban menegakkan agama berdasarkan Al-Quran, sunnah nabi, dan ijmak. Kedua, tersimpul makna ‘sultan’ dengan kewajiban mendirikan hukum yang adil berdasarkan pedoman Tuhan dan rasul-Nya. Ketiga, termaktub juga makna ‘imam’ yang seyogianya berada di hadapan sekali menjadi ikutan kesemua orang di bawah pemerintahannya. Dalam hal ini, jikalau tak tergolong kufur dan maksiat, perintahnya adalah hukum yang harus ditaati.

Pemimpin seyogianya memang memiliki derajat atau marwah yang tinggi asal memenuhi syaratnya. Syaratnya apa? Dia berjuang membela kebenaran dan memerangi kejahatan (kebatilan) apa pun bentuknya. Bukan sebaliknya, bersuka ria di dalam kejahatan yang nyata dan membinasakan kebenaran. Itulah pemimpin yang berlaku sewenang-wenang, berbuat sekehendak hati, mempermain-mainkan hukum, bahkan mengaku diri sebagai bayangan Tuhan di bumi. Dengan tegas RAH mengecam perilaku kepemimpinan seperti itu tergolong haram, yang jelas pembalasannya, dan cenderung ka ir, lagi tegas azabnya di akhirat kelak.

Para pemimpin seyogianya berilmu, barakal budi, bermarwah, adil, berijtihad yang baik, tekun beramal, di samping memiliki pancaindera yang baik. Para pemimpin negeri haruslah berbuat kebajikan yang terbilang: indah dan patut menurut agama, bangsa, dan negara. Begitu pula menurut penilaian orang-orang yang mempunyai mata hati atau mereka yang berakal. Jika kedapatan fasik, banyak aduan orang, zalim, khianat, belot, tak bermarwah, dan sejenisnya; para pemimpin itu patutlah diragukan baktinya, yang akan datang juga azabnya.

Dalam kaitannya dengan pembangunan negeri, menurut RAH dalam bukunya ini, lima hal utama yang perlu diperhatikan. Pembangunan tak boleh bertentangan dengan syara’, itu yang pertama dan terutama. Kedua, tak boleh membawa mudarat

Page 474: H. Abdul Malik

454 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

terhadap tubuh dan jiwa manusia. Ketiga, jangan sampai pembangunan, justeru, memusnahkan harta-benda orang. Keempat, jangan pula karena pembangunan, orang mendapat aib dan malu. Kelima, jangan juga sampai terjadi pembangunan mencacatkan nama para pemimpin itu sendiri.

Tsamarat al-Muhimmah juga memberikan pedoman tentang pembinaan moral bagi penyelenggara negara. Dalam hal ini, penyelenggara negara wajib memelihara ruh (nyawa), badan (jasad), dan nama. Ruh harus dijaga supaya tak terdedah kepada penyakit batin. Penyakit zahir pun mempengaruhi batin. Obat bagi penyakit batin lebih rumit daripada penyakit zahir (badan). Kedua jenis penyakit itu, lebih-lebih penyakit batin, dapat membawa kecelaan kepada pemimpin.

Penyelenggara negara harus menjaga nama jangan sampai menimbulkan kesan buruk. Cacat-celanya menjadi sebut-sebutan orang sehari-hari. Punca kesemuanya itu adalah sifat yang jahat, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Itulah kejahatan hati yang paling berbahaya jika melanda para pemimpin dan penyelenggara negara. “Sejahat-jahat nama kepada raja-raja dan kepada orang besar-besar itu, yakni nama zalim dan nama bodoh dan nama lalai nama penakut,” demikian RAH mengunci penjelasannya tentang perlunya pemimpin memeliharakan nama.

RAH berpendapat bahwa matlamat bernegara untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran baru dapat diraih jika perhubungan penyelenggara negara dan rakyat seluruhnya dengan Tuhan berjalan serasi dan selaras sesuai dengan petunjuk Tuhan. Pemimpin yang berilmu dan berakal tak akan berani melangkahi dan atau menyelewengkan agama dalam kepemimpinannya. Mereka akan senantiasa menjaga perilaku dan moral rakyat atau masyarakat agar tetap baik. Tentu, dengan contoh dan tauladan yang baik pula dari para pemimpinnya. Sebaliknya, jika para pemimpin terbiasa dengan saling itnah, dengki, khianat, hasad, lalai, serakah, menjauh dari nilai-nilai agama, dan sebagainya; rakyat sekaliannya akan mendapatkan contoh yang buruk dan keji. Dalam keadaan demikian, negara tinggal menanti saat-saat kehancuran.

“Seyogianya hendaklah raja-raja dan segala orang besar-besar menjauhkan penyakit najis berdengki-dengki itu karena banyaklah dan zahirlah di dalam suatu negeri akan ahlinya banyak berdengki-dengkian, alamat negeri itu akan binasa jua akhirnya. Apalagi orang besarnya berdengki-dengkian makin segeralah binasanya…. Syahdan inilah kebinasaan dan kerusakan apabila banyak isi negeri itu berdengki-dengkian. Bermula raja yang adil itu bersungguh-sungguh ia pada mencarikan muslihat melepaskan daripada jalan yang membawa kepada kebinasaan ini adanya, intaha,” cara RAH memerikan penyakit dengki.

Page 475: H. Abdul Malik

455ABDUL MALIK

Mahadahsyat penyakit dengki itu rupanya. Virusnya, jika dibiarkan menyebar, dapat meruntuhkan sebuah negara yang pada mulanya dibangun untuk menjalin kebersamaan berasaskan keadilan. Bahkan, jika para pemimpin dan penyelenggara negara terjangkit penyakit ruh itu, mereka tak hanya melalaikan nilai-nilai agama yang agung, tetapi juga bagaikan berseteguh hati untuk bersedia menerima balasan pasti yang telah dijanjikan di akhirat kelak.

Memang, Tsamarat al-Muhimmah merupakan buah-buahan segar yang patut bangat menjadi jamuan para pemimpin dan penyelenggara negara. Tentu, jamuan lezat bagi mereka yang senantiasa membuka hati untuk menimba dan mengamalkan ilmu yang benar lagi baik dalam kepemimpinan agar tak tergelincir ijtihad, intaha.

Page 476: H. Abdul Malik

456 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

PERHUBUNGAN negara kita dengan negara-negara tetangga terdekat di Asia Tenggara sampai setakat ini tetap berlangsung rukun-rukun saja. Kenyataan

itu patutlah disyukuri tatkala kita memang memerlukan peningkatan kerja sama sekawasan untuk menghadapi pelbagai persoalan dalam era globalisasi ini. Namun, sikap sebagian masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu terhadap pemerintah dan masyarakat negara jiran cenderung ber luktuasi, khasnya terhadap Malaysia, yang tensinya sering naik-turun dan paling banyak serta paling besar diberitakan sehingga paling banyak pula mengundang perhatian khalayak. Ada kesan bahwa gejala itu memang sengaja didedahkan sedemikian rupa untuk maksud terselubung, yang mengarah kepada keuntungan politik dan ekonomi bagi pihak tertentu, tetapi jelas bukan bagi Indonesia dan Malaysia.

Pemicu ketakharmonisan perhubungan itu, umumnya, soal sengketa perbatasan dan perakuan khazanah budaya. Terkini dihebohkan bahwa Malaysia mengakui tari Tor-Tor asal Batak atau Tapanuli milik mereka. Dalam menghadapi tuduhan terbaru itu, pemerintah Malaysia membantah bahwa mereka memperakukan tari Tor-Tor. Sebelum itu telah dihebohkan soal Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet, musik keroncong, kerajinan batik, dan sebagainya. Itulah di antara isu-isu perakuan khazanah budaya kita oleh Malaysia yang sering paling sengit dan hangat diberitakan. Di samping itu, yang juga sering mengundang emosi publik kita adalah isu perbatasan dan tenaga kerja kita di Malaysia. Ekoran dari kesemuanya itu, ada pihak yang mengobarkan semangat “Ganyang Malaysia!”.

Tak berlebihan jika dikatakan bahwa kecurigaan terhadap Malaysia itu agak berlebihan. Selain itu, ada kesan tak fair jika dibandingkan dengan perhubungan antara negara kita dan negara tetangga yang lain, yang jelas-jelas merugikan kita secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Rukun Tetangga

Page 477: H. Abdul Malik

457ABDUL MALIK

Sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan sampai setakat ini tak kunjung selesai, bahkan nyaris tak pernah diselesaikan. Sengketa itu melibatkan negara kita dan beberapa negara lain seperti Republik Rakyat Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Sangat sering wilayah negara kita diperakui oleh negara-negara tetangga itu karena masalahnya memang tak terselesaikan sampai kini. Anehnya, masyarakat kita nyaris tak bereaksi terhadap gejala itu, kalau tak dapat dikatakan diam seribu bahasa. Bahkan, tak pernah terdengar LSM yang mengajak masyarakat untuk “mengganyang” negara-negara tersebut. Tentu akan berbeda keadaannya jika sengketa itu melibatkan negara kita dan Malaysia, agaknya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa ikan-ikan kita di Laut Natuna dirompak oleh nelayan Thailand dan Vietnam. Saban tahun, secara ekonomi, kita dirugikan tak kurang dari triliunan rupiah, walau versi pemerintah kita hanya ratusan miliar rupiah saja, akibat aktivitas perompakan yang terkesan dibiarkan itu. Bahkan, juga dikabarkan bahwa para nelayan perompak yang perangainya bak juragan itu sering naik ke pulau-pulau terdekat seraya mengganggu ketenteraman dan melecehkan masyarakat tempatan. Ternyata, peristiwa itu tak sedikit pun menggugah kita untuk mengecam mereka, apalagi mengancam para penjarah itu. Nyali kita tiba-tiba ciut sekecut-kecutnya berhadapan dengan balatentara perompak berseragam nelayan itu. Yang kita gerunkan sebetulnya apakah? Kekuatan isiknya atau harta karun yang mereka bawa?

Kita lagi-lagi terserang virus bisu ketika berhadapan dengan jiran terdekat, termungil, tercomel, terkaya, dan pelbagai ter- yang disandangnya lagi. Tetangga mana lagi kalau bukan Temasik, nama lamanya, atau Singapura, nama bekennya kini. Aktivitas perluasan wilayah daratnya memanfaatkan pasir laut dan pasir darat kita, Indonesia, khasnya Kepulauan Riau. Akibat projek besar-besaran itu, perlahan tetapi pasti, banyak pulau kecil kita di perairan Kepulauan Riau mulai tenggelam dihentam abrasi. Di samping itu, luas wilayah laut kita yang berbatas dengan “tetangga manis-manis manja” itu telah berkurang puluhan mil laut. Tak pernah ada berita besar tentang hal itu, apalagi sampai ajakan memberi pelajaran tentang bertangga yang baik.

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa ini. Seorang menteri kita sedang meninjau wilayah laut kita yang berbatasan dengan Singapura. Entah betul entah tidak, konon, kapal sang menteri tanpa disengaja memasuki wilayah mereka. Melihat gejala itu, tanpa ampun, patroli laut Negara Singa itu menghalau kapal sang menteri tak ubahnya mengusir seekor itik yang sedang hanyut di laut. Kita pun secara berjemaah bagai tak merasa terusik sedikit jua sebagai bangsa.

Semua orang juga tahu bahwa banyak penjarah kekayaan negara ini menjadi penduduk istimewa di negara mungil itu. Bersamaan dengan itu, mereka pun

Page 478: H. Abdul Malik

458 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

membawa jarahannya ke sana. Jangankan memprovokasi masyarakat untuk mengganyang, tak seorang pun sanggup bersuara lantang sekadar menunjukkan kepedulian kita akan nasib bangsa ini ke depan berhubung kait dengan praktik penghijrahan jarahan itu. Suara kita jadi tersekat di tekak dan nurani kita jadi tersangkut di lutut seraya mulut kita ternganga dan dimasuki langau pun kita tak tahu. Mungkin kita sadar bahwa mereka tak memahami bahasa kita sehingga sia-sia diprotes karena mereka hanya tahu bahasa Amerika Serikat. Kita sekonyong-konyong berubah menjadi orang yang sangat arif dek “untung diri”. Sungguh ironis!

Berbeda, sekali lagi tak sama, ketika kita berhadapan dengan jiran Malaysia. Kita berubah menjadi sangat sensitif dan reaktif. Kalau sudah berada dalam keadaan demikian, kita jadi lupa asal-usul orang. Siapakah penduduk asli Malaysia itu?

Penduduk asli Malaysia saling tak tumpah dengan penduduk kita, Indonesia. Mereka adalah orang-orang nusantara. Sama dengan Indonesia, jika dilihat dari sudut suku-sukunya secara terperinci, sebagaimana sudut pandang kita di sini, penduduk asli Malaysia terdiri atas suku Melayu, Jawa, Bugis, Buton, Sunda, Minang, Batak atau Tapanuli, Sumbawa, Dayak, Suku Laut, dan sebagainya. Berbeda dengan kita, mereka orang yang bersuku-suku itu, secara nasional, menyebut diri mereka orang Melayu walaupun di dalam kelompok-kelompok sukunya mereka tetap menjaga dan mengembangkan keberadaan sukunya masing-masing dengan segala adat-istiadat dan khazanah budaya yang mereka miliki turun-temurun.

Bukan hanya mereka yang mengidenti ikasikan diri mereka yang berkulit sawo matang itu secara umum dengan sebutan Melayu. Bangsa Malaysia keturunan Tionghoa dan India pun mengenali saudaranya itu sebagai orang Melayu. Itulah kebiasaan mereka, yang memang berbeda dengan kita ketika mengidenti ikasikan identitas diri. Alhasil, jangan heran jika orang Surabaya, Aceh, Medan, Padangpanjang, Jambi, apalagi Riau dan Kepulauan Riau—misalnya—banyak yang bersaudara dekat dengan penduduk Malaysia.

Tak heranlah ada Reog Ponorogo dan keroncong di Malaysia karena kesenian itu dikembangkan oleh orang Jawa Malaysia. Ada Randai di sana sebab itu juga kesenian masyarakat Negeri Sembilan yang asal-usul nenek-moyangnya dari Sumatera Barat. Bahkan, sangat mungkin ada tari Tor-Tor, Gordang Sambilan, dan Ulos karena kesemuanya itu bagian dari kebudayaan yang dipelihara oleh orang Tapanuli Malaysia. Etiskah dan patutkah kita melarang mereka mengembangkan kebudayaan warisan nenek-moyangnya juga, yang kebetulan sama dengan kita, hanya karena kita berasa paling benar dan paling berhak mewarisi khazanah kebudayaan itu?

Page 479: H. Abdul Malik

459ABDUL MALIK

Kita patutlah belajar dari bangsa Republik Rakyat Tiongkok. Mereka tak pernah melarang dan tersinggung orang Tionghoa perantauan mengembangkan kebudayaan Tionghoa di mana pun mereka berada di muka bumi ini. Mereka pun tak pernah memprovokasi untuk mengajak rakyatnya memerangi negara yang mengembangkan budaya Tionghoa. Malah, mereka bangga kebudayaan mereka berkembang di negara lain. Karena apa? Karena mereka menyadari bahwa khazanah itu milik orang Tionghoa di mana pun mereka hidup. Begitu juga dengan kebudayaan India, Arab, Turki, dan sebagainya yang dibawa perantaunya di mana pun di sekutah-kutah dunia ini.

Gejala ini agak mengkhawatirkan juga. Seorang koreografer Jakarta menata tari Rampai Nusantara. Sesuai dengan namanya, tarian itu merupakan rangkaian cuplikan tarian yang ada di seluruh Indonesia, dari ujung utara sampai kepada ujung selatan, dari ujung barat sampai kepada ujung timur Indonesia. Anehnya, dalam rangkaian tarian itu tak ada tari Melayu. Seolah-olah, Indonesia tak memiliki tari Melayu. Tak mungkin rasanya koreografernya tak mengetahui keberadaan tari Melayu yang ada di beberapa provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Walau agak aneh, gejala di atas mungkin pilihan sang koreografer secara pribadi. Yang lebih memilukan ini. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menerbitkan buku promosi masakan khas daerah-daerah seluruh Indonesia. Tak ada masakan khas daerah yang tak dimuat di buku itu, kecuali makanan khas daerah Melayu. Lembaga resmi pemerintah boleh bersikap sedemikian rupa, sungguh gejala yang mengharukan. Sangat tak mungkin kementerian yang memiliki jaringan sampai ke daerah tak memiliki informasi tentang masakan khas kesemua daerah yang ada di negara ini, bukan?

Berhubung dengan kedua gejala yang disebutkan di atas, agaknya keberatan memasukkan khazanah budaya Melayu karena khawatir ada kesamaan dengan Malaysia. Memang, ada banyak kesamaan khazanah budaya Melayu di dunia ini, tetapi tak kurang juga ada nuansanya. Dengan demikian, sedikit-sebanyak tentulah ada bedanya antara khazanah budaya Melayu Indonesia dan Melayu Malaysia. Jika persis sama pun, tak ada alasan yang masuk akal untuk meniadakan budaya Melayu dari rangkaian yang tak terpisahkan budaya Indonesia secara keseluruhannya. Pasal apa? Kenyataannya, Melayu juga ada di Indonesia, bahkan mungkin lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan Melayu yang ada di belahan dunia yang lain karena orang Melayu ada di beberapa provinsi di Indonesia.

Memang berbeda antara pemerintah kita dan Malaysia. Mereka betul-betul serius membina dan mengembangkan kebudayaan, termasuk memperhatikan kesejahteraan seniman, budayawan, dan pekerja seni-budaya. Mereka pun sangat

Page 480: H. Abdul Malik

460 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

mahir mempromosikannya ke mancanegara. Oleh sebab itu, kebudayaan mereka berkembang pesat dan cepat dikenal oleh masyarakat mancanegara. Mereka sangat percaya diri dan piawai mengemas seni-budaya menjadi atraksi pariwisata. Tak heranlah kebudayaan dan pelancongan mereka sangat maju. Kota kecil seperti Melaka saja, misalnya, dikunjungi 12 juta wisatawan per tahun setakat ini. Sekarang mereka sedang merancang Melaka sebagai Kota Taman untuk membedakannya dengan kota-kota lain di Malaysia. Dengan keistimewaan itu, Melaka mengharapkan kunjungan pelancong lebih meningkat lagi ke depan ini. Itulah buah terlezat dari kesungguhan mereka membina dan mengembangkan kebudayaan: kebudayaan berkembang dan kesejahteraan rakyat meningkat. Lalu, bagaimanakah kita? Buka dada, tahulah seleranya. []

Page 481: H. Abdul Malik

461ABDUL MALIK

POLITIK dan budaya seyogianya dapat bertumbuh dan berkembang secara berimbang dan saling mendukung, bukan sebaliknya berlawanan. Dalam hal

ini, kemajuan bidang politik mesti mendapat kontribusi positif dari nilai-nilai budaya, baik yang bersifat semesta (universal) maupun lokal (kearifan lokal), sehingga berterima di dalam masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Begitu pula kemajuan budaya semestinya dihasilkan oleh kebijakan politik dan atau kemauan politik dari para pemimpin politik yang memiliki komitmen dalam pengembangan budaya untuk kemajuan bangsa secara menyeluruh. Terlambat dan atau terhambatnya salah satu bidang itu, juga bidang-bidang kehidupan yang lain, akan berdampak pada tergencatnya (tersendatnya) kemajuan bangsa. Akibatnya, daya saing bangsa menjadi lemah di dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.

Politik yang benar dan baik tentulah berlandaskan etika, moral, dan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah sebabnya, putusan politik yang berdasarkan musyawarah mufakat, misalnya, lebih berterima di dalam masyarakat karena bangsa kita memuliakan nilai-nilai kebersamaan, senasib-sepenanggungan dalam mengejar kemajuan, termasuk untuk mengatasi pelbagai persoalan yang menghambat kemajuan yang diidealkan. Dengan demikian, politik “menghalalkan segala cara” untuk memperoleh kekuasaan senantiasa mendapat perlawanan dari masyarakat walaupun kadarnya berbeda-beda di dalam setiap masyarakat sesuai dengan kuantitas dan kualitas pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pemedulian yang dimiliki tentang politik dan budaya (khasnya, nilai-nilai budaya).

Seseorang atau sekelompok masyarakat yang tak peka terhadap nilai-nilai budaya, misalnya, tentulah tak mampu menilai dan lebih-lebih bereaksi terhadap praktik politik yang menyimpang dari kondisi yang diidealkan. Karena apa? Karena

Politik dan Budaya

Page 482: H. Abdul Malik

462 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dia atau mereka tak memunyai penakar (alat ukur) penilaian. Orang seperti itu sangat mudah diombang-ambingkan oleh permainan politik tak bersih. Ini contoh orang yang menjadi korban.

Dalam kasus yang lain, orang yang memiliki penakar penilaian pun sering rela mengombang-ambingkan dirinya dalam permainan politik. Dengan kata lain, dia atau mereka sengaja membiarkan diri menjadi objek permainan politik untuk mendapatkan “keuntungan-sisa” dari permainan itu: ekonomi (ikut menikmati hasil), prestise (dekat dengan kekuasaan), keamanan (terhindar dari tekanan), kenyamanan (tak perlu bersusah-payah memperjuangkan sesuatu), misalnya. “Tak ada hitam-putih dalam politik praktis, yang ada hanyalah abu-abu atau kelabu asap,” adalah keyakinan mereka yang disebut terakhir itu. Apa pun hasilnya, keuntungan sesaat itu tetaplah semu belaka karena tak akan membuat manusia menikmati kebahagiaan yang sejati. Fakta membuktikan bahwa tak ada batas peringkat pendidikan orang yang menempatkan dirinya di wilayah “kelabu asap” itu. Jadi, tempat itu potensial diisi oleh para peminat yang terdiri atas sama sekali tak berpendidikan formal sampai yang berijazah tinggi sekalipun. Ini contoh orang yang mengorbankan diri.

Sekali lagi politik yang bermartabat semestinya berlandaskan budaya yang bermarwah. Akan tetapi, politik praktis di mana pun sangat sulit menjamah kondisi yang ideal itu. Berhubung dengan itu, saya—untuk kesekian kalinya—dengan suka cita mengutip pernyataan mantan Presiden Irak, Allahyarham Saddam Hussein. Apa kata beliau? “Di dalam politik praktis, lain yang diniatkan, lain yang dikatakan, dan lain pula yang dilakukan.” Suatu pernyataan yang sangat jujur, yang tak pernah berani diungkapkan oleh pemimpin politik dunia mana pun walaupun mereka umumnya menerapkan prinsip itu. Karena itulah, banyak masyarakat yang terjerat oleh “janji manis” atau jargon politik para praktisi politik.

Satu di antara sekian janji politik yang sangat biasa dikampanyekan oleh politisi adalah pembangunan kebudayaan. Maksudnya, jika yang bersangkutan terpilih menjadi pemimpin politik atau lebih tepatnya penguasa, dia akan mengupayakan pembangunan kebudayaan secara optimal. Ada pelbagai variasi jargon yang digunakan semisal “Pembangunan Menjulang Budaya”, “Pembangunan Berkembang, Adat-Istiadat Menjulang, “Dengan Adat Membangun Masyarakat”, “Tiada Pembangunan Bangsa, Tanpa Pembangunan Budaya”, dan pelbagai variasi slogan yang ditata dengan bahasa yang indah-indah. Siapakah yang tak akan tergiur dan terliur membaca dan mendengarkan slogan berkonotasi janji politik itu?

Mengapakah sisi budaya itu paling banyak dimanfaatkan, di samping janji kesejahteraan ekonomi? Jawabnya adalah setiap anggota masyarakat sedikit atau banyak pasti mencintai budayanya, sama ada yang bersifat lokal ataupun nasional.

Page 483: H. Abdul Malik

463ABDUL MALIK

Selain penyerlah jati diri, hidup berbudaya diyakini mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Di samping penyegar raga yang lelah, budaya mampu menjadi penyejuk jiwa yang gundah. Dari budayalah diperoleh kebahagiaan batiniah.

Malangnya, politik praktislah yang paling banyak mencederai kebudayaan. Dari lenyapnya unsur budaya sampai kepada tercabutnya nilai-nilai budaya dalam kehidupan, banyak terjadi karena praktik politik yang tak bertimbang rasa dan cenderung buas. Tak jarang terjadi, kenyataan itu memang bagian dari program kerja sang penguasa, yang tentu saja tak diungkapkannya secara terus terang. Pasal apa? Dia khawatir jika masyarakat memiliki kecerdasan budaya, akan berakibat buruk bagi keberlangsungan kekuasaannya. Oleh sebab itu, janganlah heran jika janji pembangunan budaya tak pernah berwujud dalam kenyataan dan kalau pun ada, hanyalah sebatas kegiatan seremonial untuk pencitraan diri sang penguasa belaka.

Marilah kita ambil nilai demokratis sebagai contoh. Nilai itu sebetulnya telah mengakar di dalam masyarakat kita sejak lama, terutama di kampung-kampung. Dalam memilih ketua (kepala) kampung, misalnya, masyarakat menetapkan kriterianya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mereka junjung tinggi. Berdasarkan kriteria itulah seseorang dipilih secara musyawarah mufakat untuk diangkat menjadi ketua kampung. Jadi, penetapan kriteria dan proses pemilihannya secara demokratis harus dihormati, tak boleh dilanggar.

Sayangnya, pemimpin politik yang lebih tinggi, walau zahirnya seolah-olah menjunjung nilai-nilai yang diadatkan itu, ternyata melakukan monuver lain, terutama kalau dia menginginkan “orangnya” yang menjadi ketua kampung itu. Pertimbangannya tentulah untuk menjaga kepentingan politiknya, yang apabila “orang lain” yang terpilih diramalkan akan mengancam kekuasaannya atau, bahkan, membahayakan dirinya karena pelbagai musababnya. Kepentingannya dan kelompoknyalah yang diutamakan, bukan kepentingan dan keberlangsungan hidup masyarakat.

Untuk memuaskan syahwat kekuasaan itu, pelbagai kiat dan helah dilakukan. Dibuatlah pertimbangan “ini” atau “itu” supaya calon hipotetisnya tadi memenuhi kriteria orang yang akan dipilih, termasuklah pelbagai pengecualian dan perlakuan istimewa yang mesti digunakan untuk pemilihan dan atau, kalau perlu, penunjukan langsung yang memang telah diskenariokan sedemikian rupa. Tentulah pelbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku pun dijadikan tak berlaku dengan alasan yang memang dibuat-buat. Memang, akhirnya calonnyalah yang terpilih karena itulah matlamatnya. Alhasil, nilai-nilai demokratis di dalam masyarakat berangsur-angsur lenyap digantikan rekayasa politik kepentingan yang berpihak pada penguasa. Itulah contoh pembunuhan terhadap nilai-nilai budaya terala yang

Page 484: H. Abdul Malik

464 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

sangat mematikan perkembangan budaya di antara sekian contoh yang berserak di dalam kehidupan kita sehari-hari pada hari ini. Ironisnya, kita sering dengan bangga menyebutkan bahwa kita hidup dalam era demokrasi dan berupaya dengan segala cara untuk mengembangkan demokratisasi.

Berdasarkan kenyataan itulah, para budayawan secara sarkastis sering mengulang-ulang pernyataan, “Politik praktis senantiasa mencerai-beraikan, tetapi budayalah yang menyatukan.” Di dalam kehidupan ini, lebih-lebih dewasa ini, kita nampaknya memang diwajibkan memilih “racun politik praktis” atau “madu keranggian budaya”. Di antara kedua sisi itu, kita dititipkan pesan oleh Raja Ali Haji dan kesemua budayawan muslim zaman-berzaman bahwa tanggung jawab dunia kita tak habis di alam fana ini saja. Masih ada akhirat yang terlalu nyata yang menantikan pertanggungjawaban yang lebih besar di hadapan Sang Khalik Yang Mahabesar. Di alam yang abadi itulah pertaruhan antara surga dan neraka betul-betul terjadi, mentelah lagi, tak suatu apa pun dapat dibeli. Hanya hati yang butalah yang mendustakan kenyataan itu.[]

Page 485: H. Abdul Malik

465ABDUL MALIK

DALAM makalah untuk Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau di Tanjungpinang saya ada menulis, “Perjuangan untuk membentuk Provinsi Kepulauan

merupakan upaya untuk mengembalikan mutiara yang hilang” (lihat Abdul Malik, “Pemekaran Wilayah Kepulauan Riau: ke Arah Provinsi Kepulauan Riau”, 15 Mei 1999). Dengan pernyataan itu dimaksudkan bahwa pembentukan Provinsi Kepulauan Riau seyogianya juga menjadi bagian dari perjuangan untuk memperkasa dan meningkatkan martabat tamadun Melayu di daerah ini. Karena apa? Karena sebelum itu, dari masa penjajahan sampai zaman merdeka pun upaya itu bagai mati suri. Status Kepulauan Riau yang hanya satu kabupaten kala itu menyebabkan kita kurang memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan tanggung jawab menjaga warisan yang agung itu.

Kita tentulah tak terlalu terbebani seandainya Negeri Segantang Lada ini dahulu hanyalah suatu kawasan yang biasa-biasa saja.Ternyata, tak demikianlah adanya. Kawasan ini pada masa jayanya pernah menjadi satu di antara pusat tamadun Melayu yang utama di dunia. Karena mewarisi kecemerlangan, kegemilangan, dan keterbilangan itulah; kita wajib mengembalikannya. Jika tidak, apa pun gelar dan sebutan yang kita sandang pada hari ini hanyalah semu belaka. Kita tak pernah diperhitungkan dalam sejarah. Ibarat orang bekerja, setelah itu kita bersara (pensiun), kemudian dilupakan, tak pernah terekam dalam sejarah. Pasal apa? Jawabnya, kita masih jauh kalah kelas dari para pendahulu yang telah meletakkan asas yang demikian kokoh di negeri bahari yang molek lagi berseri ini.

Andai masih ada sedikit saja kearifan, kita patutlah merenung. Sudahkah kita menyamai kualitas seorang Sultan Mahmud Syah III yang setiap gerak-geri dan langkah strategis yang diambilnya membuat gerun kaum penjajah? Adakah di antara kita yang hidup di hari ini dapat dibanding dan disandingkan dengan keberanian seorang Raja Haji Fisabilillah yang dengan perkasa menyerang ke sarang musuh besar hanya berbekalkan kecintaan terhadap bangsa dan negara

Memperkasa Tamadun Melayu

Page 486: H. Abdul Malik

466 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

dengan menjadikan nyawa sebagai tagannya (ingat: Merdeka atau Mati!) dan bertopangkan ketakwaan kepada Allah swt. (Allahu Akbar!)? “Beta rela syahid di medan perang demi marwah bangsa dan negara!”

Adakah di antara kita yang hidup hari ini yang bersedia dan bersetia menjaga tradisi dan adat-istiadat warisan leluhur bagai menatang minyak yang penuh dengan segenap jiwa dan raga seperti yang ditauladankan oleh Engku Puteri Raja Hamidah? Dan, adakah di antara kita yang mampu membuat bangga anak bangsa dengan ketekunan, kegigihan, kerajinan, ketelitian, dan kecintaan terhadap tamadunnya seperti yang ditunjukkan oleh Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim? Masih banyak contoh lain dari kewiraan para pendahulu, yang kalau dihayati pastilah membuat kita terkagum-kagum.

Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang seyogianya kita jawab hari ini. Cara menjawabnya tentulah dengan karya terbilang jika kita hendak diperhitungkan kelak. Yang menarik, tak seorang pun di antara para pengasas itu dikagumi karena meninggalkan warisan harta benda yang berlimpah. Tak ada! Mereka diperhitungkan, justeru, karena ketauladanan dalam kepemimpinan. Yang pasti, semasa mereka berkuasa—Sultan Mahmud Syah III dan Raja Haji Fisabilillah, misalnya—rakyat hidup dalam keadaan aman, damai, adil, dan sejahtera. Memang, zaman mereka berbeda dengan era kita sekarang. Namun, hakekat hidup dalam setiap zaman itu tetaplah sama yaitu “eksis dalam persaingan dan mara dalam kemajuan”. Kalau mereka boleh, mengapa kita tidak? Jikalau belum mampu, kita patutlah berlaku jujur pada diri masing-masing bahwa “ada yang salah pada diri kita hari ini”.

Karena perjuangan para pendahulu itulah, tamadun kita menjadi satu di antara tamadun yang menjadi pusat perhatian dunia sampai setakat ini. Pencinta alam dan tamadun Melayu ada di mana-mana: di China, India, Jepang, Korea, Arab, Iran, dan lain-lain di kawasan Timur; Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, Rusia, Portugal, Spanyol, dan lain-lain di belahan Barat. Universitas-universitas ternama dunia membuka Program Studi Alam dan Tamadun Melayu dan sangat diminati oleh para mahasiswa dari pelbagai belahan dunia. Lalu, bagaimanakah apresiasi kita sebagai ahli waris sah warisan yang agung itu? Kalau kita mau jujur, memelihara yang telah tersedia ada saja kita cenderung berbelah hati.

Walaupun begitu, kita terbukti memang tak terlalu selamba juga. Dengan tekad untuk mengembalikan mutiara yang hilang, rakyat Kepulauan Riau telah berjuang untuk membentuk Provinsi Kepulauan Riau. Dimulai dengan semangat Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau, 15 Mei 1999, kawasan ini telah meningkat statusnya menjadi sebuah provinsi sebagaimana yang dicita-citakan. Akan tetapi, kesemuanya itu tentulah belum cukup. Ada misi besar yang diemban dari perjuangan itu yakni memperkasa tamadun Melayu untuk meningkatkan

Page 487: H. Abdul Malik

467ABDUL MALIK

kesejahteraan rakyat. Jika tak mampu melampaui, dapat menyamai kecemerlangan dan kegemilangan generasi pengasas pun sudah merupakan capaian yang boleh dibanggakan.

Yang pasti, terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau merupakan gerbang emas untuk menuju ke matlamat yang diamanatkan oleh perjuangan itu. Asal, tentulah kita harus ingat seingat-ingatnya akan niat mulia perjuangan itu. Jika tidak, percaya ataupun tidak, badai demi badai tak akan pernah mau berlalu. Pasal apa? Kesemuanya itu tak ubahnya “Janji Setia” yang tatkala kita melafazkannya dulu pasti disaksikan oleh Allah Azza wa Jalla. Dengan perkenan dan rida-Nya jualah, niat itu dikabulkan. Dan, jangan dipandang remeh hal-hal yang bersifat kultural dan spiritual itu.

Kesempatan ini terbuka untuk sesiapa pun, terutama para penguasa, untuk menjadi pejuang berikutnya. Harus dapat diciptakan kebanggaan anak bangsa untuk mengapresiasi dan menikmati nilai-nilai kejuangan itu dalam arti yang sesungguhnya. Hal itu dimungkinkan karena Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau telah pun menetapkan bahwa nilai-nilai budaya Melayu sebagai dasar pembangunan. Bukankah “Menjadikan Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu” itu sebuah azam besar, yang memerlukan karya-karya besar dari orang-orang yang memang bersungguh-sungguh mendambakan masyarakat dan daerah ini menjadi besar? Karena bersamaan dengan pembentukan provinsi itu terbentuk juga kabupaten/kota di daerah ini, gerak serempak dan serentak pemerintah daerah ini untuk memperkasa tamadun Melayu patutlah diwujudkan.

Alangkah sayangnya jika gagasan-gagasan besar itu hanya menjadi ide yang mengendap belaka. Keadaan seperti itu bukan hanya akan menjadi isu negatif di belakang hari, melainkan juga akan berbuah penyesalan, bahkan mungkin juga sikap inferioritas, ketika kita harus berhadapan dengan orang-orang yang setaraf di tempat lain, tetapi mereka bersungguh-sungguh memperjuangkan cita-cita yang diamanahkan. Setakat ini memang masih banyak orang yang cenderung tergiur dengan retorika yang berbunga-bunga, tetapi yang kritis terhadap pelbagai persoalan, terutama yang berhubung dengan pelaksanaan pembangunan, juga tak kalah banyaknya. Itulah sebabnya, upaya menggesa matlamat perjuangan, khasnya yang gagasannya telah dicetuskan, adalah amat mustahak dan tak boleh dicuaikan.

Awal dan akhirnya, prestasi dan kejayaanlah yang diperhitungkan orang di mana pun di muka bumi ini. Prestasi itu ditakar dengan tolok ukur pengabdian anak bangsa, terutama mereka yang dipercayakan menjadi pemimpin, yang mampu dan mau mengangkat marwah bangsanya. Untuk mencapai kesemuanya itu tak ada cara lain, kecuali melalui memperkasa dan memartabatkan tamadun dengan upaya yang seoptimal mungkin.

Page 488: H. Abdul Malik

468 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Bagi daerah kita, kekurangan sumber daya dan sumber dana yang pernah kita alami suatu masa dulu secara berangsur-angsur telah dapat diatasi. Bahkan, boleh dikatakan kini kita mendapatkan karunia yang berlimpah jika dibandingkan dengan kala Kepulauan Riau hanya terdiri atas satu kabupaten dahulu. Kalau isu sumber daya itu juga yang masih kita gaungkan kini, pikiran dan sikap kita bagai tak maju-maju alias tersendat. Seyogianya kinilah saatnya kita melayarkan bahtera pemerkasaan dan pemartabatan tamadun supaya bergerak laju demi kemajuan bangsa yang menjadi matlamat bersama. []

Page 489: H. Abdul Malik

469ABDUL MALIK

Alisjahbana, S. Takdir. 1978. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Andaya, Barbara Watson. 1977. “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rulers of Riau, 1899—1944”, Indonesia. Itacha: Corbell University.

Bell, Rogers T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London: B.T. Batsfort.

Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan Sastera Melayu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Universitas Leiden.

_____. 1994. Erti Keindahan dan Keindahan Erti dalam Kesusastraan Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. 1999. Khazanah Naskah. Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia.

Crystal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge: University Press.

Daillie, Francois-Rene. 1990. Alam Pantun Melayu (Studies on the Malay Pantun). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Djajadiningrat, R.A. Hoesein. 1933. “Latar Belakang Magis yang Mendasari Arti Pantun Melayu,” dalam Achadiati Ikram (Ed.), 1988. Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya. Jakarta: Intermasa, hlm. 144—159.

Fishman, Joshua A. 1974. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton.

Gardner, Robert dan Wallace Lambert. 1972. Attitudes and Motivation in Second Language Learning. Rowley, Mass.: Newbury House Publishers.

Gobyah, I Ketut. 2003. “Berpijak pada Kearifan Lokal”. http://www.balipos.co.id

DAFTAR PUSTAKA

Page 490: H. Abdul Malik

470 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Haji, Raja Ali. 1950. Bustan al-Katibin. Dikaji dan diperkenalkan oleh Hashim bin Musa. 2005. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.

_____. 1858. Tsamarat al-Muhimmah. Dikaji oleh Mahdini, 1999. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.

_____. 1858. Pengetahuan Bahasa: Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau, dan Lingga. Transliterasi oleh Raja Hamzah Yunus. 1986/1987. Pekanbaru: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_____. 1866. Syair Suluh Pegawai (Hukum Nikah). Dikaji oleh U.U. Hamidy, Hasan Junus, dan R. Hamzah Yunus, 1985/1986. Pekanbaru: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hassim, Shahruddin, Ahmad Zulhusny bin Rozali, dan Puan Norshabihah Ahmad. 2010. “Memperkasa Bahasa Melayu di Arena Antarabangsa”, makalah Seminar Pendidikan Melayu Antarabangsa, Perlis, 2010.

Ibrahim, Haji, Datuk Kaya Muda Riau. 2002. Perhimpunan Pantun Melayu. Diselenggarakan oleh Elmustian Rahman. Pekanbaru: Unri Press.

Junus, Hasan. 2000. Raja Haji Fisabilillah: Hannibal dari Riau. Tanjungpinang: Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Kepulauan Riau.

Karim, Nik Sapiah. 2003. Tatabahasa Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kong Yuan Zhi. 1993. “Bahasa Kunlun dalam Sejarah Bahasa Melayu,” makalah Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora II: Bidang Sejarah dan Linguistik, Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 26—27 April 1993.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

_____.`1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.

_____. 2010. Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia. Depok: Laboratorium Leksikologi dan Leksikogra i, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Malik, Abdul. 1992. “Perkembangan Bahasa Melayu Masa Kini: Kasus Indonesia”. Makalah Seminar Internasional Bahasa Melayu sebagai Bahasa Pergaulan Bangsa Asean dan Bangsa Serumpun, Tanjungpinang, 7—10 September 1992.

Page 491: H. Abdul Malik

471ABDUL MALIK

_____.2009. Memelihara Warisan yang Agung. Yogyakarta: Akar Indonesia.

_____. 2011a. ”Nilai-Nilai Budaya dalam Gurindam Dua Belas”. Makalah Penataran Guru Pendidikan Budi Pekerti Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

_____. 2011b. ”Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Budaya Melayu”. Makalah Penataran Guru Pendidikan Budi Pekerti Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

_____. 2011c. ”Pantun: Warisan Sadu Perdana Lestari”. Makalah Temasya Pantun Melayu Serumpun Sempena Bulan Bahasa Kebangsaan dan Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam, Melaka, 11 Oktober 2011.

_____. 2011d. ”Pengaruh Kesusasteraan Malaysia terhadap Patriotisme Indonesia”, Makalah Seminar Patriotisme Persuratan Melayu dalam Peradaban Malaysia, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Perak, Malaysia, 22—23 Desember 2011.

Malik, Abdul dan Hasan Junus. 2000. “Studi tentang Himpunan Karya Raja Ali Haji”. Pekanbaru: Bappeda Propinsi Riau dan PPKK, Unri.

Malik, Abdul, Hasan Junus, dan Auzar Thaher. 2003. Kepulauan Riau sebagai Cagar Budaya Melayu. Pekanbaru: Unri Press.

Malik, Abdul, dkk. 2003. Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Adi Cita.

Malik, Abdul, dkk. 2009. Penafsiran dan Penjelasan Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji. Tanjungpinang: Pemerintah Kota Tanjungpinang.

Mees, C.A. 1957. Tatabahasa Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters.

Moeliono, Anton M. (Peny.) 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Netscher, E. 1870. De Nederlanders in Johor en Siak 1602 tot 1865. Batavia: Bruijning & Wijt Batavia.

Puar, Yusuf Abdullah (Ed.). 1985. Setengah Abad Bahasa Indonesia. Jakarta: Idayus.

Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Sartini. 2004. ”Menggali Kearifan Lokal”, Jurnal Filsafat, Jilid 37, No. 2, Agustus 2004.

Page 492: H. Abdul Malik

472 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Van der Putten, Jan dan Al Azhar. 2006. Dalam Perkekalan Persahabatan: Surat-Surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall. Terjemahan Aswandi syahri. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Van Ophuijsen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. Terjemahan T.W. Kamil. Jakarta: Djambatan.

Winstedt, Sir Richard. 1977. A History of Classical Malay Literature. Oxford: Oxford University Press.

www.prihatin.net

Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 493: H. Abdul Malik

473ABDUL MALIK

Datuk Drs. H. Abdul Malik, M.Pd. lahir di Lubukpuding, Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, Indonesia, 9 April 1958. Beliau memperoleh ijazah sarjana dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Riau (UR), Pekanbaru, Indonesia, 1985 (lulusan pertama FKIP UR yang memperoleh predikat cumlaude sekaligus pemuncak). Magister Pendidikan (S2) diperolehnya dari Fakultas Pascasarjana, IKIP Malang, 1988 (juga lulus dengan predikat cumlaude sekaligus lulusan tercepat dan

pemuncak). Kini beliau kandidat Doktor Filsafat (Ph.D.) di Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Malaysia, dengan disertasi “Kehalusan Budi dalam Karya-Karya Raja Ali Haji”.

Beliau menjadi dosen Universitas Riau sejak 1986 sampai dengan 2013. Selanjutnya, menjadi dosen tetap FKIP, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) sejak awal 2013 sampai sekarang. Sekarang berpangkat Pembina Utama Muda, Golongan IV/C dengan jabatan fungsional Lektor Kepala di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), UMRAH, Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Saat ini menjabat Dekan FKIP, UMRAH, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia.

Sejak 1988 sampai dengan 2004 beliau juga menjadi dosen luar biasa di Universitas Islam Riau (Pekanbaru), Universitas Lancang Kuning (Pekanbaru), Institut Agama Islam Negeri Sultan Syarif Qasim (Pekanbaru), dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Purnagraha (Pekanbaru). Selain menjadi dosen, Abdul Malik juga dikenal luas sebagai penatar (pembina) Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Swasta di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau.

Jabatan yang pernah disandangnya, antara lain, Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Riau dari (1990—1994); Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan, Universitas Riau, Pekanbaru (1994—2004); Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Kepulauan Riau (2004—2005); dan Staf Ahli Gubernur Kepulauan Riau Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (2006—2007).

BIODATA

Page 494: H. Abdul Malik

474 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

Beliau juga pernah menjadi Konsultan Pengembangan Sumber Daya Manusia Riau Pos Group (1992—1999). Menjadi Wakil Sekretaris Dewan Pakar Daerah Riau, yang berhasil merumuskan Visi Riau 2020. Beliau juga bergiat di Biro Sosio-Budaya, Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Pusat, Melaka, Malaysia dan Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia sampai sekarang. Sekarang beliau juga menjadi Ketua Bidang Penulisan Adat, Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau dan Presiden Rusydiah Kelab Perhimpunan Agung Kesultanan Riau-Lingga.

Abdul Malik juga adalah penggagas (inisiator), deklarator, dan pejuang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (pengonsep dan penanda tangan deklarasi serta Sekretaris Panitia Pemekaran Wilayah Kepulauan Riau). Beliau adalah salah seorang Ketua Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR). Beliau juga adalah penggagas dan Ketua Konsorsium Pertama Pendirian Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia, sejak 2004.

Beliau banyak menyajikan makalah dalam pelbagai pertemuan ilmiah di dalam dan luar negeri. Sampai kini masih aktif sebagai penatar guru-guru dan Pegawai Negeri Sipil.

Abdul Malik telah menghasilkan tak kurang dari 50 karya penelitian. Artikel ilmiahnya dimuat di dalam pelbagai media terbitan perguruan tinggi di dalam dan luar negeri.

Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen, puisi, makalah, dan buku. Artikelnya dimuat di SKK Bahana Mahasiswa (Pekanbaru), SKM Genta (Pekanbaru), Majalah Budaya Sagang (Pekanbaru), Jurnal Dawat (Pekanbaru), Majalah Prestasi (Pekanbaru), Majalah Bina Prestasi (Pekanbaru), Riau Pos (Pekanbaru), Jurnal Bahas (Pekanbaru), Sijori Pos (Batam), Batam Pos (Batam), Kemilau Melayu (Batam), Tanjungpinang Pos (Tanjungpinang), Majalah Geliga (Tanjungpinang), Jawa Pos (Surabaya), Media Indonesia (Jakarta), www.rajaalihaji.com (Yogyakarta),, www.melayuonline.com (Yogyakarta), www.sagangonline, (Pekanbaru), dan lain-lain.

Cerpennya diterbitkan dalam buku Kumpulan Cerpen Keranda ½ Spasi bersama beberapa penulis lain (Cendekia Insani, Pekanbaru, 2006) dan Majalah Sastra Horison (Jakarta). Puisinya, antara lain, dimuat dalam Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Percakapan Lingua Franca (2010) dan Harian Pagi Tanjungpinang Pos.

Bukunya yang sudah diterbitkan Morfosintaksis Bahasa Melayu Riau (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan nasional, Jakarta, 1990), Tuan Guru Syekh Abdurrahman Siddiq: Kemilau Gemilang Indragiri (Takar Riau, Pekanbaru, 2002 bersama Mosthamir Thalib, Muhd. Anang Azmi, dan Lukman Edy), Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau (Adi Cita, Yogyakarta, 2003 bersama Tenas Eff endy, Hasan

Page 495: H. Abdul Malik

475ABDUL MALIK

Junus, dan Auzar Thaher), Kepulauan Riau: Cagar Budaya Melayu (Unri Press, Pekanbaru, 2003 bersama Hasan Junus dan Auzar Thaher), Kemahiran Menulis bersama Isnaini Leo Shanty (Unri Press, Pekanbaru, 2003), Memelihara Warisan yang Agung (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2009), Dermaga Sastra Indonesia (Komodo Books, Jakarta, 2010), Menjemput Tuah Menjunjung Marwah (Komodo Books, Depok, 2012), Sejarah Kejuangan dan Kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah: Yang Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812) diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lingga, 2012. Dua buku terbarunya adalah Mewujudkan Prasasti Bahasa Melayu Kepulauan Riau Sebagai Asal Bahasa Indonesia (Komodo Books, Depok, 2013) dan Bahasa Melayu Kepulauan Riau: Tumpah Darah Bahasa Indonesia (Komodo Book, Depok, 2013). Saat ini juga sedang menyelesaikan penulisan buku Direktori Seni dan Budaya Melayu.

Bukunya Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau menjadi bacaan di Australia dan dikoleksi oleh National Library of Australia dengan kode katalog Bib ID 3076736 dan bukunya Memelihara Warisan yang Agung menjadi bacaan di Ohio University, Amerika Serikat dan dikoleksi oleh Ohio University Libraries dengan kode katalog DS625 .M35 2009 dan Yale University Libraries, Yale University, Amerika Serikat. Tulisan beliau juga diterbitkan di dalam buku kumpulan tulisan bersama penulis

Datuk Haji Abdul Malik (penulis buku ini) menerima Anugerah Tokoh Budaya dan Warisan Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) 2013, yang diserahkan oleh Ketua Menteri Melaka, Y.A.B. Datuk Seri Haji Idris bin Haji Haron, disaksikan oleh Presiden DMDI, Datuk Seri Haji Mohd. Ali bin Mohd. Rustam (paling kiri) pada acara puncak Konvensyen XIV DMDI, 28 Oktober 2013 di Melaka, Malaysia.

Page 496: H. Abdul Malik

476 MENJEMPUT TUAH MENJUNGJUNG MARWAH

lain yang diterbitkan oleh Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim, Perak, Malaysia.

Beliau juga menjadi penulis tetap “Kolom Budaya”, Surat Kabar Batam Pos Minggu dan menjadi penulis lepas untuk pelbagai media lain.

Penghargaan yang pernah diperolehnya, antara lain, (1) lulusan terbaik Universitas Riau (1985), (2) lulusan terbaik tingkat magister (S2) IKIP Malang (1988), (3) Dosen Teladan Universitas Riau (1993), (4) Anugerah Hang Tuah dari Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), Melaka, Malaysia (2009), (5) Penghargaan Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dari DPRD Provinsi Kepulauan Riau (2009), Anugerah Darjah Utama Bakti Budaya yang membawa kepada gelar Datuk dari Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun (2011), dan Anugerah Tokoh Penggerak Budaya dan Warisan dari Sekretariat Pusat Dunia Melayu Dunia Islam, Melaka, Malaysia (2013).

Abdul Malik menikah dengan Dra. Hj. Isnaini Leo Shanty, M.Pd. yang juga dosen FKIP UMRAH. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga orang anak: dr. Annisa Bestari, Abdelrezki Tafriansyah (Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU, Medan), dan Abdelzikri Hajiansyah (Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al-Madinah, Tanjungpinang, Indonesia).