guru sebagai pribadi

Upload: nur-fadhilah

Post on 19-Jul-2015

187 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Guru Sebagai Pribadi Sebagai individu yang berkecimpungdalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seseorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa guru bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Secara nasional, nilai-nilai tersebut sudah dirumuskan, tetapi barangkali masih ada nilai tertentu yang belum terwadahi dan harus dikenal oleh guru, agar dapat melestarikannya, dan berniat untuk tidak berperilaku yang bertentangan dengan nilai tersebut. Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat dia menyikapi hal tersebut, sehingga tidak terjadi benturan nilai anatara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik. Untuk kepentingan tersebut, wawasan nasional mutlak diperlukandalam pembelajaran. Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlikan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui bahwa tiap orang mempunyai temparamen yang berbeda dengan orang lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangan berguna. Guru yang mudah marah akan membuat peserta didik tajut, dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena ketakutan menimbulkan kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini membelokan konsentrasi pesreta didik. Kemarahan guru terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka dan mungkin dengan gerakan-gerakan tertentu, bahkan ada yang dilahirkan dalam bentuk memberikan hukuman fisik. Sebagian kemarahan bernilai negatif, dan sebagian lagi bernilai positif. Kemarahan yang berlebihan seharusnya tidak ditampakkan, karena menunjukkan kelebihan emosi guru. Dilihat dari penyebabnya, sering nampak bahwa kemarahan adalah salah karena ternyata disebabkan oleh peserta didik yang tidak mampu memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan, padahal dia telah belajar dengan sungguh-sungguh. Kematangan emosi guru akan berkembang sejalan dengan pengalaman bekerja, selama dia mau memanfaatkan pengalamannya. Jadi tidak sekedar jumlah umur atau masa kerjanya saja yang bertambah, melainkan bertambahnya kemampuan memecahkan masalah atas dasar pengalaman masa lalu. Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan

bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat. Jika di masyarakat, guru diamati dan dinilai oleh masyarakat, maka di sekolah diamati oleh peserta didik, dan oleh teman sejawat serta atasannya. Dalam kesempatan tertentu sejumlah peserta didik membicarakan kebaikan gurunya, tetapi dalam situasi lain mereka membicarakan kekurangannya. Ada baiknya jika guru sering minta pendapat teman sejawat atau peserta didik tentang penampilannya sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas, dan segera memanfaatkan pendapat yang telah diterima dalam upaya mengubah atau memperbaiki penampilan tertentu yang kurang tepat. Salah satu hal yang perlu dipahami guru untuk mengefektifkan proses pembelajaran adalah bahwa semua manusia (peserta didik) dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan, dan mereka semua memiliki potensi untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Misalkan kita memberikan mainan kepada seorang bayi, perhatikan bagaimana asiknya ia memainkan mainannya, menggerakgerakkan seluruh bagian tubuhnya sebagai reaksi terhadap mainan tersebut, memutar dengan tangan, menggigit atau memasukkan mainan tersebut ke mulutnya dan bahkan sekali-kali ia melemparkannya. Kesemuanya itu dilakukan karena rasa ingin tahunya terhadap mainan. Belajar dari pengalaman tersebut, dalam pembelajaranpun kondisinya tidak jauh berbeda, peserta didik memiliki rasa ingin tahu, dan memiliki potensi untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Oleh karena itu, tugas guru yang paling utama adalah bagaimana membangkitkan rasa ibgin tahu peserta didik agar tumbuh minat dan motivasinya untuk belajar. Untuk kepentingan tersebut perlu dikondisikan lingkungan yang kondusif dan menantang rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran akan berlangsung secara efektif. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa prestasi belajar peserta didik pada akhir-akhir ini cenderung rendah? Mengapa banyak peserta didik yang malas belajar? Mengapa banyak yang membolos? Lebih dari itu mengapa banyak yang memilih main di mall, atau berkelahi dari pada belajar? Maka jawabannya sederhana saja karena mereka tidak merasa senang belajar, karena tidak ada rasa ingin tahu dan rasa ingin belajar di kalangan peserta didik. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karena para guru tidak menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif,dan kurang dapat membangkitkan rasa ingin tahu peserta didik. Disinyalir dan didukung oleh beberapa hasil penelitian bahwa kebanyakan guru hanya menyampaikan bahan sesuai dengan urutan-urutan dan ruang lingkup yang ada dalam buku teks. Ini yang harus di ubah. Masalahnya sekarang bagaimana mengubah persepsi dan pola pikir guru terhadap tugas pokoknya mengajar, bahwa mengajar bukan semata-mata menyampaikan bahan sesuai dengan urutan buku teks, tetapi yang paling penting bagaimana memberikan

kemudahan belajar kepada peserta didik sehingga bangkit rasa ingin tahunya dan terjadilah proses belajar yang tenang dan menyenangkan.