guntur prahara

99
ANALISIS DAYA SAING KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PAKAIAN JADI INDONESIA TAHUN 2000 – 2006 Oleh: GUNTUR PRAHARA H14084021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: mdedy39

Post on 13-Jun-2015

2.544 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

ANALISIS DAYA SAING KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PAKAIAN JADI INDONESIA TAHUN 2000 – 2006

Oleh: GUNTUR PRAHARA

H14084021

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN GUNTUR PRAHARA. Analisis Daya Saing Komparatif dan Kompetitif Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 - 2006 (dibimbing oleh WIDYASTUTIK).

Pakaian jadi/clothing/garment adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari tekstil, berbagai jenis pakaian yang siap pakai (ready to wear) dalam berbagai ukuran standar, antara lain: pakaian pria dan wanita (dewasa dan anak-anak), pakaian pelindung (mantel, jaket, sweater), pakaian seragam, pakaian olah raga, dan lain-lain. Komoditi pakaian jadi merupakan hasil industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total ekspor industri hasil pengolahan dari tahun ke tahun. Nilai dan volume ekspor pakaian jadi Indonesia telah terjadi peningkatan yang cukup tajam dari tahun ke tahun. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sebagian masyarakat Indonesia cenderung memilih produk pakaian jadi khususnya yang bermerk dari luar negeri daripada produk dan merk dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya kebergantungan pada pakaian jadi impor. Pada tahun 2001, nilai resmi impor pakaian jadi menurut Asosiasi Perteksilan Indonesia (API) adalah 17 juta dolar AS, dan angka ini meningkat menjadi 53 juta dolar AS di tahun 2005

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana perbandingan ekspor dengan impor pakaian jadi Indonesia? 2)Bagaimana konsentrasi pasar pakaian jadi Indonesia? 3). Bagaimana keunggulan komparatif komoditi pakaian jadi Indonesia pada pasar internasional (dunia)? 4).Bagaimana keunggulan kompetitif industri pakaian jadi di Indonesia?

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis perbandingan ekspor dengan impor pakaian jadi Indonesia, 2) Menganalisis kosentrasi pasar ekspor pakaian jadi Indonesia, 3) Menganalisis keunggulan komparatif komoditi pakaian jadi Indonesia, 4) Menganalisis keunggulan kompetitif industri pakaian jadi di Indonesia dengan menggunakan Porter’s Diamond.

Hasil perhitungan Indeks Spesialisasi Perdagangan pada periode tahun 2000 – 2006 berkisar pada angka 0,9739 – 0,9860. Angka ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki nilai ekspor yang sangat jauh melebihi nilai impor komoditi yang sama.

Selama kurun waktu 2000 – 2006 nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) pakaian jadi Indonesia berkisar pada nilai 51,19 sampai 63,70. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor pakaian jadi Indonesia mulai mempunyai kecenderungan mengarah pada salah satu atau beberapa negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan, karena jika pangsa pasar tersebut mengalami gangguan, secara tidak langsung sebagian besar ekspor pakaian jadi Indonesia juga akan terganggu.

Dilihat dari nilai RCA, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki daya saing yang lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata dunia. Namun angka RCA

tersebut cenderung menurun walaupun masih lebih besar dari satu. Hal tersebut disebabkan oleh makin menurunnya share ekspor pakaian jadi terhadap total ekspor Indonesia.

Tiap komponen daya saing industri pakaian jadi memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan industri pakaian jadi yang dapat menyebabkan daya saing industri pakaian jadi tinggi tersebut seperti faktor struktur, persaingan dan strategi perusahaan, faktor permintaan, faktor kesempatan, dan faktor pemerintah. Tetapi faktor sumber daya serta faktor industri terkait dan pendukung banyak memiliki kelemahan. Keterkaitan antar faktor tidak terjalin sempurna sehingga menyebabkan faktor keunggulan industri pakaian jadi tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung faktor daya saing yang lemah. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing industri pakaian jadi Indonesia masih rendah.

Berdasarkan analisis di atas, dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Dalam kurun waktu 2000 - 2006, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki nilai ekspor yang sangat jauh melebihi nilai impornya. 2) Ekspor pakaian jadi Indonesia mulai mempunyai kecenderungan mengarah pada salah satu atau beberapa negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan, karena dengan demikian ekspor komoditi pakaian jadi Indonesia mulai tergantung pada salah satu atau beberapa pangsa pasar saja. 3) Komoditi pakaian jadi Indoensia memiliki daya saing komparatif yang cukup kuat namun cenderung terjadi penurunan setiap tahunnya. 4) Daya saing kompetitif industri pakaian jadi Indonesia masih rendah.

Adapun saran yang dapat diberikan sebagai berikut: 1). Pemerintah dan para pelaku ekspor pakaian jadi Indonesia perlu mempertimbangakan untuk mencari dan memperluas negara tujuan eskpor pakaian jadi, sehingga pangsa pasar pakaian jadi tidak mengarah pada beberapa pangsa pasar saja. 2). Perlu adanya upaya peningkatan keunggulan kompetitif industri pakaian jadi nasional supaya industri ini bisa bersaing di pasar internasional. 3). Perlu kerja sama antara lembaga penelitian terkait dan pemerintah sebagai fasilitator untuk mengembangkan bahan baku industri pakaian jadi khususnya kapas. 4). Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan lembaga penelitian khususnya yang bergerak dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk bisa mengembangkan teknologi yang lebih modern sehingga industri pakaian jadi dapat meningkatkan daya saingnya. 5). Perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas pekerja seperti adanya pelatihan-pelatihan khusus bagi para tenaga kerja sehingga akan dicapai hasil yang lebih maksimal. 6).Pemerintah, lembaga penelitian, dan pelaku usaha pakaian jadi khususnya perusahaan besar dan sedang perlu memikirkan energi alternatif untuk menggerakkan mesin produksi.

ANALISIS DAYA SAING KOMPETITIF DAN KOMPARATIF PAKAIAN JADI INDONESIA TAHUN 2000 – 2006

Oleh:

GUNTUR PRAHARA H14084021

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:

Nama : Guntur Prahara

NRP : H14084021

Departemen : Ilmu Ekonomi

Judul : Analisis Daya Saing Komparatif dan Kompetitif Pakaian

Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2006

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana

Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Widyastutik, MSi NIP. 132 311 725

Mengetahui, Ketua Departemen

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872

Tanggal lulus:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-

BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Guntur Prahara H14084021

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Guntur Prahara lahir di Gombong kabupaten Kebumen

Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli 1975. Penulis merupakan anak kedua

dari empat bersaudara dari pasangan Christian Cipto Waluyo dan Rumilah

Harjosumarto.

Pada tahun 1982 penulis terdaftar sebagai siswa SDN 01 Karanganyar

kabupaten Kebumen dan tamat pada tahun 1988. Setelah tamat dari SD, penulis

melanjutkan sekolah di SMP N 1 Karanganyar kabupaten Kebumen. Pada tahun

1991 penulis meneruskan pendidikannya ke SMU Gombong kabupaten Kebumen.

Setelah tamat SMU pada tahun 1997, penulis menempuh pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi yaitu di Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta.

Pendidikan tersebut dijalani selama tiga tahun. Selesai kuliah di AIS, penulis

bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Setelah bekerja

kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan tugas

belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta. Pendidikan tersebut

diselesaikan pada tahun 2000.

Selesai menempuh pendidikan, penulis bekerja kembali di Badan Pusat

Statistik kabupaten Kapuas Hulu di provinsi Kalimantan Barat. Dan pada tahun

2008, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi penerimaan tugas belajar

program S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima di Departemen Ilmu

Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

KATA PENGANTAR

Puji Syukur pada Tuhan Yesus Kristus, atas segala kasih dan anugerah-

Nya yang dinyatakan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Analisis Daya Saing Komparatif dan Kompetitif Pakaian Jadi

Indonesia Tahun 2000 – 2006”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi

ini dapat memberikan manfaat dan tambahan wawasan bagi pembaca sekalian.

Bogor, September 2008

Guntur Prahara H14084021

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur kepada Allah Bapa di Surga atas kasih dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis

mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, khususnya kepada:

1. Dr. Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik yang telah membuka

kesempatan bagi pegawai BPS untuk meningkatkan kemampuan dan

pengetahuan melalui program tugas belajar pasca sarjana.

2. Drs. Nyoto Widodo, ME, Kepala BPS Provinsi Kalimantan Barat yang telah

mengijinkan saya mengikuti seleksi tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

3. Dr. Satwiko Darmesto, Kepala Pusdiklat BPS. Terima kasih untuk waktu dan

pelayanan dari semua pihak di Pusdiklat.

4. D.S. Priyarsono, sebagai Koodinator Mayor Ilmu Ekonomi yang telah

memberikan yang terbaik, supaya kami dapat lebih maksimal ketika

menempuh program S2 yang sebenarnya.

5. Widyastutik, MSi, sebagai dosen pembimbing yang telah sabar memberikan

bimbingan dan saran kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Terima kasih untuk semua bimbingannya.

6. Bapak Parulian, Pak Alla, Mas Toni, Pak Firdaus, Mbak Henny, Mbak

Widyastutik, Pak Syamsul, Ibu Rina, Pak Hakim, Ibu Tanti, Pak Fahmi, Ibu

Wiwiek, Mbak Fifi, Mas Findi dan staf sekretariat Ilmu Ekonomi yang telah

berjerih lelah dan berkomitmen tinggi untuk meluangkan waktu berdiskusi

supaya kami menjadi manusia yang lebih berkualitas. Terima kasih untuk

kerjasama dan pengetahuan barunya.

7. Isteri, anakku yang pertama, dan anakku yang akan lahir sekitar akhir bulan

Oktober 2008 yang sangat kusayangi. Terimakasih untuk segala sesuatu yang

yang membuat hidup ini lebih bergairah, khususnya dalam menyelesaikan

skripsi ini.

8. Orang tua dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan dukungan luar

biasa.

9. Mas Mukti, Mas Deddy, Mas Parno terimakasih untuk segala bantuan,

persahabatan, semangat, dan doanya. Kalian teman-teman terbaik yang

kumiliki.

10. Teman-teman seperjuangan penulis dari Badan Pusat Statistik di Fakultas

Ekonomi dan Manajemen. Terima kasih untuk persaudaraan dan kekompakan

yang terjalin.

11. Semua pihak yang belum penulis sebutkan dan punya andil besar dalam

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .....................................................................................

DARTAR GAMBAR ................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xii

xiv

xv

I.

II.

PENDAHULUAN ...........................................................................

1.1. Latar Belakang .........................................................................

1.2. Perumusan Masalah ..................................................................

1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................

1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......

2.1. Tinjauan Teori-Teori .................................................................

2.1.1. Perdagangan Internasional .............................................

2.1.2. Teori Keunggulan Komparatif .......................................

2.1.3. Keunggulan Kompetitif .................................................

2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................

2.3. Kerangka Pemikiran ................................................................

1

1

5

6

7

8

8

8

11

13

17

18

III.

IV.

V.

METODE PENELITIAN ..............................................................

3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................

3.2. Metode Analisis ........................................................................

3.2.1. Indeks Spesialisasi Perdagangan ...................................

3.2.2. Indek Konsentrasi Pasar (IKP) .....................................

3.2.3. Revealed Comparative Advantage (RCA) ....................

3.2.4. Porter’s Diamond Theory .............................................

GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI .................

4.1. Sejarah Pertekstilan Indonesia .................................................

4.2. Produksi Pakaian Jadi ...............................................................

4.3. Gambaran Umum Industri Pakaian Jadi Indonesia ..................

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

5.1. Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan ................................

22

22

22

22

24

25

27

29

29

31

34

37

37

xi

VI.

5.2. Analisis Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) .................................

5.3. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) .................

5.4. Analisis Daya Saing Dengan Pendekatan The National Diamond System ......................................................................

5.4.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond ......................... 5.4.2. Kelemahan dan Keunggulan Komponen Porter’s

Diamond ........................................................................

5.4.3. Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond ......... KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................

6.1. Kesimpulan ...............................................................................

6.2. Saran .........................................................................................

38

40

42

42

64

66

70

70

71

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

LAMPIRAN ...............................................................................................

73

75

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 5.1. 5.2 5.3 5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9.

Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Tahun 2000 – 2006 .................................................................................................. Kontribusi Komoditas Non Migas dan Migas Terhadap Total Ekspor Tahun 2000 – 2006 .............................................................................. Persentase Nilai Ekspor Non Migas Menurut Golongan Tahun 2000 – 2006 ...................................................................................... ........... Jumlah Tenaga Kerja Perusahaan Besar dan Sedang Komoditi Tekstil dan Pakaian Jadi Tahun 2000 – 2004 (Ribuan Orang) .......... Perkembangan Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2006 ............................................................. Perkembangan Berat Bersih dan Nilai Ekspor Pakaian Jadi Indonesia serta Kurs Ekspor Tertimbang Tahun 2000–2006 .............. Persentase Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan dan Nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) Indonesia Tahun 2000–2006 ... Perkembangan Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2006 ........................................ Perkembangan Persentase Bahan Baku Impor yang Digunakan Industri Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2005 ........................... Jumlah Tenaga Kerja Perusahaan Besar Sedang komoditi Tekstil dan Pakaian Jadi Tahun 2000 -2004 (Ribuan Orang) ………………. Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan Besar dan Sedang komoditi Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005 (Juta Rupiah / TK) ………………... Persentase Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan dan Tingkat Kewenangan Tahun 2001 – 2005 ........................................................ Perkembangan Persentase Nilai Produksi Untuk Konsumsi Dalam Negeri dari Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 – 2005 ........................

1

3

4

35

37

38

40

41

43

45

46

49

50

xiii

5.10. 5.11. 5.12

Perkembangan Persentase Nilai Produksi yang di Ekspor dari Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005 …………………………… Konsentrasi Rasio Komoditi Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2005 .................................................................................................. Perkembangan Persentase Realisasi Produksi terhadap Kapasitas Terpasang Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005 ………………...

51

58

63

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1.

2.2.

2.3.

4.1.

5.1.

5.2

Kurva Perdagangan Internasional ....................................................

The Diamond of Competitive Advantage ........................................

Alur Kerangka Pemikiran ………………………………………….

Sebaran Produsen Pakaian Jadi di Indonesia Menurut Daerah ........

Keunggulan dan Kelemahan Komponen Porter’s Diamond ............

Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond .............................

10

13

21

36

65

69

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Perkembangan Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Tahun 1990 – 2006 ........................................................... Konstribusi Komoditas Non Migas dan Migas Terhadap Total Ekspor Tahun 1990 – 2006 .............................................................. Perkembangan Ekspor Non Migas Berdasarkan Golongan Tahun 1991 – 2006 (Juta Dollar AS) .......................................................... Perkembangan Nilai Ekspor Hasil Industri Indonesia (000 000 US$) Tahun 1994 – 2006 ................................................................. Perkembangan Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2000 – 2006 (Juta Dolar AS) ..................................... Kode Industri .................................................................................... Jumlah Tenaga Kerja Perusahaan Industri Besar dan Sedang Tahun 2000 – 2004 (Ribu Orang) .................................................... Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan Industri Besar dan Sedang Tahun 2000 – 2004 (Juta Rupiah / TK) ............................................ Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan dan Tingkat Kewenangan Tahun 2001 – 2005 ...........................................................................

75

76

77

78

79

80

81

82

83

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang

dilakukan atas dasar sukarela, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan

(Dumairy, 1997). Dalam era globalisasi saat ini tidak ada satu negara pun di muka

bumi yang tidak melakukan hubungan dagang dengan pihak luar negeri.

Perekonomian setiap negara praktis sudah terbuka dan terjalin dengan dunia

internasional. Begitu juga Indonesia sebagai negara berkembang menganut sistem

ekonomi terbuka. Sifat keterbukaan ini dapat dicerminkan dari peranan atau

sumbangan total nilai ekspor yang melebihi 10 persen dari produk nasional atau

pendapatan nasional (Djojohadikusumo, 1990).

Tabel 1.1. Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Tahun 2000 – 2006

Tahun Total Ekspor (Juta Dollar AS)

Pendapatan Nasional (Juta Dollar AS)

Kontribusi (persen)

(1) (2) (3) (4)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

62.124,0 56.320,9 57.158,8 61.058,2 71.584,6 85.660,0

100.798,6

160.342 160.810 194.503 234.692 256.681 288.367 369.422 *)

38,74 35,02 29,39 26,02 27,89 29,70 27,28

Catatan : *) Angka sementara Sumber : BPS, 2008 (Diolah)

2

Pada tahun 2000, total ekspor Indonesia berhasil memberikan kontribusi

sebesar 38,74 persen terhadap total pendapatan nasional. Pada tahun berikutnya,

total ekspor Indonesia mengalami penurunan yang cukup mencolok yaitu sekitar

9,34 persen. Penurunan nilai ekspor tersebut salah satu penyebabnya adalah

karena kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM pada tahun 2001

menyebabkan biaya produksi naik sehingga produksi turun dan selanjutnya ekspor

turun. Tahun berikutnya, nilai ekspor Indonesia mengalami sedikit sekali

peningkatan yaitu sebesar 1,49 persen. Peningkatan yang relatif sedikit ini

disebabkan oleh naiknya kembali harga BBM di dalam negeri. Tahun-tahun

berikutnya, nilai total nilai ekspor Indonesia kembali meningkat dengan cukup

pesat.

Bagi negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, selisih antara

nilai ekspor dan impor sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kelanjutan

proses pembangunan ekonomi dalam negeri. Nilai ekspor yang dihasilkan bila

lebih besar dari impor, maka akan menambah pemasukan devisa yang sangat

dibutuhkan, terutama bagi impor, membayar bunga pinjaman luar negeri, dan

untuk membayar kembali pinjaman itu. Impor diperlukan, terutama impor barang-

barang modal dan pembantu serta bahan-bahan baku yang tidak ada atau belum

bisa diproses di dalam negeri, tetapi sangat dibutuhkan industri-industri di dalam

negeri.

Ekspor Indonesia terdiri dari berbagai macam barang atau komoditas.

Secara garis besar ekspor Indonesia dibedakan dalam dua kelompok yaitu ekspor

migas dan non migas. Sejak tahun 1987, ekspor non migas mendominasi

3

perolehan devisa dibandingkan ekspor migas (sebelum tahun 1987, ekspor migas

masih mendominasi). Bahkan pada tahun 2000 sampai dengan 2006 kontribusi

ekspor non migas dalam menghasilkan devisa ekspor sudah melebihi 75 persen

dari total ekspor Indonesia.

Tabel 1.2. Kontribusi Komoditas Non Migas dan Migas Terhadap Total Ekspor Tahun 2000 – 2006

Tahun Total Ekspor (000 000 US$)

Kontribusi (persen)

Migas Non Migas (1) (2) (3) (4)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

62.124,0 56.320,9 57.158,8 61.058,2 71.584,6 85.660,0

100.798,6

23,13 22,44 21,19 22,36 21,86 22,45 21,04

76,87 77,56 78,81 77,64 78,14 77,55 78,96

Sumber: BPS, 2007 (Diolah)

Dilihat dari komposisi, komoditas non migas menurut sumbernya

dibedakan atas 3 kelompok yaitu komoditas hasil pertanian, industri,

pertambangan (termasuk bahan galian) dan lainnya.

Secara sektoral, ekspor hasil-hasil industri merupakan penyumbang

terbesar dari penerimaan ekspor non migas. Kontribusi ekspor hasil-hasil industri

untuk sektor non migas semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dan sejak tahun

1988 sampai sekarang, kontribusi hasil-hasil industri terhadap sektor non migas

sudah melebihi 80 persen.

4

Dapat disimpulkan bahwa ekspor non migas Indonesia masih didominasi

oleh hasil industri. Hal ini terjadi akibat dari adanya pergeseran ekpsor dari sektor

pertanian menjadi ekspor hasil industri.

Tabel 1.3. Persentase Nilai Ekspor Non Migas Menurut Golongan Tahun 2000 - 2006

Tahun Pertanian Industri Pertambangan & lainnya

(1) (2) (3) (4)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

5,67 5,58 5,70 5,33 4,46 4,34 4,23

87,95 86,23 85,98 86,23 87,02 83,69 81,70

6,38 8,19 8,32 8,44 8,52 11,97 14,07

Sumber: BPS, 2007 (Diolah)

Sejak tahun 1980, ekspor hasil-hasil industri didominasi oleh Tekstil dan

Produk Tekstil (TPT), kayu lapis, dan karet olahan. Pada tahun 2000, dominasi

kayu lapis dan karet olahan mulai digeser oleh komoditi alat-alat elektronik yang

terus meningkat kontribusinya terhadap ekspor non migas. Mulai tahun 2004

sampai sekarang, ekspor komoditi hasil-hasil industri didominasi oleh Tekstil dan

Produk Tekstil (TPT), minyak kelapa sawit, dan alat-alat elektronik. Hasil-hasil

industri tersebut memberikan kontribusi nilai ekspor masing-masing diatas 3.400

juta US$.

Tekstil dan Produk Tekstil merupakan komoditi hasil industri yang terus

menerus mendominasi ekspor hasil-hasil industri. Sumbangan terbesar dari ekspor

Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia didominasi oleh ekspor pakaian jadi.

5

Pangsa terbesar ekspor pakaian jadi Indonesia pada tahun 2004 ke

Amerika Serikat (51 persen), disusul oleh negara-negara Uni Eropa (24 persen)

dan negara-negara ASEAN (7 persen). Pada tahun tersebut, Indonesia merupakan

negara pengekspor terbesar ke-9 sedunia. Di tahun berikutnya (2005), Indonesia

menjadi negara pengekspor pakaian jadi terbesar ke-8 sedunia. Dengan persaingan

ekspor pakaian jadi yang semakin ketat, maka relevan dilakukan penelitian

mengenai ”analisis daya saing komparatif dan kompetitif pakain jadi Indonesia

tahun 2000 – 2006”.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang sebelumnya,

tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu primadona komoditas ekspor yang

menjadi andalan dalam menghasilkan devisa non migas. Sumbangan terbesar dari

ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia didominasi oleh ekspor pakaian jadi.

Dengan kondisi tersebut, maka sewajarnya pemerintah lebih memperhatikan

pertumbuhan ekspor khususnya komoditi pakaian jadi. Sebelum mengambil

kebijakan dalam upaya menggiatkan pertumbuhan ekspor pakaian jadi, perlu

dikaji lebih jauh bagaimana daya saing komoditi pakaian jadi Indonesia.

Nilai dan volume ekspor pakaian jadi Indonesia telah terjadi peningkatan

yang cukup tajam dari tahun ke tahun. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa

sebagian masyarakat Indonesia cenderung memilih produk pakaian jadi

khususnya yang bermerk dari luar negeri daripada produk dan merk dalam negeri.

Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya kebergantungan pada pakaian

6

jadi impor. Pada tahun 2001, nilai resmi impor pakaian jadi menurut Asosiasi

Perteksilan Indonesia (API) adalah 17 juta dolar AS, dan angka ini meningkat

menjadi 53 juta dolar AS di tahun 2005. Menurut harian Kompas (2004) dalam

kolom bisnis dan investasi dikemukakan bahwa Impor pakaian bekas kembali

marak dan masuk ke pasar dalam negeri melalui berbagai pelabuhan kecil. Jumlah

pakaian bekas impor yang masuk saat ini diperkirakan mencapai 40.000 bal per

bulan. Jumlah itu lebih meningkat jika dibandingkan pada saat pemerintah aktif

melakukan operasi pembakaran dan penangkapan pakaian bekas impor di tahun

2003. Padahal menurut Porter (1990), salah satu penentu keunggulan daya saing

suatu komoditi adalah kondisi permintaan di pasar domestik.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan ekspor dengan impor pakaian jadi Indonesia?

2. Bagaimana konsentrasi pasar pakaian jadi Indonesia?

3. Bagaimana keunggulan komparatif komoditi pakaian jadi Indonesia pada

pasar internasional (dunia)?

4. Bagaimana keunggulan kompetitif industri pakaian jadi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah:

1. Menganalisis perbandingan ekspor dengan impor pakaian jadi Indonesia.

2. Menganalisis kosentrasi pasar ekspor pakaian jadi Indonesia.

7

3. Menganalisis keunggulan komparatif komoditi pakaian jadi Indonesia.

4. Menganalisis keunggulan kompetitif industri pakaian jadi di Indonesia dengan

menggunakan Porter’s Diamond.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan lainnya, penelitian ini dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan bagi

industri pakaian jadi Indoensia.

2. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang

memberikan banyak tambahan ilmu dan pengetahuan dalam meningkatkan

kemampuan dan analisis penulis yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan pribadi atau orang lain.

3. Untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini dapat digunakan

sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian yang

sejenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori-Teori

2.1.1. Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang

dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.

Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara

saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu

negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).

Dalam melakukan analisis teori perdagangan internasional akan

senantiasa digunakan beberapa asumsi dasar sebagai berikut (Salvator, 1997):

a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi

b) Perdagangan bersifat bebas

c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak

ada mobilitas antara dua negara.

d) Biaya produksi konstan

e) Tidak terdapat biaya transportasi

f) Tidak ada perubahan teknologi

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk

memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian

halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan

perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain

9

motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama

terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai

skala ekonomi (economic of scale)

Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi

perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari

teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam

negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu

komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga

domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih

rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (gambar 2.1.). Stuktur

harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih

besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess

supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai

kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara

B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada

produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B

lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari

negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara

10

O QA O Q* O QB

SB

negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan

harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.

Negara A (pengekspor) Perdagangan Internasional Negara B (pengimpor) Keterangan: PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa

perdagangan internasional X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional. OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)

tanpa perdagangan internasional. B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa

perdagangan internasional. M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah

yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M). Sumber : Salvatore (1997)

Gambar 2.1. Kurva Perdagangan Internasional

Gambar 2.1. memperlihatkan sebelum terjadinya perdangangan

internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB.

Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi

dari PA, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga

internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama

PA

X

DA A SA ES

P*

ED B

M

PB

DB

11

dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga

internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)

sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga

yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan

tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X

sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana

di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.

2.1.2. Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage Theory)

Keunggulan komparatif merupakan konsepsi sentral dalam teori

perdagangan internasional yang menyatakan bahwa suatu negara atau wilayah

seharusnya mengkhususkan diri pada produksi dan mengekspor barang dan jasa

yang dapat dihasilkan dengan biaya relatif lebih efisien daripada barang dan jasa

yang lain; dan mengimpor barang dan jasa yang tidak memiliki keunggulan

komparatif. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun

1817 sebagai dasar untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk melalui

perdagangan internasional. Teori keunggulan komparatif umumnya mendukung

dilakukannya spesialisasi produksi di suatu negara berdasarkan pemanfaatan yang

intensif atas dasar faktor produksi yang relatif dominan dimilikinya termasuk

penumpukan modal fisik dan penelitian (Rinaldy, 2006)

Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh

negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang

diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya

12

lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum

Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan

komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan

production comparative advantage (labor productivity).

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu

negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan

spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat

berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut

berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.

Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor

productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor

barang di mana negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor

barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang atau tidak produktif.

Dengan kata lain, cost comparative advantage menekankan bahwa

keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang

yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain

sehingga terjadi efisiensi produksi. Production comparative advantage

menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga

kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa

dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih

banyak.

13

Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara

melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage

dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan

komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya

rendah.

2.1.3. Keunggulan Kompetitif

Menurut hady (2001), keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang

dimiliki oleh suatu negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar internasional.

Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara

yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar

internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung yang

digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Hady (2001)

Gambar 2.2. The Diamond of Competitive Advantage

Peluang Strategi & Stuktur Persaingan

Kondisi Faktor Kondisi Permintaan

Permintaan Industri terkait dan Pendukung

14

Penjelasan tentang faktor-faktor dalam bagan di atas adalah sebagai berikut:

1. Peluang.

Peluang dapat didefinisikan sebagai suatu arena yang didalamnya suatu

bangsa dapat menciptakan atau memperoleh kekayaan tambahan. Peluang

memainkan peranan dalam membentuk lingkungan bersaing karena peluang

merupakan peristiwa yang terjadi di luar kendali perusahaan, industri, dan

pemerintah, seperti perang, pasca perang, terobosan besar dalam teknologi,

pergeseran dramatik yang tiba-tiba terjadi dalam biaya faktor atau biaya

masukan, seperti krisis minyak, atau perubahan dramatis dalam kurs mata

uang.

2. Strategi dan struktur persaingan

Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan untuk mengembangkan

produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan

biaya, mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki mutu serta

pelayanan. Pada akhirnya, persaingan di dalam negeri yang kuat akan

mendorong perusahaan untuk mencari pasar internasional.

Perekonomian global akan menyebabkan terjadinya saling ketergantungan

antar bangsa. Masing-masing bangsa membangun perekonomiannya

berdasarkan kekayaan yang dimiliki yang merupakan keunggulan

komparatifnya. Namun, keberhasilan pembangunan tersebut lebih ditentukan

pada keunggulan kompetitifnya dikarenakan adanya pesaing-pesaing yang

dekat, yaitu negara lain yang membangun keunggulan perekonomian mereka

di sektor/jenis industri yang sama dengan strategi serupa.

15

3. Kondisi faktor

Kondisi faktor adalah faktor-faktor yang diciptakan dalam suatu negara yang

dibedakan dari faktor-faktor yang merupakan anugerah alam, yang terdiri

dari:

a) Faktor sumber daya manusia, yang terdiri dari jumlah tenaga kerja yang

tersedia, ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, tingkat upah, dan

modal kerja.

b) Faktor sumber daya fisik atau alam, yaitu ketersediaan, mutu, jumlah,

harga lahan, air, mineral, dan sumber daya yang lain.

c) Faktor sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu adanya

penduduk yang signifikan dengan pengetahuan, teknologi serta

pengetahuan yang berkaitan dengan pemasaran.

d) Faktor sumber daya infrastruktur, meliputi ketersediaan jenis, mutu, dan

biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan.

Termasuk sistem sistem perbankan, sistem perawatan kesehatan, sistem

transportasi, sistem komunikasi, serta ketersediaan serta biaya untuk

menggunakan berbagai sistem tersebut.

4. Kondisi permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri suatu negara mempunyai peranan yang

sangat penting bagi keunggulan kompetitif negara tersebut, karena:

a) Kondisi permintaan di negara sendiri menentukan bagaimana perusahaan

menerima, menginterpretasikan, dan memberi reaksi pada kebutuhan

pembeli.

16

b) Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan permintaan di negara sendiri

merupakan hal yang penting jika permintaan di dalam negeri dapat

dipenuhi dan dapat mengantisipasi permintaan dari luar negeri.

c) Pertumbuhan pasar dalam negeri yang cepat merupakan pendorong

investasi yang nantinya akan menimbulkan proses alih teknologi yang

lebih cepat dan pembangunan fasilitas yang besar dan efisien.

d) Cara produk dan jasa dari suatu negara diterima oleh pasar luar negeri.

5. Industri terkait dan pendukung

Hubungan dengan industri terkait dan pendukung perlu dijaga dan dipelihara

agar tetap dapat mendukung keunggulan bersaing. Untuk itu perlu dijaga

hubungan dan koordinasi dengan para pemasok, khususnya untuk menjaga

dan memelihara rantai nilai.

6. Pemerintah

Pemerintah tidak menentukan tetapi merupakan pengaruh penting atas faktor

penentu. Secara tidak langsung pemerintah dapat mempengaruhi permintaan

melalui kebijakan moneter dan keuangan. Sedangkan peran pemerintah

secara langsung adalah dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa.

Pemerintah juga dapat mempengaruhi berbagai sumber daya yang tersedia,

berperan sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut tenaga kerja,

pendidikan, pembentukan modal, sumber daya alam dan standar produk.

Pemerintah mempengaruhi persaingan dan lingkungan bersaing dengan

perannya sebagai pengatur perdagangan. Selain hal tersebut, pemerintah

juga dapat memegang peranan dalam kemudahan akses dalam birokrasi dan

17

juga dalam perbaikan kualitas infrastruktur. Dengan memperkuat faktor

penentu dalam industri dimana suatu bangsa mempunyai keunggulan daya

saing, pemerintah memperbaiki posisi bersaing dari perusahaan di negera

itu. Dengan kata lain, pemerintah dapat memperbaiki atau menurunkan

keunggulan daya saing, tetapi tidak dapat menciptakannya.

2.2. Penelitian terdahulu

Penelitian mengenai pakaian jadi, pernah dilakukan oleh Prahara (2000),

mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta (2000), yang secara umum

membahas tentang Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia Tahun 1989 – 1998.

Berdasarkan analisis TSR selama periode 1989-1998, komoditi pakaian jadi

Indonesia mempunyai daya saing yang cukup kuat dipasar internasional dan

mempunyai daya saing komparatif yang lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata

dunia dengan konsentrasi pasar yang lebih dari 40 negara tujuan ekspor.

Arie (2006), dalam thesisnya yang berjudul Analisis Perdagangan Intra

Industri Komoditas Pakaian Jadi Indonesia dengan negara ASEAN lainnya tahun

1998-2000, menghitung nilai indeks perdagangan intra industri, menghitung

selisih nilai ekspor dan impor pada komoditas pakaian jadi dalam perdagangan

bilateral antara Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN. Hasil perhitungan

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode 1998-2002 untuk produk

pakaian jadi Indonesia mempunyai keunggulan komparatif di ASEAN. Namun

tingkat keunggulan komparatif tersebut semakin lama semakin turun karena

pesatnya perkembangan industri tekstil di negara-negara pesaing di ASEAN.

18

Firdaus dan Firdaus (2008), pernah menganalisis Tekstil dan Produk

Tekstil Indonesia dan Cina di Pasar Amerika Serikat dengan alat analisis RCA

dan analisis Porter’s Diamond. Penelitian tersebut tidak secara spesifik membahas

pakaian jadi. Dengan penelitian tersebut sangat membantu dalam menganalisis

khususnya komoditi pakaian jadi dengan menggunakan alat analisis Porter’s

Diamond karena Cina merupakan negara yang menjadi tantangan besar dalam

ekspor pakaian jadi.

Kelebihan penelitian ini adalah belum ada atau jarang penelitian tentang

komoditi pakaian jadi. Kebanyakan peneliti hanya meneliti tekstil dan produk

tekstil, sedangkan turunan dari tekstil dan produk tekstil seperti pakaian jadi

hanya dibahas secara sekilas saja tanpa pembahasan secara khusus.

2.3. Kerangka Pemikiran

Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia

dengan ide, bakat, IPTEK, beserta barang dan jasa yang dihasilkannya dapat

dengan mudah melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas dari manusia,

barang dan jasa yang dihasilkan, ternyata bukan hanya telah menimbulkan saling

keterkaitan dan ketergantungan, tetapi juga telah menimbulkan persaingan global

yang semakin ketat.

Dengan adanya keterkaitan dan ketergantungan serta persaingan global

tersebut menyebabkan hampir semua kehidupan dalam suatu negara terpengaruh

oleh ekonomi internasional. Dengan kata lain dalam era globalisasi dan

perdagangan internasional saat ini tidak ada lagi negara yang hidup terisolasi,

19

tanpa mempunyai hubungan ekonomi, keuangan, maupun perdagangan

internasional (ekspor dan impor).

Sebagai konsekuensi dari ciri dan karakter globalisasi yaitu dengan

adanya keterbukaan, keterkaitan/ketergantungan, dan persaingan yang semakin

ketat, Indonesia bukan lagi negara yang autarki. Sebagai salah satu bukti tersebut

yaitu adanya perdagangan internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara-

negara lain di dunia baik berupa ekspor ataupun impor barang dan jasa.

Ekspor Indonesia terdiri dari berbagai macam barang atau komoditas. Secara

garis besar ekspor Indonesia dibedakan dalam dua kelompok yaitu ekspor barang

migas dan non migas. Sejak tahun 1987, sektor non migas mendominasi

perolehan devisa dibandingkan sektor migas (sebelum tahun 1987, sektor migas

masih mendominasi). Bahkan pada tahun 2000 sampai dengan 2006 kontribusi

ekspor non migas dalam menghasilkan devisa ekspor sudah melebihi 75 persen

dari total ekspor Indonesia. Nilai ekspor non migas tersebut, lebih didominasi oleh

ekspor dari sektor industri atau manufaktur.

Ada dua produk manufaktur yang selama ini Indonesia mencoba menjadi

salah satu pemain besar di pasar global berdasarkan faktor utama keunggulan

komparatif yang dimiliki Indonesia, yaitu tenaga kerja dengan upah murah. Kedua

produk tersebut adalah tekstil dan produknya (TPT) dan elektronika. Komoditi

pakaian jadi menjadi produk yang cukup diunggulkan dari tekstil dan produk

tekstil. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi pakaian jadi yang cukup dominan

terhadap total ekspor TPT Indonesia. Nilai dan volume ekspor pakaian jadi

Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup tajam dari tahun ke tahun.

20

Bahkan pada tahun 2004 – 2006 Indonesia masuk 10 besar negara pengekspor

pakaian jadi dunia.

Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, ekspor

pakaian jadi Indonesia tidak terlepas dari persaingan yang semakin ketat dengan

negara-negara pengekspor komoiditi pakaian jadi lainnya di dunia. Jika dilihat

pada level ASEAN, menurut hasil kajian Arie (2006), selama periode 1998-2002

produk pakaian jadi Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang semakin

menurun jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Penurunan tersebut

disebabkan oleh pesatnya perkembangan industri tekstil di negara-negara pesaing

di ASEAN. Pesatnya perkembangan tersebut karena negara-negara pesaing di

ASEAN mampu untuk melakukan restrukturisasi permesinan dan juga didukung

oleh tingkat produktivitas karyawan yang tinggi. Berdasarkan kajian tersebut,

untuk tingkat perdagangan intra industri komoditas pakaian jadi antara Indonesia

dan negara-negara anggota ASEAN secara rata-rata selama periode 1998-2002

masih rendah. Dengan kondisi persaingan yang semakin ketat, maka timbul

permasalahan tersendiri tentang bagaimana prospek dan perkembangan ekspor

pakaian jadi Indonesia di masa datang.

Analisis Trade Specialization Ratio (TSR), Revealed Comparative

Advantage (RCA), dan Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) akan sangat membantu

menjawab apakah ekspor pakaian jadi Indonesia mempunyai daya saing

komparatif yang tinggi. Analisis dengan menggunakan Porter’s Diamond untuk

melihat daya saing kompetitif industri pakaian jadi di Indonesia.

21

Era Globalisasi (keterkaitan, ketergantungan,

dan persaingan yang semakin ketat)

Industri yang mampu bersaing

Kondisi ekspor dibanding

dengan impor Pakaian Jadi

(Analisis Indeks

Spesialisasi Perdagangan)

Daya Saing Kompetitif

Pakaian Jadi (Analisis Porter’s

Diamond)

Daya Saing Komparatif Pakaian Jadi

(Analisisi Revealed

Comparative Advantage)

Konsentrasi Pasar

Pakaian Jadi (Analisis Indeks

Konsentrasi Pasar)

Implikasi Kebijakan

Gambar 2.3. Alur Kerangka Pemikiran

Industri mampu mempunyai keunggulan

komparatif

Industri mampu mempunyai keunggulan

kompetitif

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelian ini adalah data sekunder dari tahun

2000 – 2006. Jenis data tersebut meliputi data pendapatan nasional, total ekspor

Indonesia, ekspor pakaian jadi Indonesia, impor pakaian jadi Indonesia, total

ekspor dunia, ekspor pakaian jadi dunia, impor pakaian jadi dunia, ekspor migas

dan non migas, ekspor non migas Indonesia menurut golongan, persentase bahan

baku impor industri pakaian jadi, jumlah tenaga kerja industri pakaian jadi,

produktivitas pekerja industri pakaian jadi, persentase nilai produksi yang

diekspor dari industri pakaian jadi, nilai konsentrasi rasio industri pakaian jadi,

dan persentase realisasi produksi pakaian jadi terhadap kapasitas terpasang.

Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik, studi literatur,

dan sumber-sumber lain.

3.2. Metode Analisis

3.2.1. Indeks Spesialisasi Perdagangan

Indeks Spesialisasi Perdagangan (Trade Specialisation Ratio – TSR)

dapat digunakan untuk mengetahui kondisi relatif daya saing suatu komditi ekspor

pada pasar internasional tertentu. Indeks ini mula-mula digunakan oleh Kaneko

dan Yanagi pada tahun 1988 dalam membahas daya saing komoditi ekspor dalam

hubungan dengan analisis Product Life-Cycle. Angka TSR ini dapat dihitung

dengan menggunakan rumus sederhana sebagai berikut:

23

)()(

)()()(

ii

iii ME

METSR

+

−= i = 1, 2, 3, ...., n

Dimana:

E(i) = nilai ekspor untuk komoditi i.

M(i) = nilai impor untuk komoditi i.

Misalkan yang dihitung TSR pakaian jadi Indonesia, maka rumusnya

adalah sebagai berikut:

TSR pakaian jadi Indonesia =

Angka TSR(i) akan bergerak dari – 1 sampai +1. Bila nilai TSR(i) yang

diperoleh adalah bergerak dari 1 – 0, maka indeks ini menunjukkan bahwa

komoditi tersebut mempunyai daya saing yang cukup kuat, karena ekspor untuk

komoditi yang bersangkutan melebihi impor. Nilai ekstrim 1,0 akan diperoleh

bilamana negara yang bersangkutan tidak mempunyai impor untuk komoditi yang

bersangkutan. Sebaliknya, bilamana angka TSR(i) yang diperoleh bergerak dari -1

sampai 0, hal ini menunjukkan bahwa komoditi yang bersangkutan mempunyai

daya saing yang lemah karena negara yang bersangkutan mempunyai impor yang

melebihi eskpor komoditi yang bersangkutan. Nilai ekstrim -1,0 akan diperoleh

bilamana negara yang bersangkutan tidak mempunyai sama sekali ekspor untuk

komoditi yang bersangkutan.

ekspor pakaian jadi Indonesia – impor pakaian jadi Indonesia ekspor pakaian jadi Indonesia + impor pakaian jadi Indonesia

24

3.2.2. Indeks Konstentrasi Pasar (IKP)

Tingkat konsentrasi pasar (geografis) dari suatu komoditi ekspor dilihat

dari besarnya dampak yang diakibatkan oleh suatu gangguan terhadap kestabilan

penerimaan ekspor oleh negara tujuan. Jika tujuan ekspor komoditi tersebar ke

banyak negara, komoditi tersebut relatif tahan terhadap gangguan (disturbance)

yang terjadi dalam perdagangan internasional. Jika terjadi gangguan yang relatif

kecil saja akan sangat mempengaruhi volume/nilai ekspor, maka dapat dikatakan

bahwa komoditi tersebut relatif sangat tergantung/terkonsentrasi pada suatu atau

beberapa pasar tertentu saja. Oleh Hirchman, metode untuk menghitung intensitas

pemusatan tujuan ekspor menggunakan Gini Hirchman of Concentration, dengan

formulasi sebagai berikut (Irawan dalam Mulyani, 1998):

2)(∑= jij XXIKP

dimana:

IKP = angka indeks konsentrasi pasar

Xij = nilai ekspor komoditi j suatu negara ke negara i

Xj = nilai total ekspor komoditi j suatu negara

Misalkan yang dihitung IKP pakaian jadi Indonesia, maka rumusnya

adalah sebagai berikut:

IKP pakaian jadi Indonesia :

= Σ(nilai ekspor pakaian jadi Indonesia ke negara i / nilai ekspor pakaian jadi Indonesia)2

Angka tertinggi dari koefisien ini adalah 1, yakni jika ekspor j hanya

tertuju ke satu negara. Angka terendah adalah tidak dapat ditentukan dan harus

melebihi angka nol, tergantung pada banyaknya negara tujuan ekspor. Untuk

25

alasan kenyamanan dalam menganalisis, biasanya angka koefisien yang diperoleh

dikalikan dengan 100. Atau jika ditulis dalam kalimat matematika adalah:

0 < IKP ≤ 100

Angka IKP yang mendekati angka nol menunjukkan bahwa derajat

kestabilan penerimaan ekspor komoditi tersebut cukup tinggi, sebaliknya jika IKP

mendekati seratus menunjukkan bahwa derajat penerimaan ekspor komoditi

tersebut sangat rendah. Misalkan nilai IKP pakaian jadi Indonesia sebesar 100 maka

menunjukkan bahwa derajat kestabilan penerimaan ekspor pakaian jadi Indonesia

cukup rendah.

3.2.3. Revealed Comparative Advantage (RCA)

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan

komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi, dan lain-lain) adalah metode RCA.

Alasan yang mendukung pendekatan ini adalah bahwa arus pertukaran barang

antar wilayah yang sesungguhnya terjadi merupakan cerminan keunggulan

komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pola pendekatan tidak hanya

menggambarkan biaya untuk memproduksi komoditi tersebut, tetapi juga

perbedaan faktor-faktor non harga yang menentukan keunggulan komparatif suatu

produk. Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja suatu komoditi tertentu

dengan ekspor total suatu tempat dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut

dalam perdagangan dunia.

Analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan pertama kali oleh

Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi

26

perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika

Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa

(MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan

Swedia.

Pada mulanya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama:

didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan yang kedua: pada prestasi ekspor

relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkatnya perlindungan

tariff, dan pada perkembangan selanjutnya Balassa meninggalkan ukuran yang

pertama. Balassa mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di

negara-negara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara

dalam ekspor dunia untuk masing-masing dalam rumus sebagai berikut:

)()(

tj

tij

WWXX

RCA =

Dimana:

Xij = nilai ekspor komoditi j negara i

Xt = nilai ekspor total (komoditi j dan lainnya) dari negara i

Wj = nilai ekspor komoditi j di dunia

Wt = nilai ekspor total dunia

Misalnya yang di hitung RCA pakaian jadi Indonesia, maka rumusnya

adalah sebagai berikut:

RCA pakaian jadi Indonesia =

Jika RCA > 1 maka wilayah tersebut lebih berspesialisasi produksi di

kelompok komoditi yang bersangkutan. Wilayah tersebut memiliki keunggulan

(nilai ekspor pakaian jadi Indonesia / total nilai ekspor Indonesia)

(nilai ekspor pakaian jadi dunia / total nilai ekspor dunia)

27

komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka semakin kuat

keunggulan komparatif yang dimilikinya.

Jika RCA < 1 maka sebaliknya wilayah tersebut tidak memproduksi

komoditi dimaksud untuk tujuan ekspor karena tidak ada daya saing dan dapat

mengganggu efisiensi produksi (Syah dalam Mulyani, 2000).

3.2.4. Porter’s Diamond Theory

Analisis daya saing kompetitif akan dibahas dengan metode kualitatif

yaitu dengan menganalisis tiap komponen dalam Porter’s Diamond Theory.

Komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu

industri seperti tenaga kerja dan infrastruktur.

b. Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa

dalam negara.

c. Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan

industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.

d. Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut

perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam

suatu industri domestik

Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen

utama yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama dan dua

faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Berdasarkan hasil analisis

komponen penentu daya saing kita dapat menentukan komponen yang menjadi

28

keunggulan dan kelemahan daya saing industri pakaian jadi. Keunggulan tiap

faktor dalam komponen penentu daya saing akan dilambangkan dengan simbol

(+), sedangkan kelemahan tiap faktor dalam komponen penentu daya saing akan

disimbolkan dengan tanda (-). Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang

saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi

competitive advantage dari suatu industri. Hasil keterkaitan atau interaksi yang

saling mendukung dilambangkan dengan garis tebal biru sedangkan keterkaitan

yang tidak saling mendukung atau bahkan saling melemahkan dilambangkan

dengan garis tipis merah.

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI

4.1. Sejarah Pertekstilan Indonesia

Sejarah pertekstilan Indonesia secara pasti sejak kapan awal keberadaan

industri TPT di indonesia tidak dapat dipastikan, namun kemampuan masyarakat

Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak

adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia dalam bentuk kerajinan, yaitu tenun-

menenun dan membatik yang hanya berkembang di sekitar lingkungan istana dan

juga ditujukan hanya untuk kepentingan seni dan budaya serta

dikonsumsi/digunakan sendiri. Sejarah pertekstilan Indonesia dapat dikatakan

dimulai dari industri rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan

(weaving) dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile Inrichting

Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan

Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan

produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen

(sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun

Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa

Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan

sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan

menggunakan ATM.

Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin, pemerintah

Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) yang antara lain

seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan

30

lain sebagainya yang dikoordinir oleh Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS)

Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh

Menteri Perindustrian Rakyat dengan perkembangannya sebagai berikut:

1. Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama

OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-sektornya,

yaitu pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan (knitting); dan

penyempurnaan (finishing).

2. Menjelang tahun 1970, berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi;

Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah

(Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda

Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi).

3. Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-organisasi tersebut melaksanakan Kongres

yang hasilnya menyepakati mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API)

dan sekaligus menjadi anggota API.

Tujuan didirikannya API adalah sebagai wadah bagi anggota API untuk

menyalurkan aspirasi dan juga memberikan kontribusi terhadap upaya

pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT Indonesia yang

disusun dan dirancang serta diputuskan setiap 3 (tiga) tahun sekali dalam

Musyawarah Nasional (Munas) API. Aktivitas API yang utama adalah

memfokuskan pada pelayanan untuk kepentingan dan kebutuhan anggota yang

diwujudkan dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah, pengusaha TPT,

komunitas industri mesin TPT, asosiasi disainer, perguruan tinggi & akademi,

pers, pengamat & pakar pertekstilan, dan stakeholders pertekstilan lainnya dengan

31

tujuan untuk pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT

nasional. Aktivitas tersebut antara lain informasi industri TPT Indonesia, data

angka aktual kinerja industri TPT Indonesia, penelitian dan pengembangan bagi

kepentingan industri TPT nasional, dan informasi lainnya tentang industri dan

perdagangan TPT Indonesia.

Anggota API pada tahun 2007 berjumlah 1.070 perusahaan TPT

(berskala besar dan menengah) dan ± 500 Usaha Kecil Menengah (UKM)

termasuk kerajinan dan handycraft TPT yang terdiri dari sektor fiber (serat),

sektor spinning (pemintalan), sektor weaving (pertenunan), sektor

knitting/embroidery (perajutan/pembordiran), sektor dyeing/printing/finishing

(pencelupan/pencetakan/penyempurnaan), sektor pembatikan, sektor garment

(pakaian jadi), dan sektor pembuat tekstil jadi lainnya.

4.2. Produksi Pakaian Jadi

Industri Tesktil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia secara teknis dan

struktur terbagi dalam tiga sektor industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi

dari hulu sampai hilir (Egismy, 2008), yaitu:

1. Sektor Industri Hulu (upstream), adalah industri yang memproduksi serat/fiber

(natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan

(spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Industrinya

bersifat padat modal, full automatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja relatif

kecil dan output per tenaga kerja besar.

32

2. Sektor Industri Menengah (midstream), meliputi proses penganyaman

(interlacing) benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui

proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih

lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan

(finishing) dan pencapan (printing) menjadi kain-jadi. Sifat dari industrinya

semi padat modal, teknologi madya dan modern (berkembang terus), dan

jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari sektor industri hulu.

3. Sektor Industri Hilir (downstream), adalah industri manufaktur pakaian jadi

(garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang

menghasilkan ready-made garment. Pada sektor inilah yang paling banyak

menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah padat karya.

Industri pakaian jadi tidak bisa terlepas dari industri tekstil. Bisa

dikatakan, untuk membuat pakaian jadi pasti diperlukan hasil-hasil dari industri

tekstil. Bahan yang diperlukan untuk produksi pakaian jadi bersumber dari

industri serat, pemintalan, dan penenunan/perajutan.

Berdasarkan hasil kajian SENADA (Indonesia Competitiveness

Program, 2007), dalam memproduksi pakaian jadi, industri pakaian jadi memakai

nilon, rayon, poliester dan katun sebagai bahan mentah dasar untuk produksi

pakaian. Pabrikan pakaian jadi besar membeli kain langsung dari pabrikan lokal

atau mengimpor kain jenis khusus dari pabrik-pabrik mancanegara. Pabrikan

pakaian jadi yang lebih kecil umumnya membeli kain dari pedagang grosir dalam

negeri, seperti grosir di pasar Tanah Abang. Gulungan-gulungan kain selanjutnya

dipilah, dipotong, dan dijahit. Pernak-pernik, kancing, seleret/ritsleting, dan

33

benang jahit juga umumnya dibeli dari pedagang lokal. Bahan-bahan tak

langsung, seperti surfaktan, dan zat-zat penganji dan pewarna, dibeli dari

pedagang perantara, yang membeli dari pemasok dalam negeri atau mengimpor.

Produksi pakaian jadi dimulai dengan pengembangan rancangan. Ada

tiga pendekatan umum perancangan, masing-masing bergantung pada pasar

konsumen akhir (SENADA, 2007). Pabrikan yang menjual produknya ke toko

pengecer skala kecil di dalam negeri membuat rancangan sendiri berdasarkan

pada pengetahuan tentang kecenderungan pasar saat ini, sementara produsen yang

menjual ke toko dalam negeri skala besar biasanya mendapatkan rincian

rancangan produk dari agen pembelian. Untuk ekspor, pabrikan juga diberikan

rancangan oleh toko eceran besar bersangkutan. Setelah suatu rancangan

rampung, pabrikan menyiapkan rencana produksi yang menyertakan semua unsur

yang diperlukan (misalnya, lengan, kerah, lapisan) untuk membuat sepotong

lengkap pakaian. Operasi kegiatan berikutnya kemudian disesuaikan ke arah

pengembangan rancangan tersebut. Perakitan dan penjahitan masing-masing unsur

didominasi oleh kerja manual dan hanya sedikit berubah seiring berjalannya

waktu. Perbedaan besar di antara produsen pakaian jadi biasanya adalah ukuran

tenaga kerja, yang bisa amat mencolok dari usaha mikro dengan kurang dari 50

pekerja ke operasi skala raksasa dengan 8-10 ribu pekerja.

Pekerja biasanya dikelompokkan menurut gugus-gugus, dengan tiap

gugus berfokus pada penyelesaian satu kegiatan tunggal (misalnya, memotong

kain, menjahit kancing, dll). Walaupun sama dengan sepatu dalam hal industri ini

34

juga padat karya, produksi pakaian jadi tidak mengikuti proses “awal-sampai-

akhir” sejenis yang berujung di pembuatan satu saja produk jadi.

Kendali mutu merupakan unsur terpadu pada pabrikan pakaian jadi yang

penting untuk mengurangi biaya melalui meminimalkan cacat maupun untuk

memastikan kepuasan pelanggan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam

perdagangan ekspor menerapkan sistem terketat, sementara yang berfokus ke

pasar dalam negeri biasanya lebih longgar. Fungsi kendali mutu ini biasanya

dilakukan dengan meminta manajer mutu menelaah produk pada langkah-langkah

kunci dalam daur produksi.

Pada saat selesai, pakaian jadi dikemas ke dalam kotak dan digudangkan

untuk penyaluran mendatang. Lamanya waktu barang jadi tinggal di gudang

bergantung pada banyaknya volume pesanan (pesanan yang lebih besar

digudangkan lebih lama karena umumnya tidak dikapalkan hingga seluruh

pesanan selesai) dan apakah barang diekspor atau tidak (menunggu volume yang

cukup mengisi peti kemas).

4.3. Gambaran Umum Industri Pakaian Jadi Indonesia

Industri tekstil dan pakaian jadi adalah industri terbesar Indonesia di luar

industri minyak dan gas. Menurut perhitungan API pada tahun 2005, jumlah

pekerja yang bekerja langsung pada industri tekstil dan pakaian jadi kira-kira 1,8

juta orang, 63 persen bekerja pada perusahaan golongan menengah-besar dan 37

persen pada perusahaan golongan kecil-menengah.

35

Menurut data dari Badan Pusat Statistik dari hasil Survei Industri Besar

dan Sedang, jumlah tenaga kerja untuk industri tekstil dan pakaian jadi pada level

Industri Besar dan Sedang (tidak termasuk perusahaan golongan kecil-menengah),

mengalami penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001. Jumlah ini terus menurun

pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada tahun 2001

dan 2002 pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM tentunya

menyebabkan meningkatkan biaya produksi tekstil dan pakain jadi. Dengan

kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli akan berdampak pada

pengurangan jumlah tenaga kerja.

Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Kerja Perusuhaan Besar Sedang komoditi Tekstil dan Pakaian Jadi Tahun 2000 -2004 (Ribuan Orang)

Industri 2000 2001 2002 2003 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Tektsil Pakaian Jadi

629 511

616 491

570 483

550 448

618 436

Jumlah 1.140 1.107 1.053 998 1.054 Sumber : BPS (2005)

Pada tahun berikutnya (2004), jumlah pekerja yang bekerja pada industri

tekstil dan pakaian jadi mengalami peningkatan. Kenaikan jumlah tenaga kerja

terjadi pada industri tekstil. Sedangkan untuk industri pakaian jadi terus

mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil kajian SENADA tahun 2007, produksi tekstil maupun

pakaian jadi terpusat di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Produsen pakaian jadi

di Jawab Barat sekitar 57 persen dari total jumlah produsen di Indonesia.

36

Produsen pakaian jadi terbesar kedua dan ketiga setelah provinsi Jawa Barat yaitu

provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Tengah masing-masing sekitar

17 persen dan 14 persen dari total jumlah produsen pakaian jadi di seluruh

Indonesia.

Jawa Barat57%

Jawa Tengah14%

Jogjakarta1%

Jawa Timur6%

Bali3%

Sumatera2%

Jakarta17%

Sumber: SENADA, 2007

Gambar 4.1. Sebaran Produsen Pakaian Jadi Di Indonesia Menurut Daerah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan

Dengan menggunakan data nilai ekspor dan impor, dapat dihitung angka

Indeks Spesialisasi Perdagangan atau Trade Specialization Ratio (TSR). Untuk

tahun 2000 – 2006 angka TSR pakaian jadi Indonesia berkisar antara 0,9739 –

0,9860.

Tabel 5.1. Perkembangan Nilai Indeks Spesialiasi Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2006

Komoditi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Pakaian Jadi 0,9836 0,9860 0,9740 0,9840 0,9818 0,9739 0,9768

Sumber: BPS, 2006 (diolah)

Berdasarkan angka-angka hasil pengolahan tersebut, untuk komoditi

pakaian jadi ternyata memiliki daya saing Indonesia yang cukup kuat, bahkan

mendekati angka satu. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi pakaian jadi

memiliki nilai ekspor yang sangat jauh melebihi nilai impor.

Walapun angka TSR yang dihasilkan selalu positif dan mendekati angka

satu, namun pada tahun 2002 dan 2005 terjadi penurunan nilai TSR. Pada tahun

2002, nilai TSR turun sebesar 1,22 persen jika dibandingkan dengan tahun 2001.

Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya volume dan nilai ekspor pakaian

jadi pada tahun tersebut. Dengan menurunnya nilai ekspor, hal ini membuat angka

TSR pun menjadi turun. Turunnya nilai ekspor pakaian jadi Indonesia tersebut

disebabkan oleh meningkatnya harga BBM tahun 2001 dan 2002 sehingga

38

berdampak pada meningkatnya harga biaya produksi yang berakibat pada

penurunan produksi.

Untuk tahun 2005, angka TSR turun sebesar 0,81 persen. Pada tahun

tersebut, dari sisi volume ekspor pakaian jadi mengalami penurunan. Jika dilihat

dari sisi nilai ekspor yang dihasilkan, nilai ekpor pakaian jadi mengalami

peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh naiknya nilai kurs ekspor

tertimbang. Menurunnya volume ekspor pakaian jadi disebabkan oleh naiknya

harga BBM sebanyak 2 kali pada tahun 2005 yakni sebesar 29 persen pada bulan

Maret 2005 dan 100 persen pada bulan Oktober 2005.

Tabel 5.2. Perkembangan Berat Bersih dan Nilai Ekspor Pakaian Jadi Indonesia serta Kurs Ekspor Tertimbang Tahun 2000 -2006

Tahun Berat Bersih (Ton) Nilai (000 US$) Kurs Ekspor

Tertimbang

(1) (2) (3) (4)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

405.526 429.773 375.965 380.429 376.099 258.456 399.611

4.734.044 4.530.524 3.945.018 4.105.295 4.454.203 4.966.914 5.608.151

8.169,19 9.734,41 8.867,93 8.078,12 8.440,45 9.219,06 8.662,15

Sumber : BPS (2008)

5.2 Analisis Indeks Konsentrasi Pasar (IKP)

Tingkat konsentrasi pasar (geografis) dari suatu komoditi ekspor dilihat

dari besarnya dampak yang diakibatkan oleh suatu gangguan terhadap kestabilan

penerimaan ekspor oleh negara tujuan. Jika tujuan ekspor komoditi tersebar ke

39

banyak negara, komoditi tersebut relatif tahan terhadap gangguan (disturbance)

yang terjadi dalam perdagangan internasional. Jika terjadi gangguan yang relatif

kecil saja akan sangat mempengaruhi volume/nilai ekspor, maka dapat dikatakan

bahwa komoditi tersebut relatif sangat tergantung/terkonsentrasi pada suatu atau

beberapa pasar tertentu saja.

Nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) pakaian jadi Indonesia berkisar

antara nilai 51,19 sampai 63,70 pada tahun 2000 - 2006. Angka indeks ini terus

menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Hal ini menggambarkan bahwa

eskpor pakaian jadi Indonesia cenderung mengarah pada salah satu atau beberapa

negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan

Indonesia, karena dengan demikian berarti ekspor komoditi pakaian jadi Indonesia

mulai tergantung dengan salah satu atau beberapa pangsa pasar saja. Dampaknya,

jika terjadi gangguan pada pangsa pasar tersebut, maka nilai ekspor pakaian jadi

yang memberikan share cukup besar terhadap total ekspor Indonesia juga akan

langsung terganggu.

Kontribusi terbesar nilai ekspor pakaian jadi dari tahun 2000 sampai

2006 adalah nilai ekspor ke negara Amerika Serikat. Pada tahun 2000, nilai

ekspor pakaian jadi Indonesia ke negara paman Sam ini baru mencapai 42,52

persen. Persentase tersebut terus meningkat, bahkan pada tahun 2006 ekspor

pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat telah mencapai 67,97 persen dari total

ekspor pakaian jadi Indonesia di tahun 2006. Satu sisi kita memang perlu

berbangga karena dengan meningkatnya persentase nilai ekspor ke Amerika

Serikat secara tidak langsung juga meningkatkan total nilai ekspor pakaian jadi

40

Indonesia. Ini berarti meningkat juga devisa negara. Disisi lain kita juga perlu

waspada karena secara tidak langsung ini menunjukkan Indonesia makin

tergantung dengan kondisi perekonomian negara Amerika Serikat.

Tabel 5.3. Persentase Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan dan Nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) Indonesia Tahun

2000 – 2006

No Negara Tujuan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1. Jepang 3,92 3,90 3,08 2,83 2,75 2,53 2,41

2. Amerika Serikat 42,52 42,90 45,99 47,51 50,97 55,60 60,97

3. Inggris 8,41 8,85 8,45 8,25 7,48 6,30 6,04

4. Belanda 4,53 4,06 3,44 2,91 2,29 2,08 2,18

5. Perancis 2,93 2,90 2,61 2,89 2,83 2,62 2,34

6. Jerman 7,87 6,91 6,82 8,15 8,78 8,09 7,38

7. Belgia 2,65 2,44 1,71 2,60 2,31 2,30 2,20

8. Itali 2,20 1,86 1,45 1,89 1,82 1,49 1,42

9 Lainnya 24,97 26,19 26,45 22,97 20,78 18,99 15,06

IKP 51,19 51,97 54,46 54,35 56,50 59,85 63,70

Sumber: BPS, 2008 (diolah)

5.3. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan

komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi, dan lain-lain) adalah metode RCA.

Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja suatu komoditi tertentu dengan

ekspor total suatu tempat dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam

perdagangan dunia.

41

Dilihat dari kriteria besaran RCA selama periode tahun 2000 – 2006,

ternyata ekspor komoditi pakaian jadi Indonesia bisa dikatakan mempunyai

keunggulan komparatif. Pada periode tersebut, nilai RCA selalu lebih besar dari 1

setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa daya saing komoditas pakaian jadi

Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata dunia. Dengan kata lain,

Indonesia dapat lebih berspesialisasi pada komoditi pakaian jadi.

Tabel 5.4. Perkembangan Nilai Revealed Comparatif Advantage (RCA) Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2006

Komoditi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Pakaian Jadi 2,4859 2,5585 2,2018 2,1909 2,2097 2,1943 2,0692

Sumber: BPS, 2008 (diolah)

Pada tahun 2005 dan 2006, nilai RCA komoditi pakaian jadi Indonsia

menunjukkan gejala penurunan. Kondisi ini lebih disebabkan oleh makin

menurunnya share ekspor pakaian jadi Indonesia terhadap total ekspor Indonesia

pada tahun tersebut. Pada periode tahun 2000 – 2004, share ekspor pakaian jadi

Indonesia terhadap total ekspor Indonesia masih di atas 6,2 persen. Walaupun

secara nilai ekspor terus meningkat, namun pada tahun 2005 komoditi pakaian

jadi hanya memberikan share sebesar 5,8 persen terhadap total ekspor Indonesia.

Kontribusi tersebut bahkan menurun lagi menjadi 5,6 persen pada tahun 2006.

Penurunan tersebut salah satu sebabnya adalah makin meningkatnya share

beberapa komoditi ekspor non migas lainnya khususnya industri pengolahan

seperti ekspor komoditi minyak kelapa sawit dan alat-alat elektronik, walaupun

42

nilai share-nya komoditi-komoditi tersebut masih di bawah nilai share komoditi

pakaian jadi.

5.4 Analisis Daya Saing dengan Pendekatan The National Diamond System.

Analisis daya saing industri pakaian jadi di Indonesia, pada pembahasan

ini digunakan Porter’s Diamond Theory. Daya saing akan dilihat dari keunggulan

kompetitif suatu industri tersebut. Untuk dapat menentukan daya saing suatu

industri akan dianalisis terlebih dahulu tiap komponen dalam Porter’s Diamond

Theory, kemudian akan dilihat kelemahan dan kelebihan tiap komponen untuk

menentukan keterkaitan antar faktor.

5.4.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond

a. Faktor Kondisi Sumberdaya

Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap daya saing

industri pakaian jadi adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan infrastruktur. Keempat kondisi faktor sumberdaya

dijelaskan sebagai berikut:

1. Sumberdaya Alam

Pakaian jadi sebagai sektor industri hilir (downstream) sangat tergantung

dari industri hulu (upstream) dan industri menengahnya (midstream). Industri

pakaian jadi Indonesia secara alamiah bertautan dengan produksi tekstil.

Secara umum tekstil diartikan sebagai sebuah barang/benda yang bahan

bakunya berasal dari serat (umumnya adalah kapas, poliester, rayon) yang dipintal

(spinning) menjadi benang dan kemudian dianyam/ditenun (weaving) atau dirajut

43

(knitting) menjadi kain yang setelah dilakukan penyempurnaan (finishing)

digunakan untuk bahan baku produk tekstil. Produk tekstil disini adalah pakaian

jadi (garment), tekstil rumah tangga, dan kebutuhan industri.

Produksi tekstil terdiri atas tiga kegiatan, yakni produksi serat,

pemintalan, dan penenunan/perajutan. Berdasarkan hasil kajian SENADA (2007),

Indonesia adalah penghasil serat terbesar ketujuh sedunia, menghasilkan 1,5 juta

ton di tahun 2004 atau senilai 672 juta dolar AS. Setelah produksi serat,

pemintalan merupakan langkah lanjutan dalam produksi tekstil. Indonesia

memiliki kapasitas pemintalan terbesar keempat sedunia, menghasilkan 2,64

milyar dolar AS di tahun 2004. Terakhir, Indonesia memiliki kapasitas

penenunan/perajutan terbesar ketiga sedunia, dan menghasilkan produk bernilai

3,89 milyar dolar AS selama tahun 2004.

Selain sebagai penghasil serat terbesar ketujuh sedunia dan memiliki

kapasitas pemintalan terbesar keempat sedunia, ternyata Indonesia masih

memerlukan impor kapas sebagai bahan baku pembuatan tekstil. Hal ini terlihat

dari permohonan pihak Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang mengusulkan kepada

pemerintah supaya PPN impor kapas nol persen karena merupakan bahan baku

utama industri TPT.

Tabel 5.5. Perkembangan Persentase Bahan Baku Impor yang Digunakan Industri Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2005

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pakaian Jadi kain Pakian Jadi Bulu

47,3583,03

45,370

46,4850,65

46,880

48,36 54,2

44,929,82

Sumber: BPS (2006)

44

Berdasarkan data publikasi industri besar dan sedang yang dikeluarkan

oleh BPS, ternyata komoditi pakaian jadi Indonesia hampir sebagian besar bahan

baku yang digunakan adalah bahan baku impor. Dari tahun 2000 – 20005

komoditi pakaian jadi kain menggunakan bahan baku impor diatas 44 persen dari

total bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi. Sedangkan pakaian

jadi bulu persentase bahan baku impornya berfluktuatif. Kondisi tersebut

mencerminkan bahwa komoditi pakaian jadi Indonesia masih sangat tergantung

dari bahan baku impor.

2. Sumberdaya Manusia

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

peningkatan daya saing produk pakaian jadi nasional di pasar global selain faktor-

faktor lain, seperti: perbankan, energi, infrastruktur, dan jarak/letak geografis

negara Indonesia. Masalah tenaga kerja yang dihadapi industri TPT nasional yang

mengakibatkan industri ini sulit bersaing dengan industri TPT dari negara-negara

lain adalah rendahnya produktivitas pekerja. Hasil penelitian tentang

“Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota Tahun 2003” oleh Komite

Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) adalah:

1) Dari 156 kabupaten: hanya 13 kabupaten yang produktivitas tenaga kerjanya

sangat tinggi; 3 kabupaten produktivitas tenaga kerjanya tinggi; dan 24

kabupaten produktivitas tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 116

kabupaten adalah tenaga kerja yang produktivitasnya rendah dan sangat

rendah.

45

2) Dari 44 kota: hanya 7 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 5

kota yang produktivitas tenaga kerjanya tinggi; 14 kota yang produktivitas

tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 18 kota adalah tenaga kerja

yang produktivitasnya rendah dan sangat rendah.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik dari hasil Survei Industri Besar

dan Sedang, jumlah tenaga kerja untuk industri tekstil dan pakaian jadi pada level

Industri Besar dan Sedang (tidak termasuk perusahaan golongan kecil menengah),

mengalami penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001. Jumlah ini terus menurun

pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada tahun 2001

dan 2002 pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM tentunya

menyebabkan meningkatkan biaya produksi tekstil dan pakain jadi. Dengan

kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli akan berdampak pada

pengurangan jumlah tenaga kerja.

Tabel 5.6. Jumlah Tenaga Kerja Perusahaan Besar Sedang komoditi Tekstil dan Pakaian Jadi Tahun 2000 -2004 (Ribuan Orang)

Industri 2000 2001 2002 2003 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Tektsil Pakaian Jadi

629 511

616 491

570 483

550 448

618 436

Jumlah 1.140 1.107 1.053 998 1.054 Sumber : BPS (2005)

Pada tahun berikutnya (2004), jumlah pekerja yang bekerja pada industri

tekstil dan pakaian jadi mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan

oleh meningkatnya jumlah pekerja pada industri tekstil. Untuk industri pakaian

46

jadi, jumlah tenaga kerja justri terus mengalami penurunan dari tahun 2000 –

2004.

Walaupun jumlah tenaga kerja industri pakaian jadi semakin menurun

setiap tahunnya, namun jika dilihat dari tingkat produktivitas tenaga kerja pada

komoditi ini terus mengalami peningkatan. Menurut hasil perhitungan Badan

Pusat Statistik pada industri besar dan sedang, pada tahun 2000 produktivitas

tenaga kerja industri pakaian jadi baru mencapai 51,9 juta rupiah per tenaga kerja.

Pada tahun tahun 2004, produktivitas tenaga kerja industri ini meningkat menjadi

81,3 juta per tenaga kerja. Namun peningkatan produktivitas ini kurang begitu

berarti jika dibandingkan dengan tingginya produktivitas industri besar dan

sedang lainnya di luar industri pakaian jadi. Produktivitas industri pakaian jadi

masih terhitung sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas industri

besar dan sedang lainnya. Dari tahun 2000 – 2004, industri ini hanya mampu

menduduki posisi kedua terendah dalam hal produktivitas setelah industri Furnitur

dan pengolahan lainnya.

Tabel 5.7. Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan Besar dan Sedang komoditi Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005 (Juta Rupiah / TK)

Industri 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pakaian Jadi 51,90 55,79 59,51 70,50 67,91 81,44

Sumber : BPS (2006)

47

3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam publikasi Perkembangan Indeks Produksi Besar dan Sedang 2000

– 2005 yang keluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dari 21 kelompok industri jika

dilihat dari jumlah tenaga kerja, industri pakaian jadi menyerap jumlah tenaga

kerja terbesar ketiga setelah industri Makanan dan Minuman, dan industri Tekstil

Pada tahun 2000, industri Tekstil, industri Makanan dan Minuman, dan industri

Pakaian Jadi menyerap tenaga kerja masing-masing sebesar 629 ribu, 608 ribu,

dan 511 ribu. Pada tahun 2002, industri makanan dan minuman memimpin

penyerapan tenaga kerja sebanyak 642 ribu, disusul industri tekstil sebesar 570

ribu, dan industri pakaian jadi sebanyak 480ribu. Dan di tahun 2004, industri

pakaian jadi masih menduduki peringkat tiga dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Jika dilihat produktivitas tenaga kerjanya, industri pakaian jadi

merupakan industri yang memiliki produktivitas cukup rendah. Dari tahun 2000 –

2004, industri ini hanya mampu menduduki posisi kedua terendah dalam hal

produktivitas setelah industri Furnitur dan pengolahan lainnya. Data produktivitas

dan jumlah tenaga kerja yang digunakan pada masing-masing kelompok industri

bisa dilihat pada lampiran 7 dan 8.

Dari kedua kondisi tersebut di atas, mencerminkan bahwa industri

pakaian jadi khususnya industri besar dan sedang masih mengandalkan jumlah

tenaga kerja yang besar dalam memproduksi pakaian jadi. Namun jika dikaitkan

dengan tingkat produktivitasnya yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa industri

pakaian jadi merupakan industri padat kerja dan masih menggunakan teknologi

yang rendah.

48

Selain dari sisi data, rendahnya teknologi yang digunakan industri tekstil

dan produk tekstil juga diakui oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny

Soetrisno. Menurut Soetrisno (2005), banyak perusahaan yang menggunakan

mesin dengan teknologi usang yang sudah ketinggalan 20 sampai 30 tahun.

Akibatnya, produktivitas rendah. Sementara pengusaha negara lain sudah

menggunakan mesin dengan kapasitas pintal 23 ribu per menit, pengusaha

Indonesia masih memakai mesin dengan kapasitas pintal 15 ribu putaran per

menit.

4. Infrastruktur

Kelengkapan infrastruktur pabrik untuk peningkatan mutu produk

merupakan infrastruktur yang harus dipunyai oleh perusahaan-perusahaan pakaian

jadi. Selain kelengkapan pabrik yang digunakan sebagai sarana proses produksi

pakaian jadi, kelengkapan transportasi juga diperlukan untuk sarana pemasaran

produk pakaian jadi. Kondisi jalan yang baik, sarana komunikasi, tersedianya

pasar juga akan mendukung infrastruktur dalam pemasaran.

Kondisi jalan di Indonesia dari tahun 2001 – 2005, persentase jalan

dengan kondisi baik terus mengalami penurunan untuk jalan negara dan jalan

provinsi. Keadaan ini berkebalikan dengan jalan kabupaten / kota yang terus

meningkat untuk jalan dengan kondisi baik. Padahal dalam setiap perdagangan

pakaian jadi khususnya dalam penyaluran bahan baku, penyaluran komoditi

pakaian jadi untuk dipasarkan pasti melalui jalan negara dan jalan provinsi,

apalagi untuk komoditi yang harus menggunakan fasilitas pelabuhan atau bandar

udara untuk melakukan proses ekspor dan impor. Keadaan ini secara tidak

49

langsung jelas sangat merugikan pelaku usaha khususnya dalam hal penyaluran

barang dagangan.

Tabel 5.8. Persentase Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan dan Tingkat Kewenangan Tahun 2001 – 2005

Kondisi Jalan Tahun Tingkat Kewenangan Negara Propinsi Kab/Kota Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Baik 2001 63,84 50,54 38,79 42,17 2002 61,01 49,93 36,23 39,91 2003 62,95 51,90 36,17 40,35 2004 59,21 53,74 35,53 39,69 2005 48,97 27,62 40,01 39,53 Sedang 2001 24,02 26,14 26,19 26,03 2002 21,92 28,02 26,18 26,11 2003 20,70 26,92 26,55 26,14 2004 26,84 32,46 26,91 27,50 2005 30,40 34,35 27,24 28,25 Rusak 2001 7,71 13,33 20,62 18,71 2002 9,87 14,55 22,04 20,13 2003 9,46 13,89 21,88 19,85 2004 11,42 10,59 22,34 20,06 2005 8,57 14,58 19,76 18,24 Rusak Berat 2001 4,42 9,99 14,40 13,09 2002 7,20 7,50 15,55 13,86 2003 6,89 7,28 15,40 13,67 2004 2,53 3,20 15,23 12,75 2005 12,06 23,45 12,99 13,98 Jumlah 2001 100,00 100,00 100,00 100,00 2002 100,00 100,00 100,00 100,00 2003 100,00 100,00 100,00 100,00 2004 100,00 100,00 100,00 100,00 2005 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS (2006)

b. Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan merupakan faktor yang sepatutnya diperhitungkan

dalam upaya peningkatan daya saing industri pakaian jadi di Indonesia. Kondisi

50

permintaan akan dijelaskan melaui faktor komposisi permintaan domestik, jumlah

permintaan dan pola pertumbuhan, dan internasionalisasi permintaan domestik

1. Komposisi Permintaan Domestik

Segmen pasar industri pakaian jadi tergolong sangat luas. Hal ini dapat

dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, bahkan menduduki

peringkat ke-4 jumlah penduduk terbesar di dunia setelah RRC, India, dan

Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk yang besar tanpa memandang jenis

kelamin dan usia, komoditi pakaian jadi tentu diperlukan oleh semua lapisan

penduduk. Tidak ada satupun penduduk yang tidak memerlukan pakaian jadi.

2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Sampai saat ini belum ada data baik dari Deperindag maupun Badan

Pusat Statistik mengenai jumlah permintaan pakaian jadi secara nasional. Volume

permintaan produk pakaian jadi perbulannya cenderung berfluktuatif. Biasanya

saat lebaran dan hari-hari besar permintaan cenderung mengalami peningkatan

dibandingkan hari-hari lainnya. Selain saat lebaran dan hari-hari besar, permintaan

juga cenderung meningkat saat dimulainya tahun ajaran baru di dunia pendidikan.

Tabel 5.9. Perkembangan Persentase Nilai Produksi Untuk Konsumsi Dalam Negeri dari Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005

Industri 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pakaian Jadi Kain Pakaian Jadi Bulu

7,241,05

12,000

19,500

17,380

17,36

0 23,96

0Sumber : BPS, 2005 (diolah)

51

Selama kurun waktu 2000 – 2005, perusahaan besar dan sedang yang

memproduksi pakaian jadi, hanya sekitar 7 – 24 persen saja dari total nilai

produksi yang dihasilkan yang dikonsumsi oleh penduduk dalam negeri.

Persentase dari total nilai produksi pakaian jadi perusahaan besar dan sedang yang

dikonsumsi penduduk domestik terus meningkat setiap tahunnya.

3. Internasionalisasi Permintaan Domestik

Industri pakaian jadi Indonesia khususnya yang diproduksi oleh industri

dengan kategori besar dan sedang, selain untuk memenuhi permintaan domestik

juga bertujuan untuk memenuhi permintaan dari pasar mancanegara. Bahkan bisa

dikatakan, khusus industri besar dan sedang cenderung untuk memenuhi pasar

mancanegara. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dari persentase nilai produk

yang diimpor dari industri pakaian jadi pada level perusahaan besar dan sedang.

Tabel 5.10. Perkembangan Persentase Nilai Produksi yang di Ekspor dari Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005

Industri 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pakaian Jadi Kain Pakaian Jadi Bulu

92,7698,95

88,000

80,50100,00

82,620

82,64

0 76,04

0Sumber : BPS (2005)

Walaupun cenderung menunjukkan penurunan persentase nilai produksi

yang di ekspor, namun bisa dikatan bahwa industri pakaian jadi perusahaan besar

dan sedang masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen mancanegara.

Bahkan untuk komoditi pakaian jadi bulu pada tahun 2002 total produksi dari

perusahaan besar dan sedang 100 persen untuk diekspor.

52

c. Industri Terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki daya

saing global juga akan mempengaruhi daya saing industri utamanya. Industri hulu

yang memiliki daya saing global akan memasok input bagi industri utama dengan

harga yang lebih murah, mutu lebih baik. Begitu juga dengan adanya industri

pendukung, daya saing suatu industri akan semakin baik.

1. Industri Terkait

o Industri Pemasok Bahan Baku

Bahan yang diperlukan untuk produksi pakaian jadi bersumber di

industri serat, pemintalan, dan penenunan/perajutan. Di Indonesia, pada tahun

2005 ada 28 pabrikan serat skala besar terdaftar dan kebanyakan berlokasi di Jawa

Barat dan Jawa Tengah. Pabrikan-pabrikan ini menghasilkan nilon, poliester dan

rayon. Produksi serat memerlukan penanaman modal yang besar untuk peralatan

dan, oleh karenanya yang bermain di bidang ini biasanya bukan perusahaan

berskala kecil-menengah.

Setelah terjalin, serat biasanya dicampur dengan katun dan dipintal untuk

menghasilkan benang. Sama dengan pabrikan serat, pabrik-pabrik pemintalan juga

besar dari segi ukuran serta memerlukan penanaman modal yang besar untuk

permesinan. Menurut catatan API, pada tahun 2005 ada sekitar 204 pabrik

pemintalan terdaftar di Indonesia. Setelah dipintal, benang ditenun/dirajut dan,

jika perlu, diwarnai agar bercorak sesuai dengan yang diinginkan. Kebanyakan

perusahaan penenunan/perajutan kecil tak memiliki peralatan dan keahlian untuk

mewarnai dan merampungkan (finish) benang. Akibatnya, produk mereka dijual

53

ke perusahaan penenunan/perajutan yang lebih besar yang berkemampuan

melakukan kedua hal itu. Ada 1.044 perusahaan penenunan/perajutan terdaftar di

Indonesia pada tahun 2005.

o Pakaian Jadi: Penyaluran

Di dalam negeri, pasar busana gaya (fashion) berada pada rentang harga

menengah-atas. Toko-toko serba-ada lokal seperti Metro, Millenia dan Matahari

memiliki operasi grosir dan logistiknya sendiri, dan pembelian dari perusahaan

kecil-menengah ditujukan ke gudang-gudang mereka. Syarat pembayaran

maksimumnya adalah net-30. Akan tetapi, dalam kasus tertentu, agen pembelian

lokal mungkin membayar 30 persen saat menyampaikan pesanan pembelian dan

sisanya dua minggu setelah pengiriman. Beberapa kantor pembelian lokal

memiliki cukup kekuatan pasar untuk meminta syarat konsinyasi dari pabrikan,

menghindarkan semua resiko transaksi bagi si agen pembelian yang besar dan

sukses itu.

Penjualan volume lebih kecil di pasar dalam negeri biasanya dilakukan

atas dasar hanya-tunai. Para pedagang grosir yang berpangkalan di Tanah Abang

atau Mangga Dua membeli barang langsung dari pabrikan. Barang-barang ini

dikemas dan diangkut dari pasar grosir dengan truk atau, untuk pembelian lebih

sedikit diangkut dengan mobil. Bergantung pada volume yang dibeli, pakaian jadi

mungkin digudangkan oleh pedagang grosir atau langsung dibawa ke toko eceran

untuk dijual ke konsumen akhir.

Pembelian ekspor dikoordinasikan oleh agen pembelian. Pakaian jadi

umum dan baku dijual ke toko serba-ada dunia, seperti Wal-Mart dan Carrefour,

54

sementara busana gaya dijual ke importir/penyalur merk dunia. Pembelian oleh

konsumen akhir (sell through) itu hampir terjamin, asalkan mutu memenuhi baku

minimum dan modelnya tidak mengalami alihrupa yang tajam/radikal. Dalam

kasus tertentu, barang-barang yang tak laku dapat dikembalikan kepada pabrikan

atau dilempar ke pengecer atau kios kecil, tempat barang-barang itu dijual dengan

harga yang jauh lebih rendah.

Berdasarkan hasil kajian SENADA diketahui bahwa penyaluran ekspor

umumnya dilakukan menggunakan letter of credit (L/C), suatu dokumen yang

diterbitkan oleh bank pembeli yang pada intinya bertindak sebagai jaminan

pembayaran yang tidak terbatalkan. Proses ekspor dimulai setelah agen pembelian

(yakni, mereka yang menyetujui pembelian dan penerimaan pakaian jadi untuk

perusahaan-perusahaan multinasional seperti Benetton, Lacoste, Polo, dll)

memeriksa contoh barang yang akan dikapalkan. Jika dapat diterima, pabrikan

pakaian jadi menghubungi perusahaan pengiriman barang (misalnya, PT Maersk,

PT Forin Antarbuana Flyindo, PT Schenker Petrolog Utama) untuk mengatur

jadwal dan semua dokumentasi yang diperlukan bagi pengapalan. Atas

kesepakatan, peti kemas kosong dari perusahaan pengantar barang dibawa ke

fasilitas pabrikan dan dimuati dengan barang jadi. Setelah penuh, truk diarahkan

ke pelabuhan pengapalan (misalnya, Tanjung Priok) tempat barang dibongkar dan

diletakkan di kapal dagang. Ini biasanya titik di mana pembeli menerima

tanggungjawab pengapalan, dalam sebuah pengaturan yang umum disebut “bebas

setelah dimuat” (FOB—free on board).

55

2. Industri Pendukung

o Asosiasi Pertekstilan Indonesia

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) adalah asosiasi sektoral yang

bergerak di bidang industri dan perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang

didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1974 oleh kalangan pengusaha TPT

Indonesia. Sebagai sebuah organisasi pertekstilan di Indonesia yang non-

pemerintah, non-profit, dan independen, API mempunyai komitmen untuk

mengembangkan dan meningkatkan kinerja industri dan perdagangan TPT

nasional.

Tujuan didirikannya API adalah sebagai wadah bagi anggota API untuk

menyalurkan aspirasi dan juga memberikan kontribusi terhadap upaya

pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT Indonesia yang

disusun dan dirancang serta diputuskan setiap 3 (tiga) tahun sekali dalam

Musyawarah Nasional (Munas) API. Aktivitas API yang utama adalah

memfokuskan pada pelayanan untuk kepentingan dan kebutuhan anggota yang

diwujudkan dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah, pengusaha TPT,

komunitas industri mesin TPT, asosiasi desainer, perguruan tinggi & akademi,

pers, pengamat & pakar pertekstilan, dan stakeholders pertekstilan lainnya dengan

tujuan untuk pengembangan dan peningkatan industri dan perdagangan TPT

nasional. Aktivitas tersebut antara lain informasi industri TPT Indonesia, data

angka aktual kinerja industri TPT Indonesia, penelitian dan pengembangan bagi

kepentingan industri TPT nasional, dan informasi lainnya tentang industri dan

perdagangan TPT Indonesia. Anggota API pada tahun 2007 berjumlah 1.070

56

perusahaan TPT (berskala besar dan menengah) dan ± 500 Usaha Kecil

Menengah (UKM) termasuk kerajinan dan handycraft TPT yang terdiri dari sektor

fiber (serat), sektor spinning (pemintalan), sektor weaving (pertenunan), sektor

knitting/embroidery (perajutan/pembordiran), sektor dyeing/printing/finishing

(pencelupan/pencetakan / penyempurnaan), sektor pembatikan, sektor garment

(pakaian jadi), dan sektor pembuat tekstil jadi lainnya.

o Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan sangat dibutuhkan untuk masalah keuangan

perusahaan. Lembaga keuangan seperti bank, dengan pemberian kredit dapat

membantu perusahaan kecil, menengah, dan besar untuk proses pengembangan

perusahaannya. Kebutuhan dana untuk industri pakaian jadi terdiri dari modal

investasi dan modal kerja yang diperoleh dari kredit perbankan dan dana sendiri.

Namun sangat disayangkan, dalam press release pemerintah hari Jumat

tanggal 20 April 2007 tentang Program Peningkatan Teknologi TPT berupa

bantuan pembelian mesin / peralatan TPT, Pemerintah melihat bahwa dalam

perkembangannya, salah satu permasalahan yang dihadapi industri TPT adalah

dari sisi perbankan. Menurut pemerintah, secara umum perbankan nasional masih

menganggap industri TPT sebagai sunset industry dengan tingkat risiko tinggi.

Dengan tingkat suku bunga SBI sekitar 12,1 persen (per Agustus 2006) dan suku

bunga bank komersial mencapai 16,5-17,5 persen bila dibandingkan dengan

tingkat suku bunga di negara-negara ASEAN dan dunia pada umumnya yang

hanya 1 digit, sehingga tidak terjangkau bagi perusahaan industri TPT untuk

melakukan peremajaan mesin.

57

o Industri Listrik

Industri pakaian jadi Indonesia tidak bisa terlepas dari pasokan listrik

yang digunakan dalam proses produksi khususnya bagi industri yang berskala

besar dan menengah. Dalam memenuhi kebutuhan listrik, karena adanya krisis

energi beberapa industri TPT memang tidak lagi mampu memproduksi listrik

untuk kepentingan usahanya. Padahal, kondisi ini juga disadari juga akan semakin

menambah beban pasokan listrik yang harus ditanggung PLN. Berkaitan dengan

krisis energi yang sedang terjadi, PT. PLN sekarang ini menjalankan program

Multiguna-nya dimana tarif dasar listrik menjadi berlipat ganda dan program

Dayamaks-nya yang membatasi perusahaan untuk berproduksi pada waktu

peakhours mengakibatkan industri terhambat untuk melakukan ekspansi.

d. Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan

Persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendukung daya

saing antar unit-unit perusahaan yang terdapat dalam industri tersebut. Persaingan

dalam suatu industri sangat berpengaruh terhadap bentuk struktur industri tersebut

dan setiap perusahaan menentukan strategi yang dapat digunakan untuk dapat

bersaing dalam industri tersebut.

1. Struktur Industri

Untuk mengetahui struktur pasar suatu industri dapat digunakan metode

CR2, CR4, atau CR8. Dengan metode tersebut dapat diketahui apakah struktur

pasar industri pakaian jadi cenderung duopoli, oligopoli ketat, oligopoli longgar,

atau cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna.

58

Berdasarkan konsentrasi rasio yang dikeluarkan oleh Badan Pusat

Statistik, ternyata industri pakaian jadi Indonesia tidak mengarah pada bentuk

duopoli ataupun oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan angka CR2, CR4, ataupun

CR8 industri pakaian jadi yang nilainya masih dibawah 0,20. Dengan kata lain,

industri pakaian jadi Indonesia cenderung mengarah pada persaingan ketat.

Namun jika industri pakaian jadi dipilah-pilah berdasarkan kategori-kategori

tertentu seperti kategori pakaian jadi lainnya dari kulit, ternyata ada

kecenderungan menuju arah duopoli ataupun oligopoli. Misalkan untuk industri

pakaian jadi lainnya dari kulit cenderung mengarah pada bentuk oligopoli.

Tabel 5.11. Konsentrasi Rasio Komoditi Pakaian Jadi Indonesia Tahun 2000 – 2005

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

CR 2 CR 4 CR 8

0,04 0,08 0,14

0,06 0,10 0,18

0,04 0,07 0,13

0,06 0,10 0,16

0,05 0,08 0,15

0,06 0,10 0,16

Sumber: BPS (2005)

2. Persaingan

Struktur industri pakaian jadi Indonesia berbentuk persaingan ketat. Hal

ini berarti pangsa pasar setiap perusahaan kecil (konsumen dan perusahaan price

taker). Dengan persaingan ketat tersebut, antar perusahaan bisa saling mematikan,

terutama antara perusahaan besar dengan yang kecil.

Dalam struktur persaingan sempurna, efisiensi bersifat dinamis.

Perubahan teknologi hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar sehingga

perusahaan kecil tidak mampu bersaing. Dan dalam struktur ini, pemilik modal

59

akan memperoleh keuntungan maksimal, dan buruh yang bekerja akan

memperoleh keuntungan yang minimal.

3. Strategi

Strategi perusahaan-perusahaan pakaian jadi untuk dapat bersaing yaitu

dengan mempengaruhi konsumen dan melakukan pembaharuan teknologi.

Dengan persaingan yang ketat, konsumen bebas memilih karena produsen sangat

banyak. Dengan kebebasan memilih konsumen, perusahaan akan berusaha

mempengaruhi konsumen melalui iklan. Dengan harapan akan tercipta image

tersendiri tentang komoditi pakaian jadi perusahaan tertentu. Selain

mempengaruhi konsumen melalui iklan, strategi berikutnya yaitu dengan

memperbaharui teknologi. Teknologi yang diperbaharui diharapkan akan lebih

efisien dalam memproduksi pakaian jadi. Sehingga dengan teknologi yang

diperbaharui, akan mengurangi biaya produksi dan menghasilkan produk yang

lebih banyak dan lebih berkualitas. Kedua strategi tersebut hanya bisa dilakukan

oleh perusahaan dengan modal besar.

e. Peran Pemerintah

Peran pemerintah untuk mendukung pengembangan industri pakaian jadi

sangat diharapkan oleh pengusaha-pengusaha pakaian jadi. Secara hukum,

pemerintah telah mengeluarkan beberapa produk hukum untuk mendukung

pengembangan industri pakaian jadi nasional. Salah satu produk hukum yang

dikeluarkan pemerintah adalah pelarangan impor pakaian bekas yang cukup

marak terjadi di Indonesia. Impor pakaian bekas dilarang berdasarkan

Kepmenperindag RI No. 230/MPP/Kep/7/1977 tentang Barang Yang Diatur Tata

60

Niaga Impornya dan Kepmenperindag RI No. 642/MPP/Kep/9/2002 tentang

Perubahan Lampiran I Kepmenperindag RI No. 230/MPP/Kep/7/1977 tentang

Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya, tertulis “DILARANG” untuk impor

barang gombal baru dan bekas dengan HS ex. 6310.90.000. Dalam buku Tarif

Bea Masuk Indonesia 2004 Ditjen Bea dan Cukai, untuk HS 6310 meliputi uraian

barang: gombal, skrap benang pintal, tali, tali tambang dan kabel bekas atau baru

serta barang usang dari benang pintal, tali tambang atau kabel, dari bahan tekstil,

termasuk HS 6310.10.10.00 (gombal bekas atau baru); 6310.10.90.00 (lain-lain);

6310.90.10.00 (gombal bekas atau baru); 6310.90.90.00 (lain-lain), tertulis

“DILARANG”.

Dari sudut industri, impor pakaian bekas khususnya akan sangat

mengganggu pasar domestik yang merupakan pangsa pasar bagi industri garment

kecil dan konveksi. Dan umumnya akan mengganggu seluruh sektor industri TPT

nasional, yaitu industri weaving/knitting; industri spinning; dan industri serat.

Penjelasannya sebagai berikut:

1. Produk industri garment kecil dan konveksi nasional pasarnya sebesar 100

persen adalah domestik, walaupun ada yang ekspor akan tetapi tidak

langsung. Disamping itu pula, pangsa pasarnya adalah golongan ekonomi

lemah atau masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dengan adanya impor

pakaian bekas, sudah pasti pasar industri garment kecil dan konveksi tidak

lagi 100 persen karena harus berbagi dengan produk impor tersebut.

Akibatnya, dan ini dapat diprediksikan, bahwa akan ada beberapa industri

garment kecil dan konveksi ini yang tidak beroperasi/tutup/mati.

61

2. Dengan terganggunya industri garment kecil dan konveksi ini, dampaknya

secara berurutan mengganggu pula industri hulunya.

Secara nasional, impor pakaian bekas akan menimbulkan kekacauan

terhadap pola distribusi TPT domestik pada pruduksi, dan ini artinya, produksi

industri TPT nasional akan menurun yang pada gilirannya akan terjadi penurunan

pula pada penggunaan mesin-mesin industri.

Selain pelarangan produk impor pakaian jadi, pemerintah juga telah

mengeluarkan press release pada hari Jumaat, tanggal 20 April 2007 tentang

Program Peningkatan Teknologi TPT berupa bantuan pembelian mesin / peralatan

TPT. Pemerintah mengeluarkan press release tersebut berdasarkan pengamatan

pemerintah melihat bahwa dalam perkembangannya, industri Tekstil dan Produk

Tekstil menghadapi beberapa permasalahan antara lain :

− Umur mesin yang tua (15-25 tahun), terutama pada di sektor

Spinning/Weaving.

− Makin sulitnya produk TPT memasuki pasar dunia karena daya saing

menurun dengan munculnya negara-negara pesaing baru yang sudah

mengadopsi teknologi baru. Hal ini dicirikan dari nilai ekspor industri TPT

yang cenderung stagnan (berkisar US$ 7-8 Milyar/tahun), sedangkan pangsa

pasar Indonesia baru mencapai sekitar 2 persen dari volume pasar dunia.

− Produk TPT eks Cina yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar

Indonesia (baik legal maupun ilegal).

− Secara umum perbankan nasional masih menganggap industri TPT sebagai

sunset industry dengan tingkat risiko tinggi. Dengan tingkat suku bunga SBI

62

sekitar 12,1 persen (per Agustus 2006) dan suku bunga bank komersial

mencapai 16,5-17,5 persen bila dibandingkan dengan tingkat suku bunga di

negara-negara ASEAN dan dunia pada umumnya yang hanya 1 digit,

sehingga tidak terjangkau bagi perusahaan ITPT untuk melakukan

peremajaan mesin.

Pemerintah berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan dan

mengembangkan potensi industri TPT nasional, diantaranya melalui alternatif

bantuan pendanaan untuk peningkatan teknologi/peremajaan permesinan, dengan

meluncurkan program peningkatan teknologi industri TPT, bantuan pembelian

mesin/peralatan industri TPT. Tujuan dari program ini adalah untuk

meningkatkan daya saing industri TPT melalui peningkatan teknologi/peremajaan

permesinan, sehingga diharapkan tercapai meningkatkan teknologi, efisiensi dan

produktivitas serta daya saing dari industri TPT Nasional.

Peningkatan teknologi industri tekstil dan produk tekstil adalah kegiatan

yang dilakukan oleh industri TPT untuk mengganti sebagian atau seluruh mesin

peralatan produksi termasuk mesin penunjang dengan teknologi yang lebih tinggi,

dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan

lebih berdaya saing. Pemerintah mendorong proses peningkatan teknologi ini

dengan menganggarkan dana bantuan Pemerintah bagi Industri TPT Nasional,

yang telah tercantum dalam DIPA Departemen Perindustrian Tahun Anggaran

2007 sebesar Rp.255 milyar.

Selain kedua hal tersebut di atas, pemerintah melalui Dirjen Industri

Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, juga memberikan keringanan

63

pengurangan pph bagi penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu. Hal

tersebut diungkapkan oleh Benny Wahyudi (2008) selaku Dirjen Industri Agro

dan Kimia Departemen Perindustrian pada paparan publik di Kantor Departemen

Perindustrian pada tanggal 21 Agustus 2008. Dalam paparannya, Wahyudi

menyatakan bahwa pemerintah telah merivisi PP No. 148 tahun 2008 tentang

pengurangan pph netto 30 persen untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha

tertentu dan salah satunya adalah industri tekstil dan pakaian jadi.

f. Peran Kesempatan

Dari uraian terdahulu diketahui bahwa perusahaan besar dan sedang

yang bergerak pada industri pakaian jadi kain mengekspor hasil produksinya

diatas 70 persen dari nilai produksinya. Jika dilihat dari perkembangan persentase

realisasi produksi terhadap kapasitas terpasang industri pakaian jadi dari tahun

2000 – 2005 ternyata belum berproduksi secara maksimal. Hal ini dapat diketahui

dari persentase realisasi produksi terhadap kapasitas terpasang pada industri

pakaian jadi kain. Dari tahun 2000 – 2005, realisasi produksi terhadap kapasitas

terpasang masih dibawah 85 persen. Ini berarti industri pakaian jadi (khususnya

dari kain) masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya.

Tabel 5.12. Perkembangan Persentase Realisasi Produksi terhadap

Kapasitas Terpasang Industri Pakaian Jadi Tahun 2000 -2005

Industri 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pakaian jadi kain 83,09 33,85 83,73 69,40 84,92 84,76

Sumber : BPS (2005)

64

Era perdagangan bebas yang sedang terjadi di seluruh dunia membawa

konsekuensi bagi semakin ketatnya persaingan global, termasuk bagi industri

pakaian jadi nasional. Tetapi dengan adanya perdagangan bebas, berbagai

kebijakan tarif dan non tarif yang menghambat ekspor akan dihapuskan. Hal

tersebut akan dapat meningkatkan ekspor pakaian jadi Indonesia. Selain itu

dengan adanya era globalisasi akan membuka peluang pasar lebih besar lagi.

5.4.2. Kelemahan dan Keunggulan Komponen Porter’s Diamond

Berdasarkan analisis tiap komponen daya saing di atas, industri pakaian

jadi memiliki keunggulan dan kelemahan. Komponen-komponen yang tidak

mempunyai daya saing yang cukup tinggi meliputi faktor sumberdaya, kondisi

industri pendukung dan industri terkait industri pakaian jadi. Komponen-

komponen lainnya seperti faktor permintaan, faktor struktur, persaingan, dan

strategi perusahaan, peran pemerintah, dan peran kesempatan memperlihatkan

bahwa industri pakaian jadi memiliki daya saing yang cukup tinggi. Pada gambar

5.1. akan digambarkan faktor mana saja yang akan menjadi kelemahan maupun

keunggulan industri pakaian jadi. Tanda (+) menunjukkan bahwa faktor tersebut

merupakan faktor keunggulan bersaing industri pakaian jadi, sedangkan tanda (-)

merupakan faktor kelemahan industri pakaian jadi.

Dari komponen sumber daya, industri terkait dan industri pendukung

merupakan kelemahan yang dimiliki oleh industri pakaian jadi. Dari sumber daya

alam, walaupun Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang beranekaragam,

tetapi pada kenyataannya komoditi pakaian jadi masih mengimpor bahan baku

65

untuk proses produksinya. Dari tahun 2000 – 2005 bahan baku untuk industri

pakaian jadi nasional sekitar 44 – 50 persen merupakan produk impor.

Dari sisi SDM, walaupun indonesia memiliki jumlah penduduk yang

banyak, akan tetapi produktivitas pekerja di industri pakaian jadi masih sangat

rendah. Selain faktor SDM, faktor IPTEK untuk industri pakaian jadi juga masih

sangat rendah. Banyak mesin-mesin yang sudah tua untuk memproduksi pakaian

jadi. Disamping itu infrastruktur belum memadai.

Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan 1. Persaingan (+) 2. Struktur (+) 3. Strategi (+)

Kondisi Permintaan Domestik

1. Komposisi permintaan Domestik (+)

2. Besar & pola pertumbuhan Domestik (+)

3. Internasionalisasi Permintaan Domestik (+)

Industri Pendukung dan Terkait

1. Industri Terkait (-) 2. Industri Pendukung (-)

Kondisi Faktor Sumber Daya

1. SDA (-) 2 SDM (-) 3 IPTEK (-) 4 Infrastruktur (-)

Peran Kesempatan

(+)

Peran Pemerintah

(+)

Gambar 5.1. Keunggulan dan Kelemahan Komponen Porter’s Diamond

66

Keunggulan industri pakaian jadi dapat dilihat pada komponen struktur,

pesaingan, dan strategi perusahaan yang mengarah pada persaingan ketat. Dimana

tidak ada perusahaan yang dominan, sehingga harga pakaian jadi tidak didominasi

oleh perusahaan tertentu. Selain faktor tersebut, faktor komponen kondisi

permintaan domestik juga merupakan keunggulan industri pakaian jadi. Penduduk

Indonesia yang besar merupakan pangsa pasar yang menimbulkan permintaan

yang besar. Sedangkan permintaan luar negeri cukup besar. Hal ini ditunjukkan

dengan persentase yang cukup besar dari nilai produksi industri pakaian jadi dari

perusahaan-perusahaan besar dan sedang yang diekspor. Persentase nilai produksi

yang diekspor setiap tahunnya melebihi 75 persen dari total nilai produksi pakaian

jadi.

Keunggulan lain dari industri pakaian jadi adalah komponen peran

pemerintah dan peran kesempatan. Peran nyata pemerintah untuk melindungi dan

meningkatkan produk pakaian jadi indonesia antara lain adanya larangan impor

pakaian bekas dan pemberian bantuan untuk peremajaan alat-alat produksi

pakaian jadi pada tahun anggaran 2007. Peran kesempatan juga merupakan

komponen keunggulan yang dimilik industri pakaian jadi. Kapasitas yang

terpasang belum maksimal dipergunakan. Dalam era globalisasi merupakan

kesempatan untuk meningkatkan realisasi produksi secara maksimal dengan

harapan bisa menambah kesempatan untuk mengekspor pakaian jadi.

5.4.3. Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond

Dari hasil analisis faktor keunggulan dan kelemahan industri pakaian

jadi dapat diketahui keterkaitan tiap komponen dalam Porter’s Diamond tidak

67

sepenuhnya saling menunjang antar komponen. Hal tersebut terlihat pada

komponen permintaan, walaupun tidak ditunjang oleh keunggulan pada

komponen kondisi faktor dan industri pendukung serta industri terkait, ternyata

untuk kurun waktu 2000 – 2006 masih bisa meningkatkan keunggulan komponen

kondisi permintaan industri pakaian jadi Indonesia. Keterkaitan antar komponen

yang sudah saling terjalin dan saling mendukung pada industri pakaian jadi hanya

dapat dilihat dari keterkaitan antara komponen kondisi permintaan dan struktur,

persaingan, dan strategi perusahaan.

Walaupun Indonesia terkenal akan kekayaan sumber daya alam, ternyata

untuk industri pakaian jadi sebagian besar bahan baku produksinya masih

menggunakan bahan baku impor. Hal ini kurang mendukung berkembangnya

industri terkait. Keberadaan industri terkait sebagai bahan baku pembuatan

pakaian jadi masih memiliki ketergantungan impor bahan baku.

Sedangkan industri pendukung seperti Asosiasi Pertekstilan, Lembaga

Keuangan, dan PT. PLN belum dapat menunjang sepenuhnya pada industri

pakaian jadi di Indonesia. Masalah utama lembaga keuangan khususnya

perbankan nasional, secara umum masih menganggap industri TPT sebagai sunset

industry dengan tingkat risiko tinggi. Dengan tingkat suku bunga SBI sekitar 12,1

persen (per Agustus 2006) dan suku bunga bank komersial mencapai 16,5-17,5

persen tidak terjangkau bagi perusahaan industri TPT untuk melakukan

peremajaan mesin. Demikian juga PT. PLN. Dengan krisis energi yang terjadi

sekarang ini cenderung memberatkan industri TPT dalam berproduksi. Sedangkan

Asosiasi Pertekstilan Indonesia belum bisa campur tangan sepenuhnya dalam

68

setiap industri tekstil yang ada. Oleh karena itu, industri pakaian jadi di Indonesia

masih banyak dibantu oleh lembaga pemerintah. Pada periode 2000 – 2006,

bantuan yang diberikan pemerintah belum begitu berdampak bagi industri terkait

dan industri pendukung. Hal ini disebabkan peran pemerintah masih begitu kecil

terhadap industri pakaian jadi nasional. Apalagi bantuan dana segar yang

dikeluarkan pemerintah untuk peremajaan alat-alat produksi baru dikucurkan pada

tahun anggaran 2007.

Peran faktor kesempatan seperti kesempatan untuk memaksimalkan

produksi karena realisasi produksi tidak sesuai dengan kapasitas maksimal yang

terpasang tidak mampu mendorong komponen kondisi faktor dan komponen

industri terkait dan pendukung. Dalam era globalisasi, pada periode 2000 – 2006

lebih mendorong komponen kondisi permintaan dan struktur, persaingan, strategi

perusahaan untuk bersaing dalam memproduksi lebih banyak dan lebih

berkualitas.

Keterkaitan yang saling terkait dan mendukung dapat dilihat pada

komponen permintaan dan komponen struktur, persaingan, dan strategi

perusahaan. Bentuk struktur industri pakaian jadi yang berupa persaingan ketat

dengan banyaknya perusahaan besar dan sedang yang bergerak pada industri

pakaian jadi dapat mempengaruhi komponen permintaan. Hal ini dapat dilihat,

pada periode 2000 – 2006 perusahaan besar dan sedang lebih dari 75 persen nilai

produksinya di ekspor ke mancanegara. Sedangkan sisanya untuk memenuhi

permintaan dalam negeri.

69

Masalah keterkaitan antara komponen permintaan dan komponen

struktur, persaingan dan strategi dapat sedikit diatasi dengan faktor penunjang

yaitu faktor pemerintah dan faktor kesempatan. Faktor kesempatan melalui

memaksimalkan kapasitas produksi akan mampu meningkatkan jumlah

permintaan di dalam negeri maupun di luar negeri. Faktor pemerintah untuk

menjaga supaya terjadi persaingan yang sehat, dibentuk Komisi Pengawasan

Persaingan Usaha (KPPU). Selain itu, pemerintah juga melarang impor pakaian

bekas yang akan merusak persaingan dan permintaan pakaian dalam negeri.

Pada Gambar 5.2. akan digambarkan bagaimana keterkaitan antar

komponen daya saing industri pakaian jadi Indonesia. Tanda garis tebal berwarna

biru merupakan keterkaitan yang saling mendukung, sedangkan tanda garis tipis

berwarna merah adalah keterkaitan yang tidak terjalin atau tidak saling

mendukung. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa kebanyakan antar

komponen daya saing industri pakaian jadi tidak saling mendukung.

Persaingan, Struktur, dan Strategi Perusahaan

Kondisi Permintaan Domestik

Industri Pendukung dan Terkait

Kondisi Faktor Sumber Daya

Peran Kesempatan

Peran Pemerintah

Gambar 5.2. Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Hasil perhitungan Indeks Spesialisasi Perdagangan pada periode tahun 2000 –

2006 berkisar pada angka 0,9739 – 0,9860. Angka ini menunjukkan bahwa

dalam kurun waktu tersebut, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki nilai

ekspor yang sangat jauh melebihi nilai impor komoditi yang sama.

2. Dari 2000 – 2006 nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) pakaian jadi Indonesia

berkisar pada nilai 51,19 sampai 63,70. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor

pakaian jadi Indonesia mulai mempunyai kecenderungan mengarah pada salah

satu atau beberapa negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak

menguntungkan, karena dengan demikian ekspor komoditi pakaian jadi

Indonesia mulai tergantung pada salah satu atau beberapa pangsa pasar saja.

Dan jika pangsa pasar tersebut mengalami gangguan, secara tidak langsung

sebagian besar ekspor pakaian jadi Indonesia juga akan terganggu.

3. Jika dilihat dari nilai RCA, komoditi pakaian jadi Indoensia memiliki daya

saing yang lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata dunia. Namun angka

RCA tersebut cenderung menurun walaupun masih lebih besar dari satu. Hal

tersebut disebabkan oleh makin menurunnya share ekspor pakaian jadi

terhadap total ekspor Indonesia dan makin meningkatnya share beberapa

komoditi ekspor terhadap total ekspor Indonesia.

4. Dari tiap komponen daya saing industri pakaian jadi memiliki keunggulan dan

kelemahan. Keunggulan industri pakaian jadi yang dapat menyebabkan daya

71

saing industri pakaian jadi tinggi tersebut seperti faktor struktur, persaingan

dan strategi perusahaan, faktor permintaan, faktor kesempatan, dan faktor

pemerintah. Tetapi faktor sumber daya serta faktor industri terkait dan

pendukung banyak memiliki kelemahan. Keterkaitan antar faktor tidak terjalin

sempurna sehingga menyebabkan faktor keunggulan industri pakaian jadi

tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung faktor daya saing yang

lemah. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing industri pakaian jadi

Indonesia masih rendah.

6.2. Saran

1. Pemerintah dan para pelaku ekspor pakaian jadi Indonesia perlu

mempertimbangakan untuk mencari dan memperluas negara tujuan eskpor

pakaian jadi, sehingga pangsa pasar pakaian jadi tidak mengarah pada

beberapa pangsa pasar saja.

2. Industri pakaian jadi Indonesia memiliki keunggulan komparatif namun

cenderung menurun setiap tahunnya. Penurunan ini disebabkan oleh

keunggulan kompetitif industri pakaian jadi yang masih rendah. Ini berarti

perlu adanya upaya peningkatan keunggulan kompetitif industri pakaian jadi

nasional supaya industri ini bisa bersaing di pasar internasional.

3. Dengan besarnya nilai bahan baku impor pakaian jadi kain yang nilainya rata-

rata di atas 40 persen dari total bahan baku yang diperlukan dalam produksi

pakaian jadi, maka perlu kerja sama antara lembaga penelitian terkait dan

pemerintah sebagai fasilitator untuk mengembangkan bahan baku industri

pakaian jadi khususnya kapas.

72

4. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan lembaga penelitian khususnya

yang bergerak dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk bisa

mengembangkan teknologi yang lebih modern sehingga industri pakaian jadi

dapat meningkatkan daya saingnya seperti negara Cina dan India yang sudah

mulai melakukan pembaharuan teknologi pada industri pakaian jadi.

5. Melihat produktivitas tenaga kerja industri pakaian jadi Indonesia yang masih

rendah dan realisasi produksi yang belum optimal dari kapasitas terpasang,

perlu adanya usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas pekerja seperti

adanya pelatihan-pelatihan khusus bagi para tenaga kerja sehingga akan

dicapai hasil yang lebih maksimal.

6. Pemerintah, lembaga penelitian, dan pelaku usaha pakaian jadi khususnya

perusahaan besar dan sedang perlu memikirkan energi alternatif untuk

menggerakkan mesin produksi.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2008. Indikator Ekonomi. Jakarta . 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta . 2005. Indikator Industri besar dan sedang Indonesia 2005.

Jakarta. . 2006. Buku Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,

Export 2006. Jilid I. Jakarta. . 2006. Analisis Komoditi Ekspor 2000-2006 sektor

Pertanian, Industri, dan Pertambangan 2000 – 2006. Jakarta. . 2005. Perkembangan Indeks Produksi Industri Besar dan

Sedang 2000 – 2005. Jakarta. Dumairy. 1999. Perekonomian Indoensia. Cetakan Keempat. Erlangga. Jakarta. Dwiyono, S. 2004. Berakhirnya kuota ancam industri tekstil Indonesia. Jakarta. Egismy. 2008. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Bagian II.

Jakarta. . 2005. Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Indonesia (TPT). Jakarta. . 2005. Kajian Pakaian Bekas. Jakarta. Firdaus, M dan A.H. Firdaus. 2008. Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat.

[Paper]. IPB, Bogor. Prahara, G. 2000. Kinerja Ekspor Komoditi Pakaian Jadi Indonesia Tahun 1989 –

1998. [Skripsi]. STIS, Jakarta. Hady, H. 1991. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan Perdagangan

Internasional. Edisi Revisi. Galia Indonesia. Jakarta. Hutagalung, B. 1988. Faktor Penentu Keunggulan Komparatif Nasional. Media

Informasi Perdagangan No. 63. Depperindag. Jakarta. Krugman, P.R dan Obstfeld Maurince. 2004. Teori dan Kebijakan Ekonomi

Internasional. Edisi kelima. Jilid 1. Jakarta.

74

Mulyani, Sri. 2004. Keunggulan Komparatif Ekspor Kakao Indonesia Tahun 1996 – 2000. [Skripsi]. STIS, Jakarta.

Pangestu, M. E. 2004. Tantangan Membangkitkan Daya Saing Indonesia dan

Sektor Riil. [Economic Review Journal]. Jakarta. Prasetyo, A. 2006. Analisis Perdagangan Intra Industri Komoditas Pakaian Jadi

Indonesia Dengan Negara Asean Lainnya Tinjauan Tahun 1998-2002. [Thesis]. Unair, Surabaya.

Rinaldy, E. 2006. Kamus Perdagangan Internasional. Jakarta. Salvatore. 1996. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jilid 1. Erlangga. Jakarta SENADA. 2007. Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Pakaian Jadi: Mekanisme

Operasi dan Antarhubungan Perusahaan antar RNI Pakaian Jadi. Jakarta.

Sjafrizal. 1995. Ekspor Non Migas Indonesia ke Uni Eropa: Perkembangan,

Prospek, dan Kebijakan. [Jurnal Analisis CSIS]. Jakarta. Wirasasmita, H.R.A. 1999. Kamus Lengkap Ekonomi. Pionir Jaya. Bandung. World Trade Organization. 2004. International Trade Statistics 2006.

Switzerland. WTO . 2006. International Trade Statistics 2006.

Switzerland. WTO

75

Lampiran 1. Perkembangan Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Tahun 1990 – 2006

Tahun Total Ekspor (Juta Dollar AS)

Pendapatan Nasional (Juta Dollar AS)

Kontribusi (%)

(1) (2) (3) (4)

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

25.675,3 29.142,4 33.967,0 36.823,0 40.053,4 45.418,0 49.814,8 53.443,6 48.847,6 48.665,5 62.124,0 56.320,9 57.158,8 61.058,2 71.584,6 85.660,0 100.798,6

113.344 120.083 127.570 133.966 141.154 146.583 153.908 125.417 109.388 110.432 160.342 160.810 194.503 234.692 256.681 288.367

369.422*)

22,65 24,27 26,63 27,49 28,45 30,98 32,37 42,61 44,65 44,07 38,74 35,02 29,39 26,02 27,89 29,70 27,28

Catatan : *) Angka sementara Sumber : BPS (diolah khusus data pendapatan nasional dlm US$ & kontribusi)

76

Lampiran 2. Konstribusi Komoditas Non-Migas dan Migas Terhadap Total Ekspor Tahun 1990 – 2006

Tahun Total Ekspor (000 000 US$)

Konstribusi (%)

Migas Non Migas (1) (2) (3) (4)

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

25.675,3 29.142,4 33.967,0 36.823,0 40.053,4 45.418,0 49.814,8 53.443,6 48.847,6 48.665,5 62.124,0 56.320,9 57.158,8 61.058,2 71.584,6 85.660,0 100.798,6

43,12 37,39 31,42 26,47 24,20 23,04 23,53 21,75 16,12 20,12 23,13 22,44 21,19 22,36 21,86 22,45 21,04

56,88 62,61 68,58 73,53 75,80 76,96 76,47 78,25 83,88 79,88 76,87 77,56 78,81 77,64 78,14 77,55 78,96

Sumber: BPS (Diolah khusus data kontribusi migas dan non migas)

77

Lampiran 3. Perkembangan Ekspor Non Migas Berdasarkan Golongan Tahun 1991 – 2006 (Juta Dollar AS)

Tahun Nilai Ekspor Pertanian Nilai Ekspor Industri

Nilai ekspor pertambangan

dan lainnya (1) (2) (3) (4)

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

2.282,4 2.212,0 2.644,2 2.818,8 2.887,0 2.912,7 3.272,1 3.653,4 2.901,4 2.709,1 2.438,5 2.568,3 2.526,1 2.496,2 2.880,2 3.364,9

15.067,6 19.613,0 23.292,0 25.702,2 29.329,8 32.124,8 34.845,8 34.593,2 33.332,4 42.003,0 37.671,1 38.729,6 40.879,9 48.677,3 55.593,6 65.023,9

897,6

1.471,1 1.489,1 1.838,8 2.736,8 3.055,5 3.703,2 2.728,9 2.639,4 3.045,4 3.575,0 3.748,2 4.000,8 4.765,8 7.954,6 11.200,4

Sumber: BPS

78

Lampiran 4. Perkembangan Nilai Ekspor Hasil Industri Indonesia (000 000 US$) Tahun 1994 – 2006

Tahun Pakain Jadi

Tekstil Lain- nya

Kayu Lapis

Kayu Olahan Lain- nya

Karet Olahan

Minyak

Kelapa Sawit

Alat- Alat

Elektro- nik

Hasil Industri Lainnya

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

3.226,1 3.388,1 3.575,8 2.875,6 2.587,9 3.817,9 4.734.0 4.530.5 3.945.0 4.105.3 4.454.2 4.966.9 5.608.2

2.573,3 2.815,5 2.975,0 3.658,4 4.739,6 3.418,0 3.634,0 3.322,4 3.075,8 3.064,4 3.354,6 3.704,0 3.908,8

3.716,4 3.462,0 3.595,4 3.410,6 2.077,9 2.256,3 1.988,8 1.838,0 1.748,4 1.662,9 1.576,7 1.374,7 1.506,6

1.474,2 1.528,3 1535,3

1.892,0 2.345,5 1.539,9 1.572.2 1.427,2 1.503,1 1.498,6 1.671,0 1.711,8 1.818,2

1.391,2 2.190,7 2.226,7 1.988,4 1.548,1 1.236,3 1.319,8 1.207,5 1.560,6 2.089,6 2.954,2 3.545,6 5.465,3

717,8 747,3 825,5

1.446,0 745,3

1.114,2 1.087,3 1.080,8 2.092,4 2.454,7 3.441,8 3.756,3 4.817,4

717,5 922,3

1.411,4 1.370,6 1.490,8 1.692,0 3.162,0 2.605,0 2.700,1 3.120,5 3.486,1 4.364,1 4.448,7

11.885,7 14.275,6 15.979,7 18.204,2 19.058,1 18.257,8 30.811,1 26.190,2 26.049,2 26.989,2 32.192,9 37.137,1 43.058,9

Sumber : BPS Keterangan : Hasil industri lainnya merupakan gabungan lebih dari 40 komoditi hasil industri.

79

Lampiran 5. Perkembangan Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan Utama (Juta Dollar AS) Tahun 2000 – 2006

No Negara Tujuan

T a h u n

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9

Jepang Amerika Serikat Inggris Belanda Perancis Jerman Belgia Itali Lainnya Jumlah

185.671,6

2.013.088,0 397.951,6 214.298,2 138.853,5 372.553,3 125.376,5 103.937,3

1.182.314,2 4.734.044,2

176.771,8

1.943.387,7 400.851,2 183.963,8 131.480,6 313.014,4 110.377,384.212,2

1.186.464,6 4.530.523,6

119.718,9

1.787.856,5 328.357,4 133.733,3 101.560,4 265.190,3 66.367,8 56.317,5

1.028.126,9 3.887.229,0

114.359,0

1.918.348,6 333.022,6 117.460,9 116.696,3 328.935,5 105.031,4 76.450,8

927.544,6 4.037.849,7

119.725,5

2.218.365,3 325.403,4 99.466,9

123.250,4 381.966,8 100.495,6 79.182,1

904.163,4 4.352.019,4

125.809,5

2.761.689,2 312.873,5 103.423,7 129.937,5 402.000,1 114.022,4 73.840,8

943.317,2 4.966.913,9

135.097,7

3.419.024,2 338.951,4 122.321,4 130.951,5 413.827,8 123.623,0 79.872,7

844.480,9 5.608.150,6

Sumber: BPS

80

Lampiran 6. Kode Industri

No Kode Industri Uraian

(1) (2) (3) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17 18

19 20

21

15 16 17 18 19 20

21 22 23

24 25 26 27 28 29 31 32 33

34 35

36

Makanan dan Minuman Pengolahan Tembakau Tekstil Pakaian Jadi Kulit dan Barang dari Kulit dan Alas Kaki Kayu, Barang-Barang dari Kayu (tidak termasuk furnitur), dan Barang-barang Anyaman Kertas dan Barang dari Kertas Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi dan Pengolahan Gas Bumi, Barang-Barang dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi, dan Bahan Nuklir Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Karet dan Barang dari Karet dan Barang dari Plastik Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Barang-Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya Mesin dan Perlengkapannya Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya Radio, Televisi, dan Peralatan komunikasi, serta Perlengkapannya Peralatan Kedokteran, Alat-Alat ukur, Peralatan Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng Kendaraan Bermotor Alat Angkutan, selain Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih Furnitur dan Pengolahan Lainnya

Sumber : BPS

81

Lampiran 7. Jumlah Tenaker Perusahaan Industri Besar dan Sedang Tahun 2000 – 2004 (Ribu Orang)

Kode Industri 2000 2001 2002 2003 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36

608 252 629 511 276 404 114 56 6

203 337 175 61

122 86 78

132 15 53 70

292

599 262 616 491 287 412 115 57 6

211 344 171 61

120 89 75

111 18 56 68

291

642 265 570 483 274 399 113 56 6

207 344 171 61

118 78 75

111 18 61 71

284

654 266 550 448 244 352 120 53 5

211 341 165 59

108 74 76

121 17 64 71

269

654 262 618 436 235 368 119 56 4

203 351 167 57

109 154 70 68 22 67 62

252 Industri Pengolahan 4.479 4.460 4.406 4.268 4.333

Sumber : BPS

82

Lampiran 8. Produktivitas Tenaga Kerja Perusahaan Industri Besar dan Sedang Tahun 2000 – 2004 (Juta Rupiah / TK)

Kode Industri 2000 2001 2002 2003 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 31 32 33 34 35 36

155,5 140,2 101,8 51,9 56,8 89,9

396,8 86,6

237,6 306,2 106,2 107,7 505,0 153,6 199,0 296,3 303,5 107,4 498,3 516,8 40,7

188,5 234,0 103,4 56,0 63,7 98,5

413,6 98,3

216,2 386,2 98,4

136,7 704,9 106,0 282,3 251,7 385,7 75,9

486,4 491,7 48,7

212,1 206,2 117,7 59,0 89,5

105,8 586,4 113,1 273,9 408,3 121,0 140,5 874,9 776,6 130,1 283,6 311,3 72,3

800,0 454,2 60,3

248,1 204,2 133,8 70,5 85,4

132,8 469,7 142,5 341,1 429,1 132,3 154,4 835,4 185,4 167,8 226,9 330,0 100,7 434,3 533,5 59,8

266,0 198,8 133,7 81,3 99,0

135,9 541,4 150,9 383,8 459,0 135,2 167,4 880,3 224,1 118,9 226,9 413,8 104,2 649,1 939,4 59,8

Industri Pengolahan 144,4 165,1 201,5 196,5 211,5 Sumber : BPS

83

Lampiran 9. Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan dan Tingkat Kewenangan Tahun 2001 – 2005

Kondisi Jalan Tahun Tingkat Kewenangan Negara Propinsi Kab/Kota Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Baik 2001 16.808 24.198 111.553 152.559 2002 16.849 24.419 105.733 147.001 2003 18.455 25.132 105.898 149.485 2004 20.504 21.564 105.942 148.010 2005 16.958 11.081 126.540 154.579Sedang 2001 6.325 12.514 75.324 94.163 2002 6.054 13.704 76.407 96.165 2003 6.069 13.038 77.731 96.838 2004 9.293 13.024 80.233 102.550 2005 10.526 13.783 86.143 110.452Rusak 2001 2.031 6.382 59.288 67.701 2002 2.725 7.114 64.314 74.153 2003 2.774 6.728 64.053 73.555 2004 3.955 4.251 66.602 74.808 2005 2.968 5.850 62.483 71.301Rusak Berat 2001 1.164 4.783 41.412 47.359 2002 1.988 3.668 45.387 51.043 2003 2.020 3.526 45.092 50.638 2004 877 1.286 45.397 47.560 2005 4.177 9.411 41.089 54.677Jumlah 2001 26.328 47.877 287.577 361.782

2002 27.616 48.905 291.841 368.362 2003 29.318 48.424 292.774 370.516 2004 34.629 40.125 298.174 372.928 2005 34.629 40.125 316.255 391.009