green province

80

Click here to load reader

Upload: laskar-tamiang-bersatu

Post on 11-Aug-2015

35 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

aceh hijau program gubernur irwandi tentang hutan di aceh

TRANSCRIPT

Page 1: Green Province

PENGENDALIANPEMBANGUNAN LINGKUNGANDAN KONSERVASI DI NAD-NIAS

DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN

GREEN PROVINCE

Page 2: Green Province

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN: 978-979-25-2222-8

Judul:PENGENDALIAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI DI NAD-NIAS DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN “GREEN PROVINCE”

Penanggung Jawab Kegiatan: Eddy Purwanto (Deputy Operasi BRR NAD – Nias)R. Pamekas (Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan dan Konservasi BRR NAD-Nias)Husaini Syamaun,MM (Wakil Kepala Dinas Kehutanan Propinsi NAD)

Direksi Teknis:Saodah Lubis (Manager Konservasi)Stepi Hakim (Technical Assistance UNDP untuk BRR)

Editor:Saodah Lubis (BRR NAD-Nias), Husaini Syamaun (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Sofyan (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), T. Iwan Kesuma ((Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Andi Basrul (BKSDA), Darmawi (BP DAS Propinsi NAD), Hudaya (Dinas Kehutanan Propinsi NAD), Syahyadi (Bappeda Propinsi NAD), Taqwaddin (Unsyiah), Stepi Hakim (UNDP), dan Yusdinur Usman (CENTRALs).

Foto-foto isi diambil oleh: Saodah Lubis, Andi Nurbani, Dede Adam.

Foto Cover:Arif Ariadi

Cetakan ke -1Maret 2008

Desain dan Layout: Desain Cover: Asep Firman Surya Mediana

Diterbitkan oleh:

PUSAT PENGENDALIAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI Kedeputian Operasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Leung Bata, Banda Aceh Telp. : 0651 – 63 66 66 Fax : 0651 – 63 77 77

Penerbitan Buku Didukung oleh :

Page 3: Green Province

KATA PENGANTAR

Atas nama Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), saya ucapkan selamat sekaligus menyambut gembira terbitnya buku PENGENDALIAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI DI NAD-NIAS DALAM RANGKA PERWUJUDAN KEBIJAKAN GREEN PROVINCE.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam terutama hutan di Propinsi NAD masih berlimpah. Walaupun begitu, pemanfaatan sumber daya hutan tanpa diikuti dengan azas kelestarian akan membuat dampak kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat. Banjir dan tanah longsor yang kerap terjadi belakangan ini merupakan salah satu contoh dari akibat perbuatan manusia tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar keseimbangan alam.

Untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang terjadi, suatu perencanaan kelola alam yang baik bergantung kepada ketersediaan data dan informasi yang akurat. Buku ini memberikan informasi yang berkaitan dengan sumber-sumber hasil hutan kayu dan non kayu yang berasal dari informasi masyarakat setempat yang tersebar di 17 kabupaten. Disamping itu, buku ini juga memberikan informasi terhadap keadaan hutan dan lahan di Propinsi NAD pasca bencana alam tsunami dan gempa bumi tahun 2004 yang lalu.

Saya berharap agar para pengambil kebijakan di Propinsi NAD dapat memanfaatkan buku ini dalam pelaksanaan kebijakan moratorium logging.

Akhir kata, sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Mudah-mudahan tujuan kita bersama yakni “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” dapat segera terwujud.

Banda Aceh, 24 Maret 2008 Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam

Irwandi Yusuf

Dari Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

iii

ernur Nanggroe Aceh Darussa

Irwandi Yusuuuuuuuuuuuuuuffff

G mmm

Page 4: Green Province

KATA PENGANTARDari Kepala BRR NAD-Nias

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan gempa 28 Maret 2005 di kepulauan Nias yang dilaksanakan BRR NAD-Nias untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam dan kepulauan Nias juga memperhatikan aspek lingkungan. Selama masa tugasnya, BRR telah melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan di wilayah kerjanya dan berperan aktif dalam berbagai forum lingkungan global maupun lokal, bersama mitra rehabilitasi dan rekonstruksi internasional, nasional dan yang berasal dari kedua wilayah, termasuk dengan pemerintah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan di provinsi Sumatera Utara.

Komitmen BRR pada lingkungan, di antaranya juga diwujudkan bersama Dinas Kehutanan Provinsi NAD dengan menerbitkan buku berjudul Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Buku yang berisi hasil pelaksanaan identifikasi beberapa kayu kampung diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi pemenuhan kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan dan dukungan pelestarian hutan alam di provinsi NAD. BRR juga berharap agar dengan membaca buku ini banyak pihak dapat mengetahui dan mengupayakan potensi hasil hutan non-kayu yang dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar hutan serta kondisi kepemilikan lahan agar dapat menjadi bahan pertimbangan untuk merencanakan pengelolaan Hutan Rakyat dengan komoditi spesies tanaman yang memiliki banyak kegunaan (Multi Purpose Tree Species-MPTS).

Dengan demikian kebijakan moratorium logging dapat terlaksana dan mendapatkan makna karena pemerintah daerah dengan dukungan masyarakat mampu menjaga hutan di wilayahnya agar tetap lestari.

Kami mengucapkan terima kasih kepada tim Dinas Kehutanan Provinsi NAD dan semua pihak yang telah mencurahkan segala tenaga dan pikiran untuk menerbitkan buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dalam pembangunan berwawasan lingkungan, sehingga cita-cita Green Province Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat segera terwujud.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Banda Aceh, 24 Maret 2008

Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – Nias Kepala,

Kuntoro Mangkusubroto

iv

Kepapppp la,

Kuntororrrrroo Mangkusubrotooto

Page 5: Green Province

KATA PENGANTARDari Penyusun

Kegiatan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias merupakan salah satu upaya nyata dalam mendukung kebijakan “Green Province” di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendukung arah kebijakan terhadap pembangunan dan pengelolaan sumber daya hutan terkait erat dengan tujuan dari “Green Province”.

Kegiatan pengendalian dan pembangunan lingkungan dan konservasi ini meliputi pengumpulan informasi dan data yang berhubungan dengan potensi hutan terutama jenis-jenis kayu berasal dari masyarakat, penyebaran hasil hutan bukan kayu (HHBK) jenis-jenis kayu kampung, model-model pengelolaan hutan, serta kodisi masyarakat sekitar dan dalam hutan terutama kearifan tradisional dan kelembagaan masyarakat yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan. Kegiatan ini juga meliputi pengumpulan informasi yang berkaitan dengan kegiatan perambahan, pembukaan lahan dan kegiatan pembangunan yang berdampak pada keberadaan sumberdaya hutan.

Buku ini menjelaskan tentang latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, hasil yang diharapkan, metodologi pelaksanaan kegiatan, hasil pelaksanaan kegiatan, struktur dan organisasi pelaksana kegiatan, dan kesimpulan dan rekomendasi terhadap arah kebijakan terhadap pembangunan dan pengelolaan sumber daya hutan di Nanggroe Aceh Darrussalam.

Terimakasih kepada semua pihak, semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan mejadikan pedoman dalam pelaksanan kegiatan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam rangka mendukung kebijakan “Green Province”

Banda Aceh, 24 Maret 2008

Kerjasama antara, Dinas Kehutanan Propinsi NAD dan BRR NAD - Nias

v

Page 6: Green Province

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii - vDAFTAR ISI vi

1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Maksud dan Tujuan 1 1.3 Ruang Lingkup 2 1.4 Hasil yang Diharapkan 2 1.5 Struktur Organisasi 2 1.6 Waktu dan Tahapan Kegiatan 2

2 METODE 4 2.1 Pengumpulan Data 4 2.2 Metode Pemilihan Desa/Gampong 4

3 PELAKSANAAN KEGIATAN 5 3.1 Pra Pelaksanaan 5 3.2 Pelaksanan 5 3.3 Analisa Data 5 3.4 Presentasi Hasil 6 3.5 Pelaporan 6

4 KONDISI UMUM KEHUTANAN 7 4.1 Kondisi Hutan Aceh 7 4.2 Pemanfaatan Sumber Daya Hutan 9 4.3 Permasalahan Hutan Aceh 13 4.4 Rehabilitasi Hutan & Lahan (Gerhan) 16 4.5 Kebijakan Umum Kehutanan di Aceh 20

5 HASIL dan PEMBAHASAN 22 5.1 Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di Aceh 22 5.2 Kelembagaan dan Kearifan local 56 5.3 Industri dan Perizinan Kehutanan 59

6 KESIMPULAN 62

Lampiran 1 64Lampiran 2 65Lampiran 3 67 Lampiran 4 68

vi

Page 7: Green Province

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2006 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menyebabkan kerusakan yang cukup dahsyat terutama di seluruh kawasan pantai (pesisir) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan pulau-pulau kecil lainnya seperti P. Simelue, Pulau Nasi dan Pulau Weh Sabang. Kemudian pada Maret 2005 terjadi gempa bumi yang sangat besar di P. Nias yang juga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ekosistem pantai di P. Nias.

Kerusakan yang terjadi bukan saja menyangkut alam yaitu ekosistem di kawasan pesisir, akan tetapi juga pada ekosistem buatan seperti infrastruktur, perumahan, bangunan sekolah, dan tempat peribadahan yang membuat kejadian tersebut menjadi perhatian dunia sehingga banyak negara yang ingin berpartisipasi dalam membantu pemulihan kembali Aceh dan Nias.

Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah yang besar, terutama kebutuhan terhadap bahan materi seperti kayu, pasir, batu gunung, kerikil dan lain sebagainya. Ada aktivitas yang dilakukan harus membuka hutan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, ada pula yang harus melakukan pembebasan lahan atau bahkan merubah bentang alam yang ada. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan harus didasarkan kepada kebijakan green reconstruction, yaitu meminimalis kerusakan alam yang ada akibat dari pembangunan tersebut.

Untuk mencegah kerusakan sumber daya alam khususnya hutan yang lebih parah serta untuk mempersiapkan pengelolaan hutan yang lestari, maka Gubernur Provinsi NAD pada tanggal 6 Juni 2007 telah mendeklarasikan Moratorium Logging, yaitu penghentian sementara seluruh kegiatan penebangan hutan yang berasal dari Hutan Alam dan diutamakan yang berada di dalam kawasan hutan (Instruksi Gubernur NAD No. 05/INSTR/2007). Selanjutnya telah diadakan workshop lingkungan pada tanggal 2-3 Juli 2007 untuk mendukung kebijakan moratorium logging tersebut.

Untuk menyusun suatu konsep pengelolaan hutan lestari dan moratorium logging tersebut, maka perlu pendataan informasi terhadap hutan misalnya tentang potensi kayu kampung, luasannya, kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan termasuk peranan kelembagaan-kelembagaan yang ada baik yang ada di Pemerintahan maupun yang ada di Masyarakat.

Melalui kegiatan pengendalian pembangunan lingkungan dan konservasi di NAD – Nias dalam rangka perwujudan kebijakan Green Province maka diharapkan BRR NAD-Nias, selaku instistusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan NAD-Nias pasca gempa dan tsunami, mampu memberikan kontribusi dalam

pengelolaan hutan lestari terutama di Propinsi NAD. Hal ini juga didukung oleh banyaknya pemanfaatan sumber daya hutan terutama kayu yang digunakan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya lain untuk mewujudkan Green Province adalah dengan melakukan rehabilitasi baik dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan (lahan milik masyarakat) dengan berbagai jenis tanaman. Hal ini juga sebagai salah satu upaya untuk mendukung kebijakan gelobal tentang perubahan iklim yang sudah didekelarasikan oleh berbagai negara dalam konferensi COP 13 (Conference of Parties) di Bali Khususnya tentang REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Destruction). Disamping itu juga sebagai bahan masukan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan sekaligus pencapaian terhadap misi BRR NAD Nias yaitu memberikan kehidupan yang lebih baik pada masyarakat dari sebelumnya.

Diharapkan akhir dari kegiatan ini dapat memberikan data dan informasi potensi kayu kampung, potensi hasil hutan non kayu, kelembagaan yang ada di masyarakat serta kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Informasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusunan konsep pengelolaan hutan lestari di Propinsi NAD.

1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dilaksanakannya kegiatan ini dalam lingkup kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias adalah untuk mengetahui potensi kayu kampung dan hasil hutan non kayu, kelembagaan dan kearifan tradisional serta memberikan informasi terhadap kebijakan moratorium logging menuju “Green Province”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah

Agar pembangunan (rehabilitasi dan rekonstruksi) 1. NAD-Nias dapat memberikan suatu kontribusi terhadap potensi sumber daya alam yang ada khususnya hutan.

Memberikan informasi tentang kondisi kayu kampung 2. sebagai bahan alternative pemenuhan kebutuhan kayu untuk mendukung moratorium logging.

Memberikan infomasi tentang hasil hutan non kayu 3. sebagai salah satu potensi ekonomi local yang bisa dikembangkan kedepan sebagai sember pemdapatan daerah dan masyarakat.

Memberikan informasi tentang kelembagaan dan 4. kearifan local sebagai bahan menyusun suatu konsep pengelolaan hutan yang lestari.

1Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 8: Green Province

1.3 Ruang Lingkup

Pengumpulan data sekunder sehubungan dengan 1. potensi hutan dan kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Inventarisasi dan identifkasi potensi hutan berupa 2. jenis kayu rakyat dan hasil hutan non kayu (HHNK) yang ada di desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Melakukan lokakarya desa untuk mendapatkan 3. informasi tentang kearifan lokal yang ada di desa dalam pengololaan hutan.

Melakukan analisa terhadap hasil survey lapangan. 4.

Melakukan rapat-rapat pembahasan hasil analisa 5. survey lapangan.

Menyerahkan laporan untuk dilakukan analisa lebih 6. lanjut oleh tim ahli/pakar.

Melakukan rapat konsinyasi untuk menyusun draft 7. laporan akhir.

Melakukan pertemuan dengan stakeholder terkait 8. untuk mendapatkan tambahan analisa.

Melakukan lokakarya akhir untuk mendapatkan 9. masukan dari berbagai pihak terhadap rencana pengelolaan hutan yang lestari (sustainable forest management) dalam rangka mewujudkan suatu Aceh Baru sebagai Green Province dan untuk penyempurnaan laporan.

1.4 Hasil yang Diharapkan

Tersedianya data dan informasi tentang potensi kayu 1. rakyat, hasil hutan non kayu (HHNK), dan potensi jasa lainnnya.

Tersedianya informasi tentang kearifan tradisional 2. yang ada di masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Tersedianya data bentuk-bentuk pengelolaan hutan 3. sebagai bahan untuk melakukan pengelolaan hutan yang lestari.

Tersedianya data dan informasi potensi lahan kritis 4. yang perlu segera dilakukan upaya rehabilitasi, sebagai pengganti kayu-kayu yang dipakai dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

1.5 Struktur Organisasi

Organisasi Pelaksana kegiatan adalah sebagai berikut:

Nama Instansi Pelaksana DINAS KEHUTANAN PROPINSI NAD

PENANGGUNG JAWAB(Plh. Dinas Kehutanan Propinsi NAD)

DIREKSI TEKNISManajer KSDA BRR & TA UNDP

KOORDINATOR/ TIM AHLI/ PAKAR

ADM/ Keuangan

SURVEYOR ENUMERATOR

TENAGA BANTU LAPANGAN

Gambar 1. Bagan Organisasi Pelaksana Kegiatan

Alamat Kantor Jl Jend. Sudirman No 21 Tlp (0651) 4227-44186 Fax 43628. Banda Aceh, 23239

Penanggung jawab Kegiatan Ir. Husaini Syamaun,MM

Agar diperoleh output pekerjaan yang baik maka pekerjaan ini memerlukan suatu organisasi pelaksanan pekerjaan yang kuat, efisiensi, dan efektif yaitu untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang tepat waktu (right time), tepat output (right output), tepat kualitas (right quality), tepat proses (right process) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable).

Tim pelaksana kegiatan Pengendalian Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam Rangka Perwujudan kebujakan Green Province secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan (team work) yang terdiri dari Direksi teknis, Tenaga Ahli, tim surveyor, pendamping lapangan dan tenaga administrasi yang terdiri dari sekretaris dan operasi computer untuk entry data. Secara keseluruhan tim bertanggung jawab atas terselenggaranya kelancaran pekerjaan dengan kualitas hasil sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi pekerjaan.

1.6 Waktu dan Tahapan Kegiatan

Secara keseluruhan dari sejak panandatanganan MoU pada bulan Juni 2007, pelaksanan kegiatan adalah selama 6 (enam) bulan. Akan tetapi berhubung adanya kebijakan Pemda dengan dikeluarkannya deklarasi moratorium

2Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 9: Green Province

logging dan adanya workshop lingkungan dengan tema membangun Aceh hijau bersama pada tanggal 2- 3 Juli di Banda Aceh, maka kegiatan baru efektif dilaksanakan pada bulan Agustus 2007.

Selanjutnya rapat konsinyasi yang sedianya akan dilaksanakan bulan Agustus, harus ditunda karena adanya pengumuman dari Menteri Keuangan bahwa perjalanan dinas tidak boleh dilakukan, karenanya tenaga surveyor tidak dapat datang ke Banda Aceh untuk mengikuti rapat konsinyasi awal. Rapat Konsinyasi awal baru dapat dilaksanakan pada tanggal 28 – 29 September 2007.

Setelah rapat konsinyasi tim surveyor kelapangan untuk pengumpulan data berdasarkan questioner yang sudah dipersiapkan dan melaksanakan lokakarya desa untuk mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan. Pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Ramadhan dan dilanjutkan setelah Idul Fitri.

Setelah data terkumpul diadakan rapat konsinyasi akhir, dimana tenaga surveyor mempresentasikan hasilnya, serta menyampaikan laporan tertulis, juga menyampaikan questioner yang telah diisi.

Data lapangan dikompilasi oleh tenaga entry data dan berhubung responden yang demikian besar maka perlu bantuan tenaga untuk entry data. Kompilasi data dalam

bentuk table dan selanjutnya disajikan dalam berbagai bentuk grafik, dan dapat dibaca pada lampiran. Hasil dari data ini akan disusun menjadi laporan antara yang akan dibahas pada rapat konsinyasi direksi teknis dan tanga ahli. lokakarya regional untuk mendapat masukan dari stakeholder terkait.

Rapat konsinyasi tersebut juga sekaligus menyusun dan membahas draft laporan akhir. Draft laporan akhir akan dipersentasikan pada stakeholder terkait pada rapat koordinasi. Masukan yang diterima akan dimasukkan pada draft laporan akhir serta di lokakaryakan dengan berbagai stakeholder terkait yang lebih luas. Masukan-masukan yang didapat akan dimasukkan dalam perbaikan dan akhirnya akan muncul laporan akhir dan executive summary.

Agar pelaksanaan terencana dengan baik, maka disusun workplan, namun sesuai dengan kendala yang ada, maka workplan ini tentunya dapat berubah atau disesuaikan.

Laporan antara dan laporan akhir yang sedianya akan selesai pada bulan Desember 2007, ternyata baru dapat diselesaikan pada bulan February 2008. Keterlambatan ini dikarenakan antara lain adanya kegiatan internasional UNFCCC yang berlangsung dari tanggal 3 – 14 Desember 2007 di Bali. Selain itu juga, bertepatan dengan adanya libur Hari Raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru.

3Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 10: Green Province

2 M E T O D E

2.1 Pengumpulan Data

Data PrimerMetode yang digunakan dalam rangka kegiatan pengumpulan data primer adalah melalui interview/wawancara (metode questioner), pertemuan, dan lokakarya. Interview atau wawancara dilakukan kepada target group/masyarakat (petani hutan) pada tiap desa (gampong) yang dipilih, terutama gampong yang terletak di sekitar dan dalam hutan, dan gampong yang memiliki akses keluar masuknya produksi hasil hutan (jalan atau sungai/laut). Bahan interview dipersiapkan berdasarkan hasil dari lokakarya “Aceh Hijau Bersama” yang dilaksanakan pada tanggal 2 – 3 Juli 2007.

Lokakarya dilakukan pada Gampong/Desa yang terpilih dengan melakukan diskusi-diskusi kelompok (Focus Group Discussion). Peserta dari lokakarya diharapkan mencakup unsur-unsur Pemerintahan, Petani, Pelaku Usaha, dan Masyarakat Umum.

Data primer yang dikumpulkan melalui interview dan lokakarya adalah sebagai berikut:

Identifikasi kayu rakyat1. Identifikasi lahan/kebun/hutan milik masyarakat2. Identifikasi hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan3. Model-model kearifan lokal dalam pengelolaan 4. hutan oleh masyarakatStruktur kelembagaan lokal dalam pengelolaan 5. sumber daya alamIndustri-industri primer kehutanan yang dimiliki oleh 6. masyarakatIzin-izin pemanfaatan hutan oleh masyarakat 7. Peraturan-peraturan daerah yang masih digunakan 8.

dan berlaku yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam.Jumlah rumah-rumah bantuan yang telah selesai 9. dibangun oleh lembaga-lembaga donor, BRR, dan LSM-LSM national dan internasional

Data SekunderPengumpulan data sekunder meliputi:

Peta Vegetasi atau tutupan lahan hutan1. Peta jalan dan sungai 2. Peta Administrative Desa/Gampong3. Profil Desa/Gampong4. Laporan-laporan dari instansi terkait yang berhubungan 5. dengan kegiatan kehutanan di kabupaten

2.2 Metode Pemilihan desa/gampong

Jumlah desa/gampong yang disurvey adalah berdasarkan pada lokasi (pinggir/sekitar dan atau dalam hutan) dan akses keluar masukknya hasil hutan (jalan/sungai). Dari jumlah desa/gampong yang telah dipilih dalam satu kabupaten (M), maka jumlah desa/gampong yang akan disurvey adalah m = 10% M. Jika jumlah desa/gampong per kabupaten sama atau kurang dari 20 (atau M ≤ 20), maka jumlah desa yang disurvey adalah 2 (minimum). Hal ini dilakukan agar tiap kabupaten memiliki perwakilan desa/gampong yang dipilih untuk disurvey.

Contoh perhitungan untuk memilih desa/gampong yang akan disurvey

Jumlah Desa/Gampong dalam satu kabupaten = 100 desa/gampongDari 100 desa/gampong tersebut, ternyata hanya ditemukan jumlah Desa/Gampong yang

terdapat di dalam atau sekitar hutan = 50 desa/gampong (M).Sehingga jumlah desa/gampong yang disurvey adalah 5 desa/gampong (m = 10% x 50)

4 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 11: Green Province

3 PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Pra Pelaksanaan

Pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang berhubungan dengan rencana Green Province dilakukan secara berkala baik di Dinas kehutanan NAD maupun di kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias. Rapat terdiri dari rapat koordinasi untuk membahas tentang data-data yang diperlukan untuk melakukan survey lapangan, serta keperluan koordinasi lainnya yang telah dilaksanakan pada tanggal 31 Juli 2007 bertempat di Training Center Universitas Syiah Kuala dan ditindaklanjuti dengan rapat-rapat berikutnya, antara lain rapat-rapat untuk menentukan tenaga ahli, tenaga pendukung dan tenaga surveyor.

Pada bulan Agustus 2007, rekrutment tenaga ahli sebanyak 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari instansi kehutanan (Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai TNGL, BPDAS, dan Stakeholder lainnya). Selanjutnya dilakukan rekruitmen tenaga surveyor sebanyak 17 (tujuh belas) orang yang telah dilaksanakan pada bulan September 2007 berdasarkan SK Kepala Satker No. S.KEP. 0078/BRR.889999/VII/2007. Tenaga surveyor yang terpilih berasal dari staf Dinas Kehutanan kabupaten setempat dan juga freelance dimana lokasi survey akan dilaksanakan. Rapat–rapat juga menghasilkan workplan, rencana rapat konsinyasi awal dan akhir, rencana kunjungan lapangan dan sosialisasi hasil kepada stakeholder terkait.

3.2 Pelaksanan

Pelatihan dan pembekalan untuk surveyor dalam bentuk rapat konsinyasi dilakukan pada tanggal 28-29 September 2007 di Hotel Madinah, Banda Aceh.

Rapat konsinyasi bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang maksud dan tujuan survey agar diperoleh hasil yang lebih baik. Pada rapat konsinyasi diberikan pembekalan untuk surveyor tentang data lapangan yang akan diambil, penyusunan laporan, metode pengumpulan data, termasuk cara atau metode penggunaan GPS.

Setelah rapat konsinyasi para surveyor bergerak ke lapangan untuk pengumpulan data. Pengumpulan data dimulai dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi pengumpulan peta-peta (vegetasi atau tutupan lahan, jalan dan sungai, dan administratif desa/gampong), profil desa/gampong, dan laporan-laporan dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan kehutanan di kabupaten setempat.

Pelaksanaan survey lapangan dan lokakarya desa/

Secara keseluruhan pekerjaan Pengendalian Pembangunan Lingkungan dan Konservasi di NAD-Nias dalam rangka perwujudan Green Province, terdiri dari 5 (lima) tahapan utama, yaitu Pra-pelaksanaan, Pelaksanaan, Analisa Data, Presentasi, dan Pelaporan.

gampong dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dengan intensitas survey lapangan maksimum 18 kali. Secara lengkap jadwal kegiatan survey tertera pada lampiran.

Para tenaga ahli melaksanakan perjalanan ke lapangan untuk mengetahui permasalahan yang ada di lapangan, sekaligus sebagai bahan penyempurnaan laporan. Monitoring ke lapangan dilaksanakan setelah disusun perencanaan berdasarkan informasi permasalahan yang muncul disektor kehutanan yang perlu dilakukan peninjauan. Selanjutnya tim monitoring akan menyampaikan laporan tertulis.

Rapat konsinyasi akhir dilaksanakan pada tanggal 18 s/d 21 Nopember 2007 di Pusat Pelatihan Unsyiah yang bertujuan untuk :

Mendapatkan informasi langsung tentang kondisi 1. lapangan dari tenaga surveyor sekaligus memberikan masukan atau pengayaan kepada para tenaga ahli.Sebagai pertanggung jawaban dari tenaga surveyor 2. terhadap kontrak yang telah dilaksanakan selama satu bulan untuk pengumpulan data lapangan baik melalui questioner maupun lokakarya desa.Memberikan kesempatan kepada tenaga surveyor 3. untuk menyampaikan hasil temuan di lapangan sehingga dapat langsung didiskusikan dan para tenaga ahli dapat menyimpulkan hal-hal yang perlu menjadi rekomendasi untuk laporan akhir.

3.3 Analisa Data

Hasil pengumpulan data lapangan dikompilasi dalam bentuk tabel dan selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik menjadi suatu tampilan yang mudah untuk dibaca atau dipelajari. Selama melakukan survey, jumlah responden yang disurvey mencapai 876 responden dari 17 kabupaten. Sehingga proses pemasukan data memerlukan waktu.

Setelah data diperoleh maka dilakukan rapat-rapat untuk membahas hasil survey lapangan melalui rapat dan konsultasi dengan para pihak-pihak terkait guna memperkaya hasil yang telah diperoleh sekaligus memberi gambaran tentang hutan Aceh berdasarkan persepsi dari masyarakat.

Hasil tampilan data tersebut dianalisa oleh tim ahli/pakar. Kegiatan analisa ini memerlukan waktu yang agak lama, karena itu dilakukan pembagian tugas untuk memudahkan pekerjaan.

5Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 12: Green Province

3.4 Presentasi Hasil

Berhubung karena keterbatasan waktu maka persentasi hasil dilaksanakan pada lingkup terbatas di lingkungan instansi kehutanan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan terhadap hasil yang diperoleh di lapangan. Masukan ini menjadi bahan penyempurnaan bagi draft laporan akhir. Presentasi hasil akhir dilakukan pada lokakarya akhir di ibukota propinsi pada tanggal 11 Maret 2008.

3.5 Pelaporan

Hasil akhir dalam bentuk laporan kegiatan/analisa disampaikan kepada pihak-pihak terkait. Hasil analisa yang diperoleh disampaikan kepada media, LSM, pemerintah daerah, BRR, dan pihak lembaga-lembaga bantuan luar negeri yang telah membantu kegiatan pelaksanaan ini.

6Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 13: Green Province

4 KONDISI UMUM KEHUTANAN

4.1 Kondisi Hutan Aceh

Hutan Aceh terbentang dari ujung Pulau Weh hingga wilayah selatan Aceh di Kabupaten Singkil termasuk Pulau Siemeulue. Kondisi hutan Aceh berbeda-beda di tiap kabupaten, baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Wilayah pesisir Aceh umumnya merupakan dataran rendah yang datar dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan mempunyai wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas yang terbentang dari wilayah Ulu Masen di utara dan barat hingga Kawasan Ekosistem Leuser di selatan dan tenggara Aceh.

Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati kawasan Leuser, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser telah diakui dunia, sehingga Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage atau dikenal sebagai warisan dunia. Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan maupun hewan. Disamping itu, hutan Aceh khususnya kawasan ekosistem Leuser diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat memberikan kontribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Karena itulah, banyak lembaga donor yang berlomba-lomba memberikan dukungan dana untuk menjamin kelestarian kawasan-kawasan lindung di Aceh, khususnya kawasan ekosistem Leuser dan Ulu Masen. Namun, fungsi jasa lingkungan yang dimiliki hutan Aceh hingga kini belum dikembangkan secara maksimal.

Selama berpuluh-puluh tahun sejak Orde Baru, hasil hutan kayu masih menjadi prioritas utama sebagai produk hutan yang dikomersilkan. Sehingga hal ini berdampak pada kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Pola pendekatan yang hanya melihat kayu sebagai produk hutan sebetulnya merupakan bentuk paradigma konvensional dari pola pengelolaan hutan di dunia. Pengelolaan hutan tanpa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian hanya akan menimbulkan dampak buruk antara lain terjadi berbagai kerusakan dan degradasi hutan yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber nabati lainnya. Hingga saat ini, panduan kebijakan yang bisa dijadikan rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan adalah SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, kemudian diikuti dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 yang berisi arahan fungsi hutan Aceh, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 ha. Secara lebih detail pembagian kawasan hutan Aceh atau arahan fungsi hutan Aceh menurut SK

Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999 dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Secara keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (5.539.000 ha).

Tabel 4.1 Luas Hutan Aceh Berdasarkan Arahan Fungsi Hutan

No Fungsi Hutan Luas (Ha)

1 Kawasan Lindung 2.697.033

Hutan Konservasi 852.533

a. CA Pinus Janthoe 16.640

b. CA Serbajadi 300

c. SM Rawa Singkil 102.370

d. Tahura Pocut Meurah Intan 6.220

e. TN Gunung Leuser 623.987

f. TWA Iboih 1.200

g. TWA Kepulauan Banyak 15.000

h. TWA Lhok Asan (PLG) 112

i. TB Lingga Isak 86.704

Hutan Lindung 1.844.500

2 Kawasan Budidaya 638.580

Hutan Produksi 638.580

Hutan Produksi Terbatas 37.300

Hutan Produksi Tetap 601.280

Total Luas Hutan Aceh 3.335.613

Kebutuhan Kayu per Kabupaten/KotaSetelah berlakunya Instruksi Gubernur No. 5/Instr/ 2007 tentang Moratorium Logging (Penghentian Sementara Penebangan Hutan) di Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah Propinsi NAD melalui Gubernur menginstruksikan kepada pimpinan-pimpinan kepala daerah pemerintahan kabupaten/kota untuk menyusun rencana kebutuhan kayu per tahun dalam wilayah kerjanya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kesimbangan suplai dan demand untuk hasil hutan kayu yang diperlukan sehingga pemerintah Propinsi dapat melakukan kebijakan yang tepat terhadap pengelolaan hutan lestari berkelanjutan. Berdasarkan laporan dari tiap-tiap kabupaten/kota terhadap kabutuhan kayu per tahunnya adalah 394.511 m3 kayu olahan atau sekitar 732.941 m3 kayu bulat. Kebutuhan tersebut di luar dari kebutuhan kayu untuk kayu bakar untuk pabrik bata. Kebutuhan kayu terbesar berasal dari kabupaten Banda Aceh (75.000 m3 kayu olahan) kemudian diikuti kabupaten Aceh Utara dan Aceh Tamiang (54.000 m3 dan 30.000 m3 kayu olahan). Kabupaten yang memerlukan kayu dalam jumlah terkecil adalah kabupaten Langsa (2.500 m3 kayu olahan) dan diikuti oleh Aceh Barat Daya dan Sabang (3.250 m3 dan 3.500 m3 kayu olahan) (lihat Tabel 4.2).

7Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 14: Green Province

Tabel 4.2 Rekap Kebutuhan Kayu Per Kabupaten/Kota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk Tahun 2008

No Kabupaten/ KotaKebutuhan Kayu

KeteranganKayu Olahan (m3)

Kayu Bulat (m3)

1 Banda Aceh 75.000 150.000

2 Sabang 3.500 7.000

3 Aceh Besar 7.500 15.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

4 Pidie 11.950 23.900 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

5 Bireun 20.581 41.162 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

6 Aceh Utara 54.000 90.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

7 Lhokseumawe 13.500 22.500

8 Langsa 2.500 5.000

9 Aceh Timur 27.633 46.088,33 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

10 Aceh Tamiang 30.000 60.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

11 Bener Meriah 7.000 14.000

12 Aceh Tengah 13.334 26.668 Bahan rapat Bupati A.Tengah

13 Gayo Lues 15.000 30.000

14 Aceh Tenggara 18.000 34.000

15 Aceh Jaya 16.023 32.046 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

16 Aceh Barat 28.800 41.400 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

17 Nagan Raya 10.500 21.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata

18 Aceh Barat Daya 3.250 6.500

19 Aceh Selatan 13.440 20.677

20 Aceh Singkil 10.500 21.000

21 Simeulue 12.500 25.000

394.511 732.941,33

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

8Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 15: Green Province

4.2 Pemanfaatan Sumber Daya Hutan

a) Pengelolaan & Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh HPH dan HTI dan HTI Trans Sejak tahun 2000, aktivitas kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh HPH dan HTI di NAD lebih banyak ti-dak beroperasi karena alasan keamanan di lapangan. Ber-dasarkan laporan statistik kehutanan Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam tahun 2001 – 2006, kegiataan penge-lolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kawasan hutan dari 11 unit HPH dan 8 unit HTI dan HTI Trans yang izin operasinya masih berlaku sampai pada periode tersebut hanya 1 (satu) unit HPH (Kopontren Najussalam) dan 2 (dua) unit HTI (PT. Tusam Hutan Lestari dan PT. Acehnusa Indrapuri) yang masih beroperasi di Propinsi NAD (lihat Tabel 4.3).

Menurut data dari Departemen Kehutanan, selama tahun 2007 Propinsi NAD tidak memproduksi kayu bulat yang berasal dari Hutan Alam. Hal ini berbeda dengan kondisi pada tahun 2006, dimana NAD memproduksi kayu bulat sebanyak 4.700 m3 dari total 500.000 m3 yang dialoka-sikan oleh Departemen Kehutanan sebagai Jatah Produksi Tahunan (JPT) untuk propinsi NAD (lihat Tabel 4.4).

Jumlah volume kayu bulat tersebut (sekitar 4.700 m3) pada tahun 2006 diproduksi oleh Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam. Adanya kebijakan jeda tebang atau ”Moratorium Logging” oleh Pemerintah Propinsi NAD terhadap hasil hutan kayu dari hutan alam (Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007) mem-berikan signal kuat bahwa pada tahun tersebut (2007) khususnya HPH/IUPHHK untuk sementara waktu melaku-kan penghentian penebangan di NAD.

Tabel 4.3 HPH/HTI yang Beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam (2001 – 2006)

No Nama Perusahaan Berakhirnya Ijin Luas (Ha) Aktif/ Belum Aktif Keterangan

1 PT. Kruing Sakti 29 Februari 2008 115.000 Belum Aktif HPH

2 PT. Aceh Inti Timber 7 Juli 2049 80.804 Belum Aktif HPH

3 PT. Alas Aceh Perkasa Timber 1 Februari 2011 56.500 Belum Aktif HPH

4 PT. Raja Garuda Mas Unit II 6 Juni 2014 96.500 Belum Aktif HPH

5 PT. Gruti 28 Juni 2011 118.000 Belum Aktif HPH

6 PT. Hargas Industri Indonesia 6 Juni 2014 64.640 Belum Aktif HPH

7 PT. Lamuri Timber 14 November 2034 44.400 Belum Aktif HPH

8 PT. Medan Remaja Timber 26 Juni 2012 39.300 Belum Aktif HPH

9 PT. Trijamas Karya Inti 7 Juli 2010 55.925 Belum Aktif HPH

10 PT. Wiralanao 22 Januari 2011 41.000 Belum Aktif HPH

11 Kopotren Najmussalam 14 Oktober 2054 30.846 Aktif HPH

HTI & HTI Trans

No Nama Perusahaan LokasiLuas (Ha)

Aktif/ Belum Aktif

Realisasi Tanaman s.d 2006 (Ha)

1 PT. Gunung Medang Utama Raya Timber Aceh Timur 7.300 Belum Aktif 3.507

2 PT. Tusam Hutan LestariAceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Utara, Bireuen

97.300 Aktif 13.600

3 PT. Acehnusa IndrapuriAceh Besar dan Pidie

110.000 Aktif 23.651

4 PT. Rimba Wawasan Permai Aceh Timur 5.200 Belum Aktif 1.712

5 PT. Rimba Penyangga Utama Aceh Timur 6.150 Belum Aktif 2.474,65

6 PT. Rimba Timur Sentosa Aceh Timur 6.250 Belum Aktif 2.509

7 PT. Aceh Swaka Wana Nusa Prima Aceh Utara 7.050 Belum Aktif 1.739,90

8 PT. Mandum Payah Tamita Aceh Utara 8.015 Belum Aktif

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 – 2006 (2007)

9Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 16: Green Province

Tabel 4.4 Rencana dan Realisasi Kayu Bulat dari Hutan Alam Propinsi NAD tahun 2006 dan 2007

JPT 2006(m3)

RKT 2006JPT 2007

(m3)

RKT 2007

Rencana Realisasi Rencana Realisasi

Luas (Ha) Vol (m3) Luas (Ha) Vol (m3) Luas (Ha) Vol (m3) Luas (Ha) Vol (m3)

500.000 120 4.100 130,33 4.700 100.000 - - - -

Sumber: Adopsi dari Manurung (Personal Komunikasi, 2008)

Jumlah volume kayu bulat tersebut (sekitar 4.700 m3) pada tahun 2006 diproduksi oleh Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam.

Adanya kebijakan jeda tebang atau ”Moratorium Logging” oleh Pemerintah Propinsi NAD terhadap hasil hutan kayu dari hutan alam (Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007) memberikan signal kuat bahwa pada tahun tersebut (2007) khususnya HPH/IUPHHK untuk sementara waktu melakukan penghentian penebangan di NAD.

Izin Pemanfaatan Kayu Tanah MilikSelain pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam, propinsi NAD juga memproduksi hasil hutan kayu dari hutan rakyat atau tanah milik. Izin pemanfaatan ini dinamakan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) yang dikeluarkan oleh Gubernur dengan pertimbangan

teknis dari Dinas Kehutanan Tingkat Propinsi. Masyarakat atau badan swasta dapat memperoleh izin tersebut (misalnya CV. Tri Maju di Bener Meriah yang beroperasi pada tahun 2006). Izin tersebut diberikan maksimum 500 m3 per tahun. Dibawah ini adalah data sementara IPKTM yang ada untuk tahun 2007 (lihat Tabel 4.5).

Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) (Koperasi & Perkebunan)Selain pemanfaatan hasil hutan kayu, propinsi NAD juga memproduksi hasil hutan bukan kayu. Produksi hasil hutan bukan kayu lebih didominasi dari Rotan. Hasil yang diperoleh bisa mencapai 10 – 20 ton per tahun. Izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu ini diperoleh dari Pemerintah Propinsi dan diberikan kepada badan swasta atau koperasi. Tabel di bawah adalah daftar izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) untuk tahun 2007 (lihat Tabel 4.6).

Tabel 4.5 Data Sementara Izin Pemungutan Kayu Tanah Milik (IPKTM) Tahun 2007

No Nama Perusahaan LokasiSK Izin Target Keterangan

No Tanggal Luas (Ha)Volume

(m3)

1UD Karya Usaha Sejati

Kec. Bubon, Kab. Aceh Barat

No.P2TSP.522.56/

977/200714 Agus 07 23,85 350,33

SK Diproses P2TSP

2 KSU Alas MakmurKec. Bukit Tusam, Kab. Aceh Tengah

No.P2TSP.522.56/

2108/200729 Okt 07 17,50 347,06

SK Diproses P2TSP

3Ir. T. Zainul Arifin, Panglima Polem

Kec. Seulimum, Kab. Aceh Besar

No.P2TSP.522.56/

2 458,13SK Diproses

P2TSP

4 LISIK KATI ARAKec. Linge, Kab. Aceh Tengah

No.P2TSP.522.56/

4291/200713 Des 07 22 307,15

SK Diproses P2TSP

5PT. ILHAM PRIMA NUSANTARA

Kec. Linge Kab. Aceh Tengah

No.P2TSP.522.56/

4292/200713 Des 07 23 300,05

SK Diproses P2TSP

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

10Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 17: Green Province

Tabel 4.6 Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) Tahun 2007

No Nama Perusahaan Izin Berakhir Lokasi Target Produksi Status Areal

1

Koperasi Perkebunan Aneuk Nanggroe Desa Bdang Sizli Kec. Beutong Kab. Nagan Raya

20 Januari 2008

Dalam wilayah Dinas Kehutanan Kab. Nagan Raya Kec. Beutong

Rotan Manau: 10 tonRotan Getah: 8 tonRotan Sega: 1 tonRotan Cacing: 1 ton5 ton

Areal Penggunaan Lain (APL) Luas: 100 ha

2

KSU Lhok Kuala Jl. Pasar Geumpang Kec. Geumpang Kab. Pidie

26 Desember 2007

Dalam wilayah Dinas Kehutanan Kab. Pidie Ca. Dishut II Kota Bakti Kec. Geumpang

Rotan Manau: 10 tonRotan Semambu: 7 tonRotan Sega: 1.5 tonRotan Cacing: 1.5 ton

Hutan Lindung Seluas 100 ha

3

KSU AL-AfghaniJl. Prof. A. Majid Ibrahim, Gampong Tijue, Kec. Mane. Kab. Pidie

26 Desember 2007

Dalam wilayah Dinas Kehutanan Kab. Pidie Ca. Dishut II Kota Bakti Kec. Mane

Rotan Manau: 10 tonRotan Semambu: 7 tonRotan Sega: 1.5 tonRotan Cacing: 1.5 ton

Hutan Produksi seluas 100 ha

4

CV. Bintang Ayu PerkasaJl. Simpang Kelaping Kec. Pepaing Kab. Aceh Tengah

25 Oktober 2007

Dalam wilayah Dishut Kab. Aceh Tengah Kec. Linge Kampong Delung Sekinel

Rotan lilin: 10 tonRotan Manau: 10 ton

Areal Penggunaan Lain seluas 100 ha

5

Koperasi Rimba Rotan LestariKampung Pondok Gajah Kec. Bandar Kab. Bener Meriah

25 Oktober 2007

Dalam wilayah Dishutbun Kab. Bener Meriah Kec. Syiah Utama Kelompok Pelestarian Rotan: Tawar Bengi Tombolon

Rotan Sega: 5 tonRotan lilin: 5 tonRotan Manau: 10 ton

Hutan Produksi (HP) seluas 100 ha

6CV Pohon KelapaKab. Aceh Singkil

25 Oktober 2007

Dalam wilayah Dishut Kab. Singkil Kec. Simang Kiri Desa Sarkez

Sige-sige: 20 tonRotan Sega: 5 tonRotan lilin: 10 tonRotan Getah: 5 ton

Hutan Produksi seluas 100 ha

7 CV. Elvo Belia 25 Oktober 2007

Dalam wilayah Dishut Kab. Aceh Singkil Kec. Runding Desa Law Mate

Rotan Sambutan: 5 tonRotan Manau: 10 tonRotan Cacing: 5 tonSige-sige: 15 ton

Areal Penggunaan Lain 100 ha

8CV Karya AgungKab. Simeulue

16 Agustus 2007

Dalam wilayah Disbunhut Kab. Simeulue Kec. Teluk Dalam

Rotan Manau: 10 tonRotan Sibalio: 5 tonRotan jenis lainnya:

Hutan Produksi 100 ha

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

11Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 18: Green Province

Budidaya Hasil Hutan Kayu dan Non KayuDalam rangka meningkatkan produktivitas hasil hutan kayu dan non kayu di NAD, pemerintah propinsi melalui Dinas Kehutanan terkait melakukan budidaya terhadap hasil-hasil hutan tersebut. Kegiatan ini meliputi penanaman terhadap jenis-jenis pohon kayu dan non kayu. Sampai saat ini, kegiatan penanaman yang diinisiasi oleh masyarakat telah mencapai 22 ha, diharapkan pada tahun-tahun mendatang jumlah luasan semakin bertambah.

Tabel 4.7 Budidaya Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu

No Kegiatan LokasiLuas (ha)

Jml Pelaksana

1Penanaman Sentang

Sare, Kab. Aceh Besar

10 12.221 Masyarakat

2Penanaman Rotan

Beuah, Kab. Pidie

5 6.110 Masyarakat

3Penanaman Sentang

Beuah, Kab. Pidie

7 Masyarakat

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

b) Pengolahan & Peredaran Hasil Hutan

Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK)

Berdasarkan statistik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001 – 2006, jumlah izin usaha industri primer hasil hutan kayu dari tahun 2004 – 2006 meningkat dari 59 menjadi 62

industri. Jenis Industri sawmill meningkat dari 59 menjadi 61 industri, sedangkan industri kertas tumbuh menjadi satu inudstri pada tahun 2006.

Tabel 4.8 Jenis IUIPHHK yang Beredar di NAD dari Tahun 2004 - 2006

No Jenis IUIPHHKTahun

2004 2005 2006

1 Plywood

2 Moulding

3 Kertas 1

4 Sawmill 59 60 61

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 – 2006 (2007)

Pada tahun 2007, pemerintah Propinsi NAD melakukan penilaian terhadap perencanaan bahan baku untuk industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas sampai dengan 6.000 m3/tahun. Berdasarkan dari penilaian tersebut, maka pemerintah Propinsi NAD melakukan pembaharuan izin industri bersangkutan dan melakukan pengesahaan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) atau revisi per kabupaten dalam wilayah Propinsi NAD tahun 2007.

Dari data Dinas Kehutanan Propinsi NAD, izin usaha industri yang di daftar ulang dari tahun 2004 s/d 2007 berjumlah 168 unit. Pengesahan RPPBI untuk tahun 2007 adalah menjadi 33 unit industri (lihat tabel 4.9).

Tabel 4.9 Data Pembaharuan Izin Usaha Industri Promer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan Kapasitas s/d 6000

m3/tahun dan Pengesahaan RPBBI/Revisi Per Kabupaten Dalam Wilayah NAD

No Kabupaten Izin Usaha Industri yang didaftar ulang tahun 2004 s/d 2007

Pengesahan RPBBI tahun 2007

Persetujuan Revisi RPBBI tahun 2007 (unit)

1 Aceh Besar 11 1 -

2 Pidie 18 4 -

3 Bireuen 8 4 -

4 Aceh Tengah 3 - -

5 Bener Meriah 4 3 -

6 Aceh Utara 5 1 -

7 Aceh Timur 2 1 -

8 Langsa 5 - -

9 Aceh Tamiang 12 6 -

10 Aceh Tenggara 12 - -

11 Gayo Lues 1 - -

12 Aceh Jaya 8 - -

13 Aceh Barat 16 12 -

14 Nagan Raya 11 - -

15 Aceh Barat Daya 7 1 -

16 Simeulue 3 - -

17 Aceh Selatan 3 - -

18 Aceh Singkil 39 - -

168 33 0

Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi NAD (2008)

12Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 19: Green Province

4.3 Permasalahan Hutan Aceh

Kondisi hutan sebetulnya berkaitan dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh pemangku kepentingan. Pengelolaan hutan yang bersifat komersil dan dalam skala besar selama ini dilakukan di kawasan budidaya kehutanan. Menurut arahan fungsi hutan seperti yang terlihat dalam table di atas, Aceh mempunyai kawasan budidaya kehutanan seluas 638.580 ha, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap seluas 601.280 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 37.300 ha. Sampai dengan tahun 2007, jumlah HPH/HPHTI yang izinnya masih berlaku di Aceh sebanyak 11 unit HPH dan 8 unit HTI dan HTI Trans, tetapi HPH/HPHTI tersebut tidak semua melakukan operasi semenjak awal tahun 2000.

Kondisi aktual hutan Aceh hingga kini masih diwarnai oleh berbagai tindakan yang mengarah pada terjadinya kerusakan dan degradasi hutan. Memang belum ada data resmi berapa kerusakan hutan Aceh yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kerusakan hutan di Aceh tidak hanya terjadi di kawasan budidaya (Hutan Produksi) namun juga di kawasan lindung. Sayangnya, seperti disebutkan

di awal, luas kerusakan total hutan Aceh belum diketahui secara resmi. Barangkali dibutuhkan analisis citra satelit untuk mengetahui berapa kerusakan hutan Aceh saat ini. CI (2007) memperkirakan bahwa kerusakan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser mencapai 12.500 ha, baik di propinsi Aceh maupun Sumatera Utara.

a) Kerusakan Hutan

Penebangan LiarPenebangan liar masih menjadi salah satu kontribusi terjadinya kerusakan hutan di NAD. Berdasarkan statisitik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001-2006, ada kecendrungan meningkat kegiatan penebangan liar di kawasan hutan NAD. Dari tahun 2005 sampai dengan 2006, terjadi peningkatan jumlah kayu temuan dan tangkapan hasil dari operasi pengamanan hutan (PAMHUT) yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi NAD (lihat table 4.10).

Tabel 4.10 Jumlah Kayu Temuan dan Tangkapan Hasil Operasi Pengamanan Hutan (PAMHUT)

di Propinsi NAD dari tahun 2004 – 2006

No Lokasi Tahun (m3)

2004 2005 2006

1 Banda Aceh 20

2 Sabang 12

3 Aceh Besar 38

4 Pidie 18 2

5 Aceh Utara -

6 Aceh Timur -

7 Aceh Tenggara -

8 Aceh Tengah 221,74

9 Aceh Barat 60 24,90

10 Aceh Selatan 193,35

11 Simeulue -

12 Singkil 51,41

13 Bireun 92,62 24,38

14 Lhokseumawe -

15 Langsa 768,79

16 Aceh Jaya -

17 Aceh Barat Daya -

18 Gayo Lues -

19 Aceh Tamiang 1,961930 *)

20 Nagan Raya -

170,62 3.288,53 8.836,89

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 – 2006 (2007)*) Data kayu hasil temuan/tangkapan yang belum diproses.

13Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 20: Green Province

Disamping itu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami membutuhkan kayu yang sangat banyak, baik yang dilakukan oleh BRR NAD-Nias, NGO internasional dan lokal maupun lembaga-lembaga donor. BRR (2006) memperkirakan bahwa untuk kebutuhan rehab-rekon Aceh dibutuhkan 520.000 meter kubik kayu untuk pembangunan rumah bagi korban tsunami. Selama ini, kebutuhan kayu untuk rehab-rekon Aceh didatangkan dari berbagai sumber, baik dari IPK yang masih ada di Aceh, didatangkan dari luar daerah maupun diimport dari luar negeri. Karena izin resmi IPK di Aceh banyak yang sudah berakhir, menyebabkan meningkatnya aktivitas illegal logging di lapangan.

Permintaan kayu untuk rehab-rekon yang sangat tinggi dan berbagai upaya telah dilakukan oleh BRR untuk melakukan pengadaan kayu yang legal dan berkualitas dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Hal ini antara lain dilakukan dengan mengadakan Timber Trade Show pada bulan Juni 2006 di Hotel Tiara Medan. Timber Trade Show ini dihadiri oleh Menteri Kehutanan dan para Dirjen, pengusaha industri kehutanan yang telah direkom oleh Menteri, Gubernur Aceh, dan institusi lainnya yang bertujuan untuk menjembatani kebutuhan kayu antara supply dan demand terhadap rehab-rekon Aceh pasca tsunami. Namun hasilnya kurang menggembirakan. Selain itu, dibentuk pula Timber Help Desk yang memfasilitasi informasi tentang sumber kayu yang legal dan tata usaha

kayu agar kayu untuk rehab-rekon legal dan berkualitas. Timber Help Desk juga membuat guideline tentang penatausahaan kayu untuk memudahkan para stakeholder mendapatkan kayu yang legal dan berkualitas.

Sebagai rasa tanggung jawab, perlu ada upaya khusus untuk menanam kembali kawasan hutan yang rusak akibat kebutuhan kayu untuk rehab-rekon di Aceh. Pihak-pihak yang terlibat dalam rehab-rekon Aceh perlu bertanggung jawab untuk memikirkan kembali bagaimana melakukan rehabilitasi hutan Aceh yang rusak akibat rehab-rekon dengan menyediakan dana rehabilitasi hutan Aceh, atau bentuk lainnya.

Perambahan (skala kecil dan besar)Kerusakan hutan di Aceh disebabkan oleh berbagai kondisi di masa lalu masih berdampak hingga saat ini. Umumnya bekas tebangan dari HPH yang dibuka dipinggiran kawasan dan terdapat akses jalan menjadi tempat yang mudah oleh masyarakat untuk perladangan berpindah. Belum tersedianya data resmi berapa kerusakan sebenarnya yang terjadi di NAD baik akibat dari praktek HPH dan HTI maupun perambahan dalam skala kecil dan besar menimbulkan kesukaran dalam mengambil kebijakan yang tepat dari Pemerintah Pusat maupun Propinsi terhadap pengamanan dan pemeliharaan hutan.

14Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 21: Green Province

Kebakaran HutanPersoalan kehutanan lain yang dihadapi di Aceh adalah kebakaran hutan yang belum bisa ditangani dengan baik, seperti yang terjadi setiap tahun di Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Besar, dengan intensitas dan luas yang berbeda-beda. Penyebab terjadinya kebakaran hutan antara lain karena kekeringan yang berkepanjangan, yang menyebabkan hutan mudah terbakar, disamping itu juga ada kesalahan manusia dimana kemungkinan secara sengaja atau tidak sengaja membuang puntung rokok di

kawasan hutan yang mudah terbakar. Di kawasan gambut, juga ditemukan banyak titik-titik api (hot spot) yang sangat mungkin menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

Berdasarkan statistik kehutanan Propinsi NAD tahun 2001 – 2006, kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 2004 di daerah Aceh Besar seluas 166 ha. Hal ini disebabkan kondisi alam berupa kekeringan yang berkepanjangan di Propinsi tersebut dan juga didukung dengan kondisi hutan terbuka akibat aktivitas pembukaan lahan (lihat Tabel 4.11).

Tabel 4.11 Luas Kebakaran Hutan di Propinsi NAD dariTahun 2003 - 2006

No Lokasi Tahun

2003 2004 2005 2006

1 Banda Aceh - - - -

2 Sabang - - - -

3 Aceh Besar 60 166 - 19

4 Pidie - - - -

5 Aceh Utara - - - -

6 Aceh Timur - - - -

7 Aceh Tenggara - - - -

8 Aceh Tengah - - - -

9 Aceh Barat - - - -

10 Aceh Selatan - - 0,67 -

11 Simeulue - - - -

12 Singkil - - - -

13 Bireun - - - -

14 Lhokseumawe - - - -

15 Langsa - - - -

16 Aceh Jaya - - - -

17 Aceh Barat Daya - - - -

18 Gayo Lues - - - -

19 Aceh Tamiang - - - -

20 Nagan Raya - - - -

60 166 0,67 19

Sumber: Statistik Kehutanan Propinsi NAD Tahun 2001 – 2006 (2007)

b) Pengelolaan Kawasan (Kelembagaan)Pengelolaan kawasan hutan di Aceh terjadi perubahan yang sangat signifikan setelah disahkannya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006. UUPA memberikan kewenangan sangat besar kepada Pemerintah Aceh dalam mengelola kawasan hutan di Aceh. Secara khusus, UUPA juga memberi kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah Aceh bersama dengan pemerintah kabupaten/kota di Aceh untuk mengelola dan menjamin kelestarian Kawasan Ekosistem

Leuser (KEL). Namun demikian, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan mengelola kawasan konservasi melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) seperti Balai Taman Nasional Gunung Leuser dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi NAD. Saat ini Balai TNGL telah meningkat eselonnya dari eselon III/a menjadi eselon II/b untuk memudahkan koordinasi dengan Pemerintah Daerah. UPT pusat lainnya adalah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh dan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah I. Namun demikian, kelembagaan pengelolaan kawasan-kawasan hutan di Aceh sesuai dengan UUPA masih belum selesai karena masih menunggu pembahasan revisi Qanun tentang Kehutanan Aceh.

15Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 22: Green Province

4.4 Rehabilitasi Hutan & Lahan (Gerhan)

a) Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL)

Pengertian, Tujuan dan SasaranKegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/ GERHAN) di Provinsi NAD telah dilaksanakan selama 4 tahun, yang dimulai sejak tahun 2004 (sebelum tsunami terjadi). Kegiatan ini adalah program Departemen Kehutanan secara nasional, yang berlangsung secara bersamaan untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan di seluruh Provinsi di Indonesia.

Kegiatan GN-RHL pada umumnya berupa kegiatan pembuatan tanaman mangrove, pembuatan tanaman hutan rakyat, kegiatan reboisasi kawasan lindung dan hutan produksi serta pembuatan bangunan konservsi tanah, pengkayaan hutan rakyat, dan pengkayaan reboisasi (enrichment planting). Salah satu kegiatan GN-RHL di Provinsi NAD pada tahun 2004 adalah penanaman mangrove di desa Lam Ujung.

Tujuan GN-RHL adalah untuk mempercepat upaya rehabilitasi/reboisasi hutan dan lahan yang diarahkan untuk penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor, terjadinya kerusakan pantai baik karena tsunami maupun karena kekeringan. Adapun sasaran GN – RHL adalah tercapainya upaya perbaikan dan pembaharuan lingkungan.

Sasaran lokasi secara umum dapat di bedakan atas beberapa kriteria:

DAS bagian hulu dan DAS Hilir1. Hutan dan lahan kritis yang diindikasikan tanpa 2. penutupan lahan Areal rawan banjir, tanah longsor dan ancaman 3. kekeringan.Perlindungan bangunan vital, waduk, bendungan 4. dan danau.Pesisir pantai dan estuaria5.

Jenis Kegiatan GN-RHL yang dilaksanakan di propinsi NAD yaitu:

Penaman Hutan Rakyat1. Penanaman Reboisasi2. Penghijauan Lingkungan 3. Pembuatan bangunan konservasi tanah4. Pengembangn Kelembagaan5.

Kegiatan GN –RHL di Provinsi NADPembuatan tanaman reboisasi dan hutan rakyat dimulai pada tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007, dan kegiatan penanaman rehabilitasi wilayah pantai dimulai sebelum tsunami, akan tetapi lebih difokuskan lagi paska tsunami pada tahun 2005 degan rehabilitasi coastal pada umumnya. Sampai tahun 2007, telah dilakukan penanaman seluas 3.496 ha (lihat Tabel 4.12).

Adapun jumlah bibit yang dibutuhkan dengan adanya kegiatan ini pada tahun 2004 sebanyak 6.822.627 pada tahun 2005 dan 2006 sebanyak 31.784.000 batang dan pada tahun 2007 sebanyak 5.181.550 batang. Jenis bibit sesuai dengan kebutuhan permintaan di tiap-tiap Kabupaten/Kota, meliputi jenis bibit berupa mahoni, sentang, pinus mescusii, meranti, sengon, asam jawa, durian, kemiri, advokat, mangga, pela, petai dan jengkol. Pengadaan bibit dilakukan secara pelelangan yang dilaksanakan oleh BP-DAS Krueng Aceh Prov NAD.

Realisasi Kegiatan GN - RHLRealisasai kegiat Gerakan NAsional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) di Provinsi NAD telah silaksanakan selama 4 tahun pada alokasi anggaran DIPA 2004 yang fisiknya direalisasikan pada tahun 2005, dan telah dilaksanakan kegiatan yang tersebar di daerah wilayah daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas meliputi 18 Kabupaten/Kota. Untuk tahun 2005 fisik kegiatan direalisasikan pada tahun 2006, telah dilaksanakan kegiatan yang tersebar pada 21 Kabupaten/Kota dan pada tahun 2006 yang fisiknya direalisasikan pada tahun 2007, pada tahun 2007 lunsuran 2006 ada penambahan kegiatan yaitu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) daerah bencana/Rawan bencana alam yang dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Barat Daya. Pada tahun 2007 telah direalisasikan kegiatan fisiknya pada pertengahan 2007 (terlampir).

Tabel 4.12 Luas Lahan yang Telah Dilakukan Penanaman dari Kegiatan GN-RHL di NAD

No Tahun Jenis Kegiatan Luas (Ha)

1 2004Tanaman Hutan RakyatTanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksi

1.8761.163

2 2005Tanaman Hutan RakyatTanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksiPembuatan Tanaman Hutan Mangrove

5.5604.0855.903

3 2006Tanaman Hutan RakyatTanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksiPembuatan Tanaman Hutan Mangrove

730775605

4 2007

Tanaman Hutan RakyatPanaggulangan bencanaTanaman Rebisasi Hutan Lindung/HutanProduksiReboisasi pengaulangn bencana luncura 2006Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove

1.051200920550775

Sumber: BP – DAS Propinsi NAD (2008)

16Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 23: Green Province

17Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

Gra

fik 4

.1

Luas

keg

iata

n G

ERH

AN

di P

ropi

nsi N

AD

1876

1163

556

4085

5903

730

775

605

1051

200

920

550

775

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

T H R

TRHL/H P

T H R

TRHL/H P

PTHM

T H R

TRHL/H P

PTHM

T H R

Panaggulanganbencana

TRHL/H P

Reboisasi 2006

PTHM

2004

2005

2006

2007

1. T

HR

: T

aman

Hut

an R

akya

t 2.

TR

HL/

HP

: Tan

aman

Reb

isas

i Hut

an L

indu

ng/H

utan

Pro

duks

i 3.

PT

HM

: Pe

mbu

atan

Tan

aman

Hut

an M

angr

ove

4.

Reb

ois

asi 2

006

: Reb

ois

asi p

enan

ggau

lang

an B

enca

na (

Dan

a Lu

ncur

an 2

006)

Luas Lahan (Ha)

Page 24: Green Province
Page 25: Green Province

Grafik 4.2 Realisasi Penyaluran Bibit GERHAN di Propinsi NAD

Grafik 4.3 Kondisi Lahan Kritis di Propinsi NAD Tahun 2007

19Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

6,822,627

31,784,000

5,181,550

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

Jum

lah

Bibi

t

2004 2005 - 2006 2007

Tahun

1,262,284.46

2,375,198.60

1,132,466.69

376,157.52

65,292.02 52,714.78 4,506.71

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

Luas

(H

a)

Tidak Kritis Potensi Kritis Agak Kritis Kritis Sangat Kritis Tubuh Air Tdk Terdata

Kondisi Lahan

Page 26: Green Province

Kelembagaan GN-RHL/GERHANKelembagaan GN-RHL/GERHAN Provinsi NAD selama 4 tahun perjalanan gerhan telah diwujudkan di Tingkat Provinsi dalam bentuk Tim Pengendali TK Provinsi dengan penanggung jawab Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tingkat Daerah telah di bentuk Tim Pengendali TK Kabupaten/Kota dengan penanggung jawab Bupati.

Dalam penguatan kelembagaan masyarakat telah dilaksanakan berbagai bentuk pelatihan-pelatihan kader GN-RHL/GERHAN diseluruh Kabupaten/Kota.

Penilaian /Pengawasan GN-RHL/GERHANKegiatan penilaian GN-RHL dilakukan oleh tim independent yang ditunjuk oleh instansi terkait, yang dilakukan oleh lembaga/Perguruan Tinggi terhadap Badan/Perusahaan pengadaan bibit GERHAN dan Kinerjanya. Instansi yang menangani pengadaan dan pengendalian kegiatan penilaian pengadaan bibit adalah BPTH atau BPDAS.

PermasalahanKegiatan ini memiliki beberapa permasalahan khusus dan permasalahan umum yang berpengaruh bagi kurang optimalnya hasil kegitan GN-RHL. Permasalahan tersebut dapat berasal dari aspek perencanaan, aspek pelaksanaan, aspek pengawasan dan pengendalian.

Dari aspek perencanaan permasalahan yang timbul antara lain disebabkan karena masih kurang optimalnya pembuatan rancangan teknis, penetapan lokasi, pemilihan jenis tanaman, pemetaan dan penyuluhan. Aspek pelaksanan disebabkan karena kurang optimalnya kegiatan persiapan lapangan, persiapan penanaman, pemeliharaan bibit dan seleksi bibit, serta teknik pananaman dan kegiatn pemeliharaan. Dari aspek pengawasan dan pengendalian masih belum dilakukan secara optimal, hal ini terlihat dari permasalahan pelaksanan GN-RHL dari tahun ke tahun belum diperoleh solusi dan realisasi rencana tindak lanjut dari suatu permasalahan secara nyata.

b) Penanaman 1 juta pohon

Di penghujung tahun 2007, gerakan penanaman 1 juta pohon dilakukan oleh Pemerintah Propinsi NAD dalam rangka menyambut COP 13 (Congress of Parties) di Bali. Kegiatan ini serentak dilakukan di NAD yang mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan, swasta, dan LSM termasuk unsur-unsur Darma Wanita yang turut aktif melakukan kegiatan penanaman di lapangan. Kegiatan ini dinamakan “GERAKAN PEREMPUAN TANAM & PELIHARA POHON”. Realisasi kegiatan ini sampai dengan tanggal 3 Desember 2007 dapat dilihat pada lampiran 3.

4.5 Kebijakan Umum Kehutanan di Aceh

Setelah terbentuknya pemerintah Aceh yang baru dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, kebijakan umum kehutanan di Aceh berubah sangat signifikan. Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam perencanaan, implementasi, pemanfaataan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber alamnya dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan pembangunan berkelanjutan (Pasal 156, ayat 2 dan 3, UU PA No. 11/2006).

Selain itu juga, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berhak memberikan izin konversi kawasan hutan dan izin yang berkiatan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan (Pasal 165 Ayat 3 huruf b dan f). Walaupun begitu, terutama untuk izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh tidak diperkenankan untuk dikeluarkan izinnya (Pasal 150 Ayat 2).

Setelah berlakunya UU PA No. 11/2006, sepatutnya dilannjutkan dengan penerbitan peraturan perundangan pendukung misalnya Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Gubernur (PerGub) agar pelaksanaan UU PA dapat lebih diimplementasikan di lapangan, khususnya pengaturan terhadap pemanfaatan sumber daya alam hutan. Sampai saat ini, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan adalah mengenai kebijakan penghentian sementara penebangan hutan (moratorium logging) melalui Instruksi Gubernur No. 05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007. Beberapa pertimbangan mengapa moratorium logging perlu diterapkan di Aceh adalah sebagai berikut:

Untuk memberikan waktu bagi penyusunan strategi 1. pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan.Memberikan kesempatan untuk menyusun data yang 2. akurat tentang hutan Aceh.Melakukan evaluasi dan menata kembali status dan 3. luas arahan fungsi hutan serta konsesi perizinan yang ada.

Kebijakan moratorium logging ini meliputi tiga program utama yakni melakukan penataan kembali hutan Aceh (redesign), menghutankan kembali kawasan hutan yang rusak (reforestasi), dan pengurangan laju kerusakan hutan (reduksi deforestasi).

a) Program Redesign

Menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

Revisi tata ruang sesuai kebutuhan pembangunan 1.

20Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 27: Green Province

berimbang (ekologi, ekonomi dan sosial)Evaluasi status, fungsi dan luas konsesi hutan2. Rasionalisasi industri kayu sesuai ketersediaan bahan 3. bakuPengembangan hasil hutan non kayu4. Optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi5. Penataan kembali kelembagaan dan tata hubungan 6. kerja pengelolaan hutan

b) Program Reforestasi

Melakukan peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan pelibatan masyarakat lebih optimal.

Reorientasi prioritas lokasi-lokasi penanaman RHL.1. Mengupayakan berbagai sumber dana untuk RHL 2. (donor, carbon market, dll).Mengembangkan hutan tanaman (HTI, HTR, Hutan 3. rakyat,dsb).

c) Program Reduksi Deforestasi

Menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih efektif dan penegakan hukum secara konsisten.

Penegakan hukum.1. Efektivitas sistem pengamanan hutan.2. Penambahan jumlah personil tenaga pengamanan 3. hutan, danPenertiban penggunaan peralatan eksploitasi hutan.4.

Dalam Instruksi Gubernur dijelaskan juga bahwa izin penebangan pohon hanya diperbolehkan terhadap pohon yang berasal dari kebun masyarakat/tanah milik yang tergolong jenis-jenis kayu kampung. Dengan kata lain, jenis-jenis kayu lain diluar jenis kampung tidak dapat diberikan izin penebangan.

Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya pendataan terhadap jenis-jenis kampong harus segera dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dalam mengartikan jenis-jenis kayu kampong. Pendataan terhadap tanah-tanah atau kebun-kebun masyarakat perlu juga dilakukan, mengingat banyak terjadi tumpang tindih lahan antara hutan Negara dan tanah milik masyarakat. Aturan terhadap pemanfaatan jenis-jenis kayu kampong di lahan tanah milik harus segara dibuat dan perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat dan penegak hukum. Pada umumnya tumpang tindih lahan sering terjadi di sektor kehutanan dan dapat memicu konflik sosial, sehingga perlu adanya badan/komisi khusus yang bisa dibentuk oleh Gubernur untuk menghadapi masalah-masalah tersebut.

Hal lain yang menyangkut dalam Instruksi Gubernur adalah peran lembaga pemerintahan. Disebutkan ada terdapat 8 (delapan) institusi/instansi pemerintahan tingkat propinsi yang memperoleh arahan dari Gubenur untuk menindaklanjuti dari pelaksanaan moratorium logging. Salah satu yang diinstruksikan oleh Gubernur kepada Dinas Kehutanan adalah rasionalisasi jumlah industri kayu sesuai dengan ketersediaan bahan baku. Rasionaliasi ini perlu didasarkan tidak hanya pada kapasitas produksi dan terpasang pada industri bersangkutan saja, tetapi juga bisa membuktikan bahwa bahan-baku untuk industri tersebut berasal dari hasil penebangan yang legal. Sistem informasi dan pendataan terhadap asal-usul bahan baku untuk pemenuhan bahan baku industri perlu segera dibuat sehingga secara dini dapat mengurangi jumlah industri-industri yang menggunakan bahan baku illegal.

Pada Bab selanjutnya akan dijelaskan lebih terinci terhadap hasil survey lapangan pada 17 kabupaten di NAD terhadap identifikasi kayu kampong, hasil hutan bukan kayu, termasuk kecendrungan pasar terhadap hasil hutan tersebut, serta identifikasi kearifan lokal terutama pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan di NAD.

21Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 28: Green Province

5 HASIL & PEMBAHASAN

5.1 Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di Aceh

Pengembangan kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Aceh di pedesaan secara umum dan desa-desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Selama ini karena konflik berkepanjangan di Aceh, kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu masih belum dikembangkan secara optimal sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Disamping itu, akses pasar terhadap kedua produk masyarakat tersebut belum begitu menggembirakan di Aceh. Pasca penandatanganan MoU Damai di Helsinki antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005, memberikan peluang pemberdayaan ekonomi lokal melalui pengembangan kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu semakin besar. Melalui pengembangan kedua komoditas tersebut diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan dan di pinggir hutan dapat meningkat sehingga akan berdampak pada penurunan kemiskinan masyarakat lokal di Aceh.

Pemerintah Aceh pada awal tahun 2007 sudah mendeklarasikan kebijakan moratorium logging melalui Instruksi Gubernur No. 5/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007, sebagai bagian dari komitmen Pemerintah Aceh untuk mendukung kebijakan sustainable forest management dan sustainable development, yang disebut kebijakan mendukung propinsi hijau (green province). Kebijakan ini secara langsung berdampak pada larangan penebangan kayu di kawasan hutan negara. Karena itu, penggunaan kayu-kayu kampung menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat Aceh, termasuk untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Kayu kampung adalah sebutan untuk kayu-kayu yang dibudidayakan masyarakat atau tumbuh di lahan milik masyarakat seperti pekarangan rumah dan kebun/ladang. Kayu-kayu kampung biasanya hanya tumbuh di kawasan pemukiman dan ladang. Pohon sentang, bayur, atau pohon buah seperti mangga, rambutan, dan sebagainya adalah contoh kayu-kayu yang tumbuh di pemukiman penduduk. Walaupun demikian, istilah kayu kampung yang dimaksud dalam survey ini adalah kayu-kayu yang dibudidayakan di lahan milik masyarakat, bukan di kawasan hutan.

Sementara hasil hutan bukan kayu (HHBK) menurut FAO/1995 adalah segala bentuk produk dari ekstraksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan, baik tumbuhan, hewan dan jasa hutan selain kayu. Pengertian yang disepakati di tingkat Departemen Kehutanan bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati, maupun hewani dan

turunannya yang berasal dari hutan, kecuali kayu (Litbang Hasil Hutan, 2007). Berbagai jenis HHBK dapat dan mudah ditemukan di berbagai daerah di Aceh seperti getah pinus, damar, aren, rotan, serta tanaman obat, dan lainnya. Prospek pengembangannya masih cukup besar mengingat peluang pasar masih sedang berkembang di Aceh hingga saat ini.

a) Analisa Data Tiap Kabupaten

Hasil survey yang dilakukan oleh tim survey Green Province Aceh memperlihatkan hasil yang sangat menarik tentang potensi kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu yang dibudidayakan/dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan di pinggir hutan di Aceh. Antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya mempunyai dinamika jenis kayu kampung yang berbeda-beda. Demikian juga dengan hasil hutan bukan kayu yang ada. Keragaman potensi ini tentu saja bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi keanekaraganam kayu kampung dan hasil hutan bukan kayu di Aceh. Hal ini dapat di lihat dari potensi ekonomi dalam rangka mengurangi angka kemiskinan di pedesaan di pinggiran hutan. Disamping itu, juga bisa dilihat dari perspektif menciptakan sustainable forest management melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Keragaman potensi ini pada akhirnya memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa banyak sekali potensi ekonomi hijau yang bisa dikembangkan di Aceh dalam rangka mewujudkan green province seperti yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah Aceh. Untuk itu, perlu sekali pemetaan yang sudah ada ini bisa ditindaklanjuti menjadi kebijakan publik Pemerintah Aceh dalam rangka melestarikan hutan di satu sisi dan mensejahterakan masyarakat lokal di sisi lain.

1. Aceh BesarAceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang berada paling dekat dengan ibukota provinsi NAD. Masyarakat kabupaten ini khususnya yang di pedesaan banyak menggunakan kayu kampung untuk berbagai keperluan. Jenis kayu-kayu yang sering dipakai antara lain (lihat grafik 1) kayu kampung dari jenis-jenis mangga, nangka, bak trom, kelapa, rambutan durian, bayur, kemiri, randu, jati, eucalyptus, bak tho, laban, asam jawa, dan angsana. Jenis kayu kampung yang paling banyak digunakan responden adalah nangka (66%), mangga (88%), kelapa (67%), bayur (62%), serta kemiri yang dibudidayakan oleh sekitar 54% responden.

22 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 29: Green Province

Gra

fik 5

.1 K

ayu

Kam

pung

Yan

g Se

ring

Dip

akai

Mas

yara

kat

Ace

h Be

sar

23Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

20%

3%

8%

66%

88%

19%

3%

45%

1%2%

67%

1%

21%

37%

11%

10%

10%

10%

20%

4%

11%

13%

8%

23%

9%7%

7%

1%

12%

62%

54%

Eucalyptus

Gucalyptus

Geulempang

Nangka

Mangga

Bak Hiu

Bak Peunu

Bak Trong

Advokat

Sawo

Kelapa

Batok

Rambutan

Durian

Langsat

Sentul

Sukun

Cendana

Jati

Mahoni

Laban

Asam Jawa

Pala

Kapok Randu

Rubek

Rembayan

Kurmek

Jengkol

Angsana

Bayur

Kemiri

Jum

lah

resp

ond

en =

115

Page 30: Green Province

Sebagian besar dari kayu-kayu yang dimanfaatkan masyarakat tersebut digunakan untuk bahan bangunan (99% responden) dan kayu bakar (99%). Hanya sedikit sekali yang digunakan untuk bahan perabot (6% responden). Sebagian besar kayu-kayu yang dihasilkan tersebut digunakan untuk kebutuhan sendiri oleh 97% responden, walaupun banyak juga yang dijual kepada konsumen lain yang dilakukan oleh 81% responden. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pedesaan di Aceh besar menggunakan bahan baku kayu untuk pembuatan rumah mereka. Kebutuhan energi rumah tangga, sebagian besar responden (99%) menggunakan kayu bakar untuk memasak. Penjualan kayu kepada masyarakat meningkat karena kebutuhannya pada masa rehab rekon sangat besar di daerah khususnya Aceh Besar. Kebutuhan kayu bakar juga meningkat seiring dengan berdirinya berbagai pabrik batu bata di wilayah ini.

Terhadap penggunaan lahan, lahan pertanian umumnya digunakan untuk menanam palawija (52%), dan hanya 2% responden yang menanami padi. Lahan kebun sebagian digunakan untuk jenis tanaman pisang (2% responden), serta tanaman lainnya (23%). Hasil hutan non kayu yang banyak dimanfaatkan adalah rotan oleh 40% responden. Hal ini semakin meneguhkan kedudukan rotan sebagai hasil hutan non kayu yang dihasilkan Aceh Besar. Yang menarik adalah semua hasil hutan bukan kayu

Grafik 5.2 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Besar

rotan tersebut dihasilkan dari lahan hutan bukan milik. Sayangnya, untuk wilayah Aceh Besar tidak diperoleh data tentang tingkat pendapatan masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, yakni rotan yang dibudidayakan masyarakat maupun yang tumbuh di alam bebas.

2. Aceh Jaya

Kabupaten Aceh Jaya mempunyai desa-desa yang mayoritas terletak di pinggir hutan. Ketergantungan masyarakat desa dengan hutan sangat tinggi di daerah ini. Untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat juga menggunakan beberapa jenis kayu yang dibudidayakan di perkampungan seperti yang umumnya digunakan, yakni mancang, trueng, damar, cengal, kelundung, durango, langin dan gemong. Kayu-kayu kampung yang paling banyak digunakan antara lain mancang yang digunakan oleh 36% responden, kelundong (20%) dan trueng (17%). Mayoritas kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk kebutuhan bahan bangunan (86%), dan umumnya dipakai sendiri yang mencapai 68% dan hanya 2% responden yang menjual kayu-kayu tersebut. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kebutuhan kayu untuk bahan bangunan di Aceh Jaya sangat tinggi mengingat kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten terparah dilanda tsunami. Untuk kebutuhan non bangunan seperti

24Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

41%

0% 0% 0%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

Rotan Getah Karet Tumbuhan obat

Jumlah responden = 115

Page 31: Green Province

Gra

fik 5

.3 K

ayu

Kam

pung

Yan

g Se

ring

Dip

akai

Mas

yara

kat

Ace

h Ja

ya

25Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

36%

17%

5%

2%

5%

20%

7%7%

0%

3%

0%0%

Man

cang

Tru

eng

Dam

arJa

mbu

Hut

anC

enga

lK

elun

dong

Dur

anyo

Lann

gin

Peta

iG

erno

nD

amar

Spo

nM

ane

Jum

lah

resp

onde

n =

59

Page 32: Green Province

kayu bakar, kemungkinan masyarakat pedesaan di kabupaten ini menggunakan ranting-ranting kayu yang banyak terdapat di sekitar tempat tinggal mereka.

Sementara kegunaan lahan yang dimiliki masyarakat memperlihatkan bahwa lahan pertanian umumnya ditanami padi oleh 14% responden dan 15% responden menanam palawija. Lahan kebun belum banyak dikembangkan komoditi unggul karena masyarakat baru bangun dari keterpurukannya akibat tsunami dan konflik berkepanjangan. Sedangkan lahan hutan di sekitar mereka belum dimanfaatkan secara optimal dalam pengembangan hasil hutan non kayu. Dengan kata lain, hasil hutan non kayu belum dikembangkan sama sekali di daerah ini.

Aceh Jaya sebenarnya merupakan daerah penghasil buah-buahan seperti durian, mangga, dan sebagainya, baik yang dikembangkan di lahan milik maupun bukan milik.

Namun data terhadap jumlah serta pemasaran dari buah-buahan tersebut tidak termasuk dalam kegiatan survey di lapangan.

3. Aceh Barat

Kabupaten ini juga merupakan wilayah yang dilanda tsunami, sehingga kayu kampung yang tingkat permintaannya tinggi adalah kayu mane yang dimanfaatkan oleh 56% responden, dan banyak digunakan untuk pembuatan boat dan perumahan. Selain itu, kayu-kayu kampung yang banyak digunakan oleh penduduk pedesaaan adalah tampe siron, kit putih, panga anak, pulai, tampu, durian, rambutan, mangga, dan karet. Sesuai dengan kondisi, kualitas dan kegunaannya, kayu-kayu kampung tersebut ada yang digunakan untuk bahan bangunan (81%), perabot (44%) dan pembuatan perahu

26Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 33: Green Province

Gra

fik 5

.4 K

ayu

Kam

pung

Yan

g Se

ring

Dip

akai

Mas

yara

kat

Ace

h Ba

rat

27Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

56%

19%

19%

19%

13%

19%

25%

6%6%

13%

13%

6%

38%

19%

Mane

Tampe Siron

Kit Putih

Panga Anak

pulai

Tampu

Durian

Nangka

Medang Getah

Rambutan

Mangga

Bak Mang

Bak Sipijut

Karet

Jum

lah

resp

ond

en =

16

Page 34: Green Province
Page 35: Green Province

Untuk lahan yang dimiliki masyarakat, semua responden (100%) memanfaatkan lahan pertanian untuk menanam padi dan beberapa komoditas pertanian lainnya. Lahan kebun banyak digunakan untuk membudidayakan tanaman kopi (6% responden), karet (31%), durian (6%) dan nilam (25%). Sedangkan kawasan hutan banyak menghasilkan hasil hutan non kayu berupa rotan yang dimanfaatkan oleh 31% responden. Belum ada hasil hutan non kayu lainnya yang dikembangkan oleh masyarakat di wilayah ini. Tanaman rotan tidak ada yang ditanam di lahan milik, melainkan tumbuh bebas di kawasan hutan negara. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan ada upaya budidaya rotan yang perlu dikembangkan agar produksi rotan bisa berkelanjutan.

4. Nagan Raya

Nagan Raya adalah kabupaten pemekaran dari Aceh Barat. Masyarakat pedesaan di wilayah ini menggunakan berbagai jenis kayu kampung untuk berbagai kebutuhan. Kayu kampung yang banyak digunakan adalah berangkah oleh 64% responden, cempedak hutan (64%), balek angina (64%), durian hutan (100%), rambutan hutan (45%), tiengkeum (45%), dan mane yang juga dikembangkan oleh 45% responden.

Sesuai dengan kualitas kayunya, mayoritas responden menyebutkan bahwa kayu-kayu kampung di wilayah ini digunakan untuk bahan bangunan (45%), pembuatan perahu (36%) dan kayu bakar (45%). Hanya sebagian kecil responden yang mengatakan bahwa kayu tersebut digunakan untuk perabot (9%). Kayu-kayu kampung tersebut sebagian dipakai sendiri oleh 55% responden dan sebagian lagi dijual (45%).

Grafik 5.5 Kayu Kampung Yang Sering Dipakai Masyarakat Nagan Raya

29Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

64% 64% 64%

100%

45% 45% 45%

B erangkah Cempedakhutan

B alek A ngin Durian Hutan RambutanHutan

Tieng Keum M ane

Jumlah responden = 11

Page 36: Green Province

Masyarakat pedesaan di Nagan Raya umumnya memungut hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, dimana 27% responden memanfaatkan rotan. Hasil hutan bukan kayu lainnya belum banyak dikembangkan. Di wilayah ini, lahan pertanian dan lahan kebun yang dimiliki masyarakat sangat kecil, komoditas yang dikembangkan pun sangat minim.

5. Aceh Barat Daya

Kayu-kayu kampung yang banyak dipakai masyarakat di kabupaten ini antara lain durian, seribu, kuini, kapas, karet, laban, nangka, balam, rubek, kelapa, medang dan jati. Beberapa diantaranya paling banyak digunakan seperti durian (75%), kuini (63%) dan seribu (61%).

Mayoritas dari kayu-kayu tersebut digunakan untuk kebutuhan bahan bangunan oleh 85% responden dan 42% responden menggunakannya untuk perabot. Selebihnya baru digunakan untuk pembuatan perahu (14%) dan kayu bakar (34%).

Mayoritas kayu-kayu kampung tersebut dijual ke pasar oleh 86% responden, hanya sebagian kecil yang digunakan sendiri (32%). Yang menarik adalah tingkat pemakaian untuk perabot cukup tinggi yang menunjukkan bahwa kabupaten ini potensial untuk dikembangkan sentral perabotan untuk wilayah pantai barat-selatan Aceh. Agar usaha perabot tersebut dapat berkelanjutan, maka perlu upaya rehabilitasi lahan yang dimulai dengan perencanaan yang mantap.

Grafik 5.6 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Nagan Raya

30Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

27%

0% 0% 0%

45%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Rotan Getah Kar et T umbuhan Obat Lai n-Lai n

Juml ah r esponden = 11

Page 37: Green Province

Gra

fik 5

.7 K

ayu

Kam

pung

Yan

g Se

ring

Dip

akai

Mas

yara

kat

Ace

h Ba

rat

Day

a

31Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

75%

7%

3%

22%

3%

61%

63%

10%

2%

24%

3%

31%

2%

5%

2%

24%

8%

2%3%

15%

8%8%

14%

32%

7%

20%

durian

Mangga

Bak Mane

Kapas

Selanga

seribu naik

kuini

Rambutan

Bayur

Karet

Mancang

Laban

Mahoni

song

Kemiri

Nangka

Balam

Kruing

Meranti

Rubek

Dadap

Pala

Kelapa

Medang Jeump

Damar

Jati

Jum

lah

resp

ond

en =

59

Page 38: Green Province

Lahan-lahan pertanian penduduk kebanyakan ditanami padi (24%) dan palawija (10%). Untuk lahan perkebunan mayoritas ditanam tanaman campuran, dimana sebagian kecil juga dibudidayakan sawit, coklat (5%), nilam, pinang, karet (12%) dan pala. Hasil hutan bukan kayu yang dikembangkan masyarakat di Aceh Barat Daya cukup bervariasi. Masyarakat mengembangkan karet (54%), rotan (37%), jernang (31%), damar (27%), alim (10%) dan gaharu (3%). Komoditas karet, nilam, dan alim biasanya dibudidayakan di lahan milik, sementara komoditas lain banyak terdapat dilahan bukan milik.

6. Aceh Tenggara

Di kawasan ini, masyarakat desa menggunakan banyak jenis kayu kampung untuk berbagai kebutuhan. Yang paling umum digunakan masyarakat antara lain intap (46%), semaram (76%), damar laut (32%), jelatung (16%), meranti (32%), durian, semantok (40%) dan mangga (32%). Kayu-kayu kampung dengan kualitas bagus banyak digunakan untuk bahan bangunan yang digunakan oleh 88% responden, sedangkan untuk kebutuhan pembuatan perabot mencapai 56%. Sementara untuk kualitas rendah digunakan untuk kayu bakar (44%). Disamping itu, kayu-kayu kampung tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sendiri (70%) daripada dijual (44%).

Grafik 5.8 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Barat Daya

32 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

37%

31%

0%

54%

3%

10%

27%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

Rotan Jernang Getah Karet Gaharu Alim Damar

Jumlah responden = 59

Page 39: Green Province

Gra

fik 5

.9 K

ayu

Kam

pung

Yan

g Se

ring

Dip

akai

Mas

yara

kat

Ace

h Te

ngga

ra

33Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

46%

74%

2%

32%

16%

32%

0%0%

40%

32%

0%0%

0%0%

0%2%

12%

Intap

Semaram

Geucih

Damar Laut

Jelatung

Meranti

Nangka

Rambutan

Durian

Sementok

Jati

Medang

Karet

Kemiri

Kelapa

Peterahan

Mangga

Jum

lah

resp

ond

en =

50

Page 40: Green Province

Untuk lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian mayoritas ditanami padi (58%) dan sebagian kecil palawija (12%). Lahan perkebunan kebanyakan dikembangkan tanaman coklat (30%), karet (28%), kemiri (14%), sawit (4%) dan kopi (4%). Sedangkan kawasan hutan banyak menghasilkan rotan yang dimanfaatkan 10% responden dan getah/karet sebanyak 8%.

Hasil hutan non kayu yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah rotan yang dikembangkan oleh 50% responden, karet (36%), getah (12%) dan tanaman obat oleh 6% responden. Untuk tanaman karet, masyarakat mempunyai penghasilan rata-rata lebih dari Rp. 500 ribu perbulan. Di wilayah ini, rotan mayoritas ditanam di lahan milik oleh 22% responden, hanya sebagian kecil (4%) yang berada di hutan negara. Demikian halnya dengan getah (4%) dan karet (14%) yang juga sama-sama dikembangkan di lahan milik masyarakat.

7. Aceh Singkil

Di kabupaten ini, kayu-kayu kampung yang dimanfaatkan penduduk lebih beragam seperti durian, kapur, meranti, rengas, kruing, punak, jelutung, bacang hutan, sung, petai, mancang, kelapa dan karet. Yang paling banyak digunakan umumnya durian oleh 72% responden, petai

Grafik 5.10 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tenggara

(44%), dan karet (28%). Mayoritas kayu-kayu kampung di Aceh singkil digunakan penduduk untuk bahan bangunan (69%), perabot (62%), pembuatan perahu (26%), dan kayu bakar (15%). Masyarakat umumnya menjual kayu-kayu kampung yang dihasilkannya (64%), dan sebagian lainnya digunakan untuk keperluan sendiri (62%).

Untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, maka banyak pohon durian yang ditebang, dengan menggunakan SKAU.

Lahan pertanian masyarakat kebanyakan ditanami padi (59%) dan palawija (38%). Sementara lahan perkebunan banyak ditanam karet (51%), durian (36%) dan sawit (21%). Untuk lahan hutan yang dimiliki masyarakat banyak menghasilkan rotan (18%) yang dimanfaatkan penduduk.

Selain itu, hasil hutan bukan non lainnya yang

dikembangkan di wilayah ini termasuk karet (62%), rotan (44%) , sawit (10%), damar (23%), sige-sige (23%), gambir (3%), pete (3%) dan durian (3%). Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari hasil hutan bukan kayu yang memberi prospek bagus adalah rotan dan karet dimana masyarakat bisa memperoleh rata-

34Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

50%

0% 0% 0% 0% 0% 0%

12%

0% 0%

36%

6%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Rot

an

Kun

yit

Jahe

Sere

Leng

kuas

Tem

ulaw

ak

Ken

cur

Get

ah

Bung

le

Tero

ng B

elan

da

Kar

et

Tum

buha

n ob

at

Jumlah responden = 50

Page 41: Green Province

Gra

fik 5

.11

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t A

ceh

Sing

kil

35Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

72%

21%

21%

18%

21%

21%

21%

5%

21%

3%

18%

44%

23%

23%

8%

28%

3%

8%

Durian

Kapur

Meranti

Rengas

Kruing

Punak

Jelutung

Sembarang

Bacang Hutan

Kembang Semangkok

Sung

Petai

Mancang

Kelapa

Terep

Karet

Jati

Jengkol

Jum

lah

resp

ond

en =

39

Page 42: Green Province

rata penghasilan di atas Rp 500 ribu perbulan. Hanya rotan yang banyak dikembangkan di lahan hutan negara, sementara hasil hutan bukan kayu lainnya umumnya dibudidayakan oleh masyarakat di lahan sendiri.

8. Gayo Lues

Masyarakat Gayo Lues termasuk yang memanfaatkan berbagai jenis kayu kampung untuk berbagai keperluan

hidup. Kayu-kayu kampung yang umumnya digunakan masyarakat daerah ini seperti kayu arang (50%), meranti (50%), gesang (95%), medang durin (60%), kayu manis (50%), nangka (90%), asam jawa (35%), durian (80%), bayur (50%), pinus (65%), dan mangga (75%). Seperti juga di daerah lain di Aceh, umumnya kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk bahan bangunan oleh 95% responden, pembuatan perabot rumah tangga dan kantor (65%), serta untuk kebutuhan kayu bakar (95%). Kayu-kayu kampung yang dimiliki masyarakat selain digunakan untuk keperluan sendiri (100% responden), juga dijual ke pasar (90%) sehingga masyarakat memperoleh tambahan keuangan. Penggunaan sendiri terhadap kayu kampung oleh masyarakat bisa dilihat karena rumah-rumah masyarakat Gayo Lues umumnya terbuat dari kayu.

Pada lahan-lahan milik, masyarakat daerah ini juga membudidayakan padi (50%) dan palawija (25%) di lahan pertanian. Lahan kebun umumnya ditanami kopi (20%) dan coklat (25%). Sedangkan lahan hutan banyak dikembangkan rotan (60%). Hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan masyarakat Gayo Lues sangat beragam. Selain rotan yang dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh 60% responden, masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti madu (20%), gula aren (30%), rebung (25%) dan tanaman obat (5%). Hasil hutan bukan kayu masyarakat Gayo Lues dikembangkan di lahan milik dan lahan non milik.

Grafik 5.12 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Singkil

36Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

3% 3% 3%

62%

10%

44%

23% 23%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Durian Pete Gambir Karet Sawit Rotan Sige-Sige Damar

Jumlah responden = 39

Page 43: Green Province

Gra

fik 5

.13

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t G

ayo

Lue

s

37Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

50%

50%

95%

5%

10%

60%

0%

50%

5%

90%

35%

80%

50%

65%

15%

75%

5%

Kayu Arang

Meranti

Gesang

Kit Putih

Akasia

Medang Durin

Medang Kemili

Kayu Manis

Pokat

Nangka

Asam Jawa

Durian

Bayur

Pinus

Rambutan

Mangga

Sementok

Jum

lah

resp

onde

n =

20

Page 44: Green Province

Catatan:

Sebetulnya, Gayo Lues adalah penghasil kemiri terbesar di Aceh. Namun, saat ini banyak yang dikonversi menjadi lahan pertanian karena harga kemiri yang rendah. Sayangnya saat survey lapangan dilakukan, data tentang kemiri tidak direspon oleh masyarakat.

Grafik 5.14 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Gayo Lues

9. Aceh Tengah

Seperti halnya Gayo Lues, Aceh Tengah terletak di dataran tinggi Gayo yang kondisi lahannya berbukit-bukit dan berhutan. Walaupun hutan di wilayah ini menghasilkan banyak kayu jenis pinus, masyarakat juga membudidayakan dan memanfaatkan kayu kampung untuk keperluan sehari-hari. Kayu-kayu kampung yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat daerah ini adalah nangka oleh 67% responden, alpokat (72%), mangga (11%), kayu manis (41%), durian (35%), kemiri (9%), temung (17%), petai (57%) dan jeruk (31%).

Semua responden (100%) menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri dan 85% responden mengatakan juga menjual sebagian kayu kampung mereka. Yang menarik adalah 80% responden menggunakan kayu-kayu kampung untuk kayu bakar dan hanya 28% yang menggunakan untuk kebutuhan lain-lain.

38Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

Rotan Getah Karet Tumbuhanobat

Madu Gula Aren Jamur Rebung dll

Jumlah responden = 20

Page 45: Green Province

Gra

fik 5

.15

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t A

ceh

Teng

ah

39Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

67%

72%

11%

41%

35%

9%

2%

17%

57%

31%

Nangka

Pokat

Mangga

Kayu Manis

Durian

Kemiri

Langsat

Temung

Petai

Jeruk

Jum

lah

resp

onde

n =

54

Page 46: Green Province

Sementara untuk lahan-lahan milik, 30% responden menanam palawija dan 9% yang menanam padi di lahan pertanian, sedangkan untuk lahan kebun, 94% responden menanam kopi. Kopi Gayo memang sudah sangat terkenal hingga manca negara dan menjadi mata pencaharian utama mayoritas penduduk di daerah ini. Masyarakat dataran tinggi Gayo juga sudah sangat maju dengan berbagai komoditi pertanian dan hasil hutan non kayu yang mereka budidayakan.

Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan masyarakat antara lain rotan, kunyit, sere, jahe, lengkuwas, temulawak, kencur, bungle, terong belanda dan tanaman obat (lihat grafik 16). Pendapatan masyarakat dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut tidak menentu, kecuali pemanfaatan rotan yang rata-rata bisa diperoleh penghasilan Rp. 100 ribu hingga Rp. 500 ribu perbulan. Sebagian besar pengembangan hasil hutan bukan kayu di daerah ini dilakukan di lahan bukan milik petani.

10. Bener Meriah

Kabupaten Bener Meriah merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah yang juga sama-sama terletak di dataran tinggi Gayo. Kehidupan mayoritas masyarakat daerah ini masih sangat tergantung pada sumberdaya hutan di sekitar mereka. Sebagian besar wilayah kabupaten ini justru berupa hutan dengan berbagai peruntukannya. Jenis-jenis kayu kampung yang dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat daerah ini sangat banyak jenisnya. Jenis-jenis kayu kampung yang sering digunakan seperti jeumpa oleh 65% responden, gerupel (58%), medang kersik (32%), kayu manis (52%), alpokat (42%), tampu (65%), gesing (39%), durian (35%), nangka (29%), rembek (42%), beke (48%), kemiri (42%), selon, medang getah, kayu paya, mindi, tingkem (32%), bayun (29%), pinang, pinus, rambutan, mangga, kelapa, selupik, temung (32%), sementok, kamis, gete, asam jawa dan kayu batak (lihat grafik 5.17).

Grafik 5.16 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tengah

40Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

17%

57%

30%

17% 17%

11%

17%

2%

11%

4%

0%

17%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%R

otan

Kun

yit

Jahe

Sere

Leng

kuas

Tem

ulaw

ak

Ken

cur

Get

ah

Bung

le

Tero

ng B

elan

da

Kar

et

Tum

buha

n ob

at

Jumlah responden = 54

Page 47: Green Province

Gra

fik 5

.17

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t Be

ner

Mer

iah

41Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

65%

58%

3%

32%

52%

19%

45%

26%

65%

39%

3%3%

35%

29%

6%

13%

42%

48%

42%

19%

13%

6%

10%

35%

29%

23%

6%

19%

6%6%

23%

32%

6%

13%

19%

26%

19%

3%

10%

Jeumpa

Gerupel

Medang Durin

Medang Kemili

Medang Kersik

Kayu Manis

Jeruk

Pokat

Nangka

Tampu

Gesing

Asam Jawa

Lambacang

Durian

Nangka

Damar

Dedep

Rembek

Beke

Kemiri

Selon

Medang Getah

Kayu Paya

Mindi

Tingkem

Bayun

Pinang

Pinus

Rambutan

Mangga

Kelapa

Selupik

temung

sementok

kamis

Gete

Asam Jawa

Kayu batak

Rempelem

Jum

lah

resp

ond

en =

31

Page 48: Green Province

Sebagian besar dari kayu-kayu kampung tersebut digunakan oleh responden untuk bahan bangunan (100% responden) dan kayu bakar (100%), tergantung pada jenis dan kualitasnya. Hanya sebagian kecil yang digunakan untuk pembuatan perabot (10%). Selain digunakan untuk keperluan sendiri oleh 94% responden, kayu-kayu kampung tersebut juga dijual kepada masyarakat yang membutuhkannya (90%).

Untuk lahan milik, 52% responden menanam palawija di lahan pertanian dan tidak ada yang menanam padi. Hal ini disebabkan daerah ini tidak mempunyai lahan sawah yang bagus dan subur karena konturnya yang berbukit. Sedangkan lahan kebun mayoritas ditanami kopi oleh 90% responden, dan sebagian kecil ditanami durian. Di lahan hutan, masyarakat memanfaatkan rotan, getah dan kayu. Hasil hutan non kayu yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Bener Meriah antara lain rotan yang dimanfaatkan oleh 26% responden, getah (13%), karet (6%), gula aren (13%) dan rebung (3%) (lihat grafik

5.18). Hasil hutan non kayu tersebut sebagian besar diperoleh dari lahan bukan milik.

Hasil hutan non kayu yang potensial lainnya dan sudah dikenal hádala gula aren, hanya Sangay disayangkan Belem ada pengembangan yang maksimal sehingga pembuatan gula aren dan produk aren lainnya dapat menjadi sumber mata pencaharian yang menjanjikan bagi masyarakat.

11. Aceh Tamiang

Hasil survey memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh Tamiang memanfaatkan beragam jenis kayu kampung untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Kayu-kayu yang dibudidayakan dan dimanfaatkan tersebut seperti durian, jati, rembung, pulai, meku, medang, bayur, cempedak, manuang, kelapa dan legian. Yang paling sering dimanfaatkan adalah durian oleh 98% responden, rembung (100%), dan bayur yang digunakan oleh 76% responden. Kayu-kayu kampung oleh mayoritas responden

Grafik 5.18 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Bener Mariah

42Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

Rotan Karet Madu Jamur dll

Jumlah responden = 31

Page 49: Green Province

Gra

fik 5

.19

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t A

ceh

Tam

iang

43Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

98%

34%

100%

50%

56%

64%

76%

2%6%

56%

54%

2%

12%

6%

24%

Durian

Jati

Rambung

Pulai

Meku

Medang

Bayur

Meranti

Damar

cempedak

manuang

Kemiri

Kelapa

Bintung

Legian

Jum

lah

resp

onde

n =

50

Page 50: Green Province

(98%) digunakan untuk bahan bangunan dan hanya 6% responden yang menggunakannya untuk pembuatan perabot. Selain itu, 98% responden menggunakan kayu-kayu kampung untuk kebutuhan sendiri, dan 84% responden yang menjual kayu-kayu tersebut.

Lahan-lahan yang dimiliki masyarakat difungsikan untuk pertanian, kebun dan hutan. Lahan pertanian ditanami padi oleh 90% responden dan hanya 2% responden yang menanami palawija. Untuk lahan kebun, 98% responden membudidayakan karet dan 34% sawit. Sedangkan lahan hutan banyak dimanfaatkan untuk membudidayakan karet/getah oleh 42% responden dan rotan hanya dikembangkan oleh 4% responden.

Hasil hutan non kayu yang banyak dikembangkan oleh masyarakat adalah karet oleh 96% responden. Hanya 8% responden yang memanfaatkan rotan, 6% getah dan 2% tumbuhan obat. 88% responden menanam karet di lahan milik. Tanaman karet memberikan nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat, dalam waktu satu minggu

dapat menghasilkan mencapai Rp 700.000,- sampai Rp 1.000.000,-

12.Aceh Timur

Seperti halnya wilayah lain di Aceh, masyarakat kabupaten Aceh Timur juga sudah turun-temurun menggunakan kayu kampung untuk berbagai keperluan sehari-hari. Beberapa jenis kayu kampung yang banyak digunakan antara lain pohon kelapa yang digunakan oleh hampir 45% responden. Berikutnya adalah durian (43%), karet (40%), sengon (29%), nangka (18%), mangga (13%), dan beberapa jenis lain yang tingkan penggunaannya kurang banyak.

Kayu-kayu tersebut sesuai dengan kualitasnya digunakan untuk bahan bangunan oleh 53% responden, pembuatan perabot 39%, kayu bakar 26% dan pembuatan perahu sebanyak 1% responden. Sebanyak 58% responden

Grafik 5.20 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Tamiang

44Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%R

otan

Get

ah

Kar

et

Tum

buha

n ob

at

Mad

u

Gul

a A

ren

Jam

ur

Reb

ung

Dll

Jumlah responden = 50

Page 51: Green Province

Gra

fik 5

.21

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t A

ceh

Tim

ur

45Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

1%

11%

1%

18%

13%

29%

45%

3%

43%

1%

6%

3%3%

5%

40%

1%

semantok

meranti

kapok

Nangka

mangga

sengon

kelapa

Rambutan

durian

Sentul

jati

Laban

Kapok randu

krueng

karet

kemiri

Jum

lah

resp

ond

en =

80

Page 52: Green Province

menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri, dan hanya 35% responden yang mengatakan bahwa mereka juga menjual kayu-kayu tersebut.

Pada lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian umumnya ditanami padi dan palawija. Namun, hanya 19% responden yang menyebutkan bahwa lahan pertanian mereka ditanami padi dan 1% palawija. Untuk lahan kebun, 39% responden mengatakan bahwa

lahannya ditanami karet, 24% responden menanam coklat, dan sawit sebanyak 6%. Lahan hutan tidak banyak dimiliki dan dimanfaatkan masyarakat, hanya 6% responden yang mengatakan bahwa lahan hutan mereka rotan, getah (8%) dan kayu (3%).

Demikian halnya dengan hasil hutan non kayu yang belum banyak dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah ini. Dari grafik 22 dapat kita lihat bahwa beberapa jenis hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, karet, dan lain sebagainya tidak banyak dikembangkan oleh responden yang disurvey. Hanya 5% responden yang memanfaatkan getah, 4% karet dan 3% rotan. Walaupun karet sebagai hasil hutan non kayu kurang dikembangkan, namun sebagai komoditas perkebunan, karet menjadi komoditas yang banyak dikembangkan masyarakat Aceh Timur di lahan milik sendiri.

13. Bireuen

Bireuen adalah kabupaten baru yang berkembang sangat pesat di sektor perdagangan karena ia terletak pada segitiga jalur utama Banda Aceh menuju Medan dan Takengon. Hasil pertanian dan kehutanan masyarakat di Aceh Tengah banyak yang dipasarkan ke kota Bireuen. Karena itu, wilayah ini juga bisa dikembangkan menjadi pasar hasil hutan non kayu. Sebetulnya, banyak banyak sekali jenis kayu kampung yang dimanfaatkan masyarakat di wilayah ini. Diantaranya adalah seuntang yang digunakan oleh semua responden (100%). Kemudian 88% responden

Grafik 5.22 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Aceh Timur

46Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

3%

5%

4%

0% 0% 0%

6%

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

Rotan Getah Kar et Gul a A r en Jamur Rebung dl l

Jumlah respo nden = 80

Page 53: Green Province

Gra

fik 5

.23

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t Bi

reue

n

47Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

43%

11%

4%5%

26%

65%

100%

70%

88%

14%

20%

69%

31%

12%

31%

9%11

%

3%2%

45%

Jati

Karet

Meko

Rontoro Gung

Jawardi

Kemiri

Sentang

Sangon

Bayur

Mane

Barat Daya

Durian

Kelapa

Kapuk

Nangka

Mangga

Troem

Mahoni

Damar

Mancang

Jum

lah

resp

ond

en =

111

Page 54: Green Province

menggunakan kayu bayur, 70% memanfaatkan kayu sengon, durian (69%), kemiri (65%), mancang (45%), jati (43%), jawardi (26%) dan lain sebagainya (lihat grafik 5.23).

Sebanyak 99% responden mengatakan bahwa kayu-kayu kampung tersebut digunakan untuk bahan bangunan, 86% untuk pembuatan perabot, 72% digunakan untuk pembuatan perahu, dan untuk kayu bakar digunakan oleh 57% responden. Kayu-kayu kampung tersebut dikatakan oleh 93% responden digunakan untuk keperluan sendiri, dan 97% responden juga menjual kayu-kayu tersebut.

Terhadap lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian digunakan untuk menanam palawija oleh 24% responden, dan hanya 2% responden yang menanam padi. Sedangkan lahan kebun, 75% responden menggunakannya untuk menanam tanaman keras, antara lain tanaman seuntang (100 % responden menggunakan kayu seuntang) Sedangkan lahan hutan, umumnya ditumbuhi oleh pohon-pohonan.

Disamping itu, hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat Bireuen belum beragam. Beberapa jenis yang sudah dimanfaatkan seperti yang terlihat di grafik 5.24 adalah rotan yang dimanfaatkan oleh 67% responden, kemudian madu oleh 65% responden, karet (41%), jernang (34%) dan tanaman obat oleh 1% responden. Untuk tanaman rotan, 62% responden mengatakan bahwa mereka menanamnya di lahan lainnya (bukan milik), demikian juga dengan madu dimana 58% responden mengembangkannya di lahan bukan milik, jernang 35% responden yang memanfaatkannya di lahan bukan milik. Hanya karet yang dibudidayakan oleh 39% responden di lahan miliknya.

14. Pidie

Kabupaten Pidie selama ini dikenal sebagai daerah penghasil kayu kampung endemik seperti sentang, bayur, puenoe, cawardi, dan lain-lain. Kayu-kayu tersebut umumnya digunakan untuk pembuatan rumah Aceh yang 100% bahannya adalah kayu dan bisa bertahan hingga ratusan tahun. Dalam survey ini diketahui bahwa hampir semua responden (100%) memakai kayu seuntang, 81% sering menggunakan kayu bayur, 52% menggunakan cawardi, dan punoe sering dimanfaatkan oleh hampir 48% responden. Demikian juga dengan kayu-kayu kampung jenis lainnya yang tingkat penggunaannya lebih kecil (lihat grafik 5.25).

Pada umumnya letak desa di Kabupaten Pidie (yang terletak di pesisir timur) tidak langsung berbatasan dengan kawasan hutan, karena itu masyarakat sudah terbiasa membudidayakan pohon seuntang di lahan milik sebagai invenstasi. Kebiasaan ini menjadi budaya yang

Grafik 5.24 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Bireuen

48 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Ro tan Karet Jernang M adu Obat-Obatan Jamur Rebung dll

Jumlah responden = 111

Page 55: Green Province

Gra

fik 5

.25

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t Pi

die

49Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

33%

24%

48%

52%

5%5%

19%

5%

14%

14%

14%

29%

14%

33%

81%

100%

Kleu

Jati

Pueno

Cawardi

Meudang Jeumpa

Labam/Mane

Angsana

Sampang

Simata Ulat

Georofhai

Meuleweuk Sentul

Bungo

Kuli

Kapuk

Bayur

Sentang

Jum

lah

resp

ond

en=

21

Page 56: Green Province

perlu dikembangkan sebagai upaya perwujudan green province, bahkan disosialisasikan pada daerah lainnya sehingga perwujudan green province akan menjadi kenyataan

Sebanyak 95% responden di Pidie mengatakan bahwa mereka menggunakan kayu-kayu tersebut untuk bahan bangunan, 33% untuk perabot, dan 29% untuk membuat perahu. Tidak ada responden yang memanfaatkan kayu-kayu kampung tersebut untuk kayu bakar. Disamping itu, 95% responden menggunakan kayu-kayu kampung tersebut untuk keperluan sendiri dan hanya 43% responden yang juga menjual kayu-kayu tersebut.

Mengenai lahan-lahan yang dimiliki masyarakat yang disurvey, lahan pertanian ditanami padi oleh 14% responden dan 5% lainnya menanam palawija. Lahan kebun umumnya ditanami coklat (5% responden), pinang (5%), dan pisang oleh 5% responden. Sedangkan lahan hutan umumnya ditumbuhi oleh tanaman hutan.

Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat

Pidie sangat beragam. Sebanyak 57% responden mengatakan membudidayakan dan memanfaatkan rotan, 48% memanfaatkan tanaman obat, 38% tanaman buah-buahan, 24% jernang, 19% gaharu, 10% madu, serta damar, bambu, punang dan gula aren yang masing-masing dikembangkan dan dimanfaatkan oleh 5% responden. Mengenai lahan yang digunakan untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu tersebut, 19% responden menyebutkan bahwa mereka mendapatkan rotan di lahan bukan milik. Demikian juga hasil hutan non kayu lainnya dimana umumnya dibudidayakan di lahan bukan milik.

15. Simeulue

Kabupaten Simeulu merupakan kabupaten pulau yang terpisah dari daratan Aceh di ujung Pulau Sumatera. Di wilayah ini banyak sekali jenis kayu kampung yang dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Beberapa jenis yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah seperti yang terlihat pada grafik 5.27. Beberapa

Grafik 5.26 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Pidie

50Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

Rot

an

Get

ah

Kar

et

Tum

buha

n ob

at

Tana

man

Bua

h-bu

ahan

Mad

u

Dam

ar

Jern

ang

Bam

bu

Pina

ng

Gah

aru

Gul

a A

ren

Jumlah responden=21

Page 57: Green Province

Gra

fik 5

.27

Kay

u K

ampu

ng Y

ang

Seri

ng D

ipak

ai M

asya

raka

t Si

meu

lue

51Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

65%

79%

10%

92%

31%

11%

10%

17%

5%5%

48%

38%

94%

34%

39%

39%

47%

90%

8%

2%5%

2%

9%6%

57%

Tauhan

Karueng

Sumarala

Balam

Tumoy

Basung

Gilakhang

Bengkireng

Bunot

Uti

Bayut

Simpedak

Ali Fambang

Madang

Dak' u

Nurai

Tuturan

Umawak

Bunot

Lahapang

Lauteneng

Punago

Mofell

Tumoek

Katuko

Jum

lah

resp

ond

en =

124

Page 58: Green Province

diantaranya yang banyak digunakan adalah kayu ali oleh 94% responden, balam (92%), umawak (90%), karueng (79%), tauhan (65%), katuko (57%), dan lain sebagainya.

Semua responden (100%) mengatakan bahwa mereka menggunakan kayu-kayu tersebut untuk bahan bangunan, 90% responden juga memanfaatkan untuk perabot dan 90% untuk perahu. Hanya 1% responden yang menyebutkan bahwa mereka menggunakan juga kayu-kayu tersebut untuk kayu bakar. Responden yang disurvey menggunakan kayu tersebut untuk keperluan sendiri (100%) dan tidak ada responden (0%) yang menjual kayu-kayu kampung tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dahulunya hanya ada satu HPH yang beroperasi sebagai penghasil kayu dari Simelue yaitu HPH Kruing Sakti.

Mengenai lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, lahan pertanian ditanami tanaman padi 66% responden dan 56% responden membudidayakan palawija. Untuk lahan kebun, 86% responden membudidayakan cengkeh dan 9% kelapa.

Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat Simeulu umumnya adalah rotan, dimana 93% responden memaanfaatkannya. Kabupaten Simelue terkenal dengan jenis rotan manaunya. Selain itu, 30% responden memanfaatkan ijuk, 5% gula aren, serta getah, madu, jamur, dan rebung masing-masing dikembangkan oleh 2% responden. Untuk tanaman rotan, 23% responden

membudidayakannya di lahan milik sendiri, dan 73% memperolehnya di lahan hutan negara. Sedangkan ijuk, 56% responden membudidayakan tanaman ini di lahan milik sendiri.

b) Analisa Kecendrungan

1. Kecenderungan akses pasar

a. Kayu KampungKayu-kayu kampung yang dibudidayakan masyarakat umumnya mempunyai harga pasar yang bervariasi dan kompetitif. Namun demikian, harga terhadap kayu kampung ditentukan oleh tersedianya bahan baku dan permintaan dari pasar itu sendiri (suply-demand). Pada masa dimana kayu-kayu hutan dari perusahaan HPH maupun IPK banyak beredar di pasar, pasar cenderung kurang berminat terhadap kayu-kayu kampung. Pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap kayu-kayu hutan yang beredar di pasar. Walaupun demikian, untuk kebutuhan tertentu seperti pembuatan perahu tetap membutuhkan kayu-kayu kampung yang berkualitas tinggi dan tahan lama seperti Seuntang, Manee dan Bayur.

Setelah tsunami, kebutuhan akan kayu-kayu kampung semakin besar untuk memenuhi permintaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tidak ada data valid berapa banyak kebutuhan kayu kampung di Aceh, namun secara umum diperkirakan bahwa permintaannya sangat tinggi. Apalagi setelah Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan tentang moratorium logging pada Juni 2007

Grafik 5.27 Hasil Hutan Non Kayu Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Simelue

52Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Ro tan Getah Ijuk Karet Tumbuhano bat

M adu Gula A ren Jamur Rebung

Jumlah responden =124

Page 59: Green Province

yang berdampak pada berkurangnya pasokan kayu-kayu dari hutan alam Aceh. Kayu-kayu kampung menjadi salah satu pilihan disamping berbagai kayu-kayu lain yang dibolehkan oleh kebijakan moratorium logging, termasuk mengimport dari luar Aceh dan luar negeri.

Dalam konteks ini, kebijakan moratorium logging bisa diasumsikan sebagai peluang pemasaran yang sangat besar untuk produk kayu-kayu kampung dengan harga yang kompetitif tentunya. Namun demikian, hasil survey memperlihatkan bahwa kebanyakan kayu-kayu kampung digunakan untuk kebutuhan sendiri oleh masyarakat desa. Hanya sebagian masyarakat yang menjual kayu-kayu tersebut ke pasar.

b. Hasil hutan non kayuPasar hasil hutan non kayu belum terbangun dengan bagus di Aceh. Hal ini berkaitan dengan belum berkembangnya sektor produksi, baik hulu maupun hilir secara optimal di Aceh pasca konflik dan tsunami. Hasil hutan non kayu sebetulnya termasuk bahan baku yang diproduksi pada tahap awal (hulu). Belum berkembangnya produksi hasil hutan non kayu menyebabkan industri pengolahan hasil hutan non kayu juga belum berkembang. Yang sudah terjadi saat ini adalah hasil hutan non kayu tersebut dijual ke Medan sebagai pasar utama yang menampung bahan baku dari hasil hutan non kayu dari Aceh. Seperti kemiri yang sangat banyak dihasilkan di Gayo Lues, yang hasil mentahnya dijual ke Medan dengan harga yang relatif murah dan tidak menguntungkan petani. Padahal, kalau dikembangkang industri pengolahannya, maka nilai tambah dari produk ini tentu akan menguntungkan banyak pihak, termasuk petani.

Beberapa pemerintah kabupaten sebetulnya sudah mulai memikirkan tentang pengembangan hasil hutan non kayu ini berserta dengan pengembangan industri pengolahannya. Namun, sampai saat ini wujudnya belum terlihat. Seandainya, industri pengolahan hasil hutan non kayu dikembangkan oleh pemerintah bersama masyarakat, maka pasar hasil hutan non kayu pun akan berkembang dan bisa diakses hingga pasar manca negara. Misalnya pasar rotan dan berbagai produk yang terbuat dari rotan yang tingkat permintaannya di luar negeri sangat tinggi. Demikian juga dengan berbagai produk lainnya yang sangat terbuka peluang untuk ditingkatkan nilai tambahnya melalui pengembangan industri pengolahan hasil hutan non kayu di berbagai kabupaten di Aceh.

2. Kecenderungan pilihan jenis komoditas

a. Kayu kampungAgak sulit menilai kecenderungan ini karena kayu-kayu kampung yang dipanen saat ini umumnya sudah ditanam selama lima belas hingga tiga puluh tahun yang lalu oleh masyarakat. Sehingga pilihan jenis komoditas yang ditanam pun mengikuti kecenderungan atau trend saat itu. Hasil survey memperlihatkan bahwa jenis-jenis kayu

kampung yang dibudidayakan masyarakat berbeda-beda di setiap kabupaten di Aceh. Kecenderungan ini umumnya disebabkan oleh jenis-jenis endemik yang tumbuh di setiap kabupaten berbeda-beda. Misalnya Seuntang, Bayur, dan Punoe merupakan jenis endemik di kabupaten-kabupaten di pesisir utara dan timur Aceh. Demikian juga jenis-jenis lain yang banyak ditemui di wilayah pesisir barat-selatan Aceh.

Namun demikian, ada beberapa kecenderungan yang bisa dilihat dari berkembangnya jenis-jenis kayu kampung tertentu di masing-masing kabupaten, yakni (1) kebiasaan masyarakat (local wisdom) yang menanam jenis-jenis pohon tertentu menurut kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Kebiasaan ini kemudian berkembang dan dilakukan secara turun-temurun. Walaupun dalam perkembangannya, penanaman jenis-jenis kayu kampung tertentu tidak lagi diwarnai oleh kepercayaan pada nilai-nilai lokal. (2) Kebiasaan masyarakat dalam membuat rumah atau perahu berkaitan erat dengan jenis-jenis kayu yang dibudidayakan di daerah mereka. (3) Jenis dan kesuburan tanah yang berdampak pada kemampuan hidup jenis-jenis pohon tententu.

Hasil survey memperlihatkan bahwa hampir di semua kabupaten, masyarakat lebih banyak menggunakan kayu-kayu kampung untuk kebutuhan sendiri. Walaupun sebagian juga dijual ke pasar. Hal ini menunjukkan bahwa kayu-kayu kampung yang dibudidayakan di sebagian masyarakat juga dianggap sebagai tabungan yang jika dibutuhkan bisa ditebang untuk dijual atau digunakan sendiri.

b. Hasil hutan non kayuHasil survey memperlihatkan bahwa sebagian besar hasil hutan non kayu diperoleh dari lahan bukan milik. Artinya, kebanyakan hasil hutan non kayu di Aceh belum dibudidayakan secara intensif. Masyarakat memperoleh hasil hutan non kayu tersebut dengan mencarinya di hutan negara. Dengan demikian, jenis-jenis hasil hutan non kayu yang diperoleh pun tergantung pada alam. Di banyak kabupaten di Aceh berdasarkan hasil survey memperlihatkan bahwa rotan merupakan hasil hutan non kayu yang paling banyak digunakan dan umumnya diperoleh dari kawasan hutan negara. Beberapa jenis lainnya belum banyak berkembang. Melihat kondisi ini, maka bisa dikatakan bahwa jenis-jenis hasil hutan non kayu yang ada di masyarakat belum berkembang secara bagus. Hal ini tentu berkaitan dengan banyak faktor seperti pasar dan akses pasar, permodalan,

3. Kecenderungan Dukungan Kebijakan Pemerintah

a. Kayu KampungDukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk apapun akan berpengaruh pada budidaya dan penggunaan kayu-kayu kampung oleh masyarakat. Ketika pemerintah mendorong reboisasi melalui pengembangan kayu

53Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 60: Green Province

kampung misalnya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada semakin banyaknya kayu-kayu kampung yang dikembangkan masyarakat lokal. Demikian juga tatkala penyuluhan tentang pengembangan kayu-kayu kampung kepada masyarakat gencar dilakukan, maka ia akan berdampak pada semakin banyaknya produksi kayu-kayu kampung dalam sepuluh hingga duapuluh tahun ke depan.

Kebijakan moratorium logging yang dikeluarkan Pemerintah Aceh secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada penggunaan kayu-kayu kampung, walaupun tidak begitu terlihat dalam survey ini. Namun, ketika kebijakan moratorium logging diberlakukan yang kemudian diikuti dengan dukungan kepada masyarakat untuk mengembangkan kayu-kayu kampung, maka hasilnya akan terlihat dalam beberapa waktu kedepan.

b. Hasil hutan non kayuHal yang sama juga bisa dilihat dari pengembangan hasil hutan non kayu. Kebijakan pemerintah sangat berpengaruh pada kegiatan pengembangan hasil hutan non kayu di Aceh. Inisiatif masyarakat dalam pengembangan HHNK ini sebetulnya sudah berkembang, namun masih terbatas pada jenis-jenis HHNK yang sudah biasa dikembangkan masyarakat dan belum dikelola secara profesional. Hasil survey memperlihatkan bagaimana sangat sedikit jenis-jenis HHNK yang dikembangkan masyarakat di Aceh. Karena itu, dorongan dan dukungan kebijakan dan program pemerintah akan memicu kegairahan masyarakat dalam mengembangkan HHNK, dan pasar juga akan bergairah dalam membeli berbagap produk HHNK masyarakat.

c) Peluang Pengembangan Kayu Kampung dan Hasil Hutan Bukan Kayu di AcehPeluang pengembangan kayu kampung dan hasil hutan non kayu di Aceh masih sangat besar, mengingat banyak kondisi yang mendukung proses pengembangan tersebut. Kebutuhan kayu sampai kapanpun tidak akan berhenti dan ada kecenderungan selalu meningkat. Demikian juga dengan produk hasil hutan non kayu yang sebelumnya tidak banyak dikembangkan di Aceh karena kondisi konflik yang berkepanjangan. Saat ini berbagai kondisi sudah mendukung pengembangan ekonomi rakyat melalui budidaya kayu kampung dan HHNK. Beberapa peluang yang mendukung pengembangan kayu kampung dan HHNK di Aceh adalah sebagai berikut:

1. Peluang Pasar

Peluang pasar terhadap kayu-kayu kampung dan hasil hutan non kayu masih sangat besar, baik pasar lokal maupun pasar manca negara. Untuk kayu-kayu kampung umumnya terserap habis di pasar lokal. Sementara hasil

hutan non kayu dan produk industri olahannya masih sangat terbuka untuk dikembangkan dan bisa diekspor ke luar negeri. Contohnya rotan yang belum banyak dikembangkan di Aceh, sangat terbuka peluang untuk dibudidayakan dan diolah menjadi berbagai barang jadi seperti furniture, dan sebagainya. Produk-produk rotan Indonesia kini diminati diberbagai negara. Karena itu, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor rotan mentah karena industri rotan di dalam negeri kekurangan bahan baku. Hal yang sama juga terbuka peluang untuk berbagai produk hasil hutan non kayu lainnya.

2. Peluang Pengembangan Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan terhadap kayu kampung sangat tergantung pada jenis-jenis yang banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga peluang pengembangan kayu kampung bisa disesuaikan dengan permintaan pasar di satu sisi, dan memperhatikan kondisi jenis endemik yang mudah tumbuh di daerah tertentu. Kayu-kayu unggulan yang bisa dibudidayakan di kampung seperti Seuntang, Bayur, Manee, dan lain-lain perlu terus didorong untuk dibudidayakan oleh masyarakat kampung. Demikian halnya untuk kayu-kayu cepat tumbuh yang bagus untuk produk tertentu seperti sengon juga bisa dibudidayakan di daerah-daerah tertentu. Hasil survey memperlihatkan bahwa komoditas unggulan yang banyak dimanfaat oleh masyarakat di setiap kabupaten berbeda-beda. Pemerintah dan semua pihak perlu mendorong masyarakat di Aceh untuk membudidayakan jenis-jenis unggulan seperti yang diperoleh dari hasil survey ini.

Untuk hasil hutan non kayu, komoditas unggulan yang terlihat dari hasil survey ini juga sangat beragam dan berbeda untuk masing-masing kabupaten. Rotan adalah komoditas unggulan yang dibudidayakan dan dimanfaatkan di hampir semua kabupaten di Aceh. Namun demikian, pengembangan komoditas unggulan dari hasil hutan non kayu belum dikelola secara bagus. Budidaya HHNK masih dilakukan secara tradisional atau membiarkannya hidup bebas di hutan alam. Dengan kata lain, hasil hutan non kayu di Aceh belum dikelola secara profesional dan menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Pengelolaan HHNK sebetulnya bukan saja di level produksi bahan mentah berupa produk yang dihasilkan langsung dari hutan, tetapi bagaimana proses selanjutnya, yakni pengolahan menjadi barang jadi yang bisa dijual kepada konsumen. Misalnya rotan harus diolah menjadi berbagai peralatan perabot dan sebagainya yang akan meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat.

3. Tersedianya Lahan yang Luas

Di Aceh, lahan hutan dan lahan milik masih sangat luas dibanding dengan jumlah penduduknya. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata di Aceh masih rendah, sehingga ketersediaan lahan untuk membudidayakan

54Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 61: Green Province

kayu kampung dan hasil hutan non kayu masing sangat luas. Masyarakat pedesaan di Aceh rata-rata mempunyai pekarangan dan kebun yang luas yang bisa ditanami dengan kayu-kayu kampung. Sementara budidaya hasil hutan non kayu juga bisa dilakukan di hutan-hutan negara dan lahan milik.

4. Tersedianya Tenaga Kerja Lokal Yang Cukup

Sebetulnya, masyarakat kampung mengembangkan kayu-kayu kampung dan hasil hutan non kayu secara swadaya, yakni dilakukan sendiri dengan menggunakan tenaga kerja domestik (keluarga). Pengelolaan hutan oleh masyarakat kampung dillakukan berbasis keluarga. Sehingga, seluruh anggota keluarga dewasa bisa dijadikan sebagai tenaga kerja lokal yang potensial dalam pengembangan kayu-kayu kampung dan hasil hutan non kayu. Penggunaan tenaga kerja berbasis keluarga juga akan mengurangi biaya produksi dalam pengembangan kayu kampung dan HHNK.

5. Dukungan Pemerintah

Kebijakan moratorium logging adalah sebuah dukungan kebijakan dalam rangka memperbaiki sistem pengelolaan hutan Aceh yang rusak akibat kesalahan kebijakan masa lalu. Kebijakan moratorium logging juga membuka peluang bagi penggunaan kayu kampung dan hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh. Ketika kayu-kayu hutan melalui berbagai perizinan dilarang, maka kayu-kayu kampung adalah jenis kayu yang diizinkan penggunaannya. Disamping itu, pengembangan hasil hutan non kayu sudah mendapat dukungan kebijakan dari Pemerintah Aceh, termasuk kabupaten/kota di Aceh. Kabupaten Pidie misalnya, sudah mengalokasikan anggaran sekitar 3 miliar rupiah pada tahun 2008 untuk pengembangan industri rotan.

5.2 Kelembagaan dan Kearifan Lokal

1. Hasil Survey

Berdasarkan hasil survey dan interview yang dilakukan pada 17 kabupaten, ternyata hanya didapatkan 10 kabupaten yang memberikan tanggapan terhadap kelembagaan dan kearifan lokal. Hasilnya adalah sebagai berikut:

a) Bener MeriahSurvey dilakukan dari rumah ke rumah. Survey dilakukan pada masyarakat yang ada di perkebunan (karena sebagian besar adalah petani kopi). Di daerah ini struktur sosial kemasyarakatan sudah plural atau dengan kata lain majemuk dengan keanekaragaman suku dan agama. Kemajemukan ini membuat semakin tipisnya kelembagaan adat Aceh pada daerah tersebut, terutama urusan adat terhadap pengelolaan hutan.

b) Aceh TengahSaat ini kearifan lokal telah mulai pudar. Kepala Adat bersinggungan dengan kewenangan. Hal ini berkaitan dengan UU No. 5 tahun 1974 (walaupun UU ini telah tidak terpakai lagi) mengenai Desa yang masih berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Aceh Tengah. Jika mengacu pada UU No. 5 tahun 1974 tersebut, pengaruh Ketua Adat mulai terkikis dengan sendirinya karena fungsi tersebut beralih kepada Kepala Desa yang lebih berwenang pada urusan pemerintahan.

Contoh peraturan dari Kepala Kampung adalah kayu boleh diambil dari kawasan dengan pohon yang telah rebah dan dimanfaatkan hanya untuk kayu bakar, rumah dan tidak untuk komersil.

c) Gayo LuesHukum adat masih ada di kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, penerapan hukum adat di dareah ini tidak begitu maksimal terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan. Bentuk struktur masyarakat yang telah heterogen membuat penerapatan hukum adat itu sendiri pada pemanfaatan hutan tidak begitu berjalan dengan baik.

Salah satu kearifan tradisional yang berhubungan dengan pemanfaatan kayu adalah pelaksanaan Kenduri yang dilakukan sebelum ada pengambilan kayu dari hutan.

Kenduri dilakukan dengan pawang hutan. Pawang hutan adalah orang yang memberikan kewenangan yang boleh masuk ke hutan.

d) Aceh TenggaraLain halnya dengan beberapa kabupaten lain yang pada umumnya kelembagaan masyarakat mulai terkikis dengan berkembangnya zaman. Tetapi untuk Aceh Tenggara, kearifan lokal masih dimiliki oleh 7 Desa.

Sudah ada peraturan desa tentang pelarangan penangkapan ikan dengan bahan peledak, racun, listrik dari baterry (nyetrom). Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ikan sepanjang tahun. Aturan lain yang berlaku adalah dilarangnya untuk menebang pohon di tempat-tempat yang terdapat sumber mata air. Salah satu desa yang menerapkan ini adalah Desa Leunbang Indah, dimana para pelanggar dikenakan sangsinya.

Sayangnya, banyak aturan-aturan tersebut tidak direkam atau didokumentasikan dengan baik, sehingga hanya orang-orang tua saja yang masih mengetahui aturan-aturan tersebut. Pranata kelembagaan adat hampir tidak ada, tetapi kelembagaan desa efektif bekerja sesuai fungsinya yaitu mengatur kewenangan terhadap pemerintahan desa.

Istilah untuk Pawang lebih digunakan untuk seseorang yang mampu menaklukan Hewan. Tetapi untuk hutan lebih digunakan sebagai pengulutan (orang “pintar” tentang hutan).

55Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 62: Green Province

e) Aceh Besar Di daerah Aceh Besar kearifan lokal masih tetap berlaku. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Kayu-kayu yang sifatnya banyak fungsinya bagi 1. masyarakat dilarang untuk ditebang.Khusus untuk penanaman lada, maka dilakukan di 2. luar kawasan hutan. Adanya larangan penebangan di sekitar sungai. 3. Kebun-kebun durian diberi tanda dengan beton. 4. Masyarakat yg masuk ke hutan harus memliki ijin 5. dari hulubalang. Masyarakat yang ingin buka ladang, selama 5 tahun 6. tidak ditanam tanaman kayu keras, ladang akan kembali diserahkan ke desa. Dalam kawasan berlaku hukum kehutanan, di luar 7. kawasan berlaku hukum adat.

Masyarakat di Aceh Besar memahami terhadap manfaat dari kearifan lokal, terutama terhadap ketersediaan air. Pengalaman yang dialami masyarakat yaitu dulu air tidak pernah kering, tapi sekarang sudah mulai kering.

f) Aceh TimurDi daerah Aceh Tmur, masyarakat memiliki kebiasaan dalam pemanfaatan kayu arang. Sambil menunggu panen tambak, masyarakat mengambil kayu bakau. Kemudian direndam selama 2 minggu agar kulit terlupas. Setelah itu dijual kepada dapur arang. Kearifan lokal dalam hal melestarikan hutan yang ada hampir tidak ada lagi. Yang ada hanya kekuasan. Siapa yang berkuasa, itu yang bisa menentukan pemanfaatan sumber daya hutan. Penduduk hanya pekerja, walaupun ada sebagai pemodal, tapi sangat sedikit sekali.

Kearifan lokal lebih pada budaya atau adat istiadat dan bukan kepada pengelolaan hutan. Kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk menebang daripada mengikuti kearifan lokal. Kebiasaan yang sering terjadi adalah masyarakat selalu melakukan penebangan kayu di dalam hutan pada saat menunggu getah karet matang (4 tahun). Kegiatan ini berulang dengan bertambahnya anggota keluarga.

g) Aceh TamiangKearifan lokal yang sifatnya berhubungan langsung dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan hampir nyaris tidak ada. Adat istiadat lebih banyak dikaitankan dengan budaya dan agama. Pawang oetan hanya berfungsi untuk menjaga hutan. Untuk daerah Aceh Barat, Gayo Leso, Bener Meriah pawang oetan atau disebut penghulu oetan berfungsi sebagai pembagi hutan. Tetapi mengenai bagaimana mengelola hutan itu sendiri dari masyarakat sebenarnya tidak ada.

h) SimeluePenetapan hutan gampong belum ada, walaupun begitu masyarakat selalu klaim bahwa baik dalam kawasan

maupun di luar kawasan adalah dianggap sebagai hutan kampung. Namun pada beberapa areal yang tidak mempunyai potensi kayu, maka pada umumnya tidak diklaim sebagai hutan kampung oleh masyarakat.

Kearifan lokal secara tertulis tidak ada. Hanya pada umumnya apabila ada pembukaan hutan di suatu desa, jika dalam 5 tahun tidak digarap, maka lahan dikembalikan kepada Desa.

i) Aceh BaratKearifan lokal tidak ada. Struktur kelembagaan untuk pengelolaan hutan secara sendiri-sendiri untuk kepentingan sendiri misalnya untuk gubuk atau rumah.

2. Melihat Lebih Jauh Kelembagaan Masyarakat Aceh Berdasarkan dari hasil survey yang telah dilakukan, maka dalam bagian ini penulis mencoba untuk melihat lebih jauh peran kelembagaan masyarakat Aceh. Hasil tulisan ini merupakan kutipan dari sumbangan pemikiran dari H. Taqwadin1 dari Universitas Syiahkuala yang telah menekuni mengenai kelembagaan dan hukum adat di Aceh.

Adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas diantara para fungsionarisnya merupakan salah satu indikasi dan ciri dari telah modernnya system pengelolaan pemerintahan Aceh masa lalu. Hal ini sebagaimana tergambar jelas dalam arti:

Adat Bak Poe Temeuroehom (raja/pemerintah)1. Hukum Bak Syiah Kuala (ulama)2. Qanun Bak Putro Phang (perempuan)3. Reusam Bak Lakseumana (tentara).4.

Empat tokoh di atas, (Poe Temeuroehom, Syiah Kuala, Putro Phang, Lakseumana) adalah figur-figur utama dengan fungsinya masing-masing yang mengelola kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan Aceh masa lalu.

Sebagai catatan tambahan, dapat pula ditengarai bahwa adanya keterlibatan peran Putro Phang – sebagai simbol perempuan -- dalam proses penyusunan qanun (peraturan perundang-undangan) menunjukkan bahwa masyarakat Aceh doeloe pun telah menyediakan porsi tertentu bagi kaum perempuan untuk berkiprah di dalam

Kutipan tulisan tersebut adalah sebagai berikut:

Masyarakat Aceh tempoe doeloe, paling tidak sejak masa kejayaan Sultan Iskandar Muda telah membuktikan keberadaan system manajemen pengelolaan kehidupan masyarakatnya (pemerintahan) yang ekselen (excelent). Sekalipun kalau ditilik dari perspektif waktu, bisa dikatakan sudah sangat lama, tetapi system pemerintahan masyarakat Aceh pada waktu itu dapat dikatakan masuk dalam kategori modern.

56Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

1Disadur dan dikutip dari makalah “Manajemen Kepemimpinan Lembaga Adat Uteun di Aceh”, oleh H. Taqwaddin, SH, SE, MS, CD. Makalah tersebut disampaikan pada Pelatihan Sumber Daya Manusia dan Simulasi Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, Lembaga Hukum Adat Uteun di Kabupaten Aceh Barat, Dilaksanakan oleh BRR – Ar Rijal Institute, Meulaboh, 26-29 Nopember 2007 dan 10-11 Desember 2007

Page 63: Green Province

masyarakatnya. Sehingga sesungguhnya, apa yang akhir-akhir ini gencar diintrodusir oleh kalangan luar tentang issu kesetaraan gender dan porsi persentase peran perempuan dalam ranah public, sebenarnya bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh.

Selanjutnya, pada level pemerintahan yang lebih rendah pun terdapat pembagian kekuasaan yang jelas dan saling melengkapi. Pada wilayah kemukiman dikenal adanya tiga figure utama yang menjalankan roda pemerintahan, yaitu Imum Mukim, Imum Mesjid, dan Tuha Lapan. Demikian pula pada tingkat gampong dikenal adanya tiga tokoh sentral, yaitu keuchiek, imum meunasah, dan tuha peut.

Patut juga dipertanyakan mengapa angka “empat” dan “delapan”, bukan angka lima atau angka sembilan, yang dijadikan acuan simbolik lembaga musyawarah tuha peut dan tuha lapan dalam demokratisasi level gampong ataupun mukim.

Angka empat dan angka delapan tersebut mengacu pada arah mata angin. Angka empat dalam terminology Tuha Peut didasarkan pada empat arah mata angin, yaitu barat, timu, tunong, dan baroeh. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat masih kecilnya wilayah area sebuah gampong, sehingga dianggap cukup akomodatif jika representasi anggota tuha peut berasal dari empat sudut (sago/jurong).

Sedangkan pada level mukim yang memiliki wilayah yang lebih luas dan menghimpun beberapa gampong, dirasa tak cukup memadai lagi kalau anggota lembaga musyawarahnya hanya diwakili berasal dari empat sudut (sago) mata angin saja sebagaimana di gampong, tetapi memerlukan dua kali lipat daripadanya, yang hal ini juga sesuai dengan delapan arah mata angin, yaitu barat, timur, utara, selatan, tenggara, timur laut, barat daya, dan barat laut.

Merujuk pada arah mata angin itulah, maka anggota lembaga musyawarah gampong dan mukim berasal. Mulanya, dari segi kuantitas keanggotaan, hal ini dapat dimaklumi. Namun kemudian, dari sisi kualitas personal lembaga musyawarah gampong dan mukim (tuha peut dan tuha lapan) menuntut adanya proporsional kapasitas diantara para anggotanya. Sehingga pertimbangan keterwakilan menjadi tidak saja mengacu pada sago-sago sesuai dengan arah mata angin atau jurong, tetapi juga perimbangan berdasarkan kapasitas personal. Bahkan akhir-akhir ini pertimbangan kapasitas personal malah lebih menjadi pertimbangan keterwakilan. Sehingga Tuha Peut sekarang tidak lagi mewakili sago atau jurong, tetapi mewakili unsure-unsur: tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan cerdik pandai.

Berdasarkan gambaran sederhana di atas, maka dapatlah dipahami dan dijadikan “bukti” bahwa system pemerintahan adat masyarakat Aceh masa lalu telah bersifat federalistik. System pemerintahan federalisme ala Aceh tempoe doeloe lebih memberikan kepercayaan,

kewenangan dan otonomi yang luas kepada para fungsionaris yang membawahi suatu daerah tertentu (juroeng) atau suatu urusan tertentu (peutua adat).

Kepemimpinan Lembaga Adat Uteun di AcehDalam masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga adat, yang masing-masingnya berfungsi sektoral mengurusi urusan tertentu. Lembaga-lembaga dimaksud telah eksis, diakui dan dipatuhi oleh masyarakatnya sejak dahulu. Bahkan sekarang, dengan diundangkannya Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, yang selanjutnya diundangkan pula Qanun 4/2003 tentang Pemerintahan Mukim dan Qanun 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong, sehingga keberadaan lembaga adat tersebut semakin mendapat pengukuhannya.

Adapaun lembaga-lembaga adat dimaksud, dan yang masing-masingnya dipimpin oleh tokok-tokoh yang cakap dibidang tertentu, yang ditunjuk oleh Imum Mukim dan/atau dengan kesepakatan anggota komunitasnya, yaitu :

Tabel 5.1 Lembaga Adat Di Provinsi NAD

No Lembaga Adat Pimpinan

1 Adat Pemerintahan Mukim Imum Mukim

2 Hal Meu Ibadah Di Kemukiman Imum Meusjid

3 Adat Musyawarah Mukim Tuha Lapan

4 Adat Pemerintahan Gampong Geusyik

5 Hal Meu Ibadah Di Gampong Imum Meunasah

6 Adat Musyawarah Gampong Tuha Peut

7 Adat Uteun/GleePanglima Uteun/

Kejruen Glee

8 Adat Sinebok Peutua Sineubok

9 Adat Blang Kejruen Blang

10 Adat Laot Panglima Laot

11 Adat Peukan Haria Peukan

12 Adat Meuikat Jalo/Boot Syahbanda

Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu :

Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala 1. Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong.Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang 2. mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman. Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari 3. tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin 4.

57Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 64: Green Province

dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong.Imeum Meunasah/ Teungku Gampong adalah 5. pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong. Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota 6. musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong.Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan 7. pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin 8. urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang 9. mengatur tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur 10. ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur 11. urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat 12. yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.

Tugas dan tanggung jawab Panglima Uteun / Kejruen Glee:Dari segi kepemilikan, orang Aceh membedakan tiga status tanah, yaitu tanoh dro, tanoh gob, dan tanoh poteu Allah. Adanya perbedaan semacam ini menurut van Vollenhoven (hal 195, jilid I, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie) mungkin sekali disebabkan oleh kuatnya pengaruh agama Islam. Sehingga selain tanah milik orang yaitu tanah yang telah dikerjakan atau digarap oleh orang lain, maka semuanya adalah tanah milik Allah (tanoh Poteu Allah, tanoh Hak Kullah).

Kelompok tanah poteu Allah inilah yang oleh masyarakat adat diklaim sebagai hak ulayat. Yang salah satu wilayahnya adalah uteun adat. Dalam kelompok tanah yang belum dikerjakan ini, oleh Jacobe dalam kepustakaan De Atjehers (Het Familie-enkampoengleven op Groot Atjeh) termasuk :

Rimba (Bhs Gayo dan Alas : Rimbe) yaitu hutan 1. belantara di pedalaman yang belum diusahakan

orang, tempat anak negeri mengambil hasil hutan.Uteun (Bhs Gayo : Uten) adalah hutan-hutan tertentu 2. dan pada umumnya telah diberi nama.Tamah (Bhs Gayo dan Alas : Tamas) yaitu hutan muda 3. pada tanah yang sudah seringkali dikerjakan untuk ladang dan di atasnya telah tumbuh tunas-tunas kayu (taro’).Padang yaitu padang yang tidak ditumbuhi oleh kayu-4. kayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumputan yang belum seluruhnya digarap, dan biasanya berada di sekeliling lingkungan sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat hewan-hewan merumput, atau untuk dijadikan kebun.Paya atau bueng yaitu tanah-tanah paya, ke dalam 5. golongan ini termsuk juga hutan-hutan rawa (suwa’) di daerah-daerah pesisir.

Dengan demikian, menurut Hukum Adat Aceh, semua tanah – termasuk hutan -- yang berada dalam wilayah sesuatu mukim, selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanah hak ulayat atau hutan adat (tanoh poeteu Allah, hak kullah atau uteun adat). Hutan adat dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat kemukiman. Setiap warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk gampongnya.

Sehubungan dengan hal ini, Snouck Hurgronje menuliskan dalam bukunya de Atjehers (1893), yaitu : Barang siapa hendak menggarap rimba ataupun hendak mengumpulkan hasil-hasil hutan (termasuk: berburu dan mencari ikan) adalah bebas seluruhnya. Satu-satunya pembatasan kebebasan tersebut itu ialah jika seseorang hendak membuka ladang, kebun atau sawah yang letaknya berdekatan dengan tanah yang telah digarap orang lain, haruslah ia meminta keizinan kepadanya atau kepala daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh izin itu tidak perlu dibayar apa-apa; hanya saja di masa dahulu dari penghasilan-penghasilan yang dikumpulkan itu harus dibayar cukai biasa (wasee) kepada ulee balang.

Dalam beberapa literatur lama, diterangkan beberapa tugas utama yang harus dilakukan oleh panglima uteun atau menurut istilah orang Pidie dinamakan dengan Kejruen Glee, yaitu :

Menyelenggarakan adat glee1. yaitu menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat (meuglee), serta upaya berburu rusa (meurusa). Pawang glee (bawahan Kejruen Glee) memberi nasihat dan petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, mendapat bahaya gangguan dari jin dan binatang-binatang buas.Mengawasi dan menerapkan larangan adat glee2. , yaitu: dilarang memotong pohon tualang, kemuning,

58Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 65: Green Province

keutapang, glumpang, beringin dan lain-lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja. Tanda larangan orang banyak. Dilarang memotong sebatang kayu dala rimba/hutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda (kode) bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Memungut wasee glee3. . Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri (dijual), damar, dan sebagainya. Besarnya wasee (cukai) adalah 10 % untuk radja (negara).

Menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan (musapat), kejruen terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan.

Mekanisme Penyusunan Program Kerja Lembaga Adat Uteun Adalah suatu fakta bahwa eksistensi lembaga adat uteun akhir-akhir ini nyaris tak terdengar, terabai dan tak terpedulikan. Rusaknya hutan, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya bencana banjir di berbagai daerah kabupaten di Aceh merupakan suatu bukti betapa melemahnya atau bahkan menghilangnya peran panglima uteun dalam melakukan pengawasan terhadap hutan adat di sekitarnya.

Padahal hukum nasional bidang kehutanan telah memberikan pengakuan yang tersurat jelas terhadap keberadaan hutan adat dan masyarakat hukum adatnya. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU 41/1999 disebutkan bahwa sepanjang kenyataan hutan adat dengan hak ulayatnya masih ada dan diakui keberadaannya, maka selama itu pula negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat. Jadi syaratnya adalah ada fakta, ada pengakuan, dan adanya masyarakat hukum adat. Tentu saja persyaratan ini akan semakin lengkap apabila disertai dengan adanya program kerja lembaga adat uteun.

Mencermati catatan-catatan dalam literatur sebelum kemerdekaan, di Aceh telah lama ada dan diakui

keberadaan hak ulayat atas tanah, hutan, pantai, sungai, alur, dan lain-lain, yang antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai nama yang berbeda-beda. Masalahnya, keberadaan fakta (de facto) saja tidak cukup, tetapi harus pula disertai dengan pengakuan secara hukum (de jure). Jadi harus ada aturan hukum yang menegaskan bahwa hak-hak ulayat dari masyarakat hukum adat tersebut memang senyatanya telah diakui.

Pengakuan hukum tersebut dapat tertera dalam Qanun Provinsi atau Qanun Kabupaten atau pada peraturan yang lebih rendah. Sehingga dengan adanya pengakuan juridis ini akan menjadi jelas apa, dimana, berapa luas, dan berbatasan dengan apa wilayah hutan adat hak ulayat masyarakat gampong atau mukim. Malah sebaiknya, setiap kabupaten di Aceh memiliki peta hak ulayat atau hutan adat masyarakatnya.

Pengakuan de jure ini menjadi makin penting, yaitu, misalnya, manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat. Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor.

Di Aceh, pengakuan de jure tentang keberadaan Mukim dan Gampong sebagai masyarakat hukum adat telah mendapat penegasan juridis dengan telah diundangkannya qanun tentang hal ini beberapa tahun lalu (Qanun Aceh 4/2003 dan 5/2003). Sehingga, alasan pengaturan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat dalam hal pemberian izin HGU kepada para investor perkebunan, HTI atau yang lain-lainnya, dengan tanpa mempertimbangkan eksistensi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Aceh tidak boleh lagi terjadi.

Idealnya, dalam Qanun Perkebunan atau Qanun Kehutanan yang akan datang mesti ditegaskan perlunya mempertimbangkan keberadaan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat terhadap tanah, sungai, alur, bukit, hutan, dan lain sebagainya sebelum izin prinsip dikeluarkan oleh pemerintah. Karenanya, saran atau rekomendasi dari Imum Mukim dan panglima uteun sebagai pimpinan masyarakat adat sekitar hutan patut didengar dalam proses pengambilan keputusan yang partisipatif. Sehingga dengan sejak dini dilibatkannya peran mukim dan panglima uteun atas nama masyarakat tempatan, maka sebenarnya tak boleh lagi ada perampasan atau kesemena-menaan terhadap hak ulayat gampong atau mukim.

5.3 Industri dan Perizinan Kehutanan

Berdasarkan hasil survey dan konsultasi dengan masyarakat di 17 kabupaten, hanya masyarakat yang berada di 12 kabupaten yang memberikan informasi mengenai industri dan perizinan kehutanan yang berlaku di daerah setempat. Hasil tersebut adalah sebagai berikut:

59Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 66: Green Province

a) Bener MeriahDi kabupaten ini masyarakat mengemukakan bahwa ada sekitar 12 meja bandsaw yang dimiliki oleh Perusahaan PT. Tusam Hutan Lestari, tetapi yang akitf hanya 5 bandsaw.

Jeni pohon Pinus masih dianggap oleh masyarakat telah tumbuh dan besar sebelum masyarakat menempati daerah tersebut sehingga masyarakat meminta agar pinus dimasukan sebagai kayu gampong.

b) Aceh TengahDi daerah kabupaten Aceh Tengah, terutama di delapan (8) kampung yang dikunjungi selama kegiatan survey, diperoleh beberapa peraturan mengenai pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Dari 78 responden yang diwawancarai menyatakan bahwa masyarakat tidak begitu mengetahui kebijakan-kebijakan kehutanan dari Propinsi. Masyarakat dari Kabupaten Aceh Tengah mengusulkan agar Pinus dapat menjadi daftar kayu kampung.

c) Gayo LuesDI kabupaten ini yaitu Gayo Lues, masyarakatnya lebih menyukai kayu-kayu pinus untuk dimanfaatkan baik untuk bangunan rumah, mebel, maupun bahan-bahan rumah tangga lainnya. Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Desa adalah sebagai berikut:

Sedangkan kayu alam misalnya meranti dari hutan 1. rimba tidak perlu pakai ijin dari Kepala Desa.

Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh Kepada Desa 2. adalah Pinus untuk pembuatan rumah diijinkan untuk dimanfaatkan, akan tetapi penggunaan pinus tersebut hanya untuk 1 rumah.

d) Aceh TenggaraIjin pemanfaatan hutan secara khusus tidak ada. Hal ini dikarenakan daerah kabupaten Aceh Tenggara berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Luesuer (TNGL). Dengan demikian masyarakat tidak boleh menebang kayu di dalam TNGL. Selama ini masyarakat hanya memanfaatkan kayu yang berasal di sekitar masyarakat sendiri.

Masyarakat masih bingung mana batasan antara kawasan TNGL dengan wilayah masyarakat. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa kalau kawasan tersebut tidak ada petugasnya berarti wilayah tersebut masih dianggap di luar kawasan TNGL.

Di daerah Aceh Tenggara terhadap Ijin yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM) di Gajah Mati dari progam Dinas Kehutanan Propinsi (P2TSP).

e) Aceh Besar Di kabupaten Aceh Besar, ijin pemanfaatan kayu diberikan oleh para hulu balang dan kehutanan yang diberikan kepada areal di luar kawasan hutan. Jenis-jenis kayu yang dimanfaatkan adalah Bayur, Ba’tung, dan Laban. Masyarakat di Kabupaten ini masih memerlukan informasi terhadap pemakaian Dokumen SKAU. Diharapkan sosialisasi terhadap pemakaian SKAU ini secepatnya dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi NAD.

Masyarakat pada umumnya mengambil kayu dari pasar (tidak jelas asal usulnya). Apabila kayu yang diambil dari hutan, maka hanya jenis-jenis yang bagus saja untuk dipergunakan sendiri.

f) Aceh TimurDi kabupaten ini pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan karet lumayan luas. Kegiatan pembalakan liar semakin turun dengan beralihnya profesi masyarakat menjadi petani karet. Menurut masyarakat setempat bahwa produksi karet mampu mencapai 700,000 rupiah per minggu. Permasalahan yang muncul di masyarakat adalah bahwa tanpa disadari banyak areal perkebunan karet tersebut telah masuk ke dalam daerah kawasan hutan. Sehingga diperlukan tata ulang lahan terhadap perkebunan karet tersebut apakah masuk dalam kawasan hutan atau tidak.

g) Aceh TamiangMenurut hasil survey di kabupaten Aceh Tamiang, ternyata ditemukan tidak ada industri kehutanan. Masyarakat lebih menyukai terhadap pengumpulan kayu meku yang biasa ditanam setahun sekali. Harga mug susu getahnya 30,000 rupiah. Para pengumpul untuk getah pohon muke ini berasal dari Medan. Produksinya antara April – May.

Rantau Bintang, Pantai Jeumpa tempat produksi Kayu dan Getah Meku.

h) Aceh SingkilDikabupaten ini, pemakaian dokumen SKAU telah berlaku untuk jenis kayu Durian. Jenis-jenis kayu yang terhadap di Kabupaten ini adala Durian (Dominan), Peti, Karet, Jengkol,dan Terap.

Ada kebijakan bupati yang mengeluarkan penerbitan SKAU walaupun format SKAU sebenarnya dibuat oleh Departemen Kehutanan.

Hasil dari Produksi karet bisa mencapai 700,000 – 1,400,000 per minggu. Sawit bisa memperoleh 1 juta per ha.

i) SimelueSistem pemanfaatan hutan menggunakan landasan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kabupaten di Simuelu. Perijinan-perijinan tersebut berlandaskan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 (walaupun sebenarnya PP 34/2002 ini sudah tidak berlaku lagi, note dari Penulis). Kebijakan lain yang dikeluarkan

Kayu boleh diambil dari kawasan dengan pohon yang telah rebah dan dimanfaatkan hanya untuk kayu bakar, rumah dan kayu tersebut tidak untuk dijual komersil.

60Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 67: Green Province

oleh Bupati dan telah diterapkan di Simelue adalah ijin pemanfaatakan kayu sebanyak 5 m3 per individu. Kayu-kayu yang ditebang di daerah ini sebagian besar untuk bangunan rumah dan bangunan sosial. Sebelum moratorium logging, kayu-kayu dikirim ke Sumatra dan Jawa.

j). Aceh BaratPada umumnya masyarakat memiliki lahan sendiri dengan pembuktian surat keterangan dari desa (hanya untuk 1 – 2 ha). Warga meminta ijin ke kepala desa untuk buka hutan dalam kawasan, kemudian lahan tersebut digarap warga dan selanjutnya menjadi milik warga.

Industri ada 8 buah dalam skala kecil (sungai mas) untuk pembuatan perabot dan kusen (1 – 3 orang dalam keluarga).

Di daerah ini juga ada ijin IPKTM yang luasnya untuk 25 ha dengan target produksi sebesar 500 m3.

k) Aceh JayaSemua jenis kayu yang berasal dari hak milik digunakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar (bak Mani). Kayu

yang diambil hanya sedikit untuk lamno, sebagian besar dijual untuk keperluan luar (Aceh Besar). Kecamatan Tenom, ada juga pengambilan kayu tapi tidak dibawa ke Aceh karena jembatan patah dan penggunungan. Dari Lamno ke Aceh Jaya, ada juga kegiatan pengambilan kayu, tetapi dengan adanya porgram Polhut, kegiatan pengambilan kayu tersebut drastis berkurang.

Sertifikat hak milik lahan pada umunya menurut masyarakat tidak punya, hanya dalam bentuk ahli waris. Akte terhadap lahan tersebut pun tidak ada, karena masyarakat percaya bahwa lahan dan hutan tersebut merupakan peninggalan turun menurun.

l) Nagan RayaDi kabupaten ini, pada umumnya masyarakat mengambil kayu tanpa ada hubungannya dengan kearifan lokal. Pengambilan kayu tersebut hanya berdasarkan kepada aturan hukum berlaku. Ijin pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan tidak ada ijin resmi. Masyarakat ngambil dari dalam kawasan dan di luar kawasan. Peraturan dari Gampong yang menyangkut pemanfaatan hutan tidak ada. Di lain pihak, peraturan yang dituruti hanya dari kepala Gampong yaitu tentang pasir dan batu. Beberapa

61Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 68: Green Province

6 KESIMPULAN

Ijin yang ada di Kabupaten ini adalah: Ijin IPK (Sawit 1000 ha bantuan ADB) ada 2 untuk Cok Mei. Gunung Kong ada program dari Gubernur (2002) untuk pelestarian hutan.

6.1 Identifikasi Kayu Kampung

Data jenis kayu kampung diperoleh berdasarkan hasil questioner yang disampaikan. Berikut adalah gambaran tentang kayu kampung di Provinsi NAD:

Pada umumnya masyarakat menyatakan memiliki 1. jenis kayu kampung, dan sebagian besar menyatakan memanfaatkan kayu tersebut untuk kebutuhan sendiri, kecuali kabupaten Aceh Singkil, Aceh Barat Daya dan Bireun yang memberikan pernyataan bahwa untuk dijual persentasinya lebih tinggi. Hasil kayu kampung tersebut dimanfaatkan untuk 2. bahan bangunan, kayu bakar, perabot, perahu dan lainnya.Pada umumnya responden menjawab bahwa 3. pemanfaatan kayu kampung tersebut yang utama adalah untuk bahan bangunan, kecuali Kabupaten Aceh Barat, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah dan Aceh Besar menyatakan lebih banyak pemakaian untuk kayu bakar.Jenis kayu kampung/ kayu rakyat yang terdata 4. berdasarkan hasil survey ada 129 jenis, akan tetapi masih perlu konfirmasi ulang karena bisa terjadi untuk kayu yang sama memiliki nama yang berbeda antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya. Setelah melakukan konsultasi dengan Dinas Kehutanan Propinsi NAD, diperoleh 74 jenis kayu rakyat. Secara lengkap nama lokal kayu kampung dapat dibaca pada lampiran 2.Beberapa jenis secara umum adalah termasuk pada 5. golongan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, dan kemiri.Sedangkan sebagian lainnya termasuk jenis tanaman 6. buah-buahan seperti mangga, rambutan, nangka, kuini dan lain-lain.Terdapat perbedaan antara daerah pantai Utara - 7. Timur dan pantai Barat - Selatan, sebagai contoh di Timur sebagian besar ditemukan kayu sentang yang sudah biasa dibudidayakan masyarakat sejak dahulu. Adapun di Barat, terdapat pohon pala yang khas dan dapat di jumpai mulai dari Nagan Raya sampai ke Aceh Selatan. Bahkan pala termasuk komoditi yang pernah dikatagorikan sebagai green product, karena banyak ditemukan disepanjang bufferzone Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk daerah tengah terutama kabupaten Aceh Tenggara terdapat jenis kemiri, yang sudah lama dibudidayakan masyarakat.Ada jenis-jenis yang sudah biasa ditemukan pada 8. lahan masyarakat, karena sudah dibudidayakan seperti: pinus, durian, meranti, kayu manis

6.2 Kepemilikan tanah

Pada umumnya masyarakat (> 82 %) menyatakan 1. memiliki tanah milik, kecuali Kabupaten Aceh Jaya yang menjawab tidak memiliki tanah 80 % dan yang memiliki tanah hanya 17 % dari responden sebanyak 59 orang.Sebagian besar responden menjawab memiliki tanah 2. seluas 2 – 10 ha /kk, akan tetapi di Kabupatren Nagan Raya 55 % responden menyatakan memiliki tanah seluas 10 – 50 ha. Sedangkan Kabupaten Aceh Timur menyatakan 75 % menjawab hanya memiliki tanah < 2 ha luasnya, dan kabupaten Aceh Tamiang menyatakan 66 % luas tanah yang dimiliki ádalah < 2 ha dan Kabupaten Aceh Tengah 89 %.Aceh Besar45 %, Kabupaten aceh Barat 56 %.Sebagian besar responden menjawab bahwa 3. kepemilikan tanah belum terdaftar.

6.3 Hasil Hutan Bukan Kayu

Potensi hasil hutan lainnya yang telah banyak di 1. manfaatkan oleh masyarakat adalah hasil hutan non kayu sebanyak 31 jenis yang berbeda antara kawasan pesisir dan upland. Data ini masih sangat mentah, artinya belum juga diketahui potensinya karena data diperoleh berdasarkan informasi masyarakat.Dari jenis yang disampaikan sebagian adalah tanaman 2. budidaya seperti kunyit, lengkuas, sere, kencur dll. Yang umum ditemukan pada setiap kabupaten adalah 3. rotan, hanya jenis rotannya tentu berbeda antara satu kabupaten dan kabupaten lainnya. Untuk jenis rotan juga belum terdata.Sebagian hasil hutan non kayu yang dimaksud adalah 4. merupakan tanaman perkebunan seperti karet, sawit, pinang dan tanaman buah-buahan. Di daerah up land ditemukan gula aren dan ijuk 5. sebagai hasil dari pohon aren. Namun belum ada upaya pemanfaatan secara maksimal terutama hasilnya masih diolah secara sederhana. Belum ada industri yang memproduksi, misalnya untuk buah pohon aren yang disebut kolang kaling. Padahal ditempat lain sudah ada upaya pengalengan sehingga dapat merupakan sumber mata pencaharian yang tetap bagi masyarakat.Pada umumnya banyak hasil hutan non kayu yang 6. termasuk getah-getahan, namun belum terdeteksi berdasarkan data yang ada. Sebagai contoh apakah getah damar, getah pinus (gondorukem), getah meuku dan getah karet.Beberapa jenis hasil hutan non kayu yang spesifik 7. adalah jernang, sige-sige, rebung, jamur, gambir, kayu alim/gaharu.

62 Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 69: Green Province

Membaca hasil survey diasumsikan bahwa ada hasil 8. hutan non kayu yang berupa rotan, jernang, damar diperoleh dari lahan lainnya (kawasan hutan). Akan tetapi hasil hutan non kayu lainnya seperti nilam, sere wangi, karet, durian ditanam pada lahan milik sebagai lahan pertanian atau perkebunan. Adapun pengolahan hasil hutan non kayu tersebut diolah sendiri dan belum ada perizinan.

6.4 Kelembagaan dan Kearifan Lokal

Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan pada 1. 17 Kabupaten, ternyata hanya 9 Kabupaten yang memberikan tanggapan terhadap kelembagaan masyarakat dan kearifan lokal. Dari ke-9 kabupaten tersebut, hampir semua 2. masyarakat kabupaten yang menyatakan bahwa kearifan lokal terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan lebih berlaku kepada unsur budaya dan mulai menipis penerapan kearifan tersebut. Hal ini menurut pendapat para masyarakat disebabkan dengan bertambahnya masyarakat dan heterogenitas dalam masyarakat itu sendiri. Walaupun begitu, di daerah kabupaten Aceh Barat dan 3. Aceh Tenggara, kearifan lokal terhadap pemanfaatan hutan masih berlaku sampai sekarang yang kemudian diterjemahkan kepada peraturan-peraturan desa. Dalam masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga 4. adat, yang masing-masingnya berfungsi sektoral mengurusi urusan tertentu. Lembaga-lembaga dimaksud telah eksis, diakui dan dipatuhi oleh masyarakatnya sejak dahulu dan telah diundangkan pada peraturan perundangan di tingkat daerah. Masing-masing lembaga adat tersebut 5. menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, diantaranya adalah Keuchik atau Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong, kemudian ada Panglima Uteun/Kejruen Glee yang sebagai ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarag burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.Menurut Hukum Adat Aceh, semua tanah – termasuk 6. hutan -- yang berada dalam wilayah sesuatu mukim, selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanah hak ulayat atau hutan adat (tanoh poeteu Allah, hak kullah atau uteun adat). Hutan adat dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat kemukiman. Setiap warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka

ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk gampongnya.Pengakuan de jure terhadap hak ulayat atas tanah ini 7. menjadi makin penting, yaitu, misalnya, manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat. Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor.Di Aceh, pengakuan de jure tentang keberadaan 8. Mukim dan Gampong sebagai masyarakat hukum adat telah mendapat penegasan juridis dengan telah diundangkannya qanun tentang hal ini beberapa tahun lalu (Qanun Aceh 4/2003 dan 5/2003). Sehingga, alasan pengaturan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat dalam hal pemberian izin HGU kepada para investor perkebunan, HTI atau yang lain-lainnya, dengan tanpa mempertimbangkan eksistensi hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Aceh tidak boleh lagi terjadi.

6.5 Industri dan Perizinan Kehutanan

Berdasarkan dari hasil survey yang dilakukan beberapa kabupaten, ditemukan beberapa hal yang dapat disimpulkan untuk industri dan perizinan kehutanan adalah sebagai berikut:

Industri besar hanya terdapat di Bener Meriah dimana 1. industri tersebut adalah milik PT Tusam Hutan Lestari yang dulunya memiliki 12 meja bandsaw sekarang yang aktif hanya 5 meja bandsaw.Industri kecil yang ada hanya untuk keperluan perabot 2. rumah tangga dan kusen yang terletak di Kabupaten Aceh Barat sebanyak 8 buah (sungai mas)Untuk masalah perizinan pemanfaatan hasil hutan 3. kayu, pada umumnya izin tersebut berasal dari Kepala Desa (dengan menggunakan SKAU dimana dokumen tersebut diterbitkan oleh Bupati) yang terjadi di Aceh Singkil, kemudian ada pula izin 5 m3 per individu berdasarkan PP No. 34 2002 yang diterapkan oleh Kabupaten Simelue. Untuk izin pemanfaatan lahan, masyarakat meminta izin kepada kepala Desa untuk buka lahan, kemudian lahan tersebut di garap warga dan selanjutnya menjadi milik warga (Aceh Barat).Beberapa peraturan pemanfaatan kayu yang telah 4. dikeluarkan oleh Kepala Desa misalnya pemanfaatan kayu pinus hanya diperbolehkan untuk pembuatan hanya satu rumah (Gayo Lues). Di Aceh Tengah, pemanfaatan kayu yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung adalah kayu boleh diambil dari kawasan adalah kayu yang berasal dari pohon yang telah rebah dan pemanfaatan tersebut hanya untuk kayu bakar, rumah, dan kayu tersebut tidak untuk dijual secara komersil.

63Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 70: Green Province

LAMPIRAN 1. Daftar Tenaga Ahli/Tim Pakar dan Tenaga Pendukung serta Tenaga Assesor yang Telibat Dalam Kegiatan

No Jabatan Nama Personil Pendidikan

Tenaga Ahli/ Tim Pakar1 Ahli Kehutanan/Eselon II Ir. Husaini Syamaun,MM S2 Mnajemen

2 Ahli Kehutanan/Eselon III Ir. T. Iwan Kesuma S1 Pertanian

3 Ahli Kehutanan/Eselon III Ir. Sofyan

4 Ahli Kehutanan Ir. Fauzi Harun S2 Kehutanan

5 Ahli Kehutanan Yusdinur Usman S1 Kehutanan

6 Ahli Konservasi Sumber Daya Alam/Eselon III Drs. Andi Basrul S1 Sospol

7 Ahli daerah Aliran Sungai /Eselon IV Darmawi, SP S1 Pertanian

8 Ahli Penataan Ruang /Eselon IV Hudaya, S.Hut S1 Kehutanan

9 Ahli Konservasi Sumberdaya Alam Ir. Wiratno, M.Sc S2 Kehutanan

10 Ahli Penataan Ruang Ir. Syahyadi, M.Sc S2 Perikanan

Tenaga Pendukung1 Seketaris Elliana Hasyim SH

2 Olah Data Nita Sari Tarigan, SP, M.Si S2 PWD

3 Operator Komputer Jumadil Akhir, S.Hut, M.Si S2 Kehutanan

No Kabupaten/Kota Nama Personil Pendidikan

Tenaga Assesor1 Aceh Besar Amrullah, S.Hut S1 Kehutanan

2 Pidie Murkom, S.Hut S1 Kehutanan

3 Biruen Zaimuddin, S.Hut S1 Kehutanan

4 Aceh Utara

5 Aceh Timur Nazar Irwansyah, S.Hut S1 Kehutanan

6 Aceh Tamiang

7 Aceh Tengah Jumhur, S.Hut S1 Kehutanan

8 Bener Meriah Aspriansyah, S.Hut S1 Kehutanan

9 Gayo Lues Yusrin, S.Hut S1 Kehutanan

10 Aceh Tenggara Harianti pinem, S.Hut S1 Kehutanan

11 Aceh Jaya Nyak Is, S.Hut S1 Kehutanan

12 Aceh Barat Surya, S.Hut S1 Kehutanan

13 Nagan Raya Saiful Rahan, S.Hut S1 Kehutanan

14 Aceh Barat Daya Zahardi, S.Hut S1 Kehutanan

15 Aceh Selatan

64Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 71: Green Province

LAMPIRAN 2. Jenis Kayu Rakyat Berdasarkan Hasil Survey Pada 17 Kabupaten di NAD

No Nama Komersil Nama Daerah Nama Botani

1 Mangga Bak Mamplam Mangiera spp.2 Nangka Bak Panah Artocarpus rufescens Mig3 Pedai Hutan Bak Trum/Pulai Althonia sp.4 Kelapa Bak U’ Coconus nucifera spp.5 Rambutan Bak Rambot Blumedendron tok brai Kurz6 Durian Bak Drien Durio zibethinus Murr7 Bayur Bak Bayu Pterospermum spp.8 Kemiri Bak Kiroe Alverites moluccana Willd9 Kapuk/Randu Bak Panjau Gossampinus malabarica Alst10 Jati Bak Jatoe Tectona grandis11 Bak thu Bak Thu/Teumeru Njau Belum teridentifikasi

12 Laban Bak Mane Vitec spp.13 Asam Jawa Bak Mee Tamarindus indica14 Angsana Bak San Pterocarpus indicus Willd15 Sentang Bak Sentang Azadirachta excelsa16 Mancang Bak Mancang Mangifera foetida Laur17 Ketapang Bak Keutapang Terminalia cattapa L.18 Petai Bak Pitee Ulimus spp.19 Akasia Bak Akasia Acacia auriculiformis20 Langsat Bak Langsat Ailanthus spp.21 Bak Klue Bak Klue Belum teridentifikasi

22 Kecapi Peuenoe Sandoricum koerjape23 Mindi Cawardi Melia azedarach Linn24 Sampang Sampang Arthocarpus pomiformis T.et.B25 Georofhai Greureufhai Belum teridentifikasi

26 Meuleweuk Sentul Meuleweuk Sentul Belum teridentifikasi

27 Bungo Bungo Lagershomia ovaliafolia T.et.B28 Mahoni Mahoni Switenia spp.29 Punto Peuntoe Nama Botani belum dilengkapi

30 Meranti Merah Damar Culat Shorea matenalis Ridl31 Medang Kuli Litsea spp.32 Weru Gunung Barat Daya Berrya cordifolia Burr33 Kumbang Kumbang Belum teridentifikasi

34 Menje Meuje Belum teridentifikasi

35 Medang Bak Setui Litsea spp.36 Tarak/anak Teureup Aphanamixis grandiflora BL37 ---- Baru/Barue Hibiscus tiliaceus Bl38 Trembesi Bak Muroeng Samanea saman Merr39 Tembusa Rubek Fagraea elliptica Roxb40 Sukun Bak Sukuon Artocarpus spp.41 Meulinjo Bak Meuling Gmentum genimu

65Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 72: Green Province

No Nama Komersil Nama Daerah Nama Botani

42 Sumiyang Sumiyang Belum teridentifikasi

43 Suntung Suntung Belum teridentifikasi

44 Sengon Sengon Albizzia chinensis Merr45 Pinang Bak Pineung Pentace tripteraMast46 Karet Rambung Havea barsilliensis Muell47 Cempedak/Terap Bak Cempedak Artocarpus integrus Merr48 Sawo Bak Siku Manikara spp.49 Bitung Belum teridentifikasi

50 Legian Legian Belum teridentifikasi

51 Manuang Manuang Nama Botani belum dilengkapi

52 Kayu Manis Bak kaye maneh Cinnamom burmanii53 Alpokat Bak Packat Persea americana54 Jambu Kayu Paya Eugenia spp.55 Mimba Bak Beum Azadirachta indica Linn56 Tingkem Tingkem Bischoffia gigntea BL57 Kuray Kuwel/Kuwal Trema orientalis58 Gete Gete Belum teridentifikasi

59 Kayu Batok Kayu Batok Belum teridentifikasi

60 Temung Temung Belum teridentifikasi

61 Jengkol Jengkol Pithecellobium ellipticum Hassk62 Ara Ara Ficus spp.63 Dadap Rendeup Erythrina sp.64 Jambu Air Bak Jambe ie Eugenia sp.65 Manggis Bak Seumeerta Garcinia spp.66 Pala Bak Pala Myristica fragans67 Cengkeh Bak Lawang Cinnamomum javanica68 Selanga Bak langa Eleaeocarpus sp69 Kedondong Bak Geurendong Santiria spp.70 Meku Meku Belum teridentifikasi

71 Sirsak Bak Luna Nama Botani belum dilengkapi

72 Belimbing Bak Limeng Nama Botani belum dilengkapi

73 Turi Turi Sesbania grandisfora74 Saga Adenanthera

66Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 73: Green Province

LAMPIRAN 3. Realisasi Penanaman Kegiatan Aksi Penanaman Serentak Indonesia Serta Gerakan Perempuan Tanam & Pelihara Pohon (GPTPP) Propinsi NAD

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

1

Bireuen

Mahoni 10,000 Samalanga 1.050

2 Asam Jawa 4,000 Simpang Mamplam 1.050

3 Mindi 1,000 Pandarah 1.050

4 Trembesi 5,000 Jeunib 1.100

5 Plimbang 1.100

6 Peudada 1.000

7 Jeumpa 1.100

8 Kuala 1.000

9 Kota Juang 1.000

10 Juli 1.050

11 Peusangan 950

12 Jangka 700

13 Peusangan Selatan 1.100

14 Yayasan Sukma 600

15 Polres Bireun 1.000

16 Komplek Kompi 1.500

17 Peusangan Siblah Krueng 1.050

18 Kuta Blang 800

19 Ganda Pura 700

20 Makmur 1050

20.000 19.950

1

Langsa

Glodokan Tiang 4,000

*) Lokasi Distribusi Bibit Belum adaLaporan

2 Cemara Laut 5,000

3 Pulai 1,000

4 Mangga 1,000

5 Rambutan 500

6 Tanjung 500

7 Kenanga 2,500

8 Mahoni 4,000

9 Meranti 2,500

21.000 21.000

67Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 74: Green Province

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

1

Aceh Barat

Mahoni 5,000 Korem 012 2.000

2 Angsana 2,500 Kampus UTU 1.000

3 Trembesi 2,500 Komplek Wadah Suci 500

4 Cemara Laut 3,000 Kodim T>Umar 2.000

5 Glodokan Tiang 2,500 Polres 1.500

6 Sawo 1,000 Perkantoran/sekolah 2.000

7 Mangga 1,000 Meureubo 3.000

8 Sentang 2,500 Kawai XVI 2.000

9 Sama Tiga 1.000

10 Ujung Kareung 3.500

11 Masyarakat 1.500

12 20.000 20.000

13 Mangga 3,000 PKK 4.000

14 Trembesi 2,000 Persit Korem 1.500

15 Mahoni 4,500 Persit Kodim 500

16 Tanjung 500 Bayangkari 2.000

17 Dharma Wanita 2.000

10.000 10.000

1

Aceh Utara *)

Mahoni 4,500

*) Lokasi Distribusi Bibit Belum ada Laporan

2 Sentang 2,000

3 Sengon 2,000

4 Cemara Laut 4,000

5 Ketapang 4,000

6 Asam Jawa 3,500

20.000 20.000

1

Lhokseumawe *)

Mangga 100 TNI 4.000

2 Rambutan 100 Muara Satu 1.000

3 Sengon 2,300 Muara Tiga 3.000

4 Mahoni 2,000 Blang Mangat 1.200

5 Ketapang 3,000 Banda Sakti 800

6 Cemara Laut 2,500

10.000 10.000

1

Bener Meriah *)

Pinus 2,000 1. Polres 800

2 Mahoni 5,000 2. Batalion 114/SM 900

3 Sengon 3,000 3. Pinturime Gayo 4.000

4 Alpukat 5,000 4. Timang Gajah 1.000

5 Durian Biji 5,000 5. Bukit 1.000

6 6. Weh Pesang 1.200

*) Sisa bibit blm ada laporan

20.000 8.900

1

Gayo Lues *)

Mahoni 19,600 Kodim 4.000

2 Nangka 200 Darma Pertiwi 3.000

3 Jengkol 200 *). Sisa Bibit blm ada Lap. 13,000

20.000 7.000

68Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 75: Green Province

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

1

Aceh Jaya *)

Mahoni 12,000 Kodim 014 4.000

2 Jati 1,000 KPA Patek 5.000

3 Ketapang 1,000 Desa Bak Paoh 5.000

4 Cemara 1,000 Polres Persiapan Calang 1.000

5 Tanjung 1,000 Darma Pertiwi 250

6 Pala 200 Bayang Kari 250

7 Sengon 1,000 Darma Wanita 250

8 Pinang 1,000 Desa Keutapang 2.000

9 Trembesi 1,800 PKK 250

*). Sisa Bibit Belum Ada Lap.

20.000 18.000

1

Aceh Tengah *)

Pinus 5,000 Kantor Bupati 2.000

2 Filicium 2,000 Kodim 2.000

3 Tanjung 2,000 Polres 2.000

4 Glodokan Tiang 2,000 Sisa Bibit 14 Kecamatan 14.000 **)

5 Mahoni 4,000 **) Sisa bibit perlu di Cek

6 Angsana 5,000

20.000 20.000

1

Aceh Tenggara *)

Mahoni 7,000

*) Lokasi Distribusi Bibit Belum ada Laporan

2 Glodokan 5,000

3 Sawo 1,000

4 Mangga 5,000

5 Asam Kranji 2,000

20.000 20.000

1 Mahoni 20.000 Pasi Raja 3,000

2 Tapak Tuan 1,200

3 Sama Dua 1,200

4 Sawang 300

5 Meukeki 800

6 Labuhan Haji Timur 300

7 Labuhan Haji Barat 300

8 Labuhan Haji 300

9 Bakongan 300

10 TRUE 800

11 Kluet Selatan 300

12 Kluet Timur 300

13 Kluet Tengah 300

14 Kluet Utara 300

15 Sisa bibit blm ada Laporan*) *)

20.000 9700

69Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 76: Green Province

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

1

Aceh Besar

Pinang 2.000 Waduk Keliling 300

2 Mahoni 4.500 Kodim 4.000

3 Glodokan 1.000 Polres 3.500

4 Ketapang 2.000 Word Relief 1.000

5 Jati 3.500 Islamic Solidaritas Schol 1.000

6 Cemara Laut 3.000 . Sisa bibit perlu di Cek *) *)

7 Rambutan 1.000

8 Mangga 2.000

9 Sawo 1.000

20.000 9.800

1

Banda Aceh *)

Glodokan 1.500 Blang Oi 9.325

2 Cemara Laut 1.500

Sisa bibit blm ada laporan*) *)

3 Trembesi 2.000

4 Rambutan 750

5 Mangga 2.000

6 Sawo 500

7 Asam Jawa 1.500

8 Ketapang 250

10.000 9.325

1

Nagan Raya *)

Mahoni 6.900 Kec. Beutong 3.250

2 Cemara Laut 5.550 Kec Seunagan Timur 2.250

3 Ketapang 6.700 Kec. Seunagan 1.950

4 Seumantok 1.750 Kec. Kuala 2.300

5 Kec. Makmur 2.600

6 Sekolah/perkantoran 1.000

7 -Sisa bibit blm ada laporan*) *)

20.900 13.350

1

Aceh Timur

Sentang 16.750 Kodim 1.000

2 Mahoni 3.250 Dharma Pertiwi 3.000

3 Polres 500

4 Darul Aitem 125

5 Camat 200

6 Goa 2.100

7 MTsN 28 Rantau Panjang 100

8 Unsyam 50

Sisa bibit blm ada laporan*) *)

20.000 7.075

1

Pidie

Sentang 4,500 Kodim 10,000

2 Mahoni 6,500 Polres 3.500

3 Angsana 500 PKK 1.000

4 Glodokan Tiang 1,500 Dharma Wanita 1.000

5 Tanjung 2,000 Bhayangkari 1.000

70Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 77: Green Province

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

6

Pidie

Pinang 2.000 KNPI 1.000

7 Rambutan 1.000 Kantor dan Sekolah 4.000

8 Mangga 1.000 Pramuka 1.000

9 Trembesi 1.000 Masyarakat 15.500

10 Aisyiah 1.000

kelebihan bibit dari instansi sendiri

20.000 39.000

1

Abdya *)

Meudang Jeumpa 9.000 1. Kapolres 2.000

2 Jengkol 6.450 2. Dandim 5.000

3 Mangga 1.000 3. Dharma Wanita 1.000

4 Cemara Laut 3.550 4. 9 Kecamatan *) 1.2000 *)

5 *) bibit perlu dicek kembali

20.000 20.000

1

Aceh Tamiang

Tanjung 1.000 Polres 2.000

2 Mahoni Biasa 2.900 Kodim 3.000

3 Cemara Laut 1.600 Komp. Bupati 355

4 Cemara Gunung 1.000 POM 345

5 Glodokan Tiang 2.000 SLTP Kuala Simpang 205

6 Mangga 750 BAPPEDA 375

7 Rambutan 2.400 Sisa bibit blm ada laporan*) *)

11.650 6.280

1

Sabang

Mahoni 5.500 Kapolres 2.000

2 Glodokan 2.000 Dandim 4.000

3 Sawo 500 Sekolah/Perkantoran 1.000

4 Cemara Laut 2.000

5 Rambutan 1.500

6 Duku 1.000 *) Sisa bibit belum ada laporan *)

12.500 7.000

1

Simeulue

Mahoni Biasa 14.700 Dinas badan dan kantor 650

2 Mahoni Besar 5.300 TNI 1.000

3 Polri 500

4 BRI/BPD/BSM 150

5 PLN 50

6 Telkom 50

7 Pendidikan dan kesehatan 300

8 Kec. S. Timur 2.000

9 Kec. S. Tengah 2.000

10 Kec. Semelu selatan 2.000

11 Kec. S. Barat 2.000

12 Kec. S. Dalam 2.000

13 Kec. Alafan 2.000

71Pengendalian Kegiatan Lingkungan dan Konservasi Di NAD-Nias Dalam Rangka Perwujudan Kebijakan Green Province

Page 78: Green Province

No Kab/ Kota Distribusi Bibit Lokasi Penanaman dan Jumlah Bibit yang Ditanam s.d. Desember 2007Jenis Bibit Jumlah Bibit (btg)

14

Simeulue

Dharma Pertiwi 1.000

15 Persit 300

16 Bhayangkari 1.000

17 PKK 1.000

18 *) Sisa bibit belum ada laporan *)

20.000 18.000

1

POLDA NAD(Bhayangkari)

Pulai 600

*) Lokasi belum ada laporan

2 Ketapang 600

3 Mimba 600

4 Mahoni 600

5 Trembesi 600

6 Mangga 25

7 Rambutan 25

3.050 3.050

1

KODAM IM

Mangga 650

*) Lokasi belum ada laporan

2 Sawo 650

3 Rambutan 550

4 Duku 250

5 Mahoni 1.850

6 Glodokan 25

7 Pinang 25

4.000 4.000

1LSM Wanita Veteran

Mangga 650*) Lokasi belum ada laporan

2 Rambutan 650

1.300 1.300

1

LSM Wanita Veteran

Angsana 50

*) Lokasi belum ada laporan

2 Mahoni 50

3 Mangga 50

4 Duku 25

5 Asam Jawa 25

200 200

1LSM Lingka

Mahoni 200*) Lokasi belum ada laporan

2 Rambutan 100

300 300

384.900 323.230

72Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-NiasDinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Page 79: Green Province

LAM

PIRA

N 4.

Jad

wal

Keg

iata

n Pe

ngen

dalia

n Pe

mba

ngun

an L

ingk

unga

n da

n K

ons

erva

si di

NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n “G

reen

Pro

vinc

e”

No

Keg

iata

nW

aktu

Pel

aksa

naan

Juli

Agu

stus

Sept

embe

rO

kto

ber

No

vem

ber

Des

embe

r

IVI

IIIII

IVI

IIIII

IVI

IIIII

IVI

IIIII

IVI

IIIII

IV

1Pr

a Pe

laks

anan

Pena

ndat

anga

nan

Piag

am K

erja

sam

a

Ko

ord

inas

i den

gan

Inst

ansi

Terk

ait

Rap

at/P

erte

mua

n

Peny

iapa

n C

hek

List

dan

Tal

ly S

heet

Rek

rutm

ent

Surv

eyo

r

Ko

nsin

yasi

Aw

al/P

elat

ihan

2Pe

mbu

atan

Lap

ora

n pe

ndah

ulua

n

3Pe

ngum

pula

n D

ata

Seku

nder

4Pe

ngum

pula

n D

ata

Lapa

ngan

Surv

eyo

r

Tena

ga A

hli

5Lo

kaka

rya

gam

pong

6Pe

mbu

atan

Lap

ora

n A

ntar

a

7Pe

ngel

ola

an d

an A

nalis

a D

ata

8Lo

kaka

rya

Reg

iona

l

9Pe

nyus

unan

Lap

ora

n A

khir

10Ek

pose

/Pre

sent

asi H

asil

11Pe

rbai

kan

dan

Peng

gada

an L

apo

ran

Akh

ir

73Pe

ngen

dalia

n K

egia

tan

Ling

kung

an d

an K

ons

erva

si D

i NA

D-N

ias

Dal

am R

angk

a Pe

rwuj

udan

Keb

ijaka

n G

reen

Pro

vinc

e

Page 80: Green Province