governance the common sungai citarum (1)

18
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Ramai di berbagai media bahwa Sungai Citarum di Jawa Barat menurut laporan organisasi lingkungan Green Cross Swiss dan organisasi nirlaba Blacksmith Institute Internasional menjadi 10 tempat paling tercemar di dunia pada tahun 2013. Sungai Citarum merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 9 juta manusia yang hidup di sekitarnya, dan juga bagi sekitar 2.000 pabrik yang berdiri di sepanjang aliran sungai tersebut. Sungai ini, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh kedua organisasi dimaksud, terkontaminasi limbah yang mengandung aluminium dan mangan. Dari hasil tes, air yang biasa diminum oleh warga di sekitar Sungai Citarum berada di level sangat berbahaya karena 1.000 kali di atas standar berbahaya yang ditetapkan di Amerika Serikat (http://nationalgeographic.co.id). Menurut Greenpeace dalam website resminya, a ir yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan

Upload: kristianikka

Post on 23-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Governance the Common Sungai Citarum (1)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ramai di berbagai media bahwa Sungai Citarum di Jawa Barat menurut laporan

organisasi lingkungan Green Cross Swiss dan organisasi nirlaba Blacksmith

Institute Internasional menjadi 10 tempat paling tercemar di dunia pada tahun

2013. Sungai Citarum merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 9 juta

manusia yang hidup di sekitarnya, dan juga bagi sekitar 2.000 pabrik yang berdiri

di sepanjang aliran sungai tersebut. Sungai ini, menurut hasil penelitian yang

dilakukan oleh kedua organisasi dimaksud, terkontaminasi limbah yang

mengandung aluminium dan mangan. Dari hasil tes, air yang biasa diminum oleh

warga di sekitar Sungai Citarum berada di level sangat berbahaya karena 1.000

kali di atas standar berbahaya yang ditetapkan di Amerika Serikat

(http://nationalgeographic.co.id).

Menurut Greenpeace dalam website resminya, air yang mengalir melalui Citarum

telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia

beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500

pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka,

sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung

jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa

pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah). Pada tingkat

pengelolaan Sungai Citarum juga memiliki banyak permasalahan. Adalah temuan

Badan Pemeriksa Keuangan di Tahun 2012 yang menyebutkan ketidakefektifan

pengelolaan Sungai Citarum dilakukan oleh pemerintah daerah dan Pemerintah

Pusat, dimana pada tataran Pemerintah Pusat terdapat dua roadmap yang berbeda

antara milik Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum mengenai pengelolaan

Daerah Aliran Sungai Citarum. BPK kemudian menginstruksikan Bappenas

untuk, bersama Kementerian PU, mengelola roadmap Citarum sesuai dengan

perjanjian dalam loan Integrated Citarum Water Resource Management

Investment Program Nomor 2500-INO (SF) dan 2501-INO (SF).

Sungai merupakan sumber daya air yang memiliki sifat dan karakteristiknya

berbeda dengan sumber daya lain. Menurut Pangesti dalam Sam’un Jaja Raharja

Page 2: Governance the Common Sungai Citarum (1)

(2008) sifat sungai mengalir dari hulu ke hilir, sehingga apa yang dilakukan di

hulu akan memberi dampak pada hilir. Dampak pemanfaatan air di hulu akan

menghilangkan peluang di hilir pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya

sosial di hilir (externality cost) dan sebaliknya pelestarian di hulu akan memberi

manfaat di hilir. Dalam suatu wilayah sungai, lanjut Sam’un Jaja Raharja (2008),

banyak terdapat institusi yang terlibat secara langsung dan tidak langsung.

Masing-masing institusi merasa paling berhak melakukan pengelolaan,

menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing.

Akibat dari hal ini terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan

kewenangan pengelolaan.

Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori Governance of

the Commons

Tujuan Penelitian

Untuk merumuskan pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori

Governance of the Commons

II. DESKRIPSI KASUS

Sungai Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di  Provinsi Jawa Barat,

Indonesia. Sungai Citarum dengan panjang 269 km bersumber dari mata air

Gunung Wayang (di sebelah selatan kota Bandung), mengalir ke utara melalui

bagian tengah  wilayah Provinsi Jawa Barat dan bermuara di Laut Jawa.

Berdasarkan Permen PU No.11A Tahun 2006, wilayah sungai Citarum

merupakan wilayah sungai lintas Provinsi (Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-

Ciliwung-Citarum merupakan wilayah sungai lintas Provinsi Banten-DKI

Jakarta-Jawa Barat) yang kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah

Pusat. Sungai Citarum berperan penting bagi kehidupan sosial ekonomi

masyarakat khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Citarum digunakan

sebagai sumber air baku air minum (6%), irigasi pertanian (86,70%), sumber air

perkotaan (0,370%) serta sebagai pemasok air untuk kegiatan rumah tangga dan

industri (2%), sedang sisanya tidak terpakai (www.citarum.org).

Page 3: Governance the Common Sungai Citarum (1)

Dalam dua puluh tahun terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di

sepanjang Sungai Citarum semakin menurun. Dalam kurun waktu ini jumlah

penduduk, permukiman dan kegiatan industri di sepanjang aliran sungai

bertambah dan berkembang dengan pesat. Salah satu faktor utama yang

mempercepat pencemaran sungai ini adalah perilaku yang kurang baik seperti

membuang limbah dari industri dan rumah tangga langsung ke sungai tanpa

melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di

Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka menurut Pusat Pengelolaan

Ekoregion  Jawa Kementerian Lingkungan Hidup (http://ppejawa.com), DAS

Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:

Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang – Ujung Saguling

Zona Citarum Tengah : Saguling – Cirata – Jatiluhur

Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir – Muara Citarum

Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi

kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa

perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah

konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin

tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk

ke jaringan prasarana air. Permasalahan di daerah Citarum Tengah disebabkan

tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung yang berdampak

terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan,

pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke

Sungai Citarum. Berdasarkan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung rata-

rata produksi sampah sebesar 6.500 m3 per hari, dimana 1500 m3 diantaranya

tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang

tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar

500.000 m3 pertahun. Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya

alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat

berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi

prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi,

Page 4: Governance the Common Sungai Citarum (1)

kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di

muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan

daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum

disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus dimana

Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir. Bersamaan dengan

meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di

Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di

Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi

banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang

dan Kabupaten Bekasi.

III. ANALISA

Pendekatan Teori Governance of the Common dalam Pengelolaan Sungai

Teori Governance of the Commons dikemukankan oleh Elinor Ostrom dimana

mula-mula dia mengemukakan mengenai fenomena pengurasan sumber daya

alam yang telah mengalami kegagalan dalam pengolaannya. Pengelolaan sumber

daya alam berkutat pada pertanyaan seberapa baik pembatasan penggunaannya

sehingga dapan mempertahankan keberlangsungan jangka panjang nilai

ekonomis dari sumber daya alam tersebut. (Elinor Ostrom, 1990:1).

Sumber daya alam, seperti lahan peternakan, lahan perikanan, hutan, air,

memiliki permasalahan dalam pengelolaannya. Adapun masalah pengelolaannya

telah dikemukakan oleh Garrett Hardin di tahun 1968 dengan ungkapan the

tragedy of the commons. Sumber daya alam yang bersifat gratis atau disebut

Olstrom sebagai sumber daya bersama (common pool resources) sangat terbuka

bagi siapapun untuk mengelolanya. Semua orang merasa memiliki hak untuk

menggunakannya, sehingga tiap-tiap orag tersebut akan selalu memaksimalkan

kepentingan pribadinya dan akibatnya sumber daya alam akan selalu

dieksploitasi. Atau seperti ungkapan H. Scott Gordon dalam Olstrom (1990:3)

yang menyatakan bahwa segala sumber daya atau kekayaan alam yang bebas

dimiliki siapapun tidak akan dianggap penting oleh siapapun, dan bagi siapapun

yang secara lugu menunggu waktu yang tepat untuk menggunakan sumber daya

tersebut pada akhirnya akan mendapati kenyataan bahwa orang lain telah

Page 5: Governance the Common Sungai Citarum (1)

menghabiskannya. Hal yang bisa juga diambil dari pendekatan the tragedy of the

commons tersebut adalah adanya permasalahan free rider (Olstrom 1990:6)

dengan asumsi disaat seseorang tidak bisa dikecualikan dari manfaat yang

disediakan oleh orang lain (pengelolaan sumber daya bersama yang merupakan

barang publik), maka tiap-tiap orang akan termotivasi untuk tidak memberikan

kontribusinya.

Dalam paparan lainnya Olstrom juga menyatakan ketika suatu unit sumber daya

bersama menghasilkan manfaat untuk banyak pihak maka penggunaan oleh satu

pihak akan menimbulkan ekternalitas negatif untuk pihak lainnya, dimana suatu

sumber daya alam publik yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa

sehingga lama kelamaan akan hancur (Elinor Ostrom, 2002).

Untuk mengantisipasi the tragedy of the commons sebagian menyarankan untuk

menyerahkan kepada negara dalam pengelolaan sumber daya bersama, sebagian

lagi menyarankan kepada pengelolaan privat. Untuk yang mengedepankan peran

negara dalam pengelolaannya memiliki asumsi bahwa kepentingan pribadi tidak

dapat diharapkan untuk melindungi kepemilikan publik sehingga diperlukan

kekuasaan yang memaksa untuk mengelola sumber daya bersama yang ada.

Tetapi, Olstrom menanggapi pendekatan kekuasaan negara tersebut dengan

pernyataan bahwa kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan

asumsi-asumsi keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang

baik, kemampuan memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi

dalam pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara (Olstrom,

1990:10).

Adapun pihak-pihak yang mengedepankan privatisasi sumber daya bersama

menyatakan bahwa dengan hak kepemilikan pribadi akan didapatkan pengelolaan

sumber daya alam yang efektif. Sumber daya bersama yang ada akan dibagi

dengan adil kepada tiap orang sehingga masing-masing orang dapat mengelola

dan memonitor sumber daya miliknya sendiri. Kritik Olstrom terhadap

pendekatan ini mengemukakan bahwa mereka mengasumsikan sumber daya

yang ada adalah homogen dan tetap. Pendekatan privat tersebut tidak akan

berhasil untuk sumber daya yang bersifat tidak tetap seperti sistem pengairan

Page 6: Governance the Common Sungai Citarum (1)

maupun perikanan. Kritik Olstrom ini dapat digambarkan pada pengelolaan

aliran sungai, dimana jika hak privat berkuasa atas kepemilikan sungai maka

pihak yang berada di hulu sungai akan membendung wilayah sungainya dan

menggunakannya hanya untuk kepentingan pribadinya saja dimana hal tersebut

tentunya akan merugikan pihak di hilir sungai. Pada akhirnya, ketiadaan

kelembagaan tata kelola akan memposisikan sumber daya alam terancam oleh

peningkatan populasi manusia, konsumsi maupun dari kehadiran teknologi.

Ostrom kemudian mengemukakan bahwa dalam suatu komunitas kerjasama,

aturan dan kelembagaan yang tidak bersifat pasar ataupun yang tidak dihasilkan

oleh perencanaan terpusat dapat muncul dari komunitas dan menjaga

keberlangsungan pengelolaan sumber daya alam secara bersama-sama. Argumen

ini didapatkan Olstrom dari salah satu pengamatan empirisnya yaitu di sistem

perikanan Alanya Turki (Ostrom, 1990:20).

Suatu tata kelola sumber daya yang efektif di dalam komunitas yang bekerjasama

dapatlah dicapai ketika (i) sumber daya alam dan penggunaannya oleh manusia

dapat dimonitor, dan informasi yang ada dapat diverifikasi dan dimengerti

dengan baik (ii) tingkat perubahan populasi, teknologi ekonomi maupun sosial

relatif moderat (iii) komunitas menjaga komunikasi tatap muka secara tetap

sehingga tercipta modal sosial saling mempercayai dan keterbukaan sehingga

meminimalisir biaya monitoring (iv) pihak luar kelompok dapat dikecualikan

dalam pengelolaan sumber daya alam dengan biaya minim serta (v) adanya

dukungan dari anggota kelompok untuk memonitor dan menghormati aturan

yang telah dibentuk. (Tomas Dietz et.al, 2003).

Ostrom pada akhirnya merumuskan prinsip-prinsip yang dapat menjaga

kerjasama kelompok dapat bertahan dengan waktu yang lama (Ostrom, 1990:90),

yaitu :

Ditentukannya batasan-batasan dalam kelompok. Siapa saja anggota kelompok

dan siapa mendapatkan apa haruslah jelas

Aturan yang mengelola penggunaan kepemilikan bersama harus sesuai atau

seiring senada dengan kebutuhan dan kondisi lokal

Anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan yang ada

Page 7: Governance the Common Sungai Citarum (1)

Terdapatnya suatu sistem monitoring terhadap perilaku anggota yang dilakukan

oleh masing-masing anggota secara bersamaan

Penerapan sanksi secara bertingkat dengan melihat tingkatan kesalahan

Tiap anggota komunitas memiliki akses pada mekanisme penyelesaian konflik

yang minim biaya

Adanya pengakuan dari pihak yang berwenang terhadap nilai-nilai yang dianut

oleh komunitas sehingga legitimasinya diakui

Untuk sistem sumber daya bersama yang besar, ketujuh prinsip di atas

diorganisir dalam sitem jaringan

Sebagai sumber daya bersama, aliran sungai dicirikan oleh dua hal (Sam’un Jaja

Raharja, 2008.). Pertama adalah pengecualian (exclusion) terhadap pengguna

potensional sangat mahal, hampir sama dengan besarnya pembangunan fasilitas

pembagian air karena sifat dari aliran air tersebut. Kedua, pada suatu saat aliran

sungai akan berkurang sehingga penggunaan air oleh seseorang akan mengurangi

jumlah yang tersedia untuk orang lain.

Pengelolaan air khususnya sungai di Indonesia masih bersifat sentralistik dan

hirarkial, seperti dapat dilihat pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 tentang Sumber Daya Air yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat

memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk :

a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;

b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai

lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis

nasional;

Page 8: Governance the Common Sungai Citarum (1)

e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,

penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategi nasional;

g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,

peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah

lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;

h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air

wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai

strategis nasional;

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Sungai Citarum

ditetapkan sebagai Wilayah Sungai Strategis Nasional sehingga pengelolaannya

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dikaitkan dengan teori governance of the

common, pengelolaan suatu sumber daya bersama oleh negara adalah salah satu

cara untuk mengantisipasi terjadinya tragedy of the commons. Tetapi hal tersebut

dapat berhasil jika asumsi-asumsi yang berkaitan dengan keakuratan informasi,

kemampuan monitoring, pemberian sanksi dan minimnya biaya pelaksanaan

dapat terpenuhi. Dalam pengelolaan Sungai Citarum yang memiliki panjang 269

km, informasi yang harus dikumpulkan untuk dapat membuat suatu perencanaan

yang baik dan pelaksanaan monitoring sangatlah masif dan menimbulkan biaya

yang tinggi. Kecenderungan yang ada akan terkumpul informasi yang tidak

akurat dan lemahnya monitoring. Jika monitoring lemah dapat dipastikan banyak

terjadi pelanggaran yang dilakukan dalam pengelolaan Daerah Sungai Citarum.

Hal ini dapat dilihat dari maraknya pembuangan limbah rumah tangga dan

industri ke aliran Sungai Citarum. Hal lain dari ketidakberhasilan pengelolaan

sentralistik terlihat dimana sejak tahun 2008, Bappenas telah menyusun peta

Citarum yang diterjemahkan dalam proyek Integrated Citarum Water Resources

Management Investment Program (Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya

Air Citarum Terpadu/ICWRMIP) dengan dana utang dari Bank Pembangunan

Asia (ADB) senilai Rp 16 triliun. Program ini berlangsung 30 tahun dan dibagi

Page 9: Governance the Common Sungai Citarum (1)

dalam dua tahap, masing-masing tahap 15 tahun, tetapi sampai sekarang program

yang telah menghabiskan dana Rp. 9 Trilyun pada tahap pertama pelaksanaan

belumlah memberi manfaat yang signifikan untuk masyarakat maupun Sungai

Citarum sendiri.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Sumber daya bersama yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa

sehingga lama kelamaan akan hancur

Pengelolaan suatu sumber daya bersama tidak serta merta hanya mengacu di antara dua

pilihan saja, menyerahkan pada pengelolaan negara atapun memberikan kebebasan

dalam hak milik pribadi saja.

Kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan asumsi-asumsi

keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang baik, kemampuan

memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi dalam

pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara

Kepemilikan pribadi akan sumber daya bersama akan menimbulkan eksternalitas

negatif bagi pihak lain

Pengelolaan Sungai Citarum sangat tidak efektif karena terlalu sentralistis sehingga

terjadi kerusakan lingkungan yang signifikan serta pemborosan anggaran

Rekomendasi

Perlu diubahnya pola pikir sentralistik (government) dalam pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Citarum menjadi tata kelola (governance) berskala komunitas

Perlu ditingkatkannya partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan Sungai

Citarum serta memberi akses kepada masyarakat untuk membentuk komunitas dalam

pengelolaannya yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kondisi lokal

Perlu diterapkan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar

Perlu dibentuk jaringan komunitas dalam pengelolaan Sungai Citarum yang dibagi

menjadi tiga bagian jaringan besar yaitu Sungai Citarum Hulu, Tengah dan Hilir

sehingga dapat meminimalisir biaya pencarian informasi dan monitoring

Perlunya kejelasan status hukum dari Daerah Aliran Sungai Citarum

Page 10: Governance the Common Sungai Citarum (1)

Perlunya peningkatan koordinasi antar instansi dan antara tingkat pemerintah dalam

pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum

Perlu dilakukan normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam

penampungan banjir, sumur-sumur resapan, pembangunan waduk dan embung,

penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistem penyediaan air minum

dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi serta pengembangan pembangkitan

tenaga listrik yang ke depannya dalam pengelolaannya diserahkan kepada

komunitas-komunitas masyarakat yang ada

KEPUSTAKAAN

Dietz, Tomas et.al. 2003. The Struggle to Govern the Commons. Science. American Association for the Advancement of Science. New York.

Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Intitutions for Collective Action. Cambridge University Press.

_________. 2002. Common Pool Resources, Ambienta & Socieda-Ano V-No. 10-1o Semestre de 2002.

Jaja Raharja, Sam’un. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 11: Governance the Common Sungai Citarum (1)

PAPER AKHIR

MATA KULIAH EKONOMI KELEMBAGAAN

Dosen : Yohana M.L Gultom

SUNGAI CITARUM DALAM PERSPEKTIF TEORI GOVERNANCE OF

THE COMMONS

DISUSUN OLEH :

K R I S T I A N

NPM : 1306418505

KELAS PAGI BAPPENAS ANGKATAN XXIX

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Page 12: Governance the Common Sungai Citarum (1)

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA

TAHUN 2013-2014