goresan parahyangan - pm.unpar.ac.id · goresan parahyangan “sebab menjadi mahasiswa bukan...

24
Goresan Parahyangan Sebab menjadi mahasiswa bukan sekadar perkara gelar yang akan disandangnya, tapi kepedulian dan dampak yang ia berikan pada masanyaDipersembahkan oleh : Direktorat Jenderal Kajian dan Aksi Strategis Kementerian Kemahasiswaan Lembaga Kepresidenan Mahasiwa 2015/2016 Universitas Katolik Parahyangan

Upload: nguyenkhanh

Post on 07-Mar-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Goresan Parahyangan

“Sebab menjadi mahasiswa bukan sekadar perkara gelar yang akan disandangnya, tapi kepedulian dan dampak yang

ia berikan pada masanya”

Dipersembahkan oleh :

Direktorat Jenderal Kajian dan Aksi Strategis

Kementerian Kemahasiswaan

Lembaga Kepresidenan Mahasiwa 2015/2016

Universitas Katolik Parahyangan

Tegas Demi UNPAR bebas Asap Rokok (?)

Larangan merokok di kawasan kampus bukanlah hal baru bagi masyarakat UNPAR. Peraturan rektor

Nomor: III/PRT/2014-07/057 yang dibuat pada masa kepemimpinan Prof. Robertus Wahyudi Triweko, Ph.D

dua tahun lalu mengawali label haram bagi rokok-rokok yang dihisap di kawasan UNPAR. Dasar peraturan

tersebut jelas, selain mengganggu, asap rokok juga mulai mendapat sorotan tajam pemerintah lewat

beberapa Undang-Undang, diantaranya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Sejak keluarnya peraturan larangan merokok sistem pengawasan dan penyadaran bahaya merokok

mulai dibangun, lambat namun pasti. Lewat banyaknya spanduk dan teguran dosen yang sesekali

menangkap basah mahasiswanya merokok. Namun baru-baru ini muncul peristiwa yang kabarnya sangat

cepat menyebar di kalangan mahasiswa UNPAR. Upaya penonaktifan seorang anggota UKM (Unit

Kegiatan Mahasiswa) oleh WR 3 yang (sialnya) tertangkap basah merokok di kawasan UNPAR. Muncul

pertanyaan, pantaskah mahasiswa tersebut dinonaktifkan keanggotaannya dari sebuah UKM karena

menghisap rokok tidak pada tempatnya dan sialnya kedapatan WR 3?

Bagi banyak mahasiswa UNPAR, terutama para perokok, tindakan WR 3 tersebut keterlaluan. Jika

setiap hari WR 3 berkeliling UNPAR dengan niat yang sama, tentu tinggal menunggu giliran bagi penghisap

rokok pemberani UNPAR untuk kebagian sanksi. Tapi berhakkah seorang WR 3 melakukan tindakan

demikian?

Nyatanya Peraturan Rektor Nomor: III/PRT/2014-07/057 pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa,

“Mahasiswa yang sudah terkena sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dan yang bersangkutan tidak

mengindahkan sanksi tersebut, maka Dekan berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa skorsing selama 1

(satu) semester.” Dan dalam peraturan yang sama pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa “Apabila Warga Unpar

melanggar larangan merokok di kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka para

pihak yang memiliki kewenangan untuk menegur adalah: a.Pimpinan Unit Kerja, b.Pejabat Struktural,

c.Atasan Langsung, d.Dosen e.Tenaga Kependidikan f.Mahasiswa”.

Dengan kata lain, ya, WR 3 selaku pejabat struktural dan dosen berhak menegur mahasiswa yang

merokok di kawasan UNPAR. Namun, untuk memberikan sanksi ia harus menegur secara tertulis 3 kali

terlebih dahulu. Yang artinya jika ada 20 saja perokok di kawasan UNPAR ia perlu menemui semua

perokok sebanyak 60 kali dan memberikan kepada setiap perokok teguran berupa tulisan untuk memberikan

efek jera berupa sanksi tegas. Adapun mengutip peraturan rektor yang sama sanksi yang dapat diberikan

kepada mahasiswa bukanlah penonaktifan keanggotan UKM melainkan skorsing selama 1 semester, itupun

harus lewat Dekan. Jadi jika Anda mahasiswa UNPAR dan seorang perokok nekat yang tetap ingin

menghisap rokok di kawasan UNPAR sebaiknya Anda berganti-ganti tempat merokok sesering mungkin

untuk memperkecil kemungkinan Anda mendapat teguran berupa tulisan sebanyak 3 kali dan tenang saja

jika teguran hanya secara lisan, artinya Anda aman. Lebih tenang lagi jika Dekan Anda juga seorang

perokok, Anda bisa jadi berada di atas peraturan larangan merokok.

Kembali ke kasus penonaktifan anggota UKM yang tertangkap basah merokok di kawasan UNPAR.

Setelah sedikit menelaah Peraturan Rektor Nomor: III/PRT/2014-07/057 dapat ditarik kesimpulan bahwa

tindakan WR 3 (apabila sungguh dilakukan) merupakan tindakan yang gegabah dan tidak konsisten dengan

peraturan. Peraturan yang UNPAR miliki tentang penindakan terhadap perokok memang belum sempurna,

tapi tidak berarti tindakan yang bertentangan atau melangkahi peraturan yang sudah ada dapat dibenarkan.

Di sisi lain peristiwa semacam ini menggambarkan bahwa sistem pengawasan terhadap para

penghisap rokok belum berjalan baik di kampus UNPAR. Pengawasan yang harusnya dilakukan secara

sadar dari akar rumput tidak berjalan sehingga fungsi pengawasan harus selalu dilakukan dari hirarki yang

lebih tinggi. “Toleransi dong untuk mereka yang merokok” menjadi kata-kata pembenaran para perokok

yang membuat logika berpikir menjadi terbalik tapi benar terjadi! Lagipula, ketika fungsi pengawasan selalu

dilakukan oleh hirarki yang lebih tinggi siapa yang mengawasi pejabat-pejabat hirarki tertinggi UNPAR

ketika mereka merokok?

Untuk mencapai cita-cita UNPAR bebas rokok dan asap rokok tentu perlu kerja keras dan kerja sama

dari berbagai pihak. Namun yang tidak kalah pentingnya lagi adalah keseriusan dari pimpinan UNPAR

untuk secara tegas, dan konsisten dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Saat ini petinggi UNPAR terlihat

tidak konsisten dalam memerangi rokok, sehingga menimbulkan kebingungan pada masyarakat UNPAR

larangan merokok di lingkungan UNPAR masih berlaku atau tidak. Berkurangnya spanduk larangan

merokok, tindakan pemberian sanksi tegas terhadap mereka yang merokok, maraknya masyarakat selain

mahasiswa yang merokok di lingkungan UNPAR seakan-akan ingin mengatakan bahwa larangan merokok

di lingkungan UNPAR sudah tidak berlaku lagi. Sehingga dirasa perlu bagi pimpinan UNPAR yang tak lain

juga adalah jajaran rektorat untuk menegaskan kembali apakah UNPAR masih berada di jalannya untuk

menjadi Universitas bebas asap rokok dan rokok atau sudah tidak lagi berada di jalan tersebut (?).

Apabila jawabannya adalah iya, bahwa UNPAR masih berada di jalannya maka jajaran rektorat

selain harus giat dan tegas menyerukan larangan merokok, yang disertai dengan tindakan pengawasan yang

tinggi, sampai pada pemberian sanksi kepada mereka yang tertangkap basah merokok di lingkungan

UNPAR, agar mahasiswa juga dapat mengetahui tindakan yang harus mereka lakukan seiring dengan

peraturan yang ada.

Bagaimanapun UNPAR adalah salah satu pembimbing dalam laboratorium raksasa kehidupan kita,

dan rokok merupakan salah satu alat belajarnya. Sebagai pembimbing yang baik, UNPAR sebaiknya

menyadari kebutuhan anak didiknya di samping menjerat anak didik dengan sanksi tegas. Sekali-kali

pendekatan halus juga dibutuhkan. Dalam hal ini mungkin penyadaran akan bahaya merokok atau

pembentukan area-area merokok yang mewadahi kebutuhan masyarakat UNPAR yang sering merokok

secara sembunyi-sembunyi bisa jadi menjadi jawabannya.

Merokok merupakan hak setiap individu, tapi tentunya merokok juga bukan menjadi alasan untuk

melupakan etika. Penghargaan terhadap lingkungan dan orang-orang sekitar serta peraturan yang ada tetap

menjadi penting untuk dijunjung, merokok ataupun tidak. UNPAR bebas asap rokok merupakan visi yang

harus dihargai secara sadar oleh setiap individu masyarakat UNPAR. Dan pencapaian visi tersebut harus

dilakukan dengan cara yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak.

Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti Hari Ini

“Memberi Terang Dari Barat”

Sebagai bagian dari masyarakat Universitas Katolik Parahyangan tentu sesanti Bakuning Hyang

Mrih Guna Santyaya Bhakti tidak asing lagi. Sesanti ini menggambarkan harapan UNPAR untuk

berkontribusi berdasarkan Ketuhanan untuk dibaktikan kepada masyarakat. Sesanti ini mau mengajak

seluruh elemen UNPAR untuk tidak hanya berorientasi pada kejayaan pribadi atau kelompok semata,

melainkan dalam konteks yang lebih luas berakar pada Ketuhanan membaktikan diri pada sesama.

Namun apakah sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti telah membawa masyarakat

UNPAR dalam konteks hidup yang lebih luas yaitu kepentingan bersama dalam setiap tindakan

masyarakatnya? UNPAR adalah suatu lembaga kaderisasi yang tidak hanya berpaku pada pengembangan

kognitif kader-kadernya. Banyak yang berpendapat bahwa kenyataan UNPAR telah berhasil mencetak lebih

dari 50.000 lulusan mungkin semakin mendekatkan UNPAR pada harapan yang digambarkan oleh

sesantinya.

Namun nyatanya, keberhasilan UNPAR dalam menggapai harapan sesantinya tidak dapat diukur

secara kuantitatif oleh jumlah lulusannya semata. Sesanti mulia UNPAR seharusnya menjadi bagian integral

dalam setiap sendi kehidupan elemennya. Sesanti UNPAR seharusnya diinternalisasikan dalam setiap

individu masyarakatnya sehingga tidak hanya digambarkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan

dengan panji UNPAR yang melekat di dalamnya. Melainkan digunakan sebagai pedoman dalam interaksi

sehari-hari yang nyata dan sederhana oleh setiap individu masyarakat UNPAR itu sendiri. Misalnya dalam

mengambilkan barang orang lain yang tertinggal, membantu mendorong kendaraan orang yang mogok,

memberikan senyum kepada orang-orang di sekitar, dan lainnya.

Berkarya lewat kegiatan kemasyarakatan yang diusahakan dalam panji UNPAR tentu sama sekali

tidak buruk. Namun alangkah baiknya jika sesanti mulia UNPAR bisa juga digunakan dalam konteks yang

lebih nyata dalam kapabilitas individu yang terbatas tetapi tetap memberikan kontribusi positif bagi sesama.

Mahasiswa Agen Pelurus Bangsa

Barangsiapa ingin melihat masa depan suatu negara, maka lihatlah pemudanya. Apa yang sedang

dilakukan oleh pemudanya saat ini akan berdampak pada kondisi negaranya di kemudian hari. Hal ini

menunjukkan betapa pentingnya pemuda bagi pembangunan negara ini kedepannya. Tidaklah salah apabila

pemuda merupakan tulang punggung bangsa.

Lantas siapakah yang dapat disebut sebagai pemuda?

Secara Internasional, World Health Organization (WHO) menyebutkan sebagai “Young People”

yang memiliki batas usia dari 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut sebagai remaja. Kemudian

menurut Rancangan Undang-undang Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 35

tahun. Melihat dari pengertian pemuda dari kedua sumber tersebut bisa dikatakan mahasiswa juga

merupakan pemuda. Mahasiswa dirasa akan sangat menentukan masa depan suatu bangsa dikemudian hari,

karena mahasiswa adalah kaum-kaum intelektual yang dipersiapkan semasa kuliahnya untuk menjadi

pemimpin negara dan bangsa ini.

Pada tahun 1908 mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo. Kelahiran organisasi

Budi Utomo adalah awal dari pergerakan nasional pada tahun-tahun berikutnya. Yang juga melahirkan

sebuah momentum yang sangat bersejarah yakni Hari Kebangkitan Nasional.

Kemudian pada tahun 1924 Soetomo mendirikan Kelompok Studi Indonesia, di tempat yang berbeda

Soekarno dan kawan-kawan juga mendirikan Kelompok Studi Umum. Pembentukan kedua kelompok

berimplikasi pada terbentuknya organisasi Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang mana organisasi ini

berusaha untuk menghimpun seluruh mahasiswa di Indonesia dan hal tersebut dapat direalisasikan dengan

menyelenggarakan Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda yang sangat bersejarah.

Peristiwa kemerdekaan Indonesia 1945 juga tidak lepas begitu saja dari peran mahasiswa, yang mana

pada saat itu pergerakan mahasiswa terdiri dari Soekarni dan Chairul Saleh yang akhirnya menculik tokoh

proklamator dengan maksud untuk memberi tekanan kepada mereka untuk segera memproklamasikan

kemerdekaan yang tercatat pada sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tidak berhenti di situ, sejarah

mencatat bahwa pada tahun 1966 akibat dari pergerakan mahasiswa akhirnya melahirkan Surat Perintah

Sebelas Maret (SUPERSEMAR), Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan, dan Orde lama beralih

kepada Orde Baru. Selanjutnya runtuhnya kejayaan Soeharto pada tahun 1998 menjadi bukti dari hebatnya

kekuatan mahasiswa yang pada akhirnya memaksakan lahirnya reformasi yang mengakhiri masa Orde Baru

Dari beberapa pergerakan mahasiswa yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa benar mahasiswa

merupakan motor penggerak pembaharuan, mahasiswa adalah masa depan bangsa dan mahasiswa adalah

pelurus bangsa. Ketika bangsa ini mulai menyimpang, penguasa tidak berpihak kepada rakyat maka

mahasiswa akan terus berjuang untuk rakyat. Mahasiswa dianggap merupakan kaum intelektual yang dapat

menjadi penyambung lidah antara rakyat dan pemimpin bangsa.

Namun kondisi mahasiswa zaman sekarang berbeda dengan mahasiswa dahulu. Kini mahasiswa

seakan-akan lupa bahwa merekalah penerus dan pelurus bangsa maka tak heran justru lebih banyak

mahasiswa kini belajar hanya demi lulus dengan IPK terbaik. Mahasiswa kini telah mengesampingkan

idealismenya sebagai seorang mahasiswa, kreativitas tidak lagi menjadi yang utama dan mahasiswa lebih

mengikuti arus yang ada. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian mahasiswa terhadap kondisi negara terus

dipelihara, tidak ada semangat untuk merubah nasib bangsa. Lebih banyak menuntut dari pada memberi

solusi dan beraksi nyata. Contoh kecilnya adalah mahasiswa lebih sering menyalahkan kenapa bisa macet

tanpa menyadari diri sendirilah yang membuat macet, mahasiswa lebih sering menuntut untuk menurunkan

harga BBM tanpa disadari mahasiswa jugalah yang mengakibatkan pemborosan BBM dengan pergi ke

kampus saja perlu membawa kendaraan padahal jaraknya yang sangat dekat. Ironisnya mahasiswa sekarang

ini sibuk berbicara soal kesuksesan dan tercapainya pekerjaan yang diharapkan, pengabdian seolah-olah

hanya menjadi tugas bagi veteran. Suka atau tidak suka inilah kondisi mahasiswa Indonesia sekarang ini.

Kondisi Indonesia saat ini belumlah menunjukkan bahwa Indonesia telah merdeka. Apabila

dianalogikan dengan usia manusia, seharusnya pada umur 70 tahun manusia tidak lagi dipusingkan dengan

berbagai persoalan, umur 70 tahun merupakan masa pensiun dimana biasanya orang hanya tinggal

menikmati hasil dari perjuangannya. Namun Indonesia tidaklah demikian, masih banyak persoalan di negeri

ini. Persoalan-persoalan tersebut yakni sebagai berikut, dolar yang pernah hampir menembus angka Rp

14.000 menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia belum stabil. Kemudian berdasarkan data dari Badan Pusat

Statistik (BPS) hingga September 2014 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yakni

sejumlah 27,73 juta jiwa. Tidak berhenti di situ, hukum juga masih sangat sulit untuk ditegakkan dan

hukum tidak memberikan keadilan, ketertiban, bagi masyrakat. Maka tak heran apabila kepercayaan

terhadap hukum semakin menurun. Dan Bangsa Indonesia masih sangat mudah untuk diadu domba yang

terlihat dari sering terjadinya konflik agama, suku, ras.

Dengan kondisi Indonesia saat ini, negara ini sangat merindukan semangat yang ada pada mahasiswa

yang telah lama hilang. Pada kondisi ini juga memaksa mahasiswa untuk kembali beraksi. Marilah pada

kemerdekaan Indonesia yang ke 70 ini kita jadikan momentum untuk bangun kembali dari tidur yang

panjang, berdiri lantang untuk mengurus apa yang hilang. Bahu-membahu membangun negeri dan bersama

mengabdi tanpa henti. Membangun karya dengan ikhlas karena cinta pada negeri. Berani muncul melawan

arus dan mendobrak kepalsuan yang terlanjur serius. Karena mahasiswa adalah Pemuda penyambung

revolusi, mahasiswa adalah pemuda pelurus bangsa. Memang untuk jangka panjang di masa depan kita

semua telah mati, tetapi sekarang kita perlu menyongsong seabad Indonesia dari persepektif baru yang lebih

obyektif, positif, dan optimis tanpa harus minder bermental inlander yang menghamba, sebaliknya harus

berani dan bisa jadi banga besar dan bermartabat. MAJULAH INDONESIAKU!

Seharmoni Irama Angklung

TOSAYA berasal dari kata Ngabantos Sadaya dalam bahasa Sunda berarti “Membantu

Sesama”, merupakan salah satu kegiatan pengabdian mahasiswa UNPAR. Kegiatan ini merupakan salah

satu bentuk nyata pengimplementasian Sesanti UNPAR yang berbunyi “Bakuning Hyang Mrih Guna

Santyaya Bakti ”. Kegiatan ini mau mewadahi cita-cita luhur mahasiswa UNPAR untuk mengabdikan hasil

dinamika bangku kuliah dalam bentuk yang lebih nyata dan signifikan. Selain itu lewat kegiatan ini juga

UNPAR ditantang untuk menunjukan eksistensinya sebagai lembaga kaderisasi humanis secara konkret

dengan langsung maupun tidak langsung menanamkan kepedulian dalam diri pelaku-pelaku kegiatan ini.

TOSAYA 2016 awalnya disepakati hadir di desa Cempaka Mekar Kabupaten Bandung Barat.

Pemilihan desa tersebut bukannya tanpa dasar. Pihak panitia telah melakukan survei dan validasi ke

pemerintah serta beberapa desa dan mendapatkan hasil bahwa desa tersebut memang membutuhkan bantuan.

Kegiatan ini sudah dipersiapkan dengan matang dan hampir tidak menemui kendala awalnya. Warga desa

yang berharap pembangunan desanya dipercepat tentu banyak yang antusias dengan adanya kegiatan ini.

Namun lima hari setelah acara peresmian TOSAYA 2016 dilaksanakan, pada tanggal 21 Januari

2016 tanpa disangka-sangka datang surat dari salah satu ormas keagamaan yang isinya menolak kehadiran

mahasiswa/i UNPAR dalam kegiatan Tosaya di desa tersebut. Surat ini disertai ancaman pengiriman laskar

dari ormas tersebut apabila kegiatan tetap berlangsung. Hal ini kemudian disikapi dengan mengadakan

musyawarah antara pemerintahan desa, kepolisian, ormas yang bersangkutan serta perwakilan UNPAR.

Musyawarah berlangsung lama dan alot, namun karena tanpa titik terang akhirnya UNPAR melalui

TOSAYA harus membatalkan kegiatannya di desa tersebut.

Gerakan yang awalnya memiliki tujuan pengabdian sederhana kini telah tercampur aduk dalam isu

sektoral yang basi. Solusi jangka pendeknya, mahasiswa UNPAR harus mengurungkan niat andil

membangun Cempaka Mekar. Solusi jangka panjangnya apakah pernah terpikirkan? Apakah hal semacam

ini akan terulang? Haruskah setiap perbedaan dijadikan tembok pembatas gerak?

Dalam hal ini kita sebagai bangsa berarti telah gagal. Pemerintah gagal membina warga negaranya

untuk bersifat pluratis dan mengesampingkan ego sektoral. Keagamaan seringkali hanya terpaku pada

legalitas bingkai kelompok dan sebatas gedung sebagai rumah ibadah, dan negara tidak bisa meluruskan hal

itu. Bahkan mungkin bukan hanya pada sekat-sekat keagamaan pemerintah gagal membina warga

negaranya. Mungkin dalam banyak sektor lain yang tak terangkat ke permukaan sekat-sekat sosial justru

tumbuh subur tanpa pernah kita sadari. Dengan kata lain mungkin kebangsaan hanya kebebasan ilusif karena

cenderung dipaksakan padahal tembok-tembok sektoral berdiri menjulang di antara sekat-sekat yang kita

bentuk. Kisah Desa Cempaka Mekar di atas memperlihatkan masyarakat akar rumput masih belum bisa

mengintegralkan identitas partikulernya dalam wadah berbangsa yang lebih luas. Layaknya rumah tangga

yang retak, satu atap tidak berarti harmonis. Apakah identitas kelompok sebegitu sempitnya mengurung

manusia sebagai pemeran utama dalam ruang geraknya yang penuh keberbedaan?

Keputusan TOSAYA untuk mengurungkan niat membangun Cempaka Mekar menjadi langkah

tunggal yang dapat dimaklumi di tengah situasi penentangan yang tidak terselesaikan. Namun mungkin

penentangan mereka juga bukan tanpa dasar. Individualisme manusia modern mengajarkan ,"Gue ada kalo

gue butuh" mungkin pandangan yang menakutkan mereka. Mungkin TOSAYA terlihat sebagai pemberi jasa

yang tak gratis. Ada 'upah' terselubung di balik jasa pengabdian. Dan jika keadaannya demikian, kita sebagai

kaum intelektual berarti juga telah gagal.

Ada hal yang perlu kita sadari bersama. Layaknya pepatah, "Dimana bumi dipijak, disitu langit

dijunjung." Kesadaran membumi dan menjadi bagian dari lingkungan dituntut untuk ada dalam kesadaran

kita sebagai manusia. Tanpa kesadaran itu kita menjadi tanpa guna. Bagaimanapun kita hidup di tanah

Sunda, apapun latar belakang yang mewarnai sejarah kita. Seperti kata Parahyangan sendiri, kita pun diajak

untuk bersama-sama menjadi bagian dari tanah Sunda. Hal ini perlu terefleksi dalam kehidupan kita sehari-

hari. Hal-hal sederhana misalnya sapaan dalam bahasa Sunda, bercengkrama dengan ibu kos atau warga

sekitar merupakan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meruntuhkan sekat-sekat sektoral dan menjadi bagian

dari Sunda, atau setidaknya Ciumbuleuit.

Alangkah indahnya hidup jika sekat sektoral tinggal menjadi batasan-batasan abstrak yang melebur

menjadi wadah yang lebih besar. Kelekatan emosional di kedalaman batin manusia perlu berangkat dari

ruang hidup cita rasa dan lokalitas kewilayahan. „UNPAR‟ perlu beranjak dari konteks ruang dan waktu

yaitu ruang dan waktu „Kesundaan‟. Artinya dialog budaya harus dimainkan layaknya angklung yang

dimainkan dalam harmoni indah, dengan nada yang berbeda kita pun bisa memberikan warna tersendiri

dalam alunan harmoni kehidupan.

Kisah penolakan di Desa Cempaka Mekar menjadi catatan penting sejarah perjalanan UNPAR di

tanah Parahyangan. Karena sejak awal mulanya UNPAR mengusung sesanti,‟ “Bakuning Hyang Mrih Guna

Santyaya Bakti ”. Rupanya sesanti itu menjadi refleksi tersendiri dari waktu ke waktu. Ingatlah bahwa

segala sesuatu berjalan dan hadir dalam ruang dan waktunya, hingga dengan sendirinya ia akan menjelma

dan melekat dengan kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Kalau ini tidak terefleksikan maka „seharmoni

irama angklung’ akan dapat menjadi paradoks, „absurditasnya harmoni angklung'.

Bela Negara Sejalan Dengan Strategi Pertahanan Indonesia

Beberapa waktu lalu, rakyat Indonesia dihebohkan dengan adanya program baru pemerintah, yaitu

Bela Negara. Seperti kebijakan-kebijakan lainnya, program Bela Negara ini juga menuai kontroversi. Ada

pihak yang berpendapat bahwa program tersebut tidak sejalan dengan revolusi mental yang dicanangkan

oleh Jokowi jika menggunakan cara militer. Kebijakan yang seharusnya diadakan pemerintah adalah

pembentukan karakter pendidikan sehingga unsur militer apapun dianggap sebagai penyimpangan. Di sisi

lain, pihak yang mendukung Bela Negara juga berpendapat bahwa program tersebut merupakan hal yang

krusial, mengingat dalam program tersebut ditanamkan nilai-nilai cinta tanah air, kedisiplinan, dan

solidaritas. Konsep Bela Negara itu sendiri masih berbeda intepretasinya oleh tiap pihak sehingga

menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat.

Miskonsepsi akan Bela Negara banyak terjadi di masyarakat awam. Hal tersebut terjadi karena Bela

Negara diasosiasikan dengan Wajib Militer, seperti yang telah diberlakukan negara-negara lain (baca: Korea

Selatan, Singapura, dsb). Berbeda dengan Wamil (Wajib Militer), Konsep Bela Negara yang dimaksud oleh

Indonesia adalah penanaman rasa patriotisme, cinta tanah air, latihan baris berbaris melalui latihan

keprajuritan. Dalam Wamil, masyarakat sipil dipersiapkan untuk perang dengan pengetahuan taktik dan

teknis bertempur, serta cara menggunakan senjata. Pemerintah sejauh ini menargetkan 100 kader bela

negara, dengan harapan mahasiswa merupakan pihak yang paling sigap terkait hal ini.

Walaupun Bela Negara bukan merupakan Wajib Militer, program tersebut sejalan dengan strategi

pertahanan berlapis Indonesia dalam menghadapi ancaman militer. Menurut Buku Putih Pertahanan

Indonesia tahun 2008, Indonesia memiliki tiga lapis pertahanan, yaitu lapis diplomasi, lapis masyarakat

sipil, dan lapis TNI. Pada tahap pertama, diplomasi dijadikan sebagai cara utama dalam menghadapi

ancaman. Indonesia menunjukan citra bahwa negara Indonesia bukan lah negara yang agresif. Indonesia

akan berusaha mewujudkan defensif aktif dengan cara mengedepankan upaya diplomasi di setiap konflik.

Dalam hal ini, pihak luar yang memberikan ancaman diajak berdiskusi untuk menghapuskan niat untuk

agresi atau menarik balik pasukan yang telah dikerahkan. Apabila segala usaha diplomasi telah dilakukan

dan tidak menemukan jalan keluar, maka lapis masyarakat sipil akan digunakan untuk menghadang ancaman

tersebut. Lapis TNI disini merupakan kekuatan pemukul utama. Cara kekerasan hanya akan dilakukan

apabila segala usaha tanpa senjata telah dilakukan oleh Indonesia dan tidak menemukan titik terang antara

kedua pihak.

Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil, seringkali lapis kedua menuai kontroversi. Hal ini

dipandang menjadikan masyarakat sebagai „tameng‟ bagi TNI. Merespon hal tersebut, pemerintah menolak

pernyataan tersebut karena fungsi masyarakat sipil disini bukan lah dijadikan sebagai petarung, melainkan

fungsi lainnya, seperti melakukan demontrasi dan propaganda. Menimbang hal tersebut, jika masyarakat

hanya berbekalkan aksi turun ke jalan untuk menghadapi ancaman, aksi tersebut bukanlah aksi yang solutif.

Secara pragmatis, korban masyarakat sipil dapat berjatuhan apabila kecanggihan senjata hanya dilawan

dengan teriakan-teriakan dari demonstrasi masyarakat Indonesia. Disini terlihat bahwa kurang bijak jika

memposisikan lapis masyarakat sipil menjadi lapis sebelum TNI yang memiliki tugas untuk menjaga

perdamaian di tanah air. Minimnya pengetahuan masyarakat luas akan teknik bersenjata memperburuk

keadaan tersebut.

Fokus pembahasan disini bukanlah mengkritik strategi pertahanan berlapis yang dimiliki oleh

Indonesia, akan tetapi, mengoptimalkan strategi tersebut agar dapat berjalan dengan baik nantinya tanpa

merenggut banyak nyawa. Pada intinya, pemerintah meminta seluruh elemen negara untuk melihat ancaman

tersebut sebagai ancaman bagi seluruh bangsa apabila kelangsungan hidup Indonesia yang terancam. Setuju

akan pernyataan tersebut, masyarakat harus dibekalkan nilai-nilai lebih agar lebih siap menghadapi

ancaman.

Bela Negara sebagai salah satu upaya untuk membekali masyarakat dengan nilai kedisiplinan,

patriotisme, nasionalisme merupakan langkah awal awal yang baik untuk menghadapi ancaman militer yang

kelak dihadapi Indonesia. Walaupun program tersebut masih sebatas penanaman nilai, kesadaran akan

pentingnya mempertahankan tanah air akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Masyarakat berupaya untuk

mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara yang lebih solutif, bukan sekedar

membuat propaganda dan turun ke jalanan dalam situasi yang genting. Selain itu, Bela Negara merupakan

optimalisasi strategi pertahanan Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bahwa Wajib Militer juga dapat

dipertimbangkan menjadi program dari Kemhan karena Wamil sejalan dengan strategi tersebut. Wajib

Militer merupakan penyempurnaan tiga lapis strategi pertahanan Indonesia. Indonesia masih jauh dari

kebijakan wajib militer karena Indonesia berusaha menunjukan citra diri yang ramah dengan meminimalkan

cara represif dalam menyelesaikan permasalahan dan mengedepankan upaya diplomasi.

TIONGHOA: INDONESIAKAH, AKU?

Orang Tionghoa terutama di Indonesia bagaikan orang Yahudi di Eropa atau khusunya Jerman pada

masa pemerintahan Nazi. Seringkali orang Tionghoa dicap sebagai orang kaya dan pelit yang berusaha

menghisap kekayaan Indonesia untuk keuntungannya sendiri. Mereka dimusuhi dan tidak dianggap sebagai

bagian dari Republik Indonesia. Mereka seperti memiliki dosa asal karena terlahir sebagai Tionghoa di

Indonesia. Mereka dianggap rakus akan uang dan tidak mau berbaur dengan penduduk yang katanya “asli”

yang mungkin hanya datang lebih dulu datang ke tanah yang bernama Indonesia. Mengapa mereka bisa

terlihat lebih kaya? Sebab mereka bekerja keras dalam hidup. Mental kerja keras itu sudah didapat dari tanah

leluhurnya yang terus rusuh mulai dari bencana, perang, dan serbuan bangsa “barbar”, sehingga mereka

keluar dari tanahnya untuk hidup yang lebih layak. Hidup sebagai perantau jauh lebih berat, oleh karena itu

orang-orang Tionghoa lebih ekstra dalam menghadapi segala hal. Dan ingat tidak semua orang Tionghoa di

Indonesia kaya, banyak dari mereka juga miskin dan tertindas seperti di Tanggerang dan Kalimantan Barat.

Jangan lupa pula bahwa keberadaan orang Tionghoa di Nusantara sudah sangat lama bahkan mereka sudah

ada di tanah ini sebelum Kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara berdiri, walaupun tidak bisa dibilang lebih

lama dari orang-orang yang mendirikan kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Kemudian karena gelombang

kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara pada abad-abad 18 dan 19 lah mengapa mereka dicap

sebagai pendatang.

Masuknya Orang Tionghoa ke Nusantara

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya dan menjadi daya tarik dunia perdagangan

sejak ratusan tahun yang lalu. Kekayaan Indonesia dan ramainya jalur perdagangan laut di wilayah

Nusantara menjadikan wilayah Indonesia banyak dikunjungi oleh berbagai bangsa terutama dari Tiongkok,

Arab, dan India. Menurut beberapa catatan tertua yang ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada

abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7, sudah ada beberapa orang Tionghoa yang berdatangan ke Indonesia

terutama untuk belajar agama.

Seiring dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara menyebabkan semakin banyak orang

Tionghoa yang berdatangan ke Indonesia selain untuk berdagang mereka juga menetap di wilayah-wilayah

kerajaan di nusantara. Pergerakan orang-orang Tionghoa dari Tiongkok ke Indonesia secara besar terjadi

pada abad ke-13 pada saat Kaisar Dinasti Yuan Kublai Khan menyerbu Jawa untuk mengalahkan Kerajaan

Singhasari, tetapi setelah itu tentara Tiongkok dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Banyak dari mereka

akhirnya tidak kembali ke Tiongkok dan memilih untuk menetap di Pulau Jawa.

Perkembangan selanjutnya pada abad ke-15 ketika Kaisar Dinasti Ming mengirim armada ke

Indonesia dibawah komando Laksamana Cheng Ho, dan banyak dari pengikutnya memilih menetap di Pulau

Jawa khusunya kota Semarang. Cheng Ho juga mencatat bahwa pada saat kedatangannya juga sudah banyak

orang-orang Tionghoa yang menetap di ibukota dan kota-kota bandar Majapahit yang membetuk 3

komponen penduduk kerajaan tersebut. Di kota Semarang dibangunlah Kelenteng Sam Po Kong.

Sejumlah sejarawan juga menunjukan bahwa Raden Patah alias Jin Bun, pendiri Kesultanan Demak,

memiliki darah keturunan Tionghoa selain darah dari raja Majapahit. Begitu pula dengan beberapa wali

penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah keturunan Tiongkok. Pada masa itu sangat banyak orang

Tionghoa yang memeluk agama Islam terutama di daerah pesisir pulau Jawa dan mereka tidak lagi secara

aktif mempraktekan kebudayaan Tionghoa.

Jadi, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, bangsa Tionghoa sudah menetap secara

permanen di Indonesia dan sudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal. Mereka hidup rukun berdampingan

dengan penduduk pribumi. Kebanyakan mereka bekerja sebagai padagang dan sebagian kecil bekerja

sebagai pekerja kasar yang didatangkan oleh kerajaan di Nusantara dari negeri Tiongkok.

Orang Tionghoa pada Masa Penjajahan Bangsa Eropa: Penjajahan oleh VOC

Sejarah Indonesia memasuki babak baru yaitu dengan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia yang

dimulai oleh Portugis dan Spanyol dan kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Pada masa

VOC (kongsi dagang Belanda) berkuasa di Indonesia, mereka mulai menerapkan aturan-aturan yang

menyiksa dan menyusahkan orang-orang yang sudah tinggal di Indonesia baik pribumi maupun Tionghoa.

Pada saat itu banyak orang Tionghoa khususnya di Batavia yang bekerja sebagai buruh pabrik di pabrik-

pabrik gula milik VOC, tukang bangunan, pedagang, dan pemilik toko.

Pada tahun 1740 terjadi berbagai masalah yang berkaitan dengan orang Tionghoa sebab adanya

peraturan-peraturan diskriminatif yang dikeluarkan VOC. Berbagai kebijakan diskriminatif dan juga

masalah yang timbul terkait dengan orang Tionghoa antara lain pertama, setiap orang Tionghoa wajib

memiliki surat identifikasi jika tidak maka akan dideportasi ke Tiongkok. Kedua, Komisaris Urusan Orang

Pribumi Roy Ferdinand, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memutuskan sejak tanggal 25

Juli 1740 setiap orang Tionghoa yang mencurigakan akan dibuang ke Sri Lanka dan dipaksa menjadi petani

kayu manis. Ketiga, tersebar desas-desus bahwa orang yang dibuang ke Sri Lanka tidak akan pernah sampai

melainkan akan dibuang ke laut. Keempat, Orang Tionghoa yang kaya diperas oleh penguasa Belanda untuk

membayar sejumlah uang atau dideportasi. Kelima, banyak orang Tionghoa miskin yang bekerja sebagai

buruh pabrik gula dimanfaatkan oleh penguasa VOC. Keenam, harga gula di Hindia Belanda jatuh. Ketujuh,

keputusan Gubernur Jenderal Valckenier untuk menindak tegas dengan kekuatan yang mematikan kepada

orang Tionghoa yang membuat rusuh. Hal-hal seperti itu membuat orang Tionghoa menjadi resah.

Karena terjadi keresahaan tersebut mereka berusaha untuk melawan penguasa VOC. Setelah buruh

pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak dengan membakar dan menjarah pabrik gula, pada 7 Oktober

1740 ratusan orang Tionghoa dibawah komando Kapitan Tionghoa Ni Hoe Kong membunuh 50 pasukan

Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang, Batavia. VOC mengirim 1.800 tentara untuk memadamkan

pemberontakan dan pasukan Belanda berhasil mengalahkan serangan ribuan orang Tionghoa pada esok

harinya. Akhirnya pada 9 Oktober 1740, VOC mulai menembaki rumah-rumah orang Tionghoa dengan

Meriam. Semua orang Tionghoa ditembaki saat mereka melarikan diri. Mereka yang berhasil mencapai

kanal untuk menyelamatkan diri dibantai oleh pasukan VOC yang sudah menunggu dengan perahu kecil,

bahkan sampai pasien rumah sakit yang orang Tionghoa dibawa ke luar untuk dibunuh. Akibat pembataian

ini tak kurang dari 10.000 orang Tionghoa terbunuh. Pembantaian tidak hanya terjadi di Batavia tapi juga

menjalar ke Semarang, Surabaya, dan Gresik.

Sisa pasukan Tionghoa yang selamat dibawah pimpinan Khe Pan Djang (Sepanjang/Tay Wan Soey)

melarikan diri ke pesisi Jawa, mereka diterima dan didukung oleh pasukan Jawa dibawah pimpinan Sultan

Mataram Pakubuwana II untuk terus berjuang melawan VOC. Perang ini berlanjut dengan Perang Jawa

tahun 1741-1743, dimana laskar Tionghoa dibawah pimpinan Khe Pan Djang bersatu dengan pasukan

Kesultanan Mataram (kemudian menjadi Kesunanan Surakarta) dibawah pimpinan Sultan Pakubuwana II

berperang melawan VOC. Perang ini menyebabkan hampir berhasil diusirnya VOC dari tanah Jawa. Tetapi

VOC mendapat bantuan dari Pangeran Cakraningrat IV dari Madura (yang akhirnya dikhinati oleh Belanda,

kemudian bergabung dengan pemberontak) dan bantuan pasukan dari Ambon dan Sulawesi berhasil

mengalahkan gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, dimana akhirnya Sunan Pakubuwana II menyerah pada

VOC tahun 1742 dan perjuangannya dilanjutkan oleh Amangkurat V. Disamping itu juga terjadi Perang

Kuning (bagaian dari Perang Jawa) yang dimulai di Lasem yang juga merupakan gabungan pasukan Jawa-

Tionghoa melawan VOC dibawah komando Oei Ing Kiat, Tan Kee Wie, dan Raden Panji Margono.

Gabungan pasukan ini berhasil mengusir VOC dibeberapa kota dan mengepung Kota Semarang, sebelum

kemudian Belanda mendapatkan bantuan dan berhasil memenangkan pertempuran Semarang. Selain itu juga

terdapat nama Singseh alias Tan Sin Ko yang bersama Raden Mas Said (Mangkunegara I) yang bertempur

di Welahan melawan pasukan VOC. Keseluruhan Perang Jawa ini kemudian berhasil dimenangkan oleh

VOC dengan bantuan pasukan dari luar pulau Jawa dan dengan persenjataan yang lebih mampuni.

Dari sejarah pembantaian orang Tionghoa di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Gresik sudah jelas

bahwa orang Tionghoa bernasib sama dengan pribumi lainnya mereka didiskriminasi dan diperlakukan

kejam oleh penjajah. Hal ini menyebabkan mereka mengangkat senjata untuk mengusir penjajah. Disini

dapat disaksikan bahwa orang Tionghoa juga ikut berkontribusi dalam perang melawan penjajah.

Setelah peristiwa berdarah ini yang memiliki dampak besar dalam pemisahan penduduk Hindia

Belanda antara orang Tionghoa dan pribumi. Oleh penguasa VOC, orang Tionghoa hanya diperbolehkan

tinggal disatu tempat tertentu dan jika ingin keluar wilayah tersebut harus memiliki izin (semacam paspor).

Hal ini melahirnya banyak kampung-kampung Tionghoa yang disebut Pecinan (Chinatown). Secara praktis

kehidupan orang Tionghoa menjadi terpisah dengan kehidupan pribumi lainnya. Usaha VOC ini berhasil

untuk memisahkan orang Tionghoa dengan pribumi lainnya dengan membuat Pecinan tersebut, mereka

saling diadu domba agar tidak sepaham. VOC takut jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu kembali dan

memberontak.

Republik Lanfang

Sejarah orang Tionghoa di negeri ini sangat panjang salah satunya adalah sejarah yang cukup penting

tapi banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu sejarah mengenai Republik Lanfang, republik pertama di

Asia. Negara republik pertama di Asia ini ada di Indonesia tepatnya di Kalimantan Barat seakarang ini. Pada

awalnya terdapat wilayah-wilayah pertambangan emas di Kalimantan Barat yang berada dibawah kekuasaan

Kesultanan Sambas. Untuk mengelola tambang-tambang emas tersebut, Sultan Sambas mendatangkan para

pekerja dari negeri Tiongkok yang kebanyakan orang Hakka. Lambat laun berdiri kongsi-kongsi dagang

diantara para pekerja tambang tersebut. Kongsi-kongsi dagang ini mengatur pertambangan yang mereka

kelola dan mereka tunduk dengan membayar upeti kepada Sultan Sambas. Salah satu kongsi dagang yang

besar dan kuat adalah Kongsi Lanfang yang dipimpin oleh Lo Lan Pak (Luo Fangbo) yang didirikan pada

tahun 1777.

Pada tahun 1778 ketua Kampung Pontianak mengangkat diri menjadi Sultan Pontianak pertama dan

mendirikan Kesultanan Pontianak. Karena wilayah kerja Kongsi Lanfang berada di muara sungai yang

dikuasai oleh Sultan Pontianak, maka mereka akhirnya lebih dekat dengan Sultan Pontianak dibandingkan

dengan Sultan Sambas. Seiring semakin besar dan kuatnya Kongsi Lanfang mereka diberikan otonomi

khusus dari Sultan Pontianak untuk mengatur wilayahnya sendiri. Kongsi ini kemudian berubah menjadi

sebuah Republik yang terpisah dari kekuasaan lain dan mandiri. Republik Lanfang memiliki sistem

pemerintahan sendiri yang sangat demokratis karena terdiri dari tiga badan yaitu eksekutif, legislatif, dan

yudikatif, mereka juga memiliki sistem hukum, perbankan, dan mata uang sendiri. Republik ini juga

memiliki kementerian pertahanan dan tentara dengan tujuan untuk mempertahankan republik bukan untuk

perang. Republik ini diperintah oleh seorang presiden yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan

umum oleh setiap warga republik. Selama 107 tahun berdirinya Republik Lanfang, tidak kurang ada 13

presiden yang pernah menjabat.

Republik ini juga memiliki sistem birokrasi dan pembagian pejabat tinggi dan rendah, mereka

berasal dari banyak kalangan. Tetapi yang hanya bisa dipilih menjadi presiden hanya mereka yang

keturunan Tionghoa Hakka. Republik ini secara de facto ada dan benar sebagai sebuah negara yang

independen tetapi karena waktu itu hubungan internasional belum maju, tidak ada yang mengakui secara de

jure republik ini kecuali kesultanan disekitar Republik Lanfang. Republik ini juga selalu melapor dan

membayar upeti kepada Dinasti Qing yang berkuasa di Tiongkok.

Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan membawa Republik Lanfang ke dalam

perang melawan Belanda. Setidaknya ada beberapa perang yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa di

Kalimantan melawan Belanda. Perlawanan ini adalah perlawanan yang pertama di pulau Kalimantan

melawan Belanda yang terjadi pada tahun 1823. Kemudian diikuti dengan perlawanan lainnya tahun 1850-

1854, 1854-1855, dan 1884-1885. Perlawan terakhir pada tahun 1884-1885 yang berkobar di ibukota

Lanfang, Dong Wanli (sekarang Mandor), menandakan berakhirnya Republik Lanfang akibat invasi Belanda

secara besar-besaran. Tetapi secara formal Belanda tidak pernah mengakui menduduki wilayah Lanfang dan

Belanda membuat pemerintahan boneka dengan para petinggi Republik Lanfang sebagai pengurusnya, hal

ini dilakukan Belanda karena takut akan marahnya Dinasti Qing. Belanda baru mengumumkan menduduki

wilayah Lanfang pada tahun 1912 saat setelah Dinasti Qing di Tiongkok runtuh.

Orang Tionghoa pada Masa Penjajahan Bangsa Eropa: Pemerintahan Hindia Belanda

Setelah pemberontakan, pembataian orang Tionghoa, dan perang Jawa yang merupakan gabungan

antara pasukan Jawa dan Tionghoa, Belanda semakin memisahkan kedua bangsa ini (terutama Tionghoa

yang dipisahkan dari pribumi lainnya). Pada tahun 1799, VOC bangkrut akibat korupsi yang merajalela dan

setelah itu seluruh wilayah dan aset VOC diambil alih menjadi milik pemerintah Kerajaan Belanda.

Memasuki abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda membuat politik pembagian golongan dimana penduduk

Hindia Belanda dibedakan menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa,

Arab, India), dan golongan Pribumi. Walaupun dipisahkan tetapi hubungan antara orang Tionghoa dan

Pribumi lainnya tetap berjalan terutama dalam bidang perdagangan. Disamping itu juga dengan bertambah

banyaknya kembali orang-orang Tionghoa yang tinggal di kota-kota di Hindia Belanda. Belanda melihat

bahwa orang Tionghoa bisa dijadikan manfaat sebagai mitra dagang sekaligus menjadi perantara untuk

mengubungkan antara pedagang Belanda dengan pedagang Pribumi.

Karena keahliannya dalam berdagang dan manfaat yang didapat dengan keberadaannya, orang

Tionghoa ini oleh Pemerintah Hindia Belanda dinaikan statusnya dari kelompok masyarakat kelas dua

(golongan Timur Asing) menjadi kelompok masyarakat kelas satu setara dengan orang Belanda. Sedangkan

orang Pribumi tetap dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas tiga. Pemisahan dan pengkhususan yang

dilakukan oleh orang Belanda terhadap orang Tionghoa (privilege) menjadikan orang Tionghoa dianggap

sebagai sekutu erat Belanda oleh orang Pribumi. Selain itu juga karena kesenjangan ekonomi yang besar

antara orang Tionghoa dan Pribumi semakin menimbulkan prasangka buruk terhadap orang Tionghoa.

Padahal di Hindia Belanda juga masih banyak orang-orang Tionghoa yang hidup miskin dan tertindas

bahkan sampai saat ini seperti di Tanggerang dan Kalimantan Barat.

Timbulnya prasangka buruk dan sikap anti-Tionghoa di Jawa terlihat pada saat meletusnya Perang

Diponegoro (1825-1830). Pada perang tersebut masyarakat Tionghoa dijadikan musuh karena banyaknya

kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang merugikan orang Pribumi sedangkan karena status khusus yang

diberikan oleh Belanda kepada orang Tionghoa membuat mereka untung (walau hanya sebagian kecil orang

Tionghoa kaya saja yang untung) dan serangkaian peristiwa yang terjadi dimana tidak bisa bersatunya orang

Tionghoa dan orang Jawa.

Penyerangan terhadap orang Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal

peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyatakan bahwa komunitas Tionghoa di

Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen

sempat bertahan sampai tahun 1827 sebelum akhirnya dipindahkan ke Wonosobo. Meskipun demikian,

masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro

dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium,

termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara masyarakat Tionghoa dan

masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat

trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa Pribumi meminta masyarakat

Tionghoa yang mengungsi agar kembali.

Pada masa ini masyarakat Tionghoa menjadi sasaran kekerasan dalam perang dari kaum Pribumi,

disamping sebagian lagi berkontribusi membantu masyarakat Jawa Pribumi dalam perang melawan Belanda.

Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa politik adu domba Belanda cukup berhasil. Jika kita melihat pada

sejarah maka titik tolak dari munculnya perselisihan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi

terjadi setelah peristiwa pembantaian dan pemberontakan orang Tionghoa di Batavia (Geger Pecinan). Sejak

itu orang Tionghoa mulai dipisahkan kehidupannya dari Pribumi lainnya sehingga menimbulkan

ketidakharmonisan komuniskasi antara dua golongan ini.

Masa Kebangkitan Nasional

Sejarah Indonesia memasuki babak baru dengan lahirnya banyak kaum terpelajar akibat Politik Etis

pemerintah Hindia Belanda. Politik Etis ini merupakan jawaban Pemerintah Hindia Belanda atas kritikan

keras Multatuli dalam bukunya Max Havelaar atas kekejaman kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.

Politik Etis ini menghasilkan perubahan nyata dengan mulai dibangunnya sekolah-sekolah untuk kaum

Pribumi dan perbaikan irigasi, pertanian, dan dalam bidang lainnya. Awalnya pendidikan hanya untuk kaum

elite Pribumi saja (tidak termasuk Pribumi biasa) dan untuk orang Tionghoa diabaikan. Padahal orang

Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Maka masyarakat Tionghoa

mendirikan Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) pada tahun 1900 di Batavia yang mendirikan sekolah-sekolah

dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah pada

tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah pada tahun 1934. Inisiatif ini diikuti oleh etnis lainnya, seperti

keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair yang meniru model THHK. Selanjutnya hal ini

menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi

Utomo pada 20 Mei 1908.

Dalam bidang perekonomian orang-orang Tionghoa juga berpengaruh dalam pendirian kongsi-

kongsi dagang dan serikat dagang yang diikuti oleh kalangan lain. Hal ini terlihat seperti berdirinya Sarekat

Dagang Islam tahun 1909 di Buitenzorg yang mengikuti model Siang Hwe (kamar dagang Tionghoa) yang

didirikan tahun 1906 di Batavia.

Pemerintah kolonial Belanda semakin khawatir sejak Sun Yat-sen memproklamasikan Republik

Tiongkok pada Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-

budaya mualai mengarah kepada politik. Tujuannya untuk menghapus perlakuan diskriminatif terhadap

orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum dan/atau peradilan, status sipil,

beban pajak, hambatan bergerak, dan bertempat tinggal. Hambatan untuk bergerak bagi orang Tionghoa

disebabkan karena adanya passenstelsel yaitu peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa membawa

kartu pass jalan ketika mengadakan perjalanan keluar daerah, yang berlaku sejak 1816. Bagi mereka yang

tidak mendaftarkan diri dan kedapatan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan dikenai sanksi

hukuman atau denda 10 gulden.

Sejak politik etis terlaksana dan pendidikan golongan lain selain Pribumi berkembang, melahirkan

banyak kaum terpelajar. Kaum terpelajar ini mendorong lahirnya pergerakan nasional untuk merumuskan

identitas Kebangsaan Indonesia yang dikenal dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Pada waktu terjadinya

Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, seperti Kwee Tiam Hong dan

tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sumpah Pemuda dibacakan di rumah milik Sie Kok Liong yang disewakan

kepada para pemuda untuk kos dan sebagai kantor PPPI. Koran Sin Po yaitu koran Melayu Tionghoa juga

sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi nasionalis. Pada tahun 1920-an,

koran Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera menggantikan kata Belanda inlander di

semua penerbitannya. Perubahan ini kemudian diikuti oleh banyak koran lainnya. Sebagai balas budi, semua

pers lokal kemudian mengganti kata “Tjina” menjadi kata “Tionghoa”. Koran Sin Po juga merupakan koran

pertama yang berani menyebarkan lagu Indonesia Raya karangan W.R. Supratman pada tahun 1928.

Masa Kemerdekaan dan Revolusi Nasional Indonesia

Menjelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dibentuklah BPUPKI sebagai badan yang bertugas untuk

meyiapkan kemerdekaan Indonesia seperti menyusun dasar negara UUD dan lain sebagainya. Dalam BPUPKI

terdapat empat orang Tionghoa yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, dan Oey Tjong Hauw. Dalam

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat satu orang Tionghoa yaitu Drs. Yap Tjwan Bing. Liem Koen

Hian sebagai salah satu perancang UUD 1945 dan juga delegasi dalam Perjanjian Renville serta orang yang berjasa

menyeludupkan obat-obatan selama masa pendudukan Belanda untuk kepentingan Republik Indonesia meninggal

sebagai orang asing di negara yang pernah ia perjuangkan karena dituduh sebagai simpatisan kiri.

Menjelang detik-detik kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa yang sangat terkenal yaitu Peristiwa

Rengasdengklok dimana Bapak Bangsa Soekarno dan Mohammad Hatta diculik oleh kelompok pemuda

yang memaksa Soekarno segera memerdekakan Indonesia. Pada saat di Rengasdengklok Tentara Pembela

Tanah Air (PETA) mengambil rumah seorang Tionghoa Djiaw Kie Siong sebagai tempat untuk

mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Djiaw Kie Siong dengan rela rumahnya diambil oleh Tentara

PETA untuk kepentingan perjuangan Indonesia. Sejatinya naskah proklamsi sudah disusun dan bendera

Merah Putih sudah dikibarkan di rumah Djiaw Kie Siong dimana pada 16 Agustus 1945 naskah proklamasi

akan dibacakan di rumah Djiaw Kie Siong. Tetapi Ahmad Soebardjo datang dan mengundang Soekarno dan

Hatta untuk membacakan naskah itu di Jakarta. Setelah itu praktis nama Djiaw Kie Siong tidak pernah

dikenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah resmi pemerintah. Pada tahun 1961, tiga tahun sebelum

meninggalnya Djiaw Kie Siong, Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) pernah memberikan

penghargaan kepada Djiaw Kie Siong sebagai Pembela Tanah Air.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tidak

serta merta keadaan Indonesia baik dan bebas dari tekanan asing. Belanda sebagai pemenang Perang Dunia

ke-2 (walau sebenarnya kalah saat digempur Jerman) berusaha ingin mengambil kembali wilayah jajahannya

di Hindia Belanda yang sempat jatuh ke tangan Jepang pada saat Perang Dunia ke-2. Usaha Belanda untuk

merebut kembali Indonesia dikenal dengan peristiwa Agresi Militer Belanda atau Masa Revolusi Nasional

Indonesia yaitu perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai bangsa yang sudah

merdeka dan mempunyai kedaulatan, Indonesia berusaha melawan Belanda dengan segala cara. Pada masa

itu banyak orang-orang Tionghoa yang turut serta dalam membela tanah air. Banyak dari mereka tidak

pernah tercatat, tetapi ada satu nama yang diakui pemerintah yaitu Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan

yang merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional Indonesia beretnis Tionghoa.

Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan (John Lie) dengan berani mengawal kapal Indonesia

menyelundupkan 800 ton karet menembus blokade kapal Belanda menuju Singapura. Karet itu lantas

ditukarkan dengan senjata yang kemudian diserahkan kepada pejabat Republik untuk melawan Belanda

selama Revolusi Nasional. Melalui serangkaian penyeludupannya ia berhasil menyuplai bahan bakar,

makanan, senjata, dan keperluan lainnya untuk kepentingan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Menurut Jenderal Besar Nasution, prestasi John Lie tiada taranya karena ia adalah palingma armada pada

masa-masa krisis keberadaan Indonesia. John Lie juga berjasa dalam menumpas gerakan separatis RMS,

PRRI/Permesta.

Dalam masa kebangkitan nasional, perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan dalam masa krisis untuk

mempertahankan kemerdekaan Indonesia, orang-orang Tionghoa juga turut berjasa dalam memberikan

pengaruh dan perjuangan yang pro-nasionalis. Orang Tionghoa juga berjasa dalam mendirikan negara

Indonesia dan mempertahankannya. Hal ini dilakukan karena mereka juga merasa terjajah dan tertindas serta

diperlakukan diskrimanatif pada masa penjajahan sama seperti orang-orang Pribumi lainnya. Adalah salah

jika orang Tionghoa dituduh tidak pernah berjuang dalam memerdekakan Indonesia dan tidak pernah

berjuang dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Mereka sebenarnya sungguh Indonesia.

Zaman Orde Lama

Setelah Revolusi Nasional, pada zaman Orde Lama dibawah pengaruh kuat Presiden Soekarno. Pada

masa ini terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat

(tangan kanan Presiden Soekarno kemudian dipenjara selama 12 tahun tanpa pengadilan oleh rezim

Suharto), Ong Eng Die, Siaw Giok Tjhan, dan Tan Po Gwan. Walaupun beberapa orang Tionghoa duduk

dipemerintahan dan hubungan orang Tionghoa dekat dengan Soekarno, tetapi pada masa Orde Lama ini juga

terdapat kebijakan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Kebijakan itu adalah kewajiban warga

keturunan (terutama Tionghoa) untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI).

SKBRI ini menyatakan pemegangnya adalah WNI. SKBRI ini harus dipenuhi sebegai syarat untuk membuat

KTP, paspor, masuk dunia pendidikan, pemilu, menikah, dan lain-lain. Oleh banyak pihak SKBRI ini

dianggap diskriminatif karena masih mempertanyakan status hukum WNI keturunan Tionghoa. SKBRI ini

tetap ada sampai tumbangnya Orde Baru dan malah dijadikan suatu kewajiban oleh pemerintahan Orde Baru

dibawah Suharto.

Kebijakan lain pada masa Orde Lama yang dinilai diskriminatif bagi WNI keturunan Tionghoa

adalah Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa yang statusnya

kewarganegaraannya masih belum jelas (dianggap WNA) untuk berdagang eceran di daerah luat ibukota

provinsi dan kebupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan memicu

keterpurukan ekonomi Indonesia tahun 1965. Kebijakan ini juga menyebabkan banyak orang Tionghoa

Indonesia di daerah-daerah tidak memiliki pekerjaan lagi dan menyebabkan banyak dari mereka kembali ke

negeri leluhurnya yang sebenarnya mereka tidak kenal yaitu Tiongkok. Kerusuhan rasial terhadap orang

Tionghoa pada masa ini terjadi pada tahun 1963 yang merupakan kerusuhan anti-Tionghoa terbesar di Jawa

Barat yang dimulai dari keributan antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa Tionghoa. Kerusuhan ini

akhirnya menjalar kemana-mana menyerang orang Tionghoa. Selain kerusuhan rasial yang menyerang orang

Tionghoa juga terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September atau 1 Oktober tahun 1965 (G30S/Gestok).

Akibat dari Gestok ini adalah pembantaian orang-orang atau simpatisan PKI termasuk orang Tionghoa yang

kadang masih dianggap mengabdi pada negara leluhurnya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang

diperintah oleh Partai Komunis Tiongkok.

Zaman Orde Baru

Setelah kekuasaan Presiden Soekarno jatuh, kursi kepemimpinan negara ini beralih kepada Jenderal

Suharto. Sejak saat itu dimulailah periode yang paling diskriminatif terhadap orang Tionghoa di Indonesia.

Tahun 1966, sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia mulai ditutup, setahun kemudian koran-koran

berbahasa Mandarin ditutup pemerintah. Tahun 1967 sebagai tanda tahun dimulainya serangkaian larangan

kepada masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan nilai-nilai kebudayaannya dan menjalankan agama

tradisionalnya. Perayaan-perayaan yang menyangkut budaya Tionghoa dilarang dilakukan di tempat umum

seperti tarian barongsai dan perayaan imlek. Agama tradisional Tionghoa seperti Kong Hu Chu dan Tao

dilarang pemerintah. Begitu pula dengan penggunaan Bahasa Mandarin juga dilarang walau akhirnya

diizinkan kembali oleh Kejaksaan Agung Indonesia dengan catatan bahwa orang Tionghoa berjanji tidak

akan menghimpun kekuatan untuk menumbangkan pemerintah. Sekitar tahun 1967 orang-orang Tionghoa

dianjurkan jika tidak mau disebut dipaksa untuk mengubah nama mereka dari nama Tionghoa dengan tiga

karakter dengan nama yang lebih Indonesia. Alasan pemerintah agar masyarakat Tionghoa lebih cepat

melakukan asimilasi, padahal penggantian nama tidak bisa menjadi ukuran seseorang mengabdi pada suatu

negara atau tidak. Tahun 1969 perjanjian dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan RRT dibatalkan

sehingga menyebabkan pemegang dwi kewarganegaraan menjadi stateless. Tahun 1978, SKBRI wajib

hukumnya kepada seluruh orang Tionghoa Indonesia yang kemudian baru dicabut tahun 1996. Orang

Tionghoa secara sengaja dijauhkan dari kehidupan politik Indonesia dan banyak dari mereka menghindar

dari dunia politik dan hukum karena takut akan keselamatan nyawanya dan keluarganya. Akhirnya mereka

banyak berkecimpung dalam dunia bisnis perdagangan. Pembatasan-pembatasan dan kebijakan diskriminatif

kepada orang Tionghoa jelas mengkebiri hak-hak dasar sebagai warga negara dan secara langsung juga

mencederai hak-hak asasi mereka sebagai manusia.

Pada masa Orde Baru ini banyak terjadi kerusuhan rasial yang menyerang etnis Tionghoa Indonesia.

Beberapa yang besar antara lain adalah peristiwa kerusuhan 5 Agustus 1973 yang menyerang orang-orang

Tionghoa dengan merusak rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa. Kemudian peristiwa Malapetaka 15

Januari (Malari) 1974 yang awalnya adalah demonstrasi menentang masuknya modal asing pada saat

kunjungan Perdana Menteri Jepang malah menjalar menjadi penjarahan dan pembakaran toko-toko milik

orang Tionghoa. Tragedi paling besar yang menimpa orang Tionghoa Indonesia adalah kerusuhan Mei 1998

yang merupakan kerusuhan anti-Tionghoa terbesar dalam sejarah berdirinya Republik. Kerusuhan tersebut

terjadi di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Kerusuhan yang awalnya disebabkan oleh

jatuhnya perekonomian Indonesia dan rakyat yang sudah tidak puas dengan kepemimpinan Suharto selama

32 tahun malah beralih menjadi kerusuhan anti-Tionghoa, karena orang Tionghoa yang dicap kaya dituduh

secara tidak benar sebagai penghisap kekayaan negara dan membuat masyarakat lainnya miskin. Banyak

toko-toko, perusahaan, dan rumah-rumah orang Tionghoa dijarah, dihancurkan, dan dibakar oleh masa.

Selain itu banyak terjadi tindakan pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa sebelum kemudian disiksa

fisiknya dan dibunuh. Banyak dari orang Tionghoa akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia untuk

menyelamatkan diri. Sampai sekarang pemerintah tidak pernah mengambil tindakan untuk menghukum

pelaku dan dalang kerusuhan rasial terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Masa Reformasi dan Pasca Reformasi

Setelah kerusuhan Mei 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan berpolitik dan

bernegara. Pada periode reformasi, kran demokrasi yang selama ini ditutup oleh rezim Suharto terbuka

lebar. Hal ini juga dirasakan oleh masyarakat Tionghoa yang mulai bisa menikmati kebebasan. Tahun 1999

Presiden Habibie menegaskan kembali bahwa SKBRI sudah tidak berlaku. Presiden Habibie juga

menghapus kata “pribumi” dan “non-pribumi” dalam semua dokumen resmi pemerintahan dan bisnis.

Langkah selanjutnya adalah menghapus larangan untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Pada tahun yang

sama Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.

Pada tahun 2000, Presiden yang baru terpilih Abdurrahman Wahid menghapuskan larangan bagi orang

Tionghoa untuk mengekspresikan segala bentuk kebudayaan dan kepercayaan Tionghoa di depan umum,

sehingga memulihkan hak asasi orang Tionghoa Indonesia. Pada tahun 2003 Presiden Megawati

Sukarnoputri meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disahkan pada tahun 2006, dimana di dalamnya

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang Indonesia asli adalah mereka yang menjadi warga negara

Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Menteri

Hukum dan HAM pada saat itu juga menjelaskan bahwa dengan disahkannya UU No. 12/2006 ini

menandakan bahwa orang Tionghoa merupakan bagian dari suku Indonesia, sehingga segala kebudayaannya

diakui sebagai kebudayaan Indonesia.

Perubahan-perubahan yang dilakukan setelah reformasi memberikan dampak yang besar bagi

masyarakat Tionghoa. Walau tidak langsung hilang semua prasangka buruk kepada orang Tionghoa yang

dibangun oleh rezim Suharto, tetapi hubungan kemasyarakatan masyarakat Tionghoa dan masyarakat

lainnya relatif lebih baik. Orang Tionghoa sudah mulai diterima dalam kehidupan berpolitik dan bernegara.

Mereka tidak dimusuhi atau dianak tirikan lagi di Indonesia, keberadaan mereka sudah diakui. Tetapi

pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya mengubah cara pandang keseluruhan masyarakat Indonesia,

diskriminasi dan pernyataan berunsur SARA masih tetap ditemui hingga sekarang ini.

Dengan kebebasan dan kesetaraan yang dimiliki orang Tionghoa Indonesia sebagai WNI,

memunculkan tokoh-tokoh Tionghoa baru dalam dunia politik yang turut membangun negeri ini seperti

Kwik Kian Gie yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada era Presiden

Megawati, Mari Elka Pangestu yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif pada era Presiden Yudhoyono, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi

Gubernur DKI Jakarta pertama dari etnis Tionghoa. Ahok adalah sosok Gubernur fenomenal yang terkenal

karena keberaniannya mendobrak birokrasi lama yang menjadi sarang KKN dan Gubernur yang terkenal

tegas dan berani demi membela rakyat kecil dari pejabat yang rakus.

Tokoh-Tokoh Tionghoa Lainnya

Tentu saja sebenarnya banyak sekali nama-nama orang Tionghoa yang berjasa dalam membangun

negeri ini. Selain dari nama para pejuang dan negarawan yang telah disebutkan di atas terdapat sederet tokoh

Tionghoa Indonesia yang telah berkontribusi membangun Indonesia maupun mengharumkan nama

Indonesia di dunia internasional. Mereka antara lain: Yap Thiam Hien seorang pengacara pejuang dan

pembela HAM rakyat kecil pada masa Orde Lama dan Orde Baru; Liem Swi King, legenda badminton

Indonesia; Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti atlet badminton Indonesia pertama yang memenangkan

mendali emas pada Olimpiade 1992; P.K. Ojong (Auyang Peng Koen) seorang jurnalis terkenal dan pendiri

Harian Kompas; Soe Hok Gie seorang aktivis mahasiswa tahun 1960an; Yohanes Surya seorang ilmuwan

fisika yang mendorong kemajuan pendidikan di Papua; Joe Taslim seorang aktor terkenal yang sudah

berlaga di Hollywood; Kho Ping Ho seorang novelis yang karyanya menjadi bacaan “wajib” anak-anak era

1960-1970an; Chris John seorang petinju kelas bulu dunia; Lie Kim Hok seorang penulis yang

mengembangkan sastra Melayu Tionghoa; Gouw Giok Siong seorang pakar hukum Indonesia yang

memberikan banyak sumbangan pemikiran untuk kemajuan hukum di Indonesia; Lie Eng Hok seorang

perintis kemerdekaan Indonesia; Lo Siaw Ging seorang dokter yang membantu orang tidak mampu dan

tidak pernah meminta bayaran atas jasanya; Ong Hok Ham seorang sejarawan dan cedikiawan Indonesia;

Lie Tek Tjeng seorang penulis, sinolog, dan peneliti; dan masih banyak lagi.

Penutup

Sebuah pesan yang ingin disampaikan bahwa orang Tionghoa adalah warga negara Indonesia yang

mempunyai hak dan martabat yang sederajat. Mereka tidak berbeda dengan warga negara lainnya. Mereka

juga berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, mereka juga berjuang mempertahankan negeri

ini, mereka juga berkontribusi dalam pembangunan Indonesia dan juga ikut serta mengharumkan nama

Indonesia di dunia Internasional. Sesungguhnya hati dan cinta mereka sudah tertaut di negara Indonesia.

Tidak ada lagi sangsi mengenai kesetiaan mereka terhadap NKRI. Bagi mereka yang masih merasa orang

Tionghoa sebagai penumpang di negara ini, bekacalah apa yang sudah engkau berikan bagi kebesaran

negara ini? Apakah sebanding dengan pengorbanan dan kontribusi tokoh-tokoh Tionghoa untuk kebesaran

Indonesia? Untuk mereka orang keturunan Tionghoa, walau butuh perjuangan yang besar untuk tinggal di

negara ini, banggalah menjadi orang Tionghoa sebab suku Tionghoa juga berjasa bagi negara ini, dan

janganlah menutupi karena malu akan identitas Tionghoa, karena menjadi Tionghoa bukanlah sebuah dosa.

“Suara intelektualitas yang tidak terlukiskan, karena itu dituliskan”

BERPIKIR BESAR, dan BERTINDAK!

DIREKTORAT JENDERAL KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS

KEMENTERIAN KEMAHASISWAAN

LEMBAGA KEPRESIDENAN MAHASISWA 2015/2016

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN