gizi buruk

19
BAB I PENDAHULUAN Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia, sehingga persoalan ini menjadi salah satu poin penting yang menjadi kesepakatan global dalam Millenium Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu mengurangi jumlah balita yang bergizi buruk atau kurang gizi sehingga mencapai 15% pada tahun 2015. 1 Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. 2 Anak usia dibawah lima tahun (balita) terutama pada usia 1-3 tahun merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur yang lain sehingga balita paling mudah menderita kelainan gizi. Kejadian gizi buruk seperti fenomena gunung es dimana kejadian gizi buruk dapat menyebabkan kematian. 3 Di tingkat dunia terdapat sedikitnya 17.289 balita yang meninggal setiap hari karena kelaparan dan kurang gizi dengan segala akibat yang ditimbulkannya. 4 Pada tahun 2010, sebanyak 103 juta anak berusia di bawah lima tahun di negara berkembang mengalami underweight atau berat badan yang terlalu rendah. 2 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 1

Upload: anonymous-mhtvhmn4ve

Post on 13-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

gizi buruk

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan

persoalan yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia,

sehingga persoalan ini menjadi salah satu poin penting yang menjadi kesepakatan

global dalam Millenium Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap

harus mampu mengurangi jumlah balita yang bergizi buruk atau kurang gizi sehingga

mencapai 15% pada tahun 2015.1

Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan

kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.2

Anak usia dibawah lima tahun (balita) terutama pada usia 1-3 tahun merupakan

golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Kelompok tersebut

mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat-zat gizi

yang lebih besar dari kelompok umur yang lain sehingga balita paling mudah

menderita kelainan gizi. Kejadian gizi buruk seperti fenomena gunung es dimana

kejadian gizi buruk dapat menyebabkan kematian.3

Di tingkat dunia terdapat sedikitnya 17.289 balita yang meninggal setiap hari

karena kelaparan dan kurang gizi dengan segala akibat yang ditimbulkannya.4 Pada

tahun 2010, sebanyak 103 juta anak berusia di bawah lima tahun di negara

berkembang mengalami underweight atau berat badan yang terlalu rendah.2

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0% berstatus gizi

kurang, 4,9% diantaranya berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3%

anak kurus, 6,0% diantaranya anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori

sangat pendek. Keadaan ini berpengaruh pada masih tingginya angka kematian bayi.

Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan

gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.5

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan

menurut umur (BB/U) < -3 SD.5 Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang

kekurangan zat gizi atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Zat gizi yang dimaksud

bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari

proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu gizi buruk karena kekurangan protein (kwashiorkor), karena kekurangan

karbohidrat atau kalori (marasmus) dan kekurangan kedua-duanya (marasmus-

1

kwashiorkor). Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi

pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor resiko yang erat. Dalam menentukan

klasifikasi status gizi terdapat ukuran baku antropometri yang sering digunakan di

Indonesia yaitu World Health Organization – National Centre for Health Statistic

(WHO-NCHS). Anak balita yang sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari

pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun.6

Faktor penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti

kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit

infeksi, cacat bawaan, menderita penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu

ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan pelayanan kesehatan. Sedangkan

faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi

buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan

kerja.7

Melihat masalah diatas, masalah gizi buruk pada balita sangat perlu untuk

diperhatikan terlebih kepada upaya pencegahan melalui promosi kesehatan dan

penanggulangan secara terpadu disetiap tingkat pelayanan kesehatan.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Gizi buruk adalah kondisi seseorang yang nutrisinya berada di bawah

rata-rata. Ini merupakan bentuk terparah dari proses kekurangan gizi menahun.

Balita disebut gizi buruk apabila indeks berat badan menurut umur (BB/U) < -

3 SD. Keadaan balita dengan gizi buruk sering digambarkan dengan adanya

busung lapar.6

B. Klasifikasi gizi buruk3,5

Terdapat 3 jenis gizi buruk, yaitu marasmus, kwashiorkor dan

marasmus – kwashiorkor. Perbedaan jenis tersebut didasarkan pada ciri-ciri

atau tanda klinis yang berbeda.

1. Marasmus

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.

Gejala yang timbul diantaranya wajah seperti orang tua (kerkerut), tidak

terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit),

rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan

pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak

sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih

merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah :

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar

lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang

d. Perut cekung

e. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak

ada (pada daerah pantat tampak seperti memakai celana

longgar /baggy pants)

f. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa

lapar

3

g. Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang),

diare

Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang

dapat terjadi karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak

tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan

metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir

dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain

faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang

dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.

Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :

Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat

masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak

sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang

tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang

terlalu encer.

Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama

infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis,

bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.

Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan,

penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis,

mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus,

cystic fibrosis pankreas.

Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan

tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang

kurang kuat.

Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan

tambahan yang cukup.

Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic

hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.

Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru

ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan.

Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian

makanan tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus

4

Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk

timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula

perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti

dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat

dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi

berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh

dalam marasmus.

2. Kwashiorkor

a. Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),

bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan

protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat

adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua

punggung kaki sampai seluruh tubuh.

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah

dicabut tanpa rasa sakit, rontok, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut

dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab.

d. Pandangan mata anak sayu.

e. Pembesaran hati.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah

menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis).

g. Sering disertai: penyakit infeksi, akut anemia, diare.

Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema.

Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti

semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga

tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi

ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke

intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari

ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga

keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi

protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada

intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran

sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi

5

sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena

pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik.

3. Marasmik – Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik

kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung

protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita

demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari baku median

WHO NCHS memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,

kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat

pula.

C. Dampak gizi buruk3

Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem,

karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi

(kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi

tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh

terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali

terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam

jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara

lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis,

hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan

kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun

tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan

mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak

buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan

performance anak, akibat kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang

diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi

terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya,

lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap

6

pertumbuhan otak ini menjadi fatal karena otak adalah salah satu aset yang

vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk

terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami

gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak

jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn

kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian,

gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak.

D. Faktor penyebab gizi buruk3,6

Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :

1. Penyebab langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang

dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit

kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau

demam akhirnya menderita kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku,

pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan,

tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan,

pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena

itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan

pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan

seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya.

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan

yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan

yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya

makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi

seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti

layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling

terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan

kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk

pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan

zat-zat gizi ensensial, yang bisa disebabkan oleh: asupan yang kurang karena

makanan yang jelek atau penyerapan yang buruk dari usus (malabsorbsi),

7

penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan kehilangan zat-zat gizi

yang abnormal melalui diare, pendarahan, gagal ginjal atau keringat yang

berlebihan.

E. Tatalaksana gizi buruk5

Dalam proses pengobatan gizi buruk kondisi berat terdapat 3 fase,

adalah fase stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan

harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase.

Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus

maupun marasmik-kwarshiorkor.

1. Tahap penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima

makanan hingga ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein

(TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama

1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk

menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7

kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama

adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5%

glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan

makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti

makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan

makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan

ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan

keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk

meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa.

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari

tiap 2-3 jam.

2. Tahap penyembuhan

8

Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah

baik, secara berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan

hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5

gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan

memperoleh makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada

orang tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya

tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya

sesuai dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin

diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda

hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat

hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral

atau 100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin

A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis

maksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat

besi (Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya

menyertai KKP berat.

F. Pencegahan gizi buruk

Cara pencegahan yang terbaik yaitu dengan melakukan penimbangan

balita. Menimbang balita penting untuk memastikan kesesuaian pertumbuhan

dan perkembangan anak dengan usianya.3

Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada

anak :3

1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berusia 6 bulan.

9

2. Anak diberi makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,

lemak, vitamin dan mineralnya.

3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program

Posyandu (pos pelayanan terpadu)

4. Pemberian informasi mengenai penanggulangan gizi buruk.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Saputra W, Nurrizka RH. Pengaruh faktor demografi terhadap resiko gizi

buruk pada tiga komunitas di Sumatera Barat. Prakarsa. 2013: pp. 2-11.

2. Rosari Alania, Rini Eka Agustia, Masrul. Hubungan diare dengan status gizi

balita di kelurahan Lubuk Buaya kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Jurnal

Kesehatan Andalas. 2013; 2(3): pp. 111-115.

3. Jafar N. Kekurangan energi protein (KEP) pada balita. Program Studi Ilmu

Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.

2004: pp. 1-16.

4. Giri MKW, Suryani N, Murdani PK. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu

tentang pemberian ASI serta pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita

usia 6-24 bulan di kelurahan Kampung Kajanan kecamatan Buleleng. Jurnal

Magister Kedokteran Keluarga. 2013; 1: pp. 24-37.

5. Pedoman pelayanan anak gizi buruk. Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. 2011: p. 11.

6. Novitasari DA. Faktor-faktor resiko kejadian gizi buruk pada balita yang

dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Karya Tulis Ilmiah Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2012: pp. 1-92.

7. Krisnansari D. Nutrisi dan gizi buruk. Mandala of Heatlh. 2010; 1: pp. 1-9.

11

DOKUMENTASI

12

13