ggn penghidu & epistaksis

Upload: charan-pal-singh

Post on 04-Apr-2018

281 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    1/22

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Gangguan Penghidu

    Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat

    hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena

    seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio

    olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang

    pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior.

    1,2

    Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena

    penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang

    telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati

    maka refrat ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya.2

    Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita

    gangguan penghidu, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian

    yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah

    mengalami penurunan ketajaman pembauan.2

    1.2. Epistaksis

    Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, bukan merupakan suatu penyakit,

    melainkan suatu gejala dari suatu kelainan. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan hampir

    90% epistaksis dapat berhenti sendiri atau dengan tindakan sederhana yang dlakukan oleh pasien

    sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    2/22

    segera ditolong dapat berakibat fatal. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba yang membuat penderita

    selalu ketakutan sehingga perlu memanggil dokter.2,3

    BAB II

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    3/22

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Gangguan Penghidu

    2.1.1. Definisi

    Gangguan penghidu adalah gangguan dari saraf olfaktorius, yang merupakan saraf untuk

    menghidu. Gangguan penghidu disebut dengan osmia. Gangguan pembauan dapat bersifat total

    (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau). 1

    2.1.2. Anatomi dan fisiologi

    Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate,

    septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium

    pseudostratified khusus yang di dalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus,

    daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa

    terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia,

    jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga

    tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel

    olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel.2

    Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan

    kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang

    terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup

    turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100

    juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel

    basal yang terletak di bawahnya.

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    4/22

    Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamili yang berhubungan

    dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun

    tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta

    pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan

    akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria di dalam epitel.2

    2.1.3. Pembagian Gangguan Penghidu

    Gangguan penghidu dapat terbagi atas :2,3

    Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat

    mendeteksi bau.

    Anosmia : tidak bisa mendeteksi bau. Anosmia dapat timbul akibat trauma di daerah frontal

    atau oksipital, setelah infeksi oleh virus, tumor, proses degenerasi pada orang

    tua.

    Hiposmia : penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau

    Hiperosmia : peningkatan sensistivitas mendeteksi bau

    Disosmia : distorsi identifikasi bau

    Parosmia : perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau

    tidak enak, biasanya disebabkan oleh trauma.

    Kakosmia : timbul pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, kelainan psikologik ata

    kelainan psikiatri seperti depresi dan psikosis

    Phantosmia : persepsi bau tanpa adanya sumber bau

    Presbiosmia : penurunan atau kehilangan persepsi pembauan yang terjadi pada orang tua

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    5/22

    2.1.4. Patogenesis

    Pada gangguan penghidu yang perlu diperhatikan adalah kerja dari sistem olfaktori yang

    merupakan ujung saraf, ditemukan pada membran mukosa atap hidung. Bagian ini disebut area

    olfaktori yang berada di bawah lobus frontal otak.

    Pada area olfaktori terdapat jutaan sel-sel olfaktori yang kecil. Masing-masing sel terdiri

    dari 12 silia, mukus mempermudah gerak silia. Mukus juga menangkap molekul bau-bau, lalu

    reseptor di silia menstimulasi molekul dan mengirim impuls saraf ke otak.

    Serat-serat saraf olfaktorius membawa impuls kedua bulbus olfaktori di otak. Informasi

    diproses di bulbi, kemudian dikirim ke korteks serebri. Setiap transmisi masuk ke pusat pembauan

    di otak, sehingga manusia bisa mencium bau.

    Seseorang yang memiliki penciuman yang baik dapat mengenali 10.000 bau-bauan. Sensasi

    rasa ini merangsang kelenjar ludah. Oleh karena itu, gangguan penghidu sering mempengaruhi

    sensasi rasa.1

    2.1.5. Etiologi

    1. Disfungsi pembauan

    Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur

    olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek

    konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi

    stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan

    struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama

    adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas

    atas karena virus; dan trauma kepala.

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    6/22

    2. Defek konduktif

    a. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.

    Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis

    alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinusitis kronik

    seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi

    medis, alergis dan pembedahan secara agresif.

    b. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi

    aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering),

    inverting papilloma, dan keganasan.

    c. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat

    menyebabkan obstruksi.

    d. Pasien pasca laringektomi atau trakeotomi dapat menderita hiposmia karena

    berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan

    trakeotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang

    lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi. Hal

    ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.

    3. Defek sentral/sensorineural

    a. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi

    sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis

    (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

    b. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome

    ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme

    hipogonadotropik.

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    7/22

    c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada

    fungsi pembauan.

    d. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan

    regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan

    anosmia.

    e. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan

    sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa

    yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik,

    dan pengolesan garam zink secara langsung.

    f. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.

    g. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun.

    Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya

    sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan

    saraf pusat.

    h. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer

    disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer

    disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses

    penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat

    daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia

    dekade ketujuh.2

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    8/22

    2.1.6. Diagnosis

    Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

    secara menyeluruh. Berikan penekanan khusus pada riwayat ISPA, patologi hidung atau sinus,

    riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum. Lakukan CT scan jika

    dipandang perlu. Seringkali dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan MRI apabila riwayat

    penyakitnya tidak mendukung atau ditemukan gejala dan tanda neurologis sekunder. 2

    A. Tanda dan Gejala

    Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan. Anosmia hanya dapat dikenali dengan menguji bau

    secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat

    pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya

    kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada

    kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi

    dari penciuman.1,2

    B. Temuan Fisik

    Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas,

    kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan

    disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa nasofaring

    atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung, jendalan darah,

    polip, dan peradangan membran hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus

    ditunjang dengan pemeriksaan endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan

    telekantus pada pemeriksaan mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa

    nasofaring yang menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan

    pada pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid.

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    9/22

    Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik sangat

    penting. Mood pasien secara umum harus dinilai dan tanda-tanda depresi harus dicatat.2

    C. Temuan Laboratorium

    Walau tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium standar namun dapat

    dilakukan pemeriksaan alergi, DM, fungsi tiroid, fungsi ginjal dan hepar, fungsi endokrin, dan

    defisiensi gizi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Telah dikembangkan teknik-

    teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius. Namun, karena degenerasi neuroepitelium

    olfaktorius yang luas dan interkalasi epitel pernapasan pada daerah penciuman orang dewasa tanpa

    disfungsi penciuman yang jelas, material biopsi harus diinterpretasikan dengan hati-hati.2

    D. Pencitraan

    CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii

    anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan

    neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui

    CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-

    jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit

    pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.2

    E. Pemeriksaan Sensorik

    Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk :2

    (1) Memastikan keluhan pasien

    (2) Mengevaluasi kemanjuran terapi

    (3) Menentukan derajat gangguan permanen.

    Langkah pertama : menentukan sensasi kualitatif

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    10/22

    Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana

    keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman :

    a. Tes Odor stix

    Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena

    ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh

    pasien secara kasar.

    b. Tes alkohol 12 inci

    Tes ini untuk memeriksa persepsi kasar terhadap bau. Tes alkohol 12 inci menggunakan paket

    alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung.

    c. Scratch and sniff card(Kartu gesek dan cium)

    Scratch and sniff cardyang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

    d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)

    Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT. Tes ini menggunakan 40 item

    pilihan-ganda yang berisi bau-bauanscratch and sniffberkapsul mikro. Sebagai contoh, salah

    satu itemnya berbunyi Bau ini paling mirip seperti bau coklat, pisang, bawang putih, atau jus

    buah, dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat

    reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan

    jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit

    penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor

    pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit

    lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah

    bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.

    Langkah kedua : menentukan ambang deteksi

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    11/22

    Setelah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua

    adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan

    menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan

    dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur

    dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

    2.1.7. Terapi

    A. Kurang Penciuman Hantaran

    Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan

    sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung

    dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut

    ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau:

    (1) Pengelolaan alergi

    (2) Terapi antibiotik

    (3) Terapi glukokortikoid sistemik dan topical

    (4) Operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.2

    B. Kurang Penciuman Sensorineural

    Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.

    Namun penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi seng dan

    vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan

    dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah

    geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A.

    Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi

    vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    12/22

    pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia

    epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan.

    Karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.2

    C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)

    Lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun menderita disfungsi penciuman. Belum

    ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat penting untuk membicarakan masalah

    ini dengan pasien-pasien usia lanjut sehingga dapat menenangkan bagi pasien ketika seorang

    dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman memang umum terjadi.

    Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi masalah tersebut sejak

    dini. Insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut, kemungkinan

    sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau busuk pada

    gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih tua

    dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan

    makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan

    jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini

    mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan

    membaunya.2

    2.1.8. Prognosis

    Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi

    penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    13/22

    deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman

    semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita

    infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya. Namun sebagian

    kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik. Karena alasan-alasan

    yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada dekade keempat, kelima,

    dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya buruk. Kemampuan dan ambang

    pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya usia. Trauma kepala di daerah frontal

    paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun anosmia total lima kali lebih sering

    terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman setelah cedera kepala

    traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah perbaikan biasanya buruk.

    Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman.

    Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan bahan penyebabnya.2

    2.2. Epistaksis

    2.2.1. Definisi

    Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Epistaksis bukanlah merupakan suatu

    penyakit melainkan adalah gejala dari suatu penyakit.4

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    14/22

    2.2.2. Anatomi Vaskuler

    Suplai darah cavum nasi berasal dari arteri karotis eksterna dan arteri karotis interna. Arteri

    karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :4

    1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen

    sphenopalatina yang mendarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.

    2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui

    kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.

    Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior

    dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.

    2.2.3. Klasifikasi

    Walaupun sirkulasi kavum nasi sangat kompleks, epistaksis biasanya dibagi atas

    pendarahan anterior atau posterior.5,6

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    15/22

    o Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoid anterior.

    Pleksus Kiesselbach menjadi sumber perdarahan yang paling sering pada epistaksis, terutama

    pada anak-anak, biasanya dapat berhenti sendiri (secara spontan) dan mudah diatasi.

    o Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.

    Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada

    pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

    Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya arteri sfenopalatina.

    2.2.4. Etiologi

    Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung.

    Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus

    Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus

    tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.4

    Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.4,7

    1. Lokal

    a. Trauma

    Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya karena mengeluarkan sekret dengan

    kuat, bersin, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul. Selain itu iritasi oleh gas yang

    merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan epistaksis.

    b. Infeksi

    Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti

    sifilis, lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    16/22

    c. Neoplasma

    Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-

    kadang disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma

    dapat menyebabkan epistaksis berat.

    d. Kelainan kongenital

    Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik

    herediter. Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau bahkan di traktus

    gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.

    e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum

    Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung.

    Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran

    udara pernafasan yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta

    yang keras dan usaha pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma.

    Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan

    menyebabkan perdarahan.

    f. Faktor lingkungan

    Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat

    kering.

    2. Sistemik

    a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.

    b. Penyakit kardiovaskuler

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    17/22

    Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arterisklerosis, nefritis kronis, sirosis

    hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi

    biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya kurang baik.

    c. Biasanya infeksi akut pada demam berdarah

    d. Gangguan endokrin

    Wanita hamil, menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis.

    2.2.5. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

    Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang

    hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada

    bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.4,6

    Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan pada posisi dan ketinggian

    yang memudahkan pemriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau

    mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat penghisap

    dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah beku.

    Sesudah dibersihkan semua lapangan hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor

    penyebab perdarahan.4

    Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang telah diberi larutan anestesi lokal yaitu

    larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam

    hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga

    perdarahan dapat berhenti sementara. Sesudah 5-10 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan

    dilakukan evaluasi.4

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    18/22

    Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat

    kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien perdarahan hidung aktif yang

    prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.4

    Pemeriksaan yang diperlukan berupa :4,6

    1. Rinoskopi anterior

    Pemriksaan harus dilakukan secara teratut dari anterior ke posterior, vestibulum,

    mukosa hidung, septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa

    dengan cermat.

    2. Rinoskopi posterior

    Pemriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting untuk pasien dengan

    epistaksis berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

    3. Pengukuran tekanan darah

    Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan hipertensi.

    4. Rontgen sinus

    Rontgen sinus penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi.

    5. Skrining terhadap koagulopati

    6. Riwayat penyakit

    2.2.6. Penatalaksanaan

    Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :7

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    19/22

    1. Menghentikan perdarahan

    2. Mencegah komplikasi

    3. Mencegah berulangnya epistaksis

    Penanganan epitaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal

    penting adalah sebagai berikut :8

    1. Riwayat perdarahan sebelumnya

    2. Lokasi perdarahan

    3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (posterior) ataukah keluar dari

    hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

    4. Lama perdarahan dan frekuensinya

    5. Kecendrungan perdarahan

    6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

    7. Hipertensi

    8. Diabetes mellitus

    9. Penyakit hati

    10. Penggunaan antikoagulan

    11. Trauma hidung yang belum lama

    12. Obat-obatan misalnya aspirin dan fenilbutazon

    2.2.6.1. Perdarahan anterior

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    20/22

    Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersama denagn

    obat-obat topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazoline atau phenylephrine. Untuk

    perdarahan yang lebih aktif perlu diberikan anestesi topikal seperti lidocain dan tetrakain. Sebelum

    penatalaksanaan dilakukan harus diberikan obat-obat anestesi topical yang adekuat. Obat-obat

    intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.5,6

    2.2.6.2. Perdarahan posterior

    Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,

    dibuat dari kasa dengan ukuran 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi

    dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).4

    Teknik pemasangan

    Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai

    tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat

    pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik

    keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk

    tangan yang lain membantu mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi

    perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain

    kasa yang diletakkan di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    21/22

    bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Belloq,

    dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3

    hari.3,4

    Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon

    anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi a. etmoid anterior dan posterior dapat

    dilakukan dengan membuat sayatan di dekat kantus medialis dan kemudian mencari kedua

    pembuluh darah tersebut di dinding medial orbita. Ligasi a. maksilla interna yang terletak di fossa

    pterigomaksila dapat dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding

    posterior sinus maksila.

    3

    2.2.7. Komplikasi Tindakan

    Akibat pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan sinusitis (karena ostium

    tersumbat), air mata yang berdarah karena darah mengalir secara retrograde melalui duktus

    nasolakrimalis dan septikemia.4

    Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta

    laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang

    ditarik.4

    DAFTAR PUSTAKA

  • 7/31/2019 ggn penghidu & epistaksis

    22/22

    1. Wain Liz, 2006. http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/

    transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsp. Diakses tanggal 1

    Desember 2008.

    2. Kris, 2008. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/ .

    Diakses tanggal 1 Desember 2008.

    3. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar

    Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit

    FK-UI, 2007.

    4. Ikhsan M, 2001. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan Epistaksis.

    pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis. html. Diakses tanggal 1 Desember 2008.

    5. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 1

    Desember 2008.

    6. The Merck Manual, 2005. http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.html.

    Diakses tanggal 1 Desember 2008.

    7. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/ epistaksis.htm.

    Diakses tanggal 1 Desember 2008.

    8. Hilger Peter, 1997. Penyakit Hidung. Dalam Boies Buku

    Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta: EGC.

    http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.aafp.org/afp/20050115/305.htmlhttp://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.htmlhttp://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/%20epistaksis.htmhttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/%20transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/smellingdisorders.jsphttp://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_Penatalaksanaan%20Epistaksis.%20pdf/15_PenatalaksanaanEpistaksis.%20htmlhttp://www.aafp.org/afp/20050115/305.htmlhttp://www.merck.com/mmpe/sec08/ch091/ch091c.htmlhttp://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/%20epistaksis.htm