geologi struktur indonesia

56
BAB I PENDAHULUAN Litosfer disusun oleh benda padat yang keras (rigid) dan selalu bergerak di atas lapisan mantel yang bersifat mobile. Hasil penelitian geologi dan geofisika menunjukan bahwa kulit bumi ini tersusun atas sejumlah lapisan (lempengan) batuan yang memiliki ukuran dan sifat fisik-kimia berlainan. Lempeng kerak bumi tersebut diatas dapat dipisahkan oleh jalur subduksi, rifting dan strike slip (Hamilton, 1979). Masing-masing lempeng dapat dilihat pada gambar 1. Untuk wilayah Asia Tenggara dan khususnya untuk Indonesia, pada akhir Kenozoikum, strukture style dipengaruhi oleh interaksi tiga buah lempeng kerak bumi (Gambar 2), masing- masing adalah Lempeng Eurasia di bagian utara, Lempeng Samudera Pasifik di bagian timur dan Lempeng Samudera India-Australia di bagian selatan (Katili, 1973 dan Hamilton, 1979). Dengan asumsi Lempeng Eurasia relatif diam dan Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat sedangkan Lempeng Hindia-Australia bergerak ke arah utara maka ketiga lempeng tersebut saling bertumbukan membentuk busur kepulauan yang aktif secara tektonik hingga sekarang. Bukti yang menunjukan bahwa tektonik di Indonesia ini aktif antara lain dijumpai banyaknya gunungapi aktif (sekitar 129 buah) serta seringnya terjadi peristiwa gempa bumi pada batas-batas interaksi lempeng (Katili dan Siswowidjojo,1994). Secara umum diketahui bahwa kerangka fisiografi kepulauan Indonesia dipengaruhi oleh adanya dua daerah paparan (tanah/daratan) dengan inti kerak yang stabil (Gambar 3). Kedua paparan tersebut adalah paparan Sunda yang menempati bagian barat kawasan Indonesia dan yang lainnya adalah paparan Sahul- Arafura yang menempati bagian timur Indonesia (Katili, 1973). Daerah yang terapit kedua paparan itu berupa busur kepulauan

Upload: gana-adikara-yusron

Post on 01-Feb-2016

72 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Geologi, Struktur, Indonesia, Sejarah

TRANSCRIPT

Page 1: Geologi Struktur Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

Litosfer disusun oleh benda padat yang keras (rigid) dan selalu bergerak di atas lapisan

mantel yang bersifat mobile. Hasil penelitian geologi dan geofisika menunjukan bahwa kulit

bumi ini tersusun atas sejumlah lapisan (lempengan) batuan yang memiliki ukuran dan sifat

fisik-kimia berlainan. Lempeng kerak bumi tersebut diatas dapat dipisahkan oleh jalur

subduksi, rifting dan strike slip (Hamilton, 1979). Masing-masing lempeng dapat dilihat pada

gambar 1.

Untuk wilayah Asia Tenggara dan khususnya untuk Indonesia, pada akhir

Kenozoikum, strukture style dipengaruhi oleh interaksi tiga buah lempeng kerak bumi

(Gambar 2), masing-masing adalah Lempeng Eurasia di bagian utara, Lempeng Samudera

Pasifik di bagian timur dan Lempeng Samudera India-Australia di bagian selatan (Katili, 1973

dan Hamilton, 1979). Dengan asumsi Lempeng Eurasia relatif diam dan Lempeng Pasifik

bergerak ke arah barat sedangkan Lempeng Hindia-Australia bergerak ke arah utara maka

ketiga lempeng tersebut saling bertumbukan membentuk busur kepulauan yang aktif secara

tektonik hingga sekarang. Bukti yang menunjukan bahwa tektonik di Indonesia ini aktif antara

lain dijumpai banyaknya gunungapi aktif (sekitar 129 buah) serta seringnya terjadi peristiwa

gempa bumi pada batas-batas interaksi lempeng (Katili dan Siswowidjojo,1994).

Secara umum diketahui bahwa kerangka fisiografi kepulauan Indonesia dipengaruhi

oleh adanya dua daerah paparan (tanah/daratan) dengan inti kerak yang stabil (Gambar 3).

Kedua paparan tersebut adalah paparan Sunda yang menempati bagian barat kawasan

Indonesia dan yang lainnya adalah paparan Sahul-Arafura yang menempati bagian timur

Indonesia (Katili, 1973). Daerah yang terapit kedua paparan itu berupa busur kepulauan

(gugusan kepulauan) yang rumit geologinya serta cekungan laut dalam yang membentang

diantara kedua daerah paparan tersebut (Van Bemmelen, 1949).

Paparan Sunda adalah bagian dari Lempeng Eurasia (yang untuk sebagian besar

terbenam di bawah lautan) yang meliputi Semenanjung Malaya, bagian terbesar Pulau

Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan sebagian besar Laut Jawa serta bagian selatan

Laut Cina Selatan. Paparan ini terdiri atas batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf

berumur pratersier yang telah terdeformasi kuat dibawah pengaruh gerakan tektonik dan

penujaman selama Zaman Tersier. Batas antara lempeng Hindia-Australia dan lempeng

Eurasia di barat Sumatera dan di selatan Jawa serta Nusa Tenggara, dicirikan oleh sistem

palung-busur (arc trench system) yang dinamakan sebagai Palung Sunda (Sunda trench) yang

membentang sepanjang kurang lebih 5000 km (Hamilton, 1979).

Paparan Sahul-Arafura merupakan bagian dari lempeng benua Samudera India-

Australia, yang membentang mulai dari bagian barat Papua, melewati Laut Arafura, bagian

selatan Laut Timor berlanjut ke arah selatan hingga mendekati daratan Australia sekarang. Ke

arah selatan dari paparan Arafura ini, terhampar Paparan Australia yang meliputi runtunan

batuan malihan berumur mulai dari Paleozoikum hingga endapan sekarang (Gambar 4).

Page 2: Geologi Struktur Indonesia

Wilayah lain di Indonesia yang terletak diantara Paparan Sunda dan Paparan Sahul-

Arafura merupakan daerah yang paling aktif secara tektonik pada saat ini. Zona aktif secara

tektonik tersebut dicerminkan dengan berkembangnya gugusan pulau berupa busur-dalam

bergunungapi dan sederet pulau non-volkanik dengan intensitas struktur (deformasi) yang

tinggi.

Rangkaian (busur) gunungapi di Indonesia itu mencakup Sumatera, Jawa, Bali,

Lombok, Sumbawa, Flores dan pulau kecil-kecil di seputar Laut Banda. Sedangkan untuk

busur luar non-volkanik membentuk deretan pulau kecil di barat Sumatera, seperti Pulau

Simeulue, Nias, Kepulauan Mentawai, Enggano dan pulau kecil lainnya. Jalur busur luar non-

volkanik ini terus berlanjut ke punggung bawah laut di selatan Jawa (tinggiannya tidak / belum

membentuk kepulauan), dan terus berlanjut ke timur melewati deretan pulau tak bergunungapi

seperti Pulau Timor, Tanimbar, Kei dan kemudian Seram yang dianggap masih tercakup

didalamnya (Umbgrove, 1949).

TEKTONIK INDONESIA BAGIAN BARAT

Sudah banyak para ahli geologi mencoba merekontruksi model evolusi tektonik

kawasan Asia Tenggara termasuk di dalamnya wilayah Indonesia, namun demikian masih

banyak poersoalan geologi yang belum terpecahkan.Dalam buku ini, model tektonik yang

akan dibahas berasal dari Katili (1973), Davis ( ) dan Taponier ( ).

Model Tektonik Asia Tenggara (Sumatra) Menurut Katili (1973)

Katili (1973) telah membuat rekontruksi evolusi tektonik Sumatra mulai dari

Paleozoikum hingga Kenozoikum yang dikelompokan ke dalam dua tahapan, yaitu masa

sebelum dan sesudah India menabrak Lempeng Asia yang berada di utaranya.

Tektonik Asia Tenggara Bagian Barat Pada Masa Paleozoikum-Mesozoikum

Pada masa Paleozoikum terjadi penunjaman di sebelah timur Semenanjung Malaysia,

mungkin diseputar sebuah benua mikro yang berasal dari tanah Gondwana (Burret dan Stait,

1984). Seiring dengan itu terbentuklah busur gunungapi di bagian tengah wilayah tersebut dan

terbentuk busur muka di bagian timur busur gunungapi itu sedangkan di bagian barat terjadi

busur belakang.

Pada waktu yang bersamaan di sebelah barat Sumatera diduga terjadi penunjaman

yang miring kearah benua Asia (Katili, 1975). Disana pun dapat dijumpai busur gunungapi,

busur muka dan busur belakang. Jadi sejak masa Paleozoikum di Indonesia bagian Barat ada

dua sistem palung busur atau palung busur ganda (double subduct) yang terpisahkan oleh

sebuah benua mikro.

Selain adanya jalur tunjaman Paleozoikum tersebut di atas, ada sebuah tunjaman lain

lagi yang miring pada arah yang berlawanan. Mungkin saja tunjaman itu terdapat sepanjang

Garis Lupar, Serawak. Lajur tunjaman itu menunjukan sedikit perubahan, di bagian timurlaut,

mundur kearah Laut Cina Selatan. Busur gunungapi pengiringnya diwakili oleh batuan

gunungapi Serian dan selain itu, batuan gunungapi berumur Trias yang dijumpai dalam lubang

Page 3: Geologi Struktur Indonesia

bor di paparan Sunda. Menurut Mitchell (1977), pada Zaman Trias terjadi benturan yang

melibatkan dua busur. Peristiwa itu memperluas tanah Sunda dan menciptakan granit timah di

Malaysia, Bangka dan Belitung (Gambar 5).

Selanjutnya pada Zaman Kapur terjadi deformasi yang menyebabkan adanya

perubahan besar-besaran roman bumi di Asia Tenggara, yang diawali oleh aktifitas tektonik

tarikan di sebagian daratan Gondwana pada Kapur dini. Kemudian pada Kapur Senja dan

Eosen Dini (70 jt) baik lajur penunjaman yang baratdaya maupun yang timurlaut makin

membesar, sementara yang pertama bergerak menuju kearah Samudera India dan yang kedua

ke laut Cina Selatan (gambar 6). Peristiwa ini diikuti oleh rotasi sunda shelf. Berdasarkan data

kemagnetan purba dari dataran Khorat (Daly drr., 1986) menujukan, bahwa “Tanah Sunda”

terputar, yang berakibat tertutupnya Laut Cina Selatan. Sementara itu penunjaman kerak

samudera di bawah Kalimantan pun terus berlanjut yang meneyebabkan adanya kegiatan

gunungapi dan penerobosan granit ditepi kraton, antaralain di Natuna dan kepulauan

Anambas. Pada tahapan tektonik ini daratan India belum menabrak lempeng Eurasia yang

berada di utaranya.

Pada Eosen Senja penunjaman sepanjang garis Lupar-Natuna ditepi baratlaut Cina

Selatan berakhir (White & Wing, 1978) dan secara bersamaan terbentuklah Teluk Thailand,

termasuk anak cekungan Natuna Barat.

Tektonik Asia Tenggara Bagian Barat Pada Masa Kenozoikum

Kala Eosen terjadi deformasi besar-besarnya yang menyebabkan terjadinya perubahan

roman muka bumi di Asia Selatan. Pada Eosen Dini (50 jt) India sudah mendekati Asia

dengan kecepatan kecepatan 20 cm/tahun dan pada saat itu Sunda shelf belum berotasi.

Benturan (collosion) antara India dengan Eurasia terjadi pada Eosen Tengah (50-45 jt)

hingga Eosen Senja (40 jt) yang menyebabkan terbentuknya rangkaian pegunungan Himalaya,

dan sementara itu Birma dan Semenanjung Thailand terdesak keatas, yang akhirnya

menyebabkan terjadinya sesar mendatar di Asia Tenggara termasuk Indonesia Barat

(Sumatra).

Sesar besar Sumatra yang membentang mulai dari laut Andaman di bagian utara

memotong rangkaian bukit barisan dan terus membujur ke selatan hingga diperkirakan

berakhir di Palung Jawa. Sesar Sumatra berjenis dekstral dan membentuk pola en-echelon

dengan loncatan ke kanan dan ke kiri. Pada bagian inilah terbentuk daerah kompresi dan

ekstensional (tarikan). Pada daerah-daerah yang mengalami tegasan tarikan akan

menghasilkan sejumlah cekungan tarik atau dinamakan sebagai pull apart basin, seperti

misalnya cekungan Sumatera Selatan, cekungan Sumatera Tengah dan cekungan Sumatera

Utara (gambar 6).

Sementara tektonik pembentukan sesar mendatar berlangsung, posisi jalur penunjaman

bergeser sedikit ke selatan yang akhirnya menempati daerah di selatan Sumatera dan Jawa.

Kecepatan gerak lempeng India Australia pada Eosen Awal sekitar 18 cm/th dan menurun

secara cepat pada Oligosen Akhir (30 Ma) menjadi 3cm-4 cm/th, peristiwa ini selanjutnya

diikuti oleh penurunan muka air laut (Pitman, 1978; Vail et al, 1977 dalam Katili, 1975).

Page 4: Geologi Struktur Indonesia

Berkurangnya kecepatan gerak lempeng India-Australia ke arah utara diikuti oleh

melebarnya cekungan busur depan (Daly, 1987) sehingga menyebabkan makin melebarnya

Laut Cina Selatan. Terbukanya (melebarnya) Laut Cina Selatan berhubungan pula dengan

gerak rotasi Kalimantan yang berputar menganan atau searah jarum jam (Daly drr., 1986).

Sementara itu sekitar 40 juta tahun yang lalu, arah gerak Lempeng Pasifik berubah yang

semula bergerak ke arah utara-baratlaut menjadi barat-baratlaut (Uyeda & Mc Cabe, 1973).

Perubahan arah gerak inilah yang mempengaruhi gerak rotasi Kalimantan.

Selanjutnya pada Oligosen Akhir hingga sekarang kecepatan gerak lempeng India-

Australia meningkat menjadi 6-7 cm/th (Uyeda, 1978; Kanamori, 1978 dan Kariq, drr, 1979).

Perubahan kecepatan gerak lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya sejumlah sistem

tegasan kompresional dan eklstensional. Tegasan kompresional dicirikan oleh terjadinya

pengangkatan Bukit Barisan, Kepulauan Mentawai serta adanya aktifitas vulkanik, sedangkan

tegasan ekstensional dicirikan oleh terbentuknya sejumlah cekungan sedimentasi.

Konfigurasi pola struktur di Indonesia dipengaruhi pula oleh gerak mikro plate

Filipina. Di Filipina (gambar 10), selama Eosen Akhir hingga awal Oligosen terdapat suatu

lajur penunjaman yang miring ke barat. Penunjaman itu menyebabkan timbulnya jalur timur

Filipina yang berbatuan pluton dan gunungapi. Busur awal Filipina ini membentur busur lain

yang terletak di atas lempeng yang sedang menunjam sehingga mengakibatkan terhentinya

proses penunjaman itu (Uyeda & Mc Cabe, 1982 dalam Katili, 1975).

Aktifitas tektonik Oligosen tersebut di atas diikuti oleh aktifitas tektonik lain di bagian

timur Filipina, yaitu makin melebarnya cekungan Parace-Vela dan Shikoku, yang selanjutnya

menyebabkan mikro plate Filipina bersentuhan dengan benua mikro Palawan. Sementara itu

dibagian barat Filipina, proses penunjaman juga dimulai pada Kala Oligosen yang

mengakibatkan mikro plate Filipina bergerak ke barat, mendekati lempeng Eurasia.

Adanya pengaruh tumbukan mikroplate Filipina terhadap lempeng Eurasia tersebut di

atas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktifitas tektonik Oligosen Akhir

(30 juta) terutama yang berkaitan dengan pembentukan kerak baru di laut Cina Selatan

(gambar 11). Melebarnya laut cina selatan serta terbentuknya kerak baru di wilayah

tersebutlah yang menyebabkan terpisahnya Reed Bank (Gosong Reed) dari Macclesfield Bank

(Gosong Macclesfield) (Taylor & Hayes, 1980 dalam Katili, 1975).

Masih pada Kala Oligosen, di barat Sumatera dan selatan Jawa aktifitas penunjaman

terus berlanjut, yang menyebabkan terbentuknya “Andesit Tua” atu old andesit (termasuk ke

dalam Formasi Jampang untuk singkapan di Jawa) di kedua pulau tersebut.

Tektonik Oligosen terus berlanjut ke Miosen, dimana pada masa itu mikroplate

Filipina yang terletak diatas lajur Benioff yang miring ke timur, membentur bongkah Palawan.

Hal itu berakibat terhambatnya atau terhentinya penunjaman sepanjang batas barat lempeng

Laut Filipina. Sementara itu pemekaran di cekungan Parace-Vela terhenti sedangkan jalur

penunjamannya berbalik dan kembali pada sisi timur Filipina (Uyeda & Mc Cabe, 1982 dalam

Katili, 1975).

Pemekaran dasar samudera di Laut Cina Selatan terus berlangsung hingga Miosen

Awal. Peristiwa ini menyebabkan bongkah kerak yang bergerak ke selatan menujam kebawah

Page 5: Geologi Struktur Indonesia

punggung Kalimantan-Palawan. Benua mikro Palawan bagian utara mengapung makin ke

selatan melalui sesar transform Ulungan (Katili, 1981), oleh karenanya benua mikro itu pun

akhirnya menempel pada lajur penunjaman Palawan selatan. Pada Miuosen Akhir benturan

Reed Bank dengan Palawan Selatan menghasilkan dan menempatkan ofiolit diatas Palawan

serta menghentikan pemekaran di laut Cina selatan (gambar 12).

Kembali ke kawasan Sumatra, proses pensesaran dengan gerakan dekstral terus

berlangsung di Sumatra dan sekitarnya. Kegiatan ini diikuti oleh pemekaran (spreading) di

Laut Andaman (Curray, 1978 dalam Katili 1975).

Berlanjut ke tektonik Pliosen, trench Jawa-Sumatra yang berada di bagian barat

Sumatra dan selatan Jawa bergeser ke arah samudra. Namun demikian posisi sebaran

gunungapi bergeser lebih ke utara. Kondisi ini hanya dapat terjadi apabila jalur Benioff-nya

menjadi jauh lebih dangkal ketimbang pada Tersier Tengah (Katili, 1975).

Model Tektonik Asia Tenggara Menurut Taponier (1982)

Usaha orang untuk merekonstruksi tataan geologi masa lampau di Asia Tenggara

(termasuk di dalamnya Indonesia bagian barat) sempat terpengaruh oleh kemuculan ‘model

ekstrusi’ yang diajukan oleh Tapponier drr (1982). Model ini menggambarkan tumbukan India

terhadap Eurasia yang berakibat terdesaknya bagian tenggara Asia. Model ini menurut

beberapa lawan ilmiahnya kurang seimbang dalam ukuran, selain itu langkanya gerakan sesar

mendatar yang aktif (Sesar Sungai Merah di Vietnam) tidaklah menunjang, demikian pula

perpendekan kerak bumi di Tibet tidak dipertimbangkan (Daly drr., 1986).

Molnar dan Taponier (1975) dan Taponier et al (1982), menyatakan bahwa tektonik

Indonesia bagian barat dipengaruhi oleh tumbukan lempeng anak benua India dengan lempeng

benua Eurasia yang terbentuk pada zaman Kenozoikum. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya

perpindahan sejumlah blok ke arah timur atau tenggara. Perpindahan blok tersebut melalui

sesar-sesar mendatar, antara lain melalui sesar Sumatra (Huchon dan Le Pichon, 1984).

Model Tektonik Asia Tenggara / Sumatra Menurut Davis ( 1984)

Pada Zaman Paleogen, lempeng Hindia-Australia, menghampiri Sumatra dengan arah N 200

E. Pada saat itu Sumatra berada pada kedudukan N 160 E yang sebelumnya berposisi N 180

E (pada saat ini sudut interaksi tumbukan lempeng sebesar 20). Jelas disini telah terjadi rotasi

sebesar 20 berlawanan arah jarum jam (counter- clock wise).

Gerak rotasi tersebut masih belum cukup mampu menimbulkan suatu gejala kompresi

antara kedua lempeng yang saling bertemu itu, hal ini disebabkan karena sudut interaksi

tumbukan hanya sebesar 40 (sebelum berotasi sudut interaksi hanya 20).

Gerak rotasi Lempeng Mikro Sunda ini kemudian terhenti sementara pada akhir Awal

Miosen. Pada saat yang bersamaan laut Andaman mulai terbuka (pendataan umur

menunjukkan 16 jula th.y.l.) dan sementara itu Sumatra juga sudah beranjak menjauh ke

tenggara, maka terbukanya Laut Andaman berlangsung tanpa hambatan. Sebelum terbukanya

Laut Andaman, didahului oleh gejala pengangkatan yang luas dari tepi benua.

Page 6: Geologi Struktur Indonesia

Gerak rotasi yang kedua terjadi pada Miosen Tengah sebesar 20 - 25 dengan arah

yang berlawanan dengan jarum jam. Berdasarkan data paleomagnetik, sejak akhir Miosen

Tengah menunjukkan bahwa lempeng Hindia Australia mendakati lempeng Mikro Sunda

dengan arah masih N 200 E. Sementara Lempeng Mikro Sunda telah terputar sebesar 40

(barlawanan arah jarum jam), maka sudut interaksi antara Sumatra dengan lempeng Hindia-

Australia sekarang meningkat dari 40 menjadi hampir 60-65.

Konsekuensi terjadinya rotasi ini menyebabkan timbulnya tegasan kompresi yang pada

akhirnya selain menghasilkan sejumlah sesar baru (terutama sesar menyerong) dan

mengangkat bukit barisan, juga mengaktifkan sesar tua.

Sebagai akibat adanya rotasi berkelanjutan, maka sesar-sesar lama yang berarah utara-

selatan menjadi berarah baratlaut-tenggara sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya

(umumnya sesar normal) menjadi berarah utara-selatan. Konsekuensi dari perubahan ini

mengakibatkan sesar mendatar yang arahnya menjadi baratlaut-tenggara teraktifkan kembali

sebagai sesar naik, sedangkan sesar normal berubah menjadi sesar mendatar dengan arah

utara-selatan.

Evolusi Tektonik Tersier Asia Tenggara (Sumatra)

Perkembangan tektonik Tersier Asia Tenggara (Sumatra) dapat dirangkum sebagai

berikut :

Periode Eosen Awal - Oligosen Awal

Pada Eosen Awal Sumatra, Semenanjung Malaya dan Kampuchia, masih merupakan

bagian dari lempeng Eurasia. Pada saat itu kedudukan Sumatra adalah utara- selatan. Kira-

kira pada saat fragmen India (Lempeng Hindia-Australia) sudah mulai bersentuhan dengan

Lempeng Eurasia terjadilah pergeseran fragmen Indochina dan China ke arah tenggara

(Gb.4-3911).

Pada zaman Eosen gerak lempeng Hindia-Australia mencapal 18 cm/th dengan arah utara,

sedangkan menjelang Oligosen berkurang hingga mencapai hanya 3 cm/th dan disamping

itu juga terjadi perubahan pada arah gerak beberapa derajat ke timur (Gb.4-21).

Persentuhan antara lempeng Hindia-Australia dengan daratan Sumatra seperti itu,

mengakibatkan mulai terbentuknya pola rekahan dengan pergeseran dekstral yang dikenal

sebagai Sesar Sumatra. Kemungkin pembentukan rekahan itu dimulai di Sumatra Selatan

dan terus berkembang ke utara (Davies,1987).

Pola rekahan inilah yang kemudian merupakan awal terbentuknya cekungan di bagian

timur Sumatra (Gb.4- 22). Gerak-garak mendatar pada pasangan sesar yang bertangga

(overstepping wrench), akan membentuk cekungan lokal yang disebut "pull apart Basin"

(Gb..4 22).

Selanjutnya pada Awal Oligosen, kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia mulai

berkurang dan akhirnya menyebabkan terjadinya percepatan gerak vertikal cekungan

tarsebut. Masihpada kalaini, persentuhan atau Interaksi kedua lempeng tersebut

tidak/belum membentuk suatu jalur subduksi, kondisi ini terjadi karena sudut interaksi

kedua lempeng masih kecil. Bukti belum / tidak adanya subduksi adalah tidak adanya

Page 7: Geologi Struktur Indonesia

aktifitas vulkanik pada periode tersebut (tidak ada material gunungapi berumur Oligosen

Bawah).

Periode Oligosen Akhir - Miosen Awal

Terjadi gerak rotasi yang pertama dari lempeng Mikro Sunda sebesar 20 ke arah yang

berlawanan dengan gerak jarum jam, disertai dengan pemisahan Sumatra dari

Semenanjung Malaya. Gerak rotasi ini juga menyebabkan terbentuknya pembentukan

cekungan di Sumatra Timur sebagai “cekungan regangan” atau pull apart basin. Adanya

pengangkatan dan penurunan lokal menyebabkan proses erosi dan pengendapan yang

cepat di dalam cekungan tersebut (Gb.4-23 dan Gb.4-24).

Rotasi yang pertama ini masih belum dapat menempatkan kadudukan Sumatra kedalam

keadaan dimana interaksi antara kedua lempeng akan mampu menimbulkan terladinya

tegasan kormpresi.

Periode Miosen Tengah

Rotasi lempeng mikro Sunda terhenti pada Miosen Tengah, dan secara bersamaan disusul

oleh pengangkatan regional. Dalam perioda ini terjadi pengaktifan kembali sesar lama dan

penurunan cekungan semakin cepat.

Periode Miosen Atas - Sekarang

Rotasi yang kedua dimulai sebesar 20-26 kearah yang berlawanan dengan jarum jam,

yang dipacu oleh membukanya laut Andaman. Pada saat itu, interaksi antara lempeng

Hindia-Australia dengan lampeng Eurasia sudah meningkat dari 40 menjadi hampir 65.

Makin besarnya sudut interaksi mengakibatkan terjadinya tegasan kompresi. Keadaan

demikian ini menyebabkan pengangkatan Bukit Barisan dan peningkatan kegiatan

volkanisma.

Di barat Sumatra terbentuk jalur subduksi dan sesar -sesar mendatar sehingga disini juga

memungkinkan terjadinya cekungan regangan ('Pull Apart Basin') antara busur luar dan

daratan Sumatra (Mulhadiono dan Sukendar, 1987). Sebagai akibat dari rotasi yang

berkelanjutan ini, juga terjadi perubahan status daripada pola-pola sesar di cekungan

Sumatra timur. Sesar-sesar mendatar Paleogen yang berarah utara-selatan, berubah

menjadi baratlaut-tenggara, sedangkan yang berarah timur laut baratdaya (sesar normal),

menjadi utara-selatan. Karena lingkungan tegasannya berubah, maka sesar-sesar mendatar

yang berubah menjadi baratlaut-tenggara menjadi aktif kembali sebagai sesar naik dengan

kemiringan curam, sedangkan sesar normal yang berubah menjadi utara- selatan, aktip

kembali sebagai sesar mendatar (dextral).

Page 8: Geologi Struktur Indonesia

TEKTONIK INDONESIA BAGIAN TIMUR

Tektonik Indonesia bagian timur dipengaruhi langsung oleh interaksi 3 lempeng dan

pembentukannya dapat dikelompokan ke dalam dua tahapan, yaitu masa sebelum dan sesudah

benua Australia membentur Indonesia bagian Timur.

Tektonik Asia Tenggara Bagian Timur (Indonesia Bagian Timur) Sebelum Australia

Tiba

Pecahnya Gondwana menyebabkan timbulnya beberapa sumbu pemekaran utama di

Samudera India yang kemudian diikuti oleh pengaturan kembali pola penunjaman secara

besar-besaran di Indonesia (Katili, 1989).

Sementara Australia bergerak ke utara, Irian/Papua mendekati busur Kepulauan Sepik

dan akhirnya membenturnya (Downey, 1985). Peristiwa itu terjadi sekitar 30 juta tahun yang

lampau. Pada waktu yang hampir bersamaan pemekaran busur-belakang menyebabkan

timbulnya busur yang tidak terputus-putus Britian-New Ireland-Salomon Utara ke bagian

baratlaut Irian.

Selanjutnya, sistem Sunda trench pada 20 juta tahun lalu sudah membentang mulai

dari ujung barat Sumatera menerus ke Jawa, Nusa Tenggara, Tanimbar, Kei dan Buru, dan

bahkan bersambung dengan busur Melanesia. Menjelang tibanya benua Australia pada tepi

benua Asia Tenggara, ada sebuah busur gunungapi yang berarah utara-selatan. Busur yang

disebut busur gunungapi Sulawesi-Mindanao ini menjulur sekitar 800 km di timur Kalimantan

(Katili, 1978). Lebih jauh ke tenggara, terentang busur kepulauan Sepik yang lebih tua yang

menempel pada Irian. Busur ini memisahkan benua Australia dari lempeng Pasifik.

Tektonik Asia Tenggara Bagian Timur (Indonesia Bagian Timur) Selama dan Sesudah

Benturan dengan Australia

Sekitar 50 juta tahun yang lalu, Irian dan Sepik yang dalam pada itu terpateri menjadi

benua mikro, tiba di lempeng Asia Tenggara dan membentur busur Melanesia (Daly drr.,

1986). Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi antara lempeng Australia yang bergerak ke

utara dan lempeng pasifik yang maju ke barat-baratlaut (lihat gambar 13).

Berbagai proses itu mengakibatkan timbulnya beraneka corak struktur. Diantaranya

dapat disebutkan beberapa sesar mendatar sinistral; persesaran yang penting itu, berarah timur-

barat seperti Sesar Sorong dan Sesar Tarera-Aiduna. Kemudian pada sesar geser itu terbentuk

cekungan tarik, seperti Cekungan Salawati dan beberapa cekungan yang ada di utara. Maka

terciptalah sebuah jalur lipatan/ sesar-naik utama, yang berarah barat-baratlaut, dan terentang

melewati Papua Nugini dan Irian Jaya, kemudian membelok kearah utara-baratlaut menuju

daerah Lengguru. Dalam hal ini, Sesar Tarera-Aiduna bertindak sebagai penahan samping

terhadap sesar-naik tersebut (gambar 14).

Kemudian, sekitar 10 juta tahun lalu, terjadilah sebuah jalur penunjaman, di sebelah

utara Irian. Proses itu bahkan masih berlangsung hingga kini. Tetapi penunjaman itu tidak

diiringi kegiatan gunungapi di Irian Jaya (gambar 15).

Page 9: Geologi Struktur Indonesia

Peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah geologi Indonesia bagian timur

terjadi kira-kira 5 juta tahun yang lalu.

Pada saat itulah Irian terputar secara sinistral (berlawanan dengan arah jarum jam),

sementara Australia terus bergerak ke utara. Akibatnya, busur Banda yang berarah timur-barat,

terbelokkan sehingga melengkung ke barat. Dengan demikian terperangkaplah Laut Banda.

Peristiwa itu membawa serta timbulnya berbagai kejadian yang lain. Kepala Burung di

Irian Jaya tersayat ‘pisau tektonik’ sepanjang Sesar Sorong (Hamilton, 1979, Katili, 1986a).

Kemudian, Buton dan Sula serta sejumlah benua mikro lainnya membentuk busur Sulawesi

dan busur Halmahera yang menghadap kr timur itu. Proses tersebut dengan sangat kuatnya

mengubah busur kepulauan ganda itu menjadi bentuk yang menyerupai huruf K (gambar 16).

Dapat kita bayangkan, perbenturan itu menimbulkan perubahan besar-besaran.

Diantaranya, batuan ultrabasa mencuat di lengan timur dan lengan barat Sulawesi, dan setelah

itu tersesar naikkan di atas busur kepulauan. Gaya tektonik yang bekerja tiada henti-hentinya

kearah barat sepanjang sesar Sorong dan sesar Matano di Sulawesi bagian tengah, lambat laun

mendorong Sulawesi menuju ke benua Asia, mandekati Kalimantan. Dengan demikian,

tertutupnya Laut ini, mencuatlah komplek tunjaman Meratus dan Pulau Laut yang semula

terbenam itu. Dari komplek yang berumur Kapur-Tersier dini ini kemudian terbentuk

Pegunungan Meratus (Katili, 1978). Tetapi Pengangkatan pegunungan ini tidak disertai

kegiatan pluton; yang terlihat pada proses itu hanyalah gaya memampat. Memang tidak

tersedia catatan yang menyatakan adanya batuan pluton yang seumur (Van Bemmelen, 1949).

Dalam pada itu, Laut Sulawesi Selatan terbuka kembali. Kala itu adalah akhir Pliosen

dan yang menjelma sekarang adalah Selat Makassar. Pembukaan itu disebabkan oleh

pemekaran sepanjang sesar transform, yang terpenting di antaranya ialah sesar Paternoster.

Pemekaran ke timur di selatan sesar Paternoster menyebabkan penunjaman serta terbentuknya

gunungapi Kuarter Lompobatang dan gunungapi Barupu di lengan selatan Sulawesi (Katili,

1978). Taylor dan Van Leeuen (1980) berpendapat, pemineralan di Sulawesi Selatan dapat

diterangkan dengan penunjaman di Selat Makassar yang berlangsung hanya singkat itu.

Kegiatan gunungapi tadi terhenti karena pemekaran Laut Sulawesi yang mendorong Sulawesi

kearah selatan-tenggara sepanjang sesar transform Palu-Koro. Berbarengan dengan itu

rusaklah pusat pemekaran tersebut, dan selain itu juga jalur penunjaman di Selat Makassar.

Dengan demikian terputuslah sumber magma bagi Lompobatang dan Barupu (Katili, 1978).

Dalam pada itu, Sulawesi bagian utara mengalami sejarah ketektonikannya sendiri. Di

sana terdapat dua jalur penunjaman kecil, sebuah miring ke barat dan sebuah lagi berkutub

lain. Penunjaman ynang pertama itu diiringi kegiatan gunungapi di Minahasa dan kepulauan

Sangihe. Yang kedua kemudian berkembang di barat laut Sulawesi dan di barat Halmahera.

Maka lahirlah gunungapi di sepanjang busur Halmahera yang menghadap ke barat.

Pembenturan akhir yang disertai pembentukan ofiolit kini sedang terjadi antara busur

Halmahera yang menghadap ke barat dan busur Sangihe yang menghadap ke timur (Silver &

Moore, 1981).

Dalam pada itu, seluruh busur New Britain-Salomon mengalami pembalikan dan

pemekaran busur-belakang dimulai di cekungan Manus. Sertamerta, busur kecil-kecil itu

Page 10: Geologi Struktur Indonesia

mendapatkan arahnya yang sekarang. Busur New Britain bergerak ke tenggara, sedangkan

ujung baratnya membentur PNG (Papua Nugini) bagian utara sehingga terbentuk

Semenanjung Huon. Pembentukan itu masih tetap berlangsung sampai sekarang.

Page 11: Geologi Struktur Indonesia

BAB 2TEKTONIK SUMATRA

Model Tektonik Kuarter Sumatra

Peristiwa tumbukan dua lempeng Kuarter di Indonesia bagian barat menghasilkan

sejumlah unsur struktur (lingkungan tektonik) seperti palung Sumatra-Jawa, busur laur non

vulkanik, cekungan muka busur, busur volkanik, cekungan busur-belakang dan kraton. Untuk

Indonesia bagian barat, Katili, 1973 telah menyusun sebuah model tektonik lempeng

mengikuti Hamilton (1970) dan Dickinson (1971), seperti yang nampak pada gambar 2.1.

Palung Sumatra-Jawa (Sumatra-Java Trench)

Gerak lempeng Samudra India-Australia ke arah utara-timurlaut dihambat oleh

lempeng Eurasia yang posisinya di barat Sumatra berarah baratlaut-tenggara. Peristiwa ini

mengakibatkan terjadinya tumbukan menyerong (miring/oblique) dan membentuk parit Sunda

yang membentang sekitar 5000 km mulai dari Birma hingga Indonesia bagian Timur

(Hamilton, 1979; Beaudry & Moore, 1985).

Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah

cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan

sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi

tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada

di sebelah barat sesar Sumatra.

Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia

membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut

selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di

Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan

Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda.

Sistem palung-busur Kuarter Jawa-Sumatra yang terbentuk oleh penujaman kerak

samudera ke bawah kerak benua. Di sini kerak benua tipis saja, mengingat sebagian hanya

terdiri dari busur volcano-pluton Tersier. Menyamping, ke arah benua, kandungan kalium

batuan gunungapi berangsur-angsur meningkat. Hal itu terlihat nyata di P. Jawa (Hatherton &

Dickinson, 1969) dengan jalur Benioff-nya paling dalam sekitar 700 km. Di timur Pulau

Timor, palungnya menunjukkan sifat yang berbeda ketimbang di barat. Batuan magma di sini

yang ada di atas lajur Benioff bersusun menengah dan mafik. Kerak di bawah busur itu tipis

dan muda, dan di kedua sisinya terdapat kerak samudera (Hamilton, 1970).

Selanjutnya diungkapkan pula bahwa dari hasil rekaman seismik, batimetri, anomali

gravitasi dan data sonar, diketahui bahwa pada kedalaman 2300 meter di bawah laut di selatan

Jawa ditemukan gunungapi bawah laut dimana litologinya diperkirakan lava-lumpur (mud

volacano) dengan ketinggian 500 hingga 600 meter. Di kawah mud volcanous tersebut

Page 12: Geologi Struktur Indonesia

dijumpai gas metana dan hidrogensulfida yang merupakan sumber energi bagi metabolisme

hewan .

Tepat di utara gunung bawah laut tersebut terdapat suatu kelurusan atau gawir berarah

barat-timur dengan ketinggian hingga 15 meter. Jalur kelurusan ini memotong struktur yang

lebih tua dan berakhir di bawah lapisan sedimen tebal di Palung Jawa. Kelurusan tersebut

diduga merupakan kelanjutan dari Sesar Sumatra dan akibat adanya sesar Sumatra ini, di

beberapa daerah terbentuk sistem tegasan ekstensional yang selanjutnya diikuti oleh adanya

aktifitas gunungapi. Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena gunungapi bawah laut

yang pembentukannya berasosiasi dengan jalur sesar di Selat Sunda.

Busur Luar Non Vulkanik (outer arc ridge atau arc trench gap)

Busur luar luar non-volkanik adalah tinggian yang terbentuk akibat adanya

pengangkatan. Terangkatnya batuan ke atas terjadi dengan mekanisme sesar naik sehingga

batuan yang terangkat mengalami proses pelipatan dan pensesaran, bahkan dibeberapa tempat

hancur tak teruraikan.

Batuan umumnya batuan sedimen pelagik, batuan beku dan batuan metamorf yang

tergerus kuat, seperti yang dapat diamati di rangkaian pulau kecil di sebelah barat Sumatra,

seperti Nias, Siberus dan Mentawai.

Busur luar non-volaknik atau dinamakan juga sebagai arc trench gap dapat muncul di

permukaan sebagai pulau seperti di Sumatra dan dapat pula tidak berbentuk pulau seperti di

selatan Jawa.

Cekungan Muka Busur (fore arc basin)

Cekungan muka busur terletak di antara Busur Luar Non-volkanik dengan Jalur

bergunungapi. Di Sumatra, cekungan jenis ini dibatasi oleh tinggian basement yang

pembentukannya dikontrol oleh sesar-sesar mendatar yang merencong. Isi cekungan berupa

batuan sedimen yang berasal dari hasil rombakan batuan dari daratan Sumatra dan pulau kecil

di barat Sumatra.

Busur Gunungapi (vulkanik/plutonik arc)

Jalur gunungapi terletak di inti pulau Sumatra memanjang dari ujung utara sumatra

hingga ke selatan, yang selanjutnya di kenala sebagai “Bukit Barisan”. Jalur gunungapi ini

terbentuk akibat adanya pembumbungan material dalam bumi yang tepatnya berada di atas

jalur Benioff. Mengingat ketebalan lempeng kontinen di wilayah ini relatif tipis maka

komposisi maerial vulkanik/plutoniknya berkomposisi asan hingga menengah.

Bukit Barisan mengalami aktifitas tektonik pengangkatan yang aktif pada Kala

Miosen, dimana pada saat itu sudut interaksi Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia semakin

besar. Di dalam rangkaian gunungapi ini dijumpai beberapa deperesi berupa daerah pedataran

yang dikenal sebagai “Cekungan antar pegunungan” (Intra mountain basin).

Page 13: Geologi Struktur Indonesia

Cekungan Belakang Busur (back arc basin / fore land basin)

Cekungan Belakang busur terletak di bagian timur jalur bergunungapi hingga

berbatasan dengan kraton. Cekungan sedimen ini dapat menghasilkan endapan yang tebal

mengingat dimensi cekungannya yang luas dibandingkan dengan jenis cekungan sedimen

lainnya.

Pada saat ini, posisi cekungan sedimentasi menempati Selat Malaka, Peraian Riau

hingga bergabung dengan Laut Jawa.

Sistem Sesar Sumatra

Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah

cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan

sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi

tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada

di sebelah barat sesar Sumatra.

Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia

membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut

selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di

Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan

Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda selanjutnya

gaya yang sejajar Parit Sunda memicu terbentuknya Sesar Sumatra dan Mentawai yang

posisinya relatif sejajar dengan parit tersebut. Bemmelen (1949), menamakan sesar Sumatra

sebagai “Semangko Fault Zone” sedangkan Katili dan Hehuwat (1967), menamakannya

sebagai “The great Sumatra Fault Zone”.

Sesar Sumatra merupakan gelala tektonik utama yang bersifat regional, membujur

sepanjang 1650 km dari Aceh sampal ke teluk Semangko di ujung selatan P.Sumatra.

Pergeseran total dari sesar ini diperkirakan paling sedikit mencapal 26 Km (Katili dan

Hehuwat, 1967). Sesar Semangko ini masih aktip sampai sekarang, yang ditunjukkan oleh

jalur gempa dangkal sepenjang jalur sistem yang sering menimbulkan kerusakan2 selama

sejarah ( Gempa yang terjadi di Padangpanjang pada tahun 1926,1946 dan 1983; gempa di

Liwa dan di Tarutung, dll ).

Tjia (1970) dapat mengenal sejumlah bentuk-bentuk amblesan sepanjang sesar

Semangko. Para peneliti semula menafsirkan bentuk-bentuk amblesan ini sebagai akibat

regangan yang terjadi pada bagian puncak "geantiklin" dan membentuk sesar-sesar bongkah

(van Bemmelen, 1949; Katili dan Hehuwat, 1967).

Bemmelen (1949), menafsirkan pernbentukan amblesan ini, seperti halnya Cekungan

Ombilin, terjadi pada jaman Eosen. Sedangkan Katili dan Hehuwat (1967) memperkirakan

Kapur Tengah hingga Awal Tersier dan setelah itu disusul oleh gerak mendatar.

Pemikiran-pemikiran yang ada sekarang (Davies, 1987 dan Koning, 1985),

menganggap bahwa bentuk-bentuk struktur amblesan itu adalah sebagai struktur penyerta

daripada gerak mendatar sesar Semangko, yaitu tipe "pull apart basin". Bentuk struktur separti

Page 14: Geologi Struktur Indonesia

ini dapat disamakan dengan pambentukan "Death Valley" dl California, A.S. (Ob.4-18). Ciri-

ciri sebagai “pull-aparl basin” dapal dilihat dari:

Sesar Sumatra merupakan sesar mendatar dekstral, membentang sepanjang 1650 km,

merupakan batas antar lempeng (lempeng Asia Tenggara dengan lempeng Mikro Sumatra),

berarah baratlaut-tenggara, relatif sejajar dengan palung Jawa-Sumatra, berimpit dengan jalur

vulkanik aktif (rengkaian gunungapi Bukitbarisan), menghubungkan dua daerah regangan

yaitu Cekungan Belakang Busur Laut Andaman dan Cekungan ekstensional Selat Sunda.

Sesuatu yang menarik di Selat Sunda adalah tidak ditemukannya fore arc basin.

Tjia (1977), menyatakan bahwa Sesar Sumatra terdiri atas beberapa segmen yang

masing-masing relatif saling sejajar dan dibeberapa tempat saling overlaping. Pola struktur

Sumatra dibeberapa tempat membentuk pola en-echelon sehingga di daerah tertentu pola

tektonik yang berkembang didominasi oleh sistem tegasan kompresi dan dibagian lain

dipengaruhi tegasan ekstensional.

Sistem sesar Sumatra dibeberapa segmen membentuk daerah kompresional yang

dicirikan dengan berkembangnya struktur lipatan dan sesar naik. Disamping sistem regangan,

sesar besar ini membentuk daerah regangan atau ekstensional yang menghasilkan topografi

cekungan yang batas-batasnya dikontrol oleh bidang sesar sebagai rangkaian graben

(Bemmelen, 1949; Westerveld, 1954). Contoh lokasi depresi yang berasosiasi dengan sistem

sesar Sumatra (Gambar 2-6), antara lain : Deporesi Aceh, Tangse, Alas, Angkola-Gadis,

Sempur-Rokan Kiri, Singkarak dan Solok, Muara Labuh, Kerinci, Ketahun, Kapahiang-

Makakau dan Semangko (Katili dan Hehuwat, 1967).

Sesar Sumatra mulai terbentuk di Sumatra Tengah sejak Kapur Tengah (Hehuwat,

1967) dengan gerak relatif vertikal selanjutnya pada Plistosen Bawah gerak sesarnya disertai

oleh gerak mendatar dekstral. Tjia (1970) menyatakan bahwa pergeseran menganan sesar

Sumatra mulai terjadi pada kala Pliosen Bawah sedangkan Bahar (1982, dalam Hery Harjono,

1998) menyatakan bahwa di daerah Sumatra Barat (Padang) sesar Sumatra bergeser normal

(dominan) dengan komponen strike slip menganan yang mulai berlangsung sejak Kapur dan

Pliosen) dan prosesnya diikuti oleh tektonik regangan yang disertai aktivitas vulkanisma.

Jalur sesar sumatra tidak hanya terbentuk di daratan tapi juga berlanjut ke daerah

perairan Selat Sunda. Tanda-tanda jalur sesar Sumatra pada awalnya tidak diketahui

kelanjutannya, seperti yang pernah dinyatakan oleh para geologiwan dari berbagai negara,

antara lain German, Perancis, Amerika. Namun ketika ekspedisi lanjutan yang diberi nama

“Indonesia-Japan Deep Sea Expedition Java Trench 2002”, dilakukan oleh ilmuwan Jepang

dan Indonesia (BPPT) dalam ekspedisinya menggunakan kapal selam “Yokusuka-Shinkai”.

Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sesar Sumatra menerus ke arah tenggara, yaitu ke

wilayah selat Sunda dan berlanjut hingga ke selatan Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dan

akhirnya mencapai palung Jawa. Penerusan sesar Sumatra ke arah tenggara ini dinamakan

sebagai sesar Sumatra segmen Panaitan.

Page 15: Geologi Struktur Indonesia

Perkembangan Sesar Sumatra dapat dikenali mulai dari Eosen hingga Resent, yaitu :

Fase Tektonik Kapur Atas :

Kegiatan tektonik ini ditandai oleh aktifitas magmatik dan orogen sebagai akibat adanya

tumbukan lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Puncak kegiatan tektonik ini ini

tercermin oleh terbentuknya Pegunungan Barisan yang disertai oleh aktifitas vulkanisma.

Fase Tektonik Eosen-Oligosen Awal :

Pada jaman Eosen, lempeng Hindia Australia bergerak ke arah utara dengan kecepatan

mencapai 18 cm/th. Menjelang Oligosen kecepatan berkurang menjadi 3 cm/th dan bergerak

rotasi ke arah timur. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya aktifitas regangan (pola rekahan)

dimulai dari daerah Sumatra Selatan dan kemudian berlanjut ke arah utara (Davies, 1987).

Pada gerak sesar mendatar yang saling berpasangan dan berjenjang (sesar menangga) akan

membentuk cekungan tarikan (pull aprt basin).

Fase Tektonik Oligosen Akhir – Miosen Bawah :

Pada saat ini, terjadi rotasi dari lempeng mikro Sunda sebesar 20 berlawanan arah jarum jam

yang menyebabkan Sumatra mulai menjauh dari Semenanjung Malaya. Proses tektonik pada

waktu ini belum menghasilkan tegasan kompresi yang berarti.

Fase Tektonik Miosen Tengah :

Terjadi pengaktifkan kembali sesar-sesar, bersamaan dengan berhentinya rotasi lempeng

mikro Sunda.

Miosen Atas – Recent :

Terjadi kembali rotasi ke dua sebesar 20 - 25 berlawanan arah jarum jam, selanjutnya

mengakibatkan makin membukanya Laut Andaman. Sudut interaksi tumbukan lempeng

Hindia-Australia dengan lempeng Eurasia sudah berubah dari 40 menjadi 60. Pada saat itulah

mulai terjadi tegasan kompresi yang menyebabkan terjadinya pengangkatan bukit barisan,

pengaktifan gunungapi serta terbentuknya sesar menyerong. Sebagai akibat adanya rotasi

berkelanjutan, maka sesar-sesar lama yang berarah utara-selatan menjadi berarah baratlaut-

tenggara sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya (umumnya sesar normal) menjadi

berarah utara-selatan. Konsekuensi dari perubahan ini mengakibatkan sesar mendatar yang

arahnya menjadi baratlaut-tenggara teraktifkan kembali sebagai sesar naik, sedangkan sesar

normal berubah menjadi sesar mendatar dengan arah utara-selatan.

Kerangka Tektonik Sumatra Zaman Pra-Tersier Hingga Sekarang

Kerangka pra tersier Sumatera terdiri dari sebuah mozaik lempeng mikro benua dan

samudra yang diakresikan pada Trias akhir ketika lempeng mikro Mergui, Malaka dan Malaya

timur masih bersatu membentuk Sundaland. Akresi lebih lanjut (pada Mesozoikum akhir)

melibatkan Woyla terrain yang berada di pesisir barat. Magmatisma dan pensesaran yang

terjadi bersamaan banyak mempengaruhi Sundaland.

Page 16: Geologi Struktur Indonesia

Lempeng benua mikro Mergui menempati inti bagian tengah Sumatera dari Aceh

sampai Jambi bagian selatan. Pembentukannya ditandai oleh sejarah yang kompleks dan

melibatkan plutonisma granit paleozoikum tua dan muda, volkanisma busur Perm akhir dan

pengendapan “batulumpur kerikilan” Permo-Karbon yang menyebar luas. Kompleks sutura

Trias yang mempunyai arah NW-SE samapi N-S (dapat ditemukan pada sub singkapan Riau

sampai daerah Palembang dan dinamai Rangkaian Mutus), memisahkan lempeng benua mikro

Malak di bagian timur. Lempeng ini hanya sedikit diketahui, tetapi tampaknua didominasi

oleh metasedimen tingkat rendah yang terpotong di bagian timur oleh granit yang mewakili

kontinuitas barisan granit utama Trias dari Semenanjung Malaya. Lempeng benua mikro

Malaya Timur ditandai oleh magmatisma busur Permo-Trias dan terletak di timur sebuah

garis yang menghubungkan Kundur dan Bangka. Batasnya merupakan batuan kompleks yang

berasosiasi dengan batuan mafik dan ultramafik yang berhubungan dengan garis Raub-

Bentong dari Semenanjung Malaya. Woyla Terrain terdiri atas busur volkanik dan ofiolit Jura

dan Kapur yang terkena gaya tektonik. Tujuan lainnya adalah untuk mempelajari dengan

singkat perkembangan gagasan2 tentang evolusi pra Tresier Sumatera dan untuk menunjukkan

bagaimana lempeng mikro beserta batas2nya diinterpretasi secara beragam. Bahasan akan

ditekankan pada garis Lematang di Sumatera utara yang dulunya dinamai Jambi Thrust oleh

seorang penulis Belanda.

Perubahan Pada Pola Gagasan Tektonik Sumatera

Gagasan tentang asal-usul Sumatera berhubungan erat dengan Sundaland yang

merupakan bagian Asia Tanggara yang sebagian menghunjam dan diduduki oleh Sumatera,

Malaysia barat dan sebagian besar Kalimantan. Sundaland dianggap sebagai lempeng benua

yang paling besar dan padu di dunia dan dianggap terdiri atas inti pra Tersier yang stabil dan

dikelilingi oleh batuan yang lebih muda. Pada mulanya, zona sebelah luar dijelaskan dengan

dasar hipotesa Vening Meinesz tentang downbuckling. Setelah itu Bemmelen menggunakan

teori Undasinya untuk menjelaskan cincin2 konsentrik dan menyatakan bahwa cincin2

tersebut merupakan “gelombang kerak” yang berasal dari daerah inti yang berpusat di pulau

Anambas di Laut Cina Selatan. Gagasan-gagasanya dipresentasikan dan gagasan2 tersebut

menyatukan banyak teori tentang geologi Indonesia. Gagasan Bemmelen (1949) diterima

tanpa keraguan yang berarti sampai berkembangnya teori tektonik lempeng.

Teori tektonik lempeng mendetil pertama kali dikembangkan oleh Katili (1973).

Penulis ini terkesan oleh konsentrisitas yang tampak jelas pada sabuk-sabuk yang melingkari

sundaland. Katili (1973) memperlihatkan bagaimana sabuk-sabuk tersebut dapat dijelaskan

oleh Zona Benioff. Dengan banjirnya informasi pada tahun 70-an, tampak jelas bahwa

interpretasi tentang evolusi sundaland yang dianggap “tidak bergerak” tidak dapat

dipertahankan. Sedangkan model-model lain yang menganggap bahwa sundaland “bergerak”

diterima secara luas. Sekarang para ahli menganggap bahwa sundaland bukan merupakan satu

kesatuan tunggal tetapi merupakan mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen atau lempeng-

lempeng mikro yang terus bergerak.

Page 17: Geologi Struktur Indonesia

Lempeng Mikro Sumatera dan Asia Tenggara

Adanya sejumlah terrane (terain) di bagian barat yang terpisah-pisah, sesar yang

berakar di batuan alas, dan aliran panas yang tinggi mendorong Pulunggono dan Cameron

(1984) untuk berpendapat, bahwa sebagian besar Sunda land itu adalah lempeng mikro.

Lempeng mikro adalah lempeng kecil yang terpisah secara tektonik dari lempeng

(besar) asalnya. Masing-masing lempeng ini dapat berasal dari lempeng induk yang sama dan

dapat pula dari lempeng yang berbeda dan selama perjalanannya masing-masing lempeng

tersebut bercerai berai membentuk kepulauan/daratan tersendiri (Pulau Banggai dan Sula) atau

dapat saling bersatu membentuk daratan yang luas (Sumatra). Batas-batas mikro lempeng

yang saling bersatu dicirikan oleh jalur suture (sutur).

Lempeng mikro pembentuk daratan Sumatra terdiri atas lempeng mikro Mergui,

Malaka dan Malaya Timur. Berbagai lempeng itu menyatu pada Zaman Trias Senja dengan

akresi terrane Woyla, yang terjadi kemudian pada Akhir Mesoziokum.

Gatinsky dan Hutchison (1984) menawarkan pendapat, bahwa lempeng mikro tersebut

(bagian timur Semenanjung Malaya, alas Kalimantan Barat, dan Sumatera bagian selatan)

merupakan bongkah yang mengapung dari Australia dan mendekati benua Asia Tenggara pada

Zaman Perm. Hubungan ruang dan waktu yang rumit dalam himpunan lempeng mikro yang

demikian itu dapat dilihat dalam penampang yang melintas Paparan Sunda (gambar 5).

Masalah terpenting dalam hal ketektonikaan benua mikro ialah, bagaimanakah orang

dapat mengenali daratan/tanah gusuran (alokhton), jejak daratan/tanah itu dalam ruang waktu,

serta proses yang menyebabkan daratan/tanah itu terpencil, berpindah tempat dan mengumpul.

Di atas semua itu, sangatlah penting bagi kita untuk dapat menentukan, apakah dalam

percampuran tektonik, sistem palung-busur merupakan bagian utama seperti pada Busur

Sunda masa kini. Atau, apakah alokhton yang terdiri dari pecahan tepi benua, sisa busur

kepulauan, dataran samudera dan pulau, lajur bancuh, pecahan ofiolit, dan sebagainya itu

tercirikan oleh perpindahan dan perputaran yang besar telah memainkan peranan yang lebih

berarti, seperti di wilayah Kordilera Amerika Utara pada Masa Mesozoikum (Coney drr.,

1980).

Pulunggono dan Cameron (1984) mempertahankan pendapat, bahwa busur volcano-

pluton yang timbul akibat proses penunjaman masih merupakan bagian penting dalam susunan

keseluruhan bagan tektonik. Di Sumatera, keadaan geologi menjadi rumit karena hadirnya

Sesar Sumatera yang terbentang sepanjang 1.350 km (Katili, 1973).

Dalam tulisan ini lempeng mikro didefinisikan sebagai fragmen-fragmen kecil dari sebuah

lempeng besar yang secara regional mempunyai sifat homogen dan dipisahkan oleh sesar

besar (sesar ini menerus ke litosfer). Setting lempeng mikro dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Lempeng2 mikro yang mempunyai sejarah yang terpisah lalu disatukan oleh sutur.

2. Lempeng2 mikro yang mempunyai sejarah yang sama sampai adanya rifting dan

transFormasi.

3. Lempeng2 mikro yang mempunyai sedikit perbedaan dalam sejarahnya ketika terjadi

rifting yang berumur pendek.

Page 18: Geologi Struktur Indonesia

Sesar-sesar yang merupakan batas pada setting ke 1 dan ke 3 seringkali mengandung

ofiolit. Tetapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan, karena adanya gerakan ekstensional

kerak ketika terjadi rifting tidak memungkinkan pembentukan ofiolit. Selain itu ada

kemungkinan bahwa ofiolit hancur ketika terjadi pensuturaan (suturing) atau ketika episode

strike-slip terjadi.

Sumatera terbentuk dari kombinasi setting 1 dan 3, karena lokasinya yang berada pada

daerah lempeng konvergen. Ada bukti bahwa lempeng-lempeng mikro ini berasal dari

Gondwanaland yang mengikuti episode rifting. Model-model mutakhir untuk kejadian-

kejadian ini digambarkan dalam makalah yang ditulis oleh Parker dan Gealey (1983) dan

Stauffer (1983).

Asia Tenggara dianggap terbentuk dari akresi. Pembentukan utama selesai pada Trias

akhir. Dua sutura utama melintas Sumatera dan memisahkan lempeng mikro Mergui, Malaka

dan Malaya timur. Bukti tentang sutura yang memisahkan lempeng mikro Malaka dan Malaya

timur ditemukan di Malaysia timur. Barisan granit yang mengandung timah di tempat ini

dianggap membentuk lelehan kerak karena lempeng mikro Mergui di sepanjang garis Raub-

Bentong dilintasi oleh lempeng mikro Malaya timur.

Batas-batas lempeng mikro Sumatera pada saat ini sangat berbeda dengan keadaannya

pada akhir Mesozoik. Hal ini terbukti dengan rift laut Andaman ke arah utara sejauh 1650 km,

ke arah kiri sistem sesar Sumatera. Sistem sesar dan batas-batas lempeng tersebut

memisahkan lempeng mikro Burma di sebelah barat dan Asia tenggara di sebelah timur.

Pertumbuhan sistem sesar Sumatra banyak berubah pada perbatasan Mesozoik akhir,

terutama di Aceh.

Lempeng Mikro Mergui

Mengikuti pemetaan reconnaissance Sumatera Utara, Cameron dan kawan kawan

(1984) mampu menunjukan bahwa blok Malaya barat terdiri dari beberapa komponen dan

yang terbesar adalah Mergui. Kelanjutan dan batasnya di selatan ekuator dijabarkan oleh

Pulunggono. Stratigrafinya seragam dan unit unit individual yang ditabulasikan di gambar 2

dapat ditemukan di sepanjang Sumatra dan Malaysia bagian barat laut, Thailand barat dan

sekitarnya.

Lempeng mikro Mergui terdiri atas kelompok : Basement Granit Paleozoik Tua,

Kelompok Tapanuli dengan Umur Permo Karbon. Deformasi Kelompok Tapanuli terjadi pada

Perm Awal, sedangkan kelompok Peusangan dan Busur Magmatik pada waktu Trias.

Basement Granit Paleozoik Tua

Umur Rb-Sr yang berkisar 426 + 41,5 ma dan 335 + 43 ma yang diambil dari granit di

cekungan Sumatra tengah mewakili basement tertua yang teridentifikasi di Sumatra. Bukti

keabsahan umur2 tersebut ditemukan di sumur cucut #1 dimana umur Rb-Sr 348 + 10 ma

ditemukan dari butiran-butiran granit pada “batu lumpur kerikilan” berumur Permo-Karbon

pada Formasi bohorok.

Page 19: Geologi Struktur Indonesia

Petunjuk tentang basemen yang lebih tua ditemukan. Sebuah badan batuan yang Rb-Sr

nya berumur 500 + 100 ma ditemukan di Formasi bohorok di lembah alas di barat daya

Medan. Leucotonalite klastik yang K-Ar nya berumur 1029 + 15 ma ditemukan dan

berhubungan dengan “batu lumpur kerikilan” pada Formasi Singa di pulau langkawi.

Kelompok Tapanuli dengan Umur Permo Karbon

Kelompok Tapanuli yang dijabarkan oleh Cameron dkk. berhubungan dengan Zonasi

struktural Bemelen. Meskipun kelompok ini menempati daerah yang luas di utara ekuator,

kelompok ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi 3 unit utama dan yang paling terlihat adalah “batu

lumpur kerikilan” pada Formasi bohorok. Formasi Kluet/Kuantan terdiri atas sabak marin dan

metabatupasir yang kaya kuarsa. Formasi Alas adalah merupakan sikuen batugamping.

Di selatan ekuator, kelompok ini terpisah menjadi sejumlah formasi lokal dan

semuanya cocok dengan 3 unit utama Sumatera Utara. Cameron dkk (1984), menempatkan

Formasi Alas pada umur Perm awal. Umur sebenarnya sekarang diketahui sebagai Karbon

awal.

Formasi Bohorok di sumur cucut #1 mengandung flora Karbon Awal sampai Tengah.

Metasedimen Kapur transisional Kluet-Bohorok di Pangururan mengandung fauna laut

dangkal yang kaya akan bryozoa yang berhubungan erat dengan lapisan bryozoa berumur

Perm awal di Phuket.

Cameron dkk (1984). menyimpulkan bahwa Formasi bohorok terbentuk secara glasial.

Kesimpulan ini didukung oleh studi sedimentologi pada Formasi Singa dan Formasi Kubang

yang berumur Karbon.

Deformasi Kelompok Tapanuli Pada Perm Awal

Bukti struktural yang konsisten di sepanjang Sumatra utara mengindikasikan bahwa

Kelompok Tapanuli lebih terderformasikan dibandingkan kelompok Peusangan yang berada

diatasnya. Meskipun terdapat ketidakselarasan diantara 2 kelompok ini, tektonisme ditemukan

pada umur Rb-Sr 264 + 6 ma pada granit Sibolga. Granit yang berhubungan adalah: Granit

Ombilin dan Grani Setiti.

Ditemukan hiatus yang tersebar di lempeng mikro Mergui, tetapi hal ini tidak

ditemukan di Sumatra. Gobbett menyatakan bahwa kontak antara Formasi Singa dan

batugamping Formasi Chuping adalah selaras. Kontak ini tidak terlihat selaras tetapi bisa jadi

hal ini tidak benar, karena Formasi Singa terbelah dan termetamorfosa secara thermal

sedangkan Formasi Chuping tidak tampak sebagai batuan metamorf. Peristiwa hilangnya

argon pada Formasi Singa, dianggap mewakili umur metamorfisme. Bukti adanya kekosongan

diatas Formasi Singa ditemukan di pulau yang sejajar di Kedah. Ditempat itu ditemukan

ketidakselarasan di gunung Keriang.

Di pulau Phuket, kelompok Phuket memperlihatkan jenis metamorfisme yang sama

yang ditemukan di Formasi Singa. Waterhouse mencatat hiatus Perm awal diantara kelompok

Phuket dan kelompok duri di atasnya.

Page 20: Geologi Struktur Indonesia

Kelompok Peusangan

Kelompok ini dibagi menjadi 2 unit yaitu busur Perm dan karang yang berhubungan

dengan zona benioff. Asosiasi Perm ditemukan di Aceh tengah dan garis yang tersesarkan di

lempeng mikro dari Sumatra Barat sampai Jambi. Sabuk ini diperlihatkan oleh Pulunggono

(1984) untuk menyangkal adanya sesar-sesar rangkain mutus di sumur Saka 4. Di Sumatra

Barat produk volkanik diuraikan secara detil oleh Katili dan dinamakan Formasi silungkang.

Batuan yang sejenis di Jambi dinamakan Formasi Palepat.

Batugamping fusulinid yang bersilangan mempunyai umur Perm Akhir. Sedimen Trias

di Sumatra utara berasal dari Formasi Kualu, yang diyakini melintas rangkaian mutus di

cekungan Sumatra Tengah. Lingkungannya kebanyakan air dalam dengan rijang radio laria,

shale halobia dan turbidit yang ritmis. Batugamping air dangkal juga ditemukan. Sedimen

yang sama dan dikenal sebagai Formasi Tuhur ditemukan di Sumatera Barat.

Busur Magmatik Trias

Suksesi Trias Sumatera barat dikedua belah ekuator meliputi wacke volkanik hijau dan

tuff. Busur volkanik yang berasosiasi dengannya belum teridentifikasi dan belum jelas apakah

busur ini berada di timur atau di barat sedimen volkanogenik Trias. Bukti tentang adanya

busur disebelah timur ditemukan di daerah Sumpur dimana ditemukan tubuh batuan

granodiorit biotit hornblende.

Busur disebelah barat diduga hancur selama Akresi Woyla Terrains. Sisa sisanya dapat

ditemukan sebagai anggota sekis Formasi Muarasoma. Unit ini tampaknya berasal dari

material volkanik felsik dan memperlihatkan perlipatan kembali (refolding) dan deformasi

dengan tingkat yang lebih tinggi dari kelompok Woyla. Magmatisme Trias juga terlihat di

pulau Langkawi, tetapi ini berhubungan dengan sutura garis Raub-bentong.

Peristiwa Pensuturaan Pasca-Trias

Sejarah Mesozoik lempeng mikro Mergui setelah pensuturaan dengan lempeng mikro

Malaka bersifat erosional. Umur K-Ar 186-189 + 2 ma didapat dari granit rokan. Petografi

granit tersebut dapat disimpulkan sebagai umur yang berhubungan dengan cataclasis.

Lingkungan yang lebih dinamis ditemukan pada pertengahan Jura. Peristiwa ini tidak

terlalu terdokumentasikan. Formasi Telukkido di Sumatera utara mengandung lapisan marin

dangkal sampai marjinal dan flora Jura pertengahan. Flora Kapur rework pada cekungan

Sumatera Tengah bagian barat berumur Tersier juga ditemukan. Pada Formasi Tabir

ditemukan lapisan marin yang memerah dan tuff.

Plutonisma yang terjadi pada waktu yang bersamaan tercatat di Sumatera Barat pada

kompleks intrusi Tanjung Gadang. Intrusi yang berhubungan adalah granodiorit biotit

hornblende pada pluton. Plutonisme selanjutnya ditandai oleh kompleks lassi mesozonal.

Granit bermuatan timah ditemukan di Thailand barat dan berhubungan dengan

peristiwa2 yang terjadi bersamaan di Sundaland. Di daerah Phuket granitnya berumur Rb – Sr

124 4 ma.

Page 21: Geologi Struktur Indonesia

Rangkaian Mutus

Rangkaian mutus pada mulanya ditemukan di sumur cekungan Sumatera Tengah.

Rangkaian ini memisahkan lempeng mikro Mergui dan Malaka. Rangkaian mutus merupakan

bagian dari litologi Formasi Kualu. Pada rangkaian ini ditemukan sekis klorit serisit. Umur

Trias disimpulkan dari umur K – Ar 222 3 ma pada tuff di duri field barat dan dari

kesamaan sedimen pada Formasi Kualu.

Pulunggono (1984) menyatakan bahwa keberadaan sub singkapan di cekungan

Sumatera Selatan analog dengan tatanannya di rangkaian mutus. Sub singkapan ini,

menempati sabuk berarah utara-selatan yang memisahkan lempeng Mergui dan Malaka dan

terdiri dari material volkanik yang terpropilitisasi dan tuff berkomposisi intermediate sampai

mafik. Argilit, gamping tipis dan sekis klorit serisit juga ditemukan. Catatan sumur mencatat

adanya gabro dan serpentinit tetapi batuan jenis ini masih harus diperiksa.

Eubank dan makki (1967) menyatakan bahwa rangkaian mutus mempunyai strike

melintasi selat Malaka kearah singkapan Formasi semanggol di Malaysia baratlaut. Sedimen

ini, yang dikorelasikan dengan basis litologi dan umur oleh Cameron (1984) dengan Formasi

Kualu, terganggu oleh tektonisme strike slip. Sedimen ini mempunyai lebar 30 km., Lembah

(trought) berarah utara selatan yang memisahkan suksesi lempeng mikro Mergui di sebelah

barat. Trough tersebut diatas mewakili kelanjutan sutura lempeng Mergui Malaka bagian

utara.

Model Rangkaian Mutus

Asal-usul rangkaian mutus masih sangat problematis karena tidak cukupnya informasi

tentang petrografi dan kimianya. Dari besarnya kekosongan di sepanjang garis kerumutan

dapat disimpulkan bahwa lempeng Mergui dan Malaka mempunyai sejarah yang terpisah

sebelum pensuturaan. Bagaimanapun, hal ini harus terbuktikan dengan melimpahnya tuff yang

merupakan sebab dari perkembangan zona beniof selama pensuturaan. Karena Zona beniof

ditemukan di Sumatera Barat maka model rangkaian mutus tidak mungkin dikembangkan.

Alternatif lainnya adalah bahwa rangkaian mutus merupakan produk dari rifting belakang

busur dan volkanisme. Perbedaan dalam geologi sepanjang Garis Kerumutan dalam hal ini

menunjukan adanya sesar strike slip. Analogi modernnya adalah Laut Andaman. Contoh yang

tidak terlalu ekstrem adalah Cekungan Sumatra Tengah.

Evolusi tersier cekungan Sumatera Tengah mengindikasikan adanya batas-batas

transisional dengan lempeng mikro Mergui yang diduduki oleh kerak benua. Bukti adanya

batas ini ditunjukan oleh graben Formasi Pematang dan arah NNW – SEE Sihapas yang

merupakan depocentre sistem delta Bekasap-Duri. Meskipun kerak ini merupakan hasil dari

gerakan ekstensional tersier awal, kedua model rangkaian mutus memprediksi adanya disrupsi

batas sebelah barat dari lempeng mikro Mergui.

Batas2 rangkaian mutus di sebelah utara cekungan Sumatera selatan bersifat skematik

karena kurangnya kontrol pada sub cekungan Jambi. Bukti-bukti terbatas menunjukan adanya

serangkaian rift dan graben di daerah ini. Lebar rangkaian mutus berkurang di timurlaut sesar

Page 22: Geologi Struktur Indonesia

batas gunung 30. Tidak diketahui apakah ini merupakan sifat primer atau merupakan hasil dari

disrupsi strike slip lanjutan.

Peristiwa Pasca Penutupan (post closure events)

Sejarah mesozoik rangkaian mutus sama dengan sejarah lempeng mikro Mergui.

Sedimen pasca mutus tidak diketahui pada cekungan Sumatera Tengah, tetapi di Sumatera

Selatan ditemukan adanya gamping Kluang mengikuti transgresi dari barat (gbr 4).

Batugamping tersebut diduga kuat menutupi granit kataklasis di Kluang field dan diduga

berumur Kapur. Umur Jura juga dimungkinkan karena umur K Ar nya adalah 150 ma dan

berhubungan dengan kataklasis.

Plutonisma pra tersier tercatat pada beberapa sumur di daerah pendopo-prabumulih.

Umur granit dan granodioritnya belum diteliti tetapi diduga berumur Kapur. Setting dan

deskripsi petrografisnya menunjukan bahwa batuan ini merupakan hasil subduksi. Sesar

WNW-ESE yang memotong rangkaian mutus diujung timur diduga mempunyai umur yang

sama dan dianggap sebagai garis rekahan yang terbentuk selama akresi woyla terrains ke

sunda land. Sesar yang sama mungkin terbentuk di lempeng mikro Mergui dan Malaka tetapi

umurnya kurang dapat dibuktikan karena arahnya merupakan sub paralel dari butiran tektonik

yang ada sebelumnya. Yang lebih jelas adalah sesar berarah timurlaut-baratdaya yang diduga

berumur Kapur.

Lempeng Mikro Malaka

Suksesi lempeng mikro Malaka kurang diketahui karena lempeng ini ditemukan

sebagai sub singkapan.

Peristiwa-Peristiwa Pensuturaan pra Trias

Suksesi pra sutura terdiri dari quartzite (metabatupasir), sabak dan filit (gbr 5). Oleh

Eubank dan Maki batuan ini dinamakan quartzite terrain dan oleh Pulunggono (1984)

dinamakan quartzite phyllite terrain. Karena suksesi pasca sutura bukan merupakan

metamorfosa maka batuan ini tidak lebih mudah dari Trias. Umur persisnya tidak terlalu

diketahui kecuali di sumur pusaka #1. Granit yang sejajar di sumur idris #1 berumur Rb-Sr

295 ma.

Serpih pra granit lepas pantai di pulau Kundur, batu pasir dan konglomerat kemerahan

terpetakan di Formasi Papan. Litologi yang serupa di Bangka dikelompokan sebagai Formasi

Bangka oleh Zwierzycki dan Katili. Batuan metamorf, sebagian besar berupa sekis muskovit,

juga ditemukan di lepas pantai. Kebanyakan batuan metamorf ini diasosiasikan dengan

postulasi tentang adanya kelanjutan garis raub bentong disebelah selatan dan pemetaan yang

ada tidak bisa menentukan di lempeng mikro mana batuan ini berada.

Suksesi klastik pra granit juga berkembang di daerah Malaka. Jones merujuk kepada 2

unit: umur lebih tua berupa argilit paleozoik, rijang dan sekis pelit dan umur lebih muda

berupa metabatupasir yang berumur Trias. Sekuen yang lebih tua diduga berumur Paleozoik.

Page 23: Geologi Struktur Indonesia

Produk2 volkanik tidak ditemukan kecuali dibagian Garis Raub Bentong. Hubungan

paleogeografis suksesi batugamping di daerah ipoh dengan suksesi klastik dibagian baratnya

tidak diketahui. Secara tentatif diasumsikan bahwa batugamping tersebut diendapkan ke arah

margin laut.

Granit Hasil Tubrukan Berumur Trias

Granit yang mengandung timah ditemukan diantara pulau Kundur dan Biliton. Umur

Rb-Sr nya adalah 217 ma. Mineralisasi timah di biliton berumur 198 ma.

Granit masif berukuran besar yang di plot oleh Coster dari sumur sumur yang

menembus basement pada tinggian lampung yang berumur tersier, diduga berumur Trias

karena singkapan bukit batu di palembang mengandung timah dan mempunyai mineralogi

yang sama dengan granit Bangka.

Garis Raub Bentong

Garis Raub Bentong memisahkan dua blok yang berbeda. Garis ini mengandung ofiolit

hancuran. Ofiolit hancuran ini mengandung serpentinit dan sekis hornblende dan dianggap

sebagai batas lempeng mikro.

Jejaknya kearah selatan Malaysia Barat dianggap pasti. Stauffer yang menyatakan

bahwa jejak tersebut sejajar sampai Singapura, namun pendapat ini dibantah oleh peneliti lain.

Secara tentatif jejak ini melewati pulau Kundur dan Karimun (gambar ) melalui bagian

tengah pulau singkep dan melintasi timur laut bagian sudut pulau Bangka sebelum hilang di

Laut Jawa. Ofiolit yang sebenarnya tidak tercatat tetapi jejak-jejak yang ada mengikuti

perubahan geologi seperti yang terlihat di Malaysia Barat.

Batas Kundur Karimun ditandai oleh kompleks Merak. Sabuk sekis hornblende yang

sama melintasi pulau Singkep bagian tengah. Di timur laut Bangka, serpentinit yang tidak

menerus ditemukan di penambangan Pemali dan pit no 17 di Belinyu. Cobbing menyangkal

adanya batas batas yang kami postulatkan karena granit jenis main range pada beberapa kasus

mempunyai letak di sebelah utara sutura. Cobbing juga memetakan granit tipe lempeng mikro

Malaya Timur di sebelah selatan garis sutura. Dari model yang dibuat Mitchell tentang asal

usul granit main range kita tidak melihat alasan kenapa granit tersebut tidak terpecah melalui

garis sutura dan mengkristal di lempeng bagian atas. Zona sutura diduga lebih kompleks

daripada yang terlihat dan mengandung fragmen-fragmen lensoid.

Peristiwa pasca Tubrukan

Sedimen merupakan bagian dari sub singkapan batugamping Kluang dan batu pasir

litoral sampai fluviatil yang merupakan bagian dari Formasi Bintan. Bukti yang jelas dari

perubahan umur K-Ar Jura dan Kapur dibahas oleh Bignell dan Snelling untuk granit main

range.

Page 24: Geologi Struktur Indonesia

Lempeng Mikro Malaya Timur

Batuan yang terdapat pada lempeng mikro ini terletak di timur Garis Raub Bentong.

Formasi Malarco terdiri dari batugamping dan produk volkanik rhyodacitic. Bagian tufa

berumur Perm pada Formasi bangka diduga mewakili kelanjutan dari Formasi Malarco.

Bagian fosil berumur Trias dianggap berhubungan dengan Formasi Jelai dan Jurong.

Magmatisme sinvolkanik dengan Rb-Sr 222 5 dan 250 4 ma ditemukan di sebelah

timur Malaysia dan Singapura. Granit Singapura berumur 224 9 ma. Formasi Malarco,

menyerupai pluton sabuk sebelah timur.

Di sebelah timur semenanjung Melayu, di daerah Kuantan, lapisan batuan mengandung

sekuen serpih yang termetamorfosa, batu pasir dan batugamping minor. Batuan ini tidak

terlalu diketahui tetapi termasuk kedalam fauna visea dan tilloid Karbon dengan flora

glossopteris.

Sedimentasi pasca tubrukan didominasi oleh Formasi Bintan, Formasi Tembeling dan

kelompok Gagau. Tanaman di pulau bintan mempunyai umur Neocomia. Bagian dari unit in

diduga lebih tua dari Formasi Tembeling. Kelompok Gagau mempunyai umur berkisar antara

Jura sampai Kapur Awal. Magmatisma granit yang meliputi pada Kapur akhir adalah:

Granit di Johor 83 30 Rb-Sr

Granit di Malaka 87 30 Rb-Sr

Woyla Terrain

Woyla Terrain menempati “Barisan Schiefer” dan “Zona IV Bemmelen”. Woyla

terrain dapat dibagi menjadi:

1. Busur volkanik yang berasosiasi dengan karang dan turbidit.

2. Ofiolit hancuran.

Rangkaian ini juga ditemukan di selatan ekuator. Pertama kali rangkaian ini ditemukan di

Gunung Gumai. Musper menamakan asosiasi busur ini Seri Saling dan Asosiasi Ofiolitnya

dinamakan Seri Lingsing. Rangkaian ketiga ditemukan di baratdaya Jambi diatas sutura Garis

Lematang. Rangkaian ini ditandai dengan sedikitnya material volkanik dan kaya akan

batugamping koral dan metabatupasir. Rangkaian ini dibagi dua menjadi Formasi Rawas dan

Asai.

Kisaran umur absolut Woyla Terrain tidak diketahui dengan pasti Di baratlaut Aceh,

sedimen tertua mengandung batugamping rework yang berada dalam asosiasi ofiolit. Formasi

Rawas dan Asai mengandung fauna Toarcia, Bathon dan Valangin. Di tempat lain busur dan

batugamping dengan asosiasi ofiolit memperlihatkan fauna Jura Akhir - Kapur Awal non

spesifik.

Batas Timur Woyla Terrain

Di Aceh, kontak sebelah timur dengan Woyla Terrain adalah Garis Kla. Garis ini

terubag pada Tersier dan di Aceh Tengah, garis ini ditindih oleh Thrust Garis Takengon.

Sutura yang berhubungan, Garis Lematang, ditemukan di Jambi. Sutura ini menerus pada sub

singkapan sampai cekungan Sumatera Selatan.

Page 25: Geologi Struktur Indonesia

Jejak Garis Lematang di sebelah baratlaut Propinsi Jambi tidak terlalu terkontrol

karena adanya lapisan volkanik tersier dan kuarter. Penelitian batas sebelah timur dari

serpentinit kelompok woyla pada quadrangle painan mengungkapkan bahwa batas ini terletak

di timur lembah Batanghari bagian atas. Di sebelah utaranya, batas ini melewati kompleks lasi

bagian barat.

Jejaknya di timur di ujung sesar Lematang bersifat konseptual. Batas ini diduga

menerus sejajar dengan sesar Kepayang. Adanya metasedimen tingkat rendah dengan umur K

– Ar 213 11 ma pada tinggian Pamanukan di Jawa Barat memberikan kesimpulan bahwa di

daerah ini fragmen lempeng mikro Malaka berada pada Woyla terrain. Spekulasi yang timbul

adalah tinggian basemen lainnya di Jawa Barat merupakan fragmen kontinen.

Perubahan Gagasan Tentang Asal Usul Garis Lematang

Garis Lematang diinterpretasi sebagai regional thrust yang berakar di Kepulauan Riau

lepas pantai. Interpretasi ini didasarkan pada 2 pengamatan, pertama kontak bersifat datar,

kedua Garis Lematang memisahkan batuan metamorf di baratdaya dengan batuan non

metamorf di timurlaut. Poin kedua dikorelasikan dengan dasar litologi dan faunanya dengan

kelompok Raub/seri volkanik Pahang dan kepulauan timah Riau. Karena ditemukan adanya

sabuk batuan metamorf maka postulasi yang paling logis adalah batuan non metamorf

diendapkan di sepanjang lintasan gravitasi yang mengarah ke barat. jejaknya di Sumatera

Timur telah hilang oleh erosi.

Katili (1973) adalah orang pertama yang keberatan dengan pandangan ortodox tentang

Jambi thrust. Setelah memperlihatkan bahwa kontak horizontal bersifat fenomena lokal dalam

hubungannya dengan gerakan minor, Katili (1973) membuktikan bahwa sesar tersebut bersifat

transcurrent dan mempunyai hade yang hampir vertikal. Sampai saat ini, interpretasi tersebut

masih berlaku meskipun sekarang diyakini bahwa sesar tersebut merupakan batas lempeng

mikro.

Batas Barat Woyla Terrain

Batasnya di sebelah barat terletak diantara pesisir Sumatera dan di lereng palung

modern. Di gbr. 1 batas tersebut menerus sampai batas barat, tetapi di Jawa Barat batas ini

ditemukan di kompleks subduksi teluk Ciletuh. Di Andaman dan Nikobar, batuan yang

ekuivalen dengan Woyla menerus ke bagian barat lereng palung dimana batuan tersebut secara

tektonik menyatu sebagai ofiolit Andaman berumur kapur.

Fragmen Kontinen Sikuleh dan Natal

Di baratlaut Aceh, asosiasi busur terletak di timur dan barat asosiasi ofiolit. Cameron

dkk (1984) mempostulasikan bahwa bagian barat dari busur tersebut terletak diatas bagian

benua dan dinamakan fragmen Kontinen Sikuleh. Buktinya adalah:

a. Sekuen klastik kontinen quartzite, filit abu abu dan metabatulanau, tidak seperti

formasi kluet, berada di bawah kelompok Woyla.

Page 26: Geologi Struktur Indonesia

b. Batolit pasca Woyla sikuleh bersifat tidak biasa karena adanya badan kalsit alkali pada

batuan granitnya.

c. Pipa pipa breksi yang mengandung molibdenum dan riolit yang berumur tersier awal.

Bukti fragmen kontinen Natal bersifat tidak konklusif. Fragmen ini berada pada sekuen

busur yang tidak terdeformasikan dan mengandung wacke volkanik proksimal yang

berselingan dengan andesit. Basemen pra Woyla tidak tersingkap tetapi intrusi Air Bangis

pasca Woyla mengandung granit yang bermuatan timah.

Model Woyla Terrain

Cameron dkk (1984) setuju bahwa asosiasi ofiolit Aceh terdiri dari sekuen yang tidak

tergangu. Karena sekuen ini berada di kedua sisi volkanik busur, maka Cameron (1984)

menginterpretasikan bahwa terbentuknya di cekungan marjinal. Fragmen Kontinen Sikuleh

mewakili fragmen yang terbawa rift yang merupakan bagian dari Sunda land. Hal ini analog

dengan laut Andaman Selatan. Karena tektonik ekstensional regional dan aliran panas tinggi

biasanya mendahului rifting, Cameron dkk (1984) menyimpulkan bahwa model ini dapat

menjelaskan rifting dari kelompok Gagau.

Hipotesa alternatif dikembangkan oleh Pulunggono yang menyatakan bahwa seri

lingsing dan saling yang terganggu cocok dengan model kompleks subduksi. Hal ini analog

dengan kompleks subduksi yang terletak diantara palung Jawa dan busur di sebelah utara.

Metamorfisme dan Plutonisme Kapur Akhir

Metamorfisme dan Plutonisme Kapur Akhir mempengaruhi keseluruhan Woyla

terrain. Deformasi jenis ini merupakan konsekuensi dari model yang dibuat oleh Pulunggono

(1984). Pada model yang dibuat Cameron (1984), deformasi ini merupakan akibat dari closure

event yang berhubungan dengan memuainya Samudera Hindia. Tingkat deformasi dan

metamorfisme beragam tetapi cenderung sangat tinggi di dekat pluton dan sesar strike slip

dimana genes dan sekis terbentuk.

Peran Rangkaian Mutus Dalam Evolusi Cekungan Sumatera Tengah dan Selatan

Cekungan Sumatera Tengah busur belakang tersier (CSTBBT) dan Cekungan

Sumatera Selatan Busur Belakang Tersier (CSSBBT) seperti bisa dilihat di gbr 9

memperlihatkan konfigurasi basemen bagian atas yang lebih kompleks daripada basemen

cekungan Sumatera Utara. Perbandingan dengan gambar 1 memperlihatkan bahwa

kompleksitas yang lebih tinggi pada CSTBBT dan CSSBBT merupakan sifat dari basemen pra

tersier.

Pulunggono (1984) memperlihatkan bagaimana garis lematang dan Woyla terrain

dipengaruhi oleh pengendapan Formasi Talang Akar dan pertumbuhan sesar Lematang. Disini

peranan unit basemen kedua Rangkaian Mutus. Rangkaian Mutus mewakili zona lemah pada

umur tersier diantara lempeng mikro Mergui dan Malaka yang kaku. Pengaruhnya sangat

terlihat pada CSTBBT dimana Rangkaian Mutus menjadi lurus dengan medan stress regional

Page 27: Geologi Struktur Indonesia

pada sudut yang tinggi. Rangkaian Mutus merupakan locus dari rifting dan aliran panas yang

tinggi. Pada fase kompresional pasca pertengahan Miosen, Rangkaian Mutus menyerap

deformasi dan pergerakan strike slip. Di CSSBBT Rangkaian Mutus juga merupakan locus

dari tektonisme ekstensional dan aliran panas yang tinggi. Pada fase kompresional lanjutan

sesar Kapur akhir menyerap stress dan menghasilkan pola permukaan lipatan muda.

CEKUNGAN SUMATRA UTARA

Gejala pengangkatan nampaknya telah berhasil menghilangkan jejak jejak struktur-

struktur terdahulu di Sumatra Utara. Menurut Davies (1984), ada kecenderungan bahwa

cekungan Sumatra Utara ini suatu saat pernah menjadi satu dengan cekungan-cekungan

Aceh Barat dan Sumatra barat, yang sekarang telah menjadi terpisah oleh pegunungan

barisan. Cekungan Sumatra Utara ini terdiri dari sub-sub cekungan yang dipisahkan oleh

tinggian-tinggian setempat. Yang penting disini adalah sub cekungan Langkat dan Siantar di

sebelah Tenggara .

Pada saat permulaan rotasi, Sumatra mulai bergerak menjauh dari semenanjung

Malaya. Cekungan Sumatra Utara pada saat itu berkembang dalam lingkungan tektonik

regangan. Serentetan sesar-sesar mendatar dextral, dengan loncatan-loncatan ke kin dan

kekanan, terbentuk di daerah jalur regangan ini

Diantara sesar mendatar dengan loncatan kekanan ini kemudian terbentuk

cekungan-cekungan yang kita kenal sebagai "pull-apart basin", sedangkan tinggian atau

"horst" berkembang pada sesar mendatar dengan loncatan kekiri. Dengan demikian pola

struktur semula dari cekungan Sumatra Utara adalah terdiri dari sesar mendatar utama

yang arahnya Utara-Selatan, dan disertai oleh rekahan-rekahan geser yang arahnya

Timurlaut-Baratdaya yang dicirikan oleh gerak-gerak vertikal (sesar Normal). Menjelang

akhir dari gerak rotasi pada Miosen Awal, sesar-sesar tersebut terputar kurang lebih 20 0 ke

arah yang berlawanan dengan gerak jarum jam ("counter-clockwise").

Menurut Davies (1984), selama periode tersebut lempeng India-Australia,

meghampiri pantai sebelah Barat Sumatra dengana arah N20 °E, sedangkan P. Sumatra pada

saat itu berada pada kedudukan dengan arah berubah dari N 180°E menjadi N160°E. dengan

demikian maka sudut interaksi antara keduanya telah mengalami perubahan dari 20°

menjadi hampir 40° pada saat itu.

Menurut Davies pula, bahwa gerak rotasi sebesar 200 berlawanan denga arah jarum

jam yang terjadi pada Zaman Paleogen itu, masih belum cukup mampu menimbulkan suatu

gejala kompresi antara kedua lempeng yang saling bertemu itu. Gerak rotasi lempeng

Mikro Sunda ini kemudian terhenti sementara pada akhir Awal Miosen.

Pada saat itu laut Andaman mulai terbuka (pendataaan umur menunjukkan 15 juta

tahun yang lalu). Dan karena Sumatra pada saat itu juga sudah beranjak menjauh ke

Tenggara, maka terbukanya laut Andaman , didahului oleh gejala pengangkatan yang luas

dari tepi benua, yang dapat teramati sebagai fasa tektonik Miosen Awal di cekungan

Sumatra Utara, yang mengaktifkan kembali strukturstruktur ketinggian dan depresi

Page 28: Geologi Struktur Indonesia

("horst" dan "graben"). Gejala erosi yang menyertainya menimbulkan ketidakselarasan

regional.

Gerak rotasi yang kedua sebesar 20°-25° ke arah yang berlawanan dengan jarum jam

dari lempeng Mikro Sunda, dimulai pada akhir Miosen tengah menyusul terbukanya laut

Andaman 13 juta tahun yang lalu.

Sejak akhir Miosen tengah mi, data dari paleomagnet menunjukkan bahwa lempeng

India-Australia mendekati lempeng Mikro Sunda denga arah yang tetap yakni N200°E.

Karena lempeng Mikro sunda telah terputar ke arah yang berlawanan jarum jam,

sehingga telah merubah kedudukannya dari N160°E menjadi N135°E, maka sudut

interaksinya dengan lempeng India-Australia sekarang menjadi meningkat dari 400 menjadi

hampir 65°.

Sebagai akibat daripada kedudukan yang demikian ini, maka akan terjadi rezim

tegasan kompresi yang bekerja di Sumatra sejak akhir Miosen. Peningkatan daripada

kompresi selama periode ini kemudian tercermin pada pengangkatan daripada pegunungan

Bukit Barisan, kegiatan volkanism dan regresi diseluruh cekungan.

Lanjutan daripada gerak rotasi dari lempeng Mikro Sunda sejak akhir Miosen

Tengah menempatkan Sumatra pad posisi tegasan kompresi selama Pliosen, maka

Sumatra Utara akan menimbulkan

1. Tegasan Kompresi yang berarah N20°E sebagai akibat daripada konvergensi lempeng

(disebut juga tegasan Sumatra).

2. Tegasan kompresi yang berarah N170 °E dan N160°E, yang disebabkan karena gerak-

gerak yang terjadi di laut Andaman disebut juga sebagai tegasan Andaman.

Namun gerak rotasi tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahanperubahan arah

daripada sesar tua. Sesar mendatar Oligosen yang pada waktu itu berarah hampir Utara-

Selatan, berubah menjadi Baratlaut-tenggara, sedangkan sesar-sesar normalnya yang

semula arahnya Timurlaut-Baratdaya, menjadi mengarah Utara-Selatan

Akibat daripada perubahan arah yang disertai pula dengan arah pergerakan kembali sesar-

sesar tua dibawah lingkungan dua tegasan tersebut di atas, maka pola tektonik dari Sumatra

Utara menjadi amat kompleks.

Disini terlihat bahwa sesar-sesar mendatar Oligosen yang berarah Baratlau-Tenggara

diaktifkan kembali pada Zaman Plio-Plistosen sebagai sesarsesar naik dibawah pengaruh

tegasan Summtra, dan sebagai sesar-sesar mendatar dextral dibawah pengaruh tegasan

Andaman. Sebaliknya sesar-sesar "normal" Oligosen yang kemudian berarah Utara-

Selatan, dibawah pengaruh tegasan Sumatra diaktifkan kembali sebagai sesar mendatar,

sedangkan oleh pengaruh tegasan Andaman mereka diaktifkan sebagai sesar-sesar naik

dengan sudut kemiringan besar.

Cekungan Sumatera Tengah

Banyak literatur yang mengemukakan hal yang sama mengenai pola kelurusan yang

berada di cekungan Sumatera Tengah. Pada umumnya mereka menyebutkan bahwa pola

Page 29: Geologi Struktur Indonesia

kelurusan tersebut cenderung berarah Utara-Selatan dan Baratlaut-Tenggara, (Gambar 6,8,9).

Sebelumnya beberapa penulis menyatakan bahwa arah Utara-Selatan berumur lebih tua (Pre-

Tersier-Paleogen) dan yang Baratlaut-Tenggara berumur Neogen (de Coster, 1974; Mertosono

& Nayoan, 1974), tetapi penelitian yang dilakukan Eubank & Makki (1981) memperlihatkan

bahwa arah yang Utara-Selatan tidak hanya aktif pada Paleogen saja tetapi juga pada Neogen

dan Pleistosen. Data tersebut menunjukan bahwa struktur-struktur tersebut merupakan struktur

yang aktif selama Tersier, dimana struktur yang berumur tua banyak teraktifkan kembali.

Dari data seismik terlihat jelas bahwa sesar-sesar yang berarah Utara – Selatan dan

Baratlaut – Tenggara dikontrol oleh batuan dasar. Dalam rangka mempelajari lebih detail

struktur-struktur Kenozoik Heidrick dan Aulia (1993) melakukan analisa struktur pada sesar

dan lipatan yang melibatkan sedimen Kenozoik. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa ada

beberapa kecenderungan arah yang menyolok yaitu: (1) N60ºW, ± 10º, merupakan arah dari

kelompok struktur yang diberi nama Beruk, yang meliputi antara lain sesar naik bersudut

tinggi & zona shear dan sumbu lipatan & puncak tinggian batuan dasar (Gambar 7D & E), (2)

N40ºW, ± 15º, merupakan arah dari Sumatera atau sistem sesar Barisan (Gambar & 7A – C),

(3) N15ºW, ± 10º, arah struktur Zamrud-Pepada (Gambar 7F), (4) N15-20ºE yang merupakan

kelompok jenis high-and low-angle planer normal fault dan listric normal fault (Gambar 7G

& H) dan (5) N10ºE, ± 10º, merupakan arah komplek graben dan setengah graben Bangkalis

dan Sembilan-Kempas (Gambar 7I). Arah utara-Selatan yang kehadirannya merata di peta

bawah permukaan terlihat tidak muncul dalam hasil analisa tersebut, hal ini disebabkan karena

struktur yang berarah Utara-Selatan tersebut berumur relatif tua dan saeringkali ditutupi oleh

sedimen Kenozoik.

Selain kelurusan yang cenderung berarah Utara-Selatan, terlihat bahwa pada batuan

dasar juga mempunyai pola kelurusan yang cenderung berarah Barat, Baratdaya-Timur,

Tenggara N60ºW). Pola potong memotong yang dibentuk oleh saesar-sesar tersebut tidak

memperlihatkan pola-pola offset yang konsisten, pola ini sering disebut sebagai pola dogleg.

Kelurusan-kelurusan yang dominan pada Cekungan Sumatera Tengah dapat diuraikan sebagai

berikut (Gambar 8 & 9) :

Zona sesar dan lipatan Otak, berarah N45-55ºW

Busur Kempas, berarah N60-70ºW

Sinklin Siak Kecil, berarah N50-60ºW

Sesar dan lipatan pada Mutus Terrane, berarah N45-55ºW

Antiklin Sembilan, N45-50ºW

Zona sesar dan lipatan Bimbi, berarah N50ºW

Sumbu cekungan Sakai yang berumur Paleogen, berarah N40ºW

Komplek graben Bengkalis dan Sembilan-Kempas, berarah N0-20ºE

Kelompok sesar Zamrud-Pedada, berarah N5-25ºW

Perkembangan struktur dan tectogenetic untuk Sumatera Tengah telah dikemukan oleh

Heidrick dkk. Mereka menyatakan ada empat episode deformasi tektonik yang meliputi : (F0)

– yang mereprestasikan deformasi pada batuan dasar waktu Pre-Tersier, (F1) – Eosen-

Page 30: Geologi Struktur Indonesia

Oligosen (45-28 Ma) deformasi yang bersifat extensional pada batuan dasar, (F2) – Oligosen

Akhir-awal Miosen Tengah (28-13 Ma) deformasi yang berasosiasi dengan regional dextral

wrenching dan (F3) – Miosen Tengah sampai Resen (13-0 Ma) meliputi deformasi yang

berasosiasi dengan adanya kompresi berarah Timurlaut. Mekanisme dan urutan terjadinya

pola-pola struktur dapat diintrepretasikan sebagai berikut :

Episode pertama (F0) – Pre-Tersier deformasi

Batuan dasar yang terdiri atas lempeng-lempeng mikro dan diperkirakan berumur

Permo-Karbon sampai Jura, terlihat memperlihatkan, (Gambar 8) pola-pola yang berarah

Utara-Selatan dan N60ºW, ± 10º (pola arah struktur Beruk) yang meliputi zona lipatan dan

sesar Otak (N45-55ºW), busur Kempas-Rokan-Beruk (N60-70ºW) dan Sembilan (N45-50ºW)

serta sinklin Siak Kecil (N50-60ºW). Struktur-struktur pada arah tersebut pada waktu suturing

antara awal Jura sampai akhir Trias (Pulunggono & Cameroon, 1984). Dari pola sesar dan

lipatan tersebut dapat diperkirakan bahwa arah gaya utama (SI) kira-kira N30ºW). Gaya

tersebut membentuk shear berarah Utara-Selatan dan N60ºW, ± 10º, (dimana arah ini diduga

berkembang menjadi sesar strike-slip), serta membentuk lipatan orde kedua yang berarah

N65ºW, ± 10º. Kemungkinan sesar Otak awalnya termasuk strike-slip yang kemudian

terdeformasi atau teraktifkan kembali oleh deformasi berikutnya, sehingga sesar-sesar ini

sekarang dijumpai sebagai high angle normal fault, high-angle reverse fault atau sesar

vertikal.

Episode kedua (F1) – Eosen-Oligosen (45-28 Ma) deformasi

Diatas batuan dasar diendapkan Formasi Pematang (Eo-Oligosen) pada lingkungan

fluvio-lacustrine. Sedimen tersebut diendapkan pada graben-graben (sesar-sesar normal) yang

berarah Utara sampai Utara, Timurlaut. Hal tersebut menunjukan bahwa ada periode

pembentukan sesar-sesar normal (tensional regim) pada waktu Eosen sampai Oligosen,

sehingga terbentuk struktur-struktur graben & half-graben.

Pola sesar normal tersebut di atas berarah N0-20ºE berupa classic planar normal

growth fault dan listric normal growth fault, seperti graben Sembilan, Kempas dan Labah

(dengan kecenderungan arah N20ºE) serta Bengkalis (relatif berarah Utara-Selatan). Gaya

extensional tersebut juga menyebabkan regangan-regangan pada sesar-sesar yang berarah

N60ºW, ± 10º (Otak, Bimbi, Padang), sehingga terbentuk sinklin dangkal yang sejajar dengan

arah sesar. Gaya tegasan minimal (S3) diperkirakan berarah Barat-Timur sampai Barat,

Timurlaut-Timur, Tenggara. Diperkirakan pembentukan struktur tersebut berkaitan dengan

penurunan kecepatan lempeng India-Australia karena menumbuk Eurasia, sehingga terjadi

roll-back dan menyebabkan struktur extensional.

Adanya kecenderungan arah N20ºE yang tegak lurus lipatan & shear (F0) dan arah

Utara-Selatan menunjukan bahwa arah sesar-sesar normal tersebut lebih dikontrol oleh

ketidakseragaman sifat batuan dasar daripada oleh arah gaya-gaya regional. Sebagian gaya-

gaya tersebut diakomodasi oleh zona-zona lemah (shear) yang berarah Utara-Selatan sehingga

terbentuk sesar-sesar normal yang membentuk struktur graben dan setengah graben. Bukti-

Page 31: Geologi Struktur Indonesia

bukti yang dikemukakan oleh Heidrick & Aulia (1993) yang didapat dari penampang seismik

yang memotong sesar Bungsu, menunjukan adanya transtensional diman shear berarah utara-

selatan pada episode ini merupakan right-lateral wrenching dan berlangsung terus sampai

awal Miosen.

Terlihat bahwa graben-graben tersebut berubah secara tiba-tiba bila berpotongan

dengan struktur yang lebih tua (berarah N60ºW, F0) dan membentuk left-lateral drag (Gambar

9), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan right lateral strike-slip pada

sesar-sesar tersebut (Otak, Bimbi, Padang) pada waktu terjadi rifting.

Episode ketiga (F3) – Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah (28-13 Ma) deformasi

Akhir pengendapan Pematang dicirikan oleh seri batuan reergresif dan kemudian

secara tak selaras diendapkan seri batuan yang transgresif, Sihapas Group (Miosen Bawah)

dan Formasi Telisa (Miosen Bawah-Tengah). Hal ini menunjukan bahwa akhir episode F1

terjadi inversi dan kemudian penurunan cekungan (subsidence) terjadi lagi.

Pada awal episode ini gaya dari F1 (extensional, S1 berarah atas-bawah) secara

berangsur berubah menjadi bersifat kompresif (S1 berarah horizontal/lateral). Awal perubahan

arah gaya pada Miosen Awal ditandai oleh mulai terjadinya gerakan right-lateral wrenching

pada struktur-struktur yang berarah Utara-Selatan, seperti sesar pada : Pustaka-Pepada,

Zamrud dan Kempas.

Analisa struktur yang dilakukan oleh Heidrick dan Aulia (1993) pada daerah Kempas,

Beruk dan Zamrud menunjukan bahwa orientasi arah sesar-sesar pada daerah tersebut

diinterpretasikan terbentuk akibat pengaruh gaya transtensional dan transpressional, sehingga

terbentuk pull-apart graben dan half graben, serta sesar-sesar normal listric maupun planar

dan struktur bunga. Pada akhir episode ini gerakan dextral wrench pada sesar yang berarah

Utara-Selatan, menyebabkan adanya belokan-belokan pada struktur yang berarah Utara-

Selatan, sehingga arah yang tadinya Utara-Selatan di tempat tertentu menjadi berarah N15-

25ºW, oleh Mold (1989) hal ini diinterpretasikan sebagai akibat dari refraction dari sesar

strike-slip melalui persambungan yang competent/incompetent. Perubahan arah gaya tersebut

kemungkinan berkaitan dengan mulai berubahnya arah pertemuan lempeng India-Australia

dengan Sundaland sehingga gaya lateral/kompresif menjadi semakin dominan.

Episode keempat (f3) – Miosen Tengah-Resen (13-0 Ma) deformasi

Pengendapan formasi Telisa ditandai oleh seri batuan yang regresif dan dibeberapa

tempat terjadi erosi pada dasar cekungan. Awal periode ini juga bersamaan dengan semakin

besarnya sudut pertemuan lempeng (makin mengarah ke timurlaut) dengan arah jalur subduksi

dan mulai aktifnya sesar dextral strike-slip dari sistem sesar Barisan.

Semakin besarnya sudut pertemuan tersebut menyebabkan timbulnya gaya kompresi

(dengan arah tegasan utama sekitar N39ºE, ± 3,5º Mount & Suppe (1992), dikutip dari

Heidrick & Aulia (1993) dan mengakibatkan terjadinya lipatan-lipatan yang sejajar dengan

jurus sesar berarah N15-25ºW. Struktur-struktur yang berarah N45-55ºW, juga teraktifkan

kembalioleh gaya kompresional dimana sesar-sesar hasil deformasi sebelumnya berubah

Page 32: Geologi Struktur Indonesia

menjadi sesar-sesar naik. Pengaktifan struktur tersebut sebagian membentuk tipe struktur yang

dinamakan Sunda Fold. Struktur ini terbentuk awalnya pada regim tensional (dengan

pembentukan graben) kemudian komponen wrench membentuk lipatan antiklin pada sedimen

diatas graben, hal ini kadang disertai oleh sesar naik dan/atau sesar geser (Eubank & Makki,

1981).

Perkembangan Tektonik Mesozoik-Resen

Sejak Mesozoik Akhir sampai Resen terliuhat bahwa arah tegasan utama (S1) yang

bekerja pada cekungan Sumatera Tengah telah berubah-ubah akibat pengaruh dari pergerakan

lempeng-lempeng. Pada Mesozoik arah tegasan utama berarah sekitar N30ºW dan

menghasilakan shear berarah Utara-Selatan dan Barat, Baratlaut-Timur, Tenggara (F0,

kemudian S1 berubah menjadi berarah atas-bawah (extension) dan tegasan minimum berarah

Barat sampai Barat, Baratlaut sehingga menyebabkan rifting (F1). Episode (F2) gaya lateral

mulai dominan lagi sehingga timbul struktur-struktur transtensional dan transpressional. Pada

episode selanjutnya (F3) dari Miosen Tengah sampai sekarang arah tegasan utama makin

kearah Timurlaut (N39ºE, ± 3,5º) menyebabkan regim kompresi makin dominan dan

mengakibatkan pembalikan struktur hasil deformasi sebelumnya. Evolusi struktur pada

cekungan Sumatera Tengah tersebut, terlihat tidak mendukung adanya pernyataan bahwa

Sumatera berputar berlawanan arah jarum jam seperti yang dikemukakan Davis (1984)

ataupun terputar searah jarum jam seperti yang dikemukakan oleh Taponier (1986), Daly dkk.

(1991) ataupun Katili (1989). Ada kemungkinan extrusion kearah timur dari Lempeng Eurasia

diakomodasi oleh subduksi yang berada di selatan Proto South China Sea.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa point penting, yaitu Ada beberapa

arah pola kelurusan yang terbentuk di Cekungan Sumatera Tengah, arah tersebut yaitu : (1)

N40ºW, ± 15º, (2) N15ºW, ± 10º, (3) N15-20ºE, (4) N10ºE, ± 10º, (5) N60ºW, ± 10º dan (6)

Utara-Selatan. Pola kelurusan dari berbagai struktur tersebut terbentuk melalui beberapa

episode deformasi. Episode tersebut meliputi (1) deformasi batuan dasr (F0) – Pre-Tersier

yang membentuk arah-arah N60ºW, ± 10º dan Utara-Selatan, (2) deformasi (F1) – Eosen-

Oligosen, berkaitan dengan extension yang menyebabkan rifting pada zona-zona lemah hasil

deformasi F0, (3) deformasi (F2) – Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah menghasilkan gaya-

gaya transtensional dan transpressional yang menyebabkan timbulnya struktur-struktur pull-

apart basin, sesar turun planar dan listrik serta struktur bunga, (4) deformasi (F3) – Miosen

Tengah-Resen, merupakan regim kompresi yang menyebabkan pengaktifan kembali atau

pembalikan struktur-struktur yang terbentuk pada deformasi-deformasi sebelumnya. Episoda-

episoda deformasi tersebut sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak (baik sudut pertemuan

ataupun kecepatan) lempeng India-Australia yang menyusup kebawah Sundaland.

Berdasarkan evolusi struktur pada Cekungan Sumatera Tengah, disimpulkan bahwa

kemungkinan Sumatera tidak mengalami perputaran.

Page 33: Geologi Struktur Indonesia

Penjelasan Lain Mengenai Cekungan Sumatra Tengah

Di cekungan Sumatra Tengah, Eubank dan Maki (1986) menjelaskan bahwa lempeng

mikro Malaka dan Mergui berasosiasi dengan sejarah jenis blok tersier yang bersifat stabil.

Formasi Pematang di lempeng mikro Mergui dan Malaka hilang atau terbentuk tidak

sempurna. Sedangkan Formasi Sihapas yang terletak diatasnya tipis. Bahkan dimana batuan

tersiernya tebal, lipatan kompresional jarang ditemukan dan berumur muda. Tektonisme hanya

terbatas pada pergerakan vertikal dan regional.

Aliran panas di cekungan Sumatera tengah rendah. Rangkaian Mutus dan lempeng

Mikro Mergui mempunyai sejarah yang berbeda dan berasosiasi dengan horst dan graben

tersier lipatan kompresional dan aliran panas tinggi. Gbr 10 yang diambil dari makalah Hasan

dkk memperlihatkan penstrukturan awal.

Volkanisma dan transgresi maksimum di Cekungan Belakang Busur terjadi pada

Miosen Awal – Miosen Tengah atau diantara zona plankton N7 dan N9. Periode ini diduga

merupakan gerakan ekstensional kerak maksimum dan input panas lapisan luar bumi tertinggi.

Di cekungan Sumatera Tengah volkanisitas busur ditandai oleh 7 pusat intrusi dan

ekstrusi yang terletak diatas Rangkaian Mutus dan merupakan hasil dari magmatisme dalam

bersifat alkalis. Umur K – Ar berkisar antara 12 – 17,5 ma. Di Merak #1 lava berselingan

dengan sedimen N8.

Tektonik cekungan Sumatra Tengah, seperti cekungan lainnya di Sumatra Timur. juga

tidak lepas dari pengaruh interaksl dan subduksi dari lempeng Samudra Hindia-Ausatralia

dengan tepi lempeng Eurasia. Subduksi tersebut, di Sumatra tengah menimbulkan

terbentuknya "sell konveksi mantel-bumi" “dan diapir, yang manyebabkan terjadinya rezim

regangan pada bagian kerak diatas dengan suatu gejala pemekaran di belakang busur.

Kegiatan magma hypabyssal dari bagian yang dalam melalui sesar dan menerobos

sedimen-sedImen Tersier diatasnya telah menimbulkan aliran panas yang tinggi (high heat

flow). Seperti telah diuraikan sebelumnya, Cekungan Sumatra Tengah ini mempunyai gradien

geothermal yang tertinggi dari cekungan-cekungan belakang busur yang terdapat pada baglan

tepi daratan Sunda (Ob.4-16).

Interaksi konvergen yang serong dari Asia Tenggara dengan lempeng Hindia-

Australia, telah menimbulkan terladinya tegasan koppel menganan (dextral wrenching stress).

Tegasan ini arahnya sejajar dengan batas lempeng dan telah menutupi secara menyolok

pengaruh dari pada tegasan regangan yang terjadi di bagian belakang busur. Salah satu

pencerminan darlpada tegasan 'koppel' tadi antara lain adalah sesar Sumatra (Katill,1974)

yang melintang diatas Bukit Barisan.

Struktur yang mewarnai Cekungan Sumatra Tengah sendiri, juga memperlilhatkan

pengaruh yang kuat daripada. tegasan 'koppel' dextral” itu, antara lain berupa :

a. Sesar-sesar dengan kemiringan bidang yang besar, yang arah pergeserannya dapat

berubah sepanjang jurusnya.

b. Sesar sungkup dan struktur 'bunga' ('flower structure').

c. Poros-poros lipatan yang arahnya membuat sudut lancip dengan sesar, dan

d. Sesar-sesar yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang menebal pada bagian yang turun.

Page 34: Geologi Struktur Indonesia

Eubank dan Chaidar Makki (1986), manyebutkan adanya suatu tipe lipatan yang khas

ditemui di daerah Sumatra Tengah yaitu yang disebutnya sebagai “Sunda fold”. Struktur

tersebut mempunyai tanda-tanda berupa antiklin di bagian puncak, tetapi berubah sifat

menjadi sinklin pada bagian yang dalam (Gb.4-16).

Pola struktur seperti itu menurut Eubank dan Makki (1986) dapat terjadi pada suatu

pola tektonik dan pengendapan yang khusus, yaitu merupakan produk dari rezim regangan

dengan endapan-endapan yang tebal pada dopreti-depreel (graben), dan kemudian mengalam

daformasi oleh tagasan koppel yarig manghasilkan struktur lipatan pada bagian atas graben.

Peristiwa ini seringkai juga disertal dengan gerak-gerak naik antiklin pada sesar-sesar yang

membatasi 'graben'.

Di Sumatra Tengah dapat dibedakan adanya 2 (dua) pola sesar yeng menonjol, yaitu

yang berarah utara-Selatan dan berarah baratlaut-tenggara. Kedua pola sesar tersebut aktip

sepanjang Tersier, dengan adanya bukti-bukti sbb.:

1. Endapan Paleogen, sebarannya dikontrol oleh kedua pola sesar tersebut, meskipun

yang paling menonjol adalah sesar utara-selatan.

2. Stuktur lipatan yang ada diatas pola sesar yang berarah utara-selatan memperlihatkan

bentuk yang lazim dijumpal pada gerak sesar mendatar dekstral. Struktur diatas sesar

tersebut melibatkan juga lapisan batuan yang muda. Hal ini menunjukkan bahwa sesar

yang berarah utara-selatan itu tidak saja berumur Paligosen, tetapi juga telah aktif pada

Pilo-Plistosen.

3. Kedua pola sesar tersebut saling berpotongan dengan membentuk pola 'dogleg' (kaki

anjing), dengan pergeseran-pergeseran yang tidak konsistan (Gb.4-17).

Cekungan Ombilin

Cekungan Ombilin merupakan cekungan tarikan (pull apart basin) yang secara

tektonik dapat disamakan dengan pembentukan 'Ridge Basin' di California, A.S.

(Koesoemadinata dan Matassak, 1981). Luas cekungan ini kurang lebih 25 X 60 Km,

memanjang dengan arah sejajar dengan struktur utama Sumatra (Gb.4-19). Di sebelah timur,

cekungan ini dibatasi oleh sesar Takung dimana batuan Pra-Tersier menindih lapisan Tersier

(Cameron dkk,1981). Ke arah barat, cekungan Ombilin bertambah dalam dengan cepat,

dimana lapisan-lapisan Tersier tersesarkan dan bergerak turun melalui sesar-sesar naik yang

arahnya baratlaut-tenggara (Gb.4-20), yang mungkin berasosiasi dengan sesar mandatar (T.

Koning ,1986)

Suatu gejala struktur penting memotong sebagian besar Cekungan Ombilin yaitu sesar

Tanjung Ampalo. Sesar yang berarah hampir utara-selatan ini membentuk tebing yang cukup

curam dan memisahkan bagian cekungan yang dalam dari dataran Sigelut di sebalah

baratlaut-nya. Sesar Tanjung Ampalo ini dapat ditafsirkan sebagai sesar mendatar dextral 'orde

kedua' sabagal respon dari tegasan sesar utama dextral Samangko.

Ciri-ciri stratigrafi suatu cekungan tarikan, antara lain :

a. Proses pengandapan yang tinggi.

Page 35: Geologi Struktur Indonesia

b. Pola atimetri dari urut-urutan sedimen dan fasies.

c. Bentuk pengendapan yang menunjukkan batas dengan sesar pada bagian tepi cekungan

endapan kipas-kipas alluvial 'konglomerates', limpah banjir, lakustrin dsb).

Sifat-sifat pangendapan seperti di atas, dijumpai di cekungan Ombilin. Dari data

seismik dan pemboran (T. Koning, 1986) serta perhitungan erosi yang telah berlangsung

selama Tersier. maka dlperkirakan bahwa cekungan ini telah menerima tidak kurang dari 9100

meter kubik sedimen selama pengendapannya (Gb.4-17).

Cekungan Sumatera Selatan

Sejarah yang sama menandai bagian dari cekungan Sumatera Selatan yang dilapisi

oleh Rangkaian Mutus. Sejarahnya dimulai dengan pristiwa rifting yang dilanjutkan dengan

pengendapan formasi lahat dan talang akar. Fase pertama ini digambarkan di gbr 1 yang

diambil dari makalah Hutapea tentang Abab field. Sejarah berlanjut dengan intrusi sill miosen

awal pada formasi gumai di tempino field dan sungai gelam field. Umur K – Ar di Tempino

mengindikasikan bahwa sill tersebut diintrusikan pada 11,1 dan 16,2 ma. Sill tersebut

memotong talang akar di sumur plajawan #1. Sayatan tipis menunjukan bahwa magmanya

bersifat alkalis. Penelitian kembali oleh Thamrin dkk dari data aliran panas menunjukan

bahwa aliran panas tertinggi pada saat sekarang tidak berasosiasi dengan marjin marjin

cekungan tetapi berhubungan dengan sub singkapan Rangkaian Mutus.

Penstrukturan awal dan aliran panas tinggi memberikan kondisi optimum bagi cebakan

minyak tersier. Penelitian catatan produksi di cekungan Sumatera selatan dan tengah

mengungkapkan bahwa 95% keluaran kumulatif (gbr. 1) berasal dari tempat-tempat yang

berada diatas Rangkaian Mutus atau di tempat tempat yang dianggap terpengaruhi oleh

tektonisme trias yang merupakan 65% dari total produksi minyak Indonesia.

Gambar 12 menggambarkan 2 jenis lapangan minyak: lapangan minyak yang

berhubungan dengan Formasi Talang Akar yang bersifat transgresif dan lapangan minyak

yang berhubungan denga formasi benakat yang bersifat regresif. Tingkat kontrol pada skala

lokal dapat dilihat pada peta daerah pendopo Prabumulih dimana antiklin permukaan yang

memanjang yang berada diatas atau sejajar dengan Rangkaian Mutus bersifat produktif.

Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian daripada cekungan Sumatra Timur, dan

dipisahkan dari cekungan Sumatra tengah diutaranya, oleh pegunungan Duabelas / Tigapuluh,

yang merupakan singkapan batuan pra-Tersier.

Cekungan ini dikenal sebagal cekungan yang kaya minyak-bumi dan terdiri dari dua

ub-cekungan, yaitu sub-cekungan Palembang dan subcekungan Jambi. Seperti juga halnya

dengan cekungan Sumatra Timur lainnya, pola perkembangan tektoniknya sangat dipengaruhi

oleh sesar Sumatra (righ dextral fault), yang terjadi sebagai akibat konvergensi lempeng

Hindia-Australia dengan Eurasia.

Pola struktur di Sumatra Selatan, seperti juga pada bagian lain di Sumatra Timur, dapat

diamati adanya 3 (tiga) pola sesar utama yang berasal dari data geofisik (seismik dan gaya

Page 36: Geologi Struktur Indonesia

berat) dan dari hasil korelasi pomboran, yaitu berarah utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan

baratlaut-tenggara (Pulunggono, 1983).

Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra selatan,

memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut tenggara, kurang lebih tegaklurus pada

tegasan Sumatra yang berarah timurlaut-baratdaya (Gb.4-20). Pola-pola sesar ini juga

nampaknya sangat berperan sebagai kontrol dalam sebaran dan bentuk daripada cekungan dan

sub-sub cekungan di Sumatra Selatan.