gempa bumi pada bangunan dan jembatan

22
MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI PADA BANGUNAN GEDUNG DAN JEMBATAN – SUATU UPAYA MENCEGAH KORBAN JIWA UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Ir. Henricus Priyosulistyo, M.Sc., Ph.D.

Upload: madriantanjung

Post on 24-Oct-2015

143 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI PADA BANGUNAN GEDUNG DAN JEMBATAN – SUATU

UPAYA MENCEGAH KORBAN JIWA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Ir. Henricus Priyosulistyo, M.Sc., Ph.D.

Page 2: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

2

MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI PADA BANGUNAN GEDUNG DAN JEMBATAN – SUATU

UPAYA MENCEGAH KORBAN JIWA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

pada tanggal 28 Maret 2011 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Ir. Henricus Priyosulistyo, M.Sc., Ph.D.

Page 3: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

3

MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI PADA BANGUNAN GEDUNG DAN JEMBATAN – SUATU

UPAYA MENCEGAH KORBAN JIWA

Pendahuluan

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.24 tahun 2007 (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007) mitigasi diartikan sebagai “serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana”. Frase pembangunan fisik dalam definisi tersebut menurut hemat saya dapat diartikan sebagai upaya merancang bangunan baru, merenovasi atau merehabilitasi atau memperkuat atau mengganti/membangun ulang bangunan (renovation, rehabilitation and reconstruction). Sedang frase penyadaran dan peningkatan kemampuan dapat diartikan sebagai upaya memberi pemahaman kepada masyarakat atas keamanan bangunan yang sedang digunakan dan prosedur yang harus dilaksa-nakan apabila bangunan itu menghadapi ancaman bencana.

Bencana atau disaster berasal dari bahasa Yunani dis (jelek) dan astro (jatuhnya benda angkasa ke bumi). Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi “a serious disruption of the functioning of society, causing widespread human, material or environmental losses, which exceed the ability of the affected communities to cope, using their own resources” (Abarquez, I., & Murshed, Z., 2004). Definisi serupa muncul dalam UU RI No.24 tahun 2007 bahwa “bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Bencana gempa bumi tektonik merupakan salah satu dari bencana alam yang kadang memicu bencana lain (yaitu tsunami, gunung meletus, gempa bumi volkanik, kebakaran dan tanah longsor) serta memiliki potensi

Page 4: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

4

merusak bangunan dalam cakupan luas dan belum dapat diduga waktu kejadiannya. Lebih lanjut dalam tulisan ini yang dimaksud gempa bumi adalah gempa bumi tektonik.

Sekilas tentang Bumi dan Gempa Bumi

Menurut para ahli Geologi, bumi terdiri dari beberapa lapisan utama yaitu lapisan paling dalam berupa bola inti panas dan cair (core, radius = ± 3500 km), di bungkus oleh lapisan material yang lebih kental hingga padat (mantel, tebal = ± 2900 km) dan lebih ke luar dibungkus oleh lapisan kerak yang keras dan kuat (crust, tebal = 10–40 km). Lapisan paling atas dari mantel dan lapisan kerak disebut lithosphere dan lapisan lebih dalam disebut asthenosphere. Lapisan lithosphere terpotong-potong menjadi 7 hingga 8 lempengan besar dan banyak lempengan kecil yang disebut lempengan tektonik (plate tectonics), dan yang bergerak dengan kecepatan antara 0–100 mm/ tahun. Lempengan-lempengan itu ada yang saling menjauhi, menggeser-menyamping dan ada yang saling mendekati atau satu lempengan menghunjam yang lain (subduction). Gerakan terakhir di atas terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya di jalur Barat Pulau Sumatera, jalur Selatan Pulau Jawa-Bali dan Nusa Tenggara Barat yang disebut Jalur Gempa Bumi Lintas Asia (Trans Asiatic Earthquake Belt). Jalur ini bertemu dengan Jalur Gempa Bumi Lingkar Pasifik (Circum Pasific Earthquake Belt) di sekitar kepulauan Maluku dan Papua Barat. Hunjaman lempengan yang bergerak relatif ini menimbulkan tegangan pada kedua permukaan sentuhnya yang semakin lama semakin meningkat dan dapat runtuh secara tiba-tiba sehingga menimbulkan gelombang gempa bumi. Gelombang Primer (P-wave) memiliki arah longitudinal terhadap pusat gempa (focus), seperti pegas yang merenggang-memampat namun memiliki energi rendah. Gelombang Sekunder (S-wave) berarah transversal (tegak lurus Gelombang Primer), yang memiliki energi lebih kuat. Gelombang Primer memiliki kecepatan 1,5 kali lebih cepat dari pada Gelombang Sekunder, sehingga Gelombang Primer datang lebih cepat. Interaksi kedua gelombang tersebut pada permukaan bumi sering menimbulkan gelombang Rayleigh dan gelombang Love. Para

Page 5: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

5

ilmuwan Seismologi menyatakan bahwa kecepatan Gelombang Primer itu berkisar antara 5 dan 8 km/dt atau antara 18.000 dan 28.800 km/jam sehingga masyarakat yang tinggal di dalam radius 20–30 km dari pusat gempa sering tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan evakuasi apabila gempa memiliki intensitas kuat atau sangat kuat.

Energi gempa (E) diukur di pusat gempa (focus) yang terletak pada lapisan lithosphere dan dinyatakan dalam satuan erg. Richter, C.F., pada tahun 1935 merubah besaran energi ke dalam bentuk skala yang kemudian dikenal dengan skala besaran Richter (Richter magnitude scale, M). Hubungan energi gempa dan skala besaran Richter dinyatakan dalam bentuk logaritma berbasis 10, sehingga setiap perbedaan besaran 1 (satu) skala Richter akan memberikan peningkatan energi di pusat gempa sebesar 31,6 kali (Najoan, 1989, Kardiyono, 1997). Melalui besaran skala Richter sebenarnya masih belum bisa dibayangkan kualitas kerusakan infrastruktur yang terjadi karena masih bergantung pada kedalaman dan jarak pusat gempa bumi serta jenis tanah yang ada di sekitarnya. Cara untuk mengkomuni-kasikan kualitas kerusakan diusulkan oleh Giuseppe Mercalli (1884–1906) yang kemudian dikenal dengan istilah Intensitas Mercalli yang dimodifikasi (Modified Mercalli Intensity, MMI) yang bervariasi dari I (getaran tidak dirasakan oleh manusia, tetapi tercatat oleh alat) sampai dengan XII (kerusakan total pada infrastruktur).

Yang sedang menjadi perhatian para ahli, khususnya bidang Teknik Sipil selain “merancang bangunan baru yang tahan terhadap gempa rencana juga mencari upaya untuk memprediksi kekuatan bangunan gedung dan jembatan yang ada saat ini“. Kuat harus diartikan tidak roboh total oleh gaya gempa bumi yang direncanakan, tidak mengakibatkan korban jiwa (sekalipun namanya rumah sederhana atau rumah susun sewa sederhana). Kualitas bahan dan sistem struktur, elektrikal dan mekanikalnya harus diupayakan sedemikian sehingga tetap memenuhi standar minimum yang disyaratkan agar tidak menimbulkan bencana lain seperti kebakaran.

Gempa Bumi dan Beberapa Peristiwa Terkait

Erupsi gunung berapi di sepanjang jalur gempa, beberapa waktu sebelum atau setelah terjadinya gempa merupakan bagian dari upaya

Page 6: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

6

bumi mencari keseimbangan. Beberapa contoh keterkaitan itu antara lain erupsi gunung Merapi sebelum gempa bumi Bantul 27 Mei 2006 dan erupsi gunung Puyehue di Chili pada 24 Mei 1960, (http: //www. drgeorgepc. com) yang terjadi 47 jam setelah gempa bumi sangat amat kuat di Chili 22 Mei 1960 (M 9,5) yang diikuti tsunami setinggi 25 m dan menewaskan 200.000 orang meninggal. Namun demikian banyak para ahli menyatakan keterkaitan keduanya bersifat anomaly.

Adanya tanda-tanda dalam bentuk perubahan warna dan bentuk awan di langit Selatan (warna merah membentang pada arah Barat-Timur) dinyatakan oleh banyak media sebagai tanda-tanda akan adanya gempa bumi Bantul 27 Mei 2006, namun berita itu disampai-kan setelah terjadinya gempa. Suara seperti benda terjatuh ke dalam air di wilayah Imogiri dan Bantul yang mengawali terjadinya gempa susulan memicu rumor adanya rongga besar di bawah wilayah itu sehingga menarik perhatian para ahli serta pemerhati, namun tam-paknya sebelum rumor itu terjawab masyarakat sudah melupakannya.

Gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 (M 8,0) yang menewaskan 129.498 orang dan 37.606 lainnya hilang (http://id.wikipedia.org) pernah diramalkan dalam sebuah acara di stasiun TV swasta di Jakarta, namun ramalan itu tidak memberikan kejelasan secara lebih spesifik waktu dan letaknya. Tambahan pula ramalan itu diceritakan setelah bencana itu terjadi.

Guo dan Wang (2008) dari Nanjing Normal University di Henan, China, melihat sebuah belahan awan yang dihasilkan oleh satelit pada Desember 2004 di Iran Selatan. Pada saat yang sama bayangan temperatur di atas tanah di sepanjang tempat itu juga mengalami kenaikan. Enam puluh hari kemudian pada 22 Februari 2005, sebuah gempa bumi dengan kekuatan M 6,4 terjadi pada tempat itu dan menewaskan 600 orang. Pada Desember 2005, bentuk serupa terjadi lagi di langit yang sama untuk beberapa jam dan 64 hari kemudian sebuah gempa bumi berkekuatan M 6,0 mengkoyak daerah itu.

Guo menyatakan bahwa penyebab awan terbelah adalah erupsi gas panas dari perut bumi, tetapi Friedemann Freund dari NASA Ames Research Center di Moffett Field, California, menyatakan bahwa apabila batuan keras berdesakan maka batuan itu akan mengeluarkan ion positif yang justru mendukung terbentuknya awan dan bukan

Page 7: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

7

membelah awan (http://www.globalwatch.org). Ahli seismologi Mike Blanpied (http://www.usgs.gov) dari US Geological Survey’s Earth-quake Hazards Program menyatakan secara skeptis bahwa “sejauh ini belum ada model fisik yang dapat menjelaskan mengapa sesuatu tiba-tiba terjadi dua bulan sebelum gempa bumi, lalu menghilang dan tidak pernah terjadi lagi”.

Dalam rangka mengurangi resiko yang diakibatkan oleh gempa bumi, sudah sejak lama para ahli di China meramalkan terjadinya gempa secara intensif melalui gerak-gerik aneh dari banyak binatang. Diakui oleh para ilmuwan China bahwa “ramalan semacam ini telah terbukti dengan sukses” seperti pernah ditunjukkan sebelum terjadinya gempa di Haicheng (M 7,3), provinsi Liaoning, pada 4 Februari 1975. Pada bulan Desember 1974 dijumpai banyak ular dan tikus keluar dari sarangnya, kucing berperilaku aneh dan tiga hari menjelang peristiwa itu banyak binatang besar seperti kuda mendepak-depak dinding, sapi dan babi berlarian secara tidak jelas arahnya, anjing menggonggong secara terus-menerus, burung-burung beterbangan tidak jelas arahnya. Namun sayang, sementara penelitian empirik itu belum selesai terjadi gempa bumi dengan intensitas M 7,8 pada 28 Juli 1976 tanpa adanya indikasi keanehan binatang tertentu tersebut (655.000 orang meninggal dan 780.000 orang terluka, Carayannis, 2010). Data statistik dari USGS documents menyebutkan bahwa dalam satu tahun di dunia ini terjadi gempa bumi sangat amat kuat (Great, 8,0–8,9M) 1 kali/th, gempa bumi sangat kuat (Major,7,0–7,9M) 18 kali/th, gempa bumi kuat (Strong, 6,0–6,9M) 120 kali/th, gempa bumi sedang (Moderate, 5,0–5,9M) 800 kali/th, gempa bumi lemah (Light, 4,0–4,9M) 6.200 kali/th, gempa bumi minor (Minor, 3,0–3,9M) 49.000 kali/th dan gempa bumi mikro (~ 2,9M) 9000 kali/hari. Walaupun data gempa bumi kuat hingga sangat amat kuat berjumlah lebih dari 120 kali, tetapi belum dilaporkan secara rinci ada berapa diantaranya yang dikaitkan dengan perilaku aneh binatang.

Upaya Mengurangi Resiko Bencana Gempa Bumi

Alat untuk merekam gempa bumi pertama kali ditemukan di China pada AD 132 oleh Zhang Heng dari dinasti Han yang disebut Houfeng Didong Yi yang hanya menggunakan bola-bola yang

Page 8: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

8

diletakkan di atas mangkok perunggu pada delapan arah mata anginnya (http://en.wikipedia.org). Beberapa ratus tahun lalu para ilmuwan menggunakan alat seismometer pada banyak lokasi yang pernah/sedang mengalami gempa bumi besar untuk mendapatkan data yang akurat tentang letak pusat gempa bumi (epicenter). Saat ini alat tersebut sudah berkembang sangat pesat sehingga gempa-gempa bumi mikro dan lemah dengan frekuensi 0,0012 Hz sampai 500 Hz pun dapat direkam. Apabila kecepatan Gelombang Primer dan Sekunder pada suatu media (tanah) dapat ditentukan dan perbedaan waktu antara datangnya Gelombang Primer dan Sekunder (Δt) maka jarak (radius posisi) sumber gempa bumi (s) dapat dihitung melalui persamaan fisika sederhana, bahwa jarak sama dengan kecepatan dikalikan waktu tempuh. Sebuah alat seismometer hanya bisa menunjukkan satu perbedaan waktu tempuh sehingga untuk mengetahui lebih tepat posisi pusat gempa bumi di permukaan (epicenter) diperlukan sedikitnya 3 alat seismometer. Melalui penghitungan statistik dapat diketahui kemungkinan terjadinya gempa bumi, p (%) yang memiliki perioda ulang rencana tertentu, T(tahun), dalam rentang umur bangunan yang direncanakan, L(tahun), melalui persamaan p (%) = (1-exp-L/T) (Kardiyono, 1997; Najoan, 1989). Semakin kecil nilai banding (L/T) atau dengan kata lain semakin besar perioda ulang rencana (T) untuk umur bangunan tertentu (L), akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya gempa bumi dengan perioda ulang rencana (T) itu, dan sebaliknya.

Mempertimbangkan kebutuhan yang beragam maka seseorang dalam merencanakan rumah tinggal/bangunan dapat memilih umur bangunan (L) namun demikian Standar Nasional Indonesia hendaknya memberikan pilihan periode ulang gempa (T) yang diinginkan, misalnya 500 tahun untuk bangunan permanen dan 300 tahun untuk bangunan semi permanen, dan 50 tahun untuk bangunan tidak permanen/sementara/darurat. Namun demikian agar pemerintah dapat mengatur kualitas bangunan secara nasional maka tingkat probabilitas kejadian gempanya (p) tidak lebih dari 10% dalam masa umur bangunan yang dipilihnya (T). Apabila resiko itu dipertanggungkan kepada pihak lain maka biaya pertanggungan dan premi yang harus dibayar menjadi lebih nyata dan terukur. Dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran melalui APBN maupun sumbangan masyarakat

Page 9: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

9

dan badan donor internasional maka Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dapat mengelompokkan rumah tinggal/gedung dan jembatan berdasarkan umur bangunan itu.

Penelitian terhadap kejadian gempa bumi berskala nasional, yang disebut pengkawasan gempa bumi nasional (national earthquake zoning), sudah dilakukan dan sudah membuahkan hasil dalam bentuk peta zona gempa nasional yang selalu direvisi dari waktu ke waktu. Tidak demikian halnya dengan peta zona gempa lokal (local zoning/ micro zoning) yang belum banyak dilakukan di daerah. Dengan menggunakan peta zona gempa lokal maka perencanaan tata bangunan dan lingkungan dapat disusun dan akan mendukung kegiatan mitigasi dan pencegahan kerusakan oleh gempa bumi (earthquake mitigation and prevention).

Mitigasi Keruntuhan Bangunan Gedung

Gempa bumi di Bantul pada 27 Mei tahun 2006 memiliki besaran skala Richter M 5,9 (BMG), pada kedalaman focus d = 11,3 km, dan berjarak epicentre s = 30 km dari kota Yogyakarta. Bila dihitung dengan rumusan Donovan (Kardiyono, 1997) gempa itu menghasilkan percepatan tanah pada permukaan sebesar 99 gal (cm/dt2). Tanah di bawah bangunan umumnya berupa tanah sedimen-tasi yang lebih lunak. Oleh gempa bumi lapisan sedimentasi itu bergoyang (lateral dan vertikal) lebih besar dari pada goyangan lapisan tanah keras (crust/bed rock) di bawahnya. Sebuah tim evaluasi dibentuk setelah gempa bumi Bantul 2006 yang terdiri dari ahli T.Sipil, T.Arsitektur dan T.Geologi untuk melakukan penyelidikan kekuatan dan kelayakan struktur beberapa gedung bertingkat di sekitar kota Yogyakarta. Dengan menggunakan alat seismometer tim menghasilkan peta faktor amplifikasi tanah, ke dalam lapisan sedimentasi dan frekuensi alami tanah sedimentasi. Mendasarkan temuan bahwa frekuensi alami tanah sedimentasi pada suatu bangunan 1,2–2,0 Hz ( rerata 1,6 Hz), dan faktor amplifikasi tanah (H/V) antara 1,0 sampai 2,0 (rerata 1,5), maka oleh gempa bumi Bantul 2006 dapat diperkirakan balik simpangan lateral di atas permukaan tanah di sekitar bangunan itu 0,98 cm. Hasil kajian tim dengan menggunakan

Page 10: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

10

analogi Nakamura (1997, 2000) menjelaskan bahwa bangunan itu rentan terhadap bencana gempa bumi kuat karena salah satu kolom dari gedung itu hanya mampu menahan percepatan pada dasar batuan (base rock) sebesar 98 gal sementara SNI-03-1726-2002 untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang termasuk dalam zona gempa 3, mene-tapkan percepatan gempa minimum 150 gal untuk periode ulang 500 tahun. Faktor amplifikasi lateral pada gedung berlantai 3 terhadap dasar gedung bervariasi antara 8 hingga 20 kali. Dengan demikian simpangan lateral pada lantai ke-3 diperkirakan antara 7 cm sampai 18 cm. Dari sebab itu tim merekomendasikan agar bangunan itu dibuat lebih kuat dan lebih kaku.

Bencana gempa bumi sebenarnya tidak mematikan tetapi runtuhnya sebagian atau keseluruhan struktur bangunan dan kepanikan/kecemasan yang mengarah kepada tindakan nekadlah yang menyebabkan kematian, seperti meloncat dari lantai atas gedung bertingkat, asal berlari cepat (serangan jantung, jatuh terpeleset dan gegar otak, tertindih tangga beton, tertindih lantai di atasnya, dsb.). Untuk menghindarkan kepanikan/kecemasan saat terjadinya keadaan darurat maka setiap pengunjung bangunan publik saat berada di dalam gedung harus disadarkan/dipahamkan akan adanya kemungkinan bencana. Penelitian Magda-Bhinnety (2007), yang dilakukan pada banyak bangunan publik/mall di Indonesia menunjukkan bahwa apabila peta OAU (Orientasi Atas = Utara) dibaca oleh responden yang sedang menghadap ke arah Selatan (peta menghadap ke arah Utara), maka responden memerlukan waktu reaksi 2 sampai 4 kali lebih lama untuk memahami peta itu dibandingkan dengan responden yang sama tetapi menghadap ke Utara saat membaca peta (peta menghadap ke arah Selatan) akibat dari fenomena mental rotation. Jadi secara prinsip peta bangunan yang di pasang guna keperluan evakuasi hendaknya beorientasi pada arah subyek (Ego Direction) dan bukan orientasi Atas = Utara (OAU). Dari penelitian itu dapat disarankan agar pengelola gedung/bangunan publik hendaknya memiliki kewajiban untuk membuat rambu-rambu dan petunjuk cara evakuasi yang cepat dan aman. Apabila seseorang itu sedang berada di lantai dasar bangunan (ground floor) evakuasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah dirasakan adanya gempa (Gelombang Primer). Tetapi apabila seseorang sedang berada di atas lantai dasar

Page 11: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

11

suatu gedung bertingkat, maka ia sebaiknya tetap pada lantai yang sama dan mencari tempat yang lebih aman, sampai Gelombang Sekunder (intensitas gempa lebih besar) sudah mereda. Setelah Gelombang Sekunder mereda evakuasi masih diperlukan apabila beda waktu antara datangnya kedua gelombang itu kurang dari 10 detik, karena gempa bumi susulan kadang juga dapat meruntuhkan bangunan atau karena akibat sampingan lainnya seperti kebakaran. Apabila bangunan itu berada di tepi pantai dan sistim peringatan dini (early warning system) menyatakan akan adanya potensi tsunami maka sebaiknya ia harus segera menuju tempat yang lebih tinggi (misal naik ke lantai lebih atas dari bangunan bertingkat).

Penelitian Naing (2010) mengindikasikan pentingnya setiap daerah memiliki peta gempa bumi lokal/mikro (microzoning) karena peta itu dapat dipertimbangkan dalam menetapkan tata bangunan dan lingkungan. Banyak ahli struktur saat ini hanya menggunakan peta zonasi nasional yang bersifat global karena tidak tersedianya peta zonasi lokal/mikro (microzoning), sehingga pengaruh frekuensi alami dan faktor amplifikasi tanah pada bangunan yang direncanakan tidak diperhitungkan. Membangun bangunan tinggi di atas lapisan tanah sedimentasi yang tebal (frekuensi alami tanah rendah) harus lebih hati-hati dibandingkan dengan bangunan itu berada di atas sedimentasi yang tipis, demikian pula sebaliknya bagi bangunan rumah tinggal (bangunan berdinding tembokan) yang harus lebih berhati-hati apabila berada di atas tanah yang lapisan sedimentasinya tipis.

Penyebab kerusakan lain dari bangunan bertingkat adalah adanya tingkat yang lemah (soft storey) yang umumnya berada pada bangunan paling bawah (ground floor), dimana gaya gempa lateral terbesar. Tentu cukup beralasan bagi seorang arsitek untuk meman-faatkan bangunan paling bawah dari sebuah gedung bertingkat sebagai ruang fasilitas umum karena kemudahan aksesibilitas bagi seluruh pengunjung, tetapi apabila tingkat di atasnya jauh lebih kaku maka konsentrasi tegangan beralih pada bagian yang paling lemah itu. Simpangan yang besar merupakan indikasi dari gaya dan kerentanan yang besar pula. Dalam kaitan itu tentu harus ada kompromi diantara ahli arsitek dan ahli struktur bangunan.

Masalah lain yang sering menyebabkan keruntuhan adalah rendahnya kualitas beton dan atau kurangnya pemahaman terhadap

Page 12: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

12

fungsi tulangan baja pengikat pada kolom (sengkang/begel). Kualitas beton yang rendah akan menyebabkan tulangan baja tarik tidak bekerja secara optimum, karena beton akan hancur lebih dini sebelum tulangan baja itu tertarik optimum (leleh). Baja tulangan tertekan akan melekuk lebih dini oleh tidak terpenuhinya syarat sengkang pengkikat (seharusnya : jarak sengkang ≤ 100 mm, diameter ≥ 10 mm, kait sengkang bersudut 135o). Kerusakan getas (brittle failure) semacam ini tidak diinginkan karena dapat menyebabkan kegagalan geser yang mendadak. Di sisi lain, kerusakan rumah tinggal satu lantai pada umumnya disebabkan oleh buruknya kualitas bahan (sudah lapuk) atau pengerjaan (detail sambungan tulangan baja pada sambungan fondasi, kolom, balok, rangka-atap tidak dikerjakan dengan baik).

Untuk mengantisipasi kerusakan akibat gempa bumi Standar Nasional Indonesia SNI 03-1726-2002 mengatur Tatacara Perenca-naan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung khususnya gedung bertingkat. Bagi rumah tinggal satu sampai dua lantai (non-engineered building) diberlakukan Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa (2006). Peraturan-peraturan itu membolehkan sebagian elemen struktur gedung rusak oleh beban gempa bumi yang direncanakan, tetapi tidak boleh runtuh total karenanya sehingga diharapkan tidak akan ada korban jiwa. Konsep kolom-kuat balok-lemah untuk bangunan bertingkat (strong column weak beam concept) sudah dikenalkan di Indonesia sejak tahun 1983 oleh para ahli dari New Zealand. Apabila masyarakat, khususnya ahli arsitek dan struktur memenuhi konsep perancangan ini tentu akan sangat membantu dalam mengurangi korban akibat bencana gempa bumi kuat dan sangat kuat. Permasalahannya adalah bahwa para perancang (ahli struktur dan arsitek), pemilik bangunan dan penyedia jasa pemborongan belum secara bulat memenuhi peraturan itu karena berbagai kendala. Konsep itu memiliki syarat diantaranya dinding tembok yang tidak menyatu secara monolit dengan elemen kolom maupun balok di atasnya. Pengguna/pemilik memiliki persepsi bahwa dinding yang baik harus menyatu kuat dengan kolomnya disamping masalah biaya yang meningkat untuk memenuhi persyaratan itu. Merubah konfigurasi tulangan baja sehingga menambah luasan/

Page 13: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

13

jumlah tulangan oleh pihak-pihak penyedia jasa bisa merubah perilaku bangunan dan mengganggu konsep yang telah direncanakan oleh ahli struktur.

Penelitian yang dilakukan oleh Ma’arif (2010), yang memo-delkan kolom bangunan paling bawah dari sebuah bangunan bertingkat, mengindikasikan adanya keruntuhan pada saat simpangan lateral sebesar 1,4–1,8% tinggi tingkat pada beban aksial berturut-turut 30–50% dari beban ultimit konsentriknya. Di sisi lain SNI-03-1726-2002 juga membatasi simpangan maksimum antar tingkat tidak melebihi 2% tinggi tingkat atau 3% dari H/R dan kurang dari 30 mm (H=tinggi tingkat, R=faktor reduksi gempa). Mitigasi bencana gempa bumi pada bangunan gedung/rumah tinggal lebih ditentukan oleh kinerja kolom, khususnya kolom paling bawah. Semakin kecil beban aksial kolom maka keruntuhan kolom akan lebih cepat terjadi, namun di sisi lain beban aksial kolom yang terlalu besar akan memberikan keruntuhan yang mendadak. Jadi menurut hemat saya syarat yang tertera dalam SNI-03-1726-2002 bahwa simpangan lateral antar tingkat < 2% H masih perlu ditinjau dan gaya aksial konsentrik pada kolom perlu dibatasi.

Dalam melakukan penelitian kekuatan dan kekakuan bangunan seorang ahli struktur sebenarnya tidak cukup hanya melalui analisis numerik. Melalui uji lapangan seorang ahli struktur mendapatkan informasi penting terkait dengan sifat-sifat struktur yang dapat digunakan untuk memperbaiki model numeriknya. Apabila proses pencocokan sifat struktur dalam batas elastiknya sudah sesuai maka model numerik dapat dibebani oleh bermacam-macam bentuk beban hingga model numerik itu runtuh (non-linear analysis). Jadi pemaduan antara eksperimen dan numerik merupakan solusi paling baik dalam menyelesaikan masalah lapangan. Dengan cara ini kekuatan dan kinerja bangunan dapat diramalkan.

Untuk mendapatkan hubungan beban-lendutan di lapangan, dengan skala penuh, dahulu para praktisi menggunakan gaya luar yang besar tetapi tidak mudah dilakukan, khususnya pada gedung ber-tingkat tinggi atau pada gedung yang sangat kaku. Disamping itu upaya memberikan gaya luar yang besar sering dapat merusakkan bagian tertentu dari bangunan, memerlukan waktu dan biaya besar,

Page 14: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

14

atau paling sedikit mengganggu operasional bangunan. Pemanfaatan seismometer untuk menyelesaikan masalah seperti tersebut di atas dimungkinkan.

Mitigasi Kerutuhan Bangunan Jembatan

Oleh banyak sebab antara lain: degradasi material, kelelahan oleh lalulintas kendaraan, peningkatan beban kendaraan (overload), kecelakaan (terbakar), gempa bumi kuat atau meningkatnya kelas jalan, dapat menyebabkan menurunnya umur, kekuatan dan kenya-manan. Gempa bumi Bantul 27 Mei 2006, menyebabkan banyak jembatan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami masalah pada perletakannya. Perletakan berupa bantalan karet berlapis baja (rubber bearing pad) pada ujung-ujung jembatan banyak yang berpindah tempat oleh goncangan horisontal gempa bumi. Perpin-dahan perletakan ini umumnya disebabkan oleh tidak adanya angker penahan gerakan berlebih (jangkar), sedang perletakan tumpuan karet berlapis baja hanya mampu mengakomodasi gerakan horisontal kecil oleh gaya rem/kejut dan kembang susut oleh perubahan temperatur.

Kestabilan berkaitan dengan tipe fondasi yang digunakan. Tipe fondasi-dalam (deep foundation) seperti tiang pancang, tiang bor atau sumuran merupakan beberapa tipe yang sering digunakan pada jembatan. Disamping untuk mendapatkan daya dukung tanah yang tinggi fondasi-dalam dapat pula difungsikan sebagai unsur penahan gaya lateral oleh gempa bumi melalui tinggi jepitan pilar itu (Tristanto dan Sunardi, 2002). Arus sungai yang deras, benturan batu dan hempasan sedimen di sekitar pilar jembatan (local scouring) sering menyebabkan pengurangan tinggi jepitan pilar fondasi (peningkatan tinggi bebas pilar), yang berarti menurunkan kekakuan pilar jembatan. Perubahan kekakuan itu dapat diindikasikan melalui perubahan frekuensi alami yang semakin menurun oleh meningkatnya tinggi bebas pilar. Berkurangnya frekuensi alami dalam batas-batas tertentu dapat menyebabkan resonansi pada saat terjadi gempa bumi, dan resonansi dapat membahayakan pilar jembatan. Pilar jalan layang Hanshin Expressway di Jepang, oleh gempa bumi Hanshin-Awaji (Kobe Earthquake) pada 17 Januari 1995 merupakan salah satu contoh terlampauinya stabilitas (terguling) dan kekuatan (rusak geser).

Page 15: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

15

Gempa bumi kuat dan sangat kuat sudah terbukti menjadi masalah kekuatan dan kestabilan pada jembatan berbentang banyak dengan pilar-pilar di tengah. Pilar-pilar tersebut lebih rentan terhadap goncangan gempa bumi, khususnya ke arah tegak lurus sumbu jembatan (sejajar sungai). Semakin tinggi pilar jembatan akan menyebabkan pilar itu semakin rentan karena semakin besar momen yang dapat menggulingkan fondasinya. Pusat Litbang Prasarana Transportasi (2002) telah membuat batas-batas kestabilan pilar jembatan melalui nilai banding antara tinggi bebas aktual, yang didapatkan melalui uji getar, dan tinggi bebas rencana, yang didapatkan dari analisis teoritik. Nilai banding tinggi bebas yang lebih besar dari 1 (satu) menunjukkan kestabilan yang semakin rendah.

Kenyamanan berkaitan erat dengan kekakuan. Pada saat terjadi gempa bumi kuat goncangan pilar hendaknya dirancang sedemikian sehingga tidak menimbulkan goncangan horisontal yang besar yang dapat menimbulkan kepanikan berlebih sehingga mengganggu konsentrasi pengemudi kendaraan yang sedang melintas di atas jembatan. Apabila goncangan maksimum pada ujung pilar jembatan dapat dikaji dan ditetapkan maka kekakuan pilar jembatan untuk memenuhi syarat itu dapat diperhitungkan/direncanakan. Disisi lain goncangan berlebih juga dapat menimbulkan tegangan geser dan momen berlebih pada pangkal pilar jembatan yang dapat meruntuhkan dan atau menggulingkan pilar jembatan. Apabila batasan-batasan goncangan yang berakibat pada kekuatan itu diteliti dan kemudian ditetapkan melalui peraturan maka penilaian kelayakan (kekuatan, kenyamanan dan kestabilan) bagi jembatan yang sudah terbangun (existing) dapat dilakukan/diindikasikan.

Nakamura dkk. (1997) melakukan pencocokan antara hasil penyelidikan kerentanan tanah di bawah jalur talang air (viaduct) di Shinkansen yang dilakukan sebelum gempa bumi Hyogo-Ken-Nanbu tahun 1995 yang menyebabkan keruntuhan salah satu pilar talang. Dia menyimpulkan bahwa keruntuhan pilar disebabkan oleh kerentanan tanah (Ksg > 50) di bawah pilar yang merupakan lapisan sedimen yang tebal (frekuensi rendah), dan kekakuan yang rendah dari portal balok-kolom pendukung talang air di atasnya (open frame frekuensi rendah) sehingga menimbulkan resonansi.

Page 16: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

16

Analisis Getaran Mikro pada Gedung dan Jembatan (Micro-tremor Analysis)

Kemajuan teknologi yang mampu membuat sensor seismometer semakin canggih (pencacahan data analog dan mengkonversikan ke dalam data digital dengan kecepatan tinggi, mampu mendeteksi getaran sangat lemah hingga sangat kuat dalam orde ketelitian 0,00001 gal sampai 20 gal) memudahkan dalam merekam getaran bumi mikro yang sangat lemah (M < 2,0 yang frekuensinya 9000 kali/hari), juga getaran bangunan di atasnya, gempa vokanik atau getaran lingkungan lainnya (ambient vibration). Nakamura (2000) menggunakan seismometer untuk melihat ketebalan lapisan tanah sedimentasi di bawah permukaan bumi. Teori itu menjelaskan bahwa simpangan oleh getaran pada lapisan/lempengan kerak bumi (crust) ke arah lateral (H) sama dengan ke arah vertikal (V), namun tidak demikian dengan getaran yang melalui lapisan tanah sedimentasi. Oleh karenanya simpangan ke arah lateral pada permukaan sedimen-tasi lebih besar dari pada ke arah vertikal (H/V > 1). Semakin besar nilai banding H/V dapat diinterpretasikan bahwa lapisan tanah sedimentasi semakin tebal yang disertai pula frekuensi alami yang rendah.

Penelitian Naing (2010) di daerah Bantul menunjukkan hasil yang sangat mengesankan. Menggunakan perangkat seismometer ia dapat membuktikan keterkaitan antara kerusakan beberapa tipe bangunan dan ketebalan lapisan sedimentasi di bawahnya. Lapisan sedimentasi yang tebal berkolerasi positif dengan hasil nilai faktor amplifikasi (H/V) dan perioda alami lapisan sedimentasi (natural period) namun berkorelasi negatif dengan percepatan permukaan puncak (PGA). Daerah-daerah Bambang Lipuro, Pundong, Jetis, Patalun, Imogiri dan Srihardjo dinyatakan oleh Naing (2010) sebagai daerah yang memiliki lapisan sedimentasi tipis maka pada daerah itu memiliki perioda alami rendah (frekuensi alami tinggi), dan PGA tinggi. Bangunan-bangunan rumah tinggal satu lantai yang terbuat dari pasangan bata umumnya memiliki frekuensi alami relatif tinggi dibandingkan dengan bangunan bertingkat. Frekuensi alami lapisan sedimentasi yang bersesuaian dengan frekuensi alami bangunan menyebabkan resonansi pada bangunan, oleh karenanya bangunan

Page 17: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

17

rumah tinggal satu lantai banyak yang runtuh di daerah itu. Kerun-tuhan itu diperparah oleh kualitas bahan dan pengerjaan yang rendah.

Pengembangan pemakaian seismometer untuk melihat sim-pangan bangunan saat ini terus dikembangkan. Melalui seismometer dapat diketahui simpangan bangunan sampai sekecil 0,0006 mm pada frekuensi 0,2 Hz, yaitu suatu simpangan yang dihasilkan oleh getaran alam sekitar (ambient vibration). Dengan alat ini resonansi bangunan oleh suatu percepatan tanah di bawahnya dapat direkam dan dianalisis. Secara mudah Nakamura dkk. (2000) membuat suatu analogi, bahwa apabila simpangan lateral pada lantai bawah bangunan (ground floor) dan lantai-lantai di atasnya secara bersamaan dapat diketahui melalui uji lapangan dan standar simpangan maksimum kolom antar tingkat yang meruntuhkan ditetapkan maka percepatan maksimum pada permukaan tanah dapat dihitung secara linear. Metode Nakamura (2000) sudah banyak digunakan untuk menjelaskan kerusakan banyak bangunan oleh gempa bumi pada masa lalu, seperti runtuhnya Colloseum di Italy, runtuhnya pilar jalan layang Hanshin Expressway di Jepang, miringnya menara Pisa di Italy (Nakamura dkk., 1999), rusaknya rel kereta api dan pilar jembatan jalur Shinkansen di Jepang (Nakamura, 1997) dan lain-lainnya. Frekuensi alami terkait dengan tinggi jepitan pilar, massa dan kekakuan. Karena frekuensi alami dapat diketahui melalui uji microtremor maka tinggi jepitan pilar jembatan dapat dihitung untuk mengetahui stabilitas pilar jembatan terhadap gempa kuat dan sangat kuat. Metode ini cukup cepat digunakan di lapangan, karena seismometer tidak memerlukan beban luar untuk menggetarkan pilar jembatan.

Usulan Penyelesaian

Sebagian besar manusia ditakdirkan hanya mampu menangkap getaran dalam batas-batas frekuensi akustik (20Hz–20 kHz), namun tidak demikian halnya dengan beberapa binatang tertentu yang dapat merasakan/mendengarkan getaran infrasonik (< 20Hz) dalam jarak ratusan kilometer. Pada umumnya perilaku aneh binatang memang disebabkan oleh getaran infrasonik yang diantaranya dihasilkan oleh gempa bumi, namun tidak selalu perilaku aneh binatang itu mem-berikan indikasi akan adanya gempa bumi. Tanda-tanda alam yang

Page 18: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

18

saat ini masih bersifat induktif-empirik pada saatnya akan ditemukan “benang merah” nya sehingga menjadi pengetahuan yang deduktif. Ilmu pengetahuan mikro yang terus dikembangkan saya percayai akan dapat menjawab tanda-tanda alam dan perilaku aneh binatang tertentu itu. Fenomena alam dan perilaku aneh binatang hendaknya tidak ditanggapi secara ragu-ragu dan masa bodoh (sceptic–apathetic) tetapi juga tidak secara berlebihan (overreactive) sehingga membuat kepanikan masyarakat. Apabila manusia dalam berinteraksi dengan bumi dan langit (alam semesta), termasuk dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, dapat dibangun secara harmonis maka saya yakini bahwa manusia juga akan diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta (Alkitab, Kejadian 1:27–28), seperti Nabi Nuh dan orang orang yang percaya kepada-Nya telah diselamatkan karena mereka mendengarkan-Nya (Alkitab, Kejadian 6–8).

Apabila dikaitkan dengan banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh para ahli dalam meramalkan gempa bumi maka gagasan Nakamura untuk meramalkan kekuatan/kemampuan bangunan menahan gempa bumi merupakan terobosan yang menyelesaikan masalah dan perlu didorong dan dikembangkan, walaupun teori yang sederhana itu masih memiliki kelemahan. Kelemahan yang secara jelas dapat dilihat adalah asumsi hubungan linear antara gaya dan simpangan. Kenyataan menunjukkan bahwa bangunan yang dibuat dari bahan komposit baja-beton tidak memiliki sifat linear menjelang keruntuhannya karena beton akan retak sebelum baja mencapai leleh. Retakan itu sendiri menyebabkan berkurangnya kekakuan (menurun-kan frekuensi alami) yang berarti oleh gaya yang sama simpangan akan meningkat. Namun di sisi lain retakan akan meningkatkan redaman yang berarti mengurangi simpangan. Seberapa besar kontribusi kedua parameter terakhir pada hubungan gaya dan simpangan merupakan penelitian yang perlu terus dilakukan.

Peta zonasi gempa lokal (microzoning) sangat diperlukan dalam menetapkan kebijakan tata bangunan dan lingkungan dalam rangka mengurangi resiko gempa. Melalui peta zonasi gempa lokal kesadaran masyarakat akan resiko bencana di tempat mereka berada perlu ditanamkan melalui sosialisasi secara terus-menerus dalam berbagai cara, sehingga masyarakat menyadari pentingnya memenuhi standar perencanaan bangunan tahan gempa beserta perijinan yang diperlukan.

Page 19: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

19

Ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB) lebih berorientasi pada aspek kekuatan normatif dan kesesuaian dengan jenis kegiatan, ukuran denah, ketinggian bangunan dengan tata bangunan dan lingkungan tetapi belum mensyaratkan pemenuhan detail pelaksanaan. Detail pelaksanaan sangat menentukan kekuatan bangunan, gambar detail penulangan dan sambungan elemen struktur sering tidak dilaksanakan, apalagi tidak ada gambarnya. Oleh karenanya disarankan agar dalam mendapatkan IMBB terjadi proses cross check di lapangan dan hendaknya di dalam asbuilt drawing dicantumkan gambar detail pelaksanaan dan menyertakan foto-foto sambungan tulangan terkait.

UU No.28 pasal 37 tentang Bangunan Gedung Negara (2002) hanya mengatur tentang pemanfaatan bangunan yg lebih menjelaskan tentang ketentuan teknis minimum bagi sebuah bangunan publik dan tidak mengkaitkan dengan manajemen pengelolaan kegiatannya. Pemasangan denah, rambu-rambu dan petunjuk arah evakuasi dalam keadaan darurat belum diatur oleh undang-undang itu. Walaupun demikian tidak ada salahnya apabila bangunan publik memulai memasang denah, rambu-rambu, arah evakuasi dan tatacara penyelamatan dalam keadaan darurat, dengan denah yang beorientasi subyek (Ego Orientation), bukan berorientasi OAU (Orientasi Atas=Utara). Rambu-rambu dan petunjuk arah sebaiknya dikonsul-tasikan kepada konsultan perencana dan dinas yang terkait dengan jenis kegiatannya.

Page 20: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

20

DAFTAR PUSTAKA

Abarquez, I., dan Murshed, Z., 2004, Field Practitioners’ Handbook,

Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), http://www. adpc.net

Badan Standardisasi Nasional, 2003, Tatacara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung SNI-03-1726-2003, SNI

Cheng, P., Wenzhong, J., dan Zheng, W., 2002, Large Structure Health Dynamic Monitoring using GPS Technology, FIG XXII International Congress, Washington DC, USA, April pp.19-26

Dicks, L., 2008, Curious Cloud Formations Linked to Quakes, Majalah Scientist 2651, 11 April

Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa, Asosiasi Semen Indonesia

Guo, G., Wang, B., 2008, Cloud Anomaly before Iran Earthquake, International Journal of Remote Sensing, 1366-5901, Volume 29, Issue 7, First published on 02 January 2008 Pages 1921 – 1928

Gurler, E.D., Nakamura, Y., , Saita, J., dan Sato, T., ---, Local Site Effect Of Mexico City Based On Microtremor Measurement, System and Data Research Co., Ltd., 3-25-3 Fujimidai, Kunitachi-shi, Tokyo 186-0003, Japan, http://www.sdr.co.jp/ papers

Kardiyono, T., 1997, Teknik Gempa, Penerbit dan Percetakan Nafiri, ISBN 979-8611-16-0

Maarif, F., 2010, Pengaruh Variasi Gaya Aksial dan Momen Kolom pada Pengamatan Kecepatan Perambatan Gelombang Ultrasonik, S2 Thesis, Department of Civil and Environmental Engineering, UGM.

Magda-Bhinnety., E., Bimo, W., Sugiyanto, dan Priyosulistyo, 2008, Sarana Navigasi Kognitif Upaya Peningkatan Kemudahan Evakuasi pada Bangunan Mal/Fasilitas Umum, Jurnal Psikologi, Vol.35, No.1, hal. 41-61, Juni, ISSN : 0215-8884

Page 21: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

21

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007, Undang-Undang

Republik Indonesia No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, 26 April. Jakarta.

Najoan, T.F., 1989, Beban Gempa untuk Perencanaan Bangunan Pengairan dan Bendungan Tahan Gempa, Jurnal Lembaga Penelitian, No.15 Th.4 – KW.III

Nakamura, Y., 1997, Seismic Vulnerability Indices For Ground and Structures Using Microtremor, World Congress on Railway Research in Florence, Italy, November 1997.

Nakamura, Y., 2000, Clear identification of fundamental idea of Nakamura's technique and its applications, Proc. XII World Conference, Earthquake Engineering, New Zealand paper no. 2656.

Nakamura, Y., Gurler, E.D., Saita, J., Rovelli, A., dan Donati,S., 2000, Vulnerability Investigation of Roman Colloseum Using Microtremor, 12th World Conference on Earthquake Engineering.

Nakamura, Y., Gurler, E.D., dan Saita, J., 1999, Dynamic Characteristics of Leaning Tower of Pisa using Microtremor - Prelimenary Results, The 25th Japan Conference on Earhquake Engineering, July, Tokyo System and Data Co., Ltd.

Naing, T., 2010, Analysis of Microtremor for Site Amplification Charachteristics and Ground Motion in Yogyakarta, Indonesia, Tesis S3 UGM.

Priyosulistyo, Widowati, A.Q., dan Jamal, A.U., Prediction of Strength and Structural Behaviour of Asymmetric Buildings Using Microtremor – Learning from Vulnarability Indices, Internasional Seminar: “The Reflection of Three Years of Yogyakarta Earthquake for Anticipation Future Earthquake Disasters”, Indonesia Islamic University (UII), Yogyakarta, 27 May 2009

Priyosulistyo, H., 2010, Dynamic Characteristics of Structure using Fourier Spectra Analysis of Ambient Vibration ( A Case Study on Building Having Asymmetric Plan and Possible Soft Storey Effect, Proceeding of the 3rd ASEAN Civil Engineering Conference, AUN/SEED – Net and University of Philippines

Page 22: Gempa Bumi Pada Bangunan Dan Jembatan

22

College of Engineering, November 11-12, Manila, Philippines. Pusat Litbang Prasarana Transportasi, 2002, Penilaian Kondisi

Jembatan untuk Bangunan Atas dengan Cara Uji Getar, Pt.T-05-2002-B, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

Pusat Litbang Prasarana Transportasi, 2002, Penilaian Kondisi Jembatan untuk Bangunan Bawah dengan Cara Uji Getar, Pt.T-06-2002-B, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

Sekretaris Negara Republik Indonesia, 2002, Undang -undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 134.

Triwiyono, A., Priyosulistyo, H., dan Suharyatma, 2006, Evaluasi Kinerja Jembatan Rangka Callender Hamilton – Studi Kasus Evaluasi dan Perkuatan Jembatan CH Krasak, DIY, Prosiding Seminar Nasional Eksperimen Laboratorium Komputasi dan Manajemen Resiko dalam Bidang Teknik Sipil, CEEDEDS – Jurusan Teknik Sipil UII, 20 Mei, Yogyakarta

Tristanto, L., Sunardi, dan Sukmara, G., —, Pedoman Perencanaan Beban Gempa untuk Jembatan, Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

Tristanto, L., Setiati, N.R., dan Irawan, R., —, RSNI1 Standar Pembebanan untuk Jembatan, Pusat Litbang Prasarana Transportasi, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah