gastroenteritis 4.3

20
REFERAT BLOK KOMPREHENSIF KLINIK (4.3) GASTROENTERITIS Nama : Meirina Khoirunnisa NIM : 11711102 Kelompok Tutorial : 1 (satu) Nama Tutor : dr. Muhammad Syukron Fauzi FAKULTAS KEDOKTERAN 1

Upload: rina

Post on 18-Jan-2016

175 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

gastroenteritis

TRANSCRIPT

Page 1: Gastroenteritis 4.3

REFERAT

BLOK KOMPREHENSIF KLINIK (4.3)

GASTROENTERITIS

Nama : Meirina Khoirunnisa

NIM : 11711102

Kelompok Tutorial : 1 (satu)

Nama Tutor : dr. Muhammad Syukron Fauzi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2014

1

Page 2: Gastroenteritis 4.3

Daftar Isi

Halaman Judul …………………………………………………. 1

Daftar Isi ……………………………………………………….. 2

A. Definisi………………………...……………………………. 3

B. Epidemiologi………………………………………………... 3

C. Etiologi ……………………………………………………... 3

D. Manifestasi Klinis…………………………………………… 5

E. Pemeriksaan Penunjang…………………………………….. 5

F. Penegakan Diagnosis………………………………………... 8

G. Penatalaksanaan Klinis……………………………………… 8

H. Prognosis………………………………………………….… 11

I. Upaya Promotif, Preventif, dan Rehabilitatif ……………….. 11

Daftar Pustaka………………………………………………….. 13

2

Page 3: Gastroenteritis 4.3

A. Definisi

Gastroenteritis (enterogastritis) adalah peradangan akut yang terjadi pada lapisan lambung dan usus. Gastroenteritis ditandai dengan gejala-gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, diare, nyeri abdomen, dan kelemahan. Penyebab gastroenteritis bermacam-macam yaitu keracunan makanan (toksin bakterial), infeksi virus, konsumsi makanan atau minuman yang iritatif, dan faktor psikologis seperti rasa marah, stress, dan takut (Dorland, 2010).

B. Epidemiologi

Gastroenteritis adalah penyakit yang sangat umum diderita di seluruh dunia, khususnya oleh anak-anak. Setiap tahunnya gastroenteritis menyerang 3-5 milyar anak dan mengakibatkan kematian sebanyak 1,5-2,5 juta jiwa, khususnya pada anak-anak yang berusia di bawah lima tahun. Gastroenteritis lebih banyak terjadi di Negara-negara berkembang daripada Negara maju, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan status nutrisi dan pelayanan kesehatan (Chow et al, 2010).

Infeksi rotavirus merupakan penyebab tersering terjadinya gastroenteritis, yaitu sebanyak 50-70% dari seluruh kasus. Sedangkan 15-20% kasus gastroenteritis disebabkan oleh infeksi bakteri, dan kurang dari 10-15% kasus gastroenteritis disebabkan oleh parasit maupun penyebab lain (Muttaqin & Sari, 2011).

C. Etiologi

Penyebab gastroenteritis sangat beragam, yaitu virus, bakteri, parasit, keracunan makanan, keracunan kerang dan hewan laut, obat-obatan, dan pengisian makanan dan minuman secara tiba-tiba. Golongan virus yang paling sering menyebabkan gastroenteritis adalah golongan rotavirus, calicivirus (norovirus dan sapovirus), adenovirus, dan astrovirus. Virus-virus lain seperti aichivirus, torovirus, coronavirus, picobirnavirus, enterovirus, dan klassevirus juga dapat menyebabkan gastroenteritis walaupun kejadiannya tidak terlalu banyak (Muttaqin & Sari, 2011; Chitambar et al, 2012). Transmisi virus ini terjadi melalui fekal oral, manusia ke manusia, atau melalui air yang terkontaminasi feses yang mengandung virus (Muttaqin & Sari, 2011).

Bakteri yang paling sering menyebabkan gastroenteritis adalah Salmonella dan Campylobacter (C. jejuni dan C. coli). Bakteri-bakteri lainnya adalah Aeromonas hydrophila, Plesiomonas shigelloides, Clostridium difficile, Eschericia coli, Shigella, Vibrio cholera, Yersinia enterocolitica, Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Beberapa bakteri menyebabkan gastroenteritis dengan cara invasi langsung melalui mukosa saluran pencernaan, contohnya adalah Salmonella, Y.

3

Page 4: Gastroenteritis 4.3

enterocolitica, C. jejuni, E. coli (EIEC), dan Shigella. Beberapa bakteri lainnya menyebabkan gastroenteritis dengan cara menghasilkan toksin, contohnya adalah V. cholerae, ETEC, STEC, S. dysenteriae, beberapa C. jejuni, beberapa Y. enterocolitica, dan S. aureus (Ciccarelli et al, 2013). Maka dari itu bakteri dapat berperan sebagai agen infeksi maupun sebagai agen yang menyebabkan kondisi toksisitas makanan. Penyebab mudahnya penularan bakteri di Indonesia adalah sanitasi yang kurang, lalat yang tidak terkontrol, dan kurangnya persediaan air bersih di musim kemarau sehingga terpaksa menggunakan air seadanya untuk mencuci tangan atau bahkan lupa mencuci tangan (Muttaqin & Sari, 2011).

Parasit menyebabkan enteritis dengan menggunakan struktur membran dan faktor virulensi mereka terhadap molekul sel usus sehingga menyebabkan lesi struktural dan fungsional di lapisan usus. Beberapa parasite tersebut adalah Cryptosporidium parvum, Giardia lamblia, E. histolytica, Isospora belli, dan beberapa cacing seperti Strongyloides stercoralis dan Trichuris trichiura. Beberapa spesies Candida juga dapat menginvasi usus dan menyebabkan gastroenteritis (Ciccarelli et al, 2013).

Kondisi-kondisi non infeksi juga dapat menyebabkan gastroenteritis. Beberapa jenis kerang dan hewan laut apabila termakan dapat menimbulkan inflamasi saluran pencernaan dan bermanifestasi sebagai gastroenteritis. Beberapa jenis kondisi keracunan makanan laut adalah Ciguatera (ciguatoxins), Scombroid, Amnesic Shellfish Poisoning (Domoic acid), Diarrheal Shellfish Poisoning/DSP (Okadaic acid), Neurologic Shellfish Poisoning/NSP (Brevetoxin), dan Paralytic Shellfish Poisoning/PSP (Saxitoxin). Beberapa jenis obat-obatan juga berhubungan dengan timbulnya peradangan gastrointestinal dan diare, yaitu golongan antibiotika (mengubah flora normal), laksatif (termasuk magnesium yang terkandung dalam antasida), quinidine, kolinergik, dan sorbitol. Selain itu apabila seseorang berada dalam kondisi kekurangan zat putih telur atau dalam kondisi perut yang kosong dalam jangka waktu yang lama tiba-tiba diisi oleh makanan dan minuman secara bersamaan dan dalam jumlah yang banyak, khususnya makanan yang manis, tinggi serat, dan tinggi lemak, akan meningkatkan respon gastrointestinal sehingga menimbulkan peradangan (Muttaqin & Sari, 2011).

4

Page 5: Gastroenteritis 4.3

D. Manifestasi klinis

Pada gastroenteritis biasanya kondisi yang paling sering muncul adalah diare. Diare pada situasi ini didefinisikan sebai meningkatnya frekuensi buang air besar disertai konsistensi feses yang sangat cair atau mengandung sangat banyak air, yang terkadang disertai darah atau lendir (Muttaqin & Sari, 2011). Diare yang sangat cair tanpa mukus, pus atau darah biasanya mengarah pada diare sekretorik atau malabsorpsi, yang disebabkan oleh ETEC, rotavirus, adenovirus, atau astrovirus. Sedangkan diare yang disertai mukus dan darah biasanya terjadi karena adanya keterlibatan mikroorganisme invasif seperti Salmonella, Shigella, C. jejuni, atau Y. enterocolitica (Ciccarelli et al, 2013).

Diare dapat disertai dengan muntah, demam, dan nyeri abdomen. Muntah merupakan tanda dari keterlibatan bagian proksimal saluran pencernaan yang biasanya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan agen penyebab infeksi. Demam merupakan respon sistemik akibat adanya agen infeksi dalam tubuh dan juga bisa disebabkan oleh berkurangnya cairan tubuh secara akut sehingga memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh. Nyeri perut merupakan hasil iritasi lokal serabut saraf intestinal akibat inflamasi. Nyeri biasanya bersifat kolik dan dirasa berkurang setelah buang air besar atau muntah. Diare yang cukup berat dapat menimbulkan manifestasi dehidrasi. Dehidrasi dapat disebabkan akibat kehilangan air, kehilangan natrium, maupun kehilangan keduanya secara bersamaan. Dehidrasi yang terjadi karena kekurangan air (dehidrasi primer) terjadi akibat banyaknya cairan yang keluar saat diare dan ketidakmampuan usus untuk menyerap cairan yang masuk. Gejala-gejala yang muncul adalah munculnya rasa haus, saliva menjadi sedikit atau bahkan kering, oliguria atau bahkan anuria, dan kondisi sangat lemah hingga dapat timbul halusinasi dan delirium. Dehidrasi karena kekurangan natrium (dehidrasi sekunder) terjadi akibat kehilangan cairan yang mengandung elektrolit dalam jumlah banyak, misalnya akibat muntah-muntah dan diare hebat. Gejala yang muncul akibat dehidrasi sekunder ini adalah muntah, nyeri kepala, lesu, dan lelah. Apabila dehidrasi cukup berat hingga menimbulkan syok maka akan muncul tanda dan gejala syok seperti lemas, kulit basah, kolaps vena-vena superfisial, nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, dan oliguria (Muttaqin & Sari, 2011).

E. Pemeriksaan penunjang

Kebanyakan penderita gastroenteritis tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium namun ada beberapa kondisi dimana pemeriksaan laboratorium dibutuhkan, seperti saat tanda dan gejala tidak cukup untuk membuat diagnosis etiologi (Ciccarelli et al, 2013). Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain adalah:

5

Page 6: Gastroenteritis 4.3

1. Pemeriksaan darah rutinPemeriksaan darah rutin dilakukan untuk mendeteksi adanya peningkatan leukosit dan untuk menilai berat jenis plasma (Muttaqin & Sari, 2011).

2. Kultur darahPembuatan kultur darah dilakukan untuk mencari adanya bakteremia (Ciccarelli et al, 2013).

3. Pemeriksaan analisis gas darahAnalisis gas darah dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat gangguan keseimbangan asam basa dalam darah. Hilangnya Na-bikarbonat bersama feses dan anoreksia jaringan yang menimbulkan metabolisme lemak yang tidak sempurna dapat menyebabkan penimbunan asam laktat sehingga mengakibatkan asidosis metabolik (Muttaqin & Sari, 2011).

4. Pemeriksaan elektrolitKadar elektrolit yang dinilai antara lain adalah kadar natrium, kalsium, kalium, dan fosfat (Muttaqin & Sari, 2011).

5. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatininPemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal (Muttaqin & Sari, 2011).

6. Pemeriksaan fesesPemeriksaan feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis untuk mengetahui agen penyebab penyakit. Kadar pH feses 5,5 atau kurang atau adanya substansi reduksi merupakan tanda intoleransi karbohidrat, yang biasanya adalah akibat dari infeksi virus. Adanya leukosit dalam pemeriksaan mikroskopis feses mengarahkan pada infeksi EIEC, sedangkan agen yang menghasilkan enterotoksin (ETEC, V. cholerae, dan virus) tidak menimbulkan adanya leukosit dalam feses (Ciccarelli et al, 2013).

6

Page 7: Gastroenteritis 4.3

Berikut ini adalah tabel karakteristik feses beserta segmen yang terkena dan mikroorganisme penyebab (Ciccarelli et al, 2013):

7. Kultur fesesMedia untuk kultur feses ditentukan berdasarkan riwayat klinis dan hasil pemeriksaan feses. Apabila terdapat gejala klinis dan terdapat leukosit dalam feses maka perlu membuat kultur untuk Salmonella, Shigella, dan Campylobacter (Ciccarelli et al, 2013).

8. Pemeriksaan enzimPemeriksaan enzim dilakukan dengan mengetahui adanya infeksi rotavirus, parasit, atau bakteri penghasil toksin. Antigen rotavirus diperiksa menggunakan ELISA dan tes aglutinasi lateks, sedangkan antigen adenovirus diperiksa menggunakan ELISA. Pemeriksaan PCR dilakukan untuk kecurigaan ke arah virus, yaitu norovirus, adenovirus, sapovirus, human bocavirus, dan beberapa

7

Page 8: Gastroenteritis 4.3

enterovirus. Antigen parasit diperiksa menggunakan ELISA (Ciccarelli et al, 2013).

F. Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang jika dibutuhkan. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan apabila data dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak cukup kuat untuk membuat diagnosis. Isi anamnesis meliputi keluhan, faktor risiko lingkungan, riwayat kontak dengan penderita muntah atau diare akut, riwayat terpapar sumber infeksi (air atau makanan yang terkontaminasi), dan riwayat bepergian ke luar negeri (Ciccarelli et al, 2013).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi (Muttaqin & Sari, 2011):

1. Survei umum dan status kesadaranPada pemeriksaan ini yang dinilai adalah status kesadaran, status gizi, dan status hidrasi untuk mengantisipasi tanda-tanda dehidrasi atau syok dan kurangnya perfusi darah ke otak.

2. pengukuran tanda vitalPemeriksaan tanda vital dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda syok hipovolemik seperti penurunan tekanan darah, nadi lemah dan cepat, dan pernapasan cepat. Pernapasan cepat yang disertai kulit pucat dapat menunjukkan adanya ketidakseimbangan elektrolit dan asidosis metabolik.

3. Pemeriksaan sistem gastrointestinalPemeriksaan ini mencakup pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan anus dan sekitarnya. Pada inspeksi didapatkan kondisi pasien terlihat lemas, dan abdomen bisa terlihat kembung atau distensi. Pada auskultasi didapatkan bising usus meningkat lebih dari 25 kali per menit, pada perkusi didapatkan suara timpani karena perut kembung. Pada palpasi didapatkan dinding abdomen supel (elastisitas optimal) dan adanya nyeri tekan dan lokasinya dapat digunakan untuk membantu menegakkan atau menyingkirkan diagnosis.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin, kultur darah, analisis gas darah, pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan ureum dan kreatinin, pemeriksaan feses makroskopis dan mikroskopis, kultur feses dan pemeriksaan enzim. Penjelasan mengenai hasil pemeriksaan penunjang dapat dilihat pada bagian E yang memuat pemeriksaan penunjang.

G. Penatalaksanaan klinis (farmakologis dan non farmakologis)

Dehidrasi merupakan masalah yang harus ditangani paling awal pada kasus gastroenteritis. AAP, CDC dan WHO lebih merekomendasikan rehidrasi oral

8

Page 9: Gastroenteritis 4.3

daripada rehidrasi intravena untuk gastroenteritis, kecuali pada kasus dehidrasi berat. Rehidrasi oral terbukti memiliki efek yang hampir sama dengan rehidrasi intravena, dengan durasi pemulangan dari rumah sakit yang lebih cepat dan tanpa risiko flebitis. Rehidrasi intravena dapat dipilih apabila pasien tidak mau minum atau pasien muntah hebat (Chow et al, 2010). Cairan rehidrasi yang ideal adalah cairan dengan osmolaritas rendah (210-250 mOsm/L) dan kandungan natrium 50-60 mmol/L. Pemberian cairan dimulai dari 50-100 mL/kg dalam 4 jam pertama. Apabila pasien menolak minum atau muntah terus menerus maka sebaiknya mencoba rehidrasi dengan pipa nasogastrik baru menggunakan jalur parenteral apabila rehidrasi oral gagal Tatalaksana gastroenteritis bergantung pada derajat dehidrasi dan penyebab gastroenteritis (Ciccarelli et al, 2013):

9

Page 10: Gastroenteritis 4.3

Pemberian zink dan probiotik juga direkomendasikan sebagai terapi penunjang. Zink diberikan 10 mg per hari selama 10 hari untuk anak usia kurang dari 6 bulan dan 20 mg untuk anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Gastroenteritis karena virus hanya membutuhkan terapi suportif namun gastroenteritis karena bakteri memerlukan antibiotik. Infeksi oleh Salmonella dapat diberikan ampisilin atau amoksisilin atau seftriakson, infeksi oleh Campylobacter dapat diberikan azitromisin atau eritromisin, infeksi oleh V. cholerae dapat diberikan seftriakson atau siprofloksasin, dan masih banyak terapi lainnya untuk jenis bakteri yang berbeda. Micafungin merupakan agen kandidasidal yang aman untuk anak-anak dengan dosis 2 mg/kg/hari untuk anak dengan berat di bawah 40 kg. Amtimikroba untuk parasit amuba bervariasi namun yang paling sering digunakan adalah metronidazol,

10

Page 11: Gastroenteritis 4.3

albendazol, dan nitadoxanide, sedangkan untuk cacing digunakan mebendazol sebagai pilihan pertama dan albendazol sebagai pilihan kedua (Ciccarelli et al, 2013).

Penggunaan antiemetik pada anak-anak menurut AAP dan CDC kurang direkomendasikan karena antiemetik, walaupun mengurangi ketidaknyamanan dari muntah, namun sebenarnya melawan kerja fisiologis tubuh dalam mengeluarkan racun. Selain itu juga antiemetik dapat menghasilkan efek samping yang tidak perlu. Apabila antiemetik sangat diperlukan maka pemberian ondasentron dapat dipertimbangkan karena keamanannya sangat baik dan tidak bersifat sedatif. Ondasentron cukup diberikan satu kali secara oral karena muntah biasanya hanya berlangsung selama beberapa hari (Chow et al, 2010).

H. Prognosis

Prognosis gastroenteritis cukup baik, tergantung pada bagaimana kondisi dehidrasinya ditangani. Yu et al (2011) dan Kang & Kwon (2014) melaporkan kejadian kejang demam maupun kejang tanpa demam pada anak-anak yang menjalani rawat inap di rumah sakit karena gastroenteritis dan semuanya memiliki prognosis yang baik dengan EEG normal dan perkembangan psikomotor yang normal. Beberapa orang dalam persentase bervariasi (5%-32%) juga mengalami Post-infectious Irritable Bowel Syndrome (PI-IBS) setelah sembuh dari gastroenteritis akut yang mekanismenya masih belum jelas dan diduga terdapat pengaruh dari faktor demografi, masalah psikologis, dan keparahan penyakit saluran pencernaan. Namun semua prognosisnya baik dan gejalanya menghilang baik spontan maupun perlahan-lahan (Thabane & Marshall, 2009).

Laine et al (2014) melaporkan dampak dari gastroenteritis yang disebabkan oleh pencemaran air minum oleh norovirus dan Campylobacter pada tahun 2007 di Finlandia Selatan. 53% menderita gastroenteritis dan 7% mengalami gejala seperti artritis (pembengkakan sendi, kemerahan, hangat atau nyeri saat bergerak). 43% mengalami gejala-gejala gastrointestinal selama pencemaran terjadi diikuti dengan penurunan gejala yang sangat signifikan pada tiga bulan berikutnya dan 32% mengeluhkan gejala seperti artritis, yang menghilang secara perlahan setelah 5 bulan. Gejala seperti artritis masih dirasakan oleh 11% penderita pada bulan ke-15 namun gejala gastrointestinal telah menghilang seluruhnya.

I. Upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penularan, dan mengoptimalkan pemulihan antara lain adalah:

11

Page 12: Gastroenteritis 4.3

1. Mencuci tangan dengan air dan sabun, khususnya setelah menggunakan kamar mandi, sebelum dan setelah mengganti popok bayi, dan sebelum menyiapkan dan memakan makanan (Ciccarelli et al, 2013).

2. Mengajarkan anak-anak dasar-dasar kebersihan seperti mencuci tangan dan cara buang air yang benar, dan memerhatikan kebersihan barang anak-anak seperti mainan, tempat makan, tempat minum, dan tempat tidur (New Zealand Ministry of Health, 2012).

3. Tidak bergantian menggunakan handuk dengan orang yang sedang terinfeksi (Ciccarelli et al, 2013).

4. Memberikan vaksin rotavirus kepada anak-anak. Vaksin rotavirus tergolong aman dan dapat mengurangi keparahan infeksi dan insidensi kematian, namun tidak mencegah semua jenis diare rotavirus. Vaksin rotavirus hidup diberikan dua kali setahun. (Ciccarelli et al, 2013). Efektivitas pemberian setidaknya satu kali vaksin rotavirus dalam mencegah kasus rawat inap rumah sakit mencapai 93% pada anak-anak usia 3-11 bulan dan 89% pada anak-anak usia 12 bulan atau lebih (Braeckman et al, 2012).

5. Menyusui terbukti dapat melindungi anak dari berbagai infeksi umum dan mengurangi tingkat keparahan dan frekuensi menderita penyakit, termasuk gastroenteritis. ASI mengandung laktoferin, lisozim, fagosit, dan immunoglobulin sekretorik spesifik yang memiliki aktivitas antiviral dan mencegah perlekatan H. pylori ke mukosa lambung. Selain itu menyusui juga meningkatkan koloni bakteri baik di usus (probiotik) seperti bifidobacteria dan lactobacilli. Penambahan probiotik pada susu formula (untuk anak yang tidak minum ASI) juga dapat menurunkan insidensi dan keparahan diare (Ciccarelli et al, 2013).

6. Anak-anak sebaiknya tidak berangkat ke sekolah atau ke taman kanak-kanak selama terkena gastroenteritis. Anak-anak dapat kembali ke sekolah setidaknya 48 jam setelah diare atau muntah terakhir terjadi (Ciccarelli et al, 2013). Menurut Cincinnati Children’s Hospital Medical Center (2006), anak-anak dapat kembali ke sekolah atau ke taman kanak-kanak apabila sudah tidak muntah selama 24 jam, diare sudah berhenti dan bentuk feses sudah membaik, suhu tubuh di bawah 38OC, dan yakin bila sekolah menerapkan perilaku sanitasi dan cuci tangan yang baik.

7. Sebaiknya tidak berenang selama dua minggu setelah diare terakhir muncul (Ciccarelli et al, 2013).

8. Tukang masak atau pelayan restoran sebaiknya tidak bekerja sampai gejala berhenti kecuali untuk penderita gastroenteritis vibrio non-kolera atau keracunan ikan, kerang, atau toksin botulinum (New Zealand Ministry of Health, 2012).

12

Page 13: Gastroenteritis 4.3

DAFTAR PUSTAKA

Braeckman, T., et al, 2012. Effectiveness of Rotavirus Vaccination In Prevention ofHospital Admissions for Rotavirus Gastroenteritis among Young Children in Belgium: Case-control Study, BMJ 2012;345:e4752

Chitambar, S., et al, 2012. Diversity in the Enteric Viruses Detected in Outbreaks ofGastroenteritis from Mumbai, Western India, Int. J. Environ. Res. Public Health 2012, 9, 895-915

Chow, C. M., Leung, A. K. C., Hon, K. L., 2010. Acute Gastroenteritis: From Guidelines to Real Life, Clinical and Experimental Gastroenterology 2010:3 97–112

Ciccarelli, S., Stolfi, I., Caramia, G., 2013. Management Strategies In The Treatment of Neonatal and Pediatric Gastroenteritis, Infection and Drug Resistance 2013:6 133–161

Communicable Disease Control Manual, 2012. Acute Gastroenteritis, New Zealamd Ministry of Health

Dorland, W. A. N., 2010. Kamus Kedokteran Dorland (Ed.31). Retna, N. E., et al., 2010 (alih bahasa), Jakarta: EGC

Health Policy & Clinical Effectiveness Program, 2006. Evidence-based Clinical Care Guideline Acute Gastroenteritis in Children Aged 2 Months through 5 Years, Cincinnati Children’s Hospital Medical Center

Kang, B., Kwon, Y. S., 2014. Benign Convulsion with Mild Gastroenteritis, Korean J Pediatr 2014;57(7):304-309

Laine, J., et al, 2014. The Duration of Gastrointestinal and Joint Symptoms after a Large Waterborne Outbreak of Gastroenteritis in Finland in 2007 – Questionnaire-Based 15-Month Follow-Up Study, Plos One 2014 January; 15(9):1 e85457

Muttaqin, A., Sari, K., 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

13

Page 14: Gastroenteritis 4.3

Thabane, M., Marshall, J. K., 2009. Post-infectious Irritable Bowel Syndrome, World J Gastroenterol 2009 August 7; 15(29): 3591-3596

Yu, J., Jung, K., Kang, H., 2011. Comparative Study between Febrile Convulsions and Benign Convulsions Associated with Viral Gastroenteritis, Journal of Epilepsy Research Vol. 1, No. 1, 2011

14