gangguan penghidu
TRANSCRIPT
Clinical Science Session
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
GANGGUAN PENGHIDU
Oleh
Waldi Kurniawan : 07120044
Muhammad Faisal : 07120021
Rahmani Welan : 07120032
Pembimbing
Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR.M.DJAMIL
PADANG
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science Session yang
berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Gangguan Penghidu. Makalah ini dibuat sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinikdi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapka kepada dr. Effi Huriyati, Sp.THT-KL selaku preseptor dan
semua pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat untk kita semua.
Padang, 24 Oktober 2012
Penulis
i
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah....................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan ..................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung........................................................................ 3
2.2 Fisiologi Penciuman.................................................................. 7
2.3 Gangguan Penghidu ................................................................. 9
2.4 Etiologi...................................................................................... 9
2.5 Diagnosis................................................................................... 11
2.6 Penatalaksanaan........................................................................ 14
2.7 Prognosis................................................................................... 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 17
3.2 Saran............................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18
ii
3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Anatomi Hidung Luar.............................................................................3
Gambar 2 Kavum Nasi............................................................................................4
Gambar 3 Nervus Olfaktorius................................................................................. 4
Gambar 4 Mukosa Hidung.......................................................................................5
Gambar 5 Mukosa Penghidu....................................................................................6
Gambar 6 Area Olfaktorius......................................................................................7
Gambar 7 Transduksi Sinyal Olfaktori....................................................................8
iii
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting
untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.
Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai
keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari
mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari
60 tahun.(1,2)
Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat
hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena
seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera
tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu
terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan
melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa
kranii anterior. (3)
Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau
partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut hiposmia bila
daya menghidu berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, parosmia bila sensasi penghidu
berubah dan kakosmia bila ada halusinasi bau. (3,4,5,6)
1.2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas mengenai anatomi hidung, fisiologi penciuman,
etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis gangguan penghidu.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui anatomi hidung, fisiologi penciuman, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan,
dan prognosis gangguan penghidu.
5
1.4 Metode Penulisan
Clinical Science Session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.(3,7,8)
Gambar 1 : Anatomi Hidung Luar
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.(3,7,8)
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. (3,7,8)
7
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.(3,7)
Gambar 2: Kavum Nasi
2.1.1 Persarafan Hidung (2,3,5,6,7,8,9)
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
Gambar 3: Nervus olfaktorius
8
2.1.2 Mukosa Hidung (3,7,8)
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu (pseudostratitied columnar epitelium) yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.
Gambar 4 : Mukosa hidung
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman
penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat
bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius.
Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat berganti secara
regular (4-8 minggu).
9
Gambar 5: Mukosa penghidu
Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila
olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik
murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area
kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus
olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang
sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate,
septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium
pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. (3,5,6,7,9)
Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini
berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan vesikel
olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar olfaktorius, sel
sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal. Sel-sel olfaktorius
merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah
mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel membentuk vesikel olfaktorius.
Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam
lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil.
Ujung proksimal sel membentuk akson, di mana akson ini bergabung dengan akson lainnya
membentuk neuron olfaktorius. (3,5,6,7,8,9)
Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam
bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus olfaktorius terdiri
atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan gromerular, lapisan pleksiformis
eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis internal dan lapisan sel granula. Di dalam
bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua
10
membentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah
nuklei, fasikuli dan traktus lainnya.(3,5,6,7,8,9)
Gambar 6: Area olfaktorius
2.2 Fisiologi Penciuman
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron
bipolar sensorik utama.(5,7,8)
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius
bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya.
Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. (5,6)
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan
perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam
kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus
mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri
dari zat lemak.(7,8)
11
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada
permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-
PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim
Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran
ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi
depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor
menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson
mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar
sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks
enthoris (berhubungan dengan memori).(5)
Gambar 7 : Transduksi sinyal olfaktori
12
Transmisi Sensasi Bau
2.3 Gangguan Penghidu
Macam-macam kelainan penghidu :
1. hiposmia bila daya penghidu berkurang;
2. anosmia bila daya penghidu hilang;
3. parosmia bila sensasi penghidu berubah; dan
4. kakosmia bila ada halusinasi bau.
2.4 Etiologi3,10,11
Hiposmia, dapat disebabkan oleh obstruksi hidung, seperti pada rhinitis alergi, rhinitis
vasomotor, rhinitis atofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip, tumor.Dapat juga terjadi pada
beberapa penyakit sistemis, misalnya diabetes, gagal ginjal, gagal hati serta pada pemakaian obat
anti histamine, dekongestan, antibiotika, antimetabolite, antiperadangan, dan antitiroid.
Anosmia, dapat timbul akibat trauma di daerah frontal atau oksipital.Selain itu anosmia
dapat juga terjadi setelah infeksi oleh virus, tumor seperti osteoma, atau meningioma, dan akibat
degenerasi pada orang tua.
Parosmia, terutama disebabkan oleh trauma. Kakosmia, dapat timbul pada epilepsy
unsinatus, lobus temporalis.Mungkin juga terdapat kelainan psikologik, seperti rendah diri, atau
kelainan psikiatrik depresi dan psikosis.
13
Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur
olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek
konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi
stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan
struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas
karena virus; dan trauma kepala. Berikut adalah defek konduktif dari gangguan penciuman:12,13
1) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut,
atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit
mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah
dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran
odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting
papilloma, dan keganasan.
3) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang
tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena
tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:
1) Proses infeksi/inflamasi : menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal.
Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi
stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2) Penyebab congenital : menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai
oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome
tidak terbentuk VNO.
14
3) Gangguan endokrin; (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid; dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5) Toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid).
Banyakobat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol,
nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.
6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya
struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik
pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
8) Proses degeneratif ; pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya
fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan
proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan,
dimana penurunannya tampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
2.5 Diagnosis11,12,13
a) Anamnesis
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh.Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan,
apakah dirasakan terus-menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Selain itu perlu
diketahui apakah ada riwayat trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang
diminum.1,3,5,8
b) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas
bagian atas, kepala, dan leher.Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher
dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat
menunjukkan adanya massa nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang
15
seksama untuk mencari massa hidung, gumpalan darah, polip, dan peradangan membran
hidung sangat penting. Bila ada, rinoskopi anterior harus ditunjang dengan pemeriksaan
endoskopik pada rongga hidung dan nasofaring. Keberadaan telekantus pada pemeriksaan
mata dapat mengarah ke massa atau peradangan di sinus. Massa nasofaring yang
menonjol ke rongga mulut atau drainase purulen di orofaring dapat ditemukan pada
pemeriksaan mulut. Leher harus dipalpasi untuk mencari massa atau pembesaran tiroid.
Pemeriksaan saraf yang menekankan pada nervus kranialis dan fungsi sensorimotorik
sangat penting.1,3
c) Pemeriksaan Sensorik
Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk (1) memastikan keluhan
pasien, (2) mengevaluasi kemanjuran terapi, dan (3) menentukan derajat gangguan
permanen.2
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif. Langkah pertama dalam
pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi
kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman
diantaranya :
a) Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol
yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci
dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b) Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau,
tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka
dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
c) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card
yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang
jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk
pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item
pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai
contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau (a) coklat,
(b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan
16
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel
(reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan
usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat
untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh
fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40.
Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-
bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.
2. Langkah kedua menentukan ambang deteksi. Setelah dokter menentukan derajat
sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan
sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang
ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-
masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil
karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk
masing-masing sisi hidung.
Sebenarnya pemeriksaan olfaktorius dapat juga terbagi menjadi 2 macam yaitu
pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif. Pada pemeriksaan olfaktorius subjektif,
pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara terpisah antara kedua
lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung. Beberapa jenis
substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya nervus
olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi komponen
trigeminal (menthol, asam asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen
pengecapan (kloroform piridine) 8.
Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang
siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol
yang berbentuk seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang
berbeda.Melalui penggunaan alat ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau
yang berlainan serta kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites
akan ditutup matanya, kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik,
dimana antara ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika pasien
17
tidak bisa mendeteksi sebarang bau atau mengidentifikasi stik yang salah, maka
digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang diberikan
akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi dengan benar paling kurang
dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa mendeteksi bau
tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah dilakukan. 8,10,11
Pemeriksaan olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan
subjektif dan biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar.Bau murni serta
stimulan nervus trigeminus diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon
yang terjadi diukur dan dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium
yang biasa dilakukan adalah tes gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain1,3,8
d) Pencitraan
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa
kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis
paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan
tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk
mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di
otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng
kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus. 1,4,8
2.6 Penatalaksanaan9,10,12
A. Kurang Penciuman Hantaran
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis
dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung
dapat dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut
ini seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau: (1) pengelolaan alergi; (2) terapi
antibiotik; (3) terapi glukokortikoid sistemik dan topikal; dan (4) operasi untuk polip nasal,
deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
18
B. Kurang Penciuman Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman
sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan
terapi seng dan vitamin. Defisiensi seng yang mencolok tak diragukan lagi dapat menyebabkan
kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di
daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk
vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun
defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat.
Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan
metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya
dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.
C. Kurang Penciuman Akibat Penuaan (Presbiosmia)
Seperti dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh orang yang berusia di atas 60 tahun
menderita disfungsi penciuman. Belum ada terapi yang efektif untuk presbiosmia namun sangat
penting untuk membicarakan masalah ini dengan pasien-pasien usia lanjut; dapat menenangkan
bagi pasien ketika seorang dokter mengenali dan membicarakan bahwa gangguan penciuman
memang umum terjadi. Selain itu, manfaat langsung dapat diperoleh dengan mengidentifikasi
masalah tersebut sejak dini; insidensi kecelakaan akibat gas alam sangat tinggi pada usia lanjut,
kemungkinan sebagian karena penurunan kemampuan membau secara bertahap. Merkaptan, bau
busuk pada gas alam, adalah perangsang olfaktorius, bukan trigeminal. Banyak pasien yang lebih
tua dengan disfungsi penciuman mengalami penurunan sensasi rasa dan lebih suka memakan
makanan-makanan yang lebih kaya rasa. Metode yang paling umum adalah meningkatkan
jumlah garam dalam diitnya. Konseling dengan seksama dapat membantu pasien-pasien ini
mengembangkan strategi-strategi yang sehat untuk mengatasi gangguan kemampuan
membaunya.
2.7 Prognosis13
Hasil akhir disfungsi penciuman sebagian besar bergantung pada etiologinya. Disfungsi
penciuman akibat sumbatan yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa,
atau deviasi septum dapat disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman
19
semestinya kembali. Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama
menderita infeksi saluran napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya;
namun, sebagian kecil pasien tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.
Karena alasan-alasan yang belum jelas, pasien-pasien ini sebagian besar adalah wanita pada
dekade keempat, kelima, dan keenam kehidupannya. Prognosis penyembuhannya biasanya
buruk. Kemampuan dan ambang pengenalan bau secara progresif turun seiring bertambahnya
usia. Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan kurang penciuman, meskipun
anosmia total lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan
fungsi penciuman setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan
penciuman setelah perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat
menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan penghilangan
bahan penyebabnya.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting
untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.
Dalam menegakan diagnosis pasien dengan gangguan penghidu perlu dilakukan
anamnesis yang cermat untuk mencari lama keluhan, unilateral atau bilateral, riwayat trauma,
masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang telah diminum. Pemeriksaan fisik harus meliputi
pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas, kepala, dan leher.Kelainan pada
masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan disfungsi penciuman. Pemeriksaan
sensorik fungsi penciuman sangat penting guna memastikan adanya keluhan gangguan
penciuman sedangkan pencitraan lebih bersifat penunjang untuk memastikan adanya gangguan
anatomis atau keganasan. Semua anamnesis dan pemeriksaan diatas dapat menolong kita dalam
menyimpulkan penyebab dari gangguan penghidu sehingga dapat ditatalaksana gangguan
penghidu tersebut berdasarkan penyebabnya.
3.2 Saran
Keterbatasan pengetahuan pasien dalam merasakan keluhan gangguan penghidu haruslah
dapat diantisipasi dokter dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang cermat. Mengingat banyaknya penyakit dengan keluhan gangguan penghidu
maka dibutuhkan pemahaman yang luas mengenai perjalanan penyakit-penyakit yang
mengakibatkan gangguan penghidu sehingga keluhan ini tidak terabaikan dan dapat ditatalaksana
seefektif mungkin. Diagnosis dan tatalaksana yang tepat merupakan usaha yang harus dilakukan
demi mengoptimalkan kualitas hidup penderita gangguan penghidu.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck Surgery,
2004, McGraw Hill Inc : United States of America
2. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006, Available from :
www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html
3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar IlmuKesehatanTelinga – Hidung- Tenggorok – Kepala
leher, 2007, FakultasKedokteranUniversitas Indonesia : Jakarta.
4. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder, Diagnosis, 2007, Available from :
http://www.aetna.com/cpb/medical/data
5. James BS, Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC
Decker : Hamilton
6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 3rd Edition,
2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher
7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke – 6, 1997, Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
8. Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : New York
9. Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008, Available from :
http://www.emedicine.netscape.com
10. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-12. USA: John
Wiley & Sons. 2009; h. 599-604.
11. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2010; h. 663-670.
12. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy & Physiology. Ed ke-8. USA: Benjamin Cummings.
2012; h.570.
13. Leopold D, Meyers AD. Disorders of Taste and Smell [internet]. 2012 [diperbarui 24 Juni
2009; diunduh20 Oktober 2012].
Diambil dari http://emedicine.medscape.com/article/861242-overview#aw2aab6b4
22
23