gangguan jiwa paska persalinan

22
1 HAND OUT GANGGUAN JIWA PASKA PERSALINAN Untuk Mahasiswa Kedokteran UMY Blok Reproduksi Oleh: dr. Warih Andan Puspitosari, MSc, SpKJ Lama kuliah : 1 jam pertemuan Learning Objectif : 1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang macam-macam gangguan jiwa paska persalinan 2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang factor risiko gangguan jiwa paska persalinan 3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang diagnosis gangguan jiwa paska persalinan 4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan gangguan jiwa paska persalinan

Upload: penuhtandatanya

Post on 25-Sep-2015

34 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Jiwa

TRANSCRIPT

  • 1

    HAND OUT

    GANGGUAN JIWA PASKA PERSALINAN

    Untuk Mahasiswa Kedokteran UMY

    Blok Reproduksi

    Oleh:

    dr. Warih Andan Puspitosari, MSc, SpKJ

    Lama kuliah : 1 jam pertemuan

    Learning Objectif :

    1. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang macam-macam gangguan jiwa paska

    persalinan

    2. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang factor risiko gangguan jiwa paska

    persalinan

    3. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang diagnosis gangguan jiwa paska persalinan

    4. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang penatalaksanaan gangguan jiwa paska

    persalinan

  • 2

    Gangguan emosi pasca persalinan dilaporkan terjadi pada 20-40 % ibu melahirkan.

    Adapun gangguan suasana perasaan pada masa Post Partum diklasifikasikan menjadi 3

    kategori yaitu :

    1. Postpartum blues ( 30-85%)

    Onset pada minggu pertama

    Adanya mood yang labil, kesedihan, insomnia dan kecemasan

    2. Non psychotic postpartum depression (10-15%)

    Onset biasanya tersembunyi, dalam 2 atau 3 bulan pertama

    Mood yang depresif, kecemasan berlebihan dan insomnia

    3. Puerperal psychosis (0,1-0,2%)

    Onset biasanya dalam 2-4 minggu pertama

    Agitasi dan iritabilitas, mood depresi atau euforia, delusi, depersonalisasi,

    tingkah laku yang tidak terorganisir

    Variabel Demografik

    Usia

    Status perkawinan

    Jumlah anak

    Tingkat pendidikan

    Status sosial ekonomi.

    Etiologi

    1. Variabel demografik. Ada kaitan yang jelas antara semua jenis penyakit psikiatrik

    postpartum dengan riwayat gangguan suasana perasaan pada wanita.

    2. 70% wanita yang pernah mengalami episode psikosis puerperalis akan mengalami

    episode lain pada kehamilan selanjutnya.

    3. Faktor psikososial

    4. Riwayat penyakit Psikiatrik

    5. Faktor hormonal

  • 3

    Gambaran Klinis dan Diagnosis

    Menurut DSM IV penyakit psikiatrik pospartum bisa diindikasikan adanya postpartum

    onset specifier

    DSM IV Kriteria untuk Postpartum Onset Specifier

    Dipastikan bila:

    Dengan serangan postpartum (dapat diterapkan pada depresi mayor terkini,

    manik, atau episode campuran pada gangguan depresi mayor, gangguan afektif

    bipolar I, II atau gangguan psikotik jangka pendek)

    Munculnya gejala dalam 4 minggu pertama setelah melahirkan

    Postpartum Blues

    Gejala depresi ringan pada satu minggu pertama setelah melahirkan

    Prevalensinya 30-85%

    Gejala bervariasi al: diforia, mood labil, udah sedih, cemas dan sulit tidur.

    Gejala memuncak pada hari ke 4 atau ke 5 dan hilang spontan hari ke 10.

    Postpartum Blues

    Pada umunya ringan dan singkat

    Sebagian kasus tidak memberikan gambaran psikopatologis

    Sebagian akan berkembang menjadi depresi mayor pada wanita yang sebelumnya

    mengalami episode penyakit afektif.

    PostpartumDepression

    Depresi mayor biasa dijumpai selama masa postpartum.

    Terdapat 10-15% kasus depresi mayor dan minor pada post partum.

    Sebagian besar muncul bertahap setelah 6 bulan pasca melahirkan.

    Pada umumnya sulit dibedakan ggn depresi mayor non psikotik yang biasa

    muncul kapan saja setelah melahirkan.

    Psikosis Pueperalis

    Bentuk terberat dari penyakit psikiatri postpartum

    Jarang terjadi

    Munculnya dramatis secepat-cepatnya 48-72 jam setelah melahirkan.

  • 4

    Sebagian besar gejala pada 3 minggu sampai -4 minggu pertama setelah

    melahirkan.

    Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)

    Untuk mendeteksi adanya depresi posnatal pada ibu.

    Terdiri atas 10 pertanyaan.

    Untuk membantu klinisi mengenali gejala dini depresi posnatal

    Diagnosa Banding

    Hipotiroidisme

    Eksaserbasi dari penyakit psikitrik masa lalu

    Penyakit psikiatrik yang mungkin muncul pertama kali pada masa postpartum

    Skizofrenia atau skizoafektif

    Kecemasan umum

    Perjalanan penyakit dan prognosis

    Durasi bervariasi

    Sering singkat dan berakhir 3 bulan

    Episode depresi cenderung lebih lama

    Lebih parah bila ada riwayat depresi mayor sebelumnya.

    Perawatan

    Postpartum Blues

    Ringan dan sembuh sendiri

    Tidak ada perawatan khusus

    Perlu dukungan emosional

    Bila menetap lebih 2 mingguperlu konsultasi psikiatrik

    Depresi Postpartum

    Sedikit penelitian ttg manfaat terapi farmakologis

    Tidak ada data yang menyebutkan bahwa depresi postpartum harus dikelola beda

    degan depresi mayor non puerperalis.

    Perawatan

    Terapi Non Farmakologis

    Terapi Farmakologi

  • 5

    Rawat Inap

    Terapi Non Farmakologi

    Psikoterapi Interpersonal

    Cognitive behavioral therapy

    Terapi Farmakologik

    Disesuaikan dengan respon pasien.

    Fluoxetin - SSRIs terapi lini pertama

    Jenis trisiklik juga sering digunakan.

    Bila ada kecemasan Benzodiazepin sangat membantu: klonazepam (Klonopin),

    lorazepam (Ativan)

    Efek pada bayi

    Anti depresan akan diekskresikan melalui ASI .

    Data: komplikasi ok obat trisiklik fluoxetine dan sertaline untuk bayijarang

    dijumpai.

    Efek jangka panjang, belum diketahui.

    Terapi Hormonal

    Pada masa post partum terjadi penurunan estrogen dan progesteron yang luar

    biasa.

    Penggunaan progesteron sebagai terapi tidak didukung data yang akurat.

    A.J. Gregoire: terapi estrogen eksogen memberikan efek yang menguntungkan

    pada depresi post partumbelum jelas

    Pada depresi sedang-berat, pengobatan lini pertama adalah antidepresan.

    Psikosis Puerperalis

    Merupakan kegawat daruratan psikiatri

    Adanya hubungan yang jelas antara psikosis puerperalis dg ggn afektif bipolar

    Terapi yg digunakananti psikotik dan mood stabilizer

    Sebagian besar diterapi dengan lithium karbonat, jenis yang lain belum diketahui

    jelas.

    TKL cukup efektif.

    Berapa lama pemberian terapi ?

    Kontroversi

  • 6

    Penghentian pengobatan setelah gejala hilang.

    Dilanjutkan sampai 1 tahun setelah melahirkan.

    Pengunaan mood stabilizer dilanjutkan meskipun gejala aktif sudah tdk ada.

    Lama pemberian mood stabilizer masih kontroversi

    Pencegahan

    Dasar profilaksi kelompok resiko.

    Apabila ada riwayat penyakit psikiatrik, pertimbangkan profilaksi.

    Faktor Resiko

    Dengan riwayat

    - depresi post partum

    - ggn siklotimik

    - depresi post partum

    - depresi mayor rekuren

    - depresi selama kehamilan

    - dg riwayat ggn afektif bipolar I dan II

    - dg riwayat psikosis puerperalis.

    PENGOBATAN UNTUK WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

    1. Menghindari pemberian obat pada wanita hamil terutama trimester 1 dan wanita

    yang sedang menyusui anaknya.

    2. Dua obat yang paling teratogenik adalah lithium dan anti konvulsan

    Lithiumanomali Ebstain (kel.perkembangan jantung)

    3. Terapi ECT lebih disukai.

    4. Hampir semua obat psikotropik diekskresikan dalam ASI.

    BENZODIAZEPIN PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

    Data: Benzodiazepin adalah teratogenik

    Pemakain pada trimester 3 mencetuskan gejala putus obat pada neonatus.

    Bila diekskresikan pada air susu dapat menyebabkan dispnea, bradikardia dan

    mengantuk pada bayi yang disusui.

  • 7

    CARBAMAZEPIN PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

    Bukti: spina bifida pada bayi mungkin berhubungan dengan pemakaian

    carbamazepin pada waktu kehamilan.

    Diekskresikan pada air susu mutlak tidak boleh diberikan.

    ANTI PSIKOTIK PADA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI

    Sebaiknya dihindari selama kehamilan terutama trimester 1, kecuali manfaat

    melebihi resikonya.

    Beberapa data menyebutkan AP selama kehamilan dapat menyebabkan

    penurunan rec. dopamin pada neonatus, peningkatan kolesterol, dan kemungkinan

    ggn prilaku.

    AP pada trimester 2 dan 3, AP relatif aman.

    Data pada binatang: risperidone dan ramoxipride relatif aman untuk wanita hamil,

    tetapi untuk manusia tidak ada data klinis.

    Lithium

    10% neonatus yang terpapar lithium dlm trimester 3mengalami transformasi

    kongenital berat.

    Jika terpaksa menggunakan lithium, dipakai dosis efektif terendah.

    Lithium harus dihentikansegera sblm pesalinan, dan dimulain lagi bila ada ggn

    mood pasca persalinan.

    Lithium tdk boleh pada wanita menyusui.

    Tanda toksisitas lithium pada bayi: letargi, sianosis, reflek abnormal dan kadang-

    kadang hepatomegali.

    Terapi Interpersonal jangka pendek

    Dengan penelitian kohortpada depresi non puerpealisuntuk mengatasi akut

    depresi.

    Tujuan: untuk mengatasi masalah sbb:

    -masa transisi

    -hubungan dengan pasangan

  • 8

    -interaksi dengan bayi.

    Penelitian terbaru, tx interpersonal efektif untuk depresi mayor post partum baik

    ringan ataupun sedang.

    Psikoterapi pada depresi

    Psikoterapi Individual/interpersonal berorientasi dinamis jangka pendek

    Tekhnik terapi berdasarkan masalah

    Tujuan : mengurang gejala dan memperbaiki fungsi selama fase akut

    episode depresi

    Tekhnik : mengajarkan tentang perjalanan alami penyakit, penentraman

    hati

    Fokus: pengalaman antar pribadi pasien, rx dapat memberi pandangan

    sosial baru untuk mencari jalankeluar

    Cognitive behavioral therapy

    Pada uji klinik menggunakan plasebo sebagai kontrol:

    Pada depresi post partum sama efektifnya dengan terapi farmakologik

    yang menggunakan fluoxetin (Prozac)

    Cognitive Behavioral Therapy

    Berorientasi pada masalah sekarang dan pemecahannya

    Tekhnik: mendapatkan pemikiran otomatis;

    Contoh: bila orang tahu kebusukan saya, orang akan mentertawakan saya.

    Menguji pikiran otomatis meninjau keseluruhan dan mencoba

    menghubungi kembali kesalahan/penyebab peristiwa yang tidak

    mengenakkan

    Mengidentifikasi asumsi maladaptif.

    Teknik Relaksasi

    - dengan khayalan mental mengkhayal dirinya sendiri didalam tempat yang

    berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan.

  • 9

    - menghasilkan efek fisiologis yang berlawan dengan kecemasan, yaitu kecepatan

    denyut jantung yang lambat, peningkatan aliran darah perifer.

    INDIKASI ECT

    Depresi Mayor:

    Terapi plg efektif

    Bermakna pada 70% pasien yang sebelumnya tidak mendpat

    terapi.

    Pada individu yang tidak berespon pada medikasiperbaikan

    signifikan dengan ECT.

    Ect sbg pilihan awal untuk pasien depresi

    ES relatif tidak ada.

    Pemberian ECT pemeliharaan memberi hasil yang baik.

    Indikasi ECT

    Manik

    80% individu menunjukkan remisi penuh/sebagian

    ECT dilakukan sampaikemajuan simptomatik stabil

    ECT harus dipertimbangkanlebih awaluntuk pasien dengan gangguan

    bipolar

  • 10

    LAMPIRAN

    DEPRESI POST PARTUM

    dr. Jenny Maria, SpKJ

    Masa setelah melahirkan bagi para wanita hamil dan keluarga sangat diharapkan

    menjadi masa-masa yang membahagiakan dengan kehadiran anggota keluarga yang baru

    lahir. Namun demikian, setelah melahirkan, sebagian wanita akan mengalami gangguan

    suasana hati paska melahirkan. Salah satu gangguan suasana hati paska melahirkan di

    dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah depresi paska melahirkan. Hal ini sering

    tidak disadari pertama karena gejalanya mirip dengan gejala ketidaknyamanan pada masa

    puerperium seperti kelelahan, sulit tidur, dan penurunan libido; kedua karena

    pengetahuan yang minim dari wanita dan keluarganya tentang gejala-gejala depresi; dan

    ketiga karena wanita dan keluarganya salah menanggapi sakit mental sebagai

    ketidakmampuan beradaptasi dengan berkurangnya waktu tidur, kehadiran anak yang

    baru lahir, dan kedudukan sebagai orang tua. Dengan adanya alasan-alasan di atas

    ditambah dengan adanya stigma sosial, wanita paska melahirkan segan mengeluhkan

    perubahan suasana hati yang dirasakannya, dan tidak mengonsultasikan dirinya pada

    tenaga-tenaga kesehatan.

    Depresi paska melahirkan merupakan masalah kesehatan utama yang mengenai

    sekitar 13% ibu baru menurut penelitian yang diadakan di negara Australia, Inggris,

    Amerika, dan China. Penelitian meta-analisis di tempat-tempat lain juga menunjukkan

    rata-rata prevalensi depresi paska melahirkan sebesar 13%. Penelitian dengan sampel

    internasional dari 9 negara di 5 benua mendapatkan hasil bahwa wanita di Eropa dan

    Australia menduduki tingkat terendah depresi paska melahirkan, diikuti oleh wanita di

    Amerika Serikat. Wanita Asia dan Amerika Selatan menunjukkan skor gejala depresi

    paska melahirkan yang tertinggi.

    Untuk prevalensi depresi paska melahirkan di Indonesia belum diketahui dengan

    pasti. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien paska melahirkan di bangsal kandungan

    dan kebidanan di RS DR Sardjito Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 1996

    mendapatkan prevalensi depresi berat 0,5%, depresi sedang 1,9%, dan depresi ringan

  • 11

    11,3%8. Sebuah penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2000 di tempat yang sama

    mendapatkan hasil depresi ringan 63,33% dan depresi sedang 8,33% pada pasien paska

    melahirkan.

    Depresi paska melahirkan merupakan kondisi yang berdampak besar pada

    kehidupan keluarga karena sosok ibu memiliki peran besar bagi kelangsungan

    kehidupan berkeluarga. Kondisi ini terutama mengganggu kapasitas wanita dalam

    mengasuh anak yang nantinya dapat berdampak buruk pada perkembangan emosi dan

    kognisi anak. Selain itu, kondisi ini dapat menyebabkan terganggunya keharmonisan

    keluarga. Pasangan dari wanita yang mengalami depresi paska melahirkan akan

    mengalami gangguan dalam hubungan dengan pasangannya, beban finansial, dan

    peningkatan gejala depresi bagi diri mereka sendiri. Bagi wanita yang mengalami,

    terjadinya depresi paska melahirkan dapat mengakibatkan tindakan melukai diri sendiri

    bahkan bunuh diri.

    Dengan alasan-alasan di atas, selain langkah prevensi dan identifikasi awal,

    penanganan efektif terhadap depresi paska melahirkan sangat diperlukan, sehingga dapat

    mengurangi berat dan lamanya kondisi sakit, serta dapat memperbaiki kualitas hubungan

    antara ibu, anak, dan keluarga.

    Di masa lalu penanganan terhadap depresi paska melahirkan tidak terlalu banyak

    diteliti karena para klinisi memandang gejalanya menyerupai depresi non puerperal

    sehingga dipandang penanganannya pun sama. Tetapi sejak munculnya pemikiran

    tentang penggunaan steroid seks sebagai terapi depresi paska melahirkan, maka mulai

    banyak penelitian dilakukan tentang penanganan depresi paska melahirkan. Selain itu,

    dalam penanganan depresi paska melahirkan perlu juga memperhatikan kekuatiran ibu

    akan efek samping pengobatan terhadap anak mereka.

    Sampai saat ini, penelitian-penelitian epidemiologis secara konsisten

    menunjukkan bahwa faktor etiologi depresi paska melahirkan yang tak kalah penting

    adalah faktor psikososial selain faktor lainnya seperti faktor biologi. Penelitian-

    penelitian epidemiologis dan meta-analisis terhadap faktor-faktor predisposisi telah

    berhasil mengetahui pentingnya faktor psikososial sebagai faktor risiko terjadinya

    gangguan depresi paska melahirkan. Dalam beberapa penelitian didapatkan hasil

    perbaikan gejala yang lebih baik bila mana faktor-faktor psikososial yang mendasari telah

  • 12

    teratasi. Hasil dari penelitian analisis subgrup juga menunjukkan bahwa mengidentifikasi

    ibu dengan faktor risiko dapat membantu mencegah terjadinya gangguan depresi paska

    melahirkan.

    Terbatasnya jumlah tenaga kerja kesehatan mental di negara berkembang dan

    terbatasnya pengetahuan tenaga-tenaga kesehatan tentang kesehatan mental

    menyebabkan gejala-gejala maupun faktor-faktor risiko yang dapat menimbulkan

    gangguan depresi paska melahirkan tersebut sering tidak dikenali.

    Definisi dan Gejala Klinis Depresi Paska Melahirkan

    Berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, yang disebut dengan depresi paska melahirkan

    adalah gangguan suasana hati yang timbul pada empat minggu pertama paska

    persalinan12,15,17

    . Dalam PPDGJ III, gangguan jiwa dan perilaku paska melahirkan

    digolongkan dalam Gangguan Jiwa dan Perilaku yang Berhubungan dengan Masa Nifas

    YTK, dengan kode F53. Klasifikasi ini hanya digunakan untuk gangguan jiwa yang

    berhubungan dengan masa nifas (yang timbul dalam 6 minggu setelah persalinan), yang

    tidak memenuhi kriteria gangguan lain dalam buku ini, karena tidak tersedia cukup

    informasi yang memadai atau karena dianggap terdapat gambaran klinis tambahan yang

    khusus sehingga klasifikasi di tempat lain tidak tepat. Depresi paska melahirkan sendiri

    termasuk ke dalam Gangguan Jiwa dan perilaku Ringan yang Berhubungan dengan Masa

    Nifas YTK, dengan kode F53.0.

    Gejala-gejala klinis gangguan depresi paska melahirkan yang sering dijumpai

    antara lain suasana hati yang terdepresi, perasaan tidak berguna, rasa bersalah yang

    berlebihan, sering menangis, sulit berkonsentrasi, gangguan tidur (baik berupa insomnia

    maupun hipersomnia), hilangnya energi atau perasaan mudah lelah, hilangnya minat,

    perubahan berat badan, penurunan libido, dan yang paling parah adalah adanya pikiran

    untuk mati atau bunuh diri.

    Gejala-gejala klinis di atas seperti perubahan berat badan, hilangnya energi, dan

    gangguan tidur merupakan keluhan-keluhan normal yang dialami oleh para wanita

    setelah melahirkan, sehingga tak jarang gejala tersebut dianggap wajar dan tidak

    mendapat perhatian khusus.

  • 13

    Faktor Risiko Psikososial

    Berdasarkan pencarian tinjauan pustaka secara sistematis di beberapa database

    internet, diidentifikasikan beberapa abstrak dan makalah lengkap penelitian yang

    membahas tentang faktor-faktor risiko depresi paska melahirkan. Didapatkan pula

    makalah penelitian meta-analisis terhadap penelitian-penelitian tentang faktor risiko

    depresi paska melahirkan.

    Satu penelitian meta-analisis terdahulu terhadap 44 penelitian tahun 1980-an

    tentang faktor risiko depresi paska melahirkan, didapatkan faktor risiko terkuat depresi

    paska melahirkan adalah depresi prenatal. Faktor risiko dengan kekuatan sedang antara

    lain stres dalam merawat anak, stres kehidupan, dukungan sosial, cemas prenatal,

    maternity blues, dan kepuasan terhadap pernikahan. Sedang faktor risiko dengan

    kekuatan yang kecil adalah adanya riwayat depresi. Satu tambahan faktor risiko yang

    didapat dari penelitian meta-analisis tambahan yang dilakukan oleh peneliti yang sama

    adalah temperamen bayi.

    Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh peneliti lain mendapatkan faktor-

    faktor risiko terkuat depresi paska melahirkan sebagai berikut, yaitu depresi prenatal,

    kecemasan prenatal, dukungan sosial, kejadian hidup, dan riwayat psikopatologi.

    Terdapat 3 faktor risiko lain dengan kontribusi kecil terhadap terjadinya depresi paska

    melahirkan, yaitu kecemasan, pola kognitif negatif, dan variabel obstetrik. Hasil meta-

    analisis ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan faktor risiko depresi paska

    melahirkan dengan hasil meta-analisis yang dilakukan peneliti lain seperti tersebut di

    atas.

    Kumar dan Robson (1984) dalam penelitian tentang gangguan emosional pada ibu

    paska melahirkan mendapatkan hasil bahwa adanya konflik pernikahan dan keraguan

    dalam memiliki anak berhubungan dengan kejadian depresi. Rasa sedih dan kelahiran

    preterm merupakan 2 faktor yang berhubungan dengan onset depresi, dengan faktor rasa

    sedih memiliki efek lebih besar selama kehamilan. Hasil ini menunjukkan faktor risiko

    yang sama yang tercakup dalam meta-analisis di atas.

    Penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 1990-an tentang

    faktor risiko depresi paska melahirkan mendapatkan hasil faktor-faktor risiko bermakna

  • 14

    terhadap terjadinya depresi paska melahirkan antara lain riwayat depresi, depresi saat

    kehamilan, kejadian hidup yang negatif, kurangnya dukungan sosial dari keluarga dekat,

    konflik pernikahan, dan adanya gangguan psikiatri lain. Cooper dan Tomlinson (1999)

    melakukan penelitian di lingkungan pinggir kota di Afrika Selatan untuk melihat kejadian

    depresi paska melahirkan di salah satu negara berkembang. Hasilnya menunjukkan

    bahwa depresi paska melahirkan berhubungan dengan dukungan praktis dan emosional

    yang buruk dari pasangan, dan hubungan yang buruk antara ibu dan anaknya. Satu

    penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan bahwa stresor psikososial yang

    berhubungan dengan depresi paska melahirkan adalah peristiwa kehidupan. Ditemukan

    juga adanya perbedaan faktor sosial budaya antara subyek depresi dan non depresi,

    dimana subyek depresi kebanyakan tidak memilih sendiri suaminya, kehamilannya tidak

    dikehendaki, dan mengalami kegagalan KB.

    Sejak penelitian meta-analisis terdahulu, dipandang telah terjadi perubahan atau

    penambahan faktor risiko depresi paska melahirkan. Dalam meta-analisis yang dilakukan

    Beck (2001) terhadap 84 penelitian dekade 1990-an tentang faktor risiko depresi paska

    melahirkan ingin diketahui apakah faktor-faktor risiko yang ditemukan dalam meta-

    analisis sebelumnya telah mengalami perubahan atau penambahan, dan ingin diketahui

    kekuatan faktor-faktor risiko terdahulu tersebut terhadap terjadinya depresi paska

    melahirkan.

    Hasilnya menyebutkan terdapat 13 faktor risiko bermakna yang berhubungan

    dengan depresi paska melahirkan. Adapun ke-13 faktor risiko tersebut dengan urutan

    effect size dari terbesar sampai terkecil adalah sebagai berikut: depresi prenatal, nilai diri,

    stres dalam perawatan anak, kecemasan prenatal, stres kehidupan, dukungan sosial,

    hubungan dalam perkawinan, riwayat depresi sebelumnya, temperamen bayi, maternity

    blues, status pernikahan, status sosial ekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan

    atau diinginkan.

    Tiga dari 13 faktor risiko tersebut memiliki effect size yang kecil, yaitu status

    pernikahan, status sosioekonomi, dan kehamilan yang tidak direncanakan atau

    diinginkan. Kesepuluh faktor risiko lainnya memiliki effect size yang sedang.

    Dalam meta-analisis ini terungkap 4 faktor risiko baru, dimana 2 diantaranya

    merupakan faktor demografik, yaitu status pernikahan dan status sosioekonomi. Wanita

  • 15

    yang cenderung tidak menikah dan berpenghasilan rendah berisiko mengalami depresi

    paska melahirkan dan mengalami stresor seperti kesulitan finansial, berkaitan dengan

    status demografik mereka-yang akan mengalami eksaserbasi setelah kelahiran anak. Ibu

    dengan status single dan berpenghasilan rendah ini hanya memiliki sumber atau

    dukungan minimal sehingga mereka kurang terbantu dalam memasuki tahapan menjadi

    seorang ibu.

    Dua faktor risiko lainnya adalah kehamilan yang tidak direncanakan atau

    diinginkan dan nilai diri. Wanita dengan kehamilan yang tidak direncanakan harus

    beradaptasi dengan kondisi barunya yang akan berpengaruh sepanjang hidup. Nilai diri

    merupakan barrier terhadap akibat-akibat negatif dari stres kehidupan. Wanita dengan

    nilai diri yang rendah kurang dapat bertahan terhadap stres kehidupan, terutama di masa

    paska melahirkan yang merupakan masa rapuh untuk nilai diri, apalagi bila ditambah

    dengan adanya depresi.

    Ditemukan beberapa penelitian lain tentang faktor risiko demografik yang

    menyebutkan adanya faktor-faktor risiko depresi paska melahirkan selain faktor-faktor

    risiko yang tersebut dalam meta-analisis di atas. Pfost et al (1990) dalam penelitiannya

    menyebutkan bahwa kesulitan dalam kehamilan dapat memprediksi tingkat depresi paska

    melahirkan, dan stresor somatik dapat memicu gejala-gejala depresi yang bertahan

    sampai setelah kelahiran anak, terutama pada wanita yang tidak menikah. Penelitian oleh

    Warner et al (1996) menyebutkan adanya faktor-faktor risiko seperti tidak menyusui,

    kehilangan pekerjaan setelah kehamilan, dan kepala keluarga yang tidak memiliki

    pekerjaan. Penelitian di Yogyakarta, Indonesia menemukan pula adanya hubungan

    bermakna antara faktor demografis dan pasien depresi paska melahirkan. Faktor

    demografis tersebut mencakup banyaknya persalinan dan skor Apgar menit pertama.

    Beberapa penelitian lain tentang faktor risiko depresi paska melahirkan dilakukan

    setelah tahun 2000. Da Costa, Larouche, Drisa, dan Brender (2000) dalam penelitian

    mereka mendapatkan hasil bahwa faktor prediktor depresi paska melahirkan yang terkuat

    adalah depresi prenatal. Breese et al (2006) mendapatkan faktor-faktor risiko bermakna

    terhadap terjadinya depresi paska melahirkan adalah status menyusui, merokok, dan

    riwayat depresi. Satu penelitian yang dilakukan Yonkers dan Ramin (2001) di Amerika

    terhadap ibu-ibu dengan etnis minoritas di sana yaitu etnis Latin dan African American

  • 16

    menemukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan depresi paska melahirkan

    adalah menyusui dengan botol dan tidak tinggal dengan pasangan atau keluarga dekat.

    Gejala depresi yang menetap dalam penelitian ini juga berkaitan dengan adanya anak lain

    yang harus dirawat.

    Hasil penelitian Pate, Rodrigues, dan DeSouza (2002) yang dilakukan di negara

    berkembang di Asia Selatan yaitu India semakin menegaskan peranan hubungan

    pernikahan yang buruk dan adanya gangguan psikiatri antenatal dengan terjadinya

    depresi paska melahirkan. Ditegaskan pula peranan variabel kemiskinan seperti adanya

    kelaparan dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai tambahan, dengan adanya setting

    kultural dalam penelitian ini, terdapat faktor risiko bermakna terkait faktor jender, yaitu

    adanya keinginan mendapatkan anak lelaki lebih dari anak perempuan dan adanya

    kekerasan dalam rumah tangga. Faktor risiko ini mungkin hanya ditemukan di negara-

    negara berkembang, seperti nyata pada hasil-hasil penelitian di atas di negara-negara

    maju yang tidak menyebutkan faktor risiko jender.

    Penatalaksanaan Depresi Paska Melahirkan

    Penatalaksanaan depresi paska melahirkan secara umum sama dengan

    penatalaksanaan depresi non puerperal. Secara garis besar, penatalaksanaan depresi

    paska melahirkan terdiri dari psikoterapi dan farmakoterapi. Kedua modalitas terapi

    tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri atau secara kombinasi. Masing-masing modalitas

    tersebut diketahui tidak ada yang lebih baik antara satu dan lainnya.

    1. Psikoterapi

    Psikoterapi sering digunakan sebagai terapi lini pertama dalam penatalaksanaan

    depresi paska melahirkan, karena banyak ibu yang lebih memilih menggunakan terapi ini

    dikarenakan adanya kemungkinan efek samping pada bayi bila ibu mengonsumsi

    antidepresan. Jenis psikoterapi yang paling sering digunakan adalah psikoterapi

    interpersonal. Psikoterapi interpersonal sesuai untuk wanita paska melahirkan karena

    fokus pada hubungan interpersonal pasien dan adanya perubahan peran ibu dari sebelum

    melahirkan menuju paska melahirkan. Terapi interpersonal ini dapat dilakukan pada

    individu ataupun dalam bentuk terapi kelompok. Dalam terapi kelompok, pasien juga

  • 17

    mendapat keuntungan lain seperti dapat berbagi dengan sesama pasien yang mengalami

    hal yang sama. Penelitian tentang terapi kelompok pada wanita depresi paska melahirkan

    mendapatkan hasil bahwa terapi kelompok dengan komponen edukasional, dukungan

    sosial, dan terapi kognitif-perilaku efektif sebagai terapi depresi paska melahirkan. Tetapi

    sampel dalam penelitian ini sangat kecil.

    Bentuk psikoterapi lain selain psikoterapi interpersonal antara lain terapi suportif

    dan terapi kognitif-perilaku. Jika terjadi konflik marital, dapat dilakukan konseling

    marital dengan pasangan, dan perlu dilakukan edukasi terhadap pasangan dan keluarga

    dekat pasien tentang perjalanan penyakit dan pengobatan. Psikoterapi dapat dilakukan

    oleh psikiater, perawat, petugas kesehatan lain, atau konselor.

    Ditemukan beberapa penelitian tentang penggunaan psikoterapi sebagai

    penatalaksanaan depresi paska melahirkan. Murray, Cooper, Wilson, dan Romaniuk

    (2003) dalam penelitiannya menggunakan 3 metode untuk melihat pengaruhnya pada

    hubungan ibu dan anak. Ketiga metode itu adalah konseling suportif tidak langsung,

    terapi kognitif-perilaku, dan terapi psikodinamik singkat. Ketiga metode tersebut berhasil

    memberi manfaat bermakna dalam mengatasi kesulitan hubungan antara ibu dan bayinya.

    Metode konseling sendiri memberi tingkat emosional dan perilaku yang lebih baik dan

    interaksi ibu dan anak yang lebih sensitif.

    Penelitian lain tentang bentuk-bentuk terapi suportif memberi hasil yang

    berlawanan. Dua penelitian berhasil menemukan dampak positif dukungan pasangan atau

    teman sesama ibu untuk mengatasi depresi paska melahirkan ataupun sebagai prevensi.

    Tetapi penelitian di Australia yang melibatkan 16 masyarakat rural dan metropolitan dan

    pusat pelayanan primer dan berbasis komunitas gagal membuktikan pengaruh dukungan

    sosial terhadap depresi paska melahirkan atau dalam memperbaiki kesehatan fisik ibu 6

    bulan paska melahirkan.

    Untuk terapi interpersonal, didapatkan 1 penelitian tentang implementasi terapi

    interpersonal dalam setting intervensi kelompok atau pendampingan masyarakat. Dalam

    penelitian ini didapatkan hasil bahwa 4 sesi terapi interpersonal berhasil mencegah

    terjadinya depresi paska melahirkan pada wanita dengan tingkat finansial rendah.

    Howard (2005) dalam makalahnya menyebutkan laporan-laporan penelitian

    Randomized Controlled Trial (RCT) tentang penatalaksanaan depresi paska melahirkan.

  • 18

    Dalam makalah tersebut terdapat 2 penelitian RCT tentang efek konseling tidak langsung

    terhadap depresi paska melahirkan. Terapi ini memberi perbaikan dibandingkan

    perawatan primer rutin, bila dilakukan dalam jangka waktu pendek. Tetapi 1 RCT lain

    menunjukkan hasil yang berlawanan.

    Untuk terapi kognitif perilaku, 1 RCT mendapatkan hasil memberi perbaikan

    dalam jangka waktu pendek bila dibandingkan dengan perawatan primer rutin, konseling

    tidak langsung, atau terapi psikodinamika, tetapi tidak efektif bila diberikan dalam jangka

    waktu panjang.

    Masih dalam makalah yang sama, 1 RCT tentang terapi interpersonal

    mendapatkan hasil terdapat perbaikan depresi paska melahirkan pada 12 minggu. Sedang

    1 RCT tentang terapi psikodinamika mendapatkan hasil terdapat perbaikan dalam jangka

    waktu pendek, tetapi tidak dalam jangka waktu panjang.

    2. Farmakoterapi

    Pada kasus-kasus depresi paska melahirkan yang persisten dan berat dengan

    gejala-gejala seperti kesulitan merawat diri sendiri, kesulitan melakukan fungsi sebagai

    ibu, dan adanya ide untuk melukai diri sendiri ataupun anaknya, diperlukan

    farmakoterapi berupa antidepresan. Antidepresan yang banyak digunakan adalah

    golongan trisiklik seperti imipramin, desipramin, amitriptilin, dan nortriptilin, dan

    golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti fluoxetine dan sertraline.

    SSRI dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih disukai karena penggunaannya hanya

    sekali sehari. Dosis fluoxetine 20 dan 40 mg aman digunakan untuk ibu menyusui. Kedua

    golongan antidepresan tersebut (trisiklik dan SSRI) tidak kontraindikasi untuk

    dikonsumsi selama ibu menyusui anaknya. Memang terdapat risiko bagi anak yang

    menyusui pada ibu yang mengonsumsi antidepresan, karena belum matangnya sistem

    fetal, lemak tubuh dan ikatan protein plasma lebih sedikit, hati dan ginjal belum

    sempurna, dan sawar darah-otak belum terbentuk. Tetapi ternyata hanya sedikit efek

    samping terjadi pada anak yang pernah dilaporkan sehingga dapat dikatakan bahwa bayi

    dapat menoleransi paparan antidepresan. Hasil dari suatu penelitian bahkan menyatakan

    bahwa fluoxetine dan sertraline tidak mempengaruhi kadar serotonin pada bayi

  • 19

    menyusui. Tetapi dianjurkan agar dilakukan pemeriksaan darah pada bayi setelah 6

    minggu menyusui untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya akumulasi obat.

    Newport, Hostetter, Arnold, dan Stowe (2002) dalam makalahnya menyatakan

    bahwa pemeriksaan konsentrasi serum bayi merupakan standar emas dalam memeriksa

    akumulasi obat pada bayi. Tetapi apabila rutin dilakukan akan tidak praktis. Disarankan

    agar dalam waktu 7-9 jam setelah ibu minum obat (SSRI), ASI dikeluarkan dan dibuang.

    Waktu 7-9 jam tersebut merupakan waktu tercapainya konsentrasi puncak untuk

    kebanyakan obat SSRI. Dengan dibuangnya ASI semasa rentang waktu tersebut, dapat

    memberi penurunan 17-20% paparan dosis harian total terhadap bayi.

    Dalam hal ini belum dapat ditetapkan suatu petunjuk standar pengobatan

    farmakologi untuk depresi paska melahirkan. Antidepresan dapat diteruskan pada ibu

    yang menyusui, tetapi dengan hati-hati, harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti

    beratnya gejala depresi, respon positif terhadap SSRI tertentu, dan komitmen ibu untuk

    menyusui anaknya. Belum ada penelitian yang meneliti efek jangka panjang pada bayi

    yang menyusui dari ibu yang mengonsumsi antidepresan.

    Adapun dosis antidepresan untuk penanganan depresi paska melahirkan adalah

    sama seperti depresi non puerperal, baik untuk golongan trisiklik maupun golongan

    SSRI. Lama pemberian antidepresan untuk episode pertama depresi paska melahirkan

    sama dengan depresi non puerperal yaitu antara 9 sampai 12 bulan.

    Selain pemberian antidepresan, dapat ditambahkan benzodiazepine apabila

    terdapat gejala seperti cemas dan agitasi.

    Apabila dengan psikoterapi dan farmakoterapi belum memberi hasil yang

    memuaskan, ada baiknya pasien dirawat inap untuk mendapatkan penanganan yang lebih

    intensif. Satu penelitian menyebutkan bahwa pemberian ECT (Electro Convulsive

    therapy) memberi hasil yang baik.

    Ditemukan 1 penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) tentang keefektifan

    fluoxetine dibandingkan dengan placebo, dengan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku,

    dan dengan kombinasi fluoxetine dan 1 dan 6 sesi konseling kognitif-perilaku dalam

    memperbaiki depresi paska melahirkan. Hasilnya ketiga modalitas terapi efektif

    memperbaiki gejala depresi. Tidak terlihat perbaikan yang lebih baik pada terapi

  • 20

    kombinasi dibandingkan terapi tunggal. Tetapi penelitian ini memiliki kelemahan karena

    tidak mencakup sampel ibu yang menyusui.

    Cohen et al (2001) dalam penelitiannya tentang penggunaan venlavaxine sebagai

    terapi depresi paska melahirkan mendapatkan hasil bahwa venlavaxine efektif sebagai

    terapi depresi paska melahirkan dengan gejala bermakna. Kebanyakan pasien mulai

    mendapatkan perbaikan gejala setelah 2 minggu, dan perbaikan tampak bermakna dalam

    4 minggu, sampai akhirnya mencapai remisi. Venlavaxine juga dapat menurunkan gejala

    kecemasan pada pasien.

    3. Terapi Hormonal

    Hubungan depresi paska melahirkan dengan kelahiran bayi memunculkan

    pemikiran bahwa penyakit paska melahirkan mungkin dipicu oleh perubahan postnatal

    pada sistem neuroendokrin reproduksi wanita. Tetapi penelitian tentang hal ini masih

    sangat sedikit, dan adanya abnormalitas pada aksis gonadal wanita belum teridentifikasi.

    Tetapi terdapat bukti-bukti bahwa beberapa wanita mengalami depresi paska melahirkan

    sebagai akibat sensitifitas terhadap efek disfori karena perubahan konsentrasi steroid

    gonadal yang sangat cepat.

    Bloch et al (2000) melakukan penelitian tentang keterlibatan hormon reproduktif

    estrogen dan progesteron terhadap terjadinya depresi paska melahirkan. Hasilnya

    ditemukan bahwa terdapat sebagian wanita yang memiliki sensitifitas berbeda terhadap

    hormon reproduksi, dimana terjadinya peristiwa perubahan endokrin normal pada

    kelahiran bayi pada kelompok wanita ini dapat menimbulkan episode depresi. Mereka

    mungkin memberi respon berbeda terhadap terjadinya reduksi kadar plasma steroid

    gonadal yang sangat cepat. Kesensitifan tersebut mungkin merupakan suatu fenomena

    karakteristik.

    Penelitian ini tidak dapat membedakan antara efek terjadinya penurunan drastis

    hormon dan keadaan hipogonadisme. Gejala akibat penurunan drastis steroid gonadal dan

    terjadinya perbaikan gejala pada wanita dengan riwayat depresi paska melahirkan

    sepanjang bulan saat terjadinya penurunan drastis saat masih dalam keadaan hipogonad

    menunjukkan bahwa hipogonadisme tidak terlalu berperan sebagai pemicu depresi.

    Penemuan ini juga menyatakan bahwa efikasi estrogen dalam mengobati atau mencegah

  • 21

    rekurensi depresi paska melahirkan berasal dari prevensi penurunan drastis estrogen yang

    terjadi tiba-tiba.

    Beberapa mekanisme dapat mendasari terjadinya gejala depresi dalam penelitian

    ini. Steroid gonadal berfungsi sebagai neuromodulator utama yang mengubah aktivitas

    sistem neurotransmiter sistem saraf pusat, yang berdampak pada regulasi mood dan

    gangguan mood. Dengan adanya efek neuromodulator steroid gonadal dan absennya

    kadar hormon abnormal pada wanita depresi paska melahirkan, keadaan depresi tersebut

    dapat menunjukkan terjadinya suatu defisiensi homeostasis yaitu kegagalan untuk

    berkompensasi terhadap perubahan neuroregulatori yang dipicu oleh perubahan kadar

    steroid gonadal yang besar (tetapi normal)-atau menunjukkan suatu perubahan signal

    steroid intraseluler.

    Satu abstrak penelitian tentang faktor risiko hormonal pada wanita paska

    melahirkan mendapat hasil bahwa kadar progesteron paska melahirkan dan kadar

    prolaktin antenatal berhubungan bermakna dengan kejadian depresi paska melahirkan

    pada 6 bulan. Wanita dengan kadar progesteron rendah pada masa segera setelah

    melahirkan cenderung mengalami depresi pada 6 bulan paska melahirkan.

    Hasil penelitian di atas berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh

    Abou-Saleh et al tahun 1998. Penelitian ini menyebutkan bahwa wanita paska melahirkan

    memiliki kadar kortisol, prolaktin, tiroksin, dan estrogen yang lebih tinggi bermakna

    dibandingkan wanita non puerperal. Wanita depresi paska melahirkan memiliki kadar

    prolaktin plasma yang lebih rendah bermakna dibandingkan wanita non depresi paska

    melahirkan. Wanita yang mengalami depresi dalam 6-10 minggu setelah melahirkan

    memiliki kadar prolaktin plasma lebih rendah dan kadar progesteron lebih tinggi

    bermakna dibandingkan wanita non depresi. Kadar tiroksin lebih tinggi memprediksi

    gejala yang lebih berat, sedang kadar progesteron yang lebih tinggi dan kadar prolaktin

    yang lebih rendah memprediksi terjadinya depresi 6-10 minggu paska melahirkan.

    Terdapat hipotesis lain bahwa penurunan konsentrasi Corticothropine-Releasing

    Hormone (CRH) dalam beberapa jam paska melahirkan mungkin berperan dalam

    terjadinya depresi paska melahirkan. Tetapi hal ini berlawanan dengan data yang telah

    ada yang menyatakan bahwa pada pasien-pasien depresi terjadi hipersekresi CRH di

    sistem saraf pusat.

  • 22

    Satu abstrak penelitian menyatakan bahwa terjadi perubahan dramatis pada sistem

    Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) dalam masa transisi dari kehamilan menuju paska

    melahirkan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terjadinya disregulasi aksis HPA pada

    wanita depresi paska melahirkan, yang tidak terjadi pada wanita non depresi paska

    melahirkan. Pada wanita depresi paska melahirkan terdapat pola kadar ACTH yang

    meningkat untuk menstimulasi kortisol yang lebih sedikit, yang menyerupai kejadian

    pada wanita yang mengalami stres awal. Pada wanita depresi paska melahirkan

    didapatkan tidak ada hubungan antara kadar ACTH dan kortisol, dimana kadar ACTH

    wanita depresi paska melahirkan lebih tinggi dibandingkan wanita non depresi paska

    melahirkan, sedang kadar kortisol wanita depresi paska melahirkan lebih rendah

    dibandingkan wanita non depresi paska melahirkan. Pada wanita non depresi paska

    melahirkan, kadar kortisol meningkat seiring peningkatan ACTH.