gambaran masyarakat era digital dan visual culture … · gambaran masyarakat era digital dan...

17
GAMBARAN MASYARAKAT ERA DIGITAL DAN VISUAL CULTURE PADA PUISI CYBER KARANGAN BERNARD BATUBARA DI AKUN MEDIA SOSIAL STELLER BENZBARA_ Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra Anggino Tambunan Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Indonesia Abstrak Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak besar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali pada bidang kesusteraan. Puisi cyber atau puisi internet, dewasa ini tampil dengan ciri khas masyarakat era digital dan masyarakat yang lebih mengapresiasi tampilan ( visual culture). Karya sastra yang terdapat pada media sosial Steller merupakan gambaran dunia kesusteraan dewasa ini yang tidak lagi mengutamakan huruf-huruf melainkan tampilan foto dan video untuk menguatkan citra teks. Steller memungkinkan seseorang untuk mengunggah teks, foto,video sesuai keinginan penggunanya. Akun Steller milik penulis Bernard Batubara tersegmentasi pada pembaca remaja yang merupakan kelompok pangguna internet tertinggi. Data litbang Kominfo menunjukkan rentang usia 16-25 tahun adalah pengguna internet dan media sosial terbanyak di Indonesia. Untuk mengungkapkan relasi karya dengan zamannya; seperti realitas penulis, sasaran pembaca, situasi pembaca, distribusi karya, publikasi karya, branding dan bentuk apresiasi karya akan digunakan pendekatan sosiologi sastra. Makalah ini akan memuat analisis unsur ekstrinsik puisi-puisi karya Bernard Batubara di akun Steller BENZBARA_. Kata kunci: sosiologi sastra, sastra cyber, budaya visual, era digital, media sosial, remaja

Upload: others

Post on 12-Sep-2019

40 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GAMBARAN MASYARAKAT ERA DIGITAL DAN VISUAL

CULTURE PADA PUISI CYBER KARANGAN BERNARD

BATUBARA DI AKUN MEDIA SOSIAL STELLER BENZBARA_

Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra

Anggino Tambunan

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Indonesia

Abstrak

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak besar di segala

aspek kehidupan, tidak terkecuali pada bidang kesusteraan. Puisi cyber atau puisi

internet, dewasa ini tampil dengan ciri khas masyarakat era digital dan masyarakat

yang lebih mengapresiasi tampilan ( visual culture). Karya sastra yang terdapat pada

media sosial Steller merupakan gambaran dunia kesusteraan dewasa ini yang tidak

lagi mengutamakan huruf-huruf melainkan tampilan foto dan video untuk

menguatkan citra teks. Steller memungkinkan seseorang untuk mengunggah teks,

foto,video sesuai keinginan penggunanya. Akun Steller milik penulis Bernard

Batubara tersegmentasi pada pembaca remaja yang merupakan kelompok pangguna

internet tertinggi. Data litbang Kominfo menunjukkan rentang usia 16-25 tahun

adalah pengguna internet dan media sosial terbanyak di Indonesia. Untuk

mengungkapkan relasi karya dengan zamannya; seperti realitas penulis, sasaran

pembaca, situasi pembaca, distribusi karya, publikasi karya, branding dan bentuk

apresiasi karya akan digunakan pendekatan sosiologi sastra. Makalah ini akan

memuat analisis unsur ekstrinsik puisi-puisi karya Bernard Batubara di akun Steller

BENZBARA_.

Kata kunci:

sosiologi sastra, sastra cyber, budaya visual, era digital, media sosial, remaja

Pendahuluan

Dewasa ini, perkembangan teknologi berdampak besar pada kehidupan manusia.

Jarak dan waktu tidak lagi membatasi seseorang dalam menyampaikan maupun

mendapatkan informasi di era digital dan keterbukaan informasi saat ini. Hadirnya

internet membuat setiap pribadi dapat membuat ruang-ruang tersendiri di dunia maya.

Setiap orang bebas mengunggah dan membaca apapun tanpa melalui proses tahap uji

sensor dan penyeleksian terlebih dahulu, termasuk munculnya karya sastra di internet.

Di dalam karya sastra interner (cyber), huruf bukanlah segala-galanya1. Unsur

tambahan seperti foto ataupun seni visual lainnya ditempelkan pada teks puisi untuk

menambahkan nilai baik. Asep Sambodja di dalam esainya pada buku Cyber Grafitti

menjelaskan lahirya sastra cyber di Indonesia diawali peluncuran laman

www.cybersastra.net dan kumpulan puisi Grafitti Gratitude yang disunting oleh

Cunong N.S., Medy Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus

Wijanarko pada 9 Mei 20012.

Secara singkat di dalam perdebatan lahirnya sastra cyber, Asep Sambodja menilai

angkatan tua terlalu reaktif terhadap lahirnya sastra era baru (era digital). Saat itu

Sutardji menilai “taik yang dikemas secara menarik akan lebih laku ketimbang puisi

yang dikemas secara asal-asalan. Maman S. Mahayana menilai kata pengarang tidak

cocok melainkan penulis untuk mereka yang menulis sastra cyber. Adapun Ahmadun

Yosi Herfand mengatakan karya sastra internet merupakan tong sampah. Pendapat

ketiganya dianggap Asep Sambodja sebagai pelecehan generasi tua ke muda3.

Beralih dari perdebatan sastra cyber , dewasa ini setiap pribadi maupun kelompok

dapat dengan mudah mengunggah karya sastra mereka di mana pun dan kapan pun.

Laman dan blog pribadi menjadi sebuah media kreasi, kreatif dan publikasi massa.

1 Eka Budianta , Polemik Sastra Cyberpunk, halaman 193 2 Asep Sambodja , Polemik Sastra Cyberpunk, halaman 235 3 Ibid halaman 236-237

Pengunjung laman atau blog juga dapat memberikan apresiasi terhadap penulis.

Bentuk apresiasi dapat berupa mengomentari karya ataupun mengklik tombol like

(suka). Fungsi penerbitan, distribusi dan apresiasi pembaca sudah tercukupi.

Hambatan yang paling utama datang dari ketersediaan teknologi pendukung dalam

bersastra.

Di dalam makalah ini penulis akan menunjukkan gambaran masyarakat digital dan

masyarakat yang lebih mengapresiasi visual pada akun media sosial Steller milik

Bernard Batubara. Makalah ini akan memuat analisis unsur ekstrinsik puisi-puisi

karya Bernard Batubara di akun Steller BENZBARA_. Untuk mengungkapkan relasi

karya dengan zamannya; seperti realitas penulis, sasaran pembaca, situasi pembaca,

distribusi karya, publikasi karya, branding dan bentuk apresiasi karya akan

digunakan pendekatan sosiologi sastra.

Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra dilandasi pada gagasan bahwa sastra merupakan cermin

zamannya. Peran sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh

khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan

asal-usulnya. Warren dan Wellek menilai penilaian ini sempit jika dilihat dari

kacamata idiologi tertentu, dalam hal ini marxisme4.

Daiches (1956) berpendapat bahwa pendekatan sosiologi sastra pada hakikatnya

merupakan pendekatan genetik: pertimbangan karya sastra dari segi pandangan asal-

usulnya, baik bersifat individu maupun sosial. Ia berpendapat nilai sosial tidak dapat

dipindahkan ke dalam nilai sastra. Sebuah karya belum tentu bernilai buruk bila ia

diciptakan dari masyarakat yang buruk. Adapun Swingewood (1972) tidak

sependapat dengan pandangan bahwa sastra sekadar bahan sampingan saja. Ia menilai

sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu.

4 Sapardi Djoko D., Modul FIB UI: Pengantar Sosilogi Sastra Indonesia, hal 9-10

Dari berbagai pandangan di atas, penulis menyimpulkan sastra merupakan cerminan

sebuah masyarakat. Selain itu, sebuah karya sastra diciptakan pengarangnya oleh

seperangkat peralatan tertentu. Sesuai dengan yang dikemukakan Daiches,

pendekatan sosiologis sastra merupakan pendekatan genetik: mempertimbangkan

asal-usul sebuah karya sastra.

Di dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, A. Teeuw menjelaskan hubungan antara

seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah atau sederhana. Hubungan itu

selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh tiga

macam: konvensi bahasa, sosial-budaya, dan kesan manusia terhadap kaya sastra.

Antar manusia saling memengaruhi. Setiap pribadi berkembang dengan pengaruh

lingkungannya, mulai dari keluarga, pergaulan, pendidikan, apa yang dilihatnya,

didengarnya, di bacanya dan pengalaman hidup5

Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya: The Social Contruction of

Reality menjelaskan kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah

kenyataan yang dialaminya secara subyektif sebagai dunia yang bermakna dan

koheran: “Everyday life present itself as a reality interpreted by men an subjectively

menaningful to them as a cohenrant world (1976:31)6.

Remaja, Sastra Cyber, dan Visual Culture

Bagaimana kaitan sastra cyber dengan realitas masyarakat, dalam kasus ini

masyarakat era digital. Era digital adalah keniscayaan ditengah kemajuan pesat

teknologi komunikasi. Teknologi berasal dari dua kata: teknos dan logos. Teknos

adalah cara sedangkan logos adalah ilmu. Adapun di dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, teknologi ialah ilmu pengetahuan terapan yang membuat suatu hal menjadi

5 Mochtar Lubis, Sastra dan Tekniknya, halaman 17 6 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, halaman 226

efisien dan praktis. Menurut Soekanto (1985) teknologi adalah perangkat tindakan-

tindakan antara lain alat, teknik dan pengetahuan untuk mencapai suatu tujuan7.

Alvin Toffler menjelaskan bahwa setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan

teknologi—teknoser—yang khas. Teknologi informasi, sebagai bagian dari teknoser,

akan mewarnai infosfer—yakni, budaya pertukaran informasi di antara warga

masyarakat. Infosfer, pada gilirannya, akan membentuk dan merubah sosiosfer—

yakni norma-norma sosial, pola-pola interaksi, dan organisasi-organisasi

kemasyaraatan. Karena manusia adalah makhluk sosial, perubahan sosiofer akan

merubah cara berpikir, cara merasa dan cara berprilaku mereka –yakni, merubah

psikofer mereka8

Di era digital seseorang dipaksa untuk mulai menggunakan teknologi dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya dan lingkungannya sehingga teknologi pun menjadi

komoditi itu sendiri. Teknologi menjadi benda yang dekat dengan kehidupan sehari-

hari terutama teknologi komunikasi. Memasuki eradigital dan keterbukaan informasi,

teknologi komunikasi diproduksi secara besar-besaran.

Berdasarkan data kementrian Komunikasi dan Informasi pada periode 2009-2013,

akses internet oleh individu mengalami peningkatan dari 10,92% pada tahun 2010

menjadi 15,09% pada tahun 2013. Adapun data rumah tangga yang menggunakan

telepon kabel pada periode 2007—2013 mengalami penurunan dari 12,96% pada

7 Gumilar Soemantri dan Asep Suryana, Modul Sosiologi dan Alih Teknologi, halaman 12 8 Jallaludin rakhmat, Psikologi Komunikasi, halaman 197

tahun 2007 menjadi 15,09% pada tahun 20139.

Dari tabel di atas kita dapat mengetahui rentang pengguna 16—25 tahun adalah

pengguna internet terbanyak. Berdasarkan data di atas pasar remaja sangat

menjanjikan. Sasaran pasar ini akan memengaruhi bagaimana karya sastra cyber

disajikan dan disampaikan. Selain itu dapat pula memengaruhi tema yang ada pada

karya sastra cyber. Penggarapan tema disesuaikan dengan kehidupan remaja.

Produk kebudayaan popular tak akan pernah keluar dari kerangka selera massa.

Kondisi masyarakatlah yang akan membentuk produk kebudayaan popular, ini berarti

sosok remaja merupakan “komoditas” yang gampang dijual, sementara jumlah

kalangan remaja: besar dan potensial sebagai pembeli. Kebudayaan popular semacam

9 Diambil dari data BPS, Statistik 70 tahun Indonesia ;2015, halaman 195

film, musik, novel telah mengisi mekanisme pasar, tidak sekadar menyampaikan

pesan (massage) kesenian10.

Kemajuan teknologi pada kamera, desain, serta teknologi visual lainnya memberikan

kemudahan bagi siapapun untuk berkreasi. Visual Culture tumbuh kembang bersama

kebudayaan pupuler. Hadirnya aplikasi media sosial seperti youtube dan instagram

menjadi gambaran masyarakat visual. Pada awal tahun 2016 muncul aplikasi popular,

snapchat memungkinkan penggunanya dapat mengkreasikan wajahnya dengan

template unik yang ada di ponsel pintar. Hal ini membuktikan masyarakat kita

cenderung menyukai hal-hal yang visual.

For Nicholas Mirzoeff, visual culture is at once postmodern media and an increasing and intense

visuality of everyday life is the late twentieth century, as well as the analysis of those phenomena with

their extencesive global reach. But such assertions have been rebutted, as much by view that

contemporary culture is more textual than visual, and perceptions of ‘information culture’ as

invisible11.

Menurut Nicholas Mirzoeff budaya visual muncul pada era postmodern serta

merupakan peningkatan dan penggambaran yang inten dari gaya abad 20 akhir. Hal

ini sesuai dengan analisis dari fenomena global. Akan tetapi ada pandangan yang

membantah pandangan Nicholas Mirzoeff sebab ada anggapan bahwa budaya

kontemporer lebih tekstual ketimbang visual.

Apresiasi lebih pada visual membentuk puisi jenis yang lain, Eka Budianta dalam

esainya, menjelaskan puisi cyber tidak hanya mengandalkan huruf melainkan

tambahan visual agar memberikan kesan baik. Ambil contoh, Puisi Hujan Bulan Juni

cenderung disisipi foto pemandangan hujan yang sebenarnya. Selain itu, ada juga

penggalan puisi yang diunggah dengan menyertakan foto pengarangnya.

10 Ashdi Siregar, Kebudayaan Pop dalam Komoditas Indonesia, halaman 207 11 Deborah Cherry, Art: Histori: Visual: Culture, halaman 3

Salah satu media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk menulis, berbagi, dan

membaca cerita dengan teks, foto dan video adalah Steller. Aplikasi ini pertama kali

diluncurkan pada 2014. Aplikasi ini dibuat oleh Karen Poole dan Brian McAniff. Di

Indonesia aplikasi ini baru populer setelah peluncurannya di Indonesia pada April

2016. Pengunduh aplikasi ini di Play Store hingga tanggal 30 September 2016 telah

mencapai angka lima puluh ribuan.

Steller dikembangkan oleh Mambo Labs Inc. Pihak pengembang mulai

mengembangkan pasar dengan menjangkau pasar di Indonesia. Di Indonesia terdapat

kanal khusus dengan tagar #StellerID. Acara #StellerID meet-up tersebut berlangsung

di Jakarta pada 23 Juli 2016. Setelah mendapat animo lebih di Indonesia, Steller

terus mengembangkan fitur teranyar untuk penggunanya12.

Penulis muda Bernard Batubara menggunakan aplikasi Steller sebagai media

publikasi puisi serta membranding diri untuk menjawab tuntutan eksistensi di era

digital. Di penerbit konvensional, Bernard Batubara telah menerbitkan novel antara

lain Milana (2013), Cinta (2013), Surat Untuk Ruth (2014), Jatuh Cinta Adalah Cara

Terbaik untuk Bunuh Diri (2014) Jika Aku Milikmu (2015) dan Metafora Padma

(2016).

Bernard Batubara lahir di Pontianak, 9 Juli 1989. Ia mulai menulis fiksi dan puisi

mulai pertengahan 2007. Beberapa puisi dan cerpen miliknya pernah dimuat di

majalah seni GONG, harian Kompas, Batam Pos, Koran Tempo, Suara Merdeka,

Jurnal Nasional, dan beberapa antologi bersama; Teka-teki tentang Tubuh dan

Kematian (puisi), Pedas Lada Pasir Kuarsa (puisi, Temu Sastrawan Indonesia II),

dan Mata (cerpen, Jurnal Cerpen Indonesia edisi 12).

12

http://tekno.kompas.com/read/2016/07/23/13330077/dapat.animo.tinggi.ini.rencana.steller.di.indonesia

di akses pada 28 September pukul 14.35

Berdasarkan data yang terdapat di akun Steller pribadinya, Bernard telah mengungah

karya puisi cyber sebanyak tiga belas puisi. Rata-rata jumlah tayangan (slide) pada

sebuah puisi cyber sebanyak lima belas tayangan. Adapun jumlah variasi kata yang

digunakan 737 kata.

Untuk membuktikan bahwa karya sastra yang terdapat di media sosial Steller Bernard

Batubara cerminan budaya visual dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Jumlah

terbanyak merupakan kategori teks puisi cyber yang disandingkan dengan foto atau

gambar. Di urutan kedua ialah kategori teks saja dan urutan terakhir ialah kategori

foto atau teks.

No. Judul Jumlah

Slide

Teks Gambar

/Foto

Teks dan

Gambar/Foto

Like Komentar

Pembaca

Balasan

Penulis

1. Belajar Melepaskan Cinta 17 8 3 6 241 8 0

2. Untuk Seorang Gadis yang

Ingin Bahagia

22 9 5 8 470 29 3

3. Untuk Seseorang yang

kuharap Kembali

23 6 4 13 493 6 1

4. Untuk seseorang perempuan

yang pergi

17 7 2 8 526 16 1

5. Kota Hujan Kota Senja 20 4 8 8 113 5 2

6. Untuk seorang Gadis yang

Patah Hati

16 6 2 8 364 10 2

7. Percakapan 20 10 0 10 230 5 2

8. Aku ingin mencintaimu dan

melupakanmu dengan

sederhana

17 4 0 13 450 16 10

Dari data di atas kita dapat juga menyimpulkan bahwa masyarakat umum dan para

remaja khususnya dewasa ini mengapresiasi hal-hal yang berkaitan visual. Perjalanan

sejarah, penemuan kamera dan teknologi visual membentuk sebuah entitas remaja

yang lebih mengapresiasi sesuatu yang berkenaan dengan visual seperti fotografi,

film, musik dan lainnya, termasuk karya sastra. Tampilan puisi dengan topografi unik

dianggap tidak lagi memberi kesan lebih suatu karya pada dewasa ini. Penambahan

foto ataupun karya gambar dapat memberi nuansa dan kesan kepada teks puisi.

Keseluruhan puisi milik Bernard Batubara bersifat komunikatif. Pesan yang hendak

disampaikan segera tersampaikan kepada pembacanya. Tidak banyak ditemukan

penundaan makna. Temuan ini mengindikasi karya sastra era digital harus ringkas

dan komunikatif sesuai dengan terminologi teknologi yang dijelaskan di awal

pembahasan. Hal ini dibuktikan dengan kata yang kerap muncul pada keseluruhan

teks puisi.

Kata yang Paling Banyak Muncul

No Kata Kemunculan Persentase kemunculan

9. Rencana 15 1 0 14 148 3 2

10. Jatuh ke Dalam langit 13 8 0 5 134 2 0

11. You Deserve not less than a

great love

14 7 3 4 110 1 0

12. Narasi Kecil di Pagi Hari 13 9 1 3 202 10 5

13. untuk seorang perempuan

yang memintaku menulis puisi

tentang bagaimana andai aku

adalah hujan

9 6 3 1 277 2 11

Jumlah 206 85 31 97 3758 112 38

1. aku 112 4.97%

2. yang 86 3.96%

3. kamu 63 2.80%

4. tidak 61 2.49%

5. dan 55 2.44 %

6. di 39 1.73%

7. ingin 30 1.33%

8. itu 30 1.33%

9. dengan 27 1.28%

10. cinta 24 1.06%

Jumlah keseluruan kata: 2554

Jumlah penggunaan kata: 737

‘Aku’ dan ‘kamu’ merupakan kata yang paling sering muncul. Pengarang memberi

kesan bahwa ‘Aku’ lirik sedang berkomunikasi dengan ‘kamu’ yang dapat bebas

diinterpretasikann pembaca; pembaca menjadi tokoh ‘kamu’ atau orang ketiga di luar

cerita. Penggunaan aku dan kamu membuat komunikasi menjadi lebih intim. Penutur

dalam hal ini pengarang diandaikan sedang berinteraksi dengan si mitra tutur yang

memiliki status usainya sebaya.

Tema keseluruhan puisi menyoal tentang hubungan percintaan. Hal ini dibuktikan

dari isi, penamaan dan judul puisi. Kata ‘cinta’ pun berada di urutan sepuluh kata

yang kerap digunakan Bernard Batubara. Hal ini membuktikan Steller memiliki

pangsa pasar remaja dan Bernard Batubara menyesuaikan karyanya. Ia membuat puisi

ringkas, lebih visual, dan tema yang dekat dengan remaja yaitu percintaan.

Pengunggahan karya di Steller sangat berbeda dengan mencetak buku di penerbit.

Penulis karya tidak mendapat royalti dari karyanya. Keuntungan yang didapat penulis

ialah untuk menaikkan popularitas dan meningkatkan eksistensi penulis tersebut di

dunia maya. Penulis dapat eksis di kalangan remaja yang merupakan kelompok

pengguna internet tertinggi. Hal ini dimanfaatkan Bernard Batubara untuk menarik

perhatian pembaca dan calon pembaca karya cetaknya.

Di akun twitternya, Bernard Batubara kerap membagikan tautan karya puisinya di

Steller. Pengikut akun twitternya dapat merespon kemudian respon tersebut akan

direspon balik oleh Bernard Batubara melalui komentar ataupun memfavoritkan

komentar pengikutnya. Hal sama juga dilalukan olehnya di media sosial Steller (lihat

kolom komentar dan like pada table di atas).

Selain Steller dan Twitter, Bernard Batubara juga memiliki laman pribadi yang bisa

diakses bebas sebagai jembatan dirinya dengan pembacanya. Bernard Batubara

merupakan penulis yang mampu melihat peluang masyarakat digital dan masyarakat

budaya visual sebagai sasaran pembaca karya novel cetaknya, terutama kalangan

remaja. Penulis sastra cyber pun harus menyesuaikan budaya dan membentuk kesan

yang ingin ditangkap orang lain.

Hal di atas sesuai pendapat Erving Goffman menyebut proses persona stimuli

berusaha menampilkan petunjuk-petunjuk tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu

kepada penanggap sebagai impression management (pengolahaan kesan). Alat yang

digunakan untuk menampilkan diri ini di sebut front. Front terdiri dari latar,

penampilan dan gaya bertingkah laku13. Bernard Batubara di twitter mampu menjadi

penulis yang interaktif dan luwes berkomunikasi dengan pembacanya.

Kesimpulan

13 Jallaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, hal 96

Berdasarkan pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan dewasa ini karya sastra

cyber merupakan keniscayaan di era digital. Tidak ubahnya data, masyarakat

tenggelam dalam karya cyber. Sastra cyber tidak melalui tahap penyeleksian dan uji

sensor. Peran kritikus tidak ada melainkan muncul apresiasi berupa komentar atau

menyukai karya dengan mengklik tombol suka (like).

Kemajuan teknologi visual membentuk masyarakat cendrung mengapresiasi visual.

Tampilan visual mampu memberi kesan lebih kepada sebagian masyarakat. Steller

mampu mengakomodir kebutuhan dalam bercerita.. Karya yang ada pada akun Stelle

Bernard Batubara bersifat ringkas dan banyak memanfaatkan media visual berupa

foto dan gambar.

Pengguna internet tertinggi di Indonesia merupakan kelompok remaja yaitu rentang

usia 16—25 tahun. Kenyataan ini dimanfaatkan Bernard Batubara dalam membentuk

pasar pembaca. Puisi cyber Bernard Batubara di akun Steller miliknya berbicara

tentang percintaan. Adapun penyampaikan keseluruhan puisi cyber bersifat

komunikatif. Hal ini dibuktikan dengan kata yang paling sering muncul yaitu ‘aku’,

‘kamu’, ‘ingin’…, dan’cinta’.

Di era keterbukaan informasi dan era digital, penulis dituntut dapat menjadi

seseorang yang interaktif dengan pembacanya. Alur komunikasi antara penulis dan

pembaca tidak satu arah. Penulis dan pembaca dapat berkomunikasi secara interaktif.

Di dalam media Steller komunikasi penulis dan pembaca karya dapat malalui kolom

komentar yang disediakan. Pembaca juga bisa menilai karya baik atau tidak dengan

mengklik tombol suka (like).

Di dalam mendistribusikan karya penulis sastra cyber dapat memanfaatkan kanal

media sosial yang terhubung satu sama lain. Intensitas kemunculan penulis di dunia

digital menunjukkan eksistensi penulis di dunia nyata. Tingkah laku dan gaya

pembawaan seorang penulis di dunia maya memberikan kesan atau nilai branding di

dunia nyata.

Daftar Pustaka:

Cherry, Deborah. 2005. Art: Histori: Visual: Culture. London: Blackwell Publishing

ltd.

Hodkinson, Paul. 2011. Media, Culture and Society. London: Sage Publications ltd.

Ibrahim Idi Subandy. 2005. Lifestyle Ectasy Kebudayaan Pop Dalam

Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra

Rakhmat, Jalalludin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Situmorang, Saut. 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk.

Yogyakarta: Penerbit Jendela

Somantri, Gumilar dan Asep Suryana. 2001. Modul Sosiologi Alih Teknologi.

Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Wasono, Sunu, Sri Muniarti, dan Asep S. Sambodja. Pengantar Sosiologi

Sastra Indonesia. Depok: Program Studi Indonesia FIB UI.

Lampiran