gambaran histopatologi organ otak monyet ekor … · 4. ibu drh. silvia a. prabandari, apvet dan...
TRANSCRIPT
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN OTAK MONYET
EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DENGAN GANGGUAN
MEMORI TERINDIKASI PENYAKIT NEURODEGENERATIF
TIPE ALZHEIMER
VINKA AFTINATA KUSUMAPUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran
Histopatologi Organ Otak Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan
Gangguan Memori Terindikasi Penyakit Neurodegeneratif Tipe Alzheimer adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018
Vinka Aftinata Kusumaputri
NIM B04140180
ABSTRAK
VINKA AFTINATA KUSUMAPUTRI. Gambaran Histopatologi Organ Otak
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Gangguan Memori
Terindikasi Penyakit Neurodegeneratif Tipe Alzheimer. Dibimbing oleh HUDA
SHALAHUDIN DARUSMAN dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah hewan yang dapat mengalami
penimbunan amiloid beta secara alamiah, seperti kondisi penyakit neurodegeneratif
pada manusia. Studi ini dilakukan untuk mempelajari aspek histopatologi pada
jaringan otak 9 monyet ekor panjang dengan latar belakang penurunan kognitif dan
positif uji ELISA terhadap amiloid beta 42. Pengamatan histopatologis jaringan
otak dilakukan pada preparat dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Temuan lesio
kemudian dianalisa secara kualitatif dan semikuantitatif. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan, ditemukan lesio patologis yang menyerupai biomarker penyakit
Alzheimer, yaitu neurofibrillary tangle (NFT), granulovacuolar disease (GVD),
senile plaque (SP) dan apoptosis pada organ otak monyet ekor panjang tersebut.
Lesio NFT dan GVD ditemukan pada tujuh dari sembilan individu, sedangkan lesio
SP dan apoptosis masing-masing ditemukan pada satu individu dari sembilan
individu yang diamati. Seluruh temuan histopatologi didapatkan dari lobus otak
yang sama. Temuan ini diharapkan dapat melengkapi informasi mengenai
penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan model penyakit Alzheimer.
Kata kunci : hewan model, histologi, monyet ekor panjang, otak, penyakit
Alzheimer.
ABSTRACT
VINKA AFTINATA KUSUMAPUTRI. Brain Histopathology of Macaque
(Macaca fascicularis) with Memory Impairment Indicated by Alzheimer Type
Neurodegenerative Disease. Supervised by HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN
and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO.
Cynomolgus monkey (Macaca fascicularis) is one of animal which may
experienced amyloid beta 42 accumulation spontaneously, similar with Alzheimer
disease in human. The aim of this study was to investigate the histopathology
aspects of brain tissue from cynomolgus monkey with cognitive decline and ELISA
positive to amyloid beta 42 as the backgrounds. Brain histopatothology observation
were done with Haematoxylin Eosin staining and the lesion were then analyzed by
qualitative and semiquantitative methods. Based on the qualitative observation, this
study found neurofibrillary tangle (NFT), granulovacuolar disease (GVD), senile
plaque (SP), and apoptopic neuron in the cynomolgus monkey’s brain. NFT and
GVD lesion were found in seven from nine individuals, SP and apoptopic neurons
was found in one from nine individuals observed in this study. All of the
histopathological findings was found in the same corresponding lobulus of brain.
This findings expected to give more information about cynomolgus monkey use as
an animal models for Alzheimer type neurodegenerative disease.
Key words : Alzheimer disease, animal model, brain, cynomolgus monkey,
histology.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN OTAK MONYET
EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DENGAN GANGGUAN
MEMORI TERINDIKASI PENYAKIT NEURODEGENERATIF
TIPE ALZHEIMER
VINKA AFTINATA KUSUMAPUTRI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah penyakit Alzheimer dengan judul Gambaran Histopatologi
Organ Otak Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dengan Gangguan
Memori Terindikasi Penyakit Neurodegeneratif Tipe Alzheimer.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Drh. Huda Shalahudin Darusman, Msi, PhD yang telah menjadi
pembimbing, dosen, keluarga dan sahabat di saat yang bersamaan. Terima
kasih atas seluruh ilmu, pengalaman, kesempatan, petualangan dan
keceriaan yang telah dibagi pada penulis hingga penulis bisa melewati
penelitian yang terasa menyenangkan.
2. Ibu Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD APVet yang telah memberikan
banyak saran dan masukan serta membimbing penulis dengan penuh
kesabaran dan ketulusan hati selama penulisan karya ilmiah ini.
3. Staf Laboratorium Patologi FKH IPB, Pak Sholeh dan Pak Kasnadi serta
Mbak Kiki yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini,
4. Ibu Drh. Silvia A. Prabandari, APVet dan Ibu Lis Rosmanah, SSi, MSi yang
telah memberikan banyak ilmu baru, dukungan, dan doronganq, hingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan penuh semangat.
5. Keluarga besar PSSP terutama Ibu Isti Kartika Sari, Msi dan Mbak Tita
Ratnasari yang telah memberikan dorongan, semangat, dan doa hingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
6. Keluarga tercinta, Bunda Rabiah Penniati Triputra Rasahan, Bapak
Almarhum R. Achmad Kosasih Kusumaputra Natakusumah, dan Kak
Anneis Nutfatillah Kusumaputri, serta keluarga besar Ali Rasahan atas
dukungan tiada henti, doa yang tulus dan kasih sayang yang berlimpah sejak
penulis lahir ke dunia hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
7. Para sahabat, Ramadhani Sari, Bitara Ugi, Ghifani Azhar, Hanifah Lestari
Nurfitri, serta keluarga WW yang telah selalu menghibur, menyemangati
dalam suka dan duka, serta menjaga kewarasan penulis pada setiap gejolak
yang menghampiri.
8. Kawan satu-satunya, Kang Ismail Agung Rusmadipraja, terima kasih
banyak atas pendampingan tak bersyarat yang selama ini telah diberikan
kepada penulis selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2018
Vinka Aftinata Kusumaputri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Penyakit Alzheimer 2
Diagnosa Penyakit Alzheimer 3
Diagnosa Banding Penyakit Alzheimer 3
Hewan Model Penyakit Alzheimer 3
Sistem Saraf Pusat 4
Perubahan Histopatologi Sistem Saraf Pusat 5
Neurofibrillary Tangles (NFT) 5
Granulovacuolar Disease (GVD) 5
Senile Plaque (SP) 5
Apoptosis 6
Hirano bodies 6
Cerebral amyloid angiopathy (CAA) 6
METODE PENELITIAN 7
Waktu dan Tempat Penelitian 7
Bahan dan Alat 7
Prosedur Penelitian 7
Pembuatan Preparat Histopatologi 8
Pewarnaan Preparat 8
Pengamatan Preparat 8
Pengolahan Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Neurofibrillary Tangles (NFT) 9
Granulovacuolar Disease (GVD) 11
Senile Plaque (SP) 12
Apoptosis 13
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
RIWAYAT HIDUP 17
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Alzheimer adalah penurunan kondisi fisik susunan saraf pusat
dengan tanda-tanda gangguan pada penyimpanan memori, kemampuan kognitif,
emosional dan disorientasi yang fatal. Data statistik Kemenkes RI (2016)
menunjukkan Alzheimer merupakan penyakit yang diderita oleh 46 juta jiwa di
seluruh dunia, dengan 22 juta jiwa di antaranya berasal dari Asia. Estimasi
penderita penyakit Alzheimer di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta
jiwa, serta diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat lebih banyak pada
tahun 2030.
Penyakit Alzheimer paling banyak ditemukan pada manusia berusia lebih
dari 65 tahun, namun beberapa kasus juga menunjukkan bahwa penyakit ini dapat
ditemukan pada manusia usia 40 tahun. Diagnosa penyakit Alzheimer dapat
dilakukan dengan pemeriksaan Computed Tomography Scan atau Magnitude
Resonance Imaging (MRI) setelah pasien mengalami serangkaian gejala, yaitu
demensia atau kepikunan. Kepikunan dianggap wajar terjadi pada kelompok usia
lanjut (>65 tahun), maka seringkali kerusakan saraf pusat ini tidak segera
terdiagnosa pada tubuh pasien. Kesulitan diagnosa penyakit Alzheimer ditunjukkan
dengan terdiagnosanya secara tepat 1 dari 4 pasien penderitanya (Prince et al.
2016). Gejala demensia pun terjadi bertahun-tahun sejak saraf pusat pertama kali
mengalami kerusakan yang bersifat irreversible. Mengingat sifat kerusakan yang
irreversible tersebut, maka kini terapi Alzheimer hanya berfungsi untuk menjaga
status vital penderita, tidak bersifat kuratif.
Penggunaan hewan model yang sesuai dengan proses perjalanan penyakit
(patogenesis) Alzheimer menjadi tahapan yang penting dalam proses
pengembangan metode diagnosa serta pengobatan penyakit Alzheimer. Tikus atau
mencit transgenik telah dijadikan hewan model untuk mempelajari mekanisme
dasar penyakit Alzheimer. Hewan ini dinilai memiliki kelemahan karena perbedaan
struktur anatomi saraf pusat dengan manusia, serta induksi transgenik yang
dilakukan pada hewan ini tidak dapat menjelaskan kealamiahan asal-usul penyakit,
seperti lamanya perjalanan penyakit dan gejala klinis progresif yang ditimbulkan.
Penggunaan hewan model lainnya untuk penyakit Alzheimer tersebut perlu
dipelajari.
Menurut penelitian Darusman et al. (2013a; 2014b), salah satu primata
Indonesia monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis merupakan hewan yang
ideal untuk dijadikan model penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer. Hal ini
dinilai karena penelitian Darusman et al. (2013b) mengemukakan tipe penurunan
kapasitas kognitif serta keberadaan biomarker utama penyakit Alzheimer yaitu
amiloid beta 1-42 yang serupa di antara manusia dan monyet ekor panjang
(Darusman et al. 2013b). Penelitian selanjutnya yang dilakukan Darusman et al.
(2014a) menguatkan validitas penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan
model penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer karena adanya perubahan
2
morfologi otak berupa atrofi korteks serebral dan hipokampus otak serta temuan
plak amiloid serta protein Tau sebagai tanda definitif penyakit Alzheimer.
Penelitian mengenai kerusakan saraf pusat secara mikroskopik pada
penyakit neurodegeneratif yang diderita monyet ekor panjang belum banyak
dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan patologi neurodegnratif tipe
Alzheimer tersebut. Hal ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
perjalanan penyakit dan memperkuat validasi penggunaan monyet ekor panjang
sebagai hewan model pada penyakit neurodegeneratif.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
patogenesa serta gambaran histopatologi penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer
yang terjadi pada monyet ekor panjang dengan gangguan memori terindikasi
penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi
mengenai gambaran histopatologi pada monyet ekor panjang dengan gangguan
memori yang terindikasi penyakit neurodegenratif tipe Alzheimer. Selain itu,
diharapkan penelitian ini dapat memperkuat hipotesa penggunaan monyet ekor
panjang sebagai hewan model penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer.
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Alzheimer
Menurut Kelly (2008), penyakit Alzheimer adalah kondisi di mana otak
mengalami penyusutan dan kematian secara perlahan. Penyakit ini memengaruhi
penghantaran impuls saraf serta aktivitas neurotransmitter. Seiring berjalannya
waktu, penyakit Alzheimer akan meyebabkan kematian sel saraf serta jaringan di
seluruh bagian otak. Pada penderita Alzheimer, penyakit ini berawal dengan
hilangnya memori secara ringan serta secara bertahap penderita akan kehilangan
kemampuan untuk mengambil keputusan, berpikir, nalar, dan kehilangan
kesadaran. Selain itu penderita akan mengalami pergantian personaliti dan perilaku.
Kehilangan kemampuan intelektual secara progresif ini disebut demensia.
3
Tiga area otak yang paling banyak dipengaruhi oleh penyakit Alzheimer
adalah korteks serebri, hipokampus, serta ventrikel. Ditemukan pembentukan
gumpalan serta sel saraf yang kusut pada bagian korteks serebri, hipokampus yang
mengalami penyusutan, serta ventrikel atau ruang berisi cairan otak yang
mengalami pembesaran.
A. Diagnosa Penyakit Alzheimer
Menurut Gauthier (2007), selain kasus mutasi gen yang ditemukan pada
individu presymptomatic, tidak ada marker biologi yang teridentifikasi untuk
penderita penyakit Alzheimer yang memungkinkan deteksi praklinik atau diagnosa
definitif pramorbid. Temuan perubahan susunan saraf pusat yang berbeda-beda
pada setiap individu penderita membuat penyakit Alzheimer semakin sulit untuk
didiagnosa secara akurat. Diagnosa terhadap Alzheimer telah ditetapkan oleh
institusi gangguan saraf dan penyakit komunikatif Amerika Serikat (National
Institute of Neurological and Communicative Disorder) yang meliputi tahap
pemeriksaan klinis dan kognitif terhadap demensia tipe Alzheimer, pengukuran
kadar biomarker amiloid dan protein Tau, dan pemeriksaan patologi dan morfologi
otak dengan teknik MRI struktural (Dubois et al. 2010).
B. Diagnosa Banding Penyakit Alzheimer
Menurut Lewis dan Trempe (2017), vascular dementia merupakan
penyebab demensia yang paling sering ditemukan kedua setelah Alzheimer.
Demensia ini disebabkan oleh artherosklerosis, atau “pengerasan arteri”, di otak.
Menurut Pozo et al. (2011), terdapat akumulasi intrasel dari α-synuclein – limpahan
protein terminal sinaptik yang juga menjadi diagnosa banding penyakit Alzheimer,
yaitu penyakit Parkinson. Selain itu, lewy body dementia pun menjadi diagnosa
banding penyakit Alzheimer yang memiliki kemiripan berdasarkan kematian
neuron yang dialami (Lewis dan Trempe 2017). Penyakit lainnya yang menjadi
diagnosa penyakit Alzheimer adalah penyakit Pick. Penyakit ini menyebabkan
penderitanya mengalami perubahan personaliti biasanya mendahului hilangnya
memori dan gangguan kemampuan berbahasa, seperti gejala penderita penyakit
Alzheimer.
Hewan Model Penyakit Alzheimer
Studi yang dilakukan Duyckaerts et al. (2008), menggunakan mencit dan
tikus transgenik sebagai hewan model penyakit Alzheimer dapat menunjukkan
informasi tentang penyakit Alzheimer secara selular, jaringan dan organ. Namun,
hewan ini tidak dapat memberikan informasi patogenitas penyakit Alzheimer
karena hewan tersebut mendapatkan induksi. Hal ini melatarbelakangi penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Darusman et al. (2014b) untuk menggunakan hewan
4
primata sebagai hewan model penyakit Alzheimer karena hewan tersebut secara
alamiah akan mengalami kerusakan otak degeneratif sesuai dengan penderita
penyakit Alzheimer. Kedekatan filogeni dan kesamaan struktur anatomi otak
dengan manusia pun menjadi pertimbangan yang rasional untuk memilih hewan
primata sebagai hewan model penyakit Alzheimer. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan hewan primata memiliki tanda yang sesuai seperti manusia penderita
Alzheimer terutama pada aspek kemunduran kognitif. Hal ini memperkuat
pertimbangan penggunaan hewan primata sebagai model penyakit Alzheimer.
Hewan primata yang lazim digunakan pada penelitian neurodegenratif adalah
monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis. Namun, penelitian serupa juga
pernah dilakukan pada primata lainnya, yaitu simpanze (Pan troglodytes), gorila
(Gorilla gorilla gorilla), orangutan (Pongo pygmaeus), monyet resus (Macaca
mulatta), dan monyet ekor singa (Macaca silenus).
Sistem Saraf Pusat
Menurut Boolootian (1976), serebrum adalah bagian paling kompleks dari
sistem saraf pusat. Bagian kelabu atau substansia grissea dari otak besar yang
berada di superficial otak disebut korteks serebral. Korteks membagi organ otak
menjadi lobus frontal, temporal, parietal, oksipital dan limbikus. Bagian yang
berbeda dari korteks mengontrol bagian tubuh berbeda. Lobus frontalis, memiliki
fungsi mengontrol gerakan sadar yang bersifat motoris dan mengontrol emosi.
Lobus parietalis, berfungsi menerima rangsangan dari organ indra. Lobus
temporalis, berfungsi dalam pendengaran dan keseimbangan serta emosi dan
memori. Lobus oksipitalis, memberikan gambaran visual dari retina dan
mengartikan penglihatan. Lobus limbikus, aktif dalam memori dan emosi serta
respon perilaku (Nowinski 2011).
Menurut Garman (2011), sebagian besar neuron memiliki multiple dendrit
yang muncul dari badan sel. Namun, terdapat pula beberapa sel yang hanya
memiliki akson tunggal. Akson adalah bagian yang secara khusus melakukan
transport, konduksi antar gelombang depolarisasi dan transmisi sinaps. Substansi
Nissl yang muncul pada neuron ukuran besar, menggambarkan rough reticulum
endoplasmic (RER). Neuron besar dikarakterisasi dengan badan sel yang relatif
besar, nuklei dengan nukleoli tunggal dan keberadaan substansi Nissl. Hal ini tidak
dapat ditemukan pada neuron berukuran kecil. Hematoksilin Eosin dapat
menggambarkan sitoplasma yang bersifat eosinofilik dan dapat pula berguna untuk
melakukan pengamatan pada neuron degenerasi.
5
Perubahan Histopatologi Sistem Saraf Pusat
Lesio yang dapat ditemukan pada monyet ekor panjang terindikasi penyakit
Alzheimer adalah neurofibrillary tangles, granulovacuolar disease, senile plaque,
apoptosis, hirano bodies, dan cerebral amyloid angiopathy.
Neurofibrillary Tangles (NFT)
NFT merupakan protein tau terpilin berbentuk mikrotubuli yang mengalami
proses misfolded dan secara tidak normal mengalami hiperfosforilasi. Menurut
Pozo et al. (2011) tau adalah protein mikrotubuli yang terasosiasi secara normal
pada axon, yang secara fisiologi memfasilitasi transport axonal dengan mengikat
dan menstabilkan mikrotubuli. Pozo et al. (2011) menggambarkan lesio NFT
sebagai inklusi filamen intraneuronal di dalam regio perikaryal pada neuron
piramidal. Menurut Perl et al. (2010), NFT muncul sebagai fibril yang menebal
mengelilingi nukleus dan memanjang hingga bagian apikal dendrit di dalam neuron
piramid. Jika NFT muncul di dalam neuron dengan konfigurasi yang lebih bundar,
inklusi muncul sebagai pilinan serat melingkar, yang disebut globoid NFT. NFT
dapat diamati dengan pewarnaan Silver nitrat, Thioflavin-S, Merah Kongo, dan
Hematoksilin Eosin (Pozo et al. 2011; Elder et al. 2010; Uchihara et al. 2016;
Hyman et al. 2011).
Granulovacuolar Disease (GVD)
Menurut Reisberg (1983), GVD sangat deskriptif untuk beberapa perubahan
yang muncul di dalam sel. Secara spesifik, interior sel yang mengalami degenerasi
ini dipenuhi dengan vakuola dan material granula. Menurut Pozo et al. (2011),
GVD adalah lesio yang muncul pada sitoplasma neuron piramida hipokampus dari
pasien penyakit Alzheimer. GVD mengandung akumulasi double-membrane
bodies dalam jumlah yang banyak.
Menurut Pozo et al. (2011) GVD diperkirakan berasal dari retikulum
endoplasmik yang menggambarkan stress granules, karena GVD positif untuk
beberapa stress kinases. Berdasarkan marker autophagic yang positif, dapat diduga
bahwa GVD adalah tahap akhir dari vakuola autophagi. GVD dapat diamati di
bawah mikroskop dengan Silver nitrate, Immunohistokimia, dan Hematoksilin
Eosin (Pozo et al. 2011; Perl et al. 2010).
Senile Plaque (SP)
Menurut Cvetkovic-Dozic et al. (2001), SP adalah fokus dengan perbesaran
axon, terminal sinaptik dan dendrit, terkait dengan amiloid ekstraselular. SP muncul
sebagai area spherical dengan inti positif amiloid yang dikelilingi dengan material
argentophilic. Menurut Pozo et al. (2011) SP adalah akumulasi ekstraselular dan
deposisi peptida amiloid beta dengan asam amino 40 atau 42, dua produk
6
metabolisme amyloid precursor protein (APP) setelah pembelahan berurutan
dengan enzim beta dan gama sekretase di neuron.
Menurut Cvetkovic-Dozic et al. (2001), terdapat beberapa subtipe plak, dua
yang paling menonjol adalah plak diffuse dan klasik. Diffuse atau plak immature
mengandung amiloid beta dalam bentuk tak teragregasi, bebas dari keterkaitan
neuritik. Bentuk ini dapat melakukan agregasi pada beberapa tahap penyakit. Plak
klasik mengandung fibril dengan agregasi inti amiloid beta yang dikelilingi oleh
lingkaran dengan dystrophic neurites, mikroglia aktif dan astrosit reaktif pada tepi.
Dystrophic neurites di dalam plak mengandung axon, dendrit dan terminal sinaptik
yang memanjang. SP dapat diamati di bawah mikroskop dengan pewarnaan
Thioflavin-S, Merah Kongo, dan Hematoksilin eosin (Pozo et al. 2011; Nogueira
et al. 2016; Uchihara et al. 2016; Hyman et al. 2011; Heuer et al. 2012; Perl 2010;
Kristianingrum 2014).
Apoptosis
Menurut Gorman (2008), apoptosis didefinisikan sebagai ‘nekrosa
penyusutan’, karena menggambarkan kondensasi dan fragmentasi pada nuklei yang
menyusut. Apoptosis muncul pada diagnosa postmortem jaringan otak penderita
penyakit Alzheimer, menunjukkan adanya caspases aktif yaitu enzim yang
berperan pada program kematian sel. Model in vitro menunjukkan bahwa beta
amiloid dapat menginduksi apoptosis, hal ini diperkuat Overmyer (2002), sel
apoptosis dapat dipicu oleh keberadaan sinyal eksternal seperti amiloid beta.
Menurut Garman (2011), apoptosis dapat diamati di bawah mikroskop dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin.
Hirano bodies
Degenerasi hirano bodies adalah lesio yang dapat ditemukan pada
sitoplasma neuron piramidal pada hipokampus. Hirano bodies menyerupai badan
inklusi intrasitoplasmik yang bersifat eosinofilik yang mengandung filamen
berukuran 6-10 nm (Remedios dan Chhabra, 2008). Pada penderita penyakit
Alzheimer, jumlah hirano bodies secara abnormal mengalami peningkatan dan
tersebar di neuron pada stratum piramidal. Hirano bodies ini dapat dideteksi dengan
pewarnaan immunohistokimia (Pozo et al. 2011). Menurut Remedios dan Chhabra
(2008), hirano bodies dapat memengaruhi bagian otak yang memiliki fungsi
pembentukan memori baru, sehingga keberadaan lesio ini dapat mengakibatkan
penurunan kemampuan kognitif.
Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA)
Menurut Heuer et al. (2012), cerebral amyloid angiopathy (CAA) adalah
akumulasi amiloid beta pada dinding atau tunika media pembuluh darah cerebral.
Pada manusia, CAA memengaruhi arteri dan arteriol leptomeningeal, dan muncul
7
lebih sedikit pada vena dan kapiler. CAA kapiler memiliki korelasi yang kuat
dengan petologi penyakit Alzheimer serta penurunan kognitif. CAA dapat dideteksi
menggunakan pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi terhadap amiloid beta.
CAA yang terjadi pada tingkat yang parah mengakibatkan dinding pembuluh darah
yang melemah, sehingga dapat mengakibatkan hemoragi lobar (Pozo et al. 2011).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pembuatan preparat histopatologi dan pengamatan preparat dilakukan pada
laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dramaga. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2017 hingga bulan Mei
2018.
Bahan dan Alat
Bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah blok parafin jaringan otak
sembilan individu monyet ekor panjang berusia di atas 20 tahun terindikasi penyakit
Alzheimer yang sudah pernah digunakan pada penelitian Darusman et al. (2013a,
2013b). Hewan yang digunakan pada penelitian tersebut telah mendapatkan
persetujuan dari Instutional Animal Care and Use Committee (IACUC) Pusat Studi
Satwa Primata dengan lisensi PRC IPB 13-11-IR. Alkohol dengan konsentrasi
bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%), alkohol absolut, silol, parafin, larutan Mayer’s
haematoxylin, larutan Eosin, air, bersih, serta perekat Permount. Alat yang
dibutuhkan adalah mikrotom, kaca obyek, staining jar, rak untuk pewarnaan kaca
penutup, dan mikroskop cahaya.
Prosedur Penelitian
Dilakukan prosedur pembuatan preparat histopatologi hingga pewarnaan
menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin pada studi ini. Pengamatan
kemudian dilakukan pada 100 neuron dari setiap individu, lalu data dianalisa secara
kualitatif dan semikuantitatif tipe ordinal. Konfirmasi terhadap hasil pengamatan
scara kualitatif dilaksanakan oleh peneliti patologi yang tersertifikas di
Departermen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB
agar hasil yang ditemukan sesuai dengan gambar histopatologi pada rujukan.
8
Pembuatan Preparat Histopatologi
Pada proses pembuatan preparat histopatologi jaringan otak dibutuhkan
bahan utama berupa blok parafin jaringan otak monyet ekor panjang dari lobus
temporal yang telah digunakan oleh penelitian sebelumnya (Darusman et al 2014a,
2014b). Selanjutnya blok tersebut diiris dengan ketebalan 3 – 5 µm menggunakan
alat mikrotom dan potongan tersebut dilekatkan pada kaca obyek.
Pewarnaan Preparat
Preparat jaringan otak yang telah dilekatkan pada kaca objek kemudian
melalui proses deparafinisasi dengan dilakukan pencelupan ke dalam larutan silol
sebanyak 2 kali ulangan selama 30 menit pada setiap larutan. Proses rehidrasi
kemudian dilakukan secara bertahap pada jaringan tersebut dalam larutan alkohol
absolut selama 2 menit kemudian dipindahkan dalam larutan alkohol bertingkat
mulai dari 95% hingga 70% masing-masing selama 1 menit, lalu dicuci dengan air
mengalir. Perendaman jaringan otak kemudian dilakukan di dalam pewarnaan
Mayer’s haematoxylin selama 8 menit kemudian jaringan dicuci dengan air
mengalir selama 2 menit.
Proses pewarnaan Eosin selanjutnya dilakukan selama 2-3 menit, kemudian
jaringan dicuci dengan air mengalir. Tahapan selanjutnya adalah proses dehidrasi
dengan menggunakan larutan alkohol 95% dan alkohol absolut sebanyak 2 kali
pengulangan, masing-masing selama 2 menit. Lalu dilakukan perendaman preparat
dengan silol sebanyak 2 kali pengulangan masing-masing selama 2 menit. Tahapan
terakhir jaringan ditutup dengan kaca penutup menggunakan bahan perekat
Permount.
Pengamatan Preparat
Setiap preparat jaringan otak Macaca fascicularis yang telah diwarnai
dengan Hematoksilin Eosin diamati dibawah mikroskop cahaya. Pengamatan
dilakukan dengan perbesaran 40x untuk mengamati 100 neuron pada setiap organ
otak beserta pembuluh darah dan jaringan di sekelilingnya.
Pengolahan Data
Hasil yang diperoleh berdasarkan pengamatan lesio yang terdapat pada 100
neuron, serta keseluruhan jaringan yang terdapat pada preparat histopatologi.
Analisa lesio secara semikuantitatif tipe ordinal dan deskriptif dilakukan pada
penelitian ini. Gibson-Corley et al. (2013) analisa secara semikuantitatif tipe
ordinal membagi suatu temuan lesio dalam beberapa tingkat, yaitu tingkat 0 jika
9
tidak ditemukan lesio, I jika terdapat <25% lesio, II jika terdapat 26-50% lesio, III
jika terdapat 51-75% lesio, dan IV jika terdapat 76-100% lesio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan histopatologi dari sembilan organ otak monyet
ekor panjang terindikasi penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer, ditemukan
empat jenis lesio yang diperkirakan sebagai biomarka penyakit Alzheimer. Lesio
yang ditemukan berupa neurofibrillary tangle (NFT), granulovacuolar disease
(GVD), senile plaque (SP), dan apoptosis.
Neurofibrillary tangle (NFT)
Ditemukan lesio yang menyerupai NFT pada manusia pada pengamatan
regio mediotemporal dan hipokampus. Hasil pengamatan morfologi lesio tersebut
ditunjukkan pada Gambar 1.
A B C Gambar 1 Perbandingan morfologi literatur NFT dengan hasil pengamatan. (A) NFT dengan
perbesaran 400x. Gambar direproduksi dari Frontal Cortex (2013); (B dan C) dan hasil
pengamatan NFT.
Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya neuron yang memiliki
gumpalan berwarna gelap pada bagian serabut. Hal ini serupa dengan NFT yang
ditemukan pada penyakit Alzheimer yang dialami manusia. Berdasarkan literatur,
NFT adalah sebuah lesio yang ditandai dengan penebalan serabut neuron (Pozo et
al. 2011). Pada pengamatan regio mediotemporal dan hipokampus ditemukan lesio
menyerupai NFT yang berbentuk memanjang pada serabut neuron serta NFT
berbentuk globoid, yaitu NFT yang muncul dalam neuron yang berbentuk lebih
bulat. Hasil perhitungan NFT selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
10
Tabel 1 Hasil pengamatan histopatologi lesio NFT
Tatto Regio Temuan lesio
NFT (%)
MF 9661 4 Mediotemporal 10
Hipokampus 34
MF 9661 3 Mediotemporal -
MF 9661 2 Mediotemporal 7
312.3 Mediotemporal -
112.3 Mediotemporal 4
112.2 Mediotemporal 2
68.3 Mediotemporal 41
Hipokampus 40
85.3 Mediotemporal 16
11P Mediotemporal 30
Pengamatan lesio NFT dengan metode semikuantitatif tipe ordinal pada
regio mediotemporal dari sembilan individu yang diamati menunjukkan bahwa
terdapat dua individu pada tingkat 0, lima individu pada tingkat I dan dua individu
pada tingkat II. Sedangkan, pada pengamatan regio hipokampus dari dua individu,
keduanya menunjukkan keparahan pada tingkat II. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa terdapatnya perbedaan jumlah NFT pada setiap regio serebrum yang
berbeda. Keberadaan NFT lebih tinggi pada daerah hipokampus dibandingkan
dengan mediotemporal. Hal ini mungkin serupa dengan perkembangan penyakit
Alzheimer pada manusia yang terjadi lebih dulu di daerah hipokampus daripada
bagian lainnya. NFT yang terbentuk pada serebrum dapat terjadi karena protein tau
yang mengalamai proses misfolded dan secara tidak normal mengalami
hiperfosforilasi. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya penumpukan amiloid yang
menyebabkan terhentinya hubungan antar sinaps sehingga banyak sel neuron
mengalami kematian dan proses metabolisme sel yang abnormal (Pozo et al. 2011).
Keberadaan NFT menjelaskan terjadinya penurunan kognitif pada monyet
ekor panjang terindikasi penyakit Alzheimer yang dikemukakan pada penelitian
Darusman (2014b) sebelumnya. Penurunan awal memori episodik yang menonjol
pada penderita Alzheimer terjadi karena isolasi stuktur medial lobus temporal dari
asosiasi isokorteks dan nuklei subkortikal karena mengalami degenerasi NFT yang
besar. Penurunan domain kognitif tambahan tersebut berupa disfungsi eksekutif
(korteks prefrontal), apraxia (korteks parietal), penurunan navigasi visuospasial
(korteks oksipitoparietal), penurunan persepsi visual (korteks oksipotoparietal), dan
memori semantik (korteks anterior temporal) sehingga menimbulkan sindrom
demensia (Pozo et al. 2011).
11
Granulovacuolar Disease (GVD)
Hasil pengamatan menunjukkan beberapa neuron yang memiliki lesio
seperti GVD pada manusia. Lesio tersebut merupakan vakuola bersifat basofilik
pada sitoplasma neuron. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
GVD merupakan sel yang mengalami degenerasi dengan tanda vakuola dan
material granula (Reisberg 1983).
A B C Gambar 2 Perbandingan morfologi GVD literatur dengan hasil pengamatan. (A) GVD dengan
perbesaran 40x, gambar direproduksi dari University of California San Fransisco (2003);
(B dan C) hasil pengamatan GVD.
Terdapat jumlah temuan GVD yang berbeda pada setiap regio serebrum.
Hasil pengamatan regio hipokampus dan mediotemporal yang dilakukan pada studi
ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pengamatan histopatologi lesio GVD
Tatto Regio
Temuan Lesio
GVD (%)
MF 9661 4 Mediotemporal 3
Hipokampus 14
MF 9661 3 Mediotemporal 5
MF 9661 2 Mediotemporal 2
312.3 Mediotemporal -
112.3 Mediotemporal 1
112.2 Mediotemporal -
68.3 Mediotemporal 5
Hipokampus 7
85.3 Mediotemporal 3
11P Mediotemporal 17
Hasil analisa lesio GVD pada regio mediotemporal dengan metode
semikuantitatif tipe ordinal adalah dua individu pada tingkat 0, dan tujuh individu
pada tingkat I. Hasil pengamatan pada dua individu yang diamati pada regio
hipokampus, yaitu keduanya pada tingkat I. Pengamatan ini menunjukkan jumlah
yang tidak berkorelasi terhadap perbedaan regio. Menurut Funk et al. (2011), GVD
12
diobservasi pada penyakit Alzheimer dan dapat dideteksi pada neuron piramidal
hipokampus. GVD juga dapat menyerang bagian otak lainnya dan dapat ditemukan
pada demensia yang terkait dengan penuaan diikuti dengan degenerasi lobus
frontotemporal.
Keparahan GVD pada monyet ekor panjang terindikasi penyakit Alzheimer
berkorelasi dengan keparahan NFT. Hal ini sesuai dengan Funk et al. (2011) yang
meyatakan keparahan GVD meningkat seiring peningkatan densitas lesio NFT dan
berkorelasi tinggi dengan penurunan kinerja memori episodik. Hal ini menunjukkan
bahwa terbentuknya GVD menyerupai pembentukan NFT, yang diakibatkan karena
penumpukan amiloid pada penyakit Alzheimer yang mengakibatkan terputusnya
hubungan antar sinaps. Putusnya hubungan antar sinaps mengakibatkan terjadinya
kerusakan atau kematian sel neuron, dan GVD merupakan salah satu tahapannya
Funk et al. (2011).
Senile Plaque (SP)
Hasil pengamatan sembilan organ otak monyet ekor panjang menunjukkan
hanya satu individu yang terdapat lesio menyerupai SP pada manusia. Pada individu
dengan tattoo MF 9661 2, lesio ini ditemukan pada regio mediotemporal sebagai
gumpalan eosinofilik yang berbetuk lingkaran di luar sel neuron. SP yang
ditemukan pada individu MF 9661 2 merupakan SP yang memiliki subtipe diffuse.
A B C Gambar 3 Perbandingan morfologi SP literatur dengan hasil pengamatan. (A) SP dengan perbesaran
40x, gambar direproduksi dari Anonim (2013); (B dan C) hasil pengamatan SP.
Menurut Pozo et al. (2011), studi patologiklinik menyatakan bahwa amiloid
tidak berkorelasi dengan keparahan atau durasi demensia. Keberadaan amiloid
mungkin mencapai jumlah yang tinggi pada awal gejala kognitif atau bahkan pada
tahap praklinik, namun ukuran plak tidak berkembang secara signifikan dengan
progresi penyakit.
Temuan SP hanya pada satu individu yang megalami tingkat NFT rendah
dari keseluruhan individu, serupa dengan penelitian Darusman (2014b) yang
menyatakan bahwa SP dan NFT tidak ditemukan pada lokasi yang sama. Hal ini
bertolak belakang dengan lesio patologi pada Alzheimer di manusia.
13
Apoptosis
Salah satu dari sembilan preparat histopatologi monyet ekor panjang
terindikasi penyakit Alzheimer dengan tattoo 312.3 menunjukkan gambaran neuron
yang menyusut dan bersifat eosinofilik pada regio mediotemporal. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menggambarkan bahwa apoptosis merupakan sel yang
mengalami kondensasi dan fragmentasi pada nuklei yang menyusut (Garman
2011).
A B C Gambar 4 Perbandingan morfologi apoptosis literatur dengan hasil pengamatan. (A) Literatur
apoptosis dengan perbesaran 277x. Gambar direproduksi dari Garman (2011); (B dan C)
hasil pengamatan apoptosis.
Lesio apoptosis yang ditemukan mencapai 95%, berdasarkan analisis
semikuantitatif tipe ordinal menyatakan bahwa lesio ini mencapai derajat IV. Sel
yang mengalami apoptosis pada seluruh lapang pandang pada individu 312.3
menyebabkan tidak ditemukannya pengamatan lesio NFT dan GVD. Hal ini
disebabkan bentuk sel neuron yang menyusut.
Menurut Overmyer (2002), sel apoptosis dapat dipicu oleh keberadaan
sinyal eksternal seperti amiloid beta. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa
temuan apoptosis yang ditemukan pada individu dengan tattoo 312.3 diakibatkan
oleh keberadaan amiloid beta.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Seluruh individu monyet ekor panjang yang dipelajari memiliki potensi
terindikasi penyakit neurodegeneratif tipe Alzheimer dengan gambaran
histopatologi lesio neurofibrillary tangle (NFT), granulovacuolar disease (GVD),
senile plaque (SP) dan apoptosis. NFT dan GVD memiliki korespondensi dengan
tingkat keparahan penyakit. Temuan histopatologi NFT tidak berkorespondensi
dengan SP yang diamati. Studi ini memperkuat hipotesa penggunaan monyet ekor
panjang sebagai hewan model penyakit Alzheimer dengan fokus patologi amiloid.
14
Saran
Perubahan lesio histopatologi yang diamati pada studi ini dapat dijadikan
variabel pengamatan bagi penelitian selanjutnya terkait penyakit neurodegeneratif
pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Pewarnaan khusus seperti
imunohistokimia, kongo merah, dan silver nitrat dapat dilakukan untuk melakukan
validasi lebih lanjut terhadap lesio yang sudah ditemukan pada preparat dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin.
DAFTAR PUSTAKA
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Lansia yang
sehat, lansia yang jauh dari demensia. Depkes [Internet]. [diunduh 2017 Jul
24]. Tersedia pada:
http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-yang-
sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html.
Anonim. 2013. Alzheimer’s Update: Researchers Find Link Between Beta-Amyloid
and Plaque Blocking Brain Function. [Internet]. [diakses 2018 Juni 2].
Tersedia pada: https://www.medicaldaily.com/alzheimers-update-
researchers-find-link-between-beta-amyloid-and-plaque-blocking-brain-
function.
Boolootian RA, Stilees KA. 1976. College Zoology. Ninth Edition. New York (US):
Macmillan Publishing Co, Inc.
Cvetkovic-Dozic D, Skender-Gazibara M, Dozic S. 2011. Neuropathological
hallmarks of Alzheimer’s disease. Archive of Oncology. 9(3):195-199.
Darusman HS, Call J, Sajuthi D, Schapiro SJ, Gjedde A, Kalliokoski O, Hau J
(2013a) Delayed response task performance as a function of age in
cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Primatas. 19: 1-9.
Darusman HS, Sajuthi D, Kalliokoski O, Jacobsen KR, Call J, Schapiro SJ, Gjedde
A, Abelson KSP, Hau J. (2013b) Correlations between serum levels of beta
amyloid, cerebrospinal levels of tau and phospho tau, and delayed response
tasks in young and aged cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis).
Medical Primatology. 42: 137-146.
Darusman HS, Pandelaki J, Mulyadi R, Sajuthi D, Putri IA, Kalliokoski OH, Call
J, Abelson KS, Schapiro SJ, Gjedde A, Hau J. (2014a) Poor memory
performance in aged cynomolgus monkeys with hippocampal atrophy,
depletion of amyloid beta 1-42 and accumulation of tau proteins in
cerebrospinal fluid. In Vivo. 28(2):173-84. Darusman HS, Kalliokoski O, Sajuthi D, Schapiro SJ, Gjedde A, Hau J. (2014b)
The success rate in a complicated spatial memory test is determined by age,
sex, life history and search strategies in cynomolgus monkeys. In Vivo.
28(5):741-50.
15
Dubois B, Feldman HH, Jacova C, Cummings JL, DeKosky ST, Barberger-Gateau
P, Delacourte A, Fox NC, Galasko D, Gautier S, Hamper L, JIcha GA,
Meguro L, O’Brien J, Paquier F, Robert P, Rossor M, Saloway M, Sarazin M,
de Souza LC, Stern Y, Visser PJ, Seltens P. 2010. Revising the definition of
Alzheimer’s disease: a nex lexicon. Lancet Neurol 9: 1118-1127.
Duyckaerts C, Potier MC and Delatour B. 2008. Alzheimer’s disease model and
human neurophatology: Similarities and differences. Acta Neropatrol 115:5-
38.
Elder GA, Sosa MAG, Gasperi RD. 2010. Transgenic mouse models of
Alzheimer’s Disease. Mt Sinai J Med. 77(1): 69-81.
Frontal Cortex. 2009. Alzheimer Disease. [Internet]. [diakses 2018 Juni 2]. Tersedia
pada: http://frontalcortex.com/?page=oll&topic=24&qid=121.
Funk KE, Mrak RE, Kuret J. 2011. Granulovacuolar degeneration bodies of
Alzheimer disease resemble late-stage autphagic organelles. Neuropathol
Appl Neurobiol. 37(3): 295-396.
Garman RH. 2011. Histology of Central Nervous System. Toxicologic Pathology.
39: 23-25.
Gauthier, S. 2007. Clinical Diagnosis and Management of Alzheimer’s Disease.
London (UK): Informa Health.
Gibson-Corley KN, Olivier AK, Meyerholz DK. 2013. Principles for valid
histopathologic scoring in research. Vet Pathol. 50(6).
Gorman AM. 2008. Neuronal cell death in neurodegenerative diseases: recurring
themes around protein handling. J Cell Mol Med. 12(6a):2263-2280.
Heuer E, Rosen RF, CIntroA, Walker LC. 2012. Nonhuman primate models of
Alzheimer-Like cerebral proteopathy. Curr Pharm Des.18(8): 1159-1169.
Hyman BT, Phelps CH, Beach TG, Bigio EH, Carins NJ, Carrillo MC, Dickson
DW, Duyckaerts C, Frosch MP, Masliah E, Mirra SS, Nelson PT, Schneider
JA, Thal DR, Thies B, Trojanowski JQ, Vinters HV, Montine TJ. 2012.
National Institute on Aging-Alzheimer’s Association guidelines for the
neuropathologic assessment of Alzheimer’s disease. Acta Neuropathol.
123:1-11.
Kelly, EB. 2008. Alzheimer’s Disease. New York [USA]: Chelsea House.
Kristianingrum, YP. 2014. Potensi Terapi Hormon Tetosteron terhadap Ekspresi B
Amyloid pada Marmut sebagai Model Penyakit Alzheimer. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Lekagul B, Mc Neely. 1988. Mammals of Thailand 2nd edition. Bangkok [TH]:
Kurusapha Ladprao Press.
Lewis TJ, Trempe CL. 2017. The End of Alzheimer’s: The Brain and Beyond.
London (UK): Elsevier.
Napier JR, Npier PH. 1985. The Natural History of the Primates. Cambrige (UK):
The MIT Pr.
Nogueira ML, Epelbaum S, Steyaert JM, Dubois B, Schwartz. 2016. Mechanical
stress models of Alzheimer’s disease pathology. Alzheimer’s and Dementia.
Nowinski WL. 2011. Introduction to Brain Anatomy. Berlin (DE): Springer
Science.
Ong P, Richardson M. 2008. Macaca fascicularis. The IUCN Red List of
Threatened Species [Internet]. [diunduh 2017 Aug 19]. Tersedia pada:
http://www.iucnredlist.org/details/12551/0.
16
Overmyer M. 2002. Gliosis in relation to Alzheimer’s Hallmark Lesions in Aging
and Alzheimer Disease. Kuopio (FI): University of Kuopio.
Perl DP. 2010. Neuropathology of Alzeheimer’s Disease. Mt Sinai J Med. 77(1):32-
34.
Pozo AS, Frosch MP, Maliah E, Hyman BT. 2011. Neuropathological alterations
in Alzheimer Disease. Cold Spring Harb Perspect Med. 2011;1:a006189.
Reisberg B. 1983. A Guide to Alzheimer’s Disease. New York (US): The Free
Press.
Remedios CG, Chhabra D. 2008. Actin-Binding Proteins and Disease. New York
(US): Springer.
Uchihara T, Endo K, Kondo H, Okabayashi S, Shimozawa N, Yasutomi Y, Adachi
E, Kimura N. 2016. Tau pathology in aged cynomolgus mokeys is
progressive supranuclear palsy/corticobasal degeneration- but not Alzheimer
disease-like –Ultrastuctural mapping of tau by EDX. Acta Neuropathologica
Communications.
University of California San Fransisco. 2003. Neurofibrillary Tangles and
Granulovacuolar Degeneration. [Internet]. [diakses 2018 juni 2]. Tersedia
pada: http://missinglink.ucsf.edu/lm/ids_104_neurodegenerative/case1.
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada 17 Mei 1996 dari ayah Raden Achmad
Kosasih Kusumaputra Natakusumah (alm) dan Ibu Rabiah Penniati Triputra
Rasahan. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2014 penulis lulus
dari SMAN 9 Kota Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Hewan lewat jalur Ujian Talenta Mandiri IPB. Selama mengikuti
perkuliahan, penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia
sebagai anggota Pengurus Cabang IPB (2015) dan Himpunan Profesi Satwa Liar
FKH IPB.