gambar penatalksanaan frktr.pdf

Upload: echa-rianti-sosanta

Post on 09-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Konsep Teori Fraktur

    II.1.1 Defenisi Fraktur

    Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur

    menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

    ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur

    atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau

    tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000)

    memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.

    Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

    fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau

    patah pada tulang yang utuh. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,

    tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Chairudin Rasjad,

    1998).

    Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh

    trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan

    jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

    terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila

    seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan

    seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. price, 1999). Pada beberapa keadaan

    trauma muskuloskeletal, sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan.

    Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara

    kedua permukaan sendi secara komplet/lengkap (Jeffrey M. spivak et al.,

    1999). Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan yang normal

    antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut

    (Jeffrey M. Spivak et al., 1999).

    Disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,

    retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh

  • 8

    trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya

    trauma.

    II.1.2 Etiologi

    Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan

    tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan

    berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan

    membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis

    tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi,

    kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah,

    misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak

    (Arif muttaqin, 2008).

    Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan

    puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002).

    Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang

    berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya

    fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan

    olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan

    bermotor.

    Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada

    laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang

    terkait dengan perubahan hormone pada menopause (Reeves, 2001).

    II.1.3 Manifestasi klinis

    Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

    pemendekan ekstremitas, krepituis, pembekakan lokal, dan perubahan warna

    (smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa

    sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

    a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

    di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan

  • 9

    bentuk badai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan

    antar fragmen tulang.

    b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan

    cendrung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)

    bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada

    fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat

    maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan

    membandingkan ekstermitas normal.ekstermitas tak dapat berfungsi

    dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas

    tulang tempat melengketnya otot.

    c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang

    sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah

    tempat fraktur. Fragmen sering Saling melingkupi satu sama lain

    sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).

    d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

    dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

    dengan yang lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan

    jaringan lunak yang lebih berat.

    e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

    akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa

    baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

    II.1.4 Klasifikasi fraktur

    Fraktur diklasifikasikan dalam beberapa keadaan berikut.

    a. Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai

    tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu

    menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.

    b. Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang tulang

    sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur

    patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah

  • 10

    karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali

    menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari

    fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik tumor primer

    maupun metastasis.

    c. Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus

    pada suatu tempat tertentu.

    Gambar 2.1 gambaran skematis secara klinis dari fraktur

    Klasifikasi jenis sangat umum digunakan dalam konsep fraktur pada

    beberapa sumber. Jenis-jenis fraktur tersebut adalah simple fraktur

    (fraktur tertutup), compound fracture (fraktur terbuka), transverse

    fraktur (fraktur transversal/sepanjang garis tengah tulang), spiral fraktur

    (fraktur yang memuntir seputar batang tulang), impact fraktur (fragmen

    tulang terdorong ke fragmen tulang lain), greenstick fraktur (salah satu

    tulang patah, sedangkan sisi lainnya membengkok), comminuted fraktur

    (tulang pecah menjadi beberapa fragmen).

    Secara umum, keadaan fraktur secara klinis dapat diklasifikasikan

    sebagai berikut.

    a. Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah fraktur yang

    fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur

    tidak tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan

    dunia luar.

  • 11

    b. Fraktur terbuka (compound fraktur). Fraktur terbuka adalah fraktur

    yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada

    kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam),

    atau from without (dari luar).

    Gambar 2.2. Beberapa gambaran radiologik konfigurasi fraktur

    A. Transversal B. Spiral dan Segmental C. Segmental

    D. Spiral dan segmental E. Komunitif F. Depresi

    II.1.5 Patofisiologi

  • 12

  • 13

    II.1.6 Komplikasi Fraktur

    a. Komplikasi dini

    Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca

    trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca

    trauma disebut komplikasi lanjut.

    1) Pada Tulang

    a) Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

    b) Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau

    tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat

    menimbulkan delayed union atau bahkan non union.

    Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif

    yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi

    yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago

    sendi dan berakhir dengan degenerasi.

    2) Pada Jaringan lunak

    a) Lepuh, Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit

    superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup

    kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.

    b) Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang

    oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal

    pada daerah-daerah yang menonjol

    3) Pada Otot

    Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot

    tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek

    melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.

    Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup

    lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley &

    Solomon, 1993).

  • 14

    4) Pada pembuluh darah

    Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus

    menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung

    pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti

    spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi

    bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan

    reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh

    darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima

    pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus pada

    kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat

    terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu

    dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi

    (Apley & Solomon, 1993)

    5) Pada saraf

    Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),

    aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka

    dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley &

    Solomon,1993).

    b. Komplikasi lanjut

    Pada tulang dapat berupa mal union, delayed union atau non union. Pada

    pemeriksaaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan

    atau perpanjang.

    1) Delayed union

    Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara

    normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan

    sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6

    bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan

    cancellus grafting (12-16 minggu).

  • 15

    2) Non union

    Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe

    I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan

    fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang

    masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi

    fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) disebut juga

    sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul

    sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, rosesunion tidak

    akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

    3) Mal union

    Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan

    deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.

    4) Osteomielitis

    Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan

    operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed

    union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota

    gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi

    tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.

    5) Kekakuan sendi

    Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan

    imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,

    perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.

    Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan

    melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

    periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita

    dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

  • 16

    II.1.7 Faktor penyembuhan tulang

    Faktor-faktor yang menentukan lama penyembuhan fraktur adalah

    sebagai berikut.

    a) Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih

    cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktivitas

    proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta proses

    pembentukan tulang pada bayi sangan aktif. Apabila usia bertambah,

    proses tersebut semakin berkurang.

    b) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang

    peranan penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada

    fraktur diafisis. Di samping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur

    transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan

    fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.

    c) Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteumnya tidak

    bergeser, penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan

    dengan fraktur yang bergeser.

    d) Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen

    mempunyai vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa

    komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur memeiliki vaskularisasi yang

    jelek sehingga mengalami kematian, pembentukan union akan

    terhambat atau mungkin terjadi nonunion.

    e) Reduksi serta imoblisasi. Reposisi fraktur akan memberikan

    kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk

    asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan

    kerusakan pembuluh darah yang menggangu penyembuhan fraktur.

    f) Waktu imobilisasi. Bila imoblisasi tidak dilakukan sesuai waktu

    penyembuhan sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya non-

    union sangat besar.

  • 17

    g) Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi jaringan, baik

    berupa periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya akan

    mengahambat vaskularisasi kedua ujung fraktur.

    h) Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal.

    i) Cairan sinovial. Cairan sinovial yang terdapat pada persendian

    merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur.

    j) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif

    pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur.

    Akan tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa

    imobilisasi yang baik juga akan menggangu vaskularisasi.

    Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan.

    Secara kasar, waktu penyembuhan pada anak waktu penyembuhan

    orang dewasa. Faktor lain yang mempercepat adalah penyembuhan

    fraktur adalah nutrisi yang baik, hormone-hormon pertumbuhan, tiroid,

    kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolic, seperti kortikosteroid

    (menghambat kecepatan perbaikan).

    II.1.8 Pemeriksaan Penunjang

    a. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada

    korteks tulang).

    b. Tomografi, CT Scan, MRI (jarang).

    c. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang

    terutama berguna ketika radiografi/ CT Scan memberikan hasil

    negatif pada kecurigaan fraktur secara klinis

    II.1.9 Prinsip Dan Metode Pengobatan Fraktur

    1. Prinsip Penanganan Fraktur

    Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

    pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi

    (smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang

  • 18

    pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai

    reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi

    terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada

    sifat frakturnya.

    Ada kebanyakan kasus, reproduksi tertutupdilakukan dengan

    mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling

    berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi

    dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

    Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

    Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan

    pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam

    bentuk pin, kawat, skrup, paku atau batangan logam dapat digunakan

    untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

    penyembuhan tulang solid terjadi.

    Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah

    mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan

    kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat

    dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna

    meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan tehnik gips.

    Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.

    Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat

    dilakukan dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau

    status neurovaskular, latihan isometrik, dan memotivasi klien intuk

    berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

    2. Prinsip-Prinsip Pengobatan Fraktur

    1) Penatalaksanaan awal

    Sebelum dilakukan pengobatan defenitif pada satu fraktur, maka

    diperlukan:

    a) Pertolongan pertama

  • 19

    Pada penderita fraktur yang penting dilakukan adalah

    membersihkan jalan napas, menutup luka dengan verban

    bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang

    terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri

    sebelum diangkut dengan ambulans.

    b) Penilaian klinis

    Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian

    klinis, pakah luka itu tembus tulang, adakah trauma

    pembuluh darah/saraf ataukah trauma alat-alat dalam yang

    lain.

    c) Resusitasi

    Kebanyakan penderita fraktur multiple tiba di rumah sakit

    dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum

    diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian

    transfuse darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.

    2) Prinsip umum pengobatan fraktur

    Ada enam prinsip pengobatan fraktur :

    a) Jangan membuat keadaan lebih jelek

    Beberapa komplikasi fraktur terjadi akibat trauma yang antara

    lain disebabkan karena pengobatan yang diberikan disebut

    sebagai iatrogenic. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena

    banyak kasus terjadi akibat penanganan dokter yang

    menimbulkan komplikasi atau memperburuk keadaan fraktur

    yang ada sehingga merupakan kasus malpraktek yang dapat

    menjadi kasus di pengadilan. Beberapa komplikasi yang

    bersifat iatrogenic, dapat dihindarkan apabila kita dapat

    mencegahnya dengan melakukan tindakan yang memadai

    seperti mencegah kerusakan jaringan lunak pada saat

  • 20

    transportasi penderita, serta luka terbuka dengan perawatan

    yang tepat.

    b) Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang

    akurat

    Dengan melakukan diagnosis yang tepat pada fraktur, kita

    dapat menentukan prognosis trauma yang dialami sehingga

    dapat dipilih metode pengobatan yang tepat. Faktor-faktor

    yang penting dalam penyembuhan fraktur yaitu umur

    penderita, lokalisasi dan konfogurasi, pergeseran awal serta

    vaskularisasi dari fragmen fraktur. Perlu ditetapkan apakah

    fraktur ini memerlukan reduksi dan apabila perlu apakah

    bersifat tertutup atau terbuka.

    c) Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus

    (1) Menghilangkan nyeri

    Nyeri timbul karena trauma pada jaringan lunak termasuk

    periosteum dan endosteum. Nyeri bertambah bila ada

    gerakan pada daerah fraktur disertai spasme otot serta

    pembengkakan yang progresif dalam ruang yang tertutup.

    Nyeri dapat diatasi dengan imobilisasi fraktur dan

    pemberian analgetik.

    (2) Memperoleh posisi yang baik dari fragmen

    Beberapa fraktur tanpa pergeseran fragmen tulang atau

    dengan pergeseran yang sedikit saja sehingga tidak

    diperlukan reduksi. Reduksi tidak perlu akurat secara

    radiologic oleh karena kita mengobati penderita dan tidak

    mengobati gambaran radiologic.

    (3) Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang

    Umumnya fraktur yangtelah ditangani, dalam waktu

    singkat dapat terjadi proses penyembuhan. Pada fraktur

    tertentu, bila terjadi kerusakan yang hebat pada

  • 21

    periosteum/jaringan lunak sekitarnya, kemungkinan

    diperlukan usaha agar terjadi union misalnya dengan bone

    graft.

    (4) Mengembalikan fungsin secara optimal

    Penyembuhan fraktur dengan imobilisasi harus dipikirkan

    pencegahan atrofi pada anggota gerak, sehingga perlu

    diberikan latihan yang bersifat aktif dinamik (isotonik).

    Dengan latihan dapat pula dipertahankan kekuatan otot

    serta sirkulasi darah.

    (5) Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis

    pengobatan

    Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan

    pengobatan yang realistik dan praktis.

    (6) Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara

    individual

    Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang

    sesuai, yaitu dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis

    fraktur, komplikasi yang terjadi dan perlu pula

    dipertimbangkan keadaan sosial ekonomi penderita secara

    individual.

    Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan

    definitive, prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu:

    1. Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur

    Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan

    fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan

    radioogis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:

    a. Lokalisasi fraktur

    b. Bentuk fraktur

    c. Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan

  • 22

    d. Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah

    pengobatan

    2. Reduction; reduksi fraktur apabila perlu

    Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk

    mendapatkan posisi yang dapat diterima. Pada fraktur

    intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat

    mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah

    komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan

    osteoartritis di kemudian hari.

    Posisi yang baik adalah:

    a. Alignment yang sempurna

    b. Posisi yang sempurna

    Fraktur seperti fraktur klavikula, iga dan fraktur

    impaksi dari humerus tidak memerlukan reduksi angulasi

    < 5 pada tulang panjang anggota gerak bawah dan lengan

    atas dan angulasi sampai 10 pada humerus dapat

    diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan

    over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur.

    Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi

    fraktur.

    3. Retention; Imobilisasi fraktur

    4. Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional

    semaksimal mungkin.

    3. Metode-Metode Pengobatan Fraktur

    1) Fraktur tertutup

    Metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam:

    a) Konservatif

    b) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi

    kutaneus

  • 23

    c) Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna

    tulang

    d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian proses

    a) Konservatif

    Terdiri atas

    (1) Proteksi semata-semata

    Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih

    lanjut misalnya dengan cara memberikan sling (mitela)

    pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak

    bawah.

    Indikasi:

    Terutama diindikasikan pada fraktur-fraktur tidak

    bergeser, fraktur iga yang stabil falangs dan metacarpal

    atau fraktur klavikula pada anak. Indikasi lain yaitu

    fraktur kompresi tulang belakang, impaksi fraktur pada

    humerus proksimal serta fraktur yang sudah mengalami

    union secara klinis, tetapi belum mencapai konsolidasi

    radiologik.

    (2) Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)

    Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya

    memeberikan sedikit imobilisasi, biasanya

    mempergunakan plester of paris (gips) atau dengan

    bermacam-macam bidai dari plastic atau metal.

    Indikasi:

    Digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan

    posisinya dalam proses penyembuhan.

    (3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi

    posisinya dalam proses penyembuhan.

  • 24

    Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan

    dengan baik dengan pembiusan umum ataupun lokal.

    Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya

    fraktur, penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan

    alat utama pada tekhnik ini.

    Indikasi

    (a) Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama

    (b) Imobilisasi sebagai pengobatan defenitif pada fraktur

    (c) Diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser

    dan diharapkan dapat direduksi dengan cara tertutup

    dan dapat dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil

    atau bersifat komunitif akan bergerak di dalam gips

    sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis

    berulang-ulang.

    (d) Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis

    (e) Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang

    kurang kuat

    (4) Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan

    imobilisasi

    Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi

    berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

    traksi kulit dan traksi tulang.

    (5) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi

    Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti bidai

    Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas dengan

    pearson knee flexion attachment.

    Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama berupa

    reduksi yang bertahap dan imobilisasi.

    Indikasi

  • 25

    (a) Bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan

    imoblisasi tidak memungkinkan serta untuk

    mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur

    batang femur, fraktur vertebra servikalis.

    (b) Bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur

    pada tulang tungkai bawah yang menarik fragmen

    dan menyebabkan angulasi, over-riding dan rotasi

    yang dapat menimbulkan malunion atau delayed

    union.

    (c) Bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik,

    fraktur spiral atau komunitif pada tulang panjang.

    (d) Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil.

    (e) Fraktur femur pada anak-anak (traksi Bryant = traksi

    Gallow).

    (f) Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat

    disertai dengan pergeseran yang hebat serta tidak

    stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humerus.

    (g) Jarang pada fraktur metakarpal.

    (h) Sekali-kali pada fraktur colles atau fraktur pada orang

    tua dimana reduksi tertutup dan imobilisasi eksterna

    tidak memungkinkan

    Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan:

    (a) Traksi kulit

    Traksi kulit dengan mempergunakan leukoplas yang

    melekat pada kulit disertai dengan pemakaian bidai

    Thomas atau bidai brown bohler. Traksi menurut

    Bryant (gallow) pada anak-anak di bawah 2 tahun

    dengan berat badan kurang dari 10 kg. Traksi juga

    dapat dilakukan pada fraktur suprakondiler humeri

    menurut Dunlop.

  • 26

    (b) Traksi menetap

    Traksi menetap juga mempergunakan leukoplas yang

    melekat pada bidai Thomas dan bidai brown bohler

    yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai

    Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang

    tidak bergeser.

    (c) Traksi tulang

    Traksi tulang dengan kawat Kirschner (K-wire) dan

    pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam tulang dan

    juga dilakukan traksi dengan mempergunakan berat

    beban dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown

    Bohler. Tempat untuk memasukkan pin, yaitu pada

    bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia,

    bagian distal tibia, trokanter mayor, bagian distal

    femur pada kondilus femur, kalkaneus (jarang

    dilakukan), prosesus olekranon, bagian distal

    metakarpal dan tengkorak.

    (d) Traksi berimbang dan traksi sliding

    Traksi berimbang dan traksi sliding terutama

    digunakan pada fraktur femur, mempergunakan traksi

    skeletal dengan beberapa katrol dan bantalan khusus,

    biasanya dipergunakan bidai Thomas an pearson

    attachment.

  • 27

    Gambar 2.3. macam-macam traksi

    A. Traksi dengan berat

    B. Traksi menetap

    C. Traksi Dunlop

    D. Traksi Hamilton Russel

    E. Traksi berimbang dengan bidai

    Thomas dan pegangan pearson

    Komplikasi dari traksi kontinu yaitu:

    (a) Penyakit trombo-emboli

    (b) Infeksi kulit superficial dan reaksi alergi

    (c) Leukoplas yang mengalami robekan sehingga fraktur

    mengalami pergeseran

    (d) Infeksi tulang akibat pemasangan pin

    (e) Terjadi distraksi diantara kedua fragmen fraktur

    (f) Dekubitus pada daerah tekanan bidai Thomas,

    misalnya pada tuberositas isiadikus.

  • 28

    b) Reduksi tertutup dengn fiksasi eksterna atau fiksasi

    perkutaneus dengan K-Wire

    Setelah dilakukan reduksi tertutuppada fraktur yang

    bersifat tidak stabil, maka resuksi dapat dipertahankan

    dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada

    fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur

    colles. Juga dapat dilakukan pada fraktur leher femur dan

    pertrokanter dengan memasukkan batang metal, serta pada

    fraktur batang femur dengan teknik tertutup dan hanya

    membuat lubang kecil pada daerah proksimal femur. Teknik

    ini biasanya memerlukan bantuan alat rontgen image

    intensifier (C-arm).

    c) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna

    tulang

    Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan

    dilakukan oleh ahli bedah serta pembantunya yang

    berpengalaman dalam ruangan aseptic. Operasi harus

    dilakukan secepatnya (dalam satu minggu) kecuali bila ada

    halangan. Alat-alat uang dipergunakan dalam operasi yaitu

    kawat bedah, kawat Kirschner, Screw, Screw dan plate, pin

    Kuntscher intrameduler, pin rush, pin Steinmann, pin

    Trephine, (pin smith Peterson), plate dan screw smith

    Peterson, pin plate telekospik, pin Jewett dan protesis.

  • 29

    Gambar 2.4. Beberapa macam penggunaan implant pada tindakan operasi

    A. Kirschner wire

    B. Screw

    C. Plate dan screw

    D. Kuntscher nail

    E. Interlock nail

    F. Protesis

    Selain alat-alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat

    pula digunakan bone graft baik autograft/allograft, untuk

    mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nounion.

    Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur dan

    fragment direduksi secara akurat dengan penglihatan

    langsung. Saat ini teknik operasi pada tulang dikembangkan

    oleh grup ASIF (metode AO) yang dilakukan di Swiss

    dengan menggunakan peralatan yang secara biomekanik

    telah diteliti.

    Prinsip operasi teknik AO berupa reduksi akurat,

    reduksi rigid dan mobilisasi dini yang akan memberikan hasil

    fungsional yang maksimal.

  • 30

    (1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna

    Indikasi:

    (a) Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur

    maleolus,kondilus, olekranon, patella.

    (b) Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan

    misalnya fraktur radius dan ulna disertai malposisi

    yang hebat atau fraktur yang tidak stabil.

    (c) Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua

    fragmen.

    (d) Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur

    leher femur.

    (e) Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat

    direduksi secara baik dengan reduksi tertutup

    misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennett.

    (f) Fraktur terbuka.

    (g) Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi

    eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang

    cepat, misalnya fraktur pada orang tua.

    (h) Eksisi fragmen yang kecil.

    (i) Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan

    mengalami nekrosis avaskuler misalnya fraktur

    leher femur pada orang tua.

    (j) Fraktur avulsi misalnya pada kondilus humeri

    (k) Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV

    (Salter Harris) pada anak-anak

    (l) Fraktur multipel misalnya frakturpada tungkai atas

    dan bawah

    (m) Untuk mempermudah perawatan penderita

    misalnya fraktur vertebra tulang belakang yang

    disertai paraplegia.

  • 31

    (2) Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna

    Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna dengan

    mempergunakan kanselosa screw dengan

    metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna

    dengan jenis-jenis lain misalnya menurut AO atau

    inovasi sendiri dengan mempergunakan screw schanz

    Indikasi:

    (a) Fraktur terbuka grade II dan grade III

    (b) Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau

    tulang yang hebat

    (c) Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis

    (d) Fraktur yang miskin jaringan ikat

    (e) Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah

    penderita diabetes mellitus

    Komplikasi reduksi terbuka:

    (a) Infeksi (osteomielitis)

    (b) Kerusakan pembuluh darah dan saraf

    (c) Kekakuan sendi bagian proksimal dan distal

    (d) Kerusakan periosteum yang hebat sehingga terjadi

    delayed union atau nounion

    d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis

    Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya

    terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nounion, oleh

    karena itu dilakukan pemasangan protesis yaitu alat dengan

    komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian yang

    nekrosis. Sebagai bahan tambahan sering dipergunakan

    metilmetakrilat.

  • 32

    2) Fraktur terbuka

    Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi

    hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi

    kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

    Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar

    menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena

    tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from

    without).

    Fraktur terbuka merupakan keadaan darurat yang

    memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi

    resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi

    penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.

    Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam

    penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan

    dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulang-

    ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang

    dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.

    Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat

    (pusponegoro A.D., 2007), yaitu:

    Derajat I : terdapat luka tembus kecil seujung jarum, luka

    ini di dapat dari tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam.

    Derajat II : Luka lebih besar disertai dengan rusaknya kulit

    subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya bebda-benda asing

    di sekitar luka.

    Derajat III : luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada

    derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon

    dan otot-otot saraf tepi.

  • 33

    Tabel 2.1

    Klasifikasi yang dianut menurut Gustilo, Merkow dan

    Templeman

    Grade Keadaan Klinis

    I

    II

    III

    III a

    III b

    III c

    Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya,

    biasanya karena luka tusukan dari fragmen

    tulang yang menembus keluar kulit. Terdapat

    sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat

    tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan

    lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

    simpel, transversal, oblik pendek atau sedikit

    komunitif

    Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada

    kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit.

    Terdapat kerusakan sedang dari jaringan

    dengan sedikit kontaminasi dari fraktur.

    Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan

    lunak termasuk otot, kulit dan struktur

    neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat.

    Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena

    trauma dengan kecepatan tinggi.

    Jaringan lunak cukup menutup tulang yang

    patah walaupun terdapat laserasi yang hebat

    ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental

    atau komunitif yang hebat.

    Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan

    kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat

    pendorongan (stripping) periost, tulang terbuka,

    kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif

  • 34

    yang hebat.

    Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan

    arteri yang memerlukan perbaikan tanpa

    memperhatikan tingkat kerusakan jaringan

    lunak.

    Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan

    kulit, sehingga penutupan kulit dapat ditutup secara primer.

    Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila dipaksakan

    menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini

    akan mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka

    dibiarkan terbuka dan luka ditutup setelah 5-6 hari (delayed

    primary suture). Untuk fiksasi tulang pada derajat II dan III

    paling baik menggunakian fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna

    yang sering dipakai adalah judet, roger anderson, dan methly

    metbacrylate. Pemakain gips masih dapat diterima, bila peralatan

    tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah perawatan

    yang lebih sulit.

    Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan

    debridemen. Debridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka

    yang kotor menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur

    tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun secara praktis,

    hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debridemen

    dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan

    pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yng mengalir.

    Pencucian ini memegang peranan penting untuk membersihkan

    kotoran-kotoran yang menempel pada tulang.

    Untuk menentukan batasan jaringan yang vital dan nekrotik.

    Didaerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen yang

    lunak (missalnya physohek), sabun biasa dengan lamanya 10

  • 35

    menit, dan dicuci dengan air mengalir. Dengan siraman air

    mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti

    aliran air.

    Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit,

    subkutis, fisia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen

    tulang yang kecil dan tidak mempengaruhi stabilitas tulang

    dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan.

    Komplikasi fraktur terbuka :

    a) Perdarahan, syok septic sampai kematian

    b) Septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik

    c) Tetanus

    d) Gangren

    e) Perdarahan sekunder

    f) Delayed union

    g) Nounion dan malunion

    h) Kekauan sendi

    II.2 Konsep mobilisasi dini

    Segala jenis aktivitas rutin yang biasa dilakukan individu dalam

    kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, menulis, dan lain-lain yang

    berhubungan dengan otot, dan hal tersebut merupakan rentang

    gerak/mobilisasi. Rentang gerak atau mobilisasi adalah kemampuan

    maksimal seseorang dalam melakukan gerakan. Merupakan ruang gerak

    atau batas-batas gerakan dari kontraksi otot dalam melakukan gerakan,

    apakah otot memendek secara penuh atau tidak, atau memanjang secara

    penuh atau tidak.

    Latihan rentang gerak, dapat mencegah terjadinya kontraktur, atropi

    otot, meningkatkan peredaran darah ke ekstremitas, mengurangi

    kelumpuhan vascular, dan memberikan kenyamanan klien. Perawat harus

    mempersiapkan, membantu, dan memberikan kenyamanan pada klien.

  • 36

    Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan mengajarkan klien untuk

    latihan rentang gerak yang meliputi semua sendi.

    II.2.1 Defenisi Mobilisasi

    Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada

    pasien paska operasi dimulai dari bangun duduk dan duduk sampai

    pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat

    sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002).

    II.2.2 Manfaat Mobilisasi Dini.

    Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan

    paska operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di

    tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan

    semakin sulit untuk memulai berjalan.

    Menurut beberapa literatur manfaat mobilisasi adalah:

    a. Menurunkan insiden komplikasi imobilisasi paskaoperasi meliputi:

    sistem kardiovaskular; penurunan curah jantung, peningkatan beban

    kerja jantung, hipotensi ortostatik, tromboplebitis/deep vein

    trombosis/DVT dan atelektasis. Sistem repirasi: penuran kapasitas

    vital, penurunan ventilasi/perfusi setempat. Mekanisme bentuk yang

    menurunkan. Embolisme pulmonari. Sistem perkemihan. Infeksi

    saluran kemih. Iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh

    penekanan, sistem muskuloskeletal: atropy otot, hilangnya kekuatan

    otot, kontraktur, hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan osteoprosis.

    Sistem gastrointestinal: paralitik ileus, konstipasi, stress ulser,

    anoreksia dan gangguan metabolisme.

    b. Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi.

    c. Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi

    abdomen.

    d. Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi.

  • 37

    e. Mengurangi tekanan pada kulit/ dekubitus.

    f. Penurunan intensitas nyeri

    g. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal

    (asmadi, 2008; Craven & hirenle, 2009; kamel et al, 1990; Lewis et

    al, 2000; potter & perry, 1999; Brunner & suddart. 2002)

    Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska

    operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat

    tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan semakin

    sulit untuk mulai berjalan. Menurut beberapa literatur manfaat

    mobilisasi adalah :

    a. Gerakan tubuh yang teratur dapat meningkatkan kesegaran tubuh.

    b. Memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh, mengontrol berat badan,

    mengurangi ketegangan, dan meningkatkan relaksasi.

    c. Menjaga kebugaran (fitness) dari tubuh.

    d. Merangsang peredaran darah dan kelenturan otot.

    e. Menurunkan stress seperti hipertensi, kelebihan berat badan, kepala

    pusing, kelelahan, dan depresi.

    f. Merangsang pertumbuhan pada anak-anak

    II.2.3 Jenis Mobilisasi

    Jenis mobilisasi atau latihan rentang gerak terbagi menjadi dua, yaitu

    rentang gerak aktif dan rentang gerak Pasif. Rentang gerak aktif adalah

    kemampuan klien dalam melakukan pergerakan secara mandiri,

    sedangkan rentang gerak pasif adalah pergerakan yang dilakukan

    dengan bantuan orang lain, perawat atau alat bantu.

    II.2.4 Gerakan Mobilisasi

    Gerakan rentang gerak bisa dilakukan pada leher, ekstremitas atas, dan

    ekstremitas bawah. Latihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan

    fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Reeves (2001)

  • 38

    rentang gerak (ROM) standar untuk ekstremitas atas dan ekstremitas

    bawah, adalah sebagai berikut.

    Ekstremitas atas

    a. Bahu : abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi.

    b. Siku: fleksi dan ekstensi.

    c. Lengan depan : pronasi dan supinasi.

    d. Pergelangan tangan : fleksi pergelangan, fleksi radialis, fleksi

    ulnaris, hiperekstensi pergelangan.

    e. Ibu jari : fleksi, ekstensi, dan oposisi (ibu jari berhadapan dengan

    jari kelingking).

    f. Jari-jari : abduksi, adduksi, fleksi, dan ekstensi.

    Ekstremitas bawah

    a. Kaki: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal,

    dan rotasi eksternal.

    b. Lutut: fleksi dan ekstensi.

    c. Pergelangan kaki: dorso fleksi, dan plantar fleksi.

    d. Telapak kaki: supinasi, dan pronasi.

  • 39

    Tabel 2.2

    Rentang gerak sendi

    Pergerakan Rentang

    (cakupan)

    Kelompok otot

    1. Sendi temporomandibular

    (synovial joint)

    a. Membuka mulut.

    b. Menutup mulut.

    c. Protrusion.

    d. Retrusion.

    e. Lateral Motion.

    1-2.5 inci

    Menutup rapat

    0,5 inci

    0,5 inci

    0,5 inci

    Masseter, temporalis.

    Pterigoid lateralis

    Pterigoid medialis.

    2. Tulang belakang (pivot joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Hiperekstensi.

    d. Fleksi lateral.

    e. Rotasi.

    45 setiap sisi

    45

    10

    45

    90

    Sternokleidomastoid

    Trapezius

    Trapezius

    Sternokleidomastoid

    Sternokleidomastoid,

    trapezius.

    3. Bahu (ball and socket joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Hiperekstensi.

    d. Abduksi.

    e. Abduksi.

    f. Sirkumduksi.

    80

    180

    50

    180

    230

    360

    Pektoralis mayor,

    korakobrakialis, deltoid,

    bisep brakii.

    Teres mayor

    Latissimus dorsi,

    deltoid, teres mayor.

    Deltoid, suprasinatus.

    Pektoralis mayor, teres

    mayor.

    Deltoid,

  • 40

    g. Rotasi eksternal.

    h. Rotasi internal.

    90

    90

    korakobrakialis,

    latissimus dorsi, teres

    mayor.

    Subskapularis,

    pektoralis mayor,

    latissimus dorsi, teres

    mayor.

    Bisep brakii, brakialis,

    brakioradialis.

    4. Siku (hinge joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Rotasi untuk supinasi

    d. Rotasi untuk pronasi

    150

    150

    70-90

    70-90

    Trisep brakii

    Bisep brakii, supinator

    Pronator teres, pronator

    quadrates.

    5. Pergelangan tangan

    (condyloid joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Hiperekstensi.

    d. Fleksi radial.

    80-90

    80-90

    80-90

    Hingga 20

    Fleksor karpiradialis,

    fleksor karpiulnaris.

    Fleksor karpiradialis

    longus, ekstensor

    karpiradialis brevis,

    ekstensor karpiulnaris.

    Fleksor karpiradialis

    longus, ekstensor

    karpiradialis brevis,

    ekstensor karpiulnaris.

    Ekstensor karpiradialis

    longus, ekstensor

    karpiradialis brevis,

  • 41

    e. Fleksi ulna.

    30-50

    fleksor karpiulnaris.

    Ekstensor karpiulnaris,

    fleksor karpiulnaris.

    6. Tangan dan jari-jari

    (condyloid and hinge joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Hiperekstensi.

    d. Abduksi.

    e. Adduksi.

    90

    90

    30-50

    25

    25

    Interoseus dorsalis

    manus, fleksor

    digitorum superfisialis.

    Ekstensor indici,

    ekstensor digiti minimi.

    Ekstensor indici,

    ekstensor digiti minimi.

    Interoseus dorsalis

    manus.

    Interoseus Palmaris.

    7. Ibu jari (sadle joint)

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    c. Abduksi.

    d. Adduksi.

    e. Oposisi.

    90

    90

    30

    30

    Bersentuhan

    Fleksor polisis brevis,

    oponen polisis.

    Ekstensor polisis brevis,

    ekstensor polisis longus.

    Abductor polisis brevis,

    abduktor polisis longus.

    Adductor polisis

    travensus, adductor

    polisis obliqus.

    8. Pinggul (ball and socket

    joint).

    a. Fleksi.

    90-120

    Psoas mayor, iliakus,

  • 42

    b. Ekstensi.

    c. Hiperekstensi.

    d. Abduksi.

    e. Adduksi.

    f. Sirkumduksi.

    g. Rotasi internal.

    h. Rotasi eksternal.

    90-120

    30-50

    40-50

    20-30 past

    midline

    360

    90

    90

    iliopsoas.

    Gluteus maksimus,

    adduktor magnus,

    semitendinosus,

    semimembranosus.

    Gluteus maksimus,

    adduktor magnus,

    semitendinosus,

    semimembranosus.

    Gluteus medius, gluteus

    minimus.

    Adductor magnus,

    adductor brevis,

    adductor longus.

    Psoas mayor, gluteus

    maksimus, gluteus

    medius, adductor

    magnus.

    Gluteus minimus,

    gluteus medius, tensor

    fascialata.

    Obquadratus eksternus,

    obturator internus,

    quadrates femoris.

  • 43

    9. Lutut (hinge joint).

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    120-130

    120-130

    Biseps femoris,

    semitendinosus,

    semimembranosus.

    Rektus femoris, vastus

    lateralis, vastus

    medialis, vastus

    intermedius.

    10. Ankle/mata kaki (hinge

    joint)

    a. Plantar fleksi.

    b. Dorso fleksi.

    45-50

    20

    Gastroknemius, soleus.

    Peroneus, tertius, tibialis

    anterior.

    11. Kaki.

    a. Eversi.

    b. Inverse.

    5

    5

    Peroneus longus,

    peroneus brevis.

    Tibialis posterior,

    tibialis interior.

    12. Jari kaki

    a. Fleksi.

    b. Ekstensi.

    35-60

    35-60

    Fleksor hallusis brebis,

    lumbrikalis pedis,

    fleksor digitorum brevis.

    Ekstensor digitorum

    longus, ekstensor

    digitorum brevis,

    ekstensor hallusis

    longus.

  • 44

    c. Abduksi.

    d. Adduksi.

    Hingga 15

    Hingga 15

    Interoseus dorsalis

    pedis, abduktor hallusis.

    Abduktor halllusis,

    interoseus plantaris.

    II.2.5 Persiapan Mobilisasi Dini.

    a. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal: (a)

    intruksikan pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha,

    tahan selama 10 detik lalu dilepaskan (b) intruksikan pasien

    mengkontraksikan otot-otot pada bokong bersama, tahan selama 10

    detik lalu lepaskan, ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien

    (hoeman, 2001).

    b. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstermitas atas dan lingkar

    bahu: (a) bengkokan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil

    memegang berat traksi atau benda yang beratnya berangsur-angsur

    ditambah dan jumlah pengulangannya. Ini berguna untuk menambah

    kekuatan otot ekstermitas atas (b)menekan balon karet ini berguna

    untuk meningkatkan kekuatan genggaman (c) angkat kepala dan

    bahu dari tempat tidur kemidian rentangkan tangan sejauh mungkin

    (d) duduk di tempat tidur atau kursi (Asmadi, 2008).

    II.2.6 Alat Yang Digunakan Untuk Mobilisasi

    Alat bantu yang digunakan untuk mobilisasi adalah:

    a. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari

    logam dan kayu dan sering digunakan permanen, misalnya

    conventional, adjustable dan lofstrand. Kruk biasanya digunakan

    pada pasien fraktur hip dan ekstremitas bawah. Kedua lengan yang

    benar-benar kuat untuk menopang tubuh pasien dengan

    keseimabngan yang bagus.

  • 45

    b. Canes (tongkat) adalah alat yang ringan , mudah dipindahkan,

    setinggi pinggang terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada

    pasien dengan lengan yang mampu dan sehat, meliputi tongkat

    berkaki panjang lurus (single straight-legged) dan tongkat berkaki

    segi empat (Quad cane).

    c. Walkers adalah satu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan,

    setinggi pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat

    penyangga yang kokoh klien memegang pemegang tangan pada

    batang dibagian atas, melankah memindahkan walker lebih lanjut,

    dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang mengalami

    kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh

    usila, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan pasien dengan

    fraktur hip dan ekstermitas bawah (Gartland, 1987: potter dan perry,

    1999).

    II.2.7 Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur

    Mobilisasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan

    yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa

    pasien memerlukan bantuan dari peraat untuk bergerak dengan aman

    (Hoeman, 2001). Berikut ini diuraikan beberapa tahapan mobilisasi yang

    diterapkan pada pasien: preambulation bertujuan mempersiapkan otot

    untuk berdiri dan bejalan yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien

    bergerak dari tempat tidur (Hoeman, 2001). Sitting balance yaitu

    membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur dengan bantuan yang

    diperlukan (Berger & Williams, 1992).

    Pasien dengan disfungsi ekstermitas bawah biasanya dimulai dari

    duduk ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kalli

    selama 10 sampai ddengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari

    tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan kebutuhan pasien

    (Lewis at al, 1998). Jangan terlalu memaksakan pasien untuk

  • 46

    melakukan banyak pergerakan pada saat bangun untuk menghindari

    kelelahan standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan.

    Perhatiakn waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukan

    gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Dan tidak jarang

    pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostastik.

    Menurut (Berger & Williams, 1992) memperhatikan pusing

    sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat

    mempersiapkan pasien untuk mobilisasi. Bahkan bedrest jangka pendek,

    terutama setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan

    hipotensi ortostatik. Hipotensi ortosattik adalah komplikasi yang sering

    terjadi pada bedrest jangka panjang, meminta pasien duduk disisi tempat

    tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk

    hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat sebentar, ukur denyut

    nadi (Asmadi, 2008).

    Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus

    berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak

    perawat dan perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien.

    Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa

    pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai

    untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk

    memberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak

    membuat pasien merasa letih, lamanya periode mobilisasi beragam

    tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien

    (Brunner & Suddarth, 2002).

    a. Mobilisasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan

    berjalan dengan menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan

    perawat harus tahu weight bearing ambulation, meliputi : Non weight

    bearing ambulation; tidak menggunakan alat bantu jalan sama sekali,

    berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan

    selama 3 minggu setelah paska operasi.

  • 47

    b. Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat bantu jalan pada

    sebagian aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari

    beban tungkai itu sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6

    minggu) setelah paska operasi.

    c. Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari

    memerlukan bantuan alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh

    dilakukan setelah 3 bulan paska operasi dimana tulang telah terjadi

    konsolidasi (lewis et al, 1998).

    Pasien paska operasi fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF

    dianjurkan untuk mobilisasi duduk dalam periode yang singkat pada hari

    pertama paska operasi. Menurut Oldmeadow et al (2006) mobilisasi dini

    dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien paska operasi fraktur hip.

    Berangsur-angsur lakukan mobilisasi dengan kruk (tongkat) no weight

    bearing selama 3 s/d 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi.

    Pasien dengan paska operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot

    kuadrisep dan gluetal untuk melatih kekauatan otot-otot ini penting

    untuk mobilisasi, proses penyembuhan 10 s/d 16 minggu, berangsur-

    angsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full

    weight bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan

    mobilisasi weight bearing sesuai dengan kemampuan pasien setelah

    paska oeparsi dan lakukan latihan isometris otot kuadrisep dengan lutut

    berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan fibula

    lakukan mobilisasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan

    tingkat cedera yang dialami pasien.

    II.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini

    pasien paska operasi

    II.3.1 Kondisi kesehatan pasien

    Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi system

    muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi.

  • 48

    Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya

    kemampuan untuk melakukan aktivitas. Nyeri paska bedah

    kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan

    nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom dan spasme otot

    merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan

    bahwa nyerinya lebih ringan disbanding sebelum pembedahan dan

    hanya memerlukan jumlah analgetik yang sedikit saja harus diupayakan

    segala usaha untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Tersedia

    berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap penatalaksanan

    nyeri analgesia dikontrol pasien (ADP) dan analgesia epidural dapat

    diberikan untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta

    pengobatan nyeri sebelum nyeri itu menjadi berat. Obat harus diberikan

    segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat

    diramalkan misalnya jam sebelum aktivitas terencana seperti

    pemindahan dan latihan ambulasi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut

    Brunner & Suddarth (2002) kebanyakan pasien merasa takut untuk

    bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka

    bekas operasi dan luka bekas trauma.

    Efek immoblisasi pada system kardivaskular adalah hipotensi

    ortostatik. Hipotensi orthostatik adalah suatu kondisi ketidak mampuan

    berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika pasien

    berubah posisi horizontal ke vertical (posisi berbaring ke duduk atau

    berdiri), yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya

  • 49

    kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot lelah

    menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot

    dapat menurunkan kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan

    pergerakan yang lambat. Kelelahan yang berlebihan bisa menyebabkan

    pasien jatuh atau mengalami ketidakseimbangan pada saat latihan.

    Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan

    kelainan. Peningkatan suhu badan pada hari pertama atau kedua

    mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan infeksi luka

    operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfuse

    darah juga sering menyebabkan demam, dan diperlukan kemungkinan

    adanya dehidrasi (sjamsuhidayat & Jong, 2005).

    Hipotermia pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap

    manggigil. Pasien yang telah menjalani pemajanan lama terhadap dingin

    dalam ruang operasi dan menerima banyak infus intravena dipantau

    terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan

    selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipotermia lebih

    besar pada pasien yang berada diruang operasi untuk waktu yang lama

    (Brunner & suddarth, 2002).

    II.3.2 Emosi

    Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan

    perilaku yang dapat menurunkan kemampuan mobilisasi yang baik.

    Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan

    harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam

    mobilisasi.

    Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan

    melakukan aktivitas sehingga lebih mudah, lelah karena mengeluarkan

    energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien

    mengalami keletihan secara fisik dan emosi (Potter & Perry, 1999).

    Hubungan antara nyeri dan takut bersifat kompleks. Perasaan takut

  • 50

    seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat

    menimbulkan perasaan takut.

    Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan

    melakukan aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk

    berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena

    mengeluarkan energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya

    jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional (Potter &

    Perry, 1999).

    Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan

    mobilisasi. Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang

    menonjol keluar akan mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan,

    seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan

    perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perubahan

    citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang

    sempurna, sehingga klien merasa cemas, dengan keadaannya dan tidak

    termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa

    tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara

    menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak

    bangun dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Potter

    & Perry, 1999).

    II.3.3 Gaya hidup

    Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya

    mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari

    gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan

    aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti,

    dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang

    teratur, isrtirahat yang cukup dan penanganan stress (Pender 1990 dalam

    berger & Williams, 1992). Menurut Oldmeadow et al (2006) tahapan

  • 51

    pergerakan dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau di

    rumah dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi.

    II.3.4 Dukungan sosial

    Mendefinisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non

    verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh

    orang-orang yang akrab dalam subjek di dalam lingkungan sosialnya

    atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan

    keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku

    penerimannya. Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005). Keterlibatannya

    anggota keluarga dalam rencana asuhan keoerawatan pasien dapat

    memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan,

    membantu pelaksanaan latihan mobilisasi atau memberi obat-obatan.

    Menurut penelitian yang dilakukan Oldmeadow et al (2006) dukungan

    sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi

    untuk membantu pasien melaksanakan latihan mobilisasi. Menurut

    Olson (1996 dalam Hoeman, 2001) mobilisasi dapat terlaksana

    tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan

    berpartisipasi dalam latihan (Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001).

    II.3.6 Pengetahuan

    Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal

    akan mengalami peningkatan alternative penanganan. Informasi

    mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah

    penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif

    dalam pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus

    mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi

    eksternal, alat bantu mobilisasi (trapeze, walker, tongkat), latihan dan

    medikasiharus didikusikan dengan pasien (Brunner & suddarth, 2002).

  • 52

    Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi

    ketakutan pasien.

    II.4 Penelitian Terkait

    1. Nova Mega Yanti (2009), dengan judul analisis faktor-faktor yang

    mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi

    ekstremitas bawah di Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan. Desian

    penelitian menggunakan deskriptif observasi dengan jumlah sampel 24

    responden paska operasi ekstremitas bawah. Hasil penelitian analisis uji

    regresi logistik menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan antara

    faktor kondisi kesehatan pasien; Hb terhadap pelaksanaan ambulasi dini

    dimana (P0,026

  • 53

    II.5 Kerangka teori

    Menurut Green, dalam Notoadmojo (2005)

    Faktor Predisposisi :

    A. Konsep Fraktur

    1. Defenisi

    2. Etiologi

    3. Manifestasi klinis

    4. Klasifikasi

    5. Patofisiologi

    6. Komplikasi

    7. Faktor penyembuhan

    tulang

    8. Pemeriksaan penunjang

    9. Prinsip dan metode

    pengobatan

    Pelaksanaan mobilisasi dini

    Faktor pendukung

    Mobilisasi dini:

    1. Manfaat mobilisasi

    2. Jenis mobilisasi

    3. Gerakan mobilisasi

    4. Persiapan mobilisasi

    5. Alat yang digunakan

    6. Pelaksanaan mobilisasi

    Faktor pendorong

    1. Kondisi kesehatan

    2. Emosi

    3. Gaya hidup

    4. Dukungan sosial

    5. Pengetahuan