galaksi cinta tasaro

Upload: trias-bawi

Post on 31-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

penggalan sedikit dari novel tasaro gk

TRANSCRIPT

Rochester, New YorkMalam, di langit selatan bulan Mei. Berkasih mesra dengan konstelasi Crux. Sejari telunjuk dari rasi bintang Centaurus dan Musca, mengumpul triliunan benda langit dalam galaksi yang tidak terdeteksi teleskop paling canggih abad ini.Galaksi itu ada sejak manusia pertama tercipta. Di sana hidup para hati yang terjebak dalam ruang tunggu tanpa tepi waktu. Bersemadi, menanti bagian jiwa terbelah sejak lama. Mereka menyusun shaf semesta, bertawaf dalam lingkaran purba bernama Galaksi Cinta.Setiap petang di bulan Juni, para penghuni galaksi itu berkumpul menikmati ekor cahaya matahari. Sejak ledakan besar dahulu, Galaksi Cinta ditaburi sejuta matahari yang terangnya 1000 kali lipat lebih cemerlang dibanding matahari milik Bima Sakti.Bulan Juni yang istimewa. Setahun penuh mereka takzim dalam rotasi planet-planet dan tawaf berjamaah yang diikuti seluruh penduduk angkasa. Tawaf raksasa yang menghabiskan waktu begitu lama. Kemudian, mereka beristirahat pada bulan Juni.Juni yang ditunggu-tunggu. Saat itu, para penghuni Galaksi Cinta akan duduk bergerombol di atas bukit yang ditumbuhi ilalang berbulu lembut. Angin memainkan musik yang menabuh sepi dan kerinduan yang kronis. Mereka lalu saling bercerita tentang kisah yang sama. Diulang-ulang, tapi tak pernah mendatangkan rasa bosan.Ada yang tersenyum sambil membisikkan dendang langka. Lagu yang sudah tak dikenali generasi masa kini. Punah dikunyah masa. Bibirnya tersenyum, tetapi matanya melelehkan air mata. Ia teringat tatapan mata belahan hatinya.Jika engkau cinta, tatapan seperti itu tidak mungkin dusta. Tatapan yang tidak mampu kautukar dengan gunung emas. Tatapan kasih yang tak terbatas. Seolah cukup engkau serahkan seluruh hidup. Tatapan yang telah tertinggal oleh waktu, mustahil diulang. Sebab, belahan jiwanya terlanjur mengangkasa. Meninggalkan dia di Galaksi Cinta.Membiarkannya menunggu tanpa tenggat waktu. Rasanya, melanjutkan hidup sekedar menghitung mundur menuju hari kematian. Namun, dia rela. Engkau mengatainya bodoh. Namun, dia rela.Ada yang menyendiri sambil menatap langit. Baginya, menarik napas pun seolah membuat nyawanya terampas. Rindu yang menyesakkan. Pada titik tertentu seperti mengosongkan paru-paru. No air. . . no air. Rasa yang sudah begitu renta, tapi tak pernah menjadi kata-kata. Dia kini terlalu tua untuk merangkai kalimat mesra. Bagimu tak ada kata terlambat untuk mencintai, baginya tidak ada waktu untuk mengatakan, setelah Tuhan, kaulah yang mampu mematikan matahari.Dahulu, ketika jiwanya belum terbelah, ketika kebersamaan masih begitu mudah, dia menyemai bibit dalam hati. Begitu asyiknya hingga saat setengah jiwanya pergi, sudah terlambat untuk mematikan tanaman hati ini.Hingga kini, menunggu baginya tak berarti harus bertemu. Ia melarikkan bait puisi tanpa berharap setengah jiwanya kembali. Kepada temaram petang, dia melengkungkan perasaannya yang berumur selamanya. Terkadang, hasratnya menggejolak, menghasutnya untuk melakukan sebuah perjalanan. Meniti jejak di permukaan pelangi. Barangkali, setengah jiwanya berada di sana.Jika waktu adalah kupu-kupu, sudah lelah hatinya melanglang setiap sudut bumi. Sampai waktunya untuk berhenti. Tetap menunggu, namun tak berharap bertemu. Dia menyadari, tidak semua cinta layak diperjuangkan. Maka, yang tertinggal adalah jejak kasih yang mulai memburam. Ia bersihkan setiap debu yang membuat jejak itu tak gemintang. Mencoba bergembira dengan apa yang pernah terjadi. Menyimpannya bagai sekotak perhiasan. Engkau mengatainya sia-sia. Namun, dia tetap cinta.

(Galaksi Kinanthi, Tasaro GK)