gagas pajak1

28
GAGASPAJAK mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan EDISI Agustus 2010 GAGASPAJAK Alamat Redaksi : Pusdiklat Pajak Jl. Sakti Raya No.1, Kemanggisan Jakarta Barat 11480 http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/ Tanggung Jawab Secara Renteng Ditjen Pajak dan Pengadilan Pajak : Mencari Kepastian Dalam Gugatan atas Kesalahan Prosedur ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN Opini Kita Bahasan utama GAGASPAJAK mengGAGAS dengan ilmu mengubah dengan wawasan EDISI Agustus 2010 GAGASPAJAK http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

Upload: daking

Post on 05-Jul-2015

235 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gagas Pajak1

GAGASPAJAKm e n g G A G A S d e n g a n i l m u m e n g u b a h d e n g a n w a w a s a n

EDIS

I Agu

stus

201

0

GAGASPAJAK

Alamat Redaksi :Pusdiklat PajakJl. Sakti Raya No.1, KemanggisanJakarta Barat 11480http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

Tanggung Jawab Secara Renteng

Ditjen Pajak dan Pengadilan Pajak : Mencari KepastianDalam Gugatan atas Kesalahan Prosedur

ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSI MURABAHAH PASCAPERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Opini Kita

Bahasan utama

GAGASPAJAKm e n g G A G A S d e n g a n i l m u m e n g u b a h d e n g a n w a w a s a n

EDIS

I Agu

stus

201

0

GAGASPAJAK

http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

Page 2: Gagas Pajak1

Daftar Isi :

03

0514

1724

Bahasan Utama

Good Governance

Bahasan Utama

Opini Kita (OK). KUP

© 2010 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak.http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak

05

03

14

1724

26

28

34

43

47

Tanggung Jawab Secara Renteng

Ditjen Pajak dan Pengadilan Pajak Mencari Kepastian Dalam Gugatanatas Kesalahan Prosedur

Opini Kita (OK). KUP2Penghapusan Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih

Witholding Tax Premi Asuransi Ke Luar Negeri, Apakah Efektif?Opini Kita (OK). PPH

Kabare PusdiklatInternet Untuk Belajar, Kenapa Tidak?

Rahasia Di Balik PBB P2 & BPHTB

Opini Kita (OK). PBB

Opini Kita (OK) .Akuntansi PajakAspek Transaksi Murabahah Pasca Perubahan Undang-UndangPerpajakan

Opini Kita (OK). Pajak InternasionalPenguatan Posisi Indonesia Dalam Perpajakan Terhadap TransaksiEkonomi Global

RefleksiMemuliakan Diri

TA N G G U N G JAWA BSECARA RENTENG

RekonstruksiHubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus:Upaya Menciptakan Hubungan Yang Sehat

DITJEN PAJAK DAN PENGADILANPAJAK MENCARI KEPASTIAN DALAMGUGATAN ATAS KESALAHANPROSEDUR

PENGHAPUSAN PIUTANG YANGNYATA-NYATA TIDAK DAPATDITAGIH

WITHOLDING TAX ATAS PREMIASURANSI KE LUAR NEGERI,

APAKAH EFEKTIF?

TA N G G U N G JAWA BSECARA RENTENG

02 Prakata

GAGASPAJAKm e n g G A G A S d e n g a n i l m u m e n g u b a h d e n g a n w a w a s a n

EDIS

I Agu

stus

201

0

GAGASPAJAK

Rekonstruksi Hubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus: UpayaMenciptakan Hubungan Yang Sehat

49 Kabare Pusdiklat2Memperluas jendela cakrawala dunia, melalui digitalisasiperpustakaan

Salam

26 Internet untuk belajar ? Kenapa tidak ?

28Rahasia Di Balik PBB P2 & BPHTB

34 Aspek Transaksi Murabahah PascaPerubahan Undang-UndangPerpajakan

43 Penguatan posisi Indonesia dalamPemajakan terhadap transaksiekonomi global

47Refleksi Memuliakan Diri

49MEMPERLUAS JENDELACAKRAWALA DUNIA, MELALUI

DIGITALISASI PERPUSTAKAAN

Akhirnya mimpi kami terwujud…Ya! Setelah menunggu 1 tahun lamanya,keinginan kami untuk mempunyai media yang kami cita-citakan tercapaisudah. Edisi perdana terbitnya media ini menandai munculnya satu ruangbaru yang memungkinkan kami semua di lingkungan Pusdiklat Pajak untuksaling mencoba berkontribusi dalam pengembangan dan pengayaankapasitas keilmuan dan kapabilitas kemampuan kami sesuai dengan perandan tugas yang kami emban di lingkungan Pusdiklat Pajak ini.

Sedari awal proses ini berjalan, kami sudah meniatkan diri bahwa mediaini harus menjadi tempat untuk menampung luapan energi dan emosi yangmampu mendukung upaya pengembangan ilmu dan praktik khususnya didunia pajak. Maka pilihan nama GAGAS bukanlah sesuatu yang tidakberarti. GAGAS menjadi pilihan karena mengandung arti intrinsik yangmewakili semangat kami di Pusdiklat Pajak untuk selalu mencari ide yangbaru; untuk selalu berusaha melihat dari cakrawala yang berbeda; untukselalu berkeinginan mencari sudut pandang alternatif dan untuk selaluberhasrat memberikan yang terbaik pada lingkungan keilmuan serta praktik-praktik di dunia yang kami tekuni. Semangat itulah yang akan kamibawa….mencoba menjadi teman diskusi yang mencerahkan bukanmengeruhkan…..Pembaca yang kami cintai,

Reformasi birokrasi yang sudah dijalankan harus terus menerus dijagaruhnya agar selalu hadir dalam tiap relung aktivitas kami di birokrasi. GAGASadalah bagian dari tekad kami untuk terus menerus menegaskan keberadaanruh itu dalam setiap diskusi dan pewacanaan yang kami tuangkan dalambentuk guratan pena serta coretan tinta di tiap rubrikasi yang hadir di tanganAnda. Sekali lagi, media ini adalah langkah kecil kami untuk selalu mencobabergerak dinamis, menghindari pusaran stagnasi yang selalu dipersepsikanlekat dengan mental birokrasi. Itulah tujuan kami hadir……Akhirnya,

Terima kasih harus kami ucapkan kepada segenap pimpinan PusdiklatPajak yang telah membuka ruang dan kesempatan serta memberi kebebasanuntuk mempersembahkan karya ini. Penghargaan setinggi-tingginya jugaharus kami sematkan kepada para ‘pujangga-pujangga keilmuan’ yang telahbersusah payah untuk menggenapi keinginan Redaksi dengan memproduksitulisan-tulisan yang bernas dan dinamis. Pada akhirnya,dengan segumpalasa, harapan kami lambungkan kepada segenap pembaca. Semoga GAGASmendapat tempat di hati dan akal untuk menjadi media pencerah bagi kitasemua yang cinta akan ide dan ilmu. Selamat menikmati, ENJOY GAGAS…..Salam Redaksi

Roy Martfianto(Pemimpin Redaksi)

Page 3: Gagas Pajak1

....................................................................Alhamdullillahirabil allamin, puji syukur kepada Allah SWT atas terbitnya edisi perdana dari majalahGagas Pajak yang diprakarsai oleh Pusdiklat Pajak. Saya menyambut baik terbitnya majalah ini yangmerupakan representasi wajah Pusdiklat Pajak dan menjadi suatu media komunikasi serta sebagaibentuk pelayanan kami dalam memberikan informasi dan wawasan kepada seluruh stakeholders.Terbitnya majalah ini, tidak lepas dari peranan para Widyaiswara Pusdiklat Pajak yang merasaperlunya penyebarluasan pengetahuan dan wawasan khususnya di bidang perpajakan. Selain, paraWidyaiswara yang menjadi kontributor utama dari majalah ini, penghargaan dan terima kasih jugaSaya sampaikan kepada seluruh t im redaksi, editor serta t im teknis majalah lainnya.Saya berharap, majalah ini dapat menjadi media komunikasi dan media acuan khususnya di bidangwawasan perpajakan, sehingga kualitas artikel, semangat dan konsistensi harus menjadi fokusutama dalam pengembangan majalah Gagas Pajak ini. Tidak berlebihan kiranya jika fokus utamapengembangan majalah tersebut dijalankan dengan tepat, Pusdiklat Pajak akan dikenal sebagaiporos wawasan perpajakan,Akhir kata, Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah ini dan selamat datang di era informasi danpublikasi Pusdiklat Pajak.

Kapusdiklat PajakDR. Ir. Chaizi Nasucha, M.PKN.

02

dipertanggungjawabkan tentang kondisidirinya kepada pihak lain yang mempunyaihak untuk meminta di lakukannyakomunikasi tersebut.Secara teknis, komunikasi yang dilakukanantara fiskus dan Wajib Pajak terjadi denganadanya pelaporan secara periodik denganpaksaan Undang-Undang melalui mediaberupa Surat Pemberitahuan (SPT), baikSPT Masa maupun SPT Tahunan. Isikomunikasi tersebut pada dasarnya berupaa n g k a - a n g k a y a n g d i h a r a p k a nmenceritakan keadaan sesungguhnya dan

RekonstruksiHubungan Bilateral Wajib Pajak dan Fiskus:Upaya Menciptakan Hubungan Yang Sehat

‘ tujuan hidup’-nya masing-masing.Tentu saja kondisi ini akan mewujud jika diset iap akt ivi tas kehidupan dalammenjalankan hak dan kewajiban tersebutmasing-masing pihak secara sadarmenyandarkan diri pada nilai-nilai hubunganyang baik. Transparan, akuntabel dantanggung jawab adalah beberapa darisekian banyak nilai-nilai kehidupan di duniapajak yang menjadi nilai idealita yang harusdiusung dalam model hubungan bilateralberbasis kepentingan antara Wajib Pajakdan Fiskus tersebut.Salah satu dari sekian banyak aktivitasyang harus dilakukan Wajib Pajak untukmemenuhi tanggung jawabnya dalam ranahperpajakan adalah melakukan komunikasisecara terbuka dan dapat

Kriteria berikutnya bersifat teknis yaitu:1. Pembukuan atau pencatatan harusdiselenggaarkan di Indonesia denganmenggunakan huruf Latin, angka Arab,satuan mata uang Rupiah, dan disusundalam Bahasa Indonesia atau dalambahasa asing yang diizinkan oleh MenteriKeuangan;2. Pembukuan diselenggarakan denganprinsip taat azas dan dengan stelsel akrualatau stelsel kas;3. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiridari catatan mengenai harta, kewajiban,modal, penghasilan dan pembeliansehingga dapat dihitung besarnya pajakyang terutangJika mencermati isi keseluruhan dari ayat-ayat yang ada pada Pasal 28 UU KUPtersebut, ada satu pernyataan yang menarikuntuk dikaji dalam perspektif etika dankebiasaan yang berlaku umum dalampraktik-praktik pembukuan.Satu hal yangmenarik dalam Pasal 28 adalah dari sekianbanyak syarat teknis yang dicantumkan,

“Pembukuan atau pencatatan tersebutharus d ise lenggarakan denganmemperhat ikan i t i kad ba ik danmencerminkan keadaan atau kegiatanusaha yang sebenarnya.”

Jadi definisi tersebut menyiratkan bahwasebuah entitas bisnis pada satu waktu dankondisi tertentu harus menyampaikankeadaannya kepada pihak-pihak lain yangdipersyaratkan oleh suatu ketentuan. Terkaitdengan urusan publik, lebih spesifik adalahurusan pajak di Indonesia, pemaparan datafinansial tersebut harus memenuhibeberapa kriteria tertentu yang secara formildituliskan di dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP.Kriteria pertama bersifat kualitatif , yaitu

sebenar-benarnya dari Wajib Pajak.Yang perlu dipahami adalah bahwa angka-angka yang bercerita tersebut berasaldari suatu mekanisme pengikhtisaran danpengklasifikasian yang di dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan TataCara Perpajakan disebut dengan istilahpembukuan dengan produk akhir berupaLaporan Keuangan (mengapa tidak pakaiistilah “akuntansi” saja?).Tanpa mempersoalkan perbedaan istilahpembukuan dan akuntansi, jelaslan bahwadalam masalah perpajakan, peranpembukuan (atau akuntansi) adalah vitalketika Wajib Pajak dan fiskus telah sepakatuntuk mencoba saling berkomunikasi.Meminjam penjelasan dari ranah akuntansi,tujuan dari akuntansi adalah

03

Good Governance

ada saat Subyek Pajak secara formalditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan pemberian NomorPokok Wajib Pajak maka sejak saat ituepisode hubungan bilateral antara DirektoratJenderal Pajak dengan Wajib Pajak dimulai.Hubungan bilateral ini telah dimulaisedemikian rupa dalam suatu aturan mainyang bertujuan agar kedua belah pihakmengetahui secara jelas hak dankewajibannya. Harapannya, Wajib Pajakdan Fiskus dapat ‘hidup berdampingan’untuk mencapai

P

“to furnish financial data concerning abusiness enterprise, compiled, andpresented to meets the needs ofmanagement, investors, and the public”(Paton dan Littleton, 1970).

Page 4: Gagas Pajak1

alat komunikasinya juga baik dan di satusisi dampak positifnya adalah terjadikejelasan dan kesamaan pandangandengan bahasa yang satu terhadap definisi“itikad baik”.Di sisi lain, sebagai bentuk kesetaraanperlakuan agar terjadi hubungan yangsehat , maka f i skus juga harusmemperlihatkan itikad baik yang sepadan.Misalnya, Undang-Undang harusmensyaratkan adanya kewaj ibanmelakukan peer-review secara berkala olehpihak-pihak yang dianggap mampu untukmenguji kualitas pekerjaan fiskus dalampemeriksaan. Ini semua adalah teknik-teknik yang secara definisi dan praktiksudah dipahami secara jelas oleh parapelaku profesional di bidang yang terkait.Ada keyakinan yang kuat bahwasesungguhnya masih cukup tersedia ruangdan cara untuk meningkatkan kualitaskomunikasi antara Wajib Pajak dan fiskusdengan basis pengetahuan dan keilmuandi dalam ranah perpajakan. Akhirnya,penulis yakin adanya ekses-ekses negatifdari suatu perubahan yang berawal danbersumber dari tidak adanya rasa salingpercaya dalam konstruk profesionalismeantara Wajib Pajak dan fiskus dalammenjalankan hak dan kewajibannya dibidang pajak akan semakin berkurang.Maka adanya aturan-aturan pajak yangtegas, adil dan tidak interpretatif dalammemperlakukan hak dan kewajiban WajibPajak dan fiskus menjadi suatu keniscayaanyang mesti terjadi dan tidak dapat ditawarlagi. Selamat melanjutkan reformasi

kompetensi (coba pahami dan rasakanfrasa ‘…to those who have a reasonableunderstanding of business and economicsactivities and are willing to study theinformation with reasonable diligence’).Hubungan antara Wajib Pajak dan fiskusseringkali berada dalam posisi tidak setarasecara de facto meskipun secara de yurekesetimbangan ini sudah coba diakomodasidi dalam Pasal 36A Undang-Undang No.28 Tahun 2007.Akibat ketidakpahaman Wajib Pajakterhadap Undang-Undang dan carapandang fiskus yang salah, maka secarapersepsi dan kenyataan praktikal, masihsering dijumpai pola hubungan yangmendudukkan Wajib Pajak hanya sebagaiobyek penderita dalam proses perpajakan.Pemilihan kata dan penjelasan yang tidaktaktis dalam contoh Pasal 28 tersebutmenjadi satu indikasi bahwa mungkinparadigma dalam mendesain peraturanlebih cenderung terlihat mengedepankanpersepsi-persepsi negatif terhadap salahsatu pihak dalam proses ini. Akibat dariketidakjelasan suatu klausul dalam Undang-Undang juga bisa membawa dampak ditataran implementasinya. Sebagai contoh,mengartikulasikan “itikad baik” harus dapatdilakukan secara praktik dalam suatu carayang dapat diterima oleh fiskus maupunWajib Pajak melalui mekanisme teknis yangsudah dikenal.Strategi membumikan klausul normatifmenjadi common practice adalah bagiandari cara untuk memudahkan komunikasiyang baik antara dua pihak. Sekadarmengambil sampel upaya membumikantersebut dapat di lakukan denganmendefinisika secara operasional klausul“itikad baik” dengan cara mendorong WajibPajak untuk menyampaikan hasi lpembukuan yaitu Laporan Keuangan yangtelah sesuai dengan standar akuntansikeuangan. Kewajiban ini kemudian harusdisediakan insentif maupun disintef-nya.Meskipun tidak mudah, tetapi ada keyakinankualitas komunikasi akan meningkat jika

terselip satu ayat berisi ukuran kualitatifyang berbeda dengan ayat lain karenakental dengan nuansa etis dan kepatutan.Pertanyannya, mengapa Undang-Undangmerasa perlu secara terang benderangmencantumkan kaidah-kaidah etika danmoral dalam sesuatu hal yang mestinyahanya menyangkut masalah teknis semata?Apakah Undang-Undang Pajak tersebutmemang sedari awal disusun dengankacamata persepsional negatif terhadapWajib Pajak di Indonesia, dan untuk parafiskus tidak berlaku hal yang sama?Mengapa kaidah kualitatif yang sama tidakdicantumkan pada fiskus dalam proses-proses yang berkaitan dengan pembukuan,misalnya dalam pemeriksaan. Adakah bunyisebagai berikut ‘….dengan itikad baik,pemeriksaan dilakukan untuk mengujikepatuhan Wajib Pajak’. Coba bandingkandengan kutipan berikut,

Financial reporting should provideinformation that is useful to present andpotential investors and creditors and othersusers in making rational investment, credit,and similar decisions. The informationshould be comprehensible to those whohave a reasonable understanding ofbusiness and economics activities and arewilling to study the information withreasonable diligence (FASB, 1978)

Pernyataan tersebut secara tegas telahmensyaratkan satu kualitas pelaporan yangsudah mencakupi unsur transparansi danakuntabilitas yang komprehensif dalamsatu lingkup kondisi yang setimbang dalambatasan profesionalisme berbasis

Oleh : Chaizi Nasucha(Kepala Pusdiklat Pajak)

04

TA N G G U N G JAWA BSECARA RENTENG

Dalam UU PPN perubahan ketiga yang diberlakukan 1 April 2010, ketentuan mengenai tanggungjawab secara renteng diberlakukan kembali.Pemberlakuan ini menimbulkan banyakper tanyaan ba ik subs tans i maupunpelaksanaannya di lapangan. Yang berkaitandengan pelaksanaan di lapangan tentu perlu kitatunggu aturan pelaksanaannya yang sampaitulisan ini dibuat belum diterbitkan. Yang menarikdan akan dikaji dalam makalah ini adalah yangberkaitan dengan substansinya. Tepatkahketentuan ini di terapkan untuk PPN?Persoalan tepat tidaknya tanggung jawab secararenteng ini diterapkan untuk PPN sebenarnyabukanlah persoalan yang rumit untuk dibahas.Akan tetapi ibarat sebuah bangunan, masalahtanggung jawab secara renteng ini memberikangambaran bagaimana sebenarnya bangunanPPN ini akan didirikan. PPN di Indonesiadibangun dengan beberapa karakteristik, yaitupajak atas konsumsi, pajak tidak langsung, danpajak objektif. Dalam praktiknya tidak semuakarakteristik ini bisa diterapkan denganper t imbangan-per t imbangan ter tentu .Pertimbangan-pertimbangan itu adakalanyamemang bisa dipahami namun juga kadangkala“tidak bisa dimengerti”. Bagaimana dengantanggungjawab secara renteng? Apakahtermasuk ke dalam pertimbangan-pertimbanganyang memang diperlukan? Makalah sederhanaini mencoba membahas hal tersebut.

TANGGUNG JAWAB SECARA RENTENG(Suatu kajian sederhana)

A. Pendahuluan

Bahasan Utama

05

Page 5: Gagas Pajak1

Renteng mengandung arti berendeng atauberuntun-runtun (Kamus Besar BahasaIndonesia). Istilah ini digunakan untuksesuatu yang berurutan. Kata rentengbiasanya disatukan dengan kata lain untukmemberikan pengertian baru sesuai dengankata yang diikutinya. Seperti yang akandibahas dalam makalah ini yaitu tanggungjawab secara renteng. Tidak ada definisiresmi yang dapat dipakai sebagai rujukandalam menjelaskan kata ini. Untukkepentingan pembahasan makalah ini,tanggung jawab secara renteng penulisartikan sebagai pelimpahan bebantanggung jawab secara beruntun kepadapihak berikutnya sesuai urut-urutan. Palingtidak diperlukan dua pihak untuk dapatterlaksananya tanggung jawab renteng.Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun1983 Tentang Pajak Pertambahan NilaiBarang dan Jasa dan Pajak Penjualan AtasBarang Mewah (selanjutnya ditulis UU PPN1984 perubahan ketiga), tanggung jawabsecara renteng tercantum dalam Pasal 16F.Selengkapnya berbunyi sbb:“Pembeli Barang Kena Pajak ataupenerima Jasa Kena Pajak bertanggungjawab secara renteng atas pembayaranpajak , sepanjang t idak dapatmenunjukkan bukti bahwa Pajak telahdibayar.”Penjelasannya menyatakan demikian:Sesuai dengan prinsip beban pembayaranPPN yang melekat pada pembeli ataukonsumen barang dan penerima jasa. Olehkarena itu, sudah seharusnya apabilapembeli atau konsumen barang danpenerima jasa bertanggung jawab rentengatas pembayaran pajak yang terutangapabila ternyata bahwa pajak yang terutangtersebut tidak dapat ditagih kepada penjualatau pemberi jasa dan pembeli ataupenerima jasa tidak dapat menunjukanbukti telah melakukan pembayaran pajakkepada penjual atau pemberi jasa.Dari ketentuan di atas dapat disimpulkanbahwa pembeli, yang sesuai dengan

karakteristik PPN sebagai pajak ataskonsumsi merupakan pemikul beban pajaksesungguhnya, dibebani tanggung jawabsecara renteng apabila:1. pajak yang terutang tersebut tidak dapatditagih kepada penjual atau pemberi jasa2. pembeli atau penerima jasa tidak dapatmenunjukkan bukti telah melakukanpembayaran pajak kepada penjual ataupemberi jasa.Dengan demikian, tanggungjawab secararenteng pada konteks Pasal 16F adalahpelimpahan beban tanggungjawabpembayaran ke Kas Negara atas pajakterutang, yang timbul akibat penyerahanbarang kena pajak (Pasal 4 hrurf a) ataupenyerahan jasa kena pajak (Pasal 4 hurufc), kepada pembeli yang mestinya menjaditanggungjawab penjual sebagai akibatpajak terutang tersebut tidak dapat ditagihkepada penjual dan pembeli tidak dapatmenunjukkan bukti telah melakukanpembayaran pajak.Ketentuan ini berlaku terhadap objek pajakberdasarkan Pasal 4 huruf a dan huruf cdimana yang menjadi subjek pajak dalamarti yang bertanggungjawab terhadappembayaran ke Kas Negara berada padapihak penjual.Illustrasi:PT ABC telah dikukuhkan sebagaiPengusaha Kena Pajak yang bergerakdalam bidang perdagangan besarkomputer, pada tanggal 20 April 2010menyerahkan 10 unit komputer kepada PTXYZ dengan to ta l Ha rga Jua lRp70.000.000,00. Atas penyerahan initerutang PPN sebesar 10% x Rp70juta =Rp7juta. Mekanisme umum yang diaturdalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebutadalah:1. PT ABC menerbitkan Faktur Pajak untukmemungut PPN sebesar Rp7juta.2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:- lembar pertama diberikan kepada PT XYZsebagai bukti beban pajak yang seharusnyadibayar;- lembar kedua menjadi arsip PT ABCsebagai bukti pemungutan pajak.

3. PT ABC wajib menyetor pajak yangdipungut untuk setiap Masa Pajak ke KasNegara.4. PT XYZ wajib membayar pajak terutangtersebut kepada PT ABC.5. Bagi PT XYZ, Faktur Pajak tersebutmerupakan bukti formil bagi pengreditanpajak dalam suatu Masa Pajak.Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 16F,apabila PT XYZ tidak dapat menunjukkanbukti bahwa pajak telah dibayar maka PTXYZ dibebani tanggung jawab secararenteng atas pajak dimaksud. Sesuaidengan UU KUP perubahan kedua (UUNomor 16 Tahun 2000), Pasal 33 yangberbunyi:“Pembeli Barang Kena Pajak atauPenerima Jasa Kena Pajak sebagaimanadimaksud dalam Undang-undang PajakPertambahan Nilai 1984 danperubahannya bertanggungjawab secararenteng atas pembayaran pajak pajak,sepanjang tidak dapat menunjukkanbukti bahwa pajak telah dibayar.”Penjelasannya:Sesuai dengan prinsip beban pembayaranpajak untuk Pajak Pertambahan NilaiBarang dan Jasa dan Pajak Penjualan atasBarang Mewah adalah pada pembeli ataukonsumen barang atau penerima jasa. Olehkarena itu, sudah seharusnya apabilapembeli atau konsumen barang danpenerima jasa bertanggungjawab rentengatas pembayaran pajak yang terutangapabila ternyata bahwa pajak yang terutangtersebut tidak dapat ditagih kepada penjualatau pemberi jasa dan pembeli ataupenerima jasa tidak dapat menunjukkanbukti telah melakukan pembayaran pajakkepada penjual atau pembeli jasa.Dalam perubahan ketiga UU KUP yaitu UUNomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku1 Januari 2008, Pasal 33 ini dihapus.Namun dalam UU PPN 1984 perubahanketiga yang mulai berlaku 1 April 2010ketentuan mengenai tanggung renteng inidihidupkan kembali.

B. Pengertian

06

Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yangsaat timbulnya kewajiban pajak ditentukanoleh faktor objektif, yang disebuttaatbestand. Taatbestand adalah keadaan,peristiwa atau perbuatan hukum yang dapatdikenakan pajak yang juga disebut dengannama objek pajak. Sebagai pajak objektif,timbulnya kewajiban untuk membayar PajakPertambhan Nilai tidak membedakan antarakonsumen berupa orang atau badan, antarakonsumen yang berpenghasilan tinggidengan berpenghasilan rendah. Sepanjangmereka mengkonsumsi barang atau jasadari jenis yang sama, mereka diperlakukansama (Untung Sukardji, 2006).Yang menjadi subjek pajak dalampengertian pajak objektif di atas adalahkonsumen yaitu selaku pihak yang memikulbeban pajak. Dalam pajak objektif kondisisubjektif konsumen tidak dipertimbangkanuntuk menentukan suatu peristiwa hukumterutang pajak. Siapapun konsumennyasepanjang peristiwa hukum tersebutmerupakan objek pajak maka terhadapkonsumen tersebut dikenai pajak yangsama. Lain halnya dengan pajak subjektifseperti Pajak Penghasilan yang kondisisubjektif pihak yang memikul beban pajakmenjadi bahan pertimbangan dalammenentukan pajak terutang.Sebagai contoh Pajak Penghasilan bagiOrang Pribadi berbeda dengan PajakPenghasilan bagi badan.Demikian pula Pajak Penghasilan bagiorang pribadi yang menikah berbedadengan Pajak Penghasilan bagi orangpribadi yang bujangan.

Hal ini bisa dimengerti karena yang menjadisubjek pajak dalam arti yang bertanggungjawab terhadap pembayaran ke Kas Negaraatas pajak yang terutang untuk Pasal 4huruf a dan c adalah penjual bukan pembeli.Yang perlu digarisbawahi adalah bahwaketentuan ini untuk kepentingan administratifbagi asas yang dianut sebagai Pajak TidakL a n g s u n g d a n m e s t i n y a t i d a kmenjadikannya bias sebagai pajak ataskonsumsi.

C. Karakteristik PPN IndonesiaKarakteristik PPN yang berlaku di Indonesiabeserta aplikasinya berkaitan dengan temayang dibahas yaitu:

07

Pajak Objektif

Hakikat PPN di Indonesia adalah pajak ataskonsumsi, yaitu pajak yang timbul akibatsuatu peristiwa hukum menjadi bebankonsumen baik secara yuridis maupunekonomis. Hal ini berarti, yang dikenai pajakadalah barang-barang atau jasa yangdikonsumsi, bukan barang-barang dalamproses produksi atau dengan kata lainbarang-barang atau jasa yang dikonsumsipada area konsumen akhir. Sepanjangbarang-barang itu masih dalam siklusproduksi atau distribusi pengenaan PPNpada area itu bersifat sementara yang dapatdilimpahkan kepada pembeli berikutnyamelalui mekanisme pengreditan pajakmasukan.Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajakatas konsumsi tersurat jelas dalampenjelasan atas UU PPN 1984 perubahanterakhir, yaitu pada alenia pertama, yangberbunyi:Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak ataskonsumsi barang dan jasa di DaerahPabean yang dikenakan secara bertingkatsi setiap jalur produksi dan distribusi.Meskipun merupakan pajak ataskonsumsi,tidak seperti Pasal 4 (1) huruf b(impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKPtidak berwujud), dan huruf e (pemanfaatanJKP),ketentuan mengenai objek pajak yang diaturdalam Pasal 4 huruf a dan huruf c diuraikandalam sudut pandang penjual bukankonsumen.

Pajak atas Konsumsi umumdalam negeri Untuk membedakan pajak langsung dan

pajak tidak langsung dalam konteksbahasan ini perlu kiranya penulis uraikanpengertian subjek pajak. Subjek pajakmemiliki dua arti yaitu:1) Sebagai pemikul beban pajak; dan2) Penanggung jawab pembayaran pajakterutang ke Kas Negara. Pada PajakPenghasilan dua arti ini melekat pada satupihak yaitu penerima penghasilan. Penerimapenghasilan yang berdasarkan UU PPhadalah Wajib Pajak, selain sebagai pemikulbeban pajak juga dibebani tanggung jawabatas pembayarannya ke Kas Negara. Lainhalnya dalam PPN, khususnya pada pasal-pasal yang menerapkan karakteristik PajakTidak Langsung, antara pemikul bebanpajak dan penanggungjawab pembayaranke Kas Negara berada pada pihak yangberbeda. Pemikul beban pajak adalahkonsumen sedangkan penanggung jawabatas pembayaran pajak ke Kas Negaraadalah penjual. Seperti pada ilustrasi diatas, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PTABC adalah bukti pungutan atas PPNterutang yang timbul ketika menjual 10 unitkomputer. Selanjutnya penjual wajibmenyetorkan setiap pajak yang dipungutdalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara.Kewajiban pembeli adalah membayar pajakterutang yang tercantum dalam faktur pajakkepada penjual. Dan faktur pajak itu bagipembeli adalah bukti beban pajak.

Pajak Tidak Langsung

Page 6: Gagas Pajak1

Untuk memperjelas permasalahan adabaiknya kita membahas secara detiltimbulnya kewajiban pajak dari dua pihakterkait yaitu penjual dan pembeli, terutamadalam Pasal yang merupakan implikasi dariPPN sebagai Pajak Tidak Langsung. Pasal4 huruf a dan huruf c UU PPN 1984menyatakan bahwa:Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalamDaerah Pabean yang dilakukan olehPengusaha;b. ...c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalamDaerah Pabean yang dilakukan olehPengusaha;Karakteristik PPN sebagai pajak objektiftampak dalam ketentuan di atas dengantidak disebutkannya konsumen sebagaiunsur yang menentukan timbulnya pajakyang terutang. Undang-undang (Pasal 3AUU PPN 1984) selanjutnya menetapkanpenjual (pengusaha yang menyerahkanBKP/JKP) sebaga i p i hak yangbertanggungjawab terhadap timbulnyapajak terutang dimaksud.

Jika tidak ada kewajiban materil yangmelekat dalam penentuan pajak terutangdi pihak pembeli maka tidak mungkin diikutidengan kewajiban formil berkaitan denganpelunasan pajak terutang oleh pihakpembeli. Karena kewajiban material dalammenentukan pajak terutang berada di pihakpenjual maka sekiranya timbul pajak yangterutang akan selalu diikuti dengankewajiban formil demi terealisasi menjadipenerimaan Negara. Kewajiban bagi penjualBKP/JKP diatur dalam Pasal 3A UU PPN1984 yang meliputi:- Melaporkan usahanya untuk dikukuhkansebagai Pengusaha Kena Pajak;- Memungut pajak terutang melaluipenerbitan Faktur Pajak;-Menyetor pajak yang dipungut denganmenggunakan Surat Setoran Pajak; dan- M e l a p o r k a n n y a d a l a m S u r a tPemberitahuan Masa PPN. Sebagaikonsekuensi apabila penjual t idakmemungut PPN atas penjualan BKP/JKPyang menurut ketentuan terutang PPN,maka yang akan dituntut adalah penjual.Penuntutan dapat dilakukan melaluipenerbitan surat ketetapan pajak setelahdilakukan pemeriksaan disertai denganpenerapan sanksi. Lain halnya denganPasal 4 huruf b (impor BKP), huruf d(pemanfaatan BKP tidak berwujud) danhuruf e (pemanfaatan JKP) UU PPN 1984,di mana konsumen ditetapkan sebagaipihak yang memikul beban pajak sekaligusjuga penanggung jawab atas pembayaranke Kas Negara, karena penjual BKP/JKPyang berada di luar negeri tidak mungkinuntuk dibebani kewajiban pemungutanpajak terutang. Timbulnya pajak terutangdalam Pasal 4 huruf b, d dan e tidakmewajibkan importir atau konsumen yangmemanfaatkan BKP/JKP untuk melaporkanusahanya untuk dikukuhkan sebagaiPengusaha Kena Pajak. Kewajiban formilyang melekat berdasarkan Pasal 3Ameliputi:-Membayar pajak yang terutang; dan-Melaporkannya.

D. BagaimanaTimbulnya PajakTerutang Dari SisiPenjual dan Pembeli

Undang-undang (baca: Pasal 4 huruf a danc UU PPN 1984) itu adalah peraturan yangpertama secara realitas dihidupkan petamakalo penjual. Secara material yang pertamakali menentukan suatu peristiwa hukum(dalam konteks Pasal 4 huruf a dan hurufc) itu terutang PPN adalah penjual. Syaratsuatu peristiwa hukum itu terutang PPNsecara kumulatif yaitu:1)Yang diserahkan adalah Barang KenaPajak;2)Di dalam daerah Pabean; dan3)Yang menyerahkan adalah pengusaha(dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya).Secara material pembeli tidak ikut dan tidakdapat menentukan suatu penyerahan ituterutang PPN atau tidak, sebab pembelitidak mengetahui kondisi hukum syaratnomor 3). Jadi sebenarnya tidak ada bebankewajiban material, dalam menentukansuatu peristiwa hukum itu terutang pajak,yang bisa dilekatkan pada pembeli untukkasus dimaksud. Pembeli lebih bersifatpasif. Penjuallah yang menentukan. Jikamenurut penjual (belum tentu menurut UU)atas penyerahan barang atau jasa itu tidakterutang pajak maka yang demikian ini sahadanya sampai dapat dibuktikan bahwa itutidak benar. Pembuktian bahwa itu tidakbenar berdasarkan UU KUP ada di pihakfiskus (DJP) bukan di pihak pembeli. Halini juga sejalan dengan ketentuan yangmenetapkan penjual sebagai subjek pajakyaitu yang bertanggung jawab terhadappembayaran ke Kas Negara atas utangpajak yang timbul. Jadi meskipun PPNadalah pajak atas konsumsi (hal yangmenjadi dasar pemikiran tanggung rentengdalam penjelasan UU PPN 1984) tidakserta merta melekat kewajiban materialpenentuan terutangnya pajak padakonsumen. Kecuali barangkali kalau kitamenganut karakteristik PPN sebagai PajakLangsung.

Pajak terutang dalam sudutpandang PKP Penjual

08

Bagaimana konsumen mengetahui bahwaatas pembelian barang itu terutang PPN?Pertanyaan ini perlu dijawab untuk melihatapakah tanggung jawab renteng tepatditerapkan pada konsumen. Seperti telahdiuraikan di atas bahwa konsumen tidakdibebani kewajiban material dalammenentukan suatu peristiwa hukum ituterutang PPN. Bagi konsumen, suatupembelian barang atau jasa itu terutang PPNhanya apabila atas pembelian itu diterbitkanfaktur pajak. Selama tidak diterbitkan fakturpajak maka bagi konsumen, atas pembelianitu "dianggap" tidak terutang PPN bahkanmeskipun dikemudian hari dapat dibuktikanoleh fiskus bahwa secara material ternyataterutang PPN. Kewajiban untuk membayarpajak terutang atas pembelian barang ataujasa itu timbul bersamaan dengan terbitnyafaktur pajak.Pajak terutang yang timbul atau yangtercantum dalam faktur pajak adalah utangyang wajib dibayar oleh konsumen kepadapenjual. Dan sifat dari utang ini adalah utangpiutang biasa yang menjadi ranah hukumperdata bukan utang pajak dalam ranahhukum publik

. Apabila konsumen tidak membayar pajakterutang yang tercantum dalam faktur pajak,tidak dapat kemudian oleh fiskus diterbitkansurat ketetapan pajak untuk memaksanyamembayar. Meski faktur pajak sesungguhnyaadalah bentuk lain dari suatu penetapan,namun pajak yang terutang di dalamnyaadalah utang pajak antara penjual danNegara. Utang pajak yang timbul akibatperistiwa hukum yang menurut ketentuan(Pasal 4 huruf a dan c) terutang PPN, baikatasnya diterbitkan faktur pajak maupun tidak,adalah utang pajak antara penjual dengannegara yang merupakan ranah hukum publik.Selanjutnya atas pajak terutang ini prosespelunasan oleh penjual atau penagihannyakepada penjual dilakukan dengan ketentuanformil dalam UU di bidang perpajakan.Maka dapat disimpulkan bahwa tidak adadasar yang bisa dijadikan acuan bagipelimpahan tanggung jawab pembayaranpajak terutang kepada konsumen pada ranahhukum publik untuk pajak terutang ataspenyerahan BKP atau JKP dari penjualkepada pembeli.

Pajak terutang dalam sudut pandangkonsumen

09

Page 7: Gagas Pajak1

Apabila faktur pajak tidak diterbitkan olehpenjual, ini berarti atas transaksi itu menurutpenjual tidak terutang pajak dan sahberdasarkan undang-undang sampaiditemukan bukti bahwa transaksi ini terutangpajak. Akibat kesalahan penjual ini, fiskusdapat menerbitkan surat ketetapan pajakuntuk menagih pajak terutang yangsemestinya dipungut ditambah sanksiadministrasi kepada penjual. Meskipun PPNadalah beban pembeli tetapi akibatkesalahan materil penentuan pajak terutangoleh penjual, atas pajak yang semestinyaterutang itu akan menjadi beban penjual.

Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif.Syarat a> mengandung pengertian bahwatelah dilakukan tindakan penagihan kepadapenjual atau pemberi jasa ybs. Pembelitidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajaktelah dibayar dapat disebabkan hal-hal sbb:1. Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual;2. Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapitidak atau belum dibayar oleh pembeli.Akan diuraikan di bawah ini implikasi darimasing-masing kondisi berkaitan dengantanggungjawab renteng.1) Tidak diterbitkan faktur pajak olehpenjualFaktur pajak yang tidak diterbitkan olehpenjual padahal atas transaksi itu terutangpajak berdasarkan hasil pemeriksaan fiskusdapat menimbulkan implikasi yang berbedabagi penjual dan bagi pembeli.

Pasal ini memiliki beberapa kelemahanyang berpotensi menimbulkan praktikhukum yang tidak adil khususnya bagikonsumen.Secara normatif, kondisi hukum yangmenimbulkan tanggungjawab rentengterhadap pembeli adalah apabila:1. Pajak yang terutang tersebut tidak dapatditagih kepada penjual atau pemberi jasa;dan2. pembeli tidak dapat menunjukkan buktibahwa Pajak telah dibayar.

Pembeli Barang Kena Pajak ataupenerima Jasa Kena Pajak bertanggungjawab secara renteng atas pembayaranpajak, sepanjang tidak dapatmenunjukkan bukti bahwa Pajak telahdibayar.

(dalam Pasal 16F perubahan ketiga UU PPN 1984)

E. Paradoks tanggungjawab secara renteng

10

Ini konsekuensi dari karakteristik PPNsebagai pajak tidak langsung dimana fungsi“penetapan” dilekatkan pada penjual.Bagi pembeli, karena tidak diterbitkan fakturpajak maka atas transaksi ini tidak terutangpajak meskipun dikemudian hari ditemukanbukti bahwa transaksi itu terutang pajak.Pembel i t idak mungkin d ibebanipembayaran pajak apabila tidak diterbitkanfaktur pajak. Karena pembeli tidak dibebanikewajiban materil dalam menentukan suatupembelian adalah terutang pajak, denganalasan:a) Pembeli tidak mengetahui dan tidak adakewajiban dalam undang-undang untukmengetahui kondisi hukum penjual apakahpengusaha kena pajak atau bukan;b) Tidak ada kewenangan bagi pembeliuntuk menerbitkan faktur pajak ataumekanisme penetapan lainnya yang diaturundang-undang sebagai sarana untukmelakukan pembayaran pajak terutangsekiranya penjual tidak menerbitkan fakturpajak atas penyerahan yang mestinyaterutang.Dengan demikian selama penjual tidakmenjalankan fungsi penetapan pajak (dalambentuk menerbitkan faktur pajak) maka iniberarti tidak pernah ada utang pajak yangtimbul bagi pembeli dari sudut pandangpembeli.2) Diterbitkan faktur pajak oleh penjualtetapi tidak atau belum dibayar olehpembeli.Tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajaktelah dibayar bisa juga berarti bahwa fakturpajak telah diterbitkan tetapi pembeli belumatau tidak membayar pajak terutang yangtercantum dalam faktur pajak. Pembelimemang wajib membayar pajak yangterutang yang tercantum dalam faktur pajakkepada penjual. Tetapi kewajibanmembayar pajak ini sederajat dengankewajiban membayar harga barangnyapada penjual.Faktur pajak didefinisikan dalam Pasal 1angka 23 UU PPN 1984 perubahan ketiga

sebagai bukti pungutan pajak yang dibuatoleh Pengusaha Kena Pajak yangmelakukan penyerahan Barang Kena Pajakatau penyerahan Jasa Kena Pajak.Dari definisi itu maka jelas bahwa apabilatelah diterbitkan faktur pajak maka utangpajak berada di pihak yang memungut yaitupenjual. Maka ke penjuallah selayaknyatanggung jawab pembayaran i t udialamatkan. Ketika faktur pajak diterbitkan,muncul utang piutang antara penjual danNegara.Bagi pembeli, faktur pajak bukan buktipembayaran tetapi bukti beban pajak.Sebagaimana tersirat dalam definisimengenai Pajak Masukan dalam Pasal 1angka 24 yaitu:Pajak Masukan adalah Pajak PertambahanNilai yang seharusnya sudah dibayar olehPengusaha Kena Pajak karena perolehanBarang Kena Pajak dan/atau perolehanJasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatanBarang Kena Pajak Tidak Berwujud dariluar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatanJasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabeandan/atau impor Barang Kena Pajak.Frasa “PPN yang seharusnya sudahdibayar” pada definisi Pajak Masukanmenunjukkan beban. Maka faktur pajak itubukan bukti pembayaran pajak tetapi buktibeban pajak yang harus dipikul pembeliatas pembelian barang atau jasa yangterutang pajak. Pelunasan beban pajak inidilakukan dengan pembayaran kepadapenjual.Tentu timbul pertanyaan bukti seperti apayang dapat diterima sebagai bukti bahwapajak telah dibayar kepada penjual? Adakahketentuan dalam undang-undang pajakyang mengatur jatuh tempo pembayaranpajak oleh pembeli kepada penjual?Dapatkah pembeli membayar langsung keKas Negara setelah menerima faktur pajakdari penjual dan kepadanya diberikan SSPsebagai bukti pembayaran? Adakahketentuan yang mengatur pengalihan utangpiutang biasa antara pembeli dan penjualke dalam utang pembeli kepada negara

dalam undang-undang pajak, kaitannyadengan pajak terutang ini? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab olehseperangkat peraturan perundang-undangan pajak kita maka terdapat banyak“missing link” untuk sampai pada tanggungjawab renteng.Di samping itu, jika pembeli tidak dapatmenunjukkan bukti bahwa pajak yangtercantum dalam faktur pajak telah dibayardan untuk itu diterbitkan surat ketetapanpajak beserta sanksinya maka akan terjadipemajakan ganda untuk satu objek pajak.Pembeli, disamping harus melunasi utangpajak yang tercantum dalam suratketetapan pajak yang merupakan ranahhukum publik, juga harus melunasi pajakyang tercantum dalam faktur pajak kepadapenjual yang merupakan ranah hukumperdata untuk satu peristiwa hukum.

11

Page 8: Gagas Pajak1

maka penjuallah yang seharusnyabertanggung jawab penuh terhadap terutangtidaknya transaksi itu.4. Bagi pembeli, pembelian terutang PPNhanya apabila atas transaksi itu diterbitkanfaktur pajak. Kewajiban membayar pajakterutang timbul bersamaan denganditerbitkannya faktur pajak.5. Tanggung jawab renteng tidak tepatditerapkan dalam PPN baik terhadapnyaditerbitkan faktur pajak maupun tidak,karena:Pembeli tidak dalam kapasitas melakukanfungsi penetapan (menentukan secaramateril bahwa pembelian itu terutang pajak);Menimbulkan dampak pengenaan pajakberganda yang merugikan pembeli;Tidak ada mekanisme hukum dalamundang-undang yang memungkinkanpembeli melakukan eksekusi rentenglangsung ketika kewajiban ini timbul

(jika tanggung jawab renteng dipaksakanuntuk dilaksanakan).Hukum formil dan hukum materil itu sepertidua sisi dalam sekeping mata uang. Fungsihukum pajak materialadalah melahirkan pajak yang terutang.Fungsi hukum pajak formil adalahmenjadikan pajak yang terutangpenerimaan ke Kas Negara. Fungsi hukumformil sejatinya adalah membuat yangmaterial menjadi nyata. Hukum formil yangadil tidak mungkin melampaui hukummateril. Dia tidak mungkin menjadikannyaada jika tidak dilahirkan oleh hukum materil.Jika ada hukum formil yang bertindakdemikian maka tidak adil namanya. Itulahyang terjadi dengan Pasal 16F UU PPN1984. Tidak pada tempatnya menempatkanpembeli sebagai penerima tanggungjawabrenteng jika tidak ada kewajiban materilyang mendahuluinya.

Syarat yang ditetapkan harus betul-betultepat bahwa konsumen berada dalamkapasitas yang memang layak untukdibebani tanggung jawab renteng. Misalkanterdapat bukti persekongkolan antarapenjual dan pembeli dimana penjualselanjutnya tidak diketahui rimbanya danpajak masukan yang menjadi bebanpembeli dan tidak pernah dibayardikreditkan oleh pembeli. Tetapi ini tentunyamasuk ke area pidana. Dan harus bisadibuktikan adanya persekongkolan antarapenjual dan pembeli. Untuk menghindariini DJP perlu melakukan pembinaan yangintensif terhadap PKP di wilayah kerjanyamasing-masing.

Berdasarkan bahasan sederhana di atasbeberapa kesimpulan dapat dibuat sebagaiberikut:1. Tanggung jawab renteng adalah ketentuanformil yang sebelumnya diberlakukan tetapidihapuskan oleh UU KUP perubahan ketigadan dihidupkan kembali dalam UU PPN 1984perubahan ketiga pada Pasal 16F.2. Tanggung jawab renteng dibebankankepada pembeli apabila ternyata bahwa pajakyang terutang tersebut tidak dapat ditagihkepada penjual atau pemberi jasa danpembeli atau penerima jasa tidak dapatmenunjukkan bukti telah melakukanpembayaran pajak kepada penjual ataupembeli jasa.3. Yang pertama kali menentukan secaramateril bahwa suatu penyerahan barang ataujasa di Daerah Pabean itu terutang PPNadalah penjual bukan pembeli,

G. Kesimpulan

F. Bisakah Tanggung JawabRenteng Diterapkan DalamPPN dengan KarakteristikPajak Tidak Langsung?Menurut penulis bisa saja, tetapi tidakdengan syarat sebagaimanadiberlakukan dalam Pasal 16F.

12 13

H . KepustakaanSukardji, Untung, SH: Pajak Pertambahan NilaiEdisi Revisi 2009, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.Santoso Brotodihardjo, R.S.H: Pengantar IlmuHukum Pajak, Jakarta- Bandung: PT Eresco, 1982.Rochmat Soemitro, Prof. Dr. SH & Dewi KaniaSugiharti, SH., MH.: Asas Dan Dasar Perpajakan1 edisi revisi

Oleh : Hari Sugiharto(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 9: Gagas Pajak1

DITJEN PAJAK DAN PENGADILAN PAJAK:MENCARI KEPASTIAN DALAM GUGATAN ATASKESALAHAN PROSEDUR

Opini Kita (OK) KUP

Kadang harapan tidak selalu menemukankenyataan indahnya. Satu contoh kasusberikut mengilustrasikan beberapa masalahyang timbul dalam pemenuhan ketentuanformil dalam perpajakan. Kasus iniberhubungan dengan pemeriksaan buktipermulaan yang dilakukan Ditjen Pajakkarena surat perintah pemeriksaan buktipermulaan telah dibatalkan oleh PengadilanPajak. Putusan tersebut telah mempunyaikekuatan hukum tetap dan bahkankemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agungmelalui Putusan Peninjauan Kembali yangmembatalkan Surat Perintah PemeriksaanBukti Permulaan atas dasar ketentuandalam Pasal 23 ayat (2) UUKUP.Gul i ran cer i ta in i berawal dar idikeluarkannya Surat Perintah PemeriksaanBukti Permulaan terhadap Wajib Pajak olehDitjen Pajak dan menurut WP telah terjadikesalahan prosedur dalam penerbitannya,sehingga Wajib Pajak mengajukan gugatanke Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuanPasal 23 ayat (2) huruf d UUKUP dandimenangkan oleh Pengadilan Pajak.Sebagai pelaksana UU Perpajakan danpengamanan hak negara, Ditjen Pajakmemberikan respon dengan mengajukanPeninjauan Kembali ke MA atas PutusanPengadilan Pajak tersebut dan padaakhirnya sesuai pertimbangan hukum hakimagung keluarlah Putusan PK yangmenguatkan putusan Pengadilan Pajaktersebut. Sekali lagi, Ditjen Pajak menjadipihak yang kalah dalam pertarungan ini.

Pemeriksaan bukti permulaan menurutPasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umumdan Tata Cara Perpajakan (UUKUP)sebagaimana telah beberapa kali diubahterakhir dengan Undang-Undang Nomor16 Tahun 2009 adalah pemeriksaan yangdilakukan untuk mendapatkan buktipermulaan tentang adanya dugaan telahterjadi tindak pidana di bidang perpajakan.Selanjutnya, bukti permulaan adalahkeadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupaketerangan, tulisan, atau benda yang dapatmemberikan petunjuk adanya dugaan kuatbahwa sedang atau telah terjadi suatutindak pidana di bidang perpajakan yangdilakukan oleh siapa saja yang dapatmenimbulkan kerugian pada pendapatannegara.

inamika hubungan Wajib Pajak dan fiskus dalam proses bisnis perpajakan kadang mengalamimasa indah, kadang juga sebaliknya.Upaya-upaya pemenuhan ketentuanperpajakan yang dilakukan oleh fiskus padadasarnya adalah untuk memastikan bahwaketentuan perundangan dapat dijalankandengan tepat dan benar sebagaimana yangdimaksudkan. Meski demikian, ada saatdimana antara Wajib Pajak dan fiskusmengalami perbedaan persepsi danpemahaman terhadap sebuah ketentuanataupun sebuah fenomena transaksi baikdengan latar belakang formil maupunmateriilnya. Dalam dunia pajak, hal tersebutadalah wajar dan bukanlah tabu ketikafiskus dan Wajib Pajak mengalaminya danmempersengketakan urusan tersebut untukkemudian mencari keputusan tepat yangberbasis pada kor idor ketentuanperundangan yang berlaku di Indonesia.Secara teorit ik, ketika dua pihakbersengketa maka perlu pihak ketiga untukmenjadi penengahnya, dan dalam urusanpajak penengah itu adalah PengadilanPajak. Tentu tidak ada yang sempurnadalam suatu keputusan yang dikeluarkandengan basis hukum-hukum buatanmanusia. Akan tetapi, harapan bahwaPengadilan Pajak sebagai salah satuinstitusi yang memegang kekuasaanmengadili dapat membuat keputusan yangtepat sungguh sangat mencuat, manakalaada celah hukum yang ada di dalam hukum-hukum buatan manusia tersebutdimanfaatkan oleh pihak lain dengan niatyang tidak baik, misalnya penghindaranpemenuhan kewajiban pajak.

14

Mengapa Ditjen Pajak kembali kalah?Mari kita kupas.

15

Hal menarik untuk didiskusikan dalamtulisan ini adalah apabila terdapat kesalahanprosedur dalam pemeriksaan buktipermulaan yang dilakukan oleh PPNS DJP,misalnya dalam penerbitan Surat PerintahPemeriksaan Bukti Permulaan maka upayahukum apa yang dapat dilakukan oleh WajibPajak? Bagaimana ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan mengaturhal tersebut? Ketentuan yang sudah pastimenurut KUHAP atas proses penyelidikantidak dapat diajukan praperadilan karenabukan merupakan kewenangan PengadilanNegeri sebagaimana diatur dalam Pasal77 KUHAP.Mengingat bahwa tindakan pemeriksaanbukti permulaan masih dalam prosesadministratif, dengan demikian siapa yangberwenang untuk menyelesaikanpemeriksaan buper yang tidak sesuaiprosedur? Direktorat Jenderal Pajakataukah merupakan kewenanganPengadilan Pajak?Pengadilan Pajak adalah badan peradilanpajak yang diamanatkan dalam Pasal 2Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002tentang Pengadilan Pajak untukmelaksanakan kekuasaan kehakiman bagiWajib Pajak atau Penanggung Pajak yangmencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.Sengketa pajak menurut undang-undangtersebut adalah sengketa yang timbul dalambidang perpajakan antara Wajib Pajak atauPenanggung Pajak dengan pejabat yangberwenang sebagai akibat dikeluarkannyakeputusan yang dapat diajukan Bandingatau Gugatan kepada Pengadilan Pajakberdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatanatas pelaksanaan penagihan berdasarkanUndang-Undang Penagihan Pajak denganSurat Paksa. Dengan demikian, objeksengketa pajak adalah gugatan ataubanding.

Dengan demikian, pemeriksaan buktipermulaan adalah upaya DJP untukmendapatkan keadaan, perbuatandan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,atau benda sebagai petunjuk yangmembuktikan adanya dugaan tindak pidanadi bidang perpajakan. Apabila berdasarkanhasil pemeriksaan bukti permulaandidapatkan petunjuk mengenai adanyadugaan tindak pidana di bidang perpajakanmaka proses selanjutnya ditingkatkandengan proses penyidikan. Pelaksanapemeriksaan bukti permulaan adalahPegawai Negeri Sipil di lingkungan DJPatau tenaga ahli yang ditunjuk oleh DirekturJenderal pajak, yang diberi tugas,wewenang, dan tanggung jawab untukmelaksanakan pemeriksaan bukt ipermulaan (sesuai Pasal 1 angka 8 hurufa PMK Nomor 202/PMK.03/2007 tentangTata Cara Pemeriksaan Bukti PermulaanTindak Pidana di Bidang Perpajakan).Penyelidikan dalam tindak pidana umummenurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalahmerupakan serangkaian tindakan penyelidikuntuk mencari dan menemukan suatuperistiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidaknyadilakukan penyidikan menurut cara yangdiatur dalam Undang-Undang. Apabilapejabat POLRI mampu menemukan suatuperistiwa yang diduga tersebut ternyataadalah tindak pidana selanjutnya akandilakukan penyidikan. Penyelidik adalahpejabat POLRI. Berdasarkan kedua uraiantersebut di atas, pemeriksaan buktipermulaan dapat dikatakan setingkatdengan penyelidikan dalam tindak pidanaumum, karena pada akhirnya akanbermuara pada dilakukan atau tidaknyasuatu penyidikan.

Dalam Pasal 7 Keputusan KAPOLRI Nomor7 Tahun 2006 tentang Kode Etik ProfesiKepolisian Negara Republik Indonesiasebagai amanat dari Pasal 35 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006 tentangKepolisian diatur bahwa Anggota KepolisianNegara Republik Indonesia senantiasamenghindarkan diri dari perbuatan tercelayang dapat merusak kehormatan profesidan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakanberupa antara lain:a. …;b. Menyalahi dan atau menyimpang dariprosedur tugas;c. ….Berdasarkan uraian di atas, dalam hal terjadikesalahan prosedur tugas sepertipenyelidikan maka sesuai ketentuan dalamPasal 7 huruf b Keputusan KAPOLRI Nomor7 Tahun 2006 tentang Kode Etik ProfesiKepolisian Negara Republik Indonesia,maka masalah tersebut akan diselesaikanoleh Komisi Kode Etik Kepolisian NegaraRepublik Indonesia. Sedangkan dalam halterjadi kesalahan prosedur antara lain dalampenangkapan atau penahanan, Pasal 77KUHAP mengatur mengenai praperadilan.Pra-peradilan adalah wewenang PengadilanNegeri untuk memeriksa dan memutusmenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:a. sah atau tidaknya suatu penangkapandan atau penahanan atas permintaantersangka atau keluarganya atau pihak lainatas kuasa tersangka;b. sah atau tidaknya penghentianpenyidikan atau penghentian penuntutanatas permintaan demi tegaknya hukum dankeadilan;c. permintaan ganti kerugian/rehabilitasioleh tersangka/keluarganya atau pihak lainatas kuasanya yang perkaranya tidakdiajukan ke pengadilan.

Page 10: Gagas Pajak1

Pasal 23 ayat (2) UUKUP mengatur bahwaWajib Pajak atau Penanggung Pajak dapatmengajukan gugatan ke badan peradilanpajak terhadap:a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat PerintahMelaksanakan Penyitaan, atauPengumuman Lelang;b. keputusan pencegahan dalam rangkapenagihan pajak;c. keputusan yang berkaitan denganpelaksanaan keputusan perpajakan, selainyang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)dan Pasal 26; ataud. penerbitan Surat Ketetapan Pajak atauSurat Keputusan Keberatan yang dalampenerbitannya tidak sesuai denganprosedur atau tata cara yang telah diaturdalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Menjadi pertanyaan adalah apabilapenerbitan Surat Perintah PemeriksaanBukti Permulaan terdapat kesalahanprosedur apakah dapat dijadikan dasaruntuk diajukan gugatan oleh Wajib Pajakatau Penanggung Pajak ke PengadilanPajak sesuai dengan ketentuan dalamPasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP?Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP tidakmenjelaskan apa yang dimaksud denganfrasa “keputusan yang berkaitan denganpelaksanaan keputusan perpajakan”.Namun, berdasarkan frasa tersebutpembentuk undang-undang je lasmengamanatkan bahwa yang menjadiobjek gugatan sesuai ketentuan tersebutadalah harus ada keputusan yang berkaitandengan pe laksanaan keputusanperpajakan.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak(UUPP) menjelaskan yang dimaksuddengan keputusan adalah suatu penetapantertulis di bidang perpajakan yangdikeluarkan oleh pejabat yang berwenangberdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangkapelaksanaan Undang-Undang PenagihanPajak dengan Surat Paksa.Frasa “dan” dalam rumusan pengertianPasal 1 angka 4 UUPP mengamanatkankeputusan tersebut berkaitan denganpelaksanaan Penagihan Pajak dalamrangka Surat Paksa. Berdasarkan padaKamus Besar Bahasa Indonesiapenempatan frasa “dan” merujuk pada suatupenghubung satuan ujaran yang setara,yang termasuk tipe yang sama sertamemiliki fungsi yang tidak berbeda ataumerujuk pada kelas atau tingkatan.Lebih lanjut, lampiran Undang-UndangNomor 10 Tahun 2004 ten tangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya dalam Bab III RagamBahasa Peraturan Perundang-undanganangka 228, frasa “dan” dicantumkan dalamhal menyatakan sifat kumulatif.Berdasarkan uraian di atas, penulis dapatmenyimpulkan bahwa Surat PerintahPemeriksaan Bukti Permulaan jelas bukanmerupakan objek gugatan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf cUUKUP. Dengan demikian, PutusanPengadilan Pajak atas gugatan yangdiajukan oleh Wajib Pajak terkait penerbitanSurat Perintah Pemeriksaan BuktiPermulaan menurut penulis kurang pasmengingat objek gugatan sebagaimanadiamanatkan Pasal 23 ayat (2) huruf cUUKUP tersebut adalah keputusan yangberkaitan dengan pelaksanaan keputusanperpajakan dalam rangka penagihan pajaksebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1angka 4 UUPP

Ketika terjadi pelanggaran dalam haldilakukannya penyelidikan oleh pejabatPOLRI maka penyelesaiannyamelalui komisi kode etik POLRI, lalubagaimana dengan kesalahan ataukekeliruan dalam pemeriksaan buktipermulaan yang dilakukan oleh PNS DJP?Mengingat pemeriksan buper setara denganpenyelidikan, maka menurut penulisseharusnya pelanggaran ini diselesaikanmelalui Komite Kode Etik sebagaimanadiamanatkan dalam Pasal 36A ayat (2)UUKUP.Mengingat Pengadilan Pajak adalahmerupakan badan peradi lan yangmelaksanakan kekuasaan kehakiman bagiWajib Pajak atau Penanggung Pajak yangmencari keadilan terhadap Sengketa Pajakdan demi kepastian hukum bagi Wajib Pajakmaupun Direktorat Jenderal Pajak, makasudah sepatutnya Pengadilan Pajak jugaikut membantu Pemerintah dalammempertegas kewenangan DJP. Penegasankewenangan tersebut diperlukan agarpelaksanaan tugasnya sesuai denganketentuan perundang-undangan yangberlaku sebagaimana telah diamanatkandalam Pasal 25 ayat (1) Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang KekuasaanKehakiman sebagaimana telah diubahbeberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 4 Tahun 2004bahwa segala putusan pengadilan selainharus memuat alasan dan dasar putusantersebut juga harus memuat pasal tertentudari peraturan perundang-undangan yangbersangkutan atau sumber hukum tak tertulisyang dijadikan dasar untuk mengadili.

16

Oleh : Ida Zuraida(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

17

mengatur bahwa dapat dibebankansebagai pengurang penghasilan brutoadalah piutang yang nyata-nyata tidakdapat ditagih dengan persyaratan sebagaiberikut:1. telah dibebankan sebagai biaya dalamlaporan laba rugi komersial2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftarpiutang yang tidak dapat ditagih kepadaDirektorat Jenderal Pajak; dan3. telah diserahkan perkara penagihannyakepada Pengadilan Negeri atau instansipemerintah yang menangani piutangnegara; atau adanya perjanjian tertulismengenai penghapusanpiutang/pembebasan utang antara krediturdan debitur yang bersangkutan; atau telahdipublikasikan dalam penerbitan umumatau khusus; atau adanya pengakuan daridebitur bahwa utangnya telah dihapuskanuntuk jumlah utang tertentu.4. syarat sebagaimana dimaksud padaangka 3 tidak berlaku untuk penghapusanpiutang tak tertagih debitur kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4ayat (1) huruf k UU PPh.Sedangkan dalam ketentuan undang-undang sebelumnya diatur dalam pasal 6ayat (1) huruf h Undang-undang 8 Tahun1983 sebagaimana diubah denganUndang-undang Nomor 17 tahun 2000,persyaratan untuk mengurangkan Piutangyang nyata-nyata tidak dapat ditagihadalah :1. telah dibebankan sebagai biaya dalamlaporan laba rugi komersial; dan2. telah diserahkan perkara penagihannyakepada Pengadilan Negeri atau BadanUrusan Piutang dan Lelang Negara(BUPLN), atau adanya perjanjian tertulismengenai penghapusanpiutang/pembebasan utang (perjanjianrestrukturisasi utang usaha) antara krediturdan debitur yang bersangkutan;3. telah dipublikasikan dalam penerbitanumum atau khusus; dan4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftarpiutang yang nyata-nyata tidak dapatditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

PENGHAPUSAN PIUTANG YANGNYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH

dimana jika di satu pihak dapat dibebankansebagai biaya, maka di pihak lain harusmenjadi penghasilan.Dalam penerapannya juga diatur tentangadanya fasilitas khusus untuk debitur kecilyang memang diberikan fasilitas bahwajika debitur kecil yang ditetapkan denganPeraturan Pemer intah mendapatpenghapusan utang, maka bagi debiturkeci l tersebut bukan merupakanpenghasilan, walaupun di pihak krediturdapat dibebankan sebagai pengurangpenghasilan bruto.Dalam pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasi lan 1984sebagaimana telah beberapakali diubahterakhir dengan Undang-undang Nomor36 tahun 2008,

Opini Kita (OK) KUP2

alam dunia bisnis, penghapusan piutang merupakan hal yang lazim terjadi dan seringkali tidakbisa dihindari. Banyak hal yang dapatmenyebabkan piutang harus dihapuskan,t e r u t a m a p e n y e b a b n y a a d a l a hketidakmampuan debitur dalam memenuhikewajiban pembayaran hutang-hutangnya.Dar i aspek perpajakan masalahpenghapusan piutang ini telah diakomodirpengaturannya baik itu bagi kreditur ataupihak yang memberikan hutang, maupun bagi debitur sebagai pihak yang berhutang.Pengaturan tentang penghapusan piutangyang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibuatdengan mempertimbangkankan prinsip-prinsip deductible dan non deductible,serta prinsip taxable dan non taxable,

Page 11: Gagas Pajak1

Dalam bentuk persandingan persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h:

Dalam perubahan ketentuanberdasarkan Undang-undang no.36 tahun 2008, dimaksudkanuntuk memberikan kemudahandalam hal persyaratan untukdapat memperlakukan piutangyang nyata-nyata tidak dapatditagih sebagai pengurangpenghasi lan bruto. Letakkemudahannya adalah dalamketentuan yang baru persyaratan:• telah diserahkan perkarap e n a g i h a n n y a k e p a d aPengadilan Negeri atau instansipemerintah yang menanganipiutang negara; atau• adanya perjanjian tertulismengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antarakreditur dan debitur yangbersangkutan; atau• telah dipublikasikan dalampenerbitan umum atau khusus;atau• adanya pengakuan dari debiturb a h w a u t a n g n y a t e l a hdihapuskan untuk jumlah utangtertentumerupakan persyaratan inibersifat alternatif, artinya WajibPajak boleh memilih memenuhisalah satu persyaratan saja.

UU no. 17/2000 UU no. 36/2008

1. telah dibebankan sebagai biaya dalamlaporan laba rugi komersial; dan2. telah diserahkan perkarapenagihannya kepada Pengadilan Negeriatau Badan Urusan Piutang dan LelangNegara (BUPLN), atau adanya perjanjiantertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang (perjanjianrestrukturisasi utang usaha) antarakreditur dan debitur yang bersangkutan;3. telah dipublikasikan dalam penerbitanumum atau khusus; dan4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftarpiutang yang nyata-nyata tidak dapatditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

1. telah dibebankan sebagai biaya dalamlaporan laba rugi komersial;2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftarpiutang yang tidak dapat ditagih kepadaDirektorat Jenderal Pajak; dan3. telah diserahkan perkara penagihannyakepada Pengadilan Negeri atau instansipemerintah yang menangani piutangnegara; atau adanya perjanjian tertulismengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dandebitur yang bersangkutan; atau telahdipublikasikan dalam penerbitan umumatau khusus; atau adanya pengakuan daridebitur bahwa utangnya telah dihapuskanuntuk jumlah utang tertentu.4. syarat sebagaimana dimaksud padaangka 3 tidak berlaku untuk penghapusanpiutang tak tertagih debitur kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4ayat (1) huruf k UU PPh.

18

Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yangmemberikan syarat kumulatif, yaitu:•telah diserahkan perkara penagihannyakepada Pengadilan Negeri atau instansipemerintah yang menangani piutangnegara;•publikasi penghapusan piutang dalampenerbitan umum atau khusus,dimana persyaratan ini harus dipenuhisemuannya untuk dapat membebankanpenghapusan piutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih sebagai pengurangpenghasilan bruto.Dalam Pasal 6 ayat (1) angka 4, diaturbahwa syarat sebagaimana dimaksud padaangka 3 tidak berlaku untuk penghapusanpiutang tak tertagih debitur keci lsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat(1) huruf k; dengan persyaratanmembebankan penghapusan debitur keciladalah penghapusan tersebut telahdibebankan sebagai biaya dalam laporanlaba rugi komersial dan Wajib Pajak harusmenyerahkan daftar piutang yang tidakdapat ditagih kepada Direktorat JenderalPajak.

Tentu saja kemudahan ini lebih dapatdirasakan bagi wajib pajak dalam halpembebanan sebagai pengurangpenghasilan bruto atas penghapusandebitur kecil yang dilakukannya, hanyacukup dengan mencatat pada pembukuanperusahaan dan mencantumkannya padalaporan keuangan serta membuat daftarnominatif untuk dilaporkan sebagailampiran SPT tahunan PPh tahundilakukannya penghapusan tersebut.Yang menjadi permasalahannya adalahkriteria debitur kecil. Walau telah tegasdalam Pasal 6 ayat 1 huruf h angka 4dinyatakan bahwa yang dimaksud dengandebitur kecil adalah debitur kecilsebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1)Undang-undang PPh, akan tetapi PeraturanMenteri Keuangan menetapkan lain.Dalam Pasal 4 ayat (1) diatur bahwa yangdimaksud sebagai Debitur kecil adalahDebitur yang menurut ketentuan dalanPeraturan Pemerintah dikecualikan daripenetapan sebagai objek PPh ataskeuntungan dari pembebasan utang yangditerimanya, sampai dengan batasan jumlahtertentu.

19

Perubahan keempat Undang-undang PPhbelum diikuti dengan perubahan PeraturanPemerintah, sehingga mengenai debiturkecil yang dibebaskan pengenaan PPhatas keuntungan penghapusan utang,masih menggunakan ketentuan PeraturanPemerintah Nomor 130 tahun 2000 TentangPengecualian sebagai Objek Pajak atasKeuntungan Karena Pembebasan UtangDebitur Kecil.Dalam Peraturan Pemerintah tersebutditetapkan bahwa Debitur Kecil adalahutang usaha yang jumlahnya tidak lebihdari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus limapuluh juta rupiah), termasuk:a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera(Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepadaKeluarga Prasejahtera dan KeluargaSejahtera I (alasan ekonomi hasilpendataan KS) yang telah menjadi pesertaTakesra dan tergabung dalam kegiatankelompok Prokesra-OPPKS;b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kreditmodal kerja yang diberikan oleh bankkepada koperasi primer baik sebagaipelaksana (executing) maupun penyalur(channeling) atau kepada LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) sebagaipelaksana pemberian kredit, untukkeperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usahataninya dalam rangka intensifikasi padi,palawija dan hortikultura;c. Kredit Pemilikan Rumah SangatSederhana (KPRSS), yaitu kredit yangdiberikan oleh bank kepada masyarakatuntuk pemilikan rumah sangat sederhana(RSS);

Page 12: Gagas Pajak1

Dalam Keputusan Menteri Keuangantersebut ditetapkan kriteria debitur kecilyang dibedakan antara debitur kecil dandebitur kecil lainnya. Yang dimaksud dengandebitur kecil adalah piutang yang jumlahnyatidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah), yang merupakan gunggunganjumlah piutang dari beberapa kredit yangdiberikan oleh suatu institusi bank/lembagapembiayaan dalam negeri sebagai akibatadanya pemberian:a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera(Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usahaekonomi produktif yang diberikan kepadaKeluarga Prasejahtera dan KeluargaSejahtera I yang telah menjadi pesertaTakesra dan tergabung dalam kegiatankelompok Prokesra-OPPKS;b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kreditmodal kerja yang diberikan oleh bankkepada koperasi primer baik sebagaipelaksana (executing) maupun penyalur(channeling) atau kepada LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) sebagaipelaksana pemberian kredit, untukkeperluan petani yang tergabung dalamkelompok tani guna membiayai usahataninya dalam rangka intensifikasi padi,palawija, dan hortikultura;c. Kredit Pemilikan Rumah SangatSederhana (KPRSS), yaitu kredit yangdiberikan oleh bank kepada masyarakatuntuk pemilihan rumah sangat sederhana(RSS);d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredityang diberikan kepada nasabah usahakecil;e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredityang diberikan untuk keperluan modalusaha kecil lainnya selain KUK; dan/atauf. Kredit kecil lainnya dalam rangkakebijakan perkreditan Bank Indonesia dalammengembangkan usaha kecil dan koperasi.Sedangkan debitur kecil lainnya adalahpiutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredityang diberikan kepada nasabah usahakecil; dane. Kredit kecil lainnya dalam rangkakebijakan perkreditan Bank Indonesiadalam mengembangkan usaha kecil dankoperasi.Lebih lanjut dalam pasal 3 diatur bahwayang berhak mendapatkan fasilitaskeuntungan dari penghapusan piutangbukan sebagai objek pajak penghasilanhanyalah debitur kecil yang berasal daribank atau lembaga pembiayaan. Sehinggaberdasarkan Peraturan Pemerintah inikeuntungan dari pembebasan hutang diluarbank atau lembaga pembiayaan, tetapdianggap sebagai objek Pajak Penghasilanbagi yang menerimannya.Dari ketentuan dalam Peraturan Pemerintahtersebut jelas bahwa yang dimaksuddengan debitur kecil adalah debitur denganjumlah utang t idak lebih dari Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh jutarupiah), sehingga berdasarkan menurutketentuan Pasal 6 ayat (1) atas debitur keciltersebut dalam penghapusan piutang yangnyata-nyata tidak dapat ditagih tidak harusmemenuhi persyaratan Pasal 6 ayat (1)huruf h angka 3, yaitu telah diserahkanperkara penagihannya kepada PengadilanNegeri atau instansi pemerintah yangmenangani piutang negara; atau adanyaperjanjian tertulis mengenai penghapusanpiutang/pembebasan utang antara krediturdan debitur yang bersangkutan; atau telahdipublikasikan dalam penerbitan umum ataukhusus; atau adanya pengakuan dari debiturbahwa utangnya telah dihapuskan untukjumlah utang tertentu.Pelaksanaan tentang penghapusan piutangyang nyata-nyata tidak dapat tertagih diaturdalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010tentang Perubahan Peraturan MenteriKeuangan Nomor 105/PMK.03/2008tentang Piutang yang Nyata-nyata TidakDapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dariPenghasilan Bruto.

20 21

Jika dibandingkan antara PeraturanPemerintah Nomor 130 tahun 2000dengan Peraturan Menteri KeuanganNomor 57/PMK.03/2010 sebagaiperubahan dari Peraturan MenteriKeuangan Nomor 105/PMK.03/2008,telihat perbedaan yang mendasar dalammenetapkan suatu piutang apakahtermasuk dalam kriteria debitur kecilsebagai berikut:

PP nomor 130 tahun 2000PMK No. 57/PMK.03/2010 danPMK No. 105/PMK.03/2008

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yangdimaksud dengan Utang Debitur Keciladalah utang usaha yang jumlahnya tidaklebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratuslima puluh juta rupiah), termasuk :a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera(Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepadaKeluarga Prasejahtera dan KeluargaSejahtera I (alasan ekonomi hasilpendataan KS) yang telah menjadi pesertaTakesra dan tergabung dalam kegiatankelompok Prokesra-OPPKS;b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kreditmodal kerja yang diberikan oleh bankkepada koperasi primer baik Sebagaipelaksana (executing) maupun penyalur(channeling) atau kepada LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) sebagaipelaksana pemberian kredit, untukkeperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usahataninya dalam rangka intensifikasi padi,palawija dan hortikultura;c. Kredit Pemilikan Rumah SangatSederhana (KPRSS), yaitu kredit yangdiberikan oleh bank kepada masyarakatuntuk pemilikan rumah sangat sederhana(RSS);d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredityang diberikan kepada nasabah usahakecil; dane. Kredit kecil lainnya dalam rangkakebijakan perkreditan Bank Indonesiadalam mengembangkan usaha kecil dankoperasi.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagihkepada debitur kecil adalah piutang debiturkecil yang jumlahnya tidak melebihiRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),yang merupakan gunggungan jumlahpiutang dari beberapa kredit yang diberikanoleh suatu inst i tusi bank/lembagapembiayaan dalam negeri sebagai akibatadanya pemberian:a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera(Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usahaekonomi produktif yang diberikan kepadaKeluarga Prasejahtera dan KeluargaSejahtera I yang telah menjadi pesertaTakesra dan tergabung dalam kegiatankelompok Prokesra-OPPKS;b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kreditmodal kerja yang diberikan oleh bankkepada koperasi primer baik sebagaipelaksana (executing) maupun penyalur(channeling) atau kepada LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) sebagaipelaksana pemberian kredit, untuk keperluanpetani yang tergabung dalam kelompok taniguna membiayai usaha taninya dalamrangka intensifikasi padi, palawija, danhortikultura;c. Kredit Pemilikan Rumah SangatSederhana (KPRSS), yaitu kredit yangdiberikan oleh bank kepada masyarakatuntuk pemilihan rumah sangat sederhana(RSS);d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredityang diberikan kepada nasabah usaha kecil;e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredityang diberikan untuk keperluan modal usahakecil lainnya selain KUK; dan/atauf. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakanperkreditan Bank Indonesia dalammengembangkan usaha kecil dan koperasi.Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagihkepada debitur kecil lainnya sebagaimanadimaksud pada ayat (2) adalah piutangdebitur kecil lainnya yang jumlahnya tidakmelebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Page 13: Gagas Pajak1

Walaupun Pasal 6 ayat (1) huruh h angka4 secara tegas mengatur tentang kriteriadebitur kecil adalah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4 ayat 1 huruf k, yaitu debiturkecil yang penetapannya melalui PeraturanPemerintah, akan tetapi PMK No.57 /PMK.03 /2010 jo . PMK No.105/PMK.03/2008 menetapkan sendirikriteria debitur kecil. Akibat ketentuan dalamPeraturan Menteri Keuangan tersebuttentunya mengurangi semangat perubahanundang-undang yang semula dilakukanuntuk memberikan kemudahan persyaratanbagi WP dalam hal membebankanpenghapusan piutang sebagai pengurangpenghasilan bruto.

atau telah dipublikasikan dalam penerbitanumum atau khusus, atau adanyapengakuan dari debitur bahwa utangnyatelah dihapuskan untuk jumlah utangtertentu.Seandainya Peraturan Menteri KeuanganNo. 57/PMK.03/2010, tunduk padaKetentuan Pasal 6, ayat 1 huruf h angka 4,maka kriteria debitur kecil adalah samadengan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat(1) huruf k yaitu sesuai dengan yang diaturdalam Peraturan Pemerintah nomor 130tahun 2000, dimana ditetapkan kriteriadebitur kecil utang usaha dengan jumlahyang tidak melebihi RP. 350.000.000,-. Jikad e m i k i a n p e r s y a r a t a n u n t u kpenghapusannya cukup memenuhipersyaratan telah dibebankan dalam rugilaba komersial dan memberikan daftarnominatif kepada Direktorat Jenderal Pajak.

22

Contoh:Wajib Pajak PT A akan menghapuskanpiutang dagang PT. B sebesar Rp.150.000.000,- Bagi PT. A, persyaratan untukmenghapuskan Piutang tersebut adalah:- telah dibebankan sebagai biaya dalamlaporan laba rugi komersial;- PT A harus menyerahkan daftar piutangyang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepadaDirektorat Jenderal Pajak dalam bentuk softcopy atau hard copy; dan- Piutang yang nyata-nyata tidak dapatditagih tersebut telah diserahkan perkarapenagihannya kepada Pengadilan Negeriatau instansi pemerintah yang menanganipiutang negara, atau terdapat perjanjiante r tu l i s mengena i penghapusanpiutang/pembebasan utang antara krediturdan debitur atas piutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih tersebut,

23

• Debitur kecil yang mendapat fasilitaskeuntungan penghapusan hutang bukansebagai objek, hanya debitur kecil yangmendapat fasilitas kredit tertentu dari bankatau lembaga pembiayaan. Diluar dari kredittersebut bagi debitur yang mendapatkeuntungan dari penghapusan hutang,harus melaporkan sebagai objek PajakPenghasilan.• Debitur Kecil kredit tertentu dari lembagabank dan lembaga pembiayaan lainnyajumlahnya tidak melebihi Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) danmelebihi Rp. 100.000.000 (seratus jutarupiah),berlaku ketentuan bagi pihak bank ataulembaga pembiayaan yang menghapuskanpiutang, wajib memenuhi persyaratanbahwa Piutang tersebut telah diserahkanperkara penagihannya kepada PengadilanNegeri atau instansi pemerintah yangmenangani piutang negara, atau terdapatperjanjian tertulis mengenai penghapusanpiutang/pembebasan utang antara krediturdan debitur atas piutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih tersebut, atau telahdipublikasikan dalam penerbitan umumatau khusus, atau adanya pengakuan daridebitur bahwa utangnya telah dihapuskan,untuk dapat membebankan sebagaipengurang penghasilan bruto. Bagi debituryang menerima penghapusan piutangbukan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Dari sudut Debitur yang mendapatpenghapusan hutang, maka berlakuketentuan Peraturan Pemerintah Nomor130 tahun 2000, jika hutang tersebut tidakberasal dari kredit perbankan atau lembagapembiayaan yang telah ditentukan, makakeuntungan karena penghapusan piutangtersebut berapa pun jumlahnya tetapdianggap sebagai objek Pajak Penghasilan.Walaupun Keputusan Menteri KeuanganNo. 57/PMK.03/2010 telah memutuskankriteria debitur kecil, penetapan kriteria inihanya untuk menentukan persyaratanpenghapusannya saja, agar dapatd ibebankan sebaga i pengurangpenghasilan bruto bagi pihak yangmenghapuskan.

Berdasarkan uruaian di atas dapatdisimpulkan mengenai penghapusanpiutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagihsebagai berikut:• Penghapusan Piutang yang nyata-nyatatidak dapat ditagih pada dasarnya dapatd ibebankan sebaga i pengurangpenghasilan bruto, dan bagi debitur kecilserta debitur kecil lainnya, tidak diberlakukanpersyaratan bahwa piutang tersebut telahdiserahkan perkara penagihannya kepadaPengadilan Negeri atau instansi pemerintahyang menangani piutang negara, atauterdapat perjanjian tertulis mengenaipenghapusan piutang/pembebasan utangantara kreditur dan debitur atas piutangyang nyata-nyata tidak dapat ditagihtersebut, atau telah dipublikasikan dalampenerbitan umum atau khusus, atau adanyapengakuan dari debitur bahwa utangnyatelah dihapuskan untuk jumlah utangtertentu, yang merupakan syarat alternatif,yaitu hanya satu persyaratan saja yangwajib dipenuhi.

Oleh : L.Y Hari Sih Advianto(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 14: Gagas Pajak1

24

kepada perusahaan asuransi di luar negeribaik secara langsung maupun melaluipialang, sebesar 5% (lima persen) darijumlah premi yang dibayar Pengenaanpajak ini disamping bertujuan untukmeningkatkan penerimaan pemerintah daripajak juga dimaksudkan untuk mengurangikonsumsi jasa asuransi ke luar negeri.Apakah tujuan itu akan berhasil ?

dari perkiraan penghasi lan neto.Pemotongan Pajak Penghasilan dimaksuddilakukan oleh :a.tertanggung, dalam hal dilakukanpembayaran premi yang dibayartertanggung kepada perusahaan asuransidi luar negeri baik secara langsung maupunmelalui pialang, sebesar 50% (lima puluhpersen) dari jumlah premi yang dibayarb. perusahaan asuransi yang berkedudukandi Indonesia, dalam hal pembayaran premidilakukan oleh perusahaan asuransi yangberkedudukan di Indonesia kepadaperusahaan asuransi di luar negeri baiksecara langsung maupun melalui pialang,sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlahpremi yang dibayar;c . p e r u s a h a a n r e a s u r a n s i y a n gberkedudukan di Indonesia, dalam halpembayaran premi dilakukan olehperusahaan reasuransi yang berkedudukandi Indonesia

WITHOLDING TAX ATAS PREMI ASURANSI KELUAR NEGERI, APAKAH EFEKTIF?

Sebagai lembaga keuangan, perusahaanasuransi mengelola dana masyarakatdalam bentuk premi yang harusdiinvestasikan guna meningkatkankemampuannya dalam melaksanakanprestasinya yang dijanjikan kepadatertanggung/pemegang polis dalam bentukpembayaran klaim apabila risiko kerugianyang diasuransikan itu terjadi. Dalam duniaasuransi, risiko ini diartikan sebagaikerugian yang dapat dinilai dengan uangyang disebabkan oleh peril (bahaya) yangbisa berupa kebakaran, kecelakaan,bencana alam seperti banjir ataupun gempabumi atau sakit ataupun meninggalnyaseseorang. Meninggalnya seseorang bisadiartikan sebagai bahaya bagi keluarganyakarena bisa menimbulkan kerugian berupaterputusnya aliran pendapatan. Bahkanproduk asuransi yang dipasarkan melaluibank untuk meng-cover produk perbankanyang dinamai bancasurrance juga sudahlama beredar.

Pemerintah melalui ketentuan Pasal 26ayat (2) jo. ayat (3) Undang-undang Nomor7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubahterakhir dengan Undang-undang Nomor 10Tahun 1994, mengenakan pajak ataspenghasilan berupa premi asuransitermasuk premi reasuransi yang dibayarkankepada perusahaan asuransi di luar negeridengan pajak sebesar 20% (dua puluhpersen)

Peranan jasa asuransi da lamperekonomian nasionalPerusahaan asuransi sempat dikonotasikansebagai perusahaan angsuransi, yaituperusahaan yang kalau membayar klaimkepada tertanggung dengan cara diangsur.Kesan semacam itu memang pernahmelekat terutama pada saat negara kitadihantam krisis pada tahun 1997-2002.Krisis telah membuat banyak perusahaangulung tikar, termasuk perusahaanperbankan yang banyak harus dilikuidasi,sedang yang masih bisa bertahan harusdirawat oleh Badan Penyehatan PerbankanNasional. Saat itu banyak perusahaanasuransi yang juga sakit dan harusmelaksanakan kewajibannya membayarklaim dalam denominasi dollar kepadatertanggung atau pemegang polis yanglapse (memutus kontrak asuransinya)karena tidak sanggup lagi membayarpreminya dalam mata uang dolar.

Dengan jatuhnya nilai rupiah, kewajibanyang harus dipikul oleh perusahaanasuransi bertambah berat karena investasiyang dimiliki umumnya dalam bentuk rupiah.Jasa asuransi adalah lembaga keuanganyang menyediakan jasa perlindungankepada masyarakat. Melalui premi yangdibayar oleh tertanggung, perusahaanasuransi sebagai asuradur menerimapengalihan r isiko darimasyarakat.

Opini Kita (OK) PPH Sebagai perusahaan yang menyediakanproteksi maka peranan perusahaanasuransi sangat penting bagi dunia usahadan perekonomian nasional. Klaim yangdibayar oleh perusahaan asuransimerupakan kompensasi terhadap kerugianyang diderita oleh tertanggung yangmemungkinkan tertanggung yang bisasebagai pelaku usaha bangkit kembali darimalapetaka yang menimpanya. Sedanginvestasinya dalam bentuk depositoberjangka, SBI, saham, hipotik dan tanahbangunan menjad i sumber bag ipembiayaan ekonomi dan investasi pelakuusaha lain. Bisa dibayangkan apabila jasaasuransi ini tidak tersedia, maka sumberdaya akan banyak terbuang denganpercuma dan kegiatan ekonomi tidak terjagakarena tidak ada perlindungan.Suatu ciri yang khas bahwa dimanapun didunia ini, perusahaan asuransi adalahperusahaan yang diatur dan diawasi secaraketat oleh pemerintah. Pertama, untukmelakukan kegiatan usaha makaperusahaan asuransi harus mendapatkanizin dari pemerintah dengan persyaratanyang ketat. Sebagai kegiatan usaha yangmenjual janji untuk memberikan ganti rugikepada masyarakat dan mengelola danamasyarakat melalui premi yang diterimanya,akan membahayakan kepentingan umumapabila kegiatan usahanya tidak sah danbahkan lari meninggalkan nasabahnya.Masyarakat juga akan dirugikan apabilajanji untuk memberikan proteksi itu tidakdapat direalisasikan. Karena demikiankrusialnya bisnis asuransi, maka setiapsaat perusahaan asuransi harus solven,yaitu mampu membayar klaim yangdiajukan oleh pemegang polis. Kemudian,guna memenuhi persyaratan itu, modalperusahaan asuransi harus memadai dandalam bentuk uang tunai, sedang premiyang masih menanggung risiko harusdicadangkan dan diinvestasikan kedalamjenis investasi yang ditentukan olehpemerintah, dengan jumlah yang dibatasiagar risiko dari investasi dapat disebar.

Dengan sistem solvabilitas yang berlakusaat ini yang dikenal dengan nama RiskBase Capital menuntut semua perusahaanasuransi untuk menerima bisnis (penutupanasuransi) dalam jumlah yang sesuai denganmodal yang dimilikinya. Sistem ini miripdengan sistem yang diberlakukan padajasa perbankan yang kita kenal dengannama CAR (Capital Adequacy Ratio) yangkeduanya sebenarnya menggunakanprinsip dasar yang sama. Jadi dengansistem solvency margin yang berlaku itumengharuskan perusahaan asuransi hanyamenerima risiko yang setara denganmodalnya, apakah modalnya berupaekuitas ataupun modal sendiri (networth)yang merupakan pengembangan darimodal disetor. Apabila perusahaan asuransibermaksud meningkatkan besarnya risikoyang diterima, maka perusahaan asuransiharus meningkatkan modalnya. Ketentuanyang berlaku hanya membolehkanperusahaan asuransi menerima risikomaksimal 300% dari modalnya walaupunbila analisis risiko dan hukum the law ofthe large number tidak dipenuhi, ketentuanitu akan sangat membahayakan. Olehkarena itu maka dalam dunia asuransidikenal istilah reasuransi, yaitu back updalam bentuk pertanggungan ulangterhadap risiko yang melampaui ownedretention-nya (retensi sendirinya).

25

Oleh : Agus Prawoto

(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 15: Gagas Pajak1

namun hasilnya cukup memuaskan, dilihatdari respon peserta dan keaktifan pesertayang terpantau melalui system e-learningtersebut.Memasuki tahun 2010, khususnya padapertengahan tahun ini, konsep dan teknologie-learning yang akan digunakan PusdiklatPajak mulai mengalami perubahan. “Kalaupada saat itu, hanya menggunakan moduldalam bentuk teks maupun slide presentasi,kali ini kami mulai memperkenalkan formatmultimedia interaktif”, demikian ungkapKapusdiklat Pajak. “Setelah beberapa kalipelaksanaan, maka proses e-learningdiharapkan dapat berjalan lebih baik lagi,baik dari sisi teknologinya maupun dari segimanajerialnya”, tambahnya.

Internet untuk belajar ? Kenapatidak ?Awal tahun 2009 merupakan langkah awal bagiPusdiklat Pajak untuk mulai memanfaatkan mediaInternet dalam proses pembelajaran. Tidak kurangdari 1200-an peserta memanfaatkan prosespembelajaran melalui internet tersebut yang kamisebut dengan e-learning.

Sekilas kembali ke tahun 2009. Pada saatitu terdapat sekitar 1200-an peserta daripenerimaan sarjana baru yang ditempatkandi Direktorat jenderal Pajak yang harusmengikuti pelatihan khusus mengenaiperpajakan, maka Pusdiklat Pajakmengambil inisiatif untuk melakukanpendekatan e-learning untuk mendukungkegiatan diklat tatap muka. Metode e-Learning dipilih karena metode ini mampumenjangkau peserta diklat yang luas dalamwaktu yang relatif singkat. Bentuk e-Learning yang dipilih adalah penggunaanLearning Management System untukmendistribusikan modul, materi maupunpenugasan yang harus diselesaikanpeserta. Walaupun ini merupakan hal yangpertama kali dilakukan,

PELIMPAHAN WEWENANG PENGELOLAAN PBB DAN BPHTBKEPADA PEMDA

KABARE PUSDIKLAT

26 27

Oleh : Wawan Ismawandi(Kasubbid Kurikulum dan MetodologiPembelajaran Pusdiklat Pajak)

Sesuai dengan Undang Undang PDRDtahun 2009, pengelolaan PBB dan BPHTBsektor Pedesaan dan Perkotaan yangselama ini dikelola oleh Direktorat JenderalPajak, dialihkan pengelolaannya kePemerintah Daerah mulai tahun 2011.Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuanganmelalui Pusdiklat Pajak meresponpelimpahan wewenang ini dengan rencanapelaksanaan diseminasi informasi maupunpelat ihan khusus bagi para SDMPemerintah Daerah seluruh Indonesia yangakan menangani pengelolaan PBB danBPHTB ini. Mengingat jumlah peserta yangbanyak dan tersebar di seluruh Indonesia,maka salah satu strategi penyampaianmateri adalah melalui e- learning.Persiapan demi persiapan saat ini sudahdilakukan, mulai dari persiapan anggaran,SDM, koordinasi dengan Ditjen Pajak,sampai dengan menginformasikan rencanakegiatan ini ke seluruh Pemda se-Indonesia. Materi yang disampaikan adalah materiyang terkait dengan pengelolaan PBB danBPHTB yang selama ini dilakukan olehDitjen Pajak. Materi tersebut dikembangkandan dikemas dalam konten multimediadengan Subject Matter Expert dari beberapaWidyaiswara Pusdiklat Pajak dan parapejabat struktural di Ditjen Pajak. Dari sisiap l i kas i , pe laksanaan in i akanmenggunakan ap l i kas i Learn ingManagement System yang dikembangkansendiri oleh Pusdiklat Pajak.Tax Computer Based Test atau lebih dikenaldengan Tax Combat merupakan aplikasiyang disiapkan sebagai instrumen evaluasidan tes bagi para peserta.

Dengan menggunakan aplikasi-aplikasitersebut, segala kegiatan peserta terkaitdengan penggunaan modul, konten danujian dapat dipantau secara terpusat.Pada saat pelaksanaannya, para calonpeserta yang sudah ditunjuk oleh masing-masing Pemerintah Daerah diwajibkanmelakukan login ke dalam sistempembelajaran. Setelah verifikasi oleh dariPusdiklat Pajak, maka akan dikirimkan paketDVD yang berisi seluruh materi yang dapatdipelajari secara offline. Materi onlinelearning dapat dipelajari langsung melaluiaplikasi Learning Management System yangdapat diakses kapan saja dan dimana saja,dengan menggunakan media internet.Selanjutnya para peserta akan diberikanjadwal untuk mengikuti tutorial, tanya jawabdan diskusi secara online dengan paranarasumber. Terakhir, para pesertadiwajibkan untuk mengikuti ujian atau tesuntuk mengetahui tingkat pemahamanpeserta terhadap materi yang diberikan.Bagi peserta, hal ini dapat membantumereka dalam mendapatkan danmempelajari materi dengan mudah, karenaDVD yang dikirimkan memuat seluruhmateri dalam berbagai bentuk, yaitu modulteks, multimedia interaktif, forum tanyajawab, latihan soal,dll. Kemudahan lainnyaadalah seluruh materi beserta fasilitaslainnya dapat juga diperoleh secara online,kapan saja dan dimana saja melalui aplikasiLMS yang ditempatkan melalui mediainternet. Selain itu para peserta dapatberhubungan dengan para narasumber,baik secara online sesuai jadwal yangditentukan, maupun secara offline denganmengirimkan pertanyaan melalui forum-forum diskusi dan e-mail. Mengenai ujianatau tes, peserta dapat mengulang ujianmaupun tes tersebut kapan saja sepanjangmasih dalam waktu pelaksanaan diklat.

Bagi Pusdiklat Pajak, kegiatan e-learningPBB dan BPHTB untuk Pemda inimerupakan langkah strategis baik dari sisiedukasi publik, maupun sisi pencitraan diriuntuk lebih memperkenalkan eksistensiPusdiklat Pajak sebagai gerbang edukasiperpajakan. Secara internal, manfaat yangdapat diambil adalah sebagai batu pijakanlangkah untuk menuju e-learning yang lebihbaik lagi. Dengan dukungan infrastrukturdan sumber daya yang ada, kegiatan e-learning ini diharapkan dapat menjadi salahsatu produk unggulan di Pusdiklat Pajak,selain tentunya diklat-diklat yang sudahselama ini dilaksanakan yang telahmemberikan kontribusi terbaik bagipengembangan SDM khususnya di bidangperpajakan.Pusdiklat Pajak menyadari bahwa belajarmelalui media elektronik, internet maupunbelajar jarak jauh belum menjadi sebuahbudaya belajar di Indonesia. Namundengan keterbatasan tersebut, PusdiklatPajak berusaha untuk menjadi institusipendidikan yang menyediakan berbagaifasilitas pembelajaran bagi semua orangyang ingin belajar mengenai perpajakan.Perencanaan dan pengembangan terusdilakukan untuk menyempurnakan diklat-diklat berbasis e-learning, dengan tidaklupa untuk lebih menyempurnakan lagidiklat-diklat tatap muka yang selama inisudah menjadi produk unggulan di PusdiklatPajak.

nternet, sebuah kata yang sudah sangat tidak asing di telinga kita. Internet sudah sangat dikenal luasdi masyarakat kita. Kebutuhan akan internetdewasa ini meningkat, mulai dari browsingmencari data, menggunakan suratelektronik, atau sekedar chatting,memanfaatkan situs jejaring sosialsemacam facebook, twitter, sampaipenggunaan untuk proses pembelajaran.Internet sebagai media dalam prosespembelajaran, memang belum menjadisebuah budaya belajar, khususnya diIndonesia. Namun demikian, beberapatahun lagi, diyakini bahwa Internet akanmenjadi kebutuhan utama orang untukbelajar. Sebagai sebuah institusi pendidikan,Pusdiklat Pajak mulai melirik pemanfaatanjaringan maya terbesar ini untuk mendukungproses belajar mengajar atau proses diklat.

Page 16: Gagas Pajak1

29

Akibatnya, sumber utama pendapatan bagiAPBN bergeser dari penerimaan migaskepada penerimaan pajak. Dengandemikian, pajak menempati posisi strategisdalam APBN. Sebagai gambarannyaadalah penerimaan APBNP 2010 adalahRp 992-an Triliun yang mana penerimaanpajak adalah Rp 743-an Tr i l iun;c. Dari penerimaan pajak sebesar Rp 743-an Triliun tersebut, maka penerimaan PBB(seluruh sektor) adalah Rp 26-an Triliundan BPHTB Rp 7-an Triliun. Namundemikian, hampir seluruh penerimaan PBBdan BPHTB tersebut diserahkan kepadapemerintah provinsi, pemerintah kabupatendan pemerintah kota. Landasan hukumnyaadalah PMK No. 34/PMK.03/2005 tanggal23 Mei 2005 tentang Pembagian HasilPenerimaan PBB antara Pemerintah Pusatdan Daerah, artinya bahwa, memang sejakawal penerimaan PBB dan BPHTB sudahmenjadi bagian dari pemerintah daerah.Hal yang sama berlaku juga untuk BPHTB,dasar hukumnya adalah PMK No.32/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005tentang Pembagian Hasil PenerimaanBPHTB antara Pemerintah Pusat danDaerah. Dengan dialihkannya PBB P2(yang penuh dengan permasalahannyakarena berjuta-juta jumlah objek pajaknya)menjadi pajak daerah, maka Ditjen Pajakakan lebih berkonsentrasi dalampemenuhan target penerimaan pajak pusat.

Sebagaimana telah diketahui bahwa UUNo. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumidan Bangunan sebagaimana telah diubahdengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UUNO. 21 Tahun 1997 tentang Bea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunansebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2000 adalah tergolong sebagaipajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat,tetapi penerimaan pajak tersebut, secaramayoritas, diserahkan kembali kepadadaerah kabupaten/kota. Cara seperti inilebih disukai oleh banyak pemerintahkabupaten/kota. Mereka tidak perlumengeluarkan biaya untuk memungut pajaktersebut, tetapi hanya menerima bagihasilnya saja. Singkat kata, mereka tidakingin menerima pengalihan ini. Jikademikian halnya, pertanyaan yang munculadalah, mengapa pemerintah pusat lebihsuka untuk mengalihkan PBB P2 danBPHTB?Jawabnya adalah, adanya beberapakenyataan bahwa:a. Kebanyakan negara maju menyerahkanurusan pajak properti (jika di Indonesiaadalah PBB) menjadi urusan pemerintahdaerah;b. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudahtidak bisa lagi diandalkan sebagai sumberpendapatan bagi APBN (anggaran danpendapatan belanja negara), mengingatIndonesia tidak lagi menjadi negarapengekspor minyak bumi, tetapi sebaliknyasebagai suatu negara yang mengimporminyak bumi.

Mengapa PBB P2 dan BPHTB Dialihkan?.....................................................................

Opini Kita (OK) PBB

28

ada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian KetujuhBelas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kotasudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diaturoleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).

PENDAHULUAN

Page 17: Gagas Pajak1

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atasperolehan hak atas tanah dan ataubangunan, yang selanjutnya disebut pajak.Ibarat dalam sebuah keluarga, maka posisiBPHTB sebagai pajak pusat adalah sebagaiadik bungsu. Mengapa dinamakan bea,tidak dinamakan saja dengan pajak? Adabeberapa kenyataan, sehingga pajak atasperolehan hak atas tanah dan bangunantidak dinamakan PPHTB (“Pajak” PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan), tetapidinamakan BPHTB (“Bea” Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan).1. Dalam bea, baik BPHTB ataupun BeaMeterai, tidak membutuhkan nomor identitassebagaimana NOP dalam PBB ataupunNPWP dalam PPh;2. Salah satu fungsi darinomor identitas adalah untuk memudahkanpetugas pajak mengawasi kepatuhan wajibpajak.

PAJAK VERSUS BEA Jika tidak memiliki nomor identitas, makaada kecenderungan wajib pajak tidakmematuhi peraturan. Untuk mengawasikepatuhan wajib pajak, dibutuhkan pihaklain/pejabat yang secara langsungdisebutkan dalam Undang-Undang BPHTByaitu pasal 24 ataupun Undang-UndangBea Meterai Pasal 11. Kehadiran pejabatsemacam itu tidak terdapat dalam Undang-Undang pajak yang lain;3. Dalam bea, baik BPHTB ataupun BeaMeterai, wajib pajak diharuskan membayarpajak sebelum saat terhutang. Contoh, cek(salah satu dokumen perbankan) sudahdibayar pajak dokumen (bea meterai), jauh-jauh hari sebelum ia dicetak, apalagi saatterhutang. Dengan demikian, cek kosongpun sudah terbayar pajak dokumennya;4. Dalam bea, baik BPHTB ataupun BeaMeterai, wajib pajak bisa membayar pajakberkali-kali tidak terikat dengan masaataupun tahunan.

31

c). “Memiliki”; d)”Menguasai”, dan/atau; e)Memperoleh manfaat atas bangunan.Seandainya, istilah “bumi” diganti menjadi“hak atas tanah”, sehingga PBB bergantimenjadi Pajak “Hak atas Tanah” danBangunan (PHTB), maka PBB dikenakanhanya kepada objek yang bersertifikat tanahsaja, seperti sertifikat hak milik, hak gunausaha, hak guna bangunan, hak pakai, hakpengelolaan dan hak milik satuan rumahsusun.

Pengertian bumi adalah permukaan bumidan tubuh bumi yang ada di bawahnya.Permukaan bumi meliputi tanah danperairan pedalaman serta laut wilayahIndonesia (Pasal 1 UU PBB).Bumi, menurut UU No. 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-pokokAgraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwapengertian bumi, selain permukaan bumi,termasuk pula tubuh bumi dibawahnyaserta yang berada dibawah air.

Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwapengertian air termasuk baik perairanpedalaman maupun laut wilayah Indonesia.Penggunaan istilah “bumi” pada pajak“bumi” dan bangunan berakibat pada siapasaja yang menjadi subjek pajak. Artinya,PBB dikenakan secara umum pada orangatau badan yang secara nyata a).Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau;b). “Memperoleh manfaat” atas bumi,dan/atau;

Penggunaan istilah “hak atas tanah” padaBPHTB berakibat pada jenis perolehan.Artinya, BPHTB dikenakan secara khususpada orang pribadi atau badan yangmemperoleh hak atas tanah (penyusunsebut sertifikat tanah).Seandainya, istilah hak atas tanah digantimenjadi “bumi”, sehingga BPHTB bergantimenjadi Bea Perolehan “Bumi” danBangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan

secara luas kepada orang pribadi ataubadan yang memperoleh bumi, artinya bisasaja a). “Mempunyai suatu hak” atas bumi,b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, c).“Memiliki bumi ataupun” d) “Menguasaibumi”.Lebih tepatnya, pengertian tanah adalahmengarah kepada jenis hak yang meliputihak atas tanah, hak atas air dan hak ruangangkasa.Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-PokokAgraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4ayat

30

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negarasebagai yang dimaksud dalam pasal 2ditentukan adanya macam-macam “hakatas permukaan bumi”, yang disebut“tanah”, yang dapat diberikan kepada dandipunyai oleh orang-orang, baik sendirimaupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.(2) “Hak-hak atas tanah” yang dimaksuddalam ayat (1) pasal ini memberi wewenanguntuk mempergunakan tanah yangbersangkutan, demikian pula tubuh bumidan air serta ruang yang ada diatasnya,sekedar diperlukan untuk kepentingan yanglangsung be rhubungan denganpenggunaan tanah itu dalam batas-batasmenurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yangdimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukanpula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

PB B (Paja k B u m i V ers u sHak Atas Tanah)

BPHTB (BEA PEROLEHAN HAKATAS TANAH VERSUS BU M I)

Page 18: Gagas Pajak1

DAFTAR PUSTAKASupriyanto, Heru, 2008. Cara MenghitungPBB, BPHTB dan Bea Meterai, PenerbitIndex, Jakarta, 2008Supriyanto, Heru, 2010. Peluang danTantangan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB,Indonenesia Tax Review, Volume III/Edisi01/2010Supriyanto, Heru, 2009. BPHTB terhadapKonversi, Penegasan Hak dan PengakuanHak, Indonenesia Tax Review, VolumeII/Edisi 08/2009Supriyanto, Heru, 2008. BPHTB, SebuahCatatan, Indonenesia Tax Review, Volume1/Edisi17/2008Supriyanto, Heru, 2008. NPOPTKP, per-SSB ataukah Kolektif?, Indonenesia TaxRev iew, Vo lume1/Ed is i 06 /2008

Masih banyak orang yang belummengetahui dan mengenal BPHTB,terutama yang paling mendasar yaitu syaratobjektif BPHTB yang berakumulasi, yaitu Pertama, objek BPHTB yaitu Pasal 2 ayat(1) UU BPHTB, yaitu perolehan hak atastanah dan atau bangunan. Perolehan hakatas tanah dan atau bangunan adalahperbuatan atau peristiwa hukum yangmengkibatkan diperolehnya hak atas tanahdan atau bangunan oleh orang pribadi ataubadan. Perolehan hak atas tanah meliputipemindahan hak dan pemberian hak barudan Kedua, perolehan hak atas tanah(sertifikat yang diterbitkan oleh BPN).Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU BPHTB,hak atas tanah sebagaimana dimaksuddalam pasal 2 ayat (1) adalah hak milik,hak guna usaha, hak guna bangunan, hakpakai, hak milik atas satuan rumah susundan hak pengelolaan.

PERSYARATAN OBJEKTIFBPHTB

terhadap perolehan hak atas tanah danatau bangunan yang bersertifikat saja.Sertifikat adalah tanda bukti hak, yangmerupakan alat pembuktian yang kuat, baikmengenai macam hak, subjek atautanahnya. Untuk mendapatkan sertifikatmaka perlu dilakukan pendaftaran.Ketiga, perolehan tersebut adalah dibuat,ditandatangani, didaftarkan, diterbitkan,ditunjuk atau diputuskan oleh para pejabatPasal 24 UU BPHTB (yaitu notaris/PPAT,pejabat lelang negara, hakim dan badanpertanahan).Dengan demikian, akan terhutang BPHTBjika ada perbuatan jual jual beli tanahbersertifikat, yang dilakukan secara otentik.Sebaliknya tidak akan terhutang BPHTBmanakala :(a) jual beli tanah bersertifikat dengan aktadi bawah tangan; atau(b) jual beli tanah girik walaupun akta otentikapalagi;(c) jual beli tanah girik dengan akta di bawahtangan.

33

Oleh : Heru Supriyanto(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

32

UU PBB 1985 tidak pernah menyebutkanperdesaan perkotaan (P2). Sebaliknyainstilah ini dimunculkan pada UU PDRD2009. Bahkan, Keputusan Direktur jenderalPajak No. KEP-16/PJ.6/1998 tentangPengenaan PBB juga tidak memberikandefinisi, kecuali sebagai berikut yaitu objekPajak Bumi dan Bangunan yang meliputikawasan per tan ian, perumahan,perkantoran, pertokoan, industri serta objekkhusus perkotaan.

PBB P2 (PERDESAAN PERKOTAAN)

1. Usaha Bidang Perikananadalah semua usaha perorangan atanbadan hukum yang memiliki ijin usaha untukmenangkap atau membudidayakansumberdaya ikan, termasuk semua jenisikan dan biota perairan Iainnya sertamenyimpan, mendingin¬kan ataumengawetkan ikan untuk tujuan komersial;2. Objek Pajak Perairanadalah laut wilayah Indonesia besertaperairan pedalaman Indonesia;

3. Objek Pajak Khususadalah objek pajak yang memiliki jeniskonstruksi khusus baik ditinjau dan segibentuk, material pembentukan maupunkeberadaannya memiliki arti yang khususseperti Jalan Tol,Pelabuhan laut/sungai/udara,Lapangan Golf, Industri Semen/Pupuk,PLTA, PLTU dan PLTG, Pertambangan,Tempat Rekreasi, Dan lain-lain yang sejenis.

Page 19: Gagas Pajak1

Sesuai dengan PSAK No 102 diaturmengenai perlakuan akuntansi dari sisipenjual maupun pembeliAkuntansi Untuk PenjualPada saat perolehan, aset murabahahdiakui sebagai persediaan sebesar biayaperolehan. Pengukuran aset murabahahsetelah perolehan adalah sebagai berikut:(a) jika murabahah pesanan mengikat,maka:(i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan(ii) jika terjadi penurunan nilai aset karenausang, rusak, atau kondisi lainnya sebelumdiserahkan ke nasabah, penurunan nilaitersebut diaku sebagai beban danmengurangi nilai aset:(b) jika murabahah tanpa pesanan ataumurabahah pesanan tidak mengikat, maka:(i) dinilai berdasarkan biaya perolehan ataunilai bersih yang dapat direalisasi, manayang lebih rendah; dan(ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasilebih rendah dari biaya perolehan, makaselisihnya diakui sebagai kerugian.

Pada akhir periode laporan keuangan,piutang murabahah dinilai sebesar nilaibersih yang dapat direalisasi, yaitu saldopiutang dikurangi penyisihan kerugianpiutang. Keuntungan murabahah diakui:(a) pada saat terjadinya penyerahan barangjika dilakukan secara tunai atau secaratangguh yang tidak melebihi satu tahun;atau(b) selama periode akad sesuai dengant ingkat r is iko dan upaya untukmerealisasikan keuntungan tersebut untuktransaksi tangguh lebih dari satu tahun.Metode-metode berikut ini digunakan, dandipil ih yang paling sesuai dengankarakteristik risiko dan upaya transaksimurabahahnya:(i) Keuntungan diakui saat penyerahan asetmurabahah. Metode ini terapan untuktangguh dimana risiko penagihan kas daripiutang murabahah dan beban pengelolaapiutang serta penagihannya relatif kecil;(ii) Keuntungan diakui proporsional denganbesaran kas yang berhasih ditagih daripiutang murabahah. Metode ini terapanuntuk transaksi murabahah tangguh dimanarisiko piutang tidak tertagih relatif besardan/atau beban untuk mengelola danmenagih piutang tersebut relatif besar juga;(iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutangmurabahah berhasil ditagih. Metode initerapan untuk transaksi murabahahtangguh dimana risiko piutang tidak tertagihdan beban pengelolaan piutang sertapenagihannya cukup besar. Dalam praktek,metode ini jarang dipakai, karena transaksimurabahah tangguh mungkin tidak terjadibila tidak ada kepastian yang memadaiakan penagihan kasnya.Pengakuankeuntungan, dalam dilakukan secaraproporsional atas jumlah piutang yangberhasil ditagih dengan mengalikanpersentase keuntungan terhadap jumlahpiutang yang berhasil ditagih.

Diskon pembelian aset murabahah diakuisebagai:(a) pengurang biaya perolehan asetmurabahah, jika terjadi sebelum akadmurabahah;(b) kewajiban kepada pembeli, jika terjadisetelah akad murabahah dan sesuai akadyang disepakati menjadi hak pembeli;(c) tambahan keuntungan murabahah, jikaterjadi setelah akad murabahah dan sesuaiakad menjadi hak penjual ; atau(d) pendapatan operasi lain, jika terjadisetelah akad murabahah dan tidakdiperjanjikan dalam akad.Kewajiban penjual kepada pembeli ataspengembalian diskon pembelian akantereliminasi pada saat:(a) dilakukan pembayaran kepada pembelisebesar jumlah potongan setelah dikurangidengan biaya pengembalian; atau(b) dipindahkan sebagai dana kebajikanjika pembeli sudah tidak dapat dijangkauoleh penjual.Pada saat akad murabahah,piutang murabahah diakui sebesar biayaperolehan aset murabahah ditambahkeuntungan yang disepakati.

35

B. AKUNTANSI MURABAHAH

34

Kenyataannya transaksi syariah memangunik. Prinsip dalam transaksi syariah yangmelarang adanya unsur:a. riba (unsur bunga dalam segala bentukdan jenisnya, baik riba nasiah maupunfadhl);b. kezaliman (unsur yang merugikan dirisendiri, orang lain, maupun lingkungan);c. maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);d. gharar (unsur ketidakjelasan); dane. haram (unsur haram baik dalam barangmaupun jasa serta aktivitas operasionalyang terkait). Konsekuensi dengan tidakdiperkenankannya adanya unsur riba, makapengenaan bunga seperti dalam kelazimanpembiayaan konvens iona l t i dakdiperkenankan, sehingga dalam transaksisyariah pola pembiayaan diubah denganskema-skema tertentu yang jika dikenakanpajak dengan perlakuan perpajakan yangberlaku umum akan mengakibatkanperlakuan yang tidak netral antarapembiayaan dengan prinsip syariah danpembiayaan konvensional.Dalam prakteknya, transaksi syariahdilakukan melalui beberapa pendekatanantara lain:a. transaksi bagi hasil dalam bentukmudharabah dan musyarakah;

ASPEK PERPAJAKAN TRANSAKSIMURABAHAH PASCA PERUBAHANUNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

b. transaksi jual beli dalam bentukmurabahah, sa lam, dan is t isna;c. transaksi sewa menyewa dalam bentukijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dand. transaksi pinjam meminjam dalam bentukqardh;Tulisan ini hanya akan membahas aspekperpajakan atas transaksi transaksimurabahah saja, dengan pertimbanganbahwa transaksi ini saat ini yang palingdominan yang dilakukan para pelakutransaksi syariah.

erlakunya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, memberikanangin segar bagi pelaku transaksi syariah.Pasalnya kedua Undang Undang ini mulaimengatur perlakuan perpajakan secarakhusus atas transaksi syariah, sehinggalebih memberikan kepastian hukumperlakuan perpajakan transaksi syariahyang selama ini terjadi terdapat perbedaanpersepsi mengenai perlakuan perpajakanantara para pelaku transaksi syariah danDirektorat Jenderal pajak.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghas i l an da lam Pasa l 31Dmemerintahkan untuk membentukPeraturan Pemerintah yang mengaturperlakuan Pajak Penghasilan atas transaksikegiatan Usaha Berbasis Syariahdipersamakan dengan atau sebagaimanayang berlaku atas transaksi sepadan yangdilakukan oleh pelaku usaha dalam industriyang sama yang berdasarkan sistemkonvensional. Dengan demikian, perlakuanPajak Penghasilan tidak bersifat distortifserta akan memberikan perlakuan yangsama (level playing field) bagi Wajib Pajakdalam suatu industri yang sama.

Murabahah adalah akad jual beli barangdengan menyatakan harga perolehan dankeuntungan (margin) yang disepakati olehpenjual dan pembeli.Murabahah dapat dilakukan berdasarkanpesanan atau tanpa pesanan. Dalammurabahah berdasarkan pesanan, penjualmelakukan pembelian barang setelah adapemesanan dari pembeli.Murabahah berdasarkan pesanan dapatbersifat mengikat atau tidak mengikatpembeli untuk membeli barang yangdipesannya. Dalam murabahah pesananmengikat pembeli tidak dapat membatalkanpesanannya. Jika aset murabahah yangtelah dibeli oleh penjual mengalamipenurunan nilai sebelum diserahkan kepadapembeli, maka penurunan nilai tersebutmenjadi tanggungan penjual dan akanmengurangi nilai akad.Pembayaran murabahah dapat dilakukansecara tunai atau tangguh. Pembayarantangguh adalah pembayaran yangdilakukan tidak pada saat barangdiserahkan kepada pembeli, tetapipembayaran dilakukan secara angsuranatau sekaligus pada waktu tertentu.Akad murabahah memperkenankanpenawaran harga yang berbeda untuk carapembayaran yang berbeda sebelum akadmurabahah dilakukan. Namun jika akadtersebut telah disepakati, maka hanya adasatu harga (harga dalam akad) yangdigunakan.

A. Transaksi Murabahah

Opini Kita (OK) Akuntansi Pajak

Page 20: Gagas Pajak1

Dalam hal penerima penghasi lanmerupakan subjek pajak dalam negeri,sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU PPh,akan dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif15%. Apabila penerima penghasilan tidakmemiliki NPWP maka akan dipotong PPhpasal 23 sebesar 100% lebih tinggi daritarif normal. Sedangkan jika penerimapenghasilan merupakan subjek pajak luarnegeri maka akan dikenakan PPh pasal26 dengan tarif 20% atau tarif sesuaidengan tax treaty.Namun demikian, dalam hal transaksimurabahah dilakukan oleh Bank Syariahsebagai penjual maka atas margin tersebuttidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23,hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 23ayat (4) UU Pajak Penghasilan dimanadalam ketentuan tersebut diatur bahwapenghasilan yang dibayar atau terutangkepada bank tidak dilakukan pemotonganPPh Pasal 23.Sampai saat ini ketentuan perpajakanbelum mengatur secara khusus saatpengakuan penghasilan dalam transaksimurabahah yang dilakukan Bank Syariah.Sesuai dengan pasal 28 UU KUPperlakukan perpajakan mengacu padaStandar Akuntansi Keuangan. Dalam PSAK102 keuntungan murabahah diakui:• pada saat terjadinya penyerahan barangjika dilakukan secara tunai atau secaratangguh yang tidak melebihi satu tahun;• selama periode akad sesuai dengant ingkat r is iko dan upaya untukmerealisasikan keuntungan tersebut untuktransaksi tangguh lebih dari satu tahun.Metode-metode berikut ini digunakan,

dan dipilih yang paling sesuai dengankarakteristik risiko dan upaya transaksimurabahah-nya:• Keuntungan diakui saat penyerahan asetmurabahah. Metode ini terapan untukmurabahah tangguh dimana risikopenagihan kas dari piutang murabahah danbeban pengelolaan piutang sertapenagihannya relatif kecil.• Keuntungan diakui proporsional denganbesaran kas yang berhasil ditagih daripiutang murabahah. Metode ini terapanuntuk transaksi murabahah tangguh dimanarisiko piutang tidak tertagih relatif besardan/atau beban untuk mengelola danmenagih piutang tersebut relatif besar juga.• Keuntungan diakui saat seluruh piutangmurabahah berhasil ditagih. Metode initerapan untuk transaksi murabahah tangguhdimana risiko piutang tidak tertagih danbeban pengelolaan piutang sertapenagihannya cukup besar. Dalam praktek,metode ini jarang dipakai, karena transaksimurabahah tangguh mungkin tidak terjadibila tidak ada kepastian yang memadaiakan penagihan kasnya.Pengakuan keuntungan, dalam haldilakukan secara proporsional atas jumlahpiutang yang berhasil ditagih, dilakukandengan cara mengalikan persentasekeuntungan terhadap jumlah piutang yangberhasil ditagih. Persentase keuntungandihitung dengan perbandingan antaramargin dan biaya perolehan asetmurabahah.Berikut ini contoh perhitungan keuntungansecara proporsional untuk suatu transaksimurabahah dengan biaya perolehan aset(pokok) Rp800,00 dan keuntunganRp200,00; serta pembayaran dilakukansecara angsuran selama 3 tahun;

Pembiayaan murabahah menggunakanprinsip jual beli sehingga memunculkanmargin yang merupakan selisih antara danayang diberikan dengan total dana yangharus dikembalikan oleh penerima dana.Ketentuan pemajakan atas transaksimurabahah diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentangPajak Penghasilan Kegiatan UsahaBerbasis Syariah. Karena terkait denganpembiayaan, bukan semata-mata transaksijual beli, maka terhadap margin tersebutdiperlakukan sebagai penghasilan yangmerupakan objek pemotongan PajakPenghasilan.

C. ASPEK PAJAK TRANSAKSI MURABAHAH

37

Perlakuan PajakPenghasilan (PPh)Penghasilan Objek PPh:

36

(b) Aset yang diperoleh melalui transaksimurabahah diakui sebesar biaya perolehanmurabahah tunai. Selisih antara harga beliyang disepakati dengan biaya perolehantunai diakui sebagai beban murabahahtangguhan;(c) Beban murabahah tangguhandiamortisasi secara proporsional denganporsi hutang murabahah;(d) Diskon pembelian yang diterima setelahakad murabahah, potongan pelunasan danpotongan hutang murabahah diakui sebagaipengurang beban murabahah tangguhan;(e) Denda yang dikenakan akibat kelalaiandalam melakukan kewajiban sesuai denganakad diakui sebagai kerugian;(f) Potongan uang muka akibat pembeliakhir batal membeli barang diakui sebagaikerugian.

Potongan angsuran murabahah diakuisebagai berikut:(a) jika disebabkan oleh pembeli yangmembayar secara tepat waktu, maka diakuisebaga i pengurang keun tunganmurabahah;(b) jika disebabkan oleh penurunankemampuan pembayaran pembeli, makadiakui sebagai beban.Denda dikenakan jika pembeli lalai dalammelakukan kewajibannya sesuai denganakad, dan denda yang diterima diakuisebagai bagian dana kebaj ikan.Pengakuan dan pengukuran uang mukaadalah sebagai berikut:(a) uang muka diakui sebagai uang mukapembelian sebesar jumlah yang diterima;(b) jika barang jadi dibeli oleh pembeli,maka uang muka diakui sebagaipembayaran piutang (merupakan bagianpokok);(c) jika barang batal dibeli oleh pembeli,maka uang muka dikembalikan kepadapembeli setelah diperhitungkan denganbiaya-biaya yang telah dikeluarkan olehpenjual.Akuntansi Untuk Pembeli Akhir(a) Hutang yang timbul dari transaksimurabahah tangguh diakui sebagai hutangmurabahah sebesar harga beli yangdisepakati (jumlah yang wajib dibayarkan);

Persentase keuntungan dihitung denganperbandingan antara margin dan biayaperolehan aset murabahah.Berikut ini contoh perhitungan keuntungansecara proporsional untuk suatu transaksimurabahah dengan biaya perolehan aset(pokok) Rp800,00 dan keuntunganRp200,00; serta pembayaran dilakukansecara angsuran selama 3 tahun; dimanajumlah angsuran, pokok dan keuntunganyang diakui setiap tahun adalah sebagaiberikut: Tahun Angsuran Pokok Keuntungan 1 500 400 100 2 300 240 60 3 200 160 40Potongan pelunasan piutang murabahahyang diberikan kepada pembeli yangmelunasi secara tepat waktu atau lebihcepat dari waktu yang disepakati diakuisebaga i pengurang keun tunganmurabahah.Pemberian potongan pelunasan piutangmurabahah dapat dilakukan denganmenggunakan salah satu metode berikut:(a) diberikan pada saat pelunasan, yaitupenjual mengurangi piutang murabahahdan keuntungan murabahah; atau(b) diberikan setelah pelunasan, yaitupenjual menerima pelunasan piutang daripembeli dan kemudian membayarkanpotongan pelunasannya kepada pembeli

Ilustrasi Jurnal

Jurnal Penjual Jurnal Pembeli

Penjual melakukan pembelian barangdari supplier

Db. PersediaanmurabahahKr. Kas

-

Penjualan barang murabahah

Db. PiutangmurabahahKr. PersediaanmurabahanKr. Pendapatanmurabahahditangguhkan

Db. AktivaDb. BebanmurabahanditangguhkanDr. Hutangmurabahah

Pembayaran angsuran murabahah

Db. KasKr. Piutangmurabahah

Db. HutangmurabahahKr. Kas

Db. PendapatanmurabahahditangguhkanKr. Pendapatanmurabahah

Db. BebanmurabahahKr. Bebanmurabahahditangguhkan

Page 21: Gagas Pajak1

• 100% (seratus persen) dari piutangdengan kualitas macet setelah dikurangidengan nilai agunan.Besarnya nilai agunan yang dapatdiperhitungkan sebagai pengurang padacadangan paling tinggi adalah :• 100% (seratus persen) dari nilai agunanyang bersifat likuid; dan• 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilaiagunan lainnya atau sebesar nilai yangditetapkan perusahaan penilai.PSAK 102 menyatakan pengukuran asetmurabahah setelah perolehan adalahsebagai berikut:(a) jika murabahah pesanan mengikat,maka:(i) dinilai sebesar biaya perolehan; dan(ii) jika terjadi penurunan nilai aset karenausang, rusak, atau kondisi lainnya sebelumdiserahkan ke nasabah, penurunan nilaitersebut diakui sebagai beban danmengurangi nilai aset:(b) jika murabahah tanpa pesanan ataumurabahah pesanan tidak mengikat, maka:(i) dinilai berdasarkan biaya perolehan ataunilai bersih yang dapat direalisasi, manayang lebih rendah; dan(ii) jika nilai bersih yang dapat direalisasilebih rendah dari biaya perolehan, makaselisihnya diakui sebagai kerugian.Pengukuran aset murabahah menurutPSAK tersebut merupakan penerapanprinsip konservatisme. UU PPh tidakmenganut prinsip konservatisme, sehinggaaset murabahah akan selalu dinilaimenggunakan biaya perolehan. Biaya yangmuncul terkait dengan penerapan prinsipkonservatisme oleh ketentuan UU PPh tidakdapat dibebankan sebagai biaya. Ketentuanperpajakan menganut prinsip realisasi.Kerugian karena penurunan aktiva baruakan diakui ketika benar-benar terealisasiyaitu ketika dijual.

3938

Terkait dengan transaksi murabahahketentuan in i b isa menimbulkanpermasalahan tersendiri bagi Bank Syariah,karena transaksi murabahah yang dilakukanoleh Bank Syariah tujuannya adalahpembiayaan bukan semata-mata jual beli,sehingga seharusnya Bank Syariah tidakdikenakan PPh Final atas Penghasilan DariPengalihan Hak Atas Tanah dan/atauBangunan.namun tetap mengacu padaprinsip umum transaksi murabahah dimanaobjek PPh dikenakan atas marginmurabahah dan tidak bersifat final.

(b) 5 % (lima persen) dari piutang dengankualitas yang digolongkan dalam perhatiankhusus setelah dikurangi nilai agunan;(c) 5% (lima belas persen) dari piutangdengan kualitas yang digolongkan kuranglancar setelah dikurangi dengan nilaiagunan;(d) 50% (lima puluh persen) dari piutangdengan kualitas yang digolongkandiragukan setelah dikurangi dengan nilaiagunan; dan(e) 100% (seratus persen) dari piutangdengan kualitas yang digolongkan macetsetelah dikurangi dengan nilai agunan.Besarnya nilai agunan yang dapatdiperhitungkan sebagai pengurang padacadangan pal ing t inggi adalah :(a) 100% (seratus persen) dari nilai agunanyang bersifat likuid; dan(b) 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilaiagunan lainnya atau sebesar nilai yangditetapkan perusahaan penilai.Sedangkan besarnya cadangan piutangtak tertagih untuk bank perkreditan rakyatyang melaksanakan kegiatan usahaberdasarkan prinsip syariah ditetapkansebagai berikut :• 0,5% (setengah persen) dari piutangdengan kualitas lancar tidak termasukSertifikat Wadiah Bank Indonesia;• 10% (sepuluh persen) dari piutang dengankualitas kurang lancar setelah dikurangidengan nilai agunan;• 50% (lima puluh persen) dari piutangdengan kualitas diragukan setelah dikurangidengan nilai agunan; dan

dimana jumlah angsuran, pokok dankeuntungan yang diakui setiap tahunadalah sebagai berikut:

Tahun Angsuran Pokok Keuntungan1 500 400 1002 300 240 603 200 160 40

Dalam transaksi murabahah dendadikenakan jika pembeli lalai dalammelakukan kewajibannya sesuai denganakad, dan denda yang diterima diakuisebagai bagian dana kebajikan oleh BankSyariah. Denda yang diterima tersebutsecara fiskal merupakan penghasilan objekPPh. Pada akhir tahun pendapatan marginmurabahah diakumulasi bersama denganpenghasilan lainnya dikenakan PPh TarifUmum dari basis netto. Dalam hal BankSyariah menjual tanah dan bangunan perludiperhatikan ketentuan PeraturanPemerintah Nomor 48 Tahun 1994sebagaimana telah diubah terakhir denganPeraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun2008 Tentang Pembayaran PajakPenghasilan Atas Penghasilan DariPengalihan Hak Atas Tanah Dan/AtauBangunan. Ketentuan tersebut mengaturbesarnya PPh sebesar 5% (lima persen)dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atastanah dan/atau bangunan dan bersifat final.Nilai pengalihan hak tersebut adalah nilaiyang tertinggi antara nilai berdasarkan AktaPengalihan Hak dengan Nilai Jual ObjekPajak tanah dan/atau bangunan yangbersangkutan.

Biaya yang dapatdikurangkan dalammenghitung PPh :Dalam PSAK 102 piutang murabahahdisajikan sebesar nilai bersih yang dapatdirealisasikan, yaitu saldo piutangmurabahah dikurangi penyisihan kerugianpiutang. Untuk kepentingan penghitunganPPh, sesuai Peraturan Menteri KeuanganNomor 81/PMK.03/2009 TentangPembentukan Atau Pemupukan DanaCadangan Yang Boleh DikurangkanSebagai Biaya diatur bahwa Bank syariahd i p e r k e n a n k a n u n t u k m e m b u a tpencadangan piutang tak tertagih. Besarnyacadangan piutang tak tertagih untuk bankumum yang melaksanakan kegiatan usahaberdasarkan prinsip syariahsebagai berikut :(a) 1% (satu persen) dari piutang dengankualitas yang digolongkan lancar, tidaktermasuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesiadan surat berharga yang diterbitkanPemerintah berdasarkan prinsip syariah

Page 22: Gagas Pajak1

41

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13TAHUN 1985 Tentang Bea Meterai,dokumen yang terutang bea meterai saatakad murabahah disepakati, antara lain :• surat perjanjian/akad murabahah;• kuitansi/tanda terima uang;• akta-akta yang dibuat oleh pejabat PPATdalam hal akad murabahah menyangkutpengalihan tanah

Perlakuan Bea MeteraiSehingga BPHTB terutang langsung padakreditur selaku pembeli. Namun dalamtransaksi murabahah, secara akad terjadidua transaksi jual beli yaitu antaraperusahaan pengembang perumahandengan Bank Syariah dan antara banksyariah dengan nasabah selaku pembeliakhir. Akibatnya BPHTB terutang dua kali,yaitu oleh Bank Syariah dan oleh nasabahselaku pembeli akhir.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah danRetribusi Daerah kewenangan pengenaanBPHTB paling lambat mulai tahun 2011berada pada Kabupaten/Kota bukan lagipada pemerintah pusat. Sehingga mulaitahun 2011 mekanisme pengenaan BPHTBtidap daerah bisa berbeda tergantung dariPeraturan Daerah masing-masing.

40

Dengan berlakunya UU No 42 tahun 2009,perlakuan PPN untuk transaksi pembiayaanmurabahah yang selama ini menjadiganjalan menjadi lebih jelas. Bank Syariaht idak per lu memungut PPN ataspenyerahan barang kena pajak kepadapembeli akhir. Berdasarkan Pasal 1 A ayat(1) huruf h UU No 42 Tahun 2009penyerahan Barang Kena Pajak olehPengusaha Kena Pajak dalam rangkaperjanjian pembiayaan yang dilakukanb e r d a s a r k a n p r i n s i p s y a r i a h ,penyerahannya dianggap langsung dariPengusaha Kena Pajak kepada pihak yangmembutuhkan Barang Kena Pajak.Contoh : dalam transaksi murabahah, banksyariah bertindak sebagai penyedia danauntuk membeli sebuah kendaraan bermotordari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanannasabah bank syariah (Tuan B). Meskipunberdasarkan prinsip syariah, bank syariahharus membeli dahulu kendaraan bermotortersebut dan kemudian menjualnya kepadaTuan B, berdasarkan Undang-Undang ini,penyerahan kendaraan bermotor tersebutdianggap dilakukan langsung olehPengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Perlakuan Bea PerolehanHak atas Tanah danBangunan (BPHTB)

Perlakuan Bea PerolehanHak atas Tanah danBangunan (BPHTB)

Dalam hal Bank Syariah melakukantransaksi murabahah atas perolehan hakatas tanah dan atau bangunan sesuaidengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun1997, Undang-Undang Nomor 20 Tahun2000 tentang Bea Perolehan Hak AtasTanah dan Bangunan menjadi objekBPHTB. Tarif BPHTB sebesar 5% dari NilaiPerolehan Objek Pajak.

Kondisi ini menciptakan perlakuan yangt idak ne t ra l dengan perbankankonvensional. Dalam kasus kreditperumahan oleh bank konvensional jualbeli terjadi antara perusahaan pengembangperumahan (developer) dengan krediturselaku pembeli.

Page 23: Gagas Pajak1

Data BKPM menginformasikan jumlahforeign investment yang masuk (capitalinflow) pada periode Januari – Mei 2010tercatat sebesar Rp 42,1 trilyun meliputiinvestasi di sektor tranportasi, pergudangan,perdagangan, telekomunikasi, listrik, airdan gas, perumahan, kawasan industri,gedung perkantoran dan sebagainya.Dari gambaran di atas tentunya kita dapatmengatakan bahwa transaksi-transaksiinternasional semakin meningkat baik darisegi jumlah maupun volumenya. Ini jugadapat berarti meningkatnya potensipenerimaan negara dari sektor pajak baikpotensi pemajakan dari transaksi ekonomiwajib pajak luar negeri di Indonesia(inbound transaction) maupun dari transaksiekonomi wajib pajak dalam negeri di luarIndonesia ( outbound transaction).Bagaimanakah kemampuan Indonesiamemanfaatkan potensi meraup pajaktransaksi-transaksi global tersebut? Iniakan kita amati dari sisi bagaimanaIndonesia membidik potensi-potensipemajakan tersebut melalui peraturanperundang-undangan domestik dankesepakatan-kesepakatan internasionalyang diterapkan di Indonesia.Praktik pemungutan pajak berkaitan dengantansaksi ekonomi global (cross-border tax)oleh negara–negara di seluruh duniameliputi paling tidak 4 hal, yaitu subjekpajak, objek pajak, besaran atau tarif pajakdan hak pemajakan.

Penguatan Posisi Indonesia Dalam PemajakanTerhadap Transaksi Ekonomi Global

43

Akuntansi In ternasional

ancah bisnis internasional dari perspektif bangsa Indonesia dapat digambarkan dari perjalanan sejarahkejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit,masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa,Jepang , masa perjuangan kemerdekaan,sampai seperti sekarang ini, dimana sudahsemakin banyak warga bangsa Indonesiamengembangkan usaha atau kegiatanbisnisnya di luar Indonesia. Kegiataninvestasi misalnya telah merambah keberbagai negara di kawasan Asia, Eropa,Amerika, dan Australia. Pelaku bisnis lokalyang semula hanya bermain di dalamnegeri, kini telah melangkah jauh keluarbatas Indonesia. Begitu juga pebisnismancanegara melalui berbagai jeniskegiatan dan usaha termasuk membangunjaringan perusahaan multinasional (MNC)telah banyak beroperasi di Indonesia.

D. PENUTUPSampai saat ini aturan pelaksana untukperlakuan perpajakan terhadap transksisyariah khususnya mengenai PajakPenghasilan baru sebatas pada PeraturanPemerintah, sedangkan untuk perlakuanPajak Pertambahan nilai baru sebatasUndang-Undang. Tentu saja para pelakutransaksi syariah masih menunggu petunjukteknis yang lebih jelas dalam aturan-aturanpelaksanaan dibawahnya. Terkait denganberagamnya pendekatan transaksi syariahdan untuk memberikan perlakuan yang netralantar industri yang sama disarankanpembentukan peraturan pelaksana untuktransaksi syariah menggunakan pendekatansektor industri, misalnya transaksi syariahindustri perbankan, transaksi syariah industriasuransi, dan industri lainnya. Oleh : Anang Mury Kurniawan

Daftar Pustaka• Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 TentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PajakPenghasilan• Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang PajakPertambahan Nilai Barang Dan Jasa danPajak Penjualan Atas Barang Mewah• Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah• Undang-Undang Nomor 13 TAHUN 1985tentang Bea Meterai• Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun2009 Tentang Pajak Penghasilan KegiatanUsaha Berbasis Syariah• Peraturan Menteri Keuangan Nomor81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan AtauPemupukan Dana Cadangan Yang BolehDikurangkan Sebagai Biaya• Ikatan Akuntan Indonesia, Kerangka DasarPenyusunan dan Penyajian LaporanKeuangan Syariah• Ikatan Akuntan Indonesia, PernyataanStandar Akuntansi Keuangan No. 101Penyajian Laporan Keuangan Syariah• Pernyataan Standar Akuntansi Keuanganno. 102 Akuntansi Murabahah

42

(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 24: Gagas Pajak1

Ada beberapa persyaratan yang harusdipenuhi untuk menjadi wajib pajak luarnegeri, antara lain : 1) Terpenuhinya syaratSubjek Pajak Luar Negeri; 2) adanyapenghasilan, dan 3) Terpenuhinya syaratBUT; Syarat 1) dan 2) bersifat kumulatif.Sebenarnya satu kriteria saja sudah cukupuntuk menetapkan subjek pajak luar negerimenjadi Wajib Pajak (luar negeri), yaituapabila SPLN tersebut menerima ataumemperoleh penghasilan yang bersumberdi Indonesia. Kewajiban perpajakannyatergantung dari status wajib pajak luarnegeri tersebut, apakah BUT atau selainBUT, apakah penduduk mitra atau bukan.Namun satu hal harus diingat, terpenuhinyakriteria sebagai wajib pajak luar negeribelum menjamin perolehan penerimaanpajak yang optimal. Satu dan lain haldisebabkan adanya praktik-praktik pajakyang tidak sehat yang dapat dilakukan olehwajib pajak luar negeri, yaitu antara lain :a) jumlah karyawan asing yang dilaporkankurang dari jumlah yang sebenarnya; b)praktik-praktik pajak yang berkaitan dengantax heaven country seperti transfer pricing,thin capitalization, controlled foreign country,hubungan istimewa dan sebagainya..

P e n e n t u a n m e n j a d i Wa j i bPajak Luar Negeri.

Adapun jenis-jenis outbound transactionsantara lain:• transaksi yang dilakukan secara langsungdari Indonesia (tanpa melalui BUT di luarnegeri);• transaksi yang dilakukan melalui BUT diluar negeri;• transaksi yang dilakukan melalui investasilangsung di luar negeri (foreign directinvestment) dalam bentuk pengoperasiananak perusahaan (subsidiary company);atau• transaksi yang dilakukan melalui ekspormodal yang menghasilkan passive income(dividen, bunga, sewa, atau royalty)Pemajakan yang biasanya terkait denganoutbound transaction antara lain:Pemotongan pajak oleh fihak luar negeri(foreign withholding taxes), kredit pajak luarnegeri (foreign tax credit), foreign tax creditlimitation, income tax treaties, dansebagainya.

Penentuan Penghasilan dariTransaksi InternasionalYang Dikenai PajakPenghasilan wajib pajak dalam negeri(WPDN) atau wajib pajak luar negeri(WPLN) yang berasal dari transaksiinternasional secara garis besar dapatdibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1)penghasilan wajib pajak dalam negeri yangberasal dari transaksi luar negeri (outbound transactions); dan 2) penghasilan wajibpajak luar negeri yang berasal dari transaksi/diterima di dalam negeri (inboundtransactions); dan 3) penghasilan BUT.Penghasilan wajib pajak dalam negeri yangberasal dari Outbound transactions dikenaipajak di Indonesia berdasarkan pasal 24UU PPh.

Di sisi lain, penghasilan wajib pajak luarnegeri selain BUT yang berasal dari inboundtransactions dikenai pajak di Indonesiaberdasarkan Pasal 26 UU PPh. yaitu :a. Penghasilan yang dikenakan pajakberdasarkan penghasilan bruto berupa:• dividen;• bunga termasuk premium, diskonto, danimbalan sehubungan dengan jaminanpengembalian utang;• royalti, sewa, dan penghasilan lainsehubungan dengan penggunaan harta;• imbalan sehubungan dengan jasa,pekerjaan, dan kegiatan;• hadiah dan penghargaan;• pensiun dan pembayaran berkala lainnya;• premi swap dan transaksi lindung nilailainnya; dan/atau• keuntungan karena pembebasan utang.

b. Penghasilan yang dikenakan pajakberdasarkan perkiraan penghasilan netoberupa:• penghasilan dari penjualan ataupengalihan harta di Indonesia, kecualipenghasilan dari transaksi pengalihan hartaberupa tanah dan/atau bangunan, usahajasa konstruksi, usaha real estate, danpersewaan tanah dan/atau bangunan• premi asuransi yang dibayarkan kepadaperusahaan asuransi luar negeri.• penghasilan dari penjualan ataupengalihan saham saham perusahaanantara (conduit company atau specialpurpose company) yang didirikan ataubertempat kedudukan di negara yangmemberikan perlindungan pajak (taxhaven country) yang mempunyaihubungan istimewa dengan badan yangdidirikan atau bertempat kedudukan diIndonesia atau bentuk usaha tetap diIndonesia dapat ditetapkan sebagai

penjualan atau pengalihan sahambadanyang didirikan atau bertempatkedudukan di Indonesia atau bentuk usahatetap di Indonesia.c. Penghasilan BUT:Spesifikasi penghasilan BUT terbagi dalambeberapa sumber penghasilan, yaitu :• penghasilan dari usaha atau kegiatanBUT dari harta yang dimiliki atau dikuasai (attributable rule)• penghasilan kantor pusat dari usaha ataukegiatan, penjualan barang, atau pemberianjasa di Indonesia yang sejenis dengan yangdijalankan atau yang dilakukan oleh BUTdi Indonesi (Force of Attraction rule):• penghasilan yang diterima atau diperolehkantor pusat, sepanjang terdapat hubunganefektif antara BUT dengan harta ataukegiatan yang memberikan penghasilandimaksud (effectively connected rule).

45

UU PPh Pasal 2 ayat (4) menggariskanbahwa Subjek Pajak Luar Negeri adalah:• orang pribadi yang tidak bertempattinggal di Indonesia,• orang pribadi yang berada di Indonesiatidak lebih dari 183 hari dalam jangkawaktu 12 bulan, dan• badan yang tidak didirikan dan tidakbertempat kedudukan di Indonesia,a. yang menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan melalui bentuk usahatetap (BUT) di Indonesia; danb. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak darimenjalankan usaha atau melakukankegiatan melalui BUT di Indonesia.Pengertian BUT pada dasarnya sama untuksetiap negara, yaitu mengacu padapengertian yang dikeluarkan oleh OECD: a fixed place of business through whichthe business of an enterprise is wholly orpartly carried on. termasuka. tempat kedudukan manajemen;b. cabang perusahaan;c. kantor perwakilan;d. gedung kantor;e. pabrik;f. bengkel;g. gudang;h. ruang untuk promosi dan penjualan;i. pertambangan dan penggalian sumberalam;j. wilayah kerja pertambangan minyak dangas bumi;k. perikanan, peternakan, pertanian,perkebunan, atau kehutanan;l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyekperakitan;m. pemberian jasa dalam bentuk apa punoleh pegawai atau orang lain, sepanjangdilakukan lebih dari waktu tertentu. (Batasan waktu tertentu ini berbeda-bedauntuk masing-masing negara. Indonesiamenentukan 60 hari dalam waktu 12 bulan.);

n. orang atau badan yang bertindak selakuagen yang kedudukannya tidak bebas;o. agen atau pegawai dari perusahaanasuransi yang tidak didirikan dan tidakbertempat kedudukan di negara pihaklainnya yang menerima premi asuransiatau menanggung risiko di negara pihaklainnya.Dalam perkembangannya, kriteria BUTmodel OECD tersebut ternyata dianggaptidak memberikan hak pemajakan yangberimbang antara negara OECD dengannegara berkembang. Negara maju lebihbanyak memperoleh kesempatan memajakipenghasilan dari transaksi ekonomi global. Oleh karena itu PBB membangun kriteriaBUT yang lebih mengakomodasi kebutuhannegara-negara berkembang dalamPerjanjian Penghindaran pajak Berganda(P3B) - tax treaty - model PBB atau UNModel. Selanjutnya masing-masing negara,berdasarkan kepentingannya, memodifikasilagi pengertian BUT. Indonesia misalnya,- menentukan batasan “waktu tertentu” padabutir m dengan “60 hari dalam jangka waktu12 bulan. Di samping itu berkaitan denganperkembangan yang pesat dalam bidangusaha melalui internet –e-commerce Indonesia menambahkan 1butir kriteria, yaitu :• komputer, agen elektronik, atau peralatanotomatis yang dimiliki, disewa, ataudigunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatanusaha melalui internet.Dari batasan ini dapat diartikan bahwasetiap warga asing di Indonesia berpotensidikenakan pajak baik dari hasil investasimaupun penghasilan dari kegiatan yangtidak melalui BUT seperti penghasilans e h u b u n g a n d e n g a n p e k e r j a a n(pegawai/bukan pegawai) atau pekerjaanbebas. Tentu saja ada pengecualian-pengecualian bahwa pihak-pihak asingtertentu bukan merupakan subjek pajak,seperti para pejabat dan staf perwakilannegara sahabat,

pejabat organisasi internasional tertentu,dan sebagainya.Penguatan posisi Indonesia dapat dilihatdari penentuan kriteria BUT,yaitu batas waktu pemberian jasa dalambentuk apapun (furnishing services) olehpegawai atau orang lain, yaitu 60 hari dalam12 bulan. Namun ini nampaknya hanyaberlaku untuk penduduk dari negara yangbelum mempunyai perjanjian penghindaranpajak berganda (P3B-tax treaty) denganIndonesia. Dengan negara-negara yangtelah mempunyai P3B dengan Indonesia,batasan waktu tersebut(berdasarkan timetest pada setiap P3B) ternyata lebihpanjang, yang berarti Indonesia harusmenanti lebih lama untuk memperoleh hakpemajakan atas penghasilan pendudukmitra. Weleh---weleh.

44

Penentuan Subyek PajakLuar Negeri

Page 25: Gagas Pajak1

Dalam mencari rezeki, dengan memuliakandiri upayanya adalah dengan meningkatkankemampuan diri (kompetensi diri),melebarkan silaturahmi atau membuatsuatu jaringan. Dengan meningkatkankemampuan diri dan melebarkan silaturahmiatau membuat jaringan maka secara logisrezeki akan bertambah, rezeki bisamelimpah.Limpahan rezeki yang banyak ditanganorang seorang yang memuliakan diri akanmenjadi limpahan rezeki pula bagi orangdan lingkungan disekitarnya, karena orangtersebut bebas dari kikir. Hal tersebut berarti,orang yang memuliakan diri akan pulamemuliakan pihak lain seperti orang tuanya,keluarganya, saudaranya, temannya,tetangganya dan alam lingkungan. Bukanhanya ketika sedang melimpah rezeki,dengan memuliakan diri ketika diri sedangdiuji oleh kepapaan atau kekurangan rezekimaka dengan budi baiknya, dengan sifatluhurnya dengan membuat semuaperbuatannya bermutu tinggi dan membuatberharga semua perbuatannya makakebaikanlah yang akan terjadi, terhadapdirinya dan orang lain serta lingkungansekitarnya.Ketika seseorang memuliakan orangtuanya, maka dituruti segala perintahnya,kecuali perintah batil, diikuti segalanasihatnya, dikunjungi secara rutin ketikasudah h idup te rp isah , d icukup ikebutuhannya, dijaga kesehatannya, dihiburdengan diajak berlibur bersama jika mampu,diberikan hadiah yang menyenangkannyadan di ingatkan akan ibadahnya.

Memuliakan diriRefleksi

alam kamus besar bahasa Indonesia, mulia berarti : tinggi, luhur, baik budi, bermutu tinggi dan berharga.Diri adalah orang seorang yang utuh, dimana pada diri tersebut berkumpul jasad,pikiran dan ruh, pikiran orang seorangdipengaruhi oleh akal, hati dan nafsu.Diri mempunyai jasad atau tubuh yangmempunyai kebutuhan untuk hidup, dirijuga mempunyai ruh yang mempunyaikebutuhan untuk hidup, bedanya adalahjenis kebutuhannya.Kebutuhan jasad antara lain adalahkenyang, enak, nyaman, aman, sehat,senang dan bahagia. Kebutuhan ruh jugasama seperti di atas namun jasad perlukenyang dengan berbagai asupan jenismakanan sedangkan ruh perlu kenyangdengan berbagai asupan tindakan yangdiwajibkan agama dan amal baik.Dalam mengarungi kehidupan untukmemenuhi kebutuhan, diri ini bebas memilihjalan mana yang akan ditempuh dengansegala akibatnya. Pemenuhan kebutuhanini dilakukan dengan meningkatkankemampuan, mencari rezeki danmengak tua l i sas i kan d i r i da l amlingkungannya.Kita semua merdeka untuk membuatpilihan, jalan yang dapat ditempuh bisaberupa jalan buruk dan biasanya ini mudah,jalan sedang antara baik dan buruk sertajalan baik yang biasanya sukar. Salah satucara untuk menempuh jalan baik adalahdengan memuliakan diri, yang berartimeninggikan diri, membuat diri menjadiluhur, berbudi baik, bermutu tinggi danberharga. Segala upaya tersebut akanmembuat diri orang seorang menjadi baik,apabila tiap orang berbuat seperti itu makaaman sejahteralah dunia ini, hidup ininyaman, senang, aman, enak dan bahagia.

47

Beberapa isu terkini, seperti adanyaberbagai kendala dalam memanfaatkanfasilitas pertukaran informasi atau changeof Information, perluasan scope dariexchange of information, penentuanbeneficial owner atas passive income dansebagainya sangat memerlukanketerampilan bernegosiasi, khususnyauntuk menentukan suatu perusahaanmerupakan special purpose vehicle (SPV)atau bukan. Berkenaan denganpenggunaan SPV oleh negara-negara yangtelah mempunyai P3B dengan Indonesia,sudah saatnya Indonesia melakukaninvestigasi apakah perusahaan padanegara mitra menggunakan SPV atau tidak.Apa bila ada perusahaan negara mitramenggunakan SPV maka sudah saatnyaIndonesia melakukan renegosiasi mengenaiP3B dengan negara tersebut.

Namun penentuan BUT di bidang jasa(furnishing services) kelihatannya kita masihlemah dibanding negara-negara lain. Halini nampak dari uji waktu (time test) yanglebih lama pada semua tax treaty dengannegara mitra dibanding dengan uji waktuberdasarkan UU PPh Indonesia.Lalu bagaimana sikap kita untukmeneguhkan posisi sebagai pemungutpajak atas cross-border tax?: Jawabannyatentu tidak sekedar menegakkan aturan,diperlukan usaha untuk memperbaiki dayatawar ekonomi dan kemahiran bernegosiasidalam perundingan pembentukan tax treatymaupun dalam penerapannya.Penguatan daya tawar ekonomi di masadatang meliputi antara lain : peningkataninvestasi di bidang industri berbasis ekspor,inovasi teknologi industri, peningkatankualitas sumberdaya manusia dalamrangka ekspor jasa, kepastian hukum, danstabilitas ekonomi makro. Untukmemperoleh manfaat yang maksimal daritax treaty, disamping kekuatan ekonomidiperlukan pula kemahiran bernegosiasidengan negara mitra. Kemahiranbernegosasi merupakan bagian integraldalam proses perundingan dan tentu sajamemerlukan SDM yang menguasaimasalah dan cerdas pula.

Penentuan tarif pajakPenentuan tarif pajak untuk transaksi globalsangat tergantung pada ada /atau tidakadannya tax treaty dengan negara mitra.Apabila antara Indodnesia dengan negaramitra telah mengadakan tax treaty, makatarif yang digunakan adalah tarifberdasarkan tax treaty tersebut. Sebaliknyaapabila belum ada tax treaty, makadigunakan tarif berdasarkan ketentuanpajak domestik.

Pembagian hakpemajakanKonvensi internasional menggariskan -sebagaimana selalu tercantum dalam taxtreaty,- laba usaha (business profit) seorangpenduduk (orang pribadi atau badan)negara pihak tidak dikenakan pajak dinegara pihak lainnya, kecuali laba usahatersebut diperoleh dari kegiatan BUT dinegara pihak lainnya.Berdasarkan ketentuan tersebut, berartinegara dimana BUT berada mempunyaihak utama (primary rights) untuk memajakiBUT. Ini berarti pula bahwa keberadaanBUT menentukan pembagian hakpemajakan. Penentuan BUT berdasarkankriteria fisik barang kali sudah berjalansebagaimana mestinya.

46

Oleh : Hasanuddin Tatang(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 26: Gagas Pajak1

pengembangan teknologi informasi yangmudah dan murah untuk diimplementasikandi perpustakaan;2. Untuk mendukung dan mengefektifkanfungs i - fungs i perpustakaan agarinformasi/koleksi yang ada dapat diaksesoleh siapa saja yang membutuhkan baikdari instansi maupun dari seluruh penjurudunia;3. Volume pekerjaan yang semakinmeningkat dengan semakin bertambahnyajumlah koleksi perpustakaan sehingga perludidukung oleh sistem otomasi agar dapatmempertahankan pelayanan primakhususnya di BPPK;4. Saat ini sudah banyak perpustakaankhususnya di perguruan tinggi dengankemampuan dan inisiatifnya sendiri telahmerintis pengembangan teknologi informasidengan mend ig i t a l i sas i ko leks iperpustakaan. Dan otomasi perpustakaanyang ada saat ini sudah mampu membuatjaringan perpustakaan digital nasional(Indonesia digital library network). Olehkarena itu, BPPK juga dirasa perlu untukmengembangkan sistem perpustakaannya.Sistem perpustakaan digital e-library BPPKsaat ini memang masih dalam tahapmembangun. Menerapkan sistem tersebutsecara utuh dengan menggabungkandatabase perpustakaan konvensionalsebanyak 8 unit eselon II yang ada di BPPKtentunya bukan pekerjaan mudah. Sangatdisadari bahwa perpustakaan digital tidakdapat berdiri sendiri tanpa dukungan daris i s t e m o t o m a s i p e r p u s t a k a a nkonvensionalnya. Otomasi perpustakaanmerupakan p roses penge lo laanperpustakaan dengan menggunakanbantuan teknologi informasi dan komunikasi.Untuk mewujudkannya, hal yang terpentingdalam membangun e-library BPPK adalahdengan menerapkan sistem otomasiperpustakaan konvensional yang ada dilingkungan BPPK.

MEMPERLUAS JENDELA CAKRAWALADUNIA, MELALUI DIGITALISASIPERPUSTAKAAN

Kabare Pusdiklat2

49

endela cakrawala dunia, begitulah orang menyebut kata buku. Tak berlebihan, melalui buku kita memangbisa berkelana hingga ke ujung dunia.Membaca buku layaknya menjelajahi sisi-sisi dunia, mencari tahu apapun yang adadidalamnya, untuk segala bidang, politik,ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan,teknologi dan sebagainya. Bacalah, makakau akan tahu.Bicara soal buku, tentunya tak lepas dariurusan pendidikan. Sejak kecil, bahkansejak masa pra-sekolah, anak-anak sudahdiperkenalkan pada buku. Buku memangmerupakan sarana yang umum dipakaiuntuk proses pengajaran. Pendidikan diIndonesia, mulai dari TK hingga perguruantinggi menggunakan buku sebagai sumberutama proses belajar mengajarnya.Pentingnya keberadaan buku dalam duniapendidikan menjadikan perpustakaansebagai pusat penghimpun koleksi bahanbacaan menjadi unsur penting dalamsebuah institusi pendidikan. Keberadaanruang perpustakaan di setiap institusipendidikan hampir sudah dapat dipastikan,namun sejauh mana perpustakaan ituberjalan tergantung bagaimana institusitersebut memanfaatkan setiap fungsi dariperpustakaan itu sendiri.

fungsi dari perpustakaan itu sendiri.Institusi pendidikan yang concern terhadappentingnya peran perpustakaan, akanmelakukan berbagai cara untuk membuatcitra perpustakaannya semakin baik. Salahsatu cara yang mereka tempuh yaitumembuat perpustakaan digital sertamembuatnya dalam versi online dalambentuk e-library. Berkembangannyateknologi informasi dan komunikasi menjadipendukung utama maraknya kemunculane-library di berbagai institusi pendidikan,tak terkecuali institusi pemerintah.e-library BPPKBadan Pendidikan dan Pelatihan Keuangansebagai institusi pendidikan yang beradadi lingkungan Kementerian Keuangant e n t u n y a t a k m a u k e t i n g g a l a nmemanfaatkan perkembangan teknologiinformasi dan komunikasi dalammendukung tugas dan fungsinya, takterkecuali dengan urusan perpustakaan.Saat in i BPPK memang sedangmembangun perpustakaan digital dalambentuk e-library BPPK. Setidaknya adabeberapa hal yang menjadi latar belakangpentingnya menerapkan sistem e-library diBPPK, antara lain :1. Perkembangan information andcommunication technology (ICT) semakinmembuka peluang-peluang baru bagi

Dengan memuliakan diri terhidarlah dari lakutercela dan tidak akan ada markus, koruptordan pelaku jahat lainnya yang memperolehkekayaan dengan cara berbuat sebaliknyadari memuliakan diri yaitu merendahkan diridengan memberikan jasa yang melawanhukum dan keadilan, berbudi buruk karenamengambil yang bukan haknya, berbuataniaya dan keji. Semua hal buruk akan sirnaseperti perbuatan korupsi, maling, madat,mabuk, berbuat zina, boros, keji dan aniaya.Dengan memuliakan diri orang seorang akanmenolak semua perbuatan yang rendah,yang tidak baik, yang tidak bermutu danyang tidak berharga. Menolak semua yangburuk, tidak akan mengambil yang bukanhaknya, tidak akan memanfaatkan rezeki kejalan yang batil, tidak akan menipu diri sendiridan menolak semua perbuatan negatif.Akhirnya bahagia yang datang, senang yangdatang, sehat yang datang, aman yangdatang, enak yang datang. Inilah harapankita semua.Akankah kita semua memilih untukmemuliakan diri?, marilah kita semuaberusaha untuk dapat memuliakan diridengan segala upaya, dengan membulatkantekad dan dengan berdoa agar dikuatkan,dicenderungkan, dituntun dan dibimbing olehSang pencipta agar kita semua dapatmemuliakan diri, amin.

Ketika seseorang memuliakan orang lainmaka disapanya orang lain dengan salam,dikunjungi ketika sakit, diberikan kiriman oleholeh jika ada, dibantu ketika sedang beradadalam kesempitan, dihibur ketika dalammusibah, didoakan agar memperolehkebaikan dunia dan akhirat, dihormati danjamu tetamu yang datang, diucapkan selamatj ika memperoleh penghargaan dankedudukan baik dan dipenuhi undangannya.Dengan memuliakan diri, orang seorang iniberarti telah memuliakan penciptanya YangMaha Mulia, Sang pencipta tidak perludimuliakan karena dengan sendirinya Sangpencipta telah Mulia, Maha Mulia. Kita semuamemuliakan Sang pencipta denganpengakuan bahwa Sang pencipta MahaMulia, untuk mewujudkan bahwa kita semuamemuliakan Sang pencipta maka kita semuaharus memuliakan diri, karena memuliakandiri berarti memuliakan Sang pencipta,memuliakan orang tua, dan seterusnya.Dengan memuliakan diri, kita semua akanberperan mulia dalam segala hal, pekerjaakan bekerja dengan baik, memberikan yangjauh lebih baik dari yang diharapkan, seorangpedagang akan berjual beli dengan ramah,jujur dan mengambil untung yang salingmenguntungkan, peran apapun yangdiembannya maka orang yang memuliakandiri akan selalu berbuat yang terbaik, selaluberfikir positif dan berperasaan positif.Dengan memuliakan diri, orang seorang akanberbuat positif, pro-aktif akan perbuatan baik,baik terhadap diri, menyayangi diri, mengisisemua waktunya hanya dengan kebaikan,bersinergi dan menjadi bijak atau dapatmemahami dan memaklumi orang lain.Dengan demikian maka hal baiklah yangakan terjadi dan terasa oleh orangsekelilingnya dan oleh lingkungan sekitarnya,baik terhadap diri dan menyayangi diri akanmenghilangkan iri, dengki, sombong dandendam.

48

Oleh : Akmal(Widyaiswara Pusdiklat Pajak)

Page 27: Gagas Pajak1

SUSUNAN REDAKSI

GALERI PUSPA

Disiplin sebagai bagian darimateri-materi diklat yangdiilaksanakan di Pusdiiklat Pajak.

Nikmatnya makan bersamaseluruh peserta DiklatDTSD II Pajak

Para peserta melakukankegiatan senam bersamaagar selalu fit selamamenjalani diklat.

Belajar dengan media audiovisual, beralih dari metodekonvensional.

Tempat favorit pesertaberfoto bersama.

Cerita, canda dan tawa dibilik asrama.

Kegiatan peserta di luarkelas, cocok sebagaipenghilang stress.

Outbond training, salah satumetode untuk menciptakanpegawai tangguh.

Hypnoteaching, belajar ilmuhipnotis untuk digunakandalam proses pembelajaran

Menyanyikan lagu "BagimuNegeri", sebuah prosesirutin di setiap acaraPembukaan Diklat.

PENANGGUNG JAWABCHAIZI NASUCHAPEMIMPIN REDAKSIROY MARTFIANTOWAKIL PEMIMPIN REDAKSIWAWAN ISMAWANDITIM REDAKSIIDA HAMIDAHKUSMONOAGATHA AIDA PURWANINGSIH E.WNGALIM RUKMIANTAPENYUNTINGSUMIYATIFARIZ WAZDIRAHARDI NUGROHOKUSUMAWATIDESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAFERYOGI JAYA KUSUMA

Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam majalahini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 10, spasi 1,5.Maksimal 10 halaman yang diulis pada kertas A4dengan margin atas, bawah 2 cm dan margin kanan,kiri 1,5 cm. Artikel dapat dikirim [email protected].

Alamat Redaksi :Pusdiklat PajakJl. Sakti Raya No.1, KemanggisanJakarta Barat 11480http://www.bppk.depkeu.go.id/webpajak/

GAGASPAJAKm e n g G A G A S d e n g a n i l m u m e n g u b a h d e n g a n w a w a s a n

EDIS

I Agu

stus

201

0

GAGASPAJAK

50

Oleh : KusumawatiPelaksana Bidang RenbangPusdiklat Pajak

Otomasi Perpustakaan Pusdiklat PajakPusdiklat Pajak merupakan salah satuperpustakaan yang cukup besar yang adadi lingkungan BPPK. Hal ini dapatdibuktikan dari banyaknya jumlah koleksibahan bacaan yang ada di perpustakaanPusdiklat Pajak yang mencapai lebih dari7500 buah, dari sekitar 2600 judul bahanbacaan yang ada. Dengan jumlah koleksisedemikian banyak maka sistempengelolaan yang mudah dan cepattentunya menjadi kebutuhan yangmendesak. Otomasi perpustakaan kinimenjadi fokus utama pengelolaanperpustakaan di Pusdiklat Pajak. Banyakhal yang harus dipersiapkan dalam rangkamewujudkan otomasi perpustakaan diPusdiklat Pajak. Diantaranya yaitu :1. Pencatan/penginventarisasian data buku,mencakup data judul, edisi, abstraksi, namapengarang, ISSN/ISBN, nomor dan namaklasifikasi buku berdasarkan DecimalDewey Classification, nama penerbit, kotapenerbit, negara penerbit, tahun terbit,collation, bahasa, shelving, serta nomorinduk;2. Penempelan label identitas buku yangmencakup : judul buku, barcode dan nomorinduk;3. Penempelan label call number yangmencakup : nama perpustakaan, nomorklasifikasi, inisial pengarang, huruf depankata pertama judul.D e n g a n a d a n y a s i s t e mpencatatan/inventarisasi yang baik, makaproses pengadministrasian akan jauhsemakin mudah sehingga akan menunjangpenggunaan aplikasi komputer berupaOPAC (online public access catalog) yangsudah dirancang secara khusus oleh time-library BPPK. Data aplikasi OPAC dariberbagai Pusdiklat, STAN dan Sekretariatdi lingkup BPPK ini nantinya akandikompilasi dan diintegrasi dalam sisteme-library BPPK. Seluruh dunia dapatmengakses secara online koleksi buku apasaja yang dimiliki perpustakaan di seluruhunit BPPK.

BPPK tentunya juga akan menyediakankonten-konten yang dapat diunduh langsungdari e-library antara lain berupa jurnalkeuangan, jurnal umum, karya tulis Ilmiah,abstrak thesis, hasil kajian akademis, bukudigital BPPK (annual report, profile BPPK),majalah / buletin, artikel, proceeding dll.Rasanya tak sabar menunggu peluncuranpertama e-library BPPK. Jaya terus BPPK!!.

Page 28: Gagas Pajak1

Selamat menunaikan ibadah puasa,Ramadhan 1432 H

Segenap keluarga besar Pusdiklat Pajak mengucapkan

PROGRAM DIKLAT PUSDIKLAT PAJAK 2010

NO NAMA DIKLAT LAMA DIKLAT

TEORI PKL / OUTBOUND

DIKLAT TEKNIS

7 / 3 hr

2 Diklat TNA Komunikator: 3 hr

266

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

DIKLAT FUNGSIONAL

TOT Perpajakan

Diklat Etika Profesi Pegawai DJP

DTSS Operator Console Pajak

DTSS Juru Sita Pajak

Diklat Penyegaran Jurusita

DTSS KUP Tingkat Dasar

DTSS KUP Tingkat Menengah

DTSS KUP Tingkat Tinggi

DTSS PPN Tingkat Dasar

DTSS PPN Tingkat Menengah

DTSS PPN Tingkat Tinggi

DTSS PPh Tingkat Dasar

DTSS PPh Tingkat Menengah

DTSS PPh Tingkat Tinggi

Diklat Account Representative

Diklat Manajemen Pengawasan danKonsultasi

Diklat Penyegaran Account Representative

37 hr

Diklat Penelaah Keberatan

Diklat Manajemen Keberatan

DTSS Ekstensifikasi

DTS Perpajakan bagi Pegawai Itjen Kemkeu

3 hr

5hr

10hr

10hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

5hr

4hr

5hr

10hr

7 / --

2 / --

27

27

44

72

68

44

44

44

44

44

44

44

44

44

44

44

44

44

44

DF. Menengah Pemeriksa

DF. Tinggi Pemeriksa

Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB

DF. Menengah Pemeriksa

DF. Tinggi Pemeriksa

Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB

1

2

3

1

2

3

1

10hr

5hr

5hr

10hr

5hr

5hr

77

44

43

77

44

43

DTS Dasar Pajak I

44

77

33

JML M.P.JML J.P